9
Film Theory and Contemporary Hollywood Movies Editor: Warren Buckland Part One: New Practices and New Aesthetics Perkembangan industri media sejak tahun 1990-an: - Adanya merger dan akuisisi secara besar-besaran, sehingga kini mayoritas industri media di Amerika Serikat hanya dikontrol oleh setengah lusin media superpower - Integrasi dari industri film, tv, dan hiburan menjadi sistem yang lebih koheren - Kesuksesan DVD yang turut menyumbang pendapatan bagi konglomerat media sekaligus mengubah teknologi hiburan secara umum - Pasar film dan tv global tidak hanya terpengaruh oleh produksi Hollywood, tapi juga oleh media lokal - Kemunculan franchise film-film blockbuster yang bertujuan untuk memenuhi keinginan para konglomerat media - Dll Hal-hal tersebut mengubah industri media sekaligus industri perfilman di Hollywood, dimana konglomerasi media dikuasai oleh Big Six, enam perusahaan media terbesar, yaitu: Time Warner, Disney, News Corp, NBC Universal, Viacom CBS, dan Sony.

Film Theory and Contemporary Hollywood Movies Review

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Film Theory and Contemporary Hollywood Movies review

Citation preview

Film Theory and Contemporary Hollywood MoviesEditor: Warren Buckland

Part One: New Practices and New AestheticsPerkembangan industri media sejak tahun 1990-an: Adanya merger dan akuisisi secara besar-besaran, sehingga kini mayoritas industri media di Amerika Serikat hanya dikontrol oleh setengah lusin media superpower Integrasi dari industri film, tv, dan hiburan menjadi sistem yang lebih koheren Kesuksesan DVD yang turut menyumbang pendapatan bagi konglomerat media sekaligus mengubah teknologi hiburan secara umum Pasar film dan tv global tidak hanya terpengaruh oleh produksi Hollywood, tapi juga oleh media lokal Kemunculan franchise film-film blockbuster yang bertujuan untuk memenuhi keinginan para konglomerat media Dll Hal-hal tersebut mengubah industri media sekaligus industri perfilman di Hollywood, dimana konglomerasi media dikuasai oleh Big Six, enam perusahaan media terbesar, yaitu: Time Warner, Disney, News Corp, NBC Universal, Viacom CBS, dan Sony. Pembuatan film di Hollywood pada era 2000-an terbagi atas tiga sektor industri yang menyasar tiga kelas yang berbeda, yakni: Tingkat paling atas: dikuasai oleh enam studio besar Hollywood (Warner Bros., Disney, Paramount, 20th Century Fox, Universal, Columbia). Ciri khasnya adalah seri blockbuster berbudget tinggi (sekitar $100 - $250 juta dollar) yang ditujukan untuk pasar global. Di tingkat ini, enam studio besar tersebut beroperasi secara sinergis dengan perusahaan induknya masing-masing. Tingkat menengah: dikuasai oleh cabang dari konglomerat media, contohnya cabang khusus seperti Fox Searchlight, Focus Features, Sony Pictures Classics. Film yang diproduksi rata-rata berbudget $30 - $50 juta dan ditujukan untuk pasar yang lebih khusus. Tingkat bawah: termasuk di dalamnya, produser dan distributor independen. Film yang diproduksi rata-rata berbudget $5 - $10 juta (seringkali kurang dari itu), dan hanya ditonton oleh sebagian kecil audiens, mengingat besarnya kompetisi dengan film produksi cabang-cabang konglomerat media. Namun dewasa ini, studio indie juga mampu bersaing dengan studio besar. Hal ini ditunjukkan dengan produksi feature film besar oleh New Line Cinema (trilogi Lord of the Rings), studio kecil yang kemudian menjadi bagian dari Time Warner, kemudian bergabung dengan Warner Bros. di tahun 2008. Terlepas dari ancaman dan ketegangan fundamental antara Hollywood dan Indiewood, para konglomerat media tidak akan membuang begitu saja cabang indie-nya. Hal ini terutama karena Hollywood selalu butuh talenta dan ide-ide baru, yang pada dasarnya lebih mungkin didapatkan dari studio indie ketimbang studio besar. Selain itu, sektor film indie juga punya potensi untuk dirasionalkan secara komersil dan estetiksetidaknya cabang milik konglomerat besar. Oleh karena itu, tiga model sektor industri Hollywood dapat dikatakan sedang berada di ambang perubahan radikal. Terdapat beberapa tipe film secara umum, antara lain: Classic: menguasai Hollywood di era 1920-an hingga 1960-an. Mempunyai ciri khas kamera yang terkunci di beberapa titik. Contoh: Kingdom of Heaven, Jaws, seri Godfather. Baroque: mengambil unsur-unsur classic dan menerapkannya secara hiperbolis, mewah, serta kompleks. Contoh: Moulin Rouge!, Mad Max: Beyond Thunderdorne Neo-baroque: memiliki lima karakteristik utama, yakni: Berformat serial (termasuk film original dan remake yang memiliki hubungan) Labirin intertekstual Navigasi hipertekstual sebagai bentuk keterlibatan narasi Pertunjukan besar Peran teknologi yang begitu besar Contoh: Armageddon, Desperado, DaredevilDengan kemajuan teknologi, dapat dikatakan bahwa sinema telah beranjak menuju era posthumanism. Posthumanism dalam hal ini tidak merujuk kepada kisah punahnya ras manusia di film-film, namun lebih kepada kategori sinema yang tidak menampilkan manusia sebagai karakter utamanya, atau bahkan menempatkan manusia pada level yang sama dengan ras lain. Posthumanist cinema juga dapat dibilang merujuk pada kisah dimana manusia dapat melampaui batas-batas fisik. Contoh paling mudah antara lain: Star Wars (1977-2005), trilogy Lord of the Rings (2001-2003), serta film-film superhero seperti Spider-Man (2002-2007), Hulk (2003).Dengan menampilkan ras manusia sebagai spesies lain alih-alih spesies istimewa, film-film tersebut dapat dikategorikan sebagai posthumanist, sebab mereka mendegradasi posisi spesial manusia di jagat raya ini. Edward Branigan seperti dilansir di buku ini juga mengatakan bahwa dewasa ini, kamera dapat mengambil posisi-posisi sulit yang makin melanggengkan ideologi posthumanist. Gilles Deleuze berargumen bahwa kekuatan film terletak pada hubungan yang kuat antara proses sinematik dan persepsi pikiran. Seperti film, game digital juga berbasis layar dan menggunakan banyak fitur-fitur sinematik. Hal ini menjadi dasar dari meningkatnya jumlah film dan game yang saling dikaitkan (tie-in). Game, meski sederhana, mampu membawa pemainnya ke dimensi lain, yaitu dimensi yang barangkali tidak dapat dinikmati oleh pemain tersebut ketika menonton filmnya.Tiga kriteria paling rasional dan objektif untuk mengevaluasi nilai estetika film (diurutkan sesuai tingkat yang paling penting):1. Orisinalitas2. Dampak yang ditimbulkan3. Kesuksesan dalam menyampaikan maksud pembuatnyaAdapun menilai ciri khas film-film pada suatu dekade atau tahun dapat dilakukan dengan cara melihat aspek-aspek sebagai berikut: lama rata-rata suatu gambar, persentase gambar Point of View, persentase gambar Insert dari sampel, jenis gerakan kamera, jenis shots. Part Two: Feminism, Philosophy, and Queer TheoryDi masa lalu, sumber inspirasi Hollywood hanyalah dari film-film Eropa. Dalam beberapa hal, meski film Amerika terinspirasi oleh Eropa, ide-ide Eropa didaur ulang menjadi lebih Amerika dan diimpor kembali ke bioskop-bioskop Eropa. Di masa kini, dengan pergerakan globalisasi, mulai muncul elemen ketiga yang meramaikan layar transkultural, yaitu film Asia. Hal ini diperlihatkan dari film Hollywood yang mulai memasukkan unsur Asia dalam kisahnya, seperti film Kill Bill vol. 1 & 2 besutan Quentin Tarantino (2003, 2004).Film-film transkultural memberikan gambaran yang relatif baru tentang femininitas. Contohnya dalam fabula[footnoteRef:2] film Kill Bill, femininitas digambarkan sebagai hal yang berseberangan dengan semesta simbolik Jacques Lacan tentang Peran-seorang-Ayah (Law of the Father). Menurut Lacan, seorang ayah atau patriakh adalah signifier penentu dalam sejarah dan hal-hal simbolis lain yang lebih besar. Namun dalam femininitas yang ditunjukkan lewat fabula film Kill Bill, Peran-seorang-Ayah hanya dilihat sebagai satu kemungkinan dan bukan norma mutlak. Dalam film-film sejenis ini, perempuan dipandang sebagai subyek dan signifier alternatif, selain signifier paternal seperti yang dahulu banyak tampil di layar sinemayang berarti menempatkan perempuan sejajar dengan pria. [2: Urutan kronologis suatu cerita]

Dua puluh tahun terakhir ini, film-film bertema LGBT (lesbian, gay, bisexual, transgender) menjadi populer di kalangan pembuat film independen, termasuk yang disebut New Queer Cinema. Berkaitan dengan ini, muncul pula teori yang dicetuskan oleh Judith Butler, yaitu Queer Theory. Secara luas, Queer Theory berargumen bahwa ada bagian yang tumpang tindih antara semua jenis seksualitas manusia dengan kata-kata, tindakan, dan gambaran yang kita gunakan untuk mendeskripsikannya. Oleh karena itu, teori ini bertujuan untuk mengkaji konstruksi sosial dari seksualitas manusiasemua seksualitas, tidak terbatas hanya pada aktivitas heteroseks.Queer Theory mulai diaplikasikan ke studi film di akhir 1980-an hingga 1990-an, mengkritik definisi kita tentang homoseksual, heteroseksual, hingga transvestite. Pada awal era 1990-an, New Queer Cinema, kumpulan pembuat film indie yang berasal dari Amerika Utara dan Eropa Barat membuat film-film yang menggunakan Queer Theory sebagai prinsip utama. Film-film tersebut lebih terbuka secara politik disbanding kebanyakan film indie gay dan lesbian sebelumnya. Mereka cenderung menembus batas-batas formal, menyeberangi berbagai gaya dan genre, dan hampir selalu menekankan pada model konstruksi sosial identitas. Adapun beberapa contoh film mereka adalah Tongues Untied (Marlon Riggs, 1989), Looking for Langston (Isaac Julien, 1989), dan Paris is Burning (Jennie Livingston, 1990).Pada era 1980-an, filsuf Perancis Gilles Deleuze menulis dua buku tentang sinema yakni Cinema 1: The Movement Image (1983) dan Cinema 2: The Time-Image (1985). Bagi beberapa pakar perfilman Anglo-Amerika, karya-karya Deleuze dipandang terlalu berat, rumit, dan kadangkala dikritik tidak dapat dimengerti, terlalu fokus pada auteur cinema[footnoteRef:3], dan hanya dapat diterapkan pada film seni Eropa. [3: Film yang fokus pada visi personal sutradara]

Argumen Deleuze tentang gerakan-gambar (movement-image) di Cinema 1 menelaah sejumlah gerakan-gambar dalam film-film Eropa, sebelum mengakhirinya dengan telaah tentang film Hollywood. Gerakan-gambar yang sama dapat ditemukan pada sejumlah narasi film klasik Hollywood. Adapun karakteristiknya adalah sang tokoh utama melakukan tindakan untuk mempengaruhi situasi dimana dia berada, seringkali untuk menguntungkan dirinya. Pada pola ini, jalannya waktu linear (penjahat dikalahkan, dunia diselamatkan, sepasang kekasih kembali bersama), sesuai dengan logika naratif di dunia nyata. Sementara itu dalam Cinema 2, Deleuze membedakan protagonis dalam kedua tipe sinema sebagai pelaku dalam gerakan-gambar, dan pemirsa dalam waktu-gambar (time-image). Dalam tipe waktu-gambar, kita fokus pada waktu alih-alih pada gambar atau jalan cerita seperti pada jenis film gerakan-gambar. Contohnya adalah ketika kamera merekam sebuah pemandangan tanpa karakter yang bergerak untuk mengalihkan perhatian pemirsa. Hal ini memungkinkan kita benar-benar memaknai jalannya waktu. Contoh lain adalah saat waktu digambarkan sebagai labirin dan cenderung membengkokkan kebenaran. Ini terutama dapat dilihat dalam film Lanne dernire Marienbad (1961) dan Eternal Sunshine of the Spotless Mind (2004), dimana pemirsa belum tentu dapat merekonstruksi timeline pada film dengan mudah.

Part 3: Rethinking Affects, Narration, Fantasy, and RealismCognitive film theory fokus mempelajari interaksi antara pemirsa dengan film melalui dua hal, yaitu: persepsi tentang film dan pemahaman naratif. Dalam mengkaji persepsi, teori ini bertanya bagaimana pemirsa memaknai gambar bergerak dan mengajukan hipotesis terkait dengan temuan dalam ilmu kognitif dan filosofi. Sementara itu, dalam mengkaji pemahaman naratif pemirsa, kita dapat meneliti aktivitas mental yang dilakukan pemirsa dalam memahami alur cerita dan karakter dalam suatu film. Ketika menonton sebuah film, pemirsa tidak hanya merasakan emosi, namun juga menuai dampak dari film tersebut (seperti suasana hati, peniruan secara afektif, penularan, respon otonom, dll). Salah satu prinsip fundamental dalam teori film adalah realisme bersyarat (conditional realism) dalam respon pemirsa, yaitu menerima suatu situasi dengan syarat tertentu. Kata realisme disini berangkat dari premis bahwa pemirsa memiliki emosi dan menuai dampak dari film. Prinsip ini mengatakan bahwa seseorang merespon peristiwa fiksi dalam film sesuai dengan respon yang akan dia lakukan jika peristiwa itu terjadi di dunia nyata.