Upload
duonghanh
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ICASERD WORKING PAPER No.20
PENATAAN LAHAN,OTONOMI DAERAH, DANPEMBANGUNAN PERTANIAN DI PEDESAAN
Saptana, Supriyati, dan Yana Supriatna
Nopember 2003
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianDepartemen Pertanian
ICASERD WORKING PAPER No.20
PENATAAN LAHAN, OTONOMI DAERAH, DAN PEMBANGUNAN PERTANIAN DI PEDESAAN
Saptana, Supriyati, dan Yana Supriatna
Nopember 2003
Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini, pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pandangan ilmiah, dan review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dengan Pengelola : Dr. Handewi P. Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, dan Dr. Yusmichad Yusdja. Redaksi: Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Sri Sunari, Agus Suwito, Kardjono dan Edi Ahmad Saubari. Alamat Redaksi: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani No. 70 Bogor 16161, Telp. 0251-333964, Fax. 0251-314496, E-mai : [email protected]
No. Dok.07/20/3/03
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianDepartemen Pertanian
1
PENATAAN LAHAN, OTONOMI DAERAH, DAN PEMBANGUNAN PERTANIAN DI PEDESAAN
Saptana, Supriyati, dan Yana Supriatna
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi PertanianJl A. Yani No.70 Bogor 16161
ABSTRAK
Less optimal of land use management is one of the considered serious reason why agricultural development in rural areas could not performed as expected. This paper describes an analysis the importance of land use management related to more appropriate rural agricultural development strategy alternatives. By paying attention on some research results, review on some literatures, and the application of Act UUPR No. 24/1992, the following items can be presented: firstly, there are some pattern performances of land use inter-levels management and inter-locations. Secondly, there is land use management integrating land use with community’s participation, nevertheless, in general it has not yet considered agro-ecological zone (AEZ) map. Thirdly, land use system including for agricultural purposes and land holding in rural Java more linked to income distribution aspect, whereas rural Off-Java was still closely linked to agricultural production efficiency aspect. The fourth, decentralization policy has not been able to perform as rural agricultural development prime mover. The important policy implication in land use management from spatial land use and AEZ mapping is that to integrate regional Spatial Land Use (Provincial, District, and Village) into AEZ Map, with more detailed scale so that it could be more operational in agricultural planning and implementation up to level village.
Key words : land use management, decentralization, agricultural development, rural.
ABSTRAK
Kurang adanya penataan lahan yang baik diperkirakan menjadi salah satu penyebab serius mengapa pembangunan pertanian di pedesaan tidak menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Tulisan ini mengemukakan analisis tentang pentingnya penataan lahan dalam kaitannya dengan pilihan strategi pembangunan pertanian yang dinilai lebih tepat. Dengan memperhatikan beberapa hasil penelitian, tinjauan dari berbagai studi pustaka, serta diberlakukannya UUPR No. 24 Tahun 1992 dapat dikemukakan beberapa hal berikut: pertama, terdapat keragaan pola penataan lahan antar berbagai tingkatan dan antar lokasi. Kedua, adanya pola penataan lahan yang mengintegrasikan antara tata ruang dengan partisipasi masyarakat, namun secara umum belum mempertimbangkan peta agro ecological Zone (AEZ). Ketiga, penataan, penguasaan dan penggunaan lahan pertanian untuk pedesaan Jawa, lebih banyak berhubungan dengan aspek distribusi pendapatan, sedangkan pedesaan Luar Jawa masih sangat terkait dengan aspek peningkatan efisiensi produksi pertanian. Keempat, kebijakan otonomi daerah belum dapat dijadikan penggerak pembangunan pertanian di pedesaan. Implikasi kebijakan penting dalam penataan lahan adalah terdapat peluang mengintegrasikan antara Rencana Tata Ruang wilayah (Propinsi, Kabupaten, dan Desa) dengan peta AEZ, dengan skala yang lebih detail, sehingga dapat dioperasionalkan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan pertanian hingga pada tingkat desa.
Kata kunci : penataan lahan, otonomi daerah, pembangunan pertanian, pedesaan
2
PENDAHULUAN
Kurang adanya penataan lahan yang baik diperkirakan menjadi salah satu
penyebab serius mengapa pembangunan pertanian di pedesaan tidak menunjukkan
hasil seperti yang diharapkan. Penyebab utamanya adalah : kesenjangan struktur
distribusi penguasaan lahan, pola tata guna lahan yang kurang terencana dengan baik,
masih adanya dualisme dalam penerapan hukum pertanahan di Indonesia (hukum
nasional vs hukum adat) serta implementasi dan operasionalisasi otonomi daerah yang
belum tepat terutama dalam kontek membangkitkan ekonomi di pedesaan.
Batasan pengertian mengenai tanah (land) tidak hanya mencakup tanah dalam
pengertian fisik (soil), tetapi mencakup juga air, vegetasi, lanscape, dan komponen-
komponen iklim mikro suatu ekosistem (Scherr and Yadav dalam Sumaryanto, dkk.,
2002). Dalam konteks penataan lahan serta implikasinya terhadap pengembangan
sistem usaha pertanian lahan juga menunjuk pada berbagai komplek aktivitas (sosoal-
ekonomi) yang dijalankan di atasnya dan berbagai permasalahan yang timbul.
Dari sudut pandang sumberdaya, masalah lahan terkait dengan konfigurasi
daratan, persebaran penduduk, dinamika sosial budaya mayarakat, serta kebijakan
pemerintah terutama yang berkaitan dengan penataan ruang-lahan. Masalah penataan
lahan pertanian di pedesaan berbeda antar tingkatan pengambilan keputusan (propinsi,
kabupaten, dan komunitas lokal), lokasi (spasial) dan antar agroekosistem.
Permasalahan utama dalam penataan lahan pertanian berkaitan dengan masalah
penguasaan lahan yang kecil, degradasi sumberdaya lahan, perpecahan (division) dan
perpencaran (fragmentation) lahan, konversi lahan, sulitnya melakukan konsolidasi, dan
struktur penguasaan yang timpang.
Penataan lahan pada tingkat nasional dan kabupaten dapat diartikan sebagai
pengaturan, peruntukan, dan penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumberdaya
lahan dalam mendukung pembangunan nasional dan wilayah. Sementara itu, penataan
lahan pada tingkat individu dapat diartikan sebagai peruntukan, penggunaan dan
pemeliharaan lahan yang efisien dan terkendali sehingga memberikan manfaat optimal
dan terjamin kelestariannya (UUPA Tahun 1960 dalam Sutiknjo, 1982). Sehingga
penataan lahan pada level individu ini dapat mencakup konsolidasi lahan dan
konsolidasi managemen usahatani.
Permasalahan di atas menunjukkan bahwa aspek penataan lahan dan segala
persoalan yang timbul dalam hubungan manusia dengan tanah merupakan bagian
utama dari politik agraria. Dalam konteks demikian, peran penataan lahan terhadap
pembangunan pertanian di era otonomi daerah menarik untuk dikaji, sehingga dapat
3
diungkap berbagai persoalan mendasar yang berkaitan dengan aspek penataan lahan
pada berbagai tingkatan pengambilan keputusan serta dapat memberikan prekrepsi
dalam perumusan kebijakan pembangunan pertanian. Tinjauan ini ditujukan untuk
mengkaji : (1) penataan lahan gambaran ideal dan keragaan pola penataan lahan
kondisi aktual; (2) mengidentifikasi dan menganalisis hubungan pola penguasaan lahan
dan penggunaan lahan terhadap keragaan sistem usaha pertanian; (3) menggali
simpul-simpul kritis yang mempengaruhi implikasi tata guna lahan terhadap
pembangunan pertanian di pedesaan; dan (4) merumuskan kebijakan pertanahan yang
efektif dalam mendukung strategi pembangunan pertanian di pedesaan.
PENATAAN LAHAN YANG IDEAL DAN PERANNYA DALAM
PEMBANGUNAN PERTANIAN DI PEDESAAN
Secara umum, berdasarkan strategi yang digunakan, penataan lahan dalam
konteks politik agraria dapat dibedakan atas tiga sistem, yaitu : (1) Sistem Kapitalis; (2)
Sistem Sosialis; dan (3) Sistem Neo Populis . Dapat dikemukakan tiga hal yang menjadi
pembeda antar satu sistem dengan sistem lainnya adalah : (1) penguasaan tanah; (2)
tenaga kerja; dan (3) tanggung jawab atau pengambilan keputusan mengenai produksi,
akumulasi, dan Investasi (Wiradi, 1991 dalam Fauzi, 2001).
Pandangan kapitalis dalam strategi penataan lahan (agraria), adalah bahwa
sarana produksi utama tanah dikuasai oleh individu-individu non penggarap. Dalam
sistem ini penggarap yang langsung mengerjakan tanah (pertanian) di pandang sebagai
tenaga kerja yang diupah oleh para pemilik tanah. Hubungan antara pemilik tanah dan
pekerja merupakan hubungan kerja. Tenaga kerja adalah faktor produksi yang dapat
diperjual belikan. Tanggung jawab dan pengambilan keputusan baik dalam penggunaan
(produksi), akumulasi, dan investasi atas lahan sepenuhnya di tangan pemilik lahan.
Dalam strategi penataan lahan (agraria) Sosialis, memandang bahwa tanah dan
sarana produksi lainnya dikuasai oleh organisasi (negara) atas nama rakyat (kelompok
terbesar adalah tenaga kerja). Dalam sistem ini tenaga kerja merupakan tenaga kerja
yang memperoleh imbalan dari hasil kerjanya, yang diputuskan oleh negara yang
mengatasnamakan organisasi para pekerja. Tanggung jawab dan pengambilan
keputusan baik dalam penggunaan (produksi), akumulasi, dan investasi atas lahan
terletak di tangan negara yang mengatasnamakan para pekerja.
4
Dalam strategi penataan lahan (agraria) Neo-Populis, satuan usaha adalah
merupakan usaha keluarga. Oleh karena itu, penguasaan dan penggunaan tanah serta
faktor produksi lainnya terdistribusi pada mayoritas keluarga petani. Tenaga kerjanya
adalah tenaga kerja keluarga petani. Petani dan keluarganya bekerja di atas tanah yang
dimiliki sendiri. Jadi, produksi secara keseluruhan merupakan kegiatan keluarga petani,
meskipun tanggung jawab atas akumulasi biasanya diatur oleh pemerintah. Strategi
penataan lahan yang di pandang ideal di Indonesia adalah strategi neo populis seperti di
amanatkan UUPA 1960, namun dalam operasionalnya khususnya dalam pembangunan
pertanian di pedesaan perlu menginkorporasikan peta agroecological zone (AEZ).
Apabila dibandingkan dengan kondisi aktual di Indonesia, maka persamaan yang
paling mendasar adalah tidak menghapuskan hak milik, bahkan secara kuantitatif
berusaha menambah jumlah orang sebagai pemilik tanah, serta adanya jaminan
pembayaran ganti rugi kepada bekas pemilik tanah kelebihan dan absensi, meskipun
dalam pelaksanaannya terjadi penyalahgunaan. Dalam Undang-undang, GBHN, dan
PELITA/REPELITA lebih banyak disebut kata land reform1 dari pada agraria reform.
Nampak jelas dalam konsep land reform adalah salah satu bentuk penataan
penguasaan dan penggunaan tanah. Dalam kebijakan operasional penataan lahan
sering dilakukan dalam bentuk penataan ruang wilayah, land reform, dan konsolidasi
usahatani.
Perjalanan panjang dalam pelaksanaan penataan lahan (agraria) dan
pelaksanaan berbagai program pembangunan, kususnya pertanian menunjukkan
biasnya penataan lahan guna memberikan akses sumberdaya lahan kepada pengusaha
(investor) sebagai mesin pertumbuhan dan banyak mengabaikan hak-hak masyarakat.
Bahwa tanah sebagai faktor produksi utama, maka peraturan dan kebijakan pertanahan
baik penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya haruslah memperkuat
kedudukan tanah sebagai kemakmuran rakyat, seperti termaktub dalam UUPA dan
UUPBH Tahun 1960. Bahkan dalam TAP MPR RI Nomor IX/MPR/2001dalam pasal 6,
memberikan penekanan kembali bahwa salah satu arah kebijakan pembaruan agraria
adalah melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah (land reform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan
tanah untuk rakyat, baik tanah pertanian maupun perkotaan. Dalam konteks otonomi
daerah yang terkait dengan penataan lahan, pasal 10 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1999
memuat bahwa daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia
diwilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan
1 Land Reform didefinisikan suatu penataan kembali penggunaan, pengusahaan dan pemilikan tanah termasuk pengalihan hak atas tanahnya.
5
peraturan perundang-undangan. Dalam tinjauan ini akan difokuskan pada aspek
penataan lahan, otonomi daerah dan pembangunan pertanian di pedesaan.
PENATAAN LAHAN DAN KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH
Kebijakan Otonomi Daerah
Kebijakan pemerintah masa lalu yang bersifat sentralistis telah berdampak pada
berbagai ketimpangan baik ketimpangan antar golongan masyarakat dan antar daerah
atau antar wilayah. Otonomi daerah telah lama menjadi wacana publik, namun secara
formal baru berjalan tiga tahun dan hingga kini belum berjalan secara efektif. Secara
formal kebijakan otonomi daerah mulai dilaksanakan dengan dikeluarkannya tiga
Undang-Undang, yaitu : (1) UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, UU No.
25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah,
dan UU N0. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas
dari KKN).
Dalam konteks penataan lahan, pasal 10 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1999
memuat bahwa daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia
diwilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Melalui otonomi daerah diharapkan pembangunan
yang dilakukan bisa lebih merata dan berkelanjutan melalui peningkatkan pemanfaatan
sumberdaya alam secara lebih optimal dan peningkatan kompetensi sumberdaya
manusia sehingga mampu menghasilkan produk yang bernilai tambah dan mempunyai
dayasaing yang tinggi.
Setelah tiga tahun pelaksanaan otonomi daerah telah banyak terjadi berbagai
penyimpangan (Rasyid, 2001 dan Pranadji, 2002) serta telah banyak terjadi distorsi
dalam implementasinya (Rasyid, 2003). Hasil kajian Pranadji (2002) menunjukkan
bahwa operasionalisasi UU. No. 22 Tahun 1999 di tingkat daerah kabupaten lebih
banyak diarahkan untuk pencapaian target PAD (Pendapatan Asli Daerah) dari pada
modal politik yang sangat berharga pelaksanaan otonomi hingga tingkat desa dalam
rangka pemberdayaan ekonomi rakyat. Selanjutnya Pranadji (2002) mengemukakan
bahwa masalah ekonomi biaya tinggi (high cost economy) yang terjadi di daerah
pedesaan, yang dulu banyak disebabkan oleh kurang memadainya infrastruktur
pendukung di pedesaan, sekarang diperparah oleh tingginya biaya transaksi birokrasi
didaerah.
6
Pelaksanaan otonomi daerah haruslah mempunyai makna pemberdayaan rakyat
baik yang menyangkut aspek ekonomi (akses terhadap sumberdaya produktif seperti
lahan), politik (sistem pengambilan keputusan), dan sosial (kelembagaan yang
mewadahinya) hingga pada tingkat desa, serta aspek lingkungan (sustainability).
Pemberdayaan rakyat dari aspek politik juga harus mampu meningkatkan akses
masyarakat terhadap sistem pengambilan keputusan pada tingkat daerah otonom. Di
samping itu, pengembangan kelembagaan di tingkat lokal haruslah didasarkan atas
usaha pemberdayaan kelembagaan lokal yang telah eksis dan diterima masyarakat,
bukan merupakan kelembagaan yang diintroduksikan dari luar. Dengan demikian
otonomi daerah dapatlah merepresentasikan masyarakat di daerahnya bukan
representasi dari birokrasi suprastrukturnya.
Penataan Lahan : Tingkat Propinsi, Kabupaten, dan Komunitas
Penataan lahan ditingkat Propinsi hingga kini masih mengacu pada Undang-
Undang Penataan Ruang (UUPR No. 24 Tahun 1992), yang kemudian dioperasionalkan
dengan PP No. 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Indonesia.
Peraturan ini mendorong penyusunan Rencana Tata Ruang di tiap Wilayah Propinsi,
dengan dasar kebutuhan pembangunan dan pertimbangan batasan teknis topografis
dan aspek biofisik lainnya. Penataan lahan di Propinsi Jawa Tengah sampai saat ini
masih didasarkan atas Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah No. 8
Tahun 1992 yaitu tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa
Tengah. Sementara itu penataan di Propinsi Kalimantan Barat juga merujuk pada UU.
No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang dan Keppres No. 32 tahun 1990 tentang
Pengelolaan Kawasan Lindung. Meskipun peraturan ini pada saat ini (2002) dalam
proses revisi terutama berkaitan dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah dan UU No. 25 tentang perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah.
Demikian juga dengan daerah Propinsi lainnya.
Fungsi RTRWP adalah (1) matra ruang dari Pola Dasar Pembangunan Daerah
dan Repelitada, (2) dasar kebijaksanaan pokok tentang pemanfaatan ruang di propinsi
sesuai dengan kondisi wilayah dan berasaskan pembangunan berkelanjutan, (3)
Perwujudan keterpaduan, keterikatan dan keseimbangan perkembangan antar wilayah
dan antar sektor, (4) arahan lokasi investasi yang dilakukan pemerintah, masyarakat,
dan swasta, (5) acuan bagi Kabupaten/Kotamadya serta rencana Detail Tata Ruang
Kawasan.
7
RTRWP dikelompokkan dalam 6 (enam) Rencana sebagai berikut : (1) Kawasan
Lindung; (2) Kawasan Budidaya; (3) Sistem Pusat Permukiman; (4) Wilayah
Pembangunan; (5) Pengembangan sarana dan prasarana; dan (6) Pengembangan
kawasan strategis.
Nampaknya UUPR No. 24 Tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah Daerah yang
merupakan turunan dari Undang-Undang tersebut bersifat normatif, general, bias
mengejar pertumbuhan, tidak dilakukan secara partisipatif dan masih jauh dari penataan
lahan yang diidealkan oleh berbagai sektor pembangunan khususnya sektor pertanian
dan bias pada kepentingan investor khususnya untuk memperoleh ijin lokasi. Gambaran
ideal penataan lahan ditinjau dari pembangunan pertanian haruslah menginkorporasikan
faktor kesesuaian lahan (fisik-kimia tanah, topografi), ekologi, iklim, serta aspek sosial-
budaya (keadilan-distribusi) masyarakat yang akan menentukan kesesuaian
pengembangan komoditas pertanian di suatu wilayah. Dalam penataan lahan yang ideal
haruslah memperhitungkan ketersediaan dan penggunaan peta AEZ pada berbagai
tingkatan dan skala, sehingga dapat dijadikan basis perencanaan pembangunan
pertanian. Kondisi tersebut diperkirakan menjadi penyebab serius mengapa
pembangunan pertanian di pedesaan tidak menunjukkan hasil yang diharapkan. Di
samping itu, juga menjadi penyebab timbulnya berbagai sengketa tanah baik secara
horisontal (antar warga) dan vertikal (masyarakat vs investor atau masyarakat vs
pemerintah).
Secara teoritis maupun secara empiris masalah penataan lahan pertanian
(penguasaan dan penggunaan) berkaitan dengan masalah efisisensi produksi pertanian
dan masalah distribusi pendapatan (Sinaga, 1987). Hasil kajian Sumaryanto dkk., (2002)
mengemukakan bahwa inti pokok dari masalah penataan kembali penguasaan lahan
pertanian sesungguhnya lebih banyak berhubungan dengan aspek distribusi pendapatan
daripada masalah peningkatan efisiensi ataupun produktivitas sumberdaya lahan.
Selanjutnya Saptana dkk., 2002 mengemukakan hasil yang berbeda antar wilayah
kajian. Untuk lokasi penelitian Klaten Jawa Tengah memberikan hasil sejalan dengan
kajian Sumaryanto dkk., (2002) di mana penataan kembali penguasaan lahan pertanian,
lebih banyak berhubungan dengan aspek distribusi pendapatan dari pada masalah
peningkatan produktivitas dan efisiensi sumberdaya lahan. Namun hasil kajian yang
sama, untuk lokasi penelitian Sumatera Barat, terlebih Kalimantan Barat penataan
penguasaan dan penggunaan lahan pertanian masih sangat terkait dengan aspek
peningkatan produktivitas dan efisiensi sumberdaya lahan. Hal ini dapat ditunjukkan
adanya korelasi yang searah antar pendapatan yang bersumber dari sektor pertanian
dengan luas lahan milik dan luas lahan garapan. Kajian di lapang memberikan beberapa
8
ilustrasi bahwa : (1) adanya penataan lahan memberikan kepastian tentang batas
penguasaan lahan pada individu maupun pada masyarakat adat (komunal); (2)
meningkatkan intensifitas penggunaan input produksi, baik berupa pilihat terhadap
komoditas yang diusahakan, penggunaan bibit atau klon unggul, serta menggunakan
pupuk kimia; dan (3) penataan lahan juga mendorong pola pertanian menetap pada
masyarakat Daya pedalaman, yang akan berpengaruh terhadap pilihan teknologi
produksi pertanian.
Dalam konteks ini, dari sudut pandang pendekatan ada dua aliran dalam
penataan kembali penguasaan lahan, yaitu pendekatan struktural dan pendekatan
teknokratis (Sumaryanto, dkk., 2002). Pendekatan struktural pada intinya menyatakan
bahwa struktur penguasaan tanah harus bersifat “by design” melalui suatu aturan hukum
atau kebijakan pemerintah. Salah satu bentuk utama dari pendekatan ini adalah
penataan penguasaan atau pemilikan lahan melalui land reform, bentuk lain yang agak
moderat adalah Undang-Undang Penataan Ruang (UUPR). Sementara itu, pendekatan
teknokratis pada intinya adalah bahwa struktur penguasaan tidak harus “by design”,
karena struktur penguasaan dan pemilikan tanah bersifat dinamis di mana surplus
ekonomi tanah (land rent) akan menjadi penentu dalam pola alokasi antar sektor
maupun antar individu atau kelompok dalam masyarakat. Dalam kenyataannya di
Indonesia menggunakan kombinasi dari kedua pendekatan tersebut, sebagai ilustrasi
pada masa pemerintahan orde lama pendekatan pertama lebih dominan, sedangkan
pada pemerintahan orede baru hingga kini, pendekatan kedua yang lebih dominan
digunakan.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) pada tahun 1997-1998 telah
melakukan Analisis Zona Agroekologi (AEZ) di Propinsi masing-masing yang di
dasarkan atas analisis Peta Tanah Tinjau, Peta Tanah Eksplorasi, Peta Agroklimat, Peta
Kemampuan Tanah, Peta Kemiringan Lahan, Peta Ketinggian, Peta Administrasi maka
dihasilkan peta Zona Agroekologi dengan skala 1 : 250 000 dengan kombinasi sebanyak
131 satuan peta agroekologi (SPA). Kesesuaian komoditas pada masing-masing bentuk
penggunaan lahan ditentukan oleh faktor-faktor peubah iklim yang terdiri atas ketinggian
tempat yang menggambarkan rejim suhu dan kelembaban yang menggambarkan
penyebaran bulan basah dan kering (BPTP, Jawa Tengah, BPTP Kalbar, dan BPTP
Sumbar, 1999).
Untuk pemetaan komoditas di tingkat kabupaten, maka dibuat peta yang lebih
detail dengan skala 1 : 50.000, sehingga dihasilkan bentuk penggunaan lahan,
kesesuaian komoditas dan alternatif teknis pengolahan lahan sampai tingkat desa.
Namun, sebagian besar propinsi belum melakukan hal ini karena terkendala biaya.
9
Untuk BPTP Jawa Tengah sampai dengan tahun 2002 baru ada satu kabupaten yang
melakukannya, yaitu Kabupaten Blora dan tiga Kabupaten yang merencanakan, yaitu
Pemalang, Cilacap, dan Purbalingga dengan sistem sharing dana antara BPTP dan
Pemda. Sementara itu di Kalimantan Barat dan Sumatera Barat belum ada yang
melakukan. Namun, di beberapa Kabupaten Kalimantan Barat, secara partisipatif telah
melakukan pemetaan lahan partisipatif dengan kesatuan-kesatuan terkecil kampung.
Respon yang rendah dari pemerintah daerah kabupaten terhadap peta AEZ, berkaitan
dengan dua hal pokok, yaitu kurangnya sosialisasi dan perhatian pemda yang terfokus
pada perolehan PAD.
Penataan lahan di tingkat kabupaten masih mengacu pada Rencana Tata Ruang
Wilayah Propinsi (RTRWP) yang sudah dituangkan dalam Rencana Umum Tata Ruang
Kota (RUTRK), Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK), Rencana Umum Tata Ruang
Kota Ibukota Kecamatan (RUTRK IKK); dan Rencana Detail Tata Ruang Kota Ibukota
Kecamatan (RDTRK IKK). Hasil kajian menunjukkan bahwa penataan ruang yang
dilakukan pemerintah baik di tingkat pusat, propinsi, dan di tingkat kabupaten bias
kepada pemerintah dan pengusaha atau investor, yang bertujuan dalam penyediaan
lahan untuk kepentingan investor dalam rangka ijin lokasi, guna memacu pertumbuhan
ekonomi dan kurangnya aspek keadilan atau pemerataan bagi kepentingan masyarakat
luas.
Penataan lahan yang efisien untuk mengembangkan sistem usaha pertanian
diperkirakan sulit diwujudkan karena lemahnya pendataan dan sistem dokumentasi di
bidang pertanahan, terutama di Luar Jawa. Beberapa faktor yang menjadi penyebab
antara lain adalah (Sumaryanto, dkk., 2002): (a) Kesadaran masyarakat terhadap
pentingnya legalitas formal kepemilikan lahan masih rendah, hal ini nampak nyata di
wilayah Luar Jawa; (b) Biaya administrasi lahan di pandang masih mahal; (c) Lembaga
yang berwenang menangani sistem administrasi tanah kurang pro-aktif, dan (d)
Kesulitan dalam membrantas berkembangnya rent seeking activity dalam transaksi
tanah. Di samping faktor di atas, dalam kontek otonomi daerah juga menunjukkan
adanya perebutan antara pemerintah pusat (instansi vertikal) dengan pemerintah daerah
tentang hak pengelolaannya terhadap sumberdaya lahan, tanpa menyadari kompleksitas
permasalahan yang dihadapi.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Saptana dkk. (2002) menunjukkan adanya
variasi penataan lahan antar daerah. Untuk meningkatkan perencanaan penataan ruang
sampai tingkat paling bawah atau tingkat desa di Kabupaten Klaten sudah disusun Pola
Tata Ruang Desa (PTRD) yang berlaku 1989-2008. Penyusunan PTRD didasarkan pada
RTRWP dan RTRWK, serta melibatkan partisipasi masyarakat (perencanaan,
10
pelaksanaan, serta dalam melakukan revisi). Nampak bahwa partisipasi masyarakat
pada desa-desa yang aksessibilitasnya baik dan sektor non pertanian telah berkembang
pesat, menunjukkan partisipasi masyarakat yang tinggi (Kasus Kecamatan Trucuk,
Polanharjo, Wedi, Kebonarum dan Manisrenggo), sedangkan untuk desa-desa yang
aksessibilitasnya kurang baik dan sektor non pertanian belum berkembang partisipasi
masyarakatnya masih rendah (Kecamatan Tulung, Jatinom, Karangnongko, dan
Kemalang). PTRD ditujukan sebagi pedoman atau acuan dalam mengatur pemanfaatan
ruang dalam suatu desa serta sebagai monitoring dan pengendalian perubahan status
penggunaan tanah.
Dari hasil kajian yang dilakukan Saptana et.al., 2002 diperoleh gambaran bahwa:
(1) pada desa-desa yang aksessibilitasnya baik PTRD mengalami perubahan yang
begitu dinamis, di mana dalam periode (1989–2001) terjadi perubahan 2–3 kali; (2)
sosialisasi dan partisipasi masyarakat sudah cukup baik pada daerah-daerah yang
aksessibilitasnya baik dan kegiatan non pertaniannya sudah berkembang, namun masih
sangat kurang pada daerah yang aksessibilitasnya kurang baik dan kegiatan sektor non
pertaniannya belum berkembang; dan (3) PTRD mampu meningkatkan efisiensi
penggunaan sumberdaya khususnya tanah melalui pengembangan sentra-sentra
kegiatan ekonomi di tingkat desa, serta telah meningkatkan nilai jual lahan khususnya
pada lokasi yang diperuntukkan untuk sentra industri. Kelemahan mendasar dari PTRD
tersebut adalah belum didasarkan peta AEZ dengan skala yang detail, sehingga
pembangunan pertanian di pedesaan belum memberikan hasil seperti yang diharapkan.
Dalam upaya mempertahankan hak-hak dan kepentingan masyarakat adat
Kalimantan Barat terhadap ruang atas wilayah adatnya, maka dilakukanlah Pemetaan
partisipatif2 (participatory mapping), sebagai suatu bentuk perlawanan terhadap klaim
tanah ulayat masyarakat adat Dayak oleh pemerintah dan perusahaan swasta atau
investor.
Untuk Kabupaten Landak, Kalimantan Barat telah dilakukan pemetaan partisipatif
(PPSDAK, 1998). Di Propinsi Kalimantan Barat, kegiatan pemetaan partisipatif telah
dikembangkan sejak tahun 1995 oleh Yayasan Pancur Kasih, dalam hal ini oleh unit
Pemberdayaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kerakyatan (PPSDAK). Adapun jenis-
jenis peta yang dihasilkan adalah peta: (1) tata guna lahan, (2) pemukiman penduduk,
(3) daerah aliran sungai, (4) penyebaran pohon, (5) penyebaran binatang, (6)
perencanaan tanah kampung, (7) tempat keramat dan kuburan, dan lain-lain.
2 Pemetaan partisipatif adalah sebuah metodologi pembuatan peta yang menggabungkan peta-peta modern (peta topografi, peta udara, peta satelit) dengan peta-
peta mental tata ruang tradisional dengan melibatkan seluruh masyarakat di kampung.
11
Implikasi kebijakan penting dalam penataan lahan dari aspek penataan ruang
dan peta AEZ adalah terdapat peluang mengintegrasikan antara Rencana Tata Ruang
wilayah Propinsi, Kabupaten, dan Desa dengan peta AEZ di masing-masing lokasi
penelitian, terutama pada kabupaten yang telah melakukan pemetaan AEZ secara detail
dengan skala 1 : 50.000. Sehingga PTRD yang yang membagi desa ke dalam sentra-
sentra kegiatan ekonomi, untuk pengembangan sentra produksi pertanian dapat bersifat
spesifik komoditas. Dalam kontek ini kebijakan operasional nantinya adalah
pengembangan sentra-sentra komoditas unggulan yang dilandasi pemetaan partisipatif
dan peta AEZ pada skala detail. Akibat semakin terpecahnya pemilikan lahan akibat
pola pewarisan dan longgarnya peraturan dalam pembatasan minimal pemilikan lahan
maka perlu adanya konsolidasi lahan. Di sarankan konsolidasi lahan dan usahatani ini
di prioritaskan untuk komoditas-komoditas komersial yang mempunyai tujuan pasar yang
luas, seperti tembakau. Sementara itu, untuk daerah Luar Jawa pilihan komoditas tetap
pada komoditas perkebunan bernilai ekonomi tinggi seperti kelapa sawit, kakao, dan
komoditas karet unggul.
Kelembagaan Penguasaan dan Penggunaan Lahan
Hasil penelitian Saptana et.al., 2003 di tujuh kabupaten contoh, di lima propinsi
contoh (Kabupaten Indramayu dan Majalengka, Klaten, Ngawi dan Kediri serta di
Kabupaten Agam dan Sidrap) serta Saptana et.al., 2002 di tiga propinsi (Kabupaten
Klaten, Jawa Tengah, Landak, Kalimantan Barat, dan Pasaman, Sumatera Barat)
menunjukkan bahwa, sistem kelembagaan lahan yang menonjol adalah sistem bagi-
hasil (share cropping), sewa-menyewa (land rent) dan sistem gadai (mortage system).
Sistem gadai jarang ditemukan di pedesaan Jawa dan masih banyak ditemukan di
pedesaan Luar Jawa. Di pedesaan Jawa ada kecenderungan pergeseran dari sistem
gadai dan bagi hasil ke sistem sewa-menyewa lahan, sedangkan di pedesaan Luar
Jawa masih dominan sistem bagi hasil, sistem sewa menyewa terbatas pada komoditas
komersial yaitu komoditas perkebunan dan hortikultura. Secara ringkas dapat dikatakan
dinamika pasar lahan yang terjadi di pedesaan makin mengarah berlakunya mekanisme
pasar lahan di pedesaan, hal ini tidak terlepas dari cara pandang para pengambil
kebijakan dan pelaku ekonomi bahwa lahan sebagai barang ekonomi (faktor produksi).
Penguasaan tanah pada masyarakat hukum adat Minangkabau adalah dalam
bentuk tanah ulayat yang dikuasai sebagai milik bersama atau komunal oleh semua
anggota kerabat matrilenealnya (LKAAM, 2000). Hubungan kerabat yang diikat oleh
keberadaan kaum laki-laki dan perempuan di dalam garis keturunan matrilineal. Dalam
12
sistem penguasaan tanah, laki-laki ditempatkan sebagai penguasa dalam pengelolaan
tanah dan perempuan sebagai pemilik tanah. Hubungan demikian oleh (Hermayulis,
1999) dinamakan “Dwi Tunggal dalam Penguasaan Tanah” pada masyarakat hukum
adat Minangkabau.
Lembaga KAN sebagai lembaga musyawarah untuk mufakat dari pemuka-
pemuka masyarakat terdiri dari Ninik Mamak, Alim Ulama, dan cerdik pandai yang
dikenal dengan sebutan Tali Tigo Sapilin atau Tigo Tungku Sarangan. Lembaga KAN
bertugas antara lain (LKAAM, 2000) : (1) mengurus hal-hal yang berkaitan dengan adat
sehubungan dengan sako dan pusako, (2) menyelesaikan perkara-perkara perdata adat
dan istiadat, (3) mengusahakan perdamaian menurut adat, (4) mengembangkan
kebudayaan adat nagari, (5) menginventarisasi, menjaga, memelihara dan mengurus
serta memanfaatkan kekayaan nagari untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
(6) membina dan mengkoordinir masyarakat hukum adat; (7) mewakili nagari dan
bertindak atas nama dan untuk nagari atau masyarakat hukum adat nagari dalam segala
perbuatan hukum.
Beberapa Ketetapan Pokok dalam pemanfaatan tanah ulayat masyarakat
Minangkabau (LKAAM, 2000): (1) dalam pemanfaatan tanah ulayat oleh masyarakat
hukum adat harus seizin terlebih dahulu dari penguasa ulayat yang bersangkutan;
(2) pemanfaatan tanah ulayat bagi kepentingan umum, dilaksanakan dengan cara
pelepasan hak oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan; (3) pemanfaatan tanah
ulayat untuk kepentingan Badan Hukum Swasta dilaksanakan dengan cara perjanjian
pelepasan hak penguasan dan perjanjian penggunaan tanah.
Dari jenis tanah ulayat yang disebutkan pada bagian atas, yakni tanah ulayat
nagari, tanah ulayat suku dan tanah ulayat kaum secara empirik terdapat bermacam-
macam sengketa tanah ulayat, antara lain (LKAAM, 2000) : (1) sengketa internal nagari;
(2) sengketa internal suku; (3) sengketa internal kaum; (4) sengketa antar nagari; dan (5)
sengketa dengan orang luar. Pada prinsipnya apabila timbul perselisihan tanah ulayat
nagari, diselesaikan dan diusahakan dengan jalan damai melalui musyawarah mufakat
secara berjenjang “naik bertangga turun menurut barih balabih adat nagari” (Kamal,
2000). Sengketa tanah ulayat antar nagari diselesaikan oleh lembaga KAN antar nagari
yang bersangkutan, menurut ketentuan sepanjang adat yang berlaku secara
musyawarah dan mufakat dalam bentuk perdamaian. Apabila pihak yang bersengketa
belum puas terhadap keputusan yang diambil maka dapat mengajukan perkara itu
kepada LKAAM Kecamatan/Kabupaten/kota dan Propinsi. Baru setelah itu, tetap belum
mencapai kesepakatan dapat diajukan ke Pengadilan Negeri, dimana pertimbangan
pucuk pimpinan LKAAM Sumatera Barat dijadikan bahan pertimbangan hukum.
13
Hasil kajian Jamal dkk. (2001) dan Saptana dkk. (2002) memberikan informasi
bahwa dewasa ini telah terjadi proses pergeseran dari pemilikan tanah yang bercorak
komunal ke pemilikan yang bercorak privat. Hal ini antara lain disebabkan oleh tekanan
baik yang sifatnya internal (kelangkaan sumberdaya lahan, tuntutan ahli waris kepada
ninik mamak agar tanah ulayat dibagi, dan keinginan orang tua untuk dapat memberikan
warisan tanah kepada anak kandungnya) dan maupun tekanan eksternal (pengaruh
pendatang yang hampir semuanya membawa budaya yang berbeda terutama
menyangkut lahan, pihak investor, dan pengaruh hukum positif pemerintah), karena
gejala ini merupakan gejala yang umum terjadi di hampir sebagian besar negara, maka
kedua pemilikan tersebut tetaplah diakui dan di daftarkan ke kantor BPN Kabupaten/
Kota.
Implikasi penting dari kondisi di atas adalah: (1) pentingnya melakukan pemetaan
lahan secara partisipatif guna penetapan tanah batas ulayat rajo, nagari, suku dan kaum
dilaksanakan dengan musyawarah mufakat dan memperhatikan ketentuan yang berlaku;
(2) pentingnya pendaftaran tanah baik tanah ulayat maupun tanah privat ke Badan
Pertanahan Nasional Kota/Kabupaten untuk menjamin kepastian hukum khususnya
dalam mengatur kerjasama dengan investor; (3) mekanisme kerjasama dapat dilakukan
dengan cara penyertaan modal; sistem sewa, dan sistem bagi hasil ; (4) di samping itu,
langkah ini akan dapat mengurangi intensitas sengketa tanah yang terjadi baik secara
internal maupun eksternal.
Pola penguasaan dan penggunaan lahan di pedesaan Kalimantan Barat sangat
terkait dengan pembangunan sektor kehutanan dan perkebunan, karena sektor ini
sebagai salah satu andalan pemerintah dalam mendapatkan devisa, melalui pemberian
konsesi Hak Penguasaan Hutan (HPH). Namun di sisi lain telah berdampak luas
terhadap kehidupan masyarakat lokal. Perubahan struktur penguasaan dan sistem
pemanfaatan sumberdaya lahan milik masyarakat untuk kepentingan pembangunan
hutan tanaman industri, perkebunan besar, dan pengusahaan HPH menjadi suatu gejala
umum. Pengambilalihan penguasaan sumber-sumber agraria tersebut telah melahirkan
konflik antar kelompok kepentingan (stakeholders). Konsesi-konsesi yang diberikan
terhadap pihak swasta besar praktis telah membagi habis kawasan hutan dalam bentuk
kapling-kapling, sehingga akses pemanfaatan hutan oleh masyarakat setempat
berkurang dan bahkan tertutup.
Masyarakat Kalimantan Barat, terutama suku Dayak penatagunaan lahan
dilakukan dengan sistem kebinoaan. Penatagunaan lahan melalui sisten binua ini
merupakan suatu land-use management yang diadaptasikan terhadap sistem pertanian
asli terpadu (indigenous intregated farming system). Di dalam sistem binoa tersebut
14
sekurang-kurangnya terdapat tujuh komponen (Jamal dkk., 2001); pertama, kawasan
hutan yang dilindungi atau dicadangkan untuk masa depan. Kedua, tanah yang ditanami
pohon-pohon buah-buahan (tembawang), namun saat penelitian dilakukan sudah
banyak bergeser ke tanaman buah-buahan (durian, rambutan, langsat). Ketiga, tanah
yang ditanami pohon karet, kopi, lada, kakao, dan tanaman keras lainnya. Keempat,
tanah-tanah pertanian yang terbagi dua, yakni tanah pertanian yang sedang digunakan
dan tanah pertanian yang sedang diistirahatkan atau pola usahatani gilir balik. Kelima,
tanah pekuburan dan tanah keramat. Keenam, tanah perkampungan yang terdiri dari
rumah dan halaman. Ketujuh, sungai dan danau untuk perikanan.
Namun dalam komunitas transisi, yang saat ini cukup mendominasi, sistem
penataan seperti itu tidak lagi diikuti secara sempurna dan tidak semua masyarakat
mengetahui penataan tersebut (Jamal, et.al, 2001 dan Saptana et.al., 2002). Tekanan
penduduk yang tinggi khususnya pada kawasan dengan ekonomi terbuka, telah
mendorong transformasi tanah-tanah komunal dengan pemanfaatan ekstensif menjadi
tanah bercorak privat dengan pengelolaan intensif. Misalnya, masyarakat Dayak Desa
Aur Sampuk, Kecamatan Sengah Temila dan desa Mandor, Kecamatan Sungai Raya
yang tidak lagi memiliki tembawang. Tanah komunal yang tersisa hanya tanah keramat,
selebihnya adalah tanah-tanah olahan privat yang banyak diperjual-belikan.
PENATAAN LAHAN DAN PENGEMBANGAN USAHA PERTANIAN
Langkah-langkah dalam Penatagunaan Lahan
Secara alamiah penawaran akan sumberdaya lahan relatif tetap (fixed)
sementara kebutuhan lahan semakin meningkat dari waktu ke waktu sebagai akibat
peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan untuk berbagai sektor pembangunan.
Karama (2000), mengemukakan langkah-langkah dalam penatagunaan lahan
khususnya untuk pengembangan usahatani tanaman pangan, yaitu : (1) mengenali sifat
lahan dan tanah dan menetapkan kesesuaian lahan; (2) memperbaiki sifat-sifat yang
kurang sesuai dan pentingnya melakukan analisis tanah secara berkala.
Mengenali Sifat Lahan dan Tanah dan Menetapkan Kesesuaian Lahan
Sifat lahan meliputi topografi, letak dari permukaan laut, kondisi iklim, keadaan
vegetasi dan penggunaan lahan. Sifat tanah meliputi sifat kimia tanah, fisika, dan biologi
dari tanah. Dalam rangka pengembangan usaha pertanian diperlukan analisis yang
lelatif rinci, yaitu dengan skala 1 : 10.000 atau 1 : 5.000. Dalam rangka memudahkan
15
dalam menetapkan penatagunaan lahan, hasil analisis dituangkan dalam peta disertasi
yang disertai lampiran keterangan hasil analisis (Karama, 2002). Sementara itu, hasil
analisis AEZ yang dilakukan dihampir semua BPTP masih dengan skala 1 : 250.000,
meskipun beberapa kabupaten melalui kerjasama dengan BPTP sudah ada yang
melakukan pemetaan dengan skala 1 : 50.000. Dengan demikian untuk perencanaan
pembangunan pertanian ke depan diperlukan kerjasama yang baik antara pemerintah
daerah dan BPTP melalui penyusunan peta AEZ yang lebih detail. Berdasarkan peta
tersebut, selanjutnya dilakukan penetapan kesesuaian tanaman dalam penatagunaan
lahan.
Memperbaiki sifat-Sifat Tanah dan Analisis Tanah Secara Berkala
Kegiatan memperbaiki sifat-sifat tanah disebut amelirosi. Amelirosi dimaksudkan
untuk memperbaiki sifat-sifat kimia dan fisik tanah, serta sifat-sifat biologi tanah. Bahan
amelirosi yang biasa digunakan adalah kapur, fosfat alam, belerang, zeolit, bahan
organik dan tanah. Pemupukan akan efektif setelah dilakukan amelirosi. Akan sangat
baik kalau pemupukan dilakukan baik terhadap unsur mikro maupun unsur makro. Hal
ini menjadi sangat penting karena di banyak lokasi sentra produksi terjadi gejala
keletihan tanah, sehingga tanah bersifat haus terhadap pemupukan.
Analisis secara berkala ditujukan untuk mengantisipasi terjadinya perubahan-
perubahan sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Perbaikan yang dilakukan tergantung sifat
yang berubah. Dapat pula perbaikan dilakukan hanya dengan draenase dan pengairan.
Beberapa hal yang sering terabaikan dalam perbaikan lahan adalah : (1) penggunaan
bahan organik ke dalam tanah, dan (2) pengelolaan air dengan baik. Dalam
implementasinya juga dipengaruhi oleh luas penguasaan lahan dan kepastian hukum
penggunaan bahan organik ke dalam tanah penguasaan lahan.
Beberapa Pertimbangan dalam Penatagunaan Lahan
Bagi Indonesia di samping melakukan selain melakukan penetaan lahan kembali
melalui reforma agraria melalui redistribusi lahan, beberapa hal yang di perkirakan layak
untuk dipertimbangkan di antaranya adalah (Rusastra dan Sudaryanto, 1997): (1)
meningkatkan aksessibilitas fisik dan ekonomi masyarakat pedesaan akan kesempatan
kerja di luar sektor pertanian; (2) mendorong munculnya kelembagaan konsolidasi lahan
di pedesaan; (3) luasan lahan sempit adalah rentan terhadap alih fungsi lahan sehingga
perlu penegakan hukum (law enfoorcement) melalui penetapan, pemantapan dan
16
pengamanan sentra pertanian strategis; (4) perlu di dorong munculnya konsolidasi lahan
dan usaha pertanian melalui kerjasama kemitraan; dan (5) pemantapan dan akselerasi
pelaksanaan program transmigrasi dengan mempertimbangkan jenis lahan, komoditas
yang diusahakan, dan antisipasi pendapatan yang layak, serta melibatkan komunitas
masyarakat lokal.
Strategi Pengembangan Usaha Pertanian
Strategi pengembangan usaha pertanian dapat ditempuh antara lain dengan : (1)
pemilihan komoditas unggulan; (2) pewilayahan komoditas; dan (3) pengembangan
sentra produksi komoditas.
Pemilihan Komoditas
Pemilihan komoditas untuk dikembangkan di suatu wilayah ditentukan oleh
faktor-faktor sebagai berikut (Sumarno, 2002): (1) faktor ekonomi, (2) faktor fisik, (3)
faktor penentu, dan (4) faktor pendukung. Tercakup dalam faktor ekonomi antara lain
adalah ketersediaan pasar, penguasaan pasar, kesesuaian harga dan nilai jual,
kontinuitas permintaan, volume permintaan, dan kesesuaian mutu produk dengan
standar mutu sesuai permintaan pasar. Dari aspek ekonomi penentuan komoditas
ditentukan oleh sifat komoditas, apakah komoditas tersebut komoditas strategis atau
komoditas komersial serta tingkat keunggulan yang dimiliki komoditas tersebut, baik
keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif (Sudaryanto dan Simatupang,
1993).
Faktor fisik atau teknis meliputi kesesuaian adaptasi komoditas terhadap
agroekologi; efisiensi sistem produksi; kualitas produk hasil panen; ketersediaan sarana
dan prasarana produksi, transportasi, termasuk pelabuhan; serta ketersediaan SDM
yang berkualitas.
Sedangkan faktor utama yang dipandang dapat sebagai penentu dalam
pemilihan komoditas yang akan dikembangkan antara lain adalah : (1) jaminan
keamanan dan status hukum usaha; (2) kemudahan transportasi, komunikasi, dan
sumber energi; (3) kemudahan ketersediaan sarana produksi seperti air, pupuk, obat-
obatan, benih, ameliorasi, dan sebagainya; (4) resiko gagal panen secara alamiah yang
rendah; dan (5) alam yang bersahabat, bukan daerah banjir, kering, atau sangat panas.
Sementara itu, faktor pendukung keberhasilan dalam pengembangan komoditas
adalah : (1) lingkungan yang menyenangkan; (2) sarana kehidupan yang memadai; (3)
fasilitas pendidikan, kesehatan, ibadah, pasar, dan hiburan; (4) kondisi sosial, politik,
17
dan keamanan yang kondusif; dan (5) kondisi sosial dan budaya masyarakat yang
mendukung.
Pewilayahan Komoditas dan Sentra Produksi.
Pada dasarnya pewilayahan produksi komoditas pertanian bertujuan untuk
meningkatkan produkstivitas dan efisiensi, serta dayasaing komoditas yang
bersangkutan. Pewilayahan produksi komoditas pada wilayah yang bersangkutan harus
memenuhi kesesuaian agroekologi, skala ekonomi, dan kesesuaian dengan sosial
budaya masyarakat setempat. Pewilayahan dan pengembangan sentra produksi
pertanian yang juga mempunyai dimensi penatagunaan lahan bertujuan untuk
meningkatkan efisiensi dalam sistem produksi usahatani, transportasi, pengumpulan,
penanganan pasca panen, pengolahan, serta distribusi dan pemasarannya.
Pengelolaan dalam satu kawasan produksi juga memudahkan dalam operasionalisasi
pembinaan atau bimbingan di lapangan, serta dalam monitoring dan evaluasi. Di
samping itu, pewilayahan dan pengembangan sentra produksi dapat memperbaiki
struktur pasar hasil-hasil yang cenderung oligopolistik.
Pengembangan Usaha Agribisnis
Program utama pembangunan pertanian lima tahun yang sedang berjalan (2000-
2004) menekankan pada dua hal pokok : (1) Program Peningkatan Ketahanan Pangan,
dan (2) Program Pengembangan Agribisnis yang berkelanjutan dan berkerakyatan. Di
samping itu, bagi pemerintah daerah pencapaian target bagi Pendapatan Asli Daerah
menjadi salah satu pertimbangan pokok bagi Pemerintah Daerah.
Menurut Sumarno (2002), untuk membangun sistem agribisnis terpadu harus
memperhatikan tiga hal sebagai berikut, yaitu: (1) meningkatkan keterkaitan fungsional
antar subsistem, sehingga setiap kegiatan pada masing-masing subsistem dapat
berlangsung berkesinambungan dengan efektivitas dan efisiensi tinggi; (2)
pengembangan agribisnis harus mampu menumbuhkembangakan aktivitas ekonomi
pedesaan; (3) pengembangan agribisnis harus diarahkan pada pengembangan mitra
usaha skala besar dan kecil secara harmonis, sehingga nilai tambah agribisnis dapat
dinikmati secara adil oleh seluruh pelakunya.
Pola pengembangan yang ditempuh dalam pengembangan agribisnis antara lain
dapat dilakukan melalui : (1) pola kerjasama sesama petani melalui kelembagaan
koperasi; (2) pola kemitraan usaha antara petani dan perusahaan dalam kedudukan
yang sejajar, saling membutuhkan, memperkuat, dan menguntungkan; (3) pola
18
keterkaitan, yang merupakan hubungan, kerjasama dagang yang tidak mengikat antara
petani dan perusahaan dimana perusahaan hanya bertindak sebagai penampung dan
pemasarannya; (4) pola perusahaan pertanian besar, dalam bentuk pengembangan
agribisnis terintegratif dan berdayasaing tinggi, terutama ditujukan untuk kelas atas dan
ekspor; (5) pola kerja sama petani dengan perusahaan penyedia sarana dan prasarana,
misalnya dalam bentuk kerjasama operasional; (6) pola kerjasama petani dengan
perusahaan dengan sistem kontrak harga.
SIMPUL-SIMPUL KRITIS YANG MEMPENGARUHI IMPLIKASI
TERHADAP PENATAGUNAAN LAHAN
Berdasarkan hasil tinjauan dan hasil sintesis di atas dapat tarik beberapa simpul-
simpul kritis yang mempengaruhi implikasi terhadap penatagunaan lahan mencakup
sebelas aspek. Kesebelas aspek tersebut adalah: (1) karakteristik sumberdaya lahan,
jenis dan kelas lahan, (2) struktur penguasaan lahan yang kecil dan makin kecil, (4)
Pergeseran penguasaan lahan dari sistem penguasaan komunal ke pemilikan private,
(5) Pergeseran Kelembagaan Lahan (Gadai-Bagi Hasil-Sewa); (6) perpecahan dan
perpencaran (fragmentation) lahan dan akumulasi lahan, (7) keterbukaan ekonomi suatu
wilayah, masuknya pihak luar (investor) dan introduksi komoditas baru benilai ekonomi
tinggi; (8) dinamika harga masukan dan keluaran, (9) persepsi petani terhadap lahan,
(10) kelembagaan petani, dan (11) pengembangan sistem informasi.
Karakteristik Sumberdaya Lahan, Jenis dan Kelas Lahan
Ditinjau dari sudut ekonomi sumberdaya lahan merupakan barang ekonomi yang
ketersediaannya sudah tertentu atau tetap (fixed), sementara di sisi lain kebutuhan
(demand) terhadap lahan meningkat dan semakin meningkat dari waktu kewaktu.
Hubungan antara lahan dan penduduk mulai diperhatikan dengan adanya pernyataan
Malthus dalam bukunya An Essay on Population (1798) dalam Reksohadiprojo (1994).
Pernyataan pokoknya adalah ada kecenderungan kuat pertumbuhan penduduk lebih
cepat dibandingkan pasokan bahan makanan terutama disebabkan ketersediaan areal
lahan adalah tetap. Berdasarkan sifat lahan tersebut menjadikan lahan bukan saja
barang ekonomi, tetapi lahan mengandung makna yang kompleks (politik, sosial-
budaya, religius, harta pusaka).
19
Jenis lahan merupakan tinjauan lahan dari aspek kualitasnya atau kesuburannya
(land fertility), yang secara umum dapat dipilah menjadi lahan sawah dan lahan kering.
Antara lahan sawah dataran rendah dan sawah dataran tinggi mempunyai implikasi yang
berbeda dalam penatagunaan lahannya. Demikian juga antara lahan kering dengan
kemiringan yang curam, sedang, dan landai juga mempunyai implikasi yang berbeda
dalam penatagunaan lahan. Secara umum, penatagunaan pada lahan sawah sangat
terkait dengan konfigurasi dari sistem irigasi yang ada, sedangkan pada lahan kering
akan sangat terkait dengan topografi dan potensi lahan.
Lokasi (letak lahan) merupakan tinjauan lahan dari aspek ruang (space) yang
menentukan kelas lahannya. Reksohadiprojo (1994) mengemukakan pentingnya lokasi
dapat di lihat dari 3 aspek, yaitu lokasi ekonomi, penggunaan lahan, dan status hukum.
Konsep lokasi ekonomi berdasarkan asumsi bahwa suatu tempat dapat menikmati
keuntungan lokasi dibanding tempat lainnya berupa antara lain berkurangnya biaya
transportasi dan waktu dari lahan ke jalan atau pusat pasar.
Struktur Penguasaan Lahan yang Kecil dan Makin Mengecil
Telah banyak bukti menunjukkan bahwa struktur penguasaan lahan sangat
menentukan sistem usahatani yang diterapkan petani dan pendapatan petani yang
bersumber dari sektor pertanian (Sinaga, 1987; Saptana dkk., 2002). Struktur
penguasaan lahan yang kecil dan makin mengecil mendorong pengusahaan lahan
cenderung ke pola yang intensif baik dalam penggunaan input maupun tenaga kerja.
Namun, pola usahatani yang intensif dalam penggunaan tenaga kerja telah
menimbulkan menurunnya produktivitas atau marginalisasi tenaga kerja di sektor
pertanian.
Kondisi penguasaan lahan yang kecil-kecil jelas akan mempersulit bagi
penatagunaan lahan di tingkat mikro baik melalui konsolidasi lahan pertanian maupun
melalui konsolidasi managemen usahatani. Apalagi kalau mau dikembangkan pola
kemitraan usaha dengan investor akan menjadi kurang efisien dan menimbulkan biaya
transaksi yang tinggi. Keterbatasan lahan dalam pola kerjasama PIR Inti-Plasma sudah
nampak di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat.
Pergeseran Penguasaan Lahan dari Penguasaan Komunal ke Private
Secara subtantif bahwa dalam tanah ulayat tidak dikenal adanya peralihan hak
(transaksi), karena tanah ulayat yang dimiliki secara komunal tidak boleh dialihkan ke
20
pihak lain untuk selama-lamanya. Namun berdasarkan studi empiris di lapang
menunjukkan adanya “peralihan” dari penguasaan tanah secara komunal kepemilikan
privat. Pergeseran tersebut ada yang mengikuti proses evolutif dan proses yang relatif
revoliutif. Pergeseran yang evolutif adalah melalui proses berikut apabila tanah ulayat
nagari melalui musyawarah adat terbagi ke dalam ulayat suku, kemudian ulayat suku
melalui musyawarah adat terbagi dalam ulayat kaum, selanjutnya ulayat kaum melalui
musyawarah adat yang biasanya atas tuntutan anggota masyarakat yang berhak agar
tanah tersebut dibagikan. Proses evolutif ini nampaknya sejalan dengan perkembangan
penduduk secara alami sehingga kebutuhan akan tanah bagi kehidupan meningkat
begitu cepat. Selanjutnya adanya keterbukaan ekonomi, budaya masyarakat perantau,
dan pendatang banyak tanah-tanah yang dulunya tanah adat setelah dibagi di lakukan
sertifikasi, kasus ini lebih banyak terjadi pada lahan sawah dibandingkan lahan
perkebunan. Kasus pergeseran secara evolutif ini ditemukan di lokasi penelitian
Kecamatan Panti dan Bonjol, di mana diperkirakan pemilikan tanah secara private
masing-masing sudah mencapai 35 dan 25 persen.
Sementa pergeseran yang sifatnya terjadi secara revolutif adalah melalui
kerjasama dalam bentuk PIR Perkebunan Kelapa Sawit, di Kecamatan Pasaman dan
Kinali, menunjukkan sebagian besar daerahnya telah menjadi wilayah pengembangan
kebun sawit. Masyarakat berkesempatan menjadi petani plasma dengan mendapat hak
garap 2 ha kebun sawit. Selain itu juga ditemukan adanya pergeseran sistem
kepemilikan, dari kategori menguasai (tanah ulayat nagari) menjadi memiliki (tanah
privat). Karena setiap petani plasma dibuatkan sertifikatnya untuk 2 ha kebun jatahnya,
sebagaimana syarat untuk memperoleh kredit KKPA, meskipun sertifikat tersebut
diserahkan setelah kredit lunas terbayar. Jadi telah terjadi konversi sitem hukum atas
tanah, dari tanah pemilikan (penguasaan) tanah secara komunal menjadi tanah milik
privat masing-masing individu, suatu perubahan yang bersifat revolutif.
Pergeseran Kelembagaan Lahan dan Faktor yang Mempengaruhi
Hasil kajian menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan adanya pergeseran
dari sistem sakap dan gadai ke sistem sewa terutama di pedesaan Jawa. Sementara
itu, kelembagaan bagi hasil dan gadai di luar Jawa masih tetap eksis, namun indikasinya
mulai ada sistem sewa kasus per kasus yang masih terbatas pada komoditas komersial.
Hal tersebut mengindikasikan makin berjalannya pasar lahan di pedesaan Jawa,
meskipun faktor-faktor kelembagaan (institutional factors) masih cukup dominan
terutama di pedesaan Luar Jawa.
21
Perpecahan, Perpencaran dan Konsolidasi Lahan dan Akumulasi Lahan
Faktor lain yang turut berpengaruh langsung terhadap efisiensi pemanfaatan
lahan adalah perpecahan dan perpencaran lahan (land fragmentation). Perpecahan
tanah adalah pembagian lahan milik seseorang ke dalam unit pemilikan yang semakin
kecil yang dapat terjadi melalui mekanisme pola pewarisan maupun transaksi jual beli.
Perpencaran tanah adanya kenyataan sebuah usahatani di bawah satu managemen
yang terdiri atas beberapa bidang lahan yang terserak, hal ini terjadi karena perolehan
lahan melalui warisan maupun pembelian. Sementara itu, konsolidasi lahan mempunyai
pengertian usaha penyatuan managemen pengusahaan lahan, yang dapat dilakukakan
melalui konsolidasi pemilikan maupun konsolidasi managemen usahatani. Suatu usaha
untuk meningkatkan efisiensi usahatani dari lahan-lahan yang mengalami fragmentasi
adalah melalui konsolidasi lahan. Konsolidasi pemilikan lahan dan konsolidasi
managemen usahatani dapat terjadi secara alami maupun melalui program pemerintah.
Sementara itu konsolidasi pengusahaan lahan ditemukan pada pengusahaan tembakau
di Kabupaten Klaten.
Akumulasi lahan adalah pemusatan penguasaan lahan kepada segolongan kecil
orang atau rumah tangga tertentu yang ada dalam suatu masyarakat. Terjadinya
akumulasi pemilikan lahan dapat dipandang sebagai hal positif maupun negatif.
Akumulasi lahan dipandang sebagai hal yang positif kalau di satu sisi dapat
meningkatkan efisiensi usahatani serta dilakukan oleh masyarakat petani dan di sisi lain
tersedia lapangan kerja di luar sektor pertanian yang memadai. Sementara itu,
akumulasi lahan dapat dipandang sebagai hal yang negatif apabila pemilikan lahan
sangat terkonsentrasi pada segolongan kecil rumah tangga, dilakukan oleh orang
bermodal yang pada dasarnya bukan merupakan petani (spekulan tanah) dan belum
tersedia lapangan kerja di luar pertanian secara memadai. Implikasi dari kondisi di atas
dapat menyebabkan tidak efisiennya sistem usahatani, ketimpangan struktur
pendapatan antar golongan masyarakat, dan bahkan dapat menyebabkan pelapisan
sosial atau polarisasi sosial.
Melihat kasus-kasus di lapang, bahwa di pedesaan Kabupaten Klaten baik untuk
desa contoh lahan sawah maupun desa contoh lahan kering menunjukkan adanya
ketimpangan lahan ringan, namun dengan rata-rata pemilikan yang sangat kecil (0,165-
0,250 Ha). Sedangkan di pedesaan contoh Kabupaten Pasaman menunjukkan ada
variasi dari ketimpangan ringan hingga sedang. Sementara itu ketimpangan sedang
dijumpai pada pedesaan Pasaman Wilayah Timur yang merupakan sentra
pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit baik oleh Perusahaan Swasta Murni, PTPN,
maupun melalui kerjasama kemitraan PIR-BUN. Sementara itu di Kabupaten Landak,
22
Kalimantan Barat juga menunjukkan ketimpangan ringan hingga sedang. Pada daerah-
daerah yang belum terbuka dan belum masuk investor menunjukkan ketimpangan lahan
yang ringan, sedangkan pada daerah yang sudah relatif terbuka, apalagi yang sudah
masuk Perkebunan Skala Besar maka ketimpangan yang terjadi tergolong sedang.
Keterbukaan Ekonomi Suatu Wilayah, Masuknya Pihak Luar (Investor) dan
Introduksi Teknologi Baru
Berdasarkan hasil tinjauan diperoleh informasi bahwa faktor ekonomi menjadi
faktor penting terjadinya evolusi sistem penguasaan atas tanah dari pemilikan komunal
ke pemilikan privat, di mana perubahan tersebut menunjukkan adanya perubahan
hukum atas tanah. Keinginan masyarakat mau menerima dan memanfaatkan hukum
modern atas tanah baik sukarela atau terpaksa umumnya di dasarkan atas tujuan
ekonomi. Sistem pemerintahan modern lebih condong melayani permintaan pembuatan
sertifikat, surat izin HGU, Kesepakatan-kesepakatan Kerjasama melalui PIR-BUN dan
lain-lain, karena adanya keinginan untuk masuknya investasi ekonomi di wilayahnya.
Ada semacam kesejajaran antara tingkat keterbukaan ekonomi suatu wilayah dengan
sistem hukum atas tanah yang diterapkan atau yang diterima oleh masyarakat. Pada
wilayah ekonomi yang relatif terbuka, seperti perkotaan, masuknya investor yang
mengusahakan komoditas komersial berekonomi tinggi, masuknya kaum pendatang dari
luar, relatif tingginya anggota masyarakat yang merantau ke luar daerah dengan tujuan
kota, cenderung mengadopsi sistem hukum positif atas tanah. Sementara itu,
kebanyakan masyarakat pedalaman, seperti suku Dayak, dan sebagian besar
Masyarakat Adat Minangkabau cenderung masih mempertahankan hukum
tradisionalnya atas tanahnya.
Meskipun dalam kerangka otonomi daerah ada keinginan sebagian tokoh
masyarakat untuk kembali ke sistem pemerintahan lama seperti yang ditemukan di
Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat dan Kabupaten Landak, Kalimantan Barat, namun
diperkirakan pada masa mendatang dinamika perubahan penguasaan tanah dari
komunal ke pemilikan privat akan semakin besar, sejalan dengan tuntutan kemajuan
ekonomi dan tuntutan masyarakat setempat terhadap sertifikat lahan secara individu.
Introduksi komoditas pertanian baru yang mempunyai nilai ekonomi tinggi telah
menggeser komoditas pertanian tradisional. Pergeseran komoditas tersebut telah
berdampak positif terhadap penatagunaan lahan di tingkat mikro. Dampak selanjutnya
adalah lebih effektif dan efisiennya optimalisasi pemanfatan lahan serta meningkatnya
pendapatan petani pekebun. Namun demikian perlu adanya areal pencadangan untuk
23
hutan sekunder untuk berbagai tanaman yang secara tradisional sudah berkembang
(Karet lokal, kulit kayu manis, Durian, Jengkol, Pohon Pinang, dll) dan sebagai usaha
untuk mempertahankan biodiversity hutan.
Dinamika harga Masukan dan Keluaran
Secara langsung harga masukan mempengaruhi biaya produksi. Oleh sebab itu,
permintaan terhadap masukan usahatani baik untuk usahatani tanaman pangan (padi
palawija dan hortikultura) maupun tanaman perkebunan (karet, kakao, kelapa sawit,dll)
merupakan fungsi dari harga-harga masukan. Di sisi lain, harga keluaran menentukan
total penerimaan yang akan diterima oleh petani produsen. Oleh sebab itu merupakan
determinan dari penawaran produk yang dihasilkan.
Dalam praktek, pengaruh dinamika harga masukan dan keluaran bersifat
simultan; terutama jika referensi waktu yang digunakan termasuk dalam jangka panjang.
Oleh sebab itu, permintaan terhadap masukan dan penawaran terhadap keluaran
produk yang dihasilkan merupakan fungsi dari harga-harga keluaran dan masukan
secara simultan. Hasil tinjauan diperoleh informasi bahwa, bagi petani dinamika harga
masukan dan (ekspektasi) harga keluaran menentukan keputusan petani mengenai
jenis komoditas, skala usaha dan waktu serta metode berproduksi dalam kegiatan
usahatani. Oleh sebab itu dinamika harga masukan dan keluaran juga mempengaruhi
arah perubahan pola pengusahaan lahan sehingga dalam jangka panjang ikut
menentukan struktur kelembagaan lahan dan secara potensial berpengaruh pula
terhadap struktur penataan lahan.
Persepsi Petani Terhadap Lahan
Secara teoritis maupun secara empiris di lapang, menunjukkan bahwa persepsi
petani terhadap lahan menentukan sejauhmana petani menghargai lahan pertanian yang
dikuasai. Pada masyarakat Minangkabau kasus di Pasaman, Sumatera Barat, lahan
yang diperoleh dari warisan orang tua (ganggam bauntuak) mendapat penghargaan
sebagai tanah pusako tinggi, yang tidak boleh diperjual belikan dan hanya bisa
diwariskan kepada kemanakan dari garis ibu, pada kabupaten-kabupaten contoh di
Jawa menunjukkan adanya variasi persepsi terhadap lahan, namun secara umum
penghargaan lahan di Jawa sangat tinggi sehingga muncul istilah ”sedumuk bathuk
senyari bumi ” karena sifatnya yang semakin langka. Penghargaan terhadap lahan
tersebut dapat dilihat dari sejauhmana petani mudah tidaknya melepas lahan tersebut
24
kepada pihak lain. Penghargaan lahan yang tinggi oleh masyarakat Suku Dayak di
Kabupaten Landak dapat dilihat bagaimana ritual-ritual dalam usahatani, yang
mengandung makna religius.
Kelembagaan Petani
Kelembagaan petani mencakup perangkat keras dan perangkat lunak dalam
pengelolaan sumberdaya pertanian. Secara normatif, kelembagaan petani haruslah
kompatibel dengan tugas pokok dan fungsi yang akan dijalankan. Sehingga yang perlu
mendapat perhatian serius dalam penatagunaan lahan pertanian adalah pengkajian
secara mendalam tentang eksistensi kelembagaan petani yang ada dimasyarakat.
Seperti kelembagaan kelompok tani yang ada pada hampir semua kabupaten contoh,
kelembagaan kelompok petani pemakai air (P3A atau HIPPA) yang eksis pada daerah-
daerah irigasi dihampir semua kabupaten contoh, kelembagaan kelompok tenaga kerja
yang awalnya bekerja secara gotong royong yang oleh Masyarakat Minangkabau di
sebut Julo-Julo, Kelembagaan panen secara tebasan yang ada di Kabupaten Klaten,
Jawa Tengah.
Eksistensi kelembagaan-kelembagaan tersebut akan mempengaruhi efektivitas
dan efisiensi petani dalam penatagunaan lahan di tingkat mikro, tentunya pengaruh
tersebut ada yang positif maupun negatif. Sehingga program-program penatagunaan
lahan pertanian haruslah memperhitungkan dan mendayagunakan kelembagaan yang
telah eksis di pedesaan.
Pengembangan Sistem Informasi
Informasi merupakan input utama dalam sistem kelembagaan penatagunaan
lahan. Pengembangan sistem informasi tentang lahan haruslah mencakup ketersediaan
lahan baik dari jumlah maupun kualitas, sistem penguasaan lahan yang ada, distribusi
dan akses masyarakat petani terhadap sumberdaya lahan yang sangat dibutuhkan,
bagaimana masyarakat baik lokal atau pemerintah melakukan pemetaan dan penata
gunaan hingga di tingkat mikro desa, bagaimana jaringan kelembagaan yang ada di
desa tersebut berjalan, hubungan kelembagaan secara internal, hubungan kelembagaan
tersebut baik secara horisontal maupun secara vertikal, bagaimana sistem administrasi
pertanahan dijalankan. Pengembangan sistem informasi berguna untuk mempermudah
eksekusi suatu aktivitas dan merupakan determinan dari sistem koordinasi, yang sangat
berpengaruh terhadap penatagunaan lahan dalam rangka optimalisasi penggunaan
lahan pertanian.
25
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Penataan Lahan di Tingkat Propinsi dan Kabupaten sebagai unit otonom
mengacu pada UUPR No. 24 Tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah Daerah yang
merupakan turunan dari Undang-Undang tersebut bersifat normatif, bias pada
kepentingan pengusaha besar memudahkan para investor untuk memperoleh ijin lokasi,
dan belum menginkorporasikan peta AEZ. Penataan lahan di tingkat komunitas lokal
(desa) di Klaten sudah melibatkan partisipasi masyarakat, meskipun masih terbatas
pada elit desa. Sementara itu, pemetaan partisipatif di Kabupaten Landak yang dimotori
oleh Lembaga Swadaya Masyarakat, meskipun sudah melibatkan masyarakat secara
langsung, namun kurang melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah. Kondisi
tersebut menyebabkan penataan lahan belum optimal dalam mendorong pembangunan
pertanian di pedesaan, masih dijumpainya sengketa lahan, dan konflik antar
stakeholder.
Penataan, penguasaan dan penggunaan lahan pertanian untuk pedesaan Jawa
lebih banyak berhubungan dengan aspek distribusi pendapatan dari pada masalah
peningkatan produktivitas dan efisiensi produktivitas pertanian. Di pedesaan Luar Jawa
menunjukkan bahwa penataan, penguasaan dan penggunaan lahan pertanian masih
sangat terkait dengan aspek peningkatan produktivitas dan efisiensi sumberdaya lahan.
Penataan lahan dan usaha pertanian dengan sasaran optimalisasi pemanfaatan
lahan pertanian mencakup beberapa kegiatan, yaitu : (1) mengenali sifat lahan dan
tanah dan menetapkan kesesuaian lahan; (2) memperbaiki sifat-sifat yang kurang sesuai
dan pentingnya melakukan analisis tanah secara berkala; (3) pemetataan ruang atau
lahan hingga tingkat komunitas lokal (desa) dan pemetaan AEZ; (4) penelitian dan
pengkajian teknologi spesifik lokasi; (5) pewilayahan dan pengembangan sentra
produksi agribisnis; (6) konsolidasi lahan dalam perspektif mendukung pengembangan
agribisnis.
Implikasi kebijakan penting dalam penataan lahan dari aspek penataan ruang
dan peta AEZ adalah terdapat peluang mengintegrasikan antara Rencana Tata Ruang
wilayah propinsi, kabupaten, hingga tingkat desa dengan peta AEZ, terutama pada
kabupaten yang telah melakukan pemetaan AEZ secara detail dengan skala 1 : 50.000
untuk dapat digunakan dalam perencanaan pengembangan pertanian di tingkat
kabupaten; bahkan untuk dapat dioperasionalkan di tingkat desa perlu skala 1 : 10.000
hingga 1 : 5.000. Sehingga PTRD di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah yang membagi
desa ke dalam sentra-sentra kegiatan ekonomi, untuk pengembangan sentra produksi
26
pertanian dapat bersifat spesifik komoditas dan spesifik teknologi budidaya. Sedangkan,
pemetaan partisipatif di Kabupaten Landak, Kalimantan Barat perlu berkoordinasi
dengan Pemerintah Daerah (BAPPEDA, BPN, dan Dinas Teknis terkait) dan Balai
Pengkajian teknologi Pertanian, sehingga pemetaan lahan dapat mendukung
pembangunan pertanian di pedesaan secara lebih optimal, karena adanya keterpaduan
program. Sementara itu, di Kabupaten Pasaman perlu dilakukan pemetaan lahan
partisipatif yang melibatkan masyarakat adat setempat.
Simpul-simpul kritis struktur penatagunaan lahan dalam perspektif pembangunan
usaha agribisnis mencakup 11 aspek. Kesebelas aspek tersebut adalah: (1) karakteristik
sumberdaya lahan, jenis dan kelas lahan, (2) struktur penguasaan lahan yang kecil dan
makin kecil, (4) pergeseran penguasaan lahan dari sistem penguasaan komunal ke
pemilikan private, (5) pergeseran Kelembagaan Lahan (Gadai-Bagi Hasil-Sewa); (6)
perpecahan dan perpencaran (fragmentation) lahan dan akumulasi lahan, (7)
keterbukaan ekonomi suatu wilayah, masuknya pihak luar (investor) dan introduksi
komoditas baru benilai ekonomi tinggi; (8) dinamika harga masukan dan keluaran, (9)
persepsi petani terhadap lahan, (10) kelembagaan petani, dan (11) pengembangan
sistem informasi.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1992. Undang-Undang No. 24 Tahun 1992: Tentang Penataan Ruang Wilayah Indonesia. Departemen Dalam Negeri. Jakarta.
Anonim. 1999. Undang-Undang Pemerintah Daerah dan Perimbangan Keungan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Penerbit : PARIBA. Jakarta.
BPTP Jawa Tengah. Laporan Analisis Zona Agroekologi atau Analysis Agroecological Zone. Balai Penelitian dan Pengkajian Pertanian Propinsi Jawa Tengah. Ungaran.
BPTP Kalbar. Laporan Analisis Zona Agroekologi atau Analysis Agroecological Zone. Balai Penelitian dan Pengkajian Pertanian Propinsi Kalimantan Barat. Pontianak.
BPTP Sumatera Barat. Laporan Analisis Zona Agroekologi atau Analysis Agroecological Zone. Balai Penelitian dan Pengkajian Pertanian Propinsi Sumatera Barat. Solok.
Fauzi, N. 2001. Penghancuran Populisme dan Pembangunan Kapitalisme: Dinamika Politik Agraria Indonesia Pasca Kolonial, dalam Prinsip-Prinsip Reforma Agraria. Lapera Pustaka Utama. Yogyakarta.
27
Fauzi, N. 2002. Land Reform Sebagai Variabel Sosial : Perkiraan Tentang RintanganPolitik dan Finansial Pelaksanaan Land Reform. Makalah disampaikan dalam Seminar “ Mengkaji Kembali Land Reform di Indonesia”, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Land Law Initiative (LLI) dan Rural Development Intitute (RDI), Jakarta 8 Mei – 2002.
Hermayaulis, 2000. Status Tanah Ulayat Menurut Hukum Adat Minangkabau dan Hukum Tanah Nasional dalam Tanah Ulayat di Sumatera Barat (Sofyan Jalaluddin Penghimpun). Workshop yang diselenggarakan oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sumatera Barat, pada tanggal 23-24 Oktober 2000 di Padang.
Jamal, E., T. Pranadji, A. M. Hurun, A. Setyanto, Roosganda, dan M. Y. Napiri. 2001. Struktur dan Dinamika Penguasaan Lahan Pada Komunitas Lokal. Pusat Penelitian dan pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Bogor.
Kamal, Miko, 2000. Sengketa Tanah dan Alternatif Pemecahannya dalam Tanah Ulayat di Sumatera Barat (Sofyan Jalaluddin Penghimpun). Workshop yang diselenggarakan oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sumatera Barat, pada tanggal 23-24 Oktober 2000 di Padang.
Karama, A. S., 2000. Pemanfaatan Lahan Untuk Produksi Tanaman Pangan. Prosiding : Seminar Nasional Reorientasi Pendayagunaan Sumberdaya Tanah, Iklim, dan Pupuk. Cipayung-Bogor, 31 Oktober – 2 November 2000 Buku I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.
LKAAM, 2000. Rancangan Peraturan Daerah Sumatera Barat Tentang : Pemanfaatan Tanah Ulayat. Ranperda Fersi Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM). Provinsi Sumatera Barat. Padang.
PPSDAK, Yayasan Karya Sosial Pancur Kasih, Peran Masyarakat Dalam Tata Ruang, 1998.
PPSDAK, Yayasan Karya Sosial Pancur Kasih, Pemberdayaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat, 1998.
Pranadji, T., 2002. Reformasi Aspek Sosio-Budaya Untuk Kemandirian Perekonomian Pedesaan dalam Seminar Nasional : Menggalang Masyarakat Indonesia Baru Yang Berkemanusiaan. Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI), Tanggal 28-29 Agustus 2002 di Bogor-Jawa Barat.
Rasyid, M. R., 2001. Kegagalan Memahami Otonomi Daerah. Harian Media Indonesia, Senin, 10 Desember 2001, hal. 41.
Rasyid, M. R., 2003. Pemerintah Pusat Sumber Distorsi Otonomi Daerah. Harian Kompas, Rabo, 5 Februari 2003, hal. 11. Reksohadiprodjo, S. dan Pradono. 1994. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Energi (Edisi-2). BPFE. Yogyakarta
Rusastra, I W. dan T. Sudaryanto. 1998. Dinamika Ekonomi Pedesaan Dalam Perspektif Pembangunan Nasional. Prosiding: Dinamika Ekonomi Pedesaan dan Peningkatan Daya Saing Sektor Pertanian (Buku I). Puslit Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
28
Saptana, I. W. Rusastra, Supriyati, A. M. Hurun, R. Hendayana, dan Y. Supriatna. Struktur dan Aspek Penataan Lahan Serta Implikasinya Terhadap Pembangunan Ekonomi Pertanian di Pedesaan. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Saptana, Handewi P. S. R., dan Tri Bastuti P., 2003. Struktur Penguasaan Lahan dan Kelembagaan Pasar Lahan di Pedesaan. Kerjasama BAPPENAS dengan DAI serta Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Sinaga, R.S. 1987. Pembangunan Pertanian Sistem Agribisnis dan Perusahaan Inti–Rakyat. Bahan Kuliah pada Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Sudaryanto, T. dan P. Simatupang, 1993. Arah Pengembangan Agribisnis. Suatu Catatan Kerangka Analisis dalam Prosiding Perspektif Pengembangan Agribisnis Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Sumarno, 2000. Konsep Pendayagunaan Sumberdaya Lahan Untuk Pengembangan Tanaman Hortikultura. Cipayung-Bogor, 31 Oktober – 2 November 2000 Buku I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Sumaryanto, Syahyuti, Saptana, B. Irawan, A.M. Hurun. 2002. Dimensi Sosial Ekonomi Masalah Pertanahan di Indonesia. Makalah Disampaikan Pada Seminar Nasional Inovasi Agribisnis, Bogor 21-22 Mei 2002. Tantangan dan Peluang Komunikasi, Sumberdaya Lahan, dan Sosial Ekonomi Pertanian. Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Sutiknjo, I., 1982. Politik Agraria Nasional: Hubungan Antara Tanah dan Manusia Yang Berdasarkan Pancasila. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.