130
CENGKERAMAN LIBERALISASI PASAR INFRASTRUKTUR Free Trade Watch Edisi III - Oktober 2012 W O R L D B A N K - A D B

Free Trade Watch

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Free Trade Watch

Citation preview

Page 1: Free Trade Watch

CENGKERAMANLIBERALISASI PASAR

INFRASTRUKTUR

Free Trade WatchEdisi III - Oktober 2012

Edisi III - O

ktober 2012Fre

e Trad

e W

atch

WO

RLD

BANK - A

DB

Page 2: Free Trade Watch

Penaggung Jawab:Suchjar Effendi

Chief of Editor: Salamuddin Daeng

Reporter: Rika FebrianiRachmi HertantiNirmal Ilham

Kontributor: Program Officer dan Staff IGJ

FinansialReniElsyeErna

TehnikIdris

Alamat RedaksiJl. Tebet Barat Dalam VI L No. 1 A Jakarta SelatanTelp. +62-21 83 00 784www.igj.or.id

Cover:

mengundang anda untuk menuliskan gagasan kritis, kreatif, inovatif dan visioner yang berorientasi pada tema-tema yang membangun wacana keadilan global di tengah masyarakat. Naskah 8-10 halaman kwarto, selayaknya dilengkapi dengan referensi acuan maupun pendukung. Redaksi dapat menyunting naskah tanpa mengubah maksud maupun isi.

Page 3: Free Trade Watch

1Edisi III - Oktober 2012

REDAKSI

DAFTAR ISI

AKTIFITAS IGJ

IDEOLOGI

KEGIATAN IGJ

GLOBALISASI

REGIONALISME

NASIONAL

Cengkeraman Liberalisasi Pasar Infrastruktur

Manipulasi Kapitalisme atas Krisis Infrastruktur

Infrastruktur Sebagai Landasan Bagi Penciptaan Lapangan Kerja Berkelanjutan

Krisis Ekonomi, Infrastruktur, dan The World Bank Groups

Utang Infrastruktur Asian Development Bank kepada Indonesia

Strategi Penyelamatan Uni Eropa: Hanya Menunda Kebangkrutan

Perburuan Modal Multinasional Dalam Sektor Infrastruktur Asean

Politik Infrastruktur MP3EI dan Akumulasi Melalui Perampasan

Utang Luar Negeri dan Liberalisasi Penyediaan Infrastruktur di Indonesia

Skenario Global Dibalik Liberalisasi Infrastruktur Telekomunikasi Indonesia Pasca Reformasi

Indonesia Merdeka Berproduksi (?)

Mengkritisi Cara Pemerintah Menangani Permasalahan Infrastruktur

Terkait CEPA; Desak Kemendag Update Proses Negosiasi

Utang Indonesia makin membahayakan Ekonomi & Bisnis

Tolak Kedatangan Menlu AS, Usir Freeport dari Tanah Papua !

Petisi Blok Mahakam

Merebut KedaulatanNasional Kita

2

4

16

23

35

45

57

71

80

90

101

105

110

113

115

118

123

126

Page 4: Free Trade Watch

2

REDAKSI

CENGKERAMAN LIBERALISASI PASAR INFRASTRUKTUR

Infrastruktur merupakan salah satu sektor ekonomi yang menjadi rebutan investor internasional sejak krisis keuangan global 2008. Sektor infrastuktur khususnya di negara-negara berkembang merupakan pasar potensial bagi

industri di negara-negara maju yang tengah mengalami stagnasi dan kelesuan khususnya dalam industri berat.

Sebagaimana diketahui bahwa sejak krisis keuangan melanda AS, EU dan Jepang yang merupakan pusat kapitalisme, industri utama seperti besi baja, energi, otomotif, telah mengalami pelambatan. Sumber penyebabnya adalah overproduksi global dalam industri tersebut dan underconsumption (rendahnya daya beli global) terhadap hasil-hasil industri.

Kondisi ini dialami US, Eropa, China, Jepang, Korea, India. China melakukan berbagai daya upaya dalam memburu pasar infrastuktur AS, sementara negara-negara lain seperti Jepang, Korea, India memburu pasar China. Ribuan industri di negara maju telah mengalami kebangkrutan yang mengakibatkan PHK massal serta ancaman sosial politik lainnya.

Untuk mengatasi masalah tersebut berbagai upaya dilakukan oleh kapitalis internasional melalui negara-negara maju dengan merancang berbagai instrumen global untuk menguasai pasar infrastuktur, baik itu melalui IMF, World bank, ADB dan berbagai lembaga keuangan lainnya. Isu infrastruktur menjadi masalah yang sangat intensif dibicarakan pada tingkat G20, APEC, EPA (model perdagangan bebas Uni Eropa).

Page 5: Free Trade Watch

3Edisi III - Oktober 2012

ASEAN yang merupakan regionalisme ekonomi baru menjadi incaran bagi pasar infrastruktur negara-negara maju. Konsep ASEAN pada dasarnya dimotifasi oleh semangat membangun ASEAN conectifity dalam pengertian investasi, perdagangan dan keuangan, yang tentu saja membutuhkan infrastruktur yang memadai. Namun rendahnya daya beli masyarakat di ASEAN akan menjadikan kawasan ini sebagai lahan invasi project infrastruktur melalui skema pembiayaan swasta dan utang luar negeri.

Bank Dunia menyatakan, dengan berubahnya sektor keuangan pasca krisis finansial, cara-cara baru untuk mendanai investasi infrastruktur perlu dikembangkan. Pemerintah perlu fokus pada percepatan persiapan proyek-proyek infrastruktur. (kompas, Rabu 23 Mei 2012).

Sementara Indonesia membutuhkan sekitar US$ 250 billion dalam rangka membangun infrastruktur sebagai salah satu cara untuk mengakhiri hambatan investasi (botlenecks) dan pertumbuhan yang rendah. Demikian dikatakan oleh Morgan Stanley. Publik dan private investment diinfrastruktur diperkirakan setara dengan 5,9 persen Gross Domestic Product 2015. (Bloomberg.com, 5, 11, 2011). Namun diketahui bahwa dana yang sedemikian besar tidak akan mampu diperoleh dari sumber dalam negeri dan kemungkinan besar akan dibiayai dengan utang.

Deputi Usaha Bidang Logistik dan Infrastruktur Kementerian BUMN, Sumaryanto Widayatin, menyatakan bahwa pasar infrastruktur Indonesia tersebut akan diwadahi melalui Program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi (MP3EI) serta skema kerjasama pemerintah dan swasta (Public Private Partnership/PPP) juga menjadi salah satu solusi menghadapi krisis global. Proyek infrastruktur akan dapat menahan laju dampak krisis, juga sebagai salah satu solusi investasi agar sektor swasta bisa membantu negara agar tidak terkena dampaknya. PPP akan menimbulkan kepercayaan investor sudah percaya untuk berinvestasi di Indonesia.

Pertanyaannya bagaimana mungkin infrastruktur yang merupakan public goods yang seharusnya disediakan oleh negara sebagai kompensasi atas pajak yang dibayarkan oleh rakyat, diserahkan sebagai bisnis sektor swasta. Lalu dimana tanggung jawab negara terhadap rakyat ?

Salamuddin Daeng

Page 6: Free Trade Watch

4

GLOBALISASI

4

Manipulasi Kapitalisme atas Krisis Infrastruktur

Oleh: Salamuddin Daeng Indonesia for Global Justice (IGJ)

4

Page 7: Free Trade Watch

5Edisi III - Oktober 2012

Latar belakangDi masa krisis keuangan saat ini, salah satu sektor yang dianggap penting

dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi adalah sektor infrastuktur. Sehingga membuat penyediaan pembangunan infrastruktur menjadi tujuan investasi internasional untuk mencari keuntungan. Dana-dana yang mengalami kejenuhan dalam pasar keuangan kemudian kemudian beralih ke sektor infrastuktur dan menjadi dasar bagi tumbuhnya pasar keuangan yang baru.

Paradigma penyediaan barang publik seperti infrastruktur telah bergeser secara mendasar, yang sebelumnya merupakan tanggung jawab negara menjadi tanggung jawab sektor swasta. Infrastruktur yang seharusnya dibiayai dengan pajak yang dibayarkan oleh rakyat, saat ini justru akan diserahkan pemerintah kepada investor swasta dan melibatkan investasi publik. Infrastruktur akan dijadikan sebagai strategi untuk memobilisasi dana massa ke dalam pasar keuangan melalui bank-bank investasi dan bursa saham.

Pasar infrastruktur dijadikan dasar dalam menggerakkan kembali sektor manufaktur yang berasal dari pertambangan, besi baja, dan otomotif yang dalam beberapa waktu terakhir mengalami gejala overproduksi dan underconsumption. Sebagaimana kita ketahui bahwa negara-negara penghasil besi baja utama seperti China, India, AS, Korea, Jepang, dan Eropa telah kehilangan pasar secara signifikan. Masing-masing negara penghasil besi baja tersebut berusaha memburu pasar dunia dengan sekuat tenaga diantaranya menggunakan instrumen perdagangan bebas.

Selain itu pasar infrastuktur akan membantu pemulihan sektor keuangan yang juga mengalami kebangkrutan. Dana-dana yang berputar dalam pasar keuangan yang saat ini mengalami kemandekan dan menyebabkan perekonomian cenderung bergerak negatif akibat tidak adanya ekspektasi baru, maka nantinya akan kembali dapat digairahkan.

Mengutip dari CIBC World Markets 2009, perkiraan biaya pada pekerjaan umum akan menghabiskan hingga lebih dari USD 35 triliun pada periode 2010-2030. Sementara Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memperkirakan bisa menjadi USD 71 triliun total pengeluaran selama 20 tahun ke depan.

Booz Allen Hamilton, in a 2007 report1, memperkirakan kebutuhan investasi “modernize obsolescent systems and meet expanding demand” untuk pembangunan 1 Booz Allen Hamilton Inc, atau lebih dikenal Booz Allen, adalah sebuah perusahaan konsultan Amerika yang

berkantor pusat di Tysons Corner, Fairfax County, Virginia, dengan 80 kantor lainnya di seluruh Amerika Serikat. Merupakan salah satu perusahaan konsultasi teknologi paling bergengsi di dunia, dan salah satu perusahaan konsultan terbaik oleh Majalah Consulting. Didirikan pada tahun 1914 oleh Edwin G. Booz, perusahaan ini adalah salah satu perusahaan konsultan manajemen tertua di dunia. http://en.wikipedia.org/wiki/Booz_Allen_Hamilton

Page 8: Free Trade Watch

6

infrastruktur jaringan global antara 2005 sampai 2030 dapat mencapai USD 41 trilliun.

Berikut ini data kebutuhan dana infrastruktur global berdasarkan geografi dan sektor sebagai berikut 2:

Estimasi Kebutuhan Dana Infrastruktur Global Berdasarkan Geografi dan Sektor

No Kawasan Kebutuhan dana Infrastuktur

1 Middle East $0.9 trillion

2 Africa $1.1 trillion

3 US/Canada $6.5 trillion

4 South America/Latin America $7.4 trillion

5 Europe $9.1 trillion

6 Asia/Oceania $15.8 trillion

SEKTOR Jumlah

1 Water and wastewater $22.6 trillion

2 Power $9.0 trillion

3 Road and rail $7.8 trillion

4 Airports/seaports $1.6 trillionSumber : Booz Allen Hamilton, in a 2007 report

Besarnya kebutuhan dana infrastruktur tersebut akan mendorong perbankan internasional mengambil peran besar dalam menyediakan dana yang diperlukan bagi kebutuhan investasi infrastruktur. Lembaga keuangan internasional seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank (WB) dan Asian Developmnet Bank (ADB), berlomba-lomba menyediakan dana yang besar dalam rangka mendukung sektor infrastruktur. Selain itu bank-bank milik pemerintah negara maju seperti Japan Bank for International Cooperation (JBIC) siap membiayai perusahaan-perusahaan nasional Jepang untuk melakukan investasi infrastruktur di luar negeri.

Demikian pula halnya dengan bank investasi terkemuka seperti JP Morgan yang merupakan lembaga keuangan yang memiliki 20,000 clients, termasuk corporations, governments, states, municipalities, health-care organizations,

2 http://www.financialsense.com/contributors/richard-mills/global-infrastructure-investment-deficit

Page 9: Free Trade Watch

7Edisi III - Oktober 2012

education institutions, banks and investors, di sekitar lebih dari 100 negara, menyediakan layanan lengkap dalam memberikan layanan keuangan dalam pembangunan infrastuktur dan tinggal menunggu saat yang tepat untuk mengarahkan dana mereka dalam investasi tersebut.

Dari penjelasan diatas maka diperoleh keterangan bahwa krisis keuangan bukanlah tentang kelangkaan sumber keuangan global, namun stagnasi dalam pasar keuangan sehingga dibutuhkan peluang investasi baru dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi bagi upaya menggerakkan sektor keuangan itu sendiri dan menggerakkan kembali perekonomian global yang mengalami stagnasi mendalam akibat krisis global sejak 1998 lalu.

Peran Rezim InternasionalDalam berbagai pertemuan internasional isu infrastruktur semakin intensif

dibicarakan. G20 yang beranggotakan 20 negara dengan PDB terbesar di dunia menjadikan investasi infrastruktur sebagai fokus utama dalam perundingan. G20 hendak menetapkan skema penyediaan dan pembiayaan inftasruktur dalam rangka menolong krisis.

Salah satu keputusan penting G20 pada Juli 2012, dalam inftasruktur adalah merancang lembaga pembiayaan infrastuktur. Keberadaan lembaga pembiayaan infrastruktur ini merupakan kunci dari pertumbuhan ekonomi yang diharapkan. Dalam dokumen G20 dikatakan bahwa “investment in infrastructure is critical for sustained economic growth, poperty reduction and job creation. Deklarasi tersebut memandang penting keberadaan multilateral development bank terkait dengan pembiayaan infrastruktur tersebut. Kebutuhan dana infrastruktur diperkirakan sangat besar. Perdana Menteri India Manmohan Singh menyatakan untuk negara berkembang saja kebutuhan dapat mencapai USD 1 triliun dalam lima tahun mendatang. (Canadian.com. 6, 2012)

Selanjutnya dalam pertemuan APEC yang berlangsung di Rusia beberapa waktu lalu juga menjadikan isu infrastruktur sebagai tema pembahasan utama. APEC berangotakan 21 negara dan lembaga keuangan internasional seperti Asian Development Bank (ADB), Inter Americant Development Bank, World Bank, International Monetary Fund (IMF) dan berbagai institusi bisnis lainnya. Pertemuan ini menyepakati bahwa akselerasi investasi infrastruktur merupakan strategi penting dalam menjawab pembangunan berkelanjutan di region Asia Pasifik. Dikatakan bahwa pembiayaan publik dan swasta merupakan jalan yang penting untuk mendukung investasi infrastruktur.

China sebagai salah satu anggota APEC membuat ekspektasi yang besar dalam pengembangan infrastruktur. China mengajukan empat proposal besar

Page 10: Free Trade Watch

8

terkait dengan infrastruktur yakni; 1) Pertama, mempercepat pembangunan infrastruktur untuk memperkuat landasan pembangunan. Kedua, kawasan Asia-Pasifik harus meningkatkan konektivitas dan efisiensi dari rantai pasokan (suplay chain) untuk menjamin kelancaran fungsi infrastruktur, ketiga wilayah tersebut harus memperdalam reformasi struktur investasi untuk berbagi peluang dalam pembangunan infrastruktur. Keempat, kawasan Asia-Pasifik harus memperkuat pertukaran dan kerjasama untuk bersama-sama mempromosikan konektivitas regional. 3

Selanjutnya Indonesia sebagai mana dikemukakan oleh Presiden SBY dalam pertemuan APEC menyakan membutuhkan dana sekitar USD 500 miliar atau sekitar Rp 5.000 triliun untuk kebutuhan membangun infrastruktur. SBY menyatakan Indonesia telah mempersiapkan project MP3EI dalam rangka memfasilitasi masuknya modal utnuk melakukan investasi membangun infrastruktur melalui skema Public Private Partnership (PPP). (Indii.co.id, investor daily 10 september 2012).

Selanjutnya ASEAN yang merupakan regionalisme baru negara-negara Asia Tenggara memiliki obsesi yang besar dalam rangka membangun infrastruktur bagi ASEAN untuk merancang ASEAN Connectifity. ASEAN telah membentuk bank pembiayaan infrastruktur atau Asean Infrastruktur Fund (AIF) dengan modal awal sebesar sebesar USD 485.2 juta dimana USD 335,2 juta adalah dari ASEAN sedangkan sisanya USD 150 juta berasal dari ADB. Sekitar enam proyek setiap tahun diperkirakan akan dilakukan mulai tahun depan. Total komitmen pinjaman AIF sampai tahun 2020 akan mencapai USD 4 miliar. Dengan tujuan untuk meningkatkan lebih dari USD 13 miliar dalam pembiayaan infrastruktur tersebut, Menteri Keuangan ASEAN, Presiden Bank Pembangunan Asia (ADB), dan Sekretaris Jenderal ASEAN telah menandatangani Perjanjian Pemegang Saham ASEAN Infrastructure Fund (AIF) selama akhir pekan di Washington, DC.4

Beberapa perjanjian perdagangan bebas lainnya juga mencoba merancang skema penyediaan infrastruktur oleh sektor bisnis. Perjanjian perdagangan bebas Indonesia-EU, CEPA tampaknya akan membuka sektor infrastruktur Indonesia bagi investasi EU. Dalam dokumen Joint Study Group pembangunan infrastruktur merupakan salah satu perhatian utama dari Uni Eropa dalam mendorong perdagangan bebas dengan Indonesia. Skema utama dalam pembangunan infrastruktur yang diinginkan adalah PPP. Tujuan nya adalah agar investor Uni Eropa lebih tergerak melakukan investasi di Indonesia.

3 http://www.chinadaily.com.cn/china/2012huapec/2012-09/09/content_15745517.htm4 http://www.aseansec.org/26643.htm

Page 11: Free Trade Watch

9Edisi III - Oktober 2012

Peran sektor swastaPembiayaan infrastruktur oleh sektor swasta memang bukan hal yang baru

dalam perekonomian dunia, namun semenjak krisis keuangan nampaknya skema pembiayaan semacam ini akan semakin meluas. Salah satu alasan utama melibatkan sektor swasta dalam penyediaan infrastruktur adalah dikarenakan negara tidak memiliki kemampuan untuk menyediakan sendiri infrastruktur yang diperlukan.

Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa serta sebagian negara berkembang lainnya, anggaran pemerintah ditekankan agar tetap memiliki kemampuan dalam membayar utang kepada swasta, baik swasta dalam negeri maupun swasta asing. Krisis utang negara-negara Eropa sejak 2008 lalu telah mendorong kebijakan lebih keras dari pemerintah untuk mengurangi belanja publik dan memprioritaskan kemampuan negara dalam membayar utang. Dengan demikian pembiayaan infrastruktur di Eropa pun akan diarahkan sepenuhnya dilakukan oleh sektor swasta.

Di Indonesia sebagian besar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah habis dialokasikan untuk kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan seperti gaji, tunjangan, perjalanan dinas. Lebih dari 75 persen anggaran APBN hanya dialokasikan untuk anggaran rutin dan sisanya dialokasikan untuk anggaran pembangunan. Buruknya sistem anggaran nasional Indonesia menyebabkan pemerintah SBY tidak dapat menjalankan pembangunan infrastruktur secara signifikan dalam 8 tahun masa pemerintahannya.

Dengan demikian pembiayaan inftasruktur oleh swasta menjadi andalan satu-satunya pemerintah. Kecendrungan semacam ini tentu akan sangat merugikan kepentingan publik secara luas. Negara seharusnya memegang peran penting dalam membangun infrastruktur publik, bukan melepaskan tanggung jawab ini. Dengan demikian maka terjadi dislokasi keuangan publik yang sangat luas. Publik pembayar pajak tidak akan dapat menikmati hasil pajak mereka melalui pembangunan infrastruktur publik.

Kebijakan melibatkan sektor swasta akan dimulai dengan pembentukan bank pembiayaan baru sebagai salah satu mekanisme yang dianggap solusi mengatasi persoalan infrastruktur. Pembentukan bank pembiayaan dimulai dengan pendirian bank infrastruktur negara baik nasional dan regional. Bank infrastruktur menggunakan uang milik pemerintah dalam bentuk pinjaman, kredit pajak, subsidi langsung untuk memungkinkan aliran modal milik pribadi dalam sektor public goods. Hasilnya, terbangunnya sistem public private partnership (PPP) yang merupakan kombinasi antara dana publik dan dana private dalam

Page 12: Free Trade Watch

10

penyediaan public good yang didasarkan atas prioritas nasional.5

Langkah untuk melibatkan bank pembiayaan internasional dalam pengembangan infrastruktur terlihat dalam hasil joint study group Indonesia – EU FTA (CEPA). Analisis Kelompok Visi yang ditugaskan kedua pihak dalam negosiasi merekomendasikan keterlibatan langsung dan substansial dari Bank Investasi Eropa (EIB) dalam pembangunan infrastruktur Indonesia. termasuk partisipasi dan dukungan Dana Jaminan Infrastruktur Indonesia (IIFGF) atau PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) dimana modal tambahan dan pengembangan kapasitas sama-sama diperlukan. Dengan kesepakatan ini maka dipastikan infrastruktur Indonesia ke depan akan dapat dikuasasi oleh investor swasta EU.

Pemerintah tengah melakukan negosiasi dalam rangka memfasilitasi PPP bagi Uni Eropa melalui perjanjan CEPA. Berdasarkan rumusan hasil joint study kedua belah pihak disepakati Fasilitasi perdagangan dan investasi, dalam kegiatan apa pun, harus dibangun berdasarkan perkembangan terakhir dalam prosedur dan otomatisasi cukai. Investasi langsung dari perusahaan-perusahaan UE dapat dikaitkan secara menguntungkan dengan infrastruktur, pekerjaan umum dibidang infrastruktur dan kerjasama publik/privat (PPP). Fasilitasi dan investasi infrastruktur yang efektif yang terkait dengan globalisasi sangatlah penting bagi penggabungan yang menguntungkan antara perusahaan lokal Indonesia dan UE menjadi rantai-nilai global. Dengan cara ini, akan terjadi interaksi yang jauh lebih baik dengan akses pasar dan pengembangan kapasitas.

Direkomendasikan untuk membuka kesempatan bagi investor UE di bidang pekerjaan umum, khususnya di bidang infrastruktur yang digabungkan dengan kerjasama publik-privat (public private partnership/PPP), yang merupakan hal yang menarik bagi investor. Dikatakan bahwa hal ini akan meningkatkan transfer fungsi-fungsi pengujian dan sertifikasi dari UE ke institusi-institusi Indonesia dalam kerangka regulatori yang disepakati bersama dan pengurangan biaya penggunaan infrastruktur berkualitas ekspor (export quality infrastructure, EQI) bagi sektor swasta. Selain itu Persyaratan konten local hendaknya dihapuskan, alasannya perusahaan global kerap memiliki strategi produk global yang diciptakan sebelum memasuki suatu pasar spesifik. Jika persyaratan konten lokal yang ditentukan oleh negara terlalu ketat hingga perusahaan perlu untuk memodifikasi produksinya atau rantai suplainya, hal ini dianggap sebagai disinsentif untuk menanam modal di pasar tersebut

5 Banking on the future, new Paradigm for rebuilding our nation infrastructure, Steven Newman, Real estate Institute, Baruch College. http://www.baruch.cuny.edu/realestate/pdf/H7656_BaruchBankingFutureWhtPaper.pdf

Page 13: Free Trade Watch

11Edisi III - Oktober 2012

Kesepakatan awal Indonesia EU dalam infrastruktur meliputi Pertama, CEPA harus membahas pengadaan pemerintah, khususnya dalam infrastruktur publik. Pihak-pihak harus setuju dalam menetapkan peraturan-peraturan transparansi dan menegosiasikan tahap-tahap tambahan dalam akses bersama ke pasar publik bersangkutan. Kedua, pembahasan harus meliputi hambatan-hambatan suplai terpenting di Indonesia, yakni logistik dan infrastruktur. Hal ini termasuk ketersediaan listrik, transportasi, jalan, dan pelabuhan. Ketiga, model Kemitraan Pemerintah-Swasta yang berfungsi penuh untuk pembangunan infrastruktur termasuk perusahaan-perusahaan lokal dan penanam modal sangat penting untuk mencapai kemajuan. Keempat, proyek infrastruktur akan terus memerlukan dukungan pemerintah dalam bentuk jaminan untuk pembelian aset kembali, untuk memastikan dan melandasi pendapatan minimum dan keuntungan komersial yang diharapkan. Kelompok Visi berpendapat bahwa FDI dan pembatasan konten lokal (40% dalam pengadaan barang, pelayanan, pekerjaan konstruksi, juga untuk Kemitraan Pemerintah-Swasta) menghambat kemajuan proyek pembangunan infrastruktur karena gagal menciptakan insentif dan daya saing untuk perusahaan lokal dan asing.

Sama halnya dengan kebijakan yang disepakati Indonesia dengan Jepang melalui Indonesia-Japan Economic Partnershive Agreement (IJEPA) 2005 lalu. Dalam kesepakatan tentang Kebijakan Persaingan disepakati beberapa hal (1) Kedua belah pihak berbagi pandangan tentang pentingnya upaya dalam kompetisi kebijakan di bawah Jepang-Indonesia EPA. (2) Pihak Jepang menekankan bahwa tujuan dari diskusi tentang kebijakan persaingan di bawah EPA adalah untuk mencegah anti persaingan kegiatan di wilayah kedua negara dan menghalangi manfaat dari liberalisasi perdagangan dan investasi, sementara menunjukkan bahwa upaya di bidang kebijakan persaingan akan menjadi soft infrastruktur untuk investasi oleh perusahaan Jepang. Di atas ini, pihak Jepang menyarankan bahwa upaya standar yang tinggi baik kerjasama penegakan hukum dan kerjasama teknis harus dilakukan di bawah EPA antara kedua negara. Indonesia adalah salah satu negara paling maju di antara negara-negara ASEAN dalam hal upaya kebijakan persaingan. Pihak Jepang menekankan bahwa pemberitahuan, kerjasama, koordinasi, positif dan negatif sikap hormat pada khususnya harus dibahas dalam bidang penegakan kerjasama.

Pihak Jepang menyatakan berminat dalam liberalisasi sektor jasa termasuk manufaktur terkait jasa, jasa konstruksi, jasa informasi dan komunikasi, transportasi, dan jasa pariwisata, jasa distribusi, jasa keuangan, dan jasa hukum. Pihak Jepang menjelaskan bahwa jasa konstruksi Jepang dapat memberikan kontribusi untuk peningkatan infrastruktur di Indonesia, dan bahwa manufaktur terkait layanan sangat penting untuk industri manufaktur di mana investor Jepang

Page 14: Free Trade Watch

12

adalah salah satu kontributor terbesar bagi perekonomian Indonesia. Pihak Indonesia juga menyatakan minatnya dalam liberalisasi sektor jasa, termasuk pariwisata, informasi dan layanan komunikasi, transportasi laut, konstruksi, pendidikan dan kesehatan yang berhubungan dengan pelayanan.

Isu-isu yang sangat penting dan mendesak mengingat peningkatan investasi Lingkungan: (a) bea cukai, (b) perpajakan, (c) tenaga kerja, (d) promosi investasi/pengembangan industri pendukung, dan (e) infrastruktur. Industri Jepang menekankan perlunya membangun mekanisme, yang terdiri dari sektor publik dan swasta dari Jepang dan Indonesia, untuk menemukan masalah dan solusi dari masalah tersebut. Industri Jepang juga mengusulkan aktif memanfaatan Forum Bersama Investment, yang pendiriannya adalah diputuskan pada bulan Desember 2004.6

Jatuh Dalam Genggaman Modal AsingAda dua strategi utama yang akan digunakan oleh rezim SBY dalam membangun

infrastruktur yaitu, pertama dengan memobilisasi utang luar negeri dari berbagai negara di dunia, khususnya negara-negara yang memiliki cadangan liquiditas melimpah. Kedua, dengan memobilisasi sektor swasta untuk melakukan investasi pada pembangunan infrastuktur dalam skema kerjasama yang menjanjikan keuntungan bagi investor.

Untuk memperoleh utang dan investasi tersebut pemerintah SBY merancang proyek ambisius yang disebut dengan MP3EI. Didalam MP3EI memuat rencana meningkatkan konektivitas nasional yang terintegrasi secara lokal dan terhubung secara internasional (locally integrated, internationally connected). Penguatan konektivitas nasional ditujukan untuk memperlancar distribusi barang dan jasa, dan mengurangi biaya transaksi (transaction cost) logistik. 7

MP3EI bertujuan (1) menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi utama untuk memaksimalkan pertumbuhan; (2) memperluas pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan aksesibilitas dari pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, dan (3) menyebarkan manfaat pembangunan secara luas (pertumbuhan yang inklusif dan berkeadilan) melalui peningkatan konektivitas dan pelayanan dasar ke daerah tertinggal, terpencil dan perbatasan dalam rangka pemerataan pembangunan. Sedangkan secara spesifik, tujuan dari penyusunan Rencana Aksi Konektivitas MP3EI adalah untuk (1) Menjadi pedoman yang memuat sasaran, strategi, dan kebijakan percepatan pelaksanaan pembangunan serta pembiayaan kegiatan MP3EI yang menunjang konektivitas nasional; (2) Sebagai pedoman 6 (JAPAN-INDONESIA ECONOMIC PARTNERSHIP AGREEMENT JOINT STUDY GROUP REPORT May 2005, http://

www.mofa.go.jp/region/asia-paci/indonesia/summit0506/joint-3-2.pdf)7 http://pkps.bappenas.go.id/attachments/article/957/DESEMBER%20Khusus_KONEKTIFITAS_INDONESIA_L.pdf

Page 15: Free Trade Watch

13Edisi III - Oktober 2012

kepada Tim Koridor Ekonomi dan pelaksana kegiatan terkait dengan capaian dan target pelaksanaan kegiatan MP3EI yang menunjang konektivitas yang akan dilaksanakan pada tahun 2011-2012. (3) Mengkoordinasikan dan mensinkronkan sumber daya yang ada di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota di wilayah koridor untuk meningkatkan efisiensi pelaksanaan kegiatan MP3EI 2011-2012; baik dari sisi pendanaan yang bersumber dari APBN, APBD Provinsi, dan APBD Kabupaten/Kota, serta kontribusi lembaga donor dan swasta (KPS/PPP) maupun sumber daya lainnya; serta (4) Sebagai bahan masukan dalam penyusunan dan penyempurnaan dokumen perencanaan ditingkat pusat dan daerah.8

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyebutkan 20 miliar dolar AS disiapkan untuk pembangunan infrastruktur pada tahun 2013 mendatang. Dana ini, menurut Presiden, akan difokuskan pada sektor energi dan transportasi. “Di sektor transportasi, kita ingin menambah kapasitas jalan-jalan nasional sepanjang 4.278 km dari yang sudah ada. Kita juga berencana untuk membangun jalan-jalan baru sepanjang 559 km. Rel kereta api sepanjang 380 km dan 15 pelabuhan udara baru,” Presiden SBY menjelaskan dalam sambutannya, di JCC Jakarta, Selasa (28/8/2012).9

Program MP3EI tersebut dikatakan telah menarik minat berbagai lembaga keuangan internasional, termasuk lembaga keuangan swasta dari negara-negara maju. Hal ini dikarenakan skema pembiayaan infrastruktur tersebut akan dilakukan melalui skema PPP atau alokasi investasi secara bersama-sama antara pemerintah dan swasta melalui model kerjasama pemerintah dan swasta atau Public Private Partnership (PPP). Sedikitnya ada 33 proyek PPP yang telah dirancang pemerintah dalam MP3EI tersebut.

Morgan Stanley dalam majalah Bloomberg 5/11/2011 menyatakan bahwa Indonesia mungkin memerlukan investasi senilai USD 250 miliar atau sekitar Rp 2.500 triliun dalam bidang infrstuktur. Public Private Investment tersebut setara dengan 5,9 persen GDP tahun 2015. Perusahaan ini merupakan perusahaan multinasional yang bergerak dalam jasa keuangan yang siap membiayai pembangunan infrastruktur di Indonesia.

Hal tersebut dikemukakan dalam sebuah siaran pers dari sekretariat kabinet JP Morgan`s CEO Jamie Demon saat bertemu dengan President Susilo Bambang Yudhoyono di Kantor Presiden. Jamie Demon mengatakan pertemuan tersebut Kepala Negara didampingi oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Gita Wirjawan. Tujuan pertemuan “Siluman“ dengan presiden adalah untuk

8 Sustaining Partnershive, edisi Khusus konektifitas 2011, media informasi kerjasama pemerintah dan swasta, Deputi Bidang Sarana dan Prasaran Bappenas. http://pkps.bappenas.go.id/attachments/article/957/DESEMBER%20Khusus_KONEKTIFITAS_INDONESIA_L.pdf

9 http://www.tribunnews.com/2012/08/28/tahun-depan-pemerintah-siapkan-20-miliar-dolar-as

Page 16: Free Trade Watch

14

mendapatkan informasi lebih lanjut tentang proyek-proyek infrastruktur di bawah Program Master Plan Perluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Pada pertemuan itu kepala negara Indonesia meminta JP Morgan memberikan perhatian khusus kepada program MP3EI yang diluncurkan baru-baru ini. JP Morgan, lembaga keuangan internasional, diharapkan akan siap untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur, dan untuk menginformasikan kepada masyarakat internasional bahwa iklim investasi di Indonesia masih menjanjikan.

CEO JP Morgan juga mengatakan program MP3EI membutuhkan sejumlah besar dana dan karena itu JP Morgan diperkirakan akan memainkan perannya dalam program terutama dalam pendanaan proyek-proyek infrastruktur di Indonesia. JP Morgan adalah bank investasi global terkemuka dengan salah satu basis klien terbesar di dunia. Perusahaan ini menyediakan saran strategis, meminjamkan uang, meningkatkan modal, membantu mengelola risiko, memperpanjang likuiditas, dan memegang posisi kepemimpinan global hampir di semua lini bisnis utama.10

Project MP3EI merupakan program ambisius Pemerintahan SBY yang membangun 6 koridor ekonomi dan menghubungkan koridor tersebut dalam rangka memobilisasi sumber daya alam Indonesia dalam pasar internasional.11 Mega proyek pembangunan berbagai macam infrastuktur jalan, jembatan, pelabuhan, telekomunikasi, dan lain sebagainya dalam mengembangkan conectivity diantara koridor-koridor tersebut dan pasar internasional. Andalan utama dalam pembiayaan MP3EI adalah investasi sektor swasta dan utang luar negeri.

Pemerintah telah mengundang banyak investor internasional dalam rangka pembangunan infrastruktur. AS merupakan salah satu negara yang dipandang penting dalam proyek ini. Menteri Perindustrian mengatakan, kerjasama investasi itu untuk membantu pembangunan infrastruktur di 13 sektor dari 22 sektor MP3EI. Bentuk kerja sama pertama adalah proyek bersama PT Pertamina dengan Perusahaan Fuel Technologies Celanese dengan nilai investasi USD 2 miliar. “Joint Pertamina ini untuk membuat proyek batu bara dengan Celanese. AS juga akan membantu konsultasi mengenai pembangunan infrastruktur seperti di sektor teknologi informasi (IT), minyak, gas, dan peralatan berat. Wakil Menteri Luar Negeri AS Bidang Ekonomi dan Bisnis Jose W. Fernandez mengatakan kerjasama ini merupakan bentuk apresiasi AS terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia termasuk penciptaan lapangan kerja. “Pemerintah dan perusahaan Amerika ingin menjadi mitra dalam pembangunan tersebut. Amerika Serikat berminat investasi

10 http://www.antaranews.com/en/news/71010/jp-morgan-intends-to-fund-indonesia-infrastructure-projects11 Enam koridor ekonomi indonesia, yaitu: Koridor Sumatera, Koridor Jawa, Koridor Kalimantan, Koridor Sulawesi,

Koridor Bali–Nusa Tenggara, dan Koridor Papua–Kepulauan Maluku. http://pkps.bappenas.go.id/attachments/article/957/DESEMBER%20Khusus_KONEKTIFITAS_INDONESIA_L.pdf

Page 17: Free Trade Watch

15Edisi III - Oktober 2012

di Kutai Timur12

Deputi Sarana dan Prasarana Bappenas Dedy S Priatna pada pada paparan pada acara Working Level Task Force Indonesia-Korea, Working Group on Infrastructure and Construction di Korea Selatan menyatakan pemerintah Indonesia berkomitmen untuk terus meningkatkan investasi swasta dalam proyek infrastruktur dan penciptaan iklim investasi yang kondusif, khususnya bagi kerjasama dalam skema PPP. (I-News, Senin 15/10/2012). Keempat proyek yang ditawarkan kepada Korsel itu adalah: proyek Southern Bali Water Supply di Bali, Karian Water Conveyance, jembatan Batam-Bintan dan rel kereta api batubara Bengkulu-Muara Enim.13

Selain itu Indonesia juga meminta EIB mendukung proyek-proyek pemerintah dan swasta yang memungkinkan dalam infrastruktur, industri, agro-industri, pertambangan, dan pelayanan. Di bawah mandat yang ada dalam EIB (periode 2007-2013) EIB memiliki otoritas untuk meminjamkan s.d. 1 miliar Euro pada operasi keuangan Asia yang mendukung strategi kerja sama UE.

Pemerintah juga telah mendirikan PT PII pada 2010 sebagai 100% BUMN dan dirancang sebagai penyedia jaminan investasi. PT ini bertindak sebagai perusahaan asuransi dan menarik premi asuransi. Modal awal adalah Rp 1 triliun (USD 110 juta); ditambah dengan Rp 1 triliun disuntikkan pada 2010; oleh karena itu modal awalnya menjadi USD 220 juta. PT PII dibangun dengan bantuan Bank Dunia yang menyediakan USD 500 juta sebagai dukungan jaminan dan dari Yayasan Temasek yang menyediakan S$ 474.000.

Arah kebijakan nasional yang menyerahkan sektor tanggung jawab negara kepada swasta akan menimbulkan dua hal, pertama; Indonesia akan semakin tergantung pada utang luar negeri kepada lembaga keuangan global, seperti IMF, World Bank dan ADB dan negara-negara maju seperti AS, Jepang, Eropa. Kedua, semakin sulitnya akses rakyat terhadap infrastruktur baik dikarenakan harganya yang akan semakin mahal dikarenakan infrastruktur dikuasai sektor swasta untuk kepentingan meraih keuntungan.

***

12 http://indonesiainfrastructurenews.com/index.php/2727-pemerintah-akan-terus-tingkatkan-peran-swasta-di-proyek-infrastruktur

13 I-NEWS, Pemerintah Akan Terus Tingkatkan Peran Swasta di Proyek Infrastruktur, Published on 15 October 2012, Jakarta

Page 18: Free Trade Watch

16

GLOBALISASI

Infrastruktur Sebagai Landasan Bagi Penciptaan Lapangan Kerja Berkelanjutan

Oleh: Suchjar Effendi (board IGJ)

16

Page 19: Free Trade Watch

17Edisi III - Oktober 2012

Pada jaman antik dan abad pertengahan, bekerja itu dinilai sebagai suatu yang negatif dan menurunkan derajat. Bekerja pada waktu itu merupakan suatu kegiatan yang tidak pantas, yang sama dengan susah payah, beban,

berat dan kemiskinan. Oleh karena itu bekerja dilihat sebagai urusannya orang dari lapisan bawah.

Di jaman Yunani kuno bekerja itu dilihat sebagai kegiatan praxis dan oleh karenanya dinilai lebih rendah dibandingkan dengan kegiatan berteori. Sejak reformasi, terutama sejak Hegel dan Marx, bekerja menjadi dasar penentuan nasib manusia. Dilihat dari asal usulnya bekerja pada awalnya juga merupakan pergulatan manusia dengan alam untuk mempertahankan eksistensinya. Dalam etika Protestan, bekerja dinilai positif dan identik dengan pelaksanaan tugas serta kegiatan yang dikehendaki Tuhan. Sedangkan Max Weber melihatnya sebagai persyaratan untuk proses industrialisasi.

Masyarakat modern kini juga menilai positif kegiatan bekerja dan penghasilan yang dihasilkan darinya. Bekerja telah menjadi identitas manusia modern. Agama Islam juga sangat mendorong dan menghargai seseorang yang bekerja untuk dirinya sendiri dan manafkahi tanggungannya. Dalam teori ekonomi makro, bekerja merupakan faktor produksi di samping modal dan tanah. Karena bekerja itu dilakukan oleh manusia sebagai tenaga kerjanya, maka bekerja itulah yang merupakan faktor produksi sesungguhnya. Sedangkan modal dan tanah hanya merupakan alat produksi. Dari berbagai pandangan tersebut, manusia sebagai mahluk yang bekerja ditempatkan pada titik sentral dan terhormat, karena bekerja itu merupakan kegiatan manusia yang dikehendaki, terencana dan mendapatkan sanksi sosial yang bertujuan memperoleh penghasilan individu maupun kolektif.

Bekerja juga merupakan bagian dari Hak Azasi Manusia. Hal itu tercermin dalam deklarasi PBB tentang Hak Azasi Manusia tanggal 10 November 1948 yang untuk pertama kalinya memformulasikan hak-hak sosial yang berisi antara lain hak atas jaminan sosial, pekerjaan, persyaratan kerja yang layak dan memuaskan dan perlindungan dari PHK, jam kerja, cuti yang dibayar, dst. Semua itu merupakan bagian dari hak-hak dasar setiap individu di dalam dan terhadap negara, yang merupakan persyaratan eksistensi manusia yang bermartabat. Lalu, bagaimana jika orang tidak memperoleh pekerjaan alias menganggur. Apalagi dalam jumlah puluhan juta orang. Siapa sebenarnya yang memikul tanggung jawab untuk membuat kebijakan kesempatan kerja, agar tercipta lapangan kerja?

Di tahun 1950an sampai tahun 1980an kita melihat masih kuatnya peran negara dalam mengatur perekonomian dan melakukan intervensi untuk menciptakan lapangan kerja. Kebijakan penciptaan kesempatan kerja ala Keynes menganjurkan agar permintaan akan barang dan jasa ditingkatkan melalui kebijakan fiskal yang ekspansif dengan defisit anggaran. Para penerus Keynes, seperti Harrod dan

Page 20: Free Trade Watch

18

Domar mengembangkan model yang dapat menimbulkan efek pertumbuhan dalam jangka panjang. Waktu itu industrialisasi ala big push menjadi mode. Dengan model pertumbuhan seperti ini masalah kesempatan kerja diharapkan akan secara otomatis terpecahkan. Memang telah terjadi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi tingkat penciptaan kesempatan kerja tetap rendah.

Mengalirnya investasi langsung dari luar hanya sedikit menciptakan lapangan kerja, karena kapital intensif. Selain itu sebagian besar laba perusahan asing yang diperoleh tidak diinvestasikan kembali seperti yang diharapkan agar tercipta lapangan kerja baru, tetapi justru mengalir ke luar. Sementara itu untuk membangun infrastruktur, negara-negara sedang berkembang mendapatkan hutang luar negri. Dari kegiatan ini sebenarnya dapat tercipta lapangan kerja baru dan efek multiplikator yang merangsang munculnya kegiatan ekonomi masyarakat.

Tetapi model pembangunan ini sudah dari awalnya menutup kemungkinan pemerintah di negara sedang berkembang menjalankan kebijakan anggaran defisit yang dibiayai dari dalam negeri, tetapi harus dari luar negeri, yang berarti hutang. Konsekuensi logis dari strategi pembangunan ekonomi ini adalah terikatnya kebijakan fiskal dan moneter pemerintah pada persyaratan negara donor dan lembaga keuangan internasional.

Sejak pembangunan lima tahun pertama sampai ke enam kita melihat betapa minimnya anggaran untuk bidang hukum dan pendidikan. Setelah tiga puluh tahun baru kita merasakannya ketika muncul krisis ekonomi yang merupakan hasil dari kebijakan ekonomi selama ini, yang hanya berorientasi ke luar dan memperkaya elit politik serta kelompok bisnis yang dekat dengannya. Karena model pembangunan yang represif ini mengabaikan penegakkan hukum dan pendidikan warganya. Ia hanya merupakan bangunan kertas yang mudah roboh dengan mewariskan segudang masalah seperti hutang luar negri, pengangguran yang tinggi, konflik antar etnik, korupsi yang kian merajalela dll.

Situasi ini tidak hanya menyurutkan niat investasi, tetapi juga telah mendorong berlangsungnya relokasi industri ke luar negri. Indonesia kini diserbu berbagai produk luar yang jauh lebih murah. Menurut beberapa pakar ekonomi, kini berlangsung proses deindustrialisasi.

Dalam situasi yang karut marut ini, diperlukan adanya kemauan politik untuk mengatasi pengangguran dan menciptakan kesempatan kerja serta pengembangan konsep untuk jangka pendek dan jangka panjang. Di tingkat makro, kesempatan kerja harus menjadi bagian dari paket stabilitas ekonomi, di samping pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan, nilai tukar rupiah yang stabil dan perdagangan luar negri yang seimbang. Sedangkan otonomi daerah memungkinkan berlangsungnya pembangunan berbagai projek yang dibutuhkan

Page 21: Free Trade Watch

19Edisi III - Oktober 2012

masyarakat dan menciptakan kesempatan kerja, seperti pengairan, penyediaan air minum, kanalisasi, perumahan dan sekolah serta pusat latihan kerja. Selain itu juga perlu adanya reformasi agraria, pergeseran kegiatan investasi dari kota ke pedesaan, padat modal menjadi padat karya dan pengembangan humankapital, seperti yang pernah diusulkan oleh International Labour Organization (ILO).

Masing-masing daerah dapat bersaing menciptakan lapangan kerja, bukan bersaing dalam soal korupsi. Jika proyek ini berjalan, maka pengangguran dapat dikurangi secara signifikan. Warga yang bekerja juga akan memiliki harga diri dan lebih bermartabat, demikian juga dengan pemerintahnya. Ia tidak lagi dipandang sebelah mata di dunia internasional, karena puluhan juta warganya menganggur dan jutaan lainnya menjadi buruh kasar di negara orang. Kita perlu kembali pada hak-hak dasar warga, bahwa bekerja itu merupakan Hak Azasi Manusia.

Pertanyaan selanjutnya adalah, landasan apakah yang terpenting untuk dapat menciptakan lapangan kerja yang semakin banyak dibutuhkan masyarakat. Mari kita mulai merenungkan dan mengevaluasi apa saja yang telah kita lakukan selama ini dan apa benar kita telah mencapai kemajuan, baik materi dan non materi serta kualitas hidup seperti apa yang ingin kita capai.

Dalam dunia modern yang sarat dengan tantangan, kompleksitas dan kesempatan ini, evaluasi kegiatan penting dilakukan untuk meningkatkan kemampuan diri, agar tumbuh dan berubah. Untuk mengukur kemajuan, kita juga membuat perbandingan antara keadaan sebelumnya dan keadaan sekarang. Sebagai warga negara sedang berkembang sejak kecil kita dididik untuk bersyukur jika berhasil dan bersabar jika tidak berhasil alias gagal. Tidak pernah atau jarang sekali kita berpikir dan bersikap kritis, faktor apa yang sangat berpengaruh pada kemajuan atau kegagalan kita dalam meningkatkan kualitas hidup. Kita

Menurut Jochimsen, ada tiga jenis infrastruktur, yaitu ; pertama, infrastruktur material, pasokan air bersih dan pengolahan limbahnya, kesehatan, pendidikan, pasokan energi, komunikasi, dan pelestarian lingkungan. Kedua, infrastruktur kelembagaan, yang meliputi tatanan sosial dan hukum. Dan ketiga, infrastruktur personal, yang juga disebut humankapital

Page 22: Free Trade Watch

20

juga malas mempertanyakan, mengapa manusia di negara-negara industri barat, negara-negara industri baru kualitas hidupnya dari tahun ke tahun semakin baik dan semakin jauh meninggalkan kita.

Karena berabad-abad hidup di jaman kerajaan, ratusan tahun dijajah bangsa asing dan beberapa dasawarsa hidup di bawah pemerintahan otoriter, banyak warga negara sedang berkembang kurang mengetahui hak mereka. Yang mereka ketahui adalah, kewajiban mereka itu banyak dan menerima dengan pasrah serta percaya, bahwa kualitas hidup mereka yang buruk dikarenakan nasibnya memang demikian. Sebaliknya, warga di negara-negara industri maju dan industri baru berpendapat, bahwa kemajuan atau kemunduran kualitas hidup mereka sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar dan di dalam diri mereka, yaitu faktor exogen dan endogen. Di dalam system apa mereka hidup dan apa peran negara dalam memenuhi kepentingan warganya.

Kita sepakat, bahwa berakhirnya perang dingin membuktikan keunggulan sistem ekonomi pasar dan sistem politik yang demokratis. Tetapi kita juga melihat dan merasakan bahwa sistem ini masih belum mampu menghilangkan ketimpangan ekonomi, terutama di negara-negara sedang berkembang. Pengalaman negara-negara Eropa Barat setelah perang dunia ke II dalam membangun sistem ekonomi pasar sosial perlu dikaji lebih dalam.

Di bawah sistem ini, ketimpangan ekonomi dapat ditekan, kebebasan individu terjamin, tersedianya berbagai jaminan sosial, pendidikan yang gratis, hukum ditegakkan dll, sehingga secara keseluruhan kualitas hidup warganya meningkat pesat. Di sinilah peran negara yang kuat dituntut sebagai penyeimbang antara kepentingan warga dan kepentingan pasar, serta penekanan akan dimensi sosialnya.

Oleh karenanya negara menyediakan, memiliki, mengelola serta mengawasi infrastruktur sebagai landasan untuk mendukung dan memperlancar kegiatan

“Karena berabad-abad hidup di jaman kerajaan, ratusan tahun dijajah bangsa asing dan beberapa dasawarsa hidup di bawah pemerintahan otoriter, banyak warga negara sedang berkembang kurang mengetahui hak mereka. Yang mereka ketahui adalah, kewajiban mereka itu banyak dan menerima dengan pasrah serta percaya, bahwa kualitas hidup mereka yang buruk dikarenakan nasibnya memang demikian.”

Page 23: Free Trade Watch

21Edisi III - Oktober 2012

perekonomian, agar kualitas hidup warganya meningkat. Menurut Jochimsen, ada tiga jenis infrastruktur, yaitu ; pertama, infrastruktur

material (sistem, bangunan dan instalasi untuk transportasi (jalan raya, rel kereta, bandara, dll), kesehatan (rumah sakit, puskesmas, rumah jompo, sarana peristirahatan dll), pemasokan air bersih dan pengolahan limbahnya (instalasi penyaringan air dan pengolahan limbah dll.), pendidikan (sekolah, perguruan tinggi, lembaga penelitian dll.), pemasokan energi, komunikasi dan pelestarian lingkungan (menjaga kebersihan udara, mencegah terjadinya erosi, perlindungan perairan dll.).

Kedua adalah infrastruktur kelembagaan, yang meliputi tatanan sosial dan hukum dalam pengertian keseluruhan perlengkapan hukum, norma-norma hukum, yang relevan untuk koordinasi berbagai rencana satuan. Ia dapat menjadi kerangka untuk tatanan ekonomi, sosial dan politik yang semakin berkembang.

Yang ketiga adalah infrastruktur personal, yang juga disebut humankapital. Situasi kesehatan, tingkat pendidikan, jumlah tenaga kerja, kemampuan kewiraswastaan dan pertukangan. (Jochimsen, R.: Theorie der Infrastruktur, Tübingen 1966 dalam Dieter Nohlen : Wörterbuch zur Politik, Dritte Welt, München 1987).

Ketiga jenis infrastruktur ini terus dikembangkan sesuai dengan tuntutan dan perkembangan jaman serta membuka peluang yang sama bagi seluruh warganya untuk lebih maju.

Sementara itu di negara-negara sedang berkembang pembangunan infrastruktur dilakukan setengah-setengah dan terkonsentrasi di pusat kekuasaan. Dengan berbagai alasan, seperti tidak ada dana dan korupsi, pembangunan infrastruktur tidak berlangsung berkesinambungan, sehingga menghambat kegiatan dunia usaha dan selanjutnya mayoritas warga berada dalam kesulitan untuk meningkatkan kualitas hidupnya.

Oleh karena itu sangat sulit bagi warga negara sedang berkembang untuk memperbaiki kualitas hidupnya, kecuali mereka yang dekat dengan kekuasaan. Faktor kedua yang juga menentukan keberhasilan manusia memperbaiki kualitas hidupnya adalah faktor endogen, yaitu adanya keinginan kuat dari dalam dirinya untuk mau berubah dan meningkatkan kemampuannya.

Stephen R. Covey dalam bukunya The 7 Habits of Highly effective People menjelaskan 7 kebiasaan untuk menjadi manusia yang efektif. Menjadi efektif sebagai individu dan organisasi bukan lagi merupakan pilihan dalam dunia kita sekarang ini, sebaliknya itu adalah harga yang harus dibayar untuk masuk ke medan permainan. Tujuh kebiasaan tersebut adalah jadilah pro aktif, mulai

Page 24: Free Trade Watch

2222

dengan tujuan akhir, dahulukan yang utama, berpikir menang-menang, berusaha memahami dulu kemudian berusaha dipahami dan mengasah gergaji.

Selanjutnya ia mengatakan, bahwa untuk dapat bertahan hidup, bertumbuh, berinovasi, menjadi unggul, dan terkemuka di dalam realitas jaman baru ini, kita tidak hanya harus membangun efektivitas, tetapi juga melampauinya. Panggilan dan kebutuhan era baru ini adalah greatness – keagungan, kehebatan.

Panggilan kita dan kebutuhan untuk era baru ini adalah untuk mengejar pemenuhan diri (fulfillment), pelaksanaan yang penuh semangat (passionate execution), dan sumbangan yang bermakna (significant contribution). Untuk menjangkau dan memanfaatkan tingkat kejeniusan dan motivasi manusia yang lebih tinggi, yang bisa kita sebut Suara atau bisa bermakna Potensi Tertinggi, Panggilan, Panggilan Hidup, Suara Kemerdekaan Jiwa, Arah Hidup Panggilan Jiwa, menuntut perangkat pikiran baru, keahlian baru, perangkat peralatan baru….dan kebiasaan baru. Dalam bukunya The 8th HABIT, Covey menyebutnya sebagai Kebiasaan ke-8, yaitu Temukan Suara Anda dan Ilhami Orang Lain untuk Menemukan Suara Mereka.

Kita berharap setiap warga negara Indonesia, terutama lapisan elitenya mempunyai kemauan politik mengubah bangsa ini menjadi lebih baik dengan memperbaiki dan melengkapi infrastruktur dan mengubah kebiasaan buruk mereka, dari yang dilayani menjadi yang melayani.

Organisasi, baik swasta maupun pemerintahan, belajar bahwa mereka hanya akan bisa bertahan secara berkelanjutan, jika mereka melayani kebutuhan-kebutuhan manusia. Sekali lagi, prinsipnya adalah pelayanan. Melampaui diri sendiri. Itulah unsur pembentukan kesuksesan yang sesungguhnya. Ini bukan mengenai “apa bagian saya.” tetapi mengenai “apa yang bisa saya sumbangkan.”

***

22

Page 25: Free Trade Watch

23Edisi III - Oktober 2012

GLOBALISASI

Krisis Ekonomi, Infrastruktur, dan The World Bank Groups

Oleh: Rachmi HertantiIndonesia for Global Justice (IGJ)

23Edisi III - Oktober 2012

Page 26: Free Trade Watch

24

Penurunan pertumbuhan perekonomian global semakin memperdalam krisis. Tingginya angka pengangguran dan menurunnya aktifitas ekspor di negara-negara maju menjadi tantangan terbesar untuk mengakhiri krisis ekonomi

global. Angka utang publik yang semakin menggunung terus menjadi perhatian banyak pihak dalam mencari strategi mengurangi utang seiring dengan upaya pertumbuhan ekonomi.

Strategi yang dilakukan oleh banyak negara adalah melalui langkah penghematan dan reformasi struktural, namun langkah-langkah tersebut memiliki resiko besar yang mengakibatkan semakin melemahnya pertumbuhan dan memburuknya angka pengangguran1.

Sejalan dengan seruan di berbagai pertemuan tingkat internasional yang mengharapkan suatu agenda bersama masyarakat internasional untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan membuka lapangan kerja, sesungguhnya masih dicari strategi yang ampuh untuk mengeluarkan dunia dari resesi ekonomi saat ini.

“How can advanced economies boost growth without adding further to their already high public debt burden?”

Pertanyaan diatas merupakan salah satu obyek penelitian dalam laporan yang dikeluarkan oleh The World Bank No.5940 dalam rangka mencari solusi atas kemandekan berputarnya modal global. Laporan yang berjudul “Beyond Keynesianism: Global Infrastructure Investments in Times of Crisis” dan dikeluarkan pada Januari 2012 ini mencoba mengkritisi teori ekonomi Keynesian, dimana mengacu pada kondisi krisis stimulus ala Keynesian dirasa tidak cocok.

Melihat tren investasi saat ini yang banyak terfokus pada proyek-proyek infrastruktur sepertinya menjadi harapan baru bagi negara maju untuk dapat keluar dari krisis. Menguatnya peran swasta diyakini akan menjadi terobosan penting dari pada menguatkan peran negara dalam perekonomian global. Untuk itu, maka laporan The World Bank tersebut akan menjadi satu dokumen penting yang akan dibahas dalam The Global Infrastructur Initiative pada bulan November 2012 nanti.

Mengapa Infrastruktur?Krisis ekonomi global yang terjadi saat ini adalah suatu keadaan yang sudah

dianggap sebagai hal yang normal atau disebut dengan “The new normal”. Bahwa program penghematan dan reformasi struktural yang diresepkan kepada negara-negara Eropa dan Amerika Serikat tidak membawa efek positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Malahan semakin mengakibatkan membengkaknya 1 Justin Yifu Lin & Doerte Doemeland,“ Beyond Keynesianism: Global Infrastructure Investments in Times of Crisis”,

Policy Research Working Paper 5940, The World Bank, 2012: 2.

Page 27: Free Trade Watch

25Edisi III - Oktober 2012

angka utang. Program pembelanjaan pemerintah juga tidak menyelesaikan angka pengangguran dan angka ekspor pun menurun tajam.

Selama pertumbuhan ekonomi negara maju masih mengalami stagnasi, maka akan selama itu pula dunia mengalami krisis. Sehingga apa yang menjadi agenda internasional saat ini adalah bagaimana menyelamatkan negara maju dari krisis. Namun, perdagangan bebas saja belum lah cukup untuk dapat memberikan peluang ekonomi yang cukup besar bagi mereka.

Ada 3 fokus investasi utama negara-negara maju saat ini yang dianggap menjadi strategi ampuh dalam rangka menggerakkan perekonomiannya, yaitu investasi di sektor pendidikan, teknologi hijau, dan infrastruktur. Dalam Laporan The World Bank No.5940 tahun 2012 menyebutkan bahwa investasi di proyek infrastruktur yang ‘tepat’ akan sangat menjanjikan di dalam masa-masa krisis saat ini. Ada 3 alasan yang mendasari argumentasi tersebut, yaitu:

Pertama, investasi di sektor infrastruktur dapat menciptakan lapangan pekerjaan yang memiliki dampak besar terhadap perekonomian. Bergeraknya pembangunan infrastruktur akan berdampak pada bergeraknya roda produksi di sektor manufaktur yang terkait seperti manufaktur yang memproduksi alat-alat berat dan bahan baku infrastruktur. Terserapnya pekerja disektor manufaktur dan konstruksi akan berdampak pada tingkat konsumsi masyarakat yang kemudian memberikan pergerakan disektor lainnya;

kedua, yang paling penting adalah proyek infrastruktur yang berdampak ke seluruh sektor akan kembali menggerakkan industri di negara maju yang sifatnya padat modal dan berteknologi tinggi serta pergerakan perdagangan jasa, yang kemudian kembali mendorong pertumbuhan kelas menengah di negara maju; dan

ketiga, dalam jangka waktu panjang dapat meningkatkan pembentukan modal (private) dan memfasilitasi pengeksploitasian dari ekonomi aglomerasi2.

Namun, yang menarik dari hal ini adalah, bahwa kepentingan negara maju untuk mengeluarkan dirinya dari krisis pada akhirnya kembali pada karakter aslinya, yaitu menjadikan negara berkembang sebagai negara pori-porinya. Dengan melihat perkembangan di negara berkembang yang saat ini sedang dalam tahap pembangunan secara terus menerus bisa menjadi tempat investasi infrastruktur yang cukup efektif sebagai high return on investment dalam jangka waktu yang cukup panjang.

Pembangunan infrastruktur di negara berkembang akan menciptakan antara

2 Ekonomi aglomerasi dalam istilah Marshall disebut sebagai industri yang terlokalisir (localized industries), dan menurut Montgomery mendefinisikan aglomerasi ekonomi sebagai penghematan akibat adanya lokasi yang berdekatan (economies of proximity) yang diasosiasikan dengan pengelompokan perusahaan, tenaga kerja, dan konsumen secara spasial untuk meminimisasi biaya-biaya seperti biaya transportasi, informasi dan komunikasi.

Page 28: Free Trade Watch

26

1,1-2,9 juta pekerjaan di negara maju yang kemudian berdampak besar terhadap peningkatan ekspor negara maju. Kebutuhan terhadap produksi alat-alat berat dan bahan baku sebagai penunjang utama kegiatan pembangunan infrastruktur akan mendorong industri manufaktur di negara maju yang mana mereka menguasai teknologinya, khususnya Jerman. Namun, perkembangan saat ini dimana China mulai menjadi negara yang memiliki kekuatan ekonomi besar telah menjadi kompetitor kuat negara-negara Eropa dan Amerika Serikat yang dulu merajai industri logam berat.

Saat ini saja China sudah menguasai pasar produk baja dan alat-alat berat, dimana negara-negara berkembang sudah banyak beralih mengimpor produk-produk tersebut dari China. Hal inilah yang kemudian membuat perang perdagangan antara negara maju dan China serta negara-negara BRICS lainnya telah meningkat dengan menggunakan isu perubahan iklim.

Apa yang menjadi perdebatan pada saat pertemuan APEC di bulan September 2012 mengenai produk-produk yang ramah lingkungan ternyata terletak pada kepentingan negara-negara maju yang mulai mengalami persaingan cukup ketat terhadap China dan mencoba menggunakan produk berteknologi ramah lingkungan untuk menghambat ekspansi perdagangan China ke negara-negara berkembang lainnya.

Ditengah-tengah perang dagang antara negara-negara maju dengan China, untuk dapat mendominasi investasi infrastruktur di negara-negara berkembang lainnya, perang bantuan pendanaan untuk proyek infrastruktur juga dilakukan. Negara-negara kekuatan ekonomi baru seperti China, Brazil, dan India melalui Sovereign Wealth Funds (SWFs) dimasing-masing negara tersebut telah menyalurkan banyak dana untuk investasi di bidang infrastruktur misalnya seperti berbagai proyek infrastruktur yang ada di Afrika. Seperti biasa, negara-negara maju lebih menyukai menggunakan International Financial Corporation (IFC) untuk memberikan pendanaan infrastruktur bagi negara berkembang yang didalamnya terdapat kepentingan besar negara maju, salah satunya adalah World Bank (The World Bank Groups).

Pertarungan ini menjadi sangat penting di era krisis saat ini. Masing-masing pihak saling berusaha untuk mempengaruhi dunia dengan berbagai agenda pertumbuhan ekonomi. Negara-negara maju melalui Kelompok 20 (Group of 20/G-20) mencoba untuk memformulasikan ‘The way out’ dari krisis ekonomi yang bekerja sama dengan The World Bank Groups.

Dalam pertemuan G-20 tahun 2010 di Seoul, Korea Selatan, telah disepakati beberapa rencana kerja untuk mengatasi krisis dimana salah satunya adalah infrastruktur sebagai cara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dalam

Page 29: Free Trade Watch

27Edisi III - Oktober 2012

kerangka infrastruktur para pemimpin G-20 meminta The World Bank Groups untuk menyusun ‘Rencana Aksi Infrastruktur’ yang kemudian dilaporkan pada pertemuan G-20 Bulan November 2011 yang lalu3 dan pada G-20 Summit Juni 2012 lalu di Mexico berkat konsep Rencana aksi yang dibuat oleh The World Bank Groups pada akhirnya menjadikan Infrastruktur sebagai prioritas pembangunan di dunia4.

Strategi Pembangunan Infrastruktur The World Bank GroupsSepak terjang The World Bank Groups di dalam pembangunan infrastruktur

telah dijalankan secara intens sejak tahun 2003. Pada tahun 2010, The World Bank Groups merupakan lembaga pendonor multilateral terbesar untuk infrastruktur dalam sektor transportasi, energi, air, dan teknologi informasi5.

Di tahun 2011 saja The World Bank Groups telah menjalankan komitmennya dalam investasi di pembangunan infrastruktur sebesar US$26 Triliun. Namun, dengan penunjukkan langsung dari G-20, maka peran The World Bank Groups dalam pembangunan infrastruktur di dunia akan semakin besar dan penting.

Pada bulan November 2011, The World Bank Groups telah menyelesaikan tugasnya dalam menyusun strategi dan Rencana Aksi pembangunan infrastruktur sebagai jalan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dunia guna mengeluarkan negara maju dari krisis. Dokumen rencana aksi tersebut berjudul “Transformation Through Infrastructure” (The World Bank Group Infrastructure Strategy Update FY2012-2015).

Strategi infrastruktur tersebut merupakan pembaruan dari strategi infrastruktur The World Bank Groups pada tahun 2009-2011. Pada intinya, pembaruan strategi infrastruktur The World Bank Groups tahun 2012-2015 dimaksudkan untuk menegaskan kembali komitmen The World Bank Groups di dalam pembangunan infrastruktur dengan lebih memperbesar proyek infrastruktur dan meningkatkan pendanaan sektor swasta dalam pembangungan infrastruktur melalui Public-Private Partnerships (PPPs).

Untuk mencapai maksudnya tersebut, strategi pembangunan infrastruktur The World Bank Groups tahun 2012-2015 tersebut dilaksanakan bersandar pada 3 (tiga) pilar, yaitu: (1) Sector based projects in support of the access and growth agenda; (2) Second-generation infrastructure issue; (3) More private sector

3 “Big infrastructure, small participation World Bank and G20 push new plans” (diunduh dari http://www.brettonwoodsproject.org/art-568883)

4 “New World Bank infrastructure strategy Paving over development? (diunduh dari http://www.brettonwoodsproject.org/art-569563)

5 “Transformation Through Infrastructure”, The World Bank Group Infrastructure Strategy Update FY2012-2015, hal:8.

Page 30: Free Trade Watch

28

financing into infrastructure. Dalam konteks krisis ekonomi global saat ini, The World Bank Groups

sangat percaya bahwa dengan menaruh investasi pada proyek investasi yang tepat maka dunia akan lepas dari krisis. Hal inilah yang coba diresapkan The World Bank Groups pada strategi pembangunan infrastruktur tahun 2012-2015, yaitu mengidentifikasi jenis investasi infrastruktur yang dapat mengakselerasi pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan yang memberikan dampak besar terhadap seluruh sektor.

Pilar pertama disebut juga dengan ‘core engagement’ dimana hal ini sangat perlu dilakukan pada awal pelaksanaan pembangunan infrastruktur yang mengharuskan ‘intervensi’ baik dalam hal pembangunan infrastruktur secara fisik maupun penguatan kelembagaan. Dengan core engagement inilah yang menjadi basis dasar bagi The World Bank Groups untuk ikut terlibat dalam menentukan arah pembangunan infrastruktur sesuai dengan kebutuhan dan permintaan dalam sebuah negara.

Dalam konteks core engagement, maka peran The World Bank Groups adalah melakukan intervensi dalam hal menciptakan iklim yang kondusif melalui pengembangan kebijakan sektoral yang sesuai seperti penetapan harga dan peran pemerintah, melakukan reformasi hukum dan peraturan yang ada seperti penyesuaian terhadap Framework PPP.

Dalam hal peran The World Bank Groups untuk menciptakan iklim yang kondusif, juga dilakukan terhadap beberapa isu pemerintahan, yaitu mendorong penegakan korupsi dalam proyek-proyek infrastruktur, transparansi dalam pendapatan dan pembayaran di sektor industri ekstraktif sebagai langkah menuju EITI, dan mereformasi perusahaan negara yang menyediakan jasa pelayanan umum.

Setelah memastikan berjalannya agenda pembangunan infrastruktur melalui core engagement, langkah kemudian dalam strategi The World Bank Groups adalah memastikan bahwa pembangunan infrastruktur dapat juga menjawab ‘second-generation issues’ seperti perubahan iklim, tantangan dalam pembangunan sosial, dan sebagainya. Inilah yang kemudian disebut dengan tahap transformational engagement sebagai pilar 2 dari rencana aksi infrastruktur The World Bank Groups tahun 2012-2015.

Dalam transformational engagement memerlukan keterlibatan banyak pihak yang terkait dengan second-generation issues sehingga didapat solusi berupa transformational project yang sesuai dengan kebutuhan dalam sebuah negara. Mengacu pada hal tersebut, maka setelah The World Bank Groups melakukan komunikasi dengan negara-negara di berbagai wilayah telah didapat

Page 31: Free Trade Watch

29Edisi III - Oktober 2012

transformational project yang akan menjadi program pembangunan infrastruktur The World Bank Groups kedepannya. Tabel berikut merupakan Transformational project dalam rencana pembangunan infrastruktur The World Bank Groups:

Tabel 1Rencana Pembangunan Infrastruktur The World Bank Groups 2012-2015

Wilayah Transformational Project Dalam Rencana Pembangunan Infrastruktur

Sub-sahara Afrika

Regional Projects yang menghubungkan negara-negara dengan jaringan listrik, jaringan internet, transportasi koridor, proyek energi terbarukan berskala besar.

Asia Timur & Pasifik

Investasi energi terbarukan, infrastruktur berkarbon rendah, sistem perkotaan yang berkelanjutan, Perdagangan listrik di wilayah Sub-Mekong.

Eropa & Asia Tengah

Kemacetan institusional yang menghambat daya saing, integrasi dan pertumbuhan

Amerika Latin & Karibia

Proyek-proyek yang terkait dengan kelestarian lingkungan dan keberlangsungan sosial.

Timur Tengah & Afrika Utara Penguatan integrasi regional dan akuntabilitas sosial

Asia SelatanProyek-proyek integrasi regional dan pertumbuhan hijau (green growth)/ perubahan iklim (climate change) yang membutuhkan Pendekatan program dan reformasi kelembagaan.

Sumber: The World Bank Group Infrastructure Strategy Update FY2012-2015

Dengan kehadiran transformational projects maka diharapkan adanya kerjasama dengan Multilateral Development Banks (MDBs) lainnya yang terkait dengan berbagai program. Sebagai contoh di tahun 2010, dana sebesar US$4 Miliar disalurkan kepada The World Bank Groups untuk 50 program infrastruktur yang berbeda. Dana tersebut berhubungan erat dengan Global Partnership Program (GPP) yang menangani isu-isu global seperti, pembiayaan isu perubahan iklim yang disediakan oleh The Clean Development Mechanism (CDM), the Global Environmental Facility, the Climate Investment Funds, dan Green Growth Funds.

Terkait dengan mekanisme pendanaan, maka dalam pilar 3, The World Bank Groups menekankan pada mobilisasi modal swasta dan sumber lainnya. Dengan

Page 32: Free Trade Watch

30

target meningkatkan pembangunan infrastruktur kearah yang lebih besar lagi tidak mungkin hanya menekankan pada target jangka menengah saja yaitu memastikan lingkungan kondusif untuk pembangunan infrastruktur. Peran The World Bank Groups dibutuhkan lebih dari itu. Oleh karena itu The World Bank Groups harus melibatkan peran swasta dengan porsi yang sangat besar dalam pembangunan infrastruktur.

Dalam melaksanakan pilar 3, The World Bank Groups akan lebih memaksimalisasi kerja-kerja yang selama ini telah dilakukan. Fokus kerja maksimalisasi tersebut terletak pada 3 komponen, yaitu: pertama, memobilisasi sektor swasta dan sumber pembiayaan lainnya dengan lebih sistematis; kedua, mengembangkan penggabungan Bank-IFC; dan ketiga, mengembangkan PPPs.

Penggunaan mekanisme PPPs telah lama digunakan untuk melaksanakan proyek infrastruktur. Mekanisme PPPs mengandung resiko tinggi seperti: exchange-rate risk, lower demand than projected, force majeure, dan resiko politik dan kebijakan. Namun, dengan mekanisme penjaminan, PPPs menjadi sangat menarik bagi investor. The World Bank Groups sebagai lembaga donor terbesar menyediakan penjaminan terhadap modal swasta yang terkena resiko politik oleh pemerintah negara penerima investor. Penjaminan yang diberikan oleh The World Bank Groups tersebut dilakukan oleh MIGA yang menyediakan asuransi risiko politik bagi investasi asing dan baru-baru ini menyediakan juga jaminan terhadap proyek-proyek infrastruktur.

Dalam memobilisasi sektor swasta dalam pembangunan infrastruktur, The World Bank Groups memperkuat kembali peran dari The IFC Global Infrastructure Fund yang digunakan untuk menarik pembiayaan swasta pada pembangunan infrastruktur. Metode yang digunakan oleh IFC adalah menggunakan The IFC Asset Management Company, yang merupakan perusahaan milik IFC, untuk

“Pemobilisasian dan pengelolaan peran swasta dalam proyek-proyek infrastruktur oleh IFC diarahkan kepada database yang dimiliki oleh The World Bank Groups yang menyediakan data tentang proyek-proyek infrastruktur yang tersedia sesuai dengan Transformational Projects yang telah disusun. Database tersebut adalah Private Participation in Infrastructure Database.

Page 33: Free Trade Watch

31Edisi III - Oktober 2012

memobilisasi dan mengelola dana pihak ketiga untuk diinvestasikan di negara berkembang. Pemobilisasian dan pengelolaan peran swasta dalam proyek-proyek infrastruktur oleh IFC diarahkan kepada database yang dimiliki oleh The World Bank Groups yang menyediakan data tentang proyek-proyek infrastruktur yang tersedia sesuai dengan Transformational Projects yang telah disusun. Database tersebut adalah Private Participation in Infrastructure Database.

Selain menyusun target proyek-proyek infrastruktur yang memiliki potensi high-return on investment dalam database, The World Bank Group juga memberikan jasa konsultan bagi pihak swasta yang ingin bergabung di dalam proyek-proyek infrastruktur The World Bank Group. Resiko investasi infrastruktur dengan mekanisme PPPs dipercaya memiliki resiko tinggi, untuk itu Public-Private Infrastructure Advisory Facility, sebagai salah satu bagian dari agenda Private Participation in Infrastructure Project milik The World Bank Group, memiliki peran untuk memberikan jasa konsultan yang mampu memberikan jaminan dan kepastian investasi bagi pihak swasta yang ingin menanamkan modalnya di proyek-proyek infrastruktur milik The World Bank Group.

Jasa konsultan tersebut berfungsi untuk memastikan investasi infrastruktur di negara tujuan berjalan baik, yang difasilitasi langsung oleh IFC untuk kemudahan investasi melalui akses kepada pembiayaan, penciptaan iklim investasi yang kondusif, pemastian terhadap peran swasta melalui mekanisme PPPs, dan menjaga keberlangsungan bisnis dengan baik. Selain itu juga, jasa konsultan ini juga memberikan kepastian kepada pihak swasta yang bergabung dalam proyek-proyek infrastruktur milik The World Bank Group akan diprioritaskan dalam perolehan tender dengan negara tujuan. Untuk itu, pihak swasta yang akan bergabung diharuskan mengikuti berbagai panduan dan training agar memenuhi kriteria yang dibutuhkan dalam proyek-proyek infrastruktur milik The World Bank Groups sesuai dengan PPPs Portfolio Assessment Tool.

Melihat mekanisme pembiayaan dalam pilar 3 strategi infrastruktur The World Bank tahun 2012-2015, maka semakin jelas, bahwa seluruh modal yang dimiliki oleh pemilik modal di negara maju akan diakumulasikan di dalam lembaga donor multilateral tersebut dan mensistematiskan mekanisme pendistribusiannya baik dalam hal pemberian jaminan perlindungan bagi investasi maupun kepastian pengembalian modal dan keuntungan investasi melalui jaminan kepastian perolehan proyek infrastruktur di negara tujuan. Strategi inilah yang kemudian akan digunakan secara maksimal untuk mengeluarkan negara maju dari krisis ekonomi melalui penanaman modal sebesar-besarnya dalam pembangunan infrastruktur di negara berkembang. Dengan harapan agenda tersebut dapat menggerakkan kembali roda pertumbuhan ekonomi di negara maju.

Page 34: Free Trade Watch

32

Strategi Investasi Infrastruktur Di IndonesiaDalam dokumen The World Bank mengenai strategi infrastruktur tahun 2012-

2015 telah disusun rencana aksi pembangunan infrastruktur berdasarkan strategi dari The World Bank untuk Asia Pasifik dimana Indonesia termasuk di dalamnya. Dengan target menggandakan nilai investasi dari tahun-tahun sebelumnya dari The World Bank Groups, sebagai negara yang telah ‘diharmonisasikan’ instrumen hukum dan kebijakannya dalam sektor infrastruktur (PPPs dan perusahaan penjaminan infrastruktur) melalui program The World Bank, maka Indonesia telah siap melaksanakan seutuhnya agenda strategi infrastruktur The World Bank FY12-15.

Berikut merupakan sasaran investasi infrastruktur di Indonesia dalam Strategi Pembangunan Infrastruktur The World Bank FY2012-2015:

Tabel 2Strategi Pembangunan Infrastruktur

The World Bank Di Indonesia (FY12-15)

Pilar1: Core Engagement

Pilar 2: Transformational

EngagementPilar 3: Infrastructure Financial

Access to electricityRencana Kegiatan:Program Elektrifikasi 1000 pulau di Indonesia yang akan difokuskan kepada penggunaan energi terbarukan di pulau-pulau timur Indonesia.

Integrated urban development: • support the

development of national slum upgrading strategies.

• The Eco2 Cities framework is supporting cities and metropolitan areas to plan, manage and invest in sustainable urban systems that are integrated, multi functional and beneficial in the long-term.

improve the investment climate:• Memastikan iklim kebijakan

yang kondusif untuk mendukung pendanaan swasta untuk infrastruktur.

• Melanjutkan kerjasama pada tataran makro terkait dengan legislasi dan peraturan yang memfasilitasi keterlibatan swasta dan pendanaan infrastruktur.

Access to water and sanitationRencana Kegiatan:Pamsimas Project, yang diestimasikan sebanyak 3,5 Miliar orang akan mendapatkan akses terhadap air dan 2 Miliar orang akan mendapatkan akses terhadap sanitasi (Total Project Cost US$ 6,54 Miliar dari The World Bank).

attract more private sector financing:• IFC expects to deliver about 12-15

projects expected annually over FY12-14, with IFC own account volumes of US$400-450 million and an additional US$300-350 million anticipated in mobilization.

• a new financing framework to increase the participation of the banking sector in financing local infrastructure investments

Page 35: Free Trade Watch

33Edisi III - Oktober 2012

Access to sustainable transportRencana Kegiatan:Pembangunan Jalan Sub-nasional (sedang berjalan/sudah terencana) – PNPM

Low carbon sustainable energy development including renewable and energy efficiency (green investment):

Agenda sustainable hydropower development.

public-private partnerships:• actively supporting the Government

of Philippines and Indonesia in implementing their PPP programs

• On PPP advisory services, IFC will be: looking at toll roads, light rail, regional airports and water supply and irrigation and multi-sectoral opportunities in Indonesia.

Disaster risk managementSalah satu rencana kegiatan:Access to aviation through an APL for the Pacific Islands aviationinvestment project.

green financing (CDM, CTF, and GEF):• Indonesia Geothermal CTF project

approved in early FY12, with US$125 million in CTF and US$689 million leveraged from the public sector, with another Indonesia renewable energy project going to the Board in FY12, in which IFC will be receiving US$50 million in CTF financing.

• The Bank will build client capacity to access green financing through: the Mitigation Action Implementation Network; the Regional Carbon Forum; and carbon finance support for Jakarta to access carbon offset markets (WBI).

Selain project plan dalam tabel diatas, The World Bank Group melalui IFC telah berencana untuk meningkatkan investasinya di Indonesia pada tahun 2013 sebesar US$ 400-600 Juta yang akan digunakan untuk sektor infrastruktur khususnya terhadap Public-Private Partnerships (PPPs). IFC juga akan menyalurkan sebesar 40% dari nilai investasinya di tahun 2013 untuk sektor financial dalam rangka akses pembiayaan untuk proyek-proyek infrastruktur melalui perbankan. Akses pembiayaan melalui perbankan tersebut disalurkan melalui beberapa bank-bank swasta nasional di Indonesia dimana IFC memiliki persentase kepemilikan saham di dalamnya, yaitu Bank Hana, Bank BTPN, Bank Danamon, Bank Handara, dan Bank Internasional Indonesia (BII).

Peran IFC dan The World Bank Groups lainnya dalam sektor infrastruktur di Indonesia juga cukup besar. Selain mendanai beberapa bank yang akan menyalurkan pembiayaan kredit infrastruktur di Indonesia, IFC dan kelompoknya (ADB, WB) juga berperan sebagai pemilik saham dari PT.Indonesia Infrastructure Finance yang merupakan anak perusahaan dari PT. Sarana Multi Infrastruktur sebagai perusahaan pembiayaan kegiatan infrastruktur. PT. IIF tersebut lebih difokuskan pada pembiayaan proyek-proyek infrastruktur yang besar.

Page 36: Free Trade Watch

34

PenutupDari 2 dokumen penting The World Bank yaitu, Policy research No.5940 yang

berjudul “Beyond Keynesianism: Global Infrastructure Investments in Times of Crisis”, dan The World Bank Group Infrastructure Strategy Update FY2012-2015, dapat dipastikan bahwa negara maju telah bersiap-siap untuk menancapkan kembali kuku-kuku tajamnya guna mengeskploitasi negara berkembang sebagai cara ampuh mengeluarkan dirinya dari krisis ekonomi global yang berkepanjangan.

Konsep pembangunan infrastruktur yang dibuat oleh The World Bank Group akan menjadi bahan pendiskusian utama dalam pertemuan The Global Infrastructure Initiative pada bulan November 2012 ini di Turki. Akumulasi modal akan diputarkan kembali dalam proyek-proyek infrastruktur yang bersifat jangka panjang dan berdampak luas (high-impact) dengan melibatkan berbagai isu permasalahan global (transformational) sehingga mampu menggerakkan kembali roda perekonomian negara maju yang dapat mendorong pertumbuhan ekspor dan penyerapan tenaga kerja.

***

34

Page 37: Free Trade Watch

35Edisi III - Oktober 2012

Utang Infrastruktur Asian Development Bank kepada Indonesia

Oleh : Rika FebrianiIndonesia for Global Justice (IGJ)

REGIONALISME

35Edisi III - Oktober 2012

Page 38: Free Trade Watch

36

Indonesia adalah suatu negara kepulauan dimana permasalahan infrastruktur menjadi hambatan terbesar di dalam pembangunan. Jumlah pulau di Indonesia yang mencapai sekitar 13.000 pulau menjadi masalah utama pembangunan

infrastruktur di berbagai wilayah yang tidak merata. Pada masa 20 tahun belakangan pembangunan infrastruktur hanya terpusat di pulau Jawa. Infrastruktur yang dimaksudkan yang sifatnya fisik berupa: jalan, listrik, telekomunikasi dan akses terhadap air bersih.

Budget pemerintah untuk pembangunan infrastruktur sangat terbatas yang berasal dari APBN. Infrastruktur tidak menjadi satu-satunya pengeluaran yang terbesar karena budget negara harus dibagi dengan fasilitas pendidikan dan kesehatan yang juga cukup menjadi hal signifikan di dalam pembangunan. Masing-masing sektor yang sifatnya non-fisik ini ternyata juga dapat memaksimalisasikan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.

Permasalahan kurangnya infrastruktur fisik ini dilihat oleh pemerintah Indonesia sebagai suatu hal yang menjadi keengganan para investor untuk masuk ke Indonesia. Mahalnya biaya mobilisasi dan tidak adanya suply listrik yang mencukupi menjadi permasalahan yang dapat meningkatkan biaya produksi perusahaan. Ketakutan pemerintah Indonesia menjadi masuk akal karena sesuai dengan target besar-besaran untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dua digit pada tahun 2020. Ketika infrastruktur dibangun maka diharapkan akan mendorong fasilitasi produksi pasar yang secara langsung dapat meningkatkan ketersediaan sumber daya publik.

Asian Development Bank (ADB) melihat kurangnya dana pemerintah ini sebagai suatu peluang untuk memberikan utang atas nama “bantuan” kepada Indonesia pada tahun 1994, 2001, 2003 dan 2006 terkait infrastruktur di Indonesia. Utang yang diberikan oleh ADB ini dalam jangka waktu 15 tahun, dengan bunga tahunan disesuaikan dengan ADB LIBOR based lending facility dan beberapa kementrian terkait seperti : Kementrian Pekerjaan Umum (PU), Badan Perencanaan Nasional (Bapenas) sebagai executing agency untuk program ini.

Tulisan ini akan menjabarkan beberapa contoh proyek infrastruktur fisik ADB di Indonesia dan kaitannya dengan Indonesia sebagai bagian dari rencana interconnectivity ASEAN. Mengambil contoh pembangunan infrastruktur air ; adakah pola sosial yang berubah dari masyarakat ketika proyek ini dilaksanakan?

1. Peluang perdagangan di Asia dan posisi Indonesia di dalamnya

Asia sebagai suatu region dilihat sebagai suatu peluang bagi negara maju untuk memasukkan investasi dan perdagangan. Walaupun di beberapa negara

Page 39: Free Trade Watch

37Edisi III - Oktober 2012

Asia seperti Vietnam tetap terisolasi secara ekonomi maupun secara geografis. Hambatan berupa infrastruktur jalan dan infrastruktur di bidang energi menjadi bottleneck untuk pertumbuhan ekonomi di berbagai negara. Dengan membuka bottleneck tersebut diharapkan pembangunan dapat berjalan dan kesejahteraan masyarakat ditingkatkan. Namun permasalahan tersebut tidaklah sesederhana ini.

Krisis yang terjadi di Eropa sepertinya tidak memperlihatkan akhir yang jelas. Sementara Asia terus bertumbuh secara positif. Sumber daya alam dan pasar yang besar di wilayah Asia menjadi suatu potensi yang bisa menopang krisis untuk Eropa. Berdasarkan laporan yang dikeluarkan ADB, pembangunan infrastruktur di wilayah Asia menjadi penting karena: pertama, infrastruktur merupakan dasar kritis untuk peningkatan kompetisi dan produktivitas ekonomi dan untuk mengurangi kemiskinan. Kedua, investasi infrastruktur akan membentuk bagian penting dari paket kebijakan stimulus fiscal, khususnya apabila krisis berlangsung panjang. Pemerintah masng-masing negara dengan posisi fiskalnya dan mata uang yang stabil bisa mengambil ukuran fiscal untuk menstimulus perekonomiannya. Ketiga, krisis menegaskan pentingnya pengurangan ketidakseimbangan pada ekonomi negara dan menjamin bahwa pertumbuhan global menjadi lebih seimbang di masa yang akan datang. Perubahan pada infrastruktur regional dapat mempromosikan integrasi regional yang lebih luas dan memperluas daya permintaan di wilayah, dimana diperhitungkan sebagai pertumbuhan Asia yang lebih besar.1

Berdasarkan alasan tersebut, negara-negara di Asia harus bekerjasama untuk membangun infrastruktur yang tujuannya untuk mendorong perdagangan. Pembangunan infrastruktur yang berkarakter perdagangan,industri dan perencanaan yang matang dengan sendirinya akan membuka peluang untuk pembangunan infrastruktur yang sifatnya non-fisik. Ketika infrastruktur yang sifatnya fisik telah dibangun,liberalisasi perdagangan dan soft infrastruktur meningkat secara pesat sebagaimana ekspor juga terus berkembang ke arah pertambahan nilai.

Indonesia dilihat sebagai negara yang kualitas pembangunan infrastrukturnya rendah apabila dibandingkan negara lain di Asia. Berdasarkan tabel dibawah terlihat bahwa kualitas pembangunan infrastruktur secara keseluruhan berada ditiga peringkat terbawah diantara Filipina dan Vietnam.

1 Infrastructure for Seamless Asia, A joint study of the Asian Development Bank and the Asian Development Bank Institute, 2009, hal 16-17

Page 40: Free Trade Watch

38

Table 1 Perbandingan Kualitas Infrastruktur di dunia, 2008

-Data tidak tersedia

Negara yang termasuk G7 : Kanada,Perancis,Jerman,Itali,Jepang,Inggris,Amerika. Skor1 = belum berkembang, 7 = ekstensif dan efisien oleh standar internasional.

Sumber : World Economic Forum (2008)

2. Utang dari ADB untuk Infrastruktur Indonesia

2.1. Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT)Program yang didanai oleh ADB di Indonesia salah satunya adalah Indonesia-

Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT) yang menghubungkan beberapa provinsi di tiga Negara yang bertujuan untuk memperbesar kemungkinan untuk perdagangan dan investasi. Proyek ini sudah berjalan semenjak tahun 2006. Terdapat 10 provinsi yang tergabung di dalam proyek ini yang seluruhnya terletak di pulau Sumatra.

Wilayah/Negara

Infrastruktur secara

keseluruhanJalan

Jalan Kereta

ApiPelabuhan Transportasi

UdaraKetersediaan

Listrik

Rata-rata dunia 3.8 3.8 3.0 4.0 4.7 4.6

Rata-rata Negara G7 5.7 5.7 5.4 5.4 5.8 6.4

Rata-Rata Asia Tenggara 4.2 4.2 3.2 4.3 5.1 4.7

Brunei Darussalam 4.7 5.1 - 5.0 5.6 5.4

Kamboja 3.1 3.1 1.6 3.4 4.2 2.5

Indonesia 2.8 2.5 2.8 3.0 4.4 3.9

Malaysia 5.6 5.7 5.0 5.7 6.0 5.8

Filipina 2.9 2.8 1.8 3.2 4.1 4.2

Singapura 6.7 6.6 5.6 6.8 6.9 6.7

Thailand 4.8 5.0 3.1 4.4 5.8 5.5

Vietnam 2.7 2.6 2.4 2.8 3.9 3.2

Page 41: Free Trade Watch

39Edisi III - Oktober 2012

Table 2. IMT-GT Priority Connectivity Projects

No Nama ProyekEstimasi

biaya proyek($ juta)

Pembiayaan

INDONESIA

1 Sumatra Ports Development 57.4

Government of Indonesiaor official developmentassistance (ODA); listed inBlue Book

2

Melaka–Dumai Economic CorridorMultimodal Transport 875.2

Government of Indonesiaor ODA; listed inBlue Book

3 Sumatra Toll Roads 493.0Government of Indonesiaor public–privatepartnership (PPP)

4

Most southerly section of the Eastern Highway from Bandar Lampung to Bakauheni and linked across to Java

820.0 Government of Indonesiaor PPP

5 Melaka–Pekanbaru Power Interconnection 300.0

Possible AsianDevelopment Bank (ADB)loan

6Development of Aceh highway facilities: Banda Aceh–Kuala Simpang (Toll Roads)

2,000.0 Government of Indonesiaor PPP

Subtotal for Indonesia 4,545.6

MALAYSIA

7 Melaka–Pekanbaru Power Interconnection 200.0 Government or PPP

8 ICQS Bukit Kayu Hitam* 120.0 Private Finance Initiative

Subtotal for Malaysia 320.0

Page 42: Free Trade Watch

40

Grand Total ICQS = immigration, customs, quarantine, and security.

*proyek ini merupakan proyek prioritas Negara pada IMT-GT Working Group Meetingon Infrastructure and Transportation ke-4 di Bangkok, Thailand 9-10 May 2011.

2.2. Pembangunan Jalan dan Utang dari ADBDi Indonesia, terdapat ketidakseimbangan distribusi pembangunan jalan dan

perawatan jalan yang sudah ada juga tidak sanggup ditangani oleh pemerintah pusat dan daerah. Sementara itu yang menjadi indikator distribusi investasi dalam infrastruktur adalah pembangunan jalan dan jembatan. Pada tahun 2004 pembangunan jalan di Jawa Barat tercatat 28% dari total jalan dan jembatan di seluruh provinsi di Indonesia. 2

2 http://www.bappenas.go.id/blog/?p=63

THAILAND

9

Southern Thailand Ports DevelopmentProgram (Phuket Port and Naklua Port)

25.0 Government of Thailand

10 Hat Yai–Sadao Intercity Motorway 300.0

Government of Thailandor ODAPossible ADB loan

11Southern Region Cargo Distribution Centerat Thungsong

28.0 Government of Thailand

Subtotal for Thailand 353.0

Grand Total 5,218.6

Page 43: Free Trade Watch

41Edisi III - Oktober 2012

Pada tahun 2011, Asian Development Bank (ADB) memberikan tambahan utang infrastruktur kepada Indonesia sebesar US$200 juta untuk program yang masih berjalan yang digunakan untuk mengurangi hambatan terhadap investasi infratsruktur. 3

Utang ini merupakan fase ketiga semenjak tahun 2006 dari Program Infratsructure Reform Sector Development,setelah sebelumnya memberikan utang sebesar US$680 juta untuk mendorong partisipasi sektor swasta dalam pembangunan infrastruktur.

Investasi untuk Indonesia untuk tahun 2009-2014 sekitar US$140 juta. Bantuan ini digunakan untuk reformasi kebijakan yang berdampak terhadap transportasi, energy, air dan telekomunikasi dan pembuatan legal framework untuk proyek Public-Private Partnerships (PPPs).

PPP adalah suatu kerangka kerja yang mengajak sektor swasta dan pemerintah turut berperan serta sehingga menjamin kewajiban sosial terpenuhi serta investasi publik terpenuhi. PPP melibatkan entitas pemerintah termasuk kementrian, departemen, atau pengusaha yang berbasiskan negara. Partner swasta bisa berasal dari internasional maupun nasional yang secara teknis maupun keuangan mampu untuk menjalankan suatu proyek tersebut. 4

Sektor yang termasuk ke dalam PPP ini adalah: pembangunan dan distribusi pembangkit tenaga listrik, air dan sanitasi, pembuangan sampah, jaringan pipa, rumah sakit, sekolah dan fasilitas mengajar, stadium, control lalu lintas udara, penjara,kereta api, jalan, pembayaran dan sistem tekhnologi pembayaran dan perumahan.5

3 http://www.adb.org/news/adb-extends-200-million-help-indonesia-accelerate-infrastructure-investment4 Public Private Partnership Handbook, hal.15 Ibid, hal.2

Asian Development Bank (ADB) melihat kurangnya dana pemerintah ini sebagai suatu peluang untuk memberikan utang atas nama “bantuan” kepada Indonesia pada tahun 1994, 2001, 2003 dan 2006 terkait infrastruktur di Indonesia. Utang yang diberikan oleh ADB ini dalam jangka waktu 15 tahun, dengan bunga tahunan.

Page 44: Free Trade Watch

42

Untuk pembangunan jalan ini, ADB menyetujui pinjaman yang diminta oleh Indonesia pada tahun 2011 sebesar Rp 1,53 triliun (sekitar US$ 180 juta). Pembangunan jalan dilaksanakan pada tempat terisolir dan wilayah perbatasan seperti Kalimantan Utara yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Tujuannya tentunya adalah untuk membuka akses pasar, investasi, penciptaan lapangan kerja dan layanan sosial bagi banyak orang. Proyek jalan sepanjang 470 km ini diharapkan untuk selesai pada Februari 2016. 6

Diakui oleh pemerintah bahwa Indonesia membutuhkan investasi di bidang infrastruktur. Tercatat pada lima tahun ke depan Indonesia membutuhkan sekitar Rp 1.429 triliun, sementara pemerintah hanya bisa menanggung 31% atau sekitar Rp 451 triliun. Untuk menutupi selisih sebesar Rp 978 triliun tersebut, pemerintah melaksanakan PPP yang dapat “menutup” kekurangan sisa dana sebesar Rp 365 triliun. 7

2.3. Utang Pembangunan Infrastruktur Air dari ADBDi Asia, sekitar setengah juta orang masih kurang akses terhadap air dan sekitar

1.8 milyar tanpa akses terhadap air dan sanitasi yang cukup. Dengan permintaan air secara global meningkat setiap 20 tahun, ada kebutuhan kritis untuk infrastruktur baru. ADB telah mengestimasikan sekitar US$ 8 milyar setahun untuk memenuhi target air minum di Asia dan Pasifik untuk satu dekade berikutnya. 8

Kebutuhan akan penyediaan air yang bersih di Indonesia menjadi peluang bagi ADB untuk memberikan utang. Utang dari ADB terkait dengan infrastruktur air terdiri dari dua jenis, yang bersifat institusional dan yang bersifat fisik. Utang yang dikategorikan ke dalam institusional adalah: reformasi kelembagaan, kebijakan air dan cara yang lebih efektif dalam menjalankan bisnis air. Sementara yang bersifat fisik adalah : pembangunan tekhnologi, bendungan dan rekonstruksi pasca tsunami (Aceh), pengurangan polusi lingkungan dari air permukaan dan air tanah (Medan dan Yogyakarta).

Untuk sanitasi dan proyek infrastruktur, ADB memberikan 73% dari total proyek yang bernilai US$ 135.6 juta, dan pemerintah membiayai sisa 19%. Kementrian Pekerjaan Umum merupakan executing agency untuk proyek ini, yang diharapkan akan selesai pada Maret 2015. 9

Proses penyediaan air ini sebenarnya harus disesuaikan dengan strategi ketersediaan sumber daya alam di daerah dan penggunaan air yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat setempat. Tetapi melalui utang yang diberikan

6 http://news.xinhuanet.com/english2010/world/2011-11/25/c_131269903.htm 7 http://news.xinhuanet.com/english/2009-02/11/content_10802060.htm8 http://wcm.adb.org/news/adb-invest-its-1st-fund-water-infrastructure-asia9 http://www.asianscientist.com/topnews/adb-pnpm-mandiri-indonesia-mllenium-development-goals/

Page 45: Free Trade Watch

43Edisi III - Oktober 2012

oleh ADB ini, implementasi dan hak atas air menjadi suatu komoditas yang diperdagangkan. Reformasi struktural organisasi yang menangani air sama artinya dengan membagi-bagi kegunaan air menjadi bisnis unit terkecil yang secara tidak langsung dapat meningkatkan kompetisi.

Di Indonesia, pengalokasian sumber daya air mayoritas digunakan untuk pertanian karena penduduk Indonesia yang banyak bergerak di sektor pertanian. Skema privatisasi air masuk ke dalam legislasi pemerintah melalui: UU N0 7 th 2004 tentang Sumber Daya Alam dan PP irigasi no 16 2006. Undang-Undang ini mengatur tentang pengelolaan sumber daya air yang dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya terhadap kemakmuran rakyat.

Kelembagaan air di Indonesia untuk pertanian ditangani oleh institusi-institusi: Komisi Air Pemberdayaan Perkumpulan Petani Pemakai Air (Komir P3A), Induk Perkumpulan Petani Pemakai Air (IP3A) dan Pemerintah Daerah. Melalui utang yang diberikan oleh ADB terkait dengan kelembagaan ini, telah mengakibatkan lemahnya keterlibatan petani pada proses pengelolaan irigasi yang hanya memiliki kewenangan pada saluran tersier dan sekunder. Selain itu, dengan dibangunnya sistem kelembagaan baru, mengakibatkan hilangnya sistem lokal (ulu-ulu) dan kelembagaan sosial yang lebih bersifat kekeluargaan. 10

Sementara itu, perbaikan jaringan irigasi yang dibiayai melalui Program Participatory Irrigation Sector Project (PISP) yang dimulai tahun 2006-2011 tidak menambah hasil produksi pertanian secara signifikan. Tetapi malah mengakibatkan perubahan dari lahan sawah irigasi (teknis, semiteknis) ke lahan sawah tadah hujan.

10 Riset Aliansi Petani Indonesia,2012, Implikasi Program ADB pada Pertanian dan Pangan; Studi Kasus Program Participatory Irrigation Sector Project (PISP) di DAS Pemali

Page 46: Free Trade Watch

44

3. KesimpulanPembangunan infrastruktur yang bersifat fisik merupakan hal terpenting yang

harus dilaksanakan di dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Pembangunan jalan di daerah perbatasan dan terisolir seperti di Kalimantan merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh ADB untuk membuka “bottleneck” yang terjadi di Indonesia.

Hal ini dimungkinkan karena Indonesia menjadi titik terpenting di dalam jalur perdagangan ASEAN. Pembangunan infrastruktur melalui utang ADB ini hanya akan memfasilitasi kelancaran perdagangan di tingkat ASEAN tanpa mempedulikan kesejahteraan masyarakat. Utang yang diberikan oleh ADB hanya akan masuk ke kontraktor proyek ADB di tingkat lokal.

Bantuan institusional sebagai penunjang utang infrastruktur hanya akan merubah pola sosial masyarakat yang sudah terbentuk sejak lama. Pemberian utang infrastruktur air yang sejalan dengan reformasi institusional telah merusak system pembagian air yang sudah dijalankan oleh masyarakat jauh sebelum pemberian utang ADB dilaksanakan.

***

Page 47: Free Trade Watch

45Edisi III - Oktober 2012

Strategi Penyelamatan Uni Eropa:

Hanya Menunda Kebangkrutan

Oleh: SulistyoningsihIndonesia for Global Justice (IGJ)

REGIONALISME

Page 48: Free Trade Watch

46

Berbagai upaya dilakukan oleh EU untuk membantu menyelamatkan Yunani dan negara-negara anggota EU yang suspect krisis yang telah menghantui Uni Eropa sejak 2,5 tahun terakhir. Pertemuan para petinggi

Uni Eropa dilakukan di Brussel,Belgia pada 28-29 Juni 2012. European Council telah berjuang selama 2,5 tahun dengan tujuan agar krisis yang melanda Yunani tidak meluas dan menimbulkan efek buruk di kawasan tersebut. Namun langkah yang diambil EU tampaknya hanya akan menunda kebangkrutan yang cepat atau lambat pasti akan menimpa EU.

Jerman dan Perancis berusaha keras mencari solusi menangani krisis Euro. Kanselir Jerman Angela Merkel menyerukan pembentukan kesatuan fiskal Eropa, dan mengatakan tidak ada cara lain untuk menyelesaikan krisis utang Zona Euro. Merkel telah mencoba membujuk Uni Eropa dan mitra Zona Euro untuk menegosiasikan perubahan perjanjian Uni Eropa guna menegakkan disiplin anggaran dan kontrol utang di Zona Euro.

Pemerintah Jerman menegaskan perubahan untuk membangun kekuatan guna mem-veto anggaran nasional di Zona Euro yang melanggar aturan bersama dan menghukum negara pelanggar aturan itu. Dia menolak tuduhan bahwa Jerman sedang mencari mitra untuk mendominasi Eropa dan menilainya sebagai tudingan yang aneh. Ditambahkannya, kesatuan fiskal Eropa dan sanksi otomatis diperlukan untuk mengembalikan kepercayaan di pasar musik.

Gubernur Bank Sentral Eropa (ECB) Mario Draghi dalam laporannya kepada anggota parlemen Eropa memperingatkan kebangkrutan bank-bank besar Eropa di tahun 2012. Draghi menyebut stabilitas ekonomi Zona Euro dalam bahaya yang mengancam kelanggengan ekonomi Zona Euro yang semakin memburuk1.

Dalam EU Summit yang diadakan pada 28-29 Juni 2012 dengan dihadiri oleh pemimpin 27 negara di Uni Eropa tersebut beberapa point yang menjadi agenda pertemuan diantaranya adalah :

Banking UnionSelama ini bank sentral (ECB) memegang kuasa atas regulasi moneter di

kawasan. Sejatinya Eropa membutuhkan komando yang sama dari sebuah institusi supaya sistem perbankan semua negara jadi lebih sehat. Di dalam praktiknya bisa ternasuk penambahan wewenang ECB, angka jaminan simpanan yang sama serta mekanisme pengucuran bailout kepada bank-bank besar. Selama ini, ECB tidak memiliki tanggung jawab seluas itu dan delegasi Eropa harus mampu menerjemahkan kebutuhan sektor keuangan saat ini. Banking Union dapat

1 Astri Anaria Siburian, Efek Domino Krisis Ekonomi Yunani Terhadap Stabilitas Perekonomian di Uni Eropa, Minggu, 01 April 2012

Page 49: Free Trade Watch

47Edisi III - Oktober 2012

memulihkan kepercayaan terhadap sistem perbankan dan mengikis efek negatif penyakit perbankan ke sistem moneter.

Di Spanyol, bank adalah salah satu pembeli terbesar obligasi pemerintah. Artinya, bailout untuk pemerintah sama artinya dengan kejatuhan bank-bank pemiliki surat hutang, pun sebaliknya. Hal inilah yang harus dihindari melalui adanya sistem baku yang dimotori oleh otoritas bank kawasan. Summit para petinggi EU ini idealnya juga mampu mengajak Inggris ke dalam kesatuan sistem perbankan yang mereka buat nantinya.

Kesatuan FiskalSecara fundamental, negara-negara pengguna mata uang euro memang

mengikuti kebijakan yang dibuat oleh pusat. Namun kalau soal pengeluaran dan dana belanja, setiap negara mempunyai kebijakan yang berbeda-beda. Perbedaan inilah yang membuat beberapa negara gagal menjaga keseimbangan neraca hingga bangkrut, seperti apa yang dialami Yunani. Oleh karena itu, delegasi Eropa harus mampu membentuk aturan fiskal yang bersifat baku dan mengikat semua negara. Di dalamnya termasuk penetapan batas atas dan bawah dari level hutang pemerintah, berikut sanksi bagi mereka yang melanggarnya.

Obligasi Bersama (Eurobonds)Presiden Prancis, Francois Hollande, menyerukan supaya agenda pembahasan

obligasi bersama harus tetap di atas meja. Obligasi ini dibutuhkan sebagai media penggalangan dana yang valid sekaligus parameter kepercayaan pelaku pasar keuangan terhadap kondisi ekonomi Eropa. Namun wacana ini kemungkinan masih ditentang oleh Angela Merkel, yang cenderung melihat obligasi bersama merugikan negaranya. Pasar tidak perlu berharap munculnya Eurobonds dalam waktu cepat.

Stimulus EkonomiKepala negara Jerman, Prancis, Italia dan spanyol pekan lalu menyepakati paket

perbaikan ekonomi senilai 130 miliar euro atau setara 1% dari GDP euro-zone. Pemerintah Eropa juga berencana menambah amunisi European Investment Bank guna menggenjot pertumbuhan dan memperluas lapangan kerja. Perlambatan ekonomi terjadi hampir di seluruh belahan Eropa, dan beberapa negara sudah mengalami resesi.

Page 50: Free Trade Watch

48

Bailout Pertemuan hari ini dihelat satu hari setelah Madrid mengajukan dana talangan

secara resmi. Pemerintah Spanyol membutuhkan dana dalam waktu cepat untuk membantu bank-bank yang sedang krisis. Bailout memang hampir pasti dikurcurkan, namun yang jadi pertanyaan adalah mekanisme pemberian dana. Apakah langsung dimasukkan ke dalam kocek bank yang bermasalah atau melalui pemerintah. Jika bailout harus diberikan pada pemerintah terlebih dahulu maka beban hutang negara akan makin membengkak.

Persyaratan Utang Tidak lengkap rasanya jika summit kali ini tidak membahas soal Yunani, titik

awal kerusakan sistem moneter kawasan. Perdana Menteri Antonis Samaras diperkirakan hadir setelah pulih dari operasi mata. Ia kemungkinan me-renegosiasi klausul program pemangkasan yang harus dijalankan negaranya. Sebagai timbal balik, Uni Eropa bisa saja memasukkan persyaratan baru guna mengakomodasi keinginan tersebut2.

EU Summit Beberapa point yang dihasilkan dalam EU Summit tersebut adalah sebagai

berikut :a. Membentuk pengawas tunggal bagi bank-bank di wilayah Uni Eropa baik itu

Bank Sentral Eropa/European Central Bank (ECB) atau badan di bawahnya.b. Setelah hal itu dilakukan, dua lembaga Eurozone yaitu EFSF (European

Financial Stability Facility) dan ESM (European Stability Mechanism), akan dapat merekapitulasi bank-bank secara langsung daripada menyerahkan dana tersebut kepada pemerintah di negara basis bank-bank tersebut. Langkah ini bertujuan untuk menghentikan penumpukan utang bank-bank tersebut kepada pemerintah yang tengah mengalami krisis.

c. Negara-negara Uni Eropa bersepakat bahwa negara-negara yang bekerja untuk mengontrol anggaran mereka, bisa memanfaatkan dana penyelamatan tersebut tanpa perlu melaksanakan langkah-langkah penghematan seperti yang dipaksakan kepada Yunani, Irlandia dan Portugal.

d. Obligasi yang dibeli EFSF/ESM untuk dana penyelamatan Spanyol tidak akan lagi menikmati perlakukan istimewa dibandingkan dengan pemegang

2 Market Outlook “Apa yang Bisa Diharapkan dari EU Summit?”, Kamis 28 Juni 2012. Available from : http://www.monexnews.com/market-outlook/apa-yang-bisa-diharapkan-dari-eu-summit.htm, diakses pada 14 Agustus 2012.

Page 51: Free Trade Watch

49Edisi III - Oktober 2012

obligsi lainnya jika terjadi default. Hal ini dilakukan karena sebelumnya mereka menikmati fasilitas senior bond (senior status) yang secara tidak sengaja,telah menjauhkan investor swasta.

e. Negara-negara Uni Eropa bersepakat untuk melanjutkan negosiasi dalam koridor reformasi jangka pangjang untuk Euro, termasuk sertifikat perbankan yang berarti bahwa asuransi Dana Pihak Ketiga Perbankan Eropa terutama deposito dan pengawasan terhadap bank-bank besar akan ditangani di tingkat Eropa,daripada di tingkat nasional masing-masing negara.

f. Negara-negara Uni Eropa juga menginginkan sertifikat fiskal yang lebih besar sehingga Brussel (Belgia) akan memiliki suara yang lebih besar atas anggaran nasional. Namun begitu, sebagai prasyarat untuk keanggotaan di Eurozone, semua negara telah sepakat untuk membatasi defisit anggaran hingga 3% terhadap PDB dan tingkat utang total tidak lebih dari 60% terhadap PDB.

Apa yang dihasilkan oleh EU Summit ini telah memberikan sentimen positif terhadap pasar. Hal ini tandai dengan hampir semua seluruh pasar ( Forex, Indeks, Commodity ) mengalami penigkatan yang cukup signifikan seperti mata uang Euro menguat lebih kurang 260 pips daily range terhadap Us Dollar.

Agenda Lainnya Selain untuk menanggulangi krisis dengan periode saat ini, EU Summit juga

menghasilkan agenda-agenda untuk penyelamatan EU 2,5 tahun ke depan hingga 2014. Agenda yang telah dipersiapkan oleh EU diantaranya :1. Kerangka Kerja Multiannual Keuangan Uni untuk periode 2014-2020 harus

diadopsi sebelum akhir 2012. Ini adalah perdebatan penting, karena menyangkut semua kebijakan Uni Eropa di seluruh sektor. Selain untuk lebih memperbaiki jumlah total pembiayaan Eropa periode berikutnya, negosiasi ini memerlukan pilihan fundamental: apakah prioritas investasi untuk generasi berikutnya, kebijakan mana yang terbaik untuk mendukung pertumbuhan Uni Eropa ke depan,serta bagaimana agar sebagian besar sumber daya untuk kebijakan tersebut dapat tersedia?

2. Konsentrasi untuk masa depan ekonomi dan moneter Uni Eropa/ Economic and Monetary Union (EMU), telah menjadi rahasia umum bahwa intergasi yang andal antara tiga sektor yakni sektor perbankan, permasalahan fiskal dan kebijakan ekonomi sangat diperlukan. Laporan mengenai focus masa depan EMU terdiri dari building blocks utama dan diikuti oleh roadmap berjangka waktu untuk focus kerja ke depan. Sementara itu, Dewan Eropa harus memastikan implementasi hal-hal apa yang telah menjadi kesepakatan

Page 52: Free Trade Watch

50

negara-negara Uni Eropa. Euro Summits secara berkelanjutan akan diadakan sekali dalam 2 tahun dengan tujuan untuk meng-konsolidasi-kan apa yang telah menjadi arsitektur pemerintah negara yang mengalami krisis. Negara Eropa yang tidak memakai Euro (Non-euro Member States) akan diinfromasikan sepenuhnya langkah-langka kerja yang akan diambil, untuk memastikan koherensi aksi dengan Uni Eropa secara keseluruhan.

3. Terkait masalah pertumbuhan dan ketersediaan pekerjaan, Compact baru untuk pertumbuhan dan pekerjaan (Compact for Growth and Jobs) akan memberikan kerangka yang baik untuk tindakan tegas. Focus harus tetap pada implementasi baik untuk ukuran nasional maupun kebijakan pendukung pertumbuhan EU. Tujuan Strategis Eropa 2020 merupakan kunci dalam hal ini. Sebuah tinjauan kemajuan terhadap lima target utama harus dilakukan pada tahun 2014, untuk memastikan bahwa program yang telah dicanangkan berada dalam trek untuk tahun 2020. Memperdalam pasar internal akan tetap menjadi tujuan utama tahun-tahun mendatang. Dewan Eropa secara teratur akan memantau kemajuan kerangka kerja ini.

4. Aspek eksternal juga memiliki relevansi tinggi terhadap pertumbuhan pasar internal. Oleh karena itu, diskusi mendalam bidang perdagangan terkait hal ini harus dijamin dapat terlaksana tahun depan. Pilihan kebijakan yang jelas harus segera dipilih untuk perjanjian bilateral dan multilateral tingkat lanjut yang saat ini sedang berlangsung.

5. EU harus me-review perkembangan kebijakan yang telah disepakati, terutama persamaan persepsi untuk memebuhi target digital single market pada tahun 2015 seperti yang telah disepakati. Progres selanjunya dalam penemuan kebijakan EU juga akan memberikan keuntungan besar bagi industri Eropa. Pengukuran yang lain untuk meningkatkan daya saing industri, khususnya sektor manufaktur, akan diukur dan dibahas di tingkat Dewan Eropa.

6. EU sendiri menyepakati deadline untuk menglengkapi pasar internal energi pada 2014 dan perkembangan untuk tujuan ini harus terus di review. Untuk memberikan stimulus bagi kunci sektor strategis ini, EU dapat melihat prioritas untuk keamanan energi dan interkoneksi. Koherensi tujuan ini dengan perubahan iklim harus dapat dipastikan, juga dengan komitmen internasional Uni Eropa.

7. Dewan Eropa telah mengeluarkan kebijakan di masa lalu untuk secara teratur menjaga perkembangan terkait Kebebasan, Keamanan dan Keadilan negara-negara EU yang saat ini sedang diperiksa. Ada kebutuhan yang jelas untuk acquis dan bergerak maju untuk pergerakan bebas, migrasi dan suaka. Dewan Eropa adalah forum yang tepat untuk diskusi ini. Pada Oktober 2012, EU

Page 53: Free Trade Watch

51Edisi III - Oktober 2012

akan mengambil peran dalam persoalan suaka. 8. Perluasan akan tetap menjadi agenda penting EU dan Dewan Eropa akan

menghadi diskusi penting tentang pemberian status terhadap kandidat a negara anggota EU, membuka dan menutup forum negosiasi akses antar negara. Perspektif negara-negara EU yang kredibel akan memfasilitasi reformasi dan berkontribusi terhadap stabilitas lebih jauh, khususnya di daerah barat Balkan. Lebih jauh, Dewan Eropa akan mengadakan diskusi terkait dampak perluasan EU terhadap fungsi dan institusi EU.

9. Dewan Eropa akan memastikan arti penting posisi Uni Eropa di kancah global. Persiapan untuk G8 dan G20 summits akan sangat membutuhan perhatian besar. Impetus yang diperbaharui juga akan dilakukan untuk partnership utama Uni Eropa dan kawasan. EU harus fokus pada isu-isu politik tingkat tinggi dimana panduan diperlukan tentang isu ini pada level tertinggi EU. Penentuan waktu diskusi ini juga akan tergantung pada event-event eksternal dan situasi negara dimana diskusi ini akan dilakukan. Persoalan yang akan diangkat dalam diskusi ini juga akan memasukkan Rusia dan China serta partenrship antar benua.

10. Terkait dengan permasalahan negara-negara tetangga Uni Eropa, perkembangan negara-negara semenanjung Arab dan Mediterania Selatan, akan di follow up dan akan senantiasa dipantau perkembangannya sebaik negara-negara di dunia timur. EU juga akan secara terus menerus menngikuti konflik-konflik regional dan daerah-daerah krisis, titik berat EU akan diletakkan pada upaya global untuk mencapai perdamaian dan stabilitas global. Syria akan tetap menjadi konsen utama, hal yang sama juga untuk Iran, Afghanistan dan proses perdamaian Timur Tengah, semuanya akan menjadi perhatian utama EU.

11. Dewan Eropa juga akan memantau bidang keamanan khususnya perkembangan kapabilitas militer Uni Eropa. Lingkungan strategis yang menantang, beberapa kendala dan anggaran keamanan serta Lisbon Treaty’s secara eksplisit memerlukan kebijakan khusus terkait militer dan keamanan. Semua point tersebut memerlukan perencanaan jangka panjang serta kerjasama yang lebih sistematis di bidang ini. Diskusi menjadi dapat diadakan pada pertengahan 2013. Diskusi ini juga dapat menjadi forum untuk membicarakan kebijakan perdagangan, penelitian dan perkembangan padar internal EU3.

Semua program yang telah disusun di atas memerlukan waktu dan perencanaan yang serius dan berkelanjutan. Oleh karena itu perhatian besar harus dicurahkan

3 European Council, The President, “The way forward for the European Council up to 2014” Brussel, 29 June 2012, [email protected] http://www.consilium.europa.eu/

Page 54: Free Trade Watch

52

untuk semua program tersebut dan pertemuan EU sebanyak enam kali dalam setahun layak dilakukan guna memantau dan memastikan perkembangan setiap program secara teratur. Pada intinya, EU Summit yang diadakan pada 28-29 Juni 2012 kemarin membahas mengenai permasalahan EU secara keseluruhan, tidak hanya mengenai krisis yang tengah melanda Yunani dan mulai menyebar ke negara-negara Eropa.

Compact for Growth and Jobs yang dicanangkan dalam EU summit tersebut direncanakan akan memobilisasi dana sebesar 120 miliar euro (sekitar 1% dari Gross National Income/GNI Uni Eropa) untuk investasi segera, guna mendorong perkembangan ekonomi dan membuka lapangan kerja bagi Uni Eropa. Dana tersebut akan dimobilisasi untuk aksi cepat untuk mendorong pertumbuhan dengan parameter pengukuran sebagai berikut :

Paid in capital European Investment Bank (EIB) harus bertambah sejumlah 10 miliar euro, dengan tujuan untuk meningkatkan kekuatan basis modal serta untuk meningkatkan kemampuan lending sebesar 60 miliar euro. Keputusan ini harus diambil oleh para pemimpin EIB dan mulai berlaku tidak lebih dari 31 Desember 2012.

Fase pilot project harus segara diluncurkan, memberikan tambahan investasi sebesar 4,5 miliar euro untuk pilot project pada alat transportasi utama, energi dan infrastruktur telekomunikasi.

Setiap negara anggota EU memiliki kesempatan yang sama di bawah aturan yang ada dan praktik kerja Komisi Eropa untuk ambil bagian dalam pengelolaan dana alokasi (Structural Funds) guna mengontrol risiko kredit EIB dan jaminan kredit bagi pengembangan SDM, efisiensi penggunaan sumber energy, infrastruktur strategis, akses keuangan bagi UKM. Structural Funds adalah dana yang dialokasikan untuk mendukung perkembangan penelitian dan pengembangan, UKM, tenaga kerja muda dan lebih jauh dana sebesar 55 miliar euro digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi periode saat ini. Dukungan terhadap UKM adalah melalui penguatan akses mereka terhadap sektor keuangan.

Compact for Growth and Jobs merupakan hal pokok yang dihasilkan dalam EU summit 2012. Compact for Growth and Jobs diciptakan dengan tujuan utama untuk mencapai target strategis EU 2020 (Europe 2020 strategy) yakni membuka potensi domestik EU untuk pertumbuhan termasuk membuka jaringan kompetisi antar negara anggota EU, mempromosikan ekonomi digital EU, eksplorasi potensi ekonomi hijau (green economy) Uni Eropa, menghapus pembatasan aturan yang tidak adil bagi penyedia jasa perdagangan, dan mempermudah proses pembukaan bisnis baru bagi negara-negara anggota EU serta menghilangkan berbagai hambatan perdagangan guna mendukung perkembangan ekonomi dan

Page 55: Free Trade Watch

53Edisi III - Oktober 2012

pembukaan lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya bagi negara-negara anggota Uni Eropada pada khususnya dan negara-negara di lintas regional pada umumnya.

Compact for Growth and Jobs memiliki empat area aksi yakni : penyelesaian masalah pengangguran terutama untuk kaum muda, modernisasi administrasi publik, dan mengembangkan layanan e-government. Area kunci program kerja EU adalah terwujudnya Digital Single Market pada 2015. Pasar energi internal EU harus terlaksana pada 2014 dan seluruh negara anggota terkoneksi pada pasar gas dan listrik pada 2015.

Pada EU summit tersebut, para pemimpin negara anggota EU juga membahas permasalahan internasional terutama yang terkait dengan kekerasan dan pelanggaran kemanusiaan di Syria dengan menekan rezim berkuasa negara tersebut untuk mengakhiri tindak kekerasan dan memberikan solusi politik terbaik untuk negara tersebut. Terkait dengan masalah Iran, pemimpin negara-negara EU menitikberatkan mengenai program energi nuklir yang sedang dikembangkan Iran. Terakhir adalah terkait Montenegro dimana para pemimpin EU menyepakati untuk membuka akses negara tersebut terhadap EU4.

Bantuan dari G20Berbagai pertemuan oleh berbagai kelompok negara telah dilakukan

untuk mengatasi krisis utang di kawasan Eropa ini agar dampak negatif nya dapat diminimalisir. Lembaga-lembaga ekonomi dunia berbondong-bondong membantu mengatasi krisis utang ini dengan memberikan berbagai rekomendai kebijakan maupun dana bail out untuk menghadang kebangkrutan akibat krisis. Kelompok negara G20 juga tidak ketinggalan ikut serta dalam penyelesaian krisis ini. Pertemuan demi pertemuan digelar guna menghasilkan solusi terbaik untuk krisis ini.

Dalam pertemuan para menteri keuangan kelompok G20 awal November lalu telah dicapai keputusan yang menjadi komitmen kelompok G20 dalam menangani krisis Eropa. G-20 berusaha memperkuat peranan IMF sehingga efektif dalam mengawasi sistem keuangan global dengan fokus pada sektor keuangan, fiskal, kebijakan nilai tukar, dan dampak dari perkembangan dari hal-hal tersebut untuk stabilitas ekonomi global yang sistemik.

G-20 juga berkomitmen untuk mendukung rencana IMF sebagai pelaksana dari precautionary and liquidity line (PLL). PLL ditujukan untuk negara-negara yang membutuhkan dana yang cair dan fleksibel dalam jangka pendek sesuai kasus per kasus per negara yang terkena dampak dari krisis ekonomi eksternal

4 Main results of the June European Council meeting, 29 Juni 2012. www.eu.com , diakses pada 21 Agustus 2012.

Page 56: Free Trade Watch

54

yang sistemik5.Dipilihnya IMF sebagai lembaga yang diharapkan dapat berperan besar dalam

penangangan krisis Eropa sebetulnya tidak lepas dari keengganan beberapa Negara anggota kelompok G20 untuk secara langsung ikut ambil bagian dalam proses penyelamatan Eropa. China menyatakan tidak bisa menalangi dana untuk kawasan euro.Amerika Serikat juga menaruh perhatian khusus atas apa yang berkembang dan rencana penanganan yang akan dilakukan oleh Jerman dan Prancis sebagai pendukung euro. Pada akhirnya, G-20 tidak secara jelas menyatakan sikap atas yang terjadi di kawasan euro selain menyambut rencana UE untuk menangani krisis keuangan di kawasan euro.

Para pemimpin G20 membahas peran yang lebih besar untuk IMF dalam krisis hutang Eropa, dengan Inggris yang mengikuti langkah Brazil dan Rusia dalam mendukung peningkatan kemampuan badan tersebut. Sementara Perdana Menteri Inggris, David Cameron mengatakan jika sumber daya badan yang berbasis di Washington ini mungkin perlu ditingkatkan, meskipun mereka seharusnya tidak langsung berinvestasi dalam dana bailout 440 miliar euro kawasan tersebut. Brasil dan Rusia mengatakan jika mereka siap untuk membantu kawasan yang diberikan bantuan melalui IMF.

Para pembuat kebijakan kawasan euro sedang mencari dukungan finansial dari seluruh dunia disaat gejolak kawasan ini meningkat dan mendominasi pertemuan itu. Pada tahun 2009, para pemimpin G–20 yang berjuang memerangi resesi global sepakat untuk meningkatkan tiga kali lipat sumber daya IMF, yang telah memberikan kontribusi untuk dana bailout di Yunani, Irlandia dan Portugal. Ada pandangan yang luas pada para pemimpin G–20 bahwa perlu tambahan sumber daya IMF, kata Perdana Menteri Australia, Julia Gillard kepada wartawan di Cannes6.

Di sisi lain, EU secara terbuka meminta bantuan kepada kelompok negara G-20 untuk membantu mereka mengatasi krisis di kawasan tersebut. Amerika dan Jepang diminta untuk mengatasi masalah pajak mereka. China diminta untuk mengendurkan pembatasan pada Yuan agar bisa berbagi tanggung jawab dengan Eropa, untuk memulihkan kesehatan ekonomi global.

Demikian isi surat Uni Eropa yang ditujukan kepada negara-negara yang tergabung dalam G-20. Surat ini dibacakan di KTT G-20, di Loc Cabos, Meksiko. Disebutkan juga, sementara Uni Eropa fokus melakukan yang menjadi kewajibannya, semua mitra G-20 diharapkan juga dapat ambil peran untuk

5 G20, Peran dalam Penyelesaian Krisis Eropa dan Posisi Indonesia, available from : http://vibiznews.com/knowledgelib/economy/G20.pdf, Diakses pada 24 Agustus 2012.

6 Pemimpin G20 Bahas Peran Lebih Besar IMF Dalam Krisis Eropa, 04 November 2011. Available from : http://firststatebali.com/news.php?id=14, diakses pada 25 Agustus 2012. Sumber : www.bloomberg.com,

Page 57: Free Trade Watch

55Edisi III - Oktober 2012

mengatasi krisis. Hal ini disampaikan oleh Presiden Komisi Eropa, Jose Manuel Barroso, dan Presiden Dewan Eropa, Herman Van Rompuy dalam KTT tersebut7.

Meskipun G-20 mendorong peran yang lebih besar bagi IMF untuk mengatasi krisis, namun kelompok negara-negara tersebut mengingatkan agar lembaga keungan moneter internasional itu tidak agar tidak lagi menerapkan obat generik untuk semua penyakit.

Sejumlah negara sudah menyatakan kesiapan menyetor dana segar kepada IMF untuk bailout Yunani dan negara Eropa lainnya. Tiongkok, siap menyetor US$ 43 miliar, Meksiko US$ 10 miliar, dan Kolombia US$ 1,5 miliar. Indonesia dan Amerika Serikat belum menegaskan komitmennya kontribusinya untuk memperkuat IMF. Untuk Amerika, Presiden AS Barack Obama berhati-hati menghadapi pemilihan presiden tahun depan. Sedangkan Indonesia sudah punya pengalaman buruk dengan lembaga itu, saat turun tangan membantu menyelesaikan krisis pada 1998. Cairnya suasana KTT G-20 tersebut memunculkan efek positif yakni bahwa setiap pemimpin negara memiliki kebebasan untuk berbicara dan menyatakan pendapat masing-masing yang mewakili kondisi negaranya.

Meski setuju penguatan pendanaan IMF untuk membantu Eropa, G-20 memberikan syarat kepada IMF untuk melakukan penyesuaian. Persyaratan bailout tidak asal pengetatan ikat pinggang, melainkan harus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing negara dan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi negara yang dibantu. Spanyol, misalnya, meminta IMF untuk tidak mengurangi apalagi menghapus beasiswa.

Rangkaian pertemuan para pemimpin G-20 di Los Cabos membahas empat isu utama, yakni ekonomi global, arsitektur keuangan internasional, pembangunan ekonomi, dan perdagangan. Pada isu ekonomi global, negara-negara G-20 bertekad mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat, berkelanjutan, dan seimbang. Dalam draf komunikenya, para pemimpin G-20 berjanji menempuh segala upaya yang dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja guna memulihkan kepercayaan global.

Dalam moment itu, Indonesia dan sejumlah negara berkembang mengingatkan para pemimpin dunia, bahwa pihak yang paling terkena dampak buruk dari krisis negara maju justru negara berkembang. Selain tingginya kebergantungan pada negara maju sebagai tujuan ekspor dan pemodal, negara maju sudah memiliki pendapatan per kapita di atas US$ 30.000. Sedangkan PDB per kapita negara berkembang masih di bawah US$ 15.000. PDB per kapita Indonesia sekitar US$ 3.500, Tiongkok US$ 5.400, India S$ 1.400, Rusia US$ 13.000, Argentina 7 Arlian Buana Chrissandi, “Uni Eropa Minta G-20 Bantu Atasi Krisis”, Sabtu, 26 Mei 2012 , 20:22:00 WIB. Available

from: Rakyat Merdeka Online (http://www.rmol.co/read/2012/05/26/65135/Uni-Eropa-Minta-G-20-Bantu-Atasi-Krisis- ), diakses pada 28 Agustus 2012.

Page 58: Free Trade Watch

56

US$ 11.000, dan Brasil US$ 12.800. Dengan tingkat kesejahteraan dan kualitas sumber daya manusia serta berbagai jenis infrastruktur yang jauh di atas negara berkembang, ekonomi negara maju Akan cepat pulih dari krisis. Beda dengan krisis negara berkembang yang membutuhkan waktu lama untuk pemulihan.

Saat ini, dampak krisis Eropa sudah memukul Tiongkok, India, dan negara berkembang lainnya. Karena itu, negara berkembang lebih tertarik membahas tentang penciptaan lapangan kerja, ketahanan pangan, energi yang berkesinambungan, dan financial inclusion. Pada G-20 kali ini, Indonesia bersama Meksiko dan Cile mendorong isu financial inclusion8.

Pada akhirnya, apa yang dihasilkan oleh KTT G20 ini merupakan sesuatu yang tidak ada ujungnya dan tidak memberikan solusi konkrit atas permasalahan Uni Eropa. Hal ini karena G20 hanya menyepakati penguatan modal IMF agar bisa maksimal membantu Uni Eropa. Tidak semua negara juga menyetujui penguatan modal ini karena keamanan keuangan nasional setiap negara menjadi prioritas utama. Di samping itu, penguatan modal IMF juga tidak akan menjamin penyelematan Uni Eropa berhasil,apalagi jika IMF masih menggunakan “obat generik” yang sama untuk semua permasalahan negara termasuk apa yang terjadi di Uni Eropa.

***

8 Primus Dorimulu, “G-20 Yakin Krisis Eropa Segera Berakhir” Rabu, 20 Juni 2012 | 11:02. Available from : http://www.suarapembaruan.com/home/g-20-yakin-krisis-eropa-segera-berakhir/21450, diakses pada 28 Agustus 2012.

“Saat ini, dampak krisis Eropa sudah memukul Tiongkok, India, dan negara berkembang lainnya. Karena itu, negara berkembang lebih tertarik membahas tentang penciptaan lapangan kerja, ketahanan pangan, energi yang berkesinambungan, dan financial inclusion.”

Page 59: Free Trade Watch

57Edisi III - Oktober 2012

PERBURUAN MODAL MULTINASIONAL DALAM SEKTOR INFRASTRUKTUR ASEAN

Oleh : Salamuddin DaengPeneliti Indonesia for Global Justice

Benarkah krisis infrastruktur di ASEAN diwacanakan sebagai upaya untuk menyelamatkan masyarakat ASEAN dari masalah kelangkaan infrastruktur atau ini adalah strategi manipulasi dari kapitalisme global melalui lembaga-lembaga keuangan internasional dan negara-negara maju untuk menyelematkan krisis keuangan yang melanda pusat-pusat kapitalisme dewasa ini?

REGIONALISME

Page 60: Free Trade Watch

58

Ditengah krisis keuangan yang melanda negara-negara Uni Eropa dan AS, ASEAN tampaknya akan menjadi emerging market bagi pasar keuangan Eropa dan AS. Kawasan yang relatif baru tumbuh ini merupakan pasar

potensial bagi ekspansi investasi dari negara-negara maju terutama dalam investasi infrastruktur skala besar, mengingat tingginya kebutuhan ASEAN terhadap infrastruktur dalam rangka perdagangan kawasan ini.

Mengapa negara maju sangat tertarik dalam investasi infrastruktur? Sektor ini merupakan sasaran alokasi keuangan yang sangat potesial mengingat pengadaan infrastuktur membutuhkan dana yang sangat besar dan akan secara langsung menggairahkan kembali sektor keuangan dunia yang mengalami kebangkrutan. Bank-bank investasi besar akan dapat kembali mengalokasikan keuangan mereka dalam investasi jangka panjang dan membentuk pasar keuangan derivatif yang baru.

Sebagaimana dikemukakan oleh Iwan J. Azis bahwa Asia pada umumnya merupakan Pasar Investasi Infrastruktur Terbesar di Dunia, termasuk di dalamnya pasar obligasi untuk infrastruktur di Asia. Kebutuhan infrastruktur Asia masih besar, untuk 10 tahun ke depan diperkirakan mencapai USD 8 triliun. Karena kebutuhan untuk infrastruktur itu butuh waktu lama, maka bentuk investasi yang tepat untuk itu adalah obligasi karena bisa memberi tenor berjangka panjang.1

Untuk mendapatkan sumber pendanaan, AIF sebuah lembaga pembiayaan infrastruktur ASEAN atau disebut ASEAN Infrastructure Fund, berencana menerbitkan obligasi dengan memanfaatkan cadangan valuta asing yang dimiliki oleh negara ASEAN. Saat ini dana cadangan valas yang dimiliki negara-negara ASEAN mencapai USD 700 miliar.2 Nilai cadangan devisa tersebut dipandang sebagai aset penting dalam mencari sumber pembiayaan atau utang dalam rangka pembangunan infrastruktur.

Dalam forum pertemuan tahunan Bank Pembangunan Asia (ADB) ke-45 sekaligus pertemuan pertama Dewan AIF, Managing Direktur Jenderal ADB Rajat Nag mengatakan saat ini merupakan waktu yang tepat bagi ASEAN untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur yang akan mendorong perdagangan, pertumbuhan ekonomi dan menciptakan kesempatan kerja untuk lebih dari setengah miliar orang di Asia Tenggara. “Dana AIF ini dapat digunakan untuk membiayai pembangunan jalan, kereta api, listrik, air, dan kebutuhan infrastruktur lainnya. Kebutuhan biaya untuk membangun infrastruktur di ASEAN, diperkirakan mencapai USD 60 miliar per tahun. 3

1 Kepala Kantor Integrasi Ekonomi Regional ADB Iwan J. Azis dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (26/4/2012)2 http://jakarta.okezone.com/read/2012/05/04/213/623529/asean-perkuat-dana-infrastruktur3 PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR: Asean Fund segera beroperasi, balibisnis, Thu May 03, 8:44 pm, http://bali-bisnis.

com/index.php/pembiayaan-infrastruktur-asean-fund-segera-beroperasi/

Page 61: Free Trade Watch

59Edisi III - Oktober 2012

Dalam rangka memfasilitasi investasi infrastruktur tersebut, ASEAN telah mendatangani konstitusi bersama yaitu piagam ASEAN (ASEAN Charter). Konstitusi tersebut telah menempatkan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi tunggal. Indonesia meratifikasi ASEAN Charter melalui UU 38 Tahun 2008. Selanjutnya konstitusi ini telah diuraikan dalam ASEAN Economic Community Blue Print yang berisikan salah satunya adalah skema pembiayaan dalam membangun infrastruktur di ASEAN.

Pasar Infrastruktur ASEANASEAN Economic Community (AEC) menjadi tujuan dari integrasi ekonomi

regional pada tahun 2015. AEC memiliki karakteristik utama sebagai berikut: (a) pasar tunggal dan basis produksi tunggal, (b) kawasan ekonomi yang sangat kompetitif, (c) wilayah pembangunan ekonomi yang adil, dan (d) wilayah sepenuhnya terintegrasi ke dalam ekonomi global. 4

Infrastructure contributes to economic growth and poverty reduction by increasing the competitiveness as well as the international and domestic connectivity of economies. In a highly globalized economy with vertically and horizontally integrated production networks, regional integration and agglomeration offer significant growth and employment opportunities for developing countries. Infrastructure also improves rural access to earnings opportunities, raises rural productivity, and provides access to basic services, thereby achieving inclusive development (see ADB-JBIC-WB 2005, World Bank 2008, ADB-ADBI 2009, etc.).5

Untuk mencapai tujuan tersebut maka diperlukan ASEAN Connectivity melalui pembangunan infasrtuktur yang menghubungkan antara sumber daya alam industri dan perdagangan yang akan memudahkan investasi internasional untuk berbisnis di kawasan ini. Dalam Blue Print ASEAN Economic Community direncanakan konsep pembangunan infrastruktur termasuk rancangan sumber pembiayaannya pada bidang-bidang sebagai berikut 6:1. Kerjasama transportasi. Sebuah jaringan transportasi yang efisien, aman, dan

terintegrasi di ASEAN dalam menjalankan penuh Free Trade Area ASEAN serta dalam meningkatkan daya tarik kawasan sebagai tujuan produksi, pariwisata dan investasi tunggal dan mengurangi gap antar kawasan dan

4 ASEAN Economic Community (AEC), yang dibuat dalam Deklarasi ASEAN Concord II di Bali, Indonesia, pada tanggal 7 Oktober 2003; Pada KTT ASEAN ke-12 pada bulan Januari 2007, para pemimpin menegaskan komitmen kuat mereka untuk mempercepat pembentukan Komunitas ASEAN pada tahun 2015 yang diusulkan di ASEAN Visi 2020 dan ASEAN Concord II, dan menandatangani Deklarasi Cebu tentang Percepatan Pembentukan Komunitas ASEAN pada 2015.

5 http://repository.ri.jica.go.jp/dspace/bitstream/10685/70/1/JICA-RI_WP_No.40_2012.pdf6 Asean Economic Community Blue Print, Asean Secretariat, 2008. http://www.aseansec.org/5187-10.pdf

Page 62: Free Trade Watch

60

menghubungkan transportasi ASEAN dengan Timur Laut tetangga dan negara-negara Asia Selatan.

2. Meningkatkan fasilitasi transportasi dan jasa logistik, mempromosikan keterkaitan infrastruktur transportasi multimodal dan konektivitas, memfasilitasi transportasi dan integrasi pariwisata dan selanjutnya meliberalisasi sektor udara dan transportasi laut.

3. Multi-moda transportasi dan fasilitasi transportasi. Dimana ASEAN Transport Action Plan (ATAP) 2005-2010 meliputi maritim, darat dan transportasi udara, dan fasilitasi transportasi.

4. Transportasi darat dengan Prioritas diberikan kepada penyelesaian Rail Link Singapura-Kunming (SKRL) dan proyek Jaringan jalan ASEAN (AHN).

5. Informasi Infrastruktur. Sebuah infrastruktur informasi aman dan terhubung untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan daya saing kawasan ini. Memfasilitasi interkonektivitas dan interoperabilitas teknis di antara sistem ICT, dengan memanfaatkan jaringan nasional yang agar berkembang ini menjadi sebuah infrastruktur informasi regional.

6. Mengembangkan koneksi kecepatan tinggi di antara semua infrastruktur informasi nasional (NII).

7. Kerjasama energi. Pasokan aman dan dapat diandalkan dari energi termasuk bio-fuel sangat penting untuk mendukung dan mempertahankan aktivitas ekonomi dan industri. Kolaborasi kawasan di Trans-ASEAN Gas Pipeline (TAGP) dan ASEAN prooyek Power Grid (APG), memungkinkan optimalisasi wilayah merupakan sumber daya energi besar untuk keamanan kawasan. Proyek-proyek ini juga memberikan kesempatan bagi sektor swasta.

8. Mempercepat pengembangan Jaringan Transmisi Tenaga Listrik ASEAN (APG) dan Gas Trans-ASEAN Pipeline (TAGP). APG melibatkan 14 proyek interkoneksi listrik dan TAGP, tujuh gas interkoneksi proyek.

9. Kerjasama Pertambangan dengan meningkatkan perdagangan dan investasi dan memperkuat kerjasama dan peningkatan kapasitas di sektor geologi dan mineral untuk pembangunan mineral.

10. Pembiayaan Proyek Infrastruktur. Pembiayaan selalu diakui sebagai kontributor penting pertumbuhan ekonomi. Seperti ASEAN mempercepat upaya integrasi ekonomi, yang memerlukan investasi lebih besar diperlukan skema pembiayaan yang inovatif untuk menarik keterlibatan sektor swasta yang lebih besar demikian penting.

Upaya pembangunan ASEAN infrastruktur connectivity sepenuhnya

Page 63: Free Trade Watch

61Edisi III - Oktober 2012

dimaksudkan dalam mendukung liberalisasi perdagangan ASEAN (ASEAN Free Trade Area), dan memperlancar pelaksanaan Free Trade Agreement antara ASEAN dengan Negara dan kawasan lainnya di luar ASEAN. ASEAN memiliki potensi pada dua sisi utama dalam perdagangan global yaitu sebagai penyedia bahan mentah (raw material) dan pasar bagi produk industri negara maju termasuk barang-barang yang diperlukan dalam pembangunan infratruktur itu sendiri.

Pasar Keuangan InfrastrukturKonektivitas ASEAN memang sebuah proyek Hercules kata Wakil sekretaris

jenderal ASEAN untuk Komunitas Ekonomi ASEAN dan terlibat dalam penyusunan Master Plan on ASEAN Connectivity. Untuk mewujudkan konektivitas ASEAN, Bank Dunia memperkirakan bahwa ASEAN perlu berinvestasi lebih dari USD 7,5 triliun di infrastruktur secara keseluruhan regional dan nasional. ASEAN harus terlihat baik di dalam dan luar daerah untuk membiayai Master Plan.

Sebuah sumber menyebutkan Di Asia Tenggara, 119 proyek diperkirakan menelan biaya sekitar USD 61,6 miliar untuk kelompok sub-regional seperti GMS, ASEAN, dan Brunei Darussalam – Indonesia – Malaysia – Philippines East ASEAN Growth Area (BIMP-EAGA). Lebih dari 60% dari kebutuhan investasi transportasi regional di Vietnam, diikuti oleh sekitar 29% di provinsi RRC. Dalam proyek energi regional di Greater Mekong Sub-Region (GMS), sekitar 50% dari investasi yang diperlukan berada di Lao PDR. Umumnya di wilayah sub-GMS, jumlah yang lebih besar dari investasi yang dibutuhkan dalam sektor transportasi.7

Pembentukan segera Dana Reksa Infrastruktur ASEAN menandai sebuah langkah penting untuk menarik pembiayaan sektor swasta. Ide ASEAN Infrastructure Fund (AIF) digagas untuk mengatasi dan memberikan pembiayaan untuk kebutuhan infrastruktur besar ASEAN. Hal ini sebenarnya salah satu bentuk alternatif baru pembiayaan diidentifikasi untuk mendukung pelaksanaan Master Plan on ASEAN Connectivity. Skema pelibatan sektor swasta dalam infrastruktur dilakukan melalui model kemitraan publik-swasta (PPP) dengan juga, memaksimalkan efek sinergis dari utang Oficial Development Assistance (ODA).8

Pemerintah negara-negara ASEAN berharap dana-dana yang dihimpun untuk membuat ASEAN Infrastructure Fund segera direalisasikan. Infrastructure fund ini ditargetkan dapat beroperasi pada tahun 2012. Menteri Keuangan Indonesia Agus Martowardojo menjelaskan ASEAN Infrastructure Fund merupakan negara-negara di ASEAN bersama Asian Development Bank membuat satu fund yang 7 ADB Institute, dalam Infrastructure Needs for Regional Projects for Asian Connectivity: 2010-2020 , http://www.

adbi.org8 http://m.thejakartapost.com/news/2011/05/08/connectivity-key-sustainable-asean-community.html

Page 64: Free Trade Watch

62

akan mendukung pembiayaan infrastruktur. Total dana yang dihimpun jumlahnya USD 480 juta.9 Anggaran itu berasal dari kontribusi negara-negara ASEAN dan Asian Development Bank. “Masing-masing negara beda-beda Malaysia yang paling besar kontribusinya yaitu USD150 Juta, Indonesia USD120 juta, dan ADB sekitar USD120 sampai USD150 juta, dan sisanya negara-negara lain.10

AIF merupakan merupakan strategi dasar dalam memobilisasi dana publik, swasta nantinya untuk diintegrasikan dalam pasar keuangan. Selanjutnya keberadaan AIF akan menggerakkan kembali sektor keuangan khususnya di ASEAN dan di negara-negara maju yang mengalami kelesuan. Konsep semacam ini adalah strategi untuk finansialisasi sektor infrastruktur.

Dalam pengalaman finansialisasi infrastruktur air telah berhasil menarik perhatian aktor spekulatif seperti hedge fund dan dana ekuitas swasta yang sudah ditetapkan untuk memainkan peran utama. Air dan infrastruktur energi menjadi target penting bagi pemain pasar keuangan. Antara tahun 2002 dan 2007 total investasi oleh sektor swasta dalam proyek-proyek infrastruktur di negara berkembang sebesar beberapa USD 603 miliar. Dengan demikian, investasi swasta jauh melampaui USD 64,6 miliar yang dipinjamkan kepada negara-negara berkembang untuk proyek infrastruktur selama periode enam tahun yang sama oleh China (sejauh ini sumber terbesar dari pembiayaan pembangunan bilateral konsesional) atau USD 72.9 miliar dalam bantuan pembangunan untuk infrastruktur yang disediakan oleh 33 negara yang tergabung dalam OECD.11

Ajang Pertarungan Negara MajuPasar infrastruktur ASEAN yang besar tampaknya akan menjadi ajang

pertarungan negara-negara industri dalam menyalurkan utang dan produk industri mereka yang berkaitan dengan pembangunan infrastruktur. Seringkali kita jumpai bahwa proyek infrastruktur mengimpor barang modal, bahan baku dan tenaga kerja dari negara-negara pemilik modal dalam mengerjakannya.

Sebagaimana kita ketahui bahwa produk industri dasar seperti besi baja, produk elektronik, otomotif, telekomunikasi, telah mengalami overproduksi, negara-negara maju memerlukan pasar yang semakin luas dalam rangka mempertahankan eksistensi industri mereka. Sementara negara-negara berkembang yang diharapkan menjadi pasar tidak memiliki kemampuan daya beli yang cukup (underconsumption), sehinga barang-barang tersebut disalurkan lewat utang.

Sejak awal pasar infrastruktur ASEAN telah menjadi incaran negara-negara 9 Agus Martowardoyo, Menteri Keuangan Indonesia, di Ditjen Kekayaan Negara, Jalan Wahidin Raya, Jakarta,

Selasa (9/5/2011)10 http://m.okezone.com/read/2011/05/09/20/454983/large11 http://www.counterbalance-eib.org/?p=1694

Page 65: Free Trade Watch

63Edisi III - Oktober 2012

maju seperti AS, Jepang, Inggris dan Uni Eropa. Pasar infrastruktur ini juga menjadi incaran negara-negara yang sedang tumbuh seperti China, India, dan Korea.

China berencana mengumumkan akan memberikan pinjaman senilai USD 15 miliar kepada ASEAN untuk pengembangan infrastruktur, melalui China – ASEAN Investment Cooperation Fund. Sebanyak USD 10 miliar akan disalurkan kepada swasta dengan tujuan memberikan dukungan dana untuk energi, infrastruktur dan konstruksi di negara-negara anggota ASEAN, serta untuk kerjasama ekonomi dan teknis antara anggota China dan ASEAN. 12

China-ASEAN Investment Cooperation Fund (CAF) adalah dana ekuitas swasta berfokus pada peluang investasi di sumber daya infrastruktur, energi dan alam di kawasan ASEAN dan China. Pembentukan CAF diumumkan oleh Perdana Menteri China Wen Jiabao pada tahun 2009, dan mulai beroperasi pada awal 2010.13

Negara maju memperoleh dua keuntungan dalam hal ini yaitu dapat menyalurkan kelebihan liquiditasnya, kedua dapat menyalurkan produk-produknya dengan menikmati berbagai fasilitas perdagangan, seperti fasilitas pembebasan pajak, bea masuk, dan kelonggaran persyaratan local content, joint venture, dll.

Amerika Serikat dan ASEAN membentuk suatu forum yang bernama C2C pada Juli 2012, atau Komitmen untuk Konektivitas. forum tersebut digelar dalam rangka mendorong investasi infrastruktur AS di ASEAN. Beberapa perusahaan AS menjadi sponsori, dan merintis keterlibatan bisnis di ASEAN, termasuk Boeing, Caterpillar, Chevron, DHL, Oracle, Peabody Energy, P & G, Ace, Black dan Veatch, Coca-Cola, GE, dan Google, dan co-host oleh Kamar Dagang AS. Peringkat ASEAN sebagai pasar ekspor terbesar ke-4 bagi Amerika Serikat. AS-ASEAN telah tumbuh 60 persen sejak tahun 2002, termasuk 10,4% pada tahun 2011. 14

Jepang menyatakan komitmen dana untuk proyek konektivitas senilai 2 triliun yen atau USD 25 miliar. Dana tersebut merupakan bantuan Jepang berupa Official Development Assistant (ODA), pinjaman pembangunan, dan lainnya. Jepang menyediakan dana tersebut untuk pembangunan 33 proyek utama (flagship project) di ASEAN. Proyek-proyek yang akan mendapat pendanaan dari Jepang tersebut termasuk dalam proyek konektivitas ASEAN. Untuk Indonesia, proyek yang akan dibiayai Jepang antara lain proyek perluasan bandara Soekarno-Hatta

12 Press Release - ASEAN-China Investment Cooperation Fund for Infrastructure and Energy Launched Cha-am Hua Hin, Thailand, 24 October 2009, http://www.aseansec.org/23633.htm

13 http://www.china-asean-fund.com/about-caf.php?slider1=114 US business committed to Asean connectivity, http://www.nationmultimedia.com/business/US-business-

committed-to-Asean-connectivity-30186159.html

Page 66: Free Trade Watch

64

dan bandara baru di Karawang, juga proyek pelabuhan Tanjung Priok.15

Sementara Uni Eropa menyatakan sangat mendukung tujuan dari Master Plan on ASEAN Connectivity dalam memberikan kontribusi terhadap ASEAN Economic Community (AEC) pada tahun 2015, melalui langkah-langkah liberalisasi dan fasilitasi di bidang jasa logistik dan penciptaan lingkungan ASEAN logistik terpadu. EU mendesak ASEAN untuk memastikan pelaksanaan tepat waktu dan efektif dari langkah-langkah integrasi ekonomi dan tindakan nyata yang digariskan dalam Rencana Strategis ASEAN, Transportasi 2011-2015 Master Plan dalam ASEAN Connectivity dan Cetak Biru AEC. Keterlibatan sektor publik-swasta yang efektif dalam formulasi kebijakan dan implementasi akan saling menguatkan. 16

Implikasi Ekonomi Politik Isu Krisis Infrastruktur memiliki keterkaitan kuat dengan krisis keuangan

dan perdagangan yang tengah melanda perekonomian global. Liberalisasi pasar infrastruktur merupakan strategi utama dalam rangka memulihkan pasar keuangan yang tengah sekarat. Sama dengan invasi dalam pasar pangan, pertanian, pasar iklim, pasar asuransi sosial, yang kesemuanya didorong untuk menjadi penopang bagi stabilitas pasar keuangan.

Meskipun invasi infrastuktur juga dipandang penting dalam rangka memperlancar arus investasi dan perdagangan di semua sektor, namun tujuan yang paling penting adalah investasi infrastruktur itu sediri dan bagaimana menciptakan pasar keuangan yang lebih luas bagi sektor swasta dalam menyerap uang negara dan keuangan publik dalam skala yang lebih luas agar masuk dalam pasar infrastruktur.

Kelangkaan infrastruktur dasar yang dialami negara-negara miskin dan berkembang dipandang sebagai kesempatan emas bagi investasi sektor swasta dalam pasar infrastruktur tersebut. Oleh karenanya maka didorong agar negara-negara berkembang menerapkan mekanisme pelibatan sektor swasta dengan jaminan negara dalam rangka memobilisasi dana publik dalam pasar infrastruktur tersebut.

Saat ini di ASEAN mekanisme pembiayaan infrastruktur tersebut akan dilakukan melalui Public Private Partnerships (PPP). Mekanisme yang merupakan bentuk kerjasama pemerintah swasta ini akan berpotensi mewariskan utang publik dan beban cost barang-barang publik yang besar di masa depan.15 Yutaka Yokoi, Press Secretary Menteri Luar Negeri Jepang, Sabtu (18/11)., Konferensi Tingkat Tinggi Asia Timur

(East Asia Summit) di Bali, November 2011, November 201116 ASEAN-EU Business Summit 2012 | Connectivity, POSITION PAPER Infrastructure/ Connectivity, asean-

eubizsummit.com

Page 67: Free Trade Watch

65Edisi III - Oktober 2012

Bank Dunia mendefiniasikan PPPs combine the skills and resources of both the public and private sectors in new ways through sharing of risks and responsibilities. This enables governments to benefit from the expertise of the private sector, and allows them to focus instead on policy, planning and regulation by delegating day-to-day operations.17

Definsi lainnya menyebutkan bahwa Perbedaan utama antara PPP dan skema privatisasi alternatif adalah bahwa sektor publik memainkan peran penting sebagai pembeli jasa. Sementara dalam kasus privatisasi murni (misalnya, utilitas publik), klien dari operator swasta adalah pengguna pribadi, dalam kasus pembangunan infrastruktur melalui PPP, pemerintah biasanya membayar untuk layanan yang akan diberikan. Apa yang membedakan PPP dari model public procurement tradional adalah asal dana untuk menyelesaikan proyek tersebut. Dibandingkan dengan pinjaman pemerintah, PPP sebagian besar dibiayai melalui obligasi yang diterbitkan oleh operator swasta. 18

Meskipun tidak ada definisi yang sama tentang PPP namun prakteknya sumber pembiayaan dalam skema PPP sebagian besar bersumber dari swasta, sebagian lagi bersumber dana publik yang dimobilisasi dari lembaga keuangan yang dibangun pemerintah, dan sisanya diperoleh dari pinjaman luar negeri melalui APBN. Dengan skema ini memang pemerintah tidak perlu mengeluarkan biaya yang besar. Selanjutnya proyek yang dibangun dengan PPP akan dikelola secara komersial dengan berorientasi pada keuntungan.

17 http://ppp.worldbank.org/public-private-partnership/overview18 Sumber: Keuangan publik di Emu, Ditjen Ekonomi dan Urusan Keuangan

“ Meskipun tidak ada definisi yang sama tentang PPP namun prakteknya sumber pembiayaan dalam skema PPP sebagian besar bersumber dari swasta, sebagian lagi bersumber dana publik yang dimobilisasi dari lembaga keuangan yang dibangun pemerintah, dan sisanya dari pinjaman luar negeri melalui APBN”

Page 68: Free Trade Watch

66

Berikut Contoh Skema PPP dan Pembiayaannya di Indonesia

Berdasarkan gambaran di atas, maka sedikitnya ada tiga lembaga yang akan terlibat dalam pembiayaan dalam skema PPP. Diantaranya adalah :

Multilateral Development Banks termasuk didalamnya World Bank, Asian Development Bank (ADB), and dan lembaga keuangan lain yang menjadi afiliasinya seperti Multilateral Investment Guarantee Association (MIGA). Dalam keadaan tertentu, badan-badan ini dapat memberikan peningkatan kredit seperti jaminan risiko parsial (PRGs) kepada perusahaan proyek dan pemberi pinjaman.Foreign & Domestic Commercial Banks yang menyediakan pembiayaan utang untuk proyek. Dimungkinkan untuk mengamankan semua pembiayaan utang dalam negeri untuk proyek-proyek yang lebih kecil, namun proyek yang lebih besar yang mungkin membutuhkan penggabungan pembiayaan dengan pemerintahan. State Infrastructure Fund, dalam kasus Indonesia dikenal secara resmi dikenal sebagai Indonesia Infrastruktur Fund (IIF), didanai oleh Pemerintah Indonesia (melalui PT Sarana Multi Infrastruktur), dan bank-bank pembangunan multilateral, International Finance Corporation (IFC) dan Pemerintah Jerman untuk meminjamkan bagi infrastruktur di Indonesia. Hal ini dapat menyediakan pembiayaan dalam bentuk utang.

Page 69: Free Trade Watch

67Edisi III - Oktober 2012

Sebenarnya INDONESIA sendiri memiliki pengalaman dalam pelaksanaan PPP. Sejak tahun 1990 Pemerintah mempromosikan promoted independent power producers (IPPs) dan skema “Kerja Sama Operasi” (KSO) dalam program telecomunikasi, dan jalan tol yang dibangun dengan skema PPP. Akibatnya publik membayar cukup mahal untuk memperoleh akses keduanya. Saat ini Skema PPP diatur melalui Peraturan Presiden No.13 tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur.

Berdasarkan keterangan diatas, maka dapat dibuat kesimpulan bahwa pembangunan infrstruktur di ASEAN yang dirancang dalam skema PPP akan dapat membawa implikasi sedikitnya tiga hal, pertama ; infrastruktur ASEAN akan berada dibawah kendali institusi financial global. Keberadaan investasi infrastruktur ini akan diintegrasikan kedalam pasar keuangan sebagai dasar dalam memproduksi produk pasar keuangan derivatif. Cara ini akan dapat membahayakan perekonomian kawasan ASEAN dan keselamatan infrastruktur itu sendiri. Kedua, skema pembiayaan infrastruktur yang bersumber dari lembaga keuangan global dan negara-negara maju akan semakin menjerat negara dalam ketergantungan utang. Hal ini akan sangat membahayakan keuangan negara-negara berkembang itu sendiri di masa depan. Ketiga, infrastruktur yang dikelola secara komersial semacam ini telah melepaskan tanggung jawab negara kepada publik. Tidak hanya itu masyarakat akan semakin tercekik karena harus membayar lebih mahal untuk dapat memperoleh akses terhadap infrastruktur di semua sektor.

***

Page 70: Free Trade Watch

68

33 PROYEK KPS/PPP DUKUNG MP3EI

Proyek dalam Proses Transaksi

No Nama Proyek Estimasi Nilai Proyek

Lokasi/Koridor

Rencana Beroperasi

1 Pembangunan Umbulan Water Supply

USD 204.20 Juta Jawa Timur/Jawa

2014

2 Pembangunan PLTU Jawa Tengah Baru 2.000 MW

USD 700 Juta Jawa Tengah/Jawa

2015

3 Pengembangan Kereta Api Bandara Soekaro - Hatta

USD 204.20 Juta DKI Jakarta/Jawa

2013

4 Pengembangan Kereta Api Batubara Puruk Cahu - Bangkuang

USD 2,100.00 Juta Kalimantan Tengah/

Kalimantan

2014

Proyek untuk Ditawarkan

No Nama Proyek Estimasi Nilai Proyek Lokasi/Koridor Rencana

Beroperasi

1 Bandara Banten Selatan USD 213,61 Juta Kab. Pandeglang, Banten/Jawa

2015

2 Ekspansi Pelabuhan Tanjung Priok

USD 1.170,61 Juta Kec. Kalibaru, DKI Jakarta/

Jawa

2015

3 Jalan Tol Medan-Kualanamu- Tebing Tinggi

USD 670,40 Juta Sumatera Utara/Sumatera

2015

4 Pembangunan Kawasan Strategis Selat Sunda

USD 25.000 Juta Banten dan Lampung/Sumatera

2021

5 DKI Jakarta-Bekasi-Karawang (Jatiluhur) WaterSupply

USD 189,30 Juta DKI Jakarta dan Jawa Barat/Jawa

2014

Page 71: Free Trade Watch

69Edisi III - Oktober 2012

Proyek Prioritas

No Nama Proyek Estimasi Nilai Proyek

Lokasi/Koridor

Tipe Proposal

Rencana Operasi

1 Jalan Tol Medan - Binjai (15,8 km)Modalitas KPS> Biaya Pembebasan lahan dan konstruksi

ditanggung oleh pemerintah> Periode konsesi akan diberikan sampai

dengan 35 tahun.

USD 120,40 Juta

Sumatera Utara/

Sumatera

Solicited 2015

2 Jalan Tol Palembang - Indralaya (22km)>BOT (Build-Operate-Transfer)>Periode konsesi akan diberikan sampai

dengan 35 tahun.

USD 120,90 Juta

Sumatera Selatan

Solicited 2015

3 Jalan Tol Tegineng - Babatan (50 km)>BOT>Periode konsesi akan diberikan sampai

dengan 35 tahun.

USD 318,20 Juta

Lampung - Sumatera

Selatan

Solicited 2015

4 Jalan Tol Kemayoran - Kampung Melayu (9,65 km)Modalitas KPS: BOT

USD 695,40 Juta

DKI Jakarta/Jawa

Solicited 2014

5 Jalan Tol Sunter - Rawa Buaya - Batu Ceper (22,92 km)Modalitas KPS: BOT

USD 976,10 Juta

DKI Jakarta/JAwa

Solicited 2014

6 Jalan Tol Ulujami - Tanah Abang (8,27 km)Modalitas KPS: BOT

USD 425,50 Juta

DKI Jakarta/Jawa

Solicited 2014

7 Jalan Tol Pasar Minggu - Casablanca (9,56 km)Modalitas KPS: BOT

USD 572 Juta DKI Jakarta/Jawa

Solicited 2014

8 Jalan Tol Sunter - Pulo Gebang - Tembelang (25,73 km)Modalitas KPS: BOT

USD 737,80 Juta

DKI Jakarta/Jawa

Solicited 2014

9 Jalan Tol Duri Pulo - Kampung Melayu (11,38 km)

USD 596 Juta DKI Jakarta/Jawa

Solicited 2014

10 Akses Jalan Tol Tanjung Priok (16,67 km)Modalitas KPS:> Desain dan pelaksanaan konstruksi

dilaksanakan oleh Pemerintah.>Pengoperasian dan pemeliharaan

ditawarkan ke pihak swasta lewat mekanisme tender.

USD 612,50 Juta

DKI Jakarta/Jawa

Solicited 2012

11 Jalan Tol Pasirkoja - Soereang (15 km)ModalitasKPS>BOT>Periode konsesi akan diberikan sampai

dengan 35 tahun.

USD 143,50 Juta

Jawa Barat/Jawa

Solicited 2015

12 Jalan Tol Cileunyi - Sumedang - DawuanModalitas KPS:>BOT>Peride konsesi akan diberikan sampai

dengan 35 tahun.

USD 1.015,80 Juta

Jawa Barat/Jawa

Solicited 2015

Page 72: Free Trade Watch

70

13 Jalan Tol Terusan Pasteur - Ujung Berung - Cileunyo - Gedebage (27,50 km)>BOT>Pembebasan lahan dan pelaksanaan

konstruksi akan dilaksanakan oleh pemerintah

USD 800 Juta Jawa Barat/Jawa

Solicited 2015

14 Jalan Tol Pandaan - MalangModalitas KPS:>BOT>Periode konsesi akan diberikan 35 tahun

USD 293,20 Juta

Jawa Timur/Jawa

Solicited 2015

15 Jalan Tol Nusa Dua - Bandara Ngurah Rai - Benoa (9,70 km)Modalitas KPS:>BOT>Peride konsesi akan diberikan sampai

dengan 35 tahun.

USD 196,10 Juta

Bali/Bali-Nusa Tenggara

Solicited 2015

Proyek Potensial

No Nama Proyek Estimasi Nilai Proyek Lokasi/Koridor Rencana Operasi

1 Bandara Internasional Kertajati USD 800 Juta Majalengka, Jawa Barat/Jawa

2015

2 Pembangunan Airport Samarinda Baru USD 99,50 Juta Kalimatan Timur/Kalimantan

2015

3 Bandara Internasional Kulonprogo USD 500 Juta DI Yogyakarta/Jawa

2016

4 Pembangunan Pelabuhan Internasional Maloy (874 ha)

USD 1.700 Juta Kalimantan Timur/Kalimantan

2015

5 Jalan Tol Pekanbaru-Kandis-Dumai (135 km)

USD 844,60 Juta) Pekanbaru, Riau/Sumatera

2016

6 Jalan Tol Balikpapan - Samarina (84 km)

USD 705 Juta Kalimantan Timur/Kalimantan

2016

7 Jalan Tol Manado - Bitung (46 km) USD 260,90 Juta Sulawesi Utara/Sulawesi

2016

8 West Semarang Water Supply USD 82,40 Jta Kota Semarang, Jawa Tengah/Jawa

2015

9 Penyediaan SPAM Regional USD 375,66 Juta JAwa Barat/Jawa 2014

Sumber : Sustaining Partnership, Edisi Khusus Konektivitas Nasional 2011, Media informasi kerjasama Pemerintah dan Swasta, Apa dan Bagaimana MP3EI, Rencana Aksi Memperkuat Konektivitas Nasional, 33 Proyek PPP Dukung MP3EI, Infrastructure Reform Sector Development Program (IRSDP) BAPPENAS, 2011

Page 73: Free Trade Watch

71Edisi III - Oktober 2012

NASIONAL

Politik Infrastruktur MP3EI dan Akumulasi Melalui Perampasan

Oleh: Muhammad Ridha Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP)

71Edisi III - Oktober 2012

Page 74: Free Trade Watch

72

MP3EI telah resmi dicanangkan sebagai inisiatif rezim SBY-Boediono untuk melakukan transformasi ekonomi politik Indonesia. diharapkan, MP3EI dapat mendorong pertumbuhan tinggi serta menciptakan

kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia. tidak heran jika MP3EI adalah sebuah proyeksi yang ambisius dalam rentang waktu 2011-2025 untuk menciptakan Indonesia sebagai salah satu negara ekonomi maju di Dunia.

Salah satu upaya konkrit untuk memastikan bahwa MP3EI sebagai sebuah inisiatif bisa berjalan mulus adalah dengan mendorong pembangunan infrastruktur secara massif. Pembangunan infrastruktur menjadi penting karena penopang utama dari pertumbuhan ekonomi suatu Negara adalah keberadaan infrastruktur yang memadai. Akan tetapi kondisi yang ada sekarang menunjukan bahwa Indonesia tidak cukup memiliki fondasi infrastruktur yang memadai tersebut. Berdasar pada laporan Tingkat Kekompetitifan Global, Forum Global Dunia pada tahun 2010-2011, Indonesia memiliki peringkat rendah dalam pengukuran kualitas infrastruktur. Pengukuran ini sendiri disusun berdasar pada tanggapan survey eksekutif akan kualitas jalan, rel kereta api, pelabuhan, transportasi udara, pasokan listrik dan data tentang kabel telepon tetap dan pelanggan telepon selular dan daftar kilometer kursi pesawat udara. Indonesia masih kalah jika dibandingkan Malaysia, Thailand dan China.

Tabel 1. Indeks Kualitas Infrastruktur 2010-2011

Data: World Economic Forum Global Competitiveness Report 2010-2011

Kondisi ini kemudian memaksa pemerintah Indonesia untuk melakukan respon strategis terhadap problem pembangunan infrastruktur dalam skema MP3EI. Strategi utama yang dicanangkan dalam mengatasi masalah ini memiliki tiga

Page 75: Free Trade Watch

73Edisi III - Oktober 2012

prinsip mendasar. Yang pertama adalah dengan engembangkan potensi ekonomi melalui koridor ekonomi; membangun pusat-pusat pertumbuhan di setiap koridor ekonomi (pulau) melalui pengembangan klaster industri berbasis sumber daya unggulan (komoditi dan/atau sektor). Yang kedua dengan memperkuat konektifitas nasional (locally integrated, internationally connected) dengan mengurangi biaya transaksi, mewujudkan sinergi antar pusat pertumbuhan dan mewujudkan akses pelayanan yang merata; yang meliputi konektivitas intra dan inter pusat pertumbuhan, konektivitas lokal untuk pembangunan inklusif (akses dan kualitas pelayanan dasar yang merata di seluruh Indonesia, konektivitas antar koridor ekonomi (pulau). Konektivitas international (gate perdagangan dan wisatawan). Yang ketiga dan terakhir adalah dengan memperkuat kemampuan SDM dan teknologi nasional: Meningkatkan kemampuan SDM dan IPTEK untuk mendukung pengembangan program utama.1

Walau terdengar meyakinkan, strategi pembangunan infrastrtuktur harus dikritisi lebih lanjut. Problem utama dari strategi pembangunan ini adalah kuatnya proyeksi kelas kapitalis yang pada akhirnya akan mengorbankan kepentingan mayoritas rakyat Indonesia. Politik infrastruktur akan dijalankan dibawah kepentingan kelas kapitalis dimana pembangunan bukan dilakukan atas nama kesejahteraan mayoritas bangsa, namun lebih pada upaya melayani kepentingan kapitalis itu sendiri. Saya akan berargumen bahwa strategi pembangunan tidak lebih dari upaya akumulasi kelas kapitalis di Indonesia dengan menjadikan perampasan sebagai modus utamanya.

Politik Infrastruktur MP3EI sebagai Konektivitas Ekonomi Spasial

Ide dasar mengenai pembangunan infrastruktur dalam MP3EI adalah tentang menciptakan keterhubungan (konektivitas) antar wilayah di Indonesia. hal ini dilakukan dengan Merealisasikan sistem yang terintegrasi antara logistik nasional, sistem transportasi nasional, pengembangan wilayah, dan sistem komunikasi dan informasi; Identifikasi simpul-simpul transportasi (transportation hubs) dan distribution centers untuk memfasilitasi kebutuhan logistik bagi komoditi utama dan penunjang; Penguatan konektivitas intra dan antar koridor dan konektivitas internasional (global connectivity); Peningkatan jaringan komunikasi dan teknologi informasi untuk memfasilitasi seluruh aktifitas ekonomi, aktivitas pemerintahan, dan sektor pendidikan nasional.

Konektivitas ini bukan berarti tanpa dasar. Penetapan enam koridor ekonomi

1 Presentasi Menteri PPN/Kepala Bappenas, Percepatan Impelentasi MP3EI dalam Konteks Pembangunan Moda dan Sistem Transportasi Publik yang Ideal, Disampaikan pada Seminar Nasional Diseminasi Produk-produk Perencanaan, 2011

Page 76: Free Trade Watch

74

dalam MP3EI adalah prakondisi spasial yang harus dihubungkan antara satu dengan yang lain. Dalam hal ini Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dilakukan dengan mengembangkan klaster industri dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan tersebut disertai dengan penguatan konektivitas antar pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan antara pusat pertumbuhan ekonomi dengan lokasi kegiatan ekonomi serta infrastruktur pendukungnya. Secara keseluruhan, pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan konektivitas tersebut diharapkan menciptakan Koridor Ekonomi Indonesia. Pemerintah untuk itu dapat memberikan perlakuan khusus untuk mendukung pembangunan pusat-pusat tersebut, khususnya yang berlokasi di luar Jawa, terutama kepada dunia usaha yang bersedia membiayai pembangunan sarana pendukung dan infrastruktur.

Tujuan pemberian perlakuan khusus tersebut adalah agar dunia usaha memiliki perspektif jangka panjang dalam pembangunan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru. Perlakuan khusus tersebut antara lain meliputi: kebijakan perpajakan dan kepabeanan peraturan ketenagakerjaan, dan perijinan sesuai kesepakatan dengan dunia usaha. Untuk menghindari terjadinya enclave dari pusat-pusat pertumbuhan tersebut, Pemerintah Pusat dan Daerah mendorong dan mengupayakan terjadinya keterkaitan (linkage) semaksimal mungkin dengan pembangunan ekonomi di sekitar pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru tersebut dapat berupa KEK dalam skala besar yang diharapkan dapat dikembangkan disetiap koridor ekonomi disesuaikan dengan potensi wilayah yang bersangkutan.

Tabel 2. Skema Konektivitas Koridor Ekonomi

Data: Dokumen Resmi Masterplan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia

Page 77: Free Trade Watch

75Edisi III - Oktober 2012

Proyeksi utama dari konektivitas koridor ekonomi ini adalah untuk terbangunnya visi konektivitas nasional yaitu ‘Terintegrasi secara local, terhubung secara global’ (LOCALLY INTEGRATED, GLOBALLY CONNECTED)’. Yang dimaksud Locally Integrated adalah pengintegrasian system konektivitas untuk mendukung perpindahan komoditas, yaitu barang, jasa, dan informasi secara efektif dan efisien dalam wilayah NKRI. Oleh karena itu, diperlukan integrasi simpul dan jaringan transportasi, pelayanan inter-moda tansportasi, komunikasi dan informasi serta logistik. Simpul-simpul transportasi (pelabuhan, terminal, stasiun, depo, pusat distribusi dan kawasan pergudangan serta bandara) perlu diintegrasikan dengan jaringan transportasi dan pelayanan sarana inter-moda transportasi yang terhubung secara efisien dan efektif. Jaringan komunikasi dan informasi juga perlu diintegrasikan untuk mendukung kelancaran arus informasi terutama untuk kegiatan perdagangan, keuangan dan kegiatan perekonomian lainnya berbasis elektronik.

Selain itu, sistem tata kelola arus barang, arus informasi dan arus keuangan harus dapat dilakukan secara efektif dan efisien, tepat waktu, serta dapat dipantau melalui jaringan informasi dan komunikasi (virtual) mulai dari proses pengadaan, penyimpanan/ pergudangan, transportasi, distribusi, dan penghantaran barang sesuai dengan jenis, kualitas, jumlah, waktu dan tempat yang dikehendaki produsen dan konsumen, mulai dari titik asal (origin) sampai dengan titik tujuan (destination). Visi ini mencerminkan bahwa penguatan konektivitas nasional dapat menyatukan seluruh wilayah Indonesia dan mendorong pertumbuhan ekonomi secara inklusif dan berkeadilan serta dapat mendorong pemerataan antar daerah.

Sedangkan yang dimaksud globally connected adalah sistem konektivitas nasional yang efektif dan efisien yang terhubung dan memiliki peran kompetitif dengan sistem konektivitas global melalui jaringan pintu internasional pada pelabuhan dan bandara (international gateway/exchange) termasuk fasilitas custom dan trade/industry facilitation. Efektivitas dan efisiensi sistem konektivitas nasional dan keterhubungannya dengan konektivitas global akan menjadi tujuan utama untuk mencapai visi tersebut. Kerangka kerja Konektivitas Nasional. Untuk mewujudkan visi tersebut diperlukan penguatan konektivitas secara terintegrasi antara pusatpusat pertumbuhan dalam koridor ekonomi dan juga antar koridor ekonomi, serta keterhubungan secara internasional terutama untuk memperlancar perdagangan internasional maupun sebagai pintu masuk bagi para wisatawan mancanegara.

Page 78: Free Trade Watch

76

Akumulasi melalui Perampasan dalam Politik Infrastruktur MP3EI

Apa sebenarnya maksud dari deskripsi politik infrastruktur MP3EI sebagai konektivitas ekonomi? Saya ingin menunjukan bahwa yang tengah dilakukan merujuk pada apa yang disebutkan David Harvey sebagai “Spatial Fix”.2 Menurut Harvey, ‘Spatial Fix” merupakan upaya untuk memahami produksi, reproduksi dan rekonfigurasi ruang yang dilakukan dalam kapitalisme. Dengan kata lain, politik infrastruktur adalah mekanisme untuk melakukan produksi dan reproduksi ruang kapitalisme di Indonesia. konsekuensinya terjadi restrukturisasi geografis aktifitas kapitalis. Tidak heran jika kita menemukan dalam infrastruktur MP3EI, terjadi pembagian fungsi spasial tertentu dalam 6 koridor yang telah ditetapkan.

Infrastruktur sebagai konektivitas ekonomi juga dapat dipahami dalam kerangka yang sama. ‘spatial fix’ dalam hal ini berarti upaya untuk kapitalisme Indonesia untuk melakukan ekspansi dan restruturisasi geografis. Dalam infrastruktur MP3EI dapat ditemukan bagaimana 6 koridor yang dilihat sebagai lokus ekonomi yang unik dihubungkan untuk memastikan bahwa ditiap koridor mampu berakumulasi secara local, nasional bahkan global. Dengan kata lain akumulasi keuntungan dalam proyeksi infrastruktur MP3EI adalah akumulasi yang berlangsung terus menerus yang difasilitasi oleh keberadaan restrukturisasi geografis dari tingkat local sampai global.

Tabel 3. Skema Konektivitas Ekonomi Lokal, Nasional, dan Global MP3EI

2 David Harvey, Globalization and the ‘Spatial Fix’, dalam Geographische Revue vol 2/2001

Page 79: Free Trade Watch

77Edisi III - Oktober 2012

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana proses akumulasi yang dilakukan oleh ‘spatial fix’ seperti ini? Jika melihat pola yang ada, maka akumulasi yang akan dilakukan adalah apa yang disebut David Harvey sebagai akumulasi melalui perampasan. Akumulasi seperti ini dimungkinkan dalam kontradiksi relasi spasial yang muncul dalam proyeksi infrasturktur MP3EI. Kontradiksi ini dapat dilihat pada bagaimana restrukturisasi ruang geografis ala MP3EI berbenturan dengan pengalaman keseharian masyarakat yang menempatkan ruang bukan sebagai fasilitas akumulasi, namun sebagai bagian reproduksi social keseharian. Konsekuensinya kemudian adalah terjadi akumulasi selalu mensyaratkan adalah dimensi kekerasan untuk memastikan bahwa relasi spasial yang diatur harus tunduk dibawah logika keuntungan dan modal. Disini kemudian akumulasi melalui perampasan menjadi nayata. Karakteristik utama dari akumulasi melalui perampasan adalah pengambilalihan serta marketisasi atas seluruh aspek kemanusiaan yang belum terkomodifikasi.3 Secara lebih terperinci, akumulasi melalui perampasan adalah sebuah proses dimana komodifikasi dan privatisasi tanah serta pengusiran melalui kekerasan populasi petani; pengalihan

3 Bill Dunn, “Accumulation by Dispossesion or Accumulation of Capital? The Case of China” dalam Journal of Australian Political Economy vol. 60 (2007).

Page 80: Free Trade Watch

78

berbagai bentuk kepemilikan (kepemilikan bersama, kolektif, Negara, dsb) ke dalam kepemilikan pribadi yang ekslusif; penindasan atas hak-hak bersama (commons); komodifikasi tenaga kerja dan perepresian atas bentuk produksi dan konsumsi alternative (yang biasanya berdasarkan pengalaman masyarakat local dan adat); proses pengambilalihan asset (termasuk juga sumber daya alam) yang berkarakterkan kolonialisme, neo kolonialisme dan imperialisme; dan yang paling mutakhir adalah penggunaan hutang nasional dan pada akhirnya system kredit sebagai alat radikal untuk perampasan.4

Spesifik dalam pengalaman infrastruktur MP3EI, akumulasi melalui perampasan dapat dilihat pada bagaimana operasionalisasi infrastruktur yang akan selalu didominasi oleh kepentingan kelas kapitalis, baik nasional maupun internasional. Hal ini dapat dilihat pada skema pembiayaan proyek infrastruktur MP3EI yang dikenal sebagai Private Public Partnership (PPP, Kerjasama Public Privat). Walau terlihat bagus karena ada relasi kerjasama yang seimbang antara dua entitas tersebut, namun skema ini pada dasarnya memberikan ruang yang sangat besar bagi entitas privat untuk mengapropriasi tanpa batas ruang yang disediakan oleh entitas public (Negara). Adapun Negara disini muncul tidak lebih sebagai regulator yang tidak memiliki daya intervensi apapun selama proses apropriasi ini dilakukan. Disini kemudian ruang spasial social akan menjadi objek dari proses akumulasi lanjutan yang secara potensial akan banyak menciptakan ketidakadilan dilapangan.

Selain itu, akumulasi melalui perampasan dalam skema konektivitas ekonomi akan mengkondisikan terjadinya kerentanan dalam struktur ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Konektivitas ekonomi ini akan menjadi insentif agar proses akumulasi capital akan terjadi terus menerus yang pada titik tertentu akan menciptakan akumulasi berlebih (over-accumulation). Masalah akumulasi berlebih ini menjadi prakondisi dasar bagi terjadinya krisis. Dalam jangka pendek, masalah akumulasi berlebih ini dapat diatasi melalui eksportasi kelebihan produksi ke lokus ekonomi yang lain diluar lokus yang mengalami masalah kelebihan tersebut. Akan tetapi dalam jangka panjang, skema konektivitas ekonomi yang diusung justru menjadi kondisi dasar bagi perluasan krisis karena akumulasi berlebih akan relative mudah berpindah antara satu tempat ke tempat yang lain. Dalam contoh yang sederhana, krisis yang terjadi Negara lain akan berpotensi untuk terjadi di Indonesia karena fasilitas konektivitas ekonomi yang dimunculkan dalam politik infrasturktur MP3EI. Bahkan kita juga dapat membayangkan bahwa krisis dapat terjadi antar koridor nasional dimana krisis yang terjadi di koridor Sulawesi dapat diperluas hingga di Koridor Sumatera.

4 David Harvey, The New Imperialism (New York: Oxford University Press, 2003), hal. 145

Page 81: Free Trade Watch

79Edisi III - Oktober 2012

PenutupArtikel ini memperlihatkan bahwa politik infrastruktur MP3EI tidak serta

merta akan membawa kesejahteraan bagi mayoritas rakyat Indonesia. masalah utama adalah politik infrastruktur MP3EI hanya melayanai segelintir kepentingan kelas kapitalis. Untuk itu menjadi penting agar dimensi ini harus ditantang dengan tawaran demokrasi ekonomi. Dimana ekonomi bukan hanya kepentingan kelas kapitalis semata, namun juga adalah kepentingan kelas-kelas social yang lain. Untuk itu, menjadi penting dalam melakukan perlawanan terhadap proyeksi politik infrastrktur yang elitis ini agar mengikutsertakan suara-suara mayoritas masyarakat Indonesia untuk kemudian menawarkan alternative yang nyata. Dengan hal ini kita dapat berharap banyak bahwa Negara Indonesia akan bergerak ke arah kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

ReferensiDunn, Bill. “Accumulation by Dispossesion or Accumulation of Capital? The

Case of China” dalam Journal of Australian Political Economy vol. 60 (2007). Harvey, David. The New Imperialism. New York: Oxford University Press. 2003.Harvey, David. “Globalization and the ‘Spatial Fix”. dalam Geographische Revue

vol 2. 2001Presentasi Menteri PPN/Kepala Bappenas, Percepatan Impelentasi MP3EI

dalam Konteks Pembangunan Moda dan Sistem Transportasi Publik yang Ideal, Disampaikan pada Seminar Nasional Diseminasi Produk-produk Perencanaan. 2011

Page 82: Free Trade Watch

80

Utang Luar Negeri dan Liberalisasi Penyediaan Infrastruktur di Indonesia

Oleh: Dani Setiawan Ketua Koalisi Anti Utang (KAU)

NASIONAL

80

Page 83: Free Trade Watch

81Edisi III - Oktober 2012

PendahuluanInfrastruktur mempunyai peran vital dalam perekonomian dan memiliki

keterkaitan yang erat terhadap kesejahteraan rakyat dan pertumbuhan ekonomi. Penyelenggaraan infrastruktur yang baik memiliki peran yang strategis dalam mewujudkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera. Konsekwensi dari peranannya yang penting ini membutuhkan kehadiran negara dalam menyediakan pelayanan infrastruktur dasar bagi rakyat. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 33 dan 34 Undang Undang Dasar 1945 sebagai berikut:

Pasal 33: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara”;

Pasal 34: “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.”

Berbagai data menunjukan, bahwa ketersediaan (stock) infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi terkait sangat erat. Pembangunan infrastruktur diyakini mampu menggerakkan sektor riil, menyerap tenaga kerja, meningkatkan konsumsi masyarakat dan pemerintah, serta memicu kegiatan produksi. Sektor infrastruktur dipahami secara luas sebagai enabler terjadinya kegiatan ekonomi produktif di sektor-sektor lain. Dalam konteks ekonomi, infrastruktur merupakan modal bagi pertumbuhan perekonomian dan sebagai katalisator antara proses produksi, pasar, dan konsumsi akhir. Keterbatasan akses masyarakat terhadap infrastruktur-infrastruktur dasar seperti fasilitas jalan, pendidikan, kesehatan dan informasi dapat berkorelasi pada tingkat kemiskinan di suatu wilayah. Walaupun hal tersebut tidak berarti bahwa peningkatan akses infrastruktur secara fisik secara langsung dapat meningkatkan taraf hidup mereka menjadi lebih baik. Tetapi keberadaan infrastruktur tersebut dapat menjadi kesempatan bagi setiap orang untuk keluar dari kemiskinan.

Persoalannya, sejauhmana kebijakan pemerintah saat ini dalam hal pembangunan infrastruktur telah memenuhi norma konstitusional di atas. Pertanyaan ini juga mencakup sejauhmana efektifitas belanja investasi pemerintah di bidang infrastruktur setiap tahun, mampu meningkatkan kapasitas negara dalam penyediaan infrastruktur publik bagi rakyat. Dan mengapa penyaluran utang luar negeri melalui kreditor internasional dalam pendanaan infrastruktur justeru memperdalam praktek liberalisasi ekonomi, khususnya di bidang infrastruktur dasar dan strategis di Indonesia. Hal-hal pokok inilah yang dicoba diulas secara singkat dalam tulisan ini.

Page 84: Free Trade Watch

82

Kebijakan Pendanaan Salah satu kendala utama yang sering dikemukakan terkait pembangunan

infrastruktur di Indonesia adalah soal pendanaan. Bank Dunia menyebutkan, untuk mencapai tingkat pertumbuhan sebesar 6% per tahun, Indonesia membutuhkan pembiayaan infrastruktur sebesar 5% per tahun dari PDB. Dimulai ketika krisis ekonomi Indonesia pada tahun 1997-1998, dimana terjadi pengalihan prioritas belanja pembangunan pada sektor-sektor perekonomian lain. Sebagaimana ditunjukan dengan menurunnya belanja infrastruktur pemerintah, dari puncaknya tahun 1995 sebesar 9,2% dari PDB menjadi 3,2% pada 2005 dan berangsur meningkat menjadi 3,9% pada 2009.1

Dengan latar belakang semacam ini, peningkatan belanja infrastruktur oleh Pemerintah dianggap tidak lagi mencukupi. Karena itu pada perjalanannya diarahkan dengan mengajak keterlibatan pihak swasta dalam pendanaan dan pengelolaan infrastruktur. Misalnya penyelenggaraan Infrastructure Summit pada masa pemerintahan SBY jilid I yang dimaksudkan untuk merangsang pembangunan infrastruktur dengan melibatkan peran swasta melalui skema Public Private Partnership (PPP). Dalam acara bernama Indonesia Infrastructure Summit 2005 itu, Pemerintah menawarkan 91 proyek infrastruktur senilai 22 miliar dollar AS.2

Pada periode SBY jilid II, kebutuhan pendanaan infrastruktur semakin meningkat. Pemerintah memperkirakan rata-rata investasi infrastruktur selama 2010-2014 mencapai Rp1.923,7 Triliun. Yang akan dipenuhi melalui dana APBN (termasuk Dana Alokasi Khusus) sekitar Rp559,54 Triliun, ditambah dengan dana APBD sebesar Rp355,07 Triliun, dan BUMN yang diharapkan berkontribusi sebesar Rp340,85 Triliun. Sektor swasta diperkirakan akan mampu menyumbang sebesar Rp344,67 Triliun, sehingga diperkirakan masih akan ada kekurangan dana pembangunan infrastruktur sebesar Rp323,67 Triliun.3 Adanya kesenjangan sumber pendanaan ini kemudian memberi celah bagi penambahan penarikan utang baru di dalam APBN.

1 Ir. Dedy Supriadi Priatna, M.Sc., Ph.D., Pembiayaan Infrastruktur melalui dana pemerintah dan swasta, diakses dari: http://pusbinsdi.net/file/1328010191Pembiayaan%20Infrastruktur%20Melalui%20Dana%20Pemerintah%20dan%20Swasta.pdf.

2 Kompas, Investor Menuntut Bukti, Bukan Lagi Janji, 19 Januari 2005 .3 Kementerian Pekerjaan Umum, 4 Mei 2012.

Page 85: Free Trade Watch

83Edisi III - Oktober 2012

Grafik. 1Kebutuhan Investasi Infrastruktur Indonesia, 2010-2014

Sumber: Kemen PU, 2012

Di dalam APBN, anggaran infrastruktur dapat berasal dari belanja pemerintah pusat, baik belanja melalui kementerian negara/lembaga (K/L) maupun belanja non-K/L, sementara untuk transfer ke daerah, anggaran infrastruktur dapat berasal dari dana alokasi khusus untuk bidang-bidang yang terkait dengan infrastruktur. Sementara itu, untuk pos pembiayaan anggaran, pengeluaran infrastruktur dapat berupa investasi pemerintah untuk infrastruktur, dana bergulir pengadaan tanah, dan penyertaan modal negara baik untuk PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI) maupun PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PT PII). Dua perusahaan yang disebut terakhir merupakan perusahaan yang dibentuk Pemerintah dengan modal patungan dari sejumlah kreditor seperti ADB, Bank Dunia, Jepang, dan sejumlah negara kreditor lain.

Sepanjang 2007-2013 terjadi peningkatan belanja pemerintah untuk mendanai kegiatan-kegiatan infrastruktur, dari hanya Rp59,8 triliun pada 2007 direncakan menjadi Rp188,4 triliun pada 2013. Anggaran infrastruktur ini termasuk di dalamnya adalah yang bersumber dari skema pinjaman luar negeri yang ditarik dalam APBN setiap tahun. Meski demikian, penambahan belanja infrstruktur, khususnya belanja modal dalam struktur belanja pemerintah pusat selama ini tidak efektif terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebagaimana dilaporkan oleh Hartati (2012),4 bahwa setiap terjadi peningkatan belanja modal pemerintah Rp1 miliar, hanya 30% yang berbentuk investasi pemerintah. Hal tersebut dikarenakan terjadinya kebocoran anggaran serta alokasi belanja yang tidak terkait langsung

4 Enny Sri Hartati, Dampak Komposisi Belanja Pemerintah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Kesempatan Kerja dan Tingkat Kemiskinan, Institut Pertanian Bogor, 2012.

Page 86: Free Trade Watch

84

dengan pertumbuhan ekonomi dan pelayanan masyarakat. Grafik. 2

Perkembangan Anggaran Infrastruktur, 2007-2013

Sumber: RAPBN, 2013

Demikian halnya pada RAPBN 2013, alokasi belanja modal sebesar 193,8 triliun, yang terkait dengan fungsi ekonomi hanya sekitar 41% atau Rp 79,8 triliun. Sementara sebanyak 17% atau Rp 33,5 triliun, lagi-lagi kembali digunakan untuk kepentingan birokrasi pada fungsi pelayanan umum seperti pembangunan gedung dan pemberian kendaraan dan lain-lain. Masih terbatasnya sumber pendanaan dalam APBN untuk membiayai infrastruktur disebabkan besarnya alokasi anggaran negara untuk belanja birokrasi dan pembayaran utang. Anggaran keduanya bahkan hampir menghabiskan setengah dari APBN tahun 2012.

Skema Liberalisasi InfrastrukturAtas dasar besarnya pendanaan yang dibutuhkan, dan tingginya kebutuhan

akan infrastruktur, serta adanya potensi pengikutsertaan sektor swasta, pemerintah kemudian melakukan reformasi kebijakan di sejumlah sektor untuk melakukan percepatan pembangunan infrastruktur. Komitmen tersebut secara eksplisit dikemukakan oleh pemerintah dalam penyelenggaraan Infrastruktur Summit 2005 dengan cara melakukan reformasi kebijakan, regulasi, dan kelembagaan untuk meningkatkan peran serta swasta dalam penyediaan infrastruktur.

Page 87: Free Trade Watch

85Edisi III - Oktober 2012

Hal ini diikuti dengan pembuatan 156 paket kebijakan reformasi infrastruktur oleh Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI) pada tahun 2006. Reformasi tersebut mengandung tiga pokok pembaharuan, yaitu (1) penghapusan bentuk monopoli negara dengan mendorong terciptanya kompetisi; (2) penghilangan diskriminasi dan hambatan bagi swasta dan korporasi dalam penyediaan infrastruktur; dan (3) reposisi peran pemerintah termasuk pemisahan fungsi pembuat kebijakan dan fungsi operasi (Bank Dunia, Bappenas, 2007).

Sayangnya, reformasi kebijakan dalam penyediaan kebutuhan infrastruktur lebih dilandasi oleh keinginan untuk menghilangkan monopoli negara dalam pembangunan infrastruktur. Sebaliknya, menjadi kesempatan bagi pihak swasta asing maupun di dalam negeri untuk berperan lebih besar. Keterlibatan pihak swasta sangat dimungkinkan, sejauh tidak mengurangi peran negara dalam penyediaan pelayanan publik atau infrastruktur dasar bagi kesejateraan rakyat. Dalam konteks ini, lembaga-lembaga kreditor memainkan peran penting dalam upaya mendorong kebijakan liberalisasi ekonomi di bidang infrastruktur.

Sejak tahun 1999, berbagai produk reformasi regulasi di bidang infrastruktur telah dibuat untuk menghilangkan diskriminasi dan hambatan bagi pihak swasta untuk terlibat dalam bisnis infrastruktur di Indonesia. Diantaranya dapat dilihat dari berbagai peraturan seperti UU No. 36/1999 tentang Telekomunikasi, UU Ketenagalistrikan No. 30/2009, UU Sumber Daya Air Nomor 7 Tahun 2004, UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas, UU No. 30/2007 tentang Energi, UU No. 38/2004 tentang Jalan, Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2005 tentang jalan tol, dan termasuk yang terakhir adalah UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Banyak dari UU ini bahkan secara langsung disusun dan diarahkan oleh pihak kreditor sebagai syarat pencairan utang luar negeri.

Sudah banyak ulasan tentang isi dari berbagai produk regulasi tersebut. Intinya adalah berbagai paket reformasi regulasi di atas menerangkan bahwa orientasi kebijakan infrastruktur di Indonesia, khususnya pasca orde baru ditekankan bagi proses keterbukaan pasar untuk pelibatan peran swasta dalam pembangunan infrastruktur. Kebijakan tersebut sekaligus dimaksudkan untuk memudahkan investor asing menguasai sektor-sektor strategis melalui pembangunan infrastruktur di Indonesia. Langkah ini juga memberikan landasan penting bagi keberlanjutan perjanjian utang Pemerintah dengan sejumlah kreditor atas nama pendanaan infrastruktur. Dari sudut ini kita dapat kita dapat memulai penyelidikan lebih lanjut mengenai pengaruh pihak kreditor internasional dalam mendorong agenda liberalisasi ekonomi di dalam negeri bagi kepentingan industri negara-negara maju.

Page 88: Free Trade Watch

86

Peran Lembaga Keuangan InternasionalBank Dunia, Asian Development Bank (ADB) dan Japan Bank for International

Cooperation (JBIC) adalah tiga lembaga kreditor yang memainkan peran kunci dalam mengarahkan kebijakan pembangunan infratruktur di Indonesia. Ketiga lembaga tersebut sejak lama terlibat dalam penyediaan pendanaan dan kebijakan pembangunan infrastruktur di sektor energi, jalan, komunikasi, bandar udara, air, dan pelabuhan. Dalam pertemuan Infrastruktur Summit tahun 2005, ADB misalnya mendorong pemerintah melakukan berbagai reformasi kebijakan untuk menguatkan peran swasta serta kebijakan liberalisasi untuk menciptakan perbaikan kwalitas pelayan publik di Indonesia.

Pada bulan Februari 2006, ADB disebutkan memimpin sebuah diskusi dengan pemerintah Indonesia dalam menyusun dan mempersiapkan paket reformasi kebijakan infrastruktur oleh KKPPI. Sejumlah agenda reformasi kebijakan ini menjadi dasar bagi penyaluran utang baru dalam kerangka “Infrastructure Reform Sector Development Program” (IRSDP), di mana Bank Dunia dan JBIC terlibat mengambil bagian dalam penyusunan policy matrix dan penyaluran pendanaan di dalamnya. Melalui program ini, ADB menyalurkan utang sebesar US$400 juta pada November 2006 yang kemudian diikuti oleh Jepang yang menyalurkan sebesar US$100 juta pada Maret 2007.5

Sejak berdirinya pada tahun 1966, ADB telah menyalurkan pendanaan sebesar US$7.8 miliar untuk pembangunan 87 proyek infrastruktur di Indonesia. Jumlah tersebut merupakan 40% dari total seluruh penyaluran pinjaman ADB kepada Indonesia dengan komposisi sebagai berikut: US$3,4 miliar untuk sektor energi, US$1,8 miliar untuk pembangunan perkotaan, air, dan sanitasi, serta US$2,6 miliar untuk pembiayaan di sektor transportasi dan komunikasi.6

Demikian halnya dengan Bank Dunia, berdasarkan jenis pinjaman yang diberikan sejak 1968-2010, paling besar adalah dalam bentuk Specifik Investment Loan (SIL) yang menempati proporsi terbesar sebanyak 61,20 persen. Pada dasarnya SIL adalah jenis pinjaman yang berfungsi sebagai pendukung dari penciptaan, rahabilitasi, dan pemeliharaan infrastruktur, baik yang bersifat ekonomi, sosial, maupun kelembagaan. SIL juga digunakan sebagai biaya dari jasa konsultan, managemen dan pelatihan dalam rangka pemanfaatan infrastruktur tersebut. Bahkan utang jenis ini juga digunakan untuk mereformasi kebijakan dalam rangka meningkatkan produktifitas ekonomi dan investasi.7

5 International Bank for Reconstruction and Development, Program Document for First Infrastructure Deveopment Policy Loan to Republic of Indonesia, October 31, 2007.

6 ADB, Mobilizing Finance for Infrastructure Development, Indonesia Infrastructure Summit 2005, 17 January 2005.

7 A. Prasetyantoko, Clara R.P. Ajisuksmo, Pemetaan Pandangan Para Pemangku Kepentingan Terhadap Kiprah Bank Dunia di Indonesia, Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat Unika Atma Jaya, 2012.

Page 89: Free Trade Watch

87Edisi III - Oktober 2012

Di mata Bank Dunia, peran sentral negara dalam penyediaan infrastruktur, sebagaimana terjadi pada masa lalu harus dikurangi. Bank Dunia sangat mempercayai bahwa tidak ada aktor lain kecuali pihak swasta yang dapat mengantikan kelemahan negara dalam hal strategi, investasi, prioritas pengeluaran, serta kemampuannya dalam hal managemen resiko.8 Melalui penyaluran utang program “Infrastructure Development Policy Loan (IDPL)”, Bank Dunia secara intensif terlibat dalam mendesain arah kebijakan infrastruktur Indonesia yang lebih ramah terhadap pasar. Utang program ini pertama kali dibuat pada tahun 2007 dengan total komitmen utang sebesar US$200 juta. Sepanjang tahun 2006–2009, jumlah penarikan ULN untuk program pembangunan infrastruktur melalui Infrastructure Development Policy Loan (IDPL) yang dibiayai oleh utang Bank Dunia dan Infrastructure Reform Sector Development Program (IRSDP) atas utang dari JBIC dan ADB berjumlah USD1,530 miliar.

Dari sini dapat kita ketahui bahwa peningkatan peran kreditor (bilateral dan multilateral) dalam penyediaan infrastruktur dapat dilihat dari dua hal. Pertama, melalui penyaluran utang program. Yaitu utang yang diterima dalam bentuk tunai yang ditujukan untuk melakukan reformasi kebijakan, pembentukan infrastruktur kelembagaan, serta meningkatkan kemampuan pemerintah dalam penyediaan anggaran infrastruktur dalam APBN. Di masa pemerintahan SBY jilid I, utang berjenis ini mendominasi penerimaan utang luar negeri pemerintah selama lima tahun. Kedua, melalui penyaluran utang proyek. Penyaluran utang dalam jenis ini biasanya dilakukan sebagai fasilitas pembelian barang dan jasa untuk pembangunan proyek-proyek tertentu yang berasal dari negara-negara maju pemberi utang. Dalam dua tahun terakhir, pergeseran penarikan utang progam menjadi utang proyek dapat kita lihat dalam struktur penarikan utang baru dalam APBN.

Karenanya, jika melihat kelengkapan infrastruktur kebijakan dan kelembagaan yang sudah dimiliki pemerintah sebagai hasil dari penyaluran utang program di masa lalu, maka tahap berikutnya yang sedang dan akan terjadi adalah memperlakukan Indonesia sebagai pasar infrastruktur yang besar bahkan terbesar di Asia Tenggara. Hal ini tentu berakibat pada semakin dalamnya perekonomian Indonesia sebagai objek dari eksploitasi modal internasional yang meminggirkan peran negara. Dan dapat dipastikan hal ini juga akan berakibat pada meningkatkan penyaluran utang-utang baru yang semakin membebani keuangan negara. Perekonomian yang dicirikan oleh dominasi modal asing dan dalam negeri ini berakibat fatal bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Hal ini dapat dilihat dari melebarkan ketimpangan ekonomi nasional dan semakin maraknya praktek pelanggaran HAM oleh aparatus negara melalui dukungan pihak pemodal.

8 World Bank, Infrastructure at the Crossroads: Lesson from 20 years of World bank experience, 2006.

Page 90: Free Trade Watch

88

PenutupPembiayaan infrastruktur sebenarnya dapat dilakukan dengan memaksimalkan

alokasi yang disediakan dalam APBN maupun APBD. Skema pembiayaan melalui investasi pemerintah sesungguhnya merupakan sumber utama dalam pembangunan infrastruktur. Hal ini terkait dengan kewajiban negara dalam rangka memberikan pelayanan dasar bagi rakyat sebagaimana diamanatkan dalam UUD pasal 33 dan 34. Meskipun saat ini kemampuan keuangan negara dianggap minim, tidak berarti tanggung jawab beralih kepada pihak swasta asing maupun modal dalam negeri, terutama dalam hal pembangunan infrastruktur dasar bagi masyarakat. Apalagi kemudian pemerintah menggantungkan pada pembiayaan luar negeri melalui skema utang dari kreditor internasional.

Kemampuan pemerintah untuk mendanai pembangunan infrastruktur yang terbatas karena minimnya kapasitas anggaran negara. Hal tersebut disebabkan salah satunya karena besarnya kewajiban pembayaran cicilan pokok dan bunga utang. Kesenjangan pembiayaan infrastruktur sesungguhnya dapat diatasi bila pemerintah mampu mengurangi alokasi pembayaran utang dalam APBN. Selama kurun waktu 2005-2011 total pembayaran utang pemerintah mencapai Rp1.310.519 triliun, yang terdiri dari pembayaran cicilan bunga utang luar negeri dan SBN sebesar Rp587,881 triliun dan pembayaran cicilan pokok utang luar negeri dan jatuh tempo & buyback SBN Rp722,638 triliun.9 Menurunnya kemampuan keuangan pemerintah, menyebabkan memburuknya kualitas pelayanan infrastruktur dan tertundanya pembangunan infrastruktur baru. Kerusakan jaringan infrastruktur ini dapat meningkatkan biaya pengguna (user costs) yang sangat besar, menghambat mobilitas ekonomi, meningkatkan harga barang serta mempersulit upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Sumber dana lain yang dapat diperoleh pemerintah adalah keteribatan BUMN dalam membiayai proyek-proyek infrastruktur penting. Keterlibatan BUMN merupakan sesuatu yang penting dan patut ditingkatkan. Bahkan, dari total nilai proyek infrastruktur senilai Rp1.924 triliun pada tahun 2010 – 2014, sebesar Rp340 trilyun merupakan proyek yang dikerjakan BUMN. Meski demikian, kecukupan modal BUMN yang tidak merata, menyebabkan target ini bisa jadi hanya menjadi bumerang bagi kelangsungan BUMN itu sendiri. Jika tidak waspada, hal ini justeru akan semakin menjerumuskan perusahaan negara ini dalam kubangan utang dan memberi legitimasi bagi pelaksanaan praktek privatisasi BUMN strategis.

Peningkatan peranan swasta dalam penyediaan infrastruktur, merupakan gambaran atas pergeseran tanggung jawab negara dalam menyediakan infrastruktur-infrastruktur dasar di negeri ini. Apalagi, kecenderungan

9 Lembar Info Koalisi Anti Utang, 2012.

Page 91: Free Trade Watch

89Edisi III - Oktober 2012

pembangunan infrastruktur yang dilakukan pihak swasta hanya diarahkan untuk mendapatkan keuntungan material tanpa melihat aspek sosial dan dampaknya terhadap keberlanjutan ekologi. Modal swasta, baik asing maupun dalam negeri tetap diberi tempat dalam penyelenggaraan perekonomian nasional. Hanya saja peranan mereka harus diarahkan untuk mendukung terlaksananya sistem ekonomi kerakyatan yang menjadi landasan penyelenggaraan ekonomi nasional. Tanpa itu semua, pembangunan infrastruktur hanya akan melanjutkan istilah yang sering disebut oleh Prof. DR. Sri Edi Swasono sebagai “Pembangunan di Indonesia,” di mana proses pembangunan ekonomi tidak dirasakan oleh rakyat dan hanya dilaksanakan dan dinikmati oleh segelintir orang pemilik modal besar di dalam negeri maupun di luar negeri.

***

89Edisi III - Oktober 2012

Page 92: Free Trade Watch

90

Skenario Global Dibalik Liberalisasi Infrastruktur Telekomunikasi Indonesia Pasca Reformasi

Oleh: Ziyad FalahiIndonesia for Global Justice (IGJ)

NASIONAL

90

Page 93: Free Trade Watch

91Edisi III - Oktober 2012

“World is Flat” adalah kiasan Thomas L. Friedman yang semakin mendekati kenyataan. Beraneka gadget, handphone, komputer yang menghiasi kehidupan masyarakat Indonesia kontemporer

menunjukkan kita sedang memasuki era “revolusi informasi”. Ketika dunia semakin terjejaring satu dengan lainya, maka perpindahan antar ruang kini tidak lagi memerlukan selisih waktu. Dengan kata lain, kita sedang hidup dalam dunia yang sedang “tunggang langgang” dimana tiada yang bisa menahanya.1

Barangkali penerawangan Thomas L. Friedman memang telah menjadi kenyataan. Namun satu hal penting yang tidak bisa dilupakan adalah bahwa perubahan dunia telekomunikasi tersebut tidak terjadi secara alamiah. Oleh karena itu, perkembangan telekomunikasi yang terjadi di Indonesia juga bukanlah semata konsekuensi dari perkembangan zaman. Namun lebih jauh, perkembangan informasi di Indonesia sejatinya tidak bisa dilepaskan dari tranformasi struktur material yang terjadi, tak lain adalah infrastruktur telekomunikasi. Dirunut lebih dalam lagi, perubahan struktur material telekomunikasi di Indonesia ternyata tidak bisa dipisahkan dari perubahan yang terjadi dalam rezim internasional.

Rezim Internasional menjadi kata kunci untuk mengkritik pandangan bahwa perkembangan telekomunikasi adalah sunatullah, sebagaimana asumsi Friedman dan kaum neoliberal pada umumnya. Sulit memungkiri bahwa apa yang dialami oleh masyarakat Indonesia hari ini ternyata bagian dari sebuah skenario. Dengan demikian tulisan ini mencoba untuk melacak sepak terjang aktor-aktor yang besar peranannya dalam merumuskan skenario global tersebut.

Public Private Partnership Sebagai Skenario Global Liberalisasi Telekomunikasi di Indonesia hadir lebih dahulu dan mendorong

semakin populernya terminologi Public Private Partnership.2 Sebuah konsepsi tidaklah muncul dan populer dengan sendirinya dalam ruang hampa yang statis. Terdapat konteks politik yang memicu semakin intimnya transaksional antara pemerintah Indonesia dan Swasta dalam pengembangan sektor infrastruktur. Bahkan, Public Private Partnership(PPP) yang berkembang di Indonesia juga tidak bisa dipisahkan dari konstelasi diskursus global kontemporer. Hal tersebut terindikasi dari beberapa bantuan lembaga finansial internasional yang mendesak pemerintah Indonesia agar membuka pasar sektor infrastruktur kepada para

1 Anthony Giddens, 2005, The Consequences of Modernity. London: Sage2 Secara definisi, kerjasama pemerintah swasta (KPS) atau sering dikenal dengan PPP (Public Private Partnership)

merupakan suatu bentuk kerjasama antara Pemerintah dengan pihak Swasta dalam penyediaan Infrastruktur. Kerjasama tersebut dapat meliputi pekerjaan konstruksi untuk membangun, dan meningkatkan kemampuan pengelolaan, serta pemeliharaan infrastruktur yang dilakukan dalam rangka meningkatkan kuantitas dan kualitas pelayanan publik. Pada Praptono, Djunaedi, 2007, Implementasi Public-Private Partnerships dan Dampaknya ke APBN. http://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/kajian_PPP_prap.pdf, diakses 1 September 2012

Page 94: Free Trade Watch

92

investor. Oleh karena itu, dialektika sejarah dapat berfungsi sebagai eksplanasi ilmiah

guna melacak siapa dibalik PPP. Selain itu, analisa kritis juga mampu menjelaskan skenario apa yang ada dibalik arus investasi sektor infrastruktur. Secara historis, krisis moneter pada tahun 1998 menjadi momentum dalam perkembangan PPP. Dilatar belakangi minimnya cadangan uang akibat krisis keuangan yang melanda Indonesia, pemerintah mulai berinisiatifmembuka proyek infrastruktur pada para investor.

Salah satu faktor pendorong arus liberalisasi infrastruktur adalah terbatasnya sumber dana pembangunan infrastruktur dari perbankan. Pada umumnya proyek infrastruktur memerlukan waktu antara 15-30 tahun untuk melunasi investasinya. Sedangkan perbankan umumnya tidak tertarik mendanai proyek-proyek berjangka panjang. Karena itu, perlu terobosan inovatif untuk mengatasi kebutuhan dana jangka panjang bagi pembangunan infrastruktur. Tidak hanya terpaku pada soal dana, pemerintah dibebani untuk senantiasa menjaga tingkat pelayanan jalan pada jalur-jalur utama perekonomian untuk meningkatkan daya saing produk. Tantangan lainnya adalah bagaimana Indonesia yang belum memenuhi standar internasional dalam pelayanan transportasi perlu segera dipenuhi. Dengan demikian, reformasi tak ayal menjadi pintu masuk untuk memperderas arus liberalisasi sektor infrastruktur.

Secara praktik, PPP sejatinya telah diimplementasikan sejak tahun 1974 melalui Pembangunan Jalan Tol Jakarta – Bogor – Ciawi. Namun, model kerjasama pemerintah-swasta belum mejadi primadona ketika itu karena sumber pembiayaan utama berasal dari pinjaman luar negeri. Pada tahun 1978 sampai 1987, seluruh jalan tol dibangun oleh PT. Jasa Marga dengan biaya pinjaman Government to Government dan dana obligasi PT. Jasa Marga. Investor swasta mulai diikutsertakan baru pada tahun 1987 melalui sistem BOT (Build, Operate, Transfer) melalui proyek Jalan Tol Swasta pertama adalah Tangerang – Merak, yang dibangun oleh PT. Marga Mandala Sakti.3 Perlahan namun pasti sejak krisis ekonomi 1998, belanja infrastruktur Indonesia terus menurun, puncaknya pada tahun 1995 sebesar 9,2% dari GDP menjadi kira-kira 3,2% pada tahun 2005, dan kemudian mulai meningkat menjadi 3,9% pada tahun 2009.4

Salah satu indikator PPP sebagai sebuah skenario Global diindikasikan melalui beberapa program tecnical assistant yang diberikan oleh Lembaga Finansial asing. Terdapat trend yang kentara dalam perkembangan PPP dunia dimana lembaga finansial Internasional menjadi agen penyusun mekanismenya. Setelah program

3 Adji Gunawan, 2010, The Smart Handbook of Public Private Partnership. Rene Publisher: Jakarta4 Dedi Supriyadi Priyatna, BAPPENAS, 2009, diakses dalam http://pusbinsdi.net/file/1328010191Pembiayaan%20

Infrastruktur%20Melalui%20Dana%20Pemerintah%20dan%20Swasta.pdf

Page 95: Free Trade Watch

93Edisi III - Oktober 2012

Letter of Intent IMF berhenti tahun 2003, Bank Dunia mulai memegang peranan yang signifikan di Indonesia. Program pinjaman dari Bank dunia yang bernama Development Policy Loan (disingkat DPL) merupakan salah satu program dengan pengaruh besar bagi proyek infrastruktur Indonesia pasca reformasi. DPL edisi pertama secara resmi dikeluarkan pada 23 November 2004 dengan nominal bantuan yang diberikan adalah sebesar 300 juta dollar (kurs 1$ = 8.983 rupiah). 5

Program DPL sesungguhnya ditujukan sebagai sustainable development bagi Indonesia setelah diasumsikan berhasil memgimplementasikan program paska krisis 1998 dari IMF. Setelah mengeluarkan DPL pertama, Bank Dunia kembali melanjutkan proses pinjaman dengan mengeluarkan DPL yang kedua pada 18 November 2005. Nominal bantuan yang dikeluarkan dalam DPL kali ini adalah sebesar US$ 400 juta. Program DPL Edisi pertama dan kedua ini merekomendasikan Indonesia untuk “Procurement of public private partnership”(PPP) dengan mengimplementasikan Perpres No 67 tahun 20056 tentang kerjasama pemerintah dan badan udaha penyedia infrastruktur.

Adanya campur tangan Bank Dunia menunjukkan bahwa Public Private Partnership bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan merupakan kecenderungan kontemporer. Tabel dibawah akan memperlihatkan bahwasanya efisiensi, kompetisi, transparansi merupakan nilai-nilai yang ditawarkan dalam skenario PPP. Sehingga memperlihatkan jika beberapa negara lain di belahan dunia juga melakukan kebijakan yang relatif serupa:

Tabel 1.1. Contoh Beberapa Negara yang Mengadopsi Mekanisme PPP

Negara Alasan

Amerika Serikat To improve operational efficienciesInggris To increase competitionKorea Selatan To access new and proven technologiesIndia To create employment opportunitiesThailand To provide services not currently providedPhilipines To create transparent procurementAfrika Selatan Mobilize additional investment funds

Sumber: Djunaedi, 2007.

5 Program document, on a proposed loan, in amount of $300 million to the republic of Indonesia for a first development policy loan, Bank Dunia, 2004

6 Ibid., Bank Dunia, 2005.

Page 96: Free Trade Watch

94

Sebagai dampaknya, kementerian Perhubungan telah menyiapkan kebijakan pembangunan infrastruktur melalui skema Public Private Partnership (PPP). Salah satunya Kementerian Perhubungan juga telah membuat program prioritas sektor transportasi 2010-2014 yang termasuk kedalam bagian MP3EI meliputi transportasi darat, kereta api, laut serta udara.7 Kebijakan lain yang terkait dengan liberalisasi sektor infrastruktur adalah Perpres No. 26 Tahun 2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional (Sislognas).8 Penyusunan Sislognas bertujuan untuk meningkatkan efisiensi logistik nasional. Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional, dijabarkan dalam Rencana Strategis (RENSTRA) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) setiap Kementerian dan Lembaga, serta Pemerintah Daerah terkait pada periode 2011-2015, periode 2016-2020, serta 2021-2025.9Pada tahun 2012 ini, agenda Korea-Indonesia PPP Road Show 2012 ditutup dengan kunjungan ke PT Jasa Marga (Persero), Tbk. Alasan Jasa Marga menjadi pilihan karena melihat skema KPS bidang infrastruktur, khususnya jalan tol telah cukup lama dilaksanakan.10

Sedangkan dalam RAPBN tahun 2013, komitmen membenahi kualitas infrastruktur direfleksikan melalui alokasi belanja modal yang mencapai Rp 193,8 triliun atau 11,76% dari anggaran belanja negara sebesar Rp 1.657,9 triliun. Angka ini meningkat 14,9% dari alokasi belanja modal dalam APBN-P tahun 2012. Alokasi belanja infrastruktur sebesar Rp 188,4 triliun. Alokasi ini belum memperhitungkan Rp 24 triliun dari SAL (Saldo Anggaran Lebih) tahun 2012, dan rencana target Rp 12 triliun dari pengalihan subsidi listrik untuk belanja modal. Besaran alokasi belanja negara ini ekuivalen dengan 13,8 % (Rp 229,8 triliun) dari total anggaran belanja negara 2013. Sementara itu, Bappenas memproyeksikan adanya tambahan anggaran berasal dari alokasi anggaran transfer ke daerah untuk infrastruktur sebesar Rp 96 triliun (18% dari total transfer ke daerah sebesar Rp 518 triliun), dan kontribusi BUMN sebesar Rp 77 triliun dan peran swasta diharapkan dapat mencapai minimal Rp 60 triliun. Dengan demikian, besaran alokasi pembangunan infrastruktur secara agregat dapat mencapai Rp 457,4 triliun atau sebesar 4,9% dari target PDB 2013 sebesar Rp 9.300 triliun.11

7 Kementrian Luar Negeri, http://www.kemlu.go.id/_layouts/mobile/PortalDetail-NewsLike.aspx?l=id&ItemId= -4ba2-8510-8ab3ed36566e, diakses 1 September 2012

8 “pemerintah siapkan kebijakan perbaikan infrastruktur pembangunan“, dalam http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt504f3d20cb5a7/pemerintah-siapkan-kebijakan-perbaikan-infrastruktur-perhubungan, 11 September 2012, diakses 16 September 2012.

9 ibid10 “Korea Indonesia Puclic Private Partnership Road Show 2012” dalam http://pkps.bappenas.go.id/index.php/

berita/143-berita-internal/1065-korea-indonesia-public-private-partnership-road-show-2012, diakses 2 September 2012.

11 Firmanzah, “RAPBN dan Pengembangan Infrastruktur”, dalam http://www.setkab.go.id/artikel-5492-.html, diakses 2 september 2012.

Page 97: Free Trade Watch

95Edisi III - Oktober 2012

Ketika Informasi dan Telekomunikasi menjadi Komoditas: Mengungkap Penetrasi Rezim Internasional di Indonesia

Kebijakan reformasi telekomunikasi Indonesia sejatinya merupakan bagian kebijakan reformasi nasional, yang arahnya telah ditentukan oleh Ketetapan MPR RI No. X/MPR/1998 tentang pokok-pokok reformasi pembangunan dalam rangka penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional sebagai haluan negara. Sebagaimana yang terjadi sebelumnya, ketergantungan pembangunan infrastruktur pada impor membuat perkembangan telekomunikasi sensitif mengikuti nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar. Ketika nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar melonjak dari Rp 2.371 menjadi Rp 17.000 pada tanggal 21 Januari 1988, pembangunan telekomunikasi praktis dihentikan dan semua proyek yang sedang berjalan akhirnya menjadi tidak layak.

Namun jangan dilupakan, terdapat kaedah Internasional yang secara paradigmatik menjadikan Informasi sebagai salah satu sektor strategis untuk Liberalisasi. Sebagaimana ketetapan tentang Hak Azasi Manusia yang menegaskan bahwa Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Dengan begitu, maka monopoli sektor infromasi diasumsikan merupakan sebuah penyimpangan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).

Kaedah tersebut secara perlahan mendorong Informasi yang semula adalah public goods, menjadi privat goods. Diskursus tersebut mendorong transisi tata kelola komunikasi dari sebelumnya berada dalam kontrol negara, menjadi cenderung diserahkan kepada swasta. Rezim Global tersebut akhirnya menjadi pembenaran terhadap serangkaian kasus Liberalisasi sektor Telekomunikasi. International Monetary Fund (IMF) sebagai lembaga Finansial Internasional yang berpengaruh dalam periodisasi awal reformasi turut andil dalam mengintervensi perkembangan infrastruktur di Indonesia. Diasumsikan demikian, lantaran ada keterlibatan IMF yang tertuang dalam Letter Of Intent tertanggal 19 Januari 1998 yang substansinya adalah anjuran untuk meliberalisasi informasi. Berikut ini merupakan kutipan dari matriks structural reform dokumen letter of Intent:

“Initiate sales of additional shares in listed state enterprises, including at a minimum, the domestic and international telecommunication corporations”12

Gerak sejarah material dalam konteks multilateral tersebut juga dapat diekstraksi dalam meninjau kondisi yang terjadi di Indonesia. Jika ditinjau berdasarkan dimensi kesejarahan, sesungguhnya teknologi time space compresed baru berkembang

12 International Monetary Fund, “Letter of Intent”, Tanggal 22 April 2008.

Page 98: Free Trade Watch

96

pada periode pasca reformasi dimana kepemilikan masih dipegang oleh BUMN. Perubahan drastis terlihat sejak tahun 1998 ketika pemerintah mengeluarkan cetak biru telekomunikasi Indonesia sebagai respon atas GATS dalam WTO tersebut. Terdapat beberapa pokok pembaruan yang dicanangkan, antara lain dengan menghapuskan monopoli, menghapuskan diskriminasi dan restriksi bagi perusahaan swasta besar maupun kecil dan koperasi untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan jaringan dan jasa telekomunikasi, mengkhususkan peran pemerintah sebagai pembina yang terdiri atas pembuatan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan telekomunikasi serta memisahkannya dari fungsi operasi. 13

Ditinjau secara Internasional, terdapat rezim yang mulai diperbaharui sejak Pada tahun 1997. Setelah bertahun-tahun dirundingkan di Putaran Uruguay dalam rangka GATT, sebagian besar negara di dunia akhirnya menandatangani apa yang dinamakan World Trade Organization (WTO) Agreement on Basic Telecommunication. Sebuah konvensi yang bermaksud untuk meliberalisasikan pasar jasa telekomunikasi. Sebagai konsekuensinya, sejak 1 Januari 1998 dasar hubungan dalam lingkungan telekomunikasi dunia berubah dari bilateral menjadi multilateral. Pasar jasa telekomunikasi yang dulunya tertutup berubah menjadi terbuka. Seperti jasa lainnya, jasa telekomunikasi diatur dalam traktat internasional General Agreement on Trade in Sevices (GATS). Sudah barang tentu perubahan ini mengindikasikan suatu pergeseran paradigma yang fundamental telah terjadi. Sejak tanggal itu, rezim perdagangan dunia, khususnya yang mengenai komitmen untuk mengimplementasikan GATS dalam liberalisasi perdagangan jasa, berlaku pula untuk jasa telekomunikasi.14

Implikasinya, terjadi tranformasi perspektif dari sebelumnya pelayanan telekomunikasi semula dianggap sebagai jasa yang non-komersial dan pada umumnya diselenggarakan oleh negara dalam lingkungan monopoli, menjadi privat goods dengan kompetisi sebagai motor penggerak. Bahkan sebelum muncul perjanjian GATS, konvensi internasional yang dituangkan dalam ITR (International Telecommunications Regulation) di bawah payung ITU (International Telecommunication Union) selalu didasarkan pada kedaulatan negara masing-masing dalam mengatur telekomunikasinya.

13 Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 72 Tahun 1999 Tentang Cetak Biru Kebijakan Pemerintah tentang Telekomunikasi Indonesia.

14 ibid

Page 99: Free Trade Watch

97Edisi III - Oktober 2012

Liberalisasi Infromasi dan Implikasinya Terhadap Kebijakan Telekomunikasi Indonesia

Akselerasi investasi informasi yang semakin kurang kontrol akibat Liberalisasi tersebut menciptakan arsitektur informasi (disebut Teledensitas) yang lebih pesat dari biasanya. Grafik dibawah ini akan memperlihatkan bagaimana Teledensitas berkembang pesat pada periode setelah munculnya undang-undang telekomunikasi tahun 1999. Lahirnya Undang undang Telekomunikasi mendorong munculnya perjanjian Telecom act. Ketentuan nomer tiga dalam Telecom act disebutkan adanya konsep “privat participation” yang tidak lain menjadi pertanda minimalisme kontrol informasi dari negara. Kinerja struktur teledensitas sebagaimana yang diulas paragraph sebelumnya, merupakan dampak lanjutan dari adanya intervensi institusi interbasional pasca 1999.

Sumber: diakses darihttp://www.antara.co.id, diakses pada 3 Agustus 2012

Meskipun dalam lingkup nasional, komitmen yang diberikan negara anggota dalam rangka WTO terpaksa dilaksanakan Indonesia karena terdapat sanksi didalamnya. Komitmen WTO untuk liberalisasi jasa telekomunikasi dasar didokumentasikan dalam program Jadwal Komitmen Tentang Telekomunikasi Dasar (Schedule Of Commitments on Basic Telecommunications) bagi masing-masing negara anggota. Komitmen multilateral ini dilatar-belakangi oleh pemikiran bahwa kepastian yang menjadi bagian suatu traktat internasional akan mempunyai kredibilitas yang lebih tinggi di mata investor yang berpotensial.

Dalam agenda jadwal komitmennya untuk jasa telekomunikasi dasar, Indonesia menyatakan bahwa:

Page 100: Free Trade Watch

98

(a) Jasa telekomunikasi tetap sambungan langsung jarak jauh nasional diselenggarakan secara eksklusif oleh PT TELKOM sampai dengan tahun 2005;

(b) Jasa telekomunikasi tetap sambungan internasional diselengga-rakan secara duopoli oleh PT INDOSAT dan PT SATELINDO sampai dengan tahun 2004;

(c) Jasa telekomunikasi tetap sambungan lokal diselenggarakan secara eksklusif oleh PT TELKOM sampai dengan tahun 2010;

(d) Jasa telekomunikasi bergerak seluler diselenggarakan secara kompetitif oleh penyelenggara yang sahamnya dapat dimiliki investor asing sampai 35%.15 Dalam Schedule of Commitment traktat multilateral WTO, menyatakan bahwa kepemilikan asing atas saham penyelenggara jasa telekomunikasi dasar dapat sampai 35%. Batas ini sewaktu-waktu dapat dinaikkan, tapi tidak bisa untuk diturunkan. Selanjutnya pada putaran perundingan dagang multilateral yang diadakan secara periodik batas ini secara bertahap dapat dinaikkan, namun tidak melebihi kepemilikan nasional.

Di lain pihak terdapat perangkat pengaturan rezim global untuk menjamin kompetisi yang sehat. Pengaturan ini didokumentasikan dalam Kertas Referensi WTO (WTO Reference Paper). Banyak negara, termasuk Indonesia, menandatangani komitmennya untuk memasukkan pengaturan ini dalam kerangka regulasi telekomunikasi di negara masing-masing. Saat berlakunya komitmen liberalisasi jasa, telekomunikasi dasar dalam “Jadwal Komitmen Tentang Telekomunikasi Dasar” ditentukan sendiri oleh negara bersangkutan mengingat kesiapan masing-masing. Dalam hal Kertas Referensi WTO, bagi negara anggota yang menandatangani tanpa kualifikasi, seperti Indonesia, saat mulai berlakunya adalah tanggal 1 Januari 1998. Implikasinya, dengan adanya ITU, WTO melalui mekanisme penyelesaian sengketanya dapat menerapkan sanksi apabila komitmen yang telah dibuat suatu negara anggota tidak ditepati. Kertas Referensi WTO yang diharuskan untuk dimasukkan dalam regulasi nasional negara anggotanya yang telah memberikan komitmennya meliputi sbb:• Pencegahan praktek anti-kompetisi dalam telekomunikasi

Tindakan pencegahan praktek anti-kompetisi oleh penyelenggara dominan (incumbent) terhadap penyelenggara baru harus diberlakukan.

• InterkoneksiSyarat bagi semua jaringan penyelenggara baru untuk interkoneksi dengan penyelenggara dominan (incumbent) harus sama dan diberlakukan tanpa diskriminasi.

• Pelayanan universal15 Hinca IP Pandjaitan, “pengaturan setengah hati”, Media Law Ombudsperson, INTERNEWS INDONESIAm Februari

2000.

Page 101: Free Trade Watch

99Edisi III - Oktober 2012

Proses pelaksanaan dan pembebanan kewajiban penyelenggaraan pelayanan universal harus transparan, tanpa diskriminasi dan netral dari segi persaingan.

• Kriteria pemberian lisensi yang harus diumumkan melalui proses yang transparan.

• Regulator independenRegulator harus bebas dari ketergantungan pada penyelenggara telekomunikasi.

• Alokasi dan pemakaian daya (resource) yang langka;Alokasi sumber daya langka (frekuensi,orbit satelit, nomor, tanah negara) harus dilaksanakan melalui proses yang adil, transparan dan tanpa diskriminasi.16

Kebijakan Indonesia mengkonfirmasi status liberalisasi di lingkungan telekomunikasi secara tidak langsung mengindikasikan juga ikatan bahwa tidak akan ada pengurangan dari derajat liberalisasi yang telah dinyatakan dalam “Jadwal Komitmen Tentang Telekomunikasi Dasar”.17 Bahkan Perjanjian GATS menuntut agar dalam tiap putaran negosiasi perdagangan yang akan datang disampaikan komitmen baru yang mencantumkan peningkatan derajat liberalisasi dalam bidang jasa, termasuk jasa telekomunikasi. Selain itu, terdapat komitmen Tambahan (Additional Commitments), dinyatakan bahwa pada akhir masa eksklusivitas atau duopoli yang disebutkan di atas, Indonesia akan mengadakan peninjauan mengenai kemungkinan penerbitan izin baru.

KesimpulanSejenak kita mulai berpikir mengenai kemungkinan masa depan Indonesia

ditengah skenario global Liberalisasi Infrastruktur. Terlepas dari beberapa aspek positif yang dirasakan, seperti perkembangan pesat teknologi telekomunikasi. Namun, liberalisasi infrastruktur dalam derajat signifikan justru menyebabkan informasi yang semula merupakan komoditas milik bersama, menjadi hanya dikuasai oleh pemilik modal. Implikasinya, kita sulit memilah-milah mana informasi yang akurat dan mana yang sekedar isu. Sungguh ironi, masyarakat mengeluarkan koceknya hanya untuk mengkonsumsi sesuatu yang seharusnya bisa saling berbagi.

Sementara itu, PPP menjadi sebuah konsepsi yang semakin populer. Dibaliknya terbesit harapan sebuah hubungan saling membantu antara pemerintah dan swasta untuk memajukan pembangunan. Namun sebagaimana yang telah dijelaskan, faktor pendorong skenario ini adalah keuntungan material. Bahkan yang paradoks,

16 WTO Reference paper: Negotiating group on basic telecommunications, 24 April 1996, darihttp://www.wto.org/english/tratop_e/serv_e/telecom_e/tel23_e.htm,diakses9 September 2012

17 Op. cit

Page 102: Free Trade Watch

100

sekalipun hubungan kemitraan pemerintah dan swasta mengatasnamakan profesionalisme, tetapi dalam implementasinya justru pembangunan infrastruktur menjadi semakin tidak profesional. Dengan demikian, maka tibalah saat dimana public goods seperti infrastruktur kembali dikelola dan dikuasai oleh publik.

***

Page 103: Free Trade Watch

101Edisi III - Oktober 2012

NASIONAL

Indonesia Merdeka Berproduksi (?)

101Edisi III - Oktober 2012

Oleh: Salamuddin Daeng Indonesia for Global Justice (IGJ)

Page 104: Free Trade Watch

102

Latar BelakangKemerdekaan Indonesia telah mencapai usia 67 tahun. Dalam usia yang masih

muda, Republik yang didirikan pada tahun 1945 terus berjuang sekuat tenaga meraih kematangan. Tantangan globalisasi meghadirkan masalah yang semakin dinamis dan kompleks. Globalisasi yang pada kenyataannya adalah liberalisasi perdagangan telah menjadikan Indonesia sebagai medan pertarungan global baik dalam memperebutkan sumber daya alam, sumber ekonomi, keuangan dan perebutan pasar.

Seiring perjalanan waktu, proses integrasi ekonomi nasional dalam pasar internasional semakin kuat. Apa yang dikonsumsi oleh masyakat global telah merambah sampai ke kampung-kampung. Mulai dari produk pangan sampai dengan produk bertehnologi tinggi. Perusahaan multinasional tidak hanya beroperasi di kota-kota besar namun hingga pedesaan dan sektor pertanian.

Dewasa ini, hampir semua produk pertanian dan bahan pangan pokok yang dikonsumsi masyarakat Indonesia dewasa ini bersumber dari impor. Jumlah impor berbagai kebutuhan pokok seperti beras, jagung, kedelai, gandum, gula, garam, susu, daging, setiap tahun mengalami peningkatan significant. Negara ini juga menjadi sasaran utama impor produk manufaktur seperti baja, mesin, otomotif, elektronik. Demikian pula produk berteknologi tinggi seperti pesawat terbang, kapal laut, kereta api, alutista, semua dipasok dari impor.

Dalam usia yang semakin dewasa, Indonesia belum juga berhasil meraih kemajuan dalam bidang produksi barang dan jasa jasa sebagaimana yang diraih oleh bangsa lain yang usianya relatif sama. Kedaulatan dan kemandirian dalam ekonomi tidak dapat diraih dikarenakan tekanan faktor eksternal kuat. Sementara secara internal Indonesia kehilangan kemampuan untuk memperkuat daya produksi dalam menghasilkan kebutuhan dirinya secara maksimal.

Perjanjian InternasionalSalah satu penyebab kuatnya tekanan eksternal terhadap ekonomi nasional

adalah ditandatanganinya berbagai perjanjian perdagangan bebas dan perjanjian di bidang investasi oleh pemerintah Indonesia dengan tidak mempertimbangkan secara baik kepentingan dan kemampuan nasional.

Indonesia telah meratifikasi perjanjian perdagangan bebas World Trade Organization (WTO) melalui UU No 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Pengesahan tersebut sebagai komitmen untuk melakukan liberalisasi perdagangan. Selain itu Indonesia telah mendatangani berbagai Free

Page 105: Free Trade Watch

103Edisi III - Oktober 2012

Trade Agreement (FTA) sebagai komitmen yang lebih tinggi dibandingkan WTO untuk melakukan liberalisasi. Ratifikasi FTA salah satunya dilakukan melalui UU 38 tahun 2008 tentang ASEAN Charter, sebagai komitmen bergabung secara penuh dalam perdagangan bebas ASEAN.

Melalui perjanjian perdagangan bebas disepakati liberalisasi perdagangan barang melalui penghapusan hambatan tarif (tarrif barrier) dan hambatan non tarif (non tarrif barrier), seperti hambatan prosedur yang berbelit, standar produk, sanitary, fitosanitary, dan hambatan lainnya. Perjanjian perdagangan memberi peluang dan kemudahan masuknya barang-barang impor kedalam ekonomi Indonesia.

Dalam perjanjian perdagangan juga disepakati perjanjian dalam hal jasa-jasa dan intellectual property right/Hak Kekayaan Intelektual (Haki) dan paten terhadap seluruh produk. Perjanjian tersebut menyebabkan produksi barang pada tingkat nasional dan seluruh produksi masyarakat harus dipastikan tidak melanggar paten, haki, yang telah ditetapkan secara internasional.

Selain itu Indonesia juga menandatangani perjanjian internasional dalam bidang investasi. Perjanjian ini dilakukan melalui Billateral Investment Treaty (BIT), yang berisikan aturan tentang perlindungan investasi luar negeri pra investasi (pre establishment), pembebasan dari persyaratan joint venture (joint venture requirement), larangan nasionalisasi, subrogasi, dan perlindungan pasca investasi (post establishment). Hingga saat ini Indonesia telah mendatangani sekitar 67 BIT dengan berbagai negara di dunia. Dengan demikian perjanjian ini bersifat mengikat (legally binding) yang pelanggarannya dapat digugat di arbitrase internasional.

Atas dasar perjanjian BIT perusahaan asing dapat masuk secara utuh ke semua sektor mulai dari pertanian, industri, jasa-jasa dan keuangan dengan dilindungi oleh hukum internasional yang kuat. Dengan demikian kemampuan petani, nelayan, UKM dan industri nasional harus bersaing secara bebas dengan perusahaan multinasional dalam mempertahankan eksistensinya dalam memproduksi kebutuhan sendiri secara nasional.

Kemerdekaan BerproduksiMasih segar dalam ingatan kita kasus mobil SMK yang tidak lolos dalam

uji emisi. Produksi mobil yang dilakukan oleh anak-anak muda Indonesia yang didukung oleh Walikota Solo, Joko Widodo (Jokowi) terhambat untuk diproduksi secara massal karena dinilai belum lolos uji emisi sebagaimana standar yang ditetapkan secara internasional dan telah diatur dalam berbagai peraturan perundangan nasional.

Page 106: Free Trade Watch

104

Peristiwa lainnya adalah kriminalisasi terhadap petani jagung di Kabupaten Kediri Jawa Timur karena petani memproduksi bibit jagung dengan kualitas sangat baik, menyamai produksi bibit yang dihasilkan oleh perusahaan perusahaan asing yang beroperasi di daerah setempat. Para petani dikriminalisasi dengan dasar pelanggaran paten yang dimiliki perusahaan. Para petani dituduh melakukan pemalsuan terhadap bibit jagung yang diproduksi oleh perusahaan asing yang menguasai pasar bibit di daerah tersebut.

Kedepan dengan semakin banyaknya penandatanganan perjanjian internasional seperti perjanjian penyelamatan iklim United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), perjanjian standar dalam produksi tembakau seperti UN Framework Convention on Tobacco Control (UNFCTC), dan perjanjian internasional lainnya, yang mencoba menerapkan standar yang sama terkait suatu produk yang menjadi komoditas global. Standarisasi produk secara global secara langsung akan mematikan kreatifitas nasional untuk memulai dan mengembangkan produksinya.

Peristiwa diatas menjadi pelajaran penting bahwa perjanjian internasional dapat berdampak buruk terhadap hak usaha usaha nasional dalam mempertahankan kelangsungan produksi. Aturan internasional yang telah ditandatangani pemerintah satu sisi dapat menjadi penghalang bagi kreatifitas nasional untuk berkembang, sementara pada sisi lain upaya untuk mengembangkan kapasitas usaha nasional tidak memperoleh dukungan yang memadai dari pemerintah.

Hak untuk bekerja dan beproduksi sendiri untuk memenuhi kebutuhan sendiri adalah esensi dari kemerdekaan ekonomi. Hilangnya hak berproduksi akan mengakibatkan ketergantungan pada pihak lain untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Ketergantungan pada hasil produksi orang lain berarti lenyapnya kemerdekaan ekonomi.

Meraih kemerdekaan berproduksi merupakan syarat bagi kemerdekaan ekonomi yang akan membawa kita pada kemerdekaan politik yang sesungguhnya dalam era liberalisasi perdangan. Membiarkan ketergantungan terhadap hasil produksi negara lain atau perusahaan multinasional, sama dengan menekan atau menghancurkan usaha ekonomi rakyat dan industri nasional.

Sehingga menjadi tugas pemerintahan ke depan adalah bagaimana melakukan evalusasi ulang berbagai perjanjian internasional yang telah ditandatangani dan diratifikasi, dalam rangka mewujudkan kembali Indonesia merdeka berproduksi.

***

Page 107: Free Trade Watch

105Edisi III - Oktober 2012

MENGKRITISI CARA PEMERINTAH MENANGANI PERMASALAHAN INFRASTRUKTUR

Oleh: Nirmal IlhamIndonesia for Global Justice (IGJ)

NASIONAL

105Edisi III - Oktober 2012

Page 108: Free Trade Watch

106

Infrastruktur merupakan prasyarat utama bagi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Bila pembangunan infrastruktur dilakukan dalam skala besar dan berkelanjutan, maka akan menciptakan tenaga kerja yang banyak, menyerap

produksi lokal secara maksimal, dan proses perdagangan menjadi lebih mudah, sehingga terjadi multiplier effects dalam pembangunan.

Sedangkan pembangunan infrastruktur yang rendah dengan kondisi yang sangat buruk, menyebabkan biaya logistik dalam perdagangan menjadi besar, inflasi tinggi, produksi lokal tidak punya daya saing, perdagangan domestik tidak merata karena ada perbedaan harga yang besar antara daerah, perdagangan internasional tidak efisien, produksi dalam negeri tidak terserap, pengangguran dalam jumlah besar dan kemiskinan. Yang kemudian berujung pada pertumbuhan ekonomi menjadi rendah. Hal inilah yang terjadi pada Indonesia, dimulai sejak era reformasi dan lebih buruk lagi berlangsung dalam beberapa tahun belakangan ini.

Ketika krisis 1998, ruang keuangan negara memang sangat sempit sehingga memaksa pemerintah melakukan pengetatan biaya pembangunan, dimana program pembangunan infrastruktur dikesampingkan. Namun pada beberapa tahun terakhir, dengan ruang fiskal pemerintah yang sangat luas bagi apapun program pembangunan, pemerintahan saat ini justru tetap mengesampingkan pembangunan infrastruktur.

Menteri PPN/Kepala Bappenas Armida Alisyahbana mengakui bahwa investasi untuk pembangunan infrastruktur saat ini masih kalah jauh dibandingkan pada masa Orde Baru. Di masa pemerintahan Suharto, investasi infrastruktur dianggarkan 7 hingga 8 persen dari PDB. Sedangkan selama pemerintahan SBY baru menganggarkan 3 hingga 4 persen dari PDB. Sebagai perbandingan, anggaran pembangunan infrastruktur di China dan India pada saat ini sebesar 8 persen dari PDB.1

Pembangunan infrastruktur yang terbengkalai sejak era reformasi dan dikesampingkan selama pemerintahan SBY, telah membuat kondisi infrastruktur Indonesia sangat buruk. Menurut Ketua Indonesia National Shipowners Association (INSA) Carmelita Hartoto, penerapan kegiatan pelayanan bongkar muat barang di Pelabuhan Tanjung Priok selama ini membutuhkan waktu yang cukup lama. Hal ini disebabkan oleh proses administrasi dan keterbatasan lahan. Terlalu lamanya sistem administrasi dan area yang sempit di pelabuhan Tanjung Priok mengakibatkan antrian yang lama dan membuat biaya logistik melambung.

Carmelia menjelaskan bahwa pemerintah menargetkan penurunan biaya

1 http://finance.detik.com/read/2012/06/25/183200/1950461/4/investasi-infrastruktur-era-sby-kalah-dengan-soeharto

Page 109: Free Trade Watch

107Edisi III - Oktober 2012

logistik sebesar 3 persen dari 17 persen, sampai tahun 2015. Sehingga nantinya biaya logistik nasional bisa menjadi 14 persen. Hal ini diharapkan mampu mendorong produk domestik bruto. Namun nilai itu sendiri masih jauh jika bandingkan dengan Amerika Serikat yang biaya logistiknya hanya 9 persen.2

Dalam kualitas infrastruktur transportasi udara, Dirut PT Garuda Indonesia Tbk Emirsyah Satar menjelaskan, infrastruktur transportasi udara Indonesia berada pada peringkat ke-80 di antara infrastruktur transportasi udara di seluruh dunia. “Kita hanya lebih baik dari Vietnam di posisi ke-95 dan Filipina di posisi ke-115,”kata Emir. Keterangan Emir ini berdasarkan laporan dari WEF Global Competitiveness Report 2011-2012.

Emir berpandangan bahwa infrastruktur transportasi udara di Indonesia menjadi tantangan tersendiri, khususnya dalam dunia penerbangan di tanah air. Kondisi infrastruktur transportasi udara di Indonesia ini harus segera diperbaiki agar bisa bersaing dengan negara lain. Karena transportasi khususnya udara cenderung akan mendatangkan investasi, apalagi investasi asing yang masuk melalui bandara-bandara yang ada.3

Pada masalah infrastruktur jalan, Direktur Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum Djoko Murjanto, menjelaskan bahwa permasalahan di infrastruktur jalan adalah dari segi pendanaan atau alokasi anggaran. “Sekitar 5 tahun lalu dana untuk keperluan pembangunan infrastruktur jalan nasional sekitar Rp 20 triliun namun yang dialokasikan dalam APBN hanya Rp 5 triliun,” kata Djoko.

Menurut Djoko, dana yang diperlukan untuk menggenjot pembangunan infrastruktur jalan nasional selama ini memang tidak memadai karena besarnya kebutuhan pembangunan jalan baru serta pemeliharaan jalan yang sudah ada.4

Dari keterangan ketiga sumber tersebut terhadap ketiga infrastruktur vital nasional, dapat disimpulkan bahwa mengenai infrastruktur utama dalam sistem transportasi nasional yang ada di ibukota Jakarta saja seperti, Pelabuhan Tanjung Priok, Bandara Soekarno-Hatta, dan jalan nasional, kondisinya telah sangat memprihatinkan. Lalu bagaimana dengan infrastruktur yang ada di daerah-daerah lainnya terutama diluar Pulau Jawa atau daerah terpencil lainnya.

Sehingga permasalahan infrastruktur di Indonesia yang sebenarnya adalah bukan seperti anggapan kebanyakan orang selama ini, bahwa infrastruktur selalu menjadi masalah klasik yang tak mungkin terselesaikan oleh siapapun pemerintahnya. Namun permasalahan yang sebenarnya adalah infrastruktur

2 http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/941873 http://www.neraca.co.id/2012/08/29/buruk-kualitas-infrastruktur-bandara-di-indonesia/4 http://www.merdeka.com/uang/mengurai-masalah-infrastruktur.html

Page 110: Free Trade Watch

108

tersebut memang sengaja dibiarkan oleh pemerintahan saat ini hingga kondisinya benar-benar parah. Dengan harapan timbul tuntutan emosional dari masyarakat agar pemerintah segera memperbaikinya dengan cara apapun.

Situasi inilah yang dikehendaki oleh pemerintahan SBY, untuk kemudian melaksanakan cara pembangunan yang menjadi ciri khas pemerintahan SBY, yaitu Neoliberalisme. Presiden SBY memang sejak awal berkuasa hingga saat ini tidak pernah secara sungguh-sungguh mengembangkan model ekonomi yang progresif, bersifat kerakyatan dan melindungi sumber daya alam yang menjadi hajat hidup orang banyak. Modal asing dipersilahkan masuk untuk terus menggerus tanpa batas ke dalam ruang-ruang kehidupan rakyat. Begitupun dalam pembangunan infrastruktur, tidak ada pembangunan infrastruktur yang monumental yang sepenuhnya berasal dari inisiatif pemerintah, dikerjakan oleh pemerintah dan dibiayai oleh pemerintah. Kalaupun ada maka hasilnya seperti kasus pembangunan wisma atlet di Palembang dan kasus pembangunan sarana olahraga di Hambalang.

Skema Penanganan Timbulnya tuntutan emosional dari masyarakat terhadap perbaikan dan

pembangunan infrastruktur yang memadai dijawab oleh pemerintah melalui skema pembangunan infrastruktur dalam skala besar. Tidak hanya satu persatu sektor infrastruktur yang ditangani, tetapi langsung pada penanganan secara menyeluruh, seperti skema MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia).

Ini artinya pemerintah tidak menginginkan penanganan pembangunan infrastruktur dengan cara memperbaiki satu-persatu sarana infrastruktur berdasarkan skala prioritas yang penting dan mendesak untuk ditangani. Karena bila hal itu dilakukan maka pemerintah mampu mengerjakan sendiri melalui anggaran pembangunan infrastruktur pemerintah.

Tetapi pemerintah memang sengaja memilih cara penanganan permasalahan infrastruktur dalam skema pembangunan infrastruktur yang berskala besar dan menyeluruh. Sehingga pemerintah dapat menyatakan bahwa untuk penanganan seperti itu membutuhkan dana yang besar dimana APBN tidak sanggup untuk membiayainya.

Niat buruk pemerintah yang selalu mengajak modal asing untuk masuk kedalam setiap sendi-sendi kehidupan rakyat Indonesia ini dibungkus oleh pernyataan yang sangat memikat dari Presiden SBY saat meresmikan pembukaan pameran infrastruktur di Jakarta pada akhir agustus lalu.

Page 111: Free Trade Watch

109Edisi III - Oktober 2012

Presiden SBY mengatakan ”Kunci bagi pembangunan infrastruktur yang inklusif dan berkelanjutan adalah konektivitas. Infrastruktur yang inklusif dan berkelanjutan harus menghubungkan manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungannya, pulau dengan pulau, kota dengan kota, desa dengan desa. Pembangunan infrastruktur yang inklusif dan berkelanjutan harus ikut menciptakan konektivitas fisik, konektivitas institusional, dan konektivitas antar masyarakat (people-to-people). Manakala konektivitas sudah terwujud, sebagaimana yang digariskan dalam Masterplan, insya Allah negara kita akan terhubung dengan jejaring konektivitas yang lebih luas, baik di tataran regional maupun global. Jejaring ini mencakup konektivitas yang lebih luas antara masyarakat, barang, jasa, dan modal”.5

Dibalik pernyataan manis Presiden SBY itu sesungguhnya tersimpan niat jahat yang akan terasa pahit pada bangsa ini di masa depan. Yaitu pernyataan SBY tersebut secara tersurat ingin melaksanakan pembangunan infrastruktur dalam skala besar yang akan menghubungkan pulau-pulau, kota-kota, dan desa-desa, namun sesungguhnya secara tersirat ingin mendatangkan modal asing dalam jumlah besar untuk mewujudkannya. Sehingga seluruh sektor perekonomian di Indonesia dapat dimiliki asing. Selama ini pihak asing telah mendominasi sektor ekonomi utama yaitu, sumber daya alam, perbankan, dan asuransi. Nantinya pihak asing pun memiliki kendali atas jalan-jalan, jembatan-jembatan, pelabuhan-pelabuhan, bandara-bandara, dan jalur-jalur kereta api yang dipakai rakyat Indonesia.

***

5 http://www.setkab.go.id/berita-5484-sambutan-presiden-republik-indonesia-pada-pembukaan.html

Page 112: Free Trade Watch

110

Terkait CEPA;

Desak Kemendag Update Proses Negosiasi

AKTIFITAS IGJ

Selasa 25 September 2012, Indonesia for Global Justice (IGJ) bersama dengan koalisi Jaringan Asia Europe People Forum (AEPF) yang berada di Jakarta melaksanakan hearing ke Kementrian Perdagangan. Jaringan koalisi ini

diterima dengan baik oleh Dirjen Kerjasama Perdagangan Internasional Bapak Iman Pambagyo. Tujuan dilaksanakannya hearing ini adalah untuk mendapatkan informasi terkini tentang perundingan perjanjian perdagangan antara Indonesia dengan Uni Eropa berdasarkan perspektif pemerintah Indonesia.

Koalisi jaringan AEPF yang hadir dalam hearing kali ini adalah PRP, SPI, API, JAPI dan Kiara dengan IGJ sebagai vocal pointnya. Dalam kesempatan ini, masing-masing organisasi mengungkapkan pandangannnya terhadap dampak yang akan mereka hadapi apabila pemerintah menendatangani perjanjian perdagangan ini.

“Sejauh ini pemerintah Indonesia masih berbicara mengenai Term of Reference dengan pihak EU, jadi belum masuk kepada fase negosiasi.” Demikian yang

Page 113: Free Trade Watch

111Edisi III - Oktober 2012

dijelaskan oleh Bapak Iman. Dan Kementrian Perdagangan telah bekerjasama dengan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) untuk konsultasi dan sosialisasi ke pengusaha daerah dan Pemerintah Daerah.

Target yang diinginkan oleh pihak EU sangat tinggi, menyangkut liberalisasi tarif. Ada beberapa permintaan dari Uni Eropa yang tidak disetujui oleh pemerintah Indonesia, misalnya: permintaan tentang government procurement. Karena kita menganggap itu adalah bagian untuk industri nasional khususnya Usaha Kecil Menengah (UKM). Dokumen ini akan menjadi pegangan kedua belah pihak untuk negosiasi.

Kementrian Perdagangan sendiri berpandangan bahwa negosiasi ini akan bersifat asimetrik. Pihak Uni Eropa sangat siap dari bidang SDM dan tekhnologi sementara dari pihak Indonesia cenderung untuk menolak tetapi tidak menyodorkan suatu proposal yang konkrit terhadap penolakan tersebut. Tetapi Kementrian Perdagangan beralasan, dengan posisi tersebut, sebenarnya kita punya ruang untuk lebih banyak meminta capacity building economic coorperation. Dan ini memerlukan kerjasama dengan berbagai kementrian, tidak hanya di Kementrian Perdagangan.

Terkait FTA dengan negara lainnya, Iman menambahkan “pendekatan kita sekarang adalah trade for trade dan atau trade for investment”. Pemerintah Indonesia harus berdiri di atas tiga pilar: liberalisasi, fasilitasi, economic cooperation. Pengalaman dari IJEPA, tahun-tahun pertama pengimplementasian IJEPA banyak pihak yang melakukan protes. Belajar dari pengalaman ini, walaupun kita belum kuat tetapi sekurang-kurangnya kita sudah mengetahui cara bernegosiasi.

Pandangan dari IGJ berdasarkan penelitian yang sudah dilaksanakan mengenai bab investasi di dalam dokumen yang dikeluarkan oleh vision group, tidak terlihat kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak investor. Padahal yang kita ketahui bahwa perusahaan EU yang beroperasi di Indonesia sudah memiliki banyak masalah, seperti : community development, HAM dan lain-lain.

Pandangan dari Lutfiyah Hanim (Third World Network) bahwa perjanjian perdagangan tidak hanya bisa dilihat dari segi perdagangan itu sendiri, tetapi menyangkut kepada kebijakan pembangunan. Perjanjian perdagangan tidak hanya ekspor-impor barang tetapi juga liberalisasi jasa dan perlindungan HAKI. Jadi kurang tepat menyandarkan kepada trade for trade dan trade for investment.

Terkait di bidang pertanian, antara Indonesia dan Uni Eropa mempunyai perbedaan kebijakan subsidi pertanian. Uni Eropa memberikan subsidi lebih besar jika dibandingkan dengan Indonesia. Produk pertanian kita bahkan tidak bersaing di pasar kita sendiri karena harus bersaing dengan produk Uni Eropa.

Page 114: Free Trade Watch

112

Jaringan Aksi Perubahan Indonesia (JAPI) berpandangan bahwa perjanjian perdagangan dengan Uni Eropa ini akan merugikan orang yang terinfeksi HIV AIDS (ODHA). Mahalnya harga obat untuk penderita ODHA ini disebabkan oleh perjanjian paten terkait HAKI dan TRIPS. Sedangkan kebutuhan akan obat bagi penderita ODHA ini sangat tinggi.

Pandangan dari KIARA, terkait perikanan adalah impor ikan yang terus meningkat. Maka yang dirugikan sebenarnya adalah nelayan tradisional yang masih bergantung terhadap hasil ikan. Belajar dari pengalaman ACFTA, maka perjanjian perdagangan dengan Uni Eropa ini akan kurang lebih sama dan kita cenderung akan mengulangi kesalahan yang sama.

Pandangan dari SPI melihat dari sektor pertanian adalah Uni Eropa tidak akan mengurangi subsidi sektor pertaniannya. Kekhawatiran akan adanya dumping dari produk-produk pertanian yang masuk ke Indonesia. Selama ini perdagangan dengan Uni Eropa memang mengalami surplus, tetapi surplus ini berasal dari produk Kelapa Sawit dan Karet yang umumnya adalah tanaman perkebunan. Sementara seperti yang kita ketahui bersama bahwa perkebunan masih menjadi suatu masalah besar karena konflik yang terjadi dengan masyarakat sekitar.

Terhadap masukan-masukan yang diberikan pihak NGO tersebut, pihak Kementrian Perdagangan berjanji untuk selalu memberikan update terkait sejauh mana proses negosiasi telah dilakukan. (Rika)

Page 115: Free Trade Watch

113Edisi III - Oktober 2012

Utang Indonesia makin membahayakan Ekonomi & Bisnis

AKTIFITAS IGJ

WASPADA ONLINE - Dalam beberapa minggu terakhir ini, nilai tukar rupiah terus melemah. Di saat yang sama Bank Indonesia (BI) telah mengeluarkan peringatan terkait dengan pelemahan ini.

Menurut Insitute Global Justice (IGJ), Salamuddin Daeng, salah satu penyebab melemahnya nilai tukar rupiah ini karena aliran dana keluar yang terus membesar, khususnya untuk membayar utang pemerintah dan utang swasta.

Setiap triwulan, kata Salamuddin, lebih dari Rp 40 triliun harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk membayar bunga utang dan cicilan utang pokok. Sementara pada saat yang sama, tidak ada aliran dana masuk baik dalam bentuk investasi maupun utang baru. “Krisis yang melanda Uni Eropa dan AS merupakan penyebab utama pelemahan rupiah,” katanya kepada wartawan, hari ini.

Selain itu, lanjut Salamuddin, bangkrutnya berbagai perusahaan komoditas unggulan Indonesia seperti batubara dan komoditas mineral lainnya, ikut memicu pelemahan rupiah, mengingat beban utang yang harus dibayarkan sektor swasta menambah aliran modal keluar.

Kini, posisi utang pemerintah lebih dari Rp 2.000 triliun baik dari dalam maupun luar negeri. Sementara posisi utang swasta luar negeri lebih dari Rp 1.000 triliun. “Posisi utang dan kecendrungan krisis ini akan semakin membahayakan ekonomi Indonesia dalam hari-hari ke depan,” demikian Salamuddin.

Page 116: Free Trade Watch

114

Sementara itu, lembaga riset ekonomi Institute for Development of Economic and Finance (Indef) menilai penyerapan utang luar negeri untuk pembangunan harus diperbaiki.

“Kemampuan penyerapan utang untuk belanja negara hanya 71,2 persen per tahun, ini menunjukkan bahwa manajemen hutang Indonesia tidak efektif,” kata Direktur INDEF, Enny Sri Hartati, di Jakarta, hari ini.

Menurut Enny, jika kemampuan penyerapan itu terus berada pada level sekarang, maka beban negara untuk membayar utang tidak sebanding dengan manfaat yang didapatkan masyarakat dari pinjaman luar negeri.

Enny mengungkapkan bahwa 22,5 persen hasil pajak masyarakat pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2012 diperuntukkan sebagai pembayaran bunga pinjaman dan cicilan pokok hutang.

“Dalam kondisi ini, masyarakat telah membayar utang pemerintah namun pada saat bersamaan tidak mendapatkan manfaat dari pinjaman yang telah didapatkan,” kata Enny.

Utang luar negeri yang belum terserap pada 2012 ini sebesar Rp 157,9 triliun atau setara dengan setengah anggaran untuk subsidi energi yang tahun ini mencapai Rp 301 triliun.

Tidak efektifnya utang sebagai instrumen penambah modal pembangunan menurut Enny juga terlihat dari lambatnya laju pengurangan kemiskinan dan pengangguran. “Kemiskinan dan pengangguran memang turun, namun laju penurunannya tidak seimbang dengan besaran utang yang sudah dilakukan oleh pemerintah,” kata dia.

Melihat kondisi tersebut, Enny menyimpulkan bahwa manajemen utang pemerintah pada masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono lebih buruk dibanding pada masa Orde Baru di bawah mantan Presiden Soeharto. “Pada masa Orde Baru, utang luar negeri khusus diperuntukkan sebagai dana membangun infrastruktur, sementara pada masa sekarang tidak,” kata dia.http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=264159:utang-indonesia-makin-mem

bahayakan&catid=18:bisnis&Itemid=95

Page 117: Free Trade Watch

115Edisi III - Oktober 2012

Tolak Kedatangan Menlu AS,Usir Freeport dari Tanah Papua !

AKTIFITAS IGJ

Kedatangan Menlu AS, Hillary Clinton pada 3 September mendatang mutlak harus diwaspadai oleh segenap elemen bangsa. Kedatangan Hilarry jelas membawa agenda AS dalam rangka mempertahankan

dominasinya menguasai kekayaan alam Indonesia khususnya kekayaan tambang. Perusahaan tambang emas AS yakni Newmont dan Freeport menguasai 95 persen lebih produksi emas nasional. Kedatangan Hillary jelas ditujukan dalam rangka menginterpensi proses renegosiasi kontrak yang sedang dilakukan pemerintah dan memansnya pergolakan dan perlawanan rakyat terhadap Freeport.

Kehadiran tambang Freeport di Bumi Papua merupakan skandal nasional terbesar dalam sejarah Republik Indonesia. Kegiatan pertambangan PT Freeport telah menjadi isu internasional dikarenakan maraknya pelanggaran HAM, pelanggaran kemanusiaan, pemiskinan masyarakat lokal, pengrusakan

Page 118: Free Trade Watch

116

lingkungan secara masif. Namun hingga saat ini tidak ada satu pihak pun yang berdaya menekan perusahaan ini. Sementara negara dan pemerintah Indonesia menunjukkan sikap menghamba pada perusahaan asal Amerika Serikat tersebut.

Sejarah Tambang Freeport dimulai tahun 1967, segera setelah UU 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) disyahkan oleh Indonesia, sebelum UU pertambangan disyahkan (1968). Banyak pihak menyebutkan kalau Freeport adalah kompensasi rezim Soeharto kepada AS atas dukungan terhadap pemerintahannya. Pemegang sahamnya 1). Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. (AS) - 81,28%, 2). Pemerintah Indonesia - 9,36%, 3). PT. Indocopper Investama - 9,36%.

Perusahaan Freeport telah mengalami perpanjangan kontrak 1991 untuk 30 tahun dengan dua kali 10 tahun perpanjangan berikutnya hingga 2041. Proses perpanjangan tanpa adanya renegosiasi mengenai penguatan kepentingan nasional. Proses divestasi tidak pernah terjadi sebagaimana mestinya. Kekuasaan Freeport begitu besar dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah sehingga menguntungkan mereka. Perusahaan ini terlibat skandal penyuapan, menyogok aparat dan mendalangi berbagai peristiwa kekerasan, pembantain dan pembunuhan di Papua.

Tambang Grasberg yang dieksploitasi PT Freeport merupakan tambang emas terbesar di dunia. Perusahaan ini memproduksi sekitar 2.025.000 ounces emas setiap tahun. Selain emas perusahaan ini menghasilkan tembaga dalam jumlah besar. Perusahaan asal AS ini mengklaim dirinya sebagai pertambangan tembaga, bukan pertambangan emas. Padahal berbagai media internasional mempublikasikan bahwa Freeport adalah tambang emas terbesar di dunia. Freeport Indonesia telah melakukan eksploitasi di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Erstberg (dari 1967) dan tambang Grasberg (sejak 1988), di kawasan Tembaga Pura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.

Operasi tambang Freeport telah melahirkan kesengsaaraan bagi rakyat Papua. Perusahaan membuang limbah sedikitnya 400 ribu ton perhari. Sejak 1967 sampai sekarang lebih dari 8 miliar ton limbah dibuang serampangan oleh Freeport. Menciptakan kerusakan lingkungan yang parah, menghancurkan wilayah penghidupan masyarakat lokal, pemiskinan, dan berbagai pelanggaran kemanusiaan lainnya.

Kini Freeport telah menjadi tumor bagi ekonomi dan politik Indonesia. Pemerintah SBY yang lemah telah menjadikan Freeport semakin berkuasa atas bumi Papua. Pemerintahan SBY menenggelamkan rakyat papua dalam lautan kegelapan. Kebijakan Rezim SBY yang membagi bagikan Papua kepada asing, kekayaan minyak, hutan, telah habis dibagi bagikan kepada asing. Freeport

Page 119: Free Trade Watch

117Edisi III - Oktober 2012

menguasai 2,6 juta hektar, HPH 15 juta hektar, HTI 1,5 juta hektar, perkebunan 5,4 juta hektar, kesemuanya setara 57 persen wilayah papua. Belum termasuk kontrak migas milik British Petrolium (BP), dan perusahaan Eropa lainnya. Papua tidak lagi menjadi milik rakyat papua dan bukan lagi milik rakyat Indonesia tapi milik kapitalisme asing dan antek-anteknya.

Perlawanan rakyat Indonesia dan perlawanan rakyat Papua terhadap Freeport untuk menuntut keadilan telah berlangsung sangat panjang, dan mengenal lelah. Perlawanan hebat juga telah dilakukan Buruh tambang Freeport sejak 2006 untuk memuntut keadilan. Namun semua tuntutan itu telah dipatahkan oleh arogansi Freeport yang didukung oleh aparat keamanan Indonesia.

Namun elite politik nasional, DPR, Presiden, tidak pernah lelah juga dalam menghianati rakyat. Perlawanan rakyat dimanfaatkan oleh segelintir elite untuk melakukan renegosiasi kepentingan pragmatis mereka. Tuntutan renegosiasi seperti 1)Divestasi, 2) Luas wilayah pertambangan, 3) Royalti, 4) Lokal Konten, 5) pembangunan Smelter 6) Perpanjangan kontrak, menegasikan tuntutan sebenarnya rakyat Indonesia yang menghendaki Nasionalisasi Freeport. Nasionalisasi merupakan jalan satu-satunya untuk mengembalikan kedaulatan Bumi Papua kepada rakyat Papua dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Penghianatan Elite tua ini mutlak harus diahiri. Pemuda Indonesia, Buruh, petani, Rakyat Papua, mutlak harus bersatu padu, bahu-membahu untuk mendesak1. Nasionalisasi Freeport tanpa syarat, demi mewujudkan kedaulatan negara

dan kedaualatan rakyat Papua atas kekayaan emas Papua. Menolak Intervensi AS Terhadap Kedaulatan Negara RI, dengan kedatangan Menlu AS, Hillary Clinton.

2. Mendesak Freeport diadili dimahkamah Internasional karena menjadi dalang atas kekerasan, pembunuhan, pelanggaran HAM, pengrusakan lingkungan, Pemiskinan, penghancuran masyarakat adat, yang dilakukan selama perusahaan tersebut beroperasi.

3. Medesak pengadilan Nasional yang transparan atas praktek penyuapan terhadap elite politik nasional, baik perwira militer maupun pejabat sipil, dan sanksi yang berat atas penghianatan terhadap bangsa dan negara.

4. Melakukan pemulihan secara menyeluruh terhadap hak hidup, hak atas kesejahteraan, dan mengembalikan kemuliaan rakyat papua sebagai manusia yang bebas dari segala belenggu penindasan.

5. Mendesak Rezim SBY untuk mundur atas kegagalannya dalam menyelamatkan rakyat Papua dari teror, intimidasi, pembataian, kekerasan, kesengsaraan, yang dialami rakyat Papua hingga hari ini.

Usir Freeport dan Nasionalisasi Tambang Emas Yang dikuasai Asing !

Page 120: Free Trade Watch

118

Petisi Blok MahakamBlok Mahakam merupakan salah satu ladang gas terbesar di Indonesia dengan

rata-rata produksi sekitar 2.200 juta kaki kubik per hari (MMSCFD). Cadangan blok ini sekitar 27 triliun cubic feet (tcf). Sejak 1970 hingga

2011, sekitar 50% (13,5 tcf) cadangan telah dieksploitasi, dengan pendapatan kotor sekitar US$ 100 miliar. Cadangan yang tersisa saat ini sekitar 12,5 tcf, dengan harga gas yang terus naik, blok Mahakam berpotensi menghasilkan pendapatan kotor US$ 160 miliar atau sekitar Rp 1.500 triliun!

Kontrak Kerja Sama (KKS) Blok Mahakam ditandatangani oleh pemerintah dengan Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation (Jepang) pada 31 Maret 1967, beberapa minggu setelah Soeharto dilantik menjadi Presiden RI ke-2. Kontrak berlaku selama 30 tahun hingga 31 Maret 1997. Namun beberapa bulan sebelum Soeharto lengser, kontrak Mahakam telah diperpanjang selama 20 tahun, sehingga kontrak akan berakhir pada 31 Maret 2017.

Karena besarnya cadangan tersisa, pihak asing telah kembali mengajukan perpanjangan kontrak. Disamping permintaan oleh manajemen Total, PM Prancis Francois Fillon pun telah meminta perpanjangan kontrak Mahakam pada kesempatan kunjungan ke Jakarta Juli 2011. Disamping itu Menteri Perdagangan Luar Negeri Prancis Nicole Bricq kembali meminta perpanjangan kontrak saat kunjungan Jero Wacik di Paris, 23 Juli 2012. Hal yang sama disampaikan oleh CEO Inpex Toshiaki Kitamura saat bertemu Wakil Presiden Boediono dan Presiden SBY pada 14 September 2012

AKTIFITAS IGJ

Page 121: Free Trade Watch

119Edisi III - Oktober 2012

Padahal sesuai UU Migas No.22/2001, jika kontrak migas berakhir, pengelolaannya dapat diserahkan kepada BUMN. Apalagi hal ini sesuai amanat konstitusi dan kepentingan strategis nasional. Pertamina pun telah menyatakan keinginan dan kesanggupan mengelola blok Mahakam berkali-kali sejak 2008 hingga sekarang. Namun, menyimak pernyataan sejumlah pejabat pemerintah, besar kemungkinan Pertamina akan digagalkan. Kepala BP Migas R.Priyono misalnya mengatakan mendukung Total untuk tetap menjadi operator (7/2012). Wamen ESDM Profesor Rudi Rubiandini meminta agar Pertamina tidak perlu bernafsu menjadi operator blok Mahakam, karena Pertamina tidak akan sanggup secara SDM, teknologi dan finansial, akibat besar dan sulitnya ladang Mahakam (13/9/2012).

Tampaknya Ironi blok Cepu yang diserahkan pada Exxon (2006) sangat mungkin terulang pada Blok Mahakam. Akibatnya, BUMN akan kembali menjadi pecundang: dikalahkan oleh Pemerintah di negara sendiri, serta rakyat dirugikan! Oleh sebab itu, untuk menjamin dominasi BUMN dan mencegah kerugian rakyat, IRESS menggalang gerakan advokasi ini dengan menyiapkan “Petisi Blok Mahakam untuk Kemakmuran Rakyat”. Seluruh komponen bangsa dihimbau untuk bergabung menjadi peserta/petitor dalam gerakan untuk menyuarakan tuntutan ini kepada Pemerintah dan DPR.

TuntutanUntuk mencapai kemandirian dan ketahanan energi nasional dan sesuai dengan

amanat konstitusi, maka pengelolaan blok Mahakam harus diserahkan kepada Pertamina. Namun tampaknya Menteri ESDM, Wamen ESDM dan Kepala BP Migas cenderung untuk kembali memperpanjang kontrak kepada asing. Terlepas apakah sikap ketiga pejabat ini sepengetahuan dan telah direstui Presiden SBY atau tidak, niat buruk ketiganya harus segera dihentikan. Pemerintah diminta untuk tidak bersandiwara dengan mengatakan mendukung BUMN, namun yang terjadi di belakang adalah sebaliknya. Memperlambat penetapan keputusan patut pula diduga sebagai upaya untuk menyingkirkan Pertamina. Oleh sebab itu pemerintah (dan DPR) dituntut untuk:1. Memutuskan status kontrak blok Mahakam melalui penerbitan PP atau Kepmen

secara terbuka paling lambat 31 Desember 2012;2. Menunjuk dan mendukung penuh Pertamina sebagai operator blok Mahakam

sejak April 2017;3. Mengabaikan dan melawan berbagai upaya dan tekanan pihak asing, termasuk

tawaran kerjasama ekonomi, beasiswa dan komitmen investasi migas guna memperoleh perpanjangan kontrak;

4. Manjamin pemilikan 10% saham blok Mahakam oleh BUMD (Pemprov

Page 122: Free Trade Watch

120

Kaltim & Pemkab Kutai Kartanegara) yang pelaksanaannya dikordinasikan dan dijamin oleh Pusat bersama Pertamina, tanpa partisipasi atau kerjasama dengan swasta;

5. Meminta kepada Total dan Inpex untuk memberikan 20-25% saham blok Mahakam kepada Pertamina sejak 2013 hingga 2017, dengan kompensasi (bagi Total dan Inpex) pemilikan 20-25% saham blok Mahakam sejak 2017 hingga 2037;

6. Membebaskan keputusan kontrak Blok Mahakam dari perburuan rente dan upaya meraih dukungan politik dan logistik, guna memenangkan Pemilu/Pilpres 2014, seperti terjadi pada tambang Freeport atau Blok Cepu;

7. Membebaskan pemerintah dari pejabat-pejabat dan kaki-tangan asing yang telah memanipulasi informasi, melakukan kebohongan publik, melecehkan kemampuan SDM dan perusahaan negara dan merendahkan martabat bangsa.Setiap upaya yang dilakukan untuk membatasi dan menghilangkan hak

Pertamina merupakan penghianatan terhadap konstitusi, melecehkan hak rakyat dan mengabaikan tuntutan reformasi berupa pemerintahan yang bebas KKN. Segenap komponen bangsa dan seluruh rakyat Indonesia diminta untuk mendukung dan bergabung dalam gerakan ini guna tercapainya seluruh tuntutan dalam petisi.

Keterangan : Posisi Kaltim Dalam Perekonomian IndonesiaPropinsi Kalimantan Timur (Kaltim) merupakan salah satu daerah di Indonesia

yang kaya akan sumber daya alam. Kaltim merupakan penghasil terbesar komoditi batubara, minyak, gas, CPO, dan hasil hutan. Dalam satu dasawarsa terakhir daerah ini telah memberikan sumbangan yang besar terhadap perekonomian nasional.

Kalimantan Timur sendiri mempunyai tiga belas daerah tingkat dua yaitu Balikpapan, Samarinda, Bontang, Tarakan, Berau, Kutai Kertanegara, Kutai Timur, Paser, Panajam Paser Utara, Bulungan, Nunukan, Kutai Barat dan kabupaten termuda yaitu Tana Tidung. Luas propinsi Kalimantan Timur adalah satu setengah kali luas pulau Jawa dan Madura.

Sebagian besar wilayah daratan Kaltim yakni seluas 19,8 juta hektar telah dialokasikan untuk kegiatan investasi di berbagai sektor. Luas ijin tambang mineral dan batubara mencapai 5 juta ha, Perkebunan 2,4 juta hektar, ijin hutan HPH, HTI, HTR dan lainnya mencapai 9,7 juta (data MP3EI), belum termasuk kontrak migas, dimana Kaltim adalah salah satu kontributor terbesar pendapatan migas negara.

Kegiatan ekploitasi migas adalah yang paling penting dan besar kontribusinya terhadap perekonomian nasional. Daerah seperti Blok Mahakam, Sanga-Sanga,

Page 123: Free Trade Watch

121Edisi III - Oktober 2012

Memburungan, Selat Makasar, Handil, Kutai dan lainnya, merupakan daerah kaya minyak. Berbagai perusahaan minyak raksasa seperti Total E&P Indonesia, Vico, Cevron Indonesia Company, Medco Energy, adalah perusahaan besar yang mengeksploitasi minyak Kaltim. Chevron menguasai 44 persen blok migas, Total E&P Indonesie 10 persen, Conoco Philips delapan persen, Medco enam persen, British Petroloeum dua persen, dan VICO Indonesia satu persen. (Kaltim Post, 24/3/2012).

Kontrak Migas Blok Mahakam

CODE COMPANY BLOCK_NAME STATUS CONTRACK OPERATION YEAR LUAS (HA)

120 TOTAL E&P INDONESIE

Mahakam Block PSC - EXT 31 Mar 1997 1997 39777.918

120 TOTAL E&P INDONESIE

Mahakam Block PSC - EXT 31 Mar 1997 1997 213891.828

120 TOTAL E&P INDONESIE

Mahakam Block PSC - EXT 31 Mar 1997 1997 29051.706

120 TOTAL E&P INDONESIE

Mahakam Block PSC - EXT 31 Mar 1997 1997 6489.565

Selain itu Kaltim juga merupakan produsen gas yang besar seperti Blok Muara Bakau dengan operator ENI dan rencana ekploitasi laut dalam oleh Chevron, akan membawa Kaltim sebagai produsen gas terbesar. Dari total produksi gas alam di Kalimantan Timur, 85 persennya diolah di kilang LNG Badak Bontang untuk diekspor ke Jepang, Korea, Taiwan dan Negara Asia Timur lainnya. Sisanya 15 persen untuk kebutuhan domestik yaitu untuk bahan baku pupuk serta untuk kelistrikan.

Sebuah sumber menyebutkan Kaltim menyumbangkan sekitar Rp. 370 triliun terhadap pendapatan nasional. Gubernur Kaltim Awang Faruk menyatakan mestinya Kalimantan memperoleh bagi hasil sedikitnya Rp. 60 triliun setiap tahunnya. Pemerintah daerah sering mengeluh karena tidak adanya koordinasi perusahaan tersebut dengan pemda yang menyebabkan seringkali menimbulkan tumpang tindih lahan.

Minat investor untuk mengeksploitasi kekayaan Kaltim sangat besar. Singapore Petroleum Company (SCP) Mahakam Hilir Pte Ltd, mengeksplorasi kembali minyak dan gas bumi di Samarinda. Perusahaan asal Singapura itu melakukan pengeboran perdana di Sumur Naga Selatan-1, Bantuas, Kecamatan Palaran, Samarinda, Kalimantan Timur. (Investor daily, 13 April 2012)

Dalam sambutan gubernur kalimantan timur pada acara rapat kerja nasional (rakernas) forum konsultasi daerah penghasil minyak dan gas bumi (FKDPM) balikpapan, 24 maret 2011 dikatakan bahwa berbagai persoalan timbul dalam pengelolaan kekayaan alam Kaltim khususnya migas adalah 1) Keterbukaan akses

Page 124: Free Trade Watch

122

data bagi hasil migas yang selama ini masih belum memuaskan Daerah Penghasil Migas. 2) Transparansi lifting yang ditujukan pada KKKS belum memuaskan. 3). Sering terjadinya konflik antara Perusahaan Migas dengan Masyarakat akibat kerusakan lingkungan hidup. 4). Pelaksanaan dan pengembangan Community De-velopment (CD) belum maksimal. Dan 5). Daerah belum dapat memainkan peranannya ikut berkompetisi sebagai investor di sektor migas.

Lemahnya koordinasi menyebabkan kegiatan eksploitasi migas rentan korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan ada 14 perusahaan asing yang bergerak di sektor migas tidak membayar pajak. Kerugian yang ditimbulkan mencapai angka Rp 1,6 triliun. Hal ini yang menjadi bahasan pada pertemuan Rabu (13/7) kemarin ketika KPK melakukan koordinasi dengan BP Migas, Direktorat Jenderal Pajak, dan Direktorat Jenderal Anggaran. Koordinasi itu untuk membahas mengenai belasan perusahaan asing yang tidak pernah membayar pajak.

Haryono Umar, Kamis (14/7) Wakil Ketua KPK, di gedung KPK menyatakan “ada 14 perusahaan asing yang tidak pernah bayar pajak, bahkan ada beberapa perusahaan yang tidak membayar pajak sejak lima kali menteri keuangan berganti. Berdasarkan catatan dari BP Migas, kerugian negara yang ditimbulkan akibat tidak dibayarnya pajak oleh perusahaan asing itu mencapai Rp 1,6 triliun. Namun, saya taksir angka itu jauh lebih besar. Karena baru BP Migas yang melakukan pendataan. Belum, nantinya jika Ditjen Pajak atau KPK yang melakukan pendataan,” (Kaltim Post, 15 Juli 2011).

Namun sayangnya kontibusi Kaltim yang sangat besar tidak berkorelasi positif dengan kesejahteraan masyarakat daerah tersebut. Sebagai penghasil minyak terbesar kaltim sendiri sangat sering mengalami kelangkaan migas. Sementara pemerintah pusat terus mengeluarkan ijin pertambangan skala besar, kontrak migas, dan ekploitasi hasil hutan lainnya. selanjutnya pemerintah daerah dalam rangka memperbesar PAD mengeluarkan ijin ekploitasi SDA sesuai dengan kewenangannya.

Akibat lemahnya koordinasi antara para pihak pengambil kebijakan, khususnya koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, menyebabkan seringkali terjadi tumpang tindih dalam penguasaa lahan. Dalam banyak hal pemerintah daerah seringkali tidak terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan penguasaan lahan oleh investasi skala besar, khususnya investasi asing. Sementara penggunaan lahan skala luas oleh investor telah menyebabkan ruang hidup petani, masyarakat adat semakin sempit dan berprotensi menimbulkan gejolak sosial di masa datang. ***

Page 125: Free Trade Watch

123Edisi III - Oktober 2012

Merebut Kedaulatan Nasional Kita

Indonesia telah menandatangani berbagai perjanjian perdagangan bebas, baik dalam skala global melalui World Trade Organization (WTO), maupun regional seperti Asia Pasific Economic Cooperation (APEC), ASEAN Free

Trade Area (AFTA), ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA), Indonesia-Eropa Comperehenshive Economic Partnership Agreement (CEPA), dan dalam skala bilateral Indonesia-Japan Economic Partnershive Agreement (IJEPA). Berbagai perjanjian perdagangan bebas khususnya perjanjian yang legally binding (mengikat) tersebut memiliki konsekuensi pada kedaulatan konstitusi kita.

Selain itu dalam bidang ekonomi Indonesia juga telah menandatangani perjanjian investasi Billateral Investment Treaty (BIT) dengan lebih dari 67 negara di dunia. Perjanjian ini menyebabkan investasi asing menjadi sangat berkuasa memiliki kedudukan yang setara dengan negara. Jika negara dianggap tidak melindungi investasi asing atau melakukan hal-hal yang dianggap merugikan perusahaan asing, maka negara dapat digugat ke Arbitrase Internasional

Masuknya rezim internasional dalam konstitusi Indonesia dilakukan melalui pemberian utang, bantuan asing kepada pemerintah. berbagai lembaga keuangan internasional beramai-ramai memberikan utang kepada negara tidak hanya untuk membiayai pemerintahan yang mengabdi pada kepentingan asing, namun juga membiayai amandemen UUD, pembuatan UU dan berbagai peraturan yang berlaku. Hampir seluruh peraturan perundang-undangan yang lahir di era refomasi dibuat atas tekanan asing. UU yang berkaitan dengan sumber daya alam seperti migas, mineral, batubara, energi, kehutanan, pertanian, pendidikan dan kesehatan, seluruhnya adalah kebijakan yang neoliberal dan pro pada modal asing.

Organisasi-organisasi internasional secara terang-terangan ikut campur dan menentukan arah perubahan UU di Indonesia mulai dari Internasional Monetary Fund (IMF) melalui Letter of Intens (LoI), World Bank melalui proyek-proyek perubahan UU dan reformasi kebijakan, serta ADB melalui program-program dalam rangka reformasi kebijakan di Indonesia. Selain itu berbagai organisasi internasional seperti WHO, USAID, JICA, AUSAID, lembaga donor dari Uni Eropa, dll, melakukan intervensi dalam perubahan UU di negara ini, termasuk di dalamnya UU Pertanian, UU energi, perjanjian perdagangan dan UU kesehatan,

IDEOLOGI

Page 126: Free Trade Watch

124

yang berkaitan dengan hajat hidup rakyat banyak. Intervensi asing dalam proses pembuatan konstitusi dan regulasi secara intensif

terjadi pasca reformasi dan menjadi penyebab semakin kuatnya dominasi asing dalam ekonomi dan politik Indonesia. Padahal kedaulatan nasional merupakan strategi dasar dalam mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat.

Jika kita belajar dari sejarah maka dengan mudah kita temukan bahwa dominasi dan eksploitasi modal asing adalah sebab dari kemuduran nasional khususnya dalam ekonomi. Sebagai tanggapan terhadap penjajahan asing tersebut, Bung Karno dalam salah satu pidatonya terhadap sikap imperialisme orthodox Belanda, mengatakan:

“Tiap-tiap apa yang bisa meninggikan produktifitas rakyat Indonesia ia tindas, tiap-tiap nafsu ia padamkan, tiap-tiap kegiatan ia rintang-rintangi, tiap-tiap energi ia bunuh. Sebab tinggi rendahnya upah buruh, dan tinggi rendahnya sewa tanah di suatu masyarakat, ditetapkan oleh tinggi rendahnya produktiviteit daripada masyarakat itu. Di dalam masyarakat kaya, upah adalah tinggi dan adalah sewa mahal, dalam masyarakat melarat, upah rendah dan sewa adalah murah, di dalam masyarakat yang hampir mati kelaparan orang suka bekerja dan menyewakan tanah asal bisa mendapat sesuap nasi penolak bahaya maut”.

Dalam pidato Sukarno tersebut menjelaskan bahwa Imperialisme atau penjajahan asing memposisikan rakyat Indonesia sebagai masyarakat melarat, upah rendah, sewa tanah murah bahkan diobral kepada modal asing. Semua yang besar-besar dipersembahkan ke asing, BUMN diprivatisasi ke asing, kekayaan alam diserahkan ke asing, pertanian dan pasar tembakau, industri nasional juga diserahkan ke asing.

Pada intinya dalam model ekonomi kolonial tersebut semua yang besar diserahkan ke asing. Sementara rakyat kita disuruh hidup kecil-kecil saja, UKM kecil, kios kecil, pedagang bakulan, tetap kecil, tetap cilik, tetap miskin. Maka terjadilah seperti apa yang Bung Karno katakan bahwa akibat imperialisme itu maka jadilah kini :

“Masyarakat Indonesia adalah masyarakat merk kecil, suatu masyarakat merk kromo, suatu masyarakat merek marhaen yang apa-apanya semua kecil”.

Lebih sadis lagi yang sudah kecil-kecil pun hendak dirampas. Lahan pertanian kecil dirampas untuk tambang besar, pasar kecil, dirampas untuk pertokoan dan mall besar, warung kecil, kios kecil, dirampas untuk supermarket besar yang didalamnya dijual produk asing dan barang impor. Pertanian skala kecil, industri skala kecil, dan pasar hendak dirampas dan diserahkan kepada modal asing dan perusahaan-perusahaan multinasional.

Page 127: Free Trade Watch

125Edisi III - Oktober 2012

Harus disadari bahwa kekayaan Indonesia yang melimpah, kesuburan alamnya serta pasar Indonesia yang besar telah memicu kerakusan kaum kapitalis imperialis asing untuk menguasainya dengan cara murah. Dengan menggunakan kaki tangan di dalam negeri yaitu pemerintah, DPR, para intelektual didikan barat, mereka telah membuat berbagai peraturan perundangan, institusi yang mengabdi kepada kepentingan imperialis. Setiap hari para intelektual membangun opini yang menyerang produk-produk yang dihasilkan oleh rakyatnya sendiri bahkan dengan menggunakan argumentasi-argumentasi kesehatan, standar produk, yang hipokrit.

Akibatnya rakyat Indonesia berhadapan dengan dua hal, pertama; kekayaan sumber daya alam yang besar telah menjadi sebab dari semakin intensifnya proses neo kolonialisme dan imperialisme di Indonesia (nekolim), kedua; semakin menyempitnya ruang kehidupan rakyat, petani, nelayan dan kaum marginal lainnya dikarenakan tanah, lahan dan sumber daya alam diatasnya telah berpindah ke tangan korporasi raksasa dan perusahaan multinasional asing.

Para petani tidak dibebaskan lagi untuk menanam tanaman-tanaman yang penting bagi kemajuan produktifitasnya. Berbagai bentuk pelarangan dilancarkan untuk mengakomodir kepentingan modal asing. Para pengambil kebijakan di dalam negeri dan intelektual menghalang-halangi petani untuk menghasilkan pangan dan komoditas penting. Bahkan tanah-tanah petani untuk menanam pangan atau komoditas yang menguntungkan petani diambil alih, dirampas, oleh pemilik modal yang bekerjasama dengan pemerintah.

Padahal semestinya petani berdaulat atas tanah, sebagaimana Bung Karno katakan “ Kaum tani itu wataknya “ngukuhi” tanah garapan --sedumuk batuk senyari bumi-- kaum tani adalah penghasil pangan kita.”

Dalam satu tulisan yang lain, Bung Karno menyatakan bahwa ciri dari ekonomi kolonial adalah ketergantungan dalam banyak hal, termasuk pangan dan sebaliknya yang diutamakan oleh ekonomi kolonial adalah bahan-bahan ekspor, umumnya bahan mentah. Program Dekon menghendaki perombakan ekonomi kolonial itu! Dekon dengan tegas menggariskan bahwa pertanian itu dasar, dan industri itu adalah tulang punggung.

Upaya merebut kembali kedaulatan nasional Indonesia adalah dengan meninggalkan sama sekali sistem ekonomi kolonial tersebut. Namun untuk meraih kembali kedaulatan mutlak harus didukung oleh spirit idiologi dan strategi politik yang benar. Semangat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Pancasila, dan UUD 1945 adalah modal sosial dan konstitusional rakyat Indonesia untuk meraih kedaulatan dan melepaskan diri dari belenggu ketergantungan.

***

Page 128: Free Trade Watch

126

KEGIATAN IGJ

126

Page 129: Free Trade Watch

Penaggung Jawab:Suchjar Effendi

Chief of Editor: Salamuddin Daeng

Reporter: Rika FebrianiRachmi HertantiNirmal Ilham

Kontributor: Program Officer dan Staff IGJ

FinansialReniElsyeErna

TehnikIdris

Alamat RedaksiJl. Tebet Barat Dalam VI L No. 1 A Jakarta SelatanTelp. +62-21 83 00 784www.igj.or.id

Cover:

mengundang anda untuk menuliskan gagasan kritis, kreatif, inovatif dan visioner yang berorientasi pada tema-tema yang membangun wacana keadilan global di tengah masyarakat. Naskah 8-10 halaman kwarto, selayaknya dilengkapi dengan referensi acuan maupun pendukung. Redaksi dapat menyunting naskah tanpa mengubah maksud maupun isi.

Page 130: Free Trade Watch

CENGKERAMANLIBERALISASI PASAR

INFRASTRUKTUR

Free Trade WatchEdisi III - Oktober 2012

Edisi III - O

ktober 2012Fre

e Trad

e W

atch

WO

RLD

BANK - A

DB