60
ISSN 1829-6610 Vol. 4. No. 2, Oktober 2010

Jurnal Arsitektur Dan Perencanaan Vol. 4 No. 2 Oktober 2010

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Jurnal gratis

Citation preview

  • ISSN 1829-6610 Vol. 4. No. 2, Oktober 2010

  • ISSN 1829-6610 Vol. 4. No. 2, Oktober 2010

  • i

  • i

    JURNAL ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN (JAP)

    (JOURNAL OF ARCHITECTURE & PLANNING STUDIES)

    Editorial Board:

    Prof. Ir. Achmad Djunaedi, MUP, Ph.D

    Prof. Ir. Sudaryono, M.Eng, Ph.D

    Dr. Ir. Budi Prayitno, M.Eng

    Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, M.Eng

    Diananta Pramitasari, ST, M.Eng, Ph.D

    Managing Editor:

    Ratna Eka Suminar, ST, M.Sc

    Editorial Assistant:

    Andryan Wikrawardana, ST

    Dhani Andrianto

    This Edition Board of Reviewer:

    Prof. Ir. Bambang Hari W., MUP, M.Sc, Ph.D

    Prof. Ir. Bakti Setiawan, MA, Ph.D

    Diananta Pramitasari, ST, M.Eng, Ph.D

    M. Sani Roychansyah, ST, M.Eng, D.Eng

    Dr. Ir. Arif Kusumawanto, MT

    Editorial and Distribution Address:

    Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan

    Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada

    Jalan Grafika No. 2 , Yogyakarta 55281, Indonesia

    Telp.: +62-274-902320/902321

    Fax.: +62-274-580854

    Website: www.archiplan.ugm.ac.id

    E-mail: [email protected]

  • ii

  • iii

    CONTENTS

    From the Editor v

    Peran Urban Design dalam Pengembangan

    Kecamatan Mempura sebagai Daerah Otonom Baru

    Imam Djokomono, Catharina Dwi Astuti Depari 1-8

    Mekanisme Pencapaian Privasi Mahasiswa Pada Pondokan

    Tipe Asrama Perorangan Di Kampung Kota Iromejan Dan Samirono

    (Studi Kasus)

    Soeleman Saragih 9-16

    Prospek dan Permasalahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau

    sebagai Pengurangan Dampak dan Adaptasi Terhadap Pemanasan

    Lokal

    Farida Khuril Maula 17-22

    Factors Influencing Energy Consumption at Household Level Related

    to Urban Residential Density in a Developing City

    Nurrohman Wijaya 23-27

    Perilaku Spasial Anak Jalanan di Yogyakarta

    Jimly Al Faraby 28-33

    The Role of Public Art in Urban Environment: A Case Study of

    Mural Art in Yogyakarta City

    Teguh Setiawan, Bakti Setiawan 34-41

  • iv

  • v

    FROM THE EDITOR

    We would like to bestow our praise and gratitude to Allah, the God Almighty, for

    accomplishing the publication of Jurnal Arsitektur dan Perencanaan (JAP) or Journal of

    Architecture and Planning Studies in October 2010 edition. By this publication, JAP has

    proven its continuity to present regularly, once in a six month, in front of the honored

    readers. JAP has passed its initial phase, which needs a great spirit and enthusiasm to

    maintain the momentum and creates several adjustments on an ongoing process.

    Although it is found that the writers sometimes have to face some technical difficulties

    in putting up their writings, yet the ready-made and well-socialized template truly saves

    much time for the process of "write-review-published". The editor also thanks to those

    who keep on motivating and giving us some inputs on JAP.

    Like what we have in previous editions, JAP is scheduled to publish once in a six month

    (twice a year). In its practice, the Editor utilizes the principle of "rapid review process",

    which enables us to process the "write-review-published" in less than 6 months. By the

    simpler submission procedure (please read the complete procedure on the last page of

    JAP) and easier access to obtain directly the template in the Publishing Unit facilities or

    via website of Department of Architecture and Planning, Faculty of Engineering,

    Gadjah Mada University (http://www.archiplan.ugm.ac.id/), it is expected that our goal

    can be achieved.

    This edition contains 6 essays with its topic varieties. They present such diverse topics,

    including design, architecture, planning, and policy. We hope that through JAP with its

    all topics on architecture and planning, it will directly lead to positive impacts on

    scientific studies improvement in architecture and planning. Therefore, we invite

    researchers, lecturers, and readers who are interested in architecture and planning

    studies to submit your writings with terms and conditions applied in the last page of JAP

    or by visiting our website above.

    Your critics and suggestions for improving the quality of publication as well as the

    content of JAP are highly appreciated.

    Thank you and happy reading.

  • vi

  • Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2 1

    Peran Urban Design dalam Pengembangan

    Kecamatan Mempura sebagai Daerah Otonom Baru

    Imam Djokomono1, Catharina Dwi Astuti Depari

    2

    1 Dosen, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada 2 Dosen, Program Studi Arsitektur, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Indonesia

    Abstract

    The local autonomy policy conducted in some of Indonesian regions has an aim to deliver an independent right to the Local Governments in determining their own development plans. However, if the objective assessment of the local readiness is not performed prior to the policy, the negative results will take shape in new urban problems. Therefore, the Central Government must act as a facilitator supporting all the

    development activities run by the Local Governments. Being a new autonomous area resulted from the urban extension of Siak District, Mempura begins to

    construct its development plans. Facing the upcoming challenges, the necessity of an urban design concept which accommodates the local needs is urgently demanded.

    The objectives of this paper are to reveal the consequences of the autonomy policy in general, the efforts of Mempura Government in arranging an Urban Design Guidelines and to emphasize the importance of

    urban design approaches as an effective policy tool for creating a high quality district. The approaches must be oriented to seek the best solution over Mempuras problems by taking the local potentials into design considerations. Based on Mempuras characteristics, the linkage approach is the most suitable to be implemented for solving the isolated-urban issues by facilitating an access for investment opportunities. Keywords: autonomy policy, objective assessment, local readiness, urban design guidelines, urban design approaches

    1. Latar Belakang Sebagian besar isu pembangunan yang berkembang

    di berbagai daerah di Indonesia sering dipandang sebagai sebuah representasi kegagalan dari misi dan visi kebijakan otonomi daerah yang dijalankan oleh Pemerintah Pusat. Meskipun memiliki beberapa keuntungan potensial, namun sampai sekarang sebagian besar masyarakat di daerah otonom masih belum merasakan secara langsung dampak positif dari kebijakan tersebut.

    Tujuan kebijakan otonomi daerah pada hakikatnya adalah memberikan keleluasaan bagi Pemerintah Daerah dalam menentukan arah kebijakan pembangunan di daerahnya. Keleluasaan tersebut tentunya harus diiringi oleh kesadaran akan pentingnya sebuah assessment objektif terhadap kesiapan lokal yang mencakup kesiapan untuk menyusun berbagai program pembangunan dan kesiapan menolak segala bentuk intervensi dari pihak-pihak tertentu yang berpotensi merugikan kepentingan masyarakat luas.

    Sebagai daerah otonom baru, Kecamatan Mempura saat ini sedang sibuk berbenah diri menyusun berbagai kebijakan pembangunan di segala bidang. Kecamatan Mempura sebelumnya merupakan bagian dari Kecamatan Siak dan berdiri sendiri sebagai sebuah daerah otonom baru berdasarkan Perda No. 04 Tahun 2005. Tujuan pemekaran wilayah Kecamatan Siak adalah memberikan kemudahan bagi Pemerintah Daerah setempat dalam menjalankan kegiatan administrasi sekaligus untuk mempermudah jangkauan pembangunan ke seluruh kawasan.

    Tulisan Peran Urban Design dalam Pengembangan Kecamatan Mempura sebagai Daerah Otonom Baru disusun dengan tujuan untuk memaparkan seluruh konsekuensi dari kebijakan otonomi daerah secara umum, permasalahan yang dihadapi oleh kawasan objek studi dan potensi yang dimilikinya serta beberapa pendekatan urban design yang akan diterapkan dalam rangka mewujudkan daerah otonom yang lebih berkualitas.

    2. Kebijakan Otonomi Daerah dan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL)

    2.1. Kebijakan Otonomi Daerah dalam Paradigma Pembangunan di Indonesia

    Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi yang dijalankan Pemerintah sebenarnya memiliki beberapa keuntungan potensial, yaitu meningkatnya efisiensi kerja yang tanggap akan berbagai prioritas dan

    Kontak: Catharina Dwi Astuti Depari

    Dosen, Program Studi Arsitektur, Universitas Atma Jaya

    Yogyakarta, Indonesia

    E-mail: [email protected]

    (Diterima 30 Juli 2010 dan disetujui untuk diterbitkan 12

    September 2010)

  • 2 JAP Vol.4 No.2 Okt. 2010 Imam Djokomono

    kapasitas lokal, mendorong partisipasi masyarakat lokal dalam pembangunan di daerahnya, mengurangi ketergantungan manajemen dan pendanaan pada Pemerintah Pusat dan meningkatnya sense of belonging Pemerintah Daerah akan berbagai program pembangunan yang dijalankan.

    Meskipun kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi akan memberikan banyak manfaat, namun keputusan mengenai kebijakan tersebut bukan hal yang sederhana mengingat adanya beberapa langkah yang harus terlebih dahulu dipersiapkan oleh Pemerintah Pusat. Langkah-langkah tersebut menurut pendapat Sugijanto Soegijoko (Bunga Rampai Perencanaan Pembangunan di Indonesia, 1997) antara lain mengupayakan sebuah efisiensi, keberlanjutan pembangunan, pemerataan, partisipasi pembangunan dan stabilitas daerah. Proses menentukan waktu yang paling tepat untuk menerapkan kebijakan otonomi sangat tergantung kepada tingkat kesiapan lokal di daerah terkait.

    Agar kesiapan daerah mengalami peningkatan, Pemerintah Daerah berkewajiban mengadakan pembinaan dan pengelolaan pembangunan dengan didukung oleh Pemerintah Pusat yang berperan sebagai fasilitator. Meningkatkan kapasitas negosiasi dan pengelolaan dengan pihak swasta untuk melindungi aset-aset daerah dari kepemilikan pihak asing merupakan salah satu usaha dalam rangka meningkatkan kesiapan lokal.

    2.2. Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) sebagai Pedoman Pengembangan Kawasan

    Dalam rangka meningkatkan kemampuan

    Pemerintah lokal untuk mengemban tugas pada daerah

    otonom baru yang dipimpinnya, dibutuhkan sebuah

    pedoman pengembangan kawasan yang tersusun di

    dalam sebuah Rencana Tata Bangunan dan

    Lingkungan (RTBL). Sebagaimana diuraikan dalam

    RTBL Siak dan Sekitarnya Propinsi Riau (2006)

    bahwa Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan

    (RTBL) pada hakikatnya merupakan sebuah rencana

    geometrik pemanfaatan ruang kawasan perkotaan

    yang disusun untuk mewujudkan sebuah daerah yang

    berkualitas dengan memberdayakan seluruh potensi

    yang ada.

    Bagi daerah otonomi baru, RTBL dibutuhkan tidak

    hanya dalam rangka mengendalikan pertumbuhan

    fisik tata bangunan dan lingkungan sesuai dengan tata

    ruang yang berlaku, namun juga untuk melengkapi

    dan menindaklanjuti rencana tata ruang setempat yang

    masih bersifat umum dengan menyusun kembali suatu

    pedoman tata bangunan dan lingkungan yang lebih

    terarah secara spesifik, lengkap, kompak dan saling

    terkait. Berdasarkan penjelasan tersebut disimpulkan

    bahwa manfaat RTBL adalah untuk mewujudkan tata

    bangunan dan lingkungan yang lebih tertib, produktif,

    manusiawi, berjati diri dan selaras-serasi dengan

    lingkungan sekitar sehingga RTBL harus memenuhi

    syarat-syarat sebagai berikut: a. RTBL harus merupakan kesepakatan bersama atas

    seluruh pemilik /pemegang hak atas tanah. Dalam kasus penataan kawasan, diperlukan sebuah konsolidasi lahan untuk perencanaan dan pengembangan kawasan di masa depan.

    b. RTBL harus berorientasi pada aspek kemampuan daya dukung dari lokasi setempat, bukan pada aspek tuntutan kebutuhan. Artinya seluruh perencanaan dikaitkan dengan alokasi dan distribusi sumber daya dan pelayanan lingkungan yang ada.

    Gambar 1. Pembangunan di Kawasan Sangatta Utara

    Hasil Pemekaran Wilayah Kecamatan Sangatta

    (Sumber: www.tribunkaltim.co.id, 2008).

    3. Pendekatan Teknik dan Konsep Urban Design 3.1. Teknik Urban Design

    Menurut Snyder (Introduction to Urban Planning, 1979, hal.62), urban design adalah sebuah jembatan antara profesi perencanaan kawasan dengan Arsitektur yang menekankan pada bentuk fisik suatu kawasan atau kota. Dalam proses perancangan, urban design menawarkan beberapa pendekatan atau teknik perancangan yang dipilih berdasarkan jenis permasalahan yang dihadapi oleh kawasan objek studi (Proses dan Metoda Perancangan Kawasan-MDKB UGM, 2007). Pendekatan urban design terdiri atas dua kategori, yaitu: a. Pendekatan yang lebih melihat kepada tradisi dan

    keberadaan hal-hal yang sudah ada untuk kemudian mengembangkannya secara inkremental berdasarkan potensi kawasan.

    b. Pendekatan yang berdasarkan pada tujuan-tujuan yang akan diraih dan mengembangkannya secara visioner yang melihat kepada kriteria-kriteria dan ukuran tertentu yang akan diraih.

    Sedangkan beberapa teknik urban design yang umumnya digunakan dalam proses perancangan, antara lain: a. Enam tahap proses perancangan kawasan menurut

    Barton, dkk. (Shaping Neighbourhoods: A Guide for Health, Sustainability, Vitality, 2003) dalam rangka menciptakan kawasan berkelanjutan.

    b. Figure ground, linkage dan place theory menurut Trancik (Finding Lost Space: Theories of Urban Spatial Design, 1986) dalam rangka memperkuat bentuk struktur ruang suatu kawasan/kota.

  • Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2 3

    Menurut Barton,dkk. (Shaping Neighbourhoods: A

    Guide for Health, Sustainability, Vitality, 2003, hal.213) bahwa dalam menciptakan sebuah kawasan

    berkelanjutan dibutuhkan sebuah pendekatan

    perancangan yang dimulai dari sistem transportasi

    publik. Model pendekatan tersebut dianggap yang

    paling efektif untuk diterapkan pada kawasan hasil

    pemekaran sebuah kota (urban extension). Skema atau rencana yang dihasilkan akan memberikan sebuah

    gambaran besar berupa informasi mengenai potensi

    kawasan objek studi dengan kawasan sekitarnya.

    Selain itu, skema hubungan antarruang kawasan

    sangat penting peranannya dalam rangka penyusunan

    berbagai keputusan investasi, rumusan pembangunan

    dan kontrol pengembangan kawasan.

    Gambar 2. Enam Tahap Proses Perancangan Kawasan (Sumber: Barton, 2003).

    Berdasarkan faktor-faktor yang diamati, keenam

    tahap proses perancangan kawasan tersebut (Shaping Neighbourhoods: A Guide for Health, Sustainability, Vitality, 2003, hal. 213-215) dapat diuraikan sebagai

    berikut: a. Rute transportasi umum dan simpul kawasan yang

    mencakup kegiatan: Mengidentifikasi rute transportasi umum

    utama eksisting, ke-efektifan-nya, ketersediaan dan tingkat fleksibilitas sirkulasi dalam rute tersebut.

    Mengidentifikasi simpul-simpul transportasi umum eksisting dan yang dinilai potensial.

    Mengidentifikasi hubungan antarkota dan koneksi lokal ke seluruh jalan utama.

    b. Sistem ruang terbuka hijau dan ruang terbuka biru yang mencakup kegiatan: Mengidentifikasi elemen-elemen lingkungan

    kritis bagi pengembangan kawasan yang berhubungan dengan keanekaragaman hayati.

    Mengidentifikasi ruang terbuka hijau dan jalur rute transportasi yang dinilai baik.

    c. Aksisbilitas pejalan kaki mencakup kegiatan: Memetakan aksesbilitas pejalan kaki ke halte

    dan pusat-pusat kawasan serta hambatan pergerakan.

    Menganalisis aksesibilitas pejalan kaki ke rute-rute transportasi baru

    d. Pola tata guna lahan dan tingkat kepadatan kawasan yang mencakup kegiatan: Melengkapi dan mengevaluasi intensitas

    lahan dan pola tata guna lahan. Menghubungkan pola-pola tersebut dengan

    analisis ruang terbuka dan aksisbilitas. Membedakan empat tingkatan kepadatan

    kawasan, berdasarkan aktivitas pusat kawasan, hirarki jalan (jalan utama lokal dan lingkungan), pencapaian lokal dan Ruang Terbuka Hijau.

    e. Jaringan jalan utama yang mencakup kegiatan: Melengkapi jaringan jalan distributor

    berdasarkan pola grid yang dimodifikasi menyesuaikan dengan kontur lahan dan dapat dilalui dengan memberikan pemusatan alami ke pusat kawasan.

    Merencanakan jalur bagi pengendara sepeda dan pejalan kaki dengan prinsip 200 m grid.

    Mengidentifikasi lingkungan permukiman, pola jalan dan pencapaian jika belum dimiliki oleh lingkungan tersebut.

    f. Hubungan antar sub-kawasan yang harus dapat memperlihatkan: Kombinasi antara pola tata guna lahan dengan

    jaringan jalan utamanya. Hubungan antarruang kawasan. Adanya kesesuaian antara tingkat kepadatan

    lahan dan aktivitas dengan intensitas fungsi lahan, penentuan lahan-lahan yang spesifik bagi pengembangan baru, identifikasi daerah yang membutuhkan masterplan secara mendetail dan perancangan rona lingkungan yang sesuai dengan karakter kawasan.

    Berdasarkan analisis terhadap evolusi kota-kota modern yang dilakukan oleh Trancik (Finding Lost Space: Theories of Urban Spatial Design, 1986, hal.97-98), maka terdapat tiga jenis teknik urban design yang dinilai penting dalam pengembangan suatu kawasan, yaitu: a. Figure ground theory yang dibangun berdasarkan

    kajian terhadap ketertutupan lahan secara relatif dari massa bangunan-solid (figure) terhadap ruang terbuka-void (ground). Pendekatan figure-ground bertujuan untuk memperjelas struktur ruang suatu kawasan serta membangun sebuah hirarki ruang.

    b. Linkage theory yang menghubungkan satu elemen dengan elemen lain yang dibentuk oleh jalan, jalur pejalan kaki, ruang terbuka linear atau elemen lainnya dan secara fisik menghubungkan seluruh bagian kawasan dalam bentuk sebuah jaringan.

    c. Place theory yang menambahkan sebuah dimensi baru ke dalam perancangan berupa kebutuhan

  • 4 JAP Vol.4 No.2 Okt. 2010 Imam Djokomono

    manusia dan budaya, konteks sejarah dan alam lingkungannya. Menggunakan place theory akan memberikan nilai tambah pada ruang fisik kawasan melalui penerapan bentuk-bentuk unik atau detail lokal pada lingkungannya.

    Dalam rangka mendukung place theory yang dikemukakannya, Trancik menguraikan lima elemen pembentuk citra kota yang penting dalam merancang suatu kawasan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Lynch (the Image of the City, 1960, hal.46-48), yaitu: a. Paths, yaitu sebuah channel/koridor penghubung

    yang dilalui oleh para pejalan kaki dan dapat berupa jalan, jalur pejalan kaki, kanal atau jalur kereta api.

    b. Edges, yaitu elemen linear yang membatasi antara satu kawasan dengan kawasan sekitar atau berupa garis panjang yang menghubungkan dan menyatukan beberapa kawasan.

    c. Districts, yaitu bagian dari kota yang secara fisik mudah dikenali disebabkan oleh adanya beberapa kesamaan yang dimiliki dan yang mampu mengidentifikasikan adanya sebuah karakter.

    d. Nodes, yaitu titik-titik lokasi strategis yang terdapat pada suatu kota sekaligus sebagai titik fokus orang ketika berjalan. Elemen kota yang termasuk ke dalam kategori nodes adalah area perpotongan jalan.

    e. Landmarks, yaitu titik referensi orang ketika berjalan mengalami suatu ruang kota sekaligus sebagai objek sederhana yang mudah dikenali dapat berupa bangunan, penanda, toko atau gunung.

    Gambar 3. Kelima Elemen Fisik Pembentuk Citra Kawasan

    (sumber: Lynch, 1960).

    Menurut Barton,dkk. (Shaping Neighbourhoods: A Guide for Health, Sustainability, Vitality, 2003, hal. 213) bahwa sistem transportasi publik merupakan bagian yang pertama kali harus diperhatikan dalam proses perancangan kawasan. Pernyataan tersebut juga didukung oleh Snyder (Introduction to Urban Planning, 1979, hal.75) yang mengemukakan bahwa jaringan transportasi merupakan faktor utama yang akan menentukan bentuk struktur kawasan sehingga merupakan hal pertama yang seharusnya dipikirkan dalam proses perancangan.

    3.2. Konsep Kota Berfungsi Banyak Sebagai daerah otonom baru, Mempura sebenarnya

    merupakan kawasan yang sangat potensial untuk

    mengadopsi Konsep Kota Berfungsi Banyak (Multi Function Polis) pada proses perancangannya mengingat potensi fisik yang dimiliki, antara lain jalan Siak Dayun sebagai koridor penghubung ke kota-kota penting di Kabupaten Siak. Konsep Kota Berfungsi Banyak berbasis pada konsep punggung dengan kegiatan berpola linear dimana penduduk dapat mencapai pusat kota dalam radius jarak kenyamanan pejalan kaki.

    Konsep Kota Berfungsi Banyak pada hakikatnya merupakan penggabungan dari pola perkembangan pita dengan pola sistem blok kawasan. Sasaran yang hendak dicapai adalah rencana kawasan yang bersifat linear dengan satu tulang punggung sebagai pusat kegiatan vital kota dengan didukung oleh ketersediaan pelayanan transportasi umum yang baik. Seluruh fasilitas lapangan pekerjaan terkonsentrasi pada tulang punggung kota untuk mencapai sebuah setting kota yang menarik dan vital.

    Gambar 4. Sebaran Konsep MFP dan Konsep Dasar Kegiatan

    (Sumber: MDKB, 2009)

    Sedangkan tujuan penerapan Konsep Kota Berfungsi Banyak adalah untuk menarik berbagai peluang investasi serta minat para pendatang dari luar daerah dengan menyediakan berbagai jenis lapangan pekerjaan serta memberi jaminan bagi hidup yang lebih berkualitas. Perkembangan kawasan ditandai oleh pembangunan fisik yang dimulai dari daerah terdekat dengan tulang punggung dan kemudian menyebar ke seluruh bagian kawasan.

    4. Metode Kajian/Pembahasan Daerah otonom baru yang akan menjadi objek studi

    dalam kajian urban design adalah Kecamatan Mempura yang merupakan wilayah pemekaran dari Kecamatan Siak dengan batas-batas wilayah administratif sebagai berikut: a. Sebelah Utara berbatasan dengan Sungai Siak dan

    Kec. Siak b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kec. Sungai

    Apit c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kec. Dayun d. Sebelah Barat berbatasan dengan Ring Road dan

    Kec. Kota Gasib

    Secara garis besar, materi kajian mencakup kegiatan:

    a. Mengkaji seluruh potensi, hambatan, peluang dan

  • Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2 5

    ancaman sebagai usaha untuk meningkatkan

    kapasitas Mempura sebagai daerah otonom baru

    b. Mengkaji potensi dan hambatan fisik kawasan

    serta memberikan rekomendasi berupa konsep

    perancangan kawasan yang paling ideal melalui

    enam tahap proses perancangan sebagaimana

    yang telah dikemukakan dalam kajian teori.

    Gambar 5. Lokasi Kawasan Objek Studi Mempura

    (Sumber: RTBL Kawasan Mempura, 2009).

    Metode yang digunakan adalah metode kualitatif,

    berdasarkan teori-teori dan teknik urban design akan

    dicari sebuah konsep rancangan kawasan yang paling

    tepat untuk diterapkan di kawasan Mempura. Proses

    perancangan yang dilalui tentu harus senantiasa

    mempertimbangkan karakteristik kawasan

    menggunakan SWOT analysis.

    5. Analisis Perancangan Kawasan 5.1. SWOT Analysis

    Kondisi suatu kawasan objek studi yang akan diamati harus mencakup aspek-aspek natural-ekologis, fisik terbangun, sosio-ekonomi dan budaya, teknis-rekayasa serta estetika-desainnya dalam rangka inventarisasi seluruh potensi dan permasalahan kawasan sebagai faktor pengaruh internal serta peluang dan kendala sebagai faktor pengaruh eksternal.

    Kawasan Mempura memiliki beberapa potensi fisik sebagai dasar pertimbangan perancangan, antara lain: a. Kawasan pertanian yang dapat dikembangkan

    sebagai daerah agrowisata sehingga perlu dilakukan konservasi lahan pertanian.

    b. Sungai Siak dan Mempura Besar yang dapat dikembangkan sebagai daerah wisata air sekaligus sebagai jalur transportasi air.

    c. Jalan Siak Dayun sebagai koridor utama penghubung antara dua kota utama di Kab. Siak

    dapat berfungsi sebagai generator kawasan. d. Dalam aspek estetika desain, Arsitektur Melayu

    dapat terus diadopsi dalam perancangan untuk meningkatkan identitas dan karakter kawasan.

    Gambar 6. Bangunan Ber-arsitektur Melayu di Kab.Siak

    (Sumber: RTBL Kawasan Mempura, 2009).

    Meskipun berpotensi sebagai embrio bagi pengembangan sistem jaringan jalan kawasan yang baru, keberadaan kavling penduduk dapat menimbulkan permasalahan tersendiri. Keberadaan kavling harus dipertimbangkan dalam perancangan untuk mencegah konflik antara rencana Pemerintah dengan para pemilik lahan.

    Gambar 7. Identifikasi Kelemahan Kawasan Mempura

    (Sumber: RTBL Kawasan Mempura, 2009).

    Rencana pengembangan kawasan waterfront di

    Kabupaten Siak dan berbagai rencana pembangunan di Kota Siak Indrapura akan memberikan pengaruh positif bagi pengembangan kawasan Kecamatan Mempura sekaligus membuka peluang bagi masuknya investasi baru. Kota Siak Indrapura merupakan Ibukota Kabupaten Siak yang berlokasi di bagian utara kawasan Mempura dan dihubungkan oleh Jembatan Tengku Agung Sultanah Latifah.

    Kabupaten Siak dikenal sebagai wilayah dengan potensi cadangan minyak bumi terbesar di Indonesia sehingga menarik minat para investor asing untuk menanamkan modalnya, antara lain PT. Caltex dan PT. Chevron.

  • 6 JAP Vol.4 No.2 Okt. 2010 Imam Djokomono

    Sebagai perusahaan minyak asing terbesar ke-2 di dunia, PT. Chevron telah sejak lama melihat potensi Kabupaten Siak. PT. Chevron mulai melakukan eksplorasi sebagai kelanjutan dari kegiatan PT. Caltex yang telah habis masa kontraknya dengan Pemerintah setempat. Berbagai infrastruktur privat yang dapat mendukung kegiatan operasional perusahaan dibangun, salah satunya adalah jalur penyeberangan atau penghubung antara kawasan Kabupaten Siak dengan Ibukota Riau, Kota Pekan Baru. Infrastruktur tersebut hanya ditujukan untuk mendukung kepentingan PT. Chevron dan secara otomatis tertutup bagi aktivitas publik sehingga mengakibatkan sebagian besar kawasan Siak dan sekitarnya semakin terisolir dari berbagai pengaruh langsung pembangunan dan pengembangan Kota Pekan Baru.

    Gambar 8. Akses Utama Penghubung Kota Pekan Baru

    dengan Kabupaten Siak, Infrastruktur Khusus Milik

    PT. Chevron

    (Sumber: RTBL Kawasan Mempura, 2009)

    5.2. Perancangan Kawasan Berdasarkan pandangan Barton, dkk. (Shaping

    Neighbourhoods: A Guide for Health, Sustainability, Vitality, 2003) dan Snyder (Introduction to Urban Planning, 1979) bahwa sistem transportasi merupakan faktor utama yang harus dipikirkan dalam merancang kawasan yang berkelanjutan.

    Jaringan jalan kawasan waterfront dihubungkan secara langsung dan menerus dengan batas kavling lahan yang merupakan embrio jalan, sehingga menghasilkan sebuah sistem jaringan kawasan. Sedangkan akses langsung dari jalan utama ke kawasan agrowisata dibatasi untuk mempertahankan kualitas lingkungan sekitar.

    Gambar 9. Analisis Jaringan Jalan Baru

    (Sumber: RTBL Kawasan Mempura, 2009)

    Berdasarkan karakteristik fisik kawasan Mempura,

    maka direncanakan tiga simpul penting untuk dirancang sebagai gerbang transisi antara kawasan waterfront dengan kawasan Mempura, gerbang kawasan agrowisata dan gerbang kawasan transisi antara kawasan Dayun dengan kawasan Mempura. Setiap simpul yang direncanakan harus memiliki desain sesuai dengan karakteristik distrik di sekitar simpul. Hal tersebut penting dalam rangka meningkatkan citra kawasan sebagaimana dikemukakan oleh Lynch (the Image of the City, 1960).

    Gambar 10. Analisis Menentukan nodes Kawasan

    (Sumber: RTBL Kawasan Mempura, 2009)

  • Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2 7

    Dalam tahap rancangan ruang terbuka hijau kawasan Mempura, identifikasi potensi lokal juga merupakan hal penting yang harus diperhatikan.

    Gambar 11. Analisis Ruang Terbuka Hijau dan Biru Kawasan

    (Sumber: RTBL Kawasan Mempura, 2009)

    Areal pertanian dipertahankan sebagai daerah konservasi mengingat potensi wisata yang dimilikinya sedangkan pada area simpul yang merupakan titik perpotongan antar jalan eksisting direncanakan taman kota dalam rangka membangun kawasan Mempura sebagai kawasan berwawasan ekologi. Dalam rangka mempertahankan karakter kawasan Siak-Mempura sebagai kota berbasis air, maka jalur-jalur sungai sebagai sistem jaringan air sebaiknya dibangun secara berimbang dengan sistem jaringan darat.

    Gambar 12. Analisis Aksesibilitas Pejalan Kaki (Sumber: RTBL Kawasan Mempura, 2009)

    Sebagai daerah otonom baru, kawasan Mempura harus dapat menyediakan berbagai fasilitas yang dibutuhkan untuk dapat melayani seluruh kegiatan lokal. Menurut pendapat Barton, dkk. (Shaping Neighbourhoods: A Guide for Health, Sustainability, Vitality, 2003, hal.24) bahwa aksesibilitas pejalan kaki dalam mengakses infrastruktur kota yang ada secara normal memiliki waktu tempuh rata-rata 5-10 menit atau jarak tempuh 400-800 m. Berdasarkan standar tersebut, halte sebagai salah satu infrastruktur kota yang mendukung pergerakan lokal diletakkan di titik-titik strategis di dalam kawasan.

    Sebagaimana dikemukakan oleh Barton, dkk. (Shaping Neighbourhoods: A Guide for Health, Sustainability, Vitality, 2003, hal.16) bahwa menggunakan batas-batas geografis/batas fisik lainnya sebagai deliniasi antar zona kawasan merupakan langkah yang pragmatis dan sederhana guna membatasi sebuah tempat. Deliniasi zona-zona kawasan Mempura ditentukan oleh batas fisik eksisting baik berupa jalan eksisting, embrio jalan dari batas kavling lahan penduduk dan jalur sungai.

    Kriteria utama yang menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan lokasi pusat kawasan mengacu pada pendapat Barton, dkk. (Shaping Neighbourhoods: A Guide for Health, Sustainability, Vitality, 2003, hal.24), yaitu aksisbilitas pejalan kaki dalam mencapai pusat-pusat kegiatan di pusat kota. Setelah deliniasi pusat dan sub kawasan sekitar ditentukan, lalu dilakukan pengelompokkan fungsi-fungsi ke dalam rencana zonasi/tata guna lahan.

    Gambar 13. Analisis zonasi lahan kawasan

    (Sumber: RTBL Kawasan Mempura, 2009)

    Berdasarkan pendapat Barton, dkk. (Shaping

    Neighbourhoods: A Guide for Health, Sustainability, Vitality, 2003, hal.215) bahwa sistem jaringan jalan yang dibangun sebaiknya berdasarkan pola grid yang disesuaikan dengan kontur lahan serta dapat dilalui dengan memberikan pemusatan alami ke pusat kawasan.

  • 8 JAP Vol.4 No.2 Okt. 2010 Imam Djokomono

    Rencana atau skema kawasan Mempura yang dihasilkan harus dapat memperlihatkan adanya kombinasi antara pola tata guna lahan dengan jaringan jalan utamanya, hubungan antar ruang kawasan termasuk sistem jaringan jalan yang menghubungkan seluruh zona kawasan dengan pusat-pusat kegiatan secara jelas di dalam kawasan Mempura.

    6. Kesimpulan dan Rekomendasi Kondisi real masyarakat di kawasan terisolir sering

    diasosiasikan dengan kemiskinan yang sebagian besar diakibatkan oleh hambatan terhadap pengaruh pembangunan dari pusat kota ke kawasan terkait. Dalam rangka memecahkan isu keterisoliran dan kemiskinan suatu daerah otonomi baru, pendekatan urban design dinilai dapat menjadi alat pendukung kebijakan otonomi daerah yang paling efektif.

    Strategi perancangan yang sebaiknya segera diterapkan pada kawasan objek studi adalah terlebih dahulu mengidentifikasi jalur-jalur darat yang potensial dibangun sebagai akses penghubung alternatif antara Kota Pekanbaru dengan Kabupaten Siak. Tujuan dari penerapan strategi tersebut adalah untuk melepaskan diri dari isu keterisoliran dengan berupaya membuka akses bagi berbagai peluang bisnis/investasi. Melalui upaya tersebut, pengaruh pembangunan dari Kota Pekanbaru ke kawasan Mempura akan lebih mudah tercapai. Selain memanfaatkan potensi jalur darat, sungai Siak dan beberapa sungai utama di kawasan Propinsi Riau sangat potensial untuk dikembangkan sebagai jalur penghubung alternatif antara Kota Pekanbaru dengan Kabupaten Siak sekaligus dapat dikembangkan sebagai jalur perdagangan/transportasi komoditas barang.

    Gambar 14. Potensi Jalur Darat dan Sungai di Kabupaten Siak

    (Sumber: RTBL Kawasan Mempura, 2009)

    Selain pendekatan urban design dengan pendekatan linkage, Konsep Kota Berfungsi Banyak (Multi Function Polis) merupakan konsep yang paling potensial diterapkan pada kawasan Mempura mengingat potensi fisik yang dimiliki, yaitu koridor Siak Dayun. Jalan Siak Dayun dinilai sebagai koridor

    utama perdagangan yang paling potensial untuk dikembangkan sebagai tulang punggung kawasan karena perannya sebagai penghubung utama antara kawasan Mempura dengan Kota Siak Indrapura. Tujuan dari penerapan Konsep Kota Berfungsi Banyak pada kawasan Mempura adalah untuk menarik berbagai peluang investasi serta minat para pendatang dari luar daerah dengan menyediakan berbagai jenis lapangan pekerjaan serta memberi jaminan bagi hidup yang lebih berkualitas. Perkembangan kawasan ditandai oleh pembangunan fisik yang dimulai dari daerah terdekat dengan tulang punggung dan kemudian menyebar ke seluruh bagian kawasan.

    Gambar 15. Simulasi Penerapan Konsep MFP pada

    Kawasan Mempura (Sumber: RTBL Kawasan Mempura, 2009)

    Referensi

    1) Barton, H., Grant, M., Guise, R. (2003) Shaping Neighbourhoods:

    A Guide for Health, Sustainability, Vitality, New York: Routledge

    2) Cullen, G. (1971) Townscape , London: Architectural Press

    3) Diktat Kuliah (2009)Multi Function Polis, Yogyakarta: Magister

    Desain Kawasan Binaan UGM

    4) English Partnership and The Housing Corporation (2000), Urban

    Design Compendium, London: Llewelyn and Davies

    5) Gramedia Widiasarana Indonesia, PT. (1997) Bunga Rampai

    Perencanaan Pembangunan di Indonesia, Jakarta

    6) Lynch, K. (1960) The Image of the City, Cambridge: M.I.T.

    Press

    7) Pemerintah Kabupaten Siak (2009) Rencana Tata Bangunan dan

    Lingkungan Kecamatan Mempura, Propinsi Riau

    8) Pemerintah Kabupaten Siak (2006) Rencana Tata Ruang dan

    Wilayah Kabupaten Siak, Propinsi Riau

    9) Pemerintah Kabupaten Siak (2006) Rencana Tata Bangunan dan

    Lingkungan Kabupaten Siak dan Sekitarnya, Propinsi Riau

    10) Shirvani, H. (1985) The Urban Design Process, New York: Van

    Nostrand Reinhold

    11) Trancik, R. (1986) Finding Lost Space: Theories of Urban Spatial

    Design, New York: Van Nostrand Reinhold

    12) http://www.tribunkaltim.co.id/read/artikel/47265 (2008)

  • Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2 9

    Mekanisme Pencapaian Privasi Mahasiswa Pada Pondokan

    Tipe Asrama Perorangan di Kampung Kota Iromejan dan Samirono (Studi Kasus)1

    Soeleman Saragih

    Dosen, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada 1Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 1994

    Abstract Yogyakarta has been cited as the city of education. This citation urged students to continue their study in

    Yogyakarta. As the result, the amount of lodgings surround campus increased. Urban quarters near educational institutions become the first choice of student residencies. Since the residents in urban quarter realize and feel lucky to deal with lodging services, they make several types of lodgings. One of them is individual boarding house type (IBH-type). Students who live in lodgings need privacy to be able to study well. Therefore, the problem of this research is: How the boarders try to obtain privacy in their lodgings at Iromejan and Samirono quarters. This research aims at studying variations of students effort to control interaction in their lodgings. Six sample of lodgings had been examined (Individual Boarding House Type 1-6) with 30 under graduated students as respondents. The variations of students efforts in controlling interaction were examined by interviewing and making observation. Components of lodging setting which exposed by the solution of visual and audio disturbance have been examined, and data collections were gathered by observation and interviews. Inductive data analysis was done using categorization, description and explanation techniques. Working hypothesis had been obtained from inductive data analysis. The major finding in this research is that: Privacy can be obtained in three ways, i.e.: a) avoidance (behavioral), b) hindrance of visual and audio, and c) separation on spatial distance (distancing). In spatial way, privacy is obtained outside the quarters, such as in campus where the students study. Physically, boarders fortified themselves by making hindrance and visual evader (visually), such as painting window-glasses, install awning or curtain, lowering equipments elevation and placing vases close to porch and windows. The connecting structure of those efforts in obtaining privacy has been visualized in a model. This model is not the same as proposed by the previous researcher (Altman, 1975). For the moment, this model only prevailed for lodgings case of individual boarding house type 1-6 at Iromejan and Samirono, Yogyakarta. Keywords: privacy, students, individual boarding house type, Iromejan and Samirono quarters

    1. Pendahuluan Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota

    Pendidikan Tinggi (PT) terbesar di Pulau Jawa. Predikat ini mendorong siswa melanjutkan studi di Yogyakarta. Akibatnya, jumlah pondokan di sekitar kampus meningkat dalam berbagai tipe. Salah satu di antaranya adalah pondokan Tipe Asrama Perorangan (TAP). Pondokan Tipe Asrama Perorangan di kampung Iromrjan dan Samirono dihuni oleh mahasiswa dengan tingkat interaksi dan mobilitas yang tinggi. Mahasiswa yang tinggal di pondokan ini membutuhkan privasi yang diinginkan untuk dapat belajar dan istirahat dengan baik. Dijelaskan oleh Altman (1975), bahwa privasi yang dicapai (Pc) dan privasi yang diinginkan (Pi) sebaiknya sama atau optimal. Seseorang akan

    mengalami terisolasi jika Pc > Pi, sebaliknya seseorang akan merasa sesak apabila Pc < Pi. Mencari privasi yang optimal di tempat pondokan yang dihuni oleh mahasiswa dengan interaksi serta mobilitas tinggi membutuhkan berbagai cara atau upaya. Karena itu, masalah penelitian adalah bagaimana pemondok (mahasiswa) berupaya mencapai privasi yang diinginkannya. Tujuan penelitian mencari keragaman kemampuan mahasiswa di pondokan untuk mencapai privasi yang diinginkannya.

    Hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi perumusan kebijakan perencanaan dan perancangan kampung kota sebagai lingkungan pondokan mahasiswa.

    Kontak: Soeleman Saragih

    Dosen, Jurusan Teknik Arsitektur & Perencanaan, FT UGM

    Tel: (0274) 485613 Fax: (0274) 485613

    E-mail: [email protected]

    (Diterima 9 Agustus 2010 dan disetujui untuk diterbitkan

    28 September 2010)

  • 10 JAP Vol.4 No.2 Okt. 2010 Soeleman Saragih

    Gambar 1. Lokasi Penelitian Kampung Iromejan dan Samirono

    (Sumber: Saragih, 1994).

    Lokasi penelitian dipilih di kampung kota yaitu kelompok rumah yang merupakan bagian dari kota (biasanya kondisi fisik kampung kurang baik). Iromejan dan Samirono merupakan kampung kota. 2. Studi Pustaka

    Kampung Iromenjan dan Samirono ditetapkan sebagai area penelitian dengan alasan berpotensi tinggi sebagai kampung pondokan mahasiswa dan area ini strategis terhadap 8 PT yaitu: UGM, UNY, USD, AA, ATA, UKDW, UAJ, dan IST/AKPRIND (Gambar 1).

    Tinjauan pustaka berikut ini bertujuan untuk menuntun pengumpulan data dan analisis data.

    Dengan demikian macam variabel penelitian, bahan serta materi yang diperlukan dapat disusun. Variabel penelitian adalah privasi, dijabarkan atas kajian terhadap apa yang disebut privasi oleh empat pakar menurut bidangnya masing-masing. Mereka adalah: (a) Altman (1975), (b) Rapoport (1977), (c) Weisman (1981) dan (d) Holahan (1982).

    Pengertian privasi, meskipun menurut konsep barat (Altman, 1975 dan Rapoport, 1977) menyatakan telah jelas artinya, tentu saja mempunyai tingkat yang berbeda untuk manusia yang berbeda dan kasus yang berbeda. Istilah privasi, meskipun didefinisikan secara berbeda oleh pakar, sebenarnya mempunyai prinsip

  • Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2 11

    yang sama. Dikemukakan oleh Rapoport (1977) bahwa privasi adalah kemampuan seseorang untuk mengendalikan proses interaksi di lingkungan mereka berada. Dengan demikian, privasi yang dimiliki seseorang dapat membantunya untuk mengatur jarak personal, jarak sosial serta menata waktu untuk menyendiri dan menjauh. Dijelaskan oleh Altman (1975) bahwa privasi mempunyai hubungan erat dengan atribut lain yaitu: personal space (jarak personal), territory (batas daerah), isolasi dan crowding (kesesakan). Dengan demikian, pencapaian privasi yang diinginkan seseorang tergantung pada kemampuan orang itu untuk mengontrol atribut tersebut di atas. Salah satu atribut yang sangat berkaitan erat dengan pencapaian privasi adalah kontrol teritori (Altman, 1975).

    Weisman (1981) mengemukakan bahwa privasi adalah sama dengan apa yang dikemukakan Rapoport (1977) dan merupakan atribut yang muncul dari kerangka interaksi manusia dengan seting. Kerangka interaksi tersebut disebut model sistem perilaku lingkungan. Model tersebut meskipun tampak sederhana, bisa memberikan berbagai isu penelitian yang berkaitan dengan tiga komponen yaitu: (1) tempat (seting), (2) fenomena perilaku, dan (3) kelompok pemakai (organisasi dan individu). Organisasi dapat dipandang sebagai institusi atau pemilik yang mempunyai hubungan dengan seting. kualitas hubungan antara seting dengan organisasi disebut atribut atau fenomena perilaku. Adapun atribut yang muncul dari interaksi tersebut antara lain; privasi, kontrol, ruang personal, sosialisasi, kesesakan dan isolasi. Individu juga dapat dipandang sebagai manusia yang menggunakan seting. Manusia, baik individu maupun kelompok-kelompok, berinteraksi di dalam seting. Proses interaksi yang terjadi tidak hanya antara manusia dengan manusia, tetapi juga interaksi antara manusia dengan seting. Kualitas hubungan antara seting dengan manusia disebut konsep atribut. Ada banyak konsep atribut, misal: privasi, sosialisasi dan lain-lain.

    Seting fisik disebut sebagai lingkungan fisik, tempat tinggal manusia. Hubungan antara seting dengan manusia tersebut dinyatakan dengan konsep atribut. Pengamatan atribut tertentu (misal: privasi) sama dengan pengamatan hubungan antara manusia dengan manusia dalam seting tertentu. Dengan demikian jika konsep atribut privasi ingin diteliti, maka pengamatan atau observasi harus ditujukan pada konsep seting, manusia dan organisasi. Seting dapat dilihat dari dua hal yaitu; komponen dan properti. Properti adalah karakter atau kualitas dari komponen, sedangkan komponen ada tiga kategori yaitu: (a). komponen fix, (b). komponen semi-fix, (c). komponen non-fix. Komponen fix dalam arsitektur dapat berupa dinding, lantai dan atap bangunan. Weisman (1981), mengatakan bahwa komponen seting, baik fix, semi-fix maupun non-fix, selalu mengakomodasi konsep atribut tertentu.

    Holahan (1982), mendukung pengertian privasi yang dikemukakan oleh Weisman (1981). Holahan (1982) pernah membuat alat pengukur jenis privasi dan ia mendapatkan enam jenis privasi yang terbagi menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah: (1) keinginan untuk menyendiri (solitude), (2) keinginan untuk menjauh dari pandangan dan gangguan suara tetangga atau kebisingan lalu lintas (seclusion), (3) keinginan untuk intim (intimacy) dengan orang tertentu saja tetapi jauh dari semua orang lain. Selanjutnya golongan kedua adalah; (4) keinginan untuk merahasiakan jati diri (anonymity), (5) keinginan untuk tidak mengungkapkan diri terlalu banyak kepada orang lain (reserve), (6) keinginan untuk tidak terlibat dengan tetangga (not neighboring).

    Berdasarkan kajian pustaka tentang privasi di atas, nampak bahwa privasi adalah hasrat, kehendak dan kemampuan untuk mengontrol akses fisik maupun informasi terhadap diri sendiri dari pihak orang lain. Privasi juga merupakan inti dari personal space. Pengertian personal space yang dikemukakan oleh Altman (1975), didukung oleh Holahan (1982).

    3. Metodologi Penelitian

    Gambar 2. Prosedur Cara Penelitian

    (Sumber: Saragih, 1994).

    Fenomena privasi mahasiswa di pondokannya dapat

    diteliti dengan berbagai cara. Cara penelitian yang dipilih adalah naturalistic inquiry, kualitatif

  • 12 JAP Vol.4 No.2 Okt. 2010 Soeleman Saragih

    rasionalistik (Yvonna, Lincoln, and Guba, G., 1985), dan bukan kuantitatif. Alasannya ada tiga, yaitu: (a) karakteristik pondokan dan pemondok (mahasiswa) di lokasi penelitian adalah heterogen, (b) populasi pondokan dan pemondok tidak diketahui, (c) penelitian ini tidak bertujuan untuk membuktikan hipotesis. Cara penelitian dimulai dengan penentuan lokasi penelitian, penentuan kasus pondokan dan responden, cara pengumpulan dan pencatatan data, cara analisis, dan langkah terakhir adalah pembahasan hasil penelitian dan kesimpulan.

    Penelitian diawali dengan menetapkan tiga area pengamatan: A, B, dan C dengan pertimbangan kesamaan karakteristik fisiknya, kemudian menentukan sampel (purposive sampling) pada ketiga area penelitian dan menggambarkan denah tata ruang pondokan. Selanjutnya mengidentifikasi elemen non-fisik pondokan (ruang dan kegiatan) dan elemen fisik (dinding, pintu, jendela, akses atau sirkulasi pencapaian).

    Wawancara dan observasi dilakukan pada setiap sampel pada ketiga area penelitian (A, B, C). Sampel pondokan (TAP) dtetapkan sebanyak enam dari 10 TAP yang ada di area penelitian. Responden ditetapkan sebanyak 30 orang mahasiswa dari 100 mahasiswa di area penelitian. Dalam penelitian fenomenologi, peneliti sebagai alat (human instrument) mencatat fenomena perilaku dibantu

    dengan alat (kamera dan handycam). Hasil wawancara dicatat dalam buku kompilasi atau rekaman data. Data disajikan secara deskriptif menurut jenis data. Data diolah dan disusun dalam bentuk catatan pada kartu informasi atau unit informasi. Hasil observasi fenomena perilaku dan tempat kegiatan, termasuk foto observasi berkas kegiatan disajikan dengan jelas. Data dan informasi dianalisis dengan cara: kategorisasi, deskripsi dan ekplanasi secara siklikal. Hasil analisis sementara menghasilkan sejumlah temuan yang disebut hipotesis kerja. Berdasarkan hipotesis kerja yang terkumpul selama penelitian (4 bulan), maka kecenderungan fenomena keragaman privasi mahasiswa dapat diformulasikan sebagai hasil atau temuan penelitian. (Perhatikan Gambar 2)

    4. Hasil Penelitian dan Pembahasan

    4.1. Hasil Penelitian

    a. Gambaran Kehidupan di Lokasi Penelitian

    Kampung kota yang bernama Iromejan dan Samirono ini adalah kampung yang memiliki potensi pondokan mahasiswa, terletak pada jarak kurang dari 500 m dari delapan perguruan tinggi. Kedua kampung ini, selain dikelilingi oleh perguruan tinggi, juga berada di daerah pengaruh sub-pusat perdagangan skala kota. Sub-pusat perdagangan kota berada tepat di bagian selatan Kampung Iromejan. Kedua kampung yang mempunyai luas wilayah tidak

    Gambar 3. Sebaran Lokasi Pondokan Tipe Asrama Perorangan (TAP 1 s.d. TAP 6)

    (Sumber: Saragih, 1994).

  • Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2 13

    lebih dari 25 hektar ini, cenderung berkembang menjadi sebuah kampung yang disebut kampung mahasiswa. Hal ini dibuktikan oleh data kependudukan yang menunjukkan kurang lebih 2.500 mahasiswa tinggal sementara di kampung ini. Hampir setiap rumah memiliki pondokan.

    Berdasarkan rekaman data, ada dua elemen yang berpengaruh pada kehidupan umum lokasi penelitian. Pertama, perguruan tinggi yang ada di sekitar kampung menjadi stimulator pertama. Sementara, kawasan sub-pusat perdagangan di Jalan Urip Sumoharjo sebagai stimulator kedua. Kedua stimulator di atas merupakan penyebab jumlah pemondok (mahasiswa) meningkat dan interaksi kegiatan kehidupan dalam kedua kampung tersebut menjadi tinggi. Situasi dan kondisi lingkungan pondokan TAP 1 s.d. TAP 6, pada umumnya bermasalah: padat penghuni, padat bangunan, padat lalu-lintas, dekat jalan raya, ruang terbuka sempit, tiada ruang tamu. Sebaran lokasi TAP 1 s.d. TAP 6 ditunjukkan pada gambar 3.

    Di area penelitian ini, arus lalu-lintas dari utara ke selatan dan sebaliknya relatif padat. Gambaran ini mengindikasikan ada gejala kesesakan (crowding) yang tentu saja terkait dengan privasi mahasiswa yang tinggal di lokasi penelitian.

    b. Gambaran Privasi Mahasiswa di Pondokan

    TAP 1 s.d. TAP 6

    1. Gambaran Pondokan TAP 1 Pondokan TAP1 yang mempunyai 16 kamar ini

    terletak di tepi gang yang sering dilewati orang. Kamar pondokan yang berukuran tidak lebih dari 3 x 3 m tersusun dengan pola saling berhadapan (face to face). Jendela dari kayu dengan panil kaca transparan. Ruang tamu tidak tersedia. Kamar disewakan untuk satu atau dua orang tanpa perabot. Pondokan yang mempunyai jalan pencapaian di tengah, terbuka (tanpa atap), meskipun agak kotor tetapi selalu penuh, dihuni oleh 16 orang mahasiswa. Mereka berasal dari luar Jawa (5 orang), sedangkan lainnya dari Jawa (perhatikan gambar 4).

    Hipotesis Kerja Pondokan TAP1

    Hipotesis kerja awal yang ditransfer atas dasar rekaman data, unit informasi adalah sebagai berikut: 1) Untuk mendapatkan privasi belajar di dalam

    pondokan ada tiga cara, yaitu: a) penghalang visual dan suara (fisikal), b) penghindaran dari pandangan atau visual (behavioral), c) penjauhan jarak (spasial).

    2) Kertas yang dipasang di jendela merupakan upaya penghalang visual (kategori fisikal).

    3) Belajar di tempat teman atau di luar pondokan merupakan upaya penarikan jarak (kategori spasial).

    Hipotesis kerja ini akan diperiksa atau dikonfirmasikan kembali melalui rekaman data kasus

    pondokan lainnya (TAP2 s.d. TAP6).

    Gambar 4. Denah Pondokan TAP1

    (Sumber: Saragih, 1994).

    Gambar 5. Ruang dalam Pondokan TAP1

    (Sumber: Saragih, 1994).

    2. Gambaran Privasi Mahasiswa di Pondokan TAP2

    Pondokan TAP2 yang mempunyai 34 kamar ini terletak di tepi jalan lingkungan yang menghubungkan Jalan Urip Sumoharjo dengan Kampung Iromejan bagian barat (lihat gambar 3). Kamar-kamar yang berukuran tidak lebih dari 3 x 3 m, tersusun dalam dua pola, yaitu: a) saling berhadapan (face to face), b) saling bertolak belakang (back to back). Pintu setiap kamar langsung berhadapan dengan gang (jaraknya tidak lebih dari 1 m), jendela dibuat dari kaca yang sifatnya transparan atau tembus pandang. Pondokan TAP2 yang dimiliki oleh Ketua RW ini selalu penuh dengan penghuni (mahasiswa S-1), meskipun terletak di tepi jalan/gang yang cukup ramai. Seluruh penghuni adalah mahasiswa, dengan jumlah

  • 14 JAP Vol.4 No.2 Okt. 2010 Soeleman Saragih

    tidak kurang dari 34 orang. Mereka berasal dari luar Jawa (5 orang) dan yang lainnya dari Jawa.

    Hipotesis Kerja Pondokan TAP 1 dan TAP2

    Hipotesis kerja awal (kasus pondokan TAP1) pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan pondokan TAP2. Perbedaannya terletak pada komponen seting yang digunakan dalam upaya mendapatkan privasi belajar. Komponen tersebut adalah: pot-pot bunga ditempatkan di depan pintu dan digantungkan di dekat jendela. Dengan demikian hipotesis awal diperbaharui dengan rumusan hipotesis kedua, yaitu: 1) Untuk mendapatkan privasi belajar di dalam

    pondokan ada tiga cara atau upaya, yaitu: a) penghalang visual dan suara (fisikal), b) penghindaran dari pandangan atau visual (behavioral), c) penjauhan jarak (spasial).

    2) Krei yang dipasang di jendela dan pintu, merupakan upaya penghalang visual (kategori fisikal).

    3) Belajar di tempat teman atau di luar pondokan, merupakan upaya penarikan jarak (kategori spasial).

    4) Penempatan pot bunga dan tanaman di samping jendela dan teras dekat pintu masuk (fisikal), merupakan upaya penghindar, agar orang lalu-lalang tidak mendekati jendela dan pintu kamar.

    Hipotesis kerja di atas akan diperiksa kembali melalui rekaman data kasus pondokan TAP3 s.d. TAP6.

    3. Gambaran Privasi Mahasiswa di Pondokan TAP3

    Pondokan TAP3 yang mempunyai 8 kamar ini terletak di tepi jalan lingkungan yang menghubungkan Jalan Urip Sumoharjo dengan Jalan Kolombo. Kamar-kamar yang berukuran tidak lebih dari 3 x 3 m, tersusun dengan pola linier. Lima kamar masing-masing mempunyai letak pintu yang langsung berhadapan dengan jalan (jaraknya tidak lebih dari 1 meter). Jendela kamar dibuat dari kayu atau kaca yang sifatnya transparan atau tembus pandang. Pondokan TAP3 ini dimiliki oleh seorang purnawirawan ABRI, selalu penuh dengan penghuni (mahasiswa S-1) meskipun suasana cukup ramai, baik malam maupun siang hari. Seluruh penghuni adalah mahasiswa, dengan jumlah tidak kurang dari 10 orang mahasiswa. Mereka berasal dari luar Jawa (7 orang), sedangkan yang lainnya berasal dari Jawa. Kamar ini dilengkapi listrik dengan daya 25 watt (maksimum) dan tanpa perabot (tempat tidur, lemari dan meja belajar).

    Hipotesis Kerja Pondokan TAP 1, TAP2, TAP3

    Hipotesis kerja awal (kasus pondokan TAP1 dan TAP2) pada prinsipnya dapat diterima setelah dikonfirmasikan dengan rekaman data, unit informasi yang diperoleh dari kasus pondokan TAP3. setelah diperiksa maka rumusan hipotesis kerja selanjutnya adalah:

    1) Untuk mendapatkan privasi belajar di dalam pondokan ada tiga cara atau upaya, yaitu: a) penghalang visual dan suara (fisikal), b) penghindaran dari pandangan atau visual (behavioral), c) penjauhan jarak (spasial).

    2) Krei, vinil, kertas yang dipasang di jendela dan pintu, merupakan upaya penghalang visual (kategori fisikal).

    3) Belajar di tempat teman atau di luar pondokan, merupakan upaya penarikan jarak dari gangguan visual dan suara (kategori spasial).

    4) Penempatan pot bunga dan tanaman di samping jendela dan teras dekat pintu masuk merupakan upaya agar orang lalu-lalang tidak mendekati jendela dan pintu kamar (kategori fisikal).

    5) Penurunan elevasi tempat tidur (ranjang) merupakan upaya mengatasi gangguan pandangan (visual) melalui jendela kaca.

    Hipotesis kerja di atas telah diperiksa kembali melalui rekaman data kasus pondokan lainnya (TAP4 s.d. TAP6). 4. Gambaran Privasi Mahasiswa di Pondokan TAP4

    Pondokan TAP4 yang mempunyai 14 kamar ini terletak di tepi jalan lingkungan yang menghubungkan Jalan Urip Sumoharjo dan Jalan Kolombo (lihat gambar 3). Kamar-kamar yang berukuran tidak leih dari 3 x 3 m tersusun dengan pola linier. Pintu dari lima kamar langsung berhadapan dengan jalan lingkungan (jaraknya tidak lebih dari 2 m). Jendela dibuat dari kayu dan kaca yang sifatnya tembus pandang atau transparan. Pondokan TAP4 yang dimiliki oleh pegawai negeri ini selalu penuh dengan penghuni (mahasiswa S-1), meskipun terletak di daerah yang ramai dan di tepi jalan. Seluruh penghuni pondokan adalah putra, jumlahnya tidak kurang dari 14 orang mahasiswa. Mereka berasal dari luar Jawa (7 orang) dan selebihnya berasal dari Jawa. Kamar yang disewakan dengan harga sebesar Rp. 100.000,- s.d. Rp. 200.000,- per kamar/bulan ini dilengkapi listrik dengan daya (maksimum) 40 watt, perabot (1 meja belajar dan 1 tempat tidur).

    Hipotesis Kerja Pondokan TAP 1 s.d. TAP4

    Hipotesis kerja sebelumnya (kasus pondokan TAP1, TAP2, TAP3) pada prinsipnya dapat diterima setelah dikonfirmasikan dengan rekaman data, unit informasi yang diperoleh dari kasus pondokan TAP4. Karenanya, maka rumusan hipotesis kerja selanjutnya adalah: 1) Untuk mendapatkan privasi belajar di dalam

    pondokan ada tiga cara atau upaya, yaitu: a) penghalang visual dan suara (fisikal), b) penghindaran dari pandangan atau visual (behavioral), c) penjauhan jarak (spasial).

    2) Krei, viniyl, kertas yang dipasang di jendela dan pintu, merupakan upaya penghalang visual (kategori fisikal).

    3) Belajar di tempat teman atau di luar pondokan, merupakan upaya penarikan jarak dari gangguan

  • Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2 15

    visual dan suara (kategori spasial). 4) Penempatan pot bunga dan tanaman di samping

    jendela dan teras dekat pintu masuk (fisikal), merupakan upaya penghindar, agar orang lalu-lalang tidak mendekati jendela dan pintu kamar.

    5) Penurunan elevasi tempat tidur (ranjang) merupakan upaya mengatasi gangguan pandangan (visual) melalui jendela kaca.

    Hipotesis kerja di atas telah diperiksa kembali melalui rekaman data kasus pondokan lainnya (TAP5 s.d. TAP6). Berdasarkan hasil pemeriksaan hipotesis kerja di TAP1 s.d. TAP6, variasi upaya pencapaian privasi mahasiswa dapat disederhanakan dalam bentuk model berikut (perhatikan Gambar 8)

    Gambar 6. Denah Pondokan TAP4

    (Sumber: Saragih, 1994).

    Gambar 7. Tampak Depan TAP 4

    (Sumber: Saragih, 1994).

    4.2. Pembahasan Hasil Penelitian

    Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi bagaimana dan mengapa privasi mahasiswa di pondokan TAP 1 s.d. TAP 6 di Iromejan dan Samirono. Meskipun secara keseluruhan kampung Iromejan dan Samirono mempunyai situasi dan kondisi (padat huni, padat bangunan, padat lalu lintas, berada di pusat kota), mahasiswa yang tinggal di pondokan TAP1 s.d. TAP6 relatif mampu mengontrol interaksinya dan mampu menggunakan pilihan-pilihan untuk mencapai privasinya. Bagi mahasiswa baru yang tinggal di pondokan ini, memang pada awalnya mengalami stres, tetapi kemudian mereka mampu menyesuaikan diri. Mereka tidak pindah ke pondokan lain di luar Kampung Iromejan dan Samirono, meskipun kondisi TAP1 s.d. TAP6 memiliki kondisi bermasalah menyangkut: kepadatan lalu-lintas yang tinggi, kondisi ruang publik relatif padat dan kumuh. Hal ini mengindikasikan bahwa mahasiswa masih mampu secara personal menyesuaikan diri dengan kondisi kampung sebagaimana adanya. Indikasi lain bahwa privasi bukanlah satu-satunya pertimbangan mengapa mereka bertempat tinggal di TAP di Iromejan. Pemilihan TAP di Iromejan, kemungkinan, karena dekat kampus dan fasilitas umum (belanja). Meskipun demikian, tempat atau pondokan ikut mempengaruhi perilaku mahasiswa. Karenanya privasi (kenyamanan visual dan audio) harus mendapat perhatian dalam perbaikan kampung oleh Pemerintah dan warga kampung setempat khususnya pemilik TAP atau pondokan sejenis.

    Walaupun konfigurasi kamar-kamar pada beberapa pondokan berpola saling berhadapan (face to face), kamar berukuran hanya 3 x 3 m

    2 untuk dua orang,

    jendela dari panel kaca transparan, dekat dengan jalan kampung, mahasiswa masih mampu mengendalikan interaksi dengan menggunakan pilihan-pilihan untuk mencapai privasi yang diinginkan tanpa melakukan perubahan fisik komponen kamar (perhatikan hipotesis kerja TAP 1 s.d. TAP6). Mereka menyadari statusnya sebagai penyewa, namun mereka dimungkinkan menata kamarnya dengan komponen bersifat non-fix (misal; memasang krei, karpet, vinyl, tanaman pot) yang dapat membantu pencapaian tingkat keterbukaan atau ketertutupan kamar yang diinginkannya.

    Dalam situasi tertentu (mahasiswa mengalami kesulitan penyesuaian diri terhadap kondisi TAP 1 s.d. TAP 6), mahasiswa masih mampu melakukan pilihan- lain untuk mencapai privasinya. Contoh, jika mereka tidak dapat belajar di pondokannya, mereka dapat memilih kampus terdekat sebagai tempat belajar. Upaya semacam ini dapat dilakukan dengan mudah sebab Iromejan berada dalam radius hanya 500 m dari kampus perguruan tinggi /fasilitas belajar.

  • 16 JAP Vol.4 No.2 Okt. 2010 Soeleman Saragih

    Model upaya pencapaian privasi mahasiswa di TAP1 s.d. TAP6 (perhatikan Gambar 8) pada dasarnya mempunyai persamaan dengan model mekanisme pencapaian privasi (Altman, 1975). Perbedaanya terletak pada: konsep personal space, territory, dan verbal behavior. Konsep barat, perilaku dilakukan dengan cara mengatakan (verbal), sedangkan orang timur, perilaku dilakukan dengan menunjukkan ekspresi, wajah atau gerakan tubuh, termasuk menghindar atau menarik jarak dari sumber gangguan. Gejala ini disebabkan oleh perbedaan budaya, contoh orang timur masih memilki sifat pakewoh.

    Berdasarkan kajian manfaat hasil penelitian, pengembangan pondokan TAP1 s.d. Pondokan TAP6, tidak hanya menguntungkan para mahasiswa, namun juga dapat menambah pendapatan warga kampung khususnya pemilik pondokan. Tambahan lagi, manfaat yang lebih baik akan dirasakan oleh semua pihak jika perencanaan dan perancangan pondokan melibatkan pemerintah setempat yang berkompoten.

    5. Kesimpulan

    Upaya mahasiswa mencapai privasi yang diinginkan di TAP1 s.d. TAP6 di kampung kota (Iromejan dan Samirono) cukup bervariasi. Tiga kategori upaya yang fenomenal yaitu: penghindaran (behavioral), penghalang (physical) dan penjauhan

    jarak terhadap faktor gangguan (spasial). Ketiga upaya yang fenomenal ini perlu diketahui dan dipahami. Tidak hanya diketahui, tetapi disarankan agar privasi diperhatikan dalam perencanaan dan perancangan atau perbaikan pondokan Tipe Asrama Perorangan (TAP), sebagai bagian dari kehidupan kampus, termasuk perencanaan dan perbaikan kampung kota sebagai bagian dari kota Yogyakarta.

    Referensi 1) Altman, Irwin, 1975, The Environment and Social Behavior, hal.:

    5-7, Monterey, California.

    2) BAPPEDA Dati I DIY, 1987, Penelitian Pemondokan di

    Yogyakarta, Yogyakarta.

    3) Holahan, C.J., 1982, Environmental Psychology, Random House,

    New York.

    4) Rapoport, Amos, 1987, (Dalam : Lang, J., Creating Architecture

    Theory), VNR, New York.

    5) Sarwono, W.S., 1992, Psikologi Lingkungan, PT. Gramedia

    Widiasarana Indonesia, Jakarta.

    6) Soeleman, 1994, Privasi Mahasiswa di Pondokan Tipe Asrama

    Perorangan di Yogyakarta. Thesis S-2 UGM

    7) Susilo, 1988, Perilaku Manusia Pada Penghunian Asrama dengan

    Kasus Asrama Kampus LIPPI, Thesis S-2 ITB, Bandung.

    8) Weisman, 1981, Modeling Environment Behavioral System,

    Pennsylvania, USA.

    9) Yvonna, Lincoln, and Guba, G., 1985, Naturalistic Inquiry,

    Beverley Hills, California.

    Pi = Privasi yang diinginkan.

    Pc = Privasi yang dicapai.

    Gambar 8. Model Upaya Pencapaian Privasi Mahasiswa (Studi Kasus TAP1 sd. TAP6) di Kampung Iromejan dan Samirono.

    (Sumber: Saragih, 1994).

  • Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2 17

    Prospek dan Permasalahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau sebagai Pengurangan

    Dampak dan Adaptasi Terhadap Pemanasan Lokal

    Farida Khuril Maula

    Asisten Peneliti Kelompok Keahlian Perencanaan dan Perancangan Kota (KK-PPK)

    Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) Institut Teknologi Bandung

    Abstract

    The physical development activities tend to affect the existence of urban green spaces in cities. Urban green spaces are essential to address micro-climate issues. Although Bandung City was famous as a garden city in the past, maintaining an adequate extent of green space as mitigation and adaptation measure for

    lokal warming has become difficult due to the rapid rate of land use changes for various urban purposes. A survey conducted with a stratified random sample of residents revealed that majority of them considered improving micro-climatic conditions as the main function of green space at the city level but not at the individual premises level. The local authoritys recognition of green space only as a public amenity is a barrier in ensuring a hierarchy of green spaces. It was also revealed that the city authority is not effective in implementing command and control measures to ensure adequate green spaces at sub-city level. The

    problems of green space in the city is related with the poor distribution and maintaining of green space, ineffective implementation of the regulation, budget and land limitation for the development. In order to maximize the potentials and minimize the problems of green space improvement, some solution to create better environmental management measures of urban green space has been proposed. These involve three main points which are public private partnership, improving the citizens participation and law enforcement.

    Keyword: Green spaces, environmental management measures, lokal warming, mitigation, adaptation

    1. Latar Belakang Pada tahap awal perkembangan suatu kota,

    sebagian besar dari lahan perkotaan masih berupa ruang terbuka. Namun, karena tingginya kebutuhan akan lahan untuk mengakomodasi penduduk dengan berbagai kegiatannya akhirnya ruang terbuka tersebut berubah menjadi ruang terbangun. Banyak Ruang Terbuka Hijau (RTH) di kawasan perkotaan yang telah berubah menjadi guna lahan lainnya yang lebih banyak memberikan keuntungan bagi penduduk. Tekanan terhadap penambahan ruang untuk permukiman dan aktivitas bisnis di kawasan perkotaan telah menyebabkan RTH yang ada menjadi lahan yang berpotensi untuk dijadikan lahan terbangun. Oleh karena itu, banyak RTH di kawasan perkotaan berubah fungsi menjadi kawasan permukiman, industri, atau perdagangan. Hal ini menyebabkan semakin berkurangnya RTH di kawasan perkotaan.

    Kurangnya RTH di kawasan perkotaan menyebabkan munculnya berbagai masalah, terutama

    yang berkaitan dengan masalah lingkungan. Semakin sedikitinya RTH berarti semakin sedikit pula kawasan yang berfungsi untuk menyerap panas yang dikeluarkan oleh struktur perkotaan dan Karbondioksida (CO2) yang menyebabkan bertambahnya suhu perkotaan. Selain itu, RTH juga berfungsi untuk menyaring polusi suara dan menyerap polusi udara yang dihasilkan oleh aktivitas industri dan kendaraan bermotor. RTH juga dapat mencegah banjir di kawasan perkotaan, karena lapisan serapan airnya secara perlahan akan mengurangi limpasan air (Heidt, 2008). RTH juga dapat berguna bagi penduduk sebagai bentuk adaptasi terhadap pemanasan di kawasan perkotaan. Pengembangan RTH berpotensi untuk mengurangi dampak nyata dari urbanisasi kawasan perkotaan secara berkelanjutan dengan mengkombinasikan manfaat sosial, ekonomi, lingkungan dan lainnya, dan juga membuat kota sebagai tempat yang menarik untuk ditinggali.

    Tulisan ini mendiskusikan prospek dan permasalahan yang dihadapi Kota Bandung dalam mengembangkan RTH sebagai salah satu cara untuk mitigasi dan adaptasi terhadap pemanasan lokal. Prospek dan permasalahan tersebut dilihat dari dua sisi yaitu masyarakat dan kesiapan institusi beserta aturannya.

    Kontak: Farida Khuril Maula

    Asisten Peneliti Kelompok Keahlian Perencanaan dan

    Perancangan Kota (KK-PPK), Sekolah Arsitektur,

    Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) ITB

    E-mail: [email protected]

    (Diterima 23 Agustus 2010 dan disetujui untuk diterbitkan

    23 Oktober 2010)

  • 18 JAP Vol.4 No.2 Okt.2010 Farida Khuril Maula

    2. Pemanasan Lokal Dampak dari pemasan lokal di kawasan perkotaan

    semakin terlihat nyata dari waktu ke waktu. Salah satu persoalan penting dalam menghadapinya adalah bagaimana cara menyikapi pemanasan lokal dan dampaknya baik untuk saat ini maupun di masa yang akan datang. Pada tingkat kota, fenomena pemanasan lokal terjadi karena efek Urban Heat Island (UHI). UHI efek adalah suatu fenomena dimana suhu di kawasan perkotaan yang padat terbangun lebih tinggi daripada di kawasan sub-urban atau perdesaan (Yu, 2005). UHI efek terjadi karena banyaknya panas yang dipancarkan dari struktur perkotaan karena struktur tersebut mengkonsumsi dan memancarkan radiasi solar. Suhu yang lebih panas di kawasan perkotaan menyebabkan kondisi yang kurang nyaman bagi penduduk. Hal ini secara tidak langsung akan meningkatkan penggunaan pendingin ruangan, sehingga meningkatkan konsumsi energi yang pada akhirnya akan memancarkan gas rumah kaca ke atmosfer (Solecki, dkk., 2004).

    Jusuf (2007) dalam penelitiannya mengenai pengaruh dari guna lahan terhadap UHI di Singapura, menyatakan bahwa penggunaan lahan di kawasan perkotaan akan mempengaruhi suhu permukaan. Dari hasil penelitiannya terbukti bahwa di siang hari, kawasan industri memiliki suhu permukaan yang lebih tinggi dibandingkan kawasan bisnis dan perdagangan. Untuk kawasan hijau terbukti memiliki suhu permukaan yang paling rendah. Sedangkan pada malam hari, kawasan bisnis dan perdagangan menghasilkan suhu permukaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan industri. Hal ini mungkin disebabkan karena adanya panas yang tersimpan dalam struktur perkotaan yang sedikit demi sedikit dikeluarkan ke lingkungan sekitarnya.

    Efek UHI di kawasan perkotaan tidak hanya berasal dari panas yang dipancarkan dari sekumpulan orang, namun juga berasal dari bangunan-bangunan yang telah memecah angin dan menghalangi pola pencahayaan dan bayangan dalam suatu kawasan. Sinar matahari diserap dan dipancarkan dari permukaan gedung. Lapisan gedung yang berwarna putih mempunyai nilai lapisan albedo yang tinggi, sedangkan permukaan yang berwarna hitam memiliki lapisan albedo yang rendah. Pada dasarnya, warna dari material bangunan yang lebih terang secara tidak langsung dapat menurunkan suhu perkotaan (Moore, 2006). Selain dari bentuk struktur bangunan, kendaraan juga memancarkan panas. Hasil dari pembakaran bahan bakar dalam mesin kendaraan menghasilkan panas yang dikeluarkan ke atmosfer. Akibatnya, suhu udara di jalan raya semakin tinggi. Berdasarkan penjelasan di atas, efek UHI mempengaruhi kondisi suhu di kawasan perkotaan dengan meningkatkan suhu udara dan menyebabkan pemanasan lokal di kawasan perkotaan.

    3. Ruang Terbuka Hijau (RTH) Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan komponen

    penting dari suatu kawasan perkotaan. (Levent, 2004) mendefinisikan RTH sebagai ruang terbuka baik publik maupun privat yang permukaannya ditutupi oleh vegetasi, baik secara langsung atau tidak langsung tersedia bagi pengguna. Definisi yang sama juga tertulis dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2007, RTH Kawasan Perkotaan merupakan bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika. Berdasarkan jumlah dan distribusinya di suatu kawasan perkotaan, RTH dapat menjadi penentu struktur dan identitas kota melalui fungsi sosial dan estetikanya, sehingga secara tidak langsung mempengaruhi kualitas hidup dari penduduknya. Kombinasi dari RTH dan rencana tata ruang yang tertata dan terawat dengan baik akan meningkatkan fungsi ekologi, ekonomi dan sosial dari suatu kota (Chiesura, 2004).

    Dari masa ke masa, RTH di kawasan perkotaan mengalami pergeseran fungsi. Pada sekitar abad 15, RTH dibangun sebagai simbol kekuasaan dan kemewahan keluarga kerajaan. Pada masa ini, RTH biasanya berbentuk persegi dan berfungsi sebagai tempat pertemuan untuk mengadakan pesta yang mampu menampung ribuan orang. Pada era modern (sekitar tahun 1700-1837), di negara Inggris RTH diadaptasi menjadi ruang terbuka informal yang memiliki lansekap alami. Di kawasan perkotaan, ruang terbuka tersebut ditutupi oleh lapisan batu bata dan patung, serta ditanami pepohonan untuk membuatnya terlihat alami.

    Selama 100 tahun terakhir, RTH mengalami perubahan konsep yang cukup drastis. Tingginya tingkat urbanisasi dan industrialisasi menyebabkan munculnya masalah lingkungan di kawasan perkotaan. Oleh karenanya, Ebenezer Howard (1902) berangan-angan untuk menciptakan suatu kawasan perkotaan yang menawarkan berbagai kesempatan sosial dan ekonomi namun memiliki suasana alami dan sejuk seperti kawasan perdesaan. Sedangkan, dalam konteks pembangunan kota berkelanjutan, peran dari RTH seperti yang diidentifikasikan oleh Chiesura (2004). Dari hasil studinya, diperoleh bahwa RTH memiliki fungsi sosial dan psikologi yang dibutuhkan untuk penduduk, sehingga RTH merupakan sumber daya penting dari suatu kawasan perkotaan dan merupakan kunci utama untuk mencapai kota berkelanjutan.

    Paradigma terbaru dari RTH adalah dalam kaitannya dengan peran RTH terhadap fenomena perubahan cuaca. Dalam konteks perubahan cuaca, RTH merupakan salah satu cara mitigasi yang dapat mengurangi dampak dari perubahan cuaca dengan mengurangi suhu di kawasan perkotaan. Keberadaan pepohonan dan ruang terbuka telah berkontribusi terhadap penghematan energi di gedung dan juga

  • Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2 19

    meningkatkan kondisi iklim mikro di kawasan perkotaan. Jumlah energi yang dibutuhkan untuk pemanasan dan pendinginan di dalam gedung dapat dikurangi dengan penempatan yang tepat dari pepohonan di sekitar bangunan.

    4. Kondisi RTH di Kota Bandung

    Dalam kurun waktu 20 tahun, jumlah RTH di Kota Bandung dalam bentuk taman telah berkurang secara perlahan. Tingginya permintaan terhadap perumahan beserta infrastruktur dan fasilitas pendukungnya dianggap sebagai salah satu penyebabnya. Banyak RTH dalam bentuk ladang dan perkebunan telah berubah menjadi kawasan terbangun seperti kawasan perkantoran, pusat perbelanjaan dan perumahan.

    RTH di Kota Bandung tersebar secara tidak merata di enam Wilayah Pengembangan (WP). Sebagian besar dari RTH terletak di bagian utara Kota Bandung yaitu WP Cibeunying. Sementara itu, untuk bagian selatan, hanya terdapat sedikit RTH. Perbedaan distribusi RTH di setiap wilayah Kota Bandung terjadi karena perbedaan peruntukkan guna lahan di kedua wilayah tersebut. Di bagian utara, sebagian besar guna lahan diperuntukkan sebagai kawasan wisata dan jasa, sehingga banyak RTH yang tetap dilestarikan sebagai daya tarik. Sementara itu, di bagian selatan, sebagian besar guna lahannya didominasi oleh industri dan permukiman. Buruknya distribusi RTH ini akan mempengaruhi kualitas lingkungan dan kualitas hidup dari penduduk Kota Bandung itu sendiri.

    Permasalahan lain yang terkait dengan RTH di Kota Bandung adalah anggapan bahwa RTH hanyalah fasilitas publik yang tidak terlalu penting dibandingkan dengan fasilitas lainnya yang mungkin akan dibangun di atasnya. Padahal, RTH seperti taman kota, hutan kota, jalur hijau dan kebun memiliki fungsi yang sangat penting dibandingkan dengan fungsi ekonomi. Fungsi penting tersebut diantaranya sebagai penyaring udara dan kawasan serapan air. Minimnya RTH di Kota Bandung mungkin juga disebabkan oleh pembangunan yang tidak terkendali dalam beberapa tahun terakhir. Tingginya pertumbuhan penduduk memberikan desakan terhadap permintaan lahan permukiman dan fasilitas pendukungnya.

    5. Tindakan Pengelolaan Lingkungan untuk

    Peningkatan Fungsi RTH Tindakan pengelolaan lingkungan dalam

    peningkatan fungsi RTH merupakan sekumpulan perangkat kebijakan, peraturan, perencanaan, ekonomi dan ajakan. Perangkat tersebut bertujuan untuk meningkatkan pengelolaan RTH yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan. Selain itu, perangkat tersebut juga berguna untuk memperkirakan dampak yang terjadi dari keberadaan dan ketidakberadaan RTH.

    Perangkat kebijakan yang terkait dengan pengembangan RTH adalah kebijakan yang tertuang

    dalam Go Green Program yang berada di bawah tanggung jawab Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Kota Bandung. Program Go Green bertujuan untuk mengurangi polusi udara di Kota Bandung melalui program penghijauan. Program penghijauan ini terdiri dari banyak program yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas RTH kota.

    Perangkat peraturan mencakup semua aturan baik di tingkat nasional maupun daerah yang mengatur mengenai penyediaan dan pengelolaan RTH. Peraturan yang terkait dengan RTH mencakup Undang-undang No. 26 Tahun 2007, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 5 Tahun 2008, dan aturan mengenai izin mendirikan bangunan. Undang-undang No. 26 Tahun 2007 mengatur mengenai jumlah minimal dari RTH publik dan privat yang harus ada di kawasan perkotaan. Dalam Undang-undang ini disebutkan bahwa suatu kawasan perkotaan harus memilki 30% RTH yang terdiri dari 20% RTH publik dan 10% RTH privat. Selain itu, dalam Undang-undang Ini juga diatur mengenai distribusi RTH yang harus disesuaikan dengan distribusi penduduk dan tingkat pelayanannya, tanpa mengubah rencana pola dan struktur ruang.

    Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 5 Tahun 2008, RTH didefinisikan sebagai area memanjang/jalur dan mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Peraturan ini merupakan penjabaran dari Undang-undang No. 26 Tahun 2007. Dalam peraturan ini diatur mengenai penyediaan dan penggunaan RTH secara lebih mendetail. Hal-hal yang terkait dengan RTH yang diatur dalam aturan ini adalah jenis-jenis RTH, penyediaan RTH berdasarkan luas total kota, jumlah penduduk, dan RTH khusus, penentuan jenis tanaman dalam RTH, penggunaan RTH pada berbagai tingkat, dan prosedur perencanaan dan peran masyarakat dalam penyediaan dan pemanfaatan RTH.

    Setiap pembangunan baru di kawasan perkotaan memerlukan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) sebelum melakukan pembangunan. IMB ini hanya akan dikeluarkan untuk pembangunan yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) atau Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kota. Dalam IMB ini diatur mengenai Koefisien Dasar Bangunan (KDB) yang ditentukan berdasarkan lokasi dan kondisi lahan. KDB tersebut akan menentukan persentase lahan yang dapat dibangun dan tidak dapat dibangun. Jika rencana pembangunan baru yang ada tidak mengikuti aturan KDB maka IMB tidak akan dikeluarkan oleh Dinas Tata Kota Bandung.

    Penentuan RTH yang lebih detail lagi dibahas melalui perangkat rencana. Setiap kota di Indonesia harus memiliki dua dokumen dasar perencanaan yaitu rencana pembangunan dan rencana tata ruang. Rencana pembangunan terdiri dari rencana jangka pendek, menengah dan panjang. Dalam dokumen

  • 20 JAP Vol.4 No.2 Okt.2010 Farida Khuril Maula

    rencana pembangunan, aturan RTH hanya membahas mengenai jenis-jenis beserta luas minimal RTH yang harus disediakan oleh pemerintah kota dalam kurun waktu tertentu. Sementara itu, untuk sebaran RTH diatur secara lebih detail dalam rencana tata ruang. Menurut RTRW Kota Bandung Tahun 2010-2030, pola pembangunan RTH yang harus dilakukan adalah dengan: - Meningkatkan jalur hijau di sepanjang jalan sampai

    minimal 2% dari total luas kota - Intensifikasi dan ekstensifikasi dari kawasan hijau

    sepanjang pinggiran sungai, pinggir jalan dan tepian jalan tol, serta taman kota, dan pemakaman.

    - Pada tingkat mikro, pengembangan RTH difokuskan pada pengembangan taman RT/RW, lingkungan dan kota yang berlokasi di kawasan permukiman sesuai dengan standar yang diberikan oleh Kementrian PU. Dari hasil survey wawancara terhadap pemerintah

    Kota Badung, tidak ada perangkat ekonomi formal yang mengatur mengenai penyediaan RTH di lahan privat. Namun, pada prakteknya, terdapat perangkat insentif yang dapat dikategorikan sebagai perangkat ekonomi. Perangkat ekonomi ini adalah kerjasama pemerintah dan swasta terutama sektor bisnis. Hal ini dilakukan melalui penyediaan RTH yang diatur oleh pemerintah, namun pengelolaannya diberikan sepenuhnya kepada pihak swasta. Sebagai timbal baliknya, pihak swasta berhak untuk menjadikan RTH tersebut sebagai media publikasi produknya. Pengelolaan RTH semacam ini sedang dikembangkan di beberapa taman publik di Kota Bandung dan telah mampu meningkatkan kualitas RTH yang ada.

    6. Persepsi Masyarakat terhadap Pengelolaan

    RTH di Kota Bandung

    Dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas RTH kota, masyarakat memiliki dua peran penting. Peran pertama, masyarakat merupakan penentu yang menentukan keberadaan RTH di lahan pribadinya, dan merawat RTH baik RTH publik maupun privat. Peran kedua, masyarakat juga merupakan pihak yang merasakan dampak positif dan negatif dari keberadaan RTH. Oleh karenanya, persepsi dan sikap masyarakat Kota Bandung akan menentukan bagaimana RTH tersebut dirawat dan dilestarikan.

    Dari hasil survey ditemukan bahwa semua responden setuju akan pentingnya RTH bagi suatu kota. Namun, mereka memiliki persepsi yang berbeda terhadap fungsi dari RTH tersebut. Dari enam fungsi penting RTH yang diberikan dalam kuesioner, mereka menilai bahwa fungsi utama dari RTH yang paling penting bagi suatu kota adalah untuk meningkatkan kondisi iklim mikro. Mereka memahami bahwa RTH dapat mengurangi suhu permukaan di kawasan sekitarnya. Fungsi kedua yang paling penting yaitu meningkatkan kualitas lingkungan dengan mengurangi polusi udara dan suara.

    Sementara itu, fungsi yang dianggap tidak begitu penting adalah meningkatkan keindahan di lingkungan

    sekitarnya. Namun, hal ini sangat kontradiktif jika dibandingkan dengan alasan responden menyediakan RTH di rumahnya yang sebagian besar mengatakan bahwa mereka menyediakan RTH dengan tujuan untuk meningkatkan keindahan rumah. Sementara itu, untuk responden yang tidak menyediakan RTH di areal rumahnya mengatakan bahwa keterbatasan lahan areal rumah menjadi kendala dalam penyediaannya.

    Berdasarkan tingkat pendapatan, dapat disimpulkan bahwa masyarakat yang berpenghasilan menengah dan tinggi hampir semuanya mengetahui tentang aturan mengenai RTH di kawasan permukiman. Sedangkan, untuk masyarakat yang berpenghasilan rendah, sebagian besar dari mereka tidak mengetahui adanya aturan mengenai penyediaan RTH tersebut.

    Namun, jenis peraturan yang diketahui oleh masyarakat dapat dikatakan masih dangkal karena mereka hanya tahu bahwa setiap rumah harus menyediakan sebagian lahannya untuk RTH tapi tidak tahu nilai persentase lahan yang harus disediakannya tersebut. Akan tetapi, beberapa diantaranya sudah tahu bahwa 20% dari lahan rumahnya harus dijadikan RTH. Sementara itu, masyarakat lainnya ada yang mengetahui peraturan sebatas penanaman satu pohon setiap orangnya baik itu di areal privat ataupun publik.

    Tabel 1. Pengetahuan Responden mengenai Aturan RTH di

    Kawasan Perumahan Berdasarkan Tingkat Pendapatan

    Pendapatan Per

    Bulan

    Pengetahuan Responden

    Mengenai Aturan RTH di

    Kawasan Perumahan Total

    Tahu Tidak Tahu

    < Rp 1.000.000 12

    31.6%

    26

    68.4%

    38

    100%

    Rp 1.000.000 - Rp

    5.000.000

    58

    66.7%

    29

    33.3%

    87

    100%

    Rp 5.000.000 - Rp

    10.000.000

    32

    80.0%

    8

    20.0%

    40

    100%

    Rp 10.000.000 -

    Rp 15.000.000

    9

    69.2%

    4

    30.8%

    13

    100%

    > Rp 15.000.000 9

    90.0%

    1

    10.0%

    10

    100%

    Total 120

    63.8%

    68

    36.2%

    188

    100%

    Sumber: Maula, 2010

    Sekitar 76.1% dari responden setuju bahwa RTH

    memberikan lebih banyak dampak positif dibandingkan negatif. Sementara itu, 8% lainnya cenderung tidak setuju. Hal ini dikarenakan mereka menganggap bahwa keberadaan RTH menimbulkan adanya masalah keamanan. RTH taman yang ada di sekitar rumah mereka biasanya dijadikan tempat nongkrong bagi anak muda dan terkadang dijadikan tempat orang bermabuk-mabukan di malam hari. Alasan lain karena adanya RTH yang tidak terawat dianggap merusak keindahan lingkungan.

    Mengenai masalah pengelolaan RTH di Kota Bandung, responden menilai bahwa perubahan guna lahan RTH ke fungsi lainnya merupakan masalah utama pengembangan RTH di Kota Bandung. Selain

  • Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2 21

    itu, mereka menilai juga bahwa kurangnya peraturan atau standar yang mengatur mengenai penyediaan RTH dan buruknya implementasi dari aturan tersebut juga merupakan masalah yang tidak kalah pentingnya.

    Selain permasalahan RTH, responden pun ditanyai mengenai solusi yang terbaik untuk penyelesaian masalah tersebut. Mereka menilai bahwa kerjasama antara pihak pemerintah dengan swasta merupakan solusi utama untuk mengatasi buruknya pengelolaan RTH di Kota Bandung. Mereka percaya bahwa ini merupakan solusi efektif untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas RTH di Kota Bandung. Keterbatasan dana yang selalu menjadi kendala bagi pemerintah dalam mengembangkan RTH dapat diselesaikan dengan adanya bentuk kerjasama tersebut. Selain itu, meningkatkan jumlah RTH kota juga dianggap penting untuk diprioritaskan karena banyak RTH yang ada telah berubah menjadi lahan terbangun. Selain itu, solusi lain yang juga dianggap penting oleh responden adalah keterlibatan masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan RTH juga perlu dipertimbangkan. Adanya keterlibatan masyarakat ini dapat meningkatkan rasa memiliki terhadap RTH yang ada sehingga masyarakat akan mampu merawatnya dengan baik.

    Berdasarkan persepsi responden, distribusi RTH di Kota Bandung dapat dikatakan buruk. Lebih dari 50% responden cenderung tidak setuju bahwa RTH di Kota Bandung telah terdistribusi secara merata. Hanya sekitar 2,6% responden yang setuju bahwa RTH sudah terdistribusi secara merata. Sama halnya dengan perawatan RTH, sekitar 50.6% responden cenderung tidak setuju bahwa RTH di Kota Bandung telah terawat dengan baik, dan hanya sekitar 7.5% saja yang menyatakan setuju.

    Sementara itu, penilaian responden terhadap efektivitas dari pelaksanaan peraturan yang ada, terbukti bahwa 68,4% responden menyatakan tidak setuju bahwa peraturan yang ada sudah dilaksanakan secara efektif. Sementara hanya sekitar 31,4% yang menyatakan setuju.

    Sekitar 30% responden menilai bahwa pemerintah Kota Bandung tidak peduli terhadap pengelolaan RTH. Dan hanya sekitar 10% responden saja yang menilai bahwa pemerintah peduli terhadap pengelolaan RTH. Sisanya sekitar 50% cenderung netral terhadap pernyataan tersebut. Hal ini sejalan dengan persepsi lainnya mengenai sikap pemerintah yang cenderung melestarikan keberadaan RTH daripada mengubahnya menjadi guna lahan lainnya. Sekitar 40% responden menilai tidak setuju dan menganggap bahwa pemerintah lebih memilih untuk mengubah RTH menjadi guna lahan lain yang lebih menguntungkan dibanding melestarikannya. Sementara itu, hanya 26% responden saja yang setuju.

    Dalam penyediaan RTH, sebagian besar responden memiliki kemauan yang kuat untuk menyediakan RTH tanpa memperhatikan keterbatasan yang mereka miliki. Baik untuk masyarakat berpenghasilan rendah

    maupun tinggi, mereka semua memiliki kemauan yang kuat untuk menyediakan RTH di areal rumahnya. Mereka juga memiliki kemauan yang kuat untuk ikut berpartisipasi terhadap pengelolaan RTH baik di lingkungan rumahnya maupun di tingkat kota. Namun, ketika ditanyakan kemauan mereka untuk membayar pajak lebih untuk pengelolaan RTH, sebagian besar dari responden tidak setuju. Mereka menganggap pemerintah sudah memiliki dana yang cukup untuk mengelola RTH yang ada.

    Dari hasil diskusi di atas mengenai pemahaman responden terhadap variabel yang terkait dengan RTH, dapat disimpulkan bahwa masyarakat di Kota Bandung memiliki pengetahuan yang cukup tentang pentingnya RTH dalam konteks pemanasan lokal. Selain itu, sebagian dari responden juga tahu mengenai adanya standar atau peraturan yang terkait dengan penyediaan RTH.

    Sementara itu, responden memiliki persepsi yang buruk terhadap distribusi dan pengelolaan RTH di Kota Bandung. Sebagian besar responden juga cenderung setuju bahwa pelaksanaan dari peraturan yang terkait dengan RTH dapat dikatakan buruk. Hal ini dapat terlihat dari ketidak konsistenan pemerintah dalam melaksanakan aturan tersebut. Bukti mengatakan bahwa pemerintah kota sendirilah yang melanggar aturan tersebut.

    Dalam penyediaan dan pengelolaan RTH, sebagian besar responden memiliki sikap yang positif. Mereka memiliki kemauan yang kuat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan dan perawatan RTH yang berarti mereka bertanggung jawab untuk menjaga RTH tetap bersih dan terawat. Tanpa mempedulikan tingkat pendapatan, hampir semua responden setuju bersedia untuk menyediakan RTH di areal rumahnya. Hal ini dapat menjadi suatu potensi yang perlu diperhatikan oleh pemerintah kota dalam mengembangkan RTH di Kota Bandung.

    7. Permasalahan dan Prospek Pengembangan

    RTH di Kota Bandung

    Dari hasil analisis dan diskusi di atas dapat disimpulkan mengenai permasalahan dan prospek pengembangan RTH di Kota Bandung. Permasalahan yang terkait dengan pengembangan RTH di Kota Bandung secara garis besar yaitu:

    - Perubahan guna lahan RTH menjadi kawasan terbangun

    - Distribusi RTH yang tidak merata - Perawatan RTH yang buruk - Pelaksanaan peraturan mengenai RTH yang

    tidak efektif - Keterbatasan dana yang dimiliki oleh

    pemerintah kota Selain permasalahan, Kota Bandung juga memiliki

    potensi yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan RTH, prospek tersebut adalah:

    - Kondisi fisik dari Kota Bandung yang sejuk - Memaksimalkan penggunaan lahan di kawasan

  • 22 JAP Vol.4 No.2 Okt.2010 Farida Khuril Maula

    perkotaan - Kawasan pinggiran kota dilestarikan sebaga