251
1 SUSTAINABLE PEDAGOGY IN MATHEMATICS EDUCATION Munirah Ghazali School of Educational Studies, UniversitiSains Malaysia, 11800 Penang, Malaysia Abstrak. Education is an essential tool for achieving sustainability. People around the world recognize that current economic development trends are not sustainable and that public awareness, education, and training are key to moving society toward sustainability. This paper will discuss part of bigger project aimed at integrating issues in energy efficiency and early mathematics with special focus on numbers. Specifically this paper will discuss issues in the teaching of number concepts in mathematics, issues surrounding energy efficiencies and how those issues are integrated in order to model a sustainable pedagogy in mathematics education

Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

1

SUSTAINABLE PEDAGOGY IN MATHEMATICS EDUCATION

Munirah Ghazali School of Educational Studies, UniversitiSains Malaysia, 11800 Penang, Malaysia

Abstrak. Education is an essential tool for achieving sustainability. People around the

world recognize that current economic development trends are not sustainable and that public awareness, education, and training are key to moving society toward

sustainability. This paper will discuss part of bigger project aimed at integrating issues

in energy efficiency and early mathematics with special focus on numbers. Specifically this paper will discuss issues in the teaching of number concepts in

mathematics, issues surrounding energy efficiencies and how those issues are

integrated in order to model a sustainable pedagogy in mathematics education

Page 2: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

2

Page 3: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

3

Page 4: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

4

Page 5: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

5

Page 6: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

6

Page 7: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

7

Page 8: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

8

Page 9: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

9

Page 10: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

10

Page 11: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

11

Page 12: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

12

Page 13: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

13

Page 14: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

14

Page 15: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

15

Page 16: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

16

SUSTAINABLE PEDAGOGY IN MATHEMATICS EDUCATION

Fatimah Saleh

Universiti Sains Malaysia Pulau Pinang

Abstrak. Sustainable Pedagogy is about the establishment of collaborative learning cultures that encourage risk-taking. Sustainable pedagogy offers radically different

ways of comprehending learning, teaching and human interaction with the

environment. Teachers should be prepared for transformative education with theaccompanying personal transformation where the development of creativity and

expression are important in addition to the central elements of identity, values and

beliefs and classroom practice. Sustainable pedagogy involves a wide range of

methods and tools to address affective, spiritual, manual, and physical needs as well as cognitive skills and creative inquiry(Sterling, 2001). Learners are thus empowered

to develop their own learning priorities, to construct their own meaning, and, through

application and dialogue, subject it to the scrutiny of their teachers, peers, and the community. Three key elements to be focused on are teachers’knowledge, values and

belief system and their classroom practice in accordance to the mathematics teaching

philosophy.

Keywords: sustainable pedagogy, pedagogy in mathematics, mathematics education

Page 17: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

17

Page 18: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

18

Page 19: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

19

Page 20: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

20

Page 21: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

21

Page 22: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

22

Page 23: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

23

Page 24: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

24

Page 25: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

25

MODEL-MODEL PEMBELAJARAN BERDASARKAN KURIKULUM 2013

UNTUK MENGEMBANGKAN KOMPETENSI MATEMATIS

DAN KARAKTER SISWA

Rahmah Johar

Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Email: [email protected]

Abstrak. Salah satu dasar perubahan kurikulum di Indonesia menjadi kurikulum 2013 adalah

karena tuntutan untuk megembangkan kompetensi dan karakter siswa. Oleh karena itu guru perlu

merancang tahap-tahap pembelajaran yang mengacu pada model pembelajaran inovatif, seperti

Discovery Learning (DL), Problem-Based Learning (PBL), dan Project-Based Learning (PjBL).

Namun hal ini tidak mudah bagi sebagian besar guru karena sudah terbiasa menerapkan tahap-

tahap pembelajaran langsung (Direct instruction), sehingga kompetensi matematis dan karakter

siswa kurang berkembang. Makalah ini membahas model Discovery Learning (DL), Problem-

Based Learning (PBL), dan Project-Based Learning (PjBL), contoh penerapannya dalam

pembelajaran matematika, untuk mengembangkan kompetensi matematis dan karakter siswa.

Kata kunci : Discovery Learning (DL), Problem-Based Learning (PBL), dan Project-Based

Learning (PjBL), kurikukulm 2013, kompetensi matematis, karakter

1. Pendahuluan

Kurikulum merupakan salah satu unsur yang memberikan kontribusi untuk mewujudkan proses

berkembangnya kualitas potensi peserta didik tersebut. Kurikulum 2013 dikembangkan berbasis pada

kompetensi sangat diperlukan sebagai instrumen untuk mengarahkan peserta didik menjadi: (1) manusia berkualitas yang mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah; (2) manusia

terdidik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,

cakap, kreatif, mandiri; dan (3) warga negara yang demokratis, bertanggung jawab. Dengan demikian,

aspek karakter religious, karakter sosial, pengetahuan, dan keterampilan menjadi fokus dari kurikulum

2013 (Kemendikbud, 2014).

Untuk mencapai tujuan kurikulum 2013 di atas, Permendikbud No. 81A tahun 2013 mengatur bahwa

proses pembelajaran pada kurikulum 2013 hendaknya terdiri atas lima pengalaman belajar yaitu

mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan, yang

disingkat dengan 5M. Pengalaman belajar ini dikenal dengan pendekatan saintifik. Kemendikbud

(2014) memperjelas bahwa model pembelajaran yang diterapkan untuk melaksanakan pendekatan saintifik diantaranya adalah Discovery Learning (DL), Problem-Based Learning (PBL), dan Project-

Based Learning (PjBL).

Berdasarkan pengalaman penulis memberikan kuliah dan memberikan pelatihan, banyak mahasiswa

dan guru menyampaikan bahwa mereka kesulitan merancang perangkat pembelajaran yang

menerapkan DL apalagi PBL dan PjBL. Bahkan diantara mereka tidak yakin bahwa PBL dan PjBL

cocok diterapkan dalam pembelajaran matematika karena matematika itu abstrak sehingga PBL dan

PjBL akan membuang-buang waktu.

Makalah ini membahas hakikat belajar matematik, penerapan DL, PBL, dan PjBL dalam pembelajaran

matematika dan kaitannya dengan pengembangan kompetensi matematis dan karakter siswa.

Page 26: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

26

2. Tinjauan Pustaka

Hakikat Belajar Matematika

Van de Walle (2007) menjelaskan bahwa matematika adalah ilmu tentang pola dan urutan. Oleh karena

itu mengerjakan matematika artinya menemukan dan mengungkap keteraturan atau urutan. Pola tidak

hanya terdapat pada bilangan dan persamaan, tetapi juga berada pada setiap sesuatu di sekeliling kita.

Dunia penuh dengan pola dan urutan: di alam, dalam seni, dalam bangunan, dalam music, dan lain-lain.

Pola dan urutan juga ditemukan dalam perdagangan, sains, obat-obatan, pabrik, dan sosiologi.

Matematika menyelidiki pola ini, member arti, dan emnggunakannya dalam berbagai cara yang

menarik, untuk memperbaiki dan memperluas kehidupan kita. Sekolah harus membantu anak-anak

dalam proses penyelidikan tersebut.

Dikaitkan dengan ide Freudenthal sebagai tokoh Pendidikan Matematika Realistik, dia menjelaskan

bahwa dalam pendekatan realistik, matematika dipandang sebagai aktivitas manusia. Maksudnya,

matematika dipandang sebagai aktivitas menyelesaikan masalah, mencari masalah, dan aktivitas dalam

mengorganisasikan materi pelajaran. Masalah ini bisa berasal dari realitas yang telah

diatur/diorganisasikan sesuai dengan pola-pola matematika. Dapat juga berasal dari diri sendiri atau

orang lain, baru atau lama yang telah diorganisasikan menurut ide baru untuk pemahaman yang lebih

baik dalam konteks yang lebih luas (dalam Gravemeijer, 1994). Jadi, belajar matematika dimaksudkan

sebagai mengerjakan matematika, dimana menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari sebagai

bagian utamanya. Variasi dari masalah kontekstual ini diintegrasikan dalam kurikulum dari awal. Oleh

karena itu, fokus utama pendidikan matematika bukan hanya hasil (produk), tetapi juga proses

memperoleh hasil (Johar, 2006).

Untuk mengetahui sejauh mana siswa dapat menggunakan matematika dalam berbagai konteks,

asesemen internasional, yaitu PISA Program for International Student Assessment) menilai

kemampuan siswa berkaitan dengan literasi matematika (mathematics literacy), sebagai akibat dari

belajar matematiks. Literasi atau melek matematika didefinisikan sebagai kemampuan seseorang

individu merumuskan, menggunakan, dan menafsirkan matematika dalam berbagai konteks. Termasuk

di dalamnya bernalar secara matematis dan menggunakan konsep, prosedur, fakta, dan alat matematika

dalam menjelaskan serta memprediksi fenomena. Dengan demikian literasi matematika membantu

seseorang untuk mengenal peran matematika dalam dunia dan membuat pertimbangan maupun

keputusan yang dibutuhkan sebagai warga negara (OECD, 2010).

Dengan demikian pengetahuan dan pemahaman tentang konsep matematika sangatlah penting, tetapi

lebih penting lagi adalah kemampuan untuk mengaktifkan literasi matematika itu untuk memecahkan

permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari (Johar 2013).

Salah satu cara mewujudkan tujuan belajar matematika di atas adalah dengan menerapkan model-model

pembelajaran seperti yang disarankan oleh kurikulum 2013, yaitu Discovery Learning (DL), Problem-

Based Learning (PBL), dan Project-Based Learning (PjBL).

Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning/DL)

Istilah discovery learning (belajar penemuan) diungkapkan pertama kali oleh Bruner yang berlawanan

dengan reception learning (belajar penerimaan). Baik discovery learning maupun rote learning bisa

bermakna atau hafalan tergantung pada dikaitkan atau tidaknya pengetahuan baru dengan struktur

kognitif siswa (Kirschner, Sweller, and Clark (2004). Alfieri et. al (2011) menjelaskan bahwa ‘many literature suggests that discovery learning occur whenever the learner is not provided with the target

information or conceptual understanding and must find it independently and with only provided

materials’. Maksudnya, banyak literatur menjelaskan bahwa discovery learning terjadi ketika siswa

bukan sebagai target informasi atau pemahaman konseptual melainkan siswa yang menemukannya

secara independen dengan menggunakan material yang disediakan.

Kemendikbud (2014) menjelaskan bahwa prinsip belajar yang nampak jelas dalam Discovery Learning

adalah materi atau bahan pelajaran yang akan disampaikan tidak disampaikan dalam bentuk final akan

tetapi siswa sebagai siswa didorong untuk mengidentifikasi apa yang ingin diketahui dilanjutkan dengan

Page 27: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

27

mencari informasi sendiri kemudian mengorgansasi atau membentuk (konstruktif) apa yang mereka

ketahui dan mereka pahami dalam suatu bentuk akhir. Syah (2004) menjelaskan fase (syntax) model

discovery learning adalah sebagai berikut.

1. Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan)

2. Problem statement (pernyataan/ identifikasi masalah)

3. Data collection (pengumpulan data)

4. Data processing (pengolahan data)

5. Verification (pembuktian)

6. Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi)

Contoh peneapan discovery learning berikut dikembangkan dari Buku Matematika Kelas VII edisi revisi (Kemendikbud, 2014), sebagai berikut.

Tabel 1. Tahap Pembelajaran Discovery Learning

TAHAP

PEMBELAJARAN KEGIATAN PEMBELAJARAN

1. Stimulation

(stimulasi/pembe

rian rangsangan)

Pendahuluan

1. Membuka pelajaran dengan salam pembuka dan berdo’a

2. Memeriksa kehadiran siswa sebagai sikap disiplin

Apersepsi :

Mengingat kembali materi tentang bilangan ganjil, bilangan genap, siswa

diminta menyebutkan ciri-cirinya

Motivasi :

Memotivasi siswa dengan cara menunjukkan gambar berkaitan dengan

susunan benda-benda ciptaan Tuhan dan buatan manusia yang giat

menuntut ilmu.

Guru mendemonstrasikan pengelompokan gelas di meja, siswa diminta

melanjutkan kelompok berikutnya

???

(Ada lebih dari satu jawaban)

Guru menayangkan video barisan Fibonacci dan siswa diminta

membaca riwayat Fibonacci di buku siswa 3. Menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai\

4. Menyampaikan langkah pembelajaran dengan discovery learning

Page 28: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

28

2. Problem

statemen

(pertanyaan/iden

tifikasi masalah)

Kegiatan Inti

Mengamati

Guru memberi kesempatan kepada siswa dalam kelompok untuk

mengidentifikasi masalah yang relevan dengan pola bilangan, seperti

gambar bola berikut

- Diberikan kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi bola di atas

yang berwarna biru

- Guru menyampaikan permasalahan, yaitu tuliskan banyaknya bola biru

pada gambar di atas. Menanya:

Minta siswa untuk mengajukan pertanyaan tentang pola banyak bola biru

pada gambar.

Contoh pertanyaan: Apakah 3 bola biru dapat ditulis sebagai ½ x 2 x 3 atau

3 = 2+1?

3. Data collection

(pengumpulan

data)

Mengumpulkan informasi

Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengumpulkan

informasi sebanyak-banyaknya yang relevan sebagai bahan menganalisis

dalam rangka menjawab pertanyaan atau hipotesis di atas.

Alternatif kegiatan pembelajaran yang bisa dilakukan antara lain:

- Guru membimbing siswa dalam kelompok untuk mengumpulkan informasi dari susunan gambar tersebut.

Pola ke Banyaknya bola

1 1

2 3

3 6

4 10

5 ...

6 ...

Page 29: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

29

4. Data processing

(pengolahan

data)

Mengasosiasi:

Siswa mengolah data atau informasi yang telah diperoleh para siswa

melalui pengamatan. Alternatif kegiatan pembelajaran yang bisa dilakukan

oleh guru antara lain meminta siswa melengkapi tabel beriktu:

Pola ke Banyaknya bola Pola bilangan

1 1

1

2x1x2

2 3

1

2x2x3

3 6

1

2x3x4

4 ... ...

5 ... ...

5. Verification

(pembuktian)

Tuliskan dugaanmu tentang banyak bola, lalu diskusikan, mengapa banyak

bola pada pola ke-n adalah Un = ½ x n x (n+1) dengan mengisi tabel pada

LKS

6. Generalization

(menarik

kesimpulan/

generalisasi)

Siswa menarik kesimpulan tentang banyak bola pada suku ke-n

n + 1

n

Pola ke- n adalah 𝑈𝑛 =1

2× 𝑛 × (𝑛 + 1)

Dengan menggunakan rumus pola yang sudah ditemukan diatas, kita dapat

menentukan pola ke-10, yaitu 𝑈10 =1

2× 10(11) = 55

Mengkomunikasikan

Beberapa kelompok mempresentasikan hasil kerja mereka, kelompok

lain menanggapi

Siswa mengerjakan soal tes individu

Penutup

Guru membimbing siswa menyimpulkan tentang pola bilangan

Setiap kelompok diberikan penghargaan berdasarkan keberhasilan

belajar kelompoknya.

Guru mengajukan pertanyaan refleksi, misalnya

- Bagaimana komentarmu tentang pelajaran hari ini?

- Aktivitas mana yang sudah dan belum kuasai?

- Bagaimana saranmu tentang proses pembelajaran berikutnya?

Guru menginformasikan bahwa pertemuan selanjutnya akan membahas

tentang menentukan pola bilangan lanjutan

Page 30: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

30

Siswa mengerjakan tugas projek halaman 81 buku siswa (di rumah)

Pembelajaran diakhiri dengan penyampaian pesan moral berkaitan

dengan pola bilangan

Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning/PBL)

Arends (2008) menyatakan bahwa Problem Based Learning (PBL), berusaha untuk memandirikan

siswa. Tuntutannya adalah guru mendorong dan mengarahkan siswa untuk bertanya dan mencari solusi

sendiri masalah nyata, dan siswa menyelesaikan tugas-tugas dengan kebebasan berpikir dan dengan

dorongan inkuiri terbuka. Problem Based Learning (PBL) juga sering disebut Problem Based

Instruction. Menurut Nur (2011) ciri khas sebagai berikut.

1. Mengajukan pertanyaan atau masalah

PBL menekankan pada mengorganisasikan pembelajaran di sekitar pertanyaan-pertanyaan atau masalah-masalah yang penting secara sosial dan bermakna secara pribadi bagi siswa. Pelajaran

diarahkan pada situasi kehidupan nyata, menghindari jawaban sederhana, dan memperbolehkan

adanya keragaman solusi beserta argumentasinya.

2. Berfokus pada interdisiplin

Meskipun PBL dapat berpusat pada mata pelajaran tertentu (sains, matematika, IPS) namun

solusinya menghendaki siswa melibatkan banyak mata pelajaran.

3. Penyelidikan otentik

PBL menghendaki siswa menggeluti penyelidikan otentik dan berusaha memperoleh pemecahan

nyata terhadap masalah nyata, seperti mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis dan

membuat prediksi, mengupulkan dan menganalisis informasi, melaksanakan eksperimen (jika

diperlukan), dan membuat kesimpulan.

4. Menghasilkan karya nyata dan memamerkan PBL menghendaki siswa menghasilkan produk dalam bentuk karya nyata dan memamerkannya.

Produk ini mewakili solusi-solusi mereka, misalnya skrip sinetron, sebuah laporan, modul fisik,

rekaman video, atau program komputer

5. Kolaborasi

Seperti pembelajaran kooperatif, PBL juga ditandai oleh siswa yang bekerja sama dengan siswa lain.

Selain ciri yang di atas, PBL menurut Nur (2011) juga dimaksudkan untuk membantu siswa berkinerja dalam situasi kehidupan nyata dan belajar peran-peran penting yang biasa dilakukan oleh orang dewasa.

Gallagher, Stephien, Sher & Workman (dalam Chin and Li-Gek, tanpa tahun) menjelaskan bahwa PBL

where students generate their own problems which are often realistic, ill-structured and precede

learning. Maksudnya, dalam PBL siswa membangun masalah mereka sendiri yang realistik, ill-

structured, dan mendahului materi pelajaran. Selanjutnya dijelaskan bahwa ill-structured problems are

those where (a) the initial situations lack all the information necessary to develop a solution, (b) there

is no single right way to approach the task of problem solving, (c) as new information is gathered the

problem definition change, and (d) the students will never be 100% sure that they have made the correct

selection of solution options.

Dalam pembelajaran guru harus terlebih dahulu menetapkan tujuan pembelajaran sehingga tujuan itu

dapat dikomunikasikan dengan jelas kepada siswa. Setelah guru menetapkan tujuan kemudian guru harus merancang situasi masalah yang sesuai dengan materi. Situasi masalah yang baik seharusnya

autentik, mengandung teka-teki, dan tidak terdefinisikan dengan ketat, memungkinan kerja sama,

bermakna bagi siswa, dan konsisten dengan tujuan kurikulum (Johar, Hanum, dan Nurfadhilah, 2006).

Arends (2001) mengemukakan lima ciri utama pembelajaran berdasarkan masalah yaitu pengajuan

masalah atau pertanyaan, keterkaitannya dengan disiplin ilmu lain, penyelidikan yang autentik,

menghasilkan dan memamerkan hasil karya, dan kolaborasi. Arends (1997) mengemukakan tahapan-

tahapan/fase dalam PBL seperti pada tabel berikut :

Tabel 2. Tahapan Pembelajaran Berdasarkan Masalah

Tahap Tingkah Laku Guru

1. Orientasi siswa kepada masalah

Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, memotivasi siswa terlibat pada aktivitas

pemecahan masalah yang dipilihnya.

Page 31: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

31

2. Mengorganisasi siswa untuk

belajar

Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan

tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut

3. Membimbing penyelidikan

individual maupun kelompok

Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang

sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan

penjelasan dan pemecahan masalah

4. Mengembangkan dan

menyajikan hasil karya

Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan

karya yang sesuai seperti laporan, video, model dan membantu

mereka untuk berbagi tugas dengan temannya

5. Menganalisis & mengevaluasi

proses pemecahan masalah

Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi

terhadap penyelidikan mereka&proses-proses yg mereka

gunakan

Contoh masalah untuk menerapkan PBL dalam pembelajaran matematika:

1. Pembelajaran topik perbandingan dengan tema perayaan “ulang tahun” di SMP

Nassya Catering mendapat pesanan minuman sirup acara untuk ulang tahun. Banyak tamu undangan adalah 150 orang. Bantulah Nassya Catering menentukan banyak sirup yang akan dibeli dan jumlah

biaya yang diperlukan.

Sumber belajar/alat: satu botol sirup, sendok ukur, air putih, dan brosur harga satu botol sirup.

2. Pembelajaran topik Aritmatika Sosial di SMP

Ibu Sofi akan memanfaatkan bunga di sekitar rumahnya sebagai penghasilan keluarga. Jenis bunga

di sekitar rumah Bu Sofi sudah disesiakan di atas meja.

Apa yang harus dilakukan Bu Sofie agar usaha merangkai bunganya beruntung?

Pembelajaran Berbasis Proyek (Project-Based Learning/PjBL) Project Based Learning is a teaching and learning model (curriculum development and instructional

approach) that emphasizes student-centered instruction by assigning projects. It allows students to work

more autonomously to construct their own learning, and culminates in ealistic, student-generated

products (Moursund, 2002; Thomas et al., 1999 dalam http://edutechwiki.unige.ch/en/Project-

based_learning).

Kemendikbud (2014) menjelaskan bahwa Pembelajaran Berbasis Proyek (Project-Based

Learning/PjBL) adalah model pembelajaran yang menggunakan proyek/kegiatan sebagai inti

pembelajaran. Siswa melakukan eksplorasi, penilaian, interpretasi, sintesis, dan informasi untuk

menghasilkan berbagai bentuk hasil belajar. Pembelajaran Berbasis Proyek merupakan model belajar

yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan pengalamannya dalam beraktifitas secara nyata. Pembelajaran Berbasis

Proyek dirancang untuk digunakan pada permasalahan komplek yang diperlukan siswa dalam

melakukan insvestigasi dan memahaminya. Melalui PjBL, proses inquiry dimulai dengan memunculkan

pertanyaan penuntun (a guiding question) dan membimbing siswa dalam sebuah proyek kolaboratif

yang mengintegrasikan berbagai subjek (materi) dalam kurikulum.

Pembelajaran Berbasis Proyek memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. siswa membuat keputusan tentang sebuah kerangka kerja,

2. adanya permasalahan atau tantangan yang diajukan kepada siswa,

3. siswa mendesain proses untuk menentukan solusi atas permasalahan atau tantangan yang

diajukan,

4. siswa secara kolaboratif bertanggungjawab untuk mengakses dan mengelola informasi untuk memecahkan permasalahan,

5. proses evaluasi dijalankan secara kontinyu,

6. siswa secara berkala melakukan refleksi atas aktivitas yang sudah dijalankan,

7. produk akhir aktivitas belajar akan dievaluasi secara kualitatif,

8. situasi pembelajaran sangat toleran terhadap kesalahan dan perubahan

Schneiderman et al dalam Edu Tech Wiki, membedakan PBL dengan PjBL sebagai berikut, “project-

based learning focuses mostly on a production model. Students start by defining the purpose of creating

the end-product, identify their audience, they research the topic, design the product, do the project

management, solve the problems that arise and finish the product followed by a self-evaluation and

reflection. So, the driving force is the end-product, but the key to success is the skills acquired during it’s production. In that sense, Project-Based Learning is a broader category than the Problem-based

Page 32: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

32

Learning. DEngan demikian dapat disimpulkan bahwa PjBL lebih focus pada menghasilkan produk,

sehingga PjBL lebih luas dari PBL.

Lebih jelas, persamaan dan perbedaan Problem-based Learning dan Project-based Learning dapat

dilihat pada gambar berikut.

Gambar 1. Persamaan dan Perbedaan Problem-based Learning dan Project-based Learning

Contoh penerapan PjBL dalam pembelajaran matematika berikut dirangkum dari Muschla and Muschla

(2006).

1. Debat Heboh (Great Debate)

Pengantar:

Biasanya debat berhubungan dengan bahasa inggris, dan pelajaran sosial lainnya. Debat adalah aktivitas

unik yang menguntungskan siswa dalam pmbelajaran matematika. Untuk mempersiapkan debat siswa

harus mencari topik mereka, memperjelas pemikiran mereka, dan merumuskan argumentasi. Mereka harus mengerti mengenai topik secara mendalam. Ada unsur kompetisi dalam debat, namun kebanyakan

siswa menemukan kenyaman dalam berdebat.

Petunjuk untuk guru:

a) Mulai projek ini dengan menjelaskan kepada siswa bahwa mereka akan ambil bagian dalam debat

mengenai isu dan masalah matematika

b) Ada banyak topik yang bisa digunakan dalam debat matematika. Beberapa topik tersebut antara

lain sebagai berikut.

Bolehkah kalkulator digunakan di sekolah dasar?

Apakah UN dapat dijadikan indikasi yang baik untuk melihat hasil belajar siswa?

Dapatkah PR dijadikan alat untuk evaluasi?

Page 33: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

33

Apakah masih perlu belajar perkalian menggunakan tabel?

c) Pemilihan topik juga bisa dilakukan dengan curah pendapat (brainstorming) dengan siswa

d) Pastikan setiap kelompok heterogen

e) Minta siswa melakukan studi pustaka yang mendukung topik mereka baik menggunakan buku atau

pun sumber online.

f) Sediakan sarana debat agar siswa merasa suasana debat.

g) Pilih seorang moderator dan pencatat waktu

2. Membuat anggaran (making a budget)

Pengantar:

Banyak siswa mengganggap bahwa uang adalah sesuatu yang tak akan habis. Mereka membeli sesuatu tanpa mempertimbangkan apakah mereka benar-benar membutuhkannya. Masalahnya adalah mereka

tidak tahu bagaimana cara mereka menghabiskan uang mereka. Untuk beberapa siswa membuat

anggaran bisa bermanfaat. Menyusun anggaran tidak memberi jaminan bahwa uang akan mereka

habiskan secara bijak, tetapi memungkinkan siswa untuk memonitor income dan pengeluaran mereka.

Petunjuk untuk Guru

a) Mulai projek dengan menjelaskan bahwa siswa akan bekerja individu untuk membuat anggran

bulanan yang akan memonitor income dan pengeluaran mereka.

b) Diskusikan kata income, biaya, dan surplus

c) Jika perlu, review perkiraan di kelas

d) Minta siswa menuliskan pemasukan, pengeluaran, sisa uang, dan rencana penggunaan uang

3. Merencanakan kamar sendiri (A floor plan my room)

Pengantar:

Biasanya kamar remaja berantakan. Kadang-kadang perabot di kamar tidak diatur sehingga kamar terasa

sempit. Pengaturan kembali bisa membuat ruangan nyaman dan tidak berantakan. Pengaturan kembali

tata letak perabot adalah sebuah pekerjaan besar, berfikir, apalagi jika perabotnya banyak. Cara yang

baik adalah membuat rancangan di atas kertas tentang tata letak perabotan di kamar.

Petunjuk untuk Guru:

a) mulai projek ini dengan menjelaskan bekerja sendiri-sendiri untuk membuat perencanaan lantai

kamar

b) Mendorong siswa membuat sket kamar mereka beserta ukurannya,

c) Minta siswa mengukur panjang dan lebar furniture

d) siswa menentukan skala dan konsultasi terlebih dahlu bagaimana mennetukan skala

e) Minta siswa menuliskan skala pada gambar

f) siswa bersiap-siap untuk diskusi tentang rancangan lantai kamarnya dan mengapa rancangan

lantainya adalah yang terbaik.

Kompetensi Matematika

Kompetensi matematika yang dimaksud dalam makalah ini adalah kemampuan yang hendaknya

dimiliki oleh siswa berdasarkan prinsip NCTM (2000), yaitu kemampuan memecahkan masalah

(problem solving), bernalar dan membuktikan (reasoning and proof), berkomunikasi (communication),

dan koneksi (connection)

Problem solving-it means solving the non-routine problem or context problem- is a primary goal of

mathematics teaching and learning and is considered to be the essence of mathematics (NCTM,

2000). Maksudnya, problem solving sebagai soal non rutin atau masalah kontekstual merupakan

tujuan utama dalam pembelajaran matematika. Selanjutnya Sumarmo (2012) menjelaskan bahwa

Pemecahan masalah sebagai kegiatan yang meliputi:

a) Mengidentifikasi kecukupan data untuk memecahkan masalah b) Membuat model matematik dari suatu masalah dan menyelesaikannya.

c) Memilih dan menerapkan strategi untuk menyelesaikan masalah matematika dan atau di luar

matematika

d) Menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal, serta memeriksa kebenaran

hasil atau jawaban

e) Menerapkan matematika secara bermakna

Page 34: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

34

However, some students fail in solving problems typically defined as non-routine and teachers

encounter difficulties in supporting the development of the students’ problem-solving competency

(Kolovou, et al. 2009, Johar 2011). Maksudnya, beberapa siswa gagal dalam menyelesaikan masalah

non rutin dan guru berudaha membantu kesulitan siswa dengan memberikan dorongan untuk

mengembangkan kompetensi siswa dalam memecahkan masalah.

The teacher has to play an active role in orchestrating productive whole-class discussions and in

selecting framing mathematics issues - context problem - as topics discussion (Gravemeijer, 2010,

Gravemeijer and Cobb, 2006). The teacher not only asks the student to ‘explain your strategy’ but also

‘show how you got your answer’ (van den Heuvel-Panhuizen, 1996).

Peressini (1999, 156) menyatakan bahwa penalaran matematika memainkan peranan yang sangat

penting dalam proses berpikir meliputi:

- mengumpulkan data

- membuat konjektur

- membangun generalisasi

- membangun argument

- menggambarkan (menvalidasi) konklusi logis tentang sejumlah ide dan keterkaitannya

Sumarmo (2012) menjelaskan bahwa secara garis besar penalaran dapat digolongkan dalam dua jenis

yaitu penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran induktif diartikan sebagai penarikan kesimpulan yang bersifat umum atau khusus berdasarkan data yang teramati. Nilai kebenaran dalam

penalaran induktif dapat bersifat benar atau salah. Beberapa kegiatan yang tergolong pada penalaran

induktif di antaranya adalah:

a) Transduktif: menarik kesimpulan dari satu kasus atau sifat khusus yang satu diterapkan pada yang

kasus khusus lainnya.

b) Analogi: penarikan kesimpulan berdasarkan keserupaan data atau proses

c) Generalisasi: penarikan kesimpulan umum berdasarkan sejumlah data yang teramati

d) Memperkirakan jawaban, solusi atau kecenderungan: interpolasi dan ekstrapolasi

e) Memberi penjelasan terhadap model, fakta, sifat, hubungan, atau pola yang ada

f) Menggunakan pola hubungan untuk menganalisis situasi, dan menyusun konjektur

Pada umumnya penalaran transduktif tergolong pada kemampuan berpikir matematik tingkat rendah

sedang yang lainnya tergolong berpikir matematik tingkat tinggi.

Penalaran deduktif adalah penarikan kesimpulan berdasarkan aturan yang disepakati. Nilai kebenaran

dalam penalaran deduktif bersifat mutlak benar atau salah dan tidak keduanya bersama-sama. Penalaran deduktif dapat tergolong tingkat rendah atau tingkat tinggi. Beberapa kegiatan yang tergolong pada

penalaran deduktif di antaranya adalah:

a) Melaksanakan perhitungan berdasarkan aturan atau rumus tertentu.

b) Menarik kesimpulan logis berdasarkan aturan inferensi, memeriksa validitas argumen,

membuktikan, dan menyusun argumen yang valid

c) Menyusun pembukltian langsung, pembukltian tak langsung dan pem-buktian dengan induksi

matematika.

Kemampuan pada butir a) pada umumnya tergolong berpikir matematik tingkat rendah, dan

kemampuan lainnya tergolong berpikir matematik tingkat tinggi.

NCTM (2000) menjelaskan bahwa komunikasi adalah bagian yang esensial dari matematika dan pendidikan matematika sebagai suatu cara membagi ide dan mengklarifikasi pemahaman. Kegiatan

yang tergolong pada komunikasi matematik menurut NCTM (2000) dan Sumarmo (2012) diantaranya

adalah:

a) Menyatakan suati situasi, gambar, diagram, atau benda nyata ke dalam bahasa, simbol, idea, atau

model matematik

b) Menjelaskan idea, situasi, dan relasi matematika secara lisan atau tulisan

c) Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika

d) Membaca dengan pemahaman suatu representasi matematika tertulis

e) Mengungkapkan kembali suatu uraian atau paragraf matematika dalam bahasa sendiri

Page 35: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

35

Kegiatan yang tergolong pada koneksi matematik menurut NCTM (2000) dan Sumarmo (2012)

diantaranya adalah:

a) Mencari hubungan berbagai representasi konsep dan prosedur.

b) Memahamai hubungan antar topik matematika.

c) Menerapkan matematika dalam bidang lain atau dalam kehidupan sehar-hari.

d) Memahami representasi ekuivalen suatu konsep.

e) Mencari hubungan satu prosedur dengan prosedur lain dalam represntasi yang ekuivalen.

Menerapkan hubungan antar topik matematika dan antara topik matematika dengan topik di luar

matematika.

Pengembangan Karakter melalui Pembelajaran Matematika

Pendidikan di sekolah merupakan salah satu komponen yang turut mempengaruhi pembentukan

karakter siswa. Namun kondisi pendidikan di sekolah saat ini cenderung mengembangkan aspek

kognitif siswa, dimana aspek selain kognitif seperti afektif kurang mendapat perhatian. Hal ini

disebabkan oleh sistem pendidikan yang lebih berorientasi pada mengejar target kurikulum. Bahkan

terkadang guru menunjukkan sikap yang negatif terhadap pembentukan karakter siswa, seperti kurang

menghargai siswa, jarang memberikan pujian kepada siswa, guru lebih banyak mengkritik siswa. Akibatnya siswa menjadi kurang percaya diri, kurang menghargai orang lain, dan tidak kreatif (Johar,

2012).

Respon guru sangat penting dalam mengembangkan karakter siswa. Respon yang bersifat kritik yang

merendahkan atau menjatuhkan siswa merupakan suatu hal yang harus dihindari. Pemberian pujian

merupakan suatu pemberian respon yang efektif, tetapi perlu diperhatikan pemberian pujian tersebut

haruslah sungguh-sungguh berarti bagi siswa. Pemberian pujian yang berlebihan dan tidak pada

tempatnya akan membuat pujian itu tidak bermakna bagi siswa (Marliyah dkk, 2004). Pujian yang

diberikan secara tepat akan membuat siswa termotivasi untuk melakukan yang terbaik (Wright, 2002).

Sebagai seorang guru (dalam http://ideguru.wordpress.com/2010/04/11/ tips-menumbuhkan-percaya-

diri-anak/) dijelaskan bahwa guru perlu menahan diri untuk cepat-cepat turun tangan membantu anak melakukan sesuatu. Membantu boleh-boleh saja, tapi tidak berarti mengambil alih atau langsung ikut

campur tangan tanpa dimintanya. Doronglah dia untuk tidak terlalu gampang mengatakan, “Saya tidak

bisa,” “Saya tak pernah akan bisa,” atau “Saya memang bodoh.” Dengarkan siswa dan dorong dia untuk

berpikir mandiri. Belajar mempertahankan diri sendiri memerlukan kekuatan besar.

Untuk mendorong kreativitas siswa dalam matematika, guru perlu memberikan soal-soal terbuka/open-

ended (Johar dkk, 2006) dan soal yang berbentuk problem solving (Johar dan Afrina, 2011).

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Discovery Learning

(DL), Problem-Based Learning (PBL), dan Project-Based Learning (PjBL), sangat berpotensi untuk

mengembangkan kompetensi matematika dan karakter siswa. Karakter yang dimaksud seperti kreatif, memiliki rasa ingin tau, demokratis, percaya diri, kerjasama, dan tanggung jawab. Selain itu kompetensi

matematis siswa seperti kemampuan memecahkan masalah (problem solving), bernalar dan

membuktikan (reasoning and proof), berkomunikasi (communication), dan koneksi (connection) juga

dapat ditingkatkan.

Untuk itu, guru perlu memfasilitasi siswa dengan cara mendesain permasalahan dan aktivitas agar dapat

menerapkan model Discovery Learning (DL), Problem-Based Learning (PBL), dan Project-Based

Learning (PjBL) untuk meningkatkan

Daftar Pustaka

Arends, Richard I. (1997). Classroom Instruction and Management. New York: Mc Graw-Hill

Arends, Richard L. (2008). Learning to Teach. University of Maryland: Pustaka Pelajar.

Alfieri, L., Brooks, P. J., Aldrich, N. J., and Tenenbaum, H. R. (2011) Does Discovery-Based Instruction

Enhance Learning? Journal of Educational Psychology. Vol. 103. 1 p. 1-18.

Page 36: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

36

Chin, C. and Li-Gek, C (without year). Implementing Problem-Based Learning in Biology. Nanyang

Tachnology University. Singapore

Edu Tech Wiki Project-based learning dalam http://edutechwiki.unige.ch/en/Project-based_learning

Gravemeijer, K.P.E and Cobb, P. (2006). Design Research from a Learning Design Perspective. In

Dekker, van den, Gravemeijer, K., Mc Kenny, S., & Nieven, N. (Eds). Educational Design

Research (pp. 17-51). London: Rontledge.

Gravemeijer, K.P.E (2010). Realistic Mathematics Education Theory as a Guideline for Problem-Centered, Interactive Mathematics Education. In Sembiring, R. K., Hoogland, K., & Dolk, M.,

(Eds), A Decade of PMRI in Indonesia, Bandung, Utrecht: APS International.

Nur, Mohamad (2011) Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: Pusat Sains dan

Matematika Sekolah.

Johar, Rahmah (2006) Pendidikan Matematika Realistik: Pendekatan Baru dalam Pembelajaran

Matematika dalam Jurnal “Wacana” FKIP Unsyiah, ISSN 0853-3571, Vol. 5 No. 1 Tahun 2006.

Johar, Rahmah; Hanum, Latifah; Nurfadhilah, Cut (2006) Strategi Belajar Mengajar. Modul. FKIP

Unsyiah.

Johar, Rahmah and Afrina, Marisa (2011) The Teachers’ Efforts to Encourage the Students’ Strategies

to Find the Solution of Fraction Problem in Banda Aceh. Proceeding of International Congress

for School Effectiveness and Improvement. Cyprus, 4-7 Januari 2011.

Johar, Rahmah (2012). Upaya Guru Mengembangkan Karakter Siswa melalui Pembelajaran

Matematika dengan Pendekatan Realistik. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapan

(SimanTap). Medan, 28-29 November 2012.

Johar, Rahmah (2013). Domain Soal Pisa untuk Literasi Matematika. Jurnal Peluang. Vol 1. No. 1

Oktober 2012.

Kemendikbud (2014). Materi Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta

Kolovou, A., Van den Heuvel-Panhuizen, M., & Bakker, A. (2009) Non-Routine Problem Solving

Tasks in Primary School Mathematics Textbooks – A Needle in a Haystack. Mediterranean

Journal for Research in Mathematics Education 8 (2), 31-69.

Muschla, J. A. and Muschla, G. R. (2006) Hands-on Math Projects with Real-Life Applications. (2nd

Edition) Jossey-Bass A Wiley Imprint. USA

NCTM. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston VA: NCTM

OECD (2010). PISA 2012. Mathematics Framework: Draft Subject to Possible revision after the Field Trial.

Peressini, D. (1999). Analyzing Mathematical Reasoning in Students’ Responses across Multiple

Performance Assessment Tasks. Dalam “Developing Mathematical Reasoning Grades K-12”

by Lee V. Stiff dan Frances R. Curcio (edt), NCTM, Virginia; USA.

Sumarmo, Utari (2012) Pendidikan Karakter serta Pengembangan Berfikir dan Disposisi Matematik

dalam Pembelajaran Matematika. Makalah disajikan dalam Seminar Pendidikan Matematika di

NTT tanggal 25 Februari 2012

Syah, M. (2004). Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru. PT Remaja Rosdakarya, Bandung.

van den Heuvel-Panhuizen, M. (1996). Assesment Realistic Mathematics Education. Utrecht,

Netherland: Freudental Institute

Page 37: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

37

van de Walle. J. (2007) Matematika Sekolah Dasar dan Menengah: Pengembangan Pengajaran. Alih

Bahasa Suyono. Jakarta: Erlangga.

Wright, Jim (2002) Lesson 2: How to Give Compliments to Tutees. In www.interventioncentral.org.

Page 38: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

38

IDENTIFIKASI SCAFFOLDING GURU MATEMATIKA MENUJU

PELAKSANAAN KURIKULUM 2013

Anwar1, Ipung Yuwono2, Edy Bambang Irawan2, Abdur Rahman As’ari2 1Mahasiswa S3 Pendidikan Matematika Universitas Negeri Malang, Malang

Email: [email protected] 2Dosen Pendidikan Matematika Universitas Negeri Malang, Malang

Abstrak. Salah satu bentuk interaksi yang diduga kuat terjadi dalam pembelajaran

matematika adalah ketika guru memberikan scaffolding kepada siswa, yaitu pemberian

bantuan guru secara terbatas yang mampu mendorong keberhasilan konstruksi

pemahaman siswa selama pembelajaran. Artikel ini berasal dari observasi peneliti di SDI

dan MTsI Surya Buana di Malang. Artikel ini membahas scaffolding yang diberikan guru

matematika sebagai salah satu bentuk interaksi antara guru dan siswa menuju pelaksanaan

kurikulum 2013. Hasil observasi menunjukkan bahwa scaffolding yang diberikan guru

matematika merujuk kepada Anghileri (2006), masih banyak terjadi pada level 1, dan sedikit berada pada level 2 dan 3, yakni guru lebih banyak melakukan kegiatan explaining

dengan showing dan telling.

Kata-kunci: pembelajaran matematika, scaffolding, kurikulum 2013.

1. Pendahuluan

Kegiatan pembelajaran matematika di kelas tidak terlepas dari interaksi antara guru dan siswa (Franke,

2007). Interaksi ini berkontribusi terhadap pencapaian praktik di ruang kelas yang mendukung

penguasaan belajar siswa (h. 251). Namun, proses membangun interaksi ini tidaklah mudah. Hal ini

bergantung dari pengalaman guru, keyakinan guru, pengetahuan guru tentang materi yang

disampaikan, watak pribadi dan lain sebagainya (Hiebert & Grows, 2007; Rice, 2010; Unal, 2012).

Salah satu bentuk interaksi yang diduga kuat terjadi dalam pembelajaran adalah ketika guru

memberikan scaffolding kepada siswa, yakni sebagai pemberian bantuan secara terbatas oleh guru yang

mampu mendorong keberhasilan siswa mengkonstruksi pemahaman siswa sendiri dalam pembelajaran.

Perubahan kurikulum di Indonesia pada tahun 2013 sebagai kurikulum yang pembelajarannya menggunakan pendekatan saintifik, yang disingkat dengan K-13 (Kemendikbud, 2013), telah

melahirkan tantangan baru bagi guru matematika yang tentu saja mempengaruhi interaksi pembelajaran

di kelas. Beberapa tantangan itu secara garis besar berkaitan dengan: (1) pembenahan pemahaman guru

tentang esensi kurikulum, (2) penyiapan dan penguasaan materi matematika yang difasilitasi, dan (3)

pengelolaan pembelajaran matematika di dalam kelas. Untuk menghadapi tantangan ini, menurut As’ari

(2014), diperlukan upaya guru mengubah mindset-nya. Dalam kaitan ini, ada dua hal yang sangat

penting yang harus dilakukan guru yaitu: (1) guru harus berubah bukan lagi sebagai satu-satunya

penyedia pengalaman belajar, dan (2) guru harus berubah dari sosok yang aktif menjelaskan menjadi

pendorong siswa untuk mencari informasi, mengolahnya dan menyimpulkannya.

Namun, perubahan kurikulum K-13 bukanlah bersifat total melainkan berupa penyesuaian dari

kurikulum yang sudah digunakan selama ini, sejak tahun 1974 hingga kurikulum KTSP 2006. Kurikulum sebelum K-13 sudah memberikan ruang keaktifan siswa. Namun dalam K-13 ini diharapkan

ruang keaktifan belajar tersebut lebih besar lagi terjadi, yakni dengan menerapkan kegiatan 5M. Kelima

kegiatan tersebut seperti yang dituangkan dalam Permendikbud No. 81a 2013 adalah mengamati,

menanya, menggali informasi, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan (Kemendikbud, 2013)

Tuntutan pelaksanaan 5M tersebut tentu akan memperkuat interaksi antara guru dengan siswa di dalam

kelas. Apalagi, model yang disarankan untuk melaksanakan pembelajaran dalam K-13 adalah guided

discovery learning, problem based learning, dan project based learning (As’ari, 2014: 6). Ketiga model

ini berasaskan pendekatan konstruktivis yang mengarahkan pembelajaran berpusat pada siswa.

Memperhatikan siswa sebagai individu yang sedang berkembang, tidak dipungkiri bahwa dalam

pencapaian ketiga model itu diperlukan bantuan secara terbatas oleh guru (meminjam istilah Bruner disebut scaffolding). Pemberian scaffolding diharapkan akan mewujudkan kesuksesan belajar.

Page 39: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

39

Sebagaimana dikemukakan Hiebert (2007) bahwa mengajar adalah sesuatu yang bisa diubah di bawah

kondisi yang mendukungnya.

Pemberian scaffolding adalah dalam rangka mencapai strategi pembelajaran yang efektif. Menurut

Sowder (2007), guru yang efektif haruslah dapat memprediksi apa yang dipahami siswa, bagaimana

siswa memahami, dan bagaimana memberi bantuan yang diperlukan sehingga siswa tidak mengalami

kesalahpahaman. Paraguru haruslah memainkan peran penting dalam mengantisipasi kesukaran belajar

siswa sehingga pembelajaran menjadi efektif. Oleh karena itu, guru matematika perlu

mempertimbangkan kegiatan yang dirasa paling sesuai dengan tuntutan K-13 tersebut.

Di sinilah peran pemberian scaffolding diperlukan. Guru matematika yang efektif tidak hanya memikirkan bagaimana rencana pembelajaran dibuat tetapi bagaimana menyampaikan materi secara

tepat dan memberikan bantuan yang diperlukan seperlunya sehingga siswa menjadi mandiri. Para guru

harus tahu bagaimana pemberian scaffolding yang dapat membantu pengembangan pemahaman para

siswa. Namun, diingatkan oleh Yuwono (2014), penjelasan guru yang bersifat dogmatis, mencontohi,

atau menggurui, harus diminimalkan. Guru di kelas hanya sebagai fasilitator kegiatan belajar siswa,

sehingga siswa belajar secara bermakna.

Tujuan

Artikel ini berusaha untuk mengidentifikasi scaffolding yang diberikan guru matematika sebagai salah

satu bentuk interaksi antara guru dengan siswa selama pembelajaran. Diharapkan identifikasi yang

diperoleh bermanfaat untuk pengembangan pembelajaran matematika menuju pelaksanaknaan

kurikulum 2013. 2. Tinjuauan Pustaka

Kerangka Teori Scaffolding

Kata scaffolding berasal dari bahasa Inggrsis yaitu dari kata benda “scaffold” yang berarti perancah

atau penopang, selanjutnya berkembang menjadi scaffolding. Metaphora ini banyak digunakan dalam

teknik sipil yaitu berupa bangunan kerangka sementara atau penyangga (biasanya terbuat dari bambu,

kayu, atau batang besi) yang memudahkan pekerja membangun gedung (Yamin, 2013). Teori

pemberian scaffolding ini pertama kali diperenalkan oleh Wood, Bruner dan Ross di-akhir tahun 70-an

dan sejalan dengan teori Vygotsky dengan istilah Zone Proximal Development (ZPD) (Akhtar, 2014).

ZPD merupakan jarak antara tingkat perkembangan aktual dengan tingkat perkembangan potensial, yakni jarak antara apa yang siswa mampu pahami secara mandiri dengan kemampuan siswa memahami

sesuatu yang membutuhkan orang lain. Menurut pandangan ini, setiap anak membutuhkan bantuan

orang lain yang lebih dewasa yang semakin lama semakin harus dikurangi. Anak dalam

perkembangannya secara sosial memiliki tiga wilayah (daerah) perkembangan intelektual yakni: 1)

daerah yang anak secara bebas melakukan sesuatu tanpa ada bantuan orang lain, 2) daerah yang anak

melakukan sesuatu memerlukan bantuan orang lain, dan 3) daerah yang tidak mungkin dicapai oleh

anak. Pemberian bantuan mengajar berada dalam daerah pertengahan . Menggunakan kata-kata

Vigotsky, “what the child is able to do in collaboration today he will be able to do independently

tomorrow” (Akhtar, 2014).

Meskipun banyak perbedaan definisi yang diberikan para ahli mengenai scaffolding, tetapi pada prinsipnya scaffolding merupakan bantuan secara terbatas yang sifatnya sementara dari orang yang

lebih mampu kepada orang yang membutuhkan bantuan. Orang yang lebih mampu itu misalnya para

ahli, guru, teman sejawat, atau alat-alat yang dipergunakan ketiga membutuhkan bantuan seperti kertas,

penggaris atau software. Pemberi scaffolding, sebut saja scaffolder, harus mampu mengorganisasikan

prosedur dan konsep agar pemahaman siswa menjadi benar. Dalam pembelajaran, scaffolding haruslah

berkenaan dengan empat tujuan 1) tujuan yang berkenaan dengan pengetahuan domain belajar, 2)

mempelajari bagaimana belajar itu sendiri, 3) belajar menggunakan alat bantu belajar, dan 4) belajar

mengadaptasikan atau memodifikasi konteks dan keunggulan belajar (Azevedo & hadwin, 2005).

Menurut Anghileri (2006), pembelajaran matematika sekarang telah mengubah peran guru dari

pendekatan pembelajaran tradisonal yang menekankan “showing and telling” menuju pembelajaran

yang cepat tanggap yang membimbing siswa mengembangkan pikirannya sendiri. Inilah hakikat dari

Page 40: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

40

pembelajaran scaffolding dalam pembelajaran matematika. Selanjutnya, ditambahkan oleh Angileri

bahwa ada 3 tingkatan (level) yang secara hierarki merupakan interaksi yang berkaitan dengan praktik

pembelajaran yang dapat meningkatkan belajar matematika. Ketiga level itu adalah 1) environmental

provision, 2) explaining, reviewing, dan restucturing, 3) developing conceptual thinking. Untuk level

pertama memungkinkan pembelajaran dapat melakukannya tanpa bantuan guru. Sementara untuk

kedua level lainnya memerlukan interaksi langsung guru antara guru dan siswa yang lebih besar.

Namun, dalam pembelajaran tertentu dapat terjadi semuanya.

Kegiatan guru pada level 1, misalnya memilih benda-benda yang diperlukan (papan tulis, alat

manipulatif, permainan, dan alat alat yang tepat), pengorganisasian kelas seperti pengaturan tempat

dan urutan pembelajaran). Meskipun hal ini tidak memberi kesan langsung sebagai scaffolding tetapi ia mempengaruhi pembelajaran. Pemberian LKS (lembar kerja siswa) atau kegiatan yang diarahkan

guru, pengelompokan siswa untuk bekerja secara kooperatif, termasuk dalam level ini.

Kegiatan guru pada Level 2, bantuan secara terbatas berupa penjelasan (explaining) termasuk di

dalamnya penunjukan (showing), mengatakan (telling) ide yang dipelajari. Dalam pembelajaran

tradisional lebih didominasi dengan kegiatan showing dan telling, sehingga kontribusi belajar siswa

sangat sedikit. Penjelasan yang tidak dalam batas-batas berpikir siswa dapat berakibat bertumpuknya

kesulitan yang dihadapi siswa sehinga dapat menimbulkan masalah baru bagi siswa. Oleh karena itu

suatu alternatif dari showing dan telling adalah mengembangkan pemahaman siswa melalui rewiewing

dan restructuring.

Rewieweing berkaitan dengan interaksi yang dibangun guru yang mendorong pengalaman belajar

matematika yang ada pada diri siswa. Misalnya, guru meminta siswa melihat, menyentuh, atau

menyatakan apa yang mereka lihat dan pikirkan. Guru meminta siswa menjelaskan dan membenarkan.

Guru menginterpretasikan apa yang dilakukan dan dikatakan siswa. Guru menggunakan pertanyaan

yang melacak. Restrucuring berkaitan dengan kegiatan guru membuat suatu adaptasi untuk

memodikasi pengalaman belajar siswa. Perhatian guru secara progresif memperkenalkan modifikasi

yang akan membuat ide-ide lebih mudah diterima, tidak hanya membangun kontak dengan siswa tetapi

mengambil makna selanjutnya. Hal ini berbeda dengan reviewing yakni interaksi guru dan siswa

cenderung mendorong refleksi, penjelasan tetapi tidak mengubah pemahaman yang ada pada siswa.

Kegiatan guru antara lain membekali konteks bermakna untuk situasi abstrak, menyederhanakan

masalah dengan membatasi agar jangan terlalu meluas, mengucapkan kembali perkataan siswa, dan mendiskusikan makna.

Kegiatan guru pada level 3, merupakan level scaffolding tertinggi, terdiri atas interaksi pembelajaran

yang secara eksplisit menyatakan perkembangan berpikir konseptual dengan menghasilkan kesempatan

menyingkap pemahaman bersama antara guru dan siswa. Guru perlu mencari perkembangan konsep

melalu proses yang khusus seperti generalisasi, extrapolasi, dan abstraksi. Di sini peran guru lebih

bersifat perintah. Meskipun sedikit sekali terjadi, pembelajaran akan efektif jika difokuskan pada

pembuatan koneksi dan membangun pemahaman konseptual. Kegiatan guru antara lain

mengembangkan alat-alat representasi. Secara umum, karena matematika berkaitan dengan interpretasi

dan menggunakan sistem gambar, kata dan simbol maka kegiatan guru mendorong siswa memahami

simbol menjadi penting. Dalam kegiatan praktik, kegiatan guru dapat membantu siswa sekitar bahasa,

baik formal maupun informal. Misalnya ketika mengatakan prisma segitiga dengan memperkenal dengan istilah informal sebagai “bentuk atap”, meskipun secara formal dinamai prisma segitiga.

Kegiatan guru pada level 3, yang merupakan level scaffolding tertinggi, terdiri atas interaksi

pembelajaran yang secara eksplisit menyatakan perkembangan berpikir konseptual dengan

menghasilkan kesempatan untuk menyingkap pemahaman bersama antara gru dan siswa. Guru perlu

mencari perkembangan konsep melalu proses yang khusus seperti generalisasi, extrapolasi, dan

abstraksi. Di sini peran guru lebih bersifat perintah. Meskipun sedkit sekali terjadi, pembelajaran akan

efektif jika difokuskan pada pembuatan koneksi dan membangun pemahaman konseptual. Kegiatan

guru antara lain mengembangkan alat-alat representasi. Secara umum, karena matematika berkaitan

dengan interpretasi dan menggunakan system gambar, kata dan simbol maka kegiatan guru mendorong

siswa memahami symbol menjadi penting. Dalam kegiatan praktik, kegiatan guru dapat membantu siswa sekitar bahasa, baik formal maupun informal. Misalnya ketika mengatakan prisma segitiga

dengan memperkenal dengan istilah informal sebagai “bentuk atap”, meskipun secara formal dinamai

prisma segitiga.

Page 41: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

41

Dalam membuat koneksi, intervensi guru sangat diperlukan sebagai bantuan bagi belajar siswa. Guru

dapat memperluas strategi yang digunakan sebelumnya sebagai sesuatu pengaitan yang baru. Misalnya,

dari pada meminta siswa “menjumlahkan 6 ditambah 6”, lebih baik mengatakan “coba gandakan 6-

nya” sebagai bentuk menyatakan kembali selesaian yang diberikan siswa. Contoh lain ketika

pebelajaran decimal, kegiatan dapat ditingkatkan dengan mengaitkan pecahan dan persen yang telah

dibuat. Misalnya, ½ x 40, 40 x 0.5, 50% dari 40. Selanjutnya, dalam hal membangun wacana

konseptual, guru harus melampaui scaffolding yang telah dilewati sebelumnya. Misalnya, setelah

mengurutkan bentuk-bentuk benda yang dapat bergulir, guru menanyakan “Mengapa ia akan bergulir?”

dan dilanjutkan dengan diskusi. Bahkan sampai meminta siswa membuat contoh sendiri.

Berikut adalah tiga level scaffolding dan contohnya menurut Anghileri (2006).

Tabel 1. Jenis Scaffolding dan Contohnya

Level

Scaffolding

Contoh

1. Enviro

nmental

Provision

1. Artefacts (memilih alat-alat yang cocok, benda tiruan, papan tampilan dinding), teka-

teki, perangkat pengukuran. 2. Free play (menggunakan papan blok) 3. Grouping (kerjasama kelompok) 4. Interjection (ujaran khas, spontan) atau balikan, mendapatkan perhatian 5. Self constructing task (tugas-tugas yang dilakukan sendiri)

2. Explai

ning, reviewing, dan restructuring:

melibatkan interaksi langsung dengan siswa

Reviewing

1. Meminta siswa melihat, menyentuh dan menyatakan apa yang mereka lihat dan pikirkan 2. Meminta siswa menjelaskan dan membenarkan 3. Menginterpretasikan kegiatan dan omongan siswa 4. Menggunakan pertanyaan yang melacak 5. Menggunakan strategi alternative (parallel model)

Restructuring

6. Identifying meaningful context [“6:12= ?” disederhanakan ”6 kue akan dibagikan kepada 12 orang”]

7. Symplifying the problem [“Menyederhanakan pengulangan benda dengan meminta yang dua sisi dan satu sisi saja”]

8. Re-phrasing student talk [menyebutkan kubus sebagai istilah yang benar dari ucapan siswa yang menyebutkan “persegi”]

9. Negotiating meaning [berjuang bersama-sama guru dan siswa untuk memahami sesuatu yang dipahami dalam belajar matemaika sebenarnya]

3. Developing Conceptual thinking:

lebih bersifat imperative (perintah)

1. Mengembangkan alat-alat representasi:[memperkenalkan prisma segitiga sebagai “bentuk

atap”. “Guru menggunakan representasi grafis dan spreadsheets” untuk memaknai

struktur matematika apa yang disajikan”

2. Membuat koneksi [menggunakan ide “gandakan 6-nya” daripada “ 6 tambah 6” dalam

mengulangi kerja yang sudah dilakukan siswa.]

3. Membangun wacana konseptual [Setelah mengurutkan bentuk-bentuk pilihan benda yang

bisa bergelinding, guru menanyakan “mengapa ia akan bergelinding”. “Menanyakan

strategi yang digunakan unuk 6 + 7. Jika perlu mintalah siswa untuk membuat contoh

mereka sendiri]

Pemberian Scaffolding Pada Pembelajaran Matematika Salah satu prinsip yang dituangkan dalam proses pembelajaran menggunakan K-13 adalah pendekatan

tekstual menuju proses sebagai penguatan penggunaan pendekatan ilmiah (Kemendikbud, 2013). Hal

ini berarti bahwa pelaksanaan K-13 menuntut adanya kemandirian siswa yang lebih besar. Oleh karena

itu, dalam pembelajaran tidaklah mengapa jika siswa melakukan kesalahan selama proses mereka

menyelesaikan masalah. Yang lebih dipentingkan dalam pembelajaran tersebut adalah prosesnya di

samping hasilya. Tugas guru adalah memfasilitasi proses belajar siswa sehingga siswa dapat

Page 42: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

42

menyelesaikan masalahnya, yang dikenal sebagai scaffolding produktif (lawan dari scaffolding tak

produktif)

Pembelajaran matematika dengan menerapkan kurikulum K-13 merupakan atmosphere baru bagi guru

matematika di Indonesia. Hal ini berdampak tidak hanya pada poses pembelajaran yang dilakukan guru

di kelas, tetapi juga pada proses siswa mengelola belajarnya. Tuntutan melahirkan kegiatan 5M di kelas

menyebabkan beban kognitif siswa berbeda dari yang selama ini difasilitasi guru. Menurut (Danilenko,

2010), beban kognitif adalah suatu konstruksi penyajian beban yang menunjukkan suatu tugas khusus

yang membebani system kognitif siswa. Beban kognitif ini terdiri dari tiga komponen, yaitu intrinsic,

extraneous, dan germane. Ketiga beban ini sifatnya sementara. Beban intrinsic berkaitan dengan

kealamiahan dan hubungan dengan materi yang dipelajari. Beban kognitif extraneous dibutuhkan pada memory kerja karena cara materi itu difasilitasi ke siswa. Beban germane merupakan hasil dari upaya

yang sengaja yang dihabiskan secara aktif atau mengotomatiskan scheme.

Pembelajaran guru matematika memunculkan kegiatan 5M pada diri siswa tidaklah mudah. Kondisi ini

memungkinkan terjadinya beban kognitif yang tinggi bagi siswa. Pemberian scaffolding untuk

memunculkan 5M merupakan suatu strategi pembelajaran yang dapat mengurangi beban kognitif siswa

dan membantu siswa mengkreasikan skema yang telah dimiliki guna mencapai hasil belajar yang lebih

tinggi.

3. Metode

Artikel ini merupakan deskripsi hasil observasi pembelajaran matematika yang dilakukan oleh dua

guru, masing-masing bertempat di SD Islam Surya Buana dan di MTs Surya Buana pada tanggal 7

April 2014 dan 14 April 2014, keduanya di Malang. Observasi dilakukan 1 kali di masing-masing

sekolah selama 90 menit. Pembelajaran juga menggunakan rekaman video dan selanjutnya hasil rekaman dianalisis guna mengidentifikasi scaffolding yang diberikan guru selama pembelajaran

matematika berlangsung.

4. Hasil dan Pembahasan Berikut ini adalah deskripsi pembelajaran yang merupakan hasil pengamatan kelas terhadap dua guru

matematika Ibu AN dan Bapak IR (bukan nama sebenarnya)

Deskripsi pembelajaran yang dilaksanakan Ibu AN

Ibu AN, seorang guru lulusan sarjana matematika, berpengalaman kurang dari lima tahun, sedang memfasilitasi pelajaran tematik integratif di kelas IV. Materi tematiknya antara lain tentang PKn (kerja

sama), Matematika (sudut) dan IPS (berbagai profesi dan pekerjaan). Proses pembelajaran diberikan

secara berurutan, diawali dengan masalah berbagai profesi (PKn), kemudian diikuiti oleh kerjasama

(IPS) dan terakhir dengan masalah sudut (Matematika). Ibu AN membagikan LKS dan menjelaskan

cara mengisi LKS dengan detail. Siswa dibagi dalam enam kelompok guna menerapkan pembelajaran

kooperatif. Siswa diminta bekerja dalam kelompoknya dan pada umumnya para siswa aktif mengikuti

instruksi guru dengan penuh antusias. Selama pembelajaran guru tidak pernah menulis di papan tulis,

meskipun untuk menjelaskan matematika.

Sebagaimana dituliskan dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Ibu AN ingin menerapkan

pembelajaran yang bernuansa pendekatan saintifik berdasarkan K-13, sebagai kurikulum terbaru di

Indonesia. Ketika membahas matematika dengan materi memahami sudut, Ibu AN melakukan praktik

yang meminta siswa menggunting kertas yang telah disiapkannya. Selama itu, Ibu AN banyak

memberikan bantuan kepada kelompok siswa, baik dengan cara memberi penjelasan, atau ketika ada

siswa yang tidak bisa melakukan sesuatu atau bertanya, pada umumnya Ibu AN langsung menjawabnya,

baik dengan cara melanjutkan kerja siswa (menggunting) atau menunjukkannya. Dengan cara ini anak-

anak terlihat senang dengan Ibu AN. Namun, di akhir pembelajaran ternyata masih ada juga kelompok

siswa yang tidak tuntas mengerjakan tugas dari Ibu AN. Ketika pelajaran usai, Ibu AN berusaha

meminta siswa menyimpulkan apa yang telah mereka pelajari. Tetapi karena pada umumnya siswa

belum mampu menyimpulkan maka akhirnya Ibu AN sendirilah yang memberi simpulan.

Page 43: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

43

Deskripsi pembelajaran yang dilaksanakan Bapak IR

Pak IR, seorang guru matematika berpendidikan magister dengan pengalaman mengajar kurang dari 5

tahun sedang memfasilitasi materi segitiga. Tujuan pebelajarannya adalah menentukan keliling segitiga

dan menggambarkan segitiga yang sisi-sisinya diketahui. Pembelajaran berlangsung aktif dan

bersemangat, baik guru maupun siswanya. Pembelajaran dimulai dengan memberikan apersepsi yang menggali pemahaman siswa tentang segitiga dengan menanyakan bentuk-bentuk segitiga yang ada di

alam. Ada siswa yang menyebutkan contoh segitiga yang ada pada penggaris, segitiga Bermuda, dll.

Selanjutnya guru menanyakan yang bukan segitiga, sebagai non contoh. Seorang siswa, namanya Dier,

memberikan contoh benda yang bukan segitiga adalah roda mobil. Katanya roda mobil berbentuk

lingkaran. Ada siswa lain, Ilman memberikan jawaban yang merupakan segitiga yaitu piramida

(sisinya).

Untuk menyakinkan apakah siswa mampu menggolongkan contoh dan non contoh segitiga, guru

mengeluarkan beberapa bangun geometri yang ada dalam sakunya. Ketika itu, ada siswa yang

mengatakan segitiga sama kaki, ada yang mengatakan bukan segitiga. Selanjutnya, guru

memperlihatkan bangun persegipanjang. Semua siswa tahu jika bangun yang diperlihatkan itu adalah persegipanjang. Tetapi ketika ditanya mengapa namanya persegi panjang, alasan siswa karena

bentuknya panjang. Anehnya lagi, ketika diambil bentuk lain dari saku guru berbentuk belah ketupat,

siswa sukar menentukan apakah bangun itu segitiga atau bukan. Oleh karena itu, guru mencoba

menggunting bangun tersebut menjadi dua bagian sehingga membentuk segitiga dan akhirnya siswa

mampu mengatakan bahwa setengah potongan belah ketupat tadi sebagai contoh segitiga.

Setelah siswa mampu membedakan segitiga dan bukan segitiga, barulah kegiatan pembelajaran dimulai.

Guru membagi siswa menjadi enam kelompok. Setelah memberikan LKS kepada masing-masing

kelompok, guru memberi penjelasan tentang cara mengerjakan lima masalah dari LKSnya dengan

membacakannya. LKS terdiri dari tiga kegiatan siswa yaitu menentukan keliling segitiga dengan cara

mengukur panjang sisi yang diberikan, menggambar bentuk segitiga dari panjang ruas garis yang

diketahui, dan memberikan alasan kapan suatu segitiga dapat dibentuk dari tiga ruas garis yang diketahui. Melalui scaffolding yang diberikan selama pembelajaran dengan cara berkeliling ke setiap

kelompok dengan penunjukan dan bekerja sama dengan siswa akhirnya semua kelompok dapat

menyelesaikan dua tugas yang pertama. Tetapi, hanya satu kelompok saja yang dapat memberikan

simpulan kapan tiga ruas garis dapat membentuk suatu segitiga.

Analisis Scaffolding yang Diberikan Kedua Guru

Berdasarkan hasil observasi penulis terhadap dua guru, baik ibu AN dan pak IR, menunjukkan bahwa

dalam pembelajaran matematika selalu ada scaffolding dan kedua guru tersebut memberikan

scaffolding berbeda. Hal ini bergantung dari pengetahuan dan pengalaman mengajar guru.

Sebagaimana dituliskan dalam deskripsi Ibu AN, sejak awal hingga akhir pembelajaran, Ibu AN banyak

sekali memberikan scaffolding kepada siswanya. Scaffolding yang diberikan berupa pengarahan

langsung, pujian, memberikan simpulan, dan gerakan (tindakan). Pada umumnya, scaffolding yang

diberikan Ibu AN berupa kata-kata yang bersifat menjelaskan dan tindakan langsung oleh Ibu AN

sendiri. Menurut penulis, Ibu AN sebagai fasilitator terlalu mendominasi pembelajaran. Ketika ada

siswa yang meminta bantuan, misalnya ketika melekatkan potongan setiap sudut dari suatu persegi

panjang hingga memperlihatkan jumlah besar sudut satu lingkaran, Ibu AN langsung memberikan contohnya dengan melakukannya sendiri. Seharusnya, Ibu AN cukup memfasilitasi siswa dengan

memberi tahu mereka atau menunjukkan cara melekatnya (bukan Ibu AN yang melekatkannya). Dengan

kata lain, pemberian scaffolding seperti itu perlu diminimalkan (Yuwono, 2014), karena kurang

produktif. Akibat konstruksi siswa yang kurang terjadi, maka siswa tidak bergitu terdorong dalam

mengkonstruk sendiri masalah yang dihadapinya. Hal ini terjadi hingga akhir pembelajaran. Sebagai

akibatnya, masih ada kelompok siswa yang belum menyelesaikan tugasnya sampai akhir pembelajaran.

Ibu AN lebih banyak diberikan secara oral (telling, lisan) dan gerakan menunjuk (showing). Secara

telling, guru lebih banyak memberikan pertanyaan, arahan, penjelasan, dan instruksi. Secara gerakan,

guru lebih mengunakan gerakan tangan (khususnya jari), menunjukkan kerja siswa, dan membantu

langsung kegiatan siswa. Jarang sekali guru memberikan scaffolding yang berbentuk tulisan. Hal ini

Page 44: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

44

mungkin karena pengamatan dilakukan pada kedua kelas tersebut menggunakan Lembar Kerja Siswa

(LKS) sebagai media belajar.

Beberapa bantuan yang diberikan Ibu AN yaitu: (1) memberi tahu jawaban bahwa jumlah sudut dalam

satu putaran adalah 360o dan sudut siku-siku adalah 90o, (2) mengerakkan tangan membentuk lingkaran

untuk menunjukkan satu putaran besarnya 360o. (3) menunjukkan bagian yang akan dipotong, dan

melekatkan sendiri potongan gambar yang seharusnya dikerjakan oleh siswa. Menurut Anghileri

(2006), bantuan guru seperti ini termasuk memenuhi kriteria scaffolding. Adapun menurut Yuwono

(2014), penjelasan guru seperti ini harus diminimalkan.

Gambar 1. Jenis Scaffolding tindakan Ibu AN (gerakan menunjuk dan mela-kukan sendiri potongan

gambar yang seharusnya dikerjakan oleh siswa)

Berbeda dengan Ibu AN, meskipun tidak mengatakan secara jelas model pembelajarannya, pak IR yang

pendidikannya lebih tinggi dari Ibu AN telah melaksanakan pembelajaran dengan baik. Kekuatan

belajar pak IR adalah pada pemberian apersepsi yang lama, yakni mengeksplorasi contoh dan non-

contoh segitiga, dan penyiapan LKS, serta pemberian scaffolding yang lebih produktif selama

pembelajaran. Hambatan kecil terjadi ketika Pak IR menuangkan teks dalam LKS-nya yang ternyata

masih sukar dipahami siswa. Namun, dengan scaffolding (menurut Angileri (2006) scaffolding ini

disebut scaffolding analogi) yang diberikan pengamat kepada pak IR, akhirnya siswa memahami

maksud dari perintah yang diinginkan dalam LKS. Temuan analogi ini sesuai dengan temuan Hidayah (2011) bahwa dengan berpikir analogi siswa dapat menyelesaikan masalah baru.

Beberapa bantuan yang diberikan pak IR adalah: (1) gerakan menunjuk, (2) gerakan peragaan

mencontohkan sambil melibatkan siswa, (3) bantuan berupa analogi pengerjaan, yakni bantuan berupa

benda manipilatif yang mirip ruas garis untuk membantu pemahaman siswa merangkai tiga ruas garis

membentuk segitiga. Semua bantuan ini termasuk scaffolding menurut Anghileri (2006).

Page 45: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

45

Gambar 3. Jenis Scaffolding Tindakan pak IR (berupa gerakan menunjuk, peragaan mencontohkan sambil melibatkan siswa, dan bekerja sama)

Gambar 4. Jenis Scaffolding Tindakan pak IR (membuat analogi pengerjaan )

Dalam kaitannya dengan K-13, ternyata scaffolding yang diberikan guru yang mengarah langsung

kepada kegiatan 5M masih sulit terjadi. Hal ini terbukti dari dua observasi yang ditunjukkan di atas.

Meskipun Ibu AN telah secara nyata menyatakan bahwa ia melaksanakan pembelajaran saintifik seperti yang dituliskan dalam RPPnya, tetapi kegiatan 5M masih sulit terjadi. Demikian pula pada pembelajaran

yang dilakukan pak IR, mungkin karena pengetahuannya yang lebih tinggi dari Ibu AN telah membawa

kesuksesan belajar siswa, tetapi juga belum sepenuhnya menerapkan 5M. Oleh karena itu, pelaksanaan

K-13 perlu diberikan secara spesifik mengarah kepada selain mendorong guru memunculkan 5M, perlu

diupayakan pula mendorong guru memiliki pengetahuan memunculkan scaffolding pada setiap

kegiatan 5M.

5. Simpulan

Pelaksanakan K-13 yang menerapkan kegiatan 5M memerlukan lebih banyak scaffolding dari guru.

Merujuk kepada Angileri (2006), scaffolding guru masih banyak terjadi pada level 1, dan sedikit

berada pada level 2 dan jarang sekali berada pada level 3, yakni guru lebih banyak melakukan kegiatan

explaining dengan showing dan telling. Juga, masih ditemukan adanya pemberian scaffolding yang

berlebihan sehingga kurang dapat mengembangkan konstruksi pemahaman siswa atau kurang

produktif.

Tantangan ke depan guru perlu memberikan scaffolding lebih banyak pada level 2 dan level 3. Guru

diharapkan mampu mengembangkan scaffolding yang dapat memunculkan kegiatan 5M untuk setiap

materi matematika yang difasilitasi kepada siswa. Adanya scaffolding akan bermanfaat bagi siswa dan

guru dalam membangun interaksi di kelas sebagaimana harapan dari pembelajaran menggunakan

pendekatan konstruktivis. Oleh karena itu, pemberian scaffolding sebagai suatu strategi guru dalam memfasilitasi belajar perlu selalu diberikan dalam pembelajaran matematika.

Daftar Pustaka

Akhtar, M. (2014). Patterns of Scaffolds in One-to-One Mathematics Teaching: An Analysis. Educational Research International. Vol (3)1 Februari 2014. ISSN: 2307-3721, e ISSN: 2307-

3713.

Page 46: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

46

Anghileri, J. (2006). Scaffolding Practices That Enhance Mathematics Learning. Journal of

Mathematics Teacher Education (2006) 9: 33–52.

A’sari, Abdur Rahman. (2014). Mewujudkan Pendekatan Saintifik Dalam Kelas Matematika. Makalah

disajikan dalam Seminar Internasional dengan tema “Curriculum In Global Perspective” Pada

Tanggal 8 Maret 2014 di Universitas Muhammadiyah Ponorogo.s

Azevedo, R., & Hadwin, A. F. (2005). Scaffolding self-regulated learning and metacognition-

Implications for the design of computer-based scaffolds. Instructional Science. 33:367-379. DOI

10.1007/s11251-005-1272-9.

Danilenko, E.P. (2010). The Relationship of Scaffolding on Cognitive Load in an Online Self-Regulated

Learning Environment. A Dissertation Submitted to the Faculty of the Graduate school of the

University of Minnesota.

Franke, M.L. et al. (2007). Mathematics Teaching and Classroom Practice. In Lester Jr, F. (Ed). Second

handbook of research on mathematics teaching and learning. (pp. 225-256). America:

Information Age Publishing Inc.

Hidayah, I. N. (2011). Analogi Dalam Struktur Aljabar 1. Jurnal Pembelajaran Matematika. Tahun I,

Nomor 1, Januari 2011. ISSN: 2078-913X

Hiebert J. & Grouws, D. A. (2007). The Effect of Classroom Mathematics Teaching on Students’

Learning. In Lester Jr, F. (Ed). Second handbook of research on mathematics teaching and

learning. (pp. 371-404). America: Information Age Publishing Inc.

Kemdikbud (2013). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, No. 65, tahun 2013. Jakarta:

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Kemdikbud (2013). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, No. 81a, tahun 2013. Jakarta:

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Rice, J.K., (2010). The Impact of Teacher Experience Examining the Evidence and Policy Implications. National Center for Analysis of Longitudinal Data in Educational Research (CALDER). Grant

R305A060018. Urban Institute, Washington DC.

Sowder, J.T. (2007). The Mathematics Education and Development of Teachers. Second handbook of

research on mathematics teaching and learning. (pp. 157-223). America: Information Age

Publishing Inc.

Ünal, Zafer & Ünal Aslihan (2012). The impact of Years of Teaching Experience on the Classroom

Management Approaches of Elementary School Teachers. International Journal of Instruction,

July 2012 vol.5, no.2, e-ISSN: 1308-1470. www.e-iji.net p-issn: 1694-609x.

Yamin, M. (2013). Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta: Anggota IKAPI.

Yuwono, I. (2013). Pendidikan Matematika dan Pendidikan Karakter Dalam Implementasi Kurikulum

2013. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika. STKIP Siliwangi Bandung.

Volume 1, Tahun 2014. ISSN 2355-0473.

Page 47: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

47

KECERDASAN TRIANGLE SEMPURNA PADA PENERAPAN DESAIN MAKET

MATEMATIKA (MAMA) DI PERGURUAN TINGGI PADA MATA KULIAH

WORKSHOP MATEMATIKA

Ariyani Muljo 1Prodi Pendidikan Matematika, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)

Zawiyah Cot Kala, Langsa

Email: [email protected]

Abstrak. Makalah ini bertujuan untuk mendesain Maket Matematika (MaMa) untuk

mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika Jurusan Tarbiyah STAIN Zawiyah Cot Kala

Langsa pada mata kuliah workshop matematika yang akan mereka terapkan nanti nya di

sekolah tempat mereka mengajar. Metode Penulisan ini menggunakan Pendekatan

Pengembangan (Development Research) yaitu model pengembangan 4-D meliputi 4 tahapan pengembangan, yaitu define, design, develop dan desseminate atau diadaptasikan

menjadi pendefinisian, perancangan, pengembangan dan penyebaran. Kegiatan pada

tahap analisis muka belakang yang dilaksanakan meliputi menganalisis materi yang diajar

pada mata kuliah workshop, menganalisis buku-buku teks matematika, merivieu literatur

tentang pembelajaran dengan maket matematika berbasis kecerdasan, interviu dengan

teman sejawat dalam hal ini dosen pengampu mata kuliah. Yang ingin ditunjukkan pada

makalah ini adalah maket matematika (MaMa) dapat di didesain berdasarkan kecerdasaan

triangle sempurna.

Kata kunci :Desain, MaketMatematika (MaMa), Kecerdasan Triangle Sempurna.

1. Pendahuluan

Potensi sumber daya manusia merupakan aset nasional sekaligus sebagai modal dasar pembangunan

bangsa. Potensi ini hanya dapat digali dan dikembangkan serta dipupuk secara efektif melalui strategi

pendidikan dan pembelajaran yang terarah dan terpadu, yang dikelola secara serasi dan seimbang

dengan memperhatikan pengembangan potensi siswa secara utuh dan optimal.

Strategi pembelajaran yang digunakan saat ini masih bersifat massal, yang memberikan perlakuan dan

layanan pendidikan yang sama kepada semua peserta didik. Padahal, mereka berbeda tingkat kecakapan,

kecerdasan, minat, bakat dan kreativitasnya. Strategi pelayanan pendidikan sepeti ini memang tepat dalam konteks pemerataan kesempatan, tetapi kurang menunjang usaha menoptimalisasikan

pengembangan potensi siswa secara tepat.

Siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa merupakan kelompok kecil, berdasarkan

data di Balitang Depdikbud (1994) menunjukkan hanya 2-5% dari seluruh siswa yang ada. Jumlah ini

semakin meningkat pada jenjang yang lebih tinggi, di tingkat SMU jumlah siswa berkemampuan dan

berkecerdasan luar biasa mencapai 8%.(Uno Hamzah, 2009:2)

Salah satu tujuan mempelajari matematika adalah membentuk kepribadian dalam diri siswa untuk

menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu hal yang jamak jika siswa

dalam satu kelas beragam dalam berbagai hal, termasuk dalam hal kecerdasan mereka. Idealnya,

seorang guru harus memperhatikan keragaman jenis dan tingkat kecerdasan siswa yang biasa disebut dengan Multiple Intelligent.

Pembelajaran matematika merupakan proses terjadinya interaksi antara guru dengan siswa, siswa

dengan guru dan siswa dengan siswa untuk memperoleh pengetahuan yang dilakukan dalam proses

belajar mengajar yang sedang berlangsung. Dalam pembelajaran matematika guru memerlukan bahan

ajar yang bisa mendukung siswa dalam proses pembelajaran. Salah satu bahan ajar yang bisa digunakan

dan mendukung proses pembelajaran adalah dengan maket.

Maket adalah sebagai barang tiruan yang kecil dengan bentuk (rupa) persis seperti yang ditiru.

Sedangkan maket adalah bentuk tiruan (gedung, kapal, pesawat terbang, dan sebagainya) dalam bentuk

tiga dimensi dan skala kecil, biasanya dibuat dari kayu, kertas, tanah liat, dan sebagainya. Dari arti

Page 48: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

48

secara bahasa tersebut dapat kita mengerti bahwa kedua istilah itu (model dan maket) memiliki arti yang

hampir sama atau bahkan bisa disebut sama. Maka, dalam penggunaannya di buku ini, kedua istilah

tersebut disebutkan secara bersamaan dan hanya dipisahkan dengantanda “dalam kurung”

Sementara itu, sudjana dan rivai (2005) mengungkapkan bahwa model adalah tiruan tiga dimensi dari

beberapa benda nyata yang terlalu besar, terlalu jauh, terlalu kecil, terlalu mahal, terlalu panjang, atau

terlalu ruwet untuk dibawa ke dalam kelas dan dipelajari peserta didik dalam wujud aslinya. Dari

pandangan tersebut dapat kita pahami bahwa model (maket) sebagai bahan ajar tiga dimensi adalah

tiruan benda nyata untuk menjembatani berbagai kesulitan yang bisa ditemui, apabila menghadirkan

objek atau benda tersebut langsung ke dalam kelas. Dengan demikian, nuansa asli dari benda

mengurangi struktur aslinya, sehingga pembelajaran lebih bermakna.

Dengan adanya maket yang ada pada saat proses pembelajaran dapat membantu permasalahan yang

sering dihadapi pada mata pelajaran matematika yaitu siswa selalu merasa takut karena guru cenderung

untuk tidak memperhatikan secara individual siswa nya, lebih mengedepankan target materi yang akan

diajarkan dan ketuntasan kelas yang harus dipenuhi. Sehingga mengakibatkan guru tidak lagi

memperhatikan siswa yang memiliki kecenderungan akan satu bidang.

Setelah melakukan wawancara dengan guru SMA Negeri 5 Langsa pada tanggal 16 januari 2014, pukul

10.30 Wib. Dalam proses belajar mengajar guru menyampaikan materi pelajaran matematika

menggunakan buku teks. Tapi, ketika proses belajar mengajar berlangsung tidak ada seorang siswa yang

menggunakan buku teks. Buku teks yang tersedia di SMA Negeri 5 Langsa jumlahnya masih terbatas. Dalam kegiatan belajar mengajar siswa hanya menggunakan Lembar Kerja Siswa (LKS).

Ketika guru selesai memberikan materi pelajaran siswa jarang bertanya jika diberikan kesempatan untuk

bertanya tentang materi yang belum dimengerti. Ketika guru memberikan latihan kepada siswa, banyak

dari siswa yang tidak mengerti dan bingung untuk mengerjakan soal tersebut. Dalam model

pembelajaran ini akan dikembangkan oleh peneliti dengan pengembangan bahan ajar berbentuk maket

dengan model 4-D. dengan adanya kecerdasan triangle ini dapat merancang dan mendesain maket

yang bisa membuat siswa menerima pembelajaran matematika yang baik. Kecerdasan triangle

sempurna yang dimaksud adalah kecerdasan matematis logika, kecerdasan musikal dan kecerdasan

visual spasial yang melatarbelakangi maket yang akan di desain melalui model 4-D.

Skala kecerdasan yang selama ini dipakai, ternyata memiliki banyak keterbatasan sehingga kurang dapat

meramalkan kinerja yang sukses untuk masa depan seseorang. Kecerdasan seseorang meliputi unsur-

unsur kecerdasan matematika logika, kecerdasan bahasa, kecerdasan musikal, kecerdasan visual spasial,

kecerdasan kinestetis, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalis.

Yang difokuskan pada desain bahan ajar ini adalah kecerdasan matematis logika, kecerdasan musikal

dan kecerdasan visual spasial. Kecerdasan logis matematis memuat kemampuan seseorang dalam

berpikir secara induktif dan deduktif, berpikir menurut aturan logika, memahami dan menganalisis pola

angka-angka, serta memecahkan masalah dengan menggunakan kemampuan berpikir. Kecerdasan

spasial adalah kemampuan memahami, memproses, dan berpikir dalam bentuk visual. Anak dengan

kecakapan ini mampu menerjemahkan bentuk gambaran dalam pikirannya ke dalam bentuk dua atau

tiga dimensi. Kemampuan yang terkait dengan kecerdasan visual-spasial adalah: (1) Mengenal bentuk,

misalnya bentuk-bentuk geometri atau bangun ruang, (2) Mengenal warna, (3) Membuat bentuk atau rancang bangun.

Musik sendiri memiliki dimensi kreatif dan memiliki bagian yang identik dengan proses belajar secara

umum. Musik mempunyai peranan penting dalam kehidupan seseorang, selain dapat mengembangkan

sensitivitas, membangun rasa keindahan mengungkapkan ekspresi, memberikan tantangan, melatih

disiplin dan mengenalkan sejarah budaya bangsa. Selain itu, musik juga berpengaruh sebagai alat untuk

meningkatkan dan membantu perkembangan kemampuan pribadi dan sosial. Perkembangan pribadi

meliputi aspek kemampuan kognitif, penalaran, intelegensi, kreatifitas, membaca, bahasa, perilaku

sosial, dan interaksi sosial.

Dalam kesempatan kali ini, peneliti akan melakukan penelitian dengan memanfaatkan faktor eksternal/lingkungan berupa model (maket) sebagai stimulus untuk merangsang hasil belajar anak. Hal

ini diupayakan karena dalam proses pembelajaran matematika sangat membutuhkan daya konsentrasi

yang tinggi, suasana yang rileks, serta menenangkan dan menurunkan stress. Oleh karena itu, kehadiran

Page 49: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

49

musik dinilai penting dalam pembelajaran matematika. Model (maket) yang akan digunakan oleh

peneliti adalah kotak ajaib.

Pengembangan media visual komik bilangan bulat dalam penelitian ini adalah menggunakan model 4-

D. model desain sistem 4-D meliputi 4 tahapan pengembangan, yaitu define, design, develop dan

desseminate atau diadaptasikan menjadi pendefinisian, perancangan, pengembangan dan penyebaran.

Peneliti memilih model 4-D karena peneliti memandang bahwa model desain pembelajaran dengan

pendekatan sistem ini sesuai dengan masalah yang melatarbelakangi penelitian ini. Dengan adanya

pendefenisisan, perancangan, pengembangan dan penyebaran maka peneliti berharap dengan model ini

dapat dikembangkan maket matematika sesuai yang valid, praktis dan efektif dalam meningkatkan hasil belajar matematika siswa berdasarkan kecerdasan matematika logika, musikal dan visual-spasial

Berdasarkan uraian di atas, hal yang mendasari mendesain maket matematika adalah ketidakmampuan

siswa dalam memahami pelajaran matematika, sehingga terjadi kesulitan belajar dalam hal

menyelesaikan bentuk soal matematika pada siswa kelas X di SMAN Unggul Aceh Timur Kecamatan

Bireun. Pada keadaan ideal siswa seharusnya dapat memahami cara penyelesaian dari bentuk soal

tersebut. Namun penggunaan yang abstrak membuat siswa tidak bisa menggambarkannya dengan nyata

apa yang dipelajari nya selama ini. Oleh karena itu, metode penyajian soal tersebut memerlukan alat

bantu media edukatif berupa maket matematika.

Sebagaimana yang telah dikemukakan dalam latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk mengadakan sebuah penelitian yang bertujuan mendesain bahan ajar berbentuk maket yang disebut

maket matematika (MAMA) untuk dilakukan penelitian dengan judul: “Kecerdasan Triangle

Sempurna pada Penerapan Desain Maket Matematika di SMAN Unggul Aceh Timur Kecamatan

Bireun”.Rumusan Masalahyang bisa di rangkum adalah :Apakah maket matematika dapat digunakan

sebagai media edukatif ?, Bagaimana praktikalitas siswa kelas X yang belajarnya menggunakan maket

matematika di SMAN Unggul Aceh Timur ?, Bagaimana efektivitas siswa kelas X yang belajar

menggunakan maket matematika di SMAN Unggul Aceh Timur ?

2. Tinjauan Pustaka

Model (Maket)

Model atau maket sebagai bahan ajar, jika disiapkan dan dibuat secara baik, maka akan memberikan

manfaat yang luar biasa bagi proses pembelajaran. Oleh karena itu, model yang digunakan dalam proses

pembelajaran hendaknya dibuat oleh pendidik atau para peserta didik. Sebab, model atau maket dapat

memberikan makna yang hampir sama dengan benda aslinya. Weidermann mengungkapkan bahwa

dengan melihat dan berinteraksi dengan benda aslinya, yang berarti dapat dipegang, maka peserta didik

akan lebih mudah mempelajarinya.(Dikdas, 2004) Hal ini sebenarnya juga tidak terlepas dari manfaat

besar yang bisa ditimbulkan oleh bahan ajar ini bagi proses pembelajaran, yaitu menciptakan

pembelajaran yang bermakna dan mengesankan. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat kita pahami bahwa penggunaan model sebagai bahan ajar

memiliki beberapa tujuan, diantaranya sebagai berikut :

a. Menyederhanakan objek atau benda yang terlalu sulit, terlalu besar, terlalu jarang, terlalu jauh, terlalu kecil, atau terlalu mahal jika dihadirkan di kelas secara langsung dalam bentuk aslinya.

b. Memberikan pengalaman nyata kepada peserta didik terhadap suatu objek atau benda, meskipun

hanya dalam bentuk tiruannya.

c. Memudahkan penjelasan tentang suatu objek atau benda dengan menunjukkan tiruan benda aslinya.

Sementara itu, fungsi model dalam kegiatan pembelajaran antara lain menjadi tiruan objek atau benda

atau benda asli didatangkan ke kelas untuk diobservasi peserta didik.(Andi Prastowo,2012)

Bagi peserta didik, dengan adanya model atau maket, maka mereka dapat belajar dengan lebih mudah.

Mereka dapat mengamati objek atau benda secara langsung. Penjelasan – penjelasan secara oral yang

disampaikan oleh pendidik pun dapat dicerna secara langsung oleh mereka dengan membandingkannya

dengan model yang mereka amati atau buat sendiri. Hal – hal yang bersifat abstrak menjadi konkrit

ketika model ada di depan mereka. Selain itu, mereka juga mendapatkan pengalaman yang sangat

berharga dari kegiatan yang mereka lakukan, sehingga mereka memperoleh banyak hal yang

mengesankan. Padahal, seperti kita ketahui, jika suatu kegiatan pembelajaran mampu memberi kesan

Page 50: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

50

mendalam bagi peserta didiknya, berarti pembelajaran itu bermakna bagi mereka. Jika proses

pembelajaran tersebut bermakna, maka kegiatan pembelajaran itu telah berjalan secara efektif.

Pembelajaran Matematika

Pembelajaran adalah upaya membelajarkan siswa untuk belajar. Kegiatan pembelajaran akan

melibatkan siswa mempelajari sesuatu dengan cara efektif dan efesien.(RiyantoYatim, 2010:131)

Pembelajaran Matematika adalah pemberian bantuan kepada siswa untuk membangun konsep-konsep

dan prinsip-prinsip matematika dengan kemampuan sendiri melalui proses internalisasi sehingga

konsep atau prinsip itu terbangun. Pembelajaran matematika secara sempit yaitu proses pembelajaran

dalam lingkup persekolahan, sehingga terjadi proses sosialisasi individu siswa dengan lingkungan sekolah, seperti guru, sumber atau fasilitas, dan teman sesame siswa. Sedangkan pembelajaran

matematika secara luas yaitu upaya penataan lingkungan yang member nuansa agar program belajar

matematika tumbuh dan berkembang secara optimal.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika merupakan serangkaian aktivitas

guru dalam memberikan pengajaran terhadap siswa untuk membangun konsep-konsep dan prinsip-

prinsip matematika dengan kemampuan sendiri melalui proses internalisasi, sehingga konsep atau

prinsip itu terbangun dengan metode atau pendekatan mengajar dan aplikasinya agar dapat

meningkatkan kompetensi dasar dan kemampuan siswa.

Kecerdasan Triangle Sempurna

Kecerdasan Matematis Logika

Kecerdasan Logis matematika adalah kemampuan seseorang untuk menangani bilangan dan

perhitungan pola dan pemikiran logis dan ilmiah.(Wina Sanjaya, 2009:214)Kecerdasan logis matematis

memuat kemampuan seseorang dalam berpikir secara induktif dan deduktif, berpikir menurut aturan

logika, memahami dan menganalisis pola angka-angka, serta memecahkan masalah dengan

menggunakan kemampuan berpikir. Peserta didik dengan kecerdasan logis matematis tinggi cenderung menyenangi kegiatan menganalisis dan mempelajari sebab akibat terjadinya sesuatu. Ia menyenangi

berpikir secara konseptual, misalnya menyusun hipotesis dan mengadakan kategorisasi dan klasifikasi

terhadap apa yang dihadapinya. Peserta didik semacam ini cenderung menyukai aktivitas berhitung dan

memiliki kecepatan tinggi dalam menyelesaikan problem matematika. Apabila kurang memahami,

mereka akan cenderung berusaha untuk bertanya dan mencari jawaban atas hal yang kurang

dipahaminya itu. Mereka juga sangat menyukai berbagai permainan yang banyak melibatkan kegiatan

berpikir aktif, diantaranya bermain catur dan bermain teka-teki. Dengan demikian seseorang yang

memiliki kecerdasar logis matematis yang tinggi akan terampil dalam melakukan hitungan atau

kuantifikasi, mengemukakan proposisi dan hipotesis dan melakukan operasi matematis yang kompleks.

Contoh – contoh orang yang memiliki kecerdasan matematis logis adalah ilmuwan, matematikawan,

akuntan, insinyur, dan pemrogram computer Kecerdasan Musikal

Kecerdasan (IQ) sebagai istilah yang menggambarkan kecerdasan, kepintaran, atau kemampuan untuk

memecahkan masalah yang dihadapi. David Wechsler berpendapat bahwa kecerdasan adalah

keseluruhan kemampuan individu untuk berfikir abstrak, bertindak secara terarah dan menyesuaikan

diri dengan lingkungan secara efektif. Teori Multiple Intelligences atau kecerdasan majemuk dikembangkan pada 1983 oleh Dr. Howard Gardner, professor dibidang kependidikan di Harvard

University Amerika Serikat. Multiple Intelligences adalah sebuah penilaian yang melihat secara

deskriptif bagaimana individu menggunakan kecerdasannya untuk memecahkan masalah dan

menghasilkan sesuatu. Pendekatan ini merupakan alat untuk melihat bagaimana pikiran manusia

mengoperasikan dunia, baik itu benda-benda yang konkret maupun hal-hal yang abstrak.

Kecerdasan musikal adalah pusat pengalaman manusia dan merupakan awal dari munculnya kecerdasan

individu. Kecerdasan memiliki keterkaitan erat dengan jenis kecerdasan

lainnya.(http://akhmadsudrajat.wordpress.com/kecerdasanmusikal) kecerdasan ini meliputi kepekaan

pada irama, pola titik nada pada melodi, dan warna nada atau warna suara suatu lagu. Menurut Handy

Susanto, S.PS.i, ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh bila menerapkan Multiple Intelligences

di dalam proses pendidikan yang dilaksanakan. Diantaranya: (1) Kita dapat menggunakan kerangka Multiple Intelligences dalam melaksanakan proses pengajaran secara luas. Aktivitas yang bisa

Page 51: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

51

digunakan seperti menggambar, menciptakan lagu, mendengarkan musik, melihat suatu pertunjukkan.

Aktivitas ini dapat menjadi “pintu masuk” yang vital kedalam proses belajar, (2) Dengan menggunakan

Multiple Intelligences, anda menyediakan kesempatan bagi siswa untuk belajar sesuai dengan

kebutuhan, minat dan talentanya, (3) Peran serta orang tua dan masyarakat akan semakin meningkat

dalam mendukung proses belajar mengajar, (4) Siswa akan mampu menunjukkan dan “berbagi” tentang

kelebihan yang dimilikinya, (5) Pada saat anda “mengajar untuk memahami” siswa akan mendapatkan

pengalaman belajar yang positif dan meningkatkan kemampuan untuk mencari solusi dalam

memecahkan persoalan yang dihadapinya(Soepandi,2009:88-89).

Kecerdasan musikal adalah kemampuan individu dalam menggubah lagu dan musik, bernyanyi dan

bermain alat musik, dan dapat menghargai semua jenis musik, serta memiliki kepekaan yang kuat akan keserasian dan kesadaran universal tentang berbagai pola kehidupan. Gardner dan banyak ilmuwan lainnya meyakini bahwa kecerdasan musikal adalah pusat pengalaman

manusia dan merupakan awal dari munculnya kecerdasan individu. Kecerdasan musikal memiliki

keterkaitan erat dengan jenis kecerdasan lainnya. Kita sering “merasakan” musik dengan tubuh kita

melalui gerakan-gerakan tubuh yang sesuai dengan irama musik (kecerdasan kinestetik), misalnya:

menggeleng-gelengkan kepala, menghentakan kaki, menepuk-nepuk paha, menari, berjoget dan aneka

gerak tubuh lainnya. Kita juga sering “merasakan” musik dengan emosi kita, misalnya menangis,

merinding, gembira, atau ekspresi emosi lainnya ketika mendengar musik tertentu yang sesuai

(kecerdasan emosional). Gardner menjelaskan pula bahwa “Kemampuan bermusik berhubungan

dengan memori suara. Sekian persen dari apa yang didengar seseorang akan masuk dalam alam bawah

sadarnya dan menjadi bagian pokok dari daya ingatnya”. “If we can explain music, we may find the key for all human thought.”

Dengan kecerdasan musikal yang dimilikinya, seseorang dapat memperoleh berbagai manfaat,

diantaranya:

1. Memiliki pengetahuan bagaimana cara meredusir stress yang sedang dialaminya.

2. Meningkatkan kemampuan kreativitas dirinya maupun orang lain.

3. Menggali berbagai kemampuan terpendam untuk kepentingan belajarnya dan mengingat

berbagai informasi tentang sesuatu: orang, tempat, benda dan sebagainya.

4. Mengasah suasana hati untuk lebih mengoptimalkan keberadaan dirinya.

5. Memiliki pengetahuan untuk memperdalam hubungan personalnya dengan orang lain.

Meski dalam ukuran dan bentuk yang berbeda, pada dasarnya setiap orang memiliki potensi kecerdasan

musikal. Oleh karena itu, pendidikan seni musik menjadi penting. Melalui pendidikan musik yang tepat

dan terarah akan membantu mengembangkan manusia menjadi lebih berbudaya, memiliki

keseimbangan antara pikiran, perasaan dan perilakunya. Jika potensi kecerdasan ini tidak mendapatkan

penyaluran yang tepat, melalui pendidikan yang tepat, maka yang dikhawatirkan adalah kebalikan dari

hakikat musik itu sendiri. Bukannya menghasilkan manusia-manusia yang berbudaya, tetapi malah

justru menghasilkan manusia-manusia yang menanggalkan nilai-nilai budayanya sendiri, dengan

menampilkan perilaku-perilaku “eksentrik”-nya yang kebablasan. Oleh karena itu, mari kita

bermusik, jadikan hidup ini lebih indah.

Kecerdasan Visual Spasial

Kecerdasan spasial adalah kemampuan memahami, memproses, dan berpikir dalam bentuk visual. Anak

dengan kecakapan ini mampu menerjemahkan bentuk gambaran dalam pikirannya ke dalam bentuk dua

atau tiga dimensi. Kemampuan yang terkait dengan kecerdasan visual-spasial adalah: (1) Mengenal

bentuk, misalnya bentuk-bentuk geometri atau bangun ruang, (2) Mengenal warna, (3) Membuat bentuk

atau rancang bangun.

Kecerdasan visual spasial memuat kemampuan seorang anak untuk memahami secara lebih mendalam

mengenai hubungan antara objek dan ruang. Anak-anak ini memiliki kemampuan menciptakan

imajinasi bentuk dalam pikirannya, atau menciptakan bentuk-bentuk tiga dimensi. Setelah dewasa

biasanya mereka akan menjadi pemahat, arsitek, pelukis, desainer, dan profesi lain yang berkaitan

dengan seni visual. Menurut Howard Gardner, profesor pendidikan dari Harvard University, AS, dalam bukunya Multiple Intelligences, anak yang memiliki kepintaran visual akan dapat menyelesaikan

masalah ruang (spasial). Anak mampu mengamati dunia spasial secara akurat, bahkan membayangkan

bentuk-bentuk geometri dan tiga dimensi, serta kemampuan memvisualisasikan dengan grafik atau ide

Page 52: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

52

tata ruang (spasial). Dari hasil penelitian yang dilakukan Gardner, orang-orang yang memiliki

kepintaran visual spasial ini lebih banyak dipengaruhi otak kanan, yaitu bagian otak yang bertugas

memproses ruang(file///E:/kecerdasan%20spasial/kecerdasan-interpersonal-dan-visual.html).

Memiliki anak yang cerdas adalah impian semua orang tua, bahkan banyak orang tua yang memberikan

makanan terbaik dan susu terbaik agar buah hatinya bisa cerdas dibandingkan anak lainnya. Kecerdasan

pada anak satu sama lain berbeda sehingga anda tidak bisa menyamakan anak anda dengan anak lainnya.

Ada beberapa anak yang memang berbeda dari anak lainnya, anak yang berbeda tersebut mereka bisa

menghafal beberapa jalan yang sering dilewati bersama orang tuanya. Selain itu mereka juga hafal

dengan beberapa jalan menuju tempat wisata favorit bersama orang tuanya. Anak tersebut memang

berbeda bahkan tidak banyak anak yang bisa menghafal tempat yang pernah mereka kunjungi.

Anak yang mudah menghafal beberapa jalan baik kesekolahnya, jalan ketika akan ke tempat favoritnya

maupun jalan-jalan lainnya mereka memiliki kecerdasan visual-spasial. Kecerdasan ini sangatlah baik

bila dikembangkan terutama bila anda bisa memandunya agar mereka semakin terasah. Namun, disisi

lain anda pun tetap memberikan kontrol terhadap kecerdasan yang mereka miliki tersebut. Kecerdasan

visual adalah satu dari beberapa kecerdasan lainnya pada anak. Kecerdasan ini dikembangkan oleh

seorang profesor bernama Gardner. Pengembangan tentang teori kecerdasan visual-spasial pada anak

yang bisa menghafal beberapa jalan tersebut ini dikembangkan untuk mendongkrak beberapa

pandangan yang dianggap klasik seputar kecerdasan tersebut.

Memang 1 berbanding 10 anak yang memiliki kecerdasan visual tersebut namun sejak dini anak pun bisa diarahkan agar bisa memiliki kecerdasan tersebut. Kecerdasan yang dimiliki anak tidak hanya

kecerdasan tentang beberapa teori yang bisa dipelajari seperti halnya matematika, fisika maupun ilmu

lainnya. Kecerdasan yang dimiliki anak juga meliputi kecerdasan visual-spasial, kecerdasan gerak atau

tubuh, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan ilmu alam, maupun logika. Nah, yang paling sulit ditemua

adalah kecerdasan visual-spasial yang ada pada diri anak-anak terutama mereka yang masih balita. Bila

anak anda masih berusia dibawah lima tahun dan bisa menghafal beberapa jalan yang ada di sekitarnya

bahkan beberapa jalan yang baru pertama kali mereka lewati, anak tersebut memang benar memiliki

kecerdasan visual-spasial.

Kecerdasan visual-spasial pada anak merupakan kemampuan untuk berpikir, memahami dan

memproses suatu dalam berntuk visual. Apa yang mereka lihat akan dipikirkan dalam beberapa tahapan baik dalam bentuk dua dimensi maupun tiga dimensi. Mereka akan memahami beberapa tata

letak, bentuk dan arah suatu jalan yang pernah mereka lewati. Yang menjadi hal mengejutkan lagi,

sekali mereka melewati jalan mereka langsung bisa menunjukkan arah jalan tersebut ketika

melewatinya untuk yang kedua kalinya. Didalam pikiran anak tersebut sudah banyak gambaran

tentang tempat yang pernah mereka singgahi demikian juga dengan jalan yang mereka

lewati. Mereka akan mengingat pula beberapa tempat yang dekat dengan jalan tersebut.

Indikator kecerdasan visual-spasial

Anak yang memiliki kecerdasan visual-spasial, mereka anak lebih mudah mengenali tempat-tempat

yang ada disekitar jalan yang sering mereka lewati. Anak tersebut minimal bisa mengenali beberapa

bentuk bangunan atau tempat seperti halnya kotak, lonjong maupun bundar. Selain itu anak ang memiliki kecerdasan visual-spasial juga bisa mengenali warna dengan mudah dan bisa membedakan

arah kanan maupun kiri. Banyak indikator yang bisa anda lihat dari anak yang memiliki kecerdasan

visual tersebut.

Berikut beberapa indikator anak yang memiliki kecerdasan visual-spasial:

Anak mampu menghafal arah dan nama jalan

Hal yang sangat luar biasa bila di kecil mampu menghafal arah dan nama jalan yang sering mereka

lewati. Anda tak sadar bahwa mereka memiliki kecerdasan yang berbeda dari teman sebaya. Beberapa

orang tua mungkin menganggap hal ini hanya sepele padahal mereka memiliki kelebihan yang sangat

istimewa yang harus anda dukung dan asah.

Anak mampu menghafal denah rumah

Sekalipun anak-anak sering menghabiskan waktunya dirumah, namun tidak sedikit diantara mereka

yang mampu menghafal denah rumahnya sendiri. Hanya beberapa anak saja yang mampu menghafal

denah rumahnya sendiri. Bila anak anda mampu menghafal letak kamarnya, letak dapur, kamar mandi

Page 53: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

53

dan beberapa tempat yang ada di rumah, maka mereka bisa digolongkan memiliki kecerdasan visual-

spasial.

Anak mampu menggambar dengan benar

Anak yang cerdas, mereka akan bisa menggambar sesuatu yang mereka lihat dengan jelas. Bahkan

anda anak terkagum ketika mereka bisa menggambar dalam bentuk dimensi lain. Seperti ketika anak

menggambar kursi, mereka akan menggambar dalam bentuk dua dimensi atau justru

menggambar dalam bentuk tiga dimensi. Anak anda mungkin belum pernah melihat kursi dari atas,

namun tanpa anda sadari mereka bisa menggambar dalam bentuk tiga dimensi.

Membuat beberapa bangunan dalam media yang berbeda

Kemampuan anak yang bisa membuat beberapa benda yang ada di sekitarnya dalam bentuk media yang

lain, seperti halnya lilin atau balok, mereka adalah anak yang memiliki kemampuan visual. Selain bisa

menggambar anak yang memiliki kecerdasan visual juga bisa membuat beberapa bangunan atau benda

dengan media lainnya.

Anak senang bermain puzzle

Kecerdasan visual-spasial pada anak akan semakin terasah tatkala mereka senang bermain puzzle. Dengan berimajinasi beberapa bentuk kepingan puzzle dan membentuknya menjadi benda yang

berbeda, mereka akan semakin terasah untuk lebih berkreasi.

Beberapa indikator tersebut bisa anda amati pada anak sejak usia mereka diatas 2 tahun. Apakah

beberapa indikator tersebut ada pada diri anak anda? Bila anak anda memiliki beberapa indikator

tersebut maka beruntunglah anda karena memiliki buah hati yang cerdas dan siap menjadi anak yang

jenius. Anak yang memiliki kecerdasn visual-spasial lebih peka terhadap gejala alam dan akan

mengamatinya secara detail hingga mereka paham. Kelak anak yang memiliki kemampuan tersebut

sangat cocok menjadi seorang pilot, arsitek, pakar meteorologi, pelukis maupun sutradara.

Untuk mengasah kemampuan anak yang memiliki kecerdasan visual-spasial tersebut, anda bisa

menstimulasinya sejak dini. Berikut beberapa cara untuk menstimulasi kecerdasan visual-spasial

pada buah hati:

Kenalkan mereka pada beberapa nama bangunan dan warna

Anak yang cerdas dan memiliki visual-spasial, mereka harus diasah kemampuannya dengan berbagai cara. Salah satu cara yang bisa anda lakukan adalah dengan mengenalkan beberapa warna dan bentuk

bangunan yang sering mereka lihat. Anda bisa mengajak mereka jalan-jalan dan mengenalkan nama

bangunan sekaligus warnanya. Secara perlahan anak akan mudah menghafal beberapa jenis bangunan

sekaligus mampu membedakan warna satu dengan warna lainnya.

Bantu anak merakit sesuatu

Anak yang memiliki kcerdasan visual-spasial, mereka akan senang bila membangun atau merakit

sesuatu. Anda bisa memberikan mereka mainan dan biarkan mereka merakit sendiri, ketika mereka

benar-benar kesulitan dalam merakitnya barulah anda membantu dan mengarahkannya.

Pengenalan arah pada anak

Anah yang mudah menghafal jalan, lama kelamaan mereka akan mudah menghafal arah, kiri dan kanan,

depan dan belakang. Kenalkan arah dengan cara mengajak anak jalan-jalan bersepeda. Lama kelamaan

mereka akan mudah untuk menghafal mana sisi kanan, sisi kiri, depan dan belakang.

Berikan permainan yang menantang

Buat anak anda semakin terasah kecerdasan visual-spasialnya dengan cara memberikan permainan

yang menantang seperti permainan harta karun. Jenis permainan ini cukup baik untuk stimulasi

kemampuan mereka dengan cepat.

Hasil Belajar Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah

laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan

lingkungannya(Slameto, 2010:2).Berdasarkan pengertian diatas dapat dipahami bahwa belajar itu

senantiasa merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan, dengan serangkaian kegiatan misalnya

dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru, dan lain sebagainya. Juga belajar itu akan lebih

baik, kalau si subjek belajar itu mengalami atau melakukannya.

Page 54: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

54

Hasil belajar merupakan perwujudan kemampuan akibat perubahan perilaku yang dilakukan oleh usaha

pendidikan. Kemampuan tersebut menyangkut domain kognitif, afektif dan psikomotorik(Purwanto,

2009:49). Hasil belajar yang dimaksud yaitu hasil yang diperoleh siswa sebagai akibat proses belajar

yang dilaksanakan oleh siswa. Makin tinggi proses yang dilakukan oleh siswa diharapkan semakin

tinggi pula hasil belajar yang dicapai.

Adapun hasil belajar itu meliputi : (a) Hal ikhwal keilmuan dan pengetahuan, konsep atau fakta

(kognitif), (b) Hal ikhwal personal, kepribadian atau sikap (afektif), (c) Hal ikhwal kelakuan,

keterampilan atau penampilan ( psikomotorik )(Purwanto,2009:29). Ketiga hasil belajar diatas dalam

pengajaran merupakan tiga hal yang secara perencanan dan programatik terpisah, namun dalam kenyataannya pada diri siswa akan merupakan suatu kesatuan yang utuh dan bulat. Ketiganya itu dalam

kegiatan belajar mengajar, masing-masing direncanakan sesuai dengan butir-butir bahan pelajaran.

Sejalan dengan tujuan belajar untuk memperoleh hasil belajar yang pada prinsipnya ada perubahan

antara keadaan sebelum dan sesudah belajar, yang semula tidak tahu menjadi tahu, yang semula tidak

bisa menjadi bisa.

3. Metode Penelitian

Model Desain Maket Matematika (MaMa)

Model 4-D

Model 4-D pada hakekatnya merupakan sebuah model desain pembelajaran yang sederahana, yang

dapat diiplementasikan pada hampir semua jenjang dan satuan pendidikan. dengan diterapkannya model

pembelajaran 4-D diharapkan guru nantinya akan memiliki kompetensi dalam pendefinisian,

perancangan, pengembangan dan penyebaran bahan ajar yang di desain pada program pembelajaran

yang diharapkan. 4-D ini merupakan rujukan bagi pendidik dalam membelajarkan peserta didik dalam

pembelajaran yang direncanakan dan disusun secara sistematis dengan mengintegrasikan teknologi dan

media sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif dan bermakna bagi peserta didik.

4. Hasil dan Pembahasan

Mendesain Maket Matematika pada Mata Kuliah Workshop

Dalam rangka menciptakan model-model pembelajaran yang inovatif, pembelajaran menggunakan alat

peraga merupakan hal yang mampu meningkatkan mutu pendidikanpadamahasiswa. Pekembangan ilmu

saat ini sangatberkembang pesatdan dalam pembelajaran yang mampumeningkatkan kecerdasan

matematika logika, kecerdasan visual-spasial dan kecerdasan musikal mahasiswa. Sesuai dengan

penelitian yang dilakukan oleh anton sujarwo dengan judul proses berfikir siswa smk dengan kecerdasan

linguistik, logika matematika dan visual spasial dalam memecahkan masalah. Dari penelitian ini

pemakalah berfikir untuk melanjutkan pembahasannya tentang bagaimana menjembatani pemikiran

pemecahan masalah tersebut pada mahasiswa di mata kuliah workshop untuk mendesain maket

matematika yang dapat digunakan pada proses pembelajaran di sekolah.

Hasil penelitian dari anton sujarwo tersebut menunjukkan bahwa proses berikir siswa SMK dengan

kecerdasan linguistik, logika matematika, dan visual spasial dalam memecahkan masalah matematika

adalah sebagai berikut: Subjek dengan kecerdasan linguistik ketika memahami masalah proses

berpikirnya mula-mula membaca soal setidaknya dua kali. Melalui pembacaan yangdemikian subjek

dapat mengungkapkan semua informasi yang tersedia (yang diketahui) dan apa yang ingin didapatkan

(ditanyakan) dari masalah yang dihadapi. Ide rencana pemecahan masalah subjek ini berasal dari

pengetahuan sebelumnya mengenai konsep tertentu atau strategi pemecahan masalah yang mirip dengan masalah yang sedang dihadapi. Selanjutnya ia mengintegrasikan konsep-konsep tertentu dan informasi

relevan dari masalah tersebut untuk menghasilkan suatu rencana pemecahan masalah yaitu

perbandingan. Pada waktu melaksanakan rencana, subjek ini menyatakan kembali semua informasi

yang tersedia (yang diketahui) dan apa yang ingin didapatkan (ditanyakan) dari masalah yang dihadapi.

Kemudian subjek mulai melaksanakan rencana sesuai dengan langkah-langkah pemecahan masalah

yang telah dibuatnya. Setelah melaksanakan rencana pemecahan masalah, subjek melakukan

pemeriksaan kembali pekerjaan yang telah dibuatnya. Ia tidak melakukan aktivitas menulis atau corat-

coret melainkan diam sambil memandang hasil pekerjaan yang telah dibuatnya. Pengecekan yang telah

dilakukan tidak dapat membetulkan kesalahan yang ada. Sehingga solusi yang diperoleh tidak benar.

Tetapi walaupun demikian, subjek ini yakin bahwa jawaban yang dibuatnya benar. Subjek dengan

Page 55: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

55

kecerdasan logika matematika, ketika memahami masalah proses berpikirnya mula-mula membaca

masalah tiga kali dan disertai membuat tabel. Hal ini dilakukan untuk lebih memahami permasalahan

yang dihadapi dan menghidari ada informasi yang terlewat jika hanya dibacasekali. Ide rencana

pemecahan masalah subjek ini berasal dari pengetahuan sebelumnya mengenai konsep tertentu atau

strategi pemecahan masalah yang mirip dengan masalah yang sedang dihadapi. Selanjutnya ia

mengintegrasikan konsep-konsep tertentu dan informasi relevan dari masalah tersebut untuk

menghasilkan suatu rencana pemecahan masalah yaitu perbandingan berbalik nilai. Langkah

berikutnya, subjek dengan kecerdasan logika matematika sebelum melaksanakan rencana yang telah

dibuat, ia membuat tabel terlebih dahulu terkait dengan permasalahan yang dihadapi. Kemudian subjek

menjalankan langkah-langkah pemecahan masalah sesuai rencana sampai diperoleh hasil yang benar.

Setelah melaksanakan rencana pemecahan masalah, subjek melakukan pemeriksaan kembali pekerjaan yang telah dibuatnya. Pemeriksaan dilakukan dengan cara menelusuri setiap langkah penyelesaian

mulai dari perhitungan, perbandingan, dan sampai pada hasilnya.Selanjutnya untuk meyakinkan hasil

yang telah diperolehnya, ia menggunakan cara lain. Hasil perhitungan dengan cara lain ia bandingkan

dengan cara pertama dan ternyata sama. Pada waktu memeriksa hasil pekerjaanya, subjek ini melakukan

manipulasi pengetahuan dalam struktur kognitifnya. Hal ini terlihat dari kemampuan subjek ini dalam

mengubah permasalahan yang dihadapi menjadi persamaan yang menggunakan simbol-simbol sebagai

representasi internal dalam struktur kognitifnya.

Berdasarkan hasil penelitian anton sujarwo tersebut maka desain maket matematika dapat di rancang

berdasarkan atau berbasis kecerdasan matematika logika, kecerdasaan musikal dan kecerdasan visual-

spasial.

5. Kesimpulan

Berbagai jenis media dapat dimanfaatkan sesuai dengan kondisi, waktu, keuangan, maupun materi yang

akan di sampaikan. Salah satu media pembelajaranyaitumaket matematikayang merupakan alat berupa benda tiruan yang dapat membantu proses belajar mengajar dan berfungsi untuk memperjelas makna

pesan yang disampaikan, sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran yang lebih baik dan sempurna.

Desain maket matematika merupakan upaya untuk memotivasi mahasiswa dalam pembelajaran

terutama pada mata kuliah workshop. Model pengembangan maket matematika yang dilakukan

menggunakan model 4-D. Terdapat beberapa komponen yang akan dilewati di dalam proses

pengembangan dan perancangan tersebut yang berupa urutan langkah-langkah. pendefinisian,

perancangan, pengembangan dan penyebaran.

DaftarPustaka

Indra Soepandi.(2009). Strategi Mengembangkan Potensi Kecerdasan Anak. Jakarta: Bee Media

Indonesia.

Prastowo Andi, (2012). Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif.

Purwanto,(2009). Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sanjaya Wina, (2009). Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Prenada Media Kencana.

Slameto,(2010). Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya.Jakarta: Rineka Cipta.

Uno, Dkk.(2009). Mengelola Kecerdasan dalam Pembelajaran. Jakarta: PT.Bumi Aksara.

Yatim Riyanto, (2010). Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta: Kencana.

Diknas, Pedoman Umum Pemilihan dan Pemanfaatan Bahan Ajar (jakarta:ditjen dikdasmenum, 2004)

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2012/11/04/kecerdasan musikal/

file///E:/kecerdasan%20spasial/kecerdasan-interpersonal-dan-visual.html

Page 56: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

56

ANALISIS FAKTOR KESULITAN GURU PPL MENGELOLA KELAS

DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SMA SE-KOTA LANGSA

Budi Irwansyah

Prodi Pendidikan Matematika, Jurusan Tarbiyah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri

(STAIN) Zawiyah Cot Kala Langsa

Email: [email protected]

Abstrak. Pada makalah ini dibahas mengenai salah satu aplikasi teknik statistik

multivariat, yaitu analisis faktor yang bertujuan untuk mengetahui faktor utama apa saja

yang menyebabkan kesulitan guru PPL mengelola kelas dalam pembelajaran matematika

di SMA se-Kota Langsa. Sampel yang diambil sebanyak 28 mahasiswa PPL Program

Studi Pendidikan Matematika (Prodi PMA) STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa, yang

tekniknya dilakukan dengan cara sensus (sampling jenuh). Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis multivariat. Analisis multivariat adalah

analisis satu variabel dalam satu atau lebih hubungan. Analisis ini berhubungan dengan

semua teknik statistik yang secara simultan menganalisis sejumlah pengukuran pada

individu atau objek. Dan analisis multivariat yang digunakan dalam penelitian ini adalah

analisis faktor. Analisis faktor merupakan nama umum yang menunjukkan suatu kelas

prosedur, utamanya digunakan dalam mereduksi data atau meringkas, dari variabel yang

banyak diubah menjadi sedikit variabel. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa total

persentase varians dari keempat faktor yang menyebabkan guru PPL kesulitan mengelola

kelas dalam pembelajaran matematika adalah sebesar 57,926%, dimana faktor

dominannya adalah adanya toleransi kelas terhadap kekeliruan-kekeliruan yang muncul

di dalam kelas, diantaranya; 1) Guru PPL kurang mampu mengatasi keributan yang ada di dalam kelas, 2) Guru PPL kurang mampu mengurangi reaksi negatif siswa terhadap

kelompok lain, seperti merendahkan kelompok yang berkemampuan rendah, 3) Guru PPL

kurang mampu mencegah/mengatasi siswa yang dengan sengaja mendorong prilaku

temannya untuk tidak mengikuti aturan, 4) Guru PPL kurang mampu meleraikan siswa

yang bermusuhan di dalam kelas.

Kata Kunci : Analisis Faktor, Mengelola Kelas, Guru PPL, Pembelajaran Matematika

1. Pendahuluan Seorang guru tidak hanya dituntut dalam penguasaan materi, namun juga harus pandai dalam memilih

metode, media, serta peka terhadap masalah-masalah dalam pembelajaran, misalnya masalah motivasi,

perbedaan individu siswa; baik secara fisik maupun psikis terutama dalam kemampuan menangkap

materi pelajaran serta masalah pengelolaan kelas. Menurut Surya dalam Kunandar (2007:1) bahwa guru

yang profesional akan tercermin dalam pelaksanaan pengabdian tugas-tugas yang ditandai dengan

keahlian baik dalam materi atau metode. Selain itu juga ditunjukkan melalui tanggung jawabnya dalam

melaksanakan seluruh pengabdiannya. Tidak mudah untuk menjadi guru yang profesional. Ada banyak

kendala-kendala dan kesulitan yang harus dihadapi. Kesulitan guru dalam proses pembelajaran tidak

hanya dialami oleh guru yang sudah berpengalaman, tetapi juga dialami oleh guru yang sedang praktek

pengalaman lapangan (PPL). Zulkarnaini, dkk (2012:49) mengatakan bahwa; “Praktek pengalaman

lapangan adalah praktek yang berkaitan dengan profesi sesuai dengan jurusan masing-masing.” Banyak kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh guru PPL selama proses pembelajaran. Kunandar (2007:1)

menyatakan ; “Bekal kecakapan yang diperoleh dari lembaga perguruan tinggi tidak memadai untuk

dipergunakan secara mandiri, karena yang dipelajari di lembaga pendidikan sering kali hanya terpaku

pada teori, sehingga peserta didik kurang inovatif dan kreatif.” Kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh

guru PPL yang di tugaskan di SMA/SMP ketika melakukan praktek di lapangan salah satunya adalah

sulitnya pengelolaan kelas. Menurut Sudirman dalam Syaiful Bahri Djamarah (2005:172); “pengelolaan

kelas merupakan upaya dalam mendayagunakan potensi kelas.” Tujuan pengelolaan kelas adalah

mengembangkan kemampuan siswa dalam menggunakan alat-alat belajar, menyediakan kondisi-

kondisi yang memungkinkan siswa bekerja dan belajar, serta membantu siswa untuk memperoleh hasil

yang diharapkan. Salah satu masalah yang harus diperbaiki oleh guru Praktek Pengalaman Lapangan

adalah masalah kesulitan mengelola kelas. Karena hal ini banyak dikeluhkan guru PPL yang telah lebih dulu menjalankan tugasnya. Seperti sulitnya menertibkan kelas, mengatur kelas, dan perbedaan karakter

Page 57: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

57

masing-masing siswa. Karena tugas guru adalah menciptakan, mempertahankan dan memelihara

organisasi kelas. Salah satu masalah pengelolaan kelas menurut Rudolf Dreikurs dalam Ahmad Rohani

(2004:125) adalah tingkah laku yang ingin menunjukkan kekuatan. Misalnya selalu berdebat atau

kehilangan kendali emosional, marah-marah, menangis (aktif), atau selalu lupa dengan aturan-aturan

penting di kelas (pasif). Berdasarkan pernyataan mahasiswa Prodi PMA STAIN Zawiyah Cot Kala

Langsa yang telah melaksanakan Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) sebelumnya, guru PPL yang

dipandang sebelah mata oleh peserta didik. Mereka tidak memperhatikan penjelasan guru ketika proses

pembelajaran dan hanya asyik mengobrol dengan temannya sehingga membuat keributan yang

mengganggu proses pembelajaran serta tidak menghargai keberadaan guru, hal ini yang menyulitkan

guru dalam mengelola kelas ketika pembelajaran berlangsung. Dan mungkin hal ini juga disebabkan

oleh kurangnya pengalaman mengajar guru PPL. Ini merupakan masalah yang harus dicari penyelesaiannya, sehingga pembelajaran yang berlangsung akan lebih efektif, efisien, dan menarik.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis melakukan penelitian untuk menganalisis faktor apa

yang utama yang menyebabkan kesulitan guru PPL mengelola kelas dalam pembelajaran matematika.

Adapun manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi mahasiswa Pendidikan

Matematika tentang kesulitan-kesulitan mengelola kelas khususnya dalam pembelajaran matematika.

2. Pembelajaran Matematika di Sekolah

Tujuan pembelajaran matematika secara khusus seperti yang diungkapkan Soejadi (2001:107) yaitu sebagai berikut; 1) Mempersiapkan siswa sanggup menghadapi perubahan keadaan dan pola pikir dalam

kehidupan dan dunia selalu berkembang, 2) Mempersiapkan siswa menggunakan matematika dalam

kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Lebih lanjut Soejadi

menyatakan bahwa Matematika di sekolah memiliki beberapa fungsi, yaitu; 1) Matematika sebagai alat

guna memberikan siswa pengalaman untuk memahami atau menyampaikan suatu informasi, 2) Belajar

matematika juga merupakan pembentukan pola pikir, 3) Matematika sebagai ilmu atau pengetahuan.

Mata pelajaran matematika di Indonesia sesuai ketetapan pemerintah melalui Badan Standar Nasional

Pendidikan (BSNP, 2011), bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: 1)

Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep

atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah, 2) Menggunakan

penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika, 3) Memecahkan masalah yang

meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan

menafsirkan solusi yang diperoleh, 4) Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau

media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah, 5) Memiliki sikap menghargai kegunaan

matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari

matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

3. Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) Hamid Darmadi (2009:35) menyatakan; “Guru sebagai komponen pendidikan dan pengajaran di

sekolah menjalankan tugas dan fungsinya di dalam proses belajar dan mengajar atas dasar kemampuan

mengajar yang dimiliki.” Hal ini yang menuntut guru agar selalu memperhatikan sikap, tingkah laku,

dan perbuatan anak didiknya, tidak hanya di sekolah, tetapi juga di luar ingkungan sekolah. Karena itu,

benar lah di katakan bahwa guru adalah orang yang diguguh dan ditiru yang berarti bahwa guru

merupakan sosok yang menjadi panutan bagi anak didiknya. “Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

guru adalah semua orang yang berwenang dan bertanggung jawab untuk membimbing dan membina

anak didik, baik sacara individual maupun klasikal, disekolah maupun diluar sekolah. Praktek

pengalaman lapangan adalah praktek yang berkaitan dengan profesi sesuai dengan jurusan masing-

masing. PPL diberikan kepada mahasiswa dengan tujuan melatih dan mempersiapkan mahasiswa

dengan tujuan melatih dan mempersiapkan mahasiswa dalam melaksanakan profesinya berdasarkan apa

yang ditekuninya selama studi pada jurusan dan program studi masing-masing. Hamzah B. Uno (2008:15) menyimpulkan bahwa guru adalah orang dewasa yang secara sadar bertanggung jawab dalam

mendidik, mengajar dan membimbing peserta didik dan guru juga harus memiliki kemampuan dalam

menata dan mengelola kelas. Selanjutnya, Zulkarnaini, dkk (2012:46) menyatakan “Praktek

pengalaman lapangan adalah praktek yang berkaitan dengan profesi sesuai jurusan masing-masing.

Tugas guru PPL di dalam kelas sama dengan tugas guru tetap yang mengajardi kelas. Sebagai guru yang

baik harus memenuhi syarat-syarat yang terkandung dalam Undang-Undang no. 12 tahun 1954 tentang

dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah untuk seluruh Indonesia, pada pasal 15, Ngalim

Page 58: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

58

Purwanto (2007:139) menyatakan bahwa “syarat utama untuk menjadi guru, selain ijazah dan syarat-

syarat yang mengenai kesehatan jasmani dan rohani ialah sifat-sifat yang perlu untuk dapat member

pendidikan dan pengajaran seperti yang dimaksud dalam pasal 3, pasal 4, dan pasal 5 undang-undang

tersebut. Dari pasal-pasal tersebut, maka syarat-syarat untuk menjadi guru, Ngalim Purwanto

(2007:140) menyimpulkan sebagai berikut; 1) Berijazah, 2) Sehat Jasmani dan Rohani, 3) Takwa

kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Berkelakuan Baik, 4) Bertanggung Jawab, 5) Berjiwa Nasional, 6)

Standar Profesional Guru di Indonesia. Guru yang memenuhi standar adalah guru yang memenuhi

kualifikasi yang dipersyaratkan dan memahami benar apa yang harus dilakukan, baik ketika didalam

maupun diluar kelas. Lebih lanjut Syaiful Sagala (2011:17) juga menyatakan bahwa ada beberapa

persoalan atau tugas prinsip yang semua guru harus mengetahui dan menguasai, yaitu: 1) Administrasi

kurikulum dan Pengembangannya, guru harus benar-benar memahaminya, mampu

mengembangkannya, dan menjadikannya sebagai pedoman proses belajar mengajar, 2) Pengelolaan

peserta didik, karena peserta didik yang sangat heterogen maka guru harus bisa mengelola hal tersebut

supaya dapat memberikan hasil pendidikan yang optimal, 3) Personal, yaitu guru memberikan layanan

individual sehingga memperoleh hasil pendidikan yang optimal. Guru tidak memaksa peserta didik yang

lambat, juga tidak menghambat peserta didik yang jenius, 4) Prasarana dan sarana, merupakan salah

satu hal yang terpenting dalam proses pembelajaran. seperti ruang kelas yang memadai, ukuran yang cukup, ventilasi, dan peralatan pembelajaran lain seperti labolatorium yang lengkap, alat tulis yang

memadai, dan lain-lain, 5) Keuangan, dana atau biaya pendidikan merupakan salah satu komponen

penunjang yang mutlak harus dupenuhi, 6) Layanan khusus, seperti pengadaan dan pemberdayaan

koperasi sekolah, penyediaan layanan kesehatan sekolah, pembinaan keterampilan berorganisasi peserta

didik disekolah, kegiatan ekstrakulikuler, dan sebagainya, 7) Hubungan sekolah masyarakat, tidak

hanya dilakukan oleh kepala sekolah tetapi juga guru sebagai tokoh kunci di sekolah.

4. Mengelola Kelas

Mengelola kelas merupakan salah satu komponen ketreampilan dasar mengajar guru. Jika dengan

pengelolaan kelas yang baik, kiranya guru dapat menciptakan dan mempertahankan kondisi kelas yang

sedemikian rupa sehingga anak didik dapat mencapai tjuan pengajaran secara efektif dan

memungkinkan mereka dapat belajar. Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain (2008:177) menyatakan

bahwa; “Pengelolaan kelas adalah kemampuan guru atau wali kelas dalam mendayagunakan potensi

kelas berupa pemberian kesempatan seluas-luasnya pada setiap personal untuk melakukan kegiatan-

kegiatan yang kreatif dan terarah sehingga waktu dan dana yang tersedia dapat dimanfaatkan secara

efisien untuk melakukan kegiatan-kegiatan kelas yang berkaitan dengan kurikulum dan perkembangan

murid. Dengan demikian pengelolaan kelas merupakan salah satu tugas guru dan prasyarat mutlak bagi

terjadinya proses belajar mengajar yang efektif yang harus dilakukan dengan baik supaya tercipta

kondisi belajar yang optimal. Jika guru mampu mengatur anak didik dan memanfaatkan sarana

pengajaran serta dapat mengendalikannya maka akan tercipta suasana yang menyenangkan untuk mencapai tujuan pengajaran. Tujuan pengelolaan kelas pada hakikatnya telah terkandung dalam tujuan

pendidikan. Secara umum tujuan pengelolaan kelas adalah penyediaan fasilitas bagi bermacam-macam

kegiatan belajar siswa dalam lingkungan sosial, emosional, dan intelektual dalam kelas. Fasilitas yang

disediakan itu memungkinkan siswa belajar dan bekerja, terciptanya suasana sosial yang memberikan

kepuasan, Suasana disiplin, perkembangan intelektual, emosional dan sikap serta apresiasi pada siswa.

Oleh karena itu, pengelolaan kelas yang dilakukan guru pasti ada tujuannya. Karena ada tujuan itulah

guru harus berusaha mengelola kelas dengan baik walaupun terkadang ada merasakan lelah fisik

maupun fikiran. Jika guru tidak mengelola kelas dengan baik, maka akan menghambat proses

pembelajaran sehingga tidak tercapai tujuan pembelajaran. Menurut Made Pidarta dalam Syaiful Bahri

Djamarah (2005:173), masalah-masalah pengelolaan kelas yang berhubungan dengan perilaku anak

didik adalah: 1) Kurang kesatuan, misalnya dengan adanya kelompok-kelompok, klik-klik, dan pertentangan jenis kelamin, 2) Tidak ada standar prilaku dalam bekerja kelompok, misalnya ribut,

bercakap-cakap, pergi kesana kemari, dan sebagainya, 3) Reaksi negatif terhadap anggota kelompok,

misalnya ribut, bermusuhan, mengucilkan , dan merendahkan kelompok bodoh, 4) Kelas mentoleransi

kekeliruan-kekeliruan temannya, menerima dan mendorong prilaku anak didik yang keliru, 5) Mudah

mereaksi ke ha-hal negative/terganggu, misalnya bila didatangi monitor atau tamu-tamu, iklim yang

berubah, dan sebagainya, 6) Moral rendah, permusuhan, agresif, misalnya pada lembaga yang alat-alat

belajarnya kurang, kekurangan uang, dan lain-lain, 7) Tidak mampu menyesuaikan dengan lingkungan

yang berubah, seperti tugas-tugas tambahan, anggota kelas yang baru, situasi baru, dan sebagainya.

Variasi prilaku anak didik itu menurut Made Pidarta dalam Syaiful Bahri Djamarah (2005:173) bukan

tanpa sebab. Faktor-faktor penyebab variasi prilaku tersebut adalah: 1) Pengelompokan (pandai, sedang,

Page 59: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

59

bodoh), kelompok bodoh akan menjadi sumber negative, penolakan atau apatis, 2) Karakteristik

individual, seperti kemampuan kurang, ketidakpuasan atau dari latar belakang ekonomi rendah yang

menghalangi kemampuannya, 3) Kelompok pandai akan merasa terhalang dengan teman-temannya

yang tidak mampu seperti dia. Kelompok ini sering menolak standar yang diberikan oleh guru, 4) Dalam

latihan diharapkan semua siswa tenang dan bekerja sepanjang jam pelajaran, kalau ada interupsi atau

interaksi mungkin mereka merasa tegang atau cemas. Karena itu prilaku-prilaku yang menyimpang

seorang dua orang bisa ditoleransi asa tidak merusak kesatuan. Guru harus mengadalan situasi agar

mereka bisa mengadakan interaksi, 5) Dari organisasi kurikulum tentang team teaching, misalnya anak

didik pergi dari satu guru ke guru yang lain dan dari satu kelompok ke kelompok yang lain. Tenaga

mereka habis dipakai di jalanan dan harus menyesuaikan diri berkali-kali, tidak ada kestabilan.

Pengembangan diri yang sesungguhnya bersumber dari hubungan sosial menjadi terhambat.

5. Metodologi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di 11 (sebelas) SMA/sederajat di Kota Langsa. Yang dilaksanakan

selama kurang lebih 2 bulan pada semester ganjil tahun ajaran 2013/2014. Sampel yang diambil

sebanyak 28 mahasiswa PPL Prodi PMA STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa, yang tekniknya dilakukan

dengan menggunakan jenis sampling jenuh yaitu teknik pengambilan sampel apabila semua populasi

digunakan sebagai sampel dan dikenal juga dengan istilah sensus, (Riduwan, 2010:64). Sampel jenuh

ini dilakukan apabila populasinya kurang dari 30 orang. Jadi, yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah seluruh populasi yang ada, berjumlah 28 orang. Untuk memperoleh data penelitian, penulis

menggunakan instrumen angket yang dibuat berdasarkan teori masalah-masalah pengelolaan kelas.

Angket dibuat menggunakan skala likers yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi

seseorang atau sekelompok tentang kejadian atau gejala social. (Riduwan, 2010:87). Angket berisikan

21 pernyataan dengan 5 alternatif jawaban yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), netral (N), tidak setuju

(TS), dan sangat tidak setuju (STS). Teknik analisis data yang peneliti gunakan dalam penelitian ini

adalah analisis multivariat atau metode multivariat. Analisis multivariat adalah analisis satu variabel

dalam satu atau lebih hubungan. Analisis ini berhubungan dengan semua teknik statistik yang secara

simultan menganalisis sejumlah pengukuran pada individu atau objek. Dan analisis multivariat yang

digunakan dalam penelitian ini adalah analisis faktor. J. Supranto, (2010:114) menyatakan bahwa

analisis faktor merupakan nama umum yang menunjukkan suatu kelas prosedur, utamanya digunakan dalam mereduksi data atau meringkas, dari variabel yang banyak diubah menjadi sedikit variabel,

misalnya dari 15 variabel yang lama diubah menjadi 4 atau 5 variabel baru yang disebut vaktor dan

masih memuat sebagian besar informasi yang terkandung dalam variabel asli (original variable).

Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh dalam analisis faktor antara lain sebagai berikut: 1)

Merumuskan masalah, 2) Identifikasi kecukupan data yang terdiri dari; a) uji validitas menggunakan

teknik analisis faktor (Construct Validity), yaitu untuk menguji apakah butir-butir pernyataan atau

indikator yang digunakan dapat mengkonfirmasikan sebuah faktor atau konstruk atau variabel. Uji

Kaiser-Mayer Olkin (KMO) bertujuan untuk mengetahui apakah semua data yang telah terambil telah

cukup untuk difaktorkan; b) uji reliabilitas yang dimaksudkan untuk mengetahui apakah data yang

digunakan telah memenuhi syarat suatu data dapat dianalisis factor yang menggunakan uji Bartlett’s

yang bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antar variabel dalam kasus multivariat. Jika variabel X1, X2, …, XP independent (bersifat saling bebas), maka matriks korelasi antar variabel

sama dengan matriks identitas, 3) Menganalisis variabel-variabel dengan melihat nilai Measure of

Sampling Adequacy (MSA), dimana variabel yang mempunyai nilai Measure of Sampling Adequacy

(MSA) ≥ 0,5 yang dapat dianalisi lebih lanjut, dan variabel yang mempunyai nilai Measure of Sampling

Adequacy (MSA) < 0,5 dikeluarkan dari analisis. Setelah diperoleh variabel-variabel yang dapat

dianaisi lebih lanjut, maka proses analisis faktor diulang kembali sehingga tidak ada lagi variabel-

variabel yang mempunyai nilai MSA < 0,5; 4) Menentukan metode analisis factor, dalam kajian ini

Penulis menggunakan metode Principal Components Analysis (PCA) dimana yang mempertimbangkan

jumlah varian dalam data atau diagonal matriks korelasi terdiri dari angka 1(satu) dan full variance

dibawa ke dalam matriks faktor, 5) Menentuan banyak faktor dengan eigenvalue yaitu jumlah varian yang dijelaskan oleh setiap faktor. Satu eigenvalue menunjukkan besarnya sumbangan dari faktor

terhadap varian seluruh variabel asli. “hanya faktor yang varian lebih besar dari satu, yang dimasukkan”;

6) Melakukan rotasi factor yang bertujuan mengelompokkan variabel kedalam faktor yang telah

terbentuk dan dapat diketahui melalui nilai loading factor, mewakii koefesien korelasi antara faktor

dengan variable, 7) Membentuk interpretasi hasil rotasi yang dapat dilakukan dengan mengidentifikasi

variabel yang mempunyai nilai loading yang besar pada faktor yang sama (Supranto, 2010:118-128).

Page 60: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

60

6. Hasil Penelitian

Pada bagian ini dijelaskan hasil penelitian yang telah diperoleh selama penelitian. Berdasarkan hasil

penyebaran angket yang dilakukan pada guru PPL dari Prodi Pendidikan Matematika STAIN Zawiyah

Cot Kala Langsa pada tanggal 30 agustus – 1 oktober 2013, diperoleh data faktor yang mempengaruhi

kesulitan guru PPL mengelola kelas dalam pembelajaran matematika yang analisisnya menggunakan teknik analisis faktor konfirmatori, yaitu suatu teknik analisis faktor yang berdasarkan teori atau konsep

yang telah diketahui sebelumnya. Proses analisis faktor ini menggunakan bantuan software SPSS versi

17. Berikut ini akan ditampilkan hasilnya menggunakan metode analisis faktor.

a. Merumuskan Masalah

Berdasarkan landasan teori variabel dalam analisis harus jelas, maka dalam langkah ini, Penulis

merumuskan 21 variabel dalam analisis ini, yaitu :

Tabel 1. Indikator Kesulitan Mengelola Kelas

No Aspek yang Diamati Indikator

1 X1

Saya dapat menyatukan kelompok-kelompok dalam kelas,

seperti kelompok siswa yang berkemampuan rendah, sedang,

dan tinggi dalam pembelajaran matematika

2 X2 Saya tidak membedakan antara siswa laki-laki dan perempuan

dalam pembelajaran matematika

3 X3 Saya dapat menyatukan persepsi antara siswa laki-laki dan

perempuan dalam pembelajaran matematika

4 X4 Saya mampu mengatasi keributan yang ada di dalam kelas.

5 X5 Saya mampu mengatasi siswa yang berbicara dalam kelas saat

pembelajaran matematika

6 X6 Saya mampu mengatasi perbedaan pendapat yang terjadi dalam

suatu kelompok di dalam kelas matematika

7 X7 Saya dapat mengurangi/mengatasi perselisihan antar kelompok

di dalam kelas matematika

8 X8 Saya dapat menenangkan keributan/konflik yang terjadi dalam

suatu kelompok ketika proses pembelajaran matematika

9 X9

Saya mampu mengurangi reaksi negatif siswa terhadap

kelompok lain, seperti merendahkan kelompok yang

berkemampuan rendah dalam matematika

10 X10 Saya dapat mengontrol siswa yang ingin mengacaukan keadaan kelas ketika pembelajaran matematika

11 X11

Saya mampu mencegah/mengatasi siswa yang dengan sengaja

mendorong prilaku temannya untuk tidak mengikuti aturan

dalam pembelajaran matematika

12 X12

Saya mampu mengatur siswa yang menerima (mendukung)

siswa lain agar mengganggu ketertiban proses pembelajaran

matematika

13 X13 Saya mampu mengatasi hal-hal yang mengganggu proses

pembelajaran matematika

14 X14 Saya mampu mengembalikan fokus siswa terhadap matematika

yang terganggu akibat perubahan cuaca yang dramatis

15 X15

Saya mampu mengendalikan siswa agar tidak terpengaruh

dengan pelajaran lain di luar kelas matematika yang bersifat

tidak lazim

16 X16 Saya mampu mengatasi siswa yang menampakkan sikap

negatif akibat kurangnya alat belajar di dalam kelas matematika

17 X17

Saya mampu mengendalikan siswa yang cenderung agresif jika

ditempatkan pada posisi yang kurang bagus dalam pembelajaran matematika

18 X18 Saya mampu meleraikan siswa yang bermusuhan di dalam

kelas matematika

Page 61: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

61

b. Identifikasi Kecukupan Data Untuk mengetahui data dapat dianalisis faktor atau kecukupan data dapat menggunakan uji statistik

Kaiser-Mayer Olkin (KMO) mengukur sampling adequacy dimana nilai KMO ≥ 0,5. Sedangkan untuk

mengetahui korelasi antar variabel (uji reliabilitas) menggunakan Barlett’s test of sphericity yaitu suatu uji statistik yang dipergunakan untuk menguji apakah variabel saling berkorelasi atau tidak di dalam

populasi. Kecukupan data atau sampel dapat diidentifikasi melalui nilai KMO dan Measure of Sampling

Adequacy (MSA). Nilai tersebut diperoleh dengan menggunakan bantuan software SPSS dengan

melihat nilai Barlett’s Test Of Sphericity. Berikut ini hasil dari Kaiser-Meyer-Olkin (KMO) Measure of

Sampling Adequacy (MSA) dan Barlett’s Test.

Tabel 2. Hasil Uji KMO and Bartlett's Test

Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy .522

Bartlett's Test of Sphericity Approx. Chi-Square 338.697

Df 210

Sig. .000

Berdasarkan tabel 2 diketahui asumsi kecukupan data terpenuhi dengan nilai MSA (Measure of

Sampling Adequacy) sebesar 0,522, ini berarti lebih dari 0,5, sedangkan Bartlett’s Test of Sphericity

dengan Chi-Square 338,697 (df = 210) dan nilai sig = 0,000 kurang dari 0,05 maka dapat disimpulkan

uji kecukupan data telah terpenuhi dan variabel (faktor) kesulitan guru PPL mengelola kelas pada

pembelajaran matematika telah memenuhi asumsi korelasi (reliabel), dengan demikian kedua asumsi

untuk analisis faktor terpenuhi dan dapat dianalisis lebih lanjut.

c. Analisis Variabel Untuk mengetahui variabel-variabel yang mana saja yang dapat dianalisis lebih lanjut dapat diketahui

melalui nilai MSA (Measure of Sampling Adequacy) yang terdapat pada tabel anti-image matrices yang

diperoleh dengan bantuan software SPSS. Dari tabel tersebut dapat dilihat hasil analisis awal yang

menunjukan nilai MSA untuk variabel-variabel yang diteliti. Berdasarkan landasan teori variabel yang

mempunyai nilai kurang dari 0,5 dikeluarkan dari pemilihan variabel. Dari hasil analisis, variabel-

variabel yang dikeluarkan dari pemilihan varibel penelitian yaitu: X1, X2, X6, X7, X8, X12,

X14,X15,X19,X21 dan variabel-variabel yang lain akan dianalisis lebih lanjut. Setelah melakukan analisis

variabel maka peneliti menentukan metode yang digunakan dalam analisis faktor.

d. Analisis Variabel (Kedua) Setelah diperoleh variabel-variabel yang dapat dianalisis lebih lanjut, maka analisis diulang kembali

dengan cara yang sama dengan variabel-variabel yang tersisa. Setelah beberapa variabel dikeluarkan

dari analisis, maka dilakukan identifikasii kecukupan data dan korelasi antar variabel kembali seperti

pada analisis tahap pertama. Berikut ini akan ditampilkan nilai KMO dan Barlett’s Test analisis kedua.

Tabel 3. Hasil Uji KMO and Bartlett's Test Analisis Kedua

Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. .758

Bartlett's Test of Sphericity Approx. Chi-Square 138.542

df 55

Sig. .000

Berdasarkan tabel 3 diketahui asumsi kecukupan data pada analisis kedua (analisis ulang) terpenuhi

dengan nilai MSA (Measure of Sampling Adequacy) sebesar 0,758, ini berarti nilai MSA (Measure of

Sampling Adequacy) mangalami kenaikan, sedangkan Bartlett’s Test of Sphericity dengan Chi-Square

138,542 (df = 55) dan nilai sig = 0,000. Sehingga dapat disimpulkan uji kecukupan data pada analisis

kedua telah terpenuhi dan variabel (faktor) kesulitan guru PPL mengelola kelas pada pembelajaran

19 X19 Saya mampu mengatasi siswa yang mengeluh di dalam kelas

apabila diberikan pekerjaan rumah (PR) matematika.

20 X20 Saya mampu mengatasi siswa yang tidak mau menyelesaikan

pekerjaan rumah (PR) matematika

21 X21 Saya mampu menghadapi situasi-situasi baru di kelas

matematika

Page 62: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

62

matematika telah memenuhi asumsi korelasi, dengan demikian kedua asumsi untuk analisis faktor

terpenuhi dan dapat dianalisis lebih lanjut.

e. Analisis Variabel (Ketiga) Untuk mengetahui variabel-variabel yang mana saja yang dapat dianalisis lebih lanjut dapat diketahui

melalui nilai MSA yang terdapat pada tabel anti-image matrices kedua. Dari tabel tersebut dapat dilihat

hasil analisis kedua yang menunjukkan masih terdapat variabel yang mempunyai nilai MSA < 0,5 yaitu

pada variabel X3, X5, X10, X17 maka variabel tersebut dapat dikeluarkan dari pemilihan variabel. Setelah variabel X3, X5, X10, X17 dikeluarkan karena tidak memenuhi persyaratan maka variabel-variabel yang

tersisa di analisis ulang kembali dengan cara yang sama. Setelah mengeluarkan variabel yang tidak

memenuhi persyaratan maka kembali dilakukan identifikasi kecukupan data dan korelasi antar variabel

seperti pada analisis sebelumnya. Berikut ini akan ditampilkan nilai KMO dan Barlett’s Test analisis

ketiga. Tabel 4. Hasil Uji KMO and Bartlett's Test Analisis Ketiga

Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. .799

Bartlett's Test of Sphericity Approx. Chi-Square 64.222

df 21

Sig. .000

Berdasarkan tabel 4 diketahui asumsi kecukupan data pada analisis ketiga terpenuhi dengan nilai MSA

(Measure of Sampling Adequacy) sebesar 0,799, sedangkan Bartlett’s Test of Sphericity dengan Chi-

Square 64,222 (df = 21) dan nilai sig = 0,000. Sehingga dapat disimpulkan uji kecukupan data pada

analisis ketiga telah terpenuhi dan korelasi antar variabel terpenuhi, dengan demikian kedua asumsi

untuk analisis faktor terpenuhi dan dapat dianalisis lebih lanjut.

f. Analisis Variabel (Keempat) Melalui nilai MSA (Measure of Sampling Adequacy) yang terdapat pada tabel anti-image matrices ketiga, dapat diperoleh hasil bahwa masih terdapat variabel yang mempunyai nilai MSA < 0,5 yaitu

pada variabel X13, X16, X21 maka X13, X16, X21 dikeluarkan dari pemilihan variabel dan analisis diulang

kembali. Pada analisis ketiga, variabel yang dikeluarkan yaitu X13, X16, X21, oleh karena itu analisis

diulang kembali dengan cara yang sama. Pada analisis ketiga masih terdapat variabel yang mempunyai

nilai MSA < 0,5; oleh karena itu analisis di ulang kembali. Berikut ini akan ditampilkan nilai KMO.

Tabel 5. Hasil Uji KMO and Bartlett's Test Analisis Keempat

Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. .767

Bartlett's Test of Sphericity Approx. Chi-Square 23.103

df 6

Sig. .001

Berdasarkan tabel 5 diketahui asumsi kecukupan data pada analisis keempat terpenuhi setelah variabel-

variabel yang tidak memenuhi persyaratan dikeluarkan dari analisis dengan nilai MSA sebesar 0,767,

sedangkan Bartlett’s Test of Sphericity dengan Chi-Square 23,103 (df = 6) dan nilai sig = 0,001.

Sehingga dapat disimpulkan uji kecukupan data pada analisis keempat telah terpenuhi dan korelasi

antar variabel terpenuhi dan korelasi antar variabel terpenuhi, dengan demikian kedua asumsi untuk

analisis faktor terpenuhi dan dapat dianalisis lebih lanjut.

g. Analisis Variabel (Kelima)

Seperti pada analisis sebelumnya untuk melanjutkan analisis ketahap berikutnya, maka peneliti terlebih

dahulu menganalisis variabel-variabel yang memenuhi persyaratan untuk dianalisis lebih lanjut melului

nilai MSA (Measure of Sampling Adequacy) yang terdapat pada tabel anti image matrices.

Tabel 6. Perbandingan Nilai MSA

Variabel Nilai MSA I Nilai MSA II Nilai MSA III Nilai MSA IV

X4 0,665 0,722 0,762 0,788

X9 0,625 0,569 0,603 0,750

Page 63: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

63

X11 0,578 0,514 0,601 0,825

X18 0,676 0,685 0,662 0,734

Berdasarkan tabel 6 di atas dapat disimpulkan hanya variabel-variabel yang mempunyai nilai MSA >

0,5 dari analisis pertama sampai analisis keempat yang dapat dilanjutkan ke tahap analisis berikutnya.

Menentukan Metode Analisis Faktor Setelah melakukan anilisis variabel maka peneliti menentukan metode yang digunakan dalam analisis

faktor. Dalam penelitian ini digunakan metode Principal Components Analysis (PCA). Di dalam metode

ini, jumlah varian dalam data dipertimbangkan. Berikut ini akan ditampilkan print out komputer sebagian hasil pengolahan data dengan menggunakan Principal Components Analysis (PCA).

Tabel 7. Communalities

Variabel Initial Extraction

X1 1.000 .713

X2 1.000 .765

X3 1.000 .640

X4 1.000 .812

X5 1.000 .865

X6 1.000 .703

X7 1.000 .910

X8 1.000 .874

X9 1.000 .673

X10 1.000 .827

X11 1.000 .671

X12 1.000 .689

X13 1.000 .654

X14 1.000 .856

X15 1.000 .911

X16 1.000 .816

X17 1.000 .820

X18 1.000 .827

X19 1.000 .773

X20 1.000 .756

X21 1.000 .798

Berdasarkan tabel 7 dapat dilihat nilai communality yaitu jumlah varian yang disumbangkan oleh suatu

variabel dengan seluruh variabel lainnya dalam analisis dengan menggunakan metode Principal

Components Analysis (PCA). Untuk setiap variabel masing-masing mempunyai nilai communality

sebesar 1 (satu).

h. Penentuan Banyak Faktor Dengan eigenvalue Untuk menentukan banyaknya faktor yang terbentuk dari variabel-variabel yang tersisa dapat ditentukan

dengan nilai eigenvalue. Berdasarkan landasan teori nilai eigenvalue yang lebih dari atau sama dengan

1(satu) yang dimasukan sebagai faktor. Dengan menggunakan bantuan software SPSS dapat diperoleh nilai eigenvalue seperti yang ditampilkan pada tabel dibawah ini.

Page 64: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

64

Tabel 8. Nilai Eigenvalue

Componen

t

Initial Eigenvalues Extraction Sums of Squared Loadings

Total % of Variance Cumulative % Total % of Variance Cumulative %

1 2.317 57.926 57.926 2.317 57.926 57.926

2 .667 16.667 74.593

3 .562 14.041 88.634

4 .455 11.366 100.000

Dari tabel 8 dapat dilihat bahwa ada 1 komponen yang mempunyai nilai eigenvalue lebih dari 1(satu)

yaitu faktor 1 dengan eigenvalue 2,317 dan persentase yaitu sebesar 57,926%, maka dapat disimpulkan

ada 1 faktor yang dapat terbentuk.

i. Melakukan Rotasi Faktor Sebelum menginterpretasikan faktor maka dilakukan rotasi faktor terlebih dahulu yaitu untuk mengetahui korelasi antara faktor dengan variabel, dan hanya korelasi yang diwakili factor loading yang

mempunyai nilai di atas 0,30 yang dianggap cukup kuat berkorelasi. Berikut ini akan ditampilkan

korelasi faktor dengan variabel sebelum dirotasi faktor :

Tabel 9. Component Matrixa (sebelum dirotasi)

Variable Component

1

X4 .756

X9 .789

X11 .684

X18 .809

Dari tabel 9 di atas, diperoleh bahwa faktor 1 berkorelasi dengan variabel X4, X9, X11, X18. Dari hasil

tersebut dapat disimpulkan bahwa setiap variabel hanya berkorelasi pada satu faktor saja sehingga

mudah untuk diinterpretasikan.

7. Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di SMA/sederajat yang ada di Kota Langsa yaitu yang

ditujukan kepada guru PPL dari Prodi PMA STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa pada tahun akademik

2013/2014 sebanyak 28 orang mahasiswa. Hasil penelitian diperoleh melalui empat (4) kali analisis

faktor; bahwa pada analisis pertama diperoleh nilai Kaiser-Mayer Olkin (KMO) sebesar 0,522

sedangkan Barlett’s test of sphericity dengan Chi-Square 338,697 (df = 210) dan nilai sig = 0,000

kurang dari 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa data telah valid dan reliabel dan data dapat dianalisis

lebih lanjut. Kemudian dari analisis variabel diperoleh variabel-variabel yang tidak memenuhi

persyaratan untuk dianalisis faktor atau variabel-variabel yang dikeluarkan dari analisis yaitu X1, X2,

X6, X7, X8, X12, X14, X15, X19, X21, Setelah variabel-variabel yang tidak memenuhi persyaratan analisis

faktor dikeluarkan, maka analisis faktor diulang kembali sampai tidak ada lagi variabel yang tidak

memenuhi persyaratan analisis faktor, pada analisis faktor kedua masih terdapat variabel yang tidak memenuhi persyaratan yaitu variabel X3, X5, X10, X17, dan pada analisis faktor yang ketiga diperoleh

variabel yang tidak memenuhi persyaratan yaitu X13, X16, X21, dan variabel yang tersisa sebanyak empat

variabel yang kemudian dianalisis faktor keempat. Pada analisis keempat, diperoleh KMO sebesar

0,767 sedangkan Bartlett’s Test of Spherycity dengan Chi-Square 23,103 (df = 6) dan nilai sig = 0,001,

yang berarti data masih valid dan reliabel. Berdasarkan analisis variabel keempat, ternyata tidak

terdapat variabel yang tidak memenuhi persyaratan analisis faktor, maka empat variabel tersebut dapat

dianalisis lebih lanjut. Setelah menentukan metode yang digunakan dalam analisis faktor yaitu principal

components analysis (PCA), langkah berikutnya yaitu menentukan banyaknya faktor yang terbentuk

dari empat (4) variabel yang ada. Dengan melihat nilai eigenvalue yang lebih dari 1 maka diperoleh satu

faktor yang terbentuk yang nilai eigenvalue-nya adalah 2,317. Setelah diketahui faktor yang terbentuk

selanjutnya menentukan variabel pada setiap faktor dengan melakukan rotasi faktor. Setelah dilakukan rotasi faktor, diperoleh faktor 1 berkorelasi dengan variabel X4, X9, X11, X18. Artinya bahwa faktor

utama yang menyebabkan kesulitan guru PPL mengelola kelas dalam pembelajaran matematika di SMA

Page 65: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

65

se–Kota Langsa adalah adanya toleransi kelas terhadap kekeliruan-kekeliruan yang muncul di dalam

kelas.

8. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa total persentase

varians dari keempat faktor yang menyebabkan guru PPL kesulitan mengelola kelas dalam

pembelajaran matematika adalah sebesar 57,926%, dimana faktor dominannya adalah adanya toleransi

kelas terhadap kekeliruan-kekeliruan yang muncul di dalam kelas, diantaranya; 1) Guru PPL kurang mampu mengatasi keributan yang ada di dalam kelas, 2) Guru PPL kurang mampu mengurangi reaksi

negatif siswa terhadap kelompok lain, seperti merendahkan kelompok yang berkemampuan rendah, 3)

Guru PPL kurang mampu mencegah/mengatasi siswa yang dengan sengaja mendorong perilaku

temannya untuk tidak mengikuti aturan, 4) Guru PPL kurang mampu meleraikan siswa yang

bermusuhan di dalam kelas.

Daftar Pustaka Ahmad Rohani, 2004. Pengelolaan Pengajaran, Jakarta: Rineka Cipta.

Hamid Darmadi. 2009. Kemampuan Dasar Mengajar. Bandung : Pustaka Setia.

Hamzah B. Uno. 2008. Profesi Kependidikan, Jakarta: Bumi Aksara.

J. Supranto, 2010. Analisis Multivariat Arti dan Interpretasi. Jakarta : Rineka Cipta.

Kunandar. 2007. Guru Profesional Implementasi Kurikulum KTSP dan Su kses dalam Sertifikasi Guru.

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Ngalim Purwanto. 2007. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Riduwan. 2010. Belajar Mudah Penelitian untuk Guru, Karyawan, dan Peneliti Pemula. Bandung:

Alfabeta.

Singgih Santoso.2012. Aplikasi SPSS pada Statistik Multivariat. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Soejadi. 2001. Kiat-kiat Matematika di Indonesia. Jakarta: Depdiknas.

Syaiful Bahri Djamarah, 2005. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, Jakarta: Rineka Cipta.

Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, 2002. Strategi Belajar Mengajar .Jakarta :Rineka Cipta.

Syaiful Sagala. 2011. Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan. Bandung: Alfabeta.

Zulkarnaini, dkk, 2012. Panduan Akademik STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa Tahun Akademik. Langsa:

STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa.

Page 66: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

66

KESALAHAN SISWA MAN MODEL BANDA ACEH DALAM

MENYELESAIKAN SOAL-SOAL FUNGSI

Budiman, Rahmat Fitra, dan M. Hasbi

Dosen Prodi Pend. Matematika, FKIP Unsyiah, Banda Aceh

Mahasiswa S2 Pend. Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Email: [email protected]

Dosen Prodi Pend. Matematika, FKIP Unsyiah, Banda Aceh

Abstrak. Permasalahan pembelajaran matematika SMA/MAN saat ini adalah

rendahnya pemahaman siswa terhadap konsep. Hal ini ditandai dengan banyak

kesalahan-kesalahan yang dilakukan siswa saat menyelesaikan soal-soal

matematika khususnya fungsi. Dengan demikian diperlukan penelitian yang

bertujuan untuk mengidentifikasi jenis kesalahan yang dilakukan siswa dalam

menyelesaikan soal soal fungsi dan mengidentifikasi penyebab terjadinya

kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal fungsi. Penelitian ini merupakan

jenis penelitian kualitatif. Subjek penelitian adalah siswa kelas IX MAN Model Banda Aceh yang berjumlah 59 orang. Subjek wawancara adalah berjumlah 5

orang. Hasil penelitian diperoleh, kesalahan siswa dalam menyelesaikan soals-

soal fungsi yaitu kesalahan konsep, operasi dan kesalahan verbal. Penyebab

kesalahan adalah: belum memahami definisi fungsi, definisi fungsi injektif,

surjektif dan bijektif, fungsi genap, fungsi ganjil, belum mahir dalam

perhitungan aljabar, belum mahir dalam menggunakan prinsip fungsi invers

dan langkah-langkah menentukan fungsi invers dan invers fungsi komposisi.

Kata kunci: jenis kesalahan siswa, penyebab kesalahan, fungsi

1. Pendahuluan

Matematika mempunyai peranan penting dalam menunjang keberhasilan siswa, karena matematika

merupakan sarana untuk mempelajari mata pelajaran lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Karso

(1993:80) ”Matematika diajarkan di sekolah karena matematika dapat membantu bidang studi lain

seperti fisika, kimia, arsitektur, farmasi, geologi, ekonomi, statistik dan sebagainya”.

Sehubungan dengan peranan matematika yang sangat penting, matematika merupakan salah satu mata

pelajaran diajarkan di setiap jenjang sekolah baik tingkat dasar, menengah maupun perguruan tinggi.

Tujuan pembelajaran matematika berdasarkan Badan Standar Nasioal Pendidikan (BSNP; 2006) adalah

agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: 1. memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan

konsep dan algoritma secara akurat, efisien dan tetap dalam pemecahan masalah,

2. menggunakan penalaran pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat

generalisasi, menyusun bukti atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika,

3. memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model

matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh,

4. mengkomunikasi gagasan dengan simbol, tabel, diagram atau media lain untuk memperjelas

keadaan atau masalah, dan

5. memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin

tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika serta sikap ulet dan percaya diri

dalam pemecahan masalah.

Tujuan pembelajaran matematika tersebut menekankan pada pemahaman siswa terhadap konsep,

penggunaan konsep dan hubungan antara konsep. Namun kenyataan menunjukkan pemahaman siswa

terhadap konsep fungsi, hubungan antar konsep dan penggunaan konsep dalam menyelesaiakan

masalah belum memadai. Masih banyak siswa yang tidak memahami arti fungsi dari himpunan A ke

bimpunan B, arti nilai fungsi di suatu titik, dan menggunakan konsep fungsi dalam menyelesaikan

masalah matematika. Rendahnya pemahaman siswa dalam memahami konsep fungsi ditandai dengan

banyaknya kesalahan yang dilakukan siswa dalam menyelesaiakan soal-soal tentang fungsi, baik

kesalahan konsep, prinsip, operasi dan menyelesaiakan soal dalam bentuk verbal.

Page 67: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

67

Hal ini didukung hasil penelitian Purnami (1994) bahwa pemahaman siswa terhadap konsep fungsi

bervariasi. Demikian juga pemahaman siswa terhadap penulisan notasi fungsi, rumus (aturan) fungsi,

daerah asal, daerah kawan dan daerah hasil, fungsi komposisi dan fungsi invers juga bervariasi.

Misalnya:

1. Ketika diminta memberikan contoh relasi yang merupakan fungsi dan contoh relasi yang bukan

fungsi, variasi jawaban siswa antara lain adalah memberikan contoh dalam bentuk diagram panah

yang benar, memberikan contoh dalam bentuk diagram panah, pasangan berurutan dan disertai

dengan notasi fungsi, tetapi penulisan notasi fungsi salah. Mestinya ditulis {(0,0), (1,1), (2,4)},

tetapi siswa menulis (0,0), (1,1), (2,4). Mestinya f :A→B, tetapi ditulis f(A) → B.

2. Sebahagian siswa tidak dapat membedakan relasi yang merupakan fungsi atau bukan fungsi. 3. Sebahagian siswa menyatakan bahwa fungsi harus dengan rumus. Bahkan ada siswa yang

mengatakan bahwa f(x) = 1 bukan fungsi karena tidak ada ”x” dalam persamaannya.

4. Dari hasil wawancara terungkap bahwa sebahagian siswa tidak dapat menentukan range fungsi

yang disajikan dengan grafik, yaitu dengan mengatakan bahwa titik- titik pada grafik merupakan

daerah hasil (range).

5. Sebahagian siswa menganggap sama daerah kawan dan daerah hasil.

6. Tentang hubungan antara konsep fungsi dengan pokok bahasan lain, sebahagian siswa mengatakan

tak merasa ada hubungan antara fungsi dengan pelajaran lain.

7. Sebahagian siswa mengatakan pernah mendengar fungsi kosinus tetapi tidak tahu pasti apakah f(x)

= cos x adalah fungsi atau bukan.

Permasalahan di atas juga ditemukan siswa MAN Model Banda Aceh. Oleh karena itu, diperlukan

penelitian tentang permasalahan tersebut. Tujuan penelitian: (1) untuk mengidentifikasi jenis kesalahan

yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal fungsi dan (2) mengidentifikasi penyebab terjadinya

kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal fungsi.

2. Landasan Teori

Karakteristik Matematika

Setiap mata pelajaran memiliki karakteristik tertentu, baik ditinjau dari aspek kompetitif yang ingin

dicapai maupun aspek materi yang dipelajari dalam rangka menunjang tercapainya kompetensi. Karakteristik matematika menurut Soedjadi (2000:13-18) adalah sebagai berikut: (a) Memiliki objek

abstrak yang meliputi fakta, konsep, operasi dan prinsip abstrak, (b) Bertumpu pada kesepakatan, (c)

Berpola pikir deduktif, (d) Memiliki simbol yang kosong dalam arti, (e) Memperhatikan semesta

pembicaraan, dan (f) Konsisten dalam pembicaraan. Di samping itu matematika juga bersifat hirarkis

yaitu suatu materi merupakan prasyarat untuk mempelajari materi selanjutnya. Menurut Gagne

(Hudoyo: 2005), secara garis besar matematika memiliki objek kajian yang abstrak sebagai berikut:

1) Fakta. Fakta adalah pemufakatan atau konvensi dalam matematika yang biasanya diungkapkan

lewat simbol tertentu. Cara mempelajari fakta bisa dengan cara hafalan, drill (latihan menerus),

demonstrasi tertulis, dan lain-lain. Namun perlu dicamkan bahwa mengingat fakta adalah penting

tetapi jauh lebih penting memahami konsep yang diwakilinya. Dengan demikian dalam

memperkenalkan simbol atau fakta matematika kepada siswa, guru seharusnya melalui beberapa

tahap yang memungkinkan siswa dapat menyerap makna dari simbol-simbol tersebut. Sebagai contoh dalam fungsi yaitu: fungsi f memetakan A ke B, secara singkat di tulis f : A→B, invers fungsi

f, secara singkat ditulis f -1.

2) Konsep. Bell (1981:102), konsep adalah suatu ide abstrak yang memungkinkan kita untuk

mengelompokkan objek-objek atau kejadian-kejadian dan menentukan apakah objek/kejadian itu

merupakan contoh atau bukan contoh dari ide abstrak tersebut. Konsep berhubungan erat dengan

definisi, definisi adalah ungkapan yang membatasi suatu konsep, dengan adanya definisi orang dapat

membuat ilustrasi atau lambang dari konsep yang dimaksud. Suatu konsep yang berada dalam

lingkup ilmu matematika disebut konsep matematika. Contoh konsep dalam fungsi yaitu konsep

pemetaan, ada pemetaan yang merupakan fungsi, ada juga pemetaan yang bukan fungsi.

3) Operasi. Begle (1975:7) menjelaskan operasi adalah suatu fungsi yang mengaitkan objek

matematika yang satu dengan yang lain. Soedjadi (2000:5) mengungkapkan operasi yaitu aturan untuk memperoleh elemen tunggal dari satu atau lebih elemen yang diketahui. Elemen tunggal yang

diperoleh disebut sebagai hasil operasi, sedangkan elemen yang diketahui disebut dengan elemen

yang dioperasikan. Di dalam materi fungsi yang berhubungan dengan operasi yaitu pada aljabar

fungsi yang menyangkut penjumlahan, pengurangan, pembagian dan perkalian dua buah fungsi.

Page 68: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

68

4) Prinsip. Menurut Soedjadi (2000:15), prinsip adalah hubungan antara berbagai objek matematika.

Prinsip dapat terdiri atas beberapa konsep yang dikaitkan oleh suatu relasi/operasi, dengan kata lain

prinsip adalah hubungan antara berbagai objek dasar matematika. Prinsip dapat berupa aksioma,

teorema dan sifat. Contoh dari prinsip dalam fungsi misalnya prinsip f ◦ g(x) = f (g(x)), f (g(x)) ≠

g(f(x)).

Jenis Kesalahan dan Faktor Penyebab Kesalahan Siswa

Kesalahan adalah penyimpangan dari yang sebenarnya, atau hal yang telah disepakati sebelumnya.

Sukirman (dalam Swida 2000: 36) mengklasifikasikan kesalahan yang diperbuat siswa pada setiap

aspek penguasaan bahan pelajaran matematika adalah kesalahan konsep, kesalahan operasi, dan kesalahan prinsip. Clement (dalam Haryono, 1998:13) membedakan kesalahan yang dibuat siswa

menjadi dua kategori yaitu: kesalahan sistematis dan kesalahan kealpaan (careless).

Berdasarkan pendapat di atas, kesalahan siswa adalah suatu kejadian atau tingkah laku yang diamati

dari hasil kerja siswa dalam menyelesaikan soal-soal fungsi yang tidak sesuai dengan aturan-aturan atau

kesepakatan-kesepakatan yang terdapat dalam matematika. Kesalahan meliputi, konsep, prinsip,

operasi, verbal dan kecerobohan. Pada penelitian ini jawaban tes dikatakan salah bila: (1) Menyimpang

atau tidak sesuai dengan jawaban yang telah ditetapkan; (2) Jawaban tidak lengkap dan tidak menjawab.

Selanjutnya kesalahan yang mungkin terjadi pada penelitian ini antara lain: (1) Kesalahan dalam

menjelaskan arti relasi, fungsi dan menghitung aljabar fungsi, (2) Kesalahan dalam menentukan jenis-

jenis fungsi dan sifat- sifat fungsi, (3) Kesalahan dalam menentukan komposisi dari dua fungsi, (4) Kesalahan dalam menentukan fungsi invers dan invers fungsi komposisi. Selanjutnya, kemungkinan-

kemungkinan kesalahan yang telah disebutkan di atas, akan dianalisis berdasarkan karakteristik

matematika yang diklasifikasikan ke dalam kesalahan konsep, prinsip, operasi, dan kesalahan verbal.

3. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang

mendeskripsikan tentang suatu hal secara mendalam. Penelitian ini terdiri dari 5 langkah yaitu: (1)

mengidentifikasi masalah yang akan diteliti – aktivitas siswa dalam menyelesaikan soal fungsi; (2)

mengidentifikasi subjek penelitian – 59 orang siswa kelas XI MAN Model Banda Aceh ; (3) pengumpulan data – kegiatan observasi dan wawancara dilakukan untuk memperoleh informasi jenis

kesalahan dan faktor penyebab kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal fungsi; (4) analisis data- data

akan dianalisis dengan cara mendeskripsikan semua aktivitas penelitian; dan (5) menarik kesimpulan.

4. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Hasil tes dan wawancara siswa dalam menyelesaikan soal-soal fungsi disajikan sebagai berikut.

1) Kesalahan Siswa dalam Memahami Pengertian Fungsi

Soal yang berkaitan dengan kesalahan ini adalah soal nomor 1. Siswa yang diwawancarai ternyata masih menunjukkan kelemahan dalam memahami pengertian fungsi. Di bawah ini disajikan hasil tes, petikan

wawancara serta analisis hasil data tersebut.

Nama siswa MR

Soal nomor 1

a) Jawaban tes :

Page 69: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

69

b) Petikan wawancara

P : Coba kamu perhatikan soal no 1, kamu paham maksud soal ?

S : Paham pak, diantara gambar a, b, c dan d disuruh tentukan mana yang merupakan fungsi dan

mana yang bukan.

P : Coba kamu perhatikan jawaban yang sudah kamu jawab ketika tes, apakah kamu masih setuju

dengan jawaban tersebut? (sambil menunjukkan kertas jawaban tes)

S : (Siswa memperhatikan jawaban). Masih pak, yang merupakan fungsi adalah gambar a dan d,

sedangkan gambar b dan c bukan fungsi.

P : Coba kamu jelaskan mengapa diagram a dan d itu fungsi dan diagram b dan c itu bukan

fungsi?

S : Kalau gambar a fungsi, karena relasi A ke B mendapatkan satu himpunan, tidak ada yang kosong dari fungsi B dan mendapat himpunan dari A. Kalau gambar b bukan fungsi, karena

dari relasi B ada yang kosong. Karena kalau kosong bukan fungsi pak. Kalau gambar c juga

bukan fungsi, karena masih sama dengan gambar b yaitu masih ada yang kosong. Kalau yang

no d fungsi, karena B nya mendapat himpunan dari A, walaupun A nya ada yang kosong pak.

P : Berdasarkan apa yang kamu pelajari, apa pengertian dari fungsi?

S : (diam)…Eumm fungsi itu misalkan ada relasi A ke B, B ini mendapatkan himpunan dari A, itu

setahu saya pak.

Dari hasil kerja siswa dan wawancara diperoleh MR belum memahami konsep relasi yang

merupakan fungsi. Hal ini terlihat siswa tidak dapat membedakan dan memberikan alasan yang tepat

mana relasi yang merupakan fungsi dan mana relasi yang bukan fungsi. Dari hasil wawancara juga juga ditemukan bahwa siswa belum menguasai konsep fungsi yaitu siswa tidak bisa menyebutkan definisi

fungsi secara jelas. Berkaitan dengan kesalahan, MR melakukan kesalahan konsep yang disebabkan

karena siswa belum bisa membedakan mana relasi yang merupakan fungsi dan mana relasi yang bukan

fungsi. Dengan demikian, MR melakukan kesalahan konsep yang disebabkan oleh tidak dapat

membedakan relasi yang merupakan fungsi dan relasi yang bukan fungsi.

2) Kesalahan Siswa dalam Menentukan Jenis - Jenis Fungsi dan Sifat - Sifat Fungsi.

Soal yang berkaitan dengan kesalahan ini adalah soal-soal nomor 3 dan 4. Siswa yang diwawancarai

ternyata masih belum dapat menentukan jenis – jenis fungsi dan sifat – sifat fungsi. Di bawah ini

disajikan hasil tes, petikan wawancara serta analisis hasil data tersebut. Nama siswa FI

Soal nomor 3

a) Jawaban Tes

b) Petikan Wawancara

P : Coba kamu perhatikan soal no 3, apa maksud dari soal tersebut?

S : Disuruh periksa ke dua buah fungsi a dan b, apakah termasuk fungsi genap, ganjil atau

bukan keduanya. P : Coba kamu jelaskan lembar jawaban kamu pada saat tes?(sambil menunjukkan kertas lembar

jawaban).

S : Emmm….saya tidak tahu juga prosesnya bagaimana, tapi saya buat yang nomor a itu termasuk

fungsi ganjil karena pada fungsi tersebut terdapat angka 3 dan angka 3 itu termasuk angka

ganjil, makanya saya buat yang nomor a adalah fungsi ganjil.

Kalau fungsi yang b itu saya buat fungsi genap, karena ada angka 2 pada fungsi tersebut.

Page 70: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

70

P : Menurut anda, apa yang dimaksud dengan fungsi genap?

S : Kalau fungsi genap berarti pada fungsi itu harus ada angka genap.

P : Kalau pengertian fungsi ganjil, bagaimana?

S : fungsi ganjil berarti pada fungsi itu harus ada angka ganjil pak.

P : Kamu yakin dengan jawaban kamu?

S : Yakin pak.

Dari hasil tes dan wawancara, FI mengalami kesalahan konsep, yaitu salah dalam menentukan fungsi

genap dan fungsi ganjil karena FI cuma menuliskan jawaban tanpa membuat alas an. Kesalahan ini

disebabkan oleh FI tidak menguasai konsep fungsi genap dan fungsi ganjil. Dengan demikian, FI

melakukan kesalahan konsep. Penyebabnya belum memahami konsep fungsi genap dan fungsi ganjil.

Nama siswa FR

Soal nomor 4

a) Jawaban tes:

b) Petikan wawancara

P : Coba kamu perhatikan jawaban yang no 4, coba kamu jelaskan mengapa gambar (I) fungsi

surjektif, gambar (II) fungsi bijektif dan gambar (III) fungsi injektif ?

S : Gambar (I) saya buat surjektif karena semua anggota dari himpunan A mempunyai relasi ke

himpunan B yang berpasangan, jadi tidak saling silang.

Gambar (II) itu saya buat fungsi bijektif, karena ada 2 anggota himpunan A yang berelasi ke

satu anggota himpunan B, kalau bercabang- cabang itu disebut fungsi bijektif.

Gambar (III) itu fungsi injektif, karena dari himpunan B ada yang tidak berelasi ke himpunan

A. Jadi kalau ada yang kosong itu fungsi injektif pak.

P : Jadi menurut kamu apa pengertian dari fungsi surjektif?

S : Kalau pengertiannya saya tidak paham betul pak, karena sewaktu saya menjawab saya menganalisa soal, kalau surjektif itu menunjuk ke suatu subjek, jadi berpasang- pasangan.

P : pengertian dari fungsi bijektif?

S : Kalau bijektif itu ada kata- kata bi yang artinya dua, jadi ada dua yang bercabang.

P : pengertian fungsi injektif?

S : Kalau injektif itu karena surjektif dan bijektifnya sudah ada, maka yang tinggal injektif pak.

Dari hasil tes dan wawancara diperoleh FR melakukan kesalahan konsep, yaitu tidak bisa

membedakan antara ketiga diagram fungsi surjektif, fungsi injektif dan fungsi bijektif. Hal ini

disebabkan karena siswa tidak menguasai konsep fungsi surjektif, fungsi injektif, dan fungsi bijektif.

Dengan demikian, FR mengalami kesalahan konsep. Penyebabnya siswa tidak menguasai konsep fungsi

surjektif, fungsi injektif dan fungsi bijektif.

3) Kesalahan Siswa dalam Menentukan Rumus Fungsi Invers dan Invers Fungsi Komposisi.

Soal yang berkaitan dengan kesalahan ini adalah soal nomor 7 dan 8. Siswa yang diwawancarai ternyata

masih belum terampil menentukan rumus invers, dan juga belum dapat menentukan invers dari fungsi

komposisi. Di bawah ini disajikan hasil tes, petikan wawancara serta analisis hasil data tersebut.

Page 71: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

71

Nama siswa RA

Soal nomor 7b

a) Jawaban Tes

b) Petikan Wawancara

P : Mengapa kamu tidak menjawab soal no 7b?

S : Tidak tau pak.

P : Mengapa kamu tidak tahu, apakah kamu tidak memahami maksud soal ?

S : Saya tidak tahu cara mencarinya, karena soalnya f(x + 2) pak, bukan f(x) saja.

P : Kamu tahu cara mencari rumus untuk fungsi invers? S : Tahu pak, misalkan dulu f(x) itu dengan y, kemudian nanti kalau sudah dapat hasil ditukar

lagi nilai y dengan nilai x.

P : Perhatikan soal no 7b, mana yang menjadi f(x) nya?

S : Tidak ada pak, harus dicari dulu dari f(x + 2) itu. Tapi saya tidak bisa pak.

Dari hasil wawancara diperoleh data bahwa siswa RA memahami prinsip menentukan fungsi invers,

tetapi siswa tidak memahami operasi untuk mencari f(x) dari f(x + 2). Dengan demikian, RA mengalami

kesalahan operasi disebabkan karena siswa belum memahami cara mencari mengoperasikan f(x + 2)

untuk mendapatkan f(x) supaya bisa dicari inversnya.

Nama siswa FR

Soal nomor 8

a) Jawaban tes

b) Petikan wawancara

P : Coba kamu perhatikan jawaban no 8, apakah kamu masih setuju dengan jawaban kamu?

S : Masih pak.

P : Bagaimana cara kamu mencarinya sehingga kamu dapatkan hasil 2𝑥+5

3

S : Untuk langkah pertama saya cari f invers dulu, kemudian saya cari g invers, lalu baru saya

gabung, sehingga di dapat 2𝑥+5

3.

P : Coba kamu buat penguraian rumus (g ◦ f)-1(x)!

S : Siswa menuliskan (g-1 ◦ f-1)(x) = g-1(f-1(x)).

P : Kamu yakin (g-1 ◦ f-1)(x) = g-1(f-1(x)).?

S : Yakin pak, sama.

Page 72: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

72

Dari hasil wawancara diperoleh data bahwa siswa FR mengalami kesalahan prinsip, yaitu tidak

memahami prinsip invers fungsi komposisi. Dengan demikian, FR mengalami kesalahan prinsip

disebabkan karena siswa belum memahami prinsip invers fungsi komposisi.

5. Simpulan dan Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan kesalahan siswa dalam menyelesaikan

soal-soal fungsi adalah: (1) kesalahan konsep, yang meliputi: konsep fungsi, konsep jenis- jenis fungsi

dan sifat- sifat fungsi, dan konsep daerah asal fungsi, (2) kesalahan prinsip, yang meliputi: prinsip rumus fungsi invers, dan prinsip rumus invers fungsi komposisi, (3) kesalahan operasi yang meliputi: :

kesalahan dalam operasi penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian dalam perhitungan

fungsi; dan (4) kesalahan verbal, yaitu kesalahan karena kecorobohan siswa soal cerita tentang fungsi.

Faktor penyebab kesalahan siswa adalah: (1) belum memahami definisi fungsi, definisi fungsi injektif,

surjektif dan bijektif, fungsi genap, fungsi ganji, (2) belum mahir dalam perhitungan aljabar, (3) belum

mahir dalam menggunakan prinsip fungsi invers dan langkah-langkah menentukan fungsi invers dan

invers fungsi komposisi.

Dari simpulan, diharapkan kepada guru matematika, dosen untuk selalu memperhatikan terhadap

pemahaman siswa/mahasiswaa terhadap suatu materi fungsi dan materi lain dalam pelajaran

matematika. Sehingga dapat diperbaiki kesalahan-kesalahan tersebut dalam proses pembelajaran.

Daftar Pustaka

Ali, Mohammad. (1985). Penelitian Pendidikan Prosedur Srategi. Bandung: Angkara.

Arikunto, Suharsimi. (1995). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Depdiknas, (2008). Perangkat Pembelajaran Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Sekolah

Menengah Atas. Jakarta: Depdiknas.

Fitriana, Yulia. (2005). Kesulitan Siswa Kelas II SMP Negeri 6 Banda Aceh dalam Memahami Materi

Fungsi Tahun Pelajaran 2005/2006. Banda Aceh : FKIP Unsyiah.

Hamalik, Oemar. (1995). Kurikulum Pembelajaran. Jakarta: Bina Aksara.

Hudoyo, Herman. (1979). Pengembangan Kurikulum Matematika dan Pelaksanaannya di Depan Kelas.

Surabaya: Usaha Nasional.

Karso, dkk. (1993). Dasar-Dasar Pendidikan MIPA UT. Jakarta : Depdikbud.

Marzuki. (2009). Penguasan Materi Integral Siswa Kelas III IPA MAN Darussalam Banda Aceh Tahun

pelajaran 2009/ 2010. Banda Aceh: FKIP Unsyiah.

Miksalmina. (2010). Penguasaan Siswa Pada Materi Trigonometri Kelas XI IPA Man Darussalam Aceh Besar Tahun Pelajaran 2009/2010. Banda Aceh: FKIP Unsyiah.

Nana, Sudjana. (1985). Komponen Dasar dalam Pembinaan Kurikulum. Jakarta : Gramedia.

Nurkancana, Wayan dan Sumartana. (1981). Evaluasi Ilmu Pendidikan. Surabaya : Usaha Nasional.

Rusfendi. (1977). Pengantar Matematika Modern. Bandung : Transito.

Sagala, Viktor. (2001). Konsepsi Fungsi Siswa SMU Ciputra Surabaya. Makalah Konprehensif

Pascasarjana IKIP Surabaya.

Slameto. (2003). Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta., Rineka Cipta

Sujana. (1988). Evaluasi Hasil Belajar dan Umpan Balik. Jakarta: Gramedia.

Page 73: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

73

Tim Penyusun Kamus. (1991). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan.

Winkel, W.S. (1986). Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bina Aksara.

Wirodikromo, S. (2007). Matematika untuk SMA Kelas XI. Jakarta: Erlangga.

Page 74: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

74

PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL (CTL) PADA MATERI

SEGIEMPAT DI KELAS VII SMP NEGERI 1 BANDA ACEH

Dhelsy Nahraisyah Azma1, Erni Maidiyah2, dan Usman2 1Departemen Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Email: [email protected] 2Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Abstrak. Pendekatan kontekstual (CTL) merupakan suatu konsep belajar dimana guru

menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan

mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Penelitian ini mengangkat masalah

apakah dengan penerapan pendekatan kontekstual (CTL) pada materi segiempat hasil

belajar siswa di kelas VII SMP Negeri 1 Banda Aceh dapat mencapai taraf berhasil ?.

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui hasil belajar siswa melalui penerapan

pendekatan kontekstual (CTL) pada materi segiempat di kelas VII SMP Negeri 1 Banda

Aceh. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pre-eksprerimental

dengan desain the one shot case study. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas

VII SMP Negeri 1 Banda Aceh dan sampel diambil secara random satu kelas yaitu kelas

VII-1 yang berjumlah 23 siswa. Materi yang diajarkan adalah segiempat. Teknik

Pengumpulan data dilakukan dengan tes, observasi kemampuan guru mengelola pembelajaran, observasi aktivitas siswa dan respon siswa. Selanjutnya data dianalisis

dengan menggunakan uji-t. Berdasarkan perhitungan tes akhir diperoleh �̅� = 84,32 dan s

= 10,75. Analisis data dengan menggunakan uji chi-kuadrat diperoleh 2 <

2 (1-α)(k-

3) , yaitu 1,89 < 3,84, berarti sebaran data mengikuti distribusi normal. Dalam penelitian

ini diambil 𝜇0 = 80 (berdasarkan standar KKM di SMP Negeri 1 Banda Aceh) dengan

taraf signifikan α = 0,05 dan derajat kebebasan dk = n-1 = 22 sehingga diperoleh t > t1-α

yaitu 1,92 > 1,71, hipotesis H0 ditolak. . Berdasarkan hasil analisis data dapat

disimpulkan bahwa hasil belajar siswa melalui penerapan pendekatan kontekstual (CTL)

pada materi segiempat di kelas VII SMP Negeri 1 Banda Aceh sudah mencapai taraf

berhasil. (2) Bagaimana aktivitas siswa selama pembelajaran? (3) Bagaimana Respon

siswa terhadap proses pembelajaran?

Kata kunci: Pendekatan Kontekstual, Hasil Belajar, Segiempat

1. Pendahuluan

Matematika merupakan salah satu bidang studi yang diajarkan secara eksplisit mulai dari tingkat taman

kanak – kanak hingga perguruan tinggi. Matematika yang diajarkan tersebut terdiri dari bagian

matematika yang dipilih dalam usaha meningkatkan perkembangan IPTEK. Pembelajaran matematika

akan melatih kemampuan berpikir kritis, logis, analitis dan sistematis, sehingga manusia dapat

menemukan ide – ide baru yang berguna bagi perkembangan teknologi untuk menuju kehidupan manusia yang lebih baik.

Sehubungan dengan peranan matematika yang amat penting dalam perkembangan IPTEK, maka

matematika merupakan salah satu bidang studi yang wajib dipelajari mulai dari taman kanak – kanak

hingga perguruan tinggi. Tujuan pelajaran matematika dalam KTSP (2006:417) antara lain

1. memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan

konsep atau logaritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.

2. menggunakan penalaran pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat

generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.

3. memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model

matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

4. mengkomunikasikan gagasan dan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas

keadaan atau masalah.

Page 75: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

75

5. memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memilki rasa ingin

tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri

dalam pemecahan masalah.

Berdasarkan uraian di atas tujuan matematika adalah menekankan pada kemampuan memahami pengetahuan dasar siswa untuk mencapai tujuan matematika yang tercantum dalam Kurikulum Tingkat

Satuan Pendidikan, dimana kurikulum menyarankan untuk setiap kesempatan pembelajaran matematika

hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contekstual problem)

peserta didik. Dengan mengajukan masalah kontekstual, peserta didik secara bertahap dibimbing untuk

menguasai konsep matematika dan membuat peserta didik lebih aktif dalam pembelajaran. Disamping

itu, matematika dapat digunakan untuk menganalisa dan menyederhanakan berbagai masalah baik untuk

ilmu pendidikan itu sendiri maupun masalah-masalah yang timbul di dalam masyarakat.

Kenyataannya di lapangan menunjukkan bahwa kemampuan matematika siswa selama ini belum

menunjukkan hasil yang menggembirakan. Itu bisa kita lihat di saat UTS dan akhir semester, siswa yang

mendapat nilai diatas KKM kurang dari 70%. Seperti yang diketahui, banyak siswa menganggap

matematika hanyalah mata pelajaran yang membosankan, tidak menyenangkan dan tidak ada keinginan untuk berperan secara aktif di saat pembelajaran berlangsung sehingga mengakibatkan hasil belajar

siswa selama ini cenderung belum mencapai taraf berhasil.

Materi segiempat adalah salah satu dari bagian geometri yang sulit di pahami, dimana objek yang

dibicarakan adalah benda yang sifat-sifatnya abstrak, sehingga pada waktu membicarakan objek

tersebut didalam kegiatan pembelajaran dalam kelas perlu ditunjukkan kepada siswa dalam bentuk

benda yang nyata berupa model atau gambar dari benda yang dimaksud.

Salah satu pendekatan yang dapat membuat peserta didik lebih aktif dan dapat menumbuhkan motivasi

untuk mempelajari matematika yaitu dengan menggunakan pendekatan kontekstual (CTL). Nurhadi

(2004:4) mengatakan “Pendekatan kontekstual merupakan suatu konsep belajar dimana guru menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara

pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga

dan masyarakat”. Hal ini senada dengan pendapat Johnson (2006 : 91) mengatakan bahwa ketika murid

dapat mengaitkan isi dari mata pelajaran akademik seperti matematika, ilmu pengetahuan alam, atau

sejarah dengan pengalaman sendiri, mereka menemukan makna, dan makna memberi mereka alasan

untuk belajar.

Berdasarkan latar belakang diatas penulis mengangkat judul penelitian tentang “Penerapan

Pendekatan Kontekstual (CTL) Pada Materi Segiempat Di Kelas VII SMP Negeri 1 Banda

Aceh.”

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah penerapan pendekatan kontekstual (CTL) pada materi segiempat siswa di kelas VII SMP Negeri 1 Banda Aceh dapat mencapai taraf

berhasil ?, (2) Bagaimana aktivitas siswa selama pembelajaran?, (3) Bagaimana Respon siswa terhadap

proses pembelajaran?

2. Tinjauan Pustaka

Pendekatan kontekstual

Pendekatan kontekstual merupakan suatu konsep belajar dimana guru menghadirkan situasi dunia

nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya

dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Nurhadi,

2004:4).

Komponen pendekatan kontekstual (CTL)

1) Konstruktivisme

Menurut Nurhadi (2004:33) Konstruktivisme (constructivism) merupakan landasan berfikir (filosofi)

pembelajaran kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong – konyong.pengetahuan

Page 76: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

76

bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia

harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.

Selanjutnya Trianto (2009:120) Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun

pengetahuan baru dalam unsur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Esensi dari teori

konstruktivisme adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi

kompleks ke situasi yang lain, dan apabila dikehendaki informasi itu menjadi milik mereka sendiri.

Dengan dasar ini pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi bukan menerima

pengetahuan.

2) Menemukan (Inkuiri)

Menurut Nurhadi (2004:43) sebagaimana dikemukakan sebelumnya, menemukan merupakan bagian

inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual. Pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta – fakta, tetapi juga hasil dari menemukan

sendiri. Guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, apa pun materi

yang diajarkannya.

3) Bertanya (Questioning)

Menurut Nurhadi (2004: 45) Questioning (Bertanya) adalah induk dari strategi pembelajaran

kontekstual, awal dari pengetahuan, jantung dari pengetahuan, dan aspek penting dari pembelajaran.

Orang bertanya karena ingin tahu, menguji, mengkonfirmasi, memapersepsi, mengarahkan/mengiring,

mengaktifkan skemata, men-judge, mengklarifikasi, memfokuskan, dan menghindari kesalahpahaman.

Menurut Nurhadi (2004: 45) Pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang bermula dari bertanya, karena

bertanya merupakan strategi utama pembelajaran yang berbasis pendekatan CTL. Bertanya dalam

pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing,dan menilai kemampuan berfikir siswa. Bagi siswa, kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam

melaksanakan pembelajaran berbasis inkuiri, yaitu menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang

yang belum diketahuinya.

4) Masyarakat belajar (Learning Community)

Menurut Nurhadi (2004:48) Konsep learning community menyarankan agar hasil pembelajaran

diperoleh dari hasil kerjasama dengan orang lain berupa sharing antar teman, antar kelompok dan antara

yang tahu ke yang belum tahu. Selanjutnya Menurut Nurhadi (2004:49) kalau setiap orang mau belajar

dari orang lain, maka setiap orang lain bisa menjadi sumber belajar, dan ini berarti setiap orang akan

sangat kaya dengan pengetahuan dan pengalaman. Metode pembelajaran dengan tekhnik “learning

community” ini sangat membantu proses pembelajaran di kelas.

5) Pemodelan (Modeling)

Menurut Nurhadi (2004: 49) pemodelan adalah sebuah pembelajaran ketrampilan atau pengetahuan

tertentu, ada model yang bisa ditiru.pemodelan pada dasarnya membahasakan gagasan yang dipikirkan,

mendemonstrasikan bagaimana guru inginkan agar siswa-siswanya melakukan. Pemodelan dapat berbentuk demonstrasi, pemberian contoh tentang konsep atau aktivitas belajar. Selanjutnya menurut

Nurhadi (2004: 50) Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukan satu-satunya model. Model dapat

dirancang dengan melibatkan siswa.

6) Refleksi

Menurut Nurhadi (2004: 61) refleksi adalah cara berfikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir

ke belakang apa-apa saja yang sudah kita lakukan di masa yang lalu. Refleksi merupakan gambaran

terhadap kegiatan atau pengetahuan yang baru saja diterima. Siswa mngendapkan apa yang baru

dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari

pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan

yang baru diterima.

7) Penilaian sebenarnya (Aunthenthic Assesment)

Menurut Nurhadi (2004: 52) Aunthenthic Assesment adalah prosedur penilaian pada pembelajaran

kontekstual, prinsip yang dipakai dalam penilaian serta ciri-ciri penilaian autentik adalah sebagai

berikut: (1) Harus mengukur semua aspek pembelajaran: proses, kinerja, dan produk, (2) Dilaksanakan

Page 77: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

77

selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung, (3) Menggunakan berbagai cara dan berbagai

sumber, (4) Tugas-tugas yang diberikan kepada siswa harus mencerminkan bagian-bagian kehidupan

siswa yang nyata setiap hari, mereka harus dapat menceritakan pengalaman atau kegiatan yang mereka

lakukan setiap hari, (5) Penilaian harus menekankan kedalam pengetahuan dan keahlian siswa, bukan

keluasannya (kuantitas).

Hasil belajar siswa

Pada umumnya hasil belajar dapat dikelompokkan menjadi tiga ranah yaitu ranah kognitif, afektif dan

psikomotor. Menurut Arikunto (2010:117) mengatakan ada 3 ranah atau domain besar, yang terletak

pada tingkatan ke-2 yang selanjutnya disebut taksonomi yaitu: (1) Ranah kognitif (cognitive domain), (2) Ranah afektif (affective domain), (3) Ranah psikomotor (psychomotor domain).

Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, terlebih dahulu pembelajaran dilakukan dengan

menerapkan pendekatan kontekstual (CTL) pada materi segiempat. Pada akhir pertemuan, diadakan tes

untuk uji kemampuan. Data tes hasil belajar diperoleh dengan cara memberikan tes berbentuk essay.

Soal tersebut terdiri dari 5 butir soal denga skor maksimal 100, setiap soal skornya berbeda menurut

tibgkat kesukaran soal, waktu yang digunakan untuk menyelesaikna soal tes adalah 2 x 45 menit.

Aktivitas siswa

Lembar observasi ini digunakan untuk memperoleh data tentang aktivitas siswa selama pembelajaran. Lembar observasi aktivitas siswa diberikan kepada pengamat ketika guru sedang melaksanakan

pendekatan (CTL) untuk diisi setiap 5 menit dengan menuliskan kode atau nomor kategori aktivitas

siswa yang sesuai.

Respon siswa

Angket respon siswa digunakan untuk mengetahui sikap, minat dan respon siswa terhadap pembelajaran

pendekatan kontekstual (CTL) pada materi segiempat yang telah mereka ikuti. Angket ini diberikan

setelah semua kegiatan pembelajaran dan evaluasi selesai dilakukan.

Materi segiempat

Segiempat merupakan salah satu materi yang diajarkan di kelas VII semester genap. Adapun materi

segiempat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah persegi panjang, persegi, jajargenjang, trapesium,

belah ketupat dan layang - layang.

Penerapan pendekatan kontekstual (CTL) pada materi segiempat Ada tiga langkah penerapan pendekatan kontekstual pada materi segiempat, yaitu:

Kegiatan awal

Menyampaikan tujuan, memotivasi siswa.

Guru mengajukan pertanyaan mengenai bentuk – bentuk bangun segiempat yang ada dalam

kehidupan sehari-hari siswa.

Siswa memperhatikan benda – benda yang berbentuk segiempat yang di perlihatkan oleh guru.

(modelling)

Guru menyampaikan manfaat dan tujuan pembelajaran.

Kegiatan inti

Eksplorasi

Siswa mengamati benda – benda yang berbentuk segiempat yang di perlihatkan oleh guru

untuk menemukan sifat – sifat, pengertian, keliling dan luas segiempat. (Inguiry).

Siswa duduk dalam kelompok belajar yang telah diorganisasikan oleh guru yang terdiri dari 4-

5 orang secara heterogen. (Learning Community)

Elaborasi

Masing – masing kelompok mendapatkan LKS dari guru

Page 78: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

78

Menjelaskan cara mengerjakan LKS dan bertanggung jawab dengan kelompok (modelling)

Meminta siswa memahami LKS dan memberikan kesempatan siswa bertanya jika ada yang

belum bisa memahami LKS. (Questioning)

Siswa secara kelompok menyelesaikan permasalahan yang ada pada LKS untuk menggali

informasi baru sehingga dapat menemukan konsep-konsep dalam mendefinisikan dan

menghitung keliling serta luas segiempat. (Contructivisme dan Inquiry)

Guru membimbing siswa dalam kelompok untuk menyelesaikan masalah yang ada dalam LKS

dan meminta kepada siswa untuk saling bekerjasama

Konfirmasi

Guru meminta masing-masing kelompok menyiapkan hasil kerja diskusi .

Salah satu perwakilan kelompok mempresentasikan hasil kerja kelompok di depan kelas.

(Reflection)

Siswa dari kelompok lain diberikan kesempatan untuk bertanya atau memberikan tambahan

jawaban. (Questioning)

Guru mengevaluasi proses hasil belajar, merespon diskusi, meluruskan kesalahan pemahaman

dan memberikan penguatan. (Authentic Assesment)

Kegiatan akhir

Siswa menyimpulkan materi yang dipelajari pada hari ini dengan dibimbing guru.

Guru memberikan tugas dirumah sebagai latihan dan memberitahu materi yang akan dibahas

untuk pertemuan selanjutnya.

3. Metode

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Sugiyono (2013: 14) mengatakan bahwa metode

penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat

positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, teknik pengambilan sampel

pada umumnya dilakukan secara random, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian. Jenis

penelitian ini adalah penelitian eksperimen dengan Pre-Eksperimental design. Dan bentuk Pre-

Eksperimental design yang dimaksud adalah one shot case study (studi kasus satu tembakan).

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 1 Banda Aceh. Sampel

penelitian ini diambil secara simple random sampling. Dan yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah kelas VII-I yang diambil secara random yang berjumlah 23 siswa dari delapan kelas yang

tersedia.

Setelah data diperoleh, tahap berikutnya adalah tahap pengolahan data.. Pengolahan data dalam

penelitian ini menggunakan uji-t.

1) Data hasil belajar siswa

Untuk keperluan analisis terlebih dahulu ditentukan:

Nilai rata-rata (�̅�) varians (s2) dan simpangan baku (s).

Selanjutnya di uji normalitas sebaran data dengan menggunakan uji chi-kuadrat. Adapun uji chi-kuadrat

menurut Sudjana (2002:273) adalah:

𝜒2 = ∑(𝑂𝑖 − 𝐸𝑖)

2

𝐸𝑖

𝑘

𝑖=1

Keterangan :

𝜒2 = statistik chi-kuadrat

𝑂𝑖 = frekuensi pengamatan

𝐸𝑖 = frekuensi yang diharapkan

Page 79: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

79

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan uji-t pihak kanan dengan taraf signifikan

α=0,05. Pengujiannya adalah rata-rata µ0, pasangan hipotesis nol dan tandingannya adalah:

Ho : 𝜇 = 0

Penerapan pendekatan kontekstual (CTL) pada materi segiempat di kelas VII SMP N 1

Banda Aceh belum mencapai taraf berhasil.

Ha : 𝜇 > 0 Penerapan pendekatan kontekstual (CTL) pada materi segiempat di kelas VII SMP

N 1 Banda Aceh sudah mencapai taraf berhasil.

Pengujian hipotesis digunakan statistik uji-t. Menurut Sudjana (2002:227) rumus uji-t tersebut adalah:

𝑡 =�̅� − 𝜇0

𝑠

√𝑛

Dengan keterangan:

�̅� = rata-rata sampel

s = simpangan baku

𝜇0= 80, didasarkan pada KKM mata pelajaran matematika di SMP Negeri 1Banda Aceh.

2) Data aktivitas siswa

Data aktivitas siswa selama pembelajaran dianalisis dengan menggunakan rumus persentase.

3) Data respon siswa

Menurut Mukhlis (2005:79), “presentase dari setiap respon siswa diperoleh dengan membagi jumlah

respon siswa tiap aspek yang muncul dengan jumlah seluruh siswa dikali searatus persen”. Secara

sistematis presentase dari setiap respon dapat ditulis:

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑟𝑒𝑠𝑝𝑜𝑛 𝑠𝑖𝑠𝑤𝑎 𝑠𝑒𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑎𝑠𝑝𝑒𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑢𝑛𝑐𝑢𝑙

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑠𝑖𝑠𝑤𝑎× 100 %

4. Hasil dan Pembahasan

1) Deskripsi hasil belajar siswa

Berdasarkan perhitungan sebelumnya, untuk nilai tes siswa dengan pendekatan kontekstual diperoleh �̅�

= 84,32 dan s = 10,75. Dalam hal lain yang menjadi hipotesis Ho adalah sampel sebarannya mengikuti

distribusi normal. Kriteria pengujian adalah: “Tolak H0 jika 2 ≥

2 (1-α)(k-3) dengan sebagai taraf

nyata untuk pengujian. Dalam hal lainnya, H0 terima. Oleh karena 2 <

2 (1-α)(k-3) yaitu 1,89 < 3,84,

maka H0 diterima dan dapat disimpulkan bahwa sebaran data tes siswa SMP Negeri 1 Banda Aceh

mengikuti distribusi normal.

Dengan taraf signifikan = 0,05 dan derajat kebebasan dk = (n-1) = (23-1) = 22 maka melalui daftar

distribusi t diperoleh t(0,95)(23) = 1,71. Kriteria pengujian adalah tolak Ho jika t ≥ t1-α dan terima Ho dalam

hal lainnya. Oleh karena t > t1-α yaitu 1,92 > 1,71, maka Ho ditolak, akibatnya Ha diterima. Dengan

demikian hipotesis yang berbunyi “Penerapan pendekatan kontekstual (CTL) pada materi segi empat di

kelas VII SMP Negeri 1 Banda Aceh sudah mencapai taraf berhasil”, diterima.

2) Deskripsi aktivitas siswa

Secara keseluruhan, aktifitas siswa yang peneliti amati selama proses belajar mengajar dengan

pendekatan kontekstual adalah aktif. Sudah mempunyai keinginan untuk bertanya, menanggapi dan lain sebagainya. Meskipun peneliti menemukan 3-4 siswa yang kurang aktif selama mengikuti

pembelajaran. Disamping itu, peneliti juga menemukan bahwa ada siswa yang kurang memahami

perbedaan tentang keliling dan luas segiempat, karena mereka masih terbalik pada saat menjawab soal

LKS. Aktifitas siswa selama proses pembelajaran berada pada efektifitas yang ditentukan sehingga bisa

dikatakan aktifitas siswa selama mengikuti pembelajaran di kelas berada pada kategori efektif.

3) Deskripsi hasil respon siswa

Minat siswa terhadap diskusi kelompok yang diadakan pada setiap pertemuan menunjukan angka 95,6%

siswa merasa tidak takut ketika kelompoknya dipanggil untuk mempresentasikan hasil kerja mereka

Page 80: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

80

didepan kelas. Hal ini mengindikasikan adanya respon positif siswa terhadap pembelajaran bidang datar

segiempat melalui penerapan pendekatan kontekstual (CTL).

5. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa: penerapan pendekatan kontekstual (CTL)

pada materi segi empat di kelas VII SMP Negeri 1 Banda Aceh sudah mencapai taraf berhasil. Hal ini

terlihat dari (1) aktifitas siswa selama proses pembelajaran berada pada efektifitas yang ditentukan

sehingga bisa dikatakan aktifitas siswa selama mengikuti pembelajaran di kelas berada pada kategori

efektif, (2) respon siswa positif, karena untuk setiap aspek yang direspon 95,6% siswa memberikan tanggapan positif.

Daftar Pustaka

Arikunto, Suharsimi. 2010. Dasar – Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi) Jakarta:Bumi Aksara.

Depdiknas. 2006. Kurikulum Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika Sekolah

Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. Jakarta : Balitbang.

FKIP. Universitas Syiah Kuala. 2012 . Pedoman Penulisan Skripsi. Banda Aceh.

UniversitasSyiah Kuala

Johnson, Elaine. 2006. Contekstual Teaching & Learning. Bandung : Kaifa

Mukhlis. 2005. Pembelajaran Matematika Realistik Untuk Materi Pokok Perbandingan

di Kelas VII SMP Negeri 1 Pailangan. PPS3 UNESA.

Nurhadi, dkk.2004. Kurikulum 2004 Pertanyaan dan Jawaban. Jakarta: Gramedia.

Sudjana.2002.Metoda Satatistika. Bandung: Tarsito.

Sugijono. dkk . 2007. Matematika Untuk SMP kelas VII B. Jakarta : Erlangga

Sugiyono.2013. Metode Penelitian pendidikan. Bandung: Alfabeta. Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif – Progresif.

Page 81: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

81

PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP PRESTASI

BELAJAR MATEMATIKA SISWA DI KELAS X SMA NEGERI

MODAL BANGSA

Elsa Rahmah1, Erni Maidiyah2, dan Johan Yunus2

1Departemen Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Email: [email protected] 2Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala

Abstrak. Proses belajar di sekolah merupakan proses yang sifatnya kompleks dan

menyeluruh. Kebanyakan dalam proses belajar itu hanya berpusat pada kecerdasan akal

atau sering disebut dengan intelegence quotient (IQ) padahal yang diperlukan sebenarnya adalah bagaimana mengembangkan emotional quotient (EQ), seperti kemampuan

seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri,

mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan

(kerjasama) dengan orang lain. Dalam hal ini, berdasarkan hasil pengamatan di sekolah

bahwa ada siswa memiliki IQ tinggi mendapat prestasi rendah dan sebaliknya IQ rendah

mendapat prestasi tinggi. Banyak faktor yang mempengaruhi prestasi belajar selain

kecerdasan intelektual seperti kecerdasan emosional. Mengingat pernyataan tersebut,

peneliti melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Kecerdasan Emosional terhadap

Prestasi Belajar Matematika Siswa di Kelas X SMA Negeri Modal Bangsa”.Tujuan

penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui pengaruh kecerdasan emosional terhadap

prestasi belajar matematika siswa di kelas X SMA Negeri Modal Bangsa dan (2) untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosional dan prestasi belajar siswa di kelas X

SMA Negeri Modal Bangsa. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan

menggunakan sampel siswa kelas X SMA Negeri Modal Bangsa sebanyak 27 siswa.

Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket dalam

bentuk skala Likert dan dokumentasi. Uji validitas menunjukkan jumlah item yang valid

untuk skala kecerdasan emosional berjumlah 36 item dan 14 yang tidak valid. Pengolahan

data dilakukan dengan menggunakan rumus korelasi product-moment dari Pearson dan

hipotesis di uji dengan menggunakan statistik uji-t. Hasil perhitungan korelasi diperoleh

r = 0,4152 dan hipotesis yang di uji dengan taraf signifikan α = 0,05 dan dk = 27 – 2 =

25, diperoleh thitung > ttabel yaitu 2,28 > 1,71. Dengan demikian H0 ditolak sehingga dapat

disimpulkan bahwa“Terdapat pengaruh yang signifikan antara kecerdasan emosional

terhadap prestasi belajar matematika siswa di kelas X SMA Negeri Modal Bangsa”. Hasil perhitungan korelasi tersebut menunjukkan bahwa terdapat korelasi/ hubungan positif

sedang antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar matematika siswa di kelas X

SMA Negeri Modal Bangsa.

Kata kunci: kecerdasan emosional, prestasi belajar

1. Pendahuluan

Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang menduduki peranan penting dalam pendidikan.

Walaupun pendidikan bukan pengetahuan saja yang diprioritaskan namun sikap dan keterampilan juga

merupakan hal yang penting. Kebanyakan program pendidikan hanya berpusat pada kecerdasan akal atau sering disebut dengan intelegence quotient (IQ) padahal yang diperlukan sebenarnya adalah

bagaimana mengembangkan kecerdasan hati, seperti ketangguhan, inisiatif, optimisme, kemampuan

beradaptasi yang kini telah menjadi dasar penilaian baru.

Kurikulum 2013 yang sudah diterapkan di beberapa sekolah di Banda Aceh adalah salah satu hal yang

penting dalam meningkatkan kemampuan emosional, kurikulum 2013 tidak serta merta pengetahuan

saja yang dinilai melainkanpenilaian diri, penilaian teman sejawat, pengamatan/observasi dan lain-lain.

Kurikulum 2013 tentunya bertujuan untuk menghadapi tantangan global, karena kurikulum berkaitan

dengan standar isi. Ditambahkan, tujuan kurikulum 2013 adalah menghasilkan siswa yang selalu

bertanya akan sesuatu hal atau meningkatkan jiwa kritis dalam diri siswa. Sementara dasar kurikum

2013 adalah attitude dan aktualisasi diri.

Page 82: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

82

Kami dapatkan kondisi siswadi SMA Negeri Modal Bangsaketika dia berada dibangku SMP merupakan

juara umum tetapi di sekolah ini biasa-biasa saja dan bahkan saat ulangan harian matematika nilai

ketuntasannya tidak memenuhi. Akhirnya harus mengikuti remedial, hal ini membuat kami ingin

mengetahui lebih lanjut mengenai kondisi yang dialami siswa tersebut.

Banyak hal yang membuat siswa seperti pernyataan di atas, terkadang menyikapi kondisi lingkungan

merasa belum siap. Apalagi siswayang masih bersosialisasi dengan keluarga baru di asrama SMA

Negeri Modal Bangsa. Rasa kecewa, malu, amarah, dan perasaan-perasaan negatif lain bersumber pada

ketidakmampuan anak mengenali dan mengelola emosi,serta memotivasi diri.

Kecerdasan emosional siswa memiliki pengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Kecerdasan emosional ini mampu melatih kemampuan untuk mengelola perasaannya, kemampuan untuk memotivasi dirinya,

kesanggupan untuk tegar dalam menghadapi frustasi, kesanggupan mengendalikan dorongan dan

menunda kepuasan sesaat, mengatur suasana hati yang reaktif, serta mampu berempati dan bekerja sama

dengan orang lain. Kecerdasan ini yang mendukung seorang siswa dalam mencapai tujuan dan cita-

citanya.

Perbedaan yang paling penting antara IQ dan EQ yaitu EQ tidak begitu dipengaruhi oleh faktor

keturunan, sehingga membuka kesempatan bagi orang tua dan para pendidik untuk melanjutkan apa

yang sudah disediakan oleh alam agar anak mempunyai peluang besar untuk meraih prestasi. Walaupun

otak emosi dan otak logika sering manjalankan fungsi-fungsi yang berbeda dalam menentukan perilaku

kita, namun keduanya saling bergantung. Bagian otak pengatur emosi bereaksi lebih cepat dan lebih kuat.

Emosi mempunyai peran khusus dalam perkembangan seorang anak untuk menjadi manusia dewasa

yang bahagia dan berhasil. Kita juga tahu bahwa perkembangan emosi bisa kearah yang sangat buruk,

yang membuatnya menderita akibat berbagai masalah baik pribadi maupun sosial. Mengajari anak

memahami dan mengkomunikasikan emosinya akan mempengaruhi banyak aspek dalam

perkembangan dan keberhasilan hidup mereka.

Di sekolah, siswa SMA mengalami proses pembelajaran matematika,meskipun belajar matematika

merupakan suatu proses pembentukankonstruksi kognitif yang dialami oleh masing‐masing siswa,

tetapi dalamprosesnya siswa tidak lepas dari pengendalian dan pengelolaan emosidiri. Siswa berkomunikasi dengan teman, guru di dalam kelas dan kepeduliansatu sama lain merupakan bentuk

emosi dalam kelas yang baik.

Pengelolaan emosi yang selanjutnya dinamakan sebagai kecerdasan emosional yang tinggi akan

berpengaruh terhadap cara‐cara siswa dalam belajar matematika. Sehingga diduga bahwa kecerdasan

emosional yang tinggi merupakan salah satu faktor penentuan prestasi belajar matematika siswa.

Berdasarkan uraian diatas, kami ingin mengadakan penelitian dengan judul “Pengaruh Kecerdasan

Emosional terhadap Prestasi Belajar Matematika Siswa di Kelas X SMA Negeri Modal Bangsa”.

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah kecerdasan emosional berpengaruh

terhadap prestasi belajar matematikasiswa di kelas X SMA Negeri Modal Bangsa dan bagaimana

hubungan antara kecerdasan emosional dan prestasi belajar matematikasiswa di kelas X SMA Negeri

Modal Bangsa.

2. Tinjauan Pustaka

Prestasi belajar

Dalam dunia pendidikan dan pengajaran, prestasi belajar memegang peranan penting. Prestasi belajar

pada dasarnya merupakan hasil yang telah dicapai oleh siswa melalui kegiatan belajar, yang dapat

dilakukan secara individu dan secara kelompok. Prestasi belajar paling tidak memiliki dua ciri yaitu adanya suatu tindakan baik yang dilakukan secara individu atau secara kelompok dan adanya suatu

hasil.

Page 83: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

83

Kecerdasan emosional

Istilah “kecerdasan emosional” pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey

dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan

kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan. Konsep inilah yang menyebar

luas dikalangan masyarakat kelas berpendidikan.

Shapiro (2003:7) mengatakan, “keterampilan EQ yang sama untuk membuat siswa yang bersemangat

tinggi dalam belajar, atau untuk disukai oleh teman-temannya di arena bermain, juga akan

membantunya dua puluh tahun kemudian ketika sudah masuk ke dunia kerja atau ketika sudah

berkeluarga”. Kecerdasan emosional itu menyangkut keterampilan bersosialisasi. Manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan. Tak ada orang yang tidak membutuhkan petani yang menjual

beras dan sebaliknya juga petani membutuhkan orang untuk membeli berasnya.

Goleman (2002:512) mengatakan, “kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur

kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga

keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui

keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial”.

Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kecerdasan emosional adalah kemampuan siswa untuk

mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain

(empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain.

Komponen kecerdasan emosional

Goleman (dalam Nggermanto, 2005:100) mengemukakan bahwa dalam kecerdasan emosi terdapat lima

komponen penting dan kombinasi dari masing-masing komponen ini memiliki nilai yang lebih penting

dari IQ. Elemen tersebut adalah: kesadaran diri, manajemen emosi, motivasi, empati, dan mengatur

hubungan/relasi. Kelima komponen ini yang sama-sama harus ditingkatkan sehingga selaras dengan IQ

kita sendiri.

Goleman (2007:57) membagi kecerdasan emosional menjadi lima bagian yaitu tiga komponen berupa

kompetensi emosional (pengenalan diri, pengendalian diri dan motivasi) dan dua komponen berupa kompetensi sosial (empati dan keterampilan sosial). Lima komponen kecerdasan emosional tersebut

adalah sebagai berikut:

Pengenalan Diri (Self Awareness)

Pengenalan diri adalah kemampuan seseorang untuk mengetahui perasaan dalam dirinya dan digunakan

untuk membuat keputusan bagi diri sendiri, memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan

memiliki kepercayaan diri yang kuat.

Pengenalan diri dapat disebut juga dengan kesadaran diri. Mayer (dalam Goleman, 2007:64)

mengatakan, “Kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh

emosi”. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu

prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi. Unsur-unsur

kesadaran diri, yaitu:

a. Kesadaran emosi (emosional awareness), yaitu mengenali emosinya sendiri dan efeknya.

b. Penilaian diri secara teliti (accurate self awareness), yaitu mengetahui kekuatan dan batas-batas

diri sendiri.

c. Percaya diri (self confidence), yaitu keyakinan tentang harga diri dan kemampuan sendiri.

1) Pengendalian Diri (Self Regulation)

Pengendalian diri adalah kemampuan menangani emosi diri sehingga berdampak positif pada

pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati, sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, dan mampu segera pulih dari tekanan emosi. “Emosi berlebihan yang meningkat dengan

intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita” (Goleman, 2007:7). Unsur-unsur

pengendalian diri, yaitu:

Page 84: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

84

a. Kendali diri (self-control), yaitu mengelola emosi dan desakan hati yang merusak.

b. Sifat dapat dipercaya (trustworthiness), yaitu memelihara norma kejujuran dan integritas.

c. Kehati-hatian (conscientiousness), yaitu bertanggung jawab atas kinerja pribadi.

d. Adaptabilitas (adaptability), yaitu keluwesan dalam menghadapi perubahan.

e. Inovasi (innovation), yaitu mudah menerima dan terbuka terhadap gagasan, pendekatan, dan

informasi-informasi baru.

2) Motivasi (Motivation)

Motivasi adalah kemampuan menggunakan hasrat agar setiap saat dapat membangkitkan semangat dan

tenaga untuk mencapai keadaan yang lebih baik, serta mampu mengambil inisiatif dan bertindak secara

efektif. Unsur-unsur motivasi, yaitu: a. Dorongan prestasi (achievement drive), yaitu dorongan untuk menjadi lebih baik atau memenuhi

standar keberhasilan.

b. Komitmen (commitmen), yaitu menyesuaikan diri dengan sasaran kelompok atau lembaga.

c. Inisiatif (initiative), yaitu kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan.

d. Optimisme (optimisme), yaitu kegigihan dalam memperjuangkan sasaran kendati ada halangan dan

kegagalan.

3) Empati (Emphaty)

Empati adalah kemampuan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Mampu memahami

perspektif orang lain dan menimbulkan hubungan saling percaya, serta mampu menyelaraskan diri

dengan berbagai tipe individu.

Goleman (2007:57) mengatakan, “Kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli,

menunjukkan kemampuan empati seseorang”. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih

mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang

dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap

perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain. Unsur-unsur empati, yaitu:

a. Memahami orang lain (understanding others), yaitu mengindra perasaan dan perspektif orang lain

dan menunjukkan minat aktif terhadap kepentingan mereka.

b. Mengembangkan orang lain (developing other), yaitu merasakan kebutuhan perkembangan orang

lain dan berusaha menumbuhkan kemampuan orang lain.

c. Orientasi pelayanan (service orientation), yaitu mengantisipasi, mengenali, dan berusaha memenuhi kebutuhan pelanggan.

d. Memanfaatkan keragaman (leveraging diversity), yaitu menumbuhkan peluang melalui pergaulan

dengan bermacam-macam orang.

e. Kesadaran politis (political awareness), yaitu mampu membaca arus-arus emisi sebuah kelompok

dan hubungannya dengan perasaan.

4) Keterampilan Sosial/ Membina Hubungan (Social Skills)

Goleman (2007:59) mengatakan, “Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu

keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi”.

Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina

hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga memahami

keinginan serta kemauan orang lain.

Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun.

Orang berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain.

Keterampilan sosial merupakan kemampuan menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan

orang lain, bisa mempengaruhi, memimpin, bermusyawarah, menyelasaikan perselisihan, dan

bekerjasama dalam tim. Unsur-unsur keterampilan sosial, yaitu:

a. Pengaruh (influence), yaitu memiliki taktik untuk melakukan persuasi.

b. Komunikasi (communication), yaitu mengirim pesan yang jelas dan meyakinkan.

c. Manajemen konflik (conflict management), yaitu negoisasi dan pemecahan silang pendapat.

d. Kepemimpinan (leadership), yaitu membangitkan inspirasi dan memandu kelompok dan orang

lain. e. Katalisator perubahan (change catalyst), yaitu memulai dan mengelola perusahaan.

f. Membangun hubungan (building bond), yaitu menumbuhkan hubungan yang bermanfaat.

Page 85: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

85

g. Kolaborasi dan kooperasi (collaboration and cooperation), yaitu kerjasama dengan orang lain demi

tujuan bersama.

h. Kemampuan tim (tim capabilities), yaitu menciptakan sinergi kelompok dalam memperjuangkan

tujuan bersama.

Pengaruh kecerdasan emosional dan prestasi belajar

Margasari dkk. (2009:23) mengemukakan bahwa dalam penelitiannya yang berjudul Pengaruh kecerdasan emosional terhadap prestasi belajar mahasiswa dengan jenis kelamin dan level akademis

sebagai variabel pemoderasi: studi empiris pada mahasiswa universitas negeri Yogyakarta yang

hipotesis awalnya mengatakan bahwa kecerdasan emosional secara positif berpengaruh terhadap

prestasi belajar mahasiswa. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa pengaruh positif dari kecerdasan

emosional terhadap prestasi belajar juga merupakan faktor penting yang tidak boleh ditinggalkan. Hal

ini menunjukkan perkembangan kecerdasan emosional dapat diperhatikan juga selain faktor-faktor

intelektualitas setiap siswa.

Hubungan antara kecerdasan emosional dan prestasi belajar matematika

Kecerdasan emosional yang tinggi memiliki kesadaran tentang kelemahan dan kekuatan diri serta

berorientasi kearah perbaikan diri. Siswa yang demikian mampu mengelola emosinya artinya mampu

menahan diri pada waktu emosinya bergejolak, dan sebaliknya mampu bersegera untuk menghilangkan

emosi negatif. Membantu teman yang menemui kesulitan dalam belajar sebagai bentuk mengenali

emosi temannya dan sekaligus membina hubungan dengan sesama teman. Usaha membantu teman

dalam mengatasi kesulitan belajar secara tidak langsung merupakan pemantapan pengetahuan yang

telah dimiliki.

3. Metode

Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif, hal ini sesuai dengan pendapat

Margono (2009:105), ”Penelitian kuantitatif adalah suatu proses menemukan pengetahuan yang

menggunakan data berupa angka sebagai alat menentukan keterangan mengenai apa yang ingin kita

ketahui”. Adapun hal ini sesuai dengan penelitian kami yaitu mencari data kecerdasan emosional yang

akan diangkakan berdasarkan pernyataan angket yang sudah disesuaikan.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data subjek. “Data subjek adalah jenis data

penelitian yang berupa opini, sikap, pengalaman atau karakteristik dari seseorang atau sekelompok orang yang menjadi subjek penelitian atau responden” (Indriantoro dan Supomo, 2000:46).

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa/ siswi SMA Negeri Modal Bangsa kelas X-1, X-2, dan X-3.

Penelitian ini mengambil sampel siswa/ siswi kelas X dengan persentase 30% perkelas dari SMA

Negeri Modal Bangsa. Alasan pemilihan sampel ini karena setiap kelas ada yang mewakili maksud dan

tujuan tertentu. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket dan

dokumentasi.

Tabel 1Kisi-kisi Angket Kecerdasan Emosional

No.

Komponen Kecerdasan Emosional Pernyataan

Jumlah

Positif Negatif

1. Kemampuan untuk mengenali emosi diri 1, 2, 3, 5, 7 4, 6, 8, 9 9

2. Kemampuan untuk mengelola emosi diri 10, 14, 16, 17,

18, 19, 20, 21

11, 12, 13, 15,

22

13

3. Kemampuan untuk memotivasi diri

sendiri

23, 24, 25, 26,

27, 29, 30, 31,

33, 34

28, 32, 12

Page 86: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

86

4. Kemampuan untuk mengenali emosi

orang lain

38, 40, 41 35, 36, 37, 39 7

5. Kemampuan untuk membina hubungan 42, 47 43, 44, 45, 46,

48, 49, 50

9

JUMLAH 28 22 50

Berdasarkan uraian di atas angket pada penelitian terdiri dari 50 pernyataan dengan kategori pernyataan

positif dan pernyataan negatif. Untuk jawaban pernyataan positif Sangat Setuju (SS) bernilai 4, Setuju

(S) bernilai 3, Tidak Setuju (TS) bernilai 2, dan Sangat Tidak Setuju (STS) bernilai 1. Sedangkan untuk

jawaban pernyataan negatif Sangat Tidak Setuju (STS) bernilai 4, Tidak Setuju (TS) bernilai 3, Setuju (S) bernilai 2, dan Sangat Setuju (SS) bernilai 1.

Dalam hal penskoran, nilai berdasarkan kategori Likert tersebut akan menghasilkan nilai maksimum

200 sehingga dijadikan nilai tertinggi itu adalah 100 dengan cara nilai berdasarkan Likert dibagi 100

kemudian dikalikan dengan banyaknya soal (𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑘𝑒𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ𝑎𝑛

100× 50).

Suharso (2009:104) mengatakan, “Dokumentasi adalah data yang disimpan dalam bentuk dokumen atau

file (catatan konvensional maupun elektronik), buku, tulisan, laporan, notulen rapat, majalah, surat

kabar, dan lain sebagainya”. Teknik dokumentasi digunakan untuk memperoleh data prestasi belajar

siswa pada mata pelajaran matematika, yaitu nilai matematika wajib di semester gasal yang berupa nilai

mentah (belum diolah) di kelas X SMA Negeri Modal Bangsa yang termasuk dalam sampel penelitian.

Data dari hasil angket dan dokumentasi yang diperoleh diolah dengan menggunakan statistik. Data

penelitian tersebut akan diolah sebagai berikut:

1) Mencari rata-rata (�̅�) Mencari rata-rata dari nilai kecerdasan emosional terhadap prestasi belajar matematika siswa. Untuk

data yang telah disusun dalam daftar frekuensi menurut Sudjana (2005: 70), nilai rata-rata (�̅�) dihitung

dengan menggunakan rumus:

�̅� =∑ 𝑓𝑖𝑥𝑖

∑ 𝑓𝑖

Keterangan: x̅ = rata − rata fi = banyak siswa dalam interval tertentu xi = nilai tengah atau tanda kelas interval

2) Menghitung varians (𝒔𝟐) dan simpangan baku (𝒔) Mencari standar deviasi (simpangan baku) dari nilai kecerdasan emosional dan prestasi belajar matematika siswa. Pangkat dua dari simpangan baku dinamakan varians (Sudjana, 2005: 93). Untuk

mencari standar deviasi (simpangan baku) s dari varians s2 menurut Sudjana (2005: 95) adalah:

𝑠2 =𝑛 ∑ 𝑓𝑖𝑥𝑖

2 − (∑ 𝑓𝑖𝑥𝑖)2

𝑛(𝑛 − 1)

Keterangan: s2 = varians n = banyak data

3) Uji validitas Uji validitas digunakan untuk mengukur sah atau valid tidaknya suatu angket. Suatu angket dikatakan

valid jika pernyataan pada angket mampu mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh angket

tersebut. Sukardi (2009:31),”Validitas suatu instrumen evaluasi, tidak lain adalah derajat yang

menunjukkan di mana suatu tes mengukur apa yang hendak diukur”.

Dalam penelitian yang akan diteliti pengukuran validitas dilakukan dengan melakukan korelasi antar

skor butir pertanyaan dengan total skor konstruk variabel.

Page 87: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

87

4) Uji normalitas

Menguji normalitas kedua variabel, yaitu variabel 𝑋 dan 𝑌 dengan menggunakan uji Chi kuadrat,

menurut Sudjana (2005:273) adalah:

𝑋2 = ∑(𝑂𝑖 − 𝐸𝑖)

2

𝐸𝑖

Keterangan: X2 = statistik chi − kuadrat Oi = frekuensi pengamatan Ei = frekuensi yang diharapkan

5) Uji linieritas Mencari hubungan kedua variabel tersebut pada garis lurus, disebut juga regresi linear. Untuk mencari

rumus regresi linear menurut Irianto (2010:156) adalah:

ŷ = 𝑎 + 𝑏𝑋 Dengan:

𝑎 = ŷ − 𝑏𝑋

𝑏 =𝑛(∑ 𝑋𝑖𝑌𝑖) − (∑ 𝑋𝑖)(∑ 𝑌𝑖)

𝑛 ∑ 𝑋𝑖2 − (∑ 𝑋𝑖)

2

Keterangan:

�̂� = prestasi belajar matematika siswa

X = kecerdasan emosional

a, b = bilangan konstanta yang akan dicari

6) Uji Korelasi Product Moment

Mencari koefisien korelasi antara pengaruh kecerdasan emosional dan prestasi belajar matematika

siswa. Data yang diperoleh selanjutnya diolah dengan menggunakan rumus korelasi product moment

dari Pearson yang dikemukakan oleh Arikunto (2010:319) yaitu:

𝑟𝑥𝑦 =𝑁 ∑ 𝑋𝑌 − ∑ 𝑋 . ∑ 𝑌

√(𝑁 ∑ 𝑋2 − (∑ 𝑋)2)(𝑁 ∑ 𝑌2 − (∑ 𝑌)2)

Keterangan: r = harga koefisien korelasi antara X dan Y X = harga X (Kecerdasan emosional) Y = harga Y (prestasi belajar matematika siswa) N = jumlah sampel penelitian

XY = jumlah 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑐𝑡 dari X dan Y

Langkah selanjutnya yaitu menginterprestasikan nilai koefisien korelasi yang diperoleh atau nilai r. Ada

dua cara menginterpretasikan nilai r yaitu dengan cara sederhana dan dengan cara mengkonsultasikan nilai r ke table t- Product moment. Interpretasi secara sederhana yaitu menggunakan pedoman atau

ancar-ancar, menurut Bungin (2011:194) interpretasi tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 2 Interpretasi Nilai r

Nilai Koefisien Penjelasannya

+ 0,70 – ke atas A very strong positive association (hubungan positif yang sangat kuat)

+ 0,50 - + 0,69 A substantial positive association (hubungan positif yang kuat)

+ 0,30 - + 0,49 A moderate positive association (hubungan positif yang sedang)

+ 0,10 - + 0,29 A low positive association (hubungan positif yang tak berarti)

0,0 No association (tidak ada hubungan)

-0,01 - -0.09 A negligible negative association (hubungan negatif yang tak berarti)

Page 88: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

88

-0,10 - -0,29 A low negative association (hubungan negatif yang rendah)

-0,30 - -0,49 A moderate negative association (hubungan negatif yang)

-0,50 - -0,59 A substansial negative association (hubungan negatif yang kuat)

- 0,70 - -ke bawah A vey strong negative association (hubungan negatif yang sangat

kuat)

(Sumber: Bungin, 2011:194)

7) Uji Hipotesis

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan uji-t. Menurut Sugiono (2010:259) rumus uji-t tersebut adalah:

𝑡 =𝑟√𝑛 − 2

√1 − 𝑟2

Keterangan:

t = hasil hitung distribusi koefisien korelasi

n = jumlah sampel yang diteliti

r = koefisien korelasi antara variabel X dan Y

4. Hasil dan Pembahasan

Dalam penelitian ini, kami menganalisis pengaruh kecerdasan emosional dengan prestasi belajar

matematika siswa di kelas X SMA Negeri Modal Bangsa. Penelitian ini dilakukan sebanyak satu kali

tahap pada setiap kelas X namun hanya beberapa orang yang menjadi sampel penelitian.

Tahapan yang dimaksud adalah pengisian angket kecerdasan emosional untuk mengetahui seberapa

besar kecerdasan emosional yang ada pada siswa. Hal penting lainnya seperti mengetahui prestasi

belajar siswa diperoleh dari guru matematika terkait nilai mentah ujian matematika semester gasal di

kelas X.

Sehubungan dengan itu, dari nilai prestasi belajar siswa di kelas X SMA Negeri Modal Bangsa yang

terpilih menjadi sampel penelitian sebanyak 27 siswa. Terdapat 19 diantaranya yang tuntas secara

individu, sedangkan 8 Siswa lainnya belum tuntas secara individu.

Kontribusi kecerdasan emosional terhadap prestasi belajar masih rendah yaitu 20%, ini disebabkan oleh

banyaknya faktor lain yang mempengaruhi prestasi belajar itu sendiri selain faktor kecerdasan

emosional. Prestasi belajar menunjukkan taraf kemampuan siswa dalam mengikuti program belajar

dalam waktu tertentu sesuai kurikulum 2013 yang telah diterapkan di SMA Negeri Modal Bangsa.

Berdasarkan perhitungan dan analisa data dapat dilihat bahwa ada pengaruh yang signifikan antara

kecerdasan emosional terhadap prestasi belajar matematika siswa di kelas X SMA Negeri Modal

Bangsa, dengan demikian sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Richard hermstein dan Charles Murray dalam bukunya The Bell Curve, yang menaruh bobot penting pada IQ, menurut mereka setinggi-

tingginya IQ menyumbang 20% bagi faktor-faktor yang menentukan sukses dalam hidup, maka yang

80% diisi oleh kekuatan-kekuatan lain.

Kenyataan ini disebabkan oleh beberapa hal: yang pertama sistem pendidikan yang diterapkan di SMA

Negeri Modal Bangsa sudah berorientasi pada pengembangan kecerdasan emosional yang didukung

oleh penerapan kurikulum 2013 dalam proses belajar mengajar. Pendidik menyadari bahwa proses

belajar adalah proses kejiwaan yang sangat penuh nuansa emosi. Yang dibutuhkan sekarang ini adalah

bagaimana agar anak didik tidak hanya pintar dalam intelektual, tetapi juga berkembang dalam hal

emosinya. Dengan demikian anak akan lebih cepat bersosialisasi, mandiri dan kreatif. Kemudian

penilaian yang dilakukan di sekolah untuk ketrampilan sosial sudah dilakukan penilaian.

Selain itu banyak tenaga pendidik di SMA Negeri Modal Bangsa mengaplikasikan peranan emosi

terhadap suatu mata pelajaran dalam lingkup pendidikan, sehingga mereka mampu menanggapi emosi

Page 89: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

89

yang dialami siswa. Kemudian siswa sendiri memiliki jam untuk bimbingan konseling sehingga mereka

memperoleh pendidikan pengenalan emosi di sekolah.

Hal seperti ini sangat mempengaruhi secara nyata ketika materi pelajaran diberikan di kelas, sedangkan

empati dan ketrampilan sosial sangat berpengaruh dalam mengerjakan tugas kelompok, baik di dalam

maupun di luar kelas. Terlihat jelas bahwa berpengaruh kecerdasan emosional anak terhadap prestasi

belajar sehingga dapat dimanfaatkan sebagai aspek penting penunjang keberhasilan dalam pembelajaran

siswa.

Selain itu dalam kerangka berpikir dipaparkan bahwa ada banyak faktor yang mempengaruhi prestasi

belajar. Salah satunya adalah tingkat kecerdasan emosional. Ternyata dalam penelitian ini ditemukan kecerdasan emosional berpengaruh signifikan terhadap prestasi belajar. Dalam hal lain, ada faktor-

faktor lain yang mempengaruhinya seperti perhatian, minat, bakat, kematangan, kesiapan, dan lain-lain.

Berdasarkan analisis data penelitian menunjukkan angka koefisien korelasi (rxy) sebesar 0,4152.

Berdasarkan indeks korelasi yang diperoleh tersebut dapat diketahui adanya empat hal, yakni ada

tidaknya korelasi, arah korelasi, interpretasi mengenai tinggi-rendahnya korelasi, dan signifikan

tidaknya harga koefisien korelasi.

“Ada tidaknya korelasi, dinyatakan dalam angka pada indeks. Betapa pun kecilnya indeks korelasi. Jika

bukan 0,0000, dapat diartikan bahwa antara kedua variabel yang dikorelasikan, terdapat adanya

korelasi” (Arikunto, 2010:322). Merujuk pada pendapat tersebut, dapat dikatakan hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa terdapat pengaruh atau korelasi antara kecerdasan emosional dengan prestasi

belajar siswa.

Arikunto (2010:322) mengatakan, ”Arah korelasi dinyatakan dalam tanda + (plus) dan – (minus). Tanda

+ menunjukkan adanya korelasi sejajar searah, dan tanda – menunjukkan korelasi sejajar berlawanan

arah”. Berdasarkan nilai r yang diperoleh memperlihatkan bahw nilai r bertanda + (plus). Hal tersebut

menunjukkan adanya korelasi positif (searah) antara kecerdasan emosional terhadap prestasi belajar

matematika siswa dan bermakna makin tinggi nilai kecerdasan emosional maka semakin tinggi nilai

prestasi belajar matematika siswa. Selain itu pengujian hipotesis memperlihatkan bahwa kerja Ha

diterima, yakni terdapat pengaruh yang signifikan antara kecerdasan emosional terhadap prestasi belajar

matematika siswa di kelas X SMA Negeri Modal Bangsa.

Tinggi rendahnya korelasi dapat diinterpretasi secara kasar/sederhana ataupun dengan menggunakan

tabel nilai r-product-moment. Interpretasi secara kasar/sederhana dapat memperlihatkan besarnya nilai

r yaitu 0,42, ternyata terletak antara +0,30 - +0,49. Berdasarkan interpretasi yang dikemukakan oleh

Bungin (2011:194) kita dapat menyatakan bahwa korelasi positif antara kecerdasan emosional dengan

prestasi belajar matematika siswa antara variabel X dan variabel Y adalah termasuk korelasi positif yang

sedang. Berdasarkan hasil tersebut maka dinyatakan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara

kecerdasan emosional terhadap prestasi belajar matematika siswa di kelas X SMA Negeri Modal

Bangsa.

5. Kesimpulan

Terdapat pengaruh yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar matematika

siswa di kelas X SMA Negeri Modal Bangsa. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan diperoleh

nilai r = 0,4152, yang menyatakan bahwa ada hubungan yang positif sedang antara kecerdasan

emosional dengan prestasi belajar matematika siswa di kelas X SMA Negeri Modal Bangsa.

Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Yogyakarta: Rineka Cipta.

Bungin, Burhan. 2011. Metodelogi pendidikan kuantitatif: komunikasi, ekonomi, dan kebijakan public

serta ilmu-ilmu social lainnya. Jakarta: Kencana.

Gardner, Howard. 2003. Multiple Intelligences (Kecerdasan Majemuk) Teori dalam Praktek. Batam:

Interaksara.

Goleman, Daniel. 2002. Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosional) Mengapa EI Lebih Penting

daripada IQ. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Page 90: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

90

Goleman, Daniel. 2007. Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosional) Mengapa EI Lebih Penting

daripada IQ. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Indriantoro, Nur dan Supomo, Bambang. 2000. Metodologi Penelitian Bisnis: untuk Akuntansi dan

Managemen. Yogyakarta: BPFE.

Margasari dkk. (2009). Pengaruh Kecerdasan Emosional terhadap Prestasi Belajar Mahasiswa dengan

Jenis Kelamin dan Level Akademis sebagai Variabel Pemoderasi: Studi Empiris pada

Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta. Di akses [pada 14 Agustus 2013, dari

alamat,http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Arum%20Darmawati,%20SE.,MM./P

ENGARUH%20EI%20TERHADAP%20PRESTASI%20BM.pdf.

Margono. 2009. Metodologi Penelitian Pendidikan Komponen MKDK. Jakarta: Rineka Cipta.

Nggermanto.Agus, 2005. Quantum Quotient Kecerdasan Quantum Cara Praktis Melijitkan IQ, EQ, SQ yang Harmonis. Bandung: Nuansa.

Ronnie M, Dani. 2006. The Power of Emotional and Adversity Quotient for Teachers.Kebon Jeruk: PT

Mizan Publika.

Reber S., Arthur dan Emily S. Reber. 2010. Kamus Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Shapiro E., Lawrence. 2003. Mengajarkan Emotional Intelligence pada Anak. Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama.

Sugiono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Suharsono, Puguh. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif untuk Bisnis: Pendekatan Filosofi dan Praktis.

Jakarta: PT Indeks.

Page 91: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

91

MENINGKATKAN PENALARAN GEOMETRI SPASIAL SISWA DALAM

PEMBELAJARAN BANGUN RUANG DI SEKOLAH MENENGAH ATAS

Khairul Umam1, Suryawati1, M. Hasbi1, dan Juanda BJ1 1Departemen Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Email: [email protected]

Background of study

The concept of spatial thinking is very interesting to discuss. Spatial thinking is an active process in

which the elements about think and act in a space that tied (Claire H. Jarvis, 2011). Spatial thinking is

a collection of cognitive skills, which consists : a combination of three elements, namely spatial

concepts, tools of representation, and reasoning processes (National Academy of Science, 2006). To

understand the detail of three-dimensional object properly, someone must have a spatial ability. But

not everyone has the good spatial ability, even among them there is no way to recognize the longer form

of the three-dimensional shape of the object if the same three-dimensional images drawn from different angle. Because of these problems, many students difficulty to grasp objects or geometry images.

Spatial ability is a concept in spatial thinking. Linn and Petersen (the National Academy of Science,

2006) classify spatial capabilities into three categories: (1) spatial perception, (2) mental rotation, and

(3) spatial visualization. Viewed in the context of mathematics especially geometry, it is very important

for the spatial abilities improved, it is referring to the results of research conducted by the (National

Academy of Science, 2006), in this study stated that every student should strive to develop skills and

spatial sensing, it is very useful in the discussion of the relation and the properties of the geometry in

solving mathematical problems and problems in everyday life.

(Hannafin, et al, 2008) found that students with high spatial ability has a level significantly higher math

skills.

In a study conducted by (Nuran Guzel and Ersin Sener, 2009), this research was conducted to see "High

school students spatial ability and creativity in geometry", the purpose of this study was to investigate

the potential of high creativity and low spatial ability students in geometry.

This study was conducted among 145, grade 10, 11, and 12 students during mathematics and geometry

courses in high school and the application of research has three phases. This study took place at two

high schools and two high schools Anatolia. 50 Biga Ataturk Anatolian High School (BAAL), 49 Biga

Anatolian High School (BAL), 23, Mehmet Akif Ersoy High School (Mael), and 23 New Biga High

School (YBL).

The first part of this study consisted of three questions geometry in the range from easy to difficult.

Students were given three different time periods to answer every question that are : easy, very easy, and

difficult. Students are supposed to solve the question "very easy" within 5 minutes, the question of

"easy" in 7 minutes, and the question of "difficult" in 8 minutes and they were supposed to produce a

different way for each solution as many questions as they can. Each question in this application is

governed in a way that students can imagine a different way of solution in their mind while solving the

question.

In the second phase of the study, a survey with 6 questions applied. This survey is proposed to examine

students’ views about mathematics and mathematics questions, and the different paths they use to solve

the questions. The students were asked to answer questions by selecting the appropriate option from the

following options: 1: Strongly Agree, 2: Agree, 3: Disagree: 4: Strongly Disagree.

The final stage of the study, the test consists of 20 questions that applied to students in order to measure

the level of students' spatial abilities. Time range for this test is 20 minutes. This test is designed to see

how well students are able to visualize the rotation of three-dimensional objects. There are the examples

of questions in the begining of the test. In each question, first, the students should understand how the

objects in the playing. Then, students must draw in their mind about how the objects in the second line

Page 92: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

92

will look like when played in the same way as it is in the top row. Finally, students were asked to select

an object that is given in the third row who looks like a rotated version of the object in the second row

in the correct position based on the pattern in the first row. Each question is mutually exclusive and

have 5 choices.

On the results of the study, Tabel.1 shows the average number of different solution methods for

geometry questions based on Spatial Ability.

Geometry Question 1 Geometry Question 2

N Mean SD Mean SD

Lower ability 54 3,0* 1,1 0,4 0,6

Higher ability 91 3,4* 1,1 0,5 0,6

*p<0,05

Students who got higher score on spatial abilities of 11 is encoded as high spatial ability students, whereas students with the ability score equal to or lower than 11 are coded as low spatial ability students.

The high spatial ability students are more able to find a different method than the lower group.

Table 2 One-way ANOVA on mathematics test scores, scores geometry, algebra scores, statistics and

probability and arithmetic scores.

Sum of Squares df Mean Square F

Between 414,3 3 138,1 11,6*

Within 1675,8 141 11,8

Total 2090,2 144

The findings were no significant differences between schools based on students' spatial ability. (F = 11.6; df = 3, 144, p = 0.0). Students in BAAL have higher spatial ability than any other school students.

As a result, students in BAAL have found more one methods question compared with other school

students.

In a study (Aytaç Kurtulu and Canda Uygan, 2010) entitled "Effect of Google SketchUp in geometry-

based activities and projects on students' spatial visualization skills of mathematics teachers", the study

aimed to determine the effect on the SketchUp geometry-based activities and projects in students' spatial

visualization skills math teacher, this is an experimental research model pretest-posttest design with a

control group. Both of the two groups, including twenty-four each student math teacher. To obtain the

data, Santa Barbara solid test designed by Cohen and Hagarty to measure the ability to identify cross-

sectional 2D slices of 3D objects used (Picture.1)

Picture.1: sample from santa barbara solid test

In the instruction of the experimental group, activity-based problems are solved by using dynamic tools and project studies done on SketchUp environment while the activities of traditional geometry applied

to the control group using only paper and pencil. Before instruction, the researchers introduce the basic

tools and demonstrate the use of software for the experimental group. After that, the students made a

practice in software to gain experience on how to use the toolbar and build the base object. Next lesson

Page 93: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

93

students solve the problem of solid objects by manipulating and analyzing simulation of 3D objects in

a dynamic environment. SketchUp on this lesson gives students the same opportunity as the sketch,

rotate and cut solid objects. On the other hand, the control group solved the same problem on paper

without getting help from a computer or appliance if any dynamic material. In the research project, the

first experimental group designed building has a different geometric shapes and complex in SketchUp,

then measured their surface area and volume using software measurement tools and redrawing the

surface of a particular point of view on their own paper. At the end of the lesson, the students in the

experimental group made a virtual presentation of their products to researchers (Picture.2)

Picture.2: The sample from students

To reveal whether there are significant differences between the experimental group pretest scores and

the control group, Mann Whitney U test applied to the data. Analyzing the results gathered in tabel.3

below.

N X S.D. Z P

Experimental Group 24 13.375 6.092

-0.052 0.959

Control Group 24 13.416 4.624

P > 0.05

Tabel.3: Results of Mann Whitney U test on pretest scores the experimental group and the control group

According tabel.3, the average score of the control group rate was 0.041 points higher than the control group and the standard deviation of the experimental and control groups, respectively 6.092 and 4.624.

In addition, Z is calculated as -0.052 degrees while the degree of significance p was found to be 0.756.

Due to the fact that the significance level p was higher than 0.05, it is seen that the difference between

the mean value of the two groups were not significant.

In order to determine if the difference between pretest and posttest score of the experimental group were

significant, Wilcoxon test used and the findings presented at tabel.4 out below.

Experimental Group N X S.D. Z P

Pretest 24 13.375 6.092

-2.704 0.007

Posttest 24 18.833 6.162

P < 0.05

Tabel.4: Wilcoxon’s test results on the value of the experimental group pretest and posttest

In reference to tabel.4, it is clear that the average posttest score 5,468 points higher than the average

pretest score. Also, the standard deviation of the pretest and posttest scores was found to be respectively

6.092 and 6.162. In addition to that title Z detected as -2.704 and significance level p was found to be

0.007. Seeing that a significant level of p less than 0.05, there is a significant difference between pretest

and posttest scores in favor of posttest scores.

Page 94: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

94

So, to see if there is a significant difference between pretest and posttest score of the control group, the

Wilcoxon test is applied again. Tabel.5 below shows the test results.

Control Group N X S.D. Z P

Pretest 24 13.416 4.624

-1.570 0.116

Posttest 24 15.875 4.730

P > 0.05

Tabel.5: Wilcoxon’s test results on the value of the pretest and posttest control group

Such as tabel.5, standard deviation scores pretest and posttest respectively 4.624 and 4.730. Also the

title of Z is calculated as -1.570 and significance of p is detected as 0116 degrees. Because p level

significantly higher than 0.05, the difference in points between 2.359 as the average posttest score and the average value was not significant pretest scores.

In an attempt to see if there is a significant difference between the posttest score of the experimental

group and the control group, Mann Whitney U test performed on the data. The finding seen in tabel.6

below.

N X S.D. Z P

Experimental Group 24 18.833 6.162

-2.244 0.025

Control Group 24 15.875 4.730

P < 0.05

Tabel.6: Results of Mann Whitney U test on the posttest score of the experimental group and the control

group

According tabel.6, the average value of the experimental group posttest score is 3,042 points higher

than the control group. In addition, the standard deviation of the experimental group was found to be 6.162 while the standard deviation of the control group was calculated as 4.730. It is also clear that the

degree and significance Z is -2.244 degrees p is 0.025, lower than 0.05. So it was determined that a

significant difference between the posttest scores in favor of the experimental group.

According to the findings, and project-based activities SketchUp affect spatial visualization skills.

Confirmed positive student math skills. It can be concluded 2D slices of 3D objects. On the other hand,

that the conventional applications where static tools examples of paper, board and used two-dimensional

images do not provide a significant effect on students' spatial visualization abilities. Results in the

context of SketchUp can be used as well as beneficial for improving students' spatial abilities. And, the

results of using the software more effectively in a dynamic 3D spatial abilities than using conventional

media.

From this background the author wants to do research at Senior High School to find appropriate methods

and media and is ideal for use in conducting learning.

The Objective of the Study

1. Seeing the students’ understanding the spatial understanding/mastering geometry objects.

2. Improve spatial understanding of students in understanding the geometry with the help of Google

SketchUp software media in learning.

3. Comparing the level of spatial’s understanding and the ability of students to solve problems in the geometry of three-dimensional materials that use Google SketchUp software media with the use of

conventional media.

4. Students' ability in understand the content, form, and rotation of geometrical objects.

Methodology of the Research

The following are the steps that will be used to conduct this research,

1. Randomly select two Senior high school level which is the object of research.

2. Perform pre-test to students in some classes in order to find two homogeneous classes of each

school to be the object of research

Page 95: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

95

3. From the two classes are the object of research will be considered each experimental class and the

control class.

4. Experimental class will use the media software as a learning tool in doing.

5. Control class still use conventional media in doing the learning.

6. Assess and perform data processing of the sample assessment to get the results that students became

the object of the study has good spatial geometry capabilities or not.

7. Furthermore find the best solution by using computer programming to create the most suitable

media and is ideal for teachers or students in the learning process by increasing teacher performance

and student learning outcomes in the classroom.

References

Aytaç Kurtulu and Canda Uygan (2010). The effects of Google Sketchup based geometry activities

and projects on spatial visualization ability of student mathematics teachers.

Claire H. Jarvis (2011). Spatial Literacy and the Postgraduate GIS Curriculum.

Hannafin, et al, (2008). Effects of Spatial Ability and Instructional Program on Geometry

Achievement.

National Academy of Science (2006). Learning to Think Spatially, Washington DC : The National

Academics Press.

Nuran Guzel and Ersin Sener (2009). High school students’ spatial ability and creativity in

geometry.

Page 96: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

96

TINGKAT BERPIKIR DAN KESULITAN SISWA PADA MATERI

TRIGONOMETRI DI KELAS XI SMA LABORATORIUM UNSYIAH

BANDA ACEH TAHUN PELAJARAN 2013/2014

Intan Sari1 dan Suryawati1

1Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Email: [email protected]

Abstrak. Trigonometri merupakan materi yang diajarkan di kelas XI SMA yang sangat

penting untuk dipelajari karena memiliki banyak kontribusi dalam kehidupan sehari-hari

dan berguna untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Fakta di lapangan

menunjukkan hasil yang memprihatinkan dalam pembelajaran trigonometri. Banyak siswa yang belum mencapai nilai KKM dan hasil belajar siswa yang belum memuaskan.

Penelitian ini berjudul “Tingkat Berpikir dan Kesulitan Siswa Pada Materi Trigonometri

di Kelas XI SMA Laboratorium Unsyiah Banda Aceh tahun Pelajaran 2013/2014”.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana tingkat berpikir siswa,

mendeskripsikan kesulitan siswa disetiap tingkat berpikir,dan mengidentifikasi penyebab

kesulitan yang dialami siswa pada materi trigonometri di kelas XI SMA Laboratorium

Unsyiah Banda Aceh tahun Pelajaran 2013/2014. Penelitian ini berbentuk deskriptif

dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Instrumen yang digunakan dalam penelitian

berupa tes dan wawancaradengan mengambil subjek 30 siswa. Tes dilakukan untuk

mengetahui penguasaan dan kesulitan siswa sedangkan wawancara digunakan untuk

mengetahui penyebab kesulitan siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa yang mengalami kesulitan untuk mengerjakan soal C1 (pengetahuan) dan C2

(pemahaman)terkendala dari segi penguasaan konsep. Sedangkan siswa yang mengalami

kesulitan untuk mengerjakan soal C3 (aplikasi) sampai dengan soal C6

(evaluasi)mengalami kesulitan dalam penerapan prinsip. Dari hasil wawancara diperoleh

informasi bahwa penyebab kesulitan yang dialami siswa antara lain 1) pemahaman

konsep dasar trigonometri yang rendah; 2) kurangnya minat/kemauan; 3) kurangnya

latihan untuk mengerjakan soal-soal trigonometri; 4) kesulitan menganalisis soal cerita;

5) materi yang sulit difahami; 6) persepsi yang salah tentang trigonometri; 7) jarak

pemberian tes dengan materi cukup jauh; dan 8) pembelajaran trigonometri yang agak

monoton.

Kata kunci: Tingkat Berpikir, Kesulitan Siswa, Trigonometri.

1. Pendahuluan

Pendidikan merupakan salah satu komponen terpenting dalam menentukan kemajuan suatu bangsa.

Pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seseorang, baik sebagai makhluk individhu maupun

kelompok. Hal ini dikarenakan pendidikan dapat membentuk kepribadian manusia sehingga

memungkinkan manusia itu tumbuh menjadi pribadi yang cerdas dan kreatif.Pendidikan juga dapat

didefenisikan sebagai proses untuk mendapatkan pengetahuan. Syah (2006:10) mengemukakan,

“Pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang

memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan”.

Trigonometri adalah salah satu materi matematika yang diajarkan di kelas XI SMA. Materi ini sangat

penting untuk dipelajari bukan hanya karena menjadi bahan ujian, tapi karena materi inimemiliki

banyak kontribusi dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari yang hal yang sederhana seperti perhitungan

ketinggian pohon sampai hal yang kompleks seperti penentuan arah kiblat suatu tempat pada bidang

astronomi.

Terkait dengan kesulitan siswa dalam mempelajari trigonometri, Afdanun (2010:52) di SMA 6 Banda

Aceh menyimpulkan, “salah satu penyebab kesulitan yang mendominasi siswa dalam mempelajari

materi trigonometri adalah kesulitan menggunakan konsep”. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh

Adnin (2010:49) di SMA 13 Banda Aceh menyimpulkan, “berdasarkan hasil penelitian maka siswa

SMA 13 Banda Aceh pada umumnya mengalami kesulitan menggunakan prinsip pada pembelajaran

Page 97: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

97

trigonometri”. Berdasarkan beberapa temuan di atas, dapat disimpulkan bahwa siswa menengah ke atas

pada umumnya mengalami kesulitan dalam mempelajari materi trigonometri.

SMA Laboratorium Unsyiah adalah salah satu sekolah yang bergengsi di Banda Aceh karena dikenal

dengan kualitas siswanya dan keprofesionalan tenaga pengajarnya. SMA ini juga merupakan salah satu

sekolah yang telah menyandang gelar Sekolah Standar Nasional (SSN) dan telah dipercaya oleh dinas

pendidikan untuk menerapkan kurikulum 2013. Berdasarkan hasil observasi yang penulis lakukan

selama PPL di SMA Laboratorium Unsyiah Banda Aceh, diperoleh informasi bahwa ternyata banyak

siswa-siswa yang tidak menyukai trigonometri dan mengalami kesulitan dalam mempelajarinya. Hal ini

terbukti dengan banyak siswa yang belum mencapai KKM dan hasil belajar siswa yang belum

memuaskan. Tidak hanya itu, ketika guru menginformasikan bahwa trigonometri akan dipelajari pada semester ganjil, siswa-siswa langsung mengeluh.

Salah satu yang menunjang keberhasilan pembelajaran adalah kemampuan intelektual siswa.

Kemampuan ini menyangkut kemampuan untuk mengingat kembali, memahami, memanipulasinya,

menggeneralisasi, dan masih banyak lagi. Slameto (2010:56) mengungkapkan, “Inteligensi besar

pengaruhnya terhadap kemajuan belajar. Dalam situasi yang sama, siswa mempunyai tingkat

intelegensi yang tinggi akan lebih berhasil daripada yang mempunyai tingkat intelegensi rendah”.

Saat siswa mengalami kesulitan dalam pembelajaran, kebanyakan guru hanya fokus untuk meneliti

kesulitan siswa tanpa mencari tahu tingkat berpikir siswa. Padahal, dengan mengetahui tingkat berpikir

siswa, guru bisa memaksimalkan kemampuan berpikir siswa sampai pada taraf yang paling tinggi, sehingga ilmu atau fakta yang mereka dapatkan secara parsial atau terpisah dapat dijadikan bahan

masukan dalam setiap pemecahan masalah yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari secara

komprehensif dan terintegrasi. Oleh karena itu, selain harus mengetahui penyebab dan cara mengatasi

kesulitan siswa, seorang guru juga harus mengetahui tingkat berpikir siswanya.

Berdasarkan permasalahan di atas, penulis merasa penting untuk mengetahui tingkat berpikir dan

kesulitan siswa siswa dalam menyelesaikan soal-soal trigonometri. Maka dari itu penulis tertarik untuk

mengkaji lebih dalam mengenai “Tingkat Berpikir dan Kesulitan Siswa pada Materi

Trigonometridi Kelas XISMALaboratorium Unsyiah Banda Aceh Tahun Pelajaran 2013/2014.”

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalahsejauh manakah tingkat berpikir siswa pada materi trigonometri di kelas XI SMA Laboratorium Unsyiah Banda Aceh tahun pelajaran 2013/2014, kesulitan

apakah yang dialami siswa disetiap tingkat berpikir pada materi trigonometri di kelas XI SMA

Laboratorium Unsyiah Banda Aceh tahun pelajaran 2013/2014 dan apa penyebab terjadinya kesulitan

siswa pada materi trigonometri di kelas XI SMA Laboratorium Unsyiah Banda Aceh tahun pelajaran

2013/2014.

2. Tinjauan Pustaka

Tingkat berpikir siswa

Taksonomi Bloom adalah salah satu pendekatan psikologik yang dipopulerkan oleh Benjamin S Bloom

untuk melihat tingkat berpikir siswa. Bloom membagi tujuan belajar menjadi 3 domain, yaitu cognitive

domain, affective domain, dan psycho-motor domain. Dalam penelitian ini, kita hanya akan fokus untuk

membahas pada aspek kognitif saja. Adapun Bloom (dalam Arikunto, 2010:117) menjelaskan

perkembangan kognitif domain meliputi:

a. Pengetahuan (Knowledge)

Dalam pengetahuan, siswa diminta untuk memilih satu dari dua jawaban. Dalam mengingat

kembali siswa diminta untuk mengingat kembali satu atau lebih fakta-fakta yang sederhana.

Kategori ini merupakan kategori yang paling rendah tingkatannya karena tidak terlalu banyak

meminta energi.

b. Pemahaman (Comprehention)

Dengan pemahaman, siswa diminta untuk membuktikan bahwa ia memahami hubungan yang sederhana dengan fakta-fakta atau konsep.

c. Penerapan atau aplikasi (Application)

Untuk penerapan atau aplikasi ini siswa dituntut memiliki kemampuan untuk menyeleksi atau

memilih suatu abstraksi tertentu (konsep, hukum, dalil, aturan, gagasan, cara) secara tepat

untuk diterapkan dalam situasi baru dan menerapkannya secara benar.

Page 98: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

98

d. Analisis (Analysis)

Dalam tugas analisis ini siswa diminta untuk menganalisis suatu hubungan atau situasi yang

kompleks atas konsep-konsep dasar.

e. Sintesis (Syinthesis)

Apabila penyusun soal tes bermaksud meminta siswa untuk melakukan sintesis, maka

pertanyaan-pertanyaan disusun sedemikian rupa sehingga meminta siswa untuk

menggabungkan atau menyusun kembali (recognize) hal-hal yang spesifik agar dapat

mengembangkan suatu struktur yang baru. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa dengan soal

sintesis ini siswa diminta melakukan generalisasi.

f. Evaluasi (Evaluation)

Melakukan evaluasi dalam ranah kognitif ini menyangkut masalah “benar/salah” yang didasarkan atas dalil, hukum, prinsip pengetahuan. Pada tingkat evaluasi, peneliti bertujuan

untuk mengetahui sejauh mana siswa mampu menerapkan pengetahuan dan kemampuan yang

telah dimiliki untuk menilai suatu kasus.

Taksonomi Bloom adalah struktur hierarki yang mengidentifikasikan kemampuanmulai dari tingkat

yang rendah hingga yang tinggi.Tentunya untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, level yang rendah

harus dipenuhi lebih dulu.

Sebelum kita memahami sebuah konsep maka kita harus mengingatnya

Sebelum kita menerapkan maka kita harus memahaminya

Sebelum kita menganalisa maka kita harus menerapkannya

Sebelum kita mensintesis maka kita harus menganalisa

Sebelum kita mengevaluasi, maka kita harus mengingat, memahami, mengaplikasikan,

menganalisis dan mengevaluasi.

Selanjutnya dalam penelitian ini, tingkat berpikir siswa akan dianalisis berdasarkan tingkat berpikir

kognitif Bloom yaitu pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.

1) C1 (Pengetahuan)

Pada tingkat ini jenjang belajar siswa masih rendah, tapi siswa mampu mengingat fakta-fakta, mampu

menghafal rumus dan defenisi. Misalnya siswa sudah mampu menjelaskan defenisi sinus, siswa mampu

menghapal rumus cos (a + b), dan siswa mengingat konsep untuk menentukan sin a dengan

menggunakan teorema pytagoras.

2) C2 (Pemahaman)

Pada tingkat ini, siswa telah menguasai konsep-konsep, struktur matematika sehingga dapat

mengaplikasikan ke situasi yang lain. Misalnya ketika siswa diminta untuk menyelesaikan berapa nilai

cos 51o cos 9o – sin 50o sin 9o tanpa kalkulator atau tabel, maka siswa akan menggunakan rumus

cos(𝑎 + 𝑏) = cos 𝑎 cos 𝑏 − sin 𝑎 sin 𝑏 yang telah dipelajari sebelumnya. Siswa telah memahami

mengubah bentuk ruas kanan menjadi ruas kiri sehingga didapatkan cos (51o + 9o) = cos 60o

3) C3 (Aplikasi)

Pada tingkat ini siswa mampu menggunakan rumus-rumus trigonometri ke mata pelajaran lain, misalnya

pada mata pelajaran fisika (Hudojo (2001:21). Pada materi gelombang, kita menggunakan trigonometri untuk menyelesaikan berbagai persoalan.

4) C4 (Analisis)

Analisis ini berkenaan dengan penguraian suatu situasi atau informasi ke dalam unsur-unsur atau

komponen-komponen pembentuknya, hubungan-hubungan antar bagian dengan keseluruhan serta cara

bagaimana mereka diorganisasikan Hudojo (2001:21). Misalnya siswa mampu menuliskan hubungan-

hubungan rumus trigonometri yang satu dengan yang lainnya. Ketika siswa diminta untuk membuktikan

suatu identitas trigonometri, siswa mampu mengaitkan dengan rumus-rumus sebelumnya, contohnya

dalam membuktikan 4 sin 2𝑥 cos 2𝑥 cos 𝑥 = sin 5𝑥 + sin 3𝑥, siswa mampu mengaitkan dengan rumus

perkalian sinus dan kosinus yaitu 2 sin 𝑎 cos 𝑏

5) C5 (Sintesis)

Hudojo (2001:21) mengungkapkan, “Sintesis berkenaan dengan pernyataan unsur-unsur atau

komponen-komponen untuk membentuk suatu kesatuan yang utuh sehingga polanya menjadi jelas.Pada

matematika nampak jelas kepada kemampuan penyusun konsep-konsep matematika untuk menciptakan

Page 99: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

99

struktur matematika”. Misalnya Ketika siswa diberikan suatu permasalahan trigonometri, siswa mampu

menyelsaikan permasalahan tersebut dengan menggunakan dua cara yang berbeda bahkan lebih.

6) C6 (Evaluasi)

Hudojo (2001:21) mengemukakan, “evaluasi berkenaan dengan penilaian suatu ide dan metode-metode

dengan menggunakan suatu kriteria.Evaluasi merupakan tingkat kognitif yang tertinggi, karena jenis ini

melibatkan pengetahuan, pengertian, aplikasi, analisis, dan sintesis agar tercapai tujuan evaluasi

tersebut”.Misalnya saja siswa mampu memilih rumus trigonometri untuk menyelesaikan permasalahan

yang menyangkut bangunan (arsitek). Contohnya pada desain suatu taman kota, siswa diminta untuk

menentukan penempatan pipa air agar semburan air ke utara membentuk sebuah busur panah dengan

jarak mendatar dan tinggi maksimum semburan air yang sudah diketahui.

Kesulitan belajar matematika

Kebanyakan orang menganggap bahwa matematika adalah bidang hitung-berhitung. Namun, ahli

matematika mengatakan bahwa perhitungan hanyalah bahagian dalam matematika. Matematika yang

sesungguhnya melibatkan pemecahan soal matematika dan pemahaman struktur dalam pola

matematika. Abdurrahman (2003:255) menjelaskan bahwa sebenarnya kesulitan pembelajaran

matematika bukan terletak pada keterampilan berhitung, tetapi terletak pada materi yang harus diajarkan

dan pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran.

Dalam mempelajari matematika, siswa memiliki berbagai kesulitan diantaranya kesulitan menggunakan

konsep, kesulitan menggunakan prinsip, dan kesulitan memecahkan soal dalam bentuk verbal. Seperti

yang diungkapkan Soedjono (1984:4)

1. Kesulitan dalam menggunakan konsep

a. Siswa lupa nama singkatan/nama teknik suatu objek

b. Ketidakmampuan mengingat satu atau lebih syarat cukup dan sebagainya

2. Kesulitan belajar dalam menggunakan prinsip

a. Siswa tidak mempunyai konsep yang dapat digunakan untuk mengembangkan prinsip

sebagai butir pengetahuan baru

b. Siswa tidak dapat menggunakan prinsip karena kurang kejelasan tentang prinsip tersebut

dan sebagainya 3. Kesulitan memecahkan soal dalam bentuk verbal

a. Tidak mengerti apa yang dibaca, akibat kurangnya pengetahuan siswa tentang konsep atau

beberapa istilah yang tidak diketahui

b. Tidak mampu menetapkan variabel untuk menyusun persamaan dan sebagainya

Kesulitan menggunakan konsep adalah keadaan dimana siswa lupa singkatan atau nama teknik suatu

objek dan ketidakmampuan siswa untuk mengingat syarat cukup. Contohnya adalah pengertian sudut

dan perbandingan trigonometri. Siswa yang mengalami kesulitan prinsip adalah siswa yang mengalami

kesulitan untuk menerapkan konsep-konsep pada soal. Contoh prinsip adalah identitas trigonometri.

Sedangkan siswa yang mengalami kesulitan untuk menganalisis atau menerjemahkan soal digolongkan

menjadi siswa yang mengalami kesulitan konsep.

Kesulitan siswa

Siswa yang memperoleh skor dibawah 65 dikatagorikan sebagai siswa yang mengalami kesulitan

belajar, sedangkan jika telah memperoleh nilai sekurang-kurangnya 65 dari skor maksimum 100

dikategorikan telah memahami materi trigonometri. Sebagaimana dikemukakan Sri (dalam Afdanun,

2010:15) tentang kriteria pengusaan materi yaitu:

secara individu penguasaan materi disebut dikuasai oleh siswa bila ia dapat menjawab dengan benar

atau memperoleh skor sekurang-kurangnya 65% dari jumlah skor ideal setiap materi penguasaan.

Sedangkan secara klasikal penguasaan sudah dikuasai oleh sekelompok siswa bila telah terdapat

sekurang-kurangnya 85% siswa telah menguasai materi tersebut.

Berdasarkan kategori yang telah ditetapkan, kita pun dengan mudah dapat mengetahui siswa-siswa yang

mengalami kesulitan pada materi trigonometri dengan melihat pada hasil kerja siswa.

1) Kesulitan dalam menggunakan konsep

Page 100: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

100

Abdurrahman (2003:254) mengemukakan, “Konsep menunjuk pada pemahaman dasar. Siswa

mengembangkan suatu konsep ketika mereka mampu mengklasifikasikan atau mengelompokkan

benda-benda atau ketika mereka dapat mengasosiasikan suatu nama dengan dengan kelompok benda

tertentu”. Dengan kata lain, pemahaman konsep menuntut siswa untuk mampu mengelompokkan yang

mana yang merupakan konsep dan yang mana bukan konsep.

a. Siswa lupa nama singkatan/tehnik suatu objek

Siswa tidak mampu menyebutkan defenisi dari sinus dan kosinus dengan bahasa sendiri. Ketika

siswa menjumpai segitiga dengan bentuk yang berbeda (misalnya segitiga dengan posisi alasnya

tidak horizontal), siswa menjadi bingung dan tidak dapat menentukan nilai sinus dan kosinus sudut

tersebut. Terkait dengan teknik, misalnya saja siswa kebingungan untuk mengkorvensikan nilai

suatu sudut ke dalam bentuk sudut istimewa. Contohnya siswa bingung mengkorversikan nilai cos 15o menjadi cos (60o- 45o). Karena terkadang siswa berpikir untuk membuat cos 15o = cos (30o-

15o). Hal tersebut benar, tapi tidak merujuk pada konsep yag diharapkan.

b. Ketidakmampuan mengingat satu atau lebih syarat cukup dan sebagainya

Siswa tidak bisa mengingat materi yang terkait (prasyarat) dengan pembelajaran trigonometri.

Misalnya siswa tidak bisa menentukan nilai sinus dan kosinus dari suatu segitiga karena tidak

memahami rumus pytagoras.

2) Kesulitan dalam menggunakan prinsip

a. Siswa tidak mempunyai konsep yang dapat digunakan untuk mengembangkan prinsip sebagai butir pengetahuan baru

Untuk menyelesaikan suatu persoalan, terkadang dibutuhkan konsep yang telah dipelajari

sebelumnya, misalnya ketika siswa ingin membuktikan nilai cos 2𝑎 = 𝑐𝑜𝑠2𝑎 − 𝑠𝑖𝑛2𝑎 dengan

menggunakan cara cos(𝑎 + 𝑎) diperlukan cos 𝑎 dan sin 𝑎.

b. Siswa tidak dapat menggunakan prinsip karena kurang kejelasan tentang prinsip tersebut dan

sebagainya

Dalam hal ini, kurangnya pemahaman siswa tentang prinsip dasar trigonometri akan membuat

siswa kesulitan untuk memahami prinsip lainnya.

Siswa kesulitan dalam menjelaskan operasi hitung tertentu. Contohnya siswa masih bingung

untuk mencari nilai sin2x, siswa bingung apakah x yang dikuadratkan atau sin yang harus

dikuadratkan atau siswa bingung dengan sin x . sin x, hasilnya sama dengan sin2 x atau 2 sin x.

Siswa kesulitan dalam menentukan tanda positif negatif pada setiap kuadran dan siswa masih tidak memahami mengenai relasi setiap kuadran, contohnya nilai sin (90o- a) = cos a dan sin

(180o- b) = sin b

Ketidakmampuan siswa dalam memilih rumus yang tepat untuk menyelesaikan persoalan

trigonometri. Contohnya siswa salah menerapkan identitas trigonometri saat menyelesaikan

soal yang membutuhkan pembuktian

Siswa tidak dapat memberikan alasan dalam penggunaan suatu prinsip. Contohnya siswa tidak

bisa menjelaskan pytagoras digunakan untuk menentukan nilai sinus, cosinus, dan tangen pada

segitiga siku-siku.

3) Kesulitan memecahkan soal dalam bentuk verbal

Kesulitan verbal terjadi bila siswa tidak dapat menerjemahkan soal cerita dalam bahasa matematika

berupa ilustrasi gambar, simbol, grafik dan tabel. a. Kesulitan untuk menerjemahkan soal.

Siswa tidak mengerti apa yang ditanya, hal ini terjadi karena kurangnya pengetahuan siswa tentang

konsep atau beberapa istilah dalam trigonometri. Misalnya saja ketika siswa ingin menyelesaikan

soal trigonometri dalam bentuk cerita, siswa kebingungan untuk menerjemahkan soal tersebut

menjadi bahasa matematika. Kebingungan tersebut terjadi karena siswa tidak mendapat ide pokok

mengenai permasalahan yang ada dalam soal tersebut (siswa kesulitan dalam menganalisis soal).

b. Tidak mampu menetapkan variabel untuk menyusun persamaan dan sebagainya

Siswa mengalami kesulitan dalam menetapkan variabel sehingga persamaannya tidak bisa

ditentukan. Contohnya siswa kesulitan dalam menyelesaikan persamaan pecahan dari sudut-sudut

istimewa dalam persoalan trigonometri.

Page 101: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

101

3. Metode

Adapun jenis penelitian yang akan dilakukan adalah deskriptif yaitu penelitian yang bertujuan untuk

menjelaskan atau mendeskripsikan suatu keadaan, peristiwa, objek apakah orang atau segala sesuatu

yang tekait dengan variabel-variabel yang bisa dijelaskan baik dengan angka-angka maupun kata-kata.

Dengan kata lain, penelitian deskriptif menggambarkan tingkat berpikir dan kesulitan yang dialami oleh

siswa dengan melakukan penelitian secara cermat dan teratur untuk mengetahui hasil yang efektif.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif karena penelitian ini mengembangkan konsep atas data yang ada yang lebih mementingkan proses daripada hasil.Moleong (2010:21)

mendefenisikan bahwa salah satu karakteristik dari penelitian kualitatif adalah lebih mementingkan

proses daripada hasil.

Adapun teknik yang digunakan dalam pengumpulan data yaitu:

1) Tes

Menurut Thoha (2003:43), “Tes adalah alat pengukuran berupa pertanyaan, perintah, dan petunjuk yang

diajukan kepada testee untuk mendapatkan respon sesuai petunjuk itu. Testee adalah responden yang

sedang mengerjakan tes”. Untuk memperoleh data tentang kesulitan siswa dalam menyelesaikan materi

trigonometri, peneliti memberikan 6 soal essay. Soal-soal tes tersebut dibuat dengan bantuan dosen

pembimbing dan juga diadopsi dari soal-soal latihan pada buku paket matematika SMA untuk kelas XI.

Soal-soal tersebut hirarkies karena telah disusun berdasarkan tingkat berpikir Bloom.

2) Wawancara

Wawancara dilakukan untuk menyaring data kualitatif sebanyak-banyaknya tentang tingkat berpikir dan

penyebab kesulitan siswa kelas XI SMA Laboratorium Unsyiah dalam menyelesaikan soal

trigonometri.Peneliti akan memilih 7 siswa yang melakukan kesalahan terbanyak dalam tes, artinya satu

soal akan diwakili oleh satu siswa.

Setelah data terkumpul, selanjutnya akan dilakukan analisis untuk mengetahui tingkat berpikir dan

kesulitan siswa dalam mempelajari trigonometri.

1) Tingkat Berpikir

Analisis data yang ada merupakan jawaban dari lembar jawaban siswa. Dalam proses penilaian terhadap

tingkat berpikir siswa sesuai dengan teori berpikir Bloom yang terdiri dari enam tahap yaitu

pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Semua siswa mendapatkan nilai yang mengacu pada tingkat Bloom adalah hierarkis, dimana seorang siswa tidak bisa berada pada

tingkat n apabila belum melewati tingkat n-1.Adapun untuk melihat ketuntasan siswa dalam menjawab

soal, maka siswa harus memperoleh minimal 75% dari skor masing-masing soal. Widdiharto (2008:30)

mengungkapkan bahwa untuk menyatakan bahwa siswa telah menguasai kompetensi dasar atau

indikator yang telah ditentukan. Umumnya skor pencapaian adalah 75%.

2) Kesulitan Siswa

Untuk menentukan kesulitan siswa, peneliti mencermati setiap jawaban yang diberikan siswa.Setelah

semua data terkumpul, peneliti akan melakukan pemeriksaan/analisis terhadap kesulitan yang dihadapi

siswa berdasarkan kriteria yang telah dikemukakan sebelumnya yaitu kesulitan menggunakan konsep,

prinsip, dan verbal.

3) Penyebab Kesulitan Siswa

Untuk mengetahui penyebab kesulitan siswa dalam menyelesaikan permasalahan trigonometri, penulis

akan memilih beberapa siswa yang paling banyak melakukan kesalahan untuk diwawancarai. Subjek

dipilih berdasarkan analisis hasil jawaban tes yang dikerjakan oleh siswa.Dari sejumlah siswa yang mengalami kesulitan untuk mengerjakan soal trigonometri dipilih 7 orang siswa untuk mewakili

masing-masing soal.Siswa-siswa tersebut adalah siswa-siswa yang mendapatkan skor dibawah 65,

paling banyak melakukan kesalahan, dan kesalahan unik untuk diteliti.

Page 102: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

102

4. Hasil dan Pembahasan

Tingkat berpikir siswa dalam mempelajari trigonometri

Berdasarkan hasil analisis data terhadap 30 orang siswa diperoleh data sebagai berikut: ada 3,3% siswa

telah mencapai tingkat berpikir C6 (evaluasi); 6,67% siswa yang mencapai tingkat berpikir C5

(sintesis); 26,67% siswa yang mencapai tingkat berpikir C4 (analisis); 30% yang mencapai tingkat

berpikir C3 (aplikasi); 23,3% yang masih mencapai tingkat berpikir C2 (pemahaman); 3,3% yang masih ditingkat berpikir C1 (pengetahuan); dan masih ada 6,6% siswa yang belum bisa menjawab soal C1.

Kesulitan siswa dalam menyelesaikan permasalahan trigonometri

Dari tabel distribusi hasil tes setiap butir soal yang diperoleh siswa (lampiran) terlihat bahwa skor yang

diperoleh siswa dapat dirincikan sebagai berikut: skor minimum 14, skor maksimum 77, dan skor rata-

rata 47,31 sedangkan skor ideal adalah 100. Bila dinyatakan dalam bentuk persentase diperoleh data

sebagai berikut: skor minimum 14%, skor maksimum 77%, dan skor rata-rata 47,31%. Dari tabel

tersebut tampak bahwa hanya 2 orang yang mencapai ketuntasan belajar pada materi trigonometri.

Berdasarkan hasil analisis data terhadap 30 orang siswa diperoleh data sebagai berikut: 6,6% siswa mengalami kesulitan untuk mengerjakan soal C1 (pengetahuan); 3,3% siswa mengalami kesulitan untuk

mengerjakan soal C2 (pemahaman); 23,3% siswa mengalami kesulitan untuk mengerjakan soal C3

(aplikasi); 30% siswa mengalami kesulitan untuk mengerjakan soal C4 (analisis); 26,67% siswa

mengalami kesulitan mengerjakan soal C5 (sintesis); dan 6,67% siswa mengalami kesulitan

mengerjakan soal C6 (evaluasi).

Setelah dilakukan pemeriksaan terhadap hasil tes siswa, ditemukan kesulitan-kesulitan yang dialami

siswa dalam menyelesaikan permasalahan trigonometri.Adapun kesulitan itu diklasifikasikan

berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya yaitu kesulitan menggunakan konsep, prinsip,

dan verbal.

Kesulitan menggunakan konsep

a. Kesulitan menggunakan dalil pytagoras dalam menghitung sisi suatu segitiga

b. Kesulitan menentukan sisi depan dan sisi samping sudut yang dicari

c. Kesulitan menentukan nilai sinus, cosinus, dan tangen dari segitiga siku-siku

d. Kesulitan untuk menentukan tanda positif atau negatif untuk nilai sinus, cosinus, dan tangen

disetiap kuadran

e. Kesulitan mengingat rumus sin 2𝑎 dan tan𝜃

2

f. Kesulitan mengingat identitas trigonometri 𝑐𝑜𝑠2𝑎 + 𝑠𝑖𝑛2𝑎 = 1 g. Kesulitan untuk membedakan nilai tan 2a dan 2 tan a

h. Kesulitan untuk memilih rumus yang tepat untuk menyelesaikan persoalan trigonometri

Kesulitan menggunakan prinsip

a. Kesulitan menjabarkan sin 2𝑎 menjadi 2 sin 𝑎 cos 𝑎 dengan menggunakan sin(𝑎 + 𝑎)

b. Kesulitan menjabarkan 2 𝑠𝑖𝑛2𝑎

2 sin 𝑎+sin 2𝑎 menjadi

2 sin 𝑎 sin 𝑎

2 sin 𝑎(1+cos 𝑎)

c. Kesulitan menyusun persamaan dalam menyelesaikan identitas trigonometri

d. Kesulitan mensubstitusikan persamaan yang telah diketahui

e. Kesulitan mengoperasikan persamaan trigonometri

Kesulitan verbal

a. Kesulitan menggambar segitiga berdasarkan nilai yang diketahui dari soal

b. Siswa tidak tahu apa yang harus dicari

Penyebab kesulitan

Dari 30 orang siswa yang diteliti 24,54% siswa yang mengalami kesulitan konsep; 40,91% siswa yang

mengalami kesulitan prinsip; dan 8,18% siswa yang mengalami kesulitan berbentuk verbal.Adapun jika

dianalisis penyebab kesulitan siswa disetiap tingkat berpikir diperoleh informasi bahwa

Siswa yang mengalami kesulitan untuk mengerjakan soal C1 (pengetahuan) paling banyak

mengalami kesulitan konsep

Page 103: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

103

Siswa yang mengalami kesulitan untuk mengerjakan C2 (pemahaman) paling banyak mengalami

kesulitan konsep

Siswa yang mengalami kesulitan untuk mengerjakan soal C3 (aplikasi) paling banyak mengalami

kesulitan prinsip

Siswa yang mengalami kesulitan untuk mengerjakan soal C4 (analisis) paling banyak mengalami

kesulitan prinsip

Siswa yang mengalami kesulitan untuk mengerjakan soal C5 (sintesis) paling banyak mengalami

kesulitan prinsip

Siswa yang mengalami kesulitan untuk mengerjakan soal C6 (evaluasi) paling banyak mengalami

kesulitan prinsip.

Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan terhadap beberapa orang siswa yang mengalami

kesulitan untuk menyelesaikan soal trigonometri, diperoleh informasi bahwa kesulitan-kesulitan yang

dialami siswa cenderung disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:

1) Pemahaman dasar yang rendah tentang materi trigonometri

2) Kurangnya minat/kemauan dalam mempelajari trigonometri

3) Kurangnya latihan untuk mengerjakan soal-soal trigonometri

4) Kesulitan menerjemahkan soal cerita

5) Materi yang sulit difahami

6) Persepsi yang salah tentang trigonometri

7) Jarak pemberian tes dengan materi cukup jauh

8) Pembelajaran trigonometri yang agak monoton

5. Kesimpulan

Dari 30 orang siswa yang diteliti 3,3% siswa telah mencapai tingkat berpikir C6 (evaluasi); 6,67% siswa

yang mencapai tingkat berpikir C5 (sintesis); 26,67% siswa yang mencapai tingkat berpikir C4 (analisis); 30% yang mencapai tingkat berpikir C3 (aplikasi); 23,3% yang masih mencapai tingkat

berpikir C2 (pemahaman); 3,3% yang masih ditingkat berpikir C1 (pengetahuan); dan masih ada 6,6%

siswa yang belum bisa menjawab soal C1.

Siswa yang mengalami kesulitan untuk mengerjakan soal C1 (pengetahuan) dan C2

(pemahaman)terkendala dari segi penguasaan konsep. Sedangkan siswa yang mengalami kesulitan

untuk mengerjakan soal C3 (aplikasi) sampai dengan soal C6 (evaluasi)mengalami kesulitan dalam

penerapan prinsip.

Penyebab kesulitan siswa dalam menyelesaikan persoalan trigonometri adalah sebagai berikut:

1) Pemahaman dasar yang rendah tentang materi trigonometri

2) Kurangnya minat/kemauan dalam mempelajari trigonometri

3) Kurangnya latihan untuk mengerjakan soal-soal trigonometri

4) Kesulitan menerjemahkan soal cerita

5) Materi yang sulit difahami

6) Persepsi yang buruk tentang trigonometri

7) Jarak pemberian tes dengan materi cukup jauh

8) Pembelajaran trigonometri yang kurang bermakna

Daftar Pustaka

Abdurrahman, Mulyono. 2003. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Adnin, Huliatul. 2010. Kesulitan Siswa Kelas XII pada Materi Trigonometri di SMA Negeri 13 Banda

Aceh Tahun Ajaran 2010/2011.Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala.

Afdanun, Winda. 2010. Analisis Kesulitan Siswa Dalam Menyelesaikan Soal-soal Trigonometri Kelas XI SMA Negeri 6 Banda Aceh Tahun 2009/2010. Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala.

Arikunto, Suharsimi. 2010. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT BUMI AKSARA.

Page 104: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

104

Hudojo, Herman. 2001. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Malang.

Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-faktor yang mempengaruhi. Jakarta: Rineka Cipta.

Soedjono.1984. Diagnosa Kesulitan Belajar dan Pengajaran Remedial Matematika. Jakarta:

Depdikbud.

Sulistiyono, dkk. 2006. Matematika SMA dan MA untuk Kelas XI Semester 1 Program IPA. Jakarta:

ESIS.

Syah, Muhibbin. 2006. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT REMAJA

ROSDAKARYA.

Thoha C., Muhammad. 2003. Teknik Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Widdiharto, Rachmadi. 2008. Diagnosis Kesulitan Belajar Matematika SMP dan Alternatif Proses

Remedinya. Jogjakarta: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan

Matematika.

Page 105: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

105

KEMAMPUAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI MELALUI METODE

PENEMUAN PADA MATERI LUAS PERMUKAAN BANGUN RUANG SISI

LENGKUNG SISWA KELAS IX SMP NEGERI 18 BANDA ACEH

Laila Zuriatina1, Bainuddin Yani2, dan Tuti Zubaidah3

1 Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Email: [email protected] 2 Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

3Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Abstrak. Pembelajaran matematika di sekolah masih berpusat pada guru, matematika

diajarkan secara informatif dengan rumus-rumus yang diberikan langsung oleh guru.

Akibatnya, siswa SMP Indonesia sangat lemah dalam problem solving, namun cukup

baik dalam keterampilan prosedural (TIMSS). Ini membuktikan bahwa terhadap masalah

matematika yang menuntut kemampuan berpikir tingkat tinggi, siswa SMP Indonesia

jauh di bawah rata-rata Internasional. Untuk itu, diperlukan suatu metode yang dapat memunculkan kemampuan berpikir tingkat tinggsi siswa. Penelitian ini berjudul

“kemampuan berpikir tingkat tinggi melalui metode penemuan pada materi luas

permukaan bangun ruang sisi lengkung siswa kelas IX SMPN 18 Banda Aceh”, bertujuan

untuk mengetahui kemampuan berpikir tingkat tinggi melalui metode penemuan pada

materi bangun ruang sisi lengkung di SMPN 18 Banda Aceh. Subjek penelitian ini adalah

3 orang siswa berkemampuan tinggi, sedang dan rendah yang dipilih dari 22 orang siswa

kelas IX-1 SMPN 18 Banda Aceh. Pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan

aktivitas siswa selama pembelajaran dan dengan melakukan tes hasil belajar siswa.

Pengolahan data pengamatan dilakukan dengan checklist (untuk menunjukkan

kemunculan indikator kemampuan berpikir tingkat tinggi yang ditentukan), dan data hasil

belajar diolah dengan rumus persentase. Dari hasil pengolahan data diperoleh siswa tidak tuntas secara klasikal, yaitu siswa yang tuntas sebanyak 73% dan yang tidak tuntas

sebanyak 27%. Meski demikian, melalui penerapan metode penemuan pada materi luas

permukaan bangun ruang sisi lengkung, kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa muncul

dengan keterampilan yang berbeda-beda pada tiap-tiap siswa.

Kata kunci: kemampuan berpikir tingkat tinggi, penemuan, BRSL

1. Pendahuluan

Third Matemathics and Science Study (TIMSS), lembaga yang mengukur hasil pendidikan di dunia

melaporkan bahwa kemampuan matematika anak SMP di Indonesia berada di urutan 34 dari 38 negara.

Salah satu penyebab rendahnya kualitas pemahaman siswa dalam matematika menurut hasil survey

IMSTEP-JICA (2000) adalah bahwa dalam pembelajaran matematika guru terlalu berkonsentrasi pada

hal-hal yang prosedural dan mekanistik pembelajaran berpusat pada guru. Konsep matematika

disampaikan secara informatif dan siswa dilatih menyelesaikan banyak soal tanpa pemahaman yang

mendalam. Akibatnya kemampuan penalaran dan kompetensi strategis siswa tidak berkembang

sebagaimana mestinya. Bukti ini diperkuat lagi oleh hasil yang diperoleh The Third International

Mathematics and Science Study (TIMSS) bahwa siswa SMP Indonesia sangat lemah dalam problem

solving namun cukup baik dalam keterampilan prosedural (Mullis, dkk: 2004). Hal ini membuktikan

bahwa terhadap masalah matematika yang menuntut kemampuan berpikir tingkat tinggi, siswa SMP

kelas dua Indonesia jauh di bawah rata-rata internasional, bahkan dengan beberapa negara tetangga

sekalipun, seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand. Melihat keadaan seperti ini, upaya untuk

meningkatkan kualitas pembelajaran terutama dalam pengembangan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa menjadi penting dan esensial.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah dalam penelitian ini adalah: ”Bagaimanakah

kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa melalui metode penemuan pada materi luas permukaan

bangun ruang sisi lengkung di kelas IX SMP Negeri 18 Banda Aceh?”

Page 106: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

106

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan berpikir tingkat tinggi melalui metode

penemuan pada materi luas permukaan bangun ruang sisi lengkung siswa kelas IX SMP Negeri 18

Banda Aceh.

2. Tinjauan Pustaka

Kemampuan berpikir dan berpikir tingkat tinggi

Menurut Khodijah, 2006 (dikutip melalui online: http://psikologi.or.id) secara sederhana, berpikir adalah memproses informasi secara mental atau secara kognitif. Menurut Solso, Robert dkk (2008:

402) berpikir adalah proses yang membentuk representasi mental baru melalui transformasi informasi

oleh interaksi kompleks dari atribusi mental yang mencakup pertimbangan, penabstrakan, penalaran,

penggambaran, pemecahan masalah logis, pembentukan konsep, kreativitas dan kecerdasan.

Gambar 1. Diagram Tingkatan Berpikir

Sumber: www.slideshare.net/NisatuwnamaQ/berpikir-tingkat-tinggi

Berpikir tingkat tinggi adalah operasi kognitif yang banyak dibutuhkan pada proses-kemampuan

berpikir yang terjadi dalam short-term memory. Ibrahim dan Nur (2000) menjelaskan bahwa

karakteristik berpikir tingkat tinggi adalah non-algoritmik yaitu alur tindakan yang tidak sepenuhnya

dapat ditetapkan sebelumnya, cenderung kompleks, seringkali menghasilkan banyak solusi, melibatkan

pertimbangan dan interpretasi, serta aktivitas mental yang tinggi.

Secara umum, langkah-langkah berpikir tingkat tinggi mencakup semua tugas intelektual yang

memerlukan lebih dari pengambilan informasi. Oleh karena itu, dalam arti luas, HOTS (High Order Thinking Skills/ keterampilan berpikir tingkat tinggi) dapat dianggap sebagai keterampilan yang

dibutuhkan untuk melakukan tugas-tugas. Siswa diharapkan dapat meningkatkan keterampilan ini dan

menggunakannya untuk membangun pengetahuan matematika mereka, dan karenanya terlibat dalam

pembelajaran seumur hidup. NCTM (National Council of Teachers of Mathematics), memaparkan lima

keterampilan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Keterampilan Pemecahan Masalah

Menurut Solso, Robert dkk (2008: 434) pemecahan masalah adalah suatu pemikiran yang terarah

secara langsung untuk menemukan suatu solusi/ jalan keluar untuk suatu masalah yang spesifik.

Kita menemukan banyak masalah yang spesifik. Kita menemukan banyak masalah dalam

kehidupan sehari-hari kita, sehingga kita akan membuat suatu cara untuk menanggapi, memilih,

menguji respons, yang kita dapat untuk memecahkan suatu masalah. Pemecahan masalah

merupakan bagian integral dari semua pembelajaran matematika dan melibatkan identifikasi

hambatan, kendala atau pola tak terduga, mencoba prosedur yang berbeda dan mengevaluasi atau

membenarkan solusi.

Dewan Nasional Guru Matematika (NCTM) menganggap pemecahan sebagai proses menerapkan

pengetahuan yang diperoleh sebelumnya (atau tak terduga) situasi baru dan asing masalah. Untuk

mengatasi masalah, siswa memanfaatkan pengetahuan mereka dan mengembangkan pemahaman

matematika baru. Mereka juga harus mendapatkan cara berpikir, mengembangkan kepercayaan dan

kebiasaan ketekunan dalam situasi yang asing melalui proses pemecahan masalah.

Strategi pemecahan mencakup cara memahami masalah, menyusun rencana pemecahan masalah,

melaksanakan rencana, memeriksa kewajaran hasil evaluasi dan membuat evaluasi. Dalam proses

pemecahan masalah, siswa dapat membuat dugaan dan mencoba berbagai cara untuk mengatasi

Tingkatan berpikir

Berpikir biasa adalah berpikir sederhana dan dapat dilakukan oleh

kebanyakan orang.

Berpikir tingkat tinggi adalah proses berpikir

yang mendalam terhadap sesuatu .

Page 107: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

107

masalah itu. Guru harus mencatat bahwa metode apapun, yang dapat digunakan baik untuk

memecahkan masalah adalah metode yang sebenarnya.

2. Keterampilan Bertanya

Bertanya melibatkan penemuan atau membangun pengetahuan melalui pertanyaan atau menguji

hipotesis. Observasi, analisis, meringkas dan verifikasi adalah elemen penting dalam melaksanakan

kegiatan bertanya. Kegiatan bertanya terutama melibatkan proses belajar mandiri, tetapi bimbingan

yang sesuai dari guru kadang-kadang diperlukan tergantung pada kemampuan siswa dan

kompleksitas kegiatan. Mengajukan pertanyaan merupakan salah satu sarana populer diadopsi

untuk membimbing siswa untuk membuat eksplorasi. Bahkan, pertanyaan yang dirancang dengan baik yang berguna untuk merangsang siswa untuk menemukan kesamaan, perbedaan, pola dan tren.

Siswa juga mungkin diminta untuk menguji dugaan matematika, yang memungkinkan mereka

untuk berpartisipasi dalam peran yang lebih aktif dalam proses pembelajaran. Kegiatan bertanya

dirancang harus sesuai dengan kemampuan siswa sehingga mereka dapat menikmati hasil

penemuan matematika. Selain itu, mungkin lebih efektif untuk mengatur siswa dalam kelompok-

kelompok kecil (bila memungkinkan) karena lebih mudah bagi mereka untuk mengemukakan

gagasannya.

3. Keterampilan Berkomunikasi

Dewan Nasional Guru Matematika (NCTM) (2000: 348) menyatakan bahwa komunikasi melibatkan menerima dan berbagi ide dan dapat dinyatakan dalam bentuk angka, simbol, diagram,

grafik, diagram, model dan simulasi. Hal ini dipandang sebagai bagian integral dari pembelajaran

matematika karena membantu menjelaskan konsep dan membangun makna untuk ide-ide. Melalui

proses komunikasi, siswa belajar harus jelas dan meyakinkan dalam menyajikan ide-ide

matematika, yang pasti membantu mengembangkan pemikiran logis mereka.

Karena matematika sangat sering disampaikan dalam simbol-simbol, komunikasi lisan dan tertulis

tentang ide-ide matematika sering diabaikan oleh guru. Namun, perlu dicatat bahwa bahasa baik

lisan maupun tulisan yang diperlukan untuk menggambarkan, menjelaskan dan membenarkan ide-

ide matematika. Kemampuan ini dapat membantu siswa mengklarifikasi pemikiran mereka dan

mempertajam pemahaman mereka tentang konsep dan prosedur. Selain itu, selama proses berkomunikasi, siswa dapat membangun, memperbaiki dan mengkonsolidasikan pemahaman

matematika mereka.

4. Keterampilan Penalaran

Penalaran menarik kesimpulan dari bukti-bukti, alasan atau asumsi. Menurut Dewan Nasional Guru

Matematika (NCTM) (2000: 342), siswa diharapkan mampu menjelaskan dan memberikan alasan

atas kesimpulan yang mereka ambil. Ini melibatkan mengembangkan argumen logis untuk

menyimpulkan atau menyimpulkan kesimpulan. Penalaran dapat diklasifikasikan ke dalam

penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran induktif bekerja dari pengamatan khusus

untuk generalisasi yang lebih luas dan teori sementara penalaran deduktif bergerak dari putaran

cara lain, yaitu, dari lebih umum untuk lebih spesifik. Sifatnya, metode penalaran induktif lebih terbuka dan eksplorasi dan yang deduktif sempit di alam dan biasanya berkaitan dengan pengujian

atau memverifikasi hipotesis dan teori. Oleh karena itu, menemukan istilah umum urutan seperti 1,

3, 5, 7, 9, ......, melibatkan penalaran induktif saat melakukan bukti geometris dengan menerapkan

teorema geometri (misalnya, sudut yang sesuai dua segitiga yang sama adalah sama) melibatkan

penalaran deduktif. Karena penalaran merupakan aspek fundamental matematika, mampu mengerti

alasan adalah penting untuk memahami konsep-konsep matematika. Dengan membuat

penyelidikan dan dugaan, mengembangkan dan mengevaluasi argumen matematika, membenarkan

hasil, dan lain-lain, siswa dapat memahami dan menghargai kekuatan penalaran dan menghasilkan

bukti, yang memerlukan pemotongan logis dari kesimpulan dari teori dan hipotesis. Penalaran

seperti HOTS lainnya, tidak dapat diajarkan dalam pelajaran tunggal. Sebaliknya, itu adalah

kebiasaan pikiran dan harus menjadi bagian yang konsisten dari pengalaman matematika siswa.

5. Keterampilan Konseptualisasi

Page 108: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

108

Solso, Robert dkk (2008: 434) menjelaskan bahwa pembentukan konsep berhubungan dengan

pengasahan sifat-sifat yang sesuai dengan kelas objek atau ide. Konseptualisasi melibatkan

pengorganisasian dan reorganisasi pengetahuan melalui mengamati dan berpikir tentang

pengalaman tertentu untuk pola-pola abstrak dan ide-ide dan generalisasi dari pengalaman tertentu.

Pembentukan konsep melibatkan penggolongan dan abstrak dari pengalaman sebelumnya.

Masalah khusus matematika terletak pada bentuk abstrak dan keumumannya. Konsep-konsep

abstrak tidak dapat dikomunikasikan kepada siswa menurut definisi tetapi hanya dengan

mengarahkan kepada siswa untuk menemukan koleksi contoh-contoh yang sesuai. Oleh karena itu,

konsep-konsep abstrak harus didukung oleh banyaknya contoh matematika dan dalam kehidupan

sehari-hari.

Metode penemuan

Metode Penemuan adalah terjemahan dari discovery. Menurut Sund (dalam Roestiyah, 2001: 20)

penemuan adalah proses mental, di mana siswa mampu mengasimilasikan sesuatu konsep atau prinsip.

Yang dimaksudkan dengan proses mental tersebut antara lain: mengamati, mencerna, mengerti,

menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan, dan

sebagainya. Suatu konsep misalnya: segitiga, panas, demokrasi, dan sebagainya, sedang yang dimaksud

dengan prinsip antara lain ialah: logam, apabila dipanaskan, mengembang. Dalam teknik ini siswa

dibiarkan menemukan sendiri atau mengalami proses mental itu sendiri, guru hanya membimbing dan

memberikan instruksi. Penemuan merupakan metode yang lebih menekankan pada pengalaman langsung. Pembelajaran

dengan Metode Penemuan lebih mengutamakan proses daripada hasil belajar. Dalam metode ini tidak

berarti sesuatu yang ditemukan oleh peserta didik (siswa) benar-benar baru sebab sudah diketahui oleh

orang yang lain.

Tabel 1. Sintaks Penemuan Terbimbing

Tahap Tingkah Laku Guru Tingkah Laku Siswa

Tahap 1

Observasi untuk

merumuskan masalah

Guru menyajikan kejadian-kejadian

atau fenomena yang memungkinkan

siswa menemukan masalah

Siswa mengembangkan

keterampilan berpikir melalui

observasi spesifik membuat

inferensi atau generalisasi.

Tahap 2

Merumuskan masalah

Guru membimbing siswa

merumuskan masalah penelitian

berdasarkan kejadian dan fenomena

yang disajikannya.

Siswa merumuskan masalah yang

akan membawa siswa pada suatu

persoalan yang mengandung teka-

teki.

Tahap 3

Mengajukan hipotesis

Guru membimbing siswa mengajukan

hipotesis terhadap masalah yang telah

dirumuskannya

Siswa menetapkan jawaban

sementara atau yang lebih dikenal

dengan istilah hipotesis.

Tahap 4

Merencanakan pemecahan masalah

(melalui eksperimen

atau cara lain)

Guru membimbing siswa

merencanakan pemecahan masalah, membantu menyiapkan alat dan bahan

yang diperlukan dan menyusun

prosedur kerja yang tepat.

Siswa amencari informasi, data,

fakta yang diperlukan untuk menjawab permasalahan/

hipotesis

Tahap 5

Melaksanakan

eksperimen (atau cara

pemecahan masalah

yang lain)

Selama siswa bekerja, guru

membimbing dan memfasilitasi

Siswa menguji kebenaran

jawaban sementara. Dugaan

jawaban ini tentu didasarkan

kepada data yang telah diperoleh

Tahap 6

Melakukan

pengamatan dan

pengumpulan data

Guru membantu siswa melakukan

pengamatan tentang hal-hal yang

penting dan membantu

mengumpulkan dan mengorganisasi

data

Siswa mencari data atau

keterangan yang dapat digunakan

untuk memecahkan masalah,

misalnya dengan jalan membaca

buku-buku, meneliti, bertanya,

berdiskusi dan lain-lain.

Tahap 7 Analisis Data

Guru membantu siswa menganalisis data supaya menemukan suatu konsep

Siswa menganalisis data untuk menemukan suatu konsep

Page 109: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

109

Tahap 8

Penarikan kesimpulan

atau penemuan

Guru membimbing siswa mengambil

kesimpulan berdasarkan data dan

menemukan sendiri konsep yang ingin

ditanamkan

Secara bekelompok siswa

menarik kesimpulan,

merumuskan kaidaah, prinsip, ide

generalisasi atau konsep

berdasarkan data yang diperoleh.

Sumber: http://eprints.uny.ac.id/9362/.pdf

Menurut Richard Scuhman (Roestiyah, 2001: 22), langkah-langkah pembelajaran dengan Metode

Penemuan adalah sebagai berikut.

1. Identifikasi kebutuhan siswa;

2. Seleksi pendahuluan terhadap prinsip-prinsip, pengertian, konsep dan generalisasi yang akan

dipelajari;

3. Seleksi bahan, dan problema serta tugas-tugas; 4. Membantu memperjelas problema yang akan dipelajari dan peranan masing-masing siswa;

5. Mempersiapkan setting kelas dan alat-alat yang diperlukan;

6. Mencek pemahaman siswa terhadap masalah yang akan dipecahkan dan tugas-tugas siswa;

7. Memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan penemuan;

8. Membantu siswa dengan informasi, data, jika diperlukan oleh siswa;

9. Memimpin analisis sendiri dengan pertanyaan yang mengarahkan dan mengidentifikasi proses;

10. Merangsang terjadinya interaksi antar siswa dengan siswa;

11. Memuji dan membesarkan siswa yang bergiat dalam proses penemuan;

12. Membantu siswa merumuskan prinsip-prinsip dan generalisasi atas hasil penemuannya.

Materi bangun ruang sisi lengkung

Tabung

Luas Permukaan Tabung

Amati kembali Gambar 2.4. Jika tabung pada Gambar 2.4 direbahkan dengan

cara memotong sepanjang ruas garis AC, keliling alas, dan keliling atasnya

ditempatkan pada bidang datar maka diperoleh jaring-jaring tabung, seperti pada

Gambar 2.5.

Daerah yang tidak diarsir (selimut tabung) pada Gambar 2.5 berbentuk persegi

panjang dengan ukuran sebagai berikut.

Panjang = keliling alas tabung = 2πr

Lebar = tinggi tabung = t

sehingga luas selimut tabung = panjang × lebar = 2πr × t

= 2πrt

Luas permukaan tabung sama dengan luas jaring-jaringnya, yaitu:

L = luas selimut tabung + 2 × luas alas.

Dengan demikian, luas permukaan tabung adalah 2πr( r + t)

Kerucut

Luas Permukaan Kerucut

Gambar 2.8(a) menunjukkan kerucut dengan titik puncak T dan jari-jari

bidang alasnya adalah r. Jika kerucut itu kamu potong sepanjang ruas garis

TB dan seputar lingkaran alasnya, serta diletakan pada bidang datar maka

diperoleh jaring-jaring kerucut, seperti pada Gambar 2.8(b).

Page 110: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

110

Amati Gambar 2.8(b). Daerah yang diarsir merupakan alas kerucut (berbentuk lingkaran). Adapun

daerah yang tidak diarsir merupakan selimut kerucut yang berbentuk juring lingkaran.

Berapakah luas juring TB1B2? Untuk men-jawabnya, pelajarilah uraian

berikut.

Panjang busur B1B2 = keliling alas kerucut = 2πr.

Keliling lingkaran yang berjari-jari s adalah 2πs.

Luas lingkaran yang berjari-jari s adalah πs2.

Oleh karena luas juring TB1B2

luas lingkaran =

panjang busur B1B2

keliling lingkaran ,

maka luas juring TB1B2 = 2π𝑟

2π𝑠 x πs2 = πrs

Jadi, luas selimut kerucut adalah πrs.

Dengan demikian, luas permukaan kerucut adalah:

L = luas selimut kerucut + luas alas kerucut

L = πrs + πr2 = πr(s + r)

Penerapan Luas Permukaan Bangun Ruang Sisi Lengkung Luas permukaan bangun ruang sisi lengkung diterapkan dalam kehidupan

sehari-hari agar kita kamu dapat memahami dan menyelesaikan masalah nyata

melalui konsep matematika. Benda-benda berikut ini disajikan contoh soal-

soal penerapan bangun ruang sisi lengkung.

Contoh.

Gambar berikut memperlihatkan sebuah monumen yang dibentuk dari sebuah

kerucut dan setengah bola. Monumen tersebut menempel pada tanah seluas 1

m2. Jika monumen itu akan dicat dan setiap m2 memerlukan biaya Rp

35.000,00, berapa rupiah biaya pengecatan tugu tersebut? (ambil π = 3,14)

Jawab: Perhatikan tugu di samping. Diketahui bahwa tutu terdiri dari bangun kerucut (selimut) kerucut yang

dialasi dengan setengah bola.

LP monumen = LP Kerucut tanpa alas + LP ½ Bola

= πrs + ½.4.πr2

= 3,14 x 6cm x 8cm + 2 x 3,14 x (6cm)2

= 150,72 cm2 + 226,08 cm2

= 376,8 cm2

= 3,768 m2

Jadi, biaya yang dibutuhkan untuk mengecat bangun tersebut adalah:

Harga x luas permukaan bangun = Rp 35.000 x 3,768

= Rp 131.880,-

3. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yang menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut

Moleong (2008:2), “Penelitian kuantitatif mencakup setiap jenis penelitian yang didasarkan atas

perhitungan persentase, rata-rata, chi kuadart, dan perhitungan statistik lainnya”. Bogdan dan Taylor

(dalam Moleong, 2008:3) menyatakan, “Penelitian kualitatif didefinisikan sebagai prosedur penelitian

yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku

yang dapat diamati”. Moleong (2008:6) menyimpulkan bahwa: “penelitian kualitatif adalah penelitian

yang bermaksud memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya

perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain serta holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai

metode ilmiah.”

Penelitian ini mendeskripsikan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa melalui metode penemuan.

Peneliti melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan metode penemuan dan diamati oleh 2 orang

observer, seorang melakukan pengamatan terhadap peneliti selama pembelajaran berlangsung, dan

Page 111: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

111

seorang lainnya mengamati aktivitas siswa selama pembelajaran dengan metode penemuan berlangsung

di kelas. Selama pengamatan, pengamat mengisi lembar observasi yang berkaitan dengan kegiatan guru

dan aktivitas siswa selama pembelajaran berlangsung.

Dalam penelitian ini data dikumpulkan berdasarkan observasi yang dilakukan oleh seorang observer

dan analisis data hasil tes belajar siswa oleh peneliti. Hal ini mengingat pernyataan Denzin dan Lincoln

(dalam Moleong, 2008:5): “dalam penelitian kualitatif metode yang biasanya dimanfaatkan adalah

wawancara, pengamatan dan pemanfaatan dokumen”.

4. Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di kelas IX-1 SMP Negeri 18 Banda Aceh, berikut ini disajikan

tabel hasil belajar siswa untuk melihat ketuntasan belajar siswa.

Tabel 2. Nilai Hasil Belajar Siswa Kelas IX-1 SMP Negeri 18 Pada Materi Luas Permukaan

Bangun Ruang Sisi Lengkung

No. Nama LKS I LKS III Nilai

Kelompok

Nilai

Akhir Ket.

1. Siswa A 80 65 75 73 Tuntas

2. Siswa B 80 95 86 87 Tuntas

3. Siswa C 70 75 76 74 Tuntas

4. Siswa D - 50 76 63 T.T

5. Siswa E 90 40 76 69 Tuntas

6. Siswa F 80 65 68 71 Tuntas

7. Siswa G 85 90 68 81 Tuntas

8. Siswa H 80 35 68 61 T.T

9. Siswa I 80 90 75 82 Tuntas

10. Siswa J 65 50 68 61 T.T

11. Siswa K 90 70 86 82 Tuntas

12. Siswa L 85 80 86 84 Tuntas

13. Siswa M 45 25 76 49 T.T

14. Siswa N 50 50 68 56 T.T

15. Siswa O 55 70 75 67 Tuntas

16. Siswa P 80 50 76 69 Tuntas

17. Siswa Q 85 70 86 80 Tuntas

18. Siswa R 75 80 75 77 Tuntas

19. Siswa S 90 75 76 80 Tuntas

20. Siswa T 85 70 75 77 Tuntas

21. Siswa U 90 90 86 89 Tuntas

22. Siswa V 60 35 68 54 T.T

Selanjutnya, setelah dianalisis ketuntasan belajar siswa, akan dilihat kemampuan berpikir tingkat

tinggi siswa melalui pengamatan pada lembar observasi dan Lembar Kerja Siswa. Berikut ini

beberapa lembar kerja siswa yang menunjukkan kemampuan berpikir tingkat tingginya, meliputi

keterampilan pemecahan masalah, keterampilan berkomunikasi, keterampilan penalaran, dan

keterampilan koseptualisasi siswa. Lembar kerja siswa yang menunjukkan keterampilan pemecahan

masalah antara lain.

Adapun keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa melalui metode penemuan selanjutnya dianalisis

dengan memperhatikan dan berdasarkan hasil lembar kerja siswa masing-masing dengan kemampuan

tinggi, sedang dan rendah.

Tabel 3. Analisis Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa

No. Indikator Kel. I Kel. II Kel. III

1 Membuat rancangan pemecahan masalah

Memiliki alternative pemecahan masalah yang lain

Memecahkan masalah berdasarkan konsep

-

-

-

2 Mengungkapkan pertanyaan secara jelas dan singkat √ √ -

Page 112: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

112

Bertanya dalam menyampaikan kritik secara lisan disertai alasan

yang masuk akal

Berani menjawab pertanyaan dari kelompok lain berdasarkan materi

bangun ruang sisi lengkung

√ - -

√ √ √

3 Menjawab dengan argumen yang tepat

Menjawab berdasarkan ide-ide yang logis

Berbagi ide dalam bentuk angka, simbol, diagram, grafik, model dan

simulasi

Memperhatikan pendengar mereka ketika menulis atau berbicara

√ √ -

√ - -

√ √ √

√ √ √

4 Memahami dan mampu menyelesaikan masalah

Mengembangkan jawaban atas bagian-bagian yang sesuai/ tepat

Memberikan alasan terhadap kesimpulan yang diambil

Mencari cara-cara baru untuk berpikir tentang masalah yang diberikan

√ √ √

√ - -

√ √ -

- - -

5 Memahami konsep

Memahami materi-materi prasyarat yang relevan/ terkait.

√ √ √

√ √ -

Keterangan:

√ = keterampilan berpikir tingkat tinggi muncul

- = keterampilan berpikir tingkat tinggi tidak muncul

Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa pada beberapa keterampilan lebih banyak muncul daripada tidak muncul. Hal ini jauh lebih baik dibandingkan

ketuntasan belajar siswa secara klasikal, yaitu termasuk dalam kategori belum tuntas secara klasikal.

Hasil tes belajar siswa berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai rata-rata siswa pada dua

kali pertemuan diperoleh 16 dari 22 orang siswa dinyatakan tuntas. Namun, jika dihitung persentasenya,

diperoleh 73% siswa dalam satu kelas yang tuntas, sedangkan 27% siswa dalam kelas belum tuntas. Hal

ini menunjukkan bahwa pada pembelajaran materi bangun ruang sisi lengkung melalui metode

Penemuan, siswa dalam kelas tersebut belum mencapai ketuntasan belajar secara klasikal.

5. Kesimpulan

Kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa melalui metode penemuan dinyatakan muncul dengan keterampilan yang berbeda-beda pada tiap-tiap siswa. Siswa berkemampuan tinggi berdasarkan nilai

hasil tes cenderung memiliki seluruh keterampilan yang menjadi indikator kemampuan berpikir tingkat

tinggi, siswa berkemampuan sedang memiliki sebagian keterampilan, dan siswa berkemampuan rendah

berdasarkan nilai hasil tes memiliki hanya sedikit keterampilan yang menjadi indikator kemampuan

berpikir tingkat tinggi. Hal ini menunjukkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa berbanding lurus

dengan pencapaian hasil belajar siswa.

Daftar Pustaka

IMSTEP-JICA. (1999). Monitoring Report on Current Practice on Mathematics and Science

Teaching and Learning. Bandung: IMSTEP- JICA.

Meolong, Lexy J. (2004). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Mullis, I.V.S. dkk, (2004). International Mathematics Report. Boston: The International Study Center

Boston College.

NCTM. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. United State of America: NCMR

Inc.

NCTM. (2012). Five High Order Thinking Skill. Diakses pada 31 Juli 2013, dari alamat

http://cd1.edb.hkedcity.net/cd/maths/en/ref_res/material/hots_e/5Skill_e.pdf

Nur, Fatayati. (2012). Pengaruh Metode Pembelajaran Penemuan Terbimbing terhadap Prestasi Belajar dan Kemampuan Representasi Matematika Siswa SMK Negeri 1 Godean. S1 Thesis,

Page 113: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

113

Universitas Negeri Yogyakarta. Diakses pada 12 Oktober 2013, dari alamat

http://eprints.uny.ac.id/9362/3.pdf

Nur & Ibrahim. (2011). Berpikir Tingkat Tinggi. Diakses pada 1 Maret 2013, dari alamat

http://idarianawaty. wordpress.com/2011/08/10/berpikir-tingkat-tinggi-higher-order-thinking/

Roestiyah, NK. (2001). Srategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Sagala, S. (2102). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.

Solso, Robert dkk. (2008). Psikologi Kognitif. Jakarta: Erlangga.

Page 114: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

114

MOTIVASI SISWA DALAM PEMBELAJARAN UNSUR-UNSUR KUBUS

MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN QUANTUM

TEACHING DI KELAS VIII MTSN LAMBALEK KABUPATEN ACEH

BARAT

Listika Burais1

1Prodi Pasca Sarjana Pendidikan matematika, Universitas Syiah Kuala

Email: [email protected]

Abstrak. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus menerus dari waktu

ke waktu menunjukkan adanya keinginan dari berbagai pihak untuk membuat perubahan

yang lebih baik dalam sistem pendidikan di Indonesia. Banyak faktor yang dapat

menyebabkan rendahnya hasil belajar matematika. Salah satunya adalah kurangnya

motivasi siswa dalam menerima materi pelajaran sehingga menimbulkan berbagai

masalah yang dihadapi guru ketika kegiatan pembelajaran berlangsung. Dalam makalah

ini, akan dibahas mengenai motivasi siswa dalam pembelajaran unsur-unsur kubus

melalui penerapan model pembelajaran Quantum Teaching di kelas VIII MTsN lambalek.

Kerangka rancangan model pembelajaran Quantum Teaching diistilahkan dengan kata TANDUR, yaitu: Tumbuhkan, Alami, Namai, Demonstrasikan, Ulangi, Rayakan. Azas

utama Quantum Teaching bersandar pada konsep: “Bawalah Dunia Mereka ke Dunia Kita

dan Antarkan Dunia Kita ke Dunia Mereka” Diharapkan dengan adanya model

pembelajaran ini dapat memotivasi siswa dalam pembelajaran sehingga memperoleh

hasil belajar yang baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, dari 15 siswa, 14

diantaranya mencapai nilai di atas KKM. Nilai KKM yang telah ditentukan adalah 70.

Berdasarkan analisis angket yang dibagikan kepada siswa, menunjukkan bahwa siswa

sangat termotivasi dalam pembelajaran menggunakan model pembelajaran Quantum

Teaching.

Kata Kunci: Quantum teaching, motivasi, hasil belajar, unsur kubus

1. Pendahuluan

Latar belakang

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus menerus dari waktu ke waktu menunjukkan

adanya keinginan dari berbagai pihak untuk membuat perubahan yang lebih baik dalam sistem

pendidikan di Indonesia, akan tetapi perubahan yang ditunjukkan belum menunjukkan hasil yang

menggembirakan. Berdasarkan data dari kementerian pendidikan pada tahun 2013, menunjukkan bahwa

nilai ujian nasional untuk pelajaran matematika siswa masih tergolong rendah dibandingkan pelajaran

yang lain.

Banyak faktor yang dapat menyebabkan rendahnya hasil belajar matematika, diantaranya faktor guru,

faktor siswa maupun proses belajar mengajar. Kurangnya motivasi siswa dalam menerima materi

pelajaran sering menimbulkan berbagai masalah yang dihadapi guru ketika kegiatan pembelajaran berlangsung. Seringkali saat berlangsungnya pembelajaran siswa merasa acuh tak acuh, kurang percaya

diri, dan kurang bergairah dalam belajar. Tugas seorang guru akan menjadi lebih berat ketika siswanya

mengeluh dan tidak dapat menjawab soal latihan yang berujung pada hasil belajar yang tidak

memuaskan. Berdasarkan akar masalah yang ditemukan, faktor utama yang harus segera dicarikan

solusinya adalah : bagaimana meningkatkan motivasi siswa untuk belajar matematika sehingga siswa

dapat memusatkan perhatian, menumbuhkan rasa ingin tau dan mencapai tingkat kepuasan dan hasil

pembelajaran yang lebih baik. Menurut Lie (2005) Paradigma lama dimana guru memberikan

pengetahuan kepada siswa yang pasif sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Untuk itu selain penguasaan

materi, seorang guru dituntut memiliki ketrampilan dalam menyampaikan materi yang diajarkan dan

mampu menciptakan susana belajar alamiah yang menarik sehingga siswa termotivasi dan terus aktif

melaksanakan pembelajaran.

Konsep geometri merupakan salah satu konsep matematika yang harus dikuasai oleh siswa SMP atau

MTs. Penguasaan konsep-konsep dalam geometri merupakan hal utama yang harus dipahami oleh setiap

Page 115: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

115

siswa. Kubus merupakan salah satu bangun ruang yang merupakan bahagian dari geometri. Kompetensi

dasar yang diharapkan dari pembelajaran bangun ruang khususnya geometri adalah mengenal unsur-

unsur kubus. Salah satu model pembelajaran yang dipandang sesuai untuk mengatasi permasalahan di

atas yang berhubungan dengan materi unsur-unsur pada kubus adalah pembelajaran Quantum Teaching.

Bedasarkan uraian di atas penulis mengambil judul: “Motivasi siswa dalam pembelajaran unsur-

unsur kubus melalui penerapan model pembelajaran Quantum Teaching di kelas VIII MTsN

Lambalek Kabupaten Aceh Barat”

Tujuan penelitian Untuk mengetahui bagaimana motivasi siswa dalam pembelajaran unsur-unsur kubus melalui

penerapan model pembelajran Quantum Teaching di kelas VIII MTsN Lambalek Kabupaten Aceh Barat

Manfaat penelitian

Diharapkan dengan adanya penelitian dapat mengembangkan kreatifitas guru dalam mempersiapkan

pembelajaran secara maksimal sebagai persiapan diri sebelum melakukan proses belajar mengajar.

2. Tinjauan Pustaka

Model pembelajaran Winataputra dalam Sugiyanto (2008) mengemukakan bahwa model pembelajaran adalah kerangka

konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar

untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi para pencanang

pembelajaran dan para pengajar dalam mencanangkan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran. Sugiyanto (2008) mengemukakan bahwa ada banyak model pembelajaran yang dikembangkan oleh

para ahli dalam usaha mengoptimalkan hasil belajar siswa. Model pembelajaran tersebut antara lain

terdiri dari:

1) ModelPembelajaranKontekstual

Model pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang mendorong guru untuk

menghubungkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa. Pembelajaran ini

juga mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dan

penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Pengetahuan dan keterampilan siswa

diperoleh dari usaha siswa mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru ketika

siswa belajar.

2) Model Pembelajaran Kooperatif

Model pembelajaran kooperatif merupakan pendekatan pembelajaran yang berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar

untuk mencapai tujuan belajar.

3) Model Pembelajaran Kuantum

Model pembelajaran kuantum merupakan rakitan dari berbagai teori atau pandangan psikologi

kognitif dan pemrograman neurologi yang jauh sebelumnya sudah ada.

4) Model Pembelajaran Terpadu

Model pembelajaran terpadu merupakan pembelajaran yang memungkinkan siswa baik secara

individual maupun kelompok aktif mencari, menggali, dan menemukan konsep serta prinsip secara

holistik. Pembelajaran ini merupakan model yang mencoba memadukan beberapa pokok bahasan.

5) Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning – PBL) Model pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning – PBL) merupakan pembelajaran

yang mengambil psikologi kognitif sebagai dukungan teoritisnya. Fokusnya tidak banyak pada apa

yang sedang dikerjakan siswa tetapi pada apa yang siswa pikirkan selama mereka mengerjakannya.

Guru memfungsikan diri sebagai pembimbing dan fasilitator sehingga siswa dapat belajar untuk

berfikir dan menyelesaikan masalahnya sendiri.

Motivasi Kata “motif” diartikan sebagai daya upaya mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Menurut

Sardiman (2001), motif dapat diartikan daya penggerak dari dalam dan didalam subyek untuk

melakukan aktivitas demi tercapainya suatu tujuan. Sedangkan dalam kamus besar Bahasa Indonesia

motivasi adalah dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar untuk melakukan suatu tindakan

dengan tujuan tertentu.

Page 116: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

116

Menurut Santrock, motivasi adalah proses yang memberi semangat, arah, dan kegigihan perilaku.

Artinya, perilaku yang memiliki motivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah, dan bertahan lama

(Santrock, 2007).Dalam kegiatan belajar, maka motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya

penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari

kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh

subjek belajar itu dapat tercapai (Sardiman, 2001).

Terdapat dua aspek dalam teori motivasi belajar yaitu:

a. Motivasi ekstrinsik, yaitu dorongan terhadap perilaku seseorang yang ada di luar perbuatan yang

dilakukannya karena dorongan dari luar.(Dimyati : 2002) Motivasi ekstrinsik sering dipengaruhi oleh insentif eksternal seperti imbalan dan hukuman. Misalnya, murid belajar keras dalam

menghadapi ujian untuk mendapatkan nilai yang baik.

b. Motivasi intrinsik, yaitu motivasi internal untuk melakukan sesuatu demi sesuatu itu sendiri

(tujuan itu sendiri) (Santrock :2007). Misalnya, murid belajar menghadapi ujian karena dia senang

pada mata pelajaran yang diujikan itu.

3. Metode Penelitian

Model pembelajaran Quantum Teaching merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat membuat siswa langsung mengalami permasalahan, menemukan sendiri jawaban atas permasalahan dan

beraktivitas sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai saat ini. Deporter (2010) menjelaskan

Quantum teaching adalah pengubahan belajar yang meriah dengan segala nuansa yang menyertakan

segala kaitan, interaksi dan perbedaan yang memaksimalkan momen belajar. Model pembelajaran

Quantum Teaching menganut pendekatan yang segar, mengalir, praktis dan mudah diterapkan, yang

menawarkan suatu sintesis yang ingin dicapai.

Azas utama model pembelajaran quantum teaching

Quantum Teaching bersandar pada konsep: “Bawalah Dunia Mereka ke Dunia Kita dan Antarkan Dunia

Kita ke Dunia Mereka”. De Porter B (2005), menjelaskan bahwa seorang guru mampu menjembatani

jurang antara dunia siswa dan dunia mereka untuk memasuki dunia siswa. Oleh karena itu, guru harus

memasuki dunia murid, dengan cara mengaitkan apa yang diajarkan dengan sebuah peristiwa, pikiran,

atau perasaan yang diperoleh dari kehidupan sehari-hari. Setelah kaitan itu terbentuk, guru dapat

membawa siswa ke dalam dunia guru dan memberi pemahaman yang dimiliki guru mengenai dunia itu,

sehingga siswa dapat membawa apa yang telah mereka pelajari ke dalam dunia mereka dengan

menerapkannya pada situasi baru dalam dunia mereka.

Prinsip-prinsip pembelajaran quantum teaching

Quantum teaching memiliki lima prinsip atau kebenaran tetap yang mempengaruh gaya belajar.

Menurut Deporter. B (2005) prinsip-prinsip yang mempengaruhi gaya belajar tersebut adalah:

a. Segalanya berbicara, artinya segalanya dari lingkungan kelas hingga bahasa tubuh guru, intonasi

guru dan ruang kelas, semuanya menyampaikan pesan tentang belajar.

b. Segalanya bertujuan, artinya semua yang dipraktekkan, disampaikan guru, serta yang terjadi dalam

proses belajar mempunyai tujuan tersendiri dalam meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas, tujuan yang sama bagi seluruh siswa adalah mengembangkan kecakapan dalam mata pelajaran,

menjadi pelajar yang baik, serta mengembangkan ketrampilan yang dimiliki.

c. Pengalaman sebelum pemberian nama, artinya proses belajar yang paling baik ketika siswa telah

menjalani atau mengalami informasi sebelum mereka memperoleh nama untuk apa yang mereka

pelajari dalam proses belajar mengajar di kelas.

d. Akui setiap usaha, artinya belajar mengandung resiko. Belajar berarti melangkah keluar dari

kenyamanan, maka setiap usaha yang ditempuh siswa sudah selayaknya mendapat pengakuan atas

kepercayaan diri mereka dari guru.

e. Jika layak dipelajari, maka layak pula dirayakan,artinya perayaan adalah sarapan para juara.

Perayaan memberikan umpan balik mengenai kemajuan dan meningkatkan asosiasi emosi positif

dan belajar.

Kerangka rancangan model pembelajaran quantum teaching

Kerangka Rancangan Belajar Quantum Teaching dikenal dengan istilah TANDUR, yaitu: (T)

Tumbuhkan, (A) Alami, (N) Namai, (D) Demonstrasikan, (U) Ulangi, (R) Rayakan. Menurut Johar dkk

Page 117: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

117

(2013) dalam Modul Strategi Belajar Mengajar Matematika, kerangka TANDUR dapat dirumuskan

sebagai berikut:

a. Tumbuhkan.

Guru menumbuhkan minat belajar siswa dengan memuaskan. Tumbuh kesadaran “apa manfaat

bagiku?” , yaitu menyadari manfaat mempelajari suatu konsep bagi siswa. Untuk itu guru

menjelaskan tujuan pembelajaran dan manfaatnya bagi siswa.

b. Alami

Guru meminta siswa menyelasikan masalah nyata baik secara individu maupun berkelompok,

dengan memanfaatkan berbagai sumber belajar/alat/bahan. Guru memberi bimbingan kepada

siswa sekedarnya ketika siswa menyelesaikan maslah nyata dan memberi pengakuan atau

penguatan. c. Namai

Setelah siswa menjalani tahapan kedua yakni mengalami proses beajar sampai siswa menemukan

suatu temuan baru, maka guru memberi nama temuan tersebut apakah konsep, simbol, definisi,

rumus, dalil, atau teori baru. Nama tersebut benar-benar muncul melalui proses yang

dikonstruksikan dari masalah yang telah diselesaikan siswa.

d. Demonstrasikan

Guru memberikan kesempatan kepada siswa memperlihatkan bahwa mereka bisa

melakukan/menyelesaikan masalah-masalah baru yang ekuivalen atau sedikit lebih sulit dengan

masalah yang telah dialaminya dalam kegiatan pembelajaran.

e. Ulangi

Guru bersama siswa merangkum materi yang telah dipelajari. Melalui tanya jawab guru menggiring siswa untuk dapat mengulangi materi yang telah dibahas. Melalui tahapan ulangi guru

mendapat umpan balik tentang kemajuan yang didapatkan siswa.

f. Rayakan

Guru memberikan penghargaan berupa pujian atau hadiah bagi siswa yang berhasil menunjukkan

prestasi gemilang dan ini tidak boleh terabaikan oleh guru. Pengakuan akan prestasi yang bagus

akan memotivasi siswa untuk cenderung mempertahankan atau malah meningkatkan prestasinya.

Penghargaan yang cepat dan tepat amat dibutuhkan siswa sebagai pengakuan atas kemampuannya.

4. Pembahasan dan Hasil

Pembahasan Kesesuaian Materi Dengan Model

Materi yang diambil dalam uji coba ini adalah kubus dengan sub pokok pembahasan unsur-unsur pada

kubus khususnya tentang diagonal bidang, diagonal ruang dan bidang diagonal pada kubus. Materi

unsur-unsur kubus ini dapat disesuaikan dengan model Quantum Teaching yaitu siswa mencoba

menemukan sendiri konsep dan rumus untuk menghitung panjang diagonal, panjang diagonal ruang dan luas bidang diagonal. Sehingga dapat terjadi aktivitas siswa mengalami, menamai, demonstrasi dan

mengulanginya dengan menerapkan rumus dan menghitung panjang diagonal ruang, diagonal bidang

dan bidang diagonal. Sehingga dengan aktivitas TANDUR siswa menjadi bersemangat, menambah

minat dan motivasi dalam belajar dan meningkatkan hasil belajar siswa.

Komponen Model Pembelajaran Quantun Teaching (Sesuai Praktek di Kelas)

1. Sintaks (Fase)

Adapun fase pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran Quantun Teaching Sebagai

berikut:

Tahap pertama: Tumbuhkan Pada tahap ini guru mencoba menumbuhkan minat siswa dengan konsep “Apa Manfaat Bagiku?”

mempelajari unsur-unsur kubus. Dengan menampilkan slide power point guru menjelaskan tujuan

pembelajaran, memberi apersepsi tentang diagonal dan memberikan motivasi dengan menjelaskan

manfaat dari pembelajaran yang dilakukan. Motivasinya berupa gambar sebuah kado yang telah

dihiasi dengan sehelai pita, siswa ditantang menghitung panjang pita yang diperlukan untuk

menghiasi kado tersebut. Guru juga memotivasi siswa dengan mengaitkan materi dengan sikap

spiritual dan sikap sosial yang berhubungan dengan kubus.

Tahap Kedua : Alami

Page 118: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

118

Diagonal bidang: Setiap kelompok menempelkan pita pada setiap bidang kubus secara diagonal.

Siswa menghitung jumlah pita yang ditempelkan.

Diagonal bidang: Setiap kelompok menancapkan lidi pada sangkar yang telah dibuat siswa dengan

pelepah rumbia pada sudut-sut yang saling berhadapan di dalam kubus.. Siswa menghitung jumlah

lidi yang ditancapkan seluruhnya.

Bidang diagonal: Setiap kelompok memotong kue yang telah disediakan sehingga terlihat bidang

potongnya. Siswa menghitung jumlah bidang potong kue yang tampak pada kue.

Tahap ketiga: Namai

Pada LKS, guru telah menamai setiap kegiatan misalnya; Panjang pita disebut diagonal bidang,

panjang lidi disebut diagonal rung dan bidang potong kue disebut bidang diagonal.

Tahap keempat: Demonstrasikan

Berdasarkan hasil yang telah dilakukan pada kegiatan yang diuraikan di LKS, maka setiap

kelompok diminta mempresentasikan hasil kerja kelompoknya sesuai pembagian tugas yang telah

diatur oleh guru yaitu setiap kelompok mempresentasikan masing-masing satu kegiatan.

Tahap kelima: Ulangi

Siswa diberikan beberapa soal latihan untuk mengulang apa yang telah mereka dapatkan saat

bekerja dalam kelompok. Sehingga mereka dapat mengaplikasikan/menerapkan konsep yang telah mereka dapatkan.

Tahap keenam: Rayakan

Guru memberikan refleksi, memberi penguatan tentang kesimpulan materi yang telah dipelajari

dan untuk merayakan pembelajaran yang telah dilakukan pada pertemuan ini, guru bersama siswa

merayakan pembelajaran dengan mempersilakan siswa untuk mebuka kado yang digunakan

sebagai bahan praktek. Dan isi didalamnya diminta untuk dibagikan kepada teman-teman

sekelompoknya dengan adil.

2. Sistem Sosial

Jumlah siswa di dalam kelas seluruhnya 17 orang, tetapi yang hadir pada hari ini berjumlah 15 orang. Siswa belajar dalam kelompok yang beranggotakan 3-4 siswa. Siswa bebas berfikir serta

berperilaku dalam proses pembelajaran. Model ini menuntut agar antara guru dan siswa terdapat

hubungan yang kooperatif di mana guru menjalankan dwifungsi sebagai pemrakarsa dan

pengontrol aktivitas siswa pada setiap tahap. Selain itu guru menjadi fasilitator bagi kegiatan siswa

dalam proses belajar mengajar.

3. Prinsip Reaksi

Prinsip reaksi bermakna sikap dan perilaku guru untuk menanggapi dan merespon bagaimana

siswa memproses informasi, menggunakannya sesuai pertanyaan yang diajukan oleh guru. Tugas

penting yang diemban guru pada tahap ini adalah menangkap kesiapan siswa menerima informasi

baru dan aktivitas mental baru untuk dipahami dan diterapkan.Selama diskusi kelompok guru

bertindak sebagai fasilitator. Guru berupaya agar kegiatan diskusi mengutakan nilai demokratis dan kemandirian setiap kelompok.

4. Suasana Dalam Kelas

Suasana kelas pada saat proses belajar mengajar sudah sangat kondusif meskipun pada awal

pembelajaran siswa masih merasa canggung dengan perbedaan yang ada di dalam kelasnya.

Misalnya: ada yang merekam kegiatan pembelajaran, sehingga memberikan kesan kaku pada

siswa. Tetapi, seiring berjalannya waktu, kondisi ini kembali normal. Berikut adalah kegiatan

selama pembelajaran:

Page 119: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

119

Gambar 1: Tumbuhkan

Gambar 2: Alami

Gambar 3: Namai

Gambar 4: Demonstrasikan

Gambar 5: Ulangi

Page 120: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

120

Hasil

Jika dipandang dari segi ketercapaian tujuan pembelajaran, pembelajaran ini dikategorikan berhasil,

walaupun terdapat beberapa kendala yang menghambat misalnya: harus tersita waktu istirahat siswa,

walaupun demikian siswa tidak mengeluh, karena mereka tampak sangat antusias dalam mengikuti

pembelajaran. Walaupun pembelajaran telah berlangsung cukup lama, tapi siswa tidak merasakan waktu

terus berjalan karena mereka sibuk dengan kegiatan selama pembelajaran, baik kegiatan pada LKS

maupun kegiatan pada saat presentasi. Terlebih lagi saat yang ditunggu-tunggu adalah kegiatan

merayakan pembelajaran, mereka sudah bersiap-siap untuk membuka kado-kado yang menjadi alat peraga.

Berdasarkan hasil pengerjaan latihan yang dilakukan oleh 15 siswa, 14 orang siswa memperoleh nilai

diatas batas KKM yang telah ditentukan untuk materi ini, yaitu 70, hanya 1 orang yang mendapat nilai

di bawah KKM. Berdasarkan pengamatan hasil pengerjaan latihannya, siswa ini mengalami kendala

dalam mengerjakan operasi aljabar dalam menyelesaikan soal latihan. Secara persentase, 93 % siswa

mencapai nilai ketuntasan.

Penilaian sikap rasa ingin tahu dan tanggung jawab siswa yang dilakukan guru selama proses

pembelajaran dapat terlihat bahwa, pada sikap rasa ingin tahu terdapat 12 siswa dikategorikan “sangat

baik” dan 3 siswa “baik”. Dari ketiga siswa ini menunjukkan bahwa mereka kurang ikut serta saat teman-teman sekelompoknya mengerjakan kegiatan di LKS yang berhubungan dengan perhitungan,

tetapi saat mempraktekkan kerja pada alat peraga, mereka sangat bersemangat. Untuk penilaian sikap

“tanggung jawab” terdapat 12 siswa dikategorikan “sangat baik” dan 4 siswa dikategorikan “baik”.

Untuk mengukur tingkat motivasi siswa, pernyataan dalam angket dikategorikan dalam 3 kategori,

yaitu, perhatian, rasa percaya diri dan tingkat kepuasaan selama proses pembelajaran berlangsung.

Berdasarkan angket yang telah diisi oleh siswa, dapat terlihat bahwa dari 4 pernyataan yang

berhubungan dengan kategori perhatian, 3 pernyataan tergolong “sangat baik” dan 1 pernyataan

tergolong “baik”. 4 pernyataan tergolong “sangat baik” dalam kategori tingkat kepuasan siswa dalam

proses belajar mengajar. Dan 2 pernyatan tergolong “baik” dalam kategori rasa percaya diri siswa.

Berdasarkan rata-rata gabungan dari setiap pernyataan, dapat dinyatakan motivasi siswa tergolong “sangat baik”.

5. Kesimpulan

Penerapan model pembelajaran Quantum Teaching pada materi unsur-unsur kubus disaat proses belajar-

mengajar berlangsung di MTsN Lambalek kelas VIII-A sangat memotivasi siswa untuk dapat

menemukan, memahami dan mengaplikasikan konsep yang berhubungan dengan materi ini. Hasil

belajar yang dicapai oleh siswa juga sangat baik.

Daftar Pustaka

Deporter, Bobby, dkk. (2010). Quantum Teaching (Mempraktekkan Quantum Learning di Ruang-ruang

kelas). Bandung: Kaifa.

De Porter, Bobby. (2005). Quantum Teaching. 2005. Bandung: Kaifa.

Gambar 6 : Rayakan

Page 121: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

121

Depdiknas. (2003). Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: UU 20 Tahun 2003.

Dimyati. Mudjiono. (2002). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Johar, Rahmah. (2013). Modul: Strategi Belajar Mengajar Matematika. Banda Aceh: FKIP UNSYIAH.

Lie, Anita. (2005). Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas. Jakarta: Gramedia.

Nurjannah. (2006). Efektivitas Pembelajaran Quantum Teaching pada Materi Pokok Bahasan Bilangan

Bulat di SMPN 6 Banda Aceh. Banda Aceh: FKIP UNSYIAH.

Santrock, John.W. (2007). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana.

Sardiman. (2001). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sugiyanto. (2008). Model Strategi Pembelajaran Inovatif . Surakarta: Panitia Sertifikasi Guru Rayon

13.

Tim Penyusun. (2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Page 122: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

122

PENERAPAN MODEL KOOPERATIF TIPE BERKIRIM SALAM DAN

SOAL PADA MATERI TURUNAN FUNGSI DI KELAS XI SMA

LABORATORIUM UNSYIAH BANDA ACEH

Elianti1, dan Marhami2

1 Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 2 Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Abstrak. Salah satu unsur yang dapat mendorong terlaksananya proses pembelajaran dengan baik adalah model pembelajaran. Guru dituntut agar dapat mendesain model

pembelajaran semenarik mungkin yang dapat menimbulkan minat serta motivasi siswa

dalam belajar. Dalam pembelajaran matematika, guru perlu mencoba menerapkan

berbagai model yang sesuai dengan tuntutan materi pembelajaran, termasuk dalam

penerapan model pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran kooperatif yang dapat

menarik minat siswa dalam belajar salah satunya adalah berkirim salam dan soal. Model

ini melibatkan aktivitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melatih

keterampilan dan kemampuan siswa, dan menciptakan suasana belajar yang

menyenangkan. Penelitian yang berjudul “Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif

Tipe Berkirim Salam dan Soal pada Materi Turunan Fungsi di Kelas XI SMA

Laboratorium Unsyiah Banda Aceh” ini bertujuan untuk melihat ketuntasan hasil belajar siswa yang diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe berkirim

salam dan soal pada materi turunan fungsi di kelas XI SMA Laboratorium Unsyiah Banda

Aceh. Populasinya adalah seluruh siswa kelas XI SMA Laboratorium Unsyiah Banda

Aceh yang terdiri dari empat kelas. Adapun sampel pada penelitian ini diambil secara

acak yaitu kelas XI IPA3 yang berjumlah 32 orang. Penggumpulan data dilakukan melalui

tes akhir yang diberikan kepada siswa setelah selesainya penerapan pembelajaran model

berkirim salam dan soal. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan uji-t pada taraf

nyata 𝛼 = 0,05 dan derajat kebebasan dk = 31. Dari hasil pengoahan data diperoleh thitung

< ttabel (0,34 < 1,70), ini menunjukkan bahwa H0 diterima dan dapat disimpulkan bahwa

penerapan model kooperatif tipe berkirim salam dan soal pada materi turunan fungsi di

kelas XI SMA Laboratorium Unsyiah belum mencapai ketuntasan. Kata kunci: hasil belajar, model pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal,

turunan fungsi

1. Pendahuluan

Matematika merupakan salah satu pengetahuan yang melatih berpikir logis, kritis, dan kreatif.

Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan

kompetitif. Sehingga peserta didik dapat menghadapi laju perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi

yang begitu pesat.

Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang ada di setiap jenjang pendidikan. Salah satu

materi matematika yang diajarkan di SMA (Sekolah Menengah Atas) adalah turunan fungsi. Turunan

fungsi merupakan salah satu dari tiga topik terpenting dalam kalkulus selain limit dan integral yang

diajarkan di kelas XI semester genap SMA/MA. Beberapa materi prasyarat yang harus dikuasai peserta

didik sebelum mempelajari materi turunan fungsi diantaranya fungsi, konsep limit fungsi, aljabar, dan

trigonometri.

Turunan fungsi banyak digunakan dalam bidang-bidang seperti fisika, kimia, biologi, ekonomi, dan

lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Sulistiyono (2007:148), “Konsep turunan fungsi yang universal

banyak sekali digunakan dalam bidang ekonomi untuk menghitung keuntungan marginal, biaya total

(total cost) atau total penerimaan (total revenue), juga dalam bidang biologi untuk menghitung laju

pertumbuhan organisme, dalam bidang fisika untuk menghitung kepadatan kawat, dalam bidang kimia

untuk menghitung laju pemisahan, dan banyak disiplin ilmu lainnya”.

Page 123: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

123

Meskipun materi turunan fungsi merupakan salah satu penyumbang soal dalam Ujian Nasional (UN)

dan tes SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri), namun pada kenyataannya di

lapangan sangatlah memprihatinkan. Ternyata kebanyakan siswa di beberapa SMA/MA sederajat di

Banda Aceh masih memiliki kendala dalam menyelesaikan permasalahan tentang turunan fungsi seperti

pada menentukan turunan fungsi aljabar dan fungsi trigonometri. Keterangan ini diperoleh dari hasil

wawancara dengan Bu Chaira Usrati, S. Pd, salah satu guru matematika di SMA Laboratorium Unsyiah

dan beberapa siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) sederajat. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian

Rahmawati (2010:90) menyimpulkan bahwa masih banyak siswa yang memecahkan masalah

differensial hanya dengan coba-coba dan penyelesaian masalah dilakukan selalu berorientasi pada

tujuan yang dicapai tanpa suatu aturan khusus yang mengikuti aturan-aturan operasi matematika. Dari

hasil tes tersebut menunjukkan bahwa banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam memecahkan masalah turunan dari bentuk perpangkatan dan turunan dari fungsi-fungsi trigonometri.

Untuk mengatasi kesulitan siswa tersebut perlu dikembangkan suatu model pembelajaran yang tidak

monoton hanya mentransfer pengetahuan kepada siswa tetapi juga dapat menarik minat siswa sehingga

siswa terlibat aktif dalam pembelajaran dan memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan

potensinya secara maksimal. Salah satu model pembelajaran yang dimaksud adalah model pembelajaran

kooperatif. Johar dkk (2006:31) mengatakan, “Pembelajaran kooperatif adalah salah satu model dimana

aktivitas pembelajaran dilakukan guru dengan menciptakan kondisi belajar yang memungkinkan

terjadinya proses belajar sesama siswa. Proses interaksi akan memungkinkan apabila guru mengatur

kegiatan pembelajaran dalam suatu setting siswa bekerja sama dalam suatu kelompok”. Sementara itu,

Roger (Huda, 2011:29) mengatakan, “Pembelajaran kooperatif merupakan aktivitas pembelajaran kelompok yang diorganisir oleh satu prinsip bahwa pembelajaran harus didasarkan pada perubahan

informasi secara sosial di antara kelompok-kelompok pembelajar yang di dalamnya setiap pembelajar

bertanggung jawab atas pembelajarannya sendiri dan didorong untuk meningkatkan pembelajaran

anggota-anggota yang lain ”.

Salah satu model dalam pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran berkirim salam dan soal.

Model ini dilakukan dengan membentuk kelompok yang terdiri dari 4 orang. Setiap kelompok nantinya

akan mengutus salah satu orang anggotanya untuk mengirimkan soal kepada kelompok lain. Kelompok

yang menerima soal tersebut harus menjawabnya yang kemudian dicocokkan dengan jawaban dari

kelompok yang mengirim soal. Teknik ini dapat menjadi alternatif bagi guru untuk menerapkan model

pembelajaran yang dapat memacu minat siswa sehingga membantu dalam memahami materi pelajaran. Sehubungan dengan ini, hasil penelitian Adistiani (2011:71) menyimpulkan bahwa peningkatan

kemampuan pemahaman siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model cooperative learning

teknik berkirim salam dan soal pada pembelajaran TIK lebih baik dibandingkan dengan siswa yang

mendapatkan pembelajaran dengan menggunakan model konvensional.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

Apakah penerapan model pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal pada materi turunan

fungsi dapat mencapai ketuntasan hasil belajar siswa kelas XI SMA Laboratorium Unsyiah Banda

Aceh?

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk melihat ketuntasan hasil belajar siswa yang diajarkan melalui

model pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal pada materi turunan fungsi di kelas XI

SMA Laboratorium Unsyiah Banda Aceh.

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan dan membangkitkan motivasi agar

memunculkan minat dalam belajar sehingga dapat dengan mudah memahami materi pelajaran. Serta

sebagai alternatif untuk memilih model pembelajaran yang variatif dan inovatif sehingga siswa dapat

termotivasi dalam belajar.

2. Tinjauan Pustaka

Model pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal Huda (2011:137) mengatakan bahwa teknik Berkirim Salam dan Soal memberi siswa kesempatan

untuk melatih keterampilan dan kemampuan siswa. Siswa membuat pertanyaan sendiri, sehingga

Page 124: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

124

siswa akan lebih terdorong untuk belajar dan menjawab pertanyaan yang dibuat oleh teman-teman

sekelasnya. Model ini dapat diterapkan untuk semua mata pelajaran dan tingkatan kelas.

Menurut Huda (2011:137), langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif Tipe Berkirim Salam dan Soal

di antaranya sebagai berikut:

1. Guru membagi siswa dalam kelompok berempat dan setiap kelompok ditugaskan untuk

menuliskan beberapa pertanyaan yang akan dikirim ke kelompok yang lain. Guru dapat

mengawasi dan membantu memilih soal-soal yang tepat.

2. Kemudian, masing-masing kelompok mengirimkan salah seorang anggotanya yang akan

menyampaikan “salam dan soal” dari kelompoknya kepada kelompok lain. (Salam bisa berupa

yel-yel atau ungkapan-ungkapan unik yang menjadi ciri khas setiap kelompok). 3. Setiap kelompok mengerjakan soal kiriman dari kelompok lain.

4. Setelah selesai, jawaban tersebut dikirimkan kembali ke kelompok asal untuk dikoreksi dan

diperbandingkan satu sama lain.

Ada kalanya suasana kelas pada saat pembelajaran berlangsung menjadi jenuh dan membosankan. Lie

(2010:51) mengatakan bahwa untuk menghidupkan semangat belajar siswa dan mempererat hubungan

dalam kelompok, siswa bisa disuruh menciptakan sapaan dan sorak khas kelompok. Siswa bisa

mengembangkan kreativitas mereka dengan menciptakan cara menyapa rekan-rekan dalam satu

kelompok yang disesuaikan dengan identitas kelompok mereka. Demikian pula dengan sorak

kelompok, siswa bisa membuat ungkapan sederhana namun meriah, misalnya

“Hebat...hebat..hebat...hebat Einsten!, Kami datang untuk belajar bersama-sama...ya...ya...ya!, Ole...ole...ole...terimalah kami /datang bertamu /untuk belaja /kepada Anda, Oke..oke..oke?!, Hai

teman-teman /ayo...ayo...ayo/ kita belajar supaya pintar!, dan sebagainya”. Pendidik dapat menyarankan

agar siswa dapat membuat yel-yel atau nyanyian kelompok yang baik. Sehingga siswa merasa

pembelajaran lebih menyenangkan karena diisi pula kegiatan yang bersifat non akademis.

Lie (2010:58) menyebutkan beberapa dari kelebihan teknik berkirim salam dan soal diantaranya:

1. Melatih pengetahuan peserta didik

2. Melatih keterampian berpikir peserta didik.

3. Bisa digunakan untuk semua mata pelajaran dan semua tingkatan usia anak didik

4. Cocok untuk persiapan menjelang tes dan ujian.

Sedangkan kekurangan dari teknik berkirim salam dan soal diantaranya:

1. Membutuhkan lebih banyak waktu

2. Membutuhkan sosialisasi yang lebih baik

3. Salam (yel-yel) dari kelompok akan mempengaruhi konsentrasi dari kelompok lain yang tidak

bersangkutan.

Implementasi pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal pada materi

turunan fungsi Langkah-langkah pembelajaran turunan fungsi dengan model kooperatif tipe berkirim salam dan soal

adalah sebagai berikut:

a. Pendahuluan

1. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yaitu menentukan turunan perkalian fungsi.

2. Guru memberikan motivasi dan mengingatkan materi sebelumnya yang relevan dengan

materi turunan yang akan dipelajari.

3. Guru menjelaskan langkah-langkah pembelajaran model kooperatif tipe berkirim salam dan

soal.

b. Kegiatan Inti

1. Guru menjelaskan inti-inti dari materi yang akan dipelajari serta memberikan contoh soal dan contoh cara membuat soal dari suatu informasi yang diberikan.

2. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menanyakan hal-hal yang belum

dimengerti.

3. Guru membagi siswa ke dalam kelompok-kelompok yang beranggotakan 4-5 orang.

4. Guru meminta setiap kelompok untuk membuat sebuah salam (yel-yel) yang nantinya akan

dikirimkan kepada kelompok lain.

Page 125: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

125

5. Guru membagikan LKS yang di dalamnya telah ada soal yang dibuat oleh guru dan siswa

hanya diminta menjawab soal di tempat (lembaran LKS) yang disediakan dan juga informasi

tertentu agar siswa dapat membuat soal lain yang akan dikirimkan/diberikan kepada

kelompok lain.

Berikut contoh soal yang dibuat oleh siswa.

Informasi yang diberikan oleh guru:

Diberikan suatu fungsi 𝑓(𝑥) = 3𝑥 + 4, buatlah satu soal tentang turunan perkalian fungsi

dari fungsi tersebut, kamu juga boleh menambahkan informasi yang lain, kemudian

selesaikanlah!

Soal yang dibuat oleh siswa:

- Diketahui suatu fungsi 𝑓(𝑥) = 3𝑥 + 4 , 𝑔(𝑥) = 2𝑥 − 3 , dan ℎ(𝑥) = 𝑓(𝑥). 𝑔(𝑥) .

Tentukan turunan dari ℎ(𝑥)dan berapa nilai ℎ(𝑥) untuk 𝑥 = −1!

- Diketahui suatu fungsi 𝑓(𝑥) = (2𝑥 + 2)2. (3𝑥 + 4). tentukan turunan pertama dari

𝑓(𝑥)!

6. Guru meminta siswa membuat soal dari informasi yang diberikan beserta jawabannya

bersama anggota kelompoknya.

7. Guru membimbing siswa berdiskusi dalam kelompok untuk memadukan ide-ide mereka

dalam membuat dan menyelesaikan soal.

8. Kemudian, masing-masing kelompok mengirimkan satu atau dua orang utusan yang akan

menyampaikan salam dan soal dari kelompoknya.

9. Setiap kelompok mengerjakan soal kiriman dari kelompok lain. 10. Setelah selesai, perwakilan masing-masing kelompok mengirimkan jawaban mereka kepada

kelompok pembuat soal untuk dicocokkan dengan jawaban kelompok pembuat soal.

11. Jika jawaban benar, maka kelompok tersebut mendapat poin. Kelompok dengan poin

tertinggi akan mendapat reward.

12. Guru meminta beberapa kelompok untuk menjawab soal yang guru berikan di LKS dan

menuliskan soal yang mereka buat serta menjelaskan jawabannya di depan kelas.

c. Penutup

1. Guru membimbing siswa dalam membuat kesimpulan.

2. Guru memberikan penghargaan kepada kelompok yang mendapat poin tertinggi.

3. Metode Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Arikunto (2010:27)

menyatakan, “Penelitian kuantitatif banyak dituntut menggunakan angka, mulai dari pengumpulan data,

penafsirannya terhadap data serta penampilan dari hasilnya”.

Dalam penelitian ini digunakan prosedur rancangan pra eksperimen. Dalam model rancangan ini

peneliti hanya mempunyai kelompok eksperimen yang diteliti untuk melihat hasil belajar siswa dengan

menggunakan model berkirim salam dan soal pada materi turunan fungsi.

Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan April 2013 di SMA Laboratorium Unsyiah Banda Aceh yang

berlokasi di Darussalam, Banda Aceh. Sedangkan waktu yang diperlukan untuk melaksanakan

penelitian ini adalah dua minggu. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan empat kali pertemuan.

Pertemuan pertama sampai ketiga proses pembelajaran dan pertemuan keempat tes akhir.

Penetapan subjek penelitian ini merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan, karena penelitian

ini bertujuan untuk mengambil kesimpulan yang objektif secara keseluruhan. Yang menjadi populasi

adalah seluruh siswa kelas XI SMA Laboratorium Unsyiah Banda Aceh Tahun Ajaran 2012/2013.

Sampel dalam penelitian ini adalah satu kelas yang diambil secara acak yaitu siswa kelas XI-IPA3 SMA

Laboratorium Unsyiah Banda Aceh yang berjumlah 32 orang.

Dalam penelitian ini menggunakan instrumen berupa tes akhir. Bentuk tes yang digunakan adalah tes

tertulis dengan jenis soal uraian yang dikembangkan sesuai dengan indikator dan termuat dalam

pedoman penskoran. Tes ini diberikan kepada siswa setelah berlangsung proses pembelajaran. Tes akhir

ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan dan ketuntasan belajar siswa setelah menggunakan model

pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal pada materi turunan fungsi. Bila ketuntasan

Page 126: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

126

belajar tercapai, penerapan model kooperatif tipe berkirim salam dan soal dikatakan berhasil dalam

membantu siswa memahami konsep matematika pada materi turunan fungsi.

Dalam pembuatan instrumen, dilaksanakan tahapan-tahapan sebagai berikut (1) Merumuskan tujuan

dari instrumen dan mengembangkan instrumen sesuai standar kompetensi, kompetensi dasar, dan

indikator yang telah ditentukan; (2) Menuliskan butir soal; (3) Melengkapi instrumen dengan pedoman

penskoran; (4) Berkonsultasi dengan para ahli; (5) Uji coba insrumen kepada 4 orang mahasiswa yang

dipilih secara acak; (6) Dari hasil uji coba dapat disimpulkan bahwa soal-soal tersebut dapat dikerjakan

dengan benar oleh mahasiswa dalam jangka waktu kurang dari 20 menit; (7) Revisi terhadap item-item

yang dirasa kurang baik; (8) instrumen yang telah direvisi dikonsultasikan sekali lagi dengan para ahli

Setelah data terkumpul secara keseluruhan, tahap selanjutnya adalah analisis data. Data hasil penelitian

ini akan diolah dengan menggunakan analisis statistik untuk memperoleh jawaban tentang pembelajaran

dengan penerapan model kooperatif tipe berkirim salam dan soal pada materi turunan fungsi.

Data yang telah dikumpulkan selanjutnya diolah dengan menggunakan statistk uji-t pada taraf signifikan

α = 0,05 dengan derajat kebebasan dk = n – 1. Pengolahan data diawali dengan mentabulasi data yang

telah terkumpul kedalam daftar frekuensi, kemudian menghitung rata-rata dan varians dengan rumus:

�̅� =∑ 𝑓𝑖𝑥𝑖

∑ 𝑓𝑖 dan 𝑠2 =

𝑛𝛴𝑓𝑖𝑥𝑖2−(𝛴𝑓𝑖𝑥𝑖)2

𝑛(𝑛−1) (1)

Keterangan:

�̅� = rata-rata

𝜇0 = nilai standar yang menyatakan siswa telah menguasai materi pelajaran

𝑠 = simpangan baku

𝑛 = banyaknya data

𝑠2 = varians

𝑥𝑖 = data ke-i

Lalu menggunakan uji normalitas data untuk melihat apakah data yang diperoleh dalam penelitian

berbentuk distribusi normal atau tidak. Bila data berbentuk distribusi normal, maka data tersebut dapat

diolah dengan menggunakan statistik uji-t. Uji normalitas sebaran data dilakukan secara parametrik

atau dikenal dengan uji kenormalan data yaitu chi-kuadrat χ2. Adapun rumus χ 2 yang digunakan

menurut Sudjana (2002 : 273) adalah

χ 2 = ∑(O𝑖−𝐸𝑖)2

𝐸𝑖

𝑘𝑖=1 (2)

Keterangan :

𝑂𝑖 = Frekuensi nyata hasil pengamatan

𝐸𝑖 = Frekuensi teoritik

𝑘 = Banyaknya kelas interval

Langkah terakhir adalah pengujian hipotesis. Hipotesis yang akan di uji adalah:

H0 : 𝛍 = 75 (Penerapan model kooperatif tipe berkirim salam dan soal pada materi turunan fungsi di

kelas XI SMA Laboratorium Unsyiah Banda Aceh belum mencapai ketuntasan)

H1 : 𝛍 > 75 (Penerapan model kooperatif tipe berkirim salam dan soal pada materi turunan fungsi di

kelas XI SMA Laboratorium Unsyiah Banda Aceh dapat mencapai ketuntasan)

Untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan, menurut Sudjana (2002:227) dapat dihitung dengan

rumus:

𝑡 =�̅�−𝜇0

𝑠

√𝑛

(3)

Kriteria pengujiannya adalah terima 𝐻0 jika 𝑡 < 𝑡1−𝛼 dan tolak 𝐻0 jika 𝑡 mempunyai harga-harga yang

lain. Derajat kebebasan untuk daftar distribusi 𝑡 ialah dk = n – 1 dan peluang (1 − 𝛼).

Page 127: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

127

4. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Data yang diolah adalah data nilai tes akhir. Berdasarkan data nilai tes akhir, distribusi frekuensi

untuk data siswa kelas XI IPA3 sebagai berikut:

Tabel 1. Daftar Distribusi Frekuensi Nilai Tes Akhir

No Interval Frekuensi

(fi)

Titik Tengah

(xi) xi

2 fi xi fi xi2

1 23 – 35 3 29 841 87 2523

2 36 – 48 0 42 1764 0 0

3 49 – 61 1 55 3025 55 3025

4 62 – 74 8 68 4624 544 36992

5 75 – 87 10 81 6561 810 65610

6 88 – 100 10 94 8836 940 88360

Jumlah 32 25651 2436 196510

Dari tabel di atas didapat nilai chi-kuadrat hitung 2 = 4,72. Dengan taraf signifikan α = 0,05 dan derajat

kebebasan dk = k – 3 = 4 – 3 = 1, maka dari tabel distribusi chi kuadrat 2(0.95)(1)

= 6,31. Oleh karena

2hitung <2

tabel , yaitu (4,72 < 6,31) maka H0 diterima dan dapat disimpulkan bahwa sebaran data mengikuti distribusi normal.

Dari perhitungan diperoleh bahwa:

𝑛 = 32 ; �̅� = 76,125 ; 𝑠2 = 357,081 ; 𝑠 = 18,9 ; 𝜇0 = 75; dan 𝑡 = 0,34

Dengan taraf signifikan α = 0,05 dan dk = (32 -1) = 31 maka dari distribusi t dengan cara interpolasi

diperoleh t0,95(31) = 1,70. Karena thitung < ttabel (0,34 < 1,70) maka H0 diterima. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa hasil belajar siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran kooperatif tipe

berkirim salam dan soal belum mencapai ketuntasan.

Berdasarkan hasil tes akhir diperoleh ada 20 siswa yang mendapat nilai mencapai taraf berhasil dan 12

siswa mendapat nilai masih di bawah taraf berhasil. Adapun kriteria siswa yang dikatakan tuntas

mencapai taraf berhsil belajar apabila memperoleh nilai ≥ 75 yang sesuai KKM yang ditetapkan di

sekolah SMA Laboratorium Unsyiah. Dari hasil analisis data diperoleh bahwa hasil belajar siswa yang

diajarkan dengan model pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal belum mencapai ketuntasan.

Penerapan model kooperatif tipe berkirim salam dan soal dapat membuat suasana belajar menjadi lebih

menyenangkan dan membantu pemahaman siswa terhadap materi. Hal ini sesuai dengan pendapat

Cahyaningtyas (2013) yang mengemukakan bahwa pada penerapan model pembelajaran kooperatif tipe

berkirim salam dan soal suasana pembelajaran dibuat menarik dan menyenangkan dengan adanya

“salam” yang berupa yel-yel. Kondisi ini menyebabkan suasana pembelajaran tidak terlalu kaku,

sehingga siswa dapat merasakan pembelajaran yang menyenangkan dan tidak membosankan sehingga

siswa lebih menikmati proses pembelajaran dan mudah dalam memahami materi, serta adanya

kesadaran siswa untuk belajar tanpa ada rasa terpaksa.

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas (PTK) dari Parlina (2013:9) menyatakan bahwa penerapan

pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal dapat meningkatkan hasil belajar matematika

siswa pada materi pokok Simetri lipat dan Pencerminan semester genap di kelas IV SDN 021 Tanjung

Medan pada tahun ajaran 2011/2012. Hasil dari penelitian tersebut berbeda dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh peneliti yang menyatakan bahwa hasil belajar siswa yang diajarkan dengan model

pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal belum mencapai ketuntasan. Hal ini disebabkan

oleh beberapa kendala dan kekurangan yang dilakukan peneliti (selaku guru) dan siswa dalam proses

pembelajaran yang berlangsung selama 3 kali pertemuan yaitu sebagai berikut:

1. Peneliti masih dalam tahap pembelajaran untuk menjadi guru yang professional.

2. Pada saat mengerjakan LKS, tidak semua siswa aktif bekerja dan masih ada siswa yang bekerja

secara sendiri-sendiri.

Page 128: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

128

3. Waktu yang tersedia kurang efektif yaitu 2 kali pertemuan dilaksanakan pada siang hari sehingga

siswa kurang konsentrasi terhadap pembelajaran.

4. Beberapa siswa kurang menyukai sistem belajar secara berkelompok (khusus terhadap

pembelajaran matematika).

5. Pada saat melakukan teknik berkirim salam dan soal masih terdapat beberapa kelompok yang malu-

malu dan menyembunyikan salam kelompoknya.

6. Pengawasan atau bimbingan yang diberikan oleh guru kurang merata.

5. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran

kooperatif tipe berkirim salam dan soal pada materi turunan fungsi di kelas XI SMA Laboratorium

Unsyiah Banda Aceh belum dapat mencapai ketuntasan belajar.

Adapun saran-saran yang dapat peneliti berikan adalah sebagai berikut:

1. Apabila ingin menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal, perlu

diperhatikan penguasaan guru dalam pengelolaan kelas terutama manajemen waktu karena model

pembelajaran tersebut membutuhkan waktu yang relatif lebih lama dalam pelaksanaannya. Selain

itu, seorang guru perlu senantiasa mengawasi kelas untuk memotivasi keaktifan kelas dan memberi

bimbingan secara individu maupun kelompok. Sehingga dengan penerapan yang baik dan efektif,

diharapkan siswa dapat mencapai ketuntasan belajar.

2. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai model pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan salam dalam melihat ketuntasan belajar siswa pada tingkat kelas dan topik yang berbeda.

3. Untuk penelitian selanjutnya, peneliti menyarankan untuk mengadakan penelitian mengenai

model pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal dalam ruang lingkup yang lebih luas.

Seperti pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal terhadap

peningkatan pemahaman siswa dan lain-lain.

4. Peneliti berharap agar penerapan model pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal

dapat dikembangkan, disosialisasikan, dan digunakan sebagai alternatif dalam pembelajaran

matematika di sekolah

Daftar Pustaka Adistiani, Dini. (2011). Penerapan Model Cooperatif Learning Teknik Berkirim Salam dan Soal Untuk

Meningkatkan Pemahaman Siswa dalam Pembelajaran TIK. Diakses 23 Januari 2012, dari

alamat http://repoository.upi.edu/operator/upload/s_kom0706504chapter1.pdf

Cahyaningtyas, Meidita. (2013). Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Teknik Berkirim Salam

dan Soal untuk Meningkatkan Minat dan Hasil Belajar Sosiologi Siswa Kelas X-1 SMA Negeri

5 Surakarta Tahun Pelajaran 2012/2013. Diakses 3 Maret 2013, dari alamat

http://jurnal.fkip.uns.ac.id/index.php/sosant/article/view/2270/1649

Huda, Miftahul. (2011). Cooperative Learning. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Johar, Rahmah dkk. (2006). Bahan Ajar Strategi Belajar Mengajar. Banda Aceh: FKIP Unsyiah.

Lie, Anita. (2010). Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas. Jakarta: Grasindo

Parlina, Linda. 2012. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Teknik Berkirim Salam dan Soal

untuk Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas IV SD Negeri 021 Tanjung Medan

Kecamatan Pujud. Diakses 3 Maret 2013, dari alamat

http://repository.unri.ac.id/bitstream/123456789/2072/1/LINDA%20PARLIA.pdf

Rahmawati. (2010). Proses Berpikir Siswa Kelas XI SMA Negeri 4 Banda Aceh dalam Menyelesaikan

Soal-soal Diferensial. Skripsi. Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala.

Sudjana. (2002). Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.

Sulistiyono dkk. (2007). Matematika SMA dan MA Kelas XI Semester 2. Jakarta: Gelora Aksara

Pratama.

Page 129: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

129

ANALISIS KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS SISWA

PADA MATERI PERTIDAKSAMAAN LINIER SATU VARIABEL

DI KELAS VII SMP NEGERI 6 BANDA ACEH

Mila Rahmadina1, Johan Yunus2, dan Rahmah Johar3

1 Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Email: [email protected] 2Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 3 Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Abstrak. Penelitan ini dilatarbelakangi oleh masih rendahnya kemampuan representasi

matematis siswa. Padahal kemampuan representasi adalah kunci dari penyelesaian

masalah matematika. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan kemampuan

representasi matematis siswa pada materi pertidaksamaan linier satu variabel di kelas VII

SMP Negeri 6 Banda Aceh. Subjek penelitian terdiri dari enam siswa kelas VII-2.

Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif.

Pengumpulan data dilakukan dengan tes dan wawancara. Data dianalisis dengan

memeriksa lembar jawaban siswa, kemudian diberi skor berdasarkan pedoman penilaian

kemampuan representasi matematis. Selanjutnya guna mengetahui kemampuan

representasi matematis siswa lebih jauh, peneliti melakukan wawancara. Pemilihan siswa yang diwawancarai berdasarkan kriteria tertentu, yaitu siswa mengerjakan setiap soal

dengan representasi yang unik dan siswa yang mewakili setiap variasi skor untuk setiap

jenis representasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) kemampuan representasi

visual siswa masih rendah, artinya siswa mampu merepresentasikan masalah ke dalam

bentuk garis bilangan, tapi tidak disertai dengan pemahaman kepadatan bilangan real

pada garis bilangan, 2) kemampuan representasi simbolik siswa masih rendah, 3)

kemampuan representasi verbal siswa beragam, tiga siswa mendapat skor 4 dan tiga

siswa lainnya mendapat skor 1, artinya siswa yang memperoleh skor 4 benar dalam

membuat soal cerita yang sesuai dengan pertidaksamaan yang diberikan, sedangkan

siswa yang memperoleh skor 1 artinya soal cerita yang dibuat siswa tidak sesuai dengan

pertidaksamaan yang diberikan, 4) hasil temuan lain yang terkait dengan kemampuan

representasi siswa adalah miskonsepsi siswa dalam menyelesaikan masalah pertidaksamaan linier satu variabel yang meliputi: miskonsepsi dalam menerjemahkan

soal cerita ke dalam model matematis, miskonsepsi dalam memahami kepadatan

bilangan real, dan miskonsepsi dalam menggunakan sifat pertidaksamaan.

Kata kunci: representasi matematis, representasi visual, representasi simbolik,

representasi verbal, miskonsepsi

1. Pendahuluan

Salah tujuan pendidikan matematika sesuai dengan Permendiknas no. 22 tahun 2006 adalah agar peserta

didik memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau

media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. Tujuan pembelajaran matematika tersebut sejalan

dengan lima standar kemampuan matematis yang ditetapkan oleh National Council Teacher

Mathematics (NCTM) yang harus dimiliki oleh siswa, yaitu kemampuan pemecahan masalah (problem

solving), kemampuan komunikasi (communication), kemampuan koneksi (connection), kemampuan penalaran (reasoning), dan kemampuan representasi (representation). Hal ini menunjukkan bahwa

kemampuan representasi adalah kemampuan yang penting untuk dimiliki dan dikembangkan oleh

siswa.

Goldin (Kartini: 2009) menyatakan bahwa representasi adalah suatu susunan yang dapat

menggambarkan sesuatu yang lain dalam beberapa cara. Rosengrant (2005) menyatakan bahwa

beberapa representasi bersifat lebih konkrit yang berfungsi sebagai acuan untuk konsep-konsep yang

lebih abstrak dan sebagai alat bantu dalam pemecahan masalah. Setiap siswa mempunyai cara yang

berbeda-beda dalam menyelesaikan masalah. Dalam hal ini memungkin siswa menggunakan berbagai

representasi dalam memahami suatu konsep guna memudahkan dalam penyelesaian masalah.

Page 130: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

130

Kartini (2009) menyatakan bahwa representasi dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu (1) representasi

visual (gambar, diagram grafik, atau tabel), (2) representasi simbolik (pernyataan matematik/notasi

matematik, numerik/simbol aljabar) dan (3) representasi verbal (teks tertulis/kata-kata)”. Untuk

mengkomunikasikan ide-ide matematika kita perlu merepresentasikannya dengan cara tertentu, seperti

representasi ke dalam bentuk gambar, kata-kata, atau simbol matematis.

Selama ini siswa jarang diberi kesempatan untuk membuat representasinya sendiri. Siswa cendrung

meniru cara guru dalam menyelesaikan masalah. Laporan Trends in International Mathematics and

Science Study (TIMMS) (Pratiwi: 2013) menunjukkan bahwa kemampuan siswa dalam

merepresentasikan ide atau konsep matematis dalam beberapa materi termasuk rendah. Hal serupa

diungkapkan Hudiono (Afriani: 2014) dalam disertasinya bahwa sebagian kecil siswa dapat menjawab

benar dalam menyelesaikan masalah matematika matematika yang berhubungan dengan kemampuan representasi, sedangkan sebagian lainnya lemah dalam memanfaatkan kemampuan representasi yang

dimilikinya, khususnya representasi visual.

Pertidaksamaan linier satu variabel adalah salah satu materi yang dipelajari siswa kelas VII SMP.

Aplikasi dari materi ini dapat berupa masalah kehidupan sehari-hari, sehingga memerlukan kemampuan

representasi yang baik guna menemukan solusinya. Beberapa penelitian menemukan cara siswa dan

kesulitan siswa dalam menyelesaikan masalah pertidaksamaan, di antaranya adalah penelitian yang

dilakukan oleh Blanco dan Garrote (2007) menemukan bahwa banyak sekali siswa yang kesulitan dalam

materi pertidaksamaan.

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana kemampuan representasi matematis siswa pada materi pertidaksamaan linier satu variabel di kelas VII SMP Negeri 6 Banda Aceh?

2. Tinjauan Pustaka

Pembelajaran matematika

Ismail, dkk (2004:1.4) menyatakan bahwa matematika dapat dipandang sebagai sebuah struktur dari

hubungan-hubungan yang mengaitkan simbol-simbol. Pemahaman tentang keterkaitan simbol

merupakan kemampuan abstraksi dasar seseorang yang berperan dalam memahami matematika.

Hakikat matematika adalah berkaitan dengan ide-ide, struktur-struktur, dan hubungan-hubungan yang

diatur menurut urutan yang logis. Jadi, matematika berhungan dengan konsep-konsep yang abstrak.

Kurikulum 2013 telah menetapkan materi, fungsi, dan tujuan pembelajaran matematika di sekolah. Arah

pembelajarannya berorientasi pada jangkauan belajar di bidang sikap, pengetahuan, dan keterampilan.

Kemampuan berpikir siswa yang dikembangkan adalah kemampuan berpikir matematis, yang bermuara

pada kemampuan menggunakan matematika sebagai bahasa atau alat dalam menyelesaikan masalah-

masalah yang dihadapi dalam ilmu lain dan kehidupannya.

Dengan proses pembelajaran matematika di sekolah yang berkualitas, diharapkan dapat mengembangkan kemampuan berfikir kritis, kreatif, logis, dan sistematis sehingga siswa mampu

menghadapi tantangan global.

Representasi matematis

Goldin (Kartini: 2009) menyatakan bahwa representasi adalah suatu susunan yang dapat

menggambarkan sesuatu yang lain dalam beberapa cara. Rosengrant (2005) yang menyatakan bahwa

beberapa representasi bersifat lebih konkrit dan berfungsi sebagai acuan untuk konsep-konsep yang

lebih abstrak dan sebagai alat bantu dalam pemecahan masalah. NCTM, 1989 (Ansari, 2009:12)

menyatakan bahwa representasi adalah: (1) bentuk baru sebagai hasil translasi dari suatu masalah, atau

ide, (2) translasi suatu diagram atau model fisik ke dalam simbol atau kata-kata. Berdasarkan uraian di

atas dapat disimpulkan bahwa representasi adalah ungkapan pemikiran seseorang dalam menerjemahkan

konsep atau masalah yang bersifat abstrak untuk mencari solusi dari masalah yang dihadapinya dengan penyelesaian yang berbeda-beda.

Dalam pembelajaran matematika, representasi matematis diartikan sebagai ungkapan dari ide-ide

matematika yang digunakan untuk memperlihatkan hasil kerjanya dengan cara tertentu sebagai hasil

Page 131: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

131

interpretasi dari pikirannya. Sedangkan kemampuan representasi matematis adalah kemampuan

seseorang untuk menyajikan gagasan matematika yang meliputi penerjemahan masalah atau ide-ide

matematis ke dalam interpretasi berupa gambar, persamaan matematis, maupun kata- kata.

NCTM (2000:67) menyatakan bahwa representasi matematis adalah kunci untuk menyelesaikan

permasalahan matematika. Hal ini cukup berasalan karena untuk menyelesaikan masalah dan

mengkomunikasikan ide-ide matematis seseorang perlu merepresentasikannya dalam berbagai bentuk

representasi matematis. Representasi selalu digunakan siswa dalam menyelesaikan masalah

matematika. Tindakan dalam merepresentasikan sebuah konsep atau masalah matematis dapat

menggunakan benda manipulatif, grafik atua diagram, kata-kata baik tertulis maupun secara lisan.

Soedjadi (2000) mengemukakan bahwa objek kajian dalam matematika bersifat abstrak. Oleh

karenanya untuk mempermudah dan memperjelas dalam penyelesaian masalah matematika, representasi sangat berperan yaitu untuk mengubah ide abstrak menjadi konsep yang nyata, misalkan

dengan gambar, simbol, kata-kata, grafik, dan lain-lain. Dalam pembelajaran, lewat representasi

eksternal siswa, guru dapat mengetahui apa sesungguhnya yang merupakan representasi internal dalam

pikiran siswa, sehingga guru dapat melakukan evaluasi kemampuan siswa dalam menyelesaikan

masalah.

Suatu masalah yang rumit akan menjadi lebih sederhana, jika menggunakan representasi yang sesuai

dengan permasalahan tersebut, sebaliknya representasi yang keliru membuat masalah menjadi sukar

untuk dipecahkan, bahkan akan terjadi kesalahan dalam penyelesaian masalah tersebut. Representasi

yang digunakan dalam menyelesaikan masalah tentulah sangat beragam tergantung dari cara berpikir

siswa. Kartini (2009) menyatakan, “pada dasarnya representasi dapat digolongkan menjadi (1)

representasi visual (gambar, diagram grafik, atau tabel), (2) representasi simbolik (pernyataan matematik/notasi matematik, numerik/simbol aljabar) dan (3) representasi verbal (teks tertulis/kata-

kata)”.

Miskonsepsi

Soedjadi (2000:14) menyatakan bahwa konsep adalah ide abstrak yang dinyatakan dalam suatu istilah

atau rangkaian kata. Kemudian Michel (Bambico) menyatakan bahwa miskonsepsi adalah kesulitan

konsep dan penalaran yang menghambat penguasaan siswa dalam berbagai ilmu. Selanjutnya, Suparno

(Kiswanto: 2013) menyatakan bahwa miskonsepsi atau salah konsep menunjuk pada tidak sesuia antara

suatu konsep dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima para pakar dalam bidang itu.

Berdasarkan penelitian Muzangwa dan Chifamba (2012), umumnya miskonsepsi terlihat melalui kesalahan. Miskonsepsi bisa berupa salah perhitungan atau salah secara konsep. Berdasarkan uraian di

atas, jika dikaitkan dengan pembelajaran matematika, miskonsepsi diartikan sebagai kesalahpahaman

dalam memahami materi matematika atau salah dalam melakukan perhitungan.

Kiswanto (2013) menyatakan bahwa adanya miskonsepsi menyebabkan siswa kesulitan dalam

memahami konsep-konsep matematika. Miskonsepsi dalam matematika dapat menjadi masalah serius

jika tidak segera diperbaiki, sebab kesalahan satu konsep dasar saja dapat menuntun seseorang pada

kesalahan yang terus menerus, karena sebuah konsep dasar dalam matematika akan terus diaplikasikan

ke materi selanjutnya. Menemukan letak miskonsepsi siswa di kelas merupakan cara yang bijak untuk

memperbaiki miskonsepsi.

3. Metode

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini dilakukan di

kelas VII-2 SMP Negeri 6 Banda Aceh, yang beralamat Jl. Tgk. Lam U No.1 Kota Baru Banda Aceh.

Setelah semua siswa menjawab soal kemamapuan representasi matematis. secara tertulis, dan jawaban

mereka diperiksa, subjek penelitian dipilih sebanyak 6 orang siswa berdasarkan berdasarkan keunikan representasi yang dibuat siswa dalam menyelesaikan masalah dan siswa yang mewakili setiap variasi

skor untuk setiap jenis representasi.

Teknik pengumpulan data

a. Tes Tes dilakukan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam merepresenatsikan masalah yang diberikan. Soal tes disusun berdasarkan kisi-kisi yang telah dibuat. Setelah subjek penelitian

Page 132: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

132

mengikuti tes, peneliti menganalisis lembar jawaban siswa. Kemudian setiap jawaban diberi skor

berdasarkan pedoman penilaian kemampuan representasi yang telah dibuat. Dari skor tersebut dapat

diketahui kemampuan representasi matematis siswa. Berikut tabel kisi-kisi soal pertidaksamaan

linier satu variabel.

Tabel 1. Kisi- Kisi Soal Pertidaksamaan Linier Satu Variabel

Nomor

Soal Kemampuan yang diukur

1 a. Kemampuan siswa merepresentasikan masalah ke dalam bentuk gambar berupa

garis bilangan (representasi visual)

b. Kemampuan siswa merepresentasi masalah ke dalam simbol matematika

(representasi simbolik)

2 Kemampuan siswa menyelesaikan masalah dengan menggunakan persamaan matematis (representasi simbolik)

3 a. Kemampuan siswa merepresentasikan masalah ke dalam simbol dan bahasa

matematika (representasi simbolik)

b. Kemampuan siswa menyelesaikan masalah dengan menggunakan persamaan

matematis (representasi simbolik)

4 Kemampuan siswa merepresentasikan simbol ke dalam bahasa/ kata-kata

(kemampuan representasi verbal)

b. Wawancara

Wawancara dilakukan untuk mengetahui lebih jauh bagaimana siswa menerjemahkan setiap

masalah ke dalam bahasa matematis dan mengetahui apakah setiap representasi yang dibuat siswa

dalam penyelesaian masalah sesuai dengan konsep pertidaksamaan linier satu variabel atau tidak.

Pemilihan siswa yang diwawancarai dilakukan berdasarkan kriterian tertentu, yaitu siswa yang

mengerjakan setiap soal dengan represenatsi yang unik dan variasi skor yang diperoleh siswa untuk

setiap jenis representasi.

Teknik analisis data

Untuk mengetahui kemampuan representasi matematis siswa pada materi pertidaksamaan linier satu

variabel maka dilakukan analisis data sebagi berikut.

1. Memeriksa semua lembar jawaban siswa. Selanjutnya, setiap jawaban siswa diberi skor berdasarkan

pedoman penilaian kemampuan representasi matematis.

2. Mewawancarai siswa yang telah dipilih sebagai subjek penelitian. wawancara bertujuan untuk

mengetahui penjelasan siswa lebih dalam mengenai representasi yang mereka buat dalam

menyelesaikan masalah serta mengetahui representasi yang dibuat siswa sudah sesuai dengan

konsep pertidaksamaan atau tidak. Membandingkan jawaban tertulis dengan hasil wawancara.

Tabel 2 berikut adalah pedoman penilaian kemampuan representasi siswa berdasarkan jawaban tertulis dan wawancara yang diadaptasi dari Holistic Scoring Rubrics menurut Cai, Lane, dan Jakabcsin

(Pratiwi: 2013).

Tabel 2 Pedoman Penilaian Kemampuan Representasi Matematis Siswa

Nomor

soal

Jenis

Kemampuan

Representasi

Deskripsi Kemampuan Representasi Siswa Skor

1a Representasi

Visual

Siswa mampu merepresentasikan masalah ke dalam bentuk garis

bilangan disertai dengan pemahaman tentang kepadatan bilangan

real pada garis bilangan dengan benar

4

Siswa mampu merepresentasi masalah ke dalam bentuk garis

bilangan namun gambar garis bilangan yang dibuat siswa belum

lengkap

3

Siswa mampu merepresentasikan masalah ke dalam bentuk garis

bilangan, tetapi tidak disertai dengan pemahaman tentang

kepadatan bilangan real pada garis bilangan.

2

Siswa salah dalam merepresentasikan masalah ke dalam garis bilangan

1

Page 133: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

133

Nomor

soal

Jenis

Kemampuan

Representasi

Deskripsi Kemampuan Representasi Siswa Skor

Tidak ada jawaban 0

1b Representasi

simbolik

Siswa mampu merepresentasi masalah ke dalam bentuk simbol

dan mampu menentukan umur yang benar sesuai masalah yang

diberikan

4

Siswa merepresentasikan masalah ke dalam bentuk symbol (>)

serta mampu menunjukkan umur yang benar.

3

Siswa salah dalam merepresentasikan masalah ke dalam bentuk

simbol, namun mampu menentukan umur dengan benar sesuai

dengan masalah yang diberikan atau siswa benar dalam menentukan simbol tapi belum mampu menentukan umur yang

diminta dengan benar.

2

Siswa salah dalam merepresentasikan masalah dan belum

mampu menentukan umur yang benar sesuai dengan masalah

yang diberikan

1

Tidak ada jawaban 0 0

2 Representasi

Simbolik

Siswa mampu menyelesaikan masalah dengan menggunakan

persamaan matematis dan melakukan perhitungan dengan benar

4

Siswa mampu menyelesaikan masalah dengan menggunakan persamaan matematis, namun terdapat sedikit kesalahan dalam

perhitungan matematisnya

3

Siswa mampu menyelesaikan masalah dengan menggunakan

persamaan matematis, namun terdapat banyak kesalahan dalam

perhitungan matematisnya atau siswa benar dalam

menyelesaikan langkah awal, tapi salah dalam menerapkan sifat

pertidaksamaan

2

Siswa mampu menyelesaikan masalah dengan menggunakan

persamaan matematis, namun salah dalam menerapkan sifat

pertidaksamaan dalam menyelesaikan masalah, langkah awal

salah

1

Tidak ada jawaban 0

3 Representasi

simbolik

Siswa mampu membuat model matematis dari masalah, mampu

melakukan perhitungan dan menemukan solusi dengan benar

4

Siswa mampu mampu membuat model matematis dari masalah

dan mampu melakukan perhitungan dengan benar, namun salah dalam menentukan solusi

3

Siswa belum mampu membuat model matematis yang benar dari

masalah, namun mampu melakukan perhitungan dan

menemukan solusi dengan benar

2

Siswa mampu membuat model matematis dari masalah namun

terdapat banyak kesalahan dalam perhitungan

1

Siswa salah dalam membuuat model matematis dan belum

mampu melakukan perhitungan dengan benar

0

4 Representasi

Verbal

Siswa mampu membuat situasi masalah berdasarkan data-data

yang diberikan dengan benar, tersusun secara logis dan sistematis

4

Siswa mampu membuat situasi masalah berdasarkan data-data

yang diberikan dengan benar, tersusun secara sistematis, tapi

tidak tersusun secara logis

3

Siswa mampu membuat situasi masalah menggunakan konteks

pertidaksamaan, tapi tidak sesuai dengan data yang diberikan.

2

Siswa salah dalam membuat situasi masalah yang meliputi

masalah yang dibuat tidak menggunakan konteks pertidaksamaan

atau masih menggunakan simbol dalam menuliskan masalah.

1

Tidak ada jawaban 0

Page 134: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

134

Selanjutnya, mendeskripsikan kemampuan representasi siswa berdasarkan jawaban tes dan hasil

wawancara, kemudian skor yang diperoleh siswa untuk setiap soal dirangkum dalam bentuk tabel.

Apabila jawaban tes tertulis dan penjelasan-penjelasan pada saat wawancara tidak sesuai maka

kemampuan representasi siswa akan disimpulkan berdasarkan hasil wawancara, karena proses

wawancara dikontrol tanpa adanya gangguan dari luar dan segala tindakan serta ucapan dapat

diperhatikan.

4. Hasil dan Pembahasan

Gambaran kemampuan representasi siswa

Analisis kemampuan representasi visual siswa

Soal nomor 1a

Pada soal ini, siswa dituntut mampu menggambarkan garis bilangan yang mewakili masalah umur yang diizinkan untuk memiliki ktp. Berdasarkan jawaban tertulis dari enam siswa, terdapat tiga model garis

bilangan yang dibuat siswa, seperti gambar berikut.

Gambar 1 Jawaban siswa 1 Gambar 2 Jawaban siswa 6 Gambar 3 Jawaban siswa 3

Siswa 1 mengungkapkan bahwa umur penduduk yang diperbolehkan memiliki KTP adalah bilangan

yang mereka bulatkan secara penuh pada garis bilangan, maksud bilangan yang lebih dari 17 adalah

bilangan bulat, seperti 17, 18, 19, dan seterusnya. Dari petikan wawancara diketahui bahwa siswa 2, 4,

5, dan 6 juga membatasi himpunan penyelesaian masalah hanya berupa bilangan bulat saja. Ini adalah

salah satu bentuk miskonsepsi dalam menentukan solusi masalah. Penyebab miskonsepsi ini adalah

siswa cendrung menganggap bilangan yang ada pada garis bilangan hanya bilangan bulat tanpa

mempertimbangkan bilangan lain yang berada di sepanjang garis bilangan. Sedangkan siswa 3 tidak

memahami konsep garis bilangan karena siswa salah dalam menempatkan letak bilangan pada garis

bilangan.

Berdasarkan uraian di atas disimpulkan bahwa lima siswa merepresentasikan masalah ke dalam bentuk

garis bilangan, tapi tidak disertai dengan pemahaman kepadatan bilangan real pada garis bilangan.

Dengan demikian berdasarkan pedoman penilaian kemampuan representasi, lima siswa memperoleh

skor 2, yaitu siswa 1, 2, 4, 5, dan 6, sedangkan satu siswa yaitu siswa 3 mendapat skor 1, artinya siswa

salah dalam merepresentasikan masalah ke dalam garis bilangan.

Analalisis kemampuan representasi simbolik

Soal nomor 1b

Berdasarkan jawaban tertulis dari enam siswa, terdapat tiga model matematika yang dibuat siswa,

diantaranya dapat dilihat seperti gambar berikut ini.

Gambar 4 Jawaban siswa 2

Gambar 5 Jawaban siswa 5 Gambar 6 Jawaban siswa 1

Dari petikan wawancara diketahui bahwa siswa 2 tidak memahami makna dari tanda pertidaksamaan

yang dibuatnya (≤), siswa 2 menerjemahkan kata minimal menjadi ≤, tetapi ia benar memahami bahwa

umur yang diizinkan memiliki KTP adalah lebih dari atau sama dengan 17 tahun (masih membatasi

solusi penyelesaian masalah dalam bentuk bilangan bulat saja). Gambar 5 adalah jawaban yang benar untuk masalah 1b yang dibuat oleh siswa 3, 4, 5, dan 6. Secara tertulis, mereka benar dalam menuliskan

kalimat matematis berdasarkan masalah yang diberikan. Ketika peneliti mewawancarai siswa 3, 4, 5,

Page 135: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

135

dan 6, terungkap bahwa mereka masih membatasi solusi dari penyelesaian masalah adalah berupa

bilangan bulat. Sedangkan siswa 1 menganggap bahwa titik yang berada pada garis bilangan tersebut

adalah simbol yang menandakan umur seseorang yang diperbolehkan memiliki KTP.

Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa empat siswa mampu merepresentasikan masalah ke dalam

bentuk simbol pertidaksamaan, tetapi tidak disertai dengan pemahaman tentang kepadatan bilangan real.

Berdasarkan pedoman penilaian kemampuan representasi, keempat siswa memperoleh skor 2, yaitu

siswa 3, 4, 5, dan 6. Sedangkan siswa 1 dan 2 salah dalam merepresentasikan masalah ke dalam simbol

matematis dan belum mampu menentukan umur yang benar sesuai dengan masalah yang diberikan.

Berdasarkan pedoman penilaian kemampuan representasi, siswa 1 dan 2 mendapat skor 1.

Soal nomor 2

Berdasarkan jawaban tertulis dari enam siswa yang diwawancarai, terdapat lima cara menyelesaikan masalah yang dibuat siswa, yaitu:

Gambar 7 Jawaban siswa 1 Gambar 8 Jawaban siswa 2 Gambar 9 Jawaban siswa 3

Gambar 10 Jawaban siswa 4 Gambar 11 Jawaban siswa 5

Siswa 1 mencoba-coba bilangan yang bisa diganti dengan nilai x. Hal ini diperkuat dengan hasil

wawancara, siswa dengan percaya diri membaca tidak kurang dari. Dari petikan wawancara diketahui

bahwa siswa 1 belum mampu membaca dan memahami makna dari tanda pertidaksamaan. Siswa 2

dan siswa 6 menyelesaikan masalah seperti Gambar 8. Berdasarkan gambar diketahui bahwa siswa

mampu menuliskan langkah awal dengan benar, namun ketika kedua ruas sama-sama dibagi bilangan

negatif, siswa tidak merubah tanda pertidaksamaannya. Ini menunjukkan bahwa siswa mengalami

miskonsepsi dalam menggunakan sifat-sifat pertidaksamaan dalam menyelesaikan masalah. Siswa 3

dan 4 belum mampu menuliskan langkah pertama dengan benar dalam menyelesaikan masalah. Dari

hasil wawancara diketahui bahwa siswa 3 bingung dalam menentukan bilangan mana yang harus

dihilangkan untuk mendapatkan nilai x, serta belum mampu menentukan bilangan mana saja yang bisa

dijumlahkan. Sedangkan siswa 4 menyelesaikan masalah dengan konsepnya sendiri, siswa mengurangkan 10 dengan 3x dan memperoleh hasil 7x. Hal ini juga menunjukkan bahwa kedua siswa

mengalami miskonsepsi mengenai bilangan yang dapat dioperasikan dengan operasi tambah atau

kurang. Siswa 5 mampu menyelesaikan masalah dengan benar sesuai dengan perintah soal.

Berdasarkan uraian di atas, satu siswa yang siswa mampu menyelesaikan masalah dengan

menggunakan persamaan matematis dan melakukan perhitungan dengan benar, yaitu siswa 5. Dua

siswa yaitu siswa 2 dan 6 benar dalam langkah awal, namun salah dalam menggunakan sifat

pertidaksamaan. Tiga siswa menyelesaikan masalah dengan menggunakan persamaan matematis,

namun salah dalam menerapkan sifat pertidaksamaan ditandai dengan salah pada langkah awal, yaitu

siswa 1, 3, dan 4. Berdasarkan pedoman penilaian kemampuan representasi, satu siswa mendapat skor

4, dua siswa memperoleh skor 2, tiga siswa memperoleh skor 1.

Soal nomor 3

Berdasarkan jawaban tertulis dari enam siswa, terdapat empat model matematis yang dibuat oleh siswa

berdasarkan situasi yang diberikan, berikut hasil jawaban siswa.

Page 136: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

136

Gambar 12 Jawaban siswa 1 Gambar 13 Jawaban siswa 3

Gambar 14 Jawaban siswa 5 Gambar 15 Jawaban siswa 6

Berdasarkan jawaban siswa dan hasil wawancara diketahui bahwa siswa 1 dan siswa 3 belum mampu

membuat model yang berdasarkan masalah dengan benar. Mereka menerjemahkan kata “maksimal”

menjadi “≥ ", siswa 1 mencoba-coba mengganti nilai x dengan suatu bilangan yang mememenuhi

model pertidaksamaan yang dibuatnya, serta membaca tanda pertidaksamaan (≥) yang dibuatnya

sebagai tidak lebih dari. Hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa siswa 1 memahami soal, tetapi

belum mampu merepresentasikan masalah menjadi model matematis dengan benar serta siswa 1

mencoba-coba mengganti x dengan sebuah bilangan yang memenuhi model pertidaksamaan yang

dibuatnya. Dari petikan wawancara diketahui bahwa siswa 3 membaca tanda “≥ " sebagai “lebih besar

dari” serta menerjemahkan kata maksimal menjadi ≥. Ini menunjukkan bahwa siswa mengalami

miskonsepsi dalam menerjemahkan masalah menjadi model matematis yang sesuai dengan

pertidaksamaan linier satu variabel .

Siswa 5 membuat tabel untuk memudahkannya dalam memahami soal. Siswa 2, 4, dan 5 mampu

menerjemahkan masalah ke dalam model matematis dengan benar. Siswa 2 dan 5 juga mampu

menyelesaikan masalah b dengan benar disertai alasan yang tepat. Sedangkan siswa 4 menemukan 38

kotak paling banyak yang dapat diangkut dengan cara mencoba-coba mensubstitusi nilai x yang

memenuhi pertidaksamaan. Untuk soal nomor 3c, siswa 2 dan 4 menggunakan tanda sama dengan (=),

sedangkan siswa 5 menggunakan tanda kurang dari atau sama dengan (≤). Secara tertulis siswa 2 dan

menyatakan bahwa hanya 5 kali pengangkutan saja kotak itu akan habis. Sedangkan siswa 5 menyatakan

bahwa kotak akan habis jika diangkut sebyak 1, 2, 3, 4, dan 5 kali pengakutan. Ketika wawancara

ditemukan bahwa maksud siswa 2 sama dengan siswa 5 yaitu Pak Riki bisa mengangkut sebanyak 1,

2, 3, 4, dan 5 kali agar 190 kotak bisa habis. Sedangkan siswa 4 menganggap bahwa hanya 5 kali

pengangkutan saja 190 kotak akan habis diangkut oleh Pak Riki. Siswa 6 mampu membuat model dan menyelesaikan persamaan matematis dengan benar disertai dengan penjelasan yang tepat.

Berdasarkan uraian di atas, hanya ada satu siswa yang mampu membuat model matematis dari masalah,

mampu melakukan perhitungan dan menemukan solusi dengan benar yaitu siswa 6. Tiga siswa mampu

membuat model matematis dari masalah dan mampu melakukan perhitungan dengan benar, namun

salah dalam menentukan solusi, yaitu siswa 2, 4, dan 5. Dua siswa yaitu siswa 1 dan 3 salah dalam

membuat model matematis dari masalah, perhitungan benar, serta salah dalam menentukan solusi yang

diminta. Dengan demikian berdasarkan pedoman penilaian kemampuan representasi, satu siswa

mendapat skor 4, tiga siswa mendapat skor 3, dua siswa mendapat skor 1.

Analisis kemampuan representasi verbal

Soal nomor 4

Berdasarkan jawaban tertulis dari enam siswa yang diwawancarai, terdapat 6 soal cerita berbeda yang

dibuat oleh siswa berdasarkan situasi yang diberikan, berikut hasil jawaban siswa.

Page 137: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

137

Gambar 16 Jawaban siswa 4 Gambar 17 Jawaban siswa 5

Secara tertulis terdapat 6 soal cerita yang berbeda yang dibuat siswa, dua soal cerita seperti gambar di

atas memiliki maksud yang berbeda. Siswa 1 dan 5 membuat soal cerita dengan cara mencoba-coba

mengubah variabel y dengan sebuah bilangan yang nilainya sesuai dengan tanda pertidaksamaan yang diminta. Siswa 2, 4, dan 6 mampu membuat soal cerita yang sesuai dengan pertidaksamaan yang

diberikan (Gambar 16). Siswa 3 dan 5 membuat soal cerita seperti Gambar 17, berdasarkan hasil

wawancara diketahui bahwa siswa bingung dalam merubah nilai y ke dalam masalah sehari-hari.

Berdasarkan uraian di atas, tiga siswa mampu membuat situasi masalah berdasarkan data-data yang

diberikan dengan benar, tersusun secara logis dan sistematis yaitu siswa 2, 4, dan 6. Tiga siswa lainnya

salah dalam membuat situasi masalah yang meliputi masalah yang dibuat tidak sesuai simbol atau

masalah yang dibuat tidak menggunakan konteks pertidaksamaan, yaitu siswa 1, 3, dan 5. Dengan

demikian berdasarkan pedoman penilaian kemampuan representasi, tiga siswa memperoleh skor 4, tiga

siswa memperoleh skor 1.

Tabel 3 Skor Kemampuan Representasi Matematis Siswa Setelah Wawancara

Subjek

Penelitian

Skor Kemampuan Representasi Matematis siswa

Kemampuan

Representasi

Visual

Kemampuan Representasi Simbolik Kemampuan

Representasi

Verbal

Soal nomor

1b

Soal

nomor 2

Soal nomor 3 (a,

b, dan c)

Siswa 1 2 1 1 1 1

Siswa 2 1 1 2 3 4

Siswa 3 2 2 1 1 1

Siswa 4 2 2 1 3 4

Siswa 5 2 2 4 3 1

Siswa 6 2 2 2 4 4

Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa siswa membuat beragam representasi dalam

meyelesaikan masalah. Berdasarkan pedoman penilaian kemampuan representasi, skor kemampuan representasi siswa umumnya termasuk kepada skor rendah yaitu skor 1 dan 2, hanya sebagian kecil

siswa yang mendapat skor 3 dan 4. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Hudiono (Afriani,

Siti:2014) dalam disertasinya menyatakan bahwa sebagian kecil siswa dapat menjawab benar dalam

mengerjakan soal matematika yang berkaitan dengan kemampuan representasi, sedangkan sebagian

lainnya lemah dalam memanfaatkan kemampuan representasi yang dimilikinya, khususnya representasi

visual. Berikut akan dijelaskan masing-masing representasi yang dibuat siswa.

1. kemampuan representasi visual siswa yang masih rendah diketahui dari gambar garis bilangan yang

dibuat siswa. Representasi yang dibuat siswa dalam menentukan penyelesaian masalah masih

terbatas berupa bilangan bulat. Penyebabnya adalah siswa cendrung menganggap bilangan yang ada

pada garis bilangan hanya bilangan bulat tanpa mempertimbangkan bilangan lain yang berada di

sepanjang garis bilangan. Temuan ini menunjukkan bahwa siswa mengalami miskonsepsi ketika mempelajari materi bilangan khususnya kepadatan bilangan real pada garis bilangan sehingga

mereka tetap menggunkan konsep yang mereka pahami sendiri dalam menyelesaikan masalah yang

berkaitan dengan garis bilangan. Temuan ini sesuai dengan hasil penelitian Blanco dan Garrote

(2007) bahwa sedikit siswa yang menggunakan bilangan real dalam penyelesaian operasi hitung.

Kebanyakan siswa mengambil batasan bilangan asli dalam pemahaman interval pada garis bilangan.

Dengan demikian guru perlu meninjau dahulu pemahaman siswa mengenai kepadatan bilangan real

pada garis bilangan sebelum melanjutkan pada topik yang lebih tinggi.

Page 138: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

138

2. kemampuan representasi simbolik siswa dapat diketahui dari penyelesaian masalah pada soal nomor

satu, dua, dan tiga.

a. Pada soal nomor 1b dan 3a, siswa dituntut untuk menerjemahkan masalah ke dalam model

matematis. Berdasarkan jawaban siswa dan wawancara kemampuan representasi simbolik siswa

pada soal nomor 1b dan 3a dipengaruhi konteks masalah yang diberikan, misalnya kata-kata

“maksimal” dan “minimal”. Siswa mengartikan “maksimal” dengan tanda “≥” dan “minimal”

dengan tanda “≤”, jawaban siswa seperti Gambar 4.12. Hal ini disebabkan karena siswa

memodelkan masalah dengan spontan tanpa memahami maksud dari masalah yang diberikan

dan siswa mengannggap bahwa maksimal itu berarti besar dan minimal itu berarti kecil sehingga

kebanyakan siswa menerjemahkan kata “maksimal” menjadi ≥ dan “minimal” menjadi ≤.

b. Pada soal nomor 2 dan 3 (b dan c), siswa dituntut untuk menyelesaikan pertidaksamaan linier

satu variabel. Dari jawaban siswa diketahui bahwa umumnya siswa belum mampu menggunakan

sifat pertidaksamaan linier dalam menyelesaikan masalah. Hal ini diperjelas dengan penjelasan

siswa ketika wawancara.Berkenaan dengan masalah tersebut Rosengrant (2005) menyatakan

bahwa pencapaian tertinggi dari representasi tidak hanya membantu siswa menyelesaikan

masalah, namun juga dapat mengevaluasi pekerjaan mereka.

Secara umum, jawaban dan penjelasan siswa menggambarkan ketidakpahaman siswa mengenai

konsep pertidaksamaan. Ketidakpahaman konsep pertidaksamaan merupakan lanjutan

ketidakpahaman siswa dalam pada materi sebelumnya.

3. kemampuan representasi verbal siswa dapat diketahui dari soal cerita yang dibuat siswa pada soal nomor empat. Pada soal nomor empat siswa dituntut mampu menuliskan situasi nyata berdasarkan

pertidaksamaan yang diberikan.

Dari jawaban siswa yang didukung dengan hasil wawancara ditemukan tiga orang siswa kesulitan dalam

menerjemahkan variabel y ke dalam soal cerita yang sesuai dengan kehidupan sehari-hari, seperti

Gambar 17. Setelah diskusi dengan guru matematika yang mengajar di kelas tersebut diketahui

penyebab kesulitan siswa ini adalah selama ini siswa tidak terbiasa membuat soal cerita berdasarkan

model matematis yang diberikan. Tiga siswa lainnya mendapat skor 4 artinya siswa mampu membuat

situasi masalah berdasarkan data-data yang diberikan dengan benar, tersusun secara logis dan sistematis.

Mereka menganggap bahwa soal nomor 4 adalah soal yang mudah karena tiga siswa tersebut

memperoleh nilai 3 dan 4 untuk soal sebelumnya yang menuntut siswa mampu menerjemahkan soal

cerita ke dalam simbol matematik, kemudian siswa membalik situasi dari pertidaksamaan yang diberikan menjadi soal cerita seperti soal nomor 3.

5. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan antara lain sebagai berikut.

1. Kemampuan representasi visual siswa masih rendah, artinya siswa mampu merepresentasikan

masalah ke dalam bentuk garis bilangan, tapi tidak disertai dengan pemahaman kepadatan bilangan

real pada garis bilangan,

2. Kemampuan representasi simbolik siswa masih rendah, umumnya siswa memperoleh skor 1 dan 2.

3. Kemampuan representasi verbal siswa bervariasi, tiga siswa mendapat skor 4 dan tiga siswa lainnya

mendapat skor 1. Siswa yang memperoleh skor 4 artinya siswa benar dalam membuat soal cerita yang sesuai dengan pertidaksamaan yang diberikan, sedangkan siswa yang memperoleh skor 1

artinya soal cerita yang dibuat siswa tidak sesuai dengan pertidaksamaan yang diberikan.

4. Hasil temuan lain yang terkait dengan kemampuan representasi siswa adalah miskonsepsi siswa

dalam menyelesaikan masalah pertidaksamaan linier satu variabel yang meliputi: miskonsepsi

dalam menerjemahkan soal cerita ke dalam model matematis, miskonsepsi dalam memahami

kepadatan bilangan real, dan miskonsepsi dalam menggunakan sifat pertidaksamaan.

Berdasarkan simpulan di atas disarankan diharapkan guru untuk dapat mengevaluasi terlebih dahulu

pengetahuan prasyarat yang harus dimiliki siswa sebelum melangkah ke materi selanjutnya, diharapkan

guru menyediakan waktu untuk berdiskusi dengan siswa mengenai cara siswa dalam merepresentasikan

masalah matematika, khusunya pada materi pertidaksamaan linier satu variabel, dan diharapkan adanya

penelitian lanjutan untuk mengetahui metode yang tepat guna meningkatkan kemampuan representasi matematis siswa.

Page 139: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

139

Daftar Pustaka

Afriani, Nur Fitri Siti. 2014. “Pengaruh Pembelajaran Matematika dengan Metode Improve terhadap

Kemampuan Representasi Matematis Siswa SMP”. Skripsi tidak diterbitkan. Bandung: UPI.

Anonymous. 2000. Principles and Standards for School Mathematics. USA: Library of Congress

Cataloguing in Publication Data.

Ansari, I. B. 2009. Komunikasi Matematik Konsep dan Aplikasi. Banda Aceh: Yayasan PeNA Banda

Aceh Divisi Penerbitan.

Bambico, Tersita. Tanpa Tahun. Mathematical Strengths, Difficulties and Misconceptions of Teachers:

Analysis of Their Performance in an Achievement Test. Diakses pada 27 Maret 2014 dari

alamat http://library.ikippgrismg.ac.id/docfiles/fulltext/3e2dab5527a127d4.pdf.

Blanco, J Lorenzo dan Manuel Garrot. 2007. Difficulties in Learning Inequalitiesin Students of the

First Year of Pre-University Education in Spain. Eurasia Journal of Mathematics, Science &

Technology Education, 3(3), 221-229. Diakses pada 24 Maret 2014 dari alamat

http://www.ejmste.com/v3n3/EJMSTE_v3n3_Blanco_Garrote.pdf.

Ismail, dkk. 2004. Kapita Selekta Pembelajaran Matematika. Jakarta: Universitas Terbuka.

Kartini. 2009. ”Peranan Representasi dalam Pembelajaran Matematika”. Makalah disajikan dalam

Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, FMIPA UNY, Yogyakarta, 5

Desember. Diakses pada 13 Oktober 2013 dari alamat http://eprints.uny.ac.id/7036/1/P22-

Kartini.pdf,

Kiswanto, Aris. 2013. “Miskonsepsi Siswa Dalam Menyelesaikan Soal Materi Lingkaran Kelas VIII

Mts Taqwiyatul Wathon”. Skripsi tidak diterbitkan. Semarang: IKIP PGRI Semarang.

Muzangwa, Jonatan dan Peter Chifamba. 2012. Analysis Of Errors And Misconceptions In The

Learning Of Calculus By Undergraduate Students. Journal: Acta Didactika Napocensia,

Volume 2, Number 5. Diakses pada 27 Maret 2014 dari alamat

http://dppd.ubbcluj.ro/adn/article_5_2_1.pdf,

Pratiwi, Endah Dwi. 2013. “Penerapan Pendekatan Model Eliciting Activities (MEAs) untuk

Meningkatkan Kemampuan Representasi Siswa SMP”. Skripsi tidak diterbitkan. Bandung:

UPI.

Rosengrant, D, et. al. 2005. An Overview of Recent Research on Multiple Representations. Diakses pada

7 Januari 2014 dari alamat http://paer.rutgers.edu/ScientificAbilities/

Downloads/Papers/DavidRosperc2006.pdf,

Soedjadi, R. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Wiryanto. 2012. “Representasi Siswa Sekolah Dasar dalam Pemahaman Konsep Pecahan”. Makalah

disajikan dalam Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, FMIPA UNY,

Yogyakarta, 10 November. Diakses pada 8 Januari 2014 dari alamat

http://eprints.uny.ac.id/10112/1/P%20-%20100.pdf.

Page 140: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

140

PENGEMBANGAN PORTOFOLIO ASESSMENT PADA PEMBELAJARAN

MATA KULIAH GEOMETRI PGSD: PEGANGAN GURU

Murni1, Burhanuddin AG2

1 Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh

Email: [email protected]

2 Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh

Abstrak. Dalam memahami kosep-konsep, geometri di PGSD dianggap mata kuliah yang

paling sulit. Hal ini terjadi karena geometri dianggap mempunyai tingkat kesulitan yang

tinggi dan sulitnya penyesuaian mahasiswa PGSD dengan pembelajaran yang ada di

dunia barunya yaitu universitas. Selain itu, penilaian dosen juga dianggap lebih

menitikberatkan pada aspek kognitif saja. Oleh karena itu, perlu adanya penilaian yang

dapat mengembangkan kesuluruhan aspek (kognitif, afektif, psikomotorik, dan

emosional) yaitu authentic assessment dengan portofolio. Target khusus dalam

penelitian ini adalah: (1) dapat menghasilkan instrumen Portopolio Asessment pada

Pembelajaran Giometri yang dilengkapi dengan silabus dan kontrak perkuliahan; (2)

Buku Panduan Mahasiswa; (3) Lembar Kerja Mahasiswa; (4) Buku Pegangan Guru SD dalam pembelajaran Giometri SD; (5) Jurnal Internasional; (6) Jurnal Nasional; (7)

Workshop Guru SD Aceh Besar Penelitian ini dilakukan dengan sampelnya yaitu

mahasiswa PGSD di Universitas Serambi Mekkah, karena diharapkan nantinya mereka

dapat mempraktekannya langsung untuk siswa-siswinya di SD yang merupakan level

awal khususnya dalam mempelajari geometri (Tujuan Jangka Panjang).

Pengembangan penelitian ini dilakukan mengikuti 5 (lima) tahapan pengembangan

Plomp yang dimodifikasi dengan memadu tahapan pengembangan material (produk) oleh

Nieveen dengan memperhatikan 3 aspek kualitas, yakni aspek kevalidan, aspek

kepraktisan, dan aspek keefektifan (Metode). Sehingga diharapkan mendapat suatu

penilaian geometri yang menilai keseluruhan aspek.

Kata Kunci: assessment, portofolio, geometri, PGSD, Pembelajaran Matematika

1. Pendahuluan

Latar belakang

Mata kuliah Geometri merupakan salah satu mata kuliah yang sangat penting dan fundamental dalam

membentuk kemampuan matematika bagi mahasiswa S-1 PGSD. Penting, karena beberapa konsep dan

prinsip yang ada di geometri teraplikasi secara sederhana dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam

konteks pengembangan ilmu lainnya. Fundamental, karena hampir semua konsep yang diajarkan di

mata kuliah lainnya (mata kuliah lanjut) menggunakan konsep-konsep yang ada di geometri.

Dalam pembelajaran Mata Kuliah Geometri di S-1 PGSD, mahasiswa atau calon guru harus mampu

memahami konsep-konsep geometri, mulai dari pengenalan geometri dari kurva, garis sejajar, segitiga,

segiempat, dan lingkaran serta dapat membuktikannya dan akhirnya dapat mengaplikasikannya.

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa secara umum mahasiswa merasa kesulitan dalam

memahami konsep-konsep geometri. Hal ini terlihat dari nilai geometri yang rata-rata mahasiswa

dengan nilai kurang memuaskan (tiap tahun, rata-rata IPK yang menempuh mata kuliah ini, kurang dari

3). Dugaan sementara, (1) konsep yang ada di geometri mempunyai tingkat kesulitan yang agak tinggi,

(2) adanya kekagetan mahasiswa, terutama kaitannya dengan sistem belajar di SMA dan di PT, dan (3)

cara penilaian dosen yang lebih menitikberatkan pada pemahaman konsep secara kognitif, dan kurang

memperhatikan aspek afektif dan psikomotorik. Khusus point (3), perlu adanya penerapkan suatu

penilaian (assessment) yang lebih mengukur kemampuan mahasiswa secara komprehensif yang disebut

dengan authentic assessment yang dalam pelaksanaannya menggunakan portofolio. Penggunaan

authentic assessment ini bertujuan untuk mengembangkan keseluruhan aspek (kognitif, afektif,

psikomotor, dan emosional mahasiswa).

Page 141: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

141

Authentic assessment didesain untuk lebih menggiatkan para mahasiswa agar mampu menguasai dan

mendemonstrasikan pengalaman belajar dan mengaplikasikannya di sekolah dasar. Ide penerapan

model assessment ini adalah ingin meninggalkan assessment tradisional yang biasa digunakan pendidik,

karena dipandang kurang relevan dengan kondisi riil peserta didik. Oleh karena itu, para pendidik

ditantang untuk mampu mengidentifikasi bagaimana cara mahasiswa dalam mendemonstrasikan

pengalaman belajarnya secara tepat, dan mereka harus mampu memilih standar penilaian yang cocok

(adekuat) dalam mengakses performance mahasiswa (Savage and Amstrong, 1996), seperti yang

diamanatkan oleh kurikulum tahun 2013.

Dengan mengimplementasikan authentic assessment, diharapkan para peserta didik (Calon Guru

Sekolah Dasa) dapat mendemonstrasikan beberapa kemampuan sesuai dengan pengalaman hidup yang lebih riil dan lebih komprehensif. Fokus yang diakses tidak hanya aspek kognitif tingkat tinggi saja

tetapi juga aspek afektif dan keterampilan (Borich, 1994). Oleh sebab itu, authentic assessment tidak

hanya berfungsi untuk mengakses kemampuan dalam menghafal informasi, bentuk-bentuk konsep,

generalisasi dan problem solving saja, tetapi juga meliputi kebiasaan berfikir, bersikap dan keterampilan

sosial. Misalnya aktivitas peserta didik dalam diskusi, groupwork, fieldwork, observasi di lapang,

interaksi antar mahasiswa, dan pekerjaan mahasiswa. Semua itu akan dapat terdeteksi dengan mudah

melalui performance assessment. Dalam penelitian ini, penilaian diarahkan pada penilaian portofolio.

Penilaian portofolio merupakan penilaian secara berkesinambungan dengan metode pengumpulan

informasi atau data secara sistematik atas hasil pekerjaan mahasiswa dalam waktu tertentu (Yasin,

2002:64). Penilaian portofolio juga dianggap sebagai salah satu jenis assessment authentic (Karim,

2004:3). Hal ini dikarenakan penilaian portofolio dapat menilai mahasiswa secara authentic. Artinya, tugas-tugas yang diberikan kepada mahasiswa (serta terkumpul dalam map) terkait dengan penilaian

portofolio dapat bermakna dan sesuai dengan kedaan mahasiswa yang sebenarnya. Melalui portofolio,

kemampuan berfikir mahasiswa dapat diketahui. Hal ini dapat dilakukan dosen dengan melihat map

mahasiswa yang berisi hasil kerja mahasiswa, ide-ide yang ditulis, konsep yang diperoleh, atau hasil

kerja mahasiswa ketika menyelesaikan masalah. Dengan demikian diharapkan dosen dapat menilai

mahasiswa baik dari segi proses belajar maupun hasil belajar.

Urgensi (keutamaan) penelitian

Kebijakan penilaian (assessment) merupakan bagian dari reformasi Sistem Pendidikan Nasional

sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, yang dalam

pelaksanaannya diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional

Pendidikan. Penilaian (assessment) adalah istilah umum yang mencakup semua metode yang biasa

digunakan untuk menilai unjuk kerja individu atau kelompok peserta didik. Proses penilaian mencakup

pengumpulan bukti yang menunjukkan pencapaian belajar peserta didik. Penilaian merupakan suatu

pernyataan berdasarkan sejumlah fakta untuk menjelaskan karakteristik seseorang atau sesuatu (Angari,

2005). Penilaian juga diartikan sebagai kegiatan menafsirkan data hasil pengukuran atau kegiatan untuk

memperoleh informasi tentang pencapaian kemajuan belajar peserta didik.

Portofolio adalah kumpulan dokumen dan karya-karya peserta didik dalam bidang tertentu yang diorganisasikan untuk mengetahui minat, perkembangan prestasi, dan kreativitas peserta didik. Bentuk

ini cocok untuk mengetahui perkembangan unjuk kerja peserta didik dengan menilai bersama karya-

karya atau tugas-tugas yang dikerjakannya. Peserta didik dan pendidik perlu melakukan diskusi untuk

menentukan skor penilaian. Perkembangan kemampuan peserta didik dapat dilihat pada hasil penilaian

portofolio. Sistem penilaian meliputi kegiatan perancangan dan pelaksanaan penilaian, analisis dan

tindak lanjut hasil penilaian, serta pelaporan penilaian. Mekanisme penilaian hasil belajar peserta

didik digambarkan pada bagan berikut:

Bagan 1. Mekanisme Penilaian

Perencanaan

Penilain Pelaksanaan

Penilaian Analisis Hasil

Penilaian

Pelaporan Hasil

Penelitian

Tindak Lanjut Hasil

Penilaian

Page 142: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

142

Inovasi yang ditargetkan dalam penelitian ini adalah: a) Bagi dosen, sebagai bahan pertimbangan dalam perkuliahan untuk pemilihan strategi dan

portofilio assessment sehingga dapat menumbuhkan motivasi dan semangat belajar bagi

mahasiswa PGSD untuk memperoleh hasil belajar yang lebih baik,

b) Bagi guru SD, dapat dijadikan sebagai pegangan dalam mengajar materi Geometri,

c) Bagi lembaga, sebagai bahan informasi yang dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan dan

dalam penerapan kurikulum 2013 di Program Studi Pendidikan Matematika FKIP, d) Bagi mahasiswa PGSD, semakin mengetahui dan menyadari bahwa aspek penilaian tidak hanya

unsur kognitif, melainkan juga aspek psikomotorik dan afektif.

2. Tinjauan Pustaka

Assessment

(1) Pengertian assessment. Pengertian assessment Shrock dan Coscarelli (dalam Karim, 2004:1)

adalah ”Suatu proses pengumpulan informasi yang dilakukan secara sistematik tanpa

memperhatikan pada suatu keputusn tentang nilai”. Assessment juga diartikan sebagai proses

pengumpulan data yang dapat memberikan gambaran tentang perkembangan belajar peserta didik

(Depdiknas, 2005). Selain itu, Karim (2004:1) mengatakan bahwa, assessment merupakan

kegiatan yang terintegrasi dengan pembelajaran. Maksudnya, penilaian yang dilakukan merupakan

bagian dari proses pembelajaran yang bertujuan untuk mengetahui berhasil atau tidaknya proses

pembelajaran yang telah dilakukan oleh pendidik.

(2) Assessment dalam pembelajaran. Dalam kaitannya dengan pembelajaran, Hart (dalam Karim,

2004:1) menyatakan bahwa: ”Assessment merupakan suatu proses yang diketahui dan apa yang

dapat dikerjakan peserta didik”. Selanjutnya, Hart (dalam Karim, 2004:1) juga menegaskan bahwa

dalam pengumpulan informasi tentang belajar dapat dilakukan dengan cara melakukan tes, mengobsevasi peserta didik ketika sedang belajar, serta mewawancarai atau memeriksa produk

hasil kerja peserta didik. Dengan kata lain, assessment dalam pembelajaran harus berupa interaksi

antara pengajar dan peserta didik.

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa assessment merupakan suatu

proses mengumpulkan informasi tentang belajar peserta didik dan memperoleh gambaran hasil

belajar, berdasarkan informasi-informasi yang terkumpul.

Menurut Kahfi (2005:4), ada beberapa kriteria yang perlu diperhatikan dalam assessment antara

lain: (a) Assessment/penilaian harus mencakup tiga aspek, yaitu: pengetahuan, keterampilan, dan

sikap; (b) menggunakan berbagai cara assessment pada waktu kegiatan pembelajaran sedang

berlangsung, misalnya: mendengarkan, observasi, mengajukan pertanyaan, mengamati hasil kerja

, dan memberikan tes; (c) pemilihan cara dan bentuk penilaian berdasarkan tuntutan kompetensi dasar; (d) mengacu kepada tujuan dan fungsi penilaian, misalnya pemberian umpan balik,

pemberian informasi kepada mahasiswa tentang tingkat keberhasilan belajarnya, memberikan

laporan kepada orang tua; (e) bersifat memilih-milih yang berhasil dan yang gagal dalam

menerima pelajaran. Dalam pembelajaran, ada beberapa bentuk penilaian yang dapat di gunakan

dosen untuk mengumpulkan informasi berhubungan dengan proses dan hasil belajar . Penilaian

tersebut antara lain: penilaian tertulis, produk, unjuk kerja, proyek, dan portofolio (Kahfi,

2005:25).

(3) Assessment authentic. Menurut Karim (2004:1), assessment authentic adalah penilaian

dengan melibatkan dalam menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki.

Karim (2004:1) menegaskan bahwa suatu penilaian dikatakan authentic apabila tugas-tugas

yang diberikan sesuai, berarti dan bermakna bagi, istilah lain tentang assessment authentic

merupakan penilaian yang mengukur kemampuan peserta didik yang mencakup aspek-

aspek yang luas. Aspek-aspek tersebut antara lain berupa aspek minat belajar, pemahaman

konsep matematika, penyelesaian masalah melalui kerja kelompok, dan kreatifitas dalam

mengembangkan kemampuan matematika.

Dengan kata lain, Assessment authentic merupakan penilaian yang mengukur kemampuan

mahasiswa dimana tugas-tugas yang diberikan menantang mahasiswa agar dapat mengembangkan

kemampuan dan meningkatkan pengetahuan pada kondisi yang bermakna. Assessment authentic

memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (a) mengukur semua aspek pembelajaran, yang terdiri dari

Page 143: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

143

proses, kinerja, dan produk; (b) dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran

berlangsung; (c) menggunakan berbagai cara dan berbagai sumber dalam proses penilaiannya; (d)

tes hanya sebagai salah satu alat pengumpul data penilaian; (e) tugas-tugas yang diberikan kepada

peserta didik harus mencerminkan bagian-bagian kehidupan peserta didik sehari-hari, mereka

harus dapat menceritakan pengalaman atau kegiatan yang mereka lakukan setiap hari; (f) penilaian

harus menekankan pada kedalaman pengetahuan dan keahlian mahasiswa, bukan keluasannya

(kuantitatif).

Menurut Johnson (2002:166), terdapat empat jenis assessment authentic yang dapat digunakan

dalam pembelajaran yaitu portofolio, assessment kinerja (performance assessment), proyek, dan

evaluasi diri oleh mahasiswa. Perlu ditegaskan bahwa keenam tipe assessment tersebut tidak bersifat satu kesatuan, tetapi saling melengkapi satu dengan yang lain. Karena itu, dalam tulisan

ini dari beberapa tipe assessment di atas, penulis lebih memfokuskan pada penggunaan assessment

portofolio. Misalnya, pada penggunaan penilaian portofolio dalam penelitian pembelajaran

giometri, dapat menyertakan laporan proyek, jurnal belajar, rangkuman materi yang sudah

dijelaskan, pekerjaan rumah, latihan soal, keaktifan mahasiswa dalam pembelajaran, nilai kuis,

dan nilai ulangan harian.

(4) Pengertian portofolio. Secara etimologis, portofolio berdasar dari dua kata yaitu report yang

berarti laporan dan folio berarti penuh atau lengkap. Jadi portofolio berarti laporan lengkap tentang

segala aktifitas mahasiswa yang berkaitan dengan kegiatan pembelajaran yang diikutinya.

Portofolio merupakan kumpulan karya (hasil kerja) seorang mahasiswa dalam satu priode tertentu.

Kumpulan karya ini dapat berbentuk tugas-tugas yang dikerjakan mahasiswa, jawaban mahasiswa atas pertanyaan dosen, catatan hasil observasi dosen, catatan hasil wawancara dosen dengan

mahasiswa, laporan kegiatan mahasiswa dan karangan atau jurnal yang dibuat mahasiswa.

(5) Jenis-jenis portofolio. Menurut Pheeny (dalam Susilo & Zubaidah, 2004:1), ada tiga jenis

portofolio yang dapat digunakan sebagai assessment/penilaian portofolio yaitu: (a) Portofolio

Proses (Working): Portofolio proses berisi karya mahasiswa yang sedang dalam perkembangan,

dapat berisi hasil usaha terbaik dan terjelek mahasiswa. Umumnya portofolio proses tidak

langsung dievaluasi tetapi dapat digunakan untuk mengakses strategi pembelajaran yang akan

datang dan mereview kemajuan mahasiswa dalam waktu tertentu; (b) Portofolio Hasil kerja (Show

Case) : Portofolio Hasil kerja berisi hasil kerja akhir (makalah, laporan proyek, dan contoh-contoh

dari upaya terbaik) yang merefleksikan upaya terbaik mahasiswa. Dalam memilih hasil akhir

dalam portofolio, hasil kerja ini dapat ditentukan sepenuhnya oleh dosen tetapi seringkali

mempertimbangkan masukan dari mahasiswa. (c) Portofolio Penilaian (Evaluative) : Portofolio

penilaian berisi semua hasil catatan yang diperlukan oleh dosen untuk mengevaluasi mahasiswa dan berisi hasil karya terbaik mahasiswa. Pada akhir semester atau akhir waktu penyusunan

portofolio, mahasiswa diminta untuk mengubah suatu portofolio proses menjadi portofolio hasil

kerja (dengan memilih karya terbaik dan membuang karya yang kurang memuaskan), sehingga

pada gilirannya portofolio tersebut dapat dijadikan portofolio penilaian dengan menambahkan

kelengkapan lainnya termasuk hasil refleksi diri mahasiswa.

Portofolio assessment

Dalam penerapan pada pembelajaran, portofolio dapat digunakan untuk mendokumentasikan

perkembangan belajar, melihat kemajuan belajar, sikap, keterampilan, dan ekspresinya mahasiswa terhadap sesuatu. Hal tersebut dilakukan karena menyadari proses belajar sangat penting untuk

keberhasilan hidup (Rusoni, 2002:l1). Dengan demikian, assessment portofolio menurut (Yasin,

2002:64) merupakan penyempurnaan dan pengembangan dari portofolio dengan mempertimbangkan

langkah-langkah yang dipakai dalam merencanakan, mengumpulkan dan menganalisis data yang

terkumpul melalui portofolio. Pelaksanaan assessment portofolio mensyaratkan kejujuran mahasiswa

dalam melaporkan rekaman belajarnya, dan kejujuran dosen dalam menilai kemampuan mahasiswa

sesuai dengan kriteria yang telah disepakati. Dengan kata lain dosen harus mampu menunjukkan

pentingnya laporan yang jujur dari mahasiswa.

Beberapa karakteristik assessment portofolio (Yasin, 2002:64): (a) Komprehensif adalah dalam menilai

hasil pekerjaan, assessment portofolio menggunakan teknik assessment formal dan informal; memfokuskan tidak hanya pada produk (hasil) tetapi juga proses pembelajaran, berusaha memahami

Page 144: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

144

perkembangan bahasa pembelajaran dalam kebahasaan, kognitif, metakognitif, dan aspek afektif, terdiri

dari masukan yang berasal dari dosen/guru, pembelajar dan tujuan belajar, dan menekankan pada

pengembangan akademik disamping pengembangan formal; (b) Terencana dan sistematisadalah

Assessment portofolio direncanakan dengan matang sebelum melaksanakannya; anggota tim portofolio

menyusun aturan portofolio, isi portofolio, jadwal pengumpulan data dan kriteria kinerja pembelajaran,

serta assessment portofolio haruslah mempunyai tujuan yang jelas; (c) Informatif adalah Informasi yang

diperoleh dari penilaian portofolio harus bermakna bagi dosen, pembelajar, dan orang tua. Informasi

tersebut berguna untuk penyesuaian pengajaran dan kurikulum terhadap kebutuhan pembelajaran, serta

merupakan mekanisme umpan balik bagi dosen dan mahasiswa dalam mengevaluasi pembelajaran yang

telah dilakukan (d) Terpola adalah Assessment portofolio terpola sesuai tujuan yang akan dicapai model

assessment, tujuan pembelajaran, dan kebutuhan penilaian kegiatan pembelajaran; (e) Authentic Adalah Informasi yang terkumpul didasarkan pada tugas-tugas yang diberikan terkait dengan kegiatan

mahasiswa, serta berarti bagi mahasiswa. Dalam menyelesaikan tugas yang diberikan dosen, mahasiswa

berusaha meningkatkan kemampuannya dalam berbahasa yang lebih komunikatif dan fungsional dari

pada kemampuan terpisah-pisah.

Penerapan portofolio assessment dalam pembelajaran geometri

Bentuk-bentuk assessment portofolio adalah berupa catatan anekdotal, yaitu berupa lembaran

khususnya selama berlangsung proses pembelajaran. Lembaran ini memuat identitas yang diamati,

waktu pengamatan, dan lembar rekaman kejadiannya, yang meliputi kognitif, afektif, dan psikomotor.

Catatan anekdotal dalam assessment portofolio terdiri dari jurnal belajar harian, lembar kerja mahasiswa, rangkuman materi yang sudah dijelaskan, pekerjaan rumah, proyek, latihan soal, kuis,

ulangan harian, dan refleksi akhir pembelajaran dan aktivitas mahasiswa.

(1) Jurnal Belajar Harian. Jurnal belajar yang dibuat mahasiswa merupakan salah satu tugas yang

harus dikerjakan mahasiswa pada waktu pembelajaran Geometri. Kegiatan ini dilaksanakan 10 atau

15 menit diakhir pembelajaran. Jurnal belajar harian mahasiswa berisi tentang: (a) pengalaman

belajar pada waktu mengikuti perkuliahan, (b) uraian tertulis materi yang telah dipahami setelah

mengikuti pembelajaran, dan (c) uraian tertulis materi yang belum dipahami serta bagaimana

mahasiswa mengatasi kesulitan yang dialami;

(2) Lembar Kerja Mahasiswa (LKM).Untuk menunjang aktifitas pembelajaran digunakan lembar

kerja mahasiswa (LKM). LKM digunakan pada saat melakukan diskusi kelompok. LKM

digunakan dosen untuk membimbing mahasiswa dalam menelusuri penyelesaian masalah dan mendalami konsep yang dipelajari;

(3) Rangkuman Materi. Rangkuman materi merupakan catatan-catatan singkat yang ditulis

mahasiswa dan berisi tentang materi yang sudah diajarkan. Tugas ini dikerjakan mahasiswa di luar

jam perkuliahan. Hal ini bertujuan agar mahasiswa mempelajari materi yang telah didiskusikan di

kelas dengan menuliskan kembali materi dan contoh soal yang diperoleh dengan bahasa sendiri.

Rangkuman materi yang telah dibuat juga bertujuan untuk penekanan inti pembelajaran serta

refleksi dosen untuk mengetahui sejauh mana pemahaman mahasiswa terhadap materi Geometri.

Di akhir waktu pada saat pengumpulan/pemeriksaan portofolio, rangkuman materi yang di miliki

mahasiswa dikumpulkan sebagai bukti portofolio;

(4) Pekerjaan Rumah (PR). Tugas pekerjaan rumah (PR) diberikan pada saat pembelajaran berakhir

yang dikerjakan di rumah sebagai tugas individu. Tugas pekerjaan rumah (PR) dikumpulkan pada pertemuan berikutnya, dinilai, dan diberi komentar serta pembetulan oleh dosen. Setelah itu

diberikan kembali kepada mahasiswa untuk direfleksi dan dikumpulkan sebagai bukti portofoli;

(5) Proyek. Proyek adalah suatu metode atau suatu cara mengajar yang memberikan kesempatan pada

anak didik untuk menggunakan unit-unit kehidupan sehari-hari sebagai bahan pelajarannya. Proyek

bertujuan agar anak didik tertarik untuk belajar. Proyek yang diberikan dosen digunakan untuk

meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam menyelesaikan soal-soal yang bervariatif. Dengan

memberikan proyek, mahasiswa diharapkan dapat menerapkan materi dikehidupannya serta

menyelesaikan masalah secara bertahap. Laporan proyek yang telah diselesaikan dikumpulkan

sebagai bukti portofolio;

(6) Latihan Soal. Latihan soal yang diberikan untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam

menyelesaikan soal-soal yang bervariasi. Mahasiswa bebas menentukan soal yang akan

diselesaikan, dengan syarat sesuai dengan materi yang dipelajari dan sesuai indikator yang harus dicapai. Latihan soal yang telah diselesaikan dikumpulkan sebagai bukti portofolio;

Page 145: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

145

(7) Kuis. Kuis merupakan salah satu bentuk tes yang diberikan dosen kepada mahasiswa setelah

pembelajaran dilaksanakan. Pemberian kuis dilaksanakan 20 atau 15 menit di akhir pembelajaran.

Tujuan pemberian kuis adalah untuk mengetahui sejauh mana mahasiswa menguasai materi yang

diajarkan pada pertemuan tersebut. Kemudian hasil kuis dikoreksi, dinilai oleh dosen. Pada

pertemuan berikutnya hasil kuis diberikan kembali kepada mahasiswa untuk direfleksi dan

dikumpulkan sebagai bukti portofolio;

(8) Ulangan Harian. Untuk persiapan ulangan harian, dosen memerlukan beberapa soal. Soal

dilengkapi dengan kunci jawaban dan pedoman penskoran. Kunci jawaban tertulis terpisah dari

lembaran tes. Hudojo (2001:266) mengatakan bahwa dalam mempersiapkan tes, harus

memperhatikan beberapa faktor penting, yaitu: (a) setiap soal harus dihubungkan dengan indikator

yang telah dirumuskan, (b) setiap soal harus benar secara matematis, dan (c) setiap soal harus benar secara teknis. Soal tersebut harus dinyatakan dengan benar dan mempunyai jawaban tertentu.

Selain faktor di atas, dalam menyusun tes harus mempertimbangkan alokasi waktu, bentuk soal, dan

jumlah soal. Tujuan pemberian ulangan harian adalah untuk mengetahui sejauh mana mahasiswa

menguasai materi yang didiskusikan pada pertemuan tersebut; (8) Refleksi Akhir Pembelajaran:

Refleksi akhir pembelajaran merupakan salah satu tugas yang harus dibuat mahasiswa setelah

mahasiswa menerima materi secara keseluruhan. Refleksi akhir pembelajaran berisi tentang: (a) uraian

tertulis mengenai semua materi yang telah dipelajari; (b) uraian tertulis tentang hal terpenting yang telah

dipelajari selama proses pembelajaran Geometri; (c) uraian tertulis tentang hal yang paling istimewa

yang telah dipelajari selama proses pembelajaran, dan (d) uraian tertulis tentang hal yang ingin dipelajari

di masa yang akan datang.

3. Metode Penelitian

Pengembangan instrumen authentic assessment

Pengembangan dilakukan mengikuti 5 (lima) tahapan pengembangan Plomp yang dimodifikasi dengan

memadu tahapan pengembangan material (produk) oleh Nieveen dengan memperhatikan 3 aspek

kualitas, yakni aspek kevalidan, aspek kepraktisan, dan aspek keefektifan.

(1) Tahap Investigasi Awal

Untuk tahap ini dilakukan identifikasi dan kajian terhadap materi Geometri, analisis kondisi

mahasiswa, analisis konsep, analisis tugas dan penetapan kriteria kinerja yang akan dicapai melalui

pembelajaran Geometri. Kelima kegiatan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Analisis

ujung depan; (2) Analisis mahasiswa; (3) Analisis materi; (4) Analisis tugas, dan (5) Spesifikasi

kompetensi

(2) Tahap Perancangan (Desain)

Kegiatan yang dilakukan dalam perancangan instrumen ini adalah memilih format yang akan

dipergunakan. Langkah selanjutnya adalah: (1) Penyusunan silabus dan kontrak perkuliahan

Geometri.Dasar dari penyusunan rencana pembelajaran adalah komponen-komponen model

(sintaks, sistem sosial, prinsip reaksi, sistem pendukung, dan dampak instruksional dan dampak

pengiring), analisis tugas dan analisis topik yang dijabarkan berdasarkan materi pembelajaran untuk

mencapai sub-sub kompetensi yang ditetapkan; (2) Pemilihan media (LKM) dan (BPM)

(3) Tahap Realisasi (Konstruksi)

Tahapan ini sebagai lanjutan kegiatan pada tahap perancangan. Pada tahap ini dihasilkan prototipe

1 (awal) sebagai realisasi hasil perancangan sebelumnya. Hasil-hasil konstruksi diteliti kembali

apakah kecukupan teori-teori pendukung model telah dipenuhi dan diterapkan dengan baik pada

setiap komponen-komponen model sehingga siap diuji kevalidannya oleh para ahli dan praktisi dari

sudut rasional teoritis dan kekonsistenan konstruksinya.

(4) Tahap Tes dan Evaluasi, dan Revisi

Kegiatan yang dilakukan pada waktu memvalidasi instrumen portofolio assessment untuk mata

kuliah Geometri adalah sebagai berikut:

Page 146: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

146

1. meminta pertimbangan ahli dan praktisi tentang kelayakan portofolio assessment untuk mata

kuliah Geometri (pada prototipe 1) yang telah direalisasikan. Untuk kegiatan ini diperlukan

instrumen berupa lembar validasi yang diserahkan kepada validator,

2. melakukan analisis terhadap hasil validasi dari validator. Jika hasil analisis menunjukkan: (a)

valid tanpa revisi, maka kegiatan selanjutnya adalah uji coba lapangan (pelaksanaan

pembelajaran); (b) valid dengan sedikit revisi, maka kegiatan selanjutnya adalah merevisi

terlebih dahulu, kemudian langsung uji coba lapangan; (c) tidak valid, maka dilakukan

revisi sehingga diperoleh prototipe baru. Kemudian kembali pada kegiatan (1), yaitu meminta

pertimbangan ahli dan praktisi. Di sini ada kemungkinan terjadi siklus (kegiatan validasi secara

berulang) untuk mendapatkan model yang valid.

Pelaksanaan pembelajaran geometri dengan menggunakan instrumen portofolio assessment

Pelaksanaan pembelajaran ini dilakukan bertujuan untuk melihat sejauh mana kepraktisan dan

keefektifan penggunaan instrumen dalam pembelajaran. Berdasarkan hasil ujicoba lapangan dan

analisis data hasil ujicoba dilakukan revisi. Adapun kegiatan yang dilakukan adalah (1) melakukan

analisis terhadap data hasil pelaksanaan pembelajaran, dan (2) melakukan perbaikan instrumen

berdasarkan hasil analisis data hasil pelaksanaan.

4. Kesimpulan

Berdasarkan temuan-temuan dan hasil analisis data, dari sini dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.

1. Berdasarkan data persepsi dan pengalaman pakar dapat disimpulkan bahwa pengembangan

Portofolio Asessment pembelajaran Giometri yang dikembangkan dapat diterapkan secara praktis

dan efektif dalam pelaksanaan pembelajaran di PGSD dengan menggunakan perangkat

pembelajaran yang disediakan. 2. Pada Tahun Pertama Luaran yang dihasilkan perangkat pembelajaran pendukung dalam

pelaksanaan pembelajaran Portofolio Asessment kompetensi "Giometri" PGSD yang memenuhi

kriteria kevalidan, kepraktisan, dan keefektifan. Perangkat pembelajaran terdiri dari (1) Silabus dan

Kontrak Perkuliahan (2) Buku Panduan Mahasiswa (3) Lembar Kerja Mahasiswa (4) Rancangan

Naskah Buku Pegangan Guru SD dan (5) Jurnal Nasional (6 ) Naskah Jurnal Internasional.

3. Pada Tahun Kedua Target Luaran yang dihasilkan penyempurnaan (1) Silabus dan Kontrak

Perkuliahan (2) Buku Panduan Mahasiswa (3) Lembar Kerja Mahasiswa (4) Naskah Buku

Pegangan Guru SD (5) Jurnal Nasional (6 ) Proses Jurnal Internasional.

4. Pada Tahun Ketiga Target Luaran yang dihasilkan penyempurnaan (1) Silabus dan Kontrak

Perkuliahan (2) Buku Panduan Mahasiswa (3) Lembar Kerja Mahasiswa (4) Naskah Buku

Pegangan Guru SD (5) Jurnal Nasional (6) Jurnal Internasional. 5. Pelaksanaan pembelajaran Pengembangan Portofolio Asessment Pada Pembelajaran kompetensi

"Giometri" dapat meningkatkan hasil belajar mahasiswa dan mahasiswa semakin mengetahui

dan menyadari bahwa aspek penilaian tidak hanya unsur kognitif, melainkan juga aspek

psikomotorik dan afektif.

Daftar Pustaka

Akker, d. v. J., Branch, M.R., Gustafson, K., Nieveen, N., and Plompt, T. (1999). Design Approaches

and Tools in Education and Training. Dordrecht/Boston/London: Kluwer Academic

Publishers.

Angari, Angie Siti. (2005). Rubrik sebagai salah satu alat assessment. Makalah disajikan dalam

Seminar Nasional Pendidikan Matematika, Himpunan Matematika Indonesia Bekerjasama

dengan SBI MADANIA Parung, Bogor, 9-11 April.

Borich D, G. (1992). Effective Teaching Method. New Jersey: Prentice Hall Inc.

Page 147: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

147

Borich, G.D. (1994). Observation Skills for Effective Teaching. New York: Macmillan Publishing

Company.

Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan Tinggi Direktorat

Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas. (2005). Pengembangan Sistem Assessment Berbasis

Kompetensi, Buku I Pedoman Umum. Jakarta: Dirjen Dikti.

Doolittle, P.E. & Camp, G.W. (1999). Constructivism: The Career and Technical Education

Perspective. Journal of Vocational and Technical Education. Volume 16, Number 1, Fall 1999.

Diakses pada 4 Januari 2006 dari alamat http://scholar.lib.vt.edu/ejournals/

JVTE/v16n1/doolitle.pdf

Grinnell, Jr, R.M. (1988). Social Work Research and Evaluation (Third Edition) Illionis: F.E. Peacock

Publisher Inc.

Grounlund, N.E. (1982). Constructing Achievement Test, (Third Edition). Englewood Cliff: Printice-

Hall.

Johnson, E.B. (2002). Contextual Teaching and Learning, what it is and why it’s here stay. California:

Corwin Press, Inc.

Hudojo, Herman. (2001). Mengembangkan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Jurusan

Pendidikan Matematika: FMIPA UM Malang

Kahfi, Muhammad, Shohibul. (2005). Panduan Belajar Mengembangkan Perangkat Pembelajaran

Maetematika dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi. Malang. FMIPA UM.

Karim, Muchtar Abdul. (2004). Assessment Authentic dalam Pembelajaran Matematika di Sekolah.

Makalah Disajikan dalam Seminar Dan Worksop Calon Fasilitator Kolaborasi FMIPA UM-

MGMP kota Malang. Malang, 19-20 Maret 2004.

Linn, R.L & Gronlund, N.E. (1995). Measurement and Assessment in Teaching. New Jersey: Prentice

Hall Regent.

McCallum et.al. (1996). Teacher’s Own Assessment: ed. Craft, A “Primary Education Assessing and

Planning Learning”. Routledge.

Plomp, T. (1997). Educational and Training System Design. Enschede, Netherlands: Twente

University.

Reigeluth, C.M. (1996). “What is instructional Design Theory and How is It Changing?”. In Reigeluth,

C.M. (Ed). Instructional design Theories and Models : A New Paradigm of Instructional.

Richey, R. and Nelson. (1996). “Developmental Research”. In Jonassen (Ed) Handbook of Research for

Educational Communications and Technology. New York: Macmillan Simon & Schuster.

Robinson. (1998). Student Portofolio in Mathematics. The Mathematic Theacher.

Rusoni, Elin. (2002). Portofolio dan Pradikma Baru dalam Penilaian Matematika. Diakses pada 5 April

2008 dari alamat http://www.depdiknas.go.id

Savage V. TOM and Amstrong G. David. (1996). Effective Teaching in Elementary Social Studies. New

Jersey: Prentice Hall, Inc.

Setyono, B. (2004). Penilaian Authentic dalam KBK. Jurnal Pengembangan Pendidikan, Vol. 2, No. 4

tahun 2005.

Slavin E, R. (1997). Educational Psychology Theory and Practice. A Viacom Company.

Page 148: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

148

Surapranata, S.& Hatta, M. (2006). Penilaian Portofolio. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Susilo & Subaidah. (2004). Assessment Portofolio dalam Pembelajaran Matematika dan Sain. Makalah

disajikan dalam Seminar dan Workshop Calon Fasilitator Kolaborasi FMIPA UM-MGMP

Kota Malang, Malang, 19-20 Maret 2004.

Yasin, Anas. (2002). Penerapan Model Assessment Portofolio pada Pengajaran Bahasa Inggris.

Gentengkali. Vol, 4, (3 dan 4) : hlm. 64.

Page 149: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

149

KORELASI ANTARA NILAI MATEMATIKA DENGAN EKONOMI PADA

SISWA KELAS X MAN MODEL BANDA ACEH TAHUN PELAJARAN

2013/2014

Musafir Kumar1, Bintang Zaura 2, dan Emilia Mailisa 3

1Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Email: [email protected] 2 Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

3 Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Abstrak. Dalam upaya meningkatkan prestasi balajar ekonomi harus mampu memahami

matematika. Mengingat penguasaan dasar matematika dalam pelajaran ekonomi sangat

perlu dipahami oleh siswa sebagai tindak lanjut dalam memahami konsep matematika,

maka timbul suatu masalah yaitu apakah siswa yang mempunyai nilai tinggi dalam

pelajaran matematika juga akan memperoleh nilai tinggi pada mata pelajaran ekonomi

atau sebaliknya. Sesuai dengan permasalahan tersebut maka penulis memilih judul

“Korelasi Antara Nilai Matematika dengan Ekonomi pada Siswa Kelas X MAN Model Banda Aceh Tahun Pelajaran 2013/2014”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

korelasi antara nilai matematika dengan ekonomi pada siswa kelas X MAN Model Banda

Aceh Tahun Pelajaran 2013/2014. Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini

adalah seluruh siswa kelas X MAN Model Banda Aceh, yang terdiri dari 8 kelas. Sampel

pada penelitian ini adalah 30 siswa kelas X-1 tahun pelajaran 2013/2014 yang dipilih

secara acak dari 8 kelas X yang ada di MAN Model banda Aceh. Untuk mendapatkan data

digunakan instrumen penelitian berupa tes matematika dan tes ekonomi. Tes ini berbentuk

soal uraian (essai) yang masing-masing berjumlah 5 butir soal. Pengolahan data dilakukan

dengan menggunakan analisis regresi linear dan korelasi product moment dari Pearson dan

hipotesis diuji dengan menggunakan statistik uji-t. Hasil analisis didapat persamaan garis

regresi �̂� = 21,465 + 0,704𝑋. Pengujian hipotesis untuk linearitas hubungan menunjukkan bahwa hubungan antara nilai matematika dengan nilai ekonomi pada siswa

kelas X MAN Model Banda Aceh berbentuk linear. Hasil perhitungan korelasi diperoleh

r = 0,787 menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif yang sangat kuat antara nilai

matematika dengan nilai ekonomi siswa kelas X MAN Model Banda Aceh. Hipotesis yang

diuji dengan taraf signifikan α = 0,05 dan dk = 30 – 2 = 28, diperoleh thitung > ttabel yaitu 6,75 > 1,70. Dengan demikian Ha yang berbunyi “ada korelasi yang signifikan antara nilai

matematika dengan ekonomi pada siswa kelas X MAN Model Banda Aceh tahun Pelajaran

2013/2014” diterima.

Kata kunci: korelasi, nilai matematika, nilai ekonomi

1. Pendahuluan

Matematika sebagai salah satu cabang ilmu yang dinilai dapat memberikan kontribusi positif dalam

memacu ilmu pengetahuan dan teknologi. Bantuan matematika sebagai alat untuk mempelajari ilmu

lainnya sangat dominan seperti pada ilmu fisika, kimia, ekonomi, teknik dan sebagainya. Sehubungan

dengan hal ini sriyono (2009:1) mengatakan, “banyak model dan permasalahan ekonomi yang dapat dinyatakan dengan bahasa matematika dan dianalisis dengan teknik matematika”. Hal ini disebabkan

perhitungan yang terdapat dalam ekonomi tanpa memahami matematika akan mengalami kesukaran.

Oleh karena itu pengetahuan tentang matematika sangat dibutuhkan dalam mempelajari ekonomi. Lebih

lanjut sriyono (2009:1) mengatakan, “belajar ekonomi tanpa kemampuan berhitung, terlebih tanpa

penguasaan matematika ekonomi, adalah sangat tidak wajar. Matematika adalah bagian dari alat yang

digunakan untuk analisis”. Dalam kaitannya dengan bidang ekonomi, jika seseorang siswa mampu

memahami konsep matematika, maka siswa tersebut cenderung mengalami hambatan lebih rendah

dalam mengerjakan soal-soal ekonomi.

Ekonomi adalah salah satu cabang ilmu sosial yang memusat pada konsep-konsep kuantitatif, misalnya:

harga, biaya, tingkat upah, investasi, penghasilan, dan laba, maka analisis ekonomi tidak dapat

dilepaskan dari matematika. Lebih lanjut Rosyidi (2004:29) menyatakan, “ilmu ekonomi adalah satu dari antara ilmu-ilmu sosial yang pertama sekali menggunakan metode kuantitatif di dalam analisis-

Page 150: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

150

analisisnya, dan hingga sekarang ini merupakan ilmu yang paling banyak memakai teknik-teknik

matematika dan statistika di kalangan ilmu sosial”. maka timbul suatu masalah yaitu apakah siswa yang

mempunyai nilai tinggi dalam pelajaran matematika juga akan memperoleh nilai tinggi pada mata

pelajaran ekonomi atau sebaliknya. Sesuai dengan permasalahan tersebut maka yang menjadi rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah ada korelasi antara nilai matematika dengan ekonomi pada

siswa kelas X MAN Model Banda Aceh Tahun Pelajaran 2013/2014?”.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara nilai matematika dengan ekonomi pada siswa

kelas X MAN Model Banda Aceh Tahun Pelajaran 2013/2014. Adapun yang menjadi hipotesis dalam

penelitian ini adalah “Terdapat korelasi antara nilai matematika dengan ekonomi pada siswa kelas X

MAN Model Banda Aceh Tahun Pelajaran 2013/2014”.

2. Landasan Teoritis

Karakteristik matematika dan ekonomi

Karakteristik memiliki pengertian bahwa sesuatu objek memiliki ciri-ciri atau kekhasan yang

membedakannya dengan objek yang lain. Adapun karakteristik matematika menurut Soedjadi (2000:13-

18) adalah sebagai berikut: (1) Memiliki objek abstrak yang meliputi fakta, konsep, operasi, dan prinsip;

(2) Bertumpu pada kesepakatan; (3) Berpola pikir deduktif; (4) memiliki simbol yang kosong dalam

arti; (5) Memperhatikan semesta pembicaraan; dan (6) Konsisten dalam sistemnya. Pembelajaran

ekonomi adalah salah satu mata pelajaran yang berangkat dari fakta atau gejala ekonomi yang nyata yang dapat mengembangkan kemampuan berfikir analitis induksi dan deduksi dalam menyelesaikan

masalah baik secara kualitatif maupun kuantitatif dengan menggunakan matematika, untuk memilih

alternatif terbaik dari berbagai alternatif yang tersedia.

Hubungan mata pelajaran matematika dengan ekonomi

Adapun beberapa materi matematika yang berhubungan dengan materi ekonomi menurut Desmizar

(2003:61-301) adalah sebagai berikut:

1. Aplikasi materi fungsi pada materi fungsi permintaan, fungsi penawaran, keseimbangan pasar, pajak,

subsidi dan sebagainya.

2. Aplikasi materi diferensial pada materi elastisitas permintaan, elastisitas penawaran, elastisitas pendapatan, biaya total, biaya rata-rata, biaya marginal, perpajakan dan sebagainya.

3. Aplikasi materi integral pada materi fungsi biaya, fungsi penerimaan, fungsi produksi, fungsi

konsumsi, fungsi tabungan dan lain sebagainya.

4. Aplikasi materi aritmetika sosial pada materi untung, rugi, harga pembelian, harga penjualan, bruto,

tara, netto, diskon, pajak, bunga dan lain sebagainya.

Berdasarkan uraian di atas, maka jelas ada hubungan antara pelajaran matematika dan ekonomi. Hal ini

disebabkan perhitungan yang terdapat dalam ekonomi tanpa memahami matematika akan mengalami

kesukaran. Oleh karena itu pengetahuan tentang matematika sangat dibutuhkan dalam mempelajari ekonomi. Lebih lanjut Sriyono (2009:1) mengatakan, “Belajar ekonomi tanpa kemampuan berhitung,

terlebih tanpa penguasaan matematika ekonomi, adalah sangat tidak wajar. Matematika adalah bagian

dari alat yang digunakan untuk analisis”. Dalam kaitannya dengan bidang ekonomi, jika seseorang siswa

mampu memahami konsep matematika, maka siswa tersebut cenderung mengalami hambatan lebih

rendah dalam mengerjakan soal-soal ekonomi. Oleh karena itu jelas bahwa matematika sangat berperan

penting dalam ilmu sosial lainnya seperti ekonomi. Peranan itu semakin bertambah luas dan dalam

dengan diterbitkannya berbagai buku-buku tentang matematika ekonomi. Widodo (2005:1)

mengatakan: “Di dalam matematika ekonomi, matematika digunakan sebagai salah satu pendekatan

(approach) untuk menerangkan atau menganalisis hubungan variabel-variabel ekonomi”. Matematika

berkaitan dengan sesuatu yang dapat dihitung atau sesuatu yang dinyatakan dalam bentuk kuantitas

(jumlah). Banyak sekali variabel-variabel (konsep) ekonomi yang bisa dikuantifikasikan seperti harga barang, jumlah barang yang diminta, jumlah barang yang ditawarkan, jumlah uang beredar, suku bunga,

pendapatan nasional, dan lain-lain.

Page 151: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

151

Uraian materi matematika

1. Menyusun Persamaan Kuadrat

Menyusun persamaan kuadrat yang akar-akarnya mempunyai hubungan dengan akar-akar

persamaan kuadrat lainnya dapat disusun dengan cara menggunakan rumus jumlah (𝑥1 + 𝑥2 =

− 𝑏𝑎⁄ ) dan hasil kali (𝑥1 × 𝑥2 = 𝑐

𝑎⁄ ) akar-akar persamaan kuadrat. Untuk menyusun persamaan

kuadrat, kita menggunakan rumus 𝑥2 − (𝑥1 + 𝑥2)𝑥 + 𝑥1 × 𝑥2 = 0. Dimana (𝑥1 + 𝑥2) dan 𝑥1 ×𝑥2 masing-masing adalah jumlah dan hasil kali akar-akar suatu persamaan kuadrat.

2. Sistem Persamaan Linear Tiga Variabel

Bentuk umum persamaan linear tiga variabel adalah:

{ 𝑎11𝑥 + 𝑎12𝑦 + 𝑎13𝑧 = 𝑑1

𝑎21𝑥 + 𝑎22𝑦 + 𝑎23𝑧 = 𝑑2

𝑎31𝑥 + 𝑎32𝑦 + 𝑎33𝑧 = 𝑑3

Dengan 𝑎11, 𝑎12, 𝑎13, 𝑎21, 𝑎22, 𝑎23, 𝑎31, 𝑎32, 𝑎33, 𝑑1, 𝑑2 dan 𝑑3 adalah bilangan real.

𝑎11, 𝑎21, dan 𝑎31 disebut koefisien dari peubah x;

𝑎12, 𝑎22, dan 𝑎32 disebut koefisien dari peubah y;

𝑎13, 𝑎23, dan 𝑎33 disebut koefisien dari peubah z.

Jika 𝑑1, 𝑑2 dan 𝑑3 masing-masing bernilai nol, dinamakan sistem persamaan linear homogen, sedangkan jika tidak semuanya bernilai nol, sistem persamaan linear di atas dinamakan sistem

persamaan linear nonhomogen.

Cara menyelesaikan sistem persamaan linear tiga variabel dapat dilakukan seperti cara

menyelesaikan sistem persamaan linear dua variabel, di antaranya dengan metode substitusi dan

gabungan antara metode eliminasi dan metode substitusi.

3. Perbandingan Trigonometri

- Perbandingan Trigonometri Suatu Sudut Pada Segitiga Siku-Siku

Secara umum, jika diberikan segitiga ABC siku-siku seperti gambar berikut:

C

b a

A α° c B

Nilai-nilai perbandingan trigonometri untuk sudut α pada segitiga ABC sebagai berikut:

a. Sin α = 𝑎

𝑏 d. Cot α =

𝑐

𝑎

b. Cos α = 𝑐

𝑏 e. Sec α =

𝑏

𝑐

c. Tan α = 𝑎

𝑐 f. Cosec =

𝑏

𝑎

Uraian materi ekonomi

1. Fungsi Permintaan

Permintaan suatu barang adalah beberapa kemungkinan dari jumlah barang yang dapat diminta di

berbagai tingkat harga. Hukum permintaan berbunyi: “apabila harga suatu barang naik maka

jumlah barang yang diminta akan turun dan sebaliknya, apabila harga barang turun maka jumlah

barang yang diminta akan naik”. Berdasarkan pengertian tersebut, jika P harga barang dan Q jumlah

barang yang diminta maka secara matematik dapat dikatakan bahwa jumlah barang yang diminta

merupakan fungsi dari harganya. Secara simbolis dapat ditulis: Q = f(P).

2. Fungsi Penawaran

Penawaran suatu barang adalah suatu kemungkinan dari jumlah barang yang dapat dijual diberbagai

tingkat harga. Hukum penawaran berbunyi: “apabila harga suatu barang naik maka jumlah barang

yang ditawarkan akan naik dan sebaliknya, apabila harga barang turun maka jumlah barang yang

Page 152: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

152

ditawarkan akan turun”. Berdasarkan pengertian tersebut, jika P harga barang dan Q jumlah barang

yang ditawarkan maka secara matematik dapat dikatakan bahwa jumlah barang yang ditawarkan

merupakan fungsi dari harganya. Secara simbolis dapat ditulis: Q = f(P).

3. Keseimbangan Pasar (Market Equilibrium)

Dalam transaksi jual beli biasanya didahului dengan adanya tawar menawar antara penjual dan

pembeli. Hasil tawar menawar tersebut akan menghasilkan suatu titik kesepakatan atau suatu titik

kesamaan. Harga kesepakatan inilah yang dinamakan dengan harga keseimbangan atau harga pasar

atau disebut juga dengan market equilibrium. Apabila fungsi permintaan dan fungsi penawaran

diketahui maka harga keseimbangan itu dapat ditentukan dengan jalan menyamakan dari kedua

fungsi tersebut. Apabila kurva permintaan dan kurva penawaran sudah dapat digambarkan maka harga pasar itu

dapat diketemukan oleh titik berpotongan antara kurva permintaan dan kurva penawaran yang

disebut dengan titik E. Titik keseimbangan pasar hanya berlaku pada satu titik. Dari uraian di atas,

dapat diketahui bahwa keseimbangan pasar terjadi apabila QD = QS dan PD = PS.

3. Metode Penelitian

Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif, sedangkan jenis penelitian ini adalah

penelitian korelasional. Penelitian ini dilaksanakan pada Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Model Banda

Aceh. Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu tes matematika dan tes ekonomi. Pemberian tes

matematika dilakukan pada tanggal 26 Maret 2014 sedangkan untuk tes ekonomi diberikan pada tanggal 29 Maret 2014. Pemberian tes bertempat di kelas X-1 MAN Model Banda Aceh. Populasi dalam

penelitian ini adalah seluruh kelas X MAN Model Banda Aceh tahun pelajaran 2013/2014 yang terdiri

dari 8 kelas. Sedangkan sampelnya diambil secara acak sebanyak satu kelas, dan yang terpilih kelas X-

1 untuk tes matematika dan tes ekonomi. Untuk mendapatkan data yang dibutuhkan, digunakan

instrumen penelitian yaitu berupa tes. Tes digunakan untuk mengumpulkan data tentang nilai hasil

belajar matematika dan nilai hasil belajar ekonomi siswa pada kelas X semester genap Tahun Pelajaran

2013/2014 di MAN Model Banda Aceh.

Teknik pengolahan data

Analisis yang digunakan untuk mengolah data adalah analisis regresi dan korelasi. Sesuai dengan

metode analisis yang akan dipakai untuk menguji hipotesis dalam penelitian tersebut, maka harus

diperlukan pengujian terpenuhinya asumsi normalitas pada variabel-variabelnya. Secara rinci tahapan

pengolahan data adalah sebagai berikut:

1. Mentabulasikan data ke dalam daftar distribusi frekuensi

Untuk membuat tabel distribusi frekuensi dengan panjang kelas yang sama maka menurut Sudjana

(2005:47) terlebih dahulu ditentukan:

Rentang kelas, yaitu data terbesar – data terkecil

Banyak kelas (k) = 1 + 3,3 log n

Panjang kelas interval (p) = Rentang

Banyak kelas

2. Mencari nilai rata-rata ( x ), Varians (s2) dan simpangan baku (s)

Untuk data yang telah disusun dalam daftar frekuensi menurut Sudjana (2005:70), nilai rata-rata (

x ) dihitung dengan menggunakan rumus:

�̅� =∑ 𝑓𝑖𝑥𝑖

∑ 𝑓𝑖 (1)

Keterangan: �̅� = rata-rata

𝑓𝑖 = banyak siswa dalam interval tertentu

𝑥𝑖 = nilai tengah atau tanda kelas interval

Untuk mencari standar deviasi (simpangan baku), menurut Sudjana (2005:93) pangkat dua dari

simpangan baku dinamakan varians. varians (s2) menurut Sudjana (2005:95) dapat diukur dengan

rumus:

Page 153: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

153

)1(

)( 22

2

nn

xfxfns

iiii

(2)

Keterangan: n = banyaknya data

2s = varians

3. Uji Normalitas Sebaran Data

Uji normalitas diperlukan untuk mengetahui apakah data dalam penelitian ini berdistribusi normal

atau tidak. Untuk menguji normalita33s data digunakan statistik chi-kuadrat seperti dikemukakan

Sudjana (2005 : 273) sebagai berikut:

k

i i

ii

E

EO

1

2

2 )(

(3)

Dengan : 2 = statistik chi-kuadrat

Oi = frekuensi pengamatan Ei = frekuensi yang diharapkan.

Kriteria pengujian untuk chi-kuadrat menurut Sudjana (2005:273) adalah tolak H0 jika 2

hitung

2

tabel dengan = taraf nyata untuk menguji dan dk = k - 3, dalam hal lain H0 diterima.

4. Mencari hubungan linear variable, yaitu hubungan X (nilai matematika) dengan Y (nilai ekonomi).

Untuk mencari hubungan tersebut maka digunakan rumus regresi linear sederhana seperti yang

dikemukakan oleh Sudjana (2005:315) yaitu sebagai berikut:

�̂� = 𝑎 + 𝑏𝑋 (4)

Nilai 𝑎 dan b ditentukan dengan menggunakan persamaan rumus berikut:

𝑎 = �̅� − 𝑏 �̅� (5)

𝑏 = 𝑛 ∑ 𝑋𝑖𝑌𝑖−(∑ 𝑋𝑖)(∑ 𝑌𝑖)

𝑛 ∑ 𝑋𝑖2−(∑ 𝑋𝑖)

2 (6)

Keterangan :

Xi = nilai matematika siswa

Yi = nilai ekonomi siswa

�̅� = rata-rata nilai matematika siswa

�̅� = rata-rata nilai ekonomi siswa

XiYi = hasil perkalian antara nilai matematika dengan ekonomi

n = jumlah sampel

a = nilai konstan b = koefisien x

(Sudjana, 2005:315)

5. Mencari koefisien korelasi antara dua variabel X (nilai matematika) dan Y (nilai ekonomi) dengan

menggunakan rumus korelasi product moment. Rumus korelasi menurut Sudjana (2005:369) adalah

sebagai berikut:

2 2 2 2

( )(

{ ( ) }{ ( ) }xy

n XY X Yr

n X X n Y Y

(7)

Keterangan:

X = Variabel X (nilai matematika siswa)

Y = Variabel Y (nilai ekonomi siswa)

XY = Hasil perkalian antara X dan Y

X2 = Nilai matematika siswa dikuadratkan

Y2 = Nilai ekonomi siswa dikuadratkan

n = Jumlah Sampel r = Korelasi product moment

Page 154: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

154

Langkah selanjutnya yaitu menginterpretasikan nilai koefisien korelasi yang diperoleh atau nilai r.

Menurut Bungin (2011:194) interpretasi tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 3.1 Interpretasi nilai r

Nilai Koefisien Penjelasannya

+ 0,70 – ke atas

+ 0,50 – + 0,69

+ 0,30 – + 0,49

+ 0,10 – + 0,29

0,0

- 0,01 – - 0,09

- 0,10 – - 0,29

- 0,30 – - 0,49

- 0,50 – - 0,59

- 0,70 – - ke bawah

A very strong positive association (hubungan positif yang sangat kuat)

A substansial positive association (hubungan positif yang mantap)

A moderate positive association (hubungan positif yang sedang)

A low positive association (hubungan positif yang tak berarti)

No association (tidak ada hubungan)

A negligible negative association (hubungan negatif yang tak berarti)

A low negative association (hubungan negatif yang rendah)

A moderate negative association (hubungan negatif yang sedang)

A substansial negative association (hubungan negatif yang mantap)

A very strong negative association (hubungan negatif yang sangat kuat

(Sumber: Bungin, 2011:194)

6. Pengujian hipotesis

a. Pengujian hipotesis tentang regresi, menurut Fleming and Nellis (1994:256) pengujian

hipotesis dilakukan dengan menggunakan uji-t dengan rumus:

t = 𝑏−𝛽

𝑠𝑏 , dimana 𝛽 = 0 (8)

dan standar error 𝑠𝑏 =𝑆𝐸𝐸

√∑ 𝑋𝑖2−𝑛�̅�2

(9)

dimana Standar Error Estimasi (SEE) = √∑ 𝑌𝑖

2−𝑎 ∑ 𝑌𝑖−𝑏 ∑ 𝑋𝑖𝑌𝑖

𝑛−2

(10)

Kriteria penerimaan dan penolakan hipotesis pada taraf signifikan 5% (α = 0,05) dengan derajat kebebasan dk = (n–2) adalah terima H0 jika thitung < ttabel dan H0 ditolak jika thitung > ttabel.

Dimana:

H0 : 𝛽 = 0 (Hubungan antara nilai matematika dengan ekonomi pada siswa kelas X di MAN

Model Banda Aceh tidak berbentuk linear).

Ha : 𝛽 > 0 (Hubungan antara nilai matematika dengan ekonomi pada siswa kelas X di MAN

Model Banda Aceh berbentuk linear).

b. Pengujian hipotesis tentang korelasi, dalam penelitian ini menggunakan uji-t. Menurut Sudjana

(2005:377) rumus uji-t tersebut adalah:

t = 𝑟 (√𝑛−2)

√1− 𝑟2

(11)

Keterangan: T = Hasil hitung distribusi koefisien korelasi

n = Jumlah sampel yang diteliti

r = koefisien korelasi antara variabel X dan Y

Kriteria penerimaan dan penolakan hipotesis pada taraf signifikan 5% (α = 0,05) dengan derajat

kebebasan dk = (n–2) adalah terima H0 jika thitung < ttabel dan H0 ditolak jika thitung > ttabel.

Page 155: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

155

Dimana:

H0 : 𝜌 = 0 (Tidak ada korelasi yang positif antara nilai matematika dengan ekonomi pada siswa

kelas X di MAN Model Banda Aceh).

Ha : 𝜌 > 0 (Ada korelasi yang positif antara nilai matematika dengan ekonomi pada siswa

kelas X di MAN Model Banda Aceh).

4. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Berdasarkan hasil analisis regresi linear yang telah dilakukan, penulis memperoleh persamaan garis

regresi linear yaitu �̂� =21,465+0,704𝑋. Dari persamaan garis regresi tersebut dapat dibuat suatu grafik

regresi linear, dengan sumbu horizontal menunjukkan nilai matematika siswa (X) dan sumbu vertikal

menunjukkan nilai ekonomi siswa (Y). Penulis memperoleh grafik dari persamaan regresi yang

diketahui dengan menggunakan Microsoft Office Excel 2007. Grafik tersebut adalah sebagai berikut:

Dari grafik di atas dapat diketahui bahwa: a. Variabel-variabel tersebut mempunyai hubungan yang cukup dekat. Hal ini disebabkan bahwa titik-

titik pada grafik itu terletak saling berdekatan dengan garis yang bisa ditarik melalui titik tersebut. b. Variable-variabel tersebut mempunyai hubungan positif, karena titik-titik pada grafik menunjukkan

gejala dari kiri ke kanan.

c. Variable-variabel tersebut mempunyai korelasi yang linear karena titik-titik pada grafik

menunjukkan gejala garis lurus.

Berdasarkan pengujian hipotesis untuk linearitas hubungan, didapat thitung= 6,122. Pada taraf nyata α

=0,05 dengan dk=28 didapat ttabel=1,70. Jadi thitung> ttabel atau 6,122 > 1,70. maka sebagai konsekuensinya

menerima hipotesis alternatif yaitu Ha, artinya hubungan antara nilai matematika dengan nilai ekonomi

pada siswa kelas X MAN Model Banda Aceh tahun pelajaran 2013/2014 berbentuk linear. Ini berarti

semakin tinggi nilai matematika siswa maka nilai ekonominya juga semakin tinggi dan begitu juga

sebaliknya.

Berdasarkan hasil pengolahan data diperoleh angka koefisien korelasi atau nilai r yaitu 0,787.

Berdasarkan indeks korelasi yang diperoleh tersebut dapat diketahui adanya empat hal, yakni ada

tidaknya korelasi, arah korelasi, interpretasi mengenai tinggi-rendahnya korelasi, dan signifikan

tidaknya harga koefisien korelasi.

Ada tidaknya korelasi, dinyatakan dalam angka pada indeks. Batapapun kecilnya indeks korelasi, jika

bukan 0,0000, dapat diartikan bahwa antara kedua variable yang dikorelasikan, terdapat adanya korelasi

(Arikunto, 2006:279). Merujuk pada pendapat tersebut, dapat dikatakan hasil penelitian ini

memperlihatkan bahwa terdapat korelasi antara nilai matematika dengan nilai ekonomi.

Arikunto (2006:279) menyatakan “arah korelasi dinyatakan dalam tanda + (plus) dan – (minus). Tanda + menunjukkan adanya korelasi sejajar searah, dan tanda – menunjukkan korelasi sejajar berlawanan

arah”. Sedangkan Sudijono (2010:186) mengemukakan bahwa korelasi antara variabel X dan variabel

Y disebut korelasi positif apabila angka indeks korelasinya bertanda “plus” (+); sebaliknya, apabila

angka indeks korelasi antara variabel X dan variabel Y bertanda “minus” (-), maka korelasi yang

83

60

55

100

65

72

70

�̂� =21,465+0,704𝑋

Page 156: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

156

demikian itu disebut korelasi negatif. Selain itu Sudjana (2002:369) mengatakan, “harga-harga r

bergerak antara -1 dan +1 dengan tanda negatif menyatakan adanya korelasi tak langsung atau korelasi

negatif dan tanda positif menyatakan korelasi langsung atau korelasi positif”. Berdasarkan nilai r yang

diperoleh memperlihatkan bahwa nilai r bertanda + (plus). Hal tersebut menunjukkan adanya korelasi

positif (searah) antara nilai matematika dengan nilai ekonomi dan bermakna makin tinggi nilai

matematika maka makin tinggi nilai ekonomi siswa atau dengan kata lain kenaikan nilai matematika

siswa diikuti kenaikan nilai ekonomi siswa.

Tinggi rendahnya korelasi dapat diinterpretasikan secara kasar/sederhana ataupun dengan

menggunakan tabel nilai r – product – moment. Interpretasi secara kasar/sederhana dengan

memperhatikan besarnya nilai r yaitu 0,787, ternyata terletak antara +0,6000 - +0,8000. Berdasarkan interpretasi yang dikemukakan oleh Bungin (2011:194) kita dapat menyatakan bahwa korelasi positif

antara nilai matematika siswa dengan nilai ekonomi siswa atau antara variabel X dengan variabel Y

adalah termasuk korelasi positif yang sangat kuat. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis, diperoleh

thitung = 6,75 sedangkan ttabel pada taraf signifikan 0,05 adalah sebesar 1,70. Ini menunjukkan bahwa

thitung > ttabel, maka sebagai konsekuensinya menerima hipotesis alternatif yaitu Ha, artinya ada korelasi

antara nilai matematika dengan nilai ekonomi pada siswa kelas X MAN Model Banda Aceh tahun

pelajaran 2013/2014.

Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa hasil penelitian ini membuktikan bahwa nilai

matematika memiliki hubungan yang positif terhadap nilai ekonomi. artinya semakin tinggi nilai

matematika seseorang maka semakin tinggi pula nilai ekonominya. Hal ini ternyata sesuai dengan

Sudjono (1988:8) menyatakan bahwa: “Matematika telah memberikan peranan dan kemudahan kepada berbagai ilmu pengetahuan lain”. Dengan kata lain kemampuan siswa dalam matematika akan dapat

memberikan kemudahan dalam pelajaran ekonomi yang penjelasannya banyak membutuhkan konsep-

konsep matematika.

Dengan hal ini Sriyono (2009:1) mengatakan, “Belajar ekonomi tanpa kemampuan berhitung, terlebih

tanpa penguasaan matematika ekonomi, adalah sangat tidak wajar. Matematika adalah bagian dari alat

yang digunakan untuk analisis”. Untuk mempelajari ekonomi tingkat lanjut diperlukan pengetahuan

matematika yang baik. Siswa atau mahasiswa yang bekal pengetahuan matematika yang cukup kuat

akan dapat mempelajari ekonomi dengan penuh kepercayaan. Dari uraian di atas jelas terlihat

keterkaitan materi mata pelajaran matematika dengan ekonomi, dimana materi mata pelajaran

matematika menjadi dasar dalam memahami konsep ekonomi.

5. Penutup

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa ada korelasi yang positif

antara nilai matematika dengan nilai ekonomi kelas X MAN Model Banda Aceh Tahun Pelajaran

2013/2014.

Saran-saran Berdasarkan kesimpulan yang dikemukakan di atas, maka perlu kiranya penulis memberikan saran-

saran yang bermanfaat kepada guru dan lembaga yang terkait dalam rangka peningkatan mutu

pendidikan matematika di MAN Model Banda Aceh. Adapun saran-saran sebagai berikut:

1) Diharapkan adanya kerjasama antara guru bidang studi matematika dengan guru bidang studi

ekonomi dalam upaya peningkatan prestasi belajar siswa. Dengan adanya kerjasama tersebut dapat

diketahui siswa-siswa yang mengalami masalah dalam matematika dan juga siswa-siswa yang

mengalami masalah dalam ekonomi, sehingga guru sama-sama dapat memberi dorongan dan perhatian untuk perbaikan prestasi belajarnya, khususnya pelajaran matematika dan ekonomi.

2) Diharapkan pada siswa yang ingin mendalami ilmu perbankan, bisnis, maupun perdagangan, harus

belajar matematika dan ekonomi dengan lebih giat. Karena antara matematika dan ekonomi

memiliki hubungan (korelasi) yang cukup erat.

3) Bagi pihak-pihak yang berhubungan dengan pendidikan agar memperhatikan perkembangan

pendidikan baik dalam bidang sarana maupun prasarana sehingga kegiatan belajar mengajar dapat

berlangsung dengan baik, dan dapat dipertahankan sekaligus ditingkatkan untuk masa yang akan

datang.

Page 157: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

157

Daftar Pustaka

Amin, Safwan. (2005). Pengantar Psikologi Pendidikan. Banda Aceh: Yayasan Pena.

Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Bungin, Burhan. (2011). Metodologi Penelitian Kuantitatif. Edisi Kedua. Jakarta: Kencana.

Depdiknas. (2006). Perangkat Pembelajaran Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Sekolah Menengah Atas. Jakarta: Depdiknas.

Desmizar. (2003). Matematika untuk Ekonomi dan Bisnis. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Dimyati dan Mudjiono. (2009). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. (2012). Pedoman Penulisan Skripsi. Banda Aceh: Universitas

Syiah Kuala.

Fleming, Michael C dan Joseph G Nellis. (1994). Principles Of Applied Statistics. London: EC4P 4EE.

Hamalik, Oemar. (2011). Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.

Hudoyo, Herman. (1979). Pengembangan Kurikulum Matematika dan Pelaksanaannya di Depan Kelas.

Surabaya: Usaha Nasional.

Johar, Rahmah dkk. (2006). Strategi Belajar Mengajar. Darussalam: Unsyiah.

Karso, dkk. (1993). Dasar-dasar Pendidikan MIPA UT. Jakarta: Depdikbud

Ratumanan, Tanwey Gerson. (2004). Belajar dan Pembelajaran. Ambon: Unesa University Press.

Rosyidi, Suherman. (2004). Pengantar Teori Ekonomi: Pendekatan Kepada Teori Ekonomi Mikro dan Makro. Jakarta: PT Raja Grafindo.

Siswanto. (2005). Matematika Motivatif. Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.

Slameto. (2003). Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.

Soedjadi, R. (2000). Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan

Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Sriyono, D. (2009). Matematika Ekonomi dan Keuangan. Yogyakarta: CV ANDI OFFSET.

Sudjana. (2005). Metode Statistika. Bandung: Tarsito.

Sudijono, Anas. (2010). Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.

Sudjono. (1988). Pengajaran Matematika untuk Sekolah. Jakarta: Rajawali.

Sukino dan Wilson Simangunsong. (2007). MATEMATIKA untuk SMP kelas VIII. Jakarta: Erlangga.

Surya, Mohamad. (2004). Piskologi Pembelajaran dengan Pengajaran. Bandung: Tarsito.

Widodo, Tri. (2005). Matematika Ekonomi dan Bisnis. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.

Page 158: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

158

MEMINIMALKAN KESULITAN BELAJAR MATERI PERSAMAAN GARIS LURUS

PADA SISWA KELAS VIII3 SMP NEGERI 16 BANDA ACEH

DENGAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVIS

Niwati1

1SMP Negeri 16 Banda Aceh

Abstrak. Matematika merupakan mata pelajaran yang sangat sulit untuk dipelajari,

bahwa tidak menarik dibandingkan dengan mata pelajaran yang lain, hanya sedikit sekali

siswa yang menyukainya, ini terbukti dengan hasil pembelajaran yang diperoleh siswa

selalu rendah. Untuk mengubah pandangan tersebut diperlukan suatu cara yang bisa

membuat siswa tertarik untuk mempelajari matematika. Belajar merupakan proses yang membuat seseorang mengalami perubahan tingkah laku baik dalam bentuk pengetahuan

dan sikap sebagai hasil dari pengalaman yang diperolehnya, dengan demikian orang yang

belajar merupakan orang yang mengalami sendiri proses pembelajaran tersebut.

Pembelajaran matematika harus dapat dikemas dalam bentuk yang menyenangkan dan

melibatkan semua siswa secara aktif, sehingga siswa memperoleh sendiri pengetahuan

yang harus dimilikinya. Penelitian ini bertujuan untuk meminimalkan kesulitan belajar

siswa dalam bidang studi matematika, kegiatannya dilaksanakan dalam proses

pembelajaran, dengan memaksimalkan keaktifan siswa, guru hanya sebagai fasilitator

dan motifator. Dalam pembelajaran konstruktivis siswa belajar dengan mengalami sendiri

dan membangun pengetahuan sendiri dari pengalaman yang dialaminya, dan pada

akhirnya belajarnya bermakna, bila belajarnya bermakna maka kesulitan belajar siswa teratasi.Penelitian ini dilaksanakan dalam 3 siklus, masing-masing siklus terdiri atas tahap

Perencanaan, Tindakan, Pengamatan, Refleksi. Sedangkan pendekatan pembelajaran

dalam penelitian ini menggunakan pendekatan konstruktivis melalui Lembar Kegiatan

Siswa (LKS) yang peneliti buat secara berstruktur sehingga siswa bisa membangun

pengetahuannya sendiri dengan jalan menyelesaikan LKS secara berkelompok. Adapun

data dalam penelitian ini diperoleh dengan nilai tes, observasi dan angket, dimana fungsi

dari data yang telah diperoleh sebagai berikut: nilai tes untuk mengetahui keberhasilan

belajar siswa dalam memahami materi yang diajarkan, observasi untuk mengetahui

aktivitas siswa dalam pembelajaran, dan angket untuk mengetahui respon siswa terhadap

pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis. Dari hasil penelitian diperoleh

peningkatan dari siklus ke siklus dengan data terakhir pada siklus III adalah 85,71 % siswa .memiliki nilai diatas KKM

Kata kunci : kesulitan belajar, pendekatan konstruktivis, persamaan garis lurus

1. Pendahuluan

Sampai saat ini pelajaran matematika masih dianggap sebagai pelajaran yang amat sulit untuk dipelajari,

sehingga hasil yang diperoleh siswa masih sangat jauh dari yang diharapkan. Sementara itu matematika

merupakan salah satu mata pelajaran yang diujikan secara nasional, maka seluruh kompetensi yang ada

harus dikuasai siswa, sehingga hasil belajar yang diperoleh siswa mencapai Standar Ketuntasan Lulusan

(SKL) yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu harus diupayakan meminimalkan kesulitan-kesulitan

belajar matematika yang dihadapi siswa.

Penyebab kesulitan belajar yang dihadapi siswa sangatlah komplek, yang datang dari siswa sendiri

misalkan kurangnya pengetahuan prasyarat yang dimiliki siswa, masalah sosial dan lain-lain. Adapun

kesulitan belajar siswa disebabkan oleh guru misalnya, guru dalam proses pembelajaran tidak mengikut sertakan siswa dalam pembelajaran secara aktif, siswa hanya disuruh menghafal rumus-rumus,

menerima konsep-konsep yang ada tidak melakukan sendiri. Sehingga hasilnya kurang bermakna dan

tidak terekam dengan baik pada otak siswa.

Peneliti mengambil materi persamaan garis lurus, karena kebanyakan siswa selama peneliti

menyampaikan materi ini banyak mengalami kesulitan, dengan hasil yang kurang membanggakan.

Padahal banyak soal-soal yang berhubungan dengan materi telah dibahas, setelah konsep-konsep yang

berhubungan dengan materi penulis berikan.

Page 159: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

159

Untuk mengantisipasi permasalahan di atas, perlu diupayakan suatu pembelajaran yang meminimalkan

kesulitan belajar siswa. Kesulitan belajar siswa dapat diupayakan dengan cara menciptakan suasana

belajar yang menyenangkan sehingga belajarnya bermakna. Bila belajarnya bermakna diharapkan

kesulitan belajar siswa berkurang dan pada akhirnya ada peningkatan hasil belajarnya

Adapun usaha yang akan dilakukan untuk mengupayakan belajar bermakna pada mata pelajaran

matematika dengan Pembelajaran Konstruktivis. Pembelajaran Konstruktivis memungkinkan siswa

untuk membangun pengetahuaannya sendiri yang diperoleh dari pengalaman yang dialaminya dan dapat

pula menghubungkan dengan pengalaman yang lalu (Pengetahuan Prasyarat) yang dimilikinya.

Sesuai dengan uraian diatas maka peneliti mengadakan penelitian dengan judul “Meminimalkan

Kesulitan Belajar Materi Persamaan Garis Lurus pada Siswa Kelas VIII3 SMP Negeri 16 Banda Aceh

dengan Pendekatan Konstruktivis “

Rumusan masalah

Masalah yang diangkat dari penelitian ini adalah bagaimanakah penggunaan Pendekatan Konstruktivis

dapat meminimalkan kesulitan belajar materi persamaan garis lurus pada siswa kelas VIII3 SMP Negeri

16 Banda Aceh?

Tujuan penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan agar siswa kelas VIII3 SMP Negeri 16 Banda Aceh dapat meningkatkan hasil belajar matematikanya, yang ditunjukkan pada indikator :

1. Umum :

Meningkatkan mutu pembelajaran matematika di SMP Negeri 16 Banda Aceh yang ditunjukkan

dengan meningkatnya jumlah siswa yang memperoleh hasil belajar matematika yang optimal.

2. Khusus :

- Meningkatnya respon siswa dalam aktivitas dan kreativitasnya dalam pembelajaran.

- Sekurang-kurangnya 65 % perolehan hasil belajar matematika individu siswa kelas VIII3 SMP

Negeri 16 Banda Aceh di atas KKM telah ditentukan.

Manfaat hasil penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi :

1. Siswa: mendapatkan pengalaman belajar yang bermakna yang dapat dipergunakan untuk

menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya.

2. Guru: menambah wawasan dan informasi untuk memilih bentuk-bentuk pendekatan pembelajaran yang menarik dan menyenangkan bagi siswa sesuai dengan materi yang akan diajarkan, agar dalam pembelajaran mendapatkan hasil yang maksimal

2. Kajian Pustaka

Pembelajaran matematika

Departemen Pendidikan Nasional, 2003, Matematika berasal dari bahasa latin MANTHANEIN atau MATHEMA yang berarti belajar atau hal yang dipelajari. Matematika dalam bahasa Belanda disebut

WISKUNDE atau ilmu pasti, yang kesemuanya berkaitan dengan penalaran. Ciri utama matematika

adalah penalaran deduktif yaitu kebenaran suatu konsep atau pernyataan diperoleh sebagai akibat logis

dari kebenaran sebelumnya sehingga kaitan konsep atau pernyataan dalam matematika bersifat

konsisten.

Tujuan pembelajaran matematika menurut DepPenNas 2003 adalah:

a) Melatih cara berfikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui kegiatan

penyelidikan, eksplorasi, eksperimen, menunjukkan kesamaan, perbedaan, konsisten dan

inkonsistensi.

Page 160: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

160

b) Mengembagkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan dengan

mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan serta

mencoba-coba.

c) Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah.

Mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan gagasan antara

lain pembicaraan lisan, catatan, grafik, peta, diagram, dalam menjelaskan gagasan (DepPenNas,

2003).

Elemen belajar konstruktivis

Pembelajaran matematika akan bermakna bagi siswa apabila mereka aktif dalam proses pembelajaranan

membangun (mengkonstruksi) sendiri materi pembelajaran yang mereka perlukan. Menurut Zakorik

(dalam CTL, 2003: 7) ada lima elemen yang harus diperhatikan dalam praktek pembelajaran

konstruktivis.

1. Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge)

2. Memperoleh pengetahuan baru (acquiring knowledge) dengan cara mempelajari secara

keseluruhan data, kemudian memperhatikan detailnya.

3. Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge) yaitu dengan cara menyusun (a) konsep

sementara (hipotesis), (b) melakukan sharing kepada orang lain agar mendapat tanggapan (validasi)

dan atas dasar tanggapan itu, (c) konsep tersebut direvisi dan dikembangkan.

4. Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge).

5. Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut.

Pengaruh Konstruktivis dalam Pembelajaran Matematika

Dalam pembelajaran matematika pengaruh konstruktivisme menurut Lambas, dkk, (2004: 14) meliputi:

1. Pengaruh konstruktivisme terhadap proses pembelajaran siswa.

Bagi konstruktivisme, belajar adalah kegiatan aktif siswa dalam membangun pengetahuan barunya,

siswa mencari sendiri arti dari yang mereka pelajari dan bertanggung jawab terhadap hasil

belajarnya, mereka sendiri yang membuat penalaran dengan apa yang dipelajarinya dengan cara

mencari makna, membandingkan apa yang telah diketahui dengan pengalaman dan situasi baru.

2. Pengaruh konstruktivisme terhadap proses mengajar guru.

Mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa, tetapi merupakan

kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti

partisipasi dengan siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mempertanyakan kejelasan, bersifat kritis dan mengadakan justifikasi.

Teori pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis

Kesulitan belajar siswa merupakan suatu hal yang harus segera dapat diatasi, dicari penyebab dan jalan

keluarnya. Kegagalan siswa dalam pembelajaran adalah kegagalan guru dalam pendidikan. Karena

pengetahuan bukannya seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah-kaidah yang siap diambil dan

diingat sejalan dengan itu.

Piaget (dalam Nurhadi, dkk., 2003: 36) berpendapat, manusia memiliki struktur pengetahuan dalam

otaknya, seperti kotak-kotak yang masing-masing berisi informasi bermakna yang berbeda-beda.

Pengalaman sama bagi beberapa orang akan dimaknai berbeda-beda oleh masing-masing individu dan disimpan dalam kotak yang berbeda. Setiap pengalaman baru dihubungkan dengan kotak-kotak

(struktur pengalaman) dalam otak manusia tersebut.

Sejalan dengan pendapat di atas, dalam pembelajaran agar siswa diberi kesempatan membangun

pengetahuannya sendiri. Hal ini sesuai dengan pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL).

Dalam buku CTL yang disusun oleh Departemen Pendidikan Nasional (2002: 11) siswa perlu

dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya dan bergelut

dengan ide-ide. Guru tidak mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa, siswa harus

mengkonstruksi pengetahuan di benak mereka sendiri.

Page 161: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

161

Pendapat di atas diperkuat oleh Nurhadi (2002: 26) menyatakan landasan filosofi CTL adalah

konstruktivis, yaitu filosofi belajar yang menekankan bahan belajar tidak hanya sekedar menghafal,

siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Pengetahuan tidak dapat dipisah-

pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan ketrampilan yang dapat

diterapkan.

Pengetahuan terus berkembang, penemuan-penemuan baru banyak yang ditemukan sehingga

pembelajaran tidak pernah berakhir dan harus selalu diikuti perkembangannya. Nurhadi, Burhanudin

Yasin, Agus Gerrad Senduk (2003 : 10) berpendapat teori konstruktivis memandang secara terus-

menerus memeriksa informasi-informasi baru yang berlawanan dengan aturan-aturan lain dan

memperbarui aturan-aturan tersebut jika tidak sesuai lagi. Teori konstruktivis menuntut siswa berperan

aktif dalam pembelajaran mereka sendiri. Karena penekanannya pada siswa yang aktif maka strategi konstruktivis sering disebut pengajaran yang berpusat pada siswa (student-centered instruction). Di

dalam kelas yang pengajarannya berpusat pada siswa, peran guru adalah membantu siswa menemukan

fakta, konsep atau prinsip bagi diri mereka sendiri, bukan memberikan ceramah atau mengendalikan

seluruh kegiatan di kelas.

Dari pendapat-pendapat di atas dapat dinyatakan bahwa pendekatan konstruktivis dalam pembelajaran

dapat mengoptimalkan pengalaman belajar. Siswa menemukan konsep-konsep atau dalil matematika

sendiri, maupun melalui diskusi kelompok dengan guru sebagai fasilitator, sehingga dapat

meminimalkan kesulitan belajar siswa

3. Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan dari penelitian ini adalah:

a). Pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam belajar kelompok.

b). Terdapat peningkatan rata-rata hasil ulangan akhir siklus.Adanya peningkatan respons siswa

terhadap pembelajaran.

c). Pembelajaran dengan pendekatan konstuktivis dapat meminimalkan kesulitan belajar siswa

d). Secara klasikal, peningkatan hasil belajar matematika siswa sangat bergantung dari keterlibatan

guru dalam malakukan analisis materi pelajaran dan bagaimana guru berperan dalam mendampingi

siswa ketika proses pembelajaran berlangsung.

Berdasarkan dari hasil yang penulis capai dalam penelitian ini maka dapat penulis sarankan: pada suatu

proses pembelajaran hendaknya guru menggunakan metode/pendekatan yang sesuai dengan materi

yang akan diajarkan dan melakukan analisis materi pelajaran yang akan disampaikan serta berperan

dalam mendampingi siswa ketika proses pembelajaran berlangsung.

Daftar Pustaka

Arikunto S, Suhardjono, Supardi. (2003). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara.

Kurikulum Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). (1994). Garis-garis Besar Program

Pengajaran. Jakarta: Depdikbud.

Kurikulum Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). (1994). Petunjuk Pelaksanaan Proses Belajar

Mengajar. Jakarta: Depdikbud.

Kurikulum 2004 Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. (2003). Standar Kompetensi.

Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Lambas, dkk, (2004). Materi Pelatihan Terintegrasi Buku 3, Modul 25, Jakarta:Departemen Pendidikan

Nasional, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama.

Nurhadi. (2002). Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL). Jakarta:

Departemen Pendidikan Nasional.

Page 162: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

162

Nurhadi, Yasin B, Senduk, A.G. (2003). Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and

Learning/CTL) dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Penerbit UM.

Sungkowo. (2003). Pendekatan Kontekstual. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Dirjen

Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama.

Page 163: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

163

PENGGUNAAN ALAT PERAGA BEKAS UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN

HASIL BELAJAR PESERTA DIDIK KELAS VIII-1 SMP NEGERI 7 BANDA ACEH PADA

MATERI LUAS PERMUKAAN PRISMA DAN LIMAS TEGAK

Qadarusmi1

1SMP Negeri 7, Banda Aceh

Email: [email protected]

Abstrak. Keberhasilan pelaksanaan pembelajaran matematika dipengaruhi oleh

kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran di sekolah. Tujuan penelitian ini adalah

untuk mengetahui apakah menggunakan alat peraga bekas pada materi luas permukaan

prisma tegak dapat meningkatkan hasil belajar dan aktivitas peserta didik kelas VIII-1

SMP Negeri 7 Banda Aceh. Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK) yang terdiri dari dua siklus. Tiap siklus terdiri dari empat tahapan PTK, yaitu: perencanaan,

pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Subyek penelitian ini adalah peserta didik kelas

VIII-1 SMP Negeri 7 Banda Aceh tahun pelajaran 2013/2014. Hasil penelitian pada siklus

I belum mencapai indikator keberhasilan penelitian. Persentase aktivitas peserta didik

siklus I adalah 60,4%, rata-rata hasil belajar mencapai 64,5 dan persentase ketuntasan

belajar klasikal 56,7%, pada siklus II mengalami peningkatan untuk aktivitas dan hasil

peserta didik dibandingkan siklus I, di siklus II aktivitas peserta didik adalah 75,1%, dan

rata-rata hasil belajar peserta didik 70,2, persentase ketuntasan belajar klasikal 76,7%.

Dari hasil siklus II, menunjukkan bahwa persentase aktivitas, rata-rata hasil belajar, dan

persentase ketuntasan belajar klasikal yang telah didapat pada siklus II sudah melebihi

indikator penelitian yang ada. Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan secara keseluruhan bahwa dengan menggunakan alat peraga bekas pada materi luas permukaan prisma dan

limas tegak dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar peserta didik kelas VIII-1 SMP

Negeri 7 Banda Aceh. Berdasarkan hasil penelitian disarankan bahwa alat peraga bekas

layak dikembangkan sebagai alternatif media pembelajaran yang dapat digunakan dalam

pembelajaran matematika.

Kata kunci: Aktivitas siswa, hasil belajar, alat peraga

1. Pendahuluan

Pada proses pembelajaran matematika masih sering ditemui adanya kecenderungan guru masih

mendominasi kelas karena guru memberitahukan langsung konsep kepada peserta didik, sedangkan peserta didik terlihat pasif hanya menerima konsep jadi yang diberikan tanpa pernah mencari asal usul

konsep suatu materi yang diajarkan. Peserta didik tidak melakukan suatu aktivitas yang mendorong

untuk menemukan konsep secara mandiri. Peserta didik hanya duduk, diam, memperhatikan penjelasan

guru, dan berlatih akibatnya peserta didik menjadi cepat lupa dengan isi materi yang telah diterima.

Pembelajaran yang semacam ini kurang bisa memecahkan masalah yang ada, karena disajikan rumus

secara instan. Dalam hal ini penyajian rumus secara instan khususnya bagi materi luas permukaan

prisma dan limas tegak tidak mengena pada kepahaman konsep materi yang diterima peserta didik,

karena materi luas permukaan prisma dan limas tegak memerlukan banyak penemuan konsep awal

secara mandiri untuk bisa mempermudah dalam mempelajari materi tersebut lebih lanjut. Disajikannya

rumus secara instan, juga akan membuat peserta didik jenuh karena mereka sebagai obyek belajar bukan

sebagai subyek belajar yang bisa melakukan kegiatan untuk menemukan konsep secara mandiri.

Hal ini dikarenakan kurangnya aktivitas yang berarti, seperti peserta didik hanya menulis apa yang

ditulis oleh guru dan menganggap apa yang telah ditulis oleh guru sudah benar, sebagian besar peserta

didik hanya menerima dari guru berupa rumus-rumus yang sudah dikemas dengan contoh soal. Oleh

sebab itu, ketika diberi latihan soal dengan model soal yang berbeda dengan contoh soal, peserta didik

sudah kebingungan dan tidak mampu menyelesaikan latihan soal.

Melihat karakteristik materi luas permukaan prisma dan limas tegak yang abstrak seharusnya dipelajari

dengan pendekatan terhadap keadaan kongkret yang ada disekitar peserta didik. Peserta didik berperan

aktif untuk membangun pengetahuannya sendiri, melalui pembelajaran yang dikaitkan terhadap

Page 164: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

164

permasalahan realita yang ada, peserta didik mendapat pengalaman dalam belajar. Dengan adanya

pengalaman belajar, peserta didik dapat menguasai konsep luas permukaan prisma dan limas tegak

tersebut. Karena peserta didik yang mampu menguasai suatu konsep matematika, mampu menghadapi

abstraksi terhadap objek-objek yang dihadapi.

Alat peraga bekas bukanlah sekedar alat peraga yang menggunakan keterampilan motorik yang tidak

melibatkan proses mental. Pada saat peserta didik sedang melakukan keterampilan proses, misalnya

mengamati. Peserta didik sesungguhnya bukan hanya “memperhatikan” objek dengan inderanya tetapi

juga menghubungkan apa yang sedang diamati dengan apa yang telah diketahuinya. Pada saat sedang

mengamati kita mencoba mengaitkan apa yang kita amati dengan pengetahuan yang telah kita miliki.

Misalnya, pada saat peserta didik dihadapkan dengan suatu benda yang berbentuk prisma tegak, mereka

akan mencoba menguraikan benda tersebut menjadi bangun-bangun datar yang sudah dikenalnya. Oleh karena itu keterampilan proses bukan hanya sekedar keterampilan motorik tetapi juga melibatkan

keterampilan berpikir. Dalam proses pembelajaran tersebut peserta didik akan mendapatkan

pengalaman belajar. Dengan adanya pengalaman belajar kemampuan intelegensi peserta didik dapat

berkembang dengan baik (Sumarto dan Hartono, 2002:143).

Berdasarkan permasalahan diatas penulis ingin melakukan suatu perubahan dengan menggunakan

media alat peraga bekas agar dapat meningkatkan hasil belajar dan aktivitas peserta didik kelas VIII-1

SMP Negeri 7 Banda Aceh pada materi luas permukaan prisma dan limas tegak. Media pembelajaran

ini diharapkan dapat membantu dan memperbaiki proses belajar mengajar, bahkan dapat memberi

kepuasan kepada guru karena dapat menyajikan pelajaran dengan cara yang baik atau lengkap. Hasil

penelitian tindakan kelas ini diharapkan dapat memberikan informasi bahwa untuk meningkatkan

aktifitas dan hasil belajar siswa pada materi luas permukaan prisma dan limas tegak dapat dilakukan dengan menggunakan alat peraga bekas.

2. Tinjauan Pustaka

Pembelajaran matematika

Pembelajaran menurut Hamalik (2001: 57) adalah “suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur

manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan

pembelajaran”. Kegiatan pembelajaran bertujuan, untuk membelajarkan peserta didik dengan

melibatkan interaksi antara peserta didik dengan pendidik, peserta didik dengan peserta didik untuk

mencapai suatu tujuan belajar dengan memanfaatkan beberapa komponen seperti sarana dan prasarana,

strategi atau metode (Sanjaya, 2010: 51). Menurut Djamarah (2008: 30) bahwa peserta didik yang

mampu menguasai suatu konsep matematika, yaitu peserta didik yang mampu menghadapi abstraksi

terhadap objek-objek yang dihadapi.

Dengan belajar matematika yang dihubungkan dalam keadaan riil dapat memberikan pengalaman

belajar yang mampu mengkonstruk suatu konsep dasar matematika. Karena pembelajaran matematika

dengan realita merupakan pembelajaran secara keseluruhan yang kemudian dipecah dalam bagian-

bagian tertentu.

Aktivitas belajar Sekolah adalah salah satu pusat kegiatan belajar. Dengan demikian sekolah merupakan arena untuk

mengembangkan aktivitas Banyak jenis aktivitas yang dapat dilakukan oleh peserta didik di sekolah.

Aktivitas peserta didik tidak cukup hanya mendengarkan dan mencatat seperti yang lazim terdapat di

sekolah-sekolah. Dalam pembelajaran di sekolah peserta didik diharapkan dapat melakukan aktivitas

belajar secara maksimal. Melalui aktivitas belajar yang tinggi diharapkan hasil belajar yang diperoleh

peserta didik juga tinggi. Aktivitas dalam belajar sangat perlu sebab pada prinsipnya belajar adalah

berbuat, berbuat untuk mengubah tingkah laku. Tidak ada belajar kalau tidak ada aktivitas. Itulah sebabnya aktivitas merupakan prinsip yang sangat penting di dalam interaksi belajar mengajar. Dengan

mengemukakan beberapa pandangan dari berbagai ahli di atas, jelas bahwa dalam pembelajaran, peserta

didik harus aktif berbuat. Dengan kata lain bahwa dalam belajar diperlukan adanya aktivitas, tanpa

aktivitas, belajar itu tidak mungkin berlangsung dengan baik (Sardiman, 2001:93-95).

Page 165: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

165

Paul B. Dierich membuat suatu daftar yang berisi macam-macam kegiatan siswa digolongkan sebagai

berikut:

1. Visual activities, yang termasuk di dalamnya misal, membaca, memperhatikan gambar

demonstrasi, percobaan, pekerjaan orang lain.

2. Oral activities, seperti menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran, mengeluarkan

pendapat, mengadakan wawancara, diskusi, interupsi.

3. Listening activities, sebagai contoh mendengarkan uraian, percakapan, diskusi, musik, pidato.

4. Writing activities, misalnya: menulis cerita, karangan, laporan, angket, menyalin.

5. Drawing activities, misalnya: menggambar, membuat grafik, peta, diagram.

6. Motor activities, yang termasuk kegiatan ini antara lain melakukan percobaan, membuat konstruksi,

model mereparasi, bermain, berkebun, beternak. 7. Mental activities, sebagai contoh misalnya: menanggapi, mengingat, memecahkan soal,

menganalisa, melihat hubungan, mengambil keputusan.

8. Emotional activities, seperti misalnya, menaruh minat, merasa bosan, gembira, bersemangat,

bergairah, berani, tenang, gugup.

Jadi, aktivitas di sekolah itu sangat kompleks dan bervariasi, kalau berbagai macam kegiatan tersebut

dapat diciptakan di sekolah, tentu sekolah akan lebih dinamis, tidak membosankan dan benar-benar

menjadi pusat aktivitas belajar yang maksimal.

Hasil belajar Hasil belajar tidak lepas dari kegiatan atau pelaksanaan belajar itu sendiri. Proses dalam belajar

mempunyai peranan penting dalam mencapai tujuan pembelajaran. Dalam prosesnya pun banyak

mengalami kendala. Hasil belajar menunjukkan tingkat sampai dimana pencapaian dalam pelaksanaan

pembelajaran. Menurut Purwanto (2009: 45) “Hasil belajar adalah perubahan yang mengakibatkan

manusia berubah dalam sikap dan tingkah lakunya”.

Hasil belajar pada hakikatnya merupakan kompetensi yang mencakup aspek pengetahuan, ketrampilan,

sikap dan nilai-nilai yang diwujudkan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Menurut S. Bloom hasil

belajar pengetahuan terdiri atas empat kategori yaitu: a) Pengetahuan tentang fakta. b) Pengetahuan

tentang prosedural. c) Pengetahuan tentang konsep. d) Pengetahuan tentang prinsip.(Jihad dan Haris,

2009: 12-13). Jadi hasil belajar merupakan kemampuan yang dimiliki peserta didik setelah melakukan

proses pembelajaran dalam mencapai suatu tujuan pembelajaran.

Dari pengertian tentang hasil belajar, dapat disimpulkan hasil belajar merupakan kemampuan yang

dimiliki peserta didik setelah melalui proses belajar yang sesuai dengan tujuan pengajaran. Dalam

mencapai hasil belajar yang maksimal dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah ketepatan

dalam memilih strategi, metode dan model pembelajaran yang tepat dalam menyampaikan materi agar

materi dapat diterima oleh peserta didik dengan baik. Serta pengertian pembelajaran yang sesungguhnya

yaitu adanya timbal balik serta komunikasi antara peserta didik dengan pendidik, dan peserta didik

dengan peserta didik yang lain. Bukan hanya pendidik saja yang berbicara.

Untuk mencapai hasil belajar dengan pembelajaran sesungguhnya maka diperlukan strategi

pembelajaran peserta didik aktif, bukan hanya gurunya saja yang aktif, salah satunya yaitu dengan

pembelajaran yang sesuai dengan keadaan peserta didik di sekolah tersebut.

Alat peraga

Alat peraga adalah alat bantu untuk mendidik atau mengajar supaya apa yang diajarkan mudah

dimengerti anak didik. Menurut Anitah (2008: 4) bahwa Alat peraga dalam pembelajaran pada

hakikatnya merupakan suatu media pembelajaran yang digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang riil

sehingga memperjelas pengertian belajar. Sedangkan menurut Arsyad (2005: 15) bahwa dalam proses

belajar mengajar dua unsur yang sangat penting adalah model mengajar dan media pembelajaran seperti

alat peraga.

Belajar yang efektif harus dimulai dengan pengalaman langsung atau pengalaman konkrit dan menuju

kepada pengalaman yang lebih abstrak. Proses belajar mengajar pada hakekatnya adalah proses

komunikasi, yaitu proses penyampaian pesan dari sumber pesan melalui saluran/media tertentu ke

Page 166: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

166

penerima pesan. Dalam proses pembelajaran matematika, penggunaan media perlu untuk direalisasikan.

Dengan penggunaan media, dalam hal ini alat peraga, maka peserta didik akan mampu memahami

konsep dan mampu mengabstraksikan konsep-konsep mereka.

Dalam mengajar matematika penggunaan media alat peraga akan membantu guru agar proses belajar

peserta didik lebih efektif dan efisien. Ada beberapa keunggulan dari alat peraga matematika dalam

proses pembelajaran, yaitu:

1) Mampu mengatasi keterbatasan perbedaan pengalaman pribadi peserta didik

2) Mampu mengatasi keterbatasan ruang kelas

3) Mampu mengatasi keterbatasan ukuran benda

4) Mampu mengatasi keterbatasan kecepatan gerak benda

5) Mampu mempengaruhi motivasi belajar peserta didik 6) Mampu mempengaruhi daya abstraksi peserta didik

7) Memungkinkan pembelajaran yang lebih bervariasi.

Alat peraga bekas

Luas permukaan prisma dan limas tegak merupakan materi yang abstrak artinya peserta didik sulit

memahami materi tiga dimensi yang digambar pada dua dimensi. Untuk mempermudah dalam

memahami dan mempelajari materi tersebut guru mencoba menggunakan inovasi dalam model

pembelajaran yang mana bisa menggugah peserta didik untuk aktif dalam menemukan konsep atau

sesuatu yang baru secara mandiri sehingga apa yang mereka dapat dari jerih payah sendiri tidak mudah

lupa.

Dengan materi yang bersifat abstrak bisa dikonkretkan melalui bantuan media khusus yaitu alat peraga

bekas yang akan merubah dari hal abstrak menjadi konkret. Banyak terdapat barang bekas di sekeliling

peserta didik yang berbentuk prisma tegak dan juga dapat dimanfaatkan untuk membuat model bentuk

limas tegak, diantaranya bekas kemasan makanan yang sering dikonsumsi oleh peserta didik sendiri.

Gambar 1. Kemasan bekas makanan

Selain bersifat abstrak, dalam mempelajari materi luas permukaan prisma dan limas tegak memerlukan

tingkat ketelitian yang tinggi karena dalam materi luas permukaan prisma dan limas tegak terdapat

banyak sekali luas bangun datar yang membentuk prisma dan limas tegak tersebut, seperti luas bangun

segitiga, luas bangun persegi, luas belah ketupat, dan teorema pytagoras yang digunakan untuk

menghitung tinggi bidang tegak sebuah limas, dan lain sebagainya. Dengan banyaknya luas bangun

datar yang berkaitan dengan luas permukaan prisma dan limas tegak peserta didik harus belajar lebih

mendalami lagi untuk mengingat macam-macam luas bangun datar serta luas permukaan prisma, tanpa

mengetahui macam-macam luas bangun datar dan teorema pytagoras peserta didik akan kesulitan dalam

mempelajari luas permukaan prisma dan limas tegak.

Gambar 2. Jaring-jaring prisma tegak segitiga dari kemasan bekas makanan

Page 167: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

167

Gambar 3. Bentuk bangun datar yang merupakan pembentuk prisma segitiga

Tinjauan materi prisma dan limas tegak

1) Prisma

Menurut Asyono (2005:58) “Prisma adalah bangun ruang yang dibatasi oleh dua bidang alas dan

bidang atas berhadap-hadapan yang kongruen dan sejajar serta bidang-bidang tegak yang

berpotongan menurut rusuk-rusuk yang sejajar”. Sedangkan pengertian prisma beraturan adalah

“prisma tegak yang bidang alas dan bidang atasnya berbentuk segi banyak beraturan, sedangkan

panjang rusuk tegaknya disebut tinggi prisma tegak tersebut”. Untuk lebih jelasnya perhatikan

gambar 4 adalah prisma tegak segilima ABCDE. FGHIJ, dan BG merupakan salah satu rusuk tegak

prisma tersebut dan sebagai tinggi prisma tegak tersebut.

Gambar 4. Prisma Tegak Segilima ABCDE.FGHIJ

2) Luas Permukaan Prisma Tegak

Luas daerah permukaan (surface) bangun ruang adalah jumlah luas daerah seluruh permukaannya yaitu luas daerah bidang-bidang sisinya. Jadi, luas daerah permukaan prisma adalah jumlah seluruh

bidang-bidang prisma. Untuk menemtukan rumus luas permukaan prisma tegak, perhatikan

gambar prisma tegak trapesium sama kaki ABCD. EFGH (gambar 5) dan jaring-jaringnya.

Page 168: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

168

Gambar 5. Prisma Tegak Trapesium Sama Kaki ABCD. EFGH dan Jaring-jaringnya

Dari jaring-jaring prisma tegak trapesium sama kaki ABCD.EFGH, terlihat bahwa prisma memiliki

enam buah bidang yang terdiri dari bidang tegaknya berbentuk persegi panjang dan bidang atas

serta bidang alas berbentuk trapesium. Jadi, luas permukaan prisma tegak trapesium sama dengan

jumlah dari keenam sisi tersebut. Karena sisi atas dan alas suatu prisma adalah sama dan jumlah

semua luas keempat sisi tegaknya bisa dilambangkan dengan ∑ 𝐿𝑠 maka:

Luas permukaan prisma = 2 × 𝐿𝑎 + ∑ 𝐿𝑠

Dimana: 𝐿𝑎 = Luas alas

∑ 𝐿𝑠 = jumlah luas semua sisi tegak dari prisma tegak.

3) Limas

“Limas adalah bangun ruang yang dibatasi oleh sebuah segi banyak (sebagai alas) dan beberapa

sisi segitiga yang bertemu pada satu titik puncak”. Sedangkan pengertian limas beraturan adalah

limas yang alasnya berbentuk segi banyak beraturan, dan sisi tegaknya berbentuk segitiga-segitiga

yang kongruen. Untuk lebih jelasnya perhatikan gambar 6 adalah limas tegak segitiga sama sisi T.

ABC. dan limas segienam T.ABCDEF.

Gambar 6. Limas Tegak Segitiga Sama Sisi T.ABC dan Limas Segienam T.ABCDEF

4) Luas Permukaan Limas

Perhatikan gambar limas tegak segitiga T.ABC (Gambar 6) dan jaring-jaringnya.

Gambar 7. Limas Tegak Segitiga T.ABC dan Jaring-jaringnya

Dari jaring-jaring limas tegak segitiga T. ABC terlihat bahwa limas memiliki empat buah

bidang yang terdiri dari bidang tegak dan bidang alasnya berbentuk segitiga. Maka, luas

permukaan limas tegak segitiga sama dengan jumlah dari keempat sisi terebut. Jumlah seluruh

luas keempat sisi tegak limas segitiga bisa dilambangkan dengan maka

Luas sisi/permukaan limas = Luas alas + jumlah seluruh luas segitiga pada bidang tegak

=

Page 169: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

169

Dimana : = Luas alas

= Jumlah luas semua sisi tegak dari limas tegak

3. Metode Penelitian

Penelitian dilaksanakan di SMP Negeri 7 Banda Aceh Jl. Krueng Tripa Geuceu Komplek pada kelas

VIII-1dengan jumlah peserta didiknya sebanyak 30 orang terdiri dari 16 orang peserta didik perempuan

dan 14 orang peserta didik laki-laki. Data yang diperoleh berasal dari peserta didik dan guru/teman sejawat yang merupakan guru kolaborasi dalam melaksanakan kegiatan penelitian ini.

Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan yaitu pada awal April sampai dengan Mei 2014 semester

genap tahun pelajaran 2013/2014. Dilakukan pada waktu tersebut karena materi luas permukaan prisma

dan limas tegak merupakan pelajaran yang diajarkan pada semester genap. PTK ini dilaksanakan

melalui dua siklus untuk melihat peningkatan aktivitas dan hasil belajar peserta didik pada materi luas

permukaan prisma dan limas tegak menggunakan alat peraga bekas.

Adapun siklus yang akan dilaksanakan adalah pra siklus, siklus I dan siklus II yang akan dijabarkan

sebagai berikut:

1. Pra Siklus

Pra siklus merupakan pembelajaran sebelum dilakukan tindakan. Sebagai study pendahuluan yaitu

segala sesuatu yang dibutuhkan sebelum penelitian diperlukan dokumen dan informasi pada

pembelajaran sebelumnya, yang terdiri atas tiga hal yaitu paper atau dokumen, person, dan place. Untuk memperoleh data tersebut peneliti membuat pre test sebagai informasi awal kondisi peserta

didik. Setelah mendapatkan informasi mengenai permasalahan yang ada dalam pembelajaran

matematika peneliti menganalisis dan melakukan tindakan penelitian mengenai pembelajaran

tersebut.

2. Siklus I

Pada siklus I yang dilaksanakan dalam penelitian tindakan kelas ini dimulai dari perencanaan,

pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi yang akan dijelaskan sebagai berikut:

a. Perencanaan

1) Menyiapkan rencana pembelajaran dengan materi luas permukaan prisma tegak.

2) Menentukan kolaborasi dengan guru matematika kelas lain.

3) Merancang pembelajaran dengan menggunakan model ROPES 4) Menyiapkan LKS dan soal latihan, PR serta tes akhir siklus I, beserta jawaban dan

penilaiannya.

5) Menyiapkan alat peraga untuk materi luas permukaan prisma tegak dari bekas kemasan.

6) Menyusun lembar penilaian tugas dan nilai tes akhir siklus, serta lembar observasi aktivitas

baik untuk peserta didik maupun untuk guru. Observasi dilaksanakan sampai pertemuan

kedua saja, karena pertemuan ketiga hanya memberikan tes akhir siklus I.

7) Menyiapkan pembagian anggota kelompok dalam diskusi.

b. Pelaksanaan

Dalam proses pelaksanaan pembelajaran dilakukan sesuai dengan Rencana Pelaksanaan

Pembelajaran (RPP) yang disusun. Adapun langkah-langkah pembelajaran pada siklus 1

dilaksanakan sebagai berikut: 1) Guru dan peserta didik menyiapkan sarana pembelajaran.

2) Guru membuka pembelajaran dengan salam.

3) Guru mengadakan presensi terhadap peserta didik.

4) Guru memberikan informasi awal tentang jalannya pembelajaran, dan tugas yang harus

dilakukan peserta didk secara singkat dan jelas.

5) Guru memberikan apersepsi mengenai materi luas permukaan prisma tegak secara singkat.

6) Guru memberitahu peserta didik mengenai kelompok. Masing-masing kelompok

beranggotakan 5 orang.

Page 170: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

170

7) Guru memberikan fotokopian Lembar Kerja Siswa (LKS), dan alat peraga prisma tegak

berupa kotak bekas yang disediakan oleh siswa. Melalui LKS dan menggunakan,

mengamati, menyusun dan menganalisis pernyataan-pernyataan.

8) Peserta didik mempresentasikan hasil diskusi kelompok.

9) Guru memberikan latihan kepada peserta didik.

10) Guru bersama peserta didik menyimpulkan apa yang telah dipelajari.

11) Guru memberikan tugas rumah berupa PR, untuk dikumpulkan.

12) Guru memberikan tes evaluasi siklus I sebagai tes akhir siklus I dan juga sebagai evaluasi

tahapan pertama. alat peraga peserta didik

3. Siklus II Untuk pelaksanaan yang dilaksanakan pada siklus II secara teknis sama dengan siklus I. Langkah-

langkah dalam siklus II ini yang perlu ditekankan dari perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan

refleksi adalah sebagai berikut:

a. Perencanaan

Perencanaan yang dilakukan pada siklus II ini pada dasarnya sama yang dilakukan pada

siklus I. Berdasarkan hasil refleksi siklus I baik yang berkaitan dengan guru, peserta didik,

ataupun perangkat diadakan perencanaan ulang yang didasarkan pada refleksi di siklus II.

b. Pelaksanaan

Pembelajaran dilaksanakan sesuai dengan RPP yang telah disiapkan dan direvisi berdasarkan

evaluasi pada siklus I. Adapun langkah-langkah pembelajaran sama dengan langkah-langkah

pelaksanaan pada siklus I. Adapun sub materi yang akan dipelajari pada siklus II adalah luas permukaan limas tegak

c. Pengamatan

Selama kegiatan pembelajaran berlangsung observer dibantu peneliti mengamati dan mencatat

hasil dalam lembar observasi yang digunakan sebagai dasar refleksi siklus II dipadukan dengan

hasil evaluasi.

d. Refleksi

Refleksi pada siklus II ini dilakukan untuk penyempurnaan pembelajaran dengan

menggunakan alat peraga bekas yang diharapkan dapat meningkatkan aktivitas dan hasil

belajar yang menumbuhkan sikap positif terhadap mata pelajaran matematika.

Data dan cara pengumpulan data

1) Lembar Observasi aktivitas guru dan peserta didik

Lembar observasi aktivitas guru digunakan untuk memperoleh data tentang aktivitas guru dalam

mengelola pembelajaran dengan penggunaan media bekas pada materi luas permukaan prisma dan

limas tegak. Lembar observasi peserta didik digunakan untuk memperoleh data tentang aktivitas

peserta didik selama pembelajaran berlangsung.

2) Lembar evaluasi berupa soal pretest dan ulangan harian

Soal pretest yang diberikan sebelum materi diajarkan guna mengetahui kemampuan awal peserta

didik, dan soal ulangan harian diberikan pada akhir siklus guna mengetahui peningkatan hasil

belajar pada tiap siklus.

Teknik pengolahan data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif tentang aktivitas peserta didik dan

guru dalam mengelola pembelajaran dengan yang diperoleh dari pengamatan dengan menggunakan

lembar pengamatan dalam bentuk ceklist, sedangkan data kuantitatif diperoleh dari pemberian tes

(evaluasi) dalam bentuk pilihan ganda dan essay yang terdiri dari soal pretest dan soal tes evaluasi yang

diberikan pada tiap akhir siklus yang disesuaikan dengan indikator pada setiap RPP.

Teknik analisis data

Apabila datanya telah terkumpul, maka diklasifikasikan menjadi dua kelompok data, yaitu data

kuantitatif yang berbentuk angka-angka dan data kualitatif yang dinyatakan dalam kata-kata atau

Page 171: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

171

simbol. Data kualitatif yang berbentuk amgka-angka disisihkan untuk sementara karena sangat berguna

untuk menyertai dan melengkapi gambaran yang diperoleh dari analisis data kuantitatif.

Dari data pengamatan dan hasil akhir siklus diolah dengan analisis deskriptif untuk menggambarkan

keadaan peningkatan pencapaian indikator keberhasilan setiap siklus dan menggambarkan

pembelajaran dengan menggunakan alat peraga bekas untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar.

Untuk mengetahui aktivitas peserta didik diguankan lembar observasi selama pembelajaran. Sedangkan

data mengenai hasil belajar diambil dari kemampuan kognitif peserta didik dalam memecahkan masalah

dianalisis dengan menggunakan rata-rata nilai ketuntasan belajar.

Indikator keberhasilan

1. Persentase aktivitas peserta didik >= 75%.

2. Rata-rata nilai hasil belajar peserta didik >= 65. 3. Ketuntasan belajar klasikal >= 75%.

4. Hasil dan Pembahasan

Hasil penelitian

1. Deskripsi Pra Siklus

Evaluasi awal (pretest) yang dilakukan pada tanggal 1 April 2014 dari 30 peserta didik yang

memperoleh nilai diatas KKM hanya 8 orang atau sebesar 26,7 % saja yang nilainya tuntas,

sedangkan yang belum tuntas sebesar 73,3% atau sebanyak 22 orang yang nilainya masih dibawah

65. Hal ini berarti masih banyak peserta didik yang belum tuntas belajar baik secara individu

maupun klasikal. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa pemahaman tentang luas permukaan prisma tegak oleh peserta didik kelas VIII-1 SMP Negeri 7

Banda Aceh masih rendah. Berdasarkan gambaran diatas, guru (peneliti) melakukan tindakan

sebanyak 2 (dua) siklus melalui pembelajaran menggunakan alat peraga bekas dalam memberi

pemahaman materi luas permukaan prisma dan limas tegak kepada peserta didik yang, dan

diharapkan dengan pembelajaran ini hasil belajar dan aktivitas peserta didik dapat meningkat.

2. Deskripsi Siklus I

Penelitian Tindakan Kelas (PTK) terdiri dari empat tahap, yaitu perencanaan, pelaksanaan,

pengamatan dan refleksi. Penelitian yang telah dilakukan akhirnya diperoleh hasil yang dapat

diuraikan sebagai berikut:

a. Perencanaan Siklus 1

1. Menyiapkan rencana pembelajaran dengan materi pokok luas permukaan prisma tegak. 2. Menentukan kolaborasi dengan guru matematika lain sebagai observer.

3. Merancang pembelajaran atau menyusun RPP.

4. Menyiapkan LKS, soal latihan individu, dan tes evaluasi.

5. Menyiapkan alat peraga luas permukaan prisma tegak yang berbentuk prisma tegak

segitiga dan segienam.

6. Menyusun lembar observasi aktivitas baik untuk peserta didik maupun untuk guru.

Observasi akan dilaksanakan pada pertemuan pertama dan pertemuan kedua yang

dilakukan oleh observer, sedangkan pertemuan ketiga tidak dilakukan observasi aktivitas

guru dan peserta didik karena pertemuan ketiga pemberian soal tes siklus I.

7. Menentukan anggota kelompok diskusi.

b. Pelaksanaan Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) pada siklus I terlaksana tiga kali pertemuan.

Pertemuan 1 dilaksanakan pada tanggal 8 April 2014 dengan mempelajari luas permukaan

prisma tegak menggunakan bantuan alat peraga bekas berbentuk prisma tegak segitiga dan

segienam. Permasalahan yang harus dipecahkan peserta didik yaitu bagaimana menemukan

luas permukaan prisma tegak. Kemudian mengadakan diskusi kelompok mengenai asal usul

luas permukaan prisma tegak dan hasil kerja kelompok tersebut dipresentasikan ke depan

kelas. Sementara itu pada pertemuan ke-2 tanggal 10 April 2014 diberikan pendalaman materi

melalui soal-soal latihan dan pada pertemuan 3 tanggal 12 April 2014 diberikan tes akhir siklus

I.

Page 172: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

172

Dari analisis terhadap hasil belajar yang dicapai oleh peserta didik diperoleh data bahwa

peserta didik yang memperoleh nilai 65 keatas (diatas KKM 65) berjumlah 17 orang dari

keseluruhan jumlah peserta didik 30 orang, maka jumlah peserta didik yang mengalami

ketuntasan belajar baru sebesar 56,7 %. Hasil belajar peserta didik secara garis besar dapat

dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1. Hasil Belajar Peserta Didik Siklus I

Siklus I

Tuntas Tidak Tuntas

Jlh (org) % Jlh (org) %

17 56,7 13 43,3

Rata-rata kelas 64,5

c. Observasi

Observasi yang dilakukan pada siklus I ini antara lain adalah aktivitas peserta didik saat PBM

berlangsung dan pelaksanaan PBM yang diselenggarakan oleh guru. Hasil observasi guru terhadap aktivitas peserta didik pada saat proses belajar mengajar berlangsung dengan

menggunakan lembar observasi aktivitas peserta didik, yaitu persentase aktivitas sebesar 60,4

%. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas peserta didik tergolong kategori cukup namun masih

kurang dari yang diharapkan oleh peneliti. Perbaikan harus dilakukan pada siklus berikutnya

dengan cara lebih memotivasi dan membimbing peserta didik pada saat diskusi kelas maupun

diskusi kelompok agar mereka lebih memperhatikan dan aktif dalam belajar. Dari data yang

diperoleh rata-rata persentase kemampuan guru dalam melakukan PBM adalah 62,5 %

termasuk kategori cukup. Dari hasil diskusi dengan guru kolaborasi perlu perbaikan dalam

PBM, yaitu pada saat menyampaikan tujuan pembelajaran, memberikan motivasi,

membimbing peserta didik dalam diskusi kelompok dan diskusi kelas serta membimbing

peserta didik dalam membuat kesimpulan diakhir pembelajaran karena dianggap belum

maksimal. Hal ini dapat disebabkan karena PBM yang diselelenggarakan dalam memberikan penjelasan

terlalu banyak ceramah oleh guru. Pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan di siklus I belum

optimal, hal ini terbukti dengan adanya beberapa langkah penerapan pembelajaran yang belum

terlaksana secara optimal. Oleh karena itu, dilanjut ke siklus II dengan harapan menggunakan

alat peraga pada materi luas permukaan prisma dan limas tegak pada siklus II mengalami

peningkatan.

d. Refleksi

Setelah siklus I selesai dilaksanakan beserta penilaian terhadap hasil belajar peserta didik,

aktivitas peserta didik dan tanggapan peserta didik dalam melaksanakan PBM, guru peneliti

bersama dengan guru kolaborasi membuat pertemuan untuk membahas tentang tindakan yang

harus diperbaiki pada proses belajar mengajar di siklus II . Tindakan tersebut antara lain : 1. Menyampaikan tujuan pembelajaran dapat dilakukan dengan lebih jelas kepada peserta

didik.

2. Memotivasi peserta didik yang tidak aktif dalam kelompoknya, membimbing peserta didik

dalam diskusi kelompok dengan cara mendekati tempat duduk peserta didik untuk melihat

aktivitas peserta didik lebih dekat serta membimbing peserta didik dalam kegiatan diskusi

kelas.

3. Pengelolaan waktu lebih efektif.

4. Menggunakan bantuan media IT.

3. Deskripsi Siklus II

Pada siklus II ini juga melalui empat tahap, yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengamatan dan refleksi. Penelitian yang telah dilakukan pada siklus II akhirnya diperoleh hasil yang dapat

diuraikan sebagai berikut:

a. Perencanaan

1. Menyiapkan rencana pembelajaran dengan materi pokok luas permukaan limas tegak.

2. Menentukan kolaborasi dengan guru matematika kelas lain.

3. Merancang pembelajaran atau menyusun RPP.

4. Menyiapkan LKS, soal latihan individu, soal tugas PR, dan soal tes evaluasi.

5. Menyiapkan alat peraga luas permukan limas tegak.

Page 173: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

173

6. Menyusun lembar observasi aktivitas baik untuk peserta didik maupun untuk guru.

Observasi akan dilaksanakan pada pertemuan pertama dan kedua yang dilakukan oleh

observer sedangkan pertemuan ketiga tidak diobservasi untuk aktivitas guru dan peserta

didik karena hanya diberikan soal tes evaluasi siklus II.

b. Pelaksanaan

Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) pada siklus II terlaksana tiga kali pertemuan.

Pertemuan 1 pada tanggal 15 April 2014 dimana peserta didik mempelajari luas permukaan

limas tegak menggunakan bantuan alat peraga yang dirancang sendiri dari kotak bekas.

Dilanjutkan pertemuan selanjutnya pada tanggal 17 April 2014 dengan mendalami materi

tersebut melalui pembahasan soal-soal latihan. Pelaksanaan evaluasi hasil pembelajaran pada

siklus II dilaksanakan pada tanggal 19 April 2014 dengan alokasi waktu 2 jam pelajaran. Dari pembelajaran yang dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 2. Hasil Belajar Peserta Didik Siklus II

Siklus II

Tuntas Tidak Tuntas

Jlh (org) % Jlh (org) %

23 76,7 7 23,3

Rata-rata kelas 70,2

c. Observasi

Hasil observasi yang dilakukan pada siklus II terhadap aktivitas peserta didik pada saat proses

belajar mengajar berlangsung diperoleh persentase sebesar 75,1 %. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas peserta didik sudah baik. Peserta didik sudah siap dalam memperhatikan

penjelasan guru dan sigap dalam membentuk kelompok dikarenakan sudah berpengalaman

dalam siklus I, sehingga pembelajaran segera dimulai dan memperlancar jalannya proses

belajar mengajar.

Peserta didik lebih tenang dan tidak bingung lagi dengan apa yang harus dikerjakan dan sudah

berani bertanya dan menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru tanpa rasa malu atau

enggan. Peserta didik sudah terampil dalam menggunakan alat peraga meskipun alat peraga

yang ada berbeda dengan alat peraga siklus I. Peserta didik tidak canggung untuk berdiskusi

dengan teman kelompoknya untuk menemukan konsep luas permukaan limas tegak dan

mereka antusias dalam mempresentasikan hasil temuan diskusi.

Selanjutnya hasil observasi terhadap aktivitas guru dalam pelaksanaan proses belajar mengajar

diperoleh rata-rata persentase sebesar 82,5 % termasuk kategori sangat baik. Guru sudah berusaha maksimal dalam mengadakan proses belajar mengajar yang menggunakan tambahan

bantuan media IT karena sudah berpengalaman pada siklus I.

Guru dapat mengondisikan peserta didik dan mengatur waktu dengan baik dalam memberikan

penjelasan dengan jelas dan memberikan bimbingan terhadap peserta didik dalam kelompok

secara menyeluruh.

d. Refleksi

Berdasarkan hasil pelaksanaan dan pengamatan yang diperoleh dari penelitian menunjukkan

bahwa pada siklus II pembelajaran sudah cukup baik dari pada siklus sebelumnya.

Meningkatnya hasil belajar peserta didik yang ditandai dengan rata-rata hasil belajar peserta

didik dan ketuntasan belajar dan persentase aktivitas peserta didik sudah mencapai indikator

keberhasilan yang dicapai. Sehingga peneliti dan observer, memutuskan tidak perlu diadakan siklus berikutnya.

Pembahasan

Setelah melalui 4 tahap dalam penelitian tindakan kelas siklus I dan siklus II, guru memberikan

penilaian terhadap peserta didik. Penilaian yang diambil guru yaitu aktivitas dan hasil belajar peserta

didik. Aktivitas dilihat dari Lembar Observasi selama pelaksanaan pembelajaran, sedangkan hasil

belajar melalui gabungan beberapa nilai, yaitu antara nilai kerja kelompok, nilai latihan dan nilai tes

akhir siklus. Aktivitas guru dan peserta didik diamati dari pertemuan pertama hinggá pertemuan kedua.

Pencapaian aktivitas peserta didik pada siklus I adalah 60,4 %, sedangkan pada siklus II persentase aktivitas peserta didik mencapai 75,1 %. Hasil ini sudah lebih memperlihatkan kenaikan yang cukup

Page 174: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

174

tinggi dan sudah mencapai indikator keberhasilan. Oleh karena itu, penggunaan alat peraga bekas sudah

berhasil dan sudah menunjukkan peningkatan dari siklus I sebesar 14,7%. Grafik perbandingan aktivitas

peserta didik antar siklus dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar. 8. Grafik Perbandingan Aktivitas Peserta Didik pada Siklus I dan Siklus II

Berdasarkan grafik di atas, dapat dijelaskan bahwa hasil pengamatan yang didapatkan di siklus II,

adalah peserta didik sudah sigap dalam membentuk kelompok dikarenakan sudah berpengalaman dalam

siklus I. Ketika guru memerintah untuk membentuk kelompok mereka segera bergabung dengan

kelompoknya masing-masing. Sehingga pembelajaran segera dimulai dan memperlancar jalannya

proses belajar mengajar. Peserta didik sudah berani bertanya dan menjawab pertanyaan yang diberikan

guru tanpa rasa malu atau enggan.

Peserta didik sudah terampil dalam menggunakan alat peraga meskipun alat peraga yang ada berbeda

dengan siklus I. Peserta didik senang dan tertarik ketika belajar limas tegak menggunakan alat peraga,

dan peserta didik juga tidak mendapat kesukaran ketika belajar materi yang bersifat abstrak karena

dikonkretkan dengan alat peraga.

Sedangkan aktivitas guru mengalami peningkatan dari 62,5 % pada siklus I menjadi 82,5% pada siklus

II. Hal ini terjadi karena selama berlangsungnya siklus kegiatan di siklus II kekurangan-kekurangan

yang ada di siklus I sudah bisa teratasi. Baik peserta didik maupun guru telah menunjukkan peningkatan.

Hal ini juga dikarenakan sudah mempunyai pengalaman di siklus I.

Penilaian hasil belajar yang dilakukan pada setiap akhir siklus melalui ulangan harian digunakan untuk

mengukur kemampuan kognitif peserta didik. Pada siklus I hasil belajar belum mencapai indikator

keberhasilan. Hal ini terlihat dengan hasil rata-rata kelas yang dicapai adalah 64,5 dan persentase

ketuntasan belajar secara klasikal sebesar 56,7%. Sedangkan persentase ketuntasan belajar klasikal yang

dicapai peserta didik pada siklus II sudah meningkat menjadi 76,7 % dengan rata-rata hasil belajar

seluruh peserta didik 70,2.

Karena ketuntasan belajar klasikal dan rata-rata hasil belajar yang dicapai oleh peserta didik pada siklus II sudah mencapai indikator keberhasilan yang ditentukan, maka pembelajaran dengan menggunakan

alat peraga bekas pada siklus II sudah berhasil. Oleh karena itu, pembelajaran dicukupkan pada siklus

II ini.

020406080

100

SIKLUS…

SIKLUS…

AKTIF 60,4 75,1

TIDAK AKTIF 39,6 24,9

da

lam

pe

rse

n

TINDAKAN

GRAFIK AKTIVITAS PESERTA DIDIK

Page 175: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

175

Gambar. 9.Grafik Perbandingan Hasil Belajar Peserta Didik pada Pra Siklus, Siklus I dan Siklus II

Dari grafik di atas terlihat jelas bahwa setiap siklus dari pra siklus sampai siklus II mengalami

peningkatan baik peningkatan pada aktivitas peserta didik, rata-rata hasil belajar dan ketuntasan belajar

klasikal. Ini menunjukkan penggunaan alat peraga bekas tepat digunakan pada materi luas permukaan

prisma dan limas tegak pada peserta didik kelas VIII-1 SMP Negeri 7 Banda Aceh tahun pelajaran

2013/2014.

5. Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan pembahasan pada penelitian tindakan kelas ini diperoleh simpulan berikut:

1. Pembelajaran di kelas VIII-I SMP Negeri 7 Banda Aceh dengan menggunakan alat peraga bekas pada materi luas permukaan prisma dan limas tegak dapat meningkatkan hasil belajar. Ini terbukti

hasil belajar yang selalu mengalami kenaikan dari setiap siklus.

2. Pembelajaran dengan menggunakan alat peraga bekas dapat meningkatkan aktivitas peserta didik

kelas VIII-I SMP Negeri 7 Banda Aceh pada materi luas permukaan prisma dan limas tegak. Ini

terbukti aktivitas peserta didik dari setiap siklus mengalami peningkatan.

Dalam penelitian tindakan kelas dalam pembelajaran dengan menggunakan alat peraga bekas memang

sudah berhasil, akan tetapi masih perlu adanya suatu perbaikan agar hasil belajar peserta didik lebih

baik lagi, dan pembelajaran ini bisa lebih bermanfaat. Adapun saran dalam penelitian ini adalah:

1. Dalam pembelajaran matematika guru harus pandai memilih media dan model pembelajaran yang

sesuai dengan materi yang akan disampaikan kepada peserta didik agar peserta didik tidak jenuh

dengan model pembelajaran yang ada dan menjadi inovasi dalam mengadakan pembelajaran.

2. Pada pembelajaran matematika materi yang bersifat abstrak, guru sebaiknya menggunakan alat peraga agar peserta didik lebih mudah dalam belajar dan tertarik terhadap materi yang akan

dipelajari.

3. Pembelajaran dengan menggunakan alat peraga bekas dapat meningkatkan hasil belajar, maka

dalam kegiatan pembelajaran pada materi luas permukaan prisma dan limas tegak disarankan

menggunakan media alat peraga.

Daftar Pustaka

PRASIKLU

S

SIKLUS I

SIKLUS II

AKTIVITAS 55 60,4 75,1

RATA-RATA KELAS 60,5 64,5 70,2

KETUNTASAN 26,7 56,7 76,7

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

0

10

20

30

40

50

60

70

80

TINDAKAN

AKTIVITAS

RATA-RATA KELAS

KETUNTASAN

Page 176: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

176

Anitah, Sri. (2008). Media Pembelajaran. Solo: UNS Press.

Arsyad, Azhar. (2005). Media Pembelajaran. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Djamarah, Syaiful Bahri. (2008). Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Hamalik, Oemar. (2001). Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.

Jihad, Asep dan Haris, Abdul. (2009). Evaluasi Pembelajaran. Yogyakarta: Multi Presindo.

Purwanto. (2009). Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Sumarto dan Hartono, Agung. (2002). Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rineka Cipta.

Page 177: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

177

PENERAPAN MODEL DISCOVERY LEARNING UNTUK MENINGKATKAN

PEMAHAMAN KONSEP SISWA PADA POKOK BAHASAN PERMUTASI

DI KELAS X MAN ULIM KABUPATEN PIDIE JAYA

Rahmawati

Departemen Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Prodi Matematika, Universitas Syiah Kuala

Email: [email protected]

Abtrak. Keberhasilan proses kegiatan belajar mengajar pada pembelajaran matematika

dapat dilihat dari tingkat pemahaman, penguasaan materi serta hasil belajar siswa.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan pemahaman konsep siswa dalam pembelajaran matematika pada penerapan model discovery learning di kelas X MAN

Ulim Kabupaten Pidie Jaya. Metode yang digunakan yaitu discovery learning. Data yang

diperoleh dari penelitian ini adalah hasil dari LKS dan pekerjaan rumah yang diberikan

kepada siswa dan berdasarkan angket pengamatan yang telah diisi oleh siswa, dapat

terlihat bahwa dari 3 kategori 4 siswa tergolong “sangat baik”, 3 siswa tergolong “cukup”

dan 18 siswa tergolong “baik”. Dari hasil kategori terlihat bahwa pemahaman konsep

siswa “baik”. Penerapan model pembelajaran Discovery Learning ini sangat memotivasi

siswa untuk dapat menemukan, memahami dan mengaplikasikan konsep. Perlu adanya

penelitian lebih lanjut sebagai pengembangan dari penelitian ini.

Kata kunci: discovery learning, pemahaman konsep, permutasi

1. Pendahuluan

Sampai saat ini persoalan pendidikan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu

pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan,khususnya pendidikan dasar dan menengah

(Manur Muslich, 2009: 11). Sebagian besar dari peserta didik tidak mampu menghubungkan antara apa

yang mereka pelajari dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan dipergunakan atau dimanfaatkan.

Peserta didik memiliki kesulitan untuk memahami konsep akademik sebagaimana mereka biasa

diajarkan yaitu dengan menggunakan sesuatu yang abstrak dan metode ceramah. Padahal peserta didik

sangat butuh untuk dapat memahami konsep-konsep yang berhubungan dengan tempat kerja dan

masyarakat pada umumnya di mana mereka akan hidup dan bekerja.

Keberhasilan proses kegiatan belajar mengajar pada pembelajaran matematika dapat dilihat dari tingkat

pemahaman, penguasaan materi serta hasil belajar siswa. Hal ini dapat diasumsikan bahwa semakin

tinggi pemahaman dan penguasaan materi serta hasil belajar, maka semakin tinggi pula tingkat

keberhasilan pembelajaran. Namun dalam kenyataannya dapat dilihat bahwa hasil belajar matematika

yang dicapai siswa masih rendah. Masalah tersebut, dikarenakan kurangnya pemahaman konsep siswa

tentang materi yang dipelajari.

Sulitnya matematika bagi siswa adalah karena pembelajaran matematika kurang bermakna. Guru dalam

pembelajarannya di kelas tidak mengaitkan dengan skema yang telah dimiliki siswa dan siswa kurang

diberi kesempatan untuk menemukan kembali dan mengkontruksi sendiri ide-ide matematika. Untuk

itu diperlukan suatu metode yang dapat mengaitkan pengalaman hidup nyata siswa dengan ide-ide

matematika dalam pembelajaran dikelas agar pembelajaran lebih bermakna.

Model pembelajaran discovery learning merupakan salah satu alternatif yang diharapkan mampu

mengaktifkan anak, menemukan sesuatu dan mengembangkan kreatifitas. Bruner (dalam Dahar, 1996)

menganggap bahwa belajar dengan 5 metode penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara

aktif oleh manusia. Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang

menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna bagi siswa. Penemuan yang

dimaksud yaitu siswa menemukan konsep melalui bimbingan dan arahan dari guru karena pada

umumnya sebagian besar siswa masih membutuhkan konsep dasar untuk dapat menemukan sesuatu.

Page 178: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

178

Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk menulis dengan judul: “ Penerapan model Discovery

Learning untuk meningkatkan pemahaman konsep siswa pada pokok bahasan permutasi di kelas

X MAN Ulim Kabupaten Pidie Jaya.”

2. Tinjauan Pustaka

Model-model pembelajaran

Dalam pembelajaran, berbagai masalah sering dialami oleh guru. Untuk mengatasi berbagai masalah

dalam pembelajaran, maka perlu adanya model-model pembelajaran yang dipandang dapat membantu

guru dalam proses belajar mengajar. Model dirancang untuk mewakili realitas sesungguhnya, walaupun model itu sendiri bukanlah realitas dari dunia sebenarnya. Model pembelajaran adalah pola yang

digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelompok maupun tutorial (Rusman,

2012: 132).

Jawane (2006) mengemukakan bahwa model pembelajaran adalah kerangka konseptual dalam

melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai

tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para

pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran. Dengan demikian aktivitas

pembelajaran benar-benar merupakan kegiatan bertujuan yang tertata secara sistematis.

Joice dan Well dalam Rusman (2012) berpendapat bahwa model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang),

merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran dikelas atau yang lain.

Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah serangkaian

kegiatan pembelajaran yang disajikan secara khas oleh guru guna menciptakan proses pembelajaran

yang lebih kondusif dalam mencapai tujuan pembelajaran tertentu.

Rusman (2012) mengemukakan bahwa ada banyak model pembelajaran yang dikembangkan oleh para

ahli dalam usaha mengoptimalkan hasil belajar siswa. Model pembelajaran tersebut antara lain terdiri

dari:

1. Model Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) 2. Model Pembelajaran Kooperatif

3. Model Pembelajaran Discovery Learning

4. Model Pembelajaran Berbasis Komputer (CBI)

5. Model Pembelajaran PAKEM ( Partisipatif, Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan)

6. Model Pembelajaran Berbasis Web (E-Learning) / Web Based Eduacation (WBE)

7. Model Pembelajaran Mandiri

Metode discovery learning

Discovery learning adalah teori belajar yang didefinisikan sebagai proses pembelajaran yang terjadi bila pelajar tidak disajikan dengan pelajaran dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan siswa

mengorganisasikan sendiri. Sebagai strategi belajar, Discovery Learning mempunyai prinsip yang sama

dengan inkuiri (inquiry) dan Problem Solving. Tidak ada perbedaan yang prinsipil pada ketiga istilah

ini, pada Discovery Learning lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang

sebelumnya tidak diketahui. Perbedaannya dengan discovery ialah bahwa pada discovery masalah yang

diperhadapkan kepada siswa semacam masalah yang direkayasa oleh guru.

Metode Discovery Learning adalah suatu metode pembelajaran yang membimbing siswa untuk

menemukan hal-hal yang baru bagi siswa berupa konsep, rumus, pola, dan sejenisnya. Sehingga, dengan

penerapan metode ini dapat merangsang siswa untuk lebih aktif dalam proses pembelajaran (TIM

MKPBM: 178-179).

Menurut Husain (2013:3) kata penemuan sebagai metode mengajar merupakan penemuan yang

dilakukan oleh siswa. Siswa menemukan sendiri sesuatu yang baru, ini tidak berarti yang ditemukannya

Page 179: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

179

benar-benar baru, sebab sudah diketahui oleh orang lain. Metode penemuan merupakan komponen dari

suatu bagian praktik pendidikan yang seringkali diterjemahkan sebagai mengajar heuristik, yakni suatu

jenis mengajar yang meliputi metode-metode yang dirancang untuk meningkatkan rentangan keaktifan

siswa yang lebih besar, berorientasi kepada proses, mengarahkan pada diri sendiri, mencari sendiri, dan

refleksi yang sering muncul sebagai kegiatan belajar. Metode penemuan adalah poses mental dimana

siswa mampu mengasimilasikan sesuatu konsep atau prinsip. Proses mental yang dimaksud adalah

mengamati, mencerna, menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur dan

membuat kesimpulan.

Rohani (2010) mengemukakan bahwa metode discovery learning adalah metode yang berangkat dari

suatu pandangan bahwa peserta didik sebagai subyek di samping sebagai obyek pembelajaran. Mereka

memiliki kemampuan dasar untuk berkembang secara optimal sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Proses pembelajaran harus dipandang sebagai suatu stimulus atau rangsangan yang dapat

menantang peserta didik untuk merasa terlibat atau berpartisipasi dalam aktivitas pembelajaran. Peranan

guru hanyalah sebagai fasilitator dan pembimbing atau pemimpin pengajaran yang demokratis,

sehingga diharapkan peserta didik lebih banyak melakukan kegiatan sendiri atau dalam bentuk

kelompok memecahkan masalah atas bimbingan guru.

Menurut Suryobroto (2010) Metode discovery learning diartikan sebagai suatu prosedur mengajar yang

mementingkan pengajaran perseorangan, manipulasi obyek dan lain-lain, sebelum sampai kepada

generalisasi. Metode discovery learning merupakan komponen dari praktek pendidikan yang meliputi

metode mengajar yang memajukan cara belajar aktif, beroreientasi pada proses, mengarahkan sendiri,

mencari sendiri dan reflektif. Encyclopedia of Educational Research, penemuan merupakan suatu

strategi yang unik dapat diberi bentuk oleh guru dalam berbagai cara, termasuk mengajarkan ketrampilan menyelidiki dan memecahkan masalah sebagai alat bagi siswa untuk mencapai tujuan

pendidikannya.

Berdasarkan uraian di atas, secara garis besar dapat dikatakan bahwa metode discovery learning ini: (a)

Merupakan suatu cara untuk mengembangkan cara belajar siswa aktif, (b) Dengan menemukan sendiri,

menyelidiki sendiri, maka hasil yang diperoleh akan setia dan tahan lama dalam ingatan, tidak akan

mudah dilupakan siswa, (c) Pengertian yang ditemukan sendiri merupakan pengertian yang betul-betul

dikuasai dan mudah digunakan atau ditransfer dalam situasi lain, (d) Dengan menggunakan strategi

penemuan, anak belajar menguasai salah satu metode ilmiah yang akan dapat dikembangkannya sendiri,

(e) dengan metode penemuan ini juga, anak belajar berfikir analisis dan mencoba memecahkan probela

yang dihadapi sendiri, kebiasaan ini akan ditransfer dalam kehidupan bermasyarakat. Langkah-langkah pembelajaran discovery learning

Menurut Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (2013), model discovery learning memiliki langkah

persiapan sebagai berikut:

a. Menentukan tujuan pembelajaran

b. Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, minat, gayabelajar, dan sebagainya)

c. Memilih materi pelajaran.

d. Menentukan topik-topik yang harus dipelajari siswa secara induktif (dari contoh-contoh

generalisasi

e. Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh- contoh, ilustrasi tugas dan sebagainya

untuk dipelajari siswa

f. Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang konkret ke abstrak,

atau dari tahap enaktif, ikonik sampai ke simbolik

g. Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa.

Adapun langkah pelaksanaan model discovery learning menurut Muhibbin Syah dalam Qorri’ah (2011)

yaitu:

a. Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan), kegiatan belajar dimulai dengan memberikan

pertanyaan yang meransang berpikir siswa, mengajukan dan mendorongnya untuk mebaca buku

dan aktifitas belajar lain yang mengarah kepada persiapan pemecahan masalah.

b. Problem statement (pernyataan/ identifikasi masalah), memberikan kesempatan kepada siswa

untuk mengidentifikasikan sebanyak mungkin masalah yang relevan dengan bahan pelajaran,

Page 180: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

180

kemudian memilih dan merumuskannya dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara dari masalah

tersebut).

c. Data collection (Pengumpulan Data), memberikan kesempatan kepada siswa mengumpulkan

informasi yang relevan sebanyak-banyaknya untuk membuktikan benar tidaknya hipotesis tersebut.

d. Data Processing (Pengolahan Data), mengolah data yang telah diperoleh siswa melalui kegiatan

wawancara, observasi dan lain-lain. Data tersebut kemudian ditafsirkan.

e. Verification (Pembuktian), mengadakan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar

tidaknya hipotesis yang ditetapkan dan dihubungkan dengan hasil dan pengolahan data.

f. Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi), mengadakan penarikan kesimpulan untuk

dijadikan umum yang berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama dengan

memperhatikan hasil verifikasi.

Kemampuan pemahaman konsep

Menurut Sadirman dalam Qorri’ah (2011), pemahaman (comprehension) dapat diartikan menguasai

sesuatu dengan pikiran, memahami maksudnya dan menagkap maknanya. Pemahaman memilki arti

sangat mendasar yang meletakkan bagian-bagian belajar pada proporsinya, oleh sebab itu pemahaman

tidak sekedar tahu, tetapi juga menghendaki agar subjek belajar dapat memanfaatkan bahan-bahan yang

telah dipahaminya. Fenomena ini menunjukkan bahwa pemahaman merupakan unsur psikologis yang

penting dalam proses belajar-mengajar.

Seseorang dikatakan memahami sesuatu jika telah dapat mengorganisasikan dan mengatakan kembali apa yang dipelajarinya dengan menggunakan kalimatnya sendiri. Siswa tidak lagi mengingat dan

menghafal informasi yang diperolehnya, melainkan harus dapat memilih dan mengorganisasikan

informasi tersebut. Termasuk di dalamnya menafsirkan suatu bagan, grafik, gambar untuk menjelaskan

dengan kalimatnya sendiri (Sri Anitah:2011).

Sedangkan konsep menurut kamus bahasa Indonesia adalah “ide atau pengertian yang diabtrakskan dari

peristiwa kongkret”. Dan menurut kamus matematika, “konsep adalah gambaran ide tentang sesuatu

benda yang dilihat dari segi ciri-cirinya seperti kuantitas, sifat, atau kualitas”. Pada dasarnya konsep

adalah sesuatu kelas stimuli yang mewakili sifat-sifat umum, misalnya konsep demokrasi, konsep kuda,

konsep bangunan, mobil dan sebagainya. Dalam kaitannya dengan metode pelajaran dapat dikatakan

bahwa untuk mengajarkan konsep konkret akan lebih baik jika digunakan metode penemuan (discovery).

Konsep-konsep dalam matematika tersusun secara hirarkis, terstruktur, logis dan sistematis mulai dari

konsep yang paling sederhana samapai pada konsep yang kompleks. Dalam matematika terdapat topik

atau konsep prasyarat sebagai dasar untuk memahami topik atau konsep selanjutnya. Dapat dikatakan

bahwa dalam mempelajari matematika dibutuhkan kemampuan mengkaji dan berfikir (bernalar) secara

logis, kritis dan sistematis.

3. Hasil Penelitian

Kegiatan yang dilakukan

Kegiatan pembelajaran dengan model pembelajaran Discovery Learning dilaksanakan pada tanggal 29

April 2014 dengan permutasi. Adapun kegiatan pembelajaran yang dilakukan di kelas sesuai dengan

kerangka rancangan model pembelajaran Discovery Learning. Berikut adalah kegiatan selama

pembelajaran:

Tahap Pertama: Stimulation (pemberian rangsangan)

Page 181: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

181

Gambar 1. Guru Menumbuhkan Minat Siswa dengan Memotivasi tentang Materi

yang Akan Dipelajari

Tahap Dua: Problem statement (Pertanyaan/Identifikasi masalah)

Gambar 2: Siswa Mengajukan Pertanyaan tentang Apa yang Belum Siswa Pahami

Tahap Tiga: Data collection (Pengumpulan data)

Gambar 3. Guru Membimbing Siswa dalam Kelompok untuk Mendiskusikan

Masalah yang Ada pada LKS

Tahap Empat: Data processing (pengolahan data)

Page 182: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

182

Gambar 4. Siswa Mendiskusikan Penyelesaian Permutasi dengan Cara Mereka

Sendiri dengan Bimbingan Guru

Tahap lima: Verification (pembuktian)

Gambar 5. Dengan Bimbingan Guru Siswa Mencoba Menemukan Rumus

Permutasi

Tahap enam: Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi)

Gambar 6. Siswa Menarik Kesimpulan Tentang Apa yang Telah Ditemukan dan

Mempresentasikannya

Page 183: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

183

Berdasarkan hasil penyelesaian LKS yang dilakukan oleh 5 kelompok, rata-rata semua kelompok bisa

menyelesaikannya walaupun dengan bimbingan guru namun siswa cepat mengerti di saat bimbingan.

Berdasarkan pengamatan hasil pengerjaan LKS, siswa ini mengalami kendala dalam mengerjakan

operasi aljabar yaitu pada saat pembuktian rumus.

Penilaian pemahaman dan tanggung jawab siswa yang dilakukan guru selama proses pembelajaran

dapat terlihat bahwa, pada sikap rasa ingin tahu terdapat 3 siswa dikategorikan “sangat baik” dan 3

siswa “kurang baik” dan lainnya “Baik” dari 25 siswa yang hadir dan 4 siswa yang tidak hadir. Dari

ketiga siswa ini menunjukkan bahwa mereka kurang ikut serta saat teman-teman sekelompoknya

mengerjakan kegiatan di LKS yang berhubungan dengan perhitungan, tetapi saat mempraktekkan kerja

pada alat peraga, mereka sangat bersemangat. Untuk penilaian sikap “tanggung jawab” terdapat 22 siswa dikategorikan “sangat baik” dan 3 siswa dikategorikan “baik”.

Untuk mengukur tingkat pemahaman konsep siswa, pernyataan dalam angket dikategorikan dalam 3

kategori, yaitu pemahaman masalah terhadap permutasi, kebenaran jawaban akhir soal, dan proses

penurunan rumus permutasi. Berdasarkan angket yang telah diisi oleh siswa, dapat terlihat bahwa dari

3 kategori 4 siswa tergolong “sangat baik”, 3 siswa tergolong “cukup” dan 18 siswa tergolong “baik”.

Dari hasil kategori terlihat bahwa pemahaman konsep siswa “baik” karena siswa baru pertama kali

membuktikan rumus selama mereka belajar.

4. Kesimpulan

Penerapan model pembelajaran Discovery Learning pada materi permutasi disaat proses

belajar-mengajar berlangsung di MAN Ulim kelas X3 sangat memotivasi siswa untuk dapat

menemukan, memahami dan mengaplikasikan konsep yang berhubungan dengan materi ini. Hal ini

disebabkan karena penerapan Model Pembelajaran Discovery learning guru berperan sebagai

pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara aktif, sebagaimana

pendapat guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan.

Kondisi seperti ini ingin merubah kegiatan belajar mengajar yang teacher oriented menjadi student

oriented.

Daftar Pustaka

Effendi, Leo Adhar. (2012). Pembelajaran Matematika dengan Metode Penemuan Terbimbing untuk

Meningkatkan Kemampuan Representasi dan Pemecahan Masalah Matematika Siswa SMP.

Diakses pada 22 Mei 2014 dari alamat http://jurnal.upi.edu/file/Leo_Adhar.pdf

Husain, Rahmin T. (2013), Penerapan Metode Discovery Learning Dalam Meningkatkan Hasil Belajar

Siswa Pada Mata Pelajaran Matematika Di Mts Kiayi Modjo Kecamatan Limboto Barat.

Diakses pada 22 Mei 2014, dari alamat

http://ejurnal.fip.ung.ac.id/index.php/PDG/article/viewFile/305/298.pdf

Kementrian pendidikan dan kebudayaan, (2013), Model Pembelajaran Penemuan (Discovery

Learning). Diakses pada 20 Mei 2014 dari alamat https://docs.google.com/document/pdf.

Muslich, Manur. (2009). KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Konstekstual. Jakarta: Bumi

Aksara.

Qorri’ah, (2011), Penggunaan Metode Guided Discovery Learning Untuk Meningkatkan Pemahaman

Konsep Siswa pada Pokok Bahasan Bagun Ruang Sisi Lengkung, Jakarta: UIN Syarif

Hidayatullah. Diakses pada 22 Mei 2014 dari alamat http://ebookbrowsee.net/13895-pdf-

d308219246

Rohani, (2010). Penerapan Metode Discovery learning. Diakses pada 22 Mei 2014 dari alamat

http://www.riyantoyosapat. com/ search.pdf

Rusman, (2012). Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta:

Rajawali Pers.

Page 184: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

184

Sri Anitah, (2011), Strategi Belajar Mengajar.Jakarta: Universitas Terbuka.

Suryobroto, (2010), Macam-Macam Metode Pembelajaran. Diakses pada 23 Mei 2014 dari alamat

http://yastaki56.spaces. live. com/Pdf/cns!669E85C7CBD2F075!946.entry

Sutrisno. 2012. Efektifitas Pembelajran dengan Metode Penemuan Terbimbing terhadap Pemahaman

Konsep Matematika Siswa. Diakses pada 25 Mei 2014 dari alamat

http://fkip.unila.ac.id/ojs/data/journals/11/JPMUVol1No4/016_Sutrisno.pdf

TIM MKPBM. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: UPI, JICA.

Page 185: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

185

PENERAPAN MODEL DISCOVERY LEARNING UNTUK MENINGKATKAN

PEMAHAMAN DAN MOTIVASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA DI

KELAS X-3 MA DARUL ULUM BANDA ACEH

Rahmazatullaili

Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala

Email: [email protected]

Abstrak. Pendidikan pada zaman yang serba canggih seperti sekarang menuntut siswa

mampu menguasai berbagai bidang ilmu, khususnya ilmu matematika. Kualitas

pembelajaran dan prestasi belajar matematika di Indonesia, khususnya di Aceh sampai

saat ini masih belum mengalami perubahan yang menggembirakan. Kurikulum 2013

mengharapkan dapat menghasilkan manusia indonesia yang memiliki kemampuan hidup

sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan

afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa,

bernegara, dan peradaban dunia, serta bisa membentuk manusia yang mampu berpikir

tingkat tinggi. Salah satu materi penting yang diajarkan pada siswa mulai SD hingga SMA

adalah bangun ruang yang di dalamnya mencakup definisi bangun ruang, bagian-

bagiannya, jarak serta sudut dalam bangun ruang. Cara mengajar guru dikelas yang menoton dan mendominasi proses pembelajaran serta kurangnya pemotivasian yang

menyebabkan kurangnya keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran sehingga siswa

pasif, kurang peduli, kurang bergairah dan tidak adanya rasa ingin tahu pada diri siswa,

yang pada akhirnya berimbas pada hasil pembelajaran matematika yang tidak memuaskan

serta berasumsi bahwa belajar matematika sangat sulit yang menyebabkan siswa

kehilangan minat dan akhirnya menyerah untuk belajar matematika. Untuk itu sangatlah

penting membuat pembelajaran yang menuntut kreatifitas siswa dalam menemukan

konsep dan rumus-rumus sendiri sehingga lebih bermakna. Model Discovery Learning

merupakan salah satu model pembelajaran yang menitikberatkan pada aktifitas siswa

sehingga siswa dapat menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip melalui proses

mentalnya sendiri. Tujuan penulisan makalah adalah untuk melihat bagaimana pemahaman dan motivasi belajar matematika siswa di kelas X-3 MA Darul Ulum Banda

Aceh melalui penerapan model Discovery Learning. Hasil uji coba di kelas: Adanya

perubahan sikap belajar siswa diantaranya siswa merasa puas, mandiri, percaya diri,

termotivasi dengan adanya rasa ingin tahu dan siswa memahami konsep yang

berhubungan dengan materi ini, walaupun tidak semua siswa bagus seperti yang

diharapkan, masih ada siswa yang masih kurang dalam pengambilan kesimpulan dan hasil

latihan.

Kata kunci: Discovery Learning, Dimensi tiga, sudut

Pendahuluan

Pendidikan merupakan usaha yang dilakukan manusia untuk meningkatkan taraf hidup yang lebih baik.

Pendidikan tidak terlepas dari kegiatan belajar mengajar, sebab tanpa belajar maka pendidikan tidak

pernah ada dan tanpa belajar manusia mungkin tidak dapat mengembangkan bakat, minat dan

kepribadiannya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Pendidikan pada zaman yang serba

canggih seperti sekarang menuntut siswa mampu menguasai berbagai bidang ilmu secara kompleks,

khususnya ilmu matematika. Kualitas pembelajaran dan prestasi belajar matematika di indonesia,

khususnya di aceh sampai saat ini masih belum mengalami perubahan yang menggembirakan.

Pengumuman hasil ujian nasional tahun 2014 menunjukkan bahwa nilai ujian nasional untuk pelajaran

matematika siswa masih tergolong rendah dibandingkan pelajaran yang lain. di sisi lain, Kurikulum

2013 mengharapkan dapat menghasilkan manusia indonesia yang memiliki kemampuan hidup sebagai

pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu

Page 186: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

186

berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia, serta bisa

membentuk manusia yang mampu berpikir tingkat tinggi.

Banyak faktor yang dapat menyebabkan rendahnya hasil belajar matematika, diantaranya faktor guru,

faktor siswa maupun proses belajar mengajar. kebanyakan pembelajaran di sekolah masih berpusat pada

guru. Banyak guru, terutama yang kurang pemahaman tentang materi matematika hanya mentransfer

materi yang ada dalam buku teks kepada siswa sehingga pengetahuan matematika yang disampaikan

guru kepada siswa menjadi tidak tepat, siswa sulit memahami konsep matematika yang merupakan

akibat dari pengajaran yang abstrak, diajarkan melalui metode ceramah dan hampir sepenuhnya

bergantung kepada buku teks (Zubainur, 2013). Cara mengajar yang menoton dan guru yang

mendominasi proses pembelajaran menyebabkan kurangnya keterlibatan siswa dalam proses

pembelajaran. Hal ini mengakibatkan siswa pasif dalam pembelajaran, sulit memahami dan membangun konsep matematika dan siswa hanya menghafal konsep matematika tanpa mengerti. padahal aktivitas

dalam pembelajaran matematika akan bermakna bagi siswa apabila dilakukan melalui interaksi dengan

guru dan dengan siswa lainnya.

Kurangnya pemotivasian siswa untuk ikut aktif dalam proses pembelajaran merupakan salah satu faktor

yang mengakibatkan rendahnya hasil belajar matematika siswa. Seringkali saat berlangsungnya

pembelajaran siswa kurang peduli, merasa kurang percaya diri, dan kurang bergairah dalam belajar.

Oleh karenanya kita harus mencarikan solusi agar meningkatnya motivasi siswa untuk belajar

matematika sehingga siswa dapat memusatkan perhatian, menumbuhkan rasa ingin tahu dan

memperoleh hasil pembelajaran yang lebih baik serta tidak berasumsi bahwa belajar matematika sangat

sulit yang menyebabkan siswa kehilangan minat dan akhirnya menyerah untuk belajar matematika.

Berdasarkan hal tersebut perlu adanya pembelajaran yang menekankan pada kreativitas dan inovatif siswa sehingga tujuan tersebut dapat tercapai, apalagi Kurikulum 2013 yang mulai diterapkan juga

menekankan pada aspek kontekstual dan scientific learning yang mengharuskan guru mengupayakan

pembelajaran yang berkaitan erat dengan kehidupan keseharian siswa, untuk itu sangatlah penting

membuat pembelajaran yang menuntut kreatifitas siswa dalam menemukan konsep dan rumus- rumus

matematikanya sendiri sehingga lebih bermakna. Ebbutt dan Strakker dalam Depdiknas (2006)

berpandangannya bahwa agar potensi siswa dapat berkembang dan mempelajari matematika secara

optimal, asumsi tentang karakteristik subjek didik diberikan antara lain: 1) siswa akan mempelajari

matematika jika mereka mempunyai motivasi, 2) siswa mempelajari dengan caranya sendiri, dan 3)

siswa mempelajari matematika baik secara mandiri maupun melalui kerjasama dengan temannya.

Menurut Yeping Li (2010) terdapat empat konsep kategori untuk menggambarkan pembelajaran

matematika yang baik, yaitu: (1) siswa dan pembelajaran, (2) guru dan pengajaran, (3) kurikulum dan isi, dan (4) lingkungan kelas dan interaksi.

Bangun ruang merupakan salah satu materi penting yang diajarkan pada siswa mulai Sekolah Dasar

hingga Sekolah Menengah Atas. Materi bangun ruang ini mencakup definisi bangun ruang, deskripsi

yang mencakup bagian- bagian dari bangun ruang, volume dan luas permukaan bangun ruang, jarak

antara titik garis dan bidang, juga membahas sudut antara dua garis, garis dengan bidang dan antara dua

bidang. Berdasarkan hasil pengamatan penulis selama mengajar di Madrasah Aliyah Darul Ulum Banda

Aceh dan konsultasi dengan guru matematika yang juga mengajar di sekolah tersebut memperlihatkan

bahwa, siswa kurang berminat dan sering kali acuh tak acuh untuk belajar matematika dan hasil belajar

matematika mareka rata-rata rendah dibandingkan dengan pelajaran lain. Hal ini mungkin disebabkan

karena selama ini siswa jarang di ajak untuk mengenal lebih dalam akan materi yang dipelajarinya,

sehingga terkesan matematika yang diperolehnya tidak bermakna dan tidak berguna untuk

kehidupannya, selain itu mungkin mereka kurang adanya waktu yang efesien untuk mengulang materi yang telah dipelajari disekolah, karena mereka harus belajar pelajaran dayah di luar jam sekolah. Oleh

karenanya sangatlah penting membuat pembelajaran yang menuntut kreatifitas siswa dan melibatkan

siswa dalam proses pembelajaran sehingga siswa dapat menemukan konsep dan rumus-rumus sendiri

serta akan adanya rasa puas dan belejar akan lebih bermakna.

Model pembelajaran discovery learning merupakan salah satu model pembelajaran yang menuntut

siswa untuk belajar secara aktif, melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi,

membandingkan, mengintegrasikan, mengorganisasikan bahan, membuat kesimpulan-kesimpulan serta

menggabungkan pengetahuan baru dan pengetahuan yang sudah ada dan membiasakan untuk senantiasa

Page 187: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

187

berpikir kreatif, sehingga konsep-konsep yang didapat oleh siswa dari hasil penemuannya sendiri akan

lebih bermakna dan pemahaman siswa terhadap konsep tersebut akan lebih baik.

Berdasarkan uraian di atas, yang menjadi permasalahan dalam makalah ini adalah bagaimana

pemahaman dan motivasi belajar matematika siswa di kelas X-3 MA Darul Ulum Banda Aceh melalui

penerapan model Discovery Learning

Tinjauan Pustaka

Pembelajaran merupakan suatu proses interaksi antara guru dan siswa untuk mencapai tujuan

pendidikan, dalam kegiatan pembelajaran di kelas terdapat beberapa istilah tentang cara mengajar

seperti model, strategi, pendekatan dan metode pembelajaran. Winataputra (1997) mengemukakan

bahwa model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis

dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi

sebagai pedoman bagi para pencanang pembelajaran dan para pengajar dalam mencanangkan dan

melaksanakan aktivitas belajar mengajar. Joyce dan Weil dalam Johar (2013) mengemukakan bahwa

ada lima unsur penting yang menggambarkan suatu model pembelajaran yaitu 1) sintakmatik, 2) sistem

sosial, 3) prinsip reaksi, 4) sistem pendukung, dan 5) dampak intruksional dan dampak pengiring.

Dalam permendikbud no.65 Tahun 2013 tentang Standar Proses, Kegiatan inti menggunakan model

pembelajaran, metode pembelajaran, media pembelajaran, dan sumber belajar yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran. Pemilihan pendekatan tematik dan/atau tematik terpadu

dan/atau saintifik dan/atau inkuiri dan penyingkapan (discovery) dan/atau pembelajaran yang

menghasilkan karya berbasis pemecahan masalah (project based learning) disesuaikan dengan

karakteristik kompetensi dan jenjang pendidikan. Dalam implementasinya, guru dapat manerapkan

berbagai model pembelajaran, selain model yang telah dijelaskan sebelumya, guru dapat juga

menerapkanmodel lain diantaranya discovery learning, project based learning dan problem based

learning.

Menurut Budiningsih (2005) Model pembelajaran discovery learning mengarahkan siswa untuk

memahami konsep, arti dan hubungan melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu

kesimpulan. Model pembelajaran discovery learning mendorong siswa untuk mengidentifikasi apa yang

ingin diketahui kemudian dilanjutkan dengan mencari informasi lalu mengorganisasi atau membentuk

apa yang diketahui dan dipahami dalam suatu bentuk akhir. Hal ini akan terjadi apabila dalam pembelajaran siswa terlibat dan dapat menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip melalui proses

mentalnya sendiri, suatu konsep tidak disajikan dalam bentuk akhir sehingga pembelajaran akan

bermakna. Tiga ciri utama belajar menemukan yaitu: (1) mengeksplorasi dan memecahkan masalah

untuk menciptakan, menggabungkan dan menggeneralisasi pengetahuan; (2) berpusat pada siswa; (3)

kegiatan untuk menggabungkan pengetahuan baru dan pengetahuan yang sudah ada.

Adapun menurut Syah (2004) dalam mengaplikasikan model Discovery Learning di kelas tahapan atau

prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar secara umum adalah sebagai

berikut:

a) Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan).

Tahapan ini siswa dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan perhatiannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Guru dapat memulai

kegiatan belajar dengan meminta siswa membaca buku, mengajukan pertanyaan yang mengarah pada

persiapan pemecahan masalah. Stimulation pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi

interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan membantu siswa dalam mengeksplorasi bahan.

b) Problem statement (pernyataan/ identifikasi masalah).

Setelah dilakukan stimulation langkah selanjutya adalah guru memberi kesempatan kepada siswa untuk

mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran,

kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis yaitu jawaban sementara atas

pertanyaan masalah (Syah 2004).

c) Data collection (pengumpulan data).

Pada tahap ini siswa diberi kesempatan untuk mengumpulkan berbagai informasi yang relevan untuk

membuktikan benar atau tidaknya hipotesis (Syah, 2004) yang bertujuan agar siswa belajar secara aktif

Page 188: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

188

untuk menemukan sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi, sehingga secara

alamiah siswa menghubungkan masalah dengan pengetahuan yang telah dimiliki.

d) Data processing (pengolahan data).

Menurut Syah (2004) data processing merupakan kegiatan mengolah data dan informasi yang telah

diperoleh para siswa baik melalui wawancara, observasi, dan sebagainya, lalu ditafsirkan. Data

processing disebut juga dengan pengkodean coding/ kategorisasi yang berfungsi sebagai pembentukan

konsep dan generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa akan mendapatkan penegetahuan baru tentang

alternatif jawaban/ penyelesaian yang perlu mendapat pembuktian secara logis.

e) Verification (pentahkikan/pembuktian).

Verification menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika

guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya (Budiningsih, 2005).

f) Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi)

Tahap generalitation/menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah kesimpulan yang dapat

dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama, dengan

memperhatikan hasil verifikasi (Syah, 2004).

Pemahaman konsep adalah kemampuan menangkap pengertian-pengertian seperti mampu memahami

atau mengerti apa yang diajarkan, mengetahui apa yang sedang dikomunikasikan, memberikan

penjelasan atau memberi uraian yang lebih rinci dengan menggunakan kata-kata sendiri, mampu

menyatakan ulang suatu konsep, mampu mengklasifikasikan suatu objek dan mampu mengungkapkan

suatu materi yang disajikan kedalam bentuk yang lebih dipahami. Menurut Morgan dalam Winataputra (1997), Motivasi dapat didefinisikan sebagai tenaga pendorong yang menyebabkan adanya tingkah laku

kearah suatu tujuan tertentu, adanya motivasi dapat disimpulkan dari observasi tingkah laku. Dalam

kegiatan belajar, maka motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri

siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan

memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat

tercapai (Sardiman, 2000).

Hasil dan Pembahasan

Penerapan Model Discovery Learning pada materi menentukan sudut dalam bangun ruang

Materi yang diambil dalam uji coba ini adalah Geometri dengan sub pokok pembahasan menentukan

sudut dalam ruang khususnya tentang sudut antara garis dengan garis dan sudut antara garis dan bidang.

Materi ini dapat disesuaikan dengan model Discovery Learning yaitu siswa mencoba menemukan

sendiri konsep tentang sudut antara dua garis dan sudut antara garis dan bidang, sehingga siswa dapat

terlibat dalam proses pembelajaran dan siswa menjadi bersemangat, menambah minat dan motivasi

dalam belajar dan meningkatkan hasil belajar siswa.

Komponen Model Pembelajaran Discovery (yang dilakukan di kelas)

a. Sintaks (Fase)

Tahap1: Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan) Pada tahap ini guru mencoba mengaitkan materi yang sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari,

menumbuhkan minat siswa. Dengan menampilkan slide power point guru menjelaskan tujuan

pembelajaran dan pengalaman belajar yang dapat diperoleh siswa serta memberikan motivasi dengan

menjelaskan manfaat dari pembelajaran yang dilakukan.

(a) (b)

Page 189: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

189

Gambar 1. Sejarah singkat geometri (a), contoh penggunaan sudut dalam kehidupan (b)

Tahap 2: Problem statemen (pertanyaan/identifikasi masalah)

Pada tahap ini siswa mengamati gambar pada slide power point, benda yang ada disekitar mereka dan

contoh-contoh lain dalam kehidupan yang berkaitan dengan sudut kemudian mengajukan pertanyaan

dari hasil pengamatannya.

(a) (b)

Gambar 1. Sudut dari tali pengikat tiang bendera pramuka dan sudut dari benda gengan bayangannya

(a), contoh lain penggunaan sudut (b)

Tahap 3: Data collection (pengumpulan data)

Siswa dibagi dalam beberapa kelompok yang beranggotakan 4-5 orang, siswa mengerjakan LKS secara berkelompok, siswa mengamati masalah yang diberikan dan mempelajari alat peraga yang akan

digunakan untuk menyelesaikan persoalan dalam LKS

Tahap 4: Data processing (pengolahan data)

Siswa menganalisis dan membuat kategori dari unsur-unsur yang membentuk sudut dalam bangun

ruang dengan menggunakan alat peraga, kemudian menghubungkan unsur-unsur yang sudah

dikategorikan yaitu sudut antara dua garis dan sudut antara garis dengan bidang, serta menentukan

ukuran sudut yang di Tanya, lalu menyiapkan hasil diskusi.

(a) (b)

Gambar 1. Menggunakan alat peraga (a), menyiapkan hasil diskusi (b)

Tahap 5: Verification (pembuktian)

Sebelum mempresentasikan hasil kerja kelompok, siswa memeriksa kembali hasil diskusi dengan

menggunakan alat peraga dan menanyakan pada guru jika ada keraguan tentang hasil diskusi.

Tahap 6: Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi)

Siswa mengambil kesimpulan secara umum mengenai sudut dalam bangun ruang, dan berdasarkan hasil

yang telah dilakukan pada kegiatan yang diuraikan di LKS, maka setiap kelompok diminta

mempresentasikan hasil kerja kelompoknya. Setelah selesai mempresentasikan hasil kerjanya, Siswa

diberikan beberapa soal latihan.

Page 190: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

190

(a) (b) (c)

Gambar 1. Menggunakan alat peraga untuk memeriksa kembali (a), pengambilan kesimpulan (b),

mempresentasikan hasil diskusi (c).

b. Sistem Sosial

Jumlah siswa di dalam kelas X-3 MA Darul ulum seluruhnya 31 orang, tetapi yang hadir pada hari ini

berjumlah 23, kerena yang tidak hadir sedang mengikuti kegiatan pramuka. Siswa belajar dalam kelompok yang beranggotakan 4-5 siswa. Siswa bebas berfikir, mengemukakan pendapat serta

berperilaku dalam proses pembelajaran, guru hanya bertindak sebagai pembimbing dan fasilitator yang

mengarahkan siswa untuk menemukan konsep, dalil, prosedur, algoritma dan semacamnya serta

pengontrol aktivitas dalam proses belajar mengajar.

c. Prinsip reaksi: fasilitator

Prinsip reaksi merupakan kegiatan yang menggambarkan sikap dan perilaku guru untuk menanggapi

dan merespon bagaimana siswa memproses informasi, menggunakannya sesuai pertanyaan yang

diajukan oleh guru. Tugas penting yang diemban guru pada tahap ini adalah menangkap kesiapan siswa

menerima informasi baru dan aktivitas mental baru untuk dipahami dan diterapkan selama diskusi

kelompok, dan guru bertindak sebagai fasilitator serta pengontrol yang berupaya agar kegiatan diskusi mengutamakan nilai demokratis dan kemandirian setiap kelompok.

d. Sistem Pendukung

Ada beberapa sistem pendukung pada saat pembelajaran berlangsung, yaitu: Slide Power point, LKS,

Alat peraga (kerangka kubus) dan lembar pengamatan.

e. Dampak Instruksional dan Dampak Pengiring

Dampak instruksional model pembelajaran Discovery bagi siswa: (a) Siswa lebih antusias dan

bersemangat mengikuti pelajaran; (b) Siswa dapat menemukan sendiri konsep sesuai arahan yang telah

disusun guru dalam kegiatan pada LKS sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna; (c) Siswa

memperoleh nilai baik, rata-rata mencapai KKM yang telah ditetapkan di sekolah. Dampak pengiring model pembelajaran Discovery: (a) Siswa dapat lebih mandiri dan tumbuhnya rasa

solidaritas antar siswa; (b) Menimbulkan rasa percaya diri; (c) Dapat menunjukkan sikap demokratis

antar siswa.

Setiap kegiatan pembelajaran, diharapkan selalu berhasil sebaik mungkin, akan tetapi tidak dapat

dipungkiri bahwa kekurangan dan kelemahan itu akan selalu muncul sehingga dapat melakukan

perbaikan ke depan. beberapa kendala yang dihadapi siswa selama proses pembelajaran berlangsung

yaitu (a) Siswa tidak terbiasa mengerjakan LKS yang menuntut siswa untuk bekerja mandiri. Sehingga

guru sedikit kewalahan dalam menjelaskan kepada setiap kelompok hal yang mereka kurang pahami;

(b) Banyak menyita waktu, sehingga tidak semua masalah di LKS dapat diselesaikan dalam sekali

pertemuan, oleh karenanya, masalah yang tersisa dijadikan sebagai tugas rumah; (c) Mereka masih

merasa kurang percaya diri tampil di depan kelas saat mempresentasikan hasil kerja kelompoknya.

Komentar Siswa

Siswa sangat bersemangat mengikuti pembelajaran hari ini. Hal ini terlihat dari antusias siswa mulai

dari awal pembelajaran, dan respon yang mereka berikan dari angket yang dibagikan, mereka juga rela

waktu istirahatnya tersita untuk pembelajaran. Siswa juga senang dan merasa puas dengan hasil yang

mereka perolah dari latihan yang diberikan.

Setelah pembelajaran, guru meminta siswa untuk mengisi angket yang berisikan respon, kesan dan

pesan selama pembelajaran berlangsung. Umumnya siswa senang dan menyukai pembelajaran seperti

ini, maunya sering-sering diterapkan pembelajaran seperti, disamping menerapkan model-model lain

serta memperbanyak contoh-contoh soal. Tapi ada juga yang tidak mereka sukai yaitu ada kawannya

yang sekelompok tidak sepenuhnya bekerja sama dan merasa waktu kurang untuk pembelajaran tersebut.

Ketercapaian Tujuan Pembelajaran

Page 191: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

191

Jika dipandang dari segi ketercapaian tujuan pembelajaran, pembelajaran ini bisa dikategorikan

berhasil, walaupun terdapat beberapa kendala yaitu banyak menghabiskan waktu, sampai-sampai jam

istirahat juga terpakai walaupun siswa tidak ada yang keberatan. Kendala lain yaitu saat siswa

mengambil kesimpulan dari hasil yang didiskusikan, ada satu kelompok saat mengambil kesimpulan

terjadi kesalahan pemahaman terhadap konsep sudut, dan ada juga yang salah menentukan ukuran sudut,

walaupun kesalahan tersebut dapat tertutupi oleh kelompok lain. Selama kegiatan pembelajaran siswa

sangat antusias dan sangat aktif.

Berdasarkan hasil latihan yang dikerjakan oleh 23 siswa, 21 orang siswa memperoleh nilai diatas batas

KKM yang telah ditentukan yaitu 75, 2 orang mendapat nilai di bawah KKM yaitu nilainya 40.

Berdasarkan pengamatan hasil pengerjaan latihan, siswa ini mengalami kendala dalam menentukan ukuran sudut dari segitiga yang bukan segitiga siku-siku (segitiga tersebut merupakan gambar yang

didapat dari hubungan garis dengan garis atau garis dengan bidang pada bangun ruang).

Penilaian sikap rasa ingin tahu dan tanggung jawab siswa yang dilakukan guru selama proses

pembelajaran dapat terlihat bahwa, pada sikap rasa ingin tahu terdapat 15 siswa dikategorikan “sangat

baik”, 4 siswa “baik” dan 4 siswa “cukup”. Siswa yang dikategorikan cukup menunjukkan bahwa

mereka kurang ikut serta saat teman-teman sekelompoknya mengerjakan kegiatan di LKS, hal ini

terlihat bahwa kurangnya dia mengemukakan pikiran, tidak berani bertanya pada guru tapi kadang-

kadang ada juga bertanya pada kawannya serta kurang berupaya mencari informasi tentang masalah

yang dipelajari, Tetapi mereka sudah menunjukkan perhatian pada saat pembelajaran walupun belum

focus. Untuk penilaian sikap “tanggung jawab” terdapat 18 siswa dikategorikan “sangat baik” dan 5 siswa dikategorikan “baik”.

Pemahaman dan Motivasi

Pemahaman siswa dilihat dari hasil latihan yang diberikan setelah proses pembelajaran, rata-rata siswa

memperoleh hasil yang memuaskan yaitu melebihi nilai KKM. Nilai KKM untuk materi ini adalah 75.

hanya dua orang siswa yang tidak mencapai nilai KKM yaitu memperoleh nilai 40. Pemahaman siswa

juga terlihat saat pembelajaran, banyak siswa yang paham akan materinya walaupun ada juga yang

masih butuh bimbingan dari guru, siswa juga sudah mampu untuk mengambil kesimpulan dari hasil

yang telah didiskusikan. Tapi ada satu kelompok yang saat mengambil kesimpulan terjadi kesalahan

pemahaman terhadap konsep sudut.

Untuk melihat motivasi siswa, guru melakukan pengamatan saat proses pembelajaran untuk melihat rasa ingin tahu siswa dan membagikan angket kepada siswa yang berisikan respon, kesan dan pesan

terhadap pembelajaran. Penilaian sikap rasa ingin tahu memperlihatkan bahwa terdapat 15 siswa

dikategorikan “sangat baik”, 4 siswa “baik” dan 4 siswa “cukup”, hal ini bisa dikategorikan bahwa siswa

termotivasi dengan adanya rasa ingin tahu mereka terhadap pembelajaran.

6. Kesimpulan

Penerapan model pembelajaran discovery learning pada materi menentukan sudut dalam ruang disaat

proses belajar-mengajar berlangsung di ma darul ulum kelas x-3 dapat menumbuhkan motivasi siswa

dengan adanya rasa ingin tahu dari siswa untuk dapat menemukan dan memahami konsep yang

berhubungan dengan materi ini. walaupun tidak semua siswa bagus seperti yang diharapkan, masih ada

siswa yang masih kurang dalam pengambilan kesimpulan dan hasil latihan.

Daftar Pustaka

Budiningsih, Asri. (2005). Pembelajaran Moral Berpijak pada Karakteristik Siswa dan Budayanya. Jakarta: Rineka Cipta

Depdiknas. (2006). Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi Sekolah Menengah

Pertama. Jakarta: Depdiknas

Depdiknas. (2013). permendikbud no.65 Tahun 2013 tentang Standar Proses. Jakarta: Depdiknas

Hamzah, Ali. (2014). Perencanaan dan Strategi Pembelajaran matematika. Jakarta: Rajawali pers

Page 192: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

192

Johar, Rahmah (2013). Strategi Belajar Mengajar Matematika. Bahan ajar. Banda Aceh: Universitas

Syiah Kuala

Kementrian pendidikan dan kebudayaan, (2013), Model Pembelajaran Penemuan (Discovery

Learning), (Online: https://docs.google.com/document/pdf. diakses 20 Mei 2014).

Syah, Muhibbin. (2004). Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Jakarta: Rosda

Sutrisno. 2012. Efektifitas Pembelajran dengan Metode Penemuan Terbimbing terhadap Pemahaman

Konsep Matematika Siswa. (Online).

http://fkip.unila.ac.id/ojs/data/journals/11/JPMUVol1No4/016_Sutrisno.pdf diakses 25 Mei

2014.

Suyitno. (2006). Pemahaman Mahasiswa UPI Terhadap Hakikat Manusia dan Pendidikan

dalam Rangka Menjadi Guru. Sekolah pasca Sarjana UPI. Bandung.

Winataputra, Udin S dan Soekamto, Toeti,(1997). Teori Belajar dan Model-Mode

Pembelajaran. Jakarta: Ditjen Dikti, Depdiknas

Yeping li. 2011. Elementary Teachers Thinking About A Good Mathematics Lesson. International

Journal of Science and Mathematics Education, (2011) 9: 1189-1212.

Zubainur, Cut Morina, Veloo, Arsaythamby (2013). Interaksi dalam Pembelajaran Matematika dengan

Pendidikan Matematika Realistik Indonesia di Sekolah Rendah. Makalah SIMANTAP 2013.

Universitas Syiah Kuala

Page 193: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

193

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN GENERATIF LEARNING

PADA MATERI TRIGONOMETRI DI KELAS X SMAN 4

BANDA ACEH TAHUN PELAJARAN 2012/2013

Elianti1 , Rahmi Maulina2, dan Mailizar3

1,2,3Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala

Abstrak. Matematika merupakan salah satu mata pelajaran penting yang di ajarkan dari

TK sampai perguruaan tinggi. Pengetahuan matematika selama proses pembelajaran

haruslah merupakan hasil pembentukan oleh siswa itu sendiri, agar mudah dipahami.

Perlulah diterapkannya model pembelajaran yang berpusat kepada siswa agar siswa lebih

aktif dalam membangun pengetahuannya. Salah satunya adalah model pembelajaran

generatif. Model pembelajaran generatif merupakan model pembelajaran yang menekankan pada pembentukan secara aktif pengetahuan baru dengan menggunakan

pengetahuan yang sudah dimiliki. Dengan menerapkan model pembelajarn generatif

diharapkan hasil belajar siswa pada pelajaran matematika mengalami peningkatan

khususnya pada materi trigonometri. Adapun tujuan dari Penelitian ini adalah untuk

mengetahui ketuntasan hasil belajar siswa melalui model pembelajaran generatif pada

materi trigonometri. Penelitian ini menggunakan pre-eksperimental design jenis one shot

case study dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini

adalah seluruh siswa kelas X SMAN 4, sedangkan sampel diambil satu kelas secara

purposive sampling yaitu kelas X-1 yang diterapkan model pembelajaran generatif.

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan tes akhir hasil belajar siswa setelah

diterapkannya model pembelajaran generatif. Pengolahan data tes dilakukan dengan

pengujian statistik uji-t satu pihak (uji pihak kanan) dan taraf signifikan 0,05. Berdasarkan

analisis data di peroleh 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 3,48 dan 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 1,70 , karena 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙

yaitu 3,48 > 1,70 maka tolak hipotesis H0. Dengan demikian hipotesis H1 diterima.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa Hasil belajar siswa dengan penerapan model

pembelajar Generatif Learning pada materi Trigonometri di kelas X SMA Negeri 4

Banda Aceh sudah mencapai nilai ketuntasan.

Kata Kunci : Model Pembelajaran Generatif, hasil belajar materi trigonometri

Pendahuluan

Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang penting di dalam kurikulum, dapat dilihat dari

mata pelajaran matematika yang di ajarkan setiap jenjang pendidikan serta jam pelajaran matematika di

sekolah yang lebih banyak dibandingkan dengan pelajaran lain. Hudojo (1998:2) menyatakan bahwa

“dalam perkembangan peradaban modern, matematika memegang peranan penting karena dengan

bantuan matematika semua ilmu pengetahuan menjadi sempurna”.

Namun kenyataannya menunjukkan bahwa hasil belajar siswa selama ini belum menunjukkan hasi yang

memuaskan. Hal ini berdasarkan pengalaman peneliti dari hasil ulangan maupun tes matematika siswa

SMAN 4 Banda Aceh masih rendah. Salah satu materi pelajaran yang masih mengalami rendahnya

hasil belajar siswa adalah materi trigonometri. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil ujian siswa

mengenai materi tersebut sekitar 25 dari 32 siswa tidak tuntas pada materi tersebut sesuai kkm yang

ditetapkan yaitu 65. Data ini diperoleh dari hasil ujian siswa SMAN 4 banda aceh tahun pelajaran

2011/2012.

Rendahnya pemahaman siswa pada materi trigonometri berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan guru matematika di sman 4 yaitu, mungkin terjadi karena siswa lebih menghafal dari pada memahami

rumus-rumus yang disajikan dalam pembelajaran. Hal ini menyebabkan adanya anggapan dilapangan

mata pelajaran matematika, khususnya trigonometri masih merupakan pelajaran yang kurang menarik

dan sukar bagi siswa sehingga hasil belajar siswa pada materi trigonometri masih rendah.

Untuk mengatasi permasalahan hasil belajar siswa yang belum mencapai nilai ketuntasan dan

pembelajaran yang membosankan dalam mengajarkan materi trigonometri penulis melaksanakan

Page 194: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

194

penelitian dengan menerapkan model yang berlandaskan paham konstruktivisme. Salah satunya dengan

menerapkan model pembelajaran generative agar siswa lebih antusias dalam pembelajaran matematika

khususnya pada materi trigonometri.

Model pembelajaaran generatif merupakan satu model pembelajaran yang berlandaskan paham

konstruktivisme. Menurut Astuti (Lusiana,2009:3) model pembelajaran yang berdasarkan

konstruktivisme salah satunya adalah model pembelajaran generatif yang menekankan pada

pengintegrasian secara aktif pengetahuan baru dengan menggunakan pengetahuan yang sudah dimiliki

siswa sebelumnya, sehingga pengetahuan baru itu benar-benar dipahami siswa dan akan disimpan dalam

memori jangka panjang. Siswa juga diberi kebebasan untuk mengungkapkan ide dan alasan terhadap

permasalahan yang diberikan sehingga siswa akan lebih memahami pengetahuan yang dibentuknya sendiri dan pembelajaran tidak lagi membosankan.

Dengan kata lain model pembelajaran generatif dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Hal ini

didukung dengan hasil penelitian terdahu oleh Ayu (2003) menyimpulkan bahwa pembelajaran

generatif dengan metode PQ4R pada siswa kelas II-b SLTP laboratorium IKIP Negeri Singaraja dapat

mereduksi miskonsepsi dan meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas II-b SLTP laboratorium

IKIP Negeri Singaraja. Selanjutnya, Lusiana (2009) menyimpulkan bahwa keefektifan penerapan model

pembelajaran generatif untuk pelajaran matematika dikelas X SMA Negeri 8 Palembang yang ditinjau

dari ketuntasan belajar terhadap penerapan MPG mencapai 76.32% dengan kategori ”efektif”.

Berdasarkan hal di atas, untuk mengatasi rendahnya hasil belajar siswa khususnya pada materi trigonometri adalah dengan diterapkannya model pembelajaran yang berlandaskan paham

konstruktivisme salah satunya adalah model pembelajaran generatif. Sehingga, hasil belajar siswa

melalui model pembelajaran generatif pada materi perbandingan trigonometri di kelas X SMA Negeri

4 Banda Aceh dapat mencapai nilai ketuntasan.

Adapun masalah dalam penelitian ini adalah apakah hasil belajar siswa melalui model pembelajaran

generatif pada materi trigonometri di Kelas X SMAN 4 Banda Aceh dapat mencapai nilai ketuntasan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketuntasan hasil belajar siswa melalui model pembelajaran

generatif pada materi di Kelas X SMAN 4 Banda Aceh.

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi guru-guru matematika dalam meningkatkan hasil belajar siswa melalui penerapan model pembelajaran generatif. Selain itu dapat

memberikan suasana baru bagi siswa yang tidak monoton sehingga dapat mendorong siswa lebih aktif

untuk menyampaikan gagasan sesuai pemikiran mereka.

Implementasi Model Pembalajaran generatif dalam Pembelajaran Matematika

Model pembelajaran generatif merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan dalam

pembelajaran matematika yang terdiri atas empat fase (lusiana2009:2). Menurut Wena (2009:177)

pembelajaran Generatif terdiri dari empat tahap, yaitu:

a. Exsplorasi

Pada tahapan ini guru menyampaikan topik pembelajaran yaitu mengenai perbandingan trigonometri. Yang diperlukan adalah membuat siswa berani mengemukakan pendapatnya tanpa takut disalahkan

untuk mengungkapkan pemahaman dan pengalaman mereka dalam kehidupan sehari-hari yang

berkaitan dengan perbandingan trigonometri.

Apabila konsepsi siswa ada yang salah, guru tidak memberikan makna menyalahkan atau membenarkan

konsep tersebut. Menurut Sutarman & Swasono (wena,2009:178) pengaruh hipotesis siswa akan

dilakukan pada kegiatan eksperimen (tahap pemfokusan) pada siswa itu sendiri.

b. Pemfokusan

Guru mengarahkan siswa untuk mengkonstruksi pemahaman materi perbandingan trigonometri pada

segitiga melalui pertanyaan-pertanyaan yang ada pada LKS yang bersifat menggali informasi dengan mengaitkan informasi awal dengan informasi baru berupa perbandingan trigonometri. Selanjutnya

siswa akan menggunakan informasi baru tersebut untuk memecahkan masalah pada LKS.

Page 195: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

195

Jadi tahap pemfokusan merupakan tahap dimana siswa bekerja sama dalam internal kelompok masing-

masing untuk menyelesaikan LKSnya, sehingga mereka memperoleh hasil kerja berdasarkan

kemampuan mereka sendiri dan hasil inilah yang nanti akan didiskusikan antar kelompok pada tahapan

tantangan.

c. Tantangan

Pada tahap ini guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan sharing idea. Sharing idea

berdasarkan argumen-argumen dari berbagai sudut pandang dan bukti-bukti yang dapat dipertanggung

jawabkan. Sharing idea selain dilakukan antar siswa dan guru juga dilakukan antar kelompok dengan

mempresentasikan hasil kerjanya ke depan kelas. Pada tahap ini hendaknya guru memberikan arahan

dan bimbingan positif mengenai materi jika terjadi kesalahan konsep (misskonsepsi), karena pada akhir diskusi siswa diharapkan dapat memperoleh kesimpulan dan pemantapan konsep yang benar.

d. Aplikasi

Untuk melaksanakan tahap ini guru menyiapkan lembar tugas sekaligus diperuntukkan sebagai evaluasi

dari proses pembelajaran yang telah dilakukan. siswa mengaplikasikan konsep baru yang telah dibangun

sejalan dengan proses yang dilakukan secara sendiri-sendiri. Pada tahap ini guru memberikan

kesempatan kepada siswa untuk menggunakan pemahamaan konseptual yang baru diperolehnya

kedalam konteks lain. Pada tahap ini juga siswa mengaplikasikan dan modifikasi kembali bila

diperlukan.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SMAN 4 Banda Aceh. Penelitian ini dilaksanakan dalam 4 kali pertemuan.

3 kali pertemuan dengan menerapkan model pembelajaran generatif dan pertemuan ke 4 untuk

melakukan tes hasil pelajaran. Penelitian ini berlangsung pada bulan februari 2013.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Adapun

desain dalam penelitian ini adalah pre-eksperimental dengan jenis one shot case study. Arikunto

(2010:10), menyatakan bahwa one-shot case merupakan eksperimen satu kali tembak. Eksperimen yang

dilaksanakan tanpa adanya kelompok pembanding dan juga tanpa tes awal. Menurut Arikunto

(2010:124) One-shot case study mempunyai pola yang digambarkan seperti digram berikut :

X O

Keterangan :

X : yang mengalami perlakuan

O : hasil observasi sesudah penelitian (Arikunto, 2005:212).

Desain one shoot case study memiliki kelemahan utama yakni peneliti tidak memiliki kelompok atau

grup pembanding (reference group atau control group) dan kedua peneliti tidak melakukan pengukuran

sebelum perlakuan/intervensi diberikan (Subali,2010:25). Sehingga kelompok eksperimen diberi

perlakuan kemudian sesudahnya diobservasi. Dengan demikian, tidak diketahui keadaan sebelum

dilakukannya eksperimen.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMAN 4 Banda Aceh yang terdiri dari

delapan kelas. Sampel diambil dengan teknik purposive sampling. Sehingga yang menjadi sampel

dalam penelitian ini adalah siswa kelas X-1 SMA Negeri 4 Banda Aceh sebanyak satu kelas yang

berjumlah 30 orang siswa, dimana pada kelas tersebut akan diterapkan model pembelajaran generatif.

Peneliti akan menerapkan model pembelajaran generatif selama tiga kali pertemuan, dan pada

pertemuan keempat melakukan kegiatan evaluasi terhadap siswa dengan memberikan tes. Hasil tes

siswa inilah yang peneliti jadikan data untuk diolah. Instrumen tes ini di buat oleh peneliti untuk

mengetahui ketuntasan hasil belajar siswa tehadap materi trigonometri.

Mencari nilai rata-rata ( �̅� ) dapat dihitumg dengan rumus:

�̅� =∑ 𝑓𝑖𝑥𝑖

∑ 𝑓𝑖

Ket: 𝑓𝑖 = frekuensi kelas interval

𝑥𝑖 = nilai tengah kelas interval

Page 196: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

196

Menentukan simpangan baku (s)

Menurut Sudjana (2005:95), simpangan baku ( s ) dapat dihitung dengan rumus:

𝑠 = √𝑛 ∑ 𝑓𝑖𝑥𝑖

2− (∑ 𝑓𝑖𝑥𝑖)2

𝑛 (𝑛−1)

Ket: 𝑥𝑖 = nilai tengah kelas interval

𝑓𝑖 = frekuensi kelas interval n = banyaknya data

Menguji kenormalan sampel dari tes akhir, menurut Sudjana (2005:273) digunakan rumus :

𝜒2 = ∑(𝑂𝑖 − 𝐸𝑖)

2

𝐸𝑖

𝑘

𝑖=1

Ket : 𝜒2 = chi-kuadrat

𝑂𝑖 = frekuensi pengamatan

𝐸𝑖 = frekuensi yang diharapkan

Setelah diperoleh nilai rata-rata (�̅�) dan simpangan baku (s), tahap selanjutnya adalah menentukan nilai

t hitung dari data tersebut. Nilai t hitung diperoleh dengan rumus Sudjana (2005:227) yaitu sebagai

berikut.

𝑡 =�̅�1 − μ0

s

√n

Ket: �̅� = nilai rata-rata n = jumlah data

s = simpangan baku

μ0 = 65

Kriteria pengujiannya adalah tolak H0 apabila thitung > ttabel dengan

dk= n1 + n2 – 2 dengan peluang (1 - α).

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Dari nilai tes setelah model pembelajaran generatif learning diterapkan pada materi trigonometri di

kelas X-1, diperoleh 8 dari 30 orang siswa masih belum mencapai nilai ketuntasan yang ditetapkan.

Nilai terendah dari data tersebut adalah 42. Sedangkan selebihnya mencapai ketuntasan dengan nilai

≥65 dengan nilai tertinggi mencapai nilai sempurna yaitu 100. Adapun persentase nilai yang diperoleh

pada tes akhir tersebut digambarkan pada diagram yang menunjukkan seperti:

Gambar : persentase hasil belajar siswa

Setelah data hasil belajar siswa terkumpulkan, sebelum data dianalisis dengan menggunakan rumus

statistik uji-t, terlebih dahulu dicari nilai rata-rata ( �̅� ), varians (s2), simpangan baku (s), dan uji

kenormalan sebaran data.

73%

27%

Tuntas Tidak Tuntas

Page 197: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

197

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Nilai Tes siswa SMAN 4 Banda Aceh

Nilai Tes

Frekuensi

(fi)

Titik tengah

(xi) xi 2 fi xi fi xi

2

41-50 2 45,5 2070,25 91 4140,5

51-60 3 55,5 3080,25 166,5 9240,75

61-70 7 65,6 4290,25 458,5 30031,8

71-80 7 75,5 5700,25 528,5 39901,8

81-90 8 85,5 7310,25 648 58482

91-100 3 95,5 9120,25 286,5 17360,8

jumlah 30 2215 169158

Dari tabel 4.2 diatas, diperoleh nilai rata-rata sebagai berikut :

�̅� =∑ 𝑓𝑖 𝑥𝑖

∑ 𝑓𝑖=

2215

30= 73,83

Dari tabel di atas didapatkan varians (S2) = 193,68 dan simpangan baku (S) = 13,9

Selanjutnya data di uji kenormalannya yang bertujuan untuk mengetahui apakah data yang diperoleh

dalam penelitian ini berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Data yang di uji diambil

dari nilai tes akhir kelas yang diterapkan model pembelajaran generatif learning. Dari hasil uji

normalitas dapat disimpulkan bahwa nilai siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran Generatif

Learning sebarannya mengikuti distribusi normal.

Adapun hipotesis yang akan di uji adalah :

H0 : µ1 = µ2 : Hasil belajar siswa dengan penerapan model pembelajar Generatif Learning pada materi Trigonometri di kelas X SMA Negeri 4 Banda Aceh belum mencapai nilai

ketuntasan.

H1 : µ1 > µ2 : Hasil belajar siswa dengan penerapan model pembelajar Generatif Learning pada

materi Trigonometri di kelas X SMA Negeri 4 Banda Aceh sudah mencapai nilai

ketuntasan.

Dalam penelitian ini di ambil µ0 = 65, yang merupakan nilai standar minimal yang telah di tetapkan oleh

SMAN 4 Banda Aceh untuk menyatakan bahwa siswa harus menguasai 65% dari materi yang diajarkan.

Kriteria pengujiannya adalah :

Tolak hipotesis Ho jika 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 ≥ 𝑡1−𝛼dan terima Ho jika 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 < 𝑡1−𝛼

Dengan taraf signifikan α = 0,05 dan derajat kebebasan dk = (n – 1) = (30 – 1) = 29. Dari tabel distribusi

t diperoleh nilai dk = 29. Dari nilai tersebut di peroleh 𝑡(0,95)(29) = 1,70 .

karena 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 3,48 dan 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 1,70 , sehingga diperoleh 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 yaitu 3,48 > 1,70

maka tolak hipotesis H0. Dengan demikian hipotesis H1 diterima.

Hal ini menunjukkan bahwa model pembelajaran generative learning efektif diterapkan pada materi

trigonometri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa model generative learning dapat mencapai nilai

ketuntasan pada materi trigonometri di kelas X-1 SMAN4 Banda Aceh.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, peneliti mencoba menganalisis pengaruh penerapan model

pembelajaran generative learning terhadap hasil belajar siswa pada materi Trigonometri di kelas X-1

SMA Negeri 4 Banda Aceh. Pada penelitian ini Model generatif Learning dapat membantu siswa dalam

menguasai materi.

Pada tahap eksplorasi, pertanyaan-pertanyaan yang mengarah ke materi sangat diperlukan sehingga dapat memotivasi siswa untuk memberikan ide/pendapat yang diketahuinya. Selain dapat meningkatkan

Page 198: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

198

keberaniaan siswa memberikan pendapat, jawaban siswa tersebut dapat dijadikan sebagai titik tolak

sejauh mana pengetahuan awal siswa memahami materi tersebut.

Pada model generatif learning pembagian kelompok dan pemberian Lembar Kegitan Siswa (LKS)

selain sebagai sarana untuk membangun pengetahuan siswa, bertujuan juga untuk menciptakan interaksi

saling membantu, menghargai dan memberikan dukungan antar sesama teman kelompoknya. Sehingga

apabila ada siswa yang malu untuk bertanya kepada guru dapat menanyakan kepada siswa kelompoknya

yang lebih mengerti. Selain itu siswa juga diajarkan untuk bertanggung jawab atas apa yang telah

mereka kerjakan dengan mempresentasikan hasil kerja kelompoknya. Presentasi dilakukan oleh

perwakilan kelompok siswa yang langsung ditunjuk oleh peneliti. Tugas guru/peneliti disini adalah

untuk menciptakan suasana senyaman mungkin dan tetap saling menghargai dan menghormati antar kelompok.

Namun demikian, setiap model pembelajaran mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Dari hasil penelitian yang telah peneliti lakukan, kendala-kendala yang dialami peneliti saat menerapkan

model pembelajaran generatif yaitu, kurangnya waktu yang tersedia, kretifitas peneliti dalam

memberikan motivasi sangat menentukan keaktifan siswa mengungkapkan ide/pendapat, banyaknya

siswa yang meminta bimbingan membuat peneliti sulit untuk membimbing secara merata, serta peneliti

tidak dapat mengontrol siswa secara keseluruhan jika ada siswa yang kurang memiliki keinginan

belajar, sehingga siswa itu cenderung pasif saat pembelajaran.

Selain itu terdapat pula hal-hal yang tidak sesuai dengan rencana yang peneliti inginkan pada saat menerapkan model pembelajaran generatif. Salah satunya yaitu, peneliti menginginkan semua siswa

dapat aktif disaat pembelajaran berlangsung, tetapi hasil yang didapatkan masih ada beberapa siswa

yang kurang aktif serta acuh tak acuh pada saat pembelajaran. Peneliti merumuskan hal ini mungkin

terjadi karena kurang tegasnya peneliti sebagai guru menerapkan model pembelajaran, sehingga ada

beberapa siswa yang kurang menghargai peneliti di kelas. Selain itu pada pertemuan pertama siswa

kurang aktif pada tahap eksplorasi, hal ini karena materi trigonometri merupakan materi yang baru

dikenal oleh siswa. Seharusnya peneliti meminta siswa membaca terlebih dahulu mengenai materi

trigonometri dirumah.

Kesimpulan

Penguasaan materi pada siswa perlu diperhatikan karena berdampak pada hasil belajarnya. Sehingga

guru diharapkan dapat berkreasi dengan model-model pembelajaran yang berpusat pada siswa, agar

siswa tidak mendapatkan pembelajaran yang membosankan.

Model generatif Learning merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat membantu siswa dalam

mencapai ketuntasan belajar. Siswa dapat menguasai materi karena siswa lebih aktif mengkonstruksi

pengetahuan dibenaknya sendiri sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakan dan dapat tersimpan

kedalam memory jangka panjangnya .

Siswa juga lebih komunikatif dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah ke materi sangat diperlukan sehingga dapat memotivasi siswa untuk memberikan ide/pendapat yang diketahuinya.

Dengan disertai adanya pembagian kelompok dan pemberian Lembar Kegitan Siswa (LKS) selain

sebagai sarana untuk membangun pengetahuan siswa, bertujuan juga untuk menciptakan interkasi saling

membantu, menghargai dan memberikan dukungan antar sesama teman kelompoknya.

Saran

a) Diharapkan kepada guru untuk dapat menjadikan model pembelajaran generatif sebagai salah

satu alternatif yang digunakan untuk mengatasi masalah keaktifan dan ketuntasan belajar

siswapada materi trigonometri, maupun pada materi lain yang sesuai dengan model

pembelajaran ini.

b) Diharapkan kepada guru yang ingin menerapkan model pembelajaran generatif ini agar

menciptakan suasana belajar yang baik agar waktu yang digunakan lebih efisien.

Page 199: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

199

c) Bagi guru yang ingin menerapkan pembelajaran generatif menyiapkan materi sebaik mungkin

serta menguasai model langkah-langkahnya.

d) Hasil penelitian ini hendaknya dapat dijadikan sebagai salah satu informasi untuk

meningkatkan kualitas pembelajaran dan prestasi belajar siswa khususnya pada pelajaran

matematika.

Daftar Pustaka

Arikunto, Suharsimi. (2010). Evaluasi Pendidikan. Bandung: Rineka cipta.

Fahinu. (2013). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Keritis dan Memandirikan Belajar Matematika

pada Mahasiswa melalui Pembelajaran Generatif. Disertasi : Universitas Pendidikan

Indonesia

Hudujo, Herman.(1988). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: Penerbit

IKIP Malang.

Lusiana. (2009). Penerapan Model Pembelajaran Generatif (MPG) untuk Pelajaran Matematika di

Kelas X SMA Negeri 8 Palembang. JURNAL PENDIDIKAN MATEMATIKA VOLUME 3. NO. 2 DESEMBER 2009

Mahayukti, Gst Ayu. (2003). Penerapan Model Pembelajaran Generatif (MPG) untuk Pelajaran

Matematika di Kelas X SMA Negeri 8 Palembang.

Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 2 TH. XXXVI April 2003

Sudjana. (2005). Metode Statistika. Bandung: Tarsito Bandung.

Wena, Made. (2009). Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer (Suatu Tinjauan Konseptual

Operasional). Jakarta: Bumi Aksa.

Page 200: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

200

ASPEK SIKAP MAHASISWA PENDIDIKAN MATEMATIKA TERHADAP

PELAKSANAAN PERKULIAHAN SEJARAH MATEMATIKA

RM Bambang1, Usman2 , Rahmat Fitra3 1,2Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala

3Prodi Magister Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala

Abstrak. Sikap mahasiswa terhadap perkuliahan merupakan salah satu komponen

penting yang harus diperhatikan dosen/guru dalam pembelajaran. Karena sikap

menunjukkan perilaku pemahaman, perasaan, dan berbuat seorang mahasiswa terhadap

suatu matakuliah/pelajaran. Dengan demikian diperlukan menyelidiki terhadap sikap

mahasiswa terhadap pelaksanaan perkuliahan sejarah matematika. Tujuan penelitian ini

adalah mendeskripsikan sikap mahasiswa terhadap pelaksanaan perkuliahan sejarah

matematika program studi pendidikan matematika FKIP Unsyiah. Teknik pengambilan

data dengan menggunakan angket. Hasil analisis data diperoleh sikap mahasiswa terhadap pelaksanaan perkuliahan sejarah matematika program studi pendidikan

matematika FKIP Unsyiah yaitu sikap mahasiswa terhadap tujuan dan isi matakuliah

sejarah matematika, sikap mahasiswa terhadap cara mempelajari materi sejarah

matematika,sikap mahasiswa terhadap dosen yang mengajar sejarah matematika, dan

sikap mahasiswa terhadap upaya memperdalam materi sejarah matematika.

Kata kunci: Sikap, Sejarah Matematika

Pendahuluan

Sejarah matematika merupakan salah satu mata kuliah wajib bagi mahasiswa program studi pendidikan matematika FKIP Unsyiah. Mata kuliah ini mendeskripsikan tentang filsafat pendidikan matematika:

matematika dan warisan budaya, perkembangan matematika, berpikir matematika, sifat kebenaran

matematika, pondasi dan landasan matematika, matematika sebagai seni dan model, serta tokoh-tokoh

matematika. Tujuan mata kuliah ini diharapkan mahasiswa memiliki wawasan tentang hakekat

matematika, filsafat matematika, dan perkembangan matematika. Oleh karena itu, mahasiswa sebagai

calon guru matematika harus menguasai sejarah matematika sebagai salah satu media dalam

melaksanakan pembelajaran di sekolah

Sikap merupakan salah satu komponen penting dalam pembelajaran matematika di perguruan tinggi.

Sikap mahasiswa terhadap matakuliah sejarah matematika dapat dipandang sebgai cerminan proses

pembelajaran yang terjadi di kelas. Proses pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk aktif melakukan aktifitas matematika dan diberi kesempatan untuk berinteraksi serta

bernegosiasi baik dengan teman sesama kelompok maupun teman pada kelompok yang lain atau

terhadap dosennya akan memungkinkan mahasiswa merasa tidak tertekan, tidak cemas, rasa percaya

diri muncul dan termotivasi untuk belajar. Bila hal tersebut dapat dikembangkan dalam proses

pembelajaran maka sikap positif mahasiswa terhadap sejarah matematika akan tumbuh. Hal ini sesuai

pendapat Ma, X (1997) mengingat adanya korelasi positif antara sikap terhadap matematika dengan

hasil belajar. Demikian juga pendapat Saiful (2006), sikap siswa yang positif terutama kepada

guru/dosen dan materi mata pelajaran/matakuliah yang disajikan merupakan pertanda awal yang baik

bagi proses belajar siswa tersebut. Sebaliknya, sikap negatif siswa/mahasiswa terhadap guru/dosen dan

materi pelajaran/matakuliah, apabila jika diiringi kebencian kepada guru/dosen maka materi yang

disajikan dapat menimbulkan kesulitan belajar siswa/mahasiswa.

Namun pengalaman tim pengasuh matakuliah sejarah matematika selama ini, sikap mahasiswa terhadap pelaksanaan perkuliahan sejarah matematika belum tumbuh optimal. Sikap mereka dalam perkuliahan

seperi kurang termotivasi dalam belajar sejarah matematika. Hal ini ditandai dengan rendahnya minat

mahasiswa membaca, bertanya atau menjawab pertanyaan dosen. Selain itu, suasana kegiatan

perkuliahan bersifat pasif. Minat mahasiswa dalam mengikuti perkuliahan sejarah merupakan salah

satu unsur yang sangat penting dalam pelaksanaan perkuliahan. Dosen perlu memberikan dan

mendorong mahasiswa untuk Hal ini ditandai dengan memperlihatkan minat dan perhatian yang serius

terhadap apa yang dipelajari. Oleh karena itu, yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah

bagaimana sikap mahasiswa terhadap pelaksanaan perkuliahan sejarah matematika.

Page 201: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

201

Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan sikap mahasiswa

terhadap pelaksanaan perkuliahan sejarah matematika program studi pendidikan matematika FKIP

Unsyiah.

Landasan Teori

Pembelajaran di Perguruan Tinggi

Menurut Hamalik (2010:57) pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur

manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan

pembelajaran. Suherman (2003:8) menjelaskan pembelajaran ditinjau dari konsep komunikasi adalah

proses komunikasi fungsional antara mahasiswa dengan dosen dan mahasiswa dengan mahasiswa dalam rangka perubahan sikap dan pola pikir yang akan menjadi kebiasaan bagi mahasiswa yang

bersangkutan. Dosen berperan sebagai komunikator, mahasiswa sebagai komunikan dan materi yang

dikomunikan berisi pesan berupa ilmu pengetahuan. Dalam komunikasi banyak arah dalam

pembelajaran, peran-peran tersebut bisa berubah yaitu antara dosen dengan mahasiwa dan sebaliknya,

serta antara mahasiswa dengan mahasiswa. Ratumanan (2004) menjelaskan pembelajaran menurut

pandangan terori konstruktivis adalah suatu kondisi dimana dosen membantu mahasiswa untuk

membangun konsep pengetahuan dengan kemampuannnya sendiri melalui konsep internalisasi

sehingga pengetahuan dapat terkonstruksi kembali. Fungsi pembelajaran adalah membagun

pemahaman terhadap informasi (pengetahuan). Proses membangun pemahaman inilah yang lebih

penting dari pada hasil belajar sebab pemahaman materi yang dipelajari akan bermakna. Tekanan

belajar tidak mengutamakan perolehan pengetahuan yang banyak tetapi yang lebih utama adalah memberi interpretasi melalui skemata yang dimiliki siswa.

Sikap Mahasiswa Terhadap Perkuliahan

Afektif merupakan salah satu komponen penting dalam pembelajaran matematika. Maker menyatakan

bahwa terdapat suatu komponen kognitif pada setiap komponen tujuan afektif dan sebaliknya juga

terdapat komponen afektif pada setiap tujuan kognitif sehingga tidak mungkin untuk memisahkan

domian kognitif dengan domain afektif dalam pembelajaran matematika. Sikap merupakan salah satu

komponen dari ranah afektif. Aiken (Ma, X, 1997) menjelaskan sikap sebagai kecenderungan seseorang

untuk merespon secara positif atau negatif suatu objek, situasi, konsep, atau orang lain. Neale (Ma X,

1997) menjelaskan sikap sebagai kurang suka atau tidak suka seseorang tentang matematika, yaitu

kecenderungan seseorang untuk terlibat atau mengindarkan dari kegiatan matematika.

Menurut Bahri (2006:130), sikap adalah gejala internal yang berdimensi efektif berupa kecenderungan

untuk mereaksi atau merespon (respon tendency) dengan cara yang relatif tetap terhadap objek orang,

barang, dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif. Sudjana (2010) menjelaskan sikap adalah

kecenderungan berperilaku pada seseorang. Sikap juga dapat diartikan reaksi seseorang terhadap suatu

stimulus yang datang kepada dirinya. Lebih lanjut Sudjana menjelaskan, ada tiga komponen sikap,

yaitu: kognisi, afeksi, dan konasi. Kognisi berkenaan dengan pengetahuan seseorang tentang objek atau

stimulus yang dihadapnya, afeksi berkenaan dengan perasaan dalam menanggapi objek tersebut, dan

konasi berkenaan dengan kecenderungan berbuat, berkenaan dengan objek. Oleh sebab itu, sikap

mahasiswa selalu bermakna bila dihadapkan kepada objek tertentu, misalnya sikap mahasiswa terhadap

matakuliah pelaksanaan perkuliahan sejarah matematika.

Hudoyo (1990:99) menjelaskan sikap adalah macam motivasi yang biasanya digunakan untuk mengacu

kepada gagasan yang berkaitan dengan emosi. Sikap ini terarah atau terpusat kepada sesuatu. Misalnya

seseorang peserta didik menyukai matematika.Tentu sikapnya itu mempengaruhi tingkah lakunya

terhadap matematika. Karena itu, sikap juga merupakan motivasi. Lebih lanjut Hudoyo menjelaskan,

sikap seringkali membuat topik baru (konsep atau teorema) dapat dipengaruhi lebih mudah atau lebih

sukar. Sikap tidak menyukai matematika merupakan salah satu hambatan untuk belajar matematika

yang efektif.

Russefendi (1988: 234) menjelaskan sikap seseorang terhadap sesuatu itu erat sekali kaitannya dengan

minat; sebagian bisa tumpang tindih , sebagai dari sikap itu merupakan akibat dari minat. Misalnya,

karena siswa berminat terhadap matematika ia suka mengerjakan pekerjaan rumah. Itu suatu pertanda bahwa siswa itu bersikap positif terhadap matematika. Lebih lanjut Russefensi menjelaskan sikap itu

paling tidak dapat dikelompokkan ke dalam tiga macam: sikap positif, sikap netral, dan sikap negatif.

Page 202: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

202

Pengelompokkan yang lebih rinci, misalnya: positif sekali, positif netral, netral dan negatif, dan negatif

sekali.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, sikap adalah kecenderungan berperilaku pada seseorang yang

meliputi kognisi, afeksi, dan konasi. Berkaitan dengan pelaksanaan perkuliahan sejarah matematika,

sikap mahasiswa terhadap pelaksanaan perkuliahan sejarah matematika adalah kecenderungan perilaku

mahasiswa yang meliputi kognisi, afeksi, dan konasi terhadap pelaksaaan perkuliahan sejarah

matematika. Misalnya seseorang mahasiswa menyukai matakuliah sejarah matematika, tentu sikapnya

juga mempengaruhi tingkah laku terhadap matakuliah sejarah matematika. Oleh karena itu, sikap juga

merupakan motivasi. Jika seorang mahasiswa sikap positif terhadap perkuliahan sejarah matematika

misalnya dosen, materi dan strategi pembelajaran maka sikap ini menujukkan pertanda yang baik bagi proses belajar mahasiswa. Sebaliknya, sikap seorang mahasiswa tidak menyukai perkuliahan sejarah

matematika maka mahasiswa akan menimbulkan kesulitan belajar sejarah matematikat. Selain itu, sikap

terhadap ilmu pengetahun yang bersifdat conservih seperti yang diuraikan sebelumnya, walaupun

mungkin tidak menimbulkan kesulitan belajar, namun yang dicapai hasil belajar yang icapai mahasiswa

kurang memuaskan.

Untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya sikap negatif siswa seperti di atas, dosen dituntut untuk

terlebih dahulu menunjukkan sikap positif terdadap dirinya dan terhadap mata kuliah yang diasuh.

Dalam hal bersikap positif terhadap mata kuliah yang diasuh, seorang dosen sangat dianjurkan untuk

senantiasa menghargai dan mencintai profesinya. Dosen yang demikian tidak hanya menguasai materi-

materi yang terdapat dalam mata kuliah yang diasuh, tetapi juga mampu meyakinkan mahasiswa akan manfaat materi matakuliah dalam kehidupan sehari-hari mereka kelak menjadi guru. Dengan meyakini

manfaat mata kuliah tertentu, mahasiswa akan merasa membutuhkannya dan dari perasaan butuh itulah

diharapkan muncul sikap positif terhadap mata kuliah sekaligus terhadap dosen yang mengajarkannya.

Menurut Russefendi (1991), sikap seseorang terhadap sesuatu (misalnya terhadap sejarah matematika)

erat kaitan dengan minat seseorang terhadap sesuatu itu. Agar mahasiswa pendidikan matematika

berminat atau tertarik terhadap sejarah matematika paling tidak mahasiswa harus dapat melihat

kegunaannya, melihat keindahannya atau karena sejarah matematika sebagai materi yang menentang.

Mungkin juga mahasiswa tertarik kepada sejarah matematika karena tokoh-tokoh matematika dan

karyanya, atau tokoh-tokoh matematika ini dapat menyelesaikan soal-soal matematika yang menentang.

Untuk mengetahui sikap mahasiswa terhadap pelaksanaan perkuliahan sejarah matematika maka

diperlukan alat ukur. Menurut Sudjana (2010), skala sikap digunakan untuk mengukur sikap seseorang

terhadap objek tertentu. Hasilnya berupa kategori sikap, yakni mendukung (positif), menolak (negatif)

dan netral. Lebih lanjut Sudjana menjelaskan skala sikap dinyatakan dalam bentuk pernyataan untuk

dinilai oleh responden, apakah pernyataan itu diukung atau ditolaknya melalui rentangan nilai tertentu.

Salah satu skala yang sering digunakan adalah skala Likert. Dalam skala Likert, pernyataan-pernyataan

yang diajukan, baik pernyataan positif maupun negatif, dinilai oleh subjek dengan sangat setuju, setuju,

tidak punya pendapat, tidak setujua dan sangat tidak setuju.

Berkaiatan penelitian ini, sikap mahasiswa terhadap pelaksanaan perkuliahan sejarah matematika dibagi

menjadi empat variabel yaitu: sikap mahasiswa terhadap tujuan dan isi matakuliah sejarah matematika,

sikap mahasiswa terhadap cara mempelajari materi sejarah matematika, sikap mahasiswa terhadap dosen yang mengajar sejarah matematika dan sikap mahasiswa terhadap upaya memperdalam materi

sejarah matematika.

Karakteritik Sejarah Matematika

Menurut Sukardjono (2003:1) menjelaskan mata kuliah filsafat dan sejarah matematika memberi

fasilitas kepada mahasiswa untuk membangun (konstruksi) pengertian, sikap dan nilai mahasiswa

tentang apa dan siapa matematika ditinjau dari filsafat dan sejarahnya sehingga terbuka kemungkinan

pembelajaran matematika di SMP atau SMA akan makin efektif. Menurut Williams (Sukardjono, 2003:

1) menyatakan tidak sesorang guru pun dapat melakukan tuganya dengan efektif dan kreatif tanpa

pemahaman yang cukup terhadap perkembangan bidang syudi yang diasuhnya. Karena itu, mata kuliah

sejarah matematika sangat penting bagi mahasiswa calon guru matematika SMP atau SMA yang tentunya setiap saat, selalu bersedia untuk meningkatkan mutu pembelajarannya. Dengan mempelajari

mata kuliah sejarah matematika, mahasiswa akan lebih mantap dan percaya diri dalam melakukan

pembelajaran matematika di kelas. Dengan kata lain, sebagai guru matematika akan makin profesional.

Page 203: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

203

Tambunan (1987) menjelaskan beberapa kegunaan dan nilai sejarah matematika untuk pembelajaran

matematika dan pengembangan matematika selanjutnya antara lain: (1) matematika disajikan sebagai

suatu subjek yang dinamis dan progresif, (2) tidak hanya mengingatkan kita tentang masa silam, tetapi

mengajar kita memperluas perbendaharaan pengetahuan kita, (3) banyak topik dalam matematika yang

dapat diajarkan kepada siswa untuk tidak mengambil kesimpulan yang tergesa-gesa, (4) banyak topik

dalam matematika yang dapat diajarkan melalui diskusi sejarahnya, (5) menghemat waktu siswa untuk

menyelesaikan soal, dengan menghindari metode yang gagal dipakai oleh ahli matematika terdahulu,

(6) siswa akan mengetahui bahwa matematika itu dikembangkan dasarnya adalah manusia, (7) semua

istilah, konsep dan kesepakatam dapat dipahami dengan baik hanya dengan referensi latar belakang

sejarah, (8) mempertimbangkan bahwa matematika adalah buatan manusia, sehingga siswa merasakan bahwa mereka juga dapat dikonstribusikan terhadap pengembangannya, (9) mengungkapkan bawah

semua cabang matematika dikembangkan berhubungan satu dengan lainnya sehingga dapat mencegah

siswa dari partisi matematika yang saling asing, (10) mengungkapkan bagaimana para ahli matematika

berjuang mati-matian untuk mengembangkan matematika sehingga membangkitkan minat siswa untuk

melakukan eksperimen.

Metode Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian yang dikemukakan sebelumnya, penelitian termasuk jenis penelitian

survey dengan pendekatan penelitian deskriptif. Populasi penelitian ini adalah mahasiswa program studi

pendidikan matematika FKIP Unsyiah tahun akademik 2012/2013. Sedangkan sampel adalah

mahasiswa yang diambil secara acak dari 123 orang sebanyak 30 orang mahasiswa.

Data yang menyatakan sikap mahasiswa terhadap pelaksanaan perkuliahan sejarah matematika

dikumpulkan dengan menggunakan angket. Teknik penyusunan angket mengacu pada skala Likert.

Setiap butir skala sikap tersebut terdiri dari penyataan positif dan pernyataan negatif. Banyak butir

pernyataan adalah 15 butir dan setiap pernyataan dilengkapi lima pilihan jawaban, yaitu sangat setuju

(SS), setuju (S), ragu-ragu atau tidak tahu (RR), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Teknik

analisis data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan statitik deskriptif. Analisis data

dilakukan dengan menghitung prosentase responden memilih setiap butir pernyataan tentang sikap

mahasiswa.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Hasil penelitian terhadap 30 mahasiswa yang mengisi angket sikap mahasiswa terhadap pelaksanaan

perkuliahan sejarah matematika dibagi menjadi 4 sikap yaitu: sikap mahasiswa terhadap tujuan dan isi

matakuliah sejarah matematika, sikap mahasiswa terhadap cara mempelajari materi sejarah matematika,

sikap mahasiswa terhadap dosen yang mengajar sejarah matematika dan sikap mahasiswa terhadap

upaya memperdalam materi sejarah matematika.

Sikap Mahasiswa terhadap Tujuan dan Isi Matakuliah Sejarah Matematika

Hasil jawaban mahasiswa terhadap butir pernyataan adalah saya tidak perlu memahami tujuan

perkuliahan sejarah matematika mahasiswa menjawab: 6,67 tidak setuju dan 93,3% menjawab sangat

tidak setuju. Sikap ini termasuk dalam kategori sikap menolak (negatif). Respon mahasiswa terhadap isi mata kuliah sejarah matematika tidak sesuai dengan kehidupan sehari-hari diperoleh 83,3%

mahasiswa tidak setuju dan 16,7% mahasiswa sangat tidak setuju. Sikap ini termasuk sikap menolak

(negatif). Respon mahasiswa terhadap materi sejarah matematika diterapkan dalam menyelesaikan

soal-soal matematika sekolah diperoleh 30 % mahasiswa sangat setuju dan 70% mahasiswa setuju.

Respon ini termasuk dalam kategori respon mendukung (positip). Sikap terakhir pada bagian ini adalah

30% mahasiswa sangat setuju dan 70% setuju bahwa mahasiswa merasa banyak matakuliah lain yang

memerlukan materi sejarah matematika. Sikap ini termasuk dalam kategori sikap mendukung (positif).

Sikap Mahasiswa terhadap Cara Mempelajari Materi Sejarah Matematika

Hasil jawaban mahasiswa terhadap butir pernyataan adalah matakuliah sejarah matematika harus menarik minat mahasiswa menjawab: 6,67 % sangat setuju dan 93,3 % setuju. Sikap mahasiswa

terhadap mahasiswa merasa untuk mempelajari mata kuliah sejarah matematika perlu banyak membaca

buku-buku diperoleh 6,67% sangat setuju dan 93,3% setuju. Sikap ini termasuk kategori sikap

Page 204: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

204

mendukung (positif). Sikap mahasiswa terhadap mahasiswa semakin banyak buku, modul, bahan ajar

sejarah matematika yang saya pelajari semakin jelas materi yang dipelajari diperoleh 10 % sangat setuju

dan 90 % setujua. Sikap mahasiswa terhadap bahwa paham terhadap materi yang disajikan dalam mata

kuliah sejarah matematika belum menjamin senang terhadap mata kuliah sejarah matematika diperoleh

10% sangat setuju dan 90 % setuju. Kedua sikap ini termasuk kategori sikap mendukung (positif).

Sikap Mahasiswa terhadap Dosen yang Mengajar Sejarah Matematika

Hasil jawaban mahasiswa diperoleh: matakuliah sejarah matematika harus menarik minat mahasiswa

menjawab diperoleh 6,67 % sangat setuju dan 93,3 % setuju. Sikap mahasiswa terhadap materi sejarah

matematika perlu dipelajari dengan menggunakan media pembelajaran diperoleh 10% sangat setuju dan 90 % setuju. Sikap mahasiswa terhadap mahasiswa senang bila dosen sejarah matematika memberi

pekerjaan rumah diperoleh 26,67% sangat setuju, 66,76% setuju dan 6,67 % ragu-ragu. Ketiga sikap

mahasiswa tersebut termasuk kategori sikap mendukung (positif).

Sikap Mahasiswa terhadap Upaya Memperdalam Materi Sejarah Matematika.

Hasil jawaban mahasiswa diperoleh: mahasiswa berpendapat soal-soal sejarah matematika tidak sulit

apabila diselesaikan dengan sungguh-sungguh diperoleh 6,67% sangat setuju dan 93,3% setuju. Sikap

mahasiswa terhadap mempelajari materi sejarah matematika memerlukan berbagai buku, modul, dan

bahan ajar diperoleh 10% sangat setuju dan 90 % setuju. Kedua sikap ini termasuk kategori sikap

mendukung (positif).

Berdasarkan hasil analisis diperoleh sikap mahasiswa terhadap tujuan dan isi matakuliah sejarah

matematika yaitu sikap menolak terhadap tidak perlu memahami tujuan perkuliahan sejarah matematika

mahasiswa dan sikap menolak terhadap isi mata kuliah sejarah matematika tidak sesuai dengan

kehidupan sehari-hari. Sedangkan sikap mendukung terhadap materi sejarah matematika diterapkan

dalam menyelesaikan soal-soal matematika sekolah dan banyak matakuliah lain yang memerlukan

materi sejarah matematika. Sikap mahasiswa terhadap cara mempelajari materi sejarah matematika

yaitu: sikap mendukung terhadap matakuliah sejarah matematika harus menarik minat mahasiswa dan

mahasiswa merasa untuk mempelajari mata kuliah sejarah matematika perlu banyak membaca buku-

buku, sikap menerima terhadap mahasiswa semakin banyak buku, modul, bahan ajar sejarah

matematika yang saya pelajari semakin jelas materi yang dipelajari, dan sikap menerima terhadap memahami terhadap materi yang disajikan dalam mata kuliah sejarah matematika belum menjamin

senang terhadap mata kuliah sejarah matematika. Sikap mahasiswa terhadap dosen yang mengajar

sejarah matematika yaitu sikap mahasiswa mendukung terhadap matakuliah sejarah matematika harus

menarik minat mahasiswa menjawab dan mendukung terhadap materi sejarah matematika perlu

dipelajari dengan menggunakan media pembelajaran, dan sikap senang bila dosen sejarah matematika

memberi pekerjaan rumah. Sikap mahasiswa terhadap upaya memperdalam materi sejarah matematika,

yaitu sikap mendukung terhadap soal-soal sejarah matematika tidak sulit apabila diselesaikan dengan

sungguh-sungguh dan mendukung terhadap mempelajari materi sejarah matematika memerlukan

berbagai buku, modul, dan bahan ajar.

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa sikap mahasiswa terhadap mata

kuliah sejarah matematika yaitu sikap mahasiswa terhadap tujuan dan isi matakuliah sejarah

matematika, sikap mahasiswa terhadap cara mempelajari materi sejarah matematika,sikap mahasiswa

terhadap dosen yang mengajar sejarah matematika, dan sikap mahasiswa terhadap upaya memperdalam

materi sejarah matematika. Dengan demikian kepada dosen khususnya matakuliah sejarah matematika

dan matakuliah lainnya untuk meningkatkan sikap baik mahasiswa terhadap pelaksanaan perkuliahan.

Daftar Pustaka

Bahri, Saiful, dkk. (2008). Psikologi Pendidikan. Darusalam: FKIP Unsyiah

Herman, Hudoyo. (1990). Strategi Mengajar Belajar Matematika. Malang: IKIP Malang

Page 205: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

205

Ma, X. (1997). Assessing the Relationship Between Attitude Toward Mathematics and Achievement in

mathematics: A Meta-Analisis. Juornal for Research in Mathematics Education, 28 (1) 26-

47.

Russefendi. E.T.(1991). Pengantar Kepada Membantu Guru mengembangkan Kompetensinya dalam

Pengajaran Matematika untuk meningkatkan CBSA. Perkembangan Kompetensi Guru.

Bandung: Tarsito

Sudjana, Nana. (2010). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya

Sudjana, Nana dan Ibrahim. (2001). Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Jakarta: Sinar Baru Algensindo

Sukardjono. (2003). Filsafat dan Sejarah Matematika. Jakarta: Universitas Terbuka

Tambunan, G. (1987). Materi Pokok 2 Hakikat Pengajaran dan Sejarah Matematika. Jakarta:

Universitas Terbuka

Page 206: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

206

PENERAPAN MODEL KOLB’S LEARNING STYLE (KLS) DALAM

MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MATERI

LINGKARAN KELAS VIII SEMESTER II DI SMP NEGERI 16 BANDA

ACEH TAHUN PELAJARAN 2009/2010

Siti Nurbaya

Guru SMP Negeri 16 Banda Aceh

Abstrak. Rumusan masalah dalam penelitian tindakan kelas ini adalah Apakah Model

Pembelajaran Kolb’s Learning Style dapat meningkatkan hasil belajar siswa SMP Negeri

16 Banda Aceh Tahun Pelajaran 2009/2010. Tujuan dari penelitian tindakan kelas ini

Untuk meningkatkan hasil belajar siswa melalui Model Pembelajaran Kolb’s Learning

Style yang diajarkan dikelas. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP 16 Banda Aceh Tahun Pelajaran 2009/2010. Dalam penelitian ini dipilih satu kelas yaitu

kelas VIII berjumlah 26 orang. Alat yang digunakan dalam pengumpulan data pada

penelitian ini adalah Tes dan Observasi. Peningkatan hasil penguasaan materi lingkaran

dapat dilihat juga dari hasil evaluasi siswa. Hasil penelitian sebelum diberi tindakan,

tingkat ketuntasan belajar siswa secara klasikal hanya sebesar 34,6%, setelah pemberian

tindakan melalui pembelajaran dengan model Kolb Learning Style pada siklus I tingkat

ketuntasan belajar siswa secara klasikal sebesar 65,3%, ini berarti terjadi peningkatan

sebesar 30,7% dari tes sebelumnya. Kemudian setelah pemberian tindakan pada siklus II

melalui pembelajaran model Kolb Learning Style diperoleh tingkat ketuntasan belajar

siswa secara klasikal sebesar 84,6%, ini berarti mengalami peningkatan sebesar 21,3%.

Dengan melakukan tindakan melalui model Kolb Learning Style dikelas VIII SMP 16

Banda Aceh dapat meningkatkan hasil belajar siswa, karena siswa lebih laluasa untuk menyelesaikan soal secara induvidual materi lingkaran.

Kata kunci: penerapan model kolb’s (KLS), meningkatkan hasil belajar matematika,

lingkaran.

Pendahuluan

Kurikulum matematika disempurnakan untuk meningkatkan mutu pendidikan matematika. Pendidikan

matematika merupakan salah satu wahana untuk meningkatkan kualitas manusia, terutama ditengah

kemajuan IPTEK seperti sekarang ini. Dengan demikian, tuntutan untuk terus menerus memuktahirkan

pengetahuan matematika menjadi suatu keharusan. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan relevansi program pembelajaran matematika dengan keadaan dan kebutuhan setempat.

Memperhatikan bahwa matematika menempati posisi penting dalam sistem pendidikan maka

seharusnya pembelajaran matematika.

Dari uraian diatas dapat diasumsikan bahwa mata pelajaran matematika mempunyai nilai yang strategis

dan penting dalam mempersiapkan siswa yang unggul dan pintar. Hal yang menjadi hambatan selama

ini dalam pembelajaran matematika kelas VIII SMP Negeri 16 Banda Aceh adalah disebabkan kurang

dikemasnya pembelajaran matematika dengan model atau metode pembelajaran yang menarik,

menantang dan menyenangkan.

Rendahnya kreatifitas siswa dalam proses belajar mengajar dapat mengakibatkan proses belajar menjadi kurang optimal sehingga materi yang disajikan menjadi tidak tuntas.

Melihat situasi dan kondisi kelas VIII SMP Negeri 16 Banda Acehyang berjumlah 26 siswa, dalam segi

kreatifitas dari 26 siswa yang mampu mengembangkan imajinasinya hanya 5 siswa maka persentasenya

sebesar 19,2%. Dan kemampuan untuk menjawab pertanyaan dari 26 siswa hanya 15 siswa saja yang

mampu maka persentasenya sebesar 57,69 %.

Page 207: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

207

Untuk melibatkan siswa secara fisik dan menumbuhkan kreatifitas pola berfikir, penggunaan model

pembelajaran harus dilakukan. Sementara itu menumbuhkan kreatifitas belajar siswa terhadap pelajaran

matematika dalam proses pembelajaranya dapat menggunakan model kolb’s learning style (KLS).

Dalam proses belajar menurut KLS terdapat dua aspek atau dimensi yakni pengalaman langsung yang

konkrit pada satu pihak dan konseptualisasi abstrak pada pihak lain. Menyadari hal ini sudah sepatutnya

diusahakan perbaikan pembelajaran yang salah satunya dengan lebih memfokuskan pada pembelajaran

yang mengaktifkan siswa.

Berdasarkan data-data diatas maka peneliti terdorong untuk melakukan penelitian dengan judul : ”

Penerapan Model Kolb’s Learning Style (KLS) dalam Meningkatkan Hasil Belajar Matematika

Materi Lingkaran Kelas VIII Semester II di SMP Negeri 16 Banda Aceh Tahun Pelajaran

2009/2010”.

Rumusan Masalah Adapun yang menjadi rumusan masalahnya dalam penelitian ini adalah :

Apakah Model Pembelajaran Kolb’s Learning Style dapat meningkatkan hasil belajar siswa

SMP Negeri 16 Banda Aceh ?

Bagaimana aktifitas siswa selama mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model Kolb’s

Learning Styel .

Tujuan Penelitian Berpedoman pada rumusan masalah diatas maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagi

berikut:

Untuk meningkatkan hasil belajar siswa melalui Model Pembelajaran Kolb’s Learning Style

yang diajarkan dikelas.

Untuk mengetahui aktifitas hasil belajar siswa selama mengikuti pembelajaran dengan

menggunakan model Kolb’s Learning style.

Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi :

Guru, yaitu sebagai informasi untuk memberikan gambaran tentang hasil belajar siswa dengan

menggunakan model pembelajaran Kolb’s Learning Style.

Sekolah, yaitu sebagai sumbangan pemikiran dalam rangka perbaikan pengajaran.

Peneliti, yaitu untuk menambah wawasan penulis menjalankan tugas sebagai pengajar masa

yang akan datang.

Landasan Teoritis

Pengertian Belajar Matematika Pengertian belajar adalah suatu proses perubahan yang terjadi pada diri seseorang. Perubahan itu dapat

terjadi dalam bidang keterampilan, kebiasaan, sikap, pengertian, pengetahuan, atau aprsiasi.

Beberapa pandapat Menurut Para ahli tentang pengertian pembelajaran :

Menurut G.A. Kimble dan Lisnawati (2002: 38) menyatakan bahwa “Belajar adalah perubahan yang

relative menetap dalam potensi tingkah laku yang terjadi sebagai hasil latihan”.

Menurut Edward walker (1973: 66) menyatakan bahwa “Belajar adalah suatu perubahan dalam

pelaksanaan tugas yang terjadi sebagai hasil pengalaman dan tidak ada sangkutpautnya dengan

kematangan rohani”.

Manurut Slameto (2003: 2) pengertian belajar dapat diartikan sebagai berikut : “Belajar ialah suatu

proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru

secara keseluruhan sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.”

Menurut Sudirman AM (1992: 23) menyatakan bahwa “Belajar adalah perubahan tingkah laku atau

penampilan dengan serangkaian kegiatan, misalnya membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan

sebagainya’’

Page 208: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

208

Dari pendapat para ahli diatas, belajar dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku ynag kegiatannya

terproses dan disertai dengan usaha-usaha serta merupakan unsur yang sangat mendasar dalam

penyelesaian setiap jenis dan jenjang pendidikan dan tidak terlepas dari pengaruh lingkungan

Selanjutnya Hudoyo (1988: 3) mengatakan “Mempelajari matematika haruslah bertahap dan berurutan

serta berdasarkan kepada pengalaman belajar yang lalu”. Hal ini dikarenakan matematika itu memiliki

objek dasar itu berkembang menjadi objek lain, misalnya pola-pola dan struktur dalam matematika.

Oleh sebab itu Hudoyo (1988: 4) melanjutkan bahwa “ Belajar matematika yang terputus-putus akan

mengganggu terjadinya proses belajar”.

Pengertian Hasil Belajar

Keberhasilan belajar diartikan bahwa suatu proses belajar mengajar tentang suatu bahan pengajaran

dinyatakan berhasil apabila satuan pengajarannya telah tercapai. Hasil belajar adalah kapasitas orang

memungkinkan beragam penampilan. Hal ini sesuai dengan beberapa pendapat, diantaranya hasil

belajar adalah suatu perubahan yang terjadi pada individu yang belajar, bukan saja perubahan yang

mengenai pengetahuan tetapi juga perubahan membentuk kecakapan, kebiasaan, sikap pengertian dan

penguasaan dalam diri individu yang belajar.

Jika menginginkan hasil belajar yang baik dan memuaskan, maka siswa tersebut harus belajar dibarengi

dengan sikap ketekunan, ketahanan, dan keuletan serta keinginan yang kuat untuk belajar. Namun untuk memperoleh hasil ynag baik juga tidak terlepas dari cara atau metode yang digunakan guru dalam

menyajikan pelajaran.

Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar yaitu :

a. Kematangan kecerdasan

b. Latihan dan Ulangan

c. Sifat-sifat pribadi seorang anak didik.

d. Keadaan keluarga dan lingkungan

e. Guru dan cara mengajar

f. Alat-alat pengajaran.

Pengertian Model Pembelajaran Matematiaka

Menurut Briggs (dalam wina sanjana, 2006: 23) bahwa “model adalah seperangkat prosedur yang

berurutan untuk mewujudkan suatu proses, seperti penilaian kebutuhan, pemilihan media dan evaluasi”.

Sedangkan menurut harjanto (2008: 34) bahwa model adalah “kerangka konseptual yang digunakan

sebagai pedoman dalam melakukan kegiatan”. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka yang dimaksud

dengan model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang menyajikan prosedur yang sistematis

dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar.

Model pada pembelajaran matematika memiliki peranan yang sangat penting dalam pembelajaran

karena model-model matematika akan membawa setiap siswa untuk menjadi lebih efektif dalam belajar.

Tentunya seorang guru dituntut untuk mampu mengembangkan serta menerapkannya dalam proses pembelajaran. Sehingga dengan demikian efektifitas pembelajaran matematika akan berjalan dengan

baik dan berkualitas. Tentunya model yang diterapkan harus juga dilihat berdasarkan kepada tingkat

psikologi dari setiap pembelajaran sehingga siawa pun dapat mengaplikasikan dan menerapkannya

sesuai dengan kemampuan daya berfikir mereka.

Pengertian Gaya Belajar Ada beberapa defenisi tentang gaya belajar yang dikemukakan oleh para ahli :

Ardhana dan willis dalam yosep gobai menyatakan bahwa gaya belajar atau learning style adalah suatu

karakteristik kognitif, efektif dan perilaku psikomotoris sebagai indicator yang bertindak relatife stabil

untuk belajar merasa saling berhubungan dengan bereaksi terhadap lingkungan belajar.

Menurut Gunawan menyatakan bahwa gaya belajar adalah cara yang lebih kita sukai dalam melakukan

kegiatan berfikir, memproses dan mengerti suatu informasi. Gordon Driden (2005: 94) mendefenisikan

Page 209: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

209

gaya belajar adalah “gaya belajar adalah pola siswa yang konsisten dari tingkah laku dan penampilan

dalam pendekatan secara indivudu terhadap pengalaman kerja”.

Dari ketiga defenisi tersebut diatas dapat dijelaskan bahwa gaya belajar dimiliki seseorang secara

individual. Oleh karena itu gaya belajar adalah cara yang konsisten yang dilakukan oleh seorang murid

dalam menangkap stimulus atau informasi, cara mengingat, berfikir dan memecahkan soal.

Ciri-ciri atau karakteristik perilaku siswa yang gaya belajar berdasarkan modalitasnya menurut Gorden

Driden (2005: 116-118) :

a. Gaya Belajar Visual ( gaya belajar dengan cara melihat )

rapi dan teratur.

berbicara dengan tepat.

mengingat apa yang dilihat, dari pada yang didengan.

lebih suka membaca dari pada yang dibacakan.

lebih suka seni dari pada musik.

b. Gaya Belajar Auditorial ( gaya belajar dengan cara mendengar )

mudah terganggu oleh keributan.

mengerakan bibir dan bersuara saat membaca

senang membaca dengan keras dan mendengarkan

suka berbicara, suka berdiskusi, dan menjelaskan sesuatu panjang lebar.

lebih suka musik dari pada seni.

c. Gaya Belajar Kinestetik ( gaya belajar dengan cara bergerak, bekerja, dan menyentuh).

menganggapi perhatian fisik

mengingat sambil berjalan dan melihat.

menggunakan jari sebagai penunjuk ketika membaca.

banyak menggunakan isyarat lebih.

Pengertian Pembelajaran Kolb’s Learning Style (KLS). Gaya belajar model Kolb terimplisit dalam resource based learning (belajar berdasarkan sumber) yang

mengajak siswa melakukan observasi untuk memecahkan masalah. Menurut David Kolb (Nasution

2005: 111), gaya belajar model kolb ialah “gaya belajar yang melibatkan pengalaman baru siswa,

mengembangkan observasi/merefleksi, menciptakan konsep, dan menggunakan teori untuk

memecahkan masalah”. Gaya belajar model kolb dapat dilakukan siswa baik secara kelompok maupun individu.

Menurut model ini belajar berlangsung melalui 4 fase atau tahap yaitu :

a. Individu memperoleh pengalaman langsung yang konkrit.

b. Kemudian ia mengembangkan observasinya dan memikirkan atau merefleksikannya.

c. Dari itu dibentuknya generalisasi dan abstraksi.

d. Implikasi yang diambilnya dari konsep-konsep itu dijadikanya sebagai pegangannya dalam

menghadapi pengalaman pengalaman baru.

Jadi agar siswa yang efektif harus mempunyai empat macam kemampuan, dapat dilihat dari tabel:

Tabel

Kemampuan

Uraian

Pengutamaan

1. Concrete Experience (CE) Siswa melibatkan diri

sepenuhnya dalam

pengalaman baru.

Feeling (perasaan)

2.Reflection Observation ( RO

)

siswa mengobservasi dan

merefleksikan atau

memikirkan pengalamanya

dari berbagai segi.

Watching (mengamati)

Page 210: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

210

3. Abstract Conceptuali- zation (AC)

siswa menciptakan konsep-konsep yang

mengintegrasikan obsevsinya

menjadi teori yang sehat

Thuinking (berfikir)

4.Active Experimentation(AE) Siswa menggunakan teori itu

untuk memecahkan masalah-

masalah dan mengambil

keputusan.

Doing (berbuat)

Dalam proses belajar menurut kolb terdapat dua aspek atau dimensi yakni pengalaman langsung yang konkrit (CE) pada suatu pihak dan konseptualisasi abstrak (AC) pada pihak laen. Dimensi kedua ialah

: eksperientasi aktif (AE) pada suatu dan observasi reflektif (RO) pada pihak lain. Individu selalu

mencari kemampuan belajar tertentu dalam situasi tertentu. Jadi individu itu dapat beralih dari pelaku

(AE) menjadi pengamat (RO) dan dari keterlibatan langsung (CE) menjadi analisis abstrak (AC).

Untuk menentukan gaya belajar orang, Kolb menciptakan suatu Laerning Style Inventory (LSI) dan

membedakan 4 tipe gaya siswa, yaitu:

1. Converger

Siswa ini lebih suka belajar bila dihadapinya soal yang mempunyai jawaban tertentu. Bila mereka

menghadapi tugas atau masalah, mereka berusaha menemukan jawaban yang tepat. Kemampuan utama mereka adalah AC dan AE. Biasanya minat mereka terbatas dan cenderung untuk mengkhususkan diri

dalam ilmu pengetahuan alam.

2. Diverger

Siswa ini lebih mengutamakan CE dan RO, kebalikan dari “converger”. Kekuatan mereka terletak pada

kemampuan imajinasi mereka. Bidang pekerjaan yang sesuai dengan tipe ini antara lain, counseling,

urusan personalia, dan pengembangan organisasi.

3. Assimilator

Cara belajar kelompok ini terutama bersifat AC dan RO. Mereka menunjukan kemampuan yang

tinggi dalam menciptakan model teori. Bidang studi yang mereka sukai ialah science dan matematika

dan pekerjaan yang sesuai bagi mereka ialah perencanaan dan penelitian.

4. Accomodator

Accommodator ini bertentangan minatnya dengan assimilator. Mereka ini justru tertarik pada

pengalamn yang konkrit (CE) dan eksperimentasi aktif(AE). Mereka suka akan pengalaman baru dan

melakukan sesuatu. Bidang study yang serasi bagi mereka ialah lapangan usaha dan tehnik dan

menyukai pekerjaan dalam penjualan dan pemasaran.

Sehingga menurut Kolb belajar itu merupakan perkembangan. Proses perkembangan itu melalui 3

fase, yakni :

1. fase “ acquisition” dimana seorang mengumpulkan pengetahuan,

2. fase “ spesialisasi” dimana ia memusatkan perhatianya kepada bidang tertentu, 3. fase “ integrasi “ damana ia menaruh minat untuk gaya belajar yang selama ini kurang

digunakannya, dan dengan demikian memperoleh minat dan tujuan hidup baru.

Penerapan Gaya Belajar Model Kolb dalam pembelajaran matematika Gaya belajar model kolb dapat dilakukan siswa, baik secara kelompok maupun individu. Secara

kelompok yang berpedoman pada petunjuk winarno (2003: 23) langkah-langkah penerapan gaya belajar

model kolb pada mata pelajaran matematika yaitu :

Kegiatan Awal :

1. Guru membagi siswa dalam kelas menjadi beberapa kelompok.

2. Tiap kelompok terdiri dari 3 siswa.

Kegiatan Inti :

1. Pelibatan siswa.

Page 211: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

211

- Guru memotifasi siswa.

- Guru menjelaskan materi pelajaran.

- Guru memberikan appersepsi kepada siswa dengan berbagai pertanyaan untuk menarik minat

siswa dalam belajar.

2. Observasi.

- Setiap kelompok diberikan sebuah kaleng kosong.

- Siswa mengamati bentuk lingkaran pada permukaan kaleng.

- Dengan memanfaatkan kertas kosong (kertas karton ) siswa disuruh menjiplak lingkaran

permukaan kertas kaleng.

- Dengan menggunakan gunting, siswa menggunting sekeliling lingkaran yang telah diberi garis

(menjiplak) - Hasil guntingan dilipat sehingga saling menutupi dengan tepat, maka bekas lipatan tersebut

merupakan garis tengah/ diameter lingkaran.

- Guru berkeliling membantu siswa yang kesulitan dalam mengerjakan.

3. Menciptakan konsep.

- Siswa menentukan nilai pi sebuah lingkaran yang berpedoman pada rumus :. dengan pembulatan

sampai dua desimal maka akan didapatkan hasil yang mendekati 3,14 atau disimbolkan π.

diameterngkarankelilingli

- Siswa diajak berfikir untuk menemukan konsep rumus mencari lingkaran: πd.

- Tiap kelompok mempresentasikan hasil proses dan hasil pengamatan tersebut kedepan kelas.

4. Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.

- Setelah siswa dapat melakukan kegiatan tersebut maka untuk memantapkan pengertian siswa tentang mencari keliling lingkaran, guru memberikan tugas untuk dikerjakan siswa secara

perorangan.

- Guru berkeliling membantu siswa yang mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugas.

Kegiatan Penutup:

Guru bersama siswa membuat rangkuman pelajaran tentang konsep geometri dan pengukuran

khususnya pada pokok bahasan keliling dan luas lingkaran.

Kerangka Konseptual Salah satu faktor yang menyebabkan kurang berkembangnya aktifitas siswa dalam belajar adalah dalam

penggunaan metode mengajar yang monoton dan pembelajaran yang masih didominasi oleh guru. Gaya

belajar adalah salah satu yang memegang peranan penting dalam menentukan cara individu mengamati dan menangggapi lingkungan belajar yang banyak melibatkan siswa. Siswa dipandang sebagai subjek

pembelajaran yang harus berperan dalam aktifitas pembelajaran.

Model gaya belajar kolb merupakan alternative untuk lebih mengaktifkan siswa dalam pembelajaran,

dengan model ini siswa dapat mendengar dengan aktif, menjelaskan pada teman, bertanya pada guru,

berdiskusi pada siswa lain menenggapi pertanyaan dan berargumentasi. Semakin banyak aktifitas

pembelajaran yang dilakukan pemahaman siwa semakin bertambah. Jika pemahaman bertambah maka

hasil belajar siswa akan meningkat.

Simpulan dan Saran

Simpulan

Penggunaan Model Kolb Learning Style ternyata dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada

pokok bahasan lingkaran.

Penguasaan siswa terhadap materi pembelajaran meningkat. Hal ini dapat ditunjukan dengan

ketuntasan hasil tes siswa. Berdasarkan hasil observasi terhadap aktifitas guru dalam proses

pembelajaran pada siklus I mencapai 69,16 % kemudian pada siklus II meningkat menjadi 76,5%.

Selama proses belajar mengajar berlangsung terlihat antusias siswa giat lagi belajar matematika. Secara klasikal sebelum menggunakan Model Kolb Learning Style mencapai 34,5 % meningkat

menjadi 65,3 % pada siklus I kemudian pada siklus II meningkat menjadi 84,6%. Berarti terjadi

peningkatan sebanyak 30,8 % pada tes awal kesiklus I dan 19,3 % dari siklus I ke siklus II.

Aktivitas siswa dalam proses pembelajaran pada siklus I mencapai 67,6 % dan pada siklus II

meningkat menjadi 77,0 %.

Page 212: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

212

Saran

Saran yang bisa diberikan untuk seorang guru: dalam mengajar perlu memperhatikan metode atau model

baru sehingga dalam mengajar tidak monoton sehingga siswa tidak merasa bosan dan menganggap

matematika sebagai pelajaran yang menyenangkan.Selanjutnya guru memotivasi siswa untuk berani

bertanya atau mengemukakan pendapat. Dan selain itu dalam mengajar seorang guru perlu menjadikan

siswa sebagai jiwa dengan potensi yang lebih, sehingga guru cukup sebagai fasilitator agar siswa dapat

mengembangkan kemampuannya dengan sebaik-baiknya.

Selain itu saran yang bisa diberi untuk seorang Siswa yaitu : dalam menyelesaikan soal harus teliti dan

siswa dalam menyelesaikan soal matematika harus paham terlebih dahulu apa pertanyaan yang diminta

oleh soal tersebut.

Dan terakhir saran untuk Sekolah: sebaiknya mengupayakan bermacam-macam model dalam mengajar

dengan menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan

DAFTAR PUSTAKA

Arends, Richardl. (1997). Classroom Instructional Management, New York: The Mc Graw – Hill

Company.

Djumanta, Wahyudin. (2008). Buku Matematika untuk Kelas VIII SMP / MTs, Bandung: Grafindo.

Ismail. (2003). Model-model Pembelajaran, Jakarta: Dit. Pendidikan Lanjutan Pertama.

Nur, M., Wikandri, P.R. dan Sugiarto, B. (1998). Teori Pembelajaran Sosial dan Teori Pembelajaran

Perilaku, Surabaya: Program Pascasarjana, IKIP, Surabaya.

Nur, M. (1998). Psikologi Pendidikan: Fondasi Untuk Pengajaran, Surabaya, IKIP Surabaya.

Nurkencana, Wayan. (1986). Evaluasi Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional.

Slameto. (2003). Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta : Rieneka Cipta.

Soegito, E. dan Nuraini, E. (2003). Kemampuan Proses Belajar, Jakarta: Universitas Terbuka.

Sudjana. (2002). Metode Statistik. Bandung: Tarsito.

Suyatno. (2009). Menjelajah Pembelajaran Inovatif. Surabaya: Masmedia Buana Pustaka.

Riyadi, Slamet. (2008). Buku Matematika Be Smart Kumpulan Soal untuk Kelas VIII SMP / MTs,

Bandung: Grafindo.

Page 213: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

213

PENDEKATAN PEMBELAJARAN INDUKTIF PADA MATERI

BANGUN RUANG PRISMA DAN LIMAS DI MTSN RUKOH

TAHUN PELAJARAN 2013/2014

Sri Wahyuni1, R.M. Bambang S2, dan Musafir Kumar3

1Departemen Matematika, Universitas Syiah Kuala, Aceh 2,3 Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala

Email: [email protected]

Abstrak. Pendekatan induktif adalah suatu cara mengajar yang penyajian topik atau

materi dikembangkan berdasarkan pemikiran induktif, yaitu berjalan dari yang konkret

ke abstrak atau dari yang khusus ke umum dan dari contoh-contoh menuju ke

umumPembelajaran dengan melibatkan pola pikir induktif efektif untuk mengajarkan

suatu konsep matematika, dan memberi peluang kepada siswa untuk memahami konsep atau memperoleh generalisasi dengan cara yang lebih bermakna. Pemahaman konsep

dapat mempengaruhi hasil belajar siswa. Sehubungan dengan permasalahan tersebut,

maka penulis melakukan penelitian terhadap siswa kelas VIII MTsN Rukoh dengan

tujuan untuk mengetahui ketuntasan hasil belajar siswa dengan menggunakan pendekatan

pembelajaran induktif pada materi bangun ruang prisma dan limas. Hipotesis dalam

penelitian ini adalah Penerapan pendekatan pembelajaran induktif mencapai tingkat

ketuntasan belajar siswa pada materi bangun ruang prisma dan limas di kelas VIII MTsN

Rukoh. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif. Pengumpulan data

dilakukan dengan tes hasil belajar siswa. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh

siswa kelas VIII MTsN Rukoh tahun ajaran 2013/2014. Sedangkan sampelnya adalah

siswa kelas VIII MTsN Rukoh yang terdiri dari 6. Data diolah dan dianalisis

menggunakan uji-t dua pihak yaitu pihak kanan. Dari hasil pengolahan data didapat

𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 3,13, pada taraf signifikan 𝛼 = 0,05 nilai 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 1,70. Dengan demikian

nilai 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 , maka hipotesis dalam penelitian ini diterima. Dengan demikian

disimpulkan bahwa Penerapan pendekatan pembelajaran induktif mencapai tingkat

ketuntasan belajar siswa pada materi bangun ruang prisma dan limas kelas VIII MTsN

Rukoh.

Kata kunci: pendekatan induktif, ketuntasan hasil belajar.

PENDAHULUAN

Belajar adalah suatu kegiatan yang tidak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Kegiatan belajar dapat

mengembangkan potensi-potensi yang dibawa sejak lahir. Menurut trianto (2009:9) “belajar adalah adanya perubahan tingkah laku karena adanya suatu pengalaman”. Perubahan tingkah laku tersebut

dapat berupa perubahan keterampilan, kebiasaan, sikap, pengetahuan. Adapun pengalaman dalam

proses belajar merupakan interaksi antara individu dengan lingkungannya. Komponen-komponen yang

ada dalam kegiatan pembelajaran adalah guru dan siswa. Seorang guru dituntut mempunyai

pengetahuan, keterampilan dan sikap yang profesional dalam memberikan pembelajaran terhadap

siswa-siswanya.

Pengetahuan, keterampilan dan sikap yang profesional seorang guru berkaitan dengan kemampuan guru

untuk mengelolah program pembelajaran yang didalamnya mencakup kemampuan untuk

mengolaborasikan kemampuan peserta didik, merencanakan program pembelajaran, melaksanakan

program pembelajaran dan mengevaluasi program pembelajaran.

Selain guru, dalam kegiatan belajar mengajar siswa dituntut untuk selalu aktif memproses dan mengolah perolehan belajar. Untuk dapat memproses dan mengolah perolehan belajaranya secara efektif siswa

dituntut secara fisik, intelektual dan emosional menurut ramly (2007:31) “pembelajaran hanya

Page 214: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

214

berlansung manakala usaha tertentu telah dibuat untuk mengubah suatu keadaan sedemikian rupa

sehingga suatu hasil belajar tertentu dapat dicapai”.

Masalah utama dalam pembelajaran pada pendidikan saat ini adalah masih rendahnya daya serap peserta

didik. Hal ini tampak dari rata-rata hasil belajar peserta didik yang masih memprihatinkan. Prestasi ini

tentunya merupakan hasil kondisi pembelajaran yang masih bersifat konvensional dimana guru masih

mendominasi proses belajar mengajar sehingga siswa kurang berkembang secara mandiri melalui

penemuan dalam proses berpikirnya.

Masalah ini juga terjadi pada pembelajaranan matematika, matematika yang bersifat abstrak membuat

sulit dimengerti oleh sebagian besar siswa. Dalam mempelajari matematika membutuhkan penalaran,

pengertian, pemahaman dan aplikasi yang tinggi, sehingga matematika perlu disajikan dengan tepat.

Penalaran merupakan suatu proses berpikir yang dilakukan dengan suatu cara untuk menarik

kesimpulan. Kesimpulan yang bersifat umum dapat ditarik dari hal-hal yang bersifat khusus atau disebut

penalaran induktif, tetapi dapat juga sebaliknya dari hal yang bersifat umum menjadi hal-hal yang

bersifat khusus atau penalaran deduktif.

Kenyataan yang terjadi dilapangan masih banyak guru yang menggunakan pendekatan deduktif dalam

mengajar matematika, pendekatan deduktif sering digunakan karena pendekatan ini lebih mudah untuk

pembelajaran matematika yang bersifat abstrak, pemberian hal yang bersifat umum menjadi hal-hal yang bersifat khusus memudahkan siswa dalam memahami dan menyelesaikan permasalahan dalam

pembelajaran matematika.

Menurut pendapat para ahli, pendekatan yang lebih baik bagi anak – anak dalam belajar matematika

adalah pendekatan induktif dari pada pendekatan deduktif, dalam pembelajaran matematika khususnya

geometri. Copeland ( dalam Rocmad, 2008:3) menyatakan “Pendekatan yang lebih baik (induktif)

dalam mengajar siswa dengan menunjukkan beberapa segitiga kepada mereka dan menanyakan apakah

kesamaan dari bangun-bangun tersebut dan kemudian dari pengalaman tersebut membangun suatu

definisi atau generalisasi”. Christou dan Papageorgiou (dalam Rochmad, 2008:3) menyatakan

“Memandang penting penalaran induktif dalam matematika dan perlu kerangka proses kognitif yang

dapat digunakan untuk mendorong kecakapan penalaran induktif siswa dalam belajar matematika. Proses induktif dari kesamaan (similarity), ketidaksamaan (disimilarity), dan integrasi (integration)”.

Pembelajaran dengan melibatkan pola pikir induktif efektif untuk mengajarkan suatu konsep

matematika, dan memberi peluang kepada siswa untuk memahami konsep atau memperoleh

generalisasi dengan cara yang lebih bermakna. Pengalaman ketika melakukan pengamatan secara

cermat pada kasus-kasus khusus yang diberikan guru. Marpaung (dalam Rochmad, 2008: 6)

menyatakan “Dalam mengkonstruksikan matematika ini siswa terlibat dengan proses adaptasi dan

organisasi, sehingga mempelajari konsep matematika dengan cara seperti ini dipandang lebih bermakna

dari sekedar menghapalkannya”. Apabila siswa hanya menghapal maka siswa hanya akan mengikuti

serangkaian prosedur dan siswa hanya meniru contoh-contoh tanpa mengetahui maknanya.

Dari permasalahan yang telah diuraikan diatas Penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul

“Pendekatan Pembelajaran Induktif pada Materi Bangun Ruang Prisma dan Limas di MTsN Rukoh

Tahun Pelajaran 2013/2014”.

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Apakah melalui pendekatan pembelajaran

induktif siswa dapat mencapai ketuntasan belajar materi bangun ruang pada prisma dan limas di kelas

VIII MTsN Rukoh Tahun pelajaran 2013/2014?

Tinjauan Pustaka

Pendekatan Induktif

Pendekatan merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum.

oleh karenanya strategi dan model pembelajaran yang digunakan dapat bersumber atau tegantung dari

pendekatan tertentu.

Page 215: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

215

Pendekatan pembelajaran merupakan merupakan penjelas untuk mempermudah bagi guru dalam

menyampaikan materi, seperti yang dikemukakan Sagala (2013:68) ”Pendekatan pembelajaran

dilakukan oleh guru untuk menjelaskan materi pelajaran dari bagian-bagian yang satu dengan bagian

yang lainnya berorientasi pada pengalaman-pengalaman yang dimiliki siswa untuk mempelalajari

konsep, prinsip atau teori yang baru tentang suatu bidang ilmu program ilmu.”

Menurut Suyono (2012:18) “Pendekatan pembelajaran merupakan latar pedagogis dan psikologis yang

dilandasi psikologis pendidikan tertentu yang dipilih agar tujuan pembelajaran dapat tercapai atau dapat

didekati secara optimal.”

Selanjutnya Suyono (2012:18-19) menyebutkan contoh-contoh pendekatan pembelajaran “ contoh pendekatan pembelajaran adalah : pendekatan lingkungan, pendekatan exspositori dan pendekatan

heuristik, pendekatan konstektual, pendekatan konsep, pendekatan keterampilan proses, pendekatan

deduktif, pendekatan induktif, pendekatan sains lingkungan teknologi masyarakat, STM ( sciene,

technology and, society, STS), pendekatan kompetensi, pendekatan holistik dan lainnya.”

Roy killen (dalam sanjaya, 2006:127) “Ada dua pendekatan dalam pembelajaran yaitu pendekatan yang

berpusat pada guru (teacher - centred approaches) dan pendekatan yang berpusat pada siswa (student -

centred approaches) pendekatan yang berpusat pada guru menurunkan strategi pembelajaran

langsung(direct instruction)”.

Sehubungan dengan proses belajar mengajar yang berpusat pada guru, maka menurut Sanjaya (2013:209 “ada tiga peran utama yang harus dilakukan guru, yaitu guru sebagai perencana, sebagai

penyampai imformasi, dan guru sebagai evaluator.”

pendekatan yang berpusat pada siswa menurut Sanjaya ( 2013:214) “siswa tidak dianggap sebagai objek

belajar yang dapat diatur dan dibatasi oleh kemauan guru, melainkan siswa ditempatkan sebagai subjek

yang belajar sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan yang dimiliki.”

Pendekatan yang berpusat pada guru yaitu pendekatan deduktif dan pendekatan yang berpusat pada

siswa yaitu pendekatan induktif.

Pendekatan deduktif menurut menurut Sagala (2013:76) “pendekatan deduktif adalah proses penalaran yang bermula dari keadaan umum ke keadaan khusus sebagai pendekatan pembelajaran yang bermula

dengan menyajikan aturan, prinsip umum diikuti dengan contoh-contoh khusus atau penerapan aturan,

prinsip umum itu kedalam keadaan khusus.”

Selanjutnya menurut noviani (dalam Wati, 2010:16) “Pendekatan induktif menekanan pada pengamatan

dahulu, lalu menarik kesimpulan berdasarkan pengamatan tersebut. Metode ini sering disebut sebagai

sebuah pendekatan pengambilan kesimpulan dari khusus menjadi umum. Pendekatan induktif

merupakan proses penalaran yang bermula dari keadaan khusus menuju keadaan umum.”

Pendekatan induktif pada awalnya dikembangkan oleh filosofih inggris Prancis Bacon (1561) yang

menghendaki agar penarikan kesimpulan didasrkan atas fakta-fakta yang konkrit sebanyak mungkin,

sistem ini dipandang sebagai sistem berpikir yang paling baik pada abad pertengahan.”

Pendekatan induktif dikembangkan berdasarkan pemikiran induktif seperti yang dikemukakan Anitah

(2007:9.5)”Pendekatan induktif adalah suatu cara mengajar yang penyajian topik atau materi

dikembangkan berdasarkan pemikiran induktif, yaitu berjalan dari yang konkret ke abstrak atau dari

yang khusus ke umum dan dari contoh-contoh menuju ke umum. pendekatan ini adalah pendekatan

yang digunakan untuk menyusun rumus umum dengan bantuan contoh-contoh kongkrit yang cukup

banyak untuk menurunkan/menduga rumus umum tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk menyesuaikan

dengan tahap perkembangan intelektual siswa. Dengan pendekatan ini konsep-konsep matematika yang

abstrak dapat dimengerti siswa melalui benda-benda konkrit”.

Menurut Sagala ( 2013:77 ) “berpikir induktif adalah suatu proses dalam berpikir yang berlangsung dari

khusus menuju ke yang umum orang mencari ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu dari berbagai fonomena, kemudian menarik kesimpulan bahwa ciri-ciri atau sifat-sifat itu terdapat pada semua jenis fenomena.”

Page 216: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

216

Logika induktif menurut Linda ( 2006:48 ) “Logika induktif meliputi pertimbangan dari kenyataan

fakta-fakta khusus kepada kesimpulan umum”. Karso (dalam Maulina, 2012:15) “Dalam

pelaksanaanya, mengajar dengan menggunakan pendekatan induktif akan lebih banyak memerlukan

waktu daripada mengajar dengan pendekatan deduktif. Tetapi bagi kelas rendah atau kelas yang lemah

pendekatan induktif akan lebih memudahkan murid menangkap konsep yang diajarkan” selanjutnya

Karso (dalam Maulina, 2012:15) mengemukakan kekuatan dan kelemahan pendekatan induktif, antara

lain sebagai berikut:

Kekuatan dan kelemahan pendekatan induktif

Menurut karso (dalam Maulina, 2012:15) mengemukakan kekuatan dan kelemahan pendekatan

induktif, antara lain sebagai berikut: Kekuatan pendekatan pembelajaran induktif

1. Murid berkesempatan turut aktif dalam menemukan sifat atau rumus dengan jalan mengamati,

melakukan percobaan berpikir.

2. Murid memahami sifat atau rumus melalui serangkaai contohjika terjadi keraguan mengenai

pengertian daoat segera diatasi sejak masih awal.

Kelemahan pendekatan pembelajaran induktif

1. Memerlukan banyak waktu, sifat dan rumus yang diperolehnya masih memerlukan latihan atau

memahaminya.

2. Secara matematika(formal) sifat atau rumus yang diperolehnya dengan pendekatan induktif masih

belum menjamin berlaku umum.

Langkah-langkah Pendekatan Pembelajaran Induktif

Menurut Sulistyani (2010:3-4) langkah-langkah pendekatan induktif ada 4 fase (1) fase kegiatan

pembukaan; (2) fase kegiatan induktif; (3) fase kegiatan diskusi kelas; dan (4) fase kegiatan penutupan

1. Fase Kegiatan Pembukaan

Guru memulai fase kegiatan pembukaan dengan membuka pembelajaran. Kegiatan dilanjutkan

dengan menyampaikan tujuan pembelajaran dan motivasi siswa.

2. Fase Kegiatan Induktif Pada fase kegiatan induktif, guru menyampaikan hal-hal khusus berkaitan dengan materi pokok

yang akan disampaikan. Selanjutnya, guru mengarahkan siswa melakukan kegiatan belajar dengan

menggunakan pola pikir induktif.

3. Fase Diskusi Kelas

Pada fase ini, setiap siswa diberi kesempatan untuk bertukar pemikiran dan pengalaman dengan

teman-teman lainnya dalam rangka mengkonstruksi pengetahuan secara individu. Bagi guru,

kegiatan tersebut dapat digunakan sebagai sarana untuk mengecek dan menguatkan pemahaman

siswa tentang konsep dan asas yang telah mereka peroleh sebelumnya.

4. Fase Kegiatan Penutup

Kegiatan pembelajaran pada fase kegiatan penutup ini mencakup: memberi kuis (tes singkat) secara

individu. Tujuan diadakan kuis adalah untuk mengukur seberapa jauh siswa telah menguasai pengetahuan ditinjau dari aspek pemahaman konsep, penalaran dan komunikasi, atau pemecahan

masalah.

Metode

Jenis dan Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif, disebut kuantitatif karena penelitian ini banyak menggunakan angka baik dalam pengumpulan data, penafsiran terhadap data serta penampilan

terhadap hasilnya.

Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian exsperimen. Menurut Riyanto (dalam

Zuriah, 2005:57-58) “Penelitian eksperimen merupakan metode penelitian yang sistematis, logis, dan

teliti di dalam melaksanakan kontrol terhadap kondisi. Dalam melakukan eksperimen peneliti

memanipulasi suatu stimulis, treatment atau kondisi-kondisi eksprimental, kemudian mengobservasi

pengaruh yang diakibatkan oleh adanya perlakuan atau manipulasi tersebut”. Perlakuaan pada penelitian

ini yaitu penerapan pendekatan pembelajaran induktif pada siswa kelas VIII MTsN Rukoh.

Page 217: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

217

Populasi dan Sampel

Pada penelitian ini yang menjadi populasi yaitu seluruh siswa kelas VIII MTsN Rukoh sebanyak 6 kelas,

sedangkan sampel dari penelitian dipilih secara acak yaitu siswa kelas VIII-1 MTsN Rukoh yang

berjumlah 30 orang.

Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini menggunakan data tes hasil belajar dan observasi. Tes hasil belajar dilakukan

setelah proses pembelajaran berlangsung. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan tes hanya dengan

tes akhir (post-test) saja. Tes akhir digunakan untuk menguji taraf penguasaan atas materi yang telah

diajarkan.

Setelah data-data penelitiannya terkumpul, kemudian data tersebut diolah dengan statistik yang sesuai.

Untuk data yang telah disusun dalam tabel frekuensi, maka nilai rata-rata ( x ) dan varians (2s ) dihitung

dengan rumus:

i

ii

f

xfx (1)

1

2

1

2

2

nn

xfxfns

iii

dengan: x : nilai rata-rata

if : frekuensi kelas interval data

ix : nilai tengah

n : banyak data

Selanjutnya untuk menguji normalitas data, digunakan rumus Chi-kuadrat sebagai berikut:

k

i i

ii

E

Eo

1

2

2

dengan iO : frekuensi nyata hasil pengamatan

iE : frekuensi teoritis

Dengan )3( kdk dan 05,0 kriteria pengujiannya adalah terima oH jika

.22tabelhitung

Hipotesis dalam penelitian ini adalah:

H0: 𝜇 ≤ 𝜇0 (Penerapan pendekatan pembelajaran induktif belum mencapai tingkat ketuntasan belajar siswa pada materi bangun ruang prisma dan limas kelas VIII MTsN Rukoh)

Ha : 𝜇 > 𝜇0 (Penerapan pendekatan pembelajaran induktif mencapai tingkat

ketuntasan belajar siswa pada materi bangun ruang prisma dan limas kelas VIII MTsN

Rukoh)

Jika data berdistribusi normal maka pengujiannya menggunakann uji-t, menurut sudjana (2005:227)

untuk uji t.

𝑡 =𝑥 ̅ − 𝜇0

𝑠/√𝑛

Keterangan: t = Hasil hitung distribusi korelasi

𝑥 ̅ = Rata-rata sampel

S = Simpangan baku

Page 218: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

218

n = Banyaknya data

𝜇0 = 70, merupakan nilai standar yang menyatakan siswa mencapai taraf ketuntasan.

dengan kriteria pengujian tolak H0 jika t > t1-α , terima H0 jika t berharga lainnya dengan derajat

kebebasan (dk) = (n – 1).

Pembahasan

Data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah nilai tes akhir (post-test) yang berbentuk essay yang

diberikan kepada siswa kelas VIII MTsN Rukoh. Soal essay terdiri dari 5 soal

1. soal tentang unsur-unsur prisma dan limas 2. soal tentang luas prisma

3. soal tentang volume prisma

4. soal tentang luas limas

5. soal tentang volume prisma

dari tes diatas didapat data dari hasil belajar siswa dengan menggunakan pendekatan induktif pada

materi prisma dan limas. Adapun nilai yang diperoleh dari tes akhir (post-test) siswa adalah sebagai

berikut:

tabel 1 nilai hasil belajar siswa

NO NIS siswa

Nilai hasil

belajar siswa

1 2116 98

2 2117 83

3 2118 95

4 2119 85

5 2121 75

6 2122 85

7 2123 90

8 2124 95

9 2125 70

10 2126 68

11 2127 90

12 2128 75

13 2129 53

14 2130 60

15 2131 75

16 2132 95

17 2133 93

18 2134 100

19 2135 81

20 2136 90

21 2137 60

22 2138 85

23 2139 95

24 2140 80

25 2141 45

26 2142 83

Page 219: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

219

27 2143 85

28 2144 90

29 2146 95

30 2353 60

Dari data diatas maka nilai tertinggi adalah 100 dan nilai terendah adalah 45. Selanjutnya dari data nilai

hasil belajar siswa diperoleh rata-rata (�̅�) = 77,67simpangan baku (𝑠) = 13,43, Pada taraf signifikan

𝛼 = 0,05 dan derajat kebebasan dk = (k – 3) = 3, maka diperoleh dari tabel chi-kuadrat 𝜒2(0,95)(3) =

7,81, karena 𝜒2ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔

< 𝜒2𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙

yaitu 7,29 < 7,81 maka H0 diterima dan dapat disimpulkan bahwa

Sebaran data tes hasil belajar siswa/siswi MTsN Rukoh mengikuti distribusi normal.

Oleh karena data hasil belajar matematika dengan menggunakan pendekatan pembelajaran induktif

berdistribusi normal maka pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan rumus uji t. Dari hasil analisa data secara statistik yaitu dengan menggunakan uji-t pada taraf signifikan α = 0,05 dan derajat

kebebasan = 29 diperoleh t hitung = 3,13 dan ttabel = 1,70 sehingga 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 ≥ 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 yaitu 3,13 ≥ 1,70 . Ini

berarti t berada pada daerah tolak H0 dan terima H1. Dengan demikian Penerapan pendekatan

pembelajaran induktif mencapai tingkat ketuntasan belajar siswa pada materi bangun ruang prisma dan

limas kelas VIII MTsN Rukoh.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penulis menganalisis ketuntasan hasil belajar siswa pada materi

bangun ruang prisma dan limas di kelas VIII MTsN Rukoh. Pada proses pembelajaran guru

menggunakan pendekatan induktif, pendekatan pembelajaran induktif ini dimulai dengan memberikan

contoh-contoh soal kepada siswa kemudian siswa menyimpulakan rumus dari contoh-contoh tersebut,

proses belajar mengajar dengan menggunakan pendekatan induktif ini berlangsung selama 3 kali pertemuan dan 1 kali post tes, pertemuan pertama peneliti menerapkan pendekatan induktif untuk

mengajarkan unsur-unsur prisma dan limas. Pertemuan kedua peneliti mengajarkan luas dan volume

prisma dan pertemuan ketiga guru mengajarkan luas dan volume limas.

Dalam proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan induktif peneliti menggunakan alat

peraga sebagai media pembelajaran, peneliti memberikan pengertian prisma dan limas kemudian siswa

menemukan jaring-jaring prisma dan limas.

Pertemuan kedua dan ketiga peneliti memberikan contoh-contoh lalu siswa menemukan rumus dari

contoh-contoh yang telah diberikan, dalam pembelajaran ini siswa dibentuk menjadi beberapa

kelompok, setiap pembelajaran siswa diberi LKS untuk diselesaikan dan dipersentasikan, hal ini bertujuan agar siswa lebih memahami dan mengemukan pendapat mereka dalam menemukan rumus-

rumus dari contoh yang telah diberikan.

Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan induktif pada materi prisma dan limas membuat siswa

memahami konsep dasar sehingga mereka bisa menemukan rumus-rumus luas serta volume prisma dan

limas dengan alas yang berbeda-beda.

Simpulan Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan diperoleh kesimpulan bahwa penerapan pendekatan

pembelajaran induktif mencapai tingkat ketuntasan belajar siswa pada materi bangun ruang prisma dan

limas kelas VIII MTsN Rukoh

Daftar Pustaka

Anitah, Sri Dkk. (2007). Strategi Pembelajaran Matematika:Universttas Terbuka: Jakarta.

Maha, Ramly. (2007). Rancangan Pembelajaran Desain Instruksional. Banda Aceh: Yayasan Pena Ar-Raniry Press.

Page 220: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

220

Maulina Sri, (2011). Hasil Belajar Siswa Dengan Menggunakan Pendekatan Induktif Dan Deduktif

Pada Materi Persamaan Kuadrat Di Kelas X SMA Negeri Lubuk Ingin Aceh Besar Tahun

Ajaran 2010/2011. Banda Aceh: FKIP Unsyiah.

Noviani. (2013). Hasil Belajar Siswa Dengan Menggunakan Pendekatan Induktif Dan Pendekatan

Deduktif Pada Materi Kubus Dan Balok Kelas VIII SMP Negeri 16 Banda Aceh. Banda Aceh:

Program Studi Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas

Syiah Kuala.

Rochmad. (2008). Proses Berpikir Induktif dan Deduktif dalam Mempelajari Matematika (online)

https://www.google.com/search?q=google&ie=utf- US:official.pdf, diakses 3 Februari 2014.

Sagala, syaiful. (2013). Konsep dan makna pembelajaran. Bandung: Alpabeta.

Sanjaya, Wina. (2006). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta :

Kencana Prenada Media Grup.

Sulistyani. (2010). Pendekatan Induktif dalam Pembelajaran Kimia Beracuan Konstruktivisme untuk

Membentuk Pemikiran Kritis, Kreatif, dan Berkarakter. Jurdik kimia UNY: Jogyakarta.

Sudjana. (2005). Metode Statistika. Bandung: Tarsito

Zuriah, Nurul. (2005). Metedologi Penelitian Sosial Dan Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Page 221: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

221

IMPLEMENTASI MODEL POLYA PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI

PRODI PKK FKIP UNIVERSITAS SYIAH KUALA BANDA ACEH

Suhartati

Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala

Abstrak. Hasil observasi menunjukkan bahwa kemampuan mahasiswa Program Studi

PKK FKIP Unsyiah Banda Aceh dalam meyelesaikan masalah matematika masih belum

memadai. Oleh karena itu proses pembelajaran matematika harus dibenahi. Melalui

penelitian ini dicoba menerapkan Model Polya pada pembelajaran matematika. Masalah yang diangkat pada penelitian ini adalah: (1) Bagaimana aktifitas dosen dan mahasiswa

selama pembelajaran matematika dengan model Polya?, (2) Bagaimana respon

mahasiswa?, (3) Bagaimana tingkat pencapaian hasil belajar matematika mahasiswa?, (4)

Apakah melalui pembelajaran matematika dengan model Polya mahasiswa dapat

mencapai ketuntasan belajar? Masalah-masalah tersebut didasarkan pada Pembelajaran

Matematika yang dilaksanakan sesuai dengan tahapan pemecahan masalah model Polya.

Tujuan penelitian adalah untuk memperoleh jawaban atas masalah-masalah di atas.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Data penelitian dianalisis dengan

menggunakan statistik deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Dosen dan

mahasiswa menunjukkan aktivitas yang relevan dengan kegiatan pembelajaran. (2)

Mahasiswa memberikan respon positif dan berminat untuk mengikuti pembelajaran matematika berikutnya dengan menggunakan tahapan pemecahan masalah model Polya.

(3) Hasil belajar matematika mahasiswa mencapai tingkat sedang. (4) Pembelajaran

Matematika mencapai ketuntasan belajar.

Kata kunci: Masalah Matematika, Model Polya

Pendahuluan

Program Studi (Prodi) PKK adalah salah satu program studi yang ada di FKIP Universitas Syiah Kuala

Banda Aceh. Mata kuliah Matematika merupakan mata kuliah umum yang wajib dijalani oleh setiap

mahasiswanya, dengan bobot 2 SKS. Mata kuliah ini diasuh oleh Tim Pengajar dari yang berasal dari

Prodi Matematika.

Tujuan perkuliahan (pembelajaran) matematika di Prodi PKK adalah untuk memenuhi kebutuhan

mahasiswa dalam menyelesaikan masalah-masalah yang ditemuinya dengan menggunakan prinsip-

prinsip matematika. Tentu saja masalah-masalah yang dimaksud adalah masalah-masalah yang relevan

dengan matematika. Dengan demikian pembahasan materi matematika di Prodi PKK lebih ditekankan

pada penerapan matematika atau biasa disebut matematika terapan. Matematika terapan ini disajikan dalam bentuk kalimat verbal yaitu soal cerita yang biasanya dikenal sebagai masalah matematika.

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan terhadap mahasiswa Prodi PKK yang menempuh mata

kuliah Matematika semester ganjil tahun 2012/2013 menunjukkan bahwa kemampuan mahasiswa

masih belum memadai. Mahasiswa cenderung tidak tertarik dengan kuliah matematika. Masalah-

masalah matematika yang dibahas selama pembelajaran banyak yang tidak dipahami oleh mahasiswa

sehingga mereka gagal menyelesaikannya. Sedangkan masalah matematika tersebut adalah masalah-

masalah yang berkaitan dengan bidang keahlian Prodi PKK. Misalnya menentukan komposisi resep

untuk membuat sejenis makanan yang merupakan bidang keahlian Tata Boga, atau tentang harga beli

kain dan harga jualnya setelah menjadi pakaian yang merupakan masalah yang biasa ditemui bidang

keahlian Tata Busana.

Gejala yang terungkap di atas menunjukkan bahwa proses pembelajaran matematika di Prodi PKK FKIP

Universitas Syiah Kuala Banda Aceh perlu dibenahi. Salah satu cara yang mungkin dapat dilakukan

adalah memperbaiki model pembelajaran sehingga dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam

menyelesaikan masalah matematika. Menurut Hudojo (1998:2) strategi pembelajaran yang jitu adalah

dengan melibatkan intelektual pelajar yaitu mahasiswa secara maksimal.

Page 222: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

222

Salah satu alternatif yang mungkin dilaksanakan adalah menerapkan pembelajaran dengan mengikuti

langkah-langkah Polya dalam menyelesaikan masalah. Menurut Polya (1973:5-6) terdapat empat tahap

dalam menyelesaikan masalah matematika yaitu (1) memahami masalah, (2) membuat rencana, (3)

melaksanakan rencana, dan (4) melihat kembali. Dengan menggunakan tahapan ini, mahasiswa

dilibatkan secara maksimal dalam kegiatan pada masing-masing tahap. Penggunaan alternatif ini

mengingat materi matematika di Jurusan PKK diberikan agar mahasiswa dapat menyelesaikan

masalah-masalah yang berkaitan dengan matematika, yang penyajiannya balam bentuk kalimat verbal.

Di samping itu, hasil penelitian Dewi (2003:8) menunjukkan bahwa penyelesaian masalah dengan

model Polya akan memberi prosedur yang jelas dan runtut, sehingga mahasiswa dapat memahami

masalah dengan mudah.

Mengingat pentingnya perbaikan kualitas pembelajaran Matematika pada Prodi PKK FKIP Universitas

Syiah Kuala Banda Aceh maka diadakan suatu penelitian tentang implementasi model polya dalam

menyelesaikan masalah matematika. Beberapa pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut: (1) Bagaimana aktifitas dosen dan mahasiswa dalam pembelajaran yang

dilaksanakan dengan tahapan pemecahan masalah model Polya?, (2) Bagaimana respon mahasiswa

terhadap kegiatan dengan pembelajaran yang dilaksanakan dengan tahapan pemecahan masalah model

Polya?, (3) Bagaimana tingkat pencapaian hasil belajar matematika mahasiswa yang pembelajarannya

dilaksanakan dengan tahapan pemecahan masalah model Polya? Dan (4) Apakah pembelajaran Masalah

Matematika yang dilaksanakan dengan tahapan pemecahan masalah model Polya dapat mewujudkan

ketuntasan belajar?

Sesuai dengan permasalahan yang dijelaskan terdahulu, maka tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui dan mendeskripsikan hal-hal berikut: (1) Aktifitas dosen dan mahasiswa dalam

pembelajaran yang dilaksanakan dengan tahapan pemecahan masalah model Polya, (2) Respon

mahasiswa terhadap kegiatan dengan pembelajaran yang dilaksanakan dengan tahapan pemecahan

masalah model Polya. (3) Tingkat pencapaian hasil belajar matematika mahasiswa yang

pembelajarannya dilaksanakan dengan tahapan pemecahan masalah model Polya. (4) Tingkat

ketuntasan belajar matematika mahasiswa dicapai dengan pembelajaran dilaksanakan dengan tahapan

pemecahan masalah model Polya

Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat bermanfaat untuk dijadikan informasi bagi dosen yang

mengajar matematika terapan lainnya dalam menentukan strategi dan model pembelajaran matematika, menjadi acuan dalam pengembangan sarana penunjang proses belajar matematika pada materi pokok

yang lain dan menjadi masukan bagi guru/dosen dalam upaya peningkatan penalaran dan kegiatan

berpikir pelajar yang pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar.

Landasan Teoritis

Pengertian Masalah Matematika

Menurut Grouws (1992:337) masalah matematika adalah sesuatu yang menghendaki untuk dikerjakan

atau pertanyaan yang tidak dapat langsung dijawab karena sukar. Hudojo dan Sutawidjawa

(1996/1997:189) menegaskan bahwa masalah matematika tidak dapat dijawab langsung sebab masih

harus menyeleksi informasi (data) yang diberikan. Jawaban terhadap masalah tersebut tidak merupakan

jawaban rutin dan mekanistik, namun merupakan strategi dengan menggunakan pengetahuan dan

pengalaman yang dimiliki.

Suatu pertanyaan mungkin merupakan masalah bagi seseorang tetapi bukan merupakan masalah bagi

orang lain. Dengan demikian jika dalam pembelajaran diharapkan pelajar dapat belajar dengan

menyelesaikan masalah, maka masalah yang dihadapkan haruslah masalah yang akrab dengan pelajar

sehingga pelajar dapat merasakan manfaatnya dan merasa terlibat langsung dalam masalah tersebut. Sehingga belajar melalui pemecahan masalah dapat dilakukan jika (1) pertanyaan yang dihadapkan

harus sesuai dengan lingkungan atau pengalaman pelajar sehingga dapat dimengerti oleh pelajar, dan

(2) tidak dapat dijawab langsung melalui prosedur rutin yang telah diketahui siswa.

Penyelesaian masalah layaknya topik-topik lain yang diajarkan kepada pelajar matematika dan

dipraktekkan secara berkala. Sering disertai dengan pengerjaan beberapa operasi dalam suatu masalah

yang harus diselesaikan. Strategi utama untuk penyelesaian masalah matematika adalah memahami

Page 223: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

223

kata-kata kunci yang terdapat dalam masalah. Kata-kata kunci tersebut akan memberikan petunjuk

konsep-konsep dan prosedur-prosedur yang harus digunakan untuk menyelesaikan masalah yang

dimaksud. Misalnya selisih, perbedaan atau sisa yang biasanya menunjukkan operasi pengurangan;

dikumpulkan atau jumlah yang biasanya menunjukkan operasi penjumlahan. Penilaian tentang

keterampilan menyelesaikan masalah dapat ditinjau berdasarkan pola penyelesaian yang dikerjakan

pelajar.

Menyelesaikan Masalah Matematika dengan Tahapan Polya

Menurut Gagne (1984:79) belajar penyelesaian masalah merupakan tipe belajar paling tinggi di antara

tipe belajar yang dikemukakannya. Tipe belajar ini di samping menuntut dikuasainya konsep dan prinsip yang memadai, juga menuntut adanya kemampuan memilih konsep dan prinsip untuk diselesaikan

sesuai dengan kebutuhan. Sehingga tak jarang penyelesaian masalah menjadi topik yang tidak mudah

untuk dimengerti, karena merupakan proses yang akan menyerap program (berupa memori dalam

benak) secara keseluruhan dan menyediakan kondisi yang memungkinkan konsep dan keterampilan

dapat dipelajari. Diharapkan melalui pengajaran penyelesaian masalah para pelajar mempunyai bekal

berupa pengetahuan dan keterampilan dalam menghadapi masalah matematika dan masalah-masalah

yang sering muncul dalam kehidupan sehari-hari yang melibatkan matematika.

Penyelesaian masalah matematika melibatkan proses dan kegiatan yang kreatif dari pikiran

pelajar untuk menemukan cara-cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.

Ini merupakan proses tentang bagaimana pengetahuan diorganisasi, dipresentasikan secara simbolik di

dalam ingatan jangka panjang dan dikaitkan secara efisien pada waktu menyelesaikan masalah. Ini artinya seseorang akan mengalami kesulitan dalam menyelesaikan masalah matematika jika tidak

mempunyai konsep dan kaidah yang dapat digunakan untuk menemukan jawaban. Ruseffendi (1988)

mengemukakan di Amerika dan Inggris langkah-langkah yang pelajar lakukan dalam menyelesaikan

masalah matematika adalah seperti yang dianjurkan Polya. Menurut Polya (1973:5-6) langkah-langkah

untuk menyelesaikan masalah matematika adalah sebagai berikut:

a. Memahami masalah (to understand the problem)

Pada tahap ini yang terjadi adalah proses memahami masalah. pelajar harus menyimpulkan apa

yang diketahui dan apa yang ditanyakan dalam masalah yang diberikan.

b. Membuat rencana (to make a plan)

Pada tahap ini diperlukan kemampuan mengabstraksi masalah untuk membuat rencana

menyelesaikan masalah. Umumnya dinyatakan dalam bentuk model matematika atau kalimat matematika.

c. Melaksanakan rencana (carry out a plan)

Pada tahap ini dilakukan proses komputasi, sehingga dituntut kemampuan memahami konsep

yang terkait dengan model matematika dan kemampuan melakukan komputasi.

d. Melihat kembali (look back)

Pada tahap ini penyelesaian yang telah dilaksanakan dilihat dan diperiksa kembali. Dapat juga

dilakukan dengan menguji selesaian melalui cara yang berbeda dari yang telah dilaksanakan.

Terdapat kelebihan dari pemecahan masalah dengan menggunaan tahapan Polya. Menurut

Meiring (1980:21) kelebihan pemecahan masalah dengan menggunaan tahapan Polya adalah :

1. membuat siswa berhati-hati mengenai langkah-langkah dalam proses pemecahan masalah.

2. menyediakan kerangka kerja yang tersususn rapi untuk menyelesaikan masalah yang komplek dan panjang,

3. membantu pelajar mengorganisasikan usahanya dalam pemecahan masalah.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kampus FKIP Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Subjek penelitian

adalah 15 orang mahasiswa Program Studi PKK FKIP Universitas Syiah Kuala Banda Aceh yang

menempuh mata kuliah matematika pada semester ganjil tahun 2013/2014.

Mengadaptasi tahapan Polya tersebut maka pembelajaran matematika pada Prodi PKK FKIP

Universitas Syiah Kuala Banda Aceh direncanakan akan dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut:

1. Memberikan masalah matematika (oleh dosen)

2. Mahasiswa mengidentifikasi komponen-komponen yang diberikan dalam masalah baik berupa

pernyataan ataupun pertanyaan.

Page 224: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

224

3. Mahasiswa menyusun rancangan penyelesaian masalah dalam bentuk model matematika. Pada

tahap ini, jika diperlukan akan dilakukan diskusi (Tanya jawab) tentang konsep-konsep yang

diperlukan untuk pelaksanaan rencangan penyelesaian masalah.

4. Mahasiswa melaksanakan rancangan penyelesaian masalah yang telah disusun

5. Memeriksa kembali langkah-langkah yang telah dilakukan secara teliti.

Pembelajaran dilakukan dalam kelompok koperatif. Setiap kelompok terdiri dari 5 sampai 6 mahasiswa.

Masing-masing tahapan (tahap 2 sampai tahap 5) selalu diakhiri dengan diskusi kelas untuk

menghasilkan rumusan yang benar. Setiap kelompok diberi kesempatan untuk menyampaikan

pertanyaan atau pun ide-idenya tentang apa yang sedang dipelajari. Dalam hal ini dosen berperan sebagai fasilitator dan mediator.

Ada tiga jenis data yang diperoleh dalam penelitian ini, yaitu aktifitas dosen dan mahasiswa selama

kegiatan pembelajaran, respon mahasiswa terhadap kegiatan pembelajaran, hasil belajar mahasiswa

setelah kegiatan pembelajaran. Untuk memperoleh data aktivitas dosen dan mahasiswa, dilakukan

pengamatan selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan

lembar observasi. Untuk memperoleh data respon mahasiswa, kepada siswa diminta tanggapannya

terhadap kegiatan perkuliahan dengan menggunakan angket. Untuk memperoleh data hasil belajar

kepada mahasiswa diberikan tes setelah kegiatan perkuliahan berlangsung.

Analisis data penelitian menggunakan statistik deskriptif. Untuk menjawab pertanyaan penelitian dilakukan analisis data sebagai berikut:

1. Data hasil observasi dianalisis untuk mendeskripsikan kegiatan dosen dan mahasiswa selama

kegiatan pembelajaran berlangsung, analisis hasil observasi dilakukan dengan menggunakan

persentase. Kategori pengamatan merupakan hasil adaptasi bentuk yang dikembangkan oleh

Mukhlis (2005:72)

2. Data hasil angket dianalisis dengan mencari persentase jawaban mahasiswa untuk setiap butir yang

ditanyakan dalam angket. Respon siswa dikatakan positif jika jawaban siswa terhadap pernyataan

positif untuk setiap aspek yang direspon pada setiap komponen pembelajaran diperoleh persentase

80% (Mukhlis, 2005:73). 3. Tingkat penguasaan siswa ditentukan dengan menggunakan kriteria rata-rata tingkat penguasaan

mahasiswa yang dikemukakan oleh Suherman (dalam Dewi & Hamid, 2009,16) yaitu tingkat

penguasaan 90 - 100% (sangat tinggi), 80 – 89% (tinggi), 65 - 79% (sedang), 55 - 64% (rendah),

dan 0-55% (sangat rendah),

4. Untuk Kriteria ketuntasan belajar yaitu seorang mahasiswa dikatakan telah tuntas belajar apabila

telah memiliki daya serap 65% ke atas, dan ketuntasan klasikal tercapai jika paling sedikit 85%

mahasiswa di kelas tersebut telah tuntas belajar (Mulyasa , 2003:99).

Hasil Penelitian

Aktivitas Dosen dan Mahasiswa selama Kegiatan Pembelajaran Tabel 1. Aktivitas Dosen Selama Kegiatan Perbelajaran.

No Kategori Pengamatan Rata-rata Persentase Aktivitas

Dalam Pembelajaran (%)

1 Menampilkan masalah yang relevan dengan bidang

keahlian PKK dan meminta mahasiswa mencoba

menyelesaikan masalah

12,5

2 Menjelaskan tahapan menyelesaikan masalah dengan

menggunakan tahapan polya 16,67

3 Memberi kesempatan mahasiswa menyampaikan

pertanyaan atau pendapat 12,5

4 Membimbing dan memotivasi mahasiswa dalam

menyelesaikan masalah dengan menggunakan tahapan

polya

29,17

5 Membimbing mahasiswa mengkomunikasikan hasil

kerja kelompok 18,75

6 Membimbing mahasiswa merangkum hasil belajar 10,42

7 perilaku yang tidak relevan dengan KBM.. 0

Page 225: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

225

Tabel 2. Aktivitas Mahasiswa Selama Kegiatan Pembelajaran.

No Kategori Pengamatan Rata-rata Persentase Aktivitas

Dalam Pembelajaran (%)

1 Mencoba menyelesaikan masalah 12,92

2 Mendengarkan/memperhatikan /mencatat penjelasan

dosen/teman 16,11

3 Menyampaikan pertanyaan atau pendapat 11,11

4 Secara berkelompok menyelesaikan masalah dengan

menggunakan tahapan polya 30,14

5 Mengkomunikasikan hasil kelompok 18,89

6 Merangkum hasil belajar 10,27

7 Perilaku yang tidak relevan dengan KBM 0,07

Respon Mahasiswa terhadap Kegiatan Pembelajaran

Angket respon mahasiswa terhadap kegiatan pembelajaran dan perangkat pembelajaran yang diterapkan

diisi oleh mahasiswa setelah kegiatan pembelajaran selesai. Hasil angket respon mahasiswa terhadap

kegiatan pembelajaran dan perangkat pembelajaran dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3. Respon Mahasiswa terhadap Kegiatan Pembelajaran

No Aspek yang Dinilai Respon Siswa (%)

1. Pendapat mahasiswa terhadap komponen

kegiatan pembelajaranmu mengenai:

1. Materi Pelajaran

2. LKS (aktivitas)

3. Cara Belajar 4. Cara Guru Mengajar

Senang

100

86,67 93,33

93,33

Baru

86,67

93,33 100,00

100,00

Rata-rata (%) 93,33 95

2. Mahasiswa yang berminat untuk mengikuti

kegiatan pembelajaran berikutnya seperti yang

telah diikuti pada saat penelitian

100

Page 226: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

226

Hasil Tes Akhir setelah Kegiatan Pembelajaran

Tabel 4. Hasil Tes Akhir Mahasiswa

Mahasiswa Nilai (angka) Nilai (huruf) Ketuntasan

A1 77 B Tuntas

A2 87 A Tuntas

A3 80 B Tuntas

A4 68 C Tuntas

A5 75 B Tuntas

B1 90 A Tuntas

B2 75 B Tuntas

B3 80 B Tuntas

B4 75 B Tuntas

B5 68 C Tuntas

C1 66 C Tuntas

C2 58 D Belum Tuntas

C3 77 B Tuntas

C4 87 A Tuntas

C5 82 B Tuntas

14 dari 15 mahasiswa (93,33%) telah mencapai ketuntasan belajar, sedangkan nilai rata-rata

yang diperoleh mahasiswa adalah 76,8, yaitu berada pada kategori sedang..

Pembahasan

Aktivitas Dosen dan Mahasiswa selama Kegiatan Pembelajaran

Data aktivitas dosen dan mahasiswa selama kegiatan pembelajaran dikumpulkan selama tiga kali tatap

muka perkuliahan. Materi perkuliahan yang dibahas selama pengumpulan data terdiri dari Perbandingan

Senilai, Perbandingan Berbalik Nilai, Penggunaan KPK dan FPB, dan Aritmetika Sosial. Observasi

dilakukan hanya pada kegiatan inti perkuliahan yang melibatkan penyelesaian masalah melalui tahapan

polya yaitu 15 menit setelah perkuliahan dimulai dan 5 menit sebelum perkuliahan berakhir. 15 menit

pertama dilakukan untuk mengingat kembali konsep-konsep yang akan digunakan dalam penyelesaian masalah, sedangkan 5 menit terakhir digunakan untuk menyampaikan hal-hal yang dianggap perlu

berkenaan dengan masalah perkuliahan. Dengan demikian observasi berlangsung selama 80 menit pada

masing-masing perkuliahan.

Hasil pengamatan terhadap aktivitas dosen dan mahasiswa menunjukkan adanya kesesuaian persentase

aktivitas yang dilakukan pada masing-masing komponen. Persentase aktivitas dosen terbesar yang

dilakukan pada kegiatan membimbing dan memotivasi mahasiswa dalam menyelesaikan masalah

dengan menggunakan tahapan polya. Kegiatan bimbingan ini meliputi tahap memahami masalah,

membuat rencana, melaksanakan rencana menyelesaikan masalah dan melihat kembali hasil yang

diperoleh. Terlihat umumnya mahasiswa tidak menemukan kesulitan dalam menentukan unsur-unsur

yang diketahui dan yang ditanyakan dalam masalah (memahami masalah) Namun mahasiswa memerlukan bimbingan lebih banyak dibandingkan langkah yang lainnya pada tahap membuat rencana

dan melaksanakan rencana menyelesaikan masalah. Bimbingan dilakukan dengan memberikan

petunjuk penentuan variabel-variabel yang terdapat dalam masalah yang akan diselesaikan, sehingga

variabel-variabel tersebut membentuk suatu model matematika yang harus diselesaikan. Pada tahap

melaksanakan rencana menyelesaikan masalah, dosen memberi bimbingan dengan mengingatkan

kembali prinsip-prinsip pelaksanaan operasi yang terlibat dalam menyelesaikan masalah. Dalam hal ini

terlihat peran dosen sebagai fasilitator yang memfasilitasi mahasiswa untuk belajar. Proses ini sesuai

dengan pendapat Hudojo (2002:428) bahwa dalam pembelajaran matematika pengajar berfungsi

sebagai fasilitator yang berupaya mengarahkan begaimana pelajar memikirkan langkah-langkah dalam

penyelesaian masalah.

Sementara itu persentase aktivitas mahasiswa terbesar terjadi pada saat menyelesaikan masalah dengan menggunakan tahapan polya yang dikerjakan secara berkelompok. Sesuai dengan aktivitas dosen,

waktu yang digunakan dalam kegiatan ini lebih banyak digunakan untuk membuat rencana dan

Page 227: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

227

melaksanakan rencana menyelesaikan masalah Pada tahap ini mahasiswa dituntut mempunyai konsep

yang terkait dengan permasalahan. Mahasiswa harus mampu mengaitkan konsep-konsep yang relevan

dengan masalah yang akan diselesaikan. Suydan & Weaver (dalam Orton, 1991) menyatakan bahwa

pemecah masalah yang baik harus mempunyai kemampuan dalam mengaitkan konsep-konsep dan

istilah-istilah matematika yang relevan dengan masalah. Hal ini diduga yang menjadi penyebab

mahasiswa banyak menghabiskan waktu pada aktivitas menyelesaikan masalah dengan menggunakan

tahapan polya.

Respon Mahasiswa terhadap Kegiatan Pembelajaran

Angket respon mahasiswa terhadap kegiatan pembelajaran dan perangkat pembelajaran yang diterapkan diisi oleh mahasiswa setelah kegiatan pembelajaran selesai Respon mahasiswa di akhir kegiatan

pembelajaran menunjukkan mereka masih berpendapat bahwa matematika merupakan materi sulit

untuk dipahami. Namun demikiant hasil angket juga menunjukkan respon positif dari mahasiswa untuk

mengikuti kembali kegiatan pembelajaran dengan menggunakan strategi yang diterapkan selama

penelitian. hal ini menunjukkan bahwa strategi pembelajaran dengan menggunakan tahapan polya

dalam menyelesaikan masalah matematika dapat memotivasi mahasiswa untuk tertarik mempelajari

matematika. Penggunaan masalah yang relevan dengan konteks keilmuan yang mereka pelajari

memotivasi mahasiswa untuk mengikuti kegiatan pembelajaran dengan baik. Mereka merasa masalah-

masalah yang diberikan selama kegiatan perkuliahan adalah masalah-masalah yang lazim mereka temui

dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sesuai dengan pendapat Hudojo (2002:9) bahwa untuk

menciptakan kecintaan pada matematika pemahaman harus didekatkan dengan kasus-kasus yang nyata yang dekat dengan realitas kehidupan sehari-hari pelajar. Sementara itu tahapan polya yang dilalui

selama proses penyelesaian masalah memberikan fasilitas bagi mahasiswa untuk dapat mengkaji

masalah secara terstruktur sehingga dapat menyelesaikan masalah dengan baik pula. Oleh karena itu

dapat disimpulkan bahwa tahapan polya merupakan strategi yang tepat dalam pembelajaran matematika

PKK sehingga dapat memotivasi mahasiswa untuk tertarik mengikuti perkuliahan matematika.

Hasil Tes Akhir setelah Kegiatan Pembelajaran

Tabel 4. menunjukkan bahwa nilai terendah yang diperoleh mahasiswa setelah kegiatan pembelajaran

adalah 58. Dan ini adalah satu-satunya mahasiswa yang tidak mencapai ketuntasan belajar. Adapun nilai

rata-rata yang diperoleh mahasiswa adalah 76,8. Dengan demikian penguasaan siswa terhadap materi berada pada tingkat sedang. Di samping itu siswa juga mencapai tingkat ketuntasan belajar secara

klasikal, karena 14 mahasiswa dari 15 mahasiswa (93,33%) telah mencapai ketuntasan belajar secara

individual. Ketercapaian ini diduga akibat pengaruh penggunaan strategi yang tepat selama

pembelajaran. Hal ini sesuai dengan pendapat Soedjadi (1992:11) bahwa untuk mencapai sesuatu tujuan

sangat diperlukan siasat, prosedur atau cara serta teknik yang akan digunakan. Untuk pencapai tujuan

pembelajaran diperlukan strategi, pendekatan atau metode serta teknik tertentu. Dengan kata lain

keberhasilan proses pembelajaran juga bergantung pada bagaimana suatu bahan ajar disampaikan.

Simpulan dan Saran

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Dosen dan mahasiswa menunjukkan aktivitas yang relevan dengan kegiatan pembelajaran.

2. Mahasiswa memberikan respon positif dan berminat untuk mengikuti pembelajaran matematika

berikutnya dengan menggunakan tahapan pemecahan masalah model Polya.

3. Hasil belajar matematika mahasiswa mencapai tingkat sedang.

4. Pembelajaran Matematika mencapai ketuntasan belajar.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, saran yang dapat diajukan adalah sebagai berikut:

1. Bagi Dosen yang mengajarkan matematika pada Program Studi PKK disarankan untuk

menggunakan tahapan Polya dalam pembelajaran Penyelesaian Masalah Matematika.

Page 228: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

228

2. Bagi dosen yang mengajar pada program studi yang Silabus Matematikanya lebih menekankan pada

matematika terapan, agar menggunakan tahapan Polya dalam pembelajaran Penyelesaian Masalah

Matematika.

3. Sebelum menggunakan tahapan Polya dalam pembelajaran Penyelesaian Masalah Matematika, agar

mempersiapkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip matematika yang akan digunakan dalam

menyelesaikan masalah.

4. Bagi peneliti lain yang berminat, dapat mencoba tahapan Polya ini pada materi matematika terapan

yang lain.

Daftar Pustaka

Dewi, M. 2003. Penerapan Pembelajaran Pemecahan masalah matematika Terapan dengan Model

Polya. Jurnal BISTEK, Politeknik Universitas Brawijaya Malang, Volume 11, No 2, Agustus

2003.

Dewi, R & Hamid, Y.H. 2009. Efektifitas Model Pembelajaran Koperatif Sistem Sanwich dalam Upaya

Meningkatkan Motifasi dan prestasi Belajar Keterampilan Siswa Di MTsN Tungkob. Jurnal

MON MATA. Volume 11, No 1, Maret 2009.

Gagne, R.M. 1984. The Conditions of Learning and Theory Instructional. New York: Holt, Rinchar t

Winston.

Grouws, D.A. 1992. Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning. New York:

NCTM.

Hudojo, H. (2002) Representasi Belajar Berbasis Masalah. Prosiding Konferensi Nasional Matematika

XI Bagian I. Jurnal Matematika atau Pembelajarannya. Universitas Negeri MalangbTahun

VIII. Edisi Khusus. Malang Juli.

Hudojo, H dan Sutawidjaya, A. 1996/1997. Matematika. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi

Proyek Pendidikan Guru, Bagian Proyek Pengembangan Guru Sekolah Dasar.

Mukhlis. 2005. Pembelajaran Matematika Realistik Untuk Materi Pokok Perbandingan di Kelas VII

SMP Negeri 1 Palangga. Tesis PPs Unesa.Surabaya.

Mulyasa, E. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi (Konsep, Karakteristik dan Implementasi).

Bandung: Remaja Rosdakarya.

Orton, A. 1991. Learning Mathematics: Issues, Theory and Classroom Practice. (2nd Ed). London:

Cassel.

Polya, G. 1973. How to Solve it. New Jersey: Princeton University Press.

Ruseffendi, E.T. 1988. Pengajaran Matematika Modern untuk Otang Tua Murid dan Guru, dan SPG.

Bandung: Tarsito.

Page 229: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

229

PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING PADA MATERI ATURAN

PENJUMLAHAN REEMAN DI SMAN 11 BANDA ACEH

Tien Fitrina

SMA Negeri 11 Banda Aceh

Pendahuluan

Mata pelajaran Matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik dimulai dari Sekolah Dasar untuk membekali mereka dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif serta

kemampuan bekerja sama. Dalam membelajarkan matematika kepada siswa, apabila guru masih

menggunakan paradigma pembelajaran lama dalam arti komunikasi dalam pembelajaran matematika

cenderung berlangsung satu arah umumnya dari guru ke siswa, guru lebih mendominasi pembelajaran

maka pembelajaran cenderung monoton sehingga mengakibatkan peserta didik (siswa) merasa jenuh

dan tersiksa. Oleh karena itu dalam membelajarkan matematika kepada siswa, guru hendaknya lebih

memilih berbagai variasi pendekatan, strategi, metode yang sesuai dengan situasi sehingga tujuan

pembelajaran yang direncanakan akan tercapai. Perlu diketahui bahwa baik atau tidaknya suatu

pemilihan model pembelajaran akan tergantung tujuan pembelajarannya, kesesuaian dengan materi

pembelajaran, tingkat perkembangan peserta didik (siswa), kemampuan guru dalam mengelola

pembelajaran serta mengoptimalkan sumber-sumber belajar yang ada.

Perubahan kurikulum yang diberlakukan sejak 2013 memiliki tujuan untuk meningkatkan rasa ingin

tahu siswa dan mendorong siswa untuk aktif. Pada kurikulum baru, siswa bukan lagi menjadi obyek

tapi justru menjadi subyek dengan ikut mengembangkan tema yang ada. Dengan adanya perubahan ini,

tentunya berbagai standar dalam komponen pendidikan akan berubah. Baik dari standar isi, standar

proses maupun standar kompetensi lulusan. Lalu bagaimana dengan standar penilaian? Apa yang akan

dinilai oleh para guru dengan sistem pengajaran yang berbeda ini?

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh, mengatakan bahwa standar penilaian pada

kurikulum baru tentu berbeda dengan kurikulum sebelumnya. Mengingat tujuannya untuk mendorong

siswa aktif dalam tiap materi pembelajaran, maka salah satu komponen nilai siswa adalah jika si anak

banyak bertanya. “Jadi nanti didasarkan pada keaktifan anak bertanya saat sedang belajar. Biasanya kan anak-anak malas bertanya, ini tidak bisa lagi,” ujar Nuh di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (21/12/2012).

Selain keaktifan bertanya, komponen lain yang akan masuk dalam standar penilaian adalah proses dan

hasil observasi siswa terhadap suatu masalah yang diajukan guru. Kemudian, kemampuan siswa

menalar suatu masalah juga menjadi komponen penilaian sehingga anak terus diajak untuk berpikir

logis. “Kemampuan nalar ini juga yang penting. Di kurikulum baru, ini akan masuk standar penilaian

untuk anak,” jelas Nuh.

Model pembelajaran discovery merupakan suatu cara untuk mengembangkan belajar siswa aktif dengan

menemukan sendiri, menyelidiki sendiri, maka hasil yang akan diperoleh akan tahan lama dalam

ingatan, tidak mudah dilupakan siswa. Dalam model pembelajaran ini siswa menemukan dan

mengkonstruksi sendiri sehingga akan mendorong siswa berkreativitas menemukan konsep-konsep atau ide-ide baru dalam matematika yang belum pernah diketahui sebelumnya. Menurut Bruner dalam Prince

& Felder (2006: 132), belajar dengan penemuan adalah pendekatan yang berbasis pemeriksaan di mana

para siswa diberi suatu pertanyaan untuk menjawab, suatu masalah untuk dipecahkan, atau pengamatan-

pengamatan untuk menjelaskan, dan mengarahkan dirinya sendiri untuk melengkapi tugas-tugas mereka

yang ditugaskan dan menarik kesimpulan-kesimpulan yang sesuai dari hasil-hasil, dan "menemukan"

pengetahuan konseptual berdasarkan fakta yang diinginkan di dalam proses.

Selain itu, siswa diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk dapat menggunakan kemampuan

bernalarnya dan membiasakan untuk senantiasa berpikir kreatif. Konsep-konsep yang didapat oleh

siswa dari hasil penemuannya sendiri akan lebih bermakna dan pemahaman siswa terhadap konsep

tersebut akan meningkat.

Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah ”Bagaimana penerapan model

Discovery Learning pada materi Aturan Penjumlahan Reeman di kelas XI-IA2 SMAN 11 Banda Aceh”.

Page 230: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

230

Pembahasan

Model-model Pembelajaran

Model pembelajaran merupakan cara/teknik penyajian yang digunakan guru dalam proses pembelajaran

agar tercapai tujuan pembelajaran. Ada beberapa model-model pembelajaran seperti ceramah, diskusi,

demonstrasi, studi kasus, bermain peran (role play) dan lain sebagainya. Yang tentu saja masing-masing

memiliki kelemahan dan kelebihan. Metode/model sangat penting peranannya dalam pembelajaran, karena melalui pemilihan model/metode yang tepat dapat mengarahkan guru pada kualitas pembelajaran

efektif.

Pengertian Model Pembelajaran dapat diartikan sebagai cara, contoh maupun pola, yang mempunyai

tujuan meyajikan pesan kepada siswa yang harus diketahui, dimengerti, dan dipahami yaitu dengan cara

membuat suatu pola atau contoh dengan bahan-bahan yang dipilih oleh para pendidik/guru sesuai

dengan materi yang diberikan dan kondisi di dalam kelas. Suatu model akan mempunyai ciri-ciri

tertentu dilihat dari faktor-faktor yang melengkapinya.

Toeti Soekamto dan Winataputra (1995:78) mendefinisikan ‘model pembelajaran’ sebagai kerangka

konseptual yang menggambarkan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman

belajar bagi para siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar

mengajar. Lebih lanjut lagi, Joyce dan Weil (1986: 14-15) mengemukakan bahwa setiap model belajar

mengajar atau model pembelajaran harus memiliki empat unsur berikut:

1. Sintak (syntax) yang merupakan fase-fase (phasing) dari model yang menjelaskan model

tersebut dalam pelaksanaannya secara nyata.

2. Sistem sosial (the social system) yang menunjukkan peran dan hubungan guru dan siswa

selama proses pembelajaran.

3. Prinsip reaksi (principles of reaction) yang menunjukkan bagaimana guru memperlakukan

siswa dan bagaimana pula ia merespon terhadap apa yang dilakukan siswanya.

4. Sistem pendukung (support system) yang menunjukkan segala sarana, bahan, dan alat yang

dapat digunakan untuk mendukung model tersebut.

Model Discovery learning

Penemuan (discovery) merupakan suatu model pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan

pandangan konstruktivisme. Model ini menekankan pentingnya pemahaman struktur atau ide-ide

penting terhadap suatu disiplin ilmu, melalui keterlibatan siswa ssecara aktif dalam proses

pembelajaran. Menurut Wilcox (Slavin, 1977), dalam pembelajaran dengan penemuan siswa didorong

untuk belajar sebagian besar melalui keterlibatan aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep dan

prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang

memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri.

Pengertian discovery learning menurut Jerome Bruner adalah metode belajar yang mendorong siswa untuk mengajukan pertanyaan dan menarik kesimpulan dari prinsip-prinsip umum praktis contoh

pengalaman. Dan yang menjadi dasar ide J. Bruner ialah pendapat dari piaget yang menyatakan bahwa

anak harus berperan secara aktif didalam belajar di kelas. Untuk itu Bruner memakai cara dengan apa

yang disebutnya discovery learning, yaitu dimana murid mengorganisasikan bahan yang dipelajari

dengan suatu bentuk akhir.

Menurut Bell (1978) belajar penemuan adalah belajar yang terjadi sebagai hasil dari siswa

memanipulasi, membuat struktur dan mentransformasikan informasi sedemikian sehingga ie

menemukan informasi baru. Dalam belajar penemuan, siswa dapat membuat perkiraan (conjucture),

merumuskan suatu hipotesis dan menemukan kebenaran dengan menggunakan prose induktif atau

proses dedukatif, melakukan observasi dan membuat ekstrapolasi.

Pembelajaran penemuan merupakan salah satu model pembelajaran yang digunakan dalam pendekatan

konstruktivis modern. Pada pembelajaran penemuan, siswa didorong untuk terutama belajar sendiri

melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip. Guru mendorong siswa agar

mempunyai pengalaman dan melakukan eksperimen dengan memungkinkan mereka menemukan

prinsip-prinsip atau konsep-konsep bagi diri mereka sendiri.

Page 231: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

231

Pembelajaran Discovery learning adalah model pembelajaran yang mengatur sedemikian rupa sehingga

anak memperoleh pengetahuan yang belum diketahuinya itu tidak melalui pemberitahuan, sebagian atau

seluruhnya ditemukan sendiri. Dalam pembelajaran discovery learning, mulai dari strategi sampai

dengan jalan dan hasil penemuan ditentukan oleh siswa sendiri. Hal ini sejalan dengan pendapat Maier

(Winddiharto:2004) yang menyatakan bahwa, apa yang ditemukan, jalan, atau proses semata – mata

ditemukan oleh siswa sendiri.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran discovery learning adalah suatu

model untuk mengembangkan cara belajar siswa aktif dengan menemukan sendiri, menyelidiki sendiri,

maka hasil yang diperoleh akan setia dan tahan lama dalam ingatan, tidak akan mudah dilupakan siswa. Dengan belajar penemuan, anak juga bisa belajar berfikir analisis dan mencoba memecahkan sendiri

problem yang dihadapi. Kebiasaan ini akan di transfer dalam kehidupan bermasyarakat.

Media Pembelajaran

Media pembelajaran secara umum adalah alat bantu proses belajar mengajar. Segala sesuatu yang dapat

dipergunakan untuk merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemampuan atau ketrampilan

pebelajar sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar. Batasan ini cukup luas dan mendalam

mencakup pengertian sumber, lingkungan, manusia dan metode yang dimanfaatkan untuk tujuan

pembelajaran / pelatihan. Menurut Briggs (1977) media pembelajaran adalah sarana fisik untuk

menyampaikan isi/materi pembelajaran seperti : buku, film, video dan sebagainya. Kemudian menurut

National Education Associaton(1969) mengungkapkan bahwa media pembelajaran adalah sarana komunikasi dalam bentuk cetak maupun pandang-dengar, termasuk teknologi perangkat keras.

Ada beberapa jenis media pembelajaran, diantaranya :

a) Media Visual : grafik, diagram, chart, bagan, poster, kartun, komik

b) Media Audial : radio, tape recorder, laboratorium bahasa, dan sejenisnya

c) Projected still media : slide; over head projektor (OHP), in focus dan sejenisnya

d) Projected motion media : film, televisi, video (VCD, DVD, VTR), komputer dan sejenisnya.

Pada hakikatnya bukan media pembelajaran itu sendiri yang menentukan hasil belajar. Ternyata

keberhasilan menggunakan media pembelajaran dalam proses pembelajaran untuk meningkatkan hasil

belajar tergantung pada (1) isi pesan, (2) cara menjelaskan pesan, dan (3) karakteristik penerima pesan. Dengan demikian dalam memilih dan menggunakan media, perlu diperhatikan ketiga faktor tersebut.

Apabila ketiga faktor tersebut mampu disampaikan dalam media pembelajaran tentunya akan

memberikan hasil yang maksimal.

Tujuan menggunakan media pembelajaran :

Ada beberapa tujuan menggunakan media pembelajaran, diantaranya yaitu :

a) mempermudah proses belajar-mengajar

b) meningkatkan efisiensi belajar-mengajar

c) menjaga relevansi dengan tujuan belajar

d) membantu konsentrasi mahasiswa

e) Menurut Gagne : Komponen sumber belajar yang dapat merangsang siswa untuk belajar

f) Menurut Briggs : Wahana fisik yang mengandung materi instruksional g) Menurut Schramm : Teknologi pembawa informasi atau pesan instruksional

h) Menurut Y. Miarso : Segala sesuatu yang dapat merangsang proses belajar siswa

Tidak diragukan lagi bahwa semua media itu perlu dalam pembelajaran. Kalau sampai hari ini masih

ada guru yang belum menggunakan media, itu hanya perlu satu hal yaitu perubahan sikap. Dalam

memilih media pembelajaran, perlu disesuaikan dengan kebutuhan, situasi dan kondisi masing-masing.

Dengan perkataan lain, media yang terbaik adalah media yang ada. Terserah kepada guru bagaimana ia

dapat mengembangkannya secara tepat dilihat dari isi, penjelasan pesan dan karakteristik siswa untuk

menentukan media pembelajaran tersebut.

Strategi dalam Pembelajaran Discovery Learning Dalam pembelajaran dengan penemuan dapat digunakan beberapa strategi, strategi-strategi yang

dimaksud adalah sebagai berikut:

1) Strategi Induktif

Page 232: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

232

Strategi ini terdiri dari dua bagian, yakni bagian data atau contoh khusus dan bagian generalisasi

(kesimpulan). Data atau contoh khusus tidak dapat digunakan sebagai bukti, hanya merupakan jalan

menuju kesimpulan. Mengambil kesimpulan (penemuan) dengan menggunakan strategi induktif ini

selalu mengandung resiko, apakah kesimpulan itu benar ataukah tidak. Karenanya kesimpulan yang

ditemukan dengan strategi induktif sebaiknya selalu mengguankan perkataan “barangkali” atau

“mungkin”.

2) Strategi deduktif

Dalam matematika metode deduktif memegang peranan penting dalam hal pembuktian. Karena

matematika berisi argumentasi deduktif yang saling berkaitan, maka metode deduktif memegang

peranan penting dalam pengajaran matematika. Dari konsep matematika yang bersifat umum yang

sudah diketahui siswa sebelumnya, siswa dapat diarahkan untuk menemukan konsep-konsep lain yang belum ia ketahui sebelumnya.

Penerapan Model Discovery Learning pada materi Aturan Penjumlahan Reeman

a. Kesesuaian Materi dengan Model

Model Discovery sangat sesuai penggunaanya pada materi ini, apalagi materi ini merupakan materi

pertama yang belum pernah mereka terima sebelumnya. Dengan berbagai uji coba dalam bentuk soal,

mereka akan menemukan bahwa dalam semakin banyak poligon, maka penjumlahan poligon-poligon

tersebut akan semakin mendekati nilai yang sebenarnya.

b. Komponen Model Pembelajaran

Hamzah (2014:219) menjelaskan tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh guru dalam menerapkan penggunaan model penemuan (discovery learning) adalah sebagai berikut:

Tahap Kegiatan Guru

Tahap 1:

Orientasi siswa pada masalah

Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan

bahan yang diperlukan, dan memotivasi siswa terlibat pada

aktivitas pemecahan masalah.

Tahap 2:

Mengorganisasi siswa untuk belajar

Guru membantu siswa mendefinisikan dan

mengorganisasi tugas belajar yang berhubungan dengan

masalah yang akan dipecahkan.

Tahap 3:

Membimbing penyelidikan

individual maupun kelompok

Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi

yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk

mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.

Tahap 4:

Mengembangkan dan menyajikan

hasil karya

Guru membantu siswa dalam merencanakan dan

menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan hasil

praktikum, dan membantu mereka untuk membagi tugas

dengan temannya.

Tahap 5:

Menganalisis dan mengevaluasi

proses pemecahan masalah

Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau

evaluasi terhadap penyelidikan dan proses yang mereka

gunakan.

Pada awal proses pembelajaran, guru memaparkan tujuan pembelajaran pada siswa. Guru memberikan

siswa gambar-gambar kontekstual dan merespon secara positif setiap jawaban siswa serta memberi siswa kesempatan mengapresiasikan jawaban-jawaban mereka. Gambar-gambar tersebut adalah

gambar-gambar yang mengarahkan siswa terhadap penggunaan aturan penjumlahan Reeman.

Ditahap selanjutnya, melalui pembahansan materi, guru menggiring siswa memahami aturan

penjumlahan Reeman melalui kurva dengan beberapa poligon, hingga siswa terarah pada definisi aturan

penjumlahan Reeman tersebut.

Melalui LKS, siswa pada masing-masing kelompok membahas topik tentang konsep integral tentu

dalam aturan penjumlahan Reeman dan menyelesaikan kegiatan yang terdapat pada LKS.

Guru mengklarifikasi jika terjadi beberapa kesalahan sewaktu wakil kelompok mempresentasikan hasil

pengamatan, pemecahan masalah, dan diskusi tentang konsep aturan penjumlahan Reeman ke depan

kelas, sedangkan kelompok lain memberikan tanggapan.

Tahap terakhir, guru membimbing siswa membuat kesimpulan tentang konsep integral tentu, menjawab beberapa pertanyaan refleksi yang diberikan guru.

Page 233: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

233

c. Sistem Sosial

Guru sebagai fasilitator dan motivator dalam membantu proses belajar siswa. Siswa harus aktif dalam

memberikan ide-idenya dan mengembangkan pengetahuannya, keterampilan yang telah dimiliki

sebelumnya. Siswa juga mampu mencari atau memproses keterkaitan atau keterhubungan antara hal-

hal yang baru dengan hal-hal yang sudah diketahui. Dan siswa mampu mengemukakan hasil belajar

didepan kelas. Sehingga peran guru adalah membantu siswa mampu menemukan keterkaitan antara

pengalaman baru dengan pengalaman sebelumnya. Guru juga berperan dalam mendorong siswa dalam

memperbaiki hasil mereka sendiri maupun hasil kerja kelompoknya. Pada pembelajaran ini siswa dibagi

menjadi 5 kelompok ygng beranggotakan 5-6 orang.

d. Prinsip Reaksi Berdasarkan gambar, guru membuat masalah yang realistis. Menyiapkan sumber belajar atau alat peraga

yang dapat merangsang anak berpikir dan tidak sekedar menghafal. Pada saat pemberian latihan, siswa

dituntun untuk tidak cepat menyerah dan berusaha memahami. Dalam setiap langkah siswa dapat

munculkan pertanyaan “mengapa” atau “bagaimana” bahkan “selanjutnya”, guru harus mampu menjadi

fasilitator sehingga anak dapat memahami materi dengan tepat.

e. Sistem Pendukung

Sarana dan prasarana yang digunakan dalam model pembelajaran Discovery adalah buku Matematika

SMA kelas XII penerbit Erlangga dan Tiga Serangkai, LKS, Power Point, dan bahan yang ditampilkan

langsung dari internet dengan alamat http://idkf.bogor.net/yuesbi/e-

DU.KU/edukasi.net/Matematika/Integral/Integral%20sebagai%20limit%20jumlah.htm

f. Dampak Instruksional dan Dampak Pengiring

Dampak Instruksional

- Siswa dapat dengan mudah memahami materi dengan adanya ide-ide, gagasan-gagasan yang

diciptakan karena siswa dituntut dari keadaaan yang sangat konkret.

- Siswa dapat menggali potensi dirinya dalam mengerjakan soal.

- Belajar untuk tidak menghafal, tetapi harus memahami masalah.

Dampak Pengiring :

- Siswa dapat lebih aktif dan kreatif dalam menyampaikan idenya.

- Pengetahuan baru yang dibangun siswa berasal dari seperangkat ragam pengalaman sehari-hari.

- Siswa menjadi lebih dapat menghargai perbedaan pendapat atau ide.

Hasil Uji coba di Kelas

Kegiatan yang dilakukan

Proses pembelajaran ini dilaksanakan pada tanggal 6 Mei 2014 kelas XI-IA3 SMAN 11 Banda Aceh

dengan materi Aturan Penjumlahan Reeman. Materi prasyarat sebelum mempelajari materi ini adalah

Luas Bangun Datar, Notasi Sigma, Menentukan titik tengah (terdapat dalam statistik), Limit, dan Differensial.

Materi ini merupakan materi baru yang seharusnya mereka dapatkan di kelas XII nantinya. Gambar-

gambar yang akan memotivasi siswa dan materi ajar ditampilkan dalam power point, disini siswa

memahami bahwa tidak semua bangun datar berbentuk persegi, segi tiga atau bentuk-bentuk lain yang

biasa mereka pelajari, tetapi ada bangun datar yang berbentuk kurva dan mereka akan mempelajari

bagaimana menghitung luas daerah dibawah kurva tersebut.

Guru membagikan LKS yang sudah dipersiapkan kepada masing-masing kelompok. Siswa bekerja

sama dengan kelompoknya masing-masing untuk menyelesaikan LKS yang telah dipersiapkan oleh

guru, sedangkan guru memantau siswa dalam kelompok untuk membimbing siswa. Setelah diskusi

selesai semua maka perwakilan kelompok mempresentasikan hasil yang mereka dapatkan dan siswa

lain menanggapi presentasi temannya. Akhirnya tujuan pembelajaran tercapai, siswa mampu menyelesaikan masalah yang diharapkan dapat bermanfaat dalam kehidupannya.

Suasana di Kelas

Suasana kelas sangat tertib saat mereka mengerjakan LKS dan mereka berusaha untuk mempelajari

pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam LKS tersebut, bahkan mereka ingin menyelesaikan soal tersebut

Page 234: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

234

dengan rapi, benar, dan tepat. Siswa juga sangat bersemangat di dalam kelas, mereka bertanya tentang

hal yang mereka belum mengerti.

Komentar Siswa

Di akhir pertemuan, guru meminta siswa menjawab angket yang diberikan berupa 10 pernyataan yang

harus dipilih siswa. Pernyataan-pernyataan ini memiliki pilihan jawaban: sangat setuju, setuju, ragu-

ragu, tidak setuju, dan sangat tidak setuju.

Ketercapaian Tujuan Pembelajaran

Sesuai dengan tujuan pembelajaran pada silabus, 100% siswa mampu menjawab soal-soal yang

diberikan, namun 80% mereka lupa menggambar poligon. Mereka hanya berpedoman dengan soal dan proses pengerjaan dan mengabaikan gambar poligon dalam kurva yang menjadi pendukung pengerjaan

soal. Ketika diselidiki, ternyata mereka menganggap bisa menyelesaikan soal tanpa menggambar

terlebih dahulu. Hal ini tentu saja mengurangi nilai karena gambar merupakan bagian dari LKS. Namun

dari jawaban yang mereka peroleh pada lembar kerja, tujuan pembelajaran tercapai mengingat ini adalah

materi baru dan metode baru buat mereka.

Komunikasi/strategi/kreativitas/karakter

Pada saat PBM berlangsung, tidak semua siswa aktif bertanya. Sebagian siswa hanya melihat,

mendengar, dan mengerjakan. Namun situasi ini dapat diatasi apabila guru menguasai kelas, dengan arti

dapat mengkondisikan kelas agar terlihat aktif. Karakteristik perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab,

peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan pro-aktif terjadi terutama saat mereka di dalam kelompok belajar.

Simpulan dan Saran

Simpulan

Model discovery learning adalah pembelajaran yang menuntut siswa untuk berpatisipasi aktif dalam

proses belajar mengajar dengan kemampuan yang sudah dimiliki, agar mereka mendapatkan

pengalaman untuk melakukan percobaan. Dari percobaan tersebut maka mereka akan menemukan

jawaban atas pertanyaan dari proses pembelajaran tersebut.

Dari respon yang diberikan dalam proses pembelajaran, siswa menyatakan senang belajar dengan model

pembelajaran discovery learning, dengan alasan melalui pembelajaran dengan model pembelajaran ini

menjadikan mereka lebih semangat dalam belajar matematika, lebih berani untuk bertanya dan berani

untuk mengemukakan pendapat serta dengan penerapan model discovery learning dapat meningkatkan

kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis siswa.

Saran

Diharapkan kreatifitas guru dalam pembelajaran lebih ditingkatkan untuk menunjang minat siswa dalam

belajar. Khususnya kepada berbagai pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pembelajaran matematika

hendaknya senantiasa memperhatikan dan mengevaluasi proses pembelajaran yang berlangsung dan diharapkan mampu mengembangkan pendekatan-pendekatan pembelajaran yang inovatif dengan tetap

memperhatikan karakteristik siswa, salah satunya adalah kemampuan komunikasi matematis siswa.

Daftar Pustaka

Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono. (2004). Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Budiningsih, Asri. (2005). Pembelajaran Moral Berpijak pada Karakteristik Siswa dan Budayanya.

Jakarta: Rineka Cipta

Depdiknas. (2006). Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi Sekolah

Menengah Pertama. Jakarta: Depdiknas

Djamarah dan Aswan Zain. (2002). Strategi Belajar Mengajar ,Jakarta: PT RinekaCipta

Page 235: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

235

Hamzah, Ali. (2014). Perencanaan dan Strategi Pembelajaran matematika. Jakarta: Rajawali

pers

Joyce, B.Weil, M.; Showers, B. (1986). Models of Teaching. Boston: Allyn and Bacon

Mulyasa. (2008). Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT. Rusdakarya

Prince, M. J. & Felder, R. M. (2006). “Inductive Teaching and Learning Methods: Definitions,

Comparisons, and Research Bases”. Journal of Engineering Education, 95 (2). 123-

138.

Shadiq, F. (2009). Model-model Pembelajaran Matematika SMP. Sleman: Depdiknas

Sutarto Hadi. (2005). Pendidikan Matematika Realistik. Banjarmasin: Penerbit Tulip.

Suyitno. (2006). Pemahaman Mahasiswa UPI Terhadap Hakikat Manusia dan Pendidikan

dalam Rangka Menjadi Guru. Sekolah pasca Sarjana UPI. Bandung.

Syah, Muhibbin. (2004). Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Jakarta: Rosda

Toeti Soekamto & Udin S. Winataputra. (1995). Teori Belajar dan Model-Model

Pembelajaran. Jakarta: Ditjen Dikti, Depdiknas

DOKUMENTASI

Guru memberikan contoh berupa gambar-gambar berbentuk kurva

Guru menerangkan bagaimana cara menghitung luas sebuah kurva

Page 236: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

236

Membentuk kelompok dan membagikan LKS

Guru menjelaskan soal yang terdapat pada LKS

Guru membimbing siswa dan merespon setiap pertanyaan

Siswa mengerjakan LKS

Page 237: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

237

Karakteristik yang terjadi dalam kelompok

Perwakilan kelompok mempresentasikan hasil kerja kelompoknya

Siswa dari kelompok lain menanggapi hasil kerja dari kelompok yang sedang presentase

Guru memberikan sebuah simulasi yang ditampilkan secara online kepada siswa

Page 238: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

238

Guru menuntun siswa melakukan refleksi terhadap materi yg baru dipelajari, mengomunikasikan

materi untuk pertamuan selanjutnya dan memberikan PR

Siswa menjawab angket yang diberikan oleh guru

Page 239: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

239

PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN HYPNO-TEACHING

DI KELAS VIII SMP PLUS AL-ATHIYAH ACEH BESAR

Yuhasriati1) dan Agam Mustafa2)

1)2)Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala 1)[email protected]

2)[email protected]

Abstrak. Matematika merupakan salah satu materi pelajaran yang harus dikuasai siswa,

sementara Matematika memiliki objek yang abstrak. Oleh sebab itu, perlu dipikirkan

sedemikian hingga pembelajaran yang terjadi tidak membuat siswa bosan, tertekan,

apalagi stress. Seorang guru harus mengupayakan pembelajaran yang menyenangkan.

Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah melaksanakan pembelajaran dengan

hypno-teaching. Hypno-Teaching merupakan pembelajaran dalam suasana rileks, dengan senantiasa guru mengupayakan untuk mengaktifkan pikiran bawah sadar siswa. Hal ini

dapat dilakukan dengan cara memberikan sugesti belajar; menggunakan ice breaking;

memperhatikan modalitas belajar siswa; dan memberikan pujian. Tujuan dari penelitian

ini adalah 1) untuk mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran dengan hypno-

teaching, 2) untuk mengetahui pencapaian ketuntasan belajar matematika siswa melalui

pembelajaran dengan hypno-teaching. Populasi penelitian ini adalah siswa kelas VIII

SMP Plus Al-Athiyah Aceh Besar dan sampel diambil secara random satu kelas dan

terpilih kelas VIIIA dengan banyak siswa 26 siswa. Pengumpulan data dilakukan setelah

materi diajarkan dengan pendekatan Hypno-Teaching yaitu melalui tes dan angket respon

siswa. Soal tes berbentuk essay sebanyak 5 butir soal. Data dari penelitian ini berupa nilai

dari hasil tes dan respon siswa melalui angket. Data yang berupa nilai dianalisis dengan menggunakan statistik uji-t pihak kanan dengan taraf signifikasi 5% dan data yang berupa

respon siswa dianalisis dengan persentase. Hasil analisis data menunjukkan bahwa 1)

siswa memberikan respon yang positif terhadap pembelajaran dengan Hypno-Teaching

dan 2) pembelajaran dengan Hypno-Teaching dapat mencapai ketuntasan belajar

matematika siswa khususnya pada materi Lingkaran di SMP Plus Al-Athiyah Aceh Besar.

Kata kunci: Hypno-teaching, Matematika

Pendahuluan Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang ada disetiap jenjang pendidikan, baik di jenjang

pendidikan dasar, menengah maupun perguruan tinggi. Peranan matematika sangat penting dalam

menunjang pembangunan baik dalam bidang pendidikan, ekonomi, maupun politik. Bagi siswa

penguasaan matematika akan menjadi sarana yang ampuh untuk menpelajari mata pelajaran lain, karena

matematika mengajarkan cara berfikir yang logis (rasional), kritis dan objektif. Matematika merupakan

suatu ilmu yang didasarkan atas akal (rasio) yang berhubungan dengan benda-benda dalam pikiran yang

abstrak. Menurut Soejadi (2000:13), karakteristik dari matematika adalah 1) memiliki objek kajian yang

abstrak, 2) Bertumpu pada kesepakatan, 3) berpola pikir deduktif, 4) memiliki simbul yang kosong dari

arti, 5) memperhatikan semesta pembicaraan, dan 6) konsisten dalam sistemnya. Salah satu karakteristik

dari matematika adalah memiliki objek yang abstrak. Keseriusan dari guru sangat dibutuhkan dalam

membelajarkan objek yang abstrak pada siswa. Guru harus menciptakan pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa, seperti amanah Undang-undang No. 20 pasal 40 ayat 2 yaitu “guru dan

tenaga kependidikan berkewajiban menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan,

kreatif, dinamis, dan dialogis”

Banyak masalah pembelajaran matematika yang harus dihadapi. Sebagaimana hasil wawancara dengan

guru yang ada di SMP Plus Al- Athiyah Aceh Besar, menyatakan bahwa dalam pelaksanaan belajar

mengajar guru menerapkan beberapa metode diantaranya metode ceramah, tanya jawab, dan pemberian

tugas. Akibat dari pembelajaran tersebut adalah

1. Siswa tidak antusias dalam mengikuti pembelajaran,

2. Siswa kurangnya percaya diri

3. Siswa hanya diposisikan sebagai pendengar, sehingga membosankan

Page 240: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

240

4. Proses pembelajaran yang monoton dan kurang menarik, dan

5. Rendahnya penguasaan siswa terhadap materi pelajaran matematika

Kenyataan di atas merupakan masalah yang sangat urgen dan sangat mengkhawatirkan kualitas

pendidikan matematika. Guru harus berani memilih/menetapkan cara membelajarkan siswa dengan

menetapkan pola pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik matematika dan karakteristik siswa di

sekolahnya masing-masing. Artinya, guru sebagai orang yang pertama dan yang utama bertindak

sebagai pengembang kegiatan pembelajaran yang mengenal karakteristik siswa dengan baik yang dapat mengupayakan pembelajaran yang menyenangkan sehingga dapat meningkatkan kualitas pendidikan

matematika di setiap sekolah tempat guru melaksanakan tugas profesionalitasnya. Pembelajaran yang

menyenangkan menurut Rusman (2011:326) menyatakan bahwa, “pembelajaran yang menyenangkan

adalah adanya pola hubungan yang baik antara guru dengan siswa dalam proses pembelajaran”

Salah satu alternatif pembelajaran yang menyenangkan dapat dilakukan melalui pembelajaran dengan

hypno-teaching. Hypno-teaching merupakan pembelajaran dalam suasana rileks, dengan senantiasa

guru mengupayakan untuk mengaktifkan pikiran bawah sadar siswa. menciptakan kondisi pembelajaran

yang sugestible. Bagaikan dokter ketika melakukan operasi pasiennya, supaya pssien tidak merasa sakit

maka dokter perlu membiusnya terlebih dahulu. Demikian juga guru diharapkan mampu berkomunikasi

dan dapat mempengaruhi pikiran siswa sehingga tercipta kondisi pembelajaran menjadi terfokus pada

materi pelajaran. Hal ini dapat dipelajari melalui hypno-teaching.

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraian pada pendahuluan maka peneliti mencoba melakukan

penelitian dengan judul “Pembelajaran Matematika dengan Hypno-Teaching di Kelas VIII SMP Plus

Al-Athiyah Aceh Besar”. Rumusan masalah dari penelitian ini adalah 1) Bagaimana respon siswa

terhadap pembelajaran dengan hypno-teaching, 2) Bagaimana ketuntasan belajar matematika siswa

melalui pembelajaran dengan hypno-teaching. Sejalan dengan rumusan masalah maka tujuan dari

penelitian ini adalah 1) untuk mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran dengan hypno-teaching,

2) untuk mengetahui pencapaian ketuntasan belajar matematika siswa melalui pembelajaran dengan

hypno-teaching.

Landasan Teoritis Pembelajaran Matematika

Matematika adalah bahasa universal untuk menyajikan gagasan atau pengetahuan secara formal dan

presisi sehingga tidak memungkinkan terjadinya multi tafsir. Matematika berperan sebagai alat

komunikasi formal paling efisien. Penyampaiannya adalah dengan membawa gagasan dan pengetahuan

konkret ke bentuk abstrak melalui pendefinisian variabel dan parameter sesuai dengan yang ingin

disajikan. Penyajian dalam bentuk abstrak melalui matematika akan mempermudah analisis dan

evaluasi selanjutnya.

Pembelajaran matematika SMP mempunyai tujuan tertentu sesuai dengan fungsinya sebagaimana sudah

disebutkan di atas. Sebagaimana dicantumkan dalam Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Dan

Kebudayaan Nomor 68 Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah

Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (2013:6), tujuan dari pembelajaran matematika agar siswa

memiliki Kompetensi Inti (KI) sebagai berikut.

KI 1 : Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya.

KI.2 : Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong

royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan pro-aktif dan menunjukkan

sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai

cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.

KI 3 : Memahami, menerapkan, dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural,

dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi,

seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan,

dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan

prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk

memecahkan masalah.

Page 241: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

241

KI 4 : Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan

pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, bertindak secara efektif

dan kreatif, serta mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.

Berdasarkan KI dari Kurikulum 2013 menunjukkan bahwa pembelajaran menekankan pada pentingnya

keseimbangan kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan. Kemampuan matematika yang

dituntut dibentuk melalui pembelajaran berkelanjutan: dimulai dengan meningkatkan pengetahuan

tentang metode-metode matematika, dilanjutkan dengan keterampilan menyajikan suatu permasalahan

secara matematis dan menyelesaikannya, dan bermuara pada pembentukan sikap jujur, kritis, kreatif,

teliti, dan taat aturan.

Pembelajaran matematika yang dianjurkan oleh Kurikulum 20013 sebagaimana tercantum Kemdikbud

(2013:x) dilakukan dalam 5 tahapan pembelajaran, yaitu: a. Apersepsi

b. Interaksi sosial di antara siswa, guru, dan masalah

c. Mempresentasikan dan mengembangkan hasil kerja

d. Temuan objek matematika dan penguatan skemata baru

e. Menganalisis dan mengevaluasi proses dan hasil penyelesaian masalah.

Lima tahapan pembelajaran tersebut belum menjamin dapat memberi kemudahan bagi siswa untuk

menguasai materi matematika yang disajikan guru. Percaya atau tidak, kondisi ruang kelas juga sangat mempengaruhi diri siswa. banyaknya siswa dalam ruangan, suhu ruangan, sikap dan ekspresi guru

terhadap siswa dan masih banyak faktor lain ternyata mempunyai pengaruh terhadap kemampuan

berpikir siswa. Terutama faktor guru yang merupakan pengaruh yang kuat terhadap kemampuan

berpikir siswa.

Guru yang masuk ruang kelas dengan tubuh lemas, letih, lesu, lunglai, dan lusuh, tentu akan mendapat

respon yang sama dari siswanya. Bahasa tubuh atau komunikasi nonverbal yang dipancarkan oleh guru

akan diterima oleh pikiran bawah sadar siswa. Guru bisa saja berusaha untuk menyajikan materi

semenarik mungkin seperti tahapan yang tersebut di atas, namun apa yang ada di pikiran bawah

sadarnya akan tertangkap oleh siswa. Siswa tahu jika guru mereka sebenarnya tidak semangat dan

akibatnya siswa juga tidak bersemangat dalam belajar. Kondisi siswa yang tidak bersemangat tersebut

merupakan efek dari hipnosis dari guru. Namun guru dapat melakukan hipnosis yang efeknya menumbuhkan semangat belajar siswa. Misalnya, guru matematika anda sangat ramah, perhatian,

mengerti anda, dan bersemangat menjelaskan materi matematika, anda belajar matematika dalam

kondisi rileks dan nyaman, akibatnya matematika menjadi pelajaran favorit anda.

Pembelajaran matematika yang bersemangat dapat dilakukan dengan 5 tahapan tersebut, tetapi harus

dilakukan oleh guru dapat mengaktifkan 4 kompetensi yang diwajibkan kepadanya, sebagaimana

tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Pasal 18 ayat 3, “Kompetensi guru

sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, atau pendidikan

menengah adalah 1) kompetensi pedagogik, 2) kompetensi kepribadian, 3) kompetensi profesional, dan

4) kompetensi sosial”. Terutama kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial. Kompetensi

kepribadian maksudnya kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Kompetensi sosial maksudnya kemampuan

pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta

didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitas,

sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005

Berdasarkan penjelasan di atas, indikator seorang guru mempunyai kompetensi kepribadian salah

satunya adalah memiliki perilaku yang berpengaruh positif terhadap peserta didik dan indikator

memiliki kompetensi soasial salah satunya adalah mampu berkomunikasi secara efektif dengan peserta

didik. Proses pembelajaran harus memuat komunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan

peserta didik’. Menyangkut komunikasi, Setiawan (2010:9) menyatakan “setiap komunikasi yang

Page 242: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

242

berhasil adalah hipnosis”. Oleh karena Kemampuan komunikasi dapat diaktifkan dengan

mempertimbangkan pembelajaran dengan menggunakan hipnosis yang disebut hypno-teaching.

Hypno-teaching

Hypno-Teaching merupakan perpaduan dua kata “hypnosis” dan “teaching”. Teaching sudah kita tahu

semua yaitu mengajar. Hipnosis didefinisikan oleh Almatin (2010: 73) sebagai suatu kondisi pikiran

saat fungsi analitis logis pikiran direduksi sehingga memungkinkan individu masuk ke dalam kondisi

bawah sadar (sub-conscius) sehingga tersimpan beragam potensi internal yang dapat dimanfaatkan

untuk lebih meningkatkan kualitas hidup”. Selanjutnya ada beberapa definisi yang sudah di rangkum

oleh Gunawan (2012:3) untuk kata hipnosis, yaitu

1) hipnosis adalah suatru kondisi di mana perhatian menjadi sangat terpusat sehingga

tingkat sugestibilitas meningkat sangat tinggi,

2) hipnosis adalah seni komunikasi untuk mempengaruhi seseorang sehingga mengubah

tingkat kesadarannya yang dicapai dengan cara menurunkan gelombang otak,

3) hipnosis adalah seni eksplorasi alam bawah sadar,

4) hipnosis adalah kondisi kesadaran yang meningkat,

5) hipnosis adalah suatu kondisi pikiran yang dihasilkan oleh sugesti.

Gunawan (2012:146) menyatakan bahwa, “Proses pembelajaran yang terjadi di sekolah tidak terlepas

dari proses hipnosis”. Misalnya, anda pernah merasa sangat senang belajar matematika, karena guru

anda guru matematika anda sangat ramah, perhatian, mengerti anda, dan bersemangat menjelaskan

materi matematika, akibatnya matematika menjadi pelajaran favorit anda. Namun saat anda naik kelas,

mata pelajaran matematika diajarkan oleh guru lain, yang anda rasakan tidak tertarik, tidak semangat,

mudah bosan, atau bahkan mulai membenci matematika. Mata pelajaran yang sama diasuh oleh guru yang berbeda memberikan pengaruh yang tidak sama. Itu semua efek dari hipnosis yang tidak

direncanakan oleh guru.

Salah satu definisi hipnosis adalah seni komunikasi untuk mempengaruhi seseorang sehingga mengubah

tingkat kesadarannya yang dicapai dengan cara menurunkan gelombang otak. Hipnosis adalah

kemampuan berkomunikasi, baik dengan dirinya sendiri maupun dengan orang lain. Hypno-teaching

menurut Triwidia (2010:4) adalah pembelajaran yang melibatkan pikiran sadar dan pikiran bawah sadar.

Sejalan dengan itu hypno-teaching didefinisikan oleh Navis (2013:128) adalah pembelajaran

melibatkan kemampuan guru untuk siswa ke kondisi kesadaran yang sangat mudah untuk menerima

berbagai saran/sugesti. Jadi Hypno-teaching adalah pembelajaran dengan hipnosis, merupakan seni

mengajar dengan mensugesti (mempengaruhi) pikiran siswa melalui komunikasi sehingga perhatian

siswa menjadi sangat terpusat. Terpusatnya perhatian siswa dalam pembelajaran mengakibatkan tingkat sugestibilitas (daya terima informasi) meningkat sangat tinggi.

Komunikasi dalam hipnosis ada kesan dimanipulasi, sedemikian hingga mendapatkan hasil yang baik

atau efektif. Komunikasi dimanipulasi dengan menggunakan pola kalimat berkekuatan hipnosis. Guru

juga diharuskan mampu berkomunikasi secara efektif dengan peserta didik,maka komunikasi yang

digunakanguru harus dimanipulasi dengan menggunakan pola kalimat berkekuatan hipnosis. Setiawan

(2010:74-Ada beberapa pola kalimat yang berkekuatan hipnosis yaitu;

1. Pola take and give, digunakan guru untuk menjalin keakraban (building raport) dengan

siswa.

2. Pola ‘karena’, digunakan agar memudahkan siswa untuk mengizinkan guru memberi saran

atau melakukan sesuatu

3. Pola ‘semakin ...... semakin.....’, digunakan untuk memperkuat apa yang sedang dilakukan

dan mengarahkan siswa untuk melakukan sesuai dengan dengan yang guru inginkan.

Page 243: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

243

4. Pola Double Binding digunakan agar siswa memilih salah satu pilihan yang telah guru

arahkan untuk dipilih dari dua pilihan yang mengikat.

5. Polo Nominalisasi, Mengubah kata kerja menjadi kata benda untuk menyederhanakan

proses dalam pikiran, karena pada prinsipnya otak kita menyukai yang sederhana,

demikian juga otak siswa.

6. Pacing dan leading, Pacing adalah segala sesuatu yang merupakan kebenaran yang tidak

terbantahkan. Leading adalah saran-saran atau perintah agar dijalankan siswa. Jadi pacing

dan leading adalah teknik komunikasi untuk mendapatkan hati siswa (pacing), kemudian

mengarahkan seperti keingingan guru. (lading)

Pembelajaran dengan hipnosis (hypno-teaching) merupakan pembelajaran yang mengakomudir hal-

hal yang dapat mengaktifkan pikiran bawah sadar siswa. Beberapa hal yang harus dilakukan oleh guru antara lain:

1. Menyapa siswa dengan ramah, antusias, dan bersemangat

Menciptakan awal yang berkesan adalah penting karena akan mempengaruhi proses selanjutnya. Jika

awalnya baik, menarik, dan memikat, maka proses pembelajaran akan lebih hidup dan menggairahkan.

Oleh karena itu selalu awali kegiatan pembelajaran dengan memberikan sapaan hangat kepada siswa,

misalnya “anak-anak senang bertemu kalian hari ini, kalian adalah anak-anak bapak atau/ibu yang

hebat”. Sapaan antusias, hangat dan raut wajah cerah memantulkan energi positif yang dapat

mempengaruhi semangat para siswa. Kita dapat bayangkan jika seorang guru ketika memulai

pembelajaran dengan raut muka ruwet, tidak senyum, penampilan kusut, tentu saja suasana kelas

menjadi menegangkan dan menakutkan.

2. Menciptakan suasana rileks

Ciptakanlah lingkungan yang rileks, yaitu dengan menciptakan lingkungan yang nyaman. Oleh karena

itu aturlah posisi tempat duduk secara berkala sesuai keinginan siswa. Bisa memakai format U,

lingkaran, dan lain-lain. Selain itu, ciptakanlah suasana kelas dimana siswa tidak takut melakukan

kesalahan. Untuk menanamkan keberanian kepada siswa dalam mengemukakan pendapat atau

menjawab pertanyaan, katakan kepada siswa jika jawabannya salah katakan “KAN LAGI BELAJAR”.

Karena sedang belajar, maka kesalahan adalah suatu yang lumrah dan tidak berdosa.

3. Memberikan sugesti belajar

Memberikan sugesti supaya lebih efektif perlu terlebih dahulu mengaktifkan pikiran bawah sadar,

caranya dengan menempatkan imajinasi dalam proses benar-benar berimajinasi. Imajinasi adalah penciptaan gambar dalam pikiran. Sugesti adalah suatu rangkaian kata-kata atau kalimat yang

disampaikan dengan cara dan dalam situasi tertentu sehingga dapat memberi pengaruh bagi yang

mendengar.

4. Menggunakan ice breaking

Ice breaking berguna untuk menaikkan kembali derajat perhatian siswa. Hal ini perlu dilakukan oleh

guru karena berdasarkan hasil penelitian, rata-rata setiap orang untuk dapat berkonsentrasi pada satu

focus tertentu hanyalah sekitar 15-30 menit. Setelah itu konsentrasi seseorang sudah tidak lagi dapat

memusatkan perhatian (fokus). Seorang guru harus peka ketika melihat gejala yang menunjukkan

bahwa siswa sudah tidak dapat konsentrasi lagi dengan melakukan ice breaking agar siswa menjadi

segar dan konsentrasi kembali. Ice breaking bisa berupa yel-yel, tepuk tangan, menyanyi, gerak dan lagu, gerak anggota badan, senam otak, atau games.

5. Memperhatikan modalitas belajar siswa

Modalitas belajar adalah cara termudah seseorang menyerap informasi. Setiap individu mempunyai

modalitas belajar yang berbeda-beda. Depoter dan Hernachi (2010:112) dalam bukunya ada tiga

modalitas belajar seseorang yaitu Auditory, Visual, dan Kinesthetic. Guru perlu menyadari bahwa siswa

dalam satu kelas memiliki modalitas belajar yang berbeda-beda. Oleh karena itu, untuk mengakomodir

semua siswa belajar dengan latar belakang yang berbeda tersebut guru dapat menggunakan metode yang

bervariasi.

Page 244: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

244

6. Berikan pujian

Pujian dibutuhkan untuk peningkatan harga diri seseorang. Pujian merupakan salah satu cara untuk

membentuk konsep diri seseorang. Maka berikanlah pujian dengan tulus pada siswa Anda. Khususnya

ketika ia berhasil melakukan atau mencapai prestasi. Sekecil apapun bentuk prestasinya, tetap berikan

pujian. Termasuk ketika ia berhasil melakukan perubahan positif pada dirinya sendiri, meski mungkin

masih berada di bawah standart teman-temannya, tetaplah berikan pujian. Dengan pujian, seseorang

akan terdorong untuk melakukan yang lebih dari sebelumnya.

Guru yang melaksanakan pembelajaran matematika yang dengan hypno-teaching.seperti yang

dilakukan oleh gurunya manusia. Menurut Chatib (2013:xviii), “Gurunya manusia adalah guru yang

fokus kepada kondisi siswa, yang senantiasa memandang setiap siswa adalah juara, mengajar dengan

hati, mengartikan kemampuan siswa dalam arti yang luas, dan menjadi sosok yang menyenangkan bagi

siswanya”.

Metode Penelitian

Penelitian ini tergolong jenis penelitian eksperimen, karena peneliti memberikan suatu perlakuan berupa

pembelajaran dengan hypno-teaching terhadap satu kelas objek yaitu siswa kelas VIIIA SMP Plus Al-

Athiyah Aceh Besar. Dalam hal ini Riyanto (2011:31) mengemukakan bahwa: penelitian eksperimen

merupakan penelitian sistematis, logis dan teliti didalam melakukan control terhadap kondisi. Penelitian

ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Penelitian kuantitatif merupakan penelitian yang didasarkan

atas perhitungan angka dimulai dari pengumpulan data, penafsir terhadap data tersebut, serta

penampilan dari hasilnya (Arikunto,2006:12) Jadi penelitian ini menggunakan penelitian eksperimen

dengan pendekatan kuantitatif.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kelas VIII SMP Plus Al- Athiyah Aceh Besar yang

berjumlah 2 kelas, sedangkan yang menjadi sampel hanya satu kelas, yaitu Kelas VIIIA SMP Plus Al-

Athiyah Aceh Besar dengan banyak siswa 26 siswa Pengambilan sampel ini dilakukan secara purposiv

sampling, yaitu keadaan kelas dan siswa yang dapat diterapkan pembelajaran dengan Hypno-Teaching.

Materi matematika yang digunakan dalam penelitian ini adalah materi lingkaran. Pengumpulan data dilakukan setelah materi diajarkan dengan hypno-teaching yaitu melalui tes dan angket respon siswa.

Soal tes berbentuk essay sebanyak 5 butir soal. Data dari penelitian ini berupa nilai dari hasil tes dan

respon siswa melalui angket. Data yang berupa nilai dianalisis dengan menggunakan statistik uji-t pihak

kanan dengan taraf signifikasi 5% dan data yang berupa respon siswa dianalisis dengan persentase.

Hipotesis yang diajukan adalah :

H0 : µ = µ0 Rata-rata hasil belajar siswa melalui pembelajaran dengan hypno-teaching pada materi

Lingkaran di kelas VIII SMP Plus Al-Athiyah Aceh Besar belum mencapai ketuntasan.

H0 : µ > µ0 Rata-rata hasil belajar siswa melalui pembelajaran dengan hypno-teaching pada materi Lingkaran di kelas VIII SMP Plus Al-Athiyah Aceh Besar dapat mencapai ketuntasan

belajar.

Nilai µ0= 65 sesuai dengan KKM di SMP Plus Al-Athiyah Aceh Besar merupakan nilai standar yang

berarti bahwa siswa telah menguasai 65% materi pelajaran yang diberikan.

Hasil Penelitian

Data yang berupa respon siswa yang dikumpulkan melalui angket yang diisi oleh 26 orang siswa Kelas

VIIIA SMP Plus Al-Athiyah Aceh Besar setelah mengikuti pembelajaran dengan hypno-teaching dianalisis dengan presentasi. Hasil analisis terlihat bahwa banyak komponen yang diamati direspon

positif yaitu persentasenya ≥80%. Komponen-komponen tersebut adalah siswa merasa senang terhadap

cara suasana pembelajaran di kelas dengan persentase 82,14% dan siswa senang terhadap cara guru

mengajar dengan persentase mencapai 100%, komponen lain yang direspon positif oleh siswa adalah

siswa merasa baru terhadap suasana pembelajaran di kelas, dan cara guru mengajar serta siswa

berkeinginan untuk mengikuti pembelajaran selanjutnya dengan dengan hipno-teaching sebesar

92,86%. Sedangkan ada aspek yang lainnya yaitu menyangkut materi pelajaran yang tidak merasa baru

bagi siswa, sehingga berada pada kategori tidak positif, karena respon yang diperoleh menunjukkan

hasil dibawah 80%. Respon siswa dikatakan efektif jika jawaban siswa terhadap pernyataan positif

untuk setiap aspek yang direspon pada setiap komponen pembelajaran dan diperoleh persentase

Page 245: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

245

sekurang-kurangnya 80%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa respon siswa terhadap

pembelajaran dengan hipno-teaching adalah positif.

Data yang dikumpulkan adalah nilai hasil belajar siswa yang dilakukan secara tertulis dan dilaksanakan

setelah materi Linggkaran selesai diajarkan. Pengumpulan data hasil belajar dilakukan satu kali yaitu

tes akhir. Data nilai hasil belajar siswa diperoleh rata-rata �̅� = 69,96 dengan simpangan baku s = 12,07

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan uji-t pihak kanan, dengan taraf signifikan α=0,05

Namun sebelumnya dilakukan uji normalitas sebaran data sebagai syarat dari uji t. Berdasarkan uji

normalitas sebaran data pada taraf signifikansi α = 0,05 disimpulkan bahwa data dalam penelitian ini

berasal dari populasi yang berdistribusi normal.

Hasil dari pengujian hipotesis tentu saja berkaitan dengan perlakuan yang diberikan. Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan uji-t pihak kanan, dengan taraf signifikan α = 0,05. Nilai statistik

hitung diperoleh thitung = 2,09. Dengan taraf signifikan α = 0,05 dan derajat kebebasan dk = (n-1) = (26

- 1) = 25, diperoleh diperoleh t(0,95)(25) = ttabel = 1,71. Ternyata 2,09 > 1,71, atau thitung > ttabel artinya

thitung berada dalam daerah kritis (daerah tolak Ho). Karena itu keputusannya hiptotesis Ho ditolak.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, rata-rata hasil belajar siswa melalui pembelajaran dengan

hypno-teaching pada materi Lingkaran di kelas VIII SMP Plus Al-Athiyah Aceh Besar dapat mencapai

ketuntasan belajar.

Kesimpulan

Berdasarkan analisis data maka dapat disimpulkan: 1) siswa memberikan respon yang positif terhadap

pembelajaran dengan hypno-teaching dan 2) pembelajaran dengan Hypno-Teaching dapat mencapai

ketuntasan belajar matematika siswa khususnya pada materi Lingkaran di SMP Plus Al-Athiyah Aceh

Besar.

Berdasarkan simpulan di atas, saran-saran yang dapat penulis berikan adalah sebagai berikut: 1) Guru

dapat menerapkan pembelajaran matematika dengan hypno-teaching sebagai salah satu alternatif

pembelajaran yang dapat mencapai ketuntasan belajar siswa. 2) Menyangkut hipno-teaching khusus untuk pembelajaran matematika, guru dapat melakukan pembelajaran dengan Mathemagics, yaitu

mengajarkan matematika dengan terlebih dahulu membongkar mental block yang menghambat diri

anak.

Daftar Pustaka

Aminulloh, Yusron. (2013). Ubah Mindset Pembelajaran: 10 Langkah Mendidik Siswa Secara Kreatif

dan Humanis. Yogyakarta: Aswaja Presindo

Annonim, (2003). Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Annonim, (2005). Peraturan Pemerintah Nomar 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Annonim,. (2013). Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 68 Tahun 2013

Tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah pertama/Madrasah

Tsanawiyah. Jakarta: Mendikbud.

Almatin, Isma. (2010). Dahsyatnya Hypnosis Learning untuk Guru dan Orangtua. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Chatib, Munif. (2013). Gurunya Manusia: Menjadikan Semua Anak Istimewa dan Semua Anak Juara.

Bandung: Kaifa

DePorter, Bobbi dan Hernachi, Mike. (2010). Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan

Menenangkan. Terjemahan Abdurrahman, Alwiyah. Bandung: Kaifa.

Page 246: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

246

DePorter, Bobbi dkk. (2011). Quantum Teaching: Mempraktekkan Quantum Learning di Ruang-ruang

Kelas. Terjemahan Nilandari, Ari. Bandung: Kaifa.

Gunawan, Andi Wira (2003). Genius Learning Strategy. Jakarta: Gramedia

Gunawan, Andi Wira (2012). Hipnosis-The Art of Subconcious Communication: Meraih Sukses dengan

Kekuatan Pikiran. Jakarta: Gramedia.

Navis, Ali Akbar. (2013). Hipnoteaching: Revolusi Gaya Mengajar untuk Melejitkan Prestasi Siswa.

Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Rusman. (2011). Model-model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru Jakarta: Raja

Grafindo.

Setiawan, Andrie. (2010). Kominikasi Dahsyat dengan Hipnosis. Jakarta:Visi Media

Soejadi, R. (2000). Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas.

Sulistiani, Enny. (2012). Mendidik Tidak Mendadak: NLP Based dan EFT. Bandung: Khasanah

Intelektual.

Triwidia Jaya, Novian. (2010). Hypno-teaching: Bukan Sekedar Mengajar. Bekasi: D-Brain.

Yuhasriati, (2012). Pembelajaran Matematika yang Menyenangkan melalui Hypno-Teaching. Makalah

Dipresentasikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika, Tanggal 14 Desember 2012 di

Auditorium FKIP Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh.

Page 247: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

247

PEMBUATAN APLIKASI KARTU ALJABAR DIGITAL

Zul Firdaus Mustafa1, Juwita2

1SMP Negeri 2, Banda Aceh 2 Prodi Manajemen Informatika,Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Email: [email protected]

Abstrak. Dalam dunia pendidikan penggunaan perangkat lunak komputer seperti adobe flash, i-spring atau powerpoint dapat digunakan untuk membuat media pembelajaran

yang interaktif, quis interaktif, dan juga alat peraga digital. Penelitian ini bertujuan untuk

membuat alat peraga digital yang diberi nama aplikasi kartu aljabar digital. Ada empat

tahap yang dilalui untuk melakukan pengembangan kartu aljabar digital tersebut, yaitu :

perancangan antar muka pengguna, pengkodean, evaluasi dan publish. Penelitian ini telah

berhasil mengembangkan kartu aljabar digital yang terdiri dari tiga bagian utama, yaitu :

halaman intro, halaman kesepakatan dan halaman latihan. Halaman kesepakatan

menguraikan beberapa butir penting yang harus diingat oleh pengguna dalam

menyelesaikan permasalah bentuk aljabar yang diberikan. Kesepakatan tersebut antara

lain : warna merah untuk menyatakan nilai positif, warna biru untuk menyatakan nilai

negatif. Variabel x2 diwakili oleh persegi besar, variabel x diwakili oleh persegi panjang,

dan satuan diwakili oleh persegi kecil. Persegi-persegi ini selanjutnya dikenal dengan nama kartu. Pada halaman latihan, pengguna terlebih dahulu menyusun kartu-kartu agar

menutupi bidang putih yang juga terdapat pada halaman latihan yang sama. Bila

diperlukan pengguna dapat memutar beberapa kartu persegi panjang merah atau persegi

panjang biru. Setelah kartu tersusun maka pengguna dapat mengisi faktor –faktor dari

bentuk aljabar pada kolom pengisian sesuai dengan urutan kartu yang telah disusun.

Pengguna dapat memeriksa kebenaran jawabannya dengan menekan tombol periksa.

Untuk setiap jawaban benar pengguna memperoleh nilai 100.

Kata kunci: Materi bentuk aljabar, Macromedia flash, kartu aljabar digital.

Pendahuluan

Pemanfaatan komputer dan perangkat lunak dalam aktivitas manusia sehari-hari selalu saja dapat

dijumpai. Dalam dunia pendidikan misalnya, komputer dengan bantuan perangkat lunak khusus seperti

adobe flash, i-spring dapat digunakan untuk membuat media pembelajaran interaktif, quis interaktif,

dan juga alat peraga digital. Alat peraga adalah suatu alat yang dapat diserap oleh mata dan telinga

dengan tujuan membatu guru agar proses belajar mengajar lebih efektif dan efisien (Sudjana, 2002).

Penggunaan alat peraga dalam matematika salah satunya bertujuan untuk memetakan konsep-konsep

abstrak kedalam bentuk konkret. Sebagai contoh, alat peraga kartu digunakan untuk materi aljabar.

Penggunaan kartu dimaksudkan untuk menggantikan variabel yang menurut siswa sangat abstrak,

misalnya untuk bentuk aljabar x2 + x + 1. Pada umumnya siswa belum dapat membayangkan bentuk x,

maka diperlukan kartu aljabar untuk mewakili bentuk x tersebut.

Materi aljabar yang diajarkan pada kelas VIII semester pertama di jenjang SMP tergolong materi yang sulit dipahami oleh siswa, hal ini terbukti dari rendahnya nilai ulangan yang diperoleh siswa. Rata-rata

siswa yang memenuhi nilai kriteria ketuntasan minimal (KKM) hanya lima orang saja dari 28 siswa.

Data ini diperoleh dari hasil ulangan yang penulis lakukan di SMP Negeri 2 Banda Aceh pada tahun

ajaran 2013/2014. Realitas ini memacu penulis berupaya lebih giat lagi, untuk membuat pembelajaran

materi aljabar agar menjadi lebih menarik dan mudah dipahami oleh siswa.

Penulis berasumsi bahwa kesulitan memahami permasalahan dalam aljabar menyebabkan turunnya

motivasi belajar siswa. Sehingga penulis merasa penting untuk mengembangkan sebuah aplikasi kartu

aljabar digital yang akan berfungsi sebagai alat peraga yang atraktif dan interaktif. Pada kartu aljabar

digital ini siswa lebih ditekankan untuk menyusun kartu yang telah tersedia, sehingga memperoleh

solusi faktorisasi yang benar untuk setiap permasalahan bentuk aljabar yang diberikan.

Page 248: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

248

Tinjauan Pustaka

Aljabar

Aljabar adalah suatu cabang penting dalam matematika. Kata aljabar berasal dari kata al-jabr yang

diambil dari buku karangan Muhammad ibn Musa Al-Khowarizmi (780-850 M), yaitu kitab al-jabr wa

al-muqabalah yang membahas tentang cara menyelesaikan persamaan-persamaan aljabar.

Bentuk-bentuk seperti 4a, -5a2b, 2p + 5, 7p2 – pq disebut bentuk aljabar. Bentuk aljabar sepeerti 4a dan -5a2b disebut bentuk aljabar suku satu atau suku tunggal.

Bentuk aljabar seperti 2p + 5 dan 7p2 – pq disebut bentuk aljabar suku dua atau binom.

Untuk menentukan hasil penjumlahan maupun hasil pengurangan pada bentuk aljabar, perlu

diperhatikan hal-hal berikut :

a. suku-suku yang sejenis

b. sifat distributif perkalian terhadap penjumlahan pengurangan, yaitu :

i) ab + ac = a (b+C) atau a(b+c)= ab + ac

ii) ab-ac = a(b-c) atau a(b-c) = ab – ac

c. hasil perkalian dua bilangan bulat, yaitu :

i) hasil perkalian dua bilangan bulat positif adalah bilangan bulat positif, ii) hasil perkalian dua bilangan bulat negative adalah bilangan bulat positif,

iii) hasil perkalian bilangan bulat positif dengan bilangan bulat negative adalah bilangan bulat

negatif.

Dengan menggunakan ketentuan-ketentuan diatas, maka hasil penjumlahan maupun hasil pengurangan

pada bentuk aljabar dapat dinyatakan dalam bentuk yang lebih sederhana dengan memperhatikan suku-

suku yang sejenis.

Fokus pembahasan pada kartu aljabar digital adalah faktorisasi. Faktorisasi adalah menyatakan bentuk

penjumlahan menjadi bentuk perkalian faktor-faktor. Bentuk penjumlahan suku-suku yang memiliki

faktor yang sama dapat difaktorkan dengan menggunakan hukum distributif.

Contoh :

Faktorkanlah bentuk aljabar : x2 + 10x + 16

Karena hasil kalinya bilangan positif, yaitu 16 dan hasil jumlahnya juga bilangan positif, yaitu 10, maka

pasangan bilangan bertanda positif.

Jadi, x2 + 10x + 16 = (x + 2 )( x + 8) .

(Adinawan, 2006)

Macromedia Flash 8

Pengembangan aplikasi kartu aljabar digital menggunakan perangkat lunak Macromedia Flash 8.

Macromedia Flash 8 adalah aplikasi standar authoring tool professional yang digunakan untuk membuat animasi untuk berbagai keperluan. Macromedia Flash 8 digunakan untuk mengolah gambar,

animasi, suara, video. Sehingga Macromedia Flash cocok digunakan untuk membuat multimedia

pembelajaran.

Multimedia pembelajaran interaktif dapat digunakan untuk menjelaskan pokok bahasan pelajaran

tertentu, atau dapat juga digunakan untuk mengembangkan latihan-latihan pendalaman dari pokok

bahasan pelajaran tertentu (Juwita, 2013).

Ada beberapa keuntungan menggunakan Macromedia Flash 8 antara lain :

1. ukuran movie file yang cukup kecil, sehingga waktu loading file cepat,

2. mempunyai kemudahan dalam melakukan import file dalam banyak pilihan sehingga lebih hidup,

3. file disimpan dalam tipe file .exe tanpa harus menginstal flash.

4. gambar tidak akan pecah ketika di zoom,

5. font tidak akan berubah meski tidak ada font dalam komputer, 6. dapat membuat tombol interaktif.

7. dapat dikonversi dan di-publish ke dalam beberapa tipe ekstensi seperti .swf, .html, .gif, .jpg, .png,

.exe, .mov.

(Nurtantio, 2013)

Page 249: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

249

Metode

Penulis menggunakan tahap-tahap pengembangan aplikasi seperti berikut :

1. Perancangan Antar Muka Pengguna

Antar muka pengguna yang dibuat terdiri dari : halaman intro yang menampilkan judul aplikasi dan

nama pembuat, halaman kesepakatan yang berisi aturan-aturan yang harus diingat selama proses latihan

faktorisasi dan halaman latihan yang berisi permasalahan bentuk aljabar yang harus diselesaikan. Selain

itu pada tahap perancangan ini, dirancang pula tombol-tombol navigasi. Kegiatan pada tahap ini juga

menentukan sound yang akan digunakan untuk halaman intro.

Pengaturan alur antar muka pengguna kartu aljabar digital adalah seperti gambar 1. berikut :

Gambar 1. Alur halaman antar muka

2. Pengkodean

Setelah halaman selesai dirancang, penulisan kode-kode action script dilakukan, diantaranya adalah

action script untuk tombol rotasi yang akan memutar kartu-kartu, action script untuk tombol navigasi,

serta action script untuk movie clip.

3. Evaluasi

Proses yang dilakukan pada tahap evaluasi ini adalah memastikan bahwa tombol-tombol pada aplikasi

telah memberikan output yang sesuai. Misalnya pada tombol navigasi next harus menampilkan

halaman selanjutnya. Pada tahap ini juga di periksa apakah sound telah berjalan sesuai dengan rencana.

4. Publish

Tahap terakhir dari tahap pengembangan aplikasi kartu aljabar digital adalah tahap publish, format yang

dipilih dalam tahap ini adalah window projection (exe). Publish dengan format lain juga dapat dilakukan

sesuai kebutuhan.

Hasil dan Pembahasan

Faktorisasi bentuk aljabar merupakan salah satu materi matematika yang diajarkan untuk siswa kelas VIII SMP/MTs. Penelitian ini telah berhasil mengembangkan kartu aljabar digital yang dapat digunakan

sebagai alat peraga untuk materi faktorisasi bentuk aljabar. Kartu aljabar digital yang dikembangkan

terdiri dari tiga bagian utama, bagian pertama adalah halaman intro, pada halaman ini dituliskan judul

dari aplikasi beserta nama pembuat dan instansi. Halaman intro menggunakan action script

movieclip1._rotation +=10, untuk merotasikan movie clip bintang. Halaman intro disajikan pada

gambar 2.

Gambar 2. Halaman Intro

Bagian kedua dari kartu aljabar digital adalah halaman kesepakatan, halaman ini menjelaskan beberapa

kesepakatan yang harus diingat untuk memecahkan permasalahan bentuk aljabar. Guru terlebih dahulu

menjelaskan bahwa kesepakatan tersebut hanya berlaku khusus untuk permasalahan bentuk aljabar

Halaman

intro

Halaman

Kesepakatan Halaman

Latihan

Page 250: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

250

pada latihan dalam aplikasi kartu aljabar. Kesepakatan diperlukan untuk memudahkan siswa dalam

memahami dan menyelesaikan permasalahan bentuk aljabar pada bagian latihan selanjutnya. Gambar

3. merupakan tampilan halaman kesepakatan.

Gambar 3. Halaman Kesepakatan

Pada gambar 3 terlihat bahwa perbedaan warna persegi menunjukkan perbedaan nilai, warna merah

mewakili nilai positif dan warna biru mewakili nilai negatif. Variabel x2 positif akan diwakili oleh

persegi besar merah sedangkan persegi besar biru mewakili variabel x2 negatif.

Bagian ketiga dari kartu aljabar digital ini adalah halaman latihan seperti terlihat pada gambar 4.

Gambar 3. Halaman Latihan

Pengguna dapat langsung menyeret kartu-kartu, dan menyusunnya sesuai dengan permasalahan bentuk

aljabar yang diberikan. Dalam menyusun kartu pengguna dapat memutar kartu ke kiri atau ke kanan

agar menutupi semua daerah putih dibagian kanan. Bila kartu sudah tersusun dan menutupi daerah putih,

maka pengguna melanjutkan mengisi kolom faktor-faktor bentuk aljabar (area dalam kurung). Bila

pengguna telah yakin dengan jawabannya pengguna dapat menekan tombol periksa.

Gambar 4. Halaman Jawaban Benar.

Untuk setiap permasalahan yang berhasil diselesaikan dengan benar pengguna memperoleh nilai 100.

Bila pengguna ingin memperbaiki jawabannya, pengguna dapat menekan tombol reset seperti terlihat

pada gambar 4.

Kesimpulan

Hasil dari penelitian ini berupa aplikasi kartu aljabar digital yang dikembangkan sebagai alat peraga

untuk materi faktorisasi bentuk aljabar, target pengguna kartu aljabar digital ini adalah siswa SMP/MTs yang masih kesulitan untuk membayangkan bentuk konkret variabel yang digunakan dalam bentuk

aljabar. Kartu aljabar digital terdiri dari tiga bagian, bagian pertama adalah bagian intro, bagian kedua

bagian kesepakatan yang menguraikan butir-butir kesepakatan yang harus diingat dalam menyelesaikan

bagian ketiga, yaitu halaman latihan. Halaman latihan berisi permasalahan bentuk aljabar, kartu-kartu

yang harus disusun agar menutupi bidang putih pada halaman, serta kolom pengisian jawaban yang

Page 251: Lihat ISBN:978-602-97671-7-7 (Full)

251

berupa area dalam kurung. Untuk jawaban yang benar nilai yang ditampilkan adalah 100. Tombol reset

dapat digunakan untuk memperbaharui jawaban.

Daftar Pustaka

Adinawan, M.Cholik dan Sugijono. (2006). Matematika Untuk SMP Kelas VIII, Jakarta, Penerbit

Erlangga.

Juwita. 2013. Rancang Bangun Kuis Multimedia Latih Aritmatika untuk Siswa Sekolah Dasar Tahun

Pertama. Jurna AdMathEdu, vol 3 No.2 Tahun 2013. 143-150.

Nurtantio, Pulung dan Maulana Syarif, Ali. (2013). Kreasika Animasimu dengan Adobe Flash dalam

membuat Sistem Multimedia Interaktif, Yogyakarta, Penerbit ANDI

Sudjana, Nana dan Rivai Ahmad. (1991). Media Pengajaran, Sinar Baru Algensindo : Bandung

Diakses pada 28 Mei 2014, dari alamat http://www.sarjanaku.com/2011/03/pengertian-alat-

peraga.html