28
Jong Indonesia. February 2015 issue we wish you happy chinese new year

Jong Indonesia Edisi Februari 2015

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Newsletter PPI Belanda

Citation preview

Page 1: Jong Indonesia Edisi Februari 2015

Jong Indonesia.February 2015 issue

we wish you happy chinese new year

Page 2: Jong Indonesia Edisi Februari 2015

february 2015 issue

02

Jong Indonesia.

cover photo : copyright John Warwoodcover photo 2 : copyright Michael Steverson

Page 3: Jong Indonesia Edisi Februari 2015

03

we wish you

happy chinese

new year

gong xi fa cai

wishing you prosperity, joy

and success this new year

and always

2015

Page 4: Jong Indonesia Edisi Februari 2015

Hafida FahmiasariPimpinan Redaksi

Amalia Puri HandayaniLandha Putra MulyaEditor

Wahyu PratomoPenata Letak

Murwendah SoedarnoYayan T. SundaraAnanda PutriKontributor

04

Page 5: Jong Indonesia Edisi Februari 2015

Jong Indonesia edisi Februari 2015 hadir di tengah turun-naiknya suhu di Belanda. Fluktuasi itu diikuti panasnya suasana peradilan Indonesia di tengah maraknya isu menyelamatkan KPK dan Polri—dua lembaga besar yang menyita perhatian banyak warga negara Indonesia di mana pun. Melihat situasi tersebut, PPI Belanda mengadakan Lingkar Inspirasi online bersama Erry Riyana—anggota Tim Delapan dalam menyikapi konflik KPK dan Polri. Pernyataan sikap PPI Belanda terhadap hal tersebut juga ada di edisi ini. Ada pula cerita tentang Lingkar Inspirasi Exploring Kidney Health in Indonesia and the Potential Solutions. Tidak lupa, artikel terkait difabilitas sebagai diskusi ‘Pojok Ide’ di PPI Belanda bulan lalu juga siap untuk dibaca di sini. Edisi yang cukup beragam ini diharapkan menemani Anda dalam memulai atau mengakhiri aktivitas pada hari yang kadang cerah dan kadang mendung ini. Salam Jong Indonesia!

Salam Jong Indonesia!

05

Page 6: Jong Indonesia Edisi Februari 2015

06

Page 7: Jong Indonesia Edisi Februari 2015

Menyelamatkan KPK dan Polrioleh Murwendah Soedarno

Lingkar Inspirasi

07

Page 8: Jong Indonesia Edisi Februari 2015

Kasus ‘Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri)’ yang terus bergulir masih menarik simpati publik. Penangkapan salah satu pimpinan KPK, yaitu Bapak Bambang Widjojanto (BW) oleh Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri pada Jumat, 23 Januari 2015, pukul 07.30 WIB, diawali dengan polemik pencalonan Budi Gunawan (BG) sebagai Calon Kapolri yang ditetapkan KPK sebagai tersangka. ‘Drama’ ini membuat publik mempertanyakan kelanjutan semangat pemberantasan korupsi dan penegakan hukum di Indonesia.

Kasus yang disinyalir sebagai konflik ‘cicak versus buaya’ jilid ketiga ini juga menarik perhatian pelajar Indonesia di Belanda. Maka itu, Divisi Kajian, Keilmuan, dan Keprofesian (Divisi K3) Perhimpunan Pelajar Indonesia di Belanda (PPI Belanda) mengadakan diskusi online melalui live streaming media sosial Youtube dengan mengundang Bapak Erry Riyana Hardjapamekas (Kang Erry, sebutan akrab beliau), Pimpinan KPK periode 2003—2007 selaku anggota ‘Tim Delapan’, sebutan bagi tim bentukan Presiden Joko Widodo terkait kasus ini yang dipopulerkan oleh media nasional tanah air. Dengan dimoderatori oleh Landha Putra Mulya—anggota Divisi K3 PPI Belanda dan mahasiswa Program Master of Commercial Law di Erasmus University Rotterdam, diskusi itu dihadiri oleh Heru Saputra (Ketua PPI Kota Den Haag), Yudistira Pratama (Ketua PPI Utrecht), M. Luthfi Nurfakhri (Ketua PPI Enschede) dengan sebelumnya dibuka dengan sambutan dari Hapsari Cinantya Putri selaku Sekretaris Jenderal PPI Belanda pada Minggu, 1 Februari 2015 pukul 15.15—17.15 CET. Selama dua jam, diskusi interaktif itu membahas isu politik dan pemberantasan korupsi yang melibatkan KPK dan Polri.

Sebagai pembuka, Landha menanyakan konfirmasi kasus ini sebagai kelanjutan versi ‘Cicak vs Buaya’ atau ‘KPK vs Polri’ jilid satu dan dua. Menurut Kang Erry, kasus ini lebih dari dua kasus ‘Cicak vs Buaya’ sebelumnya. Isu politik sangat kental dalam kasus ini, apalagi juga melibatkan kepentingan partai politik yang mendukung penetapan calon Kapolri, yaitu BG, yang terkendala dengan penetapannya sebagai tersangka oleh KPK.

Bukan spekulasi jika terdapat isu politisasi dan kriminalisasi KPK dalam kasus tersebut. Kang Erry berpendapat bahwa kasus itu bukan masalah hukum semata, tapi begitu sarat isu politik. Dilihat dari segi prosedurnya, kasus hukum terlihat sangat jelas dan dapat dikaji lebih lanjut dalam proses pengadilan; berbeda dengan politisasi kasus KPK vs Polri saat ini. Kang Erry menambahkan, dengan dilaporkannya BW sebagai tersangka dalam kasus sengketa Pemilihan Kepala Daerah di Kotawaringin Barat pada 2010, hal itu jelas mengindikasikan adanya kriminalisasi terhadap BW, yaitu dengan mengaitkan tindakan BW sebelum menjadi pimpinan KPK—ketika masih menjadi Advokat. Mengapa? BW dilaporkan atas kasus yang bukan masuk dalam ranah hukum pidana, tetapi terkesan ‘dipidanakan’. Selain itu, BW juga dilaporkan atas perannya sebagai Advokat dalam kasus yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi. Hal itu jelas terjadi karena bukan semata-mata masalah hukum, tapi juga masalah politik. Proses penangkapan BW juga menimbulkan tanda tanya. Dalam penangkapan BW yang disertai penyergapan dan pemborgolan mengesankan bahwa BW merupakan teroris atau penjahat kelas kakap yang dapat membahayakan keselamatan masyarakat. Itulah yang menambah substansi indikasi kriminalisasi.

Mengenai proses penangkapan tersebut, ada pula pertanyaan jika proses penangkapan BW dilakukan di KPK, apakah akan lebih mudah dan akan dilindungi oleh KPK. Justifikasi itulah yang beredar disampaikan oleh Kepala Divisi Hubungan dan Masyarakat Polri, Irjen Pol Ronny F Sompie dan beredar di masyarakat. Kang Erry menjelaskan bahwa terdapat prosedur yang melanggar etika terkait penangkapan Pimpinan KPK. Jika Polri memiliki alasan yang jelas dan bukti yang kuat untuk menangkap BW, tentunya harus diinformasikan dan dilakukan sesuai dengan prosedur hukum. Saat itu, BW dalam kondisi belum diperiksa, belum dipanggil, lantas langsung ‘ditangkap’. Kondisinya akan berbeda dengan kasus korupsi ‘tangkap tangan’—seseorang ditangkap basah ketika melakukan tindak pidana—yang melakukan penangkapan saat tindak pidana terjadi. Selain itu, apabila memang terdapat alat bukti yang cukup, KPK tentu tidak akan melindungi pejabatnya untuk mengelak dari kasus hukum yang dikenakan kepadanya.

08

Page 9: Jong Indonesia Edisi Februari 2015

09

Page 10: Jong Indonesia Edisi Februari 2015

Kemudian, Kang Erry menyampaikan bahwa konsekuensi hukum atas pembatalan pelantikan BG sebagai calon Kapolri yang telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dapat dihindari dengan mengoreksi pencalonan nama Kapolri. Hal itu mungkin dilakukan, mengingat BG dicalonkan sebagai Kapolri sebelum KPK menetapkan BG sebagai tersangka. Dalam hal ini, calon lain dapat diangkat agar BG dapat fokus dalam kasus yang disangkakan oleh KPK untuk menghindari pengulangan prosedur pencalonan Kapolri yang tidak memakan waktu sebentar. Jika memungkinkan, Jenderal Sutarman dapat diangkat kembali menjadi Kapolri bila beliau bersedia.

Diskusi berlanjut dengan sesi tanya jawab dari setiap perwakilan PPI Kota, yaitu PPI Kota Den Haag, PPI Enschede, dan PPI Utrecht, serta PPI Taiwan dan PPI Italia yang tergabung melalui diskusi interaktif dalam Twitter @ppibelanda. PPI Kota Den Haag yang diwakili oleh Heru menanyakan tindak lanjut dari lima rekomendasi yang disampaikan Tim Delapan kepada Presiden Joko Widodo. Kang Erry menjelaskan bahwa belum ada konfirmasi mengenai rekomendasi yang diberikan akan digunakan atau tidak sebagai pertimbangan solusi. Tentunya, ini bukan perkara mudah bagi Presiden untuk memutuskan langkah cepat, tapi butuh langkah tegas. Presiden berusaha mencari berbagai informasi dan pertimbangan untuk mendapatkan penyelesaian terbaik dalam kasus ini.

PPI Italia juga bergabung dengan menanyakan proses penanganan dan pengawasan apabila terjadi indikasi korupsi di internal KPK. Pada dasarnya, pengawasan internal KPK cukup kuat untuk menangani kasus korupsi di tubuh KPK sendiri. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah tidak ada istilah ‘kebal hukum’ bagi penegak hukum mana pun, baik KPK, Polri, atau Kejaksaan. Pemberantasan korupsi harus ditindak tegas melalui pemeriksaan dan dilakukan atas dasar bukti faktual untuk ditindak lebih lanjut, pungkas Kang Erry.

Berbeda dengan PPI Italia yang membahas kemungkinan kasus korupsi di tubuh KPK, PPI Enschede yang diwakili Luthfi mengkritisi dampak ketiadaan Keputusan Presiden (Keppres)

10

Page 11: Jong Indonesia Edisi Februari 2015

terhadap proses investigasi kasus KPK dan Polri serta proses analisis kasus yang dilakukan oleh Tim Delapan. Menurut Kang Erry, Tim Delapan sudah sepakat untuk memberikan masukan dan pendapat kepada Presiden walaupun Keppres tidak ditandatangani. Hal itu memang menimbulkan hambatan terhadap kinerja Tim Delapan, tetapi bukan berarti membatasi pemberian rekomendasi kepada Presiden.

Selanjutnya, diskusi berlanjut dengan ‘kicauan’ dari Ichsan, mahasiswa di Rotterdam, Belanda, mengenai rentetan kejadian lainnya sebelum kasus KPK vs Polri yang berujung dari penangkapan salah satu pimpinan KPK. Salah satunya adalah tuduhan yang dilayangkan oleh politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-Perjuangan) Hasto Kristiyanto yang menyebutkan bahwa Abraham Samad melakukan lobi ke partainya untuk dijadikan calon wakil presiden mendampingi calon presiden saat itu, yaitu Joko Widodo. Ichsan menanyakan perlu-tidaknya dibentuk Komite Etik untuk menyikapi kondisi itu. Menurut Kang Erry, tuduhan dan berita itu harus dikonfirmasi kembali dan disertai dengan bukti yang kuat. Selama belum ada indikasi demikian, belum dirasa perlu untuk membentuk Komite Etik. Jadi, saat ini, lebih baik fokus ke kasus BW dan BG saja.

11

Page 12: Jong Indonesia Edisi Februari 2015

PPI Kota Den Haag selanjutnya mempertanyakan legalitas penyidik KPK sebagaimana ramai diberitakan media. Dalam hal ini, Kang Erry meyakini bahwa KPK sudah memiliki jawaban dan landasan yang tepat; KPK berhak mengangkat penyidik sendiri dengan kualifikasi yang tepat. Berikutnya, PPI Utrecht yang diwakili Yudhistira juga mempertanyakan hak imunitas bagi lembaga penegak hukum. Dalam kasus ini, PPI Utrecht juga mempertanyakan kemungkinan KPK mendapatkan hak imunitas sementara waktu dalam menghadapi kasus ini. Kang Erry menjelaskan bahwa banyak negara sudah menerapkan hak imunitas, tetapi bukan berarti KPK atau lembaga penegak hukum akan kebal hukum. Hal itu dilakukan dengan mempertimbangkan kasus yang ditangani, juga kefokusan penegak hukum tersebut dalam bekerja menangani berbagai kasus yang sedang berlangsung. Apabila penegak hukum terjerat dalam kasus korupsi atau tindak pidana lain, pelanggaran hukum itu dapat diusut setelah selesai menjabat.

Melanjutkan ‘kicauan’ dari twitter @ppibelanda, sesi berikutnya membahas mengenai kemungkinan dibukanya kantor cabang KPK di beberapa daerah di Indonesia, serta tantangan dan hambatan yang mungkin dihadapi. Sebagai mantan pimpinan KPK, Kang Erry menyampaikan

bahwa hal itu sudah dipertimbangkan sejak awal KPK berdiri. Menurut pendapat Kang Erry pribadi, undang-undang sudah mengamanahkan KPK untuk mengimplementasi rencana itu, tetapi perlu mempertimbangkan persiapan dan tanggung jawab yang tidak mudah. Membangun kantor cabang KPK tidak semudah mendirikan gedung KPK yang baru di daerah, juga harus didukung dengan ketersediaan sumber daya manusia dengan budaya kerja dan integritas yang baik. Membangun cabang KPK di daerah juga harus diikuti dengan kontrol pusat yang kuat, tentunya standar yang sudah berlaku di kantor pusat juga harus diterapkan di daerah. Saat ini, KPK masih fokus pada peningkatan kualitas kinerja di kantor pusat, belum waktunya menambah jumlah kuantitas tetapi malah lalai dalam menjaga kualitas.

PPI Enschede selanjutnya menanyakan dampak hasil sidang praperadilan BG pada 2 Februari 2015: apa yang akan terjadi terhadap tim delapan apabila status tersangka atas nama BG dicabut oleh pengadilan. Menurut Kang Erry, apapun hasil yang dikeluarkan oleh pengadilan tidak akan mempengaruhi tugas Tim Delapan. PPI Taiwan kemudian menyambung pertanyaannya mengenai sikap Presiden yang tidak melakukan intervensi dalam menanggapi kasus ini.

12

Page 13: Jong Indonesia Edisi Februari 2015

photo 1: https://eiti.org/files/erry-photo.jpgphoto 2: http://uniqpost.com/wp-content/uploads/2015/01/photo 3: http://static.inilah.com/data/berita/foto/2153081.jpgphoto 4: https://ranapsimanjuntak.files.wordpress.com

Menurut Kang Erry, prinsip itu patut diapresiasi dan didukung. Namun, apabila terjadi penyimpangan pada praktiknya, Presiden dapat mengoreksi kesalahan prosedur yang ada, bukan sekadar tidak mengintervensinya. PPI Utrecht melanjutkan diskusi dengan menyampaikan pertanyaan tentang kelanjutan kasus yang dihadapi BW. Kang Erry menjelaskan bahwa tuduhan yang ada belum terbukti dan kasus itu terjadi sebelum BW menjabat sebagai pimpinan KPK.

Selain Yudistira, Novrizal Bahar sebagai mahasiswa doktoral di Utrecht University juga mewakili PPI Utrecht dalam diskusi ini. Pertanyaan menarik disampaikan Novrizal mengenai apa yang mungkin terjadi apabila semua pimpinan KPK ditetapkan sebagai tersangka dan terbukti bersalah, serta isu kriminalisasi KPK yang mencuat. Kang Erry berpendapat bahwa memang ada kemungkinan maksud dan rencana untuk menjadikan kelima pimpinan KPK sebagai tersangka, lalu kelimanya mengundurkan diri, kemudian Presiden menerima pengunduran diri mereka. Apabila terjadi, itu akan sangat menghambat upaya pemberantasan korupsi yang berlangsung. Tampaknya, ada upaya sistematis ke arah pelumpuhan KPK. Dalam hal ini, perlu sikap tegas Presiden dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) untuk mengangkat Pelaksana Tugas Pimpinan KPK tanpa seleksi. Hal itu pernah terjadi ketika kisruh KPK vs Polri yang melibatkan Antasari dan Bibit-Chandra.

Mengenai masa depan KPK, Kang Erry menyatakan bahwa butuh waktu paling tidak 40 tahun untuk memberantas korupsi di Indonesia. Negara seperti Malaysia dan Singapura membutuhkan pemimpin sekaliber Mahathir Muhammad dan Lee Kuan Yew untuk memberantas korupsi. Indonesia membutuhkan pemimpin sekelas mereka, tetapi harus disikapi dengan sikap optimis tentang masa depan Indonesia. Siapapun Presidennya, program pemberantasan korupsi harus ditegakkan dan dijalankan secara berkesinambungan. Pada dasarnya, KPK sudah memiliki grand design dalam program pemberantasan korupsi, pun tetap membutuhkan waktu dan dukungan dari berbagai pihak. KPK bukan ‘superman’ yang dapat menindak korupsi sendirian; butuh pencegahan dan penegakan yang dibantu oleh berbagai pihak, seperti Kepolisian dan Kejaksaan. Integrasi dan proses hukum yang bersih tanpa suap dan

bebas dari permainan perkara dibutuhkan dalam mendukung usaha ini, selain reformasi birokrasi.

Mengakhiri diskusi, Kang Erry menyampaikan bahwa semua penegak hukum harus didukung dalam upaya pemberantasan korupsi, baik KPK maupun Polri. Jangan sampai kasus ini merusak citra kedua lembaga. Walaupun dalam hal jam terbang dan kapasitas organisasi lebih kecil, KPK juga harus didukung sebagai lembaga pemberantas korupsi di Indonesia. Berbeda dengan KPK, Polri memiliki tugas yang berat sebagai organisasi yang besar dan vital, tidak hanya terkait isu pemberantasan korupsi, tetapi juga kasus pidana dan penegakan hukum lain. Kasus perseteruan KPK dan Polri diharapkan dapat menjadi momentum untuk menyelamatkan citra Polri dengan kembali menekankan semangat reformasi birokrasi, pembenahan sumber daya manusia, dan perbaikan kinerja. Dengan adanya komunikasi antara kedua pihak serta Memorandum of Understanding yang jelas, hal serupa diharapkan tidak terjadi kembali.

Lantas, bagaimana peran generasi muda dalam menyikapi kasus ini? Kang Erry secara umum berpendapat bahwa sebagai pelajar, generasi muda diharapkan dapat tetap giat dan fokus dalam menyelesaikan studinya. Beliau juga meninggalkan pesan bahwa para pelajar di Belanda dan di negeri lain dapat kembali ke tanah air untuk ikut serta dalam membangun bangsa menuju ke arah yang lebih baik. Secara khusus, Kang Erry juga berharap bahwa para pelajar terutama yang bernaung di dalam PPI Belanda, sebagai organisasi pelajar Indonesia di luar negeri yang tertua, tetap perlu untuk aktif dalam melihat isu-isu penting yang terjadi di tanah air. Diam bukan berarti tidak mengkritisi dan menjadi apatis, tetapi kritis bukan berarti berdiskusi tanpa esensi dan miskin substansi. Beliau juga menambahkan bahwa pemuda-pemudi Indonesia memiliki kapasitas yang tidak kalah baik dengan negara maju. Menjadi pribadi-pribadi hebat akan sangat mungkin terwujud dengan membiasakan patuh hukum dan diikuti dengan sikap integritas serta etika yang baik.

13

Page 14: Jong Indonesia Edisi Februari 2015

Seleksi Aparatur Sipil Negara Kuota Khusus Difabel: Tinjauan Aksesibilitasoleh Angger Hendro Wibowo**Aktivis Ikatan Tuna Netra Muslim Indonesia

Pojok Ide

14

Page 15: Jong Indonesia Edisi Februari 2015

15

Page 16: Jong Indonesia Edisi Februari 2015

Pelaksanaan seleksi aparatur sipil negara masih belum berpihak pada aksesibilitas difabel. Karut-marut sistem yang belum berpihak pada aksesibilitas difabel belum juga tuntas, mulai dari masalah kuota sampai aksesibilitas. Padahal, kita sudah punya seabrek undang-undang yang mengatur kuota dan aksesibilitas dari setiap lini. Lalu, mengapa tetap saja belum aksesibel? Penulis ingin mengulas aksesibilitas seleksi ASN2014 sebagai referensi kritik aksesibilitas, khususnya untuk difabel netra.

Pemerintah melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (Kemenpan) mengumumkan pendaftaran seleksi Aparatur Sipil Negara (ASN) khusus difabel sejak 28 September 2014 dan resmi dibuka pada Senin, 10 November 2014. Pemerintah memberikan kuota sebanyak 300 kursi untuk difabel dan memancing berbagai reaksi dari organisasi-organisasi difabel. Secara umum, jika kita telaah dari aspek kebijakan pemerintah, yakni UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, jelas terjadi diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah. Kuota khusus yang diberikan sebanyak 300 orang masih belum sesuai dengan yang diamanatkan oleh undang-undang, yakni sebanyak satu orang dari seratus tenaga kerja atau satu persen dalam persentase.

Kuota sebanyak 300 tersebut juga hanya mengakomodasi difabel netra, difabel rungu wicara, dan difabel daksa. Jenis difabilitas lain, seperti difabel mental intelektual, tidak dimasukkan dalam kategori difabel yang bisa berkompetisi dalam seleksi ASN. Selain kuota yang belum mencukupi satu persen, adanya kategori difabilitas pada setiap formasi yang disediakan jelas membatasi hak difabel menjadi ASN ditinjau dari segi kualifikasi akademiknya. Sistem seleksi yang menggunakan computer assisted test (CAT) pun menimbulkan kekhawatiran terkait aksesibilitas terhadap program pembaca layar.

Pemerintah Belum Perhatikan Masalah Teknis

The devil is in the details. Detil pelaksanaan teknis penerimaan ASN juga harus menjadi perhatian, terutama tentang aksesibilitas bagi difabel. Sebab, dari beberapa diskusi dengan teman sesama difabel pendaftar seleksi ASN, terdapat beberapa hambatan teknis terkait dengan aksesibilitas pelaksanaan seleksi ASN kuota khusus difabel 2014.

Masalah yang pertama adalah kode keamanan atau captcha pada formulir pendaftaran online (daring-red) dalam website Panitia Seleksi Nasional

16

Page 17: Jong Indonesia Edisi Februari 2015

(Panselnas) Kode keamanan yang terdapat dalam website Panselnas dan portal Kementerian Sosial tidak dapat dibaca oleh program pembaca layar karena kode itu berbentuk gambar. Sebenarnya, ada program Add On atau pengaya dalam browser Mozilla Fire Fox bernama Webvisum yang dapat membantu difabel netra untuk menyalin captcha ke dalam clipboard. Hanya saja, gambar yang berubah-ubah tiap beberapa detik sekali membuat program ini tidak dapat membantu banyak karena proses penyalinan captcha ke dalam clipboard juga memerlukan waktu yang tidak sebentar. Jika pemerintah mau sistem informasi pelaksanaan ASN menjadi aksesibel bagi difabel, pemerintah dapat menggunakan kode keamanan yang berbentuk methematic captcha atau menyediakan captcha berbentuk audio sehingga difabel netra dapat mengakses website Panselnas maupun portal Kementerian Sosial dengan mudah.

Masalah kedua adalah program pembaca layar juga tidak bisa mengakses bentuk grafis pada setiap combo box yang harus diisi dalam portal Kementerian Sosial. Masalah itu sebenarnya bisa diatasi dengan mengubah pilihan yang terdapat pada combo box dalam bentuk teks. Dengan demikian, difabel, khususnya difabel netra, dapat mengaksesnya dengan lebih mudah.

17

Page 18: Jong Indonesia Edisi Februari 2015

Mengapa Harus Ditulis Tangan?

Setelah proses pendaftaran online dilakukan, peserta kemudian diharuskan mengirimkan data seperti fotokopi ijazah yang telah dilegalisir, transkrip nilai, KTP, surat permohonan menjadi ASN, dan print out formulir pendaftaran ASN. Selain itu, perlu juga melampirkan celebral palcy (CP) tertentu—yakni adanya keharusan surat lamaran atau permohonan menjadi ASN—yang harus ditulis tangan. Dalam ketentuan alur pendaftaran seleksi ASN kuota khusus, tidak dijelaskan apakah panitia menerima tulisan tangan berbentuk huruf braille atau tidak. Hal itu jelas membingungkan dan menjadi hambatan. Jika pemerintah hanya menerima tulisan tangan biasa, jelas itu merupakan salah satu bentuk diskriminasi baru bagi difabel netra dalam seleksi ASN ini.

Dari banyaknya permasalahan layanan yang tidak aksesibel di atas, ada tanda tanya besar terhadap sikap pemerintah dalam menanggapi aspirasi dari para difabel. Pertanyaan pertama adalah kesiapan pemerintah dalam menyelenggarakan seleksi ASN kuota khusus untuk difabel. Sudahkah pemerintah melihat secara seksama undang-undang yang mestinya menjadi panduan, bukan sekadar peraturan mandul tanpa implementasi? Pertanyaan kedua mengenai aksesibilitas pelaksanaan seleksi ASN kuota khusus. Sudahkah pemerintah melakukan assessment atau penilaian kebuthan yang mewadahi untuk mengetahui kebutuhan difabel dalam mengikuti seleksi ASN kuota khusus?

18

Photo1: http://sp.beritasatu.com/media/images/original/20140517114124556.jpg

Photo 2: http://stat.ks.kidsklik.com/statics/files/2013/09/13787797292106129467.jpg

Photo 3: http://yosuna.com/wp-content/uploads/2014/10/Pendaftaran-CPNS-2014-Online-Untuk-300-Formasi-Khusus-Penyandang-Disabilitas.jpg

Photo 4: http://www.bkn.go.id/wp-content/uploads/2014/11/

Page 19: Jong Indonesia Edisi Februari 2015

19

Page 20: Jong Indonesia Edisi Februari 2015

Menilik Kesehatan Ginjal di Indonesia dan Solusi PotensialnyaOleh Yayan T. Sundara**Mahasiswa Program Master Biomedical Science Research, Leiden University

Lingkar Inspirasi

20

Page 21: Jong Indonesia Edisi Februari 2015

21

Page 22: Jong Indonesia Edisi Februari 2015

Angka harapan hidup (life expectancy) penduduk Indonesia pada 2012 menurut data badan kesehatan dunia WHO mencapai 69 untuk pria dan 73 tahun untuk wanita. Seiring dengan meningkatnya angka harapan hidup penduduk Indonesia, maka kejadian penyakit-penyakit kronis yang diakibatkan proses degeneratif/penuaan, seperti penyakit jantung koroner, hipertensi, kanker, dan diabetes mellitus, diperkirakan terus meningkat setiap tahun. WHO memperkirakan 54% dari seluruh kematian di Indonesia pada 2012 disebabkan oleh penyakit kronis; melebihi penyebab kematian lain, seperti penyakit menular dan kecelakaan. Salah satu penyakit kronis yang menjadi perhatian di masyarakat adalah penyakit kronis ginjal.

Berdasarkan hal tersebut, Perhimpunan Pelajar Indonesia di Utrecht mengadakan Lingkar Inspirasi Kesehatan: Exploring Kidney Health in Indonesia and the Potential Solutions pada 7 Februari 2015, bertempat di Academiegebouw Universiteit Utrecht. Pada acara ini, Prof. Frans L. Moll dari University Medical Centre dan dr. Niko Azhari Hidayat SpBTKV dari Universitas Airlangga hadir sebagai pemateri.

Ginjal merupakan salah satu organ penting dalam tubuh kita, dengan fungsi utama untuk menyaring (filtrasi) dan mengeluarkan zat-zat sisa metabolisme yang bersifat racun dari darah menjadi urin. Selain itu, ginjal juga berfungsi mengatur keasaman darah dan keseimbangan ion yang sangat krusial agar berbagai fungsi penting dalam tubuh kita dapat berjalan secara normal.

Pada keadaan penyakit ginjal kronis atau gagal ginjal, terjadi penurunan secara gradual dan permanen pada fungsi ginjal. Penyebab utama yang paling sering adalah hipertensi dan diabetes mellitus. Pada stadium akhir, pasien dengan penyakit ginjal kronis membutuhkan hemodialisa atau cuci darah secara rutin selama hidupnya untuk mengeliminasi zat-zat racun hasil metabolisme di dalam tubuh. Kedua pemateri Lingkar Inspirasi kali ini membahas alternatif lain yang menjadi satu-satunya pilihan selain hemodialisa rutin, yaitu transplantasi atau cangkok ginjal. Transplantasi ginjal dapat dilakukan jika terdapat derajat kecocokan yang tinggi dari Human Leukocyte Antigen (HLA) antara jaringan donor

donor dapat diterima dan tidak dihancurkan oleh sistem kekebalan tubuh pasien. Pada kenyataannya derajat kecocokan yang sangat tinggi sulit untuk ditemui sehingga setelah transplantasi, pasien masih perlu mengkonsumsi obat-obatan guna mengendalikan sistem kekebalan tubuhnya agar tidak menghancurkan ginjal yang telah di-”cangkok”-kan.

Atas dasar hal tersebut, sering kali, calon donor ginjal biasanya berasal dari pihak keluarga pasien yang sehat dan memenuhi persyaratan, dengan harapan HLA antara donor dan pasien memiliki derajat kecocokan yang cukup tinggi. Seseorang yang mendonorkan satu ginjalnya dan hidup dengan satu ginjal masih dapat beraktivitas secara normal.

Di negara-negara yang maju, ginjal yang didonorkan selain dapat berasal dari donor yang masih hidup (donor hidup/living donor), dapat juga berasal dari seseorang yang telah meninggal (cadaveric donor). Prof. Moll menjelaskan bahwa di Belanda, terdapat suatu organisasi independen nonpemerintah yang memfasilitasi antara pendonor dan penerima ginjal di bawah konsorsium transplantasi negara-negara Eropa, Eurotransplant. Hal itu memungkinkan karena semasa hidup warga negara Belanda telah diberikan pertanyaan apakah mereka bersedia untuk mendonorkan organnya. Namun, kecocokan HLA tetap menjadi kriteria utama agar transplantasi ginjal dapat dilakukan. Karena itu pula, Prof. Moll menerangkan bahwa psien penyakit ginjal kronis di Belanda dapat menunggu 2—5 tahun untuk mendapatkan ginjal yang tepat, sementara pasien tetap melakukan hemodialisa rutin. Seluruh proses itu ditanggung oleh sistem pelayanan kesehatan di Belanda sehingga pasien dan keluarganya tidak perlu untuk mengeluarkan biaya tambahan, selain membayar biaya rutin asuransi kesehatan (basiszorgverzekering).

Tidak kalah dengan Belanda, dr. Niko menyampaikan bahwa sebenarnya di Indonesia, transplantasi ginjal juga sudah merupakan prosedur yang ditanggung oleh Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sayangnya, transplantasi ginjal masih jarang dilakukan. Hal itu terja terjadi tampaknya bukan karena kekurangan sumber daya manusia yang terlatih untuk melakukan transplantasi, melainkan belum adanya sistem

22

Page 23: Jong Indonesia Edisi Februari 2015

23

Page 24: Jong Indonesia Edisi Februari 2015

25

Page 25: Jong Indonesia Edisi Februari 2015

terpadu yang memfasilitasi antara pendonor dan penerima organ. Selain itu, SJSN yang masih baru diterapkan tampaknya perlu berbenah lebih keras lagi agar masyarakat yang membutuhkan dapat menikmati pelayanan kesehatan yang prima dan tepat guna. Ada kalanya, SJSN tidak menanggung seluruh biaya prosedur medis sehingga pasien dan keluarganya masih harus mengeluarkan biaya tambahan (cost sharing).

Dalam hal ini, pemerintah tentu memegang peranan penting dalam menentukan kualitas sistem pelayanan kesehatan yang menjadi tumpuan masyarakat. Permasalahan klasik dana anggaran harus menjadi perhatian guna meningkatan kualitas sistem pelayanan kesehatan di Indonesia. Tidak dipungkiri bahwa Indonesia sebagai negara dengan ekonomi yang berkembang pesat saat ini hanya mengalokasikan sekitar 3% dana kesehatan dari seluruh anggaran pendapatan domestik bruto. Presentase itu lebih rendah dibandingkan negara-negara tetangga, seperti Malaysia, demikian papar dr. Niko.

Dengan latar belakang infrastruktur, teknologi pendukung, dan kebijakan yang belum terpadu, transplantasi yang dilakukan di Indonesia hampir selalu berasal dari donor hidup yang bersedia mendonorkan satu ginjalnya dan masih belum dapat melakukan transplantasi yang berasal dari cadaveric donor. Dibutuhkan usaha dan advokasi berkelanjutan agar prosedur medis kompleks dengan teknologi tinggi, seperti transplantasi ginjal, dapat berjalan dengan baik.

Pada akhir acara, kedua pembicara juga menekankan pentingnya mencegah penyakit ginjal dengan memperbaiki gaya hidup dan menangani penyakit-penyakit yang menyebabkan komplikasi ginjal, seperti diabetes mellitus dan hipertensi.

24

Photo: koleksi PPI Belanda

Page 26: Jong Indonesia Edisi Februari 2015

26

Pernyataan SikapPerhimpunan Pelajar Indonesia di Belanda

Terhadap Konflik KPK- Polri

Page 27: Jong Indonesia Edisi Februari 2015

27

Pernyataan SikapPerhimpunan Pelajar Indonesia di Belanda

Terhadap Konflik KPK- Polri

Memperhatikan berbagai peristiwa yang terjadi selama sebulan terakhir terkait dengan penunjukkan calon Kapolri, yang berlanjut pada konflik yang melibatkan KPK dan Polri, Kami Perhimpunan Pelajar Indonesia di Belanda (PPI Belanda) menuntut kepada seluruh jajaran pemerintahan Indonesia untuk menjalankan upaya pemberantasan korupsi dan memperhatikan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan/atau golongan.PPI Belanda dengan ini menyatakan:

1. Mendukung langkah Presiden Joko Widodo membatalkan pencalonan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri. PPI Belanda dengan ini juga mendesak DPR untuk melakukan uji kelayakan secara obyektif guna mendapatkan calon Kapolri baru yang berintegritas dan memiliki rekam jejak bersih.

2. Mendukung langkah Presiden Joko Widodo mengangkat tiga orang Plt. pimpinan KPK sebagai upaya mempertahankan kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi, menanggapi status tersangka yang dikenakan pada beberapa pimpinan KPK.

3. Kecewa dengan respon lambat Presiden Jokowi dalam menangani kasus ini. Kami berharap di kemudian hari Bapak Presiden tidak berlarut-larut dalam menentukan kebijakan.

4. Meminta KPK untuk menyelesaikan kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani, termasuk untuk memperbaiki sangkaan terhadap Budi Gunawan. Dengan demikian, kasus tersebut dapat diproses lebih lanjut.

5. Meminta Polri menyelesaikan kasus-kasus pidana dengan lebih baik dan sesuai prosedur, serta menuntaskan kasus yang disangkakan terhadap pimpinan KPK sebelumnya, yaitu Bapak Bambang Widjojanto dan Bapak Abraham Samad.

6. Meminta Pemerintah dan DPR untuk dapat lebih sigap dan cepat dalam memperbaiki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dapat meningkatkan pemberantasan korupsi.Hal ini diharapkan dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya konflik antar lembaga penegak hukum, sehingga perselisihan antara KPK dan Polri tidak terulang.

Demikian pernyataan sikap ini dibuat dan disampaikan sebagai bentuk aspirasi dan dukungan terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia.

Den Haag, 20 Februari 2015

PPI Belanda

Page 28: Jong Indonesia Edisi Februari 2015

Jong Indonesia.2015