19
IMPLIKASI PEMBATALAN UNDANG-UNDANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI TERHADAP PROSPEK PENANGANAN PELANGGARAN BERAT HAK ASASI MANUSIA Agus Raharjo * Abstract Law ofNo. 27 Year 2004 about Truth and Reconciliation Commission has been canceled by Constitution Supreme Court. This cancellation brings consequence in solution of gross violation of human rights past time in Indonesia can only be done through of human rights ad hoc court. One of the cancellation reason is giving of compensation, restitution and reha- bilitation for victim gross violation of human rights depend to giving amnesty for perpetrator of gross violation of human rights past time. Amnesty for perpetrator of gross violation of human rights according to rule of international law and law of humaniter international do not be enabled, so that from this side of the cancellation have correctness. However that cancellation have the character of totally, so that door for solution of gross violation of human rights past time by using Truth and Reconciliation Commission become closed, though existence of the commission is expected can express the truth of past which can 't be done by court. Image of the Indonesian criminal court which is ugly to be worried of become appliance for the creation of impunity to gross violation of human rights past time and also as medium for the giving of amnesty for his perpetrator. If it does created condition, hence litigation at the most merely creating bureaucratic justice and is progressively left by him transitional justice or substantive justice to all victim gross violation of human rights. Bata kunci implikasi, KKR, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004, pelanggaran berat HAM A. Pendahuluan Pemerintahan masa lalu mewariskan banyak masalah bagi negeri ini. Sejak jaman orde lama dan terutama orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto, pelanggaran hak AsIsi manusia (HAM) ataupun kejahatan terhadap kemanusiaan menjadi hal yang ter- kait dengan upaya pelanggengan kekuasaan. Rakyat yang menjadi korban rindu menanti keadilan yang tiada kunjung hadir memberi kenyamanan. Meskipun rezim Soeharto telah runtuh dan berganti rezim yang konon lebih demokratis, tetapi upaya-upaya pe- nyingkapan kebenaran akan masa lalu yang kelam sampai sekarang belum menemui titik terang. Kita sedang mengalami masa transisi, dan keadilan yang didambakan para korban pelanggaran HAM dalam Dosen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (UnSoed). Purwokerto.

Implikasi Pembatalan Undang-Undang 0001 NEWfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Implikasi Pembatalan Undang... · ketentuan dalam statuta tersebut.5 Kebanyakan pelanggaran berat HAM

Embed Size (px)

Citation preview

IMPLIKASI PEMBATALAN UNDANG-UNDANG

KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI TERHADAP

PROSPEK PENANGANAN PELANGGARAN BERAT

HAK ASASI MANUSIA

Agus Raharjo*

Abstract

Law ofNo. 27 Year 2004 about Truth and Reconciliation Commission has been canceled

by Constitution Supreme Court. This cancellation brings consequence in solution of gross

violation of human rights past time in Indonesia can only be done through of human rights

ad hoc court. One of the cancellation reason is giving of compensation, restitution and reha-

bilitation for victim gross violation of human rights depend to giving amnesty for perpetrator

of gross violation of human rights past time. Amnesty for perpetrator of gross violation of

human rights according to rule of international law and law of humaniter international do

not be enabled, so that from this side of the cancellation have correctness.

However that cancellation have the character of totally, so that door for solution of gross

violation of human rights past time by using Truth and Reconciliation Commission become

closed, though existence of the commission is expected can express the truth of past which

can 't be done by court. Image of the Indonesian criminal court which is ugly to be worried

of become appliance for the creation of impunity to gross violation of human rights past time

and also as medium for the giving of amnesty for his perpetrator. If it does created condition,

hence litigation at the most merely creating bureaucratic justice and is progressively left by

him transitional justice or substantive justice to all victim gross violation of human rights.

Bata kunci implikasi, KKR, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004, pelanggaran berat

HAM

A. Pendahuluan

Pemerintahan masa lalu mewariskan

banyak masalah bagi negeri ini. Sejak jaman

orde lama dan terutama orde baru di bawah

kepemimpinan Soeharto, pelanggaran hak

AsIsi manusia (HAM) ataupun kejahatan

terhadap kemanusiaan menjadi hal yang ter-

kait dengan upaya pelanggengan kekuasaan.

Rakyat yang menjadi korban rindu menanti

keadilan yang tiada kunjung hadir memberi

kenyamanan. Meskipun rezim Soeharto

telah runtuh dan berganti rezim yang konon

lebih demokratis, tetapi upaya-upaya pe-

nyingkapan kebenaran akan masa lalu yang

kelam sampai sekarang belum menemui

titik terang. Kita sedang mengalami masa

transisi, dan keadilan yang didambakan

para korban pelanggaran HAM dalam

Dosen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (UnSoed). Purwokerto.

2 MIMBAR HUKUM Volume 19, Nomor 1, Februari 2007. Halaman 1 - 18

kajian politik dan sosial dinamakan keadilan

transisional (transitional justice)) Peme-

rintahan Habibie memang telah memberi

angin pada kehidupan demokrasi, akan

tetapi Soeharto tak tersentuh, demikian pula

dengan Pemerintahan Abdulrahman Wahid,

Megawati dan sekarang Susilo Bambang

Yudoyono.

Dalam persoalan penyediaan instrumen

hukum, Pemerintahan Habibie dan terutama

pemerintahan Abdulrahman Wahid2 dan

Megawati memang telah memenuhinya,

yaitu dengan dibuatnya Undang-Undang

Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia dan Undang-Undang Nomor 26

Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM serta

diratifikasinya berbagai instrumen internasi-

onal mengenai HAM. Namun demikian, da-

lam pelaksanaannya dapat dikatakan meng-

alami kegagalan karena yang terjadi adalah

pembiaran (impunity) dan pengampunan

(amnesty) terhadap kejahatan masa lalu.

Apabila pengadilan yang dijadikan se-

bagai ujung tombak menggapai keadilan

dapat diandalkan, sebenarnya ide tentang

perlu tidaknya Komisi Kebenaran danRekonsiliasi tidak perlu diperdebatkan.

Ironisnya, kondisi peradilan di negeri ini, ter-

masuk pengadilan HAM, merupakan salah

satu yang terburuk di dunia sehingga penye-

lesaian melalui jalur non litigasi menjadi

sebuah altematif pencarian kebenaran dan

keadilan. Oleh karena itu, TAP MPR Nomor

V/MPRJ2000 Bab V Butir (3) dan Undang-

Undang Nomor 26 Tahun 2000 dalam Pasal

47 ayat (1) dan (2) mengamanatkan pem-

bentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsi-

liasi (KKR) sebagai altematif penyelesaian

kasus pelanggaran HAM di luar pengadilan.

Amanat tersebut terealisasi pada 6 Oktober

2004 dengan dikeluarkannya Undang-Un-

dang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi

Kebenaran dan Rekonsiliasi. KKR ini di-

maksudkan untuk mengungkap kebenaran

masa lalu, menegakkan keadilan dan mem-

bentuk budaya menghargai HAM sehingga

dapat diwujudkan rekonsiliasi dan persatuan

nasional. Misi KKR ini sirna ketika Mah-

kamah Konstitusi pada tanggal 6 Desember

2006 membatalkan Undang-Undang Nomor

27 Tahun 2004. Pembatalan ini tentu saja

segera mengundang reaksi, tidak hanya dari

Keadilan transisional timbul dalam konteks transisi - suatu perubahan dalam tataran politik. Batasannya

adalah perubahan politik pasca rcvolusi. Masalah kcadilan transisional timbul pada jangka waktu terbatas,

antara dua pcmcrintahan. Teitel mcnekankan bahwa kajian terhadap pola-pola format legal yang mcnunjukkan

suatu paradigma jurisprudensi transisional di mana konsepsi keadilan bersifat parsial. kontekstual dan berada

di tengah dua tatanan legal dan politik. Yurisprudensi transisional berpusat pada penggunaan hukum secara

paradigmatik dalam konstruksi normatif rezim politik yang baru. Bagi Teitel. masalah kcadilan transisional

yang tidak terscicsaikan dapat mcnimbulkan implikasi yang berkepanjangan pada suatu negara. Ruti G. Teitcl,

2004, Keadilan Tansisional, Sebuah Tinjauan Komprehensif, tterjemahan Tim Elsam). Elsam. Jakarta, him.

5-6, 463- 477. Lihat juga Eddie Riyadi Terre. "Keadilan Transisional: Sebuah Pencarian Keadilan Dalam

Rcmang Menjclang Fajar," artikcl dalam Dignitas. Jurnal Hak Asasi Manusta. Vol. I. No. 1, Tahun 2003,

Elsam, Jakarta, hlm. 210.

Gus Dur waktu itu bahkan menolak pengerunaan kckuatan milt= untuk rnc-nvelaikan konflik Acch dan

justru mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahtm 2001 yane menyatakan diberlakukannya kebijakan

untuk menyclesaikan konflik yang tcrjadi melalui pentkkatan-acnekiratan yang iebih komprchensif dcngan

memperhatikan aspek-aspek politik, ekonomi. sosial. htrktr km.:manir. dan informasi scrta komunikasi dan

permasalahan Acch. Lihat dalam Irene I. Hadiprayttno. -Pertaneetanuawahari Kcjahatan HAM Ditinjau Dari

Kcrangka Hukum HAM Intcmasional: Studi Kasus Kekamsan NetrZrZ Da :arn Konflik Acch,'' artikcl dalam

Jurnal Analisis CS1S, Tahun XXXI/2002. No. 3. Jakarta. him_ 367.

Raharjo, Implikasi Pembatalan Undang-Undang 4

para korban, praktisi dan teoritisi, melainkan

juga dari kalangan legislatif dan eksekutif

yang merancang dan merumuskan undang-

undang tersebut.

Tulisan ini bermaksud untuk memba-

has implikasi pembatalan Undang-Undang

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi terha-

dap prospek penanganan pelanggaran berat

HAM masa lalu. Apalagi bagi sebagian be-

sar kalangan aktivis dan pembela HAM, pu-

tusan itu dinilai melebihi apa yang diminta

(ultra petita). Pembahasan dimulai dengan

penyelesaian pelanggaran berat HAM di

masa sebelum lahirnya Undang-Undang

Nomor 27 Tahun 2004, arti penting KKR

dalam penyelesaian pelanggaran berat HAM

dan dampak dari putusan Mahkamah Kon-

stitusi yang membatalkan Undang-Undang

Nomor 27 Tahun 2004.

B. Penyelesaian Pelanggaran Berat

HAM Masa Lalu

Ketentuan hukum materiil mengenai

pelanggaran berat HAM sebagaimana di-

tentukan dalam Pasal 7 Undang-Undang

Nomor 26 Tahun 2000 hanya mengenal 2

(dua) macam, yaitu kejahatan genosida

(genocide) dan kejahatan terhadap kema-

nusiaan (crime against humanity).3 Selain

kedua jenis tersebut, kejahatan jenis lain

sebagaimana disebutkan dalam instrumen

internasional (Statuta Roma 1998) — berupa

agresi dan kejahatan perang — bukan/belum

merupakan pelanggaran berat HAM di Indo-

nesia.4 Hal ini terjadi karena Indonesia belum

meratifikasi Statuta Roma 1998 sehingga ti-

dak ada kewajiban untuk memenuhi seluruh

ketentuan dalam statuta tersebut.5

Kebanyakan pelanggaran berat HAM

di masa lalu yang dilakukan oleh rezim

pemerintahan terdahulu (Orde Lama dan

Orde Baru) adalah dua jenis kejahatan itu,

seperti pembunuhan massal di tahun 1965-

1966, invasi Indonesia ke Timor-Timur pada

tahun 1975, represi terhadap kaum muslim

di tahun 1980-an, pelanggaran HAM di Aceh

dan Papua, penculikan dan pembunuhan

(pembunuhan misterius) tahun awal 1980-

an, kasus Tanjung Priok yang tak terungkap

di pengadilan, kasus Warsidi di Lampung ta-

hun 1989, kasus penculikan aktivis demokra-

tis/HAM tahun 1990-an, serta pelanggaran

Bandingkan dengan pendapat Abdul Hakim Garuda Nusantara yang mengatakan bahwa pelanggaran berat-

HAM pada umumnya dipahami sebagai suatu perbuatan pelanggaran HAM yang membawa dampak buruk

yang luar biasa dahsyat pada jiwa, raga dan peradaban manusia. Lihat dalam Abdul Hakim Garuda Nusantara,"Pencrapan Hukum Intemasional Dalam Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Di Indonesia", artikcl

dalam Jurnal Hukum Internasional, Vol. 1, No. 4, Juli 2004, Lembaga Pengkajian Hukum Intemasional FH UI,

Jakarta, him. 757.Piagam Pcngadilan Militer Internasional Nuremberg mengkategorikan tiga pelanggaran berat HAM, yaitukejahatan terhadap perdamaian, kcjahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, sedangkan International

Tribunal for the Prosecution of Persons Responsible for Serious Violations of International Humanitarian Law

Committed in the Territory of the Former Yugoslavia Since 1991 — ICTY yang dibentuk berdasarkan ResolusiDewan Keamanan PBB No. 827 Tahun 1993 menyebutkan pelanggaran berat HAM yang menjadi kompeten-sinya, yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Demikian pula dengan Statuta PengadilanIntemasional untuk Rwanda (ICTR). Lihat dalam ibis, hal. 758-759. Indonesia nampaknya mengikuti kategoriyang ditentukan dalam ICTY dan ICTR, di samping alasan politis belum meratifikasi Statuta Roma. StatutaRoma ban' diadopsi dalam konferensi diplomatik oleh Indonesia sehingga statuta terscbut hanya

di-jadikan sebagai acuan raja, lagi pula dua jenis kejahatan lain yaitu agresi dan kcjahatan perang masih claimperdcbatan di antara negara anggota PBB dan Indonesia scndiri belum menentukan sikap. Lihat dalam RomiiAtmasasmita, 2004, Kapita Selekta Hukum Pidana Internasional, CV Utomo, Bandung, hlm. 3.

Raharjo, Implikasi Pembatalan Undang-Undang 5

HAM di Timor Timur pasca jajak pendapat

pada tahun 1990-an akhir.6

Pelanggaran berat HAM di atas (kecuali

invasi ke Timor Timur 1975) dilakukan oleh

pemerintah untuk melanggengkan kekuasa-

annya. Perbuatan pemerintah ini merupakan

hal yang biasa dalam rezim yang totaliter se-

bagaimana terjadi di banyak negara dengan

rezim yang sama seperti di Spanyol. Yunani,

Ceko, Hungaria, Argentina, dan Chili di masa

lalu. Ketika rezim totaliter masih berkuasa.

pelanggaran berat HAM tersebut di peti-es-

kan dan dianggap sebagai perbuatan legal.

Para penentang pemerintah itu diadili

dengan undang-undang subversi. Namun

dengan berjalannya waktu dan bergantinya

pemerintahan dari rezim otoriter ke rezim

yang lebih demokratis, tuntutan untuk meng-

ungkap kembali kebenaran masa lalu mun-

cul dan memerlukan penyaluran yang tepat.

Dalam penyelesaian pelanggaran berat

HAM masa lalu di Indonesia, muncul tiga

pendekatan utama. Pertama, dengan me-

maafkan dan melupakan apa yang telah ter-

jadi, kemudian "melanjutkan hidup" begitu

saja; Kedua, dengan menuntut semua pelaku

melalui jalur hukum dengan menciptakan

suatu pengadilan HAM; Ketiga, menerima

apa yang terjadi di masa lalu, sampai pada

suatu tingkat dan kondisi tertentu, dengan

fokus tujuan pada menguak kebenaran dan

menvediakan kompensasi dan rehabilitasi

untuk para korban dengan mendirikan suatu

"Komisi Kebenaran", dan hanya menuntut

pelaku utama untuk diajukan ke pengadilan.ff

Pilihan dalam mengambil kebijakan

mengenai jalan mana yang hendak ditempuh

diantara Ketiga pendekatan ini oleh pe-

merintahan di masa transisi menghadapi

dua persoalan. Pertama, apakah akan meng-

ineat atau melupakan kejahatan yang terjadi

(masalah pengakuan); Kedua, apakah akan

menjatuhkan sanksi terhadap individu yang

bertanegune jawab atas kejahatan tersebut

(masalah pertan e eungj awaban).8

Pendekatan pertama tidak dianjurkan

dalam praktek, karena akan menjadi prese-

den buruk bagi pemerintahan masa kini dan

masa yang akan datang. Pendekatan kedua

dapat ditempuh, meskipun menghadapi

permasalahan sehubungan dengan adanya

pro dan kontra penyelesaian melalui jalur

litigasi atau non litigasi. Mereka yang pro

penyelesaian lewat pengadilan — baik parsial

maupun massal — memberikan alasan-alasan

tersendiri. Pertama, mengadili pelaku dari

6 Sebenamya angka kejahatan atau pelanggaran berat HAM di Indonesia cukup banyak, baik yang terjadi

secara vertikal - di mana negara dan aparatumya merupakan aktor utama - maupun secara vertikal - sepertikonflik anis, agama dan scbagainya. Akan tetapi pembicaraan tentang pclanggaran berat HAM saat ini ma-

sih berat scbelah karena titik bcrat pembicaraan adalah pclanggaran bcrat HAM yang dilakukan oleh negara

dan aparaturnya (sipil maupun militer). Untuk gambaran tentang pclanggaran berat HAM di Indonesia dapat

dibaca pada AR. Locbis, 1999, Kemelut Berdarah Indonesia,Pabelan Jayakarta, Jakarta. Lembaga Studi Pers

dan Pembangunan, 1999, Negeri Dalam Kobaran Api: Sebuah Dokumen Tentang Tragedi Mei 1998, Jakarta:

versi ringkas dapat dibaca pada FS. Swantoro, "Maraknya Pelanggaran bcrat HAM Di Indonesia", artikel pada

Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXIX/2000, No. 2, Jakarta, hlm. 199-214.

Agung Yudhawiranata, "Mcnycicsaikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Di Masa Lalu", artikel dalam

Dignitas, Jurnal Hak Asasi Manusia, Vol. I, No. 1, Tahun 2003, Elsam, Jakarta, him. 25. Lihat jun

Togi Simanjuntak, "Jalan Terjal Mcnggapai Kcadilan: Quo Vadis Komisi Kcbcnaran dan

artikel dalam Dignitas, Jurnal Hak Asasi Manusia, Vol. 1, No. 1, Tahun 2003. Elsam, Jakarta. hlm. 170 dm:

183.

'bid, him. 32. Romli Atmasasmita, op.cit, him. 23.

6 MIMBAR HUKUM Volume 19, Nomor 1, Februari 2007. Halaman 1 - 18

rezim lama mempermudah usaha mem-

bangun kembali suatu orde yang adil se-

cara moral. Ini sebagai bukti konkrit bahwa

"keadilan telah ditegakkan"; Kedua, ber-

hubungan dengan pendirian dan penjunjung

tinggian demokrasi yang menggantikan

sistem otoriter. 9

Indonesia adalah negara hukum dan sa-

lah satu pilar dalam demokrasi adalah adanya

supremasi hukum. Salah satu bentuk peng-

hargaan terhadap paham supremasi hukum

yang dianut adalah penyelesaian perkara

melalui peradilan. Dalam masa pemerintah-

an transisi dari masa otoriter ke masa demo-

krasi, jika salah satu pilar tidak tersentuh

maka akan merobohkan pilar yang lain atau

masih dianggap sebagai pro-otoriter dan

yang akan terjadi adalah hukum rimba kern-

bali berkuasa.

Semangat untuk mendirikan pengadilan

HAM di akhir 1990-an begitu deras seiring

dengan tuntutan para korban untuk memper-

oleh keadilan atas perilaku penguasa masa

lalu. Indonesia sebenarnya bukanlah negara

yang penuh dengan gross violation of human

rights, akan tetapi sejak peristiwa penculik-

an aktivis pro demokrasi pada 1997, peris-

tiwa Timor-Timur pasca jajak pendapat pada

1999 ditambah dengan semakin berkem-

bangnya teknologi informasi yang dapat

menyiarkan peristiwa di Indonesia kepada

dunia dalam sekejap, maka tuntutan untuk

segera mendirikan pengadilan HAM tidak

hanya dari dorongan dalam negeri, melain-

kan juga dari para aktivis HAM dan lembaga

internasional di luar negeri.

Akhirnya keluar Undang-Undang

Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan

HAM. Perdebatan yang selalu muncul

berkaitan mengenai pengadilan HAM ini

adalah tentang asas retroaktif (berlaku surut)

undang-undang ini dan terdapat dalam Pasal

43 (dan juga Undang-Undang Nomor 39 Ta-

hun 1999 tentang HAM dalam Penjelasan

Pasal 4). Ketentuan retroaktif itu kemudian

diikuti dengan keharusan membentuk peng-

adilan HAM ad hoc untuk mengadili keja-

hatan-kejahatan masa lalu sebelum terbitnya

undang-undang Mi.

Perdebatan ini terjadi karena pada satu

sisi penganut asas legalitas yang meng-

inginkan penerapan asas tersebut secara

konsekuen apalagi dengan adanya keten-

tuan dalam Konstitusi (Pasal 28 I ayat (1)

UUD 1945 Amandemen Kedua) yang me-

negaskan larangan berlaku surut.10 Pada sisi

Agung Yudhawiranata, op.cit, hal. 32-33. Bandingkan dengan pendapat Neil J. Kritz yang mengatakan bahwapengadilan domestik dapat meningkatkan legitimasi dan kredibilitas pemerintahan baru yang masih rapuh danmenunjukkan keseriusannya mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan rezim terdahulu yang melanggarHAM. Pengadilan domestik juga lebih sensitif terhadap budaya lokal dan keputusannya bisa memilikikekuatan simbolis yang lebih besar dan segera terasa karena keputusan itu dibuat oleh pengadilan yang dikenalpenduduk setempat. Lihat dalam Neil J. Kritz, "Menyikapi Kekejaman: Tinjauan Terhadap MekanismePertanggungjawaban Terhadap Pelanggaran Massal Hak Asasi Manusia", Artikel dalam Dignitas, Jurnal Hak

Asasi Manusia, Vol. I, No. 1, Tahun 2003, Elsam, Jakarta, hlm. 143.

10 Asas legalitas merupakan salah satu pilar utama dalam negara demokrasi yang mencmpatkan hukum sebagaisuprcmasi (supremacy of law), selain pengakuan, perlindungan dan penghargaan HAM scrta indcpendensiperadilan. Prinsip legality merupakan karakteristik yang essential, baik is dikemukakan olch Rule of Law

— konscp maupun olch faham Rechtstaat dahulu, maupun oleh konscp Socialist Legality. Demikian misal-nya larangan berlakunya hukum pidana sccara rctroaktif atau retrospective, larangan analogi berlakunya asasnullum delictum dalam hukum pidana, kcsemuanya itu merupakan refleksi dari prinsip legality. Lihat dalamOcmar Seno Adji, 1980, Peradilan Bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta, him. 21.

Raharjo, Implikasi Pembatalan Undang-Undang 7

lain, penganut asas retroaktif (khusus untuk

kasus pelanggaran berat HAM), memiliki

argumen-argumen yang didasarkan pada

pengalaman historis penerapan asas ini 11 dan

ketentuan dalam hukum intemasional yang

mengedepankan HAM.12 Pada tingkat per-

adilan, memang pihak kedua yang menang,13

akan tetapi penerapan asas itu masih debut-

able,14 khususnya apabila diajukan uji ma-

teriil kepada Mahkamah Konstitusi seperti

yang terjadi pada penerapan asas retroaktif

pada Perpu Nomor 2 Tahun 2002/Undang-

Undang Nomor 16 Tahun 2003.15

Komisi Kebenaran dan pengadilan

adalah dua mekanisme penting dalam se-

buah transisi demokratis. Masing-masing

melayani tujuan-tujuan unik yang tidak bisa

dicapai oleh hanya salah satunya; mereka ti-

Berdasarkan praktek-praktek peradilan pidana intemasional dimulai dari pengadilan intemasional terhadap

penjahat perang di Nuremberg, Tokyo, Pengadilan Pidana Intemasional ad hoc untuk Yugoslavia dan Rwanda,

serta pengadilan distrik Jerusalem untuk pelanggaran berat HAM genosida (kasus Adolf Eichman) asas

retroaktif disimpangi demi tegaknya keadilan. Lihat Agung Yudhawiranata dalam Press Release No. 004/

PR/ELSAM/IV/2002, Hasil Sementara Pemantauan Elsam Terhadap Pengadilan Ham Ad Hoc Kasus Timor-

Timur, 29 April 2002, Jakarta. Lihat juga Ari Siswanto, 2005, Yurisdiksi Material Mahkamah Kejahatan

Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 3-9; Niken Savitri, "Pengaruh Mahkamah Pidana Intemasional

Ad Hoc Terhadap Pembentukan International Criminal Court", artikel dalam Majalah Hukum Pro Justitia

Tahun XVIII, No. 3, Juli 2000, FH UNPAR Bandung, hlm. 28-29. I Wayan Parthiana. 2004, Hukum Pidana

Internasional dan Ekstradisi, Yrama Widya, Bandung, hlm. 103-126.12 Praktek peradilan intemasional juga mengembangkan penggunaan yurisdiksi universal terhadap pelang-

garan berat HAM, di mana setiap negara bahkan wajib mengadili pelaku kejahatan tanpa melihat kejadian,

kewarganegaraan pelaku maupun korban. Mengadili para pelanpaar berat HAM dan extra ordinary crimes

merupakan sebuah norma ius cogens yaitu norma hukum yang hares dipatuhi dan diikuti di mana semua negara

terikat untuk melaksanakannya (obligatio erga omnes), meskipun hams mengabaikan asas legalitas dan aturan

hukum nasional. Lihat Agung Yudhawiranata dalam Press Release. Ibid.- I Wayan Parthiana, op.cit, hlm. 108

dan Abdul Hakim Garuda Nusantara, op.cit, hlm. 767. Bandingkan dene-an pendapat Moeljatno yang justru

mengemukakan tentang dampak buruk penetapan kejahatan sebagai criminal extra ordinaria yang menem-

patkan raja-raja secara sewenang-wenang menggunakan hukum pidana untuk kepentingan dan kebutuhannya

sendiri. Moeljatno, 1987, Asas-asas Hukum Pidana. Bina Aksara. Jakarta. him. 24.13 Ini tcrlihat dari persidangan terhadap pelanggar berat HAM di Timor-Timur. Pertimbangan hakim terutama

dalam hal rctroaktivitas sebagai sebuah Iangkah main dan inosatif yang banyak mengacu pada praktek-prak-

tek peradilan intemasional tersebut saneat tepai meneineat kesciunitan klausul mengenai kejahatan terhadap

kemanusiaan dalam UU No. 26/2000 yang menjadi cheer t -rsebut diadopsi dari Statuta Roma

sementara di tingkat nasional Indonesia sendiri memang behun m niliki penealaman di tingkat nasional yang

dapat dirujuk sebagai acuan oleh hakim. Press Release_ ibid

Ini terjadi karena Suara yang menentang pernberiaicuan asas rztroaktif berpendapat bahwa eksistensi asas ini

nyatanya justru dapat menimbuikan prescdm buruk dalam ht:kum pidana. setidak-tidaknya carat akan

wacana politis. Dahulu asas ini dipakai para rata demur vane absolut untuk melakukan balas

dendam terhadap rakyat yang menehendaki suasarra ketatarraan vans dernokratis. Pada abad ke - 20, asas

ini juga dipakai sebagai arena balas ckndarn chri 7-21iak penile (Sekutu) terhadap Jerman, J epanii

dan para kolaboratomya. Pada abad 21 ini dikt21/2L'•iz: zs ite ni-en3acE sarana political revenge secara rutin

terhadap para oposan di sctiap era peralffon katuarsaan. Inclrryazto Seno Adji. Catatan Tentang Pengadilan

HAM dan Masalahnya, Artikel dalam 3.12ah Hilk11111 Pre ;user:an Tahun XIX No. 1. Januari 2001, FH.

UN PAR Bandung, hlm. 38.

Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 01371X-1'2003 taroggal 22 kit 2004 yang membatalkan penerapan

asas retroaktif pada Perpu No. 2 Talim 2002:151.: No 16 Tahoe 2003 tentanz Pemberlakuan Pcrpu No. 1 Tahun

2002/UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Pe brralaziast Toxlak Pidana Tcrorismc untuk Kasus Bom Bali I.

Argumcn yang pro dan kontra inenecrx ntroaktii &or. z1,: .hat pada putusan tersebut dan dapat dijadi-

kan sebagai landasan berfikir dalam pertictszar 1.7112CEME1".. ?SP rctroaktif dalam pelanggaran berat

HAM. Lihat juga pendapat pcmerintah dal= Ramat Acas,t-,-z-.s....L 2004. Pengantar Hukum Pidana Interna-

sional Bagian Hccca Mitra Utama. Jakarta. blot 17-96

8 MIMBAR HUKUM Volume 19, Nomor 1, Februari 2007. Halaman 1 - 18

dak saling menggantikan melainkan mereka

saling melengkapi, dan pemenuhan sejauh

munekin jangkauan tujuan yang ada hanya

dapat dicapai bila terdapat sekaligus peng-

adilan pidana dan komisi kebenaran walau-

pitm beberapa negara mengambil keputusan

tmtuk tidak memilih kedua-duanya. Peng-

adilan pidana dapat melakukan hal-hal yang

ddak dapat dilakukan Komisi Kebenaran,

demikian pula sebaliknya.I6

C. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

Ketentuan dalam Undang-Undang No-

mor 26 Tahun 2000 mengakui bahwa tidak

semua pelanggaran berat HAM di masa lalu

dapat ditangani secara hukum — melalui

pengadilan — sehingga didalamnya disiap-

kan langkah lain untuk menanganinya, yaitu

melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

(KKR) yang memperoleh landasan hukum

dalam UU No. 27 Tahun 2004. Kondisi per-

adilan yang buruk juga merupakan alasan

tersendiri untuk menggunakan penyelesaian

kasus pelanggaran berat HAM melalui jalur

KKR Mi.

Komisi Kebenaran adalah sebuah ko-

misi yang beranggotakan individu-individu

independen yang terpilih atas dasar kredi-

bilitas, sikap netral, dan pertimbangan-per-

timbangan serta posisi di masyarakat yang

dimilikinya, yang pada umumnya selama

proses perdamaian atau transisi demokratis

mempelajari masalah pelangggaran HAM

serta masalah-masalah lainnya semasa rezim

sebelumnya, serta memperbolehkan keikut-

sertaan publik dan pada akhir kerjanya me-

nyusun laporan yang menjelaskan apa yang

terjadi di rezim sebelumnya dan kemudian

menyiapkan rekomendasi untuk mencegah

terulangnya kembali kejadian itu di masa

yang akan datang.I7

Berdasarkan penelitiannya, Priscilla B.

Hayner akhirnya merumuskan bahwa KKR

yang bermutu memiliki empat kriteria fun-

damental. Pertama, memfokuskan din pada

masa lalu; Kedua, tidak memfokuskan din

pada kejadian khusus, tetapi berusaha meng-

gambarkan seluruh potret pelanggaran HAM

atau pelanggaran hukum humaniter intema-

sional selama kurun waktu tertentu; Ketiga,

bekerja dalam kurun waktu tertentu (bersi-

fat sementara) dan selesai dengan terbitnya

laporan fakta-fakta hasil temuan komisi;

Keempat, memiliki kekuasaan yang mema-

dai, dukungan dana, akses kepada informasi,

jaminan keamanan untuk menggali masalah-

masalah yang peka, dan pengaruh yang luas

saat menerbitkan laporan. 18

Komisi kebenaran sangat berguna pada

sebuah masa transisi, karena dapat mence-

gah proses pengadilan berkepanjangan yang

sangat merugikan. Komisi kebenaran bukan-

lah sebuah institusi hukum dan juga tidak

memiliki kekuatan hukum sehubungan

dengan pemberian hukuman kepada pelaku

kejahatan HAM, tetapi pada saat yang sama

16 Agung Yudhawiranata, op.cit, hlm. 45.Definisi ini menurut Agung Yudhawiranata merupakan basil dart diskusi antara Komnas HAM dan LSM-LSMyang bergcrak di bidang HAM serta Ford Foundation, 14 Februari 2000. Lihat dalam Agung Yudhawiranata,op.cit, him. 44.

Priscilla B. Hayner, "Fifteen Truth Commissions 1974 to 1994: A Comparative Study", dalam: Human RightsQuaterly 16 (1994), hlm. 604. Lihat juga dalam Priyambudi Sulistiyanto, "Politik Rekonsiliasi di Indonesia:Menuntut, Mcmaafkan dan Melupakan?" Artikel dalam Dignitas, Jurnal Hak Asasi Manusia, Vol. I, No. 1.Tahun 2003, Elsam, Jakarta, hlm. 63-64.

Raharjo, Implikasi Pembatalan Undang-Undang 9

memiliki kewenangan untuk memberikan

rekomendasi bagi pemerintah untuk meng-

ambil langkah-langkah hukum.I 9

Rekonsiliasi dapat dimengerti sebagai

sebuah usaha untuk mencapai solusi damai

dengan mengajak semua pihak yang bertikai.

tanpa memandang perbedaan motif, latar

belakang dan tujuan.2° Rekonsiliasi merupa-

kan salah satu strategi yang lebih ditujukan

untuk menyelesaikan sebuah sengketa sam-

pai ke akar-akarnya daripada sekedar meng-

atasi perbedaan-perbedaan yang muncul

sesaat. Meskipun rekonsiliasi merupakan

proses yang lamban — karena memakan

waktu yang tidak sedikit — tetapi proses ini

harus dilihat sebagai pilihan paling rasional

dart pilihan-pilihan yang ada.21

Selain argumen-argumen pro penyele-

saian lewat pengadilan diatas, dapat dikemu-

kakan beberapa argumen yang menentang

penyelesaian pelanggaran berat HAM me-

ialui jalur pengadilan. Pertama, banyak

analis meragukan apakah hanya proses hu-

kum sudah cukup untuk menangani pelang-

garan HAM di masa lalu, khususnya ketika

proses hukum atau pengadilan itu dicoba

pada saat transisi di mana belum tercapai

kestabilan politik; Kedua, bahwa demokrasi

yang barn berdiri ini adalah bangunan yang

rapuh. Oleh karena alasan ini, beberapa

analis berargumen bahwa toleransi dalam

menangani pelanggaran masa lalu adalah

syarat agar proses demokrasi dapat bertahan;

Ketiga. babwa pengadilan dapat memiliki

dampak rang merusak sebuah demokrasi

dan ststem hukum yane masih barn, dan

bahwa keadiian pasca transisi melibatkan

setumlah keputusan yang dapat melanggar

prinsip-prinsip hukum yang ada; Keempat,

jika pengadilan mengikuti hukum pidana

substantif dart rezim lama, penuntutan akan

saneat jarane terjadi dan banyak pelaku akan

lobos dan penehuktunan. Hal ini disebabkan

kuranenya ketentuan dalam KUHP menge-

nai kejahatan oleh aparat pemerintah yang

dilakukan dalam kapasitas resmi mereka

dan kejahatan yang dilakukan oleh anggota

militer terhadap rakyat sipil sebagai akibat

"salah interpretasi" dart perintah yang dike-

luarkan_ =

Peneadiian pi dana dapat melakukan hal-

hal yang tidak dapat dilakukan oleh Komisi

Kebenaran. Mereka dapat menjamin vonis

bersalah dalam proses peradilan individu-

inclividu tertentu atas kejahatan-kejahatan

tertentu dan dapat menjatuhkan hukuman

penjara serta bentuk-bentuk hukuman lain-

nya. Kemampuan untuk menjatuhkan vonis

bersalah serta menetapkan hukum membuat

pengadilan pidana dapat melaksanakan tiga

fungsi publik. Pertama, untuk menjamin

retributive justice. Walaupun retributive

justice hanya salah satu dan berbagai aspek

keadilan. namun tak urung banyak orang

merasa bahwa hukuman bagi pihak yang

bersalah sudah merupakan bagian dart ke-

I0 Priyambudi Sulistiyanto, op.cit, hlm. 65.20 Priyambudi Sulistiyanto, op.cit, hlm. 65. Bandingkan dengan pcnecrtian rckonsiliasi dalam Pasal I angka 2

UU No. 24 Tahun 2004 yang mcnyatakan "Rekonsiliasi adalah hasil dart suatu proses pcngungkapan kcbcnar-an, pengakuan dan pcngampunan mclalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dalam rangka mcnycicsaikanpelanggaran hak asasi manusia yang bcrat untuk tcrciptanya perdamaian dan persatuan bangsa."Bantarto Bandoro, "Pcnycicsaian Masalah Aceh Melalui Rekonsiliasi: Perspektif Aspirasi dan Politik", artikeldalam Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXIX/2000, No. 2. Jakarta. him.195.

22 Agung Yudhawiranata, op.cit, him. 34-36.

10 MIMBAR HUKUM Volume 19, Nomor 1, Februari 2007. Halaman 1 - 18

adilan: Kedua, hukuman-hukuman dan vonis

pidana dapat membantu mengatasi impunity

serta menghentikan suatu pola yang terjadi

di rezim-rezim otoriter di mana penguasa,

anggota-anggota militer dan polisi dapat

melakukan tindakan yang bersifat kriminal

dan mereka tidak akan pernah dituntut atau

dihukum. Ketiga, dengan menghancurkan

"aturan" dan persepsi impunity, pengadilan

pidana dapat membantu membangun su-

premasi hukum karena menegaskan bahwa

tidak seorangpun, walaupun dia berkuasa

sebagai pemimpin negara, berada di atas

hukum dan tidak dapat dihukum.23

Komisi Kebenaran dapat melakukan

beberapa hal penting yang secara umum

tidak dapat dicapai melalui proses persi-

dangan di pengadilan pidana. Pertama, dapat

menangani kasus dalam jumlah relatif besar

dibandingkan dengan pengadilan pidana.

Kedua, dapat menyediakan bantuan praktis

bagi korban dengan secara spesifik meng-

identifikasikan dan membuktikan individu-

individu atau keluarga-keluarga mana saja

yang merupakan korban kejahatan masa

lampau sehingga secara hukum berhak un-

tuk mendapatkan semacam bentuk reparasi

di masa yang akan datang; Ketiga, dapat

membantu terlaksananya semacam resolusi

dengan mengakui penderitaan yang dialami

korban, membuat pemetaan atas pengaruh

dari kejahatan di masa lalu dan merekomen-

dasikan reparasi. Keempat, dapat mereko

mendasikan pembaruan-pembaruan tertentu

di dalam institusi-institusi publik, seperti di

dalam kepolisian dan pengadilan dengan tu-

juan mencegah terulangnya kembali pelang-

garan HAM; Kelima, dapat memilih antara

persoalan-persoalan pertanggungjawaban

dan mengungkap siapa pelaku-pelakunya.24

Dengan kelebihan dan kekurangan

KKR itu sesungguhnya dapat diharapkan

akan memberikan hasil yang memuaskan

dalam penyelesaian kasus pelanggaran

berat HAM di Indonesia. Namun demikian,

penyelesaian melalui KKR ini juga memer-

lukan kemauan politik dari penguasa atau

pemerintah yang belum terwujud hingga

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 itu

dicabut.

Kemauan politik tersebut akan sangat

menentukan kinerja KKR karena langsung

menentukan sendi dasar KKR. Hal tersebut

dapat dilihat dari berbagai pengalaman KKR

di sejumlah negara.25 Afrika Selatan misal-

nya mampu menangani pengalaman masa

lampaunya dan mencegah terjadinya tindak

balas dendam massal kulit hitam terhadap

kulit putih bukan karena adanya undang-

undang yang mengatur hal itu tetapi karena

pihak korban —yang dilambangkan dalam

diri Nelson Mandela — mampu membuka

jalan barn: pemulihan harkat kemanusiaan

(konsep Afrika Selatan: ubuntu atau harkat

kemanusiaan sejati).26 Sikap ini mampu

menjadi kemauan politik yang mengalahkan

1bid, hlm. 45.Ibid, him. 47-48. Lihat juga Neil J. Kritz, op.cit, hlm. 152.Daan Bronkhorst, 1995, Truth and Reconciliation: Obstacles and opportunities for Human Rights, Amstcr-

dam: Amnesty International Dutch Section, hlm. 85-89. Penulis itu mencliti berbagai kincrja KKR yang tclah

dibcntuk di lima benua sejak tahun 1971-1995. Lihat jugs Jose Zalaquett, Menangani Pelanggaran Hak Asasi

Manusia Di Masa Lalu, Prinsip-prinsip Penvelesaian dan Kendala Politik, Artikel dalam Dignitas. Jurnal

Hak Asasi Manusia, Vol. 1, No. 1, Tahun 2003. Elsam. Jakarta, him. 100-103.

Desmond Tutu, No Future without Forgiveness. London: Rider Book, 1999, hlm. 34-35.

Raharjo, Implikasi Pembatalan Undang-Undang 11

segala nafsu balas dendam.27

Uganda (1974) pemerintah membentuk

KKR atas tekanan komunitas internasional

dan kemudian menerbitkan laporan 1.000

halaman tetapi tidak mampu mengumumkan

kasus-kasus individual sehingga gambaran

masalah begitu umum, kabur, dan diabaikan

oleh pemerintah Idi Amin yang berkuasa.

Di Chiie (1 990- 1 99 1), kemauan politik un-

tuk menangani masa lalu tidaklah sungguh

besar sehingga ketika laporan KKR (1.800

halaman) diumumkan oleh Presiden Ay! win

dan pemerintah meminta maaf kepada ke-

luarga korban, faksi militer mulai melakukan

teror dan pembunuhan politik terhadap sena-

tor terkemuka dari partai oposisi. Akibamya

seluruh proses rekonsiliasi terhenti dan junta

militer kembali berkuasa. Kelemahan yang

terjadi di Uganda terulang di Chad (1991-

1992). KKR berhasil menerbitkan laporan-

nya tetapi oleh pemerintah laporan tersebut

dijadikan sarana ampuh untuk cuci tangan28

saja tanpa tindak lanjut yang memadai.29

Pandangan yang lebih luas terhadap

konsep KKR didasarkan pada kepercayaan

bahwa rekonsiliasi antara pelaku dan korban

pelanggaran HAM membutuhkan pengung-

kapan kebenaran di belakang semua kejadi-

an secara menyeluruh.3° Memberikan korban

kesempatan untuk bicara dan menerima

penjelasan tentang kejadian-kejadian pen-

ting yang berhubungan dengan pelanggaran

HAM di masa lalu adalah hal yang penting.

Karenany a diharapkan hal ini dapat meletak-

kan fondasi untuk rekonsiliasi.3I

D. Implikasi Pembatalan Undang-Un-

dang Nomor 27 Tahun 2004

Lembaga Studi dan Advokasi Masyara-

kat (ELSAM), Komisi untuk Orang Hilang

dan Korban Kekerasan (Kontras), Solidari-

tas Nusa Banzsa (SINTB), lnisiatif Masyara-

ka: Parusrpatif untuk Transisi Berkeadilan

amp:mid), Lembaga Penelitian Korban

Per_strwa 65 (LPKP 65), Lembaga Per-

juangan Rehabilitasi Korban Rezim ORBA

(LPR-KROB ). Raharja Waluya Jati, dan

K Tjasman Setyo Prawiro dengan kuasa hu-

kum Tim Advokasi Keadilan dan Kebenaran

menzajukan pembatalan Pasal 1 Angka 9,

Pasal 27. dan Pacal 44 UU KKR.

Pengajuan pembatalan terhadap pasal-

pasal tersebut di atas disebabkan karena

pembenan kompensasi dan rehabilitasi di-

gantungkan - diberi atau tidak - pada pem-

berian amnesti kepada pelaku pelanggaran

berat HAM. Pasal 27 UU KKR menyebutkan-Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 19 dapat diberikan

apabila permohonan amnesti dikabulkan."

Ketentuan pasal ini bagi para penggugat

mengisyaratkan pemberian kompensasi dan

rehabilitasi merupakan hal yang sekunder

dan yang primer adalah pemberian amnesti

J. Budi Hernawan OFM, Mengisi Gagasan Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Konteks Papua,

Sumbangan Pikiran untuk Workshop "Menggagas Masa Depan untuk Pencgakan HAM" oleh KontraS Papua,Jayapura, 10-14 Juni 2002, Sekretariat Kcadilan dan Perdamaian Kcuskupan Jayapura, hlm. 3.

Priscilla B. Hayncr, op.cit, hlm. 597-655." J. Budi Hemawan OFM, op.cit, him. 4." Karlina SupcIli. Berdamai Dengan Masa Lampau. Antara Penghukuman dan Pengampunan, makalah disam-

paikan dalam seminar Dealing with the past Human Rights Violations: Between Truth and Justice, Jakarta, 12April 2000.

31 Agung Yudhawiranata, op.cit, him. 43.

12 MIMBAR HUKUM Volume 19, Nomor 1, Februari 2007. Halaman 1 - 18

yang merupakan hak pelaku pelanggaran

berat HAM. Hal ini berarti, diberi atau tidak

kompensasi dan rehabilitasi bagi para kor-

ban tergantung kepada pemberian amnesti

oleh Presiden, jika amnesti ditolak, maka

korban tidak mendapat apa-apa.

Dalam sidang pembacaan putusan per-

kara 006/PUU-IV/2006. Mahkamah Konsti-

tusi menyatakan bahwa Pasal 27 Undang-

Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU

KKR) bertentangan dengan UUD 1945.

Namun demikian, karena seluruh operasion-

alisasi UU KKR bergantung dan bermuara

pada pasal tersebut, maka implikasi hukum-

nya mengakibatkan seluruh pasal berkaitan

dengan amnesti tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat, sehingga seluruh ketentu-

an dalam UU KKR menjadi tidak mungkin

untuk dilaksanakan.32 Dengan pembatalan

UU KKR itu, maka Mahkamah Konstitusi

melebihi apa yang diminta oleh para peng

gugat.33 Putusan Mahkamah Konstitusi ini

tentu saja menimbulkan pro dan kontra,

terutama berkaitan dengan landasan hukum

Mahkamah Konstitusi memutuskan me-

lebihi apa yang diminta oleh para peng-

gugat.34

Dengan pembatalan ini, penyelesaian

kasus pelanggaran berat HAM masa lalu

diserahkan kepada pengadilan, dalam hal ini

pengadilan HAM ad hoc. Asmara Nababan

mengomentari putusan Mahkamah Kon-

stitusi dengan mengatakan bahwa penyele-

saian kasus pelanggaran berat HAM masa

lalu kembali ke titik nol. Pembatalan itu

menyebabkan harapan yang ditumbuhkan

dengan adanya KKR menjadi layu kembali,

dan para korban digiring untuk masuk ke

pengadilan. Mahkamah Konstitusi sebenar-

nya tidak perlu membatalkan UU KKR, cu-

kup apa yang diminta saja oleh para peng-

gugat, dan pasal-pasal itu di kemudian hari

dapat diperbaiki.

Lihat dalam UU KKR Bertentangan Dengan UUD 1945, Berita Mahkamah Konstitusi, 7 Desember 2006, versi

elektronik dapat diperoleh di http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/ berita.php?newscode=248 tanggal akscs

17 Desember 2006.

Dalam pertimbangannya, MK menyatakan pembatalan keseluruhan UU KKR tersebut dapat dilakukan dan

tidak melanggar hukum acara, meskiputi permohonan (petitum) yang diajukan hanya mcnyangkut Pasal I Angka

9, Pasal 27, dan Pasal 44 UU KKR, karena pada dasarnya hukum acara yang berkaitan dengan pcngujian undang-

undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 mcnyangkut kepentingan umum yang akibat hukumnya bersifat

erga omnes, sehingga tidak tepat untuk mclihatnya scbagai hal yang bersifat ultra petita yang dikenal dalam

konsep hukum perdata. Larangan untuk mengadili dan memutus melebihi apa yang dituntut (petitum) termuat

dalam Pasal 178 Ayat (2) dan (3) HIR serta padanannya dalam Pasal 189 Ayat (2) dan (3) RBg, yang merupakan

hukum acara yang bcrlaku di Pengadilan Ncgeri dan Pengadilan Agama di Indonesia. Namun, pertimbangan

keadilan dan kepantasan dapat dijadikan alasan, scbagaimana tampak antara lain dalam putusan Mahkamah Agung

tanggal 23 Mci 1970, tanggal 4 Fcbruari 1970, dan tanggal 8 Januari 1972 serta putusan lain yang lebih,

kcmudian di mana ditegaskan bahwa Pasal 178 Ayat (2) dan (3) HIR serta Pasal 189 Ayat (2) dan (3) RBg tidak

bcrlaku sccara mutlak karena adanya kewajiban Hakim untuk bersikap aktif dan selalu hams berusaha

mcmberikan putusan yang benar-benar menyclesaikan perkara. Ibid.

Lihat pendapat mereka yang kontra terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat ultra petita ini,

antara lain Todung Mulya Lubis, Adnan Buyung Nasution, dan LSM HAM, scperti KontraS, Demos, SNB.

YLBHI, IKOHI, PEC, LBH YAPHI, dan Imparsial. LSM itu berpcndapat bahwa putusan MK yang membatalkan

UU KKR mcrupakan bukti bahwa pcmcrintah bcrsama-sama dengan DPR tidak memiliki kcjclasan sikap dalam

penanganan kasus pclanggaran berat HAM masa lalu. Lihat dalam Hukumonline, Putusan MK Tentang UU KKR

Dianggap Ultra Petita, 11 Dcsember 2006, versi elektronik dapat dilihat di http://www.hukumonlinc.

com/detail.asp?id=bcrita, tanggal akscs 17 Desember 2006.

Raharjo, Implikasi Pembatalan Undang-Undang 13

Sebelum munculnya putusan Mahka-

mah Konstitusi itu. International Center for

Transitional Justice (1CTJ) telah melakukan

pengkajian terhadap UU KKR itu. Dalam

kajiannya, ICTJ menyatakan bahwa UU

KKR bertentangan (contravenes) dengan hu-

kum intemasional. Secara khusus, ICJT me-

nyoal keabsahan dari ketentuan-ketentuan

di dalam UU KKR yang memperkenankan

pemberian amnesti serta persyaratan-per-

syaratan lainnya di dalam undang-undang

ini yang menempatkan hak korban untuk

memperoleh reparasi (victims right to repa-

ration) di bawah syarat pemberian amnesti

(bagi pelaku).35

UU KKR juga bertentangan dengan se-

jumlah konvensi intemasional lainnya, ter-

masuk Kovenan Internasional bagi Hak-hak

Sipil dan Politik (International Covenant on

Civil and Political Rights/ICCPR)36 serta

Konvensi Anti Penyiksaan (Convention

against Torture/CAT).37 Di samping itu UU

KKR bertentangan dengan sumber-sumber

tidak tertulis (non-treaty sources) hukum

intemasional lainnya seperti "Reports and

Statements of Principle" (prinsip-prinsip hu-

kum intemasional yang termuat dalam ber-

bagai Laporan dan Deklarasi).38 Sejumlah

pengadilan domestik di negara-negara lain

telah menjatuhkan putusan-putusan yang me-

nyimpangi (dan menyatakan tidak absah) un-

dang-undana amnesti vana dibuat negara.39

Kajian yang dilakukan oleh ICTJ terse-

but sebenamya iebih menitikberatkan pada

larangan pemberian amnesti dan impunitas

bagi pelaku pelanggaran berat HAM, khu-

susnya yang terjadi di masa lalu. Kajian

tersebut sama sekali tidak melarang adanya

KKR sebagai salah satu cara menyelesaikan

pelanggaran berat HAM masa lalu yang tidak

dapat diselesaikan oleh pengadilan HAM.

Amnesti sendiri berasal dari kata am-

nestia (Yunani) yang berarti lupa.4° Black's

Law Dictionary mendefinisikan amnesti se-

International Center for Transitional Justice. ICTJ Written Submission " Legality of Truth and Reconciliation

Commission, July 2006, hlm. 1. Terdapat konsensus yang muiai diterima dalam hukum intemasional bahwapaling tidak bagi pelanggaran berat terhadap HAM dan hukum internasional. amnesty besar-besarantidak boleh diijinkan. Neil J. Kritz. op.cit, hlm. 144-145.

36 ICTJ menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan UU KKR yang rnembuka kernunekinan pemberian amnesti danyang mengharuskan pemberian reparasi di bawah syarat pemberian amnesti [bagi pelaku] adalah bertentangandengan Pasal 2(3), 6(1), 7, 9(5) dan 14(6) ICCPR. Pada tanaral F-bmari 2006 Indonesia telah mengaksesi(acceded) ICCPR. Dalam pemyataan ini kami memfolcuskan diri pada pertentangan atau pclanggaran-pelang-garan Pasal 2(3), 6(1) dan 7 ICCPR yang merupakan pasai-pasal vane peinag reievan dalam permasalahan ini.Betapapun, perlu dicatat bahwa terdapat pula areumen-argumen lcuat untuk mendukung dalil (proposition)

'bahwa UU KKR bertentangan dengan Pasal 9(5) dan 14(6) ICCPR_ Mid hlm_ 5.

3, Pasal 1 angka 9 dan Pasal 44 UU KKR melanggar Pasal 4. 7. 12 dan 13 CAT: dan Pasal 27 UU KKR melanggarPasal 14 ayat (1) CAT. UU KKR juga dianggap bertentangan denean Konvensi Imernasional tentang Perlin-

dungan bagi Semua Orang dari Penghilangan Paksa Ibid. him_ 21-25.Dapat disebutkan misalnya Deklarasi Penyiksaan. Deklarasi Penehilangan. Resolusi Dewan Kcamanan 1325(2000) tentang kewajiban mengakhiri impunitas bagi pelaku pelauggar berat HAM: Laporan Sckretaris Jen-deral PBB berkenaan dengan Pembentukan Tribunal Khusus untuk Sierra Leone. Laporan Sekretaris Jendcralmengenai Supremasi Hukum (Rule of Law) dan Keadiian Transisional rTansitional Justice) bagi MasyarakatBerkonflik maupun Pasca Konflik, dan Laporan Pakar Independen berkenaan dengan Prinsip-Prinsip Impuni-tas. Ibid, hlm. 26-32.Ibid.Daniel T. Kobil, The Quality of Mercy Strained: Wrestling the Pardoning Power from the King, Texas LawReview 69 (1991), p. 576.

Raharjo, Implikasi Pembatalan Undang-Undang 14

bagai pemberian pengampunan oleh peme-

rintah kepada setiap orang41 yang telah di-

nyatakan bersalah melakukan kejahatan atau

tindak pidana di masa lalu.42 Pengampunan

yang diberikan pemerintah itu tidak sekali-

kali menghapus kesalahan atau kejahatan

yang pernah dilakukan.43 Dalam sejarahnya,

amnesti diberikan sebagai salah satu cara

untuk mengakhiri perang, mempertahankan

kedamaian dan untuk tujuan rekonsiliasi,44

sekaligus merupakan ekspresi dari kemauan

politik rezim barn untuk membatasi dan

menjauhkan diri dari kejahatan-kejahatan

yang dilakukan rezim sebelumnya. Selain

itu, negara yang berada dalam masa transisi

biasanya memiliki badan yuridis yang rapuh

sehingga pertimbangan memberikan amnes-

ti adalah sebuah cara karena penghukuman

dinilai tidak praktis.45

Dalam hukum internasional, sebenar-

nya ada dua perspektif mengenai pemberian

amnesti. Pertama, adalah yang sama sekali

melarang pemberian amnesti,46 baik amnesti

yang bersifat amnesik (amnesic amnesty) atau

amnesti menyeluruh (blanket amnesty);47

amnesti kompromi (compromise amnesty);48

41 Pengertian setiap orang di sini bisa berarti sekelompok orang atau sebuah kelas individu tertentu. Lihat dalamLouis Joinet, Special Rapporteur, The Administration of Jusctice and the Human Rights od Detainees: The

Question of Impunity for Perpetrators of Human Rights Violation, Annex 1, Agenda Item 11(d). U.N. Doc. E/CN.4.Sub.2/1997120/Rev.1; Gwen K. Young, Amnesty and Accountability, 35 U.C. Davis L. Rev. 427 (January2002), p. 433.

42 Amnesty: A Sovereign act of forgiveness for past acts, granted by government to all persons (or to certainclasses of persons) who have been guilty of crime and delict, generally political offences, - treason, sedition,'rebellion, draft evasion, - and often conditioned upon their return to obedience and duty within a prescribedtime. Black, Henry Campbell, Black's Law Dictionary, 6 ed., by the publisher's editorial staff; contributingauthors, Joseph R. Nolan et. all., St. Paul Minn.: West Publishing, Co, 1990, p. 82-83.

43Leslie Sebba, "The Pardoning Power: A World Survey", Journal of Criminal Law and Criminology 68 (1977), p. 120.44 Naomi Roht-Arriaza, Commission and Amnesties in Latin America: The Second Generation, 92 Am. Soc'y

Intl L. Proc. (1998), hlm, 313-314; Michael P. Scharf, The Amnesty Exception to the Jurisdiction of the Inter-

national Criminal Court, 32 Cornell Int'l L. J. 507 (1999), him. 508.45 Martha Minow, 2000, The Hope for Healing: What Can Truth Commission Do?, in Truth v. Justice, dalam

Robert I. Rotberg & Dennis Thompson (ed), him. 235-237.46 Larangan ini misalnya terdapat dalam Pasal 27 dari Vienna Convention on the Law of Treaties. Selain itu

negara yang terikat dengan kewajiban konvensi ini (Konvensi Jenewa 1949, Konvensi Genosida, KonvensiAnti Penyiksaan, ICCPR dan the AmeriCan Convnetion on Human Rights/ACHR)juga tidak dapat memberikanamnesty bagi pelakunya.

47 Amnesti amnestik menurut Ronald C. Slye adalah amnesti tanpa syarat yang diberikan tanpa menghiraukanmotif atau tujuan pihak yang diberi amnesty dan bersifat menutupi kejahatan masa lalu. Pengidentifikasianamnesty dilakukan melalui karakteristik kelompok dan tidak menycdiakan kompensasi untuk korban. Lihatdalam Ronald C. Slye, The Legitimacy of Amnesties Under International Law and General Principles of An-

glo-America Law: Is a Legitimate Amnesty Possible?, 43 Va. J. Int' I L. 173 (Fall 2002), hlm. 241-242. Contohamnesty bentuk ini terjadi tahun 1978 ketika Presiden Chili waktu itu Augusta Pinochet memberikan blanket

amnesty terhadap dirinya sendiri dan pemimpin militernya atas kejahatan yang dilakukan pada 1973 dan 1978.Lihat dalam Decree Law No. 2191 (April 18, 1978) (Chili), Published in Diario Oficial No. 30, 042 (April19. 1978): Chile Report, Human Rights Watch, vcrsi elcktronik dapat dijumpai di http://www.hrw.org/hrw/re-ports/1999/chile/ Patrik01 .htm#p164<uscore>5157 tanggal akses 30 Maret 2005Amnesti ini merupakan hasil kompromi politis di akhir sebuah konflik atau pergantian rezim tirani, yang pcm-beriannya dibatasi untuk tindakan yang dilakukan dengan motif atau tujuan tertentu. Untuk mendapatkanamnesty jenis ini, pelaku harus memenuhi persyaratan atau prosedur tertentu dan diumumkan setiap saat olchpemerintah untuk menunjukkan konsekuensi dari pelanggaran di mans amnesty dibcrlakukan seperti komisikebenaran dan reparasi. Ronald C. Slye, op.cit, hlm. 33. Contoh dari amnesty ini adalah pemberian amnesty

untuk pelanggaran HAM di Uganda di bawah pemerintahan Milton Obote dan Idi Amin. Komisi Klarifikasi diGuatemala, dan Komisi Kejujuran di Argentina 1983.

15 MIMBAR HUKUM Volume 19. Nomor - ?X- -aa—an / - 18

maupun amnesti akuntabel (accountable

amnesty).49 Perspektif kedua, adalah vane

membolehkan pemberian amnesti yang ch-

sebabkan karena keadaan darurat dan kebu-

tuhan mendesak5° serta dalam konflik bersen-

jata non internasional.51 Namun demilaan.

pelanggaran berat HAM yang dilakukan

oleh pemerintah Indonesia dan militer

masa lalu bukan merupakan kategori cialarr,

perspektif kedua, sehingga pemberian am-

nesti bagi para pelakunya tidaklah reievan.

Dengan dibatalkannya UU KKR_ make

ada dua hal yang perlu dicermati. Perramsa.

tertutupnya pemberian amnesti bagi par

pelaku pelanggaran berat HAM; Kedua. ter-

tutup pula pemberian kompensasi dan reha-

bilitasi bagi para korban. Pengadilan HAM

ad hoc yang akan dijadikan sebagai sairana

penyelesaian pelanggaran berat HAM belum

tentu dapat memberikan keadilan bagi kor-

ban, bahkan dapat dijadikan sebagai sarana-

N2C-2: 'pen :Adair pada pembiaran ter-

hadoPIPalingg=1:: HANI itu-IBEdwer k6khawauran terhadap penye-

lesaim ze:zinzgaran berat HAM masa

his imam jalur pengadilan

HAM ad loc. Kekhawatiran ini didasarkanpsis 1eit:2:22C kondisi peradilan di tanah

Arriama:: kandisi peradilan kita meru-

pakartsaLan.' yang terburuk di dunia,

Ck---iirsr-ir:AL-L=1 yam demikian akankah ke-

n a i l = b e n a r - b e n a r d a p a t d i w u -

*ikon nia-4Nakan tanda tanya besar;52

pensalarnan membuktikan bahwa

dim HAM ad hoc untuk kasus Timor-

rimr roc._ clunk pendapat, ternyata hanya

ratmea. .zeorane Enrico Guiterres yangn,,tak 7312 sedangkan pejabat

7,..ermlahan bebas. Ini merupakanburuk. Kejadian ini dapat

terhadap peradilan HAMs- tam kasus pelanggaran berat HAM

" Menurut Slye, amnesti ini harus memenuiu cismat.Imam amnesty harus demokratis dalam

pembentukannya dengan melibatkan mab-yanced ______________zarnem I:2111Smenerapkan prosedur terbuka

atau akuntabilitas pada penerimanya: ketiga :,,.a-as kcsempatan bagi para korban untuk

bertanya dan melawan klaim individu yang mr=moa celeirc4,z ,ern-harus menyediakan keuntung-

an konkrit bagi korban, biasanya dalarn bectuk r tatrg crima amnesty maupun negara;

dan kelima, amnesty hams dirancang memfauilus. = yang 1ebih bersahabat atau bagian

d a r i p r o g r a m r e k o n s i l i a s i . I b i d , h i m , 2 4 5 - 2 4 7 . C i c c wi 7 a m n e s t y ya n g d i b e r i k a n o l e h

KKR Afrika Selatan.

50 Pemberian amnesti dalam hal ini dimunekink perriimzin. keadaan darurat terbatas olch 1CCPR

dan ACHR asal tindakan tersebut konsisten den= fah hokum intemasional, scdangkantentang "kebutuhan mendcsak" tak dapat dijadikar a":: C allowsn- jika negara tcrlibat dalam kondisi

yang menyebabkan "kebutuhan mendosak- ate Seasni Deowar-Joig of Human Rights in Situations of Public

Emergency: The Experience of the EuTopeax Comeaskos ore Hassaw RIghts, 9 Yale J. of World Pub. Ord. 113, 129

(1982).

Pemberian amnesti dengan alasan ini diperbolchkan txrdearkala tea: 6 t5t Protocol 11 Additional to the Ge-

neva Conventions of 12 August 1949 (Protocol Ht.

Kckhawatiran ini bukan tanpa dasar. Hasil dan sanci PERC &Political Economic Risk Consultancy) dan 1cmbaga

survey internasional lain menempatkan ithscria pada seem peacruan dan kepolisian Indonesia pada posisi

yang buruk. Lihat dalam "Warning Dan Cumarassam,".. Rep Karnis 25 Juli 2002, Jakarta, hlm, 5;

untuk pcmbahasannya lihat Agus Raharjo. "Huta= disc Dina Pznoaraannya (Transisi Paradigmatis Ilmu

Hukum Dalam Teori dan Praktik)", artikei daiam Arra Hui:kw Ft iustina. Vol. 24, No. 1, Januari 2006,

FH Universitas Parahyangan Bandung, him. 12;25. Bradlee's= dm= pendapat Irene I. Hadiprayitno yang

mcngkhawatirkan kondisi peradilan HAM di indoo....a Karaia.a-' peradilan HAM yang mcncrapkan konscp

fair trial and impartiality dikhawatirkan tidak dapat bcpaim =it-men:eat sistem peradilan kita merupakan sistcm

yang korup dan tidak add, kurang profesionai dan ktharanzantar manakin lengkap dcngan sumbcrdaya yang

tidak mcmadai apalagi untuk kondisi di luar rid= ;awls irenc I Hadiprayitno. op.cit, him. 372.

Raharjo, Implikasi Pembatalan Undang-Undang 16

lainnya; Ketiga, peradilan kita — termasuk

pengadilan HAM — belum dapat lepas dari

pengaruh kekuasaan masa lalu yang masih

kuat mencengkeram sehingga dikhawatir-

kan pengadilan HAM ad hoc hanya meru-

pakan proses belaka untuk memenuhi syarat

legitimasi pemberian impunitas terhadap

pelanggar berat HAM masa lalu; Keempat,

mengadili pelanggar berat HAM masa lalu

dihadapkan pada persoalan pelaku dan saksi

yang sudah meninggal, barang bukti yang

susah didapat dan kesulitan-kesulitan lain

dalam hukum acara menyebabkan nanti-

nya pengadilan hanya sekadar menjalankan

prosedur birokrasi peradilan yang meng-

hasilkan putusan yang sesuai dengan prose-

dur (procedural justice) tanpa memperhati-

kan keinginan yang diharapkan oleh korban

(substansial/transitional justice); Kelima,

pengadilan HAM ad hoc hanya dapat meng-

adili perkara-perkara yang bersifat indivi-

dual. Pelanggaran HAM merupakan bagian

dari represi yang meluas dan sistematis dan

bukan sekadar kasus-kasus individual, se-

hingga pengadilan HAM akan menemui ke-

sulitan jika menghadapi pelanggaran HAM

yang bersifat massal.

Dengan demikian, penyelesaian kasus

pelanggaran berat HAM masa lalu hanya

kepada pengadilan HAM ad hoc mengan-

dung kekhawatiran besar atas ketidakber-

hasilannya dalam upaya menjaga persatuan

dan kesatuan nasional. Putusan Mahkamah

Konstitusi itu membuktikan bahwa peme-

rintah tidak banyak belajar dari pengala-

man negara lain dalam menyelesaikan kasus

pelanggaran berat HAM masa lalu dapat

dikatakan sukses. Pengembalian penyele-

saian kasus pelanggaran berat HAM pada

pengadilan HAM merupakan upaya untuk

menjauhkan keadilan transisional (tran-

sitional justice) atau keadilan substansial

(substansial justice) bagi para korban dan

mendekatkan kepada keadilan prosedural

(procedual justice) — keadilan berdasarkan

urut-urutan prosedur dalam beracara di peng-

adilan — yang hanya bersifat birokratis be-

laka. Pemerintah dan legislatif diharapkan

segera mengambil langkah-langkah dalam

penyelesaian pelanggaran berat HAM masa

lalu agar kita tidak dianggap sebagai bangsa

yang tak beradab.

E. Penutup

Pembatalan Undang-Undang Nomor

27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran

dan Rekonsiliasi oleh Mahkamah Konstitusi

menimbulkan persoalan dalam penyele-

saian pelanggaran berat HAM di Indonesia.

Dengan pembatalan itu, semua kasus pelang-

garan berat HAM masa lalu diselesaikan

melalui jalur pengadilan yaitu pengadilan

HAM ad hoc. Namun demikian, adanya citra

pengadilan Indonesia yang buruk, dikhawa-

tirkan yang terjadi dan tercipta bukan keadil-

an substansial (substantial justice) melain-

kan keadilan prosedural (procedural justice)

karena pengadilan hanya menerapkan prose-

dur-prosedur dalam proses pengadilan.

Jika demikian keadaannya, yang

muncul dari produk pengadilan HAM ad

hoc adalah pembiaran dan impunitas pada

pelaku pelanggaran berat HAM masa Ialu

seperti halnya putusan pengadilan HAM ad

hoc pada kasus pelanggaran HAM di Timor-

Timur. Bagi korban, kondisi pengadilan

yang demikian semakin mengurangi harap-

an untuk mendapatkan keadilan, apalagi

dengan ditutupnya kemungkinan penyele-

saian melalui KKR.

Raharjo, Implikasi Pembatalan Undang-Undang 17

DAFTAR PUSTAKA

Adji, Indriyanto Seno, "Catatan Tentang

Pengadilan HAM dan Masalahnya",

Artikel dalam Majalah Hukum Pro

Justitian, Tahun XIX, No. 1, Januari

2001, FH. UNPAR Bandung.

Adji, Oemar Seno, 1980, Peradilan Bebas

Negara Hukum, Erlangga, Jakarta.

Atmasasmita, Romli, 2004, Kapita Selelaa

Hukum Pidana Internasional, CV Uto-

mo, Bandung.

--------------------- , 2004, Pengantar Hukum

Pidana Internasional Bagian II, HeccaMitra Utama, Jakarta.

Bandoro, Bantarto, "Penyelesaian Masalah

Aceh Melalui Rekonsiliasi: Perspektif

Aspirasi dan Politik", artikel dalam

Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXIX

2000, No. 2, Jakarta.

Black, Henry Campbell, 1990, Black's Law

Dictionary, 6 ed., by the publisher's

editorial staff; contributing authors,

Joseph R. Nolan et. all.. St. Paul Minn.:

West Publishing, Co.

Bronkhorst, Daan, 1995, Truth and Recon-

ciliation: Obstacles and opportunities

for Human Rights, Amsterdam: Am-

nesty International Dutch Section.

Decree Law No. 2191 (April 18, 1978)

(Chili), Published in Diario Oficial No.

30, 042 (April 19, 1978): Chile Report,

Human Rights Watch, versi elektronik

dapat dijumpai di http://www.hrw.org/

hrw/reports/1999/chile/PatrikOl.htmil

p164<uscore>5157, tanggal akses 30

Maret 2005.

Hadiprayitno, Irene 1., Pertanggungjawab-

an Kejahatan HAM Ditinjau Dari

Kerangka Hukum HAM Internasional:

Studi Kasus Kekerasan Negara Dalam

Konflik Aceh, artikel dalam JumalAnalisis CSIS. Tahun XXXI/2002, No.3. Jakarta.

Hayner. Priscilla B.. Fifteen Truth Commis-

sions 1974 to 1994: A Comparative

Study. dalam: Human Rights Quaterly

16 (1994).

Hernawan OFM, J. Budi; Mengisi Gagasan

Pembentukan Komisi Kebenaran dan

Rekonsiliasi Konteks Papua, Sumbang-

an Pikiran untuk Workshop "Meng-

gagas Masa Depan untuk Penegakan

HAM- oleh KontraS Papua, Jayapura,

10-14 Juni 2002, Sekretariat Keadil-

an dan Perdamaian Keuskupan Jaya-

pura.

Hukumonline. Putusan Tentang UU

KKR Dianggap Ultra Petita, 11 De-

sember 2006, versi elektronik dapat

dilihat di http://www.hukumonline.

comdetail.asp?id=berita, tanggal akses

17 Desember 2005.

International Center for Transitional Justice,

ICTJ Written Submission: Legality of

Truth and Reconciliation Commission,

July 2006.

Joinet, Louis, Special Rapporteur, The Ad-

ministration of Jusctice and the Hu-

man Rights od Detainees: The Ques-

tion of Impunity for Perpetrators of

Human Rights Violation, Annex 1,Agenda Item 11(d). U.N. Doc. E/CN .4. Sub.2/1997/20/Rev. 1 .

Kobil, Daniel T., The Quality of Mercy

Strained: Wrestling the Pardoning

Power from the King, Texas Law Re-

view 69 (1991), p. 576.

18 MIMBAR HUKUM Volume 19, Nomor 1, Februari 2007. Halaman 1 - 18

Kritz, Neil J., "Menyikapi Kekejaman: Tin-

jauan Terhadap Mekanisme Pertang-

gungjawaban Terhadap Pelanggaran

Massal Hak Asasi Manusia", Artikel

dalam Dignitas, Jurnal Hak Asasi Ma-

nusia, Vol. 1, No. 1, Tahun 2003, Elsam,

Jakarta.

Lembaga Studi Pers dan Pembangunan,

1999, Negeri Dalam Kobaran Api: Se-

buah Dokumen Tentang Tragedi Mei

1998, Jakarta.

Loebis, AR., 1999, Kemelut Berdarah Indo-

nesia, Pabelan Jayakarta, Jakarta.

Minow, Martha, 2000, The Hope for Heal-

ing: What Can Truth Commission

Do?, in Truth v. Justice, dalam Robert

I . Rotberg & Dennis Thompson

(ed).

Moeljatno, 1987, Asas-asas Hukum Pidana,

Bina Aksara, Jakarta.

Nusantara, Abdul Hakim Garuda, "Penerap-

an Hukum Internasional Dalam Kasus

Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat

Di Indonesia", artikel dalam Jurnal

Hukum Internasional, Vol. 1, No. 4,

Juli 2004, Lembaga Pengkajian Hukum

Internasional FH UI Jakarta.

Parthiana, I Wayan, 2004, Hukum Pidana

Internasional dan Ekstradisi, Yrama

Widya, Bandung.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 013/

PUU-I/2003 tanggal 22 Juli 2004.

Raharjo, Agus, "Hukum dan Dilema Pen-

citraannya (Transisi Paradigmatis Ilmu

Hukum Dalam Teori dan Praktik)",

artikel dalam Jurnal Hukum Pro

Justitia, Vol. 24, No. 1, Januari 2006,

FH Universitas Parahyangan Bandung.

Roht-Arriaza, Naomi, Commission and Am-

nesties in Latin America: The Second

Generation, 92 Am. Soc'y Int'l L. Proc.

(1998).

Savitri, Niken, "Pengaruh Mahkamah

Pidana Internasional Ad Hoc Terhadap

Pembentukan International Criminal

Court", artikel dalam Majalah Hukum

Pro Justitia Tahun XVIII, No. 3, Juli

2000, FH UNPAR Bandung.

Scharf, Michael P., The Amnesty Exception

to the Jurisdiction of the International

Criminal Court, 32 Cornell Int'l L. J.

507 (1999).

Schreuer, Derogation of Human Rights in

Situations of Public Emergency: The

Experience of the European Conven-

tion on Human Rights, 9 Yale J. of

World Pub. Ord. 113, 129 (1982).

Sebba, Leslie, "The Pardoning Power: A

World Survey ", Journal of Criminal

Law and Criminology 68 (1977).

Simanjuntak, Togi, "Jalan Terjal Menggapai

Keadilan: Quo Vadis Komisi Kebenaran

dan Rekonsiliasi", Artikel dalam Dig-

nitas, Jurnal Hak Asasi Manusia,

Vol. I, No. 1, Tahun 2003, Elsam,

Jakarta.

Siswanto, Ari, 2005, Yurisdiksi Material

Mahkamah Kejahatan Internasional,

Jakarta: Ghalia Indonesia.

Slye, Ronald C., The Legitimacy of Amnes-

ties Under International Law and

General Principles of Anglo-America

Law: Is a Legitimate Amnesty Possi-

ble?, 43 Va. J. Intl L. 173 (Fall 2002).

Sulistiyanto, Priyambudi, "Politik Rekonsi-

liasi di Indonesia: Menuntut, Memaaf-

kan dan Melupakan?" Artikel dalam

Dignitas, Jurnal Hak Asasi Manu-

sia, Vol. I, No. 1, Tahun 2003, Elsam

Jakarta.

Supelli, Karlina, Berdamai Dengan Masa

19 MIMBAR HUKUM Volume 19, Nomor 1, Februari 2007. Halaman 1 - 18

Lampau: Antara Penghukuman dan

Pengampunan, makalah disampaikandalam seminar Dealing with the pastHuman Rights Violations: BetweenTruth and Justice, Jakarta, 12 April2000.

Swantoro, FS., "Maraknya PelanggaranBerat HAM Di Indonesia", artikelpada Jurnal Analisis CSIS, TahunXXIX/2000, No. 2, Jakarta.

Teitel, Ruti G., 2004, Keadilan Tansisional,

Sebuah Tinjauan Komprehensif, (ter-

jemahan Tim Elsam), Elsam, Jakarta.Terre, Eddie Riyadi, "Keadilan Transisional:

Sebuah Pencarian Keadilam DalamRemang Menjelang Fajar", artikeldalam Dignitas, Jurnal Hak Asasi Ma-

nusia, Vol. I, No. I, Tahun 2003, Elsam,Jakarta.

Tutu, Desmond, 1999, No Future without

Forgiveness, Rider Book, London.UU KKR Bertentangan Dengan UUD 1945,

Berita Mahkamah Konstitusi, 7 De-sember 2006, versi elektronik dapat di-

peroleh di http://www.mahkamahkon-

stitusi.go.idberita.php?newscode=248,

tanggal akses 17 Desember 2006.

Warning Dan Cumaraswamy, Republika,

Kamis 25 Juli 2002. Jakarta.

Young. Gwen K.: Amnesty and Accountabi-

lity. 35 U.C. Davis L. Rev. 427 (January

2002). p. 433.Yudhawiranata_ Agung; "Menyelesaikan

Pelanggaran Hak Asasi Manusia DiMasa Lalu- artikel dalam Dignitas,Jurnal Hak Asasi Manusia, Vol. I, No.1 Tahun 2003, Elsam. Jakarta.

. H a s i l S e m e n t a r a P e r n a -

taucm Elsam Terhadap Pengadilan

Ham Ad Hoc Kasus Timor-Timur, Press

Release No. 004,PR/ELSAM/IV/2002,29 April 2002. Jakarta

Zalaquett. Jose: "Menangani Pelanggaran

Hak Asasi Manusia Di Masa Lalu,

Pringp-prinsip Penyelesaian dan Ken-

dal:a Polity L Artikel dalam Dignitas",

_hem! Hak Asasi Manusia, Vol. I,

Na I_ Tabun 2003, Elsam, Jakarta.