Upload
ledat
View
215
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
1
KAJIAN MUSIKAL DAN MAKNA TEKS NANDONG YANG
DIPERTUNJUKKAN PADA MALAULU DALAM ADAT
PERKAWINAN ETNIK SIMEULUE DI SINABANG,
KECEMATAN SIMEULUE TIMUR, ACEH
SKRIPSI SARJANA
O
L
E
H
NAMA : MAHYUNILAWATI
NIM : 110707045
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
2016
i
KAJIAN MUSIKAL DAN MAKNA NANDONG YANG DIPERTUNJUKKAN PADA MALAULU DALAM ADAT PERKAWINAN ETNIK SIMEULUE DI SINABANG, KECEMATAN SIMEULUE TIMUR, ACEH SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O L E H NAMA : MAHYUNILAWATI NIM : 110707045 Pembimbing I, Drs. Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D. NIP 196512211991031001
Pembimbing II, Arifninetrirosa, SST, M.A. NIP 196502191994032002
Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, untuk memenuhi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang ilmu Etnomusikologi. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2016
ii
PENGESAHAN
DITERIMA OLEH:
Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi
salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomusikologi pada
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, Medan
Pada Tanggal :
Hari :
Fakultas Ilmu Budaya USU,
Dekan,
Dr. Budi Agustono, M.S. NIP. 196008051987031001
Panitia Ujian: Tanda Tangan
1. Drs, Muhammad Takari, M.Hum. Ph.D. ( )
2. Dra. Heristina Dewi, M.Pd . ( )
3. Arifninetrirosa, S.ST, M.A. ( )
4. Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si. ( )
5. Drs. Fadlin, M.A. ( )
iii
DISETUJUI OLEH
ETNOMUSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
KETUA,
Drs. Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D. NIP 196512211991031001
iv
ABSTRAKSI
Skripsi ini berjudul “Kajian Musikal dan Makna Teks Nandong yang
Dipertunjukkan pada Malaulu dalam Adat Perkawinan Etnik Simeulue di Sinabang, Kecamatan Simeulue Timur, Aceh.” Dalam skripsi ini, penulis menganalisis nandong yang disajikan pada upacara adat perkawinan adat Etnik Simeulue di Kota Sinabang dengan dua fokus, yakni struktur melodi dan makna teks. Nandong merupakan nyanyian Etnik Simeulue yang berarti nasehat-nasehat yang ditujukan kepada sepasang pengantin dalam suatu upacara adat perkawinan. Dalam suatu upacara adat, nyanyian ini dilakukan pada malaulu, yaitu malam sebelum akad nikah. Nyanyian ini disajikan dengan kedang dengan bersahut-sahutan dan digolongkan ke dalam gaya responsorial (call and reponse). Para penyajinya merupakan sekelompok laki-laki yang terdiri dari 6-12 orang dengan dua bagian kelompok penyanyi yaitu penyanyi solo dan perespon nyanyian.
Penelitian ini menggunakan dua teori utama yaitu teori semiotik untuk menganalisis teks dan teori weighted scale untuk menganalisis melodi nandong. Penelitian ini mengggunakan metode kualitatif. Untuk melaksanakan penelitian, penulis telah melakukan beberapa proses kerja, yaitu: studi kepustakaan, observasi, wawancara, perekaman atau dokumentasi kegiatan, transkripsi, dan analisis laboratorium. Penelitian ini berpusat pada pendapat para informan dalam konteks studi emik. Namun, penulis tetap melakukan penafsiran-penafsiran sesuai dengan kaidah ilmiah dalam konteks studi etik.
Melalui metode dan teknik tersebut di atas diperoleh dua hasil penelitian. (1) Teks nandong merupakan teks yang dinyanyikan oleh penyaji nandong dalam bahasa Jamee secara spontan. Teks disajikan dalam bentuk pantun yang terdiri dari isi dan sampiran. Secara umum, isi teks adalah nasehat-nasehat yang diambil dari pengalaman dan proses kehidupan Etnik Simeulue. Teks tersebut disampaikan kepada kedua pengantin. (2) Struktur melodi nandong berbentuk strofik yakni melodi yang sama atau hampir sama menggunakan teks yang baru dan berbeda. Dengan demikian, nandong dikategorikan sebagai musik strofik logogenik. Tangga nada nandong digolongkan ke dalam heptatonik. Ritme nandong menggunakan meter 4. Kata kunci: nandong, teks, melodi, perkawinan.
v
ABSTRACT
This thesis entitled "Study of Musical and Meaning of the Text Nandong
displayed on Malaulu in Customary Marriages Ethnic Simeulue in Sinabang, District of Simeulue Timur, Aceh." In this paper, the authors analyze Nandong served at traditional wedding ceremony customary Ethnic Simeulue City Sinabang with two focus, namely the melodic structure and meaning of the text. Ethnic Simeulue Nandong is the song that means the advice addressed to a bride and groom in a traditional wedding ceremony. In a traditional ceremony, the singing is done in malaulu, the night before the ceremony. These songs are presented with outstretched with blared and classified into the responsorial style (call and reponse). The presenters are a group of men consisting of 6-12 people with two parts, namely the singing group singing soloist and responders.
This study uses two main theories, namely semiotic theory to analyze texts and theories weighted scale to analyze the melody Nandong. This research use traditional qualitative methods. To carry out the research, the author has done some work processes, namely: literature study, observation, interviews, recording or documentation of activities, transcription, and laboratory analysis. The researchers focused on the opinions of the informants in the context of EMIC studies. However, the authors still do interpretations in accordance with scientific principles in the context of the study of ethics.
Through methods and techniques mentioned above are secured two studies. (1) Text Nandong is the text sung by the presenter Nandong in Jamee language spontaneously. Text is presented in the form of poem consisting of content and sampiran. In general, the text content is advice drawn from the experience and process of life Ethnic Simeulue. The text submitted to the bride and groom. (2) The structure of melody Nandong strofik shaped the melody the same or almost the same using new and different text. Thus, Nandong categorized as music strofik logogenik. Nandong scales classified into heptatonic. Nandong rhythm using 4 meters.
Keywords: Nandong, text, melody, marriage.
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT yang selalu melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga penulis sampai pada akhir penulisan
Skripsi penulis yang berjudul “Kajian Musikal Dan Makna Teks Nandong Yang
Dipertunjukkan Pada MALAULU Dalam Adat Perkawinan Etnik Simeulue Di
Sinabang, Kecamatan Simeulue Timur, Aceh.” Skripsi ini merupakan suatu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Seni (S.Sn.) di Departemen (Program Studi)
Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
Skripsi ini merupakan hasil penelitian dan pembelajaran selama penulis
kuliah di jurusan Etnomusikologi, Universitas Sumatera Utara. Dalam proses
penyelesaian tulisan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dekan
Fakultas Ilmu Budaya Bapak Dr. Budi Agustono, M.S., kepada Wakil Dekan I
Bapak Prof. Drs. Mauly Purba M.A, Ph.D., kepada Wakil Dekan II Ibu Dra.
Heristina Dewi, M.Pd. dan kepada Wakil Dekan III Bapak Dr. Ikhwanuddin
Nasution M.Si.
Selama penulisan skripsi ini penulis selalu diarahkan oleh Bapak Drs.
Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D sebagai pembimbing I dan Ibu Arifninetrirosa,
S.ST, M.A. sebagai pembimbing II. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
kedua dosen pembimbing penulis. Penulis juga berterimakasih kepada Ketua
Departemen Etnomusikologi Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D. dan
Sekretaris Departemen Etnomusikologi Ibu Dra. Heristina Dewi, M.Pd.
Penulis juga berterima kasih kepada seluruh dosen-dosen Etnomusikologi
yang selama perkuliahan memberikan pembelajaran, bimbingan dan arahan
vii
kepada saya hingga sampai pada tugas akhir saya ini, yaitu Drs. Setia Dermawan
Purba, M.Si., selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis, Dra. Heristina Dewi,
M.Pd., Drs. Irwansyah Harahap M.A., Prof. Drs. Mauly Purba M.A, Ph.D., Drs.
Kumalo Tarigan, M.A., Drs. Bebas Sembiring, M.Si., Drs. Fadlin, M.A., Drs.
Torang Naiborhu, M.Hum., Dra. Rita Hutajulu, M.A., Drs. Perikuten Tarigan,
M.A., Dra. Frida Deliana Harahap, M.Si., serta dosen praktek musik yang selama
ini telah memberi banyak ilmu kepada penulis.
Terima kasih kepada informan saya bapak Amir Husin, dan informan
pendukung lainnya sehingga saya memperoleh informasi untuk penulisan skripsi
saya. Kemudian kepada pegawai Departemen Etnomusikologi Ibu Wawa yang
membantu penulis dalam hal administrasi.
Dalam proses penyelesaian tulisan ini, banyak pihak yang telah membantu
dan mendukung penulis baik dalam bentuk doa, semangat serta materi agar proses
penyelesaian serta hal-hal yang dibutuhkan dapat terlaksana dengan baik. Untuk
itu penulis juga berterima kasih kepada Ayah penulis Mahyuddin T, dan Ibu
penulis Nur Asni yang selama proses kuliah penulis dan pembuatan skripsi ini
memberikan dukungan penuh kepada penulis, baik semangat, doa, kasih sayang,
dan materi yang tidak bisa penulis balas dengan apapun. Skripsi ini khusus
penulis persembahkan untuk kedua orang tua penulis. Kemudian penulis
berterima kasih kepada kakak penulis Masnetti dan abang-abang penulis Taufik
Hidayat, Indra Syahputra S.H, Adrimansyah dan Zufrizal Alamsyah S.H.I. serta
seluruh keluarga besar saya yang selalu menyemangati dalam penulisan skripsi
ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Amir Husin yang telah
viii
menyemangati dan membantu penulis dalam penelitian penulis di Sinabang
hingga penulisan skripsi ini.
Kepada semua teman-teman Etno, khususnya Aji, Tika, Intan, Nanda, Oda
yang selalu saling memberikan dukungan dalam mengerjakan skripsi. Penulis juga
berterima kasih kepada teman-teman aktivis kampus seperjuangan penulis
Yuniarti S.S, Nanda Riztia Paiss S.Sn, Jojo, Jannah, Zakiyah, Mardiah, Aisyah,
Anjar, Siah, Dini, Tari, Soraya, Dyana, Yanti, Hannah, Intan, Mutiva yang selalu
memberi doa dan semangat kepada penulis. Semoga persahabatan kita sampai ke
syurga. Kemudian penulis juga berterima kasih kepada organisasi-organisasi
penulis selama penulis berada di kampus USU, yaitu UKMI Al-Iqbal FIB USU,
DTC UKMI Ad-Dakwah USU dan KAMMI Merah Putih USU yang telah
memberikan penulis banyak pelajaran dalam segala hal.
Penulis juga berterima kasih kepada semua pihak yang telah ikut berperan
dalam penulisan skripsi ini, hanya Allah yang dapat membalas semua kebaikan
kalian. Semoga silaturahim yang terjalin akibat dari penulisan skripsi ini berjalan
dengan baik. Akhir kata saya memohon maaf bila ada kata-kata dan perbuatan
yang kurang berkenan di hati. Semoga penelitian dan hasil tulisan ini memberikan
kontribusi kepada jurusan Etnomusikolgi, khususnya kepada masyarakat
Sinabang.
Medan, 26 Agustus 2016
Penulis,
Mahyunilawati
ix
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI .................................................................................................................... iv KATA PENGANTAR....................................................................................................... vi DAFTAR ISI .................................................................................................................... ix DAFTAR TABEL ............................................................................................................. xi DAFTAR BAGAN ........................................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................ xiii BAB I: PENDAHULUAN ............................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ........................................................................................................... 1 1.2 Pokok Masalah ............................................................................................................ 1 1.3 Tujuan dan Manfaat................................................................................................... . 10
1.3.1 Tujuaan ............................................................................................................. 10 1.3.2 Manfaat .............................................................................................................. 11
1.4 Konsep dan Teori yang Digunakan .............................................................................. 11 1.4.1 Konsep .............................................................................................................. 12 1.4.2 Teori .................................................................................................................. 16
1.4.2.1 Weighted Scale .................................................................................... 18 1.4.2.2 Semiotik .............................................................................................. 20
1.5. Studi Kepustakaan ...................................................................................................... 21 1.6 Metode Penelitian ........................................................................................................ 23 1.6.1 Metode Penelitian Kualititif ................................................................................. 23 1.6.2 Metode Penelitian Lapangan ................................................................................ 24 1.6.2.1 Observasi (Pengamatan) ............................................................................ 24 1.6.2.2 Wawancara ............................................................................................... 25 1.6.2.3 Perekaman Data ........................................................................................ 26 1.6.5 Kerja Laboraturium ............................................................................................. 27 1..7. Lokasi ....................................................................................................................... 27 BAB II: LATAR BELAKANG SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ETNIK SIMUELUE DI SINABANG ................................................................. 29 2.1 Letak Geografis .......................................................................................................... 29 2.1.1 Asal-Usul Suku Aneuk Jamee di Sinabang ........................................................ 31 2.1.2 Sebaran Daerah dan Populasi ............................................................................ 32 2.1.3 Kehidupan Suku Aneuk Jamee di Sinabang .............................................. …….32 2.2 Sistem Religi .............................................................................................................. 33 2.3 Bahasa........................................................................................................................ 34 2.4 Sistem Kekerabatan .................................................................................................... 35 2.5 Sistem Kesenian ......................................................................................................... 36 2.6 Sistem Mata Pencaharian............................................................................................ 37 2.7 Sosial ......................................................................................................................... 38 BAB III: NANDONG DALAM UPACARA PERKAWINAN ADAT SIMEULUE DI SINABANG……………..…………………………………….....39 3.1 Asal-usul Nandong ..................................................................................................... 39 3.2 Perkawinan pada Etnik Simeulue di Sinabang ............................................................ 39 3.3 Tahapan-tahapan Upacara Adat Perkawinan Etnik Simeulue di Sinabang ................... 40
x
3.3.1 Manutuk Anak Ammen ..................................................................................... 40 3.3.2 Duduk Keluarga................................................................................................. 40 3.3.3 Manaen Tando (Mengantar Tanda Pertunangan) ................................................. 41 3.3.4 Duduk Tuo (Rapat Famili) .................................................................................. 41 3.3.5 Pelaksanaan Pernikahan ...................................................................................... 41 3.3.6 Panggil Suruik ................................................................................................... 41 3.3.7 Mangiao Tafeng................................................................................................. 42 3.4 Jalannya Pertunjukan Nandong pada Upacara Perkawinan Etnik Simeulue di Sinabang ........................................................................................ 42 3.5 Tempat dan Waktu Pelaksanaan Pertunjukan .............................................................. 43 3.6 Pendukung Pertunjukan .............................................................................................. 43 3.6.1 Pemusik-pemusik............................................................................................... 43 3.6.2 Penonton............................................................................................................ 44 3.7 Perlengkapan Pertunjukan .......................................................................................... 44 3.7.1 Area ................................................................................................................... 44 3.7.2 Ruangan Rumah sebagai Pentas Pertunjukan ..................................................... 44 3.8 Kedang sebagai Alat Musik yang Digunakan.............................................................. 45 BAB IV: TRANSKRIPSI DAN ANALISIS MUSIKAL NANDONG ............................ 46 4.1 Kajian Analisis Musik Nandong .................................................................................. 46 4.2 Analisis Struktur Pola Ritme Kedang .......................................................................... 47 4.2.1 Notasi ................................................................................................................ 48 4.2.2 Distribusi Pukulan Pembentuk Ritme ................................................................. 49 4.2.4 Pola Ritme ......................................................................................................... 49 4.3 Analisis Struktur Melodis Lagu Nandong ................................................................... 53 4.3.1 Tangga Nada ..................................................................................................... 58 4.3.2 Nada Dasar ........................................................................................................ 59 4.3.3 Wilayah Nada .................................................................................................... 59 4.3.4 Frekuensi Pemakaian Nada ................................................................................ 60
4.3.5 Jumlah Interval................................................................................................. 60 4.3.6 Pola Kadensa.................................................................................................... 61 4.3.7 Kontur .............................................................................................................. 62 4.3.8 Formula Melodik .............................................................................................. 64
BAB V: KAJIAN MAKNA TEKS .................................................................................. 70 5.1 Bentuk Teks Nandong ................................................................................................. 70 5.2 Pantun dan Konteksnya ............................................................................................... 70 5.3 Analisis Semiotik Teks Pantun dalam Nandong ........................................................... 73 BAB VI: KESIMPULAN DAN SARAN......................................................................... 83 6.1 Kesimpulan ................................................................................................................. 81 6.2 Saran ........................................................................................................................... 82 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 84
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1: Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama ............................................................. 33 Tabel 2.2: Kesenian di Sinabang ....................................................................................... 36 Tabel 2.3: Jumlah Penduduk Menurut Pekerjaan di Sinabang ............................................ 37 Tabel 4.1 : Jumlah Interval Nandong ................................................................................. 61 Tabel 5.1: Pantun Nandong ............................................................................................... 74
xii
DAFTAR BAGAN
Bagan 5.1: Kaitan Antara Bait Di Dalam Teks Pantun Nandong ........................................ 75
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 : Peta Pulau Simeulue.................................................................................... 30 Gambar 3.1 : Pemusik Nandong di Desa Suka Maju, Sinabang ........................................ 43 Gambar 3.2 : Penonton Nandong di Desa Suka Maju, Sinabang ....................................... 44 Gambar 3.3: Ruangan Rumah sebagai Pentas dalam Pertunjukan Nandong di Desa Suka Maju, Sinabang ................................................................................................................. 45 Gambar 3.4 : Kedang ....................................................................................................... 45
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Nandong1 merupakan salah satu kesenian tradisional masyarakat Kabupaten
Simeulue, Provinsi Aceh.2 Kesenian ini diketahui memiliki nilai-nilai estetika yang
tinggi (menurut ukuran seni masyarakat pendukungnya), serta makna yang luas
bermanfaat bagi masyarakat setempat. Pendukung kesenian ini adalah masyarakat
Simeulue, yang wilayah budayanya mencakup Kabupaten Simeulue, provinsi Aceh
sekarang ini.
1Nandong berarti nyanyian kecil yang biasanya didendangkan oleh sekelompok laki-laki dan
terdiri atas karangan-karangan sastra Simeulue, yang di dalamnya dan diiringi dengan alat musik kedang dan bisa diiringi dengan biola atau seruling (wawancara dengan Bapak Amir Husin Februari 2015).
2Aceh (/ˈɑːtʃeɪ/; [ʔaˈtɕɛh]) adalah sebuah provinsi di Indonesia. Aceh terletak di ujung utara pulau Sumatera dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Ibu kotanya adalah Banda Aceh. Jumlah penduduk provinsi ini sekitar 4.500.000 jiwa. Letaknya dekat dengan Kepulauan Andaman dan Nikobar di India dan terpisahkan oleh Laut Andaman. Aceh berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan. Aceh dianggap sebagai tempat dimulainya penyebaran Islam di Indonesia dan memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara. Pada awal abad ke-17, Kesultanan Aceh adalah negara terkaya, terkuat, dan termakmur di kawasan Selat Malaka. Sejarah Aceh diwarnai oleh kebebasan politik dan penolakan keras terhadap kendali orang asing, termasuk bekas penjajah Belanda dan pemerintah Indonesia. Jika dibandingkan dengan dengan provinsi lainnya, Aceh adalah wilayah yang sangat konservatif (menjunjung tinggi nilai agama). Persentase penduduk Muslimnya adalah yang tertinggi di Indonesia dan mereka hidup sesuai syariah Islam. Berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri karena alasan sejarah. Aceh memiliki sumber daya alam yang melimpah, termasuk minyak bumi dan gas alam. Sejumlah analis memperkirakan cadangan gas alam Aceh adalah yang terbesar di dunia. Aceh juga terkenal dengan hutannya yang terletak di sepanjang jajaran Bukit Barisan dari Kutacane di Aceh Tenggara sampai Ulu Masen di Aceh Jaya. Sebuah taman nasional bernama Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) didirikan di Aceh Tenggara. Aceh adalah daratan yang paling dekat dengan episentrum gempa bumi Samudra Hindia 2004. Setelah gempa, gelombang tsunami menerjang sebagian besar pesisir barat provinsi ini. Sekitar 170.000 orang tewas atau hilang akibat bencana tersebut. Bencana ini juga mendorong terciptanya perjanjian damai antara pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
2
Kabupaten Simeulue merupakan sebuah kepulauan yang terletak di pantai
bagian barat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang berjarak 105 mil laut dari
kota Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat atau sekitar 85 mil laut dari kota Labuhan
Haji Kabupaten Aceh Barat Daya. Letak Kabupaten Simeulue ini terbilang “jauh”
dari ibukota provinsi, sehingga membuat kesenian tradisional ini kurang dikenal oleh
masyarakat luas di luar Kabupaten Simeulue serta masyarakat kita (Indonesia) pada
umumnya.
Kesenian nandong adalah seni vokal yang diwariskan secara turun-temurun
pada masyarakat Simeulue. Kesenian nandong merupakan seni bertutur dalam bentuk
syair, yang merupakan karangan dalam tradisi lisan, yang mengandung nasehat-
nasehat, nasib, dan kasih, yang dilantunkan dengan diiringi alat musik yaitu kedang
(gendang khas budaya musik Simeulue). Secara estetika, setiap lirik yang
disampaikan mengandung nilai-nilai kearifan lokal, dan merupakan perpaduan irama,
melodi, dan teks yang disajikan dengan ekspresi “mendayu-dayu.”
Nandong tidak dapat dikatakan sebagai satu pertunjukan yang utuh tanpa
adanya iringan musik, khususnya penggunaan instrumen kedang.3 Pemusik adat
biasanya terdiri dari 6-12 orang. Selain itu, terdapat juga makna sosial yang
terkandung di dalam syair-syairnya yang berupa nasehat, petuah, yang menceritakan
3Kedang adalah inetrumen perkusi yaitu gendang dalam kebudayaan musik etnik Simeulue.
Berpa gendang barel dua sisi, yang dimainkan dengan cara memukul membran dengan stik pemukul. Dalam kajian etnomusikologis kedang ini dapat dikategorikan sebagai double headed barrel drum.
3
kehidupan seseorang atau pesan dari leluhur kepada cucunya yang digunakan pada
saat malaulu.4
Kesenian nandong ini juga merupakan sebuah tradisi budaya yang diwariskan
secara turun-temurun dari generasi ke generasi masyarakat yang dapat diterima,
dimiliki, dan dijadikan sebagai pedoman terutama dalam menghadapi bencana alam,
perkawinan, dan sebagainya. Hal inilah menunjukkan bahwa kesenian tradisional
nandong ini merupakan bagian kebudayaan Simeulue yang akan menunjukkan
adanya rasa kebanggaan masyarakat terhadap kesenian tersebut.
Kesenian nandong termasuk ke dalam salah satu folklor lisan yakni puisi
rakyat seperti pantun, gurindam, dan syair. Bentuk-bentuk folklor lisan yang
termasuk didalamnya adalah: (1) bahasa rakyat seperti logat, julukan, dan titel
kebangsawanan; (2) ungkapan tradisional, seperti peribahasa, pepatah dan pameo; (3)
pertanyaan tradisional seperti teka teki; (4) puisi rakyat, seperti pantun, gurindam,
dan syair; (5) cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda, dongeng; dan (6) nyanyian
rakyat.
Dalam buku kumpulan folklor, nandong termasuk dalam folklor lisan yakni
berupa puisi rakyat seperti pantun, gurindam dan syair-syair. Menurut Alan Dundes
folklor adalah sebagai bagian kebudayaan suatu kolektif macam apa saja, secara
tradisional dalam versi yang berbeda baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang
disertai dengan gerak isyarat atau alat pengingat. Folklor termasuk salah satu bentuk
4Malaulu adalah malam sebelum akad nikah. Di dalam kebudayaan masyarakat muslim di
Nusantara, malam sebelum akad nikah ini, sering juga disebut dengan malam berinai. Tradisi malam berinai ini adalah berakar dari kebudayaan inai (henai, mehendi) yang terdapat di berbagai negeri Islam di dunia. Fungsi dari inai ini di antaranya adalah sebagai tanda calon pengantin, kesehatan, mengandung nilai spiritual dan keagamaan.
4
kesenian tradisional masyarakat yang sudah turun-temurun diketahui masyarakat dan
merupakan wujud kebudayaan. Dalam kaitan antara kesenian tradisional seperti
nandong ini terhadap kebudayaan adalah di dalamnya terdapat nilai-nilai budaya
berupa makna-makna tersirat yang diketahui oleh masyarakat Simeulue sehingga
menjadi sebuah aturan-aturan serta pedoman dalam aktivitas kehidupan masyarakat
disana. Kesenian nandong ini juga merupakan sebuah tradisi budaya yang diwariskan
secara turun-temurun dari generasi ke generasi masyarakat yang dapat diterima,
dimiliki, dan dijadikan sebagai pedoman terutama sekali dalam perkawinan, dalam
menghadapi peristiwa bencana alam, dan sebagainya. Hal inilah menunjukkan bahwa
kesenian tradisional nandong ini diduga adalah merupakan bagian kebudayaan
Simeulue yang akan menunjukkan adanya rasa kebanggaan masyarakat terhadap
kesenian tersebut. Seterusnya dengan adanya kebanggaan mereka, rasa memiliki dan
menjadi identitas budaya masyarakat setempat datang dengan sendirinya.
Sementara itu, fungsi folklor menurut Wiliam R. Bascom (Danandjaja,
1994:87) ada empat yaitu: (1) sebagai sistem proyeksi yakni sebagai alat pencermin
angan-angan suatu kolektif; (2) sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan
lembaga-lembaga kebudayaan; (3) sebagai alat pendidikan anak; (4) sebagai alat
pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota
kolektif.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sejarah berarti asal-usul, silsilah,
kisah, riwayat peristiwa. Sejarah akan menerangkan bagaimana sebuah kejadian dapat
terjadi, atau riwayat kejadian yang sudah lampau. Sedangkan menurut Alfian
5
(2006:1) sejarah merupakan ilmu pengetahuan yang menelaah asal-usul,
perkembangan dan penerangan masyarakat lampau.
Sejarah yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah asal usul terciptanya
kesenian nandong. Hal ini bertujuan agar terhimpun data-data mengenai peristiwa
terciptanya seni tradisi kesenian nandong di Kabupaten Simeulue. Kesenian nandong
yang penulis teliti ini pada dasarnya dimainkan pada saat malaulu. Malaulu bagian
dari tahap upacara perkawinan adat etnik5 Simeulue.
Dalam Islam, sesuai dengan panduan Al-Qur’an, seorang pria Islam bisa
kawin dengan sebanyak-banyaknya empat perempuan, tetapi ada syaratnya yaitu adil.
Allah mengingatkan bahwa jika seorang lelaki muslim tidak dapat berlaku adil
kepada isteri-isterinya, maka kawinlah dengan satu perempuan saja. Dimensi
pembelajaran ayat ini adalah bahwa Allah menciptakan lebih banyak perempuan
dibandingkan laki-laki.
Selain itu kita lihat pula konsep perkawinan di dalam perspektif ilmu
antropologi. Seorang pakar antropologi Eropa, Gough (1959) melihat perkawinan,
disepanjang masa dan semua tempat di dunia ini, sebagai satu kontrak menurut adat-
5Etnik dalam tulisan ini adalah memiliki makna yang sama atau hampir sama dengan
kelompok etnik, suku, atau suku bangsa. Apa yang dimaksud etnik dalam skripsi ini adalah sekelompok manusia yang dipandang memiliki hubungan genelaogis secara umum sama pada awalnya, kemudian mereka memiliki bahasa dan kebudayaan yang sama, yang dipandang sebagai sebuah kelompok etnik sendiri yang mandiri, baik oleh etnik di luar mereka atau oleh mereka sendiri. Untuk dapat memahami siapakah suku Hokkian atau lebih luas orang Tionghoa Muslim, yang menjadi fokus kajian dalam skripsi ini, maka sebelumnya dijelaskan pengertian kelompok etnik (ethnic group). Naroll memberikan pengertian kelompok etnik sebagai suatu populasi yang: (1) secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya; (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri; dan (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain (Naroll, 1965:32). Dalam tulisan ini, pengertian suku (etnik) dibedakan dengan pengertian bangsa Tionghoa dan juga Tiongkok. Lihat pada catatan kaki dua halaman berikutnya.
6
istiadat, yang bertujuan untuk menetapkan pengabsahan anak yang baru dilahirkan
sebagai anggota yang dapat diterima masyarakat. Dalam usaha menemukan definisi
yang universal, Goodenough memusatkan pemikirannya kepada hak atas seksualitas
wanita yang diperoleh berdasarkan kontrak sosial.
Perkawinan adalah satu transaksi yang menghasilkan satu kontrak, yaitu seorang (laki-laki atau perempuan, korporatif atau individual, secara pribadi atau melalui wakil, memiliki hak secara terus-menerus untuk menggauli seorang perempuan secara seksual–hak ini memiliki keutamaan atas hak menggauli secara seksual yang sedang dimiliki atau kemudian diperoleh oleh orang-orang lain terhadap perempuan tersebut, sampai hasil transaksi itu berakhir dan perempuan yang bersangkutan dianggap memenuhi syarat untuk melahirkan anak (Goodenough, 1970:12-13). Upacara perkawinan hanyalah salah satu rangkaian dari sejumlah upacara
siklus hidup dan sesudah meninggalnya manusia. Siklus hidup manusia biasanya
dimulai dari sejak janin, lahir, akil baligh atau dewasa, khitan, perkawinan, memiliki
anak, memasuki keorganisasian, kematian, pasca kematian, dan seterusnya.
Masyarakat Simeulue, didalam melaksanakan tata cara adat perkawinan,
menunaikan dua norma penting. Pertama adalah perkawinan menurut adat, dan
kedua, menurut agama. Dalam tata cara perkawinan menurut adat, maka akan
diadakan penganugerahan kedudukan kepada mempelai pria. Hal ini dilakukan
semata-mata karena sistem kemasyarakatan Simeulue menganut sistem patrilineal
(garis keturunan dari pihak ayah). Selanjutnya, perkawinan baru dianggap sah bila
telah dilakukan upacara perkawinan sesuai agama. Sesudah pelaksanaan kedua fase
tersebut biasanya upacara perkawinan dilanjutkan dengan upacara baralek, yaitu
7
upacara perayaan terhadap perkawinan yang sudah dilaksanakan. Partisipan baralek6
melibatkan urang tuo, sanak saudara, termasuk ketua adat.
Dalam perayaan upacara adat perkawinan7 Simeulue, ada 9 tahap, yaitu: (1)
manutuk anak ammen; (2) duduk keluarga; (3) lak o si falu-falu; (4) manaen tando;
(5) duduk tuo; (6) pelaksanaan pernikahan; (7) panggil suruik; (8) mangiao tafeng;
dan(9) mangeneng adat.
Berdasarkan pemaparan-pemaparan di atas, nandong mencakup empat aspek
yang menarik perhatian penulis, yakni: (1) latar belakang sejarah dan kebudayaan
Etnik Simeulue di Sinabang; (2) nandong dalam upacara perkawinan adat Simeulue
di Sinabang; (3) struktur melodi nandong dan ritme kedang dalam budaya musik
etnik Simeulue; dan (4) makna teks nandong yang disajikan pada malaulu adat
perkawinan Etnik Simeulue di Sinabang.
Keempat hal ini sangat relevan untuk dikaji secara etnomusikologis sebagai
bidang keilmuan yang penulis geluti selama empat tahun terakhir ini. Apa yang
dimaksud etnomusikologi itu adalah seperti berikut ini:
Ethnomusicology is the study of music in its cultural context. Ethnomusicologists approach music as a social process in order to understand not only what music is but why it is: what music means to its practitioners and audiences, and how those meanings are conveyed. Ethnomusicology is highly interdisciplinary. Individuals working field may have training in music, cultural, anthropology, folkore, performance studies, dance, cultural studies, gender studies, race or ethnic studies, area studies, or other fields in the humanities, and social sciences. Yet all ethnomusicologists share a coherent foundation in the following approaches and methods: (1) Taking a global approach to music
6Baralek sebutan untuk resepsi perkawinan di Sinabang. 7Wawancara penulis dengan Bapak Sabu Nasir (Kepala Sekretaris Majelis Adat Aceh
Sinabang, pada tanggal 5 Mei 2015 di Kantor Majelis Adat Aceh Sinabang.
8
(regardless of area of origin, style, or genre). (2) Understanding music as social practice (viewing music as a human activity that is shaped by its cultural context). (3) Engaging in ethnographic fieldwork (participating in and observing the music being studied, frequently gaining facility in another music tradition as a performer or theorist), and historical research. Ethnomusicologists are active in a variety of spheres. As researchers, they study music from any part of the world and investigate its connections to all elements of social life. As educators, they teach courses in musics of the world, popular music, the cultural study of music, and a range of more specialized classes (e.g., sacred music traditions, music and politics, disciplinary approaches, and methods). Ethnomusicologists also play a role in public culture. Partnering with the music communities that they study, ethnomusicologists may promote and document music traditions or participate in projects that involve cultural policy, conflict resolution, medicine, arts programming, or community music. Ethnomusicologists may work with museums, cultural festivals, recording labels, and other institutions that promote the appreciation of the world’s musics (http://www.ethno- musicology.org/ ?page= whatisethnomusicology).
Dari kutipan dalam situs web etnomusikologi.org tersebut, maka dapat
dipahami bahwa etnomusikologi adalah studi musik dalam konteks budayanya.
Etnomusikolog biasanya melakukan pendekatan musik sebagai proses sosial untuk
memahami tidak hanya apa musik tapi mengapa: apa artinya praktik musik dan
khalayak, dan bagaimana makna yang disampaikan musik tersebut. Etnomusikologi
sangat interdisipliner. Para ilmuwan yang bekerja pada lapangan etnomusikologi ini
mungkin saja berasal dari pelatihan musik, ilmuwan antropologi budaya, ilmuwan
cerita rakyat, kajian pertunjukan, tari, studi budaya, studi gender, studi ras atau etnik,
studi kawasan, atau bidang lainnya di bidang ilmu-ilmu humaniora dan sosial.
Namun, semua etnomusikolog berbagi landasan yang koheren dalam pendekatan dan
metodenya, seperti berikut: (1) Mengambil pendekatan global untuk musik (terlepas
9
dari daerah asal, gaya, atau genre). (2) Memahami musik sebagai praktik sosial
(melihat musik sebagai aktivitas manusia yang dibentuk oleh konteks budaya). (3)
Melakukan penelitian lapangan etnografi (berpartisipasi aktif dalam mengamati
musik yang sedang dipelajari, mengkaji tradisi musik baik sebagai pemain atau ahli
teori sekeligus), dan penelitian sejarah musik.
Etnomusikolog aktif dalam berbagai bidang. Sebagai peneliti, mereka belajar
musik dari setiap bagian di dunia ini dan menyelidiki koneksi ke semua elemen
kehidupan sosial. Sebagai pendidik, mereka mengajar kursus musik dunia, musik
populer, studi budaya musik, dan berbagai kelas yang lebih khusus (misalnya, tradisi
musik sakral, musik dan politik, mengajarkan pendekatan disiplin ilmu dan metode).
Etnomusikolog juga berperan dalam budaya masyarakat.Bermitra dengan komunitas
musik yang mereka pelajari, etnomusikolog dapat mempromosikan dan
mendokumentasikan musik tradisi atau berpartisipasi dalam proyek-proyek yang
melibatkan kebijakan budaya, penyelesaian konflik, pengobatan, pemrograman seni,
atau komunitas musik. Etnomusikolog dapat bekerja pada museum, festival budaya,
rekaman label, dan lembaga lain yang mempromosikan apresiasi musik dunia.
Dengan demikian, kerja keilmuan yang penulis lakukan terutama dalam proyek
penelitian skripsi sarjana ini, adalah sesuai dengan uraian mengenai apa itu
etnomusikologi seperti tersebut di atas.
Melalui empat hal yang telah penulis tentukan dalam seni nandong ini, maka
akan dapat menjelaskan kepada kita tentang struktur melodi dan makna teks nandong
serta rangkaian upacara adat perkawinan Etnik Simeulue di Sinabang. Berdasarkan
rumusan masalah dan beberapa alasan yang menarik perhatian penulis di atas, maka
10
tujuan dari penelitian ini adalah: mengkaji nandong dalam upacara adat perkawinan
Etnik Simeulue di Sinabang, sehingga mendapatkan dan memberikan makna yang
terkandung dalam nandong terhadap Etnik Simeulue di Sinabang. Berdasarkan tujuan
penelitian di atas, penulis memfokuskan penelitian pada nandong dan menuliskannya
dalam karya ilmiah dengan judul: Kajian Musikal dan Makna Teks Nandong yang
Dipertunjukan pada Malaulu Di Sinabang, Kecamatan Simeulue Timur, Kabupaten
Simeulue, Aceh.
1.2 Pokok Permasalahan
Berdasarkan uraian dan penjelasan latar belakang di atas, penulis
menentukan dua pokok masalah untuk membatasi wilayah pembahasan. Adapun
pokok-pokok masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana struktur melodi nyanyian dan ritme kedang dalam pertunjukan
nandong?
2. Bagaimana makna teks nyanyian nandong dalam kehidupan Etnik Simeulue di
Sinabang?
1.3 Tujuan dan Manfaat
Melalui penyusunan skripsi ini, penulis menentukan tujuan dan memperoleh
manfaat penelitian. Berikut ini, penulis menguraikan tujuan dan manfaat penelitian
sesuai dengan latar belakang dan pokok masalah yang telah dipaparkan sebelumnya.
1.3.1 Tujuan
Sesuai dengan batasan pokok permasalahan, tujuan dari penelitian ini adalah:
11
1. Untuk mengetahui dan menganalisis struktur melodi nandong dan ritme
kedangpada malaulu.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis secara etnomusikologis makna teks
nandong.
1.3.2 Manfaat
Manfaat yang diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Sebagai modal awal bagi penulis untuk mengasah dan membekali kemampuan
selaku mahasiswi Etnomusikologi, Universitas Sumatera Utara.
2. Sebagai dokumentasi kebudayaan etnis Simeulue di Sinabang dan secara khusus
dapat memotivasi generasi muda etnis Simeulue di Sinabang.
3. Sebagai informasi dan catatan kebudayaan bagi Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan desa Sinabang.
4. Sebagai sumber bacaan yang dapat memberikan informasi tentang kebudayaan
Etnis Simeulu di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara.
5. Sebagai sumber referensi bagi peneliti lain yang memiliki keterkaitan judul
penelitian dengan nandong.
1.4 Konsep dan Teori
Melalui konsep dan teori, penulis diarahkan dan difokuskan untuk
memperoleh gambaran tentang objek penelitian dan memecahkan pokok
permasalahan yang telah ditentukan.Selain itu, konsep dan teori juga berfungsi
sebagai pedoman dan dasar untuk mencari dan melengkapi data-data yang
dibutuhkan.
12
1.4.1 Konsep
Konsep menurut R. Merton (dalam buku Koetjaraningrat 1983:21) merupakan
definisi dari apa yang perlu diamati; konsep menentukan antara variabel-variabel
mana kita ingin menentukan adanya hubungan empiris. Sedangkan Koentjaraningrat
(2009:85) mengatakan bahwa, konsep merupakan penggabungan dan perbandingan
bagian-bagian dari suatu penggambaran dengan bagian-bagian dari berbagai
penggambaran lain yang sejenis, berdasarkan asas-asas tertentu secara konsisten.
Berdasarkan pengertian di atas, penulis menggambarkan hubungan beberapa konsep
yang berkaitan dengan tulisan ini melalui definisinya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat (2008:58), kajian atau
analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan
bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang
tepat dan pemahaman arti keseluruhan.Berpedoman dengan definisi di atas, kata
kajian dalam tulisan ini berarti hasil penguraian dan penelaahan objek
penelitian.Melodi dan teks nandong yang diperoleh sebagai inti penelitian diuraikan
dan ditelaah untuk mendapat pengertian dan pemahaman tentang nandong secara
keseluruhan.
Musik dalam Oxford Universal Dictionary Third Edition (Merriam1964:27)
didefinisikan sebagai berikut: That one of the fine arts which is concerned with the
combination of sounds with a view to beauty of form and the expression of thought or
feeling. Artinya secara harfiah adalah salah satu bagianseni murni yang meliputi
13
kombinasi bunyi-bunyian dengan suatu pandangandalam memperindah bentuk dan
ekspresi hasil pikiran atau perasaan.
Selain itu, musik diartikan American College Dictionary Text Edition
(Merriam 1964:27) sebagai: An art of sound in time which expresses ideas and
emotions in significant forms through the elements of rhythm, melody, harmony, and
color.
Definisinya secara harfiah yakni suatu seni bunyi dalam waktu
yangbersamaan mengungkapkan berbagai ide dan emosi dengan bentuk-bentuk
yangberarti melalui elemen-elemen dari ritme, melodi, harmoni, dan warna.
Berdasarkan dua pengertian musik di atas, dapat disimpulkan bahwa musikal adalah
suatu hal yang berkaitan dengan hasil pikiran dan perasaan dimana mengandung
kombinasi bunyi-bunyian (ritme, melodi, harmoni, dan warna) danberbagai ide serta
emosi.
Nandong pada malaulu dalam adat perkawinan etnik Simuelue di Sinabang
dapat penulis nyatakan sebagai objek kajian etnomusikologi, karena terbentuk dari
bunyi-bunyian, emosi, struktur, dan bentuk dan diklasifikasikan sebagai nyanyian.
Selain itu, nandong juga mengandung elemen melodi, ritme, harmoni, dan tekstur.
Berdasarkan seluruh pemaparan di atas, tulisan ini membahas tentang struktur musik
nandong yang difokuskan pada melodi dan instrument kedang pada ritme.
Melodi menurut Michael Pilhofer and Holly Day (2007:219) dalam buku
Music Theory for Dummies, “The melody is the part of thesong we can’t get out of
our heads. The melody is the lead line of a song, the partthat the harmony is built
around, and the part of the song that gives as muchglimpse into the emotion of a
14
piece as the rhythm does.” Artinya secara harfiah yaitu melodi adalah bagian dari
lagu di mana kita tidak dapat melepaskannya dari kepala kita.Melodi adalah garis
awal dan akhir dari sebuah lagu, bagian yang membangun harmoni, dan bagian dari
lagu yang memberikan banyak pengenalan ke dalam suatu emosi sebagaimana ritme
juga.
Kebudayaan musik dunia mengandung unsur-unsur musikal secara murni.
Unsur-unsur musikal tersebut meliputi nada, ritme, harmoni, tekstur, dan bentuk.
Namun, unsur-unsur musikal terbentuk bersama berbagai unsur lainnya. Berbagai
unsur lainnya memiliki peranan dan tujuan yang sama. Mereka terlibat dan
mendukung unsur-unsur musikal. Bahasa merupakan salah satu unsur pendukung
kebudayaan musik dunia. Bahasa dapat dikatakan sebagai jembatan yang
mengantarkan proses penyampaian suatu kebudayaan musik, baik dalam seni
pertunjukan maupun pertunjukan kultural. Dengan demikian, bahasa menjadi sarana
komunikasi lisan dalam setiap pertunjukan seni.Bahasa dalam pertunjukan seni sering
disebut sebagai teks.
Teks adalah naskah yang berupa kata-kata asli dari pengarang, kutipan dari
kitab suci untuk pangkal ajaran atau alasan, bahan tertulis untuk dasar memberikan
pelajaran, berpidato, dan sebagainya (Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat
2008:1474). Dari definisi teks di atas, tekstual berarti hal yang berikatan dengan suatu
teks.Teks mengacu pada syair-syair nandong yang disajikan dalam bentuk pantun.
Dalam tulisan ini, penulis menganalisis makna teks yaitu berupa naskah yang berupa
kata-kata asli dari pengarang nandong.
15
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat (2008:1595), ada 3
pengertian upacara, yaitu (1). tanda-tanda kebesaran; (2). peralatan (menurut adat-
istiadat); tingkah laku atau perbuatan yang terikat pada aturan-aturan tertentu menurut
adat atau agama; dan (3). perbuatan atau perayaan yang dilakukan atau diadakan
sehubungan dengan peristiwa penting. Berdasarkan 3 pengertian di atas maka dapat
disimpulkan bahwa upacara adalah perayaan yang diadakan sehubungan dengan
peristiwa penting dan sakral yang terikat pada aturan-aturan tertentu menurut adat
atau agama.
Menurut Koentjaraningrat (2009:93), adat merupakan seluruh pengetahuan,
gagasan, dan konsep yang dianut oleh sebagian besar warga suatu masyarakat.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat (2008:58), ada 2
pengertian adat yakni: (1). aturan yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala;
(2). kebiasaan; cara yang sudah menjadi kebiasaan. Berpedoman pada 2 pengertian di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa adat adalah aturan dan kebiasaan yang lazim
dilakukan berdasarkan gabungan pengetahuan, gagasan, dan konsep yang dianut oleh
suatu masyarakat.
Koentjaraningrat (2002:146-147) menjelaskan masyarakat adalah kesatuan
hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat yang bersifat
kontiniu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Para ahli antropologi
mendeskripsikan masyarakat sebagai wadah hidup bersama dari individu-individu
yang terjalin dan terikat dalam hubungan interaksi serta interelasi sosial. Masyarakat
yang dimaksud penulis di sini adalah masyarakat Simuelue Timur yang merayakan
16
perayaan malaulu pada Upacara Perkawinan Adat, khususnya masyarakat Sinabang.
Ada 9 tahap perkawinan adat Etnik Simeulue di Sinabanag, yaitu: (1) manotok anak
amen; (2) duduk keluarga; (3) lak o si falu-falu; (4) manaen tando; (5) duduk tuo; (6)
pelaksanaan pernikahan; (7) panggil surui; (8) mangiao tafeng; dan (9) mangeneng
adat.
Secara sosiologis dan agama, fungsi utama perkawinan adalah untuk
melanjutkan generasi keturunan manusia sepanjang zaman, dan menjaga peradaban
manusia. Sedangkan guna perkawinan di antaranya adalah: memuaskan nafsu
biologis manusia, menerima dan memberi kasih sayang kepada pasangan hidup,
membina keluarga, menyatukan dua keluarga besar, dan sebagainya. Dalam hal ini,
agama memegang peran utama dalam upacara perkawinan. Pengabsahan perkawinan
selalu melibatkan para pemuka agama pada semua agama di dunia. Ritual perkawinan
melibatkan aspek adat dan agama sekaligus. Demikian juga yang terjadi pada
masyarakat Sinabang.
1.4.2 Teori
Teori merupakan landasan utama yang digunakan dalam penelitian ilmiah.
Kerlinger (dalam Sugiono 2009:79), mengemukakan bahwa: “Theory is a set
ofinterrelated construct (concepts), definitions, and proposition that present
asystematic view of phenomena by specifying relations among variables, withpurpose
of explaining and predicting the phenomena.”
Dalam menulis skripsi ini, penulis berpegang pada beberapa teori yang
berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas dan dianggap relevan. Teori
17
yang dimaksud sesuai dengan pendapat Koentjaraningrat (1977:30), yaitu bahwa
pengetahuan yang diperoleh dari buku-buku, dokumen-dokumen serta pengalaman
kita sendiri merupakan landasan dari pemikiran untuk memperoleh pengertian tentang
suatu teori-teori yang bersangkutan. Dengan demikian teori adalah pendapat yang
dijadikan acuan dalam membahas tulisan ini.
Untuk mengetahui sistem upacara adat perkawinan etnik Simeulue di
Sinabang, penulis berpedoman pada sistem upacara keagamaan yang menjadi
perhatian dari para ahli antropologi yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat
(2009:296), yakni secara khusus mengandung empat aspek: (1) tempat upacara
dilakukan; (2) saat-saat upacara dijalankan; (3) benda-benda dan alat upacara; dan (4)
orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara.
Setiap kebudayaan musik dunia memiliki sistem-sistem musik yang berbeda.
Karena kebudayaan musik dunia dikerjakan dengan cara yang tidak sama oleh setiap
pendukung kebudayaan (Nettl 1977:3). Sistem-sistem musik tersebut dapat berupa
teori, penciptaan, pertunjukan, pendokumentasian, penggunaan, fungsi, pengajaran,
estetika, kesejarahan, dan lain-lain. Salah satu sistem yang terlihat jelas dalam suatu
kebudayaan musik dunia adalah pengajarannya yang diwariskan dari mulut ke mulut
(oral tradition) (Nettl 1973:3). Dengan demikian pewarisan kebudayaan melalui
mulut ke mulut dapat menciptakan hasil kebudayaan musik yang berbeda dari setiap
generasi. Hal ini tentu dapat dijadikan sebagai hal yang menarik untuk diteliti dan
harus diketahui tentang materi-materi lisan dan variasi ragam musik yang
menggunakan istilahistilah ideal dari suatu kebudayaan musik itu sendiri.
18
Tradisi lisan dalam pewarisan kebudayaan musik menciptakan berbagai
ragam variasi musik dan materi-materi lisan. Nandong merupakan bagian dari
pewarisan musik vokal suku Simeulue yang tercipta bersamaan dengan perubahan
waktu dan lingkungan sebagai konsekuensi dari tradisi lisan. Selain itu, generasi
pewaris nandong juga menambahkan ragam baru melalui bakat musikalitas dan
semangat yang menambah keindahan bunyi nandong.
1.4.2.1 Weighted Scale
Dalam mengkaji melodi musik dalam pertunjukan nandong, penulis memakai
teori weighted scale oleh William P. Malm. Malm menjelaskan tentang langkah-
langkah penting apa saja yang perlu dilakukan dalam mengamati/menganalisis musik,
langkah-langkah tersebut yakni:
1. Langkah awal: mendeskripsikan sifat seni pertunjukan.
2. Langkah kedua: menganilisis waktu, hal-hal yang diamati adalah meter, pulsa
dasar, unit-unit birama.
3. Langkah terakhir: menganalisis melodi, meliputi wilayah nada, tangga nada, nada
dasar, jumlah nada, jumlah interval, pola kadensa, formula melodi.
Dalam rangka menganalisis struktur melodi Nandong yang digunakan dalam
upacara perkawinan dalam kebudayaan masyarakat Simeulue, penulis menggunakan
teori weighted scale (bobot tangga nada), yang ditawarkan oleh Malm (1977).
Pada intinya teori weighted scale ini adalah bertujuan untuk menganalisis
delapan unsur yang terdapat dalam melodi seuatu musik, yaitu: (1) tangga nada; (2)
nada dasar; (3) interval; (4) pola-pola kadens; (5) formula melodi; (6) kontur; (7)
19
wilayah nada; dan (8) distribusi nada. (Malm dalam terjemahan Takari 1993:13).
Tangga nada yang dimaksud dalam teori ini adalah nada-nada yang digunakan,
termasuk juga oktaf-oktafnya dalam rangka membangun sebuah melodi. Selanjutnya
yang dimaksud dengan nada dasar, adalah pusat dari tonalitas atau modalitas melodi
tersebut dengan berbagai cirinya. Kemudian yang dimaksud dengan interval adalah
jarak antara nada-nada dalam rangka membangun suatu melodi utuh nyanyian, yang
di dalam etnomusikologi biasanya disebut dengan berbagai istilah seperti: prima
murni, sekunde minor, sekunde mayor, kuart murni, kuint murni, sekta minor, sekta
mayor, septim minor, septim mayor, oktaf, kuint diminished, dan lain-lainnya.
Sementara itu yang dimaksud dengan pola-pola kadensa adalah beberapa nada
akhir di ujung frase-frase melodi atau juga ujung lagu tersebut. Selanjutnya yang
dimaksud dengan formula melodi, adalah bagaimana komposisi melodi tersebut
dibangun oleh motif, frase, dan bentuknya. Ini dapat dideskripsikan sebagai bentuk
tunggal, binari, ternari, dan seterusnya. Kemudian yang dimaksud dengan kontur
adalah garis lintasan melodi baik secara umum maupun rinci, yang dapat
dideskripsikan dengan istilah-istilah sseperti: pendulum, berjenang, menaik,
menurun, rata, dan sejenisnya. Kemudian yang dimaksud dengan wilayah nada adalah
jarak yang diukur dengan satuan laras atau sent antara nada terendah dengan nada
tertinggi di dalam sebuah lagu. Selepas itu, yang dimaksud dengan distribusi nada
adalah bagaimana masing-masing nada itu menyebar dan menyusun suatu melodi
lagu secara utuh, biasanya dideskripsikan dengan cara kuantitatif, jumlah masing-
masing nada tersebut disertai dengan jumlah durasinya. Demikian kira-kira unsur-
unsur melodi yang dianalisis melalui teori weighted scale ini.
20
Selain itu, untuk mendukung teori weighted scale (bobot tangga nada)
digunakan juga cara mendeskripsikan musik (description of musical compositions)
yang dikemukakan oleh Bruno Nettl. Hal-hal yang patut diperhatikan dalam
mendeskripsikan melodi nandong, yaitu (1). tonalitas, (2). ritme, (3). bentuk, (4).
tempo, dan (5). kontur melodi (1964:1450-1550).
1.4.2.3 Semiotik
Dalam mendalami makna-makna teks dalam nandong, penulis menggunakan
teori semiotik. Teori semiotik adalah sebuah teori mengenai lambang yang
dikomunikasikan. Istilah semiotik berasal dari bahasa Yunani, semeion. Panuti
Sudjiman dan van Zoest (dalam Bakar 2006:45-51) menyatakan bahwa semiotika
berarti tanda atau isyarat dalam satu sistem lambang yang lebih besar. Menurut
Ferdinand de Saussure (perintis semiotika dan ahli bahasa), semiotik adalah the study
of “the life of signs within society.” Secara harafiah dapat diartikan dengan studi dari
tanda-tanda kehidupan dalam masyarakat.
Menurut Van Zoest di dalam sebuah teks terdapat ikon, apabila adanya
persamaan suatu tanda tekstual dengan acuannya. Segalanya mempunyai
kemungkinan untuk dianggap sebagai suatu tanda. Penyusunan kalimat-kalimat
dalam sajak (keteraturan suku kata, pengulangan fonetik, ataupun hanya wujud satu
susunan tipografi tertentu) adalah tanda penanda “ini adalah sebuah sajak.” Adanya
kalimat yang panjang-panjang adalah tanda. Banyaknya kata sifat, pergantian
vokalisasi dalam sebuah cerita, panjang pendeknya sebuah teks, semua itu bisa
dianggap sebagai tanda. Semua yang dapat diamati dan diidentifikasikan dapat
21
menjadi tanda, baik hal yang sangat kecil seperti atom, maupun yang bersifat
kompleks karena terdiri atas sejumlah besar tanda lainnya yang lebih kecil. Pada
kekhasan teks hanya tampak setelah dilakukan analisis struktural yang sangat
mendalam.
Selanjutnya dalam rangka kerja dengan teori semiotika, peneliti hendaklah
menginterpretasi (menafsir) tanda dalam teks. Suatu gejala struktural, baik yang
muncul dalam teks pada tingkatan mikrostruktural (dalam kalimat atau sekuen)
maupun pada tingkatan makrostruktural (teks yang lebih luas), selalu dapat dianggap
sebagai tanda. Terpulang kepada pembuat analisis teks, untuk memutuskan apa atau
apa-apa saja yang ingin dipilihnya. Selain dari itu, jika ia memutuskan menganggap
tanda yang dipilihnya sebagai ikon, konsep ikonositas dapat dipakainya sebagai alat
heuristis. Maksudnya alat itu memungkinkannya mengenali suatu makna yang
mungkin akan tetap tersembunyi kalau alat itu tidak dipergunakan.
Selain itu, teori pendekatan semiotik sosial (social semiotics) yang
diperkenalkan oleh Halliday juga menyatakan bahwa bahasa adalah sistem arti dan
sistem lain (yaitu sistem bentuk dan ekspresi) untuk merealisasikan arti tersebut.
Berdasarkan pengertian di atas, kedua teori di atas akan mengarahkan penulis untuk
menganalisis makna tersurat dan tersirat nandong di balik penggunaan lambang
dalam kehidupan Etnik Simeulue di Sinabang.
1.5 Studi Kepustakaan
Koetnjaraningrat (2009:35) menyatakan bahwa studi pustaka bersifat penting
karena membantu penulis untuk menemukan gejala-gejala dalam objek penelitian.
Melalui studi pustaka, penulis sebagai peneliti awam diperkaya dengan informasi-
22
informasi pendukung awal dalam berbagai sumber buku yang berhubungan dengan
penulisan skripsi ini.
Dalam ilmu etnomusikologi, ada dua sistem kerja dalam penelitian, yaitu desk
work (kerja laboratorium) dan field work (kerja lapangan). Studi kepustakaan
tergolong ke dalam kerja laboratorium. Di mana sebelum melakukan penelitian,
peneliti mengumpulkan data-data dan merangkum data-data yang telah didapat. Kerja
ini dimaksudkan untuk mempermudah peneliti saat terjun ke lapangan. Selain itu,
penulis dipersiapkan dan diarahkan untuk melakukan penelitian lapangan.
Studi kepustakaan juga membantu penulis dalam menemukan data-data yang
berhubungan dengan kinerja dan pengembangan tulisan ini. Tahap awal yang penulis
lakukan dalam studi kepustakaan adalah melakukan studi kepustakaan dengan cara
mempelajari tulisan-tulisan yang berhubungan dengan objek pembahasan.
Selanjutnya, penulis mencari dan mengumpulkan informasi dan referensi dari skripsi
yang ada di Departemen Etnomusikologi. Penulis juga mempelajari bahan lain seperti
buku dari Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Sinabang, Dinas Pariwisata
Sinabang, dan artikel-artikel lainnya yang mendukung penyelesaian skripsi ini.
Penulis mengumpulkan data dengan menggunakan teknologi internet, sesuai dengan
kemajuan teknologi yang ada pada saat ini. Dengan melakukan penelusuran data
online di situs www.google.com dan website resmi Sinabang, penulis mendapat
banyak anjuran-anjuran situs lain seperti www.wikipedia.com, repository Universitas
Sumatera Utara, blog-blog, dokumen PDF (portable data file), dan lain-lain. Semua
informasi dan data yang didapat baik melalui skripsi, buku, artikel, dan internet
23
membantu penulis untuk mempelajari dan membandingkannya untuk kesempurnaan
penulisan skripsi ini.
1.6 Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang
menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Untuk meneliti nandong pada upacara
perkawinan etnik Simeulue diSinabang ini, penulis menggunakan metode penelitian
kualitatif, sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Kirk Miller dalam Moleong
(1990:3) yang mengatakan: “Penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu
pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia
dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang dalam bahasa dan
peristilahannya.”
1.6.1 Metode Penelitian Kualitatif
Penelitian kualitatif dapat dibagi dalam empat tahap yaitu: tahap sebelum ke
lapangan, pekerjaan lapangan, analisis data dan penulisan laporan. Pada tahap pra
lapangan penulis mempersiapkan segala macam kebutuhan yang diperlukan sebelum
turun ke dalam penelitian itu sendiri. Dalam bagian ini disusun rancangan penelitian
ini, menjajaki atau menilai keadaan lapangan, memilih informan, perlengkapan
penelitian, dan etika penelitian.
Selanjutnya pada tahap pekerjaan di lapangan seorang peneliti untuk
mengumpulkan data semaksimal mungkin. Dalam hal ini, penulis menggunakan alat
bantu yaitu kamera digital Olympus, dan catatan lapangan. Pengamatan langsung
(menyaksikan) malaulu etnik Simeulue di Kota Sinabang. Sedangkan wawancara
24
tidak berstruktur adalah wawancara yang dalam pelaksanaan tanya jawabnya
berlangsung seperti percakapan sehari-hari. Informan biasanya terdiri dari mereka
yang terpilih saja karena sifat-sifatnya yang khas.
Dalam tahap menganalisis data penulis mengorganisasikan data yang telah
terkumpul dari catatan lapangan, foto, studi kepustakaan, rekaman, dan sebagainya ke
dalam suatu pola atau kategori. Dan sebagai hasil akhir dari menganalisis data adalah
membuat laporan yang dalam hal ini adalah penulisan skripsi.
1.6.2 Penelitian Lapangan
Sebagai acuan dalam mengumpulkan data di lapangan, penulis berpedoman
kepada tulisan Harsja W. Bachtiar dan Koentjaraningrat dalam buku Metode-metode
Penelitian Masyarakat. Dalam buku ini tersebut dikatakan, bahwa pengumpulan data
dilakukan melalui kerja lapangan (field work) dengan menggunakan: observasi,
wawancara, perekaman.
1.6.2.1 Observasi (Pengamatan)
Observasi atau pengamatan digunakan dalam rangka mengumpulkan data
dalam suatu penelitian merupakan hasil perbuatan jiwa secara aktif dan penuh
perhatian untuk menyadari adanya sesuatu rangsangan tertentu yang diinginkan, atau
suatu studi yang disengaja dan sistematis tentang keadaan atau fenomena sosial dan
gejala-gejala psikis dengan jalan mengamati dan mencatat (Mardalis 2006:63).
Metode observasi menggunakan kerja pancaindera mata sebagai alat bantu utamanya
selain pancaindera lainnya seperti telinga, penciuman, mulut, dan kulit (Burhan
Bungin 2007:115).
25
Observasi yang dilakukan penulis bertujuan untuk melihat dan mengetahui
secara jelas tentang nandong dalam upacara adat perkawinan Etnik Semeulue di
Sinabang.Selain mengamati nandong pada malaulu, penulis juga berkomunikasi
dengan pelaku upacara adat lainnya secara langsung. Dalam hal ini penulis terlebih
dahulu mendapat izin dari pihak panitia upacara.
1.6.2.2 Wawancara
Wawancara merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang melengkapi
dan menjelaskan data yang diperoleh melalui observasi.
Wawancara adalah teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti untuk mendapatkan keterangan-keterangan lisan melalui bercakap-cakap dan berhadapan muka dengan orang yang dapat memberikan keterangan pada si peneliti (Mardalis 2006:64).
Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan dalam rangka mengumpulkan
keterangan-keterangan tentang nandong dalam kehidupan Etnik Simeulue.
Koentjaraningrat (1983:138-139) menyatakan pada umumnya ada beberapa
macam wawancara yang dikenal oleh para peneliti. Beberapa macam wawancara
dibagi ke dalam dua golongan besar: (1) wawancara berencana (standardized
interview) dan (2) wawancara tak berencana (standardized interview). Wawancara
berencana selalu terdiri dari suatu daftar pertanyaan yang telah direncanakan dan
disusun sebelumnya.Sebaliknya wawancara tak berencana tak mempunyai suatu
persiapan sebelumnya dari suatu daftar pertanyaan dengan susunan kata dan dengan
tata urut tetap yang harus dipatuhi oleh peneliti secara ketat.Demikian macam metode
wawancara tak berencana secara lebih khusus dapat dibagi ke dalam (a) metode
26
wawancara berstruktur (structured interview) dan (b) metode wawancara tak
berstruktur (unstructured interview).Wawancara tak berstruktur juga dapat dbedakan
secara lebih khusus lagi dalam dua golongan, ialah (1) wawancara yang berfokus
(focused interview) dan (2) wawancara bebas (free interview).
Metode wawancara yang digunakan penulis adalah wawancara berstruktur,
tak berstruktur, dan kombinasi keduanya. Pada awal penerapan wawancara, penulis
telah mempersiapkan daftar pertanyaan yang akan diajukan kepada informan pokok.
Namun, kenyataannya siklus wawancara itu berubah. Hal itu disebabkan oleh
munculnya pertanyaan lain berdasarkan hasil saat wawancara berlangsung. Dalam
wawancara yang berikutnya, penulis akan melakukan kolaborasi wawancara di mana
akan dipersiapkan baik pertanyaan-pertanyaan terfokus kepada informan pokok dan
garis-garis besar topik wawancara diluar daftar pertanyaan yang akan menggali
informasi sedetail mungkin.
Dalam wawancara kali ini, penulis menetapkan 3 narasumber, yaitu Bapak
Karib (Ketua Bidang Kebudayaan Sinabang), Bapak Amir Husin (Ketua Nandong
Samorita).dan juga Bapak Satri (Ketua Kesenian Sinabang) serta Bapak Sabu Nasir
(Kepala Sekretaris Majelis Adat Aceh Sinabang). Selain itu, penulis juga
mewawancarai penyaji nandong lainnya serta beberapa tokoh masyarakat lainnya
yang berkaitan dengan pengembangan tulisan ini.
1.6.2.3 Perekaman Data
Dalam hal ini penulis melakukan perekaman dengan 2 cara, yaitu (a).
Perekaman yang penulis lakukan yaitu perekaman audio dengan menggunakan
kamera digital merk Olympus. Perekaman ini sebagai bahan analisis tekstual dan
27
musikal. (b). Untuk mendapatkan dokumentasi dalam bentuk gambar digunakan
handphone merk Samsung Galaxy Young GT-S5360.
Pengambilan gambar dilakukan setelah terlebih dahulu mendapat izin dari
pihak pelaksana dan pihak yang bersangkutan. Ini dilakukan sebagai salah satu
pendekatan penelitian, yang transparan dan mengacu pada kebudayaan yang diteliti.
1.6.3 Kerja Laboratorium
Dalam kerja laboratorium, penulis akan mengumpulkan seluruh data yang
terkumpul dari observasi, wawancara, dan perekaman atau dokumentasi. Data
wawancara dituliskan kembali untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam.
Selanjutnya, penulis seluruh data observasi, wawancara, dan perekaman diuraikan
secara detail dan ditafsirkan dengan pendekatan emik dan etik.
Data audio yang menjadi objek penelitian penulis ditranksripsikan dengan
cara didengar berulang kali dan dituliskan dalam bentuk notasi. Selanjutnya, seluruh
data dibentuk dan dijadikan sebagai data secara detail sesuai dengan objek penelitian
dalam penulisan skripsi. Data yang dipergunakan dalam tulisan ini merupakan data-
data yang diperlukan sesuai dengan kriteria disiplin ilmu Etnomusikologi.
1.7 Lokasi Penelitian
Tempat yang dipilih penulis sebagai lokasi penelitian adalah Simeulue Timur,
Sinabang. Alasan penulis memilih tempat ini sebagai lokasi penelitian adalah karena
Sinabang sendiri sebagai tempat pertunjukan nandong. Lokasinya berada dalam
lingkup Sinabang, Simeulue Timur. Lokasi ini cukup jauh dari Medan, memakan
waktu dua hari dua untuk sampai di tempat. Karena si peneliti akan menyeberangi
laut untuk sampai di Sinabang.
28
Transportasi udara reguler dilayani oleh Perusahaan Penerbangan Susi Air.
Transportasi Laut, Singkil (Kabupaten Aceh Singkil) lebih kurang 10 jam. Sibolga
(Propinsi Sumatera Utara) lebih kurang 16 jam. Labuhan Haji (Kabupaten Aceh
Selatan) lebih kurang 9 jam.
29
BAB II
LATAR BELAKANG KEBUDAYAAN ETNIK SIMUELUE DI SINABANG
2.1 Letak Geografis
Kabupaten dengan ibukota Sinabang terletak disebelah barat daya Propinsi
Nanggroe Aceh Darusalam, berjarak 105 Mil dari Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat,
atau 85 mil laut dari Tapak Tuan Kabupaten Aceh Selatan, serta berada koordinat
20°15 – 20°55 Lintang Utara dan terbentang dari 95°40 sampai dengan 96°30 Bujur
Timur (Peta Rupa Bumi skala 1 : 250.000 oleh Bakosurtanal). Panjangnya pulaunya
sekitar 100,2 km dengan lebar berkisar 8-28 km yang secara keseluruhan memiliki
luas 198.021 ha.
Kabupaten Simeulue merupakan gugus kepulauan yang terdiri dari 41 pulau
besar dan kecil. Pulau yang terbesar adalah pulau Simeulue yang panjang nya ± 100,2
Km dan lebar 8 – 28 km. Pulau Simeulue memiliki luas 199.502 ha, atau ± 94% dari
212.512 Ha luas keseluruhan Kabupaten Simeulue. Sedangkan luas sisanya, yakni
14.491 dibagi tidak sama rata untuk Pulau Siumat, Pulau Panjang, Pulau Batu
Berlayar, Pulau Mincau, Pulau Simeulue Cut, Pulau Pinang, Pulau Dara, Pulau
Langgeni, Pulau Linggam, Pulau Lekon, Pulau Selaut, Pulau Silauik, Pulau Tepi,
Pulau Ina, Pulau Alafulu, Pulau Penyu, Pulau Tinggi, Pulau Kecil, Pulau Khala-
Khala, Pulau Asu, Pulau Babi, Pulau Lasia dan pulau-pulau kecil lainnya. Kepulauan
ini dikelilingi oleh Samudra Indonesia dan berbatasan langsung dengan perairan
internasional.
30
Gambar 2.1: Peta Pulau Simeulue
Adapun batas wilayah kabupaten Simeulue berada pada:
(a) Sebelah utara, berbatasan dengan Samudera Hindia dan Kepulauan Aceh.
(b) Sebelah selatan, berbatasan dengan Samudera Indonesia dan Kepulauan Banyak.
(c) Sebelah barat, berbatasan dengan Samudera Hindia dan Laut Lepas.
(d) Sebelah timur, berbatasan dengan daratan Samudera (Kabupaten Aceh Barat
Daya).
Simeulue terdiri dari 10 kecamatan, yaitu Kecamatan Simeulue Timur dengan
Ibu Kotanya Sinabang, Simeulue Tengah dengan Ibu Kotanya Kampung Aie,
31
Simelue Barat dengan Ibu Kotanya Sibigo, Salang dengan Ibu Kotanya Nasreuhe,
Teupah selatan dengan Ibu Kotanya Labuhan bajau, Teupah Barat dengan Ibu
Kotanya Salur, Teluk Dalam dengan Ibu Kotanya Kuala Bakti, Alafan dengan Ibu
Kotanya Langi, Teupah Tengah dengan Ibu Kotanya Lasikin, dan Kecamatan
Simeulue Cut dengan Ibu Kotanya Kuta Padang.
2.1.1 Asal-Usul Suku Aneuk Jamee di Sinabang
Suku Aneuk Jamee adalah sebuah suku di Indonesia yang tersebar di
sepanjang pesisir barat Aceh mulai dari Singkil, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, dan
Simeulue. Suku ini merupakan perantau Minangkabau yang bermigrasi8 ke Aceh dan
telah berakulturasi dengan Suku Aceh. Secara etimologi, nama "Aneuk Jamee”
berasal dari Bahasa Aceh yang secara harfiah berarti “Anak Tamu.” Istilah ini
merujuk kepada orang-orang pendatang di kawasan Aceh. Mereka ini adalah suku-
suku yang bukan Aceh Rayeuk, yang kemudian beradaptasi dengan kebudayaan
setempat, dan dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat dan
kebudayaan Aceh secara umum.
8Sejak berabad-abad lalu, pesisir barat Sumatera telah menjadi rantau tradisional bagi orang
Minangkabau. Migrasi orang Minang ke pesisir barat Aceh telah berlangsung sejak abad ke-16, dimana ketika itu banyak dari saudagar Minang yang berdagang dengan Kesultanan Aceh. Selain berdagang banyak pula dari masyarakat Minang yang memperdalam ilmu agama ke Aceh. Salah satunya ialah Syeikh Burhanuddin Ulakan, seorang ulama yang berasal dari Ulakan, Pariaman, Sumatera Barat. Syekh Burhanuddin pernah menimba ilmu di Aceh kepada Syekh Abdurrauf Singkil dari Singkil, Aceh, yang pernah menjadi murid dan penganut setia ajaran Syekh Ahmad Al-Qusyasyi Madinah. Oleh Syekh Ahmad keduanya diberi wewenang untuk menyebarkan agama Islam di daerahnya masing-masing. Gelombang migrasi berikutnya terjadi pada masa Perang Paderi. Dimana pada masa itu banyak dari masyarakat Minang yang menghindar dari pergolakan dan penjajahan Hindia-Belanda. http://wikipedia.
32
2.1.2 Sebaran Daerah dan Populasi
Berdasarkan data yang diperoleh dari kantor Wali Kota Sabang saat
dilakukannya penelitian ini, maka di Kota Sinabang sendiri, 97% penduduknya
adalah Suku Anak Jamee. Dengan demikian kebudayaan yang dominan di Kota
Sabang adalah kebudayaan Anak Jamee. Termasuk pula pada masa sekarang ini,
bahasa Jamu, yang awalnya adalah bahasa etnik Anak Jamee, telah dijadikan bahasa
resmi pemerintahah setempat, dan selain itu sudah diakui menjadi bahasa bersama
keseluruhan penduduk Simeulue. Suku Anak Jamee membanjiri kota Sinabang, dan
para pedagangnya banyak yang berdagang di pasar Inpres Sinabang dan sekitarnya,
dengan menggunakan komunikasi bahasa Jamu.
2.1.3 Kehidupan Suku Aneuk Jamee di Sinabang
Masyarakat Aneuk Jamee sejak awal telah memeluk agama Islam, sehingga
kehadiran mereka di wilayah ini tidak mendapat pertentangan dari penduduk
setempat. Sampai saat ini mereka hidup rukun dengan suku-suku lain di wilayah ini
seperti suku Alas, suku Gayo, suku Singkil dan lain-lain. Beberapa tradisi budaya
suku Aneuk Jamee juga sangat kental dengan aroma Islaminya.
Suku Aneuk Jamee adalah kombinasi dari budaya Aceh dan budaya
Minangkabau. Kita bisa melihat dari cara dan perlengkapan adat pengantin wanita
yang menambahkan semacam sunting (mahkota) di kepala yang merujuk pada adat
dari daerah Bukittinggi, Sumatera Barat. Sementara pada pakaian adat pria tetap
mengikuti adat Aceh.
Kehidupan masyarakat suku Aneuk Jamee sehari-hari adalah sebagai petani di
ladang, dan juga sebagian sebagai nelayan. Banyak juga dari mereka yang berprofesi
33
sebagai pedagang. Selain itu di halaman rumah mereka kadang memelihara hewan
ternak seperti ayam, bebek, kambing, dan sapi.
2.2 Sistem Religi
Secara keseluruhan, masyarakat Etnik Simeulue menganut Agama Islam.
Seluruh aktivitas kehidupan mereka disesuaikan dengan adat yang didasarkan kepada
ajaran Islam.Hal ini dapatdilihat dalam adat Simeulue yang berdasar pada ajaran-
ajaran Agama Islam. Konsep tersebut tercermin dalam adat bersendikan syarak dan
syarak bersendikan kitabullah. Hal itu diartikan dengan Etnik Simeulue mendasarkan
ide, pelaksanaan, dan penghayatan ajaran-ajaran Agama Islam dalam adat Simeulue.
Tingkah laku dan perbuatan Etnik Simeulue sehari-hari merupakan suatu kesatuan
dalam masyarakat menurut kebiasaan yang telah diatur oleh norma-norma Agama
Islam.
Tabel 2.1:
Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama
No. Agama Jumlah Persentase
1. Islam 28.210 99,23%
2. Kristen Protestan 182 0,64%
3. Kristen Katolik 9 0,03%
4. Hindu 1 0,01%
5. Budha 27 0,09%
Jumlah 28.429 100%
Sumber data: Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Sinabang (2014)
34
2.3 Bahasa
Pulau Simeulue yang terdiri dari 10 kecamatan ini mempunyai beberapa
bahasa yang digunakan oleh masyarakat Simeulue yaitu bahasa Defayan, bahasa
Sigulai, bahasa Aneuk Jame, dan bahasa Lekon. Bahasa ini digunakan masyarakat
Simeulue berdasarkan tempat tinggal daerah masing-masing. Masyarakat Sinabang
Kecamatan Simeulue Timur, masyarakat ini menggunakan bahasa Jamee, sementara
bahasa Sigulai digunakan oleh masyarakat yang bermukim didaerah Sibigo
kecamatan Simeulue Barat, dan masyarakat yang menggunakan bahasa Defayan
adalah masyarakat Teupah dan masyarakat Teluk Dalam. Sementara bahasa Leukon,
digunakan oleh penduduk yang berdomisili di ujung utara pulau Simeulue, tepatnya
di kecamatan Alafan. Namun demikian, pada masa sekarang ini bahasa Leukon
sudah jarang digunakan oleh masyarakat setempat dan bahasa ini juga hampir
punah.Jadi bahasa yang digunakan bukan berdasarkan suku atau etnis tetapi
berdasarkan tempat daerah masing-masing.
Bahasa yang digunakan oleh masyarakat Simeulue ini memiliki struktur
bahasa yang jauh berbeda antara bahasa devayan dengan bahasa sigulai. Dimana
pengguna bahasa Devayan tidak mengetahui bahasa Sigulai, dan sebaliknya
masyarakat yang menggunakan bahasa Sigulai tidak memahami bahasa Devayan.
Untuk menjembatani komunikasi antar kedua penutur bahasa daerah ini, penduduk
Kabupaten Simeulue memiliki “bahasa daerah pemersatu” yaitu bahasa suku Aneuk
Jamee yang memiliki kemiripan dengan bahasa Minangkabau.
Bahasa Aneuk Jamee (bahasa Jamu, menurut istilah orang Sinabang), ini
digunakan oleh orang yang tinggal di kota Sinabang dan sekitarnya. Bahasa ini mirip
35
dengan bahasa Minangkabau, tapi ada segi-segi yang agak berbeda. Bahasa ini sama
dengan bahasa Singkil (Aceh Selatan) dan Tapak Tuan. Segi perbedaan bahasa
Jamee ini dengan bahasa Padang adalah bahasa ini cenderung mirip bahasa Indonesia
(Melayu), tapi bunyi akhirnya berubah menjadi o yang tadinya berawal a.
2.4 Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan pada masyarakat Simeulue adalah patrilinial. Sistem ini
bearti garis keturunan dan kekerabatan didasarkan pada garis keturunan ayah. Jika ibu
yang meninggal maka ayah lah yang bertanggung jawab, tetapi jika ayah yang
meninggal maka yang bertanggung jawab terhadap anak adalah wali dari pihak ayah
yaitu saudara kandung laki-laki. Keluarga dari pihak saudara laki-laki disebut wali
atau dalam bahasa Simeulue disebut amarehet. Meskipun menganut system
patrilineal, saudara laki-laki pihak perempuan tetap memiliki kedudukan yang khas.
Keluarga dari pihak saudara perempuan disebut waris atau dalam bahasa Simeulue
disebut laulu.
Kesatuan kekerabatan terkecil dalam masyarakat Simeulue adalah keluarga
inti yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang belum nikah. Sistem kekerabatan
yang lebih luas lagi berbentuk hubungan seketurunan atau suku dan hubungan tali
perkawinan yang disebut dengan famili. Di Simeulue terdapat beberapa suku di
antarana Suku Dakwa (Ra’awa), Suku Dainang, Suku Lanteng, Suku Dagang, Suku
Aceh, Suku Pamuncak, Suku Pamuncak Bihao, dan Suku Fangon (Bengawan).
Di dalam kehidupan masyarakat biasanya selalu dilalui dengan serangkaian
upacara. Demikian juga dengan masyarakat Kabupaten Simeulue. Upacara adat
36
pernikahan masyarakat Kabupaten Simeulue secara umum mirip dengan upacara adat
pernikahan masayarakat Aceh lainnya.
Bagian yang khas dari masyarakat Simeulue pada tradisi pernikahan adalah
peran kekerabatan dari garis ayah dan ibu. Dalam acara pernikahan, kerabat dari garis
ayah yang disebut wali atau amarehet bertugas meneliti dan menanyakan suku dari
calon menantu. Selasai mencari tentang identitas tentang calon pengantin dan pihak
amarehet memutuskan setuju untuk melanjutkan acara seterusnya. Selanjutnya peran
diserahkan pada pihak kerabat dari garis ibu yang disebut laulu. Pihak laulu ini
bertugas menentukan besarnya mahar dalam pernikahan atau perkawinan tersebut.
2.5 Sistem Kesenian
Masyarakat Simeulue yang merupakan masyarakat heterogen yang terdiri dari
berbagai suku in memiliki banyak kesenian. Pulau Simeulue yang merupakan bagian
dari daerah propinsi Nanggroe Aceh Darussalam ini memiliki kesenian yang tidak
jauh beda dengan kesenian Aceh lainnya dan memiliki kemiripan juga dengan adat
Minangkabau. Akan tetapi ada juga beberapa kesenian yang merupakan khas pulau
ini antara lain adalah kesenian nandong.
Tabel 2.2: Kesenian di Sinabang
No. Jenis Kesenian Waktu Penggunaan
1. Nandong Saat malaulu, peresmian nikah/kawin
2. Tari Pesisir Andalas Saat malaulu, peresmian nikah/kawin
3. Tari Debus/Rapai Debus Saat malaulu, peresmian nikah/kawin
4. Nanga-Nanga Saat malaulu, peresmian nikah/kawin
37
5. Buaian Marhaban Saat turun ke air malam dan pagi
6. Silat Saat menerima tamu dari pihak laki-laki dan
penyambutan tamu dari luar daerah
7. Tari Gelombang Saat menerima tamu dari pihak laki-laki dan
penyambutan tamu dari luar daerah
8. Rangkul Padaa saat menerima mempelai laki-laki di
depan pintu/jenjang rumah.
Sumber: Arsip Kantor Majelis Adat Aceh Sinabang
2.6 Sistem Mata Pencaharian
Adapun sistem mata pencaharian penduduk di Sinabang adalah seperti
terurai pada table berikut ini.
Tabel 2.3: Jumlah Penduduk Menurut Pekerjaan di Sinabang
No. Jenis Pekerjaan Jumlah Persentase
1. Petani 990 14,22%
2. Nelayan 569 8,17%
3. TNI/POLRI 309 4,44%
4. PNS (Pegawai Negeri Sipil) 1.942 27,90%
5. Guru 210 3,02%
6. Wiraswasta/Pedagang 2.941 42,25%
Jumlah 6.941 100%
Sumber data: Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Sinabang (2014)
38
Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa kebanyakan mata pencaharian
penduduk Sinabang adalah sebagai wiraswasta/pedagang. Kebanyakan dari
wiraswasta ini adalah Suku Anak Jamee. Pada umunya, dahulu penduduk Sinabang
bermata pencaharian dengan sebagai petani dan nelayan.
2.7 Sosial
Masyarakat Aneuk Jamee memiliki tiga strata sosial. Bangsawan (datuk)
menduduki strata tertinggi. Strata menengah dibentuk oleh kepala daerah (hulu
baling) dan pemuka agama (ulama), seperti pemimpin doa (tengku), kiai (imam), dan
hakim agama (kadi). Orang-orang biasa berada pada strata paling bawah.
Kepemimpinan tradisional di dalam sebuah desa terdiri dari kombinasi unsur
Minangkabau dan Aceh. Mereka ini adalah para kecik (lurah), tuangku manasah dan
tuangku surau. Ini agak berbeda dengan kepemimpinan di tingkat kecamatan yang
sama dengan pola kepemimpinan tradisional budaya Aceh. Pola kepimpinan ini
terdiri dari kepala daerah (mukim), lurah (kecik), pemimpin jalanan (ketua jurong),
dan tua-tua (tuha peut).
39
BAB III
NANDONG DALAM UPACARA PERKAWINAN ADAT SIMEULUE DI SINABANG
3.1 Asal-usul Nandong
Nandong sebagai salah satu kesenian tradisional yang tumbuh dan
berkembang dalam kebudayaan masyarakat Simeulue. Menurut sejarah kesenian
nandong berarti senandung yakni nyanyian yang didendangkan pada waktu
melakukan sesuatu pekerjaan yang disenangi atau untuk menghibur hati yang sedang
gundah (Agur, 1993:5).
Dalam kamus lengkap bahasa Indonesia (Daryianto, 1998:522) senandung
berarti nyanyian dengan suara lembut atau lantunan lagu dengan suara lembut untuk
menghibur hati. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991:909)
senandung ialah nyanyian kecil dengan suara lembut atau alunan lagu dengan suara
lembut (untuk menghibur diri atau menidurkan bayi).
3.2 Perkawinan pada Etnik Simeulue di Sinabang
Dalam acara perkawinan ada acara khusus untuk pihak laulu yakni acara
malaulu. Acara ini adalah acara dari pihak saudara ibu. Malaulu dilaksanakan
sebelum akad nikah. Malaulu merupakan dimana pengantin perempuan minta izin
kepada laulunya untuk melaksanakan nikah. Sementara pihak laulu menyiapkan atau
memberi hantaran kepada pengantin berupa bakal baju, dan bekal rumah tangga
seperti tempat makan piring, gelas, sendok dan bahan makanan lainnya. Sebelum
hantaran diberikan kepada pengantinnya, acara ini biasanya diselingi oleh kesenian
nandong. Pada acara malaulu, syair-syair nandong yang dilantukan biasanya berupa
40
nasehat tentang pernikahan atau bercerita tentang kasih sayang. Para seniman
nandong biasanya diundang untuk melakukan pertunjukan.
3.3 Tahapan-tahapan Upacara Adat Perkawinan Etnik Simeulue di
Sinabang
Upacara pernikahan dalam adat simeulue tidak jauh berbeda dengan daerah-
daerah yang lain di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam. Pada perayaan pernikahan
di Sinabang ini, berdasarkan pengamatan penulis, ada beberapa 9 tahap yang
dilakukan, seperti yang diuraikan berikut ini.
3.3.1 Manutuk Anak Ammen
Manutuk anak ammen dengan Istilah sir alek garak, mimpi alek angan,
malaset uwek simamatan bau, fangkul-fangkul, mangabahak pandang, mahawali
matan tanemen, marisik dan golok alek aya-e sesuai dengan istilah Kecamatan
masing-masing. Perjalanan pertama ibu dari pihak laki-laki ditemani dengan satu
atau dua orang ibu-ibu dari pihak keluarga berkunjung ke rumah calon anak
menantu. Sebelumnya orang tua laki-laki berkunjung ke tempat calon menantu
terlebih dahulu memberi tahukan pada anak yang akan dijodohkan tentang maksud
dan tujuan kunjungan ibu.
3.3.2 Duduk Keluarga
Duduk keluarga dengan istilah “ampek dari ibu, ampek dari pado bapo”
meliputi: dari pihak ibu terdiri dari Amarehet, laulu, kemanakan, anak silafai; dari
pihak bapo demikian juga, yaitu amarehet, laulu, kemanakan, anak silafai. Dari hasil
kesepakatan akan disampaikan kepada pihak keluarga laki-laki.
41
3.3.3 Manaen Tando (Mengantar Tanda Pertunangan)
Pada tahap ini perjalanan peminangan yang dihadiri oleh adat dan hukum,
wali waris, laulu amarehet, dari pihak laki-laki yang disambut adat dan hukum, laulu
amarehet, wali waris, dari pihak perempuan.
3.3.4 Duduk Tuo (Rapat Famili)
Acara rapat famili kedua belah pihak dilaksanakan berlainan hari biasanya
didahulukan di rumah calon pengantin perempuan, kemudian menyusul rapat famili
dirumah calon pengantin laki-laki. Kegiatan ini bertujuan untuk memberitahukan
kepada hukum dan adat di dalam desa dan seluruh ahli famili, dengan istilah 4
(empat) dari pihak ibu, 4 (empat) dari pihak bapo serta famili lainnya. Rapat
famili/duduk pakat ini langsung dipandu oleh talangkai/pradatan.
3.3.5 Pelaksanaan Pernikahan
Pada langkah selanjutnya adalah rencana akad nikah, namun sebelumnya
acara aqad nikah diawali dengan kegiatan malaulu atau mengunjungi paman untuk
memberitahu bahwa anak kemenakannya akan melansungkan pernikahan.
3.3.6 Panggil Suruik
Acara panggil suruik sesuai pakat bersama antara ipar bisan bahwa pada acara
peresmian perkawinan diadakan panggil suruik, pada hari itu juga kedua pengantin
bersama sanak famili dan hukum adat diantar bersama-sama kerumah pengantin laki-
laki diiringi dengan sidamping, angkum, juga disambut dengan gelombang, silat dan
randai dilanjutkan dengan salawat tabur beras kunyit dan rangkul, kemudian
pengantin dipersilakan naik kerumah dan duduk di pelaminan dilanjutkan pesejuk
oleh kedua orang tua, laulu, dan amarehet.
42
3.3.7 Mangiao Tafeng
Didahului dengan pembubaran panitia ditempat pengantin perempuan disaat
itu juga talangkae/pradatan akan menyerakan jabatannya kepada amarehet/kepala
desa (petuah adat). Dua atau tiga hari setelah itu dilanjutkan acara mangiao
tafeng/manjalang ke rumah pengantin laki-laki yang diikutkan sebanyak ± 6 (enam)
madam yaitu laulu, amarehet, kemanakan, anak silafae. Sedangkan bawaan yaitu 1
(satu) buah pulot lengkap. Kedua pengantin wajib memakai pakaian pengantin,
dilanjutkan dengan acara nasehat, pesejuk diakhiri doa selamat.
3.4 Jalannya Pertunjukan Nandong pada Upacara Perkawinan Adat
Etnik Simeulue di Sinabang
Dalam acara pernikahan ada acara khusus untuk pihak laulu yakni acara
malaulu. Acara ini adalah acara dari pihak saudara ibu. Malaulu dilaksanakan
sebelum akad nikah. Malaulu merupakan dimana pengantin perempuan minta izin
kepada laulunya untuk melaksanakan nikah.Sementara pihak laulu menyiapkan atau
memberi hantaran kepada pengantin berupa bakal baju, dan bekal rumah tangga
seperti tempat makan piring, gelas, sendok dan bahan makanan lainnya.Sebelum
hantaran diberikan kepada pengantinnya, acara ini biasanya diselinggi oleh kesenian
nandong. Pada acara malaulu, syair-syair nandong yang dilantukan biasanya berupa
nasehat tentang pernikahan atau bercerita tentang kasih sayang. Para seniman
nandong biasanya di undang untuk melakukan pertunjukan. Seniman nandong ini
tidak hanya bernandong pada acara malaulu tetapi seniman nandong juga akan
begendang ketika menjemput pengantin pria atau dalam bahasa Simeulue dikenal
43
dengan sebutan marapurai untuk disandingkan di rumah anak daro (pengantin
wanita) untuk resepsi pernikahan.
3.5 Tempat dan Waktu Pelaksanaan Pertunjukan
Tempat pelaksanaan pertunjukan nandong di Desa Suka Maju. Dikediaman anak
daro, pada tanggal 9 Februari 2015. Biasanya pertunjukan nandong ini dimulai
sehabis shalat Isya’ sampai masuk waktu Subuh. (Wawancara dengan Bapak Amir
Husin Februari 2015). Akan tetapi, pada pertunjukan yang saya ikuti nandong ini
dimulai dari pukul 21.00 WIB sampai pukul 02.00WIB.
3.6 Pendukung Pertunjukan
Adapun pendukung pertunjukan nandong ini, yaitu: pemain musik, penonton,
pentas (ruangan rumah), kedang, dan lain-lain. Kesel;uruh pendukung ini dapat
diuraikan sebgaai berikut.
3.6.1 Pemusik-pemusik
Pemusik-pemusik nandong ini terdiri dari laki-laki, yaitu klub seniman nandong
Samorita yang diketuai oleh bapak Amir Husin. Terlihat pada gambar dibawah bapak
Amir Husin dan rekan-rekannya sedang memainkan kedang.
Gambar 3.1: Pemusik Nandong di Desa Suka Maju, Sinabang
(Dokumentasi penulis 2015)
44
3.6.2 Penonton
Penonton terdiri dari orang dewasa hingga anak-anak. Para penonton sangat
menikmati pertunjukan nandong yang dimainkan oleh klub seniman Samorita.
Penonton sangat antusias melihat pertunjukan nandong yang akan segera dimainkan
oleh klub seniman nandong Samorita.
Gambar 3.2: Penonton Nandong di Desa Suka Maju, Sinabang
(Dokumentasi penulis 2015)
3.7 Perlengkapan Pertunjukan
Dalam pertunjukan nandong ini, ada beberapa perlengkapan pertunjukan antara
lain akan diuraikan sebagai berikut.
3.7.1 Area
Area yang dimaksud adalah tempat bagi pemusik-pemusik nandong untuk
menampilkan pertunjukkan nandongnya agar penonton bias menyaksikan langsung
pertunjukkan nandong dan agar ternikmati setiap lantunan dan pukulan kedang.
3.7.2 Ruangan Rumah sebagai Pentas Pertunjukan
Dalam melaksanakan pertunjukan nandong, rumah adalah sebagi tempat yang
dipertunjukan nandong. Rumah menjadi pilihan alternatif bagi setiap masyarakat
45
Sinabang yang mengadakan pertunjukkan nandong, dan pada umumnya di Sinabang
sendiri, rumah menjadi ruangan dalam menampilkan nandong.
Gambar 3.3: Riangan Rumah sebagai Pentas dalam
Pertunjukan Nandong di Desa Suka Maju, Sinabang
(Dokumentasi penulis 2015)
3.8 Kedang sebagai Alat Musik yang Digunakan
Kedang adalah insteumen perkusi yang mengiring nandong pada malam malaulu.
Kedang memiliki alat pukul yang bernama ntuk. Ntuk ini sebuah stik yang dipukul
ke kedang, karena bunyi yang dihasilkan dari memukulkan pukulan kedang berbunyi
ntuk. Biasanya ntuk ini diletakkan di tangan sebelah kanan.
Gambar 3.4: Kedang
(Dokumentasi penulis 2015)
46
BAB IV
TRANSKRIPSI DAN ANALISIS MUSIKAL NANDONG
4.1 Kajian Analisis Musik Nandong
Dalam ilmu Etnomusikologi, transkripsi merupakan proses penulisan bunyi-
bunyian sebagai hasil dari pengamatan dan pendengaran suatu musik kedalam bentuk
simbol-simbol yang disebut dengan notasi. Untuk melakukan transkripsi melodi
nandong, penulis memilih notasi deskriptif yang dikemukakan oleh Charles Seeger.
Notasi deskriptif adalah notasi yang ditujukan untuk menyampaikan kepada pembaca
tentang ciri-ciri atau detail-detail komposisi musik yang belum diketahui oleh
pembaca.
Dalam bab ini, penulis memilih untuk mentranskripsi dan menganalisis
melodi nandong karangan sambah. Hasil transkripsi dan analisis dikerjakan dengan
menggunakan notasi Barat. Penulis memilih notasi Barat agar dapatmenggambarkan
pergerakan melodi nandong secara grafis. Hasil transkripsi yang dibuat oleh penulis
merupakan hasil penelitian pada upacara adat perkawinan Rifki dengan Mardiana
Bandar di Sinabang.
Dalam mentranskripkan dan menganalisis melodi nandong karangan sambah
penulis bekerjasama mengerjakannya bersama dengan bang Aji dan bang Adam
dengan menggunakan aplikasi cybelius dan juga finale, kemudian penulis
menyimpulkan dalam tulisan skripsi ini.
47
4.2 Analisis Struktur Pola Kedang
Berikut ini adalah transkripsi perkusi pada pertunjukan nandong.
Oleh: Adjie Rian Antono dan Mahyunilawati
48
4.2.1 Notasi
Perantara untuk menginterprestasikan bunyi perkusi adalah dengan notasi,
dalam hal ini penulis menggunakan notasi balok dengan beberapa penyesuaian yaitu
menggunakan tiga timbre low, middle, dan high. Timbre low ditempatkan pada spasi
pertama dalam garis paranada, timbre middle diletakan pada spasi kedua dalam garis
paranada, sedangkan timbre high diletakan pada spasi ketiga dalam garis paranada.
Perhatikan gambar berikut.
49
LOW MIDLE HIGH
4.2.2 Distribusi Pukulan Pembentuk Ritme
Jumlah ritme adalah banyaknya ritme-ritme yang dipakai secara keseluruhan
dalam suatu musik baik musik instrumental atau vokal. Pada lagu nandong, penulis
memperoleh 100 ritme dengan timbre low, 73 ritme dengan timbre middle, 63 ritme
dengan timbre high, dalam 1 sampiran nandong. Selengkapnya lihat gambar di bawah
ini.
Low Midle High 100 73 63
Ritme yang paling sering muncul pada nandong adalah timbre low, disusul
timbre middle, Sementara nada yang paling sedikit muncul adalah timbre high.
Dengan demikian, intensitas kemunculan yang paling banyak yaitu timbre low.
Berdasarkan jumlah timbre yang diperoleh dalam 1lagu nandong, maka jumlah
timbre secara keseluruhan dalam 9 bait nandong yaitu 236 nada.
4.2.3 Pola Ritme
Pola ritme merupakan bunyi yang muncul dalam satu atau beberapa birama
yang tersusun sesuai dengan pola tertentu dalam sebuah lagu. Pola ritme perkusi yang
terdapat dalam nandong memiliki 10 pola ritme yaitu sebagai berikut.
50
Pola ritme 1
Seperti terlihat pada notasi di atas pola ritme satu ini diisi oleh durasi tanda istirahat
seperenambelas dilanjutkan ke not berfrekuensi rendah sebesar not setengah,
dilanjutkan ke not frekluensi tinggi dengan durasi seperenambelas, untuk mengisi
ketukan (beat) pertama. Selanjutnya pada ketukan kedua diisi oleh durasi not
seperenambelas pada frekuensi tinggi, dan dilanjutkan pada not seperenambelas pada
frekuensi rendah dan kemudian di ujung ketukan ini diisi oleh not seperdelapan
frekuensi rendah. Pada ketikan ketiga diisi leh empat not frekuensi rendah
seperenambelas. Selanjutnya ketukan keempat diisi oleh durasi not seperdelapan pada
frekuensi tinggi dan disudahi oleh durasi not seperdelapan pada frekuensi rendah.
Keempat ketukan dan durasi ini mengisi birama pertama. Kemudian pada birama
kedua, ketukan pertamanya diisi oleh dua not seperenambelas pada frekuensi rendah,
ditutup dengan not seperdelapan pada frekuensi rendah yang kemudian menyambung
secara suspensi di ketukan kedua sebesar not seperenam belas. Ketukan kedua ini
dilanjutkan dengan not seperenambelas pada frekuensi rendah, dan disudahi not
seperdelapan pada frekuensi tinggi. Kemudian pada ketukan ketiga durasinya adalah
diisi oleh not seperenambelas, not seperdelapan, dan not seperenambelas yang
menyambung sebesar seperenambelas di ketukan keempat. Kesemuanya
menggunakan frekuensi not rendah. Rangkaian pola ritme ini disudahi oleh not tiga
51
perenambelas pada frekuensi rendah. Demikian uraian dan analisis terhadap pola
ritme satu. Yang kemudian secara keseluruhan terdapat 10 pola-pola ritme, yang
dapat dilihat seperti pada notasi berikut ini.
Pola ritme 2
Pola ritme 3
Pola ritme 4
53
Pola ritme 8
Pola ritme 9
Pola ritme 10
4.3 Analisis Struktur Melodis Lagu Nandong
Dalam menganalisis melodi nandong, penulis berpedoman kepada teori
yang dikemukakan oleh William P. Malm yang dikenal dengan teori weighted
scale. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam mendeskripsikan melodi, yaitu (1).
tangga nada (scale); (2). nada dasar (pitch center); (3). wilayah nada (range); (4).
jumlah nada (frequency of notes); (5). jumlah interval (prevalent intervals); (6).
pola kadensa (cadence patterns); (7). formula melodik (melody formula); dan (8).
kontur(contour) (Malm dalam terjemahan Takari 1993: 13).
54
Oleh: Adjie Rian Antono dan Mahyunilawati
E e e e e Ma na be mungko ba la dang padi di la dang ra bah mu do Ma nyam ba mung ko ba gan dang itu isa rat u rang tuo e e pa di di la dang ra bah mu do itu isa rat
u rang tuo sam ba mak ma no di latakkan
Ta la tek ate pa matang Si sa bun ma ra pek bi duk sam ba bak
ma no di la tak kan mintak ta bik u rang nan duduk
Si sa bun mara pek bi duk Biduk di ra pek dibawa rumah min tak ta bik
urang nan duduk sarato nan pu nyo ru mah
55
Bi duk di ra pek di bawah ru mah urang tu la lu di a la man
Sa ra to nan punyo ru mah ma ri du du k ma na tok gandang
E e e e e
E e e e
U rang tu la lu dialaman
Naik ka rumah ate tang go Ma ri du duk ma no kok gan
da ng Ma kan si rih da la m Sa ra no e
Naik ka ru mah a te tang go ta ca bik kain di ba li Ma kan
Si rih dalam sa ra no Pe san tabik urang ba nya nyi e
Ta ca bik di ka in di ba li Die to ta nga duo e t
56
Pe san ta bik urang ma nya nyi ja ngan to nam pak ku rang
baso Die to tanga duo eto e Di jang ka tanga duo jang ka
Jangan to nam pak ku rang ba so Da ri uju ng lalu ka pangka
Di jang ka tanga duo jangka Ambik sang ka bali pa di Da ri
Ujung lalu ka pangka urang man danga baik a ti
E
Am bik
sa jang ka bali padi pa rak siang pa rin tang la lok u rang man da nga
ba ik a ti ja ngan ta bi lang lan tai a tok
pa rak siang pa lintang la lok ka sim pung pakaian mandi e
ja ngan ta bi lang la rai a tok sam ba sim pu nyo
57
manja la ni i i i E e
E e Kasim pung
pa kaian man di Au li cin pa ta han ga la sam ba sim pu nyo man
ja la ni su sa mi kin ma mo han sam ba a Au li cin
sa ga la mudik kau lu su sa mi kin ma mo han sam ba
Ha da pan da tuk jan pang hulu
Sa ga la mu dik ka u lu I li kan ban ting da ri
u lu Ha da pan da tuk jan pang u lu Di su sun
ja ri sa pu luh I li kan banting
da ri u lu ta gak so rang ma ham pi ga la Di su sun ja ri
58
sa pu luh sa ra to ma i ring sam ba e e
Ba lam ba li ring jan bi ra pa du duk di ban dun
ka yu ja ti sa lam mai ring de ngan sam ba
Ting ga sam ba sa lam kum bali an taro kaling
jan ulan do sanan lah ka pa di lai kan An taro ka ning dengan ma
to sanan lah sam ba di lan tak kan e e 4.3.1 Tangga Nada
Dalam mendeskripsikan tangga nada (scale), penulis mengurutkan nada-nada
yang terdapat dalam Nandong tersebut dimulai dari nada terendah sampai nada yang
tertinggi. Penulis memperoleh bahwa terdapat 13 nada dengan nada terendah adalah
D dan nada tertinggi adalah D’ pada oktaf yang berikutnya.
59
Berdasarkan struktur tangga nada yang digunakan di atas, maka tangga nada
Nandong dapat dikategorikan ke dalam jenis tangga nada kromatik, yaitu tangga nada
dengan dua jenis interval yaitu 1/2 laras. Dalam hal ini interval tersebut adalah
setengah laras atau 100 sent dengan jumlah nada dari satu oktaf terdiri dari 13 nada.
Selengkapnya deretan nada yang digunakan dalam melodi nandong ini adalah sebagai
berikut bersama dengan komposisi laras yang digunakannya.
d es e f fis g gis a bes b c cis d’ ½ ½ ½ ½ ½ ½ ½ ½ ½ ½ ½ ½ laras
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 sen
4.3.2 Nada Dasar (Pitch Center)
Hasil rekaman telah ditranskripsikan ke dalam notasi Barat. Hasil yang
didapatkan dalam transkripsi nandong adalah D.
4.3.3 Wilayah Nada
Wilayah nada adalah jarak antara nada tertinggi dan nada terendah dalam
tangga nada. Wilayah nada nandong adalah sebagai berikut.
d g’
8 ½ Laras 1700 sent
60
4.3.4 Frekuensi Pemakaian Nada
Jumlah nada adalah banyaknya nada-nada yang dipakai secara keseluruhan
dalam suatu musik baik musik instrumental atau vokal. Dalam melodi nandong,
penulis memperoleh 173 nada D, 62 nada Es, 102 nada E, 46 nada F, 56 nada Fis, 82
nada G, 51 nada Gis, 49 nada A, 30 nada Bes, 23 nada B, 6 nada C, 56 nada Cis,
dalam 1 sampiran nandong. Selengkapnya lihat gambar di bawah ini.
Nada yang paling sering muncul dalam nandong adalah nada D, disusul nada
E dan G. Nada-nada lain muncul berkisar antara 6 sampai 56. Sementara nada yang
paling sedikit muncul adalah nada C. Dengan demikian, intensitas kemunculan yang
paling banyak yaitu nada D sehingga mengindikasikan nada tersebut sebagai pusat
tonalitasnya. Berdasarkan jumlah nada-nada yang diperoleh dalam 1lagu nandong,
maka jumlah nada-nada secara keseluruhan dalam 9 bait nandong yaitu 736 nada.
4.3.5 Jumlah Interval
Interval adalah jarak antara satu nada dengan nada yang lain yang terdiri dari
interval naik maupun turun. Di bawah ini merupakan tabel jumlah interval dalam
nandong.
61
Tabel 4.1 Jumlah Interval Nandong
Interval Posisi Jumlah Total
Prim murni - 83 83
Mayor ↑ 99 226 ↓ 89
Minor ↑ 133 188 ↓ 93
Melalui tabel di atas dapat diketahui bahwa interval yang paling banyak digunakan
dalam penyajian nandong adalah interval Mayor dengan jumlah 226 kali dan interval
Minor dengan jumlah 188. Selanjutnya interval yang paling sedikit digunakan dalam
penyajian nandong adalah interval Prim murni dengan jumlah 83 kali. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa interval Mayor dan Minor memiliki peranan yang
sangat penting dalam membentuk nandong.
4.3.6 Pola Kadensa
Kadensa adalah suatu rangkaian harmoni atau melodi yang menjadi penutup
pada bagian akhir melodi atau di tengah kalimat, sehingga bisa menutup sempurna
melodi tersebut atau setengah menutup (sementara) melodi tersebut dalam satu frasa.
Dalam nandong hanya terdapat 1 jenis pola kadensa baik pada akhir melodi maupun
pertengahan melodi.
Pola pada akhir melodi
62
Pola pada pertengahan melodi
4.3.7 Kontur
Kontur adalah garis melodi dalam sebuah nyanyian. Malam membedakan
kontur ke dalam beberapa jenis, sebagai berikut:
1. Ascending yaitu garis melodi yang bergerak dengan bentuk naik dari nada yang
lebih rendah ke nada yang lebih tinggi.
2. Descending yaitu garis melodi yang bergerak dengan bentuk turun dari nada yang
lebih tinggi ke nada yang lebih rendah.
3. Pendulous yaitu garis melodi yang bentuk gerakannya melengkung dari nada yang
lebih tinggi ke nada yang lebih rendah, kemudian kembali lagi ke nada yang lebih
tinggi atau sebaliknya.
4. Conjuct yaitu garis melodi yang sifatnya bergerak melangkah dari satu nada ke
nada yang lain baik naik maupun turun.
5. Terraced yaitu garis melodi yang bergerak berjenjang baik dari nada yang lebih
tinggi ke nada yang lebih rendah atau dimulai dari nada yang lebih rendah ke nada
yang lebih tinggi.
63
6. Disjuct yaitu garis melodi yang bergerak melompat dari satu nada ke nada yang
lainnya, dan biasanya intervalnya di atas sekonde baik mayor maupun minor.
7. Static yaitu garis melodi yang bentuknya tetap yang jaraknya mempunyai batas-
batasan.
Garis kontur yang terdapat pada melodi nandong pada umumnya adalah
ascending, descending, conjuct, dan juga static. Untuk lebih jelasnya lihat gambar di
bawah ini:
Kontur Ascending dan Descending
Kontur
static
Kontur conjuct
64
4.3.8 Formula Melodik
Formula melodik yang akan dibahas tulisan ini meliputi bentuk dan frasa. Bentuk
adalah gabungan dari beberapa frasa yang terjalin menjadi satu pola melodi. Frasa
adalah bagian-bagian kecil dari melodi. William P. Malm mengemukakan bahwa
ada beberapa istilah dalam menganalisis bentuk, yaitu:
1. Repetitive adalah bentuk nyanyian dengan melodi pendek yang diulangulang.
2. Iterative adalah bentuk nyanyian yang memakai formula melodi yang kecil dengan
kecenderungan pengulangan-pengulangan di dalam keseluruhan nyanyian.
3. Strophic adalah bentuk nyanyian yang diulang tetapi menggunakan teks nyanyian
yang baru atau berbeda.
4. Reverting adalah bentuk yang apabila dalam nyanyian terjadi pengulangan pada
frasa pertama setelah terjadi penyimpangan-penyimpangan melodi.
5. Progressive adalah bentuk nyanyian yang terus berubah dengan menggunakan
materi melodi yang selalu baru.
Berpedoman pada apa yang dikemukakan Malm mengenai bentuk nyanyian, maka
penulis menarik kesimpulan bahwa bentuk yang terdapat dalam nandong adalah
bentuk nyanyian dengan kategori strophic. nandong terdiri dari 2 bentuk, yaitu
bentuk A dan B. Namun dalam penyajiannya, bentuk A akan diulangi pada bagian
akhir. Dengan demikian, nandong memiliki bentuk A-B-A. Bentuk A merupakan
bagian nandong yang dinyanyikan pada bagian response. Sedangkan bentuk B
merupakan bagian nandong yang dinyanyikan pada bagian call. Nandong merupakan
nyanyian yang terdiri dari 9 frasa. 9 frasa tersebut adalah sebagai berikut:
70
BAB V
KAJIAN MAKNA TEKS
5.1 Bentuk Teks Nandong
Nandong sebagai salah satu pertunjukan kultural Etnik Simeulue mengandung
unsur-unsur musikal. Di samping itu, nandong juga mengandung teks yang
menjadikannya fungsional dalam kebudayaan Etnik Simeulue, khususnya dalam
upacara adat perkawinan Etnik Simeulue. Teks nandong memiliki peranan yang
sangat penting dalam konteks upacara adat perkawinan Etnik Simeulue. Penyampaian
teks nandong membentuk komunikasi lisan diantara penyaji nandong, anak daro,
orang tua anak daro, dan para undangan yang hadir. Berbagai komunikasi lisan
dalam pertunjukan nandong berdasarkan pada pola-pola budaya Etnik Simeulue.
Dengan demikian, komunikasi dua arah tersebut menciptakan interpretasi para
pendengarnya.
Teks nandong berbentuk pantun secara keseluruhan dengan dua bagian utama,
yaitu sampiran dan isi. Sampiran dalam teks nandong disampaikan dengan
menggunakan kata-kata berupa kata kiasan dan perumpamaan. Sedangkan isi teks
nandong disampaikan dengan menggunakan kata-kata berupa kata-kata ungkapan
yang memiliki makna. Bagian utama dalam nandong dibawakan secara solo dan
berganti-gantian. Selain berbentuk pantun, teks nandong juga memiliki bentuk lain
yaitu chorus. Chorus adalah pengulangan satu bagian lagu secara teratur. Bagian
chorus selalu dinyanyikan untuk mengawali dan mengakhiri bagian utama teks
nandong. Bagian ini disajikan oleh seluruh penyaji nandong secara bersama-sama.
71
Teks nandong digolongkan sebagai teks yang bersifat logogenik.9 Logogenik berarti
teks dalam nandong tercipta secara spontan. Teks nandong diciptakan oleh penyaji
nandong dan bertemakan tentang proses kehidupan suatu insan. Teks nandong juga
digolongkan sebagai teks yang bersifat melismatik. Melismatik berarti satu suku kata
dapat dinyanyikan dengan beberapa nada. Dalam teks nandong ditemukan berbagai
suku kata yang diciptakan penyaji dan dinyanyikan dengan beberapa nada. Dalam
Bab V ini, penulis mengkaji teks nandong yang disajikan dalam malaulu Etnik
Simeulue di Kota Sinabang. Kajian ini menggunakan teori semiotik yang meletakkan
lambang sebagai bagian dari komunikasi. Komunikasi dapat terjadi dengan dua arah
dan mengandung makna-makna tertentu. Makna digunakan untuk menyampaikan
suatu pesan.
5.2 Pantun dan Konteksnya
Salah satu sendi dari sastra lisan Aceh adalah pantun atau pantôn dalam bahasa
Aceh. Ketika berbicara tentang pantun, yang terlintas dipikiran seseorang adalah
bahwa pantun merupakan rentetan kata yang disusun rapi oleh penyair yang memiliki
maksud tertentu dan memiliki kesatuan makna tersendiri serta bersajak akhir ab-ab.
Sebenarnya jika dilihat lebih dalam, pantun tidak hanya sebuah karya sastra
lisan Aceh yang untuk sebagian daerah menganggapnya tabu tapi pada kenyataannya
ada juga sebagian dari masyarakat Aceh yang masih mengindahkan sebuah karya
sastra yang berlebel pantun. Pantun yang memiliki bentuk dan dengan isi yang berciri
khas tersendiri mampu membuatnya berbeda dari sastra-sastra lain pada umumnya.
Pantun memiliki banyak jenisnya, salah satunya ialah pantun yang digunakan pada
72
acara pasta perkawinan yang disebut dengan istilah meutaléh pantôn (dalam bahasa
Aceh) yang memiliki arti berbalas pantun (dalam bahasa Indonesia).
Meutaléh pantôn (berbalas pantun) pada acara pesta perkawinan tidak hanya
dipandang dari segi sastranya melainkan juga didukung oleh adat dan budaya di suatu
daerah yang tersebar di Aceh. Dulu, adat meutaléh pantôn (berbalas pantun) sudah
menjadi adat dan tradisi masyarakat Aceh. Tapi, sayangnya dewasa ini adat yang dulu
telah mendarah daging sudah tidak lagi diindahkan oleh sebagian masyarakat Aceh.
Hanya beberapa daerah di Aceh yang masih dijumpai adat dan nilai budaya tinggi
tentang kegiatan meutaléh pantôn pada acara pesta perkawinan. Hal ini merupakan
suatu tradisi yang harus selalu diindahkan dan dilaksanakan demi mencapai
kekhidmatan dalam acara pesta perkawinan. Jika ada acara pesta perkawinan, maka
daerah yang memiliki adat meutaléh pantôn akan melaksanakan kegiatan berbalas
pantun ketika mempelai laki-laki (lintô barô) sampai di rumah mempelai wanita (dara
barô). Pantun yang digunakan dalam kegiatan meutaléh pantôn disebut dengan istilah
pantôn seumapa.
Orang yang biasa melakukan kegiatan meutaléh pantôn memang merupakan
orang yang sudah mahir dalam hal ini. Tapi, bukan berarti orang yang berbalas
pantun tersebut pada saat kegiatan meutaléh pantôn membawa teks pantun tersebut,
keduanya juga tidak saling sepakat tentang pantun yang akan diajukan dan yang akan
dibalas, bahkan mereka pun tidak saling mengenal. Sebaliknya, keduanya mampu
bekerja sama untuk menyukseskan kegiatan meutaléh pantôn tersebut.
Pantôn seumapa merupakan pantun yang disampaikan oleh pihak lintô barô dan
pihak dara barô pada prosesi perkawinan. Ketika rombongan mempelai lintô barô
73
sampai di depan rumah mempelai dara barô, pihak dari lintô barô menyapa pihak
dara barô sebagai tuan rumah dengan maksud menyatakan bahwa rombongan lintô
barô sudah sampai. Lalu, dijawab oleh pihak dara barô, tidak kalah dari pihak
mempelai wanita, pihak mempelai laki-laki pun membalas pantun yang diajukan,
kegiatan ini terus berlangsung dengan begitu seru dan penuh tantangan yang harus
diselesaikan oleh pihak mempelai laki-laki. Sebelum pihak mempelai laki-laki (lintô
barô) dinyatakan ”menang” oleh pihak mempelai wanita dalam hal berbalas pantun,
mereka tidak dibenarkan masuk ke wilayah rumah mempelai wanita (dara barô).
5.3 Analisis Semiotik Teks Pantun dalam Nandong
Teks nandong merupakan sastra tradisional (sastra lisan) Etnik Simeuluer
yang bermuatan nilai-nilai Etnik Simeulue. Isi teks nandong secara khusus
merupakan nasihat-nasihatyang disajikan dalam bentuk pantun. Dengan demikian
teks nandong bernilai sama dengan karya sastra yang berkaitan erat dengan sistem
bahasa masyarakat pendukungnya. Menganalisis teks nandong berarti mencari tahu
dan menemukan makna-makna yang muncul dari teks nandong tersebut. Sehubungan
dengan penemuan makna-makna tersebut, Alan P. Merriam mengemukakan bahwa
musik juga mempengaruhi bahasa di mana keperluan musikal meminta perubahan
dalam bentuk-bentuk percakapan yang normal. Ciri-ciri bahasa dalam lagu adalah
jenis terjemahan yang istimewa yang mana kadang kala memerlukan pengetahuan
bahasa yang istimewa pula (1964:188).
Pantun adalah salah satu seni sastra yang tumbuh dan berkembang di dalam
kebudayaan masyarakat Simeulue dan Indonesia pada umumnya. Pantun adalah
karya sastra yang terdiri dari dua penggal, dengan struktur penggal pertama adalah
74
sampiran dan penggal kedua adalah isi. Satu bait pantun dapat terdiri dari dua baris,
empat baris, enam baris, dan lainnya. Yang umum adalah pantun empat baris
(kuatrin). Pantun ini mengutamaka aspek rima yaitu persamaan bunyi di ujung setiap
barisnya. Pantun ini juga digunakan di dalam teks nandong.
Berikut ini adalah lima bait pantun yang disajikan dalam pertunjukan nandong
di Sabang.
Tabel : 5.1 Pantun Nandong
Pantun Nandong Arti dalam Bahasa Indonesia
(1) Manabe mungko baladang
Padi di ladang rabah mudo
Manyamba mungko bagandang
Itu isarat urang tuo
Menebas makanya berladang
Padi di ladang rebah muda
Menyambar maka bergendang
Itulah isyarat orang tua
(2) Padi di ladang rabah mudo
Talatak ate pamatang
Itu isarat urang tuo
Samba di mano dilatakkan
Padi di ladang rebah muda
Terletak di atas pematang
Itu isyarat orang tua
Sembah di mana diletakkan
(3) Talatak ate pamatang
Si Sabun marapek biduk
Samba di mano dilatakkan
Minta tabik urang nan duduk
Terletak di atas pematang
Si Sabun merapatkan biduk
Sembah di mana diletakkan
Mohon hormat orang yang duduk
75
(4) Si Sabun marapek biduk
Biduk di rapek di bawah rumah
Mintak tabik urang nan duduk
Sarato nan punyo rumah
Si Sabun merapatkan biduk
Biduk dirapatkan di bawah rumah
Mohon sembah orang yang duduk
Sekalian juga yang punya rumah
(5) Naik ka rumah ate tanggo
Tacabik kain di Bali
Makan sirih dalam sarano
Pesan tabik urang banyanyi
Naik ke rumah atas tangga
Tercabik kain di Bali
Makan sirih dalam cerana
Pesan tabik orang bernyanyi
Secara struktural, pantun nandong di atas adalah masuk ke dalam pantun
berkait, yang terjadi pada bait satu, dua, tiga dan empat. Secara konseptual, kaitan
antara bait di dalam teks pantun nandong ini adalah sebagai berikut.
Bagan 5.1 Kaitan Antara Bait Di Dalam Teks Pantun Nandong
76
Pantun nandong di atas terdiri dari lima bait, yang masing-masing bait terdiri
dari empat baris. Dengan demikian jumlah keseluruhan barisnya adalah 20 baris (4 x5
baris). Antara satu bait dengan bait berikutnya terjadi hubungan terutama dalam
menggunakan sampirannya.
Makna yang dikandung bait pertama adalah indeks dari setiap kegiatan adat,
termasuk adat perkawinan adalah dengan digunakannya seni musik, yang dalam hal
ini dilambangkan dengan menyambar maka bergendang, itulah isyarat orang-orang
tua. Dalam isi pantun ini, maknanya adalah kebudayaan Simeulue diwariskan dari
satu generasi ke generasi berikutnya, dengan perlu menghargai keberadaan orang tua.
Selengkapnya teks pantun baris pertama itu adlaah sebagai berikut.
Manabe mungko baladang
Padi di ladang rabah mudo
Manyamba mungko bagandang
Itu isarat urang tuo
Sebelum sampai ke isi, yang menarik bait pertama pantun ini menggunakan sampiran
yang khas kawasan agraris berladang atau bertani, yaitu yang artinya: Menebas
makanya berladang/ Padi di ladang rebah muda. Dalam sampiran ini dijelaskan
bahwa jika seorang petani berladang maka ia perlu menebas (baru ke indeks hutan,
rumput, dan sejenisnya dengan peralatan pertanian). Kemudian di sampiran kedua
tampak jelas bahwa yang dilakukan adalah menanam padi di lading (artinya ladang
lahan tanah bukan sawah), padi yang tumbuh tadi rebah ketika masih berusia muda.
Seterusnya makna yang dikandung pada bait kedua pantun nandong ini adalah
77
Padi di ladang rabah mudo
Talatak ate pamatang
Itu isarat urang tuo
Samba di mano dilatakkan
terjemahannya:
Padi di ladang rebah muda
Terletak di atas pematang
Itu isyarat orang tua
Sembah di mana diletakkan
Baris satu adalah sampiran yang diambil dari barus dua sampiran bait pantun
sebelumnya, yaitu bait satu. Padi di ladang rebah di kala usianya masih muda.
Dilanjutnya dengan baris terletak di atas pematang. Jadi padi yang rebah tersebut
diletakkan di atas pematang. Kemudian memperkuat makna bait pertama, maka bait
kedua ini adalah mengisyaratkan orang tua dalam konteks budaya Simeulue haruslah
dihormati. Orang tua pula yang menurunkan generasi dan kebudayaan kepada
generasi muda. Demikian makna bait kedua ini.
Setersunya, bait kedua pantun tersebut diteruskan ke bait ketiga yang
selengkapnya adalah sebagai berikut.
Talatak ate pamatang
Si Sabun marapek biduk
Samba di mano dilatakkan
Minta tabik urang nan duduk
78
terjemahannya:
Terletak di atas pematang
Si Sabun merapatkan biduk
Sembah di mana diletakkan
Mohon hormat orang yang duduk
Baris pertama teeks pantun ini berasal dari baris kedua teks bait pantun
sebelumnya yaitu terletak di atas pematang sebagai indeks tempat meletakkan padi
muda yang rebah tadi. Kemudian dilanjutkan kepada baris kedua yakni Si Sabun
merapatkan biduk. Teks ini bermakna selepas alam pertanian, maka seterusnya
merujuk ke alam nelayan, yakni dengan indeksikal biduk, yang khas sebagai
peralatan nelayan mencari ikan atau transportasi ke tengah laut. Kemudian isi pantun
ini masih menguatkan tema bait pertama dan kedua. Bahwa teks ini mengajarkan bagi
masyarakat Simeulue kemana arah dari sembah hormat, tentu saja hormat kepada
semua orang yang duduk, sebelum memulai acara adatnya.
Selanjutnya isi pantun nandong pada bait empat selengkapnya adalah seperti
terurai berikut ini.
Si Sabun marapek biduk
Biduk di rapek di bawah rumah
Mintak tabik urang nan duduk
Sarato nan punyo rumah,
terjemahannya:
Si Sabun merapatkan biduk,
79
Biduk dirapatkan di bawah rumah
Mohon sembah orang yang duduk
Sekalian juga yang punya rumah
Baris pertama pantun ini adalah menandakan daerah nelayan, yaitu Si Sabun
merapatkan (melabuhkan) biduknya. Diteruskan dengan penjelasan tempat yaitu
dirapatkan di bawah rumah (tentu saja rumah nelayan). Kemudian isi dari pantun ini,
adalah melengkapkan bait sebelumnya. Dalam bait ini, selain menghormati dengan
cara sembah kepada orang yang duduk, maka perlu pula menghormati tuan rumah
yang melakukan upacara tersebut.
Selanjutnya bait terakhir rangkaian pantun ini adalah agak berbeda dengan
keempat pantun sebelumnya. Bait ini tidak menggunakan baris kedua pantun
sebelumnya, sepertinya ia berdiri sendiri. Selengkapnya bait kelima pantun ini adalah
sebagai berikut.
Naik ka rumah ate tanggo
Tacabik kain di Bali
Makan sirih dalam sarano
Pesan tabik urang banyanyi
terjemahannya:
Naik ke rumah atas tangga
Tercabik kain di Bali
Makan sirih dalam cerana
Pesan tabik orang bernyanyi
80
Baris pertama bait pantun ini adalh menjelaskan naik ke rumah atas tangga, adalh
penjelasan dari rumah adat atau rumah biasa kediaman orang Simeulue adalah rumah
berbetuk panggung di atas tanah dan disokong pilar-pilar, sebagai rumah khas
kawasan pesisir pantai. Dilanjutkan ke bait kedua yakni tercabik kain di Bali, sebagai
indeks, kain yang dikenakan tercabik. Adapun isi pantun kelima ini adalah makan
sirih dalam cerana pesan tabik orang bernyanyi. Jadi untuk memulai acara adat dalam
kebudayaan Simeulue selalu menggunakan sirih, sebagi mana pula berbagai
kebudayaan etnik di Sumatera dan pulau-pulau sekitarnya. Kegiatan bernyanyi
(termasuk nandong) adalah bagaian dari upacara adat. Jadi dengan demikian, kelima
bait pantun ini menggambarkan penghormatan (sembah) kepada yang duduk (yang
hadir) dan tuan rumah penyelenggara upacara. Demikian pula pentingnya regenerasi
budaya. Serta penggunaan sirih dan nyanyian (nandong) dalam upacara. Demikian
makna-makna yang terkandung dalam pantun ini.
81
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan Nandong merupakan salah satu kesenian tradisional masyarakat Kabupaten
Simeulue, Provinsi Aceh. Kesenian ini diketahui memiliki nilai-nilai estetika yang
tinggi (menurut ukuran seni masyarakat pendukungnya), serta makna yang luas
bermanfaat bagi masyarakat Sinabang.
Kesenian nandong merupakan seni bertutur dalam bentuk syair, yang
merupakan karangan dalam tradisi lisan, yang mengandung nasehat-nasehat, nasib,
dan kasih, yang dilantunkan dengan diiringi alat musik yaitu kedang (gendang khas
budaya musik Simeulue). Secara estetika, setiap lirik yang disampaikan mengandung
nilai-nilai kearifan lokal, dan merupakan perpaduan irama, melodi, dan teks yang
disajikan dengan ekspresi “mendayu-dayu.”
Nandong tidak dapat dikatakan sebagai satu pertunjukan yang utuh tanpa
adanya iringan musik, khususnya penggunaan instrumen kedang. Pemusik adat
biasanya terdiri dari 6-12 orang. Selain itu, terdapat juga makna sosial yang
terkandung di dalam syair-syairnya yang berupa nasehat, petuah, yang menceritakan
kehidupan seseorang atau pesan dari leluhur kepada cucunya yang digunakan pada
saat malaulu.
Pada lagu nandong, penulis memperoleh 100 ritme dengan timbre low, 73
ritme dengan timbre middle, 63 ritme dengan timbre high, dalam 1 sampiran
nandong. Pola ritme perkusi yang terdapat dalam nandong memiliki 10 pola ritme.
82
Hasil yang didapatkan dalam transkripsi melodi nandong adalah D. Penulis
memperoleh bahwa terdapat 13 nada dengan nada terendah adalah D dan nada
tertinggi adalah D’ pada oktaf yang berikutnya.
6.2 Saran
Penulis menyadari banyak kekurangan dalam proses penyusunan tulisan Etnik
Simeulue ini. Salah satunya adalah kurangnya sumber-sumber referensi mengenai
Etnik Simeulue yang dapat mendukung tulisan ini. Penulis berharap peneliti-peneliti
berikutnya dapat menyempurnakan tulisan ini. Bagi para peneliti berikutnya, penulis
menyarankan beberapa hal untuk dipersiapkan dalam penyusunan tulisan ini.
Pertama, kita harus mempunyai pengetahuan umum tentang kebudayaan Etnik
Simeulue. Sehingga pada saat menerapkan teknik-teknik penelitian lapangan kita
dapat mengetahui dan menyusun konsep pengerjaan selanjutnya secara bertahap dan
sistematis, antara lain wawancara, observasi, dan dokumentasi. Selanjutnya, kita juga
harus mempunyai kemampuan menjadi sebagai seorang insider. Dengan kata lain,
pengetahuan tentang bahasa Jamee dapat mendukung proses penelitian nantinya.
Terakhir, penulis menyarankan agar peneliti berikutnya dapat mengkaji kebudayaan
musikal Etnik Simeulue lainnya. Karena dalam ilmu Etnomusikologi tulisan-tulisan
yang membahas tentang Etnik Simeulue masih terhitung sedikit jumlahnya. Bagi
pemilik kebudayaan Etnik Simeulue, penulis berharap agar bersedia memberikan
pengetahuan tentang seluruh kebudayaan musikal yang terdapat dalam Etnik
Simeulue. Dengan demikian, seluruh kebudayaan tersebut akan terdokumentasi
nantinya. Penulis juga berharap, Etnik Simeulue sebagai pendukung dan pemilik
83
kebudayaan Etnik Simeulue dapat menggenerasikan kebudayaannya dengan tetap
menjalankannya sesuai dengan adat-istiadat yang terdapat dalam Etnik Simeulue.
Demikiaan tulisan ini diselesaikan, semoga tulisan ini memberikan manfaat
kepada budaya dan pendidikan secara umum dan ilmu Etnomusikologi secara khusus.
84
DAFTAR PUSTAKA
Blacking, John. 1964. How Musical is Man? Seattle: University of Washington Press. Bungin, Burhan H.M, 2007; Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi,
Kebijakan Publik, dan Ilmu sosial, Jakarta: Kencana Prenama Media Group
Danandjaja, James, 1984. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Grafiti Pers.
Goldsworthy, David J. 1979. Melayu Music of North Sumatra: Continuities and Changes. Sydney: Monash University. Disertasi Doktoral.
Goodenough, W.H., 1970. Description and Comparison in Cultural Anthropology. Chicago: Aldine Publishing Company.
Goris Keraf. 1986. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia. Gough, E.K., 1959. “The Nayars and the Definition of Marriage.” Journal of the
Royal Anthropological Institute, pp. 23-34. Kirk dan Miller, 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja
Roskarya. Koentjaraningrat, 1977. Penulisan Laporan Penelitian Dalam: Metode-metode
Penelitian Masyarakat. hal. 389-422. Jakarta: PT. Gramedia. Koentjaraningrat, 1993. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta, Indonesia:
PT. Gramedia. Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: P.T. Rineka Cipta. Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Malm,William P., 1977. Music Cultures of the Pacific, Near East, and Asia. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs; serta terJemahannya dalam bahasa Indonesia, William P. Malm, 1993, Kebudayaan Musik Pasiflk, Timur Tengah, dan Asia, dialihbahasakan oleh Muhammad Takari, Medan: Universitas Sumatera Utara Press.
Mardalis, 2004. Metode Penelitian (Suatu Pendekatan Proposal). Jakarta: Bumi Aksara.
Merriam, Alan P. 1964. The Anthropology of Music. Illinois: North-Western University Press.
Narrol,R., 1965. "Ethnic Unit Classification." Current Anthropology, volume 5 No. 4."
Nasruddin et al., 2011. Kearifan Lokal di Tengah Modernisasi. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan, Badan Pengembangan Sumber Daya Kebudayaan dan Pariwisata, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia.
Nettl, Bruno, 1964. Theory and Method in Ethnomusicology. Indiana: Colier Macmillan.
Nettl, Bruno, 1973. Folk and Traditional of Western Continents, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall.
85
O.K. Gusti bin O.K. Zakaria, 2005. Upacara Adat-Istiadat Perkawinan Suku Melayu Pesisir Sumatera Timur. Medan: (Tanpa Penerbit).
O.K. Moehad Sjah, 2012. Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Pesisir Sumatera Timur. Medan: Universitas Sumatera Utara Press.
Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest,1992. Serba-serbi Semiotik. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Sudjiman P dan Aart van Zoest. 2006. Semiotika. Jakarta: Gramedia.
Sugiyono, 2009. Metode Penelitian Bisnis (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D) Bandung: Alfabeta.
Supanggah, R (ed) 1995. Etnomusikologi. Surakarta: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
Syarifah Aini, 2013. Tari Inai dalam Konteks Upacara Adat Perkawinan Melayu di Batang Kuis: Deskripsi Gerak, Musik Iringan, dan Fungsi. Medan: Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara (Skripsi Sarjana Seni).
Tengku Luckman Sinar, 1994. Adat Perkawinan dan Tata Rias Pengantin Melayu. Medan: Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Seni Budaya Melayu.
Titon, Jeff Todd. 1984. World of Musics: An Introduction to the Music of the World’s People. New York: Schirner Book A Division of Macmillan, Inc.
WEB https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Simeulue http://ulau-simeulue.blogspot.co.id/2014/09/nandong-simeulue.html http://news.liputan6.com/read/2152512/nandong-budaya-simeulue-aceh-yang-selamatkan-warga-dari-tsunami http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/45571/7/Cover.pdf http://www.acehtourism.info/id/nandong-kesenian-tradisi/
LAMPIRAN Karangan Samba Manabe mungko baladang Padi di ladang rabah mudo Manyamba mungko bagandang Itu isarat urang tuo
Talatek ate pamatang Sisabun marapek biduk Samba bakmano dilatakkan Minta tabik urang nan duduk
Biduk dirapek dibawah rumah Urang to lalu dialaman Sarato nan punyo rumah Mari duduk manokok gendang Naik ka rumah ate tanggo
Tacabik kain dibali Makan sirih dalam sarano Pesan tabik urang banyanyi
Dieto tanga duo eto Dijangka tanga duo jangka Jangan tonampak kurang baso Dari ujung lalu ka pangka Ambik sajangka bali padi Parak siang parintang lalok Urang mandanga baik ati Jangan tabilang lantai atok Kasimpung pakaian mandi Au licin patahan gala Samba simpunyo manjalani Susa mikin mamohan samba Sagala mudik ka ulu
Ilikan banting dari ulu Hadapan datuk jan pangulu Disusun jari sapulu
Balam baliring jan biraba Duduk dibandun kayu jati Salam mairing dengan samba Tingga samba salam kumbali
Padi diladang rabah mudo Talatek ate pematang Itu isarat urang tuo Samba makmano dilalatakkan Sisabun marapek biduk
Biduk di rapek di bawa rumah Mintak tabik urang nan duduk Sarato nan punyo rumah
Urang to lalu dialaman Naik ka rumah ate tanggo Mari duduk manokok gendang Makan sirih dalam sarano
Tacabik kain dibali Dieto tanga duo eto Pesan tabik urang menyanyi Jangan tonampak kurang baso Dijangka tango duo jangka Ambik sangka bali padi Dari ujung lalu ka pangka Urang mandanga baik ati Perak siang palintang lalok
Kasimpung pakaian mandi Jangan tabilang larai atok Samba simpunyo manjalani
Au licin patah gala Sagala mudik kaulu Susa mikin mamohan samba Hadapan datuk jan pangulu Ilikan banting dari ulu
Tagak sorang mahampi gala Disusun jari sapulu Sarato mairing samba
Antaro kaling jan ulando Sananlah kapa dilaikan Antaro kaning dengan mato Sananlah samba dilantakkan
LAMPIRAN Karangan Samba Terjemahannya Menebas makanya berladang Padi di ladang rebah muda Menebas makanya bergendang Itu isarat orang tua
Terletakdiatas pematang Sisabun merapatkan biduk Samba dimana diletakkan Mohon hormat orang yang duduk
Biduk dirapatkan dibawah rumah Orang itu jalan dihalaman Serasayang punya rumah Mari duduk memukul gendang Naik keatas tangga rumah
Terkoyak kain dibali Makan sirih dalam sarano Pesan tabik orang bernyanyi
Diatas tangga ada dua Dijangka tangga dua jangka Jangan terlihat kurang basa-basi Dari ujung sampai ke pangkal Ambil sejengkal bali padi Parak siang parintang lalok Orang mendengar baik hati Jangan terbilang larai atok Kasimpung pakaian mandi Au licin patahan gala Samba simpunyo manjalani Susa mikin mamohan samba Sagala mudik ka ulu
Ilikan banting dari ulu Dihadapan datuk dan penghulu Disusun jari sepuluh
Balam mengiring dan menyebar Duduk dibandun kayu jati Salam mengiring dengan samba Tinggal samba salam kembali
Padi diladang rebah muda Terletak diatas pematang Itu isarat orang tua Samba dimana diletakkan Sisabun merapatkan biduk
Biduk dirapatkan di bawah rumah Mohon hormat orang yang duduk Serasa yang punya rumah
Orang itu jalan dihalaman Naik ke atas tangga rumah Mari duduk memukul gendang Makan sirih dalam sarano
Terkoyak kain di bali Diatas tangga ada dua Pesan tabik orang menyanyi Jangan terlihat kurang basa-basi Dijengkal tangga dua jengkal Ambil sangkal bali padi Dari ujung sanasampai ke pangkal Orang mendengar baik hati Perak siang palintang tidur
Gantungkan pakaian mandi Jangan terbilang larai atok Samba yang punya manjalani
Au licin patah gala Segala mudik terlewati Susah memohon samba Dihadapan datuk dan penghulu Ilikan banting dari laut
Berdiri seorang menghampir gala Disusun jari sepuluh Serasa mengiring samba
Antaro kaling dan ulando Disanalah kapal dilayarkan Antara kening dengan mata Disanalah samba diletakkan
DAFTAR INFORMAN
Nama : Amir Husin
Usia : 65 Tahun
Alamat : Dusun Suka Maju, Kabupaten Simeulue Timur, Sinabang.
Profesi : Seniman Nandong dan juga berkebun
Nama : Karib
Usia : 55 Tahun
Alamat : Dusun Suka Karya, Kabupaten Simeulue Timur, Sinabang.
Profesi : Ketua Bidang Kebudayaan di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Sinabang
Nama : Satri
Usia : 63 Tahun
Alamat : Dusun Suka Karya, Kabupaten Simeulue Timur, Sinabang.
Profesi : Ketua Kesenian Nandong di Simeulue dan juga berkebun
Nama : Samsuirzam
Usia : 68 Tahun
Alamat : Dusun Suka Maju, Kabupaten Simeulue Timur, Sinabang
Profesi : Ketua Majelis Adat Aceh Sinabang