13
7/30/2019 Jurnal Kasus Malpraktik http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kasus-malpraktik 1/13  32 UNIVERSITAS PELITA HARAPAN Tinjauan Pustaka KASUS MALPRAKTEK ANTARA PENEGAKAN HUKUM DENGAN RASA KEADILAN MASYARAKAT Agus Budianto Fakultas Hukum, Universitas Pelita Harapan ABSTRACT  Malpractice is professional negligence and medical malpractice is the negligence of a health care provider. Medical malpractice occurs when a health care provider fails to act in accordance with accepted medical practice. This can either occur when a provider does something that shouldn’t have been done or fails to do something that should have been done. When malpractice accurs, the problem faced is wheather procedural law enforcement is inline with equality and fairness in society. Keywords: malpraktek - law enforcement - equality - fairness in society LATAR BELAKANG Seperti yang telah diamanatkan dalam UUD 1945 hasil amandemen, dalam Pasal 28 H ayat 1 dikatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Di sini secara jelas diatur bahwa hidup secara sehat dan memperoleh pelayanan kesehatan merupakan hak setiap warga negara dan menjadi kewajiban negara untuk merealisasikannya. Sejak awal sebelum diatur secara jelas dalam amandemen UUD 1945, kesehatan sudah menjadi bagian dari kehidupan warga negara, termasuk didalamnya telah diatur dalam UN Universal Declaration of Human Rights tahun 1948, kemudian dituangkan dalam WHO Basic Document, GENEVA 1973, yang berbunyi, “The enjoyment of the highest attainable standard of health is one of the  fundamental rights of every human being ”. -------------------------------------------------------- Agus Budia nto ( ) Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan Jl. Boulevard Jend.Sudirman, Lippo Karawaci, Tangerang, Indonesia. Tel.: +62 21 5460055; Fax: +62 21 5460921. e-mail: [email protected] Pada tahun 1960-an hak warga negara perihal kesehatan ini tidak menjadi perhatian utama pemerintah. Hal ini terbukti dengan adanya pencatatan sejarah mengenai hukum kesehatan yang diatur di Indonesia, yaitu dengan UU Nomor 9 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan 1 , dimana upaya kesehatan hanya dipandang sebagai suatu bentuk pencegahan dan pemerantasan suatu penyakit serta pemulihannya dalam masyarakat. Dari sini dapat dilihat bahwa kesadaran akan kesehatan hanya sampai pada tingkat ”asal jangan terkena wabah” bukan pada tingkatan menjadi sehat itu sangat penting. Oleh karena itu pada tahun-tahun setelah berlakunya tersebut banyak terjadi kasus-kasus menyimpang yang merugikan pasien seperti misalnya 2 : 1. Kasus bayi Wong (salah obat); 1 Pasal 4 UU Nomor 9 Tahun 1960 berbunyi: Pemerintah memelihara dan mempertinggi derajat kesehatan rakyat dengan menyelenggarakan dan menggiatkan usaha-usaha dalam lapangan : a) pencegahan dan pemberantasan penyakit; b) pemulihan kesehatan; c) penerangan dan pendidikan kesehatan pada rakyat; d) pendidikan tenaga kesehatan; e) perlengkapan obat-obatan dan alat-alat kesehatan; f) penyelidikan-penyelidikan; g) pengawasan, dan h) lain-lain usaha yang diperlukan.2 Guwandi, Hukum Medik, Fakultas Kedokteran UI, 2005, hal. 10.

Jurnal Kasus Malpraktik

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Jurnal Kasus Malpraktik

7/30/2019 Jurnal Kasus Malpraktik

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kasus-malpraktik 1/13

 

32 UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

Tinjauan Pustaka

KASUS MALPRAKTEK ANTARA PENEGAKAN HUKUM DENGAN

RASA KEADILAN MASYARAKAT

Agus Budianto

Fakultas Hukum, Universitas Pelita Harapan

ABSTRACT

 Malpractice is professional negligence and medical malpractice is the negligence of a health

care provider. Medical malpractice occurs when a health care provider fails to act in

accordance with accepted medical practice. This can either occur when a provider does

something that shouldn’t have been done or fails to do something that should have been done.

When malpractice accurs, the problem faced is wheather procedural law enforcement is

inline with equality and fairness in society.Keywords: malpraktek - law enforcement - equality - fairness in society

LATAR BELAKANG

Seperti yang telah diamanatkan dalam UUD1945 hasil amandemen, dalam Pasal 28 Hayat

1dikatakan bahwa setiap orang berhak 

hidup sejahtera lahir dan batin, bertempattinggal, dan mendapatkan lingkungan hidupyang baik dan sehat serta berhak memperolehpelayanan kesehatan. Di sini secara jelas

diatur bahwa hidup secara sehat danmemperoleh pelayanan kesehatan merupakanhak setiap warga negara dan menjadikewajiban negara untuk merealisasikannya.Sejak awal sebelum diatur secara jelas dalamamandemen UUD 1945, kesehatan sudahmenjadi bagian dari kehidupan warga negara,termasuk didalamnya telah diatur dalam UNUniversal Declaration of Human Rights tahun1948, kemudian dituangkan dalam WHOBasic Document, GENEVA 1973, yangberbunyi, “The enjoyment of the highest attainable standard of health is one of the

 fundamental rights of every human being ”.

--------------------------------------------------------Agus Budianto ( )

Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan Jl. Boulevard

Jend.Sudirman, Lippo Karawaci, Tangerang, Indonesia.

Tel.: +62 21 5460055; Fax: +62 21 5460921.

e-mail: [email protected] 

Pada tahun 1960-an hak warga negara perihalkesehatan ini tidak menjadi perhatian utamapemerintah. Hal ini terbukti dengan adanyapencatatan sejarah mengenai hukum kesehatanyang diatur di Indonesia, yaitu dengan UUNomor 9 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan1, dimana upaya kesehatan hanyadipandang sebagai suatu bentuk pencegahandan pemerantasan suatu penyakit sertapemulihannya dalam masyarakat. Dari sini

dapat dilihat bahwa kesadaran akan kesehatanhanya sampai pada tingkat ”asal janganterkena wabah” bukan pada tingkatan menjadisehat itu sangat penting. Oleh karena itu padatahun-tahun setelah berlakunya tersebutbanyak terjadi kasus-kasus menyimpang yangmerugikan pasien seperti misalnya

2:

1. Kasus bayi Wong (salah obat);

1Pasal 4 UU Nomor 9 Tahun 1960 berbunyi:

”Pemerintah memelihara dan mempertinggi derajat

kesehatan rakyat dengan menyelenggarakan dan

menggiatkan usaha-usaha dalam lapangan : a)pencegahan dan pemberantasan penyakit; b)

pemulihan kesehatan; c) penerangan dan

pendidikan kesehatan pada rakyat; d) pendidikan

tenaga kesehatan; e) perlengkapan obat-obatan dan

alat-alat kesehatan; f) penyelidikan-penyelidikan;

g) pengawasan, dan h) lain-lain usaha yang

diperlukan.”2

Guwandi, Hukum Medik, Fakultas Kedokteran

UI, 2005, hal. 10.

Page 2: Jurnal Kasus Malpraktik

7/30/2019 Jurnal Kasus Malpraktik

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kasus-malpraktik 2/13

MEDICINUS · Vol. 3 No. 1 Februari 2009 – Mei 2009

UNIVERSITAS PELITA HARAPAN  43

1367 KUHPerdata juga dapat didasarkan padaUndang-Undang Nomor 29 Tahun 2004tentang Praktek Kedokteran. Dalam Pasal 1ayat (1) dikatakan, bahwa yang dimaksuddengan Praktik kedokteran adalah rangkaiankegiatan yang dilakukan oleh dokter dandokter gigi terhadap pasien dalam

melaksanakan upaya kesehatan. Sementarapengertian Pasien adalah setiap orang yangmelakukan konsultasi masalah kesehatannyauntuk memperoleh pelayanan kesehatan yangdiperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi.Kedua pengertian ini sudah mewakilihubungan hukum antara Para Tergugat denganpasien (isteri Penggugat).

Pasal Pasal 51, menyatakan bahwa Dokteratau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban :

a.  memberikan pelayanan medis sesuaidengan standar profesi dan standarprosedur operasional serta kebutuhanmedis pasien;

b.  merujuk pasien ke dokter atau dokter gigilain yang mempunyai keahlian ataukemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaanatau pengobatan;

c.  merahasiakan segala sesuatu yangdiketahuinya tentang pasien, bahkan jugasetelah pasien itu meninggal dunia;

d.  melakukan pertolongan darurat atas dasarperikemanusiaan, kecuali bila ia yakin adaorang lain yang bertugas dan mampumelakukannya; dan

e.  menambah ilmu pengetahuan danmengikuti perkembangan ilmu kedokteranatau kedokteran gigi.

Namun, jika kita mendampingkan denganPasal Pasal 52 nya, tentang hak pasien,dikatakan bahwa pasien mempunyai hak,antara lain:a.  mendapatkan penjelasan secara lengkap

tentang tindakan medis sebagaimanadimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);

b.  meminta pendapat dokter atau dokter gigilain;

c.  mendapatkan pelayanan sesuai dengankebutuhan medis;

d.  menolak tindakan medis; dane.  mendapatkan isi rekam medis.

Apabila terdapat dugaan malpraktek yangdilakukan oleh seorang dokter dalammenjalankan pekerjaannya sebagai seorangdokter, maka setiap orang yang mengetahuiatau kepentingannya dirugikan atas tindakandokter atau dokter gigi dalam menjalankanpraktik kedokteran dapat mengadukan secara

tertulis kepada Ketua Majelis KehormatanDisiplin Kedokteran Indonesia. Pengaduantersebut, tidak menghilangkan hak setiaporang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/ataumenggugat kerugian perdata ke pengadilan.Tugas untuk melakukan pemeriksaan atasaduan tersebut berada pada MajelisKehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia,yang memeriksa dan memberikan keputusanterhadap pengaduan yang berkaitan dengandisiplin dokter dan dokter gigi. Apabila dalampemeriksaan ditemukan pelanggaran etika,

Majelis Kehormatan Disiplin KedokteranIndonesia meneruskan pengaduan padaorganisasi profesi.

KESIMPULAN

Dari pembahasan tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk melihat sebuahkasus, khususnya kasus-kasus mal praktek yang selalu mempertentangkan antarapenegakkan hukum dengan rasa keadilandalam masyarakat, seorang hakim haruscermat dan jeli untuk menemukan jawabandalam putusannya. Dalam praktek beracara diIndonesia, kurang cermatnya gugatan danniklai gugatan akan menyebabkan tidak dikabulkannya gugatan itu sendiri. Dengantidak dikabulkannya gugatan, makamasyarakat akan mempunyai self judgement  terhadap lembaga peradilan, bahwa lembagaperadilan tidak memiliki rasa keadilan dalammasyarakat. Terlebih juga terhadap institusikedokteran yang semakin kebal akan hukum.Bahwa pada asasnya perjanjian antara dokterdengan pasien merupakan perjanjian

”berusaha sebaik mungkin”(inspanningsverbintenis), yang tidak berartidokter boleh berbuat sesuka hatinya dalammenjalankan profesinya dan hal itu harusberdasarkan standar profesi medik yangberlaku.

Page 3: Jurnal Kasus Malpraktik

7/30/2019 Jurnal Kasus Malpraktik

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kasus-malpraktik 3/13

KASUS MALPRAKTEK

42 UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

Lisa Vincler13

dalam tulisanya berjudul "Lawand Medical Ethics"  memperkenalkan bahwadari dua pilar utama tersebut di atas ialahhukum dan etik, bisa dibangun pilar ketiga,ialah  " Risk Management "  yang bertujuanuntuk mengurangi atau mencegah terjadinyarisiko lewat memberlakukan berbagai

peraturan dan berbagai kebijaksanaan dalaminstitusi. Di antara ketiga pilar pilar tersebutada saling keterkaitan dan saling overlap, danperbedaanya adalah bahwa : Etik :identifikakasi dari nilai-nilai apa sebaiknya,sebagai pedoman (ought to). Hukum :Pernyataan mengenai nilai-nilai / aturanbermasyarakat (have to) dan ManajemenRisiko : Pilihan untuk mengurangi risiko(choose to).

Dalam bidang perumahsakitan "Hospital By- Laws" adalah merupakan "Manjemen Risiko",

sekaligus juga merupakan  "ManajemenKonflik".  "Hospital By-Laws"  ini dibangundari sumber-sumber hukum dan etik (modal),yang memuat berbagai aturan-aturan (rules &regulations) intern dalam rumah sakit, dengantujuan untuk mengurangi kemungkinanterjadinya berbagai risiko dan konflik, baik dibidang administratif,maupun di pelayananmedik dan perawatan. "Hospital By-Laws" initerjadi dua komponen, ialah : 1) KomponenAdministratif, yaitu yang memuat peraturan-peraturan mengenai Pembagian Tugas,Kewajiban, Kewenangan dan Tanggung Jawab

antara Pemilik Rumah Sakit, DewanPenyatun/Dewan Pembina (Governing Board / board of Trustees), dan Pimpinan Eksekutif Rumah Sakit, serta pengaturan hubungandiantara satu sama lainnya. 2) Komponen Staf Medik, yaitu yang memuat peraturan-peraturan mengenai Tugas /Kewajiban,Kewenangan dan Yanggung Jawab tenaga-tenaga medik (yang didukung tenega-tenagaprofesi lainnya) di rumah sakit, serta mengaturhubungan satu sama lain dan hubungannyadengan Komponen Administrasi Rumah Sakit.

3.  Tumpang tindih pengaturanmenyebabkan dasar gugatan menjadikabur

13 Penyusunan Hospital By-Laws yang sesuai

untuk Indonesia, Seminar ”Konflik Etik Legal dan

Sengketa Medik di rumah Sakit, Tanggal 26 – 27

Mei 2000, di Jakarta.

Untuk dapat melihat apakah para Tergugattersebut dapat dipersalahkan atau menjadipihak yang bertanggung jawab atas ”dugaan”malpraktek tersebut, dan terkait dengananalisis tersebut di atas, maka kita perlumelihat apakah dalam kasus tersebut, memanbenar-benar terjadi dugaan malpraktek atau

tidak. Jika kita melihat pada dalil-dalilPenggugat dan dalil-dalil Penggugat yangtelah dikoreksi pada salinan putusan ini,terdapat ketidakmustahilan pada kasustersebut. Dimana akan sangat tidak mungkin,Tergugat I dan Tergugat II dapatdipersalahkan sengan perbuatan malpraktek, jika hanya karena obat tetes mata yangdiberikan oleh Tergugat II atas permintaanTergugat I dapat menyebabkan isteriPenggugat mengalami pendarahan padabatang otak.

Di dalam dunia kedokteran, pemberian obattetes mata tidak akan berpengaruh pada batangotak, kalaupun obat yang diteteskan tersebuttidak dianjurkan untuk mata, ataupun obatkeras terhadap mata, maka akan menyebabkanrusaknya sel-sel yang ada pada mata saja,yang akibatnya akan menimbulkan kebutaansaja. Setelah melihat pada sejarah penyakitisteri Penggugat, dapat kita lihat, bahwaserangan stroke sangat besar berpengaruh padapendarahan batang otak isteri korban. Hal inipun diakui oleh keluarga korban dan saksi,bahwa sebelum isteri Penggugat menjalani

operasi isteri Penggugat sedang menjani terapipenyembuhan atas penyakit strokenya.

Dengan demikian, akan sangat beralasan jikaMajelis Hakim tidak menerima gugatan dariPenggugat, karena dasar Perbuatan MelawanHukum tidak terbukti terhadap perbuatanTergugat I dan Tergugat II, bukan karenabertumpang-tindihnya peraturan, antaraPasal 1365 KUHPerdata dan Pasal 1367KUHPerdata yang menjadi dasar gugatan itumerupakan peraturan umum yangdikualifikasikan sebagai perbuatan melawanhukum, sedangkan di sisi lainnya jugamendasarkan suatu perbuatan pelanggarandengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun1999 tentang Otonomi Daerah dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentangKesehatan.

Akan lebih tepat, jika gugatan tersebut selaindidasarkan kepada Pasal 1365 jungto Pasal

Page 4: Jurnal Kasus Malpraktik

7/30/2019 Jurnal Kasus Malpraktik

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kasus-malpraktik 4/13

MEDICINUS · Vol. 3 No. 1 Februari 2009 – Mei 2009

UNIVERSITAS PELITA HARAPAN  41

Dalam hal tanggung jawab Personalia,terdapat doktrin hubungan majikan-karyawan(Vicarious Liability),  Respondeat Superior , Let the Master Answe). Yang perumusanyuridisnya tercantum dalam pasal 1367 junto1365, 1366 KUH perdata. Namunperkembangan hukum kedokteran di luar

negeri, baik di negara anglosaxon maupunEropa Kontinental sudah menjurus ke arahtanggung jawab badan hukum (corporate Liability). Berdasarkan doktrin tersebut diatas, sebuah rumah sakit hanya bertanggung jawab terhadap tindakan negara organik atauEmployee yang mempunyai hubungan kerjadengan rumah sakit. 11 

Sementara itu yang berkaitan dengankewajiban memberikan layanan yang baik atau(duty of due care) yaitu berkaitan denganmutu. Mutu dalam arti luas dan mencakup

segala komponen yang dipergunakan dalammemberikan pelayanan tersebut. Kewajibanini tidak bisa terlepas dan saling kait mengkaitdengan butir-butir sebelumnya. Yaitutanggung jawab hukum Rumah Sakti trhadappersonalia dan sarana. Dalam kaitan dengantenaga dokter maka adalah kewajiban seorangDirektur rumah sakit untuk sebelum menerimatenaga medik tersebut harus menyeleksi danmemeriksa riwayatnya. Bahkan sesudahnya iaharus mengontrol dan memberhentikan tenagaDokter yang membahayakan pasiennya. FredAmeln

12membagi ikatan kerja dokter dengan

rumah sakit dalam 2 golongan, yaitu dokter-indan dokter –out. Dokter in adalah dokter yangbekerja penuah waktu, diangkat sebagai staf rumah sakit, serta mendapat gaji tetap dansegala hak-hak dan kewajiban lainsebagaimana karyawan lainnya. Untuk dokterini pihak rumah sakit dapat dituntut untuk ikutbertanggung jawab jika terjadi tuntutan akibatkelalaian dokter sesuai dengan prinsiprespondeat superior. Sementara dokter-outadalah dokter yang bukan pegawai rumahsakit, bertindak sebagai dokter tamu yang

11Guwandi, Siapa Bertanggung Jawab Yuridis:

Dokter, Rumah Sakti atau Pasien?, Diskusi Panel

Hubungan Kerja Dokter-Rumah Sakii dalam

kaitannya dengan tanggung jawab Hukum, Jakarta,

3 Desember 1994.12

Fred Ameln, Tanggung Jawab Hukum, Dokter

dan Perawat Dalam Rumah Sakit, Temu Ilmiah

Hukum Kedokteran Dalam Rangka Dies Natalis

Universitas Indonesia 13 Februari 1990.

menentapkan sendiri tarif jasanya sehinggadalam hal tindakannnya itu, ia bertanggung jawab sendiri. Sifat hubungan kerja antararumah sakit dengan dokter out ada 2 macam:1.  dokter bertindak sebagai kontraktor yang

diserahi tanggung jawab mengobati pasienrumah sakit sehingga muncul hubungan

kontraktual terapeutic yang terjadihanyalah antara pasien dengan rumahsakit.

2.  dokter bertindak sebagai dokter tamu yangmemperlakukan sebagai pasienpribadinya.

Dengan demikian, tidak perlu lagidipermasalahkan apakah RS H tersebutsebagai badan usaha yang diselenggarakanoleh (PT. SRA) atau tidak, yang dalam hal iniperlu kita kaji kembali pertimbangan-pertimbangan hukum dari Majelis HakinPengadilan Negeri Tangerang, yang

mempermasalahkan bahwa gugatan Penggugattersebut tidak diterima, karena gugatannyaseharusnya ditujukan kepada (PT. SRA).

Di Indonesia, rumah sakit dibangun melalui 2pilar, yaitu hukum dan etik. Hukum diIndonesia bersumber dari Pancasila dan UUD-1945, berbagai Undang-Undang lainnyakhususnya UU No.23, Tahun 1992 tentangKesehatan, SK-SK Menkes, PP, dll.Sedangkan pilar Etik bersumber darikebijaksanaan organisasi profesi, standarprofesi, dan kode etik profesi. Sebagai sumberutama dari pilar Etik ini adalah Kode EtikRumah Sakit Indonesia (KODERSI) bersama Kode Etik Kedokteran Indonesia(KODEKI). Kode Etik Rumah SakitIndonesia (KODERSI), adalah merupakan"Kewajiban –kewajiban moral yang harusditaati oleh setiap rumah sakit (sebagai satulembaga) dalam menjalankan tugasmemberikan pelayanan kesehatan kepadamasyarakat di Indonesia". yang selanjutnyakewajiban-kewajiban moral lembaga ii harusditerjemahkan menjadi "Rangkuman nilai-

nilai moral untuk dijadikan pegangan danpedoman bagi para insan perumahsakitan diIndonesia dalam hal penyelenggaraan, danpengoperasian rumah sakit di Indonesia".

Page 5: Jurnal Kasus Malpraktik

7/30/2019 Jurnal Kasus Malpraktik

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kasus-malpraktik 5/13

KASUS MALPRAKTEK

40 UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

karena kesalahan dalam gugatan perbuatanmelangar hukum, adalah termasuk perbuatanorang-orang yang berada di bawahpengawasannya.

Dimana berdasarkan pasal tersebut, yangseharusnya digugat adalah pemerintah Cq.

Rumah Sakit. Hal ini didasarkan pada teoriyang dikenal dengan teori ”hubungan majikandengan buruh” atau yang dikenal denganistilah doktrin respondeat superior , dimanaantara rumah sakit dan dokter tersebut terdapatsuatu hubungan kerja yang diatur dalam Pasal1367 KUHPerdata. Penerapan doktrin inimempunyai dua tujuan, yaitu

9:

1.  adanya jaminan bahwa ganti rugi dibayarpada pasien yang menderita kerugianakibat tindakan medis dokter;

2.  hukum dan keadilan menghendaki sikapkehati-hatian dari dokter.

Dua kasus tersebut mempunyai kemiripan,yang menjadi persoalan adalah sampai dimanapasien yang menjadi korban akanmendapatkan keadilan? Jikalau dalam perkaranomor 188/2005 PN.TNG, Majelis Hakimmenggunakan yurisprudensi tersebut,bagaimana dengan Tergugat III (rumah sakithonoris)?.

2.  Hubungan hukum antara dokter danrumah sakit

Sampai saat ini, paling tidak tercatat 387 kasus

dugaan malapraktik di Indonesia10. Dari jumlah tersebut hanya 10 persen yang bisadiproses secara hukum. Anehnya, sampai kinibelum ada pasien korban malapraktik yangdimenangkan di pengadilan. Bahkan setelahberlakunya Undang-Undang Nomor 29 Tahun2004 tentang Praktek Kedokteran (salahsatunya adalah kasus perkara nomor 188/2005PN.TNG), Menteri Kesehatan (Menkes) SitiFadilah Supari memerintahkan untuk segeradiperiksa sambil menunggu terbentuknyaMajelis Kehormatan Disiplin KedokeranIndonesia (MKDI). Menkes menjelaskanbahwa berdasarkan laporan yang adasedikitnya terdapat empat kasus dugaan

9Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum dan Masalah

Medik, Airlangga Press, Surabaya, 1984, hal. 34.10  Upaya Lindungi Pasien dari kasus malpraktek ,http://www.sinarharapan.co.id/berita 

 /0512/19/lipsus01.html

malapraktik dokter yang mulai diselidiki.Kasus malpraktik itu, yakni kasus yangmenimpa Sisi CK Chalik, kasus almarhumAdya Vitry Hadisusanti, kasus SellywayinCarolin Lubis dan kasus Syintia AN. “Sudahseharusnya kasus-kasus tersebut mulai dibukadan dipelajari untuk memastikan apakah

malapraktik terjadi pada setiap kasus itu,”tegasnya.

Kasus Sisi CK Chalik adalah kasus salahoperasi mioma yang mengakibatkan perutbolong dan mengeluarkan kotoran lewatlubang di perut. Korban adalah pasien diRumah Sakit Ibu dan Anak Budi Jaya di JalanSahardjo No 120, Jakarta Selatan pada 2002.Sedangkan, kasus almarhum Adya VitryHadisusanti adalah kasus terlambat operasimioma di Rumah Sakit PMI Bogor, JawaBarat dan kesalahan pemasangan Central Vena

Preassure (CVP) yang menyebabkan kematiandi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo(RSCM) Jakarta Pusat pada 2002. Lainnya,kasus Sellywayin Carolin Lubis, anak dariDarwis Lubis adalah kasus kesalahan operasipemasangan pen dipunggung danmenyebabkan cacat di Rumah SakitFatmawati, Jakarta Selatan pada 2000. KasusSyintia AN anak dari Ari Djuhara yang salahdiberi obat menyebabkan bisu, tuli danlumpuh di Rumah Sakit Persahabatan, JakartaTimur.

Pertanyaannya adalah siapa yang bertanggung jawab? Dokter atau Rumah Sakit? Padahakekatnya rumah sakit adalah sebuahorganisasi yang dibuat oleh badan hukum(yayasan, perkumpulan, PT, atau badanhukum lain). Salah satu prinsip organisasiadalah prinsip authority, yaitu bahwa di dalamorganisasi manapun harus ada pucuk pimpinanyang memikul tanggung jawab tertinggi, harusada batas wewenang yang tegas mulai dariyang tertinggi sampai setiap orang dikelompok organisasi tersebut.

Di dalam sebuah rumah sakit, otoritas tertinggiadalah CEO yang juga disebut sebagaiDirektur/Kepala Rumah Sakit. Namuntanggung jawab hukum ( Legal Liability) padainstansi terakhir adalah tetap di pundak pemilik (Badan Hukum-nya). Tanggung jawabyuridis rumah sakit mencakup 3 bidang yaitu,Personalia; sarana dan peralatan medik;kewajiban memberikan pelayanan yang baik.

Page 6: Jurnal Kasus Malpraktik

7/30/2019 Jurnal Kasus Malpraktik

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kasus-malpraktik 6/13

MEDICINUS · Vol. 3 No. 1 Februari 2009 – Mei 2009

UNIVERSITAS PELITA HARAPAN  39

I dan Tergugat II dalam menangani isteriPenggugat sudah tepat dan mendasar.

Persoalan selanjutnya adalah bagaimanamerumuskan ketidakhati-hatian danketidaktelitian Tergugat I dan II tersebut,menjadi suatu pertanggungjawaban karena

kesalahan ( fault liability), yang harusmemenuhi unsur-unsur sebagai berikut:1.  Setiap perbuatan melanggar hukum yang

membawa kerugian kepada orang lain,mewajibkan orang yang karena salahnyamenerbitkan kerugian itu, menggantikerugian tersebut.

2.  Setiap orang bertanggung jawab tidak sajauntuk kerugian yang disebabkan karenaperbuatannya, tetapi juga untuk kerugianyang disebabkan karena kelalaian ataukekuranghati-hatiannya.

3.  Setiap orang tidak saja bertanggungjawab

untuk kerugian yang disebabkan karenaperbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabakan karenaperbuatan orang-orang yang beradadibawah tanggungjawabnya ataudisebabkan oleh barang-barang yangberada di bawah pengawasannya.

Bertitik tolak pada ketiga prinsip ini, dapatdisimpulkan bahwa kesalahan berdasarkanperbuatan melanggar hukum melahirkanpertanggungjawaban hukum, baik terhadapperbuatannya sendiri maupun terhadapperbuatan orang yang berada di bawahpengawasannya. Namun, untuk mengajukangugatan berdasarkan PMH, harus dipenuhi 4syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 1365KUHPerdata, yaitu: 1) Pasien harusmengalami suatu kerugian; 2) ada kesalahan;3) ada hubungan kausal antara kesalahandengan kerugian; dan 4) perbuatan itumelawan hukum. Dalam arti, bahwa untuk melihat suatu gugatan yang didasarkan denganPMH, maka pembuktiannya adalah adanyahubungan kausal antara kesalahan dan

kerugian yang diserita oleh pasien. Dalam halini dikenal adanya 2 ajaran pokok, yaitu7:1.  Teori Conditio Sine Qua Non. Penerapan

teori ini menyebabkanpertanggungjawaban menurut Pasal 1365

7Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan:

Pertanggungjawaban Dokter, Rineka Cipta,

Jakarta, 2005, hal. 67.

KUHPerdata, menjadi sangat diperluas,karena perbuatan yang jauh hubungannyadengan akibat yang timbul, harusdianggap juga sebagai sebab.

2.   Adequate Theorie. Teori inidikembangkan oleh von Kries danmempunyai pengertian sebagai berikut:

a.  suatu kerugian hanya merupakanakibat dari perbuatan melanggarhukum, kalau kerugian tersebutmenurut akal manusia yang sehatdapat diharapkan merupakan suatuakibat dari perbuatan melanggarhukum tersebut.

b.  Kerugian tersebut merupakan akibatdari perbuatan melangar huikum yangdapat diduga semula.

a.  Kerugian tersebut menurutpengalaman dapat diharapkanmerupakan akibat perbuatan

melanggar hukum.

Dalam praktek, pembuktian adanya hubungankausal antara perbuatan dengan kerugianmenurut ajaran teori conditio sine qua nontidak dapat diterapkan secara sempurna, tetapihanya disimpulkan sebagai the must possiblecause yaitu, sebab yang paling mungkin.Sebaliknya, dalam adequate theorie yangbertujuan memberi pembatasan padapertanggungjawaban, telah diterima oleh HogeRaad sejak tahun 1927.

Dalam sebuah kasus yang terjadi diPengadilan Negeri Sukabumi

8, dimana Ayah

Muhidin Sukendar, melakukan gugatan atasseorang dokter mata yang melakukan operasitanpa seizin Penggugat selaku ayah korban.Putusan Pengadilan Negeri menyatakan”Gugatan tidak dapat diterima”. Dasarpertimbangan hukumnya, bahwa Tergugatbertugas sebagai direktur rumah sakit umumdan juga sebagai dokter mata pada rumah sakityang bersangkutan, maka segala perbuatandokter tersebut dilakukan dalam rangka tugas

kedinasannya, sehingga segala akibat yangtimbul tidak dapat dibebankan kepada direkturtersebut secara pribadi. Putusan PengadilanNegeri Sukabumi tersebut mirip denganPutusan Pengadilan Negeri Tangerang, No.188/2005, yaitu menggunakan Pasal 1367,yaitu salah satu prinsip pertanggungjawaban

8Ibid, hal 71.

Page 7: Jurnal Kasus Malpraktik

7/30/2019 Jurnal Kasus Malpraktik

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kasus-malpraktik 7/13

KASUS MALPRAKTEK

38 UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

wanprestasi yang dimaksud telah terjadipada pihak dokternya.

b.  Undang-undang (ius delicto)Di dalam KUHPerdata, selain gugatanmendasarkan pada wanprestasi, juga dapatmendasarkan pada perbuatan melawan

hukum (onrechtmatige daad ), yang diaturdalam Pasal 1365. Dalam Arrest HogeRaad, 31 Januari 1919 telah merumuskanperbuatan melanggar hukum, ”dat onder onrechtmatige daad is te verstaan eenhandelen of nalaten, dat of inbreuk maakt op eens anders recht, of in strijd is met desdaders rechtsplicht of indruist, hetzij tegende goede zaden, hetzij tegen de zorgvuldigheid, welke in het maatschappelijk verkeer betaamt tenaanzien van een anders persoon of goed ”(sebagai suatu tindakan atau non-tindakan

yang atau bertentangan dengan kewajibansipelaku, atau bertentangan dengan susilabaik, atau kurang hati-hati dan ketelitianyang seharusnya dilakukan di dalammasyarakat terhadap seseorang ataubarang orang lain).

Dalam kasus tersebut, Penggugat telahmendasarkan gugatannya terhadap ParaTergugat dengan dasar PerbuatanMelawan Hukum, seperti yang telahdisebutkan di atas, yaitu Tergugat I,Tergugat II dan Tergugat III, dengan

memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 1)Tergugat I dan II telah melakukankesalahan dalam menangani tindakanmedis terhadap isteri Penggugat; 2)Tergugat I dan II tidak menjalankanseluruh peraturan yang ada mengenaistandar profesi medis, dimana sudahmenjadi kewajiban bagi seorang dokteratau penyelenggara kesehatan untukmemberitahukan kepada seseorangpasien atau/keluarga pasien tentangdampak dari dilakukannya sesuatutindakan medis terhadap medis; dan 3)Tergugat I, II dan III telah melanggarPATIHA, yakni tindakan kehati-hatiandan tidak teliti dalam melakukan tindakanmedis, perawatan maupun pengobatanterhadap isteri Penggugat.

Yang menjadi pertanyaan selanjutnyaadalah apa yang dimaksud denganketidakhati-hatian atau ketidaktelitian?,

yang menjadi acuannya adalah standar-standar dan prosedur profesi medik didalam melakukan suatu tindakan medik tertentu, yaitu Kode Etik dan SumpahDokter yang dengan tegas telah mengaturpelbagai kewajiban tersebut. Bab I danBab II Kode Etik Kedokteran Indonesia

yang mengatur tentang kewajiban umumdan kewajiban dokter terhadap penderitamenyebutkan antara lain:-  seorang dokter harus senantiasa

melakukan profesinya menurut ukuranyang tertinggi (ayat 2)

-  dalam melakukan pekerjaankedokterannya seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh pertimbangankeuntungan pribadi (ayat 3)

-  tiap perbuatan atau nasehat yangmungkin melemahkan daya tahanmakhluk insani, baik jasmani maupun

rohani hanya diberikan untuk kepentingan penderita (ayat 5) 

-  serta seorang dokter hanyamemberikan keterangan atau pendapatyang dapat dibuktikan kebenarannya(ayat 7)

-  setiap dokter harus senantiasamengingat akan kewajibannyamelindungi hidup makhluk insani(ayat 10)

-  setiap dokter wajib bersikap tulusikhlas dan mempergunakan segalailmu dan keterampilannya untuk 

kepentingan penderita (ayat 11)-  dalam hal ia tidak mampu melakukan

sesuatu pemeriksaan atau pengobatan,maka ia wajib merujuk penderitakepada dokter lain yang mempunyaikeahlian dalam penyakit tersebut (ayat12)

-  setiap dokter wajib merahasiakansegala sesuatu yang diketahuinyatentang seorang penderita, bahkan juga setelah penderita itu meninggaldunia (ayat 13)

-  setiap dokter wajib melakukanpertolongan darurat sebagai suatutugas perikemanusiaan, kecuali bila iayakin ada orang lain bersedia danmampu untuk memberikannya (ayat14)

Dengan demikian, dasar gugatan pihak Penggugat yang memasukkan unsur-unsurketidakhati-hatian dan ketidaktelitian Tergugat

Page 8: Jurnal Kasus Malpraktik

7/30/2019 Jurnal Kasus Malpraktik

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kasus-malpraktik 8/13

MEDICINUS · Vol. 3 No. 1 Februari 2009 – Mei 2009

UNIVERSITAS PELITA HARAPAN  37

Dalam praktek kedokteran di Indonesia,terdapat hubungan perikatan untuk penanganan penyakit(behandelingsovereenkomst ). Terdapat 4 jenishubungan perikatan, yaitu:1.  Rumah Sakit dengan Perawat yang diatur

dengan Perjanjian Kerja

(arbeidsovereenkomst ), Pasal 1601KUHPerdata.

2.  Dokter Spesialis dengan rumah Sakit yangdiatur dengan toelatingscontract  

3.  Dokter Spesialis dengan pasien yangdiatur dengan behandelingsovereenkomst  

4.  Pasien dengan Rumah Sakit yang diaturdengan verzorgingsovereenkomst  

Secara yuridis, timbulnya hubungan antaradokter dan pasien bisa berdasarkan 2 hal,yaitu:a.  Perjanjian (ius contractul)

Timbulnya hubungan hukum antaradokter-pasien berdasarkan perjanjianmullai trejadi saat seorang pasien datangke tempat dokter atau ke rumah sakit dandimulainya anamnesa dan pemeriksaanoleh dokter. Seorang dokter tidak bisamenjamin bahwa ia pasti akan dapatmenyembuhkan penyakit pasiennya,karena hasil suatu pengobatan sangattergantung kepada banyak faktor-faktoryang berkaitan (usia, tingkat keseriusanpenyakitnya, macam penyakit yangdiderita, komplikasi, dan lain-lain).Dengan demikian, maka perjanjian antaradokter-pasien itu secara yuridisdimasukkan ke dalam golongan”perjanjian berusaha sebaik mungkin”(inspanningsverbintenis). Namun, hal initidaklah berarti bahwa dokter itu bolehberbuat sesuka hatinya dalam menjalankanprofesinya dan hal itu harus berdasarkanstandar profesi medik yang berlaku.Dari seorang dokter dapat disyaratkanbahwa ia didalam melakukan suatutindakan medik harus: bertindak dengan

hati-hati dan teliti; berdasarkan indikasimedik; tindakan yang dilakukanberdasarkan standar profesi medik; danadanya persetujuan pasien (informed consent ). Sehingga jika seorang dokter (1)tidak melakukan, (2) salah melakukan,atau 93) terlambat melakukan, sehinggasampai menimbulkan kerugian/cederakepada pasien, maka ia dapat dituntut

berdasarkan wanprestasi seperti tercantumdi dalam KUHPerdata, Pasal 1243, yaitu:

”Penggantian dari biaya,kerugian dan bunga yang timbulkarena tidak dipenuhinya suatuperjanjian hanya dapat dituntut,apabila siberhutang sesudah

ditagih, tetap lalai tidak memenuhi kewajibannya, atauapabila siberhutang wajibmemberi atau melakukansesuatu, hanya dapatmemberikan atau melakukandalam jangka waktu tertentu,dan waktu mana telahdilampauinya.”

Dalam hal kasus tersebut di atas,Penggugat dapat melakukan gugatan atasdasar wanprestasi yang dilakukan oleh

Tergugat I, hal ini dapat dibuktikan dariketarangan saksi MA. RP, yangmemberikan keterangan sebagai berikut:bahwa percaya dengan penjelasan dariTergugat I, saksi dan keluarga menyetujuiibu saksi untuk dilakukan operasi katarak dibagian mata dan pada hari itu tanggal 25Mei 2005 jam 11.00 WIB dilakukanoperasi katarak. Selain itu, Tergugat I jugamengatakan kepada isteri Penggugatbeserta keluarganya, bahwa isteriPenggugat layak untuk menjalani operasikatarak. Dari sini, secara tersirat sudahdapat diketahui telah terjadi perjanjianantara dokter dan pasien.

Prinsip ini juga dianut dalam sistemhukum Anglo Saxon, dikatakan suatuwanprestasi (breach of contract ) jikaseorang dokter telah menyanggupi ataumenjamin akan kesembuhan pasiennya,namun kemudian ternyata telah gagal. Didalam hal kesanggupan semacam ini,maka secara yuridis dikatakan telah terjadisuatu kontrak atau perjanjian akan

tercapainya suatu hasil tertentu. Negarakontinental menamakannya suatuperjanjian hasil (resultaatsverbintenis). Didalam perjanjian hasil semacam ini, makaseolah-olah telah terjadi suatu kontrak didalam mana dijanjikan suatu hasil khususakan tercapai dari tindakan medik doktertersebut. Jika gagal, maka unsur

Page 9: Jurnal Kasus Malpraktik

7/30/2019 Jurnal Kasus Malpraktik

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kasus-malpraktik 9/13

KASUS MALPRAKTEK

36 UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

Kerugian materiil Rp.500.000.000,-(lima ratus juta rupiah). Kerugianimmateriil Rp. 3.000.000.000,- (tigamilyar rupiah). Sehingga totalnya Rp.3.500.000.000,- (tiga milyar lima ratusrupiah)

4.  Mengajukan permohonan maaf yang harus

dimuat pada 4 media cetak nasional dan 2media cetak internasional serta disiarkanpula melalui 3 media elektronik selama 3kali penerbitan dan penayangan.

5.  Menyatakan putusan hakim dapatdijalankan lebih dahulu walaupun adaverzet, banding maupun kasasi.

Putusan Hakim :1.  Dalam Kompensi : Menyatakan gugatan

Penggugat tidak dapat diterima; danMenghukum Penggugat untuk membayarbiaya perkara sebesar Rp. 354.000,- (taga

ratus lima puluh empat ribu rupiah)2.  Dalam Rekonpensi : Menyatakan gugatan

Para Penggugat Rekonpensi tidak dapatditerima; dan Menghukum Para PenggugatRekonpensi untuk membayar biayaperkara sebesar Nihil.

Atas putusan majelis hakim tersebut,pertimbangan-pertimbangan hukumnya antaralain, bahwa Majelis Hakim mempelajarigugatan Penggugat ternyata Penggugatmendasarkan bukan hanya kepada Pasal 1365KUHPerdata dan Pasal 1367 KUHPerdata,

melainkan gugatan juga didasarkan padaUndang-Undang Nomor 22 Tahun 1999tentang Otonomi Daerah dan Undang-UndangNomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

Pasal 1365 KUHPerdata dan Pasal 1367KUHPerdata merupakan peraturan umumuntuk menggugat suatu perbuatan yangdikualifikasikan sebagai perbuatan melawanhukum, karena terdapat pertanggujawablangsung dan pertanggungjawab antara atasandan bawahan. Sementara suatu perbuatanpelanggaran yang didasarkan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 merupakanpelanggaran hukum khusus yang diatur didalam Undang-undang yang bersangkutan.

Oleh karena gugatan Penggugat yangmendasarkan gugatannya dengan Pasal 1365KUHPerdata, Pasal 1367 KUHPerdata,Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992adalah tidak tepat karena Undang-UndangNomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undangNomor 23 Tahun 1992 tidak dapatdigabungkan dengan Pasal 1365 KUHPerdatadan Pasal 1367 KUHPerdata di dalam suatugugatan, sehingga dasar gugatan menjadi

kabur. Menambahkan pihak yang tersengketa,yaitu (dr. H) sebagai pihak Tergugat untuk ikut digugat dalam sengketa ini, hal inidikarenakan (dr. H) adalah dokter yangmerawat isteri Penggugat selama masapemeriksaan penyakit stroke, sehingga apabila(dr. H) ikut digugat dalam perkara ini akanterang pengungkapan penanganan/pengobatanisteri Penggugat yang bermasalah. Bahwa RSH sebagai badan usaha yang diselenggarakanoleh (PT. SRA), maka dalam perkara ini, (PT.SRA) harus ikut digugat berhubung dengankedudukannya sebagai penyelenggara rumah

sakit ikut bertanggung jawab secara hukumdalam perbuatan RS H. Berdasarkanpertimbangan-pertimbangan trsebut makagugatan Penggugat terdapat sejumlahkekurangan atau ketidaktepatan dalammenyusun surat gugatan, sehingga tidakmungkin Majelis Hakim akanmempertimbangkan pokok perkaranya.

PEMBAHASAN

Pada kasus No. 188/PDT.G/2005/PN.TNG,menarik untuk diberikan komentar hukum,

karena baik Penggugat maupun Para Tergugatsama-sama memberikan dalil-dalil yang dalamkeyakinannya adalah benar dan dapatdibuktikan. Namun kembali lagi padapersoalan awal, siapa yang harus bertanggung jawab atas kerugian yang diderita olehkorban?, adakah unsur-unsur kelalaian yangmengakibatkan seseorang dapat dikenakandengan perbuatan melawan hukum? Ataukahkarena posisi yang tidak seimbang antarapasien di satu sisi dengan penyelenggarakesehatan di sisi lain, menyebabkan setiapterjadi kerugian yang muncul dalam setiappenyelenggaraan kesehatan tidak dapatdiselesaikan melalui proses hukum? Hal-halyang dapat kami berikan komentar-komentarterhadap Putusan ini, adalah antara lain :

1.  Dasar gugatan mendasar padahubungan hukum dokter dengan pasien

Page 10: Jurnal Kasus Malpraktik

7/30/2019 Jurnal Kasus Malpraktik

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kasus-malpraktik 10/13

MEDICINUS · Vol. 3 No. 1 Februari 2009 – Mei 2009

UNIVERSITAS PELITA HARAPAN  35

tanggal 20 Maret 2004 – tanggal 28 Maret2004 karena menderita penyakit stroke. Padatanggal 13 Maret 2005 bukan pertama kaliisteri Penggugat memeriksakan matanya keTergugat I di tempat Tergugat III. Padatanggal 21 Mei 2005, isteri Penggugat telahdikonsultkan oleh dokter syaraf untuk 

memeriksakan matanya pada Tergugat I. Jugasetahun sebelumnya, 17 April 2004, isteriPenggugat juga sudah dikonsultkan olehdokter syaraf yaitu (dr. H.P., Sp.S), untuk memeriksakan matanya pada Tergugat I.

Yang menginginkan operasi katarak adalahisteri Penggugat sendiri karena akanmenikahkan puterinya, hal ini juga diketahuioleh Penggugat beserta anak-anaknya.Perkataan ”layak” menurut Kamus BesarBahasa Indonesia adalah berarti patut, pantas,dengan demikian isteri Penggugat layak untuk 

dilakukan operasi bukan berarti Tergugat Imenyuruh isteri Penggugat untuk melakukanoperasi.

Tergugat I sama sekali tidak pernahmemberikan obat tetes mata kepada isteriPenggugat, karena Tergugat II bukanmerupakan tim dokter yang akan melakukanoperasi katarak trehadap isteri Penggugat.Selain itu, Tergugat II dipanggil oleh perawatuntuk menolong isteri Penggugat yang padasaat itu diruang persiapan operasi katarak tiba-tiba mengalami muntah-muntah, saat ituTergugat II sedang menangani pasien di ruangoperasi lain yang letaknya berdekatan denganruang persiapan operasi katarak isteriPenggugat. Tindakan yang dilakukan olehTergugat II adalah memberikan obat sakitlambung untuk mengatasi muntah-muntahyang terjadi pada isteri Penggugat.

Fakta yang terjadi di ruang operasi adalahpukul 13.30 WIB, kondisi isteri Penggugatsudah tidak sadarkan diri dan tidak bereaksilagi pada saat isteri Penggugat akan

dipindahkan oleh perawat ke meja operasi.Melihat keadaan isteri Penggugat yang tidak sadarkan diri tersebut, Tergugat I langsungmenyuruh perawat untuk memanggil TergugatII kembali (dokter anastesi), di tempatTergugat III, karena Tergugat II lah yangdapat melakukan tindakan penyelamatan / emergency (live saving) terhadap isteriPenggugat.

Setelah keadaan isteri Penggugat disampaikankepada Penggugat beserta keluarganya, danatas persetujuan Penggugat eserta keluarganyapula, maka terhadap isteri Penggugatdilakukan pemeriksaaan CT-SCAN dan hasildari CT-SCAN tersebut diketahui isteriPenggugat mengalami pendarahan di batang

otak. Pendarahan yang dialami oleh isteriPenggugat ini adalah merupakan yang keduakalinya sebelum menjalani operasi katarak yang diakibatkan oleh serangan stroke.Serangan stroke tidak bisa dicegah dan dapatmenyerang siapa saja secara tiba-tiba.

Dengan demikian, pendarahan batang otak yang dialami oleh isteri Penggugat tersebutbukan dikarenakan oleh tindakan medik yangdilakukan oleh Tergugat II atas perintahTergugat I yang berupa pemberian obat tetesmata yang diberikan di ruangan operasi di

tempat Tergugat III dan bukan terjadi saatoperasi katarak, karena isteri Penggugat belumdilakukan operasi katarak. Dimana,pendarahan batang otak yang dialami olehisteri Penggugat tersebut dikarenakan akibatserangan stroke yang kedua. Dengandemikian, Para Tergugat menolak dengantegas dalil Penggugat, yang menggugat ParaTergugat dengan unsur-unsur PerbuatanMelawan Hukum, karena perbuatan ParaTergugat Konvensi telah sesuai denganprosedur dan tidak menyimpang daristandar profesi kedokteran.

Dalam Rekonvensi6 

1.  Mengabulkan seluruh gugatan ParaPenggugat Rekonpensi;

2.  Menyatakan Tergugat Rekonpensi telahmelakukan perbuatan melawan hukum;

3.  Menghukum Tergugat Rekonpensi untuk membayar kerugian materiil danimmateriil secara tunai dan sekaliguskepada Para Penggugat Rekonpensi sejak putusan ini mempunyai kekuatan hukumtetap, yaitu:

6Reconventie (Bld), gugatan balasan. Dalam hal

seseorang mendapat gugatan iapun berhak 

memasukkan atau mengajukan gugatan balasan

atau gugatan melawan; gugatan aseli yang telah

diajukan ke Pengadilan kepada pihak mungkin

akan mengadukan gugatan balasan itu dinamakan:

Conventie.

Page 11: Jurnal Kasus Malpraktik

7/30/2019 Jurnal Kasus Malpraktik

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kasus-malpraktik 11/13

KASUS MALPRAKTEK

34 UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

tersebut diketahui bahwa isteri Penggugatmengalami pendarahan di kepala. Akibatnyaisteri Penggugat harus menjalani operasi padabatang otak, akan tetapi operasi yangdilakukan itu juga tidak membawa perubahanyang berarti, yaitu sampai sekarang isteriPenggugat tidak sadarkan diri (koma) sampai

sekarang ditempat Tergugat III.

Oleh sebab itu, Penggugat melakukan gugatanterhadap Tergugat I, Tergugat II dan TergugatIII atas dasar Perbuatan Melawan Hukum,yaitu Pasal 1365 KUH Perdata. Denganmemenuhi unsur-unsur sebagai berikut:a.  Tergugat I dan II telah melakukan

kesalahan dalam menangani tindakanmedis terhadap isteri Penggugat;

b.  Akibat dari kesalahan Tergugat I dan IImenyebabkan isteri Penggugat harusmenjalani tindakan medik berikutnya,

yaitu operasi terhadap batang otak isteriPenggugat. Dalam hal ini, Tergugat I danII tidak menjalankan seluruh peraturanyang ada mengenai standar profesi medis,dimana sudah menjadi kewajiban bagiseorang dokter atau penyelenggarakesehatan untuk memberitahukankepada seseorang pasien atau/keluargapasien tentang dampak daridilakukannya sesuatu tindakan medisterhadap medis;

c.  Sampai sekarang isteri Penggugat masihtidak sadarkan diri ditempat Tergugat III;

d.  Tergugat I, II dan III telah melanggarPATIHA, yakni tindakan kehati-hatiandan tidak teliti dalam melakukan tindakanmedis, perawatan maupun pengobatanterhadap isteri Penggugat.

Juncto pada Pasal 1367 KUH Perdata yangmengatur tentang pertanggung jawabanmajikan atas perbuatan yang merugikan yangdilakukan oleh karyawannya. Bahkan majikanturut bertanggung jawab atas perbuatan yangmerupakan yang dilakukan karyawannya.Bahwa melihat pada bentuk hubungan hukumantara Tergugat I, II dan III dapat dipandangsebagai suatu hubungan hukum antara majikandengan karyawannya. Maka doktrin Vicarious Liability Let The Men Answer , in Casu dapatditerapkan dalam hubungan Tergugat I, II danIII. Gugatan Penggugat antara lain adalah(Primair) :a.  Menerima dan mengabulkan gugatan

Penggugat

b.  Menyatakan Tergugat I, Tergugat II,Tergugat III, Tergugat IV dan Tergugat Vtelah melakukan perbuatan melawanhukum.

c.  Menyatakan perbuatan Tergugat I sampaiTergugat V telah menimbulkan kerugian,baik kerugian materiil, yaitu hilangnya

uang Penggugat untuk membiayaipengobatan isteri Penggugat sebagaiakibat dari perbuatan Tergugat I, TergugatII, Tergugat III dan tidak terlaksananyafungsi Tergugat IV dan Tergugat V yangapabila dijumlahkan sebesar Rp.129.909.893,- (seratus dua puluh sembilan juta sembilan ratus sembilan ribu delapanratus sembilan puluh tiga rupiah).Kerugian non materiil, yang apabiladijumlahkan sebesar Rp. 3.008.200.000,-(tiga milyar delapan juta dua ratus riburupiah).

d.  Apabila dijumlahkan keduanya materiildan immateriil), sebesar Rp.3.138.019.893,- (tiga milyarseratus tigapuluh delapan juta sembilan belas ribudelapan ratus sembilan puluh tiga rupiah).

e.  Membayar uang paksa (dwangsom)sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah)setiap harinya atas keterlambatanmemenuhi isi putusan terhitung sejak putusan ini dibacakan.

f.  Meletakkan sita jaminan (conservatoir beslaag).

g.  Memerintahkan Tergugat IV untuk 

mencabut izin praktek Tergugat I danTergugat II dan mencabut izin operasionaldari Tergugat III.

h.  Menghukum dan merintahkan Tergugat Isampai V untuk meminta maaf kepadaPenggugat melalui 2 (dua) HarianNasional dan 3 (tiga) Stasiun TelevisiNasional dengan forma yang ditentukanoleh Penggugat.

i.  Putusan dapat dilaksanakan walaupun adaverzet, banding maupun kasasi.

Gugatan Penggugat Subsidair : mohonkeadilan seadil-adilnya ( Ex Aequo Et Bono).

Dalam Konvensi5 Isteri Penggugat adalah pasian ditempatTergugat III yang mendapat perawatan dari

5 Conventie (bld), berarti gugatan; tuntutan;

konvensi. Istilah gugatan atau tuntutan dalam

konventie sering kali diperlawankan dengan

reconventie artinya gugatan atau tuntutan balasan.

Page 12: Jurnal Kasus Malpraktik

7/30/2019 Jurnal Kasus Malpraktik

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kasus-malpraktik 12/13

MEDICINUS · Vol. 3 No. 1 Februari 2009 – Mei 2009

UNIVERSITAS PELITA HARAPAN  33

2. Kasus Siti Aisyah, 1985 (suntikan olehbidan);

3. Kasus Andirani, 1986 (operasi matasampai harus amputasi kaki);

4. Kasus Pluit (bedah plastik); dllSelain kasus-kasus tersebut, masih banyak kasus yang belum terungkap oleh mass media

atau kasus tersebut belum sampai masuk ketahap pemeriksaan di pengadilan.

Sehubungan dengan adanya kelemahan padaundang-undang tersebut maka pemerintah punsadar akan pentingnya kesehatan, sehinggadikeluarkan Undang-undang No.23 Tahun1992 tentang Kesehatan. Dimana Undang-undang Kesehatan yang dibuat kemudianbertujuan untuk meningkatkan kesadaran,kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagisetiap orang agar terwujud derajat kesehatanmasyarakat yang optimal salah satu caranya

adalah dengan adanya perealsisasian danpenjabaran lebih lanjut mengenai peranmasyarakat serta juga pemerintah yang ikutmembantu upaya penggerakan pembiayaandalam kesehatan. Namun pada kenyataannyahanya dengan Undang-undang No.23 Tahun1992 tentang Kesehatan saja tidak cukup,masih banyak terjadi kelalaian di bidangmedik yang membawa korban, yang seringdisebut sebagai malpraktik 

3. Dari data yang

didapat di Yayasan Pemberdayaan KonsumenKesehatan Indonesia (YPKKI), dari periode1998 sampai dengan 2003 saja sudah mampir

3Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum

sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis.

Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah”

sedangkan “praktek” mempunyai arti

“pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga

malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan

yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian

tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan

untuk menyatakan adanya tindakan yang salah

dalam rangka pelaksanaan suatu profesi. Definisimalpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari

seseorang dokter atau perawat untuk 

mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu

pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien,

yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau

orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan

yang sama” (di sari pengertian dari kasus Valentin

v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los

 Angelos, California, 1956). 

sekitar 18 kasus4, sedangkan di LembagaBantuan Hukum Kesehatan di Jakarta sudah19 kasus yang jenisnya relatif sama yaitumalpraktik, antara priode 2001 sampai dengan2004. Khusus di DKI Jakarta sendiri, MKEKDKI Jakarta mencatat, Januari 2001 –Desember 2002 terdapat 12 kasus dan Januari

2002 – Desember 2003 terdapat 6 kasus.

Dari kasus-kasus tersebut, hampir tidak adaputusan pengadilan yang memenangkanmasyarakat sebagai pihak korban darimalpraktek tersebut. Hal ini sering dikaitkandengan dukungan Rumah Sakit dari tempatdokter atau perawat tersebut bekerja yangmempunyai kekuasaan serta dukungan danayang kuat dibandingkan dengan kekuatan yangdimiliki oleh masyarakat sebagai korban darimalpraktek itu sendiri. Dengan kata lain,apakah kasus tersebut dapat diselesaikan

dengan memenuhi unsur-unsur rasa keadilandalam masyarakat atau tidak, baiklah disiniakan kami paparkan sebuah kasus malpraktek yang telah mempunyai kekuatan hukum tetapdengan Putusan Nomor188/pdt.G/2005/PN.TNG.

A.  Posisi Kasus

Pada tanggal 23 Mei 2005 istri Penggugatmemeriksakan matanya ke Tergugat I (doktermata) ditempat Tergugat III (Rumah Sakit).Diagnosa oleh Tergugat I, dinyatakan bahwaisteri Penggugat terkena Katarak dan layak untuk dioperasi pada tanggal 25 Mei 2005.Pada tanggal 25 Mei 2005 pukul 11.00 WIBmemasuki ruang operasi dan menyatakan siapuntuk menjalani operasi mata. Namundemikian, pada pukul 14.30 WIB Tergugat II(dokter anestasi) keluar dari ruang operasidengan wajah memerah dan gugup danmegatakan kepada Penggugat, bahwa operasitidak jadi dilaksanakan karena isteriPenggugat muntah dan tidak sadarkan dirisetelah pemberian obat tetes mata yangdilakukan oleh Tergugat II atas perintah

Tergugat I di ruang operasi empat TergugatIII. Tergugat II juga menyatakan kalau isteriPenggugat sempat henti nafas.

Kemudian terhadap isteri Penggugat dilakukanCT-SCAN kepala dan dari hasil CT-SCAN

4Legal Review,  Jangan Ambil Hak Kami,

No.23/TH II 31 Juli, 31 Agustus 2004: 15.

Page 13: Jurnal Kasus Malpraktik

7/30/2019 Jurnal Kasus Malpraktik

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kasus-malpraktik 13/13

KASUS MALPRAKTEK

44 UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

DAFTAR PUSTAKA

1.  Nasution BJ. Hukum Kesehatan: Pertanggungjawaban Dokter. Jakarta: Rineka Cipta. 2005.

2.  Koeswadji HH. Hukum dan Masalah Medik. Surabaya: Airlangga Press. 1984.

3.  Guwandi. Siapa Bertanggung Jawab Yuridis: Dokter, Rumah Sakti atau Pasien? Diskusi PanelHubungan Kerja Dokter-Rumah Sakit dalam Kaitannya dengan Tanggung Jawab Hukum. Jakarta.

3 Desember 1994.

4.  Hukum Medik. Fakultas Kedokteran UI. 2005.

5.  Ameln F. Tanggung Jawab Hukum, Dokter dan Perawat Dalam Rumah Sakit. Temu Ilmiah

Hukum Kedokteran Dalam Rangka Dies Natalis Universitas Indonesia 13 Februari 1990.

6.  Penyusunan Hospital By-Laws yang Sesuai untuk Indonesia. Seminar ”Konflik Etik Legal dan

Sengketa Medik di Rumah Sakit. Jakarta; 26 – 27 Mei 2000.

7.  Legal Review. Jangan Ambil Hak Kami. No.23/TH II 31 Juli. 31 Agustus 2004.

8.  Upaya Lindungi Pasien dari Kasus Malpraktek. http://www.sinarharapan.co.id/berita

 /0512/19/lipsus01.html