74
27 GAP INDEX: THE ROAD TO IMPROVE DRINKING WATER SECTOR ADAPTIVE CAPACITY RELATED TO CLIMATE CHANGE Indeks Kesenjangan: Sebuah Jalan Untuk Peningkatan Kapasitas Adap- tasi Sektor Air Minum Terkait Perubahan Iklim Yudha Pracastino Heston Balai Litbang Sosekling Bidang Permukiman Pusat Litbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan Badan Litbang Kementerian PU E-mail : [email protected] Tanggal diterima : 18 Desember 2014 ; Tanggal disetujui: 31 Maret 2015 ABSTRAK Perubahan iklim dapat berpengaruh pada kualitas dan kuantitas sumber daya air. Komunitas pemukiman baik di daerah perkotaan dan pedesaan, memerlukan seperangkat aksi adaptasi mulai dari perencanaan, implementasi, pengembangan dan evaluasi. Diperlukan integrasi dan sinkronisasi strategi adaptasi, untuk memastikan sumber daya bersama terinvestasikan dengan optimal. Penelitian ini telah dilakukan untuk menemukan langkah-langkah kontekstual, terkait kesenjangan kapasitas adaptasi (yang perlu ditingkatkan) di daerah penelitian. Pendekatan teori adaptasi masyarakat digunakan, untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi rumah tangga, dalam beradaptasi dengan perubahan iklim. Metode penelitian dilakukan dengan membandingkan indikator ideal dan kenyataan di lokasi penelitian. Objek dari kelompok studi dibagi menjadi dua tingkat, yaitu individu dan institusi. Lokasi penelitian berada di dua lokasi: Kota Kupang dan Kota Palembang di Indonesia. Terdapat 3 (tiga) indikator yang memiliki kesenjangan yang tinggi dan 3 (tiga) menengah baik di Palembang dan Kupang. Palembang dan Kupang keduanya harus menghadapi, masalah dalam pengelolaan air di tingkat wilayah atau masyarakat. Palembang perlu memperhatikan pengembangan kearifan lokal, keterlibatan masyarakat, ketersediaan jaringan dan organisasi, serta pengembangan manfaat program. Kupang perlu memperhatikan kesempatan kerja, upaya peningkatan pengetahuan, informasi ketersediaan, pengembangan saluran, dan kesepakatan program. Kata kunci: air minum, indeks, adaptasi. ABSTRACT Climate change can affect the quality and quantity of water resources. Communities in settlements both in metropolitan and rural areas need to take adaptation action from planning, operation, development and evaluation. Integration of adaptation strategies needed to ensure public resources wisely invested. Research has done to find the measures of contextual adaptation capacity gap areas, which need to be improved. Community adaptation theory approach is used to identify the factors related to housing conditions in adapting to climate change. The research method is comparing the indicators ideal and reality in the study area.Object of the study group was divided into two levels, namely the individual and institution. Research sites in two locations: Kupang and Palembang in Indonesia. From discussion there are 3 (three) indicator that have high gap and 3 (three) in medium gap both in Palembang and Kupang. Both Palembang and Kupang have to face, problem in water management at territorial or community level. Palembang should pay attention to local wisdom development, community involvement, netwwork, organization availability, and program benefit development. Kupang should pay attention to job opportunity, effort to increased knowledge, information availibility, channel development, and program agreement. Keywords: drinking water, index, adaptation.

GAP INDEx: THE ROAD TO IMPROvE DRINKING WATER SECTOR ...pkpt.litbang.pu.go.id/assets/files/Vol_7_No_1_20151.pdf · 29 Gap Index: The Road To Improve Drinking Water Sector Adaptive

Embed Size (px)

Citation preview

27

GAP INDEx: THE ROAD TO IMPROvE DRINKING WATER SECTOR ADAPTIvE CAPACITy RELATED TO CLIMATE CHANGE

Indeks Kesenjangan: Sebuah Jalan Untuk Peningkatan Kapasitas Adap-tasi Sektor Air Minum Terkait Perubahan Iklim

yudha Pracastino HestonBalai Litbang Sosekling Bidang Permukiman

Pusat Litbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan Badan Litbang Kementerian PUE-mail : [email protected]

Tanggal diterima : 18 Desember 2014 ; Tanggal disetujui: 31 Maret 2015

ABSTRAK

Perubahan iklim dapat berpengaruh pada kualitas dan kuantitas sumber daya air. Komunitas pemukiman baik di daerah perkotaan dan pedesaan, memerlukan seperangkat aksi adaptasi mulai dari perencanaan, implementasi, pengembangan dan evaluasi. Diperlukan integrasi dan sinkronisasi strategi adaptasi, untuk memastikan sumber daya bersama terinvestasikan dengan optimal. Penelitian ini telah dilakukan untuk menemukan langkah-langkah kontekstual, terkait kesenjangan kapasitas adaptasi (yang perlu ditingkatkan) di daerah penelitian. Pendekatan teori adaptasi masyarakat digunakan, untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi rumah tangga, dalam beradaptasi dengan perubahan iklim. Metode penelitian dilakukan dengan membandingkan indikator ideal dan kenyataan di lokasi penelitian. Objek dari kelompok studi dibagi menjadi dua tingkat, yaitu individu dan institusi. Lokasi penelitian berada di dua lokasi: Kota Kupang dan Kota Palembang di Indonesia. Terdapat 3 (tiga) indikator yang memiliki kesenjangan yang tinggi dan 3 (tiga) menengah baik di Palembang dan Kupang. Palembang dan Kupang keduanya harus menghadapi, masalah dalam pengelolaan air di tingkat wilayah atau masyarakat. Palembang perlu memperhatikan pengembangan kearifan lokal, keterlibatan masyarakat, ketersediaan jaringan dan organisasi, serta pengembangan manfaat program. Kupang perlu memperhatikan kesempatan kerja, upaya peningkatan pengetahuan, informasi ketersediaan, pengembangan saluran, dan kesepakatan program.

Kata kunci: air minum, indeks, adaptasi.

ABSTRACT

Climate change can affect the quality and quantity of water resources. Communities in settlements both in metropolitan and rural areas need to take adaptation action from planning, operation, development and evaluation. Integration of adaptation strategies needed to ensure public resources wisely invested. Research has done to find the measures of contextual adaptation capacity gap areas, which need to be improved. Community adaptation theory approach is used to identify the factors related to housing conditions in adapting to climate change. The research method is comparing the indicators ideal and reality in the study area.Object of the study group was divided into two levels, namely the individual and institution. Research sites in two locations: Kupang and Palembang in Indonesia. From discussion there are 3 (three) indicator that have high gap and 3 (three) in medium gap both in Palembang and Kupang. Both Palembang and Kupang have to face, problem in water management at territorial or community level. Palembang should pay attention to local wisdom development, community involvement, netwwork, organization availability, and program benefit development. Kupang should pay attention to job opportunity, effort to increased knowledge, information availibility, channel development, and program agreement.

Keywords: drinking water, index, adaptation.

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 7 No.1 April 2015, hal 1- 79

28

INTRODUCTIONIndonesia has a vulnerability to climate change

disaster. Climate change disaster can increase stresses and shocks (Hiwasaki et.al 2014). Another result in the study, state that climate change could trigger climate instability and lead to emergence floods, droughts, cyclones, landslides threat (Goodess 2013). Climate change will have a progressively increasing impact on environmental degradation (Warner et.al 2010). The threat needs disaster management efforts.

Climate variability and change phenomenon as global warming result, to be one of the most important challenge today (Surmaini 2010). Anthropogenic factors, especially industrial rapid increase activities have significantly triggered global warming incident. Five primary sectors that responsible for 81.32% of the total GHG emission are Electric Power/ Steam and Hot Water Production and Supply, Smelting and Pressing of Ferrous and Nonferrous Metals, Nonmetal Mineral Products, Agriculture, and Coal Mining and Dressing (Chen G.Q, Bo Zhang, 2010). Climate change may have an impact onfrequency and intensity increase in the of extreme weather events, changing rainfall patterns, rising temperatures and sea levels. Climate change impact can cause more severe impacts on human society and the natural environment (Mahmood Rashid, Mukand S Babel, 2014).

In Indonesia climate change and global warming (Haeruman, 2009) can be recognise in incident of drought, flood, forest fire, landslide, degradation of food productivity, change of forest function, degradation of biodiversity, and degradation of quality and quantity of water supply.

Water management have strong relation to climate change, can be seen as a form of institutional services to public, where vulnerability variable as ideal service standards compared with achievements of existing services.

Based on introduction, this research has done to address the following issues: How is vulnerability indicators inadaptive capacity index, of water sector climate change preparedness performance gap?

Study purpose is to find determinant factor of capacity gaps related to climate change adaptation, community and water sector. Other purpose, is to make comparison formulation of water sector climate change vulnerability index, which consist of sensitivity, exposure and adaptive capacity factor in Palembang and Kupang.

Both location chosen because, they represent areas with have urban poor and high density

community. Both region also have program intervention in water and sanitation facility. Palembang chosen for region that represent abundant of water supply (Musi river) and Kupang for area that lack or scare of water supply.

Benefits of research is to provide stakeholders strategic efforts, at sociological implications of water sector climate change, optimal adaptation measures that can be prioritized for communities, facing water problems due to climate change.

Quantitative approach is used to provide factors related overview to climate change vulnerability and adaptive capacity, for public in water sector. This approach also used to determine ratio between region with a history of abundant water (Palembang) compared with areas with a history of water lack (Kupang).

The study was conducted by looking at the vulnerability gap performance indicators, for adaptive capacity readiness index, to community drinking water sector climate change.This is necessary, in order to improve water service efforts, climate change-related research sites.

Qualitative methods based on interviews with stakeholders in research location, is used to explain the phenomenon that appears in quantitative research.

In order to find performance readiness index, this research use gap analysis. Gap analysis is conduct to describe the gap between attribute performance, compare with attributes expectation. Attributes measured in vulnerability assessment compared with ideal value to ideal service limit. Benchmarking method is usually done by comparing performance and satisfaction indicator, this study try to compare the performance index with ideall value.

LITERATURE REvIEWGreenhouse gas emissions negate at least 16,6%

of climate change mitigation potential, from an increase in carbon sink area under increased atmospheric CO2 concentration (Groenigen et.al 2011). The increase of CO2 concentration in atmosphere, has increased the earth average temperature. This temperature increase causes wind patterns changes, ocean and lake water evaporation, which then causes pattern and intensity changes of rainfall. Climate change could have a negative impact on global economy. Economic estimates of climate change impacts depend heavily on the underlying climate scenarios and downscaling of the output from global circulation models (Aaheim et al 2012).The negative impact of climate change is

29

Gap Index: The Road To Improve Drinking Water Sector Adaptive Capacity Related to Climate ChangeYudha Pracastino Heston

mainly felt by developing countries.

Climate change is a long process and has high complexity nature, making it difficult to predict precisely. Adaptation effort is a necessary thing, because climate that change is difficult to return to the initial condition. Climate change adaptation law should be based on principled flexibility (Craig 2010). Global climate change scale need to be transformedon local context, associated with economic, social, political, geographic and local environment response. Local adaptation plans should include targets to maintain and restore biodiversity and ecosystem resilience (Baker et. Al 2012). Local community adaptation can be divided into two group that is individual and community adaptation (Heston YP and Wati 2013).

Adaptive capacity in local context obtain from socio - ecological relationships, level of income, completion patterns, infrastructure, ecosystems, health, gender, political participation and individual habits. Local adaptation can be done in multi-sectoral (Iswardoyo 2013). But there are local government and community havent introspective or aware to climate change and it impacts (Heston, YP, and Febrianty D, 2013)

Climate change adaptation is divided into three groups (Klein, et.al 1997 in Puspita, N 2010) that is: level of strategy, populations and individuals. Strategy level related to climate change regula-tions development and implementation. At the population level, adaptation purpose is to protect or prevent. At the individual level, adaptation purpose is at behavioral adjustments that aims to resolve the hazard exposure. Adaptive capacity assessment (Suhelmi 2013) can be done by calculating urban disaster adaptive capacity. The higher village adaptive capacity, more resistant in face of disaster.

Adaptability based on research (Effendi 2012) is equal with knowledge, public education and social welfare level. Community can have good adaptability when having good welfare levels. Knowledge and wellfare levels of community can raise health awareness.

Research related to climate change vulnerability as stated Turner et al. (2003) in (A. Tahir 2009) explains that vulnerability (V) is overlay function of exposure (E), sensitivity (S), and adaptive capacity (AC), and expressed in mathematical form by Metzger et al., (2006 ) as follows: V = f ( E, S, AC)...( 1 )

METHODOLOGyThe study was conducted by using basic

theory related to incorporation of community preparedness and vulnerability to climate change. Related readiness group theory divides the population into 3 levels, namely the individual, community and institution. Theory of climate change-related vulnerability indicator group divided into 3 parts, namely adaptive capacity, exposure and sensitivity.

Gap analysis (Kaihatu 2008) is needed here to describe the gap between attribute performance with the attributes expectation. Attributes measured (Oktaviani 2006) in vulnerability assessment compared with ideal value to ideal service limit.

Location and Research Period

Indexes related explanations tracked by using quantitative and qualitative research, with questionnaires and conducted interviews to several key stakeholders. They which have the information availability is considered sufficient to explain related indices phenomena.

The research was conducted in February to November of 2012, in Palembang (Seberang Ulu 1, which consists of three villages : ¾, 15 and 5 Ulu), and in Kupang (Kelapa Lima district, which consists of three villages: Oesapa , West Oesapa, and Lasiana).

Palembang is provincial capital, largest city and economic hub of social activity in South Sumatra. Its area is of 400.61 km2. Topography of Palembang, mostly lowlands with an average altitude of 4-12 meters above sea level, with a composition of 48 % of land that is not waterlogged, flooded land 15 % and 35 % seasonally water logged soils continuously throughout the season. Seberang Ulu and Seberang Ilir has a different related topography character. Seberang Ulu region generally have relatively flat topography and partly with the original soil under the surface of maximum tidal river Musi. Across the region Seberang Ilir topography variation from 4m to 20m height above sea level which consists of valleys and steep topography there. Initial river function in Palembang is as a transportation means, but now it is experiencing changes as a function of drainage and flood control.

Clean water for Palembang people mostly provide by PDAM Tirta Musi (BPPSPAM, 2010) and others utilize surface water such as river water, pond or swamp. Palembang city resident who served with clean water increased from 43.18 % ( 2003) to ± 80 % (2009 ) as many as 1,073,267 people, with a

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 7 No.1 April 2015, hal 1- 79

30

Drinking Water Facilities %

Private 49,98

Community 45,93

Public 3.84

Not available 0,25

Total 100,00

Table 1. Parameter Percentage of Households by Drinking Water Facilities

Sources: Welfare Indicators Kupang

Drinking water resources %

Bottled water 10,22

Water refill 3,98

piped meter 42,24

Retail tap 4,92

pump 2,97

Protected wells 22,62

Not Shielded wells 7,15

Shielded Springs 0,87

Not Shielded Springs 0,87

Others 4,16

Total 100,00

Table 2. Responden Alternative Answer

Sources: Welfare Indicators Kupang

Z 22 .P.Qd2

N= ........(1)

target service in 2012, is expected to serve 95 % of Palembang population.

Kupang city has an area of 165.3 km2 consists of 6 districts. Topography Kupang is the highest area above sea level in the south 100-350 meters. While

the lowest area above sea level on the northern slope of 0-50 meters with a 15 percent rate. The city population of Kupang (2012) is 336 239 inhabitants. With a population density of 2,034 per km2. Description and source of household Drinking Water in 2010 which has its own drinking water facilities by 49.98 percent .

Data Collecting

Data was collected through questionnaires. Questionnaires distributed to a number of respondents to determine samples number required (representation of a population that will be mapped). Determination of samples number should consider homogeneity and heterogeneity of population.

Literature study was done by collecting a variety of secondary data from various sources (books , journals, magazines, maps, newspapers, documents, research reports, data sources from the internet, etc.).

In-depth interviews were conducted in a quiet, familiar situations. Interviews can be started from the things that light (introduction), insensitive, and not necessarily sequentially so that the informant did not mind answering.

Field observations made through direct observation to be mapped. In implementing field observations accompanied by representatives from the community along with a professional master of environmental management.

Population

Quantitative research: population to determine the community readiness represented by the board of RT, RW and administrators group in society.With justification that they are the main object and subject, in the implementation of adaptation models, that can act as driving force for all citizens in the region. The population has also seen a lot of information , in-depth strategic and social and cultural processes that occur in a community, about the phenomenon under study.Qualitative research: to determine the readiness of the population represented by the head of the district, the board of NGOs working in the field of water.

Samples

Questioner divided into two types of community leaders and family heads .

1 ) Criteria for selecting community leaders in the RT and RW defined by the following inclusion criteria, ie:

( a. ) The Board region at RT until RW with a minimum term of 1 year

( b. ) Residing in the research area and are willing to be the research subject.

( c. ) At least 20 years old.Samples amount that meet the criteria for

inclusion in the study, were 30 people in each area.

2 ) The criteria for selecting individual inclusion criteria, namely :

( a. ) One of the family members who are considered to represent

( d. ) Residing in the research area and are willing to be the research object.

( b. ) At least 20 years old.Samples amount using the following formula

(Sastorasmoro and Ismael, 2004 in Balai 2012).

31

Data were analyzed by compiling into the matrix, index found the actual number of questionnaires. This was followed by finding the difference between ideal boundary services minus the actual numerical values. Actual figures inserted into percentage figures for ease of analysis. Wanted percentage difference between ideal service reduced the actual number percentage. Index:

X actual-X minimum

X maximum-Xminimum

Measurement of index formula (Eriyagama 2009)The next step is to formulate a (3) priority

variable, and (3) support variables in each study site. Variables found the explanation sought through qualitative research, both from the literature as well as primary data sources such as interviews.

Qualitative analysis is done by developing a quantitative research ideographic related phenomena and social reality. Development of the theory of empiric formed through various phenomena or cases studied. The resulting theory will gain a strong foothold on reality and is contextual.

Disclaimer

Gross Regional Domestic Product for Kupang , taken in 2011, due to field research conducted in 2012.

RESULTS AND DISCUSSIONActual figures obtained from the indicator with

3-15 questions in the questionnaire, with the following indicator explanation.

Knowledge: the ability of respondents to answer everything about community readiness in addressing availabilty changes in water resources due to climate change.

Perception: support respondent to give a positive or negative response to community readiness in addressing availability changes of water resources due to climate change.

Behavior: The public habit or act in everyday life related to community readiness,to face change

Gap Index: The Road To Improve Drinking Water Sector Adaptive Capacity Related to Climate ChangeYudha Pracastino Heston

Parameter Size

High Vulnerable 0,00 – 0,33

Moderate Vulnerable 0,34 – 0,66

High Resilient 0,67 – 1,00

Table 3. Scale Parameter

Sources: Balai Litbang Sosekling Bidang Permukiman, 2012

I =

Description :

( a. ) P = proportion of searched state: socio-economic involvement of 76.3 % for community participation in water resources management (Syahrani , et al 2004 in Balai 2012)

( b. ) d = desired level of absolute accuracy ( 0.07 )( c. ) α = level of significance ( 0.05 )( d. ) Q = ( 1 - P ) , so if P = 1-.763 = 0.237

Based on the above provisions , then the sample size in this study was: 142 people for Kupang and Palkembang city.

Qualitative research to explain the quantitative figures, does not concern on the number of samples, informants can be a little or lot depending on whether appropriate key informants as well as the diversity and phenomenon complexity of study. In collecting the data, the number of samples used is the range between 4-10 informants to see if the data is already saturated. if the sample is less than 10 has reached the saturation point, researchers stop sample search. With regard data fulfill and adjusted to the researchers ability(Lexy Jdan Moleong 2004).

Data Analysis

Based on field research (Balai Litbang Sosekling Bidang Permukiman in 2012) with the mathematical formulation described vulnerability Index (V = f S, E, AC) is as follows :

With a description of each variable, the variable S is defined as follows:

S= 50 PRA + 37,9 KP + 12,1 M...........( 2 )

Where, PRA: daily behaviour water usage, KP: programs agreement and clean water support policies, M: clean water benefits.

Variable E is defined as follows :

E= 50 PAL + 50 PeAL...........( 3 )

Where, PAL: water use in scarce season (individual) , PeAL: water management in scarce season water (community)

AC variable defined as follows :

AC= 16,67 Pt + 16,93 Ps + 16,4 PI + 9,4 J + 8,22 KI + 8,16 C + 7,66 KL + 11,83 CAP + 4,73 P........... ( 4 )

Where, Pt: Knowledge, Ps: Perception, Pl: Behavior, J: Networking , KI: information availability of, C: channel, KL: Local knowledge, CAP: community action plan, P: Leadership.

Rating score each parameter, using sources Arctic Water Resource Vulnerability Index, divided into 3 categories:

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 7 No.1 April 2015, hal 1- 79

32

No IndicatorIdeal level unit/metric Palembang Kupang %

Palembang%

KupangAdaptive capacity (AC)

1 Education 4,53 Point 3,35 3,77 55,46 62,42

2 Income 2.216.341 Rupiah 2.304.031 2.354.575 77,97 79,68

3 Job 6,01 Point 4,44 4,24 55,41 52,91

4 Knowledge 77,81 Point 65,56 63,91 63,19 61,60

5 Behaviour 76,56 Point 61,67 67,32 60,41 65,95

6 Local wisdom 68,41 Point 0 67,78 0,00 74,31

7 Community involvement 94,78 Point 23,33 95 18,46 75,17

8 Leadership 87,38 Point 63 78,33 54,07 67,23

9 Network 75,76 Point 30 66,77 29,70 66,10

10 Information availability 97,36 Point 50 61,09 38,52 47,06

11 Channel 88,83 Point 40 71,43 33,77 60,31

12 Organization availability 97,63 Point 20 91,2 15,36 70,06

Exposure (E)

14Water shortage management at individual level

53,28 Point 48,35 47,31 68,06 66,60

15Water shortage management at territorial level

70,33 Point 0 47,77 0,00 50,94

Sensitivity (S)

17 Daily water use behaviour 62,72 Point 66 60 78,92 71,75

18 Program agreement 94,07 Point 51,21 71,34 40,83 56,88

19 Benefit 69,87 Point 0 62,5 0,00 67,09

Table 4. Actual Figure

Source: Balai Litbang Sosekling Bidang Permukiman, 2012

problems in water resources due to climate change. It will be assessed from the behavior of people in water retrench for daily needs.

Conduct daily water use: The habit or act of public in everyday life related to community readiness in use of water to prevent water shortages occurrence.

Conduct water use season when water is scarce: the habit or act of family members related to family preparedness in face of scarce water season.

Water use behavior: the behavior or actions related to water use in family life to improve socio- economic status.

Local Wisdom: all forms of knowledge, belief, understanding, or insight as well as custom or ethics that guide human behavior in conserving water resources.

Water management in water-scarce season: habits or actions related to community preparedness in face of scarce water season.

Community involvement in organizations: community participation in project provision of clean water and sanitation services.

Leadership: the art of activity or influence others to cooperate based on person’s ability to guide others in achieving desired goals of the group.

The existence of organizations: the organization presence in a special area set up to regulate water availability in community.

Network: the efforts of an institution in community to establish cooperative relationships with other agencies.

Availability of information: The efforts of an institution to obtain information related to provision of clean water.

Channel Communications: Media availability is facilitated by an institution engaged in provision of clean water in order for a community to deliver clean water issues in the region.

Agreements Program and Policy Support: The existence of a formula and related activities deal with a source of clean water agencies.

Benefits: The availability of clean water facilities on community created by an agency.

Answers to indicators other than education, income and employment converted to numbers range from 0 to 100 to facilitate the analysis process. The results can be seen in the table 4, the figures were converted into percentage in accordance with the primary data.

33

Gap Index: The Road To Improve Drinking Water Sector Adaptive Capacity Related to Climate ChangeYudha Pracastino Heston

No IndicatorIdeal level Palembang Kupang %

Palembang % KupangAdaptive capacity(AC)

1 Education 4,53 2,69 2,27 44,54 37,58

2 Income 2.216.341 651.090,33 600.546,33 22,03 20,32

3 Job 6,01 3,57 3,77 44,59 47,09

4 Knowledge 77,81 38,19 39,84 36,81 38,40

5 Behaviour 76,56 40,41 34,76 39,59 34,05

6 Local wisdom 68,41 91,21 23,43 100,00 25,69

7 Community involvement 94,78 103,04 31,37 81,54 24,83

8 Leadership 87,38 53,51 38,18 45,93 32,77

9 Network 75,76 71,01 34,24 70,30 33,90

10 Information availability 97,36 79,81 68,72 61,48 52,94

11 Channel 88,83 78,44 47,01 66,23 39,69

12 Organization availability 97,63 110,17 38,97 84,64 29,94

Exposure (E)

14 Water shortage management at individual level 53,28 22,69 23,73 31,94 33,40

15 Water shortage management at territorial level 70,33 93,77 46,00 100,00 49,06

Sensitivity (S)

17 Daily water use behaviour 62,72 17,63 23,63 21,08 28,25

18 Program agreement 94,07 74,22 54,09 59,17 43,12

19 Benefit 69,87 93,16 30,66 100,00 32,91

Table 5. Gap

Source: Balai Litbang Sosekling Bidang Permukiman, 2012

6 15 19Indicator number

Gap percentage

Source: Individual AnalysisFigure 1: Gap to Quartiel (Palembang)

From the results of a calculation in Palembang can be seen that there are three indicators that need to get attention, in order to services improve, namely: local knowledge, management of scarce water season, and program existence benefits. While the next 3 indicators that can be considered for further development is availability of relevant organizations, community involvement, and networking.

From the results of a calculation in Kupang can be

seen that there are three indicators that need to get attention, in order to service improve that is related to: employment, availability of information, the management of scarce water season. 3 indicators for development that can be considered further in Kupang related to program agreement, channel, and knowledge. Gap from the ideal limit will get the result as in grafik 1 and 2.

Discussion

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 7 No.1 April 2015, hal 1- 79

34

3 10 15

3 indicator with largest gap 3 next indicator with medium gap

Indicator number

Gap percentage

Source: Individual Analysis

Figure 2: Gap to Quartiel (Kupang)

PalembangLocal Wisdom (6) (Diem, A. , 2012)

Local wisdom of wood stage housing form, which is designed to be able to adapt geographical conditions swampy wet and hot temperatures. The building houses a stage adaptation of the rain and tide conditions, especially in the region around the river. Home made form high in anticipation of the hot temperatures. Selected wood material resistant to water immersion. Trust is the number of steps, showing a desire to get a blessing for the family, because there is a belief if an even number of stairs then residents will get a lot of trouble. Number of steps in a terrace house also shows social class, who were divided into three groups. The higher steps number, more higher class that can be assembled in it. Ventilation in every home made a lot, and each home prepared crock in front of house to keep clean water, which is found in households in Palembang. This shows the readiness of citizens to be able to have their own bin (not together) for each household. Densely populated settlements on riverbanks, using direct water to wash clothes, dishes and bathing. The main water source community around the river is flowing river water.

Water Shortage Management at Territorial Level (15)

Water problems in some areas impassable Musi river have ebb and flow, if tide is a lot than trash left on riverbank. Plus, if there was a flood threatens the existence of the house residents (Musi River Overflowing Again Compass - March 1 2006 ). Although relatively raw water is available both in

dry and rainy season.

Water they obtained in several ways, namely by buying from water vendors, including refill water, collect water and carry out simple processing.Efforts to overcome clean water scarcity can be proved by the discovery of drums and jars on patio citizens, namely rain still expected to meet needs of clean water. When it rained, water is murky Musi precipitated with alum.

Benefit(19)

Management and improvement of water quality from taps is done by adding the house conection (SR) and main channel of taps. Most people already have a house connection each of taps. However, there are areas which are found also got SANIMAS program and use water collectively.

Program construction of public facilities such as toilets plus of course SANIMAS built on land owned by the Palembang. Informal sector work, MCK SANIMAS, the PNPM, help from pawnshops for road and bridge capital.

KupangJob(3)

When observed by Gross Regional Domestic Product in 2011, which shows most of the revenues obtained from Kupang city services sector, trade, hotels and restaurants, where these sectors are in need of drinking water clean security. In water supply in Kupang can not rely on taps, to meet adequacy, through a variety of ways, namely: buy water tanks, water gallons or using borehole.To

35

SECTOR

Year

2011

RUPIAH (million) %

Agriculture 104.416 4,2

Mining 36.975 1,49

Processing industry 66.584 2,68

Electricity and water supply 21.491 0,86

Building 259.578 10,44

Trade, hotel, restaurant 714.117 28,72

Transportation / communication 397.788 16

Bank / finance 143.304 5,76

Service 742.506 29,86

TOTAL 2.486.759 100

Source: Gross Regional Domestic Product in 2011

Table 5. Kupang revenue

Gap Index: The Road To Improve Drinking Water Sector Adaptive Capacity Related to Climate ChangeYudha Pracastino Heston

meet the water needs of corporate offices, hotels, and a domestic house hold requirements, many of which use tank water consumption.

Information Availability (10)

As part of water provision, made from the institution to deliver information services provider to consumers, including information from the government to the public. Some of the information that can be conveyed related programs: PDAM through the piping system , but still about 10 % are using a direct connection to the house. KSM PAMSIMAS, using a tank filled water flow taps and boreholes. This work is done so that there is reduction in cost to meet the needs of the community water supply so that the load can be minimized. KSM PAMSIMAS success in community-based water supply programs such as PNPM - P2KP that include clean water issues in the environmental aspects , through the use of the tank system with piping method SR (House Connection). Management of the water tank. Source water obtained from wells drilled tank which is then run through a private business. Ownership of water sources as a privately owned gold fields for the local community and is a very profitable business. Related information management boreholes privately owned. Management of water gallons for drinking water, but in quality, raw water , the tools used and the process must not be ascertained in accordance with health standards.

Water Shortage Management at Territorial Level (15)

Water crisis in Kupang can occur throughout the year, but when dry season decrease water flow reaches 30 % on sources of spring water, such as rivers, wells, ponds, etc, while the rainy season when

water is quite abundant even frequent flooding due to conditions geographical and soil structure is not solid and hollow, so that water in highlands and can not be saved down low flatness and then thrown into the sea but the season when water quality has decreased.

CONCLUSIONFrom Discussion there are 3 (three) indicator

that have high gap and 3 (three) in medium gap both in Palembang and Kupang. One problem which Palembang and Kupang have to face, that is water management at territorial or community level. Another Palembang’s problem in order to improve water sector toward climate change adaptation are local wisdom development, community involvement, netwwork, organization availability, and program benefit development. Another Kupang’s problem in order to improve water sector toward climate change adaptation are job opportunity, effort to increased knowledge, information availibility, channel development, and program agreement.

To improve the index performance in Palembang that has abundant water, namely the development of local wisdom. Current value of local wisdom in water management, has not been optimized, so it needs to be administered using a socialization program or local cultural context. Also required the technology implementation to solve water shortages in times of flooding along Musi river. Optimizing community-based programs benefits can be done by way of managing pipelines to homes.

Provision of clean water access to sectors that have the potential to increase revenue in Kupang, is one way of improving index performance. Need to ensure the quality, quantity, continuity of water

agricultureminingProcessing industryElectricity and water supplyBuildingTrade, hotel, restaurantTransportation / communicationBank / financeService

PDRB

Figure 3: Kupang GRDP

Source: Gross Regional Domestic Product in 2011

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 7 No.1 April 2015, hal 1- 79

36

services strategic sectors such as trade, hotel, restaurant and industry. Information dissemination needs to be done to improve performance readiness index. In addition it is necessary to provide guidance to company, which runs a water refill business.

REFERENCESAaheim Asbjørn, Helene Amundsen, Therese

Dokken, Taoyuan Wei, 2012, Impacts and adaptation to climate change in European economies, Global Environmental Change Journal 22, 2012; 959–968, journal homepage: www.elsevier.com/locate/gloenvcha

BakerIngrid, Ann Peterso, Greg Brownb, Clive McAlpine, 2012, Local government response to the impacts of climate change: An evaluation of local climate adaptation plans, Landscape and Urban Planning Journal 107, 2012; 127–136, journal homepage: www.elsevier.com/locate/landurbplan

Balai Litbang Sosekling Bidang Permukiman, 2012, Mitigasi dan Adaptasi PerubahanIklim oleh Masyarakat dalam Ketersediaan Air Minum, Laporan Akhir, Puslitbang Sosekling

Chen G.Q, Bo Zhang, 2010, Greenhouse gas emissions in China 2007: Inventory and input–output analysis, Energy Policy Journal 38, 2010; 6180–6193, journal homepage: www.elsevier.com/locate/enpol

Craig Robin Kundis, 2010, “Stationarity Is Dead”’ - Long Live Transformation: Five Principles For Climate Change Adaptation Law, HeinOnline Journal 34 Harv. Envtl. L. Rev. 9 2010

Diem. Anson Ferdiant, 2012, Kearifan Arsitektur Lokal dalam Beradaptasi Terhadap Kondisi Iklim Di Daerah Tropis Lembab (Studi Kasus: Pemukiman Rumah Rakit Di Sungai Musi Palembang), http://ejournal.unsri.ac.id/index.php/jas/article/view/51

Efendi M, Sunoko H.R., dan Sulistya W, 2012, Analisis Kriteria dan Indikator Kerentanan Masyarakat terhadap Perubahan Iklim Berbasis DAS (Studi Kasus Sub DAS Garang Hulu), Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Semarang, 11 September 2012

Eriyagama, N.; Smakhtin, V.; Gamage, N. 2009. Mapping drought patterns and impacts: a global perspective. Colombo, Sri Lanka: International Water Management Institute. 31, (IWMI Research Report 133)

Goodess, 2013, How is the frequency, location and severity of extreme events likely to change up to 2060. Environmental science& policy Journal 27, 2013; 4 – 14, journal homepage: www.elsevier.com/locate/envsci

Groenigen Kees Jan van, Craig W. Osenberg, Bruce

A. Hungate, 2011, Increased soil emissions of potent greenhouse gases under increased atmospheric CO2, Nature International Weekly Journal of Science, 475 (7355), ISSN: 0028-0836 EISSN: 1476-468

Haeruman Herman, 2009, Perspektif Kebijakan terkait Perubahan Iklim dan Dampaknya terhadap Ekonomi, Jurnal Ekonomi Lingkungan 13 (1), 2009

Heston, YP, and Febrianty D, 2013, Adaptasi Masyarakat Menghadapi Perubahan Iklim dalam Ketersediaan Air Minum, Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum, 5 (1) April 2013; ISSN : 2085-384X

Heston YP, Wati Nur Alvira Pasa, 2013, Faktor Determinan Kesiapan Masyarakat terkait Kapasitas Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Air Minum, Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum, 5 (3) November 2013; ISSN : 2085-384X

IswardoyoJati, 2013, Adaptasi Masyarakat Terhadap Bencana Banjir LaharStudi Kasus : Kemiren , Srumbung , Magelang , Jawa Tengah, Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, 5 (2) Juli 2013; 76 - 139

Kaihatu, Thomas. Analisa Kesenjangan Kualitas Pelayanan dan Kepuasan Konsumen Pengunjung Plaza Tunjungan Surabaya. Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Petra, Email: [email protected]. Journal of Management and Entrepreneurship, 10 (1) March 2008: 66-83

Metzger, M.J., Rounsevell, M.D.A., Acosta-Michlik, L., Leemans, R., Schroter, D., 2006. The vulnerability of ecosystem services to land use change. Agriculture, Ecosystems & Environment Journal 114; 69–85. www.elsevier.com/locate/agee

Lexy J., Moleong. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Lisa Hiwasaki a,n , Emmanuel Luna b , Syamsidik c , Rajib Shaw, 2014, Process for integrating local and indigenous knowledge with science for hydro-meteorological disaster risk reduction and climate change adaptation in coastal and small island communities, International Journal of Disaster Risk Reduction 10, 2014; 15–27. www.elsevier.com/locate/ijdrr

Mahmood Rashid and Mukand S Babel, 2014, Future changes in extreme temperature events using the statistical downscaling model (SDSM) in the trans-boundary region of the Jhelum river basin, Weather and Climate Extremes Journal, journal homepage: www.elsevier.com/locate/wace

Puspita. Norma, Budhi Setiawan, dan Sarino,

37

Gap Index: The Road To Improve Drinking Water Sector Adaptive Capacity Related to Climate ChangeYudha Pracastino Heston

2010, Kajian kerentanan infrastruktur kota terhadap dampak perubahan iklim (studi kasus bangunan sekolah SMPN/SMAN/SMKN Kota Palembang), Prosiding konferensi nasional Pascasarjana Teknik Sipil (KNPTS 2010) Bandung, 26 Mei 2010, ISBN 978-979-1622-5-4

Suhelmi. Ifan, 2013, Adaptive Capacity Mapping Of Semarang Offshore Territory By The Increasing of Water Level and Climate Change, Forum Geografi, 27 (1) Juli 2013: 81 - 92

Surmaini. Elza, Eleonora Runtunuwu, dan Irsal Las, 2010, Upaya Sektor Pertanian dalam Menghadapi Perubahan Iklim, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Jalan Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 16123, Telp. (0251) 8323012, Faks. (0251) 8311256, E-mail: [email protected]

Syahrani, Djoko L., & Fatchan N (2004). Analisis Peranserta Masyarakat dalam Pengelolaan Air Bersih. Jurnal Manusia dan Lingkungan. XI (2): 86-95.

Tahir. Amiruddin, Mennofatria Boer, Setyo Budi Susilo, dan Indra Jaya, 2009, Indeks Kerentanan Pulau-Pulau Kecil: Kasus Pulau Barrang Lompo-Makasar, Ilmu Kelautan, UNDIP, 14 (4) Desember 2009: 8-13

Oktaviani. Riandina Wahyu dan Rita Nurmalina Suryana, 2006, Analisis Kepuasan Pengunjung dan Pengembangan Fasilitas Wisata Agro (Studi Kasus di Kebun Wisata Pasirmukti, Bogor), Jurnal Agro Ekonomi, 24 (1) Mei 2006 : 41-58

Warner K., M. Hamza, A. Oliver-Smith, F. Renaud, A. Julca, 2010, Climate change, environmental degradation and migration, Natural Hazards Journal, 55 (3) December 2010; 689-715

h t t p : / / w w w . b p p s p a m . c o m / i n d e x .php?option=com_content&view=article&id=289:dahaga-di-tepi-musi&catid=34:bam

39

ABSTRACT

Land acquisition on road project often experienced with rejection caused by community disagreement towards value of land compensation. Land acquisition could emerge community concerns about how they live in the future. It is closely related to society’s perception of the government has given compensation loss couldn’t fulfill their live needs in the future. Government used assumption that compensation could increase affected communities welfare. This article aimed to determine the change of community welfare who received land compensations. This article also aimed to determine the relationship between changes in community welfare with financial literacy. This article used land acquisition case in Bongas Wetan village, Majalengka as part of road construction Cikampek-Palimanan (Cipali). Data obtained using questionaire. Scoring analysis used to determine the change of community welfare, while the relationship between variables described by Spearman’s rho correlation. Most of them have change in, either increase (32%) or decrease (46%) and no relationship between financial literacy and community welfare. There are need for further research about determined the financial literacy indicators and other factors that could influenced communtity welfare after compensation payment.

Keywords : financial literacy, welfare, land acquisition, compensation, toll road

ABSTRAK

Kegiatan pengadaan tanah untuk pembangunan jalan sering diwarnai dengan penolakan terhadap nilai ganti rugi yang ditawarkan. Kekhawatiran akan kesejahteraan masa depan mejadi salah satu pemicunya. Namun, pemerintah telah berupaya melakukan perhitungan yang mendekati nilai ganti kerugian yang diharapkan masyarakat. Tulisan ini berusaha mengetahui perubahan kesejahteraan masyarakat penerima uang ganti kerugian dan hubungannya dengan literasi keuangan. Kasus yang digunakan adalah pengadaan tanah di Desa Bongas Wetan, Kabupaten Majalengka sebagai bagian dari pembangunan jalan tol Cikampek-Palimanan (Cipali). Data diperoleh melalui penyebaran kuesioner kepada masyarakat penerima ganti kerugian. Analisis skoring digunakan untuk mengetahui besaran perubahan kesejahteraan, sedangkan hubungan antar variabel dianalisis menggunakan korelasi Spearman’s Rho. Hasilnya adalah sebagian masyarakat mengalami perubahan kesejahteraan, baik meningkat (32%) maupun menurun (46%). Selain itu, tidak ditemukan korelasi antara literasi keuangan dengan perubahan kesejahteraan. Perlu kajian lebih lanjut mengenai aspek kemampuan pengelolaan uang ganti rugi terkait dengan indikator yang digunakan serta faktor lain yang dapat mempengaruhi perubahan kesejahteraan pasca pemberian ganti rugi.

Kata kunci : literasi keuangan, kesejahteraan, pengadaan tanah, ganti kerugian, jalan tol

HUBUNGAN LITERASI KEUANGAN DENGAN PERUBAHAN KESEJAHTERAAN MASyARAKAT PASCA PEMBERIAN GANTI KERUGIAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN JALAN TOL DI DESA BONGASWETAN,

KABUPATEN MAJALENGKA

Relationship of Financial Literacy and Public Welfare Changes After Land Compensation for Toll Road Development in Bongaswetan Village,

Majalengka

Alfian Najib Anshori1 dan Ahsan Asjhari2

Balai Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi dan Lingkungan Bidang Jalan dan JembatanJl. Gayung Kebonsari 50 Surabaya 60235

Email: [email protected]

Balai Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi dan Lingkungan Bidang Jalan dan JembatanJl. Gayung Kebonsari 50 Surabaya 60235

Email: [email protected]

Tanggal diterima: 17 November 2014; Tanggal disetujui: 20 Maret 2015

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 7 No.1 April 2015, hal 1- 79

40

PENDAHULUAN Pembangunan infrastruktur seperti jalan

tol sebagai katalis pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat harus tidak menemui banyak kendala dalam pelaksanaannya. Namun fakta yang tersedia justru sebaliknya, yaitu pembangunan jalan tol justru banyak terkendala khususnya pada kegiatan pengadaan tanah. Pada tahun 2011 Kementerian Pekerjaan Umum berencana membangun 886 km konstruksi jalan tol, 293,36 km telah berada pada tahap konstruksi sedangkan sisanya masih berada pada kegiatan pengadaan tanah (BPJT 2011).

Pengadaan tanah yang berlarut-larut tentunya akan menyebabkan keterlambatan pembangunan secara keseluruhan. Pengadaan tanah menjadi sulit dalam pelaksanaannya karena bersinggungan secara langsung dengan kepentingan dan hajat hidup masyarakat terdampak. Hal ini terkait dengan kelangsungan hidup warga yang terkena pembangunan sehingga akhirnya menimbulkan keresahan masyarakat. Semua keresahan tersebut terakumulasi menjadi penolakan terhadap nilai uang ganti rugi lahan yang ditawarkan oleh pemerintah. Opini yang terbangun di masyarakat adalah pembangunan jalan tol hanya akan menguntungkan sebagian kecil pihak, dan tidak berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat di masa depan.

Kekhawatiran masyarakat terhadap kesejahtera-an di masa depan menjadi faktor penting yang menjadi pemicu penolakan terhadap nilai ganti rugi yang ditawarkan. Sementara pihak pemerintah telah melakukan perhitungan berdasarkan nilai jual tanah, bangunan dan tanaman yang ditaksir oleh instansi yang berwenang di bidang tersebut. Harapannya, penilaian tersebut mendekati nilai ganti kerugian yang diharapkan masyarakat.

Berdasarkan gambaran tersebut, terdapat dua kemungkinan mengenai hal tersebut yaitu : Pertama, nilai ganti rugi tidak sesuai dengan harga lahan eksisting sehingga masyarakat tidak mendapatkan keuntungan dari adanya uang ganti rugi tersebut atau balik modal (turnover) yang harus dapat digunakan untuk membeli lahan pengganti.

Penyebab kedua adalah ketidaktahuan dan ketidakmampuan masyarakat dalam mengelola uang ganti rugi turut berperan dalam menyebabkan penurunan kesejahteraan. Kemungkinan pertama umumnya disebabkan oleh sulitnya proses negosiasi dengan masyarakat karena banyaknya penolakan pada kegiatan pengadaan tanah sehingga terjadi perbedaan nilai lahan yang telah diperhitungkan di awal dengan nilai akhir, sementara harga tanah naik cukup signifikan setiap tahunnya. Sedangkan kemungkinan kedua tentang kemampuan masyarakat dalam menggunakan mengelola keuangan belum banyak dikaji. Sehingga bahasan tentang penggunaan uang dan kaitannya dengan kesejahteraan menjadi unsur kebaruan (novelty) dalam artikel ini.

Kebaruan artikel

Beberapa kajian yang membahas mengenai ganti rugi lahan dalam pembangunan jalan masih berkutat pada aspek pelaksanaan kegiatan pengadaan tanah terkait dengan identifikasi masalah dan faktor penyebabnya dan cara penyelesaian masalah yang terjadi pada kegiatan tersebut (Marlijanto 2012). Sedangkan untuk kajian pasca kegiatan seperti yang telah dilakukan oleh Setianingsih (2012) lebih terkait dengan dampak kegiatan pengadaan tanah atau pembebasan lahan meliputi kepastian hukum, munculnya konflik sosial, masalah adaptasi terhadap perubahan kondisi ekonomi dan kesejahteraan, serta kondisi psikologis warga terdampak. Sementara kajian yang lebih terfokus

Gambar 1. Rencana pembangunan Jalan Tol Cipali

Sumber: http://www.bukaka.com/

LEGEND :CIKOPO-PALIMANAN TOLL WAY JAKARTA-CIKAMPEK FREEWAY ARTERIAL ROAD INTERCHANGE AT INTIAL STAGE

PALIMANAN - KANCI TOLLWAYSERVICE AREA TYPE”A”SERVICE AREA TYPE”B”

PROJECT LOCATION MAPCIKOPO-PALIMANAN TOLL ROAD

TOTAL LENGTH 114 KM

41

Hubungan Literasi Keuangan dengan Perubahan Kesejahteraan Masyarakat Pasca Pemberian Ganti Kerugian Tanah untuk Pembangunan Jalan Tol di Desa Bongaswetan, Kabupaten Majalengka

Alfian Najib Anshori dan Ahsan Asjhari

terkait kesejahteraan pasca pembangunan sebuah infrastruktur pekerjaan umum dan permukiman dilakukan oleh Rianto (2012).

Oleh karena itu, artikel ini berusaha mengetahui dan membahas tentang bagaimana korelasi antara penggunaan uang masyarakat yang memperoleh ganti kerugian terhadap perubahan kesejahteraan dengan mengambil lokasi Desa Bongas Wetan, Kecamatan Sumber Jaya Kabupaten Majelengka pasca menerima ganti kerugian atas lahan untuk pembangunan Jalan Tol ruas Cikopo-Palimanan. Jalan tol yang terletak di Provinsi Jawa Barat ini memiliki panjang 116,05 kilometer dan diharapkan dapat memperpendek waktu tempuh Cikopo-Palimanan selama dua jam serta membuka akses yang lebih luas kepada daerah-daerah yang potensial di Jawa Barat, seperti Cikopo di Purwakarta, Kalijati, Subang, Cikedung, Kertajati dan Sumberjaya. Artikel ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan untuk melakukan analisis lebih lanjut terhadap kondisi kesejahteraan masyarakat terkena proyek pasca menerima kompensasi atas lahan yang hilang. Sehingga dapat diupayakan untuk menjaga atau bahkan meningkatkan kondisi kesejahteraan masyarakat terkena proyek ketika sebuah kegiatan pembangunan jalan tol berlangsung.

KAJIAN PUSTAKAPemberian ganti kerugian atas lahan

Masalah ganti rugi selalu menjadi isu utama dalam sebuah kegiatan pembangunan infrastruktur. Penilaian besarnya nilai Ganti Kerugian dilakukan per bidang tanah, meliputi 1) tanah, 2) ruang atas tanah dan bawah tanah, 3) bangunan, 4) tanaman, 5) benda yang berkaitan dengan tanah, dan/atau 6) kerugian lain yang dapat dinilai (UU No 2 Tahun 2012). Bentuk Ganti Kerugian dalam pengadaan tanah diberikan dalam bentuk : 1) uang, 2) tanah pengganti, 3) permukiman kembali, 4) kepemilikan saham, atau 5) bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak (Pasal 36). Berdasarkan Keppres Nomor 55 Tahun 1993, perhitungan ganti rugi untuk tanah adalah harga tanah didasarkan atas nilai nyata atau sebenarnya dengan memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak dan Bangunan (NJOP) tahun terakhir (Pasal 15 huruf a). Di samping untuk tanah, bangunan dan tanaman, dasar perhitungan ganti ruginya adalah nilai jual bangunan dan tanaman yang ditaksir oleh instansi yang berwenang di bidang tersebut (Pasal 15 huruf b dan c).

Harga tanah sendiri dipengaruhi oleh banyak hal selain NJOP. Penilaian tanah dapat berpedoman pada hal-hal berikut yaitu: lokasi/letak tanah (strategis atau kurang strategis); status penguasaan tanah (sebagai pemegang hak yang sah/penggarap);

status hak atas tanah (hak milik, hak guna bangunan, hak pakai, dan lain-lain); kelengkapan sarana dan prasarana; keadaan penggunaan tanahnya (terpelihara/tidak); faktor lain yang mempengaruhi harga tanah (Berminas 2014)

Namun faktor – faktor tersebut tidak lagi digunakan dengan adanya UU No 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. UU No. 2 Tahun 2012 menetapkan bahwa pemberian ganti rugi tidak lagi berdasarkan atas Nilai Jual Obyek Pajak dan Bangunan (NJOP) tahun terakhir, namun berdasarkan harga pasar yang ditetapkan oleh Lembaga Pertanahan. Ketetapan tersebut berlaku untuk semua jenis pembangunan infrastruktur termasuk jalan tol.

Dalam kegiatan pengadaan tanah selalu terjadi gejolak yang disebabkan oleh alotnya proses negosiasi nilai ganti rugi. Hal tersebut diindikasikan dengan berbagai fenomena di masyarakat seperti sikap skeptis masyarakat, adanya persepsi bahwa pengadaan tanah merupakan kesempatan untuk menjual tanah dengan harga setinggi-tingginya sehingga memicu munculnya spekulan/calo tanah. Selain itu banyaknya pihak yang terlibat dalam kegiatan pengadaan tanah menyebabkan ketidakjelasan terhadap tanggung jawab pelaksanaan kegiatan tersebut. Masyarakat beranggapan bahwa dengan uang ganti rugi tersebut dapat membeli tanah di lokasi lain sehingga dapat menjamin kesejahteraan di masa depan.

Kesejahteraan masyarakat

Pemerintah selalu menetapkan kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan pembangunan. Apa yang disebut dengan kesejahteraan? UU Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial menyebutkan bahwa kesejahteraan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

Dari definisi tersebut secara garis besar kesejahteraan adalah terpenuhinya kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup manusia. Kebutuhan dasar tersebut meliputi kebutuhan terkait dengan kualitas hidup seperti kesehatan dan gizi, pendidikan, ketenagakerjaan, taraf dan pola konsumsi, perumahan, serta sosial lainnya (BPS 2013). Sedangkan indikator-indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan meliputi tingkat pendidikan, pendapatan per kapita, kesehatan dan gizi, lingkungan sosial, infrastruktur dan layanan, lingkungan alam, lingkungan politik, tingkat pengetahuan, lingkungan ekonomi, dan kepemilikan aset. (Muflikhati et al 2010a, 2010b).

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 7 No.1 April 2015, hal 1- 79

42

Konsep kesejahteraan erat kaitannya dengan kemiskinan karena sejahtera berarti tidak miskin sehingga indikator yang digunakan pun tidak jauh berbeda. Savadogo et al (2015) mendefinisikan kemiskinan dengan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar meliputi makanan, kesehatan, uang, dan “terasing” secara sosial. Usman (2015) menggunakan indikator bantuan sosial sebagai social spending (dana yang dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi kemiskinan) untuk mengukur tingkat kemiskinan di sebuah wilayah. Indikasi tersebut sejalan dengan pemikiran Fatony (2011) bahwa selama ini pendekatan pengentasan kemiskinan yang dapat dikatakan sebagai usaha untuk membuat masyarakat tidak miskin (sejahtera) cenderung menggunakan indikator-indikator terkait pemenuhan sandang pangan, dan papan (standar kesejahteraan).

Pada kasus pembangunan infrastruktur pekerjaan umum dan permukiman, Rianto (2012) menjelaskan bahwa aspek-aspek yang mempengaruhi kesejahteraan masyarakat pasca pembebasan lahan untuk pembangunan infrastruktur adalah: 1) Pendapatan; 2) pengeluaran; 3) akses wilayah ke tempat perekonomian; 4) akses ke pelayanan publik. Konsep kesejahteraan yang diajukan oleh Rianto tersebut digunakan untuk mengetahui hubungan antara besaran uang ganti kerugian dengan kesejahteraan masyarakat penerima pada konteks pembangunan Waduk Jatigede.

Dalam artikel ini, konsep Rianto (2012) dikembangkan lebih lanjut sehingga dapat digunakan untuk mengetahui perubahan kesejahteraan sebelum dan sesudah menerima uang ganti kerugian serta hubungannya dengan literasi keuangan pada konteks pembangunan jalan tol Cipali. Dalam tulisan ini, operasionalisasi kon-sep perubahan kesejahteraan berusaha memodifikasi dengan pendekatan konsep status sosial ekonomi.

Kesejahteraan dan kemiskinan turut mem-pengaruhi kedudukan seseorang dalam masyarakat atau status sosial ekonominya. Status sosial ekonomi ini terkait dengan stratifikasi yang ada di masyarakat. Stratifikasi merupakan perbedaan anggota masyarakat baik dari pekerjaan, kepan-daian dan pengetahuan yang mengacu pada tingkat pendidikan, serta kekayaan yang dimilikinya (Soekanto dalam Rohman 2013). Status sosial ekonomi umumnya diukur berdasarkan pendidikan, pekerjaan, pendapatan atau pengeluaran, serta harta benda yang dimiliki.

Sehingga definisi kesejahteraan dalam artikel ini dibatasi sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan

dasar berdasarkan sumber daya yang dimiliki dan ketersediaan akses ke berbagai bentuk pelayanan sosial ekonomi. Dari batasan pengertian tersebut terdapat empat aspek yang dapat digunakan sebagai ukuran kesejahteraan yakni: pekerjaan, penghasilan, kepemilikan harta (aset), dan akses ke pelayanan sosial dan ekonomi.

Modifikasi dilakukan karena aspek perubahan penghasilan dalam penelitian ini didekati dengan pertanyaan-pertanyaan seputar pengeluaran res-ponden. Sementara aspek perubahan pekerjaan menjadi relevan dalam penelitian ini karena pengadaan tanah dapat menghilangkan pekerjaan utama ataupun pekerjaan sampingan rumah tangga responden. Kehilangan pekerjaan dapat berpotensi mengurangi kesejahteraan masyarakat.

Teori Financial Literacy

Literasi keuangan (financial literacy) dapat diterjemahkan menjadi pemahaman terhadap perencanaan keuangan. Pemahaman yang dimaksud adalah pengetahuan mengenai konsep dasar keuangan, seperti perbedaan nilai nominal dan riil, nilai waktu, bunga majemuk, dan lain lain (Lusardi dalam Nababan 2012).

Literasi keuangan sendiri merupakan sebuah cara pandang atau berpikir dari seseorang untuk dapat terhindar dari masalah-masalah keuangan sehingga dapat mencapai kondisi sejahtera di masa mendatang. Van Rooij et al (2012) dalam kajian tentang penggunaan dana pensiun di AS menekankan bahwa orang yang memahami prinsip-prinsip dasar penggunaan uang memiliki rencana pensiun yang lebih baik, kekayaan lebih besar dan dapat menghindari hutang. Nababan (2012) menjelaskan bahwa literasi keuangan meliputi beberapa aspek yaitu pengetahuan dasar mengenai keuangan pribadi, kepemilikan tabungan dan investasi, manajemen dalam mengatur pengeluaran, kemampuan penggunaan kredit dan hutang, serta manajemen resiko kerugian yang diderita atas tindakan terkait dengan keuangan.

Seseorang dengan pemahaman keuangan yang baik tentunya tidak akan menggunakan uangnya hanya untuk kebutuhan konsumtif. Asumsi yang digunakan adalah seseorang yang memiliki literasi keuangan akan lebih sejahtera daripada orang yang tidak memiliki literasi keuangan. Lusardi dan Mitchell (2014) pun menyatakan apabila seseorang yang memiliki pengetahuan keuangan cenderung menggunakan pendapatannya untuk menabung dan sedikit untuk memenuhi kebutuhan konsumtif, sehingga dapat digunakan di masa depan ketika terjadi penurunan pendapatan. Sehingga dapat dikatakan seseorang dengan literasi keuangan yang

43

JUDUL ARTIKEL

Isu: Pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol mempengaruhi perubahan kesejahteraan masyarakat berdasarkan besaran niai ganti

Asumsi: Perubahan kesejahteraan tersebut memiliki hubungan dengan literasi keuangan masyarakat (Lusardi & Mitchell, 2014)

Perubahan kesejahteraan : 1) pekerjaan, 2) penghasilan, 3) kepemilikan harta (aset) dan 4) akses ke pelayanan sosial dan ekonomi

Variabel Bebas

Variabel Terikat

Literasi keuangan

Perubahan Kesejahteraan

FENOMENA AKTUAL :Pembangunan jalan tol terkendala pengadaan tanah terkait isu kesejahteraan pasca kegiatan berakhir

SARAN UNTUK KAJIAN LANJUTAN KESIMPULAN

ISU dan ASUMSI KONSEPTUALISASI

METODE PENELITIAN ANALISIS

KUANTITATIF MELALUI :

Analisa melalui pembobotan tiap

indikator melalui expert opinion

Analisa hubungan korelasional spearman

rho

Gambar 2. Kerangka Konseptual

Variabel Indikator Skala

Perubahan kesejahteraan

Perubahan Pekerjaan Ordinal

Perubahan Penghasilan Ordinal

Perubahan Kepemilikan Harta (Aset) Ordinal

Perubahan Akses ke Pelayanan Sosial dan Ekonomi

Ordinal

Literasi keuangan

Tingkat Penggunaan uang Ordinal

Kepemilikan tabungan Ordinal

Kepemilikan produk keuangan Ordinal

Kepemilikan rencana keuangan Ordinal

Tingkat penggunaan keuangan untuk barang konsumtif

Ordinal

Tabel 1. Operasionalisasi Variabel dan Indikator

Sumber: Analisis Teori

Hubungan Literasi Keuangan dengan Perubahan Kesejahteraan Masyarakat Pasca Pemberian Ganti Kerugian Tanah untuk Pembangunan Jalan Tol di Desa Bongaswetan, Kabupaten Majalengka

Alfian Najib Anshori dan Ahsan Asjhari

Sumber: Analisis

baik akan meningkatkan kemapanan finansial dan mengurangi masalah finansial di masa depan (Taft et al 2013).

Jappelli and Padula dalam Lusardi dan Mitchell (2014) menyatakan adanya hubungan yang signifikan antara literasi keuangan dan kesejahteraan dalam satu siklus waktu tertentu. Hal serupa diungkapkan oleh Behrman, et al (2012) bahwa literasi keuangan berhubungan positif dan signifikan terhadap kesejahteraan secara akumulatif berdasarkan beberapa komponen yang diteliti seperti sekolah, pengalaman kerja, dan latar belakang keluarga.

Berbagai konsep diatas dapat dianalogikan pada konteks penggunaan uang ganti kerugian pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol. Sehingga literasi keuangan dalam penelitian ini dapat diterjemahkan menjadi “Pengetahuan dan pemahaman terkait pengelolaan uang ganti kerugian yang diwujudkan dengan adanya rencana pengeluaran yang teratur, kepemilikan investasi, tabungan dan mampu mengendalikan kebutuhan konsumtif”.

METODE PENELITIAN

Artikel ini membahas secara kuantitatif perubahan kesejahteraan yang terjadi dengan mengkuantifikasi indikator-indikatornya. Lang-kah awal adalah mengoperasionalisasikan konsep kesejahteraan menjadi empat aspek atau indikator, yaitu : Perubahan Pekerjaan, Perubahan Penghasilan, Perubahan Kepemilikan Harta (Aset), dan Perubahan Akses ke Pelayanan Sosial dan Ekonomi (lihat tabel 1). Sementara untuk mengetahui hubungan antar variabel, terdapat

dua variabel yang digunakan, yaitu variabel bebas (independent) dan variabel terikat (dependent). Berdasarkan konsep yang digunakan dalam kajian pustaka, variabel bebas dalam penelitian ini adalah variabel literasi keuangan. Sementara variabel terikat dalam penelitian ini adalah perubahan kesejahteraan masyarakat penerima ganti kerugian pengadaan tanah untuk pembangunan jalan. Konsep keseluruhan artikel ini dapat dilihat dalam Gambar 2.

Berdasarkan uraian diatas, variabel- variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini dapat dioperasionalkan sebagaimana terlihat pada tabel 1.

Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 7 No.1 April 2015, hal 1- 79

44

No Indikator Bobot (%)

1 Perubahan Pekerjaan 17

2 Perubahan Pendapatan 29

3 Perubahan Kepemilikan Harta (Aset) 32

4 Perubahan akses ke pelayanan sosial dan ekonomi

22

TOTAL SKOR 100

Tabel 2. Pembobotan Indikator Perubahan Kesejahteraan

Sumber: Expert Opinion

data primer yang diperoleh melalui penyebaran kuesioner di lokasi penelitian. Penyebaran kuesioner dilakukan pada bulan September tahun 2012 dengan mengambil lokasi penelitian di Desa Bongas Wetan, Kecamatan Sumberjaya, merupakan salah satu lokasi pelaksanaan pengadaan tanah sebagai bagian dari Seksi 1 pembangunan jalan tol Cikampek – Palimanan (Cipali).

Berdasarkan data Bina Marga, tanggal 12 Maret 2012, diketahui bahwa kebutuhan tanah di Desa Bongas Wetan adalah sejumlah 485 bidang dengan total luasan tanah mencapai 233.421 m2. Total luasan tanah tersebut meliputi juga kebutuhan untuk frontage dan relokasi jalan desa di STA 197+289. Untuk progres hingga tanggal 8 Maret 2012, telah terbebaskan 415 bidang tanah. Jumlah tersebut belum termasuk 52 bidang tanah untuk keperluan frontage. Berdasarkan jumlah populasi diatas, penentuan sampel responden menggunakan margin of error sebesar 10%, sehingga diperoleh sampel sejumlah 81 responden. Unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah rumah tangga penerima uang ganti kerugian yang diwakili oleh satu responden.

Analisis Perubahan Kesejahteraan

Untuk menjawab pertanyaan penelitian, terdapat dua bentuk analisis data. Untuk mengetahui perubahan kesejahteraan digunakan pembobotan melalui skor data terhadap setiap indikator dalam variabel perubahan kesejahteraan. Dengan pembobotan melalui skor tersebut, diharapkan digunakan untuk mengukur perubahan kesejahteraan antara sebelum dan setelah pemberian ganti kerugian.

Pembobotan dilakukan dengan metode expert opinion. Expert opinion melibatkan 3 (tiga) orang pakar, antara lain pakar sosiologi dari FISIP UI, pakar ekonomi dari LIPI dan pakar metodologi dari UN-HABITAT yang memberi penilaian terhadap indikator-indikator penyusun variabel perubahan kesejahteraan, seperti yang terlihat dalam tabel 2.

Nilai perubahan kesejahteraan responden yang menerima ganti kerugian diperoleh dengan memperhitungkan selisih antara nilai kesejahteraan sebelum menerima ganti kerugian dan saat ini. Sebagai gambaran, responden yang terpilih menyatakan telah menerima uang ganti kerugian pada pertengahan tahun 2008. Dengan demikian nilai kesejahteraan sebelum menerima uang ganti kerugian mencerminkan kondisi sebelum pertengahan tahun 2008. Sedangkan nilai kesejahteraan sesudah menerima uang ganti kerugian mencerminkan kondisi saat ini atau lebih tepatnya ketika kuesioner disebarkan (September 2012). Analisis perubahan kesejahteraan sendiri dijelaskan secara deskriptif.

Analisis variabel financial literacy

Sedangkan analisis terhadap kemampuan pengelolaan uang (financial literacy) dilakukan dengan skoring jawaban responden berdasarkan pertanyaan–pertanyaan yang telah disusun sesuai variabel dan indikator pada Tabel 1. Hasil skoring kemudian dinyatakan dengan kategori memiliki kemampuan dan tidak memiliki kemampuan. Analisis financial literacy akan dilakukan setelah analisis perubahan kesejahteraan selesai serta telah diketahui hubungan korelasional antara financial literacy dan perubahan kesejahteraan. Analisis variabel ini berfungsi sebagai penguat kesimpulan sementara yang telah dihasilkan dari analisis korelasi.

Hipotesis

Untuk mengetahui hubungan antara perubahan kesejahteraan dengan literasi keuangan masyarakat penerima ganti kerugian, digunakan analisis hubungan korelasional dengan menggunakan korelasi spearman rho dengan bantuan aplikasi SPSS. Hipotesis yang digunakan untuk mengetahui hubungan korelasi tersebut adalah sebagai berikut :

H0 : tidak ada hubungan antara literasi keuangan dengan perubahan kesejahteraan

H1: ada hubungan antara literasi keuangan dengan perubahan kesejahteraan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Responden di Desa Bongas Wetan berusia antara 31-60 tahun dengan 55.6% adalah laki-laki dan sisanya perempuan. Pendidikan terakhir sebagian besar responden adalah Sekolah Dasar. Sementara hanya sedikit (14.8%) yang melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Kondisi ini tentunya memiliki pengaruh terhadap cara pandang dan pengetahuan responden terhadap pengelolaan keuangan.

45

No. Usia % Gender % Pekerjaan % Pendidikan terakhir

% Fungsi Lahan

% Status Lahan

%

1 <30 3,7 Laki-laki 55,6 Petani 45,7 Tamat/Tidak tamat SD

85,2 Hunian 67,9 Girik/Letter C

2,5

2 31-40 34.6 Perempuan 44,4 buruh tani 14,8 SMP/ Sederajat 12,3 Tempat usaha

2,5 SKPT 18,5

3 41-50 27,2 buruh bangunan 17,3 SMA/ Sederajat 2,5 Sawah/kebun

29,6 SHM 16,0

4 51-60 27,2 wiraswasta 9,9 SPPT 60,5

5 >60 7,4 PNS 0,0 AKte Jual Beli (AJB)

2,5

6 Ibu rumah tangga 6,2

7 Karyawan swasta 6,2

Sumber : Diolah Dari Data Primer

Tabel 3. Deskripsi Responden

Hubungan Literasi Keuangan dengan Perubahan Kesejahteraan Masyarakat Pasca Pemberian Ganti Kerugian Tanah Untuk Pembangunan Jalan Tol di Desa Bongaswetan, Kabupaten Majalengka

Alfian Najib Anshori dan Ahsan Asjhari

Dilihat dari fungsinya, lahan responden yang terbebaskan pada kasus di Desa Bongaswetan didominasi oleh lahan hunian (67.9%) dan responden pun sebagian besar telah memiliki status hak milik resmi berupa SHM dan SPPT atas lahan mereka. Dengan banyaknya lahan hunian yang terbebaskan, maka banyak responden yang telah direlokasi/berpindah atau membeli hunian baru di tempat lain dengan uang ganti rugi yang didapat.

Perubahan Kesejahteraan

Berdasarkan operasionalisasi konsep, terdapat empat indikator yang digunakan untuk menun-jukkan perubahan kesejahteraan masyarakat sebelum dan sesudah menerima ganti kerugian pengadaan tanah untuk pembangunan jalan, yaitu pekerjaan, penghasilan, kepemilikan harta (aset) dan akses ke pelayanan sosial dan ekonomi. Dari keempat indikator tersebut, berikut hasil analisis terhadap kondisi kesejahteraan responden di Desa Bongas Wetan :

1. Perubahan Pekerjaan Indikator pekerjaan pada penelitian ini kemudian

lebih dipertajam untuk melihat perubahan pekerjaan utama dan sampingan kepala keluarga, serta perubahan pekerjaan utama dan sampingan pendamping kepala keluarga.

1.1. Perubahan pekerjaan kepala keluargaDari hasil analisis data terhadap indikator

perubahan pekerjaan, diketahui bahwa sebagian besar kepala keluarga di Desa Bongas Wetan penerima uang ganti kerugian sebelum adanya kegiatan pengadaan tanah untuk pembangunan Tol Cipali memiliki mata pencaharian yang bertumpu pada sektor pertanian. Kondisi tersebut diketahui bahwa 60.5% pekerjaan utama kepala keluarga sebelum pengadaan tanah untuk pembangunan

Tol Cipali di Desa Bongas Wetan adalah berprofesi menjadi petani, baik petani penggarap, baik di lahan sendiri maupun di lahan milik orang lain (45.7%) maupun buruh tani (14.8%).

Sementara 17.3% dari responden menjawab bahwa pekerjaan utama kepala keluarga sebelum menerima ganti kerugian adalah sebagai buruh bangunan. Hanya sedikit responden yang menyatakan bahwa pekerjaan utama keluarga adalah sebagai wiraswasta (membuka warung, ojek, bengkel, dll), karyawan swasta (pegawai kantor swasta, buruh pabrik, dll) atau bahkan tidak memiliki pekerjaan utama.

Selain itu, diketahui juga bahwa mayoritas atau sejumlah 66.7% kepala keluarga sebelum pengadaan tanah tidak memiliki pekerjaan sampingan. Hanya sedikit responden yang menyatakan bahwa pekerjaan sampingan kepala keluarga sebagai buruh bangunan (16.0%), petani penggarap (9.9%), buruh tani (3.7%), dan wiraswasta (3.7%).

Pada tahun 2012 atau empat tahun setelah menerima uang ganti kerugian, komposisi pekerjaan utama kepala keluarga tidak banyak mengalami perubahan yang berarti. Namun terdapat penurunan jumlah petani penggarap sebagai pekerjaan utama sebesar 1.26% dan pekerjaan sampingan sebesar 3.73% bagi kepala keluarga. Penurunan sebesar 2.5% juga terjadi pada jumlah buruh tani sebagai pekerjaan utama kepala keluarga sebagai buruh tani sebagai pekerjaan utama.

Peningkatan yang mencolok terlihat pada perubahan pekerjaan utama kepala keluarga sebagai buruh bangunan. Pada tahun 2012 terdapat kenaikan sebesar 7.39% kepala keluarga yang menjadi buruh bangunan dari 17.3% menjadi 24.7%. Terdapat kemungkinan bahwa semakin berkurangnya lahan

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 7 No.1 April 2015, hal 1- 79

46

Jenis PekerjaanSebelum menerima uang ganti kerugian Sesudah menerima uang ganti kerugian

Pekerjaan utama (%) Pekerjaan sampingan (%) Pekerjaan utama (%) Pekerjaan sampingan (%)

Petani penggarap 45.7 9.9 44.4 6.2

Buruh Tani 14.8 3.7 12.3 3.7

Buruh Bangunan 17.3 16 24.7 14.8

Wiraswasta 9.9 3.7 8.6 4.9

Karyawan Swasta 6.2 0 6.2 0

Tidak bekerja 6.2 66.7 3.7 70.4

Total 100 100 100.0 100.0

Tabel 4. Perubahan Pekerjaan Kepala Keluarga Sebelum Menerima Uang Ganti Kerugian dan Saat Ini

Sumber : Diolah Dari Data Primer

Jenis PekerjaanSebelum menerima uang ganti kerugian Sesudah menerima uang ganti kerugian

Pekerjaan utama (%) Pekerjaan sampingan (%) Pekerjaan utama (%) Pekerjaan sampingan (%)

Petani 7.4 0 7.4 0.0

Buruh Tani 7.4 3.7 7.4 0.0

Wiraswasta 7.4 2.5 6.2 2.5

Tidak bekerja 77.8 93.8 79.0 97.5

Total 100.0 100.0 100.0 100.0

Tabel 5. Perubahan Pekerjaan Pendamping Kepala Keluarga Sebelum dan Sesudah Menerima Uang Ganti Kerugian

Sumber : Diolah Dari Data Primer

pertanian akibat pembangunan jalan tol membuat sebagian petani mencari penghasilan sebagai buruh bangunan.

Perubahan juga terlihat pada bertambahnya kepala keluarga yang tidak memiliki pekerjaan sampingan. Dari tabel 4 terlihat bahwa terdapat kenaikan sebesar 3.67% kepala keluarga yang tidak memiliki pekerjaan sampingan.

1.2. Perubahan pekerjaan pendamping kepala keluarga

Perubahan pekerjaan pendamping kepala keluarga menjadi salah satu indikator yang diperhitungkan dalam penelitian ini. Peran pekerjaan yang diemban oleh pendamping kepala keluarga dianggap penting diperhitungkan untuk menghitung kesejahteraan suatu rumah tangga.

Berdasarkan olah data diketahui bahwa pada sebagian besar pendamping kepala keluarga sebelum menerima uang ganti kerugian tidak memiliki pekerjaan, baik pekerjaan utama (77.8%) maupun sampingan (93.8%). Hanya sedikit pendamping keluarga sebelum menerima uang ganti kerugian yang memiliki pekerjaan utama maupun sampingan. Itupun berkisar pada pekerjaan pada sektor pertanian dan wiraswasta informal. Kondisi tersebut tidak mengalami banyak perubahan yang signifikan seperti yang terlihat pada tabel 5.

Tabel 5 juga menujukkan terjadinya peningkatan jumlah pendamping kepala keluarga yang tidak bekerja. Hal ini disebabkan sebelumnya banyak responden sebagai pendamping kepala keluarga tidak memiliki pekerjaan, kemudian ditambah dengan responden yang harus kehilangan pekerjaan karena kehilangan sumber daya yang dimiliki baik pertanian maupun non pertanian.

2. Perubahan PenghasilanPerubahan penghasilan rumah tangga

penerima uang ganti kerugian di Desa Bongas Wetan dihitung dengan menjumlahkan total penghasilan yang diperoleh oleh kepala keluarga dan pendampingnya, baik sebelum menerima ganti kerugian, yakni sebelum pertengahan tahun 2008, maupun pada saat dilakukan penyebaran kuesioner atau sesudah menerima ganti kerugian. Berdasarkan hasil olah data, meskipun tipis, namun terdapat kecenderungan peningkatan prosentase penghasilan. Hal tersebut terlihat dari berkurangnya persentase rumah tangga penerima ganti kerugian sebesar 2.5% yang memiliki penghasilan kurang dari 1 juta rupiah pada saat ini jika dibandingkan sebelum sebelum tahun 2008. Sebagaimana terlihat pada tabel 6, rumah tangga penerima uang ganti kerugian dengan penghasilan lebih dari 3 juta rupiah pada saat ini mengalami peningkatan sebesar 3.7% jika dibandingkan sebelum tahun 2008.

47

Kategorisasi penghasilan

(Rp)

Sebelum menerima uang ganti kerugian

(%)

Sesudah menerima uang

ganti kerugian (%)

< 1 juta 38.3 35.8

≥ 1 juta - < 2 juta 33.3 32.1

≥ 2 juta - < 3 juta 22.2 22.2

≥ 3 juta 6.2 9.9

Total 100 100

Tabel 6. Perubahan Penghasilan Sebelum dan Sesudah Menerima Uang Ganti Kerugian

Sumber : Diolah Dari Data Primer

Kategorisasi kepemilikan harta/

aset (Rp)

Sebelum menerima uang

ganti kerugian (%)

Sesudah menerima uang

ganti kerugian (%)

≥ 200 juta 14.8 8.6

≥ 100 juta sd < 200 juta 7.4 12.3

≥ 50 juta sd < 100 juta 9.9 8.6

< 50 juta 67.9 70.4

Total 100.0 100.0

Tabel 7. Perubahan Kepemilikan Aset Sebelum dan Sesudah Menerima Uang Ganti Kerugian

Sumber : Diolah Dari Data Primer

Hubungan Literasi Keuangan dengan Perubahan Kesejahteraan Masyarakat Pasca Pemberian Ganti Kerugian Tanah Untuk Pembangunan Jalan Tol di Desa Bongaswetan, Kabupaten Majalengka

Alfian Najib Anshori dan Ahsan Asjhari

3. Perubahan kepemilikan harta (aset)Dari olah data terhadap perubahan kepemilikan

harta atau aset yang dimiliki oleh rumah tangga penerima uang ganti kerugian di Desa Bongas Wetan, diketahui bahwa terdapat kecenderungan perubahan jika dibandingkan antara kondisi pada tahun pertengahan 2008 dengan pada saat kuesioner disebarkan. Sebelum menerima uang ganti kerugian, sebagian besar rumah tangga di desa tersebut memiliki akumulasi harta kurang dari 50 juta rupiah. Terhitung, prosentase untuk kategori ini adalah sebesar 67.9%. Pada tahun 2012, angka tersebut ini mengalami peningkatan prosentase sebesar 2.5%. Peningkatan sesudah menerima uang ganti kerugian sebesar 4.9% juga terjadi pada rumah tangga yang memiliki akumulasi harta ≥100 juta – < 200 juta rupiah.

Kondisi berbeda ditunjukkan pada kategori rumah tangga dengan kepemilikan harta lebih dari 200 juta rupiah yang mengalami penurunan sebesar 6.2% jika dibandingkan kondisi sebelum menerima uang ganti kerugian. Penurunan juga terjadi pada kategori kepemilikan harta ≥ 50 juta - < 100 juta, yaitu sebesar 1.2%. Perubahan kepemilikan harta atau aset tersebut dapat dilihat pada tabel 7.

4. Perubahan akses ke layanan sosial dan ekonomiIndikator terkait akses ini ditujukan untuk

melihat sejauh mana perubahan yang ditimbulkan pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol mempengaruhi daya jangkau terhadap pelayanan sosial dan ekonomi yang penting bagi rumah tangga penerima uang ganti kerugian. Akses ke layanan sosial antara lain meliputi kantor pemerintahan (tingkat desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota), sekolah (SD, SMP, SMU), dan kesehatan (puskesmas, rumah sakit). Sementara akses ke layanan ekonomi antara lain meliputi bank, kawasan industri/pabrik, jalur transportasi (jalan raya), pasar tradisional, pusat perbelanjaan modern, dan lokasi/tempat kerja.

Dalam konteks penelitian di Desa Bongas Wetan, perhitungan terhadap akses ini menjadi relevan mengingat 72.8% responden mengalami relokasi atau pindah tempat tinggal. Relokasi tersebut tidak dapat dihindari mengingat rumah tempat tinggal responden terbebaskan untuk pembangunan jalan tol Cipali. Berdasarkan data yang diolah, alasan responden yang terelokasi untuk memilih lokasi yang baru, cukup beragam. Sebanyak 24.7% responden menyatakan alasan pemilihan lokasi yang baru karena keterjangkauan harga tanah/rumah dengan uang ganti kerugian yang diterima. Alasan lain pemilihan lokasi yang baru adalah bahwa mereka pindah di tanah atau rumah yang telah mereka miliki sebelumnya (19.8%), dekat dengan keluarga (21%), dan lokasi yang baru memiliki karakteristik lingkungan yang sama dengan lokasi lama (7.4%).

Berdasarkan hasil olah data diketahui bahwa tidak terjadi perubahan yang signifikan terhadap indikator akses ke layanan sosial dan ekonomi. Seluruh responden menyatakan bahwa akses ke layanan sosial dan ekonomi, baik sebelum maupun sesudah terelokasi masih dalam jangkauan, karena berada dalam jarak kurang dari 10 kilometer. Banyaknya responden yang tidak menjawab (27,2%) disebabkan oleh tidak adanya alasan khusus ketika memilih lokasi tempat tinggal baru atau memiliki jawaban yang tidak relevan dengan kriteria yang ditetapkan. Temuan menarik pada kasus ini adalah responden berpindah dengan inisiatif sendiri sehingga pemerintah tidak perlu menyediakan lokasi baru untuk relokasi. Hal ini terungkap dalam hasil wawancara baik dengan responden maupun tokoh lokal bahwa responden berpindah ke satu lokasi yang sama atas permintaan sendiri.

Hubungan Perubahan Kesejahteraan dengan literasi keuangan

Empat aspek yang dinilai dalam mengukur kesejahteraan berkontribusi terhadap nilai akhir kesejahteraan tersebut. Sehingga terjadinya

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 7 No.1 April 2015, hal 1- 79

48

Tempat relokasi ditentukanDekat keluargaKarakteristik hampir samaTerjangkau dengan uang ganti rugiSudah punya lahan di lokasi baruTidak menjawab

Sumber : Diolah Dari Data Primer

Gambar 3. Alasan Responden Terelokasi untuk Memilih Lokasi Yang Baru

Skor literasi keuangan

Perubahan Kesejahteraan

Spearman’s rho

Skor literasi keuangan

Correlation Coefficient 1,000 ,061

Sig. (2-tailed) . ,592

N 81 81

Kesejahteraan sesudah

Correlation Coefficient ,061 1,000

Sig. (2-tailed) ,592 .

N 81 81

Tabel 8. Hasil Analisis Korelasi Menggunakan Spearman Rho

Sumber : Diolah Dari Data Primer

peningkatan atau penurunan kesejahteraan harus dipandang dari keempat aspek tersebut. Berdasarkan data-data yang dihasilkan dari setiap indikatornya, diketahui bahwa perubahan kesejahteraan rumah tangga penerima uang ganti kerugian untuk pembangunan jalan Tol Cipali di Desa Bongas Wetan cukup beragam. Dari analisis diketahui bahwa 46% dari responden rumah tangga penerima uang ganti kerugian untuk kondisi pada saat dilakukan penyebaran kuesioner mengalami Perubahan Kesejahteraan Menurun, jika dibandingkan sebelum menerima uang ganti kerugian. Sedangkan 32% responden rumah tangga penerima uang ganti kerugian mengalami Perubahan Kesejahteraan Meningkat. Sementara untuk rumah tangga penerima uang ganti kerugian yang tidak mengalami perubahan kesejahteraan antara sebelum dan sesudah menerima uang ganti kerugian atau Perubahan Kesejahteraan Tetap adalah sebesar 22%.

Hasil analisis terhadap perubahan kesejahteraan diatas kemudian diuji korelasi dengan variabel

literasi keuangan. Secara statistik, hasil analisis korelasi menggunakan spearman rho dapat dilihat pada tabel 8.

Hasil analisis korelasi pada tabel 8 terlihat bahwa kedua variabel hampir tidak memiliki korelasi ditunjukkan dengan koefisien korelasi yang bernilai 0,061 dan nilai koefisien signifikansi >0,05. Hal tersebut berarti H0 diterima dan H1 ditolak yaitu tidak adanya korelasi antara kepemilikan kemampuan pengelolaan keuangan atau literasi keuangan dengan kondisi kesejahteraan pasca pemberian ganti kerugian atas lahan pada kasus pengadaan tanah untuk responden di Desa Bongas Wetan. Hasil ini didukung pula dengan data yang tersaji pada tabel 9. Hasil analisis pada tabel 9 menunjukkan 28,4% dari total responden mengalami peningkatan kesejahteraan pasca pemberian ganti rugi namun tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan financial literacy.

Secara lebih mendalam, Gambar 5 menjelaskan fenomena 28,4% responden atau 23 responden

Gambar 4. Perubahan Kesejahteraan Penerima Uang Ganti Kerugian di Desa Bongas Wetan

Sumber : Diolah Dari Data Primer

Perubahan Kesejahteraan

peningkatan penurunan tetap

46%

22%32%

49

Peningkatan Penurunan Tetap

Tingkat literasi keuangan tinggi

3,70% 3,70% 3,70%

Tingkat literasi keuangan rendah

28,40% 41,98% 18,52%

Tabel 9. Perubahan Kesejahteraan Berdasarkan Tingkat Literasi Keuangan

Sumber : Diolah Dari Data Primer

60,9%

8,7%

21,7%

39,1%

0,0%

60,9%

73,9%

8,7%

17,4%39,1%

17,4%

43,5%

PEKERJAAN PENGHASILAN ASET AKSES

Penghasilan Penurunan tetap

Gambar 5. Perbandingan tingkat kesejahteraan pada setiap aspekSumber : Diolah Dari Data Primer

Hubungan Literasi Keuangan dengan Perubahan Kesejahteraan Masyarakat Pasca Pemberian Ganti Kerugian Tanah Untuk Pembangunan Jalan Tol di Desa Bongaswetan, Kabupaten Majalengka

Alfian Najib Anshori dan Ahsan Asjhari

yang tidak memiliki kemampuan literasi keuangan namun mengalami peningkatan kesejahteraan. Terlihat bahwa aspek pekerjaan dan kepemilikan aset cenderung tetap tidak mengalami perubahan berarti dan tidak berkontribusi terhadap perubahan kesejahteraan. Pada aspek pekerjaan, responden tidak mengelami perubahan pekerjaan dan cenderung tetap. Perubahan pekerjaan yang terjadi lebih kepada kepemilikan pekerjaan sampingan, misalnya sebelumnya tidak memiliki pekerjaan sampingan, kemudian setelah memperoleh ganti rugi akhirnya memiliki pekerjaan sampingan baru. Hal yang sama terjadi pada aspek perubahan kepemilikan aset yang cenderung tetap. Peningkatan nilai aset terjadi karena sebagian responden menggunakan uang ganti rugi untuk membeli barang konsumtif terutama sepeda motor. Selain sepeda motor, responden juga membeli tempat tinggal baru karena terelokasi dengan nilai yang tidak jauh berbeda dengan tempat tinggal yang lama. Sedangkan penurunan kepemilikan aset terjadi lebih karena responden kehilangan sebagian lahannya.

Terdapat fenomena menarik berdasarkan data diatas, dimana aspek pekerjaan untuk responden yang tidak memiliki kemampuan literasi keuangan namun mengalami peningkatan kesejahteraan sebagian besar tidak mengalami perubahan atau

tetap. Namun, kondisi tersebut dibarengi dengan peningkatan aspek penghasilan. Hal tersebut dapat terjadi diantaranya disebabkan oleh faktor inflasi yang menyebabkan peningkatan nominal dari pendapatan perbulan responden. Hal tersebut dapat dikarenakan oleh lamanya selisih waktu antara pembayaran uang ganti kerugian hingga penyebaran kuesioner yang mencapai 4 tahun.

Analisis yang telah dilakukan diatas menandakan tidak adanya pengaruh literasi keuangan terhadap kondisi kesejahteraan pasca pemberian ganti rugi. Hasil ini bertentangan dengan hasil kajian dari Lusardi dan Mitchell (2014) yang mengungkapkan seseorang dengan pengetahuan pengelolaan keuangan tentunya akan memiliki masa depan yang lebih baik. Hasil kajian Brown dan Graf (2013) juga mengungkapkan hal yang sama bahwa literasi keuangan berkorelasi kuat terhadap kesejahteraan pada kasus penggunaan dana pensiun.

Perbedaan kasus memungkinkan terjadinya perbedaan pada hasil penelitian karena respon yang berbeda dari para responden. Sehingga dapat dikatakan, pada kasus kegiatan pengadaan tanah untuk pembangunan jalan, literasi keuangan bukan faktor utama yang mempengaruhi kondisi kesejahteraan penerima uang ganti kerugian di Desa Bongas Wetan. Faktor-faktor seperti usia, tingkat pendidikan, status sosial, dan lainnya diduga turut mempengaruhi perubahan kesejahteraan penerima uang ganti kerugian. Kajian lain yang mendukung dugaan ini pernah dilakukan oleh Andrew dan Linawati (2014) yang menyebutkan adanya hubungan signifikan antara perilaku pengelolaan keuangan dengan faktor demografi seperti jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan tingkat pendapatan seorang karyawan. Taylor (2011) menjelaskan kemampuan pengelolaan keuangan

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 7 No.1 April 2015, hal 1- 79

50

dapat ditentukan oleh beberapa faktor kunci seperti usia, kesehatan, ukuran rumah tangga, lamanya berumah tangga, dan jenis pekerjaan yang dimiliki oleh anggota keluarga. Sedangkan aspek usia dan pekerjaan berpengaruh sangat signifikan.

Faktor adanya pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan keuangan juga turut berperan dalam kondisi keuangan seseorang. Carlin dan Robinson (2012) mengungkapkan seseorang yang dilatih secara singkat untuk mengelola keuangan dapat membuat keputusan yang lebih baik dalam masalah keuangan di masa depan.

KESIMPULANBerdasarkan hasil analisis data, dapat

disimpulkan sebagai berikut:

1. Tidak ada korelasi antara literasi keuangan dalam mengelola uang ganti rugi (financial literacy) dengan perubahan kesejahteraan yang terjadi kepada responden penerima uang ganti rugi.

2. Responden di Desa Bongas Wetan, Kecamatan Sumber Jaya Kabupaten Majelengka sebagian besar mengalami perubahan kesejahteraan, baik meningkat (32%) maupun menurun (46%). Sedangkan 22% responden tidak mengalami perubahan kesejahteraan.

3. Peningkatan signifikan terjadi pada aspek kepemilikan aset bernilai kurang dari 200 juta rupiah.

Kegiatan pengadaan tanah di Desa Bongaswetan tentunya telah mempertimbangkan nilai ganti kerugian yang sesuai meskipun tidak merubah tingkat kesejahteraan. Sehingga merujuk pada kesimpulan yang telah dirumuskan, maka perlu kajian lebih lanjut pada kasus pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol terhadap faktor-faktor lain seperti lamanya waktu sosialisasi awal dengan pemberian ganti rugi yang berpotensi mempengaruhi perubahan kesejahteraan pasca pemberian ganti rugi lahan serta perlakuan (positioning) yang berbeda terhadap faktor-faktor tersebut. Faktor kemampuan mengelola uang ganti rugi pun diduga dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti tingkat pendidikan dan usaha penyelenggara kegiatan pengadaan tanah untuk memberikan pemahaman lebih baik tentang pengelolaan uang sederhana kepada masyarakat penerima ganti rugi. Selain itu, dapat juga dilakukan perbandingan analisis perubahan kesejahteraan dengan menggunakan lingkup yang lebih luas atau tipologi lokasi yang berbeda (perkotaan).

UCAPAN TERIMA KASIHTerima kasih kami sampaikan kepada Kepala

Balai, Kepala Seksi Litbang, dan rekan – rekan tim penelitian yang telah membantu atas terlaksananya penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKAAndrew V., Linawati N. 2014. Hubungan Faktor

Demografi dan Pengetahuan Keuangan Dengan Perilaku Keuangan Karyawan Swasta di Surabaya. FINESTA 02 (02), 2014, 35-39. Surabaya: Universitas Kristen Petra

Ayunda N. P. 2013. Perumusan Indikator dan Pengukuran Tingkat Kesejahteraan Masyarakat: Desa Sukasari, Kecamatan Purwasari, Kabupaten Karawang. Jurnal Ilmiah Universitas Bakrie 1 (04) p.viii-ix

Behrman, J. R., et al. 2012. How Financial Literacy Affects Household Wealth Accumulation. The American Economic Review, 102 (3) pp. 300-304

Berminas, S.F. 2014. Proses Negosiasi Dalam Penetapan Ganti Rugi Pengadaan Tanah Guna Kepentingan Umum (Studi Kasus Pada Proyek TOL Ungaran-Bawen). Journal of Polictic and Government. Semarang: Universitas Diponegoro

BPJT. 2011. Peluang Investasi Jalan Tol di Indonesia. Kementerian Pekerjaan Umum. Jakarta.

BPS, 2013. Indikator Kesejahteraan Rakyat 2013.Brown G., Graf R. 2013 . Financial Literacy and

Retirement Planning in Switzerland. Numeracy: 6 (2), Article 6. University of South Florida

Carlin, B. I., Robinson D. T. 2012. Financial Education and Timely Decision Support: Lessons from Junior Achievement. The American Economic Review, 102 (3), Papers And Proceedings Of The One Hundred Twenty Fourth Annual Meeting Of The American Economic Association, pp. 305-308. American Economic Association. URL: http://www.jstor.org/stable/23245547

Fatony A. 2011. Kebijakan Pengentasan Kemiskinan Berbasis Participatory Poverty Assessment: Kasus Yogyakarta. Sosiokonsepsia, 16 (02), 123-142.

Nababan D., Sadalia I. 2012. Analisis Personal Financial Literacy Dan Financial Behavior. Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara. Jurnal USU www.jurnal.usu.ac.id/index.php/jmim/article/download/651/pdf

Lusardi. A, O.S. Mitchell. 2014. The Economic Importance of Financial Literacy: Theory and Evidence Journal of Economic Literature 2014, 52(1), 5–44

51

Hubungan Literasi Keuangan dengan Perubahan Kesejahteraan Masyarakat Pasca Pemberian Ganti Kerugian Tanah Untuk Pembangunan Jalan Tol di Desa Bongaswetan, Kabupaten Majalengka

Alfian Najib Anshori dan Ahsan Asjhari

Keppres nomor 55 tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah

Marlijanto. 2012. Konsinyasi Ganti Rugi Dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum (Studi Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Proyek Jalan TOL Semarang – Solo Di Kabupaten Semarang). Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang

Muflikhati I., Nurmayanti N., Alfiasari. 2010a. Analisis Tingkat Kesejahteraan, Sikap, Perilaku, Dan Tingkat Kepuasan Keluarga Sasaran Program Konversiminyak Tanah Ke Lpg Di Kota Bekasi. Jurnal Ilmu Keluarga & Konsumen., Agustus 2010, p : 114 - 121 3 (2)

Muflikhati et al. 2010b. Kondisi Sosial Ekonomi dan Tingkat Kesejahteraan Keluarga: Kasus Di Wilayah Pesisir Jawa Barat. Jurnal Ilmu Keluarga & Konsumen 3 (1) Januari 2010, p : 1-10

Rianto., N. 2012. Uji Coba Instrumen Pengukuran Perubahan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Pasca Pembebasan Lahan Untuk Pembangunan Infrastruktur Pekerjaan Umum Dan Pemukiman. Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum. 4 (3), 197-206, Jakarta

Rohman, Abid. 2013. Stratifikasi Sosial Dalam Al-Qur’an. Jurnal Sosiologi Islam, 3 (1) April 2013 . Surabaya: Universitas Islam Negeri

Savadogo et al. 2015. Using A Community-Based Definition Of Poverty For Targeting Poor Households For Premium Subsidies In The Context Of A Community Healthinsurance In Burkina Faso. Bio Medical Central Public Health Journal (dapat diakses di: http://www.biomedcentral.com/1471-2458/15/84)

Setianingsih, Dwi. 2012. Dampak Sosial Pembebeasan Tanah Proyek Pembangunan Infrastruktur untuk Kepentingan Umum. Tesis. Depok: Universitas Indonesia

Taft, M. K. et al. 2013. The Relation Between Financial Literacy, Financial Wellbeing and Financial Concerns. International Journal of Business and Management; 8 (11), 63-75.

Taylor M. 2011. Measuring Financial Capability and its Determinants Using Survey Data. Social Indicators Research 102 (2) June 2011; 297-314.

Usman. 2014. Efektivitas Program Keluarga Harapan (PKH) dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan (Suatu Studi di Kecamatan Kota Utara, Kota Gorontalo). Jurnal Administrasi Publik- ejournal.unsrat.ac.id

UU Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial

UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Van Rooij M.C.J., Lusardi A., Alessie R.J.M. 2012. Financial Literacy, Retirement Planning And Household Wealth. The Economic Journal. 122 (560) conference papers; 449-478

53

ABSTRACT

The solid waste is results from human activities or natural, if managed properly will be worth value, to add family income, otherwise if unmanaged will lead to problems as disease and environmental degradation. Current conditions environmental damage caused by solid waste in Pekalongan reached 39.9%. One the problems to need an integrated waste management is high rate of population increase 1.42% per year, the total population in 2012 amount 294,117 people. One the impact is waste generated by community and requires management. The waste reduction policy from source to the flagship program 3R (Reuse, Reduce, Recycling) and the objectives to achieve 20%, the previous study stated that the implementation of Indonesia’s waste can be reduced or used, less than 8%. Production of solid waste ± 768 m3/d and can be transported ± 614 m3/d, is still residual average daily ± 154 m3. The purpose of assessing the role of the institutional aspects of waste management, so that the economic value. The method used is an explanatory descriptive to test the influence between variables, the role of the principle and non-formal institutions, strategic indicators of waste management. The final conclusion illustrates that the role of non-formal institutions may help management of solid waste in Pekalongan approximately 79%, through recycling, so that solid waste into something useful and economically valuable. This requires a strategy and an active role of all parties such as governments as formal institutions, non-formal and public awareness in an effort to realize the waste becomes something useful.

Keywords: non-formal institutions, waste management, strategy, economics, awareness

ABSTRAK

Sampah merupakan sesuatu yang dihasilkan dari aktivitas manusia maupun alam, apabila dikelola dengan baik akan bernilai ekonomi, dapat menambah penghasilan keluarga, sebaliknya kalau tidak dikelola akan menimbulkan permasalahan berupa penyakit dan kerusakan lingkungan. Kondisi saat ini kerusakan lingkungan akibat sampah di Kota Pekalongan mencapai 39,90%. Salah satu permasalahan adalah tingginya angka kenaikan penduduk mencapai 1,42% pertahun, jumlah penduduk pada tahun 2012 sebanyak 294.117 jiwa. Kebijakan pengurangan sampah sejak dari sumbernya dengan program unggulan 3R (Reuse, Reduse, Recycling) serta sasaran yang harus dicapai sebesar 20%, hasil penelitian sebelumnya menyatakan bahwa implementasi sampah di Indonesia yang dapat dikurangi atau dimanfaatkan, kurang dari 8%. Timbunan sampah tiap hari + 768 m3 dan dapat terangkut tiap hari + 614 m3, masih sisa rata-rata tiap hari + 154 m3. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pengkajian aspek kelembagaan, peranannya pada pengelolaan sampah, sehingga bernilai ekonomis. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah deskriptif eksplanatif (explanatory descriptive) yaitu untuk menguji pengaruh antar variabel yang menjadi fokus kajian, dalam hal ini peran antara lembaga non formal dengan prinsip, indikator strategi pengelolaan sampah di lokasi penelitian. Maka hasil penelitian menggambarkan bahwa peran lembaga non formal dapat membantu pengelolaan sampah di Kota Pekalongan kurang lebih sebesar 79%, melalui daur ulang, sehingga sampah menjadi sesuatu yang berguna dan bernilai ekonomis. Diperlukan strategi dan peran aktif berbagai pihak baik pemerintah sebagai lembaga formal, lembaga non formal maupun kesadaran masyarakat dalam upaya mewujudkan pengelolaan sampah sehingga menjadi sesuatu yang berguna.

Kata Kunci: lembaga non formal, pengelolaan sampah, strategi, nilai ekonomis, kesadaran masyarakat

PERAN LEMBAGA DALAM PENGELOLAAN SAMPAH TERPADUDI KOTA PEKALONGAN

Integrated Solid Waste Management in Pekalongan City

Lia yulia Iriani1, Fitrijani Anggraini2 dan Tibin Ruby Prayudi3

Balai Litbang Sosekling Bidang SDA 1Pusat Litbang Permukiman, Balitbang Kementerian Pekerjaan Umum

e-mail : [email protected] Litbang Permukiman, Balitbang Kementerian Pekerjaan Umum

e-mail : [email protected] Litbang Permukiman, Balitbang Kementerian Pekerjaan Umum

e-mail : [email protected]

Tanggal diterima : 19 September 2014 ; Tanggal disetujui: 31 Maret 2015

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 7 No.1 April 2015, hal 1- 79

54

PENDAHULUANKondisi pengelolaan sampah di berbagai kota

di Indonesia terlihat masih belum berjalan dengan baik. Berdasarkan Rencana Strategis Kementerian Pekerjaan Umum 2010-2014, secara keseluruhan sampai saat ini prosentase sistem pengelolaan persampahan telah mencapai 54%, masih di bawah target RPJMN (75% pada 2009) dan MDGs (70% pada 2015).

Kondisi pengelolaan sampah di Kota Pekalongan masih menggunakan paradigma lama kumpul-angkut-buang, hal ini menjadi masalah karena bila tidak tertangani dengan baik akan menyebabkan terjadinya timbulan sampah yang tidak terkendali dan pada akhirnya akan mencemari lingkungan.

Peran lembaga non formal dalam pengelolaan sampah terkait peran instansi terkait dalam memotivasi masyarakat, melalui pelatihan, sosialisasi dan penyuluhan maupun tindakan preventif bergotong royong membersihkan lingkungan permukiman di sekitarnya secara swadaya, hal ini merupakan salah satu strategi dalam memberdayakan kebiasaan masyarakat untuk memelihara kebersihan lingkungan permukiman. Namun aplikasinya masyarakat tidak terlibat secara langsung karena mereka beranggapan pengelolaan persampahan ini adalah tanggung jawab pemerintah (Yogiesti dkk 2010)

Menurut Wahyuni dkk, 2014, pengelolaan sampah 3R masih menyisakan residu berupa sampah anorganik terutama sampah produk yang tidak dapat didaur ulang oleh masyarakat dan tidak memiliki nilai jual. Dengan konsep Extended Producer Responsibility (EPR), sampah kemasan produk dikembalikan ke produsen untuk dikelola sendiri atau melalui pihak ketiga.

Fokus penelitian pada peran lembaga non formal seperti Bank Sampah, karang taruna, kelompok pengajian, kelompok arisan, kelompok remaja mesjid dapat membantu pemerintah dalam pengelolaan sampah menjadi nilai ekonomis dapat menambah penghasilan keluarga.

Beberapa hasil penelitian tentang pengelolaan sampah terpadu sebagai acuan primer, dengan aspek yang berbeda yaitu terkait pemanfaatan teknologi pengolahan sampah, pemanfaatan TPA, nilai ekonomis, pengaturan, peran serta masyarakat. Hasil penelitian tersebut sebagai refrerensi dalam penelitian ini, dengan fokus dan output yang berbeda yaitu peran lembaga formal dan non formal dalam pengelolaan sampah menjadi nilai jual yang bermannfaat. Salah satu hasil penelitian terkait dengan penelitian ini adalah tentang peran lembaga non formal dalam memelihara kebersihan

lingkungan permukiman yaitu sebesar 45,6%, melalui pengelolaan sampah, 54,06% dilakukan secara gotong royong dan kekeluargaan (Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman 2010).

Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka pernyataan masalah (problem statement) dalam penelitian ini adalah kebijakan dan strategi pengelolaan sampah di Kota Pekalongan, menggunakan open dumping, sistem pembuangan akhir melalui TPA, sehingga dapat menimbulkan masalah terhadap kebersihan lingkungan dan kesehatan apabila pengelolaan sampah tersebut tidak segera ditangani diantaranya melalui daur ulang.

Dari pernyataan masalah tersebut dapat diidentifikasikan pertanyaan penelitian sebagai berikut

- Berapa besar peran lembaga non formal dalam pengelolaan sampah terhadap kebersihan lingkungan?

- Berapa besar dampak pengelolaan sampah terpadu dapat meningkatkan peran dan kebiasaan masyarakat dalam mengelola sampah menjadi benda yang berguna dan bernilai ekonomis?

Dalam rangka menjawab hal tersebut dilakukan pengkajian pengelolaan sampah terpadu melalui peran lembaga non formal yang menjadikan nilai jual sampah secara ekonomis, menggunakan data dan informasi hasil survai Pengkajian Kinerja Pengelolaan Sampah Perkotaan, yang dilaksanakan Agustus 2013.

KAJIAN PUSTAKAMenurut Dwiyanto (2011) pengelolaan sampah

perkotaan adalah mulai dari produksi sampah sampai berakhirnya suatu proses produksi dapat dihindari terjadi produksi sampah atau diminimalisir terjadinya sampah.

Pemilahan sampah sebelum dibuang ke TPA, tidak terlepas dari bermitranya antara lembaga formal dalam hal ini Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat bidang pengelolaan sampah dan para pemulung yang terkoordinir melalui Bank Sampah Sakinah berlokasi di sekitar TPA Degayu, Kota Pekalongan. Keberhasilan pengelolaan sampah di Kota Pekalongan melalui peran lembaga non formal dan strategi dalam pencapaian tingkat keberhasilan pengelolaan sampah, untuk hal ini dihubungkan dengan kajian yang dilakukan Ernawati dkk (2012) yang menyatakan bahwa strategi bertumpu pada perubahan pola pikir

55

Peran Lembaga dalam Pengelolaan Sampah Terpadu di Kota Pekalongan Lia Yulia Iriani, Fitrijani Anggraini dan Tibin Ruby Prayudi

untuk mengelola sampah kota bersama antara pemerintah masyarakat dan swasta dengan penerapan pengurangan, pemakaian kembali, daur ulang dan pembuangan yang aman bagi lingkungan.

Menurut Aryenti (2012) kelembagaan, adanya pihak yang bertanggung jawab dalam mengatur dan mengawasi pengelolaan sampah, sehingga dapat dipertanggungjawabkan.

Mekanisme pengembalian sampah kemasan dari konsumen ke produsen dapat dilakukan melalui bank sampah, potongan harga maupun penggantian dengan uang tunai. Penerapan EPR akan mengurangi sampah kemasan yang masuk ke TPA sehingga memperpanjang umur TPA (Wahyuni dkk 2014).

Dijelaskan lebih lanjut oleh Surakusumah (2008) bahwa banyak komunitas yang telah mampu mengurangi 50% penggunaan landfill atau insinerator dan bahkan lebih, dan malah beberapa sudah mulai mengubah pandangan mereka untuk menerapkan “Zero Waste” atau “Bebas Sampah”.

METODE PENELITIANMetode penelitian yang digunakan adalah

deskriptif eksplanatif (explanatory descriptive) yaitu untuk menguji pengaruh antar variabel yang menjadi fokus kajian. Menggambarkan hubungan

antara dua atau lebih variabel; untuk mengetahui apakah suatu variabel berpengaruh ataukah tidak dengan variabel lainnya; atau apakah sesuatu variabel disebabkan oleh variabel lainnya atau tidak.

Dasar pertimbangan dipilihnya metode penelitian ini adalah adanya asumsi bahwa ada pengaruh peran lembaga non formal dalam pengelolaan sampah terhadap prinsip dan indikator strategi pengelolaan sampah, diantaranya peningkatan peran dan kebiasaan masyarakat dalam mengelola sampah menjadi benda yang berguna dan bernilai ekonomis.

Kedua variabel tersebut saling mempengaruhi satu sama lain, dan yang menjadi subjek penelitiannya adalah para pengambil, pembuat dan pelaksana kebijakan, sebagai motivator pelaksanaan strategi pengelolaan sampah terpadu di lokasi penelitian.

Operasionalisasi variabel Penelitian

Operasionalisasi variabel dalam penelitian ini dimaksudkan untuk memudahkan atau mengarahkan di dalam menyusun alat ukur data yang diperlukan berdasarkan kerangka konseptual penelitian yang telah dikemukakan batasan operasional dari masing-masing variabel penelitian. Secara jelas variabel operasionalisasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.

Variabel Prinsip-Prinsip Indikator

Peran Lembaga Non Formal (X2)

1. Prinsip Tujuana. Memahami tujuan yang hendak dicapai secara internalb. Memahami tujuan secara external

2. Prinsip Pelestarian Lingkungan

a. Kebersihan lingkunganb. Dampak yang ditimbulkanc. Keseimbangan antara tanggungjawab dan berbagi peran diantara anggota kelompok

3. Prinsip Pertanggungjawaban

a. Memahami tanggung jawab pekerjaan kepada kelompok.b. Memahami tanggung jawab pembinaan

4. Prinsip Pemberdayaan Masyarakat

a. Memahami kesetaraan dan kekompakan antara anggota kelompok.b. Bekerjasama dan menyelesaikan masalah.

5. Prinsip Berbagi Peran a. Koordinasi dengan lembaga formal.b. Pemahaman tugas dan tanggungjawab kelompok.

Strategi Pengelolaan Sampah (Y)

Faktor-Faktor Indikator

1. Peraturan dan kebijakan a. Mematuhi peraturan yang berlaku.b. Memiliki komitmen terhadap hasil pengelolaan yang dicapaic. Menerapkan dedikasi yang tinggi pada tingkat keberhasiland. Memahami dampak terhadap kebersihan lingkungan

2. Peran Pemerintah Daerah

a. Motivator tingkat keberhasilan pengelolaan b. Pengembangan SDMc. Melaksanakan kkordinasi antar lembaga terkait formal non formal

3. Kesadaran masyarakat a. Melaksanakan pengelolaan dengan penuh tanggungjawab b. Melaksanakan kemampuan kerja berdasarkan kemampuan yang dimiliki.c. Senantiasa berinisiatif dalam menyelesaikan pekerjaand. Sikap rajin dan dapat bekerjasama

4. Prasana a. Ketersediaan TPSb. Ketersediaan TPAc. Alat Transfortasid. Mesin pengolah sampah

Tabel 1. Operasionalisasi Variabel

Sumber: Hasil Analisis, 2013

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 7 No.1 April 2015, hal 1- 79

56

dengan variabel terikat (Y) dengan rumus (1).

rxy= ......(1)

Dimana:

rxy = Koefisien korelasiX = Jumlah skor tiap item ke-iY = Skor total seluruh itemn = jumlah responden

Data hasil kuesioner skala rating diolah menggunakan rumus uji validitas, hasilnya sebagai masukan analisis tingkat keberhasilan, kelemahan, tantangan, kendala yang berhubungan dengan peran lembaga non formal dalam pengelolaan sampah di kota Pekalongan.

HASIL DAN PEMBAHASANGambaran Umum Lokasi Penelitian

Kota Pekalongan merupakan salah satu kota di pesisir pantai utara Provinsi Jawa Tengah, orbitasi antara 6°50’44’’-6°55’44’’ Lintang Selatan dan 109°37’55’’-109°42’19’’ Bujur Timur. Berbatasan sebelah Utara laut Jawa, sebelah barat Kabupaten Pekalongan, sebelah timur Kabupaten Batang, jumlah penduduk sebanyak 294.117 Jiwa.

Batas Administratif

Secara administratif Kota Pekalongan terbagi menjadi 4 kecamatan dan 47 kelurahan, Kecamatan Pekalongan Barat, terdiri dari 13 kelurahan, Pekalongan Timur, 13 kelurahan, Pekalongan Selatan, 11 kelurahan, Pekalongan Utara 10 kelurahan.

Luas Kota Pekalongan 4.525 ha, terdiri dari tanah sawah 1.266 ha, tanah kering 3.259 ha. Tanah sawah sebagian besar yang memiliki irigasi teknis seluas 1.164 ha. Sedangkan lahan kering dipergunakan untuk permukiman, bangunan dan pekarangan 2.543 ha, tegalan 299 ha, dan rawa-rawa yang tidak ditanami 171 ha, serta lahan pertambakan 163 ha. Ketinggian lahan antara 0 - 6 meter dpl dengan

Data dan Sampling

Data sekunder dari studi pustaka keterkaitan teori yang berhubungan dengan strategi pengelolaan persampahan, penentuan variabel dan indikator, hasil litbang, peraturan dan kebijakan pengelolaan sampah di Kota Pekalongan.

Data primer, berdasarkan wawancara dan observasi lapangan di lokasi penelitian, pean lembaga formal dan non formal, kebiasaan masyarakat, pengaruh pengelolaan sampah bagi kesejahteraan masyarakat dan dapat menambah penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Obyek penelitian, hasil wawancara secara terstruktur dengan para pihak terkait pengelolaan sampah yaitu Dinas Pekerjaan Umum-Kota Pekalongan, Kasi Operasional-Bidang Kebersihan dan Persampahan, Kasi Pengelolaan Lingkungan- Kantor Lingkungan Hidup, Dinas Kebersihan, Bank Sampah Sakinah, Kelompok Pengolahan Sampah Terpadu (KPST), karang taruna, kelompok pengajian, kelompok remaja mesjid dan kelompok arisan

Sampling berdasarkan random bertujuan kepada pihak yang berperan secara keseluruhan alam pengelolaan sampah di Kota Pekalongan, berjumlah 34 orang, seperti diperlihatkan pada tabel 2.

Analisis jawaban responden dalam penelitian ini digunakan teknik rating scale, skala pengukurannya pada tingkat skala ordinal. Untuk menentukan jawaban responden yang berupa pertanyaan, dapat dilihat dalam tabel 3.

Hubungan korelasi antar variabel X dan Y, menggunakan rumus uji validitas penentuan nilai korelasi sederhana antara variabel. Penentuan nilai korelasi sederhana antara variabel bebas (X1)

No. Bidang / Bagian Jumlah

1 Dinas PU Kota Pekalongan 4

2 Kantor Lingkungan Hidup 4

3 Dinas Kebersihan 4

4 Bank Sampah Sakinah 4

5 Kelompok Pengolahan Sampah Terpadu 4

6 karang taruna 3

7 kelompok arisan 4

8 kelompok pengajian 4

9 kelompok remaja mesjid 3

Total 34

Tabel 2. Populasi Penelitian

Sumber: Hasil di Lapangan, 2013

N (∑xy – ∑x∑y)

√ [n (∑X2) – (∑X)2] [n (∑Y2) – (∑Y)2]

No Alternatif Jawaban Skor (+) Skor (-)

1 Sangat Setuju (SS) 5 1

2 Setuju (S) 4 2

3 Netral (N) 3 3

4 Tidak Setuju (TS) 2 4

5 Sangat Tidak Setuju (STS) 1 5

Tabel 3. Alternatif Jawaban Responden

Sumber: Sitepu, 2008

57

keadaan tanah berwarna agak kelabu jenis tanah aluvial kelabu kuning dan aluvial yohidromorf.

Pengelolaan Persampahan di kota Pekalongan

Di Kota Pekalongan pengelolaan sampah pada umumnya dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), sistem open dumping dengan kondisi sampah organik dan non organik sebagian sudah dipilah terlebih dahulu, begitupun mengenai air leachatenya disalurkan melalui saluran pembuangan diameter kurang lebih 5 m.

Kondisi jumlah penduduk Kota Pekalongan sebanyak 290.870 jiwa, rata-rata pertumbuhan penduduk + 0,77%. Timbunan sampah tiap hari + 768 m3 dan dapat terangkut tiap hari + 614 m3, masih sisa rata-rata tiap hari + 154 m3. Proyeksi timbulan sampah di Kota Pekalongan, secara terinci tercantum pada tabel 4 .

Pengelolaan sampah di Kota Pekalongan tidak terlepas dari ketersediaan sarana kebersihan, berikut data tersebut dari tahun 2008 s/d 2012,

berupa truk sampah 16 buah, truk kontainer 5 buah, kontainer 30 buah, TPS / transfer depo 7 buah, TPA 1 buah, truk tinja 2 buah, gerobak sampah 112 buah, wheel loader 1 buah, excavator 2 buah dan buldoser 1 buah.

Adapun persentase komposisi sampah di Kota Pekalongan pada tahun 2012, adalah kertas 5,50%, kayu 1,60%, kain 1,70%, karet/kulit 1% plastik 8%, metal/logam 1%, gelas/kaca 1,50%, organik 77,70%, lain–lain 2%, secara terinci tercantum pada gambar 1.

Kondisi Lembaga Non Formal

Keberadaan lembaga non formal di Kota Pekalongan, peran sertanya pada pengelolaan sampah, sangat membantu pemerintah daerah setempat, karena masalah sampah bisa menjadi dampak pencemaran dan menimbulkan penyakit, di lain pihak bisa mendatangkan keuntungan yang bernilai ekonomi dan dapat membantu memenuhi kebutuhan keluarga, sebagaimana tercantum pada tabel 5.

Sumber : : Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2013

Tahun 2010 2012 2020

Jumlah penduduk kota Pekalongan (jiwa) 282.100 294.117 323.352

Pertumbuhan Penduduk dalam % / tahun 1,42 % 1,42 % 1,42 %

PDRB (dalam juta rupiah) 1.887.854 2.434.538 2.908.300

Volume sampah harian (m3) 768 845 1.153

Volume sampah harian (ton) 160 176 240

Sampah ke TPA m3/ (%) 614 (79 %) 573 (67,8 %) 807 (70 %)

Sampah tidak masuk TPA m3 / (%) 154 (21%) 272 (32,2 %) 350 (30 %)

Perkiraan jumlah sampah m3 /tahun 280.320 308.425 420.845

Perkiraan jumlah sampah ton /tahun 58.400 64.240 87.600

Target Penurunan sampah /tahun 7 % 7 % 14 %

Sistem yang akan diterapkan Berbasis Masyarakat Berbasis Masyarakat Berbasis masyarakat

Tabel 4. Proyeksi timbulan sampah 2010 - 2020

Gambar 1. Komposisi Sampah Kota Pekalongan 2012

organikkertaskayu

kainkaret/kulitplastik

metal/logamgelas/kacalain-lain

Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2013

Tabel 5. Peran Lembaga Non Formal dalam Pengelolaan Sampah

Lembaga Non Formal

Peran Lembaga Non Formal dalam pengelolaan sampah

Pemilahan sampah

Pelestarian lingkungan

Daur ulang

Bank Sampah Sakinah 8,0% 13,0% 79,0%

Kelompok Pengolahan Sampah Terpadu

23% 47% 30%

Karang Taruna 29,0% 66,4% 4,6%

Kelompok Pengajian 25,8% 68,2% 6,0%

Kelompok remaja mesjid 27,9% 59,9% 12,2%

Kelompok arisan 15,8% 49,2% 35%

Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2013

Peran Lembaga dalam Pengelolaan Sampah Terpadu di Kota Pekalongan Lia Yulia Iriani, Fitrijani Anggraini dan Tibin Ruby Prayudi

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 7 No.1 April 2015, hal 1- 79

58

Peran Lembaga Non Formal

Pengelolaan sampah di Kota Pekalongan oleh lembaga non formal, hal ini sangat membantu pemerintah daerah dalam menciptakan kebersihan lingkungan yang sehat dan teratur, berdasarkan prinsip tujuan, pelestarian lingkungan, pertanggung jawaban, pemberdayaan masyarakat dan prinsip berbagi peran.

Peran lembaga non formal seperti Bank Sampah Sakinah, kelompok pengajian karang taruna ibu-ibu PKK yang berperan dalam pengelolaan sampah secara terpadu melalui sosialisasi dan kebiasaan hidup sehat serta kerjasama dengan pengepul untuk menjual sampah non organik dan melakukan daur ulang sampah dapat membantu pemerintah daerah setempat, selengkapnya tercantum pada tabel 6.

Berdasarkan hasil wawancara dari 34 responden, 84% menyatakan setuju, dan pada pelaksanaannya, melalui pemberdayaan masyarakat, diharapkan dapat dipahami kesetaraan berbagi peran dan berkoordinasi antar anggota dan stakeholders. Indikator tingkat keberhasilan, diantaranya dapat dicapai melalui pemahaman pemberdayaan masyarakat dengan lingkup, tercantum pada gambar 2

Strategi Pengelolaan

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan sampah di Kota Pekalongan, dihubungkan dengan rumus korelasi hubungan antar variabel, berdasarkan hasil analisa di lapangan dimana strategi pengelolaan merupakan variabel bebas, peraturan dan kebijakan, peran pemerintah daerah, kesadaran masyarakat, kesediaan prasarana, indikator yang dikemukakan berdasarkan pemahaman dan pengelolaan yang dicapai dari 34 responden, 76% menyatakan bahwa tingkat keberhasilan pengelolaan sampah di Kota Pekalongan memerlukan koordinasi dan peran lembaga formal dan non formal serta tingkat kesadaran masyarakat yang tinggi.

Infrastruktur O dan M

Lembaga Non Formal

Masyarakat

Pemerintah

Stakeholders Potensi

Strategi Pengelolaan

Gambar 2 Konsep Pemberdayaan MasyarakatSumber: Hasil analisis, 2013

Tabel 6. Korelasi Peran Lembaga Non Formal

Pemangku kebijakan

Kebersihan lingkungan

Ekonomi masyarakat

Perubahan perilaku

masyarakat

Kontribusi dalam menjalankan peraturan pengelolaan sampah perkotaan

Peningkatan kebersihan melalui pengelolaan sampah sejak dari sumber

Menambah penghasilan masyarakat melalui daur ulang Sampah

Masyarakat dilibatkan dalam pengelolaan sampah secara sukarela

Sumber: Hasil analisis, 2013

Sedangkan menurut Kholil dkk 2008, dari hasil analisis ISM (Interpretative Structural Modeling) menunjukkan bahwa faktor kunci yang menentukan keberhasilan penanganan sampah kota adalah partisipasi masyarakat, ada 5 kendala dalam penanganan sampah kota, yaitu (a) kesadaran dan partisipasi masyarakat yang masih rendah (b) peraturan yang belum jelas (c) penegakan hukum yang masih lemah (d) struktur organisasi pengelola sampah yang belum tepat dan (e) sikap mental para petugas yang belum kondusif.

Masyarakat sebagai subyek pembangunan dan pemerintah sebagai motivator, dalam pengelolaan sampah di Kota Pekalongan, saling berhubungan, tingkat keberhasilan pengelolaan sampah ini membuktikan turunnya angka penyakit yang disebabkan faktor kurang bersihnya lingkungan, seperti diare dan penyakit kulit serta potensi sumber daya manusia sangat tinggi, terbukti Kota Pekalongan peringkat ke tiga di Indonesia dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat melalui kesiapan pengelolaan sampah berbasis peran lembaga non formal.

Menurut Desiana (2013) terdapat keterkaitan antara pemberdayaan masyarakat dan perilaku konsumen dengan keefektifan Program Bank Sampah. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya peningkatan jumlah anggota bank sampah serta hasil penjualan dari bank sampah.

Faktor Keberhasilan Pengelolaan

Berdasarkan hubungan korelasi antar variabel peran lembaga formal non formal dan tingkat keberhasilan pengelolaan sampah secara terpadu terdapat beberapa aspek yang mempengaruhi tingkat keberhasilan, dihubungkan dengan aspek peraturan dan kebijakan pemerintah, ekonomi, sosial dan kepedulian yang memungkinkan secara teknis (technically feasible) dapat memanfaatkan

59

prasarana pengelolaan sampah yang tersedia baik skala rumah tangga maupun komunal dapat dimanfaatkan oleh pengguna (socially desirable), pemerintah, masyarakat, industri. Secara lengkap digambarkan pada gambar 3.

Sistem pengelolaan sampah terpadu merupakan aspek non teknis dalam pelaksanaannya, melibatkan beberapa faktor yang saling mempengaruhi, yaitu kepatuhan untuk menjalankan peraturan yang berlaku, koordinasi peran lembaga formal dan non formal, kesadaran masyarakat, yang dapat memahami dan megaplikasikan pada kehidupan sehari-hari tentang pentingnya pemilahan dan daur ulang sampah serta menyadari dampaknya terhadap kesehatan dan lingkungan, sehingga permasalahan sampah merupakan tanggungjawab bersama untuk dikelola dengan baik, dan dapat dimanfaatkan kembali serta bernilai ekonomi.

Pengolahan Sampah Terpadu

Kegiatan yang telah dilaksanakan diharapkan dapat memberikan manfaat yang nyata dan kinerja yang lebih baik dalam kegiatan pengelolaan persampahan di Kota Pekalongan. Pada rencana pengelolaan persampahan di tahun-tahun ke depan diharapkan dapat dibangun Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) dengan memaksimalkan peran serta masyarakat dalam pengelolaannya sehingga dapat meminimalkan pembuangan sampah ke TPA.

Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan Aryenti (2011) menyatakan bahwa golongan masyarakat berpenghasilan tinggi belum optimal melaksanakan pengelolaan sampah.

Adanya peningkatan fungsi dari tempat pembuangan sampah sementara menjadi tempat

pengelolaan sampah terpadu dengan konsep 3R di TPST Kadipiro mampu mereduksi sampah ± 67% dari jumlah sampah di TPST (Aryenti dan Kustiasih T 2013).

Sedangkan menurut Zul’aiddin (2010) umur pakai lahan penimbunan TPA Tanah Grogot dapat dipakai sampai 19,4 tahun, dengan menerapkan TPST di TPA. Dibandingkan tanpa adanya TPST umur pakai lahan penimbunan TPA hanya 9,1 tahun.

Hasil pengelolaan sampah di Tempat pengelolaan sampah terpadu, secara lengkap tercantum pada tabel 7.

Tambahan Nilai Ekonomi Masyarakat

Pengelolaan sampah yang baik tidak hanya berdampak terhadap kebersihan lingkungan juga berpengaruh dalam penambahan penghasilan keluarga, sebagaimana tercantum pada tabel 6 di atas, masyarakat mendapat penghasilan di atas Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah/bulan), belum termasuk penjualan sampah non organik, dibuat kerajinan tangan dan pernak pernik lainnya, dijual oleh pengelola sendiri maupun dititipkan ke pasar kelontong. sampah.

Peran serta masyarakat sangat diperlukan dalam hal mencapai keberhasilan pengelolaan sampah, di Kota Pekalongan motivasi dari pemerintah daerah terhadap hal ini telah dilakukan secara terprogram melalui pelatihan kepada kelompok organisasi non formal, diharapkan mereka dapat meneruskan untuk masyarakat sekitarnya.

Berdasarkan hasil kajian, tingkat keberhasilan pengelolaan sampah di Kota Pekalongan, dapat dicapai melalui perubahan perilaku masyarakat, 86% responden, pencapaian hal tersebut diantaranya melalui gotong royong dan peran serta masyarakat 88%. Peningkatan tambahan penghasilan keluarga dari pengelolaan sampah dilakukan oleh Masyarakat Golongan Ekonomi Rendah (MBR), yang tergabung dalam lembaga masyarakat non formal sebanyak 70%.

Pencapaian Tingkat Keberhasilan

Berhasilnya suatu pelaksanaan kegiatan di masyarakat memerlukan upaya keterpaduan dan peran serta berbagai pihak, begitupun dalam hal pengelolaan sampah di Kota Pekalongan, dikaitkan antara strategi pengelolaan dengan peran serta kelembagaan baik formal maupun non formal, beberapa kendala dan tantangan dalam upaya mencapai tingkat keberhasilan tersebut, seperti diperlihatkan pada tabel 7.

Peran serta lembaga non formal dalam pengelolaan sampah di Kota Pekalongan, secara

kebijakan pemerintah

Pengelolaan terpadu

keterpaduan peran lembaga

dan stakeholder

timbul rasa memiliki

memahami kegunaan dan manfaatnya

Gambar 3. Indikator pengelolaan

Sumber: Hasil analisis, 2013

Peran Lembaga dalam Pengelolaan Sampah Terpadu di Kota Pekalongan Lia Yulia Iriani, Fitrijani Anggraini dan Tibin Ruby Prayudi

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 7 No.1 April 2015, hal 1- 79

60

terprogram ikut serta pada aksi pemilahan sampah dari sumbernya, sehingga dapat memudahkan proses pengolahan sampah menjadi bernilai ekonomi, secara rinci tercantum pada Tabel 8.

Menurut Mubarokah dan Wilujeng (2012) pengelolaan sampah yang dilakukan oleh masyarakat juga berkontribusi dalam pembentukan emisi karbon yang merupakan salah satu penyebab

Jenis Kelembagaan Non Formal Keberhasilan Tantangan Kendala

Bank Sampah Sakinah - Daur ulang sampah - Tambahan penghasilan

keluarga

Diperlukan inovasi produk daur ulang sampah yang dihasilkan, sehingga memiliki ciri khas.

- Bahan baku- Disain produk- Peningkatan SDM

Kelompok Pengolahan Sampah Terpadu (KPST)

- Pemilahan sampah organik dan organik

- Pelestarian lingkungan

Peningkatan pemasaran produk Motivasi peran serta anggota

Karang Taruna Kekompakan dan gotong royong anggota dalam pelestarian lingkungan

Kreatifitas keterampilan pelaksanaan daur ulang sampah

Peningkatan keterampilan perlu pelatihan terpogram

Kelompok Pengajian Kebersamaan sesama anggota Aplikasi peningkatan keterampilan anggota

Pembagian waktu dan motivasi peningkatan keterampilan

Kelompok Remaja Mesjid Menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat

Perubahan perilaku masyarakat Motivasi anggota kelompok

Kelompok Arisan Tingkat kesadaran masyarakat Peningkatan keterampilan masyarakat

Peningkatan SDM

Tabel 8. Peran Serta Lembaga Non Formal

Sumber: Hasil Analisis, 2013

No TPST Jumlah sampah yang diambil (m3)

Jumlah sampah organik (m3)

Sampah anorganik laku dijual (Rp)

Residu yang dibuang ke TPA (m3)

Penjualan kompos (kg)

1 Kuripan kidul 85 25 329.300 43

2 Bandengan 31 5,25 200.000 14,7 400

3 Kertoharjo 12 7 2 3

4 Yosorejo 72 28 169.350 17

5 Medono 46 22 25 194

6 Kandang Panjang 69 24,5 10,5

7 Sokorejo 121,25 45,5 346.000 66,5

8 Poncol 18 4,5 11,7

9 Kramatsari 46,5 10,85 18.050 18,6 496

10 Krapyak Lor 83 30 935.000 0,5 1.374

11 Klego 32,5 23 150.000 7,25 370

12 Soko 60 30 45.000 30

13 Pasar Grogolan 180 180

14 Pasar Podosugih 15 7 0 5 0

15 Bendan 150 26 0 115 0

16 Tegal Rejo 0 0 0 0 0

17 Bumirejo 0 0 0 0 0

18 Banyurip Alit 60 21 0 32 0

19 Jenggot 15 5 0 8 0

20 Panjang Baru 0 0 0 0 0

21 Sapuro 0

Total 1.096,25 2.192.702 407,75 2.834

Tabel 7. Rekapitulasi Hasil Pengelolaan Sampah TPST

Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2013

61

terjadinya pemanasan global. Presentase peru-bahan jumlah emisi yang dihasilkan dari tiap-tiap pengelolaan sampah jika dibandingkan dengan kondisi eksisting pengelolaan di Kecamatan Tegalsari adalah penurunan emisi sebesar 38,55% akan terjadi apabila seluruh sampah yang dihasilkan dapat dilakukan kegiatan pendaurulangan dan pengomposan serta penurunan emisi sebesar 18,58% dapat diwujudkan apabila merealisasikan kegiatan pendaurulangan dan pengomposan dilakukan dengan memperhatikan kesediaan masyarakat Kecamatan Tegalsari.

Untuk mengurangi emisi GRK dari sektor sampah yang ditimbulkan dari sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Degayu maupun pembakaran sampah oleh masyarakat, Pemerintah Kota Pekalongan menetapkan rencana aksi mitigasi, dapat dilihat pada Tabel 9.

Target Penurunan Sampah

Tingkat keberhasilan pengelolaan sampah di Kota Pekalongan, selain meningkatkan penghasilan masyarakat dan pelestarian lingkungan, diharapkan menghasilkan efisiensi energi dan sumber daya pengelolaan limbah Industri Kecil Menengah (IKM) serta menerapkan sistem pengelolaan sampah yang rendah karbon.

Sedangkan menurut Wijayanti (2013) menurut strategi pengolahan sampah di TPST dan oleh

pihak ketiga di TPA mampu menurunkan emisi CH4 melampaui target Rencana Aksi Nasional Perubahan Iklim (RAN-PI). Sehingga strategi pelayanan dan pengelolaan sampah yang baik ditargetkan dapat menurunkan emisi mencapai 100.000 ton CO2e sampai tahun 2020, secara lengkap tercantum pada Gambar 4.

NO AKSI PERTIMBANGAN

1. Pemilihan sampah dari sumbernya Teknis: memudahkan proses selanjutnya (daur ulang atau kompos)Ekonomi: biaya untuk menyediakan tempat sampah terpisah Sosial: memudahkan pemulung

2. Promosi daur ulang dan produk daur ulang Teknis: mengurangi volume sampah yang masuk ke TPAEkonomi: menambah penghasilan bagi pelaku daur ulang Sosial: menciptakan lapangan kerja

3. Pengolahan sampah skala rumah tangga (komposter) Teknis: mengurangi volume sampah yang masuk ke TPA dan mengurangi emisi Ekonomi: investasi sebesar Rp. 150.000,-/unit komposter Sosial: menciptakan penghasilan tambahan

4. Pengolahan sampah skala komunal (TPST) Teknis: mengurangi volume sampah yang masuk ke TPA dan mengurangi emisiEkonomi: - Investasi Rp. 300.000.000,-/unit TPST- Menciptakan lapangan kerja - Mengurangi biaya pengangkutan Sosial: menciptakan penghasilan tambahan

5. Sosialisasi pengelolaan sampah rumah tangga Teknis: mengurangi volume sampah yang masuk ke TPAEkonomi: menciptakan kegiatan ekonomi masyarakat Sosial: menciptakan penghasilan tambahan `

6. Pengukuran dan survei komposisi sampah Teknis: memudahkan perhitungan emisi

7. Pembangunan TPA dengan LGF (Landfill Gas Flaring ) Teknis: mengurangi emisi dengan memanfaatkan gas yang dihasilkan Ekonomi: investasi sebesar 2,5 M rupiah

Sumber: Hasil Analisis, 2013

Tabel 9. Aksi Mitigasi Sektor Pengelolaan Sampah

Gambar 4. Target Penurunan Emisi di Kota Pekalongan

700.000

600.000

500.000

400.000

300.000

200.000

100.000

0

2008 2015 2020

sampahtransportasi

industrikomersial

perumahan

CO2e

(t)

Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2013

Peran Lembaga dalam Pengelolaan Sampah Terpadu di Kota Pekalongan Lia Yulia Iriani, Fitrijani Anggraini dan Tibin Ruby Prayudi

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 7 No.1 April 2015, hal 1- 79

62

KESIMPULAN

Peran lembaga formal dan non formal dapat dicapai secara terintegrasi pada pengelolaan sampah di Kota Pekalongan melalui keterpaduan dan gotong royong serta motivasi dari pemerintah daerah sebagai lembaga formal, sehingga pengelolaan sampah menjadi solusi untuk diselesaikan secara bersama.

Indikator keberhasilan pengelolaan sampah dicapai melalui tridaya, koordinasi lembaga formal dan non formal, fasilitas ketersediaan prasarana pengelolaan sampah, tingkat keberhasilan pengelolaan sampah yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan motivasi pentingnya kebersihan lingkungan.

Salah satu strategi untuk mengurangi volume sampah yang dibuang ke TPA diantaranya mengoptimalkan keberadaan 21 TPST yang ada di Kota Pekalongan. Pengelolaan TPST ini berdasarkan peran serta lembaga non formal atau Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Target pencapaian minimal pengurangan sampah sebesar 79% di TPA Degayu, dengan salah satu pengolahan membuat kompos untuk sampah organik dan daur ulang dari sampah anorganik, menjadi barang yang bernilai ekonomi.

Pengelolaan sampah yang baik tidak hanya berdampak terhadap kebersihan lingkungan juga berpengaruh dalam penambahan penghasilan keluarga, masyarakat mendapat penghasilan di atas Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah/bulan), belum termasuk penjualan sampah non organik, dibuat kerajinan tangan dan pernak pernik lainnya, dijual oleh pengelola sendiri maupun dititipkan ke pasar kelontong. sampah.

Diperlukan upaya peningkatan kesadaran masyarakat dalam mengelola sampah, mulai dari pemilahan sampah organik dan an organik, yang selanjutnya diolah sebagai pupuk dan daur ulang melalui bank sampah, sehingga sampah menjadi barang yang berguna dan bernilai ekonomis.

Koordinasi antara lembaga formal dan non formal dalam pengelolaan sampah di Kota Pekalongan, perlu digalakkan secara terprogram dan berkelanjutan, kondisi ini salah satu strategi dan motivasi bagi peningkatan kesadaran masyarakat setempat.

UCAPAN TERIMA KASIHUcapan terimakasih disampaikan kepada Pusat

Litbang Permukiman, Kementerian Pekerjaan Umum yang telah membiayai penelitian “Pengkajian Kinerja Pengelolaan Sampah” Tahun Anggaran

2013 dan kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam mendapatkan data dan informasi untuk kelengkapan materi tulisan sehingga selesainya tulisan ini juga disampaikan penghargaan yang tiada tara.

DAFTAR PUSTAKAAryenti. 2011. Peningkatan Partisipasi Masyarakat

dalam Pengelolaan Sampah dengan Cara 3R di Lingkungan Permukiman Ditinjau dari Segi Sosial Ekonomi Masyarakat. Jurnal Permukiman, 6 (2) Agustus 2011: 75-83.

Aryenti dan Darwati, Sri. 2012. Peningkatan Fungsi Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu. Jurnal Permukiman, 7 (1) April 2012: 33-39.

Aryenti dan Kustiasih, T. 2013. Kajian Peningkatan Tempat Pembuangan Sampah Sementara sebagai Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu. Jurnal Permukiman, 8 (2) Agustus 2013: 89-97.

Desiana dan Rumondang Damanik, Elsye. 2013. Analisa Program Bank sampah (Studi Kasus Kontribusi Yayasan Unilever Indonesia Dalam Pemberdayaan Masyarakat Malakasari, Jakarta Timur Periode Februari Sampai Dengan Mei 2013). Thesis. Bina Nusantara University.

Dwiyanto, Bambang M. 2011. Model Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Penguatan Sinergi dalam Pengelolaan Sampah Perkotaan. Jurnal Ekonomi Pembangunan, 12 (2)Desember 2011: 239-256.

Ernawati, D; Budiastuti, S dan Masykuri, M. 2012. Analisis Komposisi, Jumlah dan Pengembangan Strategi Pengelolaan Sampah di Wilayah Pemerintah Kota Semarang Berbasis Analisis SWOT. Jurnal Ekosains, IV (2) Juli 2012: 13-22.

Kholil, Eriyatno; Sutjahyo dan Soekarto. 2008. Pengembangan Model Kelembagaan Pengelola Sampah Kota dengan Metode ISM (Interpretative Structural Modeling) Studi Kasus di Jakarta Selatan. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia. 02 (01) April 2008: 31-48.

Mubarokah, F. Nailani dan Wilujeng, S.A. 2012. Studi Emisi Karbon dari Sampah Permukiman dengan Pendekatan Metode IPCC di Kecamatan Tegalsari, Surabaya Pusat. Proceeding. Scientific Conference of Environmental Technology IX – 2012, Advances in Agricultural and Municipal Waste Technology to Anticipate Food and Energy Crisis. Surabaya, 10 July 2012.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, Kementerian Pekerjaan Umum. 2010. Penerapan Konsep Eco Settlement di Hulu DAS Cimanuk. Bandung: Pusat Penelitian dan

63

Perkembangan Permukiman, Kementerian Pekerjaan Umum.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, Kementerian Pekerjaan Umum. 2013. Pengkajian Kinerja Pengelolaan Sampah Perkotaan, Lokasi Kota Pekalongan. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, Kementerian Pekerjaan Umum.

Sitepu, Nirwana SK. 2008. Analisis Jalur (Path Analysis). Bandung: Unit Pelayanan Statistik FMIPA UNPAD.

Surakusumah, W. 2008. Permasalahan Sampah Kota Bandung dan Alternatif Solusinya. Undergraduate Thesis. Jurusan Biologi. Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Wahyuni, Endah T.; Sunarto dan Setyono, Prabang. 2014. Optimalisasi Pengelolaan Sampah Melalui Partisipasi Masyarakat dan Kajian Extended Producer Responsibility (EPR) di Kabupaten Magetan. Jurnal ECOSAINS, VI, (1) Maret 2014: 8-23.

Wijayanti, W.P. 2013. Peluang Pengelolaan Sampah Sebagai Strategi Mitigasi dalam Mewujudkan Ketahanan Iklim Kota Semarang. Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota. 9 (2) Juni 2013: 152-162.

Yogiesti, V., Hariyani, S. dan Sutikno, F.R. 2010. Pengelolaan Sampah Terpadu Berbasis Masyarakat Kota Kediri. Jurnal Tata Kota dan Daerah 2 (2) Desember 2010: 95-102.

Zul’aiddin, M dan Warmadewanti. 2010. Kajian Peningkatan Umur Pakai TPA Tanah Grogot dan Pemanfaatan Sampah di kecamatan Tanah Grogot, kabupaten Paser, propinsi Kalimantan Timur. Thesis. Program Magister, Teknik Prasarana Lingkungan Permukiman, Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.

Peran Lembaga dalam Pengelolaan Sampah Terpadu di Kota Pekalongan Lia Yulia Iriani, Fitrijani Anggraini dan Tibin Ruby Prayudi

65

ABSTRACT

The direction of Medan’s modern development has had a bearing on the practice of construction and architecture. Norms in construction practice have tended to prioritize the immediate physical factors in buildings and often disregard local building rules, lack context with the surrounding environment and create an unfavourable use of space. This study aimed to identify new concepts for community housing in the city of Medan by proposing a planning model based approach to sustainable construction concepts. The method used to develop the model involved a review of diverse literature, analysis of case studies and follow up group discussions. Data were analyzed by descriptive analysis and then discussed in group in order to enrich the study. This allowed a deep exploration of issues and perspectives from professional practitioners, goverment agencies, developers, and economist. The sustainable construction planning model generated by this study provides a comprehensive approach to planning, design, and a system for construction management. The results provide a practical method for planning and design that effectively incorporates sustainable criteria such as; land use, building mass, spatial layout, material selection and construction management. However, there are challenges that must be addressed: capacity and cultural challenges facing the city of Medan in implementing such a model. Nonetheless, this research can be used as a basis to advance practice based research in sustainable planning practice for other cities sharing Medan’s development characteristics

Keywords: concepts, sustainable design, residential houses, Medan

ABSTRAK

Arah perkembangan Kota Medan yang modern dan metropolis cenderung memberi dampak pada konsep berpikir atau perilaku masyarakatnya, terutama di bidang konstruksi dan arsitektur. Perilaku dalam praktek konstruksi cenderung mengutamakan faktor fisik bangunan tanpa memperdulikan tata aturan bangunan yang telah ditetapkan, konteks bangunan terhadap alam dan lingkungan sekitar, serta kualitas ruang yang tercipta dari hasil perancangan dan perencanaan praktek konstruksi tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi konsep desain yang tepat dengan pendekatan konstruksi berkelanjutan. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah menggali data dan informasi, serta mengelaborasi data studi pustaka, hasil analisis kasus, dan diskusi kelompok. Data yang terkumpul dianalisa secara deskriptik analitik. Data yang telah dianalisis kemudian didiskusikan dalam forum kelompok untuk menggali lebih dalam masalah terkait penelitian dari perspektif profesional, instansi pemerintah, dan ekonom guna memperoleh masukan dalam memperkaya tulisan ini. Model perencanaan konstruksi berkelanjutan yang dihasilkan dalam penelitian ini berupa rekomendasi perencanaan dan perancangan dengan pendekatan ide perancangan dan sistem pengelolaan konstruksi. Hasil penelitian berupa rekomendasi dalam bentuk konsep desain yang menerapkan aspek-aspek tata guna lahan, massa bangunan, tata letak ruang, pemilihan material, serta pengelolaan konstruksi secara umum terkait nilai-nilai berkelanjutan. Teknologi konstruksi secara struktural yang lebih ekonomis dan dapat diterapkan oleh masyarakat kota Medan secara luas.

Kata Kunci: konsep, desain berkelanjutan, rumah tinggal, kota Medan

KONSEP DESAIN RUMAH TINGGAL BERKELANJUTAN DI KOTA MEDAN

The Concept of Sustainable House Design in The City of Medan

Syahreza Alvan1, Irma Novrianty Nst, 2 dan Putri Lynna A. Luthan3

1 Fakultas Teknik – Universitas Negeri MedanJl. Willem Iskandar Pasar V Medan Estate, Medan

e-mail : [email protected] Fakultas Teknik – Universitas Negeri Medan

Jl. Willem Iskandar Pasar V Medan Estate, Medane-mail : [email protected]

3 Fakultas Teknik – Universitas Negeri MedanJl. Willem Iskandar Pasar V Medan Estate, Medan

e-mail : [email protected]

Tanggal diterima : 14 November 2014 ; Tanggal disetujui: 31 Maret 2015

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 7 No.1 April 2015, hal 1- 79

66

PENDAHULUANSaat ini setengah penduduk dunia tinggal di kota

dan akan terus meningkat sampai mungkin hampir 70-80%. Pertumbuhan kota di negara berkembang sekitar 20-30% dan dengan cepat menuju kondisi 50% yang akan menyamai penduduk kota di negara maju, yaitu 70-90% (Kuswartojo 2006). Dinamika perkotaan dapat diindikasikan dari tingkat ketersediaan fasilitas sosial, fasilitas umum, prasarana, pelayanan publik, taman kota, dan produk-produk beradab serta berbudaya yang dihasilkan oleh kota. Fenomena pertumbuhan penduduk yang tinggi di daerah perkotaan serta merta menjadi penyebab perubahan lingkungan kota. Pengelolaan kota harus dinilai dan dipantau dengan tujuan mengarahkan, mengakomodasi, dan mengatasi akibat yang ditimbulkan, agar dinamika kota dapat berwujud perkembangan kualitas hidup secara berkelanjutan. Dengan kata lain, pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat khususnya di perkotaan harus dapat diikuti oleh kemampuan memfasilitasinya sebelum muncul masalah yang berkaitan dengan lingkungan.

Secara umum, keterhubungan arsitektur dengan konsep berkelanjutan adalah menciptakan ruang hidup manusia yang aman dan menunjang perkembangan secara fisik dan psikologis manusianya (Harjoko 2013). Dalam skala yang lebih kecil, arsitektur juga berperan dalam proses bangunan dan industri yang terkait dengannya. Arsitektur menempati ruang pada lahan alami, yang dikenal sebagai tapak ekologis. Secara alamiah, arsitektur dapat dilihat sebagai penyumbang terbesar dari kerusakan alam pada suatu kota yang berkembang melalui pendirian beragam bangunan untuk pemukiman dan industri. Untuk berfungsi secara tepat, bangunan membutuhkan energi. Pengelolaan energi yang tepat pada bangunan akan menciptakan kualitas hidup manusia dalam lingkungan mikro dan makro yang lebih berkelanjutan. Namun, jika sumber energi alami tidak dikelola dengan tepat maka kelangsungan hidup manusia dan alam akan terganggu, pemenuhan kualitas hidup tidak tercapai dan kualitas hidup akan menurun.

Fenomena pemanasan global yang disebabkan oleh efek gas rumah kaca di bumi diyakini oleh para peneliti bahwa salah satu penyebabnya adalah kegiatan pembangunan (Ervianto 2012). Praktek konstruksi merupakan salah satu industri yang paling besar memanfaatkan sumber daya alam, baik sumber daya yang terbarukan maupun tak terbarukan, yang membawa dampak kerusakan (Dixit 2010).

Dalam hal ini, konsep pembangunan

berkelanjutan merupakan salah satu upaya yang giat dilaksanakan untuk menekan efek gas rumah kaca. Konsep ini mengandung tiga pilar utama yang saling terkait dan saling menunjang yaitu pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan pelestarian lingkungan hidup. Tujuan dari konstruksi berkelanjutan adalah menciptakan bangunan berdasarkan desain yang memperhatikan ekologi, menggunakan sumberdaya alam secara efisien, dan ramah lingkungan selama operasional bangunan.

Itewi dan Alsafasfeh (European Scientific Journal 2012) menjelaskan bahwa proses desain berkelanjutan merupakan proses ‘stovepipe’ yaitu di mana setiap ahli yang terlibat dalam proyek bekerja secara terpisah. Lain halnya pada proses berkelanjutan, para ahli secara bersama-sama membentuk tim bekerjasama memberikan masukan berupa ide-ide yang terbuka dan membangun secara terintegrasi untuk menyelesaikan seluruh permasalahan yang dihadapi. Pada proses desain konvensional ditemui proses pengembangan yang linier, ahli kunci sering kali terlambat mengambil tindakan penting dan berkontribusi secara penuh dalam masalah-masalah desain yang dihadapi. Dengan kata lain, kolaborasi dapat mengurangi biaya operasional dan dalam waktu yang sama juga mengurangi biaya secara keseluruhan ketika mempertimbangkan tujuan yang berdasarkan masalah lingkungan dan sosial. Pengembangan yang berkelanjutan menyediakan sebuah konsep yang menjembatani antara berbagai disiplin ilmu dan mengintegrasi prosesnya.

Dalam jurnal tersebut juga disebutkan bahwa pada awal konsep berkelanjutan berkembang, banyak desain fokus hanya pada satu isu dalam satu waktu, yaitu efisiensi atau pengggunaan material bekas. Tetapi sejak tahun 1980-an dan 1990-an, para perencana dan perancang mulai menyadari bahwa integrasi seluruh faktor dapat menghasilkan desain berkelanjutan yang baik. Saat ini, banyak bangunan berkelanjutan telah dikombinasikan kedalam beberapa fokus pembahasan seperti; pemilihan lahan, efisiensi energi, konservasi air, efisiensi sumber material, dan kualitas lingkungan di dalam ruang.

KAJIAN PUSTAKAKerangka berkelanjutan telah disampaikan

berbagai pihak dan diungkapkan oleh UIA (International Union of Architect) pada kongres arsitek sedunia pada Deklarasi Copenhagen pada 7 Desember 2009. UIA merupakan organisasi asosiasi arsitek non-profit dan dalam deklarasi tersebut UIA menyampaikan bahwa bangunan dan industri

67

konstruksi berdampak kepada perubahan iklim yang terjadi saat ini. Dan berbagai dampak ini dapat dikurangi dengan menentukan sistem lingkungan binaan (built environment). Dalam kesempatan ini UIA berkomitmen untuk mengurangi dampak kerusakan melalui “Sustainable By Design Strategy” program atau “Strategi Desain Berkelanjutan” (Tanuwidjaja 2011).

Konsep strategi desain berkelanjutan UIA ini dijabarkan dalam sembilan poin, yaitu :

a) Sustaniable by Design (SbD) dimulai pada tahapan awal proyek dan melibatkan komitmen seluruh pihak: klien, desainer, insinyur, pemerintah, kontraktor, pemilik, pengguna dan komunitas;

b) SbD harus mengintegrasikan semua aspek dalam konstruksi dan penggunaannya di masa depan berdasarkan “full life cycle analysis and management”;

c) SbD harus mengoptimalkan efisiensi melalui desain. Penggunaan energi terbarukan, teknologi modern dan ramah lingkungan harus diintegrasikan dalam praktek penyusunan konsep proyek tersebut;

d) SbD harus menyadari bahwa proyek-proyek arsitektur dan perencanaan merupakan sistem interaktif yang kompleks dan terkait pada lingkungan sekitarnya yang lebih luas, mencakup warisan sejarah, kebudayaan, nilai-nilai sosial masyarakatnya;

e) SbD harus mencari “healthy materials” (material bangunan yang sehat) untuk menciptakan bangunan yang sehat, tata guna lahan yang terhormat secara ekologis dan visual, dan kesan estetik yang menginspirasi, meyakinkan dan memuliakan;

f) SbD harus bertujuan untuk mengurangi “carbon imprints”, mengurangi penggunaan material berbahaya, dan berdampak pada kegiatan manusia, khususnya dalam lingkup lingkungan binaan, terhadap lingkungan;

g) SbD terus mengusahakan untuk meningkatkan

kualitas hidup, mempromosikan kesetaraan baik lokal maupun global, memajukan kesejahteraan ekonomi, serta menyediakan kesempatan-kesempatan untuk kegiatan bersama masyarakat dan pemberdayaan masyarakat;

h) SbD mengenal juga keterkaitan lokal dan sistem planet bumi yang mempengaruhi segenap umat manusia. SbD juga mengakui bahwa populasi urban tergantung pada sistem desa-kota yang terintegrasi, saling terkait untuk keberlangsungan hidupnya (air bersih, udara, makanan, tempat tinggal, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, kebudayaan, dan lain-lain;

i) SbD juga mendukung pernyataan UNESCO mengenai keberagaman budaya sebagai sumber pertukaran, penemuan, kreativitas yang sangat diperlukan oleh umat manusia.

Perencanaan rumah yang berkelanjutan tidak terlepas dari aspek biaya, jadwal, dan produktivitas bagi kontraktor. Persyaratan konstruksi yang berkelanjutan berpengaruh terhadap proses desain, proses pengadaan material, pemilihan kontraktor, proses konstruksi, penyerahan proyek kepada pemilik, tahap operasional dan perawatan bangunan. Persyaratan ini berdampak pada cara kerja kontraktor, sub-kontraktor, serta seluruh stakeholder selama pelaksanaan di lapangan. Pengelolaan konstruksi yang berkelanjutan ini menimbulkan berbagai permasalahan terkait dengan lingkup kerja, risiko bagi kontraktor, aspek pembiayaan, penciptaan perilaku bagi kontraktor, sistem administrasi, sistem dokumentasi, sistem manajemen konstruksi, dan lainnya. Dengan kata lain, penting pengelolaan dan perencanaan yang tepat selama pelaksanaan konstruksi berlangsung.

1. Proses Perencanaan Konstruksi BerkelanjutanDalam merencanakan konstruksi berkelanjutan,

ada beberapa tahapan penting (Ervianto 2012). Tahapan-tahapan ini berlaku untuk pekerjaan dalam skala besar maupun lingkup rumah tinggal, dan merupakan tahapan yang ideal dalam proses

Menetapkan prioritas proyek berkelanjutan

Pemilihan Tim Proyek Menerapkan proses perencanaan terintegrasi

Mendapatkan masukan dari berbagai pihak

Disain yang akan digunakanPelaksanaan Proses KontruksiSerah terima kepada pemilik

Gambar 1. Tahap eksekusi proyek berkelanjutanSumber : Ervianto, 2012

Konsep Desain Rumah Tinggal Berkelanjutan di Kota MedanSyahreza Alvan, Irma Novrianty Nst, dan Putri Lynna A. Luthan

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 7 No.1 April 2015, hal 1- 79

68

konstruksi. Namun, seiring perkembangan dan kebutuhan di lapangan dapat berubah sewaktu-waktu.

Penjelasan tahapan tersebut adalah :

• Prioritas dalam hal ini adalah menentukan hal-hal yang lebih diutamakan dalam konservasi energi dibandingkan pemanfaatan air atau mengutamakan kualitas udara dalam ruang. Pertimbangan dalam menentukan prioritas adalah lokasi tempat dimana bangunan akan dibangun.

• Dalam hal pemilihan tim proyek dilandasi oleh kualifikasi yang ditetapkan oleh pemilik proyek untuk arsitek, desain interior, arsitek lanskap, konstruktor, mekanikal dan elektrikal, serta ahli-ahli lainnya untuk bersama-sama bekerja dalam proses perencanaan konstruksi berkelanjutan.

• Mengingat konsep berkelanjutan adalah hal yang baru dalam industri jasa konstruksi maka dibutuhkan interaksi dan komunikasi dari berbagai pihak yang terlibat. Dan semua pihak dalam tim proyek diharapkan dapat memahami tujuan utama yaitu, efisiensi, berkelanjutan, dan sertifikasi bangunan sehat. Dalam rancangan konvensional setiap pihak akan memulai pekerjaan sesuai dengan kerangka waktu masing-masing. Sedangkan rancangan yang berkelanjutan, semua pihak berkewajiban memberi masukan sepanjang proses perencanaan.

• Pada tahapan mendapatkan masukan dari berbagai pihak, seluruh pihak yang terlibat melakukan konsolidasi, antara lain tim proyek, pemilik, pengguna, dan pihak lain yang ikut berkontribusi dalam proyek guna menyelaraskan dan mendiskusikan berbagai hal yang menjadi kendala dan hambatan yang mungkin dihadapi untuk merealisasikan bangunan yang berkelanjutan.

• Finalisasi rancangan. Hasil rancangan harus telah memikirkan dan mengakomodasi tahapan desain, pengembangan desain, penyusunan dokumen proyek, dan dokumen untuk memperoleh sertifikasi berkelanjutan.

• Proses konstruksi adalah melaksanakan rancangan yang telah ditetapkan oleh tim yang terintegrasi. Kontraktor bertanggung jawab menciptakan nilai berkelanjutan bagi dirinya sendiri dan akan berkembang pada tahap operasi bangunan. Nilai berkelanjutan bagi kontraktor adalah meminimalkan gangguan kesehatan di lokasi pekerjaan, melindungi hewan dan tumbuhan, meminimalkan proses

pembangunan, melakukan daur ulang, menjamin bangunan yang dihasilkan akan memberikan kesehatan bagi penghuninya, melakukan dokumentasi pada tahap konstruksi untuk keperluan sertifikat berkelanjutan.

• Pemilik proyek memiliki tugas merawat bangunan sesuai dengan dokumen operasi dan perawatan yang telah disusun dan ditetapkan oleh perencana.

2. Peran Aktif KontraktorPeran kontraktor adalah menjalankan proses

konstruksi sesuai persyaratan yang telah diatur dalam dokumen kontrak. Kontraktor sebagai pihak yang memiliki tanggung jawab sosial dalam menjalankan profesinya akan berpartisipasi aktif dalam mewujudkan konstruksi berkelanjutan dengan beberapa alasan:

• Pengguna jasa mensyaratkan penyedia jasa/pemasok berorientasi terhadap lingkungan dan menyediakan semua material dan jasa yang ramah terhadap lingkungan, termasuk di dalamnya kontraktor yang proaktif terhadap lingkungan.

• Kontraktor yang ada di lapangan, termasuk seluruh karyawannya mempunyai komitmen terhadap lingkungan dan mengutamakan cara kerja yang ramah terhadap lingkungan, sehingga mampu memberikan kontribusi dalam mencari solusi, bukan malah menjadi sumber masalah.

• Kontraktor bertanggungjawab atas pemenuhan undang-undang lingkungan dan regulasi yang ditetapkan.

• Meningkatnya overhead cost sebagai usaha untuk pemenuhan undang-undang tentang lingkungan serta regulasi yang ditetapkan dengan cara mengalihkan risiko kepada pihak ketiga/pihak asuransi.

Meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap lingkungan akan menyebabkan pemerintah menetapkan regulasi yang semakin ketat terhadap seluruh industri termasuk jasa konstruksi yang tidak proaktif terhadap lingkungan.

3. Sistem Pengelolaan ProyekDalam pengelolaan proyek berkelanjutan seluruh

proses harus menciptakan nilai berkelanjutan bagi dirinya sendiri dan pada tahapan berikutnya. Dalam mengelola proyek berkelanjutan terdapat berbagai jenis project delivery system, namun untuk menentukan delivery system yang tepat perlu pemikiran dan pertimbangan yang mendalam agar diperoleh manfaat yang maksimal dan sesuai karakter proyek yang diinginkan. Dalam Ervianto (2010:27), delivery system yang berpotensi dalam mewujudkan konstruksi berkelanjutan adalah

69

pengelolaan proyek dengan metode rancang bangun, metode swakelola, dan metode manajemen konstruksi.

a) Metode Rancang BangunAspek kegiatan konstruksi berkelanjutan

dapat diakomodasi oleh metode ini. Keterlibatan perencana/pelaksana dimulai setelah pengguna jasa memformulasikan konsep berkelanjutan ke dalam KAK (Kerangaka Acuan Kerja). Dokumen tersebut bertindak sebagai panduan perencana atau pelaksana untuk menjalankan kewajiban untuk mewujudkan konstruksi yang berkelanjutan. Perencana atau pelaksana dalam metode ini berada dalam satu payung perusahaan, sehingga memiliki kemungkinan yang tinggi untuk berinteraksi dalam ranah perencanaan dan pelaksanaan yang terintegrasi.

b) Metode SwakelolaMetode ini tidak memiliki kontrak antara

pengguna jasa dengan penyedia jasa. Metode ini tepat diterapkan untuk proyek sederhana dengan tingkat kesulitan yang tidak terlalu tinggi. Karakter metode ini yaitu semua pihak berada dalam satu payung organisasi sehingga kemungkinannya cukup tinggi dalam merealisasikan bangunan hijau. Hal yang perlu diperhatikan adalah tersedianya tenaga ahli yang kompeten dalam berbagai disiplin ilmu.

c) Metode Manajemen KonstruksiMetode ini fokus pada adanya pihak yang memiliki

kewajiban utama mengelola seluruh proses dalam sebuah proyek. Manajemen konstruksi adalah representasi dari pengguna jasa yang dilandasi oleh hubungan secara kontrak. Keberhasilan sebuah proyek sangat ditentukan oleh tingkat keahlian konsultan manajemen konstruksi.

Dari bentuk-bentuk sistem pengelolaan proyek di atas, metode swakelola adalah metode yang lazim digunakan untuk membangun rumah-rumah tinggal di Medan. Selain pekerjaan yang dilakukan tergolong sederhana, pertimbangan biaya pengguna jasa (dalam hal ini pemilik) adalah faktor yang mengikutinya. Selanjutnya, bagi rumah-rumah yang dibangun oleh pengembang sebaiknya diberlakukan metode-metode yang mampu mewujudkan konstruksi yang berkelanjutan. Sementara rumah-rumah tinggal sederhana dapat menggunakan metode rancang bangun sebagai sistem pengelolaan pelaksanaan konstruksinya.

4. Konsep Bangunan BerkelanjutanPertimbangan teori bangunan yang

berkelanjutan mengacu pada sistem bangunan yang ekologis dan menggunakan material bangunan

yang dapat di daur ulang. Tujuan utamanya adalah untuk mengatur sumber daya alam dan lingkungan buatan dengan menyediakan konsep desain dan prinsip efisiensi energi dan material yang dapat digunakan kembali. Untuk mewujudkan sistem bangunan berkelanjutan dibutuhkan nilai-nilai yang manusiawi, ramah lingkungan, dan desain yang ramah secara ekologi. Penentuan teknologi harus menjembatani masalah-masalah yang berhubungan dengan manusia sebagai pengguna untuk memudahkan manusia menggunakan pemanfaatan energi, mengatur fasilitas-fasilitas dalam sebuah ruangan yang terbatas, dan lain-lain. Penggabungan teknologi harus didasari dan dicapai dalam konsep ramah lingkungan secara mendasar. Disamping itu, rumah masa depan harus didesain dengan pengembangan yang berkelanjutan sebagai pondasinya.

Dalam menciptakan kondisi bangunan yang lebih baik dari sisi penghuni dan lingkungan, ada beberapa konsep yang menjadi panduan bagi pelaku konstruksi untuk dapat menerapkannya secara nyata di masyarakat. Rangkuman dari konsep-konsep itu dijabarkan sebagai berikut :

a) Efisiensi Penggunaan Energi• Memanfaatkan sinar matahari untuk

pencahayaan alami secara maksimal pada siang hari, untuk menekan penggunaan energi listrik yang besar;

• Memanfaatkan penghawaan alami sebagai ganti pengkondisian udara buatan (air conditioner);

• Menggunakan ventilasi dan bukaan, penghawaan silang, dan cara-cara inovatif lainnya;

• Memanfaatkan air hujan dengan cara-cara inovatif untuk menampung dan mengolah air hujan untuk keperluan domestik;

b) Efisiensi Penggunaan Lahan• Menggunakan lahan sesuai kebutuhan,

tidak semua lahan yang ada dimanfaatkan atau ditutupi oleh bangunan. Pemanfaatan lahan terpakai bangunan harus dibarengi oleh penghijauan. Pengggunaan lahan dilakukan secara efisien, kompak dan terpadu;

• Potensi penghijauan dapat digantikan dan dimaksimalkan dengan berbagai cara yang lebih inovatif;

• Menghargai kehadiran tanaman yang ada di lahan sebagai potensi besar dalam menciptakan suasana lingkungan domestik maupun sekitar;

• Memberikan fleksibilitas ruang yang besar dengan penerapan desain ruang-

Konsep Desain Rumah Tinggal Berkelanjutan di Kota MedanSyahreza Alvan, Irma Novrianty Nst, dan Putri Lynna A. Luthan

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 7 No.1 April 2015, hal 1- 79

70

ruang terbuka ke arah taman atau ruang luar, sehingga terintegrasi antara ruang luar dan dalam bangunan;

• Desain harus mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan peraturan teknis bangunan, sebagai tolak ukur dalam menggunakan berbagai potensi lahan. Antara lain; KDB, GSB, KLB, RTHP, peruntukan lahan yang diatur dalam RTRW atau RTBL, yang semua itu akan memberi dampak kepada bangunan dan kawasan (lingkungan sekitar).

c) Efisiensi Penggunaan Material• Memanfaatkan material sisa untuk

digunakan dalam proses konstruksi, sehingga tidak terjadi pemborosan material;

• Memanfaatkan material bekas.d) Penggunaan Material dan Teknologi Baru

• Memanfaatkan potensi energi terbarukan seperti energi angin, cahaya matahai dan air untuk menghasilkan energi listrik domestik untuk rumah tangga dan bangunan lain secara independen;

• Memanfaatkan material baru melalui penemuan baru yang secara global dapat membuka kesempatan menggunakan material terbarukan yang cepat diproduksi, ekonomis/murah, dan terbuka terhadap inovasi.

e) Manajemen Limbah• Membuat sistem pengolahan limbah domestik,

misalnya limbah air kotor dengan metode black water atau grey water, yang mandiri dan tidak membebani sistem aliran kota;

• Menggunakan cara-cara inovatif seperti membuat sistem dekomposisi limbah organik atau sampah domestik dari bahan-bahan yang dapat di daur ulang atau dapat dengan mudah terdekomposisi secara alami.

Kebaruan dan Kemutakhiran Temuan

Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang telah dilakukan pada Lembaga Penelitian Universitas Negeri Medan. Pemilihan judul dan pendekatan pembahasan bersifat orisinal dan dikembangkan atas problematika pembangunan yang semakin menjamur tanpa arah yang pasti, terutama di lingkungan perumahan-perumahan tunggal di kota Medan, serta didukung oleh studi-studi terhadap penelitian serupa terdahulu.

Tahapan dan pendekatan desain rumah tinggal di Medan dari awal hingga pelaksanaan umumnya dilakukan secara konvensional. Dan masyarakat atau penghuni kebanyakan belum memahami pengembangan desain yang berkelanjutan. Dengan

pembahasan yang mempertimbangkan faktor-faktor berkelanjutan, hasil penelitian yang berupa ide-ide desain diharapkan sebagai langkah awal proses sosialisasi di lingkungan masyarakat kota Medan berkaitan konsep berkelanjutan yang dimulai dari lingkungan akademisi.

Tahap awal penelitian dimulai dengan cara menelusuri persepsi masyarakat di kota Medan terhadap konsep dan proses konstruksi rumah secara konvensional dan berkelanjutan. Kemudian, pemahaman konsep keduanya dijembatani dengan memaparkan ide-ide berkelanjutan yang sesuai kelayakan, keamanan dan kenyamanan tinggal di dalam sebuah rumah. Konsep yang dikembangkan melalui studi pengamatan dan literatur kemudian disosialisasikan dalam bentuk diskusi kelompok. Tujuannya untuk mempertajam konsep dan memperoleh ide yang membangun untuk pengembangan desain rumah yang berkelanjutan tersebut.

METODE PENELITIANMetode yang digunakan dalam penelitian

bersifat kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui studi literatur, contoh kasus dan data yang diperoleh dari hasil observasi di lapangan. Data lapangan berupa foto dokumentasi, kondisi dan situasi rumah tinggal secara domestik dan lingkungan. Sementara, studi mengenai konstruksi berkelanjutan yang berkaitan dengan rumah tinggal diperoleh dari sumber pustaka, jurnal, laporan penelitian, dan sumber lainnya. Pemilihan obyek studi ditentukan oleh lokasi penyebaran rumah tipe tunggal di 21 kecamatan yang ada di Kota Medan. Batasan obyek penelitian ditentukan oleh luasan rumah tinggal yang memiliki luasan 100 m2 – 300 m2. Obyek yang diambil dengan satu sampel untuk satu kecamatan. Sampel yang dipilih adalah obyek yang dapat mewakili secara konsep perancangan dan pengelolaan konstruksi. Dalam tulisan ini, obyek diwakili oleh empat rumah tinggal saja, karena adanya keterbatasan pembahasan.

Data pustaka dijelaskan sebagai teori yang mendukung pembahasan terhadap data lapangan. Data lapangan dan pustaka dielaborasi untuk memperoleh suatu bentuk dan pemahaman terhadap proses konstruksi dan rancangan rumah tinggal yang ada di Medan secara umum dan kaitannya dengan konstruksi berkelanjutan. Setelah analisis diperoleh, maka peneliti berusaha membuat model perencanaan dengan pendekatan arsitektur berkelanjutan. Pembahasan dalam penelitian ini dibatasi terhadap penjelasan yang berkaitan pengelolaan konstruksi dan perencanaan arsitektur.

Data yang terkumpul dianalisa secara deskriptif

71

analisis. Hasil analisis dijadikan panduan untuk mengembangkan perencanaan yang lebih terintegrasi dengan pendekatan nilai-nilai berkelanjutan. Pendekatan yang dilakukan dalam hal perencanaan ditinjau dari faktor-faktor yang menunjang hunian yang sehat, aman dan nyaman. Diantaranya ditinjau dari faktor tata guna lahan, bentuk massa bangunan, tata letak ruang, elemen pelengkap bangunan, pemilihan material, dan sistem pengelolaan konstruksi.

HASIL PEMBAHASANProses perencanaan rumah tinggal di kota

Medan tergolong dalam kategori sederhana. Rumah direncanakan dengan dan tanpa bantuan perencana/pembangun, baik secara sengaja maupun tidak. Tampilan rumah memberi kesan megah dan kokoh

dengan kemasifan konstruksi batu dan beton. Massa bangunan menempati seluruh lahan di mana rumah didirikan (Gambar 2). Seolah-olah penghuni tidak mengindahkan lagi masalah peraturan bangunan (skyline bangunan, KDB, KLB, RTH) yang telah ditetapkan dalam peraturan tata kota. Contohnya rumah dibangun tanpa memperhatikan konteks lingkungan sekitar seperti tinggi bangunan yang melebihi bangunan di sekitarnya, bercampurnya tipe rumah dengan rumah toko, dan perkerasan masif pada pekarangan. Disamping luasan bangunan melebihi beban tapak bangunan itu sendiri. Kondisi seperti ini dapat mempengaruhi kehidupan lingkungan seperti hilangnya sumber resapan air dan tercipta lingkungan yang kurang nyaman menyebabkan temperatur lingkungan jadi meningkat.

Secara menyeluruh, rumah-rumah yang

Rumah Tinggal di Kota Medan Sebagai Kasus PenelitianStudi Kasus (Ruang dalam & Luar) Denah & Peruntukan Lahan

ruang terbuka

ruang terbuka

perkerasan (paving block)

ruang terbuka tanaman buah, rumput bunga pot

ruang semi terbuka, perkerasan + kanopi

ruang semi terbuka, perkerasan + kanopi

ruang terbuka (rumput)

ruang semi terbuka, rabat semen+ lantai

keramikruang terbuka, (rumput)

ruang semi terbuka, perkerasan (paving block)

ruang terbuka, tanaman bambu, rumput perdu

ruang semi terbuka, perkerasan (paving block) ruang terbuka, tanaman

bambu, rumput perdu

Konsep Desain Rumah Tinggal Berkelanjutan di Kota MedanSyahreza Alvan, Irma Novrianty Nst, dan Putri Lynna A. Luthan

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 7 No.1 April 2015, hal 1- 79

72

ruang semi terbuka, taman + kolam

ruang terbuka(paving block)

ruang terbuka tanaman buah, rumput bunga pot

Rumah Tinggal di Kota Medan Sebagai Kasus PenelitianStudi Kasus (Ruang dalam & Luar) Denah & Peruntukan Lahan

Gambar 2. Beberapa rumah tinggal yang diamati dan dianalisisSumber : Analisis , 2014

diamati berupa massa tunggal berlantai satu dengan bentuk massa yang datar memanjang atau melebar. Pemanfaatan lahan rumah tinggal di kota Medan sangat bervariasi. Dapat ditemui beberapa rumah dengan bentuk massa yang masif dengan pemanfaatan lahan hampir 80% dari luas tanah dan ruang terbuka tidak dimanfaatkan sebagai lahan penghijauan yang alami tetapi diberi perkerasan dengan tujuan tertentu. Beberapa rumah juga memanfaatkan ruang terbuka untuk memaksimalkan sinar matahari dan sirkulasi pertukaran udara luar dan dalam.

Masyarakat di kota Medan masih belum memanfaatkan konservasi energi dengan baik. Contoh, dalam menyikapi sumber energi seperti sinar matahari dan air tanah belum dimanfaatkan dengan maksimal. Hal ini ditandai dengan perencanaan elemen bukaan yang kurang sesuai seperti jendela dan pintu yang mampu memasukkan energi matahari sebagai sumber penerangan maksimal di siang hari dan angin. Selain itu, penghuni rumah belum tergerak hatinya untuk merancang sumber air sendiri yang diperoleh dari hujan dan tanah untuk keperluan sehari-hari seperti menyiram tanaman, mencuci mobil, menyiram toilet, dan lainnya. Begitu pula dengan pengelolaan sampah rumah tangga yang masih dikelola secara kolektif oleh Dinas Kebersihan. Jika pengelolaan sumber energi dapat dilakukan secara mandiri oleh masing-masing rumah tangga maka beban energi yang telah disiapkan untuk setiap rumah tangga dapat dimanfaatkan untuk kegiatan lainnya dan penggunaan energi yang bsangat besar di kota Medan dengan kondisi yang semakin kritis dapat perlahan-lahan ditekan.

Pada sebagian rumah ditemui pemanfaatan ruang dalam dan dimensi yang berlebihan dibandingkan dengan jumlah penghuni dan aktivitasnya.

Beberapa rumah bahkan memiliki ruang-ruang yang terasa dipaksakan ada dan hadir di dalam rumah. Bahkan ada pula yang memiliki ruang bersama yang terlalu besar dibandingkan dengan kapasitas aktivitas dan jumlah penghuninya. Pola tatanan ruang ada yang mengalir dengan sistem pengelolaan yang terbuka maupun tertutup. Pada sebagian rumah, ruang dalam diakomodasi dengan pencahayaan dan pengudaraan alamiah, dan sebagian lagi tidak memadai untuk pencahayaan dan pengudaraan alamiah. Hal ini disebabkan oleh pengorganisasian ruang yang kurang kompak dan faktor kebutuhan ruang yang terlalu dipaksakan, sementara kondisi lahan tidak memungkinkan untuk menampung organisasi ruang yang cukup tinggi. Dalam kondisi seperti ini peran ahli yaitu perencana/pembangun sangat membantu untuk memecahkan permasalahan penghuni. Namun, budaya masyarakat di Medan belum berubah dan berkembang untuk memanfaatkan peran ahli dalam merencanakan dan membangun rumah tinggal. Ahli dianggap terlalu ekslusif dan mendatangkannya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Disamping, penghuni rumah dapat memperoleh informasi tentang membangun secara mudah melalui media massa.

Pasokan material yang digunakan untuk melaksanakan proses konstruksi diperoleh dari sekitar kota Medan dan beberapa material didatangkan dari luar kota. Pemilihan material belum memperhatikan kualitas produk eco green sebagai suatu usaha menuju konstruksi yang berkelanjutan.

Secara umum sistem pengelolaan konstruksi yang berlaku di kota Medan belum sepenuhnya mengarah pada konsep konstruksi yang berkelanjutan. Penerapan konsep berkelanjutan

73

Konsep Desain Rumah Tinggal Berkelanjutan di Kota MedanSyahreza Alvan, Irma Novrianty Nst, dan Putri Lynna A. Luthan

dalam tahap konstruksi memerlukan pemahaman yang mendalam tentang berkelanjutan berbagai unsur ekologis. Setiap proses pembangunan proyek konstruksi selalu melibatkan pekerja, material, alat, metode, dan berbagai unsur alam, yaitu unsur air, tanah, udara, dan energi. Keempat unsur ini cukup dominan dalam aktivitas pembangunan sehingga perlu dikaji lebih mendalam pemanfaatannya. Sebagian besar pelaku konstruksi maupun pemilik bangunan di Medan belum memiliki pemahaman yang mendalam mengenai pemanfaatan unsur alam, perencanaan dan penjadwalan pekerja, material, alat, dan metode yang diterapkan pada pekerjaan konstruksi. Dengan demikian sering dijumpai berbagai permasalahan pada proses pelaksanaan yang menimbulkan berbagai kendala diantaranya pada tahap perencanaan desain yang kurang matang sehingga terjadi pembongkaran yang mengakibatkan meningkatnya biaya konstruksi, penjadwalan yang tidak sesuai dan mundur dari waktu yang telah ditetapkan. Kondisi ini dapat dikategorikan sebagai proses yang tidak berkelanjutan karena tidak meminimalkan kesalahan-kesalahan pada tahap pelaksanaan.

Kendala lain yang sering dijumpai yaitu perencanaan material dan biaya yang telah diatur pada tahap awal berubah seiring keinginan pemilik yang berubah jauh dari yang telah disepakati pada

tahap awal perencanaan. Terkadang permasalahan ini dapat mengganggu proses konstruksi karena ada perubahan desain dan tujuan yang ingin dicapai. Dengan kondisi seperti ini semua pihak termasuk pemilik, konsultan, perancang dan pembangun harus memiliki tujuan yang sama terhadap pekerjaan konstruksi yang akan dijalankan. Dan selayaknya pihak-pihak pelaku konstruski maupun pemilik memiliki komitmen yang teguh untuk menegakkan konsep berkelanjutan ini. Sebagian besar rumah tinggal yang ditemui belum menerapkan perencanaan konstruksi yang berkelanjutan dalam proses perencanaannya.

Tabel 1 berikut menjelaskan analisa terhadap pola tata letak ruang kasus penelitian berdasarkan jenis-jenis ruang yaitu ruang istirahat, ruang bersama, dan ruang pelayanan. Tujuan analisis ini untuk melihat dan membandingkan pola susunan ruang pada rumah tinggal di lapangan dengan standarisasi yang berlaku.

Tabel 2 menjelaskan temuan-temuan di lapangan dengan pendekatan tata guna lahan, tata letak ruang, material, elemen pelengkap bangunan, pengelolaan konstruksi dan nilai-nilai berkelanjutan. Hasil temuan digunakan untuk menjabarkan konsep perencanaan rumah tinggal di Medan melalui model perancangan dan pengelolaan konstruksi.

Jenis RuangContoh Kasus

Kasus 1 Kasus 2 Kasus 3 Kasus 4

Ruang Istirahat

• Sebelah barat• Dekat KM/WC• ada jarak dengan

bangunan sekitar sebagai antisipasi kebisingan

• Besaran ruang cukup memadai standarisasi kebutuhan ruang

• Sebelah barat pencahayaan dari timur.

• memiliki halaman mengantisipasi kebisingan.

• Sirkulasi terputus antra ruang tidur dan anak (akses kearah luar)

• keterbatasan lahan dan biaya membangun

• Besaran ruang cukup memadai standarisasi kebutuhan ruang

• Sebelah selatan, sebagian di utara.

• pencahayaan dari selatan dan utara.

• terdapat ruang terbuka hijau sangat minim.

• ruang terbuka ditutupi perkerasan yang masif

• Jarak antara ruang tidur dan KM/WC kurang terjangkau.

• ada ruang terbuka sebagai antisipasi kebisingan namun jaraknya berdekatan dengn rumah tetangga.

• Besaran ruang cukup memadai standarisasi kebutuhan ruang

• sebelah timur, sebagian di sisi utara

• ruang tidur memiliki akses ke ruang terbuka hijau

• Ada ruang tidur yang tidak memiliki akses langsung ke ruang terbuka karena posisi yang tidak memadai.

• masing-masing ruang tidur memiliki akses langsung ke KM/WC.

• Besaran ruang cukup memadai standarisasi kebutuhan ruang.

Ruang Bersama

• Terdiri dari ruang bersama, ruang tamu serambi

• Ruang bersama bergabung dengan ruang servis yang menghadap ke utara dan selatan.

• Terdiri dari ruang bersama, ruang tamu serambi

• Terdiri dari ruang bersama, ruang tamu serambi

Tabel 1. Analisa Tata Letak Ruang Kasus Penelitian

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 7 No.1 April 2015, hal 1- 79

74

Ruang Bersama

• Ruang bersama menghadap ke ruang terbuka hijau pada arah utara dan timur.

• Besaran ruang cukup memadai standarisasi kebutuhan ruang

• Memiliki pandangan bebas ke ruang terbuka hijau.

• Serambi depan diposisikan sebagai ruang tamu dan akses bebas ke ruang terbuka.

• Besaran ruang cukup memadai standarisasi kebutuhan ruang

• Ruang bersama menghadap garasi, ruang terbuka dan rumah tetangga.

• Terdapat ruang ruang yang berlebih dan kurang berfungsi.

• Besaran ruang kurang memadai standarisasi kebutuhan ruang

• Terdapat ruang bersama merangkap ruang kerja disisi lain dilengkapi inner court

• Ruang bersama memperoleh akses ke ruang terbuka

• Besaran ruang melebihi standarisasi kebutuhan ruang

• Tidakada privasi antara ruang tamu dan ruang bersama

Ruang pelayanan

• Terdiri dari ruang pembantu, dapur, garasi, ruang jemur

• Tidak ada ruang serbaguna dan ruang cuci

• Halaman depan dan belakang cukup luas

• Besaran ruang kurang memadai standarisasi kebutuhan ruang

• Terdiri dari carport, dapur, ruang cuci, ruang jemur

• Akses ke halaman tengah dan depan

• Perkerasan dengan bentuk blok-blok berlubang

• Besaran ruang cukup memadai standarisasi kebutuhan ruang

• Besaran ruang kurang memadai standarisasi kebutuhan ruang

• Terdiri dari garasi, ruang cuci, ruang jemur, dapur

• Sangat memadai untuk menyediakan ruang serbaguna

• Halaman belakang bukan ruang terbuka yang bebas tanpa penghalang

• Seluruh permukaan halaman belakang dan depan ditutupi oleh kanopi

• Besaran ruang melebihi standarisasi kebutuhan ruang

• Terdiri dari dapur, garasi, ruang cuci dan jemur

• Sangat memadai untuk menyediakan ruang serbaguna

• Halaman hanya tersedia di bagian depan dan samping rumah

• Sebagian pekarangan ditutupi oleh perkerasan dan sebagian lain oleh tanaman dan rerumputan

• Besaran ruang memadai standarisasi kebutuhan ruang

sumber : Hasil Elaborasi Penulis, 2015

Tabel 2. Temuan Penelitian

Pendekatan Temuan

Tata guna lahan - Hampir seluruh lahan ditutupi oleh bangunan, meskipun pada beberapa kasus ditemui pemanfaatan lahan yang lebih mempertimbangkan aspek-aspek ekologis

- Ada bangunan yang mempertimbangkan aturan-aturan teknis bangunan, dan ada pula yang tidak- Keterbatasan bentuk dan posisi lahan terhadap pola orientasi menghasilkan bangunan yang kurang

memanfaatkan sumber-sumber daya alami secara masksimal dan potensi lingkungan sekitar- Pemanfaatan lahan memiliki persentase lebih besar terhadap bangunan dibandingkan ruang terbuka

yaitu mencapai angka 80 %

Tata letak ruang - Penataan ruang dalam belum mengakomodasi aspek kenyamanan dan kesehatan penghuni, hal ini dilihat dari pemilihan posisi ruang-ruang (ruang istirahat, ruang bersama, ruang pelayanan) yang kurang tepat.

- Bergabungnya dua jenis ruang yang sifatnya berbeda dalam satu zona, sehingga kenyamanan masing-masing ruang kurang terjaga.

- Penempatan ruang tidak didukung oleh akses udara dan cahaya di siang hari- Akses ruang dalam ke ruang terbuka kurang diakomodasi- Besaran ruang secara umum sudah memadai, namun masih ditemui rumah-rumah yang memiliki

ruangan yang kurang berfungsi dengan dimensi yang tidak memadai

Elemen pelengkap - Secara ergonomi, bentuk pintu dan jendela telah mengikuti standar yang berlaku dan dilengkapi dengan ventilasi. Pada sebagian rumah, jendela dan ventilasi kurang berfungsi karena sistem bukaan yang kurang tepat sehingga sirkulasi udara ke dalam ruang kurang maksimal

- Pemilihan material penutup atap tidak diikuti oleh adanya pelapis panas dari matahari- Jenis penutup atap bervariasi, mulai dari seng gelombang hingga genteng beton. Saat ini seng

gelombang lebih banyak digunakan karena lebih praktis dan ekonomis- Pemilihan bentuk kanopi kurang tepat dan kurang berfungsi- Tidak semua rumah memiliki tanaman pelindung. Lahan yang hampir ditutupi oleh bangunan

biassanya memilih jenis tanaman yang lebih rendah (misalnya perdu)- Pemilihan warna bangunan lebih mempertimbangkan faktor tren yang berlaku daripada faktor estetis

dan visual

75

Material - Pemilihan material untuk struktur bangunan diperoleh dari daerah pinggiran Kota Medan- Pemilihan material untuk pendukung bangunan seperti cat, penutup atap belum mempertimbangkan

produk-produk yang memiliki nilai hijau atau eco green - Saat ini banyak ditemui rumah-rumah yang memilih material kusen, daun pintu dan jendela dengan

material bekas bangunan lama - Masih sedikit rumah tinggal yang memilih bentuk perkerasan yang ramah lingkungan, yaitu perkerasan

bentuk berlubang dan berpadu dengan tanaman rumput. Pemilihan perkerasan lebih banyak menggunakan massa blok

- Material dengan fungsi estetis biasanya diperoleh dengan memesan dari daerah lain di luar Kota Medan

Pengelolaan konstruksi - Proses konstruksi konvensional- Menggunakan metode pengelolaan swakelola, manajemen konstruksi dan atau kombinasi keduanya- Tidak mempertimbangkan faktor kerusakan lingkungan dan polusi pada saat pelaksanaan konstruksi

Nilai-nilai berkelanjutan :

- Konsep bangunan berkelanjutan

- Kurang mempertimbangkan efisiensi penggunaan energi, terutama pemanfaatan air hujan untuk keperluan domestik

- Kurang mempertimbangkan efisiensi penggunaan lahan- Kurang mempertimbangkan efisiensi penggunaan material, terutama material sisa untuk proses

konstruksi- Belum memanfaatkan penggunaan material dan teknologi baru dalam menghasilkan energi listrik

domestik secara independen- Belum mempertimbangkan pengolahan limbah domestik (misalnya limbah air kotor dan sampah)

secara mandiri

- Pengelolaan konstruksi berkelanjutan

- Proses konstruksi belum terintegrasi - Belum terakomodasi dokumen operasi dan perawatan bangunan yang disusun dan ditetapkan oleh

perencana

Sumber : Hasil Elaborasi Penulis, 2015

Konsep Karakter Fisik BangunanSistem Keterangan

Massa bangunan • ketinggian bangunan disesuaikan untuk memperoleh sirkulasi udara yang cukup di dalam ruang dan diusahakan tidak mengganggu skyline di sekitar lahan yaitu dengan jarak 3 meter lantai per lantai

• KDB = 56.5 %• pemanfaatan luas lahan 56.5 % dan ruang terbuka 46.5 % • KLB = 0,6 (jumlah lantai = 2)

bangunan menempati lahan dengan bentuk massa “L” • orientasi bangunan utara-selatan • pada sisi timur terdapat bagian-bagian ruang yang

memperoleh sinar matahari langsung • filtrasi oleh tanaman dan kanopi beton atau bambu dengan

tanaman merambat • perkerasan dengan massa blok berpori • ruang semi terbuka ditutupi oleh kanopi dengan rangka

bambu dengan tanaman merambat• seluruh ruang diupayakan memperoleh udara dan cahaya

secara langsung

Taman ( tanaman buah, perdu, bambu dan rumput)

Paving block berpori

Path way (berpori)

Paving block berpori

Taman ( perdu, rumput)Denah Lantai 1

UTARA

Tabel 3. Konsep Karakteristik Rumah Tinggal Berkelanjutan

Konsep Desain Rumah Tinggal Berkelanjutan di Kota MedanSyahreza Alvan, Irma Novrianty Nst, dan Putri Lynna A. Luthan

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 7 No.1 April 2015, hal 1- 79

76

tata letak ruang •

ruang semi terbuka(kanopi rangka bambu + tanaman merambat)

Dak beton

Denah Lantai 2

UTARA

Konsep Karakter Fisik BangunanSistem Keterangan

Fisik dan gaya bangunan • fisik merupakan bangunan bertingkat 2• bentuk ini dipilih mengingat keterbatasan lahan di Kota

Medan untuk bangunan rumah tinggal tipe tunggal• tampilan secara fisik dirancang secara sederhana untuk

menghasilkan bentuk visual yang lebih ramah lingkungan• gaya bangunan adalah bangunan tropis dengan penerapan

atap curam sebagai tanggap iklim dan cuaca, serta ventilasi yang banyak untuk sirkulasi cahaya dan udara sepanjang hari

• material yang bersifat dekorasi atau ornamentasi dipilih bahan-bahan yang dekat dengan alam untuk mencapai konsep sederhana, desain yang ramah dan hijau

sumber : Hasil Elaborasi Penulis, 2015

77

Proses Sistem PengelolaanPrioritas

• Prioritas pengelolaan fokus pada perencanaan, perancangan dan proses pelaksanaan yang berkelanjutan

Tim Proyek

• Menyediakan tim proyek yang terdiri dari konsultan, kontraktor, sub-kontraktor yang memiliki visi dan misi berkelanjutan. Keterlibatan pihak-pihak tersebut untuk memperoleh perencanaan dan hasil perancangan yang telah diprioritaskan

Metode Konstruksi

• Metode untuk menjalankan pekerjaan konstruksi berkelanjutan dapat dipilih dengan beberapa metode antara lain metode manajemen konstruksi, metode rancang bangun dan metode swakelola yang dilengkapi dengan tenaga ahli yang kompeten dalam hal menerapkan konstruksi berkelanjutan

Proses konstruksi

• Menyediakan spesifikasi material dan gambar kerja yang lengkap

• Merencanakan tata kelola pekerjaan meliputi (peralatan, material dan tenaga kerja) yang matang dan adaptif terhadap prioritas

• Mengikat seluruh proses dengan dokumen kontrak dan syarat-syarat yang melampirkan pasal-pasal terkait konsep berkelanjutan

• Proses penjadwalan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian yang terintegrasi kepada nilai-nilai berkelanjutan dan mengedepankan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan

Tabel 4. Rekomendasi pengelolaan konstruksi berkelanjutan

sumber : Analisis, 2014

KESIMPULANBeberapa hal yang dapat disimpulkan dari

penjelasan diatas bahwa pendekatan desain yang dilakukan pemilik rumah pada studi kasus belum sepenuhnya mempertimbangkan nilai-nilai bangunan berkelanjutan. Begitu pula dengan proses konstruksi yang masih mengandalkan proses secara konvensional. Dari temuan penelitian dikembangkan konsep perencanaan dan perancangan melalui pendekatan berkelanjutan yang mengedepankan faktor efisiensi energi dan sumber daya alam, efisiensi energi dan sumber

daya alam diterapkan melalui pemanfaatan sirkulasi udara dan pencahayaan yang maksimal ke dalam ruang melalui bukaan, baik melalui jendela, pintu, dan dinding-dinding berlubang yang disusun sedemikian rupa. Kemudian, penggunaan material bekas dan sisa konstruksi dapat digunakan kembali untuk keperluan bangunan misalnya digunakan sebagai pembatas ruang di bagian luar bangunan, perkerasan, dan sebagai elemen dekorasi. Sementara, penggunaan lahan yang lebih efisien bertujuan sebagai respon terhadap lingkungan dan kenyamanan penghuni di dalam hunian. Pemanfaatan lahan semaksimal mungkin

Konsep Desain Rumah Tinggal Berkelanjutan di Kota MedanSyahreza Alvan, Irma Novrianty Nst, dan Putri Lynna A. Luthan

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 7 No.1 April 2015, hal 1- 79

78

Dixit, M. K., J.L.F., S.L., C.H.C. 2010. Identification of Parameters for Embodied Energy Measurement: A Literature Review. Elsevier Journal of Energy & Buildings 42; 1238-1247.

Harjoko, T. Y. 2013. Sustainable Architecture. Sustainable Environment and Architecture Proceedings 14 ; 284-289.

Itewi, M., Alsafseh, Q. 2012. Green Home With Energy Saving Design – Eo Homes in Jordan. Europen Scientific Journal 8 (21); 107-117.

Kuswartojo, Tjuk. 2006. Asas Kota Berkelanjutan dan Penerapannya di Indonesia. Jurnal Teknologi Lingkungan, P3TL-BPPT 7 (1); 1-6.

Mediastika, C. E. 2005. Potensi Jendela Dalam Meminimalkan Intrusi Kebisingan: Sebuah Studi Awal. Jurnal Dimensi 33 (2); 165-171.

Tanuwidjaja, Gunawan. 2011. Desain Arsitektur Berkelanjutan di Indonesia: Hijau Rumahku Hijau Negeriku. Prosiding Seminar Nasional Lingkungan Hidup, Living Green: Mensinergikan Kehidupan, Mewujudkan Keberlanjutan, Univ. Kristen Petra Surabaya, A-1.

Alvan, S., I.N.N, P.L.A.L. 2014. Pengembangan Model Perencanaan Konstruksi Berkelanjutan Pada Rumah Tinggal Berdasarkan Persepsi Masyarakat Urban di Kota Medan. Laporan Kemajuan, Lembaga Penelitian Universitas Negeri Medan, Medan.

diperuntukkan bagi ruang terbuka hijau sebagai ketersediaan lahan bagi pengelolaan limbah dan sampah secara mandiri. Konsep yang mengusung nilai-nilai berkelanjutan perlu didukung dengan pengembangan dalam inovasi material yang terbarukan dan teknologi, serta disesuaikan dengan kebutuhan dan sumber daya yang tersedia di Kota Medan.

Dari sisi pengelolaan konstruksi perlu direncanakan pengelolaan yang terintegrasi. Dimana ahli-ahli yang berperan dalam pelaksanaan konstruksi memiliki pemahaman yang sama untuk mengembangkan konstruksi yang berkelanjutan dan secara bersama-sama memberikan umpan balik untuk mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi di tahap aawal, pelaksanaan dan pekerjaan selesai. Dalam proses konstruksi perlu mempertimbangkan faktor pengurangan emisi CO2 yang berlebih. Diantaranya mempertimbangkan akibat kerusakan yang terjadi pada lingkungan dan sumber daya alam melalui pemanfaatan sumber daya lokal dan penggunaan air tanah yang lebih bijaksana. Perencana dan pelaksana juga perlu membuat dokumen pemeliharaan terhadap bangunan sebagai respon terhadap keberlanjutan desain dan operasional bangunan.

Konsep rumah tinggal yang ditawarkan ini merupakan panduan dasar bagi perencana dan pemilik rumah dalam membuat pendekatan dan mengembangkan konsep berkelanjutan. Namun, sosialisasi di masyarakat perlu dilakukan secara menyeluruh melalui pendekatan yang pastisipatif.

UCAPAN TERIMA KASIHPenulis sangat berterima kasih kepada Lembaga

Penelitian UNIMED yang telah mendanai Hibah Bersaing pada Tahun 2014 ini. Terima kasih yang tidak terhingga juga diucapkan kepada institusi Pendidikan Tinggi Republik Indonesia yang telah membuka peluang bagi para dosen dan staf pengajar di lingkungan Perguruan Tinggi Negeri untuk mengikuti penelitian-penelitian hibah yang diselenggarakan oleh Dikti.

DAFTAR PUSTAKAErvianto, W. I. 2012. Selamatkan Bumi Melalui

Konstruksi Hijau. Penerbit Andi, Yogyakarta, .Ervianto, W. I. 2012. Kajian Reuse Material Bangunan

Dalam Konsep Suistainable Construction di Indonesia. Jurnal Teknik Sipil 12(1); 18-27.

Ervianto, W. I. 2010. Studi Penerapan Green Building Pada Industri Konstruksi Di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pemerintah Provinsi DIY II (2); 25-32.

1

MODEL PENENTUAN KOMPONEN KERUGIAN NON FISIK DALAM PENGADAAN TANAH PEMBANGUNAN JALAN

Model of Determining Non Pecuniary Losses for Land Acquisition in The Road Development

Henniko Okada1 dan Arvian Zanuardi21 Peneliti Balai Litbang Sosial Ekonomi Lingkungan Bidang Jalan dan Jembatan

Jl. Gayung Kebonsari no.50 Surabaya, Jawa TimurEmail : [email protected]

2 Peneliti Balai Litbang Sosial Ekonomi Lingkungan Bidang Jalan dan Jembatan Jl. Gayung Kebonsari no.50 Surabaya, Jawa Timur

Email : [email protected]

Tanggal diterima: 21 Desember 2014 ; Tanggal disetujui: 19 Maret 2015

ABSTRACT

Some road developments in Indonesia are hampered by the difficulty of land acquisition due to rejection from affected communities. The condition is usually caused by the compensation which excludes non pecuniary losses. This study attempts to define the components of non pecuniary losses on the land acquisition of road development as mentioned in new regulation (UU Nomor 2 Tahun 2012). Selective coding method is used to identify the losses, and modelling to develop the basis appropriate compensation based on the case studies of other land acquisition cases. The study locus are Jalan Lintas Selatan Jawa ruas Pacitan-Hadiwarno, Surabaya-Mojokerto-Kertosono highway, and Medan-Kualanamu-Bukit Tinggi highway. The result identifies 48 (forty eight) components of non pecuniary losses that is divided into 4 (four) categories : transaction and administrative costs, moving expenses, loss of location changes, and loss of assets changes. The use of non pecuniary losses component is varied to land use, both agricultural and non-agricultural. This model is expected to improve the quality of planning and its implications to accelerate the process of land acquisition in road development.

Keywords: non pecuniary losses, land acquisition, road development, model

ABSTRAK

Pembangunan infrastruktur di Indonesia terhambat oleh sulitnya pengadaan tanah. Penolakan masyarakat biasanya disebabkan nilai ganti kerugian yang ditetapkan belum memenuhi kerugian yang bersifat non fisik. Kajian ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi komponen kerugian non fisik pada proses pengadaan tanah pembangunan jalan sebagaimana tercantum dalam peraturan pengadaan tanah yang baru (UU Nomor 2 Tahun 2012). Metode yang digunakan adalah selective coding untuk menemukenali item-item kerugian, dan modelling dengan menyusun acuan penentuan yang paling sesuai berdasarkan hasil studi-studi kasus pengadaan tanah. Lokasi studi kasus meliputi Jalan Lintas Selatan Jawa ruas Pacitan-Hadiwarno, tol Surabaya-Mojokerto-Kertosono, serta tol Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi. Hasil kajian mendapatkan 48 (empat puluh delapan) komponen kerugian non fisik, yang dibagi menjadi 4 (empat) kategori yaitu biaya transaksi dan administrasi, biaya pindah, kerugian perubahan lokasi, dan kerugian perubahan aset. Penggunaan komponen kerugian non fisik tersebut bervariasi disesuaikan dengan peruntukan lahan, baik pertanian maupun non pertanian. Dihasilkannya model ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas perencanaan dan implikasinya pada percepatan proses pengadaan tanah pembangunan jalan.

Kata kunci : kerugian non fisik, pengadaan tanah, pembangunan jalan, model

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 7 No.1 April 2015, hal 1- 79

2

Pengadaan tanah pembangunan jalan cenderung melibatkan banyak masyarakat terdampak, terlebih bila melewati wilayah perkotaan yang padat penduduk. Ini berakibat pada kompleksnya proses inventarisasi komponen dan penilaian ganti kerugian. Tanah yang dibebaskan pun jarang sekali berupa tanah kosong dan non produktif yang ganti kerugiannya cukup dibayar seharga luasan tanah saja. Oleh karena itu dalam peneilitan ini dilakukan identifikasi yang lebih mendalam terkait komponen kerugian fisik (properti fisik berupa tanah, bangunan, tanaman, ataupun sarana prasarana) dan kerugian lainnya yang bersifat non fisik (kerugian sosial yang umumnya tidak berwujud atau tidak ada nilai pasarnya).

Pertanyaan dalam penelitian ini meliputi :

1) Apa saja komponen yang layak diperhitungkan dalam kompensasi kerugian non fisik ?

2) Bagaimana penentuan kompensasi kerugian non fisik tersebut dikaitkan dengan karakteristik lahan dan masyarakat terdampak ?

Hasilnya dimaksudkan untuk menyusun acuan penentuan komponen kerugian non fisik pada proses pengadaan tanah pembangunan jalan. Kajian ini dipandang perlu karena peraturan pengadaan tanah yang baru (Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012) telah menyebutkan kerugian non fisik sebagai salah satu komponen ganti kerugian namun belum terapat rincian yang jelas tentang bentuk-bentuk kerugian non fisik tersebut.

Diharapkan hasil kajian ini dapat meningkatkan kualitas perencanaan dan implikasinya guna percepatan proses pengadaan tanah pembangunan jalan, khususnya dalam upaya perlindungan sosial dan pemukiman kembali (social safeguard and resettlement) masyarakat terdampak. Hal tersebut sesuai dengan prinsip pengadaan tanah untuk memberikan jaminan ganti kerugian yang layak dan adil bagi pihak yang berhak.

KAJIAN PUSTAKA

Kerugian Non Fisik dalam Pengadaan Tanah

Tanah memegang peranan yang penting sebagai lahan untuk merealisasikan pembangunan dalam hal ini adalah pembangunan fisik. Seperti diketahui, tanah tidak dapat dipisahkan dengan manusia karena tanah merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan manusia. Tanah merupakan tempat pemukiman, tempat melakukan kegiatan manusia, bahkan sesudah matipun masih memerlukan tanah (Werdoyo 2014).

Tanah bagi masyarakat Indonesia memiliki makna dan posisi yang strategis, lebih dari

PENDAHULUAN

Infrastruktur menjadi kunci pokok kemajuan suatu kawasan dan menjadi satu unsur penting dalam akselerasi pertumbuhan ekonominya. Tersedianya infrastruktur yang memadai dapat mempercepat distribusi barang dan jasa antar wilayah, sehingga memberikan dukungan dalam memacu laju pertumbuhan ekonomi regional suatu kawasan.

Pembangunan infrastruktur jalan di Indonesia khususnya penyediaan jalan bebas hambatan (tol), masih bergerak sangat lambat. Di Indonesia, masalah utama pengadaan jalan tol adalah terkait pembebasan tanah. Proses pembebasan tanah membutuhkan waktu yang panjang mengakibatkan keterlambatan jadwal dan mempengaruhi rencana investasi bagi para investor. Implementasi UU No. 2 Tahun 2012 masih belum teruji efektivitasnya (Wirahadikusumah 2013).

Tanah merupakan modal dasar pembangunan. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan di segala bidang kehidupan baik untuk kepentingan umum maupun kepentingan swasta selalu membutuhkan tanah sebagai wadah untuk diletakkan dalam pembangunan itu (Purnayudha 2010). Pada mulanya, kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan dengan menggunakan tanah negara, namun karena terbatasnya tanah negara, maka kemudian mulai ada kebijakan untuk menggunakan tanah masyarakat yang telah dilekati dengan sesuatu hak atas tanah (Tawas 2013).

Berdasarkan kajian Balai Litbang Sosekling Jalan (2011), permasalahan paling umum dalam pengadaan tanah ditengarai oleh penolakan masyarakat terhadap besaran nilai ganti kerugian. Nilai yang ditetapkan oleh pemerintah atau tim appraisal sering kali dianggap tidak dapat membayar kerugian-kerugian yang diderita oleh masyarakat. Banyak kerugian yang berkaitan dengan biaya sosial (social cost) dirasakan belum terakomodir saat proses penilaian ganti kerugian dalam pengadaan tanah.

Secara rasional seseorang akan melepaskan haknya jika kompensasi ganti kerugian yang diterima dianggap layak, tetapi seringkali dalam upaya pembebasan tanah, masyarakat merasa tidak puas dengan ganti rugi yang ditetapkan, bahkan istilah “ganti kerugian“ dipersepsikan bahwa sudah pasti orang yang melepaskan hak atas tanahnya mengalami atau menderita kerugian. Walaupun tidak dapat dipungkiri ada kalanya ganti kerugian atau kompensasi yang diminta masyarakat dianggap terlalu tinggi (Sugiarto 2010).

3

Model Penentuan Komponen Kerugian Non Fisik dalam Pengadaan Tanah Pembangunan JalanHenniko Okada dan Arvian Zanuardi

sekedar aspek fisiknya. Tanah yang merupakan sesuatu yang sangat berharga dan mahal bagi setiap manusia, dikarenakan tanah bagi kehidupan manusia mengandung makna multidimensional. Pertama, dari sisi ekonomi tanah merupakan sarana produksi yang dapat mendatangkan kesejahteraan apabila diolah dengan baik. Kedua, secara politis tanah dapat menentukan posisi seseorang dalam pengambilan keputusan ditengah-tengah masyarakat. Ketiga, tanah adalah sebagai modal budaya dapat menentukan tinggi rendahnya status sosial pemiliknya. Keempat, tanah bermakna sakral bagi kelompok-kelompok tertentu masyarakat yang beranggapan bahwa akhir hayat setiap orang akan kembali ke tanah (Hamongan 2013). Oleh karena itu proses penilaian ganti kerugian pengadaan tanah juga seharusnya mempertimbangkan berbagai kerugian dari aspek yang multidimensional tersebut.

Namun demikian, dari sekian banyak bidang yang menyangkut tanah, bidang ekonomi nampak mendominasi aktivitas manusia atas tanah. Tingginya kenaikan harga tanah sangat dipengaruhi oleh fungsi lahan atau jenis penggunaan lahan bersangkutan. Kegiatan perdagangan/jasa sebagai kegiatan yang memiliki nilai ekonomi tinggi cenderung memacu kenaikan harga tanah yang tinggi pula (Wibowo dan Barus 2010).

Aspek ekonomi juga menjadi penting karena beberapa kasus menunjukkan resistensi masyarakat menjadi lebih kuat ketika tanah yang akan dibebaskan menjadi sumber penghidupan mereka. Dalam pemberian ganti kerugian pengadaan tanah, pemerintah perlu lebih memberikan pertimbangan lain terkait hak atas tanah yang dipunyai oleh warga masyarakat sebagai tempat untuk menjalankan usaha pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari (Oprasi 2009)

Negara dapat bertindak sebagai pemilik tanah yang dipergunakan bagi kepentingan umum, dengan dua alasan. Pertama, adanya hubungan hukum yang khusus antara negara dan tanah-tanah yang masuk kategori res pulicae in publico usu yang merupakan penyimpangan dari res publicae in patrimonio (benda-benda yang menjadi kekayaan masyarakat umum). Kedua, kekuasaan hukum yang dijalankan negara terhadap tanah yang dipergunakan oleh umum, mempunyai isi yang sama dengan kekuasaan hukum yang dilakukan negara terhadap tanah-tanah lain yang digunakan secara tidak terbatas (Rahmawati 2013). Apabila pengalihan hak milik tanah oleh negara dilakukan dengan sistem pengadaan tanah, maka masyarakat perlu diberikan kompensasi/ganti rugi. Ganti rugi adalah upaya untuk mewujudkan penghormatan kepada hak-hak dan kepentingan perseorangan

yang telah dikorbankan untuk kepentingan umum (Patty 2012).

Saniah (2010) menyebutkan bahwa dengan asas keadilan, kepada masyarakat yang terkena pembebasan tanah atau pengadaan tanah diberikan ganti rugi yang dapat memulihkan kondisi sosial ekonominya, minimal setara dengan keadaan semula, dengan memperhitungkan kerugian terhadap faktor fisik maupun non fisik (Saniah 2010). Kerugian fisik mungkin bisa dihitung dan dinilai dengan materi, penebusannya pun dalam bentuk pemberian ganti kerugian mungkin bisa diatasi. Pemulihan penderitaan non fisik tidak cukup dengan hanya memberikannya kepuasan material, tetapi harus pula dibarengi dengan kepuasan immaterial (Tampi 2014). Dupond (2008) menyatakan bahwa kerugian non fisik (non pecuniary losses) jauh lebih sulit untuk ditentukan, dibuktikan dan diukur. Tidak ada harga pasar yang obyektif, oleh karena itu, kerugian non fisik hanya bisa diperkirakan secara subyektif.

Tercantum dalam The Asian Development Bank’s Summary of the Handbook on Resettlement: A Guide to Good Practice (1998, dalam FAO 2008) menyatakan bahwa terdapat beberapa kerugian atas Costumary Right yang mungkin membutuhkan kompensasi seperti dijelaskan pada Tabel 1.

Kerugian non fisik sebenarnya bukan konsep baru di Indonesia. Terdapat beberapa kajian lain tentang pengadaan tanah di Indonesia yang secara tersirat telah menyebutkan komponen kerugian non fisik yang perlu dikompensasikan antara lain :

• Tim penilai/penaksir harus memiliki kemampuan menghitung kerugian non fisik yang diderita pemegang hak atas tanah seperti kehilangan keakraban dan nilai sejarah atau nostalgia tempat lama, kehilangan pekerjaan, kegamangan di masa depan (Baso 2012). Hal ini mensiratkan kerugian atas nilai sosial budaya terkait tanah atau bangunan yang umumnya dimiliki tanah-tanah adat atau masyarakat yang sarat budaya.

• Perlu dipikirkan untuk memberikan ganti rugi misalnya yang berupa bantuan ongkos kepindahan ke lokasi baru, biaya pemasangan instalasi listrik, air bersih di tempat yang baru kepada bekas pemegang hak atas tanah, karena hal ini dapat membantu mengurangi beban pengeluaran masyarakat yang tanahnya sudah diambil untuk pembangunan demi kepentingan umum tersebut (Saniah 2010). Ini berarti kompensasi terhadap biaya administrasi, relokasi dan transaksional

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 7 No.1 April 2015, hal 1- 79

4

Losses Of Customary Rights That May Require Compensation(The Asian Development Bank’s Summary of the Handbook on Resettlement: A Guide to Good Practice)

- agricultural land;- house plot (owned or occupied);- business premises (owned or occupied);- access to forest land;- traditional use rights;- community or pasture land;- access to fishponds and fishing places;- house or living quarters;- other physical structures;- structures used in commercial/industrial activity;- displacement from rented or occupied commercial premises;- income from standing crops;

- income from rent or sharecropping;- income from wage earnings;- income from affected business;- income from tree or perennial crops;- income from forest products;- income from fishponds and fishing places;- income from grazing land;- subsistence from any of these sources;- schools, community centres, markets, health centres;- shrines, religious sites, places of worship and sacred grounds;- cemeteries and other burial sites;- access to food, medicines and natural resources

lain atas pengalihan hak tanah perlu juga dipertimbangkan.

• Faktor-faktor yang dapat dipertimbangkan dalam menentukan ganti kerugian di samping Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) yang terakhir adalah : lokasi tanah; status penguasaan tanah; status hak atas tanah; kelengkapan sarana dan prasarana; keadaan penggunaan tanahnya (terpeliharan/tidak); kerugian sebagai akibat dipecahnya hak atas tanah seseorang; biaya pindah tempat/pekerjaan; kerugian terhadap turunnya penghasilan si pemegang hak (Sumardjono 1994 dalam Paranata dan Irawan 2010).

• Adanya ganti rugi atas tanah berarti terdapat penghormatan atas hak-haknya, baik itu hak atas tanah, ataupun hak ekonomi sosial sehingga tingkat kehidupan sosial ekonomi bekas pemegang hak atas tanah tidak mengalami kemerosotan akibat terkena pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum (Sangalang 2012).

• Ganti rugi harus meliputi akibat langsung dari pencabutan hak, kerugian dari sisa yang tidak dicabut haknya, kerugian karena tidak dapat menggunakan benda tersebut atau kehilangan penghasilan, serta kerugian karena harus mencari tempat usaha lain (Parlindungan 2008 dalam Sutanto 2013).

• Pengaturan pemukiman kembali tidak hanya sekedar memindahkan warga masyarakat yang terkena proyek pelepasan hak dari tempat yang lama ke tempat yang baru, tetapi harus diikuti dengan kegiatan untuk memulihkan kehidupan sosial ekonomi mereka. Kehidupan sosial ekonomi masyarakat dapat kembali pulih di tempat yang baru atau setidak-tidaknya masyarakat tidak akan menjadi lebih miskin

dari sebelumnya. Tempat permukiman yang baru harus ditata sesuai dengan Rencana Tata Ruang Daerah atau Kota dengan diikuti oleh proyek konsolidasi tanah perkotaan atau perdesaan (Kalo 2004).

• Kerugian yang dapat dimintakan penggantian itu, tidak hanya berupa biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (konsten), atau kerugian yang sungguh-sungguh menimpa harta benda si berpiutang (schaden), tetapi juga berupa kehilangan keuntungan (interessen), yaitu keuntungan yang akan didapat seandainya si berhutang tidak lalai (Subekti 1985 dalam Prabandari 2007). Kompensasi yang dijelaskan di sini adalah dalam bentuk bunga untuk masa tunggu.

Pengembangan Model dengan Selective Coding

Untuk dapat mengembangkan hasil kajian menjadi sebuah alat bantu dalam penentuan komponen kerugian non fisik, maka dirumuskan sebuah bentuk model. Menurut Achmad (2012, dalam Cayaraya 2013) model adalah representasi dari suatu objek, benda, atau ide-ide dalam bentuk yang disederhanakan dari kondisi atau fenomena alam. Model berisi informasi-informasi tentang suatu fenomena yang dibuat dengan tujuan untuk mempelajari fenomena sistem yang sebenarnya. Model dapat merupakan tiruan dari suatu benda, sistem atau kejadian yang sesungguhnya yang hanya berisi informasi-informasi yang dianggap penting untuk ditelaah.

Model berisi komponen kerugian non fisik yang dihasilkan dengan pendekatan selective coding. Selective coding adalah proses mengintegrasikan dan menyaring kategori inti, secara sistematis menghubungkannya ke kategori lain, memvalidasi persamaan dan hubungan, serta menyelesaikan kategori dengan memberikan perbaikan atau

Tabel 1. Daftar Kerugian yang Membutuhkan Kompensasi Menurut ADB

Sumber : FAO, 2008

5

pengembangan. Konsep dan hubungan yang dikembangkan melalui proses coding membantu mengarahkan proses pengumpulan data dan analisis (Strauss dan Corbin 2009 dalam Kolb 2012).

METODE PENELITIANPenelitian perumusan indikator dan model

penentuan ganti kerugian non fisik dalam pengadaan tanah ini dapat digambarkan dalam gambar 1.

Ruang lingkup kajian ini adalah merumuskan sebuah model untuk penentuan komponen kerugian non fisik dalam pengadaan tanah bagi pembangunan jalan. Kajian dilakukan pada Februari-November tahun 2012, dengan lokasi studi kasus antara lain Jalan Lintas Selatan Jawa ruas Pacitan-Hadiwarno, Jalan Tol Surabaya-Mojokerto-Kertosono, dan Jalan Tol Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi. Kriteria pemilihan lokasi adalah wilayah pembangunan jalan yang masih dalam proses pengadaan tanah. Ini dimaksudkan agar mendapatkan data-data yang akurat sesuai dengan konteks pengumpulan data berupa kerugian non fisik pengadaan tanah pembangunan jalan.

Pendekatan dan Metode

Pengkajian dimulai dari pembahasan mengenai munculnya komponen kerugian non fisik dalam peraturan perundangan sebagai salah satu item yang diperhitungkan dalam penilaian ganti kerugian dalam pengadaan tanah. Kemudian dilakukan pendekatan modeling yang meliputi identifikasi dan konstruksi model. Model digunakan sebagai acuan penentuan komponen-komponen kerugian non fisik yang muncul pada proses pengadaan tanah pembangunan jalan, berdasarkan kriteria peruntukan lahan. Validasi data dalam kajian ini dilakukan dengan pendekatan expert opinion melalui workshop.

Pengumpulan & Analisis Data

Pengumpulan data dilakukan baik dengan cara primer maupun sekunder. Beberapa metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi literatur dan teoritis, studi kasus, observasi langsung, dan wawancara. Wawancara dilakukan terhadap 2 (dua) kriteria informan, yakni informan dari masyarakat penerima ganti rugi serta informan ahli (expert) yang berkaitan dengan pengadaan tanah. Informan ahli terdiri dari perwakilan Subdit

Model Penentuan Komponen Kerugian Non Fisik dalam Pengadaan Tanah Pembangunan JalanHenniko Okada dan Arvian Zanuardi

Masalah :Pembangunan infrastruktur terkendala pembebasan tanah.

Penyebab :Nilai ganti rugi dianggap belum memenuhi kerugian non fisik.

Existing

Isu AktualTujuan

Pertanyaan:Apa saja indikator kerugian non

fisik?

RISET

UU No.2 tahun 2012Memuat kerugian lain yang

dapat dinilai (termasuk kerugian non fisik)

Ideal :Jaminan Ganti Kerugian yang layak dan adil bagi pihak yang

berhak, sesuai UU.

Manfaat :Percepatan proses pengadaan

tanah bagi pembangunan infrastruktur

input :Data kerugian dalam

pengadaan tanah (hasil survai, wawancara, studi kasus,

literatur)

kategorisasi(metode Selective Coding)

validasi(expert opinion)

modeling(matrik penentuan)

outcome:Peningkatan kualitas

perencanaan dan implikasi Ganti Kerugian

output :Daftar panjang kerugian non

fisik & Matrik penentuan berdasar peruntukan lahan

Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pikir

Sumber : Penulis

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 7 No.1 April 2015, hal 1- 79

6

Pengadaan Tanah (Bina Marga), Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Keuangan, Masyarakat Profesi Penilai, dan akademisi.

Analisis konten digunakan untuk mengulas keberadaan kompensasi kerugian non fisik dalam perkembangan peraturan perundangan pengadaan tanah di Indonesia. Analisis data untuk merumuskan komponen kerugian non fisik menggunakan teknik kategorisasi dengan koding aksial (selective coding), yakni pelacakan hubungan diantara elemen-elemen data yang terkodekan (melalui pengujian adanya persamaan dan perbedaan dalam tata hubungan, diantara kategori atau sub kategori, dan diantara kategori dan propertisnya). Hasil kemudian dilakukan triangulasi dengan kegiatan diskusi teknik (workshop) yang menghadirkan peserta dari instansi-instansi terkait pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Diskusi ini dilakukan untuk menggali masukan dan koreksi (validasi) terhadap konsep penentuan kerugian non fisik yang dihasilkan.

Dari hasil pengkategorisasian dan validasi, dibuat sebuah model matriks sebagai acuan penentuan kerugian non fisik berdasarkan kriteria peruntukan lahan. Kriteria peruntukan lahan tersebut dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yakni sektor pertanian dan sektor non pertanian.

HASIL DAN PEMBAHASANKerugian Non Fisik dalam Peraturan Perundangan Pengadaan Tanah

Tanah menjadi modal dasar dari proses penyelenggaraan pembangunan infrastruktur. Guna memastikan pembangunan infrastruktur bagi kepentingan umum dapat dilaksanakan dengan baik, pemerintah terus mengupayakan berbagai peraturan hukum yang dapat mendukung terselenggaranya proses pengadaan tanah.

Hukum Agraria Indonesia menyebutkan terdapat dua bentuk pelaksanaan pengadaan tanah, yakni dengan cara pelepasan/penyerahan hak atas tanah, dan dengan cara pencabutan hak atas tanah. Perbedaan kedua bentuk pengadaan tanah ini adalah pada proses pelaksanaanya. Pencabutan hak atas tanah cenderung dilakukan dengan paksaan, sedangkan pembebasan tanah dilakukan atas dasar asas musyawarah.

Sejarah peraturan pengadaan tanah sudah dimulai sejak tahun 1961 dengan berlakunya Undang-undang No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak atas Tanah dan Benda-benda yang Ada di Atasnya. Ketentuan mengenai pemberian ganti rugi juga telah diatur dalam ketentuan hukum tanah di negara kita. UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) mengatur bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang.

Perpres No 36 Tahun 2005 Jo Perpres No 65 Tahun 2006 dan Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007 menyebutkan makna ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah. Sesuai dengan Konsepsi Hukum Tanah Nasional yaitu adanya keseimbangan antara kepentingan umum dan kepentingan perseorangan, maka prinsip pengadaan tanah adalah mewujudkan pengadaan tanah yang memenuhi rasa keadilan, baik bagi masyarakat yang terkena pengadaan tanah dengan diberi ganti kerugian yang dapat menjamin kelangsungan hidupnya, dan bagi Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah

UU 20/1961 Kepres 55/1993

UU 02/2012

Perpres 71/2012

Perpres 36/2005

Perpres 65/2006

Alternatif antara pembebasan dengan pencabutan hak atas tanah

Pendekatan pembebasan menjadi prioritas baku, dan terdapat mekanisme banding atas penetapan ganti kerugian.

Mekanisme penitipan Ganti Kerugian di Pengadilan Negeri, dan penambahan komponen kerugian non fisik dalam pengadaan tanah

Gambar 2. Kilas Penyempurnaan Peraturan Pengadaan TanahSumber : Analisis

7

Model Penentuan Komponen Kerugian Non Fisik dalam Pengadaan Tanah Pembangunan JalanHenniko Okada dan Arvian Zanuardi

untuk dapat memperoleh tanah serta perlindungan maupun kepastian hukum.

Pada kenyataannya konflik dalam pengadaan tanah masih belum dapat diatasi dengan berlakunya Perpres No 65 Tahun 2006. Meskipun penilaian ganti kerugian sudah lebih mendalam diinventarisir, dimana tanah dan benda-benda kepemilikan lain yang bernilai juga akan diganti-rugi, namun masih banyak masyarakat yang enggan melepaskan tanahnya. Hal ini dikaitkan dengan kerugian-kerugian sosial yang mereka derita, yang belum diakomodir dalam penilaian ganti kerugian.

Oleh karena itu, dalam upaya mempercepat dan memperjelas kepastian waktu proses pengadaan tanah yang belum dapat dicapai dengan penerapan Perpres No. 36 Th. 2005 jo Perpres No. 65 Th. 2006, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 yang berisi tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Bisa dikatakan peraturan terbaru ini memiliki kelebihan untuk mendukung kepentingan kedua belah pihak dalam pengadaan tanah, yakni masyarakat dan pemerintah.

Bagi pemerintah, terdapat kepastian perolehan tanah dimana terdapat mekanisme penitipan ganti kerugian di pengadilan negeri dan instansi yang memerlukan tanah dapat melakukan eksekusi tanah. Hal ini tertuang pada Pasal 43 yang berbunyi: “Pada saat pelaksanaan pemberian ganti kerugian dan pelepasan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf a telah dilaksanakan atau pemberian ganti kerugian sudah dititipkan di pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), kepemilikan atau hak atas tanah dari pihak yang berhak menjadi hapus dan alat bukti haknya dinyatakan tidak berlaku dan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara”.

Namun demikian, bukan berarti negara melakukan pemaksaan dan ketidakadilan pada proses pengadaan tanah ini. Karena di sisi lain, masyarakat terdampak jauh lebih diperhatikan dengan adanya kompensasi kerugian yang bersifat non-fisik. Masyarakat akan menerima penggantian bukan hanya sekedar aset-aset yang berwujud saja, melainkan juga kerugian-kerugian lain yang menjadi dampak dari hilangnya aset mereka itu. Salah satu asas pengadaan tanah berdasarkan undang-undang baru adalah “keadilan” yang berarti memberikan jaminan penggantian yang layak kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah sehingga mendapatkan kesempatan untuk dapat melangsungkan kehidupan yang lebih baik. Lebih baik perlu dimaknai bahwa kehidupan setelah proses pengadaan tanah harus lebih dari sekedar setara dari keadaan semula.

Pada peraturan baru tersebut (pasal 33), penilaian ganti kerugian dilakukan bidang per bidang tanah meliputi :

a. tanah; b. ruang atas tanah dan bawah tanah; c. bangunan; d. tanaman; e. benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau f. kerugian lain yang dapat dinilai.

Kerugian lain yang dapat dinilai (huruf f) inilah yang mewadahi kerugian-kerugian sosial yang bersifat non-fisik. Dalam penjelasan peraturan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “kerugian lain yang dapat dinilai” adalah kerugian non fisik yang dapat disetarakan dengan nilai uang, misalnya kerugian karena kehilangan usaha atau pekerjaan, biaya pemindahan tempat, biaya alih profesi, dan nilai atas properti sisa. Oleh karena itulah, dapat dikatakan bahwa peraturan perundangan baru mengenai pengadaan tanah ini akan memberikan kepastian perolehan tanah untuk pembangunan, dan sekaligus memberikan kompensasi yang adil bagi masyarakat. Perbedaan pengaturan pengadaan tanah dijelaskan sekilas pada gambar 2.

Komponen Kerugian Non Fisik dalam Pengadaan Tanah

Tingkat resistensi masyarakat akan pengadaan tanah adalah sebanding dengan besarnya peranan tanah dalam kehidupan mereka. Banyak kasus sengketa pengadaan tanah menunjukkan bahwa masyarakat sampai berani rela mati membela hak kepemilikan tanahnya. Keberanian ini akan muncul ketika tanah menjadi satu-satunya sumber penghidupan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Adanya resistensi masyarakat seharusnya menjadi sebuah kewajaran mengingat tanah memiliki peranan penting dalam kehidupan, sebagai tempat bermukim, beraktivitas dan bermasyarakat. Namun demikian, dari berbagai sudut pandang peran tanah yang multidimensional, sisi ekonomi cenderung menguat dan mendominasi. Harga tanah yang semakin tinggi di wilayah perkotaan, menjadikan masyarakat berpikir lebih rasional dan mempertimbangkan aspek untung-rugi.

Terlebih apabila pengadaan tanah mengakibatkan banyak penderitaan yang bersifat non fisik yang harus dialami oleh masyarakat. Hal ini akan memicu peningkatan harga atas tanah jauh dari sekedar harga fisiknya. Pemulihan kerugian yang bersifat non fisik memang perlu dibarengi dengan kepuasan yang bersifat immaterial dan harganya tentu tidak

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 7 No.1 April 2015, hal 1- 79

8

mudah dipenuhi dengan ukuran material (uang).

Tersebut dalam peraturan pengadaan tanah yang baru bahwa kerugian non fisik menjadi salah satu komponen yang dipertimbangkan dalam penilaian ganti kerugian. Ini menjadi bukti nyata perhatian pemerintah dalam memberikan keadilan kepada masyarakat yang terkena pengadaan tanah. Memang sebagian besar dari kerugian non fisik tidak mudah untuk disetarakan dengan nilai uang karena tidak pernah ada harga pasarnya (non marketable). Selain itu, saat ini penentuan nilainya masih cenderung dilakukan secara subyektif.

Berdasarkan beberapa studi kasus pengadaan tanah, terlihat bahwa variasi kerugian non fisik dalam proses pengadaan tanah cenderung serupa pada bidang tanah yang status kepemilikan, fungsi lahan dan kondisi lingkungannya sama. Dengan memperhatikan karakteristik tanah dan pemiliknya, sebenarnya sudah dapat diperkirakan komponen kerugian non fisik yang perlu dikompensasikan. Dengan cara ini, maka penentuan komponen kerugian non fisik dapat direncanakan dengan baik dan lebih obyektif.

Hasil studi literatur, studi kasus, wawancara dan observasi lapangan telah menemukenali banyak sekali komponen kerugian non fisik. Komponen tersebut meliputi biaya-biaya aktual (kerugian yang pasti melekat akibat pengalihan hak tanah) dan biaya-biaya tambahan sebagai dampak dari perpindahan lokasi. Namun berdasarkan atas proses triangulasi bersama expert, belum semua item kerugian non fisik yang ditemukan dapat diperhitungkan dalam pengadaan tanah karena beberapa komponen kerugian cenderung bersifat sentimentil. Beberapa kerugian yang bersifat religious dan magis dalam ADB Handbook of Resettlement, seperti traditional use right, shrines, religious sites, places of worship and sacred grounds; cemeteries and other burial sites tampaknya belum dapat dimasukkan dalam kriteria komponen kerugian non fisik.

Namun para ahli tidak memungkiri bahwa sebenarnya dapat diberikan penghargaan atas nilai-nilai yang bersifat religious-magis tersebut. Akan tetapi perlu digunakan pendekatan yang khusus dalam proses penilaiannya, karena tentu saja nilai-nilai tersbut tidak akan dapat ditemukan di pasar (non marketable) dan akan bervariasi bagi setiap individu (bersifat subyektif).

Berdasarkan atas proses validasi data dengan expert opinion (dalam workshop), akhirnya disepakati terdapat daftar panjang kerugian non fisik yang dapat dinilai dengan pendekatan praktis. Komponen kerugian non fisik yang berhasil

terinventarisasi dan terkategorisasikan sesuai dengan kesamaan karakteristiknya sebanyak 48 (empat puluh delapan) dapat dilihat pada Tabel 2.

Model Penentuan Komponen Kerugian Non Fisik

Undang-undang pengadaan tanah yang baru (UU 02/2012) telah mengisyaratkan bahwa kegiatan penilaian ganti kerugian harus dilakukan per bidang tanah. Penilaian per bidang ini dilakukan karena terdapat banyak variasi yang akan muncul dalam komponen kerugian non-fisik apabila dikaitkan dengan karakteristik lahan, properti ataupun pemiliknya.

Berdasarkan atas beberapa data hasil pelaksanaan penilaian ganti kerugian pengadaan tanah yang telah dilakukan di lokasi studi kasus dan sekaligus dengan divalidasi pendapat ahli, maka dirumuskanlah model acuan penentuan komponen kerugian non fisik yang dikaitkan dengan kriteria peruntukan lahan. (Tabel 3)

Model acuan penentuan kerugian non fisik tersebut dibuat dalam bentuk matriks untuk memudahkan pengguna dalam membaca dan memahami. Matriks terdiri dari aksis horisontal berupa komponen kerugian dan aksis vertikal adalah peruntukan lahan yang akan dibebaskan. Indikator penentuan komponen ganti kerugian

= Item tidak diperhitungkan dalam kerugian

= Item bisa ada/tidak diperhitungkan dalam kerugian tergantung kondisi pihak yang berhak

= Item harus diperhitungkan dalam kerugian

ditampilkan dalam 3 (tiga) kriteria sebagai berikut:

Penentuan kriteria penentuan komponen ganti kerugian disusun berdasarkan atas studi kasus di lapangan yang sesuai dengan konteks karakteristik peruntukan lahan yang sedang dicari. Sebagai contoh sebuah kasus dengan target pembebasan adalah sebuah perkebunan, maka item kerugian non fisik yang masuk kategori harus diperhitungkan diantaranya kerugian kehilangan potensi produksi, kompensasi masa tunggu, biaya mencari lahan baru, dan biaya pemulihan pendapatan. Kerugian yang bersifat tentatif diantaranya kerugian sisa tanah dan nilai atas properti sisa. Sedangkan kerugian non fisik lainnya bisa tidak diperhitungkan bagi peruntukan lahan sebagai perkebunan (lihat lampiran).

Untuk kriteria lainnya dapat dilihat pada matriks penentuan komponen kerugian non fisik berdasarkan peruntukan lahan yang terlampir pada tulisan ini.

9

Model Penentuan Komponen Kerugian Non Fisik dalam Pengadaan Tanah Pembangunan JalanHenniko Okada dan Arvian Zanuardi

No. Komponen kerugian non fisikAxial Coding

Sub Main

1 Biaya Ijin Mendirikan Bangungan (IMB) dan administrasi lainnya

Biaya Transaksi dan Administrasi

di lokasi baruBiaya

Transaksi dan Administrasi

2 Biaya pengurusan dokumen administrasi kependudukan (KTP/Kartu Keluarga) pada lokasi baru

3 Biaya pengurusan perubahan dokumen-dokumen (STNK, BPKB)

4 Biaya pendaftaran ulang jaringan listrik

5 Biaya pendaftaran ulang jaringan telepon

6 Biaya pendaftaran ulang jaringan air bersih

7 Kompensasi masa tunggu (bunga)

Kerugian Masa Tunggu

BiayaPindah

8 Kerugian akibat inflasi nilai mata uang pada masa tunggu

9 Biaya kehilangan potensi hasil produksi (pertanian/perkebunan/peternakan/tambak)

10 Biaya kontrak/sewa sementara

11 Biaya tanggungan hidup selama menganggur

Biaya Pemulihan Pendapatan

12 Biaya pencarian pekerjaan baru

13 Biaya pelatihan/re-trainning untuk mata pencaharian baru

14 Biaya permodalan usaha yang baru

15 Biaya periklanan apabila memulai usaha yang baru

16 Biaya marketing lokasi baru untuk untuk usaha yang sama dengan sebelumnya

17 Biaya pemindahan barang-barang (mobilisasi dan transport)Biaya transport

18 Biaya mencari lahan baru

19 Biaya mencari rumah/kontrakan baru

20 Kerugian akibat semakin jauh jarak tempuh dengan lokasi beraktivitas (transport)

Penambahan angaran

transportasi

Kerugian Perubahan

Lokasi

21 Kerugian akibat kehilangan lokasi potensial untuk usaha/pekerjaan

22 Kerugian akibat kehilangan lokasi strategis terkait pengembangan kawasan

23 Kerugian akibat perubahan lokasi tempat tinggal (dulu di perumahan elit sekarang belum tentu bisa)

24 Kerugian akibat perubahan akses pencapaian ke pasar tradisional

25 Kerugian akibat perubahan akses pencapaian ke mall/pusat perdagangan

26 Kerugian akibat perubahan akses pencapaian ke terminal

27 Kerugian akibat perubahan akses pencapaian ke sekolah favorit

28 Kerugian akibat perubahan akses pencapaian ke kantor polisi

29 Kerugian akibat perubahan akses pencapaian ke puskesmas/rumah sakit

30 Kerugian akibat perubahan akses pencapaian ke kantor pos

31 Kerugian akibat perubahan akses pencapaian ke kantor pemadam kebakaran

32 Kerugian akibat perubahan akses pencapaian ke pusat kebugaran

33 Kerugian akibat perubahan akses pencapaian ke kantor kepala desa/kelurahan

34 Kerugian akibat perubahan akses pencapaian ke kantor kecamatan

35 Kerugian akibat perubahan akses pencapaian ke taman/lahan hijau

36 Kerugian akibat perubahan akses pencapaian ke fasilitas peribadatan

37 Kerugian dari ketidaknyamanan (pikiran & energi) yang terbebani akibat masalah perubahan penghidupan

Tabel 2. Daftar Panjang Komponen Kerugian Non Fisik dalam Pengadaan Tanah Pembangunan Jalan

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 7 No.1 April 2015, hal 1- 79

10

38 Biaya pendaftaran sekolah baru

39 Biaya pembelian seragam sekolah baru

40 Biaya pembelian buku bahan ajar baru

41 Kerugian pendapatan sewa bangunan sebagai kantor/bank

Kehilangan usaha atau pekerjaan

42 Biaya pembatalan asuransi properti lama dan pengurusan asuransi properti baru apabila ada

43 Biaya pengalihan kontrak yang masih berlaku atas tanah yang dibebaskan

44 Kerugian pendapatan sewa tanah dari penggunaan lahan sebagai lokasi tower telekomunikasi

45 Kerugian pendapatan sewa tanah dari penggunaan lahan sebagai lokasi pemasangan papan reklame

46 Kerugian pendapatan sewa bangunan sebagai tempat kost

47 Kerugian sisa tanah

48 Nilai atas properti sisaNilai Sisa

Kerugian Perubahan Aset

No. Komponen kerugian non fisikAxial Coding

Sub Main

Sumber : Analisis

Rumah tinggal

Rumah sewa/kost/kontrakan

Usaha warung/toko

Home industri

Pabrik

Perkantoran

Sawah

Ladang

Perkebunan

Peternakan

Tambak/perikanan

Tanah kosong disewakan

Tanah kosong terlantar

Tabel 3. Kategori Peruntukan Lahan dalam Matriks Penentuan Komponen Kerugian Non Fisik

Sumber: www.google.com

SEKTOR NON PERTANIAN

SEKTOR PERTANIAN

KESIMPULANPembaruan peraturan perundangan pengadaan

tanah (Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2012) telah memberikan penghargaan terhadap kerugian non fisik, yang disebutkan sebagai “kerugian lain yang dapat dinilai”. Berdasarkan analisis dan validasi expert opinion, terdapat 48 (empat puluh delapan) komponen kerugian non fisik yang dapat muncul dan diperhitungkan dalam proses pengadaan tanah. Kerugian tersebut terkategorisasikan menjadi biaya transaksi dan administrasi, biaya pindah, kerugian perubahan lokasi, dan kerugian perubahan aset. Kerugian tersebut dapat ditentukan kompensasi nilai uangnya dengan pendekatan praktis. Meskipun demikian tidak dipungkiri terdapat kerugian lain yang bersifat non-marketable (di luar hasil kajian) yang dapat juga dipertimbangkan.

Penentuan kriteria kerugian non fisik tersebut dilakukan dengan mengacu pada matriks yang telah disusun berdasarkan karakteristik peruntukan lahan, yang dibedakan menjadi sektor pertanian dan sektor non pertanian. Digunakannya model ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas perencanaan dan implikasinya guna percepatan proses pengadaan tanah pembangunan jalan, khususnya dalam upaya perlindungan sosial dan pemukiman kembali (social safeguard and resettlement).

Merujuk pada hasil kajian, disarankan adanya pengembangan model penentuan kerugian non fisik pengadaan tanah pembangunan jalan ini menjadi lebih operasional dan terukur. Misalnya saja dengan indikator komponen kerugian yang sudah muncul

11

Model Penentuan Komponen Kerugian Non Fisik dalam Pengadaan Tanah Pembangunan JalanHenniko Okada dan Arvian Zanuardi

dalam satuan biaya atau persentase yang dapat diperhitungkan dalam nilai mata uang rupiah.

DAFTAR PUSTAKABalai Litbang Sosekling Jatan. 2011. Laporan Akhir

Penelitian Perhitungan Pemberian Ganti Rugi Kegiatan Pembebasan Lahan Berdasarkan Valuasi Ekonomi. (tidak dipublikasikan).

Baso, Alimuddin. 2012. Perspektif Ganti Rugi dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Infrastruktur. Buletin Pengawasan 9 (1) Maret 2012. Jakarta : Itjen ESDM.

Cayaraya, Sarliaji. 2013. Model Layanan Perpustakaan Sekolah Luar Biasa. Tesis untuk gelar Magister Pendidikan Kebutuhan Khusus. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia.

Dupond, Alain. 2008. Non-Pecuniary Loss in Commercial Contracts. Minor Dissertation on Department of Private Law. Tamboerskloof : University of Cape Town.

FAO (Food and Agricultural Organization of The United Nations) Land Tenure Studies. 2009. Compulsary Acquisition of Land and Compensation. Rome : Electronic Publishing Policy and Support Branch Communication Division.

Hamongan, Alusianto. 2013. Evaluasi Penanganan Konflik atas Tanah Ulayat di Provinsi Sumatera Utara. UDA e-Jurnal XXIII Agustus 2013. Sumatera Utara : Universitas Darma Agung.

Kalo, Syarifuddin. 2004. Reformasi Peraturan dan Kebijakan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum. Sumatera Utara : Publikasi Digital Universitas Sumatera Utara (USU Digital Library).

Kolb, Sharon M. 2012. Grounded Theory and the Constant Comparative Method : Valid Research Strategies for Educators. Journal of Emerging Trends in Educational Research and Policy Studies (JETERAPS) 3 (1) : 83-86. Whitewater : University of Wisconsin USA.

Oprasi, Agus. 2009. Pelaksanaan Pemberian Ganti Kerugian terhadap Hak Atas Tanah yang Terkena Proyek Pembangunan Water Front City di Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat. Tesis untuk gelar Magister Kenotariatan. Semarang : Universitas Diponegoro.

Paranata, A. dan Irawan B. 2010. Analisis Penetapan Nilai Ganti Kerugian Properti Korban Luapan Lumpur Lapindo. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan 3 (2) September 2010. Semarang : Universitas Negeri Semarang.

Patty, Dian C. 2012. Pengaturan Mengenai Ganti Rugi dalam Pengadaan Tanah. Skripsi untuk

gelar Sarjana Hukum. Salatiga : Universitas Kristen Satya Wacana.

Prabandari, Retno. 2007. Jenis-Jenis Perjanjian sebagai Dasar Hukum dalam Pengalihan Hak Guna Bangunan Objek Hak Tanggungan. Tesis untuk gelar Magister Kenotariatan. Semarang : Universitas Diponegoro.

Purnayudha, Deny Catur. 2010. Permasalahan Hukum Pengadaan Tanah Pembangunan Jalan Lingkar Selatan di Kecamatan Sidomukti Salatiga. Tesis untuk gelar Magister Kenotariatan. Semarang : Universitas Diponegoro.

Rahmawati, P. M. 2013. Pengaturan Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum oleh Badan Usaha Swasta. Tesis untuk gelar Magister Program Studi Kenotariatan. Denpasar : Universitas Udayana.

Sangalang, A. 2012. Kajian terhadap Ganti Rugi atas Tanah dalam Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum guna Mewujudkan Kepastian Hukum, Perlindungan Hukum, dan Keadilan Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 dan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006. Tesis untuk gelar Magister Ilmu Hukum. Yogyakarta : Universitas Atmajaya.

Saniah. 2010. Analisis Yuridis tentang Problematika Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum berdasarkan Peraturan Presiden RI No. 36 Tahun 2005 dan Peraturan Presiden RI No. 65 Tahun 2006. Tesis untuk gelar Magister Hukum. Medan : Universitas Sumatera Utara.

Sugiarto. 2010. Problematika Hukum dalam Pemberian Ganti Rugi terhadap Pengadaan Tanah bagi Pengembangan Landas Pacu Bandar Udara Achmad Yani Semarang. Tesis untuk gelar Magister Kenotariatan. Semarang : Universitas Diponegoro.

Sutanto, Dian N. 2013. Kajian Lembaga Hukum Konsinyasi Ganti Rugi dan Asas Kesepakatan dalam Peraturan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dalam Mewujudkan Keadilan bagi Pemegang Hak Atas Tanah. Tesis untuk gelar Ilmu Hukum Agraria. Yogyakarta : Universitas Atmajaya.

Tawas, Agus Y. 2013. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum (Studi Kasus Pelebaran Jalan Martadinata Paal Dua di Kota Manado). Jurnal Hukum Unsrat 1 (6) Oktober-Desember/2013. Manado : Universitas Sam Ratulangi.

Tampi, Butje. 2014. KUHAP dan Pengaturan Ganti Rugi Pihak Korban dalam Peradilan Pidana. Jurnal II (2) Januari-Maret/2014. Manado : Universitas Sam Ratulangi.

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 7 No.1 April 2015, hal 1- 79

12

Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Werdoyo, Putri D. 2014. Pelaksanaan Alih Fungsi Tanah Pertanian menjadi Perumahan di Pemda Bantul. Skripsi untuk gelar Ilmu Hukum. Yogyakarta : Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Wibowo, Azis P. dan Lita S. Barus. 2010. Identifikasi Dinamika Harga Lahan di Kawasan Cipadu Kota Tangerang. Jurnal Planesa 1 (1) Mei 2010. Jakarta : Universitas Esa Unggul.

Wirahadikusumah, Reini D. 2013. Isu Strategis pada Pengadaan Pengusahaan Jalan Tol dalam Kerjasama Pemerintah dan Swasta. Jurnal Teknik Sipil 20 (3) Desember 2013. Bandung : Institut Teknologi Bandung (ITB).

13

Model Penentuan Komponen Kerugian Non Fisik dalam Pengadaan Tanah Pembangunan JalanHenniko Okada dan Arvian Zanuardi

rum

ah ti

ngga

l**

kost

/rum

ah

sew

a**

usah

a w

arun

g/to

ko**

hom

e in

dust

ri**

pabr

ik**

perk

anto

ran*

*Sa

wah

**La

dang

**Pe

rkeb

unan

**Pe

tern

akan

**Ta

mba

k/Pe

rika

nan

**Ko

song

(d

isew

akan

)**

Koso

ng

(ter

lant

ar)*

*

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

21

22

23

24

25

26

27

28

29

30

31

32

33

34

35

36

37

Biay

a pen

guru

san p

erub

ahan

doku

men

-dok

umen

(STN

K, B

PKB)

Biay

a pen

dafta

ran u

lang j

arin

gan l

istrik

Biay

a pen

dafta

ran u

lang j

arin

gan t

elepo

n

Biay

a tra

nsak

siBi

aya a

dmin

istra

si di

loka

si ba

ru

Biay

a pen

guru

san I

jin M

endi

rikan

Ban

gung

an (I

MB)

Biay

a pen

guru

san d

okum

en ad

min

istra

si ke

pend

uduk

an (K

TP/K

artu

Ke

luar

ga)

Biay

a pen

dafta

ran u

lang j

arin

gan a

ir be

rsih

Biay

a Pin

dah

Keru

gian M

asa

Tung

gu

Kom

pens

asi m

asa t

ungg

u (bu

nga)

Keru

gian a

kibat

infla

si ni

lai m

ata ua

ng pa

da m

asa t

ungg

uBi

aya k

ehila

ngan

poten

si ha

sil pr

oduk

si (p

ertan

ian/p

erke

buna

n/pe

terna

kan/

tamba

k)Bi

aya k

ontra

k/se

wa se

men

tara

Biay

a Pem

ulih

an

Pend

apata

n

Biay

a tan

ggun

gan h

idup

selam

a men

gang

gur

Biay

a pen

caria

n pek

erjaa

n bar

u

Biay

a pela

tihan

/re-t

rain

ning

untu

k mata

penc

ahar

ian ba

ru

Biay

a per

mod

alan u

saha

yang

baru

Biay

a per

iklan

an ap

abila

mem

ulai

usah

a yan

g bar

uBi

aya m

arke

ting l

okas

i bar

u unt

uk un

tuk u

saha

yang

sam

a den

gan

sebe

lum

nya

Biay

a tra

nspo

rt

Biay

a pem

inda

han b

aran

g-bar

ang (

trans

port)

Biay

a men

cari

lahan

baru

Biay

a men

cari

rum

ah/k

ontra

kan b

aru

Keru

gian a

tas

peru

baha

n lok

asi

Pena

mba

han

anga

ran

trans

porta

si

Keru

gian a

kibat

sem

akin

jauh

jara

k tem

puh d

enga

n lok

asi b

erak

tifita

s (tr

ansp

ort)

Keru

gian a

kibat

kehi

langa

n lok

asi p

oten

sial u

ntuk

usah

a/pe

kerja

an

Keru

gian a

kibat

kehi

langa

n lok

asi s

trateg

is ter

kait

peng

emba

ngan

kawa

san

Keru

gian a

kibat

peru

baha

n aks

es pe

ncap

aian k

e ter

min

al

Keru

gian a

kibat

peru

baha

n aks

es pe

ncap

aian k

e sek

olah f

avor

it

Keru

gian a

kibat

peru

baha

n aks

es pe

ncap

aian k

e kan

tor p

olisi

Keru

gian a

kibat

peru

baha

n lok

asi t

empa

t tin

ggal

(dul

u di p

erum

ahan

elit

seka

rang

belu

m te

ntu b

isa)

Keru

gian a

kibat

peru

baha

n aks

es pe

ncap

aian k

e pas

ar tr

adisi

onal

Keru

gian a

kibat

peru

baha

n aks

es pe

ncap

aian k

e mall

/pus

at pe

rdag

anga

n

Keru

gian a

kibat

peru

baha

n aks

es pe

ncap

aian k

e pus

at ke

buga

ran

Keru

gian a

kibat

peru

baha

n aks

es pe

ncap

aian k

e kan

tor k

epala

de

sa/k

elura

han

Keru

gian a

kibat

peru

baha

n aks

es pe

ncap

aian k

e kan

tor k

ecam

atan

Keru

gian a

kibat

peru

baha

n aks

es pe

ncap

aian k

e pus

kesm

as/r

umah

sakit

Keru

gian a

kibat

peru

baha

n aks

es pe

ncap

aian k

e kan

tor p

osKe

rugia

n akib

at pe

ruba

han a

kses

penc

apaia

n ke k

anto

r pem

adam

ke

baka

ran

Keru

gian a

kibat

peru

baha

n aks

es pe

ncap

aian k

e tam

an/la

han h

ijau

Keru

gian a

kibat

peru

baha

n aks

es pe

ncap

aian k

e fas

ilitas

perib

adata

nKe

rugia

n dar

i keti

dakn

yam

anan

(piki

ran &

ener

gi) ya

ng te

rbeb

ani a

kibat

mas

alah p

erub

ahan

peng

hidu

pan

PERT

ANIA

N*

SEKT

OR

MAI

N-CA

TEGO

RYIT

EM B

IAYA

ATA

U KE

RUGI

AN Y

ANG

DID

ERIT

A PI

HAK

YAN

G BE

RHAK

No.

SUB-

CATE

GORY

NON

PERT

ANIA

N*

Lam

pira

n. I

nstr

umen

Pen

entu

an N

ilai I

dem

nity

Sum

ber

: Ana

lisis

15

PERSEPSI MASyARAKAT TERHADAP DAMPAK SOSIAL EKONOMI RENCANA PEMBANGUNAN JEMBATAN SELAT SUNDA*)

Social Perception of Socio Economic Impact of Sunda Strait Brigde Development Plan

Andi Suriadi1 Masmian Mahida2 Aldina Rani Lestari3

1Puslitbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan Jl.Pattimura No.20 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110

Email : [email protected] 2Peneliti Puslitbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan

Jl.Pattimura No.20 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110Email : [email protected]

3Puslitbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan Jl.Pattimura No.20 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110

Email : [email protected]

Tanggal diterima: 5 Desember 2014; Tanggal disetujui: 20 Maret 2015

ABSTRACT

Construction of Sunda Strait Bridge is expected as the main infrastructure to support national connectivity, particularly Java – Sumatera. Several studies on physical-technical aspects asses that Sunda Strait Bridge is decent built. To support this, the study of non technical aspect especially perceptions on the socio-economic impact is needed. This study aims to determine the perceptions of local people towards socio-economic impacts if JSS is built. Thus, a planned and systematic step in minimizing potential adverse impacts can be done. Using quantitative approach, the survey was conducted on 7 districts in South Lampung Regency by taking 100 respondents in various circles. The result shows that if the bridge is built: (a) migration from Java to Sumatera (77%) and migration from rural to urban (58%); (b) conversion of paddy land/farm to industry (63%) and to settlements (53%); (c) ownership changes of local residence to businessman (67%) and to migrants (71%); (d) business opportunity trade (89%), service industry (89%), goods industry (86%); (e) excess of construction: pollution (65%), traffic congestion (28%), slum (35%), crime (62%), and prostitution (32%). Consider the variations of the impact, it recommends to make a local regulation to protect land ownership and land use, and to optimize positive impact the construction of Sunda Strait Bridge.

Keywords: socio-economic impact, local regulation, sunda strait bridge, national connectivity, social perception

ABSTRAK

Rencana pembangunan Jembatan Selat Sunda diharapkan menjadi prasarana utama mendukung konektivitas nasional, khususnya Jawa–Sumatera. Beberapa penelitian aspek fisik-teknis menunjukkan Jembatan Selat Sunda layak dibangun. Untuk mendukung hal tersebut, perlu adanya penelitian aspek non teknis terkait persepsi terhadap dampak sosial ekonomi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran persepsi masyarakat lokal terhadap dampak sosial ekonomi jika JSS dibangun. Dengan demikian, langkah terencana dan sistematis dalam meminimalisasi potensi dampak yang merugikan dapat dilakukan. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Survei dilakukan pada 7 Kecamatan di Kabupaten Lampung Selatan dengan mengambil 100 responden dari berbagai kalangan. Hasil penelitian menunjukkan jika Jembatan Selat Sunda dibangun akan terjadi: (a) migrasi dari Jawa ke Sumatera (77 %) dan migrasi dari perdesaan ke perkotaan (58%); (b) alih fungsi lahan dari sawah/ladang ke industri (63%) dan dari sawah/ladang ke permukiman (53%); (c) perubahan kepemilikan dari penduduk lokal ke pengusaha (67%) dan penduduk lokal ke pendatang (71%); (d) timbul peluang usaha perdagangan (89%), industri jasa (89%), industri barang (86%); (e) ekses lain akan terjadi adalah polusi (65%), kemacetan (28%), kekumuhan (35%), kriminalitas (62%), dan prostitusi (32%). Mempertimbangkan variasi dampak maka direkomendasikan adanya Peraturan Daerah untuk memproteksi pola kepemilikan dan peruntukan lahan serta optimalisasi dampak positif dari Pembangunan Jembatan Selat Sunda.

Kata kunci: dampak sosial ekonomi, peraturan daerah, jembatan selat sunda, konektivitas nasional, persepsi sosial

*) Sebagian gagasan dalam tulisan ini telah dipresentasikan dalam acara Kolokium Jalan dan Jembatan Puslitbang Jalan dan Jembatan, 2014

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 7 No.1 April 2015, hal 1- 79

16

PENDAHULUANRencana pembangunan Jembatan Selat Sunda

(JSS), masih terus menjadi tema pembicaraan hangat, baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal. Secara makro, JSS diharapkan dapat memperlancar aksesibilitas dan konektivitas nasional khususnya antara pulau Jawa–Sumatera. Di masa mendatang, JSS juga diharapkan mendukung konektivitas antarnegara (ASEAN Highway) dengan dukungan rencana pembangunan Jembatan Selat Malaka (JSM). Dengan demikian, dampak sosial ekonomi dengan adanya JSS berpengaruh terutama ke negara-negara ASEAN.

Kendatipun secara makro dampak sosial ekonomi diprediksi dan diproyeksikan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yang menjadi masalah adalah terkait dengan masyarakat lokal tempat lokasi pembangunan kaki JSS akan dibangun. Hal ini penting karena tidak jarang dalam hal tertentu masyarakat yang berada di sekitar pembangunan justru kurang mendapatkan manfaat dibanding dengan masyarakat yang jauh dari titik lokasi pembangunan. Artinya, manfaat besar JSS bagi masyarakat lain secara luas, tidak dapat dijadikan alat justifikasi untuk mengabaikan atau membiarkan masyarakat lokal di sekitar kawasan kaki jembatan merasakan dan menerima ekses akibat adanya pembangunan JSS.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, berbagai kajian pun telah dilakukan, baik dari sisi fisik-teknis maupun sisi sosial ekonomi. Secara fisik-teknis, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pembangunan JSS layak dibangun dengan dua opsi rute, yakni alternatif I (Merak-Sumur) dan alternatif II (Anyar-Bakauheni) dengan sejumlah kelebihan dan kekurangannya (Vaza 2013). Sementara dalam hal penggunaan material, Evrianto dkk (2012) mengingatkan perlunya memerhatikan aspek keberlanjutan material konstruksi JSS karena emisi yang potensial ditimbulkan oleh penggunaan material konstruksi sebesar 1.972.613 ton CO2 ekuivalen. Sementara itu, Imran, Iswandi dan Prasanti Widyasih Sarli (2013) mengkaji masalah efek ketidakseragaman gerakan tanah akibat gempa terhadap Jembatan Ultra Panjang dengan menggunakan analisis model Selat Sunda menyimpulkan bahwa time history yang mewakili fenomena ketidakseragaman gerakan tanah dengan memperhitungkan efek wave passage, dan inkoherensi gerakan tanah secara terpisah dan bersama-sama pada dasarnya dapat dibentuk.

Sementara itu, dari sisi sosial ekonomi, Anwar (2010) mengkaji strategi untuk meningkatkan

pertumbuhan ekonomi antar kawasan pem-bangunan Jembatan Selat Sunda. Kawasan dimaksud adalah Provinsi Banten dan Lampung sebagai wilayah yang paling terkena dampak keberadaan jembatan tersebut dengan menggunakan konsep Balance Agro-Industrial Development Strategy (BAIDS). Selanjutnya, Pradhitasari (2014) menganalisis dampak sektor dan wilayah limpahan dari rencana investasi pembangunan JSS, dengan sasaran menganalisis struktur perekonomian, sektor–sektor basis ekonomi, efek penggandaan, sektor–sektor kunci perekonomian dan dampak rencana investasi JSS terhadap output pulau Sumatra dan Jawa serta Lampung dan Banten. Alkadri (2011) melihat pembangunan JSS akan sangat berperan dalam mendukung Kawasan Ekonomi Khusus Bojonegara. Dari sisi perternakan, Bahri dan Bess (2012) memprediksikan bahwa pembangunan JSS dapat memperlancar dan mempermudah akses transportasi khususnya sumber pakan ternak (yang berasal dari limbah perkebunan) ke konsumen di pulau Jawa. Dengan demikian, usaha peternakan di pulau Jawa masih cukup ekonomis. Taryono dan Hendro (2013) menganalisis ketersediaan infrastruktur di pulau Sumatera. Dalam analisisnya, mereka mengatakan salah satu stimulus utama pertumbuhan ekonomi di pulau Sumatera adalah ketersediaan infrastruktur, termasuk JSS. Namun demikian, yang perlu diperhatikan menurut Muljono dkk. (2010) adalah pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan yang lebih berfokus di Kawasan Barat Indonesia (KBI) tidak akan menyelesaikan masalah ketimpangan pembangunan yang terjadi selama ini.

Selain berhubungan langsung dengan pem-bangunan JSS, beberapa kajian mengenai dampak sosial ekonomi pun sudah dilaksanakan terkait dengan pembangunan jembatan dan jalan. Hasilnya, ditemukan sejumlah dampak positif, namun tidak sedikit pula dampak negatifnya. Iek (2013) meneliti dampak pembangunan jalan di Papua Barat membuktikan bahwa pembangunan jalan berdampak positif dan signifikan terhadap perubahan pendapatan usaha ekonomi masyarakat serta berdampak sosial besar daripada ekonomi. Demikian pula Sudarsana (2011) melakukan analisis ekonomi terhadap pembangunan jalan penghubung Bali Utara–Selatan. Ia menyimpulkan bahwa manfaat proyek secara langsung berupa penghematan biaya operasi (PBOK) dan menghemat nilai waktu, sedangkan manfaat tidak langsung berupa manfaat efek pengganda berupa peningkatan jumlah wisatawan yang melanjutkan perjalanan ke Bali Utara, peningkatan sektor usaha lainnya, dan penurunan angka kecelakaan. Dalam lingkup yang lebih makro, hasil analisis Novitasari

17

Persepsi Masyarakat terhadap Dampak Sosial Ekonomi Rencana Pembangunan Jembatan Selat SundaAndi Suriadi, Masmian Mahida dan Aldina Rani Lestari

dan Sri (2014) menjelaskan bahwa berdasarkan hasil estimasi parameter, atribut infrastruktur yang paling signifikan mempengaruhi perkembangan wilayah dengan tingkat perkembangan PDRB perkapita rendah adalah perkembangan panjang jalan nasional. Di samping itu, hasil analisis Permana dan Alla (2010) menyebutkan infrastruktur memiliki keterkaitan ke belakang lebih tinggi daripada keterkaitan ke depannya. Semua sektor kategori infrastruktur memiliki nilai koefisien penyebaran lebih besar dari satu dan nilai kepekaan penyebaran kurang dari satu yang berarti bahwa sektor-sektor tersebut lebih mampu mendorong pertumbuhan sektor hulunya dibandingkan dengan sektor hilirnya.

Demikian pula dalam hal kajian persepsi terhadap dampak sosial ekonomi terhadap adanya suatu kegiatan pembangunan sudah pernah dilakukan. Chisango, Tawanda dan Bonface (2013) melakukan penelitian tentang persepsi terhadap dampak perubahan pembangunan ekonomi di Zimbabwe dengan studi kasus di Provinsi Matebeleland. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa responden mendukung adopsi perubahan terhadap pembangunan ekonomi di wilayah mereka. Mereka optimis sumber daya alam dapat membuat ekonomi mereka berkelanjutan. Hannan dan Kevin (2011) melakukan riset terhadap empat kelompok komunitas desa di Negara Persemakmuran Pennsylvania, Amerika Serikat terkait dengan rencana pembangunan penjara. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa lebih dari 60% responden mempersepsikan pembangunan penjara akan memberi dampak positif. Dampak positif tersebut antara lain berhubungan dengan peluang lapangan kerja, fasilitas, dan keamanan.

Demikian pula, Tsundoda dan Samuel (2009) meneliti tentang dampak sosial ekonomi di salah kota wisata kecil yakni Peterborough New Hampshire. Hasil penelitiannya terhadap 27 informan menunjukkan bahwa pada umumnya masyarakat Peterborough memiliki persepsi positif dan negatif terdampak dampak sosial ekonomi akibat pengembangan pariwisata dan tidak ingin mengubah kota mereka untuk peningkatan pembangunan pariwisata jika hanya menghasilkan peningkatan penghasilan. Masyarakat mengakui adanya keuntungan pariwisata bagi perekonomian level kota, namun tidak begitu berpengaruh terhadap situasi ekonomi masyarakat. Sementara itu, bagi para pekerja mengkhawatirkan terjadinya polarisasi ekonomi secara gradual dan pembanguan kelas-kelas sosial akibat pariwisata. Sedangkan bagi anggota kelompok kaya secara umum memandang bahwa pariwisata saat ini menguntungkan. Huertas dkk. (2010) melakukan penelitian tentang opini

dampak sosial ekonomi terhadap destinasi wisata golf di Provinsi Alicante, Spanyol. Hasilnya, para pemain golf dan manager pengelola golf memiliki opini atau persepsi positif terhadap dampak sosial ekonomi dibanding dengan masyarakat umum di Provinsi Alicante. Hal ini terkait dengan pengetahuan para pemain dan manager golf tentang benefit yang diperoleh. Dalam konteks Indonesia, Prawiro (2014) yang meneliti pembangunan jalan layang menemukan bahwa mayoritas responden persil di sepanjang jalan mengalami gangguan jika jalan layang non-Tol Antasari-Blok M beroperasi, berupa kebisingan, polusi udara, kemacetan lalu lintas, dan view dari lahan dan pencahayaan.

Hasil-hasil penelitian dan kajian di atas terutama pada aspek sosial ekonomi lebih cenderung menekankan pada strategi peningkatan pertumbuhan ekonomi, dampak ekonomi kawasan, dan pengembangan wilayah terkait dengan JSS. Sementara itu, pada aspek persepsi masih terkait dengan pembangunan infrastruktur kawasan, pengembangan pariwisata, dan jalan tol. Namun demikian, dari sejumlah penelitian dan kajian tersebut, belum ada yang mengkaji aspek persepsi terhadap dampak sosial ekonomi yang akan timbul jika pembangunan JSS dilaksanakan. Hal ini sangat penting karena terkait bayangan, harapan sekaligus kekhawatiran masyarakat terdapat potensi dampak yang bakal diterima di lokasi rencana pembangunan JSS.

Berdasarkan hal di atas, penelitian ini mengkaji lebih jauh terkait dengan persepsi masyarakat lokal khususnya pada wilayah di sekitar pembangunan kaki JSS terhadap dampak sosial ekonomi yang akan timbul. Untuk itu, pertanyaan yang diajukan adalah: Bagaimana persepsi masyarakat lokal terhadap prakiraan dampak sosial ekonomi akibat pembangunan JSS?

Dengan diketahuinya gambaran persepsi masyarakat lokal terhadap dampak sosial ekonomi jika JSS dibangun dapat dilakukan langkah-langkah terencana dan sistematis dalam rangka meminimalisasi berbagai jenis dampak yang berpotensi merugikan serta memaksimalisasi dampak positif yang akan dibangkitkan oleh pembangunan JSS, misalnya melakukan proteksi terhadap kepemilikan lahan yang potensial beralih kepada pihak lain serta penggunaan lahan yang potensial tidak terkendali.

KAJIAN PUSTAKAPersepsi Sosial

Persepsi masyarakat memegang peran yang sangat penting terhadap kelancaran suatu

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 7 No.1 April 2015, hal 1- 79

18

Menurut Burdge, dan Frank (1996), dampak sosial memiliki cakupan meliputi semua konsekuensi sosial dan budaya terhadap manusia yang merupakan akibat dari tindakan pribadi atau publik yang merupakan cara di mana manusia hidup, bekerja, bermain, berhubungan satu dengan yang lain, mengelola kebutuhan-kebutuhannya, dan menanggulangi anggota masyarakat secara umum. Sementara itu, Mackenzie Valley Environmental Impact Review Board (2007) menjabarkan bahwa dampak pada dasarnya merupakan potensial perubahan (langsung atau tidak langsung, keseluruhan atau sebahagian, lebih baik atau lebih buruk) yang disebabkan oleh aktivitas pembangunan dalam hal ini adalah industri. Lebih lanjut, disebutkan bahwa adapun komponen-komponen sosial ekonomi adalah (a) kesehatan dan kesejahteraan, (b) keberlanjutan makanan margasatwa, akses dan penggunaan lahan, (c) proteksi sumberdaya warisan dan kebudayaan, (d) kesempatan yang sama dalam bisnis dan pekerjaan, (e) keberlanjutan penduduk (migrasi keluar/masuk), (f) pelayanan dan infrastruktur memadai, dan (g) keberlanjutan pendapatan dan pola hidup yang memadai.

Dalam konteks dampak sosial ekonomi pembangunan infrastruktur, menurut Yanti dan Heru (2013) dapat dibagi ke dalam dua kategori: positif dan negatif. Mahagana dan Cahya (2013) merinci dampak negatif tersebut meliputi keresahan masyarakat, penurunan kualitas udara, dan terganggunya aliran permukaan, sedangkan dampak positif meliputi peningkatan kesempatan kerja, peningkatan kinerja jalan, pengurangan biaya operasional kendaraan, peningkatan nilai lahan, dan waktu tempuh berkurang. Dalam konteks pembangunan jalan, Effendi dan Alla (2014) mengemukakan bahwa terdapat hubungan antara panjang jalan dan luas lahan sawah cenderung berubah secara berlawanan.

Berdasarkan beberapa pandangan di atas, dapat dikatakan bahwa dampak sosial ekonomi dapat dibatasi dalam tulisan ini sebagai sebagai perubahan bersifat potensial pada aspek sosial dan ekonomi secara langsung (penduduk, penggunaan lahan, kepemilikan lahan, dan kesempatan kerja, peluang bisnis di berbagai sektor) maupun tidak langsung seperti ekses mempengaruhi kesehatan masyarakat (polusi, kekumuhan, dan kemacetan) dan ekses sosial lainnya yang dapat bersifat positif dan negatif.

METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam kajian ini

adalah metode kuantitatif dengan mengandalkan kuantifikasi data dalam pengumpulan maupun

aktivitas, termasuk kegiatan pembangunan. Bila persepsi masyarakat bersifat negatif, maka dapat mempermudah masyarakat mewujudkannya ke dalam tindakan-tindakan yang negatif pula, seperti perusakan dan tindakan destruksi lainnya. Sebaliknya, bila persepsi masyarakat positif, maka dapat memperkuat dan memperlancar upaya-upaya untuk pelaksanaan aktivitas dan pencapaian tujuan yang diharapkan.

Persepsi pada dasarnya merupakan salah satu aspek psikologis bagi manusia dalam memberi respons dan menerjemahkan berbagai stimulus gejala yang ada di sekitarnya. Karena merupakan respons dan terjemahan, maka ada yang mempersepsikan sesuatu itu baik dan ada pula yang tidak baik. Hanya saja, persepsi yang sering disinonimkan dengan opini lebih merupakan pernyataan sikap yang sudah mapan dan lebih bersifat situasional atau temporer. Viyakumar dalam Loue, dan Martha (2008) mengatakan persepsi adalah suatu proses menerima, menafsirkan, menyeleksi, dan mengorganisasi informasi fisik menjadi informasi psikologis. Namun demikian, terdapat elemen-elemen yang berbeda dalam persepsi tersebut seperti sensor stimulasi, pengalaman masa lalu, perhatian, kesiapan merespons stimulus, memori, motivasi, dan keadaan emosional seseorang. Selanjutnya, menurut Viyakumar, sensori persepsi memengaruhi cara pandang kita, perasaan, dan interpretasi kita. Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa dalam persepsi itu sekalipun stimulusnya sama, tetapi karena pengalaman tidak sama, kemampuan berpikir tidak sama, kerangka acuan tidak sama, adanya kemungkinan hasil persepsi antara individu dengan individu yang lain tidak sama.

Dengan mencermati berbagai konsep di atas, dapat dikatakan bahwa persepsi sosial dalam konteks tulisan ini adalah respons yang diberikan oleh masyarakat berdasarkan perasaan, pengalaman, perhatian, interpretasi, dan kemampuan berpikir terhadap informasi yang diterima terkait dengan suatu aktivitas dalam hal ini pembangunan JSS.

Dampak Sosial Ekonomi

Pada awalnya, kata dampak seringkali dikonotasikan dengan hal-hal yang berdimensi negatif. Namun, dalam perkembangannya, konsep dampak (impact) mulai dipahami dalam dua dimensi: positif dan negatif. Hal ini juga sejalan dengan perkembangan pemikiran bahwa suatu kegiatan, program, atau proyek akan menimbulkan konsekuensi, baik berupa biaya (cost) maupun keuntungan (benefit).

19

Gambar 1. Lokasi Penelitian di Kab. Lampung Selatan, Prov. Lampung

analisisnya (Bryman 2004). Data dikumpulkan melalui penyebaran kuesioner. Sampel ditarik berdasarkan dua tahap, yakni berdasarkan wilayah kecamatan yang berdekatan dengan rencana kaki JSS dan selanjutnya berdasarkan jenis pekerjaan responden yang dianggap dapat mewakili pihak pemerintah daerah, pengusaha, dan masyarakat umum. Jumlah keseluruhan responden yang tersebar pada tujuh kecamatan di Kab. Lampung Selatan berjumlah 100 orang. Dari tujuh kecamatan tersebut, dibagi ke dalam tiga kategori, yakni (a) Ring I di titik kaki JSS (Kec. Bakauheni dan Kec. Ketapang); (b) Ring II perbatasan kecamatan kaki JSS (Kec. Rajabasa, Kec. Panengahan, dan Kec. Sragi); dan (c) Ring III pada kecamatan di luar Ring II (Kec. Kalianda dan Kec. Palas). Untuk pengambilan sampel dilakukan dengan mempertimbangkan jenis pekerjaan responden yakni pegawai, petani, pengusaha, nelayan, dan tokoh masyarakat secara proporsional. Jumlah responden 100 orang diambil berdasarkan jumlah keseluruhan KK di tujuh kecamatan dengan menggunakan rumus Slovin. Penelitian ini dilakukan pada minggu keempat bulan Maret 2014. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Untuk analisis data, dilakukan beberapa tahap, yakni setelah hasil jawaban kuesioner dari para responden diperoleh, kemudian dilakukan tabulasi berdasarkan aspek yang diteliti. Selanjutnya, dilakukan analisis berdasarkan persamaan dan perbedaan berdasarkan karakteristiknya serta dilakukan interpretasi terhadap kecenderungan data.

Sumber : Puslitbang Sosekling dan PIPM UGM, 2013 Sumber : Puslitbang Sosekling dan PIPM UGM, 2013

Data dan AnalisisPersepsi Masyarakat Terhadap Potensi Migrasi

Berdasarkan persepsi responden, sebagian besar menyatakan bahwa potensi migrasi penduduk dari bila JSS dibangun cukup besar. Pada potensi migrasi penduduk dari Sumatera ke Jawa, responden menjawab tinggi 54%, sedang 22%, rendah 23%, dan tidak tahu 1%. Sementara itu, pada potensi migrasi penduduk dari Jawa ke Sumatera responden menjawab tinggi 77%, sedang 18%, rendah 3%, dan tidak tahu 2%. Secara lengkap, proporsi jawaban responden dapat dilihat pada Gambar 2.

Jika dibandingkan diantara kedua prakiraan sebagaimana data di atas, dapat dikatakan bahwa persepsi masyarakat di Lampung Selatan terhadap potensi migrasi penduduk bila JSS dibangun akan jauh lebih tinggi perpindahan penduduk dari Jawa ke Sumatera dibanding dari Sumatera ke Jawa. Data ini menunjukan bahwa secara persepsional, masyarakat Lampung Selatan menganggap bahwa

Gambar 2. Proporsi Prakiraan Migrasi Penduduk dari Sumatera ke Jawa dan Sebaliknya

Persepsi Masyarakat terhadap Dampak Sosial Ekonomi Rencana Pembangunan Jembatan Selat SundaAndi Suriadi, Masmian Mahida dan Aldina Rani Lestari

Rendah Sedang Tinggi Tidak tahu

Prakiraan Migrasi dari Sumatera ke Jawa

Rendah Sedang Tinggi Tidak tahu

Prakiraan Migrasi dari Jawa ke Sumatera

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 7 No.1 April 2015, hal 1- 79

20

Sumber : : Puslitbang Sosekling dan PIPM UGM, 2013

dengan dibangunnya JSS, wilayah mereka akan menerima tambahan jumlah penduduk. Dengan kata lain, jumlah penduduk di wilayah Lampung Selatan akan mengalami peningkatan dengan masuknya orang-orang dari pulau Jawa.

Sementara itu, untuk potensi migrasi dari desa ke kota atau sebaliknya juga menunjukkan hal yang sama. Pada potensi migrasi dari desa ke kota khususnya di wilayah Kab. Lampung Selatan, responden menjawab tinggi 58%, sedang 21%, rendah 19%, dan tidak tahu 2%. Sebaliknya, prakiraan potensi migrasi dari kota ke desa, responden menjawab tinggi 23%, sedang 21%, dan rendah 52%, dan tidak tahu 4%. Secara lengkap, proporsi jawaban responden dapat dilihat pada Gambar 3.

Bila dibandingkan diantara kedua prakiraan potensi migrasi di atas, dapat dikatakan bahwa pada umumnya responden menganggap migrasi dari desa ke kota akan jauh lebih besar dibanding sebaliknya jika JSS dibangun. Dengan demikian, potensi fenomena urbanisasi akan terjadi dari sejumlah desa yang ada di wilayah Lampung

Gambar 3. Potensi Migrasi dari Desa ke Kota dan Sebaliknya

Selatan ke kota-kota yang ada di sekitarnya. Dengan kata lain, jumlah penduduk di daerah perkotaan dipersepsikan akan mengalami peningkatan secara cukup signifikan.

Persepsi Masyarakat Terhadap Potensi Alih Fungsi Lahan

Dengan dibangunnya JSS, tentu berbagai fasilitas pendukung juga dibangun. Seiring dengan itu, dengan semakin bertambahnya penduduk, juga akan membutuhkan berbagai jenis prasarana dan sarana. Untuk memfasilitasi hal tersebut, tentu dibutuhkan lahan yang memadai. Dengan demikian, alih fungsi lahan menjadi tidak dapat dihindarkan. Persepsi responden terhadap potensi alih fungsi lahan menunjukkan bahwa (a) alih fungsi lahan dari sawah/ladang ke permukiman tinggi 53%, sedang 29%, rendah 14%, dan tidak tahu 4%; (b) alih fungsi sawah/ladang ke pertokoan/perkantoran tinggi 47%, sedang 29%, rendah20%, dan tidak tahu 4%; (c) alih fungsi sawah/ladang ke industri tinggi 63%, sedang 19%, rendah 11%, dan tidak tahu 7%; (d) alih fungsi lahan permukiman ke pertokoan/perkantoran tinggi 28%, sedang 33%, rendah 34%, dan tidak tahu 5%; (e) alih fungsi lahan pertokoan/perkantoran ke industri tinggi 18%, sedang 27%, rendah 48%, dan tidak tahu 7%; serta (f) alih fungsi perluasan perkebunan tinggi 15%, sedang 15%, rendah 63%, dan tidak tahu 8%. Secara lengkap proporsi jawaban responden dapat dilihat pada Gambar 4.

Berdasarkan data di atas, dapat dikatakan bahwa persepsi masyarakat terhadap alih fungsi lahan sawah/ladang akan tinggi, sedangkan alih fungsi lahan permukiman, pertokoan/perkantoran, serta perluasan perkebunan cenderung rendah. Dari tiga kategori alih fungsi lahan sawah/ladang, tampak bahwa persepsi masyarakat paling tinggi

Gambar 4. Proporsi Potensi Alih Fungsi LahanSumber : : Puslitbang Sosekling dan PIPM UGM, 2013

Sawah/Ladang - Permukiman(N=100)

Sawah/Ladang - Pertokoan/perkantoran(N=100)

Sawah/Ladang industri(N=100)

permukiman ke pertokoan/perkantoran(N=100)

permukiman ke indsutri (N=100)

pertokoan/perkantoran ke indsutri (N=100)

perluasan perkebunan(N=100)

14,00%

29,00%

53,00%

4,00%

20,00%29,00%

47,00%

11,00%

19,00%

61,00%

4,00% 7,00%

34,00%33,00%

28,00%

5,00%

38,00%

22,00%

36,00%

4,00% 7,00%

48,00%

22,00%18,00%

8,00%14,00%15,00%

rendah sedang tinggi tidak tahu

Rendah Sedang Tinggi Tidak tahu

Potensi Migrasi dari Desa ke Kota

Rendah Sedang Tinggi Tidak tahu

Potensi Migrasi dari Kota ke Desa

21

Sumber : Puslitbang Sosekling dan PIPM UGM, 2013

akan beralih fungsi ke industri, kemudian ke permukiman, dan ke pertokoan/perkantoran. Hal ini mengindikasikan anggapan masyarakat bahwa dengan dibangunnya JSS, maka kemungkinan besar banyak sawah/ladang yang akan beralih fungsi. Dengan kata lain, luas lahan persawahan dan perladangan akan semakin berkurang seiring dengan dibangunnya JSS.

Persepsi Masyarakat terhadap Potensi Perubahan Kepemilikan Lahan

Potensi perubahan kepemilikan lahan dari penduduk lokal ke beberapa pihak cukup beragam. Berdasarkan jawaban responden, perubahan kepemilikan lahan dari penduduk lokal ke (a) pengusaha tinggi 67%, sedang 23%, rendah 9%, dan tidak tahu 1%; (b) pemerintah tinggi 18% sedang 36%, rendah 41%, dan tidak tahu 5%; (c) ke pendatang tinggi 71%, sedang 20%, rendah 7%, dan tidak tahu 2%; (d) ke orang asing tinggi 18%, sedang 13%, rendah 52%, dan tidak tahu 17%. Secara lengkap, proporsi jawaban responden dapat dilihat pada Gambar 5.

Jika dibandingkan diantara potensi perubahan kepemilikan lahan, yang terbesar adalah pada pola dari penduduk lokal ke pendatang dan ke pengusaha, sedangkan ke pemerintah dan orang asing relatif kecil. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat Lampung Selatan cenderung menganggap pendatang dan pengusaha merupakan pihak yang akan banyak menguasai tanah bila JSS dibangun. Dengan demikian, struktur kepemilikan tanah jika JJS dibangun akan bergeser dari penduduk lokal ke para pendatang dan pengusaha yang akan menggunakan lahan untuk berbagai

Persepsi Masyarakat terhadap Dampak Sosial Ekonomi Rencana Pembangunan Jembatan Selat SundaAndi Suriadi, Masmian Mahida dan Aldina Rani Lestari

Gambar 5. Proporsi Potensi Perubahan Kepemilikan Lahan

keperluan mereka.

Persepsi Masyarakat Terhadap Potensi Sektor Usaha

Dilihat dari potensi sektor usaha yang akan dibangkitkan dengan dibangunnya JSS, para responden memberikan jawaban bahwa semua sektor usaha (pertanian, perkebunan, perikanan/nelayan, industri barang, dan industri jasa) akan tinggi meskipun dengan tingkatan yang bervariasi. Berdasarkan jawaban responden, potensi (a) sektor usaha pertanian tinggi 50%, sedang 16%, rendah 17%, dan tidak tahu 2%; (b) sektor usaha perkebunan tinggi 50%, sedang 18%, rendah 30%, dan tidak tahu 2%; (c) sektor usaha perikanan/nelayan tinggi 45%, sedang 22%, rendah 26%, dan tidak tahu 7%; (d) sektor perdagangan tinggi 89%, sedang 5%, rendah 3%, dan tidak tahu 3%; (e) sektor industri barang tinggi 86%, sedang 7%, rendah 4%, dan tidak tahu 3%; (f) sektor industri jasa tinggi 89%, sedang 6%, rendah 2%, dan tidak tahu 3%. Secara lengkap proporsi jawaban responden terhadap potensi sektor usaha dapat dilihat pada Gambar 6.

Berdasarkan data di atas, tampak semua sektor usaha dipersepsikan akan tinggi bila JSS dibangun, namun terdapat tiga sektor usaha yang dianggap paling tinggi, yakni sektor perdagangan, sektor industri barang, dan sektor industri jasa. Hal ini menunjukkan bahwa para responden menganggap ketiga sektor ini yang akan terpengaruh besar dengan adanya pembangunan JSS. Artinya, jika selama ini sektor perdagangan, industri barang, dan industri jasa masih dipandang kurang mengalami peningkatan pesat, maka dengan dibangunnya JSS ketiga sektor usaha akan mengalami peningkatan

Gambar 6. Proporsi Potensi Sektor Usaha

Sumber: Puslitbang Sosekling dan PIPM UGM, 2013

Penduduk Lokal – Pengusaha(N=100)

Penduduk Lokal - Pemerintah(N=100)

Penduduk Lokal – Pendatang (N=100)

Penduduk Lokal – Orang Asing(N=100)

9,00%

23,00%

63,00%

1,00%

41,00%

36,00%

18,00%

5,00%

34,00%

20,00%

71,00%

2,00%

52,00%

13,00%

18,00%

17,00%

Sektor Pertanian(N=100)

Sektor Perkebunan(N=100)

Sektor Nelayan(N=100)

Sektor Perdagangan(N=100)

Sektor Industri Barang (N=100)

Sektor Industri Jasa (N=100)

32,00%

16,00%

50,00%

2,00%

30,00%

18,00%

50,00%

26,00%22,00%

45,00%

2,00%

7,00%3,00%

5,00%

89,00%

3,00%

4,00%

7,00%

86,00%

3,00% 3,00%2,00%6,00%

89,00%

rendah sedang tinggi tidak tahu rendah sedang tinggi tidak tahu

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 7 No.1 April 2015, hal 1- 79

22

yang sangat signifikan.

Persepsi Masyarakat Terhadap Potensi Ekses Lainnya

Kendatipun berbagai dampak positif yang diharapkan dengan adanya pembangunan JSS, tidak diingkari bahwa ekses dari pembangunan tersebut juga akan terjadi. Dari jawaban responden tampak bahwa potensi ekses dalam hal (a) kekumuhan tinggi 35%, sedang 27%, rendah 36%, dan tidak tahu 2%; (b) kemacetan tinggi 28%, sedang 23%, rendah 48%, dan tidak tahu 1%; (c) polusi tinggi 65%, sedang 1%, rendah 19%, dan tidak tahu 1%; (d) kriminalitas tinggi 62%, sedang 21%, rendah 15%, dan tidak tahu 2%; (e) prostitusi tinggi 32%, sedang 23%, rendah 38%, dan tidak tahu 7%; dan (f) ekses lain-lain tinggi 5%, sedang 72%, rendah 3%, dan tidak tahu 20%. Secara lengkap proporsi ekses dari rencana pembanguan JSS dapat dilihat pada Gambar 7.

Bila dibanding diantara enam kategori jenis potensi ekses yang dikhawatirkan timbul dengan adanya pembangunan JSS, terdapat dua yang paling tinggi, yakni polusi dan kriminalitas. Hal ini menunjukkan bahwa ekses pembangunan JSS maupun ikutannya akan berpengaruh terhadap kualitas udara yang selama ini dinikmati oleh masyarakat Kab. Lampung Selatan. Demikian pula ekses tindakan kriminal akan semakin marak terjadi seiring geliat pembangunan yang dilakukan di Kab. Lampung Selatan. Seringnya terjadi konflik terutama suku asli Lampung dan para pendatang atau sesama suku pendatang menjadi catatan tersendiri bagi masyarakat Kab. Lampung Selatan dalam memberikan penilaiannya.

Berdasarkan keseluruhan dampak sosial

Gambar 7. Proporsi Potensi Ekses Akibat Pembangunan JSS

Sumber : : Puslitbang Sosekling dan PIPM UGM, 2013

ekonomi di atas, dapat dilihat perbandingannya pata Tabel 1.

Mengacu data pada Tabel 1 di atas, jika dilihat persentase pada setiap dimensi, dapat diketahui subdimensi yang mendapat persentase yang besar dibanding dengan subdimensi lainnya. Pada dimensi migrasi, subdimensi potensi migrasi dari Jawa ke Sumatera menempati posisi yang paling tinggi sebesar 77%; pada dimensi alih fungsi lahan, subdimensi potensi dari sawah/ladang ke industri paling sebesar 63%; pada dimensi perubahan kepemilikan lahan, subdimensi potensi dari penduduk lokal ke pendatang 71%; pada dimensi sektor usaha, ada dua subdimensi yang tinggi yakni sektor perdagangan dan industri jasa masing 89%. Sementara itu, untuk dimensi potensi ekses lainnya, subdimensi polusi yang tertinggi sebesar 65%.

HASIL DAN PEMBAHASANPersepsi masyarakat Kab. Lampung Selatan

terhadap dampak sosial ekonomi akibat pembangunan JSS menunjukkan bahwa akan terjadi perubahan yang berarti di wilayah mereka. Potensi migrasi dari pulau Jawa ke Sumatera yang dipersepsikan lebih besar dibanding sebaliknya sebenarnya bukanlah tanpa sebab. Hal tersebut berdasarkan sejarah sosial bahwa sejak zaman kolonial Belanda, sudah ada kolonisasi dengan memindahkan penduduk dari pulau Jawa ke Lampung. Bahkan, setelah Indonesia merdeka pun yang lebih dikenal dengan istilah transmigrasi hal tersebut terus dilanjutkan. Oleh karena itu, wajar bila dengan kehadiran JSS, peristiwa migrasi penduduk akan terjadi. Demikian pula halnya dengan persepsi akan terjadi migrasi dari perdesaan ke perkotaan lebih besar daripada sebaliknya menunjukkan

rendah sedang tinggi tidak tahu

Kekumuhan(N=100)

Kemacetan(N=100)

Polusi(N=100)

Kriminalitas(N=100)

Prostitusi (N=100)

Lain-lain (N=100)

36,00%

27,00%

35,00%

2,00%

48,00%

23,00%28,00%

19,00%

1,00%

65,00%

1,00% 1,00%

15,00%21,00%

62,00%

2,00%

38,00%

23,00%

32,00%

7,00%

20,00%

3,00%

72,00%

5,00%

23

Persepsi Masyarakat terhadap Dampak Sosial Ekonomi Rencana Pembangunan Jembatan Selat SundaAndi Suriadi, Masmian Mahida dan Aldina Rani Lestari

No Dimensi Sub-DimensiPersentase Jawaban Responden

Tinggi Sedang Rendah Tidak Tahu

1 Migrasi

Sumatera – Jawa 54 % 22 % 23 % 1 %

Jawa - Sumatera 77 % 18 % 3 % 2 %

Desa – Kota 58 % 21 % 19 % 2 %

Kota - Desa 23 % 21 % 52 % 4 %

2 Alih Fungsi Lahan

Sawah/Ladang - Permukiman 53 % 29 % 14 % 4 %

Sawah/Ladang – Pertokoan/Perkantoran 47 % 29 % 20 % 4 %

Sawah/Ladang - Industri 63 % 19 % 11 % 7 %

Permukiman – Pertokoan/Perkantoran 28 % 33 % 34 % 5 %

Permukiman – Industri 36 % 22 % 38 % 4 %

Pertokoan/Perkantoran – Industri 18 % 27 % 48 % 7 %

Perluasan Perkebunan 15 % 14 % 63 % 8 %

3Perubahan

Kepemilihan Lahan

Penduduk Lokal – Pengusaha 67 % 23 % 9 % 1 %

Penduduk Lokal - Pemerintah 18 % 36 % 41 % 5 %

Penduduk Lokal – Pendatang 71 % 20 % 7 % 2 %

Penduduk Lokal – Orang Asing 18 % 13 % 52 % 17 %

4 Sektor Usaha

Sektor Pertanian 50 % 16 % 32 % 2 %

Sektor Perkebunan 50 % 18 % 30 % 2 %

Sektor Nelayan 45 % 22 % 26 % 7 %

Sektor Perdagangan 89 % 5 % 3 % 3 %

Sektor Industri Barang 86 % 7 % 4 % 3 %

Sektor Industri Jasa 89 % 6 % 2 % 3 %

5

Potensi Ekses Lainnya

Kekumuhan 35 % 27 % 36 % 2 %

Kemacetan 28 % 23 % 48 % 1 %

Polusi 65 % 1 % 19 % 1 %

Kriminalitas 62 % 21 % 15 % 2 %

Prostitusi 32 % 23 % 38 % 7 %

Lain-lain 5 % 72 % 3 % 20 %

Tabel 1. Perbandingan Proporsi Jawaban Responden terhadap Dampak Sosial Ekonomi

Sumber: Puslitbang Sosekling dan PIPM UGM, 2013

bahwa akan terjadi fenomena urbanisasi daripada ruralisasi. Dengan demikian, wilayah-wilayah perkotaan akan menerima konsentrasi manusia dalam jumlah yang tidak sedikit. Dalam kaitan itu, apa yang dikatakan Mackenzie Valley (2007) yang memasukkan salah satu dimensi atau komponen yakni population sustainability cukup relevan dalam kajian ini. Tampak bahwa dampak keluar-masuknya penduduk dalam suatu wilayah, baik antar pulau (Jawa–Sumatera) maupun antar wilayah (kota-desa) sangat penting dan mendapat perhatian yang tinggi dari para responden.

Hal ini menjustifikasi apa yang dikemukakan oleh Effendi dan Alla (2014) bahwa ada hubungan antara panjang jalan dan luas lahan sawah secara berlawanan. Dengan kata lain, jika pembangunan jalan terus dilakukan, maka dapat berpengaruh

terhadap semakin kecilnya luas lahan sawah. Artinya, dengan dibangunnya JSS, maka akan secara otomatis juga akan didukung oleh pembangunan jalan (pada rute yang telah ditetapkan) sehingga akan menambah panjang jalan. Jika pembangunan jalan dilakukan, maka bukan tidak mungkin akan memanfaatkan lahan sawah yang sudah ada. Oleh karena itu, pembukaan lahan sawah baru sebagai pengganti sekiranya ada lahan sawah yang terkena pembangunan jalan tampaknya menjadi hal yang perlu diperhatikan agar program ketahanan pangan senantiasa tetap dapat terjaga.

Implikasi dari perubahan struktur demografi (kependudukan) tersebut adalah terjadinya alih fungsi lahan untuk berbagai jenis kebutuhan manusia yang semakin bertambah. Namun, yang berpotensi besar terjadi adalah lahan sawah/

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 7 No.1 April 2015, hal 1- 79

24

ladang ke industri, permukiman, dan perkantoran/pertokoan. Hal ini juga dilatari oleh fenomena semakin banyak industri yang beroperasi di Lampung Selatan, terutama pengolahan hasil pertanian dan perkebunan. Mackenzie Valley (2007) menjelaskan penggunaan lahan terkait dari penggunaan yang bersifat ekonomi tradisional, seperti lahan berburu atau bertani akan dihadapkan pada penggunaan yang bersifat modern seperti industri. Oleh karena itu, subdimensi perubahan penggunaan lahan seperti yang dikemukakan Mackenzie Valley tampaknya mendapat perhatian dari para responden.

Implikasi lebih lanjut dari alih fungsi lahan tersebut adalah berubahnya pola kepemilikan lahan terutama kepada para pendatang dan pengusaha. Sebagaimana pada umumnya bahwa setiap ada pembangunan di suatu kawasan akan berimbas pada perubahan pengunaan lahan dan pada akhirnya akan terjadi pergeseran kepemilikan lahan. Orang-orang lokal yang sebelumnya merupakan pemilik lahan cenderung akan menjual lahannya kepada para pendatang. Selain itu, berdasarkan data yang ada, responden mempersepsikan para pengusaha akan dominan membeli lahan warga lokal. Jika data ini dikaitkan dengan pandangan Mackenzie Valley (2007), maka sesungguhnya merupakan refleksi dari dampak keberlanjutan pendapatan dan pola hidup masyarakat lokal jika lahan-lahan penduduk lokal nantinya akan dikuasai dan dimiliki oleh para pengusaha.

Selanjutnya, dengan kondisi perubahan penggunaan lahan ke sektor industri dan kepemilikan kepada pengusaha, maka akan mendorong semakin berkembangnya berbagai sektor usaha terutama perdagangan, industri jasa, industri barang, pertanian, perkebunan, dan perikanan. Kab. Lampung Selatan sebagai salah satu daerah yang relatif berkembang setelah dipindahkannya pelabuhan Panjang ke Bakauheni tentulah sangat potensial tumbuhnya berbagai jenis sektor usaha. Hal ini berarti bahwa dampak positif dari pembangunan JSS dalam meningkatkan berbagai sektor usaha secara persepsi tenyata positif. Kondisi ini sejalan dengan hasil temuan lapangan Chisango dan Bonface (2013) dan Hannan dan Kevin (2011) bahwa pembangunan akan membawa dampak positif berupa peluang bagi terbukanya berbagai sektor yang pada akhirnya juga akan membuka lapangan kerja. Demikian pula Tsundoda dan Samuel (2009), Huertas dkk. (2010), Iek (2013), dan Sudarsana (2011) bahwa dampak pembangunan akan membawa peningkatan penghasilan/pendapatan usaha ekonomi masyara-kat, mendatangkan benefit yang lebih baik, serta peningkatan sektor lainnya.

Oleh karena itu, untuk mengembangkan kawasan lokasi kaki JSS, dibutuhkan strategi sebagaimana yang dikemukakan Anwar (2010) dengan menghubungkan kawasan-kawasan lainnya. Dengan demikian, apa yang dikemukakan Pradhitasari dan Ibnu (2014) mengenai dampak sektor dan wilayah limpahan dari rencana investasi JSS pada pulau Sumatera dan Jawa serta Lampung dan Banten dapat diarahkan dengan lebih baik, termasuk yang dikatakan Alkadri (2011) akan berdampak pada Kawasan Ekonomi Khusus Bojonegara. Demikian pula prediksi Bahri dan Bess (2012) dan Taryono dan Hendro (2013) bahwa pembangunan JSS akan membawa dampak bagi kemudahan transportasi dan sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi akan dapat terwujud.

Namun demikian, untuk ekses dari pembangunan JSS juga tidak dapat diabaikan begitu saja. Pengalaman masyarakat Lampung Selatan selama ini dengan banyaknya jenis industri membuat masalah polusi dan kriminalitas menjadi hal yang harus diperhatikan. Data ini sejalan dengan temuan Huertas dkk. (2010) dan Tsundoda dan Samuel (2009) bahwa suatu pembangunan selain memiliki dampak positif, juga akan menimbulkan dampak negatif. Dampak negatif dari suatu pembangunan merupakan sesuatu yang senantiasa terjadi. Rasa khawatir akan timbulnya dampak negatif seperti polusi, kemacetan, kekumuhan, kriminalitas, dan prostitusi merupakan refleksi dari dampak psikologis yang dialami oleh masyarakat. Demikian pula Prawiro (2014) yang menjelaskan bahwa pembangunan infrastruktur jalan akan menimbulkan dampak negatif seperti kebisingan, polusi, dan kemacetan lalu lintas perlu menjadi perhatian, termasuk yang dikemukakan oleh Mahagana dan Cahya (2013) seperti keresahan masyarakat dan penurunan kualitas udara dapat diantisipasi sedini mungkin.

Secara keseluruhan, semua persepsi yang dikemukakan oleh responden di atas pada dasarnya masih pada tataran opini. Seperti yang dikatakan oleh Viyakumar dalam Loue dan Martha (2008) bahwa persepsi tersebut merupakan refleksi penerimaan informasi fisik. Persepsi sosial tersebut seyogianya dapat dimaknai sebagai sesuatu yang ada saat ini dan masih bersifat dinamis. Oleh karena itu, persepsi sosial yang relatif masih cenderung positif tersebut menjadi modal dasar penciptaan kondisi yang kondusif bagi pembangunan JSS. Hal ini sekaligus menjadi potret dan gambaran potensi dukungan masyarakat terhadap pembangunan JJS. Untuk itu, kondisi ini perlu terus dijaga agar tidak berubah menjadi persepsi yang negatif.

25

Persepsi Masyarakat terhadap Dampak Sosial Ekonomi Rencana Pembangunan Jembatan Selat SundaAndi Suriadi, Masmian Mahida dan Aldina Rani Lestari

KESIMPULANBerdasarkan data dan pembahasan di atas,

dapat disimpulkan bahwa persepsi masyarakat lokal terhadap potensi dampak sosial ekonomi pembangunan JSS cukup bervariasi, baik yang berdimensi positif maupun negatif:

1) Potensi migrasi dari Jawa ke Sumatera dipersepsikan masih lebih tinggi (77%) dibanding dari Sumatera ke Jawa. Sementara potensi migrasi dari perdesaan ke perkotaan juga dipersepsikan masih lebih tinggi (58%) dibanding dari perkotaan ke perdesaan.

2) Potensi alih fungsi lahan dipersepsikan paling tinggi akan terjadi dari lahan sawah/ladang ke industri (63%) serta ke permukiman (53%) dan pertokoan/ perkantoran (47%) dibanding alih fungsi lahan dari permukiman ke peruntukan lainnya.

3) Potensi alih kepemilikan lahan dipersepsikan paling tinggi akan terjadi dari penduduk lokal ke pendatang (71%) dan ke pengusaha (67%) dibanding dengan ke pemerintah dan orang asing.

4) Potensi sektor usaha dipersepsikan semuanya akan tinggi. Namun, tiga sektor diyakini sangat tinggi yakni sektor perdagangan (89%), sektor industri jasa (89%), sektor industri barang (86%), sementara tiga sektor lainnya agak tinggi, yakni pertanian (50%), perkebunan (50%), dan perikanan/nelayan (45%).

5) Ekses negatif yang dipersepsikan akan muncul paling tinggi adalah masalah polusi (65%) dan kriminalitas (62%), dibanding dengan masalah kekumuhan, kemacetan, prostitusi, dan lainnya.

Untuk itu, agar kondisi persepsi masyarakat terhadap potensi dampak sosial ekonomi rencana pembangunan JSS tetap dalam keadaan yang kondusif, dapat diajukan saran sebagai berikut:

1) Diperlukan Peraturan Daerah (Perda) terutama untuk meminimalisasi dampak yang dikhawatirkan masyarakat lokal, misalnya melakukan pembatasan dan proteksi kepemilikan lahan oleh pendatang secara masif dan pengusaha serta penggunaan lahan yang sesuai tata ruang sehingga dapat membatasi alih fungsi lahan yang dikhawatirkan tidak terkendali.

2) Sosialisasi yang terus-menerus perlu dilakukan terutama manfaat sosial ekonomi yang akan ditimbulkan dengan adanya pembangunan JSS. Strategi yang dapat digunakan adalah melakukan pendekatan kepada tokoh-tokoh masyarakat agar secara perlahan mengikis

persepsi ekses negatif yang akan timbul melalui kebijakan, program, dan kegiatan penanganan dampak yang sistematis dan terstruktur agar apa yang dikhawatirkan warga tidak terjadi atau paling tidak dapat diminimalisasi.

3) Perlu ada sosialisasi skenario antisipasi ekses negatif melalui strategi komunikasi yang lebih bersifat persuasif; pola komunikasi yang langsung (antar persona dan kelompok kecil); serta penggunaan media massa (televisi, radio, dan surat kabar) serta media nirmassa (booklet, brosur, dan sejenisnya).

UCAPAN TERIMA KASIHTerima kasih kami sampaikan kepada Kepala

Puslitbang Sosekling, Tim dari Program Studi Pengelolaan Infrastruktur dan Pembangunan Masyarakat (PIPM) Universitas Gadjah Mada dan rekan – rekan tim penelitian yang telah membantu atas terlaksananya penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKAAlkadri. 2011. “Kebijakan Pengembangan Kawasan

Ekonomi Khusus (KEK) di Provinsi Banten.” Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia 13 (1) April 2011.

Anwar, Aditya. 2010. Strategi Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi Antar Kawasan Jembatan Selat Sunda. Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum 2 (3) November 2010 (169-176).

Bahri, Sjamsul dan Bess Tiesnamurti. 2012. “Strategi Pembangunan Peternakan Berkelanjutan dengan Memanfaatkan Sumber Daya Lokal” Jurnal Litbang Pertanian 31 (1) Desember 2012.

Bryman, Alan. 2004. Social Research Methods. New York: Oxford University Press.

Burdge, Rabel J. dan Frank Vanclay. 1996. Social Impact Assessment: A Contribution to the State of the Art Series. http://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/07349165.1996.9725886 (Diakses 24/10/2014).

Chisango, Fotune Futute T; Tawanda Dzama; dan Bonface Zibanda. 2013. Perception on the Impact of Devolution on Zimbabwe’s Economic Development : A Case of Matebeleland Region. Dalam International Journal of Marketing and Technology. http://e-resources.pnri.go.id/ library.php?id=00001 (Diakses 24/10/14).

Effendi, Puspita Mega Lestari dan Alla Asmara. 2014. Dampak Pembangunan Infrastruktur Jalan dan Variabel Ekonomi Lain terhadap Luas Lahan Sawah di Koridor Ekonomi Jawa. Jurnal Agribisnis Indonesia 2 (1) Juni 2014.

Evrianto, Wukram I, dkk. 2012. Kajian Aspek

Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 7 No.1 April 2015, hal 1- 79

26

Keberlanjutan Material Konstruksi Jembatan Selat Sunda. Prosiding Seminar Membangun Infrastruktur Teknik Sipil yang Berkelanjutan. Surakarta: Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Hannan, Michael J. dan Kevin E. Courtright. 2011. Exploring the Perception of Economic Impact of State Correlation Institutions in Rural Pennsylvania. International Journal of Business and Social Science 2 (22) December 2011. http://e-resources.pnri.go.id/library.php?id=00001 (Diakses 24/10/2014).

Huertas dkk. 2010. Analysis of the Opinion About Economic and Social Impacts of Golf Courses in a Tourist Destination. World Journal of Enterpreneurship, Management and Sustainability Development 6 (1) 2 , 2010.

Iek, Mesak. 2013. Analisis Dampak Pembangunan Jalan terhadap Pertumbuhan Usaha Ekonomi Rakyat di Pedalaman May Barat Provinsi Papua Barat: Studi Kasus di Distrik Ayamaro, Aitinyo, dan Aifat. Jurnal Ekonomi Kuantitatif Terapan 6 (1)Februari 2013.

Imran, Iswandi dan Prasanti Widyasih Sarli. 2013. Efek Ketidakseragaman Gerakan Tanah Akibat Gempa terhadap Jembatan Ultra Panjang. Proceeding Seminar Jembatan Bentang Panjang “Pengaruh Gempa, Angin dan Fatigue Jembatan. Kerja sama Pusjatan, HPJI, Miors Indo, Midas, OVM dan Tensindo. Juli 2013.

Loue, Sana dan Martha Sajatovic. 2008. Encyclopedia of Aging and Public Health. New York: Springer.

Mackenzei Valley Environmental Impact Review Board. 2007. Socio-Economic Impact Assessment Guideliness dalam http://www.reviewboard.ca/upload/ref_library/SEIA_Guidelines_ hapter_2. pdf (Diakses 20/10/2014).

Mahagana, I Made AA dan Cahya Buana. 2013. Study Kelayakan Jalan Akses Jembatan Baru Ploso di Kabupaten Jombang – Jawa Timur. Jurnal Teknik Pomits 2 (2) Tahun 2013.

Muljono, Slamet dkk. 2010. Dampak Pembangunan Jalan terhadap Pendapatan Faktor Produksi Intra dan Inter Regional KBI – KTI. Jurnal Transportasi 10 (2) Agustus 2010.

Novitasari, Fika dan Sri Maryati. 2014. Pengaruh Pembangunan Infrastruktur terhadap Perkembangan Wilayah di Indonesia. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK 3 (2) 2014.

Permana, Chandra Darma dan Alla Asmara. 2010. Analisis Peranan dan Dampak Investasi Infrastruktur terhadap Perekonomian

Indonesia: Analisis Input-Output. Jurnal Manajemen & Agribisnis 7 (1) Maret 2010.

Pradhitasari, Handini dan Ibnu Syabri. Analisis Dampak Rencana Investasi Jembatan Selat Sunda Terhadap Pulau Sumatera dan Pulau Jawa. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK 3 (2) Juli 2014 (295-304).

Prawiro, Sembadha Victor. 2014. Kemungkinan Perbahan Guna Lahan Akibat Pembangunan Jalan Layang Non-Tol Antasari Blok M Berdasarkan Persepsi Masyarakat. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota A SAPPK 1 (2) 2014.

Puslitbang Sosekling, Balitbang PU bekerjasama Program Studi Pengelolaan Infrastruktur dan Pembangunan Masyarakat, Sekolah Pasca Sarjana UGM. 2013. Dampak Pembangunan Jembatan Selat Sunda terhadap Pilihan Moda Transportasi.

Sudarsana, Dewa Ketut. 2011. Penyertaan Manfaat Ekonomi Makro Berupa PDRB dalam Analisis Ekonomi Pembangunan Jalan Penghubung Bali Utara – Selatan. Jurnal Ilmiah Teknik Sipil 15 (2) Juli 2011.

Taryono dan Hendro Ekwarso. 2013. “Analisis Ketersediaan Infrastruktur di Pulau Sumatera.” Jurnal Sosial Ekonomi Pembangunan IV (10) November 2013.

Tsundoda, Tomoko dan Samuel Mendlinger. 2009. Economic and Social Impact of Tourism on a Small Town: Peterborough New Hampshire. Journal of Service Science and Management 2 (2) http://e-resources.pnri.go.id: 2056/docview/ 229997156/fulltextPDF?accountid= 25704. (Diakses 20/10/2014).

Vaza, Herry. 2013. Dukungan Penelitian dan Advis Teknis dalam Penyelenggaraan Jembatan Bentang Panjang. Proceeding Seminar Jembatan Bentang Panjang Pengaruh Gempa, Angin dan Fatigue Jembatan. Kerja sama Pusjatan, HPJI, Miors Indo, Midas, OVM dan Tensindo. Juli 2013.

Yanti, Ananda Tri Dharma; Mochammad Saleh Soeaidy; dan Heru Ribawanto. 2013. Dampak Kebijakan Pembangunan Jembatan Suramadu terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat dalam Pengembangan Wilayah Jembatan Suramadu: Studi di Desa Sukolilo Barat Kecamatan Labang Kabupaten Bangkalan. Jurnal Adminsitrasi Publik (JAP) 1 (2) 2013.