13
HUBUNGAN JUMLAH CD4 DENGAN DERAJAT DISTAL SYMMETRICAL POLYNEUROPATHY (DSP) PADA PENDERITA HIV-AIDS THE CORRELATION BETWEEN CD4 COUNT AND SEVERITY OF DISTAL SYMMETRICAL POLYNEUROPATHY (DSP) IN HIV-AIDS PATIENTS Andi Weri Sompa 1 , Cahyono Kaelan 2 , Yudy Goysal 2 1) Residen Bagian Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin 2) Staf Pengajar Bagian Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Alamat Korespondensi : Dr. Andi Weri Sompa Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar HP: 081 355 355 450 Email : [email protected]

HUBUNGAN JUMLAH CD4 DENGAN DERAJAT DISTAL …pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/07e1263b8637c5e6b520d82b649ea4d2.pdf · aspartate, NMDA) menyebabkan kegagalan prevensi terhadap substansi

  • Upload
    hanhi

  • View
    222

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

0

HUBUNGAN JUMLAH CD4 DENGAN DERAJAT DISTAL SYMMETRICAL POLYNEUROPATHY (DSP) PADA PENDERITA HIV-AIDS

THE CORRELATION BETWEEN CD4 COUNT AND SEVERITY OF DISTAL SYMMETRICAL POLYNEUROPATHY (DSP) IN HIV-AIDS PATIENTS

Andi Weri Sompa1, Cahyono Kaelan2, Yudy Goysal2

1) Residen Bagian Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin 2) Staf Pengajar Bagian Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

Alamat Korespondensi : Dr. Andi Weri Sompa Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar HP: 081 355 355 450 Email : [email protected]

1

ABSTRAK

Distal Symmetrical Polyneuropathy (DSP) merupakan masalah neurologis yang sering didapatkan pada penderita HIV-AIDS namun hubungan beberapa faktor risiko terhadap keparahan DSP masih belum banyak diteliti. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara jumlah CD4 dengan derajat DSP pada penderita HIV-AIDS dengan menggunakan Subjective Peripheral Neuropathy Screen (SPNS). Metode yang digunakan adalah cross sectional study dengan 73 sampel dari Rumah Sakit Dr. WahidinSudirohusodo Makassar dan jejaringnya mulai bulan September sampai dengan Desember 2012. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, dari 73 sampel dalam penelitian ini, 46 (63%) laki-laki dan 24 (37%) wanita. Sampel dengan jumlah CD4 < 200 sebanyak 48 (65,8%), dan 72,6% diantaranya mengalami DSP klinis. Terdapat 25 sampel (34,2%) memiliki jumlah CD4 ≥ 200, 68% dari jumlah ini mengalami DSP klinis dan 32% lainnya mengalami DSP subklinis. Dengan uji chi-square didapatkan hubungan yang bermakna pada jumlah CD4 terhadap derajat klinis DSP (p < 0,05). Dapat disimpulkan bahwa makin rendah jumlah CD4 (< 200 sel/mm3) makin berat derajat klinis DSP yang dialami oleh penderita HIV-AIDS.

Kata kunci : HIV-AIDS, CD4, Distal Symmetrical Polyneuropathy

ABSTRACT

Distal Symmetrical Polyneuropathy (DSP) is the most common neurological problem in HIV-AIDS patients however correlation of some risk factor to severity of DSP is still less studied. The study aims to find out the correlation between CD4 count and severity of DSP in HIV-AIDS patients using Subjective Peripheral Neuropathy Screen (SPNS). This cross sectional study involved 73 samples in Dr. Wahidin Sudirohusodo hospital and its network, from September to December 2012. Out of 73 subjects who were included in this study, 46 (63%) were males and 27 (37%) were females. There were 48 (65,8%) samples with CD4 count less than 200, and 72,6% of the patients had clinical DSP. There were 25 samples (34,2%) with CD4 count ≥ 200, where 68% had clinical DSP and other 32% had subclinical DSP. By chi-square test, we found significant correlation between CD4 count and severity of DSP (p < 0,05). It can be concluded that the lower CD4 count (< 200 cels/mm3), the worse clinical severity of DSP in HIV-AIDS patient.

Keywords: HIV-AIDS, CD4 count, Distal Symmetrical Polyneuropathy

2 PENDAHULUAN

Penyakit infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan AIDS hingga kini masih

merupakan masalah kesehatan global dengan tingginya angka kejadian dan kematian. Diperkirakan

lebih dari 35 juta infeksi pada tahun 2001 menjadi 38 juta pada tahun 2003, dan lebih dari 20 juta

kematian sejak 1981. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari HIV-AIDS dan telah menjadi

masalah Internasional dengan munculnya berbagai krisis secara bersamaan yaitu krisis kesehatan,

krisis pembangunan negara, krisis pendidikan, ekonomi dan juga krisis kemanusiaan. (Nasronudin,

2007); (Sacktor N, 2002); (UNAIDS, 2007)

Di Indonesia, masalah dan ancaman HIV-AIDS cukup mendapat perhatian, karena Indonesia

adalah negara terbuka, sehingga kemungkinan masuknya AIDS cukup besar dan sulit dihindari.

Sampai Juni 2011 tercatat terjadi 26.483 kasus AIDS dengan 5.056 orang korban meninggal dunia. Di

Sulawesi Selatan ditemukan 995 kasus dengan prevalensi 12,27%. Jumlah tersebut semakin bertambah

seiring dengan banyaknya faktor dan sarana penularan HIV/AIDS. (Depkes RI, 2011)

Komplikasi neurologis akibat HIV dapat melibatkan susunan saraf pusat dan perifer. Prevalensi

gangguan sensoris sebagai dampak HIV pada saraf perifer di era awal AIDS masih sangat rendah

karena perhatian lebih ditujukan pada gangguan saraf pusat yang lebih mematikan (Gerald O, dkk,

2009). Namun seiring dengan perkembangan HAART (Highly Active Anti Retroviral Therapy), gejala

gangguan neuromuskular muncul lebih banyak dengan manisfestasi berupa neuropati dan myopati.

Gangguan neurologis yang terjadi dapat disebabkan oleh virus HIV itu sendiri, komplikasi

immunosupresi atau komplikasi metabolik terapi antiretroviral. Saat ini, dengan makin meningkatnya

kasus HIV, makin jelas bahwa gangguan saraf periferpun meningkat. Saat ini HIV bersama-sama

dengan diabetes dan lepra merupakan tiga penyebab utama neuropati di seluruh dunia. Diantara

berbagai manifestasi gangguan saraf perifer pada penderita HIV, Distal Symmetrical Polyneuropathy

(DSP) merupakan manifestasi yang paling tinggi angka kejadiannya dan merupakan penyebab utama

morbiditas pasien HIV dan AIDS. (Venkataramana dkk, 2005); (Keswania dkk, 2002)

Distal Symmetrical Polyneuropathy (DSP) terjadi pada sekitar 35% pasien dengan HIV-AIDS.

Jumlah yang sama juga dilaporkan pada studi cross-sectional di San Fransisco. Studi terakhir

jumlahnya telah meningkat menjadi 55% dimana 20% asimptomatik dan 35% lainnya memiliki tanda

dan gejala neuropati. Faktor risiko yang berkorelasi dengan DSP diantaranya stadium penyakit HIV,

rendahnya jumlah limfosit CD4, dan tingginya viral load HIV-1 dalam plasma (Childs EA, 2009).

Penggunaaan anti retroviral khususnya golongan dideonukleosida seperti didanosin (ddI), zalcitabine

3 (ddC), stavudine (d4T), juga meningkatkan risiko neuropati. (Verma dkk, 2005); (Simpson DM,

2002); (Arasho BD, 2010)

Sel target utama virus tersebut adalah sel yang mampu mengekspresikan reseptor CD4, yaitu

astrosit, mikroglia, monosit, dan makrofag. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, jumlah

CD4 berkisar antara 1400-1500 sel/μL. Pada penderita HIV-AIDS jumlah CD4 akan menurun dan

dapat menyebabkan terjadinya berbagai defisit neurologis. Virus tersebut menstimulasi makrofag dan

neuron terinfeksi untuk memproduksi substansi toksik yang dapat berupa sitokin, chemokine, tumor

necrosis factors-alpha (TNF-α), platelet activating factors yang menginduksi inflamasi, destruksi

myelin dan sel saraf. Glikoprotein antigen envelope virus (gp 120) juga dapat menstimulasi makrofag

untuk melepaskan substansi yang dapat menghambat fungsi reseptor enzim neuronal (N-methyl-D-

aspartate, NMDA) menyebabkan kegagalan prevensi terhadap substansi toksik yang diproduksi virus

dan sel glia terinfeksi untuk merusak neuron. Pemeriksaan histopatologi saraf perifer pada DSP

menunjukkan gambaran degenerasi aksonal dan demielinasi sekunder. Komponen virus yang bersifat

neurotoksik, makrofag yang teraktifasi, sitokin dan chemokin bersama-sama membangkitkan berbagai

kaskade sitotoksik dan disfungsi sistem imun yang menyebabkan degenerasi aksonal pada saraf perifer.

(Nasronuddin, 2005); (Keswani dkk, 2002); (Acharjee S., dkk, 2010)

Sebelumnya diagnosis DSP pada HIV sangat rumit dan cukup berisiko. Subjective Peripheral

Neuropathy Screen (SPNS) merupakan alat skrining terkini yang telah digunakan secara luas,

aplikasinya cepat, dan mudah diinterpretasi. Ini merupakan sistem penilaian yang telah divalidasi

dengan sensitifitas dan spesifisitas yang cukup tinggi (83%; 83%) dibandingkan alat skrining yang lain.

(Cettomai D dkk, 2010); (Mc.Arthur dkk, 1998); Venkataramana dkk, 2005). Penelitian sebelumnya

menilai faktor-faktor yang berhubungan dengan Polineuropati Simetrik Distal pada HIV dengan hasil

yang bermakna pada jumlah CD4, indeks massa tubuh, anti retroviral, durasi penyakit dan hemoglobin

(Imran D, 2005). Pada penelitian ini akan dinilai hubungan jumlah CD4 terhadap derajat DSP pada

penderita HIV-AIDS tanpa antiretroviral dengan menggunakan Subjective Peripheral Neuropathy

Screen (SPNS) yang sebelumnya belum pernah diteliti di Makassar.

METODE PENELITIAN

Desain dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional, pada pasien yang didiagnosis HIV-AIDS

di unit rawat jalan dan rawat inap RS dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar dan jejaringnya yang

dilaksanakan mulai September sampai Desember 2012.

4 Populasi Penelitian

Populasi penelitian adalah semua penderita HIV positif yang berkunjung ke unit rawat jalan

dan rawat inap RS dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar dan jejaringnya. Sampel penelitian adalah

penderita dari populasi penelitian yang memenuhi kriteria inklusi, sampel diperoleh berdasarkan

consecutive sampling. Kriteria inklusi semua penderita yang didiagnosis HIV positif yang berusia 18-

50 tahun. Kriteria eksklusi bila penderita HIV-1 positif mengalami satu atau lebih gangguan berikut:

Penggunaan anti retroviral (ARV), diabetes mellitus, sirosis hati, gagal ginjal kronik, menggunakan

obat-obat yang berpotensi menimbulkan neuropati (seperti vincristin, nitrofurantoin, INH, adriamycin,

disulfiram, dapson, metronidazole, kortikosteroid dan alkohol), kesadaran menurun, gangguan kognitif

berat, gangguan motorik dengan tanda upper motor neuron, dan gangguan saraf perifer yang

disebabkan oleh proses kompresi atau trauma. Subyek yang memenuhi kreteria inklusi dilanjutkan

dengan pemeriksaan laboratorium darah untuk menentukan jumlah CD4. Dilanjutkan dengan

pemeriksaan DSP menggunakan SPNS.

Analisis Data

Data yang terkumpul selanjutnya dioleh menggunakan komputer dengan analisis univariat

digunakan untuk deskriptif karakteristik data dasar berupa distribusi frekuensi. Analisis bivariat

menggunakan uji chi square untuk melihat hubungan jumlah CD4 dengan derajat DSP klinis/subklinis

menggunakan program SPSS (Statistical Package for Social Sciences).

HASIL PENELITIAN

Dari 73 responden yang memenuhi kriteria inklusi, didapatkan penderita laki-laki sebanyak 46

orang (63%) dan perempuan 27 orang (37%). Rentang usia responden adalah 18 – 51 tahun dengan

rerata 30,63 tahun (SD± 6,06 tahun). Responden terbanyak pada kelompok umur 26 – 35 tahun yaitu

51 orang (69,9%). Sebanyak 48 responden (65,8%) memiliki jumlah CD4 < 200 sel/mm3 dan 62

responden (84,9%) mengalami derajat DSP klinis (Tabel 1).

Pada 62 responden dengan DSP klinis, 45 diantaranya memiliki jumlah CD4 < 200 sel/mm3

(72,6%) dan 17 lainnya memiliki jumlah CD4 ≥ 200 sel/mm3. Responden dengan DSP subklinis

sebanyak 11 orang, 8 diantaranya memiliki jumlah CD4 ≥ 200 sel/mm3 (72,7%) dan 3 lainnya (27,3%)

memiliki jumlah CD4 < 200 sel/mm3. Nilai probabilitas menunjukkan p 0,006 yang artinya terdapat

hubungan yang signifikan antara jumlah CD4 dengan derajat Distal Symmetrical Polyneuropathy

(DSP) (Tabel 2).

Pada analisis hubungan kelompok umur dengan derajat DSP menunjukkan 44 responden pada

kelompok umur 26 – 35 tahun mengalami DSP klinis (86,3%) dengan nilai kemaknaan p 0,052 yang

5 artinya tidak terdapat hubungan antara kelompok umur dengan DSP. Demikian halnya tidak ditemukan

hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan derajat DSP (p 0,522)

Pada tabel 3 memperlihatkan hubungan antara jumlah CD4 dengan lokasi gejala neuropati. Dari

tabel tersebut dapat dilihat bahwa dari 48 responden yang memiliki jumlah CD4 kurang dari 200

sel/mm3, paling banyak mengeluhkan gejala di bawah ankle yaitu sebanyak 33 responden (68,8%)

selebihnya 14 orang mengalami gejala di atas ankle (29,2%) sementara 1 orang tidak mengeluhkan

gejala (asimptomatik). Sedangkan dari 25 responden dengan CD4 lebih dari 200 sel/mm3 didapatkan12

orang mengalami gejala di atas ankle (48%), 3 orang di bawah ankle (12%) dan 10 orang tidak

mengalami gejala. Terdapat hubungan yang bermakna antara jumlah CD4 dengan lokasi gejala

neuropati menurut tes Kolmogorov-Smirnov 0,018 (p<0,05).

Tabel 4 memperlihatkan bahwa dari 73 responden, 61 orang (83,6%) mengalami sensasi vibrasi

yang tidak normal (menurun), paling banyak pada responden dengan jumlah CD4 < 200 sel/mm3 yaitu

45 orang (73,8%). Sedangkan 12 responden dengan sensasi vibrasi yang normal, 9 orang (75%) dengan

jumlah CD4 ≥ 200 sel/mm3. Nilai kemaknaan dari hasil uji chi-square 0,002 (p<0,05) yang berarti

terdapat hubungan yang bermakna antara jumlah CD4 dengan sensasi vibrasi.

Pada tabel 5 tampak bahwa dari 73 responden, 35 orang (47,9%) mengalami penurunan refleks

ankle (tidak normal), dimana terbanyak pada responden dengan jumlah CD4 < 200 sel/mm3 yaitu 28

orang (80%). Sedangkan pada 38 responden dengan refleks ankle yang normal, 20 orang (52,6%%)

dengan jumlah CD4 kurang dari 200 sel/mm3 dan 18 orang dengan CD4 ≥ 200 sel/mm3. Berdasarkan

uji chi-square didapatkan nilai kemaknaan p = 0,013 (p<0,05) yang berarti terdapat hubungan yang

bermakna antara jumlah CD4 dengan refleks ankle.

PEMBAHASAN

Penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara jumlah CD4 dengan

derajat klinis Distal Sensory Polyneuropathy (DSP) pada penderita HIV/AIDS dengan menggunakan

salah satu instrumen diagnostik yaitu Subjective Peripheral Neuropathy Screen (SPNS). Hal ini sesuai

hipotesis bahwa jumlah CD4 pada penderita DSP kinis lebih rendah dibandingkan dengan penderita

DSP subklinis. Sesuai dengan penelitian Imran dkk (2005), dan Anziska Y dkk (2011) meskipun

dengan kisaran CD4 yang berbeda namun tetap menjelaskan bahwa jumlah CD4 yang rendah

berhubungan dengan beratnya gejala dan tanda neuropati. Rendahnya jumlah CD4 menunjukkan

rendahnya imunitas seorang penderita HIV-AIDS. Jumlah CD4 < 200 sel/mm3 menunjukkan kondisi

imunosupresi yang berat dan rentan terhadap infeksi oportunistik. Pada jumlah CD4 yang rendah ini

6 dapat terjadi mononeuritis multipleks, DSP, dan miopati selain tumor, demensia dan ensefalopati.

(Pasquier RA, 2003); (Verma dkk, 2005)

Patofisiologi HIV-neuropati masih belum jelas. DSP ditandai dengan adanya trauma atau

hilangnya serabut aferen primer yang menyebabkan degenerasi aksonal distal. Lokasi awal proses

patologi mencakup bagian distal dari suatu akson yang panjang, fenomena ini dikenal sebagai dying

back. Proses tersebut dapat dimediasi oleh HIV itu sendiri atau suatu mekanisme imun sitotoksik.

Mekanisme direk terjadi yaitu bila envelope virus glikoprotein sub unit gp120 secara langsung

menyerang saraf perifer dan Dorsal Root Ganglia (DRG) yang menyebabkan neurotoksisitas.

Glikoprotein gp120 ini dapat bekerja pada reseptor kemokin saraf nosiseptif. Hal ini menjadi dasar

terjadinya nyeri hebat seperti allodinia dan hiperestesia. (Verma dkk, 2005); (Hahn dkk, 2008)

Mekanisme indirek meliputi faktor imunopatogenik sebagai penyebab disfungsi saraf perifer.

HIV dapat menyebabkan kerusakan indirek melalui infiltrasi makrofag pada saraf perifer dan ganglion

dorsalis. Banyaknya jumlah makrofag reaktif dalam saraf perifer akan menyebabkan pelepasan sitokin

proinflamasi neurotoksik setempat seperti TNF-α, Interferon-γ, IL-1 dan IL-6 yang akan

menyebabkan degererasi aksonal. (Verma dkk 2005); (Chi dkk, 2011)

Penggunaan anti retroviral juga dapat menyebabkan polineuropati toksik (ATN: Antiretroviral

Toxic Neuropathy) melalui mekanisme toksisitas mitokondria oleh ARV golongan dideoxynucleoside

reverse transcriptase inhibitors yang sulit dibedakan dengan polineuropati yang disebabkan oleh HIV

(Thacker MA, dkk, 2007). Pada penelitian ini responden yang menggunakan ARV dieksklusi agar

tidak tumpang tindih dengan neuropati yang disebabkan oleh HIV.

Menurut jurnal Pain Clinical Updates 2010, penggunaan ARV pada pertengahan tahun 1990

telah berhasil menurunkan morbiditas dan mortalitas penderita HIV/AIDS. Angka harapan hidup pun

menjadi lebih baik. Namun tidak demikian halnya dengan komplikasi neurologis yang justru meningkat

akibat efek neurotoksik ARV golongan NRTI seperti stavudin, didanosin, dan zalcitabin. Saat ini

diperkirakan DSP akibat ARV terjadi pada 20% sampai lebih dari 50 % kasus. Di Indonesia khususnya

neurotoksik disebabkan oleh stavudin karena merupakan terapi lini pertama pada negara berkembang.

Toksisitas mitokondria dan faktor reseptor chemokin dianggap sebagai patogenesis terjadinya DSP.

Berbagai studi menyebutkan prevalensi kejadian DSP berkisar antara 25% bahkan mencapai 55 %

pada penelitian Schiffito yang melibatkan lebih dari 200 penderita HIV. Pada penelitian ini didapatkan

DSP klinis lebih banyak (84,9%) dibandingkan dengan DSP subklinis. angka ini cukup tinggi,

kemungkinan disebabkan karena kebanyakan responden penelitian merupakan pasien rawat inap yang

telah mengalami simptom neuropati sedangkan pada penelitian lainnya lebih banyak merupakan pasien

rawat jalan yang masih berada dalam kondisi asimtomatik, disini proses patologi berjalan perlahan dan

7 kerusakan sel terjadi secara subklinis (silent) (Ances B dkk, 2009); (Portegies P dkk, 2004). Menurut

Ferrari S. dkk, DSP ini dapat terjadi pada setiap stadium dari HIV/AIDS dan > 90% mengalami nyeri

neuropatik seperti dikemukakan Ballantyne J, dkk pada jurnal IASP (International Association for the

Study of Pain) 2010. Pasien HIV-AIDS yang mengalami DSP klinis mengeluhkan nyeri, parestesia,

dan numbness. Menurut Schifitto, 2002 penderita HIV-AIDS akan mengalami “painfull feet” dengan

onset gradual, nyeri yang makin hebat tersebut akan mengganggu aktifitas sehari-hari. Pada penelitian

ini, mayoritas responden mengeluhkan gejala parestesia, nyeri dan numbness (baal).

Penelitian cross sectional yang melibatkan 73 responden yang memenuhi kriteria inklusi,

mendapatkan jumlah responden pria lebih banyak daripada wanita (63% dan 37%). Sesuai studi oleh

Smith K, dkk (2006), yang menemukan penderita HIV pria sebanyak 67%, dan wanita sebanyak 33%.

Demikian juga pada beberapa studi lain yang mendapatkan prevalensi HIV pria lebih banyak dari

wanita. Namun demikian, pada penelitian ini tidak menemukan hubungan yang bermakna antara jenis

kelamin dengan DSP. Lebih besarnya jumlah responden pria dibandingkan wanita, disebabkan oleh

prevalensi penderita HIV ditemukan terbanyak adalah pada pengguna narkoba injeksi dan kalangan

homoseksual. Selain itu postur pria yang lebih tinggi sehingga lebih rentan terhadap length-dependent

neuropathy seperti DSP. (Anziska Y dkk, 2011)

Menurut Schifitto G dkk (2002), gangguan sensasi getar dan refleks ankle merupakan temuan

pemeriksaan fisik yang paling banyak dijumpai pada DSP. Pada penelitian ini didapatkan 83,6 %

responden mengalami penurunan sensasi vibrasi sedangkan 47,9% mengalami penurunan refleks ankle.

Penurunan jumlah CD4 dibawah 200 sel/mm3 akan menyebabkan gangguan vibrasi dan refleks ankle

semakin jelas. Adanya gangguan pada sensasi getar dan refleks ini akibat terlibatnya serabut bermielin

berdiameter besar (, fiber) dan serabut kecil tidak bermielin (, C fiber) (Arasho dkk, 2010)

SIMPULAN DAN SARAN

Terdapat hubungan yang bermakna antara jumlah CD4 dengan derajat DSP dimana makin rendah

jumlah CD4 makin berat derajat klinis DSP. Perlunya dilakukan skrining polineuropati secara dini

melalui pemeriksaan sensasi vibrasi dan pemeriksaan refleks ankle terutama sebelum memulai

antiretroviral agar dapat mengurangi tingkat keparahan polineuropati. Penelitian lebih lanjut diperlukan

dengan variabel yang lebih bervariasi termasuk faktor genetik yang belum banyak diteliti untuk lebih

memahami faktor-faktor risiko dan patofisiologi yang masih belum jelas.

8

DAFTAR PUSTAKA

Acharjee S., Noorbakhsh F & Stemkowski PL. (2010). HIV-1 Viral protein R causes peripheral Nervous System injury associated with in vivo neuropathic pain, FASEB journal ( 24): 4343 –4351

Ances B., Vaida F & Rosario D. (2009). A Role of Metabolic Syndrome Component in HIV Associated Sensory Neuropathy, in AIDS: 2317-2322.

Anziska Y, Helzner E., Crystal H., Glesby M., Plankey M., Weber K, et al., (2011). The

Relationship between race and HIV-Distal Sensory Polyneuropathy in a Large Cohort of US Women.

Arasho BD, Jacob SB, Zenebe G. (2010). Distal Symmetrical Polyneuropathy and toxic neuropathy in HIV patients. In Annals of tropical Medicine and Public Health. (3): 8 -13

Ballantyne J., (2010) Painful HIV-Associated Sensory Neuropathy, International Association for the Study of Pain.(18):3

Cettomai D., Kwasa J., Kendi C., Birbeck GL & Price RW. (2010). Utility of Quantitative Sensory Testing and Screening Tools in Identifying HIV-Associated Peripheral Neuropathy in Western Kenya : Pilot testing, PloS ONE (5);12

Chang I., (2002). Peripheral Neuropathies. Colorado Neurological Institute, Review Medical Journal (13);.2

Chi X., Amet T & Byrd D. (2011). Direct effect of HIV-1 Tat on Exitability and Survival of Primary Dorsal Root Ganglion Neurons: Possible Contribution to HIV-1 associated pain. PLosONE (6) e24412

Childs EA & Lyles RH. (2009). Plasma viral load and Viral Load CD4 lymphocytes predict HIV- associated and sensory neuropathy. In Neurology (52): 607-613.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. Direktorat jenderal Pengendalian penyakit dan penyehatan Lingkungan.

Du Pasquier RA & Koralnik IJ. (2003). The Neurological Manifestation of HIV Infection. Schweiz Arch Neurology Psychiatry (154): 178- 185.

Gerald O., Adesola O & Emmanuel I. (2009). Prevalence of Distal Symmmetrical Polyneuropathy among drug naive HIV/AIDS patients in JOS, Nigeria, African Journal of Neurological Sciences (28); 2.

Hahn K., Robinson B., Anderson C. (2008). Differential effects of HIV infected macrophages on Dorsal Root Ganglia Neurons and Axon. Exp.Neurol: 210 (1):30 – 40

Imran D., Wibowo BS., Jannis J., Djoerban Z. (2005). Polineuropati Simetrik Distal pada HIV. Neurona (22): 4 – 8

Keswani SC., Polley M., & Pardo CA. (2003). Schwann Cell chemokine Reseptor mediate HIV-1

9

gp 120 Toxicity to Sensory Neurons. ANN Neurology (54): 287 – 96

Keswani SC, Pardo CA, Cherry CL. (2002). HIV-associated sensory neuropathies; in AIDS (16):2105 – 2117

McArthur JH., (1998). The Reliability and Validity of the Subjective Peripheral Neuropathy Screen. Journal of the Association of Nurses in AIDS Care (9): 84 – 94

Nasronudin. (2007). HIV dan AIDS Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis dan Sosial. Surabaya: Airlangga University Press

Portegies P., Solod L., Cinque P. (2004). Guidelines for diagnosis and Management of neurological complications of HIV infection. European Journal of Neurology (11): 297 – 304.

Sacktor N. (2002). The Epidemiology of Human Immunodeficiency virus associated neurological disease in the era of highly active antiretroviral therapy. J NeuroVirology (8): 115-121.

Schifitto G., Mc Dermott, Mc Arthur, Marder K., Sacktor N., Eipstein L, et al. (2002). Incidence of and Risk Factor for HIV-associated Distal Sensory Polyneuropathy, AAN

Simpson DM. (2002). Selected Peripheral Neuropathies associated with HIV infected and antiretroviral therapy. Journal of Neurovirology. 8 (suppl.2): 33-41

Smith K., Affandi JS, Mc Arthur JC. (2006). Prevalence and Risk factor for HIV- associated Neuropathy in Melbourne Australia 1993 – 2006.

Tagliati. (2004). Peripheral Nerve Function in HIV infection: clinical, electrophysiologic and laboratory findings. Arch Neurol.

Thacker MA, Clark AK, Marchand F & Mc Mahon SB. (2007). Patophysiology of Peripheral Neuropathic Pain: Immune Cells and Molecules. International Anesthesia Research Society. Vol 105, No. 3, September. p. 838-44

UNAIDS. (2007). Key Facts by Region, AIDS Epidemic Update.

Venkataramana AB., Skolasky RL & Creighton JA. (2005). Diagnostic Utility of the Subjective Peripheral Neuropathy Screen in HIV- Infected Patients in AIDS (08) : 258- 63

Verma S., Estanislao L & Simpson D. (2005). HIV- associated Neuropathic pain, Epidemiology, Patophysiology, and Management. p. 325 – 334

10

11 Tabel 1. Karakteristik Dasar Sampel Penelitian

Karakteristik Jumlah (n) Persentase (%)

Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan

46 27

63,0 % 37,0 %

Umur ≤ 25 tahun

26 – 35 tahun >36 tahun

11 51 11

15,1 % 69,8 % 15,1 %

Jumlah CD4 < 200 sel/mm3

≥ 200 sel/mm3

48 25

65,8 % 34,2 %

Derajat DSP

Klinis Subklinis

62 11

84,9 % 15,1 %

Data primer 2012

Tabel 2. Analisis Hubungan jumlah CD4 dengan derajat Distal Symmetrical Polyneuropathy (DSP)

Jumlah CD4

DSP

p Klinis Subklinis Total

N % N % N %

< 200 sel/mm3 45 72,6 3 27,3 48 65,8 0,006 ≥ 200 sel/mm3 17 27,4 8 72,7 25 34,2

Total 62 100 11 100 73 100 Data primer 2012

12

Tabel 3. Analisis Hubungan Jumlah CD4 dengan Lokasi Gejala

CD4

Lokasi Gejala Total

p Di atas ankle

Di bawah ankle

Tidak ada gejala

N % N % N % N % < 200 sel/mm3 14 19,2 33 45,2 1 1,4 48 65,8 0.018 ≥ 200 sel/mm3 12 16,4 3 4,1 10 13,7 25 34,2

Data primer 2012

Tabel 4. Analisis Hubungan Jumlah CD4 dengan Sensasi Vibrasi

CD4 Vibrasi

Total p Tidak normal Normal

N % N % N % < 200 sel/mm3 45 73,8 3 25 48 65,8

0,002 ≥ 200 sel/mm3 16 26,2 9 75 25 34,2 Total 61 100 12 100 73 100

Data primer 2012

Tabel 5. Analisis Hubungan Jumlah CD4 dengan Refleks Ankle

CD4

Refleks Ankle Total

p Tidak normal Normal

N % N % N %

< 200 sel/mm3 28 80 20 52,6 48 65,8

0,013 ≥ 200 sel/mm3 7 20 18 47,4 25 34,2 Total 35 100 38 100 73 100

Data primer 2012