21
Karakteristik Individu Dan Kepemilikan Saham Dalam Meningkatkan Produktifitas Fattah Hidayat Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang [email protected]; 08883301398 Abstract: Employees that include underachiever usually has a negative self-concept regarding with their low achievement in the organization. The purpose of the shareholding in the company and cooperative organization are to improve the perception of self, facilitating a better understanding of ourselves, and to improve self-concept and job performance in an organization. Achievement of individuals and organizations are covered by the concept of productivity, there is congruence between the individual and the organization, not just based in one direction only. Two-way relationship is moderated by organizational culture within the organization. Organizational culture relate to the individual characteristics; motivation, self-concept, ability, talent to the status position of organizational characteristics. Individuals who can align individual characteristics with the characteristics of the position will effect in higher productivity. Individuals will think to reduce the loss of short- term by the stock ownership will encourage productive behavior. Keywords: underachievement, self-concept, position, organizational culture, productivity. Abstrak: Karyawan yang termasuk underachiever biasanya memiliki konsep diri yang cenderung negatif sehubungan dengan prestasi mereka yang rendah di organisasi. Tujuan dari kepemilikan saham di organisasi baik perusahaan dan koperasi adalah untuk memperbaiki persepsi terhadap diri, memfasilitasi pemahaman diri yang lebih baik, dan untuk meningkatkan konsep diri dan prestasi kerja di organisasi. Pencapaian prestasi individu dan organisasi tercakup dalam konsep produktifitas, terjadi kesesuaian antara kepentingan individu dan kepentingan organisasi, tidak hanya berdasar satu arah saja. Hubungan dua arah dalam organisasi dimoderatori oleh budaya organisasi. Budaya organisasi menjembatani karakteristik individu; motivasi, konsep diri , kemampuan, bakat dengan status jabatan sebagai karakteristik organisasi. Individu yang 1 Dosen Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang

Jurnal Fattah

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Penelitain

Citation preview

Page 1: Jurnal Fattah

Karakteristik Individu Dan Kepemilikan SahamDalam Meningkatkan Produktifitas

Fattah HidayatFakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang

[email protected]; 08883301398

Abstract: Employees that include underachiever usually has a negative self-concept regarding with their low achievement in the organization. The purpose of the shareholding in the company and cooperative organization are to improve the perception of self, facilitating a better understanding of ourselves, and to improve self-concept and job performance in an organization. Achievement of individuals and organizations are covered by the concept of productivity, there is congruence between the individual and the organization, not just based in one direction only. Two-way relationship is moderated by organizational culture within the organization. Organizational culture relate to the individual characteristics; motivation, self-concept, ability, talent to the status position of organizational characteristics. Individuals who can align individual characteristics with the characteristics of the position will effect in higher productivity. Individuals will think to reduce the loss of short-term by the stock ownership will encourage productive behavior.

Keywords: underachievement, self-concept, position, organizational culture, productivity.

Abstrak: Karyawan yang termasuk underachiever biasanya memiliki konsep diri yang cenderung negatif sehubungan dengan prestasi mereka yang rendah di organisasi. Tujuan dari kepemilikan saham di organisasi baik perusahaan dan koperasi adalah untuk memperbaiki persepsi terhadap diri, memfasilitasi pemahaman diri yang lebih baik, dan untuk meningkatkan konsep diri dan prestasi kerja di organisasi. Pencapaian prestasi individu dan organisasi tercakup dalam konsep produktifitas, terjadi kesesuaian antara kepentingan individu dan kepentingan organisasi, tidak hanya berdasar satu arah saja. Hubungan dua arah dalam organisasi dimoderatori oleh budaya organisasi. Budaya organisasi menjembatani karakteristik individu; motivasi, konsep diri , kemampuan, bakat dengan status jabatan sebagai karakteristik organisasi. Individu yang dapat menyelaraskan karakteristik individu dengan karakteristik jabatan akan menghasilkan produktifitas tinggi. Individu akan berfikir mengurangi kerugian jangka pendek dengan adanya kepemilikan saham akan mendorong perilaku produktif .

Kata kunci : underachievement, konsep diri, jabatan, budaya organisasi,produktifitas

Teori-teori kesejahteraan dalam psikologi industri tercakup dalam hubungan interaksi antar individu, kelompok dan organisasi. Teori kesejahteraan berdasar kepuasan karyawan terutama terkait dengan organisasi bisnis. Kepuasan karyawan dalam organisasi bisnis mendasarkan pada kapasitas individu yang mempunyai kebutuhan dasar. Kebutuhan dasar karyawan dan keluarga terpenuhi oleh organisasi maka kepuasaan karyawan akan meningkat (Jarrel,1993). Kepuasan karyawan meningkat akibat persepsi keadilan apa yang

1Dosen Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang

Page 2: Jurnal Fattah

diharapkan dan yang dirasakan karyawan sama atau lebih tinggi dari apa yang dirasakan oleh karyawan. Tema psikologis karyawan dalam lingkup industri dan organisasi memusatkan pada kepuasan karyawan. Sedangkan individu yang mempunyai emosi dasar belum terlalu dikaitkan dengan ilmu ekonomi sebagai hasil perilaku manusia agregat, meskipun sekarang sudah mulai menguat dengan studi Kahneman (2002) yang mengaitkan pengambilan keputusan berdasar resiko jangka pendek dan jangka panjang.

Kepuasan karyawan berkaitan dengan budaya dalam organisasi untuk menilai indikator subjektif untuk merasa puas. Peran manajer yang efektif menerjemahkan budaya organisasi yang sesuai dengan nilai nilai yang hidup di organisasi. Kepuasan karyawan akan naik jika manajer secara efektif menggunakan nilai budaya dalam aktifitas organisasi termasuk dalam pengambilan keputusan.

Efektifitas manajerial didasarkan pada nilai-nilai bersama, organisasi budaya, dan kecocokan di antara mereka. Sedangkan peran manajer pada dasaranya konsistensi pada organisasi dan budaya, gaya manajerial dapat bervariasi secara signifikan. Bukti yang tersedia dari penelitian tentang gaya manajerial lintas budaya terbatas, tetapi pada sistem sosial yang berbeda telah ditemukan bahwa memiliki dampak yang signifikan pada sistem manajemen dan pengaruh gaya manajerial.

Di Eropa, terdapat variabilitas dalam pendekatan untuk manajemen, antara Barat dan Eropa Timur serta antara Utara dan Selatan Eropa (Smith, 1997). Hal tersebut menyatakan bahwa ada lima pendekatan utama untuk bisnis. Dua pendekatan adalah Barat, sementara tiga lainnya berakar pada budaya Asia. Budaya Asia memiliki tradisi menjaga organisasi bersama-sama sebagai kelompok yang dinamis. Sejak organisasi Asia cenderung bersifat hirarkis dan mencerminkan norma-norma kolektif Budaya Asia, pendekatan dinamis bekerja dengan baik dalam jenis-jenis organisasi (Redding, 1992). Selain itu, ketika individu dan organisasi perlu menilai suatu peristiwa dalam rangka untuk membantu memutuskan tindakan apa untuk mengambil, mereka sering menggunakan nilai yang mencerminkan budaya mereka. Akibatnya, manajer multinasional menghadapi masalah khusus ketika memilih, mengadopsi, dan menggunakan gaya manajerial tertentu. Sementara beberapa perbedaan dalam preferensi untuk gaya kepemimpinan lintas budaya telah diidentifikasi manajemen, sebenarnya perilaku dapat bervariasi banyak (Hui, 1990).

Manajemen yang efektif dalam organisasi telah dipelajari oleh peneliti sebelumnya. Sementara semua teori menunjukkan bahwa terdapat beberapa aturan yang bersifat umum, yang apabila diikuti, akan menghasilkan manajemen yang lebih-efektif, nilai-nilai manajerial tampaknya akan sangat tergantung pada budaya nasional (Ralston, Gustafson, Cheung, dan Terpstra, 1993) dan juga terkait isu-isu jender (Oskamp dan Costanzo, 1993). Selanjutnya, dalam rangka untuk memahami lingkungan organisasi budaya nasional secara keseluruhan, orang juga perlu mempertimbangkan pentingnya perbedaan dalam suatu budaya (Schneider dan Barsoux, 1997) dan untuk menguji perubahan potensi dalam nilai-nilai manajerial antar generasi. Nilai perbedaan antara generasi adalah karena adanya berbagai faktor, dengan yang paling penting perubahan sasaran masyarakat (Inglehart dan Carballo, 1997).

Nilai-nilai manajerial dapat didefinisikan sebagai konsep atau keyakinan tentang perilaku yang diinginkan. Memandu pemilihan nilai dan evaluasi perilaku manajerial serta cara isu-isu seperti motivasi karyawan dan konflik diselesaikan atau ditangani (Terpstra and David, 1990). Oleh karena itu, nilai-nilai yang dipegang oleh manajer dalam suatu organisasi penting untuk karyawan dan kinerja organisasi. Salah satu cara untuk mengukur nilai-nilai budaya suatu masyarakat adalah dengan melihat bagaimana menggunakan metafora. Sebagai contoh, di Amerika kita mengatakan bahwa "roda yang berderit dapat berputar, "sementara Jepang mengatakan" paku yang menonjol akan ditumbuk bawah " metafora ini mewakili dua nilai-nilai yang berlawanan, tetapi keduanya mencerminkan

2Dosen Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang

Page 3: Jurnal Fattah

bagaimana budaya masing-masing mengharapkan karyawan untuk berperilaku. jelas nilai-nilai dipengaruhi oleh kedua kebangsaan dari para manajer dan bisnis lingkungan di mana mereka mengelola (Adler dan Bartolomeus, 1992). Bagaimanapun, kecenderungan untuk menganggap bahwa sistem manajemen dalam organisasi berevolusi untuk mencerminkan nilai-nilai masyarakat lokal daripada nilai-nilai organisasi orangtua (Adler dan Doktor, 1989).

Seperti yang diharapkan, peneliti mengukur nilai-nilai manajerial telah menggunakan berbagai pendekatan dan skala pengukuran dan teknik. Sebagai contoh, DA Ralston, DJ Gustafson, FM Cheung, dan RH Terpstra (1993) meneliti nilai-nilai manajerial dengan mengukur ciri-ciri kepribadian (Machiavellianism, dogmatisme, lokus kontrol, dan intoleransi dari ambiguitas). Posner dan Schmidt (1992) memiliki tingkat manajer bagaimana pentingnya tujuan berbagai organisasi, sedangkan Cressey dan Moore (1983) meneliti kode etik organisasi untuk kebijakan pernyataan yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial. Frederick W. C. dan J. Weber (1987) mengukur kepentingan relatif dari nilai terminal (misalnya, keluarga, keamanan dan persahabatan) versus nilai-nilai instrumental (misalnya, kejujuran dan tanggung jawab) di antara eksekutif perusahaan, anggota serikat, dan komunitas aktivis.

Dengan menarik kesimpulan dari sejumlah hasil studi, Peterson dan J. George-Falvy (1993) mengidentifikasi nilai manajerial orang-Amerika yang dominan: prestasi dan kesuksesan, kerja keras, efisiensi dan pragmatisme, optimisme, puritanisme, orientasi ilmiah, sifat umum di antarpribadi hubungan kerja, kesetaraan kesempatan, dan penerimaan persaingan sebagai fakta kehidupan. Namun, kita perlu menilai apakah nilai kerja manajerial seperti ini baik universal atau budaya unik. Sebagai contoh, sebuah penelitian membandingkan kepentingan relatif dari sepuluh nilai-nilai kerja di Amerika Serikat, Australia, Kanada, dan Singapura ditemukan kesamaan antar negara-negara (Popp, Davis, dan Herbert, 1986). Penelitian serupa yang membandingkan manajer di Amerika Serikat, Kolombia, Peru dan Chile juga menemukan bahwa negara berbagi nilai-nilai kerja yang sama (Peters dan Lippitt, 1978). Hasil dari kedua studi menunjukkan bahwa membayar kesempatan, baik untuk pertumbuhan, dan perasaan bahwa pekerjaan sangat penting secara universal dihargai. Namun, penelitian lain telah menemukan bahwa terdapat perbedaan dalam nilai-nilai antara budaya yang ada (misalnya, Hofstede, 1984).

Perusahaan nilai-nilai kewarganegaraan dan perbedaan budaya juga terkait. Koneksi ini paling jelas di perusahaan-perusahaan multinasional, di mana adalah penting untuk menjaga hubungan yang efektif. Nilai-nilai dan praktek budaya di negara tuan rumah mungkin berbeda dari orang-orang dari negara asal manajemen (Rondinelli dan Berry, 2000). Ketika perusahaan-prilaku kewarganegaraan adalah dibandingkan antara Amerika Serikat, Meksiko, Jepang, dan China dalam rangka untuk menciptakan kerangka kerja untuk membantu manajer mengantisipasi masalah kewarganegaraan dalam negara yang berbeda, para peneliti menemukan bahwa manajer menekankan konsumerisme dan keprihatinan lingkungan di Amerika Serikat, sementara Meksiko manajer menyatakan kepedulian terhadap lingkungan bersama dengan tinggi kepedulian terhadap pembangunan ekonomi dan isu-isu lokal. Orang Jepang mungkin lebih untuk memiliki bisnis mengurus masalah konsumen daripada mengandalkan pada aktivisme konsumen, dan Cina lebih cenderung bergantung pada teman-teman dan menunjukkan kecenderungan nasionalistik ketika membuat keputusan konsumen (Katz, Swanson, dan Nelson, 2001). Bahkan dalam organisasi Tionghoa yang besar, kesetiaan individu kepada manajer dan organisasi, serta loyalitas manajer untuk bawahan, cenderung lebih signifikan. Semua temuan ini menunjukkan bahwa kewarganegaraan perusahaan akan diwujudkan secara berbeda dalam berbagai budaya, jika perusahaan perusahaan multinasional harus diterima dan efektif dalam

3Dosen Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang

Page 4: Jurnal Fattah

budaya lokal, organisasi dan manajer perlu untuk memahami perbedaan ini untuk meningkatkan kepuasan individu dalam organisasi.

Kepuasan individu mendorong kelompok dan organisasi mendukung kepemimpinan yang mengarahkan perilaku produktif. Syarat kelompok yang kohesif dan nilai budaya organisasi seperti pertemuan yang intens, interaksi berdasar norma produktif dan nilai kepemimpinan manajer yang trampil akan memperkuat perilaku produktif. Manajemen efektif akan terbantu oleh adanya karakteristik individu dan organisasi yang sesuai dan sehat.

Karakteristik Individu dan Organisasi dalam Menaikkan ProduktifitasPerilaku produktif adalah perilaku karyawan yang secara positif mendukung tujuan-

tujuan dan sasaran-sasaran dari organisasi. Pengertian sasaran organisasi berkaitan dengan sistem sebagai satu kesatuan perilaku individu. Organisasi sebagai satu sistem terdiri atas komponen komponen yang mempunyai struktur dan fungsi yang saling berinteraksi, saling tergantung untuk mencapai tujuan dalam jangka waktu tertentu. Salah satu komponen dalam organisasi adalah perilaku individu yang berkaitan dengan tujuan organisasi dan individu sekaligus yaitu perilaku produktif. Perilaku karyawan yang positif akan mendukung pencapaian tujuan organisasi.

Terdapat tiga bentuk dari perilaku produktif dalam organisasi yaitu performansi pekerjaan, perilaku organisasi pada masyarakat ( Organizational Citizenship Behavior), dan inovasi. Menurut Campbell (1990), performansi pekerjaan mewakili perilaku karyawan selama berada di tempat kerja. Menurutnya performansi pekerjaan seharusnya dibedakan dari efektifitas, produktifitas, dan kegunaan (utility). Efektifitas dapat diartikan sebagai penilaian dari hasil-hasil performansi pekerjaan karyawan; produktifitas berhubungan erat dengan performansi dan efektifitas, sedangkan kegunaan (utility) mewakili nilai dari tingkat yang diberikan pada performansi, efektifitas, atau produktifitas.

Performansi Kerja Performansi Pekerja adalah pencapaian /hasil kerja terhadap sebuah tugas oleh seorang

pekerja atau oleh sebuah tim yang terdiri dari beberapa pekerja. Tugas tersebut bisa bervariasi mulai dari yang sederhana mulai dari menyorting kartu sampai yang rumit mendaratkan pesawat terbang. Manusia bisa mengerjakan tugas tersebut secara manual atau dengan memonitor suatu sistem/mesin otomatis. Dalam setiap kasus, performansi pekerja dapat diukur.

Pengukuran performansi dapat diklasifikasikan dalam enam kategori. Yang pertama adalah akurasi, di mana pengukuran menilai derajat ketepatan. Pengukuran seperti ini berasumsi bahwa ada suatu/sebuah jawaban yang tepat. Kategori kedua dari pengukuran performansi pekerja adalah waktu. Kategori ini berasumsi bahwa tugas-tugas memiliki bagian awal dan akhir yang sudah ditentukan dengan baik sehingga durasi dari performansi tugas dapat diukur. Kategori ketiga adalah deretan tugas. Deretan tugas adalah kumpulan dari dua tugas atau lebih yang diperformansikan dalam rangkaian seri atau paralel untuk mengukur batasan kemampuan atau efek. Deretan ini berasumsi bahwa kemampuan manusia/pekerja bervariasi lintas tipe tugas atau secara berbeda dipengaruhi oleh variabel-variabel independen.

Kategori keempat dari pengukuran performansi pekerja adalah pengukuran spesifik-bidang . Kategori yang kelima adalah pengukuran insiden krisis, yang biasanya digunakan untuk menilai performansi pada kasus/kondisi yang terburuk. kategori terakhir adalah pengukuran performansi tim. Pengukuran ini menilai kemampuan dua orang atau lebih yang bekerja bersama untuk menyelesaikan sebuah atau beberapa tugas. Ada juga pengukuran yang termasuk dalam lebih dari satu kategori pengukuran.

4Dosen Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang

Page 5: Jurnal Fattah

Kategori pengukuran pertama adalah akurasi, di mana pengukuran menilai derajat ketepatan. Pengukuran ini berasumsi bahwa ada suatu jawaban yang benar/tepat. Akurasi adalah pengukuran kualitas dari suatu perilaku. Yang termasuk di dalam pengukuran akurasi adalah correctness score, number correct, percent correct, percent correct detection dan probabilitas dari correct detection. Eror/kesalahan bisa juga digunakan untuk mengukur akurasi, yang terdiri dari absolute error, average range score, deviasi/penyimpangan, kisaran erorr, angka false alarm, jumlah erorr, presentasi erorr, dan erorr rmse. Erorr bisa terjadi karena omission/kelalaian (mis: meninggalkan tugas, tidak mengerjakan beberapa nomor dari keseluruhan soal yang tersedia, ada bagian tugas yang tidak dikerjakan) atau karena commission (mis: mengerjakan tugas namun tidak dengan tepat, mengerjakan semua soal/tugas yang ada namun ada jawaban yang tidak tepat/hasilnya tidak sesuai kunci jawaban). Terkadang, pengukuran akurasi dan erorr dikombinasikan untuk memberikan perbandingan.

Kelebihan dan kelemahan. Akurasi dapat diukur dengan memakai skala perbandingan dan karena itu menjadi kuat secara matematis. Namun bagaimanapun, distribusi dari skor kesalahan atau skor ketepatan mungkin saja tidak simetris dan karena itu membutuhkan transformasi matematis untuk menjadi distribusi normal. Di samping itu, beberapa erorr bisa saja jarang terjadi dan erorr tersebut menjadi sulit untuk diselidiki.

Model-model Performansi PekerjaanJ.Campbell (1994) mengemukakan bahwa performansi pekerjaan dapat dipecah

menjadi 8 dimensi yaitu ;a. keahlian tugas pekerjaan spesifik (job-specific task proficiency) mewakili perilaku yang berhubungan dengan tugas-tugas utama yang menjadi ciri khusus dari sebuah pekerjaan. Sebagai contoh, menghitung uang, mencatat setoran, dan mencairkan cek merupakan tugas khusus seorang teller bank b. Keahlian tugas pekerjaan non spesifik (non-job-spesific task profiency) mewakili perilaku yang harus dilakukan oleh beberapa atau semua anggota organisasi, tetapi tidak dikhususkan untuk sebuah pekerjaan tertentu. Sebagai contoh, pekerjaan yang berhubungan dengan aktivitas dari seorang profesor pada perguruan tinggi adalah mengajar dan melakukan penelitian pada bidang yang riil (seperti ilmu fisika). c. keahlian menulis dan komunikasi lisan (written and oral communication task proficiency). Sebagai contoh, seorang guru sekolah menengah dan seorang pengacara yang mempunyai tugas pekerjaan spesifik yang sangat berbeda walaupun pada saat tertentu mereka harus berkomunikasi baik secara lisan maupun tertulis. Seorang guru sekolah menengah perlu mengkomunikasikan kemajuan siswa dengan orang tua sedangkan seorang pengacara perlu berkomunikasi dengan klien untuk memeriksa keakuratan sebuah informasi yang akan termuat dalam dokumen sah seperti persetujuan perceraian d. Menunjukkan usaha (demonstrating effort) menggambarkan tingkat dari motivasi dan komitmen karyawan pada tugas pekerjaannya. e.Mempertahankan disiplin pribadi (maintaining personal discipline) berarti menahan diri untuk tidak melakukan perilaku negatif seperti melanggar aturan, penyalahgunaan zat, atau perilaku lain yang tidak produktif. f. Mempermudah performansi teman kerja dan kelompok (facilitating peer and team performance ). Contohnya, membantu seorang teman sekerja yang mengalami masalah, atau mungkin hanya memberikan dorongan atau semangat kepada teman yang lain. g. Pengawasan/kepemimpinan (supervision/leadership) h. Manajemen/administrasi (management/administration)

Faktor-faktor yang Menentukan Performansi KerjaSecara umum, perbedaan performansi pekerjaan disebabkan oleh interaksi antara

kemampuan, motivasi, dan faktor keadaan yang memudahkan atau menyulitkan performansi. J. Campbell (1990, 1994) mengusulkan bahwa performansi pekerjaan

5Dosen Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang

Page 6: Jurnal Fattah

ditentukan oleh interaksi antara pengetahuan deklaratif, prosedur pengetahuan/kemampuan dan motivasi. Sedangkan jika kita mau memusatkan perhatian pada variabel perbedaan individu maka kemampuan kognitif umum, pengalaman kerja, dan ketelitian merupakan tiga hal yang dapat mempengaruhi performansi kerja.

Beberapa tes psikologi untuk mengukur potensi performansi kerja dikembangkan terutama untuk memprediksi keberhasilan calon pekerja dalam pekerjaan. Tes Kreaplin mengukur ketelitian, keajegan, ketahanan dan kecepatan yang ditunjukkan calon pekerja sebagai sampel perilaku. Sampel perilaku yang kurang mendukung dapat digunakan sebagai alat seleksi dan prediksi atas jabatan tertentu. Manajer atau puhak berkepentingan dapat menggunakan alat tes psikologis ini untuk memperkirakan performansi kerja dengan karakteristik pola kerja individu.

Persoalan-persolan Khusus dalam Mempelajari Performansi Kerja Menurut Murphy (1989a), performansi dapat di ukur dengan 8 cara yang berbeda

yaitu: (1) tes kertas/pensil, (2) tes kemampuan kerja, (3) tes dalam tanggungjawab (on-site hands-on testing) (4) tes diluar tanggungjawab (off-site hands-on testing), (5) simulasi kesetiaan (6) simulasi simbolik, (7) penilaian tugas (8) penilaian secara umum. Dua metode yang biasa digunakan untuk mengukur performansi kerja dalam organisasi adalah penilaian tugas secara khusus dan penilaian tugas secara umum.

Menurut Peter n O’Connor (1988), ada empat alasan mengapa variasi dalam performansi individu dibatasi. Pertama, organisasi mungkin mempunyai standar performansi yang sangat rendah. Faktor kedua, adalah organisasi mengubah level performansi kerja individu menjadi lebih tinggi. Faktor ketiga adalah organisasi membiarkan karyawan yang mempunyai performansi rendah. Faktor yang terakhir adalah variasi kemampuan sumberdaya dalam organisasi.

Ketidakstabilan Performansi Kerja dalam Jangka Waktu yang LamaBeberapa kontributor telah menegaskan bahwa performansi itu relatif stabil dalam

jangka waktu yang lama; sedangkan yang lain berpendapat bahwa performansi itu dinamis. Penelitian performansi memberikan pengetahuan penting tentang stabilitas performansi, mereka mengusulkan bahwa meskipun performansi tidak stabil dalam jangka waktu yang lama, performansi tidak berubah-ubah secara acak dan kita pun dapat mengenali secara statistik pola dari perubahan performansi tersebut.

Lanzetta, Dember, Warm, Berch (1987) melaporkan bahwa terdapat suatu persentase ketepatan yang tinggi ketika suatu tugas dilakukan secara serentak daripada bila tugas dilakukan secara berurutan. Ini mungkin menunjukkan bahwa manusia pada umumnya menjadi lebih waspada ketika mengerjakan secara serentak tugas-tugas yang ada. Galinsky, Warm, Dember, Weiler, Scerbo (1990) menggunakan deteksi persentase ketepatan untuk mengevaluasi suatu periode memperhatikan tugas. Persentasenya menurun seiring meningkatnya kisaran kejadian dari 5 menjadi 40 kejadian per menit dalam 2 kondisi (visual dan auditorik yang sedang berlangsung) tapi tidak dalam 3 kondisi alternatif sensasi. Ini menunjukkan bahwa manusia semakin kurang waspada, ditunjukkan dengan presentase ketepatan yang menurun, ketika harus mengamati banyak kejadian dibanding saat hanya mengamati sedikit kejadian pada durasi waktu tertentu.

Perilaku Produktif pada Kelompok Peran kelompok penting untuk menaikkan performansi kinerja individu kalau tipe

kelompok mendukung naiknya kepuasan dan kesiapan kerja individu. Fiedler (1967) memberikan tipologi dari kelompok-kelompok kerja yang didasarkan pada sifat dan intensitas interaksi, yaitu: 1) Kelompok interaktif, para anggota saling tegantung dan aksi

6Dosen Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang

Page 7: Jurnal Fattah

tindakan mereka perlu dikerjakan dan disusun bersama untuk dapat menyelesaikan tugas kelompok dengan baik. Perlu adanya kooperasi dan koordinasi dari kegiatan para anggota agar tercapai sasaran kelompoknya. Seperti, kelompok pekerja pengebor minyak, tim sepak bola, tim bola voli, dan lain-lain; 2) Kelompok Koaktif, para anggota kelompok bekerjasama dalam melaksanakan tugas kelompok, namun masing-masing dapat melaksanakan tugasnya relatif mandiri tidak saling tergantung. Seperti, kelompok pramuniaga (salesmen), kelompok wakil medikal (medikal representatives), kelompok kerja yang terdiri dari kepala bagian dan kepala sub bagian, kepala sub bagian keuangan, dll.setiap anggota kelompok memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing yang dapat dilaksanakan tanpa banyak tergantung pada anggota kelompok yang lainnya. Kelancaran tugas masing-masing mempengaruhi hasil dari keseluruhan kelompok, mempengaruhi hasilnya sasaran kelompok kerja. Jika salah satu kurang berhasil, maka hasil kelompok tidak maksimal; 3) Kelompok Konteraktif, para anggota kelompok bekerjasama untuk tujuan perundingan dan memufakatkan sasaran dan tuntutan yang bertentangan. Hasil diukur berdasarkan derajat penerimaan dari jawaban atau penyelesaian oleh para anggota.anggota kelompok berasal dari wakil dari pihak yang berbeda pendapat. Kelompok ini bersifat sementara dan terbentuk karena adanya pertentangan atau konflik antar kelompok. Seperti, panitia perjanjian kerja bersama (PKB) yang tediri dari wakil manajemen dan (serikat) pekerja.

Ditinjau dari strukturnya, kelompok interaksi dan konteraktif tidak berbeda dalam intensitas interaksi anggotanya. Perbedaannya terletak pada tujuan kelompok dan rincian tugas-tugas untuk mencapai tujuan tersebut. Pada kelompok konteraktif sasaran yang akan dicapai (penyelesaian konfliknya, bentuk konsesi, bentuk kesepakatan) belum jelas. Yang diketahui hanyalah tujuan menyelesaikan konflik, mencapai kesepakatan tertentu. Para anggota juga tidak mendapat rincian pelaksanaan tugas masing-masing. Tujuan kelompok ialah tersusunnya atrategi perusahaan, namun bagaimana bentuk dan isinya belum jelas, dan pelaksanaan tugasnya juga belum tidak rinci.

Kerja sama dalam kelompok paling mudah ditimbulkan dalam kelompok interaktif dalam kelompok koaktif dan konteraktif.kelompok kerja dalam tingkat majerial bercorak koaktif dan konteraktif. Struktur kelompok kerja tersebut tidak mengharuskan mereka bekerja sama, tapi jka mereka tidak bekerja sama maka organisasi tidak akan berfungsi secara efisien dan efektif. Pada dasarnya setiap anggota kelompok mempengaruhi anggota kelompok yang lain. Perlu diupayakan agar kelompok kerja tersebut dapat bekerja dalam satu tim. Keseluruhan kelompok kerja perlu dipadukan dalam suatu keserasian sehingga organisasi berfungsi secara efektif dan efisien.

Fungsi kelompok menjelaskan gejala yang timbul dalam proses interaksi antar anggota kelompok, yaitu: (a) fungsi sebagai penimbul gagasan baru dan penyelesaian kreatif, (b) sebagai mekanisme pemecahan masalah, (c) sebagai pelancar pelaksanaan keputusan majemuk. Fungsi tersebut berkaitan dengan pandangan Leavitt (1988) bahwa proses menejemen dapat dibagi dalam tiga tahap, dimana proses tersebut dapat dilakukan kelompok kerja pimpinan saja, secara terpadu oleh lebih dari satu kelompok kerja, dari tingkatan organisasi yang sama atau berbeda. Penjelasan masing-masing tahap yaitu:

Pertama, Pathfinding atau pemanduan bersibuk diri dengan penemukenalan dari tujuan, dengan menciptakan masalah-masalah yang menarik. Pemimpin harus mampu mengolah data yang ada untuk dapat memelihara dan mengembangkan organisasinya. Serta dapat menetapkan kemana organisasi itu pergi dan nilai apa yang bermakna yang harus dicapai. Pemanduan merupakan suatu tahap pemikiran yang kreatif dan divergen, serta berkaitan dengan visi pribadi, nilai-nilai pribadi dan pemantapan pribadi (personal determination). Pemanduan berkaitan dengan gambaran seseorang tentang perusahannya di masa depan,berdasarkan data-data dari lingkungan dan perusahaannya sendiri, dan

7Dosen Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang

Page 8: Jurnal Fattah

berdasarkan keyakinannya sendiri tentang apa yang benar, apa yang baik, apa yang indah. Contoh: pemimpin perusahaan melihat perusahaannya berkembang menjadi perusahaan multinasional, yang berbentuk koperasi, dimana para karyawannya berprestasi optimal dan merasa bahagia dan sejahtera.visi menjadi pedoman penetapan tujuan dan masalah yang menarik yang mendasari proses pathfinding. Untuk mewujudkan diperlukan kemantapan tekad untuk melaksanakannya. Pemanduan merupakan satu tahap kepemimpinan dalam pengelolaan yang aktif karena menentukan dan menciptakan masalah-masalah penting yang harus dipecahkan.

Kedua, tahap pemecahan masalah kelompok kerja dibanding dengan proses pemecahan masalah di sekolah (Leavitt, 1988: 235). (1) di sekolah masalah yang harus kita pecahkan diberikan. (2) masalah yang dihadapi tidak selengkap datanya dengan masalah yang diberikan di sekolah. Pemecahannya dicari berdasarkan informasi yang terbatas dan kita tidak pernah memiliki semua informasi yang kita butuhkan. Masalah yang diberikan harus selesai sesuai dengan waktu yang diberikan guru. (3) jika kita sudah mendapatkan jawabannya sering tidak mendapat kepuasan yang sama seperti menyelesaikan soal metematika. Namun, hal itu, memberikan manfaat dalam melatih kemampuan dan keterampilan memecahkan masalah. Ketiga, tahap implementasi yang mencakup kegiatan membentuk, menyusun, menjual, membuat sesuatu terjadi. Implementasi dalam manajemen merupakan suatu proses sosial yang mengharuskan manajer untuk mempengaruhi, meyakinkan, memaksa, menjual dan berkomunikasi dengan orang lain.

Ketiga tahap tersebut dapat terjadi secara berurutan. Proses pemecahan masalah berjalan dulu, dan baru setelah pemecahan masalahnya ketemu,setelah keputusan diambil maka berlangsunglah tahap implementasi. Pemimpin kelompok memecahkan masalah dan mengambil keputusan dan bawahannya yang melaksanakan atau kelompok kerja tertentu memecahkan masalah dan mengambil keputusan dan kelompok-kelompok kerja lain yang melaksanakan. Dari ketiga tahap proses manajemen dari Levitt yang berkaitan dengan ketiga fungsi kelompok yang telah disebut diatas nyata bahwa pelaksanaan fungsi-fungsi kelompok tidak begitu saja berjalan tanpa menimbulkan masalah. Fungsi kelompok ikut menentukan kelancaran berlangsungnya proses kelompok di samping ciri-ciri kepribadian para anggota kelompoknya.

Dalam proses kelompok, dimana para anggota kelompok kerja berinteraksi dan dimana kelompok melaksanakan fungsinya, dapat kita temukan timbulnya gejala-gejala sebagai berikut: Pertama, Konformisme, Dalam interaksi antar anggota kelompok, tanpa didasari, mereka mengikuti pola-pola perilaku tertentu yang berlaku umum di keseluruhan organisasi kerjanya dan pola perilaku yang lebih khas berlaku dalam kelompok kerjanya, yang tumbuh karena interaksi selama jangka waktu yang panjang. Misalnya kebiasaan untuk tidak berbicara secara terus terang, kebiasaan untuk memanggil seseorang dengan bapak, ibu, saudara. Setiap kelompok memiliki norma-nornma, yaitu pola atau patokan perilaku yang diterima oleh para anggota kelompok. Norma-norma yang diterima mempengaruhi perilaku anggota kelompok dengan kendali eksternal yang minim. Ada sejumlah norma yang ditulis dalam manual, buku pedoman kepegawaian, yaitu norma-norma yang formal. Namun kebanyakan norma adalah informal, tidak tertulis.

Fungsi kelompok bagi anggota antara lain ialah sebagai pemenuh kebutuhan akan afiliasi. Kita semua menginginkan untuk diterima dan diperlukan sebagai anggota kelompok yang sama oleh anggota dari kelompok lain. Kita akan berusaha berperilaku sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Keinginan ini berkembang sehingga kita akan mengikuti apa yang oleh mayoritas anggota sebagai benar atau baik agar tidak dikucilkan. Kelekatan, setiap kelompok kerja memiliki sasaran yang harus dicapai. Sasaran kelompok belum tentu diterima sepenuhnya oleh para anggota kelompok. Di samping itu jika memerlukan kerjasama, maka perlu para anggota kelompok masing-masing mau menerima dan mampu

8Dosen Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang

Page 9: Jurnal Fattah

bekerja sama dengan anggota kelompok lainnya. Tinggi rendahnya kesepakatan para anggota terhadap sasaran para kelompok lainnya menunjukkan derajat kelekatan (cohesiveness) kelompok. Faktor-faktor yang ikut menentukan derajat kelekatan kelopok ialah: a) Lamanya waktu berada bersama dalam kelompok : Makin lama berada dalam kelompok makin mengenal; b) Parahnya masa awal : makin sulit; c) seseorang diterima di dalam kelompok kerja sebagai anggota makin lekat kelompoknya; d) Besarnya kelompok : makin besar kelompoknya makin sulit terjadi interaksi yang intensif antar para anggotanya, makin kurang lekat kelompoknya; e) Ancaman dari luar : kebanyakan penelitian menunjang hasil bahwa kelekatan kelompok akan bertambah kelompok mendapat ancaman dari luar; f) Keberhasilan di masa lalu : setiap orang menyenangi seorang pemenang.

Kedua, Sinergi; Dalam proses pengambilan keputusan dalam kelompok timbul gejala bahwa keputusan yang diambil kelompok merupakan keputusan yang lebih baik dari keputusan yang diambil oleh setiap anggoa kelompok tersendiri. Gejala ini dinamakan sinergi. Sinergi ini terjadi karena diskusi dalam kelompok menimbulkan lebih banyak alternative dari pada jumlah orangnya, cenderung untuk mengeliminasi sumbangan-sumbangan gagasan yang kurang bermutu, mengurangi nilai-nilai kesalahan dan menunjang pemikiran kreatif. Ini berarti bahwa kelompok pada umumnya lebih baik dari pada perorangan dalam situasi dimana diutamakan kecermatan dan waktu yang cukup banyak. Namun tidak selalu kelompok lebih baik dari pada perorangan dalam pengambilan keputusan.sering anggota mempunyai kemungkinan lebih baik untuk menang jika ia tetap mempertahankan keputusannya dan mengabaikan keputusan kelompok. Sinergi dapat terjadi jika para anggota kelompok memberikan semua data yang mereka miliki, sehingga jumlah data yang terkumpul lebih banyak dari data yang kita miliki sendiri. Selain itu perlu dilakukan pembahasan tentang kelemahan dan kekuatan dari masing-masing alternatif keputusan.

Ketiga, Groupthink, salah satu gejala yang merupakan kelemahan kelompok yang terlalu lekat adalah bahwa kecakapan pengambilan keputusan dapat secara mendadak berkurang, yang oleh Janis, disebut berpikir kelompok (groupthink). Menurut Janis, berpikir kelompok merupakan suatu kemunduran dari efisiendi mental, pengujian realitas, dan pertimbangan moral yang dihasilkan oleh tekanan-tekanan dari dalam kelompoknya sendiri. Anggota kelompok yang memiliki pandangan menyimpang ditekan dengan berbagai macam cara agar menyetujui pandangan mayoritas, sehingga menciptakan kemungkinan bahwa keputusan kelompok tidak mencerminkan analisis yang cermat, melainkan mencerminkan pandangan yang dominan. Manejer berperan mengendalikan kelompok agar dapat mendukung performansi kerja individu dengan mendorong individu berperilaku produktif. Faktor selain kelompok adalah organisasi yang mempunyai budaya organisasi individu menghargai performansi kerja dengan analisis yang akurat sebagai pandangan dominan.

Perilaku Organisasi pada MasyarakatPerilaku Organisasi pada Masyarakat (Organizational Citizenship Behavior)

menunjuk kepada perilaku yang bukan menjadi job deskripsi formal dari karyawan ( contohnya, membantu teman sekerja yang tidak masuk, sopan kepada orang lain), atau perilaku-perilaku dimana karyawan tidak diberikan penghargaan secara formal. Perilaku organisasi merupakan manifestasi dari budaya organisasi yang dapat menjembatani antara tuntutan organisasi eksplisit ada pada jabatan dengan karakteristik individu baik berupa;motivasi, konsep diri dan kemampuan individu.

Menurut Organ (1988, 1994), perilaku organisasi pada masyarakat dalam organisasi dapat dikelompokkan menjadi lima tipe yang berbeda :1) Altruisme (altruism) Menggambarkan apa yang kita sebut sebagai ”perilaku membantu” atau ”perilaku prososial” di tempat kerja. Contohnya, seorang karyawan yang pada awalnya membantu teman

9Dosen Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang

Page 10: Jurnal Fattah

sekerjanya yang mengalami kesulitan dalam mengoperasikan komputer; 2) Sikap menghormati (courtesy) Menggambarkan perilaku yang mencerminkan perhatian kepada orang lain. Sebagai contoh, kadang-kadang bertanya kepada seorang teman kerja untuk mengetahui hal apa yang akan dilakukan; 3) Sikap sportif (sportmanship) seperti mengeluh tentang permasalahan-permasalahan atau gangguan-gangguan kecil; 4) Ketelitian (conscientiousness) meliputi menjadi seorang ”warga negara yang baik” di tempat kerja dan melakukan hal-hal seperti datang rapat tepat waktu; 5) Kebijakan kewarganegaraan (civic virtue) merupakan sasaran dari organisasi atau dengan kata lain, merupakan sebuah kerja kelompok. Contohnya, menghadiri sebuah acara bersifat kemanusiaan yang dibiayai oleh organisasi.

Inovasi dalam OrganisasiPerilaku produktif ini dapat dianggap sebagai perilaku dimana karyawan datang

dengan ide baru atau konsep yang menunjang tujuan dari organisasi. Bentuk inovasi yang mudah diamati adalah produk dan layanan baru. Menurut Amabile, Conti,Coon, Lazenby, & Herron(1996)., kreativitas dan inovasi sangat berkaitan, kreativitas meliputi task relevant skills ( berkaitan dengan kemampuan kognitif umum), creativity relevant skills (meliputi pola pikir dan pola kerja) dan task motivation ( peningkatan perasaan menikmati tugas seperti mencoba menempatkan karyawan pada posisi yang tepat).

Damanpour (1991) mengusulkan bahwa terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai penanda inovasi. Penanda itu adalah sumber daya pengetahuan teknis, level spesialisasi dalam organisasi, komunikasi eksternal dalam organisasi, dan identifikasi. Inovasi dalam organisasi untuk mengurangi underachieve dengan melakukan penyesuaian diri sehingga konsep diri pekerja menjadi positif sekaligus dengan kepemilikan saham. Kepemilikan saham organisasi bagi karyawan akan mengurangi perasaan merugi dalam jangka pendek sehingga seperti yang dikemukakan oleh Kahneman(2002) maka karyawan melakukan penyesuaian diri agar sesuai dengan tuntutan jabatan yaitu melakukan tindakan perilaku prestatif. Karyawan sebagai pelaku ekonomi dalam ketidak pastian akan mengurangi resiko jangka pendek dengan berperilaku prestatif dengan mengurangi karakteristik individu yang tidak sesuai dengan tuntutan jabatan sehingga individu merasa aman.

Pemetaan Pelaku Ekonomi Berbasis KetidakpastianOrganisasi dibedakan antara dua kelompok kepentingan yaitu kepentingan dimana

secara keseluruhan organisasi menjalankan fungsinya adalah dalam organisasi ; pemegang saham, pekerja, manajemen. Kepentingan di luar organisasi meliputi ; konsumen, pemerintah, pemasok, serikat pekerja. Kepentingan dalam organisasi berkaitan dengan kelangsungan hidup suatu organisasi, maka simetrisme kepentingan berkaitan dengan tanggung -jawab utuk kelangsungan hidup. Tabel 1 menunjukkan sumbangan dan penghasilan yang sesuai dengan simetri tanggung jawab dan kelangsung hidup organisasi berkaitan dengan pelaku lainnya.

Berdasar relasi karyawan dengan perusahaan berdasar kontrak saling menguntungkan (Sommber, 1995) . Kesepakatan karyawan dan manajemen secara adil akan menaikkan komitmen tingi pada perusahaan, tergantung pada persepsi keadilan karyawan. Penghargaan perusahaan atas karyawan akan menimbulkan equlibrium atau dalam teori Equity menentukan penilaian negatif atau positif terhadap perlakuan organisasi. Bentuk lain relasi karyawan dan organisasi adalah dengan model koperasi, dimana karyawan menjadi shareholder sehingga penjaminan kelangsungan hidup berbeda dengan tabel 1. Karyawan koperasi mempunyai hubungan simetri yang berbeda dengan model perusahaan perseroan terbatas.

10Dosen Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang

Page 11: Jurnal Fattah

Tabel 1. Penghasilan dan Sumbangan Inside StakeholderInside Stakeholder

Sumbangan kepada Organisasi Penghasilan dari Organisasi

Pemilik modalManajerTenaga Kerja

Uang dan Modal UsahaSkill dan expertiseSkill dan expertise

Diveden dan kenaikan harga sahamGaji, bonus, status dan kekuasaanUpan Bonus pekerjaan yang stabil dan promosi

Kesesuaian Kepentingan Individu dan Organisasi

Penjelasan status karyawan sekaligus menjadi pemegang saham berkaitan erat dengan pengambilan resiko ketidakpastian berdimensi jangka panjang. Karyawan akan cenderung berfikir mengurangi kerugian dalam waktu jangka pendek terutama dalam suasana ketidakpastian. Karyawan menghitung resiko dan mengkategorisasikan resiko dalam dua dimensi; dimensi waktu jangka pendek dan dimensi waktu jangka panjang. Karyawan akan mempertimbangkan resiko dalam kategori jangka panjang kalau mendapat saham. Karyawan berfikir untuk mengurangi kerugian jangka panjang karena merasa sebagai pemegang saham suatu organisasi perusahaan.

Individu akan mempertahankan kepemilikan saham sebagai bentuk kepuasan individu, kelompok dan mempertahankan organisasi. Perilaku individu berusaha berperilaku produktif untuk mempertahankan kepentingan jelas yaitu kepemilikan saham atas organisasi. Individu mengembangkan konsep diri yang positif, motivasi tinggi untuk mengembangkan kemampuan dalam bekerja agar performansi kerja naik sehingga nilai keuntungan saham dapat dinikmati sebagai pemilik saham. Persepsi individu positif tentang hubungan kepuasan kerja, kinerja pribadi dan kinerja organisasi sebagai satu alur keterkaitan, akan meningkatkan kesejahteraan individu dan organisasi sebagai kumpulan kelompok yang akrab.

Kinerja karyawan terpengaruh oleh faktor psikologis lain, sehingga tingkat komitmen organisasi naik karena dua status yaitu; anggota dan pemilik organisasi di organisasi. Status anggota bagi karyawan menyangkut faktor seleksi dan deskripsi jabatan akan juga memerlukan penyesuaian individu bersangkutan (Behling,1998). Dengan demikian kesesuaian individu dan organisasi selain memperhatikan potensi psikologis juga keseluruhan dimensi pekerjaan agar keadilan dapat dirasakan sebagai dasar kesejahteraan individu dalam organisasi. Individu yang puas akan mengembangkan perilaku produktif tidak lagi termasuk underachieve karena individu mempunyai konsep diri yang positif.

Daftar PustakaAdler, N. J., and Bartholomew, S. (1992). Managing globally competent people. Academy of

Management Executive, 6(3), 52–65Adler, N. J., and Doktor, R. (1989). From the Atlantic to the Pacific century: Cross-cultural

management reviewed. In C. Osigweh (ed.), Organizational science abroad: Constraints and perspectives. New York: Plenum.

Amabile, T. M., Conti, R., Coon, H., Lazenby, J., & Herron, M. (1996). Assessing the work environment for creativity. Academy of Management Journal, 39, 1154–1184.

Behling, O.1998.Employee Selection: Will Inteligence and Conscientiosness Do The Job? Academy of Management Executive, 12, 77 – 86

Campbell, J P .1990. Modelling the performance prediction problem in industrial and organizational psychology, in Handbook of Industrial and Organizational Psychology,

11Dosen Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang

Page 12: Jurnal Fattah

Campbell, J. P. (1990). Modeling the performance prediction problem in industrial and organizational psychology. In M. D. Dunnette & L. M. Hough (Eds.), Handbook of industrial and organizational psychology (2nd ed., Vol. 1, pp. 687–732). Palo Alto, CA: Consulting Psychologists Press.

Campbell, J. P. (1994). Alternative models of job performance and their implications for selection and classification. In M. G. Rumsey, C. B. Walker, & J. H. Harris (Eds.), Personnel selection and classification (pp. 33–51). Hillsdale, NJ: Erlbaum.

Cressey, D. R., and Moore, C. A. (1983). Managerial values and corporate codes of ethics. California Management Review, 25(4), 53–77

Damanpour, F. (1991). Organizational innovation: A meta-analysis of effects of determinants and moderators. Academy of Management Journal, 34, 555–590.

Frederick, W. C., and Weber, J. (1987). The values of corporate managers and their critics: An empirical description and normative implications. Research in Corporate Social Performance and Policy, 9, 131–152.

Fiedler , F. E. ( 1967 ). A Theory of Leadership Effectiveness , New York : McGraw - Hill .Galinsky, T.L., Warm, J.S., Dember, W.N., Weiler, E.M., and Scerbo, M.W. Sensory

alternation and vigilance performance: The role of pathway inhibition. Human Factors. 32(6), 717–728, 1990.

Hofstede, G. (1984). Culture’s consequences: International differences in workrelated values (abridged ed.). Beverly Hills, CA: Sage.

Hui, C. H. (1990). Work attitudes, leadership style, and managerial behaviors in different cultures. In R. Breslin (ed.), Applied cross-cultural psychology, 186–208. Beverly Hills, CA: Sage.

Inglehart, R., and Carballo, M. (1997). Does Latin America exist? (And is there a Confucian culture?): A global analysis of cross-cultural differences. Political Science and Politics, 30, 34–46.

Jarrel,D.1993.Human Resources Planning A Business Planning Approach,Prentice Hall,New Jersey.

Kahneman, 2002, Maps of Bounded Rationality: A Perspective on Intuitive Judment and Choice. Princeton University, Department of Psychology, Princeton, NJ 08544, USA.

Katz, J. P., Swanson, D. L., and Nelson, L. K. (2001). Culture-based expectations of corporate citizenship: A prepositional framework and comparison of four cultures. International Journal of Organizational Analysis, 9(2), 149–171.

Lanzetta, T.M., Dember, W.N., Warm, J.S., and Berch, D.B. Effects of task type and stimulus heterogeneity on the event rate function in sustained attention. Human Factors. 29(6), 625–633, 1987.

Leavitt, H. J. (1951). Some effects of certain communication patterns on group performance. Journal of Abnormal and Social Psychology, 46, 38–50.

Murphy, K. R. (1989a). Dimensions of job performance. In R. Dillion & J. W. Pelligrino (Eds.), Testing: Theoretical and applied perspectives(pp. 218–247). New York: Praeger.

Organ, D. W. (1988). Organizational citizenship behavior: The good soldier syndrome. Lexington, MA: Lexington Books.

Organ, D. W. (1994). Organizational citizenship behavior and the good soldier. In M. G.Oskamp, S., and Costanzo, M. (eds.). (1993). Gender issues in contemporary society.

Newbury Park, CA: Sage.Peterson, R. B., and George-Falvy, J. (1993). United States. In R. B. Peterson (ed.),

Managers and national culture: A global perspective. Westport, CT: Quorum Books.

12Dosen Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang

Page 13: Jurnal Fattah

Peters, E. B., and Lippitt, G. L. (1978). The use of instruments in international training. Journal of European International Training, 2(7), 24–25.

Peters, L. H., & O’Connor, E. J. (1988). Measuringwork obstacles: Procedures, issues, and implications. In F. D. Schoorman &Schneider B. (Eds.), Facilitating work groupeffectiveness(pp. 105–123). Lexington, MA:Lexington Books.

Popp, G. E., Davis, H. J., and Herbert, T. T. (1986). An international study of intrinsic motivation composition. Management International Review, 26, 28–35.

Posner, B. Z., and Schmidt, W. H. (1992). Values and the American manager: An update updated. California Management Review, 34(3), 80–94.

Ralston, D. A., Gustafson, D. J., Cheung, F. M., and Terpstra, R. H. (1993). Differences in managerial values: A study of U.S., Hong Kong and PRC managers. Journal of International Business Studies, 24(2), 249–275.

Redding, S. G. (1992). Capitalist cooking lessons. Asian Business, November, 50–52.Rondinelli, D., and Berry, M. (2000). Environmental citizenship in multinationa

corporations: Social responsibility and sustainable development. European Management Journal, 18, 70–84.

Sommber,M.J.1995.Organizational Commitment, Turnover, Absenteeism: An Examination Direct And Interaction Effect, Journal of Organizational Behavior, 16, 49-58

13Dosen Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang