7
Writer’s Annotation In responding my article ”Rationalising and Overcoming Some National Problems through Poetry/Membingkai dan ’Menjinakkan’ (Beberapa) Masalah Nasional Melalui Puisi”, someoid, ’How can such a complicated national problem be simply coped with by reading poetry?”. This article, firstly published at Bali Post Minggu (February 6, 13, 20, 27 and 27 in2000), is derserved for ensuring the doubt. Any comment from any friendly symphatetic readers, kindly email me to [email protected]. Thank you very much. Ketika Orang (Masih) Meragukan Keampuhan Puisi (Tanggapan atas Kritikan Lisan) AGAKNYA setelah selesai membaca secara sepintas tulisan saya yang dimuat Bali Post Minggu edisi 16 dan 23 Januari 2000 dengan judul ”Membingkai dan ’Menjinakkan’ (Beberapa) Masalah Nasional Melalui Puisi”, seorang ’rekan’ saya, secara sambil lalu (iseng?!) di suatu kesempatan berkomentar, ”Ah, masa’ hanya dengan membaca puisi, pertikaian yang sudah memakan korban ratusan jiwa bisa teratasi!” Penyataan yang relatif pseudo-critical ini bisa jadi tidak hanya melintas pada benak orang ”pesimis” seperti di atas, melainkan juga pada pada orang-orang lain terutama mereka yang mengusung budaya ”instant” (baca : serba cepat). Saya katakan critical karena di satu sisi pernyataan tersebut merefleksikan keinginan atau respons untuk mempertanyakan kembali eksistensi atau kebenaran substantif uraian (analisis?) saya dari perspektif, meminjam istilah metodologi penelitian, logiko- empiris (logis dan bisa dibuktikan kebenarannya di lapangan). Sikap berpikir berbudaya (kritis, rasional) semacam ini tentunya sangat positif. Namun, di lain pihak, dalam konteks upaya memahami tulisan saya secara menyeluruh dan penuh kecermatan, kekritisan tersebut masih bersifat pseudo (palsu). Pseudo? Salah satu ke-pseudo-an yang sangat ”telanjang” terlihat pada penggunaan frase ”membaca puisi” secara ceroboh atau sepotong-sepotong. Kalau dibaca secara seksama tulisan saya itu, dan dikaitkan dengan konteks substansi kritikan di atas, saya tidak pernah menggunakan ”membaca”. Melainkan, sebagaimana terlihat pada paragraf pertama, saya menggunakan kata ”direnungkan” (bentuk pasif dari ”merenungkan”). Kita harus berhati-hati dengan kedua kata itu. Kehati-hatian ini telah saya perlihatkan pada paragraf ke-13. Dengan penuh kesadaran

Ketika Orang (Masih) Meragukan Keampuhan Puisi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Cynically pessimistic guys might say, "How can such complicated national problem be overcome by reading poetry?" Read the following article first before deciding to their loyal followers!

Citation preview

Page 1: Ketika Orang (Masih) Meragukan Keampuhan Puisi

Writer’s Annotation

In responding my article ”Rationalising and Overcoming Some National Problems through Poetry/Membingkai dan ’Menjinakkan’ (Beberapa) Masalah Nasional Melalui Puisi”, someoid, ’How can such a complicated national problem be simply coped with by reading poetry?”. This article, firstly published at Bali Post Minggu (February 6, 13, 20, 27 and 27 in2000), is derserved for ensuring the doubt. Any comment from any friendly symphatetic readers, kindly email me to ”[email protected]. Thank you very much.

Ketika Orang (Masih) Meragukan Keampuhan Puisi(Tanggapan atas Kritikan Lisan)

AGAKNYA setelah selesai membaca secara sepintas tulisan saya yang dimuat Bali Post Minggu edisi 16 dan 23 Januari 2000 dengan judul ”Membingkai dan ’Menjinakkan’ (Beberapa) Masalah Nasional Melalui Puisi”, seorang ’rekan’ saya, secara sambil lalu (iseng?!) di suatu kesempatan berkomentar, ”Ah, masa’ hanya dengan membaca puisi, pertikaian yang sudah memakan korban ratusan jiwa bisa teratasi!”

Penyataan yang relatif pseudo-critical ini bisa jadi tidak hanya melintas pada benak orang ”pesimis” seperti di atas, melainkan juga pada pada orang-orang lain terutama mereka yang mengusung budaya ”instant” (baca : serba cepat). Saya katakan critical karena di satu sisi pernyataan tersebut merefleksikan keinginan atau respons untuk mempertanyakan kembali eksistensi atau kebenaran substantif uraian (analisis?) saya dari perspektif, meminjam istilah metodologi penelitian, logiko-empiris (logis dan bisa dibuktikan kebenarannya di lapangan). Sikap berpikir berbudaya (kritis, rasional) semacam ini tentunya sangat positif. Namun, di lain pihak, dalam konteks upaya memahami tulisan saya secara menyeluruh dan penuh kecermatan, kekritisan tersebut masih bersifat pseudo (palsu). Pseudo?

Salah satu ke-pseudo-an yang sangat ”telanjang” terlihat pada penggunaan frase ”membaca puisi” secara ceroboh atau sepotong-sepotong. Kalau dibaca secara seksama tulisan saya itu, dan dikaitkan dengan konteks substansi kritikan di atas, saya tidak pernah menggunakan ”membaca”. Melainkan, sebagaimana terlihat pada paragraf pertama, saya menggunakan kata ”direnungkan” (bentuk pasif dari ”merenungkan”). Kita harus berhati-hati dengan kedua kata itu. Kehati-hatian ini telah saya perlihatkan pada paragraf ke-13. Dengan penuh kesadaran saya menggunakan cluster ”... mencoba ’membaca dan meresapi’ ....”

Jika dilihat dari konteks struktur maupun makna pernyataan –kritikan di ats, tampaknya ‘membaca’ mau tidak mau dimaksudkan sebagai suatu aktivitas hanya mengalihkan atau mencerabut makna dari simbol tertulis, atau meminjam istilah linguistiknya, hanya sekadar men-decoding. Atau bisa jadi berarti “memvokalisasi atau melafalkan (puisi)” sebagaimana jamak dilakukan saat ‘berdeklamasi’ di atas pentas. Memang ada makna yang lebih subtil dari kata aksi ”membaca”, sebagaimana diilustrasikan oleh novelis Thomas Carlyle. Pengarang ”The French Revolution” ini menggunakan kata ”membaca” (read) dalam konteks; ”We are all poets when we read poem well”.

Dalam kalimat tersebut, pada aras realitas sosiologis sastra secara umum, kata ”read” mengandung makna dasar ”memahami secara total atau komprehensif” suatu puisi, atau suatu karya sastra pada umumnya, sehingga mampu mendapatkan “napas dan roh” puisi atau karya sasatra tersebut. Kemampuan serupa, antara lain, konon pernah diperlihatkan oleh penyair Afrizal Malna saat diminta bantuannya untuk “membaca” (menyeleksi) sejumlah puisi karya penyair lain yang akan dipublikasikan dalam bentuk buku. Dari sejumlah puisi yang disodorkan, hanya beberapa saja di antaranya yang mendapat rekomendasi.

Jika pengertian ini yang dimaksud, maka maknanya persis sama dengan yang saya maksud, yakni dengan kata laku “di(me)renungkan atau meresapi. Tapi sekali lagi, dilihat dari nada bicara dan nada dasar kata “Ah” dan “hanya”, kata “membaca” pada kritikan di atas tidak bermakna seperti makna “membaca” yang dipertontonkan oleh anggota Forum Sepatu Biru itu, Afrizal Malna.

Page 2: Ketika Orang (Masih) Meragukan Keampuhan Puisi

Kata “merenungi/meresapi” sepadan dengan kata “contemplate” dalam bahasa Inggris. A.S. Horby (1989 : 253) dalam kamus Oxford Advanced Learner’s Dictionary, mendefinisikan ’contemplate’ sebagai; “look at or consider something thoughtfully”, yang secara harfiah bermakna memandang atau mempertimbangkan sesuatu secara bijaksana atau dengan penuh perhatian. Dengan demikian, frase ”penggalan puisi yang sepintas pantas kita renungkan kembali” atau ”kita kembali mencoba membaca dan meresapi butiran-butiran ’mutiara-salju’ yang bertebaran di sejumlah karya puisi” dalam tulisan saya itu mengandung makna ’mencermati atau mempertimbangkan secara seksama dan penuh kearifan sejumlah penggalan puisi atau nilai-nilai (moral) yang terdapat pada sejumlah karya puisi’.

Untuk bisa melakukan hal di atas, yakni mencermati atau mempertimbangkan secara seksama dan penuh kearifan sejumlah penggalan puisi atau moral yang terkandung pada sejumlah puisi, memang diperlukan laku decoding atau bahkan vokalisasi untuk menginternalisasikan makna atau nilai-nilai sebuah karya puisi. Tapi keberadaannya seringkali sebagai langkah introductory menuju aktivitas kontemplasi. Kontemplasi atau perenungan terhadap suatu karya puisi selalu dimaksudkan untuk manangkap ’roh-reflektif-aktif’ puisi tersebut.

Puisi merupakan salah satu varian kristalisasi dari salah satu ilmu humaniora (kemanusiaan) bernama ”Sastra”. Oleh karena itulah, sebagaimana ditulis Dwi Joko Widiyanto dalam artikelnya ”Sastra Tak Berhenti Pada Makna” (Kompas, 24/8/97 : 21), puisi memiliki fungsi reflektif, yakni membantu kita menangkap makna yang terkandung dalam pengalaman-pengalaman manusia lain, mengajarkan kepada kita apa yang dirasakan manusia lain, kepedihan, sakit hati, kepapaan dan cita rasa keadilan manusia lain. Singkatnya, fungsi reflektif puisi, lanjut Widiyanto dengan mengutip pendapat William Bennet dalam bukunya Erosion in the Humanities, adalah untuk membantu menyusun suatu kerangka moral imajinatif bagi perbuatan kita.

Puisi tentunya bukan panacea sejenis obat sakit kepala ”Bodrex” yang begitu diminum, oleh siapapun : tua-muda, besar-kecil, bini-laki, intelek atau super bodoh sekalipun, sesaat kemudian langsung terasa pengaruhnya alias ces-pleng. Atau setidak-tidaknya, seperti orang makan cabai rawit yang langsung merasakan efek empirisnya : pedasnya. Fungsi reflektif puisi memiliki sistem operasional yang khas. Sebagai ilustrasi, mari kita lihat operasionalisasi apa yang disebut ”Pshycopoetry”.

Sebagaimana ditulis sastrawan dan sekaligus kritikus sastra Subagio Sastrowardoyo (alm.) dalam bukunya Sekilas Soal Sastra dan Budaya (Balai Pustaka, 1992 : 5 – 7), di Amerika Serikat warga masyarakatnya lebih sering dan lebih lekas mencari pertolongan untuk kesehatan jiwanya. Untuk maksud tersebut orang-orang di negeri Paman Sam itu akan segera meminta nasihat ahli atau dokter jiwa di klinik, rumah sakit, atau tempat-tempat praktek spesialis penyakit jiwa.

Selain itu, mereka juga bisa mendapatkan terapi penyehatan jiwa pada kelompok-kelompok yang dibentuk di tengah-tengah masyarakat. Salah satu terapi yang dipakai untuk menormalkan kondisi kejiwaan di dalam kelompok-kelompok masyarakat ini adalah ”pshycopoetry” di bawah asuhan ahli jiwa. Yang dimaksud dengan ”pshycopoetry” adalah terapi yang bertujuan mengusahakan penyembuhan lewat puisi kepada anggota-anggota kelompok yang terganggu kehidupan jiwanya.

Lebih lanjut pencipta puisi-puisi yang terhimpun dalam ”Daerah Perbatasan” (Balai Pustaka, 1984) itu menegaskan bahwa kelompok tersebut tidak memilih tempat berkumpul yang tetap. Bisa di sebuah kedai kopi, di tempat tinggal seorang anggota, di sebuah taman atau di sebuah ruang perpustakaan. Yang terpenting adalah mereka dapat berinteraksi antara sesamanya dan menjadi bagian dari perhimpunan yang sifatnya spontan dan rukun. Di tengah kelompok ini puisi atau sajak menjadi sarana penyembuhan jiwa.

Ditambahkan bahwa di dalam kelompok terapi puisi ini, yang menjadi bahan perbincangan antaranggota adalah sajak-sajak yang dikarang oleh ahli jiwa (terapis) atau sajak-sajak oleh pengarang-pengarang yang sudah terkenal, atau yang dibuat oleh si penderita penyakit itu sendiri. Dengan sajak-sajak jenis pertama si penderita dapat menyadari bahwa orang lain pun, bahkan yang memimpin kelompok pun, memiliki kesulitan dan harus bergulat untuk mengekspresikan diri. Dalam mendengar atau melafalkan sajak-sajak penyair terkenal,

Page 3: Ketika Orang (Masih) Meragukan Keampuhan Puisi

pasien dapat mengidentifikasi dirinya dengan keadaan jiwa yang dialami juga oleh penciptanya; kesamaan nasib dapat mengembalikan semangat hidup kepadanya.

Si sakit bahkan mungkin akan berusaha meniru mengungkapkan dirinya seperti penyair besar itu dalam sajak. Kemampuan dalam mengekspresikan dirinya dan menciptakan sesuatu terbukti membangkitkan kembali kepercayaan pada dirinya, dan kesadaran bahwa dirinya punya harga diri dan kehormatan.

Dari ilustrasi di atas jelas terlihat bahwa fungsi (reflektif) puisi adalah sebagai stimulator. Yaitu, sebagai perangsang bertumbuhkembangnya keutuhan kesadaran yang sudah barang tentu ditopang oleh aspek yang lain. (Mudah-mudahan perlunya kehadiran ”aspek-aspek” lain inilah yang inherent (erat-melekat) pada penyataan pengkritik di atas, setidak-tidaknya bahwa dalam menghadapi sesuah puisi seseorang tidak terhenti langkahnya hanya pada tahapan ”merenungkan” melainkan sampai tataran aksi. Kesediaan berkontemplasi atau berefleksi pada umumnya sudah mencerminkan kesediaan awal untuk beraksi!).

Fungsi puisi sebagai perangsang seperti terungkap di atas sejalan dengan peran seni pada umumnya dan puisi pada khususnya, sebagaimana dipaparkan kritikus sastra Dami N. Toda (1977, dalam ”Sejumlah Masalah Sastra” oleh Satyagraha Hoerip (Ed), 1982 : 185) melalui kalimat-kalimatnya sebagai berikut : ”Seni mengantarkan seseorang ke dalam penghayatan langsung dan utuh. Atau ke dalam kepukauan untuk kemudian menyilakan orang berenang sendiri ke dalam kontemplasinya sendiri, menemukan jawaban atau identifikasi diri dari bagian mana saja dari pengalaman Anda yang paling mengesankan dan paling intim, personal. Anda dipersilakan menjadi artis yang lain, sedangkan puisi yang anda baca adalah sekadar sarana ke arah sana.”

Berhasil tidaknya puisi menghantarkan seseorang ke arah yang dimaksud di atas sedikit banyak tergantung pada diri orang atau pembaca tersebut. Tepatnya, keberhasilan tersebut sangat ditentukan oleh jenis atau klasifikasi mana pembaca itu berada. Dengan berpijak pada pendapat Laurence Perrine (1959) mengenai kategori sastra, novelis Sunaryono Basuki Ks, dalam tulisannya yang berjudul ”Sastra Indonesia Menumpang ’Nampang’”(Kompas, 29/10/95 : 4) secara implisit mengklasifikasikan dua (2) jenis pembaca.

Pembaca jenis pertama adalah pembaca escape literature. Sastra, termasuk puisi, kategori ini ditulis semata-mata untuk menghibur, sekadar mengisi waktu senggang. Dengan demikian, pembacanya termasuk jenis pembaca isengan atau orang yang hanya mementingkan entertainment semata. Pembaca jenis ini memang agak sulit diajak bersimpati, berempati atau berpikir tentang nilai-nilai humanistik yang lebih subtil dan sublim. Terkait dengan hal ini pengarang novel ”Maut di Pantai Lovina” itu menulis, ”Sastra jenis ini justru membawa pembacanya menjauh dari kenyataan hidup, dan membuat pembacanya lupa akan masalah yang dihadapinya.”

Pembaca jenis kedua adalah pembaca interpretative literature. ”Sastra jenis kedua (ini),” jelas pengarang puisi-puisi yang terhimpun dalam ”Opo Iyo Roh Little Miss Nobody” (Sanggar Bukit Manis, 1984) itu, ”ditulis untuk memperluas, memperdalam, serta mempertajam kesadaran pembacanya mengenai kehidupan. Dengan melalui imajinasi sastra kategori ini membawa pembaca lebih dalam ke dunia nyata, membuat orang mampu memahami masalahnya, sastra ini membuat orang lebih memahami kehidupan. Sebuah karya sastra interpretatif menerangi aspek-aspek kehidupan dan perilaku manusia, memberi pemahaman mendalam mengenai sifat dan kondisi eksistensi manusia.” Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa pembaca jenis kedua ini adalah jenis ”matured-reader” (pembaca yang sudah matang atau dewasa).

Yang barangkali menjadi pertanyaan sekarang adalah, bagaimanakah sosok atau ”wajah” pembaca yang tergolong matured itu? Untuk memberi gambaran pembaca yang bukan sekadar membaca dan untuk memperjelas jenis karya yang bukan termasuk escape literature, ada baiknya saya tampilkan penyair Emily Dickinson yang menailai kualitas suatu puisi dengan caranya yang khas. Penyair religius-Kristiani yang meninggal tahun 1886, setelah menghirup ’udara’ kehidupan selama 56 tahun, itu berujar; ”Jika aku membaca sebuah buku (baca : tulisan) dan tulisan itu membuat sekujur tubuhku menggigil kedinginan hingga tak ada api yang dapat menghangatkannya maka aku menganggap bacaan tersebut sebagai sebuah puisi (dan) jika kepalaku secara psikis terasa terpenggal ketika membacanya, aku pun

Page 4: Ketika Orang (Masih) Meragukan Keampuhan Puisi

menyebutnya sebagai sebuah puisi” (lihat ”Puisi : Eksistensi dan Nilai Edukasi”, oleh Mustajib, PKM Visi STKIP Singaraja, Edisi Ketiga 1994 : 28).

Secara teoretis, puisi Hafiz berikut ini agaknya bisa diketengahkan sebagai contoh puisi yang berhasil memenggal leher secara psikis. Penyair Persia ini, sebagaimana dikutip penyair Kuswaidi Syafi’ie dalam artikelnya yang bertajuk ”Mencari Sufi Penyair” (Jawa Pos, 8/12/96 : 6), menulis sebagai berikut :

HATI YANG RINDUHatiku yang rindu telah hampir padaMuTulang belulangku jauh di dalam penjara :Mengapa kau sembunyikan wajahMu dariku?Namun cinta tak kenal rintangan

Kau lintah, aku sakitnyaAku sedih, aku senang:Kilau bencanaMu, bagaikan anak panahNusuk nembus kalbuku

Walau tak pernah anggur menyentuh bibirkuOleh rindu aku mabuk;Di laut pedih-pedihMuKapal hidup dan harapku karam

O Kau yang senantiasaMenyinarkan matahari baru di langitDalam guru cintaMUAku tinggal dan menggembara.

Pada tataran praksis, salah satu kemampuan atau keampuhan puisi secara mencolok pernah dipertontonkan oleh Mahmoud Darwish. Darwish menulis; ” ... so leave our country, our land, our sea, our wheat, our salt, our wounds everything, and leave the memories of memory of those who pass between fleeting words” (karenanya tinggalkanlah negeri kami, tanah air kami, laut kami, gandum-gandum kami, garam-garam dapur kami, luka-luka kami, segalanya, dan enyahlah dari kenangan-kenangan di dalam ingatan mereka yang berlalu-lalang diantara jilatan kata-kata). Puisi karya penyair Palestina ini sukses besar mengobarkan kemarahan dan keputusasaan kaum liberal Israel. ”These lines from a poem by the best known Palestinian poets have raised a storm of anger and despair among Israeli liberals since its publication,” tulis Bernard Edinger dalam tulisannya ”A poem raises a storm among Israelis” (The Jakarta Post, 8/6/1988).

Contoh lain kemampuan puisi yang lebih “membumi” (baca : terjadi di Tanah Air kita) dapat dilihat melalui penuturan Dwi Joko Widiyanto (1997) tentang hasil penelitian Cecep Syamsul Hari di tahun 1994.

Penelitian penyair Cecep Syamsul Hari, demikian tulis Widiyanto, tentang “Puisi (Sastra) sebagai Alternatif Bahan Pendidikan Moral” (1994), dibandingkan dengan himbauan dalam apel bendera atau penataran, puisi ternyata lebih efektif sebagai bahan pendidikan terutama untuk mencerapkan moral ke dalam ranah afektif pelajar SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas). Ketika disodori puisi ‘Gadis Peminta Minta’ karya Toto Sudiarto Bachtiar, seorang siswi SLTA yang menjadi responden penelitian itu mengaku merasa terlibat (engaged) dalam dunia gadis peminta-minta yang dilukiskan Toto Sudarto Backtiar. Responden mampu memproyeksikan daya imajinasinya ke dalam pengalaman hidup, kesedihan, keterharuan tokoh puisi.

Yang mengagumkan dari hasil penelitian ini adalah ternyata puisi lebih dahsyat (powerful) menyampaikan pesan atau moral jika dibandingkan dengan apel bendera atau penataran (P4) yang selama beberapa dasawarsa telah mengindoktinasikan kita semua, termasuk (barangkali) pengkritik di atas.

Page 5: Ketika Orang (Masih) Meragukan Keampuhan Puisi

Bila setelah melihat fakta-fakta otentik di atas lantas masih ada orang yang meragukan keampuhan puisi, maka dalam batas-batas tertentu bisa kita katakana bahwa hati nurani orang tersebut masih “buram” alias buta-tuli, setidak-tidaknya terhadap realitas sosiologis yang ada.

Bilamana ujung-ujung syaraf hati nurani seseorang benar-benar peka terhadap nilai-nilai esensial kemanusiaan, maka sulit rasanya bagi saya pribadi membayangkan ujung-ujung syaraf tersebut tidak tergetar “ditiup” hembusan bait-bait puisi “Sajak-sajak Kelahiran” karya Abdul Hadi W.M. sebagaimana telah saya kutip pada tulisan sebelumnya.

Jika sensitivitas itu ada pada kalbu setiap anak manusia, dari manapun sumbernya; termasuk puisi, rasanya tidak mungkin terjadi gontok-gontokan antargolongan. Tidak akan ada intrik saling mencurigai antaretnis. Mustahil terjadi saling bakar tempat ibadah. Dan apalagi sampai mementaskaskan permainan “genocide” (pembunuhan missal) di atas panggung terbuka “Tanah Air Tercinta Indonesia”, sebagaimana pernah ditengari beberapa pejabat teras beberapa waktu lalu. Insya Allah, semua kekejian di atas tidak akan pernah terjadi! *