42

Katalog Ku-Partai Batu

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Ku mandatkan untuk air, tanah, udara dan kepulauanku pada Batu Ku batu mukamu anjing, kamu kebo’, kamu ular, kamu tikus, kamu buaya, kamu topeng, kamu leak Ku batu mu hiu, ubur-ubur, lintah daratmu, kamu gurita Kepulauanku, lapar batu, kupartai batu mu sampah.

Citation preview

Page 1: Katalog Ku-Partai Batu
Page 2: Katalog Ku-Partai Batu

SketchDhany R

Sharing SpaceSomba Opu InstitutLaboratorium UKM Seni UMIKampung Buku

Penanggung JawabPengurus UPKSBS UMI 2012-2013

Websitelaboratoriumukmseniumi.wordpress.comEmaillaboratoriumukmseniumi@gmail.comKatalog Onlineww.issuu.com/upksbsumi

LaboaratoriumUKMSeniUMI@2012Jln. Urip Sumohardjo KM 5 Kampus II UMI

Performance Art - Teater Tangan

“ku-Partai Batu”Tata Letak & SampulAde Awaluddin Firman

Art MayorAsmiratul Aslah Tomo

PerformerAsmiratul Aslah TomoTaufik DhaniSambredetAffanNiar

DokumentasiSuhud MadjidIbrahim MassidenrengIndra

KameraIgonPuteIppi YoaiUbekSubhanOdeAfdalJimpe

Page 3: Katalog Ku-Partai Batu

Daftar Isi

Ku-Partai Batu

Deskripsi Logo

Biografi Kerja

Alur Gerak ku-Partai Batu

Lokasi Performance Art

Batu Sebuah Perspektif

Ku-Partai Batu dan Makassar

Diskusi dan Sharing

Berburu Ruang Outdoor; Ruang Outdoor Ruang Bertarung

Kisah Properti

Skeptisisme Seni Modern (Penjara Teater Modern)

Museum Teater (Kandang Katanya Seniman)

Ketika Aktor dan Penonton Menjadi Warga

1347101112141822242831

Page 4: Katalog Ku-Partai Batu

“ Ku Mandatkan Tanah, Air, Api, Udara dan Kepulauanku pada Batu...”

Page 5: Katalog Ku-Partai Batu
Page 6: Katalog Ku-Partai Batu
Page 7: Katalog Ku-Partai Batu

ku-Partai Batu

“ Ku Mandatkan Tanah, Air, Api, Udara dan Kepulauanku pada Batu...”

Dalam teks dan konteks performance art “Ku-partai Batu”, kami melihat Batu sebagai sesuatu yang metafisik, sebagai sebuah imajinasi kekuasaan yang menguasai kepemimpinan nasional kita. Kepemimpinan yang penuh dengan pencit -raan semu yang terbangun dalam sistem kerajaan/dinasti batu yang sarat konspirasi kepentingan tertentu. Batu juga mewakil kata yang merepresentasikan kedazaliman, apatis, keras, kaku, korup, individualisme, yang telah mengalami kebuntuan dan tak mampu lagi keluar dari masalah.

Sedangkan Partai kami pandang sebagai sebuah kata yang menandai kelompok-kelompok yag sejatinya sebagai wa-dah yang menampung aspirasi dan cita-cita masyarakat untuk disuarakan pada pemimpin, yang kini tak lagi bergerak sesuai fungsinya. Partai telah menjadi kendaraan para penguasa untuk megangkat singgasananya ke tempat tertinggi.

Proses revolusi yang berlangsung di indonesia kemudian melahirkan anak yang bernama Demokrasi, dimana kedau-latan ada ditangan rakyat, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Semua berhak mengaspirasi kepentingan. Se-hingga, Partai-partai tumbuh layaknya jamur di musim penghujan, hadir sebagai payung yang mengakomodasi kepentingan-kepentingan rakyat. Akhirnya atas nama kedaulatan rakyat, partai-partai pun seketika menjadi sebuah kendaraan kekuasaan untuk menguasai. Masing-masing partai mendaulat wilayah kekuasaanya masing-masing dan bertarung untuk menjadi penguasa rimba demokrasi Indonesia.

| 1

Page 8: Katalog Ku-Partai Batu

Kedaulatan rakyat pun hanya tinggal slogan, partai-par-tai bak binatang dalam rimba raya saling bertarung, saling berebut piring demi kepentingan individu dan kelompoknya saja. Lihat saja eksploitasi tambang, alih fungsi lahan pertanian dan peresapan air, gedung-ge-dung pencakar langit semakin subur menjamur, gunung-gunung dirobohkan untuk penimbunan laut, limbah pabrik-pabrik dialirkan kesungai & laut, adalah bagian rencana konspirasi busuk para penguasa yang tak memikirkan dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulknnya. Ikan-ikan telah mati, padi-padi terus mengering, tanah-tanah tak bisa lagi ditanami, rakyat

semakin lapar sementara mereka (penguasa) tengah asyik bertarung diatas meja makan. Konspirasi kapi-talis juga masuk sebagai ilusi di media - media informasi dan komunikasi, yang seakan membangun instalasi teks antara penguasa dan masyarakatnya. Media melahirkan pencitraan - pencitraan dan rekayasa semu yang membangun pemahaman massa yang konsumeristik, pragmatis, individualis. Masyarakat kita men-jadi ikut terbuai fantasisme partai yang memberi jarak ekstrim antara fakta dan realita yang berlangsung, hingga akhirnya menyerah pada berbagai kondisi sosial akibat konflik para penguasa kelas atas, masyarakat batu, yang membatu pada kerasnya masalah, seakan tak ada jalan keluar, pasrah menjadi batu.

Ku Partai batu mencoba mendeskripsikan konflik/pertarungan kekuasaan kelompok yang beragam untuk saling menguasai. Dalam konteks saat ini, kita menemukan partai sebagai wadah yang sejatinya adalah penampung aspirasi masyarakat untuk disuarakan pada pemimpin tak lagi bergerak sesuai fungsinya. Par-tai telah menjadi pasar politik yang sangat ramai dengan multipolaritas kepentingan.

Pemimpin batu diangkat oleh koalisi beragam partai yang berkarakter batu untuk memuluskan misinya, para penguasa partai semakin serakah dan tak pernah puas hingga akhirnya saling berperang untuk mem-perebutkan kekuasaan - kekuasaan baru, tanah air udara pulau semuanya ingin ditelannya. Terus - menerus kelompok partai tersebut saling berebut kuasa, tanpa melihat kesengsaraan rakyat yang terjadi akibat kon- flik yang mereka timbulkan, rakyat semakin miskin, kelaparan, hasil laut dan tani tak ada lagi semuanya telah mengeras menjadi Batu. Maka kekuasaan batu dengan segala strukturnya, harus dihancurkan dan mengembalikan pada esensinya. Kedaulatan.

| 2

Page 9: Katalog Ku-Partai Batu

Appa SulappaMerupakan simbol dari mitologi orang Bugis-Makassar yang mengandaikan alam semesta ini adalah sulappa eppa (segi empat belah ketupat), juga melambangkan empat unsur alam yang menjadi sifat manusia (tanah, air, api dan udara)

Simbol Segitiga Juga berasal dari mitologi orang Bugis-Makassar dalam nas-kah I - Lagaligo. Dalam gambaran mitologi tersebut, orang bugis menggambarkan dunia terdiri atas dunia atas (botting langiq) yaitu dunia para dewa, dunia tengah (ale kawaq) yang dihuni manusia dan dunia bawah (peretiwi) dunia dasar bumi/bawah laut/bawah tanah

Dalam gambar ini, dunia atas di isi oleh batu yang menyim-bolkan pemimpin konteks saat ini yang berwatak batu. Dunia tengah dihuni oleh manusia yang senang berebut kekuasaan, dan dunia bawah yang kami simbolkan dunia dasar lautan yang berisi arwah-arwah.

BatuDalam simbol ini, kami menganalogikan batu sebagai sifat, watak, atau karakter. Sifat batu yang melebur pada karak-ter penguasa keras, kaku, dzalim, apatis, individualis, dan se-jenisnya.

Timbangan Batukeadilan batu yang diterapkan oleh pemimpin berwatak batu.

Deskripsi Logo

| 2 | 3

Page 10: Katalog Ku-Partai Batu

Ide awal penggarapan karya ini bermula saat diskusi dan sharing kami pada sabtu malam, 31 Maret 2012, di Somba Opu Art Gal-lery bersama Firman Djamil. Saat itu kami berencana mengikuti Pekan Performing Art di Bali yang digelar di Bali. Saat itu yang hadir dalam diskusi diantaranya Dhany, Sambredet, Affan, Ammy, Kak Suhud, dan Kak Bram. Kami berdiskusi dan sharing tentang bagaimana metode atau pola da-lam merancang sebuah pertunjukan. Mulai dari menemukan gagasan atau ide, me-nerjemahkan gagasan dalam karya, dan merancang kerangka konsep karya.

Kami memulai dengan memaparkan ge-jala sosial apa yang menarik untuk men-jadi tema pertunjukan. Dalam sharing ini, semua harus terlibat aktif mengajukan ide dan gagasan. Saat itu diskusi kami mengerucut pada masalah negara dan poli-tik yang belakangan sangat ramai di media-media. Hingga akhirnya kak Bram mengu-sulkan “partai” sebagai masalah nasional yang dialami bangsa kita. Partai sebagai

kendaraan kekuasaan menjadi alat politik dalam perebutan kekuasaan di kelas atas. Partai yang berkarakter batu yang merepresentasikan sikap apatis, individualis, pragmatis, kaku, dan lain-lain. Diskusipun semakin berkembang. Tema telah ditemukan. Sekarang mulai menyusun konsep per-tunjukannya.

Biografi Kerja

| 4

Page 11: Katalog Ku-Partai Batu

Aku memandang batu sebagai sebuah kata yang mewakili makna jiwa-jiwa penguasa dzalim dalam sistem demokrasi pembagian kekuasaan legislasi yang kita hadapi bermasalah pada moralitas, etika, yang memiiki kecenderungan korup dan dzalim. Sistem demokrasi tersebut dilakoni secara over confidence, dan konspiratif ini merugikan semua kepent-ingan terutama kepada kelas sosial masyarakat bawah. Para penguasa mengeksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan pribadi dan kelom-pok yang memiliki konsekuaensi pengrusakan nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki. Penguasa mengelola kekuasaan dengan pencitraan-penci-traan yang hanyalah sebagai topeng untuk menipu. Pencitraan - pencitraan kekuasaan ini mengalami kebuntuan, pengerasan seperti batu yang tidak mungkin bekerja secara bertanggungjawab, karena kekuasaan seperti ini tidak memiliki kreativitas untuk keluar dari masalah. Kami ingin mempre-sentasikan ku-partai batu kedalam sebuah bentuk performance art untuk membangun kritik dan penyadaran-penyadaran khususnya kepada pemain semoga ini bisa membangun perspektif penyadaran pula kepada audiens.

Dalam diskusi tersebut lahir Main Concept sebagai berikut :

Judul : Ku-Partai BatuDeskripsi konsep : Ku mandatkan untuk air, tanah, udara dan kepulauanku pada Batu

Ku batu mukamu anjing, kamu kebo’, kamu ular, kamu tikus, kamu buaya,kamu topeng, kamu leakKu batu mu hiu, ubur-ubur, lintah daratmu, kamu guritaKepulauanku, lapar batu, kupartai batu mu sampah.

Statement :

| 4

| 5

Page 12: Katalog Ku-Partai Batu

Konsep awal telah jadi, kami pun mengolah konsep terse-but di Laboratorium UKM Seni UMI. Kami mulai memben-tuk tim kerja, menentukan pemain dan menyusun jadwal latihan. Dalam metode penggarapan karya ini, kami tidak menerapkan metode seperti biasa dilakukan ketika meng-garap sebuah karya. Tidak penulis naskah, sutradara, dll. Kami mencoba menerapkan kedaulatan dalam proses ber-karya kami. Semua pemain dan orang-orang yang terlibat dalam sharing adalah fasilitator ide. Semua ide-ide baik dari hasil sharing dan diskusi, kami dokumentasikan dan kami kumpulkan kemudian kami ramu menjadi sebuah gerak artistik.

Para pemain diantaranya Dhany, Sambredet, Affan, Ammy dan Niar. Berangkat dari berbagai latar belakang, Dhany yang mempunyai background seni rupa, affan dari musik, Sambredet dari teater, serta Ammy dan Niar adalah pe-nari. Kami bekerja partisipatif, mengolah ide ke bentuk ar-tistik dengan beragam perspektif kami. Kami mulai proses sejak awal April 2012, sepanjang April hingga Mei, kami banyak menghabiskan waktu dengan mengumpulkan referensi, berdiskusi, merancang instalasi artistik pertun-jukan, dan lain sebagainya. Hingga pada awal Juni, 70 % persiapan telah rampung, kami pun mulai mengeksplorasi gerak, beradaptasi dengan beberapa artistik yang telah kami tentukan seperti batu, pattapi, dupa, instalasi bambu segitiga, dan lain-ainnya.

| 6

Page 13: Katalog Ku-Partai Batu

Seorang membawa api ditangannya. Dibelakangnya, empat penguasa partai membopong rumahnya masing-masing, berjalan beriringan, mereka sedang berjuang untuk satu visi dan tujuan. Seperti be-bek mereka begitu cerewet seperti sedang berpidato pada rakyatnya.

Para penonton yang sementara berdatangan mencari posisi masing-masing dimana mereka bisa nya-man untuk menyaksikan pertunjukan.

Instalasi bambu berbentuk segitiga berdiri menjulang, dengan timbangan diatasnya adalah dunia, dunia yang membagi kekuasaan atas dunia atas dunia tengah dan dunia bawah. batu-batu bergantun-gan disana. Keadilan seolah berada diatasnya. Yang berdiri di puncak akan mengendalikan keadilan dan kedaulatan. Empat penguasa mengitarinya. Seorang yang membawa dupa naik membawa batu menuju puncak segitiga (dunia atas) dan empat penguasa partai yang mengelilingi empat sudut,men-gangkat batu ke atas kepalanya, seolah bersumpah, mereka memandatkan kekuasaan yang mereka miliki pada pemimpin batu. Kini kedaulatan telah ada pada Batu.

Alur Gerak Ku-Partai Batu

| 6

| 7

Page 14: Katalog Ku-Partai Batu

Para penguasa partai itu kemudian membawa batu ke daerah kekuasaannya masing-masing, ada yang menguasai wajan, lesung, pattapi, dan cobek-cobek. Mereka begitu rakus dan beringas mengeksploitasi wilayah kekuasaanya, hingga akhirnya habis dan ingin mengeksploitasi wilayah lainnya. Piring telah kosong, dimanakah piring yang masih ada makanan…???

Penguasa-penguasa partai itu melihat negara ini layaknya meja makan, perebutan piring terjadi sementara dibawah meja makan kucing-kucing kurus, lapar, menunggu sisa-sisa itupun kalau ada sedikit yang bisa mereka nikmati. Lapaaar…lapaar…hauss..hauuss….tangkaap…rampaass…begitu para penguasa partai itu bersahutan saling berebut.

Pemimpin batu turun kedunia tengah, dunia para penguasa-penguasa berebut. Namun Perebu-tan tak pernah usai. Dari mereka tak ada yang kalah melainkan rakyat yang semakin sengsara. Partai yang sejatinya memberi kesejahteraan dan menampung aspirasi masyarakat kini telah menjadi mesin perang untuk berebut kekuasaan.

| 8

Page 15: Katalog Ku-Partai Batu

Kesengsaraan berkepanjangan. Rakyat pun menggugat. Kedaulatan harus dikembalikan pada esensinya. Maka, kekuasaan batu harus diturunkan dan kemudian dihancurkan. Para pengua-sa akhirnya mengambil batu dari wilayahnya masing-masing, kemudian di hancurkan dengan palu godam hingga berkeping. Kemudian melepas kain yang melilit tubuhnya dan melilitkannya pada rumah segitiga kemudian ditumpuk dan dibakar. Dibakar untuk menghilangkannya. biar-kan menyatu bersama api, asap abu dan udara.

Seorang performer turun dari dunia tengah ke dunia bawah, menyapu sisa-sisa pecahan batu dan dikumpulkan dalam wadah yang diletakkan di dunia bawah. Empat performer kemudi-an membawa pecahan batu untuk diantarkan ke laut. Biar hilang dalam debur ombak lautan menyatu bersama samudera.

| 9

Page 16: Katalog Ku-Partai Batu

Jln. Metro Tanjung Bunga depan Siloam Hospital, lokasi pembangunan Mega Proyek Wisama Negara Republik Indonesia, Makassar, Sulawesi Selatan

LokasiPerformance Artku-Partai Batu

| 10

Page 17: Katalog Ku-Partai Batu

Dalam hal ini, kita melihat batu sebagai sesuatu yang metafisik, sebagai sebuah imajinasi kekua-saan yang menguasai kepemimpinan nasional kita. Kepemimpinan yang penuh dengan pencitraan semu yang terbangun dalam sistem kerajaan/dinas-ti batu yang sarat konspirasi kepentingan tertentu.Konsep Ku-Partai Batu berupaya membaca kekua-saan pada batu melalui eksplorasi artistik dan este-tika yang kontekstual dewasa ini. Kekuasaan batu melahirkan pecahan konspirasi yang dipimpin oleh pemimpin-pemimpin batu yang kemudian memben-tuk instalasi teks dengan masyarakat yang dipimpin-nya melalui ilusi media dan informasi.

Budaya informasi melalui imaji media yang terbangun dalam sistem nasional kita, adalah logi-ka yang mengabsahkan rekayasa citra dalam sistem kapital untuk membangun selera massa yang

BatusebuahPerspektif

seragam dan konsumeristik. Hingga tanpa sadar, kita pun menjelma masyarakat batu yang apatis, non kreatif, asosial, dan pragmatis. Kita menja-di sangat terbuai fantasisme yang memberi jarak ekstrem terhadap fakta dan realita yang ber-langsung, dan Menyerah pada berbagai kondisi so-sial seperti korupsi, harga bahan pokok yang naik, krisis bahan bakar, penggusuran, PHK, dll.

Kekuasaan batu sebagai sistem kapitalis telah menguasai politik dan ekonomi nasional kita, hanyalah menguntungkan golongan yang berkoalisi dengannya. Sehingga dengan otomatis, masyarakat kelas bawah menjadi tumbal atas praktek ini. tak ada jalan lain selain merobohkan “batu-batu” itu dan kedaulatan harus dikembalikan pada rakyat.

KU-PARTAI BATU…!!!

Batu sebagai sebuah representasi kekuasaan yang apatis.

| 10 | 11

Page 18: Katalog Ku-Partai Batu

ku-Partai Batu dan MakassarGedung-gedung tinggi menjulang, aktivitas kerja proyek pembangunan, tetumpukan batu, gundukan tanah, sampah berserakan dibibir pesisir, lalu lintas kendaraan , bising, dan debu tanah kering, seakan larut bersama peluh anak-anak kecil yang seharian menjaga parkir di area itu, sore itu.

Area itu memang merupakan bagian dari proyek pembangunan pesisir tanjung bunga, terkesan kumuh, dengan tumpukan sampah, timbunan tanah dan batu sisa-sisa pekerjaan penimbunan yang sampai saat ini masih terbengkalai pembangunannya. Namun tempat itu rupanya cukup ramai oleh masyarakat kota yang sekedar menghabiskan waktu luangnya demi melepas penat menikmati pemandangan senja. Maka tak heran tempat ini menjadi sasaran warga sekitar untuk menagih jatah parkir.

Suasana itulah kemudian yang akan menjadi landskep ruang performance art “ku-Partai Batu”. Konteks pembangunan dan proyek penimbunan wilayah pesisir yang merupakan bagian dari rancangan mega proyek Makassar menuju kota dunia, menurut kami mewakili sistem kapitalisme kelompok, golongan atau-pun partai yang kongkalikong dan saling suap dengan pejabat daerah setempat demi melancarkan segala

Page 19: Katalog Ku-Partai Batu

ku-Partai Batu dan Makassarurusan perijinan, dan lain-lain. Pembangunan menjadi tak terkontrol, besi-besi dipancang ke perut bumi, gunung-gunung dirobohkan untuk menimbun laut, laut menghitam, ikan - ikan menelan racun limbah industri raksasa dan sampah - sampah meluap ke laut. Pembangunan menjadi sangat brutal sarat muatan politis dan tanpa kajian mendalam, hanya akan membawa kerusakan terhadap lingkungan fisik hingga per-soalan sosial masyarakat.

Tempat ini berjarak kurang lebih sekitar 200 meter dari gedung CCC dan berhadapan seberang jalan dengan Siloam Hospital. Dilokasi itulah kami menggelar performance pada hari Kamis tanggal 28 Juni 2012 pukul 16.30 WITA.

Mengenai urusan ijin tempat ini, kami bertemu lagi untuk kedua kalinya dengan tukang parkir di area itu, yang katanya dipercayakan oleh kontraktor untuk menjaga keamanan daerah itu. Kami pun sudah menyam-paikan maksud kami dan setelah melalui negosiasi, akhirnya kami diberi ijin untuk melakukan acara kami ditempat itu. Yah, walaupun nantinya tentu kami harus mengerti bahwa tak ada yang selesai hanya dengan ucapan terima kasih.

| 13

Page 20: Katalog Ku-Partai Batu

Anak UMI bilang ini “Halaka”, istilah yang sangat tak asing bagi mahasiswa Universitas Muslim Indonesia Makassar. Malam ini lagi-lagi hujan deras, dan tak memungkinkan untuk latihan di luar. Kami pun menga-lihkan dengan berdiskusi seputar konsep yang akan kami pentaskan di Pekan Performing Art V (PPA) Bali.

Tak terasa proses penggarapan PPA V sudah berjalan kurang lebih sebulan dan jika berdasarkan jadwal pelaksanaan PPA V, maka itu berarti tinggal sebulan lebih pula waktu kami untuk berproses. Saat itu, be-lum ada tambahan personil. Kami masih bertahan dengan formasi awal Pandawa Lima di antaranya Ammy sebagai art major, Dhany, Affan, Aden, dan Sambredet. Latihan kami di intensifkan tiap hari (kecuali hari Minggu). Beberapa kendala yang dihadapi selama proses adalah masalah cuaca dimana saat sore, hujan deras sering mengguyur hingga lepas maghrib. Dan juga kesibukan - kesibukan lain para performer.

Properti-properti utama telah kami adakan diantaranya; Batu berbagai ukuran, sapu, pattappi, tempat dupa, tungku, cobek-cobek, dan wajan besar. Sedangkan instalasinya, masih dalam tahap pengerjaan na-mun sebagian besar telah kami rampungkan.

Jauh hari sebelumnya, konsep rancangan instalasi telah kami diskusikan bersama. Instalasi terbuat dari kerangka konstruksi bambu yang dibentuk segitiga dengan timbangan diatasnya. Konsep bentuk ini men-jelaskan struktur pemerintahan kita yang kapitalis. Struktur yang hanya memberi kesejahteraan bagi kelas atas dan menengah sebagai penguasa modal sedangkan kelas bawah hanyalah pekerja yang akan terus tertindas. Dan tentunya atak akan ada keadaulatan bagi mereka yang tertindas.

Bangunan instalasi ini dibuat cukup besar dengan ukuran tinggi kurang lebih 4 meter dengan tangga di-belakangnya sebagai tempat naik performer. Di ujung segitiga nantinya akan diletakkan sebuah batu besar, melambangkan sifat atau watak pemimpin kita yang dianggap telah mengeras seperti batu, sehingga tak ada lagi rasa malu, pencitraan, apatis, individual, dan asosial.

Diskusi dan Sharing

| 14

Page 21: Katalog Ku-Partai Batu

Sedangkan dikedua sisi timbangan, akan diletakan dupa yang berasap tebal, melambangkan telah terbakarnya keadilan di negeri ini oleh angkara dan keserakahan.

Tanah, air, udara, dan api adalah elemen-elemen kos-mos yang menyatu dalam tubuh manusia. Sebuah po-tensi alamiah manusia dijewantahkan melalui perwu-judan sifat dan perilakunya dalam kehidupan. Dalam tradisi Bugis-Makassar dikenal sebagai sullappa eppa. Oleh pencitaraan kekuasaan batu melalui imajinasi media yang seragam, sifat-sifat tersebut mengalami pengerasan dan menjadi batu. Batu-batu itu kemudi-an menjadi penguasa-penguasa kecil (Partai) dalam tatanan struktural kapitalis yang sarat konspirasi. Kondi-si ini berlangsung terus menerus, menggerus kedaula-tan masyarakat kelas bawah. Kesengsaraan, kelaparan, kemiskinan, penindasan adalah hal mutlak yang tak terhindarkan sebagai konsekuensi praktek tersebut. Untuk merebut kembali kedaulatan, maka kekuasaan tersebut harus di HANCURKAN…!!!

Penghancuran kekuasaan dalam performing ini di-wakili dengan penghancuran batu menggunakan palu beton hingga berkeping-keping. Kemudian dilanjutkan dengan ritual pensucian dengan membawa pecah-an-pecahan batu ke laut. Ritual ini mengambil inspirasi dari tradisi jene’jene’ sappara yang sampai saat ini masih dilaksanakan di kabupaten Takalar provinsi Sulawesi Se-latan.

Page 22: Katalog Ku-Partai Batu

selalu ada ruang kosong untuk berkarya

Page 23: Katalog Ku-Partai Batu

selalu ada ruang kosong untuk berkarya

Page 24: Katalog Ku-Partai Batu

Berburu Ruang Outdoor;Ruang Outdoor Ruang BertarungYah, kembali lagi pada proses ku-partai batu.

Kembali saya menulis lagi tentang proses kami dalam peng-garapan performance art “Ku-Partai Batu”. Performance Art yang direncanakan akan dipentaskan di PPA V (Pekan Performing Art V) 27-30 Juni 2012 di Denpasar Bali tersebut, terpaksa panitia sejak akhir bulan Mei lalu telah mengkonfir-masikan kepada kami jadwal PPA V diundur hingga akhir Sep-tember 2012 nanti.

Pengunduran jadwal ini secara psikologis sedikit menganggu kami yang telah jauh hari mempersiapkan diri untuk event ini. Namun persoalan karya bukanlah persoalan tempat. Show must go on. Dan akhirnya setelah melalui sharing dan diskusi panjang dengan tim yang terlibat akhirnya kami memutuskan untuk tetap melanjutkan proses karya ini dan mementaskan-

nya di Makassar akhir bulan Juni 2012, sesuai rencana awalnya. Dan banyak pertimbangan logis juga yang menguatkan kami bahwa teks performance art ku-Partai Batu sesuai dengan konteks ruang di Makassar.

Pada tulisan saya yang lalu, telah saya tulis bahwa rencana space untuk performance akan digelar di pesisir pantai karena sesuai dengan konsep artistik dalam performance ku-partai batu. Untuk itu, beberapa tem-pat pesisir pantai telah kami survei, diantaranya di tanjung Bayang dan disekitar pantai Layar Putih yang menurut kami punya view ruang yang cocok. Beberapa kali juga kami telah latihan dan adaptasi ruang di tempat-tempat tersebut.

Dan hari ini tanggal 16 juni 2012, berarti tinggal seminggu lebih menjelang akhir bulan dimana waktunya kami akan menggelar performance art ini. Sesuai jadwal latihan kami, sudah saatnya untuk latihan ruang di pantai. Kami pun mengemas segala properti instalasi bambu, wajan, palu, sapu, batu2, dan alain-lain yang

Oleh: Dhany R

Page 25: Katalog Ku-Partai Batu

menggantung dan kami melaju menuju tanjung bayang. Selama perjalanan, tawaran ide dari kak Bram tersebut cukup menganggu otak kanan kami untuk berimajinasi kembali. Kami pun sepakat hari ini akan mensurvei tempat-tempat tersebut.

Kami tiba di Tanjung Bayang, barang kami telah turunkan dan siap untuk memulai latihan, namun kami harus mencari dahulu tempat dimana ba-

rang-barang ini akan kami titipkan ketika kami telah selesai lati-han. Ternyata cukup su-lit juga karena tempat yang kami rencanakan di pantai layar putih banyak pondok-pon-dok yang disewakan warga sekitar, yah bi-asanya dipakai buat pacaran apalagi tem-pat yang sepi, debu-

ran ombak yang mendayu-dayu mendukung ro-mantisnya suasana. hahayyyy.... Seorang warga menghampiri kami yang saat itu sedang memba-wa properti instalasi bambu kami dan menanya-kan maksud kami. Saya juga lupa namanya siapa, dia mengatakan bahwa tempat ini adalah mata pencaharian utama penduduk sekitar, dan ketika ada keramaian tentunya akan membuat pengun-jung yang sebagian besar dari pasangan remaja

sejak malam telah kami list karena hari ini kami akan membawa semua properti tersebut ke Tanjung Bayang untuk memulai latihan ruang disana. Kami menyewa mobil Daihatsu di jalan Pettarani, un-tuk mengakomodasi barang-barang tersebut yang cukup banyak, hingga sulit juga ketika menaikan ba-rang-barang tersebut ke atas mobil.

Melihat kembali ruangSebelum berangkat, kak Bram yang kami temui di sekret, sempat bertanya dan berpesan kepada kami; “coba temukan ruang yang lain. Jangan terjebak den-gan konteks pesisir pantain-ya saja, coba cari ruang yang lebih kontekstual dengan teks ku-partai batu, beber-apa tempat alternatif yang bisa menjadi opsi adalah pembangunan dan penimbunan laut sepanjang pantailosari atau disekitar rumah susun”. Bagi saya,menarik tawaran ini karena ada landscape kontra-diktif dan isu sentral yang bisa kita citrakan dalam performance tersebut. Landscape rumah susun, rumah-rumah kumuh disekitarnya, bangunan CCC, Trans Studio, dan bangunan lain disekitarnya adalah sedikit dampak dari kekuasaan “ku-Partai Batu’ yang coba kita kritisi.Lanjut bro... jam empat sore, matahari masih terik

| 19

Page 26: Katalog Ku-Partai Batu

akan terusik dan tentunya tak ada yang berani memesan tempat disitu, “Anakku tiga kodong, satu mau ma-suk SMP satunya juga mau masuk SMA, banya’na itu na pake uang, ini mami ini sumber pendapatanku kodong”. Waduuuh curhat iniee… kami pun memutuskan untuk tidak jadi memakai tempat ini dengan berbagai per-timbangan tersebut. Matahari jingga dan anak–anak kecil yang bekejaran di pesisir seakan mengantar senja ini untuk pulang. Kami akhirnya harus mencari tempat untuk menitipkan properti kami, dan setelah melalui lobi panjang akhirnya kami harus membayar uang jaga sebesar Rp. 50.000, untuk memuluskan maksud kami, yah kata teman saya Sambredet, masyarakat disini cuma kenal dua warna untuk segala urusan yaitu kalau bukan Merah yaaah Biru…hehehe...

Perjalanan pulang kami menyempatkan untuk singgah di rumah susun untuk melihat kondisi sekitar disana, cukup menarik juga ruang disana. Kondisi sosial masyarakat dan lingkungan disana benar-benar sangat kon-tradiktif dengan pembangunan disekitarnya. Ada bangunan kumuh, penimbunan laut, bagunan megah CCC, Trans studio, dan gedung-gedung disekitarnya. Tak lama, kami melanjutkan perjalanan menuju sekitar pem-bangunan relokasi pantai losari yang sementara dalam tahap pengerjaan tepatnya disekitar mesjid yang baru dibangun diatas penimbunan pantai. Tempat ini bagi kami cukup representatif dan cukup kontekstual

| 20

Page 27: Katalog Ku-Partai Batu

dengan teks performance art kami, ada pesisir pantai, banyak bebatuan, tanah timbunan, landscape bangu-nan megah pembangunan pesisir pantai losari, dan lain-lain.

Namun kami harus melobi lagi dengan pihak yang berkepentingan atau yang mengelola tempat tersebut. Akhirnya kami mendatangi tukang parkir disitu yang kebetulan katanya dialah yang menjaga dan mengelola tempat tersebut. Namanya Jenk, masih muda, tubuhnya tegap kekar. Kami juga membutuhkan komunika-si efektif, sederhana dan mudah untuk dimengerti oleh mereka agar menjelaskan apa yang hendak kami lakukan. Kami mengatakan padanya bahwa kami akan memakai tempat ini untuk setting pembuatan film teater. Hehehehe. Bahasa ini cukup mudah dimengeti olehnya, dia menyambut, “ Oh iya bisa ji itu, karena seringmi juga ini tempat dipake itu artis-artis kalo mau menyanyi-menyanyi…”. Dia pun mengatakan siap akan menjamin keamanan daerah sekitar ketika hari acara. Saya pun langsung meminta nomor handphone bang Jenk ini untuk dihubungi suatu saat.

Akhirnya malam menjelang, lampu-lampu menari di sepanjang jalan, memacu kuda besi kami kembali ke kampus UMI....

Page 28: Katalog Ku-Partai Batu

Berbincang mengenai kisah, ditiap detik yang berganti selalu saja ada kisahnya baik itu kisah sedih maupun kisah bahagia. Begi-tu pun dengan properti Ku-Partai Batu yang memiliki kisah dalam perjalanannya meng-ikuti kami. Dalam kisah property Ku-Partai Batu, yang lahir menjadi anak pertama ada-lah Si Cobek selanjutnya Si Kwali, Si Dupa, Si Lesung dan yang menjadi anak bungsu Si Pattapi. Yah, mari mendengarkan curhatan - curhatan terlahirnya properti Ku-partai Batu.

Ketika kita bercerita pastilah kita akan me-mulai dari anak pertama, yah si COBEK. Asal muasal Si Cobek berasal dari rumah Sambre-det yang terletak di daerah utara Makassar. Si cobek dipakai di rumah Sambredet untuk meramu tomat, lombok, kemiri dan lain-lain yang berhubungan dengan bumbu dapur, namun melihat kondisi proses ku-partai batu akhirnya sambredet mengambil kepu-tusan untuk mengikutkan Si Cobek pada garapan Ku-Partai Batu. Sambredet pikir sudah tak ada masalah pada kelahiran Si Cobek pada proses ku-partai batu, ternyata di rumah Sambredet mengalami kalangka-

KisahProperti

but utamanya kakaknya yang ingin meramu lombok, tomat, garam dan kawan-kawan. Kakak Sambredet mengomel dan berkesim-pulan, ‘’betapa bodohnya seorang pencu-ri ketika hanya mencuri cobekan, di sudut-sudut rumah telah di cari kesana kemari ini seperti lagunya Ayu Ting - ting ’’. Akhirnya Kakak Sambredet bertanya kepa-da sang pelaku yang memasang wajah tak bersalah.

Kakak : “Kau liat kah itu cobekan ??”Sambredet : “Cobekan yang mana ??”Kakak : “Cobekan” (Dengan nada penegasan)Sambredet : “Owww cobekan, ada di kam-pusku “(Wajah tak bersalah)Kakak : “Edededeee, nu apakanki itu co-bekan ??”Sambredet : “Ku pake main teater”Kakak : “Bawa’ pulangi”Sambredet : “Dua bulan lagi, karena adaji itu blender”Kakak : “Kau kira bisa semua di blender”

Berhubung Sambredet laki-laki. mana mungkin dia mengerti dengan alat dapur, apalagi dia anak bungsu.

Setelah Si cobek lahir Si Kwali pun akan segera dilahirkan, berhubung Sambredet di warning di rumah, kini giliran si Ammy yang akan melahirkan Si Kwali menjadi anak kedua pada proses Ku-Partai Batu. Bermula dari

Oleh : Sambredet

| 22

Page 29: Katalog Ku-Partai Batu

pesta perikahan dari keluarga Ammy, dia pun meletup pada diskusi ku-partai batu bahwa ‘’Ada kwalinya tanteku kemarin dipa-ke’ masak-masak pengantin’’. Dengan penuh rayuan dari Ammy akhirnya tantenya pun luluh dan menyerahkan Si Kwali dan men-jadi kelahiran kedua Si Kwali pada ku-par-tai batu. Namun ada masalah ketika dalam proses ini yaitu si kwali terluka parah bo-cor dan retak. Mari menyiasati sebelum ke pulangannya. Berhubung anak kedua dan anak pertama telah lahir akhirnya anak ke-tiga ingin di lahirkan yaitu si dupa, namunhistorinya ini cukup pendek dengan mero-goh kocek sebesar Rp 10.000 dan akhirnya Si Dupa lahir dari samping jembatan gan-tung-Fly Over.

Berhubung Si Lesung akan dilahirkan men-jadi anak ke empat, karena cukup sulit un-tuk diadakan akhirnya Sambredet kembali merampok rumahnya untuk melahirkan Si Lesung. Sambredet pikir kesalahan kemarin yang dibuat dirumahnya telah terlupakan seperti debu yang di sapu angin. Dengan mengendap-endap Sambredet menunggu penghuni rumah tidur untuk melarikan Si Lesung, berhubung tuhan maha adil sehing-ga dia menurunkan hujan tuk merayu semua mata untuk terlelap. Kesempatan itu tidak di sia-siakan oleh Sambredet dengan mem-bawa Si Lesung tuk kelahirannya, namun telah terpikirkan dengan berbagai resiko.

Setelah kelahiran si lesung tak lengkap rasanya tanpa soulmatenya yaitu Si Alu, dengan sigap Kak Alli merespon wacana teman-teman yang mencari soulmate dari Si Lesung. Alu ada di rumahku ambil saja sebentar, dengan sigap teman-teman men-gambil Si Alu. Anak bungsu akan dilahirkan si Pattapi, kisah dari Si Pattapi tidak jauh beda dari kisah Si Dupa, karena dana telah keluar jadi Si Pattapi terlahir dari pasar tradisional yaitu pasar Pa’baeng-baeng. Dengan dana Rp 150.000 dari Ammy si bungsu terlahir.

Page 30: Katalog Ku-Partai Batu

Sebuah catatan tentang Modernisme Teater dan Seni Rupa.

SkeptisismeSeni Modern

(Penjara Teater Modern)

Seni modern hadir dengan segala aturan dan konven-si formalnya berusaha membangun eksklusifitasnya sendiri. Seakan membangun jarak yang kontras an-tara seni dan masyarakatnya. Seni modern melahir-kan pengkotak-kotakan dengan persepsinya sendiri dan melahirkan bintang-bintang yang semakin men-jelaskan sebuah kemapanan struktural. Panggung seni (teater) menjadi sebuah istana yang semakin menjauhkan diri dari realitas, seni semakin individu-al dan mapan sebagai sebuah disiplin ilmu. Seni pun (teater) tak lebih dari sebuah pilihan hiburan bagi masyarakat-masyarakat yang lelah dengan aktif-itas kesehariannya. Sistem ini, melahirkan pula masyarakat yang praktis dan formal. Seni semakin terlarut dalam eksplorasi estetikanya dengan meng-abaikan aspek humanis/etika.

Saat ini, membicarakan persoalan absurd dan realis adalah sebuah kegamangan, sama seperti kita melihat lukisan kemudian mengklasifikasikannya atas nilai his-toris, aliran abstrak, naturalis, surealis, dan lain - lain.

Semua hanyalah persoalan sejarah teknik yang telah jelas konvensinya dalam seni modern. Persoalannya sekarang adalah seni modern tersebut dianggap gagal karena tak mampu membangun negosiasi dan edukasi dengan lingkungannya. Seni menjadi ruang kekuasaan para seniman untuk melakukan eksplorasi estetikanya. Kesenian menjadi objek para seniman untuk beronani dan melakukan eksploitasi. Harusnya kesenian ada-lah sebuah media dalam hal ini sebagai subjek yang menghubungkan masyarakat dengan konteks sosial-nya melalui kerja artistik sang seniman.

Kesalahpahaman saat ini adalah semacam kecero-bohan memandang teater dalam generalisasi yang justru menjauhkan pemahaman dan pengkajianterhadap kehidupan teater sendiri (kehidupan teater yang membuka mata pada realitas). Pembicaraan ten-tang teater saat ini, selalu saja menuju pada persoalan yang jauh berada diluar wilayah kerja teater itu sendi-ri. Misalnya membicarakan teater hanya pada histori,

Oleh : Taufik Dhani

Page 31: Katalog Ku-Partai Batu

aliran, gaya, dan bentuk. Upaya semacam ini sering menjauhkan publik dari kemungkinan untuk mema-hami teater sebagai media yang menandai gejala sosialnya. Teater saat ini, seolah hanya melakukan reduplikasi terhadap pikiran masyarakat sendiri tan-pa menyediakan santunan pikiran atau solusi kepada masyarakatnya. Seni teater sejatinya mampu men-transformasi nilai menjadi solusi untuk beragam ma-salah yang dihadapi saat ini. Sekali lagi teater jangan menjadi sebuah kemalasan primordial yang melekat pada kemapanan struktural.

Kini ,Teater harus bergerak pada tataran yang lebih jauh, yaitu aspek fungsional. Apa dan bagaimana fungsi teater dalam kehidupan. Bukan hanya berku-tat pada persoalan histori, bentuk, teks, atau apalah. Semua wacana itu sudah selesai dalam tataran teknis, sebagai sebuah mainstream dalam dalam konteks zamannya masing-masing. Dunia yang kontemporer saat ini bergerak begitu cepat dengan inkonsistensi

nilai dan teater harus menjelaskan partisipasinyadengan memberi bentuk pada gejala komunikasi dalam masyarakat yang mau ditandainya, sehingga bersifat temporer kontekstual.

Penyimpangan konsep seni konvensional (pemberon-takan seni rupa)

Di eropa, gerakan penyimpangan terhadap seni konven-sional telah dimulai sejak akhir abad ke 19, menjelang abad ke 20. Konsep estetika di Eropa, mulai berubah dan bergeser. Muncul aliran dan gelombang baru yang menghempaskan bentuk-bentuk konvensional kese-nian. Muncul berbagai macam aliran seperti abstract, expresionis, seurrealis, postmodernis, dll. Semua-nya hadir saling kait mengait dan acapkali merupakan gerakan-gerakan penolakan dan keyakinan atas pema-haman-pemahaman baru yang lebih individual, mem-perhatikan hak-hak dasar dan independensi manusia yang cenderung liberal dan anti kemapanan.

Konsep ini sebetulnya tak pernah lepas dari seja-rah sebelumnya dimana gerakan “non art” yang menisbihkan konsep estetika. Dipelopori oleh seorang pelukis Prancis, Henri de Saint Simon yang kemudian menelurkan istilah seni “avant garde”. Ia menghimpun pemikiran-pemikiran dari para seniman, ilmuwan dan industrialis untuk melakukan pendobrakan atas pema-haman konvensional seni dengan menolak paris salon dalam ruang-ruang akademis. Gerakan ini kemudian secara sporadik berlanjut dan meluas di negara-negara Eropa lainnya seperti Jerman, Italia, Rumania, bahkan hingga di Asia yaitu Jepang.

| 25

Page 32: Katalog Ku-Partai Batu

Para seniman yang kebanyakan berasal dari seni rupa menempatkan dirinya sebagai seni-man avant garde, pendobrak awal sekaligus pendukung postmodernis menjadi sebuah ranah tersendiri diantara mainstream mod-ernisme yang ada. Bagi mereka, seni menjadisesuatu yang perlu di oposisi. Hal ini adalah sebuah proses dialektika yang terus menerus dilakukan dalam menyikapi kesadaran akan berbagai hal yang hadir didunia ini sebagaisesuatu yang sementara saja, hanya pada ja-mannya, bersifat kontemporer.

Hegel pernah mengatakan bahwa “tidak ada seni dalam masyarakat yang adil, hanya ada satu seni revolusioner yakni seni yang mengabdi pada revolusi”. Tetapi Hegel juga mengatakan bahwa “ seni bukanlah untuk segala jaman, tetapi dipengaruhi oleh zamannya”. Tulisan ini, menegaskan kepada kita pada dua situasi yang saling berlawanan namun kemudian keduanya dibenturkan kembali. kemudian disadarkan un-tuk tidak mencari cari romantisme secara keliru dan pada akhirnya akan menjebak kita kedalam masa lalu yang tertinggal dari masa datang.

Performance art sebagai sebuah gerakan yang menandai serangkaian pemberontakan terha-dap idiom-idiom mainstream tersebut secara liar dan sporadis mermbah keseluruh kawasan

Eropa, Asia bahkan di Indonesia. Jika berangkat dari sejarah gerakan performance art, mulan-ya berangkat dari para perupa-perupa Eropa menjelang abad-abad ke-20 yang tak lagi mera-sa katarsis dengan media seni rupa mereka.Mereka pun hadir dan turun ke jalan-jalan membawa tubuh mereka sebagai medium ekspresif yang tak terbatas lagi oleh medium konvensional seni rupa.

Di Indonesia, gerakan-gerakan perlawanan dan pemberontakan di bidang kesenian tidak terlepas dari situasi paska kolonialisme dan kapitalisasi modernisme yang diterapkan rezim Soeharto ketika menumbangkan pemerintah-an Soekarno. Sejalan dengan itu, dunia seni rupa Indonesia pun bergejolak hingga lahirnya Gerakan Seni Rupa Baru (1975-1979) yang dimo-tori beberapa seniman muda di yogyakarta dan bandung, antara lain FX Harsono dan Bachtiar Zainoel. Gerakan ini, mendobrak tatanan apik romantisme seni rupa konvensional saat itu dan menentang seluruh praktik modernisme yang mendasari perkembangan senirupa In-donesia sejak 1940 hingga 1960 dan tidak lagi-pada tradisi fine art semata. Mereka memberi-kan penekanan pada kritik sosial sebagai tema utama karya mereka dan mengembangkan “message art” yang berpihak pada masalah ke-miskinan perkotaan, pencemaran lingkungan,

Page 33: Katalog Ku-Partai Batu

ketidakbebasan berpikir dan meyampaikan hak, dan sebagainya. Ulah para perupa ini seak-an mengejek keterkungkungan konsep artistik di masa itu yang mereka anggap tidak realistis dengan berbagai persoalan sosial yang ada.

Penyimpangan - penyimpangan yang terja-di pada dasarnya mengajak kita untuk kem-bali mempertanyakan apa dan bagaimana sebenarnya fungsi seni secara umum, bagai kehidupan sosial masyarakat kita. Apakah kesenian itu menandai sebuah gejala sosial yang sedang berlangsung ataukah akan men-jadi seperti mobil sedan mewah yang melaju mulus di antara jejeran masalah kemiskinan kota, kelaparan, penindasan HAM, dan lain se-bagainya.

Page 34: Katalog Ku-Partai Batu

Ada pengrajin batu yang khusuk memahat nisan-nya, disebidang tanah wakaf penggali kubur me-mangkas cacing, ulat dan ular dengan paculnya, pe-meti menjahit kayu menjadi kamar, diritmis dengan pelatuk tenunan kain putih, maka jadilah instrumen rambu kematian. Instrumen yang kokoh dengan tempo dan aksen harmoninya seperti bergejolak menuntun biramanya dalam vokalitas antiklimaks. Pengrajin batu dengan palunya meyulap bentuk jadi batu dan batu menjadi bentuk, penenun kain dan pemeti kayu menyulam abu jadi benang, serat jadi tekstur, tekstur jadi warna, warna jadi benang. Ini seperti aktivitas waktu dalam gerak.

Museum Teater (Kandang katanya Seniman)

Oleh : Muhammad Affan

Membaca teater dikolom seni Kompas, ‘tifa’ Media Indoneasia, majalah Gong dan baru-baru ini Drama kala, seperti wisata kuliner mencicipi wacana-wa-cana baru, lama, yang sebelum lama dan yang akan baru. Seperti menguak peristiwa media yangmeniupkan kabar terdini dari tumbuh kembang teater yang menembus batas kontemporer. Wa-lau bermula dari kepentingan setiap komoditi, setidaknya bisa memediasi diskusi yang terus ber-metafor disetiap kontemplasi gerak-geraknya. Kompas yang mengelolah imaji dengan aktualisasi peristiwa teater seperti menjalin kontrak isu, Gong dengan gerakan penyegaran budaya dengan akul-truasi seni pertunjukannya, media indonesia disetiap sentilunnya membiaskan kontradiksi dalam bahasan kolomnya, drama kala yang seperti peramal diseti-ap langkah Teater Jakarta dan sekitarnya, juga terus menguntit di Taman Ismail Marzuki. Keseharian ini seperti lakon yang berderit dalam detik. Terus-me-nerus mendesain konstruktif teater modern pada kekiniannya bah implementasi estetik dari teks-teks penutur, walau dikebiri tetap saja lari ditempat, media lebih mampu mengelola reportori menjadi sebuah bacaan apik, sebaliknya teater seakan ters-esat didalam kotak koreknya seperti lakon ‘aktor tersesat dalam drama tanda tanya’ memenjarakan setiap pertunjukannya pada teknologi cahaya, artis-tik dan alat musik.

Menjadi defenisi baru, seni pertunjukan dikerdil-kan menjadi seni pemanggungan dengan didom-plengi seperangkat mesin panggung hingga mam-pu menciptakan dimensi imaji yang sangat nyata,

| 28

Page 35: Katalog Ku-Partai Batu

jadi tidak sekedar mengilustrasikan artistik lagi,teknologi panggung bahkan menjadi aktor dalam seni pemanggungan. Produksi teater yang kemudi-an sangat dimanjakan dengan pencapaian teknolo-gi sekarang, mungkin dari itu industri teater seolah menjadi penyeragaman, hampir disetiap daerah yang saya jumpai memimpikan antrian panjang pe-nonton teaternya, fenomenalnya ini terjadi sampai di teater kampus yang mulai autis dengan teknologi panggungnya. Berbondong-bondong mentas di Graha Bakti Budaya, Teater Kecil, Gedung Idrus Tin-tin, Teater Salihara, dan gedung - gedung serbaguna lainnya yang memhimpuni fasilitasnya, atau terk-adang bosan dengan suasana gedung kembali lagi kekampusnya dengan menyewa lighting canggih, sound sistem, serta seprangkat panggung lengkap yang kadang juga dibuatnya sendiri. Ini terus me-nerus digeluti, sampai melibatkan teknologi pang-gung jadi pembaharuan pelakonannya karna selalu ada yang baru dipanggung esok!. Katanya. Teknologipanggung dianggap seperti ornamen terpenting juga setelah teks yang meski terus dieksplorasikan. Konon pertunjukan teknologi panggung juga berdampak pada gengsi disetiap produksi dan lebih bisa memanjakan penonton apalagi dengan sedikit polesan desain artistik yang atraktif dan imajinatif. Padahal pertunjukan-nya tidak lebih dari produk splending tanpa im-plementasi berarti yang mendramatisasi bentuk keadaan yang terkadang sangat hiperbolais. Pada penyeolah-olahan sekunderial emosi pasar, yang seolah-olah ternaturalisasikan sendiri, seolah-olah suasana hutan, pasar, seolah-olah menjadi siang,

seolah-olah sebagai seorang ibu, pak tua, seo-lah-olah menjadi anak tujuh tahun, seolah-olah be-rada diistana, panti asuhan. penyeolah-olahan yang kaya imaji ini hanya mendikte emosi penontonnya, yang menentukan kapan kita menangis, tertawa, terharu semua aktifitas menonton kita dicabut ke-tika menonton penyeolah-olahan ini. Seakan tidak percaya dengan imajinasi yang menonton. jadinya seperti wisata visual di sinema elektronik yang me-nikmati kemolekan artis-artisnya saja.

Teater kemudian tampak usang dengan warnanya sekarang dan teksturnya yang terkesan menjemukkan. Lucunya sampai hari ini Arifin C Nur, WS Rendra, Putu Wijaya, Iwan Simatupang, Nano Riantiarno, masih ‘getol’ dibahas mengenai aliran dan sejarahnya bahkan dipentaskan naskahnyadiberbagai event bergengsi, sampai menjadi ketentuan naskah Arifin C Nur, Iwan Simatupang, Nano Riantiarno di berbagai festival teater, hing-ga pengkultusan Putu Wijaya dengan pemu-atan festival monolog Putu Wijaya. Indikasi ini menunjukkan generaslisasi panggung teater modern sudah menjangkau terlalu jauh hingga tidak berjarak sama sekali dengan ruang terito-rial kita sangat dekat diurat kepala. Karna sudah menjadi pembiasaan sejak lama, jadi panggung prosenium teater modern nampak berfasad dinas-ti yang saling berkecamuk diranah estetika. Dikejar dengan indeks prestasi, perteateran lalu seperti pragmatis dengan membangun kebudaannya di-dinastinya sendiri tanpa acuh dengan lingkungan-nya. Jadinya teater sekarang nampak seperti artefak

Page 36: Katalog Ku-Partai Batu

dalam museum atau museum dalam artefak yang saling memploklamirkan sejarah satu sama lain, artefak situs memamerkan museum dalam wisa-ta sejarah, museum sebaliknya memamerkan artefak dengan sedikit memodifikasi warnan-ya agar seolah-olah nampak usang dan seper-ti tembikar berabad-abad, karna sudah menjadi ketergantungan museum dengan seberapa banyak pengunjung yang datang setiap harinya un-tuk mengecap situ-situs dari sejarah-sejarahan. Be-gitupun teater modern yang saling mengkontrofa-si dengan seni pemanggungan dari naskah-naskah lawas, terus berkutat membolak-balikkan dimensi prosenium. Hari ini bicara konstitusi negara, ke-marin bicara agresi kebudayaan majapahit, besok mungkin tentang tubuh aktor yang tersesat dalam prosenium. Tak jauh bedah dengan kerja museum, pencapain akhir dari teater juga sangat bergantung pada jumlah penontonnya, seberapa banyak pen-jualan tiket. “Alhamdulillah laku sampai 800 tiket, bisa menutupi biaya produksi hari ini heehhee..”.Seperti menjadi rifal film teater membangunindustrinya sendiri. Cenderung tidak variatif dalam kerja kreartifnya dengan lakon itu-itu saja yang ter-ulang.

Pertanyaannya sekarang apa pencapaian dari teater setelah teater?

| 30

Page 37: Katalog Ku-Partai Batu

Hal-hal apa saja yang menarik ketika menyaksikan pertunjukan seni di luar ruangan? Ini catatan saya saat menjadi bagian performance arts Ku-Partai Batu yang difasilitasi oleh UKM Seni Universitas Muslim Indonesia (UMI), akhir Juni 2012.

Ketika Aktor dan PenontonMenjadi Warga

BANYAK ORANG KAGET, ter-masuk saya, ketika menyusuri jalan menuju kawasan Metro Tanjung Bunga. Di sana rupa-nya sudah berdiri megah Ru-mah Sakit Siloam. Saya tidak pernah masuk ke kawasan ini sejak beberapa bulan. Tan-jung Bunga, kawasan yang dikembangkan belakangan di Makassar, mengharuskan ter-jadinya penimbunan sekitar Pantai Losari hingga pesisir perbatasan Makassar-Gowa.

Di seberang jalan, berdepa-nan RS Siloam, tampak se-jumlah orang berkumpul di tanah timbunan yang berada sekisar 200 meter lebih ke dalam. Di dekat mereka sudah berdiri bangunan bambu. Jalan ma-suk ke sana dijaga tukang parkir. Beberapa kera-bat kerja pertunjukan sudah berada di balai bera-tap tukang parkir. untuk memastikan tidak salah

Kota Batu (foto: Anwar Jimpe Rachman)

memungut bayaran parkir pada para pengunjung pertunjukan.

Semakin dekat kian jelas bah-wa bangunan bambu itu rupa-nya rangkaian bambu berben-tuk segitiga setinggi sepu-luhan meter, berdiri di atas jembatan beton penghubung timbunan luar dan timbunan dalam. Bangunan bambu itu tampak berdiri anggun disinarimatahari sore dan tak goyah diterpa angin laut. Sebatang bambu di ujung atas ter-ikat melintang seimbang—sebagai neraca keadilan.

Tanah timbunan, lokasi berlangsung performance art Ku-Partai Batu, merupakan kawasan pemban-gunan Center Point of Indonesia (CPI). Berdasarkan kabar yang beredar, mintakat ini rencananya akan dibangun Wisma Negara. Titik ini diambil karena Makassar menganggap titik ini adalah titik tengah

Oleh : Anwar Jimpe Rachman

| 31

Page 38: Katalog Ku-Partai Batu

Kepulauan Indonesia bila ditarik garis dari Sabang sampai Merauke (barat ke timur) dan Sangir Talaud ke Pulau Rote (utara ke selatan).

Sayangnya, penimbunan itu berakibat pada ka-wasan sekitar Makassar, seperti yang terjadi di Desa Bontosunggu, Galesong Utara, Kabupaten Takalar.Seorang warga menyebut abrasi melanda Bon-tosunggu ditengarai akibat perubahan pola arus karena semakin tingginya sedimentasi di sekitar muara Sungai Barombong atau Sungai Jeneberang (http://panyingkul.com/view.php?id=1178, diakses pada 8 Juli 2012, 22.56 Wita). Pementasan Ku-Partai Batu menjadi salah satu bentuk kritik atas pemban-gunan kawasan ini, dalam bentuk performance art.

KU-PARTAI BATU merupakan konsep pertunjukan yang mengimajinasikan batu sebagai kekuasaan

Empat penguasa mengusung rumah masing-masing. dan Latar kota, salah satu bagian penting dalam pementasan. (foto: Anwar Jimpe Rachman)

para pemimpin. Kepemimpinan ini penuh pencit-raan semu yang terbangun dalam sistem kerajaan/di-nasti batu. ‘Batu’ dalam judulnya menjadi kata yang merepresentasikan kezaliman yang teramat bebal.

Bangunan bambu segitiga yang berdiri anggun itu berasal dari mitologi I La Galigo. Dalam alam pikiran mitologi masyarakat Bugis dan Makassar, dunia ter-diri dari tiga dunia: botting langi’ (dunia atas), ale kawa’ (dunia tengah), dan peretiwi (dunia bawah). Di rangkaian bambu itu bergantungan pula bebatu-an yang diikat menggunakan tali rotan.

Terdapat lima aktor dalam alur gerak Ku-Partai Batu. Seorang membawa api di tangannya. Em-pat penguasa partai membopong rumah segitiga masing-masing. Mereka berjalan beriringan seolah berjuang untuk satu tujuan. Si pembawa api lalu

| 32

Page 39: Katalog Ku-Partai Batu

menapaki bangunan tersebut hingga ke atas. Di sana ia meliukkan gerak gemulai. Sementara em-pat penguasa masing-masing bergerak menguasai wajan, lesung, nyiru, dan ulekan. Mereka meng-garuk dan membisingkan benda-benda tadi—tentu dengan gerakan yang berbeda dan seperti saling berebut perhatian pengunjung. Setelah semua tan-das dan dunia bawah berubah seperti meja makan, sang pemimpin turun ke dunia tengah. Sementara pula, keempat penguasa di bawah membuka kain, menumpuknya dengan semua rumah segitiga, lalu membakarnya.

“KAWASAN INI bakalan ditutup dan hanya diakses kalangan tertentu saja. Jadi mumpung masih be-rupa timbunan, ayo kita pakai,” ujar Ibrahim, salah seorang fasilitator performance itu. Ujaran Bram, demikian panggilan akrab saya padanya, merupakan

karakter sifat pertunjukan sebuah perfomance art. Ia memberi kita pengalaman baru dalam me-nyikapi ruang, terutama berkaitan dengan latar berlangsungnya seni jenis ini. Seni ini menga-barkan dan memberitahu kita tentang perkemba-ngan terakhir kota (dalam hal ini Makassar). Ragam seni semacam yang disajikan anak-anak seni UMI itu mengajak kita melihat kondisi kekinian Makassar.Bukankah kekinian adalah akumulasi dari masa lalu?

Karenanya, ketika bagian membincangkan perfor-mance art ini di Kampung Buku dua hari setelah per-tunjukan, saya dengan naif dan berani mengajukan istilah ‘seni keperistiwaan’ untuk mencakupi dua istilah ‘happening art’ dan ‘performance art’, yang tampaknya sempat membuat bingung beberapa peserta diskusi. “Jangan-jangan ini soal peristilahan saja,” kata salah seorang penanggap.

Latar kedirian dalam mengolah pengalaman kota dan kosmis. Latar kosmis menjadi bagian penting. (foto: Anwar Jimpe Rachman)

| 33

Page 40: Katalog Ku-Partai Batu

Saya mengerti kebingungan yang dimaksud. Kare-na, pada dasarnya, kedua seni ini agaknya ber-karakter serupa, yakni: [1] memberi ruang yang sama antara pelakon dan penonton untuk berparti-sipasi, baik segi interpretasi maupun komunikasi; [2] titik tumpu gagasan berorientasi fenomena/peris-tiwa kekinian (yang terjadi dalam rentang waktu yang tak berapa lama); dan [3] kerap penyajiannya berlangsung di luar ruangan.

Bagi saya, istilah itu bisa membingungkan. Padahal ranah bahasa kita masih sangat luas dan membu-tuhkan penggalian serta pemaknaan dari penggu-nanya. Mengapa tak kita berpikir bersama mencari padanan istilah demi mengayakan perbincangan terkait soal ini?

‘Seni keperistiwaan’ bagi saya istilah paling cocok untuk menyebut genre ini karena seluruh rangkaian dari gagasan sebuah pertunjukan sebagai sebuah ‘peristiwa’.Penggodokan dan penyebaran gagasan tetap menjadi bagian penting dalam pertunjukan. Para kerabat kerja dan aktor menjadi peramu ga-gasan (fasilitator). Bagaimana pun, keterlibatan

Suasana pementasan di lokasi pembangunan CPI, Makassar. (foto: Anwar Jimpe Rachman)

semua kalangan adalah salah satu hal utama. Bah-kan apa yang dilakukan, semisal, oleh tukang parkir demi kelancaran pertunjukan itu tetap masuk dalam hitungan ‘berpartisipa-si’ dalam pertunjukan ini.

Demikian juga ketika pe-mentasan berlangsung. Penonton dan fasili-tator lebih menyatu.Mereka lalu menjadi warga biasa. Penonton disarankan lebih men-gambil posisi sebagai pi-hak yang turut berger-ak dan berpartisipasi. Mereka boleh ‘meng-ganggu’ pertunjukan dengan melintas di depan fasilitator un-tuk mengambil gambar—sesuatu yang tidak ter-jadi dalam pementasan konvensional (memakai panggung).

| 34

Page 41: Katalog Ku-Partai Batu

Suasana pementasan di lokasi pembangunan CPI, Makassar. (foto: Anwar Jimpe Rachman)

Kedua dunia yang paling awal disebut adalah bagian terluar yang berbentuk dan terjadi tanpa campur tangan penonton karena tanpa peran dan rekayasa sutradara sebagaimana yang terjadi dalam pemen-tasan konvensional.Namun kedua latar itu memberi kita gambaran kabar tentang lingkungan (kota), tempat hidup warga sehari-hari.

Keberhasilan seni jenis ini, menurut hemat saya, tidak ingin menyeret kita berlama-lama dalam melankoli tentang ekstensial kedirian saja (penon-ton). Lebih dari itu, peristiwa ini mengundang kita peduli pada latar dan tempat seni ini berlangsung, yang memungkinkan penonton berubah menjadi warga.

Kalangan penonton perlu mengabadikan peristi-wa seni yang tidak akan terulang itu, berikut den-gan situasi kota ketika pertunjukan berlangsung.

Mereka dapat men-gambil gambar dari mana saja. Penonton lebih berdaulat menentukan posisi di mana saja, tergan-tung selera menyaksikan pe-mentasan dari arah mana. Seni keperistiwaan membe-baskan penonton kok. Peris-tiwa yang berlangsung di ketiga jagat memang serba tersebar, yang menyebabkan fokus kita terpecah, meski se-jatinya pertunjukan itu satu peristiwa yang saling berkait.

Perubahan peran yang saya jelaskan di atas terse-

bab terdapat tiga ranah dalam seni keperisti-waan itu, tempat kita mendudukkan diri, yak-ni latar kosmis (jagat raya), latar sekitar (jagat

Page 42: Katalog Ku-Partai Batu