21
Indonesian Journal of Pathology (Majalah Patologi Indonesia) Official journal of the Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Indonesia/IAPI (Indonesian Society of Pathologists) Published quarterly since 1986 Vol. 18 No. 1 January 2009

Majalah Patologi Indonesia

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Majalah Patologi Indonesia

Indonesian Journal of Pathology (Majalah Patologi Indonesia)

Official journal of the Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Indonesia/IAPI (Indonesian

Society of Pathologists)

Published quarterly since 1986

Vol. 18 No. 1 January 2009

Page 2: Majalah Patologi Indonesia

Table of Contents

Original Articles

Korelasi Imunoskor Ekspresi CD117 dengan Perangai Biologi GISTs (Gastrointestinal

Stromal Tumors) Intestinal dan Ekstra Intestinal

Ni Luh Primadi, I Ketut Mulyadi 1-9

Perbandingan Kuantitas Morfometri Sitologi dari Limfoma dan Non Neoplasma

Suryani Eka Mustika, Nadjib Dahlan Lubis, Delyuzar . 10-13

Ekspresi Protein C-MYC dan BCL2 pada Karsinoma Nasofaring Jenis Undifferentiated.

Hubungannya dengan T-stage dan N-stage

Anny Setijo Rahayu, Endang Joewarini 14-17

Ekspresi Protein p53 Mutan dan EGFR pada Papiloma dan Karsinoma Sel Skuamus Laring

WWGT Prasetyo, T Soemarno 18-23

Korelasi Ekspresi HER-2/neu dengan Tipe Histologik dan Derajat Diferensiasi Karsinoma

Ovarium

NP Sriwidyani, IGA Sri Mahendra Dewi 24-31

Ekspresi Protein HER-2/neu, Status Reseptor, Estrogen dan Progesteron pada Berbagai

Yuwono Derajat Keganasan Karsinoma Payudara Duktal Invasif Wanita Usia Muda

Ika Kartika EP, Henny Maulani, Henny Sulastri, Yuwono . 32-41

Page 3: Majalah Patologi Indonesia

Korelasi imunoskor ekspresi CD117 dengan perangai biologi GISTs- Majalah Patologi N.L.P. Primadi, I.K. Mulyadi

KORELASI IMUNOSKOR EKSPRESI CD117 DENGAN

PERANGAI BIOLOGI GISTs (GASTROINTESTINAL STROMAL TUMORS) INTESTINAL DAN EKSTRA

INTESTINAL

N.L.P Primadi I.K. Mulyadi

Departemen Patologi Anatomik

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar

ABSTRAK Latar Belakang

Gastrointestinal stromal tumors (GISTs) merupakan tumor yang jarang yang berasal dari sel mesenkimal pada traktus gastrointestinal dan ekstra traktus gastrointestinal. Tumor ini mengekspresikan CD117, dimana CD117 merupakan reseptor yang mempunyai aktivitas tirosin kinase. Kriteria untuk menentukan perangai biologi dari GISTs sampai saat ini masih cukup sulit. Kriteria yang paling sering dipakai adalah besarnya tumor dan jumlah mitosis. CD117 hanya untuk menunjang diagnosa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi imunoskor ekspresi CD117 dengan perangai biologi GISTs. Cara

Penelitian potong lintang dilaksanakan di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar. Sampel penelitian adalah seluruh populasi yang terjangkau, yaitu penderita GISTs yang melakukan pemeriksaan histopatologi pada satu laboratorium patologi anatomi swasta dan di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar dari tanggal 01 Jan 2003-31 Des 2007 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Parameter yang dinilai ukuran tumor, selularitas, atipia inti, tipe sel, nekrosis, invasif, dan jumlah mitosis. Pemeriksaan imunohistokimia CD117 metode LAB dan interpretasi dinilai berdasarkan prosentase sel yang terpulas dan intensitas warna. Analisa korelasi ekspresi imunoskor CD117 dengan perangai tumor diuji dengan analisa bivariat dengan metode Anova menggunakan program SPSS 15.0. Hasil

Dari tahun 2003-2007 diperoleh 33 kasus (69,7% laki dan 30,3% wanita), rentang umur penderita 31-80 tahun. 75,8% dari kasus, tumor terletak di intestinal dan sisanya berasal dari ekstraintestinal. Diameter tumor adalah 3-27 cm. 60,6% kasus mempunya tipe sel spindel, 21,2% tipe sel epiteloid dan sisanya tipe sel campuran.66,7% tumor dengan nekosis dan 33,3% tanpa nekrosis. 60,6% mitosis >5/50HPF dan 39,4% mitosis <5/50HPF. Seluruh tumor yang diteliti positif terhadap CD117 dengan intensitas yang bervariasi. Ada kecenderungan hubungan yang cukup antara grading dan imunoscore CD117 pada kasus GISTs, namun tidak bermakna (koefisien korelasi =0.34, p=0,051).

Vol 18 . No.1, Januari 2009 1

Page 4: Majalah Patologi Indonesia

Korelasi imunoskor ekspresi CD117 dengan perangai biologi GISTs- Majalah Patologi N.L.P. Primadi, I.K. Mulyadi Kesimpulan

Ekspresi CD117 hanya dapat dipakai untuk membedakan GISTs dengan tumor lain yang mempunyai morfologi yang mirip, tidak dapat dipakai membedakan perangai biologi dari GISTs. Kata kunci: GISTs, imunoskor, CD117.

ABSTRACT Background

Gastrointestinal stromal tumors (GISTs) are rare neoplasm originated from mesenchymal cells involving gastrointestinal tract and extra gastrointestinal tract. They express CD117, a trans-membrane receptor with intrinsic tyrosine kinase activity. It has been difficult to determine the criteria for GISTs’ behavior. Tumor size and mitosis have been used. CD117 was only for supporting diagnosis. The aim of this study was determining the correlation between intestinal tract and extra intestinal tract GISTs’ CD117 imunnoscore expression and their behavior. Method

This cross-sectional study was conducted in Anatomic Pathology Department, Faculty of Medicine Udayana University – Sanglah Hospital . Samples were obtained from GISTs cases in one Private Anatomic Pathology unit in Denpasar and Anatomic Pathology Department, Faculty of Medicine, Udayana

University from Januari 1st

, 2003 until December

31st

, 2007. It assessed the tumor size, cellularity, nuclear atypia, cell type, necrosis, invasiveness, and mitotic count. CD117 staining performed by LAB method and being interpreted based on the percentage of stained cells and staining intensity. Correlation between intestinal tract and extra intestinal tract GISTs’ CD117 immunoscore expression and their behaviour were analyzed by bivariant analysis with Anova and performed by SPSS 15.0. Results

During 2003-2007, there were 33 cases (69.7% male and 30.3% female) aging 31-80 years. Seventy five point eight percent of them were in intestinal tract and the remainders were in extraintestinal. Tumor’s diameter were 3-37 cm. Sixty point six percent of the tumor cells were spindle, 21.2% of them were epithelioid, and the remainders were mixed. Six point sevent percent tumor showed necrosis. Sixty point six percent of the tumor

showed mitotic count >5/50HPF and 39.4% of them less than 5/50HPF. All of the tumors showed immuno-reactivity to CD117 with variant intensity. There was tendency of enough correlation between GISTs’ CD117 immunoscore expression and their behavior, but unsignificant (r=0,34, p=0,051). Conclusion

Expression of CD117 was only for distinguishing GISTs from the other tumors which had same morphology. It could not being used to differentiate the behavior. Key words: GISTs, CD117, Immunoscore.

PENDAHULUAN

Gastrointestinal stromal tumors (GISTs) adalah neoplasma jarang, yang berlokasi pada traktus gastrointestinal, juga dapat terjadi pada mesenterium, omentum atau retroperitonium, dimana GISTs merupakan neoplasma mesenkimal yang berasal dari sel cajal interstisial. Perangai biologi tumor, kriteria diagnosa dan diferensiasi tumor masih kontroversi, dan mulanya GISTs diklasifikasikan sebagai tumor otot polos seperti leiomyoma, cellulare leiomyoma atau leiomyoblastoma, juga sering dimasukkan ke tumor neurogenik seperti

schwannoma.1,2

GISTs mengekspresikan protein

oncogen yang disebut CD117, dimana CD117 dapat dideteksi dengan pemeriksaan imuno-histokimia. Tumor ini merupakan diferensiasi dari tumor otot polos gastrointestinal dan tumor neural sehingga tumor ini disebut dengan gastrointestinal autonomic nerve tumour (GANT) dan sekarang lebih dikenal sebagai variasi dari GISTs.

2,3,4

Untuk menentukan grading (dalam hal ini yang dimaksud perangai biologi) dari GISTs sampai saat ini masih sulit. Banyak penelitian telah dilakukan untuk menentukan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perangai biologi tumor ini. Dari berbagai poin yang digunakan pada beberapa penelitian untuk menentukan perangai biologi GISTs, sebagian besar penelitian mengelompokkan perangai biologi GISTs menjadi 3 kelompok yaitu benign GISTs, borderline GISTs dan malignant GISTs. Poin yang paling banyak dipakai dari penelitian yang terdahulu adalah besarnya tumor dan mitosis, juga ada yang menggunakan tipe sel dan atipia sel. Perangai biologi dari GISTs ini sangat penting untuk menentukan modalitas terapi

selanjutnya.1,5

Vol 18 . No.1, Januari 2009 2

Page 5: Majalah Patologi Indonesia

Korelasi imunoskor ekspresi CD117 dengan perangai biologi GISTs- Majalah Patologi N.L.P. Primadi, I.K. Mulyadi

Selama ini dikatakan pemeriksaan

CD117 penting dilakukan untuk menunjang diagnosis dari GISTs, dimana CD117 dapat membedakan tumor-tumor yang mempunyai morfologi yang mirip dengan GISTs. Pemeriksa-an CD117 sangat berkaitan dengan modalitas terapi yang akan dipakai pada penderita tumor GISTs. Beberapa penelitian menunjukkan 95% dari GISTs akan mengekspresikan CD117 dan lima persen GISTs tidak mengekspresikan CD117 dan satu penelitian melaporkan

intensitas positivitas yang bervariasi.6,7

Selama ini penelitian-penelitian yang

telah dilakukan untuk menentukan perangai biologi dari GISTs sebagian besar berdasarkan besarnya tumor dan jumlah mitosis, namun belum ada penelitian yang mencari apakah ada hubungan antara imunoskor (nilai persentase sel yang mengeksresikan CD117 dikalikan dengan nilai intensitas pewarnaan) CD117 yang diekspresikan GISTs dengan perangai biologi tumor tersebut.

BAHAN DAN CARA

Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif dari 33 kasus GISTs yang terdiagnosa pada satu laboratorium patologi anatomi swasta dan laboratorium patologi anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana di Denpasar dari 1 Januari 2003 sampai 31 Desember 2007. Tumor-tumor yang diteliti berlokasi pada traktus intestinal dan ekstraintestinal.

Data klinis didapat dari formulir permintaan pemeriksaan patologi anatomi penderita. Ukuran tumor dan gambaran makroskopis didapat dari laporan pemeriksaan patologi anatomi. Untuk gambaran mikroskopis dilakukan pembacaan ulang pada ke 33 kasus oleh ahli patologi anatomi .

Penilaian perangai biologik tumor dinilai berdasarkan grading, dimana grading tumor ditentukan berdasarkan besarnya tumor, dan jumlah mitosis (menurut kriteria WHO), juga ditentukan berdasarkan tipe sel, selularitas, atipia inti, nekrosis, metastase dan invasif ke mukosa (menurut kriteria Grant dan Suster) yang diperiksa dari pulasan HE, sediaan tersebut diamati dengan mikroskop cahaya binokuler merk Olympus dengan pembesar-an 100 kali dan 400 kali. Kriteria penilaian perangai biologi dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 1 Penilaian perangai biologi dari kasus GISTs intestinal dan ekstraintestinal berdasarkan kriteria dari Suster, Grant dan WHO

Ukuran Mitosis Tipe sel Selularitas Atipia inti

tumor

<5 cm <5/50HPF Spindel Rendah Tidak ada

Epiteloid

>5 cm <5/50HPF Spindel Sedang Ringan

Epiteloid

>5 cm >5/50HPF Spindel Berat Berat

Epiteloid

Ukuran Nekrosis Invasif Grading

tumor

<5 cm Tidak ada Tidak ada Benign

>5 cm Tidak Tidak ada Borderline

ada/ada

>5 cm Ada Ada Malignant

Pemeriksaan imunohistokimia CD117

dilakukan dengan metode SBC, imunoskor ekspresi protein CD117 dihitung secara semikuatitatif dibuat berdasarkan perkalian persentase sel tumor yang positif (0%-100%) dan intensitas pewarnaan. Intensitas ekspresi CD117 diberi skor 0 (bila tidak terpulas), 1+ (terpulas lemah), 2+ (terpulas sedang), dan 3+ (terpulas kuat). Imonoskor CD117 yang didapat dari 0-300. Hubungan antara perangai biologi GISTs dengan imunoskor ekspresi CD117 diuji dengan menggunakan uji statistik analisa bivariat korelasi Spearman dan regresi, dengan uji hipotesa dilakukan dengan uji Anova. Kemaknaan ditentukan berdasarkan nilai p<0,05. PEMBAHASAN

Pada satu Laboratorium Patologi Anatomi swasta dan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dikumpulkan 41 kasus GISTs dari 1 Januari 2003 sampai 31 Des 2007. Tiga puluh tiga kasus diikutkan dalam penelitian ini, sedangkan 8 kasus lainnya dikeluarkan dari sampel penelitian karena hanya dilakukan biopsi dan tanpa informasi ukuran tumor yang sebenarnya, sehingga grading sulit ditentukan dari bahan biopsi tersebut.

Dari 33 sampel kasus yang diteliti, 6 kasus dikelompokkan sebagai benign GISTs, 7 kasus sebagai bordeline GISTs dan 20 kasus sebagai malignant GISTs berdasarkan kriteria yang dipakai. Dua puluh tiga (69,7%) kasus GISTs adalah laki dan sisa 10 kasus (30,3%) adalah wanita (Tabel 2). Pada formulir perminta-an pemeriksaan Patologi Anatomi yang mencantumkan keluhan klinis, sebagian besar penderita GISTs mempunyai keluhan nyeri

Vol 18 . No.1, Januari 2009 3

Page 6: Majalah Patologi Indonesia

Perbandingan kuantitas morfometri sitologi dari- Majalah Patologi S.E. Mustika, N. Dahlan Lubis, Delyuzar

PERBANDINGAN KUANTITAS MORFOMETRI SITOLOGI DARI LIMFOMA DAN NON NEOPLASMA

Suryani Eka Mustika Nadjib Dahlan Lubis

Delyuzar

Departemen Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara, Medan

ABSTRAK Latar Belakang

Pengukuran morfometri dari inti dapat menjadi sarana diagnostik dan prognosis dari beberapa keganasan. Image analysis didalam patologi adalah metode yang dimaksudkan untuk mencari nilai yang objektif untuk memecahkan masalah. Sitologi biopsy aspirasi jarum halus telah maenjadi bagian yang penting dalam pendiagnosaan dan manejemen pasien yang mengalami limfadenopati. Satu masalah dalam pendiagnosaan sitologi kelenjar limfe leher adalah membedakan apakah ini merupakan kasus metastase karsinoma, limfoma atau hanya proses non neoplasma. Dengan menggunakan computerized image analysis kita mencoba mengukur nilai objektif morfometri dari sitologi dan diharapkan dapat membantu diagnosa. Cara

Kami mengukur rata-rata luas inti dari 20 kasus limfoma dan 20 kasus limfadenitis dari sedian smear sitologi kelenjar limfe leher. Kemudian kami pilih 50 sel secara acak dan di nilai rata-rata densitas intinya oleh satu orang peneliti. Kami menggunakan pewarnaan Fuelgan dan diff quik pada penelitian ini. Pengukuran morfometrik menggunakan MCID Analysis software. perbedaan beberapa variabel akan diuji dengan tes Mann Whitney. Hasil

Rata-rata luas inti limfoma adalah 0,0747inci 2 dan

rata-rata luas inti limfadenitis adalah 0,0236 inci 2 . Rata-rata

densitas inti limfadenitis adalah 0,2318 ROD dan rata-rata densitas inti limfoma adalah 0,6238 ROD. Kesimpulan

Ada perbedaan antara luas inti dan densitas inti pada limfoma dan non neoplasma. Luas inti limfoma ádalah lebih luas daripada non neoplasma dan densitas limfoma lebih tinggi dibanding non neoplasma. Kata kunci: luas inti, densitas, limfoma.

Vol 18 . No.1, Januari 2009 10

Page 7: Majalah Patologi Indonesia

Perbandingan kuantitas morfometri sitologi dari- S.E. Mustika, N. Dahlan Lubis, Delyuzar

ABSTRACT Background

Morphometric measurement of nuclei may be of diagnostic and prognostic value in some malignancy. Image analysis in pathology as a methode meant to provide objective support in the resolution of difficult problem. FNA cytology has become an integral part of the initial diagnosis and management of patiens presenting with lymphadenophaty. One problem in diagnostic cytology of neck lymph node is to determine whether the lesion is metastatic carcinoma, lymphoma or non neoplastic process. By using computerized image analysis we try to measure objectively morphometric value of cells of cytologic smears.

Method

We assess the mean nuclear area 20 case of limfoma and 20 case of lymphadenitis from cytology smear of lymph node. Then we choose 50 cells from each case randomizely and assess the mean density of nuclei by only one researcher. We use Fuelgan and diff quik staining in this study. Morphometric measurement using MCID Analysis software . The difference between several variable were analyzed by Mann Whitney test. Results

The mean nuclear area of lymphoma is

0,0747 inch2 and mean nuclear area of

lymphadenitis is 0,0236 inch2. The mean density

nuclei of limfadenitis is 0,2318 ROD and mean density nuclei of lymphoma is 0,6238 ROD. Conclusion

There are differences between nuclear areas and densities of nuclei of lymphoma and lymphadenitis. Nuclear areas of lymphomas are larger than non neoplastic lesions and densites of lymphomas are higher than non neoplastic ones.

Key words: nuclear area, density, lymphoma.

Vol 18 . No.1, Januari 2009

Majalah Patologi

PENDAHULUAN

Biopsi aspirasi adalah suatu teknik yang dapat digunakan untuk diagnosa awal dan untuk skrining limfadenopati. Diagnosa sitologi yang paling sering dijumpai pada kelenjar limfe adalah metastase karsinoma, kemudian reaktif

limfadenopati dan limfoma.1,2

Gambaran sel antara kasus reaktif limfadenopati, metastase dan limfoma ternyata cukup sulit dibedakan sehingga kita harus benar-benar mengenali morfologi dari sel-sel tersebut. Morfologi sel ternyata tidak selalu dapat menjadi pegangan karena hal tersebut sangat tergantung dengan ketajaman mata yang melihat dan juga pengalaman tiap ahli patologi dalam melihat sedian sitologi tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan pengukuran yang lebih objektif. Dengan menganalisa dan menilai morfometri sel maka penilaian sel dapat lebih objektif dan dapat dijadikan panduan dalam penentuan diagnosa. Oleh karena itu perlu ditentukan penilaian morfometri sel-sel limfoid non neoplasma

dibandingkan dengan sel-sel limfoma3,4

. Metode diagnostik melalui morfometri

dapat diaplikasikan pada pada sediaan sitologi maupun histopatologi, tetapi aplikasi pada sitologi lebih mudah. Hal ini disebabkan oleh karena segmentasi inti lebih mudah dilakukan pada sediaan sitologi yang mempunyai latar belakang lebih homogen dan keseluruhan inti mudah dilihat. Sedangkan pada sediaan histopatologi sering terjadi bias, misalnya ketebalan pemotongan yang tidak rata dan inti dapat terpotong. Dengan biopsi histopatologi, posisi inti dalam blok parafin tidak pada satu level sehingga pada pemotongan, sebagian inti terpotong pada bagian tengah dan sebagian pada bagian perifer. Hal ini mengakibatkan luas tampilan inti yang tidak sama.

Brahmi dan Rajwasi pada tahun 2001 juga telah mencoba menggunakan pengukuran gambar morfometri terhadap sedian biopsi aspirasi ganas yang memberikan gambaran round cell sehingga kesimpulan yang mereka dapat bahwa pengukuran sitometri dapat membantu menentukan dan membedakan antara limfoma non-Hodgkin, retinoblastoma, sarkoma Ewing, neuroblastoma dan un-

differentiated round cell tumor5.

Pada proses ganas dimana terjadi pembelahan hebat dari sel sel, maka DNA ini bisa bertambah 2 kali, 4 kali, 8 kali, dan selanjutnya kelipatan dua, dibandingkan dengan normal. Karena DNA semakin bertambah maka inti akan semakin bertambah gelap dan inilah yang akan dinilai densitasnya.

11

Page 8: Majalah Patologi Indonesia

Perbandingan kuantitas morfometri sitologi dari- Majalah Patologi S.E. Mustika, N. Dahlan Lubis, Delyuzar

BAHAN DAN CARA Penelitian potong lintang ini bersifat

deskriptif analitik dengan mengambil 40 kasus sitologi. Sedian sitologi tersebut diwarnai dengan pewarnaan diff quik dan didiagnosa. Sedian yang diambil adalah 20 kasus limfoma dan 20 kasus limfadenitis. Kemudian dilakukan pengambilan sedian kedua dan diwarnai dengan pewarnaan Fuelgan. Slide difoto dengan ketentuan penelitian yang digunakan meliputi dimensi pixel dengan lebar 640 pixel, dan panjang 480 pixel, kemudian ukuran gambar dengan lebar 16,93 cm, panjang 12,7 cm dan resolusi 96 pixel/ inci. Gambar dibuat dalam bentuk Tiff dan diukur luas intinya (inci 2) dan densitas-ROD (Relative optical density)

pada masing–masing kasus dengan mengukur 50 sel pada setiap kasus. Rata-rata dari pengukutan luas dan densitas inti diukur dengan uji Mann-Whitney untuk melihat hasilnya.

HASIL

Rata-rata luas inti pada pasien

limfoma 0,0747 inci2 dan gambaran luas

inti pada pasien limfadenitis rata-rata berkisar 0,0236 inci

2.. Rata-rata densitas inti

pada limfadenitis adalah 0,2318 ROD dan pada limfoma adalah 0,6238 ROD. Dari kedua data luas inti dan densitas inti dilakukan uji Mann Whitney dan hasilnya P< 0,05 sehingga hipotesa nol ditolak. Maka disimpulkan bahwa ada perbedaan luas inti pada limfoma dan limfadenitis serta ada perbedaan densitas inti pada limfoma dan limfadenitis. Hubungan luas dan densitas inti pada limfadenitis dapat kita lihat pada grafik 1.

0,1

inc

0,08

- 0,06

inti

0,04

lua

s

0,02

0

0 0,1 0,2 0,3 0,4

densitas - ROD

Gambar 1. Hubungan antara luas dan densitas inti pada limfadenitis. Gambaran perbandingan luas inti dan densitas inti pada limfadenitis di grafik 1, 2 menunjukkan bahwa rata- rata gambaran luas inti yang tidak Vol 18 . No.1, Januari 2009

terlalu besar (di bawah 0,06 inch2) akan

menunjukkan juga gambaran densitas inti yang tidak terlalu besar (di bawah 0,4 ROD ).

0,12

0,1

inc

0,08

-

inti

0,06

lua

s

0,04

0,02

0

0,000 0,200 0,400 0,600 0,800

densitas - ROD

Gambar 2. Hubungan antara luas dan densitas inti pada limfoma. Gambaran gambar 2 menunjukkan bahwa per-bandingan inti dan densitas inti menunjukkan gambaran bahwa semakin besar inti maka densitas semakin tinggi sehingga titik semakin menjauhi titik nol (densitas di atas 0,4 ROD dan

luas di atas 0,04 inch2) dan berbeda dengan

gambaran limfadenitis yang ditunjukkan pada grafik sebelumnya.

PEMBAHASAN

Dari penelitian sebelumnya tampak bahwa ada perbedaan yang jelas antara inti limfoma dan reaktif hiperplasia pada pusat germinal dimana perbedaan terletak pada luas inti, dan hal ini sesuai dengan hasil yang didapatkan pada penelitian ini bahwa rata-rata luas inti limfoma lebih besar dibanding luas inti pada

limfadenitis.6,7

Penelitian yang dilakukan SK Sarker 1996

menunjukkan bahwa ada keterkaitan yang jelas antara luas rata- rata inti dengan kandungan kromoson DNA tumor, sehingga bisa dikatakan bahwa luas inti juga dapat menentukan keagresifan suatu tumor. Jika dilihat pada penelitian ini jelas terlihat bahwa semakin ganas

suatu tumor maka luas inti semakin besar.8

Zat warna pada densitas tersebut semakin meningkat sesuai dengan konsentrasi substratnya. Hubungan ini sesuai dengan hukum Beer Lambert. Pada kasus limfoma terlihata bahwa densitas yang meningkat karna jumlah DNA pada kasus keganasan juga meningkat.

Pewarnaan Fuelgan untuk menilai kandungan DNA melalui pengukuran densitas menunjukkan hasil bahwa gambaran densitas yang lebih tinggi atau lebih gelap ternyata semakin menunjukkan gambaran inti yang

12

Page 9: Majalah Patologi Indonesia

Ekspresi protein C-MYC dan BCL-2 pada karsinoma- Majalah Patologi A. S. Rahaju, E. Joewarini

EKSPRESI PROTEIN C-MYC DAN BCL-2 PADA

KARSINOMA NASOFARING JENIS UNDIFFERENTIATED Hubungannya dengan T-stage dan N-stage

Anny Setijo Rahaju

Endang Joewarini Departemen Patologi Anatomik

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya

ABSTRAK Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas terbanyak di Departemen Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. Kendala yang dihadapi dalam penanganan KNF adalah penderita datang ke dokter dalam stadium lanjut. Berbagai penelitian dilakukan untuk mempelajari berbagai petanda molekular dalam menentukan prognosis termasuk ekspresi protein c-myc dan bcl-2. Cara

Arsip histopatologi penderita baru KNF yang berobat di RSU Dr Soetomo selama Juli – Desember 2007 di Laboratorium Patologi Anatomi RSU. Dr.Soetomo sebanyak 13 sampel dan dilakukan pemeriksaan imunohistokimia menggunakan antibodi bcl2 dan c-myc. Hasil

Didapatkan 13 kasus KNF jenis undifferentiated, dari umur 16 sampai 61 tahun, rerata 41,8 tahun. Sebanyak 76,9% datang dengan T-stage tinggi(T4) and 61,6% dengan N3 stage. 38,5% menunjukkan ekspresi +1 dan +3 dari protein c-myc. 69,2% negatif untuk bcl2 and 7,7% menunjukkan ekspresi +1 and +2. Kesimpulan

Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara ekspresi c-myc dengan T Stage, antara ekspresi ekspresi c-myc dengan N-stage, antara ekspresi bcl2 dengan T- stage, antara ekspresi c-myc dan bcl2 dan terdapat hubungan yang bermakna antara ekspresi bcl2 dengan N-stage pada Karsinoma Nasofaring jenis undifferentiated.

Kata kunci: KNF jenis undifferentiated, c-myc, bcl-2, T-stage, N-stage

Vol 18 . No.1, Januari 2009 14

Page 10: Majalah Patologi Indonesia

Ekspresi protein C-MYC dan BCL-2 pada karsinoma- A. S. Rahaju, E. Joewarini

ABSTRACT Background

Nasopharyngeal Carcinoma was the most common malignancy in Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery Department. Many times patients came to the doctor in late stage because early diagnose was hard. Prognostic factors will be needed to support terapy. Method

In this retrospective and cross sectional observational study, the author retrieved the clinical data about T-stage and N-stage from medical records, and immunohistochemical examination were made on archival tissue specimen from 13 undifferentiated nasopharyngeal carcinoma patiens who came to Pathology department in Dr. Soetomo Hospital Surabaya during July – December 2007. Results

There were 13 cases undifferentiated nasopharyngeal carcinoma, from 16 until 61 years old, mean 41,8 years old. 76,9%camewith late T-stage (T4) and 61,6% withN3 stage. 38,5% expressed +1 dan +3 of c-myc. 69,2% negative for bcl2 proteinand 7,7% expressed +1 and +2. Conclusion

This study found no correlation between c myc expression with T-stage and N-stage, bcl2 expression with T-stage, and no correlation between c myc expression with bcl2 expression. But there was correlation between bcl2 expression with N-stage.

Key words: undifferentiated nasopharyngeal carcinoma, c-myc, bcl-2, T-stage, N-stage.

PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas terbanyak di Departemen Telinga

Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher.1 Di

Rumah Sakit Umum (RSU) Dr. Soetomo pada tahun 2000-2001 angka kejadian KNF jauh diatas tumor ganas lain dibidang THT-KL

sebesar 70%.2

Berdasarkan klasifikasi World Health Organization (WHO) tahun 1991, KNF dibedakan menjadi dua kelompok utama yaitu karsinoma sel skuamus berkeratin (keratinizing squamous cell carcinoma), disebut juga WHO tipe I, dan karsinoma sel skuamus tidak Vol 18 . No.1, Januari 2009

Majalah Patologi

berkeratin (nonkeratinizing squamous cell carcinoma). Jenis yang kedua ini dibagi lagi menjadi karsinoma sel skuamus tidak berkeratin berdiferensiasi (differentiated nonkeratinizing carcinoma) disebut juga WHO tipe II, dan tidak berdiferensiasi (undifferentiated carcinoma) atau WHO tipe III.

3 Gambaran histopatologi

terbanyak adalah WHO tipe III sebesar 89%.1

Kendala yang dihadapi dalam penanganan KNF adalah penderita datang ke dokter dalam stadium lanjut. TNM-staging (Tumor Nodul Metastasis stage) atau stadium juga merupakan salah satu faktor prognosis dalam KNF. Dengan meningkatnya pengertian dalam biologi molekular kanker, berbagai penelitian dilakukan untuk mempelajari berbagai petanda molekular dalam menentukan prognosis, antara lain tumor angiogenesis, p53, bcl-2, Ki67, EGFR, E-cadherin, c-erbB2 (HER2-neu), dan c-myc.

4,5,6,7 C-myc merupakan

gen aktivator transkripsi yang ikut terlibat pada apoptosis.

8 ekspresi bcl-2 merupakan petanda

yang berguna untuk memperkirakan responradiasi, kemoterapi maupun hasil terapipenderita. Tingginya ekspresi bcl-2

berhubungan dengan penurunan kemoterapi.9

Tujuan dari penelitian ini adalah membuktikan bahwa ekspresi protein c-myc dan bcl-2 dapat bermanfaat untuk memperkirakan prognosis penderita, terutama yang datang pada stadium lanjut sehingga terapi yang diberikan dapat lebih terarah. Sampai saat ini, penelitian tersebut belum pernah dilakukan di Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga /RSU Dr. Soetomo, Surabaya.

BAHAN DAN CARA

Arsip histopatologi penderita baru KNF yang berobat di RSU Dr Soetomo selama Juli– Desember 2007 di Laboratorium Patologi Anatomi RSU. Dr.Soetomo yang memenuhi kriteria inklusi dikumpulkan. Dilakukan pemeriksaan imunohistokimia menggunakan antibodi bcl-2 dan c-myc sesuai dengan jumlah hasil penghitungan besar sampel yaitu 13 sampel. HASIL

Penderita KNF jenis undifferentiated yang diperoleh sebanyak 51 kasus. Dari 13 sampel yang diteliti didapatkan usia penderita KNF jenis undifferentiated bervariasi dari 16 sampai 61 tahun, dengan rerata (mean) 41,8 tahun, terutama berjenis kelamin pria (61,5 %), dengan perbandingan pria:wanita sebesar 1,6:1.

15

Page 11: Majalah Patologi Indonesia

Ekspresi protein C-MYC dan BCL-2 pada karsinoma- A. S. Rahaju, E. Joewarini

Penderita yang datang terutama dengan T-stage tinggi, yakni T4 sebesar 76,9%, sudah mempunyai metastasis pada KGB setempat atau N-stage (N3) sebesar 61,6%.

Ekspresi protein c-myc terbanyak adalah +1 dan +3 sebanyak 38,5%, sedangkan ekspresi protein bcl-2 yang terbanyak adalah negatif (0) dan yang paling sedikit adalah +1 dan +2. Ekspresi c-myc +1 pada T1 (7,7%), sedangkan pada T2 (15,4%) dan pada T4, didapatkan seorang dengan ekspresi negatif (0), empat dengan +1, dua orang dengan +2, lima orang penderita dengan +3 dan didapatkan hasil korelasi yang tidak signifikan dengan p < 0,05. Satu penderita dengan N1 mempunyai ekspresi c-myc +1, satu dengan ekspresi c-myc +2, sedangkan seorang dengan N2 mempunyai ekspresi c-myc +1 dan +3. Penderita dengan N3, seorang dengan ekspresi c-myc negatif (0), dua orang mempunyai ekspresi c-myc +1, seorang dengan +2. Penderita dengan N3 mempunyai ekspresi c-myc +3 dan didapatkan hasil korelasi yang tidak signifikan.

Ekspresi bcl-2 pada T1 pada seorang penderita (7,7%), pada penderita T2 (15,4%), seorang tidak tampak ekspresi bcl2 (7,7%), dan seorang tampak ekspresi +2. Pada T4, didapatkan tujuh orang atau 53,9% ekspresi negatif (0), seorang ekspresi +2 dan dua dengan ekspresi +3 dan didapatkan hasil korelasi tidak signifikan. Penderita dengan N1 mempunyai ekspresi bcl-2 negatif (0). N2 juga mempunyai ekspresi bcl-2 negatif (0). Pada N3 tidak tampak ekspresi bcl-2 (30,8%), dan masing-masing seorang tampak ekspresi +1 dan +2. N3 mempunyai ekspresi bcl-2 +3 dan didapatkan hasil korelasi positif yang signifikan. Terdapat satu sampel yang mempunyai ekspresi bcl-2 +1 dengan ekspresi c-myc +3, dan satu sampel dengan ekspresi bcl-2 +2 dengan ekspresi c-myc +1dan didapatkan hasil tidak signifikan. Tabel 1. Ekspresi bcl-2 dan c-myc terhadap T-stage dan N-stage Pada KNF Jenis Undifferentiated(%). T1 T2 T4 N 1 N 2 N 3

bcl2 0 1 (7,7) 1 (7,7) 7 3 2 4 (30,8)

(53,9) (23,0) (15,4)

1 0 0 1 (7,7) 0 0 1 (7,7)

2 0 1 (7,7) 0 0 0 1 (7,7)

3 0 0 2

0 0 2 (15,4)

(15,4)

c- 0 0 0 1 (7,7) 0 0 1 (7,7)

myc

1 1 (7,7) 1 (7,7) 2 2

1 (7,7) 2 (15,4)

(15,4) (15,4)

2 0 0 2

1 (7,7) 0 1 (7,7)

(15,4)

3 0 1 (7,7) 4 2

1 (7,7) 4 (30,8)

(30,8) (15,4)

Majalah Patologi

Keterangan : Analisa data dengan uji Korelasi Spearman didapatkan hasil p< 0,05 pada hubungan antara ekspresi protein bcl-2 dengan N-stage pada penderita KNF jenis Undifferentiated

Gambar 1 : ekspresi bcl-2 pada sitoplasma (Imunohistokimia, 400x)

Gambar 2. ekspresi c-myc pada membran inti (Imunohistokimia, 400x).

PEMBAHASAN

Kasus KNF jenis undifferentiated terbanyak terjadi pada kelompok usia 50-59 tahun yaitu sebesar 38,5% (tabel 5.1). Hal ini kurang sesuai jika dibandingkan dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa KNF lebih

sering terjadi pada usia dekade keempat.3,10,11,12

Akan tetapi jika melihat rata-rata penderita, maka sesuai dengan kepustakaan. Penelitian ini mendapatkan data bahwa penderita KNF jenis undifferentiated yang datang ke rumah sakit Dr. Soetomo terutama sudah dalam stadium lanjut dengan T-stage tinggi, yakni T4 sebesar 76,9% dan dengan pembesaran KGB setempat yang sudah mencapai N3 sebesar. 61,6% (tabel 5.3 dan tabel 5.4). Data tersebut sesuai dengan kepustakaan, dimana telah terjadi penyebaran

ke KGB setempat.1,13

Keterlambatan penderita

Vol 18 . No.1, Januari 2009 16

Page 12: Majalah Patologi Indonesia

Ekspresi protein p53 mutan dan EGFR pada papiloma- Majalah Patologi W.W.G.T. Prasetyo, T. Soemarno

EKSPRESI PROTEIN p53 MUTAN DAN EGFR PADA PAPILOMA DAN KARSINOMA SEL SKUAMUS LARING

W.W.G.T. Prasetyo ABSTRAK

T. Soemarno Latar Belakang

Karsinoma laring adalah salah satu keganasan diDepartemen Patologi Anatomik daerah kepala dan leher yang sering dijumpai.

Fakultas Kedokteran Perkembangan kejadian KSS laring berasal dari perubahan Universitas Airlangga, Surabaya epitel skuamus yang potensial menjadi displasia seperti

pada Papiloma Laring (PL).

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan ekspresi protein p53 mutan dan EGFR pada PL dan KSS laring. Jenis penelitian observasional. Besar sampel 20. Data dianalisis dengan menggunakan uji Mann Whitney dan Fisher’s Exact Test.

Cara

Penelitian ini adalah 20 blok parafin yang terdiri dari 10 blok parafin bahan biopsi penderita PL dan 10 blok parafin bahan biopsi penderita KSS laring. Untuk melihat adanya ekspresi protein EGFR, pewarnaan menggunakan monoclonal mouse anti human EGFR klon E30. penilaian ekspresi protein EGFR, menurut criteria system Putti dkk.

Hasil Hasil yang didapat, 70% penderita Pl berusia

kurang dari 20 tahun dan pada KSS laring 100% berusia di atas 40 tahun. Jenis kelamin penderita PL dan KSS laring didominasi laki-laki. Ekspresi protein p53 mutanpadapenderita PL 50% dengan skor 0 dan pada KSS laring 50% dengan skor 3. Ekspresi EGFR pada penderita PL 80% adalah negative dan pada KSS laring 70% adalah positif.

Kesimpulan Ekspresi p53 mutan pada KSS laring lebih tinggi

dibanding PL (p = 0,018). Ekspresi EGFR pada KSS laring lebih tinggi dibanding PL (p = 0,035).

Kata kunci: papiloma laring, karsinoma sel skuomus laring, p53, EGFR.

Vol 18 . No.1, Januari 2009 18

Page 13: Majalah Patologi Indonesia

Ekspresi protein p53 mutan dan EGFR pada papiloma- W.W.G.T. Prasetyo, T. Soemarno

ABSTRACT Background

Laryngeal papilloma is one of benign neoplasm which often reccurens and progressive growing. The develpopment of laryngeal SCC originate from the transformation of potentially displastic skumous epithel as in laryngeal papilloma.

Method

This research was conducted on 20 paraffine block, consist of 10 paraffine block of LP biopsies and 10 paraffine block of laryngeal SCC biopsies. EGFR protein expression was evaluated by using mouse anti human EGFR klon E30 monoclonal antibody. The EGFR protein expression was evalated according to Putti system.

Results

The result 70% of patients with laryngeal papilloma are less than 20 years old, and all of patients with laryngeal squamous cell carcinoma are more than 40 years old. Both diseases are male sex predominant. p53 mutan expression in patients with larygeal papilloma 50% with 0 score, and in patients with laryngeal squamous cell carcinoma 50% with 3 score. EGFR expression in patients with larygeal papilloma is 80% with negative score , and in patients with laryngeal squamous cell carcinoma 70% is positive

Conclusion p53 mutan expression in laryngeal squamous cell carcinoma is higher than laryngeal papilloma (p = 0,018). EGFR expression in laryngeal squamous cell carcinoma is higher than laryngeal papilloma (p = 0,035).

Key words: nuclear area, density, lymphoma. PENDAHULUAN

Keganasan pada laring umumnya jenis Karsinoma Sel Skuamus (KSS) laring. Di Amerika karsinoma laring menempati tempat pertama dalam urutan keganasan diregio kepala dan leher. WHO pada tahun 2005 melaporkan jenis karsinoma laring paling banyak adalah KSS, kurang lebih 95%. Di Departemen Patologi RSU Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2007

Majalah Patologi

didapatkan angka kejadian 51 penderita KL, 49 di antaranya jenis Karsinoma Sel Skuamus (KSS) (96%).

Tahapan perkembangan KSS laring melalui perubahan displasia epitel, karena dianggap sebagai lesi pra kanker. Pada papiloma laring juga ditemukan displasia epitel yang memiliki potensi menjadi ganas. Perkembangan kejadian KSS laring perubahan epitel skuamus potensial displasia.

Berbagai penelitian telah menemukan peningkatan kadar Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR) sebesar 3 kali lipat pada sel papiloma dibandingkan dengan sel pada epitel

laring yang normal.1 Selain daripada itu terdapat

hubungan antara peningkatan ekspresi protein p53 mutan dengan transformasi keganasan. BAHAN DAN CARA

Unit analisis penelitian ini adalah 20 blok parafin yang terdiri dari 10 blok parafin bahan biopsi penderita PL dan 10 blok parafin bahan biopsi penderita KSS laring. Untuk mengidentifikasi ekspresi protein p53 mutan, bahan tersebut dipotong setebal 4 mikron, masing-masing sebanyak dua slides dan diwarnai dengan teknik biotin avidin immunoenzym dengan mengunakan antibody monoclonal. Hasil diamati secara visual pada daerah yang imunoreaktif (intinya tercat positif coklat homogen) dengan mikroskop cahaya binokuler pada pembesaran 400x. Penilaian ekspresi p53, berdasarkan scoring: Skor 0 didapatkan ekspresi p53 pada 0 sampai 5 sel dalam 100 sel; Skor 1 didapatkan ekspresi p53 pada 6 sampai 25 sel dalam 100 sel ; Skor 2 didapatkan ekspresi p53 pada 26 sampai 50 sel dalam 100 sel ; Skor 3 didapatkan ekspresi p53 pada 51 sampai 100 sel dalam 100 sel.

Untuk melihat adanya ekspresi protein EGFR, pewarnaan menggunakan monoclonal mouse Anti Human EGFR klon E30. Penilaian ekspresi protein EGFR, menurut kriteria sistem Putti dkk : - Jumlah sel dengan skor 0 bila terwarna < 5% sel, 1 terwarna 5% - 9% sel, 2 terwana 10% - 50% sel, 3 terwarna > 50% sel. Sedangkan intensitas atau imunoreaktivitas skor 1 bila terwarna lemah, 2 sedang, 3 kuat. Nilai positif bila hasil perkalian antara Skor jumlah sel yang terwarna dengan intensitas ≥ 1.

Vol 18 . No.1, Januari 2009 19

Page 14: Majalah Patologi Indonesia

Ekspresi protein p53 mutan dan EGFR pada papiloma- W.W.G.T. Prasetyo, T. Soemarno

HASIL 1. Usia Penderita Tabel 1: Distribusi Usia Penderita PL dan KSS Laring di Departemen Patologi RSU Dr. Soetomo Surabaya tahun 2007

PAPILOMA LARING KARSINOMA SEL

USIA SKUAMUS LARING

NO

(tahun) f % f %

1 0 – 10 4 40 - -

2 11 - 20 3 30 - -

3 21 - 30 - - - -

4 31 - 40 - - - -

5 41 – 50 - - 2 20

6 51 – 60 2 20 5 50

7 61 - 70 1 10 3 30

Total 10 100 10 100

Berdasarkan tabel 1 dapat diinterpretasikan bahwa penderita PL, 70% kurang dari 20 tahun, 40% berusia antara 0 – 10 tahun. Usia termuda 4 bulan dan yang tertua 67 tahun. Pada penderita KSS laring, terbanyak berusia antara 51 – 60 tahun (50%); termuda 48 tahun dan yang tertua 70 tahun. 2. Jenis Kelamin Tabel 2: Distribusi Jenis Kelamin Penderita PL dan KSS Laring di Departemen Patologi RSU Dr. Soetomo Surabaya tahun 2007 Jenis PAPILOMA KARSINOMA SEL

NO SKUAMUS

Kelamin LARING

LARING

f % f %

1 Laki – laki 8 80 9 90

2 Perempuan 2 20 1 10

Total 10 100 10 100

Dari tabel 2 diketahui bahwa penderita

PL sebagian besar berjenis kelamin laki-laki (80%), dengan perbandingan laki-laki: perempuan sebesar 4 : 1. Penderita KSS laring sebagian besar laki-laki (90%) dengan per-bandingan laki-laki : perempuan sebesar 9 : 1.

Majalah Patologi

3. Ekspresi Protein p53 Mutan pada PL dan

KSS Laring Tabel 3: Ekspresi Protein p53 Mutan pada PL dan KSS Laring di Departemen Patologi RSU Dr. Soetomo Surabaya tahun 2007. PAPILOMA KARSINOMA SEL

NO SKOR LARING SKUAMUS LARING f % f %

1 0 5 50 3 30 2 1 4 40 - - 3 2 1 10 2 20 4 3 - - 5 50

Total 10 100 10 100

p=0,018

Hasil uji Mann Whitney didapat perbedaan yang bermakna antara ekspresi protein p53mutan pada PL dan KSS (p = 0,018). Dimana ekspresi p53 pada KSS laring lebih tinggi daripada ekspresi p53 pada PL. Data yang menunjang adalah ekspresi protein p53 mutan pada penderita PL skor minimum adalah 0, skor maksimum adalah 2 dan sebagian besar (50%) dengan skor 0. Ekspresi protein p53 mutan pada KSS laring skor minimum adalah 0, skor maksimum adalah 3 dan sebagian besar (50%) dengan skor 3. Gambar keduanya sebagai berikut : Gambar 1: Ekspresi Protein p53 Mutan pada Papiloma Laring (Skor 0, 400x)

Vol 18 . No.1, Januari 2009 20

Page 15: Majalah Patologi Indonesia

Korelasi ekspresi HER-2/neu dengan tipe histologik- Majalah Patologi N.P. Sriwidyani, I G A Sri Mahendra Dewi

KORELASI EKSPRESI HER-2/neu DENGAN TIPE HISTOLOGIK DAN DERAJAT DIFERENSIASI KARSINOMA OVARIUM

N.P. Sriwidyani I.G.A Sri Mahendra Dewi Departemen Patologi Anatomik

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar

ABSTRAK Latar Belakang

HER-2/neu merupakan suatu reseptor transmembran yang memiliki aktivitas tirosin kinase intrinsik. HER-2/neu diekspresikan pada 20-30% kasus karsinoma ovarium. Karsinogenesis karsinoma ovarium belum jelas. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui korelasi antara ekspresi HER-2/neu dengan tipe histologik dan derajat diferensiasi karsinoma ovarium Cara

Penelitian potong lintang dilaksanakan di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar. Sampel penelitian yaitu penderita karsinoma ovarium yang melakukan pemeriksaan patologik di Bagian/ SMF Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar dari tanggal 1 Januari 2006 sampai 31 Desember 2007 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Sediaan blok parafin direevaluasi, dinilai tipe histologik dan derajat diferensiasi. Pemeriksaan imunohistokimia HER-2/neu dilakukan dengan metode SBC dan interpretasi dilakukan dengan menilai persentase sel yang terpulas dan intensitas pewarnaan. Analisis korelasi antara ekspresi HER-2/neu dengan tipe histologik tumor dengan uji statistik Kendall’s Tau-b, sedangkan korelasi antara HER-2/neu dengan derajat diferensiasi tumor dengan uji Spearman’s. Hasil

Selama periode dua tahun diperoleh 32 kasus. Rata-rata umur penderita 43,13 tahun (rentang umur 32–70 tahun). Empat belas (43,8%) dari 32 kasus menunjukkan ekspresi HER-2/neu. Hanya 9 kasus (28,1%) yang menunjuk-kan pulasan HER-2/neu dengan intensitas sedang (skor 2+) atau kuat (skor 3+). Terdapat korelasi antara tipe histologik dan ekspresi HER-2/neu (koefisien korelasi 0,316; p=0,034). Tidak terdapat korelasi antara derajat diferensiasi tumor dan ekspresi HER-2/neu (koefisien korelasi = 1; p = 0.401).

Untuk setiap kasus karsinoma ovarium yang akan diterapi spesifik yang bertarget HER-2/neu harus dilakukan pemeriksaan imunohistokimia atau hibridisasi in situ HER-2/neu. Kesimpulan

Ekspresi HER-2/neu pada karsinoma ovarium berkorelasi dengan type histologik tetapi tidak berkorelasi dengan derajat differensiasi. Kata kunci: karsinoma ovarium, HER-2/neu, tipe histologik, derajat diferensiasi

Vol 18 . No.1, Januari 2009 24

Page 16: Majalah Patologi Indonesia

Korelasi ekspresi HER-2/neu dengan tipe histologik- N.P. Sriwidyani, I G A Sri Mahendra Dewi

ABSTRACT Background

HER-2/neu is a trans-membrane receptor with intrinsic tyrosine kinase activity. Twenty-thirty percent cases ovarian carcinoma showed HER-2/neu overexpression. The ovarian carcinogenesis is not clear. The aim of this study is to determine the correlation between HER-2/neu expression with histology type and grade of ovarian carcinoma in Bali. Method

This is a cross-sectional study and

conducted in Pathology Department Faculty of

Medicine Udayana University – Sanglah Hospital from 1 March 2008 until 31 August 2008. Sample is

a nested population of ovarian carcinoma patients

which pathologic examination were performed in

Pathology Department Faculty of Medicine

Udayana University – Sanglah Hospital during 1

January 2006 to 31 December 2007 that fulfill inclusion and exclusion criteria. Clinical parameters

were collected from medical record. Block paraffin

section reevaluated to determine histology type,

grade, and stage. HER-2/neu staining performed

with SBC method and interpreted based on

percentage of stained-cells and staining intensity. Correlation between HER-2/neu expression with

histology type analyzed with Kendall’s Tau-b test,

and correlation between HER-2/neu with tumor

grade analyzed with Spearman’s test. The analysis

was performed by SPSS 15.0. Results

During 2006-2007, there were 32 cases with mean of age was 43,13 years (range 32–70 years). Fourteen cases (43,8%) showed HER-2/neu expression. Only 9 cases (28,1%) showed HER-2/neu expression moderately (score 2+) or strongly (score 3+). There was a correlation between histologyc type withHER-2/neu expression (Correlationcoefficient 0.316; p=0.034), but there was not a correlation between tumor grade and expressionHER-2/neu (correlation coefficient = 1.000;p = 0.401). Conclusion

HER-2/neu examination, with immunohistochemical or in situ hybridization, is necessary to treat ovarian carcinoma patient with HER-2/neu-targeted therapy. Key words: ovarian carcinoma, HER-2/neu, histology type, grade.

Majalah Patologi

PENDAHULUAN

Kanker ovarium merupakan keganasan

keenam tersering pada wanita di seluruh dunia.1

Berdasarkan tipe histologik tumor, kasus kanker ovarium terbanyak adalah keganasan yang berasal dari epitel (karsinoma). Pada saat ditemukan dan terdiagnosis, sekitar 70% kasus keganasan epitelial ovarium telah menyebar keluar ovarium, dan pada kasus-kasus seperti ini jarang bisa disembuhkan dengan operasi dan

kemoterapi serta radiasi paska operasi.2

HER-2/neu merupakan suatu protein yang diekspresikan pada membran sel, yang berfungsi sebagai reseptor yang memiliki aktivitas tirosin kinase intrinsik. Reseptor ini termasuk kelompok yang sama dengan EGFR (Epidermal Growth Factor Receptor). HER-2/neu mulai diteliti dan ditemukan pada beberapa jenis kanker pada manusia, diantaranya karsinoma

payudara, kolon, dan ovarium.3 Dua puluh lima

sampai tiga puluh persen kasus karsinoma ovarium menunjukkan overekspresi HER-2/neu

dengan pemeriksaan imunohistokimia.4,5

Pada kanker payudara, HER-2/neu telah

terbukti berperan pada karsinogenesis karsinoma payudara dan telah dikembangkan pula suatu metode terapi dengan target HER-2/neu. Terapi ini telah mulai dipergunakan untuk manajemen terapi penderita karsinoma payudara yang menunjukkan overekspresi HER-2/neu. HER-2/neu juga berperan dalam

prognosis karsinoma payudara.4 Pada

karsinoma ovarium, peranan HER-2/neu pada karsinogenesis belum banyak diteliti. Peranan HER-2/neu dalam prognosis masih kontroversi. Terapi dengan target HER-2/neu masih dalam penelitian uji klinik.

Angka kelangsungan hidup lima tahun penderita karsinoma ovarium antara 30 dan

40%.2 Faktor-faktor yang berperan pada

prognosis secara independen adalah stadium tumor, derajat diferensiasi tumor, dan ploidisitas DNA. Sedangkan faktor-faktor lain seperti volume residual tumor setelah sitoreduksi, asites, ruptur, adesi tumor, peningkatan usia, dan kadar CA125 serum, merupakan faktor yang

mempengaruhi prognosis secara independen.1

Pada karsinoma ovarium, ekspresi pemeriksaan patologik harus mencantumkan derajat diferensiasi dan stadium patologi tumor. Namun belum ada penelitian yang mencari hubungan antara ekspresi HER-2/neu dengan faktor–faktor independen, khususnya derajat diferensiasi tumor, yang telah terbukti berperan pada prognosis.

Vol 18 . No.1, Januari 2009 25

Page 17: Majalah Patologi Indonesia

Korelasi ekspresi HER-2/neu dengan tipe histologik- N.P. Sriwidyani, I G A Sri Mahendra Dewi

Karsinoma ovarium diklasifikasikan

menjadi beberapa tipe menurut klasifikasi WHO. Setiap tipe tersebut memiliki gambaran klinik, patologik, dan perangai biologik tertentu. Sampai saat ini belum ada penelitian yang mencari apakah terdapat perbedaan ekspresi HER-2/neu pada masing-masing tipe tersebut.

BAHAN DAN CARA

Penelitian potong lintang dilaksanakan di

Bagian/SMF Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP

Sanglah Denpasar. Sampel penelitian yaitu

penderita karsinoma ovarium yang melakukan

pemeriksaan patologik di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar dari

tanggal 1 Januari 2006 sampai 31 Desember 2007

yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

Sediaan blok parafin direevaluasi, dinilai tipe

histologik dan derajat diferensiasi. Pemeriksaan

imunohistokimia HER-2/neu dilakukan dengan metode SBC dan interpretasi dilakukan dengan

menilai persentase sel yang terpulas dan intensitas

pewarnaan. Analisis korelasi antara ekspresi HER-

2/neu dengan tipe histologik tumor dengan uji

statistik Kendall’s Tau-b, sedangkan korelasi antara HER-2/neu dengan derajat diferensiasi tumor dengan uji Spearman’s. Analisis menggunakan program SPSS 15.0.

HASIL

Selama periode 01 Januari 2006 sampai 31 Desember 2007, terdapat 35 kasus karsinoma ovarium yang diperiksa di Laboratorium Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar. Tiga puluh dua kasus diikutkan pada penelitian ini, sedangkan 3 kasus dikeluarkan karena blok tidak ditemukan (2 kasus) dan hanya ada biopsi omentum saja (1 kasus).

Rata-rata umur penderita 43,13 tahun dengan rentang umur 32 – 70 tahun. Distribusi umur kasus terbanyak pada dekade keempat.

Tujuh kasus (21,9%) adalah nulipara. Dua puluh pasien (62,4%) datang pada stadium lanjut (stadium III dan IV), sehingga operasi yang dilakukan tidak optimal (operasi debulking). Tiga belas kasus (40,6%) dengan asites.

Majalah Patologi

Tabel 1. Distribusi kasus berdasarkan data klinis

Kasus karsinoma Jumlah Persentase ovarium

Umur

- < 45 tahun 17 53,1 - > / = 45 tahun 15 46,9

Paritas

- Nulipara 7 21,9 - Para 25 78,1

Stadium menurut FIGO

- I 12 37,5 - II 1 3,1 - III 18 56,3 - IV 1 3,1

Jenis operasi

- Kistektomi 12 37,5 - Debulking 20 62,5

Asites

- Ada 13 40,6 - Tidak ada 19 59,4

Tipe histologi terbanyak adalah tipe

serus (40,6%), diikuti oleh tipe sel jernih (31,3%), musinus (21,9%), dan endometrioid (6,3%). Pada karsinoma ovarium tipe serus dan sel jernih lebih banyak menunjukkan derajat diferensiasi tumor yang jelek (53,8% dan 50%), sedangkan sebaliknya pada tipe musinus dan endometrioid lebih banyak menunjukkan diferensiasi tumor yang baik (57,1% dan 50%). (Tabel 2). Tabel 2. Distribusi kasus berdasarkan hasil pemeriksaan histologik karsinoma ovarium Derajat diferensiasi

Tipe histologik Baik Sedang Jelek Total

Serus N 4 2 7 13

% 30,8 15,4 53,8 100

Musinus N 4 1 2 7

% 57,1 14,3 28,6 100

Endometrioid N 1 1 0 2

% 50 50 0 100

Sel jernih N 0 5 5 10

% 0 50 50 100

Total N 9 9 14 32

% 28,1 28,1 43,8 100

Empat belas (43,8%) dari 32 kasus

menunjukkan ekspresi HER-2/neu. Hanya 9 kasus (28,1%) yang menunjukkan pulasan HER-2/neu dengan intensitas sedang (skor 2+) atau kuat (skor 3+).

HER-2/neu diekspresikan pada berbagai tipe histologik karsinoma ovarium pada proporsi yang bervariasi. Berdasarkan perhitungan

Vol 18 . No.1, Januari 2009 26

Page 18: Majalah Patologi Indonesia

Ekspresi Protein HER-2/neu, status reseptor estrogen- Majalah Patologi Ika Kartika EP, Heni Maulani, Henny Sulastri, Yuwono

EKSPRESI PROTEIN HER-2/neu, STATUS RESEPTOR ESTROGEN DAN PROGESTERON PADA BERBAGAI

DERAJAT KEGANASAN KARSINOMA PAYUDARA

DUKTAL INVASIF WANITA USIA MUDA

Ika Kartika EP1

Heni Maulani1

Henny Sulastri1

Yuwono2

1. Departemen Patologi Anatomik

Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya,

Palembang

2. Unit Penelitian

Kedokteran dan Kesehatan

Fakultas Kedokteran.

Universitas Sriwijaya,

Palembang

ABSTRAK Latar Belakang

Berdasarkan laporan Badan Registrasi Kanker-Ikatan Ahli Patologi Indonesia (BRK-IAPI) tahun 2001, kanker payudara merupakan keganasan kedua (19,88%) dari seluruh keganasan setelah kanker leher rahim. Gambaran ekspresi HER-2/neu, status reseptor estrogen dan progesteron pada wanita usia ≤ 40 tahun dengan karsinoma payudara duktal invasif belum banyak diteliti secara luas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran ekspresi HER-2/neu, status reseptor estrogen dan progesteron pada wanita usia ≤ 40 tahun yang menderita karsinoma payudara duktal invasif pada berbagai derajat keganasan. Cara

Menggunakan arsip patologi anatomi 31 wanita penderita karsinoma payudara duktal invasif berusia ≤ 40 tahun yang telah diteliti ulang derajat keganasannya dilakukan pulasan imunohistokimia untuk menentukan ekspresi HER-2/neu serta status reseptor estrogen dan progesteron. Selanjutnya dicari hubungan antara derajat keganasan dengan ekspresi HER-2/neu dan status reseptor estrogen dan progesteron. Hasil

Dari 31 penderita, umumnya dijumpai dengan derajat keganasan III (64,52%), ukuran tumor >5 cm (48,4%), terbanyak dijumpai pada kelompok usia 36-40 tahun. Overekspresi HER-2/neu dijumpai pada 13 orang penderita (41,9%), reseptor estrogen positif dijumpai pada 13 orang penderita (41,9%), dan reseptor progesteron positif dijumpai pada 14 orang penderita (45,1%). Analisis statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara derajat keganasan dengan ekspresi HER-2/neu maupun status reseptor estrogen dan progesteron (p> 0,05). Kesimpulan

Overekspresi HER-2/neu umumnya dijumpai pada derajat keganasan III, reseptor estrogen dan progesteron positif lebih sering dijumpai pada derajat keganasan II. Tidak terdapat hubungan bermakna antara derajat keganasan

Vol 18 No.1, Januari 2009 32

Page 19: Majalah Patologi Indonesia

Ekspresi Protein HER-2/neu, status reseptor estrogen- Majalah Patologi

Ika Kartika EP, Heni Maulani, Henny Sulastri, Yuwono

dengan ekspresi HER-2/neu,

Kata kunci: HER-2/neu, reseptor estrogen, reseptor progesteron,

status reseptor estrogen dan

progesteron. derajat keganasan, karsinoma payudara.

ABSTRACT Keywords: HER-2/neu, estrogenreceptor,

Background progesterone receptor, histologic grading, breast

carcinoma

According to the 2001 report of the

committee for cancer registry of the Indonesian PENDAHULUAN

Association of Pathologists (BRK-IAPI), in

Indonesia breast cancer is a second rank Di negara-negara industri, kanker

malignant disease (19,88%) of all malignancies payudara adalah tumor ganas terbanyak pada

following cervical cancer. The HER-2/neu wanita, dan bertanggung jawab atas tingginya

expressions, estrogen and progesterone angka kematian serta kesakitan yang

receptor status in women ≤ 40 years with berhubungan dengan kanker.1,2

Berdasarkan

invasive duct carcinoma of the breast has not laporan Badan Registrasi Kanker-Ikatan Ahli

been done. A diagnostic test has been done at Patologi Indonesia (BRK-IAPI) kanker payudara

Departement of Anatomy Pathology with total merupakan keganasan kedua setelah kanker

sample was 31. The aim of this study is to find leher rahim, tercatat sebesar 16.53% pada

out the expressions of HER-2/neu, estrogen and tahun 1994, meningkat menjadi 19.18%

progesterone receptor status in young women tahun 19993, dan 19,88 % di tahun 2001

4.

with invasive duct carcinoma of the breast on Kelompok yang berisiko tinggi adalah kelompok

various grade. umur 35-64 tahun dengan puncaknya pada

Method usia 35-44 tahun. Jumlah kasus keganasan

payudara yang tercatat di Departemen Patologi

Using formalin fixed, paraffin embedded Anatomi FK Unsri/RSUP Dr. Mohammad Hoesin

tissues block archives, women with invasive duct dalam kurun tahun 2002-2006 adalah

carcinoma of the breast, whose age ≤ 40 years sebanyak 652 kasus dan tertinggi pada

were performed immunostaining to determine golongan usia produktif (20-49 tahun)

HER-2/neu expressions, estrogen and sebesar 57,2%. Berdasarkan jenis histologisnya

progesterone receptor status. Furthermore the maka yang terbanyak adalah jenis karsinoma

study asses the correlation between histologic duktal invasif sebesar 80,7%. Jumlah kasus

grading with HER-2/neu expressions and kanker payudara pada wanita usia muda (≤ 40

estrogen and progesteron receptor status. tahun) pada tahun 2002-2006 adalah 26,9% dari

Results seluruh keganasan payudara. Jumlah ini lebih

besar dibandingkan data yang didapat dari dari

Among 31 patients, this study found high The National Cancer Institute’s Surveillance

grade tumor (64,52%), diameter tumors > 5 Epidemiology and End Results (SEER)

centimeters (48,4%0), and the majority is programe yaitu sebesar 6.5% pada wanita

in 36-40 year age group. HER-2/neu were dibawah usia 40 tahun2.

overexpressed in 13 patients (41,9%), estrogen Pada kelompok usia penderita

receptor positive in 13 patients (41,9%), and muda (<35 tahun), didapatkan data 44%

progesterone receptor positive in 14 mengalami overekspresi HER-2/neu5, sedang-

patients (45,1%). Statistic analysis revealed kan menurut penelitian Bertheau dkk (1998),

there is no significant correlation between overekspresi HER2/neu terjadi pada 26% wanita

histologic grading and HER-2/neu expressions, penderita kanker payudara usia ≤ 35 tahun.

estrogen and progesterone receptors Pada kelompok ini didapatkan juga 80-92%

respectively. dengan duktal karsinoma berderajat tinggi.

Conclusion Demikian juga dengan status RE didapat-

kan 45% positif dan. RP 36% positif 5.

HER-2/neu overexpressions were Tujuan penelitian ini adalah untuk

commonly found in high grade tumor, while mengetahui ekspresi potein HER-2/neu , status

positivity of estrogen and progesterone receptor reseptor estrogen dan progesteron pada

more common in grade II tumor. There is no berbagai derajat keganasan karsinoma payudara

significant correlation was found between duktal invasif pada wanita usia muda.

histologic grading, and HER-2/neu expressions,

as well as estrogen and progesterone receptors BAHAN DAN CARA

status. Penelitian ini berupa serial kasus

dengan mengambil data dan sediaan

histopatologi serta blok parafin dari arsip bagian

Vol 18 No.1, Januari 2009 33

Page 20: Majalah Patologi Indonesia

Ekspresi Protein HER-2/neu, status reseptor estrogen- Majalah Patologi Ika Kartika EP, Heni Maulani, Henny Sulastri, Yuwono

Patologi Anatomi dalam kurun 01 Sept 2007 sampai dengan 30 Juni 2008 yang telah didiagnosis sebagai karsinoma payudara duktal invasif pada wanita usia ≤ 40 tahun. Data berupa data histopatologik/formulir pemeriksaan PA, blok parafin serta sediaan dengan pulasan hematoksillin-eosin.

Kriteria penerimaan untuk pemilihan subyek adalah semua kasus karsinoma payudara duktal invasif yang diagnosisnya ditegakkan secara histopatologi, berusia ≤ 40 tahun, tersedia blok parafin dengan kualitas baik untuk pemeriksaan imunohistokimia HER-2/neu, reseptor estrogen, reseptor progesteron. Sedangkan kriteria penolakan adalah jika karsinoma payudara duktal invasif dengan blok parafin tinggal sedikit/habis, atau tumor tidak intak/solid. Data yang didapatkan dicatat dan dibuat tabulasi.

Sediaan histopatologi dengan pulasan H.E diperiksa ulang gambaran histopatologinya dengan menggunakan mikroskop cahaya, kemudian dilakukan pemeriksaan derajat keganasan berdasarkan Elston-Ellis modification of Scarf- Bloom- Richardson grading system 6,7,8,9,10

. Blok parafin yang ada kemudian dipotong dengan mikrotom untuk dilakukan pulasan imunohistokimia terhadap HER-2/nu, reseptor estrogen, resptor progesteron, Pulasan Imunohistokimia

Dilakukan deparafinisasi sediaan jaringan yang telah dipotong dari blok parafin

menggunakan mikrotom dengan ketebalan 4 � M, kemudian dilakukan rehidrasi dengan alkohol bertingkat dan reaksi blocking dengan 0.5%

H2O2. Selanjutnya dilakukan antigen retrieval

menggunakan microwave pada power level tinggi selama 5 menit dan power level rendah selama 5 menit. Setelah didinginkan dan dicuci dengan PBS, dilakukan blocking terhadap aktifitas non spesifik binding site dengan Normal Horse Serum selama 20 menit, lalu dilakukan inkubasi selama satu malam dengan antibodi primer polyclonal rabbit anti human c-erbB-2 oncoprotein DAKO konsentrasi 1/500 untuk HER-2/neu; antibodi primer monoclonal mouse anti human estrogen receptor clone 1DS DAKO untuk reseptor estrogen dan monoclonal mouse anti human progesteron receptor clone PgR 636 DAKO. Setelah dicuci dengan PBS sediaan diinkubasi dengan antibodi sekunder polyclonal goat anti rabbit immunoglobuline/Biotynylated DAKO untuk HER-2/neu; antibodi sekunder polyclonal rabbit anti mouse immunoglobuline /Biotynylated DAKO untuk reseptor estrogen dan

reseptor proegesteron selama 30 menit, kemudian dicuci dengan PBS, dan diinkubasi kembali dengan Streptavidin DAKO selama 60 menit, selanjutnya sediaan diinkubasi dengan chromogen Diaminobenzidine (DAB) dalam Tris HCl pH 7,6 selama 10 menit, lalu dilakukan counterstain dengan hematoksilin Lilie-Mayer lemah, dehidrasi dalam alkohol bertingkat, clearing dalam xylol dan ditutup dengan entelan untuk dinilai oleh ahli patologi.

Penilaian dilakukan menggunakan mikroskop cahaya. Reseptor estrogen dan progesteron dikatakan positif apabila ≥ 10% inti imunoreaktif. HER-2/neu dikatakan positif jika membran sel tumor terpulas kuat, komplit pada > 10% sel atau setara 3+ Herceptest.

HASIL

Penderita yang termasuk dalam penelitian ini terdiri dari 32 orang, yang memenuhi kriteria penerimaan 31 orang (n).

Vol 18 No.1, Januari 2009

Page 21: Majalah Patologi Indonesia