30
Kejahatan yang Banal dan Kekerasan oleh Negara Refleksi Hannah Arendt atas Pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem Yeremias Jena ABSTRACT. Following the whole process of the trial of Eichmann in Jerusalem, Hannah Arendt realised that crimes and violence (evil) done by Eichmann and the Nazi were the clues of the absence of the thoughtfulness. The question arises as to why a thoughtless man like Eichmann did such a big crime and violence against the Jews? The absence of reflective and philosophical thoughts that expels a moral agent to justify his moral deeds has become the root cause why Eichmann failed to act according to some fundamental moral principles. The trial of Eichmann was really an exposure of the banality of evil against humanity. Could reason or reflective thoughts hinder a moral agent from evil deeds? How should we understand the banality of evil in political exercise? By reflecting the thoughts of Hannah Arendt on the banality of evil, this article discusses and tries to answer these questions. KATA KUNCI: Banalitas kejahatan, Nazi, Führer, akal budi, kewajiban moral. 1. PENDAHULUAN Meski dengan pemahaman yang tidak selalu tepat, istilah “banalitas kejahatan” cukup populer di Indonesia. Coba ketik “banalitas kejahatan” di mesin pencari data google dan akan diperoleh hampir 1.500 entri istilah tersebut. Mengunduh dan membaca sepuluh laman pertama, misalnya, kita akan menemukan varian pemahaman apa itu banalitas kejahatan. Ambillah dua laman sebagai contoh. Pertama, tulisan Donny Gahral Adian yang pernah didiskusikan di perpustakaan KPK dengan judul Korupsi Politik, Banalitas dan Ketidakadilan merujuk ke pemikiran Hannah Arendt mengenai Banality of Evil. 1 Merujuk pemikiran Hannah Arendt, Donny Gahral Adian mengatakan bahwa kejahatan menjadi banal—termasuk korupsi—jika tindakan kejahatan tersebut menjadi suatu kewajaran. RESPONS volume 14 no. 2 (2009): 147 - 180 (c) 2009 PPE-UNIKA ATMA JAYA, Jakarta. ISSN:0853-8689

Kejahatan yang Banal dan Kekerasan oleh Negara Refleksi ... · Refleksi Hannah Arendt atas Pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem Yeremias Jena ... dua laman sebagai contoh. Pertama,

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kejahatan yang Banal dan Kekerasan oleh Negara Refleksi ... · Refleksi Hannah Arendt atas Pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem Yeremias Jena ... dua laman sebagai contoh. Pertama,

Kejahatan yang Banal dan Kekerasan oleh Negara Refleksi Hannah Arendt atas Pengadilan Adolf Eichmann

di Yerusalem

Yeremias Jena ABSTRACT. Following the whole process of the trial of Eichmann in Jerusalem, Hannah Arendt realised that crimes and violence (evil) done by Eichmann and the Nazi were the clues of the absence of the thoughtfulness. The question arises as to why a thoughtless man like Eichmann did such a big crime and violence against the Jews? The absence of reflective and philosophical thoughts that expels a moral agent to justify his moral deeds has become the root cause why Eichmann failed to act according to some fundamental moral principles. The trial of Eichmann was really an exposure of the banality of evil against humanity. Could reason or reflective thoughts hinder a moral agent from evil deeds? How should we understand the banality of evil in political exercise? By reflecting the thoughts of Hannah Arendt on the banality of evil, this article discusses and tries to answer these questions. KATA KUNCI: Banalitas kejahatan, Nazi, Führer, akal budi, kewajiban moral. 1. PENDAHULUAN Meski dengan pemahaman yang tidak selalu tepat, istilah “banalitas

kejahatan” cukup populer di Indonesia. Coba ketik “banalitas kejahatan” di

mesin pencari data google dan akan diperoleh hampir 1.500 entri istilah

tersebut. Mengunduh dan membaca sepuluh laman pertama, misalnya, kita

akan menemukan varian pemahaman apa itu banalitas kejahatan. Ambillah

dua laman sebagai contoh. Pertama, tulisan Donny Gahral Adian yang

pernah didiskusikan di perpustakaan KPK dengan judul Korupsi Politik,

Banalitas dan Ketidakadilan merujuk ke pemikiran Hannah Arendt mengenai

Banality of Evil.1 Merujuk pemikiran Hannah Arendt, Donny Gahral Adian

mengatakan bahwa kejahatan menjadi banal—termasuk korupsi—jika

tindakan kejahatan tersebut menjadi suatu kewajaran.

RESPONS volume 14 no. 2 (2009): 147 - 180 (c) 2009 PPE-UNIKA ATMA JAYA, Jakarta.

ISSN:0853-8689

Page 2: Kejahatan yang Banal dan Kekerasan oleh Negara Refleksi ... · Refleksi Hannah Arendt atas Pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem Yeremias Jena ... dua laman sebagai contoh. Pertama,

RESPONS - DESEMBER 2009

Di laman lain kita bisa menemukan kliping koran tulisan Boni

Hargens yang dimuat di Koran Tempo edisi 13 Februari 2008. Merujuk ke

kesimpulan “banality of evil” sebagai “there is an Eichmann in each one of

us”, hal yang dibantah Arendt tetapi “ngotot” dipertahankan Boni, banalitas

kejahatan dari kasus pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem seakan-

akan menyisakan sebuah pesan moral bahwa siapa pun bisa menjadi

Eichmann.2

Apakah kejahatan menjadi sesuatu yang banal ketika telah berubah

wataknya menjadi sesuatu yang wajar? Menerima tesis bahwa kejahatan

bersifat banal jika telah berubah watak menjadi suatu kewajaran sama saja

dengan mengakui adanya metamorfosa kejahatan dari sesuatu yang serius,

mendalam, berakar dan barangkali menimbulkan penyesalan atau perasaan

bersalah kepada sesuatu yang amorf, biasa, dan lazim (commonplace). Dan itu

berarti “ada Eichmann di dalam diri setiap orang”.

Studi atas kasus pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem

sebagaimana dilaporkan Hannah Arendt dalam bukunya berjudul Eichmann

in Jerusalem. A Report on the Banality of Evil (1977) menunjukkan bahwa

kejahatan yang banal bukanlah degradasi tindakan kejahatan dari sesuatu

yang serius, mendalam, dan berakar kepada tindakan yang lazim dan biasa.

Kejahatan yang banal berakar dalam ketidakmampuan seseorang dalam

berpikir dan mengambil jarak terhadap tindakan-tindakannya, yang

melakukan tindakan-tindakannya lazimnya sebuah mesin otomatis, sehingga

lolos dari tuntutan justifikasi tindakan moral. Sang pelaku tindakan

kejahatan sendiri bahkan tidak mampu membedakan watak tindakan sebagai

sesuatu yang serius dan mendalam dari tindakan-tindakan yang lazim.

Tulisan ini akan mendeskripsikan apa yang dimaksud dengan

kejahatan yang banal dan banalitas kejahatan menurut Hannah Arendt.

Respons 14 (2009) 02

-148-

Page 3: Kejahatan yang Banal dan Kekerasan oleh Negara Refleksi ... · Refleksi Hannah Arendt atas Pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem Yeremias Jena ... dua laman sebagai contoh. Pertama,

YEREMIAS JENA-KEJAHATAN YANG BANAL DAN KEKERASAN OLEH NEGARA

Karena tulisan ini secara khusus merujuk kepada karya Hannah Arendt yang

disebutkan di atas, bagian pertama akan secara singkat membahas

pengadilan Eichmann itu sendiri. Pemahaman mengenai kejahatan yang

banal dan banalitas kejahatan akan menjadi topik kedua tulisan ini.

Sementara bagian ketiga menjawab pertanyaan mengapa terjadinya tindakan

kejahatan yang banal dan banalitas kejahatan? Kemalasan berpikir dan

bersikap kritis diusung sebagai jawaban terhadap pertanyaan ini. Bagian

terakhir dari tulisan ini menjadi usaha tentatif penulis membaca praktik

kekuasaan di Indonesia akhir-akhir ini.

2. PENGADILAN EICHMANN DI YERUSALEM

Setelah diculik agen rahasia Israel di Argentina pada bulan Mei 1960,

Adolf Eichmann langsung dibawa ke Israel untuk diadili. Ketika mendengar

bahwa Eichmann akan diadili di pengadilan Yerusalem, Hannah Arendt

memutuskan untuk hadir. Demi mewujudkan keinginannya, Hannah Arendt

mengajukan permohonan kepada William Shawn dari The New Yorker agar

dia dikirim mereportase pengadilan tersebut. Pada tahun 1961 ketika

pengadilan akan segera digelar, Hannah Arendt menulis sebuah surat kepada

Rockefeller Foundation dengan nada-nada yang menunjukkan kegentingan

situasi. Tulis Hannah Arendt, “Saya harap Anda akan mengerti mengapa

saya harus meliput pengadilan ini; saya kehilangan (kesempatan hadir dalam)

Pengadilan Nuremberg. Saya tidak pernah melihat batang hidung orang-

orang ini, dan barangkali ini kesempatan saya satu-satunya.”3 Hannah

Arendt memang tidak menghadiri pengadilan Nuremburg yang diadakan

selama tahun 1945-1946 di Palace of Justice. Tetapi, apakah karena dia belum

Respons 14 (2009) 02

-149-

Page 4: Kejahatan yang Banal dan Kekerasan oleh Negara Refleksi ... · Refleksi Hannah Arendt atas Pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem Yeremias Jena ... dua laman sebagai contoh. Pertama,

RESPONS - DESEMBER 2009

pernah melihat secara fisik para penjahat Nazi, maka dia menghadiri

pengadilan Eichmann di Yerusalem?

Eichmann lahir di Solingen (Jerman) pada tanggal 19 Maret 1906.

Putra pasangan Karl Adolf Eichmann dan Maria née Schefferling ini berasal

dari sebuah keluarga kelas menengah yang berkecukupan secara ekonomi.

Prestasi akademiknya tergolong buruk. Eichmann bahkan tidak lulus

sekolah menengah atas. Ketika bersekolah di sekolah kejuruan bidang

permesinan pun dia tidak bisa menyelesaikannya. Ibunya meninggal dunia

ketika Eichmann berusia 10 tahun; dan ayahnya menikah lagi. Setelah

bekerja di bidang pemasaran pada Austrian Elektrobau Company di Wina

selama 2 tahun (1925-1927), dia pindah bekerja di Vacumm Oil Company di

Wina di mana dia menikmati penghasilan yang memadai4. Kegembiraan

karena penghasilan yang cukup selama lima tahun berakhir menyedihkan

ketika Eichmann harus dipindahkan dari Linz ke Salzburg di tahun 1932.

Pada bulan April di tahun 1932 Eichmann bergabung dengan

National Socialist Party (Partai Sosioalis Nasional) dan masuk menjadi anggota

S.S (Schutzstaffel) setahun kemudian. Eichmann kemudian kembali ke

Jerman, dan setelah 14 bulan sebagai tentara, dia melamar menjadi Security

Service S.S. Tidak lama berselang Eichmann terlibat dalam penanganan

terhadap masalah-masalah Yahudi dengan tugas utama merencanakan dan

mengkoordinasi transportasi untuk mengangkut orang Yahudi ke tempat

pembantaian. Menurut pengakuannya sendiri, ketika pertama kali

mendengar bahwa Hitler memerintahkan sebuah “solusi akhir” (final

solution), yakni pelenyapan fisik atas orang-orang Yahudi, di mana dia akan

memainkan peran yang sangat penting, dia sangat tidak mengharapkan

terjadinya hal demikian. Mengenai kesaksian Eichmann ini, Hannah Arendt

melaporkan dalam reportasenya, “Sekarang saya telah kehilangan segalanya,

Respons 14 (2009) 02

-150-

Page 5: Kejahatan yang Banal dan Kekerasan oleh Negara Refleksi ... · Refleksi Hannah Arendt atas Pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem Yeremias Jena ... dua laman sebagai contoh. Pertama,

YEREMIAS JENA-KEJAHATAN YANG BANAL DAN KEKERASAN OLEH NEGARA

seluruh kegembiraan dalam pekerjaanku, semua inisiatif, semua minat; saya

sepertinya tidak bergairah”5. Menjelang Jerman menyerah kepada Sekutu di

tahun 1945, Eichmann adalah seorang pejabat tinggi S.S dengan pangkat

letnan kolonel.

Di pengadilan distrik Yerusalem, Eichmann didakwa 15 tuduhan,

antara lain “bersama-sama orang lain” terlibat dalam tindak kejahatan

melawan orang Yahudi, kejahatan melawan kemanusiaan, dan kejahatan

perang selama rezim Nazi berkuasa; dan terutama selama Perang Dunia II.

Eichmann menolak semua tuduhan itu dan menyatakan diri sebagai tidak

bersalah. Mengapa Eichmann yakin dan berani mengatakan bahwa dirinya

tidak bersalah? Dalam konteks apa dirinya tidak bersalah? Hannah Arendt

sendiri merasa terkejut mengapa ketiga hakim yang mengadili dia (Moshe

Landau, Benjamin Halevi, dan Yitzhak Raveh) tidak mengajukan pertanyaan

ini6. Menurut para pembelanya, kalaupun Eichmann bersalah dan harus

menyesali perbuatannya, ia hanya merasa bersalah di hadapan Tuhan, bukan

di hadapan hukum. Lagi-lagi para hakim tidak mengajukan pertanyaan

lanjutan untuk mendalami hal ini 7.

Dalam proposalnya kepada The New Yorker Hannah Arendt

menyebutkan bahwa salah satu alasan dia ingin meliput pengadilan

Eichmann di Yerusalem adalah karena dia ingin melihat “penjahat” itu

secara fisik. Apa reaksi Hannah Arendt ketika pertama kali melihat

Eichmann secara langsung? Hannah Arendt menyebut Eichmann sebagai

“pria dalam kotak kaca” sebagai yang “sama sekali tidak berbahaya” (nicht

einmal unheimlich). Kesan Hannah Arendt mengenai Eichmann terangkai

dalam kata-kata berikut, “Orang ini seharusnya sudah dihukum gantung di

depan umum, Anda mungkin sudah membacanya (di surat kabar), saya

terheran-heran”8. Jelas, sejak awal Hannah Arendt mengikuti jalannya

Respons 14 (2009) 02

-151-

Page 6: Kejahatan yang Banal dan Kekerasan oleh Negara Refleksi ... · Refleksi Hannah Arendt atas Pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem Yeremias Jena ... dua laman sebagai contoh. Pertama,

RESPONS - DESEMBER 2009

persidangan dengan perasaan-perasaan seperti ini. Di satu pihak ia ingin

Eichmann dihukum gantung saja, sementara di lain pihak Eichmann tidak

menampakkan diri sebagai sosok yang berbahaya (sinister).

Mengapa seorang Eichmann yang tampak lugu, bersahaja, dan tidak

berbahaya melakukan tindakan-tindakan yang begitu keji melawan

kemanusiaan? Beberapa fakta yang terungkap di pengadilan membuat

pertanyaan ini mendesak untuk dijawab. Eichmann tidak hanya mengaku

sebagai orang yang tidak bersalah, tetapi juga sebagai orang biasa yang tiba-

tiba masuk dalam jajaran inti elit kekuasaan. Dia bahkan tidak tahu apa yang

ingin dicapainya ketika memutuskan bergabung dengan Partai Nazi.

Pengakuannya bahwa keputusan bergabung dengan Partai Nazi tidak

diambil secara cermat dan matang ikut menegaskan kesaksian bahwa dia

merasa seperti “ditelan” dan “dipaksa” masuk oleh partai. Dia sendiri

bahkan tidak tahu program-program partai dan tidak pernah sekalipun

membaca pemikiran Adolf Hitler dalam buku Mein Kampf 9.

Bagi Hannah Arendt, deskripsi semacam ini mengafirmasi mengapa

Eichmann menolak bertanggung jawab atas semua kejahatan yang

dilakukannya, karena dia hanya menjalankan perintah. Dia hanya seseorang

yang berasal dari Schalaraffia, sebuah daerah yang tidak banyak dikenal

orang. Dia berhasil masuk ke jajaran elit Partai Nazi, namun itu pun bukan

karena pengetahuannya atas program-program partai tersebut atau

keyakinan diri bahwa dia bisa meraih kesuksesan yang didambakannya.

Masuk menjadi anggota Partai Nazi saja bukan atas inisiatif dia, tetapi atas

usul seorang Ernst Kaltennbrunner, seorang perwira tinggi Austria selama

Perang Dunia II dan petinggi S.S selama rezim Nazi. Eichmann bahkan

tidak pernah membaca Mein Kampf. Karena tidak banyak mengetahui

program dan garis politik partai, Eichmann tergantung dan mengikuti saja

Respons 14 (2009) 02

-152-

Page 7: Kejahatan yang Banal dan Kekerasan oleh Negara Refleksi ... · Refleksi Hannah Arendt atas Pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem Yeremias Jena ... dua laman sebagai contoh. Pertama,

YEREMIAS JENA-KEJAHATAN YANG BANAL DAN KEKERASAN OLEH NEGARA

apa yang diperintahkan atasannya. Ketergantungan inilah yang membuat dia

mengalami semacam kehilangan arah ketika Jerman menyerah kepada

Sekutu tahun 1945, di mana para petinggi S.S ditangkap dan diadili.

Kesaksian Eichmann mengenai hal ini dicatat Hannah Arendt demikian,

“Saya rasa saya harus hidup tanpa menjadi anggota dari sesuatu atau lainnya.

Saya rasa saya harus menjalani kehidupan pribadi yang sulit karena tanpa

pemimpin. Saya tidak akan menerima pengarahan dari siapapun, tidak ada

lagi tuntutan dan perintah yang diajukan kepadaku, tidak akan ada lagi

peraturan-peraturan yang tepat yang akan saya acu, kehidupan yang tidak

pernah saya ketahui sebelumnya kini membentang di hadapanku”10.

Dalam suratnya kepada Karl Jaspers di tahun 1963, Hannah Arendt

mengekspresikan kesannya mengenai Eichmann secara sangat sarkastis,

“Dia seorang yang sungguh-sungguh bebal, tetapi terkadang tidak

demikian”11 . Hannah Arendt lebih lanjut mengatakan, “Dia sebenarnya

tidak bodoh, dia hanya tidak mampu berpikir. Keadaan ketidakmampuan

berpikir tidak identik sama sekali dengan kebodohan yang menempatkan dia

sebagai salah satu penjahat terbesar di zaman itu. Dan jika [kejahatan] ini

adalah ‘banal’ dan mungkin juga lucu, jika dengan kehendak terbaik dalam

dunia seseorang tidak bisa mengurai kekuatan kejahatan yang besar dari

Eichmann, [kejahatan yang dilakukan Eichmann] tetap tidak bisa disebut

sebagai sesuatu yang lumrah atau lazim” 12.

3. KEJAHATAN YANG BANAL Pertanyaan Hannah Arendt menukik tajam pada persoalan etis.

Apakah pembelaan Eichmann bahwa dia tidak bersalah karena dia hanya

menjalankan perintah partai dapat dibenarkan? Dia memiliki kesan bahwa

dari orang yang sebebal ini kita sulit mengurai kejahatan sehingga menjadi

Respons 14 (2009) 02

-153-

Page 8: Kejahatan yang Banal dan Kekerasan oleh Negara Refleksi ... · Refleksi Hannah Arendt atas Pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem Yeremias Jena ... dua laman sebagai contoh. Pertama,

RESPONS - DESEMBER 2009

alasan untuk membebaskannya dari segala dakwaan? Jika Hannah Arendt,

setelah mengikuti secara intens jalannya persidangan, menyimpulkan bahwa

apa yang dilakukan Eichmann tidak lebih dari sebuah kejahatan yang banal,

apa sebenarnya yang dimaksudkan filsuf keturunan Yahudi ini? Kapan

sebuah tindakan kejahatan dikategorikan sebagai banal dan sejauh mana

pelaku tindakan tidak bertanggung jawab atas tindakan-tindakannya?

Kesan Hannah Arendt terhadap sosok dan kesaksian Eichmann

membantu kita memahami hal ini. Eichmann di mata Hannah Arendt

adalah seorang biasa (ordinary man) yang jauh dari kesan seram dan

menakutkan. Memang ada kesan bodoh (stupid) dalam diri Eichmann, tetapi

sebenarnya ketiadaan pikiran (thoughtlessness) lebih tepat menggambarkan

kemampuan nalarnya. Bagi Hannah Arendt, seorang Eichmann mengalami

kekurangmampuan berpikir dan berefleksi secara mandiri. Mengenai hal ini,

Hannah Arendt menulis, “... satu-satunya karakteristik khas yang bisa

dideteksi seseorang dalam masa lalunya [Eichmann] serta perilakunya selama

pengadilan dan selama penyelidikan polisi seluruhnya bersifat negatif:

bukanlah sebuah kebodohan, tetapi sebuah ketidakmampuan berpikir”13

Dalam diri Eichmann tidak tersedia kemampuan berpikir reflektif. Buktinya,

menurut Hannah Arendt, “Ketika dikonfrontasi dengan situasi tertentu di

mana tidak tersedia prosedur-prosedur rutin, dia [Eichmann] tampak tidak

berdaya, dan bahasa bermuatan kepura-puraan pun dihasilkan, sebagaimana

nyata dipraktikkan dalam kehidupan formalnya, sejenis komedi mengerikan.

Kata-kata klise, perbendaharaan frase, kesetiaan pada suatu konvensi, kode-

kode ekspresi dan perilaku standar memiliki fungsi yang dikenal secara sosial

sebagai yang melindungi kita dari realitas, yakni yang melawan klaim atas

atensi pemikiran kita bahwa seluruh kejadian dan fakta menjadi ada karena

eksistensi mereka sendiri.”14

Respons 14 (2009) 02

-154-

Page 9: Kejahatan yang Banal dan Kekerasan oleh Negara Refleksi ... · Refleksi Hannah Arendt atas Pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem Yeremias Jena ... dua laman sebagai contoh. Pertama,

YEREMIAS JENA-KEJAHATAN YANG BANAL DAN KEKERASAN OLEH NEGARA

Tindakan-tindakan yang dilakukan Eichmann senantiasa mengikuti

perintah dan larangan berbagai peraturan dan hukum. Tindakan-

tindakannya bukan berasal dari sebuah putusan moral yang direfleksikan

secara matang dan mendalam. Karena ketidakmampuannya dalam berpikir

dan berefleksi secara mandiri, Eichmann seakan-akan menjadi seorang

“isolated man” di hadapan kedigdayaan birokrasi. Dengan melakukan

tindakan-tindakan biasa sebagaimana dikehendaki birokrasi, seseorang yang

tampaknya biasa dan tidak berbahaya justru dapat melakukan hal-hal yang

sangat menakutkan dan mengerikan. Itulah yang dilakukan seorang

Eichmann, taat pada apa yang diwajibkan partai tanpa mengerti,

mempertanyakan, menegaskan, atau menolak apa yang diperintahkan. Dan

memang inilah yang mau disasar setiap birokrasi yang totaliter dan otoriter:

memanifestasikan kehendak totalnya dalam setiap individu yang telah dia

hilangkan kesadarannya melalui proyek pentransformasian individu menjadi

massa.15 Dalam konteks demikian, dapatkah kita memahami tindakan

seseorang, yang atas nama ketaatan pada sistem yang total dan otoriter,

merakit bom, mencampur makanan dengan racun dan zat-zat berbahaya,

atau menyiksa orang di kamp konsentrasi sebagai tindakan atau perilaku

normal? Menurut Richard Bernstein, itulah pemandangan yang disaksikan

sendiri oleh Hannah Arendt dalam diri seorang Eichmann.16

Demikianlah, kejahatan yang banal menggambarkan pemahaman

Hannah Arendt atas tindakan-tindakan kejahatan Eichmann yang oleh

pelakunya sendiri dipahami sebagai lumrah, lazim, biasa, dan normal, karena

sesuai dengan yang dikehendaki atau diperintahkan sebuah sistem birokrasi

yang total dan otoriter. Kejahatan bersifat banal ketika seorang pelaku moral

gagal memanfaatkan kemampuan nalarnya dalam memahami berbagai

perintah, hukum, atau kewajiban dan membenarkan tindakan-tindakannya

Respons 14 (2009) 02

-155-

Page 10: Kejahatan yang Banal dan Kekerasan oleh Negara Refleksi ... · Refleksi Hannah Arendt atas Pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem Yeremias Jena ... dua laman sebagai contoh. Pertama,

RESPONS - DESEMBER 2009

berdasarkan prinsip atau hukum moral tertentu. Pada pemikiran Hannah

Arendt, banalitas kejahatan terjadi karena absennya hubungan antara

kemampuan berpikir (the faculty of thinking), kemampuan membedakan yang

baik dan buruk secara moral, kemampuan mengambil putusan moral, serta

kemampuan mempertimbangkan implikasi-implikasi tindakan.

Absennya refleksi kritis atas tindakan moral dalam kehidupan

Eichmann tampak jelas dalam deskripsi Hannah Arendt mengenai momen

terakhir menjelang kematian Eichmann. Sebelum ajal menjemput di tiang

gantungan, Eichmann menolak pendampingan seorang pendeta. Dia

mengatakan terus-terangan bahwa dirinya seorang ateis yang tidak percaya

kehidupan setelah kematian. Eichmann tetap mengagung-agung Jerman

sebagai tanah kelahirannya dan Argentina sebagai negara keduanya. Dengan

suara mantap Eichmann mengucapkan selamat tinggal kepada orang-orang

yang menunggui kematiannya sambil berkata bahwa cepat atau lambat kita

semua akan bertemu. Pemandangan ini menjadi potret yang amat hidup bagi

Hannah Arendt, bahwa menjelang kematiannya seorang Eichmann telah

kembali menjadi dirinya sendiri. “Dia telah menjadi dirinya sendiri

seutuhnya,” demikian komentar Arendt17. Bagi Hannah Arendt, Eichmann

menunjukkan kemampuannya dalam memahami detik-detik kematiannya,

kesanggupan mengatakan tidak terhadap suatu hal, serta kemampuan

memaknakan hidupnya. Momen inilah yang dilihat Hannah Arendt sebagai

contoh yang tepat untuk memahami dan menjelaskan banalitas kejahatan itu

sendiri18.

Apakah persisnya banalitas kejahatan itu? Bagi Arendt, banalitas

kejahatan tidak terjadi karena kelemahan-kelemahan tertentu (cacad,

misalnya). Banalitas kejahatan juga tidak terjadi karena patologi tertentu atau

keyakinan-keyakinan ideologis tertentu.19 Banalitas kejahatan terjadi karena

Respons 14 (2009) 02

-156-

Page 11: Kejahatan yang Banal dan Kekerasan oleh Negara Refleksi ... · Refleksi Hannah Arendt atas Pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem Yeremias Jena ... dua laman sebagai contoh. Pertama,

YEREMIAS JENA-KEJAHATAN YANG BANAL DAN KEKERASAN OLEH NEGARA

pelaku kejahatan mempertontonkan kedangkalan tertentu yang sangat

impresif (the doer exposes an impressive superficiality). Pertanyaannya, apakah

maksimalisasi kemampuan berpikir reflektif dan kritis mampu menghindari

atau mencegah seseorang jatuh dalam tindakan kekerasan yang banal?20

Rumusan lain, apakah the faculty of thinking mampu menghindarkan seseorang

dari tindakan-tindakan kejahatan? Hannah Arendt yakin, refleksi kritis

mampu mencegah seseorang melakukan tindakan-tindakan tak-bermoral.

Meminjam pemahaman Karl Jasper, Hannah Arendt mencontohkan bahwa

dalam situasi-situasi batas (border situations) manusia dipaksa berpikir keras

mengenai situasi yang dihadapi. Itu artinya situasi batas sebagaimana

dihadapi seorang Eichmann seharusnya memaksa dia berpikir secara kritis

dan reflektif.

Bagi Hannah Arendt, banalitas kejahatan yang ditandai secara

khusus oleh absennya kata dan pikiran tidak bisa menjadi alasan pembenar

bagi tindakan kejahatan yang terjadi karena faktor patologi, self-interest,

keyakinan ideologis, atau kejahatan yang diintensikan (konsep kejahatan

tradisional yang melibatkan dimensi volitif sebagaimana dipahami teologi

atau filsafat tradisional). Penjelasan mengenai apa itu kejahatan sebagaimana

disediakan filsafat tradisional atau teologi tidak mampu menjelaskan secara

tuntas kejahatan yang menimpa orang Yahudi di Eropa pada masa rezim

Nazi. Dengan pemahamannya yang khas, banalitas kejahatan justru

menyingkapkan perspektif baru dalam memahami kejahatan. Dalam sebuah

korespondensi dengan Grafton, Hannah Arendt mencoba menjelaskan

mengapa pandangannya mengenai banalitas kejahatan berbeda dengan

pemahaman mengenai kejahatan yang selama ini diterima masyarakat

dengan membedakan “banal” dari “sesuatu yang lumrah” (commonplace).

Tulis Hannah Arendt, “Bagi saya, ada satu perbedaan yang sangat mendasar:

Respons 14 (2009) 02

-157-

Page 12: Kejahatan yang Banal dan Kekerasan oleh Negara Refleksi ... · Refleksi Hannah Arendt atas Pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem Yeremias Jena ... dua laman sebagai contoh. Pertama,

RESPONS - DESEMBER 2009

‘kelaziman’ adalah apa yang sering atau lazim terjadi, tetapi sesuatu dapat

menjadi banal bahkan ketika itu bukan sesuatu yang lazim”21. Bagi Arendt,

banal tidak mengandaikan bahwa kejahatan menjadi sesuatu yang biasa atau

lumrah dalam diri setiap orang. Kejahatan menjadi banal bahkan ketika

kejahatan itu sendiri bukanlah sesuatu yang dangkal (trivial) bagi setiap

orang. Karena itu, banalitas kejahatan tidak lantas berarti kejahatan telah

menjadi sesuatu yang lumrah dan dangkal bagi setiap orang.22

Apa arti distingsi semacam ini? Distingsi semacam ini menunjukkan

bahwa kejahatan telah kehilangan akar ketika dia tidak bisa dijelaskan

dengan mengembalikannya kepada ketidakhadiran kuasa Allah, rendahnya

kehendak (will) karena bertahtanya dosa dalam diri manusia, atau

semacamnya. Banalitas kejahatan sebagai yang tidak memiliki akar dapat

dipahami dalam dua cara. Pertama, bagi Arendt, kejahatan yang ketiadaan

akar dipahami dalam arti kejahatan tersebut tidak berakar atau bersumber

pada suatu kejahatan tertentu yang termanifestasi sebagaimana dipahami

tradisi agama atau teologi. Dalam sebuah debat tahun 1964 yang

diselenggarakan di Hofstra College (New York) tentang Eichmann in

Jerusalem, Hannah Arendt menekankan bahwa banalitas kejahatan memang

tidak memiliki akar. Dia tidak berakar dalam motif-motif kejahatan tertentu

atau dalam “godaan-godaan” tertentu dalam hakikat manusia. Banalitas

kejahatan bukanlah kejahatan karena dorongan kuasa kegelapan atau iblis.

Banalitas kejahatan juga bukan kejahatan radikal (radical evil) tertentu.23

Kedua, bagi Hannah Arendt, hanya kemampuan berpikir kritislah

yang sanggup menembus, mencapai kedalaman, dan menyentuh akar

tertentu. Mengenai hal ini Arendt berkata, “Yang saya maksudkan dengan

kejahatan yang tidak memiliki akar adalah bahwa kejahatan tersebut tidak

memiliki kedalaman. Memang sangat sulit untuk memahami hal ini, karena

Respons 14 (2009) 02

-158-

Page 13: Kejahatan yang Banal dan Kekerasan oleh Negara Refleksi ... · Refleksi Hannah Arendt atas Pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem Yeremias Jena ... dua laman sebagai contoh. Pertama,

YEREMIAS JENA-KEJAHATAN YANG BANAL DAN KEKERASAN OLEH NEGARA

berpikir, menurut definisinya, ingin menembus dan menggapai akar.

Kejahatan tidak lebih dari gejala-gejala permukaan. Kejahatan bukanlah

suatu yang radikal, tetapi semata-mata sesuatu yang ekstrem. Kita

menghindari kejahatan bukan dengan membebaskan diri dari hal-hal

permukaan, tetapi dengan mengambil jarak dan mulai berpikir, yakni dengan

meraih dimensi lain dari sekadar horison keseharian dalam hidup. Indikasi

dari kedangkalan hidup adalah penggunaan kepura-puraan, dan Eichmann

adalah contoh sempurna.”24 Artinya banalitas kejahatan terjadi bukan karena

motif-motif kejahatan tertentu (pikiran strategis, jadi mengandaikan orang

berpikir), tetapi karena seseorang berada dalam situasi ketiadaan pikiran

(thoughtlessness). Karena tidak memiliki kedalaman dan akar, kejahatan yang

banal menyebar seperti jamur yang hanya ada di permukaan. Kejahatan yang

banal berakhir ketika pikiran bekerja.

4. KEMALASAN BERPIKIR: AKAR KEJAHATAN YANG BANAL Di bawah sistem legal Nazi, Eichmann tidak melakukan suatu

kejahatan apapun, demikian pembelaan Robert Servatius of Cologne, sang

pengacara Eichmann. Tindakan mengirim ribuan orang Yahudi di Hungaria

ke kamp-kamp konsentrasi, menyiksa, dan membiarkan mereka mati di

sana, dengan demikian, tidak lebih dari sebuah tindakan negara (the acts of

state). Dalam arti inilah Eichmann memahami tindakan-tindakannya sebagai

melaksanakan kewajiban sebagaimana diperintahkan negara dan Partai

secara murni dan konsekuen25. “Apa yang telah dia lakukan merupakan

sebuah kejahatan, tetapi dalam arti retrospektif. Dia tetap selalu seorang

warga negara yang taat pada hukum, karena perintah Hitler, yang dia

Respons 14 (2009) 02

-159-

Page 14: Kejahatan yang Banal dan Kekerasan oleh Negara Refleksi ... · Refleksi Hannah Arendt atas Pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem Yeremias Jena ... dua laman sebagai contoh. Pertama,

RESPONS - DESEMBER 2009

laksanakan dengan seluruh kemampuannya, memiliki kekuatan hukum

menurut tata Kenegaraan Jerman Ketiga”26.

Menarik menyebutkan cara Hannah Arendt mendeskripsikan

kesaksian Eichmann di persidangan di mana Eichmann menegaskan diri

sebagai tidak bersalah. Pertama-tama Eichmann menyebutkan betapa tidak

ada kebencian sedikit pun dalam dirinya terhadap orang-orang Yahudi 27,

bahwa dirinya dibesarkan dalam tradisi kekristenan yang kuat yang tidak

mengajarkan kebencian dan dendam terhadap orang lain, bahwa dia

memiliki seorang sahabat Yahudi bernama Sebba28 dan ibunya sendiri

memiliki banyak sekali sahabat Yahudi.

Dengan kata lain, kejahatan yang dituduhkan kepada Eichmann

sebenarnya hanya sekadar mematuhi perintah partai dan negara. Bahwa

Nazi dan Negara Ketiga mau menyelesaikan masalah Yahudi dengan cara

“pengusiran” (solusi 1), “konsentrasi” (solusi 2), dan “pembantaian” (solusi

3 atau solusi final); dan itu harus ditaati oleh setiap pejabat partai. Eichmann

sendiri bahkan mengakui bahwa ia tidak mengetahui apa program Partai

ketika menjadi anggota S.S. Dia hanya mengetahui bahwa dirinya adalah

bagian dari cita-cita membangun Negara Jerman Abadi (Thousand Years

Rheich) pasca Perjanjian Versailles di mana dia harus setia melaksanakan

seluruh garis kebijakan partai. Pengakuan Eichmann, “Semuanya itu seakan-

akan menjadi kekuasaan partai, tidak ada ekspetasi dan pilihan. Semua

terjadi begitu cepat dan mendadak.” 29

Pertanyaan-pertanyaan mendasar muncul. Mengapa partai dan

negara memiliki kemampuan yang luar biasa dalam “menelan” individu ke

dalam proyek-proyeknya? Mengapa individu seakan-akan tidak berdaya

menolak kehendak partai, bahkan ketika kehendak itu adalah sebuah

kejahatan keji melawan kemanusiaan? Yang jelas, sebagai seorang kader dan

Respons 14 (2009) 02

-160-

Page 15: Kejahatan yang Banal dan Kekerasan oleh Negara Refleksi ... · Refleksi Hannah Arendt atas Pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem Yeremias Jena ... dua laman sebagai contoh. Pertama,

YEREMIAS JENA-KEJAHATAN YANG BANAL DAN KEKERASAN OLEH NEGARA

kemudian pejabat elit partai, Eichmann memang harus bertindak

sedemikian rupa sehingga tindakan-tindakannya, jika diketahui Führer atau

negara, akan menyetujuinya30. Itu artinya, ketika Eichmann mengkoordinasi,

menyiapkan kendaraan dan mengirim paksa 434.351 orang Yahudi dari

Budapest ke Auschwitz menggunakan 147 Kereta Api, tindakan itu juga

yang dikehendaki partai dan pegara31.

Tidak hanya Eichmann, tetapi juga seluruh anggota dan pejabat teras

Partai Nazi seakan-akan kehilangan sikap kritis di hadapan propaganda

ideologis Nazi. Dua kondisi yang memungkinkan seseorang mempraktikkan

kemampuan nalarnya adalah kondisi kebebasan dan pluralitas. Dengan

kebebasan, seseorang mampu memilih bertindak dalam cara tertentu dari

berbagai alternatif yang tersedia. Kebebasan dalam pemikiran Hannah

Arendt adalah kapasitas untuk memulai, kemampuan untuk terbuka kepada

berbagai kemungkinan dan keadaan yang tak-terduga. Kebebasan

memungkinkan seseorang mengambil inisiatif, berani menghentikan

rutinitas dan mengambil tindakan-tindakan yang lebih menampakkan

kebebasan di masa depan. Kebebasan memberi ruang seluas-luasnya bagi

individu untuk menyingkapkan diri, menyatakan keunikannya sebagai

pribadi. Kebebasan memberi ruang agar seseorang dikenal dalam identitas

tertentu32.

Kemampuan berpikir kritis juga mengandaikan kondisi pluralitas.

Tindakan individu dalam kebebasannya adalah upaya menyingkapkan diri

kepada orang lain. Identitas sebagai pribadi yang bebas dan unik bukanlah

sebuah klaim sepihak, tetapi pengakuan jujur dari orang lain yang juga

adalah pribadi-pribadi yang bebas. Dalam pluralitas, tidak hanya terjadi

pengakuan atas eksistensi orang lain, tetapi juga penegasan bahwa orang lain

menjadi syarat mutlak bagi penegasan diri. Kondisi pluralitas juga merujuk

Respons 14 (2009) 02

-161-

Page 16: Kejahatan yang Banal dan Kekerasan oleh Negara Refleksi ... · Refleksi Hannah Arendt atas Pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem Yeremias Jena ... dua laman sebagai contoh. Pertama,

RESPONS - DESEMBER 2009

kepada persamaan hak dan perbedaan. Persamaan hak memungkinkan

setiap individu saling memahami, sementara perbedaan dirujuk sebagai

prasyarat bagi penegasan jati diri33.

Nazi dengan ideologi fasisnya berhasil memberangus kebebasan

individu dan pluralitas. Dalam buku berjudul Asal-Usul Totalitarisme (Yayasan

Obor Indonesia, Jakarta: 1995) Hannah Arendt menunjukkan bahwa di

bawah kekuasaan Nazi dan Negara Jerman Ketiga, Adolf Hitler dan para

pengikutnya berusaha menciptakan dominasi total kekuasaan di mana

manusia dan berbagai kemajemukan (pluralitas) direduksikan menjadi

individu tunggal yang kehilangan kesadaran individualitasnya, menjadi

seonggokan barang/benda yang dapat saling dipertukarkan secara acak.

Hitler dan para pengikutnya bermaksud menciptakan manusia spesies baru

yang mirip binatang lainnya, di mana kebebasan tidak lebih dari

pemeliharaan spesies-spesies (keberlangsungan hidup spesies dalam konteks

struggle for life).34 Kekuasaan totaliter Nazi memberangus kebebasan melalui

indoktrinasi ideologi dari fungsi-fungsi elit dan teror-teror di kamp-kamp.

Menurut Hannah Arendt, kekejaman-kekejaman bengis yang dilakukan elit

termasuk aplikasi praktis dari indoktrinasi.35

Selain indoktrinasi dan praktik teror yang dilakukan para petinggi

S.S. dan tentara Nazi, kebebasan dan kesadaran individu pun dibunuh

melalui percobaan di kamp-kamp konsentrasi. Menurut Hannah Arendt,

“Kamp-kamp tidak hanya dimaksud untuk membinasakan orang dan

merendahkan manusia, tetapi juga untuk percobaan mengerikan guna

menyingkirkan—dalam kondisi yang terkendali secara ilmiah—spontanitas

yang adalah ungkapan perilaku manusiawi dan untuk mengubah kepribadian

manusia menjadi benda semata-mata, menjadi suatu yang bahkan binatang

pun tidak demikian ... .”36

Respons 14 (2009) 02

-162-

Page 17: Kejahatan yang Banal dan Kekerasan oleh Negara Refleksi ... · Refleksi Hannah Arendt atas Pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem Yeremias Jena ... dua laman sebagai contoh. Pertama,

YEREMIAS JENA-KEJAHATAN YANG BANAL DAN KEKERASAN OLEH NEGARA

Kamp konsentrasi juga menjadi laboratorium menciptakan spesies

manusia yang kehilangan dimensi pluralitasnya. Kamp konsentrasi tidak

hanya konsentrasi bersifat tertutup37, para penghuninya pun terputus efektif

dari hubungan dengan sesama tahanan maupun dengan dunia luar38. Isolasi

total semacam ini praktis melenyapkan kesempatan berkomunikasi dan

mengungkapkan diri. Sementara itu, keterputusan hubungan yang

dimaksimalisasi sebegitu rupa menyebabkan setiap penghuni kamp

kehilangan kesadaran diri, apakah dia sedang berada di dunia nyata atau

dunia khayalan.39

Bagaimana dengan para elit partai dan pejabat negara yang harus

melaksanakan secara murni dan konsekuen seluruh program partai? Apakah

mereka terbebas dari proyek pelenyapan identitas dan kesadaran akan

pluralitas? Nuremburg Laws (1935) jelas melarang orang Jerman bekerja untuk

orang Yahudi, melakukan hubungan sosial apa pun dengan mereka, hidup

bersama atau menikahi orang Yahudi. Siapa pun orang Jerman yang

memiliki darah Yahudi harus dicopot kewarganegaraannya. Orang Yahudi

dilarang belajar atau mengajar di universitas, tidak boleh bekerja di instansi

pemerintah atau bermitra dengan pemerintah. Orang-orang Yahudi juga

dilarang menonton konser dan melalui jalan-jalan tertentu yang

ditentukan.40 Para elit partai dan pejabat negara harus merealisasikan

perintah UU ini tanpa kecuali.

Sebagaimana dikatakan Hannah Arendt, perintah tertinggi datang

dari Sang Pemimpin (Führer) yang harus ditaati tanpa tanya dan keraguan.

Ketaatan elite dan pejabat negara adalah ketaatan buta. Untuk itu, sang

pemimpin tertinggi (Hitler) tidak menciptakan hierarki kekuasaan di mana

ada garis komando yang jelas dari dirinya kepada bawahannya. Justru garis

komando dan otoritas dibuat kabur sebegitu rupa sehingga total satu

Respons 14 (2009) 02

-163-

Page 18: Kejahatan yang Banal dan Kekerasan oleh Negara Refleksi ... · Refleksi Hannah Arendt atas Pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem Yeremias Jena ... dua laman sebagai contoh. Pertama,

RESPONS - DESEMBER 2009

setengah juta Führer tidak tahu apakah perintah yang mereka jalankan berasal

dari Sang Pemimpin atau bukan. Justru dalam ketidaktahuan atau ketiadaan

otoritas itulah para Führer wajib bertindak sedemikian rupa sehingga

tindakan-tindakannya, jika diketahui Sang Pemimpin, akan menyetujuinya.

Sementara itu, multiplikasi jabatan menjadi senjata ampuh bagi Sang

Pemimpin dalam meneror dan mengendalikan bawahannya. Sering terjadi

bahwa salah seorang pegawai biasa yang adalah bawahan seorang Führer

justru telah ditetapkan Sang Pemimpin tertinggi menjadi atasan dari seorang

Führer yang kelihatan sedang berkuasa, begitu seterusnya. Itulah sebabnya

imperatif bertindaklah sedemikian rupa sehingga tindakan-tindakanmu, jika

diketahui Führer, akan menyetujuinya sungguh-sungguh menjadi perintah

yang wajib ditaati persis ketika Sang Pemimpin yang seolah-olah tidak

kelihatan ternyata ada di sekitar dan sedang mengawasi setiap gerak-gerak

Führer.41

Cara Sang Pemimpin mempraktikkan kekuasaannya tidak hanya

meneror, tetapi juga menghilangkan pluralitas. Seorang Führer tidak akan

memilih tindakan-tindakannya sendiri dari berbagai kemungkinan tindakan

selain apa yang dikehendaki Sang Pemimpin. Kehendak Sang Pemimpin

sendiri tidak pernah dinyatakan secara jelas dan mendetail, dengan

pengandaian bahwa setiap Führer, dalam kondisi apa pun, seakan-akan telah

mengetahui kehendak Sang Pemimpinnya. Sementara itu, kondisi saling

curiga di antara Führer yang sengaja diciptakan sistem totaliter jelas

memberangus dimensi pluralitas manusia. Setiap Führer adalah mesin partai

yang atomistis, yang menjalankan seluruh program partai dan kehendak

Sang Pemimpin tanpa cacat.

Apakah dengan demikian dapat dikatakan bahwa siapa pun ketika

berada dalam situasi seperti yang dialami Eichmann tidak dapat

Respons 14 (2009) 02

-164-

Page 19: Kejahatan yang Banal dan Kekerasan oleh Negara Refleksi ... · Refleksi Hannah Arendt atas Pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem Yeremias Jena ... dua laman sebagai contoh. Pertama,

YEREMIAS JENA-KEJAHATAN YANG BANAL DAN KEKERASAN OLEH NEGARA

dipersalahkan atau bertanggungjawab atas tindakan-tindakan jahatnya?

Justru di sinilah Hannah Arendt mau menunjukkan, bahwa dalam keadaan

yang sangat tidak menguntungkan sekali pun di mana seseorang sulit

mempraktikkan kewajiban-kewajiban moral, individu tetap bisa

mendasarkan tindakan-tindakannya pada pertimbangan-pertimbangan

rasional akal budinya. Hannah Arendt yakin imperatif “bertindaklah

sedemikian rupa sehingga prinsip tindakanmu kau kehendaki berlaku

umum” dari Immanuel Kant dapat dipraktikkan siapa saja, dalam situasi dan

kondisi apapun.

Dapat dipertanyakan di sini: bagaimana kemampuan berpikir (the

faculty of thinking) dapat beroperasi dan mencegah tindakan kejahatan?

Menurut Hannah Arendt, standar-standar moral yang didasarkan pada

kebiasaan tertentu (customs dan habits) dapat dengan mudah berubah oleh

aturan-aturan tingkah laku baru yang ditetapkan atau dimunculkan

masyarakat di suatu waktu. Kalau pun suatu waktu terjadi perubahan,

misalnya hancurnya nilai-nilai moral lama, nilai dan norma moral yang

menjadi dasar tindakan berubah kepada nilai dan norma yang lebih baik, dan

bukan ke arah menghilang atau tiadanya nilai dan norma moral. Dalam

artikel berjudul Responsibility under Dictatorship, Hannah Arendt berpendapat

bahwa justru ketika orang berada dalam situasi yang sangat tidak

menguntungkan untuk mempertahankan prinsip-prinsip moral, selalu saja

ada orang yang tidak mau tunduk pada dikte atau pemaksaan kekuasaan

tertentu dari luar. Sedikit orang berani bersikap berbeda seperti itu bukan

karena keyakinan bahwa prinsip-prinsip moral yang menjadi dasar tindakan

mereka sekarang jauh lebih baik dari yang dipaksakan dari luar; juga bukan

karena nilai-nilai dan norma moral yang mereka wariskan masih tertanam

kuat dalam pikiran mereka. Mereka tidak mau tunduk pada pemaksaan nilai

Respons 14 (2009) 02

-165-

Page 20: Kejahatan yang Banal dan Kekerasan oleh Negara Refleksi ... · Refleksi Hannah Arendt atas Pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem Yeremias Jena ... dua laman sebagai contoh. Pertama,

RESPONS - DESEMBER 2009

dari luar karena “suara hati mereka tidak bisa mereka bohongi.” Mereka

bahkan bertanya kepada diri sendiri, apakah mereka bisa hidup secara damai

dengan diri mereka sendiri ketika suara hati mereka berontak dan menolak

berbagai pemaksaan dari luar?42

Bagi Hannah Arendt, kemampuan menalar dan berpikir kritis justru

sangat dibutuhkan ketika berada dalam situasi yang sangat membahayakan

keberlangsungan nilai dan norma moral. Dalam situasi seperti yang dihadapi

Eichmann, seseorang tidak harus berefleksi secara filosofis atau berpikir

mendalam mengenai prinsip-prinsip dasar tindakan. Dalam situasi demikian,

seorang pelaku moral hidup secara baik dengan dirinya sendiri, melibatkan

dirinya dalam dialog-diam dengan dirinya sendiri sudah sangatlah memadai,

karena dari sanalah cikal-bakal berpikir kritis dan reflektif.43

Menurut Hannah Arendt, maksimalisasi kemampuan nalar dan daya

kritis dapat menghindarkan seseorang dari tindakan tidak bermoral. Ini

pertama-tama mengandaikan bahwa kemampuan menalar dan berpikir kritis

terbuka untuk siapa saja dan kapan saja; jadi tidak menjadi kemampuan

eksklusif para pemikir. Memang bisa terjadi bahwa kemampuan nalar

menghasilkan sesuatu yang bersifat antagonistik, misalnya menegasikan

prinsip-prinsip moral yang ada. Di sini tidak bisa dipaksakan bahwa

kemampuan nalar harus menghasilkan prinsip-prinsip dasar tindakan. Tetapi

prinsip-prinsip dasar tindakan tidak seharusnya ditolak sama sekali hanya

karena nalar menghasilkan sesuatu yang bersifat antagonistik. Hannah

Arendt yakin, keterbukaan kepada “pengalaman-pengalaman berpikir” (the

experiences of thought) akan memampukan seseorang memaksimalkan

kemampuan nalar dan daya kritisnya. Pada akhirnya yang ada bukanlah

apakah seseorang terbuka kepada pengalaman berpikirnya sendiri atau tidak.

Keterbukaan kepada pengalaman berpikir menunjukkan kemampuan

Respons 14 (2009) 02

-166-

Page 21: Kejahatan yang Banal dan Kekerasan oleh Negara Refleksi ... · Refleksi Hannah Arendt atas Pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem Yeremias Jena ... dua laman sebagai contoh. Pertama,

YEREMIAS JENA-KEJAHATAN YANG BANAL DAN KEKERASAN OLEH NEGARA

menalar, sementara ketidakterbukaan kepada pengalaman berpikir

menghasilkan bukan kebodohan (stupidity) tetapi ketiadaan pikiran

(thoughtlessness). Dengan berpikir kritis dan memampukan kekuatan nalarnya,

seseorang sanggup mencegah kejahatan. Bagi Hannah Arendt, kemampuan

menalar dan bersikap kritis tidak semata-mata upaya menemukan kebenaran

yang justifikasinya ditemukan pengalaman indrawi. Kemampuan menalar

juga berhubungan dengan kemampuan berefleksi dan menemukan makna.

Kemampuan menemukan makna inilah yang membuka nalar kepada

menemukan prinsip-prinsip dasar tindakan. 44

Tampak jelas Hannah Arendt mengikuti tradisi pemikiran Kantian

yang yakin bahwa akal budi mampu menggerakkan tingkah laku etis. Pada

Kant, akal budi teoretis memampukan subyek memahami kenyataan, bukan

sebagai penyesuaian pengertian dengan realitas, tetapi sebagai tindakan

subyek pengetahuan menyesuaikan realitas dengan cakrawala pengertian

yang sudah dibangunnya. Sementara itu, akal budi praktis memampukan

subyek memahami kenyataan-kenyataan adi-indrawi, termasuk kesadaran

moral45. Akal budi dengan demikian memiliki kemampuan untuk mengatasi

panca indra, yang bekerja secara apriori, tidak langsung tergantung pada

pengalaman dan faktor-faktor empiris. Jika akal budi mengenai pengertian

disebut akal budi teoretis, akal budi mengenai tindakan disebut akal budi

praktis46.

Prinsip atau hukum tindakan “ditemukan” akal budi praktis. Sama

halnya dengan kerja akal budi yang murni apriori, akal budi praktis

memikirkan hukum-hukum, mengakui hukum-hukum yang sudah dia

pikirkan sebagai prinsip tindakan, dan bertindak sesuai prinsip tersebut.

Ketika akal budi praktis memikirkan suatu prinsip tindakan, subyek

sebenarnya menghendaki prinsip tindakan tersebut dibayangkan sebagai

Respons 14 (2009) 02

-167-

Page 22: Kejahatan yang Banal dan Kekerasan oleh Negara Refleksi ... · Refleksi Hannah Arendt atas Pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem Yeremias Jena ... dua laman sebagai contoh. Pertama,

RESPONS - DESEMBER 2009

prinsip tindakan yang dapat diuniversalkan dan berlaku umum. Prinsip

tindakan yang dapat berlaku universal itu bukanlah prinsip tindakan dari

luar. Prinsip tindakan itu bersifat otonom terhadap segala penentuan dari

luar. Dia merupakan prinsip yang dikehendaki subyek karena baik. Prinsip

tindakan itu adalah sesuatu yang memiliki kebaikan pada dirinya. Dialah

kewajiban47 yang ketaatan terhadapnya ditentukan oleh nilai kebaikan pada

dirinya. Dalam arti ini ketaatan terhadap prinsip tindakan yang berlaku

universal tidak lain adalah ketaatan pada kewajiban itu sendiri. Bagi Kant,

kewajiban adalah imperatif kategoris, yakni suatu perintah (imperatif) yang

mengharuskan subyek moral bertindak dalam cara tertentu tanpa syarat

(kategoris). Demikianlah, bertindak secara moral dalam pemikiran Kant

adalah bertindak mematuhi perintah tertentu tanpa syarat sebagaimana

diwajibkan akal budi.

Salah satu kewajiban moral yang semula dipraktikkan juga oleh

Eichmann adalah imperatif “bertindaklah sedemikian rupa sehingga maksim

tindakanmu kau kehendaki menjadi hukum tindakan universal48. Namun,

Eichmann tidak dapat mempertahankan keyakinan moral Kantiannya itu.

Eichmann sendiri mengakui, ketika melaksanakan proyek “final solution”

yang dicanangkan Partai, dia tidak lagi menjadi tuan atas dirinya49.

Menurut Hannah Arendt, pembelaan diri Eichmann adalah bentuk

distorsi pemikiran yang membahayakan, bahwa imperatif kategoris atau

kewajiban mentaati hukum moral hanya dapat dipraktikkan dalam kondisi

sosio-politik normal di mana terdapat pengakuan terhadap kebebasan

eksternal warga negara. Ditempatkan dalam konteks pemikiran Kant, cara

berpikir seperti ini mengandung inkonsistensi serius, karena bertindak

secara moral tidak bisa dipahami hanya sekadar bertindak menurut prinsip-

prinsip moral tertentu. Seorang subyek moral bukan sekadar seorang petaat

Respons 14 (2009) 02

-168-

Page 23: Kejahatan yang Banal dan Kekerasan oleh Negara Refleksi ... · Refleksi Hannah Arendt atas Pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem Yeremias Jena ... dua laman sebagai contoh. Pertama,

YEREMIAS JENA-KEJAHATAN YANG BANAL DAN KEKERASAN OLEH NEGARA

hukum, tetapi juga seorang legislator hukum50. Menurut pemahaman

Hannah Arendt, seorang “legislator” hukum menghendaki sendiri prinsip-

prinsip tindakan yang dapat diuniversalkan. Bagi Hannah Arendt, karena

kemalasan berpikir (thoughtlessness), Eichmann gagal menjadi seorang

“legislator” hukum.

5. KESIMPULAN Meskipun buku Eichmann in Jerusalem. A Report on the Banality of Evil

dapat dibaca dalam perspektif yang jauh lebih luas, kiranya apa yang

digambarkan Hannah Arendt membantu kita memahami konsep dasarnya

mengenai kekuasaan. Kejahatan kemanusiaan melalui “final solution” yang

dilakukan rezim Nazi terhadap jutaan orang Yahudi menunjukkan secara

terang benderang wajah kekuasaan sebagai “dominasi orang atau kelompok

terhadap orang atau kelompok lain melalui media kekerasan”51. Apa yang

dipertontonkan rezim Nazi adalah praktik kekuasaan sebagai instrumen

untuk menguasai dengan insting dominasi dan penghancuran yang sangat

kuat atas orang atau kelompok yang berbeda52. Sebagai instrumen dominasi,

kekuasaan dijalankan sebagai sarana untuk menekan dan merampas

kebebasan warga negara.

Jika dibaca dari perspektif kekerasan, melalui buku Eichmann in

Jerusalem. A Report on the Banality of Evil, Hannah Arendt menunjukkan

praktik kekerasan negara terhadap warga negara. Kekerasan itu terjadi

pertama-tama karena kegagalan negara mempraktikkan kekuasaan sebagai

“to act in concert”53. Kekeliruan menempatkan orang Yahudi sebagai salah

satu penyebab kehancuran ekonomi dan politik di Jerman pasca Perjanjian

Versailles mengekspresikan kegagalan rezim Nazi mengintegrasikan

Respons 14 (2009) 02

-169-

Page 24: Kejahatan yang Banal dan Kekerasan oleh Negara Refleksi ... · Refleksi Hannah Arendt atas Pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem Yeremias Jena ... dua laman sebagai contoh. Pertama,

RESPONS - DESEMBER 2009

berbagai elemen masyarakat ke dalam kehidupan bernegara. “To act in

concert” tidak hanya mengandaikan kebebasan individu, tetapi juga

pengakuan akan individualitas dan pluralitas. Ketika dimensi-dimensi ini

dirampas negara, kekuasaan didegradasikan sampai ke tingkat teror, di mana

tidak hanya orang Yahudi dan Gipsi yang dirampas kebebebasan dan

individualitasnya, tetapi juga para birokrat dan pejabat teras Partai.

Agak sulit membayangkan praktik kekuasaan sebagai alat kontrol

dan dominasi total penguasa atas warga negara di zaman yang begitu

mengagung-agungkan demokrasi seperti sekarang ini. Meskipun demikian,

mungkin relevan mengidentifikasi watak-watak kekuasaan yang

mengandung insting kekuasaan dominan dan total. Apakah watak-watak

kekuasaan semacam itu sedang dipraktikkan di Indonesia?

Proses peradilan yang mengagung-agungkan aspek legal-formal

pelaksanaan hukum dan yang meremehkan rasa keadilan masyarakat

merupakan kekerasan negara yang sangat membahayakan. Mempertahankan

aspek-legal formal berpotensi menimbulkan kekerasan terhadap warga

negara persis ketika ruang dialog di ruang publik didominasi oleh argumen-

argumen legal-formal. Padahal dialog dalam pemahaman Hannah Arendt,

tidak hanya menjadi bagian integral dari pembentukan kekuasaan, tetapi juga

justifikasi dan legitimasi atas kekuasaan itu sendiri. Memaksakan suatu

prinsip legal-formal atas perkara yang dituduhkan kepada warga negara jelas

menutup ruang diskursus ke arah pencapaian keadilan. Kekerasan negara

terhadap warga akan menjadi sangat masif ketika perkara apapun yang

dituduhkan adalah rekayasa hanya untuk melenyapkan orang atau kelompok

tertentu yang dianggap membahayakan penguasa. Watak kekuasaan seperti

ini mirip dengan apa yang dipraktikkan rezim Nazi, persis ketika Nuremburg

Respons 14 (2009) 02

-170-

Page 25: Kejahatan yang Banal dan Kekerasan oleh Negara Refleksi ... · Refleksi Hannah Arendt atas Pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem Yeremias Jena ... dua laman sebagai contoh. Pertama,

YEREMIAS JENA-KEJAHATAN YANG BANAL DAN KEKERASAN OLEH NEGARA

Law (1935) yang menjadi legitimasi kekuasaan Reich Ketiga digunakan

sebagai alat untuk melenyapkan warga negara dari sebuah negara.

Di lain pihak, “perlawanan” warga negara terhadap berbagai proses

peradilan yang tidak fair dan menciderai rasa keadilan masyarakat

menunjukkan akutnya krisis kekuasaan. Dalam konteks kekuasaan menurut

Hannah Arendt, berbagai bentuk perlawanan dan gerakan massa menentang

praktik hukum dan peradilan yang tidak adil menjadi indikator bagi

berakhirnya sebuah kekuasaan. Peringatan Hannah Arendt sangat jelas,

bahwa ketika kekuasaan berwatak total yang berusaha menyingkirkan

praktik peradilan sebagai “the citizenry had given its consent” akan mengakhiri

suatu rezim kekuasaan. Sementara itu, jalan ke arah kehancuran kekuasaan

akan terbuka lebar ketika penguasa berusaha mempengaruhi opini di ruang

publik.

Bahaya mengancam ketika penguasa yang mulai kehilangan

kekuasaan berusaha memenangkan kembali kekuasaannya dengan jalan

kekerasan. Kita belajar dari Hannah Arendt, bahwa jalan ke arah itu ada, dan

ini akan menjadi godaan serius yang dihadapi setiap penguasa yang mulai

kehilangan kekuasaan.54 Di sinilah kekuasaan yang demokratis di mana

kebebasan menyatakan pendapat dan berbagai diskursus politik yang bebas

di ruang publik, yang menerima dan mengakui kehadiran orang lain justru

sedang dipertaruhkan. Watak kekuasaan yang totaliter selalu saja ada dan

membayangi setiap praktik kekuasaan, bahkan dalam sebuah rezim

kekuasaan yang demokratis. Sejauh proses-proses politik dijalankan secara

demokratis di ruang publik di mana setiap warga negara dapat

menyingkapkan diri dan kepentingannya, mengakui kehadiran orang lain,

dan bersama-sama menyepakati tindakan politik tertentu di masa depan

Respons 14 (2009) 02

-171-

Page 26: Kejahatan yang Banal dan Kekerasan oleh Negara Refleksi ... · Refleksi Hannah Arendt atas Pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem Yeremias Jena ... dua laman sebagai contoh. Pertama,

RESPONS - DESEMBER 2009

yang membawa kebaikan bersama, sejauh itu pula kita mempertahankan

kekuasaan “to act in concert”.

CATATAN AKHIR

1 Lih. www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=2736 (Last accessed

12/2/2009, 10:15 AM). 2 Tentang hal ini Boni Hargens menulis, “Entah kenapa Arendt begitu keras

menolak penafsiran seperti itu [‘there is an Eichmann in each one of us’]. Padahal, kalau dipikir logis, Eichmann memang bisa hidup dalam diri siapa saja, di mana saja. Dan dalam sebuah negara demokrasi yang rapuh, dengan demokrasi yang ditelikung untuk mengekalkan arogansi kekuasaan, elit politik cendrung tampil sebagai ‘Eichman yang lain’. … Tak sedikit elit politik yang lebih tepat disebut para banal.” (Lihat Koran Tempo, 13/2/2008, hlm. A11. Lihat juga Versi online, www.webdev.ui.ac.id/download/ kliping/.../popularitas_dan_banalitas_politik.pdf (Last accessed 12/2/2009, 10:50 AM).

3 Dikutip dari Young-Breuhl, Hannah Arendt - For Love of the World (New Haven and London: Yale University Press, 1982), hal. 329. Pengadilan Nuremberg adalah rangkaian pengadilan militer yang mengadili para militer yang terlibat dalam gerakan dan kekuasaan Nazi Jerman setelah Perang Dunia II. Pengadilan ini sendiri dilaksanakan di kota Nuremberg (Jerman) selama tahun 1945-1946, tepatnya di Palace of Justice. Pengadilan tahap pertama yang paling terkenal adalah pengadilan atas para kriminal utama perang di hadapan Pengadilan Militer Internasional (International Military Tribunal/IMT) yang mengadili 22 pejabat penting Nazi. Pengadilan ini dilaksanakan dari tanggal 21 November 1945-1 Oktober 1946. Pengadilan tahap kedua dilaksanakan di Pengadilan Militer Amerika Serikat yang meliputi pengadilan terhadap para dokter dan para hakim. Pengadilan di Nuremburg dinilai sebagian kalangan sebagai parsial karena para terdakwa tidak diizinkan untuk tampil. Pengadilan ini juga bersifat parsial karena pemilihan hakim tidak objektif. Profesor A. L. Goodhart dari Oxford melawan pengadilan semacam ini karena para hakim dipilih oleh pemenang sehingga pengadilan ini tidak bisa disebut imparsial dalam arti yang sebenarnya. Lih. http://en.wikipedia. org/wiki/Nuremberg_Trials (last accessed 12/2/2009 01: 20 PM).

4 Lihat Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem. A Report on the Banality of Evil ( New York: Penguin Books; 1977), hal. 31.

5 Ibid. 6 Ibid., hal. 21. 7 Ibid. 8 Dikutip dari Young Breuhl., op.cit., hal. 330. 9 Lihat Hannah Arendt, op.cit., hal. 32-33. 10 Ibid., hal. 32. 11 Dikutip dari Young Breuhl, op.cit., hal. 330.

Respons 14 (2009) 02

-172-

Page 27: Kejahatan yang Banal dan Kekerasan oleh Negara Refleksi ... · Refleksi Hannah Arendt atas Pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem Yeremias Jena ... dua laman sebagai contoh. Pertama,

YEREMIAS JENA-KEJAHATAN YANG BANAL DAN KEKERASAN OLEH NEGARA

12 Lihat Hannah Arendt, op.cit., hal. 287-288. 13 Lihat Hannah Arendt, “Thinking Moral Considerations: A Lecture”, Social

Research, no. 38/3 (Fall 1970), hal. 417. 14 Lihat Hannah Arendt, The Life of Mind – Thinking – Willing (New York-London:

Ed. Harvest/HJB Book, 1978), hal. 4. 15 Hannah Arendt, Asal-Usul Totalitarism. Jilid III (Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia, 1995), hal. 256-257. 16 Dikutip dari Bethanya Assy, Eichmann, the Banality of Evil, and Thinking in Arendt’s

Thought, dalam: http://www.bu.edu/wcp/Papers/Cont/ContAssy.htm. Last accessed 12/1/2009 8:47 AM.

17 Lihat Hannah Arendt (1977), op.cit., hal. 252. 18 Ibid., 19 Lihat Hannah Arendt, “Thinking Moral Considerations: A Lecture”, Social

Research, no. 38/3 (Fall 1970), hal. 417. 20 Ibid., hal. 418. 21 Dikutip dari Bethanya Assy, Eichmann, the Banality of Evil, and Thinking in Arendt’s

Thought, dalam: http://www.bu.edu/wcp/Papers/Cont/ContAssy.htm. Last accessed 12/1/2009 8:47 AM. , hal. 3-4

22 Pembedaan antara sesuatu yang lumrah (commonplace) dan banal pertama kali dilakukan Hannah Arendt di Kanada tahun 1972 ketika dia harus menyangkal kesimpulan sementara orang yang mengatakan bahwa konsepnya mengenai banalitas kejahatan menjelaskan adanya sosok Eichmann di dalam diri setiap orang (there is an Eichmann in each one of us). Bagi Hannah Arendt, pemahaman semacam ini keliru. Tidak ada Eichmann dalam diri Anda, demikian juga saya. Bahwa kejahatan yang banal terjadi dalam cara tertentu yang khas sebegitu rupa dalam diri seseorang bahkan ketika sesuatu itu tidak bersifat dangkal (trivial) (Ibid, hal. 4).

23 Ibid. 24 Ibid. 25 Lihat Hannah Arendt ( 1977), op.cit., hal. 21. 26 Ibid., hal. 24. 27 Ibid., hal.22 28 Ibid., hal. 30. 29 Ibid., hal. 33. 30 Ibid., hal. 136. 31 Ibid., hal. 140.

Respons 14 (2009) 02

-173-

Page 28: Kejahatan yang Banal dan Kekerasan oleh Negara Refleksi ... · Refleksi Hannah Arendt atas Pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem Yeremias Jena ... dua laman sebagai contoh. Pertama,

RESPONS - DESEMBER 2009

32 Lihat Maurizio Passerin d’Enteves, Filsafat Politik Hannah Arendt. (Yogyakarta:

Qalam, 2003), hal. 113-118. 33 Ibid., hal. 118-121. 34 Lihat Hannah Arendt, Asal-Usul Totalitarisme, diterjemahkan oleh J.M.

Soebijanto. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), hal. 217-218. 35 Ibid. Di sini kita mengerti ketika Eichmann ditugaskan sebagai petinggi S.S. yang

bertugas mengevaluasi dan mendeportasi orang-orang Yahudi di Budapest tahun 1942, dia menyediakan 147 Kereta Api yang berhasil mengangkut tidak kurang dari 434.351 orang Yahudi selama kurun waktu dua bulan ke Auschwitz. (Lihat juga Hannah Arendt (1997), op.cit., hal. 139-140).

36 Lihat Hannah Arendt (1995), op.cit., hal. 218. 37 Ibid., hal. 219. 38 Ibid., hal. 226-227. 39 Hannah Arendt menceritakan bagaimana para korban yang selamat dari terror

kamp-kamp konsentrasi ketika diminta menceritakan apa yang mereka alami, mereka tidak bisa membedakan realitas nyata dari realitas khayalan. Mereka ragu-ragu apa yang mereka alami sungguh-sungguh penderitaan atau bukan. Mereka bahkan tidak menyadari indentitas dirinya dan orang-orang lain di kamp-kamp konsentrasi. ( Ibid, hal. 228).

40 Lihat Bernard, Susser, Political Ideology in the Modern World (Massachusetts: Allyn and Bacon, Masschusetts), hal. 195.

41 Lihat Hannah Arendt, op.cit., hal. 163-165. 42 Dikutip dari Bethanya Assy, Eichmann, the Banality of Evil, and Thinking in Arendt’s

Thought, dalam http://www.bu.edu/wcp/Papers/Cont/ContAssy.htm. Last accessed 12/1/2009 8:47 AM.

43 Ibid. 44 Ibid. 45 Lihat Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika Abad ke-20 Sejak Zaman Yunani

sampai Abad ke- 19 (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hal. 139. 46 Ibid., hal 142. 47 Ibid., hal. 144. 48 Lihat Hannah Arendt ( 1977), op.cit., hal. 135-136. 49 Ibid., hal. 136. 50 Ibid., hal. 137. 51 Ibid., hal. 52. 52 Lihat Hannah Arendt, On Violence ( USA: A Harvest Book, 1979), hal. 52.

Respons 14 (2009) 02

-174-

Page 29: Kejahatan yang Banal dan Kekerasan oleh Negara Refleksi ... · Refleksi Hannah Arendt atas Pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem Yeremias Jena ... dua laman sebagai contoh. Pertama,

YEREMIAS JENA-KEJAHATAN YANG BANAL DAN KEKERASAN OLEH NEGARA

53 Ibid., hal. 44. Juga lihat Benyamin Molan, “ Hannah Arendt: Kekerasan Bukan

Tindakan Politik”, Respons, Vol. 14- Nomor 01-Juli 2009. 54 Bagi Hannah Arendt, “… loss of power becomes a temptation to substitute violence for

power.” Kalau ini terjadi, menurut Hannah Arendt, kekuasaan akan semakin impotent dan kehilangan seluruh legitimasinya ( Lihat Hannah Arendt, 1970, op.cit., hal. 54).

DAFTAR PUSTAKA

Adams, Ian. (2001). Political Ideology Today. New York: Manchester University Press. Arendt, Hannah. (1970). On Violence. USA: A Harvest Book. -----------. (1977). Eichmann in Jerusalem. A Report on the Banality of Evil. New York: Penguin

Books. -------------. (Fall 1970). “Thinking Moral Considerations: A Lecture”, Social Research, no.

38/3 -------------. (1978). The Life of Mind – Thinking – Willing. New York-London: Ed.

Harvest/HJB Book. Soebijanto, J.M. (Penterjemah), (1995). Asal-Usul Totalitarisme. Jilid III. Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia. Assy, Bethanya, Eichmann, the Banality of Evil, and Thinking in Arendt’s Thought, dalam

http://www.bu.edu/wcp/Papers/Cont/ContAssy.htm. Last accessed 12/1/2009 8:47 AM.

Breen, Keith, “Violence and Power: A Critique of Hannah Arendt on the ‘Political’” dalam Philosophy and Social Criticism 33 (3), 2007.

Duffy Hutcheon, Pat, Hannah Arendt on the Concept of Power. A Paper Presented to a Conference of the Research Committee on the History of Sociology at Amsterdam in May 1996.

Evans, J.D.G. (2005) “Reason and Violence: Argument from Force” , “Philosophy 80”. Koyzis, David T. (2003). Political Vision & Illusions. USA: InterVarsity Press. Magnis-Suseno, Franz. (1991). Etika Politik. Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. -----------. (1997). 13 Tokoh Etika Abad ke-20. Sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19.

Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Molan, Benyamin. (Juli 2009) “Hannah Arendt: Kekerasan Bukan Tindakan Politik, Namun

Bukan Tanpa Resiko”, Respons, Vol. 14 – Nomor 01. Passerin d’Enteves, Maurizio. (2003). Filsafat Politik Hannah Arendt. Yogyakarta: Qalam. ------------. (2006). Hannah Arendt. Dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy. Susser, Bernard. (1995). Political Ideology in the Modern World. Massachusetts: Allyn and

Bacon. Yar, Majid. (2006). Hannah Arendt. Dalam: “Internet Encyclopedia of Philosophy”.

Respons 14 (2009) 02

-175-

Page 30: Kejahatan yang Banal dan Kekerasan oleh Negara Refleksi ... · Refleksi Hannah Arendt atas Pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem Yeremias Jena ... dua laman sebagai contoh. Pertama,

RESPONS - DESEMBER 2009

Young-Breuhl. (1982). Hannah Arendt – For Love of the World. New Haven and London:

Yale University Press. www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=2736 (Last accessed 12/2/2009, 10:15

AM). www.webdev.ui.ac.id/download/kliping/.../popularitas_dan_banalitas_politik.pdf (Last

accessed 12/2/2009, 10:50 AM). http://en.wikipedia. org/wiki/Nuremberg_Trials (Last accessed 12/2/2009 01: 20 PM). http://www.bu.edu/wcp/Papers/Cont/ContAssy.htm. (Last accessed 12/1/2009 8:47

AM).

Respons 14 (2009) 02

-176-