Upload
others
View
9
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
KAJIAN RUMPUT LAUT
SEBAGAI SUMBER SERAT ALTERNATIF UNTUK MINUMAN BERSERAT
Azrina Chaidir
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
xvi
ABSTRACT
AZRINA CHAIDIR. Study on Seaweed as Alternative Dietary Fiber for Health Drink. Under the direction of USMAN AHMAD and SANTOSO
Seaweed is one of marine commodities with high potential as dietary fiber
source. The composition, dietary fiber and some physico-chemical properties of two red seaweeds powder (made from Eucheuma cottonii and Glacilaria sp) and one brown seaweed powder (made from Sargassum sp) was investigated using different blanching method and drying temperature.
The methods of blanching are fresh water about 9 hours, rice powder solution with 5 % konsentration about 9 hours and combination fresh water and 0,5 % CaO solution. The oven temperature that used for drying seaweeds was 50 and 70 oC.
The best blanching method for Eucheuma cottonii and Sargassum sp are fresh water about 9 hours, and for Glacilaria sp is combination fresh water and 0,5 % CaO solution. The best temperature for drying seaweeds are 70 oC. The seaweed powders have good appearance, smell and texture.
Eucheuma cottonii powder has 72,19 % soluble dietary fiber, 11,23% insoluble dietary fiber out of 83,42% total dietary fiber. Glacilaria sp has 62,95% soluble dietary fiber, 20,67% insoluble dietary fiber out of 83,62% total dietary fiber. Meanwhile, Sargassum sp has 24,99% soluble dietary fiber, 57,62% insoluble dietay fiber out of 82,61% total dietary fiber. The health drink with Eucheuma cottonii and a combination of E. cottonii and Glacilaria sp powders as fiber source were accepted by panelis although less favourable in flavor and taste compared with commercial health drink.
ii
RINGKASAN
AZRINA CHAIDIR. Kajian Rumput Laut Sebagai Sumber Serat Alternatif Untuk Minuman Berserat. Dibimbing oleh USMAN AHMAD dan SANTOSO.
Serat mempunyai banyak manfaat kesehatan serta mempunyai kemampuan mencegah berbagai macam penyakit yang berhubungan dengan sistem pencernaan manusia, seperti konstipati (sulit buang air besar), diverticulosis (bintil-bintil pada dinding usus), dan manfaat lainnya. Dalam penelitian ini dipelajari pengembangan metode pengolahan rumput laut sebagai sumber serat alternatif untuk minuman berserat. Secara khusus penelitian ini mengkaji sifat fisik-kimia tepung rumput laut jenis Eucheuma cottonii, Glacilaria sp dan Sargassum sp sebagai bahan baku minuman berserat yang alami dan mengkaji pemanfaatan tepung rumput laut yang dihasilkan untuk minuman berserat.
Media perendam terbaik untuk Eucheuma cottonii dan Sargassum sp adalah air tawar selama 9 jam. Sedangkan media perendam terbaik untuk Glacilaria sp adalah kombinasi air tawar dan larutan kapur tohor 0,5%, yaitu direndam dalam air tawar 2 jam selanjutnya direndam dalam larutan kapur tohor 0,5 % 10 menit, kemudian dijemur dan direndam kembali dalam air tawar selama 7 jam. Suhu oven 70 oC akan menghasilkan TRL dengan sifat fisik-kimia, kenampakan, bau dan tekstur yang lebih baik daripada suhu 50 oC.
TRL Eucheuma cottonii, Glacilaria sp dan Sargassum sp mempunyai kandungan serat pangan yang tinggi. Kandungan serat pangan Eucheuma cottonii berturut-turut adalah 72,19 % (serat pangan larut), 11,23 % (serat pangan tidak larut) dan 83,42 % (serat pangan total). Glacilaria sp yaitu 62,95 % (serat pangan larut), 20,67 % (serat pangan tidak larut) dan 83,62 % (serat pangan total). Sargassum sp adalah 24,99 % (serat pangan larut), 57,62 % (serat pangan tidak larut) dan 82,61 % (serat pangan total). Berdasarkan penilaian organoleptik, maka tepung rumput laut Eucheuma cottonii dan Glacilaria sp dapat dijadikan sumber serat alternatif untuk minuman berserat.
Berdasarkan uji kesukaan, formulasi A dan formulasi E mempunyai nilai di atas batas penolakan, artinya dapat diterima oleh panelis. Pada uji perbandingan pasangan dengan minuman serat komersil menghasilkan nilai positif untuk warna, nilai negatif untuk rasa manis, rasa asam dan aroma, serta nilai nol (tidak berbeda) untuk kekentalan. Berdasarkan uji viskositas dan kelarutan minuman berserat, maka untuk penyajian disarankan menggunakan air dingin (suhu 10 oC).
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Rumput Laut Sebagai Sumber Serat Alternatif Untuk Minuman Berserat adalah karya saya sendiri dengan pengarahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada semua perguruan tinggi yang ada. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Hasil Penelitian berupa gambar, tabel dan analisis penulis boleh dikutip untuk kepentingan non komersial dengan menyebutkan sumbernya. Bogor, Desember 2006
Azrina Chaidir NRP F051040041
iii
© Hak cipta milik Azrina Chaidir, tahun 2006 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
iv
KAJIAN RUMPUT LAUT
SEBAGAI SUMBER SERAT ALTERNATIF UNTUK MINUMAN BERSERAT
Azrina Chaidir
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magíster Sains pada
Program Studi Teknologi Pascapanen
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
v
Judul : Kajian Rumput Laut Sebagai Sumber Serat Alternatif Untuk Minuman
Berserat.
Nama : Azrina Chaidir
NRP : F 051040041
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr.Ir. Usman Ahmad, MAgr. Ir. Santoso, MPhill Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Pascapanen
Dr.Ir. I.Wayan Budiastra, MAgr Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 6 Desember 2006 Tanggal Lulus :
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan kasih sayang
Nya kepada penulis. Atas bantuan dari berbagai pihak, penulis dapat
menyelesaikan kuliah dan penulisan tesis berjudul Kajian Rumput Laut Sebagai
Sumber Serat Alternatif Untuk Minuman Berserat.
Terima kasih yang tulus kepada Firmansyah Dlis, Ananda Rizky Fazri
Dlis dan Ananda Fira Catleya Dlis atas doa, kesabaran dan merelakan sebagian
waktunya sehingga penulis dapat meneruskan jenjang pendidikan Pasca Sarjana
pada Sekolah Pasca Sarjana IPB. Ayahanda Alm. Chaidir Husein, Ibunda Nuranis
dan seluruh keluarga yang selalu mendoakan dan memberikan semangat kepada
penulis.
Ucapan terima kasih kepada Dr. Ir. Usman Ahmad, MAgr dan Ir. Santoso
MPhill yang telah bersedia membimbing, mengarahkan dan membuka wawasan
pengetahuan penulis; Dr. Ir. Suroso, MAgr selaku dosen penguji yang telah
memberi masukan untuk kesempurnaan tesis; Ir. Santoso MPhill sebagai Kepala
Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan Jakarta yang sudah
memberikan kesempatan untuk mengikuti tugas belajar, Sutimantoto, APi MM
beserta staf atas dukungan baik moril maupun materiil; Drs. Dwi Budiyanto, MSi
beserta staf yang telah membantu selama penelitian; Murtiningsih MAppSc
beserta staf dan rekan-rekan kerja di Balai Besar Pengembangan dan
Pengendalian Hasil Perikanan Jakarta; Pak Yaden, Pak Udi, Ibu Pia, Ibu Nina
atas diskusi dan bantuannya dalam analisis laboratorium; Ismael, Yani, Asri dan
Adnan yang selalu membantu dan memberi semangat; Efi, Kemala, Ana, Tesi,
Diah, Bayu, Eni, Ibu Yeni, Ibu Epi, Ibu Indira, Nurdin dan teman-teman yang
telah berbagi duka dan suka selama kuliah. Terima kasih dan penghargaan yang
tulus kepada semua pihak yang telah membantu penulis baik selama mengikuti
kuliah, penelitian dan penulisan tesis. Dengan kerendahan hati, mudah-mudahan
tesis ini bermanfaat bagi yang memerlukan.
Bogor, Desember 2006
Azrina Chaidir
vii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Binjai pada tanggal 30 April 1966. Anak ke tiga dari
enam bersaudara dari ayah Alm. Chaidir Husein dan Ibunda Nuranis. Penulis
menikah dengan Firmansyah Dlis dan dikaruniakan dua orang putra bernama
Rizky Fazri Dlis dan Fira Catleya Dlis.
Penulis menamatkan pendidikan D3 di Diklat Ahli Usaha Perikanan pada
tahun 1988 dan melanjutkan pendidikan D4 di Sekolah Tinggi Perikanan pada
tahun 1995. Pada tahun 1999 penulis mendapat kesempatan melanjutkan
pendidikan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB melalui program Alih
Jenjang.
Penulis bekerja di Dinas Perikanan DKI Jakarta pada tahun 1989 dan sejak
tahun 1992 penulis ditempatkan di Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian
Hasil Perikanan Jakarta.
Pada tahun 2004, penulis ditugaskan untuk mengikuti pendidikan pada
Program Studi Teknologi Pascapanen, Sekolah Pasca Sarjana IPB melalui
beasiswa pendidikan Pasca Sarjana yang diperoleh dari Dana Anggaran Proyek
Peningkatan Sumberdaya Manusia Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian
Hasil Perikanan Jakarta.
viii
DAFTAR ISI
Halaman
Ringkasan…..……………………………………………………………….. ii
Kata Pengantar ............................................................................................... vi
Riwayat Hidup ................................................................................................. vii
Daftar Isi ...................................................................................................... ... viii
Daftar Tabel .................................................................................................... x
Daftar Gambar ................................................................................................ xi
Daftar Lampiran.............................................................................................. xiii
PENDAHULUAN.............................................................................................. 1
Latar Belakang ................................................................................................... 1 Tujuan ……………………………………………………………………......... 3
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 4
Rumput Laut ………………………………………………………......... ........ 4 Komposisi Kimia Rumput Laut ……………….………………………............ 6 Pengeringan dan Penepungan Rumput Laut …….………................................. 9 Serat Pangan ……………………………………………………….................. 11 Gum ................…………………………………………………….................. 15 Alginat ……………………………………………………….................. 15 Gum Arab …………..……………………………….……………….......... 19 Bahan Tambahan Makanan ………………………………….…………........ 21 Bahan pemanis ....……………………………………………….................. 22 Bahan Pengasam .……………………………………………...................... 22 METODE PENELITIAN ………………………………………………......... 24
Waktu dan Tempat ……………………………………………………........... 24 Bahan dan Alat ........ ………………………………………………………...... 24 Metode Penelitian ……………………………………………………............... 24 Analisis Data ………...……………………………………………………....... 30 Analisis Sifat Fisik Rumput Laut ..……………………………..……............... 30 Analisis Sifat Kimia Rumput Laut .................................................................... 32 Analisis Mikrobiologi Minuman Berserat ....………………………………… 37 Uji Organoleptik ..........………………………………………………………... 37
HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………………………. 39
Media Perendam Rumput Laut ........................................................................... 39 Media Perendam RL Eucheuma cottonii ..………… ………………........ 40
ix
Media Perendam RL Glacilaria sp ..………………………………............ 42 Media Perendam RL Sargassum sp ……………………………….............. 46 Sifat Fisik-kimia Tepung Rumput Laut ……………………………….............. 49 Rendemen ……………………………………………………….................. 50 pH ……………………………………………………………….................. 51 Viskositas ………………………………………………………….............. 52 Titik jendal dan Titik leleh ………………………………………................ 54 Kelarutan …………………………………………………………................ 55 Kadar Air …………………………………………………………................ 57 Kadar Abu ……………………………………………………….................. 58 Kadar Protein ……………………………………………………................. 59 Kadar Karbohidrat ……………………………………………….................. 61 Kadar Serat Pangan …………………………………………….................... 62 Iodium ………………………………………………………….................... 64 Organoleptik …………………………………………………...................... 66
Tepung Rumput Laut ………………………………………………….............. 69
Formulasi Minuman Berserat ………………………………………….............. 74
Rasa …………………………………………………………………............ 75 Aroma ………………………………………………………………............ 76 Kenampakan ……………………………………………………….............. 77 Kekentalan ………………………………………………………….............. 78
Uji Formulasi Minuman Berserat Terpilih .......................................................... 79
Viskositas Minuman Berserat Formula A dan E .......…………….…........... 79 Kelarutan Minuman Berserat Formula A dan E .... ..………………............. 81 Kadar Serat Pangan Minuman Berserat Formula A dan E ......……............. 82 Uji Organoleptik ……………………………………………………............ 84 Total Plate Count (TPC) ……………………………………………............ 86 SIMPULAN DAN SARAN................................................................................ 88 Simpulan …………………………………………………….……............... 88 Saran ……………………………………………………………………. ..... 89 Daftar Pustaka ………………………………………………………...... 90
Lampiran …………………………………………………………………....... 96
x
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Produksi Rumput Laut, 1999 – 2004 ………………………....……..……… 6
2. Komposisi Kimia Eucheuma cottonii segar (berat kering) ……………...... 7
3. Komposisi Kimia TRL E.cottonii (berat kering) ……..……..………………. 7
4. Komposisi Kimia RL Glacilaria sp ………………………….………………. 8
5. Komposisi Kimia RL Sargassum sp ………………………………………..... 9
6. Aplikasi Alginat dalam industri pangan …………………………………….. 18
7. Natrium Alginat sebagai food grade ……………………………………....... 18
8. Pengaruh konsentrasi terhadap kekentalan dari gum arab ……………..….... 20
9. Standar mutu gum arab ……………………………………………………... 21
10. Kandungan asam sitrat dalam pengolahan jelly ………………………........ 23
11. Penilaian uji kesukaan…………………………………………………….... 38
12. Nilai Rata-rata Eucheuma cottonii dalam media perendam .…………......... 41
13. Komposisi kimia Eucheuma cottonii …………………………………….... 42
14. Nilai Rata-rata Glacilaria sp dalam media perendam …………………....... 44
15. Komposisi kimia Glacilaria sp …………………………………………..... 45
16. Nilai Rata-rata Sargassum sp dalam media perendam …………………...... 47
17. Komposisi kimia Sargassum sp ………………………………………….... 48
18. Viskositas Tepung Rumput Laut (centipoises) pada konsentrasi 5 % suhu 50 oC ........................………………………………………….......... 53
19. Kadar Serat Pangan Tepung Rumput Laut ………………………………... 62
20. Nilai rata-rata uji kenampakan Tepung Rumput Laut ……………………... 67
21. Nilai rata-rata uji bau Tepung Rumput Laut ……………………………..... 68
22. Nilai rata-rata uji tekstur Tepung Rumput Laut ………………………….... 69
23. Sifat Fisik-Kimia Tepung Rumput Laut Eucheuma cottonii…………….... 72
24. Sifat Fisik-Kimia Tepung Rumput Laut Glacilaria sp …………………… 72
25. Sifat Fisik-Kimia Tepung Rumput Laut Sargassum sp…………………… 73
26. Formulasi Minuman Berserat …………………………………………........ 75
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Bagan Klasifikasi Rumput Laut ……….………………………………......... 4
2. Hubungan konsentrasi dengan nilai viskositas alginat. …….………….......... 17
3. Diagram alir penelitian …………………………………………………........ 26
4. Diagram alir proses penelitian tahap 1 …………………………………........ 27
5. Diagram alir proses penelitian tahap 2 ………………………….................... 28
6. Diagram alir proses penelitian tahap 3 …………………………………........ 29
7. Eucheuma cottonii kering asin dan setelah fermentasi…………………........ 40
8. Eucheuma cottonii hasil perendaman terbaik (perlakuan A).………….......... 42
9. Glacilaria sp segar dan kering asin ..………………………………….......... 43
10. Glacilaria sp hasil perendaman terbaik (perlakuan F).......………...…......... 44
11. Sargassum sp segar dan kering……………………………………….......... 46
12. Sargassum sp hasil perendaman terbaik (perlakuan G).………………........ 48
13. Tiga jenis Tepung Rumput Laut ………………………………………....... 50
14. Rendemen Tepung Rumput Laut ………………………………………...... 51
15. pH Tepung Rumput Laut ………………………………………………….. 52
16. Kelarutan Tepung Rumput Laut …………………………………………… 56
17. Kadar Air Tepung Rumput Laut …………………………………………... 57
18. Kadar Abu Tepung Rumput Laut ………………………………………..... 59
19. Kadar Protein Tepung Rumput Laut …………………………………........ 60
20. Kadar Karbohidrat Tepung Rumput Laut ……………………………........ 61
21. Kadar Iodium Tepung Rumput Laut …….……………………………....... 65
22. Hasil Uji Rasa Minuman Berserat ……………………………………........ 76
23. Hasil Uji Aroma Minuman Berserat ….………………………………........ 77
24. Hasil Uji Kenampakan Minuman Berserat ……..……………………......... 78
25. Hasil Uji kekentalan Minuman Berserat ………………………………....... 79
26. Nilai Viskositas Minuman Berserat ………………………………….......... 80
27. Nilai Kelarutan Minuman Berserat ………………………………….......... 82
28. Kadar Serat Pangan Minuman Berserat ………………………………........ 83
29. Minuman Berserat ……………………………………………………......... 84
xii
30. Hasil Uji Perbandingan Pasangan formula A …………………………....... 85
31. Hasil Uji Perbandingan Pasangan formula E …………………………........ 85
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Lembar isian uji perbandingan pasangan…………………………….......... 96
2. Score Sheet Rumput Laut Eucheuma Cottonii Hasil Perendaman …………. 97
3. Score Sheet Rumput Laut Glacilaria sp Hasil Perendaman ………………... 98
4. Score Sheet Rumput Laut Sargassum sp Hasil Perendaman………………... 99
5. Analisis ragam dan uji lanjut Kenampakan Rumput Laut Eucheuma cottonii Hasil Perendaman ………………………………………………… 99
6. Analisis ragam dan uji lanjut Bau Rumput Laut Eucheuma Cottonii Hasil Perendaman………………………………………………………………. 100
7. Analisis ragam dan uji lanjut Tekstur Rumput Laut Eucheuma Cottonii Hasil Perendaman………………………………………………………… 100
8. Analisis ragam dan uji lanjut Kenampakan Rumput Laut Glacilariai sp Hasil Perendaman ………………………………………….............….. 100
9. Analisis ragam dan uji lanjut Bau Rumput Laut Glacilaria sp Hasil Perendaman………………………………………………. ................... 100
10. Analisis ragam Tekstur Rumput Laut Glacilaria sp Hasil Perendaman ..... 101
11. Analisis ragam dan uji lanjut Kenampakan Rumput Laut Sargassum sp Hasil Perendaman ………………………………………………. 101
12. Analisis ragam dan uji lanjut Bau Rumput Laut Sargassum sp Hasil Perendaman……………………………………………………………. 101
13. Analisis ragam Tekstur Rumput Laut Sargassum sp Hasil Perendaman….. 101
14. Analisis ragam dan uji lanjut Rendemen TRL Eucheuma cottonii….…….. 101
15. Analisis ragam Rendemen TRL Glacilaria sp ……………………………. 102
16. Analisis ragam dan uji lanjut Rendemen TRL Sargassum sp…………..… 102
17. Analisis ragam pH TRL Eucheuma Cottonii……………………………... 102
18. Analisis ragam pH TRL Glacilaria sp ………………………………….... 102
19. Analisis ragam dan uji lanjut pH TRL Sargassum sp …………………..... 102
20. Analisis ragam dan uji lanjut Viskositas TRL Eucheuma cottonii ……..... 102
21. Analisis ragam Viskositas TRL Glacilaria sp ............................................ 102
22. Analisis ragam dan uji lanjut Viskositas TRL Sargassum sp...................... 103
23. Analisis ragam dan uji lanjut Kelarutan TRL Eucheuma cottonii……....... 103
24. Analisis ragam dan uji lanjut Kelarutan TRL Glacilaria sp ....................... 103
25. Analisis ragam dan uji lanjut Kelarutan TRL Sargassum sp....................... 103
xiv
26. Analisis ragam dan uji lanjut Kadar Air TRL Eucheuma cottonii .............. 103
27. Analisis ragam dan uji lanjut Kadar Air TRL Glacilaria sp........................ 104
28. Analisis ragam dan uji lanjut Kadar Air TRL Sargassum sp ...................... 104
29. Analisis ragam Kadar Abu TRL Eucheuma cottonii .................................. 104
30. Analisis ragam Kadar Abu TRL Glacilaria sp ........................................... 104
31. Analisis ragam Kadar Abu TRL Sargassum sp .......................................... 104
32. Analisis ragam Kadar Protein TRL Eucheuma cottonii ............................. 104
33. Analisis ragam dan uji lanjut Kadar Protein TRL Glacilaria sp ................ 104
34. Analisis ragam Kadar Protein TRL Sargassum sp .................................... 105
35. Analisis ragam Kadar Karbohidrat TRL Eucheuma cottonii ...................... 105
36. Analisis ragam Kadar Karbohidrat TRL Glacilaria sp ............................... 105
37. Analisis ragam dan uji lanjut Kadar Karbohidrat TRL Sargassum sp ........ 105
38. Analisis ragam dan uji lanjut Kadar Serat Pangan Tidak Larut TRL Eucheuma cottoni........................................................................................ 105
39. Analisis ragam Kadar Serat Pangan Larut TRL Eucheuma cottonii …....... 105
40. Analisis ragam Kadar Serat Pangan Total TRL Eucheuma cottonii …....... 105
41. Analisis ragam dan uji lanjut Kadar Serat Pangan Tidak Larut TRL Glacilaria sp ……………………………………………………...... 106
42. Analisis ragam Kadar Serat Pangan Larut TRL Glacilaria sp ………........ 106
43. Analisis ragam Kadar Serat Pangan Total TRL Glacilaria sp ………........ 106
44. Analisis ragam Kadar Serat Pangan Tidak Larut TRL Sargassum sp ….... 106
45. Analisis ragam Kadar Serat Pangan Larut TRL Sargassum sp …………... 106
46. Analisis ragam Kadar Serat Pangan Total TRL Sargassum sp …………... 106
47. Analisis ragam dan uji lanjut Kadar Iodium TRL Eucheuma cottonii …... 106
48. Analisis ragam dan uji lanjut Kadar Iodium TRL Glacilaria sp ……….... 107
49. Analisis ragam dan uji lanjut Kadar Iodium TRL Sargassum sp ……….... 107
50. Score Sheet Tepung Rumput Laut Jenis Eucheuma cottonii ……………. 108
51. Score Sheet Tepung Rumput Laut Jenis Glacilaria Sp …………………. 109
52. Score Sheet Tepung Rumput Laut Jenis Sargassum Sp …………………. 110
53. Analisis ragam dan uji lanjut Kenampakan TRL Eucheuma cottonii …… 110
54. Analisis ragam Kenampakan TRL Glacilaria sp ………………………… 110
55. Analisis ragam Kenampakan TRL Sargassum sp ……………………….. 111
56. Analisis ragam Bau TRL Eucheuma cottonii ..............................................111
xv
57. Analisis ragam Bau TRL Glacilaria sp ...................................................... 111
58. Analisis ragam Bau TRL Sargassum sp .................................................... 111
59. Analisis ragam Tekstur TRL Eucheuma cottonii ....................................... 111
60. Analisis ragam Tekstur TRL Glacilaria sp ................................................ 111
61. Analisis ragam Tekstur TRL Sargassum sp ............................................... 111
62. Analisis ragam dan uji lanjut Rasa Formula Minuman Berserat ................. 111
63. Analisis ragam dan uji lanjut Aroma Formula Minuman Berserat.............. 112
64. Analisis ragam dan uji lanjut Kenampakan Formula Minuman Berserat ........................................................................ 112
65. Analisis ragam dan uji lanjut Kekentalan Formula Minuman Berserat........................................................................ 112
66. Analisis ragam dan uji lanjut Viskositas Formula Minuman Berserat A dan E ......................................................... 113
67. Analisis ragam dan uji lanjut Viskositas
Formula Minuman Berserat A ................................................................. 113
68. Analisis ragam dan uji lanjut Viskositas Formula Minuman Berserat E ..................................................................... 113
69. Analisis ragam dan uji lanjut Kelarutan Formula Minumana Berserat A dan E ..................................................... 114
70. Analisis ragam dan uji lanjut Kelarutan Formula Minuman Berserat A..... 114
71. Analisis ragam dan uji lanjut Kelarutan Formula Minuman Berserat E ...... 115
72. Analisis ragam dan uji lanjut Kandungan serat larut dan tidak larut minuman berserat …………...………………………………........... 115
73. Analisis ragam dan uji lanjut Kandungan Serat Pangan Minuman Berserat Komersil dan Produk Baru ....................................... 115
I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Minuman berserat merupakan salah satu minuman yang digemari saat ini.
Selain sebagai sumber serat juga berfungsi sebagai suplemen makanan. Minuman
ini dikemas dalam kemasan praktis dan menarik sehingga sangat menarik minat
konsumen. Dalam penyajiannya dapat langsung ditambah air, diaduk dan siap
diminum atau didinginkan terlebih dahulu. Ada juga yang menyajikan setelah
diolah dalam berbagai rasa dan tambahan bahan makanan lainnya. Penelitian yang
dilakukan Qomari (2003), menyimpulkan bahwa sebanyak 53 % responden dari
100 orang memilih minuman berserat adalah untuk mendapatkan manfaat dari
serat yang dikandungnya.
Salah satu sumber serat yang digunakan diantaranya berasal dari jenis
tumbuhan Plantago ovata dan Inulin Chicory. Serat pada minuman ini berfungsi
membantu pencernaan manusia, membantu diet, dan lain-lain sehingga
masyarakat menyakini bahwa dengan mengkonsumsi minuman berserat dapat
memperlancar ekskresi, mengurangi masalah wasir, gangguan pencernaan sampai
mencegah penyakit jantung yang semuanya bersumber pada kesehatan
pencernaan.
Serat mempunyai banyak manfaat kesehatan serta mempunyai kemampuan
mencegah berbagai macam penyakit yang berhubungan dengan sistem pencernaan
manusia, seperti konstipati (sulit buang air besar), diverticulosis (bintil-bintil pada
dinding usus), hameorhoid (ambeien), tumor dan kanker pada saluran pencernaan,
serta usus buntu. Selain itu serat pangan juga memiliki sifat mengikat bahan
organik lain, misalnya asam empedu, kemudian terbuang bersama feses. Dengan
proses pengikatan tersebut maka jumlah asam empedu akan berkurang sehingga
perlu dibentuk asam empedu baru. Asam empedu baru dibentuk dari kolesterol
yang terdapat di dalam darah, dengan demikian konsentrasi kolesterol dalam
darah akan menurun (Matz, 1972).
Serat pangan memiliki daya serap air yang tinggi, karena ukuran
polimernya besar, strukturnya kompleks dan banyak mengandung gugus hidroksil
namun tergantung pada jenis polisakaridanya. Komponen yang terbanyak dari
serat makanan (dietary fiber) ditemukan pada dinding sel tanaman. Komponen ini
2
termasuk senyawa structural seperti selulosa, hemiselulosa, pectin dan Lignin
(Southgate, 1982).
Rumput laut merupakan salah satu jenis tanaman laut yang kaya
polisakarida dengan kandungan serat pangan cukup tinggi, selain itu rumput laut
adalah komoditas hasil perikanan yang sedang ditingkatkan pemanfaatannya. Hal
ini dikarenakan banyak sekali manfaat yang dapat dihasilkan dengan cara
mengoptimalkan seluruh potensi rumput laut yang ada. Beberapa jenis rumput
laut yang bermanfaat bagi manusia adalah dari jenis rumput laut merah dan coklat.
Menurut Mabeu dan Fleurence (1995), kandungan serat pangan total pada
rumput laut berkisar antara 25 - 75 % dan kandungan serat pangan larut air
antara 51 - 85 % (bk). Menurut Davidson dan Donald (1998), serat pangan larut
ini diperlukan untuk membentuk gel yang viscous pada saluran usus manusia dan
rumput laut merupakan sumber serat larut yang baik. Jenis rumput laut coklat
(Sargassum sp) memiliki komponen serat yaitu laminaran, alginat, fucan,
selulosa. Sedangkan jenis rumput laut merah (Eucheuma cottonii dan
Glacilaria sp) memiliki komponen serat yaitu sulphate galactans (karagenan
dan agar), xylans, mannans dan selulosa (Escrig & Muniz, 2000).
Eucheuma cottonii sebagai penghasil karagenan mempunyai kandungan
serat pangan total sebesar 78,94 %, bk (Astawan et al. 2004). Sedangkan
menurut Ristanti (2003), kandungan serat pangan tidak larutnya adalah 52,4 %;
serat pangan larut adalah 30,8 % dan total serat pangan adalah 83,2 % (bk).
Yunizal (2004) dalam penelitiannya menyatakan untuk jenis Sargassum sp dan
Glacilaria sp, masing-masing sebagai penghasil alginat dan agar, mempunyai
kandungan serat berturut-turut adalah 28,39 % dan 8,92%. Komposisi kandungan
serat tersebut berasal dari rumput laut yang dihasilkan dari Kepulauan Seribu.
Selain kandungan serat pangan, rumput laut juga mengandung kadar iodium yang
cukup tinggi, sekitar 0,1 – 0,15 % pada Eucheuma (Winarno, 1990). Menurut
Ristanti (2003), kadar iodium Eucheuma cottonii sebesar 51,3 ug/g. Hal ini
dibuktikan dengan rendahnya masalah Gangguan Akibat Kekurangan Iodium
(GAKI) di negara Jepang dan China yang erat kaitannya dengan kebiasaan
masyarakatnya mengkonsumsi rumput laut dalam jumlah banyak.
3
Keunggulan lain dari produk rumput laut ini menurut Januar et al. (2004)
adalah rumput laut mempunyai sifat sebagai zat antioksidan yang cukup potensial
karena mengandung senyawa-senyawa dengan tingkat kepolaran yang tinggi.
Menurut Ireland et al. (1993) dalam Januar et al. (2004), hasil riset bahan
alam dari laut tahun 1977 – 1987, menunjukkan bahwa 30 % dari 2500 produk
alam laut yang bersifat bioaktif merupakan produk dari rumput laut. Pada rumput
laut coklat terkandung senyawa algin yang memiliki banyak khasiat biologi dan
kimiawi seperti dapat digunakan pada pembuatan obat anti bakteri, anti tumor,
penurunan tekanan darah dan mengatasi gangguan kelenjar (Anon dalam
Darmawan et al. 2004).
Mengingat pentingnya peranan serat untuk kesehatan pencernaan, maka
penggunaan rumput laut sebagai sumber serat dalam minuman berserat
merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan dalam upaya memenuhi
kebutuhan tubuh akan serat. Selain itu untuk meningkatkan manfaat dan
menganeka ragamkan (diversifikasi) jenis olahan rumput laut. Oleh karena itu,
maka perlu dilakukan kajian tentang pemanfaatan rumput laut sebagai sumber
serat alternatif untuk minuman berserat.
1.2. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan metode pengolahan rumput
laut sebagai sumber serat alternatif untuk minuman berserat.
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sifat fisik-kimia
tepung rumput laut jenis Eucheuma cottonii, Glacilaria sp dan Sargassum sp
sebagai bahan baku minuman berserat yang alami, dan mengkaji pemanfaatan
tepung rumput laut yang dihasilkan untuk minuman berserat.
II. Tinjauan Pustaka
2.1. Rumput Laut
Rumput laut adalah bentuk poliseluler dari ganggang (algae) yang hidup di
laut dan tergolong dalam divisi Thallophyta. Tanaman ini tidak mempunyai akar,
batang dan daun seperti lazimnya tanaman tingkat tinggi. Struktur tanaman secara
keseluruhan merupakan batang yang dikenal sebagai thallus (Guhardja, 1981).
The International Code of Botanical Nomenclatur membagi ganggang menjadi 4
kelas, yaitu ganggang hijau (Chlorophyceae), ganggang biru (Cyanophyceae),
ganggang merah (Rhodophyceae) dan ganggang coklat (Phaeophyceae). Dari ke
4 kelas tersebut, hanya ganggang merah dan coklat yang mempunyai nilai
ekonomi cukup berarti dalam perdagangan. Gambar 1 menyajikan klasifikasi
rumput laut dengan hasil ekstraksinya.
Kelas :
Chlorophyceae Cyanophyceae (Ganggang hijau) (Ganggang biru)
Rumput Laut
Phaeophyceae Rhodophyceae (Ganggang coklat) (Ganggang merah)
Genus :
Ascophyllum laminaria Glacilaria Chondrus Furcellaria Macrocystis Gelidium Eucheuma Gigartina Ekstraksi :
Algin (Alginat) Agar-agar Karagenan Furcellaran
Gambar 1. Bagan Klasifikasi Rumput Laut (Moirano, 1977)
5
Jenis rumput laut coklat yang terdapat di perairan Indonesia ada 28 species
yang berasal dari 6 genus yaitu Sargassum, Turbinaria, Padina, Dictyota,
Hormophysa dan Hydroclathrus. Sedangkan jenis yang potensial sebagai
penghasil alginat di Indonesia adalah jenis-jenis Sargassum polycystum
J.G.Agardh, Sargassum crassifolium J.A. Agardh, Turbinaria conoides (J.C.A.G)
Kuetzing dan Hormophysa triquetra (Yunizal, 2004). Hampir semua jenis ini
hidup di laut dan melekat pada suatu substrat yang keras. Cadangan makanannya
terutama berupa karbohidrat yang disebut laminarin. Rumput laut jenis ini
dijumpai hampir semua lautan dengan kedalaman tidak lebih dari 20 m
(Mc Connaugey, 1970). Sargassum sp memiliki ciri-ciri tergolong dalam bentuk
thallus yang umumnya silindris atau gepeng, cabangnya rimbun menyerupai
pohon di darat, bentuk daun melebar, lonjong atau seperti pedang, mempunyai
gelembung udara, panjangnya mencapai 7 meter dan warna thallus umumnya
coklat (Aslan, 1991).
Rhodophyceae terdiri dari jenis-jenis yang sangat komplek. Tempat
tumbuhnya berupa batuan atau karang, terutama di daerah pasang surut dan dapat
hidup sampai kedalaman 170 m dari permukaan laut (Mc Connaugey, 1970).
Mc Hugh dan Lanier (1983) menyatakan jenis ini lebih tersebar daripada
ganggang coklat, beberapa speciesnya dapat tumbuh di daerah tropic. Demikian
juga bentuk thallus dari ganggang ini lebih kecil jika dibandingkan dengan
ganggang coklat. Eucheuma cottonii yang berasal dari kelas Rhodophyceae
(ganggang merah) tumbuh subur pada kedalaman sekitar 130 meter dari
permukaan laut. Semakin dalam tempat tumbuhnya maka warnanya akan semakin
cerah, beberapa lainnya ada yang berwarna agak coklat atau hijau (Susanto
et al. 1978). Permukaan thallus licin kadang-kadang terdapat tonjolan yang
berupa setengah lingkaran bola. Tinggi tanaman dapat mencapai 40 cm, cabang
tidak beraturan, tumbuh di bagian yang muda maupun yang tua. Diameter thallus
ke arah ujung kelihatan sedikit lebih kecil dibandingkan dengan pangkalnya.
Thallus mengembung atau membentuk bulatan jika terdapat bekas luka sebagai
regenerasi cabang (Dotv, 1973). Sedangkan Glacilaria sp, umumnya
pertumbuhannya lebih baik ditempat dangkal. Substrat tempat melekat berupa
batu, pasir dan lumpur. Glacilaria sp memiliki cir-ciri kerangka tubuh berbentuk
6
silindris atau gepeng dengan percabangan, warna beragam dan substansi kerangka
tubuh tanaman menyerupai gel atau lunak seperti tulang rawan (Aslan, 1991).
Di Indonesia, daerah penghasil rumput laut yang besar adalah Bali, Nusa
Tenggara Barat, Nusa tenggara Timur dan Maluku. Daerah penghasil lainnya
yaitu Sumatera Barat, DI Aceh, Pantai Jawa sebelah selatan, Kepulauan Seribu,
Karimun Jawa, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan.
Selain produksi laut, sekarang rumput laut sudah dibudidayakan diantaranya ada
di Bali, NTB, Sulawesi Selatan untuk jenis Eucheuma. Sedangkan untuk jenis
Glacilaria diantaranya ada di Lamongan, Jawa Timur, Pangkep dan Sulawesi
Selatan. Rumput laut dibudidayakan di pantai yang terhindar dari ombak kuat, air
harus jernih, bebas dari limbah industri atau bahan pencemar lain seperti oli serta
jauh dari muara sungai. Kadar garam optimal adalah 30– 34 permil dengan suhu
air 27 – 32 oC, pH 6 – 8,5 (Angka & Suhartono, 2000). Data produksi rumput
laut disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Produksi Rumput Laut, 1999-2004
Tahun Volume (ton) 1999 133.720 2000 2.937 2001 212.478 2002 223.080 2003 231.927 2004 397.964
Sumber : Statistik Perikanan Budidaya Indonesia, 2005.
2.2. Komposisi Kimia Rumput Laut
Kualitas rumput laut di pengaruhi oleh faktor lingkungan seperti cahaya,
suhu, musim, kadar garam, gerakan air dan zat hara. Cahaya, suhu, pH dan unsur
hara akan berpengaruh terhadap berlangsungnya fotosintesa. Fotosintesa
merupakan proses perubahan zat anorganik menjadi zat organik, sehingga faktor-
faktor tersebut di atas secara tidak langsung akan menentukan kandungan protein,
lemak, serat kasar dan karbohidrat rumput laut (Kadi et al. 1988). Menurut
Winarno (1990), komposisi kimia rumput laut bervariasi tergantung pada spesies,
tempat tumbuh dan musim. Sebagai sumber gizi, rumput laut memiliki kandungan
karbohidrat (gula atau vegetable gum), protein, sedikit lemak dan abu yang
7
sebagian besar merupakan senyawa garam natrium dan kalium. Vegetable gum
yang dikandungnya merupakan senyawa karbohidrat yang banyak mengandung
selulosa dan hemiselulosa yang tidak dapat dicerna seluruhnya oleh enzim
dalam tubuh, sehingga dapat menjadi makanan diet dengan sedikit kalori
(Suwandi et al. 2002).
Kandungan air rumput laut segar, sama seperti tanaman pada umumnya,
yaitu sekitar 80 – 90 % dan setelah pengeringan dengan udara menjadi 10 – 20 %
(Ito et al. 1989). Komposisi kimia Eucheuma cottonii dalam keadaan segar
menurut Astawan et al. (2004) dan Ristanti (2003) dapat dilihat pada Tabel 2.
Sedangkan kandungan kimia tepung rumput laut Eucheuma cottonii menurut
Ristanti (2003) dan Sihombing (2003) disajikan pada Tabel 3. Jenis alga merah
lainnya yaitu Glacilaria sp, komposisi kimia disajikan pada Tabel 4. Dalam
penggunaannya, jenis rumput laut ini dapat digunakan sendiri atau dicampur
dengan Glacilaria tambak (budidaya) untuk mendapatkan hasil ekstrak agar yang
lebih baik.
Table 2. Komposisi kimia Eucheuma cottonii segar (berat kering)
Zat gizi Astawan et al. (2004) Ristanti (2003)
Kadar abu (%) 29,97 2,7 Kadar protein (%) 5,91 4,3 Lemak (%) 0,28 2,1 Kadar karbohidrat (%) 63,84 90,9 Serat pangan tidak larut air (%) 55,05 52,4 Serat pangan larut air (%) 23,89 30,8 Serat pangan total (%) 78,94 83,2
Tabel 3. Komposisi kimia tepung rumput laut Eucheuma cottonii (berat kering)
Zat gizi Ristanti (2003) Sihombing (2003)
Kadar air (%) 23,3 (bb) 26,5 (bk) Kadar abu (%) 15,4 5,1 Kadar protein (%) 8,5 5,4 Kadar lemak (%) 0,8 1,5 Kadar karbohidrat (%) 75,4 - Serat pangan larut air (%) 30,8 38,8 Serat pangan tidak larut air (%) 60,5 43,2 Serat total (%) 91,3 82,0 Kadar iodium (ug/g) 19,4 54,6
8
Tabel 4. Komposisi kimia rumput laut Glacilaria sp Komposisi Jumlah ( % )
Kadar air 9,38 Kadar abu 32,76 Kadar lemak 0,68 Kadar protein 6,59 Karbohidrat 41,68 Serat Kasar 8,92
Sumber : Yunizal (2004).
Selain kandungan gizi, menurut Winarno (1990), rumput laut merah sangat
kaya akan trace element terutama iodium. Kandungan iodium bervariasi antar
spesies dan habitat rumput laut. Secara umum, konsentrasi trace element dari
rumput laut lebih tinggi daripada tumbuhan (Ito et al. 1989). Menurut Rai (1996)
kandungan iodium tumbuhan laut umumnya tinggi yaitu sekitar 2.400 sampai
155.000 kali lebih banyak dibandingkan kandungan iodium sayur-sayuran yang
tumbuh di daratan.
Menurut Suryaningrum (1988), rumput laut Eucheuma cottonii potensial
sebagai penghasil karagenan dan dapat dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan.
Karagenan terdiri dari 2 senyawa utama, yaitu senyawa sulfat yang bersifat
hidrophilik dan mampu membuat cairan menjadi kental, dan senyawa 3,C-6
anhidrogalaktosa yang mampu membentuk gel dan bersifat hidrophobik. Jenis
karagenan yang dihasilkan adalah kappa-karagenan, dengan sifat-sifatnya antara
lain yaitu garam natriumnya akan larut seluruhnya dalam air dingin, larut pada
suhu 70 oC, membentuk gel dengan ion kalium, stabil pada pH netral dan alkali,
sedangkan pada pH asam akan terhidrolisa dan larut dalam susu panas
(Istini et al. 1986).
Senyawa kimia yang banyak terdapat pada rumput laut coklat adalah alginat,
sedangkan senyawa kimia lain dalam jumlah yang relatif sedikit diantaranya
laminaran, fukoidin, selulosa, manitol dan senyawa bioaktif lainnya. Senyawa
komplek diterpenoid dan terpenoidaromatik juga terdapat pada rumput laut coklat
jenis Sargassum natans. Meskipun tidak sama tetapi secara kimiawi kedua
senyawa tersebut sama dan dinamakan sarganin A dan sarganin B yang keduanya
bercampur membentuk kompleks sarginin. Berdasarkan hasil uji sensitifitasnya,
senyawa ini tergolong dalam antimikroba spektrum luas. Genus-genus alga coklat
9
yang telah diketahui kelimpahan dan penyebarannya sebagai penghasil zat
antibakteri adalah Cystoseira, Dictyota, Sargassum dan semua species lumut
besar dan lumut batu di peraitan dingin. Disamping itu rumput laut coklat juga
mengandung protein, lemak, serat kasar, vitamin dan zat anti bakteri serta mineral
(Yunizal, 2004). Tabel 5 menyajikan komposisi kimia rumput laut jenis
Sargassum sp.
Tabel 5. Komposisi kimia rumput laut Sargassum sp
Komposisi %
Kadar air 11,71 Kadar abu 34,57 Kadar lemak 0,74 Kadar protein 5,53 Karbohidrat 19,06 Serat Kasar 28,39 Iodium (ug/g) 0,1 – 0,8 Kalium (ug/g) 6,4 – 7,8
Sumber : Yunizal (2004).
Setiap jenis rumput laut mempunyai pigmen khlorofil a dan beta-karoten,
serta pigmen khasnya. Pada rumput laut coklat terdapat pigmen santofil,
violasantin, fukosantin, flavosantin, neosantin A dan B. keberadaan pigmen
fukosantin pada rumput laut coklat menutupi pigmen lainnya dan memberikan
warna coklat (Yunizal, 2004).
Pemanfaatan rumput laut sangat luas, yaitu sebagai makanan (pangan dan
gizi), farmasi, kosmetika, pakan, pupuk dan industri lainnya. Senyawa bioaktif
dari rumput laut telah banyak diekstraksi, diidentifikasi dan dieksplorasi. Hasil
riset bahan alam dari laut tahun 1977–1987, menunjukkan bahwa 30 % dari 2500
produk alam laut yang bersifat bioaktif merupakan produk dari rumput laut
(Ireland et al.1993 dalam Januar et al. 2004).
2.3. Pengeringan dan Penepungan Rumput Laut
Untuk meningkatkan mutu rumput laut, sebaiknya rumput laut diberi
perlakuan pencucian. Pencucian dimaksudkan untuk menghilangkan kotoran yang
melekat pada rumput laut sehingga diperoleh rumput laut yang bersih. Setelah
proses pencucian, rumput laut direndam dalam air tawar dengan perbandingan
10
1 : 10 selama 2 – 8 jam selanjutnya direndam dalam larutan kapur sirih 1%, hal ini
selain untuk menghilangkan bau amis juga untuk mendapatkan rumput laut yang
aseptis dan memiliki tekstur yang lebih kenyal ( Peranginangin et al. 2003).
Selanjutnya dilakukan proses pengeringan dan penepungan untuk
mendapatkan tepung rumput laut matang siap pakai dengan mutu yang
diinginkan. Pada tahun 1997, Chan et al. melakukan penelitian mengenai
pengaruh 3 metode pengeringan, yaitu pengering matahari, pengering oven dan
pengering beku (Freeze-drier), terhadap komposisi nutrisi rumput laut jenis
Sargassum hemyphyllum. Pada pengering oven menggunakan suhu 60 oC selama
15 jam. Hasil yang didapat menyatakan bahwa dengan pengering oven terjadi
kehilangan nilai gizi yang lebih besar dibanding dengan pengering beku tetapi
metode oven lebih baik dibanding dengan pengering matahari. Lebih jauh
dikatakan bahwa pengering beku memerlukan biaya yang lebih tinggi. Pemilihan
metode pengeringan dapat disesuaikan dengan kegunaan selanjutnya, apakah
untuk makanan, obat, pakan atau lainnya. Selanjutnya dilakukan penepungan
dengan ukuran lubang 1 mm. Urbano dan Goni (2002) dalam penelitiannya
mengeringkan rumput laut dengan suhu 60oC selama 16 jam. Selanjutnya
dilakukan penepungan dan pengayakan dengan ukuran lubang 0,5 mm.
Sedangkan Wong dan Cheung (2000) melakukan pembekuan terlebih dahulu
kemudian pengeringan rumput laut dengan menggunakan alat pengering beku
(Freeze-drier) selama 5 hari. Rumput laut kering kemudian digiling
(penepungan) dan diayak dengan ukuran lubang 0,5 mm.
Saloko et al. (2006) membuat alat pengering modifikasi berupa oven
pengering tipe lemari (cabinet dryer) dengan dimensi luar (0,8 × 0,75 ×1,7) m dan
dimensi ruang pengering (0,75 ×0,6 × 1,3) m. Oven tersebut memiliki lima rak
pengering dengan kapasitas 40 kg serat karagenan. Kebutuhan listrik alat tersebut
sebesar 1000 W dan tegangan 220 V. Oven tersebut juga dilengkapi dengan alat
pengatur suhu otomatis (0-400°C) serta kipas dengan kecepatan putaran 2400 rpm
dan daya 100 W. Proses pengeringan rumput laut menggunakan oven tersebut
pada suhu 50 °C selama 6 jam, yang dilanjutkan dengan penggilingan dan
pengayakan secara manual (dengan pengayak 100 mesh), menghasilkan tepung
rumput laut yang berkadar air sekitar 11,5%, pH 7,3, dan berwarna putih khas
11
tepung. Ciri-ciri tersebut sesuai dengan standar mutu perdagangan. Selain itu,
proses pengeringan pada kondisi tersebut juga cukup efisien dari segi penggunaan
energi listrik.
2.4. Serat Pangan
Pada awalnya, serat hanya dianggap sebagai senyawa yang inert secara gizi,
hal ini didasarkan bahwa senyawa tersebut tidak dapat dicerna serta hasil
fermentasinya tidak dapat digunakan oleh tubuh dan hanya dianggap sebagai
sumber energi yang tidak tersedia serta hanya dikenal mempunyai efek sebagai
pencahar perut. (Raharja et al. 1998).
Serat pangan (dietary fiber) harus dibedakan dengan serat kasar (crude
fiber) yang biasa digunakan dalam analisa proksimat bahan pangan. Serat kasar
adalah bagian dari pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh bahan-bahan kimia
yang digunakan untuk menentukan kadar serat kasar yaitu asam sulfat (H2SO4
1.25%) dan natrium hidroksida (NaOH 1.25%). Sedang serat pangan adalah
bagian dari bahan pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim-enzim
pencernaan (Joseph, 2006). Piliang dan Djojosoebagio (2002), mengemukakan
bahwa yang dimaksudkan dengan serat kasar ialah sisa bahan makanan yang telah
mengalami proses pemanasan dengan asam kuat dan basa kuat selama 30 menit
yang dilakukan di laboratorium. Dengan proses seperti ini dapat merusak
beberapa macam serat yang tidak dapat dicerna oleh manusia dan tidak dapat
diketahui komposisi kimia tiap-tiap bahan yang membentuk dinding sel. Oleh
karena itu serat kasar merendahkan perkiraan jumlah kandungan serat sebesar
80% untuk hemisellulosa, 50-90% untuk lignin dan 20-50% untuk sellulosa.
Dreher (1987) menyatakan bahwa serat pangan adalah istilah umum yang
digunakan untuk menjelaskan berbagai komponen pangan yang tidak dapat
dicerna oleh usus pencernaan manusia. Ada lima komponen yang terdapat dalam
serat pangan yaitu selulosa, hemiselulosa, pektin, lignin dan gum. Serat pangan
terdiri dari serat pangan non konvensional dan serat pangan konvensional.
Komponen pada serat pangan non konvensioanal sangat bervariasi dan agak sulit
diidentifikasikan tetapi tetap mempunyai sifat yang sama yaitu tidak mudah
dicerna. Sedangkan Serat pangan konvensional dipisahkan menjadi struktuk
12
polisakarida, non polisakarida dan yang tidak mempunyai struktur polisakarida.
Sumber utama dari serat ini ada pada dinding sel bahan pangan, dimana struktur
sel nya membentuk matrik yang mempunyai dampak mengurangi daya cerna
pada usus manusia. Menurut Tongmee (1976) dalam Wirakusumah (1995),
serat pangan merupakan satu jenis polisakarida yang sering disebut karbohidrat
komplek. Karbohidrat komplek ini dibentuk dari beberapa gugusan gula
sederhana yang bergabung menjadi satu membentuk rantai kimia yang panjang
sehingga sangat sukar dicerna oleh enzim pencernaan. Sedangkan Wiseman
(2003) menyebutkan serat pangan merupakan nama yang diberikan pada
kelompok komponen kompleks yang hanya terdapat pada tumbuhan, dimana
komponen tersebut adalah selulosa, hemiselulosa, pectin dan lignin. 3
komponen pertama tersebut adalah karbohidrat sehingga serat pangan kadang
disebut sebagai karbohidrat tidak tersedia (unavailable carbohydrates) atau
polysakarida bukan tepung (non-starch polysaccharide). Definisi terbaru
tentang serat makanan yang dismpaikan oleh the American Association of
Cereal Chemist (AACC, 2001) adalah merupakan bagian yang dapat dimakan
dari tanaman atau karbohidrat analog yang resisten terhadap pencernaan dan
absorpsi pada usus halus dengan fermentasi lengkap atau partial pada usus
besar. Serat makanan tersebut meliputi pati, polisakharida, oligosakharida,
lignin dan bagian tanaman laainnya.
Menurut karakteristik fisik dan pengaruhnya terhadap tubuh, serat dibagi
dalam 2 golongan besar, yaitu serat larut dalam air (soluble fibre) dan serat tidak
larut dalam air (insoluble fibre). Schneeman (1987) menyatakan bahwa selulosa,
lignin dan beberapa fraksi hemiselulosa digolongkan sebagai serat tidak larut air
(suhu 90 oC) dan disebut insoluble fibre, sedangkan pektin, gum, musilase dan
beberapa jenis hemiselulosa digolongkan sebagai serat yang larut dalam air dan
disebut soluble fibre.
Serat pangan larut air yaitu serat yang dapat larut dalam air dan juga dalam
saluran pencernaan, namun dapat membentuk gel dengan cara menyerap air. Serat
ini berfungsi memperlambat kecepatan pencernaan dalam usus sehingga aliran
energi ke dalam tubuh menjadi tetap, memberikan perasaan penuh (kenyang),
memperlambat kemunculan glukosa (gula darah), membantu mengendalikan berat
13
bedan, meningkatkan kesehatan pencernaan, mengurangi resiko sakit jantung,
mengikat asam empedu, mengikat lemak seperti kolesterol dan mengeluarkan
melalui tinja. Sedangkan serat tidak larut air yaitu serat yang tidak dapat larut
dalam air dan juga dalam saluran pencernaan, namun memiliki kemampuan
menyerap air dan meningkatkan tekstur dan volume tinja sehingga makanan dapat
melewati usus besar dengan cepat dan mudah. Serat ini berfungsi mempercepat
waktu transit makanan dalam usus dan meningkatkan berat tinja, memperlancar
buang air besar, meningkatkan perasaan kenyang, dapat mengurangi resiko wasir,
dapat mengurangi resiko kanker usus dan divertikulitis (Anonymousa, 2006). Di
negara-negara industri di Barat, terjadi kenaikan serangan penyakit saluran
pencernaan seperti divertikulosis (borok pada usus), kanker pada usus besar dan
hernia. Hal ini disebabkan rendahnya konsumsi serat dalam makanan sehingga
menyebabkan sembelit dan lambatnya makanan bergerak dalam saluran
pencernaan. Di kalangan masyarakat pedesaan di Afrika, penyakit ini tidak
dikenal. Hal ini karena susunan makanan di daerah tersebut mengandung banyak
bahan berserat (Gardjito et al. 1994).
Uji klinis yang dilakukan oleh salah satu produk minuman berserat pada
tahun 2001, menyebutkan bahwa terjadi penurunan kadar kolesterol total dan
LDL kolesterol, buang air besar lebih nyaman, tidak mempengaruhi kadar
trigliserida, kadar elektrolit, tidak ditemukan efek samping dan keluhan
gastrointestinal yang berarti pada pasien yang diberikan suplementasi serat
sebesar 8,4 g. Menurut Karyadi (2002), peranan serat makanan larut dalam
menurunkan kadar kolesterol darah telah dibuktikan secara klinis pada pasien
sukarelawan dan tikus percobaan. Di dalam usus halus, serat makanan larut akan
membentuk gel yang mengikat lemak, kolesterol dan asam empedu. Akibatnya
asam empedu dalam hati berkurang. Untuk memproduksi asam empedu yang
hilang, hati akan menarik kolesterol dari darah sehingga kadar kolesterol darah
menurun.
Andon (1987) menyatakan serat makanan yang larut cocok untuk digunakan
dalam makanan-makanan cair seperti minuman, sup dan pudding. Serat larut ini
kadang digunakan sebagai pengental, subtitusi pati dengan serat larut ini tidak
hanya meningkatkan kadar serat produk akhir tetapi juga menurunkan kandungan
14
kalori makanan, misalnya pada produk minuman diet dimana penggunaan serat
larut untuk menggantikan kekentalan yang hilang akibat penggantian gula pasir
dalam formula. Sedangkan serat makanan yang tidak larut biasanya digunakan
dalam makanan-makanan padat dan produk panggangan.
Besarnya peranan serat pangan bagi kesehatan manusia menjadikan produk
ini semakin banyak dimanfaatkan, baik secara langsung maupun sebagai
pencampur berbagai jenis makanan, minuman dan produk diet pelangsing tubuh
(Le Marie, 1985). Menurut Winarno (1990), dibandingkan dengan bahan pangan
lain, maka keistimewaan serat pangan rumput laut terletak pada kandungan asam
alginat dan karagenannya. Alginat mempunyai affinitas yang tinggi terhadap
logam-logam berat dan unsur-unsur radioaktif. Oleh karena alginat tidak dapat
dicerna di dalam tubuh, maka konsumsi alginat sangat membantu membersihkan
polusi logam berat dan unsur radioaktif yang masuk ke dalam tubuh melalui
makanan yang terkontaminasi. Yunizal (2004) menyatakan bahwa dalam bidang
minuman, alginat merupakan senyawa berserat yang mudah larut dalam air,
bersifat kental dan tidak mudah dicerna. Uji minuman yang dilakukan terhadap
konsumen selama 1 bulan, memberikan pengaruh yang positif, diantaranya yaitu
badan menjadi lebih segar, kadar gula darah menurun, kadar kolesterol darah
menurun (Yunizal, 2003).
Goni et al. (2000) dalam penelitiannya menyatakan bahwa rumput laut yang
mengandung serat pangan larut yang tinggi kemungkinan dapat mengubah respon
glycemic pada kesehatan, dimana roti yang ditambahkan Nori alga memberikan
hasil yang lebih baik daripada roti tanpa Nori alga. Demikian juga Escrig dan
Muniz (2000) menyatakan bahwa serat rumput laut telah terbukti dapat
menurunkan kadar kolesterol dan tekanan darah dibanding sumber serat lainnya.
Penelitian yang dilakukan Miyake et al. (2006) terhadap 2002 orang wanita hamil
di Jepang, menyimpulkan bahwa penurunan alergi rhinitis pada wanita hamil
berhubungan dengan asupan diet yang tinggi (high dietary intake) dari rumput
laut, calcium, magnesium dan phosphorus.
ADA (American Dietetic Association), National Cancer Institute dan
American Cancer Society merekomendasikan konsumsi serat antara 25 hingga 35
gram setiap hari atau 10 hingga 13 gram serat per 1000 kcal setiap harinya untuk
15
orang dewasa dan manula. Untuk anak-anak dan remaja (umur 2 hingga 20 tahun)
menurut rekomendasi ADA (American Dietetic Association), kebutuhan seratnya
sama dengan umur (dalam tahun) ditambah 5 gram setiap hari. Misalnya untuk
anak berusia 5 tahun, maka kebutuhan seratnya adalah 10 gram (5 + 5) setiap hari.
Pada usia 20 tahun, kebutuhan seratnya sudah mencapai 25 gram setiap hari
(Anonymousb, 2006).
2.5. Gum
Whistler (1973) menyatakan bahwa gum merupakan polisakarida atau
turunannya yang jika dilarutkan dalam air akan membentuk gel atau larutan
dengan viskositas tinggi. Menurut Southgate (1982), gum merupakan polimer
heterosakarida dengan rantai utama yang mungkin terdiri dari galaktosa, asam
glukoronat-mannosa, asam galakturonat-rhamnosa dan rantai cabang yang terdiri
dari xilosa, fukosa dan galaktosa. Glicksman (1982), menyebutkan istilah gum
menunjukkan suatu kelompok yang luas dari polisakarida pembentuk gel dan
bahan pengental larut air. Istilah lain dari gum yang biasa digunakan adalah
stabilizer atau hydrocolloid.
Gum yang digunakan untuk makanan dideskripsikan sebagai bahan-bahan
polymeric yang dapat dimakan. Bahan-bahan ini larut dalam air dan mengental
atau membentuk gel. Sifat fungsional yang penting termasuk bebas racun,
mengikat air, menolak lemak, encapsulating, dan pembentukan susunan (Matz,
1972). Penggunaan gum dalam makanan sangat luas, mulai dari bahan perekat
sampai whipping agent. Secara umum fungsi gum dapat dikelompokkan menjadi
2 kelompok besar yaitu sebagai pembentuk gel (gelling) dan bahan pengental
(thickening) (Gliksman, 1969). Beberapa jenis gum diantaranya adalah alginat dan
gum arab.
2.5.1. Alginat
Alginat merupakan senyawa polisakarida yang dihasilkan dari ekstraksi
rumput laut kelas Phaephyceae yang berbentuk asam alginik. Asam alginik adalah
getah selaput, sedangkan alginat adalah bentuk garam dari asam alginik (Afrianto
et al.1987). Menurut Merck Index (1976) algin merupakan polisakarida berbentuk
gel yang diekstraksi dari alga laut coklat atau dari gulma lumut laut.
16
Menurut Food Chemical Codex (1981) dalam Yunizal (2004), rumus
molekul natrium alginat adalah (C6H7O6 Na)n. Garam natrium dari asam alginat
berwarna putih sampai dengan kekuningan, berbentuk tepung atau serat, hampir
tidak berbau dan berasa, larut dalam air dan mengental (larutan koloid), tidak larut
dalam larutan hidroalkohol dengan kandungan alkohol lebih dari 30 % dan tidak
larut dalam chloroform, eter dan asam dengan pH kurang dari 3.
Mutu alginat ditentukan oleh panjangnya rantai polimer mannuronat
maupun guluronat atau selang seling kedua ikatannya (McHugh, 1987). Semakin
panjang rantainya, semakin besar berat molekulnya dan semakin besar nilai
viskositasnya. Viskositas ditentukan oleh alginat yang terekstrak, bila sebagian
besar yang terekstrak adalah alginat berbobot molekul tinggi (berantai panjang)
maka Na-alginat yang dihasilkan akan mempunyai nilai viskositas yang lebih
tinggi dan sebaliknya bila bagian yang terekstrak hanya alginat berbobot molekul
rendah maka viskositasnya juga rendah (Karsini, 1993).
Viskositas larutan alginat dipengaruhi oleh konsentrasi, bobot molekul, pH,
suhu dan keberadaan garam. Semakin tinggi konsentrasi atau bobot molekul
maka viskositasnya semakin tinggi (Gambar 2). Jika dihubungkan dengan suhu,
viskositas larutan alginat akan meningkat jika didinginkan kembali, kecuali bila
pemanasan yang relatif lama sehingga terjadi degradasi polimer (Klose et al.
1972). Hal ini diperkuat oleh King (1982), yaitu seperti larutan polisakarida
lainnya, viskositas larutan alginat menurun dengan meningkatkannya suhu.
Viskositas larutan alginat menurun 12% pada setiap kenaikan suhu 5,6 oC (10 oF).
Klose et al. (1972) menyatakan bahwa alginat yang mengandung kation
seperti K, Na, NH4, + Ca, dan Na + Ca dan propilen glikol alginate, larut dalam
air dingin maupun panas dan membentuk larutan yang stabil. Kation ini mengikat
air sangat kuat karena kandungan ion karboksilat yang tinggi (King, 1983).
Menurut Glicksman (1983), alginat yang larut dalam air membentuk gel pada
larutan asam karena adanya kalsium atau kation logam polivalen lainnya.
Mekanisme pembentukan gel ini berdasarkan reaksi molekul alginat dengan
kalsium. Reaksi tersebut adalah reaksi intramolekuler dan intermolekuler.
Pembentukan gel yang seragam hanya dimungkinkan bila ramuan diaduk dengan
baik dan sebelum pembuatan gel dicampur dengan beberapa asam. Beberapa jenis
17
asam seperti asam fumarat atau asam sitrat yang dikombinasikan dengan garam
alginat yang larut, kalsium karbonat, kalsium phospat atau kalsium tartat. Garam
kalsium yang sedikit larut, seperti kalsium sulfat, secara bertahap akan
membebaskan ion kalsium, yang dapat dicampur dengan tepung alginat untuk
membentuk kombinasi tepung yang mampu larut dalam air pada suhu kamar dan
mengental menjadi gel setelah dibiarkan beberapa saat (Winarno, 1990).
Gambar 2. Hubungan konsentrasi dengan nilai viskositas alginat
(Glicksman, 1969).
Menurut Percival (1970), alginat banyak digunakan pada industri pangan
secara luas, bukan sebagai penambah gizi, tetapi menghasilkan dan memperkuat
tekstur atau stabilitas dari produk olahan seperti es krim, sari buah, pastel isi dan
lain-lain. Alginat dengan konsentrasi kurang dari 0,5 % banyak digunakan sebagai
penstabil, pengental, pengemulsi pada saos tomat, sayuran, jelly, kuah daging, dan
susu (King, 1983). Beberapa aplikasi alginat dalam industri pangan dan
konsentrasi yang dibutuhkan dapat dilihat pada Tabel 6.
Dalam bidang minuman, alginat merupakan senyawa berserat yang mudah
larut dalam air, bersifat kental dan tidak mudah dicerna. Saat larut dalam air, serat
18
natrium alginat membentuk kisi-kisi seperti jala yang mampu mengikat kuat
banyak molekul air. Larutan alginat dapat menurunkan kadar kolesterol secara
efektif, karena dapat mengikat asam empedu yang berguna untuk mengemulsikan
lemak dan kolesterol. Kemudian membawanya ke luar tubuh bersama tinja
sehingga kadar asam empedu dalam tubuh jadi berkurang. Selanjutnya hati
sebagai organ yang memproduksi asam empedu harus mengganti asam empedu
yang hilang. Untuk membentuk asam empedu, hati memerlukan kolesterol.
Kolesterol dalam darah akan disirkulasikan ke hati, lalu didalam hati kolesterol
diurai menjadi asam empedu, sehingga kolesterol dalam darah menurun
(Yunizal, 2004).
Tabel 6. Aplikasi alginat dalam industri pangan dan konsentrasi yang dibutuhkan
No. Aplikasi Dosis yang digunakan (ppm)
1. Pembentuk jelly 2.000 – 50.000 2. Pengental 5.000 – 20.000 3. Penstabil es krim dan permen 1.000 – 3.000 4. Menjaga suspensi coklat dalam susu 1.000 – 2.000 5. Penstabil krim 500 – 1.500 6. Penstabil busa bis 50 – 100 7. Memperhalus cairan 5 - 20
Sumber : McDowell (1967) dalam Yunizal (2004).
Spesifikasi alginat sebagai food grade menurut Chapman et al. (1980) dalam
Yunizal (2004) disajikan pada Tabel 7. Menurut Winarno (1990), alginat yang
memiliki mutu food grade harus bebas dari selulosa dan warnanya sudah
dilunturkan (dipucatkan) sehingga terang atau putih.
Tabel 7. Natrium Alginat sebagai food grade
No. Spesifikasi Kandungan
1. Kadar air (%) 13 2. Kadar abu (%) 23 3. Berat Jenis (%) 1,59 4. Warna Kuning gading 5. Densitas kamba (kg/m3) 874 6. Suhu pengabuan ( 0C) 480 7. Panas pembakaran (kalori/gram) 2,5
Sumber : Chapman et al. (1980) dalam Yunizal (2004).
19
2.5.2. Gum Arab
Gum arab adalah exudate alami dari pohon akasia, dengan species utama
adalah Acacia senegal L. Gum keluar dari pohon sebagai getah yang membentuk
bola-bola atau titik-titik air mata, kemudian dikumpulkan secara manual sebagai
gumpalan-gumpalan kering, cara panen yang dilakukan pada musim kering
(Thevenet, 1988 dalam Nussinovitch,1997). Secara fisik, gum arab merupakan
molekul bercabang banyak dan kompleks. Dengan bentuk struktur yang demikian
menyebabkan gum arab memiliki kekentalan yang rendah. Bentuk molekul dari
gum arab berupa spiral yang kaku dengan panjang rantai utama molekulnya
berkisar antara 1.050 A0 dan 2.400 A0, tergantung pada jumlah muatannya
(Fardiaz, 1989).
Fardiaz (1989) menyatakan secara umum larutan gum arab akan mencapai
kekentalan maksimum pada pH sekitar 4,5 – 5,5. Kurang dan lebih dari pH ini
akan menyebabkan kekentalan rendah. Adanya elektrolit dalam larutan gum arab
juga mengakibatkan turunnya kekentalan, meskipun dalam larutan sangat encer.
Penurunan kekentalan ini lebih nyata pada larutan dengan konsentrasi yang lebih
tinggi. Kemampuan untuk membentuk larutan pekat tersebut menyebabkan gum
arab merupakan pemantap dan pengemulsi yang baik jika dicampurkan dengan
sejumlah besar bahan-bahan yang tidak larut. Gum arab mempunyai sifat daya
gabung yang luas seperti jenis gum lainnya, juga dengan karbohidrat dan protein.
Dalam banyak hal sifat daya gabung atau tidak bergabung dikontrol oleh pH dan
konsentrasinya.
Menurut Fardiaz (1989), gum arab akan mencapai kekentalan maksimun
pada konsentrasi 40 – 50 %. Rendahnya sifat kekentalan ini berhubungan dengan
sifat molekul globular yang bercabang banyak dan komplek dari gum arab.
Sedangkan gum lain akan membentuk larutan yang sangat kental pada
konsentrasi yang rendah (1 – 5 %). Glicksman (1973) menyatakan bahwa gum
arab dengan mudah larut dalam air dingin dan air panas dan cenderung untuk
membentuk gumpalan ketika ditambahkan air. Hal ini diperkuat dengan
pernyataan BeMiller et al. (1996) yaitu gum arab mudah larut dalam air dan
sifatnya unik jika dibandingkan dengan gum lain. Gum arab dapat membentuk
larutan dengan kekentalan yang rendah sehingga dapat membentuk larutan dengan
20
konsentrasi sampai 50 %. Tabel 8 menunjukkan pengaruh konsentrasi terhadap
kekentalan dari gum arab. Winarno (1997) menyebutkan mekanisme kerja gum
arab pada konsentrasi 50 % dalam larutan akan membentuk gel yang sangat kental
sekuat gel pati, karena gum arab dan pati termasuk golongan polisakarida.
Pembentukan gel pada pati di dalam larutan terjadi setelah pemanasan. Selama
pemanasan energi kinetik molekul air lebih kuat daripada daya tarik menarik
antarmolekul pati di dalam granula, sehingga air dapat masuk ke dalam butir-butir
pati. Hal ini menyebabkan membengkaknya granula tersebut. Jumlah gugus
hidroksil dalam molekul pati sangat besar, maka kemampuan menyerap air lebih
besar. Terjadinya peningkatan kekentalan disebabkan oleh adanya air di luar
granula yang setelah dipanaskan air tersebut akan berada dalam butir-butir pati
dan tidak dapat bebas bergerak lagi.
Tabel 8. Pengaruh konsentrasi terhadap kekentalan dari gum arab
Konsentrasi Kekentalan (Cps)
0,5 - 6,0 - 10,0 16,50 20,0 40,50 30,0 200,00 35 423,75 40 936,25 50 4.162,5
Sumber : Whistler (1973).
Standar mutu gum arab sebagai food grade sudah ditentukan oleh Food
Chemical Codex. Fungsi utama gum arab adalah sebagai bahan tambahan untuk
memberikan penampilan yang diinginkan, dimana akan mempengaruhi viskositas,
bentuk dan tekstur dari makanan. Sebagai bahan tambahan makanan, gum arab
harus bebas racun, tidak berbau, tidak berwarna, tidak berasa, larut air, dan tidak
mempengaruhi rasa, bau dan warna makanan yang dihasilkan (Glicksman, 1973).
Tabel 9 adalah mutu gum arab sebagai food grade.
21
Tabel 9. Standar Mutu Gum Arab
No. Parameter Jumlah maksimum
1. Air (%) 15 2. Abu (%) 4 3. Asam tak larut (%) 0,5 4. Arsen (ppm) 0,5 5. Timah hitam (ppm) 1,7 6. Tembaga (ppm) 10 7. Timah (ppm) 10
Sumber : Glicksman (1973).
Beberapa kelebihan gum arab yaitu : 1. mempunyai banyak fungsi, yaitu
pengemulsi yang baik, pembentuk film, pembentuk tekstur, bahan pengikat air
dan bulking agent; 2. sumber serat yang tinggi, sedikitnya mengandung 85 %
serat pangan larut (bk); 3. beban racun (Fennema, 1996). Dalam bidang pangan
digunakan adalah lain pada industri kembang gula, roti dan minuman (Wadarsa,
1985). Konsentrasi yang diijinkan untuk minuman ringan adalah 500 mg /kg
(SNI 01-0222-195).
2.6. Bahan Tambahan Pangan
Pada dasarnya penggunaan makanan tambahan haruslah berdasarkan alasan-
alasan yan penting dan dapat menguntungkan manusia. Diantaranya adalah untuk
menekan kerusakan/pembusukan, meningkatkan gizi dan cita rasa serta dapat
meningkatkan gairah untuk menikmati makanan tersebut. Dengan berkembangnya
jenis-jenis penyebab kerusakan bahan makanan serta di lain pihak telah dan
sedang berkembangnya kemajuan teknologi pangan waktu ini, dapat dikatakan
bahwa tanpa bahan tambahan makanan akan sangat sulit bagi manusia untuk
menyimpan bahan makanan yang melimpah dalam waktu yang cukup lama bagi
kecukupan persediaan pangannya.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan R.I. No. 329/Menskes/PER/XII/76,
yang dimaksud dengan bahan tambahan makanan adalah bahan yang ditambahkan
dan dicampurkan sewaktu pengolahan makanan untuk meningkatkan mutu.
Termasuk didalamnya adalah pewarna, penyedap rasa dan aroma, pemantap,
antioksidan, pengawet, pengemulsi, antigumpal, pemucat dan pengental.
22
2.6.1. Bahan Pemanis
Winarno (1992) menyatakan bahwa rasa manis ditimbulkan oleh senyawa
organik alifatik yang mengandung gugus OH seperti alkohol, beberapa asam
amino, aldehida, dan gliserol. Sumber rasa manis yang utama adalah gula atau
sukrosa dan monosakarida atau disakarida yang mempunyai jarak ikatan hidrogen
3 – 5 A. Pemanis buatan seperti sakarin, siklamat, dan dulsin dalam konsentrasi
yang tinggi cenderung memberikan after taste (pahit, nimbrah dan rasa lain).
Sukrosa adalah oligosakarida yang mempunyai peran penting dalam
pengolahan makanan dan banyak terdapat pada tebu, bit, siwalan dan kelapa.
Sukrosa merupakan gula yang murah dan di produksi dalam jumlah yang besar
melalui proses penyulingan dan kristalisasi (Alikonis, 1979).
Untuk industri-industri makanan biasa digunakan sukrosa dalam bentuk
kristal halus atau kasar dan dalam jumlah yang banyak dipergunakan dalam
bentuk cairan sukrosa (sirup). Pada pembuatan sirup, gula pasir (sukrosa)
dilarutkan dalam air dan dipanaskan, sebagian sukrosa akan terurai menjadi
glukosa dan fruktosa, yang disebut gula invert (Winarno, 1992).
Jenis pemanis yang umum digunakan selain sukrosa adalah Acesulfame-K.
Zat ini merupakan senyawa tidak berbau, berbentuk tepung kristal berwarna putih,
mudah larut dalam air dan berasa manis. Acesulfame-K tidak dapat dicerna,
bersifat non glikemik dan non kariogenik, sehingga FDA menyatakan aman untuk
dikonsumsi manusia sebagai pemanis buatan dengan ADI (Acceptance Daily
Intake) sebanyak 15 mg/kg berat badan. Sedangkan JECFA mengatur maksimum
penggunaan Acesulfame-K pada berbagai produk pangan berkisar antara 200
sampai dengan 3.000 mg/kg produk (Salminen et al. 1990).
2.6.2. Bahan Pengasam
Salah satu tujuan utama penambahan asam pada makanan adalah untuk
memberikan rasa asam. Asam juga dapat mengintensifkan penerimaan rasa-rasa
lain. Asam yang banyak digunakan dalam bahan makanan adalah asam organik
seperti asam malat, asam asetat, asam laktat, asam sitrat, asam fumarat, asam
suksinat dan asam tartrat. Sedangkan satu-satunya asam anorganik yang
digunakan sebagai pengasam makanan adalah asam fosfat. Asam anorganik lain
23
seperti HCl dan H2O4 mempunyai derajat desosiasi yang tinggi sehingga berakibat
kurang baik bagi mutu produk akhir (Winarno, 1992).
Asam sitrat sering digunakan sebagai zat pengasam. Fungsi lainnya adalah
untuk mencegah terjadinya kristalisasi gula, katalisator hidrolisa sukrosa ke
bentuk gula invert selama penyimpanan serta penjernih gel yang dihasilkan
(Alikonis, 1979). Asam sitrat banyak digunakan dalam industri pangan dan
farmasi karena mudah dicerna, mempunyai rasa asam yang menyenangkan, tidak
beracun dan mudah larut. Penggunaan asam sitrat pada sirup bertujuan untuk
memberikan rasa asam yang berfungsi sebagai pengawet tambahan disamping
gula, serta sebagai emulsi dalam makanan (Widirga, 1994). Selanjutnya Winarno
(1997) menyatakan bahwa asam sitrat berperan juga sebagai penegas rasa dan
warna atau menyelubungi after taste yang tidak disukai, mencegah ketengikan
dan browning. Heath (1978) dalam penelitiannya menulis bahwa kebutuhan asam
sitrat dalam pembuatan jelly tergantung dari bahan pembentuk gel yang digunakan
seperti terlihat dalam Tabel 10.
Tabel 10. Kandungan asam sitrat dalam pengolahan jelly
Bahan pembentuk gel Asam sitrat (%) pH produk
Agar-agar 0,2 – 0,3 4,8– 5,6 Pektin 0,5 – 0,7 3,2 – 3,5 Gelatin 0,2 – 0,3 4,5 – 5,0
III. Metode Penelitian
3.1. Waktu dan tempat
Penelitian dilakukan pada Bulan Februari sampai Bulan Agustus 2006 di
Laboratorium Pengolahan Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil
Perikanan, Jakarta. Analisis laboratorium dilakukan di Laboratorium Kimia,
Mikrobiologi dan Organoleptik Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian
Hasil Perikanan, Jakarta, Laboratorium Pascapanen Pertanian, Bogor.
3.2. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rumput laut kering jenis
Eucheuma cottonii, Sargassum sp, Glacilaria sp, alginat, gum arab, gula, asam
sitrat dan pewarna makanan. Bahan-bahan kimia untuk keperluan analisa di
laboratorium.
Peralatan yang digunakan adalah oven, saringan, grinder, alat penepung,
blender, pompa vakum, wadah, peralatan gelas serta peralatan laboratorium untuk
pengujian kimia, mikrobiologi dan organoleptik sesuai parameter yang sudah
ditentukan.
3.3. Metode Penelitian
Penelitian ini terdiri dari 3 tahap (Gambar 3). Penelitian tahap 1
Penelitian tahap 1 bertujuan untuk menghilangan bau amis, mendapatkan
kenampakan yang putih dan menarik, dan tekstur yang padat, sehingga
didapatkan rumput laut yang memiliki kenampakan, bau dan tekstur yang
diinginkan. Tahap yang dilakukan meliputi pencucian, perendaman dan
penirisan. Pencucian rumput laut dilakukan dengan air mengalir untuk
mendapatkan rumput laut yang bersih dari benda asing seperti pasir, kayu,
ranting dan kotoran yang menempel. Perendaman rumput laut dalam 3
macam larutan perendam, yaitu air tawar, larutan tepung beras dan
kombinasi air tawar dan kapur. Selanjutnya rumput laut ditiriskan.
Analisis yang dilakukan adalah uji organoleptik meliputi kenampakan, bau
25
dan tekstur dengan menggunakan lembar penilaian (score sheet). Hasil
terbaik dilakukan uji kadar air, abu, protein, karbohidrat, serat dan iodium.
Alur proses dapat dilihat pada Gambar 4.
Penelitian Tahap 2
Penelitian tahap 2 adalah mengolah rumput laut menjadi tepung rumput
laut. Tujuan penelitian tahap 2 adalah mengkaji sifat fisik kimia tepung
rumput laut yang dihasilkan dari 2 perlakuan suhu pengeringan. Tahapan
yang dilakukan adalah pencucian, perendaman, penghancuran,
pengeringan, penepungan dan pengayakan. Rumput laut Eucheuma
cottonii, Sargassum sp, dan Glacilaria sp kering dicuci dan dibersihkan
dengan air mengalir, untuk menghilangkan benda asing. Selanjutnya
direndam dalam larutan perendam yang terbaik dari penelitian tahap 1.
Setelah perendaman, rumput laut ditiriskan selanjutnya dilakukan
pengecilan ukuran (penghancuran) menggunakan grinder. Selanjutnya
adalah pengeringan dengan oven bersuhu 50 oC dan 70 oC, setelah kering
dilakukan penepungan dan pengayakan (Gambar 5). Analisis yang
dilakukan yaitu Rendemen, pH, viskositas, kelarutan, titik jendal, titik
leleh, kadar air, kadar abu, kadar protein, karbohidrat, kandungan serat
pangan (serat pangan larut, serat pangan tak larut dan serat pangan total),
iodium dan organoleptik (score sheet).
Penelitian tahap 3 Penelitian tahap 3 bertujuan untuk mendapatkan formulasi minuman
berserat. Pembuatan minuman melalui tahapan pencampuran tepung
rumput laut dengan bahan-bahan tambahan sesuai formulasi. Pada
penelitian ini dibuat sebanyak 100 gr minuman berserat untuk masing-
masing formula. Selanjutnya dilakukan uji organoleptik (hedonik) dengan
batas nilai penolakan adalah 4,5 (agak tidak suka). Formula terpilih diuji
viskositas dan kelarutan dalam suhu air pencampur 10 oC, 28 oC dan 40 oC,
kadar serat pangan, Total Plate Count (TPC) dan organoleptik (uji
perbandingan pasangan). Alur proses seperti pada Gambar 6.
26
Gambar 3. Diagram Alir Penelitian
Rumput Laut Kering E.cottonii, Sargassum sp, Glacilaria sp
Tepung rumput laut
Analisis Sifat Fisik Kimia : 1. Rendemen. 2. pH. 3. Viskositas. 4. Kelarutan 5. Titik jendal. 6. Titik leleh. 7. Kadar air. 8. Kadar abu. 9. Kadar protein. 10. Kadar karbohidrat 11. Kadar serat pangan
(IDF,SDF, TDF) 12. Iodium 13. Organoleptik
(kenampakan,bau,tekstur)
Metode Perendaman : 1. Air tawar 2. Larutan tepung beras 3. Kombinasi Air tawar dan kapur tohor
0,5 %
Formulasi minuman berserat (Organoleptik : kesukaan)
Analisis viskositas, kelarutan, kadar serat,TPC,organoleptik: perbandingan pasangan
ANALISIS DATA DAN PELAPORAN Pembanding minuman berserat komersil
Organoleptik (kenampakan, bau, tekstur). ______________________ analisis kadar air, abu, protein, serat pangan, karbohidrat, iodium
27
Gambar 4. Diagram Alir Proses Penelitian Tahap 1.
Pencucian dengan air mengalir
Perendaman : 1. Dalam air tawar selama 9 jam
2. Dalam larutan beras selama 9 jam 3. Kombinasi air tawar dan kapur 0,5 % 10 menit
Metode perendaman terbaik
Uji Organoleptik : kenampakan, bau, tekstur
Rumput laut hasil perendaman
Analisis kadar air, abu, protein, karbohidrat, serat pangan, iodium
Rumput Laut Kering E. cottonii, Sargassum sp, Glacilaria sp
28
Gambar 5. Diagram Alir Penelitian Tahap 2.
Perendaman terbaik
Penghancuran
Rumput Laut Kering E. cottonii, Sargassum sp, Glacilaria sp
Pengeringan Oven dengan suhu 50 dan 70 oC
Tepung Rumput Laut
Analisis Rendemen, viskositas, kelarutan, pH, titik jendal, titik leleh, kadar air, kadar abu, protein, karbohidrat, kadar serat pangan, iodium dan organoleptik.
Penepungan
Pengayakan
Jenis Tepung Rumput Laut terbaik
29
Formulasi Komposisi
Formulasi A E. cottonii 48,7 %, gum arab 0,5 %, gula 48,7 %, asam sitrus 1,5 %, pewarna 0,2 % dan aroma 0,4 %.
Formulasi B E. cottonii 48,7 %, alginat 0,5 %, gula 48,7 %, asam sitrus 1,5 %, pewarna 0,2 % dan aroma 0,4 %.
Formulasi C E. cottonii 48,2 %, gum arab 1,4 %, gula 48,2 %, asam sitrus 1,4 %, pewarna 0,3 % dan aroma 0,5 %
Formulasi D E. cottonii 48,2 %, alginat 1,4 %, gula 48,2 %, asam sitrus 1,4 %, pewarna 0,3 % dan aroma 0,5 %
Formulasi E E. cottonii 38,9 %, Glacilaria sp 9,8 %, gum arab 0,5 %, gula 48,7 %, asam sitrus 1,5 %, pewarna 0,2 % dan aroma 0,4 %
Formulasi F E. cottonii 38,9 %, Glacilaria sp 9,8 %, alginat 0,5 %, gula 48,7 %, asam sitrus 1,5 %, pewarna 0,2 % dan aroma 0,4 %
Gambar 6. Diagram Alir Penelitian Tahap 3.
Formulasi minuman berserat (persentase formula berdasarkan berat TRL)
Formulasi terpilih
Uji Organoleptik (hedonik)
Analisis viskositas, kelarutan, kadar serat pangan, TPC dan organoleptik (perbandingan pasangan)
Tepung Rumput Laut dari jenis terpilih
30
3.4. Analisis Data
Rancangan percobaan untuk tahap 1 dan tahap 2 yaitu Rancangan Acak
Lengkap (RAL) 1 faktor. Faktor tahap 1 adalah media perendaman dengan 3 taraf
sedangkan untuk faktor tahap 2 yaitu suhu pengeringan dengan 2 taraf.
Yij = u+ Ai + εij
Dimana : Yij : respon yg ditimbulkan oleh pengaruh bersama taraf ke i;i=1,2,3 faktor Tahap 1 dan tahap 2, pada ulangan ke j; j = 1,2. µ : Nilai tengah (rata-rata) dari seluruh nilai pengamatan. Ai : Pengaruh tahap 1 dan tahap 2 pada taraf ke i ε ij : pengaruh kesalahan penelitian
Faktor tahap 1 = Media perendaman dengan 3 taraf yaitu :
Taraf 1 = air tawar selama 9 jam
Taraf 2 = larutan tepung beras 5 % selama 9 jam
Taraf 3 = air tawar dikombinasikan dengan larutan kapur tohor 0,5 %
Faktor tahap 2 = Suhu pengeringan dengan 2 taraf yaitu :
Taraf 1 = suhu pengeringan 50 oC
Taraf 2 = suhu pengeringan 70 oC
Data yang didapat dianalisis dengan analisis sidik ragam (ANOVA) untuk
mengetahui pengaruh dari perlakuan, kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan
bila ada perbedaan.
3.5. Analisis Sifat Fisik Rumput Laut hasil perendaman dan Tepung
Rumput Laut
Rendemen
Rendemen = Berat akhir yang diperoleh (g) x 100 % Berat awal bahan baku (g)
31
Nilai pH
Sekitar 10 gram contoh diencerkan sampai 10 ml dengan air destilata,
diaduk sampai rata. Selanjutnya larutan diukur pH nya dengan pH meter
sebanyak 3 kali. Data yang diperoleh dirata-ratakan.
Viskositas
Pengukuran viskositas dengan menggunakan alat Vibro viscometer (SV-10).
Larutan dengan konsentrasi 5 % dan suhu 50 oC sebanyak 35 – 45 ml diletakkan
pada alat dan pastikan menyentuh sensor pada posisi yang benar. Setelah 15 detik
sejak alat dihidupkan, alat akan menyajikan angka (nilai) viskositas. Pembacaan
akan dilakukan selama 10 kali putaran. Hasil yang didapat dirata-ratakan dan
merupakan nilai viskositas larutan tersebut.
Titik jendal
Larutan tepung rumput laut dengan konsentrasi 5 % (b/b) diisikan ke dalam
tabung reaksi yang berdiameter 1 cm. Tabung-tabung reaksi yang berisi larutan
tepung tersebut kemudian dimasukkan ke dalam gelas piala yang berisi air dan
dipanaskan sampai air mencapai 60 oC. setelah itu didiamkan kembali pada suhu
kamar. Selama pendinginan, tabung reaksi tersebut sewaktu-waktu dimiringkan
sambil diamati, jika setelah dimiringkan 45o larutan tepung didalamnya tidak
mengalir, maka dengan cepat thermometer disisipkan ke dalam tabung reaksi dan
dicatat suhu yang diamati.
Titik Leleh
Tabung reaksi berisi larutan tepung hasil pengukuran titik jendal bagian
atasnya ditutup rapat dan didiamkan selama 1 jam sampai terbentuk gel dengan
sempurna. Tabung reaksi tersebut dimasukkan ke dalam bak perendaman dalam
posisi terbalik, laju pemanasan diusahakan 1 oC/menit. Pada saat gel di puncak
tabung reaksi tiba-tiba jatuh, suhu air dalam bak pemanasan segera dicatat sebagai
titik leleh.
32
Kelarutan (Cotrel and Kovacs, 1980)
Kertas saring dengan luasan tertentu dikeringkan dalam oven selama ½ jam
dan ditimbang. Kemudian dilakukan penyaringan terhadap 0,75 gram produk yang
dilarutkan dalam 100 ml aquades dengan menggunakan pompa vakum. Kertas
saring kemudian dikeringkan dalam oven 100 oC selama 3 jam, lalu ditimbang.
Perhitungan : Kelarutan = Berat kering contoh – berat residu x 100 % Berat kering contoh
3.6. Analisis Sifat Kimia Rumput Laut hasil perendaman dan Tepung
Rumput Laut
Kadar Air (SNI-01-2356-1991)
Pengukuran kadar air menggunakan wadah crusible kosong yang sudah
dipanaskan dalam oven 105 oC sedikitnya 2 jam dan didinginkan dalam desikator,
selanjutnya ditimbang sampai berat konstan (A). Kemudian homogenate contoh
seberat kurang lebih 2 gram (B) dimasukkan ke dalam crucible kosong tersebut
dan diletakkan dalam oven vakum pada suhu 95 – 100 oC dengan tekanan udara
tidak lebih dari 100 mmHg selama 5 jam atau dapat juga menggunakan oven tidak
vakum pada suhu 105 oC selama 16 – 24 jam. Setelah itu, crucible didinginkan di
dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang sampai berat konstan (C ).
Perhitungan :
% Air = (A + B) – C x 100 % B
Kadar Abu Total (SNI-01-2354-1991)
Homogenate contoh seberat kurang lebih 2 gram (B) dimasukkan ke dalam
crucible kosong yang sebelumnya sudah dipijarkan pada suhu 550 oC selama 8
jam dan ditimbang (A). Kemudian homogenate contoh dipijarkan di dalam
furnace pada suhu 550 oC selama 8 jam atau sampai diperoleh abu berwarna putih.
Selanjutnya crucible dan abu ditimbang dengan neraca analitis (C) sampai berat
konstan.
33
Perhitungan :
% Abu = (C – A ) x 100 % B
Kadar Protein (AOAC,2000)
Pengukuran kadar protein dilakukan melalui tahap destruksi, destilasi dan
titrasi. Pada tahap destruksi, contoh sekitar 2 gram dimasukkan ke dalam labu
destruksi dan ditambahkan 2 butir tablet katalis atau 7 g K2SO4 dan 0,5 g CuSO4
(0,83 g CuSO4. 5 H2O) serta beberapa butir batu didih. Selanjutnya ditambahan 15
ml H2SO4 pekat (95 – 97 %) dan 3 ml H2O2 dan diamkan 10 menit dalam ruang
asam. Destruksi dilakukan dengan suhu 410 oC selama + 2 jam atau sampai
mendapatkan hasil destruksi yang jernih, kemudian didiamkan hingga suhu kamar
dan ditambahkan 50 ml aquadest. Pada tahap destilasi, alat destilasi dicuci dengan
cara melakukan distilasi aquadest. Apabila destilat yang tertampung mengubah
warna garam borat (merah kuning) maka dilakukan pencucian/destilasi ulang
sampai hasil distilat yang tertampung tidak berubah warna. Selanjutnya labu yang
berisi hasil destruksi dipasang pada rangkaian alat destilasi uap dan ditambahkan
50 ml NaOH 50 % yang mengandung N2S2O3 2,5 %. Hasil destilasi ditampung
dalam Erlenmeyer 250 ml yang berisi 25 ml H3BO3 4 % hingga volume mencapai
minimal 150 ml (hasil destilat akan berubah menjadi kuning). Selanjutnya dititrasi
dengan HCl 0,2 N yang sudah terstandardisasi sampai berwarna merah jambu.
Untuk mengontrol hasil pengukuran dilakukan pengerjaan titrasi blanko seperti
tahapan contoh.
Perhitungan :
% Protein = (ml contoh – ml blanko) HCL x N HCl x 14,007 x 6,25 x 100 % Berat contoh (g) x 1000
Keterangan :
N = Normalitas HCl standar yang digunakan
14,007 = Berat atom Nitrogen
6,25 = Faktor konversi protein untuk ikan.
Kadar Karbohidrat (by difference)
Kadar karbohidrat dihitung dengan menggunakan rumus :
Kadar karbohidrat (% bk) = 100 % - (% K.abu + % K.Protein + % K.lemak)
34
Kadar Serat Pangan (Asp et.al., 1983)
Contoh kering homogen diekstraksi lemaknya dengan petroleum eter selama
15 menit pada suhu kamar. Kemudian diambil 1 gram dan dimasukkan ke dalam
labu Erlenmeyer dan ditambahkan 25 ml 0,1 M buffer Natrium fosfat pH 6.0 serta
dicampur secara menyeluruh. Setelah itu ditambahkan 0,1 ml alfa amylase
(Termamyl 120 L) dan labu ditutup dengan aluminium foil, kemudian diinkubasi
selama 15 menit dalam penangas air panas bergoyang pada suhu 80 oC.
Selanjutnya didinginkan lalu ditambahkan 20 ml air destilata, pH diatur menjadi
1.5 dengan HCl 0,1 N dan elektroda dibersihkan dengan beberapa ml air.
Kemudian ditambahkan pepsin 0,1 gram, ditutup dengan aluminium foil dan
diinkubasikan dalam penangas air bergoyang pada suhu 40 oC selama 1 jam. Lalu
ditambahkan 20 ml air destilata dan diatur pH nya menjadi 6.8 dengan NaOH,
elektroda dibersihkan dengan 5 ml air. Selanjutnya ditambahkan 0,1 gram
pankreatin, kemudian labu ditutup dengan aluminium foil dan diinkubasi dalam
penangas air bergoyang pada suhu 40 oC selama 1 jam, pH diatur menjadi 4.5
dengan HCl 0,1 N. Kemudian disaring dengan crucible, dicuci dengan 2 x 10 ml
air destilata.
Serat Pangan Tidak Larut (Residu / IDF) :
Residu dalam crucible dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 90 % dan 2 x 10 ml
aseton. Crucible dikeringkan pada suhu 105 oC sampai bobot tetap dan ditimbang
setelah didinginkan dalam desikator ( D1 ). Kemudian diabukan pada suhu
550 oC selama kurang lebih 5 jam serta ditimbang setelah pendinginan dalam
desikator ( I 1)
Serat Pangan Larut (Filtrat/SDF) :
Volume filtrate diatur dan dicuci dengan air sampai 100 ml kemudian
ditambahkan 400 ml etanol 95 % hangat (60 oC) dan dibiarkan presipitasi selama
60 menit (waktu dapat diperpendek). Lalu disaring dengan crucible yang kering
(porositas 2) yang mengandung 0,5 gram celite, selanjutnya dicuci berturut-turut
dengan 2 x 10 ml etanol 78 %, 2 x 10 ml etanol 95 % dan 2 x 10 ml aseton.
Setelah itu filter gelas dikeringkan dalam oven suhu 105 oC sampai berat tetap
dan ditimbang setelah didinginkan dalam desikaotor (D 2), dan terakhir
35
diabukan pada suhu 550 oC selama kurang lebih 5 jam serta ditimbang setelah
pendinginan dalam desikator (I 2).
Dilakukan juga perhitungan serat blanko dengan menggunakan prosedur
seperti di atas tetapi tanpa menggunakan sample. Nilai blanko ini harus diperiksa
secara berkala dan bila enzim yang digunakan berasal dari batch baru.
Perhitungan :
IDF (%) = D1 – I 1 – B 1 x 100 % W
SDF (%) = D2 – I 2 – B 2 x 100 % W
TDF (%) = IDF + SDF
Keterangan :
W = berat sample (gram) D = berat setelah pengeringan (gram) I = berat setelah pengabuan (gram) B = berat blanko bebas serat (gram)
Kadar Iodium
Salah satu cara penetapan kuantitatif untuk menetapkan kadar iodium dalam
bahan makanan adalah berdasarkan reduksi katalis ion Ce4+ (kuning) menjadi
Ce3+ (tidak berwarna). Metode ini terdiri dari 4 bagian yaitu pembuatan larutan
pereaksi, pembuatan kurva standar, persiapan contoh dan perhitungan kadar
iodium.
a. Pembuatan larutan pereaksi
1. Asam arsenit 0,02 N : sebanyak 0,986 gram arsen trioksida (As2O3)
dilarutkan dalam 10 ml NaOH 0,5 N dalam sebuah gelas piala dan
dipanaskan. Selanjutnya dimasukkan secara kuantitatif ke dalam labu takar
1 liter, diencerkan dengan 850 ml air suling dan ditambahkan 20 ml asam
klorida pekat dan 20,6 ml asam sulfat pekat, kemudian ditepatkan dengan
air suling sehingga 1 liter.
2. Seri ammonium sulfat 0,03 N : 48,6 ml asam sulfat pekat ditambahkan ke
dalam air suling dalam labu takar 1 liter. Kemudian tambahkan 20 gram
seri ammonium sulfat dan dilarutkan, ditepatkan hingga 1 liter.
36
3. Larutan pengabuan : sebanyak 212 gram natrium karbonat anhydrous dan
20 gram kalium hipoklorida dilarutkan di dalam 1 liter air suling.
4. Larutan standar indul iodium 4 ug/ml dibuat dengan melarutkan standar
kalium iodide di dalam air suling.
5. Standar kerja iodium : Larutan standar iodium dipipet ke dalam tabung
takar 100 ml masing-masing 1,2,3 dan 4 ml dan ditepatkan hingga tanda
garis. Larutkan ini sekarang mengandung 0,04; 0,08; 0,12 dan 0,16 ug
iodium/ml.
b. Pembuatan kurva standar
Sebanyak 5 ml masing-masing larutan standar kerja iodium 0; 0,04; 0,08;
0,12 dan 0,16 ug iodium/ml dipipet ke dalam tabung reaksi atau kuvet dan
direndam dalam penangas air bersuhu 37 oC. Setelah suhu 37 oC tercapai,
ditambahkan dengan 0,1 ml larutan seri ammonium sulfat ke dalam tabung.
Setelah 20 menit, reduksi seri kepada sero diukur dengan spektrofotometer dengan
panjang gelombang 420 nm. Dilakukan juga blanko tanpa sample atau standar.
Selanjutnya dibuat kurva hubungan konsentrasi (ug iodium/ml) versus serapan
masing-masing larutan standar.
c. Persiapan contoh
Sebanyak 5 gram contoh (mengandung 0,04 – 0,08 ug iodium) ditimbang ke
dalam tabung pyrex 22 x 200 mm (atau 15 x 125 mm) dan ditambahkan larutan
pembantu pengabuan 0,5 ml. Kemudian campuran tersebut dikeringkan dalam
oven pada suhu 105 – 110 oC selama + 2 jam. Selanjutnya tabung dipindahkan ke
dalam tanur lalu suhu dinaikkan perlahan-lahan dan contoh diabukan pada suhu
500 oC selama 4 – 6 jam. Tabung didinginkan, kemudian abu diekstrak dengan
menambahkan 10 ml larutan asam arsenit dan didiamkan selama + 15 menit.
Campuran diputarkan pada 200 rpm selama 20 menit dan sebanyak 5 ml
supernatan dipipet ke dalam tabung reaksi atau kuvet dan direndam dalam
penangas air bersuhu 37 oC. Setelah suhu 37 oC tercapai, ditambahkan dengan
pipet 1,0 ml larutan seri ammonium sulfat ke dalam tabung tepat setelah 20 menit,
reduksi seri kepada sero diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang
420 nm.
37
Perhitungan : Iodium (ug/100 gram) = C x V x 100 B Keterangan : C = konsentrasi larutan sample yang terbaca dari kurva standar dalam ug
iodium/ml V = volume ekstrak sample dalam ml (10 ml) B = berat sample dalam gram
3.7. Analisis Mikrobiologi Minuman Berserat Total Plate Count (TPC) (SNI 01-2339-1991)
Sebanyak 25 g contoh dan 225 ml larutan Butterfields phosphate buffered
steril dimasukkan dalam wadah blender steril atau plastic Stomacher dan
diblender selama 1 – 2 menit. Dengan menggunakan pipet steril pindahkan 1 ml
suspensi tersebut dan masukkan ke dalam larutan Butterfields phosphate buffered
steril untuk mendapatkan pengenceran 10 -2. Pengenceran selanjutnya (10 -3)
dengan mengambil 1 ml contoh dari pengenceran 10 -2. Dengan cara yang sama
lakukan pengenceran selanjutnya 10 -4, 10 -5, … sesuai dengan kebutuhan contoh.
Sebanyak 1 ml dipipet dari setiap pengenceran tersebut dan dimasukkan ke dalam
cawan petri steril serta dilakukan secara duplo untuk setiap pengenceran.
Selanjutnya ditambahkan 12 – 15 ml PCA yang sudah didinginkan sampai suhu
44 – 46 oC ke dalam masing-masing cawan yang sudah berisi larutan contoh. Agar
larutan contoh dan media PCA tercampur seluruhnya maka dilakukan pemutaran
cawan ke depan dan ke belakang. Kemudian hitung cawan-cawan yang
mempunyai jumlah koloni 25 – 250 dengan penghitung koloni atau Hand Tally
Counter. Koloni yang dihitung dalam batas 25 – 250.
3.8. Uji Organoleptik
Uji organoleptik yang dilakukan terhadap rumput laut hasil perendaman dan
tepung rumput laut adalah deskripsi produk yang hasilnya berupa lembar
penilaian (score sheet) dengan nilai 1 sampai 9. Untuk uji organoleptik minuman
berserat terdiri dari uji kesukaan (hedonik) dan uji perbandingan berpasangan.
Minuman berserat dibuat dengan melarutkan sebanyak 8 gram untuk masing-
38
masing formula ke dalam 230 ml air, sesuai dengan aturan penyajian pada
minuman berserat komersil. .
a. Uji kesukaan menggunakan angka 9 untuk nilai tertinggi dan 1 untuk nilai
terendah. Parameter uji meliputi rasa, aroma, kenampakan dan kekentalan.
Kriteria penilaian seperti pada Tabel 11.
Tabel 11. Penilaian Uji Kesukaan
Skala Hedonik Nilai
Amat sangat suka 9 Sangat suka 8 Suka 7 Agak suka 6 Netral 5 Agak tidak suka 4 Tidak suka 3 Sangat tidak suka 2 Amat sangat tidak suka 1
b. Uji perbandingan pasangan (Rahayu, 2001)
Formula terpilih kemudian dilakukan uji perbandingan pasangan dengan
produk komersial. Pada uji perbandingan pasangan, panelis melakukan
penilaian berdasarkan formulir isian (Lampiran 1) dengan memberikan angka
berdasarkan skala kelebihan, yaitu lebih baik atau lebih buruk. Penilaian uji
berpasangan berupa angka, yaitu -3 = sangat lebih buruk, -2 = lebih buruk,
-1 = agak lebih buruk, 0 = tidak berbeda, 1 = agak lebih baik, 2 = lebih baik,
3 = sangat lebih baik.
IV. Hasil dan Pembahasan
4.1. Media Perendam Rumput Laut
Rumput laut atau algae merupakan bagian terbesar dari tanaman laut.
Tanaman ini yang juga dikenal dengan nama seaweed adalah tanaman tingkat
rendah yang tidak memiliki perbedaan susunan kerangka seperti akar, batang dan
daun. Bentuk tanaman ini sebenarnya merupakan bentuk thallus dan tumbuh
tersebar hampir di seluruh perairan Indonesia.
Beberapa bahan pemutih/pemucat umumnya digunakan untuk memucatkan
rumput laut. Pada penelitian ini bahan pemucat yang digunakan sesuai dengan
persyaratan yang telah ditetapkan (food grade) dan sedikit mungkin menggunakan
bahan kimia. Jenis media yang digunakan untuk memucatkan rumput laut adalah
air tawar, larutan tepung beras 5 % dan larutan kapur tohor 0,5 %. Air tawar
merupakan media perendam alami dan hampir tidak ada dampak yang
ditimbulkan. Beberapa pigmen rumput laut dapat terpecah dan larut dalam air
tawar. Tepung beras dengan kandungan pati yang tinggi diharapkan dapat
menghilangkan bau amis dan memberikan warna yang bersih pada rumput laut.
Larutan kapur tohor 0,5 % adalah bahan kimia yang digunakan untuk
menghilangkan pigmen warna pada rumput laut. Menurut Angka dan Suhartono
(2000), untuk mendapatkan rumput laut yang tidak berwarna (cenderung putih
bersih) dapat dilakukan proses pemucatan yaitu perendaman dalam larutan
pemutih/pemucat. Larutan pemucat yang digunakan adalah larutan kaporit
(Ca(OCl)2) 0,25 %, larutan kapur tohor (CaO) 0,50 % atau Natrium hipoklorit
(Na(OCl)) 0,25%. Penggunaan bahan pemucat yang mengandung senyawa
khlorin (Cl2, Ca(OCl)2 dan Na(OCl)) telah lama digunakan di Indonesia. Prosedur
ini masih disetujui oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO/WHO) dan
negara importir seperti Amerika Serikat dan Jepang. Namun di Uni Eropa (UE)
penggunaan senyawa khlorin untuk desinfektan dan produk perikanan sudah tidak
diperkenankan, sesuai ketentuan Council Directive No. 80/778/EEC karena
dinilai bersifat karsinogenik yang berbahaya bagi kesehatan manusia (BPPMHP,
2005). Kapur tohor merupakan bahan yang bersifat reaktif dengan air. Reaksi CaO
dengan air membentuk Ca(OH)2 merupakan reaksi eksoterm yang akan
40
melepaskan kalor dan menghasilkan bahan yang berbentuk serbuk putih (Chang
dan Tikkanen, 1988). Perlakuan perendaman yang diberikan pada penelitian ini
berbeda untuk masing-masing rumput laut tetapi tetap menggunakan media yang
sama. Melalui proses perendaman akan didapatkan rumput laut yang memiliki
kenampakan (warna) putih, tidak berbau dan tekstur yang padat, sehingga tepung
rumput laut yang dihasilkan siap diolah menjadi produk lanjutan yang memiliki
nilai tambah (value added product). Lembar penilaian (score sheet) untuk
masing-masing jenis rumput laut ada dalam Lampiran 2, 3 dan 4.
4.1.1. Media Perendam Rumput Laut Eucheuma cottonii
Bahan baku rumput laut yang digunakan pada penelitian ini adalah rumput
laut kering tawar yang dibeli dari petani rumput laut di kepulauan seribu. Rumput
laut ini sebelumnya sudah mengalami perlakuan sehingga didapat rumput laut
kering tawar dengan warna kuning pucat (Gambar 7 b).
(a) (b)
Gambar 7. RL Eucheuma cottonii kering asin (a) dan setelah fermentasi (b).
Selanjutnya dilakukan perlakuan penelitian yaitu untuk mendapatkan rumput
laut yang memiliki kenampakan (warna) putih, tidak berbau amis, tekstur yang
tidak lembek. Media perendam yang digunakan yaitu air tawar selama 9 jam
(perlakuan A), larutan tepung beras 5 % selama 9 jam (perlakuan B) dan air tawar
9 jam kemudian larutan kapur tohor 0,5 % selama 10 menit (perlakuan C). Rata-
rata penilaian panelis terhadap rumput laut hasil perendaman disajikan pada
Tabel 12.
41
Tabel 12. Nilai rata-rata RL Eucheuma cottonii dalam media perendam
Media Perendam Parameter Nilai Deskripsi
Air tawar Kenampakan Bau Tekstur
7,0
6,5 7,3
Bersih, kurang transparan, warna putih kekuningan tidak merata, agak cemerlang. Segar, sedikit agak amis Thalus padat, agak liat, agak mudah patah
Tepung Beras Kenampakan Bau Tekstur
6,2
4,6 6,7
Bersih, tidak transparan, warna putih kekuningan, agak kusam Kurang segar, sedikit bau tambahan Thalus agak lunak, agak mudah patah
Air tawar 9 jam, Kapur tohor 0,5 % 10 menit
Kenampakan Bau Tekstur
7,3
3,4 7,2
Bersih, kurang transparan, warna putih kekuningan tidak merata, agak cemerlang. Kurang segar, sedikit bau tambahan Thalus padat, agak liat, agak mudah patah
Hasil analisis ragam memberikan hasil berbeda nyata terhadap kenampakan
rumput laut. Uji lanjut menunjukkan bahwa perlakuan A tidak berbeda nyata
dengan perlakuan C, tetapi kedua perlakuan tersebut berbeda dengan perlakuan B
(Lampiran 5). Kenampakan yang paling baik adalah pada perlakuan C tetapi
masih dalam nilai yang sama pada lembar penilaian (Tabel 12) dengan rumput
laut perlakuan A.
Hasil analisis ragam bau rumput laut memberikan hasil berbeda nyata
terhadap semua media perendam (Lampiran 6). Uji lanjut yang dilakukan
menyatakan masing-masing perlakuan berbeda nyata, nilai tertinggi ada pada
rumput laut perlakuan A. Pada perlakuan A bau amis masih ada walaupun hanya
sedikit, sedangkan pada perlakuan B dan C tercium bau tambahan yang kurang
enak, hal ini kemungkinan karena adanya residu tepung beras dan kapur tohor
yang terserap oleh thallus-thallus rumput laut.
Hasil analisis tekstur rumput laut hasil perendaman menunjukkan adanya
beda nyata (Lampiran 7). Uji lanjut menyatakan perlakuan A tidak berbeda
dengan perlakuan C tetapi keduanya berbeda dengan perlakuan B. Nilai tertinggi
42
ada pada rumput laut perlakuan A, tetapi perlakuan A dan C berada pada kisaran
nilai yang sama pada lembaran nilai (Tabel 12).
Berdasarkan nilai pada lembar penilaian (Tabel 12), maka perlakuan A
merupakan perlakuan yang terbaik (Gambar 8), sehingga perlakuan yang akan
dilanjutkan untuk penelitian tahap berikutnya adalah perlakuan A. Selanjutnya
dilakukan analisa terhadap kandungan nutrisinya. Nilai kadar air rumput laut
perlakuan A adalah 93,1 %, selengkapnya tersaji pada Tabel 13.
Tabel 13. Komposisi kimia RL Eucheuma cottonii (perlakuan A)
Komponen Jumlah
Kadar abu (%, bk) Kadar lemak (%, bk) Kadar protein (%, bk) Karbohidrat (%, bk) Serat pangan larut (%, bb) Serat pangan tidak larut (%, bb) Serat pangan total (%, bb) Iodium (ug/g, bk)
18 3,39 0,43 75,36 5,75 3,87 9,62 38,94
Gambar 8. RL Eucheuma cottonii hasil perendaman terbaik (perlakuan A).
4.1.2. Media Perendam Rumput Laut Glacilaria sp
Rumput laut jenis Glacilaria sp yang digunakan pada penelitian ini
didapatkan dari petani rumput laut di Kepulauan Seribu. Rumput laut yang dibeli
dalam keadaan kering asin, artinya untuk rumput laut jenis ini tidak ada perlakuan
yang diberikan setelah panen (Gambar 9b). Setelah panen rumput laut hanya
dicuci saja untuk menghilangkan kotoran ataupun lumpur yang terbawa saat
43
panen, kemudian dijemur sampai kering. Bentuk thallusnya yang kecil
menyebabkan banyak lumpur dan kotoran yang terbawa saat panen sehingga
pencucian harus dilakukan sampai benar-benar bersih. Rumput laut kering masih
memiliki warna ungu kemerahan yang merupakan ciri rumput laut merah
(Gambar 9a).
Rumput laut Glacilaria sp mempunyai pigmen hijau kemerahan. Warna ini
disebabkan oleh klorofil, karoten dan biliprotein. Senyawa biliprotein berada
dalam bentuk fikosianin dan fikoritrin (Goodwin, 1974). Pada penelitian ini
proses pemucatan dilakukan dengan perlakuan perendaman, yaitu dalam air tawar
9 jam (perlakuan D), larutan tepung beras 9 jam (perlakuan E), dan air tawar 2
jam kemudian larutan kapur tohor 0,5 % selama 10 menit dan dikeringkan
(perlakuan F). Penggunaan selanjutnya rumput laut direndam kembali dalam air
tawar selama 7 jam untuk menghilangkan dan menetralkan bau kapur.
(a) (b)
Gambar 9. RL Glacilaria sp segar (a) dan kering asin (b)
Pigmen warna pada rumput laut Glacilaria sp sangat kuat sehingga tidak
dapat larut dalam air tawar maupun larutan tepung beras. Perendaman dalam
larutan kapur tohor 0,5 % selama 10 menit dapat melunturkan pigmen merah
keunguan pada rumput laut tetapi pigmen hijau masih kuat, sehingga dilakukan
penjemuran untuk menghilangkan warna hijau, setelah kering warna yang
dihasilkan adalah krem pucat (Gambar 10). Rata-rata penilaian panelis terhadap
rumput laut hasil perendaman disajikan pada Tabel 14.
44
Gambar 10. RL Glacilaria sp hasil perendaman terbaik (perlakuan F).
Tabel 14. Nilai rata-rata RL Glacilaria sp dalam media perendam Media perendaman Parameter Nilai Deskripsi
Air tawar Kenampakan Bau Tekstur
5,2
4,9
6,7
Kurang bersih, tidak transparan, warna ungu kehijauan, agak kusam Kurang segar, amis cukup dominan Thalus padat, agak liat, agak mudah patah
Tepung Beras Kenampakan Bau Tekstur
5,5
5,2
6,8
Bersih, tidak transparan, warna putih ungu kehijauan, tidak merata, agak kusam Kurang segar, amis cukup dominan Thalus padat, agak liat, agak mudah patah
Air tawar 2 jam Kapur tohor 0,5 % 10 menit, keringkan, rendam air tawar 7 jam
Kenampakan Bau Tekstur
7,8
6,1 7,0
Bersih, transparan, warna putih krem tidak merata, cemerlang Segar, sedikit agak amis Thalus padat, agak liat, agak mudah patah
Hasil analisis ragam terhadap kenampakan rumput laut memberikan hasil
berbeda nyata (Lampiran 8). Uji lanjut menunjukkan bahwa perlakuan F berbeda
nyata dengan perlakuan D dan E, sedangkan perlakuan D tidak berbeda dengan
perlakuan E. Perlakuan F merupakan perlakuan terbaik yang memberikan nilai
kenampakan 7,8 pada lembar penilaian (Tabel 14). Senyawa yang menyebabkan
warna secara umum merupakan komponen organik yang memiliki ikatan rangkap
45
berganti-ganti. Dekolorisasi dapat dilakukan dengan menghancurkan satu atau
lebih ikatan ganda dalam sistem konyugasi dengan reaksi adisi pada ikatan ganda
atau hasil pemutusannya. Kapur tohor yang digunakan pada perendaman
mengakibatkan terpecahnya komponen penyusun warna, dan proses penjemuran
diduga menyempurnakan pemucatan. Eskin et.al (1971) menyatakan bahwa
pengoksidasian lebih lanjut diduga akan menghasilkan pemecahan cincin isosiklik
pada klorofil secara sempurna. Pemotongan dapat berlangsung secara cepat yang
menghasilkan sejumlah besar kehilangan warna dan senyawa yang mempunyai
berat molekul rendah. Sejalan dengan penurunan jumlah klorofil, kandungan
karotenpun akan menurun.
Analisis ragam bau rumput laut memberikan hasil berbeda nyata terhadap
perlakuan media perendam (Lampiran 9). Uji lanjut menunjukkan bahwa
perlakuan F berbeda dengan perlakuan D dan E, sedangkan perlakuan D dan E
tidak berbeda. Bau amis yang masih menyengat merupakan salah satu faktor
penting yang harus diperhatikan, karena untuk penggunaan selanjutnya dapat
mempengaruhi produk yang dihasilkan. Produk dengan bau yang kurang disukai
akan mempengaruhi selera makan.
Hasil analisis ragam terhadap tekstur rumput laut memberikan hasil tidak
berbeda antara 3 perlakuan media perendam (Lampiran 10). Rumput laut memiliki
thalus padat (tidak mudah hancur), agak liat dan agak mudah patah. Berdasarkan
hasil analisis tersebut, rumput laut dengan perlakuan F memiliki nilai yang paling
baik. Selanjutnya dilakukan analisis sifat kimia meliputi proksimat, karbohidrat,
kadar serat dan iodium. Kadar air rumput laut hasil perendaman adalah 89,91 %,
komposisi kimia lainnya dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Komposisi kimia RL Glacilaria sp (perlakuan F)
Komponen Jumlah
Kadar abu (%, bk) Kadar lemak (%, bk) Kadar protein (%, bk) Karbohidrat (%, bk) Serat pangan larut (%, bb) Serat pangan tidak larut (%, bb) Serat pangan total (%, bb) Iodium (ug/g, bk)
8,09 11,05 0,31 79,08 5,83 3,93 9,76 29,94
46
4.1.3. Media Perendam Rumput Laut Sargassum sp
Rumput laut Sargassum sp diperoleh dari perairan Binuangeun (Kabupaten
Lebak, Propinsi Banten). Rumput laut coklat ini dibeli dari petani rumput laut
dalam keadaan kering asin, artinya setelah panen rumput laut dicuci dengan air
tawar berkali-kali hingga bersih, setelah itu ditiriskan dan dijemur sampai kering
(Gambar 11b).
Pada tahap selanjutnya dilakukan perendaman dan pemucatan untuk
mendapatkan rumput laut yang siap diolah menjadi tepung rumput laut.
Perendaman dilakukan dalam beberapa jenis media, yaitu air tawar 9 jam
(perlakuan G), larutan tepung beras 9 jam (perlakuan H), air tawar 9 jam
kemudian larutan kapur tohor 0,5 % selama 10 menit (perlakuan I). Tabel 16
menunjukkan nilai rata-rata Sargassum sp untuk masing-masing media perendam.
(a) (b)
Gambar 11. RL Sargassum sp segar (a) dan kering (b).
Hasil analisis ragam kenampakan rumput laut menunjukkan berbeda nyata
terhadap perlakuan yang diberikan. Uji lanjut yang diperoleh menyatakan bahwa
masing-masing perlakuan berbeda nyata (Lampiran 11). Nilai kenampakan paling
tinggi ada pada rumput laut yang direndam dalam air tawar selama 9 jam
(perlakuan G) (Gambar 12). Perlakuan yang diberikan pada rumput laut coklat ini
tidak menghasilkan rumput laut dengan kenampakan (warna) putih, tetapi tetap
dengan warna aslinya yaitu coklat. Berbeda dengan pigmen algae merah, pigmen
algae coklat tidak mudah terhidrolisis sehingga tidak terjadi pemucatan saat
perendaman. Pada perendaman dengan kapur tohor terjadi perubahan warna yang
47
semakin gelap (coklat tua) dari warna aslinya (coklat muda cemerlang).
Perendaman dengan larutan tepung beras memberikan warna yang agak redup
(kusam). Rumput laut coklat berbeda dari jenis rumput laut lainnya dalam hal
kandungan pigmen dan kimianya. Menurut Indriani dan Suminarsih (2003),
Sargassum sp mengandung pigmen klorofil a dan c, beta karotin, violasantin dan
fukosantin, pirenoid dan filakoid (lembaran fotosintesis). Yunizal (2004)
menyatakan bahwa keberadaan pigmen fukosantin pada rumput laut coklat
menutupi pigmen lainnya dan memberikan warna coklat yang sangat dominan.
Tabel 16. Nilai rata-rata RL Sargassum sp dalam media perendam
Media perendaman Parameter Nilai Deskripsi
Air tawar Kenampakan Bau Tekstur
7,8
6,8 7,2
Bersih, coklat muda tidak merata, cemerlang Segar, bau spesifik jenis Thalus padat, agak liat, agak mudah patah
Tepung Beras Kenampakan Bau Tekstur
6,2
6,0 7,0
Bersih, coklat tua, tidak merata, agak kusam Segar, sedikit agak amis Thalus padat, agak liat, agak mudah patah
Air tawar 9 jam Kapur tohor 0,5 % 10 menit
Kenampakan Bau Tekstur
5,7
3,6
7,2
Bersih, coklat tua, tidak merata, agak kusam Kurang segar, sedikit bau tambahan Thalus padat, agak liat, agak mudah patah
Analisis ragam bau rumput laut memberikan hasil berbeda nyata. Uji lanjut
menunjukkan bahwa masing-masing perlakuan media perendam berbeda nyata
(Lampiran 12). Nilai paling baik adalah rumput laut dengan media perendam air
tawar selama 9 jam (perlakuan G), kemudian perlakuan H selanjutnya adalah
perlakuan I. Bau yang khas (seperti bau daun teh) masih tercium terutama pada
perlakuan G. Pada perlakuan H dan I ada tercium bau lain seperti bau tepung dan
bau kapur. Analisis ragam terhadap tekstur memberikan hasil tidak berbeda nyata
(lampiran 13). Ketiga perlakuan memiliki tekstur yang cenderung sama yaitu
thallus padat, agak liat dan agak mudah patah. Berdasarkan data yang didapat
48
(Tabel 16) maka untuk tahap selanjutnya rumput laut dengan media perendam air
tawar selama 9 jam akan dilanjutkan menjadi tepung rumput laut..
Gambar 12. RL Sargassum sp hasil perendaman terbaik (perlakuan G).
Komposisi kimia rumput laut coklat sangat bervariasi, tergantung pada jenis
(spesies), masa perkembangannya dan kondisi tempat tumbuhnya. Kadar air
rumput laut hasil perendaman adalah 88,88 %, komposisi selengkapnya dapat
dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Komposisi kimia RL Sargassum sp (perlakuan G)
Komponen Jumlah
Kadar abu (%, bk) Kadar lemak (%, bk) Kadar protein (%, bk) Karbohidrat (%, bk) Serat pangan larut (%, bb) Serat pangan tidak larut (%, bb) Serat pangan total (%, bb) Iodium (ug/g, bk)
16,03 9,26 0,45 74,28 7,33 4,46 11,79 26,95
49
4.2. Sifat fisik-kimia Tepung Rumput Laut
Penelitian tahap 2 bertujuan untuk mengkaji sifat fisik-kimia tepung rumput
laut. Masing-masing jenis rumput laut hasil perendaman terbaik selanjutnya
diproses menjadi tepung rumput laut. Tahapan yang dilakukan adalah pencucian,
perendaman, penghancuran, pengeringan, penepungan dan pengayakan. Rumput
laut Eucheuma cottonii, Sargassum sp, dan Glacilaria sp kering dicuci dan
dibersihkan dengan air mengalir, untuk menghilangkan kotoran dan benda asing
yang masih menempel pada rumput laut. Selanjutnya direndam dalam media
perendam yang terbaik untuk masing-masing jenis rumput laut hasil dari
penelitian tahap 1 dan ditirisksn. Tahap berikut adalah penghancuran
menggunakan grinder, kemudian pengeringan rumput laut dengan oven. Suhu
pengeringan yang diberikan adalah 50 oC dan 70 oC. Selama pengeringan
dilakukan pengadukan agar proses pengeringan berlangsung sempurna. Pemilihan
suhu pengering didasarkan pada suhu yang terlalu tinggi dapat merusak komposisi
kimia dan unsur penting yang dikandung rumput laut, sedangkan suhu yang
rendah akan memerlukan waktu yang lama sehingga kemungkinan akan terjadi
reaksi mailard (browning). Selanjutnya tahap penepungan (penggilingan). Alat
penepung yang digunakan pada penelitian ini adalah alat penepung modifikasi
selanjutnya dihaluskan dengan blender kering. Tahap terakhir yaitu pengayakan
dengan saringan berukuran 48 dan dimasukkan dalam wadah tertutup selanjutnya
dianalisis sifat fisiko-kimianya. Tepung rumput laut Eucheuma cottonii,
Glacilaria sp, dan Sargassum sp dapat dilihat pada Gambar 13..
Analisis yang dilakukan pada masing-masing jenis tepung rumput laut yaitu
analisis Rendemen, pH, viskositas, kelarutan, titik jendal, titik leleh, kadar air,
kadar abu, kadar protein, karbohidrat, kandungan serat pangan (serat pangan larut
/SDF, serat pangan tak larut /IDF dan total serat pangan/TDF), iodium dan
organoleptik (score sheet) meliputi kenampakan, bau dan tekstur.
50
TRL Eucheuma cottonii TRL Glacilaria sp TRL Sargassum sp
Gambar 13. Tiga Jenis Tepung Rumput Laut.
4.2.1. Rendemen
Rendemen merupakan prosentase antara produk akhir (tepung rumput laut)
dengan produk awal (rumput laut hasil perendaman). Untuk mengetahui nilai
ekonomis suatu produk, salah satu parameter yang dapat digunakan adalah
rendemen. Semakin tinggi rendeman suatu produk maka nilai ekonomisnya akan
meningkat.
Gambar 14 menyajikan rendemen yang dihasilkan pada penelitian ini. Salah
satu tahap yang menentukan dalam pengolahan tepung rumput laut adalah pada
proses penepungan. Proses penepungan memerlukan mesin penepung yang
mampu menggerus (menghaluskan) thallus kering rumput laut. Kandungan serat
yang tinggi dan kadar air yang rendah menyebabkan thallus sangat liat dan sukar
dihancurkan. Kendala yang dihadapi pada penelitian ini yaitu peralatan
penepungan yang kurang memadai. Proses penepungan dilanjutkan dengan alat
51
blender kering tetapi tidak dapat mencapai hasil yang maksimal karena tidak
semua rumput laut kering habis dihancurkan. Hal ini karena pemblenderan yang
berulang-ulang dapat merusak komposisi kimia dari tepung rumput laut. Menurut
Voigt (1995), pemilihan jenis peralatan penghalus atau penggilingan tergantung
dari jumlah material dan sifat-sifat fisiknya (kekerasan, elastisitas, kerapuhan,
lengket dan sebagainya), ukuran awal dari bahan yang digiling serta ukuran
produk yang diinginkan.
Gambar 14. Rendemen Tepung Rumput Laut (%).
Berdasarkan data yang dihasilkan, analisis ragam yang dilakukan
menyatakan untuk rendemen tepung rumput laut Eucheuma cottonii berbeda
nyata antara 2 perlakuan suhu pengeringan (Lampiran 14). Hasil terbaik adalah
pada perlakuan suhu 70 oC dengan rendemen sebesar 8,33 % sedangkan pada suhu
pengeringan 50 oC adalah 8,01 %. Analisis terhadap rendemen tepung rumput
laut Glacilaria sp menyatakan tidak berbeda nyata (Lampiran 15), sedangkan
untuk rendemen tepung rumput laut Sargassum sp berbeda sangat nyata antara 2
perlakuan suhu pengeringan. Suhu pengeringan yang terbaik yaitu 70 oC dengan
hasil rendemen sebanyak 7,94 % (Lampiran 16).
4.2.2. pH
Pengukuran nilai pH 3 jenis tepung rumput laut pada penelitian ini adalah
antara 6,45 sampai 7,74 (Gambar 15). Menurut Gaman dan Sherrington (1992),
8,01 7,94
7,14
8,338,12
7,94
6,46,66,8
77,27,47,67,8
88,28,48,6
Eucheuma Glacilaria sp Sargassum spJenis Tepung Rumput Laut
Ren
dem
en (%
)
Suhu 50 oC Suhu 70 oC
52
jika konsentrasi ion hydrogen bertambah maka pH nya akan turun. Pertumbuhan
mikroorganisme pembusuk dapat dikontrol dengan cara menurunkan pH pangan.
pH juga dapat digunakan sebagai indikator perubahan warna pada bahan pangan.
Gambar 15. pH Tepung Rumput Laut.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa suhu pengeringan tidak berbeda
nyata terhadap pH tepung rumput laut Eucheuma cottonii dan Glacilaria sp
(Lampiran 17 dan 18), tetapi berbeda nyata terhadap pH tepung rumput laut
Sargassum sp (Lampiran 19). Berdasarkan tingkat keasaman, ketiga jenis tepung
rumput laut ini termasuk pada pangan berasam rendah (pH > 4,5).
4.2.3. Viskositas
Viskositas adalah pengukuran daya tahan/hambatan suatu larutan untuk
mengalir. Meskipun molekul-molekul dalam larutan berada dalam pergerakan
acak yang konstan, tetapi kecepatannya pada arah tertentu bernilai nol, kecuali
jika diberikan suatu gaya yang menyebabkan suatu larutan dapat mengalir. Gaya
yang cukup besar yang diperlukan untuk dapat membuat suatu larutan mengalir
pada kecepatan tertentu berhubungan dengan viskositas suatu larutan. Aliran
terjadi pada saat molekul suatu larutan saling menyalip satu sama lain dengan
kecepatan tertentu serta pada bidang tertentu pula (Toledo, 1991).
Uji viskositas dilakukan pada konsentrasi tepung 5 % dan suhu 50 oC,
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 18 berikut ini.
7,11 7,13
7,74
6,45
7,57
7,22
5,5
6
6,5
7
7,5
8
E. cottonii Glacilaria sp Sargassum spJenis Tepung Rumput Laut
pH
Suhu 50 οC Suhu 70 oC
53
Tabel 18. Viskositas Tepung Rumput Laut (centipoises) pada konsentrasi 5 % suhu 50 oC
Tepung rumput laut Suhu pengeringan 50 oC Suhu pengeringan 70 oC
Eucheuma cottonii 5080,36 4970,40 Glacilaria sp 18,58 20,89 Sargassum sp 0,997 3,42
Berdasarkan data hasil penelitian, analisis yang dilakukan menunjukkan
bahwa untuk viskositas tepung rumput laut Eucheuma cottonii berbeda nyata
antara dua perlakuan suhu pengeringan. Hasil pengukuran yang diperoleh
menyatakan perlakuan yang terbaik adalah pengeringan pada suhu 50 oC, dengan
nilai viskositas 5080,36 cps (Lampiran 20). Eucheuma cottonii adalah salah satu
jenis algae merah yang menghasilkan karagenan. Viskositas karagenen
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu konsentrasi, temperatur, tingkat dispersi,
kandungan sulfat, inti elektrik, keberadaan elektrolit dan non elektrolit, teknik
perlakuan, serta tipe dan berat molekul karagenan. Viskositas larutan karagenan
akan menurun dengan adanya peningkatan suhu sehingga terjadi depolimerisasi
yang kemudian dilanjutkan dengan degradasi karagenan. Untuk menghindari
terjadinya degradasi karagenan akibat pemanasan, maka diusahakan agar polimer
hidrokoloid lebih stabil dengan cara pengaturan pH (Towle, 1973). Menurut
Guiseley et.al. (1980) untuk menghindari terjadinya degradsi maka pemanasan
dapat dilakukan pada atau mendekati kondisi yang mempunyai kestabilan
optimum yaitu pada pH 9. Pada penelitian ini nilai viskositas tepung dengan suhu
pengeringan 70 oC lebih rendah daripada viskositas tepung yang dikeringkan pada
suhu 50 oC. Hal ini kemungkinan disebabkan perlakuan suhu pengeringan yang
berbeda dan pH tepung yang dihasilkan. pH tepung rumput laut yang dikeringkan
pada suhu 70 oC adalah 6,45 sedangkan pada suhu 50 oC adalah 7,11, sehingga
adanya perbedaan nilai viskositas kemungkinan disebabkan oleh pengaruh kadar
air dan pH tepung.
Analisis ragam terhadap viskositas tepung rumput laut Glacilaria sp
menunjukkan hasil tidak berbeda nyata antara dua perlakuan suhu pengeringan
(Lampiran 21). Glacilaria sp disebut juga sebagai agarose karena merupakan
algae penghasil agar-agar. Menurut Furia (1980) dalam Suwandi et.al. (2002),
besarnya viskositas larutan agar-agar bervariasi menurut suhu dan pH, tetapi
54
mendekati konstan pada selang pH 4,5 sampai 9,0. Winarno (1990)
menambahkan bahwa dalam kisaran pH tersebut, larutan dengan konsentrasi 1 %
dan 5 % pada suhu 45 oC mempunyai viskositas antara 2 – 10 centipoise.
Viskositas tepung rumput laut Glacilaria sp pada penelitian ini adalah 18,58 dan
20,89 cps pada suhu 50 oC dan 70 oC. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh
beberapa faktor diantaranya asal bahan baku yang berbeda, umur panen, maupun
alat uji yang digunakan.
Untuk tepung rumput laut Sargassum sp, hasil analisis sidik ragam
menunjukkan bahwa suhu pengeringan berbeda nyata terhadap viskositasnya.
Nilai tertinggi ditunjukkan pada perlakuan suhu pengeringan 70 oC yaitu 3,42 cps
(Lampiran 22). Tepung ini berbeda dengan 2 jenis tepung lainnya. Tepung rumput
laut Sargassum sp yang dikeringkan pada suhu 70 oC membentuk larutan yang
lebih homogen daripada tepung yang dikeringkan pada suhu 50 oC. Tepung yang
dikeringkan pada suhu 50 oC, tidak membentuk larutan homogen, ada 2 lapisan
yang terbentuk yaitu cairan yang berwarna coklat dan endapan tepung hal ini
terlihat dari rendahnya nilai viskositasnya.
Tepung rumput laut Sargassum sp berbeda dengan 2 jenis tepung lainnya.
Tepung Sargassum sp tidak menghasilkan larutan yang homogen dan mengental
pada konsentrasi 5 % suhu 50 oC. Kekentalan dan kemampuan tepung rumput
laut membentuk larutan yang homogen akan mempengaruhi produk lanjutan yang
akan diproduksi, misalnya minuman berserat. Hal ini karena diharapkan tepung
rumput laut akan larut sempurna dalam air.
4.2.4. Titik Jendal dan Titik Leleh.
Titik jendal dan titik leleh yang diamati pada penelitian ini untuk
mengetahui kemampuan pembentukan gel tepung rumput laut. Menurut Gliksman
(1969), proses pembentukan gel bersifat reversible, artinya gel mencair pada
pemanasan dan cairan membentuk gel kembali pada pendinginan. Fardiaz (1989)
menyatakan pembentukan gel adalah suatu fenomena atau pengikatan silang
rantai-rantai polimer sehingga membentuk suatu jala tiga dimensi bersambungan.
Selanjutnya jala ini dapat menangkap atau mengimobolisasikan air di dalamnya
dan membentuk struktur yang kuat dan kaku.
55
Uji titik jendal dan titik leleh yang dilakukan terhadap 3 jenis tepung rumput
laut yang dikeringkan pada suhu 50 oC dan 70 oC, memberikan hasil yaitu hanya
tepung rumput laut Eucheuma cottonii yang dapat membentuk gel. Tepung
rumput laut Eucheuma cottonii yang dikeringkan pada suhu 50 oC memiliki titik
jendal 34 oC dan titik leleh 75 oC. Sedangkan Eucheuma cottonii yang
dikeringkan pada suhu 70 oC memiliki titik jendal 32 oC dan titik leleh 70 oC.
Semakin tinggi titik jendal maka semakin tinggi pula titik lelehnya. Eucheuma
cottonii adalah rumput laut penghasil karagenan yang mempunyai kemampuan
membentuk gel yang tinggi. Sifat pembentukan gel ini beragam dari satu jenis
hydrocolloid ke jenis lain, tergantung pada jenisnya (Fardiaz, 1989).
Pembentukan gel ini terjadi diperkirakan karena terbentuknya struktur doble
helix. Pada saat larutan dalam keadaan panas, rantai polimer membentuk formasi
koil secara acak. Pada saat pendinginan, formasi berubah menjadi doble helix
membentuk ikatan silang seperti jala atau jaring secara kontinyu. Pada
pendinginan selanjutnya polimer saling berikatan membentuk gel yang kuat.
Berbeda dengan tepung rumput laut Eucheuma cottonii, tepung rumput laut
Glacilaria sp tidak dapat menjendal tetapi membentuk larutan kental yang
homogen, walaupun hasil ekstraksi dari Glacilaria adalah agarosa yang
merupakan senyawa hydrocolloid dengan kemampuan membentuk gel yang
tinggi. Tidak terbentuknya gel pada tepung rumput laut Glacilaria sp
kemungkinan suhu pemanasan yang kurang, sehingga tidak terbentuk formasi
koil acak yang akan membentuk struktur doble helix yang mengikat rantai
molekul menjadi bentuk jaringan 3 dimensi atau gel setelah pendinginan.
Tepung rumput laut Sargassum sp juga tidak dapat membentuk gel sehingga
tidak dihasilkan titik jendal dan titik leleh. Butir–butir tepung rumput laut terlihat
terpisah dengan air sehingga larutan tidak homogen. Warna tepung rumput laut
terhidrolisis dalam air sehingga larutan berwarna coklat seperti warna tepungnya.
4.2.5. Kelarutan
Data hasil pengukuran kelarutan 3 jenis tepung rumput laut disajikan
pada Gambar 16.
56
Gambar 16. Kelarutan Tepung Rumput Laut (%).
Berdasarkan data tersebut, kelarutan yang paling tinggi ada pada tepung
rumput laut Eucheuma cottonii yang dikeringkan pada suhu 70 oC yaitu 36,8 %
dan paling rendah adalah tepung rumput laut Glacilaria sp pada pengeringan 50 oC yaitu 15,03 %. Menurut Vogel (1978) kelarutan adalah jumlah zat yang dapat
dilarutkan dalam pelarutnya. Kelarutan tergantung pada suhu, tekanan,
konsentrasi bahan-bahan lain dalam larutan dan komposisi kelarutannya, serta
sifat dan konsentrasi zat-zat lain, terutama ion-ion dalam campuran tersebut.
Muchtadi et.al. (1993) menyatakan pelarut yang baik adalah air. Air melarutkan
berbagai senyawa organik yang mempunyai gugus karboksil atau asam amino
yang cenderung berionisasi oleh interaksinya dengan air.
Hasil analisis ragam kelarutan tepung rumput laut Eucheuma cottonii
menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata terhadap suhu pengeringan.
Dari hasil pengukuran yang diperoleh menyatakan bahwa perlakuan pengeringan
pada suhu 70 oC adalah yang terbaik nilai kelarutannya (Lampiran 23). Demikian
juga untuk kelarutan tepung rumput laut Glacilaria sp, analisis sidik ragam
menunjukkan hasil yang berbeda sangat nyata (Lampiran 24). Perlakuan suhu
pengeringan 70 oC adalah yang terbaik nilai kelarutannya dibanding nilai
perlakuan pengeringan pada suhu 50 oC. Analisis ragam kelarutan tepung rumput
laut Sargassum sp juga menyatakan perbedaan yang sangat nyata. Tepung dengan
suhu pengeringan 50 oC memiliki nilai kelarutan yang lebih tinggi (Lampiran 25).
27,6
15,03
26,96
36,8
18,01 18,21
0
5
10
15
20
25
30
35
40
E. cottonii Glacilaria sp Sargassum spJenis Tepung Rumput Laut
Kela
ruta
n (%
)
Suhu 50 oC Suhu 70 oC
57
Menurut Suardi (2002), kelarutan dalam air dipengaruhi oleh jenis komponen
kimia karbohidrat penyusunnya. Semakin tinggi kandungan polisakarida
khususnya polisakarida bukan pati dari bahan maka semakin rendah kelarutannya
dalam air dan sebaliknya. Hal ini karena polisakarida bukan pati sulit mengalami
hidrolisis dalam air. Bahan makanan yang memiliki kelarutan tinggi akan
memiliki kecernaan yang tinggi pula.
4.2.6. Kadar air
Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat
mempengaruhi kenampakan, tekstur serta cita rasa makanan. Kandungan air
dalam bahan makanan ikut menentukan acceptability, kesegaran, dan daya tahan
bahan tersebut (Winarno, 1997). Jenis tepung rumput laut Eucheuma cottonii
dengan suhu pengeringan 50 oC memiliki kadar air tertinggi, sedangkan kadar air
terendah ada pada jenis tepung rumput laut Sargassum sp pada suhu pengeringan
50oC . Hasil pengamatan kadar air 3 jenis tepung rumput laut yang dikeringkan
pada suhu berbeda disajikan pada Gambar 17.
Gambar 17. Kadar Air Tepung Rumput Laut (%).
Berdasarkan analisis sidik ragam, suhu pengeringan tidak berpengaruh
terhadap kadar air tepung rumput laut Eucheuma cottonii dan Glacilaria sp
(Lampiran 26 dan 27). Untuk tepung rumput laut Sargassum sp, analisis ragam
menunjukkan bahwa suhu pengeringan berbeda sangat nyata terhadap kadar
12,88
11,72
10,82
12,3411,9
11,65
9,5
10
10,5
11
11,5
12
12,5
13
13,5
E. cottonii Glacilaria sp Sargassum spJenis Tepung Rumput Laut
Kada
r Ai
r (%
)
Suhu 50 oC Suhu 70 oC
58
airnya (Lampiran 28), tepung dengan suhu pengeringan 70 oC memiliki kadar air
yang lebih tinggi.
Kandungan air dalam tepung rumput laut berpengaruh terhadap daya
simpannya. Semakin tinggi kandungan air tepung rumput laut maka akan semakin
mudah terserang mikroba selama penyimpanan. Menurut SNI 01-2802-1995
untuk produk Agar-agar tepung, syarat mutu kadar air maksimal adalah 17 %.
Sedangkan SNI 01-3451-1994 untuk produk tapioka, menyatakan bahwa syarat
kadar air yang harus dipenuhi untuk semua tingkat mutu (I, II, III) adalah
maksimal 15 % dan untuk tepung terigu kadar air maksimal yang ditetapkan
adalah 12 %. Kadar air ke 3 jenis tepung rumput laut yang didapatkan pada
penelitian ini berada pada kisaran 10,82 % sampai 12,88 %, artinya tidak
melebihi persyaratan mutu kadar air komoditas agar-agar tepung dan tepung
tapioka yang sudah ditetapkan walaupun masih diatas kadar air tepung terigu.
4.2.7. Kadar Abu
Kadar abu ke 3 jenis tepung rumput laut dapat dilihat pada Gambar 18.
Kadar abu tertinggi ada pada tepung rumput laut Sargassum sp dengan suhu
pengeringan 50 oC (15,83 %). Sedangkan tepung rumput laut dengan kadar abu
terendah adalah Glacilaria sp dengan suhu pengeringan 70 oC (5,7 %).
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, kadar abu ke 3 tepung rumput laut
tersebut tidak berbeda nyata antara 2 perlakuan suhu pengeringan (Lampiran 29,
30 dan 31). Menurut Winarno (1997), rumput laut kaya akan mineral dimana
unsur mineral dikenal juga sebagai kadar abu. Sehingga bila kadar abu tepung
rumput laut semakin tinggi maka kadar mineral yang terkandung didalamnya juga
tinggi. Tepung rumput laut Glacilaria sp memiliki kadar abu yang paling rendah,
hal ini kemungkinan karena banyak mineral yang rusak dan hilang selama proses
perlakuan baik pada saat pemucatan maupun pengeringan.
59
Gambar 18. Kadar Abu Tepung Rumput Laut (%).
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, kadar abu ke 3 tepung rumput laut
tersebut tidak berbeda nyata antara 2 perlakuan suhu pengeringan (Lampiran 29,
30 dan 31). Menurut Winarno (1997), rumput laut kaya akan mineral dimana
unsur mineral dikenal juga sebagai kadar abu. Sehingga bila kadar abu tepung
rumput laut semakin tinggi maka kadar mineral yang terkandung didalamnya juga
tinggi. Tepung rumput laut Glacilaria sp memiliki kadar abu yang paling rendah,
hal ini kemungkinan karena banyak mineral yang rusak dan hilang selama proses
perlakuan baik pada saat pemucatan maupun pengeringan.
4.2.8. Kadar Protein
Kandungan protein setiap rumput laut berbeda, tergantung jenis dan daerah
tumbuhnya. Beberapa rumput laut dengan jenis yang sama juga kadang berbeda
kandungan proteinnya. Hal ini disebabkan keadaan perairan tempat tumbuhnya
dan bibit rumput laut yang ditanam. Beberapa penelitian menyatakan bahwa
rumput laut memiliki kandungan nitrogen yang tinggi, namun masih belum jelas
mengenai daya larut dan daya cerna kandungan nitrogen tersebut. Kisaran kadar
protein yang dihasilkan pada penelitian ini yaitu 3,13 % – 10,51 % (Gambar 19).
14,18
6,32
15,8314,27
5,7
15,58
02468
1012141618
E. cottonii Glacilaria sp Sargassum spJenis Tepung Rumput Laut
Kad
ar A
bu (%
)
Suhu 50 oC Suhu 70 oC
60
Gambar 19. Kadar Protein Tepung Rumput Laut (%).
Kadar protein tepung rumput laut jenis Eucheuma cottonii pada suhu
pengeringan 50 oC dan 70 oC berturut-turut adalah 3,39 % dan 3,13 %. Hasil
analisis ragam menunjukkan bahwa kadar protein tidak beda nyata antara 2
perlakuan suhu pengeringan (Lampiran 32). Kadar protein yang dihasilkan pada
penelitian ini lebih kecil dibanding hasil yang dilaporkan oleh beberapa peneliti.
Hal ini disebabkan penggunaan bahan baku yang berbeda. Penelitian sebelumnya
menggunakan bahan baku segar yang baru dipanen sedangkan pada penelitian ini
digunakan bahan baku yang sudah mengalami proses pemucatan dan perendaman.
Selama proses perendaman, kemungkinan terjadi hidrolisa protein yang larut air
sehingga akan menurunkan kandungan proteinnya.
Tepung rumput laut jenis Glacilaria sp memiliki kadar protein 10,51 %
pada suhu pengeringan 50 oC dan 8,9 % pada suhu pengeringan 70 oC. Analisis
ragam dengan selang kepercayaan 95 % menunjukkan hasil berbeda sangat nyata
antara 2 perlakuan suhu pengeringan. Tepung dengan suhu pengeringan 50 oC
mempunyai nilai yang lebih tinggi (Lampiran 33). Desrosier dan Desrosier
(1977) dan Winarno (1997) menyatakan protein dapat terdenaturasi oleh proses
pemanasan sehingga akan merubah susunan molekulnya, hal ini dapat
menurunkan kandungan proteinnya. Hal ini sejalan dengan kadar air tepung
rumput laut Glacilaria sp yang dikeringkan pada suhu 50 oC yang lebih rendah
dari kadar air tepung rumput laut Glacilaria sp pada suhu pengeringan 70 oC.
3,39
10,51
8,8
3,13
8,9 8,85
0
2
4
6
8
10
12
E. Cottonii Glacilaria sp Sargassum spJenis Tepung Rumput Laut
Kada
r Pr
otei
n (%
)
Suhu 50 oC Suhu 70 oC
61
Desrosier dan Desrosier (1977) menyebutkan bahan pangan yang mengalami
pengeringan akan kehilangan air, hal ini dapat menyebabkan naiknya kadar
protein.
Kadar protein tepung rumput laut jenis Sargassum sp pada suhu
pengeringan yang berbeda yaitu 8,80 % dan 8,85 %. Berdasarkan hasil analisis
ragam yang dilakukan tidak berbeda antara ke 2 perlakuan suhu pengeringan
(Lampiran 34). Penelitian yang dilakukan oleh Chan et.al (1997), menyatakan
bahwa pengeringan Sargassum hemiphyllum dengan oven bersuhu 60 oC
mempunyai kadar protein 9,76 % dan kadar air 7,60%. Sedangkan Primahartini
(2005) melaporkan kadar protein tepung rumput laut Sargassum sp yang dipanen
dari Lampung Selatan adalah 5,77 % dan kadar air 15,59 %. Perbedaan ini
disebabkan sumber bahan baku dan perlakuan yang diberikan berbeda sehingga
hasil yang didapat juga berbeda.
4.2.9. Kadar Karbohidrat
Kisaran nilai kadar karbohidrat yang didapat pada penelitian ini adalah
64,21% - 73,78% (Gambar 20). Winarno (1990) menyebutkan komponen utama
dari rumput laut yang dapat digunakan sebagai bahan pangan adalah karbohidrat,
akan tetapi karena kandungan karbohidrat sebagian besar terdiri dari senyawa
gumi, maka hanya sebagian kecil saja dari kandungan karbohidrat tersebut yang
dapat diserap dalam pencernaan manusia.
Gambar 20. Kadar Karbohidrat Tepung Rumput Laut (%).
68,25
73,67
64,21
68,16
73,78
67,2
58606264666870727476
E. cottonii Glacilaria sp Sargassum spJenis Tepung Rumput Laut
Kad
ar K
arbo
hidr
at (%
)
Suhu 50 oC Suhu 70 oC
62
Analisis ragam yang dilakukan berdasarkan data yang diperoleh
menunjukkan bahwa kadar karbohidrat untuk tepung rumput laut Eucheuma
cottonii dan Glacilara sp tidak beda nyata (Lampiran 35 dan 36). Artinya
perlakuan suhu pengeringan tidak berpengaruh terhadap kadar karbohidrat tepung.
Untuk tepung rumput laut Sargassum sp menunjukkan beda sangat nyata antara 2
perlakuan suhu pengeringan (Lampiran 37), tepung dengan suhu pengeringan
50 oC memiliki kadar karbohidrat yang lebih tinggi.
4.2.10. Kadar Serat Pangan
Serat pangan merupakan senyawa yang inert secara gizi, hal ini didasarkan
bahwa senyawa tersebut tidak dapat dicerna serta hasil fermentasinya tidak dapat
digunakan oleh tubuh dan dikenal mempunyai efek sebagai pencahar perut. Serat
pangan merupakan salah satu komponen penyusun karbohidrat dimana pada
rumput laut komponen terbesar dari karbohidrat adalah senyawa gumi (komponen
serat pangan). Hasil analisa kadar serat pangan total 3 jenis tepung rumput laut
pada penelitian ini berada pada kisaran 81,75 - 84,88 %. Kadar serat pangan larut
antara 24,99 - 75, 18 %. Kadar serat pangan tidak larut antara 9,70 - 57,62 %.
Hasil analisa selengkapnya disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19. Kadar Serat Pangan Larut (SDF), Kadar Serat Pangan Tak Larut (IDF)
dan Kadar Serat Pangan Total (TDF) dari Eucheuma cottonii, Glacilaria sp dan Sargassum sp pada suhu pengeringan yang 50 oC dan 70 oC
Jenis Suhu pengeringan 50 oC Suhu pengeringan 70 oC TRL SDF(%) IDF (%) TDF(%) SDF(%) IDF(%) TDF(%)
E. cottonii
75,18
9,70
84,88
72,19
11,23
83,42
Glacilaria sp 60,86 22,48 83,34 62,95 20,67 83,62 Sargassum sp 25,89 55,86 81,75 24,99 57,62 82,61
Hasil analisis sidik ragam pada selang kepercayaan 95 % menyatakan bahwa
untuk jenis tepung rumput laut Eucheuma cottonii, perlakuan suhu pengeringan
berpengaruh nyata terhadap kadar serat pangan tidak larut. Nilai yang lebih tinggi
ada pada perlakuan suhu pengeringan 70 oC yaitu 11,23 % (Lampiran 38).
63
Sedangkan untuk kadar serat pangan larut dan serat pangan total tidak berbeda
nyata pada 2 suhu pengeringan (Lampiran 39 dan 40).
Analisis ragam terhadap tepung rumput laut Glacilaria sp menunjukkan
hasil bahwa kadar serat pangan tidak larut berbeda nyata terhadap 2 suhu
pengeringan, tetapi tidak berbeda nyata pada kadar serat pangan larut dan serat
pangan total (Lampiran 41, 42 dan 43).
Tepung rumput laut Eucheuma cottonii dan Glacilaria sp, yang termasuk
jenis alga merah (Rhodophyceae), mempunyai kadar serat pangan larut (SDF)
lebih tinggi dari pada kadar serat pangan tak larutnya (IDF). Anonymousc (2000)
menyatakan bahwa jenis rumput laut merah dan hijau mengandung kadar serat
pangan larut (SDF) sebesar 51 % - 56 % dari kadar serat pangan total. Lahaye
(1991) melaporkan bahwa kadar serat dari beberapa rumput laut berkisar antara 25
– 75 % (bk) dan sebagian besar seratnya terdiri dari serat pangan larut, yaitu 51 –
85 %. Akan tetapi kandungan serat pangan ini sangat tergantung dari species dan
tempat hidup dari rumput laut tersebut. Pada penelitian ini kandungan serat
pangan larut tepung rumput laut Eucheuma cottonii pada suhu pengeringan 50 oC
dan 70 oC berturut-turut adalah 86,53 % dan 88,57 % dari kadar serat pangan
total. Sedangkan tepung rumput laut Glacilaria sp, kandungan serat pangan
larutnya yaitu 73,03 % dan 75,24 % dari kadar serat pangan total. Artinya
kandungan serat pangan larut tepung rumput laut jenis alga merah yang ada di
Kepulauan Seribu cukup tinggi, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai salah satu
sumber serat yang potensial. Penelitian yang dilakukan Goni et.al., (2000)
menyatakan bahwa Nori algae (rumput laut jenis alga merah) yang mengandung
serat pangan larut yang tinggi kemungkinan dapat mengubah respon glycemic
pada kesehatan, dimana roti yang ditambahkan Nori alga memberikan hasil yang
lebih baik daripada roti tanpa Nori alga. Sedangkan Escrig dan Muniz (2000) dan
Herpandi (2005) menyatakan bahwa serat rumput laut terutama serat pangan larut
mempunyai efek hipokolesterolemik, dimana semakin tinggi akan semakin baik
dan telah terbukti dapat menurunkan kadar kolesterol dan tekanan darah
dibanding sumber serat lainnya.
Analisis ragam terhadap tepung rumput laut Sargassum sp menunjukkan
hasil tidak berbeda nyata terhadap kadar serat pangan larut, serat pangan tidak
64
larut dan serat pangan total (Lampiran 44, 45 dan 46). Artinya perbedaan suhu
pengeringan tidak mempengaruhi kandungan serat pada tepung rumput laut
Sargassum sp. Berbeda dengan tepung rumput laut dari alga merah, jenis tepung
rumput laut coklat (Phaeophyceae) yaitu Sargassum sp, mempunyai kadar serat
pangan larut (SDF) yang lebih rendah daripada kadar serat pangan tak larutnya
(IDF). Jika dilihat dari kandungan serat pangan bahan baku hasil perendaman,
terjadi kenaikan pada kadar serat pangan tak larutnya, hal ini kemungkinan terjadi
karena total padatan menjadi lebih tinggi akibat penguraian pati menjadi serat
pangan tak larut. Demikian juga dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Chan et.al (1997), yaitu menghasilkan tepung Sargassum hemiphyllum dengan
kadar serat pangan larut yang lebih rendah (9,91 %) daripada kadar serat pangan
tak larutnya (45,0 %), yang dikeringkan di oven bersuhu 60 oC.
4.2.11. Iodium
Salah satu trace element yang penting pada rumput laut adalah iodium.
Kandungan iodium tumbuhan laut berkisar antara 0,7 – 4,5 g/kg. Jika
dibandingkan dengan tumbuhan darat, kandungan iodium rumput laut sekitar
2.400 sampai 155.000 kali lebih banyak (Rai, 1996). Kebutuhan iodium
dipengaruhi oleh pertumbuhan, berat tubuh, jenis kelamin, usia, gizi, iklim dan
penyakit. Kecukupan iodium perhari untuk anak umur 0 - 12 tahun adalah 90 -
120 ug/hari, untuk laki-laki dan perempuan umur 13 – 60 tahun ke atas adalah 150
ug/hari, sedangkan untuk ibu hamil dan menyusui mendapat tambahan 50 ug/hari
(AKG, 2004). Pada penelitian ini, kadar iodium berada pada kisaran 4,55 –
11,27 ug/g, data lengkap tersaji pada Gambar 21. Jika setiap 1 gram tepung
rumput laut mengandung iodium sebesar 4,55 – 11,27 ug, maka diasumsikan
setiap 1 gram tepung rumput laut akan menyumbang iodium untuk kebutuhan
tubuh sebesar + 5 – 12 % untuk anak umur 0 – 12 tahun dan 3 – 7 % untuk
perempuan dan laki-laki umur 13 – 60 tahun. Sedangkan untuk ibu hamil dan
menyusui sekitar 2 – 5 % dari kebutuhan tubuh akan iodium menurut Angka
Kebutuhan Gizi..
Analisis ragam menunjukkan hasil bahwa suhu pengeringan berpengaruh
terhadap kadar iodium ketiga jenis tepung rumput laut (Lampiran 47, 48, 49).
65
Dari hasil pengamatan, data menunjukkan suhu pengeringan 70 oC memiliki kadar
iodium yang lebih tinggi pada ketiga jenis tepung tersebut. Hal ini disebabkan
waktu pengeringan yang berbeda. Pengeringan dengan suhu 70 oC memerlukan
waktu yang lebih pendek daripada suhu 50 oC, sehingga walaupun suhu
pengeringan lebih tinggi tetapi penurunan kadar iodium lebih kecil.
Gambar 21. Kadar Iodium Tepung Rumput Laut (ug/g).
Jika dibandingkan dengan kadar iodium bahan baku hasil perendaman
terdapat penurunan kadar iodium pada ketiga jenis tepung rumput laut tersebut.
Hal ini terjadi karena pelakuan yang diberikan selama pengolahan. Beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi kehilangan iodium diantaranya adalah tingkat
keasaman, air dan pemanasan. Penelitian yang dilakukan Magdalena (1996)
menyatakan semakin meningkatnya tingkat keasaman, suhu dan waktu
pemasakan, kecenderungan tingkat kehilangan iodium pada sayur matang akan
semakin meningkat. Selama penelitian ini, pemanasan yang diberikan selama
pengeringan berkisar antara 50 oC dan 70 oC, tetapi selama proses penepungan
terjadi juga proses pemanasan akibat mesin penepung sehingga terjadi penurunan
kadar iodium yang cukup besar.
6,01
9,84
4,55
6,79
11,27
4,77
0
2
4
6
8
10
12
E. Cottonii Glacilaria sp Sargassum spJenis Tepung Rumput Laut
Kada
r Iod
ium
(ug/
g)
Suhu 50 °C Suhu 70 °C
66
4.2.12. Organoleptik
Penilaian organoleptik merupakan salah satu ukuran penerimaan atau
standar kelayakan suatu produk. Berdasarkan uraian (deskripsi) terhadap
kenampakan, bau dan tekstur tepung rumput laut dari 3 jenis rumput laut, maka
disusun satu lembar penilaian (score sheet) untuk masing-masing jenis tepung
rumput laut. Lembar penilaian ini akan menjadi acuan dalam penilaian tepung
rumput laut (Lampiran 50, 51, 52). Angka (score) yang terdapat pada lembar
penilaian adalah 1 sampai 9. Penilaian dilakukan oleh 20 orang panelis.
a. Kenampakan
Kenampakan suatu produk akan menentukan ketertarikan konsumen
terhadap produk tersebut. Penilaian kenampakan meliputi warna dan kondisi
tepung. Winarno (1997) menyatakan bahwa penilaian suatu produk didahului
secara visual oleh warna produk. Melalui sifat warna, panelis dapat memberikan
penilaian baik mengenai kualitas maupun kesukaan terhadap suatu jenis makanan.
Makanan dengan kualitas yang baik belum tentu disukai jika memiliki warna yang
tidak disukai.
Penilaian panelis terhadap kenampakan tepung Eucheuma cottonii bervariasi
antara nilai 6 sampai 8. Rata-rata nilai kenampakan dan deskripsi pada lembar
penilaian dapat dilihat pada Tabel 19. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan
bahwa suhu pengeringan berbeda nyata terhadap kenampakan tepung (Lampiran
53). Suhu pengeringan 70 oC memberikan kenampakan yang lebih baik daripada
suhu pengeringan 50 oC. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh waktu
pengeringan yang lebih singkat pada suhu 70 oC sehingga tidak terjadi proses
pemanasan yang terlalu lama, dimana dapat menyebabkan warna agak krem.
Untuk tepung rumput laut Glacilaria sp, hasil analisis ragam menunjukkan
bahwa suhu pengeringan tidak berpengaruh terhadap kenampakannya (Lampiran
54). Walaupun tidak berbeda antara 2 perlakuan suhu tetapi pada lembar penilaian
tepung dengan suhu pengeringan 50 oC nilainya 6 (pembulatan ke bawah) dan
tepung dengan suhu pengeringan 70 oC nilainya 7 (pembulatan ke atas) seperti
terlihat pada Tabel 19. Artinya tepung rumput laut Glacilaria sp dengan suhu
pengeringan 70 oC memiliki yang nilai lebih tinggi.
67
Nilai kenampakan tepung rumput laut Sargassum sp berada pada kisaran 5
sampai 7, nilai rata-rata yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 20. Hasil analisis
ragam menunjukkan bahwa suhu pengeringan tidak berbeda nyata terhadap
kenampakannya. Pada lembar penilaian tepung ini masuk dalam nilai 6 tetapi
tepung dengan suhu pengeringan 70 oC memiliki kenampakan yang lebih baik
(Lampiran 55).
Tabel 20. Nilai rata-rata Uji Kenampakan Tepung Rumput Laut
Jenis TRL Suhu
pengeringan
Nilai Deskripsi
E. cottonii 50 oC
70 oC
6,4
7,2
Bersih, putih krem, ada butir hitam, agak kusam Bersih, agak putih, ada sedikit butir hitam, agak cemerlang
Glacilaria sp 50 oC
70 oC
6,3
6,6
Bersih, kehijauan, agak kusam Bersih, krem kehijauan, agak cemerlang
Sargassum sp 50 oC
70 oC
6,2
6,4
Bersih, coklat tua, agak kusam Bersih, coklat agak buram, agak cemerlang
b. Bau
Uji bau suatu produk sangat berkaitan dengan indera penghidu, karena
indera penghidu sangat sensitif terhadap bau (aroma). Bau tepung rumput laut ikut
menentukan kesukaan konsumen terhadap produk yang akan dihasilkan. Bau amis
yang merupakan bau khas tumbuhan laut merupakan salah satu kendala dalam
pengolahan produk lanjutan. Hasil uji terhadap bau 3 jenis tepung rumput laut
berkisar pada nilai 5 sampai 7. Nilai rata-rata uji bau untuk ke 3 jenis tepung
rumput laut disajikan pada Tabel 21.
Hasil analisis ragam menyatakan bahwa suhu pengeringan tidak
berpengaruh terhadap bau ketiga jenis tepung rumput laut (Lampiran 56, 57, 58).
Pada lembar penilaian, Eucheuma cottonii dan Glacilaria sp memiliki nilai 6
(pembulatan) sedangkan Sargassum sp memiliki nilai 5 (pembulatan).
68
Tabel 21. Nilai rata-rata Uji Bau Tepung Rumput Laut
Jenis TRL Suhu
pengeringan
Nilai Deskripsi
E. cottonii 50 oC
70 oC
6,2
6,2
Bau sedikit agak amis Bau sedikit agak amis
Glacilaria sp 50 oC
70 oC
5,6
5,7
Bau sedikit agak amis Bau sedikit agak amis
Sargassum sp 50 oC
70 oC
5,4
5,4
Bau amis cukup dominant Bau amis cukup dominant
c. Tekstur
Butiran rumput laut kering sangat liat dan keras, hal ini kemungkinan karena
kandungan seratnya yang tinggi. Oleh karena itu proses penepungan sangat
menentukan kehalusan tepung rumput laut yang dihasilkan. Kehalusan tepung ikut
menentukan tekstur tepung rumput laut, semakin halus maka tekstur akan semakin
lembut. Kehalusan tekstur untuk produk minuman akan menentukan daya
larutnya. Pada penelitian ini tepung rumput laut lolos pada saringan ukuran 48.
Nilai uji tekstur berada pada kisaran 6 sampai 8. Nilai rata-rata uji tekstur dapat
dilihat pada Tabel 22. Analisis ragam terhadap tekstur 3 jenis tepung rumput laut
menunjukkan bahwa tidak berbeda nyata antara 2 perlakuan suhu pengeringan.
Artinya suhu pengeringan tidak berpengaruh terhadap tekstur tepung rumput laut
(Lampiran 59, 60,61).
69
Tabel 22. Nilai rata-rata Uji Tekstur Tepung Rumput Laut
Jenis TRL Suhu
pengeringan
Nilai Deskripsi
E. cottonii 50 oC
70 oC
7,5 7,6
Halus, agak lembut Halus, agak lembut
Glacilaria sp 50 oC
70 oC
6,4 6,5
Agak kasar, butiran terasa Agak halus
Sargassum sp 50 oC
70 oC
6,3 6,5
Agak kasar, butiran terasa Agak halus
4.3. Tepung Rumput Laut
Rumput laut, kualitasnya di pengaruhi oleh faktor lingkungan seperti
cahaya, suhu, musim, kadar garam, gerakan air dan zat hara. Cahaya, suhu, pH
dan unsur hara akan berpengaruh terhadap berlangsungnya fotosintesa.
Fotosintesa merupakan proses perubahan zat anorganik menjadi zat organik,
sehingga faktor-faktor tersebut di atas secara tidak langsung akan menentukan
kandungan protein, lemak, serat kasar dan karbohidrat rumput laut (Kadi et al.
1988). Menurut Winarno (1990), komposisi kimia rumput laut bervariasi
tergantung pada spesies, tempat tumbuh dan musim. Vegetable gum yang
dikandungnya merupakan senyawa karbohidrat yang banyak mengandung
selulosa dan hemiselulosa yang tidak dapat dicerna seluruhnya oleh enzim dalam
tubuh, sehingga dapat menjadi makanan diet dengan sedikit kalori.
Kandungan serat dan iodium pada rumput laut, merupakan senyawa penting
yang diharapkan manfaatnya. Beberapa peneliti telah melaporkan hubungan
antara konsumsi serat dan insiden timbulnya berbagai macam penyakit
diantaranya kanker usus besar, penyakit kardiovaskuler dan kegemukan
(obesitas). Berdasarkan hasil penelitian ini, perlakuan suhu pengeringan yang
berbeda terhadap 3 jenis tepung rumput laut yaitu Eucheuma cottonii, Glacilaria
sp dan Sargassum sp, secara umum tidak terlalu berpengaruh terhadap kandungan
gizi rumput laut terutama kadar seratnya. Kadar serat larut pada tepung rumput
70
laut Eucheuma cottonii dan Glacilaria sp lebih tinggi daripada serat tak larutnya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Lahaye (1991), maka kadar serat larut
rumput laut yang ada di Kepulauan Seribu ini cukup tinggi, sehingga dapat
digunakan sebagai sumber serat yang dibutuhkan oleh tubuh. Besarnya peranan
serat pangan bagi kesehatan manusia menjadikan produk ini semakin banyak
dimanfaatkan, baik secara langsung maupun sebagai pencampur berbagai jenis
makanan, minuman dan produk diet pelangsing tubuh (Le Marie, 1985).
Eucheuma cottonii merupakan rumput laut yang sangat luas penggunaannya
baik langsung maupun berupa makanan dan minuman olahan. Berbagai cara
pengolahan telah dilakukan untuk memanfaatkan tepung rumput laut ini,
diantaranya adalah dengan mengolah menjadi makanan kering (crakers), makanan
semi basah (dodol, selai), maupun jajanan pasar (kue putu, donat, cente manis).
Beberapa industri rumah tangga telah berhasil mengolah dan memasarkan produk
yang terbuat dari rumput laut ini. Rasa yang enak dan mudah cara mengolahnya
merupakan hal yang menguntungkan. Untuk jenis rumput laut Glacilaria sp, pada
umumnya dilakukan ekstraksi terlebih dahulu untuk menghasilkan agar, baik
berbentuk batangan, lembaran (agar kertas) ataupun bubuk. Pemanfaatan secara
langsung atau olahan berbentuk makanan atau minuman jarang dilakukan.
Pemanfaatan rumput laut jenis Sargassum sp, biasanya dilakukan sebagai bahan
tambahan makanan jajanan (kue) atau diekstrak untuk menghasilkan alginat yang
luas penggunaannya. Penelitian yang dilakukan Darmawan et.al. (2004) terhadap
kandungan omega 3 dan iodium tepung Sargassum sp menyebutkan pada
konsentrasi 5 % berpengaruh nyata terhadap kadar iodium kue keik dan pada
konsentrasi 2 % berpengaruh nyata terhadap kadar omega 3 kue keik.
Pengolahan lanjutan dari tepung rumput laut pada penelitian ini adalah untuk
minuman berserat. Kandungan serat pangan yang tinggi terutama serat pangan
larut, diharapkan dapat menjadi sumber serat pada minuman ini. Selain
kandungan serat dan iodium, penilaian organoleptik sangat menentukan dalam
pemilihan jenis tepung yang akan digunakan. Kondisi tepung yang akan
digunakan diharapkan memiliki kriteria warna putih cemerlang, tidak berbau, dan
tekstur halus. Tepung yang berwarna putih akan mudah dalam pengolahan warna
yang diinginkan. Warna yang diberikan akan terserap sempurna. Warna akan
71
menambah daya tarik dan kesukaan konsumen terhadap produk minuman ini.
Bau (aroma) suatu produk, baik makanan dan minuman akan mempengaruhi
minat/kesukaan konsumen. Bau yang diharapkan pada tepung rumput laut ini
adalah netral, dengan demikian tidak akan tercium bau amis yang dapat
mengganggu selera. Tekstur tepung pada penelitian ini berada pada kondisi yang
halus sedang. Tekstur yang sangat halus dan lembut akan memudahkan dalam
penggunaan. Pada penelitian ini, ke 3 jenis tepung rumput laut memiliki
kehalusan yang berbeda walaupun lolos pada saringan yang sama. Hal ini karena
kondisi thallus pada masing-masing rumput laut berbeda dan mesin penepung
yang digunakan tidak bekerja maksimal.
Berdasarkan analisa yang dilakukan, baik sifat fisik-kimia, maka jenis
tepung rumput laut yang akan digunakan dalam penelitian selanjutnya adalah
Eucheuma cottonii dengan perlakuan suhu pengeringan 70 oC dan Glacilaria sp
dengan perlakuan pengeringan 70 oC. Dengan demikian diharapkan sumber serat
akan terpenuhi dari tepung rumput laut Eucheuma cottonii sedangkan kandungan
iodium diharapkan terpenuhi dari tepung rumput laut Glacilaria sp. Data hasil
pengamatan masing-masing jenis tepung rumput laut selengkapnya disajikan pada
Tabel 23, 24 dan 25.
72
Tabel 23. Sifat Fisik-Kimia Tepung Rumput Laut Eucheuma cottonii
Komponen Suhu pengeringan 50oC Suhu pengeringan 70oC
Rendemen (% ) 8,01 8,33
Ph 7,11 6,45
Titik jendal (oC) 34 32
Titik leleh (oC) 75 70
Viskositas (cps) 5080,36 4970,40
Kelarutan (%) 27,6 36,8
Kadar air (%) 12,88 12,34
Kadar abu (%) 14,18 14,27
Kadar protein (%) 3,39 3,13
Kadar karbohidrat (%)
- Kadar serat larut (%) - Kadar serat tak larut (%) - Kadar serat total (%)
68,25
75,18 9,70 84,88
68,16
72,19 11,23 83,42
Iodium (ug/g) 6,01 6,79
Tabel 24. Sifat Fisik-Kimia Tepung Rumput Laut Glacilaria sp
Komponen Suhu pengeringan 50 oC Suhu pengeringan 70 oC
Rendemen (% ) 7,94 8,12
pH 7,13 7,57
Titik jendal (oC) - -
Titik leleh (oC) - -
Viskositas (cps) 18,58 20,89
Kelarutan (%) 15,03 18,01
Kadar air (%) 11,72 11,90
Kadar abu (%) 6,32 5,70
Kadar protein (%) 10,51 8,9
Kadar karbohidrat (%)
- Kadar serat larut (%) - Kadar serat tak larut (%) - Kadar serat total (%)
73,67
60,68 22,48 83,34
73,78
62,95 20,67 83,62
Iodium (ug/g) 9,84 11,27
73
Tabel 25. Sifat Fisik-Kimia Tepung Rumput Laut Sargassum sp
Komponen Suhu pengeringan 50oC Suhu pengeringan 70oC
Rendemen (% ) 7,14 7,94
pH 7,74 7,22
Titik jendal (oC) - -
Titik leleh (oC) - -
Viskositas (cps) 0,997 3,42
Kelarutan (%) 26,96 18,21
Kadar air (%) 10,82 11,65
Kadar abu (%) 15,83 15,58
Kadar protein (%) 8,80 8,85
Kadar karbohidrat (%)
- Kadar serat larut (%) - Kadar serat tak larut (%) - Kadar serat total (%)
64,21
25,89 55,86 81,75
67,2
24,99 57,62 82,61
Iodium (ug/g) 4,55 4,77
49
4.2. Sifat fisik-kimia Tepung Rumput Laut
Penelitian tahap 2 bertujuan untuk mengkaji sifat fisik-kimia tepung rumput
laut. Masing-masing jenis rumput laut hasil perendaman terbaik selanjutnya
diproses menjadi tepung rumput laut. Tahapan yang dilakukan adalah pencucian,
perendaman, penghancuran, pengeringan, penepungan dan pengayakan. Rumput
laut Eucheuma cottonii, Sargassum sp, dan Glacilaria sp kering dicuci dan
dibersihkan dengan air mengalir, untuk menghilangkan kotoran dan benda asing
yang masih menempel pada rumput laut. Selanjutnya direndam dalam media
perendam yang terbaik untuk masing-masing jenis rumput laut hasil dari
penelitian tahap 1 dan ditirisksn. Tahap berikut adalah penghancuran
menggunakan grinder, kemudian pengeringan rumput laut dengan oven. Suhu
pengeringan yang diberikan adalah 50 oC dan 70 oC. Selama pengeringan
dilakukan pengadukan agar proses pengeringan berlangsung sempurna. Pemilihan
suhu pengering didasarkan pada suhu yang terlalu tinggi dapat merusak komposisi
kimia dan unsur penting yang dikandung rumput laut, sedangkan suhu yang
rendah akan memerlukan waktu yang lama sehingga kemungkinan akan terjadi
reaksi mailard (browning). Selanjutnya tahap penepungan (penggilingan). Alat
penepung yang digunakan pada penelitian ini adalah alat penepung modifikasi
selanjutnya dihaluskan dengan blender kering. Tahap terakhir yaitu pengayakan
dengan saringan berukuran 48 dan dimasukkan dalam wadah tertutup selanjutnya
dianalisis sifat fisiko-kimianya. Tepung rumput laut Eucheuma cottonii,
Glacilaria sp, dan Sargassum sp dapat dilihat pada Gambar 13..
Analisis yang dilakukan pada masing-masing jenis tepung rumput laut yaitu
analisis Rendemen, pH, viskositas, kelarutan, titik jendal, titik leleh, kadar air,
kadar abu, kadar protein, karbohidrat, kandungan serat pangan (serat pangan larut
/SDF, serat pangan tak larut /IDF dan total serat pangan/TDF), iodium dan
organoleptik (score sheet) meliputi kenampakan, bau dan tekstur.
50
TRL Eucheuma cottonii TRL Glacilaria sp TRL Sargassum sp
Gambar 13. Tiga Jenis Tepung Rumput Laut.
4.2.1. Rendemen
Rendemen merupakan prosentase antara produk akhir (tepung rumput laut)
dengan produk awal (rumput laut hasil perendaman). Untuk mengetahui nilai
ekonomis suatu produk, salah satu parameter yang dapat digunakan adalah
rendemen. Semakin tinggi rendeman suatu produk maka nilai ekonomisnya akan
meningkat.
Gambar 14 menyajikan rendemen yang dihasilkan pada penelitian ini. Salah
satu tahap yang menentukan dalam pengolahan tepung rumput laut adalah pada
proses penepungan. Proses penepungan memerlukan mesin penepung yang
mampu menggerus (menghaluskan) thallus kering rumput laut. Kandungan serat
yang tinggi dan kadar air yang rendah menyebabkan thallus sangat liat dan sukar
dihancurkan. Kendala yang dihadapi pada penelitian ini yaitu peralatan
penepungan yang kurang memadai. Proses penepungan dilanjutkan dengan alat
51
blender kering tetapi tidak dapat mencapai hasil yang maksimal karena tidak
semua rumput laut kering habis dihancurkan. Hal ini karena pemblenderan yang
berulang-ulang dapat merusak komposisi kimia dari tepung rumput laut. Menurut
Voigt (1995), pemilihan jenis peralatan penghalus atau penggilingan tergantung
dari jumlah material dan sifat-sifat fisiknya (kekerasan, elastisitas, kerapuhan,
lengket dan sebagainya), ukuran awal dari bahan yang digiling serta ukuran
produk yang diinginkan.
Gambar 14. Rendemen Tepung Rumput Laut (%).
Berdasarkan data yang dihasilkan, analisis ragam yang dilakukan
menyatakan untuk rendemen tepung rumput laut Eucheuma cottonii berbeda
nyata antara 2 perlakuan suhu pengeringan (Lampiran 14). Hasil terbaik adalah
pada perlakuan suhu 70 oC dengan rendemen sebesar 8,33 % sedangkan pada suhu
pengeringan 50 oC adalah 8,01 %. Analisis terhadap rendemen tepung rumput
laut Glacilaria sp menyatakan tidak berbeda nyata (Lampiran 15), sedangkan
untuk rendemen tepung rumput laut Sargassum sp berbeda sangat nyata antara 2
perlakuan suhu pengeringan. Suhu pengeringan yang terbaik yaitu 70 oC dengan
hasil rendemen sebanyak 7,94 % (Lampiran 16).
4.2.2. pH
Pengukuran nilai pH 3 jenis tepung rumput laut pada penelitian ini adalah
antara 6,45 sampai 7,74 (Gambar 15). Menurut Gaman dan Sherrington (1992),
8,01 7,94
7,14
8,338,12
7,94
6,46,66,8
77,27,47,67,8
88,28,48,6
Eucheuma Glacilaria sp Sargassum spJenis Tepung Rumput Laut
Ren
dem
en (%
)
Suhu 50 oC Suhu 70 oC
52
jika konsentrasi ion hydrogen bertambah maka pH nya akan turun. Pertumbuhan
mikroorganisme pembusuk dapat dikontrol dengan cara menurunkan pH pangan.
pH juga dapat digunakan sebagai indikator perubahan warna pada bahan pangan.
Gambar 15. pH Tepung Rumput Laut.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa suhu pengeringan tidak berbeda
nyata terhadap pH tepung rumput laut Eucheuma cottonii dan Glacilaria sp
(Lampiran 17 dan 18), tetapi berbeda nyata terhadap pH tepung rumput laut
Sargassum sp (Lampiran 19). Berdasarkan tingkat keasaman, ketiga jenis tepung
rumput laut ini termasuk pada pangan berasam rendah (pH > 4,5).
4.2.3. Viskositas
Viskositas adalah pengukuran daya tahan/hambatan suatu larutan untuk
mengalir. Meskipun molekul-molekul dalam larutan berada dalam pergerakan
acak yang konstan, tetapi kecepatannya pada arah tertentu bernilai nol, kecuali
jika diberikan suatu gaya yang menyebabkan suatu larutan dapat mengalir. Gaya
yang cukup besar yang diperlukan untuk dapat membuat suatu larutan mengalir
pada kecepatan tertentu berhubungan dengan viskositas suatu larutan. Aliran
terjadi pada saat molekul suatu larutan saling menyalip satu sama lain dengan
kecepatan tertentu serta pada bidang tertentu pula (Toledo, 1991).
Uji viskositas dilakukan pada konsentrasi tepung 5 % dan suhu 50 oC,
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 18 berikut ini.
7,11 7,13
7,74
6,45
7,57
7,22
5,5
6
6,5
7
7,5
8
E. cottonii Glacilaria sp Sargassum spJenis Tepung Rumput Laut
pH
Suhu 50 οC Suhu 70 oC
53
Tabel 18. Viskositas Tepung Rumput Laut (centipoises) pada konsentrasi 5 % suhu 50 oC
Tepung rumput laut Suhu pengeringan 50 oC Suhu pengeringan 70 oC
Eucheuma cottonii 5080,36 4970,40 Glacilaria sp 18,58 20,89 Sargassum sp 0,997 3,42
Berdasarkan data hasil penelitian, analisis yang dilakukan menunjukkan
bahwa untuk viskositas tepung rumput laut Eucheuma cottonii berbeda nyata
antara dua perlakuan suhu pengeringan. Hasil pengukuran yang diperoleh
menyatakan perlakuan yang terbaik adalah pengeringan pada suhu 50 oC, dengan
nilai viskositas 5080,36 cps (Lampiran 20). Eucheuma cottonii adalah salah satu
jenis algae merah yang menghasilkan karagenan. Viskositas karagenen
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu konsentrasi, temperatur, tingkat dispersi,
kandungan sulfat, inti elektrik, keberadaan elektrolit dan non elektrolit, teknik
perlakuan, serta tipe dan berat molekul karagenan. Viskositas larutan karagenan
akan menurun dengan adanya peningkatan suhu sehingga terjadi depolimerisasi
yang kemudian dilanjutkan dengan degradasi karagenan. Untuk menghindari
terjadinya degradasi karagenan akibat pemanasan, maka diusahakan agar polimer
hidrokoloid lebih stabil dengan cara pengaturan pH (Towle, 1973). Menurut
Guiseley et.al. (1980) untuk menghindari terjadinya degradsi maka pemanasan
dapat dilakukan pada atau mendekati kondisi yang mempunyai kestabilan
optimum yaitu pada pH 9. Pada penelitian ini nilai viskositas tepung dengan suhu
pengeringan 70 oC lebih rendah daripada viskositas tepung yang dikeringkan pada
suhu 50 oC. Hal ini kemungkinan disebabkan perlakuan suhu pengeringan yang
berbeda dan pH tepung yang dihasilkan. pH tepung rumput laut yang dikeringkan
pada suhu 70 oC adalah 6,45 sedangkan pada suhu 50 oC adalah 7,11, sehingga
adanya perbedaan nilai viskositas kemungkinan disebabkan oleh pengaruh kadar
air dan pH tepung.
Analisis ragam terhadap viskositas tepung rumput laut Glacilaria sp
menunjukkan hasil tidak berbeda nyata antara dua perlakuan suhu pengeringan
(Lampiran 21). Glacilaria sp disebut juga sebagai agarose karena merupakan
algae penghasil agar-agar. Menurut Furia (1980) dalam Suwandi et.al. (2002),
besarnya viskositas larutan agar-agar bervariasi menurut suhu dan pH, tetapi
54
mendekati konstan pada selang pH 4,5 sampai 9,0. Winarno (1990)
menambahkan bahwa dalam kisaran pH tersebut, larutan dengan konsentrasi 1 %
dan 5 % pada suhu 45 oC mempunyai viskositas antara 2 – 10 centipoise.
Viskositas tepung rumput laut Glacilaria sp pada penelitian ini adalah 18,58 dan
20,89 cps pada suhu 50 oC dan 70 oC. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh
beberapa faktor diantaranya asal bahan baku yang berbeda, umur panen, maupun
alat uji yang digunakan.
Untuk tepung rumput laut Sargassum sp, hasil analisis sidik ragam
menunjukkan bahwa suhu pengeringan berbeda nyata terhadap viskositasnya.
Nilai tertinggi ditunjukkan pada perlakuan suhu pengeringan 70 oC yaitu 3,42 cps
(Lampiran 22). Tepung ini berbeda dengan 2 jenis tepung lainnya. Tepung rumput
laut Sargassum sp yang dikeringkan pada suhu 70 oC membentuk larutan yang
lebih homogen daripada tepung yang dikeringkan pada suhu 50 oC. Tepung yang
dikeringkan pada suhu 50 oC, tidak membentuk larutan homogen, ada 2 lapisan
yang terbentuk yaitu cairan yang berwarna coklat dan endapan tepung hal ini
terlihat dari rendahnya nilai viskositasnya.
Tepung rumput laut Sargassum sp berbeda dengan 2 jenis tepung lainnya.
Tepung Sargassum sp tidak menghasilkan larutan yang homogen dan mengental
pada konsentrasi 5 % suhu 50 oC. Kekentalan dan kemampuan tepung rumput
laut membentuk larutan yang homogen akan mempengaruhi produk lanjutan yang
akan diproduksi, misalnya minuman berserat. Hal ini karena diharapkan tepung
rumput laut akan larut sempurna dalam air.
4.2.4. Titik Jendal dan Titik Leleh.
Titik jendal dan titik leleh yang diamati pada penelitian ini untuk
mengetahui kemampuan pembentukan gel tepung rumput laut. Menurut Gliksman
(1969), proses pembentukan gel bersifat reversible, artinya gel mencair pada
pemanasan dan cairan membentuk gel kembali pada pendinginan. Fardiaz (1989)
menyatakan pembentukan gel adalah suatu fenomena atau pengikatan silang
rantai-rantai polimer sehingga membentuk suatu jala tiga dimensi bersambungan.
Selanjutnya jala ini dapat menangkap atau mengimobolisasikan air di dalamnya
dan membentuk struktur yang kuat dan kaku.
55
Uji titik jendal dan titik leleh yang dilakukan terhadap 3 jenis tepung rumput
laut yang dikeringkan pada suhu 50 oC dan 70 oC, memberikan hasil yaitu hanya
tepung rumput laut Eucheuma cottonii yang dapat membentuk gel. Tepung
rumput laut Eucheuma cottonii yang dikeringkan pada suhu 50 oC memiliki titik
jendal 34 oC dan titik leleh 75 oC. Sedangkan Eucheuma cottonii yang
dikeringkan pada suhu 70 oC memiliki titik jendal 32 oC dan titik leleh 70 oC.
Semakin tinggi titik jendal maka semakin tinggi pula titik lelehnya. Eucheuma
cottonii adalah rumput laut penghasil karagenan yang mempunyai kemampuan
membentuk gel yang tinggi. Sifat pembentukan gel ini beragam dari satu jenis
hydrocolloid ke jenis lain, tergantung pada jenisnya (Fardiaz, 1989).
Pembentukan gel ini terjadi diperkirakan karena terbentuknya struktur doble
helix. Pada saat larutan dalam keadaan panas, rantai polimer membentuk formasi
koil secara acak. Pada saat pendinginan, formasi berubah menjadi doble helix
membentuk ikatan silang seperti jala atau jaring secara kontinyu. Pada
pendinginan selanjutnya polimer saling berikatan membentuk gel yang kuat.
Berbeda dengan tepung rumput laut Eucheuma cottonii, tepung rumput laut
Glacilaria sp tidak dapat menjendal tetapi membentuk larutan kental yang
homogen, walaupun hasil ekstraksi dari Glacilaria adalah agarosa yang
merupakan senyawa hydrocolloid dengan kemampuan membentuk gel yang
tinggi. Tidak terbentuknya gel pada tepung rumput laut Glacilaria sp
kemungkinan suhu pemanasan yang kurang, sehingga tidak terbentuk formasi
koil acak yang akan membentuk struktur doble helix yang mengikat rantai
molekul menjadi bentuk jaringan 3 dimensi atau gel setelah pendinginan.
Tepung rumput laut Sargassum sp juga tidak dapat membentuk gel sehingga
tidak dihasilkan titik jendal dan titik leleh. Butir–butir tepung rumput laut terlihat
terpisah dengan air sehingga larutan tidak homogen. Warna tepung rumput laut
terhidrolisis dalam air sehingga larutan berwarna coklat seperti warna tepungnya.
4.2.5. Kelarutan
Data hasil pengukuran kelarutan 3 jenis tepung rumput laut disajikan
pada Gambar 16.
56
Gambar 16. Kelarutan Tepung Rumput Laut (%).
Berdasarkan data tersebut, kelarutan yang paling tinggi ada pada tepung
rumput laut Eucheuma cottonii yang dikeringkan pada suhu 70 oC yaitu 36,8 %
dan paling rendah adalah tepung rumput laut Glacilaria sp pada pengeringan 50 oC yaitu 15,03 %. Menurut Vogel (1978) kelarutan adalah jumlah zat yang dapat
dilarutkan dalam pelarutnya. Kelarutan tergantung pada suhu, tekanan,
konsentrasi bahan-bahan lain dalam larutan dan komposisi kelarutannya, serta
sifat dan konsentrasi zat-zat lain, terutama ion-ion dalam campuran tersebut.
Muchtadi et.al. (1993) menyatakan pelarut yang baik adalah air. Air melarutkan
berbagai senyawa organik yang mempunyai gugus karboksil atau asam amino
yang cenderung berionisasi oleh interaksinya dengan air.
Hasil analisis ragam kelarutan tepung rumput laut Eucheuma cottonii
menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata terhadap suhu pengeringan.
Dari hasil pengukuran yang diperoleh menyatakan bahwa perlakuan pengeringan
pada suhu 70 oC adalah yang terbaik nilai kelarutannya (Lampiran 23). Demikian
juga untuk kelarutan tepung rumput laut Glacilaria sp, analisis sidik ragam
menunjukkan hasil yang berbeda sangat nyata (Lampiran 24). Perlakuan suhu
pengeringan 70 oC adalah yang terbaik nilai kelarutannya dibanding nilai
perlakuan pengeringan pada suhu 50 oC. Analisis ragam kelarutan tepung rumput
laut Sargassum sp juga menyatakan perbedaan yang sangat nyata. Tepung dengan
suhu pengeringan 50 oC memiliki nilai kelarutan yang lebih tinggi (Lampiran 25).
27,6
15,03
26,96
36,8
18,01 18,21
0
5
10
15
20
25
30
35
40
E. cottonii Glacilaria sp Sargassum spJenis Tepung Rumput Laut
Kela
ruta
n (%
)
Suhu 50 oC Suhu 70 oC
57
Menurut Suardi (2002), kelarutan dalam air dipengaruhi oleh jenis komponen
kimia karbohidrat penyusunnya. Semakin tinggi kandungan polisakarida
khususnya polisakarida bukan pati dari bahan maka semakin rendah kelarutannya
dalam air dan sebaliknya. Hal ini karena polisakarida bukan pati sulit mengalami
hidrolisis dalam air. Bahan makanan yang memiliki kelarutan tinggi akan
memiliki kecernaan yang tinggi pula.
4.2.6. Kadar air
Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat
mempengaruhi kenampakan, tekstur serta cita rasa makanan. Kandungan air
dalam bahan makanan ikut menentukan acceptability, kesegaran, dan daya tahan
bahan tersebut (Winarno, 1997). Jenis tepung rumput laut Eucheuma cottonii
dengan suhu pengeringan 50 oC memiliki kadar air tertinggi, sedangkan kadar air
terendah ada pada jenis tepung rumput laut Sargassum sp pada suhu pengeringan
50oC . Hasil pengamatan kadar air 3 jenis tepung rumput laut yang dikeringkan
pada suhu berbeda disajikan pada Gambar 17.
Gambar 17. Kadar Air Tepung Rumput Laut (%).
Berdasarkan analisis sidik ragam, suhu pengeringan tidak berpengaruh
terhadap kadar air tepung rumput laut Eucheuma cottonii dan Glacilaria sp
(Lampiran 26 dan 27). Untuk tepung rumput laut Sargassum sp, analisis ragam
menunjukkan bahwa suhu pengeringan berbeda sangat nyata terhadap kadar
12,88
11,72
10,82
12,3411,9
11,65
9,5
10
10,5
11
11,5
12
12,5
13
13,5
E. cottonii Glacilaria sp Sargassum spJenis Tepung Rumput Laut
Kada
r Ai
r (%
)
Suhu 50 oC Suhu 70 oC
58
airnya (Lampiran 28), tepung dengan suhu pengeringan 70 oC memiliki kadar air
yang lebih tinggi.
Kandungan air dalam tepung rumput laut berpengaruh terhadap daya
simpannya. Semakin tinggi kandungan air tepung rumput laut maka akan semakin
mudah terserang mikroba selama penyimpanan. Menurut SNI 01-2802-1995
untuk produk Agar-agar tepung, syarat mutu kadar air maksimal adalah 17 %.
Sedangkan SNI 01-3451-1994 untuk produk tapioka, menyatakan bahwa syarat
kadar air yang harus dipenuhi untuk semua tingkat mutu (I, II, III) adalah
maksimal 15 % dan untuk tepung terigu kadar air maksimal yang ditetapkan
adalah 12 %. Kadar air ke 3 jenis tepung rumput laut yang didapatkan pada
penelitian ini berada pada kisaran 10,82 % sampai 12,88 %, artinya tidak
melebihi persyaratan mutu kadar air komoditas agar-agar tepung dan tepung
tapioka yang sudah ditetapkan walaupun masih diatas kadar air tepung terigu.
4.2.7. Kadar Abu
Kadar abu ke 3 jenis tepung rumput laut dapat dilihat pada Gambar 18.
Kadar abu tertinggi ada pada tepung rumput laut Sargassum sp dengan suhu
pengeringan 50 oC (15,83 %). Sedangkan tepung rumput laut dengan kadar abu
terendah adalah Glacilaria sp dengan suhu pengeringan 70 oC (5,7 %).
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, kadar abu ke 3 tepung rumput laut
tersebut tidak berbeda nyata antara 2 perlakuan suhu pengeringan (Lampiran 29,
30 dan 31). Menurut Winarno (1997), rumput laut kaya akan mineral dimana
unsur mineral dikenal juga sebagai kadar abu. Sehingga bila kadar abu tepung
rumput laut semakin tinggi maka kadar mineral yang terkandung didalamnya juga
tinggi. Tepung rumput laut Glacilaria sp memiliki kadar abu yang paling rendah,
hal ini kemungkinan karena banyak mineral yang rusak dan hilang selama proses
perlakuan baik pada saat pemucatan maupun pengeringan.
59
Gambar 18. Kadar Abu Tepung Rumput Laut (%).
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, kadar abu ke 3 tepung rumput laut
tersebut tidak berbeda nyata antara 2 perlakuan suhu pengeringan (Lampiran 29,
30 dan 31). Menurut Winarno (1997), rumput laut kaya akan mineral dimana
unsur mineral dikenal juga sebagai kadar abu. Sehingga bila kadar abu tepung
rumput laut semakin tinggi maka kadar mineral yang terkandung didalamnya juga
tinggi. Tepung rumput laut Glacilaria sp memiliki kadar abu yang paling rendah,
hal ini kemungkinan karena banyak mineral yang rusak dan hilang selama proses
perlakuan baik pada saat pemucatan maupun pengeringan.
4.2.8. Kadar Protein
Kandungan protein setiap rumput laut berbeda, tergantung jenis dan daerah
tumbuhnya. Beberapa rumput laut dengan jenis yang sama juga kadang berbeda
kandungan proteinnya. Hal ini disebabkan keadaan perairan tempat tumbuhnya
dan bibit rumput laut yang ditanam. Beberapa penelitian menyatakan bahwa
rumput laut memiliki kandungan nitrogen yang tinggi, namun masih belum jelas
mengenai daya larut dan daya cerna kandungan nitrogen tersebut. Kisaran kadar
protein yang dihasilkan pada penelitian ini yaitu 3,13 % – 10,51 % (Gambar 19).
14,18
6,32
15,8314,27
5,7
15,58
02468
1012141618
E. cottonii Glacilaria sp Sargassum spJenis Tepung Rumput Laut
Kad
ar A
bu (%
)
Suhu 50 oC Suhu 70 oC
60
Gambar 19. Kadar Protein Tepung Rumput Laut (%).
Kadar protein tepung rumput laut jenis Eucheuma cottonii pada suhu
pengeringan 50 oC dan 70 oC berturut-turut adalah 3,39 % dan 3,13 %. Hasil
analisis ragam menunjukkan bahwa kadar protein tidak beda nyata antara 2
perlakuan suhu pengeringan (Lampiran 32). Kadar protein yang dihasilkan pada
penelitian ini lebih kecil dibanding hasil yang dilaporkan oleh beberapa peneliti.
Hal ini disebabkan penggunaan bahan baku yang berbeda. Penelitian sebelumnya
menggunakan bahan baku segar yang baru dipanen sedangkan pada penelitian ini
digunakan bahan baku yang sudah mengalami proses pemucatan dan perendaman.
Selama proses perendaman, kemungkinan terjadi hidrolisa protein yang larut air
sehingga akan menurunkan kandungan proteinnya.
Tepung rumput laut jenis Glacilaria sp memiliki kadar protein 10,51 %
pada suhu pengeringan 50 oC dan 8,9 % pada suhu pengeringan 70 oC. Analisis
ragam dengan selang kepercayaan 95 % menunjukkan hasil berbeda sangat nyata
antara 2 perlakuan suhu pengeringan. Tepung dengan suhu pengeringan 50 oC
mempunyai nilai yang lebih tinggi (Lampiran 33). Desrosier dan Desrosier
(1977) dan Winarno (1997) menyatakan protein dapat terdenaturasi oleh proses
pemanasan sehingga akan merubah susunan molekulnya, hal ini dapat
menurunkan kandungan proteinnya. Hal ini sejalan dengan kadar air tepung
rumput laut Glacilaria sp yang dikeringkan pada suhu 50 oC yang lebih rendah
dari kadar air tepung rumput laut Glacilaria sp pada suhu pengeringan 70 oC.
3,39
10,51
8,8
3,13
8,9 8,85
0
2
4
6
8
10
12
E. Cottonii Glacilaria sp Sargassum spJenis Tepung Rumput Laut
Kada
r Pr
otei
n (%
)
Suhu 50 oC Suhu 70 oC
61
Desrosier dan Desrosier (1977) menyebutkan bahan pangan yang mengalami
pengeringan akan kehilangan air, hal ini dapat menyebabkan naiknya kadar
protein.
Kadar protein tepung rumput laut jenis Sargassum sp pada suhu
pengeringan yang berbeda yaitu 8,80 % dan 8,85 %. Berdasarkan hasil analisis
ragam yang dilakukan tidak berbeda antara ke 2 perlakuan suhu pengeringan
(Lampiran 34). Penelitian yang dilakukan oleh Chan et.al (1997), menyatakan
bahwa pengeringan Sargassum hemiphyllum dengan oven bersuhu 60 oC
mempunyai kadar protein 9,76 % dan kadar air 7,60%. Sedangkan Primahartini
(2005) melaporkan kadar protein tepung rumput laut Sargassum sp yang dipanen
dari Lampung Selatan adalah 5,77 % dan kadar air 15,59 %. Perbedaan ini
disebabkan sumber bahan baku dan perlakuan yang diberikan berbeda sehingga
hasil yang didapat juga berbeda.
4.2.9. Kadar Karbohidrat
Kisaran nilai kadar karbohidrat yang didapat pada penelitian ini adalah
64,21% - 73,78% (Gambar 20). Winarno (1990) menyebutkan komponen utama
dari rumput laut yang dapat digunakan sebagai bahan pangan adalah karbohidrat,
akan tetapi karena kandungan karbohidrat sebagian besar terdiri dari senyawa
gumi, maka hanya sebagian kecil saja dari kandungan karbohidrat tersebut yang
dapat diserap dalam pencernaan manusia.
Gambar 20. Kadar Karbohidrat Tepung Rumput Laut (%).
68,25
73,67
64,21
68,16
73,78
67,2
58606264666870727476
E. cottonii Glacilaria sp Sargassum spJenis Tepung Rumput Laut
Kad
ar K
arbo
hidr
at (%
)
Suhu 50 oC Suhu 70 oC
62
Analisis ragam yang dilakukan berdasarkan data yang diperoleh
menunjukkan bahwa kadar karbohidrat untuk tepung rumput laut Eucheuma
cottonii dan Glacilara sp tidak beda nyata (Lampiran 35 dan 36). Artinya
perlakuan suhu pengeringan tidak berpengaruh terhadap kadar karbohidrat tepung.
Untuk tepung rumput laut Sargassum sp menunjukkan beda sangat nyata antara 2
perlakuan suhu pengeringan (Lampiran 37), tepung dengan suhu pengeringan
50 oC memiliki kadar karbohidrat yang lebih tinggi.
4.2.10. Kadar Serat Pangan
Serat pangan merupakan senyawa yang inert secara gizi, hal ini didasarkan
bahwa senyawa tersebut tidak dapat dicerna serta hasil fermentasinya tidak dapat
digunakan oleh tubuh dan dikenal mempunyai efek sebagai pencahar perut. Serat
pangan merupakan salah satu komponen penyusun karbohidrat dimana pada
rumput laut komponen terbesar dari karbohidrat adalah senyawa gumi (komponen
serat pangan). Hasil analisa kadar serat pangan total 3 jenis tepung rumput laut
pada penelitian ini berada pada kisaran 81,75 - 84,88 %. Kadar serat pangan larut
antara 24,99 - 75, 18 %. Kadar serat pangan tidak larut antara 9,70 - 57,62 %.
Hasil analisa selengkapnya disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19. Kadar Serat Pangan Larut (SDF), Kadar Serat Pangan Tak Larut (IDF)
dan Kadar Serat Pangan Total (TDF) dari Eucheuma cottonii, Glacilaria sp dan Sargassum sp pada suhu pengeringan yang 50 oC dan 70 oC
Jenis Suhu pengeringan 50 oC Suhu pengeringan 70 oC TRL SDF(%) IDF (%) TDF(%) SDF(%) IDF(%) TDF(%)
E. cottonii
75,18
9,70
84,88
72,19
11,23
83,42
Glacilaria sp 60,86 22,48 83,34 62,95 20,67 83,62 Sargassum sp 25,89 55,86 81,75 24,99 57,62 82,61
Hasil analisis sidik ragam pada selang kepercayaan 95 % menyatakan bahwa
untuk jenis tepung rumput laut Eucheuma cottonii, perlakuan suhu pengeringan
berpengaruh nyata terhadap kadar serat pangan tidak larut. Nilai yang lebih tinggi
ada pada perlakuan suhu pengeringan 70 oC yaitu 11,23 % (Lampiran 38).
63
Sedangkan untuk kadar serat pangan larut dan serat pangan total tidak berbeda
nyata pada 2 suhu pengeringan (Lampiran 39 dan 40).
Analisis ragam terhadap tepung rumput laut Glacilaria sp menunjukkan
hasil bahwa kadar serat pangan tidak larut berbeda nyata terhadap 2 suhu
pengeringan, tetapi tidak berbeda nyata pada kadar serat pangan larut dan serat
pangan total (Lampiran 41, 42 dan 43).
Tepung rumput laut Eucheuma cottonii dan Glacilaria sp, yang termasuk
jenis alga merah (Rhodophyceae), mempunyai kadar serat pangan larut (SDF)
lebih tinggi dari pada kadar serat pangan tak larutnya (IDF). Anonymousc (2000)
menyatakan bahwa jenis rumput laut merah dan hijau mengandung kadar serat
pangan larut (SDF) sebesar 51 % - 56 % dari kadar serat pangan total. Lahaye
(1991) melaporkan bahwa kadar serat dari beberapa rumput laut berkisar antara 25
– 75 % (bk) dan sebagian besar seratnya terdiri dari serat pangan larut, yaitu 51 –
85 %. Akan tetapi kandungan serat pangan ini sangat tergantung dari species dan
tempat hidup dari rumput laut tersebut. Pada penelitian ini kandungan serat
pangan larut tepung rumput laut Eucheuma cottonii pada suhu pengeringan 50 oC
dan 70 oC berturut-turut adalah 86,53 % dan 88,57 % dari kadar serat pangan
total. Sedangkan tepung rumput laut Glacilaria sp, kandungan serat pangan
larutnya yaitu 73,03 % dan 75,24 % dari kadar serat pangan total. Artinya
kandungan serat pangan larut tepung rumput laut jenis alga merah yang ada di
Kepulauan Seribu cukup tinggi, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai salah satu
sumber serat yang potensial. Penelitian yang dilakukan Goni et.al., (2000)
menyatakan bahwa Nori algae (rumput laut jenis alga merah) yang mengandung
serat pangan larut yang tinggi kemungkinan dapat mengubah respon glycemic
pada kesehatan, dimana roti yang ditambahkan Nori alga memberikan hasil yang
lebih baik daripada roti tanpa Nori alga. Sedangkan Escrig dan Muniz (2000) dan
Herpandi (2005) menyatakan bahwa serat rumput laut terutama serat pangan larut
mempunyai efek hipokolesterolemik, dimana semakin tinggi akan semakin baik
dan telah terbukti dapat menurunkan kadar kolesterol dan tekanan darah
dibanding sumber serat lainnya.
Analisis ragam terhadap tepung rumput laut Sargassum sp menunjukkan
hasil tidak berbeda nyata terhadap kadar serat pangan larut, serat pangan tidak
64
larut dan serat pangan total (Lampiran 44, 45 dan 46). Artinya perbedaan suhu
pengeringan tidak mempengaruhi kandungan serat pada tepung rumput laut
Sargassum sp. Berbeda dengan tepung rumput laut dari alga merah, jenis tepung
rumput laut coklat (Phaeophyceae) yaitu Sargassum sp, mempunyai kadar serat
pangan larut (SDF) yang lebih rendah daripada kadar serat pangan tak larutnya
(IDF). Jika dilihat dari kandungan serat pangan bahan baku hasil perendaman,
terjadi kenaikan pada kadar serat pangan tak larutnya, hal ini kemungkinan terjadi
karena total padatan menjadi lebih tinggi akibat penguraian pati menjadi serat
pangan tak larut. Demikian juga dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Chan et.al (1997), yaitu menghasilkan tepung Sargassum hemiphyllum dengan
kadar serat pangan larut yang lebih rendah (9,91 %) daripada kadar serat pangan
tak larutnya (45,0 %), yang dikeringkan di oven bersuhu 60 oC.
4.2.11. Iodium
Salah satu trace element yang penting pada rumput laut adalah iodium.
Kandungan iodium tumbuhan laut berkisar antara 0,7 – 4,5 g/kg. Jika
dibandingkan dengan tumbuhan darat, kandungan iodium rumput laut sekitar
2.400 sampai 155.000 kali lebih banyak (Rai, 1996). Kebutuhan iodium
dipengaruhi oleh pertumbuhan, berat tubuh, jenis kelamin, usia, gizi, iklim dan
penyakit. Kecukupan iodium perhari untuk anak umur 0 - 12 tahun adalah 90 -
120 ug/hari, untuk laki-laki dan perempuan umur 13 – 60 tahun ke atas adalah 150
ug/hari, sedangkan untuk ibu hamil dan menyusui mendapat tambahan 50 ug/hari
(AKG, 2004). Pada penelitian ini, kadar iodium berada pada kisaran 4,55 –
11,27 ug/g, data lengkap tersaji pada Gambar 21. Jika setiap 1 gram tepung
rumput laut mengandung iodium sebesar 4,55 – 11,27 ug, maka diasumsikan
setiap 1 gram tepung rumput laut akan menyumbang iodium untuk kebutuhan
tubuh sebesar + 5 – 12 % untuk anak umur 0 – 12 tahun dan 3 – 7 % untuk
perempuan dan laki-laki umur 13 – 60 tahun. Sedangkan untuk ibu hamil dan
menyusui sekitar 2 – 5 % dari kebutuhan tubuh akan iodium menurut Angka
Kebutuhan Gizi..
Analisis ragam menunjukkan hasil bahwa suhu pengeringan berpengaruh
terhadap kadar iodium ketiga jenis tepung rumput laut (Lampiran 47, 48, 49).
65
Dari hasil pengamatan, data menunjukkan suhu pengeringan 70 oC memiliki kadar
iodium yang lebih tinggi pada ketiga jenis tepung tersebut. Hal ini disebabkan
waktu pengeringan yang berbeda. Pengeringan dengan suhu 70 oC memerlukan
waktu yang lebih pendek daripada suhu 50 oC, sehingga walaupun suhu
pengeringan lebih tinggi tetapi penurunan kadar iodium lebih kecil.
Gambar 21. Kadar Iodium Tepung Rumput Laut (ug/g).
Jika dibandingkan dengan kadar iodium bahan baku hasil perendaman
terdapat penurunan kadar iodium pada ketiga jenis tepung rumput laut tersebut.
Hal ini terjadi karena pelakuan yang diberikan selama pengolahan. Beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi kehilangan iodium diantaranya adalah tingkat
keasaman, air dan pemanasan. Penelitian yang dilakukan Magdalena (1996)
menyatakan semakin meningkatnya tingkat keasaman, suhu dan waktu
pemasakan, kecenderungan tingkat kehilangan iodium pada sayur matang akan
semakin meningkat. Selama penelitian ini, pemanasan yang diberikan selama
pengeringan berkisar antara 50 oC dan 70 oC, tetapi selama proses penepungan
terjadi juga proses pemanasan akibat mesin penepung sehingga terjadi penurunan
kadar iodium yang cukup besar.
6,01
9,84
4,55
6,79
11,27
4,77
0
2
4
6
8
10
12
E. Cottonii Glacilaria sp Sargassum spJenis Tepung Rumput Laut
Kada
r Iod
ium
(ug/
g)
Suhu 50 °C Suhu 70 °C
66
4.2.12. Organoleptik
Penilaian organoleptik merupakan salah satu ukuran penerimaan atau
standar kelayakan suatu produk. Berdasarkan uraian (deskripsi) terhadap
kenampakan, bau dan tekstur tepung rumput laut dari 3 jenis rumput laut, maka
disusun satu lembar penilaian (score sheet) untuk masing-masing jenis tepung
rumput laut. Lembar penilaian ini akan menjadi acuan dalam penilaian tepung
rumput laut (Lampiran 50, 51, 52). Angka (score) yang terdapat pada lembar
penilaian adalah 1 sampai 9. Penilaian dilakukan oleh 20 orang panelis.
a. Kenampakan
Kenampakan suatu produk akan menentukan ketertarikan konsumen
terhadap produk tersebut. Penilaian kenampakan meliputi warna dan kondisi
tepung. Winarno (1997) menyatakan bahwa penilaian suatu produk didahului
secara visual oleh warna produk. Melalui sifat warna, panelis dapat memberikan
penilaian baik mengenai kualitas maupun kesukaan terhadap suatu jenis makanan.
Makanan dengan kualitas yang baik belum tentu disukai jika memiliki warna yang
tidak disukai.
Penilaian panelis terhadap kenampakan tepung Eucheuma cottonii bervariasi
antara nilai 6 sampai 8. Rata-rata nilai kenampakan dan deskripsi pada lembar
penilaian dapat dilihat pada Tabel 19. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan
bahwa suhu pengeringan berbeda nyata terhadap kenampakan tepung (Lampiran
53). Suhu pengeringan 70 oC memberikan kenampakan yang lebih baik daripada
suhu pengeringan 50 oC. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh waktu
pengeringan yang lebih singkat pada suhu 70 oC sehingga tidak terjadi proses
pemanasan yang terlalu lama, dimana dapat menyebabkan warna agak krem.
Untuk tepung rumput laut Glacilaria sp, hasil analisis ragam menunjukkan
bahwa suhu pengeringan tidak berpengaruh terhadap kenampakannya (Lampiran
54). Walaupun tidak berbeda antara 2 perlakuan suhu tetapi pada lembar penilaian
tepung dengan suhu pengeringan 50 oC nilainya 6 (pembulatan ke bawah) dan
tepung dengan suhu pengeringan 70 oC nilainya 7 (pembulatan ke atas) seperti
terlihat pada Tabel 19. Artinya tepung rumput laut Glacilaria sp dengan suhu
pengeringan 70 oC memiliki yang nilai lebih tinggi.
67
Nilai kenampakan tepung rumput laut Sargassum sp berada pada kisaran 5
sampai 7, nilai rata-rata yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 20. Hasil analisis
ragam menunjukkan bahwa suhu pengeringan tidak berbeda nyata terhadap
kenampakannya. Pada lembar penilaian tepung ini masuk dalam nilai 6 tetapi
tepung dengan suhu pengeringan 70 oC memiliki kenampakan yang lebih baik
(Lampiran 55).
Tabel 20. Nilai rata-rata Uji Kenampakan Tepung Rumput Laut
Jenis TRL Suhu
pengeringan
Nilai Deskripsi
E. cottonii 50 oC
70 oC
6,4
7,2
Bersih, putih krem, ada butir hitam, agak kusam Bersih, agak putih, ada sedikit butir hitam, agak cemerlang
Glacilaria sp 50 oC
70 oC
6,3
6,6
Bersih, kehijauan, agak kusam Bersih, krem kehijauan, agak cemerlang
Sargassum sp 50 oC
70 oC
6,2
6,4
Bersih, coklat tua, agak kusam Bersih, coklat agak buram, agak cemerlang
b. Bau
Uji bau suatu produk sangat berkaitan dengan indera penghidu, karena
indera penghidu sangat sensitif terhadap bau (aroma). Bau tepung rumput laut ikut
menentukan kesukaan konsumen terhadap produk yang akan dihasilkan. Bau amis
yang merupakan bau khas tumbuhan laut merupakan salah satu kendala dalam
pengolahan produk lanjutan. Hasil uji terhadap bau 3 jenis tepung rumput laut
berkisar pada nilai 5 sampai 7. Nilai rata-rata uji bau untuk ke 3 jenis tepung
rumput laut disajikan pada Tabel 21.
Hasil analisis ragam menyatakan bahwa suhu pengeringan tidak
berpengaruh terhadap bau ketiga jenis tepung rumput laut (Lampiran 56, 57, 58).
Pada lembar penilaian, Eucheuma cottonii dan Glacilaria sp memiliki nilai 6
(pembulatan) sedangkan Sargassum sp memiliki nilai 5 (pembulatan).
68
Tabel 21. Nilai rata-rata Uji Bau Tepung Rumput Laut
Jenis TRL Suhu
pengeringan
Nilai Deskripsi
E. cottonii 50 oC
70 oC
6,2
6,2
Bau sedikit agak amis Bau sedikit agak amis
Glacilaria sp 50 oC
70 oC
5,6
5,7
Bau sedikit agak amis Bau sedikit agak amis
Sargassum sp 50 oC
70 oC
5,4
5,4
Bau amis cukup dominant Bau amis cukup dominant
c. Tekstur
Butiran rumput laut kering sangat liat dan keras, hal ini kemungkinan karena
kandungan seratnya yang tinggi. Oleh karena itu proses penepungan sangat
menentukan kehalusan tepung rumput laut yang dihasilkan. Kehalusan tepung ikut
menentukan tekstur tepung rumput laut, semakin halus maka tekstur akan semakin
lembut. Kehalusan tekstur untuk produk minuman akan menentukan daya
larutnya. Pada penelitian ini tepung rumput laut lolos pada saringan ukuran 48.
Nilai uji tekstur berada pada kisaran 6 sampai 8. Nilai rata-rata uji tekstur dapat
dilihat pada Tabel 22. Analisis ragam terhadap tekstur 3 jenis tepung rumput laut
menunjukkan bahwa tidak berbeda nyata antara 2 perlakuan suhu pengeringan.
Artinya suhu pengeringan tidak berpengaruh terhadap tekstur tepung rumput laut
(Lampiran 59, 60,61).
69
Tabel 22. Nilai rata-rata Uji Tekstur Tepung Rumput Laut
Jenis TRL Suhu
pengeringan
Nilai Deskripsi
E. cottonii 50 oC
70 oC
7,5 7,6
Halus, agak lembut Halus, agak lembut
Glacilaria sp 50 oC
70 oC
6,4 6,5
Agak kasar, butiran terasa Agak halus
Sargassum sp 50 oC
70 oC
6,3 6,5
Agak kasar, butiran terasa Agak halus
4.3. Tepung Rumput Laut
Rumput laut, kualitasnya di pengaruhi oleh faktor lingkungan seperti
cahaya, suhu, musim, kadar garam, gerakan air dan zat hara. Cahaya, suhu, pH
dan unsur hara akan berpengaruh terhadap berlangsungnya fotosintesa.
Fotosintesa merupakan proses perubahan zat anorganik menjadi zat organik,
sehingga faktor-faktor tersebut di atas secara tidak langsung akan menentukan
kandungan protein, lemak, serat kasar dan karbohidrat rumput laut (Kadi et al.
1988). Menurut Winarno (1990), komposisi kimia rumput laut bervariasi
tergantung pada spesies, tempat tumbuh dan musim. Vegetable gum yang
dikandungnya merupakan senyawa karbohidrat yang banyak mengandung
selulosa dan hemiselulosa yang tidak dapat dicerna seluruhnya oleh enzim dalam
tubuh, sehingga dapat menjadi makanan diet dengan sedikit kalori.
Kandungan serat dan iodium pada rumput laut, merupakan senyawa penting
yang diharapkan manfaatnya. Beberapa peneliti telah melaporkan hubungan
antara konsumsi serat dan insiden timbulnya berbagai macam penyakit
diantaranya kanker usus besar, penyakit kardiovaskuler dan kegemukan
(obesitas). Berdasarkan hasil penelitian ini, perlakuan suhu pengeringan yang
berbeda terhadap 3 jenis tepung rumput laut yaitu Eucheuma cottonii, Glacilaria
sp dan Sargassum sp, secara umum tidak terlalu berpengaruh terhadap kandungan
gizi rumput laut terutama kadar seratnya. Kadar serat larut pada tepung rumput
70
laut Eucheuma cottonii dan Glacilaria sp lebih tinggi daripada serat tak larutnya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Lahaye (1991), maka kadar serat larut
rumput laut yang ada di Kepulauan Seribu ini cukup tinggi, sehingga dapat
digunakan sebagai sumber serat yang dibutuhkan oleh tubuh. Besarnya peranan
serat pangan bagi kesehatan manusia menjadikan produk ini semakin banyak
dimanfaatkan, baik secara langsung maupun sebagai pencampur berbagai jenis
makanan, minuman dan produk diet pelangsing tubuh (Le Marie, 1985).
Eucheuma cottonii merupakan rumput laut yang sangat luas penggunaannya
baik langsung maupun berupa makanan dan minuman olahan. Berbagai cara
pengolahan telah dilakukan untuk memanfaatkan tepung rumput laut ini,
diantaranya adalah dengan mengolah menjadi makanan kering (crakers), makanan
semi basah (dodol, selai), maupun jajanan pasar (kue putu, donat, cente manis).
Beberapa industri rumah tangga telah berhasil mengolah dan memasarkan produk
yang terbuat dari rumput laut ini. Rasa yang enak dan mudah cara mengolahnya
merupakan hal yang menguntungkan. Untuk jenis rumput laut Glacilaria sp, pada
umumnya dilakukan ekstraksi terlebih dahulu untuk menghasilkan agar, baik
berbentuk batangan, lembaran (agar kertas) ataupun bubuk. Pemanfaatan secara
langsung atau olahan berbentuk makanan atau minuman jarang dilakukan.
Pemanfaatan rumput laut jenis Sargassum sp, biasanya dilakukan sebagai bahan
tambahan makanan jajanan (kue) atau diekstrak untuk menghasilkan alginat yang
luas penggunaannya. Penelitian yang dilakukan Darmawan et.al. (2004) terhadap
kandungan omega 3 dan iodium tepung Sargassum sp menyebutkan pada
konsentrasi 5 % berpengaruh nyata terhadap kadar iodium kue keik dan pada
konsentrasi 2 % berpengaruh nyata terhadap kadar omega 3 kue keik.
Pengolahan lanjutan dari tepung rumput laut pada penelitian ini adalah untuk
minuman berserat. Kandungan serat pangan yang tinggi terutama serat pangan
larut, diharapkan dapat menjadi sumber serat pada minuman ini. Selain
kandungan serat dan iodium, penilaian organoleptik sangat menentukan dalam
pemilihan jenis tepung yang akan digunakan. Kondisi tepung yang akan
digunakan diharapkan memiliki kriteria warna putih cemerlang, tidak berbau, dan
tekstur halus. Tepung yang berwarna putih akan mudah dalam pengolahan warna
yang diinginkan. Warna yang diberikan akan terserap sempurna. Warna akan
71
menambah daya tarik dan kesukaan konsumen terhadap produk minuman ini.
Bau (aroma) suatu produk, baik makanan dan minuman akan mempengaruhi
minat/kesukaan konsumen. Bau yang diharapkan pada tepung rumput laut ini
adalah netral, dengan demikian tidak akan tercium bau amis yang dapat
mengganggu selera. Tekstur tepung pada penelitian ini berada pada kondisi yang
halus sedang. Tekstur yang sangat halus dan lembut akan memudahkan dalam
penggunaan. Pada penelitian ini, ke 3 jenis tepung rumput laut memiliki
kehalusan yang berbeda walaupun lolos pada saringan yang sama. Hal ini karena
kondisi thallus pada masing-masing rumput laut berbeda dan mesin penepung
yang digunakan tidak bekerja maksimal.
Berdasarkan analisa yang dilakukan, baik sifat fisik-kimia, maka jenis
tepung rumput laut yang akan digunakan dalam penelitian selanjutnya adalah
Eucheuma cottonii dengan perlakuan suhu pengeringan 70 oC dan Glacilaria sp
dengan perlakuan pengeringan 70 oC. Dengan demikian diharapkan sumber serat
akan terpenuhi dari tepung rumput laut Eucheuma cottonii sedangkan kandungan
iodium diharapkan terpenuhi dari tepung rumput laut Glacilaria sp. Data hasil
pengamatan masing-masing jenis tepung rumput laut selengkapnya disajikan pada
Tabel 23, 24 dan 25.
72
Tabel 23. Sifat Fisik-Kimia Tepung Rumput Laut Eucheuma cottonii
Komponen Suhu pengeringan 50oC Suhu pengeringan 70oC
Rendemen (% ) 8,01 8,33
Ph 7,11 6,45
Titik jendal (oC) 34 32
Titik leleh (oC) 75 70
Viskositas (cps) 5080,36 4970,40
Kelarutan (%) 27,6 36,8
Kadar air (%) 12,88 12,34
Kadar abu (%) 14,18 14,27
Kadar protein (%) 3,39 3,13
Kadar karbohidrat (%)
- Kadar serat larut (%) - Kadar serat tak larut (%) - Kadar serat total (%)
68,25
75,18 9,70 84,88
68,16
72,19 11,23 83,42
Iodium (ug/g) 6,01 6,79
Tabel 24. Sifat Fisik-Kimia Tepung Rumput Laut Glacilaria sp
Komponen Suhu pengeringan 50 oC Suhu pengeringan 70 oC
Rendemen (% ) 7,94 8,12
pH 7,13 7,57
Titik jendal (oC) - -
Titik leleh (oC) - -
Viskositas (cps) 18,58 20,89
Kelarutan (%) 15,03 18,01
Kadar air (%) 11,72 11,90
Kadar abu (%) 6,32 5,70
Kadar protein (%) 10,51 8,9
Kadar karbohidrat (%)
- Kadar serat larut (%) - Kadar serat tak larut (%) - Kadar serat total (%)
73,67
60,68 22,48 83,34
73,78
62,95 20,67 83,62
Iodium (ug/g) 9,84 11,27
73
Tabel 25. Sifat Fisik-Kimia Tepung Rumput Laut Sargassum sp
Komponen Suhu pengeringan 50oC Suhu pengeringan 70oC
Rendemen (% ) 7,14 7,94
pH 7,74 7,22
Titik jendal (oC) - -
Titik leleh (oC) - -
Viskositas (cps) 0,997 3,42
Kelarutan (%) 26,96 18,21
Kadar air (%) 10,82 11,65
Kadar abu (%) 15,83 15,58
Kadar protein (%) 8,80 8,85
Kadar karbohidrat (%)
- Kadar serat larut (%) - Kadar serat tak larut (%) - Kadar serat total (%)
64,21
25,89 55,86 81,75
67,2
24,99 57,62 82,61
Iodium (ug/g) 4,55 4,77
74
4.4. Formulasi Minuman Berserat
Pengetahuan konsumen tentang minuman beserat umumnya diperoleh dari
iklan, baik melalui media cetak atau elektronik. Penelitian yang dilakukan Qomari
(2003) menyebutkan bahwa setelah konsumen memiliki informasi yang cukup
tentang minuman berserat, selanjutnya akan melakukan evaluasi alternatif dan
menetapkan kriteria evaluasi berdasarkan beberapa pengaruh diantaranya motivasi
dan pengetahuan. Beberapa produk minuman berserat di pasaran memberikan
informasi yang lengkap mengenai manfaat dan nilai gizi yang dibutuhkan. Tetapi
untuk formulasi komposisi penyusun minuman tersebut tidak diinformasikan
secara lengkap. Hal ini tentu saja berkaitan dengan hak paten dari produk tersebut.
Pada penelitian ini, akan dibuat beberapa formulasi minuman berserat.
Komposisi minuman terdiri dari sumber serat, bahan penstabil, gula, asam sitrus,
pewarna, dan aroma (flavor). Sumber serat yang digunakan adalah tepung rumput
laut Eucheuma cottonii dan Glacilaria sp. Gula sukrosa (gula pasir). Bahan
penstabil yang digunakan adalah gum arab dan alginat dengan konsentrasi 1 dan
3 %. Bahan pewarna dengan kode 19385, warna orange yellow dan aroma yang
ditambahkan adalah aroma jeruk dengan kode 5098. Persentase bahan tambahan
yang digunakan berdasarkan berat tepung rumput laut.
Gum arab yang digunakan pada penelitian ini memiliki kadar serat pangan
larut 10,89 %, kadar serat pangan tidak larut 11,06 % dan serat pangan total
sebesar 21,95 %. Kenampakan putih bersih, bau netral dan tekstur sangat halus
dan lembut. Alginat memiliki kadar serat pangan larut 12,07 %, kadar serat
pangan tidak larut 25,04 % dan kadar serat pangan total 37,11 %. Kenampakan
agak krem, ada bau tambahan, dan tekstur halus. Secara keseluruhan, gum arab
memiliki penampilan yang lebih baik daripada alginat. Bahan penstabil bekerja
dengan menurunkan tegangan permukaan melalui pembentukan lapisan pelindung
yang menyelimuti globula fase terdispersi, sehingga senyawa yang tidak larut
akan lebih terdispersi dan lebih stabil (Fennema, 1996). Selain untuk
mempertahankan produk tetap dalam kondisi yang diinginkan (cair), bahan
penstabil juga dapat memperbaiki sifat produk sehingga akan meningkatkan nilai
organoleptik.
75
Formulasi yang dicobakan terdiri dari 1 sumber serat yaitu Eucheuma
cottonii, konsentrasi bahan penstabil yang digunakan masing-masing adalah 1 dan
3 %; formulasi yang terdiri dari 2 sumber serat yaitu Eucheuma cottonii dan
Glacilaria sp dengan perbandingan 8 : 2. Perbandingan sumber serat ini
berdasarkan kenampakan tepung rumput laut Glacilaria sp yang kurang putih
sehingga dengan konsentrasi yang rendah diharapkan dapat tertutupi oleh bahan
pewarna yang ditambahkan. Formulasi dapat dilihat pada Tabel 26. Selanjutnya
dilakukan uji organoleptik (uji kesukaan) dengan batas penolakan adalah pada
nilai 4,5 (agak tidak suka). Formulasi terpilih selanjutnya akan diuji sifat
kimianya yang meliputi viskositas, kelarutan, kadar serat dan uji organoleptik (uji
perbandingan pasangan).
Tabel 26. Formulasi minuman berserat
Formulasi Komposisi
Formulasi A E. cottonii 48,7 %, gum arab 0,5 %, gula 48,7 %, asam sitrus 1,5 %, pewarna 0,2 % dan aroma 0,4 %.
Formulasi B E. cottonii 48,7 %, alginat 0,5 %, gula 48,7 %, asam sitrus 1,5 %, pewarna 0,2 % dan aroma 0,4 %.
Formulasi C E. cottonii 48,2 %, gum arab 1,4 %, gula 48,2 %, asam sitrus 1,4 %, pewarna 0,3 % dan aroma 0,5 %
Formulasi D E. cottonii 48,2 %, alginat 1,4 %, gula 48,2 %, asam sitrus 1,4 %, pewarna 0,3 % dan aroma 0,5 %
Formulasi E E. cottonii 38,9 %, Glacilaria sp 9,8 %, gum arab 0,5 %, gula 48,7 %, asam sitrus 1,5 %, pewarna 0,2 % dan aroma 0,4 %
Formulasi F E. cottonii 38,9 %, Glacilaria sp 9,8 %, alginat 0,5 %, gula 48,7 %, asam sitrus 1,5 %, pewarna 0,2 % dan aroma 0,4 %
Uji organoleptik (uji kesukaan) Formulasi Minuman Berserat a. Rasa
Berdasarkan uji kesukaan yang dilakukan oleh panelis, formulasi Eucheuma
cottonii dengan konsentrasi gum arab 0,5 % (formula A) adalah yang paling
disukai. Pada konsentrasi gum arab dan alginat 1,4 % (formula C dan D), panelis
menolak rasa minuman karena rasanya hambar (tidak ada rasa). Hal ini karena
bertambahnya konsentrasi gum arab dan alginat sedangkan konsentrasi bahan
tambahan lain tidak ditambah sehingga rasa tidak disukai. Formulasi dengan 2
76
sumber serat, konsentrasi gum arab 0,5 % (formula E) memiliki nilai uji rasa pada
batas nilai penolakan (Gambar 22).
Gambar 22. Hasil Uji Rasa Minuman Berserat pada Formulasi yang berbeda.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa formulasi minuman
memberikan pengaruh nyata terhadap rasa minuman. Uji lanjut yang dilakukan
diperoleh hasil bahwa rasa minuman formulasi A, E, C dan D berbeda nyata
terhadap semua formulasi sedangkan formulasi B dan F tidak berbeda nyata
tetapi berbeda nyata dengan formulasi lainnya (Lampiran 62).
b. Aroma
Aroma suatu produk sangat mempengaruhi selera konsumen. Aroma yang
kurang enak akan menurunkan minat untuk mengkonsumsinya. Oleh karena itu,
industri pangan menganggap uji bau merupakan uji yang sangat penting karena
secara cepat dapat memberikan hasil penilaian terhadap produksinya, disukai atau
tidak disukai. Pada minuman berserat hasil penelitian ini, aroma (flavor) yang
diberikan adalah aroma jeruk. Diharapkan bau khas rumput laut dapat tertutupi
oleh aroma tersebut. Penilaian panelis berada pada kisaran 5,2 – 6,6. Hasil
penilaian terhadap aroma disajikan pada Gambar 23.
Rasa
5
4
3.22.7
4.54
0
1
2
3
4
5
6
A B C D E FFormula minuman
Nila
i uji
rasa
77
Gambar 23. Hasil Uji Aroma Minuman Berserat pada Formulasi yang berbeda.
Analisis sidik ragam terhadap aroma menunjukkan hasil berbeda nyata. Uji
lanjut terhadap aroma, menunjukkan bahwa formulasi A dan B tidak berbeda
tetapi berbeda dengan formulasi lainnya. Formulasi C, E dan F tidak berbeda
tetapi berbeda dengan formulasi lain sedangkan formulasi D berbeda dengan
formulasi lainnya (Lampiran 63).
c. Kenampakan
Uji kenampakan suatu produk meliputi warna dan penampilan dengan
menggunakan indera penglihatan. Meskipun warna paling cepat dan mudah
memberi kesan, tetapi paling sulit diberi deskripsi dan sulit cara pengukurannya.
Itulah sebabnya penilaian secara subyektif dengan penglihatan masih sangat
menentukan dalam penilaian komoditi (Soekarto, 1981). Gambar 24
menunjukkan hasil uji kesukaan terhadap kenampakan. Formulasi minuman A,
B, C, D dan E memiliki nilai diatas batas penolakan, artinya kenampakan
minuman dapat diterima konsumen. Formulasi F memiliki nilai dibawah batas
penolakan. Kenampakan minuman formula F agak kusam dan agak kotor. Hal ini
disebabkan sumber serat Glacilaria sp dan bahan tambahan alginat memiliki
warna agak kecoklatan sehingga pewarna yang diberikan tidak terserap sempurna
sesuai yang diinginkan. Warna yang ditimbulkan menjadi agak kusam.
Aroma6.6 6.4
5.95.2
5.8 5.7
0
1
2
3
4
5
6
7
A B C D E FFormula minuman
Nila
i uji
arom
a
78
Gambar 24. Hasil Uji Kenampakan Minuman Berserat pada Formulasi yang berbeda.
Hasil analisis sidik ragam terhadap kenampakan adalah berbeda nyata.
Artinya formulasi minuman berpengaruh terhadap kenampakannya. Uji lanjut
Duncan terhadap kenampakan menunjukkan hasil bahwa formulasi A, B, C dan F
masing-masing berbeda dengan formulasi lainnya, formulasi D dan E tidak
berbeda tetapi berbeda dengan formulasi lainnya (Lampiran 64).
d. Kekentalan
Pada uji kekentalan, panelis menolak minuman berserat dengan formulasi
C, D dan F. Pada formulasi F, larutan berbentuk seperti bubur (terlalu kental)
sehingga tidak cocok disebut minuman. Formulasi satu sumber serat dengan
konsentrasi gum arab 0,5 % mempunyai kekentalan yang paling disukai panelis.
Hasil uji disajikan pada Gambar 25.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan adanya pengaruh formulasi terhadap
kekentalan minuman (berbeda nyata). Hasil uji lanjut kekentalan minuman rumput
laut yang diperoleh menunjukkan bahwa formulasi A dan D berbeda dengan
formulasi lainnya, formulasi E dan B tidak berbeda tetapi berbeda dengan
formulasi lainnya, formulasi C dan F tidak berbeda tetapi berbeda dengan lainnya
(Lampiran 65).
Kenampakan
6.676.26
5.464.6 4.8
4.13
0
1
2
3
4
5
6
7
8
A B C D E FFormula minuman
Nila
i uji
kena
mpa
kan
79
Gambar 25. Hasil Uji Kekentalan Minuman Berserat pada Formulasi yang
berbeda.
Berdasarkan hasil uji kesukaan yang didapat, maka formulasi 1 sumber serat
(Eucheuma cottonii) dengan konsentrasi gum arab 0,5 % (formula A) dan
formulasi 2 sumber serat (Eucheuma cottonii dan Glacilaria sp) dengan
konsentarsi gum arab 0,5 % (formula E) akan dilanjutkan untuk uji viskositas,
kelarutan, kadar serat pangan, organoleptik (uji perbandingan pasangan) dan Total
Plate Count (TPC).
4.5. Uji Formulasi Minuman Berserat Terpilih
4.5.1. Viskositas Minuman Berserat Formula A dan E
Viskositas berpengaruh pada bentuk dan penerimaan rasa dari produk yang
berupa cairan. Semakin tinggi nilai viskositas suatu larutan maka makin tinggi
pula tingkat kekentalannya. Pengamatan viskositas dilakukan pada suhu media
pelarut (air penyajian minuman) yang berbeda. Suhu media pelarut yang
digunakan adalah 10oC (air dingin), 28oC (air biasa) dan suhu 40oC (air hangat).
Hasil pengamatan nilai viskositas 2 formulasi terpilih pada suhu media pelarut
yang berbeda ada pada Gambar 26. Analisis ragam yang dilakukan terhadap
masing-masing suhu media pelarut pada formula yang berbeda menunjukkan
adanya pengaruh yang sangat nyata terhadap nilai viskositas. Uji lanjut yang
diperoleh memberi hasil bahwa pada 3 taraf suhu media pelarut, nilai viskositas
formula A lebih tinggi daripada formula E (Lampiran 66). Formula A dengan
kekentalan
6.2
4.84.06
3
5.134.4
0
1
2
3
4
5
6
7
A B C D E FFormula minuman
Nila
i uji
keke
ntal
an
80
sumber serat Eucheuma cottonii memiliki kekentalan dan tekstur yang lebih halus
dan homogen daripada formula E dengan sumber serat campuran Eucheuma
cottonii dan Glacilaria sp. Menurut Towle (1973), sebagai penghasil karagenan,
larutan Eucheuma cottonii bersifat kental dan viskositasnya bergantung pada
konsentrasi, suhu, adanya molekul-molekul lain, jenis karagenan dan berat
molekulnya. Jika konsentrasi larutan karagenan meningkat maka viskositasnya
akan meningkat. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian bahwa viskositas formula
A dengan satu sumber serat, Eucheuma cottonii, memiliki viskositas yang lebih
tinggi daripada formula E dengan 2 sumber serat. Eucheuma cottonii dan
Glacilaria sp tidak dapat bercampur, tetapi dengan penambahan gum arab 0,5 %
dapat membantu pencampuran kedua serat tersebut walaupun tetap dengan nilai
viskositas yang lebih rendah daripada 1 sumber serat.
Gambar 26. Nilai Viskositas (cps) Minuman Berserat Formula A dan Formula E.
Berdasarkan Gambar 26, analisis ragam terhadap viskositas minuman
berserat formula A pada suhu media pelarut yang berbeda menunjukkan hasil
berbeda sangat nyata (Lampiran 67). Semakin tinggi suhu media pelarut,
viskositas minuman semakin tinggi. Pada suhu air 10 oC, formula A larut dengan
sedikit sekali perubahan pada struktur molekul bahan minuman. Pada suhu air
biasa, mulai terjadi perubahan pada struktur molekul bahan penyusun minuman,
hal ini ditandai dengan semakin meningkatnya viskositas. Larutan semakin
559,44
11,79 36,53
188,44
2,35 23,47
0
100
200
300
400
500
600
Suhu 10° C Suhu 28°C Suhu 40°CSuhu Media Pelarut
visk
osita
s (c
ps)
Formula A Formula E
81
homogen dan mengental. Pada suhu air 40 oC, terjadi perubahan struktur molekul,
molekul semakin mengembang sehingga larutan menjadi semakin mengental. Hal
ini ditandai dengan semakin tinggi nilai viskositasnya. Adanya bahan tambahan
pada formulasi minuman juga mempengaruhi viskositasnya. Menurut Hanson
(2000), viskositas larutan karagenan menurun dengan naiknya suhu dan
perubahan ini bersifat reversible. Pada penelitian ini, semakin tinggi suhu media
pelarut yang digunakan viskositas semakin tinggi pula. Kekentalan minuman tidak
berubah dengan semakin turun suhunya. Artinya larutan tetap mengental dan tidak
berubah menjadi cair setelah dingin. Hal ini kemungkinan karena terjadinya
pengembangan molekul bahan penyusun minuman karena suhu air yang tinggi.
Adanya bahan penstabil dalam formulasi minuman menyebabkan larutan tetap
mengental. Hal ini ditunjukkan dengan nilai viskositas yang tinggi.
Demikian juga pada minuman berserat dengan 2 sumber serat (Formula E).
Analisis ragam pada 3 taraf suhu media pelarut menunjukkan pengaruh yang
sangat nyata terhadap nilai viskositasnya. Uji lanjut menunjukkan bahwa masing-
masing suhu air berbeda nyata, nilai viskositas tertinggi ada pada suhu media
pelarut 40 oC (Lampiran 68). Semakin tinggi suhu media pelarut, viskositas
semakin tinggi. Pencampuran 2 sumber serat menurunkan kemampuan melarut
Eucheuma cottonii. Hal ini ditunjukkan dengan nilai viskositas yang lebih rendah
dari 1 sumber serat. Adanya gum arab dalam formulasi minuman mempengaruhi
kestabilan larutan. Larutan minuman menjadi agak homogen dan tekstur agak
halus, walaupun jika didiamkan akan membentuk 2 lapisan, yaitu endapan dan
cairan.
4.5.2. Kelarutan Minuman Berserat Formula A dan E
Hasil pengamatan kelarutan 2 formulasi minuman pada suhu media pelarut
10 oC, 28 oC dan 40 oC disajikan pada Gambar 27. Analisis sidik ragam pada
masing-masing suhu dan formula yang berbeda menyatakan formula A dan E
pada suhu 10 oC dan 40 oC berbeda sangat nyata terhadap nilai kelarutan, tetapi
berbeda nyata pada suhu 28 oC (Lampiran 69). Nilai kelarutan meningkat dengan
semakin meningkatnya suhu. Artinya pada suhu 40 oC, larutan semakin homogen
dan melarut lebih baik daripada suhu 10 oC. Hal ini sejalan dengan nilai viskositas
yang semakin tinggi, karena semua komponen pada minuman dapat menyatu
82
dalam larutan. Pada 3 taraf suhu media pelarut, formula A memiliki nilai
kelarutan yang lebih tinggi daripada formula E. Hal ini karena tekstur rumput laut
Glacilaria sp tidak sehalus tekstur Eucheuma cottonii sehingga tidak dapat
melarut dalam air.
Gambar 27. Nilai Kelarutan (%) Minuman Berserat Formula A dan Formula E.
Berdasarkan Gambar 27, analisis sidik ragam terhadap kelarutan formula A
pada suhu yang berbeda menunjukkan pengaruh yang sangat nyata. Uji lanjut
Duncan yang diperoleh menyatakan masing-masing suhu media pelarut berbeda
nyata. Nilai kelarutan tertinggi ada pada suhu air 40 oC (Lampiran 70). Hal ini
karena pada suhu 40 oC, terjadi perubahan pada molekul-molekul bahan penyusun
minuman sehingga daya larutnya menjadi lebih baik. Demikian juga pada formula
E, analisis sidik ragam menyatakan suhu media pelarut berpengaruh nyata
terhadap nilai kelarutannya. Uji lanjut menunjukkan masing-masing suhu
berbeda dan nilai kelarutan pada suhu 40 oC lebih tinggi (Lampiran 71).
4.5.3. Kadar Serat Pangan Minuman Berserat Formula A dan E
Hasil pengamatan kadar serat pangan minuman berserat formulasi A dan E
seperti pada Gambar 28. Kadar serat pangan total kedua formulasi minuman
sama, yaitu 41,8 %. Kadar serat pangan larut lebih tinggi daripada serat pangan
tidak larut. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa formulasi minuman
38,08
58,14
35,81
57,62 60,0864,13
0
10
20
30
40
50
60
70
Suhu 10° C Suhu 28°C Suhu 40°CSuhu Media Pelarut
Kel
arut
an (%
)
Formula A Formula E
83
berbeda nyata terhadap kadar serat pangan larut tetapi tidak berpengaruh terhadap
serat pangan tidak larut dan kadar serat pangan total minuman berserat
(Lampiran 72).
Keterangan : SDF = Soluble dietary fiber (serat pangan larut) ISF = Insoluble dietary fiber (serat pangan tak larut) TDF = Total dietary fiber (serat pangan total)
Gambar 28. Kadar Serat Pangan (%) Minuman Berserat Formula A dan E.
Pada saat ini, kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi serat
pangan sudah semakin baik. Selain manfaat serat untuk kesehatan, sebagian
masyarakat menggunakan serat untuk tujuan diet (menjaga berat badan). Menurut
Angka Kecukupan Gizi (AKG), kebutuhan serat perhari/orang adalah 25 gram.
Untuk memenuhinya dapat mengkosumsi makanan yang kaya akan serat, seperti
sayuran. Salah satu suplemen yang dapat mencukupi kebutuhan serat adalah
minuman berserat. Salah satu minuman berserat yang sudah beredar di
masyarakat dapat mensuplai kebutuhan serat sebanyak 3 gram/kemasan saji
seberat 8 gram. Aturan minum yang dianjurkan adalah 3 bungkus sehari. Artinya
minuman beserat ini dapat mensuplai 9 gram serat perhari.
Kadar serat yang terkandung dalam minuman berserat pada penelitian ini
cukup tinggi yaitu 41,8 %. Dengan demikian setiap gram pada formula minuman
mengandung 0,42 gram total serat pangan. Jika dalam satu takaran saji adalah
sebanyak 8 gram, maka jumlah serat yang dikonsumsi adalah 3,36 gram.
Berdasarkan analisis sidik ragam, kandungan serat total berbeda nyata antara 2
36.1
5.7
41.8
35.2
6.6
41.8
05
101520
253035
4045
SDF IDF TDFJenis Serat Pangan
Kad
ar S
erat
Pan
gan
(%)
Formula a Formula e
84
produk minuman komersil dan produk hasil penelitian (Lampiran 73).
Berdasarkan data tersebut, dapat dikatakan bahwa produk minuman berserat yang
dihasilkan pada penelitian ini dapat menjadi salah satu alternatif pilihan minuman
berserat. Artinya rumput laut Eucheuma cottonii dan Glacilaria sp dapat
digunakan sebagai sumber serat alternatif pada minuman berserat.
4.5.4. Uji Organoleptik (Uji Perbandingan Pasangan) Minuman Berserat
Formula A dan E dengan Minuman Berserat Komersil
Dalam dunia usaha dan industri selalu terjadi persaingan dan berlangsung
kebutuhan pengembangan. Untuk menghadapi hal tersebut, maka selalu dilakukan
upaya mengembangkan produk baru, diantaranya adalah memperbaiki mutu,
mengganti bahan, menambah bahan tambahan, mengganti bentuk dan penampilan,
mengganti kemasan dan lain-lan. Untuk menilai keberhasilan suatu produk baru,
maka perlu dilakukan uji pembedaan sifat atau mutu produk yang dihasilkan
terhadap produk lama. Produk minuman berserat baru yang dihasilkan pada
penelitian ini dibandingkan dengan produk minuman berserat komersil. Hasil uji
yang didapat adalah respon beda, dimana respon beda yang diberikan adalah lebih
tinggi atau lebih rendah. Respon yang diinginkan adalah lebih tinggi, artinya
produk baru yang dihasilkan mempunyai mutu yang lebih baik. Produk minuman
berserat dapat dilihat pada Gambar 29.
Gambar 29. Minuman Berserat (kiri : formula A; tengah : produk komersil; kanan : formula E)
85
formula A
1.13
-0.3
-1.4 -1.3
0
-2
-1.5
-1
-0.5
0
0.5
1
1.5
Warna Aroma Rasa manis Rasa asam Kekentalan
parameter uji
Nila
i rat
a-ra
ta
Hasil uji perbandingan pasangan yang dilakukan oleh panelis terhadap
formula A disajikan pada Gambar 30, sedangkan untuk formula E dapat dilihat
pada Gambar 31.
Gambar 30. Hasil Uji Perbandingan Pasangan terhadap Formula A.
Gambar 31. Hasil Uji Perbandingan Pasangan terhadap Formula E.
Panelis memberikan nilai pada parameter warna rata-rata 1,13 untuk formula
A dan 0,2 untuk formula E. Nilai positif yang dihasilkan menunjukkan bahwa
tingkat kecerahan warna produk baru berada diatas tingkat kecerahan produk lama
(komersil). Pada uji kesukaan panelis memberikan nilai 6,67 (suka) untuk formula
A dan 4,8 (netral) untuk formula E. Artinya upaya untuk menjadikan warna lebih
menarik dapat dicapai pada produk baru yang dihasilkan.
formula E
0.2
-0.6
-1.7 -1.6
0
-2
-1.5
-1
-0.5
0
0.5
Warna Aroma Rasamanis
Rasa asam Kekentalan
parameter uji
Nila
i rat
a-ra
ta
86
Indera yang digunakan untuk uji rasa adalah lidah. Tingkat kepekaan
seseorang terhadap rasa manis dan rasa asam tidak sama. Pada uji rasa ini panelis
memberikan respon yang berbeda tergantung kesukaan dan kepekaan inderanya,
walaupun respon yang diberikan diharapkan tidak mempengaruhi kesukaan
panelis. Pada uji pembanding rasa manis, rata-rata nilai yang dihasilkan adalah
-1,4 untuk formulasi A dan -1,7 untuk formulasi E. Untuk rasa asam berturut-
turut adalah -1,3 dan -1,6. Nilai negatif yang dihasilkan menunjukkan bahwa rasa
manis dan rasa asam produk baru tidak sama dengan produk lama (komersil).
Bedasarkan hasil uji kesukaan, kedua formula produk baru berada di atas batas
nilai penolakan. Hal ini menunjukkan bahwa rasa manis dan asam sudah dapat
diterima panelis walaupun berada dibawah tingkat kemanisan dan keasaman
produk komersil. Berdasarkan hasil tersebut, maka perlu dilakukan
penyempurnaan formulasi dan pengujian ulang sehingga dapat tercapai rasa
manis dan rasa asam yang diinginkan.
Aroma yang ingin ditonjolkan pada produk adalah aroma jeruk. Bau tepung
rumput laut yang kurang enak diharapkan dapat tertutup oleh aroma jeruk. Hasil
uji pembeda untuk masing-masing formula A dan E berturut-turut adalah -0,3 dan
-0,6. Pada uji kesukaan, panelis memberikan nilai 6,6 (suka) untuk formula A dan
5,8 (agak suka) untuk formula E. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut,
walaupun aroma produk baru bernilai negatif tetapi disukai oleh panelis, hal ini
kemungkinan karena produk lama (komersil) mempunyai aroma yang sangat kuat
sehingga pada uji pebandingan pasangan, nilai yang didapat adalah negatif.
Kekentalan dua produk baru tidak berbeda dengan produk lama. Nilai yang
dihasilkan pada uji pembanding adalah 0 (tidak berbeda). Artinya upaya untuk
mencapai kekentalan yang sesuai dengan produk pembanding (komersil) sudah
tercapai.
4.5.5. Total Plate Count (TPC) Minuman Berserat Formula A dan E
Salah satu analisis kuantitatif mikrobiologi untuk mengetahui mutu bahan
pangan adalah dengan menghitung jumlah sel. Metode perhitungan yang
digunakan yaitu hitungan cawan (Total Plate Count). Prinsip dari metode ini
adalah jika jasad renik yang masih hidup ditumbuhkan pada medium agar, maka
87
sel jasad renik tersebut akan tumbuh berkembang biak dan membentuk koloni.
Koloni ini dapat dihitung langsung tanpa menggunakan mikroskop.
Hasil perhitungan total plate count minuman berserat yang dihasilkan pada
penelitian ini adalah 1 x 103 koloni/ml untuk formula A dan 9,7 x 102 koloni/ml
untuk formula E, masing-masing untuk 8 gram penyajian dalam air steril
sebanyak 230 ml . Hasil perhitungan ini masih dalam batas maksimal syarat mutu
pada SNI serbuk minuman rasa jeruk, yaitu 3 x 103 koloni/ml. Artinya minuman
ini aman dikonsumsi.
V. Simpulan dan Saran
5.1. Simpulan
a. Tepung rumput laut yang digunakan sebagai sumber serat alternatif dapat
dibuat dengan menggunakan metode penepungan kering. Pengolahan tepung
rumput laut melalui tahapan pencucian, perendaman, penghancuran,
pengeringan, penepungan, dan pengayakan. Media perendam terbaik untuk RL
Eucheuma cottonii dan Sargassum sp adalah air tawar selama 9 jam. Media
perendam terbaik untuk RL Glacilaria sp adalah kombinasi air tawar dan
larutan kapur tohor 0,5% yaitu direndam dalam air tawar 2 jam selanjutnya
direndam dalam larutan kapur tohor 0,5% 10 menit, kemudian dijemur dan
direndam kembali dalam air tawar selama 7 jam. Suhu pengeringan 70 oC
lebih baik daripada suhu 50 oC untuk ketiga jenis tepung rumput laut.
b. TRL Eucheuma cottonii, Glacilaria sp dan Sargassum sp mempunyai
kandungan serat pangan yang tinggi. Kandungan serat pangan Eucheuma
cottonii berturut-turut adalah 72,19 % (serat pangan larut), 11,23 % (serat
pangan tidak larut) dari 83,42 % serat pangan total. Glacilaria sp yaitu 62,95
% (serat pangan larut), 20,67 % (serat pangan tidak larut) dari 83,62 % serat
pangan total. Sargassum sp adalah 24,99 % (serat pangan larut), 57,62 %
(serat pangan tidak larut) dari 82,61 % serat pangan total. Dengan demikian
berdasarkan sifat fisik-kimia maka TRL Eucheuma cottonii adalah yang
terbaik dan dapat digunakan sebagai sumber serat alternatif untuk minuman
berserat.
c. Berdasarkan uji kesukaan, formula A ( E. cottonii 48,7 %, gum arab 0,5 %,
gula 48,7 %, asam sitrus 1,5 %, pewarna 0,2 % dan aroma 0,4 %) dan
formula E (E. cottonii 38,9 %, Glacilaria sp 9,8 %, gum arab 0,5 %, gula
48,7 %, asam sitrus 1,5 %, pewarna 0,2 % dan aroma 0,4 %) dapat diterima
oleh panelis. Kandungan serat kedua formula tersebut lebih tinggi 1,12 % dari
kandungan serat pada minuman berserat komersil. Uji perbandingan pasangan
menghasilkan nilai positif untuk warna, nilai negatif untuk rasa manis, rasa
asam dan aroma, serta nilai nol (tidak berbeda) untuk kekentalan. Berdasarkan
penilaian organoleptik maka TRL Eucheuma cottonii adalah yang terbaik dan
dapat digunakan sebagai sumber serat alternatif untuk minuman berserat.
89
5.2. Saran
Rendemen merupakan salah satu faktor yang menentukan nilai ekonomis
suatu produk, maka untuk meningkatkan rendemen dalam pengolahan tepung
rumput laut sebaiknya menggunakan alat penepung tipe disk-mill sehingga dapat
menggerus rumput laut dengan sempurna.
Formula minuman berserat yang dihasilkan masih perlu disempurnakan
terutama pada rasa manis, rasa asam dan aroma, terutama bila dikaitkan dengan
selera konsumen secara umum sehingga minuman yang dihasilkan dapat bersaing
di pasaran. Penambahan persentase gula dan penambahan penguat rasa asam dapat
diujicobakan sehingga dapat dicapai rasa manis dan asam yang diinginkan.
Daftar Pustaka AACC, 2001. The Definition of Dietary Fiber. Cereal. World. Afrianto E, Liviawaty E. 1987. Budidaya Rumput Laut dan Cara Pengolahannya.
Penerbit Bhatara. Jakarta. Alikolis JJ.1979. Candy Technology. AVI Publ. Connecticut. Anonymous a. Macam dan Sumber Serat. http://www . vegeta.co.id [20 Januari 2006]. Anonymous b. Kebutuhan sehari. http://www. vegeta.co.id [20 Januari 2006] Anonymous c. Seaweed’s Nutritional Value. Fisheries Information Newsletter #95
(October-December 2000). Source : Algo Rythme, no. 51, 3rd quarter 2000. Andon SA. 1987. Application of Soluble Dietary Fiber. J. Food Technology
141: 74 – 75. Anggadireja J. 1993. Potensi Makro Algae Laut (Seaweed) sebagai Pangan dan
Nilai Gizi Berbeda Jenis. Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi V. LIPI. Jakarta 20 – 22 April 1993.
Angka SL dan Suhartono MT. 2000. Bioteknologi Hasil Laut. Cetakan Pertama,
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, IPB. Astawan M, Koswara S, Herdiani F. 2004. Pemanfaatan Rumput Laut (Eucheuma
cottonii) untuk Meningkatkan Kadar Iodium dan Serat Pangan pada Selai dan Dodol. Jurnal Teknologi dan Industri pangan. XV (1) : 61.
Aslan. 1991. Budidaya Rumput Laut. Penerbit Kanisius, Malang. BPPMHP. 2005. Penggunaan Khlorin Dioksida (ClO2) atau Minatrit Dalam
Penanganan Ikan. Petunjuk Teknis. BPPMHP, Jakarta. BeMiller JN., Whistler RL. 1996. Carbohydrate. Dalam Fennema OR (Ed). Food
Chemistry (3rd ed). Marcell Dekker, New York. Chan JCC, Cheung PCK, Ang Jr. 1997. Comparitive Studies on the Effect of
Three Drying Methods on the Nutritional Composition of Seaweed Sargassum hemiphyllum (Turn.)C.Ag. J.Agric.FoodChem. 45: 3056 - 3059.
Chichester DF, Tanner.1968. Antimicrobial Food Additives. Di dalam Furia T.E.
editor Handbook of Food Additives. Florida CRC Press.
91
Davidson MH and Mc Donald MD. 1998. Fiber : Forms and functions. Nutrition Research 18 : 671 – 674.
Desrosier NW, Desrosier JN. 1977. The Technology of Food Preservation.
Connecticut. AVI Publ. Ditjen Perikanan Budidaya. 2005. Statistik Perikanan Budidaya Indonesia 2004.
Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta, Doty MS. 1973. Eucheuma Farming for Carrageenan. Sea Grant Advisory Report.
UNIHI Seagrant A. 273 – 02. Dreher M. 1987. Conventional and Unconventional Dietary Fiber Components.
Handbook of Dietary Fiber. Marcell Dekker, New York. Escrig AJ and Muniz FJS. 2000. Dietary Fiber from Edible Seaweed : Chemical
Structure, Physicochemical Properties and Effects on Cholesterol Metabolism. Nutrition Research 20 : 585 – 598.
Fardiaz D.1989. Hidrokoloid. Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan, PAU
Pangan dan Gizi, IPB. Fennema OR.1996. Food Chemistry (3rd ed). Marcell Dekker, New York. Gardner WH. 1968. Acidulants in Food Processing. Di dalam Furia TE, editor.
Handbook of Food Additives. CRC. Florida. Gardjito M, Naruki S, Murdiati A, Sardjono. 1994. Ilmu Pangan. Terjemahan.
Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Glicksman M.1969. Gum Technology in Food Industry. Acad Press. New York. Glicksman M., Sand RE. 1973. Gum Arabic. Dalam Whistler R. Industrial Gums,
Polysaccharides and Their Derivatives. Second Edition. Academic Press, New York.
Glicksman M.1982. Food Hydrocolloids. Volume ke 1. Florida. CRC Press. Glicksman M.1984. Food Hydrocolloids. Volume ke 2. Florida. CRC Press. Goni I, Valdivieso L, Garcia-Alonso A. 2000. Nori Seaweed Consumption
Modifies Glycemic Response in Healthy Volunteers. Nutrition Research 20 (10) : 1367 – 1375.
Guhardja E. 1981. Algae dalam Botani Umum. Departemen Botani, IPB. Heath HB. 1978. Flavor Technology, Profiles, Product Application. AVI
Publishing. Connecticut.
92
Imeson A. 1992. Thickening and Gelling Agent for Food. Blackie Academic & Professional. London.
Imeson A. 2000. Carrageenan. Didalam Phillips G.O dan Williams, editors.
Handbook of Hydrocolloids. Florida. CRC Press. Istini S, Zatnika A, Suhaimi, Anggadireja J. 1986. Manfaat dan Pengolahan
Rumput Laut. Jurnal Penelitian. BPPT, Jakarta. Ito K and Hori K. 1989. Seaweed : Chemical Composition and Potential Uses.
Food Reviws International. 5 (10) : 101 – 144. Januar HI, Wikanta T, Nursid M. 2004. Metode Uji Radikal Bebas 2,2 Difenil
Pikril Hidrasil (DPPH) Dalam Eksplorasi Bioaktivitas Antioksidan dari Rumput Laut. Warta Penelitian Perikanan Indonesia. 10 (7) : 5 -9.
Joseph G. 2006. http://www. Manfaat Serat Makanan Bagi Kesehatan Kita.
htm [13 Desember 2006]. Kadi A dan Wanda SA. 1988. Rumput Laut (Algae) Jenis, Reproduksi, Produksi,
Budidaya dan Pasca Panen. Proyek Studi Potensi Sumber Daya Alam Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Osenologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.
Karsini. 1993. Ekstraksi Natrium Alginat dari Algae Coklat Jenis Hormophysa
triquetra. Majalah Kimia 49 : 2-8. King AH. 1983. Brown Seaweed Extract (Alginates). Dalam Glicksman M (Ed).
Food Hydrocolloids. Volume ke 2. Florida. CRC Press. Klose RE, Glicksman M. 1972. Gums. Dalam Furia TE. (Ed). Handbook of Food
Additives, 2nd ed. Volume 1. CRC Press Inc. Ohio. Kurniasari R.1997. Penentuan Jenis dan Konsentrasi Hidrokoloid dan Bahan
Pemanis untuk membuat Selai Nanas Rendah Kalori. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor, Indonesia.
Le Marie WH. 1985. Food in The Year 2000. Food Engineering 57 (5) : 90 – 120. Mabeu S dan Fleurence J. 1995. Seaweed in Food Products : biochemical and
nutritional aspects. Trends Food Sci Tech 6 : 103-107. Matz S. 1972. Bakery Technology and Engineering. Second Edition. The AVI
Publishing Company. INC. Connecticut. Mc Connaughey BH. 1970. Introduction to Marine Biology. The CV. Mosby Co.
St Lois USA.
93
Mc Hugh DJ. 1987. Production, Properties and Uses of Alginates. Dalam McHugh DJ (Ed). Production and Utilization of Products from Commercial Seaweeds. Food and Agriculture Organization of United Nation. Fisheries Technical Paper 288, Rome : 58 – 113.
Mc Hugh DJ and Lanier BV. 1983. The World Seaweed Industry and Trade.
ADB/FAO Infofish Market Report Vol. 6. Merck Index. 1976. An Encyclopedia of Chemical and Drugs. Merck and Co. Inc.
Rodway, USA : 777 – 1957. Miyake Y, Sasaki S, Ohya, Miyamoto S, Matsunaga I. 2006. Dietary Intake of
seaweed and Mineral and Prevalence of Allergic Rhinitis in Japanese Pregnant Females: Baseline Data From the Osaka Maternal and Child Health Study. Article In Press. November 29, 2005.
Nussinovitch A. 1997. Hydrocolloid Applications. Blackie Academic &
Professional, London. Peranginangin R, Bandol BS, Mulyasari. 2003. Teknologi Pemanfaatan Rumput
Laut. Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Depertemen Kelautan dan Perikanan.
Percival E. 1970. Algae Polysaccharide. Di dalam Pigman W, Horton D (Eds).
The Carbohydrates Chemistry and Biochemistry, 2rgd ed. AP New York. Piliang WG dan Djojosoebagio S. 2002. Fisiologi Nutrisi Vol. I. Edisi Ke-4 IPB
Press, Bogor. Primahartini A. 2005. Karakteristik Fisiko-kimia Tepung dari Beberapa Species
Rumput Laut Asal Lampung Selatan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor, Indonesia.
Raharja S, Paryanto I, Yuliani F. 1998. Ekstraksi dan Analisa Dietary Fiber Dari
Buah Mengkudu. J. Tek. Ind. Pert. 14 (1) : 30 -39. Rai NK. 1996. Peranan Ikan dalam Pola Konsumsi Penduduk Indonesia. Makalah
pada Seminar Hari Pangan Sedunia XVI. Jakarta 9 Oktober 1996. Ristanti. 2003. Pembuatan Tepung Rumput Laut (Eucheuma cottonii) Sebagai
Sumber Iodium dan Dietary Fiber. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor, Indonesia.
Salminen S, Hallikainen A. 1990. Sweetener. Didalam Branen AL, Davidson PM,
Salminen S, editors. Food Additives. Marcell Dekker, New York.
94
Saloko S, Margana CCE, Junaidi M. Teknologi Pengeringan dan Penepungan Rumput Laut. http://www.dikti.org/p3m/vucer 9/02103_1jpg. [9 Februari 2006]
Schneeman BO. 1987. Soluble vs Insoluble Fiber – Different Physiological
Responses. J. Food Technology 41 (2) : 81 – 88. Sihombing ABH. 2003. Pemanfaatan Rumput Laut Sebagai Sumber Serat Pangan
Dalam Ransum Untuk Menurunkan Kadar Kolesterol Darah Tikus Percobaan. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi. IPB, Bogor, Indonesia.
SNI 01-0222-1995. Bahan Tambahan Makanan. Badan Standardisasi Nasional. Southgate DAT. 1982. Dietary Fiber. Dalam Schneeman BO. A Scientific Status
Summary by The Institute of Food Technologist Expert Panel on Food Safety ND Nutrition. J. Food Technology 4 (10) : 133 – 139.
Suryaningrum TD. 1988. Kajian sifat-sifat Mutu Komoditi Rumput Laut
Budidaya Jenis Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum. Tesis. IPB, Bogor, Indonesia.
Susanto M, Lappas, Endang P. 1978. Penelitian Agar-agar pada Bermacam-
macam Jenis Sango-sango (Rumput Laut) Sepanjang Pantai Makassar. Balai Penelitian Kimia, Ujung Pandang.
Suwandi R, Iriani S, Bambang R dan Uju S. 2002. Rekayasa Proses Pengolahan
dan Optimasi Produksi Hidrokoloid Semi Basah (Intermediate Moisture Food) Dari Rumput Laut. Laporan Akhir Penelitian Hibah Bersaing PT Tahun Anggaran 2001/2002. IPB. Bogor.
Toledo RT. 1991. Fundamentals of Food Processing Engineering. Second edition.
Van Nostrand Reinhold, New York. Urbano MG and Goni I. 2002. Bioavailability of Nutrient in Rats Fed on Edible
Seaweed, Nori (Porphyra tenera) and Wakame (Undaria pinnatifida), as a source of Dietary Fibre. Food Chemistry 76 : 281 – 286.
Wadarsa S. 1985. Menentukan Kebutuhan Energi yang Maksimum dari Proses
Penggilingan dan Pelarutan Gum Arabic. Skripsi. Teknologi Pertanian, Fateta. IPB. Bogor, Indonesia.
Whistler R. 1973. Industrial Gums, Polysaccharides and Their Derivatives.
Second Edition. Academic Press, New York. Whistler RL dan JR Daniel. 1985. Carbohydrates. Didalam Fennema O.R. editor.
Food Chemistry. New York. Marcel Dekker, Inc.
95
Widirga JS. 1994. Mempelajari Profil Industri Sirup: Kasus Enam Perusahaan Sirup di Kabupaten Bagor dan Jakarta. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor, Indonesia.
Winarno FG.1990. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Sinar Pustaka Harapan.
Jakarta. Winarno FG.1992. Kimia pangan dan Gizi.. Sinar Pustaka Harapan. Jakarta. Winarno FG.1997. Kimia pangan dan Gizi.. Sinar Pustaka Harapan. Jakarta. Wirakusumah ES. 1995. Buah dan Sayur untuk Terapi. Penebar Swadaya, Jakarta. Whistler R. 1973. Industrial Gums, Polysaccharides and Their Derivatives.
Second Edition. Academic Press, New York. Wong KH and Cheung PCK. 2000. Nutritional Evaluation of Some Subtropical
Red and Green Seaweeds Part I – Proximate Composition, amino acid profiles and some physico-chemical properties. Food Chemistry : 475 -482.
Yunizal. 2003. Minuman Sari Rumput Laut Coklat alginate dalam Teknologi
Pemanfaatan Rumput Laut.. Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
Yunizal. 2004. Teknologi Pengolahan Alginat. Pusat Riset Pengolahan Produk
dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
96
Lampiran 1. Lembar isian uji perbandingan pasangan. Nama panelis : Tanggal Jenis Produk : Minuman berserat Instruksi : Bandingkan warna, aroma, rasa, kekentalan produk A1 dan E1
yang disajikan terhadap produk pembanding V. Berilah tanda X pada pernyataan yang sesuai dengan pilihan Saudara.
Kode produk : A1 dan E1 Kode pembanding : V Warna Aroma A1 E1 A1 E1
Sangat lebih cerah Labih cerah Agak lebih cerah Tidak berbeda Agak kurang cerah Kurang cerah Sangat kurang cerah
Sangat lebih enak Labih enak Agak lebih enak Tidak berbeda Agak kurang enak Kurang enak Sangat kurang enak
Rasa A1 E1 A1 E1
Sangat lebih manis Labih manis Agak lebih manis Tidak berbeda Agak kurang manis Kurang manis Sangat kurang manis
Sangat lebih asam Labih asam Agak lebih asam Tidak berbeda Agak kurang asam Kurang asam Sangat kurang asam
Kekentalan A1 E1
Sangat lebih kental Labih kental Agak lebih kental Tidak berbeda Agak kurang kental Kurang kental Sangatkurang kental
97
Lampiran 2. Score Sheet Rumput Laut Eucheuma Cottonii Hasil Perendaman
No. Spesifikasi Nilai Kode Contoh 1.
Kenampakan
Bersih, transparan, warna putih merata, cemerlang
9
Bersih, transparan, warna putih kekuningan tidak merata, cemerlang
8
Bersih, kurang transparan, warna putih kekuningan tidak merata, agak cemerlang
7
Bersih, tidak transparan, warna putih kekuningan, agak kusam
6
Kurang bersih, tidak transparan, warna agak kuning, agak kusam
5
Kurang bersih, tidak transparan, warna kuning, agak kusam
3
Kurang bersih, tidak transparan, warna kuning, kusam
1
2.
Bau
Segar, bau spesifik jenis netral 9 Segar, bau spesifik jenis mengarah netral 8 Segar, bau spesifik jenis 7 Segar, sedikit agak amis 6 Kurang segar, amis cukup dominan 5 Kurang segar, sedikit bau tambahan
/kaporit 3
Kurang segar, bau tambahan/kaporit tajam
1
3.
Tekstur
Thalus padat, kuat, liat, tidak mudah patah
9
Thalus padat, agak liat, tidak mudah patah 8 Thalus padat, agak liat, agak mudah patah 7 Thalus agak lunak, agak mudah patah 6 Thalus agak lunak, mudah patah 5 Thalus lunak, mudah patah 3 Thalus lunak, mudah hancur 1
98
Lampiran 3. Score Sheet Rumput Laut Glacilaria sp Hasil Perendaman
No. Spesifikasi Nilai Kode Contoh 1.
Kenampakan
Bersih, transparan, warna putih merata, cemerlang
9
Bersih, transparan, warna putih krem tidak merata, cemerlang
8
Bersih, transparan, warna putih krem kehijauan tidak merata, agak cemerlang
7
Bersih, tidak transparan, warna putih ungu kehijauan, tidak merata, agak kusam
6
Kurang bersih, tidak transparan, warna ungu kehijauan, agak kusam
5
Kurang bersih, tidak transparan, warna hijau lebih dominan, agak kusam
3
Kurang bersih, tidak transparan, warna hijau, kusam
1
2.
Bau
Segar, bau spesifik jenis netral 9 Segar, bau spesifik jenis mengarah netral 8 Segar, bau spesifik jenis 7 Segar, sedikit agak amis 6 Kurang segar, amis cukup dominan 5 Kurang segar, sedikit bau tambahan/kaporit 3 Kurang segar, bau tambahan/kaporit tajam 1 3.
Tekstur
Thalus padat, kuat, liat, tidak mudah patah 9 Thalus padat, agak liat, tidak mudah patah 8 Thalus padat, agak liat, agak mudah patah 7 Thalus agak lunak, agak mudah patah 6 Thalus agak lunak, mudah patah 5 Thalus lunak, mudah patah 3 Thalus lunak, mudah hancur 1
99
Lampiran 4. Score Sheet Rumput Laut Sargassum sp Hasil Perendaman
No. Spesifikasi Nilai Kode Contoh 1.
Kenampakan
Bersih, agak kecoklatan, merata, cemerlang 9 Bersih, coklat muda tidak merata,
cemerlang 8
Bersih, coklat agak buram, tidak merata, agak cemerlang
7
Bersih, coklat tua, tidak merata, agak kusam 6 Kurang bersih, coklat tua, agak kusam 5 Kurang bersih, coklat tua, kusam 3 Kurang bersih, coklat kehitaman, kusam 1 2.
Bau
Segar, bau spesifik jenis netral 9 Segar, bau spesifik jenis mengarah netral 8 Segar, bau spesifik jenis 7 Segar, sedikit agak amis 6 Kurang segar, amis cukup dominan 5 Kurang segar, sedikit bau tambahan/kaporit 3 Kurang segar, bau tambahan/kaporit tajam 1 3.
Tekstur
Thalus padat, kuat, liat, tidak mudah patah 9 Thalus padat, agak liat, tidak mudah patah 8 Thalus padat, agak liat, agak mudah patah 7 Thalus agak lunak, agak mudah patah 6 Thalus agak lunak, mudah patah 5 Thalus lunak, mudah patah 3 Thalus lunak, mudah hancur 1
Lampiran 5. Analisis ragam dan uji lanjut Kenampakan Rumput Laut Eucheuma Cottonii Hasil Perendaman
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Perendaman 2 8.93333333 4.46666667 18.27 <.0001
Galat 42 10.26666667 0.24444444 Total 44 19.20000000
Duncan Grouping Mean N Perendaman
A 7.3333 15 C A 7.0000 15 A B 6.2667 15 B
100
Lampiran 6. Analisis ragam dan uji lanjut Bau Rumput Laut Eucheuma Cottonii Hasil Perendaman
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Perendaman 2 74.5333333 37.2666667 42.69 <.0001
Galat 42 36.6666667 0.8730159 Total 44 111.2000000
Duncan Grouping Mean N PerendamanA 6.5333 15 AB 4.6667 15 B C 3.4000 15 C
Lampiran 7. Analisis ragam dan uji lanjut Tekstur Rumput Laut Eucheuma
Cottonii Hasil Perendaman Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Perendaman 2 3.24444444 1.62222222 6.08 0.0048 Galat 42 11.20000000 0.26666667 Total 44 14.44444444
Duncan Grouping Mean N Perendaman
A 7.3333 15 A A 7.2667 15 C B 6.7333 15 B
Lampiran 8. Analisis ragam dan uji lanjut Kenampakan Rumput Laut Glacilariai
sp Hasil Perendaman Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Perendaman 2 58.13333333 29.06666667 57.95 <.0001Galat 42 21.06666667 0.50158730 Total 44 79.20000000
Duncan Grouping Mean N Perlakuan
A 7.8000 15 F B 5.5333 15 E B 5.2667 15 D
Lampiran 9. Analisis ragam dan uji lanjut Bau Rumput Laut Glacilaria sp Hasil Perendaman
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Perendaman 2 11.91111111 5.95555556 11.87 <.0001
Galat 42 21.06666667 0.50158730 Total 44 32.97777778
Duncan Grouping Mean N Perlakuan
A 6.1333 15 F B 5.2000 15 E B 4.9333 15 D
101
Lampiran 10. Analisis ragam Tekstur Rumput Laut Glacilaria sp Hasil Perendaman
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Perendaman 2 0.57777778 0.28888889 1.65 0.2034
Galat 42 7.33333333 0.17460317 Total 44 7.91111111
Lampiran 11. Analisis ragam dan uji lanjut Kenampakan Rumput Laut Sargassum
sp Hasil Perendaman. Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Perendaman 2 34.53333333 17.26666667 59.12 <.0001 Galat 42 12.26666667 0.29206349 Total 44 46.80000000
Duncan Grouping Mean N Perlakuan
A 7.8000 15 A B 6.2667 15 B C 5.7333 15 C
Lampiran 12. Analisis ragam dan uji lanjut Bau Rumput Laut Sargassum sp Hasil Perendaman
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Perendaman 2 85.9111111 42.9555556 71.22 <.0001
Galat 42 25.3333333 0.6031746 Total 44 111.2444444
Duncan Grouping Mean N Perlakuan
A 6.8667 15 G B 6.0000 15 H C 3.6000 15 I
Lampiran 13. Analisis ragam Tekstur Rumput Laut Sargassum sp Hasil
Perendaman Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Perendaman 2 0.57777778 0.28888889 0.70 0.5023 Error 42 17.33333333 0.41269841
Corrected Total 44 17.91111111 Lampiran 14. Analisis ragam dan uji lanjut Rendemen TRL Eucheuma cottonii
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Suhu pengeringan 1 0.10240000 0.10240000 19.32 0.0481
Galat 2 0.01060000 0.00530000 Total 3 0.11300000
Duncan Grouping Mean N Perlakuan
A 8.33000 2 A2 B 8.01000 2 A1
102
Lampiran 15. Analisis ragam Rendemen TRL Glacilaria sp Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Suhu pengeringan 1 0.03240000 0.03240000 2.23 0.2736 Galat 2 0.02900000 0.01450000 Total 3 0.06140000
Lampiran 16.Analisis ragam dan uji lanjut Rendemen TRL Sargassum sp Sumber DF Sum of Squares Mean
Square F Value Pr > F
Suhu pengeringan 1 0.64000000 0.64000000 110.34 0.0089 Galat 2 0.01160000 0.00580000 Total 3 0.65160000
Duncan Grouping Mean N Perlakuan
A 7.94000 2 C1 B 7.14000 2 C2
Lampiran 17. Analisis ragam pH TRL Eucheuma Cottonii Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Suhu pengeringan 1 0.43560000 0.43560000 13.61 0.0662 Galat 2 0.06400000 0.03200000 Total 3 0.49960000
Lampiran 18. Analisis ragam pH TRL Glacilaria sp
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Suhu pengeringan 1 0.19360000 0.19360000 17.76 0.0520
Galat 2 0.02180000 0.01090000 Total 3 0.21540000
Lampiran 19. Analisis ragam dan uji lanjut pH TRL Sargassum sp
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Suhu pengeringan 1 0.29160000 0.29160000 291.60 0.0034
Galat 2 0.00200000 0.00100000 Total 3 0.29360000
Duncan Grouping Mean N Perlakuan
A 7.76000 2 C1 B 7.22000 2 C2
Lampiran 20. Analisis ragam dan uji lanjut Viskositas TRL Eucheuma cottonii
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Suhu pengeringan 1 12091.20160 12091.20160 30.54 0.0312
Galat 2 791.76320 395.88160 Total 3 12882.96480
Duncan Grouping Mean N Perlakuan
A 5080.36 2 A1 B 4970.40 2 A2
Lampiran 21. Analisis ragam Viskositas TRL Glacilaria sp
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Suhu pengeringan 1 5.33610000 5.33610000 2.11 0.2835
Galat 2 5.05760000 2.52880000 Total 3 10.39370000
103
Lampiran 22. Analisis ragam dan uji lanjut Viskositas TRL Sargassum sp Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Suhu pengeringan 1 5.87092900 5.87092900 119.87 0.0082 Galat 2 0.09795200 0.04897600 Total 3 5.96888100
Duncan Grouping Mean N Perlakuan
A 3.4200 2 C2 B 0.9970 2 C1
Lampiran 23. Analisis ragam dan uji lanjut Kelarutan TRL Eucheuma cottonii
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Suhu pengeringan 1 84.64000000 84.64000000 638.79 0.0016
Galat 2 0.26500000 0.13250000 Total 3 84.90500000
Duncan Grouping Mean N Perlakuan
A 36.8000 2 A2 B 27.6000 2 A1
Lampiran 24. Analisis ragam dan uji lanjut Kelarutan TRL Glacilaria sp
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Suhu pengeringan 1 8.88040000 8.88040000 1200.05 0.0008
Galat 2 0.01480000 0.00740000 Total 3 8.89520000
Duncan Grouping Mean N Perlakuan
A 18.01000 2 B2 B 15.03000 2 B1
Lampiran 25. Analisis ragam dan uji lanjut Kelarutan TRL Sargassum sp Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Suhu pengeringan 1 76.56250000 76.56250000 813.63 0.0012Galat 2 0.18820000 0.09410000 Total 3 76.75070000
Duncan Grouping Mean N Perlakuan
A 26.9600 2 C1B 18.2100 2 C2
Lampiran 26. Analisis ragam dan uji lanjut Kadar Air TRL Eucheuma cottonii
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Suhu pengeringan 1 0.22562500 0.22562500 24.20 0.0389
Galat 2 0.01865000 0.00932500 Total 3 0.24427500
Duncan Grouping Mean N Perlakuan
A 14.19000 2 A2 B 13.71500 2 A1
104
Lampiran 27. Analisis ragam dan uji lanjut Kadar Air TRL Glacilaria sp Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr >
F Suhu pengeringan 1 4.41000000 4.41000000 648.53 0.001
5 Galat 2 0.01360000 0.00680000 Total 3 4.42360000
Duncan Grouping Mean N Perlakuan
A 11.18000 2 B2 B 9.08000 2 B1
Lampiran 28. Analisis ragam dan uji lanjut Kadar Air TRL Sargassum sp
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Suhu pengeringan 1 8.52640000 8.52640000 313.47 0.0032
Galat 2 0.05440000 0.02720000 Total 3 8.58080000
Duncan Grouping Mean N Perlakuan
A 10.4800 2 C1 B 7.5600 2 C2
Lampiran 29. Analisis ragam Kadar Abu TRL Eucheuma cottonii
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Suhu pengeringan 1 0.00902500 0.00902500 0.04 0.8529
Galat 2 0.40805000 0.20402500 Total 3 0.41707500
Lampiran 30. Analisis ragam Kadar Abu TRL Glacilaria sp
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Suhu pengeringan 1 0.39062500 0.39062500 5.10 0.1524
Galat 2 0.15305000 0.07652500 Total 3 0.54367500
Lampiran 31. Analisis ragam Kadar Abu TRL Sargassum sp
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Suhu pengeringan 1 0.06250000 0.06250000 0.20 0.6985
Galat 2 0.62500000 0.31250000 Total 3 0.68750000
Lampiran 32. Analisis ragam Kadar Protein TRL Eucheuma cottonii
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Suhu pengeringan 1 0.06250000 0.06250000 4.51 0.1676
Galat 2 0.02770000 0.01385000 Total 3 0.09020000
Lampiran 33. Analisis ragam dan uji lanjut Kadar Protein TRL Glacilaria sp
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Suhu pengeringan 1 2.41802500 2.41802500 50.04 0.0194
Galat 2 0.09665000 0.04832500 Total 3 2.51467500
105
Duncan Grouping Mean N PerlakuanA 10.5050 2 B1B 8.9500 2 B2
Lampiran 34. Analisis ragam Kadar Protein TRL Sargassum sp
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Suhu pengeringan 1 0.00302500 0.00302500 0.02 0.8932
Galat 2 0.26225000 0.13112500 Total 3 0.26527500
Lampiran 35. Analisis ragam Kadar Karbohidrat TRL Eucheuma Cottonii Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Suhu pengeringan 1 0.00810000 0.00810000 0.10 0.7828 Galat 2 0.16360000 0.08180000 Total 3 0.17170000
Lampiran 36. Analisis ragam Kadar Karbohidrat TRL Glacilaria sp
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Suhu pengeringan 1 0.00250000 0.00250000 3.12 0.2191
Galat 2 0.00160000 0.00080000 Total 3 0.00410000
Lampiran 37. Analisis ragam dan uji lanjut Kadar Karbohidrat TRL Sargassum sp
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Suhu pengeringan 1 8.88040000 8.88040000 97.32 0.0101
Galat 2 0.18250000 0.09125000 Total 3 9.06290000
Duncan Grouping Mean N Perlakuan
A 67.1950 2 C2 B 64.2150 2 C1
Lampiran 38. Analisis ragam dan uji lanjut Kadar Serat Pangan Tidak Larut TRL
Eucheuma cottonii Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Suhu pengeringan 1 2.32562500 2.32562500 78.77 0.0125 Galat 2 0.05905000 0.02952500 Total 3 2.38467500
Duncan Grouping Mean N Perlakuan
A 11.2250 2 A2 B 9.7000 2 A1
Lampiran 39. Analisis ragam Kadar Serat Pangan Larut TRL Eucheuma Cottonii
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Suhu pengeringan 1 8.91022500 8.91022500 14.38 0.0631
Galat 2 1.23965000 0.61982500 Total 3 10.14987500
Lampiran 40. Analisis ragam Kadar Serat Pangan Total TRL Eucheuma Cottonii
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Suhu pengeringan 1 2.13160000 2.13160000 5.62 0.1413
Galat 2 0.75890000 0.37945000 Total 3 2.89050000
106
Lampiran 41. Analisis ragam dan uji lanjut Kadar Serat Pangan Tidak Larut TRL Glacilaria sp
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Suhu pengeringan 1 3.31240000 3.31240000 22.65 0.0414
Galat 2 0.29250000 0.14625000 Total 3 3.60490000
Duncan Grouping Mean N Perlakuan A 22.4850 2 B1 B 20.6650 2 B2
Lampiran 42. Analisis ragam Kadar Serat Pangan Larut TRL Glacilaria sp
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Suhu pengeringan 1 4.32640000 4.32640000 9.92 0.0878
Galat 2 0.87250000 0.43625000 Total 3 5.19890000
Lampiran 43. Analisis ragam Kadar Serat Pangan Total TRL Glacilaria sp Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Suhu pengeringan 1 0.06760000 0.06760000 0.27 0.6564 Galat 2 0.50500000 0.25250000 Total 3 0.57260000
Lampiran 44. Analisis ragam Kadar Serat Pangan Tidak Larut TRL Sargassum sp
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Suhu pengeringan 1 3.06250000 3.06250000 1.34 0.3672
Galat 2 4.58530000 2.29265000 Total 3 7.64780000
Lampiran 45. Analisis ragam Kadar Serat Pangan Larut TRL Sargassum sp
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Suhu pengeringan 1 0.81000000 0.81000000 0.66 0.5032
Galat 2 2.47130000 1.23565000 Total 3 3.28130000
Lampiran 46. Analisis ragam Kadar Serat Pangan Total TRL Sargassum sp Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Suhu pengeringan 1 0.72250000 0.72250000 0.35 0.6148 Galat 2 4.14760000 2.07380000 Total 3 4.87010000
Lampiran 47. Analisis ragam dan uji lanjut Kadar Iodium TRL Eucheuma cottonii
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Suhu pengeringan 1 0.60840000 0.60840000 760.50 0.0013
Galat 2 0.00160000 0.00080000 Total 3 0.61000000
Duncan Grouping Mean N Perlakuan
A 6.79000 2 A2 B 6.01000 2 A1
107
Lampiran 48. Analisis ragam dan uji lanjut Kadar Iodium TRL Glacilaria sp Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Suhu pengeringan 1 2.04490000 2.04490000 2044.90 0.0005 Galat 2 0.00200000 0.00100000 Total 3 2.04690000
Duncan Grouping Mean N Perlakuan
A 11.27000 2 B2 B 9.84000 2 B1
Lampiran 49. Analisis ragam dan uji lanjut Kadar Iodium TRL Sargassum sp
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Suhu pengeringan 1 0.04840000 0.04840000 96.80 0.0102
Galat 2 0.00100000 0.00050000 Total 3 0.04940000
Duncan Grouping Mean N Perlakuan
A 4.77000 2 C2 B 4.55000 2 C1
108
Lampiran 50. Score Sheet Tepung Rumput Laut Jenis Eucheuma Cottonii
No. Spesifikasi Nilai Kode Contoh 1.
Kenampakan
Bersih, putih, cemerlang 9 Bersih, putih, ada sedikit butir hitam,
cemerlang 8
Bersih, agak putih, ada sedikit butir hitam, agak cemerlang
7
Bersih, putih krem, ada butir hitam, agak kusam
6
Kurang bersih, putih agak kuning, banyak butir hitam, agak kusam
5
Kurang bersih, kuning, banyak butir hitam, agak kusam
3
Kotor, kuning, kusam 1 2.
Bau
Bau spesifik jenis netral 9 Bau spesifik jenis mengarah netral 8 Bau spesifik jenis 7 Bau sedikit agak amis 6 Bau amis cukup dominant 5 Bau agak apek 3 Bau apek 1 3.
Tekstur
Sangat halus, lembut 9 Halus, agak lembut 8 Agak halus 7 Agak kasar, butiran terasa 6 Kasar 5 Sangat kasar 3 Amat sangat kasar 1
109
Lampiran 51. Score Sheet Tepung Rumput Laut Jenis Glacilaria Sp
No. Spesifikasi Nilai Kode Contoh 1.
Kenampakan
Bersih, agak putih cemerlang 9 Bersih, putih krem, cemerlang 8 Bersih, krem kehijauan, agak cemerlang 7 Bersih, kehijauan, agak kusam 6 Kurang bersih, kehijauan, agak kusam 5 Kurang bersih, hijau, agak kusam 3 Kotor, hijau, kusam 1 2.
Bau
Bau spesifik jenis netral 9 Bau spesifik jenis mengarah netral 8 Bau spesifik jenis 7 Bau sedikit agak amis 6 Bau amis cukup dominan 5 Bau agak apek 3 Bau apek 1 3.
Tekstur
Sangat halus, lembut 9 Halus, agak lembut 8 Agak halus 7 Agak kasar, butiran terasa 6 Kasar 5 Sangat kasar 3 Amat sangat kasar 1
110
Lampiran 52. Score Sheet Tepung Rumput Laut Jenis Sargassum Sp
No. Spesifikasi Nilai Kode Contoh 1.
Kenampakan
Bersih, agak kecoklatan, cemerlang 9 Bersih, coklat muda, 8 Bersih, coklat agak buram, agak
cemerlang 7
Bersih, coklat tua, agak kusam 6 Kurang bersih, coklat tua, agak kusam 5 Kurang bersih, coklat tua, kusam 3 Kurang bersih, coklat kehitaman, kusam 1 2.
Bau
Bau spesifik jenis netral 9 Bau spesifik jenis mengarah netral 8 Bau spesifik jenis 7 Bau sedikit agak amis 6 Bau amis cukup dominant 5 Bau agak apek 3 Bau apek 1 3.
Tekstur
Sangat halus, lembut 9 Halus, agak lembut 8 Agak halus 7 Agak kasar, butiran terasa 6 Kasar 5 Sangat kasar 3 Amat sangat kasar 1
Lampiran 53. Analisis ragam dan uji lanjut Kenampakan TRL Eucheuma cottonii
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Suhu pengeringan 1 4.80000000 4.80000000 13.44 0.0010
Galat 28 10.00000000 0.35714286 Total 29 14.80000000
Duncan Grouping Mean N Perlakuan
A 7.2000 15 A2 B 6.4000 15 A1
Lampiran 54. Analisis ragam Kenampakan TRL Glacilaria sp
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Suhu pengeringan 1 0.53333333 0.53333333 2.15 0.1534
Galat 28 6.93333333 0.24761905 Total 29 7.46666667
111
Lampiran 55. Analisis ragam Kenampakan TRL Sargassum sp Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Suhu pengeringan 1 0.30000000 0.30000000 0.97 0.3333 Galat 28 8.66666667 0.30952381 Total 29 8.96666667
Lampiran 56. Analisis ragam Bau TRL Eucheuma cottonii
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Suhu pengeringan 1 0.03333333 0.03333333 0.08 0.7762
Galat 28 11.33333333 0.40476190 Total 29 11.36666667
Lampiran 57. Analisis ragam Bau TRL Glacilaria sp
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Suhu pengeringan 1 0.03333333 0.03333333 0.11 0.7394
Galat 28 8.26666667 0.29523810 Total 29 8.30000000
Lampiran 58. Analisis ragam Bau TRL Sargassum sp
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > FSuhu pengeringan 1 0.00000000 0.00000000 0.00 1.0000
Galat 28 7.20000000 0.25714286 Total 29 7.20000000
Lampiran 59. Analisis ragam Tekstur TRL Eucheuma cottonii
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Suhu pengeringan 1 0.03333333 0.03333333 0.13 0.7240
Galat 8 7.33333333 0.26190476 Total 29 7.36666667
Lampiran 60. Analisis ragam Tekstur TRL Glacilaria sp
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Suhu pengeringan 1 0.03333333 0.03333333 0.13 0.7240
Galat 28 7.33333333 0.26190476 Total 29 7.36666667
Lampiran 61. Analisis ragam Tekstur TRL Sargassum sp
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Suhu pengeringan 1 0.30000000 0.30000000 1.19 0.2849
Galat 28 7.06666667 0.25238095 Total 29 7.36666667
Lampiran 62. Analisis ragam dan uji lanjut Rasa Formula Minuman Berserat
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Formulasi 5 52.22222222 10.44444444 41.65 <.0001
Galat 84 21.06666667 0.25079365 Total 89 73.28888889
112
Duncan Grouping Mean N FormulasiA 5.0000 15 AB 4.5333 15 E C 4.0000 15 B C 4.0000 15 F D 3.2000 15 C E 2.7333 15 D
Lampiran 63. Analisis ragam dan uji lanjut Aroma Formula Minuman Berserat
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Formulasi 5 17.42222222 3.48444444 12.00 <.0001
Galat 84 24.40000000 0.29047619 Total 89 41.82222222
Duncan Grouping Mean N Formulasi
A 6.6000 15 A A 6.4000 15 B B 5.9333 15 C B 5.8000 15 E B 5.7333 15 F C 5.2667 15 D
Lampiran 64. Analisis ragam dan uji lanjut Kenampakan Formula Minuman
Berserat Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Formulasi 5 71.52222222 14.30444444 48.45 <.0001 Galat 84 24.80000000 0.29523810 Total 89 96.32222222
Duncan Grouping Mean N Formulasi
A 6.6667 15 A B 6.2667 15 B C 5.4667 15 C D 4.8667 15 E D 4.6667 15 D E 4.1333 15 F
Lampiran 65. Analisis ragam dan uji lanjut Kekentalan Formula Minuman
Berserat Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Formulasi 5 86.5333333 17.3066667 58.00 <.0001 Galat 84 25.0666667 0.2984127 Total 89 111.6000000
Duncan Grouping Mean N Formulasi
A 6.2000 15 A B 5.1333 15 E B 4.8000 15 B C 4.4000 15 F C 4.0667 15 C D 3.0000 15 D
113
Lampiran 66. Analisis ragam dan uji lanjut Viskositas Formula Minuman Berserat A dan E
viskositas air dingin
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Formulasi 1 89.20802500 89.20802500 96441.1 <.0001
Galat 2 0.00185000 0.00092500 Total 3 89.20987500
Duncan Grouping Mean N Perlakuan
A 11.79000 2 A1 B 2.34500 2 E1
viskositas air biasa
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Formulasi 1 170.5897210 170.5897210 327427 <.0001
Galat 2 0.0010420 0.0005210 Total 3 170.5907630
Duncan Grouping Mean N Perlakuan
A 36.53000 2 A2 B 23.46900 2 E2
viskositas air hangat
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Formulasi 1 137641.0000 137641.0000 3.059E7 <.0001
Galat 2 0.0090 0.0045 Total 3 37641.0090
Duncan Grouping Mean N Perlakuan
A 559.44000 2 A3 B 188.44000 2 E3
Lampiran 67. Analisis ragam dan uji lanjut Viskositas Formula Minuman Berserat A
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Suhu air 2 382644.9721 191322.4861 5.857E7 <.0001
Galat 3 0.0098 0.0033 Total 5 382644.9819
Duncan Grouping Mean N Perlakuan (suhu air)
A 559.44000 2 A3 B 36.53000 2 A2 C 11.79000 2 A1
Lampiran 68. Analisis ragam dan uji lanjut Viskositas Formula Minuman Berserat E
Sumber DF Sm of Squares Mean Square F Value Pr > F Suhu air 2 41528.66883 20764.33441 2.978E7 <.0001
Galat 3 0.00209 0.00070 Total 5 41528.67092
114
Duncan Grouping Mean N Perlakuan (suhu air)
A 188.44000 2 E3 B 23.46900 2 E2 C 2.34500 2 E1
Lampiran 69. Analisis ragam dan uji lanjut Kelarutan Formula Minumana Berserat A dan E Kelarutan Air dingin
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Formulasi 1 5.15290000 5.15290000 3963.77 0.0003
Galat 2 0.00260000 0.00130000 Total 3 5.15550000
Duncan Grouping Mean N Perlakuan A 38.08000 2 A1 B 35.81000 2 E1
Kelarutan Air biasa Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Formulasi 1 0.27040000 0.27040000 84.50 0.0116 Galat 2 0.00640000 0.00320000 Total 3 0.27680000
Duncan Grouping Mean N Perlakuan A 58.14000 2 A2 B 57.62000 2 E2
Kelarutan Air hangat Sumber DF Sm of Squares Mean Square F Value Pr > F
Formulasi 1 16.40250000 16.40250000 5656.03 0.0002 Galat 2 0.00580000 0.00290000 Total 3 16.40830000
Duncan Grouping Mean N Perlakuan A 64.13000 2 A3 B 60.08000 2 E3
Lampiran 70. Analisis ragam dan uji lanjut Kelarutan Formula Minuman Berserat A
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Suhu air 2 744.5908000 372.2954000 111689 <.0001
Galat 3 0.0100000 0.0033333 Total 5 744.6008000
Duncan Grouping Mean N Perlakuan A 64.13000 2 A3 B 58.14000 2 A2 C 38.08000 2 A1
115
Lampiran 71. Analisis ragam dan uji lanjut Kelarutan Formula Minuman Berserat E
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Suhu air 2 713.8404000 356.9202000 223075 <.0001
Galat 3 0.0048000 0.0016000 Total 5 713.8452000
Duncan Grouping Mean N Perlakuan
A 60.08000 2 E3 B 57.62000 2 E2 C 35.81000 2 E1
Lampiran 72. Analisis ragam dan uji lanjut Kadar Serat Pangan Minuman Berserat Formula A an Formula E. Serat Pangan Larut (SDF)
Sumber DF Sum of Squares
Mean Square F Value Pr > F
Serat larut 1 1.32250000 1.32250000 21.16 0.0442 Galat 2 0.12500000 0.06250000 Total 3 1.44750000
Duncan Grouping
Mean N Perlakuan
A 36.3500 2 A1 B 35.2000 2 E1
Serat Pangan Tidak Larut (IDF)
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Serat tidak
larut 1 0.81000000 0.81000000 10.13 0.0862
Galat 2 0.16000000 0.08000000 Total 3 0.97000000
Serat Pangan Total (TDF)
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Serat total 1 0.00000000 0.00000000 0.00 1.0000
Galat 2 0.20000000 0.10000000 Total 3 0.20000000
Lampiran 73. Analisis ragam dan uji lanjut Kandungan Serat Pangan Minuman Berserat Komersil dan Produk Baru
Sumber DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Serat pangan 1 0.12960000 0.12960000 Infty <.0001
Galat 2 0.00000000 0.00000000 Total 3 0.12960000
Duncan Grouping Mean N Perlakuan
A 3.360 2 A B 3.000 2 V