Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
390
Hubungan Subjective Well Being dan Psychological Well Being
Mahasiswa Prodi Psikologi Universitas Nusa Cendana
Yeni Damayanti, Juliana Marlin Y Benu, Shela C. Pello
Prodi Psikologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Nusa Cendana, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Kehidupan mahasiswa sering kali menimbulkan stress yang berkelanjutan sehingga rentan mengalami
masalah kesehatan mental. Well being merupakan salah satu indikator utama dalam mengukur
kesehatan mental individu. Subjective Well-Being dan Psychological Well-Being merupakan dua
kajian yang paling banyak digunakan untuk mengukur kesejahteraan. Penelitian ini bertujuan untuk
melihat hubungan antara Subjective Well-Being dan Psychological Well-Being pada mahasiswa.
Subjek dalam penelitian ini berjumlah 194 orang mahasiswa pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Nusa Cendana. Subjective Well-Being diukur dengan mengembangkan skala berdasarkan
teori Diener, Suh dan Oishi (1997), dan Psychological Well-Being diukur dengan skala yang
dikembangkan berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Ryff (1995). Hipotesis penelitian diuji
dengan menggunakan uji korelasi. Hasil analisis menunjukan adanya hubungan positif yang
signifikan antara Subjective Well-Being dan Psychological Well-Being pada mahasiswa Psikologi
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Nusa Cendana. Analisis lanjutan dilakukan untuk
melihat keterkaitan antar komponen antara kedua variabel.
Kata Kunci : Subjective Well-Being, Psychological Well-Being, mahasiswa.
A. PENDAHULUAN
Saat ini stres menjadi topik penting terutama di lingkungan akademis, mungkin
karena fakta-fakta kehidupan saat ini yang dipenuhi dengan berbagai stres. Setiap
individu tidak terkecuali mahasiswa dapat mengalami stres, karena stres merupakan
suatu fenomena universal yang dapat terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari
(Simbolon, 2015). Banyak faktor yang berkontribusi terhadap stres akademik.
Menurut Misra dan Castillo (2004) stres akademis diakibatkan oleh frustasi, konflik,
tekanan-tekanan, perubahan-perubahan, dan beban yang dilimpahkan pada diri
sendiri.
Hasil penelitian oleh Putri dan Suprapti (2014) mengemukakan bahwa mahasiswa
dihadapkan pada masalah sejak baru menjadi mahasiswa dimana pada saat itu
seorang mahasiswa harus melewati masa transisi dari SMA ke perguruan tinggi
391
sehingga membutuhkan penyesuaian yang baik. Sistem pendidikan di perguruan
tinggi menuntut seorang mahasiswa harus mandiri dan bertanggung jawab,
mendapatkan teman baru dari berbagai daerah, beberapa mahasiswa harus hidup
terpisah dari keluarga serta tinggal di lingkungan yang berbeda dan baru. Ada pula
permasalahan lain yang ditemukan oleh Kholidah dan Alsa (2012) bahwa mahasiswa
mengalami stres yang disebabkan oleh adanya persaingan terkait prestasi dalam
kuliah, pemilihan jurusan yang kurang tepat, dan pengaturan keuangan.
Hasil observasi dan wawancara yang peneliti lakukan terhadap beberapa orang
mahasiswa Psikologi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Nusa
Cendana, diperoleh hasil bahwa sejak menjadi mahasiswa mereka harus berusaha
menyesuaikan diri dengan lingkungan dan cara belajar yang menuntut mahasiswa
untuk bekerja secara mandiri dan kemandirian dalam memperdalam materi
perkuliahan. Mereka mengakui sulit berkonsentrasi, mudah lupa karena mereka
menganggap sudah menguasai materi namun saat ujian tiba, semua yang dipelajari
tidak dapat diingat lagi. Tidak jarang juga mahasiswa diperhadapkan pada konflik
antara rekan sesama mahasiswa berkaitan dengan persaingan prestasi belajar dan juga
berkaitan dengan masalah percintaan. Dalam masa perkuliahan, kesejahteraan
merupakan hal yang sangat ingin dimiliki oleh setiap mahasiswa. Terpenuhinya
kebutuhan seorang yang bersifat mendasar sampai kebutuhan yang paling tinggi
membuat seseorang merasakan kesejahteraan.
Subjective well being memiliki pengertian yaitu evaluasi individu terhadap
kesejahteraan psikologisnya. Subjective well being memiliki dua unsur penilaian
yaitu afektif dan kognitif. Bila secara afektif orang tersebut merasa bahagia dan
secara kognitif ia menilai hidupnya memuaskan maka bisa dikategorikan memiliki
subjective well being yang tinggi. Unsur afektif berkenaan mengenai emosi, suasana
hati (mood) dan perasaan (feelings) individu tersebut. Sedangkan unsur kognitif
merujuk kepada pemikiran seorang individu terhadap kepuasan hidupnya secara
menyeluruh dan juga secara spesifik atau dalam bagian-bagian tertentu, seperti
kehidupan kerjanya atau hubungannya dengan individu yang lain (relation) (Nayana,
2013). Menurut Diener dan Ryan (2009), kesejahteraan terdiri dari tiga hal yaitu
392
pengalaman positif dan negatif, pikiran positif dan negatif, serta kesejahteraan
psikologis atau yang sering disebut dengan psychological well being. Seseorang yang
memiliki pengalaman positif yang lebih banyak dibandingkan dengan emosi
negatifnya akan lebih sejahtera. Berpikir positif dan mengurangi pikiran negatif
adalah hal yang dibutuhkan bagi seseorang untuk mencapai kesejahteraan. Dengan
demikian dapat disimpulkan subjective well being dan psychological well being
merupakan evaluasi untuk mengetahui kesejahteraan seseorang yang dapat ditandai
dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasan hidup dan tidak adanya gejala-gejala
depresi. Seorang dapat dikatakan memiliki kesejahteraan psikologis ketika dapat
berfungsi positif secara psikologis (Dewanto, 2015).
Individu pada usia 20-30 tahun lebih cenderung memiliki subjective well being
relatif tinggi karena kelompok umur ini memiliki harapan yang lebih tinggi (Ulloa,
Moller & Poza, 2013). Sebaliknya penelitian yang dilakukan oleh Vaez, Kristenson
& Laflamme (2004) menunjukkan bahwa mahasiswa memiliki tingkat subjective well
being lebih rendah dari orang dewasa, selain itu Ehrlich dan Isaacowitz (2002)
subjective well being pada mahasiswa cenderung rendah dan mengalami emosi
negatif.
Penelitian lain mengenai subjective well being dan psychological well-being
membahas aspek-aspek kesejahteraan yang berbeda (Keyes, Ryff & Shmotkin,
2002). Para peneliti sering berdebat tentang apakah ada perbedaan yang bermakna
antara subjective well being dan psychological well being. Ada yang berpendapat
bahwa subjective well being dan psychological well being adalah dimensi yang
berbeda, sedangkan pandangan lain berpendapat bahwa subjective well being dan
psychological well being adalah perspektif yang mirip (Kashdan, Diener & King.
2008) .
Berdasarkan pembahasan di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah
mengetahui hubungan antara subjective well being dengan psychological well being
pada mahasiswa Psikologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Nusa
Cendana, dan selanjutnya menguji hubungan antara aspek subjective well being
dengan dimensi psychological well being.
393
B. TINJAUAN TEORITIS
B.1 Subjective Well-Being (SWB)
Subjective well being adalah sebuah evaluasi kognitif dan afeksi seseorang
terhadap hidupnya (Diener, Oishi & Lucas, 2003). Subjective well being
mempengaruhi pandangan seseorang kualitas hidupnya. Seseorang dengan level
subjective well being tinggi memandang hidupnya berkualitas, sedangkan seseorang
dengan level subjective well being rendah memandang hidupnya kurang berkualitas
dan tidak menyenangkan (Diener, 2000; Myers & Diener, 1995)
Terdapat tiga komponen dasar subjective well being, yaitu: (1) kepuasan hidup,(2)
afeksi positif, dan (3) rendahnya afeksi yang tidak menyenangkan (Diener, Suh, &
Oishi, 1997; Vitterso & Nilsen, 2002). Subjective well being tersusun seperti ketiga
komponen tersebut membentuk faktor global dari variabel-variabel yang saling
berkaitan.
Kepuasan hidup secara umum dapat dibedakan menjadi kepuasan dalam berbagai
domain kehidupan seperti rekreasi, cinta, dan persahabatan. Afek yang
menyenangkan dapat dibedakan menjadi kegembiraan, afeksi dan penghargaan. Afek
yang tidak menyenangkan dapat dibedakan menjadi malu, bersalah, sedih, marah dan
cemas (Diener, Suh, & Oishi, 1997).
B.2 Psychological Well Being (PWB)
Ryff (1989) mendefinisikan psychological well being sebagai hasil evaluasi atau
penilaian seseorang terhadap dirinya yang merupakan evaluasi atas pengalaman
hidupnya. Ryff juga mengemukakan bahwa psychological well being digunakan
untuk menggambarkan suatu kondisi kesehatan psikologis individu berdasarkan
pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif. Ryff dan Keyes (1995) menyatakan
bahwa untuk mengukur psychological well being seseorang digunakan pendekatan
multidimensi yang terdiri dari enam dimensi yang berbeda dari aktualisasi diri
manusia: otonomi (autonomy), pertumbuhan pribadi (personal growth), penerimaan
diri (self-acceptance), tujuan dalam hidup (life purpose),penguasaan lingkungan
(enviromental mastery), dan hubungan positif dengan orang lain (positive
394
relationship with others). Keenam dimensi ini menjelaskan psychological well being
baik secara teoritis ataupun operasional dan mereka menghubungkannya dengan hal-
hal yang berkaitan dengan kesehatan mental dan fisik (Ryff & Singer 1996). Adapun
enam dimensi psychological well being menurut Ryff dan Singer (1996) :
1. Otonomi menguraikan kualitas seperti penentuan nasib sendiri, pengaturan diri
dan kemandirian. Skala ini berfokus pada kemampuan untuk membuat
keputusan sendiri tanpa bergantung pada, atau menunggu persetujuan orang
lain; kemampuan untuk mengukur diri menurut keyakinannya sendiri dan
bukan keyakinan orang lain (Ryff & Singer, 1996).
2. Hubungan positif yang baik dicirikan oleh kemampuan untuk mempertahankan
hubungan baik dengan orang lain. Dimensi ini tidak hanya menggambarkan
kehangatan dan empati bagi orang lain, tetapi juga berhubungan dengan
kemampuan untuk mengidentifikasi, dan merasakan kasih sayang pada
keluarga dan teman-teman (Ryff, 1989).
3. Penguasaan lingkungan meliputi kemampuan untuk memanipulasi dan
menanggapi lingkungan sebagai bagian kunci dari fungsi psikologis positif.
Teori rentang hidup menggambarkan mampu secara kreatif mengubah dan
berinteraksi dengan lingkungan, secara fisik dan mental, sebagai tanda
kedewasaan (Ryff, 1989).
4. Pertumbuhan pribadi menjelaskan mengenai kemampuan individu untuk
mengembangkan potensi dalam diri dan berkembang sebagai seorang manusia.
Dimensi ini dibutuhkan agar dapat optimal dalam berfungsi secara psikologis
(Ryff & Singer, 1998).
5. Tujuan dalam hidup berfokus pada memiliki makna, arah dan rasa pemenuhan
masa depan. Ini mengarah pada memiliki pemahaman yang jelas akan tujuan
dan arah hidupnya, yakin bahwa ia mampu mencapai tujuan hidupnya, dan
pengalaman hidup dimasa lampau serta masa sekarang memiliki makna. (Ryff,
1995).
6. Penerimaan diri menggambarkan penerimaan diri dicirikan dengan kemampuan
menerima diri secara keseluruhan baik masa kini dan masa lalu. Dimensi ini
395
merupakan ciri utama kesehatan mental, dan juga sebagai karakteristik utama
dalam aktualisasi diri, berfungsi optimal, dan kematangan (Ryff, 1989)
C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Subjek dalam penelitian ini adalah
mahasiswa program studi psikologi Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
Nusa Cendana berjumlah 211 mahasiswa. Teknik sampling yang digunakan adalah
total population sampling sehingga total subjek dalam penelitian ini adalah 211
subjek. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
kuesioner penelitian.
Variabel subjective well being diukur dengan menggunakan skala subjective well
being yang dikembangkan oleh Utami (2009) berdasarkan teori yang dikemukakan
oleh Diener, Suh dan Oishi (1997). Kuesioner subjective well being terdiri atas 2 sub
skala yaitu sub skala kepuasan hidup (SWB - SWLS) dan sub skala afek positif afek
negatif (SWB - PANAS). Sub skala kepuasan hidup terdiri dari 5 aitem dengan
koefisien reliabilitas sebesar 0,749. Sub skala afek positif terdiri dari 26 aitem dengan
koefisien reliabilitas 0,918; dan sub skala afek negatif terdiri dari 29 aitem dengan
koefisien reliabilitas 0,941. Ketiga sub skala tersebut memiliki reliabilitas komposit
sebesar 0,935. Variabel psychological well being menggunakan skala yang
dikembangkan oleh Prasetyo (2014) berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Ryff
(1989). Skala psychological well being terdiri dari 23 aitem dengan koefisien
reliabilitas sebesar sebesar 0,875.
Pengujian hipotesis penelitian menggunakan metode statistik parametrik dengan
teknik analisis korelasi untuk melihat hubungan antara variabel subjective well being
dan psychological well being. Sebelum dilakukan pengujian hipotesis, dilakukan
pengujian asumsi yaitu uji normalitas dan uji linearitas.
D. HASIL PENELITIAN
Total kuisioner yang disebar dalam penelitian ini sebanyak 211, sedangkan
kuisinoer yang terkumpul kembali sebanyak 198. Kuisioner yang terkumpul
396
kemudian diseleksi kembali untuk melihat kelengkapan data ditemukan 4 kuisioner
yang kurang lengkap sehingga yang dilakukan analisis data terdapat 194 kuisioner.
Hasil uji asumsi menunjukan bahwa data penelitian untuk kedua variabel
menujukan sebaran data yang normal dan linier. Nilai signifikansi Kolmogorov-
Smirnov untuk variabel subjective well being dan psychological well being adalah
sebesar 0,2 (p ≥ 0,05). Hasil uji linearitas menunjukan bahwa terdapat hubungan
yang linier antara variabel subjective well being dan psychological well being dengan
R Sq Linear sebesar 0,501. Data penelitian yang mengikuti sebaran yang normal dan
linear membuat data dapat dianalisis dengan statistik paramertik. Hasil uji korelasi
menggunakan analisis product moment dari pearson diperoleh nilai r sebesar 0,708
dan nilai p sebesar 0,00 (p ≤ 0,05). Hasil ini menunjukan adanya hubungan yang
positif antara variabel subjective well being dan psychological well being pada
mahasiswa Psikologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Nusa Cendana.
Analisis lanjutan dilakukan dengan mengkorelasikan aspek dari subjective well
being dan dimensi dari psychological well being. Hasil analisis menujukan adanya
hubungan yang signifikan antara setiap aspek subjective well being dan dimensi
psychological well being. Rincian nilai korelasi dan signifikansi dapat dilihat sebagai
berikut :
Tabel. 1. Korelasi aspek Subjective Well Being (SWB) dan
dimensi Psychological Well Being (PWB)
Dimensi PWB Aspek
SWB
Autonomi Hubungan
Positif
Penguasaan
Lingkungan
Pertumbuhan
Pribadi
Tujuan
Hidup
Penerimaan
Diri
Kepuasan
Hidup r = 0,359
p = 0,00
r = 0,242
p = 0,00
r = 0,345
p = 0,00
r = 0,343
p = 0,00
r = 0,269
p = 0,00
r = 0,259
p = 0,00 Afek
Positif r = 0,439
p = 0,00
r = 0,404
p = 0,00
r = 0, 378
p = 0,00
r = 0,580
p = 0,00
r = 0,380
p = 0,00
r = 0,460
p = 0,00 Aspek
Negatif r = -
0,316
p = 0,00
r = -
0,232
p = 0,001
r = -0,394
p = 0,00
r = - 0,241
p = 0,001
r = -
0,222
p = 0,002
r = -
0,353
p = 0,00
E. PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis data penelitian, maka hipotesis yang diajukan yaitu ada
hubungan yang antara subjective well being dengan psychological well being pada
397
mahasiswa Psikologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Nusa Cendana
dapat diterima (nilai r sebesar 0,708 dan nilai p sebesar 0,00 (p ≤ 0,05) menunjukkan
bahwa semakin tinggi nilai subjective well being mahasiswa maka makin tinggi pula
psychological well being mahasiswa. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Ordonez, Silvi dan Cachioni (2011), Chen, Jing,
Hayes dan Lee (2012), Anglim dan Sharon (2016), Pareek, Mathur dan Mangnani
(2016).
Aspek kepuasan hidup dari subjective well being berkorelasi positif dengan enam
dimensi psychological well being yaitu otonomi, hubungan positif, penguasaan
lingkungan, pertumbuhan pribadi, tujuan hidup dan penerimaan diri. Kepuasan hidup
dari subjective well being menunjukkan korelasi paling tinggi dengan dimensi
otonomi pada psychological well being (r = 0,359). Hal ini menunjukkan bahwa
mahasiswa yang memiliki otonomi yang baik akan memiliki kepuasan hidup yang
tinggi. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Diaz dan Arroyo
(2011) otonomi menjadi predictor yang signifikan dalam menentukan kepuasan
hidup seseorang.
Aspek afek positif berkorelasi yang paling tinggi dengan dimensi pertumbuhan
pribadi dari psychological well being (r = 0,580). Hal ini menunjukkan bahwa
semakin sering mahasiswa mengalami perasaan atau emosi positif maka mahasiswa
makin mampu terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru, menyadari potensi
diri dan merasakan peningkatan pada dirinya. Penelitian yang dilakukan oleh
Marshall, Bejanyan dan Ferenczi (2013) dan Deeley dan Love (2012)
mengungkapkan bahwa individu yang sering merasakan emosi negatif mengalami
kesulitan untuk menerima peristiwa negatif terjadi disekitarnya sehingga
pertumbuhan pribadi menjadi terhambat. Sebaliknya individu dengan emosi positif
dapat lebih mudah meningkatkan potensi diri.
Aspek afek negatif berkorelasi negatif dengan dimensi penerimaan diri dari
psychological well being (r = - 0,353) yang artinya semakin jarang orang mengalami
emosi-emosi negatif maka makin mampu menerima dirinya. Hal ini didukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh Dimitrovsky, Lev dan Itskowitz (1998) menyebutkan
398
bahwa emosi negatif yang dirasakan individu berpengaruh pada penerimaan dirinya.
Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Perry, Henry, Nangle dan Grisham (2012)
mengatakan bahwa saat seeseorang dapat menerima dirinya maka semakin jarang ia
merasakan emosi negatif.
F. KESIMPULAN DAN SARAN
Hasil dari penelitian dan analisis data dapat disimpulkan bahwa ada hubungan
positif antara subjective well being dengan psychological well being pada mahasiswa
Psikologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Nusa Cendana (nilai r sebesar
0,708 dan nilai p sebesar 0,00 p ≤ 0,05). Saran yang dapat diberikan bagi subyek
penelitian untuk selalu melakukan evaluasi diri sebagai pedoman bagi mahasiswa
dalam berinteraksi dengan orang lain dan menghindari diri dari stres akademik. Bagi
peneliti selanjutnya untuk dapat dilakukan penelitian serupa pada subjek yang
berbeda
G. DAFTAR PUSTAKA
Anglim, J., & Sharon, G. (2016). Psychological and Subjective Well-Being from
Personality: Incremental Prediction from 30 Facets Over the Big 5. Journal of
Happiness Study, 17: 59 – 80, http://web.a.ebscohost.com.ezproxy.ac.id/.
diakses 22 April 2018.
Chen, F., Jing, Y., Hayes, A., & Lee, J. (2012). Two concepts or two approaches? A
bifactor analysis of psychologicl and subjective well being. Journal of
Happiness Study, DOI 10.1007/s10902-012-9367-x.
http://web.a.ebscohost.com.ezproxy.ac.id/, diakses 2 Mei 2018
Deeley, S., & Love, A. (2012). The emotion self-confidence model of suicide
ideation. Advences in Mental Health, 10 (3): 246 – 257.
http://web.a.ebscohost.com.ezproxy.ac.id/, diakses 2 Mei 2018.
Dewanto W, (2015). Intervensi Kebersyukuran dan Kesejahteraan Penyandang
Disabilitas Fisik: Journal of Profesional Psychology. 1 (1). Fakultas Psikologi
Universitas Gadjah Mada.
399
Diaz, R., & Arroyo, J. (2011). Personality factor, affect, and autonomy support as
predictors of life satisfaction. Universitas Psychologica, 12 (1): 41 – 55.
http://web.a.ebscohost.com.ezproxy.ac.id/, diakses 26 April 2018
Diener, E. (1994). Assessing subjective well-being: Progress and opportunities.
Social Indicators Research, 31: 103-157.
http://web.a.ebscohost.com.ezproxy.ac.id/, diakses 2 Mei 2018
Diener, E, Suh, E. & Oishi, S. (1997). Recent findings on subjective well being.
Indian Journal of Clinical Psychology. 24: 25–41.
http://web.a.ebscohost.com.ezproxy.ac.id/, diakses 22 April 2018
Diener, E. (2000). Subjective well-being: The science of happiness, and proposal for
a national index. American Psychologist, 55, 34-43.
http://web.a.ebscohost.com.ezproxy.ac.id/, diakses 2 Mei 2018
Diener E, Oishi S, Lucas R. (2003). Personality, Culture, and Subjective Well-Being:
Emotional and Cognitif Evaluations of Life. Annu. Rev. Psychol. 54 : 404.
http://web.a.ebscohost.com.ezproxy.ac.id/, diakses 22 April 2018.
Diener, E., & Ryan, K. (2009). Subjective well-being: A general overview. South
African Journal of Psychology, 39(4): 391-406.
Dimitrovsky, L., Lev, S., & Itskowitz. (1998). Relationship of maternal and general
self-acceptance to pre- and postpartum affective experince. The Journal of
Psychology, 132 (5): 507 – 516. http://web.a.ebscohost.com.ezproxy.ac.id/,
diakses 2 Mei 2018.
Ehrlich, B., Isaacowitz. (2002). Does Subjective Well-Being Increase with Age?.
Perspective in Psychology. Journal Spring. Vol 5.
https://pdfs.semanticscholar.org/9dc8/ea74361dec8a28be2bbdc2f756d765a3f3
2f.pdf#page=21, diakses 26 April 2018.
Kashdan, T. B., Biswas-Diener, R., & King, L. A. (2008). Reconsidering happiness:
The costs of distinguishing between hedonics and eudaimonia. Journal of
Positive Psychology, 3: 219-233. http://web.a.ebscohost.com.ezproxy.ac.id/.
diakses 22 April 2018.
400
Kayes, C., Shmotkin, D., & Ryff, C. (2002). Optimizing well-being: The empirical
encounter of two traditions. Journal of Personality and Social Psychology, 82
(6): 1007 – 1022.
Kholidah, E., & Alsa, A. (2012). Berpikir positif untuk menurunkan stres psikologis.
Jurnal Psikologi, 39 (1): 67 – 75.
Marshall, T., Bejanyan, K., & Ferenci. (2013). Attachment styles and personal
growth following romantic breakups: The mediating roles of distress,
rumination, and tendency to rebound. PloS One, 8 (9).
http://web.a.ebscohost.com.ezproxy.ac.id/, diakses 2 Mei 2018.
Misra, R., & Castillo, L. G. (2004). Academic Stress Among College Students:
Comparison of American and International Students. International Journal of
Stress Management, 11 (2): 132-148.
Myers, D.G., Diener, E. (1995). Who Is Happy?. Psychological Science. Vol. 6. No.
1. Pp 10-19.
http://www.psychology.hku.hk/ftbcstudies/refbase/docs/myers/1995/62_Myers
+Diener1995.pdf, diakses 23 April 2018.
Nayana N. F, (2013). Kefungsian Keluarga dan Subjective Well-being Pada Remaja.
Jurnal Psikologi Fakultas Psikologi. Universitas Muhammadiyah Malang.
Ordonez, T., Silva, T. & Cachioni, M. (2011). Subjective and psychological well
being of students of a university of the third age. Dement Neuropsychol, 5 (3):
216 – 225. http://web.a.ebscohost.com.ezproxy.ac.id/, diakses 26 April 2018.
Pareek, S., Mathur, N., & Mangnani, K. (2016). Subjective and psychological well
being as related to dispositional and motivational forgiveness among
adolescent. Journal of Health and Well Being, 7 (1): 125-128.
http://web.a.ebscohost.com.ezproxy.ac.id/, diakses 26 April 2018.
Perry, Y., Henry, J., Nangle, M., & Grisham, J. (2012). Regulation of negative affect
in schizophrenia: The effectiveness of acceptance versus reapprasial and
suppression. Journal of Clinical and Experimental Neuropsychology, 34 (5):
497 – 508. http://web.a.ebscohost.com.ezproxy.ac.id/, diakses 2 Mei 2018.
401
Prasetyo, N. H. (2014). Program intervensi narima ing pandum: Upaya peningkatan
kesejahteraan psikologis family caregiver orang dengan skizofrenia.Tesis.
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Putri, D.A., Suprapti, V. (2014). Hubungan antara Self Efficacy dengan Subjective
Well-Being pada Mahasiswa Baru Politeknik Elektronika Negeri Surabaya
(PENS) yang Kos. Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi, 3(3): 144-150.
Ryff, C. D. (1989). Happiness is everything, or is it? Explorations on the meaning of
psychological well-being. Journal of Personality and Social Psychology, 57(6):
1069-1081.
Ryff, C. (1995). Psychological well being in adult life. Current Direction in
Psychologica Science, 4(4): 99 – 104
Ryff, C., & Keyes, C. (1995). The structure of psychological well being. Journal of
Personality and Social Psychology, 69 (4): 719 – 727.
Ryff, C., & Singer, B. (1996). Psychological well being: Meaning, measurement, and
implications for psychotherapy research. Psychotherapy and Psychosomatics,
65: 14 – 23.
Ryff, C., & Singer, B. (1998). The contours of positive human health. Psychological
Inquiry, 9 (1): 1 – 28.
Simbolon, I, (2015). Gejala Stress Akademis Mahasiswa Keperawatan Akibat Sistem
Belajar Blok di Fakultas Ilmu Keperawatan X Bandung. Jurnal Skolastik
Keperawatan, 1 (1).
Ulloa, B., Moller, V., Poza A. (2013). How Does Subjective Well-Being Evolve with
Age? A Literatur Review. Discussion Paper No. 7328. German.
Utami, M. S. (2009). Keterlibatan dalam kegiatan dan kesejahteraan subjektif
mahasiswa. Jurnal Psikologi, 36 (2): 144-163.
Vaez, M., Kristenson, M. and Laflamme, L. (2004) Perceived Quality of Life and
Self-Rated Health among First-Year University Students. Social Indicators
Research, 68 (2) 221-234,
http://dx.doi.org/10.1023/B:SOCI.0000025594.76886.56, diakses 2 Mei 2018
402
Vitterso, J., & Nilsen, F. ( 2002). The conceptual and relational structure of
subjective well-being, neuroticism, and extraversion. Social Indicators
Research. 57: 89-118. http://web.a.ebscohost.com.ezproxy.ac.id/, diakses 25
April 2018
Weiten, W., Dunn, D. S., & Hammer, E. Y. (2015). Psychology Applied to Modern
Life: Adjustment in 21st Century (11th Edition). Boston: Cengage Learning.