25
Economics Working Paper 03 – 2017 Yose Rizal Damuri Haryo Aswicahyono David Christian Adinova Fauri September 2017 CSIS WORKING PAPER SERIES WPECON-201703 Kondisi Persaingan Usaha di Indonesia 1997-2012: Analisis Konsentrasi Industri dan Iklim Regulasi The CSIS Working Paper Series is a means by which members of the Centre for Strategic and International Studies (CSIS) research community can quickly disseminate their research findings and encourage exchanges of ideas. The author(s) welcome comments on the present form of this Working Paper. The views expressed here are those of the author(s) and should not be attributed to CSIS Jakarta. © 2017 Centre for Strategic and International Studies, Jakarta

Kondisi Persaingan Usaha di Indonesia 1997-2012: Analisis ... · Agar dapat mengalami pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, Indonesia memerlukan sumber daya, baik dalam bentuk produksi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kondisi Persaingan Usaha di Indonesia 1997-2012: Analisis ... · Agar dapat mengalami pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, Indonesia memerlukan sumber daya, baik dalam bentuk produksi

Economics Working Paper 03 – 2017

Yose Rizal Damuri

Haryo Aswicahyono

David Christian

Adinova Fauri

September 2017

CSIS WORKING PAPER SERIES WPECON-201703

Kondisi Persaingan Usaha di Indonesia

1997-2012: Analisis Konsentrasi Industri

dan Iklim Regulasi

The CSIS Working Paper Series is a means by which members of the Centre for Strategic and

International Studies (CSIS) research community can quickly disseminate their research findings and

encourage exchanges of ideas. The author(s) welcome comments on the present form of this Working

Paper. The views expressed here are those of the author(s) and should not be attributed to CSIS

Jakarta.

© 2017 Centre for Strategic and International Studies, Jakarta

Page 2: Kondisi Persaingan Usaha di Indonesia 1997-2012: Analisis ... · Agar dapat mengalami pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, Indonesia memerlukan sumber daya, baik dalam bentuk produksi

1

Abstract

Kami melakukan analisis kondisi persaingan usaha di Indonesia sejak krisis 1997

menggunakan dua pendekatan: analisis kuantitatif dengan beberapa indikator

konsentrasi industri pada tingkatan agregat, serta analisis regulasi yang terkait

persaingan usaha pada tingkat sektoral secara spesifik, terutama pada industri yang

dipengaruhi dengan regulasi yang menghambat persaingan usaha yang kondusif. Secara

umum, kami menemukan bahwa struktur industri manufaktur kembali mengalami

peningkatan konsentrasi sejak 1997 hingga 2012, sebagaimana ditunjukkan oleh seluruh

indikator yang digunakan dalam studi ini. Dari aspek regulasi, kami menemukan

sejumlah regulasi yang dikeluarkan oleh berbagai Kementerian/Lembaga, yang tidak

konsisten dengan prinsip persaingan usaha yang dimandatkan dalam Undang-Undang

No 5 Tahun 1999, karena melakukan diskriminasi yang membatasi ruang gerak usaha

serta merugikan kelompok pelaku usaha tertentu, atau membuka kesempatan bagi

berbagai praktik usaha tidak sehat. Hal ini turut memengaruhi memburuknya situasi

persaingan usaha di Indonesia dalam 15 tahun terakhir.

Keywords: Competition policy, concentration ratio, manufacturing industry,

regulatory climate

Page 3: Kondisi Persaingan Usaha di Indonesia 1997-2012: Analisis ... · Agar dapat mengalami pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, Indonesia memerlukan sumber daya, baik dalam bentuk produksi

2

KONDISI PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA 1997-2012:

ANALISIS KONSENTRASI USAHA DAN IKLIM REGULASI

1. Pendahuluan

Perekonomian global pada era modern menjadi semakin terintegrasi, di mana masing-masing

negara, termasuk Indonesia, tidak dapat lagi menutup diri dalam aktivitas ekonomi dengan

negara lain. Agar dapat mengalami pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, Indonesia

memerlukan sumber daya, baik dalam bentuk produksi barang dan jasa, maupun investasi

dari negara lain. Hal ini disadari oleh pemerintah Indonesia, terutama setelah berakhirnya era

boom harga minyak pada awal 1980-an dan diwujudnyatakan dengan usaha deregulasi serta

mengurangi sejumlah hambatan untuk melakukan investasi di Indonesia. Kebijakan

keterbukaan seperti ini tidak dapat dihindarkan ikut mempengaruhi kondisi persaingan usaha

dalam negeri, di mana produsen domestik kini tidak hanya bersaing dengan produsen

domestik lainnya, melainkan juga dengan produsen dari negara lain.

Sayangnya, situasi perekonomian dan sektor produktif Indonesia sebelum reformasi kurang

bersahabat terhadap persaingan usaha. Rezim perekonomian saat itu secara umum

menghasilkan struktur industri dengan tingkat konsentrasi tinggi, yang dimanjakan dengan

berbagai kebijakan proteksi bagi beberapa industri tertentu. Selain itu, beberapa perilaku anti

persaingan, seperti monopoli, kartel, dan penyalahgunaan posisi dominan juga seringkali

terjadi pada periode ini1. Struktur industri seperti ini menjadi salah satu penyebab rentannya

perekonomian Indonesia terhadap guncangan dari luar, yang akhirnya memang terjadi pada

1997.

Beberapa usaha deregulasi sejak pertengahan 1980-an mulai sedikit demi sedikit memangkas

perlakuan istimewa yang anti-kompetitif bagi beberapa industri. Krisis finansial Asia pada

tahun 1997 akhirnya menjadi pemicu reformasi di bidang ekonomi dan persaingan usaha,

yang salah satunya berbuah dengan lahirnya Undang-Undang No 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, serta pembentukan Komisi

Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pada tahun yang sama. Hal ini menjadi awal

bertumbuhnya iklim persaingan usaha yang lebih sehat di Indonesia setelah krisis.

Paper ini bertujuan untuk menganalisis kondisi persaingan usaha di Indonesia, terutama sejak

krisis 1997 hingga tahun 2012. Studi ini menggunakan analisis dengan beberapa indikator

industri, seperti CR4, HHI, dan pangsa pasar, dalam memetakan situasi persaingan usaha di

Indonesia setelah krisis. Analisis dilakukan baik pada tingkat agregat (memperhitungkan

seluruh industri), maupun juga pada tingkat industri secara spesifik, terutama industri yang

diwarnai dengan berbagai regulasi yang menghambat iklim persaingan usaha yang kondusif

di sektor tersebut.

Penjelasan teoritis mengenai struktur pasar dan indikator rasio konsentrasi industri akan

mengawali paper ini. Bagian ini akan diikuti dengan pembahasan mengenai sejarah singkat

kondisi persaingan usaha Indonesia, terutama dari era sebelum krisis 1997. Selanjutnya,

paper ini akan memaparkan kondisi persaingan usaha secara umum pada industri manufaktur

di Indonesia dari tahun 1997-2012, menggunakan sejumlah indikator statistik industri, serta

1 Meskipun proses deregulasi dan liberalisasi telah dijalankan sejak awal periode 1980-an, proteksi di banyak sektor, baik manufaktur maupun sektor jasa masih cukup tinggi (Thee, 2012), yang menyebabkan rendahnya tingkat persaingan usaha. Kajian komprehensif mengenai situasi persaingan usaha sebelum krisis ekonomi bisa dilihat pada Bird (1999) dan Pangestu (2002)

Page 4: Kondisi Persaingan Usaha di Indonesia 1997-2012: Analisis ... · Agar dapat mengalami pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, Indonesia memerlukan sumber daya, baik dalam bentuk produksi

3

mendiskusikan beberapa faktor penting yang turut mempengaruhi situasi persaingan usaha

pada periode tersebut. Bagian berikutnya akan mendiskusikan mengenai situasi persaingan

usaha serta iklim regulasi di sektor jasa Indonesia secara umum maupun secara spesifik di

empat subsektor jasa. Selanjutnya, paper ini membahas regulasi yang terkait persaingan

usaha dalam lingkup sektoral manufaktur yang lebih spesifik. Akhirnya, paper ini ditutup

dengan rangkuman temuan dari analisis.

2. Struktur Pasar dan Rasio Konsentrasi

Dalam teori ekonomi industri, kajian mengenai structure, conduct dan performance dilakukan

untuk melihat hubungan antara market struktur terhadap performa dari firm di dalamnya.

Struktur pasar itu sendiri terdiri atas segala sesuatu yang menjadi faktor penentu tingkat

kompetisi dalam pasar. Salah satu alat ukur dalam struktur pasar adalah konsentrasi yang

juga menggambarkan besarnya market power dalam beberapa perusahaan serta

menggambarkan intensitas dari kompetisi (Bain, 1956 dalam Bird, 1999). Semakin besar

market power yang dimiliki, terdapat kecenderungan bagi firm untuk menetapkan harga diatas

normal.

Tingkat konsentrasi yang tinggi memang meningkatkan kemungkinan kegiatan anti-kompetitif

dalam pasar. Namun tidak hanya konsentrasi, tetapi juga terdapat hal lain yang dapat

mempengaruhi tingkat kompetisi dalam pasar, yang salah satunya adalah barrier to entry.

Bahkan menurut Bird (1999) barrier to entry yang juga dapat dihasilkan dari kebijakan

pemerintah memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap tingkat kompetisi dari pada

konsentrasi. Hal ini karena ketika perusahaan yang dominan menetapkan harga diatas tingkat

kompetitif, akan membuat firm lain masuk ke dalam industri tersebut sehingga harga kembali

pada tingkatan kompetitif. Kehadiran dari barrier to entry terkadang yang menjadi penghalang

masuknya firm dalam suatu industri.

Hubungan antara struktur pasar dengan performa itu sendiri tidak selamanya jelas. Demsetz

(1973 dalam Bird, 1999) mengatakan bagaimana profit yang didapat karena tingkat

konsentrasi yang tinggi berasal dari semakin efisiennya firm dengan tumbuh lebih cepat dari

pada firm yang kurang efisien. Carlton & Perloff (2000) juga mengatakan signifikansi hubungan

secara statistik antara struktur dan performa tidak menjadikan bahwa konsentrasi yang

menyebakan penetapan harga diatas harga kompetitif. Penjelasan lainnya adalah firm yang

semakin besar (concentration rises) dapat berproduksi dengan lebih efisien. Dalam studi

individual industri cenderung ditemukan bagaimana hampir tidak ada atau sangat kecil

hubungan antara konsentrasi dan barrier to entry terhadap penetapan harga terutama pada

tahun-tahun belakangan (Carlton & Perloff, 2000).

Tingkat kompetisi dalam suatu pasar di Indonesia tidak hanya ditentukan dari konsentrasi dan

juga kebijakan barrier to entry. Arus globalisasi membuat ruang lingkup atau pengertian pasar

menjadi lebih luas dengan hadirnya barang ekspor dan impor. Hal ini membuat perhitungan

concentration ratio di pasar domestik menjadi bias ketika tidak memperhitungkan kehadiran

barang impor (Bird, 1999). Indonesia, sebagai small open economy country membuat

perannya dalam pasar international lebih condong ke arah price taker, yang tentunya

mempengaruhi performa atau price cost margin firm dalam industri.

Price cost margin yang bisa dijadikan alat ukur untuk performa pasar merefleksikan market

power dan juga efisiensi (Pangestu, et al., 2000). Price cost margin merupakan selisih dari

harga dengan marginal cost dari firm, meskipun dalam penelitian biasanya digunakan adalah

Page 5: Kondisi Persaingan Usaha di Indonesia 1997-2012: Analisis ... · Agar dapat mengalami pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, Indonesia memerlukan sumber daya, baik dalam bentuk produksi

4

average cost karena sulitnya melihat marginal cost dari firm. Namun hubungan antara

konsentrasi terhadap price cost margin seperti yang sudah dikatakan sebelumnya tidak

selamanya jelas. Domowitz, et al. (1986 dalam Carlton dan Perloff, 2000) menemukan

bagaimana perbedaan antara price cost margin dalam high concentration dan low

concentration cenderung menurun sepanjang waktu, dan bahkan lebih lanjut bisa dikatakan

hubungannya lemah. Besarnya price cost margin bisa didapatkan karena produksi yang lebih

efisien (Pangestu, et al., 2002), dan juga pertumbuhan industri itu sendiri (Kwoka dan

Ravenscraft, 1985 dalam Carlton dan Perloff, 2000).

3. Sejarah Kebijakan Persaingan Usaha Nasional

Terdapat beberapa tahapan dalam sejarah iklim kompetisi serta kebijkan terkait kompetisi di

Indonesia. Pada saat periode oil boom terjadi, Indonesia mendapat keuntungan pemasukan

negara yang cukup tinggi sehingga dapat dipergunakan untuk menambah dan memperkuat

state-owned enterprises (BUMN). Pemerintah Indonesia juga melakukan proteksi yang cukup

besar untuk industri dalam negeri dengan menetapkan tarif yang tinggi. Perekonomian pada

saat itu didominasi oleh negara serta berbagai intervensi kebijakan seperti monopoli di

beberapa sektor yang membuat rendahnya tingkat kompetisi industri (Aswicahyono & Kartika,

2010).

Kebijakan terkait dengan investasi dengan membuat barrier to entry untuk investor asing juga

mempengaruhi tingkat kompetisi dalam negeri. Adanya anti-Japanese dan anti-Indonesian

Chinese di tahun 1974, membuat aturan mengenai 100% kepemilikan asing pada investasi

dihapuskan. Investor asing wajib memiliki rekan domestik, serta harus melepaskan

kepemilikannya saat domestik menjadi mayoritas pemilik dalam suatu jangka waktu. Beberapa

restriksi untuk sektor tertentu yang diperbolehkan atau tidak untuk FDI juga dikeluarkan.

Penurunan dari harga minyak dunia di tahun 1986 membuat pemerintah melakukan deregulasi

serta liberalisasi secara besar-besaran. Dari mulai penurunan bea masuk hingga tidak lagi

diberlakukannya hambatan impor lainnya seperti lisensi impor dan monopoli impor. Deregulasi

juga terjadi dalam sektor keuangan (Bank) dan juga FDI yang meningkatkan capital inflow.

Selain itu juga restriksi pada FDI dan aturan pelepasan kepemilikan juga dihapuskan.

Namun deregulasi ataupun liberalisasi yang telah dilakukan tidak bisa dikatakan berjalan

dengan baik sepenuhnya. Masih terdapat proteksi yang tidak transparan dikarenakan vested

interest, pembentukan monopoli, restriksi untuk masuk ke dalam industri, dan kegiatan

pengaturan harga (Pangestu, et al., 2002). Beberapa industri tersebut seperti, gula, tepung,

kedelai, bawang putih, dan juga industri manufaktur seperti otomotif, dan semen. Contoh yang

paling terlihat dalam insentif tersebut adalah proyek mobil nasional (mobnas) yang memang

terdapat vested interest karena kepemilikan anak presiden serta adanya perbedaan perlakuan

terhadap perusahaan asing KIA2.

Melihat dari tingkatan konsentrasi, Indonesia memiliki kecenderungan penurunan rasio tingkat

konsentrasi (CR4) atau iklim industri secara relatif lebih kompetitif. Pangestu, et al. (2002)

dalam papernya menemukan bagaimana dari tahun 1975-1996 penurunan market share dari

para dominant firm dengan semakin meningkatnya kompetitior atau yang disebut fringe firm.

Bird (1999) dalam papernya menemukan industri yang berada dalam tingkat konsentrasi tinggi

2 Mobil nasional atau yang biasa disebut mobnas merupakan proyek nasional pada era Presiden Suharto yang dikelola oleh kerabat Presiden dan hanya melakukan rebadging pada mobil KIA. Lihat Pangestu, et al (2002) untuk informasi yang lebih komprehensif.

Page 6: Kondisi Persaingan Usaha di Indonesia 1997-2012: Analisis ... · Agar dapat mengalami pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, Indonesia memerlukan sumber daya, baik dalam bentuk produksi

5

cenderung mengalami penurunan tingkat konsentrasi, sementara industri dengan tingkat

konsentrasi rendah cenderung meningkat dari tahun 1975-1993. Hal ini mengkonfirmasi

bagaimana tingkat konsentrasi industri mempunyai kecenderungan untuk bergerak kearah

rata-rata konsentrasi dan perbedaan antar kelas CR4 semakin kecil.

Indonesia sendiri saat ini sudah mempunyai hukum yang memuat pelarangan kegiatan

monopoli serta unfair business competition yang tertuang dalam UU No 5 tahun 1999. Komisi

perlindungan kompetisi di Indonesia biasanya memulai investigasi pada perusahaan yang

dianggap memiliki dominasi pasar yang diterjemahkan dalam pangsa pasar. Lebih lanjut

dalam hukum tersebut dijelaskan bagaimana dominasi pasar dan anggapan kontrol pasar

yang dilakukan dua firm atau lebih yang menguasai 75% pangsa pasar dianggap contoh dari

oligopoli (pasal 4), serta satu firm yang menguasai pangsa pasar 50% dianggap monopoli

(pasal 17).

Berdasarkan UU No 5/1999 juga disebutkan kegiatan penetapan harga seperti, pengaturan

harga oleh beberapa pemain, diskriminasi harga, serta jual rugi (predatory pricing) dilarang

dilakukan karena dianggap tindakan anti kompetitif. Lebih lanjut, kegiatan yang dianggap

bersifat anti kompetitif seperti perjanjian pembagian wilayah, kartel, integrasi vertikal untuk

menguasai industri hulu, serta pemboikotan untuk mencegah pemain lain masuk dalam pasar.

Dalam UU No 5/1999 menyatakan bagaimana jenis perjanjian yang dimaksud adalah

perbuatan satu pelaku usaha atau lebih untuk mengikatkan diri terhadap pelaku usaha lain

melalui perjanjian yang tertulis maupun tidak tertulis. Hal ini karena cukup banyak penetapan

kerja sama dilakukan secara diam-diam (pengusaha tidak mau ceroboh membocorkan

rahasianya) atau yang disebut tacit collusion.

4. Tren Konsentrasi Industri Manufaktur Indonesia

Di bagian ini akan dilakukan analisis tren rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar (CR4)

dan Indeks Herfindahl-Hirschman (HHI) dari industri manufaktur Indonesia dari tahun 1985-

2012. Kedua rasio ini merupakan indikator utama yang digunakan untuk menggambarkan

kondisi persaingan usaha serta tingkat konsentrasi di industri manufaktur Indonesia.

Tabel 1 di bawah menunjukkan rata-rata nilai rasio CR4 dan HHI dari industri manufaktur

Indonesia pada tingkat ISIC 5 digit, pada tahun 1985-2012. Di dalamnya dilampirkan rata-rata

biasa dan rata-rata tertimbang (weighted average). Rata-rata tertimbang digunakan untuk

lebih akurat menggambarkan konsentrasi industri karena telah disesuaikan dengan output

masing-masing industri.

Tabel 1. Rasio Konsentrasi Industri Manufaktur Indonesia, 1985-2012

CR4 (%) HHI

Simple

average

Weighted

average

Simple

average

Weighted

average

1985 52.6 46.6 1500 1200

1990 50.9 42.5 1500 1100

1996 50 43 1300 1100

2002 68.4 53.6 2491 1558

2007 66.7 55.3 2465 1845

Page 7: Kondisi Persaingan Usaha di Indonesia 1997-2012: Analisis ... · Agar dapat mengalami pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, Indonesia memerlukan sumber daya, baik dalam bentuk produksi

6

2012 69.8 53.6 2553 1542

Sumber: Diolah dari Statistik Industri, Bird (1999), dan Pangestu et al (2002)

Periode 1985-1997 termasuk masa yang cukup baik untuk efisiensi dan persaingan usaha,

karena bertepatan dengan deregulasi perdagangan serta liberalisasi kebijakan investasi. Hal

ini direfleksikan oleh Tabel 1, yang menunjukkan penurunan konsentrasi industri manufaktur

di Indonesia sebelum krisis finansial Asia 1997. Bird (1999) juga menunjukkan bahwa rata-

rata tertimbang CR4 secara stabil mengalami penurunan dari 55% pada tahun 1975 menjadi

44% pada tahun 1993. Pada periode 1985-1997, rata-rata CR4 berkisar di antara 50-54%,

sementara itu, rata-rata tertimbang CR4 pada periode yang sama berkisar antara 42-46%.

Sebagaimana ditunjukkan Tabel 1, rata-rata biasa (simple average) yang selalu lebih tinggi

daripada rata-rata tertimbang (weighted average) mengindikasikan bahwa terdapat korelasi

negatif antara ukuran industri dengan konsentrasi, di mana industri yang terkonsentrasi secara

rata-rata berukuran lebih kecil dibandingkan industri dengan tingkat konsentrasi yang rendah.

Namun demikian, tren tersebut mengalami perubahan setelah krisis finansial Asia 1997, di

mana industri manufaktur di Indonesia mulai mengalami peningkatan konsentrasi. CR4 pada

tahun 2002 tercatat sebesar 68%, atau sekitar 18 poin persen lebih tinggi dari tahun 1996.

Rata-rata rasio konsentrasi sempat sedikit menurun pada tahun 2007 sebelum kembali

meningkat menjadi 70% pada tahun 2012. Hingga kini, tingkat konsentrasi industri manufaktur

Indonesia belum dapat kembali ke era sebelum krisis. Rata-rata tertimbang menunjukkan pola

yang sama, yaitu konsentrasi industri yang meningkat pasca-krisis, di mana rata-rata CR4

tertimbang pasca-krisis berada 8-10 poin persen di atas rata-rata sebelum krisis. Tren yang

sama juga diindikasikan oleh Indeks HHI yang ditunjukkan Tabel 1 di atas.

Tabel 2. Indikator Konsentrasi pada Industri Manufaktur Tertentu

Domestic CR4

2002 2012 Change

Industri yang tetap tinggi konsentrasinya

1513 Pengolahan buah-buahan & sayuran 85.5 88.0 2.5

1532 Tepung 78.6 81.6 3.1

1551 Minuman keras 94.7 80.8 -13.9

1552 Anggur & sejenisnya 100.0 100.0 0.0

2310 Barang dari batu bara 93.8 78.7 -15.1

2320 Pengilangan & pengolahan minyak/gas bumi 93.4 79.7 -13.7

2412 Pupuk 96.9 93.3 -3.6

2430 Serat buatan 96.0 98.8 2.8

2611 Kaca 94.8 88.8 -5.9

2731 Pengecoran besi baja 77.7 84.4 6.7

2732 Pengecoran logam selain besi baja 78.5 89.7 11.2

2912 Pompa dan kompresor 76.2 80.7 4.6

2914 Oven & tungku 99.5 100.0 0.5

2915 Alat pengangkat & pemindah 99.5 78.7 -20.8

2921 Mesin pertanian & kehutanan 77.0 80.8 3.8

2924 Mesin pertambangan/penggalian/konstruksi 98.6 92.9 -5.7

2926 Mesin tekstil 87.1 83.3 -3.8

3000 Mesin Dan Peralatan Kantor 91.3 96.3 4.9

Page 8: Kondisi Persaingan Usaha di Indonesia 1997-2012: Analisis ... · Agar dapat mengalami pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, Indonesia memerlukan sumber daya, baik dalam bentuk produksi

7

3190 Peralatan listrik lainnya 82.1 94.3 12.2

3220 Alat Transmisi Komunikasi 85.5 98.7 13.2

3311 Peralatan kedokteran 100.0 96.9 -3.1

3312 Peralatan presisi & navigasi 96.0 98.9 2.9

3591

Kendaraan bermotor roda dua dan tiga, serta

komponen 91.6 77.4 -14.3

Industri yang menjadi sangat terkonsentrasi

1521 Susu & makanan dari susu 70.3 75.3 5.0

1721 Barang jadi tekstil, selain pakaian jadi 38.9 81.6 42.7

1729 Tekstil lainnya 63.2 77.4 14.2

2101 Pulp dan kertas 71.9 82.3 10.4

2411 Kimia dasar 72.4 77.4 4.9

2612 Barang dari gelas 73.7 86.1 12.4

2913 Transmisi mekanik 48.9 78.1 29.1

3592 Sepeda 53.5 76.4 22.9

Industri dengan konsentrasi tinggi yang mengalami penurunan konsentrasi

1511 Pemotongan hewan & daging 75.5 65.4 -10.1

1723 Tali & barang dari tali 88.6 74.7 -13.9

2631 Barang dari tanah liat/keramik 100.0 57.2 -42.8

2641 Semen, kapur, gips 98.6 63.6 -35.0

2660 Barang dari asbes 100.0 71.4 -28.6

2720 Logam dasar bukan besi 78.5 55.5 -23.0

2911 Motor penggerak mula 94.6 67.9 -26.7

2922 Mesin pengolahan logam/kayu 83.8 66.3 -17.5

2925 Mesin pengolah makanan/minuman 100.0 69.5 -30.5

2929 Mesin khusus lainnya 96.3 62.5 -33.9

3110 Motor listrik & generator 93.9 4.1 -89.8

3140 Akumulator listrik & baterai 83.5 70.5 -13.0

3150 Lampu pijar & lampu penerangan 89.0 32.6 -56.4

3330 Jam, lonceng & sejenisnya 79.0 36.2 -42.9

3691 Perhiasan 92.4 70.3 -22.2

3692 Alat musik 93.1 73.9 -19.2

Sumber: BPS, Statistik Industri

Tabel 2 menunjukkan tiga kelompok industri, dengan membandingkan rasio konsentrasi

empat perusahaan terbesar (CR4) pada tahun 2002 dan 2012. Terdapat beberapa industri

yang secara persisten tetap memiliki konsentrasi yang tinggi, yaitu di atas 75%. Industri-

industri tersebut antara lain adalah industri pupuk, kaca, tepung, beberapa jenis mesin, serta

industri kendaraan bermotor dan komponennya. Sementara itu, juga terdapat beberapa

industri yang pada tahun 2002 memiliki konsentrasi moderat (di bawah 75%), namun menjadi

tinggi konsentrasinya pada tahun 2012. Industri-industri tersebut antara lain adalah industri

kimia dasar, pulp dan kertas, barang dari gelas, serta produk dari susu. Sebaliknya, juga

terdapat beberapa industri yang pada tahun 2002 memiliki konsentrasi yang tinggi, namun

mengalami peningkatan kompetisi pada tahun 2012. Industri semen, pengolahan logam/kayu,

barang dari keramik, dan lampu termasuk kategori ini.

Page 9: Kondisi Persaingan Usaha di Indonesia 1997-2012: Analisis ... · Agar dapat mengalami pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, Indonesia memerlukan sumber daya, baik dalam bentuk produksi

8

Secara umum, tidak terlihat adanya perubahan signifikan dalam rasio konsentrasi industri

manufaktur dalam 15 tahun terakhir, meskipun memang mengalami sedikit peningkatan

konsentrasi. Titik balik utama dalam tren konsentrasi industri manufaktur Indonesia terjadi

pada krisis finansial Asia 1997, di mana banyak industri yang tidak dapat bertahan (terutama

industri kecil dan menengah). Akibatnya, industri besar, yang cenderung lebih memiliki

kemampuan untuk bertahan dan melakukan konsolidasi, menjadi lebih kuat dalam

mencengkram pangsa pasar setelah krisis. Hal tersebut adalah salah satu alasan

meningkatnya tren konsentrasi industri manufaktur setelah krisis finansial Asia, yang berlanjut

hingga saat ini.

Meskipun demikian, perlu diingat bahwa rasio konsentrasi CR4 bukanlah satu-satunya

indikator persaingan usaha di Indonesia. Bahkan, Bird (1999) menemukan bahwa rasio

konsentrasi bukan merupakan ukuran yang akurat untuk persaingan usaha di Indonesia,

karena keterkaitan dengan pasar internasional serta tergantung pada persaingan dengan

produk impor. Salah satu indikator lain yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja industri

adalah price-cost margin, yang dapat mencerminkan baik kekuatan pasar maupun efisiensi

industri tersebut.

Tabel 3. Gambaran Pangsa Pasar Industri Manufaktur Indonesia, 1997-2012

1997 2002 2007 2012

Jumlah industri dengan 1 pemain menguasai >50% pangsa pasar 106 70 76 98

Jumlah industri dengan 2 pemain menguasai >75% pangsa pasar 7 9 11 7

Jumlah industri dengan 3 pemain menguasai >75% pangsa pasar 25 22 28 37

Jumlah industri dengan perusahaan berposisi dominan (dominant firms) 138 101 115 142

Jumlah perusahaan berposisi dominan (dominant firms) 195 154 182 223

Sumber: BPS, Statistik Industri

Tren meningkatnya rasio konsentrasi industri manufaktur yang diperlihatkan oleh indikator

CR4 dan HHI ternyata juga dikonfirmasi melalui analisis pangsa pasar serta posisi dominan.

Tabel 3 memperlihatkan jumlah industri (dalam klasifikasi ISIC 5 digit) dengan setidaknya satu

perusahaan berposisi dominan (dominant firm). Sebuah industri dapat dikatakan memiliki

perusahaan berposisi dominan jika memenuhi setidaknya satu dari tiga kriteria, yaitu: (1)

pemain terbesar menguasai >50% pangsa pasar, (2) dua pemain terbesar menguasai >75%

pangsa pasar, atau (3) tiga pemain terbesar menguasai >75% pangsa pasar.

Salah satu akibat dari krisis finansial Asia 1997 dan jatuhnya perusahaan-perusahaan kecil

dan menengah adalah peningkatan drastis jumlah industri yang memiliki pemain dominan

menjadi 138 industri. Dalam 106 dari 138 industri tersebut, pemain terbesar menguasai lebih

dari setengah pangsa pasar. Dalam periode lima tahun setelah krisis, Indonesia sempat

mengalami iklim persaingan usaha yang membaik, seiring dengan dua inisiatif besar pada

periode tersebut. Kedua inisiatif tersebut adalah: (1) program restrukturisasi ekonomi

Indonesia oleh IMF, yang memangkas berbagai hambatan perdagangan dan investasi

(termasuk hambatan non-tarif), serta (2) lahirnya Undang-Undang No 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat serta pembentukan Komisi

Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pada tahun yang sama. Jumlah dominant firms sempat

menurun dari 195 menjadi 154 perusahaan pada tahun 2002.

Akan tetapi, semenjak tahun 2002, industri manufaktur menjadi semakin terkonsentrasi pada

pemain-pemain besar, yang ditunjukkan dengan terus meningkatnya seluruh indikator

Page 10: Kondisi Persaingan Usaha di Indonesia 1997-2012: Analisis ... · Agar dapat mengalami pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, Indonesia memerlukan sumber daya, baik dalam bentuk produksi

9

perusahaan berposisi dominan yang ditunjukkan dalam Tabel 3. Pada periode ini banyak

sekali terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang No 5 Tahun 1999, salah satunya dengan

keberadaan kartel di berbagai sektor. Dalam 14 tahun berdirinya, KPPU tercatat telah

menyelesaikan lebih dari 240 perkara, dan masih melakukan investigasi terhadap puluhan

lainnya. Selain itu, meskipun secara umum telah terjadi kemajuan dalam proses liberalisasi

dan keterbukaan terhadap investasi asing, masih terdapat beberapa kebijakan di sektor

tertentu yang cenderung proteksionis dan kurang bersahabat pada kompetisi, yang

menyebabkan tidak ada perubahan signifikan dalam struktur monopolis atau oligopolis di

pasar tersebut.

Penyesuaian dengan Perdagangan Internasional

Dalam hasil analisis sebelumnya, tingkat konsentrasi dihitung hanya berdasarkan nilai

produksi domestik dan belum memperhitungkan adanya perdagangan internasional. Untuk

studi kasus Indonesia yang tergolong negara dengan small open economy, sangat penting

untuk menyesuaikan perhitungan dengan perdagangan internasional untuk mendapat hasil

konsentrasi yang lebih akurat. Bird (1999) menjelaskan penyesuaian tingkat konsentrasi

dengan perdagangan internasional memerlukan asumsi industri didominasi oleh pemain

domestik, dan keempat pemain dominan tidak ada yang melakukan impor untuk dijual kembali,

sehingga terkadang mengandung nilai eror. Nilai konsentrasi setelah penyesuaian bisa

didapatkan dengan cara mengalikan CR4 dengan output domestik yang sudah disesuaikan

dengan ekspor-impor.

Tabel 4. Perbandingan Unadjusted CR4 – Adjusted CR4 (Perdagangan Internasional)

1985-2012

Tahun Unadjusted CR4 Adjusted CR4

1985 53.6 42.9

1990 53 41.5

1993 53.3 41.1

1997 35.2 20.1

2002 68.4 44.5

2007 66.7 44.7

% perubahan 1985-2007 13.1 1.8

Sumber: Diolah dari Statistik Industri, Bird (1999)

Tabel 4 memperlihatkan bagaimana tingkat konsentrasi secara rata-rata mengalami

penurunan yang signifikan setelah dilakukan penyesuaian terhadap perdagangan luar negeri.

Hal ini mengindikasikan bagaimana perdagangan internasional masih berperan sangat

penting dalam pasar domestik Indonesia sehingga tingkat konsentrasi di Indonesia lebih

rendah dari pada tingkat konsentrasi domestik. Jika melihat dari trend pergerakan konsentrasi,

CR4 setelah dilakukan penyesuaian jauh lebih kecil/stabil dibandingkan dengan CR4

domestik. Hasil tersebut memperlihatkan volatilitas tingkat kompetisi dalam pasar Indonesia

secara relatif lebih ditentukan oleh pemain domestik, sementara penetrasi impor cenderung

stabil sepanjang waktu.

5. Persaingan Usaha di Sektor Jasa

Sektor jasa merupakan salah satu satu sektor penting dalam perekonomian yang sering kali

tidak mendapat perhatian lebih dari banyak kalangan. Memiliki kontribusi hingga 65% GDP

Page 11: Kondisi Persaingan Usaha di Indonesia 1997-2012: Analisis ... · Agar dapat mengalami pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, Indonesia memerlukan sumber daya, baik dalam bentuk produksi

10

dunia di tahun 2011, sektor jasa juga memiliki kontribusi yang signifikan terhadap input dari

sektor lainnya untuk berproduksi lebih efisien. Dalam era globalisasi saat ini, peran dari sektor

jasa seperti telekomunikasi dan transportasi semakin dibutuhkan sebagai penyambung dalam

proses produksi di berbagai regional bahkan beberapa sudah menjadi bagian yang tidak

terpisahkan dalam proses produksi itu sendiri seperti listrik dan perbankan. Hingga tahun 2012

sendiri, ekspor jasa Indonesia telah mencapai USD 23 milyar dan nilai impor jasa mencapai

USD 1,8 milyar, di mana jasa transportasi merupakan sektor jasa dengan ekspor terbesar, dan

jasa pariwisata merupakan sektor jasa dengan impor terbesar. Peran sektor jasa di Indonesia

krusial, karena sektor jasa menyumbangkan 11% dari total ekspor bruto, dan 19% dari total

ekspor dalam nilai tambah (OECD, 2014).

Namun dalam sektor jasa di Indonesia, kegiatan yang mengarah pada anti-kompetitif masih

sangat sering ditemukan yang tentunya akan berakibat pada lebih tingginya biaya secara

relatif yang akan ditanggung untuk produksi di sektor lainnya maupun yang langsung diterima

konsumen. Pertama-tama, bagian ini akan menjelaskan kondisi persaingan usaha di sektor

jasa Indonesia secara umum. Sementara itu, bagian selanjutnya akan memberikan beberapa

contoh kasus yang berkaitan dengan iklim kompetisi dalam sektor jasa.

OECD mencatat bahwa kontribusi sektor jasa Indonesia terhadap ekspor berada di bawah

rata-rata dunia. Salah satu alasan terciptanya kondisi demikian adalah kurang kondusifnya

iklim regulasi sektor jasa di Indonesia. Berdasarkan indeks Pembatasan Perdagangan Jasa

(Services Trade Restrictiveness Index / STRI) yang diterbitkan OECD, hingga tahun 2014

Indonesia memiliki nilai STRI yang berada di atas rata-rata dunia pada masing-masing dari

sektor jasa yang diamati (terdapat 18 sektor jasa dalam observasi). Indeks ini menentukan

STRI dalam skala 0-1, di mana nilai 0 berarti tanpa restriksi, dan 1 berarti restriksi penuh.

Termasuk dalam sektor-sektor jasa dengan tingkat pembatasan tertinggi di Indonesia (lebih

dari 0,5), antara lain adalah sektor jasa legal, telekomunikasi, transportasi udara, dan bank

komersial, dan asuransi. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum iklim regulasi pada sektor

jasa di Indonesia masih cukup restriktif dan kurang bersahabat bagi persaingan usaha,

terutama untuk investasi dari pelaku usaha asing.

Indeks STRI OECD tersebut melakukan penelusuran lebih lanjut mengenai sumber dari

restriksi tersebut (Gambar 1). Meskipun sebagian besar restriksi berasal dari persyaratan

pembatasan kepemilikan asing, namun beberapa aspek regulasi lain seperti pembatasan

tenaga kerja serta hambatan terhadap persaingan usaha kerap kali menjadi faktor

penghambat bagi investasi di sektor jasa. Regulasi yang menghalangi kompetisi menjadi

faktor restriksi utama dalam sektor telekomunikasi. Sementara itu, pada sektor jasa perbankan

komersial, asuransi, dan beberapa jasa transportasi, regulasi yang anti-kompetitif (barriers to

competition) menjadi faktor restriksi terbesar kedua setelah restriksi kepemilikan modal dari

investor asing (restrictions on foreign entry), yang secara natur sebenarnya juga merupakan

salah satu bentuk pembatasan kompetisi dengan pelaku usaha asing. Contoh konkrit dari

bentuk pembatasan persaingan usaha di beberapa sektor secara spesifik akan dibahas pada

bagian berikutnya.

Gambar 1. Indeks Restriksi Perdagangan Jasa OECD untuk Indonesia, 2014

Page 12: Kondisi Persaingan Usaha di Indonesia 1997-2012: Analisis ... · Agar dapat mengalami pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, Indonesia memerlukan sumber daya, baik dalam bentuk produksi

11

Sumber: OECD, 2014

5.1. Sektor Telekomunikasi

Sektor telekomunikasi di Indonesia telah berkembang pesat dewasa ini. Sebelumnya,

pemerintah memberlakukan monopoli atas layanan telekomunikasi di Indonesia yang

diselenggarakan oleh BUMN. Namun pemerintah melakukan liberalisasi sektor monopoli

dengan meniadakan monopoli dan membuka peluang untuk melakukan kerja sama pada mitra

asing yang tertuang dalam Undang-Undang No. 36/1999. Pemerintah juga membentuk Badan

Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) untuk mengatur kinerja dan standar, memantau

kinerja dan persaingan usaha, serta mengontrol penyelesaian perselisihan antar

penyelenggara telekomunikasi.

Meskipun demikian masih terdapat beberapa kasus yang diduga mengarah kepada perlakuan

anti-kompetitif dalam sektor telekomunikasi. Pada tahun 2007, KPPU menemukan adanya

pengaturan harga yang dilakukan oleh operator seluler Telkomsel dan Indosat3. Ini salah

satunya disebabkan karena Temasek merupakan pemilik saham dari kedua perusahaan

tersebut. Hal ini membuat Temasek diharuskan melepaskan salah satu kepemilikannya, dan

kedua pemain harus menurunkan tarifnya.

Kasus serupa dalam sektor ini adalah adanya indikasi penetapan tariff sms oleh beberapa

pemain setidaknya dari tahun 2004-2008. Dalam kasus tersebut KPPU pun memutuskan

untuk memberikan denda kepada pemain yang terlibat karena dianggap telah merugikan

konsumen.

Kasus lainnya dalam sektor telekomunikasi adalah permasalahan pembangunan dan

penggunaan menara bersama pada Permenkominfo No 2 tahun 2008. Peraturan

3 Temasek diputuskan bersalah oleh KPPU atas dasar kepemilikan silang dalam kegiatan usaha dan pasar yang sama, dengan pangsa pasar lebih dari 75%. Dominasi Temasek dalam industri seluler ini menyebabkan adanya excessive price yang merugikan konsumen. Kasus ini diterangkan lebih jauh pada Majalah berkala KPPU edisi 10 tahun 2008.

Page 13: Kondisi Persaingan Usaha di Indonesia 1997-2012: Analisis ... · Agar dapat mengalami pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, Indonesia memerlukan sumber daya, baik dalam bentuk produksi

12

pembangunan menara bersama diberlakukan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas

infrastruktur. Nantinya pihak yang akan bertanggung jawab mengelola menara tersebut

adalah, pemerintah daerah, BUMN, ataupun kontraktor. Dalam laporan KPPU sering sekali di

beberapa daerah terdapat perbedaan perlakuan dalam perizinan antara perusahaan BUMN

dengan swasta. Pemerintah daerah terkait diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan

dengan membangun sistem yang baik dalam pengelolaan menara sehingga nantinya tidak

ada lagi perbedaan perlakuan yang mengarah pada tindakan anti kompetitif.

Permasalahan lainnya dalam sektor telekomunikasi adalah tidak adanya kepastian hukum

dalam kasus IM2. Dalam kasus ini IM2 sebagai jasa penyedia internet disalahpahami sebagai

pengusaha jaringan seluler sehingga wajib membayar biaya hak penggunaan dan kerugian

negara. Padahal konsep kerja sama investasi antara penyedia jasa internet dan jaringan

seluler seperti Indosat dan Im2 sudah sangat menjamur di Indonesia dan sebenarnya sudah

diatur dalam pasal 9 UU No 36/1999. Sementara dari sisi investasi, dalam daftar negatif

investasi Indonesia tahun 2014, batas maksimal untuk kepemilikan asing peneyelenggara

jaringan tetap menjadi 65% dari sebelumnya. Batas maksimal kepemilikan asing untuk

peneyelenggara jaringan tidak tetap dan penyedia jasa internet adalah 49%.

5.2. Sektor Keuangan

Sektor perbankan di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan setelah

melakukan liberalisasi di akhir periode 1980-an. Regulasi dalam sektor perbankan, dari sisi

kepemilikan, adalah pelarangan perorangan atau perusahaan memiliki lebih dari satu bank.

Tentu regulasi ini cukup baik dan mendukung kompetisi dalam sektor perbankan. Meskipun

demikian KPPU menyarankan agar regulasi ini diikuti oleh pemantauan aktivitas merger agar

penetapan kebijakan berjalan lebih efektif. Sementara berdasarkan regulasi Bank Indonesia

No. 14/2012 menetapkan bagaimana hanya maksimal 40% kapital bank yang dapat diperjual

belikan dalam pasar saham. Batas maksimal tersebut dapat dinaikkan setelah mendapat

perizinan dari Bank Indonesia. Dalam regulasi ini tidak ada perbedaan perlakuan (juga dalam

batas maksimal kepemilikan) antara investor domestik maupun asing yang mengindikasikan

iklim pro-kompetisi. Sementara batas maksimal kepemilikan asing dalam sektor non-bank

seperti, asuransi 80%, leasing 85%, serta pembiayaan konsumen dan karu kredit

sebesar85%.

KPPU menganggap pemerintah dalam hal ini adalah Bank Indonesia lebih condong kearah

prudentiality atau safety dari pada kompetisi. Pasalnya, untuk masuk ke dalam perbankan di

Indonesia, BI memberlakukan mekanisme rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio)

yang berdasar pada risiko di tiap bank. Pemerintah juga memberikan ruang kepada pemain

perbankan untuk melakukan merger atau konsolidasi dalam rangka restrukturisasi perbankan

sehingga nantinya akan tercipta segelintir bank yang too big to fail. Segelintir bank tersebut

akan memudahkan fungsi pengasawasan bank dan menciptakan margin yang tinggi yang

dapat menjamin kestabilan perbankan tetap terjaga. Namun dalam hal ini KPPU menyoroti

betul kebijakan ini akan merugikan konsumen karena semakin tingginya margin bunga untuk

pengusaha. Menjadi tantangan tersendiri bagi regulator bagaimana menyeimbangkan antara

dua tujuan tersebut, yaitu menciptakan iklim perbankan yang prudent sekaligus kompetitif.

Dalam sektor asuransi, surat edaran OJK Nomor 6 tahun 2013 mengenai penetapan tariff

premi pada asuransi kendaraan bermotor, harta benda, serta jenis risiko khusus. juga menjadi

salah satu kebijakan yang dianggap berlawanan dengan iklim kompetisi. Tujuan dari kebijakan

Page 14: Kondisi Persaingan Usaha di Indonesia 1997-2012: Analisis ... · Agar dapat mengalami pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, Indonesia memerlukan sumber daya, baik dalam bentuk produksi

13

tersebut dilakukan adalah untuk melindungi perusahaan asuransi kecil dari perang harga atau

tariff premi sehingga dapat berkompetisi secara lebih sehat. Pemerintah khawatir penetapan

harga yang tidak memadai menyebabkan perusahaan asuransi tidak mampu membayar

kewajibannya saat terjadi klaim. Namun, dengan adanya penetapan batas bawah premi

asuransi ini menjadi suatu penghalang (entry barrier) tersendiri bagi perusahaan yang dapat

berproduksi dengan lebih efisien lagi. Penetapan batas bawah di khawatirkan juga malah

menciptakan peluang kartel baru untuk beberapa pemain asuransi besar. Sektor asuransi

sejatinya sudah tersegmentasi karena perusahaan asuransi yang besar sudah terafiliasi

dengan perusahaan yang besar, sementara perusahaan asuransi yang kecil yang berjalan

sendiri berusaha menurunkan premi-nya agar dapat bersaing dalam pasar.

5.3. Sektor Transportasi

Beberapa regulasi di sektor transportasi juga menimbulkan konsekuensi yang kurang

mendukung bagi persaingan usaha. Salah satu contoh regulasi terbaru yang bertentangan

dengan prinsip persaingan usaha yang sehat terjadi melalui dikeluarkannya Peraturan Menteri

Perhubungan No 91 Tahun 2014, yang merupakan perubahan kedua dari Permenhub No 51

Tahun 2014 tentang Mekanisme Formulasi Perhitungan dan Penetapan Tarif Batas Atas

Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri.

Regulasi ini dikeluarkan pemerintah tidak lama setelah tragedi jatuhnya pesawat AirAsia di

perairan Kalimantan. Regulasi ini mewajibkan badan usaha angkutan udara untuk

menetapkan tarif normal serendah-rendahnya 40% dari tarif batas atas sesuai kelompok

pelayanan yang diberikan. Sebelum dikeluarkannya regulasi ini, pengaturan harga juga sudah

dilakukan oleh pemerintah melalui penetapan tarif batas atas di dalam Permenhub No 26

Tahun 2010 serta penetapan tarif batas bawah pesawat sebesar 30% dari batas atas

Alasan yang diberikan oleh Kementerian Perhubungan untuk regulasi ini terkait dengan

meningkatkan faktor keselamatan terutama dari maskapai berbiaya murah (Low Cost Carrier),

meskipun perlu dikaji kembali apakah memang terdapat hubungan antara biaya murah tarif

pesawat dengan standar keselamatan di pesawat tersebut. Namun demikian, regulasi tersebut

tidak mempromosikan prinsip persaingan usaha yang sehat karena secara esensi merupakan

pengaturan pemerintah terhadap harga yang ditentukan pasar untuk jasa transportasi udara.

Artinya, regulasi semacam ini membatasi ruang gerak bagi pelaku usaha untuk menetapkan

harga yang paling sesuai dengan struktur biaya mereka. Regulasi batas bawah ini juga akan

merugikan bagi maskapai LCC domestik dengan diberlakukannya ASEAN Open Sky 2015.

Hal ini disebabkan karena maskapai LCC asing tidak bisa diatur di bawah regulasi tersebut.

Akibatnya, maskapai domestik dapat menjadi kalah bersaing dengan maskapai asing dengan

adanya regulasi ini. Sebaliknya, maskapai full service domestik juga berpotensi diuntungkan

dengan berkurangnya disparitas harga antara full service dan low cost carrier dengan

dikeluarkannya regulasi pengaturan tarif batas bawah ini. Intervensi harga yang dilakukan

pemerintah di sektor transportasi ini memang tidak menguntungkan bagi persaingan usaha

yang sehat di sektor ini.

Selain regulasi yang spesifik seperti contoh di atas, sektor jasa transportasi di Indonesia juga

memiliki banyak restriksi, terutama di dalam batas kepemilikan modal asing, sebagaimana

ditetapkan di dalam Daftar Negatif Investasi (DNI) 2014. Sejumlah besar subsektor

transportasi (angkutan laut dalam negeri, angkutan barang dengan moda darat, angkutan

penyeberangan, penyediaan jasa bandar udara, angkutan udara niaga) hanya mengizinkan

kepemilikan modal asing sebesar 49%. Bahkan, beberapa subsektor transportasi lainnya

Page 15: Kondisi Persaingan Usaha di Indonesia 1997-2012: Analisis ... · Agar dapat mengalami pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, Indonesia memerlukan sumber daya, baik dalam bentuk produksi

14

seperti angkutan orang dengan moda darat dan pelayaran rakyat mewajibkan kepemilikan

domestik 100%. Selain itu, penyelenggaraan asas cabotage melalui Undang-Undang No 17

Tahun 2008 (meskipun terdapat sejumlah pengecualian melalui beberapa regulasi

selanjutnya), semakin membatasi sektor jasa transportasi domestik dari persaingan usaha

dengan perusahaan asing.

5.4. Sektor Utilitas

Kinerja salah satu sektor utilitas, yaitu sektor tenaga listrik terus dipertanyakan dalam

beberapa tahun terakhir ini. Damuri (2014) menemukan bahwa rasio elektrifikasi nasional

memang mencapai 70%, namun di beberapa wilayah di Indonesia Timur, rasio elektrifikasi

berada di bawah 40%. Sementara itu, dalam 10 tahun terakhir peningkatan kapasitas

pembangkitan listrik, yang rata-rata kurang dari 6% per tahun, gagal untuk mengikuti

pertumbuhan permintaan untuk tenaga listrik yang diestimasi sebesar 6,5% per tahun.

Struktur industri di sektor listrik juga didominasi oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN)

sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tunggal yang menguasai terutama pada tahap

transmisi, distribusi, serta penjualan dari listrik yang dihasilkan. Salah satu subsektor jasa

listrik, yaitu pembangkitan listrik (generasi), memang telah mulai diliberalisasi sejak awal 1990-

an, sehingga membuka kesempatan bagi pelaku usaha swasta. Hingga 2014 tercatat terdapat

28 Independent Power Producers (IPP). Namun demikian, dominasi PLN dalam sektor ini

terus dipertahankan dengan regulasi yang mengharuskan IPP untuk menjual tenaga listrik

yang mereka hasilkan kepada PLN melalui kontrak kesepakatan pembelian energi (purchase

power agreement/PPA). Sehingga dalam sektor ini, PLN merupakan pembeli tunggal

(monopsoni) dari tenaga listrik yang dihasilkan oleh IPP, serta juga merupakan penjual tunggal

(monopoli) dari listrik yang dihasilkan.

Dominasi PLN dalam pembangkitan, transmisi, serta penyaluran tenaga listrik dikokohkan

dengan regulasi-regulasi yang diterbitkan pemerintah mengenai Ketenagalistrikan. Pertama,

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan menyatakan bahwa PLN

merupakan pemilik tunggal dari aset transmisi serta distribusi listrik nasional. Undang-Undang

ini juga menutup kesempatan bagi sektor swasta untuk melakukan distribusi serta penjualan

energi. Peran pelaku usaha swasta dalam jasa pembangkitan listrik sangat terbatas, dan

dibutuhkan izin khusus yang memperbolehkan perusahaan swasta untuk membangkitkan

tenaga listrik dan menjualnya ke jenis konsumen tertentu dengan jumlah terbatas, seperti

kawasan industri. Pada era ini, PLN menjadi pemain tunggal dalam sektor listrik dan tidak

dihadapkan pada persaingan usaha dari perusahaan swasta.

Usaha untuk melakukan reformasi di sektor listrik Indonesia yang monopolis dengan

memperkenalkan kompetisi dengan perusahaan swasta pada setiap subsektor listrik

(pembangkitan, transmisi, dan distribusi) dilakukan pemerintah melalui penerbitan Undang-

Undang No 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Akan tetapi, usaha ini mengalami

kegagalan setelah pada Desember 2004 Makhamah Konstitusi membatalkan pemberlakuan

UU tersebut dengan alasan bahwa menyerahkan pengelolaan jasa listrik kepada swasta

bertentangan dengan konstitusi, khususnya Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33. Akibatnya,

regulasi yang berlaku kembali ke UU No 15 Tahun 1985 yang kembali mengokohkan dominasi

PLN di sektor listrik.

Perubahan regulasi di sektor listrik baru kembali terjadi melalui Undang-Undang No 30 Tahun

2009 tentang Ketenagalistrikan. Secara umum, UU No 30/2009 ini terus mendorong partisipasi

Page 16: Kondisi Persaingan Usaha di Indonesia 1997-2012: Analisis ... · Agar dapat mengalami pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, Indonesia memerlukan sumber daya, baik dalam bentuk produksi

15

aktif perusahaan/IPP swasta termasuk dalam penjualan listrik yang dihasilkan. Namun

demikian, secara umum, bahkan dengan dikeluarkannya UU ini pun, sektor listrik Indonesia

masih tetap didominasi pemerintah. UU ini belum mendorong persaingan usaha yang cukup

dengan sektor swasta. Contohnya, UU ini mengatur bahwa investor IPP swasta hanya

diizinkan untuk menjual langsung listrik yang dihasilkan kepada pengguna akhir di daerah

yang tidak berada dalam jangkauan pelayanan PLN. Sementara itu, pada daerah yang berada

dalam wilayah pelayanan PLN, tenaga listrik yang dihasilkan IPP swasta masih wajib dijual

kepada PLN.

Regulasi terbaru dikeluarkan melalui Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 2012, yang

mengizinkan pengelola transmisi dan distribusi listrik untuk menyewakan fasilitas tersebut

kepada pelaku usaha lain, termasuk swasta. Dengan demikian, investor swasta yang ingin

menyalurkan listrik kepada konsumen tidak perlu membangun jalur transmisi dan distribusi

sendiri, tetapi dapat menyewa dari pengelola jalur yang sudah ada, seperti PLN. Namun

demikian, belum dapat dipastikan bahwa regulasi semacam ini akan mempengaruhi struktur

monopolis yang didominasi oleh PLN dalam industri ini.

6. Iklim Kebijakan dan Regulasi dalam Sektor Industri Manufaktur

Salah satu bentuk hambatan terhadap persaingan usaha, terutama dalam perdagangan

internasional adalah kebijakan pemerintah untuk membatasi aliran impor barang dan jasa,

yang diwujudkan dengan instrumen tarif maupun hambatan non-tarif. Dalam 10 tahun terakhir,

Indonesia terus menurunkan tingkat tarifnya, yang ditunjukkan dari penurunan rata-rata

pengenaan tarif Most Favored Nation (MFN) dari 9,5% pada tahun 2006, menjadi 7,8% pada

tahun 2012, dan 5,2% pada tahun 2013 (WTO, 2013).

Tarif yang tinggi banyak diberlakukan dalam beberapa sektor pertanian. Hingga 2013, tercatat

1.341 pos tarif terikat pada level di atas 40%. Rata-rata pengenaan tarif MFN untuk sektor

manufaktur tercatat sebesar 8,1% pada tahun 2012. Meskipun masih berada di atas rata-rata

tarif MFN manufaktur tahun 2002 di 7,5%, angka ini telah mengalami penurunan dari tahun

2006 yang sempat mencapai 9,8%. Berdasarkan pembagian kode HS, sektor-sektor

manufaktur dengan rata-rata tarif tertinggi adalah makanan olahan (21,1%), peralatan

transportasi (16,9%), alas kaki (13,9%), serta tekstil dan pakaian jadi (10,8%). Meskipun

demikian, Indonesia juga telah memiliki banyak perjanjian tarif preferensial di bawah skema

ASEAN, yang membuat banyak dari pos tarif tersebut secara signifikan berada jauh di bawah

tarif MFN, bahkan mencapai 0% untuk beberapa jenis barang.

Seiring dengan makin menurunnya rata-rata tarif, baik MFN maupun preferensial, pemerintah

juga menggunakan instrumen hambatan non-tarif (non-tariff measures/NTM) sebagai bentuk

proteksi industri dalam negeri dari persaingan penuh dengan produk impor. Instrumen non-

tarif beragam bentuknya, antara lain mencakup pelarangan impor, hambatan masuk seperti

pre-shipment inspection, pengenaan kuota dan pembatasan jumlah impor, sanitary and

phytosanitary measures (SPS), pemberlakuan izin untuk mengimpor, serta penerapan standar

dan sejumlah regulasi teknikal yang harus dipenuhi oleh produk impor.

Pengenaan NTM memang banyak dilakukan pada produk pertanian dan pangan seperti gula,

beras, garam, serta minuman beralkohol. Hingga 2013, tercatat 2.060 pos tarif (seperlima dari

total pos tarif) masih mewajibkan izin impor. Namun demikian, terdapat sejumlah produk

manufaktur yang impornya juga terpengaruh dengan adanya hambatan non-tarif. Hingga

2013, WTO mencatat impor untuk produk-produk seperti pupuk, sejumlah barang elektronik,

Page 17: Kondisi Persaingan Usaha di Indonesia 1997-2012: Analisis ... · Agar dapat mengalami pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, Indonesia memerlukan sumber daya, baik dalam bentuk produksi

16

mainan, serta beberapa jenis mesin masih dibatasi dengan adanya perizinan impor (import

licensing). Persyaratan pre-shipment inspection juga masih menjadi hambatan bagi impor

sejumlah produk tekstil, pakaian jadi, beberapa jenis mesin, dan sejumlah barang elektronik,

alas kaki, kaca, ban, serta besi dan baja. Selain itu, juga terdapat banyak hambatan non-tarif

berupa Technical Barriers to Trade (TBT) dalam berbagai bentuk seperti persyaratan labeling,

persyaratan halal, ketaatan pada standar & spesifikasi teknis, yang banyak ditemui pada

produk makanan serta kosmetik dan farmasi. Meskipun sulit untuk mengukur secara pasti

berapa jumlah NTM yang ada di Indonesia, keberadaan NTM dalam berbagai bentuk

membuktikan bahwa dalam beberapa sektor manufaktur, pemerintah Indonesia belum benar-

benar membuka produsen domestik terhadap persaingan usaha yang cukup dengan pelaku

ekonomi asing.

Selain itu, setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah kadangkala menghasilkan

konsekuensi tersendiri dalam menyangkut permasalahan kompetisi dalam suatu sektor.

Beberapa contoh regulasi yang baik secara langsung maupun tidak mempengaruhi iklim

kompetisi pada suatu industri seperti intervensi penetapan harga, pengaturan distribusi,

restriksi impor, dan lainnya. Regulasi tersebut berubah dan mempunyai implikasi lain yang

bersifat anti-kompetitif dikarenakan belum ada pengarustamaan unsur kompetisi dalam setiap

pembuatan kebijakan. Berikut studi ini memberikan beberapa contoh regulasi dalam industri

yang cukup penting dalam perekonomian yang dianggap mempengaruhi iklim kompetisinya.

6.1. Industri Galangan Kapal

Industri galangan kapal merupakan salah satu industri yang sangat penting dalam input

perdagangan dalam negeri maupun luar negeri perihal distribusi barang. Namun terlepas dari

pentingnya industri ini, masih sangat sedikit yang menaruh perhatian pada perkembangan

indusri galangan kapal. Di Indonesia sendiri kurang lebih sudah terdapat 250 pelaku usaha

dalam industri galangan kapal, di mana mayoritas diantaranya berlokasi di Batam.

Terkonsentrasinya pengusaha galangan kapal di Batam memang cukup beralasan mengingat

daerah tersebut merupakan zona perdagangan bebas. Hal ini karena untuk bea masuk impor

komponen kapal dikenakan tariff 5%-10%, seperti yang tercatat dalam buku tariff kepabeanan

Indonesia tahun 2012 dan diatur dalam Permenkeu No 213 tahun 2011. Setelah kapal selesai

di produksi, kembali dikenakan PPN sebesar 10% serta pajak non-final 2%. Disparitas harga

terjadi antara industri galangan kapal di Batam dan non-Batam karena sejatinya untuk

produksi di Batam tidak dikenakan tariff apapun. Lebih lanjut, dengan adanya restriksi berupa

bea masuk dan pajak tersebut membuat perbedaan harga yang cukup signifikan antara kapal

produksi dalam negeri dengan kapal impor. Banyak dan rumitnya restriksi pada industri

galangan kapal ini membuat investor asing yang tidak jadi menanamkan modalnya di industri

ini.

Tingkat konsentrasi dalam industri galangan kapal ini cenderung menurun dari tahun 2002-

2012 dari 69.25% menjadi 45.39%. Dengan kata lain industri pembuatan kapal ini semakin

tidak terkonsentrasi atau lebih kompetitif. Hal ini terjadi dikarenakan sifat dari industri galangan

kapal yang tidak mempunyai pelaku dominan (karena memang kondisi natural pasar), serta di

sisi lain semakin banyak pula fringe firm yang berkembang di Batam. Sementara melihat dari

performa perusahaan, tingkat price cost margin tidak mengalami perubahan dari tahun 2002-

2012 yaitu 0.48. Meskipun secara struktur industri semakin kompetitif, namun perusahaan

tidak memiliki kemampuan untuk menetapkan harga lebih rendah karena distorsi biaya

perdagangan yang masih tinggi.

Page 18: Kondisi Persaingan Usaha di Indonesia 1997-2012: Analisis ... · Agar dapat mengalami pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, Indonesia memerlukan sumber daya, baik dalam bentuk produksi

17

Meskipun demikian, visi poros maritim pemerintahan Indonesia saat ini membuat industri

galangan kapal juga mendapat perhatian lebih. Beberapa poduk liberalisasi dan deregulasi

pun dicanangkan untuk membuat industri pembuatan kapal ini lebih efisien. Beberapa rencana

yang sedang didiskusikan lebih lanjut oleh pemerintah Indonesia adalah pencabutan PPN,

diberlakukannya bea masuk impor ditanggung pemerintah (BMDTP), serta perencanaan bea

masuk komponen impor kapal menjadi 0%. Khusus untuk BMDTP, seperti yang diatur dalam

Permenkeu No 127 tahun 2014, yang dimaksud dengan bea masuk impor komponen kapal

yang ditanggung pemerintah adalah komponen yang tidak bisa diproduksi di dalam negeri.

6.2. Industri Besi dan Baja

Industri baja merupakan input utama dalam sektor manufaktur dan juga kosntruksi. Perannya

yang cukup krusial tersebut membuat industri ini sering mendapatkan perhatian lebih dari para

pengamat dan pembuat kebijakan. Industri baja Indonesia termasuk dalam kategori barang

produsen. Struktur pasar industri yang oligopoli dengan beberapa dominant firm, seperti PT

Krakatau steel, PT Bakrie& Brothers, PT Gunawan Dianjaya Steel, dan PT Jaya Pari Steel,

tidak membuat para perusahaan ini dapat menetapkan harga diatas kompetitif. Pasalnya

impor untuk industri baja sangatlah besar dan relatif lebih murah karena penurunan harga

dunia atau berakhirnya masa commodity boom. Berdasarkan laporan dari Komite

Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) terjadi peningkatan nilai impor baja dari tahun

2010-2013 sebesar 175%. Selain itu hasil penyelidikan Komite Anti-Dumping Indonesia (KADI)

menemukan benar adanya praktik dumping pada ekspor beberapa negara yang merugikan

industri baja dalam negeri. Berdasarkan hal-hal tersebut, bea masuk impor untuk sektor baja

yang 5% ditambah lagi dengan bea masuk tindakan pengamanan terhadap impor bahja

paduan sebesar 26% pada tahun pertama seperti yang diatur dalam Permenkeu No 12 tahun

2015.

Kebijakan yang bersifat proteksi industri baja dalam negeri lainnya adalah lisensi impor, seperti

yang diatur dalam Permendag No 54 tahun 2010, baik yang secara khusus untuk produksi

atau hanya sebagai distributor bagi produsen lain atau konsumen akhir. Untuk baja paduan

(alloy), diperlukan kembali secara khusus lisensi untuk mengimpor baja paduan baik untuk

produksi maupun sebagai importir terdaftar seperti yang diatur dalam Permendag No 28 tahun

2014. Penambahan peraturan lisensi baja paduan ini dilakukan karena banyaknya importir

baja paduan dengan boron kadar rendah untuk mengalihkan tariff bea masuk. Restriksi lainnya

yang juga akan diterapkan pemerintah yang bersifat anti kompetitif seperti trade remedies,

pemeriksaan dan pemberlakuan SNI, verivikasi dan pemeriksaan penelusuran teknis impor

oleh surveyor, dan peningkatan penggunaan produksi dalam negeri (P3DN).

Tingkat konsentrasi domestik industri baja dari tahun 2002-2012 mengalami penurunan dari

60.57% menjadi 55.42% yang mengindikasikan industri ini bergerak semakin kompetitif. Dari

segi performa perusahaan, penetapan harga sedikit mengalami peningkatan dari 0.28 menjadi

0.33 yang mengindikasikan tidak selamanya terdapat hubungan antara struktur pasar dengan

performa perusahaan. Price cost margin yang semakin meningkat kemungkinan disebabkan

karena adanya kebijakan bea masuk anti-dumping yang diberlakukan untuk impor baja.

6.3. Industri Semen

Industri semen adalah salah satu industri strategis di Indonesia. Pembangunan rumah

menyumbang 70% permintaan semen di Indonesia, diikuti pembangunan infrastruktur

pemerintah. Tentu dengan fokus pemerintah untuk menggenjot pembangunan infrastruktur

Page 19: Kondisi Persaingan Usaha di Indonesia 1997-2012: Analisis ... · Agar dapat mengalami pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, Indonesia memerlukan sumber daya, baik dalam bentuk produksi

18

serta perumahan rakyat, peranan industri semen akan menjadi semakin penting. Industri

semen memiliki struktur pasar oligopoli, di mana beberapa pemain besar menguasai pangsa

pasar. Sebelum tahun 1998, industri semen merupakan salah satu industri yang sangat

terkonsentrasi, dengan dikuasai oleh sejumlah kecil BUMN dengan angka konsentrasi CR4

mencapai 95% pada tahun 1995. Struktur pasar industri semen pada saat itu hampir

mendekati monopoli. Namun pada tahun 1998, pemerintah melakukan deregulasi pada sektor

semen dengan menghilangkan restriksi impor dan restriksi memulai usaha, mengangkat

pembatasan harga serta distribusi, serta mengurangi effective rate of protection (ERP).

Sejak saat itu, pembangunan beberapa pabrik semen baru, ekspansi pabrik lama, serta

akuisisi kepemilikan produsen semen Indonesia oleh pihak asing kian meningkatkan

persaingan usaha di industri semen. Akan tetapi, hingga tahun 2014 industri semen ini masih

cukup tinggi konsentrasinya. Menurut data dari Asosiasi Semen Indonesia (ASI), pangsa pasar

terbesar di industri semen Indonesia dimiliki oleh perusahaan milik negara, yaitu PT Semen

Indonesia (gabungan dari seluruh anak perusahaannya) yang menguasai sekitar 40% pangsa

pasar, diikuti dengan Indocement Tunggal Prakarsa dengan 32%, Holcim Corporation dengan

16%, dan Bosowa Corporation dengan 5%. Saat ini, Indonesia memiliki 15 pabrik semen yang

aktif dengan kapasitas produksi yang mencapai 63,1 juta ton per tahun. Produksi semen

Indonesia pun terus tumbuh secara stabil dari 39,5 juta ton pada tahun 2010 menjadi 60 juta

ton pada tahun 2014. Kapasitas produksi dalam negeri semen yang terus meningkat dalam 5

tahun terakhir kini cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Namun, Indonesia masih

mengimpor semen, terutama dari Vietnam dan Thailand yang memang mengalami surplus

produksi semen. Meskipun demikian, dengan fokus pembangunan infrastruktur dan

perumahan rakyat yang ditetapkan pemerintah, dibutuhkan ekspansi kapasitas produksi

semen dalam negeri, serta iklim persaingan usaha yang mendukung untuk itu, agar dapat

memenuhi permintaan semen domestik.

Sayangnya, hingga kini harga semen Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di Asia

Tenggara. Salah satu penyebabnya adalah struktur pasar yang masih terkonsentrasi pada tiga

atau empat pemain besar, serta tingginya biaya transportasi untuk mengangkut semen

terutama ke wilayah yang jauh dari pusat produksi. Memang sempat ada dugaan kartel yang

dilakukan industri semen pada tahun 2000-an, tetapi Komisi Pengawas Persaingan Usaha

(KPPU) memutuskan bahwa tidak terdapat kartel dalam industri ini. Tidak terdapat perbedaan

harga yang cukup signifikan antara harga pabrik dengan harga ritel, juga tidak terbukti ada

utlilisasi produksi yang rendah, harga jual dan marjin keuntungan yang tidak wajar. Selain itu,

industri semen sangat sensitif terhadap kenaikan biaya energi. Beberapa kali kenaikan tarif

listrik industri dalam 10 tahun terakhir secara signifikan meningkatkan biaya produksi serta

memotong marjin keuntungan. Misalnya, kenaikan tarif listrik Mei 2014 meningkatkan biaya

operasional Holcim hampir 16%.

Beberapa regulasi yang mempengaruhi industri semen terjadi misalnya pada tahun 2013,

ketika pemerintah memperketat aturan impor semen melalui Permendag No 40/2013 tentang

Ketentuan Impor Semen Clinker dan Semen. Peraturan ini berlaku dari 1 September 2013

hingga 1 September 2017. Regulasi ini membatasi aliran impor semen baik sebagai barang

jadi maupun sebagai clinker (untuk proses produksi lebih lanjut). Nantinya hanya importir

terdaftar yang mendapatkan rekomendasi Kementerian Perindustrian yang bisa mengajukan

izin impor ke Kementerian Perdagangan. Impor semen clinker lebih diprioritaskan pada

Page 20: Kondisi Persaingan Usaha di Indonesia 1997-2012: Analisis ... · Agar dapat mengalami pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, Indonesia memerlukan sumber daya, baik dalam bentuk produksi

19

produsen domestik yang bersiap melakukan ekspansi. Oleh karena itu, regulasi ini diharapkan

menjadi insentif bagi produsen semen domestik agar melakukan ekspansi produksi.

Satu regulasi lain yang lebih baru, terjadi pada Januari 2015, ketika Presiden Joko Widodo

mengintervensi pasar semen, dengan mewajibkan penurunan harga semen sebesar Rp

3.000,- per sak bagi perusahaan semen milik negara, PT Semen Indonesia, yang kurang lebih

setara dengan 6% harga jual, sebagai respon dari penurunan harga BBM. Kebijakan ini

berdampak cukup besar karena PT Semen Indonesia merupakan produsen semen terbesar

di Indonesia. Marjin keuntungan produsen semen pun menjadi semakin tipis sebagai akibat

kebijakan ini, meskipun dalam situasi di mana biaya listrik dan transportasi turun sebagai

akibat penurunan harga minyak dunia. Selain itu, kebijakan ini cenderung lebih

menguntungkan produsen tertentu yang memiliki kapasitas produksi yang paling besar, yang

bisa berproduksi dengan lebih efisien. Selain kebijakan pengaturan harga ini, sebenarnya

industri semen memiliki kebijakan investasi yang cukup terbuka bagi investasi asing. Industri

semen tidak tercantum di dalam Daftar Negatif Investasi (DNI), serta tidak ada tarif yang

dikenakan pada impor semen.

6.4. Industri Gula

Sektor gula termasuk industri komoditas pokok dan strategis di Indonesia. Namun sayangnya,

industri gula dalam negeri kurang efisien, ditunjukkan dengan harga gula yang tinggi dibanding

kawasan, misalnya harga gula di Indonesia secara rata-rata lebih tinggi 60% dibanding

Thailand. Selain itu, belakangan ini industri gula di Indonesia juga mengalami sejumlah

masalah seperti merembesnya gula rafinasi ke pasar ritel, proses penunjukkan importir gula

dan pemberian kuota yang kurang transparan sehingga rawan dimanfaatkan pemburu rente,

serta jalur distribusi yang dikuasai oleh sejumlah kecil importir yang diduga mengendalikan

harga dan melakukan praktik persaingan usaha yang tidak sehat. Salah satu penyebab dari

kondisi demikian adalah sejumlah regulasi yang kurang kondusif bagi persaingan usaha.

Dalam melakukan pengelolaan industri gula, pemerintah selalu ingin menyeimbangkan dua

tujuan penting, yaitu menjaga keseimbangan antara supply dan demand gula di pasaran, serta

melindungi kesejahteraan para petani tebu dalam negeri. Untuk itu, pemerintah sangat

meregulasi industri ini melalui sejumlah regulasi yang mengatur Tata Niaga Impor Gula,

seperti SK Menperindag No 643 Tahun 2002 tentang Tata Niaga Impor Gula, Keppres No 57

dan 58 Tahun 2004, serta SK Menperindag No 527 Tahun 2004 tentang Tata Niaga Impor

Gula.

Pada umumnya melalui regulasi-regulasi tersebut, pemerintah melakukan pembedaan

segmentasi antara produksi gula rafinasi dan gula kristal putih, yang berbeda dalam jalur

distribusi serta ketentuan impor bahan bakunya. Akhirnya, di dalam beberapa regulasi

pemerintah di sektor industri gula, terdapat beberapa perbedaan perlakuan antara produsen

gula rafinasi dengan produsen gula kristal putih, yang cenderung menguntungkan salah satu

pihak.

Salah satu contoh dari peraturan tersebut adalah Surat Menteri Perindustrian Nomor 691/M-

IND/8/2007 yang mengharuskan produsen gula rafinasi untuk melakukan produksi yang

terintegrasi, di mana mereka diwajibkan menggunakan bahan baku yang berasal dari

perkebunan tebu yang harus mereka bangun sendiri. Dalam masa pengembangan

perkebunan tebu tersebut hingga menuju panen, produsen gula rafinasi diizinkan untuk

Page 21: Kondisi Persaingan Usaha di Indonesia 1997-2012: Analisis ... · Agar dapat mengalami pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, Indonesia memerlukan sumber daya, baik dalam bentuk produksi

20

mengimpor gula kristal mentah (raw sugar), yang merupakan bahan baku gula rafinasi, selama

tiga tahun pertama. Meskipun dilatarbelakangi oleh keinginan pemerintah untuk mengurangi

ketergantungan impor raw sugar dan melindungi kesejahteraan petani tebu domestik, regulasi

ini jelas tidak sesuai dengan prinsip persaingan usaha yang seimbang karena adanya

perbedaan perlakuan yang memberatkan pabrik gula rafinasi yang dipaksa untuk berinvestasi

dengan mengembangkan perkebunan tebu sendiri. Padahal, biaya impor raw sugar jelas jauh

lebih murah ketimbang harus mengembangkan kebun tebu sendiri.

Selain itu, juga terdapat beberapa intervensi pemerintah ke dalam mekanisme pasar dalam

bentuk regulasi yang bertujuan untuk memproteksi serta memberdayakan industri gula

domestik, antara lain berupa penetapan tarif bea masuk untuk gula impor, pembatasan impor,

serta pengaturan harga dasar gula petani. Beberapa ketentuan dalam Tata Niaga Impor Gula

juga menunjukkan bahwa pemerintah melindungi harga gula nasional dan kesejahteraan

petani tebu domestik, misalnya dengan persyaratan bahwa impor gula tidak boleh dilakukan

dalam masa satu bulan sebelum dan dua bulan setelah musim giling tebu dalam negeri.

Dari sejumlah regulasi ini, masih terdapat sejumlah regulasi yang cenderung diskriminatif bagi

pelaku usaha industri gula yang berbahan baku tebu dari petani lokal, misalnya dalam

Keputusan Menteri Keuangan – 240/KMK.010/2006 tentang Pembebasan Bea Masuk atas

Impor Raw Sugar oleh Industri Gula Rafinasi. Fasilitas ini hanya diberikan kepada produsen

gula rafinasi dan tidak diberikan kepada produsen gula kristal putih, yang akhirnya harus

mendapatkan bahan baku dari petani domestik dengan biaya yang jauh lebih tinggi. Kebijakan

ini membuat industri gula rafinasi dapat menjadi jauh lebih efisien dalam struktur biaya

produksinya karena mendapatkan fasilitas impor yang berbiaya jauh lebih murah dari negara-

negara yang memang lebih efisien dalam produksinya, seperti Thailand dan Vietnam. Regulasi

ini memfasilitasi produsen gula rafinasi untuk menghasilkan gula dengan harga jauh lebih

murah dibanding produsen gula berbahan baku tebu domestik (yang memang kurang efisien

dengan teknologi yang sudah berumur lama). Hal ini juga merupakan salah satu regulasi yang

kurang mempromosikan persaingan usaha yang seimbang, karena diskriminatif dalam

pemberian fasilitas yang menguntungkan salah satu pihak, dan tidak yang lain.

7. Saran dan Pertimbangan KPPU

Pemerintah sebagai regulator seharusnya menyediakan atmosfer yang mendukung untuk

berkembangnya persaingan usaha yang sehat. Namun demikian, tidak semua regulasi yang

dikeluarkan pemerintah telah memperhitungkan prinsip persaingan usaha yang benar, bahkan

ada beberapa peraturan yang cenderung anti-kompetitif. Selain itu, banyak perilaku pelaku

usaha dalam berbagai sektor di berbagai tempat yang melanggar prinsip persaingan usaha

yang sehat, menyebabkan kondisi persaingan usaha yang kurang baik di berbagai sektor

perekonomian. Berangkat dari kondisi yang demikian, Komisi Pengawas Persaingan Usaha

(KPPU) telah berulang kali menghasilkan saran dan pertimbangan yang secara formal

disampaikan kepada pemerintah.

Melalui saran dan pertimbangan KPPU, diharapkan bahwa kondisi persaingan usaha dalam

lingkup spesifik sektoral yang dibahas dalam saran tersebut dapat membaik. Dari tahun 2001

hingga 2015, KPPU tercatat telah menghasilkan 152 saran pertimbangan terkait persaingan

usaha di berbagai sektor. Beberapa dari saran pertimbangan tersebut terkait dengan kebijakan

atau regulasi yang berlaku tingkat nasional, namun beberapa yang lain secara spesifik terkait

dengan regulasi di daerah tertentu.

Page 22: Kondisi Persaingan Usaha di Indonesia 1997-2012: Analisis ... · Agar dapat mengalami pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, Indonesia memerlukan sumber daya, baik dalam bentuk produksi

21

Mencermati isi saran pertimbangan KPPU, secara umum saran pertimbangan dapat

diklasifikasikan ke dalam tiga jenis. Pertama, adalah saran pertimbangan sebagai respon

perilaku dari pelaku usaha yang menghasilkan implikasi yang buruk terhadap persaingan

usaha yang sehat di sektor tersebut. Sementara itu, kelompok kedua dan ketiga terkait dengan

respon KPPU atas kebijakan atau regulasi pemerintah yang telah maupun berpotensi

menghambat persaingan usaha. Jenis kedua disebut dengan kebijakan review, di mana KPPU

merekomendasikan sejumlah revisi pada regulasi pemerintah tertentu yang telah

menghasilkan konsekuensi negatif pada aspek persaingan usaha. Sementara itu, kelompok

ketiga adalah kebijakan monitoring, di mana KPPU merekomendasikan agar pemerintah

mengkaji ulang beberapa kebijakan atau regulasi yang memiliki potensi (meski belum terbukti)

dampak negatif terhadap persaingan usaha di sektor tertentu.

Tabel 5. Klasifikasi Isi Saran dan Pertimbangan KPPU Berdasarkan Sektor, 2001-2015

# Sektor Jumlah

1 Sektor Barang 36

Energi 9

Pangan 15

Elektronik 1

Manufaktur 1

Komoditas 3

Bahan Baku 6

Farmasi 1

2 Sektor Jasa 109

Transportasi darat 6

Transportasi udara 8

Logistik 9

Keuangan (asuransi) 8

Keuangan (lainnya) 6

Hiburan 2

Ritel 14

Pengadaan (konstruksi)

9

Pengadaan (barang) 9

Pengadaan (jasa) 10

Pengadaan (lintas) 4

Telekomunikasi 13

Buku ritel 1

Konstruksi 1

Informasi reklame 6

Pariwisata 1

Tenaga kerja 2

3 Lintas sektor 7

JUMLAH 152

Sumber: Olahan penulis dari data KPPU

Isi saran dan pertimbangan KPPU sebenarnya sangat beragam, mulai dari kajian KPPU

mengenai konsekuensi kompetisi dari kebijakan atau regulasi pemerintah tertentu, misalnya

mengenai penetapan tarif impor, atau tarif angkutan transportasi tertentu, tata cara

pelaksanaan jasa tertentu, substansi regulasi daerah mengenai pembangunan menara

telekomunikasi, hingga perihal pengadaan barang atau jasa tertentu. Tabel 5 di atas

menunjukkan bahwa sebagian besar saran dan pertimbangan yang dihasilkan KPPU lebih

Page 23: Kondisi Persaingan Usaha di Indonesia 1997-2012: Analisis ... · Agar dapat mengalami pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, Indonesia memerlukan sumber daya, baik dalam bentuk produksi

22

banyak menyentuh permasalahan persaingan usaha di sektor jasa, terutama sektor jasa

transportasi, telekomunikasi, dan ritel. Sementara itu, saran dan pertimbangan yang diberikan

di sektor barang lebih didominasi oleh sektor pangan dan energi.

Selain itu, Gambar 2 di bawah juga menunjukkan klasifikasi saran dan pertimbangan KPPU

berdasarkan substansinya. Studi ini menemukan bahwa 80% saran dan pertimbangan KPPU

berbentuk kebijakan review atau kebijakan monitoring, dan hanya 20% yang menyentuh

mengenai perilaku dari pelaku usaha. Hal ini mengindikasikan bahwa masih sangat banyak

kebijakan maupun regulasi pemerintah yang tidak didasarkan pada prinsip persaingan usaha

yang benar. Salah satu contohnya, banyak dari saran dan pertimbangan KPPU

bersubstansikan kebijakan yang merekomendasikan pemerintah untuk merevisi kembali

peraturan yang terkait dengan sistem pengadaan barang dan jasa di berbagai sektor, yang

tidak didasarkan pada bidding yang kompetitif.

Gambar 2. Saran dan Pertimbangan KPPU, Berdasarkan Substansi

Sumber: Olahan penulis dari data KPPU

8. Kesimpulan

Situasi persaingan usaha dalam periode liberalisasi perekonomian Indonesia pada

pertengahan 1980-an hingga menjelang krisis moneter 1997 ditandai dengan perubahan

struktur industri manufaktur dari yang secara umum sangat terkonsentrasi hingga berangsur-

angsur semakin kompetitif, yang salah satunya ditunjukkan oleh indikator Rata-rata

Tertimbang CR4 yang terus mengalami penurunan dari 1985 hingga 1997. Namun demikian,

paper ini lebih berfokus untuk memetakan situasi persaingan usaha di Indonesia sejak tahun

1997 hingga 2012. Analisis dilakukan dengan dua jenis pendekatan, yaitu kuantitatif

menggunakan indikator Statistik Industri, serta kualitatif yang menganalisis iklim regulasi yang

berlaku di masing-masing sektor.

20%

38%

42%Perilaku Usaha

Kebijakan Review

Kebijakan Monitoring

Page 24: Kondisi Persaingan Usaha di Indonesia 1997-2012: Analisis ... · Agar dapat mengalami pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, Indonesia memerlukan sumber daya, baik dalam bentuk produksi

23

Temuan dari paper ini adalah bahwa struktur industri manufaktur kembali mengalami

peningkatan konsentrasi sejak 1997 hingga 2012. Seluruh indikator konsentrasi yang

digunakan dalam studi ini, yaitu CR4, HHI, analisis pangsa pasar, dan analisis posisi dominan

konsisten menunjukkan hal ini. Salah satu alasan peningkatan kembali konsentrasi industri

manufaktur adalah perubahan struktur pada perusahaan yang mampu bertahan dari krisis

1997, yang cenderung merupakan perusahaan besar. Keberadaan Undang-Undang No 5

Tahun 1999 yang diterbitkan bersamaan dengan dibentuknya Komisi Pengawas Persaingan

Usaha (KPPU) pada tahun yang sama untuk mempromosikan persaingan usaha yang sehat,

ternyata belum berhasil menurunkan kembali rasio konsentrasi, karena pada era setelah krisis

1997 masih banyak sekali terjadi pelanggaran pada UU tersebut oleh pelaku usaha dalam

negeri melalui praktik persaingan usaha yang tidak sehat seperti kartel.

Namun demikian, satu aspek penting lainnya yang turut mempengaruhi situasi persaingan

usaha di Indonesia adalah kerangka regulasi yang berlaku. Studi ini melakukan analisis pada

iklim regulasi yang berlaku di Indonesia, baik secara umum (across the board) maupun spesifik

sektoral. Secara umum, studi ini menemukan bahwa meskipun telah memiliki UU No 5 Tahun

1999 yang melarang praktik usaha tidak sehat, banyak regulasi lain yang dikeluarkan oleh

berbagai Kementerian/Lembaga, yang tidak konsisten dengan prinsip persaingan usaha.

Indeks Restriksi Perdagangan Jasa (STRI) yang dikeluarkan oleh OECD juga mencerminkan

kondisi regulasi Indonesia yang kurang bersahabat bagi kompetisi, terutama dengan pelaku

usaha asing. Prinsip persaingan usaha juga tidak selalu dijunjung dalam regulasi yang dibuat

pemerintah di tingkat domestik. Hal ini diindikasikan misalnya dalam substansi Saran dan

Pertimbangan KPPU, yang 80% di antaranya terkait dengan regulasi yang telah atau

berpotensi menghambat persaingan usaha.

Penerbitan berbagai regulasi spesifik di tingkat sektoral yang melakukan diskriminasi yang

membatasi ruang gerak usaha serta merugikan kelompok pelaku usaha tertentu, atau

membuka kesempatan bagi praktik usaha tidak sehat maupun aktivitas berburu rente, serta

melakukan intervensi pada harga pasar, juga turut menyebabkan situasi persaingan usaha

yang tidak mengalami kemajuan signifikan sejak krisis finansial Asia.

Untuk itu, seiring dengan inisiatif reformasi regulasi yang sedang diusahakan pada

pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini, prinsip persaingan usaha perlu dipertimbangkan

dengan serius dalam proses analisis setiap regulasi ekonomi di masa depan, agar regulasi

tidak lagi menjadi penghambat bagi persaingan usaha yang sehat yang pada akhirnya

menguntungkan bagi konsumen dan seluruh masyarakat di Indonesia.

Page 25: Kondisi Persaingan Usaha di Indonesia 1997-2012: Analisis ... · Agar dapat mengalami pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, Indonesia memerlukan sumber daya, baik dalam bentuk produksi

24

Referensi:

Aswicahyono, H., & Kartika, P. (2010). Competition Policy in Indonesia: A Stock Take of

Recent Development. Report for Asian Development Bank.

Bird, K. (1999). Are Industrial Concentration an Market Shares Reliable Indicators of

Competition? USAID Partnership for Economic Growth (PEG) Project .

Carlton, D. W., & Perloff, J. M. (2000). Modern Industrial Organization 3rd edition. Addison

Wesley.

Damuri, Y. (2014). Pricing Practices in Indonesia's Electricity Power Services. Indonesia

Services Dialogue.

OECD (2014). OECD Services Trade Restrictiveness Index (STRI): Indonesia. May 2014.

KPPU (2009). Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks. Buku Ajar KPPU.

Pangestu, M., Aswicahyono, H., Anas, T., & Ardyanto, D. (2002). The Evolution of

Competition Policy in Indonesia. Review of Industrial Organization , 205-224.

Thee, K. (2012). Indonesia’s Economy Since Independence. Institute of Southeast Asian

Studies (ISEAS): Singapore.

World Trade Organization (2013). WTO Trade Policy Review: Indonesia (2013). Report by the

Secretariat. 6 May 2013.