34
PENGADOPSIAN INTERNATIONAL FI NANCIAL  REPORTING STANDARDS: IMPLIKASI UNTUK INDONESIA UNIVERSITAS GADJAH MADA Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada Oleh: Prof. Dr. Indra Wijaya Kusuma, M.B.A., Akt.

Indra Wijaya Kusuma-cover

Embed Size (px)

Citation preview

  • PENGADOPSIAN INTERNATIONAL FINANCIAL REPORTING STANDARDS: IMPLIKASI

    UNTUK INDONESIA

    UNIVERSITAS GADJAH MADA

    Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ekonomi

    Universitas Gadjah Mada

    Oleh: Prof. Dr. Indra Wijaya Kusuma, M.B.A., Akt.

  • PENGADOPSIAN INTERNATIONAL FINANCIAL REPORTING STANDARDS: IMPLIKASI

    UNTUK INDONESIA

    UNIVERSITAS GADJAH MADA

    Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ekonomi

    Universitas Gadjah Mada

    Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada pada tanggal 21 Mei 2007

    di Yogyakarta

    Oleh: Prof. Dr. Indra Wijaya Kusuma, M.B.A., Akt.

  • Yang terhormat Ketua dan Para Anggota Majelis Wali Amanat Universitas Gadjah Mada

    Yang terhormat Ketua, Sekretaris, dan Anggota Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada

    Yang terhormat Ketua, Sekretaris, dan Anggota Majelis Senat Akademik Universitas Gadjah Mada

    Yang terhormat Rektor, Wakil Rektor Senior, dan Wakil Rektor Universitas Gadjah Mada

    Yang terhormat Dekan, Wakil Dekan, Dosen, dan Sivitas Akademika Universitas Gadjah Mada

    Yang terhormat Kolega, Keluarga dan Tamu Undangan

    Selamat Pagi dan Salam Sejahtera Bagi Kita Semua

    Puji syukur kepada Allah yang telah melimpahkan karunia dan rahmat kepada kita semua sehingga kita bisa bersama di ruang Senat yang agung ini dalam keadaan sehat. Pada saat yang berbahagia ini saya memperoleh kehormatan untuk bisa menyampaikan pidato pengukuhan sebagai Guru Besar pada Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Pidato ini berangkat dari maraknya isu globalisasi pasar modal dan adanya trend di seluruh dunia untuk mengadopsi standar global. Masalah ini sangat krusial untuk dipertimbangkan dengan serius karena akan menyangkut nasib profesi di kemudian hari. Oleh karena itu, saya memberanikan diri untuk berdiri di hadapan hadirin yang terhormat untuk menyampaikan pidato yang berjudul:

    PENGADOPSIAN INTERNATIONAL FINANCIAL REPORTING STANDARDS: IMPLIKASI

    UNTUK INDONESIA

    Hadirin yang saya muliakan,

    Sir David Tweedie, chairman dari International Accounting Standards Board (IASB) di hadapan Committee on Banking, Housing, and Urban Affairs of the US Senate pada tanggal 9 September 2004 mengatakan:

  • 2

    As the worlds capital markets integrate, the logic of a single set of accounting standards is evident. A single set of international standards will enhance comparability of financial information and should make the allocation of capital across borders more efficient.

    Sir David Tweedie adalah yang paling bertanggungjawab terhadap upaya pengadopsian International Financial Reporting Standards (IFRS) sebagai standar global di banyak negara.

    Globalisasi sudah merambah ke bidang pasar keuangan (financial markets). Pasar modal telah tumbuh di hampir seluruh negara di dunia. Integrasi pasar modal sudah terjadi. Cross-border listing sudah banyak dilakukan. Demikian juga, investor dapat akses ke pasar modal di seluruh dunia melalui perantaraan perusahaan investasi.

    Ketika PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) Tbk mendaftarkan saham perusahaan ke bursa saham New York (NYSE) mereka tentu sudah memikirkan konsekuensi untuk mematuhi aturan di pasar modal asing, termasuk penggunaan standar akuntansi yang dapat diterima di berbagai negara. Laporan keuangan PT Telkom yang menggunakan prinsip akuntansi berterima umum (PABU1) Indonesia tentunya tidak dapat diterima oleh pasar modal luar negeri begitu saja karena penggunaan PABU Indonesia tidak dikenal dunia internasional.2

    Pengalaman PT Telkom dan perusahaan-perusahaan lain yang melakukan listing saham di pasar modal asing akan berbeda bila PABU Indonesia telah mengadopsi IFRS. Sampai awal tahun 2007, sudah semakin banyak negara yang mengadopsi IFRS, bahkan Amerika yang selama beberapa waktu yang lalu tidak mau mengakui

    1 Istilah prinsip akuntansi berterima umum (PABU) adalah padanan kata

    generally accepted accounting principles (GAAP). 2 Di Bursa saham New York (NYSE), saham PT Telkom dijual dalam bentuk

    American Depository Receipts (ADR) sehingga mengurangi kewajiban untuk menggunakan US GAAP. ADR adalah saham di Amerika untuk perusahaan non-Amerika yang terdaftar di Amerika yang menggunakan the US Securities Act of 1934 (Kang 2003).

  • 3

    IFRS telah berubah sejak beberapa tahun terakhir ini. Meskipun Amerika tidak menggunakan IFRS tetapi mereka mulai mengakui penggunaan IFRS oleh perusahaan asing yang terdaftar di bursa sahamnya. Selain itu, Amerika juga sudah mulai melakukan usaha konvergensi antara Statement of Financial Accounting Standards (SFAS) dengan IFRS.

    Hadirin yang terhormat,

    Bagaimana posisi Indonesia dalam hal ini? Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sebagai anggota International Federation of Accountants (IFAC)3 harus mematuhi Statement of Membership Obligations (SMO) yang disyaratkan oleh IFAC. SMO No 7 mewajibkan anggota IFAC untuk melakukan upaya maksimal untuk menginkorporasi IFRS dan membantu implementasi IFRS di negaranya. Persyaratan ini diberlakukan efektif sejak 31 Desember 2004. Arah kesana sudah jelas ada. Dewan standar akuntansi keuangan (DSAK) menyiratkan bahwa mereka akan menghilangkan perbedaan-perbedaan dengan IFRS di akhir tahun 2008 (Media Akuntansi, 2006a). Bapepam juga pada prinsipnya mendukung konvergensi ke arah IFRS (Media Akuntansi, 2006b). Bahkan, Menteri Keuangan dalam sambutannya pada seminar internasional yang diselenggarakan oleh IAI pada tanggal 31 Maret 2006 di Jakarta mengemukakan:

    to reinstate the position of Indonesia that we have a special interest in the accounting convergence program promoted by the international accounting community to expedite the flow of business across nation.

    Berangkat dari wacana yang berkembang di atas, tulisan ini berisi pemikiran mengenai model seperti apa yang cocok untuk diaplikasikan di Indonesia dengan mempertimbangkan argumen yang diambil dari teori maupun praktik.

    3 International Federation of Accountants (IFAC) merupakan organisasi profesi akuntan di dunia dengan 155 anggota dari 118 negara yang mewakili kurang lebih 2.5 juta akuntan. Indonesia sudah menjadi anggota IFAC sejak tahun 1977.

  • 4

    Dari Standardisasi ke Konvergensi

    Hadirin yang berbahagia,

    Kebutuhan adanya standar akuntansi yang bermutu sudah disadari sejak lama. Pada tahun 1973 dibentuklah International Accounting Standard Committee (IASC)4 yang diberi tugas untuk menyusun International Accounting Standards (IAS). Pada awal pembentukannya, jiwa IAS yang ditanamkan oleh IASC adalah standardisasi. Standardisasi yang diinginkan adalah one standard for all (global standard). Harapan bahwa IAS akan digunakan oleh seluruh negara di dunia kandas. Harapan tersebut dilandasi oleh kebutuhan investor internasional agar komparasi laporan keuangan antar perusahaan yang terletak pada jurisdiksi negara yang berbeda dapat diperbandingkan secara langsung.

    Tanpa adanya standar universal, perusahaan multinasional merespon dengan beberapa cara, yaitu dengan (1) convinience translation, (2) convinience statement, (3) multiple reporting, dan (4) reconciliation report (Haskins et al., 2000). Sebagai contoh nyata, Untuk tahun 1993, perusahaan Jerman Daimler-Benz AG (sebelum merjer dengan Chrysler) melaporkan rugi dengan menggunakan GAAP Amerika untuk konsumsi bursa saham di Amerika sebesar 1 Milyar Dolar Amerika, padahal dengan menggunakan GAAP Jerman di bursa sahamnya melaporkan laba sebesar 370 Juta Dolar (Epstein and Mirza, 2001).

    Demikian juga, investor yang membandingkan angka laba antara perusahaan di Jepang dan di Amerika harus melakukan adjustment terhadap angka laba di Jepang menuju ke penggunaan GAAP Amerika. Jepang yang lebih konservatif dalam pengakuan akuntansinya akan menghasilkan laba yang lebih rendah untuk perusahaan yang setara dengan yang di Amerika. Akibatnya, perbedaan antara price-earnings ratios antara kedua negara menjadi sangat besar (Fuhrman, 1988; Vosti, 1989; Fikre, 1991; Aron, 1991; French and Poterba, 1991; dan Kusuma, 2005). Rekonsiliasi yang dilakukan dengan cara menggunakan adjustment terhadap laba

    4 IASC didirikan oleh organisasi profesi di Australia, Kanada, Jerman, Irlandia, Jepang, Meksiko, Belanda, Inggris, dan Amerika.

  • 5

    perusahaan Jepang akan mengurangi perbedaan price-earnings ratio tersebut.

    Penggunaan satu standar merupakan impian yang indah namun impian tersebut hanyalah tetap impian. Walaupun organisasi profesi akuntansi di Amerika ikut membidani lahirnya IASC, namun otoritas di Amerika tidak mau mengakui IAS sebagai standar akuntansi untuk perusahaan yang terdaftar di pasar modal mereka. Akibatnya, IAS hanya digunakan di beberapa negara saja sehingga manfaat teoritis dari standar internasional belum bisa tercapai.

    Upaya IASC akhirnya dialihkan menjadi upaya harmonisasi yang berbeda jiwa dengan standardisasi. Harmonisasi adalah upaya untuk memahami perbedaan standar antar negara dan mengupayakan rekonsiliasi agar dapat diperbandingkan. Nampaknya upaya harmonisasi mendapat tempat yang lebih berkenan di dunia internasional. Pada prinsipnya, harmonisasi berarti biarkan yang berbeda tetap berbeda, namun perbedaan dapat dijelaskan (Kusuma, 2001).

    Pada tahun 2001, IASC mengubah struktur organisasi mereka dengan membentuk International Accounting Standard Board (IASB) yang menangani IFRS (kelanjutan dari IAS). IASB lebih independen dari IASC berkaitan dengan organisasi profesi akuntansi. IASB bekerjasama dengan organisasi penyusun standar akuntansi di berbagai negara. Bersamaan dengan itu, upaya pengadopsian dan konvergensi IFRS menjadi lebih intensif. IASB aktif bekerjasama dengan FASB (Amerika) dan the Accounting Standards Board of Japan untuk upaya konvergensi. Walaupun upaya tersebut makin mengkristal, namun standardisasi tidaklah akan tercapai. Kini dengan 158 organisasi anggota dari 118 negara (Radebaugh et al., 2006), IASB akan lebih berperan sebagai penyusun standar yang banyak digunakan di dunia. IFRS akan diacu oleh lebih banyak negara dibandingkan dengan SFAS Amerika.

    Pertanyaan yang timbul adalah: Benarkah IFRS merupakan standar yang lebih baik dibandingkan dengan SFAS Amerika yang telah lebih dulu muncul dan berkembang pesat?

  • 6

    Pro Kontra IFRS

    Hadirin yang saya hormati,

    Tujuan utama IFRS adalah: (1) Mengembangkan satu set standar akuntansi berkualitas tinggi yang dapat dipaksakan, (2) Menyediakan informasi dalam laporan keuangan yang transparan dan dapat diperbandingkan, (3) Membantu pasar modal untuk mengambil keputusan ekonomi, (4) Mencapai konvergensi antara standar akuntansi nasional dan internasional (Field, 2004).

    Keuntungan utama dari pengadopsian IFRS adalah mening-katkan daya banding laporan keuangan sehingga memungkinkan perusahaan multinasional melewati batas negara (Saudagaran, 2001). Bagi investor asing, pengadopsian IFRS akan membuat mereka menjadi lebih mudah memahami laporan keuangan perusahaan sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang lebih baik berdasarkan informasi tersebut. Hal ini tidak dimungkinkan bila standar akuntansi yang digunakan dalam laporan keuangan tersebut tidak dikenal oleh investor.

    Bagi perusahaan multinasional, keuntungan pengadopsian IFRS dapat ditinjau dari dua segi: dari segi biaya dan segi cost of capital. Dari segi efisiensi biaya, perusahaan multinasional tidak perlu membuat multiple reporting untuk memenuhi kebutuhan investor dalam negeri maupun luar negeri. Dengan satu standar (IFRS) yang telah diakui oleh banyak bursa saham di dunia, maka perusahaan hanya cukup membuat satu versi saja yang sangat menghemat biaya perusahaan. Dari segi cost of capital, perusahaan akan memperoleh manfaat murahnya biaya modal perusahaan karena kepercayaan investor menjadi semakin tinggi. Tingginya kepercayaan ini tidak lepas dari semakin mudahnya laporan keuangan dipahami dan semakin rendahnya asimetri informasi.

    Keuntungan lain diperoleh negara yang tidak mempunyai sumberdaya yang cukup untuk menyusun standar yang bermutu sehingga lebih baik mengadopsi standar internasional yang sudah ada daripada membuat sendiri. IFRS merupakan standar yang proses penyusunannya telah melewati tahap yang panjang sehingga standar tersebut tidak diragukan lagi untuk diadopsi.

  • 7

    Namun di balik keuntungan tersebut, banyak kritik yang dilancarkan terhadap pengadopsian IFRS. Hal pertama yang paling sensitif adalah isu nasionalisme. Pengadopsian IFRS akan mengesankan lemahnya profesi dan pemerintah. Kebanggaan nasional akan hilang karena dianggap tidak mampu untuk menghasilkan sendiri standar yang bermutu.

    Kedua, standardisasi bagaikan senjata bersisi dua. Di satu sisi standardisasi akan meningkatkan daya saing. Namun di sisi lain, standardisasi menjadikan standar yang diadopsi kurang sesuai dengan lingkungan dan kultur suatu negara. Dengan demikian, standar global bukan merupakan first-best standard, melainkan hanya second best standard. Standar tersebut tidak fleksibel untuk menangani berbagai masalah dengan latar belakang, tradisi, dan lingkungan ekonomi yang berbeda.

    Ketiga, hanya perusahaan multinasional yang besar saja yang akan menerima manfaat dari standar internasional. Bahkan, ada hal yang ditakuti yaitu pengadopsian standar internasional akan menyebabkan standards overload untuk perusahaan yang lebih kecil dan bukan multinasional. Jumlah perusahaan besar jauh lebih sedikit daripada perusahaan kecil dan menengah (Choi et al., 2002).

    Benarkah Relevansi lebih Diutamakan?

    Hadirin yang saya muliakan

    Ada yang berpendapat bahwa IFRS sudah bias kepada relevansi dibandingkan dengan reliabilitas. Benarkah demikian? Karakteristik informasi dapat dipandang sebagai suatu hirarkhi kualitas. Kebergunaan informasi dalam pengambilan keputusan merupakan yang paling penting. Relevansi dan reliabilitas merupakan dua kualitas utama yang membuat informasi akuntansi menjadi berguna dalam pengambilan keputusan (Johnson, 2005). Kebergunaan informasi akuntansi dalam pengambilan keputusan akan hilang bila salah satu dari relevansi atau reliabilitas tidak ada (FASB, 1992). Padahal, kedua kualitas tersebut bersifat trade-off antara satu dengan lainnya. Artinya, bila ingin kualitas relevansi ditingkatkan, berarti reliabilitas akan dikorbankan atau sebaliknya.

  • 8

    Trade-off antara kedua kualitas tersebut menjadikan informasi keuangan tidak akan pernah mencapai maksimal. Penggunaan kos historis dalam akuntansi dikritik sebagai penyebab rendahnya relevansi karena lebih mementingkan reliabilitas. Bukan itu saja, riset telah membuktikan bahwa dari waktu ke waktu, tingkat relevansi informasi akuntansi semakin menurun. Banyak pihak menganggap penggunaan kos historis sudah tidak sesuai lagi pada saat sekarang.

    Ada dua hal yang seringkali dianggap sebagai pemicu rendah-nya relavansi informasi akuntansi. Relevansi yang dimaksud disini adalah relevansi dalam kaitannya dengan respon di pasar modal. Yang pertama, adalah semakin banyaknya informasi non-akuntansi dalam bentuk disclosure yang diberikan oleh perusahaan sebagai bagian dari transparansi dan penerapan corporate governance perusahaan. Informasi non-akuntansi ini merupakan pelengkap sekaligus sebagai pengganti informasi akuntansi. Yang kedua adalah konservatisma dan penggunaan kos historis dalam akuntansi. Konservatisma adalah reaksi segera mengakui atau mempertimbangkan ketidakpastian biaya atau kerugian dan risiko dalam pengakuan akuntansi, tetapi tidak sebaliknya. Ketidakpastian pendapatan atau laba harus ditangguhkan sampai terealisir. Ketidaksimetrisan perlakuan ini mengakibatkan angka dalam neraca seringkali terlalu rendah sehingga tidak menggambarkan kondisi sesungguhnya.

    Sebagai akibatnya, penggunaan nilai pasar sebagai alternatif dari kos historis mulai berkembang, terutama di beberapa negara Eropa yang mulai menggunakan fair value accounting. Penggunaan nilai pasar ini ingin mengatasi rendahnya relevansi informasi akuntansi. Namun, penggunaan fair value accounting akan menyebabkan laba dan ekuitas perusahaan menjadi lebih volatile.

    IFRS dideteksi lebih banyak menggunakan fair value dalam pengukuran transaksi sehingga berdampak pada pelaporan di neraca. Pengakuan fair value ini berdampak pula terhadap pengakuan adanya unrealized gains. Dengan demikian, konsep konservatisma menjadi kabur dalam pengakuan akuntansi. Namun dibalik itu semua, IFRS juga menyebabkan lebih sedikit perataan laba (income smoothing) dan IFRS juga meminta masuknya off-balance-sheet items ke neraca serta meminta lebih banyak pengungkapan terutama yang berkaitan dengan judgment dan asumsi (Pacter, 2003).

  • 9

    More or Less Detailed?

    Hadirin yang berbahagia,

    Isu principles-based versus rules-based accounting menjadi hangat sejak munculnya banyak skandal akuntansi. Amerika belakangan ini menyadari masalah yang timbul dari rules-based accounting. Amerika dengan kurang lebih seratus lima puluh standarnya menjadi terlalu kompleks untuk menjadi berarti. Bagi mereka yang ingin mengakali aturan dapat memanfaatkan loopholes yang ada. Bagi yang ingin mentaati aturan mengalami kesulitan mendapatkan petunjuk yang tepat dari standar yang kompleks. Sebagai akibatnya, Sarbanes Oxley Act yang diterbitkan tahun 2002 sebagai akibat dari skandal akuntansi, meminta SEC untuk memeriksa kelayakan sistem principles-based (Radebaugh et al, 2006)

    Namun, standards yang berdasar principles-based lebih sulit diimplementasi dalam praktik. Hal ini dikarenakan terlalu sedikitnya petunjuk yang ada untuk mengaplikasi standar. Bila lebih banyak petunjuk disediakan untuk mengaplikasi principles, maka standar tadi akan menjadi rules-based. Sebagai akibatnya, komparabilitas juga menjadi sulit bila pelaporan didasarkan pada principles. Lebih jauh lagi, banyak yang menginginkan petunjuk yang lebih rinci untuk mengukur transaksi yang kompleks. Di samping itu, principles-based regulation dinilai gagal dalam kaitannya dengan reporting entity concept di Australia (Walker, 2007).

    Dilema principles-based dan rules-based ini memicu diadakannya sebuah survei (Ng, 2004). Pertanyaan yang diajukan adalah apakah perusahaan dapat mengaplikasi dan menginterpretasi rules-based standard yang ada sekarang dan masih mungkin gagal mencatat suatu transaksi yang berakibat terhadap economic substance dari transaksi tersebut. Sembilan puluh tiga persen (93%) mengatakan sangat mungkin. Ini berarti bahwa risiko kegagalan rules-based standard cukup tinggi untuk mengukur economic substance dari suatu transaksi. Sebaliknya, ketika ditanyakan apakah penggunaan principles-based standard akan mampu menunjukkan economic substance dari transaksi. Hanya tujuh persen (7%) responden yang setuju.

  • 10

    IFRS lebih merefleksikan penggunaan pendekatan principles-based daripada pendekatan rules-based dalam penyusunan standarnya. Standar dengan pendekatan principles-based berfokus pada penetapan prinsip-prinsip umum yang diturunkan dari rerangka konseptual. Prinsip-prinsip tersebut merefleksikan persyaratan pengakuan, pengukuran, dan pelaporan untuk transaksi-transaksi yang dicakup dalam standar tersebut (Pacter 2003). Dengan demikian, IAS dan IFRS cenderung untuk membatasi panduan untuk mengaplikasi prinsip-prinsip umum ke transaksi yang tipikal dan ingin mendorong penggunaan judgment profesional.

    Dibandingkan dengan Amerika yang lebih condong kepada pendekatan rules-based, maka IFRS dipercaya tidak akan menyebabkan standard-overloads yang berdampak negatif terhadap perusahaan.

    Standar untuk Usaha Kecil dan Menengah

    Hadirin yang mulia,

    Isu Big GAAP dan Little GAAP telah lama muncul sebelum adanya IFRS. Standar akuntansi yang disusun selalu ditujukan kepada perusahaan besar, sedangkan untuk perusahaan kecil, terlalu mahal dan tidak efisien maupun efektif untuk menerapkan standar tersebut. Perusahaan kecil merasakan seperti mendapat hukuman dari skandal besar akuntansi yang berakibat semakin tingginya persyaratan bagi mereka yang akhirnya akan meningkatkan kos dan mengkonsumsi waktu mereka.

    Kos dan manfaat untuk penerapan IFRS untuk perusahaan non-publik tidak sepadan maka diperlukan suatu standar khusus yang cocok dengan kondisi perusahaan menengah dan kecil. Menyadari hal tersebut, IASB sedang mengerjakan proyek standar untuk small and medium enterprises (SME). Standar yang dirancang ini dimaksudkan untuk menyederhanakan IFRS yang berlaku khusus untuk perusahaan yang masuk dalam kategori SME. Definisi SME tidak mencakup perusahaan yang melakukan listing ekuitas maupun utang serta perusahaan yang signifikan secara ekonomi. Bila standar untuk SME tidak ada untuk suatu masalah akuntansi, maka disarankan untuk

  • 11

    mengikuti IFRS yang penuh. Exposure Draft IFRS untuk SME sudah dikeluarkan 15 Februari 2007 yang lalu dan diharapkan dapat diberlakukan mulai tahun 2008. Standar untuk SME ini mengeliminasi lebih dari 85% standar IFRS penuh.

    IASB mau mengerjakan proyek ini karena beberapa alasan: (1) standar yang dibuat oleh IASB memang dirancang untuk perusahaan publik dan tidak untuk kebutuhan perusahaan kecil dan menengah, (2) perusahaan kecil dan menengah mengeluhkan terlalu kompleksnya dan terlalu mahal biaya implementasi standar IFRS penuh, (3) Bila tidak diatur secara khusus, maka dikawatirkan akan terjadi diversitas praktik dari satu negara ke negara yang lain sehingga kehilangan daya bandingnya, (4) adanya standar yang lebih sederhana akan membantu mempermulus transisi bagi perusahaan yang sedang berkembang dan merencanakan untuk mendaftar di pasar modal, dan (5) khusus untuk negara berkembang yang kebanyakan perusahaan adalah SME, maka adopsi IFRS sederhana akan meningkatkan daya tarik mereka untuk investasi asing (Flower, 2004).

    Kontroversi mengenai standar untuk SME juga terjadi. Ada pihak yang berpendapat bahwa standar harusnya untuk semua perusahaan sehingga kalau ada standar untuk usaha kecil akan menimbulkan permintaan standar khusus lain (Ravlic, 2006). Lagipula batasan (threshold) yang dibuat untuk mendefinisi SME akan menim-bulkan polemik tersendiri. IASB hanya menyatakan bahwa SME yang boleh menggunakan standar sederhana ini adalah SME yang tidak mempunyai pertanggungjawaban publik dan bukan merupakan institusi keuangan. Untuk SME yang seberapapun kecilnya, namun terdaftar di pasar modal harus mengikuti IFRS penuh.

    Dampak Adopsi IFRS: Pengalaman Negara Lain

    Hadirin yang terhormat,

    Tahun 2005 yang lalu adalah titik balik (turning point) kerja keras IASC/IASB yang telah kurang lebih 30 tahun berusaha agar dapat menjadikan standar mereka sebagai standar global. Kesepakatan untuk mengadopsi IAS/IFRS bukan hanya dilakukan oleh negara-negara kecil tetapi juga oleh negara besar seperti Australia dan 25

  • 12

    negara-negara di European Union. Di samping itu, negara lain seperti Kanada telah memutuskan untuk mengganti GAAP mereka (yang mirip dengan GAAP Amerika) ke IFRS pada tahun 2011. Cina juga mensyaratkan perusahaan publik untuk menggunakan IFRS pada tahun 2007. Rusia memutuskan untuk mengadopsi IFRS secara penuh tahun 2010.

    Dengan pengadopsian IFRS di negara-negara European Union, maka telah terjadi pergeseran yang signifikan dari klasifikasi akuntansi di dunia. Selama ini, ada dua model pelaporan keuangan yang tujuannya berbeda. Model yang pertama berasal dari daratan Eropa dan dimulai di Perancis tahun 1673. Pada model ini, akuntansi dirancang oleh pemerintah untuk tujuan melindungi ekonomi dari kebangkrutan. Jerman termasuk yang mengembangkan model ini setelah tahun 1870 (Code Law). Jadi, regulasi dikembangkan untuk memfasilitasi hubungan antara perusahaan dengan negara.

    Model yang kedua (dikenal dengan pendekatan pelaporan keuangan Anglo-Saxon), dirancang untuk memfasilitasi hubungan antara perusahaan dengan investor sehingga lebih menekankan pada arus informasi ke pasar modal. Pemerintah juga masih menggunakan pelaporan ini sebagai alat untuk mengatur aktivitas ekonomi tetapi pelaporan keuangan lebih ditujukan kepada investor. IFRS mengatur pelaporan keuangan yang lebih ditujukan kepada investor sehingga lebih dekat dengan model Anglo-Saxon daripada model Code Law. Dengan demikian, negara Eropa yang kebanyakan adalah penganut sistem Code Law banyak yang telah mengadopsi IFRS yang merupakan pendekatan Anglo-Saxon.

    Pengadopsian IFRS akan lebih mudah di negara berkembang dibandingkan negara maju seperti di Eropa atau Australia sebab di negara maju, penggunaan standar internasional yang baru akan mengakibatkan terjadinya perubahan yang besar atas praktik yang sudah berlangsung (Media Akuntansi, 2004). Sesuai dengan teori bonding, negara yang memiliki perlindungan investor yang lemah dan yang berpotensi untuk membuka diri kepada investor asing yang lebih banyak mengadopsi IFRS (Kang et al, 2007). Negara berkembang yang mayoritas perlindungan investor masih lemah dan sangat menunggu masuknya investor asing akan lebih diuntungkan dengan standardisasi melalui IFRS ini. Di samping itu, belum kuatnya sumber

  • 13

    daya dan pengalaman memaksa negara berkembang untuk mengadopsi IFRS. Sampai saat ini, sudah lebih dari 100 negara mengadopsi IFRS (baik secara penuh, sebagian, atau sebagai rujukan).

    Namun, IFRS ditemukan lebih banyak diadopsi oleh negara dengan hukum yang kuat dalam melindungi investor dan ekstensif dalam corporate governance karena secara teoritis kerugian hilangnya manfaat privat akibat patuh kepada IFRS tidak akan besar (Renders and Gaeremynck, 2005). Temuan ini mendukung pendapat bahwa IFRS yang mengandalkan informasi yang sulit diverifikasi, tidak cocok untuk perusahaan dengan corporate governance lemah (Adamek and Kaserer, 2006).

    Pengalaman di Australia menarik untuk disimak karena Australia memutuskan untuk melakukan full adoption mulai tahun 2005 untuk seluruh perusahaan mereka. Sebagai negara besar yang memiliki sumberdaya dan pengalaman yang cukup, tentunya pilihan antara penggunaan IFRS atau GAAP Australia yang selama ini digunakan harus mempunyai argumen yang kuat. Dalam hal ini, mereka menimbang bahwa manfaat adopsi lebih besar daripada kos sehingga berani mengambil keputusan tersebut.

    Survei terhadap perusahaan di Australia memberikan hasil yang mengejutkan bahwa mereka merasa belum dipersiapkan secara matang dan umumnya mereka masih sangat skeptis terhadap manfaat yang diklaim dari pengadopsian IFRS (Jones and Higgins, 2006) Demikian juga, belum stabilnya IFRS itu sendiri dan masih cenderung berubah dan direvisi untuk memfasilitasi konvergensi dengan GAAP suatu negara atau untuk diterima oleh komite atau penyusun standar negara lain mengakibatkan IFRS menjadi tidak cost-effective (Chand, 2006). Tercatat sampai saat ini, IASB masih melakukan langkah-langkah penting untuk konvergensi dengan GAAP Amerika (Levy, 2006). Proyek konvergensi antara IASB dan FASB dikawatirkan sebagai upaya yang akan berakhir dengan IFRS condong mengikuti standar yang digunakan di Amerika (Cearns, 2005)

    Secara substansi, pengadopsian IFRS di Australia mengakibatkan laba perusahaan menjadi lebih volatile. Hal ini dapat terjadi karena antara lain dihapuskannya amortisasi goodwill, diperlakukannya share-based payment menjadi biaya, atau revaluasi properti investasi.

  • 14

    Mulai Januari 2005, sebanyak 25 negara European Union harus mentaati IFRS (Watrin et al, 2006). Setelah standardisasi mata uang mereka menjadi Euro, kini keputusan pengadopsian IFRS di Eropa ini disebabkan karena ambisi untuk mengintegrasi pasar jasa keuangan di European Union (Gornik-Tomaszewski, 2005). Secara umum, pengaruh berpindah ke IFRS di negara-negara European Union hanya mempunyai dampak yang singkat di pasar modal (Dargenidou et al, 2006).

    Hasil pengamatan penerapan IFRS di European Union menunjukkan beberapa hal . IFRS tidak hanya menyebabkan turunnya penggunaan instrumen keuangan tetapi juga merubah struktur modal perusahaan di Belanda (De Jong et al, 2006). Perusahaan di Jerman yang pendanaannya banyak diperoleh dari luar, lebih banyak menggunakan standar internasional baik GAAP Amerika maupun IAS/IFRS (Tarca, et al, 2005). Banyak faktor seperti ukuran perusahaan, exposure internasional, penyebaran kepemilikan, dan perusahaan yang baru saja melakukan IPO berperan sebagai pemicu pengadopsian IFRS secara sukarela di Jerman pada tahun 1998-2004 (Gassen and Sellhorn, 2006).

    Sisi positif dari pengadopsian ini sudah mulai nampak. Kualitas pelaporan keuangan Austria, Jerman, dan Swiss menjadi meningkat dengan pengadopsian IFRS (Daske and Gebhardt, 2006). Demikian juga di bursa saham Istanbul, early adopter IFRS terbukti meningkatkan transparansi dan pengungkapannya dan hubungan transparansi dan pengungkapan dengan kinerja juga meningkat (Aksu, 2006). Pengadopsi IFRS memiliki persistensi laba yang lebih tinggi, kurang dapat diprediksi, dan lebih konservatif. Selain itu, pengadopsi IFRS mengalami penurunan bid-ask spread dan lebih likuid, meskipun di lain pihak, pengadopsi IFRS mengalami volatilitas yang lebih besar pada harga saham mereka (Gassen and Sellhorn, 2006). Daske (2006) menemukan bahwa pengadopsi IAS/IFRS secara sukarela tidak menunjukkan turunnya cost of equity capital dibandingkan dengan GAAP Jerman pada periode 1993-2002. Namun, ketika dibedakan antara pengadopsi IFRS label saja dengan pengadopsi IFRS serius ditemukan bahwa pengadopsi IFRS yang serius mengalami cost of capital yang lebih rendah dan mengalami kenaikan likuiditas pasar (Daske et al, 2007).

  • 15

    Dampak harmonisasi dari IFRS diprediksi akan lebih besar dibandingkan dengan the Fourth and Seventh Directives untuk negara-negara European Union (Haller, 2002). Sejalan dengan itu, sebuah survei menyimpulkan bahwa investor Eropa lebih menyukai harmonisasi dengan mengadopsi IFRS (Armstrong et al, 2006).

    GAAP Jerman lebih berfokus untuk proteksi kreditur dibandingkan dengan IFRS yang lebih berfokus pada pemberian informasi kepada investor. Hasil empiris ternyata di luar dugaan, bahwa GAAP Jerman mempunyai value-relevant yang lebih tinggi dibandingkan dengan IFRS. Hal ini cukup mengejutkan karena GAAP Jerman yang lebih berfokus kepada pemerintah (Code Law) secara teoritis akan mempunyai value-relevant yang lebih rendah (Schiebel, 2006).

    Pengadopsian IFRS diprediksi akan mengakibatkan terjadinya peningkatan manajemen laba karena volatilitas yang tinggi. Hasilnya berlawanan dengan teori bahwa pengadopsian IFRS tidak menunjukkan perbedaan dengan GAAP Jerman dalam hal manajemen laba (Tendeloo and Vanstraelen, 2005). Di Jerman, perusahaan lebih suka standar akuntansi yang menawarkan fleksibilitas yang tinggi. Fleksibilitas yang tinggi dalam hal pengukuran ini cenderung dinilai positif oleh investor (Meulen et al, 2004).

    Sebuah studi di Inggris, menemukan bahwa penggunaan IFRS akan meningkatkan laba setelah pajak sebanyak 39% dibandingkan dengan penggunaan GAAP Inggris (Ormrod, 2006). Pengadopsian IFRS wajib tidak mempengaruhi perusahaan di Inggris secara seragam. Sebagian memperoleh keuntungan relatif sedangkan sebagian lagi mengalami kerugian relatif sebagai konsekuensinya (Christensen et al, 2006). Pengaruh IFRS di Finlandia membawa dampak peningkatan relevansi tetapi tidak membawa dampak terhadap reliabilitas (Lantto, 2007)

    Survei yang dilakukan oleh Pricewaterhouse Coopers (2006) mengindikasikan bahwa manajer investasi maupun manajemen perusahaan di Eropa mempunyai tanggapan yang positif terhadap pengadopsian IFRS pada tahun 2005. Sebanyak 79% dari responden mengatakan bahwa pengadopsian IFRS ini sebagai sebuah langkah yang penting yang dapat meningkatkan kualitas disclosures mengenai risiko keuangan perusahaan. Sebagai manajer investasi, mereka sangat

  • 16

    membutuhkan daya banding yang tinggi untuk mengambil keputusan investasi. Hal yang dikawatirkan mereka adalah pemahaman mereka terhadap IFRS yang relatif masih baru.

    Pengalaman adopsi IFRS di negara berkembang menunjukkan umumnya kesulitan terletak pada kesiapan profesi dan pendidikan akuntansi. Tidak siapnya pendidikan dan profesi akan menghambat pemahaman akuntan mengenai IFRS itu sendiri dan juga bagaimana mengimplementasikannya. Di beberapa negara seperti Armenia, dan Rusia, kesulitan berawal dari bahasa yang bukan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa ibu. Kesulitan kedua adalah ketiadaan informasi latar belakang standar. Kesulitan lain adalah melakukan training IFRS (McGee, 1999).

    Bagaimana dengan Indonesia?

    Hadirin yang berbahagia,

    Dibandingkan dengan tetangga dekat (Filipina, Singapura, Thailand, dan Malaysia), Indonesia termasuk yang tertinggal dalam kaitannya dengan pengadopsian IFRS. Filipina dan Singapura sudah mengadopsi word-by-word IFRS. Untuk standar lokal. Malaysia dan Thailand sudah mengadopsi sebagian secara word-by-word IFRS sedangkan standar lainnya masih terdapat perbedaan. Indonesia berada pada tahap mengacu kepada IFRS dalam mengembangkan standar nasional (PSAK).

    Pemilihan standar sebagai acuan selama ini masih berkisar antara GAAP Amerika dengan IAS/IFRS. Dengan semakin banyaknya negara di dunia memilih/mengadopsi IFRS sebagai standar nasional, maka pilihan GAAP Amerika menjadi semakin berkurang. Penelitian yang dilakukan di Amerika menunjukkan pengadopsian IFRS berpengaruh positif terhadap penurunan forecast error analis (Asbaugh and Pincus, 2000). Hal ini bertentangan dengan penjelasan bahwa IFRS banyak menggunakan fair value accounting sehingga dikawatirkan menjadi sulit diprediksi.

    Ditambah lagi dengan upaya bersama untuk melakukan konvergensi untuk mengurangi perbedaan antara keduanya, maka IFRS menjadi semakin naik daun dibandingkan dengan GAAP Amerika. Hanya negara-negara di Amerika Utara yang masih banyak

  • 17

    menggunakan GAAP Amerika. Malahan, perusahaan yang listed di OTC banyak yang memilih menggunakan IAS/IFRS (Tarca, 2004).

    Indonesia telah memutuskan untuk harmonisasi dengan IAS tahun 1994. Sejak 1994 sampai dengan Januari 2007, DSAK telah menerbitkan lima puluh tujuh standar yang bila dirinci, dua puluh delapan mengacu pada IAS/IFRS, dua puluh mengacu pada GAAP Amerika, satu mengacu pada standar akuntansi dari Bahrain (AAOIFI), dan delapan dibuat sendiri (Deloitte, 2007). Asean Development Bank tahun 1999 mengakui bahwa dalam hal substansinya, 90% PSAK sama dengan International Accounting Standards (Media Akuntansi, 2006a). Melihat komposisi tersebut, selama ini PSAK cukup banyak mengikuti standar internasional.

    Akhirnya: To Adopt or Not to Adopt IFRS?

    Hadirin yang saya hormati,

    Idealnya, suatu negara memiliki suatu standar yang sesuai dengan kondisi lingkungan, hukum, ekonomi, dan sosial budaya negara tersebut. Untuk melakukan itu, dibutuhkan sumberdaya manusia yang kuat dan komitmen yang besar serta pengalaman yang cukup agar mampu menghasilkan standar yang dapat menjawab permasalahan akuntansi atau setidaknya mempunyai suatu framework yang tangguh untuk mencari solusi masalah. Proses perekayasaan pelaporan keuangan seharusnya disusun untuk memenuhi tujuan ekonomik dan sosial dari negara tersebut (Suwardjono, 2006).

    Untuk negara yang berkembang, ada empat strategi dalam penentuan standar yang digunakan (Belkaoui, 2004). Strategi pertama adalah pendekatan evolusioner. Dalam pendekatan ini, negara berkembang membuat sendiri standar tanpa bantuan atau pengaruh dari luar. Strategi kedua adalah pendekatan transfer teknologi akuntansi. Dalam pendekatan ini, negara berkembang belajar dari negara maju sehingga terjadi transfer teknologi yang memungkinkan negara berkembang untuk membuat sendiri standar mereka. Strategi yang ketiga adalah mengadopsi standar internasional. Strategi ini yang sekarang paling banyak digunakan oleh negara berkembang. Strategi keempat adalah pendekatan situasional. Dalam pendekatan ini negara berkembang mempelajari standar negara maju dengan menganalisis

  • 18

    prinsip dan praktik akuntansi di negara maju yang cocok dengan latar belakang di negara berkembang.

    Melihat desakan internasional seperti IFAC maupun kebutuhan cross-border listing serta untuk menarik investor asing, maka pertimbangan mengadopsi IFRS menjadi suatu pemikiran yang serius. Banyak manfaat yang ditawarkan, sekaligus banyak pengorbanan yang harus dilakukan. Mengadopsi suatu standar yang bukan dibangun dengan melihat kondisi diri sendiri akan menghasilkan second-best standards.

    Pengadopsian IFRS secara penuh akan membatasi fleksibilitas profesi bila menghadapi suatu masalah. Tahun 2003, IASB merevisi IAS No 8 yang memuat hirarkhi peraturan akuntansi yang harus diikuti dalam mencari solusi masalah akuntansi. Menurut hirarkhi ini, yang paling otoritatif adalah IAS/IFRS dan SIC/IFRIC Interpretations. Bila standar yang dicari tidak ada, disarankan untuk menggunakan judgment dan mencari kebijakan akuntansi lain yang reliabel dan relevan dengan pengambilan keputusan oleh user. Bila hal ini juga tidak mungkin, maka disarankan mencari standar yang dikembangkan oleh pembuat standar lain yang menggunakan rerangka konseptual yang sama dalam membangun standar mereka dan juga menggunakan literatur atau praktik industri yang tidak bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Hanya jika usaha ini juga gagal, maka upaya terakhir adalah melihat kepada framework IASB.

    Ada sisi positif dan negatif dari IFRS. Di satu sisi, nilai positif IFRS karena hasil yang dicapai oleh IASB sangat luar biasa dengan semakin banyaknya negara yang menyatakan diri bergabung untuk menggunakan IFRS, sedangkan di sisi lain, karena concern terhadap fair value accounting dan implementasi yang tidak seragam. Perlu diingat juga bahwa IFRS yang lebih principles-based memungkinkan banyak penggunaan judgment (Ball, 2005).

    Ada empat model pengadopsian IFRS. Model pertama adalah mengadopsi secara penuh tanpa suatu reserves. Contoh model ini adalah adopsi oleh Australia. Model kedua adalah mengadopsi secara penuh, namun hanya untuk cross-border listing saja sedangkan listing di domestik tidak hanya menggunakan standar lokal. Model ketiga, mengadopsi sebagian besar dari IFRS. Model keempat adalah mengacu pada IFRS untuk keperluan membuat standar akuntansi

  • 19

    nasional. Belum adanya best-practice adoption model mengakibatkan setiap negara harus memilih yang paling tepat untuk kondisinya. Melihat pengalaman negara lain, dampak tidak akan sama untuk satu negara dengan negara lain. Pengalaman di Australia dan European Union dapat dijadikan acuan, namun tidak dapat diaplikasi pada negara lain. Paling tidak, kesulitan yang dihadapi mereka dapat menjadi pelajaran berharga untuk siapapun yang ingin mengadopsi IFRS.

    Mari kita lihat kembali isu yang terkait dengan IFRS. Isu pertama adalah semakin digunakannya fair value accounting sehingga terdapat implikasi pada relevansi dan reliabilitas. Penggunaan fair value accounting akan menyebabkan volatilitas yang tinggi pada kinerja perusahaan dan akan menyebabkan banyaknya penggunaan judgment untuk mengikuti aturan yang dimaksud dengan fair value. Isu kedua mengenai principles-based dan rules-based. Penggunaan IFRS akan mengarah kepada principles-based yang lebih ringkas dan kurang rinci. Dengan demikian, hal ini dapat juga menyebabkan bermainnya judgment pada saat tidak ada aturan yang jelas dan rinci mengenai suatu masalah. Isu ketiga adalah mengenai SME. Mayoritas perusahaan di Indonesia yang masuk kategori SME menyebabkan adopsi IFRS menjadi terlalu mahal. Untuk itu, IASB menyadari dan menyiapkan IFRS sederhana untuk SME yang direncanakan tahun 2008 akan digunakan. IFRS untuk SME ini pun masih mendapat banyak tantangan. Dengan melihat kesulitan dan manfaat dalam pengadopsian IFRS dari banyak negara, maka sudah saatnya kita mengambil keputusan berdasar fakta yang ada.

    Dari pengalaman negara lain, kita tidak boleh tergesa untuk mengadopsi sebelum kita mempersiapkan semua secara matang dan komprehensif. Komitmen untuk adopsi boleh saja diberikan seperti yang dilakukan oleh negara lain (misalnya Kanada dan Cina). Selama waktu tunggu, kita perlu menyiapkan profesi, hukum, regulator, dan pendidikan kita untuk siap menyambut era baru. Menurut opini penulis, dibutuhkan sedikitnya lima tahun untuk menyiapkan pendidikan akuntansi di Indonesia. Kita perlu arsitek yang tangguh untuk merancang pendidikan agar dapat memenuhi kebutuhan akuntan di pasar global.

    Pengadopsian IFRS di banyak negara mengikuti pola yang

  • 20

    berbeda tanpa memperhatikan apakah negara tersebut mengikuti Code Law atau Anglo-Saxon accounting. Untuk negara tertentu seperti Inggris, pengaruh adopsi IFRS tidak terlalu besar, tetapi untuk negara lain, akan terjadi perubahan yang sangat besar (Damant, 2006).

    Model apa yang cocok untuk adopsi di Indonesia? Pertama, untuk mengadopsi penuh seperti Australia sangat tidak mungkin. Kedua, adopsi hanya untuk yang cross-border listing saja akan mengakibatkan tidak komparabelnya perusahaan Indonesia yang cross-border listing dengan yang domestik. Adopsi yang mungkin adalah adopsi model ketiga yang dapat diakui oleh dunia internasional, namun mempunyai karakteristik yang cocok dengan kondisi kita. Kata kuncinya disini adalah taylor-made namun memenuhi kebutuhan internasional serta dapat melepaskan diri dari tekanan dunia internasional.

    Pengadopsian IFRS tentunya harus diikuti juga dengan pengadopsian standar pengauditan internasional. Standar pelaporan keuangan perusahaan tidak akan mendapat pengakuan tinggi bila standar yang digunakan untuk pengauditan masih standar lokal. International Standards on Auditing (ISA) merupakan standar auditing internasional yang juga harus diadopsi agar kualitas pelaporan keuangan yang sudah menggunakan standar internasional mendapat pengakuan.

    Namun di balik itu semua, ada dua hal yang paling penting. Pertama adalah adanya kesadaran akuntan untuk berperilaku profesional dan menjunjung tinggi etika profesi. Semakin pandai seorang akuntan, semakin berbahaya bila tidak mempunyai rambu etika yang jelas. Skandal akuntansi seperti Enron, Xerox, Merck dapat terjadi bila akuntan telah kehilangan kesadaran untuk berperilaku profesional dan menjunjung tinggi etika profesi akuntan.

    Kedua adalah adanya regulator yang mempunyai kekuatan untuk memaksa semua perusahaan dan akuntan untuk mematuhi aturan. Tanpa itu, standar apapun hanyalah akan menjadi sebuah dokumen yang tidak akan mencapai tujuan yang diinginkan. Brown and Tarca (2005) sudah mengingatkan bahwa meskipun manfaat pengadopsian IFRS secara teoritis sudah jelas untuk meningkatkan kualitas dan daya banding pelaporan keuangan, namun tujuan ini tidak akan tercapai tanpa regulatory oversight yang ketat.

  • 21

    Ungkapan Syukur dan Terima Kasih

    Hadirin yang saya muliakan,

    Kini sampailah pada bagian akhir dari pidato saya. Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Menteri Pendidikan Nasional yang telah mengabulkan pengajuan guru besar saya per tanggal 1 Juni 2006. Kehormatan yang saya peroleh ini akan saya manfaatkan untuk kepentingan Universitas Gadjah Mada selama saya masih dipercaya untuk berkarya.

    Saya mengucapkan terima kasih kepada Dekan FEUGM, Dr. Ainun Naim, MBA yang mendorong, memberikan kesempatan, dan membantu kelancaran proses pengajuan guru besar. Tidak lupa juga saya berterima kasih kepada semua pihak yang tanpa pamrih membantu proses ini dari awal sampai akhir. Terlalu panjang untuk menyebut semua pihak yang membantu.

    Kepada Prof Dr. Arief Suadi, MBA secara khusus saya berterima kasih atas bimbingan dan bantuan selama saya menjadi asisten, melamar, dan menjadi dosen di FEUGM. Pengalaman mengajar pertama kali ditunggui oleh beliau merupakan pengalaman yang tak terlupakan. Saya banyak belajar dari beliau untuk menjadi seorang dosen yang baik.

    Kepada Prof. Dr. Zaki Baridwan, MSc, mentor saya dalam bidang akademik maupun non akademik serta keorganisasian di profesi, saya mengucapkan banyak terima kasih.

    Kepada seluruh kolega di kampus UGM, saya mengucapkan terima kasih atas dukungan dan persahabatan baik secara akademik maupun dalam kehidupan sehari-hari. Persahabatan yang kita bina merupakan modal utama saya untuk tetap setia kepada almamater tercinta. Sengaja saya tidak menyebutkan satu-persatu karena terbatasnya tempat dan juga saya tidak ingin ada yang terlewatkan.

    Kepada Dewan Pengurus Nasional IAI dan rekan kerja di organisasi profesi IAI Wilayah Yogyakarta, Komite Evaluasi dan Rekomendasi Pendidikan Profesi Akuntansi (KERPPA), dan Dewan Penguji Certified Professional Management Accountant (CPMA), saya mengucapkan terima kasih atas kepercayaan dan kerjasama serta dukungan selama ini.

    Kepada orang tua saya Imam Wijaya Kusuma (alm) dan Iing

  • 22

    Susanti, ucapan terima kasih tidaklah cukup membalas semua yang telah saya terima. Mereka tidak pernah menuntut walaupun mereka pantas untuk itu. Hanya bakti sebagai anak yang dapat saya berikan. Terima kasih juga kepada paman-paman yang membantu saya dalam membiayai sekolah saya sehingga tidak pernah terputus.

    Terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Parwoto Wignyohartojo dan Ibu Sri Mulyani atas kepercayaan untuk mendampingi putri sulungnya.

    Terima kasih dan permohonan maaf kepada istri Dr Erni Ekawati, MBA, MSA dan anak Olivia Ekawati Kusuma selama ini telah mendukung karir saya dan sering saya tinggalkan dalam rangka tugas ke luar kota serta tidak dapat menemani Olivia yang tinggal di Salatiga dengan neneknya karena tugas saya dan istri di Yogyakarta yang tidak dapat ditinggalkan.

    Motivasi saya untuk mencapai guru besar tergugah oleh dua kejadian. Yang pertama adalah pesan almarhum Dr. Nur Indriantoro, MSc. Semasa hidupnya, beliau sangat mendorong saya untuk aktif terjun di profesi dan juga mencapai gelar akademik tertinggi. Saya melanjutkan cita-cita yang ditanamkannya dengan perolehan guru besar saya. Kedua, ketika saya akan menghadiri pidato pengukuhan Prof. Dr. Bambang Sudibyo, MBA anak saya Olivia bertanya apa itu pidato pengukuhan dan apakah saya mau melakukan pidato juga. Sekarang Olivia sudah dapat menjawab pertanyaan beberapa tahun yang lalu.

    Terutama sekali, saya mengucapkan terima kasih kepada Tuhan Yesus yang menjadi pengatur hidup saya. Dia telah memberikan yang terbaik bagi saya, yang indah pada waktunya. Seringkali, saya merenungi banyak kejadian dan tidak dapat memahami mengapa ini terjadi tetapi rancangan Allah adalah baik dan indah bila masanya tiba. Kalau boleh saya mengajukan permohonan kepada Allah, maka permohonan saya adalah jadikanlah saya sebagai manusia, pemimpin, warganegara yang tidak mengandalkan kekuatan dan kemampuan diri, tetapi yang selalu mengandalkan Allah dalam setiap tindakan.

    Akhirnya, terima kasih atas kesabaran hadirin yang saya muliakan untuk mendengar pidato ini. Kedatangan seluruh hadirin merupakan kekuatan moral bagi saya. Semoga Allah yang Maha Kuasa selalu memberkati kita semua. Amin.

  • 23

    Daftar Pustaka

    Adamek, C and C Kaserer. 2006. Lifting the Veil of Accounting Information under Different Accounting Standards- Lessons Learned from the German Experiment. The 2005 Annual Conference of the AAA at San Fransisco.

    Aksu, M. 2006. Transparancy & Disclosure in the Istanbul Stock Exchange: Did IFRS Adoption and Corporate Governance Principles Make a Difference? A Working Paper. Http://ssrn.com/ (accessed on March 25, 2007)

    Armstrong, C, M E Barth, A Jagolinzer, and E J Riedl. 2006. Market Reaction to Events Surrounding the Adoption of IFRS in Europe. Research Paper Series at Stanford.

    Asbaugh, H and M. Pincus. 2000. Domestic Accounting Standards, International Accounting Standards, and the Predictability of Earnings. A Working Paper.

    Ball, R. 2005. International Financial Reporting Standards (IFRS): Pros and Cons for Investors.http://www.icaew.co.uk/cbp/index.cfm (accessed on April 1, 2007)

    Barbara, B and W Glasgall. 1987. Why the Japanese Bull is Having a Feast. Business Week. March: pp. 138-139.

    Belkaoui, A R. 2004. Accounting Theory. Thomson Learning. Fifth edition.

    Brown, P and A Tarca. 2005. A Commentary on Issues Relating to the Enforcement of International Financial Reporting Standards in the EU. European Accounting Review. Vol 14 (1)

    Cearns, K. 2005. IFRS and M&A: More Transparency but at a Cost. International Financial Law Review.

    Chand, P. 2006. International Accounting Standards Boards Stable Platform was Never Stable; Impact on Australian Accounting Standards Board. Proceeding 2006 AAAA Conference Sydney Australia.

    Chen, J J. 2007. Corporate Governance and the Harmonization of Chinese Accounting Practices with IFRS Practices. Corporate

  • 24

    Governance: An International Review. Vol. 15 (2): pp. 284-293.

    Choi, F D S, C A Frost, and G K Meek. 2002. International Accounting. Pearson Education-Prentice Hall.

    Christensen, H B, E Lee, and M Walker. 2006. Cross-sectional Variation in the Economic Consequences of International Accounting Harmonisation: The Case of Mandatory IFRS Adoption in the UK. A Working paper at Manchester Business School.

    Damant, D. 2006. Discussion of International Financial Reporting Standards (IFRS): Pro and Cons for Investors. Accounting and Business Research, International Accounting Policy Forum.

    Dargenidou, C, S Mcleay, and I Raonic. 2006. Expected Earnings Growth and the Cost of Capital: An Analysis of Accounting Regime Change in the European Financial Market. Abacus. Vol 42 (3-4). pp. 388-414.

    Daske, H, L Hail, C Leuz, and R Verdi. 2007. Adopting a Label: Heterogeneity in the Economic Consequences of IFRS Adoptions. A Working Paper.

    Daske, H. and G. Gebhardt. 2006. International Financial Reporting Standards and Experts Perceptions of Disclosure Quality. Abacus. Vol 42 (3-4). pp. 461-498.

    Daske, H. 2006. Economic Benefits of Adopting IFRS or US GAAP: Has the Expected Cost of Equity Capital Really Decreased? Journal of Business Finance and Accounting. Vol 33 (3-4). pp. 329-373.

    De Jong, A, M Rosellon, and P Verwijmeren. 2006. The Economic Consequences of IFRS: The Impact of IAS 32 on Preference Shares in the Netherland. ERIM Report Series Research in Management.

    Deloitte. 2007. IFRS and Indonesian GAAP 2007: A Comparison. Deloitte Publication.

    Epstein, B J and A A Mirza. 2001. IAS 2001: Interpretation and Application. John Wiley & Sons, Inc.

    Epstein, B J and E K Jermakowicz. 2007. IFRS 2007: Interpretation and Application of International Financial Reporting Standards. John Wiley & Sons, Inc.

  • 25

    Ernst and Young. 2005. IFRS from a US Perspective: How Different is It? Global Eye on IFRS.

    Financial Accounting Standard Board. 1992. Statements of Financial Accounting Concepts. Irwin

    Field, C. 2004. The Science of Compliance. Financial Management: p. 16.

    Fikre, T. 1991. Equity Carve-outs in Tokyo. Federal reserve Bank of New York Quarterly Review. Winter: pp 60-64.

    Flower, J. 2004. The International Accounting Standards Boards Proposals for Small and Medium Sized Entities: A Fatlly Flawed Project? International Accountant. December

    Fuhrman, P. 1988. Parlez Vous P/E? Forbes. Jun: pp. 276-278. Gassen, J and T Sellhorn. 2006. Applying IFRS in Germany:

    Determinants and Consequences. Betriebswirtschaftliche Forschung und Praxis. Vol. 58 (4). pp: 365-386.

    Gornik-Tomaszewski, S. 2005. Antecedents and Expected Outcomes of the New Accounting Regulation in the European Union. Research in Accounting Regulation. Vol 18.

    Haller, A. 2002. Financial Accounting Developments in the European Union: Past Events and Future Prospects. The European Accounting Review. Vol 11 (1).

    Haskins, M E, K R Ferris, and T I Selling. 2000. International Financial Reporting and Analysis: A Contextual Emphasis. Irwin McGraw-Hill.

    IFAC Board. 2004. Statement of Membership Obligations 1-7. International Federation of Accountants.

    Johnson L T. 2005. Relevance and Reliability. The FASB report. Feb 28, 2005

    Jones, S and A D Higgins. 2006. Australias Switch to International Financial Reporting Standards: A Perspective from Account Preparers. Accounting and Finance. Vol. 46 (4): pp. 629-652.

    Kang, T. 2003. Level of Economic Development of a Firms Country of Domicile and the Patterns in Stock Market Reaction Surrounding US Earnings Announcements: A Test of Global Market Segmentation Hypothesis. Journal of International Accounting Research. Vol 2: pp. 23-37.

  • 26

    Kang, T, O Hope, and J Y Jin. 2007 Forthcoming. Empirical Evidence on Jurisdictions that Adopt IFRS. Journal of International Accounting Research.

    Kennedy, T. 2005. Changes to Reported Earnings under IFRS. Http://ssrn.com/ (Accessed on March 17, 2007)

    Kusuma, I W. 2001. Daya Banding Kinerja Keuangan Internasional. Jurnal Bisnis dan Akuntansi. Vol 3 (1): pp. 387-394.

    Kusuma, IW. 2005. Do Accounting Standards Explain Differences in Earnings-Price Ratios of Japanese and U.S. Firms? Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia. No. 1, Vol. 20.

    Lantto, A M. 2007. Does IFRS Improve the Usefulness of Accounting Information in a Code Law Country. Http://ssrn.com/ (Accessed on March 20, 2007)

    Larson, R.K. and D. L. Street. 2006. The Roadmap to Global Accounting Convergence. The CPA Journal.

    Levy, R. 2006. The Next Big Wave. (Australia) National Accountant. Vol. 22 (3): pp. 30-33.

    McGee. 1999. The Problem of Implementing International Accounting Standards: A Case Study of Armenia. Journal of Accounting Ethics and Public Policy. Vol 2 (1): pp 1-4

    Media Akuntansi. 2004. Dimensi Internasional dan Kredibilitas Pelaporan Keuangan. Media Akuntansi. Edisi Januari.

    Media Akuntansi. 2006a. IFRS Hanya untuk Cross Border Listing (Wawancara dengan M Jusuf Wibisana Ketua DSAK IAI). Media Akuntansi. Edisi September.

    Media Akuntansi. 2006b. Bapepam Dukung Konvergensi (Wawancara dengan Etty Retno Wulandari Ketua Bagian Standar Akuntansi dan Pemeriksaan Bapepam). Media Akuntansi. Edisi September

    Meulen, S V, A Gaeremynck, and M. Wilekens. 2004. The Influence of Specific Accounting Differences on the Choice Between IFRS or US GAAP. The 2004 Midyear International Financial Accounting Conference of the AAA in San Diego.

    Ng, M. 2004. The Future of Standards Setting. The CPA Journal. Vol 74 (1): pp. 18-20.

    Ormrod P. 2006. The Impact of the Adoption of IFRS-Some Surprising Evidence. Accountancy. December

  • 27

    Pacter, P. 2003. International Financial Reporting Standards dalam International Finance and Accounting Handbook (edited by Choi). John Wiley & Sons, Inc. Pp. 16.1-16.37.

    Radebaugh, L H, S J Gray, dan E L Black. 2006. International Accounting and Multinational Enterprises. John Wiley & Sons, Inc.

    Ravlic T. 2006. Accounting for Smaller Entities. (Australia) National Accountant. Vol. 2 (3): 34-35.

    Renders, A and A Gaeremynck. 2005. Legal and Voluntary Investor Protection and Early IFRS-Adoption: A Study of European Companies. Accounting Seminar in Tilburg.

    Saudagaran, S. 2001. International Accounting: A User Perspective. South Western College Publishing.

    Schiebel, A. 2006. Value Relevance of German GAAP and IFRS consolidated Financial Reporting: An Empirical Analysis on the Frankfurt Stock Exchange. Proceeding pada 2006 AAAA Conference Sydney Australia.

    Suwardjono. 2006. Teori Akuntansi Perekayasaan Pelaporan Keuangan. BPFE. Edisi ketiga.

    Tarca, A. 2004. International Convergence of Accounting Practices: Choosing between IAS and US GAAP. Journal of International Financial Management and Accounting. Vol 15: pp. 60-91.

    Tarca, A, M Moy, and R D Morris. 2005. An Investigation of the Relationship Between Use of International Accounting Standards and Source of Company Finance in Germany. The EAA conference at Sweden.

    Tendeloo, B V and A Vanstraelen. 2005. Earnings Management under German GAAP versus IFRS. European Accounting Review. Vol 14 (1).

    Walker, R G. 2007. Reporting Entity Concept: A Case Study of the Failure of Principles-Based Regulation. Abacus. Vol 43 (1).

    Watrin, C C Strohm, dan R Struffert. 2006. The Joint Business Combinations Project: IFRS 3 and the Projects Impact on Convergence with US GAAP. The CPA Journal (Jan).

    Zarb, B.J. 2006. The Quest for Transparency in Financial Reporting. The CPA Journal.

  • 28

    BIODATA

    Nama : Indra Wijaya Kusuma Tempat/Tgl. Lahir : Jakarta, 20 Nov. 1963 NIP/Karpeg : 131860988/E. 505027 Pangkat/golongan : Pembina Tingkat I/ IVb Alamat Kantor : Fakultas Ekonomi UGM Yogyakarta 55281 Alamat Rumah : Perum Kaliurang Pratama Blok A-1, Jl. Kaliurang km 7, Yogyakarta 55283

    Telp/Fax : (0274) 889205 Email : [email protected] Istri : Dr. Erni Ekawati, MBA, MSA, Akt Anak : Olivia Ekawati Kusuma

    Riwayat Pendidikan

    1998 Doctor of Philosophy (Concentration in Accounting), Kent State University

    1994 Master of Science in Accounting (MSA) dan Master of Business Administration (MBA), Kent State University

    1987 Sarjana Akuntansi (Drs., Akt), Universitas Gadjah Mada 1982 SMA Budhaya Jakarta 1979 SMP PGRI 92 Jakarta 1976 SD Teladan III Jakarta

    Bidang Minat Penelitian

    Akuntansi Internasional Akuntans Keuangan dan Pasar Modal

    Riwayat Pekerjaan

    1987-now Dosen Fakultas Ekonomi UGM 2007-now Koordinator Akademik Program Magister Akuntansi

    Terapan UGM

  • 29

    2007-now Ketua Komite Evaluasi dan Rekomendasi Pendidikan Profesi Akuntansi (KERPPA) Ikatan Akuntan Indonesia

    2003-now Ketua Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Wilayah Yogyakarta

    1999-now Editorial Board Jurnal Bisnis dan Akuntansi, STIE Trisakti Jakarta

    2001-now Editor Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, IAI Kompartemen Akuntan Pendidik

    2001-now Editor Jurnal Akuntansi dan Manajemen, STIE YKPN Yogyakarta

    2003-now Editorial Advisory and Review Board Gadjah Mada International Journal of Business, Magister Manajemen UGM Yogyakarta

    2004-now Editor Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia (JEBI), Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada

    2005-now Editor Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia (JAKI), Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

    1999-2000 Sekretaris Jurusan Akuntansi FEUGM 2000-2002 Sekretaris Eksekutif Program Hibah Kompetisi Quality

    for Undergraduate Education 2000-2007 Ketua Jurusan Akuntansi FEUGM 2003-2007 Anggota Komite Evaluasi dan Rekomendasi

    Pendidikan Profesi Akuntansi (KERPPA) Ikatan Akuntan Indonesia

    2005-2007 Anggota Dewan Penguji Certified Professional Management Accountant (CPMA) Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Manajemen

    Publikasi Ilmiah

    Kusuma, IW. 2005. Do Income Smoothing Practices Explain the Lower Earnings-Price Ratios of Japanese Firms Compared to Those of the U.S. Firms? Gadjah Mada International Journal of Business. Vol. 7, No. 1. Kusuma, IW. 2005. Do Accounting Standards Explain Differences in Earnings-Price Ratios of Japanese and U.S. Firms? Jurnal Ekonomi

  • 30

    dan Bisnis Indonesia. No. 1, Vol. 20. Kusuma, IW. 2004. Do Japanese Firms Smooth Income More than U.S. Firms? Jurnal Akuntansi dan Manajemen Kusuma, IW. 2004. Perlukah Akuntan Memahami Aspek Keperilakuan? Media Akuntansi, Edisi 42. Kusuma, IW. 2004. Pengaruh Pemoderasi Karakteristik Industri Terhadap Hubungan Motivasi Dan Tingkat Manajemen Laba. Jurnal Akuntansi dan Manajemen Kusuma, IW. 2004. Penggunaan Akrual untuk Perataan Laba. Jurnal Bisnis dan Akuntansi. No. 1 Vol. 6. Kusuma, IW. 2004. The Role of Compensation in Projects Manager Evaluation of Terminating an Unprofitable Project. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia. No. 1, Vol. 19. Kusuma, IW. 2003. Comparing The Earnings Response Coefficients of U.S. Multinational and Domestics Firms The Use of Geographic Segmental Reporting Information. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. No. 3 Volume 6. Kusuma, IW. 2003. Topik Penelitian Akuntansi Keperilakuan dalam Jurnal Behavioral Research in Accounting (BRIA). Jurnal Bisnis dan Akuntansi. No. 5 Vol. 2. Kusuma, IW. 2002. Examination of the Model of Accrual Measurement with Implication to Book-to-Market Equity Ratios, Wahana Jurnal Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi. Kusuma, IW. 2001. An Event Study of the Impact of SFAS No. 95 on Banks and Investment Companies Stock Returns. Jurnal Ekonomi & Bisnis Indonesia. No. 3 Volume 16. Kusuma, IW. 2001. Daya Banding Kinerja Keuangan Internasional. Jurnal Bisnis dan Akuntansi. No. 1 Vol. 3. Kusuma, IW. 2001. Arah dan Perkembangan Penelitian Akuntansi Keperilakuan. Jurnal Bisnis dan Ekonomi. No. 1 Tahun V. Kusuma, IW. 2000. Akuntansi Internasional dan Pengajarannya. Jurnal Bisnis dan Akuntansi. No. 3 Vol. 2.

  • 31

    Kusuma, IW. 1999. Financial Performances and Characteristics Comparisons of U.S. Multinational and Domestic Firms. Gadjah Mada International Journal of Business. Vol. 1 No. 1. Kusuma, IW. 1996. Teknologi Informasi dan Struktur Organisasi. Jurnal Ekonomi dan Industri PAU UGM. Kusuma, IW. 1995. The Roles of Conceptual Framework in Accounting Standard Setting. Majalah Ekonomi. Kusuma, IW. 1994. International Problems in Auditing Harmonisation. Jurnal Akuntansi dan Manajemen.

    Dengan Co-Author:

    Arifin, A dan IW Kusuma. 2005. Pengaruh Framing pada Keputusan Akuntansi Managerial dalam Perspektif Individu-Kelompok: Pengujian Empiris atas Prospect Theory dan Fuzzy-Trace Theory. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. No. 1 Volume 8. Yustrianthe, RH dan IW Kusuma. 2004. Pengaruh Jenis Jam Kerja Terhadap Stressors, Burnout, dan Behavioral Job Outcomes. Kompak-Jurnal Akuntansi, Manajemen, dan Sistem Informasi. Diana, SR dan IW Kusuma. 2004. Pengaruh Faktor Kontekstual terhadap Kegunaan Earnings dan Arus Kas Operasi dalam Menjelaskan Return Saham. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. No. 1 Volume 7. Nurim, Y dan IW Kusuma. 2003. Perbandingan Manajemen Laba Pada Laporan Keuangan Tahunan dan Kwartalan. Wahana Jurnal Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi. Kuang, TM dan IW Kusuma. 2003. An Examination of Similarity Strategy for Individual and Group Decision Making in Choosing Alternatives Involving Two Sequential Independent Events. Sosiohumanika Seri A (IPS). No. 2 Vol 16A. Nurim, Y dan IW Kusuma. 2002. Prediksi Kemampuan Perusahaan pada Masa Krisis: Perbandingan Judgment dengan Statistik. Jurnal Bisnis dan Akuntansi. No. 4 Vol. 3.

  • 32

    Ratnawati, V dan IW Kusuma. 2002. Pengaruh Job Insecurity, Faktor Anteseden, dan Konsekuensinya terhadap Keinginan Berpindah Karyawan: Studi Empiris pada Kantor Akuntan Publik di Indonesia, Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, No. 3 Volume 5. Faisal dan IW Kusuma. 2002. Pengaruh Karakteristik Tugas terhadap Keefektifan Bentuk Pengendalian Akuntansi, Perilaku, dan Personal dalam Peningkatan Kinerja Manajer Riset dan Pengembangan, Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, No. 2 Vol 5. Hartanto, HY dan IW Kusuma. 2001. Analisis Pengaruh Tekanan Ketaatan terhadap Judgment Auditor, Jurnal Akuntansi dan Manajemen. Syam, F dan IW Kusuma. 2001. Pengaruh Informasi Akuntansi dan Ketidakpastian Tugas terhadap Perilaku Manajer: Sebuah Eksperimen Semu, Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. No. 3 Volume 4. Nurim, Y dan IW Kusuma. 2001. Penggunaan Variabel Akuntansi untuk Mendeteksi Earnings Management. Jurnal Akuntansi dan Manajemen. Novianty, R dan IW Kusuma. 2001. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Independensi Auditor, Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia Prastiwi, A dan IW Kusuma. 2001. Analisis Kinerja Surat Berharga setelah Penawaran Perdana (IPO) di Indonesia. Jurnal Ekonomi & Bisnis Indonesia. No. 2 Volume 16. Subekti, I dan IW Kusuma. 2001. Asosiasi antara Set Kesempatan Investasi dengan Kebijakan Pendanaan dan Dividen Perusahaan, serta Implikasinya pada Perubahan Harga Saham. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. No. 1 Volume 4. Kuntari, Y dan IW Kusuma. 2001. Pengalaman Organisasi, Evaluasi terhadap Kinerja dan Hasil Karir pada Kantor Akuntan Publik: Pengujian Pengaruh Gender. Jurnal Ekonomi & Bisnis Indonesia. No. 1 Volume 16.