23

Click here to load reader

Implikasi Pendekatan Andragogis Dalam Pembelajaran Bahasa Inggris Sebagai Bahasa Asing Di SMA

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Implikasi Pendekatan Andragogis Dalam Pembelajaran Bahasa Inggris Sebagai Bahasa Asing Di SMA

Implikasi Pendekatan Andragogis Dalam Pembelajaran Bahasa Inggris Sebagai Bahasa Asing

di SMA

Oleh : Sumardi, M.Hum*)

Abstract

Teaching of English as a foreign language in senior high school (SMA) is very often impressed with the mechanistic ways since it puts teachers as “the most knowledgeable" and puts students as a group of individuals who "know little". This concept is not able to motivate the students to develop English language competence in reasonably natural context. Andragogical approach is an approach considered more humanistic and needs to be implemented in the process of English teaching at this school level. This approach requires the teacher and student jointly determine a meaningful teaching and learning activities without having to ignore the students' interests and experiences, so as to encourage students to actively participate in the teaching and learning process.

Keywords: andragogical approach, communicative competence, English, mechanistic, humanistic.

A. Pendahuluan

Hasil belajar bahasa Inggris yang kurang optimal adalah permasalahan yang

sangat sering muncul dari sebuah pelaksanaan proses pembelajaran. Ketidakmampuan

siswa untuk memahami dan menguasai berbagai kompetensi dalam bentuk

pengetahuan, sikap dan keterampilan yang diharapkan muncul dari sebuah proses

pembelajaran merupakan indikasi ketidakberhasilan dari proses pembelajaran itu.

Salah satu penyebab ketidakberhasilan sebuah proses pembelajaran itu adalah metode

pembelajaran yang diterapkan oleh guru di kelas tidak mampu banyak merangsang

dan mendorong siswa untuk secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran. Para guru

lebih banyak menempatkan dirinya sebagai orang yang “paling tahu” segalanya dan

menempatkan siswa sebagai individu-individu yang “tidak banyak tahu” tentang suatu

hal. Dengan demikian peran guru hanya semata-mata sebagai transmitter pengetahuan

1

Page 2: Implikasi Pendekatan Andragogis Dalam Pembelajaran Bahasa Inggris Sebagai Bahasa Asing Di SMA

dan siswa sebagai receiver pengetahuan tanpa ada keleluasaan untuk memilih dan

menentukan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dari sebuah proses pembelajaran.

Ada kontras yang sangat mencolok antara pendekatan proses pembelajaran

yang terjadi di negara-negara barat (Amerika, Australia, Belanda, dll) dengan

pendekatan proses pembelajaran yang terjadi di Indonesia. Proses pembelajaran di

negara-negara barat lebih banyak menerapkan pendekatan pembelajaran demokratis

kolaboratif dengan banyak menempatkan siswa dan guru pada posisi setara. Siswa dan

guru secara bersama-sama menentukan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai.

Kondisi pembelajaran semacam ini menekankan segi humanistik, karena guru bukan

merupakan satu-satunya penentu segala aktivitas pembelajaran. Selanjutnya peran

guru lebih banyak sebagai fasilitator. Sebaliknya proses pembelajaran di Indonesia

tampak sangat mekanistik dan tidak mengarahkan siswa untuk berpikir pada tataran

tingkat tinggi, karena guru lebih banyak berperan sebagai transmitter pengetahuan

dan siswa semata-mata receiver pengetahuan dari guru. Peran guru yang hanya

sebagai transmitter pengetahuan ini pada akhirnya kurang mendorong siswa untuk

kreatif dan tidak banyak terlibat baik secara fisik maupun mental dalam proses

pembelajaran.

Permasalahan di atas banyak pula terjadi dalam proses pembelajaran bahasa

Inggris sebagai bahasa asing (Teaching English as Foregin Language; TEFL) di

Indonesia. Pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia, baik pada jenjang pendidikan

dasar maupun menengah, lebih menekankan pada aspek pengetahuan bahasa,

pemahaman isi wacana, juga lebih banyak hanya berorientasi pada hasil ujian yang

ingin dicapai (ujian semester, ujian nasional, dsb), tetapi justru lebih banyak

mengabaikan penguasaan aspek keterampilan komunikasi baik lisan maupun tulisan

dalam bahasa Inggris. Pendekatan pembelajaran bahasa Inggris di kelas sangat

berpusat pada guru (teacher-centered classroom). Hal ini berbeda dengan beberapa

negara-negara barat yang menempatkan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua (English

as Second Language; ESL), seperti Perancis, Jerman, Italia dan sebagainya.

Pendekatan pembelajaran bahasa Inggris yang mereka terapkan banyak menekankan

2

Page 3: Implikasi Pendekatan Andragogis Dalam Pembelajaran Bahasa Inggris Sebagai Bahasa Asing Di SMA

pada kemampuan berfikir kritis, penggunaan bahasa yang realistis, pembelajaran

bahasa yang berpusat pada siswa (student-centered classroom) dan menekankan pula

pada kualitas proses pembelajaran (Wang, 2006:3). Secara spesifik, pembelajaran

bahasa Inggris di dunia barat tidak banyak menekankan pada aspek hafalan dan

transfer pengetahuan bahasa seperti yang terjadi di Indonesia. Para guru di negara-

negara barat lebih banyak percaya bahwa pendekatan yang mereka gunakan itu akan

menkondisikan siswa untuk berfikir kritis yang memungkinkan untuk menciptakan

banyak pengetahuan baru bagi siswa.

Dikotomi pendekatan pembelajaran bahasa Inggris di atas merupakan sesuatu

yang menarik untuk dicermati. Dalam konteks psikologi, pembelajaran yang berpusat

pada guru (teacher-centered learning) diidentifikasi sebagai proses pembelajaran yang

menerapkan prinsip-prinsip pendagogis, sedangkan pembelajaran yang berpusat pada

siswa (student-centered learning) merupakan pendekatan pembelajaran yang

menerapkan prinsip-prinsip andragogis. Selanjutnya dalam makalah ini akan

membahas implementasi prinsip-prinsip andragogis dalam pembelajaran bahasa

Inggris sebagai bahasa asing pada jenjang SMA di Indonesia. Sebagaimana banyak

diketahui bahwa guru-guru bahasa Inggris di Indonesia dalam mengajarkan bahasa

Inggris kepada siswa lebih banyak berorientasi pada hasil ujian formal dan kurang

banyak memperhatikan penguasaan kompetensi berbahasa siswa. Paradigma

pembelajaran ini terkesan kaku dan tidak banyak mengeksplorasi potensi siswa dalam

belajar bahasa Inggris. Padahal para siswa SMA umumnya sudah dikategorikan

sebagai pembelajar dewasa yang mampu berfikir kritis sesuai dengan minat dan

pengalaman yang melatarbelakangi pengetahuannya. Paradigma pembelajaran yang

demikian harus segera digeser ke paradigma pembelajaran yang berorientasi pada

pembelajaran kolaboratif dengan menonjolkan minat dan pengalaman pembelajar.

B. Filosofi Andragogy vs Pedagogy dalam Pembelajaran Bahasa Inggris

Seperti telah sedikit disinggung di depan bahwa ada perbedaan pendekatan

pembelajaran bahasa Inggris yang terjadi di Indonesia dan yang terjadi di negara-

3

Page 4: Implikasi Pendekatan Andragogis Dalam Pembelajaran Bahasa Inggris Sebagai Bahasa Asing Di SMA

negara barat. Pendekatan pembelajaran bahasa Inggris yang terjadi di negara-negara

barat cenderung membedakan antara pembelajaran untuk orang dewasa dengan

pembelajaran untuk anak-anak; sedangkan pendekatan pembelajaran di negara-negara

timur (Indonesia, Cina, dll.) menganggap tidak ada perbedaan yang mencolok diantara

dua kelompok pembelajar tersebut dalam proses pembelajarannya. Pendidikan untuk

anak dikategorikan sebagai pedagogi karena sebenarnya pedagogi merupakan seni dan

ilmu untuk mengajar anak-anak. Di dalam pedagogi, guru banyak berperan untuk

mengontrol dan memutuskan apa saja yang akan dipelajari dalam sebuah proses

pembelajaran, bagaimana suatu materi pelajaran itu harus dipelajari (menentukan

metode belajar), dan kapan harus dilakukan proses pengukuran (assessment) hasil

belajar. Siswa semata-mata ‘tunduk’ dan mengikuti apa yang diajarkan oleh gurunya.

Sebaliknya Knowles (1998:43) menyatakan bahwa andragogi didefinisikan sebagai

suatu pendekatan pembelajaran untuk orang dewasa. Lebih lanjut andragogi

dikarakteristikkan sebagai proses pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-

centered learning), karena pembelajar menurut pendekatan ini, dipercaya sebagai

individu yang termotivasi untuk belajar secara internal (self-directed leaners). Ketika

pembelajar termotivasi secara internal untuk belajar, maka guru harus memposisikan

dirinya sebagai fasilitator dari sebuah proses pembelajaran. Karena posisinya sebagai

fasilitator pembelajaran, maka guru tidak perlu mengontrol secara ketat segala

aktivitas pembelajaran yang sedang berlangsung. Malahan, fasilitator pembelajaran

perlu menegosiasikan prioritas kurikuler apa yang perlu dicapai dari sebuah proses

pembelajaran dengan para siswanya. Seorang fasilitator bisa saja memberikan kontrak

pembelajaran kepada siswa. Seorang fasilitator perlu memposisikan dirinya sebagai

pembantu belajar siswa (co-leaner) dan menganggap dirinya sebagai teman sejawat

(peer) para siswanya.

Pendekatan pembelajaran andragogis memandang pendidikan sebagai suatu

kesataraan. Artinya guru dan siswa dalam suatu proses pembelajaran berada pada

posisi yang setara. Mezirow, King & Wright, dan Merriam seperti dikutip oleh Wang

(2006:3) menyatakan bahwa hal mendasar yang perlu dipahami adalah pendekatan

4

Page 5: Implikasi Pendekatan Andragogis Dalam Pembelajaran Bahasa Inggris Sebagai Bahasa Asing Di SMA

andragogis memandang seluruh siswa mempunyai potensi untuk termotivasi dan

terdorong secara internal (self-motivated and self-directed) untuk belajar guna

memuaskan minat dan pengalamannya; memandang siswa mampu berfikir rasional

dan besikap empatik dalam proses pembelajaran; memandang seluruh siswa mampu

berpartisipasi dalam wacana kerja kolaboratif; memandang siswa mempunyai

kemampuan berlatih secara mandiri; dan juga memandang siswa mampu bertindak

secara reflektif. Pernyataan tersebut mengandung makna bahwa seorang guru harus

bersikap egaliter dan terampil mendesain proses pembelajaran yang menyenangkan.

Secara filosofis aplikasi pendekatan pedagogis dan andragogis mempuyai

konsep yang berbeda dalam sebuah proses pembelajaran bahasa Inggris. Di satu sisi,

pendekatan pedagogis lebih menekankan pada upaya mentransmisikan sejumlah

pengetahuan dan keterampilan berbahasa Inggris dalam rangka mempersiapkan siswa

untuk menghadapi kehidupan di masa yang akan datang. Sebaliknya pendekatan

andragogis lebih menekankan pada membimbing dan membantu siswa untuk

menemukan pengalaman, pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam berbahasa

Inggris dalam rangka memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Secara lebih

konkrit, pendekatan andragogis memposisikan kegiatan pembelajaran bahasa Inggris

harus:

1. berpusat pada masalah;

2. menuntut dan mendorong siswa untuk aktif dalam berbahasa Inggris secara

realistis;

3. mendorong siswa untuk mengemukakan pengalamannya sehari-hari dalam

bahasa Inggris;

4. menumbuhkan kerja sama, baik antara sesama siswa dan antara siswa dengan

gurunya dalam mencari solusi permasalahan komunikasi berbahasa Inggris;

dan

5. lebih bersifat memberikan pengalaman berkomunikasi bahasa Inggris, bukan

merupakan transformasi atau penyerapan materi bahasa Inggris semata.

5

Page 6: Implikasi Pendekatan Andragogis Dalam Pembelajaran Bahasa Inggris Sebagai Bahasa Asing Di SMA

C. Aplikasi Pendekatan Andragogis dalam Pembelajaran Bahasa Inggris di SMA

Pembelajaran bahasa Inggris mestinya bukanlah semata-mata mengajarkan

kepada siswa unsur-unsur pengetahuan bahasa, seperti tata bahasa (grammar),

pelafalan (pronunciation), pilihan kata (diction), intonasi (intonation) dan daftar kosa

kata (vocabulary), dan bukan pula pembelajaran yang hanya berorientasi pada hasil

ujian (ujian semester, ujian nasional, dsb). Pembelajaran bahasa Inggris mestinya

menekankan pada penguasaan kompetensi berbahasa oleh siswa dalam bentuk empat

keterampilan berbahasa, yaitu membaca (reading), menyimak (listening), menulis

(writing) dan berbicara (speaking). Dengan kata lain, kemampuan komunikatif harus

menjadi fokus dalam pembelajaran bahasa Inggris. Ketika kemampuan komunikatif

menjadi fokus dalam pembelajaran bahasa Inggris, maka pembelajaran tidak lagi

semata-mata mentransfer pengetahuan bahasa secara parsial berupa unsur-unsur

bahasa, seperti grammar, kosa kata dan sebagainya, tetapi pembelajaran bahasa

Inggris harus mampu memberikan pengalaman bagi siswa untuk mampu

menggunakan bahasa Inggris itu sebagai alat komunikasi nyata.

Pembelajaran bahasa Inggris yang menekankan pada kemampuan komunikatif

ini tampaknya dapat dilakukan melalui pendekatan andragogis, karena pendekatan ini

mensyaratkan adanya proses kolaboratif dalam proses pembelajaran guna menciptakan

pengalaman berkomunikasi nyata. Hal ini sejalan dengan pendapat banyak pakar yang

menyatakan bahwa guru-guru bahasa Inggris seharusnya mengikuti proses

pembelajaran kolaboratif dalam menciptakan konteks komunikasi nyata, sehingga

hasil proses pembelajaran bahasa itu menjadi optimal. Pendekatan andragogis

dipercaya mampu menguatkan gerakan komunikatif dan proses pembelajaran

kolaboratif. Sebagai contoh, pada saat pembelajaran reading comprehension. Ketika

siswa diminta untuk memahami makna yang tersirat (reading between the lines) dari

suatu teks, sering sekali siswa mengalami kesulitan. Pada saat siswa mendapatkan

kesulitan dalam menemukan makna tersirat itu, guru tidak perlu menunjukkan makna

atau informasi tersirat itu secara langsung kepada para siswa. Biarkan para siswa

melalui keingintahuannya itu bekerja sama dengan kelompoknya untuk menemukan

6

Page 7: Implikasi Pendekatan Andragogis Dalam Pembelajaran Bahasa Inggris Sebagai Bahasa Asing Di SMA

informasi yang diinginkan. Guru yang berperan sebagai fasilitator cukup memberikan

petunjuk (clue), sehingga siswa mampu menemukan sendiri informasi yang tersirat

dari teks atau wacana yang dihadapi. Konsep ini merupakan pendekatan pembelajaran

bahasa Inggris berbasis andragogis yang berangkat dari permasalahan berkomunikasi

dan kemudian dipecahkan secara kolaboratif.

Contoh lain yang menarik dalam pembelajaran bahasa Inggris berbasis

andragogis adalah pada saat guru mengajarkan kemampuan menulis (writing skill).

Pada saat guru meminta siswa untuk menulis sebuah jenis teks tertentu dalam bahasa

Inggris, guru tidak perlu menentukan batasan tema yang harus ditulis oleh siswa.

Perlu dipahami bahwa pembelajaran bahasa Inggris menurut kurikulum yang berlaku

di SMA saat ini harus selalu berangkat dari jenis teks (genre), misalnya jenis teks

recount, narrative, discussion, procedure, analitical exposition, exploratory

exposition, dsb, maka guru cukup memberikan batasan pada jenis teks apa yang harus

ditulis oleh siswa. Sedangkan tema apa yang harus ditulis oleh siswa diserahkan

sepenuhnya kepada siswa itu sendiri. Kemudian berdasarkan minat dan pengalaman

yang dimilikinya, siswa memilih salah satu tema yang akan dikembangkan dalam

tulisannya. Misalnya guru menginginkan siswa mampu menulis jenis teks procedure

yang berbicara mengenai langkah-langkah atau skuensi dalam melakukan suatu

aktivitas tertentu, maka siswa berdasarkan pengalaman dan minatnya bisa memilih

tema bagaimana posedur memasak nasi goreng, prosedur mengoperasikan komputer,

prosedur merakit alat bermainnya, prosedur membuat alamat email di internet dan

sebagainya. Siswa tidak akan mampu menulis dengan baik berbagai prosedur itu

apabila tidak didasari pengalaman dan minatnya yang mendalam mengenai hal-hal

tersebut. Proses pembelajaran menulis bahasa Inggris seperti ini akan lebih berhasil

dibandingkan apabila guru harus memaksa dan menentukan tema tertentu yang harus

ditulis oleh siswa, sedangkan siswa tidak mempunyai pengalaman dan minat yang

memadai tentang tema yang harus ditulis itu. Pendekatan pembelajaran menulis seperti

di atas sesuai dengan prinsip-prinsip andragogis yang menempatkan pengalaman dan

minat siswa sebagai sumber belajar yang bermakna.

7

Page 8: Implikasi Pendekatan Andragogis Dalam Pembelajaran Bahasa Inggris Sebagai Bahasa Asing Di SMA

Relevansi pendekatan andragogis dalam pembelajaran bahasa Inggris juga bisa

diterapkan dalam mengajarkan kemampuan berbicara (speaking skill). Ketika guru

mengajarkan kepada siswa kemampuan berkomunikasi lisan dalam bahasa Inggris,

guru tidak perlu menentukan batasan-batasan mengenai apa yang harus dibicarakan,

kosa kata apa yang digunakan oleh siswa dalam berkomunikasi lisan, dan jenis

grammar apa yang harus muncul dalam komunikasi lisan itu. Batasan-batasan yang

ditentukan itu telah merefleksikan bahwa guru banyak mengontrol proses berfikir dan

berkomunikasi siswa dan hal ini tidak sejalan dengan prinsip-prinsip andragogis yang

menuntut siswa untuk berfikir kreatif. Siswa harus diberi keleluasaan untuk

memformulasikan pengalaman masa lalunya dan menghubungkannya dengan

pengalaman barunya dan kemudian diminta untuk mengkomunikasikan dalam bahasa

lisan. Keterbatasan siswa dalam menguasai kosa kata dan lafal (pronunciation) kata

jangan dianggap sebagai kendala komunikasi. Guru sebagai fasilitator harus

menjembatani keterbatasan kemampuan komunikasi lisan yang dimiliki siswa dengan

kemampuan yang sebenarnya harus dimiliki siswa dengan cara memberikan motivasi

untuk berkembang.

Dalam membantu siswa untuk berkembang dalam komunikasi lisan itu, guru

perlu menciptakan iklim pembelajaran kesetaraan. Maksudnya guru harus

memposisikan dirinya sebagai teman belajar siswa yang senantiasa siap membantu

siswa menemukan solusi dari kendala komunikasi yang muncul. Kendala komunikasi

lisan yang dimiliki oleh siswa harus dieliminasi dengan cara-cara yang ‘ramah’.

Kesalahan komunikasi lisan yang dilakukan oleh siswa harus dianggap sebagai proses

alamiah dari sebuah proses pembelajaran bahasa Inggris.

D. Penciptaan Konteks Pembelajaran Bahasa Inggris Berbasis Andragogy

Seperti telah disinggung di bagian sebelumya bahwa filosofi pembelajaran

berbasis andragogy berakar dari pembelajaran yang didasari oleh pengalaman dan

minat yang dimiliki oleh peserta didik. Dengan pengalaman dan minat yang dimiliki

oleh peserta didik itu, pembelajaran akan lebih bermakna dalam membentuk

komptensi yang diharapkan dikuasai oleh peserta didik itu. Hal ini senada dengan

8

Page 9: Implikasi Pendekatan Andragogis Dalam Pembelajaran Bahasa Inggris Sebagai Bahasa Asing Di SMA

pendapat Hansman (2001:43) bahwa belajar yang sebenarnya adalah belajar melalui

pengalaman. Tanpa dilandasi pengalaman dan minat yang melatarbelakangi, proses

pembelajaran akan sulit berkembang dan akhirnya hasil dari proses pembelajaran itu

juga akan kurang optimal. Permasalahan yang kemudian muncul adalah bagaimana

apabila peserta didik itu benar-benar tidak mempunyai pengalaman yang

melatarbelakangi apa yang hendak dipelajari?. Apakah guru harus membiarkan begitu

saja siswa yang tidak mempunyai latar belakang pengalaman itu dan langsung

meberikan bahan ajar yang harus dikuasai siswa? Bagaimana guru seharusnya

mengatasi permasalahan ini?

Prinsip pembelajaran berbasis andragogy mensyaratkan bahwa guru tidak

boleh begitu saja mengabaikan aspek pengalaman yang harus dimiliki oleh siswa,

karena pengalaman merupakan sumber belajar yang sangat bermakna. Ketika sebagian

atau keseluruhan dari peserta didik itu tidak mempunyai latar belakang pengalaman

yang menunjang proses pembelajaran, guru harus terlebih dahulu memberikan

pengalaman imitatif melalui penciptaan konteks. Gagasan mengenai konteks yang

dijadikan sentral dari sebuah proses pembelajaran menjadi suatu hal yang sangat

menarik untuk didiskusikan. Wilson (1993:73) menyatakan bahwa pembelajaran yang

terjadi dalam suatu konteks tertentu akan mengarahkan siswa menjadi lebih

“tertantang” untuk aktif berinteraksi dengan siswa lain dalam suasana belajar lebih

menyenangkan.

LeGrand Brandt, Farmer, dan Buckmaster seperti dikutip oleh Hansman

(2001:46) menyatakan bahwa upaya guru dalam menciptakan konteks untuk

membentuk pengalaman siswa dapat dilakukan diantaranya melalui pemodelan

(modeling), karena pemodelan ini mampu mengarahkan siswa untuk mengamati

performa dari suatu kegiatan yang dilakukan oleh orang yang mempunyai pengalaman

nyata. Kegiatan pemodelan oleh orang yang berpengalaman ini akan memberikan

topangan (scaffolding) bagi siswa untuk berkreasi dalam belajar.

Penciptaan konteks dapat pula dilakukan oleh guru melalui berbagai alat bantu

pembelajaran, misalnya komputer, peta, gambar-gambar, gelas ukur dan sebagainya.

9

Page 10: Implikasi Pendekatan Andragogis Dalam Pembelajaran Bahasa Inggris Sebagai Bahasa Asing Di SMA

Kaitannya dengan pembelajaran bahasa Inggris, ketika guru ingin mengajarkan

kemampuan berbicara (speaking skill), guru bisa meminta siswa untuk bermain peran

yang anggotanya terdiri dari beberapa siswa. Sebagai ilustrasi, misalnya sesuatu yang

ingin diperankan siswa adalah suasana kesibukan di bandara bagi para penumpang

yang ingin melakukan perjalanan jauh. Sedangkan beberapa di antara siswa belum

pernah sama sekali naik pesawat. Ini berarti bahwa siswa itu tidak mempunyai

pengetahuan sama sekali bagaimana kesibukan penumpang yang terjadi di bandara.

Dengan demikian ada kesenjangan (gap) pengalaman yang dialami oleh sesama siswa.

Permasalahan ini bisa diatasi oleh guru dengan memberikan pengalaman melalui

penciptaan konteks. Guru perlu menyusun setting ruang belajar itu menjadi bagian-

bagian mirip seperti yang ada di bandara, mulai dari ticketting counter, security

checking, waiting room dan sebagainya, kemudian guru perlu menjelaskan fungsi dari

masing-masing bagian dalam bandara tersebut. Dengan demikian siswa akan

terbangun pengalamannya dan akhirnya siswa mampu melakukan dialog berbahasa

Inggris dalam konteks kesibukan penumpang di bandara.

Pada dasarnya kemampuan berbicara (speaking skill) dan kemampuan menulis

(writing skill) dalam pembelajaran bahasa Inggris dikategorikan sebagai kemampuan

poduktif (productive skill). Maksudnya adalah siswa diminta memproduksi dan

menuangkan gagasan, pikiran dan perasaannya dalam ungkapan yang bermakna

dengan bahasanya sendiri. Kemampuan produktif ini tidak akan berjalan dengan baik

apabila tidak didukung pengalaman memadai yang dimiliki oleh siswa. Dalam hal ini

peran guru menjadi sangat penting dalam upaya penciptaan konteks dalam rangka

membentuk pengalaman imitatif siswa agar mampu menghasilkan berbagai ungkapan

komunikatif yang bermakna.

Sebagai upaya dalam menciptakan konteks dalam pembelajaran bahasa Inggris

berbasis andragogi, ada beberapa aktivitas pembelajaran bahasa Inggris yang bisa

dilakukan, yaitu:

1. Bermain Peran (Role-Plays)

10

Page 11: Implikasi Pendekatan Andragogis Dalam Pembelajaran Bahasa Inggris Sebagai Bahasa Asing Di SMA

Role-plays merupakan proses pembelajaran kolaboratif dan merupakan

metode yang sangat baik dalam upaya menciptakan konteks komunikasi. Tetapi,

banyak siswa yang sering mengalami hambatan ketika diminta bermain peran (yaitu,

memerankan orang lain) untuk menciptakan konteks berkomunikasi yang realistis.

Alasannya adalah aktivitas ini memerlukan acting dan improvisasi yang oleh beberapa

siswa dianggap memerlukan bakat khusus. Kondisi ini perlu dipahami oleh guru,

tetapi tidak selanjutnya harus meniadakan kegiatan ini. Dalam konteks pembelajaran

bahasa, bermain peran hanya dimaksudkan untuk menciptakan pengalaman siswa

untuk berkomunikasi dalam “dunia nyata”, bukan mementingkan aspek “pertunjukan”

dari peran siswa itu.

Permasalahan tersebut bisa diatasi dengan memberikan penjelasan singkat

mengenai peran masing-masing siswa dalam role-plays itu dan perlu dijelaskan pula

bahwa yang dipentingkan dalam bermain peran itu adalah keberanian siswa dalam

memproduksi ungkapan-ungkapan komunikatif . Proses pembelajaran bahasa Inggris

sebagai bahasa asing tidak akan banyak berhasil apabila proses pembelajaran itu tidak

dikaitkan dengan konteks yang mampu merangsang siswa untuk mampu memproduksi

ungkapan-ungkapan yang bermakna. Byrne (1976:23) mengatakan bahwa: "Di dalam

role-plays, guru tidak perlu banyak memperhatikan aspek penampilan siswa dalam

kegiatan itu, tetapi yang penting adalah guru bisa menciptkan konteks situasi yang

bermakna yang mampu memberikan pengalaman bagi siswa untuk berkomunikasi

dalam konteks yang realistis.

2. Pelatihan (drilling) Komunikasi

Sering sekali ditemui bahwa ketika guru bahasa Inggris mengajarkan grammar

kepada para siswa, mereka sering meminta siswa menghafal berbagai istilah, misalnya

berbagai tenses, concord, subjunctive, dangling, conditional sentence dan sebagainya

yang justru menambah kesulitan siswa dalam belajar bahasa Inggris sebagai bahasa

asing. Proses pembelajaran ini tampaknya sangat mekanistik dan lebih mementingkan

11

Page 12: Implikasi Pendekatan Andragogis Dalam Pembelajaran Bahasa Inggris Sebagai Bahasa Asing Di SMA

aspek kognitif daripada psikomotorik. Pembelajaran grammar dapat pula dilakukan

dengan memberikan konteks yang mampu mendorong siswa untuk berfikir kritis

dalam berkomunikasi dengan menggunakan grammar yang diharapkan dikuasai siswa.

Ketika memecahkan permasalahan belajar yang berkaitan dengan penggunaan

grammar tertentu, siswa perlu banyak diberi latihan untuk mengaplikasikan grammar

itu dalam komunikasi yang realitis tidak sekedar mengetahui aspek-aspek grammar itu

saja. Konteks yang bisa digunakan untuk merangsang minat dan pengalaman siswa itu

di antaranya dapat dilakukan dengan mendesign aktivitas kolaboratif seperti menjawab

pertanyaan yang bersifat open-ended, mendeskripsikan gambar atau kartun dan

sebagainya. Kegiatan lain yang bisa dilakukan adalah latihan menerjemahkan

beberapa kalimat atau teks yang mengandung struktur kalimat yang perlu dikuasai

siswa. Kegiatan-kegiatan ini tentu saja menghendaki daya pikir kritis siswa yang

merupakan karakteristik dari pengajaran berbasis andragogi.

3. Penugasan

Untuk merangsang siswa mampu mengaplikasikan bahasa Inggris dalam

komunikasi yang lebih realistis, siswa perlu ditugasi untuk mengaplikasikan

kemampuannya dalam berbahasa Inggris dalam situasi nyata. Misalnya, siswa diminta

datang ke berbagai tempat wisata dan bertemu dengan beberapa turis asing yang

berbahasa Inggris untuk diwawancarai. Hasil wawancara itu harus direkam dan pada

kesempatan lain harus dilaporkan kepada guru. Kegiatan ini selain melatih tingkat

kepercayaan siswa akan kemampuan bahasa Inggrisnya, juga mampu memberikan

pengalaman bagi siswa itu untuk beromunikasi bahasa Inggris dalam konteks yang

sangat realistis.

Tugas lain bisa pula dalam bentuk browsing internet untuk mencari informasi

tertentu yang berkaitan dengan tema yang dibicarakan di kelas. Kerja ini perlu

dilakukan secara kelompok, sehingga setiap anggota bisa saling berdiskusi untuk

menyamakan persepsi mereka berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi. Pada

tahap selanjutnya siswa harus melaporkan hasil browsing atau pencarian itu di muka

kelas yang tentu saja dalam bahasa Inggris. Kegiatan ini diharapkan mampu

12

Page 13: Implikasi Pendekatan Andragogis Dalam Pembelajaran Bahasa Inggris Sebagai Bahasa Asing Di SMA

memberikan wacana pengalaman bagi siswa tentang sesuatu masalah yang belum

diketahui sebelumnya. Dengan demikian, siswa dapat dengan mudah mndapatkan

materi yang bisa dilaporkan di muka kelas.

E. Penutup

Model pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing yang terkesan

mekanistis dengan menempatkan guru sebagai orang yang paling banyak tahu dan

menempatkan siswa sebagai kelompok individu penerima pengetahuan dari guru

dipercayai kurang banyak berhasil. Ketidakberhasilan itu ditandai dengan

ketidakmampuan siswa untuk berfikir kritis dalam menciptakan suasana komunikasi

bahasa Inggris yang bermakna. Bahkan proses pembelajaran seperti itu tidak mampu

mendorong siswa untuk aktif berpartisipasi dalam proses pembelajaran. Kemampuan

guru dalam mendesign proses pembelajaran yang menarik, inovatif dan menantang

merupakan kunci keberhasilan dari proses pembelajaran itu.

Pendekatan andragogis merupakan suatu pendekatan yang perlu dicoba dan

diimplementasikan dalam proses pembelajaran bahasa Inggris. Pendekatan ini

mensyaratkan guru dan siswa secara bersama-sama menentukan aktivitas

pembelajaran yang bermakna, sehingga mampu mendorong siswa untuk aktif

berpartisipasi dalam proses pembelajaran. Pada dasarnya keterlibatan siswa secara

aktif dalam kegiatan pembelajaran merupakan kunci keberhasilan dalam pembelajaran

bahasa Inggris. Semakin aktif keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran bahasa

Inggris, maka akan semakin berhasil suatu proses pembelajaran itu. Pendekatan

andragogis, walaupun saat ini mungkin baru sekedar impian, merupakan sebuah solusi

untuk meningkatkan efektivitas keberhasilan proses pembelajaran bahasa Inggris itu.

13

Page 14: Implikasi Pendekatan Andragogis Dalam Pembelajaran Bahasa Inggris Sebagai Bahasa Asing Di SMA

Daftar Referensi

Barnes, D. 1975. From Communication to Curriculum. Harmonsworth Middlesex: Penguin Publisher

Hansman, C. A. (2001). Context-Based Adult Learning in S. Meriam (ed), An Update on Adult Learning Theory. New Directions for Adult and Continuing Education, no. 57. San Fransisco: Jossey-Bass.

Helena, I.R.A. (2004). Landasan Filosofis dan Teoritis Pendidikan Bahasa Inggris. Jakarta: Ditjen Dikdasmen, Depdiknas

Knowles, M. (1978). The Adult Leaner: A Neglected Species (2nd Ed). Houston: Gulf Publishing Company.

Knowles, M. S., Holton, E., & Swanson, A. (1998). The adult learner. Houston, TX: Gulf Publishing Company.

Salovey, P. et al. (2004). Emotional Intelligence. New York: Dude Publishing

Sarjilah. (2006). Makna Pengembangan Manusia Pada Pelatihan Guru. LPMP D.I. Yogyakarta: Unpublished.

Wang, V.C.X.. (2001). Implementing Andragogy in Teaching English as a Foreign Language (TEFL) in China: A Dream yet to be Realized. Long Beach, USA: California State University

Wilson, A.L. (1993). The Promise of Situated Cognition in S. Meriam (ed), An Update on Adult Learning Theory. New Directions for Adult and Continuing Education, no. 57. San Fransisco: Jossey-Bass.

*) Biodata Penulis

Sumardi, M.Hum; lahir di Sragen pada tanggal 08 Juni 1974 adalah guru bahasa Inggris di SMA Negeri 1 Sragen sejak 1998 hingga sekarang. Saat ini ia juga aktif mengajar di AKBID YAPPI Sragen dan tutor di Universitas Terbuka untuk mata kuliah bahasa Inggris. Pendidikan sarjana (S1) diselesaikan di FKIP Prodi pendidikan bahasa Inggris Universitas Jember; S2 Prodi Linguistik Terapan Bidang Penerjemahan di PPs Universitas Sebelas Maret Surakarta; dan saat ini sedang menempuh studi program doktor (S3) Penelitian dan Evaluasi Pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta atas beasiswa unggulan dari BPKLN Depdiknas.

14