21
Kajian Filsafat dari Sudut Metafisika dan Hubungannya dengan Ilmu Kepariwisataan Oleh Agung Permana Budi NIM:1390771014 PROGRAM PASCA SARJANA Program Doktor Pariwisata Universitas Udayana Abstract In line with the science of metaphysics in which science teaches about the way of thinking seriously, especially address problems that are enigmatic (the puzzle) and demanded originality of thought in explaining the challenges in establishing a communication, some experts agree that in order to do a study on the assessment of tourism various branches of the theory can be built in an integrated manner, the model and the basic concepts of tourism. If tourism is not studied as a unified whole that can not produce a definition, scope, and structure intact. 1

Kajian Filsafat dari Sudut Metafisika.doc

  • Upload
    katuksx

  • View
    218

  • Download
    3

Embed Size (px)

Citation preview

Kajian Filsafat dari Sudut Metafisika

dan Hubungannya dengan Ilmu KepariwisataanOleh

Agung Permana Budi

NIM:1390771014PROGRAM PASCA SARJANA

Program Doktor Pariwisata

Universitas UdayanaAbstract

In line with the science of metaphysics in which science teaches about the way of thinking seriously, especially address problems that are enigmatic (the puzzle) and demanded originality of thought in explaining the challenges in establishing a communication, some experts agree that in order to do a study on the assessment of tourism various branches of the theory can be built in an integrated manner, the model and the basic concepts of tourism. If tourism is not studied as a unified whole that can not produce a definition, scope, and structure intact.Keyword: Metaphysics, TourismPendahuluan Dalam metafisika yang mempertanyakan apakah hakikat terdalam dari kenyataan yang diantaranya dijawab bahwa hakikat terdalam dari kenyataan adalah materi, maka munculah paham materialism, sedangkan dalam epistimologi yang dimulai dari pertanyaan bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan? Sumbangan metafisika terhadap ilmu pengetahuan tidak dapat disangkal lagi adalah pada fundamental ontologisnya. Descartes telah menjelaskan bahwa kita memperoleh pengetahuan melalui akal dan dari pemikiran tersebut maka munculah rasionalisme. Sedangkan John Locke telah menjawab pertanyaan tersebut bahwa pengetahuan diperoleh dari pengalaman, maka ia telah melahirkan aliran empirisme.[10]Sedangkan berbagai perdebatan lainnya dalam metafisika mengenai realitas, ada tidak dan lainnya sebagaimana telah dikemukan di dalam telah melahirkan berbagai pandangan berbeda satu sama lain secara otomatis juga melahirkan berbagai aliran pemahaman yang lazim dinyatakan sebagai aliran-aliran filsafat awal, ketika pemahaman-pemahaman aliran-aliran filsafat tersebut dipertemukan dengan ranah epistimologi atau dihadapkan pada fenomena dinamika perkembangan illmu pengetahuan.

Berkaitan dengan pembentukan minat intelektual, maka metafisika mengajarkan mengenai cara berpikir yang serius dan mendalam tentang hakikat-hakikat segala sesuatu yang bersifat enigmatik, hingga pada akhirnya melahirkan sikap ingin tahu yang tinggi sebagaimana mestinya dimiliki oleh para intelektual. Metafisika mengajarkan pada peminat filsafat untuk mencari prinsip pertama sebagai kebenaran yang paling akhir.

Metafisika menuntut orisinalitas berpikir yang biasanya muncul melalui kontemplasi atau intuisi berupa kilatan-kilatan mendadak akan sesuatu, hingga menjadikan para metafisikus menyodorkan cara berpikir yang cenderung subjektif dan menciptakan terminology filsafat yang khas. Situasi semacam ini dinyatakan oleh Van Peursen sangat diperlukan untuk pengembangan ilmu dalam rangka menerapkan heuristika.

Landasan Teori1.Pengertian Metafisika

Metafisika (Bahasa Yunani: (meta) = setelah atau dibalik, (phusika) = "hal-hal di alam". Metafisika merupakan cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di dunia. Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas. Dimana metafisika mempersoalkan realitas dan dunia dengan segala struktur dan dimensinya. Apa yang sungguh-sungguh ada yang paling utama? Apakah itu kehidupan? apakah itu dunia fisik?[1]Apakah keseluruhan kenyataan itu tunggal atau majemuk? Apakah kenyataan itu satu ragam ataukah bermacam ragam? Penggunaan istilah metafisika telah berkembang untuk merujuk pada hal-hal yang diluar dunia fisik. Sebagai contoh, toko buku metafisika, bukanlah menjual buku mengenai ontology, melainkan lebih kepada buku-buku mengenai ilmu gaib, pengobatan alternatif dan hal-hal sejenisnya.[2]Menurut para pemikir metafisis seperti Plato dan Aristoteles memberikan asumsi dasar bahwa dunia atau realitas adalah yang dapat dipahami (intelligible) yang mana setiap aliran metafisika mengklaim bahwa akal budi memiliki kapasitas memadai untuk memahami dunia. Seolah olah akal budi memiliki kualitas Ampuh untuk menyibak semua realitas mendasar dari segala yang ada.[3]

Sedangkan menurut Hamlyn, metafisika adalah bagian kajian filsafat yang paling abstrak dan dalam pandangan sementara orang merupakan bagian yang paling tinggi karena berurusan dengan realitas yang paling utama, berurusan dengan apa yang sungguh-sungguh ada yang membedakan sekaligus menentukan bahwa sesuatu itu mungkin ataukah tidak.

Sekalipun demikian, subjek yang pasti dari kajian metafisika secara terus menerus dipertanyakan, demikian juga validitas klaim-klaimnya dan kegunaannya.[4]Dengan demikian, metafisika adalah bagian kajian filsafat tentang sifat dan fungsi teori tentang realita.

2. Tafsiran Metafisika

Manusia memberikan pendapat mengenai tafsiran metafisika. Tafsiran yang pertama yang dikemukakan oleh manusia terhadap alam ini adalah bahwa terdapat hal-hal gaib (supranatural) dan hal-hal tersebut bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Pemikiran seperti ini disebut pemikiran supernaturalisme. Dari sini lahir tafsiran-tafsiran cabang misalnya animisme.

Selain faham diatas, ada juga paham yang disebut paham naturalisme. Paham ini sangat bertentangan dengan paham supernaturalisme. Paham naturalisme menganggap bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat gaib, melainkan karena kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri, yang dapat dipelajari dan diketahui.[5]

Penganut faham naturalisme percaya bahwa setiap gejala, gerak bisa dijelaskan menurut hukum kausalitas (hukum sebab-akibat) atau hukum stimulus-respon. Contoh: bola bilyard tidak akan bergerak kecuali karena ada bola yang menabraknya atau disodok oleh tongkat bilyard.3. Metafisika dalam Ilmu Pengetahuan(ontology dan epistemology)Menurut bahasa, Ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu On/Ontos = ada, dan Logos = Ilmu. Jadi, Ontologi adalah ilmu tentang yang ada. Sedangkan menurut Istilah, Ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, akan ultimate reality baik yang berbentuk jasmani/konkret maupun rohani/abstract.[6] Sedangkan menurut (Suriasumantri:2011)mengatakan, ontology membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang ada.[7]Epistemologi derivasinya dari bahasa Yunani yang berarti teori ilmu pengetahuan. Epistemologi merupakan gabungan dua kalimatepisteme, pengetahuan; danlogos, theory. Epistemologi adalah cabang ilmu filasafat yang menengarai masalah-masalah filosofikal yang mengitari teori ilmu pengetahuan[8].

Epistemologi bertalian dengan definisi dan konsep-konsep ilmu, ragam ilmu yang bersifat nisbi dan niscaya, dan relasi eksak antaraalim(subjek) danmalum(objek). Atau dengan kata lain, epistemologi adalah bagian filsafat yang meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model filsafat.

Dengan pengertian ini epistemologi tentu saja menentukan karakter pengetahuan, bahkan menentukan kebenaran macam apa yang dianggap patut diterima dan apa yang patut ditolak. Bila Kumpulan pengetahuan yang benar/episteme/diklasifikasi, disusun sitematis dengan metode yang benar dapat menjadi epistemologi. Aspek epistemologi adalah kebenaran fakta / kenyataan dari sudut pandang mengapa dan bagaimana fakta itu benar yang dapat diverifikasi atau dibuktikan kembali kebenarannya.

Metafisika ternyata mendapat pertentangan dari beberapa ilmuan, antaralain adalah yang menganut paham positivisme. Paham positivisme logis menyatakan bahwa metafisika tidak bermakna.Wittgenstein, 1921; Carnap, 1936/37; Ayer, 1946 dalam Ebook of General Philosopgy of Science menyatakan bahwathe statement of science is veryfiable and thus meaningful, those of metaphysic and all other kind of bad philosophy were not; they were just nonsense.[9]Berikut adalah pendapat para ilmuwan tentang Metafisika.Alfred, J. Ayer menyatakan bahwa sebagian besar perbincangan yang dilakukan oleh para filosof sejak dahulu sesungguhnya tidak dapat dipertanggung jawabkan dan juga tidak ada gunanya, problem yang diajukan dalam bidang metafisika adalah problem semu, artinya permasalahan yang tidak memungkinkan untuk dijawab, berkaitan dengan pendapat Ayer tersebut.

Dan Katsoff menyatakan bahwa sepertinya Ayer berupaya untuk menunjukan bahwa naturalism, materialism, dan lainnya merupakan pandangan yang sesat. Adapun Penentang lain adalah Luwig Winttgenstien yang menyatakan bahwa metafisika bersifat the mystically, hal-hal yang tak dapat diungkapkan ke dalam bahasa yang bersifat logis.

Wittgenstien menyatakan terdapat tiga persoalaan dalam metafisika, yaitu:

1. Subjek bukan merupakan dunia atau bagian dari dunia, melainkan lebih dapat dikatakan sebagai batas dari dunia.

2. Kematian, kematian bukanlah sebuah peristiwa dalam kehidupan, manusia tidak hidup untuk mengalami pengalaman kematian.

3. Tuhan, Ia tidak menampakkan diri-Nya di dunia.

Dengan demikian Wittgenstein menyimpulkan, bahwa sesuatu yang tidak dapat diungkapkan secara logis sebaiknya didiamkan saja.Namun pada kenyataanya banyak ilmuan besar, terutama Albert Einstein yang merasakan perlunya membuat formula konsepsi metafisika sebagai konsekuensi dari penemuan ilmiahnya.

Manfaat metafisika bagi pengembangan ilmu dikatakan oleh Thomas S. Kuhn yakni ketika kumpulan kepercayaan belum lengkap faktanya, maka ia mesti dipasok dari luar, antara lain adalah ilmu pengetahuan lain, peristiwa sejarah, pengalaman personal, dan metafisika, misalnya adalah upaya-upaya untuk memecahkan masalah yang tak dapat dipecahkan oleh paradigm keilmuan yang lama dan selama ini dianggap mampu memecahkan masalah dan membutuhkan paradigm baru, pemecahan masalah baru, hal ini hanya dapat dipenuhi dari hasil perenungan metafisik yang dalam banyak hal memang bersifat spekulatif dan intuitif, hingga dengan kedalaman kontemplasi serta imajinasi akan dapat membuka kemungkinan-kemungkinan atau peluang-peluang konsepsi teoritis, asumsi, postulat, tesis dan paradigm baru untuk memecahkan masalah yang ada.

Pembahasan

1. Manfaat Metafisika bagi Pengembangan Ilmu (aksiologi)Aksiologi (teori tentang nilai) sebagai filsafat yang membahas apa kegunaan ilmu pengetahuan bagi manusia.[11] Aksiologi menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral?

Dengan demikian Aksiologiadalah nilai-nilai (value) sebagai tolok ukur kebenaran (ilmiah), etik, dan moral sebagai dasar normative dalam penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu.

Pembahasan yang mendalam tentang keberadaan metafisika dalam ilmu pengetahuan memberikan banyak wawasan bagaimana metafisika merupakan hal substantive dalam menelaah lebih jauh konsep keilmuan dalam menunjang kejayaan manusia dalam berfikir dan menganalisis. Sehingga manfaat yang mutlak terhadap pengembangan ilmu dipaparkan Kuhn bahwa kontribusi metafisika terletak pada awal terbentuknya paradigm ilmiah, ketika kumpulan kepercayaan belum lengkap pengumpulan faktanya, maka ia harus dipasok dari luar, antara lain: metafisika, sains yang lain, kejadian personal dan historis serta metafisika mengajarkan sikap open-ended, sehingga hasil sebuah ilmu selalu terbuka untuk temuan dan kreativitas baru.[12]Selanjutnya Kennick juga mengungkapkan bahwa metafisika mengajarkan cara berfikir yang serius, terutama dalam menjawab problem yang bersifat enigmatif (teka-teki), sehingga melahirkan sikap dan rasa ingin tahu yang mendalam. Perdebatan dalam metafisika melahirkan berbagai aliran, mainstream seperti : Monisme, Dualisme, Pluralisme, sehingga memicu proses ramifikasi, berupa lahirnya percabangan ilmu.

Sementara Van Peursen mengatakan bahwa metafisika menuntut orisinalitas berfikir, karena setiap metafisikus menyodorkan cara berfikir yang cenderung subjektif dan menciptakan terminology filsafat yang khas. Situasi semacam ini diperlukan untuk pengembangan ilmu dalam rangka menerapkan heuristika.[13]Metafisika mengajarkan pada peminat filsafat untuk mencari prinsip pertama (First Principle) sebagai kebenaran yang paling akhir. Serta hal yang paling boomingdalam dunia filsafat adalah bagaimana Descartes mengungkapkan bahwa Kepastian ilmiah dalam metode skepticnya hanya dapat diperoleh jika kita menggunakan metode deduksi yang bertitik tolak dari premis yang paling kuat (Cogito ergo sum) Skeptis-Metodis Rene Descartes.

Disamping itu Bakker mengemukakan bahwasanya metafisika mengandung potensi untuk menjalin komunikasi antara pengada yang satu dengan pengada yang lain. Aplikasi dalam ilmu berupa komunikasi antar ilmuwan mutlak dibutuhkan, tidak hanya antar ilmuwan sejenis, tetepi juga antar disiplin ilmu, sehingga memperkaya pemahaman atas realitas keilmuwan.

Hubungan Ilmu Metafisika dengan ilmu PariwisataManfaat metafisika bagi pengembangan ilmu dikatakan oleh Thomas S. Kuhn yakni ketika kumpulan kepercayaan belum lengkap faktanya, maka ia mesti dipasok dari luar, antara lain adalah ilmu pengetahuan lain, peristiwa sejarah, pengalaman personal, dan metafisika, misalnya adalah upaya-upaya untuk memecahkan masalah yang tak dapat dipecahkan oleh paradigm keilmuan yang lama dan selama ini dianggap mampu memecahkan masalah dan membutuhkan paradigm baru, pemecahan masalah baru, hal ini hanya dapat dipenuhi dari hasil perenungan metafisik yang dalam banyak hal memang bersifat spekulatif dan intuitif, hingga dengan kedalaman kontemplasi serta imajinasi akan dapat membuka kemungkinan-kemungkinan atau peluang-peluang konsepsi teoritis, asumsi, postulat, tesis dan paradigm baru untuk memecahkan masalah yang ada.

Menurut Suriasumatri (1985:5-8)[13] secara konseptual, ilmu adalah suatu kumpulanpengetahuan yang memiliki cirri-ciri tertentu yang membedakan ilmu dengan pengetahuan yang lain. Adapun pengetahuan sistematis yang diperoleh berdasarkan pengetahuan empiris dan percobaan (eksperimen) dengan menggunakan metode-metode yang dapat diuji. Oleh sebab itu setiap ilmu memiliki 3 eksistensi dasar yaitu : pertama, ontologi yang berkaitan dengan objek atau focus of interest yang dikaji oleh ilmu tertentu; kedua, epistemologi yaitu metodologi untuk memperoleh pengetahuan); dan ketiga, aksiologi atau nilai manfaat pengetahuan. (Suriasumantri,1978:5).

2. Hubungan Metafisika dengan Ilmu PariwisataStudi tentang pariwisata berkembang pesat sepanjang abad ke-20, dimana pariwisata menjadi bahan kajian beberapa disiplin ilmu. Jafari dan Ritchie (1981) [16]mencatat 5 disiplin ilmu yang menempatkan pariwisata sebagai dasar studi tentang pariwisata yaitu ekonomi, sosiologi, psikologi, geografi dan antropologi dimana lima disiplin ilmu cenderung bermanfaat sebagai sumber konsep, teori dan ide. Secara khusus pariwisata juga dapat dikembangkan oleh ilmu archeology, agama, bahasa, sejarah, ilmu politik untuk mengetahui lebih lanjut tentang pariwisata. Dengan demikian konsep yang disampaikan Jafari tentang disipling ilmu yang mempelajari pariwisata mencakup sosiologi (sosiologi pariwisata), ekonomi (implikasi ekonomi pariwisata), psikologi (motivasi wisata), antropologi (hubungn tuan rumah-tamu), ilmu politik (dunia tanpa batas), geografi (geografi pariwisata), ekologi (desain alami), pertanian (pariwisata pedesaan), taman dan rekreasi (manajeman tempat rekreasi), pendidikan (pendidikan pariwisata), administrasi hotel dan restotan (peran industry hospitality dalam pariwisata), transportasi (dasar-dasar transportasi), hukum (hukum pariwisata), pemasaran (pemasaran pariwisata), serta perencanaan regional perkotaan (perencanaan dan pengembangan pariwisata).

Dalam perspektif tourismology pariwisata harus dipelajari suatu ilmu yang baru berbeda dengan sebelumnya atau sebagai area spesialisasi dari disiplin ilmu yang telah eksis (Echner dan Jamal, 1997:869) [13].Jovicic (1988) adalah salah satu ilmuwan yang mendukung pariwisata sebagai ilmu mandiri atau disiplin ilmu lain yang berbeda.Jovicic menawarkan tourismology sebagai disiplin ilmu pariwisata yang mandiri. Untuk itu Jovicic mengajukan beberapa argumentasi .

Pertama, studi tentang pariwisata merupakan sebuah fenomena yang kompleks sehingga tidak cukup dijelaskan oleh beberapa disiplin ilmu yang telah ada . Karena itu diperlukan disiplin ilmu baru yaitu suatu disiplin ilmu yang berbeda (tourismology) yang dapat mengembangkan secara integral teori-teori pariwisata. Menurut Jovicic, disiplin ilmu yang mempelajari pariwisata secara sendiri-sendiri seperti ekonomi, sosiologi dan geografi gagal memahami/menjelaskan keberadaan pariwisata secara utuh hanya dengan menggunakan aspek-aspek sediri-sendiri (1988:2).

Kedua, tourismologi dapat memfasilitasi/menggabungkan studi-studi pariwisata yang telah dilakukan disiplin ilmu yang telah dulu ada, sehingga pariwisata bukan sebagai kajian disiplin ilmu masing-masing, pariwisata dapat dipelajarai sebagai fenomena yang terdiri dari beberapa bagian.Menurut Jovicic (1988:3) pariwisata dalam keilmuan yang mandiri penting untuk mengakhiri kesalahan mendefinisikan pariwisata hanya sebagai fenomena ekonomi, geografi atau sosiologi saja.

Sejalan dengan ilmu metafisika dimana ilmu tersebut mengajarkan mengenai cara berfikir yang serius, terutama menjawab problem yang bersifat enigmatik (teka-teki) dan menuntut orisinalitas pemikiran dalam menjelaskan suatu tantangan dalam menjalin suatu komunikasi, beberapa ahli yang sependapat bahwa agar kajian mengenai pariwisata dilakukan kajian dari berbagai cabang ilmu secara terintegrasi dapat dibangun teori, model dan konsep dasar pariwisata. Jika pariwisata tidak dipelajari sebagai kesatuan yang utuh maka tidak bisa menghasilkan definisi, scope, dan struktur yang utuh.

Metafisika Aksiologi merupakan aspek ilmu untuk menjawab manfaat apa yang dapat disumbangkan oleh ilmu pengetahuan. Ilmu pariwisata jelas memberikan manfaat bagi kesejahteraan umat manusia. Perjalanan dan pergerakan wisatawan adalah salah satu bentuk kegiatan dasar manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang beragam, baik dalam bentuk pengalaman, pencerahan, penyegaran fisik dan psikis maupun dalam bentuk aktualisasi diri. Dalam konteks inilah dapat dipahami mengapa, PBB menegaskan kegiatan berwisata sebagai hak asasi manusia. Kontribusi pariwisata yang lebih konkret bagi kesejahteraan manusia dapat dilihat dari implikasi-implikasi pergerakan wisatawan, seperti meningkatnya kegiatan ekonomi, pemahaman terhadap budaya yang berbeda, pemanfaatan potensi sumberdaya alam dan manusia.

Dalam perspektif tourismology pariwisata harus dipelajari suatu ilmu yang baru berbeda dengan sebelumnya atau sebagai area spesialisasi dari disiplin ilmu yang telah eksis (Echner dan Jamal, 1997:869).Jovicic (1988) adalah salah satu ilmuwan yang mendukung pariwisata sebagai ilmu mandiri atau disiplin ilmu lain yang berbeda.Jovicic menawarkan tourismology sebagai disiplin ilmu pariwisata yang mandiri. Untuk itu Jovicic mengajukan beberapa argumentasi .

Pertama, studi tentang pariwisata merupakan sebuah fenomena yang kompleks sehingga tidak cukup dijelaskan oleh beberapa disiplin ilmu yang telah ada. Karena itu diperlukan disiplin ilmu baru yaitu suatu disiplin ilmu yang berbeda (tourismology) yang dapat mengembangkan secara integral teori-teori pariwisata. Menurut Jovicic, disiplin ilmu yang mempelajari pariwisata secara sendiri-sendiri seperti ekonomi, sosiologi dan geografi gagal memahami/menjelaskan keberadaan pariwisata secara utuh hanya dengan menggunakan aspek-aspek sediri-sendiri (1988:2).

Kedua, tourismologi dapat memfasilitasi/menggabungkan studi-studi pariwisata yang telah dilakukan disiplin ilmu yang telah dulu ada, sehingga pariwisata bukan sebagai kajian disiplin ilmu masing-masing, pariwisata dapat dipelajarai sebagai fenomena yang terdiri dari beberapa bagian. Menurut Jovicic (1988:3) pariwisata dalam keilmuan yang mandiri penting untuk mengakhiri kesalahan mendefinisikan pariwisata hanya sebagai fenomena ekonomi, geografi atau sosiologi saja.

Beberapa ahli yang sependapat dengan Jovicic adalah Comic (1989) dan Rogozinski (1985). Mereka menyarankan agar kajian pariwisata dikembangkan lebih total dan mendalam oleh peneliti yang sampai sejauh ini masih memisahkan pariwisata dalam berbagai disiplin ilmu. Menurut Rogozinski (1985) dengan melakukan kajian dari berbagai cabang ilmu secara terintegrasi dapat dibangun teori, model dan konsep dasar pariwisata. Jika pariwisata tidak dipelajari sebagai kesatuan yang utuh maka tidak bisa menghasilkan definisi, scope, dan struktur yang utuh.

SimpulanHubungan Metafisika dengan kepariwisataan merupakan suatu keilmuan yang mengalami proses panjang dalam menemukan suatu esensi yang bernilai untuk dikaji. Dalam hal ini memberikan kesimpulan bahwa:Pertama,Metafisika merupakan cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di dunia yang didasarkan pada faham Supranaturalisme, naturalisme, dualistik serta paham-paham yang dilahirkannya. Termasuk merupakan suatu Ilmu Pengetahuan dalam mencari kebenaran yang paling akhir dalam rangka mendapatkan pengetahuan/fundamental. Kedua, Manfaat Metafisika, menelaah lebih jauh konsep keilmuan yang selalu terbuka untuk temuan dan kreativitas baru dalam menunjang kejayaan manusia dalam berfikir dan menganalisis. Jika dilihat dari tahapan perkembangan keilmuan pariwisata menunjukkan proses yang dinamis. Dimana pada awal perkembangannya ilmu pariwisata dipelajari berbagai disiplin ilmu secara terpisah (intradisiplin). Sehingga memunculkan pada perkembangan sebagai ilmu dengan dua perspektif yaitu ilmu pariwisata sebagai across disciplinary atau multidisiplin (interdisiplin) dan ilmu pariwisata sebagai ilmu mandiri (tourismology) dengan argumentasi yang sama kuatnya.Daftar Pustaka

[1] Hunnex, MD.Chronological and Thematic Charts of Philosophies and Philosopher (Michigan: Academie Books, 1986) hlm.15.[2] Anton Baker,Ontologi, Metafisika Umum : Filsafat Pengada dan Dasar-Dasar Kenyataan(Yogyakarta: Kanisius, 1992) hlm.25-26.[3] Imanudin,Filsafat Metafisika, 2010. hlm.4.[4] Hamlyn, DW, Metaphysics, History Of, dalam Honderich, ed., 1993, hlm.556.[5] Zainal Abidin,Filsafat Manusia, Edisi Revisi (Bandung, PT Remaja Rosda Karya, 2006),hlm.26.[6] Amsal Bakhtiar,Filsafat Ilmu,Edisi Revisi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hlm.134.[7] Jujun S. Suriasumantri,Tentang Hakikat, dalam Ilmu dalam Persepektifdalam Amsal Bahtiar,Filsafat IIlmu, Edisin Revisi(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2011) hlm.133.[8]Sutardjo A. Wiramihardja,Pengantar Filsafat,(Jakarta: PT. Refika Aditama, 2006) hlm.124.[9] Dov. M. Gabbay, Paul Thagard, and John Woods. Ebook ofGeneral Philosophy of Science. hlm.517.

[10]Dov. M. Gabbay, Paul Thagard, and John Woods. Ebook ofGeneral Philosophy ofScience. hlm.305.

[11] Sutardjo A. Wiramihardja,loc.cit. hlm.132.[12] Dov. M. Gabbay, Paul Thagard, and John Woods. Ebook ofGeneral Philosophy of Science. hlm.516.

[13]Dann, Graham dan Cohen, Erik,. Sociology and Tourism, Annals of Tourism Research, 1991 Vol. 18 pp 155-169Smith, S., 1998, Tourism Analysis: A Handbook, New York: Longman.

[14]Echtner, Charlotte.M, dan, T. Jamal, 1997, The Disciplinary Dilemma of Tourism Studies, Annals of Tourism Research, Vol. 24 No. 4 pp. 868-883.

[15]Graburn , Nelson H.H., The Anthropology of Tourism, Annals of Tourism Research. 1983 Vol. 10., pp. 9-33.

[16]Jafari, J., and B. Ritchie, 1981, Toward and Framework of Tourism Education: Problem and Prospects, Annas of Tourism Research 8: 13-34.

13