HKM30 (1)

Embed Size (px)

Citation preview

IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH KOTA PALU YANG BERORIENTASI BAGI KEPENTINGAN MASYARAKAT DALAM MENUNJANG OTONOMI DAERAHThe Implementation of Regional of Palu City Oriented for the Community Interest in Supporting the Regional Autonomy

Hj.RATNAWATI LATIEF NOMOR POKOK P0900202531

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2005

i

IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH KOTA PALU YANG BERORIENTASI BAGI KEPENTINGAN MASYARAKAT DALAM MENUNJANG OTONOMI DAERAH

Tesis Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar magister

Program Studi Ilmu Hukum

Disusun dan diajukan oleh

Hj.RATNAWATI LATIEF

Kepada

MAGISTER ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2005

ii

TESIS IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH KOTA PALU YANG BERORIENTASI BAGI KEPENTINGAN MASYARAKAT DALAM MENUNJANG OTONOMI DAERAH Disusun dan diajukan olehHj.RATNAWATI LATIEF NOMOR POKOK P0900202531

Telah dipertahankan di depan Panitia UjIan Tesis Pada tanggal 4 Pebruari 2005 dan dinyatakan telah memenuhi syaratMenyetujui Komisi Penasehat,

DR.Muh.Guntur Hamzah,SH.MH. Ketua

Muh.Yasin Nahar,SH.MH. Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Hukum

Direktur Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin

Dr.H.Syamsul Bachri,SH.MS.

Prof.Dr.Ir.M.Natsir Nessa.M.S.

iii

KATA PENGANTARPuji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subbahanahu Wa Ta`ala, Tuhan yang Maha Esa, karena dengan bimbingan dan petunjuk Nya penyusunan tesis ini dapat diselesaikan. Ide yang menarik perhatian dalam penyusunan tesis yang berjudul Implementasi Peraturan Daerah Kota Palu Yang Berorientasi Bagi Kepentingan Masyarakat Dalam Menunjang Otonomi Daerah adalah dengan melihat kenyataan Peraturan Daerah Kota Palu khsusnya Retribusi Daerah belum sepenuhnya memenuhi asas-asas pembuatan peraturan perundang-undangan yang baik dan benar, khususnya perda retribusi daerah yang dibuat tidak berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten/kota, yang mengakibatkan ada beberapa peraturan

daerah yang bermasalah dan dibatalkan oleh pemerintah pusat, Dalam penyelesaian tesis ini terdapat beberapa kendala yang dihadapi, namun atas kehendak Allah Subbahanahu Wa Ta`ala, dan atas

bantuan berbagai pihak baik moral maupun materil sehingga tesis ini dapat terselesaikan. Karena itu penulis menghaturkan terimakasih kepada : 1. Bapak DR.Muh,Guntur Hamzah ,SH.MH, sebagai ketua komisi pembimbing dan Bapak Muh.Yasin Nahar,SH.MH, selaku anggota komisi pembimbing. 2. Bapak Supriadi,SH.MH, Bapak Ridwan Thahir,SH.MH, Bapak Aminuddin Kasim,SH.MH, selaku anggota tim penguji dan seluruh dosen pengajar

iv

pascasarjana ilmu hukum Angkatan I UNHAS UNTAD yang telah memberikan ilmu dan membimbing kepada penulis. 3. Bapak Prof. (Em) H.Aminuddin Ponulele, selaku Gubernur Sulawesi

Tengah dan Bapak H.Usman Suhudin,SH.MH selaku Kepala Biro Hukum dan Perundang-undangan Setda Prop.Sulteng yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program pascasarjana Universitas Hasanuddin kerjasama Universitas Tadulako , 4. Rektor UNHAS, UNTAD dan staf Pascasarjana UNTAD serta rekan-rekan angkatan I penulis. 5. Kepala Dinas Pendapatan Kota Palu , Staf bagian Hukum Kota Palu, , Staf Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Palu, Anggota DPRD dan Staf Sekertariat DPRD Kota Palu dan dan rekan-rekan di Biro Hukum dan perundang-undangan Setda Prop.Sulteng dan kepada mereka yang tidak sempat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bahan dan program Pascasarjana Ilmu Hukum yang telah membantu

informasi kepada penulis. 6. Ayahanda dan Ibunda tercinta H,A.Latief dan H.Yuniati serta kakak dan adik-adik tersayang yang telah memberikan doa yang tulus dan dorongan moril pada penulis sehingga studi kami dapat terselesaikan.

v

7. Kepada suami tercinta dan anak-anakku tersayang yang dengan tulus dan ihlas mendoakan dan memberikan dukungan moril kepada penulis sehingga dapat terselesaikan studi ini dengan baik dan lancar. Akhirnya hanya kepadaNyalah penulis kembalikan semoga Allah Subbahanahu Wa Ta`ala senantiasa memberikan Ridho dan bimbingan kepada kita semua Amin. Terima kasih.

Palu, 4 Pebruari 2005.

Penulis

vi

ABSTRAKRatnawati Latief. Implementasi Peraturan Daerah Kota Palu Yang Berorientasi Bagi Kepentingan Masyarakat Dalam Menunjang Otonomi Daerah (dibimbing oleh Muh.Guntur Hamzah dan Muh.Yasin Nahar) Studi ini bertujuan untuk mengetahui apakah peraturn daerah khususnya pajak dan retribusi daerah yang berkaitan dengan pendapatan asli daerah kota palu telah memenuhi kriteria pembuatan peraturan daerah yang baik. Dengan melihat asas-asas pembuatan peraturan daerah mulai dari tahap persiapan penyusunan draf rancangan peraturan daerah sampai dengan pengesahan dan pengundangan dalam lembaran daerah kota Palu. Metode yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah kajian normatif dengan penekanam pada pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan yang berdasarkan peraturan perundang-undangan . Hasil penelitian (pengkajian) menunjukkan bahwa peraturan daerah kota Palu pada umumnya disusun berdasarkan visi misi pemerintah daerah tanpa didahului penyusunan naskah akademik dan masyrakat tidak terlibat secara langsung dalam penyusunan draf rancangan peraturan daerah. Khusunya yang berkaitan dengan Pajak atau Reribusi dimana yang menjadi subjek/objek pungutan adalah masyarakat , sehingga peraturan daerah yang disusun belum sepenuhnya mengacu pada asas-asa pembuatan peraturan daerahyang baik . Oleh sebab itu maka ada beberapa peraturan daerah Kota Palu yang telah dibatalkan oleh pemerintah pusat.

vii

ABSTRACTRatnawati Latief. The Implementasion Of Regional Regulation of Palu City Oriented for the community Interest in Supporting the Regional Autonomy (Under the supervision of muh. Guntur Hamzah and Muh. Yamin Nahar). This research aimend at finding out if regional regulations, especially tax and original contribution related to original real income have fulfilled the criteria for creating proper regional regulation. By looking at the requirements of creating a regional regulation starting from the preparation of regional regulation up to the legitimating and regulating the regional paper of Palu City. Method used in thus thesis writing was normative study with the stressing on normative juridical approsch, that was an approach based on the regulations. The result of this research shaw that the regional regulations of Palu City was regenerally arranged based on the community vision and mission without preceded by the arrangement of academic text and the community did not involve directly in the making of the draft of regional regulations, especially those related to tax or retribution in which the community became the subject/object of it. As the result, the arranged regional regulations have not reffered fully to requirements of making Palu City that have been cancelled by the central government.

viii

DAFTAR ISI. Halaman Judul...........................i Halaman Pengajuan .,.ii Halaman Persetujuan Pembimbing.....iii Kata Pengantar ...iv Abstrak ....vii Abstrack .....viii Daftar Isi ......ix BAB I PENDAHULUAN .............................. 1 A. LatarBelakang ..................................... 1

B. Rumusan Masalah ., ................................. 9 C.TujuanPenelitian .................................. 9 D. Kegunaan Penelitian .........................,,,..10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................11 A. Bentuk Negara Kesatuan ........................................11 B. Kewenangan Daerah .................................16

C. Pemencaran Kewenangan.. ................................. 27 D. Tata Cara Pembuatan Peraturan Daerah .....................................36 E. Kerangka Pikir .......................................39 F. Skema Kerangka Pikir ....................... 42

ix

BAB IIIA.

METODE PENELITIAN........................................ 43 Lokasi Penelitian .... ................... ..

..... 43B.

Bentuk dan Pendekatan Penelitian ....................... . 43

C.

Sumber Data Penelitian ............... ................... 43

D.

Definisi Operasional ..... ......................44 BAB IV PEMBAHASAN/HASIL PENELITIAN .................................................48 A. Penerapan Asas-asas Pembuatan Peraturan Daerah yang baik dalam menunjang otonomi daerah di Kota Palu .............................................................................................48 B. Urgensi Peraturan Daerah Kota Palu........................................... 82 BAB V P E N U T U P.......................................................................................94A. B.

Kesimpulan......................................................................................94 Saran...............................................................................................95

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................97

x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu problema yang dihadapi oleh sebagian daerah adalah

kabupaten/kota dalam lingkup Provinsi Sulawesi Tengah dewasa ini

berkisar pada upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Problema ini muncul karena adanya kecenderungan berpikir dari sebagian kalangan birokrat di daerah yang menganggap bahwa parameter utama yang menentukan kemandirian suatu daerah dalam berotonomi adalah terletak pada besarnya Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kecenderungan berpikir di atas dapat dipahami karena adanya perspektif sejarah pemerintahan daerah yang mengungkap mengenai penyebab keterbelengguan daerah baik secara politis maupun secara ekonomis lewat piranti hukum pemerintahan daerah, yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 beserta semua peraturan pelaksanaannya. Piranti hukum itulah yang membatasi kewenangan daerah untuk tumbuh dan berkembang dalam rangka menggali segala potensi ekonomi yang strategis di daerah. Nuralam Abdullah menyatakan bahwa dari perspektif sejarah

mengungkapkan bahwa pemerintah daerah pada masa lalu sangat bergantung pada subsidi dana dari pemerintah pusat. Hasil identifikasi dan inventarisasixi

kemampuan

keuangan

daerah

yang

dilakukan

oleh

Direktur

jenderal

Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah (PUOD) menunjukkan bahwa hanya 21,92% dari 292 Daerah Tingkat II di Indonesia yang dipandang mampu untuk membiayai pembangunan daerahnya.1 Ketergantungan daerah pada subsidi pemerintah pusat juga

diungkapkan oleh Bagir Manan, bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) baik Daerah Tingkat I maupun Daerah Tingkat II, tidak mencukupi untuk membiayai diri sendiri.2 Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar dari Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah (APBD) barasal dari bantuan pemerintah pusat. Bantuan keuangan yang besar telah memberikan kesempatan lebih besar kepada daerah untuk melaksanakan berbagai tugas pelayanan pada tetapi ketergantungan keuangan ini menimbulkan akibat

masyarakat,

penyelenggaraan otonomi daerah tidak sepenuhnya dapat berjalan, dan dilain pihak mengundang kuatnya campur tangan pemerintah pusat dalam

penyelenggaraan urusan rumah tangga daerah. H.Tabrani Rab juga mengungkapkan data mengenai rendahnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah. Kemampuan PAD sejumlah daerah Tingkat II di seluruh Indonesia pada tahun 1993/1994 hanya sebesar 11,24 %, dan dalam perjalannya setiap tahun cenderung mengalami penurunan.1

Nuralam Abdullah, Jurnal Otonomi Daerah ,DEPDAGRI, Jakrarta, 2001,h.3. Bagir Manan, Hubungan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah menurut UUD 1945,Pustaka Sinar Harapan , Jakarta, 1994,h.207.

2

xii

Sebaliknya proporsi bantuan Pemerintah Pusat meningkat dari 63,87 % pada tahun 1985 / 1986 menjadi 70,87 % pada tahun 1993 / 1994.3 Realitas mengenai rendahnya PAD di sejumlah daerah pada masa lalu, akhirnya mengkondisikan daerah untuk tidak berdaya dan selalu

bergantung pada bantuan pembiayaan atau subsidi dana dari pemerintah pusat. Kondisi demikian ini pada akhirnya menjadi salah satu argumentasi yang

mendorong perlunya percepatan reformasi dalam lingkup pemerintahan, hingga ditandai dengan pembentukan Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kehadiran Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999 tidak hanya bermaksud mengatasi

permasalahan keuangan daerah melalui pemberian kewenangan yang luas kepada daerah untuk menggali sejumlah potensi ekonomi yang ada di daerah, melainkan juga menekankan pada upaya peningkatan efesiensi dan efektifitas pengelolaan sumber-sumber keuangan dalam rangka peningkatan

kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dimungkinkan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 7 Ayat 1 Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999, yaitu adanya kewenangan daerah yang mencakup seluruh bidang

pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta lain.43

kewenangan bidang

H,Tabrani Rab, Jurnal Otda ,Jakarta, 1999,h.17 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah,

4

xiii

Kewenangan yang diberikan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 7 Ayat 1 Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999, harus diakui sebagai suatu peluang dan sekaligus mengandung sejumlah tantangan bagi daerah yang memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah ruah, sehingga pembiayaan pembangunan daerah dan pengeluaran rutin mungkin bukan permasalahan yang serius. Sebaliknya, bagi daerah yang tidak memiliki potensi sumber daya alam yang memadai, persediaan anggaran pembangunan dan anggaran rutin, tentu saja akan menjadi permasalahan serius. Ketentuan tersebut juga tetap diatur pada Undang Undang pemerintahan daerah yang baru yaitu pada Pasal 14 Ayat (1) Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 .

Hasil penelitian Badan Peneliti dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri bekerja sama dengan Universitas Gajah Mada, Syarifuddin

Tayeb menyatakan bahwa dari 292 (dua ratus sembilan puluh dua) Daerah Kabupaten yang diteliti menunjukkan rendahnya konstribusi pendapatan asli daerah terhadap pembiayaan daerah yaitu : a. 122 Daerah Kabupaten berkisar antara 0,53 % - 10 % b. 86 Daerah Kabupaten berkisar antara 10 % - 20 %

c. 43 Daerah Kabupaten berkisar antara 20,1 % - 30 % d. 17 Daerah Kabupaten berkisar antara 31,1 % - 50 % e. 2 Daerah Kabupaten berkisar di atas 50 %

Rendahnya konstribusi pendapatan asli daerah terhadap pembiayaan daerah, karena daerah hanya diberikan kewenangan mobilisasi sumber dana pajak dan yang mampu memenuhi hanya sekitar 20% - 30% dari total

penerimaan untuk membiayai kebutuhan rutin dan pembangunan, sementara 70% - 80% didrop dari pusat.5Selain karena persoalan kewenangan yang terbatas dalam memobilisasi sumber dana pajak dan retribusi, juga terdapat persoalan yang bersifat teknis yuridis yaitu dalam bentuk regulasi yang dijadikan dasar hukum bagi daerah untuk memungut Pendapatan Asli Daerah, baik yang bersumber dari Pajak maupun dari Retribusi Daerah. Temuan penelitian Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mengungkapkan bahwa dari 340 Peraturan Daerah (PERDA) Pemerintah Jakarta 1999.5

Syarifuddin Thayeb, Hasil Penelitian Badan Peneliti dan Pengembangan Depdagri an UGM, Yogyakarta, 2001, h.5.

xiv

Kabupaten/Kota/Propinsi pada 28 Propinsi yang dievaluasi selama tiga tahun terakhir, ternyata 69 % PERDA Pajak dan Retribusi dan PERDA non Pajak dan Retribusi yang dinyatakan bermasalah. 6 Menurut Agung Pambudi (Peneliti Komite Pemantau Pelaksana Otonomi Daerah) bahwa permasalahan yang menonjol pada Peraturan Daerah tersebut adalah berkisar pada masalah substansi, yaitu sekitar 42 %, dan selebihnya menyangkut masalah prinsip (10%) serta masalah teknis (17%). 7 Fenomena Perda-perda bermasalah juga diungkap oleh sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat-SMERU Research Institute bekerjasama dengan USAID dan Partnership for Economic Growth (PEG), bahwa pada tahun 2000-2001 di Sumatera sedikitnya tercatat tiga Kabupaten menerbitkan Perda yang berdampak negatif pada iklim usaha, yaitu Karo, Simalungun dan Deli Serdang. Menurut Ilyas Saad, dari SMERU Research Institute, pungutan yang paling menonjol terjadi di Deli Serdang, yaitu sumbangan wajib untuk usaha perkebunan, retribusi hasil usaha pertambakan sebasar 20% dari harga dasar perkilogram. Retribusi izin penebangan dan pemanfaatan kayu karet sebesar Rp.1.500,- permeter kubik, dan pajak pembudidayaan dan pemanfaatan sarang burung walet sebesar 20 % dari harga dasar perkilogram. Selain itu masih ada berbagai pungutan lain yang memberatkan dunia usaha, antara lain retribusi kesehatan hewan bagi setiap peternak 8 Fenomena perda-perda bermasalah sempat mengusik banyak pihak, terutama bagi kalangan pelaku usaha. Pihak Departemen Keuangan RI telah merekomendasikan sebanyak 206 Perda untuk dicabut oleh Menteri Dalam Negeri. Rekomendasi itu didasarkan pada suatu kajian antar departemen dimana dinilai memberatkan pengusaha sehingga menjadi kontraproduktif bagi pertumbuhan ekonomi daerah.9 Departemen Dalam Negeri juga mencatat sebanyak kurang lebih 7000 Perda yang dinilai tidak layak. Perda-perda sebanyak itu dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta menimbulkan tumpang tindih dan kerancuan 10 Harus diakui bahwa fenomena Perda Perda bermasalah juga terjadi di daerah kabupaten/kota dalam lingkup Propinsi Sulawesi Tengah. Hal ini dapat kita diketahui dari beberapa Perda kabupaten/kota yang telah dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri antara lain : 1. Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 6 Tahun 2001 tentang Retribusi Izin Rumah Kost/Pemondokan. 2. 3. Peraturan Daerah Kabupaten Tolitoli Nomor 25 Tahun 2001 tentang Pajak Komoditi Peraturan Daerah Kabupaten Tolitoli Nomor 57 Tahun 2001 tentang Retribusi Jalan Kabupaten.

6

Radar Sulteng, 20 Maret 2002,69 Persen Perda Bermasalah. Ibid. Kompas, 14 Agustus 2003,Semua dilakukan demi mengejar PAD. Ibid Ibid

7 8

9

10

9

1

xv

4.

Peraturan Daerah Kabupaten Morowali Nomor 59 Tahun 2001 tentang Tempat Pendaratan Kapal.

5.

Peraturan Daerah Kabupaten Morowali Nomor 66 Tahun 2001 tentang Izin Pemilikan dan Penggunaan Gergaji Rantai.

6.

Peraturan Daerah Kabupaten Morowali Nomor 68 Tahun 2001 tentang Penarikan Sumbangan Pihak Ketiga Kepada Pemerintah Daerah .

Tentunya masih banyak lagi peraturan daerah yang bermasalah akan menyusul untuk dibatalkan dengan berbagai pertimbangan/alasan pembatalan.

B. RUMUSAN MASALAH

Berkenaan dengan implementasi peraturan daerah yang berorientasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam menunjang pelaksanaan Otonomi Daerah di kota Palu, maka masalah yang akan dibahas dalam tesis ini adalah : 1. Apakah peraturan daerah khususnya pajak dan retribusi daerah yang berkaitan dengan pendapatan asli daerah telah memenuhi asas-asas pembuatan peraturan daerah yang baik dalam

menunjang pelaksanaan otonomi daerah di kota Palu? 2. Apakah peraturan daerah yang mengatur pendapatan asli daerah

sudah berorientasi pada kepentingan masyarakat kota Palu? B. Tujuan Penelitian

Tujuan

penelitian

sebagaimana

permasalahan

yang

telah

dikemukakan di atas adalah untuk :

xvi

1. Mengetahui apakah peraturan daerah khususnya pajak daerah dan retribusi daerah yang berkaitan dengan pendapatan asli daerah telah memenuhi keriteria pembuatan peraturan daerah yang baik

menunujang pelaksanaan otonomi daerah di Kota Palu. 2. Mengetahui peraturan daerah kota Palu apakah sudah sesuai kepentingan masyarakat .

C. Kegunaan Penelitian. Atas hasil penelitian yang dilakukan, diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Bahan untuk pengembangan ilmu hukum, khususnya tata negara, dan merupakan sumbangan pemikiran bagi unsur pemerintah daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah di kota Palu. 2. Bahan informasi kepada pemerintah kota Palu khususnya dan pemerintah Sulawesi Tengah pada umumnya.

xvii

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Bentuk Negara Kesatuan Perjalanan sejarah bangsa Indonesia selama kemerekaan telah mengalami pasang surutnya pemerintahan melalui beberapa kali penggantian Undang Undang Dasar. Perubahan bentuk negara dan pemerintahan, mulai dari sistem presidentil berubah menjadi sistem parlementer, dan kembali lagi menjadi sistem presidentil.Tiap Undang Undang Dasar mempunyai sifat yang sudah dikenal dalam pelaksanaannya. Undang Undang Dasar 1945 dengan Negara Kesatuan, Undang Undang Dasar Republik Indonesia Serikat dengan negara federal dan Undang Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 menganut negara kesatuan. Dalam konteks Negara Kesatuan dan Negara Federal menurut pendapat H.M.Laica Marzuki mengingatkan bahwa Negara Federal bukanlah nomenklatur kenegaraan dalam negara Kesatuan (eenheidsstaat atau unitary state). Negara kesatuan tidak mengenal bentuk pemerintahan federal. Negara Federal bukan negara kesatuan, tetapi negara persatuan. Menurut Aminuddin11, pada sidang BPUPKI tanggal 14 Juni 1945 Muhammad Hatta menyinggung juga ciri negara kesatuan sebagai berikut: Kita telah menyetujui bentuk negara kesatuan (eenheidstaat).Oleh karena itu di bawah Negara Indonesia tidak ada negara bawahan, tidak ada onerstaat, akan tetapi hanya ada daerah-daerah pemerintahan belaka. Pembagian daerah Indonesia dan bentuk pemerintahan daerah ditetapkan dengan undang-undang.

Bagi Kuntjoro Purbopranoto, bahwa kodratnya negara kesatuan adalah adanya organisasi yang dibentuk sebagai daerah swatantra didalamnya, namun hak otonominya tidak boleh melampaui volume yang akan menjadikan daerah swatantra itu sebagai satu negara bagian seperti halnya di zaman federasi.12 Pada konsep Negara Federasi menurut Andi Mustafa Pide , kekuasaan dalam negara seluruhnya dibagai antara Pemerintah Negara Federal1 1 Aminuddin, Pemberdayaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Palu Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah, Tesis tidak diterbitkan, Palu, Program Pascasarjana, UNHAS. 2

1

Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1981,h.67.

xviii

dengan Pemerintah Negara-negara Bagian yang berfederasi sedemikian rupa, sehingga Pemerintah Federal mengendalikan kekuasaan dalam suatu lingkungan tertentu. Sementara Pemerintah Negara-negara Bagian mengendalikan kekuasaan tertentu yang lain, tanpa pengawasan Pemerintah Federal. Pembagian kekuasaan negara kepada Negara Federal dan kepada Negara-negara Bagian ditetapkan dalam suatu konstitusi, terutama kekuasaan Pemerintah Federal terhadap hubungan luar negeri, mencetak uang, dan militer. Sementara sisanya menjadi wewenang megara-negara Bagian.13 Andi Mallarangen dan M.Ryaas Rasjid dalam Kompas, 1999:18) menjelaskan bahwa pembentukan suatu negara federasi melalui dua tahap yaitu tahap pertama adalah pengakuan atas keberadaan negara-negara, dan wilayah independen, dan tahap kedua adalah kesepakatan mereka membentuk negara federal. Ini bisa dilihat dalam sistem federalisme di Amerika Serikat dan Malaysia.14Perbedaan karakteristik menurut Aminuddin15 antara negara federasi dengan negara kesatuan, dijelaskan oleh R,Kranenburg dengan mengemukakan dua kriteria berdasarkan hukum positif sebagai berikut:

a. Negara bagian suatu federasi memiliki pouvoir constituant, yakni wewenang membentuk Undang-undang Dasar sendiri serta wewenang mengatur bentuk organisasi sendiri dalam rangka dan batas-batas konstitusi federal. Sedangkan dalam negara kesatuan, organisasi bagian-bagian negara (yaitu:Pemerintah Daerah) secara garis besarnya telah ditetapkan oleh pembentuk undang-undang pusat; b. Dalam negara federal, wewenang membentuk undang-undang pusat untuk mengaturhal-hal tertentu telah diperinci satu persatu dalam konstitusifederal. Sedangkan dalam negara kesatuan, wewenang pembentukan Undang-undang rendahan (lokal) tergantung pada badan pembentuk Undang-undang pusat itu.Dengan adanya perbedaan tersebut di atas, maka dalam Negara Kesatuan dapat diidentifikasi ciri batasan hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yaitu:

1

3

Andi Mustafa Pide,Otonomi Daerah dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI,Gaya Media Pratama, Jakarta, 1999, h.24. Kompas, 7 Desember 1999, Otonomi dan Federalisme, Feeralisme untuk Indonesia Op.Cit,h.13.

14

.15 1

xix

1. Pemerintah Daerah tidak memiliki kedaulatan secara sendiri-sendiri dan terlepas dari kedaulatan negara kesatuan, dan kedudukan pemerintah daerah merupakan bagian dari pemerintah negara kesatuan. 2. Kekuasaan dan atau kewenangan pemerintah pusat ditetapkan secara umum dalam Undang-undang Dasar, sedangkan kekuasaan dan atau kewenangan pemerintah daerah termasuk dalam pembentukan produk hukum ditetapkan tingkat pusat. Meskipun terdapat perbedaan format hubungan kekuasaan antara negara kesatuan dengan negara federal, namun terdapat segi-segi persamaan. Aminuddin mengungkapkan segi persamaannya sebagai berikut: Kesamaan mendasar antara negara federal dengan negara kesatuan terletak pada tiga bidang utama, yaitu pertahanan eksternal, sistem moneter dan fiskal, serta politik luar negeri. Pada kedua sistem, ketiga bidang ini sama-sama tetap dipegang oleh pemerintah federal. Di negara kesatuan, semua bidang kegiatan pemerintahan lainnya tetap dipegang oleh pemerintah pusat, sementara di negara federal, seluruh bidang lainnya dipegang oleh pemerintah negara bagian.16 Para pendiri negara telah memilih negara kesatuan sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 dan bukan negara federal. Hal ini didasarkan pada alasan-alasan yang rasionil sebagaimana dikemukakan oleh Soepomo pada persidangan pertama BPUPKI, pada tanggal 31 Mei 1945, menyatakan dengan sendirinya negara secara federasi kita tolak, karena dengan mengadakan federasi itu, bukanlah mendirikan satu negara, tetapi beberapa negara. Sedangkan kita16

oleh lembaga pembuatan undang-undang di

Op.Cit, h.16.

xx

hendak mendirikan satu negara, soal pemerintahan apakah yang akan diurus oleh pemerintah pusat dan apakah yang akan diserahkan kepada pemerintah daerah, baik daerah besar maupun daerah kecil, itu semuanya akan tergantung daripada doelmatigheid, berhubungan dengan waktu dan tempat. Selain alasan tersebut di atas, pilihan pada format negara kesatuan dan menolak negara federasi (serikat), juga dikemukakan oleh Muhammad Yamin (Sekertaris Negara RI,1995) pada persidangan kedua BPUPKI mengenai acara persiapan penyusunan rancangan UUD, tanggal 11 Juli 1945, bahwa

saya yakin dunia internasional agak memandang kita kuat dengan negara unitarisme dan memandang kita lemah kalau kita menutup negara federalisme dengan atap yang hanya berupa unitarisme pura-pura. Syarat-syarat Negara Kesatuan adalah berisi bahan-bahan yang kita idam-idamkan dengan sehebathebatnya Selain daripada itu negara serikat atau negara sekutu menyinggung perasaan, karena di dalam perkataan serikat dan sekutu tersimpan perasaan sekutu, sedangkan Negara Kesatuan benar-benar mewujudkan persatuan yang menjadi dasar pergerakan kita dalam 40 tahun iniBerkaitan dengan alasan-alasan di atas, Muhammad Yamin dalam bukunya Proklamsi dan Konstitusi RI mengungkapkan, bahwa negara kesatuan membuang federalisme. Negara kesatuan dijalankan secara otonomi di daerah-daerah, karena untuk kepentingan daerah, maka pembagian kekuasaan dan kemerdekaan harus pula dijalankan secara adil menurut keharusan administrasi dan kepentingan daerah17.

B. Kewenangan Daerah. Kewenangan daerah otonom secara jelas disebutkan dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 dalam Pasal 7 Ayat (1) yaitu: Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan,17

Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi RI, Ghalia, Indonesia, 1982,h.77

xxi

moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain. Pada Undang undang Nomor 32 Tahun 2004 diatur pada Pasal 10.

(1) Kewenangan

daerah

kabupaten

dan

kota

mencakup

semua

kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan dalam Pasal 7 dan yang diatur dalam Pasal 9.(2)

Bidang

pemerintahan

yang

wajib

dilaksanakan

oleh

Daerah

Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja. Dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 hal tersebut secara rinci telah disebutkan pada Pasal 14 Ayat (1) kewenangan untuk daerah kabupaten/kota meliputi 16 kewenangan dan pada Ayat (2) urusan

pemerintahan ada juga bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.Memperhatikan kewenangan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat diketahui bahwa terdapat sejumlah kewenangan dibidang pemerintahan yang tidak diserahkan kepada daerah, sehingga kewenangan tersebut tetap menjadi wewenang pemerintah pusat dalam wujud dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Menurut Syaukani HR, pada Seminar Otonomi Daerah Starategi Pemberdayaan Daya saing Daerah menyatakan bahwa kebijkan otonomi daerah berdasarkan Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 merupakan kebijakan yang lahir dalam rangka menjawab dan memenuhi tuntutan revormasi dan demokratisasi hubungan pusat dan daerah serta upaya pemberdayaan daerah. 18

Inti otonomi daerah adalah demokratisasi dan pemberdayaan. Otonomi daerah. Sebagai demokratisasi berarti ada keserasian antara pusat,1 8

Syaukani HR, Seminar Otonomi daerah Starategi Pemberdayaan Daya saing Daerah (Jurnal Otda, Nomor 3,2001:10

xxii

daerah dan daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan, kebutuhan dan aspirasi masyarakatnya. Aspirasi dan kepentingan daerah mendapat perhatian dalam setiap pengambilan kebijakan oleh pusat, sedangkan otonomi daerah pemberdayaan daerah merupakan suatu proses pembelajaran dan penguatan bagi daerah untuk mengatur, mengurus dan mengelola kepentingan dan aspirasi masyarakat sendiri. Pada Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom tujuan peletakan kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah peningkatan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan, demokratisasi dan penghormatan terhadap budaya lokal dan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Atas dasar inilah Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan

bertanggungjawab kepada daerah sehingga daerah diberikan peluang untuk mengatur dan melaksanakan kewenangannya atas prakarsa sendiri dengan memperhatikan kepentingan masyarakat setempat dan potensi daerahnya. Kewenangan ini merupakan upaya untuk membatasi kewenangan Pemerintah dan kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom, karena Pemerintah dalam hal ini pemerintah pusat dan pemerintah Propinsi hanya diberi kewenangan sebatas yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000.

Kewenangan pemerintah daerah dilaksanakan secara luas, utuh dan bulat meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi pada semua aspek pemerintahan.

xxiii

Kewenangan otonomi luas adalah Keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dibidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, agama serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah.Otonomi nyata adalah Keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan otonomi yang bertanggungjawab adalah berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serat pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dasar pemikiran Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut di atas, menunjukkan bahwa prinsip pemberian otonomi dalam pelaksanaan pemerintahan daerah meliputi beberapa hal yaitu:1. Mengutamakan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanegaragaman daerah. 2. Otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab. 3. Otonomi daerah yang luas, utuh diletakkan pada daerah kabupaten/kota, sedangkan daerah propinsi menunjukkan otonomi yang terbatas. 4. Otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara,

sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah. 5. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom oleh sebab itu daerah kabupaten dan kota tidak ada lagi wilayah administratif. 6. Pelaksanaan otonomi daerah lebih meningkatkan peran dan fungsi badan legislatif daerah. 7. Asas dekonsentrasi masih diberikan dan dilaksanakan di daerah propinsi dalam kedudukan sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.

xxiv

8. Tugas pembantuan dimungkinkan dari pemerintah kepada daerah maupun dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai pembiayaan dengan melaporkan

pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan. Dengan memperhatikan prinsip otonomi yang dianut dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 yaitu otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab, maka tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah dalam rangka peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah, maupun antara daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pemberian

otonomi

kepada

daerah

adalah

untuk

mengantar

masyarakat kearah kehidupan yang lebih baik melalaui kegiatan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pemberian pelayananan kepada masyarakat yang semakin dekat. Penyelenggaraan urusan pemerintah pada Undang

Undang 32 Tahun 2004 telah diatur dalam Pasal 11, urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi dengan

memperhatikan keserasian hubungan antara susunan pemerintahan, sehingga ada keterkaitan, ketergantungan dan sinergis sebagai satu system pemerintahan oleh sebab itu urusan pemerintahan ada yang wajib dan ada pilihan yang nantinya dalam pelaksanaannya akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, kewenangan Kabupaten/kota tidak diatur, karena Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 pada dasarnya meletakkan semua kewenangan pemerintahan pada daerah kabupaten/kota, kecuali yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000. Penyelenggaraan otonomi daerah memberikan indikasi bahwa daerah diharapakan dapat menggali potensi sumber-sumber keuangan sendiri dalam rangka membiayai urusan rumah tangganya. Keharusan tersebut tidak dapat dipungkiri oleh karena merupakan persyaratan dalam sistem pemerintahan daerah.

Untuk penyelenggaraan Otonomi Daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri yang didukung oleh perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah serta antara Propinsi dan Kabupaten/Kota yang merupakan persyaratan dalam sistem pemerintahan daerah.Sejalan dengan hal tersebut, Bagir Manan mengatakan bahwa: Desentralisasi khususnya otonomi dimanapun tidak dapat dipisahkan dari masalah keuangan. Hak mengatur dan mengurus rumah

xxv

tangga sendiri menyiratkan makna membelanjai diri sendiri. Membelanjai diri sendiri atau pendapatan sendiri menunjukkan bahwa daerah (harus) mempunyai sumber pendapatan sendiri.19 Hal senada dikemukakan juga oleh Andi Mallarangeng,dkk bahwa:Tidak ada masalah yang lebih besar dalam pemerintahan lokal selain kelangkaan sumber daya keuangan.Keuangan inilah yang sering menjadi pengahalang mengimplementasikan beberapa program pembangunan penting. Dengan demikian peningkatan aministrasi pemerintahan dalam pembangunan ditingkat local tidak akan ada artinya tanpa tanpa adanya peningkatan keuangan daerah.20

Berdasarkan

hal

tersebut

di

atas

dapat

diketahui,

bahwa

pemerintahan daerah tidak terlepas dari masalah keuangan daerah, sehingga pemerintah daerah harus memacu upaya menggali sumber-sumber pendapatan karena seluruh kegiatan pemerintah daerah harus dibiayai oleh pemerintah daerah sendiri sesuai dengan kewenangan yang telah diserahkan. Oleh karena itu untuk memungut pendapatan yang legal harus dibuat instrumen hukumnya yaitu Peraturan Daerah yang pada penetapannya harus mendapat persetujuan secara konstitusioanl dari lembaga legislatif/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan .Dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 secara tegas mengatur tentang sumber pendapatan daerah dalam Pasal 79, pada Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tercantum pada Pasal 157.

Sumber pendapatan daerah terdiri dari: a. Pendapatan Asli Daerah (PAD) meliputi: 1. Hasil pajak daerah; 2. Hasil retribusi daerah; 3. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan

1

9

Bagir Manan, Hubungan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah menurut Undang Undang Dasar 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, h.208.0

2

A.Mallarangeng ,dkk,Otonomi Daerah Prospektif,Teoritis dan Praktis,BIGRAF,Publishing, Yogyakarta, 2001,h. 132.

xxvi

4. lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. b.Dana perimbangan; c.Pinjaman daerah, dan d. Lain-lain pendapatan daerah yang sah. Sumber-sumber pendapatan daerah sebagaimana tersebut di atas juga ditegaskan dalam Pasal 3 Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, pada Pasal 6 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 antara lain disebutkan bahwa sumbersumber penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi adalah: a. Pendapatan asli daerah; b. Dana perimbangan; c. Pinjaman daerah; d. Lain-lain penerimaan yang sah. Penyelenggaraan pemerintahan dalam pelaksanaan pembangunan serta pemberian pelayanan kepada masyarakat dimasa yang akan datang semakin meningkat dan kompleks, yang membawa konsekuensi bagi pemerintah daerah terutama untuk membiayai kegiatan-kegiatannya. Oleh karena itu pemerintah daerah senantiasa melakukan upaya-upaya untuk menggali dan meningkatkan penerimaan secara kontinyu dan berkelanjutan agar

konstribusinya semakin dominan dalam pembiayaan pemerintah daerah.Kenyataan yang kita hadapi saat ini banyak peraturan daerah yang berorientasi pada pendapatan asli daerah yang dibuat tanpa melibatkan mempedomani asasperan serta masyarakat dan belum

xxvii

asas pembuatan perundang-undangan yang baik sehingga pada implementasinya tidak efektif karena hanya membebani masyarakat . Peraturan daerah sebagai bagian dari hukum tertulis mempunyai fungsi antara lain sebagai alat pengendali sosial, sebagai sarana rekayasa masyarakat, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan, sebagai simbol pemerintahan yang demokratis, karena dibuat bersama antara eksekutif dan legislatif. Pendapatan asli daerah merupakan salah satu modal dasar pemerintah daerah untuk mendapatkan dana pembangunan dan memenuhi belanja daerah. Pendapatan asli daerah adalah usaha daerah untuk memperkecil ketergantungan dalam mendapatkan dana atau bantuan dari pemerinntah pusat. Di dalam masyarakat terdapat berbagai kepentingan dan diantara kepentingan tersebut ada yang saling bertentangan, agar tidak menjadi konflik maka hukum harus mencegahnya . Menurut Achmad Ali bahwa hukum sering disalahartikan, ia hanya akan berfungsi jika terjadi konflik, padahal hukum telah berfungsi sebelum konflik itu terjadi. 21

C. Pemencaran Kewenangan. Dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan berbentuk Republik. Ketentuan konstitusional ini memberikan pesan bahwa negara Republik Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 dibangun dalam bentuk kerangka negara yang berbentuk kesatuan, bukan federasi. Oleh karena itu daerah

mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi daerah) tanpa lepas dari bingkai negara kesatuan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 Ayat (1) UUD 1945.Di dalam Pasal 18 Ayat (1) UUD 1945 (perubahan kedua) disebutkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan

2

1

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Gunung Agung, Jakarta, 2002, h.112.

xxviii

kota yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan Undang Undang.22

Penggunaan istilah dibagi atas kabupaten dimaksudkan untuk menegaskan hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah yang bersifat hirarkis dan vertikal. Asas pemerintahan daerah ditegaskan di dalam Pasal 18 Ayat (2) bahwa pemerintahan daerah propinsi dan daerah kabupaten/kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Oleh sebab itu secara universal asas pemerintahan daerah mencakup 3 (tiga) asas penting yaitu: 1. Asas desentralisasi 2. Asas dekonsentarsi 3. Tugas pembantuan. Asas dekonsentrasi tidak secara eksplisit dicantumkan pada Pasal 18 Ayat (2). Sarundayang mengartikan desentarlisasi sebagai penyerahan

wewenang dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah, baik yang menyangkut bidang legislatif, judisial ataupun bidang administrasi.23 Pemerintahan desentalisasi menurut H.M.Laica Marzuki disebut juga desentalisasi politik. Rakyat dan wakil-wakilnya turut serta dalam pemerintahan dalam batas-batas wilayah Daerahnya masing-masing. Pemerintahan dengan sistim desentralisasi menimbulkan adanya otonomi daerah karena desentralisasi membutuhkan satuansatuan organisasi pemerintahan untuk merealisasikan wewenang yang telah diserahkan oleh Pemerintah pusat untuk diatur dan diurus2 2

Jimly Asshiddiqie,Konsolidasi Naskah UUD1945 Setelah Perunbahan Kedua,Pusat Studi Negara, Fakultas Hukum UI, Jakarta,2002, h.23. Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah,Sinar Harapan, Jakarta, 2000,h.87

23

xxix

sendiri oleh Daerah. Penyelenggaraan asas desentralisasi secara utuh dilaksanakan oleh daerah kabupaten/kota.24 Amran Muslim mengartikan dekonsentasi sebagai pelimpahan

wewenang dari Pemerintah pusat kepada alat-alat pemerintah pusat yang ada di Daerah.25 Pemerintah pusat sebagai pihak yang melimpahkan wewenang tetap bertanggungjawab terhadap pelaksanaan urusan yang telah dilimpahkan.

Penyelenggaraan asas desentralisasi dan dekonsentralisasi dilaksanakan di propinsi. Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah tugas

kepada daerah dan desa dan dari daerah ke desa untuk melaksanakan

tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan

mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan. Menurut M.Hatta Akhmad pemencaran wewenang berpemerintahan sudah tentu tak terpisahkan dalam rangka untuk mencapai tujuan kehidupan bernegara yang menjadi tugas pemerintah, yang bukan saja berdemensi nasional tetapi juga menjangkau dunia Internasional. Begitu luas tugas pemerintah itu sehingga di daerah-daerah yang bersifat otonom atau bersifat

2 24

Laica Marzuki, 1999, Otonomi Daerah Yang Seluas-luasnya, Taruhan Terakhir Negara Kesatuan RI, Makalah yang disajikan dalam iklat TMPPL-UNHAS,Kerjasama PSKMPL-LPPM,UNHAS,Makassar. Amran Muslim, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni Bandung, 1978, h.35.

25

xxx

administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang.26 Undang Undang yang mengatur otonomi daerah saat ini adalah Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah dan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok Pokok Pemerintahan di Daerah.Menurut Koesoemahatmadja istilah Otonomi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari atas penggalang dua kata yakni : autos dan nomos, Autos bararti sendiri, Nomos berarti Undang-undang. Jadi Otonomi berarti membuat Undang-undang sendiri. Dalam perkembangannya konsep Otonomi Daerah, selain mengandung arti membuat Peraturan Daerah juga utamanya mencakup pemerintahan sendiri.27 Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa otonomi daerah mempunyai kewenangan untuk merumuskan pokok-pokok hukum berupa peraturan daerah, khususnya dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Menurur Syamsul Bachri, bahwa pemberian otonomi bukan hanya sekedar persoalan penambahan jumlah urusan atau persoalan perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah, akan tetapi yang penting adalah : (1) adanya otoritas (authority) yang secara esensial menimbulkan hak untuk mengatur dan mengurus otonomi daerah, (2).Pemerintah Daerah dan segenap lembaga-lembaga Daerah memiliki full authority, full responsibility dan full accountability, dan (3). Tak ada lagi problem birokrasi klasik dan pemerintahan sentralistik.28 Rumusan daerah otonom dan otonomi daerah kita dapat menemukan dalam berbagai referensi di bidang pemerintahan, namun pengertian atau definisi yang akan dikemukakan dalam pembahasan ini, adalah menurut Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974, Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004. Di dalam Undang Undang Nomor 5 tahun 1974, pada Pasal 1 Huruf e daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pengertian sebagaimana dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa suatu wilayah tertentu sebagai daerah otonom memiliki kriteria atau syarat2 6

M.Hatta Akhmad, Aspek Hukum Otonomi Daerah Berkenaan Dengan Peningkatan Sumber Pendapatan Asli Daerah, Jurnal Toposantoro, Palu, Desember 2000,h.8. Koesoemahatmadja, 1979, Pengantar Kearah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia, Makalah disajikan dalam Seminar an Lokakarya, Makassar.8

2 27

2

Syamsul Bachri, 1999, Otonomi Daerah Dalam Prospektif Struktur dan Fungsi Struktur dan Fungsi Birokrasi Daerah, Makalah yang disajikan dalam Seminar Nasional Otoda Dalam Prospektif Indonesia Baru, Makassar.

xxxi

tertentu yang tidak selalu dapat dipahami oleh wilayah lainnya, misalnya dengan adanya status kesatuan masyarakat hukum, batas wilayah tertentu dan sebagainya.Lain halnya dengan penggertian daerah otonom berdasarkan Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999, pada Pasal 1 Huruf i menyebutkan bahwa: daerah otonom, selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rumusan Daerah Otonom di Undang Undang 32 Tahun 2004, pada dasarnya sama dan tercantum pada Pasal 1 Angka 6 dengan rumusan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi hanya batas daerah diubah menjadi batas wilayah dan ditambahkan urusan pemerintahan . Daerah otonom tersebut pada dasarnya merupakan satu kesatuan wilayah sebagai kesatuan masyarakat yang mempunyai ikatan serta mempunyai kewenangan untuk mengurus kepentingan dengan tetap berada dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Menurut S.H.Sarundajang, peraturan pemerintahan daerah di Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan yaitu mulai dari Undang Undang Nomor 1 Tahun 1945, Undang Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang Undang Nomor 44 Tahun 1950, Undang Undang Nomor 1 Tahun 1957, Undang Undang Nomor 18 Tahun 1965, Tentang Pokok Pokok Pemerintahan Daerah, Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok Pokok Pemerintahan Di Daerah dan terakhir dengan Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Dari undang-undang tersebut kesemuanya menganut prinsip otonomi daerah yang berbeda berdasarkan periode berlakunya.29 Penjelasan umum Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974 mengemukakan

bahwa dalam rangka melancarkan pelaksanaan pembangunan yang tersebar diseluruh pelosok negara dan dalam membina kestabilan politik serta kesatuan bangsa, maka hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah atas dasar keutuhan negara kesatuan diarahkan dalam pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan bertanggngjawab yang dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah, dan dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentarsi.Dari uraian tersebut di atas, dapat diketahui bahwa prinsip yang dipakai dan melandasai pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan undang-undang ini adalah Otonomi yang nyata dan bertanggungjawab.29

Op.Cit.h.177.

xxxii

Nyata dalam arti bahwa pemberian otonomi kepada daerah haruslah didasarkan pada faktor-faktor, perhitungan-perhitungan dan tindakan-tindakan atau kebijaksanaan-kebijaksanaan yang benar-benar dapat menjamin daerah yang bersangkutan secara nyata dan mampu mengurus rumah tangga sendiri. Bertanggungjawab dalam arti bahwa pemberian otonomi daerah benar-benar sejalan dengan tujuan, yaitu melancarkan pembangunan yang tersebar diseluruh pelosok negara . Pada hakekatnya otonomi daerah itu lebih merupakan kewajiban daripada hak yaitu kewajiban daerah untuk ikut melancarkan jalannya pembangunan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang harus diterima dan dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab. Adapun tujuan pemberian otonom kepada daerah adalah untuk meningkatkan dayaguna dan hasilguna penyelenggaraan pemerintahan di daerah terutama dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat, sehingga undangundang ini meletakkan titik berat otonomi pada daerah tingkat II dengan harapan dapat memenuhi aspirasi masyarakat serta untuk menjalankan pembinaan kestabilan politik dan kesejahteraan bangsa. Sebagai konsekuensi, undang-undang ini membuka kemungkinan untuk penghapusan daerah otonom, apabila setelah dibina dan dibimbing serta diberi kesempatan seluas-luasnya ternyata daerah tersebut tidak mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dan hanya bergantung dari subsidi pemerintah.

Berbeda dengan pinsip yang dianut Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999, dengan memperhatikan pengalaman penyelenggaraan otonomi daerah pada masa lampau yang menganut prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab dengan penekanan pada otonomi yang lebih merupakan kewajiban daripada hak, maka dalam undang-undang ini pemberian

kewenangan otonomi daerah Kabupaten dan daerah kota didasarkan kepada asas desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Salah satu aspek penting dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah pemerintah daerah harus mampu menyediakan pelayanan publik sesuai kebutuhan masyarakat, hal ini sesuai dengan fungsi pemerintah daerah untuk mensejahterakan masyarakat. Pada sisi lain dari Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang menganut sistem otonomi luas, nyata dan bertangungjawab, dengan syarat pemerintah daerah dalam menentukan isi otonomi atau kewenangannya haruslah dikaitkan dengan kebutuhan riil masyarakatnya, hal ini

xxxiii

juga tetap diatur pada undang-undang yang baru (Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004). Menurut I.Made Suwandi Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999

tentang Pemerintahan Daerah telah mensyaratkan adanya otonomi yang luas kepada daerah. Kondisi tersebut telah memberikan posisi yang kuat kepada daerah untuk melakukan re-aktualisasi kewenangan atau isi otonomi daerah, yang selama ini cendrung dilakukan secara seragam di seluruh Indonesia tanpa dikaitkan dengan karakter atau kebutuhan nyata dari daerah yang bersangkutan.30

D. Tata Cara Pembuatan Peraturan Daerah. Di dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan, dengan adanya peraturan perundang-undangan pemerintahan yang dan baik tentunya akan menunjang lebih

penyelenggaraan

pembangunan

sehingga

memungkinkan tercapainya tujuan-tujuan Negara yang kita inginkan. Sedangkan untuk membuat suatu peraturan perundang-undangan yang baik sangat diperlukan adanya persiapan-persiapan yang matang dan mendalam antara lain pengetahuan mengenai materi muatan yang akan diatur dalam perundang-

undangan yang akan dibuat, dan bagaimana menuangkan materi muatan tersebut di dalam suatu peraturan perundang-undangan yang secara singkat tetapi jelas, dengan suatu bahasa yang baik serta mudah dipahami, disusun

30

I.Made Suwandi, Jurnal Ota, Nomor 1, 2003, 28.

xxxiv

secara sistimatis, tanpa meninggalkan tata cara sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia dalam penyusunan kalimatnya. Landasan formal/material konstitusional dan landasan yuridis

formal/material pembentukan Peraturan Daerah adalah : 1. Pasal 18 Ayat (6) Undang-undang Dasar 1945 pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. 2. TAP MPR No.IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah. 3. Pasal 18 Ayat (1) huruf d, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, Pasal 113, Pasal 114, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah , sedangkan pada Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang berkaitan dengan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah telah diatur pada Bab VI. Setelah kita memperhatikan landasan formal/material konstitusional dan landasan yuridis formal/material pembentukan Peraturan Daerah maka proses daripada pembentukan suatu peraturan daerah ada 3 tahap yang harus dilalui yaitu: Proses penyiapan rancangan peraturan daerah adalah merupakan proses penyusunan rancangan di lingkungan pemerintah daerah (eksekutif), atau dilingkungan Dewan Perwakilan Rakyat Rakyat Daerah (dalam hal rancangan peraturan daerah usul inisiatif).

xxxv

Proses mendapatkan persetujuan yang merupakan pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Proses pengesahan oleh Bupati/Walikota dan pengundangan oleh Sekertaris Daerah. Prinsip utama pembentukan perundang-undangan berkaitan dengan

hierarkinya adalah peraturan lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Oleh karena itu kekuatan hukum peraturan

perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarkinya. Dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan termasuk peraturan daerah dikenal adanya asas pembentukan sehingga peraturan

perundang-undangan tersebut harus memenuhi prinsip-prinsip tertentu sehingga terjaga keabsahan penerbitannya dan diakui secara formal oleh masyarakat. Syarat-syarat yang perlu mendapat perhatian dalam proses

pembentukan peraturan daerah adalah : 1. Asas kejelasan tujuan artinya untuk apa peraturan daerah tersebut dikeluarkan dan apa tujuan diterbitkan, 2. Asas manfaat 3. Asas kewenangan 4. Asas kesesuaian. 5. Asas dapat dilaksanakan dengan memperhatikan landasan filosofi, landasan yuridis, landasan sosiologis, landasan politis. 6. Asas kejelasan rumusan. 7. Asas keterbukaan.

xxxvi

8. Asas efesiensi.

E. Kerangka Pikir. Indonesia adalah negara hukum, oleh sebab itu semua pungutan yang dilakukan oleh pemerintah kepada masyarakat harus berdasarkan undangundangan khusus untuk daerah propinsi, daerah kabupaten/kota berdasarkan peraturan daerah sebagai peraturan tertinggi yang dibuat oleh daerah. 0tonomi daerah berarti hak, wewenang dan kewajiban yang dimiliki oleh suatu daerah (daerah otonom), dan harus diarahkan dalam rangka mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri dengan tetap berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai konsekuensi bagi suatu negara hukum. Dengan lahirnya Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999, yang kemudian diganti dengan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka rumusan pengertian otonomi daerah secara redaksional dan material mengalami perubahan, sejalan dengan perkembangan dan aspirasi rakyat yang melatar belakangi lahirnya undang-undang tersebut. Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 merumuskan otonomi yaitu hak,, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dengan peraturan perundang-undangan sedang, Tahun 1999 dengan penekanan sesuai

Undang Undang Nomor 22

kewenangan yang menonjolkan kepentingan

xxxvii

masyarakat sebagai alasan dan sekaligus sebagai sasaran perhatian dalam penyelenggaraan otonomi daerah, sehingga cenderung kurang memberikan kesan adanya dominasi pemerintah pusat. Namun demikian wewenang pemerintah pusat harus tetap diakui dan diterima, khususnya bagi daerah kabupaten/kota yang kurang mampu, tidak hanya sebagai konsekuensi status tingkat pemerintahan, tetapi juga aplikasi dan akibat bentuk Negara Kesatuan RI berdasarkan Undang Undang Dasar 1945. Penyelenggaraan otonomi daerah memberikan indikasi bahwa daerah diharapakan dapat menggali potensi sumber-sumber keuangan sendiri dalam rangka membiayai urusan rumah tangganya. Keharusan tersebut tidak dapat dipungkiri oleh karena merupakan persyaratan dalam sistem pemerintahan daerah. Berdasarkan hal tersebut di atas dapat diketahui, pemerintah daerah tidak terlepas dari masalah keuangan , sehingga pemerintah daerah harus memacu upaya menggali sumber-sumber pendapatan karena seluruh kegiatan pemerintah daerah harus dibiayai oleh pemerintah daerah sendiri

sesuai dengan kewenangan yang telah diserahkan. Oleh karena itu untuk memungut pendapatan yang legal harus ada instrumen hukumnya yaitu

peraturan daerah yang dalam pemberlakuaanya telah mendapat persetujuan secara konstitusioanl dari lembaga legislatif/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan. Penyelenggaraan pemerintahan dalam pelaksanaan pembangunan serta pemberian pelayanan kepada masyarakat dimasa yang akan datang semakin meningkat dan kompleks, yang membawa konsekuensi bagi pemerintah

xxxviii

daerah terutama untuk membiayai kegiatan-kegiatannya. Oleh karena itu pemerintah daerah senantiasa melakukan upaya-upaya untuk menggali dan meningkatkan penerimaan secara kontinyu dan berkelanjutan agar

konstribusinya semakin dominan dalam pembiayaan pemerintah daerah. Namun kenyataan yang kita hadapi saat ini banyak peraturan daerah yang berorientasi pada pendapatan asli daerah dibuat tanpa memperhatikan asas-asa pembuatan peraturan daerah yang baik sehingga pada proses pembuatan peraturan

daerahnya tidak melibatkan peran serta masyarakat secara langsung sehingga pada implementasinya tidak efektif karena masyarakat hanya merasa terbebani tanpa pelayanan yang memuaskan bahkan birokrasi makin panjang. Hal ini tentunya bertentangan dengan prinsip otonomi daerah .

E. Skema Kerangka Pikir.

xxxix

SKEMA KERANGKA PIKIR

TIDAK BERMASALAH

TIDAK ADA PELAKSA

OTDA

PERDA PAJAK RETRIBUSI

BERTENTANGA PERATURAN PE UNDANG BERMASALAH

TIDAK MELI MASYARA

BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian. Penelitian dilakukan di kota Palu, dengan didasarkan pada pertimbangan bahwa di kota Palu perda-perda yang telah ada dan berorientasi pendapatan asli daerahxl

sebagai salah satu sumber pembiayaan pemerintah daerah dalam implementasinya belum sepenuhnya memperhatikan kepentingan masyarakat.

Bentuk dan Pendekatan Penelitian Bentuk penelitian yang digunakan adalah kajian normatif dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan, adapun data yang diketemukan

dilapangan hanya merupakan data pendukung .

Sumber Data Penelitian Berdasarkan pendekatan yang digunakan, maka dapat ditentukan sumber bahan penelitian yaitu bahan hukum primer yaitu peraturan perundangundangan, buku literatur hukum, jurnal hukum yang berkaitan dengan objek penelitian dan bahan hukum sekunder berupa tambahan lembaran Negara yang berkaitan dengan objek penelitian, data yang berbentuk angka hanya merupakan data penunjang .

. D. Definisi Operasional.1. Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 2. Otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri,

xli

pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah. 3. Otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. 4. Otonomi bertanggungjawab adalah perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonom, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 5. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur urusan pemerintahan dalam system Negara Kesatuan Republik Imdonesia. 6. Dekonsentrasi aalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu . 7. Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari daerah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa dari pemerintah kabupaten/kota kepada melaksanakan tugas tertentu. 8. Pendapatan daerah adalah semua hak daerah yang diakui sebagai penambahan nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. 9. Pendapatan asli daerah adalah segala penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya yang ditetapkan dengan peraturan daerah ssuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu: a. b. c. d. Hasil pajak daerah. Hasil retribusi daerah. Perusahan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Lain-lain pendapatan asli daerah. desa untuk

10. Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

xlii

berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. 11. Retribusi daerah adalah retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.

Lain-lain pendapatan yang sah adalah pendapatan-pendapatan lain yang tidak termasuk ke dalam jenis-jenis pajak daerah dan retribusi daerah dan pendapatan dinas-dinas yang sifatnya insidentil/temporer. yang menunjang pelaksanaan atonomi daerah adalah peraturan daerah yang pada penerapannya dilapangan tidak ada hambatan pada pelaksanaannya.12.

Peraturan Daerah yang menunjang

pelaksanaan otonomi daerah

adalah peraturan daerah yang pada penerapannya dimasyarakat tidak ada kendala,13.

Peraturan Daerah yang berorientasi pada kepentingan masyarakat adalah Peraturan daerah yang materi muatannya kepentingan masyarakat. memperhatikan aspirasi dan

BAB IV PEMBAHASAN

xliii

A. Penerapan asas-asas pembuatan peraturan daerah yang baik dalam menunjang pelaksanaan otonomi daerah di Kota Palu. Pusat perhatian yang pertama-tama dalam penelitian ini adalah mengenai penerapan asas-asas perundang-undangan yang baik dalam

pembuatan peraturan daerah di kota Palu. Untuk mengungkap bagaimana implementasinya penulis telah melakukan penelitian terhadap proses pembuatan peraturan daerah kota Palu mulai dari proses pembuatan rancangan peraturan daerah, pengajuan rancangan peraturan daerah, pembahasan rancangan peraturan daerah sampai persetujuan dan ditetapkannya sebagai peraturan

daerah pada masa persidangan priode tahun 2003. Pada masa persidangan triwulan I tahun 2003, pihak eksekutif (pemerintah daerah kota Palu) telah

mengajukan 12 buah rancangan peraturan daerah kepada pihak legislative (DPRD Kota Palu) untuk dibahas bersama-sama, kemudian ditetapkan sebagai peraturan daerah. Adapaun rancangan peraturan daerah kota Palu tersebut adalah, sebagai berikut: 1. Rancangan peraturan daerah Kota Palu tentang Rambu-rambu Lalu Lintas di jalan. 2. Rancangan peraturan daerah Kota Palu tentang Perubahan Atas

Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 23 Tahun 2001 tentang Retribusi Perdagangan Eksport Melalui Penerbitan Certificate of Origin (CoO) atau Surat Keterangan Asal Barang (SKA).

xliv

3. Rancangan peraturan daerah Kota Palu tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Retribusi Tanda Daftar Perusahaan (TDP). 4. Rancangan peraturan daerah Kota Palu tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2001 Tentang Retribusi Tanda Daftar Gudang (TDG). 5. Rancangan peraturan daerah Kota Pelu, tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Retribusi Perdangan Antar Pulau Melalui Penerbitan Surat Keterangan Komoditi Antar Pulau. 6. Rancangan peraturan daerah Kota Palu tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 9 Tahun 2001 tentang Retribusi Surat izin usaha Industri (SIUI). 7. Rancangan peraturan daerah Kota Palu tentang Retribusi Izin Penggunaan Jalan. 8. Rancangan peraturan daerah Kota Palu, tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 13 Tahun 2001 Tentang Retribusi Izin Usaha Salon Kecantikan dan Pemangkas Rambut. 9. Rancangan peraturan Kota Palu, tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2001 Tentang Retribusi Izin Rekreasi dan Hiburan Umum. 10. Rancangan peraturan daerah Kota Palu, tentang Retribusi Penerbitan Angka Pengenal Import (API).

xlv

11. Rancangan peraturan daerah Kota Palu, tentang Tanda Daftar Keagenan/Distributor dan Jasa Produksi Dalam dan Luar Negeri. 12. Rancangan peraturan daerah Kota Palu, tentang Retribusi Izin Usaha Kepariwisataan. Peraturan daerah merupakan salah satu bentuk produk hukum peraturan perundang-undangan tertinggi di daerah, oleh karena itu dalam proses pembuatan peraturan daerah harus sesuai dengan asas-asas perundang-

undangan yang baik, agar sempurna teknik penyusunannya, terjaga keabsahan penerbitannya, diakui secara formal dan dapat berlaku efektif serta diterima oleh masyarakat. Jika kita konsisten berpedoman pada asas-asas perundangundangan yang baik maka ada beberapa ciri atau syarat-syarat yang perlu mendapat perhatian dalam proses pembuatan peraturan daerah, yaitu Asas kejelasan tujuan, Asas manfaat, Asas kewenangan, Asas kesesuaian, Asas dapat dilaksanakan, Asas kejelasan rumusan, Asas keterbukaan, Asas efisiensi, dan asas-asas Materi Muatan. Setiap pembentukan peraturan perundang-

undangan harus mempunyai tujuan yang jelas untuk apa peraturan perundangundangan tersebut dikeluarkan. Setelah diadakan penelitian terhadap rancangan peraturan daerah yang diajukan oleh pemerintah daerah kota Palu khususnya yang berkaitan dengan retribusi belum memperhatikan asas-asas pembuatan peraturan daerah yang baik, karena adalah dalam tujuan pembentukan peraturan daerah semuanya sama peningkatan pendapatan asli daerah untuk

rangka

mengoptimalkan pelaksanaan otonomi daerah. Salah satu asas yang pada

xlvi

ummnya tidak mendapat perhatihan oleh perancang perturan daerah adalah asas keterbukaan karena peran serta masyarakat tidak dilibatkan dalam

penyusunan rancangan peraturan daerah dan juga kejelasan rumusan belum terpenuhi karena masih ada isi pasal-pasal yang belum jelas makanannya namum tidak ada penjelasannya baik diketentuan umum maupun dalam penjelasan peraturan tersebut yang pada umumnya tertulis cukup jelas. Pasal 69 Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa Kepala Daerah menetapkan peraturan daerah atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pada Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 136 Ayat (!) menyatakan Peraturan Daerah ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Makna persetujuan bersama dalam pasal ini tidak selalu bermakna untuk setuju, tetapi bias juga dimaknakan untuk tidak setuju. Ketidak setujuan bias saja terjadi manakala antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintah tidak sepakat mengenai substansi yang diatur dalam rancangan undang-undang atau rancangan peraturan daerah. Makna tidak setuju secara tersirat terdapat ketentuan Pasal 20 Ayat (3) Undang Undang Dasar Tahun 1945 , yang menentukan : Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.

xlvii

Di dalam Pasal 20 Ayat (3) Undang Undang Dasar 1945 memang tidak dirumuskan secara tegas bahwa apabila tidak mendapat persetujuan bersama, maka rancangan undang-undang tersebut tersebut ditolak menjadi undang-undang. namun kalimat rancangan undang-undang tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu sama

artinya bahwa rancangan undang-undang tersebut ditolak untuk menjadi undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk masa persidangan itu. Persyaratan pada undang-undang 32 tahun 2004 bersama antara Pemerintah Daerah harus ada persetujuan

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

berlaku baik terhadap rancangan undang-undang atau rancangan peraturan daerah yang datang dari Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah maupun rancangan undang-undang atau peraturan daerah yang datang dari pemerintah/pemerintah daerah, yang mana pada Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 cukup dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah . Salah satu tujuan pembentukan peraturan daerah adalah untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan

menampung kondisi khusus di daerah yang bersangkutan. Peraturan daerah sebagai penjabaran atau pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi bertujuan untuk memberi pengaturan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaannya di daerah. Substansi materinya telah diatur dalam perundangundangan yang lebih tinggi.

xlviii

Peraturan daerah sebagai payung hukum dalam penyelenggaraan otonomi daerah bertujuan untuk mengatur substansi materi muatan yang sesuai dengan kondisi daerah. Jadi tidak harus berdasarkan peraturan yang lebih tinggi (tingkat pusat), tetapi dapat juga membuat aturan sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah

sepanjang aturan tersebut tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Di dalam peraturan daerah yang dibentuk untuk menyelenggarakan

otonomi daerah obyek pengaturannya meliputi baik yang bersifat substantif maupun yang bersifat teknis tata cara pelaksanaannya. Di kota Palu setiap produk hukum peraturan daerah tujuan pembentukan peraturan daerahnya pada umumnya dapat dilihat dalam

konsideran menimbang dan penjelasan umum dari peraturan daerah tersebut. Hasil penelitian penulis menunjukan bahwa di dalam produk hukum peraturan daerah di Kota Palu pada masa Persidangan Triwulan II Tahun 2003, terungkap bahwa dari 12 buah rancangan peraturan daerah yang diajukan oleh pemerintah daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Palu untuk dibahas bersama-sama, kemudian ditetapkan sebagai peraturan daerah di dalam setiap konsideran menimbang dan penjelasan umumnya, tujuan dibentuknya peraturan daerah adalah: a. Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah yang luas, nyata

dan bertanggung jawab, peningkatan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan masyarakat yang berdaya guna dan berhasil guna;

xlix

b.

Mengatur kewenangan yang menjadi urusan pemerintah

daerah kabupaten/kota; c. kewenangan Pembinaan yang dan pengawasan menjadi dalam penyelenggaraan daerah

telah

urusan

pemerintah

kabupaten/kota. d. Bilamana dalam pembentukan Peningkatan pendapat asli daerah. dilihat dari aspek penerapan asas kejelasan tujuan di perundang-undangan, maka pembutan keduabelas

peraturan daerah tersebut di atas, memperlihatkan bahwa tujuan yang hendak dicapai itu sangat beragam. Dalam konteks demkian, tujuan pembuatan peraturan daerah kembali menjadi tidak jelas apakah dalam rangka peningkatan pelayanan, pengaturan kewenangan, pembinaan dan pengawasan atau peningkatan pendapatan asli daerah. Setelah dikaji nampaknya perancang peraturan daerah tersebut hendak mengakumulasi berbagai tujuan secara bersamaan, akan tetapii dibalik itu semua dalam pelaksanaannya yang paling menonjol tujuannya adalah dalam rangka peningkatan pendapatan asli daerah. Hasil temuan di atas memperlihatkan bahwa tujuan pembentukan peraturan daerah di Kota Palu sesungguhnya adalah dalam rangka peningkatan pendapatan asli daerah untuk menunjang pelaksanaan otonomi daerah. Pemerintah kota Palu seolah-olah hendak menjadikan peraturan daerah khususnya peraturan daerah yang mengatur tentang retribusi sebagai mesin pencetak uang untuk mengisi kas daerah, melalui payung hukum peraturan

l

daerah pemerintah Kota Palu yang dampaknya membebani masyarakat dengan bermacam-macam pungutan dalam bentuk retribusi daerah, dengan harapan uang hasil pungutan itu akan mengisi kas daerah dan meningkatkan

pendapatan asli daerah dalam rangka membiayai pelaksanaan pembangunan di daerahnya dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Cara berpikir demikian sesungguhnya tidak salah dan dapat

dimaklumi karena pemerintah daerah harus menggali sermua sumber potensi yang ada di daerahnya untuk meningkatkan pendapatan asli daerahnya dalam rangka membiayai pembangunan daerah kota Palu, karena Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) sangat terbatas dari pemerintah pusat., tetapi seharusnya pemerintah Kota Palu juga harus mampu membuktikan bahwa peningkatan pendapatan asli daerah benar-benar dapat meningkatkan

pelayanan kepada masyarakat sehingga pelayanan kepada masyarakat dapat lebih dekat sesuai dengan tujuan otonomi daerah yang sesungguhnya. Kesan lebih lanjut yang dapat ditangkap dalam konteks itu adalah seakan-akan rakyatlah yang menghidupi kelangsungan pemerintahan daerah. Padahal seyogianya pemerintahlah yang harus lebih kreaktif membuka peluang menciptakan lapangan kerja kepada masyarakat untuk mencari penghidupan atau kesempatan berusaha. Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah apakah peraturan daerah yang dibuat dengan tujuan yang beragam atau tidak jelas dapat bermanfaat bagi masyarakat? Pertanyaan ini menjadi penting dalam kaitannya dengan

penerapan asas manfaat dalam pembuatan peraturan daerah. Asas manfaat

li

disini dimaksudkan bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan dalam hal ini peraturan daerah harus benar-benar dapat memberi manfaat yang jelas bagi kehidupan masyarakat. Tidak perlu ada peraturan daerah, apabila tidak bermanfaat bagi masyarakat. Hasil penelitian menunjukan bahwa peraturan daerah tentang retribusi tidak memberi manfaat langsung kepada peningkatan pelayanan kepada masyarakat, akan tetapi peraturan daerah lebih

diorientasikan pada peningkatan pendapatan asli daerah. Selain asas kejelasan tujuan dan asas manfaat yang dikemukakan di atas, hal yang lebih penting lagi adalah penerapan Asas kewenangan dalam pembuatan peraturan daerah.

Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk dalam hal ini peraturan daerah harus dibuat oleh pejabat atau lembaga/organ yang berwenang. Peraturan daerah yang dibuat oleh pejabat atau lembaga/organ yang tidak berwenang akan berimplikasi peraturan daerah tersebut menjadi batal demi hukum. Secara teoritis lembaga atau organ yang mempunyai kewenangan membuat peraturan perundang-undangan adalah eksekutif atau legislatif (DPR, DPRD). Hanya dalam prakteknya diberbagai negara ada penyimpangan dari prinsip itu, tergantung bagaimana konstitusi negara itu mengatur mengenai pembentukan perundang-undangannya sebagai sumber kewenangan

membentuk peraturan perundang-undangan. Di dalam Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen ditentukan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR, artinya kekuasaan pembentukan undang-undang titik

lii

beratnya berada ditangan Presiden (eksekutif). Ketentuan ini kemudian diubah dalam perubahan pertama UUD 1945 pada tahun 1999, di dalam Pasal 5 Ayat (1) yang baru ditentukan bahwa Presiden berhak mengajukan rancangan Dengan amandemen

undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat,.

Undang Undang Dasar 1945 kekuasaan pembentukan Undang Undang bergeser ke Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan menyatakan Pasal 20 Ayat (1) yang

bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan

membentuk undang-undang. Pada Ayat (2) ditentukan bahwa Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Dasar hukum pembentukan Perda di bawah UUD 1945 adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 69 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, ditentukan bahwa: Kepala Daerah menetapkan Peraturan Daerah atas persetujuan DPRD dalam rangka menyelenggarakan Otonomi Daerah dan penjabarannya lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Ketentuan itu, sesungguhnya masih sejalan dengan ketentuan tentang pembentukan Perda yang diatur dalam Undang-Undang No 5 Tahun 1974. Dimana dalam Pasal 38 ditentukan bahwa Kepala Daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menetapkan Peraturan Daerah. Kepala daerah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah memegang kekuasaan membentuk peraturan

daerah. Perubahan UUD 1945 seharusnya diikuti oleh perubahan semangat yang menentukan bahwa Kepala Daerah yang membentuk peraturan daerah dan

liii

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang memberikan persetujuan. Jika diikuti semangat Pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 20 Ayat (1) perubahan pertama UUD 1945, maka mestinya Kepala Daerah tidak lagi memegang kekuasaan membentuk peraturan daerah. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai lembaga legislatif Daerah yang memegang kekuasaan membentuk peraturan daerah. Kepala Daerah hanya berhak mengajukan rancangan peraturan daerah dan

menetapkannya sebagai peraturan daerah. Paradigma ini telah berubah dengan lahirnya Undang Undang Pemerintahan Daerah yang baru yaitu Undang

Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004, dimana pada Pasal 136 menyatakan bahwa Peraturan daerah ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD, jadi bukan hanya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menyetujuinya tetapi juga harus

disetujui oleh kepala daerah sebelum ditetapkan menjadi peraturan daerah. Persetujuan membentuk peraturan daerah adalah persetujuan

bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Kepala Daerah. Sejalan dengan konsep hukum di atas, di dalam pedoman pelaksanaan pembentukan peraturan daerah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2004 yaitu Peraturan Pemerintah Pedoman Penyusunan

tentang

TataTertib DPRD, dan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 23 Tahun 2003 tentang Prosedur penyusunan Produk Hukum Daerah, menghendaki bahwa dalam penyusunan peraturan daerah hak prakarsa/ inisiati bisa berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau dari eksekutif (Kepala Daerah/Walikota). Pada Pasal 10 undang-undang pemerintahan daerah yang

liv

baru menyebutkan Rancangan peraturan daerah dapat berasal dari DPRD, Gubernur atau Bupati/Walikota. Di dalam Peraturan Tata Tertib Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Kota Palu, begitu juga dalam Keputusan Walikota Palu No 65 Tahun 2003 ditentukan juga bahwa Rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari walikota atau atas usul prakarsa dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh sebab itu, maka baik Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah maupun Keputusan Walikota tentang mekanisme dan prosedur

penyusunan produk hukum daerah juga materinya masih mengacu pada UUD 1945 sebelum diamandemen. Kepala Daerah/Walikota yang memegang kekuasaan membentuk peraturan daerah , Dewan Perwakilan Rakyat Daerah hanya menyetujuinya. Ketententuan-ketentuan tersebut di atas membawa implikasi bahwa selama ini rancangan peraturan daerah selalu berasal dari pemerintah daerah Kota Palu. Ditinjau dari sisi prosedural tentunya telah sesuai aturan yang berlaku, akan tetapi kalau konsisten dengan tugas dan fungsi masing-masing lembaga pemerintahan maka seharusnya yang berwenang membentuk

peraturan daerah sesuai dengan Pasal 42 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah karena salah satu fungsinya adalah fungsi legislasi daerah disamping fungsi pengawasan dan anggaran. Selain dari pada itu antara jenis dan materi muatan suatu peraturan perundangundangan harus memperhatikan tata urutan peraturan perundang-undangan yang baik. Materi muatan harus sesuai dengan urutan peraturan perundangundangan dan kewenangan yang telah diberikan, untuk menghindari tumpang

lv

tindihnya materi muatan suatu produk hukum yang diatur dalam peraturan daerah. Dalam penelitian terungkap bahwa masih terjadi materi muatan peraturan tentang retribusi yang seharusnya merupakan kewenangan

pemerintah pusat tetapi telah diatur juga oleh pemerintah Kota Palu dalam peraturan daerahnya. Hal ini terungkap setelah dilakukan pengkajian antar

departemen oleh Menteri Dalam Negeri terhadap peraturan daerah kota Palu, telah membatalkan 3 (tiga) buah peraturan daerah yang di bahas pada masa persidangan DPRD Kota Palu Tahun 2003 dengan mengeluarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri masing-masing: 1. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 191 Tahun 2004, tentang Pembatalan Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 1 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 20 Tahun 2001 tentang Retribusi Perdagangan Antar Pulau Melalui Penerbitan Surat Keterangan Komoditi Antar Pulau. 2. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 192 Tahun 2004, tentang Pembatalan Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 3 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 23 Tahun 2001 tentang Retribusi Perdagangan Ekspor Melalui Penerbitan Certifikat Of Origin (CoO) Atau Surat Keterangan Asal Barang (SKA). 3. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 193 Tahun 2004, tentang Pembatalan Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 11 Tahun 2003

lvi

tentang Retribusi Perdagangan Impor Melalui Penertiban Angka Pengenalan Impor (API) dan Barang Impor. Alasan pembatalan ke 3 peraturan daerah tersebut karena: a. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. b. Pungutan tidak mengganggu alokasi sumber-sumber ekonomi secara efisien dan tidak merintangi arus suber daya ekonomi antar daerah maupun kegiatan ekspor/impor serta pengaturan ekspor merupakan kewenangan pemerintah pusat sehingga atas

penerbitan Surat Keterangan Asal Barang tidak dapat dikenakan retribusi. c. Pengaturan ekspor merupakan kewenangan pemerintah sehingga atas penerbitan Angka pengenalan impor dan barang impor tidak dapat dikenakan retribusi dan terhadap barang impor telah dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM). Sebelumnya Menteri Dalam Negeri mengeluarkan surat keputusan pembatalan telebih dahulu menyurat kepada Walikota Palu agar supaya mencabut atau merevisi peraturan daerah tersebut, namun jangka waktu yang telah ditentukan belum juga dilaksanakan, maka Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Keputusan Pembatalan terhadap ketiga peraturan daerah tersebut. Daerah Nomor 6 Tahun 2001 tentang Retribusi Khusus Peraturan Izin Usaha Rumah

Kost/Pemondokan juga telah dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri.

lvii

Dengan melihat kenyataan di atas dimana Menteri Dalam Negeri telah membatalkan Peraturan Daerah kota Palu, seyogianya hal ini menjadi perhatian bagi pemerintah daerah kota Palu agar setiap pembuatan peraturan daerah mengikuti asas-asas pembuatan peraturan perundang-undangan khususnya asas materi muatan peraturan perundang-undangan, sehingga materi muatan peraturan daerah tidak tumpang tindih dengan peraturan yang lebih tinggi dan sesusai dengan kewenangan pemerintah kabupaten/kot, dan apabila

bermaksud

membentuk suatu peraturan perundang-undangan harus benar-

benar diperhitungkan apakah efektif artinya hasil yang diperoleh lebih besar dari biaya operasional yang digunakan dan apakah dampaknya jika diberlakukan pada masyarakat. Sehubungan dengan itu untuk menyiapkan suatu peraturan perundang-undangan harus memperhatikan beberapai segi yaitu: asas filosofis, asas sosiologis, asas politis, dan asas yuridis. Dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus jelas rumusannya, jangan sampai rumusan pasalpasal menimbulkan banyak penafsiran. Peraturan daerah yang dijadikan sasaran obyek penelitian matreri

muatannya yang termuat dalam pasal-pasal masih sering menggunakan katakata yang bermakna ganda seperti kata dan atau yang dapat menimbulkan banyak tafsiran. Secara umum tujuan pembentukan perundang-undangan adalah mengatur dan menata kehidupan dalam suatu negara supaya masyarakat yang diatur oleh hukum itu memperoleh kepastian, kemanfaatan dan keadilan di dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Untuk mewujudkan maksud tersebut dimulai penulisan draf rancangan perundang-undangan yang

lviii

baik. Oleh sebab itu peraturan daerah sebaiknya menggunakan bahasa yang padat dan bermakna sederhana, menghidari penggunaan kata-kata atau kalimat yang ganda dan berlebihan, tidak proporsional, sehingga dapat

mengakibatkan timbulnya norma ganda, norma kabur dan norma terbuka dan istilah yang digunakan jangan sampai mengundang berdebatan, dan gunakanlah istilah yang lazim dan mempunyai makna yang baku, bersifat mutlak, sedang materinya harus mengenai hal yang aktual, bukan hasil refleksi pemikiran penulis konsep rancangan. Penulisan konsep rancangan harus dimulai dari hasil

penelitian yang berangkat dari hipotesis-hipotesis yang dibangun dalam memecahkan masalah di masyarakat yang termuat dalam naskah akademik dan di adakan uji pablik, sehingga pada pengajuan rancangan peraturan daerah tersebut ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, naskah akademik dikirimkan bersama rancangan peraturan daerah . Mengingat peraturan daerah itu dibuat untuk mengatur kepentingan antara pemerintah daerah dan masyarakat maka hendaknya bahasanya yang digunakan adalah bahasa indonesia yang baik, dipahami oleh setiap orang yang membacanya, dan

tidak rumit, dan bisa

dihindari penggunaan perkecualian, kecuali benar-benar diperlukan, sebab ini akan mengakibatkan kaburnya permasalahan pokok yang hendak diatur dalam peraturan daerah. Misalnya dalam rancangan peraturan daerah tentang Peredaran Minuman Keras, didalamnya tidak boleh memberikan pengecualian yang mengaburkan permasalahan pokok, yakni melarang peredaran minuman keras. Mengapa demikian, karena penulisan rancangan tersebut, penulisnya menggunakan penalaran (argumentatif) tentang masalah yang diatur, bukan dari

lix

hasil penelitian bagaimana kehendak

masyarakat/tokoh-tokoh agama yang

nantinya harus diokomodir dalam rancangan peraturan daerah tersebut. Akibatnya membuka perdebatan yang panjang dan tidak ada ujung

pangkalnya. Hal semacam ini yang akan mengakibatkan tidak efektifnya pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan berdampak penolakan rancangan yang telah dibuat dengan pengorbanan biaya dan waktu yang tidak sedikit. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tetap menyetujui rancangan peraturan daerah tersebut menjadi peraturan daerah dipastikan akan terjadi gejolak di dalam penerapannya di masyarakat sehingga tidak efektif

diberlakukan dan menyebakan peraturan daerah it