Ageng Wiyatno*, Krisna Nur Andriana Pangesti** *Lembaga Biologi
Molekuler Eijkman,
Jalan Diponegoro No.69, Jakarta Pusat, Indonesia 10430 **Puslitbang
Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan, Badan Litbang
Kesehatan
Jl. Percetakan Negara No.23A, Jakarta Pusat, Indonesia Email:
[email protected]
BATS AND HUMAN INTERACTION: ZOONOTIC POTENTIAL IN INDONESIA
Naskah masuk :19 Juni 2017 Revisi I : 28 Agustus 2017 Revisi II :
15 September 2017 Naskah Diterima :02 Oktober 2017
Abstrak
Berbagai wabah yang disebabkan oleh emerging/re-emerging infectious
diseases (EID/REID) terjadi di beberapa negara selama dua dekade
terakhir. Beberapa kasus zoonosis EID/REID, terdapat penyakit yang
ditransmisikan dari hewan liar. Review ini mengulas tentang potensi
kelelawar sebagai salah satu sumber viral zoonosis EID/REID baik di
tingkat global maupun Indonesia serta penelitian yang dapat
dilakukan. Dalam dua dekade terakhir, berbagai jenis infeksi yang
disebabkan oleh mikroorganisme terjadi di beberapa negara dan
umumnya merupakan emerging /reemerging infectious diseases
(EID/REID). Sebagian besar kasus EID/ REID tergolong zoonosis,
yaitu penyakit yang ditularkan secara alami dari hewan ke manusia.
Kelelawar adalah hewan liar yang banyak menarik perhatian dari segi
kesehatan masyarakat global karena berhubungan dengan transmisi
penyakit-penyakit menular yang disebabkan oleh virus, seperti
Ebola, Marburg, Nipah, Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS)
Co-V dan the Middle East Respiratory Syndromes (Mers Co-V).
Kata Kunci: EID, zoonosis, kelelawar
Abstract
In the last two decades, various types of infections caused by
microorganisms occurred in some countries and most of them are
emerging /re-emerging infectious diseases (EID/REID). Majority of
EID/REID cases are a zoonosis, a disease that is naturally
transmitted from animals to human. This review discusses the bats
as a potential source of viral zoonotic both global and Indonesia,
including the research activities that have been done. In the last
two decades, various types of infections caused by microorganisms
occur in some countries and are generally emerging/re-emerging
infectious diseases (EID / REID). Most cases of EID / REID are
zoonotic, a disease that is transmitted naturally from animal to
human. Bats are wild animals that attract much attention in terms
of global public health as they relate to the transmission of
infectious diseases caused by viruses, such as Ebola, Marburg,
Nipah, Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) Co-V and the Middle
East Respiratory Syndromes Mers Co-V).
Keywords: EID, zoonotic, bats
PENDAHULUAN Selama dua dekade terakhir, berbagai jenis
infeksi
yang disebabkan oleh mikroorganisme kembali mewabah di banyak
negara, fenomena ini dikenal sebagai penyakit infeksi baru timbul
dan timbul kembali atau Emerging and Re-Emerging Infectious
Diseases (EID/REID). Istilah tersebut pertama kali digunakan dalam
laporan pertemuan Committee on Emerging Microbial Threats to Health
di Amerika Serikat pada tahun 1992 (Institute of Medicine (US)
Committee on Emerging Microbial Threats to Health, 1992). Definisi
EID/REID menurut US CDC – Atlanta adalah penyakit yang baru muncul
di suatu populasi atau sebelumnya telah ada namun menunjukkan
kenaikan jumlah insiden atau menyebar ke lokasi yang lebih luas
(Morens dan Fauci, 2012). Lebih lanjut, World Health Organization
(WHO) menyatakan pada sidang World Health Assembly (WHA) ke 48
tahun 1995 bahwa EID/REID bukan hanya menjadi ancaman bagi
wilayah/negara tertentu namun telah menjadi ancaman global (World
Health Assembly 48, 1995). Semenjak itu, EID/REID mendapat
perhatian dari banyak pihak tidak hanya kalangan pemerintah namun
juga dari para akademia.
Emerging and Re-Emerging Infectious Diseases (EID/REID) terjadi
akibat interaksi kompleks antara agen penyebab penyakit, manusia,
dan lingkungan. Faktor genetik dan biologi dari agen penyebab
penyakit maupun manusia sebagai pejamu adalah kontributor utama
munculnya EID/REID. Selain itu faktor sosial, politik dan ekonomi
juga memiliki peranan dalam proses munculnya penyakit infeksi
(Morens dan Fauci, 2013). Lebih spesifik, faktor tersebut adalah
perilaku, status demografi, kemajuan teknologi dan industri,
perkembangan ekonomi, pemanfaatan lahan, perdagangan, perjalanan
antar negara, serta menurunnya kualitas sistem kesehatan masyarakat
(Morens dan Fauci, 2013; Washer, 2011). Beberapa negara berkembang,
khususnya di wilayah Asia Tenggara, tengah menghadapi kondisi
tersebut sehingga dianggap sebagai negara-negara yang rawan
terhadap munculnya EID/REID (Rosenberg, 2015; Coker et al.,
2011).
Sekitar 60-75% dari kasus EID/REID merupakan zoonosis, yaitu
penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia, baik hewan ternak
ataupun hewan liar (Jones et al., 2008; Marano dan Pappaioanou,
2004). Hewan liar dianggap sebagai reservoir dari beberapa patogen
yang sebelumnya tidak diketahui dapat menyebabkan infeksi
pada manusia (Daszak, Cunningham dan Hyatt, 2000). Salah satu hewan
liar yang berpotensi menyebabkan zoonosis adalah kelelawar.
Kelelawar telah banyak dikaitkan dengan berbagai penyakit infeksi
virus yang berdampak besar bagi manusia seperti Ebola, Marburg,
Nipah, Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) Co-V dan Middle
East Respiratory Syndromes (MERS) Co-V. Keterlibatan kelelawar
dalam transmisi berbagai virus patogen telah banyak dilaporkan
beberapa tahun terakhir (Beranová dan Zendulková, 2016; Dato et
al., 2016; Han et al., 2015, 2016; Hayman, 2016; Host dan Damania,
2016; Leendertz et al., 2016; Rodhain, 2015; Young dan Olival,
2016). Peran kelelawar dalam transmisi zoonosis yang diduga
berkaitan dengan keunikan karakter kelelawar telah banyak ditelaah
berdasarkan data sejarah evolusi, ekologi, dan biologinya. Meskipun
begitu, perdebatan tentang karakter yang menjadikan kelelawar
begitu unik sehingga menjadi reservoir utama penyebaran virus masih
belum terjawab. Review ini akan mengulas potensi kelelawar sebagai
sumber kasus EID/REID yang bersifat zoonosis baik secara global dan
Indonesia pada khususnya.
BAHAN DAN METODE Kami melakukan tinjauan terhadap artikel
yang
melaporkan mengenai studi/ investigasi virus pada kelelawar di
Indonesia. Metode pencarian dilakukan secara sistematis pada sumber
data (databases) MEDLINE, EMBASE dan Google Scholar dengan kata
kunci; “bats and Indonesia, dan virus” (untuk artikel berbahasa
Inggris) dan “kelelawar dan Indonesia, dan virus” (untuk artikel
berbahasa Indonesia. Kriteria inklusi artikel adalah artikel yang
melaporkan penemuan virus pada kelelawar di Indonesia dan
dipublikasi antara tahun 2000 hingga April 2017. Sedangkan artikel
akan dieksklusi bila merupakan penelitian ilmu dasar (basic
science), tinjauan pustaka atau merupakan replikasi penelitian
(artikel dari satu studi dengan hasil yang sama).
HASIL DAN PEMBAHASAN Dari pencarian melalui Medline dan
Embase,
terdapat delapan artikel berbahasa Inggris yang memenuhi kriteria.
Sedangkan melalui Google scholar, terdapat satu publikasi berbahasa
Indonesia dalam kriteria. Hasil pencarian tersebut disampaikan
dalam Tabel 1.
89
be l 1
Vektora Volume 9 Nomor 2, Oktober 2017: 87 - 100
Studi untuk mendeteksi adanya bukti infeksi virus pada kelelawar di
Indonesia yang bertujuan untuk menelusuri potensi transmisi
zoonosis virus pada kelelawar dilakukan terutama untuk deteksi
virus genus Henipavirus, yaitu virus Nipah dan/atau virus Hendra (5
artikel) sebagaimana yang ditampilkan pada Tabel 1. Uji serologi
untuk membuktikan adanya paparan terhadap virus genus ini
menunjukkan adanya perbedaan tingkat positivitas (positivity rate)
pada spesies kelelawar yang berbeda. Pada P. vampyrus, tingkat
positivitas deteksi virus Nipah yang didapatkan dari 5 studi adalah
sekitar 24 persen dengan rentang antara 2,8-38,1 persen, sedangkan
pada P. Alecto (1 studi) adalah 17,2 persen. Berdasarkan penelitian
tersebut P. vampyrus di Indonesia merupakan spesies yang paling
banyak terpapar oleh Nipah virus dibandingkan dengan spesies lain.
Sebaliknya, antibodi terhadap virus Hendra ditemukan lebih banyak
pada P. Alecto (2 studi) sebanyak 18 persen daripada P. vampyrus (2
studi) adalah 1,2 persen. Penelitian tersebut membuktikan bahwa
virus Nipah dan Hendra bersirkulasi di populasi kelelawar di
Indonesia.
Selain uji serologi, studi lain berusaha mendeteksi keberadaan
material genetik virus (RNA/DNA) pada kelelawar menggunakan metode
molekular baik PCR maupun sekuensing. Terdapat tiga studi yang
melaporkan deteksi material genetik virus genus Henipavirus, dan
tiga studi mengidentifikasi virus dari keluarga Paramyxovirus genus
Rubulavirus, keluarga Coronavirus, Herpesvirus dan Polyomavirus
yang sebelumnya belum pernah diketahui. Deteksi material genetik
virus tersebut menunjukan bahwa terdapat juga berbagai macam virus
lain yang bersirkulasi di kelelawar Indonesia.
Kelelawar merupakan spesies mamalia dengan tingkat keragaman paling
tinggi, yaitu sekitar 1300 spesies dari total 6000 spesies mamalia
di permukaan bumi (Johnson, de Roode dan Fenton, 2015). Tingginya
keragaman tersebut didukung oleh bukti sejarah evolusi kelelawar
yang terpisah dari spesies mamalia lainnya jauh sebelum manusia,
lebih dari lima puluh juta tahun lalu (Simmons et al., 2008;
O’Leary et al., 2013). Variasi spesies kelelawar dapat diamati baik
dari segi morfologi dan anatomi, dari kelelawar pemakan serangga
berbobot dua gram dengan bentang sayap hanya delapan sentimeter
hingga spesies pemakan buah yang berbobot 1000 gram dengan bentang
sayap 200 cm (Calisher, C.H., et al., 2008). Selain itu, usia dan
strategi reproduksi kelelawar juga berbeda dengan mamalia lain
seukurannya. Usia maksimum kelelawar 3.5 kali lebih panjang
dibandingkan mamalia lain yang seukuran. Sebagai contoh, tikus
hidup dalam rentang waktu yang singkat, sekitar 1-2 tahun dan mampu
bereproduksi
delapan kali sepanjang hidupnya dengan jumlah anak 4-8 ekor dalam
satu siklus reproduksi. Sebaliknya, beberapa spesies kelelawar
dapat hidup hingga 30 tahun dan hanya bereproduksi 1-2 kali per
tahun dengan jumlah anak 1-3 ekor per siklus (Wilkinson dan South,
2002).
Berdasarkan jenis makanannya, kelelawar terbagi menjadi pemakan
buah, pemakan serangga, pemakan nektar, pemakan darah, dan pemakan
ikan. Kelelawar juga merupakan makhluk sosial yang hidup membentuk
koloni. Kepadatan koloni spesies pemakan serangga dapat mencapai
3000 ekor/m2, dengan jutaan individu per koloni. (Betke et al.,
2008). Koloni kelelawar pemakan buah (misalnya jenis Pteropus)
dapat terbang sejauh 18 km untuk mencari makanan. Sebagian
bermigrasi sangat jauh untuk menghindari cuaca ekstrim atau
mengikuti musim buah-buahan. Aktivitas hidup berkoloni dan
bermigrasi ini meningkatkan peluang transmisi virus antar spesies
kelelawar dan juga hewan lain (Luis et al., 2015).
Kemampuan terbang banyak dikaitkan dengan evolusi sistem imun
kelelawar terhadap penyakit. Spesies kelelawar merupakan
satu-satunya mamalia yang dapat terbang dengan tenaga sayap.
Kemampuan tersebut menjadikan kelelawar sebagai mamalia dengan
persebaran paling luas di muka bumi setelah manusia (Monroe dan
Wicander, 2014). Terbang membutuhkan banyak energi dan meningkatkan
laju metabolisme sehingga menghasilkan banyak sisa metabolisme.
Tingginya laju metabolik tersebut diduga meningkatkan dan/atau
membantu proses aktivasi sistem imun kelelawar (O’Shea et al.,
2014). Secara umum, kelelawar memiliki komponen sistem imun yang
mirip dengan manusia, namun memiliki beberapa pola respon imun yang
berbeda, diantaranya respon interferon terhadap infeksi virus dan
jumlah ekspresi immunoblobulin (Baker, Schountz dan Wang, 2013;
Zhang et al., 2013). Analisis genetik menunjukkan bahwa sistem imun
kelelawar berevolusi bersamaan dengan kemampuan terbangnya. Hal ini
berdasarkan asumsi bahwa regulasi perbaikan DNA sangat dibutuhkan
oleh kelelawar untuk menghadapi konsekuensi akibat tingginya laju
metabolisme ketika terbang (Zhang et al., 2013).
Selain efektivitas aktivasi sistem imun yang meningkat, pembakaran
energi yang dilakukan ketika terbang meningkatkan suhu tubuh
kelelawar sehingga mampu menekan jumlah virus patogen. Suhu tubuh
kelelawar ketika terbang dapat mencapai suhu 41ºC, sama seperti
yang dialami mamalia ketika demam, yaitu 38-41oC (Blatteis, 1998).
Sebaliknya, hibernasi pada kelelawar yang hidup di daerah dengan
empat musim telah terbukti menghambat replikasi virus patogen
dan
91
Interaksi Kelelawar dan Manusia: ... (Ageng Wiyatno, et. al)
mengakibatkan beberapa virus ikut mengalami masa hibernasi (Davis
et al., 2016). Perubahan suhu tubuh tersebut merupakan seleksi
alami terhadap virus yang diduga meningkatkan diversitas virus pada
kelelawar. Ko-evolusi virus dan kelelawar mengakibatkan virus mampu
bertahan pada rentang suhu yang lebar dan memperoleh keuntungan
dalam beradaptasi dengan pejamu yang baru, khususnya manusia
(O’Shea et al., 2014). Hal tersebut adalah salah satu penyebab
mengapa virus dari kelelawar dapat menimbulkan manifestasi klinis
yang lebih berat bahkan menimbulkan kematian pada pejamu baru
(selain kelelawar).
Penelitian menunjukkan bahwa jumlah virus zoonosis yang ditemukan
per spesies kelelawar lebih banyak daripada rodensia, meskipun
jumlah total virus yang ditemukan pada seluruh spesies kelelawar
(61) lebih sedikit daripada rodensia (68), dikarenakan jumlah total
populasi rodensia yang dua kali lipat lebih banyak daripada
kelelawar (Luis et al., 2013). Jumlah total rodensia dan kelelawar
adalah sekitar 62% dari seluruh mamalia di permukaan bumi, dengan
proporsi 41% rodensia dan 21% kelelawar (Luis et al., 2013).
Keberagaman spesies virus pada kelelawar juga dikaitkan dengan
kecenderungan spesies kelelawar yang berbeda untuk hidup di dalam
ekosistem yang sama (sympatry) sehingga meningkatkan interaksi satu
sama lain. (Daszak, Cunningham dan Hyatt, 2000; Luis et al., 2013).
Lebih dari 248 virus baru telah berhasil diisolasi atau terdeteksi
pada kelelawar selama 10 tahun terakhir dan beberapa virus tersebut
memiliki potensi zoonosis cukup besar, sebagai contoh adalah virus
dari keluarga Coronaviridae, Herpesviridae, Paramyxoviridae,
Adenovirus, dan Astrovirus (O’Shea et al., 2014; Young dan Olival,
2016). Potensi zoonosis virus lebih tinggi pada virus dengan ciri
bermaterial genetik RNA dan bersegmen, serta dapat bereplikasi di
sitoplasma (Pulliam JRC, Dushoff J. 2009).
Keterlibatan kelelawar dalam transmisi viral zoonosis antara lain
berkaitan dengan virus dibawah ini: a. Lyssavirus
Lyssavirus merupakan salah satu genus dari keluarga Rhabdoviridae.
Virus rabies adalah salah satu spesies Lyssavirus yang paling awal
dideteksi sebagai virus zoonosis yang diasosiasikan dengan
kelelawar (Sullivan et al., 1954). Setidaknya ada enam spesies dari
14 spesies Lyssavirus yang dapat menyebabkan rabies dan empat
spesies diantaranya ditemukan pada kelelawar (Banyard et al.,
2014). Lyssavirus adalah virus neurotropik dengan waktu inkubasi
yang sangat beragam, mulai dari 31 hari hingga 9 bulan, bahkan
hingga lebih dari 4 tahun (Shankar et al., 2012; Gardner, 1970;
Gadre et al., 2010),
tergantung pada dosis infeksi dan jenis sel yang dilalui virus
sebelum mencapai jaringan syaraf. Kasus rabies pada manusia yang
disebabkan oleh gigitan kelelawar telah banyak dilaporkan di
beberapa tempat (Francis et al., 2014; Badillo, Mantilla dan
Pradilla, 2009). Lyssavirus terbukti memiliki penyebaran geografi
yang amat luas. Hal yang menarik perhatian adalah kasus Lyssavirus
pada kelelawar dilaporkan pada negara yang telah dapat mengontrol
kasus rabies, seperti di Amerika Serikat dan Amerika Selatan.
Sedangkan di Indonesia, kasus rabies pada manusia dilaporkan
terjadi di beberapa daerah, namun kasus yang disebabkan oleh
gigitan kelelawar belum pernah dilaporkan. b. Henipavirus
Ketertarikan dunia penelitian terhadap sirkulasi virus pada
kelelawar diawali dari wabah virus Hendra dan Nipah, anggota
keluarga Paramyxoviridae dan genus Henipavirus. Virus Hendra atau
sebelumnya disebut dengan Equine morbillivirus, pertama kali
diidentifikasi pada tahun 1994 setelah terjadinya kasus kematian
kuda dan pawangnya di Hendra, Brisbane, Australia (Selvey et al.,
1995). Kasus yang sama juga terjadi di Mackay (1995) dan Queensland
(2004)(Hanna et al., 2006; Rogers et al., 1996). Penyelidikan
epidemiologi dengan menggunakan tes serologi pada kelelawar jenis
Pteropus mengindikasikan bahwa kelelawar merupakan reservoir untuk
virus Hendra. Kasus virus Hendra pada kuda masih dilaporkan terjadi
setiap tahun di Australia dengan puncak jumlah kasus terjadi pada
tahun 2011 (Mahalingam et al., 2012).
Empat tahun setelah wabah virus Hendra di Australia, terjadi wabah
ensefalitis dan penyakit saluran pernapasan pada babi dan pekerja
peternakan babi di Malaysia dan Singapura pada tahun 1998-1999
(Chua et al., 1999; Paton et al., 1999). Wabah yang awalnya diduga
disebabkan oleh virus Japanese encephalitis baru teridentifikasi
sebagai kasus yang disebabkan oleh virus Nipah pada tahun 1999.
Wabah virus Nipah di Malaysia sendiri akhirnya berhasil
dikendalikan pada akhir tahun 1999. Kelelawar dikaitkan dengan
infeksi virus Nipah, setelah hasil analisis isolat virus Nipah dari
urin kelelawar menunjukkan karakter genetik yang identik dengan
virus yang ditemukan pada manusia (Yob et al., 2001; Chua, Chua dan
Wang, 2002).
Wabah ensefalitis di Bangladesh yang disebabkan oleh kontaminasi
“raw sap” (nira mentah) oleh urin kelelawar jenis Pteropus terjadi
pada tahun 2001-2003 (Hsu et al., 2004; Rahman et al., 2012). Kasus
baru infeksi virus Nipah di Bangladesh hingga saat ini masih terus
dilaporkan, bahkan India dan Filipina telah melaporkan adanya kasus
virus Nipah (Harcourt et al., 2005; Luby et al., 2009; Chadha et
al., 2006). Selain penularan
92
Vektora Volume 9 Nomor 2, Oktober 2017: 87 - 100
melalui konsumsi nira mentah yang terkontaminasi urin kelelawar,
pada kasus Nipah di Bangladesh dan India didapatkan bukti adanya
transmisi antar manusia melalui kontak dekat dengan pasien (Gurley
et al., 2007). c. Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS)
Coronavirus Wabah SARS dimulai pada tahun 2002 dan SARS
Co-Vmenjadi pusat perhatian dunia. SARS Co-V muncul pertama kali di
Guangdong, Tiongkok, berawal dari satu sumber penularan secara
cepat menyebar ke 29 negara termasuk ke kawasan Asia Tenggara
(Hilgenfeld dan Peiris, 2013). Wabah SARS diperkirakan
mengakibatkan lebih dari 8000 kasus dan menyebabkan kematian lebih
dari 700 orang di seluruh dunia (Peiris dan Guan, 2004). Kasus SARS
Co-V tetap dilaporkan pada tahun 2003-2004 secara sporadik di
Tiongkok, namun hasil investigasi molekular menunjukkan bahwa kasus
yang terjadi pada tahun 2003-2004 disebabkan oleh virus yang
berbeda dari kasus tahun 2002 (Song et al., 2005).
Investigasi epidemiologi pada wabah SARS terjadi pada tahun 2002
mengindikasikan peran hewan sebagai sumber infeksi. Penelitian
serologi terhadap para pedagang di pasar hewan di Tiongkok
menunjukkan adanya hubungan antara kasus SARS Co-V dengan hewan
yang diperjual-belikan di pasar hewan tersebut (Song et al., 2005;
Guan et al., 2003). Awalnya, musang dianggap sebagai reservoir dari
virus ini, namun perbandingan hasil uji serologis pada musang dari
pasar hewan dengan musang di penangkaran menunjukkan bahwa musang
hanya merupakan pejamu perantara dan bukan hewan reservoir utama
SARS Co-V (Hu et al., 2015). Keterkaitan kelelawar dengan SARS
teridentifikasi setelah dilakukan surveilance SARS Co-V terhadap
berbagai jenis hewan di Hongkong, sehingga ditemukan Coronavirus
yang mirip dengan kasus SARS pada manusia pada kelelawar jenis
Rhinolopus (Guan et al., 2003). Coronavirus yang ditemukan pada
tahun 2005 kemudian disebut dengan SARS-like Coronavirus
(SL-Coronavirus). Penemuan tersebut memicu berbagai kegiatan
surveilance Coronavirus di wilayah lain sehingga memungkinkan
terdeteksinya SL-Coronavirus di Afrika pada jenis kelelawar
Hipposideros dan Chaerophon. Pada saat itu, hasil analisis genetik
terhadap SL-Coronavirus belum dapat menyimpulkan bahwa Coronavirus
dari kelelawar berkaitan dengan SARS pada manusia. Hipotesis
tersebut baru dapat dibuktikan pada tahun 2013, yaitu ketika
Coronavirus yang serupa dengan virus yang menginfeksi manusia pada
tahun 2002 terdeteksi pada kelelawar jenis Pteropus (Yang et al.,
2015). Beberapa tahun kemudian, berbagai spesies Coronavirus
lainnya terdeteksi di kelelawar, termasuk
spesies yang mirip dengan Coronavirus 229E dan NL63, jenis
Coronavirus yang sudah lama bersirkulasi di manusia (Hu et al.,
2015). d. Middle East Respiratory Syndrome (MERS)
Coronavirus Middle East Respiratory Syndrome (MERS)
merupakan strain baru dari keluarga Coronavirus yang terdeteksi
pertama kali pada kasus pneumonia berat di Saudi Arabia pada tahun
2012 (Zaki et al., 2012). Hingga akhir tahun 2016, sebanyak 1935
kasus telah dikonfirmasi di seluruh dunia, dengan 690 diantaranya
meninggal dunia (WHO | Middle East respiratory syndrome coronavirus
(MERS-CoV), 2017). Belajar dari kasus SARS, peneliti menduga adanya
peran riwayat kontak manusia dengan hewan, yaitu unta jenis Camelus
dromedary. Virus MERS yang terdeteksi pada unta di Saudi Arabia,
Qatar dan Mesir memiliki kemiripan genetik yang tinggi dengan MERS
Co-V penyebab kasus pada manusia (>99%) (Chu et al., 2014).
Merujuk kepada kasus SARS Co-V, peneliti menduga keterlibatan
kelelawar dalam transmisi virus ini (Azhar et al., 2014). Pada
tahun 2013, Memish, dkk berhasil mendeteksi sekuens parsial RNA
betacoronavirus di sampel feses dari kelelawar Taphozous perforatus
di Saudi Arabia dengan tingkat kesamaan 100% dengan MERS Co-V
(Memish et al., 2013). Meskipun begitu, transmisi MERS Co-V secara
langsung dari kelelawar ke manusia belum pernah dilaporkan. Kasus
MERS Co-V pada manusia masih dilaporkan di Semenanjung Arab hingga
saat ini, namun analisa mengindikasikan MERS Co-V tidak berpotensi
menyebabkan pandemik, setidaknya hingga saat ini (Breban, Riou dan
Fontanet, 2013; Butler, 2015). Setelah kasus MERS Co-V merebak,
berbagai jenis Coronavirus lain juga telah terdeteksi pada
kelelawar, diantaranya BtCoV-HKU4, BtCoV-HKU5, NeoCoV dan SC2013.
Berdasarkan analisis filogenetik terhadap semua Coronavirus yang
ditemukan pada kelelawar, MERS Co-V dan BtCoV- HKU5 diduga
berevolusi dari strain yang sama sekitar 400-500 tahun yang lalu.
Peneliti menduga MERS Co-V berpindah dari kelelawar ke unta yang
kemudian diekspor ke Semenanjung Arab pada sekitar 20 tahun lalu
dari Afrika (Corman et al., 2014). e. Filovirus
Virus Marburg dan Ebola merupakan anggota dari keluarga
Filoviridae. Wabah yang disebabkan oleh Filovirus dilaporkan
pertama kali di Zaire pada tahun 1976 (Broadhurst, Brooks and
Pollock, 2016). Kasus epidemi virus Ebola pada tahun 2014 menarik
perhatian para peneliti akibat tingginya angka kematian dan
transmisi antar manusia dan kontak dengan hewan liar. Keterkaitan
antara kasus infeksi Filovirus pada manusia
93
Interaksi Kelelawar dan Manusia: ... (Ageng Wiyatno, et. al)
dengan hewan sudah diduga sejak tahun 1967, ketika virus yang
berasal dari spesimen penelitian kera hijau yang diimpor dari
Uganda ke Jerman menginfeksi petugas laboratorium, namun asal virus
ini masih belum diketahui (Luby dan Sanders, 1969). Pada tahun
1975, seorang wisatawan yang tidur di dalam sebuah ruangan yang
juga menjadi sarang kelelawar pemakan serangga di Zimbabwe
dilaporkan terinfeksi virus Marburg (Conrad et al., 1978). Selain
itu, peneliti juga mengamati munculnya kasus infeksi yang
berhubungan dengan gua bekas tambang yang menjadi sarang kelelawar
sehingga diasumsikan adanya keterlibatan kelelawar dalam transmisi
virus Marburg. Selanjutnya, virus Marburg berhasil dideteksi pada
kelelawar jenis “eloquent horshoe bats” (Rhinolophus eloquens) dan
Miniopterus inflatus di tahun 1999 (Swanepoel et al., 2007). Hal
tersebut diikuti dengan keberhasilan Towner et al untuk mengisolasi
berbagai jenis Marburg virus dari Egyptian rousettes (Towner et
al., 2009). Identifikasi kasus Ebola di sekitar koloni kelelawar
dan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sel kelelawar mampu
mengamplifikasi virus ebola memperkuat bukti keterlibatan kelelawar
dalam transmisi virus Ebola (Daszak, Cunningham dan Hyatt, 2000).
Pada belahan bumi Asia, virus Ebola Reston ditemukan pada kelelawar
dan babi di Filipina pada tahun 2011, dan sejauh ini, merupakan
satu-satunya Ebola yang ditemukan di Asia (Sayama et al.,
2012).
Indonesia, sebagaimana negara di Asia Tenggara lainnya dianggap
memiliki faktor risiko tinggi sebagai lokasi munculnya EID/REID.
Berbagai faktor yang saling berinteraksi dan berpotensi
menstimulasi munculnya EID/REID, baik faktor agen penyakit, manusia
sebagai pejamu dan lingkungan dapat ditemui di Indonesia. Tingginya
keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia juga mempertinggi
peluang munculnya EID/REID yang berasal dari hewan liar. Indonesia
memiliki keanekaragaman spesies kelelawar yang tinggi, termasuk
jenis kelelawar yang terbukti berperan sebagai pejamu alami untuk
virus zoonosis. Keanekaragaman kelelawar di Indonesia menempati
15-21% dari total kelelawar di dunia, dengan sekitar 231 spesies
yang terbagi menjadi 10 keluarga dan 52 genus dengan Pteropus sp.
Sebagai genus yang paling dominan (Hylsandy, Ery Rahayu dan
Wiantoro, 2016; Suyanto, 2001, 2003).
Sebagaimana kasus viral zoonosis pada umumnya, kemunculan EID/REID
yang berasal dari kelelawar memiliki keterkaitan dengan berbagai
aktivitas manusia. Beberapa contoh kasus viral zoonosis tersebut
antara lain kemunculan virus Henipa terkait dengan pembukaan lahan
pertanian/peternakan dan pembakaran
hutan, SARS-Coronavirus dengan pasar tradisional, virus Ebola
dengan kegiatan berburu hewan liar, dan lain sebagainya. Hal
tersebut menunjukkan bahwa interaksi manusia dengan hewan dan
eksploitasi alam liar merupakan jalur transmisi yang perlu
diwaspadai.
Meskipun terdapat bukti paparan sirkulasi virus pada kelelawar di
Indonesia, hingga saat ini belum pernah dilaporkan adanya kasus
zoonosis yang ditransmisikan langsung ke manusia. Transmisi virus
kelelawar ke manusia memang tidak mudah mengingat terdapat adanya
perbedaan reseptor untuk virus yang dimiliki oleh kelelawar dan
manusia. Namun potensi terjadinya kasus zoonosis virus dari
kelelawar tetap harus diwaspadai, mengingat sebagian besar virus
zoonosis adalah virus RNA yang mudah bermutasi.
Penelitian bersama antara aspek ekologi dan penyakit infeksi juga
pernah dilakukan sebelumnya (Johnson, de Roode dan Fenton, 2015).
Meningkatnya eksploitasi sumber daya alam diantaranya konversi
hutan menjadi perkebunan, pembakaran hutan dan pembukaan lahan
tambang mempertinggi intensitas interaksi manusia dengan hewan liar
dan membuka jalur-jalur transmisi patogen baru. Faktor perilaku
manusia yang melibatkan interaksi dengan hewan liar juga berperan
dalam membuka jalur transmisi virus zoonosis, diantaranya adalah
budaya berburu, berdagang, dan mengonsumsi hewan liar khususnya
kelelawar. Perilaku manusia merupakan salah satu faktor risiko yang
mengawali wabah Ebola di Afrika yaitu aktivitas masyarakat dalam
berburu dan mengonsumsi hewan liar untuk memenuhi kebutuhan protein
(Leroy et al., 2009). Aktivitas masyarakat yang mirip juga dapat
diamati di beberapa daerah di Indonesia, antara lain Sulawesi Utara
dan Sumatera Utara. Hal yang membedakan adalah aktivitas konsumsi
hewan liar di Indonesia bukan sebagai sumber protein utama,
melainkan alternatif yang dihidangkan sesekali atau pada saat
acara-acara khusus sehingga intensitas konsumsinya tidak sebanyak
di Afrika (Saroyo, 2011; Siagian, Putro dan Mardiastuti,
2011).
Faktor lain yang berpotensi menjadi jalur transmisi virus adalah
pariwisata, pembuatan/pemanfaatan guano dari tinja kelelawar, dan
konsumsi nira mentah. Wisata alam dan olah raga berupa kunjungan ke
gua-gua atau yang dikenal dengan “Cave-tourism” semakin populer di
Indonesia. Potensi terjadinya transmisi patogen dapat terjadi
akibat interaksi antara kelelawar penghuni gua dengan pengunjung
baik secara langsung maupun tidak langsung. Pemanenan guano
(endapan tinja kelelawar) sebagai pupuk untuk pertanian mulai
banyak juga dipraktekkan di Indonesia (Suwarno dan Idris, 2007).
Hingga saat ini belum pernah dilakukan penelitian mengenai
kandungan patogen dalam guano yang
94
Vektora Volume 9 Nomor 2, Oktober 2017: 87 - 100
berpotensi menyebabkan zoonosis. Pemanenan nira di beberapa daerah
di Indonesia dilakukan dengan teknik yang mirip dengan teknik
pemanenan “palm sap” yang dilakukan di Bangladesh, yang mengawali
terjadinya wabah virus Nipah. Sejauh ini belum ada penelitian yang
menganalisis potensi risiko transmisi virus melalui konsumsi nira
mentah tersebut di Indonesia.
Pengawasan melalui kegiatan surveilance pada hewan liar dan
lingkungan perlu dilakukan untuk deteksi dini transmisi zoonosis
dari kelelawar. Pendekatan komprehensif dalam investigasi penyakit
zoonosis telah dilakukan baik di tingkat global maupun nasional
terutama sejak munculnya kasus flu burung (Influenza A/H5N1).
Pendekatan “Four-Way Linking” merupakan metode investigasi bersama,
melibatkan unsur epidemiologi, analisis laboratorium, surveilance
kesehatan masyarakat, dan kesehatan hewan bekerjasama untuk
mempercepat proses tanggap risiko kasus zoonosis (Setiawaty et al.,
2015). Pendekatan tersebut juga dapat diterapkan dalam bidang
penelitian, terutama dalam berbagi data dan fasilitas penelitian,
kolaborasi penelitian dan kerjasama membangun kapasitas sumber daya
manusia. Beberapa tantangan muncul dari pendekatan kolaborasi
tersebut antara lain adanya perbedaan prioritas antara kesehatan
masyarakat dan kesehatan hewan, belum terkoordinasinya penelitian
untuk hewan liar, dan belum optimalnya kerjasama dengan perguruan
tinggi dan lembaga riset terkait.
Penelitian yang berkaitan dengan interaksi kelelawar dan manusia di
Indonesia saat ini, berfokus pada diagnosis dan identifikasi virus
dengan berbagai keterbatasan, khususnya keterbatasan sumber daya
manusia dan fasilitas penelitian. Penelitian penyakit zoonosis pada
manusia masih sedikit dan berfokus terhadap diagnosis virus pada
spesimen pasien dengan etiologi penyakit yang tidak diketahui
melalui analisis molekular dan serologi. Sedangkan isolasi virus
yang merupakan baku emas deteksi dan identifikasi virus hanya
tersedia di laboratorium tertentu. Pada aspek lingkungan dan hewan,
terutama hewan liar, dilakukan melalui kegiatan surveilance dan
penyelidikan epidemiologi terbatas.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Penelitian komprehensif yang perlu dilakukan di Indonesia
diantaranya adalah surveilance, identifikasi dan karakterisasi
penyakit khususnya pada daerah atau lokasi dengan faktor risiko
tinggi terjadinya viral zoonosis pada jangka waktu tertentu.
Penelitian tersebut diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
risiko
transmisi virus baik mencakup karakter agen penyebab penyakit
(virulensi, kemampuan transmisi antar spesies), kerentanan baik
manusia maupun hewan/hewan liar terhadap agen penyakit, perilaku
manusia (demografi, konsumsi, pembukaan lahan, turisme, perdagangan
dan lain lain), dan lingkungan (iklim, bencana alam, perubahan
ekosistem). Penelitian lebih dalam menyangkut pola penyebaran,
fungsi biologi dari virus, dan sosio- antropologi menjadi prioritas
selanjutnya.
Saran Sebagai upaya meningkatkan kemampuan bersama
dalam melakukan penelitian zoonosis tersebut, diperlukan penguatan
jejaring kolaborasi penelitian antara kementerian terkait
(Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian
Lingkungan Hidup), Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitian dan Lembaga
Non Pemerintah melalui pemanfaatan ilnu pengetahuan dan teknologi
terkini. Penggunaan teknologi terkini perlu dilakukan untuk
memfasilitasi penelitian agar lebih akurat, efektif dan efisien
dalam mendeteksi dan mengarakterisasi virus zoonosis, salah satunya
dengan metode “Next Generation Sequencing” yang dapat
mengkarakterisasi patogen yang terdapat dalam spesimen baik
manusia, hewan dan lingkungan secara relatif lebih cepat.
Penelitian yang komprehensif terhadap patogen di manusia, hewan,
dan lingkungan khususnya di daerah dengan potensi risiko zoonosis
yang tinggi, diharapkan dapat mendeteksi dan mencegah terjadinya
transmisi penyakit zoonosis lebih dini.
UCAPAN TERIMAKASIH Kami mengucapkan terimakasih kepada Korri
Elvanita El-Khobar atas kesediaannya membaca dan memberikan masukan
terhadap artikel ini.
DAFTAR PUSTAKA Anindita, P.D., Sasaki, M., Setiyono, A.,
Handharyani,
E., Orba, Y., Kobayashi, S., Rahmadani, I., Taha, S., Adiani, S.,
Subangkit, M., Nakamura, I., Sawa, H. and Kimura, T. Detection of
coronavirus genomes in Moluccan naked-backed fruit bats in
Indonesia. 2015; Archives of Virology, 160(4), pp.1113–1118.
Azhar, E.I., El-Kafrawy, S.A., Farraj, S.A., Hassan, A.M.,
Al-Saeed, M.S., Hashem, A.M., Madani, T.A. Evidence for
camel-to-human transmission of MERS coronavirus. 2014; N. Engl. J.
Med. 370, 2499–2505. doi:10.1056/NEJMoa1401505
Badillo, R., Mantilla, J.C. Pradilla, G. [Human rabies encephalitis
by a vampire bat bite in an urban
95
Interaksi Kelelawar dan Manusia: ... (Ageng Wiyatno, et. al)
area of Colombia]. 2009; Bioméd. Rev. Inst. Nac. Salud 29,
191–203.
Baker, M.L., Schountz, T., Wang, L.-F. Antiviral immune responses
of bats: a review. 2013; Zoonoses Public Health 60, 104–116.
doi:10.1111/j.1863- 2378.2012. 01528.x
Banyard, A.C., Evans, J.S., Luo, T.R., Fooks, A.R. Lyssaviruses and
bats: emergence and zoonotic threat. 2014; Viruses 6, 2974–2990.
doi:10.3390/ v6082974
Beranová, K., Zendulková, D. [Rabies in bats]. 2016; Klin.
Mikrobiol. Infekcní Lékarství 22, 68–74.
Betke, M., Hirsh, D.E., Makris, N.C., McCracken, G.F., Procopio,
M., Hristov, N.I., Tang, S., Bagchi, A., Reichard, J.D., Horn,
J.W., Crampton, S., Cleveland, C.J., Kunz, T.H. Thermal Imaging
Reveals Significantly Smaller Brazilian Free- Tailed Bat Colonies
Than Previously Estimated. 2008; J. Mammal. 89, 18–24.
doi:10.1644/07- MAMM-A-011.1
Blatteis, C.M. FEVER, in: Physiology and Pathophysiology of
Temperature Regulation. 1998; WORLD SCIENTIFIC, pp. 177–192.
Breban, R., Riou, J., Fontanet, A. Interhuman transmissibility of
Middle East respiratory syndrome coronavirus: estimation of
pandemic risk. 2013; Lancet Lond. Engl. 382, 694–699.
doi:10.1016/S0140-6736(13)61492-0
Breed, A.C., Meers, J., Sendow, I., Bossart, K.N., Barr, J.A.,
Smith, I., Wacharapluesadee, S., Wang, L. and Field, H.E. The
Distribution of Henipaviruses in Southeast Asia and Australasia: Is
Wallace’s Line a Barrier to Nipah Virus?. 2013;PLOS ONE, 8(4),
p.e61316.
Broadhurst, M.J., Brooks, T.J.G., Pollock, N.R. Diagnosis of Ebola
Virus Disease: Past, Present, and Future. 2016; Clin. Microbiol.
Rev. 29, 773– 793. doi:10.1128/CMR.00003-16
Butler, D. South Korean MERS outbreak is not a global threat. 2015.
Nat. News. doi:10.1038/nature. 17709
Calisher, C.H., K.V. Holmes, S.R. Dominguez, T. Schountz, and P.
Cryan. Bats prove to be rich reservoirs for emerging viruses. 2008;
Microbe.
Chadha, M.S., Comer, J.A., Lowe, L., Rota, P.A., Rollin, P.E.,
Bellini, W.J., Ksiazek, T.G., Mishra, A. Nipah virus-associated
encephalitis outbreak, Siliguri, India. 2006; Emerg. Infect. Dis.
12, 235– 240. doi:10.3201/eid1202.051247
Chu, D.K.W., Poon, L.L.M., Gomaa, M.M., Shehata, M.M., Perera,
R.A.P.M., Abu Zeid, D., El Rifay, A.S., Siu, L.Y., Guan, Y., Webby,
R.J., Ali, M.A.,
Peiris, M., Kayali, G. MERS coronaviruses in dromedary camels,
Egypt. 2014; Emerg. Infect. Dis. 20, 1049–1053. doi:10.3201/
eid2006.140299
Chua, K.B., Chua, B.H., Wang, C.W. Anthropogenic deforestation, El
Niño and the emergence of Nipah virus in Malaysia. 2002; Malays. J.
Pathol. 24, 15–21.
Chua, K.B., Goh, K.J., Wong, K.T., Kamarulzaman, A., Tan, P.S.,
Ksiazek, T.G., Zaki, S.R., Paul, G., Lam, S.K., Tan, C.T. Fatal
encephalitis due to Nipah virus among pig-farmers in Malaysia.
1999; Lancet Lond. Engl. 354, 1257–1259.
doi:10.1016/S0140-6736(99)04299-3
Coker, R.J., Hunter, B.M., Rudge, J.W., Liverani, M.,
Hanvoravongchai, P. Emerging infectious diseases in southeast Asia:
regional challenges to control. 2011; Lancet Lond. Engl. 377,
599–609. doi:10.1016/S0140-6736(10)62004-1
Conrad, J.L., Isaacson, M., Smith, E.B., Wulff, H., Crees, M.,
Geldenhuys, P., Johnston, J. Epidemiologic investigation of Marburg
virus disease, Southern Africa, 1975. 1978; Am. J. Trop. Med. Hyg.
27, 1210–1215.
Corman, V.M., Ithete, N.L., Richards, L.R., Schoeman, M.C.,
Preiser, W., Drosten, C., Drexler, J.F. Rooting the phylogenetic
tree of middle East respiratory syndrome coronavirus by
characterization of a conspecific virus from an African bat. 2014;
J. Virol. 88, 11297–11303. doi:10.1128/JVI.01498- 14
Daszak, P., Cunningham, A.A., Hyatt, A.D. Emerging infectious
diseases of wildlife-threats to biodiversity and human health.
2000; Science 287, 443–449.
Dato, V.M., Campagnolo, E.R., Long, J., Rupprecht, C.E. A
Systematic Review of Human Bat Rabies Virus Variant Cases:
Evaluating Unprotected Physical Contact with Claws and Teeth in
Support of Accurate Risk Assessments. 2016; PloS One 11, e0159443.
doi:10.1371/journal.pone.0159443
Davis, A.D., Morgan, S.M.D., Dupuis, M., Poulliott, C.E., Jarvis,
J.A., Franchini, R., Clobridge, A., Rudd, R.J. Overwintering of
Rabies Virus in Silver Haired Bats (Lasionycteris noctivagans).
2016; PloS One 11, e0155542. doi:10.1371/
journal.pone.0155542
Francis, J.R., Nourse, C., Vaska, V.L., Calvert, S., Northill,
J.A., McCall, B., Mattke, A.C. Australian Bat Lyssavirus in a
child: the first reported case. 2014; Pediatrics 133, e1063-1067.
doi:10.1542/ peds.2013-1782
96
Vektora Volume 9 Nomor 2, Oktober 2017: 87 - 100
Gadre, G., Satishchandra, P., Mahadevan, A., Suja, M.S.,
Madhusudana, S.N., Sundaram, C., Shankar, S.K. Rabies viral
encephalitis: clinical determinants in diagnosis with special
reference to paralytic form. 2010; J. Neurol. Neurosurg. Psychiatry
81, 812–820. doi:10.1136/jnnp.2009.185504
Gardner, A.M. An unusual case of rabies. 1970; Lancet Lond. Engl.
2, 523.
Guan, Y., Zheng, B.J., He, Y.Q., Liu, X.L., Zhuang, Z.X., Cheung,
C.L., Luo, S.W., Li, P.H., Zhang, L.J., Guan, Y.J., Butt, K.M.,
Wong, K.L., Chan, K.W., Lim, W., Shortridge, K.F., Yuen, K.Y.,
Peiris, J.S.M., Poon, L.L.M. Isolation and characterization of
viruses related to the SARS coronavirus from animals in southern
China. 2003; Science 302, 276–278. doi:10.1126/
science.1087139
Gurley, E.S., Montgomery, J.M., Hossain, M.J., Bell, M., Azad,
A.K., Islam, M.R., Molla, M.A.R., Carroll, D.S., Ksiazek, T.G.,
Rota, P.A., Lowe, L., Comer, J.A., Rollin, P., Czub, M., Grolla,
A., Feldmann, H., Luby, S.P., Woodward, J.L., Breiman, R.F.
Person-to-person transmission of Nipah virus in a Bangladeshi
community. 2007; Emerg. Infect. Dis. 13, 1031–1037. doi:10.3201/
eid1307.061128
Han, H.-J., Wen, H., Zhou, C.-M., Chen, F.-F., Luo, L.-M., Liu, J.,
Yu, X.-J. Bats as reservoirs of severe emerging infectious
diseases. 2015; Virus Res. 205, 1–6.
doi:10.1016/j.virusres.2015.05.006
Han, H.-J., Yu, H., Yu, X.-J. Evidence for zoonotic origins of
Middle East respiratory syndrome coronavirus. 2016; J. Gen. Virol.
97, 274–280. doi:10.1099/jgv.0.000342
Hanna, J.N., McBride, W.J., Brookes, D.L., Shield, J., Taylor,
C.T., Smith, I.L., Craig, S.B., Smith, G.A. Hendra virus infection
in a veterinarian. 2006; Med. J. Aust. 185, 562–564.
Harcourt, B.H., Lowe, L., Tamin, A., Liu, X., Bankamp, B., Bowden,
N., Rollin, P.E., Comer, J.A., Ksiazek, T.G., Hossain, M.J.,
Gurley, E.S., Breiman, R.F., Bellini, W.J., Rota, P.A. Genetic
characterization of Nipah virus, Bangladesh. 2004. Emerg. Infect.
Dis. 11, 1594–1597. doi:10.3201/ eid1110.050513
Hayman, D.T.S. Bats as Viral Reservoirs. 2016; Annu. Rev. Virol.
doi:10.1146/annurev-virology- 110615-042203
Hilgenfeld, R., Peiris, M. From SARS to MERS: 10 years of research
on highly pathogenic human coronaviruses. 2013; Antiviral Res. 100,
286– 295. doi:10.1016/j.antiviral.2013.08.015
Host, K.M., Damania, B. Discovery of a Novel Bat Gammaherpesvirus.
2016; mSphere 1. doi:10.1128/mSphere.00016-16
Hsu, V.P., Hossain, M.J., Parashar, U.D., Ali, M.M., Ksiazek, T.G.,
Kuzmin, I., Niezgoda, M., Rupprecht, C., Bresee, J., Breiman, R.F.
Nipah virus encephalitis reemergence, Bangladesh. 2004. Emerg.
Infect. Dis. 10, 2082–2087. doi:10.3201/eid1012.040701
Hu, B., Ge, X., Wang, L.-F., Shi, Z. Bat origin of human
coronaviruses. 2015; Virol. J. 12, 221.
doi:10.1186/s12985-015-0422-1
Hylsandy, N., Ery Rahayu, S., Wiantoro, S. Keanekaragaman Kelelawar
di Kawasan Universitas Negeri Malang. 2016;
Institute of Medicine (US) Committee on Emerging Microbial Threats
to Health, Emerging Infections: Microbial Threats to Health in the
United States. 1992; National Academies Press (US), Washington
(DC).
Johnson, P.T.J., de Roode, J.C., Fenton, A. Why infectious disease
research needs community ecology. 2015; Science 349, 1259504.
doi:10.1126/ science.1259504
Jones, K.E., Patel, N.G., Levy, M.A., Storeygard, A., Balk, D.,
Gittleman, J.L., Daszak, P. Global trends in emerging infectious
diseases. 2008; Nature 451, 990–993. doi:10.1038/nature06536
Kobayashi, S., Sasaki, M., Nakao, R., Setiyono, A., Handharyani,
E., Orba, Y., Rahmadani, I., Taha, S., Adiani, S., Subangkit, M.,
Nakamura, I., Kimura, T. and Sawa, H., 2015. Detection of novel
polyomaviruses in fruit bats in Indonesia. Archives of Virology,
160(4), pp.1075–1082.
Leendertz, S.A.J., Gogarten, J.F., Düx, A., Calvignac- Spencer, S.,
Leendertz, F.H. Assessing the Evidence Supporting Fruit Bats as the
Primary Reservoirs for Ebola Viruses. 2016; EcoHealth 13, 18–25.
doi:10.1007/s10393-015-1053-0
Leroy, E.M., Epelboin, A., Mondonge, V., Pourrut, X., Gonzalez,
J.-P., Muyembe-Tamfum, J.-J., Formenty, P. Human Ebola outbreak
resulting from direct exposure to fruit bats in Luebo, Democratic
Republic of Congo, 2007. 2009; Vector Borne Zoonotic Dis. Larchmt.
N 9, 723– 728. doi:10.1089/vbz.2008.0167
Luby, J.P., Sanders, C.V. Green monkey disease (“Marburg virus”
disease): a new zoonosis. 1969; Ann. Intern. Med. 71,
657–660.
Luby, S.P., Hossain, M.J., Gurley, E.S., Ahmed, B.N., Banu, S.,
Khan, S.U., Homaira, N., Rota, P.A., Rollin, P.E., Comer, J.A.,
Kenah, E., Ksiazek, T.G.,
97
Rahman, M. Recurrent zoonotic transmission of Nipah virus into
humans, Bangladesh, 2001- 2007. 2009; Emerg. Infect. Dis. 15,
1229–1235. doi:10.3201/eid1508.081237
Luis, A.D., Hayman, D.T.S., O’Shea, T.J., Cryan, P.M., Gilbert,
A.T., Pulliam, J.R.C., Mills, J.N., Timonin, M.E., Willis, C.K.R.,
Cunningham, A.A., Fooks, A.R., Rupprecht, C.E., Wood, J.L.N., Webb,
C.T. A comparison of bats and rodents as reservoirs of zoonotic
viruses: are bats special? 2013; Proc. Biol. Sci. 280, 20122753.
doi:10.1098/rspb.2012.2753
Luis, A.D., O’Shea, T.J., Hayman, D.T.S., Wood, J.L.N., Cunningham,
A.A., Gilbert, A.T., Mills, J.N., Webb, C.T. Network analysis of
host- virus communities in bats and rodents reveals determinants of
cross-species transmission. 2015; Ecol. Lett.
doi:10.1111/ele.12491
Mahalingam, S., Herrero, L.J., Playford, E.G., Spann, K., Herring,
B., Rolph, M.S., Middleton, D., McCall, B., Field, H., Wang, L.-F.
Hendra virus: an emerging paramyxovirus in Australia. 2012; Lancet
Infect. Dis. 12, 799–807. doi:10.1016/ S1473-3099(12)70158-5
Marano, N., Pappaioanou, M. Historical, new, and reemerging links
between human and animal health. 2004; Emerg. Infect. Dis. 10,
2065–2066. doi:10.3201/eid1012.041037
Memish, Z.A., Mishra, N., Olival, K.J., Fagbo, S.F., Kapoor, V.,
Epstein, J.H., Alhakeem, R., Durosinloun, A., Al Asmari, M., Islam,
A., Kapoor, A., Briese, T., Daszak, P., Al Rabeeah, A.A., Lipkin,
W.I. Middle East respiratory syndrome coronavirus in bats, Saudi
Arabia. 2013; Emerg. Infect. Dis. 19, 1819–1823. doi:10.3201/
eid1911.131172
Monroe, J.S., Wicander, R. The Changing Earth: Exploring Geology
and Evolution. 2014; Cengage Learning.
Morens, D.M., Fauci, A.S. Emerging Infectious Diseases: Threats to
Human Health and Global Stability. 2013; PLOS Pathog. 9, e1003467.
doi:10.1371/ journal.ppat.1003467
Morens, D.M., Fauci, A.S. Emerging Infectious Diseases in 2012: 20
Years after the Institute of Medicine Report. 2012; mBio 3,
e00494-12. doi:10.1128/ mBio.00494-12
O’Leary, M.A., Bloch, J.I., Flynn, J.J., Gaudin, T.J.,
Giallombardo, A., Giannini, N.P., Goldberg, S.L., Kraatz, B.P.,
Luo, Z.-X., Meng, J., Ni, X., Novacek, M.J., Perini, F.A., Randall,
Z.S., Rougier, G.W., Sargis, E.J., Silcox, M.T.,
Simmons, N.B., Spaulding, M., Velazco, P.M., Weksler, M., Wible,
J.R., Cirranello, A.L. The Placental Mammal Ancestor and the
Post–K-Pg Radiation of Placentals. 2013; Science 339, 662– 667.
doi:10.1126/science.1229237
O’Shea, T.J., Cryan, P.M., Cunningham, A.A., Fooks, A.R., Hayman,
D.T.S., Luis, A.D., Peel, A.J., Plowright, R.K., Wood, J.L.N. Bat
flight and zoonotic viruses. 2014; Emerg. Infect. Dis. 20, 741–745.
doi:10.3201/eid2005.130539
Paton, N.I., Leo, Y.S., Zaki, S.R., Auchus, A.P., Lee, K.E., Ling,
A.E., Chew, S.K., Ang, B., Rollin, P.E., Umapathi, T., Sng, I.,
Lee, C.C., Lim, E., Ksiazek, T.G. Outbreak of Nipah-virus infection
among abattoir workers in Singapore. 1999; Lancet Lond. Engl. 354,
1253–1256. doi:10.1016/ S0140-6736(99)04379-2
Peiris, J.S.M., Guan, Y. Confronting SARS: a view from Hong Kong.
2004; Philos. Trans. R. Soc. Lond. B. Biol. Sci. 359, 1075–1079.
doi:10.1098/ rstb.2004.1482
Rahman, M.A., Hossain, M.J., Sultana, S., Homaira, N., Khan, S.U.,
Rahman, M., Gurley, E.S., Rollin, P.E., Lo, M.K., Comer, J.A.,
Lowe, L., Rota, P.A., Ksiazek, T.G., Kenah, E., Sharker, Y., Luby,
S.P. Date palm sap linked to Nipah virus outbreak in Bangladesh,
2008. 2012; Vector Borne Zoonotic Dis. Larchmt. N 12, 65–72.
doi:10.1089/ vbz.2011.0656
Rodhain, F. [Bats and Viruses: complex relationships]. 2015; Bull.
Société Pathol. Exot. 1990 108, 272– 289.
doi:10.1007/s13149-015-0448-z
Rogers, R.J., Douglas, I.C., Baldock, F.C., Glanville, R.J.,
Seppanen, K.T., Gleeson, L.J., Selleck, P.N., Dunn, K.J.
Investigation of a second focus of equine morbillivirus infection
in coastal Queensland. 1996; Aust. Vet. J. 74, 243–244.
Rosenberg, R. Detecting the emergence of novel, zoonotic viruses
pathogenic to humans. 2015; Cell. Mol. Life Sci. CMLS 72,
1115–1125. doi:10.1007/s00018-014-1785-y
Saroyo, S. Konsumsi Mamalia, Burung, dan Reptil Liar Pada
Masyarakat Sulawesi Utara dan Aspek Konservasinya. 2011; BIOSLOGOS
1.
Sasaki, M., Setiyono, A., Handharyani, E., Kobayashi, S.,
Rahmadani, I., Taha, S., Adiani, S., Subangkit, M., Nakamura, I.,
Sawa, H., Kimura, T. Isolation and characterization of a novel
alphaherpesvirus in fruit bats. 2014; J. Virol. 88, 9819–9829.
doi:10.1128/JVI.01277-14
Sasaki, M., Setiyono, A., Handharyani, E., Rahmadani, I., Taha, S.,
Adiani, S., Subangkit, M., Sawa, H.,
98
Vektora Volume 9 Nomor 2, Oktober 2017: 87 - 100
Nakamura, I., Kimura, T. Molecular detection of a novel
paramyxovirus in fruit bats from Indonesia. 2012; Virol. J. 9, 240.
doi:10.1186/1743-422X-9- 240
Sayama, Y., Demetria, C., Saito, M., Azul, R.R., Taniguchi, S.,
Fukushi, S., Yoshikawa, T., Iizuka, I., Mizutani, T., Kurane, I.,
Malbas, F.F., Lupisan, S., Catbagan, D.P., Animas, S.B., Morales,
R.G., Lopez, E.L., Dazo, K.R.C., Cruz, M.S., Olveda, R., Saijo, M.,
Oshitani, H., Morikawa, S. A seroepidemiologic study of Reston
ebolavirus in swine in the Philippines. 2012; BMC Vet. Res. 8, 82.
doi:10.1186/1746-6148-8-82
Selvey, L.A., Wells, R.M., McCormack, J.G., Ansford, A.J., Murray,
K., Rogers, R.J., Lavercombe, P.S., Selleck, P., Sheridan, J.W.
Infection of humans and horses by a newly described morbillivirus.
1995; Med. J. Aust. 162, 642–645.
Sendow, I., Field, H., R.M Abdul, A., Syafriati, T., Darminto,
Morissy, C. and Daniels, P. Seroepidemiologi Nipah virus pada
Kalong dan Ternak Babi di Beberapa Wilayah di Indonesia. 2013;
p.9(1);31-38.
Sendow, I., Field, H.E., Adjid, A., Ratnawati, A., Breed, A.C.,
Darminto, null, Morrissy, C. and Daniels, P. Screening for Nipah
virus infection in West Kalimantan province, Indonesia.
2010;Zoonoses and Public Health, 57(7–8), pp.499–503.
Sendow, I., Field, H.E., Curran, J., Morrissy, C., Meehan, G.,
Buick, T. and Daniels, P. Henipavirus in Pteropus vampyrus Bats,
Indonesia. 2006; Emerging Infectious Diseases, 12(4), pp.711–
712.
Sendow, I., Ratnawati, A., Taylor, T., Adjid, R.M.A., Saepulloh,
M., Barr, J., Wong, F., Daniels, P. and Field, H., Nipah Virus in
the Fruit Bat Pteropus vampyrus in Sumatera, Indonesia. 2013. PLOS
ONE, 8(7), p.e69544.
Setiawaty, V., Dharmayanti, N.L.P.I., Misriyah, null, Pawestri,
H.A., Azhar, M., Tallis, G., Schoonman, L. and Samaan, G. Avian
Influenza A(H5N1) Virus Outbreak Investigation: Application of the
FAO-OIE-WHO Four-way Linking Framework in Indonesia. 2015; Zoonoses
and Public Health, 62(5), pp.381–387.
Shankar, S.K., Mahadevan, A., Sapico, S.D., Ghodkirekar, M.S.G.,
Pinto, R.G.W. and Madhusudana, S.N. Rabies viral encephalitis with
proable 25 year incubation period! .2012;Annals of Indian Academy
of Neurology, 15(3), pp.221–223.
Siagian, R.A.P., Putro, H.R. and Mardiastuti, A. Perburuan dan
perdagangan beberapa jenis
kelelawar di dalam dan sekitar Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera
Utara. 2011;[online] Available at:
<http://repository.ipb.ac.id/xmlui/ handle/123456789/47785>
[Accessed 27 Apr. 2017].
Simmons, N.B., Seymour, K.L., Habersetzer, J. and Gunnell, G.F.
Primitive Early Eocene bat from Wyoming and the evolution of flight
and echolocation. 2008; Nature, 451(7180), pp.818– 821.
Song, H.-D., Tu, C.-C., Zhang, G.-W., Wang, S.-Y., Zheng, K., Lei,
L.-C., Chen, Q.-X., Gao, Y.-W., Zhou, H.-Q., Xiang, H., Zheng,
H.-J., Chern, S.- W.W., Cheng, F., Pan, C.-M., Xuan, H., Chen,
S.-J., Luo, H.-M., Zhou, D.-H., Liu, Y.-F., He, J.-F., Qin, P.-Z.,
Li, L.-H., Ren, Y.-Q., Liang, W.-J., Yu, Y.-D., Anderson, L., Wang,
M., Xu, R.-H., Wu, X.-W., Zheng, H.-Y., Chen, J.-D., Liang, G.,
Gao, Y., Liao, M., Fang, L., Jiang, L.-Y., Li, H., Chen, F., Di,
B., He, L.-J., Lin, J.-Y., Tong, S., Kong, X., Du, L., Hao, P.,
Tang, H., Bernini, A., Yu, X.-J., Spiga, O., Guo, Z.-M., Pan,
H.-Y., He, W.-Z., Manuguerra, J.-C., Fontanet, A., Danchin, A.,
Niccolai, N., Li, Y.-X., Wu, C.-I. and Zhao, G.-P. Cross-host
evolution of severe acute respiratory syndrome coronavirus in palm
civet and human. 2005; Proceedings of the National Academy of
Sciences of the United States of America, 102(7),
pp.2430–2435.
Sullivan, T.D., Grimes, J.E., Eads, R.B., Menzies, G.C. and Irons,
J.V. Recovery of rabies virus from colonial bats in Texas. 1954;
Public Health Reports, 69(8), pp.766–768.
Suwarno, Idris, K. Potential and Possibility of Direct Use of Guano
as Fertilizer in Indonesia. 2007; J. Ilmu Tanah Dan Lingkungan.
9.
Suyanto, A. Kelelawar Pemakan Buah dari Taman Nasional Gunung
Halimun. 2003; Zoo Indonesia.
Suyanto, A. Seri Panduan Lapangan:Kelelawar di Indonesia. 2001;
Balai Penelitian dan Pengembangan Zoologi, Bogor.
Swanepoel, R., Smit, S.B., Rollin, P.E., Formenty, P., Leman, P.A.,
Kemp, A., Burt, F.J., Grobbelaar, A.A., Croft, J., Bausch, D.G.,
Zeller, H., Leirs, H., Braack, L.E.O., Libande, M.L., Zaki, S.,
Nichol, S.T., Ksiazek, T.G., Paweska, J.T. International Scientific
and Technical Committee for Marburg Hemorrhagic Fever Control in
the Democratic Republic of Congo. Studies of reservoir hosts for
Marburg virus. Emerg. 2007; Infect. Dis. 13, 1847–1851.
doi:10.3201/eid1312.071115
99
Interaksi Kelelawar dan Manusia: ... (Ageng Wiyatno, et. al)
Towner, J.S., Amman, B.R., Sealy, T.K., Carroll, S.A.R., Comer,
J.A., Kemp, A., Swanepoel, R., Paddock, C.D., Balinandi, S.,
Khristova, M.L., Formenty, P.B.H., Albarino, C.G., Miller, D.M.,
Reed, Z.D., Kayiwa, J.T., Mills, J.N., Cannon, D.L., Greer, P.W.,
Byaruhanga, E., Farnon, E.C., Atimnedi, P., Okware, S.,
Katongole-Mbidde, E., Downing, R., Tappero, J.W., Zaki, S.R.,
Ksiazek, T.G., Nichol, S.T., Rollin, P.E. Isolation of genetically
diverse Marburg viruses from Egyptian fruit bats. 2009; PLoS
Pathog. 5, e1000536. doi:10.1371/journal. ppat.1000536
Washer, P. Lay perceptions of emerging infectious diseases: a
commentary. 2011; Public Underst. Sci. 20, 506–512.
doi:10.1177/0963662511406468
WHO | Middle East respiratory syndrome coronavirus (MERS-CoV) [WWW
Document], n.d. WHO. URL http://www.who.int/emergencies/mers-cov/
en/ (accessed 5.15.17).
Wilkinson, G.S., South, J.M. Life history, ecology and longevity in
bats. 2002; Aging Cell 1, 124–131.
doi:10.1046/j.1474-9728.2002.00020.x
World Health Assembly 48. Communicable diseases prevention and
control: new, emerging and re- emerging infectious diseases. 1995;
WHO. Agenda item 19:WHA48.13
Yang, X.-L., Hu, B. Wang, B., Wang, M.-N., Zhang, Q., Zhang, W.,
Wu, L.-J., Ge, X.-Y., Zhang, Y.-Z., Daszak, P., Wang, L.-F., Shi,
Z.-L. Isolation and
Characterization of a Novel Bat Coronavirus Closely Related to the
Direct Progenitor of Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus.
2015; J. Virol. 90, 3253–3256. doi:10.1128/JVI.02582- 15
Yob, J.M., Field, H. Rashdi, A.M., Morrissy, C., van der Heide, B.,
Rota, P., bin Adzhar, A., White, J., Daniels, P., Jamaluddin, A.,
Ksiazek, T. Nipah virus infection in bats (order Chiroptera) in
peninsular Malaysia. 2001; Emerg. Infect. Dis. 7, 439–441.
doi:10.3201/eid0703.010312
Young, C.C.W., Olival, K.J. Optimizing Viral Discovery in Bats.
2016; PloS One 11, e0149237. doi:10.1371/journal.pone.0149237
Zaki, A.M., van Boheemen, S., Bestebroer, T.M., Osterhaus,
A.D.M.E., Fouchier, R.A.M. Isolation of a novel coronavirus from a
man with pneumonia in Saudi Arabia. 2012; N. Engl. J. Med. 367,
1814–1820. doi:10.1056/NEJMoa1211721
Zhang, G., Cowled, C., Shi, Z., Huang, Z., Bishop-Lilly, K.A.,
Fang, X., Wynne, J.W., Xiong, Z., Baker, M.L., Zhao, W.,
Tachedjian, M., Zhu, Y., Zhou, P., Jiang, X., Ng, J., Yang, L., Wu,
L., Xiao, J., Feng, Y., Chen, Y., Sun, X., Zhang, Y., Marsh, G.A.,
Crameri, G., Broder, C.C., Frey, K.G., Wang, L.-F. and Wang, J.
Comparative analysis of bat genomes provides insight into the
evolution of flight and immunity. 2013; Science (New York, N.Y.),
339(6118), pp.456–460.
100