KALAMSIASI MARET 12

Embed Size (px)

Citation preview

IMPLEMENTASI KOMUNIKASI LINGKUNGAN PADA KEPEMIMPINAN PARABELA DALAM MENJAGA KELESTARIAN LINGKUNGAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL DI KABUPATEN BUTONM. Najib Husain1), Trisakti Haryadi2), Sri Peni Wastutiningsih3)(1) Dosen Unhalu Sulawesi, 2) Dosen PPs PKP UGM Yogyakarta, 3) Dosen PPs PKP UGM Yogyakarta)

ABSTRACTThere are three purposes of the study. First, it is intended to know the roles of parabela leadership in maintaining Kaombo area. Second, the study describes the governance of environmental communication in Parabela leadership in maintaining Kaombo area. At last, the study is aimed at identifying the impact of interpersonal communication in Parabela leadership on the change of community attitudes in Kaombo area. In this case, the setting of the study is focused on the period after the regional autonomy policy. Moreover, the study employs ethnography approach. Besides, the study is done in Kabupaten Buton by engaging informants Parabela and its personnel, the head of village, community leaders, and community. The results of the research using ethnographic approach show that Parabela implement both of the functions, but the first function pragmatic is more successful. Key words: environmental communication implementation, Parabela leadership, environmental sustainability based on local wisdom

PENDAHULUANKehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari keberadaan hutan sebagai penghasil kayu dan non-kayu. Hasil hutan begitu lekat dengan kebutuhan hidup manusia dari lahir sampai mati sehingga sistem pengambilannya harus dilakukan secara bijak. Kabupaten Buton merupakan suatu daerah otonom yang kondisi topografinya berbukit - bukit dan relatif curam, juga memiliki kawasan hutan dan salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam menjaga kelestarian hutan adalah dengan menggunakan1

pendekatan budaya, yang sampai saat ini masih sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Buton. Masyarakat Buton memandang perlu untuk menjaga kelestarian lingkungan, khususnya hutan karena berhubungan dengan kepentingan orang banyak dibanding kepentingan diri sendiri, sehingga ada falsafah hidup orang Buton sebagai bentuk komunikasi persuasif yang mengatakan Balimo arataa somanmo Karo (mendahulukan kepentingan orang banyak daripada mempertahankan harta) dan Bolimo Karo Somanamo Lipu (siap untuk mengorbankan diri untuk kepentingan negara).

2

KALAMSIASI, Vol. 5, No. 1, Maret 2012, 1 - 10

Untuk menjalankan nilai-nilai dan norma tersebut di atas dalam kehidupan keseharian, maka di tingkat kadie atau desa dipimpin oleh Parabela, Parabela merupakan salah satu unsur dalam lapisan ketiga dalam kelompok sistem sosial pada masa Pemerintahan Kerajaan Buton yaitu papara. Papara tersebar di seluruh kadie dalam wilayah kesultanan Buton. Kadie ini merupakan organisasi sosial politik yang dapat disamakan dengan desa saat ini (Schoorl 2003:235). Setiap kadie memiliki struktur pemerintahan yang disebut sara kadie. Sara kadie ini memiliki struktur organisasi yang pemimpinnya disebut parabela. Dalam menjalankan tugasnya, seorang parabela dibantu oleh beberapa orang sebagai perangkatnya dan memiliki hak otonomi dalam urusan kadienya masing-masing. Parabela yang memperoleh sumber kewenangan dari aturan-aturan adat yang masih kuat melekat di masyarakatnya memiliki berbagai peran salah satunya sebagai pemimpin. Peran parabela sebagai pemimpin inilah yang merupakan peran yang sengat utama. Parabela sebagai seorang pemimpin Nampak sangat memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan keseharian masyarakat yang dipimpin oleh parabela atas berbagai perintah ataupun nasehat dan anjuran serta pendapatnya sangat mereka patuhi. Parabela akan selalu tampil sebagai wakil dari masyarakatnya bila ia dibutuhkan oleh pejabat formal. Kepemimpinannya juga nampak dari kemampuannya menggerakkan masyarakatnya. Bila ia yang memerintahkan sangat jarang ada masyarakat yang berani menentangnya, namun demikian sebagai konsekwensi dari kepemimpinannya seorang parabela tersebut harus menyediakan waktu dua puluh empat jam sehari untuk melayani masyarakat yang membutuhkannya. Masyarakat sangat patuh pada perintah parabelanya karena diyakini bahwa perintah

seorang parabela adalah juga merupakan perintah dari leluhur mereka dan selalu diikuti dengan bala. Mereka berpendapat bahwa kesejahteraan dan keselamatan serta rezeki yang mereka peroleh banyak tergantung dari kemampuan yang dimiliki oleh parabela tersebut dalam memimpin negerinya. Apabila hasil panen mereka yang pada umumnya jagung dan ubi kayu dapat berhasil dengan baik, keamanan juga terpelihara dengan baik, orang yang meninggal dalam tahun tersebut juga sedikit yang berarti kesehatan warga juga baik maka ia menunjukkan bahwa pemimpin mereka benarbenar memiliki Kabarakati (kesaktian) dan mampu menjaga mereka dari berbagai kesengsaraan dan malapetaka. Sebaliknya bila terjadi musim kemarau yang berkepanjnagan, panen yang gagal baik oleh iklim maupun hama, banyak kekacauan, banyak warga yang sakit dan meninggal itu berarti parabelanya tidak becus memimpin dan harus segera diturunkan. Hal tersebut menunjukkan bahwa mereka percaya bahwa keamanan dan kesejahteraan kemampuannya sangat tetrgantung dengan kabarakati atau kesaktian yang dimiliki parabelanya.Jadi pada dasarnya masyarakat buton berpersepsi bahwa seorang parabela adalah merupakan figure yang suci dan memiliki kesaktian yang setiap kata-kata dan nasehatnya harus diikuti. Kekuatan inilah yang dimiliki oleh parabela dalam menjalin hubungan komunikasi dengan masyarakat (pengikutnya) yaitu saling melindungi dan saling menyanyangi. Littlejohn (1996) menyatakan jalinan hubungan merupakan kekuatan komunikasi antarpribadi dibandingkan dengan bentuk-bentuk komunikasi lainnya, yakni dalam jalinan hubungan terdapat 4 asumsi: (1) jalinan hubungan senantiasa terkait dengan komunikasi dan tidak mungkin dapat dipisahkan; (2) sifat jalinan hubungan ditentukan oleh komunikasi yang

M. Najib Husain, Trisakti Haryadi, Sri Peni Wastutiningsih, Implementasi Komunikasi...

3

berlangsung di antara individu partisipan; (3) jalinan hubungan biasanya didefenisikan secara lebih implisit; (4) jalinan hubungan bersifat dinamis. Jalinan komunikasi lingkungan yang dilakukan Parabela bukan hanya pada hubungan horizontal tetapi juga dengan hubungan vertikal, sehingga parabela dalam memimpin baik saat menanam maupun saat panen hasil usahatani, masyarakat selalu mengucapkan Batata atau ucapan-ucapan yang mengandung Tuah. Misalkan ucapan Parabela saat mulai menanam saya pindahkan hewan-hewan ini ke dalam hutan lindung (Kaombo). Kebun belum akan dibersihkan, Padi/jagung belum akan di tanam atau di panen sebelum adanya perintah dari parabela tersebut termasuk dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup dengan pendekatan kearifan lokal (Local Wisdom). Semua ini dilakukan parabela sebagai bentuk kepedulian terhadap masa depan generasi selanjutnya untuk dapat menyaksikan berbagai jenis hewan di kawasan tanah Kaombo merupakan tanggung jawab Parabela dalam pengelolaan lingkungan dan menjaga berbagai jenis tumbuhan dan binatang langka yang ada di dalam kawasan hutan adat. Disadari, sebagian besar masyarakat dalam wilayah kepemimpinan parabela adalah petani yang tinggal di sekitar hutan memiliki alternatif terbatas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kegiatan ilegal yang dilakukan masyarakat di sekitar hutan saat ini dilakukan terpaksa, karena tidak tersedia alternatif sumber ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya hari ini, sehingga tidak sedikit perselisihan pendapat atau perbedaan persepsi yang terjadi antara Pemerintah dan masyarakat dalam menjaga kelestarian lingkungan. Saluran-saluran informasi dan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat seringkali mengalami berbagai hambatan yang mendorong jurang antara

keduanya. Disinilah letak pentingnya keterlibatan opinion leader (pemimpin pemuka pendapat) pada daerah-daerah yang masih kuat adatistiadatnya seperti masyarakat Buton, yang perlu memfungsikan kembali keberadaan pemimpin informal dalam hal ini Parabela. Parabela dapat menjalin komunikasi lingkungan antara pemerintah dan masyarakat, antara ketiga pihak seharusnya tidaklah terlalu sulit dilaksanakan mengingat kultur bangsa ini memang sangat memungkinkan untuk itu. Cox (2006:11-13) menjelaskan konsep komunikasi lingkungan sebagai pembicaraan atau transmisi informasi tentang berbagai topik lingkungan di bumi ini. Menurutnya, ada 3 inti komunikasi lingkungan, yaitu: (a) komunikasi manusia sebagai bentuk dari aktivitas simbolik, (b) keyakinan, sikap dan perilaku individu yang terkait dengan alam dimediasi oleh komunikasi dan (c) ruang publik yang merupakan wadah wacana bagi komunikasi lingkungan, melalui dialog dalam pertemuan informal dan formal, ataupun sebagai usaha dari setiap individu untuk mengemukakan pemikirannya melalui berbagai media konvensional, media elektrionik, internet blog dan lain sebagainya. Ketiga hal di atas kemudian dijelaskan oleh Cox dengan menggunakan pemikiran Kenneth Burke (Language as Symbolic Action) yang menekankan bahasa dan tindakan merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi. Selanjutnya, Cox membagi konsep komunikasi lingkungan ke dalam dua fungsi: yang pertama bersifat pragmatis, seperti mendidik, mengajak untuk waspada, mempersuasi, memobilisir dan menolong mengatasi problema lingkungan. Fungsi kedua yang bersifat konstitutif, yang berada pada tataran lebih dalam, seperti membangun pemahaman dan mendorong munculnya kesadaran dan kepedulian terhadap lingkungan. Berdasarkan latar belakang di atas maka

4

KALAMSIASI, Vol. 5, No. 1, Maret 2012, 1 - 10

fokus permasalahan dalam penelitian ini dalah, pertama, bagaimana peran kepemimpinan parabela dalam menjaga kawasan tanah Kaombo. Kedua, bagaimana tata kelola komunikasi lingkungan pada kepemimpinan parabela dalam menjaga kawasan tanah kaombo. Ketiga, Dampak komunikasi antarpribadi pada kepemimpinan parabela pada perubahan sikap Masyarakat pada kawasan tanah Kaombo.

METODE PENELITIANPenelitian menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan etnografi. Penelitian ini menggunakan acuan dari James P. Spradley dalam (developmental research sequence) yang harus di tempuh oleh peneliti etnografi. Penelitian ini dilaksanakan di 3 Kecamatan dengan penetapan secara purposive (sengaja). Adapun kecamatan tersebut 3 parabela yang berdaya: Kecamatan Pasar Wajo yang berjarak 48 Km dari Kota bau-Bau, Kecamatan Lasalimu Selatan yang berjarak 50 Km dari Kota Bau-Bau, dan kecamatan Lapandewa yang berjarak 54 Km dari Kota Bau-bau. Sasaran dalam penelitian ini adalah Parabela, Kepala Desa/Lurah dan masyarakatnya.

HASIL PENELITIANKomunitas adat di Indonesia memiliki kearifan lokal dalam menjaga kelestarian lingkungan, baik dalam bentuk adat, hukum adat, maupun dalam bentuk kawasan. Komunitas masyarakat adat di Buton juga memiliki kearifan lingkungan dalam suatu kawasan khusus hutan lindung atau Kaombo yang masih tetap terjaga kelestariannya dalam pengawasan parabela. Kaombo ini dapat ditemui di wilayah Kabupaten Buton, diantaranya : di Takimpo, Lapodi, Burangasi,

Lapandewa dan Takimpo Kambula Bulana Pasar Wajo. Dalam Masyarakat Takimpo masih terdapat Parabela, dibantu oleh 2 Moji, 2 Waci, 2 Pocuno Limbo, dan parabela Akanoanamohane (parabela Pemuda), Dalam masyarakat Lapandewa juga masih terdapat parabela yang dibantu oleh 1 Moji, 1 Wati, 1 Pandesuka, 1 Pandekuele. Dalam masyarakat Burangasi terdapat parabela yang dibantu oleh 1 kolaki, 2 Moji, dan 1 Wati. Dalam masyarakat Lapodi terdapat 2 parabela yaitu Parabela Lapodi dan Parabela Labahawa dan 6 Wati. Adapun untuk masyarakat Takimpo Kambula Bulana Pasar Wajo memiliki 1 parabela dan dibantu oleh 4 orang Waci, 4 Moji, 6 orang Pocuno Limbo,dan 5 Parabela Akano anamohane. Parabela di Buton telah hadir dalam dua masa yang berbeda yakni masa kesultanan dan masa pemerintahan sekarang, pada masa kesultanan Parabela Sebagai Elit, Parabela sebagai elit dimaksudkan di sini bahwa parabela memiliki kekuasaan dan wewenang serta pengaruh yang didasarkan atas aturan--aturan adat yang mereka tetap pegang selama ini. Adapun untuk saat ini keberadaan parabela tidak sendiri lagi sebagai pemimpin karena sejak kesultanan Buton dinyatakan bubar sekitar tahun 1960-an, maka praktis jabatan-jabatan di sarana Wolio (pemerintahahan pusat) juga hilang, yang digantikan dengan masuknya jabatan-jabatan formal yang merupakan struktur pemerintahan yang baru dengan lahirnya kepala desa atau Lurah. Eksistensi parabela juga menggalami penurunan dan hanya berperan dalam beberapa hal: Pertama, pengaturan tentang waktu pesta baik pernikahan ataupun pesta pingitan, mengingat pesta pingitan yang selalu diadakan pada saat musim kemarau cukup banyak. Mereka juga percaya bahwa tidak boleh ada dua matana kariya (puncak pesta) bertemu dalam waktu yang bersamaan, karena bila hal itu terjadi dianggap sebagai

M. Najib Husain, Trisakti Haryadi, Sri Peni Wastutiningsih, Implementasi Komunikasi...

5

pamali besar. Karena itu pengaturan jadwal/ waktu pelaksanaan oleh Parabela dapat diterima oleh semua pihak. Kedua, Parabela sebagai pemersatu dalam pertanian. Tetap adanya lembaga Parabela ini dalam kehidupan masyarakat Buton pada umumnya telah dapat membuat masyarakat Kadie ini memiliki esprit de corp, adanya pemimpin ini membuat mereka sebagai suatu kesatuan masyarakat yang cukup kuat, ibaratnya mereka memiliki satu kiblat atau arah yang dalam semua persoalan yang dihadapi sehingga perbenturan di antara mereka sedapat mungkin dapat dihindari. Sebaliknya dengan adanya Parabela ini membuat mereka memiliki keseragaman langkah dalam berbagai hal seperti untuk memulai musim tanam yang sebelumnya dimulai dengan menebas belukar atau hutan dan pada akhirnya memanen bersama semua melalui satu perintah yaitu perintah dari Parabelanya. Saat mulai menebas rumput (membuka kebun) kita harus menunggu hasil musyawarah di Kusai Parabela, bila sudah ada perintah baru dimulai menebas dan menanam. Mereka menunggu Parabela karena tanah itu harus dibelai (disarati dulu oleh Parabela). Demikian pula bila ingin memanen harus menunggu Parabela, baru mulai dipanen. Ketiga, Parabela sebagai tokoh utama dalam adat istiadat dan pesta adat. Pada umumnya masyakat Buton merupakan pemeluk agama Islam. Namun demikian dalam kehidupan keseharian orang Buton tidak jarang kita menemukan beberapa upacara upacara yang menunjukkan adanya sisa-sisa kepercayaan pra Islam. Parabela sebagai peninggalan masa lalu sebelun adanya Islam, memang masih menunjukkan hal-hal tersebut. Ini tercermin dari berbagai upacara atau berbagai ritual yang sampai saat ini mereka masih lakukan. Sehingga dari berbagai upacara adat yang dilakukan masih nampak adanya kepercayaan-

kepercayaan sebelum Islam. Dalam pelaksanaan upacara-upacara ini Parabela sebagai tokoh utama, yaitu: Tuturangi Lipu Morikana, dan Tuturangina Kalampa. Keempat, Parabela sebagai mediator. Parabela disamping perannya sebagai pemimpin juga dapat berperan sebagai hakim dalam pertikaian antar warganya khususnya dalam hal yang bersifat perdata. Peran-peran ini yang dijadikan dasar Parabela dalam mengatur Komunitas masyarakat adat di Buton salah satunya peran dalam bidang pertanian, dengan pendekatan komunikasi lingkungan yang bersifat pragmatis parabela mendidik, mengajak untuk waspada, mempersuasi, memobilisir dan menolong mengatasi problema lingkungan. Ajakan parabela kepada masyarakat untuk tetap mempertahankan hutan lindung atau Kaombo di kadie masing-masing, yang masih tetap terjaga kelestariannya dalam pengawasan parabela, kaombo ini dapat ditemui di wilayah Kabupaten Buton, diantaranya : di Pasar Wajo, Wabula, Rongi dan Lapandewa. Tanah Kaombo berasal dari kata kaombo yang diartikan peran, lindungi, suaka, awasi, kontrol, karena dalam kawasan tanah tersebut memiliki sumberdaya yang bernilai harganya. Tanah kombo dalam kadie adalah tanah lindung yang berada dalam pengawasan bersama oleh masyarakat dan berisi berbagai tanaman berguna bagi masyarakat seperti kayu jati, bambu, buluh, kemiri, kapuk, asam, mangga, sawo dan sebagainya. Tanah kaombo menurut jenisnya terdiri dari tiga macam yakni sebagai berikut: a. Tanah kaombo milik bersama masyarakat ialah tanah kadie yang dipilih khusus dan berisi hutan berguna seperti kayu untuk kebutuhan bangunan. b. Tanah kaombo milik perorangan ialah kaombo yang berisi tanaman berguna,

6

KALAMSIASI, Vol. 5, No. 1, Maret 2012, 1 - 10

tetapi ditanam serta dipelihara oleh orang tertentu. c. Tanah kaombo milik pejabat ialah tanah kaombo yang dipelihara oleh seseorang atau masyarakat dengan sumber pembiayaan dari salah seorang pejabat. (Zahari, 1977) Untuk Tanah kaombo di Kelurahan Takimpo, Kecamatan Pasarwajo Kabupaten Buton memiliki 6 lokasi hutan kaombo yang sudah ada sejak dari zaman Kesultanan Buton. Kaombo-Kaombo tersebut sengaja ditetapkan sebagai kawasan hutan yang dilindungi oleh Sara (Perangkat Adat), selain untuk menjaga kelestarian hutan juga sebagai salah satu penopang kebutuhan masyarakat Takimpo dimana seperti yang disebutkan diatas bahwa di dalam kawasan hutan kaombo terdapat berbagai macam kebutuhan pokok yang memang sangat dibutuhkan masyarakat. Hal ini diungkapkan langsung Parabela Takimpo Lipuogena, La Aisi. Dimana dia menyebutkan 6 lokasi kaombo yang dilindungi yakni : 1). Kaombo Bakau, 2). Kaombo Ohusii, 3). Kaombo Yambali 4). Kambali Ee Mata, 5). Kaombo Labobou, 6). Kaombo Kumbo. Dari keenam hutam kaombo tersebut mempunyai lokasi yang agak berjauhan antara kaombo yang satu dengan kaombo yang lain dan memiliki fungsinya masing-masing. Untuk Kaombo Bakau yang berada di pinggir pantai berfungsi mengantisipasi jika terjadi abrasi. Kaombo Ohusi yakni hutan yang didalamnya terdapat tumbuhan rotan yang berguna untuk bahan anyaman dinding rumah tradisional. Dimana sengaja dilindungi agar kebutuhan masyarakat. Kaombo Yambali merupakan hutan yang mempunyai berbagai aneka ramuan obat-obat tradisional. Kaombo Ee Mata merupakan hutan yang didalamnya terdapat mata air yang tidak pernah kering meski musim kemarau tiba dan menjadi tempat memperoleh air masyarakat

Takimpo dan sekitarnya. Kaombo Kumbu Labobou dan Kaombo Kumbo juga sengaja dilindungi karena didalam hutan tersebut juga terdapat mata air. La Aisi mengatakan bahwa sejak dulu hingga sekarang ukuran luas kawasan hutan Kaombo tersebut tidak pernah berubah baik itu diperluas apalagi dipersempit karena adanya komunikasi dari parabela kepada masyarakat untuk menjaga kaombo, sehingga lahir kesadaran masyarakat untuk tetap menjaga kelestarian kaombo karena dampak positifnya dapat dirasakan sendiri oleh masyarakat dengan adanya hutan Kaombo. Komunikasi lingkungan yang dilakukan Parabela bukan hanya pada hubungan horizontal tetapi juga dengan hubungan vertikal, sehingga parabela dalam memimpin baik saat menanam maupun saat panen hasil usaha tani masyarakat, selalu mengucapkan Batata atau ucapanucapan yang mengandung Tuah. Misalkan ucapan Parabela saat mulai menanam saya pindahkan hewan-hewan ini ke dalam hutan lindung (Kaombo). Kebun belum akan dibersihkan, Padi/jagung belum akan di tanam atau di panen sebelum adanya perintah dari parabela tersebut termasuk dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup dengan pendekatan kearifan lokal (Local Wisdom). Semua ini dilakukan parabela sebagai bentuk kepedulian terhadap masa depan generasi selanjutnya untuk dapat menyaksikan berbagai jenis hewan di kawasan tanah Kaombo merupakan tanggung jawab Parabela dalam pengelolaannya. Jika ada masyarakat yang ingin melakukan pengolahan atau mengambil sesuatu seperti rotan atau kayu harus atas persetujuan perangkat adat khususnya parabela. Jika ada yang ditemukan mengelolah tanah kaombo tanpa meminta izin terlebih dahulu, akan diberikan sanksi mulai dari denda hingga pada sanksi sosial seperti pelaku akan dikucilkan dari wilayah tersebut. Dia

M. Najib Husain, Trisakti Haryadi, Sri Peni Wastutiningsih, Implementasi Komunikasi...

7

menambahkan, cara menjaga dan memantau kawasan hutan kaombo tersebut yakni dengan melibatkan seluruh masyarakat Takimpo dimana di dalam diri masyarakat telah tertanam rasa memiliki dan bertanggung jawab atas kelangsungan kelestarian hutan kaombo yang menjadi kebutuhan mereka. Oleh karena itu jika mereka melihat ada yang melanggar maka mereka akan segera melaporkannya ke Sara kadie (Perangkat Adat) untuk diberikan sanksi sesuai dengan aturan adat yang berlaku. Rahman (2005: 230) mengemukakan bahwa parabela di Rongi masih melaksanakan hukum adat bagi mereka yang merusak lingkungan yang dikenal dengan sebutan Tauwe taliki yaitu tidak dilibatkan dalam acara-acara adat. Sangsi yang paling berat adalah Tatasi Pulangano artinya mereka yang terkena hukuman maka ia dan anak cucunya tidak akan ditanya oleh seluruh masyarakat termasuk dewan sara dan bila meninggal tidak akan ada masyarakat yang datang.

SIMPULANKearifan lokal secara dominan masih diwarnai nilai-nilai adat, seperti cara suatu kelompok sosial melakukan prinsip-prinsip konservasi, manajemen, dan eksploitasi sumberdaya alam. Hal ini tampak jelas pada perilaku mereka yang memiliki rasa hormat begitu tinggi terhadap lingkungan alam yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupannya. Kenyataan ini juga masih dapat ditemukan dalam masyarakat Buton yaitu dalam setiap aktivitas mereka harus mendapatkan restu dari pemimpin yang dikenal dengan sebutan parabela, ketika ia sudah dinobatkan sebagai pemimpin adat dan sekaligus sebagai pemimpin spiritual. Seorang pemimpin harus menjadi panutan masyarakat dan hidup seadanya tanpa harus mengejar materi sehingga kesimbangan

hidup dengan alam juga tetap terjaga sebagai sebuah jaringan yang saling membutuhkan. Prinsip hidup ini yang menjadi pedoman dan perilaku hidup masyarakat Buton dan juga di dalamya mengajarkan bahwa masyarakat harus lebih bersahaja dari pada pemimpinnya. Kalau misalnya terjadi gagal panen atau musim paceklik, orang yang pertama merasakan lapar adalah Parabela. Sebaliknya, jika panen berhasil, para wargalah yang harus lebih dahulu dipersilahkan untuk menikmatinya, sedangkan Parabela menikmati belakangan. Kondisi ini membutuhkan adanya komunikasi lingkungan yang bersifat pragmatis dan yang bersifat konstitutif, antara parabela dan masyarakat dalam menjelaskan problem di lapangan agar terjalin pengertian bersama (mutual understanding) dan empati lebih besar karena keduanya saling berdekatan dan rasa saling menghormati bukan karena perbedaaan ekonomi, melainkan masing-masing adalah manusia yang tampak di hadapan mata. Namun perubahan dalam wilayah Kadie dan terjadinya pergeseran posisi para pemimpin tradisional, menyebabkan keberadaan Parabela dalam menjaga kelestarian lingkungan tidak lagi seeksis pada saat belum adanya pemekaran wilayah serta lahirnya UU No.32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup. Seiring dengan perjalanan waktu, sikap hidup yang selama ini di junjung tinggi oleh komunitas Buton tak luput dari gempuran modernisasi. Sejumlah toleransi dan kompromi terhadap masyarakat luar yang modern telah mereka lakukan, interaksi antar komunitas adat dan non adat tak bisa terelakkan lagi. Hal ini terjadi ketika pranata adat istiadat dikerdilkan oleh nasionalisasi struktur pemerintah. Tak satupun wilayah dan komunitas di Tanah Air ini bebas dari relasi dan intervensi kekuasaan pemerintah termasuk masyarakat Buton. Pergeseran keberadaan parabela di

8

KALAMSIASI, Vol. 5, No. 1, Maret 2012, 1 - 10

masyarakat menyebabkan tidak adanya tokoh atau figur yang menjadi panutan di tengah tengah masyarakat dalam menjaga kelestarian lingkungan menjadi bom waktu bagi kawasan hutan di Pulau Buton. Pada masyarakat Buton yang berbasis kearifan lokal di atas, menunjukkan bahwa yang dilakukan parabela adalah komunikasi lingkungan yang bersifat pragmatis dan yang bersifat konstitutif, namun lebih dominan pada yang bersifat pragmatis baik dalam hubungan komunikasi horizontal dengan sang pencipta dan hubungan komunikasi vertikal dengan masyarakat yang tinggal di Kadie yang memiliki kawasan Kaombo. Komunikasi dengan Sang Pencipta dilakukan dalam berbagai upacara adat atau berbagai ritual yang sampai saat ini masih lakukan, yaitu : Tuturangi Lipu Morikana, dan Tuturangina Kalampa. Untuk implementasi komunikasi lingkungan pada masyarakat, parabela tetap menggunakan kedudukannya sebagai pemimpin informal yang memiliki peran sebagai pengambil keputusan dalam penetapan waktu pesta, peran sebagai pemersatu dalam pertanian, peran sebagai tokoh utama dalam pesta adat, dan sebagai mediator dilingkungan masyarakat bila terjadi konflik.

Litlejohn, Stephen W., 1996. Theories of Human Communication. Edisi ke-5. Wadsworth Belmont, California. Mulyana, Dedy. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Raga Sarasin. Pustaka Pelajar. Ygyakarta. _____. 2002. Ilmu Komunikasi Sebuah Pengantar. Remaja Rosda Kaya, Bandung. Rahman,Ruslan. 2005. Parabela di Buton . disertasi. Universitas Hasanuddin. Makassar Rahkmat, Jalaludin. 2002. Metode Penelitian Komunikasi. Remaja Rosda Karya, Bandung. Rogers, Everett, M. 1986. Diffusion of Innovation. Four Edition. The Free Press. A Division of Macmillan Publishing Co. Ine. New York. Rogers dan Shomeaker.1971.Communication of Innovation. The Fress Press. A.Division of Macmillan Publishing Co.Ine.New York. Schoorl.Pim.2003. Masyarakat, sejarah dan Budaya Buton (terjemahan G. Wiayan). Jambatan .Jakarta. Zahari, A.M. 1977. Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni. Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.

DAFTAR PUSTAKABerlo, David K. 1960. The Process of Communication : An Introduction to Theory and Practice. United States Of America. Cox, Robert (2006). Environmental Communication and The Public Sphere. Thousand Oaks, CA: Sage Publications.Curran, James (2002): Media and Power. London: Routledge. DeVito, Joseph A. 1989. The Interpersonal Communication. Harpers and Row Publisher. New York.

M. Najib Husain, Trisakti Haryadi, Sri Peni Wastutiningsih, Implementasi Komunikasi...

9

GLOSARIUMAkoadati: Tau adat, sopan santun Akosabara: Memiliki sifat sabar, dingin tidak cepat emosi Amembali: Sakti Atobungkale: Memiliki sifat terbuka, keterbukaan Atomaeka: Disegani, Ditakuti Atomasiaka: Disegani Aumane: Bersifat Laki-laki, berani Batata: Mantra atau sumpah, ucapan-ucapan yang mengandung Tuah. Bonto: Perangkat kesultanan yang mengawasi kadie yang berasal dari kaum walaka Kadie: Semacam desa di zaman kesultanan Kaombo: Hutan Lindung Kaomu: Golongan bangsawan Kinia: Perangkat kadie yang betugas menutup berbagai acara adat

La Ode: Gelar bangsawan seorang laki-laki Lalaki: Nama lain dari bangsawan atau kaomu (lihat kaomu) Pande Batata: Perangkat kadie bertugas menyumpah parabela menampung aspirasi masyarakat Pande ngkaole: Perangkat kadie bertugas melantunkan syair-syair keramat Papara: Rakyat kebanyakan, lapisan ke tiga masyarakat Buton Parabela: Pemimpin kadie Pikoela liwu: Ritual pra Islam Rongi: Nama salah satu kadie Tuturangi Lipu Morikana: Ritual pra Islam Tuturangi Kalampa: Ritual pra Islam Walaka: Golongan kedua bangsawan adat Buton Wa Ode: Gelar bangsawan seorang wanita

10

KALAMSIASI, Vol. 5, No. 1, Maret 2012, 1 - 10

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN AL QURAN STUDI PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENDIDIKAN AL QURAN DI PROVINSI KALIMANTAN SELATANAMKA(Kabid PMTPK Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur, dan Staf Pengajar Pascasarjana Universilatas Lambung Mangkurat, Banjarmasin)

ABSTRACTThe study uses descriptive-qualitative approach. In this case, the data collected through participant observations, depth interviews, and documentation study. Meanwhile, the analysis of the data conducted using h taxonomy and domains. The results of this study show that: (1) The purpose of Quran education in South Kalimantan Province is to strengthen the noble character of the learners. The process of implementation of Quran education policy in South Kalimantan Province is started from the socialization of the policy to all education stakeholders. The implementation of Quran education policy in South Kalimantan Province is accomplished by using the structural and political approach, and (2) Several factors support the successfulness of the implementation of Quran education policy in South Kalimantan Province are: the cost, the commitment of regional head, and the involvement of religious leaders and communities. Meanwhile, the inhibiting factors in the process of policy implementation are the lack of structure and human resources at the operational level, both in quantity and quality, i.e., the principals as low managers are responsible for the implementation of the policy in schools, and teachers of religious subject as the stakeholders Quran education. Keywords: Implementation, Quran Education Policy.

PENDAHULUANPendidikan merupakan bagian kebutuhan mendasar manusia dan dianggap sebagai bagian dari proses sosial. Pendidikan adalah bagian dari rekayasa sosial. Seperti halnya bangsa-bangsa di dunia, di Indonesia secara sengaja pendidikan dipilih sebagai strategi sekaligus rumusan dasar membangun kualitas manusia Indonesia yang memiliki keunggulan dan kesadaran dalam membangun kehidupan11

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini dapat dilihat dalam rumusan pasal 3 Undangundang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Secara normatif pasal tersebut menunjukkan kekuatan ideologis pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia, yang diyakini bahwa kekuatan ideologis tersebut mampu membarakan kesadaran bangsa Indonesia untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia.

12

KALAMSIASI, Vol. 5, No. 1, Maret 2012, 11 - 24

Secara eksplisit nampak jelas bahwa keunggulan manusia Indonesia yang dibangun melalui sistem pendidikan nasional adalah manusia Indonesia yang memiliki keunggulan yang seimbang pada dimensi ilmu pengetahuan, teknologi dan ketakwaan. Dengan keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi diharapkan manusia Indonesia akan mampu bersaing secara global untuk membangun kompetensi dan kemandirian bangsa Indonesia. Dengan keunggulan ketaqwaan diharapkan manusia memiliki jati diri sebagai bangsa yang bersumber pada kekuatan budi pekerti, moralitas dan spiritualitas sebagai bangsa yang besar yang berakhlakul karimah. Keseimbangan dua dimensi ini dijadikan sebagai landasan filosofisideologis kebijakan pendidikan di Indonesia. Dalam implementasinya keseimbangan tersebut dilaksanakan melalui kebijakan penataan kurikulum pendidikan dan usaha-usaha pencapaian tujuan pendidikan pada tingat sekolah dasar, menengah, dan pendidikan tinggi. Namun dalam realitasnya, keseimbangan dua dimensi ini mengalami distorsi yang cenderung mengedepankan satu dimensi saja, yakni pada keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini tercermin dengan program dan kurikulum pendidikan yang lebih menekankan pada keunggulan siswa pada aspek kognitif untuk menjadi lulusan yang siap kerja. Bahkan ada kecenderungan bahwa dalam implementasinya paradigma mutu pendidikan di Indonesia lebih cenderung bergerser ke arah materialistik-kapitalistik-sekuler. Oleh sebab itu, tidak heran jika dalam keberhasilan pendidikan di Indonesia senantiasa disertai dengan munculnya fenomena yeng mencerminkan adanya kemerosotan nilai-nilai moral-spiritual. Wajah pendidikan Indonesia lebih nampak menghasilkan lulusan yang tidak memiliki kesadaran kritis untuk menjadi manusia yang memiliki keluhuran budi pekerti, kekuatan

akhlakul karimah, dan kemandirian moral. Pendek kata, keberhasilan pendidikan saat ini tidak mampu membangun jati diri peserta didik sebagai bangsa Indonesia sebagaimana yang dikehendaki dalam rumusan pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Selama ini merosotnya kualitas pendidikan nasional hanya terfokus pada persoalan untuk menyiapkan peserta didik agar mampu bersaing di era pasar global, sehingga yang disorot hanyalah dari hasil kelulusan (output) belaka. Sementara penanaman moral dan pencapaian tujuan pendidikan nasional untuk mampu mencetak generasi yang bukan hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional dan spiritual menjadi terlupakan. Disinilah perlu adanya pembenahan dalam pembentukan moralitas pendidikan yang secara praksisnya termuat secara tersembunyi di dalam kurikulum (hidden curriculum) sebagai wujud pendidiksan karakter peserta didik. Kegagalan implementasi kebijakan pendidikan di Indonesia menurut beberapa temuan para ahli, selain disebabkan oleh distorsi atas makna kebijakan, juga disebabkan oleh faktor rumusan kebijakan yang multi tafsir sehingga objektivitas (tujuan konkritnya) mengaburkan makna tujuan pendidikan itu sendiri. Juga faktor personil kebijakan dan faktor sistem organisasi pelaksana turut serta menjadi sumber kegagalan dalam implementasi kebijakan pendidikan. Mencermati problematika pendidikan di Indonesia tersebut di atas, sangat penting dan mendesak untuk merumuskan kebijakan pendidikan yang mampu mengembalikan tujuan dan fungsi pendidikan di Indonesia sebagaimana yang dikehendaki oleh Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003. Beranjak dari fenomena di atas, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan sangat menyadari dan berkeinginan bagaimana membangun pendidikan nasional yang mampu

Amka, Implementasi Kebijakan Pendidikan Al Quran Di Provinsi Kalimantan Selatan

13

melahirkan kembali para peserta didik yang memiliki kesadaran kritis, berkepribadian dan pemikir besar bangsa Indonesia. Setelah menetapkan kebijakan pendidikan karakter dalam proses politik dengan melibatkan seluruh stakeholders, yakni berupa Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2009 tentang Pendidikan Al Quran di Provinsi Kalimantan Selatan. Saat Perda tersebut trengah diimplementasikan dengan diperkuat Peraturan Gubernur Kaliman Selatan Nomor 038 Tahun 2010 tentang Petunjuk Perlaksanaan Perda Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 3 Tahun 2009 tentang Pendidikan Al Quran di Kalimantan Selatan. sesuai dengan kandungan nilai-nilai ideologis pendidikan. Kebijakan tersebut terumuskan dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2009 tentang Pendidikan Al Quran di Provinsi Kalimantan Selatan, dan diharapkan kebijakan tersebut menjadi mutu pendidikan karakter di Kalimantan Selatan. Bertitik tolak dari akar permasalahan tersebut di atas, maka sangat penting untuk dilakukan penelitian tentang pendidikan al Quran sebagai basis pendidikan akhlak mulia di Provinsi Kalimantan Selatan, dengan rumusan masalah penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimanakah implementasi Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2009 untuk meningkatkan pendidikan al Quran di Provinsi Kalimantan Selatan ? 2. Faktor-faktor apakah yang mendukung dan menghambat implementasi Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2009 untuk meningkatkan pendidikan al Quran di Provinsi Kalimantan Selatan ?

KERANGKA TEORIPendidikan Karakter sebagai Instrumen Pembangunan Manusia Pendidikan merupakan instrumen

pembangunan manusia menurut Paulo Freire (2000:5) kegiatan pendidikan merupakan kegiatan memahami makna atas realitas yang dipelajari. Kegiatan tersebut menuntut sikap kritis (critical attitude) dari para pelaku, yakni peserta didik dan pendidik. Dengan bantuan pembimbingan dan pendampingan oleh pendidik, peserta didik dituntut secara kreatif dan aktif memehami makna dari realitas dunia untuk perbaikan kehidupannya dan peradaban manusia. Dalam konteks Indonesia pendidikan sebagai pembangunan manusia terumuskan melalui Sistem Pendidikan Nasional. Tujuan pendidikan di Indonesia sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah Pendidikan nasional berupaya mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Menurut Lictona (1991) tujuan pendidikan dan pembelajaran nilai dan watak adalah watak baik yakni hidup dengan perilaku yang benar dalam hubungannya dengan Tuhan, manusia, alam lingkungan, dan dengan diri sendiri. Character consist of operative value, value in action. Pada pembelajaran nilai dan karakter terdapat tiga sisi yang perlu secara bersama-sama dan proporsional dikembangkan, yaitu: (1) pengetahuan moral (moral knowing) yakni pengetahuan/wawasan tentang baik-buruk, halal-haram, layak-tidak layak, sahtidak sah; (2) perasaan moral (moral feeling) seperti empati, rasa sayang, cinta, dengan cara

14

KALAMSIASI, Vol. 5, No. 1, Maret 2012, 11 - 24

merasakan kehidupan dalam suasana yang bermoral; dan (3) tindakan moral (moral action). Watak baik itu ditentukan oleh knowing the good, desiring the good, dan doing the good yakni kebiasaan: berpikir positif, berprasangka baik, dan berbuat baik (http://www.labschoolunj.sch.id/smajkt/publikasi.php?action =artikel&id =997, tanggal 23 Pebruari 2010). Wujud dari karakter adalah kepribadian atau personality yang telah memiliki internalisasi nilai, moral, dan spiritual. Oleh karena kepribadian merupakan salah satu bentuk dari sifat manusia yang bisa berubah-ubah, maka penempaan kualitas kepribadian dilakukan melalui proses pendidikan. Dan salah satu tujuan pendidikan adalah untuk melahirkan manusia yang memiliki kepribadian yang baik. Oleh karena itu, reformasi pendidikan sangat mutlak diperlukan untuk membangun karakter atau watak suatu bangsa, bahkan merupakan kebutuhan mendesak. Reformasi kehidupan nasional secara singkat, pada intinya bertujuan untuk membangun Indonesia yang lebih genuinely dan authentically demokratis dan berkeadaban, sehingga betul-betul menjadi Indonesia baru yang madani, yang bersatu padu (integrated). Di samping itu, peran pendidikan nasional dengan berbagai jenjang dan jalurnya merupakan sarana paling strategis untuk mengasuh, membesarkan dan mengembangkan warga negara yang demokratis dan memiliki keadaban (civility) kemampuan, keterampilan, etos dan motivasi serta berpartisipasi aktif, merupakan ciri dan karakter paling pokok dari suatu masyarakat madani Indonesia. Santoso (1981:33) mengemukakan bahwa tujuan tiap pendidikan yang murni adalah menyusun harga diri yang kukuh-kuat dalam jiwa pelajar, supaya mereka kelak dapat bertahan dalam masyarakat. Di bagian lain, Santoso (1979:iii) juga mengemukakan bahwa pendidik bertugas mengembangkan potensi individu

semaksimal mungkin dalam batas-batas kemampuannnya, sehingga terbentuk manusia yang pandai (pintar), terampil, jujur, tahu kemampuan dan batas kemampuannya, serta mempunyai kehormatan diri dan akhlak yang baik. Dengan demikian, pembinaan watak atau pembentukan karakter merupakan tugas utama pendidikan dengan membuat dan mengimplementasikan kebijakan pendidikan karakter. Implementasi Kebijakan Pendidikan Secara teoritik, suatu kebijakan pendidikan dirumuskan dengan mendasarkan diri pada landasan pemikiran yang lebih ilmiah empirik. Kajian ini menggunakan pola pendekatan yang beragam sesuai dengan faham teori yang dianut oleh masing-masing penentu kebijakan. Dalam kajian ini, paling tidak ada dua pendekatan yang dapat direkomendasikan kepada para penentu/berwenang dalam merumuskan suatu kebijakan pendidikan. Dua pendekatan dalam perumusan kebijakan pendidikan tersebut adalah: (1) Social Demand Approach, dan (2) Man-Power Approach (Rohman, 2009-a:114). Secara teoretik, implementasi oleh sebagian ahli diartikan sebagai to provide the means for carying out atau to give practical effect to. Sehingga pengertian di atas mengandung arti bahwa implementasi kebijakan pendidikan sebagai proses menjalankan keputusan kebijakan pendidikan. Wujud dari keputusan kebijakan ini biasanya berupa undang-undang, instruksi presiden, peraturan pemerintah, keputusan pengadilan, peraturan menteri, dan sebagainya (Wahab, 1997:64). Implementasi kebijakan menurut Van Meter dan Van Horn dimaksudkan sebagai keseluruhan tindakan yang dilakukan oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok pemerintahan atau swasta yang diarahkan kepada pencapaian tujuan kebijakan

Amka, Implementasi Kebijakan Pendidikan Al Quran Di Provinsi Kalimantan Selatan

15

yang telah ditentukan terlebih dahulu (Van Meter dan Van Horn, dalam Wahab, 1997:65). Girindle menambahkan bahwa proses implementasi mencakup tugas-tugas membentuk suatu ikatan yang memungkinkan arah suatu kebijakan dapat direalisasikan sebagai hasil dari aktivitas pemerintah (Girindle, 1980:6). Seperti tugas-tugas dalam hal mengarahkan sasaran atau obyek, penggunaan dana, ketepatan waktu, memanfaatkan organisasi pelaksana, partisipasi masyarakat, kesesuaian program dengan tujuan kebijakan, dan lain-lain. Dalam menganalisis masalah implementasi kebijakan menurut Jones (1996:296) seharus-nya didasarkan pada konsepsi aktifitas-aktifitas fungsional. Menurutnya, implementasi adalah suatu aktifitas yang dimaksudkan untuk mengoperasikan sebuah program atau kebijakan. Setidaknya ada 3 (tiga) pilar aktifitas dalam mengoperasikan program tersebut, yakni: (1) pengorganisasian, berupa pembentukan atau penataan kembali sumberdaya, unit-unit serta metode untuk menjalankan program atau kebijakan agar bisa berjalan; (2) interpretasi, yaitu aktifitas menafsirkan agar program menjadi rencana dan pengarahan yang tepat dan dapat diterima serta dilaksanakan; (3) aplikasi, berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan, pembayaran, atau lainnya yang disesuaikan dengan tujuan atau perlengkapan program. Dari beberapa paparan di atas nampak bahwa proses implementasi kebijakan (pendidikan) merupakan proses yang tidak hanya menyangkut perilaku-perilaku badan adminsitratif pemerintah yang bertangung jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan kepada kelompok sasaran (target groups), melainkan juga menyangkut faktorfaktor hukum, politik, ekonomi, sosial yang langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap perilaku dari berbagai pihak yang terlibat dalam program atau kebijakan.

Implementasi kebijakan pendidikan sebenarnya tidak menjadi monopoli birokrasi pendidikan yang secara hirarkis dilakukan dari paling atas kantor Kementrian Pendidikan Nasional sampai dengan paling bawah yaitu ranting Dinas Pendidikan dan Pengajaran. Dalam implementasi kebijakan pendidikan, baik pemerintah, masyarakat serta sekolah idealnya secara bersama dan saling bahu membahu dalam bekerja dan melaksanakan tugas-tugasnya demi suksesnya implementasi kebijakan pendidikan. Beberapa ahli ilmu sosial menyebutkan ada empat pendekatan dalam proses implementasi kebijakan umumnya dan kebijakan pendidikan khususnya sebagaimana telah diungkapkan Wahab (1997:110-120) yaitu: (1) pendekatan struktural, (2) pendekatan prosedural dan manajerial, (3) pendekatan perilaku, dan (4) pendekatan politik. Pada tahap implementasi ini, perlu kiranya dianalisis faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses kegagalan dan keberhasilan implementasi kebijakan. Dan cara meminimalkan kegagalan dan memaksimalkan keberhasilan dalam proses implementasi. Menurut Rohman (2009-a:148-149) ada tiga faktor penyebab kegagalan, yakni: (a) faktor yang terletak pada rumusan kebijakan; (b) faktor yang ter-letak pada personil pelaksana; dan (c) faktor yang terletak pada sistem organisasi pelaksana. Dari perspektif lain, Edward III (1980:148) telah mengidentifikasi setidaknya terdapat 4 (empat) faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, yaitu : (1) komunikasi (communication), (2) struktur birokrasi (bureaucratic structure), (3) sumberdaya (resources), dan (4) disposisi (disposition) (Edward III, 1980:148). Sedangkan Peters (1986:60-72) mengatakan, implementasi kebijakan yang gagal disebabkan beberapa faktor; informasi, isi kebijakan, dukungan sarana dan prasarana, dan pembagian potensi.

16

KALAMSIASI, Vol. 5, No. 1, Maret 2012, 11 - 24

Beranjak dari kerangka teori tersebut di atas, maka konseptualisasi penelitian ini dideskripsi-kan dalam gambar di bawah ini.

Gambar 1

METODE PENELITIANPenelitian ini menggunakan model penelitian deskriptif kualitatif sebagaimana yang dikemukakan oleh Moleong (2000:55). Setting penelitian ini dilakukan di Provinsi Kalimantan Selatan karena didasarkan pada beberapa pertimbangan kondisi riil dan potensi pendidikan di Provinsi Kalimantan Selatan. Sejumlah stakeholders pendidikan dan institusi pendidikan di Provinsi Kalimantan Selatan dijadikan subjek penelitian, baik pada policy level atau level pembuatan kebijakan, organizational level atau implementor ataupun operational level atau implementor kebijakan di level teknis. Sedangkan dari stakeholders pendidikan adalah para akademisi, tokoh

masyarakat, tokoh agama, budayawan, dan penggiat LSM pendidikan di Provinsi Kalimantan Selatan selaku yang menjadi mitra para implementor kebijakan pendidikan al Quran. Pengumpulan data untuk membentuk teori dilakukan pengamatan, wawancara dan penelusuran dokumen. Pada proses pengumpulan data, pendekatan manusia sebagai instrumen utama dalam penelitian. Analisis data dilakukan selama maupun sesudah kegiatan lapangan, artinya selama peneliti berada di lapangan tidak hanya mengumpulkan data, tetapi berikut melakukan klasifikasi data, mengolah dan menulis laporan sementara penelitian. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang valid analisis data dilakukan setelah pencarian data di lapangan dianggap cukup.

Amka, Implementasi Kebijakan Pendidikan Al Quran Di Provinsi Kalimantan Selatan

17

Untuk mempertajam analisis dilakukan telaah ulang hasil analisis data dengan memperdalam wawancara terhadap informan kunci hingga dapat ditarik kesimpulan terhadap makna-makna intersubyektif yang sulit dimaknakan sendiri oleh peneliti. Selain itu, hal ini juga akan melibatkan subyek penelitian pada proses penelitian secara maksimal, sehingga hasil penelitian lebih terjamin keterandalannya, dan juga dapat menjaga subyektivitas peneliti ke dalam proses penelitian (Bungin, 2003:178). Untuk melakukan pengujian keabsahan data dalam penelitian ini dilakukan triangulasi. Teknik ini dilakukan dengan mencari sumber lain yang berhubungan dengan fokus penelitian ini. Mengacu pada pendapat Denzin dan Licoln (1998:47) dalam proses triangulasi ini peneliti tidak menggunakan keempat langkah pengujian keabsahan data, akan tetapi lebih terfokus pada triangulasi terhadap sumber atau informan penelitian. Yakni, peneliti meminta kepada para informan untuk membaca dan menelaah kembali analisis data hasil penelitian. Dengan demikian informan sebagai sumber data telah memberikan koreksi secara langsung terhadap analisis dan penafsiran data yang tidak sesuai dengan apa yang disampaikan oleh para informan.

berkelompok. Meskipun masing-masing suku masih menggunakan bahasa aslinya, untuk keperluan sehari-hari mereka memakai bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Konsep dan Tujuan Kebijakan Pendidikan Al Quran di Provinsi Kalimantan Selatan Dalam konteks regulasi pendidikan karakter adalah amanat dari UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Pada pasal 3 disebutkan: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pada pasal ini 5 dari 8 potensi peserta didik yang ingin dikembangkan lebih dekat dengan karakter manusia. Menyadari akan pentingnya pendidikan karakter sebagai bagian integral untuk membangun keunggulan siswa, maka Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan telah membuat kebijakan pendidikan berbasis karakter dengan telah disyahkannya Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2009 tentang Pendidikan Al Quran . Al Quran adalah sumber nilai dan ajaran kebaikan dan kebenaran yang bersifat universal, karenanya Al Quran diperuntukan sebagai petunjuk dan pedoman kehidupan bagi seluruh umat manusia. Ajaran dan nilai-nilai Al- Quran ini telah terjawantah dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di Kalimantan Selatan. Oleh sebab itu, menurut Gubernur Provinsi Kalimantan Selatan, H. Rudy Ariffin, kebijakan Pendidikan Al Quran adalah dimaksudkan

HASIL PENELITIANSecara administratif wilayah Provinsi Kalimantan Selatan dengan Kota Banjarmasin sebagai ibukotanya, meliputi 11 kabupaten dan 2 kota. Mayoritas penduduk Kalimantan Selatan adalah suku Banjar. Selain itu juga terdapat suku dayak, terutama di daerah pedalaman Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kabupaten Tabalong dan Kabupaten Barito Kuala. Suku Bugis banyak tinggal di Kabupaten Kotabaru. Selain itu, banyak pula suku Jawa dan Madura yang tinggal di Banjarmasin atau di daerah proyek-proyek transmigrasi secara

18

KALAMSIASI, Vol. 5, No. 1, Maret 2012, 11 - 24

untuk mendidik anak-anak Kalsel sejak dini agar menjadi generasi yang Qurani, yakni generasi yang memiliki karakter, cerdas dan Islami, hingga ke depannya anak-anak tidak ada lagi yang buta huruf al Quran, sebagai sumber nilai kepribadian dan karakter manusia (Wawancara tanggal, 20 Februari 2010). Secara umum tujuan kebijakan pendidikan al Quran di Provinsi Kalimantan Selatan adalah untuk memperkuat keseimbangan pendidikan karakter, yakni pendidikan akhlakul karimah dan kapabilitas keilmuan melalui penguatan akhlak mulia peserta didik. Keseimbangan antara pembentukan akhlakul karimah sebagai karakter peserta didik dan kapabilitas anak didik merupakan kebijakan standart mutu pendidikan sebagaimana yang diharapkan pada Pasal 3 UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Setiap anak didik mempunyai potensi untuk dikembangkan karakter positifnya sehingga mampu memberikan kontribusi yang baik juga untuk masyarakatnya. Setiap anak didik, siapa pun dia, apa pun latar belakang yang membuatnya ada dan terlahir di dunia ini, berhak untuk dibantu mengembangkan karakter positifnya oleh orang-orang dewasa yang ada di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat di mana dia berada. Konsep keseimbangan mutu pendidikan berbasis karakter yang dikembangkan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan sesungguhnya memiliki asas legalitas yakni Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, pada Bab II Pasal 3 tentang tujuan pendidikan nasional, yang dapat digambarkan sebagai berikut :

Tujuan Pendidikan Nasional

Gambar 2 Sumber : Hasil Telaah Penelitian, 2010.

Implementasi Kebijakan Pendidikan Al Quran di Provinsi Kalimantan Selatan Proses implementasi kebijakan pendidikan al Quran di Provinsi Kalimantan Selatan sudah berjalan dalam bentuk sosialisasi kebijakan kepada seluruh stakeholders pendidikan. Sosialisasi ini dimaksudkan agar seluruh stakeholders pendidikan memahami secara benar terhadap isi kebijakan. Berbagai sarana dan kegiatan dilakukan oleh Dinas Pendidikan Kalimantan Selatan untuk melakukan sosialisasi kebijakan pendidikan al Quran ini, baik melalui rapat koordinasi, forum ilmiah, maupun media informasi dan komunikasi. Sosialisasi juga dilakukan melalui majalah atau buletin yang secara resmi diterbitkan oleh Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Selatan secara rutin dan reguler setiap tiga (3) bulan sekali. Pada majalah ini selain dimuat secara lengkap Perda Nomor 3 Tahun 2009 sebagai

Amka, Implementasi Kebijakan Pendidikan Al Quran Di Provinsi Kalimantan Selatan

19

landasan formil kebijakan pendidikan karakter di Provinsi Kalimantan Selatan, juga telah dimuat pula visi dan misi Gubernur yang terkait dengan kebijakan pendidikan al Quran di Provinsi Kalimantan Selatan. Bahkan pada edisi Triwulan II T (April-Juni) tahun 2009 dimuat dan dibahas secara khusus tentang Perda Nomor 3 Tahun 2009. Pendekatan implementasi kebijakan pendidikan al Quran di Provinsi Kalimantan Selatan dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan struktural (structural approach). Seperti yang dikatakan oleh Wahab (1997: 117) bahwa structural approach menekankan suatu kebijakan diimplementasikan, dikendalikan, dan dievaluasi secara struktural. Pendekatan ini juga menekankan pentingnya komando dan pengawasan menurut tahapan atau tingkatan dalam struktur masing-masing organisasi, dalam hal ini adalah Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Selatan. Dengan pendekatan struktural ini dilaksanakan melalui kekuatan birokrasi pada Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Selatan dan Dinas Pendidikan di Kabupaten/Kota. Meskipun secara struktural birokrasi Dinas Pendidikan Provinsi dengan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota tidak lagi memiliki garis vertikal atau hubungan instruksional sebagaimana model birokrasi di masa Pemerintahan Orde Baru. Namun model birokrasi ini tidak menjadi suatu halangan dalam proses implementasi kebijakan pendidikan al Quran di Provinsi Kalimantan Selatan. Selain pendekatan struktural, implementasi kebijakan pendidikan al Quran di Provinsi Kalimantan Selatan juga dilaksanakan dengan pendekatan politik. Menurut Wahab (1997:117-119) pendekatan politik juga sangat penting dalam proses implementasi. Pendekatan politik adalah dimaksudkan agar suatu kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah

mendapatkan dukungan dan pengawasan dari legislator. Wahab (1997:119) melihat bahwa pelaksanaan kebijakan tidak mungkin hanya dilakukan dengan komunikasi interpesonal akan tetapi komunikasi politik secara formal dengan berbagai kekuatan politik di legislatif sangat penting untuk dilakukan secara intens untuk mencapai tujuan kebijakan. Setelah tahap sosialisasi yang sudah dilaksanakan semenjak Perda Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 3 Tahun 2009 maka tahap berikutnya adalah melaksanakan program penguatan sumber daya manusia dan penyediaan sarana, penyusunan rencana program pembelajaran (RPP), silabus, dan kurikulum dan penyediaan pembangunan sarana dan prasarana pendidikan al Quran di Provinsi Kalimantan Selatan, serta pelaksanaan program ekstrakurikuler siswa SLTA dalam bentuk kegiatan pengembangan akhlak mulia, pekan IMTAQ, dan pasantren ramadahan bagi siswa SLTA tingkat Provinsi Kalimantan Selatan. Sasaran program penguatan sumber daya manusia adalah para guru agama baik di sekolah negeri maupun swasta yang secara langsung memangku mata pelajaran pendidikan al Quran. Program penguatan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan guru agama dalam proses pembelajaran dan penanaman karakter siswa melalui pelajaran agama, khususnya Al Quran memalui Pendidikan dan Latihan Training of Trainer (Diklat TOT). Karena memang realitas di lapangan masih banyak ditemukan guru agama yang masih konvensional dalam metode pembelajaran. Jumlah guru yang mengikuti TOT ini masih jauh dari kebutuhan. Dari studi dokumentasi jumlah guru pendidikan al Quran sebanyak 4053 sedangkan yang telah mengikuti TOT sebanyak 611 atau sekitar 15%. Dari studi dokumentasi juga telah ditemukan bahwa Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, yakni Dinas Pendidikan

20

KALAMSIASI, Vol. 5, No. 1, Maret 2012, 11 - 24

Provinsi Kalimantan Selatan telah membentuk Tim Penyusun Kurikulum (TPK) yang diketuai oleh Drs. Ngadimin Saleh, M.Si. TPK yang dibentuk ini beranggotakan pengawas sekolah, akademisi, guru, dan pejabat eselon IV dan staf bagian perencanaan dan program pada Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Selatan. Saat ini TPK telah berhasil menyusunan RPP, Silabus, dan Kurikulum Pendidikan al Quran. Mulai dari pendidikan di tingkat dasar dan lanjutan. Selain itu TPK juga tengah menggodok pedoman monitoring dan evaluasi pelaksanaan pendidikan al Quran di Kalimantan Selatan. Program lainnya, yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dalam proses implementasi kebijakan pendidikan al Quran adalah penyediaan sarana dan prasarana pendidikan karakter. Dari observasi dan studi dokumentasi memperlihatkan bahwa penyediaan sarana pendidikan al Quran yang telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan adalah bantuan untuk renovasi (perbaikan) dan pembangunan musholah di sekolah negeri maupun swasta. Selain itu, juga penyediaan sarana pembelajaran pendidikan al Quran seperti pengadaan al Quran , pengadaan buku pendidikan al Quran dan keagamaan, serta pengadaan buku silabus, RPP, dan Kurikulum yang dibagikan kepada sekolah-sekolah. Salah satu isu penting dalam kajian implementasi kebijakan adalah peranan pemimpin birokrasi sebagai implementor kebijakan baik pada organizational level maupun operational level. Dalam konteks implementasi kebijakan pendidikan al Quran di Provinsi Kalimantan Selatan, yang dimaksudkan dengan implementor kebijakan adalah Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Selatan, Kepala Dinas Pendidikan, Pejabat Eselon V dan Eselon IV pada Dinas Prendidikan Provinsi/Kabupaten/Kota, dan

Kepala Sekolah. Peranan implementor dalam membuat perubahan pada birokrasi yang dipimpinnya dalam mengimplementasikan kebijakan dari hasil penemuan pada penelitian memiliki peran yang cukup efektif. Para implementor telah melaksanakan fungsinya sebagai: (a) management engineer, yakni mampu menerapkan teknik-teknik perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengawasan dalam tahapan implementasi, (b) communicator, yakni mampu menerapkan teknik motivasi dan komunikasi antar personal, serta pendekatan yang humanist dalam membangun moral kerja guru yang tinggi, (c) clinical practitioner, yakni mampu mendiagnosis masalah-masalah dalam proses implementasi kebijakan, (d) high priest, yakni mampu mengartikulasikan visi dan misi kebijakan, dan (e) memiliki komitmen yang kuat dalam melaksanakan kebijakan pendidikan karakter di Provinsi Kalimantan Selatan. Faktor penghambat dan Pendukung Dalam Implementasi Kebijakan Pendidikan al quran di Provinsi Kalimantan Selatan Hoqwood dan Gunn (Rohman, 2009a:83) bahwa adanya komunikasi dan koordinasi yang sempurna sangat menentukan proses implementasi kebijakan. Komunikasi dan koordinasi yang buruk akan menjadi hambatan yang serius dalam proses pelaksanaan kebijakan, bahkan akan berpengaruh terhadap kegagalan pencapaian tujuan kebijakan. Pendekatan struktural dengan pola organisasi Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Selatan yang secara birokratis memiliki beberapa keterbatasan struktur dan sumber daya manusia (personil) menjadi faktor penghambat dalam proses implementasi kebijakan. Kemampuan sumber daya manusia

Amka, Implementasi Kebijakan Pendidikan Al Quran Di Provinsi Kalimantan Selatan

21

sangat menentukan keberhasilan implementasi kebijakan. Menurut Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier (Wahab, 1997:81) sumberdaya manusia yang handal akan mampu mengindentifikasi dan menganalisis variable-variabel yang dapat mempengaruhi pencapaian tujuan kebijakan dalam proses implementasi. Sumber daya manusia yang terkait dengan proses implementasi kebijakan pendidikan al Quran di Kalimantan Selatan adalah para implementor atau personil pelaksana kebijakan yang bertanggung jawab untuk mempersiapkan piranti implementasi kebijakan secara kuantitas dan kualitas masih belum sesuai dengan kebutuhan personil dalam melaksanbakan kebijakan. Jumlah guru agama ini sangat tidak sebanding dengan jumlah sasaran kebijakan juga menjadi faktor hambatan dalam proses implementasi kebijakan pendidikan al Quran. Keterbatasan sumber daya manusia ini tidak saja dari segi kuantitas kebutuhan guru, tetapi juga dari kualitas, kemampuan guru dalam pembelajaran. Beberapa faktor yang mendukung proses implementasi kebijakan pendidikan al Quran di Provinsi Kalimantan Selatan antara lain; dukungan biaya, komitmen kepala daerah, dan keterlibatan para tokoh agama dan masyarakat. Sebenarnya dengan pendekatan struktural sebagai salah satu pendekatan yang bersifat topdown yang dikenal dalam teori-teori organisasi modern sebagaimana yang dikatakan oleh Wahab (2009:21), kenyataannya proses implementasi kebijakan pendidikan karakter telah mendapatkan dukungan masyarakat, baik dari tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh LSM, maupun para akademisi. Dalam proses implementasi kebijakan biaya dan sarana-prasarana merupakan faktor penting. Peters (1986:60-72) dan Edward III (1980:148) mengatakan, implementasi

kebijakan yang gagal disebabkan beberapa faktor antara lain ketiadaan atau kurangnya ketersediaan biaya dan sarana-prasarana. Artinya, dukungan biaya, sarana dan prasarana merupakan salah kunci faktor keberhasilan implementasi kebijakan. Dalam implementasi kebijakan pendidikan di Provinsi Kalimantan Selatan dukungan anggaran biaya dan ketersediaan sarana dan prasarana sudah lebih dari memadai. Pada tahun 2010, untuk melaksanakan pendidikan karakter di Provinsi Kalimantan Selatan telah disetujui oleh legislator anggaran biaya sebesar 4 milyar lebih. Anggaran beaya ini dimaksudkan untuk kebutuhan honorarirum guru dan pembenahan ataupun pengadaan sarana dan prasarana pendidikan dan pembelajaran. Komitmen Gubernur sebagai Kepala Daerah Provinsi Kalimantan Selatan terhadap implementasi kebijakan pendidikan karakter ditunjukkan dengan telah diterbitkannya Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 038 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Nomor 3 Tahun 2009. Pergub ini secara teknis sebagai pedoman strategis, pedoman teknis, dan pedoman operasional bagi Pemerintah Kabupaten/Kota untuk melaksanakan kebijakan pendidikan karakter di wilayah kerjanya masing-masing. Komunikasi dan koordinasi (Edward III, 1980:148) juga menjadi bagian penting mendukung proses implementasi kebijakan pendidikan al Quran. Memperhatikan beberapa faktor yang mendukung keberhasilan implementasi kebijakan pendidikan al Quran di Kalimantan Selatan secara teoretis Menurut Korten (1988) dapat dikatakan merupakan bentuk model kesesuaian implementasi dengan kebutuhan dan program pendidikan karakter. Tanpa mengurangi kredibilitas model proses implementasi kebijakan dari Van Meter dan Van Horn terlihat bahwa elemen yang menentukan

22

KALAMSIASI, Vol. 5, No. 1, Maret 2012, 11 - 24

keberhasilan penerapannya termasuk ke dalam elemen model proses politik dan administrasi menurut Grindle (1980). Kata kunci yakni perubahan, kontrol dan kepatuhan termasuk dalam dimensi isi kebijakan dan konteks implementasi kebijakan.

SIMPULAN DAN IMPLIKASIBerdasarkan pemaparan data dan Pembahasan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa : 1. Implementasi kebijakan pendidikan al Quran di Provinsi Kalimantan Selatan dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan struktural (structural approach) dan pendekatan politik. Pendekatan struktural dilakukan memalui kekuatan birokrasi pada Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Selatan dan Dinas Pendidikan di Kabupaten/Kota. Sedangkan pendekatan politik dimaksudkan agar suatu kebijakan pendidikan al Qur an mendapatkan dukungan dari legislator. Dalam proses implementasi kebijakan pendidikan al Quran di Provinsi Kalimantan Selatan, implementor memiliki peran penting baik pada organizational level maupun operational level. Selain itu, manajemen sekolah dan guru juga memiliki peran, fungsi, dan tugas pokok yang penting untuk melaksanakan kebijakan pendidikan al Quran sesuai dengan isi Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 3 Tahun 2009. 2. Beberapa faktor yang mendukung keberhasilan implementasi kebijakan pendidikan al Quran di Provinsi Kalimantan Selatan antara lain; (1) dukungan biaya, (2) komitmen kepala daerah dan legislatif, (3) penyediaan sumber-sumber yang cukup memadai, (4)

informasi dan komunikasi guna sosialisasi, koordinasi, pengendalian, pengawasan, (5) dan evaluasi; (6) peran implementor pada level organizational maupun level operational; dan (7) keterlibatan para tokoh agama (ulama), tokoh masyarakat, praktisi pendidikan, dan akademisi. Sedangkan faktor penghambat dalam proses implementasi kebijakan adalah keterbatasan struktur dan sumber daya manusia pada level operasional (operational level) baik secara kuantitas maupun kualitas, yakni kepala sekolah sebagai low manajer yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kebijakan di sekolah, dan guru agama sebagai pemangku pendidikan al Quran. Implikasi Hasil Penelitian Dalam perspektif implementasi kebijakan hasil penelitian ini memperkuat teori the topdown approach yang dikemukanakan oleh Brian W. Hoqwood dan Lewis A. Gunn (Rohman, 2009-a:84). Teori the top-down approach merupakan teori yang digagas untuk menciptakan perfect implementation, yakni melaksanakan suatu kebijakan secara sempurna dalam upaya memperkuat keseimbangan pendidikan karakter dan kapabilitas keilmuan melalui penguatan akhlak mulia peserta didik. Dilihat dari perspektif faktor yang mendukung keberhasilan dan menghambat proses implementasi kebijakan pendidikan al Quran di Kalimantan Selatan, maka hasil penelitian ini memperkuat teori yang dikemukakan oleh Rohman (2009-a:148-149) tentang sumber kegagalan dan keberhasilan implementasi kebijakan. Juga memperkuat temuan Nakamura (dalam Silalahi, 1989:154), dan temuan (Edward III, 1980:148) faktor

Amka, Implementasi Kebijakan Pendidikan Al Quran Di Provinsi Kalimantan Selatan

23

dominan dalam implementasi kebijakan, serta Peters (1986: 60-72) tentang faktor kegagalan implementasi kebijakan. Secara praktis hasil penelitian ini memberikan kritik terhadap kebijakan pendidikan karakter inklusif yang dikembangkan oleh Ratna Megawangi. Akan tetapi mensintesiskan model kebijakan pendidikan karakter yang dikemukakan Lictona (1997). Sesuai dengan pemaparan implikasi hasil penelitian maka beberapa proposisi utama dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Implementasi kebijakan pendidikan al Quran dapat dilakukan melalui pendekatan struktural dan politik untuk menciptakan perfect implementation dan kapabilitas keilmuan melalui penguatan akhlak mulia peserta didik. 2. Proses implementasi kebijakan pendidikan al Quran ditentukan oleh variabel-variabel penting sebagai faktor pendukung implementasi kebijakan antara lain; wewenang kekuasaan, sumber biaya yang cukup tersedia, dukungan politik legislator, struktur birokrasi, kemampuan implementor di level organisasi dan level operasional, serta partisipasi tokoh kunci pendidikan dan masyarakat.

Implementation in the Third World, Princeton Univercity Press. Jones, Charles O.1996, Pengantar Kebijakan Publik, Jakarta : Raja Grafindo. Lictona, Thomas, 1991, http://www.labschoolunj.sch.id/smajkt/publikasi.php? action=artikel&id =997, tanggal 23 Pebruari 2010. , 1997, Educating for Character, New York: Bantam Books. Lindblom, Charles, 1968, The Policy Making Process, Englewood Cliffs Nj : Prentice Hall. Mazmanian, Daniel A. and Sabatier, Paul A, 1983, Implementation and Puiblic Policy, Scott Foresman and Company, London. Megawangi, Ratna, 2004, Pendidikan Karakter : Solusi Tepat Untuk Membangun Indonesia, Jakarta : Indonsia Heritage Foundation Megawangi, et al., Ratna., 2004 Pendidikan Holistik: Untuk Membangun Manusia yang Lifelong Learners, Indonesia Heritage Foundation Moleong, Lexy, J, 2000, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosdakarya. Peters, B. Guy, 1986, Ameriacn Public Policy : Promise and Performance, Chatham : NJ Chatham House Perda Nomor 3/2009 tentang Pendidikan Al Quran, Biro Humas Setda Provinsi Kalimantan Seltan, edisi Jumat, 16 Oktober 2009 Ratnawati, P., 2004, Mengukur Kepuasan Masyarakat Terhadap Pelayanan Pendidikan, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Edisi 43, http:// www.depdiknas.go.id/Jurnal/43/pratnawati.htm, 5 Juli 2008.

DAFTAR PUSTAKABungin, Burhan, 2003, Analisis Data Penelitian Kualitatif, RajaGrafindo Persada, Jakarta. Denzin, N.K., & Lincoln, Yvonna S., (ed), 1998, Strategies of Qualitative Inquiry, New Delhi : Sage Publivations Edward III, George C (edited), 1984, Public Policy Implementing, Jai Press Inc, London-England. Grindle, M., 1980, Politics and Policy

24

KALAMSIASI, Vol. 5, No. 1, Maret 2012, 11 - 24

Rohamn, Arief, 2009-a, Politik Ideologi Pendidikan, Yogjakarta : Laksbang Mediatama , 2009-b, Memahami Pendidikan dan Ilmu Pendidikan, Yogjakarta : Laksbang Mediatama Santoso, Slamet Imam, 1981, Pembinaan Watak Tugas Utama Pendidikan, Jakarta : UI Pers

Suryadi, Ace dan Tilaar, HAR, 1994, Analisis Kebijakan Pendidikan: Suatu Pengantar, Bandung: Rosda Karya. Wahab, Solichin Abdul, 1997, Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Bumi Aksara. Wahab, Solichin Abdul, 2009, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Malang: UMM Press

KEBIJAKAN MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU BERBASIS SEKOLAH (MPMBS) DI KOTA BANJARMASIN KALIMANTAN SELATANNgadimun(Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Selatan)

ABSTRACTThis study used a qualitative approach and the results describe; effectiveness of policy implementation in the city of Banjarmasin MPMBS achieved in accordance with the objectives of the policy MPMBS improve the quality of education by making changes to the educational management from the old pattern toward the pattern of MBS. Effectiveness is achieved because the policy MPMBS interpreted positively, then do MPMBS policy socialization through various media, and the availability of supporting resources policy. Factors that support the effectiveness of policy implementation in the city of Banjarmasin MPMBS among others: (a) has been implemented in earnest owned school autonomy, (b) community participation, (c) a democratic school leadership; transparency and accountability, (d) a conducive school environment, and (e) budgetary support from government and society. While inhibiting factors in the process of policy implementation in the city of Banjarmasin MPMBS among others: (a) the low quality of teachers according to minimum standards of education services, (b) the limitations of learning resources and learning media, and (c) bureaucratic obstacles in the management of school finances. MPMBS effective model is a management model that gives greater autonomy to schools and encourage community participation and community schools to improve the independence and quality of schools. Keywords : School-Based Quality Improvement Management

PENDAHULUANSalah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan25

nasional, misalnya pengembangan kurikulum nasional dan lokal, peningkatan kompetensi guru melalui pelatihan, pengadaan buku dan alat pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, dan peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukan peningkatan yang berarti. Sebagian sekolah,

26

KALAMSIASI, Vol. 5, No. 1, Maret 2012, 25 - 38

terutama di kota-kota, menunjukan peningkatan mutu pendidikan yang cukup menggembirakan, namun sebagian lainnya masih memprihatinkan. Berdasarkan kenyataan-kenyataan ini, salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan reorientasi penyelenggaraan pendidikan, yaitu dari manajemen peningkatan mutu berbasis pusat menuju manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah. Kebijakan manajemen berbasis sekolah ini merupakan salah satu kebijakan nasional dan kebijakan daerah dalam penyempurnaan penyelenggaraan pendidikan, sebagai upaya perbaikan penyelenggaraan pendidikan adalah perbaikan manajemen yaitu manajemen peningkatan mutu yang berbasis pada pemerintah pusat, menjadi kebijakan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS). MPMBS telah banyak diterapkan di sekolah, bukan hanya di negara maju, tetapi juga telah menyebar di negara-negara sedang berkembang. Penerapan MPMBS telah banyak menjanjikan untuk peningkatan mutu pendidikan. Penerapan MPMBS akan berhasil jika diberikan prakondisi dengan membangun kapasitas dan komitmen sekolah, termasuk semua pemangku kepentingan, yang memiliki tanggung jawab bersama terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan. Keberhasilan sekolah dalam menerapkan MPMBS amat dipengaruhi oleh kepedulian pemerintah pusat dan daerah untuk mendorong dan memberikan kesempatan sekolah menerapkan MBS di sekolah. Pilihan MPMBS sebagai kebijakan untuk meningkatkan mutu pendidikan di berbagai negara karena keunggulan MPMBS sebagai manajemen modern dalam mengelola pendidikan. Dimmock (1993) dan Caldwell (1994) menemukan bahwa MBS memiliki lima keunggulan antara lain; memungkinan guru dan orangtua siswa dapat mengambil keputusan

tentang pendidikan dengan cara-cara yang lebih demokratis; lebih relevan; tidak birokratis; lebih memiliki akuntabilitas; dan dapat memobilisasi sumberdaya secara lebih besar. Dalin (1994), Carron dan Chau (1996) menemukan dalam penelitiannya bahwa kualitas pendidikan lebih ditentukan oleh cara sekolah mengelola sumberdaya ketimbang oleh ketersediaan sumber dayanya sendiri dan hal sangat dimungkinkan dipenuhi dengan keunggulan MBS yang disampaikan Dimmock dan Caldwell di atas. Sumber daya yang ada di sekolah boleh jadi akan menjadi mala petaka bagi semua pihak jika kepala sekolah tidak dapat mengelolanya secara transparan. Faktor lain yang mempengaruhi kualitas pendidikan adalah kemampuan kepala sekolah dalam meningkatkan proses belajar mengajar. Dengan demikian, kedua faktor tersebut (ketersediaan sumber daya dan proses belajar mengajar) harus dikelola secara profesional oleh pihak sekolah. Berdasarkan pada uraian latar belakang masalah, dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut: (1) bagaimanakah efektivitas implementasi kebijakan Managemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) di Kota Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan?, (2) faktor-faktor apakah yang menjadi pendukung dan penghambat implementasi kebijakan MPMBS di Kota Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan?, dan (3) bagaimanakah model Managemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) yang efektif di Kota Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan? Tujuan penelitian ini adalah (1) memaparkan efektivitas implementasi kebijakan Managemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) di Kota Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan, (2) faktor-faktor yang menjadi pendukung dan penghambat

Ngadimun, Kebijakan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS)...

27

implementasi kebijakan MPMBS di Kota Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan, dan (3) model Managemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) yang efektif di Kota Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan.

KERANGKA TEORETIS1. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS)Secara umum, manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas/ keluwesankeluwesan kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat (orangtua siswa, tokoh masyarakat, dunia industri, pengusaha, dsb.) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. MPMBS bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah, pemberian fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdaya sekolah, dan mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada hakikatnya adalah penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan (stakeholder) yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

Peningkatan mutu sekolah, dapat disebut sebagai suatu perpaduan antara knowledgeskill, art, dan entrepreneurship. Suatu perpaduan yang diperlukan untuk membangun keseimbangan antara berbagai tekanan, tuntutan, keinginan, gagasan-gagasan, pendekatan dan praktik. Perpaduan tersebut di atas berujung pada bagaimana proses pembelajaran dilaksanakan sehingga terwujud proses pembelajaran yang berkualitas. Semua upaya peningkatan mutu sekolah harus melewati variabel ini. Proses pembelajaran merupakan faktor yang langsung menentukan kualitas sekolah. Dalam kaitan dengan peningkatan mutu, pengalaman menunjukan terdapat berbagai model yang dilaksanakan yang mencakup berbagai kebijakan dalam upaya meningkatkan mutu. Seperti model UNESCO, Model Bank Dunia, Model Orde Baru dan Model Orde Reformasi.

2. Teori KebijakanKebijakan adalah rangkaian konsep dan azas yang menjadi garis besar dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak (tentang pemerintahan dan organisasi). Menurut Anderson (1979: 50) Kebijakan publik pada dasarnya mencerminkan suatu hubungan antara unit pemerintah dengan lingkungannya. Kebijakan negara merupakan apa yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Anderson juga menyatakan bahwa kebijakan negara sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diakui dan dilaksanakan oleh pelaku atau kelompok pelaku, guna memecahkan masalah tertentu. Sementara Easton (1988:40), memberi arti kebijakan publik sebagai pengalokasian nilai-nilai secara paksa (syah) kepada seluruh anggota masyarakat. Easton juga berpendapat

28

KALAMSIASI, Vol. 5, No. 1, Maret 2012, 25 - 38

bahwa input, dari suatu kebijakan adalah demand and support, yakni permintaan masyarakat dan dukungan sumberdaya yang ada. Karena pandangannya inilah teori kebijakan oleh Easton seringkali disebut sebagai kebijakan berpola top down. Dalam proses implementasi ini berlangsung upaya-upaya pendayagunaan sumberdaya, interpretasi terhadap keputusan kebijakan, manajeman program dan penyediaan layanan kepada sasaran kebijakan. Proses ini menghasilkan program, proyek atau langkahlangkah nyata dari aparat pelaksana. Tindakantindakan nyata inilah yang kemudian menimbulkan dampak tertentu pada masyarakat. Tetapi dapat terjadi suatu kebijakan menimbulkan dampak negatif tertentu dalam masyarakat yang tidak diperhitungkan sebelumnya oleh para pengambil kebijakan. Implementasi kebijakan, jika dilakukan secara tidak efektif, dapat pula gagal menciptakan perubahan yang signifikan dalam masyarakat (Muhajir Darwin dan Djarot,1993,hal.47). Menurut Edward III (1980: 9-13) beberapa pendekatan yang diperlukan dalam pelaksanaan suatu kebijakan agar berhasil dan efektif adalah memperhatikan variabel-variabel sebagai berikut ; (1) Communication, yang merupakan salah faktor yang menentukan keberhasilan implementasi kebijakan dan inti dari komunikasi adalah penyampaian informasi secara timbal balik dari seluruh stakeholders; (2) Resources sebagai faktor penting yang menentukan keberhasilan proses implementasi; (3) Disposition. watak dan sikap pelaksana memegang otonom tentang apa yang mereka perbuat dalam rangka pelaksanaan kebijakan; (4) Bureaucratic Structure, yang harus dirancang agar sesuai dengan bidang tugasmasing-masing; (5) Problems and Prospects: menganalisis permasalahan yang terjadi dan merancang prospek penyelesainnya

dengan tidak bertentangan terhadap tata nilai yang ada dalam masyarakat; dan (6) Context of the Approach, mempertimbangkan berbagai pendekatan yang digunakan dalam pelaksanaan kebijakan. Sedangkan Jones (1984:167) merinci aktivitas implementasi kebijakan dalam tiga hal, yaitu ; 1. Organization; The establishment or rearrangement of resources, unit, and methods for putting a policy into effect. 2. Interpretation ; The translation of language (often contained in a statute) into acceptable and feasible plan and directives. 3. Application ; The provision of service, payments, or other agree upon objectives or instruments. Lebih lanjut, menurut Jones dalam Widodo ( 2008:86) menyatakan bahwa proses implementasi menutut adanya beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu implementasi dapat berlangsung secara efektif, antara lain orang atau pelaksana, uang, dan kemampuan organisasional, kesemuanya itu disebutnya sebagai resources. Aktivitas pengorganisasian (organization) merupakan suatu upaya untuk menetapkan dan menata kembali resources, unit-unit, dan metode-motode yang mengarah pada upaya merealisasikan kebijakan menjadi hasil atau memberikan dampak (outcomes) sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan. Aktivitas interpretasi (interpretation) merupakan aktivitas menjelaskan subatansi dari suatu kebijakan dalam bahasa yang lebih operasional sehingga muda dipahami dan dilaksanakan secara benar oleh implementor (Jones dalam Widodo, 1984). Merujuk pada berbagai pendapat tersebut di atas bahwa suatu kebijakan dalam pelaksanaannya akan efektif apabila dapat secara nyata dalam implementasi dapat dilakukan interpretasi, organisasi, aplikasi, manajemen program, pendayagunaan resources

Ngadimun, Kebijakan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS)...

29

(sumber daya manusia, anggaran, peralatan atau fasilitas, dan dampak kegiatan yang memberikan manfaat bagi publik (Jones, 1984).

3. MPMBS Sebagai Bentuk Desentralisasi PendidikanSemangat otonomisasi sektor pendidikan, didasari oleh kegagalan sentralisasi yang hanya menimbulkan formalisme dalam pendidikan, kurang menghargai pluralitas, dan kebenaran hanya ada pada pemerintah pusat. Oleh sebab itu menurut Rahim, MPMBS merupakan pola kebijakan nyang bersifat battom up untuk mengurangi ketergantungan sekolah terhadap campur tangan pemerintah sehingga tercipta desentralisasi (Rahim, 2003:60-62). Tujuan utama desentralisasi pendidikan adalah peningkatan mutu layanan pendidikan kepada masyarakat. Artinya sekolah harus diberi kewenangan secara otonom mengatur rumah tangga sekolah, agar sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat setempat. Oleh karena itu pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kewenangan tersebut harus dilakukan secara partisipatif oleh warga sekolah. Dengan kata lain pengambilan keputusan harus melibatkan stakeholders sekolah, dengan menerapkan manajemen partisipatif. Desentralisasi pendidikan, memindahkan fungsi-fungsi sekolah yang semula dikerjakan oleh Pemerintah Pusat (Kementrian Pendidikan Nasional) dan Pemerintah Daerah (Dinas Pendidikan) dapat dilakukan oleh sekolah secara profesional, yang meliputi perencanaan dan evaluasi program sekolah, pengelolaan kurikulum, pengelolaan proses belajar mengajar, pengelolaan ketenagaan, pengelolaan peralatan dan perlengkapan, keuangan, pelayanan siswa, hubungan sekolah-sekolah masyarakat, dan pengelolaan iklim sekolah. Imlementasi MPMBS, pada dasarnya bertujuan untuk memberdayakan sekolah

secara optimal dalam pengelolaan dan pengembangan sekolah. Maka manfaat yang akan diperoleh oleh lembaga pendidikan/ sekolah dengan diimplementasikannya pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah adalah sebagai berikut: a. Keleluasaan pengambilan keputusan pada tingkat sekolah dimaksudkan agar sekolah dapat mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya dengan mengalokasikannya sesuai prioritas program serta kebutuhan sekolahnya masing-masing. b. Mengupayakan penyelenggaraan sekolah, khususnya pelayanan pembelajaran yang lebih baik dan bermutu bagi siswa. c. Memberikan kesempatan bagi sekolah meningkatkan kinerja staf secara optimal dan fleksibel. d. Meningkatkan pemahaman masyarakat secara lebih mendalam dan komprehensif karena mereka terlibat langsung dalam setiap kebijakan yang diambil sekolah secara bersama-sama. e. Dengan adanya kewenangan pengelolaan sumber daya, sekolah dapat meningkatkan kualitas pendidikan dan kesejahteraan guru sehingga mereka dapat berkonsentrasi penuh dalam pelaksanaan tugas mengajarnya. Dari paparan tersebut dapat disusun kerangka pemikiran efektivitas implementasi kebijakan MPMBS sangat tergantung terhadap faktor-faktor yang terkait dengan pemahaman implementor terhadap tujuan kebijakan, interpretasi implementor, sosialisasi kebijakan, dan dukungan sumber daya (resourvces). Faktor-faktor tersebut merupakan realisasi pola manajemen mutu pendidikan, yang secara langsung hal ini terkait erat dengan standarisasi pola menejemen mutu pendidikan. Dan hal ini merupakan harapan masyarakat terhadap pola manajemen pendidikan yang dapat meningkat-

30

KALAMSIASI, Vol. 5, No. 1, Maret 2012, 25 - 38

kan mutu pendidikan di Kota Banjarmasin. Lebih jelasnya konseptualisasi penelitian ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 1 Kerangka Konseptual Penelitian

METODE PENELITIANMempertimbangkan pokok permasalahan penelitian dan ketepatan metode, maka pendekatan yang digunakan dalam proses penelitian ini adalah menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian ini mengambil lokasi di Kota Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan, dengan objek penelitian adalah enam sekolah rintisan yang dikelompokkan menurut prestasinya. Prestasi tersebut adalah dua sekolah rintisan yang memiliki prestasi baik, dua sekolah rintisan yang memiliki prestasi sedang, dan dua sekolah rintisan yang memiliki prestasi cukup.

Beberapa informan yang menurut penelitian mutlak diminta keterangan ataupun dalam rangka mendapatkan data yang tepat, akurat serta tingkat kebenarannya dapat diandalkan berkaitan dengan penelitian ini adalah : Kepala Kantor Dinas Pendidikan Kota Banjarmasn, Pengawas Sekolah, Kepala Sekolah, BP3, Dewan Sekolah, Komite Sekolah, dan warga sekolah. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam, observasi, dokumentasi. Penelitian ini menggunakan analisis komparatif, yaitu teknik analisis yang menggunakan logika perbandingan. Komparasi yang dibuat adalah komparasi fakta-fakta replikatif. Dari komparasi fakta-fakta dapat dibuat konsep atau abstraksi teoretisnya. Dari komparasi, dapat menyusun kategori teoretis pula. Lewat komparasi juga dapat membuat generalisasi. Fungsi generalisasi adalah untuk membantu memperluas terapan teorinya, memperluas daya prediksinya (Muhadjir, 1998: 88). Dalam pandangan Glasser & Strauss, dengan analisis komperatif, peneliti berupaya memperbandingkan kategori-kategori serta ciricirinya untuk merumuskan teorinya, dilanjutkan dengan mengembangkan teorinya, mungkin modifikasi, mungkin pula mengganti dengan teori baru (Muhadjir, 1998: 89).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN1. Efektivitas Implementasi Kebijakan MPMBSSesuai dengan data-data yang telah disajikan dalam Bab V di muka, dan juga sesuai dengan kerangka teori yang telah dipaparkan pada Bab II, khususnya yang terkait dengan efektifitas implementasi kebijakan MPMBS, maka dapat dianalisis bahwa sekolah-sekolah

Ngadimun, Kebijakan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS)...

31

sampel penelitian di Kota Banjarmasin telah secara efektif melaksanakan kebijakan MPMBS. Hal ini karena di sekolah-sekolah sampel tersebut telah terjadi perubahan

manajemen dari pola lama ke arah pola baru, yakni manajemen MPMBS. Perubahanperubahan tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 1 Efektivitas Implementasi Kebijakan MPMBS Pada Sekolah-sekolah SampelPergerseran Pola Manajemen Pada Sekolah-sekolah SampelPOLA LAMA Sentralistik: [] Pola perencanaan masih ada intervensi dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah Berubah ke POLA MBS Desentralisasi : [] Perencanaan dibuat sepenuhnya oleh sekolah dengan melibatkan masyarakat [] Pemerintah sebagai fasilitator Otonomi : [] Pendanaan dari partisipasi masyarakat, selain dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah [] Pelaksanaan program dilakukan oleh sekolah, pemanfaatan dana BOS, pemenuhan tenaga kependidikan, mutasi guru, dan penentuan kepala sekolah Pengambilan keputusan partisipatif: [] Pengambilan keputusan diambil secara bersama oleh sekolah dengan komite sekolah [] Masyarakat terlibat aktif Pendekatan profesional: [] Standart evaluasi dibuat oleh sekolah [] Evaluasi pendidikan dilakukan oleh sekolah [] Tingkat pencapaian dan hasil kelulusan ditentukan oleh sekolah

Subordinasi : [] Pendanaan masih sangat kurang dan sangat tergantung pada kemampuan pemerintah [] Pelaksanaan program penyelenggaraan pendidikan masih tergantung pada kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah

Pengambilan keputusan terpusat : [] Pengambilan keputusan masih ditentukan oleh pemerintah daerah [] Masyarakat tidak terlibat Pendekatan birokratik : [] Standart evaluasi masih ditentukan oleh pemerintah secara nasional [] Evaluasi dilakukan oleh pemerintah [] Tingkat pencapaian dan hasil kelulusan ditentukan oleh pemerintah Dikontrol dan diatur : [] Peningkatan mutu dan jumlah tenaga pendidikan dan kependidikan diatur dan ditentukan oleh pemerintah Koordinasi dan Informasi ada pada yang berwenang : [] Kepemimpinan kepala sekolah mengedepankan otorisasi [] Manajemen sekolah mengambil informasi dari warga sekolah [] Pola komunikasi satu arah Menggunakan dana sesuai anggaran sampai habis: [] Penyusunan dan pola penggunaan anggaran ditentukan oleh pemerintah pusat dan daerah [] Penggunaan anggaran belum sesuai dengan kebutuhan riil sekolah dan proses pembelajaran

Motivasi diri dan saling mempengaruhi: [] Peningkatan mutu dan jumlah tenaga pendidikan dan kependidikan ditentukan oleh sekolah Koordinasi, Komunikasi dan Informasi terbagi : [] Kepemimpinan kepala sekolah mengedepankan partisipasi ? Manajemen sekolah membagi informasi kepada warga sekolah ? Pola komunikasi dua arah Menggunakan anggaran sesuai kebutuhan dan seefisien mungkin : [] Penyusunan dan pola penggunaan anggaran disusun bersama sekolah dengan komite sekolah [] Penggunaan anggaran disusuan dalam RAPBS sesuai dengan kebutuhan sekolah dan proses pembelajaran

32

KALAMSIASI, Vol. 5, No. 1, Maret 2012, 25 - 38

Tabel tersebut, mendeskripsikan bahwa pelaksanaan kebijakan MPMBS pada sekolahsekolah sampel di Kota Banjarmasin telah berlangsung sesuai dengan tujuan MPMBS ini berarti bahwa implementasi kebijakan MPMBS pada sekolah-sekolah sampel di Kota Banjarma