Upload
buikhue
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KARAKTERISTIK BAKSO IKAN BELOSO (Saurida tumbil)YANG DISUBSTITUSI JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus ostreatus)
(Skripsi)
Oleh
RIA APRIANI
FAKULTAS PERTANIANUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2018
ABSTRACT
CHARACTERISTICS OF BELOSO FISH MEATBALL (Saurida tumbil)SUBSTITUTED BY WHITE OYSTER MUSHROOMS
(Pleurotus ostreatus)
By
RIA APRIANI
The aimed of the research was to obtain the concentration of white oyster
mushrooms substituted in beloso fish meatballs making process with chemical and
sensory properties according to SNI 7266: 2014. The research arranged in a
Complete Randomized Block Design (CRBD) with six treatments and four
replications. Comparative treatment of beloso fish and white oyster mushroom
consists of six levels, namely J1 (100%: 0%); J2 (90%: 10%); J3 (80%: 20%); J4
(70%: 30%); J5 (60%: 40%); and J6 (50%: 50%). The data obtained were
analyzed for the similarity of variance with the Bartlett test and the addition of the
data tested by the Tuckey test, then the data were analyzed by variance to
determine the effect between treatments. If there is a significant effect, the data is
further analyzed by the Smallest Significant Difference Test (LSD) at the level of
5%. The results showed that beloso fish meatballs were the best substitutes for
white oyster mushrooms were J3 treatments (80% beloso fish and 20% white
ii
oyster mushrooms). The best treatment of beloso fish meatballs (J3) produce
water content 74,71%, ash content 1,6%, protein content 11,45%, water holding
capacity 58,43%, and fiber content 0,3%, color with a score of 3,78 (whitey),
aroma with a score of 3,88 (specific fish aroma), taste with a score of 3,54
(specific fish taste), texture with a score of 3,68 (springy), and overall acceptance
with a score of 3,75 (likes) . The ash content and protein content of best fish
meatballs substituted by white oyster mushrooms had qualified the Indonesian
National Standard of fish meatballs (SNI 7266: 2014), but water content of the
best fish meatballs substituted by white oyster mushrooms have not qualified the
Indonesian National Standard of fish meatballs (SNI 7266: 2014).
Keywords: beloso fish, meatballs, substitution, white oyster mushrooms
ABSTRAK
KARAKTERISTIK BAKSO IKAN BELOSO (Saurida tumbil)YANG DISUBSTITUSI JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus ostreatus)
Oleh
RIA APRIANI
Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan konsentrasi jamur tiram putih yang
disubstitusi dalam pembuatan bakso ikan beloso dengan sifat kimia dan sensori
sesuai SNI 7266:2014. Penelitian ini disusun dalam Rancangan Acak Kelompok
Lengkap (RAKL) dengan enam perlakuan dan empat ulangan. Perlakuan
perbandingan daging ikan beloso dan jamur tiram putih terdiri dari enam taraf
yaitu J1 (100% : 0%); J2 (90% : 10%); J3 (80% : 20%); J4 (70% : 30%); J5 (60%
: 40%); dan J6 (50% : 50%). Data yang diperoleh dianalisis kesamaan ragamnya
dengan uji Bartlett dan kemenambahan data diuji dengan uji Tuckey, selanjutnya
data dianalisis sidik ragam untuk mengetahui pengaruh antar perlakuan. Apabila
terdapat pengaruh yang nyata, data dianalisis lebih lanjut dengan Uji Beda Nyata
Terkecil (BNT) pada taraf 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bakso ikan
beloso substitusi jamur tiram putih terbaik adalah perlakuan J3 (80% ikan beloso
dan 20% jamur tiram putih). Bakso ikan beloso perlakuan terbaik (J3)
iv
menghasilkan kadar air 74,71%, kadar abu 1,96%, kadar protein 11,45%, daya
mengikat air 58,43%, dan kadar serat 0,3%, warna dengan skor 3,78 (agak putih),
aroma dengan skor 3,88 (khas ikan), rasa dengan skor 3,54 (khas ikan), tekstur
dengan skor 3,68 (kenyal), dan penerimaan keseluruhan dengan skor 3,75 (suka).
Kadar abu dan kadar protein bakso ikan substitusi jamur tiram putih terbaik telah
memenuhi Standar Nasional Indonesia bakso ikan (SNI 7266 : 2014), namun
kadar air bakso ikan substitusi jamur tiram putih terbaik belum memenuhi Standar
Nasional Indonesia bakso ikan (SNI 7266 : 2014).
Kata kunci: bakso, ikan beloso, jamur tiram putih, substitusi
KARAKTERISTIK BAKSO IKAN BELOSO (Saurida tumbil)YANG DISUBSTITUSI JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus ostreatus)
Oleh
RIA APRIANI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai GelarSARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada
Jurusan Teknologi Hasil PertanianFakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIANUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2018
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Dusun Dam C, Desa Wiyono, Kecamatan Gedongtataan,
Kabupaten Pesawaran pada tanggal 28 April 1994 sebagai anak ke tujuh dari tujuh
bersaudara dari pasangan Bapak Marjuki dan Ibu Sukani. Penulis mengawali
pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 4 Wiyono yang selesai pada tahun 2006.
Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 1
Gedongtataan dan lulus pada tahun 2009, kemudian penulis melanjutkan
pendidikan ke SMA Negeri 1 Gedongtataan dan lulus tahun 2012. Penulis
diterima sebagai mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian
Universitas Lampung pada tahun 2014 melalui jalur tes tertulis Seleksi Bersama
Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN).
Selama kuliah, penulis merupakan mahasiswa penerima beasiswa Bidik Misi.
Pada bulan Januari-Februari 2017, penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata
(KKN) di Desa Kalisari, Kecamatan Kalirejo, Kabupaten Lampung Tengah
dengan tema “Pemberdayaan Kampung Berbasis Informasi dan Teknologi”. Pada
bulan Juli-Agustus 2017, penulis melaksanakan Praktik Umum (PU) di PT.
Nusantara Tropical Farm, Labuhan Ratu, Lampung Timur, dan menyelesaikan
laporan PU yang berjudul “Mempelajari Proses Produksi dan Pengendalian Mutu
x
Bahan Baku Fresh Pineapple di Packing House Nanas Pt. Nusantara Tropical
Farm”.
Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah bergabung dalam Forum Ilmiah
Mahasiswa Fakultas Pertanian sebagai Tutor Jurusan Teknologi Hasil Pertanian
pada tahun 2015. Penulis pernah menjadi Asisten Dosen mata kuliah Teknologi
Serealia dan Palawija pada tahun 2017, Teknologi Pati dan Gula pada tahun 2018,
dan Evaluasi Gizi dalam Pengolahan pada tahun 2018. Penulis juga pernah aktif
di UKMF FOSI FP sebagai anggota Bidang Media Center Fosi pada periode
2014-2015. Penulis juga pernah aktif di UKM Koperasi Mahasiswa Universitas
Lampung (KOPMA UNILA) pada tahun 2014-2015. Selain aktif di berbagai
kegiatan dan organisasi, penulis juga pernah mendapatkan dana hibah dari
penulisan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang diadakan oleh Dikti pada
tahun 2017 dengan judul “Suplementasi Tepung Tempe dan Tepung Jamur Tiram
Putih dalam Pembuatan Biskuit sebagai Pangan Alternatif Balita Gizi Kurang”.
SANWACANA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Pada
penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, bimbingan, dan
dorongan baik itu langsung maupun tidak langsung dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.Si., selaku Dekan Fakultas
Pertanian Universitas Lampung.
2. Ibu Ir. Susilawati, M.Si., selaku Ketua Jurusan Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas Pertanian Universitas Lampung sekaligus selaku pembahas yang
telah memberikan bantuan, saran, kritik, dan masukan yang membangun
untuk penulisan skripsi ini.
3. Ibu Dr. Ir. Sussi Astuti, M.Si., selaku dosen pembimbing pertama dan dosen
pembimbing akademik yang telah banyak memberikan bantuan dan
pengarahan, bimbingan, kritik, saran, nasihat, dan motivasi selama
pelaksanaan perkuliahan, serta bantuan dana untuk penelitian dari pengabdian
Dipa Senior 2018 hingga penyusunan skripsi ini selesai.
4. Bapak Dr. Ir. Suharyono, AS, M.S., selaku pembimbing kedua yang telah
banyak memberikan banyak bantuan, bimbingan, motivasi, pengarahan,
saran, nasihat dan kritikan dalam penyusunan skripsi ini.
xii
5. Kedua orang tuaku tercinta Bapak dan Mamak, Kakak-kakakku tersayang,
serta keluarga besarku yang telah banyak memberikan kasih sayang,
dukungan moral, spiritual, material, motivasi, dan do’a yang selalu menyertai
penulis selama ini.
6. Segenap Bapak dan Ibu dosen serta staf administrasi dan laboratorium yang
telah memberikan banyak ilmu pengetahuan, wawasan, dan bantuan kepada
penulis selama menjadi mahasiswi di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian,
Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.
7. Sahabat-sahabat perkuliahan terbaik Eza Susanti, Indah Purnama sari,
Merliyanisa, Raisa Amalia, Dwi Nurtiningsih, Desti Silviana, Lailly
Istiqomah, Dieffa Sasi Agustin, Mukaromah Eka Nurlita, dan Untung Baruna
yang telah memberi dukungan, saran, dan semangat kepada penulis.
8. Keluarga THP angkatan 2014 serta teman-teman seperjuangan saat penelitian,
terima kasih atas segala bantuan, semangat, dukungan, dan kebersamaannya
selama ini.
9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis sangat menyadari skripsi ini jauh dari kata sempurna, oleh sebab itu
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Penulis berharap
semoga Allah SWT membalas kebaikan bagi pihak-pihak tersebut dan semoga
skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan bagi pembaca.
Bandar Lampung, 18 Desember 2018Penulis
Ria Apriani
xiii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................... xviii
I. PENDAHULUAN .............................................................................. 11.1. Latar Belakang............................................................................ 11.2. Tujuan Penelitian........................................................................ 41.3. Kerangka Pemikiran ................................................................... 41.4. Hipotesis .................................................................................... 6
II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 72.1. IkanBeloso(Saurida tumbil)........................................................ 72.2. Protein Ikan ............................................................................... 9
2.2.1. Sarkoplasma ................................................................... 102.2.2. Protein Miofibrilar ......................................................... 12
2.2.2.1. Miosin .............................................................. 122.2.2.2. Aktin ................................................................ 13
2.2.3. Stroma ............................................................................ 142.3. Pembentukan Gel/Gelasi (Gelation) Protein .............................. 152.4. Emulsi Daging Ikan ................................................................... 182.5. Daya Mengikat Air (DMA) ....................................................... 202.6. Bakso Ikan .................................................................................. 21
2.6.1. Definisi Bakso Ikan ........................................................ 212.6.2. Bahan-bahan dalam Pembuatan Bakso dan Fungsinya . 22
2.6.2.1. Daging Ikan ..................................................... 222.6.2.2. Bahan Pengisi .................................................. 232.6.2.3. Bumbu-Bumbu ................................................ 242.6.2.4. Es atau Air Es .................................................. 25
2.6.3. Cara Pembuatan Bakso Ikan........................................... 252.6.4. Standar Mutu Bakso Ikan ............................................... 28
2.7. Jamur Tiram Putih ...................................................................... 292.7.1. Pengertian dan Klasifikasi Jamur Tiram Putih .............. 292.7.2. Kandungan Gizi Jamur Tiram Putih .............................. 30
III. BAHAN DAN METODE................................................................... 343.1. Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................... 343.2. Bahan dan Alat............................................................................. 34
xiv
3.3. Metode Penelitian ....................................................................... 353.4. Pelaksanaan Penelitian ............................................................... 35
3.4.1. Persiapan Jamur Tiram 353.4.2. Pembuatan Bakso 36
3.5. Pengamatan 393.5.1. Kadar Air 393.5.2. Kadar Abu 403.5.3. Kadar Protein 403.5.4. Daya Mengikat Air (DMA) 423.5.5. Kadar Serat Kasar 423.5.6. Uji Sensori 43
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 454.1. Uji Kimia Bakso Ikan Beloso yang disubstitusi Jamur Tiram
Putih 454.1.1. Kadar Air 454.1.2. Kadar Abu 474.1.3. Kadar Protein 494.1.4. Daya Mengikat Air 52
4.2. Uji Sensori Bakso Ikan Beloso yang disubstitusi Jamur TiramPutih 544.2.1. Warna 544.2.2. Aroma 564.2.3. Rasa 584.2.4. Tekstur 604.2.5. Penerimaan Keselurahan 63
4.3. Penentuan Perlakuan Terbaik 654.4. Kadar Serat Perlakuan Terbaik 67
V. KESIMPULAN DAN SARAN 685.1. Kesimpulan 685.2. Saran 68
DAFTAR PUSTAKA 69
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Kandungan gizi ikan beloso (Saurida tumbil) ...................................... 9
2. Stabilitas emulsi dari protein larut garam .............................................. 26
3. Syarat mutu bakso ikan (SNI 7266:2014) ............................................ 28
4. Perbandingan kandungan gizi jamur dengan makanan lain .................. 31
5. Komposisi nilai gizi jamur tiram putih (per 100 g) .............................. 32
6. Kandungan asam amino esensial jamur tiram putih ( per 100 gprotein) ..................................................................................................... 33
7. Formulasi pembuatan bakso ikan beloso substitusi jamur tiram putih .. 37
8. Kuesioner uji sensori bakso ikan beloso substitusi jamur tiram putih .. 44
9. Kadar air bakso ikan substitusi jamur tiram putih ................................ 45
10. Kadar abu bakso ikan substitusi jamur tiram putih ............................... 47
11. Kadar protein bakso ikan substitusi jamur tiram putih ......................... 49
12. Daya mengikat air bakso ikan substitusi jamur tiram putih .................. 52
13. Warna bakso ikan substitusi jamur tiram putih ..................................... 55
14. Aroma bakso ikan substitusi jamur tiram putih .................................... 57
15. Rasa bakso ikan substitusi jamur tiram putih ........................................ 59
16. Tekstur bakso ikan substitusi jamur tiram putih ................................... 60
17. Penerimaan keseluruhan bakso ikan substitusi jamur tiram putih ........ 64
xvi
18. Rekapitulasi hasil uji kimia dan uji sensori bakso ikan beloso substitusijamur tiram putih terbaik ....................................................................... 66
19. Analisis kimia ikan beloso dan jamur tiram putih ................................ 76
20. Hasil pengamatan kadar air bakso ikan substitusi jamur tiram putih ... 76
21. Uji Bartlett kadar air bakso ikan substitusi jamur tiram putih .............. 76
22. Analisis sidik ragam kadar air bakso ..................................................... 77
23. Uji lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) kadar air bakso ........................ 77
24. Hasil pengamatan kadar abu bakso ikan substitusi jamur tiram putih .. 78
25. Uji Bartlett kadar abu bakso ikan substitusi jamur tiram putih ............. 78
26. Analisis sidik ragam kadar abu bakso.................................................... 79
27. Uji lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) kadar abu bakso ....................... 79
28. Hasil pengamatan kadar protein bakso ikan substitusi jamur tiramputih ....................................................................................................... 80
29. Uji Bartlett kadar protein bakso ikan substitusi jamur tiram putih ....... 80
30. Analisis sidik ragam kadar protein bakso .............................................. 81
31. Uji lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) kadar protein bakso ................. 81
32. Hasil pengamatan daya mengikat air bakso ikan substitusi jamur tiramputih ....................................................................................................... 82
33. Uji Bartlett daya mengikat air bakso ikan substitusi jamur tiram putih 82
34. Analisis sidik ragam daya mengikat air bakso....................................... 83
35. Uji lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) daya mengikat air bakso .......... 83
36. Hasil pengamatan warna bakso ikan substitusi jamur tiram putih ........ 84
37. Uji Bartlett warna bakso ikan substitusi jamur tiram putih ................... 84
38. Analisis sidik ragam warna bakso.......................................................... 85
39. Uji lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) warna bakso ............................. 85
40. Hasil pengamatan aroma bakso ikan substitusi jamur tiram putih ........ 86
xvii
41. Uji Bartlett aroma bakso ikan substitusi jamur tiram putih .................. 86
42. Analisis sidik ragam aroma bakso.......................................................... 87
43. Uji lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) aroma bakso ............................ 87
44. Hasil pengamatan rasa bakso ikan substitusi jamur tiram putih ........... 88
45. Uji Bartlett rasa bakso ikan substitusi jamur tiram putih ...................... 88
46. Analisis sidik ragam rasa bakso ............................................................. 89
47. Uji lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) rasa bakso ................................ 89
48. Hasil pengamatan tekstur bakso ikan substitusi jamur tiram putih ....... 90
49. Uji Bartlett tekstur bakso ikan substitusi jamur tiram putih ................. 90
50. Analisis sidik ragam tekstur bakso......................................................... 91
51. Uji lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) tekstur bakso ............................ 91
52. Hasil pengamatan penerimaan keseluruhan bakso ikan substitusi jamurtiram putih ............................................................................................. 92
53. Uji Bartlett penerimaan keseluruhan bakso ikan substitusi jamur tiramputih ....................................................................................................... 92
54. Analisis sidik ragam penerimaan keseluruhan bakso............................. 93
55. Uji lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) penerimaan keseluruhanbakso ...................................................................................................... 93
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Ikan beloso (Saurida tumbil) ............................................................... 8
2. Molekul miosin ..................................................................................... 13
3. Tipe emulsi minyak dalam air (o/w) dan air dalam minyak (w/o) ..... 19
4. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) ............................................... 29
5. Diagram alir persiapan jamur tiram putih ............................................. 36
6. Diagram alir pembuatan bakso beloso yang disubstitusi jamur tiramputih ...................................................................................................... 38
7. Persiapan ikan beloso ............................................................................ 94
8. Persiapan jamur tiram putih ................................................................. 94
9. Proses pembuatan bakso ikan beloso substitusi jamur tiram putih ...... 95
10. Pengujian sensori bakso ikan beloso substitusi jamur tiram putih ....... 96
11. Analisis kimia bakso ikan beloso substitusi jamur tiram putih ............ 96
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang dan Masalah
Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi sumberdaya perikanan yang
besar. Menurut pusat data statistik dan informasi Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KPP), produksi perikanan tangkap di Indonesia pada tahun 2016
mencapai 6,83 juta ton. Produksi perikanan tangkap pada tahun tersebut
merupakan yang tertinggi sejak 5 tahun terakhir. Berdasarkan data tersebut,
potensi sektor perikanan Indonesia sangat menjanjikan sehingga perlu
dikembangkan dan dieksplorasi. Hal ini sesuai dengan visi Kementrian Kelautan
dan Perikanan yaitu menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dan menghadapi
implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN dengan cara berfokus mendorong
penguatan industri perikanan nasional (Kementrian Kelautan dan Perikanan,
2017).
Pengembangan industri perikanan akan berjalan seiring dengan peningkatan
konsumsi ikan nasional. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan konsumsi ikan yaitu dengan melakukan diversifikasi produk
perikanan yang juga bertujuan untuk memenuhi gizi masyarakat dan
meningkatkan nilai ekonomis ikan. Provinsi Lampung merupakan salah satu
provinsi yang unggul dalam usaha sektor perikanan. Menurut Dinas Kelautan dan
2
Perikanan Provinsi Lampung (2012), produk olahan ikan di Lampung cukup
tinggi yaitu sebesar 97.653,20 ton. Produksi olahan ikan yang cukup tinggi
tersebut disebabkan banyaknya unit pengolahan yang tersebar di seluruh
kabupaten/kota Provinsi Lampung. Banyaknya unit pengolahan yang berada di
Provinsi Lampung memperlihatkan bahwa ikan olahan memiliki potensi yang
cukup besar untuk dikembangkan dan mampu memenuhi permintaan dalam
jumlah yang cukup (Pertiwi, 2015).
Salah satu produk hasil olahan ikan yang banyak digemari adalah bakso ikan.
Bakso ikan merupakan produk pangan yang terbuat dari bahan utama daging ikan
yang dilumatkan, dicampur dengan bahan lain, dibentuk bulatan, dan selanjutnya
direbus (Koswara et al., 2001). Potensi pasar bakso ikan di Indonesia maupun
luar negeri seperti Malaysia, Singapura, Hongkong, Taiwan dan Kanada cukup
tinggi. Bakso ikan yang bermutu tinggi dapat diperoleh dari penanganan bahan
baku yang baik, hingga ke pemasaran. Pada dasarnya, hampir semua jenis ikan
dapat dimanfaatkan dagingnya untuk diolah menjadi bakso (Wibowo, 2006).
Salah satu jenis ikan yang dapat dijadikan sebagai bakso adalah ikan beloso
(Saurida tumbil) atau yang biasa dikenal oleh masyarakat lokal Lampung dengan
sebutan ikan jolot.
Ikan beloso (Saurida tumbil) atau ikan jolot merupakan salah satu sumberdaya
ikan demersal yang banyak ditangkap di perairan laut Provinsi Lampung. Ikan
beloso termasuk ke dalam salah satu jenis ikan air laut yang sangat diminati
masyarakat karena memiliki rasa yang gurih serta memiliki nilai ekonomis. Harga
ikan beloso cenderung stabil yaitu berkisar antara Rp. 15.000 – Rp. 25.000.
3
Menurut Supriyanti et al. (2013), kandungan gizi ikan beloso yaitu kadar air
sebesar 77,75%, kadar abu sebesar 0,40%, dan kadar protein yang cukup tinggi
yaitu sebesar 15,44%. Ikan beloso mempunyai daging relatif cukup banyak dan
bentuknya yang bulat memanjang sangat cocok untuk diambil dagingnya secara
mekanis. Ikan ini banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan surimi,
kerupuk ikan, maupun bakso.
Pada umumnya, bakso ikan mengandung serat pangan yang sedikit. Menurut
Astawan dan Andreas (2008), serat berfungsi untuk mencegah terjadinya berbagai
penyakit. Serat pangan yang ditambahkan pada produk pangan seperti bakso,
mampu memperbaiki tekstur dan menjadikan produk tersebut menjadi kenyal
(Astuti et al., 2014). Oleh karena itu, diperlukan penambahan bahan pangan
mengandung serat untuk meningkatkan nilai gizi bakso, seperti jamur tiram putih.
Menurut Suprapti dan Djarwanto (1992), jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus
Jacq.) mengandung asam-asam amino esensial yang penting bagi tubuh, sumber
vitamin B1, B2, C, dan sumber mineral seperti kalsium dan fosfor, serta memiliki
sifat fisik kenyal yang menyerupai daging ayam (Andoko dan Parjimo, 2007).
Jamur tiram putih dapat dijadikan sebagai makanan olahan yang lezat dan bergizi,
karena mengandung asam glutamat yang menimbulkan citarasa gurih sehingga
jamur tiram putih berpotensi sebagai bahan penyedap rasa makanan
(Tjokrokusumo, 2008). Substitusi jamur tiram putih pada pengolahan bakso ikan
dilakukan untuk meningkatkan kandungan serat dan nilai gizi pada produk serta
untuk memperbaiki tekstur bakso ikan. Selain itu, substitusi jamur tiram putih
dalam pembuatan bakso ikan juga diharapkan mampu menekan biaya produksi
4
dan memberikan keuntungan lebih pada produsen bakso ikan. Menurut Zebua et
al. 2014, penambahan jamur tiram putih dalam pembuatan sosis dapat
meningkatkan nilai ekonomis serta pemanfaatannya sebagai bahan pangan lokal.
Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh substitusi
jamur tiram putih terhadap sifat kimia dan sensori bakso ikan beloso sesuai
Standar Nasional Indonesia (SNI) bakso ikan (BSN, 2014).
1.2. Tujuan
Tujuan penelitian adalah mendapatkan konsentrasi jamur tiram putih yang
disubstitusi dalam pembuatan bakso ikan beloso dengan sifat kimia dan sensori
sesuai SNI 7266:2014.
1.3. Kerangka Pemikiran
Bakso ikan secara umum terbuat dari campuran daging ikan, pati atau serealia
dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan makanan yang diizinkan. Ikan
beloso (Saurida tumbil) merupakan salah satu jenis ikan laut yang banyak disukai
oleh masyarakat. Harganya yang cukup ekonomis serta dagingnya yang tebal
sangat cocok untuk dijadikan sebagai produk bakso. Selama ini, bakso ikan yang
beredar dipasaran mengandung serat pangan yang sedikit. Menurut Suprapti dan
Djarwanto (1992), jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) memiliki kandungan
serat sebesar 11,5% dan protein sebesar 26,40%. Penambahan jamur tiram putih
pada pengolahan bakso ikan dilakukan untuk meningkatkan kandungan serat dan
nilai gizi pada produk serta untuk memperbaiki sifat sensori bakso ikan. Menurut
penelitian Permatasari (2002), komposisi kimia bakso daging sapi yang dicampur
5
dengan jamur tiram sebanyak 10% menghasilkan kadar air sebesar 71,04%, kadar
abu 1,48%, dan kadar protein 12,87%, sedangkan menurut Hariadi dan Rahimah
(2017), bakso ikan nila wortel dengan tambahan jamur tiram putih sebesar 15%
memiliki kadar protein sebesar 11,27% dan serat sebesar 0,71%.
Hasil penelitian Komariah et al. (2005) menunjukkan pencampuran jamur tiram
putih pada pembuatan bakso daging sapi mempengaruhi sifat fisik (pH, daya
mengikat air, kekerasan, dan kekenyalan) bakso. Bakso campuran jamur tiram
10% dan 20% memiliki tingkat kekenyalan lebih tinggi dibanding bakso berbahan
dasar 100% daging sapi walaupun jumlah tapioka yang digunakan sama. Hasil
penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa daya mengikat air adonan bakso
daging sapi dengan campuran jamur tiram putih sebesar 10% dan 20% nyata lebih
tinggi dibandingkan 30% dan 40%. Hal ini disebabkan pada taraf pencampuran
jamur tiram putih sebanyak 30% dan 40%, air yang terkandung dalam adonan
sudah berlebih, sehingga ikatan antara air dan komponen pengikat air menjadi
sangat lemah. Kondisi tersebut menyebabkan molekul pengikat air tidak mampu
lagi meningkatkan daya ikatnya, pembengkakan molekul telah maksimum atau
bahkan sebagian molekul telah pecah. Rendahnya daya mengikat air menyebabkan
air banyak keluar selama pemasakan sehingga gel yang terbentuk kurang kuat dan
bakso yang dihasilkan pun kurang kenyal.
Penambahan jamur tiram putih berpengaruh terhadap tekstur dan daya terima
produk bakso yang dihasilkan. Hasil penelitian Kurniawan (2011) menunjukkan
bahwa terjadi peningkatan kesukaan tekstur dan daya terima bakso ayam yang
ditambahkan jamur tiram putih. Jamur tiram putih memiliki kandungan
6
karbohidrat tidak tercerna yang menyebabkan tekstur bakso menjadi kenyal dan
kompak. Dilaporkan bahwa penambahan jamur tiram putih sebanyak 15% mampu
meningkatkan kualitas kimia dan sensori bakso ayam serta memberikan hasil yang
terbaik. Penelitian Hariadi dan Rahimah (2017) menunjukkan bahwa bakso ikan
nila wortel dengan tambahan jamur tiram putih sebesar 15% memberikan hasil
yang terbaik dengan karakteristik aroma, tekstur, dan rasa mendekati syarat mutu
bakso ikan.
Pada penelitian ini, dilakukan substitusi jamur tiram putih dalam pembuatan
bakso ikan beloso dengan konsentrasi tertentu berdasarkan hasil trial dan eror.
Bakso ikan yang diperoleh diharapkan memiliki sifat kimia dan sensori terbaik
sesuai syarat mutu bakso ikan (SNI 7266:2014). Kriteria bakso ikan yang baik
berdasarkan Standar Nasional Indonesia bakso ikan adalah bentuk bulat halus,
berukuran seragam, dan bersih, warna putih merata tanpa warna asing, rasa ikan
dominan sesuai jenis ikan yang digunakan, aroma khas ikan segar rebus, dan
tekstur yang kompak, elastis, tidak liat, tanpa duri atau tulang, tidak lembek, tidak
basah berair, dan tidak rapuh. Mutu suatu produk merupakan salah satu faktor
utama yang membedakan tingkat penerimaan produk tersebut oleh konsumen.
Menurut SNI 7266:2014, bakso ikan yang baik adalah yang memiliki kadar air
maksimal 65%, kadar abu maksimal 2%, dan kadar protein minimal 7%.
1.4. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat konsentrasi jamur
tiram putih yang disubstitusi dalam pembuatan bakso ikan beloso dengan sifat
kimia dan sensori sesuai SNI 7266:2014.
7
I. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ikan Beloso (Saurida tumbil)
Ikan beloso (Saurida tumbil) merupakan ikan jenis ikan demersal yang
mempunyai potensi sebagai alternatif bahan pangan. Menurut FAO (1987)
klasifikasi ikan beloso (Saurida tumbil) adalah sebagai berikut:
Nama Internasional : Lizard Fish
Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Actinopterygii
Ordo : Aulopiformas
Famili : Synodontidae
Genus : Saurida
Spesies : Saurida tumbil
Ikan beloso (Saurida tumbil) merupakan ikan bertulang sejati. Ikan ini memiliki
bentuk tubuh cerutu dengan bagian kepala dan mulut yang memanjang. Warna
tubuh ikan ini putih keperakan pada bagian perut dan abu-abu kecoklatan pada
bagian punggung. Habitat ikan beloso adalah laut dalam yang berasosiasi dengan
karang. Ikan ini hidup di iklim tropis, yaitu Asia Pasifik, Laut Merah, Australia
dan Afrika (FAO, 1987). Bentuk ikan beloso dapat dilihat pada Gambar 1.
8
Gambar 1. Ikan beloso (Saurida tumbil)
Ikan beloso (Saurida tumbil sp) adalah salah satu jenis ikan demersal yang cukup
banyak tertangkap di laut Jawa. Ikan beloso memiliki badan memanjang yang
panjangnya dapat mencapai 40 cm, bersisik dan garis berada di atas sirip dada.
Garis rusuk (linea lateralis) memiliki sisik sebanyak 54 sampai 63 buah dengan
tipe sisik sikloid. Sirip punggung terdiri atas jari-jari lemah yang berbuku atau
berbelah dengan sebanyak-banyaknya 2-4 jari-jari kelas. Sirip perut memiliki
jari-jari lemah sebanyak 7-10 buah. Sirip perut lebih pendek dari pada sirip dada
dan sirip dada lebih pendek daripada bagian kepala di belakang mata dan
mencapai sisik garis rusuk yang ke sembilan. Sirip analnya memiliki 10-11 jari-
jari lemah dan di antara sirip punggung dan sirip ekornya terdapat sembilan kulit
yang tidak berjari-jari yang biasa disebut adipose fin (Dwiponggo, 1977).
Ikan beloso memiliki lubang insang yang besar, tutup insang yang sempurna, dan
rahang yang kuat dengan dua baris gigi pada rahang atas dan bawahnya. Bentuk
mulut beloso adalah terminal. Tubuh ikan ini berbentuk terpedo yang merupakan
ikan perenang cepat dan hidup di demersal. Ikan beloso (saurida tumbil) memiliki
ciri-ciri kepala picak seperti kadal. Lembaran sirip ekor ujungnya gelap dan di
9
belakang sirip punggung terdapat sirip lemah lainnya yang tanpa duri dan
berbentuk kecil, mata berukuran kecil, serta kepala bersisik (Dwiponggo, 1977).
Secara umum struktur tubuh ikan terdiri dari kulit, organ bagian dalam, tulang,
dan otot atau daging. Proporsi untuk masing-masing bagian struktur tubuh ikan
bervariasi tergantung dari jenis atau spesies ikan. Bagian tubuh ikan beloso yang
memiliki rendemen tertinggi yaitu bagian daging ikan sebesar 53,6%. Rendemen
bagian lainnya yaitu jeroan sebesar 8,6%, tulang sebesar 16,6%, kepala sebesar
9,1% dan kulit sebesar 11% (Jitesh et al., 2011). Ikan beloso kaya akan
kandungan gizi, namun memiliki banyak duri-duri halus sehingga ikan ini hanya
digunakan untuk olahan makanan tradisional diantaranya ikan asin atau campuran
siomay dan kerupuk ikan (Supriyanti et al., 2013). Ikan beloso belum
dimanfaatkan sebagai ikan konsumsi segar namun banyak digunakan sebagai
bahan utama dalam pembuatan surimi dan juga beberapa produk olahan ikan lain.
Kandungan gizi ikan beloso dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan gizi ikan beloso (Saurida tumbil)
Komponen JumlahKadar air (%) 77,75Kadar abu (%) 0,40Kadar protein (%) 15,44Kadar lemak (%) 5,60
Sumber : Supriyanti et al. (2013)
2.2. Protein Ikan
Protein adalah komponen ikan yang sangat penting ditinjau dari sudut gizi dan
biasanya terkandung sekitar 15-25% dari berat total daging ikan (Irianto dan
Giyatmi, 2009). Protein ikan menyediakan kurang lebih 2/3 dari kebutuhan
10
protein hewani yang diperlukan oleh manusia. Protein ikan dapat diklasifikasikan
menjadi protein miofibril, sarkoplasma dan stroma. Komposisi ketiga jenis
protein pada daging ikan terdiri dari 65-75% miofibril, 20-30% sarkoplasma dan
1-3% stroma (Junianto, 2003). Protein ikan biasanya kurang stabil bila
dibandingkan dengan protein daging mamalia, artinya mudah rusak oleh
pengolahan, terkoagulasi dan terdenaturasi. Hal ini disebabkan oleh struktur
alamiah miosin yang labil (Winarno, 2004).
2.2.1. Sarkoplasma
Protein sarkoplasma merupakan protein terbesar kedua yang mengandung
bermacam-macam protein larut air yang disebut miogen. Protein sarkoplasma atau
miogen terdiri dari albumin, mioalbumin dan mioprotein. Kandungan sarkoplasma
dalam daging ikan bervariasi. Selain tergantung dari jenis ikannya juga tergantung
habitat ikan tersebut. Pada umumnya, ikan demersal mempunyai kandungan
sarkoplasma lebih rendah daripada ikan pelagis (Junianto, 2003). .Menurut Lee
and Lanier (1992), sarkoplasma tidak dapat menghasilkan gel walaupun dilakukan
pemanasan dan jika tidak dihilangkan akan menghambat pembentukan gel.
Tercampurnya daging putih dan daging merah selama pemfilletan dari ikan
berdaging gelap akan menyebabkan penurunan kekuatan gel secara keseluruhan.
Protein sarkoplasma sebagian besar mengandung enzim-enzim, termasuk enzim
proteolitik. Protein ini larut dalam air dan larutan garam dengan kekuatan ion
yang rendah (konsentrasi garam 0,5%). Pemanasan protein sarkoplasma selama
10 menit pada suhu 900C akan menggumpal (mengkoagulasi) protein tersebut.
Ketika daging ikan dipanaskan, protein sarkoplasma yang terkoagulasi akan
11
menempel pada protein miofibril. Keadaan ini akan menghalangi bentuk gel
dalam pembuatan produk daging ikan tertentu (Rahayu et al., 1992).
Protein sarkoplasma terdiri dari protein larut air yang disebut miogen. Protein ini
dapat diperoleh dengan cara yang sederhana yaitu dengan melakukan pressing
pada daging ikan atau melalui ekstraksi dengan larutan garam berkekuatan ion
rendah. Kandungan protein sarkoplasma pada ikan bervariasi tergantung pada
spesies ikan, tetapi pada umumnya lebih tinggi pada ikan pelagis misalnya sarden
dan mackerel, dan rendah pada ikan demersal misal ikan kakap (Suzuki, 1981).
Keberadaan jumlah mioglobin, haemoglobin, dan cytochrome C yang lebih besar
pada daging merah menyebabkan kecenderungan daging berwarna lebih gelap.
Lebih jauh lagi, spesies ikan dari perairan/laut dingin mengandung protein
dengan karakteristik tertentu yang berfungsi sebagai protein antibeku (antifreeze
protein) dan glikoprotein yang termasuk dalam grup sarkoplasma (Shahidi dan
Botta, 1994).
Protein sarkoplasma kebanyakan mempunyai berat molekul yang rendah, pH
isoelektrik yang tinggi dan struktur yang globular. Karakteristik fisik tersebut
kemungkinan bertanggung jawab terhadap kelarutan protein yang tinggi pada air
dan larutan garam (Nakai dan Modler, 2000). Enzim pada sarkoplasma
bertanggung jawab terhadap proses pembusukan ikan setelah mati. Enzim ini
terdiri dari golongan enzim glikolisis dan hidrolisis. Berbagai enzim proteinase
ditemukan pada fraksi sarkoplasma yang mungkin bertindak sebagai katalisator
dalam degradasi komponen nitrogen jaringan daging. Aktivitas enzim ini
12
tergantung pada spesies ikan, tipe jaringan otot, faktor musim, dan lingkungan
(Shahidi dan Botta, 1994).
2.2.2. Protein miofibrilar
Protein miofibrilar adalah protein yang membentuk miofibril yang terdiri dari
miosin, aktin dan protein regulasi misal tropomiosin, troponin dan aktinin
(Suzuki, 1981). Kandungan potein miofibrilar sebesar 66-77% dari total protein
daging ikan dan berperan penting dalam pembentukan gel dan koagulasi ketika
daging ikan diproses atau diolah. Daging ikan mengandung protein miofibrilar
yang lebih tinggi dibandingkan daging mamalia (Suzuki, 1981). Protein ini dapat
diekstrak dari ikan dengan menggunakan larutan garam dengan kekuatan ion
0,3-1 Debye. Protein miofibrilar mengalami perubahan selama proses rigor
mortis, resolusi rigor mortis dan penyimpanan beku dalam waktu yang lama.
Tekstur produk perikanan dan kemampuan pembentukan gel pada daging lumat
dan surimi juga dipengaruhi oleh kondisi tersebut (Shahidi dan Botta, 1994).
Protein miofibril terutama terdiri dari miosin rantai berat (myosin heavy chain)
(MHC) (200 kDa) dan aktin (42 kDa) serta protein kecil lainnya, misalnya aktinin
(100 kDa) dan tropomiosin (34 kDa) (Cao et al., 2006).
2.2.2.1. Miosin
Miosin adalah fraksi protein miofibril yang paling besar pada daging ikan dan
memberi kontribusi sebesar 50-60% dari jumlah total. Molekul miosin terdiri
dari 2 rantai berat (heavy chains) (200 dan 240 kD) yang berhubungan secara non
kovalen dengan 2 pasang rantai ringan (light chains) (16-28 kD) (Shahidi dan
13
Botta, 1994). Gambar 2. menjelaskan molekul miosin yang terdiri dari rantai
ringan LMM (light meromyosin) dan rantai berat HMM (heavy meromyosin)
(King, 2011).
Gambar 2. Molekul miosin
Pemecahan myosin heavy chain (MHC) diketahui sebagai penyebab utama
fenomena modori (degradasi gel pada produk jeli ikan yang disebabkan oleh suhu
sekitar 55 °C). Myiosin heavy chain berperan penting dalam pembentukan gel.
Degradasi MHC biasanya disebabkan oleh enzim endogenous proteinase.
Myiosin heavy chain lebih mudah terdegradasi oleh endogenous proteinase
dibandingkan protein miofibril yang lain (Cao et al., 2006).
2.2.2.2. Aktin
Aktin menyusun kurang lebih 22% dari massa miofibril dengan berat molekul
42.000 dalton. Biasanya, dalam jaringan otot aktin dikaitkan dengan troponin dan
tropomiosin kompleks. Protein miofibrilar ini juga terdiri dari sebuah sisi pengikat
miosin (miosin binding site), yang memungkinkan untuk membentuk kompleks
miosin yang bersifat sementara selama kontraksi otot atau kompleks aktin miosin
14
yang permanen selama rigor mortis di dalam post mortem (Balange, 2009).
Bentuk monomer aktin disebut G-aktin dan setelah polimerisasi, filamen aktin
terbentuk dan disebut sebagai F-aktin. Dua F-aktin dalam bentuk heliks disebut
super heliks (Balange, 2009). Di dalam otot, aktomiosin berada dalam bentuk
aktin dan miosin. Aktin dan miosin mudah diekstrak dari daging ikan dengan
larutan garam karena keduanya bergabung membentuk aktomiosin di dalam
larutan (Suzuki, 1981).
2.2.3. Stroma
Sebagaimana protein miofibrilar, protein stroma juga merupakan protein
struktural dan terdiri dari jaringan yang menghubungkan sel otot, bundel serat dan
otot. Protein ini juga menyediakan struktur pendukung dalam pembentukan
tulang, ligamen dan tendon (Nakai dan Modler, 2000). Residu dari ekstraksi
protein sarkoplasma dan miofibril adalah stroma yang terdiri dari kolagen dan
elastin pada jaringan ikat. Stroma larut dalam larutan HCl dan NaOH dan
memberi kontribusi 10% dari protein kasar (crude muscle protein) (Shahidi dan
Botta, 1994). Stroma ini sering disebut protein jaringan pengikat yang banyak
terdapat pada miosepta dan endomiosin, tetapi ada pula yang terdapat pada
sarkolema atau bagian-bagian tubuh yang lain tapi jumlahnya tidak banyak.
Kolagen dan elastin merupakan protein jaringan pengikat yang berguna untuk
mempertahankan struktur fisik. Jika kolagen dipanaskan dalam air, maka kolagen
dapat berubah menjadi gelatin. Penyusun kolagen adalah asam-asam amino
penyusun protein, tetapi tidak mengandung triptopan, sistin dan sistein. Meskipun
15
demikian protein stroma tidak larut walaupun dalam cairan berkekuatan tinggi.
Protein stroma banyak terdapat pada daging merah daripada daging putih
(Hadiwiyoto, 1993). Kandungan kolagen tergantung pada spesies, kebiasaan
makan dan tingkat kematangan ikan. Pada umumnya, daging ikan terdiri dari 0,2
sampai 2,2% kolagen. Meskipun kandungan kolagen yang lebih tinggi akan
memberi kontribusi pada kekerasan daging, namun pada ikan tidak cukup berarti.
Akan tetapi, pada beberapa spesies cumi-cumi dapat meningkatkan tekstur keras
dan kenyal pada proses pemanasan (Shahidi dan Botta, 1994).
2.3. Pembentukan gel/gelasi (gelation) Protein
Protein adalah komponen fungsional dasar dari berbagai produk olahan makanan
yang berprotein tinggi dan menentukan sifat tekstur, sensorik dan nutrisi bahan
pangan. Bahan pangan menghasilkan berbagai jenis protein yang berbeda struktur,
sifat fisik, kimia dan fungsionalnya serta derajat sensitifnya terhadap panas dan
perlakuan lainnya. Sifat fungsional protein merupakan sifat fisikokimia protein
yang mempengaruhi perilaku di dalam sistem bahan pangan selama persiapan,
proses, penyimpanan, konsumsi dan menyumbangkan sifat kualitas dan sensorik
pada sistem bahan pangan. Sifat fungsional protein yang paling penting dalam
aplikasi pangan adalah hidrofilik, seperti kelarutan protein, swelling dan kapasitas
retensi air, foaming properties dan kemampuan pembentukan gel (gelling
capacity). Contoh sifat fungsional protein hidrofilik-hidrofobik yaitu emulsifikasi
dan foaming; sedangkan contoh sifat fungsional protein hidrofobik yaitu fat
binding properties (Zayas, 1997).
16
Sifat fungsional protein dapat diartikan sebagai sifat fisikokimia protein selama
proses yang mempengaruhi kualitas dan stabilitas produk akhir makanan. Pada
proses pengolahan daging, fungsionalitas protein biasanya dijelaskan dalam istilah
hidrasi, sifat permukaan, ikatan dan kinerja rheologi. Sifat fungsional protein ini
ditentukan oleh interaksi antara protein, lemak, air dan komponen makanan
lainnya atau oleh faktor lingkungan. Kemampuan untuk membentuk gel yang
kompak dan untuk mengemulsi lemak adalah dua hal terpenting dalam sifat
fungsional protein pada proses pengolahan makanan yang berbahan baku daging
(Nakai dan Modler, 2000).
Kemampuan pembentukan gel (gelling capacity) protein bahan pangan
merupakan sebuah atribut fungsional yang penting dalam produksi makanan.
Gelling capacity adalah kriteria yang sering digunakan untuk mengevaluasi
protein makanan. Karakteristik dari beberapa bahan pangan khususnya tekstur
dan juiciness ditentukan oleh kemampuan pembentukan gel (gelling capacity) dari
protein. Pembentukan struktur gel protein dapat terjadi di bawah kondisi yang
mengganggu struktur protein alami yang tersedia dimana konsentrasi protein,
kondisi termodinamika dan kondisi lainnya optimal untuk pembentukan matriks
tersier (Zayas, 1997).
Teknik proses pangan yang paling penting berhubungan dengan gelasi protein
melibatkan kation divalent (kalsium) dan atau perlakuan panas. Gel akan
terbentuk ketika sebagian dari protein terbuka/tidak terlipat (unfolded) menjadi
ruas-ruas polipeptida yang tidak berbelit (uncoiled) kemudian bereaksi pada titik
tertentu membentuk sebuah jaringan ikatan silang tiga dimensi. Sebagian protein
17
yang tidak berlipat (unfolding) dengan sedikit perubahan struktur sekunder
diperlukan untuk pembentukan gel/gelasi. Terbentuknya bagian yang tidak terlipat
dari struktur alaminya bisa berhubungan dengan beberapa faktor yaitu pemanasan,
perlakuan asam, basa dan urea (Zayas, 1997).
Gelasi protein adalah proses fisikokimia yang terjadi karena interaksi protein
dengan protein yang tersusun secara teratur sehingga terbentuk atau dihasilkan
jaringan tiga dimensi viskoelastis yang mampu menahan air dalam jumlah besar.
Gelasi protein daging biasanya disebabkan oleh panas, sebagai contoh terjadi pada
proses pengolahan daging selama pemasakan dan didahului dengan pendinginan.
Pembentukan matriks gel hasil dari ikatan silang atau agregasi dari polipeptida
yang tidak terlipat melalui interaksi hidrofobik dan elektrostatik, jembatan/ikatan
disulfida dan ikatan hidrogen (Nakai dan Modler, 2000). Proses gelasi tergantung
pada pembentukan jaringan tiga dimensi protein sebagai hasil interaksi antara
protein dengan protein dan protein dengan pelarut (solvent). Interaksi dan gelasi
ini dipercepat pada konsentrasi protein yang tinggi karena kontak intermolekuler
lebih kuat. Gel dengan kekuatan dan stabilitas yang tinggi dapat dibentuk sebagai
hasil ikatan silang yang memberikan sifat fluiditas, elastisitas dan aliran gel.
Pembentukan gel adalah sebuah hasil dari ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik
dan ionik, kekuatan Van der Waals dan ikatan kovalen disulfida (Zayas, 1997).
Struktur gel protein bertanggung jawab pada pola pemecahan yang disebut
sebagai tekstur makanan. Misalnya, kekerasan (hardness), dianggap sebagai
kekuatan menggigit yang diperlukan untuk menyebabkan suatu bahan menjadi
patah merupakan atribut sensorik umum pada makanan dengan struktur gel, misal
18
keju, makanan penutup berbahan gelatin, tahu dan daging olahan (surimi, sosis,
bakso dan lain-lain). Gelasi adalah sifat fungsional penting dari protein ikan yang
mempengaruhi sifat rheologi dan tekstur produk perikanan. Pembentukan gel
melibatkan denaturasi parsial protein diikuti dengan agregasi ireversibel yang
menghasilkan jaringan tiga dimensi. Miosin jumlahnya berlimpah pada protein
otot dan berperan penting dalam pembentukan gel pada ikan dan produk daging.
Selama pemanasan pada kecepatan 1 °C/menit, miosin silver carp
(Hypophthalmichthys molitrix) membentuk gel hanya pada pH 5,5-7,5, tetapi
tidak pada pH 8,0 dan pH 9,0. Ketika pH dinaikkan, kecepatan gelasi dan
kekuatan gel menurun dan WHC meningkat. Pemanasan menyebabkan
transformasi a-heliks menjadi ß-sheet dan ß-turn. Transformasi berperan penting
dalam proses gelasi. Gel kompak dan seragam diperoleh pada pH 7,0 sementara
terjadi penurunan dalam susunan tiga dimensi ketika pH diubah (Liu et al., 2010).
2.4. Emulsi Daging Ikan
Emulsi merupakan suatu suspensi cairan dalam cairan lain yang molekul-molekul
kedua cairan tersebut tidak saling berbaur tetapi saling antagonistik. Cara kerja
dari emulsifier yaitu bila butir-butir lemak telah terpisah karena adanya tenaga
mekanik (pengocokan), maka butir-butir lemak yang terdispersi tersebut segera
terselubungi oleh selaput tipis emulsifier. Bagian molekul emulsifier yang
nonpolar larut dalam lapisan luar butir-butir lemak, sedangkan bagian yang polar
menghadap kepelarut (air). Pada suatu emulsi, biasanya terdapat tiga bagian
utama, yaitu bagian yang terdispersi yang terdiri dari butir-butir lemak, bagian
kedua disebut media pendispersi yang dikenal sebagai continous phase, biasanya
19
terdiri dari air, dan bagian ketiga adalah emulsifier yang berfungsi menjaga agar
butir minyak tadi tetap tersuspensi di dalam air. Molekul-molekul emulsifier
mempunyai afinitas terhadap kedua cairan tersebut. Daya afinitasnya harus parsial
dan tidak sama terhadap kedua cairan tersebut (Winarno, 2004). Pada emulsi
minyak dalam air, air berperan sebagai fase pendispersi dan minyaksebagai fase
terdispersi, begitu pun sebaliknya. Tipe emulsi minyak dalam air (o/w) dan air
dalam minyak (w/o) dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Tipe emulsi minyak dalam air (o/w) dan air dalam minyak (w/o)
Pada sistem emulsi daging ikan, protein yang paling berperan sebagai emulsifier
adalah protein larut garam dan protein larut air. Protein yang larut garam pada
daging ikan adalah protein miofibril yang terdiri atas protein struktural (aktin,
miosin, dan aktomiosin) dan protein regulasi (troponin, tropomiosin dan aktinin).
Protein miofibril merupakan bagian terbesar protein ikan yaitu sekitar 66-77 %
dari total protein ikan dan bila dibandingkan daging mamalia dan unggas, daging
ikan mengandung protein miofibril yang terbanyak. Miofibril ini sangat berperan
dalam penggumpalan dan pembentukan gel pada daging ikan (Suzuki, 1981).
Protein yang larut air adalah sarkoplasma yang mengandung miogen. Kandungan
protein sarkoplasma pada ikan tergantung pada jenis ikan dan biasanya terdapat
20
dalam jumlah sekitar 10 % dari total protein ikan. Protein ini harus dihilangkan
karena dapat menghambat pembentukan gel. Setiap globula lemak dalam emulsi
daging diselimuti protein daging yang terlarut. Protein akan membentuk suatu
matriks yang menyelubungi butiran lemak sehingga globula lemak tidak mudah
terpisah dari sistem. Protein merupakan senyawa poliionik yang bersifat surface-
active yang dapat membantu proses pembentukan dan penstabilan emulsi minyak
dan air (Suzuki, 1981).
Stabilitas emulsi menunjukkan kestabilan suatu bahan (fase pendispersi dan fase
terdispersi) dalam kondisi baik. Emulsi yang stabil diperoleh dari adanya
komponen ketiga yaitu bahan pengemulsi yang berfungsi untuk mempercepat
terjadinya emulsi dan meningkatkan kestabilan emulsi. Struktur molekul
pengemulsi mengandung dua bagian, yaitu bagian yang bersifat polar (hidrofil)
dan non polar (hidrofob) (Kramlich, 1971). Protein jaringan ikat (stroma) dalam
pengolahan surimi tidak dihilangkan karena mudah larut dalam panas dan
merupakan komponen netral pada produk akhir. Penyusun dari protein jaringan
ikan antara lain kolagen dan elastin (Hall dan Ahmad, 1992).
2.5. Daya Mengikat Air (DMA)
Water holding capacity (WHC) atau yang biasa dikenal dengan daya mengikat air
pada makanan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menahan air yang ada di
dalam makanan tersebut maupun yang ditambahkan selama aplikasi gaya,
tekanan, sentrifugasi atau panas. Daya mengikat air merupakan sifat fisik dan
kemampuan suatu struktur makanan untuk mencegah air terlepas dari struktur tiga
dimensi protein dan merupakan kemampuan protein menahan air dalam melawan
21
gaya berat secara fisika maupun fisikokimia (Zayas, 1997). Mekanisme WHC
berpusat pada protein dan struktur yang mengikat dan memerangkap air,
khususnya protein miofibril. Terdapat bukti nyata yang menunjukkan efek
langsung dari pH, kekuatan ionik, dan oksidasi pada kemampuan protein miofibril
dan sel-sel otot untuk menahan air. Secara bebas, jelas bahwa faktor yang sama
(penurunan pH, kekuatan ionik, oksidasi) juga mempengaruhi proteolitis protein
sitoskeletal kunci dalam post mortem otot. Variasi WHC pada pH dan suhu
penyimpanan sebagian disebabkan oleh variasi proteolisis dan berakibat pada
penyusutan sel otot serta mobilisasi air ke ruang ekstraseluler (Lonergan dan
Lonergan, 2005).
2.6. Bakso Ikan
2.6.1. Definisi Bakso Ikan
Menurut Standar Nasional Indonesia (1995) bakso ikan didefinisikan sebagai
produk makanan berbentuk bulatan atau lain, yang diperoleh dari campuran
daging ikan (kadar daging atau ikan tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia
dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan makanan yang diijinkan (SNI,
1995). Bakso merupakan produk olahan daging telah dihaluskan terlebih dahulu
dan dicampur dengan bumbu-bumbu, tepung dan dibentuk seperti bola-bola kecil,
lalu direbus dalam air panas. Produk olahan daging seperti bakso telah banyak
dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat. Secara teknis pengolahan bakso cukup
mudah dan dapat dilakukan oleh siapa saja. Bila ditinjau dari upaya kecukupan
gizi masyarakat, bakso dapat dijadikan sebagai sarana yang tepat, karena produk
22
ini bernilai gizi tinggi dan disukai oleh semua lapisan masyarakat (Widyaningsih
dan Murtini, 2006).
Bakso merupakan salah satu bentuk emulsi yang mengikat air dan minyak dengan
baik. Emulsi daging memiliki karakteristik yang sama dengan emulsi minyak
dalam air, dalam hal ini lemak berfungsi sebagai fase terdispersi dan air sebagai
fase pendispersi. Komponen daging yang berperan dalam produk bakso adalah
protein khususnya protein yang bersifat larut garam, terutama aktin dan miosin
(Kramlich, 1971). Fungsi protein daging dalam bakso adalah sebagai bahan
pengikat hancuran daging selama pemanasan dan sebagai emulsifier sehingga
produk menjadi empuk, kompak dan kenyal (Winarno dan Rahayu, 1994).
Kemampuan protein sebagai bahan pengemulsi tergantung pada konsentrasi
protein, kecepatan pencampuran jenis lemak, sistem emulsi, dan jenis emulsi.
Kemampuan daya ikat sebagai akibat perlakuan fisik atau kimia (Kramlich, 1971).
2.6.2. Bahan-Bahan dalam Pembuatan Bakso dan Fungsinya
2.6.2.1. Daging Ikan
Bahan yang diperlukan untuk membuat bakso ikan yaitu: daging ikan, tepung
tapioka, dan bumbu-bumbu. Untuk mendapatkan produk bakso yang lezat dan
tekstur yang baik, perlu ditambahkan tepung tapioka sekitar 10%-15% dari berat
daging yang digunakan (Waridi, 2004). Ikan yang digunakan sebagai bahan baku
pembuatan bakso ikan harus dipilih dari jenis yang memiliki kandungan gizi yang
tinggi, tidak terlalu amis, dan benar-benar masih segar. Beberapa jenis ikan, baik
23
ikan air tawar, air payau, ataupun air laut dapat digunakan sebagai bahan baku
pembuatan bakso ikan (Suprapti, 2003).
Jenis ikan berdaging putih cocok dibuat bakso karena kandungan aktin dan miosin
yang cukup tinggi sehingga tekstur bakso yang dihasilkan bagus (Wibowo, 2006).
Menurut Lembaga Pengawasan Makanan dan Obat-obatan Amerika Serikat yang
dikutip oleh Tranggono dan Sutardi (1990), daging adalah bagian dari otot hewan
yang secara biokimiawi sangat dekat dengan sifat otot manusia. Unit dasar otot
adalah serat, multinukleat, sel silindris yang bergabung menjadi satu dan
dibungkus oleh jaringan penghubung yaitu epimisium. Otot ikan tidak banyak
memiliki jaringan penghubung seperti pada daging hewan lainnya (Tranggono
dan Sutardi, 1990). Pada ikan, yang dimaksud daging adalah otot putih yang
memiliki kualitas protein tinggi.
2.6.2.2. Bahan Pengisi
Bahan pengisi merupakan merupakan fraksi bukan daging yang biasanya
ditambahkan dalam pembuatan produk emulsi daging, seperti bakso dan sosis.
Fungsi bahan pengisi adalah memperbaiki sifat emulsi daging, mereduksi
penyusutan selama pemasakan, memperbaiki sifat fisik dan citarasa, serta
menurunkan biaya produksi. Jenis bahan pengisi yang biasa ditambahkan pada
proses pembuatan bakso adalah tepung berpati, misalnya tepung tapioka. Tepung
tapioka adalah pati dari umbi ubi kayu yang dikeringkan dan dihaluskan dan
merupakan produk awetan ubi kayu yang memiliki peluang pasar yang sangat
luas. Tepung tapioka yang dibuat dari ubi kayu berwarna putih atau kuning akan
menghasilkan tepung berwarna putih lembut dan licin. Perbedaan kulitas antara
24
keduanya disebabkan oleh perbedaan dalam proses pembuatannya dalam hal
tingkat/derajat keputihan, tingkat kehalusan, kadar air tersisa, dan kandungan
benda asing (Suprapti, 2005).
2.6.2.3. Bumbu-Bumbu
Bumbu-bumbu yang umumnya digunakan dalam pembuatan bakso ikan adalah
garam, bawang merah, bawang putih, dan Monosodium Glutamat (MSG).
Bawang putih berfungsi sebagai antioksidan, sedangkan garam berfungsi sebagai
pemberi rasa pada bakso, pelarut protein, pengawet, dan meningkatkan daya ikat
air dari protein daging. Pemakaian garam dalam pembuatan bakso berkisar antara
5 sampai 10 % dari berat daging. Penggunaan garam yang semakin meningkat (0
sampai 6 %) mengakibatkan semakin tingginya protein yang terlarut.
Penambahan MSG umumnya berkisar antara 1,0 sampai 2,5 % dari berat daging
(Koswara et al., 2001).
Garam dapur memiliki fungsi sebagai pemberi rasa pada produk bakso. Bakso
sebaiknya tidak menggunakan penyedap masakan MSG atau vetsin, sebagai
gantinya digunakan campuran kombinasi antara bawang putih dengan merica
sebesar 2 % dari berat daging atau campuran antara bawang merah, bawang putih,
dan jahe dengan perbandingan 15:3:1 (Wibowo, 2006). Penggunaan tepung
merica yang berbintik-bintik gelap sebaiknya tidak digunakan karena
menyebabkan bakso menjadi berbintik-bintik gelap. Bawang putih mengandung
minyak atsiri yang sangat mudah menguap di udara bebas. Minyak atsiri dari
bawang putih diduga mempunyai kemampuan sebagai antibakteri dan antiseptik.
25
Zat yang diduga berperan memberi aroma bawang putih yang khas adalah alisin
(Syamsiah dan Tajudin, 2003).
2.6.2.4. Es atau Air Es
Air merupakan salah satu bahan yang umumnya ditambahkan dalam adonan.
Penambahan air dalam bentuk es atau air es bertujuan untuk melarutkan garam,
memudahkan ekstraksi protein serabut otot, membantu pembentukan emulsi, dan
mempertahankan suhu daging agar tetap rendah selama penggilingan dan
pembuatan adonan. Adanya air es atau es pada pembuatan produk olahan daging
misalnya sosis atau bakso adalah untuk mempertahankan suhu daging agar tetap
rendah selama penggilingan daging dan pembuatan adonan. Selain itu, suhu dapat
dipertahankan tetap rendah sehingga protein daging tidak terdenaturasi akibat
gerakan mesin penggiling dan ekstraksi protein dapat berjalan dengan baik.
Apabila protein terdenaturasi akibat suhu adonan yang terlalu tinggi, protein tidak
bisa bersifat sebagai pengemulsi. Penambahan es juga meningkatkan rendemen
produk sehingga digunakan es sebanyak 10 sampai 30% dari berat daging
(Wibowo, 1999).
2.6.3. Cara Pembuatan Bakso Ikan
Pembuatan bakso terdiri dari persiapan bahan, penghancuran daging,pencampuran
bahan dan pembuatan adonan, pencetakan dan pemasakan. Persiapan bahan
meliputi pemilihan daging dan penyiangan bahan tambahan lainnya. Daging bisa
dipilih yang segar, bersih atau dibersihkan dari lemak permukaan dan jaringan
ikat atau urat. Penghancuran daging bertujuan untuk memecah serabut daging,
26
sehingga protein yang larut dalam larutan garam akan mudah keluar (Koswara et
al., 2001). Pada proses pencincangan perlu ditambahkan es atau air sebanyak
20% dari berat adonan agar menghasilkan emulsi yang baik dan mencegah
kenaikan suhu akibat gesekan (Winarno dan Rahayu, 1994). Temperatur yang
tinggi hingga lebih dari 22 °C mengakibatkan pecahnya emulsi sehingga lemak
dan air akan terpisah selama pemasakan akibat denaturasi protein (Wilson et al.,
1981).
Penghancuran daging untuk bakso dapat dilakukan dengan cara memecah,
menggiling, atau mencincang sampai lumat. Pembentukan adonan dapat
dilakukan dengan mencampur seluruh bagian bahan kemudian dihancurkan
hingga membentuk adonan atau menghancurkan daging bersama-sama garam dan
es batu terlebih dahulu, kemudian dicampurkan bahan-bahan lain (Koswara et al.,
2001). Suhu adonan tidak boleh melebihi 20 °C. Pencetakan dilakukan dengan
cara adonan dibentuk bulatan-bulatan dengan ukuran yang dikehendaki.
Pembulatan dapat dilakukan dengan menggunakan mesin atau dengan cara
menggunakan tangan yang dibentuk dengan sendok (Wibowo, 2006). Pemanasan
menyebabkan molekul protein terdenaturasi dan mengumpul membentuk satu
jaring-jaring. Hanya protein yang larut dalam garam yang berperan dalam
pembentukan gel. Di antara protein miofibril, miosin dan aktomiosin
menghasilkan emulsi yang paling stabil, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Stabilitas emulsi dari protein larut garam
Protein pH Kekuatan Ion Stabilitas EmulsiMiosin 8 0,35 > 4 mingguSarkoplasma 7 0,35 12 jamAktomiosin 6,7 0,35 > 3 mingguAktin 7,2 0,35 < 36 jam
Sumber : Wong (1989)
27
Kepala miosin mulai menggumpal pada pemanasan dengan suhu relatif rendah,
kemudian bagian belakangnya membuka dengan semakin meningkatnya suhu.
Penggumpalan kepala miosin mengakibatkan perubahan rantai disulfida dan
memungkinkan untuk membentuk ikatan intermolekuler rantai samping.
Kumpulan antara kepala miosin akan membentuk daerah persilangan miosin
untuk membentuk jaringan-jaringan gel. Jaring-jaring gel distabilkan oleh ikatan
nonkovalen yang mengikat sisi rantai dan menyebabkan kepala miosin menutup.
Kondisi optimum untuk pembentukan gel adalah pada kadar garam 0,6 M, pH 6
dan suhu 65 °C (Pomeranz, 1991). Untuk mendapatkan kekuatan gel yang
maksimum, bakso harus dijendalkan dengan cara merendam dalam air dengan
suhu 28 °C-30 °C selama 1 sampai 2 jam atau pada suhu air 40 °C-45 °C selama
20 sampai 30 menit (Wibowo, 2006).
Pemanasan bakso biasanya dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama, bakso
dipanaskan dalam panci berisi air hangat sekitar 60 °C sampai 80 °C, sampai
bakso mengeras dan mengambang di permukaan air. Pada tahap selanjutnya,
bakso dipindahkan ke dalam panci lainnya yang berisi air mendidih, kemudian
direbus sampai matang, biasanya sekitar 10 menit. Pemasakan bakso dalam dua
tahap tersebut dimaksudkan agar permukaan produk bakso yang dihasilkan tidak
keriput dan tidak pecah akibat perubahan suhu yang terlalu cepat (Koswara et al.,
2001). Pemasakan bakso umumnya dilakukan dengan merebus dalam air yang
mendidih. Bakso yang diblanching dengan uap panas atau air panas pada suhu 85
°C sampai 100 °C merupakan bakso terbaik. Proses pemasakan adonan bakso
bertujuan untuk membentuk struktur yang kompak, kenyal, dan padat sebagai
akibat koagulasi protein dan gelatinisasi pati.
28
2.6.4. Standar Mutu Bakso Ikan
Bakso ikan yang bermutu tinggi dapat diperoleh dari penanganan bahan baku
yang baik sampai bakso tersebut dipasarkan. Bakso umumnya berbentuk bulat
dengan penampakan yang bersih dan mengkilap. Mutu suatu produk merupakan
salah satu faktor utama yang membedakan tingkat penerimaan produk tersebut
oleh konsumen. Syarat mutu bakso berdasarkan SNI 7266:2014 dapat dilihat
pada Tabel 3.
Tabel 3. Syarat Mutu Bakso Ikan (SNI 7266:2014)
Kriteria Uji Satuan PersyaratanSensori Min 7 (Skor1-9)Kimia :Kadar AirKadar AbuKadar ProteinHistamin*
% b/b% b/b% b/bmg/kg
Maks. 65Maks. 2,0Min. 7,0100
Cemaran mikroba :Angka lempeng total Koloni/g Maks. 1,0 x 105
Escherichia coli APM/g < 3Salmonella per 25g NegatifStaphylococcus aureus Koloni/g Maks. 1,0 x 102
Vibrio chorela**Vibrio Parahaemolyticus**
per 25gper 25g
NegatifNegatif
Cemaran Logam :Kadmium (Cd)Merkuri (Hg)Timbal (Pb)Arsen (As)Timah (Sn)
mg/kgmg/kgmg/kgmg/kgmg/kg
Maks. 0,1Maks. 0,5Maks. 0,3Maks. 1,0Maks. 40,0
Cemaran FisikFilth* 0
Sumber : Standar Nasional Indonesia (2014)
29
2.7. Jamur Tiram Putih
2.7.1. Pengertian dan Klasifikasi Jamur Tiram Putih
Jamur tiram putih adalah salah satu jenis jamur kayu yang banyak tumbuh pada
media kayu, baik kayu gelondongan ataupun serbuk kayu. Pada limbah hasil
hutan dan hampir semua kayu keras, produk samping kayu, tongkol jagung dan
lainnya, jamur dapat tumbuh secara luas pada media tersebut. Jamur tiram putih
merupakan salah satu jenis jamur yang banyak dibudidayakan. Menurut Cahyana
et al. (1997), klasifikasi lengkap tanaman jamur tiram putih sebagai berikut :
Kingdom : Mycetea
Division : Amastigomycotae
Phylum : Basidiomycotae
Class : Hymenomycetes
Ordo : Agaricales
Family : Pleurotaceae
Genus : Pleurotus
Species : Pleurotus ostreatus
Gambar 4. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus)
30
Jamur tiram putih memiliki bagian tubuh yang terdiri dari akar semu (rhizoid),
tangkai (stipe), insang (lamella), dan tudung (pileus/cap). Jamur tiram putih
memiliki ciri-ciri permukaan licin dan agak berminyak ketika lembab, bagian
tepi agak bergelombang, letak tangkai lateral agak di samping tudung dan daging
buah berwarna putih. Jamur tiram putih memiliki diameter tudung yang
menyerupai cangkang tiram berkisar antara 5-15 cm, jamur ini dapat tumbuh pada
kayu-kayu lunak dan pada ketinggian 600 meter dari permukaan laut, spesies ini
tidak memerlukan intensitas cahaya tinggi karena dapat merusak miselia jamur
dan tumbuhnya buah jamur. Jamur tiram putih dapat tumbuh dan berkembang
dengan suhu 15-30oC pada pH 5,5-7 dan kelembaban 80%-90% (Achmad et al.,
2011).
2.7.2. Kandungan Gizi Jamur Tiram Putih
Jamur tiram putih sebagai bahan pangan mempunyai tekstur dan cita rasa yang
spesifik dengan kandungan asam amino yang cukup lengkap. Jamur tiram putih
mengandung komponen zat gizi makro dan mikro sekitar 85-89%. Protein yang
terkandung dalam jamur tergolong tinggi dibanding bahan makanan lainnya.
Kandungan protein jamur tiram sebesar 27%, sementara kentang 2,0%, dan kubis
1,5%. Berdasarkan Tabel 4, kandungan protein jamur tiram putih lebih tinggi
dibandingkan sayuran lainnya (Martawijaya dan Nurjayadi, 2010). Perbandingan
kandungan gizi jamur dengan sayuran lain dapat dilihat pada Tabel 4.
31
Tabel 4. Perbandingan kandungan gizi jamur dengan sayuran lain
SayuranKandungan Gizi (%)
Protein Lemak KarbohidratJamur merang 1,8 0,3 4,0Jamur tiram 27,0 1,6 58,0Jamur kuping 8,4 0,5 82,8Bayam - 2,2 1,7Kentang 2,0 - 20,9Kubis 1,5 0,1 4,2Seledri - 1,3 0,2Buncis - 2,4 0,2
Sumber: Martawijaya dan Nurjayadi (2010)
Jamur tiram putih telah lama dipercaya masyarakat India dan Cina sebagai salah
satu bahan alam yang dapat mengobati penyakit kanker, antiinflamasi,
antihiperkolesteromia, dan dapat bekerja sebagai zat antioksidan (Widyastuti,
2005). Menurut hasil penelitian Puslitbang Hasil Hutan Bogor, jamur tiram putih
dapat digunakan untuk mencegah dan menanggulangi kekurangan gizi, mencegah
anemia, antitumor, dan menurunkan berat badan. Salah satu kelebihan jamur
tiram yaitu kandungan lemaknya yang rendah dan kandungan protein yang tinggi.
Komposisi zat gizi yang terkandung dalam jamur tiram putih dapat dilihat pada
Tabel 5.
32
Tabel 5. Komposisi nilai gizi jamur tiram putih per 100 g (% bk)
Kandungan gizi Jumlah
Kalori (kal) 265,0Protein (%) 27,0Serat (%) 11,5Lemak (%) 1,6Karbohidrat (%) 58,0Abu (%) 9,3Tiamin (mg) 4,8Riboflavin (mg) 4,7Niasin (mg) 108,7Kalsium (mg) 33,0Kalium (mg) 37,9Zat Besi ( mg) 15,2Fosfor (mg) 1,3Natrium (mg) 837,0
Sumber : Suriawiria (2002)
Menurut Suriawiria (2002), jamur merupakan sumber mineral yang baik.
Kandungan mineral utama yang tertinggi adalah kalium, fosfor, natrium, dan
kalsium. Namun jamur juga merupakan sumber mineral minor yang baik karena
mengandung seng, besi, mangan dan tembaga. Konsentrasi K, P, Na dan Ca
mencapai 56-70% dari total kadar abu. Kandungan asam lemak tak jenuh jamur
tiram sebesar 85,4% lebih tinggi dibanding asam lemak jenuh sebesar 14,6%.
(Martawijaya dan Nurjayadi, 2010). Asam amino esensial terkandung dalam
protein jamur tiram putih. Asam amino esensial dibutuhkan oleh tubuh dalam
jumlah cukup, tetapi tubuh tidak dapat menghasilkan asam amino esensial,
sehingga kebutuhan asam amino esensial harus dipenuhi dari makanan yang
dikonsumsi. Pada jamur terdapat sembilan asam amino esensial dan beberapa
diantaranya memiliki kadar asam amino esensial lebih tinggi dibanding asam
amino esensial telur ayam (Tabel 6).
33
Tabel 6. Kandungan asam amino esensial jamur tiram putih (g/100 g protein)
Asam amino esensialKandungan
Jamur Tiram Telur ayamLeusin 7,5 8,8Isoleusin 5,2 6,6Valin 6,9 7,3Triptofan 1,1 1,6Lisin 9,9 6,4Threonin 6,1 5,1Fenilalanin 3,5 5,8Metionin 3,0 3,1Histidin 2,8 2,4Total 46,0 47,1
Sumber : Martawijaya dan Nurjayadi (2010)
34
III. BAHAN DAN METODE
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan
Laboratorium Kimia dan Biokimia Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas
Pertanian Universitas Lampung, pada bulan Mei 2018 – Agustus 2018.
3.2. Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan adalah ikan beloso (Saurida tumbil) yang diperoleh
dari salah satu pedagang di Pasar Gudang Lelang Teluk Betung dan jamur tiram
putih (Pleurotus ostreatus) segar yang diperoleh dari petani budidaya jamur tiram
putih di Desa Wiyono, Kecamatan Gedongtataan, Kabupaten Pesawaran. Bahan
tambahan yang digunakan adalah tepung tapioka, es atau air es, telur, bawang
putih, garam, gula dan merica. Bahan kimia untuk analisis antara lain aquades,
K2SO4, HgO, H2SO4 pekat, NaOH-Na2S2O3, H3BO3, indikator PP, alkohol,
dan HCl 0,02N.
Peralatan yang digunakan dalam pembuatan bakso ikan beloso dengan substitusi
jamur tiram putih antara lain blender, gilingan daging, timbangan, panci, sendok,
kompor, pisau, baskom, plastik, dan gelas ukur, sedangkan peralatan untuk
analisis antara lain timbangan analitik, cawan porselin, oven, tanur, desikator,
35
alat-alat gelas, labu Kjedhal, tabung sentrifuse dan seperangkat alat untuk uji
sensori.
3.3. Metode Penelitian
Penelitian disusun dalam Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) dengan 6
perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan perbandingan daging ikan beloso dan jamur
tiram putih terdiri dari 6 taraf yaitu J1 (100% : 0%); J2 (90% : 10%); J3 (80% :
20%); J4 (70% : 30%); J5 (60% : 40%); dan J6 (50% : 50%) yang didapatkan dari
hasil trial and error. Data yang diperoleh dianalisis kesamaan ragamnya dengan
uji Bartlett dan kemenambahan data diuji dengan uji Tuckey, selanjutnya data
dianalisis sidik ragam untuk mengetahui pengaruh antar perlakuan. Apabila
terdapat pengaruh yang nyata, data dianalisis lebih lanjut dengan Uji Beda Nyata
Terkecil (BNT) pada taraf 5%.
3.4. Pelaksanaan Penelitian
3.4.1. Persiapan Jamur Tiram
Persiapan jamur tiram pada penelitian ini mengacu pada Fauziah (2017). Bahan
substitusi yang digunakan pada pembuatan bakso ikan adalah jamur tiram putih
segar. Bagian badan jamur tiram putih diambil dan dibersihkan dari kotoran atau
serbuk gergaji yang menempel, kemudian ditimbang sebanyak 500 g. Badan
jamur tiram putih selanjutnya dicuci dengan air mengalir sampai bersih. Badan
jamur tiram putih yang telah bersih kemudian disuwir-suwir dan diblanching pada
suhu 800C selama 3 menit. Proses persiapan jamur tiram putih dapat dilihat pada
Gambar 5.
36
Gambar 5. Diagram alir persiapan jamur tiram putihSumber : Fauziah (2017)
3.4.2. Pembuatan Bakso
Pembuatan bakso ikan mengacu pada prosedur Permatasari (2002). Bahan baku
utama yang digunakan yaitu fillet ikan beloso yang sudah digiling menggunakan
alat penggiling daging manual dan jamur tiram putih yang telah diblanching.
Persentase bahan tambahan yang digunakan merupakan persentase dari total
Jamur Tiram Putih
Sortasi (diambil bagian badan jamur)
Penimbangan bagian badan jamur (500 g)
Pencucian dengan air mengalir
Pemotongan dengan lebar 2-3 cm
Blanching(T 800C ; t 3 menit)
Suwiran Jamur Tiram Putihyang telah diblanching
Pembersihan dari kotoran dan serbuk gergaji
Tangkai jamur
Air 1 Liter
Air hasil penirisanPenirisan
37
bahan baku utama yaitu sebanyak 200 g. Fillet ikan beloso yang sudah digiling
dan suwiran jamur tiram putih yang telah diblanching dimasukkan ke dalam
blender dan ditambahkan hancuran es sebanyak 20% kemudian digiling.
Penggilingan dilakukan selama 5 menit atau sampai adonan halus. Setelah itu,
adonan diangkat dari penggilingan dan dicampur dengan putih telur 12%, bumbu-
bumbu (bawang putih 5%, gula 0,8% dan lada 0,2%), garam 3% dan terakhir
ditambahkan tapioka sebanyak 20% sedikit demi sedikit hingga adonan homogen.
Selanjutnya adonan dicetak secara manual menggunakan tangan dan bantuan
sendok hingga membentuk bulatan atau bola-bola. Bakso direbus dalam panci
yang berisi air mendidih selama 15 menit atau sampai mengapung, kemudian
ditiriskan hingga dingin. Bakso ikan beloso substitusi jamur tiram putih
selanjutnya siap untuk dianalisis kimia dan diuji sensori. Formulasi pembuatan
bakso ikan beloso substitusi jamur tiram putih dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Formulasi pembuatan bakso ikan beloso substitusi jamur tiram putih
Formulasi J1 J2 J3 J4 J5 J6
Daging giling ikan beloso (g) 200,0 180,0 160,0 140,0 120,0 100,0
Jamur tiram putih (g) 0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0
Tapioka (g) 40,0 40,0 40,0 40,0 40,0 40,0
Bawang putih (g) 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0
Garam (g) 6,0 6,0 6,0 6,0 6,0 6,0
Gula pasir (g) 1,6 1,6 1,6 1,6 1,6 1,6
Lada (g) 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4
Putih telur (g) 24,0 24,0 24,0 24,0 24,0 24,0
Es (g) 40,0 40,0 40,0 40,0 40,0 40,0
Sumber : Permatasari (2002) yang dimodifikasi
38
Proses pembuatan bakso ikan beloso dengan penambahan jamur tiram putih dapat
dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Diagram alir pembuatan bakso ikan beloso yang disubstitusi jamurtiram putihSumber : Permatasari (2002) yang dimodifikasi
Suwiran Jamur Tiram Putihyang telah diblanching(0%, 10%, 20%, 30%,
40%, dan 50%)Es batu 20%
Penghancuran denganblender, t 5 menit
Air 1 Liter
Bakso Ikan SubstitusiJamur Tiram Putih
Pencetakan secara manual
Perebusan(T 1000C ; t 15 menit)
Penirisan
Air Hasil Penirisan
Lada 0,2 %Gula 0,8%Putih telur 12%Bawang putih 5%Garam 3%
Pengamatan :- Kadar Air- Kadar Abu- Kadar Protein- Daya Mengikat Air- Warna- Aroma- Rasa- Tekstur- Penerimaan
keseluruhan
Fillet Ikan Beloso yangtelah digiling
(100%, 90%, 80%,70%, 60%, dan 50%)
Tapioka 20%Pengadonan
Perlakuan terbaik :Kadar Serat Kasar
39
3.5. Pengamatan
Pengamatan sifat kimia bakso ikan beloso yang disubstitusi jamur tiram putih
dilakukan terhadap kadar air (AOAC, 2005), kadar abu (AOAC, 2005), kadar
protein (AOAC, 2005), dan daya mengikat air (Ockerman, 1983 dan Nurmi,
1995), sedangkan pengamatan sifat sensori meliputi warna, aroma, rasa, tekstur,
dan penerimaan keseluruhan (Setyaningsih et al., 2010). Selanjutnya terhadap
perlakuan terbaik dilakukan pengamatan kadar serat kasar (AOAC, 2005).
3.5.1. Kadar Air
Pengujian kadar air bakso dilakukan dengan metode gravimetri (AOAC, 2005).
Cawan porselen dikeringkan pada oven 1000C kurang lebih 1 jam, didinginkan
dalam desikator selama 20-30 menit kemudian ditimbang. Sampel yang telah
dihaluskan ditimbang sebanyak 1-2 g dalam cawan porselen yang telah diketahui
berat konstannya. Kemudian cawan dimasukkan ke dalam oven pada suhu 1050C
selama 3 jam, setelah itu didinginkan dalam desikator dan ditimbang, perlakuan
ini diulang sampai dicapai berat konstan (selisih penimbangan berturut-turut
kurang dari 0,001 g). Pengukuran kadar air dihitung dengan rumus :
Keterangan :
A : Berat cawan + sampel sebelum pengeringan (g)
B : Berat cawan + sampel setelah pengeringan (g)
C : Berat sampel (g)
%Kadar air = A − BC x 100%
40
3.5.2. Kadar Abu
Pengujian kadar abu bakso dilakukan dengan metode gravimetri (AOAC, 2005).
Cawan porselen dikeringkan pada oven 1000C kurang lebih 1 jam, didinginkan
dalam desikator selama 20-30 menit kemudian ditimbang. Sebanyak 2-3 g
sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan porselen. Selanjutnya sampel
dibakar di atas nyala pembakar sampai tidak berasap lagi, kemudian dilakukan
pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu maksimum 5500 C selama 4-6 jam
atau sampai terbentuk abu berwarna putih. Sampel kemudian didinginkan dalam
desikator, selanjutnya ditimbang. Pengeringan diulangi hingga diperoleh berat
konstan. Perhitungan kadar abu dilakukan dengan menggunakan rumus :
Keterangan :
A : Berat sampel (g)
B : Berat cawan + abu (g)
C : Berat cawan (g)
3.5.3. Kadar Protein
Analisis kadar protein pada bakso ikan yang dilakukan menggunakan metode
semi mikro Kjeldhal (AOAC, 2005). Prinsip kerja dari metode Kjedhal adalah
protein dari komponen organic dalam sampel di destruksi dengan menggunakan
asam sulfat dan katalis. Hasil destruksi dinetralkan dengan menggunakan larutan
alkali dan memalui destilasi. Destilasi ditampung larutan asam borat. Selanjutnya
ion-ion borat yang terbentuk dititrasi dengan menggunakan larutan HCl
%Kadar abu = B − CA x 100%
41
menggunakan indikator yang sesuai untuk menentukan titik akhir titrasi.
Prosedur analisis kadar protein yaitu sampel ditimbang sebanyak 0,1-0,5 g,
dimasukkan ke dalam labu Kjeldhal 100 ml, kemudian ditambahkan 50 mg HgO,
2 mg K2SO4 dan 2 ml H2SO4, batu didih, dan didihkan selama 1,5 jam sampai
cairan menjadi jernih. Setelah itu larutan didinginkan dan diencerkan dengan
aquades. Sampel didestilasi dengan penambahan 8-10 ml larutan NaOH-Na2S2O3
(dibuat dengan campuran: 50 g NaOH + 50 ml H2O + 12.5 Na2S2O35H2O). Hasil
destilasi ditampung dalam Erlemeyer yang telah berisi 5 ml H3BO3 dan 2-4 tetes
indikator PP (campuran 2 bagian metil merah 0,2% dalam alkohol dan 1 bagian
metil biru 0,2% dalam alkohol). Destilat yang diperoleh kemudian dititrasi
dengan larutan HCL 0,02 N sampai terjadi perubahan warna dari hijau menjadi
abu-abu. Hal yang sama juga dilakukan terhadap blanko. Hasil yang diperoleh
adalah total N, yang kemudian dinyatakan dalam faktor konversi 6,25.
Keterangan :
VA : ml HCL untuk titrasi sampel
VB : ml HCL untuk titrasi blanko
N : normalitas HCL standar yang digunakan 14,007; faktor koreksi 6,25
W : berat sampel (g)
Kadar Protein (%) = (VA-VB) HCL x N HCL x 14,007 x 6,25 x 100%W
42
3.5.4. Daya Mengikat Air (DMA)
Daya mengikat air diukur dengan menggunakan metode sentrifugasi (Ockerman,
1983 dan Nurmi, 1995). Sampel adonan bakso ditimbang sebanyak 10 g, lalu
dimasukkan dalam tabung sentrifuse dan ditambah 10 ml aquades (a), kemudian
dicampur dengan sempurna. Contoh dalam tabung sentrifuse tersebut disimpan
selama 24 jam pada suhu 100C dalam keadaan tertutup rapat. Pada hari
berikutnya, tabung yang berisi contoh adonan disentrifuse selama 20 menit
dengan kecepatan 3000 rpm kemudian contoh adonan difiltrasi dan jumlah air
yang terserap diukur dengan menggunakan gelas ukur (b). Daya mengikat air
dapat diukur dengan rumus :
Keterangan :
a : Jumlah air yang ditambahkan (ml)
b : Jumlah air yang tidak terserap (ml)
3.5.5. Kadar Serat Kasar
Analisis serat kasar bakso ikan dilakukan dengan cara sampel ditimbang sebanyak
0,5-1 g (x gram), dimasukkan ke dalam gelas piala 600 ml dan ditambahkan 50 ml
H2SO4 0,3 N, lalu dipanaskan di atas pemanas listrik selama 30 menit.
Selanjutnya ditambahkan 25 ml NaOH 1,5 N dan terus dimasak selama 30 menit.
Cairan dikeringkan dalam alat pengering pada suhu 105-110oC selama satu jam
dan dimasukkan ke dalam corong bunchner. Penyaringan dilakukan dalam labu
penghisap yang dihubungkan dengan pompa vakum (AOAC, 2005). Selama
Daya mengikat air (%) = a − ba x 100%
43
penyaringan endapan dicuci berturut-turut dengan 50 ml H2SO4 0,3 N, aquades
panas secukupnya dan terakhir dengan 25 ml aseton. Kertas saring dan isinya
dimasukkan ke dalam cawan porselen dan dikeringkan selama satu jam dalam
oven pada suhu 105oC, kemudian didinginkan dalam eksikator dan ditimbang (b
gram). Selanjutnya cawan porselen serta isinya dibakar atau diabukan dalam
tanur listrik pada suhu 400-600oC sampai abu menjadi putih seluruhnya,
kemudian diangkat dan didinginkan dalam eksikator dan ditimbang (c gram).
Keterangan :
X = bobot contoh
A = bobot kertas saring
B = bobot kertas saring + sampel setelah dioven
C = bobt kertas saring + sampel setelah ditanur.
3.5.6. Uji Sensori
Uji sensori dilakukan terhadap warna, aroma, rasa, tekstur, dan penerimaan
keseluruhan bakso ikan beloso dengan substitusi jamur tiram putih oleh 20 orang
panelis menggunakan metode Setyaningsih et al. (2010). Pengujian sensori
menggunakan uji skoring untuk parameter warna, aroma, rasa, dan tekstur,
sedangkan parameter penerimaan keseluruhan dengan menggunakan uji hedonik.
Kuesier uji sensori bakso ikan beloso subsitusi jamur tiram putih dapat dilihat
pada Tabel 8.
Serat Kasar (%) = B − C − AX x 100%
44
Tabel 8. Kuesioner uji sensori bakso ikan beloso substitusi jamur tiram putih
Produk : Bakso Ikan Substitusi Jamur Tiram PutihNama panelis : .............Tanggal : .............
Dihadapan saudara disajikan 6 buah sampel bakso ikan substitusi jamur tiramputih yang diberi kode acak. Anda diminta untuk menilai warna, aroma, rasadan tekstur (uji skoring) serta penerimaan keseluruhan (uji hedonik), denganskor dari 1 sampai 5 sesuai keterangan yang terlampir.
ParameterKode Sampel
041 072 113 188 369 370WarnaAromaRasaTeksturPenerimaan Keseluruhan
Keterangan :Warna Rasa1. Abu-abu 1. Sangat tidak khas ikan2. Abu-abu keputihan 2. Tidak khas ikan3. Putih keabuan 3. Agak khas ikan4. Agak putih 4. Khas ikan5. Putih 5. Sangat khas ikan
Aroma Tekstur1. Sangat tidak khas ikan 1. Sangat tidak kenyal2. Tidak khas ikan 2. Tidak kenyal3. Agak khas ikan 3. Agak kenyal4. Khas ikan 4. Kenyal5. Sangat khas ikan 5. Sangat kenyal
Penerimaan Keseluruhan1. Sangat tidak suka2. Tidak suka3. Agak suka4. Suka5. Sangat suka
45
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
1. Bakso ikan beloso substitusi jamur tiram putih terbaik adalah perlakuan J3
(80% ikan beloso dan 20% jamur tiram putih).
2. Bakso ikan beloso perlakuan terbaik (J3) menghasilkan kadar air 74,71%,
kadar abu 1,96%, kadar protein 11,45%, daya mengikat air 58,43%, dan kadar
serat 0,3%, warna dengan skor 3,78 (agak putih), aroma dengan skor 3,88
(khas ikan), rasa dengan skor 3,54 (khas ikan), tekstur dengan skor 3,68
(kenyal), dan penerimaan keseluruhan dengan skor 3,75 (suka).
3. Kadar abu dan kadar protein bakso ikan beloso substitusi jamur tiram putih
terbaik telah memenuhi Standar Nasional Indonesia bakso ikan (SNI 7266 :
2014), namun kadar air bakso ikan substitusi jamur tiram putih terbaik belum
memenuhi Standar Nasional Indonesia bakso ikan (SNI 7266 : 2014).
4.2. Saran
1. Fillet ikan yang digunakan sebaiknya dibekukan terlebih dahulu dan digiling
sehingga bakso ikan yang dihasilkan memiliki karekteristik sesuai Standar
Nasional bakso ikan (SNI 7266:2014).
69
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Herliyana, E.N., Siregar, I.Z. dan Permana, O. 2011. Panduan LengkapJamur. Penebar Swadaya. Jakarta. 258 Hlm.
Andarwulan, N., Kusnandar, F. dan Herawati. 2011. Analisis Pangan. DianRakyat. Jakarta. 41 Hlm.
Andoko, A dan Parjimo. 2007. Budidaya Jamur Tiram : Jamur Kuping, JamurTiram dan Jamur Merang. Agromedia Pustaka. Jakarta. 74 Hlm.
AOAC. 2005. Official Methods of Analisis. Association of Official AnalitycalChemist. AOAC. Washington DC. USA. 49 p.
Astawan, M. dan Andreas, L.M. 2008. Khasiat Warna Warni Makanan.Gramedia. Jakarta. 320 Hlm.
Astuti, R., Darmanto, Y.S. dan Wijayanti, I. 2014. Pengaruh Penambahan IsolatProtein Kedelai Terhadap Karakteristik Bakso dari Surimi Ikan Swangi(Priacanthus tayenus). Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi HasilPerikanan. 3(3). 47-54.
Badan Standarisasi Nasional. 2014. Syarat Mutu dan Keamanan Bakso Ikan(SNI 7266 : 2014). http://sisni.bsn.go.id/index.php/snimain/sni/detail.sniDiakses pada 07 Maret 2018. 16 Hlm.
Balange, A.K. 2009. Enhancement of Gel Strength of Surimi Using OxidizedPhenolic Compound. (Disertasi). Tambon Ruesamilae, Food Science danTechnology Prince of Songkla University. Thailand. 218 p.
Bano, Z. and Rajaratnam, S. 1988. Biocenversion of Straw by Oyster Mushroomsin Fibrous Residual as Animal Feed. ICAR. New Delhi.
Cao, M.J., Jiang, X.J., Zhong, H.C., Zhang, Z.J. and Su, W.J. 2006. Degradationof Myofibrillar Proteins by a Myofibril-Bound Serine Proteinase in TheSkeletal Muscle of Crucian Carp (Carasius auratus ). Journal FoodChemistry. 94: 7-13.
Chang, S.T. dan Miles, P.G. 1989. Edible Mushrooms and Their Cultivation.Boca Raton. Florida. 345 p.
70
Crisan, E.V. dan Sand, A. 1978. Nutritional Value. Di dalam S.T. Chang danW.A. Hayes (eds). 1978. The Biology and Cultivation Of EdibleMushrooms. Academic Press. New York. 842 p.
Davidek, J., Velisek, J. and Pokorny, J. 1990. Chemical Changes during FoodProcessing. Elsevier. Amsterdam.
DeMann, J. 1997. Kimia Makanan. Cetakan Pertama. Penerbit ITB. Bandung.550 Hlm.
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. 2012. Unit Pengolahan HasilPerikanan Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung. Lampung. 38Hlm.
Djarijah, Marlina, N. dan Djarijah, A.S.2001. Jamur Tiram. Kanisius.Yogyakarta.67 Hlm.
Dwiponggo, A. 1977. Peta Beberapa Sumber Perikanan Demersal (dasar) di LautJawa dan Cina Selatan. Laporan Penelitian Perikanan Laut. BalaiPenelitian Perikanan Laut. Departemen Pertanian. Jakarta.
Farahita, Y., Junianto, dan Kurniawati, N. 2012. Karakteristik Kimia CaviarNilem dalam Perendaman Campuran Larutan Asam Asetat LarutanGaram Selama Penyimpanan Suhu Dingin (5-10oC). Jurnal Perikanan danKelautan. 3(4) : 165-170.
Fauziah, N. 2017. Pengaruh Penambahan Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus)dan Konsentrasi Penstabil terhadap Karakteristik Patty Ikan Patin(Pangasius sp.). (Skripsi). Universitas Pasundan. Bandung. 136 Hlm.
Food and Agriculture Organization. 1987. Species Identification Sheets:Synodontidae (Lizardfishes). FAO. Hush HH (ed).
Hadiwiyoto, S. 1993. Dasar-dasar Teknologi Hasil Perikanan. Liberty.Yogyakarta. 275 Hlm.
Hall, G.M. and Ahmad, N.H. 1992. Surimi and Fish Minced Product. BlackieAcademic and Professional. New York.
Hariadi, H. dan Rahimah, Y. 2017. Pengaruh Penambahan Jamur Tiram Putih(Pleurotus Ostreatus) terhadap Kandungan Gizi dan Sifat OrganoleptikBakso Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Wortel (Daucus carota L).Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan 3(1):172-177.
Harris, R.S. 1989. Evaluasi Gizi pada Pengolahan Bahan Pangan. InstitutTeknologi Bandung. Bandung. 729 Hlm.
71
Heard, N.F. 1976. Characteristic of Edible Plant Tissue. In: Fennema (Ed.).Principle of Food Science. Marcel Dekker Inc.New York. 792 p.
Hermansson, A. M. and Akesson, C. 1975. Fungtional Properties of AddedProteins Correlated with Properties of Meat Systems, Effect ofConcentration and Temperature on Water-Binding Properties of ModelMeat System. Journal Food Science. 40:595-601.
Indrarmono, T.P. 1987. Pengaruh Lama Pelayuan dan Jenis Daging Karkas sertaJumlah Es yang ditambahkan ke dalam Adonan terhadap Sifat PsikokimiaBakso Sapi. (Skripsi). Fakultas Teknologi Pertanian. Institut PertanianBogor. Bogor.
Irawati, A., Warnoto, dan Kususiyah. 2015. Pengaruh Pemberian Jamur TiramPutih (Pleurotus ostreatus) terhadap pH, DMA, Susut Masak dan UjiOrganoleptik Sosis Daging Ayam Broiler. Jurnal Sain PeternakanIndonesia. 10(1):125-135.
Irianto, H.E. dan Giyatmi, S. 2009. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan.Universitas Terbuka. Jakarta. 530 Hlm.
Iqbal, M., Supriadi, A. dan Nopianti, R. 2015. Karakterisrik Fisiko-Kimia danSensoris Sosis Ikan Gabus dengan Kombinasi Jamur Tiram (Pleorotussp.). Jurnal Teknologi Hasil Perikanan. 4(2) : 170-178.
Jitesh, S.,Syed, Z., Hitendra, P., Ashok, D., Anil, K. And Balakrishnan, G. 2011.Effect of Egg Albumen (Protein Additive) on Surimi Prepared fromLizardfish (Saurida tumbil) during Frozen Storage. International Journalof the Bioflux Society. 4(3): 306-312.
Judge, M. D., Aberle, E. D., Forrest, J. C., Hedrick, H. B. and merkel, R. A. 1989.Principle of Meat Science. 2nd ed. Kendall/ Hunt Publishing Co. Dubuque.Lowa. 351 p.
Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta. 120 Hlm.
Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2017. Analisis Data Pokok Kelautan danPerikanan 2016. Pusat Data Statistik dan Informasi. Jakarta. 170 Hlm.
King, M.W. 2011. Muscle Biochemistry : Structure and Function.www.themedicalbiochemistrypage.org. Diakses pada 09 April 2018.
Komariah, Ulupi, N. dan Hendrarti, E.N. 2005. Sifat Fisik Bakso Daging Sapidengan Campuran Jamur Tiram Putih ( Pleurotus ostreatus ) sebagaiCampuran Bahan Dasar. Journal of the Indonesian Tropical AnimalAgriculture. 30(1):34-41.
72
Koswara, S., Hariyadi, P. dan Purnomo, E.H. 2001. Teknologi Pangan danAgroindustri. UI Press. Jakarta. 17 Hlm.
Kramlich, W.E. 1971. Sausage Product. In : Price J.S and B.S Schweigert (Eds.).1987. The Science of Meat Product. W. H. Freeman and Co. SanFransisco.
Kurniawan, A. 2011. Pengaruh Penambahan Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus)terhadap Kualitas Kimia dan Organoleptik Bakso Ayam. (Skripsi).Universitas Sebelas Maret. Semarang. 38 Hlm.
Lee, C.M. and Lanier, T.C. 1992. Surimi Process Technology. Journal FoodTechnology. 38 (11): 69-80.
Liu, R., Zhao, S., Liu, Y., Yang, H., Xiong, S., Xie, B. and Qin, L. 2010. Effect ofpH on the Gel Properties and Secondary Structure of Fsh Myosin. JournalFood Chemistry. 120: 196-202.
Lonergan, E.H. dan Lonergan, S.M. 2005. Review : Mechanisms of WaterHolding Capacity of Meat : The Role of Postmortem Biochemical andStructural Changes. Meat Science. 71: 194–204.
Manullang, M.M., Theresia dan Irianto, H.E. 1995. Pengaruh Konsentrasi TepungTapioka dan Sodium Tripoliphosfat terhadap Mutu dan Daya AwetKamaboko Ikan Pari Kelapa (Trygon sephen). Buletin Teknologi danIndutri Pangan. 6(2): 21-26.
Martawijaya, E.I., dan Nurjayadi, M.Y. 2010. Bisnis Jamur Tiram di RumahSendiri. IPB Press. Bogor. 131 Hlm.
Meilgaard, M., Civille, G.V. and Carr, B.T. 1999. Sensory Evaluation Techniques.CRC Press. New York. 416 Hlm.
Mouritsen, O.G. 2012. Umami Flavour as a Means of Regulating Food Intakeand Improving Nutrition and Health. Nutrition & Health. 21(1):56-75.
Muchtadi, T.R. 1990. Teknologi Pengawetan Jamur Mutiara (Pleurotusostreatus). Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan. Institut PertanianBogor. Bogor. 158 Hlm.
Nakai, S. and Modler, H.W. 2000. Food Protein, Processing Applications. WileyVCH inc. USA
Naruki, S. dan Kanoni, S. 1991. Kimia dan Teknologi Pengolahan Daging. PAUPangan dan Gizi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
73
Nuraisah. 2014. Kombinasi Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) dengan IkanPatin dalam Pembuatan Bakso Ikan. (Skripsi). Fakultas Pertanian.Universitas Riau. Pekanbaru.
Nurmi, A. 1995. Sifat Fisik dan Palatabilitas Bakso Sapi dan Domba bagian Pahadan Lemusir. (Skripsi). Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.Bogor.
Ockerman, H.W. 1983. Chemistry of Meat Tissue. 10th Ed. Departemen ofAnimal Science. The Ohio State University and The Ohio AgriculturalResearch and Development Center. New York. 248 p.
Peranginangin, R.I., Mujanal, dan Murniati, 1987. Kemunduran Mutu Bakso IkanAir Tawar pada Penyimpanan Suhu Kamar. Jurnal penelitian PascaPanen Perikanan. 53:39:45.
Permatasari, W.A. 2002. Kandungan Gizi Bakso Campuran Daging Sapi denganJamur Tiram Putih (Pleuotus ostreatus) pada Taraf yang Berbeda.(Skripsi). Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Perternakan. InstitutPertanian Bogor. Bogor. 40 Hlm.
Pertiwi, K.A., Affandi, M.I. dan Kasymir, E. 2015. Nilai Tambah, PengendalianPersediaan Bahan Baku dan Pendapatan Usaha Pada KUB Bina Sejahteradi Kelurahan Kangkung Kecamatan Bumi Waras Kota Bandar Lampung.Jurnal Ilmu-Ilmu Agribisnis. 3(1):26-31.
Pomeranz Y. 1991. Functional Properties of Food Component. 2nd. AcademicPress. New York. 560 p.
Pradana, E. 2012. Evaluasi Mutu Jantung Pisang dan Ikan Patin sebagai MakananKaya Serat. (Skripsi). Fakultas Pertanian. Universitas Riau. Pekan baru.
Purwanto, A., Ali, A. dan Herawati, N. 2015. Kajian Mutu Gizi Bakso BerbasisDaging Sapi dan Jamur Merang (Volvariella volvaceae). Jurnal Sagu.14 (2):1-8.
Puspitasari, D. 2008. Kajian Substitusi Tapioka dengan Rumput Laut (Eucheumacottoni) pada Pembuatan Bakso. (Skripsi). Universitas Sebelas Maret.Solo.
Rahayu, W.P., Maoen, S. dan Suliantari, F.S. 1992. Teknologi Fermentasi ProdukPerikanan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. InstitutPertanian Bogor. Bogor
Ruri, S., Karo, T. dan Yusraini, E. 2014. Pengaruh Perbandingan Jamur Tiram danTapioka dengan Penambahan Putih Telur terhadap Mutu Bakso JamurTiram. Jurnal Rekayasa Pangan dan Pertanian. 2(1):85-94.
74
Schnepf, M. 1989. Protein - Water Interactions. In : Hardman (Ed). Water andFood Quality. Elsevier Science Publishing Co. Inc. New York.
Setyaningsih, D., Apriyanto, A. dan Puspita, A. 2010. Analisis Sensori untukIndustri Pangan dan Agro. Institut Pertanian Bogor Press. Bogor.180 Hlm.
Shahidi, F. and Botta, J.R. 1994. Seafood s: Chemistry, Processing Technologyand Quality. Blackie Academic and Professional and Imprint of Chapmantand hall. London. 342 Hlm.
Soekarto, S.T. 1990. Dasar-dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan.PAU Pangan dan Gizi. IPB Press. Bogor.
Sunarlim, R. 1992. Karakteristik Mutu Bakso Daging Sapi dan PengaruhPenambahan Natrium Klorida dan Natrium Tripolifosfat terhadapPerbaikan Mutu. (Disertasi). Program Pasca Sarjana. Institut PertanianBogor. Bogor.
Suprapti dan Djarwanto. 1992. Nilai Gizi Jamur Tiram Putih (Pleurotusostreatus)yang Ditanam pada Media Limbah Penggergajian. Prosiding SeminarHasil Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi. Bogor. 81-88.
Suprapti, L. 2003. Membuat Bakso Daging dan Bakso Ikan. Kanisius.Yogyakarta. 68 Hlm.
Suprapti, L. 2005. Tepung Tapioka Pembuatan dan Pemanfaatannya. Kanisius.Yogyakarta. 80 Hlm.
Supriyanti, F., Dwiyanti, G. dan Muliani, P. 2013. Surimi dari Ikan Beloso(Saurida tumbil sp) dan Analisis Kandungan Gizinya. Jurnal Sains danTeknologi Kimia. 4(2): 125-134.
Suriawiria, U. 2002. Budidaya Jamur Tiram. Kanisius. Yogyakarta. 87 Hlm.
Suzuki, T. 1981. Fish and Krill Protein : Processing Technology. AppliedScience Publ Ltd. London. 260 p.
Syaharuddin, A.H. 2014. Studi Pembuatan Bakso Jamur Tiram (Pleurotusostreatus) dengan Fortifikasi Daging Ikan Tuna Mata Besar. (Skripsi).Universitas Hasanuddin. Makassar. 88 Hlm.
Syamsiah, I.S. dan Tajudin. 2003. Khasiat dan Manfaat Bawang Putih RajaAntibiotik Alami. Agromedia Pustaka. Jakarta. 63 Hlm.
Tjokrokusumo, D. 2008. Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostrestus) untukMeningkatkan Ketahanan Pangan dan Rehabilitasi Pangan. JurnalTeknologi Lingkungan. 4 (1):77-92.
75
Tranggono dan Sutardi. 1990. Teknologi Pasca Panen. Pusat Antar UniversitasPangan dan Gizi. Universitas Gajah Mada. Jogjakarta. 280 Hlm.
Wardani, W.D. 2008. Isolasi dan Karakterisasi Natrium Alginat dari Rumput LautSargassum sp untuk Pembuatan Bakso Ikan Tenggiri (Scomberomuscommerson). (Skripsi). Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Waridi. 2004. Pengolahan Sosis Ikan. Departemen Pendidikan Nasional,Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah DirektoratPendidikan Menengah Kejuruan. Jakarta. 35 Hlm.
Wibowo, S. 1999. Budidaya Bawang. Penebar Swadaya. Jakarta. 212 Hlm.
Wibowo, S. 2006. Pembuatan Bakso Ikan dan Bakso Daging. Penebar Swadaya.Jakarta. 67 Hlm.
Widyaningsih, T. D. dan Murtini, E. S. 2006. Alternatif Pengganti Formalin padaProduk Pangan. Trubus Agrisarana. Surabaya. 64 Hlm.
Widyastuti, N., Tjokrokusumo, D. dan Giarni, R. 2011. Potensi Beberapa JamurBasidiomycota sebagai Bumbu Penyedap Alternatif Masa Depan.Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPIProgram Studi TIP-UTM. 52-60 Hlm.
Wilson, N.R.P., Dyett, E.J., Hughes, R.B. and Jones, C.R.V. 1981. Meat andMeat Product. Applied Science Pub. London dan New Jersey. 639 p.
Winarno, F.G. dan Rahayu, T.S. 1994. Bahan Tambahan untuk Makanan danKontaminan. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. 343 Hlm.
Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.253 Hlm.
Wirakartakusumah, M.A., Kamaruddin, A. dan Syarief, A.M. 1992. Sifat FisikPangan. Pusat Pengembangan Teknologi Pangan. Institut Pertanian Bogor.Bogor.
Wong, D.W.S. 1990. Mechanism and Theory in Food Chemistry. Van NostrandReinhold. New York. 428 p.
Zayas, J.F. 1997. Functionality of Protein in Food. Springer. New York. 373 p.
Zebua, A. E., Rusmarilin, H. dan Limbaong, N.L. 2014. Pengaruh PerbandinganKacang Merah dan Jamur Tiram Putih dengan Penambahan Tapioka danTepung Talas terhadap Mutu Sosis. Jurnal Rekayasa Pangan danPertanian. 2 (4): 92-101.