13
PENDEKATAN FISIOGRAFIS SEBAGAI KERANGKA PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH Hamdi Nur Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Bung Hatta Padang Abstract An approach that can be applied for spatial plan is physiographic. In this approach, planning is based on diversity of land form. The approach has been suggested by some geologists and geographers and have been practiced as a framework for spatial planning, especially in the meso scale. However, in analysis and plan formulation in spatial plan in Indonesia, physiographic aspect is more used as information to describe the profile of the region than as a spatial plan framework. For region with a diverse landform, such approach is expected to become an alternative model of spatial plan which is more responsive to the contraint and potential of natural resources endowment, more effective as a means of coordinating integrated development planning, and more easily understood by users of spatial plan. Kata kunci: Pendekatan fisiografis ( physiographic approach), kerangka penyusunan rencana ( spatial plan framework) PENDAHULUAN Penataan ruang merupakan salah satu jalur dalam pengelolaan pembangunan yang bertujuan untuk: (a) mewujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; (b) mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan (c) mewujudkan pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang (UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang). Penyusunan rencana tata ruang sebagai langkah pertama penataan ruang wilayah khususnya wilayah pedesaan dengan demikian merupakan alat untuk mengarahkan dan mengelola pengembangan berbagai potensi sumberdaya alam dan antisipasi terhadap kerawanan terhadap bencana alam. Terdapat berbagai kondisi wilayah, dari yang memiliki fisiografi kurang beragam (relatif homogen) sampai dengan keragaman yang tinggi. Wilayah dengan fisiografi yang beragam disebabkan oleh beragamnya proses geologi yang Hamdi Nur, Pendekatan Fisiografis Sebagai Kerangka Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah, Jurnal Skala Vol. 2, No.4, April 2012, hlm 1-12

Hamdi Nur, Pendekatan Fisiografis Sebagai Kerangka Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Hamdi Nur, Pendekatan Fisiografis Sebagai Kerangka Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah

PENDEKATAN FISIOGRAFIS SEBAGAI KERANGKA PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH

Hamdi Nur

Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Bung Hatta Padang

Abstract An approach that can be applied for spatial plan is physiographic. In this approach, planning is based on diversity of land form. The approach has been suggested by some geologists and geographers and have been practiced as a framework for spatial planning, especially in the meso scale. However, in analysis and plan formulation in spatial plan in Indonesia, physiographic aspect is more used as information to describe the profile of the region than as a spatial plan framework. For region with a diverse landform, such approach is expected to become an alternative model of spatial plan which is more responsive to the contraint and potential of natural resources endowment, more effective as a means of coordinating integrated development planning, and more easily understood by users of spatial plan. Kata kunci: Pendekatan fisiografis ( physiographic approach), kerangka penyusunan

rencana ( spatial plan framework)

PENDAHULUAN

Penataan ruang merupakan salah satu jalur dalam pengelolaan pembangunan yang bertujuan untuk: (a) mewujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; (b) mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan (c) mewujudkan pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang (UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang). Penyusunan

rencana tata ruang sebagai langkah pertama penataan ruang wilayah khususnya wilayah pedesaan dengan demikian merupakan alat untuk mengarahkan dan mengelola pengembangan berbagai potensi sumberdaya alam dan antisipasi terhadap kerawanan terhadap bencana alam.

Terdapat berbagai kondisi wilayah, dari yang memiliki fisiografi kurang beragam (relatif homogen) sampai dengan keragaman yang tinggi. Wilayah dengan fisiografi yang beragam disebabkan oleh beragamnya proses geologi yang

Hamdi Nur, Pendekatan Fisiografis Sebagai Kerangka Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah, Jurnal Skala Vol. 2, No.4, April 2012, hlm 1-12

Page 2: Hamdi Nur, Pendekatan Fisiografis Sebagai Kerangka Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah

Jurnal Skala, Vol. 2, No. 4, April 2012

2

terjadi. Wilayah dengan pola fisiografis yang beragam seperti bergunung, berbukit, dataran tinggi, dataran rendah, dataran aluvial dan lainnya memiliki potensi dan limitasi pengembangan wilayah yang spesifik sesuai peluang dan kendala fisiografisnya. Pada wilayah dengan fisiografi yang beragam dimungkinkan untuk pengembangan potensi berbagai sumber daya alam seperti berbagai komoditi yang beragam pada sektor pertanian, pengembangan berbagai sumberdaya mineral pada sektor pertambangan dan pengembangan beragam objek wisata. Namun disisi lain, sering terdapat limitasi yang disebabkan oleh kerawanan bencana geologis seperti gempa dan gerakan tanah.

Wilayah dengan fisiografi yang beragam memiliki potensi dan kendala spesifik sehingga dalam penyusunan rencana tata ruang perlu didekati berdasarkan karakteristik fisiografinya. Penerapan model fisiografi dalam penyusunan rencana tata ruang (spatial planning) diusulkan pertama kali oleh Fennemen (1916). Keunggulan model fisiografi sebagai pendekatan penyusunan rencana tata ruang menurut Godfrey (1977) yaitu: (a) dapat memecahkan masalah dan mengarahkan pengembangan wilayah secara sistematis; (b) dapat diterapkan dalam berbagai skala rencana; (c) berkait langsung dengan kenampakan

bentang alam sehingga tidak selalu terlebih dahulu membutuhkan data dan pengukuran yang rumit, dan (d) dapat dilakukan dengan cepat. Lebih lanjut ditambahkan bahwa model fisiografis lebih mudah dipahami oleh berbagai pihak yang bukan ahli. Dengan demikian tata ruang sebagai rujukan pembangunan wilayah dengan cepat dan mudah dapat dipetakan. KERANGKA KONSEPTUAL

Pembagian Satuan Fisiografi Wilayah

Kajian atau perencanaan wilayah dimaksudkan untuk mengarahkan dan mengelola pengembangan berbagai potensi sumberdaya alam dan antisipasi terhadap kerawanan terhadap bencana alam yang mungkin terjadi pada suatu wilayah. Potensi wilayah dan kerawanan terhadap bencana spesifik pada setiap wilayah. Oleh karena itu dalam perencanaan wilayah yang pertama perlu dilakukan adalah membagi wilayah atas spesifikasi karakteristiknya.

Wilayah dilihat secara ekologis (ecological region) memiliki keragaman secara horizontal (chorologic) dan secara vertikal (topologic) (Zonneveld, 1989). Keragaman secara horizontal adalah perbedaan bentang alam/bentuk lahan, tubuh tanah dan litologi yang skalanya menurut Zonneveld dapat dibagi dari

Page 3: Hamdi Nur, Pendekatan Fisiografis Sebagai Kerangka Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah

Jurnal Skala, Vol. 2, No. 4, April 2012

3

tingkat terkecil atas: skala site (ecotope), skala microchore (landfacet), mesochore (land system), dan macrochore (main landscape). Keragaman secara vertikal adalah keragaman iklim, vegetasi, fauna dan manusia yang beraktifitas padanya. Wilayah dengan demikian dapat dibagi atas berbagai satuan lahan berdasarkan kesamaan karakteristik horizontalnya dan isinya yang merupakan satuan atributnya secara vertikal. Pengertian lahan disini adalah totalitas karakter dari suatu bagian permukaan bumi yang terdiri atas bentuk lahan, tanah, dan vegetasi serta fauna.

Salah satu pendekatan pembagian wilayah adalah berdasarkan karakteristik fisiografis. Wilayah fisiografis (physiographic region) adalah pembagian permukaan bumi

atas satuan morfologi yang memiliki kesatuan karakteristik bentuk lahan pada skala tertentu. Pembagian wilayah sebagai dasar perencanaan wilayah berdasarkan fisiografi diusulkan pertama kali oleh Fenneman. Fenneman (1916) mengatakan istilah fisiografi lebih dikenal di Amerika Serikat sedangkan dalam tradisi Eropah dikenal istilah morfologi. Pembagian didasarkan atas faktor bentuk lahan dan bukan iklim atau vegetasi. Satu satuan fisiografi terjadi karena proses pembentukan dan tahapan perkembangan sepanjang waktu. Dengan demikian satu satuan fisiografi terdiri dari tiga unsur yaitu bentuk lahan, proses geologi, dan tahapan perkembangannya.

Gambar 1: Skema keragaman fisiografi dalam bentang alam ekologi

Sumber: Zonneveld (1989)

Page 4: Hamdi Nur, Pendekatan Fisiografis Sebagai Kerangka Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah

Jurnal Skala, Vol. 2, No. 4, April 2012

4

Bentuk lahan dapat dibagi atas pembagian dengan ciri topografi yang jelas dapat dibayangkan dalam wujud 3 dimensional seperti lembah sungai, pegunungan, pesisir dan lainnya. Proses geologi merupakan asal pembentukan terdiri atas proses endogen yang bersumber dari energi dari dalam bumi (berupa proses vulkanik dan tektonik) dan proses eksogen (denudasional) yang disebabkan iklim, arus air, angin, gelombang dan sebagainya dalam proses seperti pelapukan, sedimentasi, atau gerakan batuan. Tahapan perkembangan merupakan sejarah geomorfik dari muda, dewasa dan tua. Dari sejarah tersebut dapat dilihat bencana geomorfik yang mungkin terjadi.

Satu satuan fisiografi adalah satu bagian permukaan bumi yang memiliki ciri-ciri topografi, struktur, karakteristik fisik, dan sejarah geologi dan geomorfik yang berbeda dengan satuan lainnya. Satu satuan fisiografi mengintegrasikan berbagai unsur seperti jenis batuan, jenis tanah, iklim. Dengan demikian satu satuan fisiografi memiliki kesesuaian penggunaan lahan yang sama atau memiliki tipe vegetasi yang spesifik. Pembagian fisiografi atas beragam sistem seperti: pegunungan, perbukitan, vulkanik, karst, aluvial, dataran sampai marine. Satu satuan fisiografi merupakan satu sistem yang menjadi kerangka dalam mengintegrasikan data fisik dan biotik

dimana unsur lain seperti jenis tanah, litologi, dan vegetasi menjadi subsistem dalam sistem ini.

Dalam suatu wilayah terdapat kelompok-kelompok bentuk lahan. Bentuk lahan yang sama memiliki kesesuaian pemanfaatan lahan yang sama. Pendekatan fisiografis membagi tingkatan bentuk lahan dari skala kecil dengan informasi detil sampai besar dengan informasi lebih umum.

Sistem klasifikasi satuan fisiografi telah banyak dirumuskan. Fenneman (1914) membagi atas 3 kategori yaitu: major divisions, provinces, dan sections. Klasifikasi lebih rinci kemudian banyak dibuat. Seperti Godfrey (1977) membagi atas 5 kategori: (a) province berdasarkan struktur geologi. Kategori ini berguna untuk perencanaan guna lahan nasional atau bagian wilayah nasional (b) section membagi province lebih lanjut berdasarkan perbedaan satu aspek atau lebih seperti iklim, vegetasi, jenis tanah, ketinggian, sejarah erosi geologi atau deposisional, (c) subsection/land type yang merupakan bagian section yang berupa satu bentuk lahan yang memiliki kesamaan litologi, proses geomorfik dan geologi. Kategori ini berguna untuk perencanaan regional, (d) land type yang merupakan pembagian yang dapat diamati di atas lahan seperti bukit, lembah, ngarai dimana elemen geomorfik, biologi, dan hidrologi dari suatu land type sangat saling terkait. Kategori ini berguna

Page 5: Hamdi Nur, Pendekatan Fisiografis Sebagai Kerangka Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah

Jurnal Skala, Vol. 2, No. 4, April 2012

5

untuk perencanaan lokal, dan (e) topographic element yang merupakan elemen terkecil dengan ciri topografi yang sama. Kategori ini berguna untuk perencanaan ditingkat proyek fisik.

Di Indonesia, Brahmantyo (2006) membagi satuan (dengan istilah geomorfologi) sesuai dengan tingkatan penyusunan rencana tata ruang di Indonesia, yaitu atas: (a) provinsi geomorfologi untuk skala nasional yang didasarkan atas kriteria kesamaan genetik, zona struktur geologi, dan asosiasi batuan, dengan skala peta 1:1.000.000, (b) satuan utama geomorfologi untuk skala provinsi yang didasarkan atas kriteria genetik, bentuk, struktur, asosiasi batuan dan proses utama, dengan skala peta

1:250.000, (c) satuan geomorfologi untuk skala kabupaten yang didasarkan atas kriteria genetik, bentuk, struktur, rona dan tekstur muka bumi, asosiasi batuan, dan proses geomorfologi dominan, dengan skala peta 1:50.000/100.000, (d) satuan geomorfologi untuk skala kota/kabupaten yang didasarkan atas kriteria genetik, bentuk, struktur, rona dan tekstur muka bumi, asosiasi batuan, dan proses geomorfologi dominan, dengan skala peta 1:25.000, (e) rincian geomorfologi untuk skala kawasan detil yang didasarkan atas kriteria lereng, relief, litologi, tanah dan proses-proses geomorfologi, dengan skala peta 1:5.000/1:10.000.

Gambar 2: Contoh Model Sistem Klasifikasi Fisiografis Menurut Godfrey

Page 6: Hamdi Nur, Pendekatan Fisiografis Sebagai Kerangka Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah

Jurnal Skala, Vol. 2, No. 4, April 2012

6

Kegunaan Pendekatan fisiografis Dalam Perencanaan Tata Ruang

Menurut Zonneveld (1989), dengan membagi wilayah atas satuan lahan (land unit) sebagai suatu sistem yang merangkum karakteristik lahan yang lain, akan memudahkan geolog, geografer dan perencana pada umumnya dalam mengorganisir data, menganalisis dan menyusun perencanaan. Perlunya sistem pembagian satuan lahan seperti dikatakan Zonneveld: “Such systems are very useful, however, for adding, substracting and recombining existing, separate (bio)physical data, and for integrating spatial social and economic data with (bio)physical land unit qualities as is required in land evaluation”. (Sistem ini berguna untuk menambah, menyarikan, dan mengkombinasikan data fisik yang terpisah dan memadukannya dengan data sosial ekonomi yang dibutuhkan dalam evaluasi lahan).

Pendekatan fisiografis merupakan salah satu kerangka yang bisa dipakai dalam perencanaan wilayah khususnya pada wilayah yang memiliki keragaman bentuk lahan. Dengan Pendekatan fisiografis dalam perencanaan tata ruang menurut Godfrey (1977) bisa mefokuskan permasalahan perencanaan dalam berbagai skala sehingga dapat juga menghemat tenaga dan waktu dalam perencanaannya, terkait langsung

dengan karakteristik konkrit bentang alam dan menampilkan data dan peta dalam bentuk yang sederhana sehingga mudah dipahami oleh pengguna yang awam dalam hal teknis tata ruang.

Penamaan fisiografi wilayah menjadi unsur penting dalam perencanaan tata ruang karena akan memudahkan dalam memetakan wilayah dan mengidentifikasi potensi dan kendalanya. Penamaan memudahkan orientasi bagi orang awam untuk memahami rencana. Menurut Brahmantyo, penamaan satuan paling sedikit mengikuti prinsip tiga kata, atau paling banyak empat kata bila ada kekhususan; terdiri dari bentuk/geometri/morfologi, genesa morfologis, dan nama geografis seperti: Lembah Antiklin Welaran, Dataran Banjir Lokulo; Kubah Lava Merapi, Perbukitan Dinding Kaldera Maninjau. Penamaan lain satuan fisiografi wilayah menurut Puslittanak (1993) yaitu berdasarkan grup fisiografi, litologi, morfologi, bentuk wilayah, dan tingkat torehan, contohnya: lereng atas gunung api berbahan induk andesit, landai (2-5 %), tertoreh ringan

Pemetaan fisiografi atau geomorfologi di Indonesia telah banyak dilakukan yaitu: klasifikasi landform Verstappen, klasifikasi lahan untuk Proyek LREP-I tahun 1985-1990, Van Zuidam dan Zuidam-Cancelado, Buurman dan Balsem

Page 7: Hamdi Nur, Pendekatan Fisiografis Sebagai Kerangka Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah

Jurnal Skala, Vol. 2, No. 4, April 2012

7

(Brahmantyo, 2006). Peta fisiografi atau geomorfologi yang telah tersedia ini dapat menjadi rujukan awal dalam membuat rencana tata ruang berbasis fisiografi Penerapan Pendekatan fisiografis dalam Perencanaan Tata Ruang

Pendekatan fisiografis dapat

diterapkan untuk menyusun rencana tata guna lahan atau rencana sektoral yang bersifat spasial seperti rencana pariwisata, pertanian, konservasi lahan, konservasi air. Dalam pendekatan ini, rencana disusun berdasarkan pembagian satuan fisiografi sebagai kerangka yang mengintegrasikan unsur-unsur rencana lainnya. Dalam Pendekatan fisiografis, rencana penggunaan lahan dan program pembangunan disusun konsisten sesuai dengan satuan fisiografi.

Beberapa hal yang ditekankan dalam pendekatan fisiografis yaitu:

a) Pendekatan fisiografis lebih menekankan analisis karakteristik fisik lahan secara kualitatif berdasarkan atributnya yang membedakan dengan jelas karakteristik lahan serta potensi dan permasalahan spesifiknya.

b) Analisis dan perumusan rencana penggunaan lahan disusun konsisten berdasarkan satuan fisiografi.

c) Penggunaan lahan dapat dibedakan atas dimensi: jenis kegiatan, jenis fungsi, tipe struktur terbangun, karakteristik site, atau status kepemilikan lahan. Pendekatan fisiografis lebih menekankan kepada karakteristik site yaitu karakteristik dari setiap satuan fisiografi.

d) Penamaan satuan fisiografi yang mudah dipahami dan mudah dibayangkan secara nyata 3 dimensional menjadi dasar untuk memudahkan pemahana terhadap rencana yang disusun.

Page 8: Hamdi Nur, Pendekatan Fisiografis Sebagai Kerangka Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah

Jurnal Skala, Vol. 2, No. 4, April 2012

8

Gambar 3: Contoh iklan wisata dengan memperkenalkan berbagai potensi objek wisata dalam keragaman fisiografi wilayah

http://naturalkansas.org/welcome.htm#phys Gambar 4: Contoh rencana wilayah berdasarkan pembagian fisiografi ( land planning unit)

Sumber: http://www.planning.wa.gov.au/publications/738.asp

Page 9: Hamdi Nur, Pendekatan Fisiografis Sebagai Kerangka Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah

Jurnal Skala, Vol. 2, No. 4, April 2012

9

PERBEDAAN PENDEKATAN FISIOGRAFIS DALAM PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG

Penyusunan tata ruang wilayah di Indonesia merujuk kepada Peraturan Menteri PU No 15,16, dan 17 Tahun 2009 tentang penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi, kabupaten, dan kota dan Peraturan Menteri PU No.20/PRT/M/2007 tentang Modul Terapan Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik & Lingkungan, Ekonomi Serta Sosial Budaya Dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang. Secara garis besar tahapan yang dilakukan yaitu : a. Analisis Kemampuan Lahan yang

terdiri dari analisis Satuan Kemampuan Lahan (SKL) Morfologi, SKL Kemudahan Dikerjakan, SKL Kestabilan Lereng, SKL Kestabilan Pondasi, SKL Ketersediaan Air, SKL Untuk Drainase, SKL Terhadap Erosi, dan SKL Pembuangan Limbah, SKL Terhadap Bencana Alam. Analisis kemampuan lahan dilakukan dengan metoda skoring.

b. Analisis kesesuaian lahan yang terutama terdiri dari arahan tata ruang pertanian, perkiraan daya tampung lahan, dan persyaratan dan pembatasan pengembangan, dan evaluasi penggunaan lahan yang ada terhadap kesesuaian lahan. Dalam ketentuan penyusunan rencana tata ruang

tidak terdapat arahan yang jelas terhadap metoda dan teknik analisis yang dilakukan.

c. Perumusan rencana distribusi peruntukan ruang (rencana pola ruang) dan rencana lainnya seperti penentuan kawasan strategis dan program pembangunan. Rencana distribusi peruntukan ruang dibagi atas kawasan fungsional kawasan lindung dan kawasan budidaya dengan pembedaan atas dasar jenis fungsi. Penyusunan program pembangunan selanjutnya konsisten berdasarkan kategori jenis fungsi ini.

Penyusunan rencana tata ruang

wilayah terlihat lebih menekankan aspek pengendalian tata ruang atau dimensi rencana sebagai produk hukum. Dalam ketentuan analisis dan rumusan rencana tata ruang lebih mengutamakan delineasi kawasan yang perlu dilindungi dan rawan terhadap bencana. Metoda skoring yang diterapkan menyebabkan karakteristik lahan yang menjadi potensi dan masalah pengembangan kurang tereksplorasi. Penelitian Ekawati dkk. (2010) menunjukkan bahwa identifikasi fungsi lahan lindung, penyangga, dan budidaya berdasarkan metoda skoring tidak memberikan gambaran komprehensif tentang faktor-faktor kendala kemampuan lahan dibandingkan dengan metoda analisis kemampuan

Page 10: Hamdi Nur, Pendekatan Fisiografis Sebagai Kerangka Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah

Jurnal Skala, Vol. 2, No. 4, April 2012

10

lahan yang diterbitkan oleh USDA (United States Departement of Agriculture).

Arahan peruntukan lahan kawasan budidaya dalam satuan kawasan fungsional kalau memakai metoda analisis kesesesuaian lahan USDA dengan rinci menganalisisnya berdasarkan karakteristik lahan, kualitas lahan, dan sifat penciri (Hardjowigeno dkk., 2001), yang konsisten diturunkan dari satuan lahan yang diidentifikasi dari awal. Metoda yang diterapkan adalah mencocokkan (matching) dengan kriteria lahan. Dengan demikian dalam menganalisis kesesuaian lahan dibutuhkan identifikasi satuan lahan (satuan peta tanah) dengan berbagai karakteristiknya mulai dari awal proses perencanaan dan konsisten dipakai sebagai kerangka perencanaan dalam menentukan peruntukan lahan

Dengan membagi wilayah atas kategori fungsional seperti kawasan hutan lindung,kawasan sawah, kawasan perkebunan dalam perumusan rencana tata ruang maka untuk pemakai tata ruang (aparat pemerintah, masyarakat) rencana tata ruang terlihat abstrak karena rujukan konkrit terhadap kenyataan diatas lahan menjadi melemah. Dalam pendekatan fisiografis, karena lahan dibagi berdasarkan bentuk lahan dengan penamaan lokal maka rujukan dan pembayangan ruang lebih mudah dilakukan oleh orang awam sehingga

diharapkan tata ruang lebih mudah dipahami.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan

Pendekatan fisiografis dalam penyusunan rencana tata ruang membagi wilayah berdasarkan keragaman bentuk lahan. Pada wilayah dengan fisiografi yang beragam yang terbentuk oleh berbagai proses geologi dan geomorfik memiliki kendala, potensi, dan kerawanan bencana yang beragam pula. Oleh karena itu pendekatan ini memiliki kelebihan sebagai kerangka penyusunan rencana tata ruang wilayah berbasis sumber daya lahan yang memiliki keragaman fisiografi. Pendekatan fisiografis dalam penyusunan rencana tata ruang dapat menjadi dasar untuk menyusun rencana yang lebih komprehensif yaitu mengkaitkan dimensi rencana tata ruang yang berdasarkan keragaman bentuk lahan dengan dimensi rencana bioregion yang berdasarkan keragaman atribut lahan. Atau dengan kata lain menyatukan rencana berdasarkan keragaman horizontal dan vertikal.

Page 11: Hamdi Nur, Pendekatan Fisiografis Sebagai Kerangka Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah

Jurnal Skala, Vol. 2, No. 4, April 2012

11

Tabel 1: Beberapa Perbedaan Pendekatan Fisiografis dengan Pendekatan Penyusunan Tata Ruang Wilayah yang berlaku di Indonesia

Pendekatan Fisiografis Pendekatan Penyusunan Tata Ruang Wilayah

Karakteristik fisiografi (bentang alam/ bentuk lahan) sebagai satuan kerangka penyusunan rencana.

Karakteristik fisiografis (bentang alam/bentuk lahan) hanya sebagai input analisis untuk analisis kesesuaian lahan.

Analisis melalui metoda mencocokkan (matching) dengan kriteria

Analisis melalui metoda skoring

Kategori peruntukan lahan (land use plan) berdasarkan kategori karakteristik lahan (kategori site)

Kategori peruntukan lahan (land use plan) berdasarkan kategori fungsi dan kegiatan

Rencana disusun lebih berdasarkan pendekatan keragaman bentang lahan/bentuk lahan sebagai satuan fisiografi lebih mengeksplorasi peluang dan kendala pengembangan.

Rencana dimaksudkan cenderung lebih menekankan fungsi sebagai dokumen bersifat statutory untuk pengendalian pemanfaatan ruang.

Penamaan sub wilayah berdasarkan ciri fisiografi dan nama lokal yang dikenal seperti: kawasan dataran tinggi Alahan Panjang.

Penamaan sub wilayah pengembangan cenderung memakai istilah teknis seperti: kawasan perkebunan, kawasan budidaya, kawasan lindung, kawasan perbatasan dan seterusnya.

Secara hipotesis, alternatif

pendekatan fisiografis diharapkan dapat menghasilkan: (a) produk rencana tata ruang yang lebih tanggap terhadap keunggulan fisiografi wilayah yang dapat dikembangkan sebagai modal pengembangan ekonomi wilayah, (b) produk rencana yang lebih lengkap dalam mengarahkan potensi dan kendala pemanfaatan lahan, (c) produk rencana yang lebih efektif dalam memadukan berbagai program sektoral antar instansi dan antar wilayah, dan (d) produk rencana yang lebih mudah dipahami kerangka rencana dan arahannya oleh pengguna dokumen tata ruang.

Rekomendasi Pendekatan fisiografis perlu dicobakan dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah berbasis sumberdaya lahan dengan merujuk kepada metoda analisis kemampuan lahan dan kesesuaian lahan secara konsisten dalam kerangka satuan bentuk lahan. Untuk mengevaluasi, pembandingan hasil antara pemakaian metoda berdasarkan pendekatan fisiografis dan pendekatan penyusunan tata ruang yang berlaku perlu dilakukan. Hal ini dimaksudkan untuk menghasilkan rencana tata ruang wilayah yang lebih efektif dalam mengarahkan pembangunan daerah dan juga lebih mudah dipahami.

Page 12: Hamdi Nur, Pendekatan Fisiografis Sebagai Kerangka Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah

Jurnal Skala, Vol. 2, No. 4, April 2012

12

DAFTAR PUSTAKA _________Undang-Undang Republik Indonesi Nomor 26 Tahun 2007 Tentang

Penataan Ruang. _________Peraturan Menteri PU No 15,16, dan 17 Tahun 2009 tentang

penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi, kabupaten, dan kota _________ Peraturan Menteri PU No 20/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis

Aspek Fisik Ekonomi dan Sosial. _________Persyaratan Teknis Pembuatan Peta Geomorfologi. Standar Nasional

Indonesia. SNI 13-6185-1999. Brahmantyo,B., Bandono. 2006. Klasifikasi Bentuk Muka Bumi (Landform) Untuk

Pemetaan Geomorfologi Pada Skala 1:25.000 dan Aplikasinya Untuk Penataan Ruang. Jurnal Geoaplika. Vol.1 No. 2. Pp. 71-78.

Fenneman, Nevin M. 1916. Physiographic Sub Division of The United States Association American Geography, National Academic Science of USA. January; 3(1): 17–22.

Godfrey, Andrew E. 1977. A Physiographic Approach to Land Use Planning. Environmental Geology. Vol. 2 pp. 43-50. Springer-Verlag New York.

Hardjowigeno, Sarwono, Widiatmaka. 2001. Kesesuaian lahan dan Perencanaan Tata Guna Tanah. Fakultas Pertanian IPB.

Puslittanak.1993. Petunjuk teknis evaluasi lahan. Puslittanak berkerjasama dengan BadanPenelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.

S. Ekawati, J. Sartohadi, D.G. Rossiter. (2010). Comparing Scoring Method And Modified USDA Method To Determine Land Use Function In Spatial Planning: A Case Study In Tawangmangu Sub District, Central Java, Jurnal Ilmiah Geomatika. Vol. 16 No. 2, Desember pp 84-99.

Verstappen, H.Th. 1973. A Geomorphological Reconnaisance of Sumatra and Adjacent Islands (Indonesia). Wolters-Noordhoff Publishing. Groningen.

Zonneveld, Issak S. 1989. The Land Unit-A Fundamental Concept in Landscape Ecology, and Its Applications. Landscape Ecology. Vol 3 No 2 pp. 67-86.

http://www.planning.wa.gov.au/ publications/738.asp http://naturalkansas.org/welcome.htm# phys

Page 13: Hamdi Nur, Pendekatan Fisiografis Sebagai Kerangka Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah