Kajian SNI Makanan Ringan Ekstrudat

Embed Size (px)

Citation preview

Kajian SNI Makanan Ringan Ekstrudat (Devi Ambarwaty Oktavia)

KAJIAN SNI 01-2886-2000 MAKANAN RINGAN EKSTRUDATDevi Ambarwaty OktaviaAbstract Extruded snack are a product that produce from a tools call extruder by high temperature and short time. Standard quality of extruded snack which required on SNI 01-2886-2000 has not listed odor, taste and colour quantitatively. SNI 01-2886-2000 has not listed yet protein content, calcium content, zinc and total dietary fiber. Improving Indonesian standard for extruded snack advised then the quality of extruded snack will be better. In order to improve Indonesian standard of extruded snack, listing odor, taste and colour quantitatively, protein content, calcium content, zinc and total dietary fiber as quality atribute on SNI of extruded snack needs others comprehensive researches. Keywords: extruded snack, standard, fish flour

1. PENDAHULUAN Makanan ringan ekstrudat adalah makanan ringan yang dibuat melalui proses ekstrusi dari bahan baku tepung dan atau pati untuk pangan dengan penambahan bahan makanan lain serta bahan tambahan makanan lain yang diijinkan dengan atau tanpa melalui proses penggorengan (Badan Standardisasi Nasional, 2000). Ekstrusi adalah suatu proses di mana bahan dipaksakan oleh sistem ulir untuk mengalir dalam suatu ruangan yang sempit sehingga akan mengalami pencampuran dan pemasakan sekaligus. Sumber panas utama dalam proses ekstrusi berasal dari konversi energi mekanik (gesekan) yaitu akibat gesekan antar bahan dan gesekan antara bahan dengan ulir. Kerja ulir tersebut juga menghasilkan akumulasi tekanan dalam sistem barel ekstruder, bahan dipaksakan keluar melalui lubang (die) yang kecil ukurannya dan kembali ke tekanan normal (atmosfer) secara seketika yaitu ketika produk melewati die (Hariyadi, 2000). Pemasakan ekstrusi adalah kombinasi dari sebuah pompa dan sebuah pengubah panas. Bahan baku masuk ke dalam ekstruder melalui hopper (wadah penampung) dan terdorong ke depan mengarah ke die (lubang) oleh putaran satu atau lebih ulir (Anonymous, 1993). Keuntungan proses ekstrusi adalah produktivitas tinggi, bentuk produk sangat khas dan banyak variasinya, mutu produk tinggi karena pemasakan dilakukan pada suhu tinggi dalam jangka waktu yang pendek, sehingga seperti efek UHT (Ultra High Temperature) yaitu mikroba mati namun kerusakan gizi kecil serta biaya dan pemakaian energi per satuan produksi proses ekstrusi adalah rendah (Smith, 1981 dalam Hermanianto, 2000). Menurut Pilli, et al.

(2007) proses dengan suhu tinggi dengan waktu yang singkat menghasilkan produk akhir yang berkualitas tinggi yaitu dapat dicerna dengan baik dan nilai nutrisi tinggi. Berkurangnya reaksi penghancuran saat terjadinya proses dengan menggunakan suhu tinggi seperti hilangnya kandungan nutrisi. Bahan baku ekstrudat yang biasanya terbuat dari biji-bijian akan berpengaruh saat terjadi proses ekstrusi. Perubahan yang berpengaruh pada sifat dari bahan baku ekstrudat ini antara lain adalah pati, protein, lemak dan stabilisasi produk akhirnya. Selama proses ekstrusi, granula pati memecah dan menggelatinisasi kandungannya. Penambahan air selama proses mengakibatkan partikel pati membengkak dan kehilangan kekompakan ikatan yaitu sebagian dari amilosa berdifusi ke luar disebabkan oleh pengaruh panas (Janssen, 1993 dan Wang, et al., 1993). Gelatinisasi pati pada proses ekstrusi disebabkan oleh suhu, tekanan dan gesekan (Smith, 1981). Tingkat gelatinisasi pati selama proses ekstrusi tergantung pada asal bahan baku dan kondisi proses ekstrusi (Linko, et al., 1981). Tingkat gelatinisasi meningkat dengan semakin rendahnya kadar air (Gomez dan Aguillera, 1983) serta waktu dan suhu proses yang semakin tinggi (Smith, 1981). Fungsi utama dari ekstrusi pada proses protein adalah untuk mendenaturasi dan memberi tekstur. Adanya suhu dan tekanan yang tinggi dalam ekstruder mengakibatkan ikatan intramolekul pada protein pecah sehingga protein terdenaturasi (Anonymous, 1993). Denaturasi protein adalah modifikasi konformasi struktur, tersier dan kuartener. Denaturasi merupakan fenomena di mana terbentuk konformasi baru dari struktur yang telah ada. Denaturasi protein mengakibatkan turunnya kelarutan, hilangnya aktivitas biologi, peningkatan viskositas dan protein mudah1

Jurnal Standardisasi Vol. 9 No. 1, Maret 2007:1 9

diserang oleh enzim proteolitik (Fennema, 1985). Tekanan yang tinggi dalam ekstruder akan meluruskan ikatan ini sehingga memberikan produk dengan tekstur yang diinginkan. Kondisi aliran dalam die (lubang) sangat penting dalam menghasilkan pelurusan dan struktur yang baik (Anonymous, 1993 dan Wang, et al., 1993). Lemak dan minyak yang ada pada produk ekstrusi akan mengubah tekstur, rasa dan flavor produk (Harper, 1981). Terbentuknya asam lemak dan pati selama proses dapat bertambah dengan meningkatnya jumlah amilosa dalam pati (Mercier, 1980 dalam Artz, et al., 1991). Struktur baru yang terbentuk ini dapat menghambat pengembangan produk ekstrusi. Mekanisme penghambatannya menurut Collison (1968) dalam Polina (1995) adalah lemak akan membentuk suatu lapisan pada bagian luar granula pati dan sekaligus akan menghambat penetrasi air ke dalam granula. Penetrasi air yang lebih sedikit akan menghasilkan gelatinisasi yang rendah. Pengaruh lemak sangat kompleks tergantung jenis lemak, jumlahnya keseimbangan hidrofilik-lipofilik dari bahan baku yang digunakan. Terjadinya inaktifasi enzim disebabkan rusaknya makanan selama penyimpanan, perusakan substansi beracun secara alami dan berkurangnya jumlah mikroba pada produk akhir (Harper, 1981 dalam Wang, et al., 1993). Produk dengan kandungan air sangat rendah dan waktu tinggal yang singkat mungkin tidak menginaktif enzim secara total, efek yang menguntungkan dari proses ekstrusi pada stabilitas dan keamanan makanan sudah terlihat nyata (Janssen, 1993). Proses ekstrusi mengakibatkan pula perubahan kimia dan nutrisi dari ekstrudat yang dihasilkan. Perubahan yang akan terjadi pada karbohidrat yaitu dimana tekanan tinggi dan tekanan pemotong pada pemasakan ekstrusi menambah efisiensi gelatinisasi sehingga produk akhir seringkali tak berbentuk, sekalipun demikian mengandung air yang sangat rendah sehingga matrik pati mudah dicerna (Anonymous, 1993). Terjadinya interaksi protein dan karbohidrat sehingga proporsi pati terhidrolisis untuk melepas glukosa di mana adanya reaksi kimia di dalam ekstruder. Hal terpenting adalah reaksi Maillard yang terjadi antara gula yang berkurang dan kelompok amino bebas dari lisin dan memberikan produk kecoklatan (Johnson, 1993). Hilangnya kandungan nutrisi mikro antara lain vitamin larut air, vitamin larut lemak dan mineral. Vitamin larut air kehilangan nutrisinya di mana kandungan air tinggi dan suhu mendukung rusaknya vitamin selama proses. Tiamin adalah2

kelompok vitamin B yang mudah rusak selama proses, sedangkan riboflavin tetap baik dan sedikit terpengaruh pada proses yang singkat (Johnson, 1993 dan Bock, 2000). Aktifitas vitamin A mungkin rusak selama proses pemasakan, tetapi kehilangannya tergantung dari kondisi proses dan komoditas karotenoid alami. Vitamin E terlihat lebih mudah terpengaruh selama proses dan dilaporkan hilang hingga 60% untuk ekstrudat yang mengandung biji gandum (Johnson, 1993). Perusakan anti nutrisi dan racun di mana sel mikroba dan spora rusak secara cepat pada suhu yang dicapai selama proses ekstrusi. Efisiensi sterilisasi tergantung kombinasi suhu dan waktu tinggal di dalam ekstruder (Harper, 1981 dalam Wang, et al., 1993 dan Johnson, 1993). Terjadi pembentukan dan hilangnya flavor yang mudah menguap diakibatkan suhu tinggi yang dihasilkan dari barrel ekstruder, bersamaan dengan air yang panas sehingga ekstrudat timbul dari die, tidak dielakkan hilangnya senyawa volatile mendukung flavour dan aroma (Anonymous, 1993; Harper dan Tribelhorn, 1991). Reaksi Maillard sangat penting sebagai sumber aroma, flavour dan senyawa pewarna yang mendukung enaknya pemasakan dan makanan yang diproses, walaupun mempunyai efek kurang baik terhadap mutu protein. Reaksi Maillard mudah terjadi dengan adanya asam amino dan gula, suhu, aktifitas air, pH dan waktu tinggal dalam ekstruder (Johnson, 1993). Tepung ikan adalah komoditas olahan hasil perikanan yang diperoleh dari suatu proses reduksi bahan mentah menjadi suatu produk yang sebagian besar terdiri dari komponen protein ikan. Bisa dipastikan, kegunaannya berfungsi dalam mensuplai protein. Keunggulan protein tepung ikan dibandingkan dengan sumber protein hewan lain maupun protein nabati telah diketahui sejak lama (Irianto, 2005) 2. METODE PENGKAJIAN Pengkajian dilakukan dengan cara membandingkan SNI 01-2886-2000 tentang makanan ringan ekstrudat dengan ekstrudat yang terbuat dari jagung, dedak padi dan tepung ikan. Analisis dilakukan terhadap mutu yang ada pada makanan ringan ekstrudat dari tepung ikan dengan menentukan kesamaan dan perbedaan dari parameter standar yang telah ada.

Kajian SNI Makanan Ringan Ekstrudat (Devi Ambarwaty Oktavia)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Standar Mutu Makanan Ringan Ekstrudat Standar Nasional Indonesia untuk makanan ringan ekstrudat yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional pada tahun 2000 terlihat pada Tabel 1. Ditinjau dari atribut mutu yang tercantum pada SNI makanan ringan ekstrudat, tampak bahwa standar mutu yang sudah ada masih terlalu sederhana. Hal ini dikarenakan

banyaknya produk-produk makanan ringan khususnya ekstrudat yang sudah mempunyai nilai nutrisi lebih lengkap dibandingkan standar mutu yang ada. Standar mutu yang ada hanya memuat 5 atribut mutu, sedangkan ada mutu yang belum tercantum di dalamnya yaitu atribut protein, kalori, kalsium, besi dan serat makanan total.

Tabel 1 Syarat Mutu Makanan Ringan Ekstrudat

Kriteria Uji 1. Keadaan 1.1. Bau 1.2. Rasa 1.3. Warna 2. Air 3. Kadar Lemak 3.1. Tanpa proses penggorengan 3.2. Dengan proses penggorengan 4. Bahan tambahan makanan 4.1. Pemanis buatan 4.2. Pewarna 5. Silikat (Si) 6. Cemaran logam 6.1. Timbal (Pb) 6.2. Tembaga (Cu) 6.3. Seng (Zn) 6.4. Raksa (Hg) 7. Arsen (As) 8. Cemaran mikroba 8.1 Angka lempeng total 8.2. Kapang 8.3. E. coliSumber: Badan Standardisasi Nasional, 2000

Satuan

Spesifikasi Normal Normal Normal Maks. 4 Maks. 30 Maks. 38 Sesuai SNI No. 01-0222-1995 dan Permenkes No.722/Menkes/Per/IX/1988 Tidak boleh ada Maks. 0,1 Maks. 1,0 Maks. 10 Maks. 40 Maks. 0,05 Maks. 0,5 Maks. 1,0 x 104 Maks. 50 Negatif

% b/b % b/b % b/b % b/b mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg koloni/g koloni/g APM/g

US Patent (Tabel 2) memberikan persyaratan untuk makanan ringan ekstrudat hanya dua kriteria uji yaitu kadar air dan Aw, lebih sederhana dibandingkan standar mutu yang dikeluarkan oleh SNI 01-2886-2000. Persyaratan untuk kadar air pada US Patent lebih ketat dibandingkan pada SNI makanan ringan ekstrudat yaitu berkisar antara 2 3%, sedangkan SNI mensyaratkan standar kadar air maksimal 4% per 100 g bahan. Atribut bau dan rasa sudah tercantum di dalam SNI 01-2886-2000, akan tetapi dinyatakan secara kualitatif yaitu normal. Atribut bau dan

rasa keadaannya harus normal, hal ini sangat deskriptif dan relatif karena itu adalah penilaian secara organoleptik. Akan lebih baik ditampilkan dalam skala Hedonik, sehingga akan terlihat lebih jelas. Walaupun saat pengujian sebelum dipasarkan, makanan ringan ekstrudat telah diuji oleh panelis yang terlatih. Akan lebih baik bila atribut mutu untuk bau dan rasa memuat angka penilaian secara kuantitatif, sehingga bisa dideskripsikan lebih jelas tidak hanya tercantum secara kualitatif. Contohnya untuk makanan ringan ekstrudat dari tepung ikan seperti dalam Tabel 2.3

Jurnal Standardisasi Vol. 9 No. 1, Maret 2007:1 9

Tabel 2 Persyaratan Produk Makanan Ringan menurut US Patent

No. 1.

Parameter Kadar Air (%) a. Flake gandum b. Flake beras c. Hazelnut d. Kelapa Aktivitas air (Aw)

2.

Spesifikasi a 2 2,5 2 2 2 2,3 0,1 0,55

b 3

-

Sumber: a. Mesu, et al. (2007) b. Malfait (2007)

Aktivitas air disyaratkan oleh Mesu, et al. (2007) dikarenakan apabila produk mempunyai aktivitas air di bawah 0,99 maka bakteri tidak dapat hidup dengan baik. Aktivitas air yang rendah akan mencegah pertumbuhan dan perpanjangan hidup mikroba. Sesuai dengan pendapat Purnomo (1995) bahwa aktivitas air (Aw) menentukan pertumbuhan mikroorganisme. Bakteri tidak akan tumbuh pada nilai Aw di bawah 0,91. Jamur tidak dapat tumbuh di bawah Aw 0,81, sedangkan beberapa jamur xerofilik mampu tumbuh pada nilai Aw di bawah 0,70. Nilai Aw 0,70 0,75 dinyatakan sebagai batas terendah bagi pertumbuhan jamur. Khamir osmofilik dapat tumbuh pada nilai Aw minimal 0,62. Apabila mikroorganisme dapat bertahan hidup pada nilai Aw rendah, mungkin disebabkan oleh kemampuannya memekatkan garam-garam, poliol dan asam amino maupun senyawa lain yang dapat melindungi sel dari kekeringan tetapi dapat juga menyerap air di lingkungan sekitar walaupun nilai Aw lingkungannya cukup rendah. Walaupun dalam SNI 01-2886-2000 sudah ada syarat mutu cemaran mikroba, akan lebih baik apabila ditambahkan syarat mutu Aw di dalamnya. Menurut Purnomo (1995), sifat bahan pangan dikelompokkan menjadi tiga bagian. Daerah I yang mempunyai nilai Aw di bawah 0,25 (kadar air rendah): kering, keras, renyah dan mengkerut. Daerah II yang mempunyai nilai Aw antara 0,25 0,75 (kadar air sedang): kering, keras dan fleksibel. Daerah III yang mempunyai nilai Aw lebih dari 0,75 (kadar air tinggi): basah, empuk, lunak, menggembung dan lekat (sticky). Sesuai dengan hasil penelitian Von Elbe (1987) dalam Purnomo (1995) yang menyatakan bahwa untuk kadar air 2,4% mempunyai Aw sebesar 0,12; kadar air 4,0% mempunyai Aw 0,23 dan kadar air 5,7% mempunyai nilai Aw sebesar 0,32. Atribut warna sudah ada di dalam SNI makanan ringan ekstrudat, juga dalam bentuk4

kualitatif yaitu normal. Lebih baik apabila atribut mutu untuk warna bisa lebih kuantitatif di dalam standar mutu. Idealnya persyaratan tersebut bisa diukur dengan alat Whiteness Kitt atau Chromameter, sehingga bisa dalam bentuk kuantitatif. Untuk lebih baik lagi, bisa terbagi menjadi beberapa sub atribut. Misalnya untuk atribut mutu warna, sub atribut warna terbagi menjadi 2 yaitu dengan penggorengan dan tanpa penggorengan. Hal ini dikarenakan, pembuatan makanan ringan ekstrudat ada yang dengan atau tanpa penggorengan sehingga akan mempengaruhi warna ekstrudat yang dihasilkan. Bisa juga ditambahkan sub atribut lain yaitu dengan atau tanpa penambahan bumbu. Penambahan sub atribut ini bisa diabaikan, karena ada produsen yang membuat makanan ringan ekstrudat kemudian menambahkan bumbu setelah diuji oleh panelis baik untuk bau, rasa dan warnanya. Atribut mutu kadar air sudah ada di dalam SNI makanan ringan ekstrudat. Rendahnya kadar air yang dipersyaratkan dikarenakan apabila kadar air yang ada pada makanan ringan ekstrudat tinggi, akan mengakibatkan indeks pengembangan ekstrudat akan lebih kecil. Menurut De Silva dan Anderson (1995), karena panas dan tekanan turun ketika keluar ekstruder menyebabkan air yang terjebak di dalam ekstrudat menguap. Uap air terperangkap oleh lapisan film yang terbentuk karena proses gelatinisasi dan denaturasi protein dari bahan, maka bahan mengembang membentuk rongga udara (pori-pori) dan ekstrudat yang dihasilkan mengapung sifatnya. Atribut mutu kadar lemak di dalam SNI 012886-2000 sudah ada dan terbagi menjadi 2 sub atribut yaitu dengan dan tanpa penggorengan. SNI menetapkan atribut mutu untuk kadar lemak makanan ringan ekstrudat sangat tinggi, sedangkan lemak dibutuhkan di dalam tubuh sangat terbatas. Sebagai saran, akan lebih baik apabila atribut mutu untuk kadar lemak baik

Kajian SNI Makanan Ringan Ekstrudat (Devi Ambarwaty Oktavia)

dengan atau tanpa penggorengan ditetapkan lebih rendah lagi. Atribut mutu bahan tambahan makanan memang tidak diijinkan ada dalam makanan ringan ekstrudat, akan tetapi produk yang beredar di pasaran bukan tidak mungkin telah menambahkan bahan tambahan makanan ke dalam makanan ringan ekstrudat yang dihasilkan. Adanya rasa asin yang berlebihan pada ekstrudat kemungkinan sudah ditambahkan bahan tambahan makanan seperti Monosodium Glutamate (MSG). Atribut cemaran logam yang ada pada SNI masih mensyaratkan silikat saja dalam standar makanan ringan ekstrudat. Sebagai saran, akan lebih baik apabila cemaran logam lain misalnya Arsen juga dipersyaratkan ke dalam SNI makanan ringan ekstrudat.

3.2 Kualitas Makanan Ringan Ekstrudat dari Tepung Ikan Banyaknya makanan ringan ekstrudat yang beredar saat ini membutuhkan standar mutu yang lebih baik dan lebih ketat. Berdasarkan data pada Tabel 3, hampir semua atribut mutu yang dipersyaratkan sudah dapat memenuhi standar mutu yang ditentukan. Atribut kadar air yang kurang memenuhi karena masih berada di atas standar, walaupun nilai yang didapat tidak terlalu jauh dari batasan yang dipersyaratkan yaitu maksimum 4. Atribut bahan tambahan makanan tidak ada hasil analisisnya, dikarenakan makanan ringan ekstrudat dari tepung ikan tidak menggunakan bahan tambahan makanan baik pewarna ataupun pemanis buatan.

Tabel 3 Kualitas Makanan Ringan Ekstrudat dari Tepung IkanNo. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. Parameter Bau Rasa Warna Kadar Air Kadar Lemak (tanpa penggorengan) Kadar Protein Energi (Kalori) Bahan tambahan makanan Silikat (Si) Kadar Kalsium Kadar Besi Kadar Serat Makanan Total Hasil Analisis 7 7 7 4,812% 5,2615% 10,772% 374,350 0,015436% 0,000554% 12,682%

Sumber: Laboratorium Sentral Pangan Universitas Brawijaya, 2002 dalam Oktavia, 2003.

Hasil analisis untuk atribut bau, rasa dan warna tidak ditampilkan dalam bentuk kualitatif tetapi dalam bentuk kuantitatif. Makanan ringan ekstrudat dari tepung ikan tidak dibuat dengan proses penggorengan sehingga atribut mutu untuk kadar lemak menggunakan syarat tanpa penggorengan dan hasilnya masih berada di bawah standar yang ditetapkan. Atribut mutu kadar protein pada makanan ringan ekstrudat dari tepung ikan seperti pada

Tabel 3 mempunyai nilai yang relatif tinggi. Tingginya kadar protein pada makanan ringan ekstrudat dari tepung ikan dikarenakan adanya komposisi tepung ikan pada campuran formula ekstrudat. Atribut kadar kalsium, besi dan serat makanan total yang ada pada makanan ringan ekstrudat dari tepung ikan sudah teranalisis. Sebagai saran, perlu ditambahkan atribut ini pada standar makanan ringan ekstrudat.

5

Jurnal Standardisasi Vol. 9 No. 1, Maret 2007:1 9

Tabel 4 Keragaman Mutu Makanan Ringan Ekstrudat dari Beberapa PenelitianNo. 1. 2 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. Parameter Warna Rasa Aroma Kerenyahan Tekstur Kadar Air (%) Kadar Abu (%) Kadar Protein (%) Kadar Lemak (%) Kadar Karbohidrat (%) Energi (Kalori) Serat Kasar (%) Hasil Analisis 2 3 4 4,30 4,70 6,28 4,07 4,70 4,78 4,13 4,37 3,92 6,12 5,30 5,47 0,318 6,30 7,01 4,87 3,47 5,44 1,67 11,52 11,91 15,59 3,11 4,94 1,87 80,12 70,70 76,00 394,55 374,90 383,19 2,09 3,00

1 5,56 4,50 4,81 5,62 8,51 3,93 10,06 1,42 76,07 357,30 -

5 5,75 5,19 5,03 5,14 6,49 5,02 3,91 9,07 15,22 66,78 440,38

Keterangan: 1) Damayanti, 1986. 2) Ernawati, 1997. 3) Wulandari, 1997. 4) Rakhmawaty, 1998. 5) Faelasuffah, 1997

Hasil penelitian mengenai makanan ringan yang sudah ada dapat dilihat pada Tabel 4. Kriteria uji untuk keadaan yaitu warna, rasa, aroma, kerenyahan dan tekstur ditampilkan dalam bentuk kuantitatif bukan kualitatif seperti dalam SNI makanan ringan ekstrudat. Kriteria uji keadaan dari berbagai hasil penelitian tersebut mempunyai kisaran yang berbeda, sesuai dengan bahan baku makanan ringan ekstrudat yang dihasilkan. Kadar air makanan ringan ekstrudat yang dihasilkan dari penelitian pada Tabel 4 masih belum memenuhi standar mutu yang dipersyaratkan dalam SNI 01-2886-2000 yaitu maksimum 4%. Kadar lemak makanan ringan yang dihasilkan masih diperbolehkan karena masih di bawah 30% (tanpa penggorengan) dan penelitian Faelasuffah (1997) menghasilkan makanan ringan ekstrudat dengan kadar lemak di bawah 38% (dengan penggorengan). Makanan ringan ekstrudat yang dihasilkan dari beberapa penelitian tersebut mempunyai kadar protein yang cukup tinggi berkisar antara 9,07 15,59%. SNI 01-2886-2000 masih belum mensyaratkan protein pada kriteria ujinya. Kadar karbohidrat makanan ringan ekstrudat hasil penelitian tersebut relatif hampir sama besarnya yaitu berkisar antara 66,78 80,12%. Parameter karbohidrat penting untuk dijadikan persyaratan

dikarenakan adanya parameter ini akan terlihat pula berapa banyak kalori yang ada per 100 g makanan ringan ekstrudat yang dihasilkan. Tabel 5 memperlihatkan kualitas makanan ringan ekstrudat yang banyak beredar di pasaran. Sebagian produk mencantumkan mutu yang lebih detail misalnya kandungan vitamin dan mineral yang terdapat pada produk yang dihasilkan seperti pada produk Cheese Balls yang diproduksi oleh PT. Munch King. Produk lain hanya mencantumkan kandungan yang dipersyaratkan oleh SNI yaitu lemak. Kandungan lain seperti protein, karbohidrat total dan energi dicantumkan untuk mendukung hasil analisis yang ada. Hampir semua produk tersebut belum memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh SNI 01-2886-2000 yaitu mempunyai kandungan lemak maksimal 30% (tanpa penggorengan) dan 38% (dengan penggorengan). Produk Cheese Balls dan Minori belum dapat memenuhi standar SNI dikarenakan mempunyai kandungan lemak melebihi batas maksimum yaitu 38% per 100 g. Produk Taro sudah memenuhi standar SNI untuk kandungan lemak dengan penggorengan dikarenakan mempunyai kandungan lemak masih di bawah standar SNI lemak dengan penggorengan, akan tetapi tidak memenuhi standar SNI lemak tanpa penggorengan dikarenak sudah melebihi batas maksimum yaitu 30%.

6

Kajian SNI Makanan Ringan Ekstrudat (Devi Ambarwaty Oktavia)

Tabel 5 Kualitas Makanan Ringan Ekstrudat dari Beberapa Produk per SajianNo. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Parameter Energi (kkal) Lemak Total (%) Kolesterol (%) Natrium (%) Karbohidrat Total (%) Protein (g) Kalsium (%) Vitamin C (%) Vitamin A (%) Besi (%) Asal Produk 2 (30 g) 160 17 5 6 2 -

1 (28 g) 150 14 0 12 5 1 2 0 2 0

3 (16 g) 70 5 9 4 2 -

Sumber:

(1) Cheese Balls, Munch King, 2007. (2) Minori, Calbee, 2007 (3) Taro, 2007.

3.3 Nilai Energi (Kalori), Kadar Protein, Serat Makanan, Kalsium dan Besi Makanan Ringan Ekstrudat dari Tepung Ikan Nilai energi (Kalori) belum tercantum dalam SNI yang sudah ada sedangkan nilai energi merupakan salah satu karakteristik suatu bahan pangan. Sesuai dengan pernyataan Winarno (1988) dalam Nurtama (1997) yaitu karbohidrat merupakan parameter yang penting bagi suatu bahan pangan. Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi hampir seluruh penduduk dunia dan berperan penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan, misalnya warna, rasa dan tekstur. Kadar protein masih belum dicantumkan ke dalam SNI 01-2886-2000. Kadar protein sangat penting dijadikan atribut mutu ke dalam SNI dikarenakan umumnya yang mengkonsumsi makanan ringan ekstrudat adalah anak-anak usia pertumbuhan. Anak-anak usia pertumbuhan sangat membutuhkan protein yang cukup. Kadar protein sangat dipengaruhi oleh formulasi bahan baku, sedangkan suhu proses tidak memberikan pengaruh nyata. Sesuai dengan pernyataan Harper (1991) dan Muchtadi, dkk. (1988) dalam Nurtama (1997) bahwa perlakuan suhu tidak memberikan perbedaan terhadap kandungan protein produk karena proses yang dilakukan terjadi dalam waktu singkat sehingga dapat meminimumkan kerusakan protein bahan. SNI 01-2886-2000 masih belum mencantumkan kadar serat makanan total di dalam atribut mutunya, sedangkan tubuh manusia juga membutuhkan serat makanan total. Makanan ringan dari tepung ikan juga terdiri dari dedak

padi, sehingga mempunyai kadar serat makanan total yang relatif tinggi. Menurut Pan, et al. (1991) dedak gandum tidak hanya memperbaiki ekstrudat tetapi juga menambah kandungan serat. Menurut Wang, et al. (1993) serat makanan total akan berkurang secara nyata setelah proses ekstrusi pada dedak gandum dengan kondisi rendah. Kadar kalsium dan besi masih belum tercantum di dalam SNI yang sudah ada, sedangkan mineral seperti kalsium dan besi sangat dibutuhkan di dalam tubuh. Kandungan kalsium dan besi pada makanan ringan ekstrudat dari tepung ikan mempunyai nilai relatif tinggi, hal ini dikarenakan adanya dedak padi dan tepung ikan yang ditambahkan ke dalam campuran formulasi ekstrudat. Adanya kandungan asam uronat yang tinggi pada gum memungkinkan memberi pengaruh pada keseimbangan mineral, tetapi tidak terpengaruh khususnya pada penyerapan kalsium (Stephen dan Churms, 1995). Mineral (contohnya ion kalsium) terperangkap di dalam matriks dinding sel sehingga tidak dapat mengabsorpsi di dalam usus halus, tetapi dapat terlepas dan mengabsorpsi di dalam kolon ketika serat tersebut sudah terdegradasi oleh bakteri (Anonymous, 1993). Menurut Thompson dan Weber (1979) dalam Camire dan Clydesdale (1981), pengikatan tembaga, seng dan besi dari bermacam sumber serat termasuk dedak gandum, dedak jagung, dedak kedelai, kulit gandum, dedak padi dan selulosa di bawah kondisi pH fisiologis dalam perut.

7

Jurnal Standardisasi Vol. 9 No. 1, Maret 2007:1 9

4. KESIMPULAN DAN SARAN Produk ekstrudat merupakan salah satu makanan yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Standar mutu makanan ringan ekstrudat yang sudah ada dinilai masih sangat lemah dalam menyaratkan atribut ujinya, karena masih banyak produk yang beredar belum memenuhi standar yang ditetapkan oleh SNI 012886-2000. Apabila standar mutu makanan ringan ekstrudat diperbaiki sehingga akan dihasilkan produk yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik dari sebelumnya. Atribut kadar protein, energi dan karbohidrat masih belum disyaratkan dalam SNI 01-28862000. Hal ini sangat penting dikarenakan makanan ringan ekstrudat lebih banyak dikonsumsi oleh anak-anak yang masih sangat membutuhkan asupan yang cukup untuk perkembangannya. Sebaiknya atribut kadar kalsium, besi dan serat makanan total dipersyaratkan dalam SNI. Hal ini menjadi penting karena banyaknya produk yang beredar kadang tidak menampilkan nutrisi per sajian, sedangkan hal tersebut sangat dibutuhkan untuk mengetahui layak tidaknya suatu produk dikonsumsi untuk sebagian besar usia anak-anak. Adanya kandungan nutrisi yang cukup diharapkan makanan ringan ekstrudat yang dihasilkan dapat menjadi sarana perbaikan gizi masyarakat. DAFTAR PUSTAKA 1. Anonymous. 1993. Encyclopaedia of Food Science, Food Technology and Nutrition. Edited by Macrae, R., Robinson, R.K. and Sadler, M.J. Academic Press Ltd. London. 2. Artz, W.E., Rao, S.K. and Sauer, R.M.Jr. 1991. Lipid Oxidation in Extruded Products during Storage as Affected by Extrusion Temperature and Selected Antioxidants. In Food Extrusion Science and Technology. Edited by Kokini, J.L., Ho, Chi-Tong, Karwe, M.V. New York. 3. Badan Standardisasi Nasional. 2000. SNI 01-2886-2000. Makanan ringan ekstrudat. Jakarta 4. Bock, M.A. 2000. Minor Constituents of Cereals. In Handbook of Cereal Science and Technology. 2nd Edition. Revised and Expanded. Edited by Kulp, K. and Ponte, J.G.Jr. Marcel Dekker, Inc. New York. 5. Camire, A.L. and Clydesdale, F.M. 1981. Effect of pH and Heat Treatment on the Binding of Calcium, Magnesium, Zinc and8

6.

7.

8.

9.

10. 11.

12.

13. 14.

15.

16.

17.

Iron to Wheat Bran and Fractions of Dietary Fiber. Journal of Food Science. 46:548551 Damayanti, E. 1986. Mempelajari Pengaruh Penggunaan Bahan Pengikat dan Shortening pada Pembuatan Chips Ekstrudat Biji Melinjo (Gnetum gnemon, L.).. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. De Silva, S.S. and Anderson, T.A. 1995. Fish Nutrition in Aquaculture. 1st Edition. Chapman and Hall. London Glosgow Weinheein - New York Tokyo Melbourne Madras. p.:319. Ernawati, E. 1997. Formulasi dan Evaluasi Nilai Gizi Produk Ekstrusi dari Produk Samping Penggilingan Padi (Menir dan Bekatul). Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Faelasuffah, S.M. 1997. Mempelajari Karakteristik Chips Ekstrudat Biji Melinjo (Gnetum gnemon, L.) dengan Penambahan Tapioka dan Margarin. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Fennema, O.R. 1985. Food Chemistry. Marcel Dekker, Inc. New York. Gomez, M.H. and Aguillera, J.M. 1983. Changes in the Starch Fraction During Extrusion Cooking of Corn. Journal Food Science. 48 (2):378381. Hariyadi, P. 2000. Produk Ekstrudat, Flakes dan Tepung Kedelai. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Harper, J.M. 1981. Extrusion of Foods. Vol I and II. CRC Press, Inc. Florida. Harper, J.M. and Tribelhorn, R.E. 1991. Expansion of Native Cereal Starch Extrudates. In Food Extrusion Science and Technology. Edited by Kokini, J.L., Ho, ChiTong, Karwe, M.V. New York. Hermanianto, J., Syarief, R. dan Wulandari, Z. 2000. Analisis Sifat Fisikokimia Produk Ekstrusi Hasil Samping Penggilingan Padi (Menir dan Bekatul). Buletin Teknologi dan Industri Pangan. XI (1):5 10. Irianto, H.E. 2005. Perbaikan Teknologi Produksi pada Industri Tepung Ikan di Indonesia. Warta Penelitian Perikanan Indonesia. Edisi Pasca Panen dan Sosial Ekonomi. 11 (7):2 9. Janssen, L.P.B.M. 1993. Influence of Process on Raw Material Properties. In Extrusion Cooking. Encyclopaedia of Food Science, Food Technology and Nutrition.

Kajian SNI Makanan Ringan Ekstrudat (Devi Ambarwaty Oktavia)

18.

19.

20. 21.

22.

23.

24.

25.

26.

27.

28.

Edited by Macrae, R., Robinson, R.K. and Sadler, M.J. Academic Press Ltd. London. Johnson, I. 1993. Chemical and Nutritional Changes. In Extrusion Cooking. Encyclopaedia of Food Science, Food Technology and Nutrition. Edited by Macrae, R., Robinson, R.K. and Sadler, M.J. Academic Press Ltd. London. Linko, P.P., Colonna, P. and Mercier, C. 1981. High Temperature Short Time Extrusion Cooking. In Pomeranz, Y. (ed.). Advance in Cereal Science and Technology. The AVI AACC Inc., St. Paul, Minnesota. Malfait, J.L. 2007. Puffed Starch Snack Product. US Patent No. 7,141,257. Mesu, G.J. and Boot, Jacobus. 2007. Manufacture of Granola and Snack-Food Products. US Patents No. 7,169,422. Nurtama, B. dan Sulistiyani, Y. 1997. Suplementasi Ikan pada Makanan Ringan Produk Ekstrusi dengan Bahan Dasar Beras. Buletin Teknologi dan Industri Pangan. VIII (2):32 38. Oktavia, D.A. 2003. Pengolahan Ekstrudat Berbasis Bekatul dengan Penerapan Linear Programming untuk Penyediaan Makanan Kaya Serat Bagi Orang Dewasa. Program Pasca Sarjana. Universitas Brawijaya. Malang. Pan, B.S., Kong, Ming-Sheng, Chen, HuiHuang. 1991. Twin Screw Extrusion for Expanded Rice Products:Processing Parameters and Formulation of Extrudate Properties. In Food Extrusion Science and Technology. Edited by Kokini, J.L., Ho, Chi-Tong, Karwe, M.V. New York. Pilli, T.D., Carbone, B.F., Fiore, A.G. and Severini, C. 2007. Effect of Some Emulsifiers on the Structure of Extrudates with High Content of Fat. http.:www.aisncommons.js. Februari 2007 Polina. 1995. Studi Pembuatan Produk Ekstrusi dari Campuran Jagung, Sorgum dan Kacang Hijau. Skripsi. Fakultas Teknologi Per-tanian. Institut Pertanian Bogor. Purnomo, H. 1995. Aktivitas Air dan Peranannya dalam Pengawetan Bahan Pangan. Universitas Indonesia. Jakarta. Rakhmawaty, A. 1998. Karakteristik Fisik dan Kimia Sereal Sarapan Ekstrudat TripleMix Jagung-Kedelai-Pisang (JKP). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

29. Smith, O.B. 1981. Extrusion Cooking of Cereal and Fortified Foods. Makalah pada Proceeding Extruder Technology. Eight ASEAN Workshop, 14 25 Januari 1980. Bangkok. 30. Stephen, A.M. and Churms, S.C. 1995. Gums and Mucilages. In Food Polysaccharides and Their Applications. Edited by Stephen, A.M. Marcel Dekker, Inc. New York. 31. Wang, W.M., Klopfenstein, C.F. and Ponte, J.G.Jr. 1993. Effects of Twin Screw Extrusion on the Physical Properties of Dietary Fiber and Other Components of Whole Wheat and Wheat Bran and on the Baking Quality of the Wheat Bran. Cereal Chemistry. 70(6) : 707 711. 32. Wulandari, Z. 1997. Analisa Sifat FisikoKimia dan Finansial Produk Ekstrusi Hasil Samping Penggilingan Padi (Menir dan Bekatul). Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. BIODATA Devi Ambarwaty Oktavia, ST, MP, dilahirkan di Jember pada 17 Oktober 1978. Penulis menyelesaikan S2 jurusan Teknik Kimia, ITN Malang dan S2 jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Brawijaya. Penulis bekerja sebagai Peneliti Pertama pada Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, DKP.

9

Jurnal Standardisasi Vol. 9 No. 1, Maret 2007:10 19

EVALUASI PENERAPAN BAJA TULANGAN BETON DI INDONESIABiatna Dulbert Tampubolon, Erniningsih dan Heru SusenoAbstract Planning of technical regulation must be done taken carefully to avoid incidence of negative impact for growth of climate is effort and the healthy emulation. There is indication in market a lot of circulating product become militant bone of concrete disagree with standard. From survey of field as a whole mount accomplishment of sample become militant bone of concrete to conditions of SNI 07-2052-2002 still be very low (1,8 %) so that need correction of denoting of standard, technical regulation and its mechanism, observation of pre-market and market and distribution. Keywords: applyng, SNI 07-2052-2002, crude steel

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penerapan SNI oleh pelaku usaha bersifat sukarela, akan tetapi apabila SNI tersebut berkaitan dengan kepentingan keselamatan, keamanan, kesehatan masyarakat atau pelestarian fungsi lingkungan hidup dan atau pertimbangan ekonomis, instansi teknis dapat memberlakukan secara wajib sebagian atau keseluruhan spesifikasi teknis dan atau parameter dalam SNI. Standar baja tulangan beton telah diatur melalui Surat Keputusan Menteri Perindustrian No. 256/M/SK/II/1979. Keputusan tersebut memberlakukan secara wajib SII 0136-1975. Namun standar tersebut telah mengalami beberapa kali revisi, berawal dari SII 0136-1975 direvisi menjadi SII 0136-1984, kemudian dengan berubahnya semua SII menjadi SNI, standar ini berubah penomorannya menjadi SNI 07-20521990. Setelah itu dilakukan revisi tahun 1997 menjadi SNI 07-2052-1997, dan yang terakhir adalah SNI 07-2052-2002. Pada saat ini, dengan pertimbangan untuk menjamin mutu hasil produksi serta untuk mencapai daya guna produksi dan melindungi konsumen terhadap mutu produk, Departemen Perindustrian berencana akan meregulasi ulang produk baja tulangan beton. Apabila suatu SNI diberlakukan secara wajib, maka konsekuensi dari pemberlakuan tersebut sesuai dengan PP 102 tahun 2000 adalah: a. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau mengedarkan barang dan atau jasa, yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan Standar Nasional Indonesia yang telah diberlakukan secara wajib (Pasal 18 ayat 1).10

b. Standar Nasional Indonesia yang diberlakukan secara wajib dikenakan sama, baik terhadap barang dan atau jasa produksi dalam negeri maupun terhadap barang dan atau jasa impor (Pasal 19 ayat 1). c. Pemberlakukan Standar Nasional Indonesia harus dinotifikasikan kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) (Pasal 20 ayat 1). Maka dari itu perencanaan suatu regulasi teknis harus mengikuti Good Regulatory Practices dan dilakukan secara berhati-hati untuk menghindari timbulnya dampak negatif bagi perkembangan iklim usaha dan persaingan yang sehat. Ada indikasi bahwa di pasar banyak beredar produk baja tulangan beton tidak sesuai dengan standar. Berbagai macam istilah produk baja tulangan beton yang tidak sesuai dengan SNI ditemukan di pasar, misalnya baja banci. Apabila di pasar masih beredar produk baja tulangan beton yang tidak memenuhi persyaratan SNI, maka akan berpotensi menimbulkan dampak yang tidak menguntungkan bagi industri yang mematuhi peraturan, persaingan yang tidak sehat dan bertentangan dengan perjanjian internasional yang telah diratifikasi atau telah disepakati oleh pemerintah. 1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kesiapan Penerapan SNI 072052-2002, baja tulangan beton ditinjau dari kecukupan standar, regulasi pemberlakuan SNI, dan ketersediaan infrastruktur yang diperlukan di Indonesia.

Evaluasi Penerapan Baja Tulangan Beton (Biatna D, Erninigsih, Heru S)

1.3 Sasaran Sasaran dari penelitian ini adalah diperolehnya fakta-fakta yang ada di lapangan sebagai dasar untuk mengevaluasi kesiapan penerapan SNI 07-2052-2002, baja tulangan beton dan menyusun rekomendasi kepada institusi terkait untuk peningkatan penerapan SNI. 1.4 Metode Kegiatan Metode pengkajian dilakukan melalui pengumpulan data kuantitatif dan kualitatif serta pengambilan sampel baja tulangan beton polos di kota Banjarmasin, Batam, Bekasi, Bogor, Depok, Jakarta, Makasar, Medan, Tangerang, Surabaya, dan dipilih ukuran diameter 6mm, 8mm, 10mm dan 12mm. Pemilihan kota berdasarkan pertimbangan antara lain lokasi pabrik, daerah perbatasan, keterwakilan wilayah dan pemasaran. Penentuan diameter berdasarkan pertimbangan bahwa ukuran tersebut banyak dibeli oleh masyarakat sedangkan pemilihan toko bangunan serta pembelian sampel ditentukan secara acak. Selanjutnya sampel tersebut setelah diberi identitas kemudian dikirim ke laboratorium penguji. Data pengamatan di lokasi sampel, wawancara dan hasil pengujian laboratorium tersebut kemudian digunakan sebagai data primer. Dan didukung data sekunder dari data laboratorium, data hasil pengkajian yang telah dilakukan sebelumnya, dan data/informasi dari pihak terkait. Adapun tahapan secara keseluruhan yang dilakukan dalam kegiatan ini adalah sebagai berikut: 1). Identifikasi dan penggalian data dan informasi awal untuk membentuk kerangka pikir kegiatan melalui diskusi dengan narasumber baik internal maupun eksternal terkait yang memahami permasalahan mengenai produk baja tulangan beton. 2). Persiapan, meliputi antara lain pembentukan tim, penyusunan desain kajian (researh design), penyusunan instrumen pengumpulan data beserta rancangan teknik pengolahan dan analisis data, berupa: Metode pangambilan dan penanganan contoh uji Metode pengujian dan analisis data hasil pengujian Pedoman wawancara

diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN), yaitu Balai Besar Teknologi Kekuatan Struktur (B2TKS) BPPT dan Balai Penelitian Bahan DKI Jakarta dengan ruang lingkup parameter sesuai SNI 07-2052-2002. 5) Analisis data, meliputi analisis kesesuaian SNI dengan standar internasional, analisis ketersediaan regulasi, dan kesiapan infrastruktur. 6) Hasil analisis dipresentasikan dalam suatu forum stakeholder untuk mendapatkan saran dan masukan guna penyempurnaan. 2. DESKRIPSI LAPANGAN DAN PENGUJIAN 2.1 Deskripsi Lapangan 2.1.1 Banjarmasin Berdasarkan survei yang dilakukan di kota Banjarmasin, tim mengamati 25 sampel yang terdiri dari diameter 6 mm sebanyak 5 sampel, 8 mm sebanyak 6 sampel, diameter 10mm sebanyak 9 sampel, dan diameter 12mm sebanyak 5 sampel. Setelah diidentifikasi terdapat 13 sampel yang mencantumkan merek dan ukuran sesuai dengan syarat penandaan SNI Baja Tulangan Beton 07-2052-2002. Dari hasil wawancara didapatkan informasi bahwa para pedagang umumnya tidak mengetahui adanya aturan untuk mencantumkan merek dan ukuran pada produk baja tulangan. Dari parameter penandaan kelas sesuai SNI Baja Tulangan Beton, tim menyampaikan bahwa tidak satupun sampel yang memiliki penandaan kelas seperti yang dipersyaratkan SNI Baja Tulangan Beton. Dari survei yang dilakukan, tim mengetahui bahwa para pedagang mendapatkan produkproduk tersebut langsung dari distributor sehingga tidak dapat ditelusuri produsen baja yang memproduksi baja tulangan beton tersebut. Tim juga menyampaikan bahwa pemahaman dan pengetahuan aparat pemerintahan di Banjarmasin tentang SNI masih sangat terbatas dan perlu ditingkatkan untuk itu perlu program dan sosialisasi yang lebih terencana dalam rangka meningkatkan penerapan SNI di Indonesia khususnya di Banjarmasin. 2.1.2 Batam Berdasarkan hasil pengamatan visual dari 25 sampel baja tulangan beton di kota Batam, tim menyampaikan bahwa terdapat 21 sampel yang11

Formulir yang diperlukan 3). Pembelian sampel di pasar pelabelan dan pengiriman sampel ke laboratorium penguji. 4) Sampel diuji oleh laboratorium yang telah

Jurnal Standardisasi Vol. 9 No. 1, Maret 2007:10 19

memiliki panjang 12m sesuai dengan SNI Baja Tulangan Beton. Sedangkan dari segi penandaan merek, ukuran, dan kelas untuk ke-25 sampel tidak ada seperti yang dipersyaratkan SNI Baja Tulangan Beton. Dari informasi yang diperoleh dari pedagang diketahui bahwa baja tulangan beton ada di kota Batam diimpor dari Turki, Belgia, China, dan Rusia melalui Singapura, karena produk baja tulangan beton yang diimpor melalui Singapura lebih bagus kualitasnya dan lebih murah harganya dibandingkan baja yang berasal dari Jakarta. 2.1.3 Bekasi Berdasarkan survei yang dilakukan di pasar kota Bekasi, tim mendapatkan informasi dari pedagang bahwa baja yang dijual di Bekasi berasal dari pabrik baja yang berada di Jakarta. Setelah melakukan pengamatan secara visual terhadap 25 sampel baja tulangan beton di beberapa pasar, tim menyampaikan bahwa terdapat 19 sampel yang memiliki penandaan merk dan 17 sampel memiliki penandaan ukuran sesuai SNI Baja Tulangan Beton 07-2052-2002. Sedangkan untuk penandaan kelas, ke-25 sampel tidak satupun terdapat penandaan seperti yang dicantumkan SNI 07-2052-2002. 2.1.4 Bogor Berdasarkan informasi yang diperoleh dari pedagang bahan bangunan di kota Bogor, tim mencatat bahwa toko-toko tersebut menjual besi baja yang sesuai standar, dan besi baja yang tidak sesuai stndar (banci), dengan pertimbangan untuk memberikan pilihan bagi konsumen berdasarkan harganya. Ukuran baja banci yang dijual umumnya tidak bervariasi, hanya satu ukuran untuk setiap diameter. Dari segi penandaan teridentifikasi 19 sampel dari 25 sampel memiliki penandaan merek dan 11 sampel dari 25 sampel memiliki penandaan ukuran sesuai dengan SNI Baja Tulangan Beton. Untuk penandaan kelas tidak satupun sampel memenuhi penandaan kelas seperti yang dipersyaratkan SNI Baja Tulangan Beton. 2.1.5 Depok Tim mendapatkan informasi dari pedagang bahan bangunan bahwa baja tulangan beton yang dijual di Depok berasal dari pabrik baja yang ada di Jakarta. Tim survei melakukan pengukuran terhadap baja-baja tersebut dan mendapatkan panjang sampel yang dijual di12

Depok berukuran 12m. Untuk parameter penandaan merk dan ukuran teridentifkasi 12 sampel dari 25 sampel yang menenuhi SNI Baja Tulangan Beton. Sedangkan untuk parameter penandaan kelas tim menyampaikan bahwa tidak satupun terdapat baja tulangan beton yang membubuhkan penandaan kelas sesuai SNI 072052-2002. 2.1.6 Jakarta Berdasarkan survei yang dilakukan, tim mendapatkan informasi bahwa pedagang tidak mengetahui tentang Standar Nasional Indonesia (SNI) suatu produk dan baja yang dijual di Jakarta pada umumnya dipasok oleh distributor, namun ada juga yang langsung dari pabrik apabila terdapat pesanan dengan skala yang besar. Baja tulangan beton yang banyak diminati konsumen adalah yang berdiameter 8mm biasa yang dipergunakan untuk perbaikan rumah. Untuk bangunan bertingkat umumnya menggunakan baja tulangan beton berdiameter 8mm penuh dan 10mm biasa. Dalam proyek-proyek pembangunan gedung biasanya digunakan baja ulir yang berdiameter 12mm, 14mm dan ukuran yang lebih besar yang langsung dipesan atau dibeli dari pabrik. Berdasarkan hasil pengamatan secara visual, tim mengidentifikasi bahwa baja tulangan beton yang memiliki penandaan merek dan ukuran sesuai SNI Baja Tulangan Beton 07-2052-2002 sebanyak 26 sampel dari 48 sampel. Sedangkan untuk penandaan kelas tidak satupun ditemukan baja yang mencantumkan penandaan kelas sesuai SNI Baja Tulangan Beton 07-2052-2002. 2.1.7 Makassar Informasi yang didapatkan tim dari pedagang di kota Makassar diketahui bahwa baja yang dijual di Makassar pada umumnya berasal dari pabrik baja yang ada di Makassar seperti Espatindo, dan Barawaja dan juga dari distributor. Berdasarkan hasil pengukuran terhadap 25 sampel baja, tim menyampaikan bahwa kesemua sampel memiliki panjang 12m. Untuk parameter penandaan merek teridentifikasi 5 sampel yang memenuhi SNI Baja Tulangan Beton sedangkan untuk parameter penandaan merek dan kelas tidak satupun sampel yang membubuhkan penandaan kelas sesuai SNI Baja Tulangan Beton. Menurut informasi dari para pedagang, baja yang tidak memiliki penandaan ini tetap banyak di pasaran karena permintaan yang cukup tinggi dari masyarakat sehingga banyak pabrik yang

Evaluasi Penerapan Baja Tulangan Beton (Biatna D, Erninigsih, Heru S)

memproduksi baja-baja yang tidak sesuai dengan SNI 07-2052-2002. 2.1.8 Medan Tim menyampaikan bahwa baja tulangan beton yang beredar di pasaran biasanya digunakan untuk bangunan rumah tinggal, pagar, dan konstruksi bangunan ringan. Menurut pengakuan para pedagang, untuk konstruksi bangunan bertingkat, pengadaan baja tulangan beton diperoleh langsung dari pabrik. Berdasarkan hasil pengamatan baja tulangan beton untuk parameter panjang di kota Medan tidak ada satu pun sampel yang memenuhi SNI Baja Tulangan Beton (panjang kurang dari 12m). Sedangkan untuk parameter penandaan merk teridentifikasi 2 sampel dari 25 sampel yang memenuhi SNI Baja tulangan Beton dan untuk penandaan ukuran teridentifikasi 1 sampel yang sesuai SNI Baja Tulangan Beton. Untuk parameter penandaan kelas, tim menyampaikan bahwa tidak ada sampel yang mencantumkan penandaan kelas sesuai dengan SNI Baja Tulangan Beton. 2.1.9 Surabaya Tim melakukan survey dengan bantuan dari Dinas Perindustrian setempat dengan mengambil sampel dari 5 toko. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari pedagang diketahui bahwa penjualan besi baja di Surabaya tergantung permintaan konsumen, artinya jika konsumen menghendaki besi yang sesuai standar, maka pedagang akan menyediakannya. Sebagian besar konsumen yang merupakan konsumen langsung menghendaki besi baja yang tidak standar karena harganya lebih murah

Baja tulangan beton yang beredar di Surabaya tersebut merupakan produksi pabrik lokal yang ada di Surabaya dan Tuban seperti Ispatindo, Beton Jaya, Hanil, Wairut, Birawa Steel, dan Jatim Steel. Berdasarkan hasil pengamatan BTB yang dijual hanya 6 sampel dari 24 sampel yang memiliki parameter penandaan merk sesuai SNI Baja Tulangan Beton, sedangkan untuk parameter penandaan ukuran dan kelas tidak ada satupun sampel yang ditemukan yang sesuai SNI Baja Tulangan Beton. 2.1.10 Tangerang Berdasarkan hasil survei, tim menyampaikan baja tulangan beton yang beredar di pasaran biasanya digunakan untuk bangunan rumah tinggal, pagar, dan konstruksi bangunan ringan. Menurut informasi yang didapatkan dari para pedagang bahwa baja tulangan beton tersebut diperoleh langsung dari pabrik. Dan dari hasil pengamatan di lapangan bahwa ukuran panjang baja tulangan beton memenuhi persyaratan SNI Baja Tulangan Beton sebanyak 6 sampel. Sedangkan untuk parameter penandaan merk terdapat 20 sampel yang memenuhi SNI Baja Tulangan Beton dan untuk penandaan ukuran terdapat 8 sampel yang memenuhi SNI Baja Tulangan Beton. Dari parameter penandaan kelas tim menyampaikan bahwa tidak terdapat satupun sampel yang memberi penandaan kelas sesuai SNI Baja Tulangan Beton. Dari kesepuluh kota yang disurvei di atas selanjutnya dibuat matrik jumlah sampel untuk masing-masing kota. Rincian dapat dilihat pada Tabel 1. Untuk tingkat kesesuaian sampel dengan SNI Baja Tulangan Beton 07-2052-2002 secara visual dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 1 Sebaran Lokasi dan Jumlah Sample yang DiambilNo Lokasi Jumlah Sampel per Diameter 8 mm 10 mm 16 16 7 7 7 7 6 7 8 8 4 9 13 2 6 9 6 6 6 9 79 80 Jumlah 50 25 25 26 25 26 25 25 24 25 276

1 Jakarta 2 Bogor 3 Bekasi 4 Tangerang 5 Depok 6 Medan 7 Batam 8 Banjarmasin 9 Surabaya 10 Makassar Jumlah

6 mm 8 5 6 6 5 5 10 5 9 5 64

12 mm 10 6 5 7 4 8 0 5 3 5 53

13

Jurnal Standardisasi Vol. 9 No. 1, Maret 2007:10 19

Tabel 2 Tingkat Kesesuaian Sampel dengan SNI Baja Tulangan Beton 07-2052-2002 dengan Pengamatan VisualPenandaan (%) Merk 54 76 76 77 48 8 0 52 25 20 Ukuran 54 44 68 31 48 4 0 52 0 0 Kelas 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Kota Jakarta Bogor Bekasi Tangerang Depok Medan Batam Banjarmasin Surabaya Makassar

Ukuran Panjang (%) 100 100 100 23 100 0 84 100 100 100

2.2 Pengujian Pengujian sample baja tulangan beton meliputi sifat tampak, ukuran dimensi (meliputi panjang, berat, diameter, dan penyimpangan kebundaran), sifat mekanis (meliputi batas ulur, kuat tarik, regang, dan lengkung), dan penandaan (meliputi merek, ukuran diameter, dan kelas). Pengolahan data hasil pengujian disajikan untuk mengetahui kesesuaian karakteristik sample yang diambil dibandingkan dengan persyaratan SNI Baja Tulangan Beton 07-20522002, selanjutnya dilakukan identifikasi tingkat kesesuaian masing-masing karakteristik tersebut dalam memenuhi persyaratan SNI. 2.2.1 Kesesuaian Karakteristik Sampel Hasil pengujian dikelompokkan berdasarkan kota pengambilan lokasi dan diameter sampel baja

tulangan beton. Hasil pengujian disajikan dalam Tabel 4 berikut. Tabel 4 memperlihatkan bahwa dari sampel yang diambil di 10 kota tersebut, secara keseluruhan hanya 1,8 persen yang memenuhi persyaratan SNI 07-2052-2002. Kota Tangerang memiliki tingkat kesesuaian yang paling tinggi, yaitu sebesar 7,7%, disusul Banjarmasin dan Jakarta masing-masing 4%, sementara kota yang lain tidak ada. Berdasarkan diameter sampel yang diambil untuk diameter 8mm memenuhi SNI Baja Tulangan Beton 07-2052-2002 sebanyak 2,6% dan untuk diameter 10mm teridentifikasi sebanyak 3,8%, sementara untuk diameter yang lain tidak ada yang memenuhi SNI Baja Tulangan Beton.

Tabel 4 Kesesuaian Karakteristik Sample dengan SNIJumlah Sampel yang Sesuai dengan SNI 6 mm 8 mm 10 mm 12 mm 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 3 0 0 2,6 3,8 0

No

Lokasi

Jumlah 2 0 0 2 0 0 0 1 0 0 5

Persentase (%) 4 0 0 7,7 0 0 0 4 0 0 1,8

1 Jakarta 2 Bogor 3 Bekasi 4 Tangerang 5 Depok 6 Medan 7 Batam 8 Banjarmasin 9 Surabaya 10 Makassar Jumlah Persentase 14

Evaluasi Penerapan Baja Tulangan Beton (Biatna D, Erninigsih, Heru S)

Tabel 5 Identifikasi Tingkat Kesesuaian Karakteristik Sample dengan SNINo 1 2 Karakteristik sample Banjarmasin Batam Sifat tampak Ukuran a. panjang b. berat c. diameter d. penyimpangan kebundaran 3 Sifat mekanis a. Batas ulur b. Kuat tarik c. Regang d. Lengkung 4 Penandaan a. Merek b. Ukuran c. Kelas 52 52 0 0 0 0 76 44 0 76 68 0 48 48 0 7 6 0 20 0 0 25 0 0 54 54 0 77 31 0 44,2 31,9 0,0 80 44 92 100 92 84 96 100 80 56 92 100 80 48 100 100 92 64 96 100 100 92 100 100 84 36 100 100 86 79 96 100 98 49 98 100 81 39 100 100 88,0 57,8 97,1 100 100 8 20 80 84 16 24 100 100 0 4 68 100 0 0 68 100 0 8 72 0 31 42 73 100 4 4 80 100 12,5 83 75 100 83 12,5 83 23 7,7 15 85 81,9 8,7 13,8 78,6 100 100 Persentase (%) Bogor 100 Bekasi 100 Depok Medan Makassar Surabaya 100 100 100 96 Jakarta 100 Tangerang Total 100 99,6

2.2.2 Identifikasi Tingkat Kesesuaian dengan SNI Identifikasi tingkat kesesuaian sampel baja tulangan beton dengan SNI bertujuan untuk mengetahui karakteristik apa yang sesuai atau tidak sesuai dengan persyaratan SNI. Hal ini agar dapat memberikan gambaran sifat-sifat baja tulangan beton yang perlu mendapatkan perhatian untuk perbaikan. Identifikasi kesesuaian sampel baja tulangan beton dengan SNI disajikan pada Tabel 5. Secara keseluruhan tingkat pemenuhan sampel baja tulangan beton terhadap persyaratan SNI 07-2052-2002 masih sangat rendah (1,8 %). Dari 10 kota yang diambil sampelnya hanya Banjarmasin (8%), Tangerang (7,7%) dan Jakarta (4%) yang ditemukan sampel yang sesuai dengan SNI, sementara kota yang lain tidak ada (0%). Sementara itu berdasarkan diameter sampel yang diambil, hanya diameter 8mm (2,6%) dan 10mm (3,8%) yang ditemukan sesuai dengan SNI, sementara untuk diameter yang lain tidak ada yang memenuhi.

a. Sifat tampak Sifat tampak pada umumnya memenuhi persyaratan SNI 07-2052-2002, masih memenuhi persyaratan 98%, kecuali sampel baja tulangan beton yang ditemukan di Surabaya yang mana terdapat gap rusuk yang memanjang pada salah satu sampel yang diambil. b. Ukuran Panjang yang dipersyaratkan dalam SNI 072052-2002 adalah 6m, 9m, dan 12m. Di Medan tidak ditemukan baja tulangan beton yang memenuhi ukuran panjang sesuai SNI tersebut. Secara keseluruhan sampel yang diambil yang memenuhi persyaratan sebesar SNI 81,9%. Di Bogor, Bekasi dan Depok tidak ditemukan sampel yang memenuhi persyaratan berat. Sementara Jakarta ditemukan banyak sampel yang memenuhi syarat SNI, yaitu sebesar 83%. Keseluruhan sampel menunjukkan tingkat pemenuhan terhadap SNI hanya sebesar 8,7%. Tingkat pemenuhan terhadap persyaratan diameter secara keseluruhan sebesar 13,8%. Di Bekasi tidak ada yang memenuhi, sedangkan kota yang sampelnya paling memenuhi persyaratan adalah Surabaya, yaitu sebesar 83%.15

Jurnal Standardisasi Vol. 9 No. 1, Maret 2007:10 19

Tingkat pemenuhan terhadap persyaratan penyimpangan kebundaran paling rendah di Bogor dan Bekasi yaitu sebesar 68%, sedangkan tertinggi di Batam semua memenuhi persyaratan. Secara keseluruhan tingkat pemenuhan terhadap persyaratan penyimpangan kebundaran sebesar 78,6%. c. Sifat mekanis Sifat mekanis meliputi batas ulur, kuat tarik, regang, dan lengkung. Sampel yang memenuhi persyaratan batas ulur sebesar 88%, kota yang paling rendah tingkat pemenuhannya terdapat di Bogor dan Bekasi, sementara semua sampel di Medan memenuhi syarat. Sifat kuat tarik baja tulangan beton yang diambil di Makassar paling rendah (36%), sedangkan yang tertinggi di Medan (92%). Secara keseluruhan yang memenuhi persyaratan sebanyak 57,8%. Sifat regang sampel baja tulangan beton paling sedikit yang memenuhi persyaratan adalah Bogor (92%) dengan rata-rata tingkat pemenuhan persyaratan sebesar 97,1%. Sementara itu semua sampel yang diuji lengkung memenuhi persyaratan SNI 07-2052-2002. d. Penandaan Penandaan yang dipersyaratkan dapat diidentifikasi pada produk meliputi merek, ukuran diameter, dan kelas baja. Dari seluruh sampel yang diambil ditemukan 44,2% sampel yang mencantumkan merek. Sampel yang diambil di kota Batam tidak ditemukan sampel yang memiliki merek, sementara di Tangerang ditemukan 77% sampel yang mencantumkan merek. Di kota Batam, Makassar, dan Surabaya tidak ditemukan sampel yang mencantumkan ukuran diamater pada batang baja tulangan beton. Yang paling banyak mencantumkan ukuran diameter ditemukan di Bekasi sebesar 68%. Secara keseluruhan hanya 31,9% yang memenuhi persyaratan SNI 07-2052-2002. Tidak ditemukan sampel yang memberikan tanda kelas baja pada produknya. 3. ANALISIS HASIL 3.1 Kajian terhadap SNI Baja Tulangan Beton (SNI 07-2052-2002) SNI 07-2052-2002 merupakan hasil revisi dari SNI 07-2052-1997, di mana salah satu tujuan dilakukannya revisi adalah untuk mempersempit peluang adanya produk baja tulangan beton nonstandar. Penyusunan standar ini disusun oleh16

Panitia Teknis Industri Besi, Baja dan Produk Baja Departemen Perindustrian dan Perdagangan melalui pembahasan rapat-rapat teknis dan rapat pra-konsensus serta konsensus yang dilakukan pada tanggal 12 November 2001, yang dihadiri oleh wakil-wakil produsen, konsumen, lembaga uji dan instansi terkait lainnya. 3.2 Tingkat Pemenuhan terhadap Persyaratan SNI Pengukuran tingkat pemenuhan terhadap persyaratan SNI 07-2052-2002 berdasarkan sifat tampak, ukuran, sifat mekanis, dan penandaan baik melalui pengamatan lapangan maupun pengujian sampel produk. Tingkat pemenuhan terhadap persyaratan SNI menunjukkan kualitas atau mutu suatu produk. Hasil pengamatan dan pengujian produk memperlihatkan bahwa kualitas produk masih banyak yang belum memenuhi persyaratan SNI 07-2052-2002. Ketidaksesuaian tersebut banyak ditemukan pada hampir semua aspek pengamatan. Ukuran produk yang paling banyak ditemukan tidak memenuhi persyaratan. Banyak ditemukan produk baja tulangan beton yang setelah diukur ternyata nilainya lebih kecil dari yang dinyatakan pada tanda atau yang dikatakan penjual. Karena diameter lebih kecil dari pada yang dinyatakan, berat per meter juga lebih kecil dibandingkan dengan persyaratan. Pemenuhan sifat mekanis sampel terhadap persyaratan SNI relatif lebih baik dibandingkan hasil pengukuran sampel. Karena sifat mekanis (batas ulur dan kuat tarik) merupakan gaya yang dibebankan pada tiap luasan penampang baja tulangan beton (N/mm2), maka ketidaksesuaian sifat mekanis tersebut disebabkan bukan karena kualitas bahan baja yang digunakan akan tetapi karena diameter (luas penampang) baja tulangan beton yang lebih kecil daripada yang ditulis atau dikatakan penjual. Dengan demikian persyaratan SNI dapat dipenuhi apabila ukuran diameter baja tulangan beton sesuai dengan yang dinyatakan pada penandaannya. Atau dengan kata lain ketidaksesuaian kualitas baja tulangan beton dapat terjadi karena ukuran diameter tidak sesuai dengan yang dinyatakan (penipuan). 3.3 Ketersediaan Regulasi Regulasi terkait dengan pemberlakuan baja tulangan beton yang ada saat ini adalah Surat Keputusan Menteri Perindustrian No. 256/M/SK/11/1979, regulasi tersebut memberlakukan wajib SII 0136-1975 Baja Tulangan.

Evaluasi Penerapan Baja Tulangan Beton (Biatna D, Erninigsih, Heru S)

Dalam perkembangan selanjutnya, SNI tersebut mengalami revisi. SII 0136-1975 direvisi menjadi SII 013-1984. Dengan adanya Keputusan Menteri Negara Riset dan Teknologi/Ketua Badan Pengkajian dan Ppenerapan Teknologi selaku Dewan Standardisasi Nasional No. 472/IV.2.06/HK.01.04/9/92 tentang Perubahan Nomor-nomor SNI Lama disesuaikan dengan Keputusan Presiden RI Nomor 12 Tahun 1991 yang menetapkan hanya ada satu standar nasional yang berlaku di Indonesia, dengan demikian SII 0136-1984 otomatis diangkat menjadi SNI dan berubah penomorannya menjadi SNI 07-2052-1990. Setelah itu dilakukan revisi tahun 1997 menjadi SNI 07-2052-1997, dan yang terakhir adalah SNI 07-2052-2002. Pada saat ini, dengan pertimbangan untuk menjamin mutu hasil produksi serta untuk mencapai daya guna produksi dan melindungi konsumen terhadap mutu produk, Departemen Perindustrian berencana akan meregulasi ulang produk baja tulangan beton. Sampai pada saat ini, SNI yang berlaku adalah SNI 07-2052-2002 yang tentunya tidak relevan lagi dengan SK. No. 256/M/SK/11/1979. SK lain yang terkait adalah Peraturan Menteri Perindustrian No. 20/M-IND/PER/2006 yang berisi penunjukan beberapa lembaga penilaian kesesuaian di lingkungan departemennya dalam rangka penerapan/pemberlakuan dan pengawasan SNI. Penunjukan ini memiliki kekurangan dan kelebihan, kelebihannya yaitu apabila belum terdapat Lembaga Penilaian Kesesuaian yang diakreditasi atau jumlahnya masih belum memadai terhadap kebutuhan yang ada maka kebutuhan akan LPK yang belum diakreditasi tidak dijamin, disamping itu menghilangkan kesempatan bagi LPK yang memenuhi persyaratan tetapi tidak ditunjuk sehingga akan menciptakan iklim usaha yang tidak sehat. Dalam pengembangan LPK, Keputusan Menteri sebaiknya memberdayakan LPK yang sudah di akreditasi oleh KAN sehingga tercipta iklim usaha yang sehat. Dalam hal pelaksanaan pengawasan barang dan jasa yang beredar di pasar diatur melalui Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 634/MPP/Kep/IX/2002 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan Jasa Yang Beredar di Pasar. Pasal 3 dari keputusan tersebut menyatakan bahwa pengawasan barang dan/atau jasa sebagaimana dilakukan oleh pemerintah, masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. Pemerintah melalui Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan Jasa telah melakukan

pengawasan terhadap produk baja tulangan beton yang beredar dipasar, paling tidak pada tahun 2002 dan 2005. Hasil pengawasan pasar memperlihatkan bahwa masih sangat sedikit produk baja tulangan beton yang memenuhi SNI. Dari 35 sampel yang diambil pada tahun 2002, tidak ada satupun sampel yang memenuhi persyaratan SNI, sedangkan pada tahun 2005 produk baja tulangan beton yang memenuhi SNI hanya 30% sampel. 3.4 Kesiapan Infrastruktur Penerapan SNI dilakukan melalui kegiatan sertifikasi dan akreditasi. Kegiatan sertifikasi dan akreditasi bertujuan untuk menjamin bahwa suatu produk telah memenuhi persyaratan standarnya. Suatu produk dinyatakan telah memenuhi persyaratan SNI, dibuktikan dengan adanya penandaan SNI pada produk tersebut setelah melalui serangkaian kegiatan penilaian kesesuaian. Sesuai PSN 302 2006, paling tidak ada 6 skema yang telah ditetapkan dalam sistem sertifikasi produk. Untuk produk baja tulangan beton sistem sertifikasi yang dapat digunakan adalah sistem 5. Sistem ini mencakup pengujian dan surveilan terhadap sistem mutu yang diterapkan oleh perusahaan/pabrik. Surveilan terhadap penerapan sistem mutu digunakan untuk menilai tingkat konsistensinya. Sistem sertifikasi ini mencakup: a) permintaan sampel oleh lembaga sertifikasi b) determinasi karakteristik melalui pengujian atau asesmen c) asesmen awal terhadap proses produksi atau sistem mutu, sesuai kebutuhan d) evaluasi laporan pengujian atau asesmen e) pengambilan keputusan f) penerbitan lisensi g) surveilan proses produksi atau sistem mutu atau keduanya h) surveilan dengan cara pengujian atau inspeksi sampel dari pabrik atau dari pasar, atau keduanya. Berikut ini lembaga penilaian kesesuaian yang berkaitan dengan produk baja tulangan beton.

17

Jurnal Standardisasi Vol. 9 No. 1, Maret 2007:10 19

Tabel 6 Daftar Lembaga Penilaian Kesesuaian di Bidang Baja Tulangan BetonNo. 1. 2. 3. Nama lembaga Laboratoroium Balai Bahan dan Barang Teknik DKI Jakarta Laboratorium Balai Besar Teknologi Kekuatan Struktur - BPPT Laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Bahan dan Barang Teknik (B4T) LSPro Pustan Perindustrian LSPr Baristan Indag Surabaya LSPro PT. TUV Nord Indonesia LSPro Baristan Indag Medan LSPro LUK B2TKS LSPro Balai Besar Bahan dan Barang Teknik (B4T) Diakreditasi oleh KAN Ya Ya Ya Ditunjuk dengan Per Menperin 20/M-IND/PER/2006 -

4. 5. 6. 7. 8. 9.

Ya Ya Ya Ya Ya -

Ya

4. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Rencana pemberlakuan SNI 07-2052-2002 seharusnya dilakukan secara hati-hati dan dilakukan persiapan secara matang untuk menghindarkan dampak negatif bagi perkembangan iklim usaha dan persaingan yang sehat, menghambat perkembangan dunia usaha, dan menimbulkan pelanggaran terhadap perjanjian internasional yang telah diratifikasi atau telah disepakati oleh pemerintah. Evaluasi terhadap penerapan SNI 07-20522002 yang meninjau aspek kecukupan standar, regulasi pemberlakuan SNI, dan ketersediaan infrastruktur dapat disimpulkan sebagai berikut:

2)

3)

1) SNI 07-2052-2002 telah cukup dapat meng-

akomodasi kepentingan sesuai dengan penggunaannya, namun masih perlu dilakukan penyempurnaan sebagai berikut: a. Syarat penandaan pada kemasan perlu didefinisikan secara konkret untuk memperkecil peluang terjadinya penyalahgunaan informasi pada konsumen. b. Perlu diharmonisasi dengan standar internasional agar memperlancar dalam proses notifikasi ke WTO. c. Perlu peninjauan SNI terhadap perkembangan standar lain yang menjadi acuan SNI 07-2052-2002. Sifat mekanis meliputi batas ulur, kuat tarik, regang, dan uji lengkung. Untuk uji tarik menggunakan SNI 07-0408-1989 dan

batang uji menggunakan SNI 07-03711998. Namun SNI 07-0371-1998 tersebut setelah ditelusuri dengan standar acuannya (JIS ......), ternyata tidak sesuai lagi. Sedangkan untuk uji lengkung batang uji tulangan menggunakan SNI 07-0410-1989. Pemberlakuan (regulasi) standar baja tulangan telah diatur sejak tahun 1975, namun belum pernah dilakukan revisi regulasi tersebut untuk penyesuaian baik perubahan standar (dari SII menjadi SNI) maupun perkembangan peraturan yang lain termasuk perjanjian internasional. Pada umumnya sistem sertifikasi produk untuk SNI 07-2052-2002 menggunakan Sistem 5, maka diperlukan lembaga sertifikasi produk (LSPro), lembaga sertifikasi sistem mutu (LSSM) dan laboratorium penguji, lembaga pembina dan lembaga yang mengawasi barang yang beredar di pasar. Di bidang baja tulangan beton, saat ini terdapat 5 LSPro yang telah diakreditasi oleh KAN dan 1 LSPro yang ditunjuk oleh Menteri Perindustrian untuk mensertifikasi produk baja tulangan beton, dan 3 laboratorium penguji yang telah diakreditasi KAN.

4.2 Saran a. Dalam penyusunan regulasi harus memperhatikan Pedoman Standardisasi Nasional (PSN) 301-2003 tentang Pemberlakuan SNI Wajib

18

Evaluasi Penerapan Baja Tulangan Beton (Biatna D, Erninigsih, Heru S)

b. Dalam penetapan regulasi baja tulangan beton ini tidak hanya SNI 07-2052-2002, tetapi juga perlu dipertimbangkan untuk mengakomodasi produk sejenis; seperti SNI 07-0065-2002, Baja tulangan beton hasil canai panas ulang dan SNI 07-0954-2005, Baja tulangan beton dalam bentuk gulungan. Sehingga jika SNI 07-2052-2002 akan diwajibkan maka c. Perlu komitmen yang tegas dalam penegakan hukum. d. Perlu dilakukan sosialisasi SNI kepada semua pihak yang terkait (penguji, aparat penegak hukum, lembaga pembina dan pelaku usaha). e. Perlu penataan kelembagaan untuk menciptakan iklim usaha yang sehat di bidang penilaian kesesuaian seperti tidak menunjuk LPK yang tidak terakreditasi apabila tersedia LPK yang diakreditasi. f. Program pengawasan oleh instansi terkait perlu dilaksanakan secara efektif, baik pengawasan pra pasar maupun pengawasan di pasar. g. Pembinaan oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah dalam penerapan SNI Baja Tulangan Beton perlu ditingkatkan. h. Perlu kebijakan pemerintah untuk menumbuhkembangkan ketersediaan dan kemampuan Lembaga Penilaian Kesesuaian antara lain pemberian insentif DAFTAR PUSTAKA 1. Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan Jasa, 2005, Laporan Akhir Pengawasan Produk Baja Tulangan Beton yang Beredar di Pasar, Departemen Perdagangan. Peraturan Menteri Perindustrian 19/MIND/PER/5/2006. Peraturan Menteri Perindustrian 20/MIND/PER/5/2006. PSN 301-2003, Pedoman Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Wajib, BSN. SNI 07-2052-2002, Baja Tulangan Beton, BSN. Suhartono, H. Agus, 2006, Pengambilan Contoh dan Pengujian Baja Tulangan Beton, B2TKS, BPPT.

7.

Surat Keputusan Menteri Perindustrian 256/M/SK/11/1979. BIODATA

Biatna Dulbert T, lahir di Sidikalang tanggal 3 Desember 1976. Menamatkan jenjang S1 jurusan Statistika di Universitas Padjajaran Bandung pada tahun 2000. Saat ini bekerja sebagai peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Standardisasi, Badan Standardisasi Nasional. Erniningsih Haryadi, dilahirkan di Muntilan pada tanggal 26 September 1957. Penulis menamatkan jenjang S1 jurusan Teknik Kimia pada Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Sekarang penulis bekerja sebagai Kepala Bidang Sistem Pemberlakuan Standar dan Penanganan Pengaduan, Pusat Sistem Penerapan Standar, Badan Standardisasi Nasional. Heru Suseno, dilahirkan di Sragen pada tanggal 11 Maret 1971. Penulis menyelesaikan jenjang S1 jurusan Perikanan UGM pada tahun 1995, dilanjutkan dengan Program Magister Studi Pembangunan di ITB pada tahun 2005. Saat ini penulis bekerja sebagai Kepala Bidang Sistem Manajemen Mutu, Pusat Akreditasi Lembaga Sertifikasi, Badan Standardisasi Nasional.

2. 3. 4.

5. 6.

19

Jurnal Standardisasi Vol. 9 No. 1, Maret 2007:20 25

A STANDARDIZATION OF THE ELECTRICAL METROLOGY LABORATORY COMPETENCE FOR DC VOLTAGE UNITHadi Sardjono

Abstrak Sebagai Laboratorium Metrologi Nasional, Puslit KIM-LIPI berkewajiban untuk memelihara salah satu besaran kelistrikan yaitu standar tegangan dc 10V. Proses pemeliharaan dilakukan berdasarkan ketertelusuran dan uji banding antar laboratorium metrologi nasional negara lain. Pada proses ketertelusuran dipenuhi dengan mengkalibrasi sel standar 10V ke laboratorium Nasional Australia (NMIA). Sedangkan proses uji banding dilakukan bekerjasama dengan laboratorium nasional Singapura (SPRING). Dari hasil uji banding diperoleh nilai validasi kompetensi berdasarkan nilai En yaitu sebesar 0.25. Kata Kunci : Standarisasi, kompetensi, metrologi kelistrikan, tegangan dc.

1. INTRODUCTION It is well known, Puslit KIM-LIPI is one of the LIPI Research centres that is responsible to maintaince almost all of the metrology unit especially on the electrical unit for dc voltage standard. The primary standard of the dc voltage standard is developed based on a group of the 10 V standard cells. Actually, the standard value of the 10 V is derived from the average of 4 standard cells in a group that is developed by a dessimination process referring to the standard value belong to the National Measurement Institute of Australia (NMIA) through a transfer standard. Principally, It was defined in the ISO that the measured of the laboratory competence are basically performed by traceability chart and measurement recognization. In other words we can says that although the traceability is well done, to get their recognize competence, still it need to be complete by involving the laboratory to attend an ILC programm. The ILC program itself can be propose in form of an APMP (Asia Pasific Metrology Program) or bilateral (between two countries). As a nasional metrology insttutes, one of the main important missions is to carry out the consistance of improvement in the competence quality. According to the declaration of the Mutual Recognition Arrangement (MRA), the competence quality of the laboratory can be observed if the laboratory has been participated in the ILC program and passed from a technical assessment process under coordinated by a legal Accreditation Body. Puslit KIM-LIPI, Indonesia and SPRING, Singapore has made an arrangement to conduct20

a bilateral key comparison on dc voltage. As the comparison coordination, Puslit KIM-LIPI is proposed as the pilot laboratory. The comparison voltage is done at 10 V. It was shown based on these ILC program, Puslit KIM-LIPI can observed their En up to 0.25. The number of En is shown tendenciously to declare that the competence is conformed. 1.1 Basic Theory Calibration laboratories are generally working to different levels of accuracy. Consequently, their performance is not judged by comparing their results with those of the other laboratories. Instead, their results are compared only to the Reference Laboratorys result and their ability to achieve the accuracy for which they are accredited is evaluated by calculating the En ratio3). En stands for Error normalised and is defined as,

En =

LAB REF2 2 U LAB + U REF

where: LAB is the participating laboratorys result REF is the Reference Laboratorys result ULAB is the participating laboraorys reported uncertainty UREF is the Reference Laboratorus reported uncertainty. For a result to be acceptable the En ratio should be between 1 and +1. In calibration interlaboratory comparisons the En numbers only indicate whether laboratories are within their particular uncertainty of

A Standardization of The Electrical Metrology Laoratory (Hadi Sardjono)

measurement of the Reference value (assigned value) taking into account the uncertainties of measurement. The En number does not indicate which laboratories is closest to the Reference Value. Consequently, high level calibration laboratories may have similar En numbers to the laboratories working to a much lower level of uncertainty. It should be noted that the Reference value itself has an uncertainty of measurement. Consequently, the En < 1 limit really only represents the cut-off below which it is likely that the result is acceptable and above which it is unlikely that the result is acceptable. In a series of similar measurement we could also accept a normal distribution of En ratios. So when considering the significance of any result with En marginally greater than 1, all results are evaluated to see if there is a systematic bias e.g. consistantly positive or consistantly negative values of En may indicate a problem. 1.2 Observation Method In December 2003, Puslit KIM-LIPI, Indonesia and SPRING, Singapore made an arrangement to conduct a bilateral key comparison on dc voltage. The main decisions regarding the comparison were that: Puslit KIM-LIPI would be the pilot laboratory. The comparison voltage would be at 10V. A Fluke 732B serial no, 8440015 owned by Puslit KIM-LIPI would be used as a dc voltage traveling standard. The comparison would proceed in the sequence (Puslit KIM-LIPI)(SPRING)(Puslit KIM-LIPI) Puslit KIM-LIPI made an arrangement for the traveling standard to be hand-carried between Puslit KIM-LIPI and SPRING. After the measurement is completed, each laboratory submitted its data to the APMP TCEM Chairman for collation. The TCEM Chairman wound sent collated data back to both laboratories for preparation of the comparison report. Schedule of the Comparison is arranged by placing the artifact on both laboratories for measurement in a certain time interval. The artifact was located for measurement in Puslit KIM-LIPI from 12 01- 2004 up to 11 02 2004 and from 25 03 2004. In turn on the middle of those interval started from 12 02 2004 up to 24 03 2004, the artifact was placed in SPRING laboratory for measurement. The laboratories participants involved in this programm, technically, is motivided to measure the artifact as much as possible or at least more then 10 measurement. Regarding of this

measurment method would produce quite a lot of datas from the respectivally observation, those datas of laboratories shall be processed in arithmatic to perform a single data to prepare for further analization. To face this condition, the writer will included an analyzed method called a Least square method1,2). 2. RESULT AND DISCUSSION The dc voltage measurement of the Fluke 732B traveling standard was carried out manually in Puslit KIM-LIPI and under computer control in SPRING. Both laboratories carried out measurements of the Fluke 732B output voltage with its power cord removed from the mains power and running on its internal battery. The Fluke 732B was disconnected from the mains power for at least one hour before the commencement of measurements. The Fluke 732B guard terminal was connected to system ground and its chassis terminal while the output terminals were left floating. The ambient environmental of both laboratories should be controlled in good condition. Puslit KIM-LIPI and SPRING has been controlled their Temperature, Relative Humidity and Barometric Pressure in (23 + 1)0C ; (65 + 5) %rh ; typical 1024 hPa and (23 + 1)0C ; (55 + 5) %rh ; typical 1013 hPa respectivally. Although the equipment used at Puslit KIMLIPI and SPRING for maintaining the standard of dc voltage standard is technically prepared in difference system but in unit quantitatively is in the same principle. Puslit KIM-LIPI provided a group of standard cell containing of 3 individual cells that are made in FLUKE with the uncertainty of measurement up to 12 V. The measurement system is supported by a nanovoltmeter and a low thermal scanner with it contribution in measurement capability up to 0.025 V and 0.04 V respectivally. This dc voltage unit is currently traceabled to the NMIAAustralia. Technically SPRING could provide their standard value of 10 volt dc more accurate up to 100 x higher or better than standard cell. The measurement system is build-up based on a Josephson Junction Array. The system is supported by several stable equipments such as a Josephson Array system to generate voltage up to 10V, Frequency reference, Scanner, Frequency counter, Digital volt meter, Oscilloscope. In these inter laboratory comparison the Josephson Jucntion system was21

Jurnal Standardisasi Vol. 9 No. 1, Maret 2007:20 25

capable to measured the artifact with uncertainty of measurement up to 0.2 V. Figure 1 shows the voltage at 10 V level for the complete sequence Puslit KIMLIPI/SPRING/ Puslit KIM-LIPI. The measurement data from both laboratories is shown in Appendices A and B. All values in Figure 1 are directly from the measurement data without correction to the standard values of ambient. Each point shown on the graph represents the average value of the day.

The estimated measurement uncertainties assigned by each laboratory to its measurements are as follows (see figure 2 and 3). Each of the points in Figure 1 has an associated standard uncertainty whose value is stated as combined standard uncertainty in the tables below.

P1-APMP.EM.BIPM-K11.2 DC Voltage Bilateral Comparison92 91 V l g d vae fr m 0V ) ota e e i t d o 1 ( V 90 89 88 87 86 85 84 83 82 25-Dec-03 KIM-LIP I SPRING KIM-LIP Mean I SPRING Mean 14-Jan-04 03-Feb-04 23-Feb-04 14-Mar-04 03-A pr-04 23-A pr-04 13-May-04

Date

Figure 1 Measurement Result At Puslit KIM-LIPI Components of uncertainty Reference standard Drift Scanner emf Nano-voltmeter Cable leakage Repeatability Combined Standard uncertainty Type B B B B B A Standard uncertainty (V/V) 1.2 0.15 0.01 0.003 0.001 0.02 1.212

22

A Standardization of The Electrical Metrology Laoratory (Hadi Sardjono)

Puslit KIM-LIPIMeasurement value 10.0000905 10.00009 10.0000895 10.000089 10.0000885 10.000088 10.0000875 10.000087 10.0000865 2/2/2004 2/9/2004 1/12/2004 1/19/2004 1/26/2004 2/16/2004 2/23/2004

y = -1E-08x + 10 R2 = 0.6685 3/1/2004 3/8/2004 3/15/2004 3/22/2004 3/29/2004 4/5/2004 4/12/2004 4/19/2004 4/26/2004

Date

Average = SSR = Var = SSR/v = s = u = sqrt(Var) = n =

10.00008905 4.95279E-14 1.90E-12 4.36454E-08 V 28

V V V = 0.043645 V

Figure 2 Data Analysis Using Curve Fitting for PUSLIT KIM-LIPI At SPRING Components of uncertainty Frequency instability Probe leakage Uncompensated emf DVM Max. random dispersion Combined Standard uncertainty Type B B B B A Standard uncertainty (V/V) 0.0003 0.001 0.01 0.005 0.009 0.02

SPRINGMeasurement value 10.000086 10.0000855 10.000085 10.0000845 10.000084 10.0000835 10.000083 10.0000825 10.000082

y = -4E-08x + 10 R2 = 0.4902

Fe b. 0 Fe 4 b. 17 0 Fe 4 b. 19 0 Fe 4 b 23 . 0 Fe 4 b 25 . 0 Fe 4 b 27 . 0 Fe 4 b 01 . 0 4 M a 09 r.0 4 M a 11 r.0 4 M a 13 r.0 4 M a 16 r.0 4 M a 18 r.0 4 M a 20 r.0 4 M a 23 r.0 4 M ar .0 4 14

12

Date

23

Jurnal Standardisasi Vol. 9 No. 1, Maret 2007:20 25

Average SSR Var = SSR/v

= 10.0000845 = 4.08227E-14 V = 1.57E-15 V

V

s = u = sqrt(Var) = 0.0396 V n = 28 Figure 3 Data Analysis Using Curve Fitting for SPRING

2.1 Evaluation of the Result Since the environmental conditions of both laboratories are comparable and the traveling standard was hand-carried with battery powered between Puslit KIM-LIPI and SPRING to minimise the transportation instability, correction to the standard values of ambient was not applied to the measurement data as the variations are insignificant when compared to the estimated measurement uncertainty. The results were analysed by performing a fit to a first-order drift curve with a constant laboratory-dependent offset as shown by the dash lines in Figure 1. At the mean date i = (6 March 2004), the values deviated from 10.00000 V for measurement results at Puslit KIM-LIPI and SPRING are ViPuslit KIMLIPI = 89.05241 V ViSPEING = 84.44293 V respectively. The offset is 4.60948 V. The difference of measured mean result at Puslit KIM-LIPI from the measured mean result at SPRING is hence: V Puslit KIM_LIPI V SPRING = 4.60948 V with a standard uncertainty 0.24 V/V. 2.2 Degree of equivalence of Puslit KIM-LIPI to SPRING The degree of equivalence D1 between Puslit KIMLIPI and SPRING is: D(V Puslit KIM_LIPI V SPRING) = 4.61 V with an expanded uncertainty 0.48 V/V The expended uncertainty was calculated from the standard uncertainty using a coverage factor k=2. 2.3 Link of Puslit KIM-LIPI result to BIPM SPRING participated in a bilateral comparison with BIPM on 27 August 1998 as part of the ongoing BIPM key comparison in dc voltage at 10 V level (BIPM.EM-K11b) and the following result was obtained: V SPRING V BIPM = 0.16 V with a standard uncertainty 0.011 V/V,

The linking of Puslit KIM-LIPI result at 10 V level is thus: V Puslit KIM_LIPI V BIPM = 4.77 V with a standard uncertainty 0.25 V/V. Hence the degree of equivalence of Puslit KIM-LIPI to BIPM is: D(V Puslit KIM_LIPI V BIPM) = 4.77 V with an expanded uncertainty 0.50 V/V. The expended uncertainty was calculated from the standard uncertainty using a coverage factor k=2. Regarding to the measurement result of both laboratories (see figure 4) of Puslit KIM-LIPI and of SPRING, the expanded uncertainty4) measurement were calculated as shown as 12.12 V and 0.17 V, respectively (see Appendix A and B).

24

A Standardization of The Electrical Metrology Laoratory (Hadi Sardjono)

Assessment

10.000101 Value (Volt) 10.000096 10.000091 10.000086 10.000081 10.000076 0 1 Laboratory's 2 3

Puslit KIM-LIPI SPRING

Figure 4 The Diference Value Indication With It Expanded Uncertainty of The Measurement Result3. CONCLUSION AND SUGGESSION

An inter laboratory comparison is one of the most importance processes for a metrology laboratory to get it competency conformity. Puslit KIM-LIPI has been aproved it competerncy through a bilateral comparison with SPRING laboratory for 10 volt dc voltage unit by a valid indication based on the number En up to 0.25. It was undirextally described in the above experience that to guaranty in getting a valid indication performance, a laboratory should maintained their traceability of the unit under observed to the higher level standard.REFERENCES

Nonlinear Models. London : Chapmann & Hall. 2. Hardin, J. W. and R. J. Carroll. 2003. Measurement Error, GLMs, and National Conventions. Stata Juournal. 3. Training Course for Assessors of Calibration Laboratories , National Association of Testing Authorities, Australia, 1998. 4. Using The ISO GUM, CSIRO Division of Applied Physics, Melbourne Branch, Clayton, 1994, 1995.BIODATA Hadi Sarjdono, Puslit KIM-LIPI, PUSPIPTEK, Cisauk. Post Graduate Opto elektroteknic and Laser Aplication, Universitas Indonesia, 1991.

1. Carroll, R. J., D. Ruppert, and L. A. Stefanski. 1995. Measurement Error in

25

Jurnal Standardisasi Vol. 9 No. 1, Maret 2007:26 34

VERIFIKASI METODE STEP DAN KONTINYU UNTUK PENENTUAN KAPASITAS PANAS MENGGUNAKAN THERMAL ANALYZERAslina Br Ginting, Jan Setiawan, Sutri IndaryatiAbstract In order to prove the method of experiment Differential Scanning Calorimeter equipment from Setaram was valid , it a research about verification of the Setaram method used ASTM method No E-399-402/1992, E-1269-1990 and used standard material Certificate Reference Material Sn, Pb,Zn, and Al. Analysis of heat capacity has been o o o performed using step and continuous method in temperature range 30 C until 450 C with heating rate 3 C/minute. Result of analysis show that step and continuous method from Setaram was valid for analysis heat capacity of sample Pb, Zn, and Al because the deviation , precision and accuracy obtained can be accepted because the value is appropriate with ASTM, while analysis heat capacity of sample Sn hasnt valid because the deviation, precision and accuracy obtained is in appropriate with ASTM. From the result of heat capacity and than calculated uncertainty to understand the value of uncertainty experiment of heat capacity sample standard Sn, Pb, Zn dan Al are 9,273; o 2,597; 4,54 ; 1,423 J/mol C Keywords: DSC, Certificate Reference Material , Validation Method

1. PENDAHULUAN

Salah satu peralatan pengujian yang ada di laboratorium Instalasi Radiometalurgi P2TBDUBATAN yang telah mendapat akreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) adalah Differential Scanning Calorimeter (DSC92) Merk SETARAM. Alat ini dapat digunakan untuk menentukan kapasitas panas (Cp=J/moloC) bahan logam, paduan logam, keramik dan polimer. Metode pengujian kapasitas panas menggunakan alat DSC selama ini dilakukan dengan menggunakan metode petunjuk operasi (Manual Operation) yang diberikan oleh fabrikan SETARAM Perancis dengan penyimpangan pengukuran yang masih dapat diterima sebesar 10%[1]. Sedangkan menurut sistem mutu SNI 1917025-2005, laboratorium pengujian dalam mengoperasikan suatu peralatan harus menggunakan metode pengukuran yang sah berdasarkan parameter-parameter unjuk kerja yang memenuhi spesifikasi, operator yang kompeten dan alat yang terkalibrasi[2] agar diperoleh hasil pengujian kapasitas panas yang benar, presisi dengan akurasi yang tinggi. Dalam melakukan validasi suatu metode pengujian maka prosedur yang digunakan harus dapat tertelusur ke satuan internasional dengan cara menggunakan CRM (Certificate Reference Material) atau ke bahan acuan yang bersertifikat. Untuk mengetahui bahwa metode uji yang diberikan oleh fabrikan SETARAM telah sah maka dilakukan langkah verifikasi metode tersebut dengan menggunakan metode ASTM No E-399-402/1992 dan E-1269-1990 serta mengacu kepada bahan standar yang26

bersertifikat yaitu Sn, Pb, Zn dan Al dengan kemurnian 99,999%[3,4]. Hasil verifikasi metode tersebut dinyatakan sah bila mana telah memenuhi beberapa parameter antara lain parameter konfirmasi identitas, simpangan baku, daerah linearitas pengukuran, presisi, akurasi, ketidakpastian pengukuran dan recovery[5]. Pada tulisan ini hanya dilakukan perhitungan terhadap empat parameter yaitu simpangan baku, presisi, dan akurasi seperti yang di peroleh dari besaran ASTM diatas dengan besaran masing-masing adalah standar deviasi 2,99, presisi 9,8 %, dan akurasi 98,2%[6,7] serta besar ketidakpastian pengukuran kapasitas panas. Dalam penentuan kapasitas panas dengan DSC92 ada dua metode pengukuran yang digunakan oleh SETARAM yaitu metode step dan metode kontinyu. Perbedaan kedua metode tersebut terletak kepada prinsip pengoperasiannya. Pengoperasian metode step dilakukan dengan menetapkan suatu temperatur program yang meliputi, rentang pengukuran, jumlah step pengukuran (number of step), temperatur mula-mula (initial temp), temperatur akhir (T.End), waktu tunda (delay) untuk satu step, dan laju pemanasan. Sedangkan pengukuran metode kontinyu dilakukan dengan menetapkan suatu temperature program yang meliputi, rentang pengukuran, tempertur mula-mula (Initial Temp), temperatur akhir (T.End) dan laju pemanasan tanpa waktu tunda. Dalam pengoperasian baik untuk metode step dan kontinyu dilakukan dengan tiga langkah pengukuran dengan krusibel yang sama yaitu:

Verifikasi Metode Step dan Kontinyu (Aslina Br. G, Jan Setiawan, Sutri I)

1. Pengukuran Blank-Blank yaitu pengukuran 2 buah krusibel kosong 2. Pengukuran Blank - Standar Al2O3, yaitu pengukuran 1 buah krusibel kosong dan krusibel yang berisi sample standar Al2O3 yang terlebih dahulu telah diketahui nilai kapasitas panasnya dari sertifikat. 3. Pengukuran Blank-Sampel Unknown , yaitu pengukuran 1 buah krusibel kosong dan krusibel yang berisi sample Unknown yang belum diketahui nilai kapasitas panasnya. Dari kedua metode diatas diharapkan diperoleh besaran kapasitas panas dari sample yang diukur adalah sama, karena dalam melakukan suatu pengujian, personel laboratorium dapat menggunakan metoda dan prosedur yang berbeda tetapi rentang nilai benar kapasitas panas tersebut berada didalam pengukuran tersebut. Oleh karena itu pada pengujian ini akan dilakukan suatu pengukuran penentuan kapasitas panas bahan standar Sn, Pb, Zn dan Al menggunakam metode step dan metode kontinyu dengan 3x pengulangan pengukuran yang bertujuan untuk memverifikasi kedua metode tersebut. Hasil kapasitas panas yang diperoleh akan dibandingkan dengan kapasitas panas bahan standar yang bersertifikat[4]. Data yang diperoleh dari hasil pengukuran akan dievaluasi untuk menentukan standar deviasi, besar penyimpangan (%) atau besar presisi dan akurasi dari pengukuran tersebut.[8,9]2. DASAR TEORI

menunjukkan kesesuaian dengan tujuan penggunaannya. Untuk memperoleh hasil analisis yang baik maka metode pengujian yang digunakan harus di validasi. Suatu metode pengujian harus divalidasi apabila metode tersebut baru dikembangkan untuk suatu permasalahan yang khusus dan yang kedua adalah apabila metode yang selama ini sudah rutin digunakan dalam suatu laboratorium berubah presisi dan akurasinya dengan waktu sehingga nilai benar dari analisis tersebut telah berubah. Beberapa cara yang dilakukan untuk melakukan validasi metode antara lain dengan membandingkan hasil pengukuran dari metode yang akan divalidasi dengan suatu metode lain menggunakan Certificate Reference Material (CRM) dan cara yang kedua adalah membandingkan metode yang akan di validasi terhadap metode lain yang sudah tervalidasi (misalnya: ASTM dan standard lainnya). Beberapa prosedur yang dilakukan untuk memvalidasi suatu metode antara lain: 1. Konfirmasi identitas, untuk meyakinkan kepada analis kimia bahwa hasil pengukuran hanya berasal dari sample yang dianalisis bukan dari senyawa lain atau campuran sample dengan senyawa lain . 2. Limit deteksi dan Limit kuantisasi, Limit deteksi (LoD) adalah kosentrasi terendah yang masih dapat terdeteksi oleh suatu alat. Besar limit deteksi biasanya dinyatakan dengan nilai rata-rata blanko + 3 S, dimana S adalah standar deviasi (simpangan baku) dari blanko.

Validasi Metode Pengujian adalah suatu proses untuk mengkonfirmasi bahwa suatu metode mempunyai unjuk kerja pengujian yang konsisten, sesuai dengan apa yang dikehendaki dalam penerapan metode tersebut. Dalam proses validasi metode penentuan parameter unjuk kerja metode dilakukan dengan menggunakan peralatan yang memenuhi spesifikasi, operator yang kompeten dan terkalibrasi secara memadai. Diperlukannya validasi metode dalam suatu pengujian karena hampir semua aspek dalam masyarakat menggunakan pengukuran secara analitik, biaya analisis yang sangat tinggi, dan terkadang pengambilan keputusan hasil yang salah seh