12
Seminar Antar Bangsa : Seni Budaya dan Desain – STANSA 2018 KONSEP TRI-LOKA DAN KEBERADAAN POHON HAYAT PADA BATIK MOTIF LENGKO KAMBRETAN TULUNGAGUNG Ony Setyawan Pendidikan Seni Rupa, Jurusan Seni dan Desain, Universitas Negeri Malang Email: [email protected] Abstract: Lengko motifs is one example of batik motifs that is characteristic of batik kambretan style from Kalangbret village, Tulungagung regency. The influence of traditional batik keraton very thick in Lengko motifs, both in terms of ornament shape and color of batik. The purpose of this research to discuss the motifs of batik Lengko viewed from the concept of triloka and the existence tree of life. This research used qualitative research method. The result of the discussion shows that the main motifs of Lengko symbolizes the three natural order on the concept of triloka. The existence tree of life is symbolized by a series of objects flowers and lung-lungan, occupying on the pattern of the main motifs and forming a meru (mountain) or pattern lengkak-lengkok. Key Words: Lengko motifs, Triloka, Tree of Life Abstrak: Motif Lengko merupakan salah satu contoh motif batik yang menjadi ciri khas dari corak batik kambretan yang berasal dari Desa Kalangbret Kabupaten Tulungagung. Pengaruh batik tradisional keraton sangat kental dalam motif Lengko,baik dari segi bentuk ornamen maupun warna batik. Tujuan penelitian ini untuk membahas mengenai motif batik lengko ditinjau dari konsep triloka dan keberadaan pohon hayat. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa susunan motif utama lengko menyimbolkan tiga tata alam pada konsep triloka. Keberadaan pohon hayat disimbolkan dengan rangkaian objek bunga dan lung-lungan, menempati pada pola motif utama dan membentuk sebuah meru (gunung) atau pola lengkak-lengkok. Kata kunci: Motif Lengko, Triloka, Pohon Hayat Batik memberi makna yang sarat akan seni dan representasi budaya dari masing- masing daerah di tanah air. Batik mengalami perkembangan yang begitu pesat pada setiap daerah di Indonesia. Dalam setiap perkembangannya ada beberapa aspek yang tetap dipegang oleh para pengrajin batik dalam setiap produk batik yang dihasilkannya. Pewarisan tradisi dan budaya membatik dilakukan secara turun temurun dengan tetap menerapkan motif yang menjadi ciri khasnya. Keberadaan batik mengalami perkembangan yang cukup pesat. Batik klasik yang dahulunya hanya diproduksi dan dikenakan oleh keluarga keraton, akhirnya berkembang dan dikenakan oleh semua lapisan masyarakat saat ini. Penggunaan motif-motif batik keraton maupun batik pesisiran beredar luas dan banyak dikenakan oleh setiap lapisan masyarakat. Batik keraton mempunyai pakem-pakem khusus dalam setiap penciptaan motifnya, sedangkan batik pesisiran yang meskipun tidak memiliki pakem-pakem khusus dalam penciptaannya, namun kedua batik ini ini memiliki makna-makna khusus dalam setiap motif yang diciptakannya. Penggunaan motif-motif batik yang beragam pada masyarakat tidak diimbangi dengan pemahaman masyarakat akan makna serta nilai-nilai luhur motif yang terkandung di dalam kain batik yang dikenakan. Hal ini sangat disayangkan karena batik pada hakekatnya bukan hanya hiasan atau ornamen pada kain yang diambil nilai keindahannya saja, namun lebih dari itu batik memiliki keindahan jiwa (makna) yang terkandung dalam setiap ornamen yang digunakannya, khususnya pada batik-batik tradisional dan gaya klasik. Masyarakat lebih cenderung hanya menilai batik dengan keindahan motif dan warnanya saja tanpa memandang nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam motif. Hal ini diperkeruh lagi dengan adanya produksi besar- besaran dengan menggunakan batik printing, jelas hal inilah yang akan mematikan industri rumahan batik dan mematikan pemahaman

KONSEP TRI-LOKA DAN KEBERADAAN POHON HAYAT PADA …

  • Upload
    others

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KONSEP TRI-LOKA DAN KEBERADAAN POHON HAYAT PADA …

Seminar Antar Bangsa : Seni Budaya dan Desain – STANSA 2018

KONSEP TRI-LOKA DAN KEBERADAAN POHON HAYAT PADA BATIK

MOTIF LENGKO KAMBRETAN TULUNGAGUNG

Ony Setyawan

Pendidikan Seni Rupa, Jurusan Seni dan Desain, Universitas Negeri Malang

Email: [email protected]

Abstract: Lengko motifs is one example of batik motifs that is characteristic of batik

kambretan style from Kalangbret village, Tulungagung regency. The influence of

traditional batik keraton very thick in Lengko motifs, both in terms of ornament shape and

color of batik. The purpose of this research to discuss the motifs of batik Lengko viewed

from the concept of triloka and the existence tree of life. This research used qualitative

research method. The result of the discussion shows that the main motifs of Lengko

symbolizes the three natural order on the concept of triloka. The existence tree of life is

symbolized by a series of objects flowers and lung-lungan, occupying on the pattern of the

main motifs and forming a meru (mountain) or pattern lengkak-lengkok.

Key Words: Lengko motifs, Triloka, Tree of Life

Abstrak: Motif Lengko merupakan salah satu contoh motif batik yang menjadi ciri khas

dari corak batik kambretan yang berasal dari Desa Kalangbret Kabupaten Tulungagung.

Pengaruh batik tradisional keraton sangat kental dalam motif Lengko,baik dari segi bentuk

ornamen maupun warna batik. Tujuan penelitian ini untuk membahas mengenai motif batik

lengko ditinjau dari konsep triloka dan keberadaan pohon hayat. Penelitian ini

menggunakan jenis penelitian kualitatif. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa susunan

motif utama lengko menyimbolkan tiga tata alam pada konsep triloka. Keberadaan pohon

hayat disimbolkan dengan rangkaian objek bunga dan lung-lungan, menempati pada pola

motif utama dan membentuk sebuah meru (gunung) atau pola lengkak-lengkok.

Kata kunci: Motif Lengko, Triloka, Pohon Hayat

Batik memberi makna yang sarat akan

seni dan representasi budaya dari masing-

masing daerah di tanah air. Batik mengalami

perkembangan yang begitu pesat pada setiap

daerah di Indonesia. Dalam setiap

perkembangannya ada beberapa aspek yang

tetap dipegang oleh para pengrajin batik dalam

setiap produk batik yang dihasilkannya.

Pewarisan tradisi dan budaya membatik

dilakukan secara turun temurun dengan tetap

menerapkan motif yang menjadi ciri khasnya.

Keberadaan batik mengalami perkembangan

yang cukup pesat. Batik klasik yang dahulunya

hanya diproduksi dan dikenakan oleh keluarga

keraton, akhirnya berkembang dan dikenakan

oleh semua lapisan masyarakat saat ini.

Penggunaan motif-motif batik keraton maupun

batik pesisiran beredar luas dan banyak

dikenakan oleh setiap lapisan masyarakat.

Batik keraton mempunyai pakem-pakem

khusus dalam setiap penciptaan motifnya,

sedangkan batik pesisiran yang meskipun tidak

memiliki pakem-pakem khusus dalam

penciptaannya, namun kedua batik ini ini

memiliki makna-makna khusus dalam setiap

motif yang diciptakannya.

Penggunaan motif-motif batik yang

beragam pada masyarakat tidak diimbangi

dengan pemahaman masyarakat akan makna

serta nilai-nilai luhur motif yang terkandung di

dalam kain batik yang dikenakan. Hal ini

sangat disayangkan karena batik pada

hakekatnya bukan hanya hiasan atau ornamen

pada kain yang diambil nilai keindahannya

saja, namun lebih dari itu batik memiliki

keindahan jiwa (makna) yang terkandung

dalam setiap ornamen yang digunakannya,

khususnya pada batik-batik tradisional dan

gaya klasik. Masyarakat lebih cenderung hanya

menilai batik dengan keindahan motif dan

warnanya saja tanpa memandang nilai-nilai

luhur yang terkandung di dalam motif. Hal ini

diperkeruh lagi dengan adanya produksi besar-

besaran dengan menggunakan batik printing,

jelas hal inilah yang akan mematikan industri

rumahan batik dan mematikan pemahaman

Page 2: KONSEP TRI-LOKA DAN KEBERADAAN POHON HAYAT PADA …

Seminar Antar Bangsa : Seni Budaya dan Desain – STANSA 2018

masyarakat luas akan hakekat batik itu sendiri.

Sehingga muncul fenomena motif-motif yang

dipandang bagus dan laku keras di pasaran,

maka motif itu lah yang akan diproduksi dalam

jumlah banyak. Karena hanya mengejar nilai

ekonomis dari sehelai kain yang bermotifkan

batik. Hal ini sangat mengecewakan bagi

budaya bangsa kita sendiri, karena para

budayawan luar negeri rela berdatangan ke

Indonesia untuk belajar membatik dengan cara

tradisional dan menggunakan pewarna alam,

sedangkan kita sendiri melupakan proses itu

sendiri.

Salah satu motif batik klasik yang

memiliki keindahan secara utuh adalah motif

pohon hayat. Motif pohon hayat merupakan

salah satu motif utama dalam tata susun batik

berupa gambar pohon yang memiliki bunga

(kuncup) dahan dan akar, dan kadang dipadu

dengan motif utama seperti meru, gurda

(garuda), burung, dan tumbuh-tumbuhan

(Kartika, 2007: 12). Motif pohon hayat sering

ditemui pada relief Kalpataru Candi

Parambanan. Terdapat begitu banyak variasi

dan susuan mengenai penggambaran pohon

hayat, misalnya saja penggambaran motif

pohon hayat yang sama-sama terdapat pada

kompleks Candi Prambanan memiliki

perbedaan. Pohon hayat yang tergambar pada

Candi Iduk Siwa (Prambanan) berbeda dengan

penggambaran pohon hayat pada Candi Nandi

(candi kendaraan Dewa Siwa). Hal ini

menunjukkan bahwa penggambaran simbol

pohon hayat memiliki aspek perbedaan yang

sangat beragam dalam pemvisualisasiannya.

Sehingga motif pohon hayat menjadi salah satu

simbol yang kuat dan melekat dalam berbagai

karya seni nusantara, antara lain pada kain,

relief kalpataru, dan gunungan (wayang).

Sesuai dengan ekspresi budaya Jawa,

penggambaran motif pohon hayat sering

dipadukan dengan konsep triloka yang

menggambarkan sisi kehidupan dengan tiga

tata jagad, yaitu jagat atas (alam niskala), jagat

tengah (alam niskala-sakala), dan jagat bawah

(alam sakala) yang harus diupayakan terus

keselarasan hubungan secara kosmis, untuk

menjaga keseimbangan secara horizontal dan

vertikal (Kartika, 2007: 151). Penggunaan

konsep triloka dan motif pohon hayat ini

umumnya dapat dijumpai pada motif-motif

batik yang dilatarbelakangi oleh corak batik

tradisional keraton.

Keberadaan corak batik tradisional

keraton tidak hanya berada dalam lingkungan

keraton saja, namun juga mempengaruhi

perkembangan batik-batik tradisional yang

berada di luar keraton (Solo-Yogyakarta).

Salah satu corak batik yang terpengaruh

budaya batik tradisional keraton adalah corak

batik kambretan yang berada di Desa

Kalangbret, Kecamatan Kauman, Kabupaten

Tulungagung. Corak batik kambretan

berkembang dengan dipengaruhi oleh corak

batik tradisional pada masa Kerajaan

Majapahit dan Kerajaan Mataram Islam

(Keraton Yogyakarta-Surakarta). Hingga

sekarang penerapan corak batik kambretan

tetap menjadi ciri khas batik yang dihasilkan

oleh Desa Kalangbret dan sekitarnya

(Supriono, 2016: 109). Batik tradisional

keraton hingga sekarang berpengaruh besar

terhadap motif-motif yang digunakan dan

warna-warna yang digunakan oleh para

pengrajin batik yang berdomisili di wilayah

Desa Kalangbret dan sekitarnya ini. Motif-

motif terdahulu yang merupakan motif warisan

meliputi Motif Buntal, Motif Lengko, Motif

Parang, Motif Lereng, Motif Sayonara, Motif

Kerton, Motif Alas-Alasan, Motif Gringsing

Papak, Motif Gringsing Moto Pitik, dan

sebagainya. Ada beberapa nama motif yang

sangat kental dan erat kaitannya dengan batik

keraton. Namun dalam artikel ini akan

membahas mengenai motif asli dari Kalangbret

yang terpengaruh oleh batik keraton baik dari

seni visual motif maupun warnanya, yaitu

motif Lengko.

Motif lengko merupakan salah satu

motif yang khas dalam corak batik kambretan,

hingga sekarang masih terjaga keaslian

motifnya dan dikembangkan oleh para

pengrajin batik di Desa Kalangbret dan

sekitarnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk

membahas mengenai motif batik lengko

kambretan ditinjau dari keberadaan konsep

triloka dan pohon hayat yang digunakan,

sekaligus menambah khasanah dalam

pembahasan pada gaya batik klasik yang masih

diproduksi oleh sebagian pengrajin batik

ditengah gencar-gencarnya produksi batik

yang hanya mengedepankan nilai produksi dan

nilai jual batik tanpa mengetahui konsep serta

nilai-nilai yang terkandung dalam setiap

Page 3: KONSEP TRI-LOKA DAN KEBERADAAN POHON HAYAT PADA …

Seminar Antar Bangsa : Seni Budaya dan Desain – STANSA 2018

ornamen dalam kain batik.

METODE

Penelitian ini menggunakan jenis

penelitian kualitatif. Data yang diperoleh

diuraikan dalam bentuk kata-kata dan gambar

secara deskriptif. Objek penelitian berupa batik

motif lengko yang diproduksi oleh rumah batik

tulis Kalang Kusuma di Desa Kalangbret,

Kecamatan Kauman, Kabupaten Tulungagung.

Sampel motif lengko yang diambil merupakan

motif lengko tertua (lengko lama) dan belum

mengalami pengembangan, baik

pengembangan dari segi ornamen tambahan

maupun dari segi pewarnaan. Sumber data

diperoleh dari pengrajin dan produk batik.

Informan kunci adalah Shodiq selaku pengrajin

dan pemilik batik Kalang Kusuma dan

Mukaromah selaku pengrajin batik tertua

(sesepuh) yang ada di Desa Kalangbret.

Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan

teknik observasi, wawancara, dan

dokumentasi. Teknik analisis data yang

digunakan meliputi: reduksi data, penyajian

data, dan penarikan kesimpulan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Seni dan keterampilan membatik di

Desa Kalangbret erat kaitannya dengan

perkembangan tradisi membatik di Kerajaan

Majapahit. Dahulu Tulungagung terkenal

dengan sebutan Bonoworo karena sebagian

wilayahnya terdiri dari rawa-rawa. Pada saat

pengembangan wilayah Kerajaan Majapahit,

Bonoworo dikuasai oleh seorang yang

bernama Adipati Kalang yang tidak mau

tunduk kepada Kerajaan Majapahit. Melalui

serangan yang dilancarkan oleh pasukan

Kerajaan Majapahit, Adipati Kalang tewas

dalam pertempuran yang dikabarkan terjadi di

sekitar desa yang sekarang bernama Desa

Kalangbret. Sejak saat itu, para abdi dan

keluarga Kerajaan Majapahit menetap dan

tinggal di daerah Bonoworo, dan disitulah

keterampilan membatik diajarkan dari

Majapahit kepada masyarakat Tulungagung.

Selanjutnya pertumbuhan batik yang ada di

Kabupaten Tulungagung, khususnya yang ada

di Desa Kalangbret berkembang pesat setelah

setelah mendapatkan pengaruh dari batik Solo

dan batik Yogyakarta sekitar abad ke-19.

Akibatnya, batik Tulungagung baik corak

maupun motifnya banyak menyerap unsur

batik Solo dan batik Yogyakarta (Supriono,

2016: 109). Perkembangan pada industri batik

rumahan di Kalangbret kemudian berkembang

dan menjadi corak khas yang dinamakan

kambretan.

Awal mula batik yang ada di Desa

Kalangbret lahir bersamaan dengan awal mula

penamaan Desa Kalangbret. Corak batik

Kalangbret merupakan corak batik khas Desa

Kalangbret yang dipengaruhi oleh batik-batik

yang berasal dari Kerajaan Majapahit dan

Keraton Solo-Yogyakarta (Kesultanan

Mataram). Corak batik Kalangbret yang

berkembang sekarang produksinya mulai

terpengaruh dan menyesuaikan dengan

permintaan konsumen. Namun tetap menjaga

kekhassan yang dimiliki oleh corak batik

Kalangbret tersebut, yaitu tetap ada unsur

warna biru dan coklat serta tetap

mengembangkan objek-objek yang sering

digunakan dalam motif utama, motif

pendukung, dan isen-isen. (Wawancara:

Shodiq, 9/2/2018)

Corak batik kambretan di kembangkan

oleh para pengrajin batik yang ada di Desa

Kalangbret dan sekitarnya, seperti Desa

Mojosari. Namun seiring dengan

berkembangnya industri konveksi, para

pengrajin batik yang awalnya menggunakan

dan melestarikan batik tulis beralih

menggunakan batik cap dan printing.

Sekarang sebagian besar pengrajin telah

menggunakan teknik cap. Namun ada salah

satu pengrajin rumahan yang tetap

menggunakan teknik batik tulis yaitu batik

Kalang Kusuma. Motif yang dihasilkan juga

tetap merupakan motif klasik warisan leluhur.

Salah satu motif yang menjadi keunggulan dan

banyak diminati oleh masyarakat adalah motif

lengko. (Wawancara: Mukaromah,

10/2/2018)

Page 4: KONSEP TRI-LOKA DAN KEBERADAAN POHON HAYAT PADA …

Seminar Antar Bangsa : Seni Budaya dan Desain – STANSA 2018

Gambar 1. Batik Motif Lengko

(Sumber: dokumentasi penulis: 2018)

Gambar diatas merupakan motif

lengko tertua yang ada di rumah batik Kalang

Kusuma Kalangbret. Penggunaan ornamen

padat terlihat jelas dalam keseluruhan kain

batik. Tidak ada ruang kosong menjadikan ciri

khas tersendiri pada batik-batik yang

dihasilkan oleh corak kambretan. Meskipun

dipadati dengan susunan ornamen yang padat,

pada batik lengko memiliki ruang kosong yang

disebut sebagai motif kotongan. Motif

kotongan inilah yang menjadi keunikan

tersendiri bahwa batik dengan ornamen yang

rumit dan padat karena adanya salah satu

pengaruh dari batik tradisional keraton, tetapi

tetap memiliki ruang kosong yang unik dan

berwarna coklat. Hal tersebut terjadi karena

secara mayoritas batik yang dihasilkan oleh

Desa Kalangbret secara keseluruhan tetap

memegang ciri khas unik tersebut terutama

pada motif-motif tertuanya. Namun, dengan

seiring berkembangnya zaman, karena adanya

permintaan konsumen dan produksi yang

semakin melemah, penggunaan ciri khas motif

ini lama-kelamaan mulai ditinggalkan dan

hanya beberapa pengrajin saja yang tetap

menerapkannya.

a. Visual Ornamen Motif Lengko

Motif lengko diciptakan pada tahun

1948. Motif lengko termasuk dalam

golongan batik dengan corak non geometris

karena terdiri dari objek flora dan fauna. Objek

flora yang tergambar berupa bunga seruni,

bunga mawar, dan bunga melati serta lung-

lungan yang berupa daun-daun menjalar.

Untuk objek faunanya yaitu berupa burung

phonix dan kupu-kupu. Batik golongan non-

geometris sendiri merupakan batik yang terdiri

dari ornamen-ornamen tumbuhan, meru,

pohon hayat, candi, binatang, burung, garuda,

ular atau naga, dan susunan tidak teratur

menurut bidang geometris (Wulandari, 2011:

109).

Pada bagian motif utamanya

cenderung terkesan geometris karena adanya

latar pola yang menyerupai garis zig-zag dalam

keseluruhan kain batik. Pola garis zig-zag ini

nampak menyerupai gunungan wayang dan

pohon hayat. Konsep gunung dan pohon

tersebut juga padu dengan konsep dunia atas,

dunia tengah, dan dunia bawah. Gunungan

berasal dari kata “gunung” yang sebagian besar

masyarakat Jawa meyakininya sebagai

jembatan dunia atas dengan dunia bawah.

Kartika (2007: 21) mengungkapkan bahwa

gunungan dinyatakan berbentuk menyerupai

segitiga dan pada bagian bidang sekelilingnya

diisi dengan daun-daun dan bermacam

binatang sesuai dengan modifikasi

perkembangan dan corak kedaerahan, yang

pada prinsipnya mempunyai fungsi sama, yaitu

tanda awal dan berakhirnya suatu adegan

kehidupan. Menurut pandangan Hindu-Budha,

gunung memiliki fungsi penyetabil jagad raya,

menahan langit dan bumi, menetralkan

kekuatan jahat, kekacauan, ketidakstabilan,

dan ketidakteraturan (Kartika, 2007: 134).

Gambar 2. Motif Utama Lengko yang Menyerupai

Gunungan Wayang

(Sumber: digambar ulang oleh penulis: 2018)

Seperti halnya pada konsep gunungan

wayang, pada batik motif lengko terlihat jelas

bahwa pola utama pada keseluruhan kain batik

memiliki pola yang garis zig-zag yang seakan-

akan membentuk bidang segitiga menyerupai

gunung dan mengalami perulangan. Pada

bagian sisi garis selalu dipenuhi oleh ornamen

Page 5: KONSEP TRI-LOKA DAN KEBERADAAN POHON HAYAT PADA …

Seminar Antar Bangsa : Seni Budaya dan Desain – STANSA 2018

berbagai macam jenis bunga dan lung-lungan

yang menyerupai rangkaian pohon hayat.

Penggunaan isen-isen yang padat turut

memberi kesan tegas terhadap pola garis zig-

zag pada motif utamanya. Perulangan motif

utama yang menyerupai bidang segitiga ini

membentuk pola meru (gunung) pada

keseluruhan motif batik, sehingga nampak

cenderung kepada keseimbangan simetris pada

kain batik. Hal ini dipertegas lagi dengan

susunan warna dan keragaman isen-isen yang

memiliki tingkat kepadatan dan kerumitan

berbeda-beda pada setiap bidang serta objek

yang ditempatinya, sehingga mengakibatkan

kesan warna gelap dan terang. Semakin banyak

dan padat susunan isen-isen yang menempati

bidang atau objek maka bidang tersebut akan

terlihat lebih terang, karena pada hakekatnya

isen-isen memiliki warna cerah (putih dan atau

kuning) yang merupakan warna asli dari kain.

Berkaitan dengan hal tersebut, Kartika

(2007: 58-59) mengungkapkan bahwa pola

umum rupa gunungan wayang kulit purwa

terbagi menjadi tiga bagian yang memiliki

makna simbolik terbagi menjadi tiga tata alam,

yakni: (a) puncak gunungan sampai bagian atas

genukan simbol dari alam atas atau alam

niskala (metakosmos), (b) bagian atas genukan

sampai lengkeh bawah tubuh pohon hayat yang

cabang dan rantingnya memenuhi bagian

puncak disebut alam antara atau niskala-

sakala, (c) di bawah lengkeh sampai

palemahan dan penggambaran makhluk hidup

sebagai simbol dari dunia bawah atau alam

sakala (makrokosmos).

Gambar 3. Konsep Triloka terhadap Keberadaan Pohon

Hayat pada Gunungan Wayang

(Sumber: digambar ulang oleh penulis: 2018)

Pujiyanto (2010: 71) mengungkapkan

bahwa pembagian tiga wilayah keduniaan

tersebut peringatan kepada manusia, bahwa

dalam hidupnya haruslah berbakti kepada

Tuhan Yang Maha Kuasa dan berhati yang

sumeleh dalam menjalankan hidupnya.

Apabila dalam hidupnya tidak benar, tentunya

akan menemukan kesengsaraan pada dirinya.

Maka untuk mencapai hidup yang tentram dan

damai haruslah selalu ingat pada Yang Maha

Kuasa, saling menghormati dan menghargai

sesamanya, sehingga tercermin manunggaling

kawulo Gusti. Sedangkan pohon hayat

merupakan manifestasi dari gunung kosmis

dan pohon kehidupan, secara simbolik

merupakan dunia penghubung sekaligus

sebagai pusat keseimbangan kosmos (Kartika,

2007: 21).

Gambar 4. Pohon Hayat pada Motif Utama Lengko

(Sumber: digambar ulang oleh penulis: 2018)

Keterangan:

(a) Bunga kuncup dalam pohon hayat

(b) Pohon hayat berada dinunia tengah, tumbuh dan

menghubungkan antara alam atas dan alam bawah

Kempres dalam Kartika (2007: 3)

menyatakan bahwa pohon hayat mempunyai

sepasang ceplok bunga yang terdapat di kanan

dan kiri daun, di bagian atas daun-daun

tersebut terdapat bunga kuncup. Secara

keseluruhan menyerupai bentuk segitiga dan

pohon tersebut dikelilingi oleh sebuah payung

yang muncul dari pucuk pohon. Pohon hayat

yang ditempatkan di dunia tengah merupakan

penghubung alam atas dan bawah. Pohon hayat

mempunyai keesaan tinggi yang dapat

disamakan dengan Brahmana (dalam agama

Hindu) dan Tao (filsafat Cina), merupakan

(a)

(b)

(c)

(a)

(b)

Page 6: KONSEP TRI-LOKA DAN KEBERADAAN POHON HAYAT PADA …

Seminar Antar Bangsa : Seni Budaya dan Desain – STANSA 2018

sumber semua kehidupan, kekayaan, dan

kemakmuran.

Pohon hayat atau yang sering disebut

dengan tree of life merupakan simbol dari

penggambaran kehidupan, pohon surga, pohon

pengharapan, pohon masa dunia, pohon jaman

atau pohon keinginan (Ratnawati, 2011: 108).

Dalam motif lengko, pohon hayat disimbolkan

dengan rangkaian lung-lungan yang

merupakan rangkaian daun-daun yang bagian

atasnya atau ujungnya dikombinasikan dengan

berbagai macam jenis bunga. Ada beberapa

bagian pangkalnya terdapat objek bunga seruni

dan sebagian kecil bunga mawar serta melati

yang telah mengalami stilasi yang dipadukan

dengan isen-isen yang beraneka ragam. Ada

dua karakteristik pola penempatan objek pohon

hayat, yaitu pertama pohon hayat yang

menyebar dan terangkai menjalar menuju

keatas pada bagian simbol meru (segitiga

gunung) yang bergerak dinamis, kedua yaitu

simbol pohon hayat yang terdapat pada bidang

tengah meru dan tidak menjalar (tidak

dinamis).

Pada objek pohon hayat yang menjalar

nampak seperti gambar (a), memiliki bunga

kuncup, daun, ranting dan bergerak dinamis

seirama dengan arah bidang segitiga yang

menjulang keatas. Sedangkan pohon hayat

yang lain terdapat pada bidang tengah motif

utama lengkak-lengkok dan hanya terdiri dari

susunan bunga pada bagian ujung salah satu

sisinya dilengkapi dengan daun yang

berjumlah tiga helai. Isen-isen padat yang

digunakan seakan-akan menjadi simbol

penjaga pada setiap objek pohon hayat yang

ditampilkan. Motif pohon hayat ditampilkan

menjadi penyatu antara bidang satu dengan

bidang yang lainnya, objek satu dengan objek

pendukung lainnya dalam keseluruhan motif

batik. Hal ini memberikan konotasi tentang

cermin hubungan dan keseimbangan yang

berlapis, artinya pohon hayat merupakan

simbolisme keseimbangan hubungan perlu

dijaga secara mikrokosmos (batin kita yang

terlukis sebagai pohon hayat pada posisi

tengah) dan secara makrokosmos (alam

semesta dan lingkungannya yang terlukis

sebagai pohon hayat bagian yang menjalar).

Motif pohon hayat merupakan penyeimbang,

penghubung, secara vertikal, terhadap Tuhan-

Nya dan secara horizontal terhadap alam

semesta dan lingkungannya (Kartika, 2007:

119).

Pohon hayat memiliki beberapa

macam variasi dalam motif Lengko ini, baik

dalam rangkaian yang disimbolkan dari

ornamen lengkap meliputi bunga, dahan, daun,

ranting serta objek bunga dan daun yang diapit

oleh motif utama pola lengko. Berikut

beberapa variasi objek bunga yang digunakan

dalam motif lengko yang disimbolkan sebagai

rangkaian ornamen penyusun pohon hayat:

Gambar 5. Kuncup Bunga Melati

(Sumber: digambar ulang oleh penulis: 2018)

Simbol pertama yang digunakan yaitu

kuncup bunga melati. Kuncup bunga

divisualisasikan dengan susunan lima buah

mahkota bunga yang sedang mulai mekar. Ada

beberapa bagian yang diisi dengan isen-isen

dan ada sebagian tanpa isen-isen/kotongan.

Kuncup dapat berdiri sendiri maupun

tergabung dalam rangkaian ujung lung-lungan

ranting beserta daunnya. Objek kuncup bunga

melati tersebar mengelilingi motif utama

lengko yang dipadukan dengan rangkaian

objek pendukung lainnya sehingga membentuk

suatu simbol pohon hayat. Rangkaian objek ini

terlihat seakan-akan tumbuh dari bawah dan

menjalar keatas puncak (pusat) segitiga

lengkak-lengkok pada susunan motif utama.

Hal ini sebagai simbol penghubung antara

dasar motif lengko dengan motif puncak

lengko.

Page 7: KONSEP TRI-LOKA DAN KEBERADAAN POHON HAYAT PADA …

Seminar Antar Bangsa : Seni Budaya dan Desain – STANSA 2018

Gambar 6. Rangkaian Bunga Seruni

(Sumber: digambar ulang oleh penulis: 2018)

Simbol yang digunakan kedua yaitu

rangkaian bunga seruni. Bunga seruni

divisualisasikan dengan susunan mahkota

bunga mekar lengkap dengan daun dan

rantingnya. Secara garis besar terdapat dua

macam variasi bentuk bunga seruni. Pertama

bunga seruni dengan ukuran besar tetapi

mempunyai mahkota kecil dan banyak

mengelilingi benang sari dan putih pada bagian

tengahnya. Kedua bunga seruni dengan ukuran

putik dan benang sari kecil tetapi mempunyai

mahkota yang cukup besar, pada bagian

ujungnya dilengkapi dengan daun yang

cenderung berukuan lebih besar dari pada

mahkota bunga. Semua bagian objek diisi

dengan isen-isen yang beragam.

Gambar 7. Bunga Mawar dan Bunga Melati

(Sumber: digambar ulang oleh penulis: 2018)

Simbol bunga mawar divisualisasikan

dengan mahkota bunga yang mekar berjumlah

lima buah. Pada bagian masing-masing ujung

bunga nampak terangkai dengan lung-lungan

dedaunan. Sedangkan objek bunga melati

memiliki lima buah mahkota dan bagian

ujungnya memiliki tiga buah helai daun.

Ketiga macam bunga (kuncup melati, seruni,

dan mawar) terangkai dalam motif utama

sehingga membentuk bidang segitiga yang

serupa dengan rangkaian pohon hayat seperti

yang terdapat pada gunungan wayang. Posisi

rangkaian motif pohon hayat seolah diapit

kanan kiri oleh motif lain dan dikombinasikan

dengan berbagai macam jenis isen-isen batik.

Secara garis besar dapat terlihat bahwa

ketiga alam dalam konsep Triloka memiliki

simbol-simbol tersendiri dalam seluruh

rangkaian objek yang digunakan pada motif

lengko. Alam niskala atau alam atas pada motif

lengko disimbolkan dengan ujung motif utama

yang berbentuk bidang segitiga. Alam sakala

niskala digambarkan sebagai pohon hayat yang

tumbuh mengikuti alur lengkak-lengkok motif

utama dan cabang ranting serta daunnya

memenuhi sampai ke puncak. Sedangkan alam

sakala yang merupakan simbol kehidupan

alam semesta lingkungan dan isinya

digambarkan dengan motif pendukung berupa

binatang yang hidup diatas dan dibawah, dalam

motif lengko digambarkan dengan objek

burung phonix dan kupu-kupu. Penempatan

objek burung phonix terdapat pada bagian

diantara motif utama pola lengkak-lengkok.

Motif utama yang saling berhadapan dan

mempunyai kesan keseimbangan simetris.

Gambar 8. Objek Burung Phonix (Simbol Alam Sakala)

pada Motif Lengko

(Sumber: digambar ulang oleh penulis: 2018)

Penggunaan motif pendukung burung

phonix sangat erat kaitannya dengan pengaruh

batik terdahulunya, dalam hal ini yang

dimaksud adalah batik klasik. Motif

Page 8: KONSEP TRI-LOKA DAN KEBERADAAN POHON HAYAT PADA …

Seminar Antar Bangsa : Seni Budaya dan Desain – STANSA 2018

pendukung berupa burung phonix ini sering

digunakan dalam batik klasik dengan berbagai

macam visualisasinya. Motif burung yang

sering digunakan adalah burung phoenix dan

burung merak dengan perbedaan variasi pada

visualisasi sayap, bulu panjang, dan arah ekor

(Kartika, 2007: 94-95). Burung phonix

memiliki bentuk yang mirip burung merak,

tetapi ciri yang menonjol adalah pada ekornya

yang panjang bergelombang tanpa bulatan.

Penyebaran penggunaan motif burung ini

banyak terdapat pada daerah-daerah yang

melakukan kontak dengan Cina (Sunaryo,

2009: 81).

Berdasarkan hasil wawancara dengan

Shodiq selaku pembatik dan pemilik rumah

batik Kalang Kusuma, bahwa motif utama

dalam batik lengko merupakan penggambaran

dari filsafat hidup manusia yang mengangkat

tentang kisah dinamika kehidupan manusia.

Kehidupan manusia yang kadang diatas dan

kadang dibawah menunjukkan bahwa dalam

berkehidupan manusia hendaknya jangan

sombong, dalam bahasa Jawa disebut “ojo

dumeh” maka digambarkan dengan pola garis

lengkak-lengkok yang kemudian diberi nama

motif lengko. Maka makna dari kata “ojo

dumeh” ini dapat ditafsirkan seperti halnya

pengertian dari mikrokosmos. Mikrokosmos

merupakan jagad kecil adalah diri dan batin

manusia, merupakan jagad yang harus

diupayakan terus keselarasan hubungan secara

kosmis, untuk menjaga keseimbangan antara

jagad besar dan jagad kecil secara horizontal

dan vertikal. Secara horizontal menjaga

keseimbangan antara dirinya dengan alam

semesta dan vertikal menjaga keseimbangan

terhadap ke-Esaan (Kartika (2007: 139).

Gambar 9. Pola Perulangan Motif Utama Lengko

(Sumber: digambar ulang oleh penulis: 2018)

Berkaitan dengan makna “ojo dumeh”

yang disampaikan Shodiq pada motif

utamanya, nampak seperti makna yang

terkandung dalam motif Tirtateja. Tirta yang

berarti air, dan teja yang berarti sinar atau

cahaya, sehingga Tirtateja berarti pelangi.

Susunan polanya pun sama dengan pola motif

utama lengko yaitu garis zig-zag atas bawah.

Tirtateja melambangkan kesuburan karena

dimana ada pelangi di situ ada air, ada yang

berpendapat bahwa pola ini mempunyai makna

gambarana dari pasang surutnya perjalanan

hidup manusia (Prawirohardjo, 2011: 71).

Pola lengkak-lengkok pada motif

utama yang membentuk bidang segitiga dan

mengalami pola perulangan yang statis

dipengaruhi oleh penggunaan isen-isen yang

sangat pada dan beragam. Terdapat 8 macam

isen-isen yang mengisi pada bagian motif

utama dan motif pendukung. Isen-isen tersebut

yaitu bolah ruwet, gringsing papak, godhong

asem, cecek thir, cecek awur, kembang jeruk,

obat nyamuk, dan kroto-krotoan. Isen-isen

yang digunakan merupakan isen-isen yang

terinspirasi dari objek alam sekitar, misalnya

saja isen-isen kroto-krotoan terinspirasi dari

buah mlinjo yang tumbuh subur di daerah

Tulungagung. Isen-isen ini kemudian

divisualisasikan seperti rangkaian buah mlinjo

bergerombol yang digambarakan dengan titik-

titik (cecek) yang tersusun mengikuti arah garis

lengkung pada lung-lungan isen-isen.

Sedangkan sebagian besar isen-isen

menggunakan variasi cecek/titik-titik dengan

pola susunan yang berbeda, misalnya cecek

thir dengan susunan titik-titik yang berjajar

sehingga membentuk sebuah garis, dan

berbeda dengan cecek awur dimana

susunannya terdiri dari titik-titik yang disusun

secara acak, dalam bahasa Jawa dinamakan

“ngawur” yang artinya acak/tidak teratur.

Isen-isen yang beragam ini dipadu

dengan motif tambahan berupa lung-lungan

baik yang memiliki ornamen daun, bunga,

maupun hanya terdiri dari garis-garis lengkung

yang menyerupai ranting-ranting, digunakan

sebagai garis pembatas dan penyatu dalam

keragaman isen-isen batik. Pengaruh susunan

isen-isen yang padat mengakibatkan susunan

motif tampat padat dan mengubah sebagian

latar warna motif utama menjadi warna putih.

b. Warna Motif Lengko

Page 9: KONSEP TRI-LOKA DAN KEBERADAAN POHON HAYAT PADA …

Seminar Antar Bangsa : Seni Budaya dan Desain – STANSA 2018

Warna-warna yang digunakan sangat

erat kaitannya dengan pengaruh batik keraton.

Warna yang digunakan adalah warna biru,

coklat, coklat terang, putih, dan hitam yang

dihasilkan oleh proses pewarnaan dengan

menggunakan pewarna alam. Warna yang

terdapat pada motif utama berlatar warna biru

dan coklat, dilengkapi dengan keragaman isen-

isen yang berwarna putih. Banyaknya

perulangan dan padatnya isen-isen mengubah

latar yang berwarna coklat terkesan menjadi

berwarna putih sehingga menimbulkan warna

coklat terang pada pola motif utama. Warna

hitam dihasilkan oleh gabungan kedua warna

biru dan coklat yang saling tumpang tindih

pada saat proses pewarnaan batik tersebut.

Pengaruh warna dari batik keraton

terlihat dengan penggunaan warna sogan

(coklat), indigo (biru), hitam dan putih berasal

dari pewarna alami. Warna biru dihasilkan oleh

tanaman dengan nama latin Indigofera

tinctoria, biasa disebut tanaman indigo. Untuk

menghasilkan warna biru dihasilkan proses

perendaman daunnya selama semalam,

kemudian dilanjutkan dengan proses ekstraksi

hingga dapat digunakan dalam proses

pencelupan kain. Warna coklat dikenal sebagai

sogan jawa dihasilkan oleh tanaman soga

dengan nama latin Peltophorum pterocarpum.

Tanaman-tanaman ini mudah ditemukan dan

diperjualbelikan oleh para pedagang sebagai

bahan pewarna kain batik pada zaman dahulu.

Namun sekarang penggunaan warna alami

sering diganti dengan pewarna sintetik demi

mendapatkan hasil yang cepat dan dengan

warna yang cenderung mencolok.

Gambar 10. Susunan Warna dalam Motif Lengko

(Sumber: dokumentasi penulis: 2018)

Keterangan:

(a) Warna coklat

(b) Warna putih

(c) Warna biru

Struktur tiga warna dasar batik Lengko

mempunyai perulangan secara teratur dan

memberi kesan tegas pada motif utama batik.

Karena dilatarbelajangi oleh pengaruh batik

tradisional keraton, warna yang digunakan

mempunyai karakter dan makna tersendiri.

Warna putih yang dihasilkan dari warna asli

kain merupakan simbol dari warna angkasa

yang merupakan tempat matahari

memancarkan sinarnya yang dibutuhkan oleh

kehidupan dimuka bumi. Warna putih ini erat

kaitannya dengan alam niskala atau alam atas.

Sehingga pola penyusunan warna putih ini

ditempatkan pada bagian pola yang paling atas

yang tersusun dari rangkaian isen-isen yang

beragam dan padat.

Warna biru yang sebagian besar

didominasi oleh warna lung-lungan daun dan

bunga sebagai penggambaran dari pohon

hayat, merupakan simbol dari alam sakala

niskala atau jagad penghubung, sehingga

warna biru ditempatkan pada susunan pola di

bawah bidang dengan warna putih. Sedangkan

warna coklat yang cenderung hitam

menggambarkan keadaan bumi lawannya

angkasa yaitu warna dasar tanah, tempatnya

pada kawulo Gusti. Warna putih yang

dihasilkan oleh warna kain asli dan warna

hitam yang dihasilkan dari perpaduan warna

biru dan coklat dalam falsafah Jawa

mempunyai makna sebagai darma baktinya

manusia pada Tuhan Yang Maha Esa, dengan

perkataan lain manunggaling kawulo lan Gusti

atau djumbuhe kawulo dan Gistine

(Partahadiningrat dalam Pujiyanto, 2010: 61).

KESIMPULAN

Alam niskala atau alam atas pada motif

lengko disimbolkan dengan ujung motif utama

yang berbentuk bidang segitiga. Alam sakala

niskala digambarkan sebagai pohon hayat yang

tumbuh mengikuti alur lengkak-lengkok motif

utama dan cabang ranting serta daunnya

memenuhi sampai ke puncak. Sedangkan alam

sakala yang merupakan simbol kehidupan

alam semesta lingkungan dan isinya

digambarkan dengan motif pendukung berupa

binatang yang hidup diatas dan dibawah, dalam

motif lengko digambarkan dengan objek

(a)

(b)

(c)

Page 10: KONSEP TRI-LOKA DAN KEBERADAAN POHON HAYAT PADA …

Seminar Antar Bangsa : Seni Budaya dan Desain – STANSA 2018

burung phonix dan kupu-kupu. Sedangkan dari

segi warna yang digunakan dalam motif

Lengko juga memiliki konsep makna

tersendiri. Warna putih merupakan simbol dari

warna angkasa yang merupakan tempat

matahari memancarkan sinarnya yang

dibutuhkan oleh kehidupan dimuka bumi.

Warna putih ini erat kaitannya dengan alam

niskala atau alam atas. Warna biru yang

sebagian besar didominasi oleh warna lung-

lungan daun dan bunga sebagai penggambaran

dari pohon hayat merupakan simbol dari alam

sakala niskala atau jagad penghubung.

Sedangkan warna coklat yang cenderung hitam

menggambarkan keadaan bumi lawannya

angkasa yaitu warna dasar tanah, tempatnya

pada kawulo Gusti.

SARAN

Diharapkan bagi penulis yang lain

untuk memperbahnyak melakukan penelitian

dan pengkajian mengenai batik-batik

klasik/batik tradisional pada daerah-daerah

lainnya yang masih menjaga hakekat dari batik

itu sendiri. Hal ini harus dilakukan karena

ditengah maraknya pengrajin yang

memproduksi batik hanya untuk diambil nilai

ekonomisnya saja. Agar kita kedepannya tidak

meninggalkan dan selalu mengetahui makna

akan nilai-nilai yang terkandung dalam karya

seni sekaligus budaya kita yaitu batik. Karena

sungguh miris ketika sekarang banyak

pengrajin batik yang hanya mengetahui teknik

membatik dan hanya mengambil nilai

keindahan kain bermotif batik tanpa

mengetahui makna serta nilai-nilai luhur yang

terkandung dalam motif batik. Lebih parahnya

lagi seiring dengan maraknya produksi batik

printing yang jelas-jelas mematikan industri

batik rumahan bertahan.

Page 11: KONSEP TRI-LOKA DAN KEBERADAAN POHON HAYAT PADA …

Seminar Antar Bangsa : Seni Budaya dan Desain – STANSA 2018

DAFTAR RUJUKAN

Kartika, D.S. 2007. Budaya Nusantara (Kajian Konsep Mandala dan Konsep Triloka/Buana

terhadap Pohon Hayat pada Batik Klasik). Bandung: Rekayasa Sains.

Kartika, D.S. 2007. Estetika. Bandung: Rekayasa Sains.

Prawirohardjo, O.S. 2011. Pola Batik Klasik, Pesan Tersembunyi yang Dilupakan. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar

Pujiyanto. 2010. Batik Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran Surakarta. Yogyakarta: Kendil

Media.

Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.

Bandung: Alfabeta.

Sunaryo, A. 2009. Ornamen Nusantara Kajian Khusus tentang Ornamen Indonesia. Semarang:

Dahara prize.

Supriono, P. 2016. The Heritage of Batik, Identitas Pemersatu Kebanggaan Bangsa.

Yogyakarta: Andi Offset.

Wulandari, A. 2011. Batik Nusantara Makna Filosofis, Cara Pembuatan, dan Industri Batik.

Yogyakarta: ANDI

Daftar Narasumber Wawancara:

Shodiq (pengrajin batik kambretan “Kalang Kusuma) alamat: Desa Kalangbret Kecamatan

Kauman Kab. Tulungagung, wawancara pada tanggal 9 Februari 2018.

Mukaromah (salah satu pengrajin batik kambretan tertua) alamat: Desa Kalangbret Kec.

Kauman, Kab. Tulungagung, wawancara pada tanggal 10 Februari 2018.

Page 12: KONSEP TRI-LOKA DAN KEBERADAAN POHON HAYAT PADA …

Seminar Antar Bangsa : Seni Budaya dan Desain – STANSA 2018