Fkk a Systemic Lupus Erythematosus

Embed Size (px)

DESCRIPTION

SLE

Citation preview

FARMAKOTERAPI IISYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)

Oleh :Kathrin Dian Cintika (128114053)Meylisa Mutiara Dewi (128114055)Andika Ratna Intani Sudirman (128114056)Maria Dora Cahya S. (128114059)Graciano Aristides Maturbongs (128114060)I Dewa Ayu Sri Angga Dewi (128114063) Ni Komang Meyla Wulandari (128114064)FKK A 2012

FAKULTAS FARMASIUNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA2015I. DEFINISI

Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum diketahui atau belum jelas penyebabnya, memiliki sebaran gambaran klinis/ manifestasi klinis yang luas serta tampilan perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat beragam. Faktor genetik, imunologik, hormonal dan lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi SLE (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011).SLE merupakan inflamasi kronik yang terjadi akibat penyakit autoimun dimana sistem kekebalan tubuh menyerang jaringan dan organ tubuh itu sendiri. Inflamasi yang disebabkan SLE dapat mempengaruhi organ yang berbeda-beda termasuk sendi, kulit, ginjal, sel darah, otak, jantung, paru-paru dan organ lainnya. SLE cukup sulit untuk didiagnosa karena merupakan penyakit kompleks yang memiliki banyak gejala, sehingga diperlukan upaya pengenalan dini serta penatalaksanaan terapi yang tepat. (American College of Rheumatology, 2015)II. EPIDEMIOLOGIAngka kejadian SLE pada orang dewasa berkisar antara 1,9-5,6 tiap 100.000 penduduk per tahun dengan prevalensi 124 kasus tiap 100.000 penduduk. Penyakit SLE dominan terjadi pada wanita dibandingkan pria dengan rasio 10:1. Perempuan mengalami perburukan gejala selama kehamilan dan dengan periode menstruasi (wanita usia reproduksi). Seseorang yang terdiagnosa SLE biasanya diantara usia 15 dan 45 tahun. Prevalensi SLE lebih besar pada kelompok etnis kulit hitam, Hispanik, penduduk asli Amerika dan Asia dibandingkan pada etnis kulit putih (Dipiro, 2008).Berdasarkan data dari Lupus Foundation of America, jumlah penderita lupus di dunia berkisar lima juta orang yakni ditemukan 14,6 sampai 50,8 per 100.000 orang penduduk terdiagnosa sebagai odapus. Dengan perbandingan odapus perempuan berbanding laki-laki hampir mencapai 90% : 10%. Insiden tahunan SLE di Amerika Serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk, sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk, dengan rasio gender wanita dan laki-laki antara 9-14 : 1 (Bertoli, 2007). Berdasarkan penelitian Pamuk pada tahun 2015 juga meninjau laporan literatur tentang prevalensi dan kejadian SLE selama tiga tahun terakhir. Secara umum prevalensi tertinggi SLE yaitu Amerika Utara yaitu mencapai 200/100.000 penduduk. Insiden yang terjadi juga cukup tinggi yaitu sekitar 7,22-23,2.

(Pamuk et al, 2015)Di wilayah Indonesia belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1,4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 pasien SLE atau 10,5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010. Morbiditas dan mortalitas pasien SLE masih cukup tinggi. Angka kematian pasien dengan SLE hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE berkaitan dengan aktivitas penyakit dan infeksi (termasuk infeksi M.tuberculosis, virus, jamur dan protozoa, sedangkan dalam jangka panjang berkaitan dengan penyakit vaskular aterosklerosis (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011).

III. ETIOLOGI1. Faktor genetik: Seseorang yang memiliki hubungan darah dengan pasien lupus erythematosus memiliki resiko 30 kali mengalami lupus dibanding yang tidak memiliki hubungan darah. Genome Wide Association Studies (GWAS) telah mengkonfirmasi gen-gen penting yang berhubungan dengan respon imun dan inflamasi. STAT4 merupakan gen faktor resiko bagi rheumatoid arthritis dan Lupus Erythematosus, yg berhubungan dengan severe Lupus Erythematosus. Selain itu komponen kunci yang lain adalah TNFAIP3 yang terlibat dalam setidaknya 6 penyakit autoimun, termasuk lupus erythematosus.

2. Efek Epigenetik:Epigenetik merupakan perubahan ekspresi gen disebabkan oleh mekanisme perubahan sekuen DNA base. Epigenetik faktor yang berpengaruh dalam lupus erythematosus adalah metilasi DNA. Mekanisme epigenetik merupakan jembatan yang menghubungkan antara faktor resiko genetik dan faktor lingkungan.

3. Faktor lingkungan:Faktor lingkungan yang dapat memicu lupus erythematosus antara lain sinar ultraviolet dari sinar matahari, obat-obatan, infeksi dan virus endogen atau elemen yang menyerupai virus. Epstein-Barr virus (EBV) diidentifikasi sebagai faktor dalam perkembangan lupus. Sedangkan lebih dari 100 obat dilaporkan menyebabkan drug-induced lupus (DIK). Obat-obatan tersebut dapat mengubah ekspresi gen pada CD4+ sel T dengan menghambat metilasi DNA dan menginduksi ekspresi berlebih antigen LFA-1, yang mempromosi autoreaktivitas.

4. Faktor Hormonal:Estrogen atau prolactin tambahan dapat menyebabkan autoimmune phenotype dengan peningkatan sel B mature high-affinity autoreactive. Kontrasepsi oral berhubungan dengan peningkatan resiko pengembangan Lupus erythematosus.

IV. PATOFISIOLOGI

Pada sistem imun normal, tubuh dapat membedakan antara self dan non-self. Pembentukan antibodi baru terjadi bila ada antigen asing masuk ke dalam tubuh. Antigen yang diproses oleh makrofag akan memberi sinyal/tanda kepada pengatur sel T yang mengontrol aktivitas limfosit T-Helper (Th) dan limfosit T Supresor (Ts), antara kedua jenis sel ini terdapat mekanisme umpan balik. Keseimbangan antara Th dan Ts menentukan teraktivasi atau tidaknya limfosit B untuk membentuk antibodi. Pada penderita penyakit LES dapat ditemukan gangguan sistem imun pada sel B dan sel T, atau pada interaksi antara kedua sel tersebut yang menyebabkan aktivasi sel B poliklonal.1. Aktivasi sel B poliklonal (hiperaktivitas sel B)Pada penderita penyakit LES, sistem imun tubuh kehilangan self-tolerance, akibatnya tubuh membentuk antibodi terhadap sel yang berasal dari dirinya sendiri (autoantigen). Produksi sel Th yang berlebihan atau defisiensi Ts akan menyebabkan aktivasi sel B dan produksi autoantibodi secara berlebihan dan abnormal disertai pembentukan kompleks imun.Kebanyakan autoantibodi langsung menyerang konstituen inti sel, sehingga mereka disebut antinuclear antibodies (ANA). Beberapa ANA begitu penting karena ada tidaknya mereka membantu dalam diagnosis dan evaluasi pada pasien LES. Pasien LES mungkin mempunyai lebih dari satu antigen-spesifik ANA dalam serum dan jaringan. Antibodi-antibodi ini mengarah pada konstituen inti sebagai double-stranded DNA (dsDNA); single-stranded DNA (ssDNA); dan RNA. Empat antigen RNA yang seringkali ada pada pasien LES adalah Smith (Sm) antigen, small buclear ribonucleoprotein (snRNP), Ro (SS-A) antigen, dan La (SS-B) antigen.Penderita penyakit LES dapat mempunyai baraneka macam ANA, antibodi terhadap sitoplasma (myosin dan aktin), organel sel, membrane sel dari berbagai organ tubuh dan makromolekul dalam darah yaitu immunoglobulin (Faktor Reumatoid) dan fosfolipid (antikardiolipin dan antikoagulan lupus), hal tersebut menyebabkan penyakit ini bersifat sistemik. Kerusakan jaringan pada penderita penyakit LES adalah akibat pembentukan kompleks imun yang berlebihan dan penumpukan kompleks imun pada jaringan jaringan yang terkena, sehingga mengakibatkan kerusak sel sel, fiksasi komplemen reaksi inflamasi. Pembentukan kompleks imun dimulai dengan pengikatan antibodi oleh antigen dan membentuk suatu komleks imun. Kompleks imun tersebut kemudian berikatan dengan komplemen, lalu masuk ke dalam sirkulasi darah, selanjutnya akan terikat pada eritrosit. Pada keadaan normal kompleks imun tersebut akan difagosit dan dibersihkan oleh sel sel fagosit monunuklear. Pada keadaan kompleks imun yang berlebihan, jumlah sel sel fagosit tersebut tidak cukup cepat untuk memfagosit dan membersihkan komleks, sehingga terjdi penimbunan di jaringan yang terkena. Timbunan kompleks imun tersebut menuju ke tempat tempat terjadinya proses inflamasi. Sel inflamasi yang berimigrasi atas pengaruh faktor kemoktaktik akan merusak dinding pembuluh darah, sehingga terjadi iskemia dan nekrosis. Mekanisme ini terjadi pada oral ulcer dan infark organ tubuh.

Gambar 1. Patofisiologi Lupus Eritematosus SistemikFaktor lingkungan seperti infeksi organisme, obat, dan bahan kimia, menjadi agen pemicu baik secara genetik dan hormonal pada individu yang rentan untuk menginduksi disregulasi imun. Respon imun yang abnormal menyebabkan limfosit T-helper tipe 2 dan fungsi B-limfosit menjadi hiperaktif. fungsi T-limfosit suppressor, produksi sitokin, mekanisme kerusakan klirens, dan mekanisme pengaturan kekebalan tubuh lainnya juga menjadi tidak normal dan gagal untuk downregulate pembentukan autoantibodi dari limfosit B hiperaktif. Autoantibodi yang dibentuk dari disregulasi imun menjadi patogen, membentuk kompleks imun, dan mengaktifkan komplemen yang mengarah ke kerusakan jaringan. (Dipiro, 2008).2. Gangguan sel TPada peyakit LES di samping terjadi hiperreaktivitas sel B, juga ditemukan gangguan pada sel T. terdapat 2 jenis gangguan sel T : a. Hiperaktivitas sel Th (CD4+) yang meningkatkan proliferasi dan aktivasi sel B dan atau sel Tc (CD8+).b. Supresi sel Ts (CD8-) sehingga aktivitas sel B dan sel T berlebihan.

3. Gangguan sel sistem fagosit-makrofag Di samping supresi sel Ts, pada penderita penyakit LES juga ditemukan penurunan fungsi fagosit sel monosit dan sel NK. Gangguan fungsi monosit-makrofag menghambat eliminasi kompleks imun dari sirkulasi dan penurunan aktivitas sel T oleh makrofag. Penurunan fungsi sel NK diduga berhubungan dengan peningkatan frekuensi infeksi virus dan keganasan limforetikuler pada penderita penyakit LES.

4. Gangguan produksi sitokin dan respons terhadap sitokinPada penderita penyakit LES, fungsi CD8+ sel T terganggu akibat sekresi IL-6 terhambat dan sekresi IL-12 meningkat. Pada penderita penyakit LES terjadi gangguan keseimbangan sitokin, yaitu antara inhibitor (IL-6) dan stimulator (IL-12), yang berpengaruh pada fungsi CD8+ sel T. Pada umumnya sasaran antibodi adalah komponen komponen inti sel, oleh karena itu disebut antinuclear antibody alat abntu diagnosis dan evaluasi klinik penderita penyakit LES. Penderita penyakit LES biasanya mempunyai lebih dari satu macam ANA dalam serum dan jaringannya. ANA yang merusak komponen komponen inti yaitu double-stranded-DNA (ds-DNA), single-stranded-DNA (ss-DNA) dan RNA. Terdapat 4 antigen RNA inti yang sering dijumpai pada penderita penyakit LES, yaitu antigen Smith (Sm), Ribonucleoprotein (RNP), Ro/SS-A (SS= Sindrom Sjogren) dan La/SS-B. dari sekian jenis ANA dalam serum penderita penyakit LES yaitu anti-dsDNA dan anti-Sm.

V. PRESENTASI KLINIS (SIMPTOM/SIGN/DIAGNOSIS/TES)Mucocutaneous featuresa. Acute rashes-malar rash (ruam-ruam malar akut) atau sering disebut ruam kupu-kupu, pada umumnya terjadi karena paparan sinar matahari (figure 4). Ruam ini terjadi berhari-hari hingga berminggu-minggu dan pada umumnya disertai inflamasi lain.

b. Subacute rashes (ruam subakut) Subacute cutaneous lupus erythematosus (SCLE). Pasien dengan SCLE juga dapat disertai dengan lesi kulit psoriasis, hal ini berhubungan erat dengan antibody anti-Ro (SS-A) dan anti-La (SS-B). Pasien SCLE memiliki tingkat fotosensitivitas yang tinggi disertai (walaupun jarang) erythrema multiform-like lesion (Rowells syndrome). Lesi SCLE dimulai dari lesi kecil erythematous, papul bersisik yang kemudian berkembang menjadi psoriasiform (papulosquamous) atau bentuk annular (figure 5).

c. Chronic rashes, Discoid Lupus Erythematosus (DLE), lesi ini terbentuk pada 25% pasien Lupus erythematosus. Seringnya terlihat pada muka, leher, kulit kepala, namun dapat juga terjadi pada telinga (figure 6)

d. Other rashes (figure 7), Lupus profundus terlihat sebagai lesi nodular yang keras dengan atau tanpa lesi cutaneous diatasnya. Biasanya terjadi pada bagian kulit kepala, lengan, dada, punggung, paha, dan pantat. Lupus tumidus, rare variation, ditandai dengan lesi photodistributed dengan plak keras berwarna merah muda kronis atau lesi luar yang lama untuk sembuh.

e. Alopecia, kejadian rambut rontok yang parah- terjadi pada kebanyakan pasien lupus. Lupus hair merupakan rambut tipis yang rapuh atau mudah patah.

f. Photosensitivity, pengembangan ruam akibat paparan radiasi UV B dari sinar matahari atau lampu fluorescent. Terjadi pada 60-100% pasien lupus. Beberapa pasien juga sensitive terhadap radiasi UV A (bola lampu).

g. Membran mukus, terdapat plak putih, lesi berwarna putih-keperakan pada mukosa buccal.

Gejala lain: Nyeri atau bengkak pada sendi dan nyeri otot Nyeri pada dada Jari tangan dan kaki berwarna ungu atau pucat (Raynauds phenomenon) Pembengkakan pada kelenjar Merasa sangat kelelahan Mouth ulcer

DIAGNOSIS SLEBatasan operasional diagnosis SLE yang dipakai dalam rekomendasi ini diartikan sebagai terpenuhinya minimum kriteria (definitif) atau banyak kriteria terpenuhi (klasik) yang mengacu pada kriteria dari the American College of Rheumatology (ACR) revisi tahun 1997. Namun, mengingat dinamisnya keluhan dan tanda SLE dan pada kondisi tertentu seperti lupus nefritis, neuropskiatrik lupus (NPSLE), maka dapat saja kriteria tersebut belum terpenuhi. Terkait dengan dinamisnya perjalanan penyakit SLE, maka diagnosis dini tidaklah mudah ditegakkan. SLE pada tahap awal, seringkali bermanifestasi sebagai penyakit lain misalnya artritis reumatoid, gelomerulonefritis, anemia, dermatitis dan sebagainya. Ketepatan diagnosis dan pengenalan dini penyakit SLE menjadi penting.

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitifitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, sehingga observasi jangka panjang sangat diperlukan.

Penyakit SLE dapat dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam nyawa.a. Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah :1. Secara klinis tenang2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit. Contoh SLE dengan manifestasi arthritis dan kulit.b. Penyakit SLE dengan tingkat keparahan sedang :1. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)2. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)3. Serositis mayorc. Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan : 1. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis, tamponade jantung, hipertensi maligna.2. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru, infark paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.3. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.4. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.5. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).6. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi.7. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit 30tahun, bone marrow suppression. Di Eropa penggunaan prednisolone oral dengan azathioprine lebih dipilih untuk active renal lupus ringan sampai sedang, sedangkan cyclophosphamide untuk severe renal involvement.Azathioprine dapat digunakan sebagai steroid sparing agent pada pasien yang menurunkan dosis prednisolone. Untuk orang desawa dosis awal digunakan 50 mg/hari dan meningkat 25 mg/minggu dan untuk maintenance 23 mg/kg/hari. Pemantauan kadar obat dalam darah dilakukan setiap minggu selama 6 minggu atau sampai dosis stabil. Methotrexate merupakan steroid sparing agent pada pasien SLE. Mycophenolate mofetil merupakan agen imunosupresif yang relative baru yang sedang dikembangkan untuk pengobatan severe lupus nephritis refractory untuk agen sitotoksik lain. Terapi masa kehamilanLupus dapat juga dialami oleh wanita dalam keadaan laktasi maupun dalam masa kehamilan. Terapi yang dapat diberikan pada wanita hamil dan menyusui adalah Azathioprine dan hydroxychloroquine (dosis maksimal 6,5 mg/kg BB per hari) (Reynolds, 2013).

(Ioannou, Y., Isenberg, D. A., 2002)

Terapi Non Farmakologi1. Tabir surya dengan protection factor 25 atau lebih: untuk menghindari dari paparan radiasi ultraviolet. Paparan ultraviolet yang berlebih dapat menyebabkan photo sensitive rash.2. Menghindari stress dan istirahat cukup.3. Berhenti merokok: pasien SLE memiliki angka kejadian kematian dini yang tinggi terkait dengan penyakit artherosklerosis.4. Pencegahan osteoporosis (konsumsi vitamin D).5. Konsumsi lemak tak jenuh dan minyak ikan.

DAFTAR PUSTAKAAnonim, 2015, Handout on Health: Systemic Lupus Erythematosus, http://www.niams.nih.gov/Health_Info/Lupus/default.asp#Lupus, diakses pada: 29 September 2015. American College of Rheumatology, 2015, http://www.rheumatology.org/I-Am-A/Patient-Caregiver/Diseases-Conditions/Lupus, diakses pada tanggal 4 Oktober 2015.Bertoli AM, Alarcon GS. Epidemiology of Systemic Lupus Erythematosus. In: Tsokos GC, Gordon C, Smolen JS. A companion to rheumatology Systemic lupus erythematosus. Philadelphia. Mosby 2007:1-18

Bertsias, G., Cervera, R., Boumpas, D. T., 2015, Systemic Lupus Erythematosus: Pathogenesis and Clinical Features, http://www.eular.org/myUploadData/files/sample%20chapter20_mod%2017.pdf, diakses pada: 29 September 2015.Dipiro, J.,T., dkk, 2008, Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, Seven Edition, United States, The McGraw-Hill Companies, pp. 1431.

Ioannou, Y., Isenberg, D. A., 2002, Current Concepts for The Management of Systemic Lupus Erythematosus in Adult: a Therapeutic Challenge, (78): 600-603.

Pamuk ON, Balci MA, Donmez S, Tsokos GC, 2015, The Incidence and Prevalence of Systemic Lupus Erythematosus in Thrace, 2003-2014: A 12-year Epidemiological Study, Lupus (2015) 1-8.

Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011, Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik, ISBN 978-979-3730-16-5.

Reynolds, J.,A., 2013, Overview of the management of systemic lupus erythematosus, seventh edition, Arthritis Research UK, pp.4-5.

Xiong, W. and Lahita, R. G., 2013, Pragmatic Approaches to Therapy for Systemic Lupus Erythematosus, (10): 157.

8