Upload
others
View
13
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
46 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 17 No. 1, Maret 2017
ESTETIKA
FRIEDRICH WILHELM NIETZSCHE:
Romantisme Estetis
dalam Prinsip Apollonian dan Dionysian
Trio Kurniawan
STFT Widya Sasana, Malang
Abstrak
The classical philosophers present a picture of beauty refers to the Absolute
Reality. Beauty has always been associated with concepts of metaphysical
and transcendental ethics that far from human daily experiences. Nietzsche
ripped that picture off and settled the beauty parallel to the everyday life of
human. The art in Nietzsche’s point of view is the work of human where they
try to love their life, not just chasing an abstract value where there is no end.
Keywords: Appollonian, Dionytian, Traditional Moralitiy.
Abstrak
Para filosof klasik menghadirkan gambaran tentang keindahan mengacu pada
Realitas Absolut. Akibatnya, keindahan selalu diasosiasikan dengan konsep-
konsep metafisika dan etika transendental yang sejatinya “jauh” dari
keseharian manusia. Nietzsche merobek cara berpikir seperti itu dan
meletakkan keindahan dalam hubungannya dengan keseharian manusia. Seni,
dalam perspektif Nietzsche, adalah karya manusia di mana mereka mencoba
untuk mencintai kehidupan mereka lewat karya tersebut, tidak hanya
mengejar nilai-nilai abstrak yang tak berujung.
Kata Kunci: Apollonian, Dionysian, Moralitas Tradisional.
1. Pengantar
Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900) merupakan filosof, penyair
dan psikolog berkebangsan Jerman. Ia terkenal karena konsep filosofisnya
yang mengkritisi moralitas tradisional dan kemudian menyerukan
“kematian Tuhan”.1 Perkembangan dunia yang mengarah pada
1 "Got ist tot” atau “God is dead” (The Gay Science 108, 125, 343) adalah ungkapan yang dipopuler-
kan oleh Nietzsche lewat kumpulan tulisannya di Die fröhliche Wissenschaft/The Gay Science
Trio Kurniawan, Estetika Friedrich Wilhelm Nietzsche 47
saintifikasi realitas membuat Nietzsche mempertanyakan kualitas diri
manusia. Moralitas tradisional dan saintifikasi realitas menyebabkan diri
manusia yang sejati justru terbelenggu.
Nietzsche menggugat konsep tersebut dan menyerukan perlunya
eksistensi “manusia super”, artinya manusia yang sejati adalah manusia
dengan kualitas-kualitas hebat, bukannya terbelenggu oleh moralitas
kaku. “Manusia Super” ini mengatasi dan menyingkirkan moralitas budak
yang sekian lama hidup dalam diri manusia. Manusia hendaknya
memiliki “moral tuan” karena state of nature manusia, menurut Nietzsche,
adalah kuatnya kehendak untuk berkuasa.
Cara Nietzsche dalam melihat keindahan pun demikian adanya.
Konsep Nietzsche tentang estetika dilandasi oleh gagasannya mengenai
manusia yang dapat secara merdeka melaksanakan kehendaknya dan
menjadi kreatif. Baginya, kehendak manusia bukanlah hal yang perlu
ditaklukkan. Sebaliknya, manusia harus berani untuk mengeluarkan
potensinya, menjadi kreatif dan teguh dalam melawan aturan massa yang
membelenggu kemerdekaan manusia. Pada titik ini, estetika mendapat
tempatnya. Estetika (seni), bagi Nietzsche, menjadi ruang di mana
manusia dapat memahami realitas dan kemudian mampu mengeluarkan
segenap potensi dan kreatifitasnya.
2. Belajar dari Arthur Schopenhauer
Nietzsche pada masa mudanya begitu kuat dipengaruhi oleh
pemikiran Arthur Schopenhauer. Perjumpaan Nietzsche pada tahun
1865 dengan buku karya Arthur Schpenhauer yang berjudul The World
as Will and Representation digambarkannya dengan sangat dramatis.
Dalam tulisannya di kemudian hari, Nietzsche mengatakan: “Entah setan
apa yang membisiki saya saat itu sehingga memutuskan untuk membaca
buku tersebut (The World as Will and Representation)”. Buku itu kemudian
dibawa Nietzsche ke rumahnya dan ia baca di sudut sofa. Ia merasa
dirasuki oleh dinamika dan pelbagai konsep yang ditawarkan oleh Arthur
Schopenhauer di buku tersebut. Dengan sangat lugas, Nietzsche
mengatakan bahwa Arthur Schopenhauer merupakan seorang atheis
paling jujur di masa modern ini.
Konsep metafisika Schopenhauer sebenarnya diambil dari Sistem
(1882). Ungkapan Nietzsche ini paling banyak dikutip ketika orang-orang menuliskan atau
mendiskusikan pemikirannya. Ada banyak penafsiran orang mengenai seruan ini, namun
yang paling banyak diminati kiranya adalah sebagai berikut: seruan Nietzsche ini
merupakan bentuk kritiknya atas ketidakmampuan manusia dalam menjalankan norma-
norma agama. – Bdk. Friedrich Nietzsche, The Gay Science (trans. Josefine Nauckhoff), New
York: Cambridge University Press, 2001.
48 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 17 No. 1, Maret 2017
2 Phenoumena berasal dari bahasa Yunani Phainomenon yang biasanya diterjemahkan sebagai
menunjukkan, menyinari, mewujudnyatakan. Singkatnya, phenoumena dimengerti sebagai
apa yang tampak oleh indera. Sebagai kontrasnya, Immanuel Kant menggunakan kata
noumena (Yunani: Naoumenon). Noumena dimengerti sebagai fakta yang ada pada dirinya
sendiri dan tidak tertangkap oleh indera. Noumena berada di balik batas-batas phenoumena
(pengalaman, realitas empiris) dan tidak dapat dimasuki oleh permenungan manusia.
Singkatnya, phenoumena adalah apa yang tampak dan noumena adalah hakekatnya.
3 Bdk. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Penerbit Gramedia, 1996, 429-430.
4 "The true is its own becoming, it circle that presupposes its end as its aim and thus has it for its
beginning-that which is actual only through its execution and end.” Sebuah pernyataan yang
ditulis oleh Hegel untuk menjelaskan proses teleologis Yang Absolut/ Kesadaran Absolut.
– Bdk. Walter Kaufman, Hegel: Text and Commentary (trans. Walter Kaufman), New York:
Doubleday &Company Inc, 1966, 30.
Idealisme Transendental menurut Immanuel Kant sebagaimana yang ia
tulis dalam Kritik Akal Budi Murni (The Critique of Pure Reason). Immanuel
Kant melihat dunia objektif ini sebagai sebuah phenoumenadi
mananoumena2 yang terdapat di dalamnya tidak dapat ditangkap oleh
rasionalitas manusia secara utuh. Apa yang ditangkap oleh akal budi
hanyalah merupakan “kulit luar” semata. Bagi Kant, rasionalitas dan
kehendak adalah dua hal yang tidak terlalu penting dibedakan. Bahkan,
ia mengatakan bahwa fakultas kehendak dapat bekerja tanpa
dipengaruhi oleh keinginan atau kecenderungan manusia karena penentu
kegiatan-kegiatan kehendak adalah rasio praktis sendiri.3
Selain itu, Arthur Schopenhauer juga membaca dan mempelajari
konsep filosofis Hegel. Bagi Hegel, dunia ini merupakan bentuk kehadiran
Kesadaran Absolut. Tak ada satupun dari bagian dunia Ada ini yang
tidak merupakan bagian dari Kesadaran Absolut. Kesadaran Absolut
adalah suatu kenyataan yang terus bergerak di dalam dirinya. Dialah
subjek sekaligus objek atas pergerakan itu. Kenyataan adalah dirinya
yang menjadi, semacam lingkaran yang mengandaikan bahwa tujuannya
adalah awal dari pergerakannya-dan menjadi nyata hanya melalui
pergerakan dan tujuannya.4 Kesadaran Absolut itu adalah subjek yang
sadar akan dirinya sendiri. Hegel kemudian meyakini kalau Kesadaran
Absolut itu mengalienasikan dirinya di dalam alam agar manusia pun
sadar akan dirinya. Di dalam manusialah Yang Absolut dapat mengenali
dirinya kembali. Baik Kant maupun Hegel, keduanya sama-sama melihat
dunia sebagai representasi rasionalitas subjek ataupun Kesadaran. Dalam
istilah Kant, dunia ini dijalankan oleh kehendak manusia sesuai dengan
gerak rasio praktis.
Arthur Schopenhauer menggunakan konsep Kant dan Hegel dalam
menjelaskan gagasannya mengenai Kehendak. Walaupun pada dasarnya
mengkritisi (dan bahkan dalam beberapa hal menegasikan), Nietzsche
tetap menggunakan konsep kantianisme untuk menjelaskan gagasannya
Trio Kurniawan, Estetika Friedrich Wilhelm Nietzsche 49
5 "The world is my representation”. Kalimat ini menjadi bagian pembuka dari buku Arthur
Schopenhauer The World as Will and Representation. Arthur Schopenhauer meyakini bahwa
dunia merupakan representasi dari diri manusia. Dalam penjelasan yang lebih lanjut
nantinya, dunia ditegaskan sebagai representasi dari kehendak manusia. – Arthur
Schopenhauer, The World as Will and Representation, Vol. I (trans. E. F. J. Payne), New York:
Dover Publications, Inc., 1969, 3.
6 Bdk. James I. Porter, “Nietzsche’s Theory of The Will to Power” dalam Pearson, Keith and
Ansell (Eds.), A Companion to Nietzsche, London: Blackwell, 2006.
7 Bdk. Nietzsche, The Will to Power (trans. Walter Kaufman dan R.J. Hollindale), New York:
Vintage Books, 1967, 822.
mengenai Kehendak. Dunia ini, pada esensinya menurut Schopenhauer,
merupakan Kehendak.5 Sementara itu, perbuatan manusia yang tampak
secara fisik, termasuk juga realitas yang tampak dan berubah akibat
perbuatan manusia merupakan perwujudan Kehendak. Bagi
Schopenhauer, Kehendak (hasrat) manusia itu bisa saja tidak logis dan
tanpa arah. Oleh karena itu, manusia harus mampu menaklukkan
kehendaknya agar dia tidak diperbudak. Menjadi manusia sejati berarti
menjadi manusia yang merdeka dari hasrat tak terarah.
Dari pandangan Schopenhauer ini, bisa disimpulkan bahwa realitas
dunia ini pada dasarnya gelap dan rapuh. Dunia menjadi tempat di mana
kehendak berkuasa dan perbudakan atas diri manusia merajalela.6
Namun berbeda dengan Arthur Schopehauer, Nietzsche justru melihat
dunia dalam kerangka yang lebih optimis. Ketika Schopenhauer
menetapkan dunia sebagai ruang kehancuran akibat kuatnya dominasi
Kehendak, Nietzsche justru menjadikan dunia sebagai ruang yang harus
dipeluk dan dicintai. Dunia adalah tempat di mana manusia mampu
mencintai kehidupan, justru dengan kehendak untuk berkuasanya
tersebut. Gagasan inilah yang kemudian membentuk konsep metafisika
dan estetika Nietzsche di kemudian hari. Pada satu sisi ia mengamini
pemikiran Schopenhauer dan pada sisi lain ia menolaknya.
3. Seni dan Metafisika: Kritik atas Pemikiran Arthur Schopenhauer dan
Immanuel Kant
Seni merupakan salah satu tema sentral yang dibahas oleh Nietzsche
dalam beberapa karya besarnya. Seni bagi Nietzsche merupakan jalan
untuk memiliki kebenaran, We possess art lest we perish of the truth.7
Kalimat ini tidak bisa diartikan bahwa seni mengambil tempat kebenaran
hakiki, atau secara ekstrem mengatakan bahwa dengan belajar seni
semata maka orang bisa belajar kebenaran. Bagi Nietzsche, seni
merupakan ruang di mana manusia bisa mendekati dan memeluk
kebenaran. Itu sebabnya, dengan memiliki keindahan di dalam dirinya
manusia dapat memiliki kebenaran.
50 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 17 No. 1, Maret 2017
8 The Birth of Tragedy atau judul lengkapnya The Birth of Tragedy out of the Spirit of Music
merupakan buku yang ditulis oleh Friedrich Nietzsche pada tahun 1872. Buku ini ia tulis
setelah perjumpaannya dengan Richard Wanger yang memberi pengaruh besar bagi
Nietzsche dalam melihat seni dan keindahan. Secara ilmiah, buku ini sebenarnya tidak
dapat dikategorikan sebagai buku ilmiah karena tidak memiliki standar kepustakaan yang
jelas: tidak memiliki catatan kaki, daftar pustaka ataupun daftar rujukan.
9 Bdk. Walter Kaufmann, Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist, New Jersey: Princeton
University Press, 2013, 128.
Penjelajahan tentang konsep seni menurut Nietzsche akan mulai
lebih dalam digali lewat buku The Birth of Tragedy.8 Dalam buku tersebut,
Nietzsche menyebutkan bahwa ada dua prinsip dasar yang saling
melengkapi, yaitu Apollonian dan Dionysian. Prinsip dasar ini
sebenarnya bisa dijelaskan dalam aspek metafisika, epistemologi dan
estetika. Namun demikian, fokus pembicaraan dalam teks singkat ini akan
secara khusus terarah pada aspek estetika dan metafisika semata.
Dalam mitologi Yunani, Dewa Apollo disebut juga sebagai Dewa
Cinta, Dewa Keindahan. Ia menjadi gambaran ketenangan, keteraturan,
cinta dan keindahan. Prinsip Apollonian, secara estetis, menunjukkan
keindahan yang lembut di mana dunia dipandang dari intelektualitasnya,
buka hawa nafsu tak terarah. Dewa Apollo merepresentasikan gambaran
Yunani klasik tentang keindahan sejati, yaitu Dewa yang menciptakan
harmoni dan keindahan, kekuatan yang mampu membentuk karakter
manusia tidak lebih dari sekadar karya seni
Sebaliknya, Dewa Dionysus (Dionisos) disebut juga sebagai Dewa
Mabuk. Ia menjadi gambaran emosi dan kehendak yang meluap-luap,
kejantanan dan agresivitas. Dewa Dionysus, oleh Nietzsche, di-
gambarkan sebagai Dewa yang akan merusak segala bentuk dan tatanan.
Karakter Dionysian inilah yang menurut Nietzsche dirasakan oleh manusia
ketika menikmati musik atau karya seni lainnya: situasi bebas yang
tertinggi (ultimate).9 Prinsip Dionisian inilah yang oleh Kant disebut sebagai
prinsip sublime (yang tertinggi), luar biasa dan keberlimpahan.
Dionysus merupakan Dewa yang sering disebut juga dengan Dewa
Perayaan. Kemewahan dan kemabukan yang selalu muncul dalam pesta-
pesta menunjukkan hasrat dan pemujaan bangsa Yunani terhadap
Dionysus. Gambaran Dionysus menggambarkan perasaan seseorang yang
sedang mengalami ekstasi, ia terlepas dari segala macam persoalan hidup.
Ia tidak lagi terikat pada dirinya sendiri. Bahkan dalam perayaan-
perayaan Dewa Dionysus, bangsa Yunani ada yang membawa rempah-
remah narkotik supaya dapat merasakan ekstasi, pengalaman “terbang”
lepas tanpa ikatan dan penderitaan di dunia.
Kaufmann menjelaskan bahwa dalam The Birth of Tragedy, Nietzsche
tidak mendukung salah satu dewa sebagai gambaran utama yang mampu
Trio Kurniawan, Estetika Friedrich Wilhelm Nietzsche 51
10 Bdk. Ibid.
11 Bdk. Ruben Berrios and Aaron Ridley, “Nietzsche” dalam Berys Gaut dan Dominic Mclver
Lopes, The Routledge Companion to Aesthetics, New York: Routledge, 2001, 77.
menunjukkan kesejatian seni. Baginya, tanpa adanya salah satu karakter,
seni tidak akan menemukan keindahannya. Itu berarti bahwa karakter
destruktif-memabukkan maupun harmoni-keindahan merupakan
karakter-karakter yang ada dalam seni itu sendiri.10 Nietzsche menegas-
kan bahwa kebudayaan Yunani tidaklah seindah dan sedamai yang
dibayangkan, sebaliknya kebudayaan tersebut penuh dengan konflik dan
peperangan.
Nietzsche mengatakan bahwa dalam karya seni yang bernuansa
tragedi, sebagaimana yang tampak dalam karya-karya puisi maupun
drama Yunani, prinsip Dionysian dan Apollonian melebur menjadi satu.
Baik keindahan dan penderitaan menyatu dalam syair-syair puitis
maupun musik-musik yang dimainkan para musisi. Seni tragis semacam
ini justru mampu membawa penikmatnya pada keindahan. Kengerian
metafisis, yang digambarkan Schopenhauer lewat perbudakan kehendak
atas diri manusia, melebur dalam suatu keindahan.
Secara metafisis, prinsip Dionysian merupakan karakter “kesatuan
primordial yang gelap”. Ia berada sebagai hakekat segala yang ada dan
menjadi esensi tersembunyi dari realitas. Dalam bahasa epistemologis,
prinsip Dionysian ini menjadi semacam kebenaran tersembunyi yang siap
meledak kapan saja. Dalam terminologi Schopenhauer, prinsip Dionysian
ini disebut sebagai Kehendak.11 Sebaliknya, prinsip Apollonian dalam
terminologi Schopenhauer disebut sebagai Representasi Kehendak. Secara
metafisis, prinsip Apollonian ini merujuk kepada segala yang tampak
dan bisa diinderai manusia. Ada sebagai realitas objektif-empiris
merupakan prinsip Apollonian.
Nietzsche secara tegas menolak distingsi antara Realitas dan
Representasinya semacam ini. Pembedaan secara metafisis-tradisional
antara dunia yang tampak dengan esensinya akan memunculkan
kerancuan menurut Nietzsche. Akibatnya pemahaman tentang dunia
yang riil perlu diperjelas lagi. Bagi Nietzsche, dunia yang sejati bukanlah
Realitas metafisis sebagaimana yang dipahami dalam metafisika
tradisional. Dunia yang sejati adalah kehidupan hari ini, pengalaman
keseharian manusia. Kalaupun harus dibuat distingsi, pembedaan
tersebut ada dalam pengalaman-pengalaman aktual.
Dunia metafisis yang ditunjukkan oleh Nietzsche merupakan dunia
sehari-hari manusia. Baginya, jika ingin dibandingkan, dunia keseharian
manusia ini merupakan phenoumenondi mana di balik realitas yang
tampak ini ada kebenaran yang tersembunyi, kekuatan yang belum
52 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 17 No. 1, Maret 2017
terkuak. Itu sebabnya ia kemudian menemukan kemiripan antara konsep
mitologis Yunani (Dionysian-Apollonian) dengan konsep dunia yang ia
pahami. Dalam pemikiran Nietzsche, Apollo merupakan Dewa
Phenoumenon yang menjadi wajah keseharian manusia dan Dionysus
merupakan kebenaran sejati yang tersembunyi dari pandangan manusia.
Nietzsche mengutip contoh yang digunakan oleh Arthur
Schopenhauer tentang seorang pelaut yang sendirian menghadapi
ganasnya lautan. Pelaut ini, menurut Nietzsche, merupakan gambaran
prinsip Apollonian. Ia menunjukkan individuasi manusia berhadapan
dengan dunia. Apollo menjadi gambaran identitas diri manusia (pelaut)
ketika berhadapan dengan chaos yang tercipta oleh lautan yang ganas.
Sebaliknya, prinsip Dionysian tampak dalam ganasnya ombak lautan
yang merongrong individuasi manusia. Ombak yang ganas tersebut
merupakan gambaran realitas yang tak tampak. Kekacauan,
pertengkaran, pemberontakan merupakan kekuatan tersembunyi di
dalam pribadi manusia yang tampak anggun, diam dan tenang.
Pemahaman ini juga berdampak pada konsep estetikanya. Ketika
keindahan tidak lagi mengacu pada Realitas Ada metafisis, pada dimensi
mana Nietzsche meletakkan pondasi keindahan? Menjadikan Realitas
Ada sebagai tolok ukur bagi dunia keseharian tentu membuat manusia
tidak merasakan kenyamanan dan keindahan dari dunia semacam ini.
Manusia tidak lagi menjadi bebas dalam menilai maupun menikmati
keindahan dunia yang ia jalani sehari-hari. Ketika apa yang disebut riil
adalah kehidupan sehari-hari, manusia akhirnya mampu menikmati
keindahan tersebut tanpa adanya aturan-aturan atau standar metafisis
yang membatasi. Manusia mampu mengelola karya seni sesuai dengan
kreatifitasnya yang tanpa batas.
Bagi Nietzsche, seni menjadi semacam perantara antara manusia
dan kebenaran. Seni ibarat tirai yang jika dibuka oleh manusia maka
yang pertama kali manusia jumpai adalah kebenaran. Seni itu ibarat
“topeng-topeng kebohongan” karena yang ditampilkan bisa saja berupa
sandiwara ataupun orkes panggung. Seni menjadi tempat di mana
kebohongan dapat diterima dan “dikuduskan” serta Kehendak buruk
manusia dapat dianggap masuk akal dan dinikmati oleh banyak orang.
Pada titik lain, seni juga menjadi ruang di mana manusia justru
menunjukkan dimensi kreatif dan potensi yang selama ini terpendam
akibat perbudakan moralitas tradisional. Namun demikian, keindahan
yang ditawarkan dalam setiap pertunjukan seni merupakan kebenaran
yang tersembunyi. Seni menjadikan realitas kehidupan manusia begitu
indah.
Konsep Nietzsche tentang seni yang semacam ini pula yang ia
jadikan sebagai senjata untuk melawan saintifikasi dunia yang
tampaknya tak terbatas. Bagi Nietzsche, saintifikasi merupakan suatu
Trio Kurniawan, Estetika Friedrich Wilhelm Nietzsche 53
bentuk pembodohan dan wajah dari kepalsuan dunia. Sains membuat
manusia tidak berani untuk jujur dalam menilai dunia. Berhadapan
dengan pesimisme semacam itu, Nietzsche menjadikan seni sebagai
konsep alternatif yang mampu membebaskan manusia dari belenggu
saintifikasi.
4. Seni dan Etika
Semenjak seni menjadi ruang aktualisasi kreatifitas dan potensi
manusia yang terkungkung selama ini, Nietzsche memaklumkan peran
penting seni dalam mentransformasi hidup manusia:
What does all art do? does it not praise? does it not glorify? does it not select?
does it not highlight? By doing all this it strengthens or weakens certain valu-
ations . . . Is this no more than an incidental? an accident? Something in which
the instinct of the artist has no part whatever? Or is it not rather the prerequi-
site for the artist’s being an artist at all . . . Is his basic instinct directed towards
art, or is it not rather directed towards the meaning of art, which is life?12
Tantangan terberat dalam seni, menurut Nietzsche, selalu berkaitan
dengan moralisasi yang terdapat dalam seni. Nietzsche muak dengan
tendensi-tendensi moral yang selalu dialamatkan pada seni. Artinya, seni
menjadi begitu kaku karena harus mengikuti standar moral atau
keindahan tertentu. Bukankah seni hadir untuk kehidupan? Lantas
mengapa seni kemudian justru “mati” dalam kehidupan manusia karena
kakunya aturan moral?
Nietzsche meyakini bahwa justru bukan moralitas (tindakan
manusia) yang pertama-tama menunjukkan realitas dunia yang sejati,
melainkan seni. Ia sebenarnya tidak mencintai seni per se, melainkan
mencintai seni karena peran pentingnya bagi kehidupan umat manusia.
Seni merupakan bahasa simbolis yang paling jelas menunjukkan essensi
dunia. Mengapa demikian?
Seni pertama-tama merupakan bentuk yang paling jelas merangkum
bentuk-bentuk realitas keseharian dan juga ciptaan. Karena itulah di
dalam seni terdapat unsur tindakan transformatif dan interpretatif yang
justru semakin mendekatkan nilai-nilai etis ke dalamnya. Seni sebagai
sebuah tindakan transformatif artinya seni mampu mengubah cara
pandang, perilaku hingga peradaban manusia. Michelangelo misalnya
menggambar langit-langit Kapel Sistina dengan rupa-rupa manusia yang
setengah telanjang. Karya seninya ini menggambarkan dan membentuk
12 Bdk. Fiedrich Nietzsche “Twilight of the Idols” dalam Aaron Ridley dan Judith Norman
(Eds.), Friedrich Nietzsche:The Anti-Christ, Ecce Homo, Twilight of the Idols and Other Writtings
(trans. Judith Norman), UK: Cambridge University Press, 2005, 204.
54 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 17 No. 1, Maret 2017
peradaban dunia pada saat itu di mana penghargaan terhadap tubuh
manusia sebagai sebuah keindahan yang hakiki sungguh diperhatikan.
Karya-karya Leonardo da Vinci merupakan bentuk puncak revolusi sains
yang telah dimulai oleh Copernicus dan Galileo Galilei. Bahkan, seni meme
yang berkembang pada media digital hari ini menjadi contoh bagaimana
karya seni bisa dijadikan medan satire atau kritik tata hidup bersama.
Seni sebagai sebuah tindakan interpretatif artinya seni menjadi
medan pemaknaan ulang atas realitas. Para seniman mencoba membaca
realitas yang ia tangkap dalam inderanya untuk kemudian ia tafsirkan
dalam karya-karya seni. Tafsiran ini bisa beragam walau seniman
berhadapan dengan objek yang sama. Itulah sebabnya seni bisa dengan
jelas dan tepat menjadi ruang di mana kebenaran secara perlahan
terkuak. Para seniman bisa dianggap sebagai “penyambung lidah
kebenaran”.
Karakter transformatif dan interpretatif ini kemudian menjadikan
etika sebagai bagian dari sebuah karya seni. Etika pada dasarnya berkaitan
dengan tata hidup bersama baik dalam hal panduan bagi perilaku
maupun pendorong manusia untuk bertindak dan menjadi kreatif.
Karena seni juga menyentuh persoalan yang sama, terbentuklah irisan
antara etika dan estetika. Itu sebabnya sebuah karya seni tak akan bisa
terlepas dari karakter etisnya.
Berikutnya, etika merupakan sesuatu yang bersifat praktis sekaligus
teoritis. Artinya, etika berkaitan dengan tindakan keseharian manusia.
Tindakan manusia tersebut jelas dilakukan dalam standar yang sudah
ditetapkan bersama sehingga sifatnya memaksa. Seni tidak berada dalam
ruang paksaan tersebut. Dalam seni, etika dimunculkan tanpa paksaan
apapun. Etika lahir secara bebas dan ditunjukkan tanpa paksaan atau
aturan dari pihak manapun. Itu sebabnya Nietzsche menjadikan seni
sebagai ruang di mana etika menjadi dirinya sendiri, bukan atas bentukan
dan paksaan kelompok manusia.
Ketiga, sebagaimana sudah dijelaskan di atas, etika keseharian
memiliki kecenderungan memaksa. Hal ini menggambarkan karakter
impulsif dari etika tradisional (dalam bahasa teologis disebut moralitas).
Paksaan dari moralitas jenis ini menyebabkan manusia tidak dapat
menjadi dirinya sendiri. Sebaliknya, seni tidak hanya dapat menunjukkan
karakter-karater fundamental moralitas manusia secara perlahan, namun
justru secara langsung menunjukkan karakter-karakter tersebut.
Beberapa poin di atas menunjukkan satu gagasan penting Nietzsche
tentang seni dan etika. Seni menjadi penting pertama-tama bukan karena
ia mengajarkan manusia cara bersikap etis dan memiliki pengetahuan
tentang etika itu sendiri. Seni menjadi begitu sempurna dan merupakan
jembatan bagi manusia untuk mengenal kebenaran karena seni pertama-
tama mengajarkan manusia cara untuk mencintai kehidupan.
Trio Kurniawan, Estetika Friedrich Wilhelm Nietzsche 55
13 Pernyataan ini diambil dari bagian 5 buku The Birth of Tragedy. – Bdk. Nietzsche, “The Birth
of Tragedy” dalam Raymond Geus dan Ronald Speirs (Eds.), The Birth of Tragedy and Other
Writings, UK: Cambridge University Press, 1999, 8.
14 Bdk. Ibid., 1.
15 Bdk. Nietzsche, The Dawn, Section 240.
16 Bdk. Bernard Reginster, “Art and Affirmation” dalam Daniel Came, Nietzsche on Art and
Life, UK: Oxford University Press, 2014.
Dalam buku The Birth of Tragedy, Nietzsche mengatakan bahwa
tidaklah mungkin menilai dunia dari sisi mural karena “hidup itu... pada
dasarnya adalah amoral”.13 Bagaimana mungkin manusia bisa menilai
dunia ini ketika pada dasarnya prinsip-prinsip moralitas dalam tata hidup
bersama tidak lagi berguna? Bagi Nietzsche, persoalan moralitas hanya
bisa didekati melalui prinsip-prinsip estetis karena di dalam estetikalah,
sekali lagi, persoalan tentang kebenaran dan kehidupan terbuka secara
jernih. Hanya seni yang membuat dunia yang begitu kejam ini layak dan
masuk akal untuk dihidupi.14
Whoever thinks that Shakespeare’s theater has a moral effect, and
that the sight of Macbeth irresistibly repels one from the evil of ambi-
tion, is in error: and he is again in error if he thinks Shakespeare him-
self felt as he feels. [....] The tragic poet has just as little desire to take
sides against life with his image of life! He cries rather: “it is the stimulant
of stimulants, this exciting, changing, dangerous, gloomy and often sun-
drenched existence! It is an adventure to live—espouse what party in it
you will, it will always retain this character!”15
Drama-drama yang dibuat oleh Shakespeare, bagi Nietzsche,
pertama-tama bukan persoalan moralitas yang ditujukan bagi penikmat
karyanya. Segala tangisan yang muncul lewat puisi-puisi tragis
sebenarnya merupakan sebuah petualangan bagi manusia untuk sampai
pada kehidupan itu sendiri.
Bernard Reginster,16 dalam essainya Art and Affirmation, me-
nunjukkan bahwa persoalan penderitaan merupakan fokus utama
pembahasan Nietzsche baik dalam konsep filosofisnya secara keseluruhan
maupun mengenai estetika. Memang ada perbedaan mendasar antara
karya Nietzsche pada saat muda dan tua. Pada saat muda, Nietzsche
berpendapat bahwa penderitaan manusia bisa dihilangkan dengan
menciptakan suatu ilusi tentang keindahan. Ketika manusia
membayangkan bahwa hidup ini sejatinya indah, ia akan dengan mudah
dapat melupakan segala beban penderitaannya. Kiranya buku The Birth
of Tragedy secara ringkas ingin mengatakan bahwa solusi terbaik untuk
menghilangkan penderitaan adalah dengan membangun ilusi tentang
keindahan.
56 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 17 No. 1, Maret 2017
Konsep ini berubah ketika Nietzsche memasuki masa tua. Pada masa
tuanya, Nietzsche menyadari bahwa membangun ilusi tentang
keindahan tidak akan menyelesaikan persoalan manusia tentang
penderitaan dan beban hidupnya. Manusia harus menghadapi
penderitaan tersebut dan dengan Kehendak Untuk Berkuasanya, manusia
menaklukkan penderitaan. Kehendak ini dibangun lewat kreatifitas dan
optimisme dalam hidup. Kreatifitas ini melahirkan karya-karya seni yang
sangat luar biasa. Tragedi dapat menjadi motivasi bagi manusia untuk
kreatif dan mencintai kehidupan.
Sebenarnya, bisa saja dikatakan bahwa Nietzsche tidak hendak
menciptakan ilusi tentang keindahan sebagai cara untuk mengatasi
keindahan. Bisa jadi ini hanyalah sebuah satir dari Nietzsche untuk
mengkritik mereka yang terpesona pada keindahan artistik namun
melupakan persoalan sehari-hari yang membelenggu diri manusia.
Bukankah dalam prinsip Dionysian Nietzsche sudah menunjukkan
karakter tegas dan destruktif seni? Artinya, dalam prinsip Dionysian ini,
Nietzsche sudah secara langsung peran penting seni untuk membangun
kehidupan manusia yang terbelenggu. Seni pada dasarnya merongrong
keterbelengguan manusia dan mengajak manusia untuk memberontak
dari keterbatasan ini. Seni mengajak manusia untuk secara jujur dan
tegas memutuskan rantai-rantai penderitaan dan perbudakan manusia.
Singkatnya, Nietzsche mengubah cara pandang manusia dalam
melihat seni. Dalam masa-masa sebelumnya, seni dipandang sebagai
tontonan yang menyenangkan indera dan jiwa. Dalam tangan dingin
Nietzsche, seni menjadi senjata dan ruang transformasi yang sangat
tangguh. Seni menyibakkan selubung kebenaran dan mendorong manusia
untuk menjadi kreatif, membebaskan manusia dari penderitaan dan
belenggu perbudakan. Seni membuat manusia mampu mencintai
kehidupan secara utuh.
5. Masa Depan Seni dalam Estetika Nietzsche
Konsep estetika yang dibangun oleh Nietzsche ini dikemudian hari
mengubah cara pandang para seniman dalam melihat seni. Transformasi
besar-besaran dalam ruang estetika ini menghasilkan karya-karya yang
tak kalah mengagungkan pula. Para seniman terpanggil untuk merayakan
seni secara jujur, pertama-tama bukan untuk memuji dan mengagung-
agungkan Realitas Absolut di atas sana, tetapi lebih pada merayakan
kehidupan keseharian.
Konsep estetika Nietzsche ini secara perlahan mengubah paradigma
seni di abad ke-20. Pengembangan seni berlangsung secara perlahan
namun massive di dalam tradisi-tradisi barat. Ada begitu banyak seniman
yang mengagumi cara Nietzsche melihat seni. Mereka dengan tidak ragu
Trio Kurniawan, Estetika Friedrich Wilhelm Nietzsche 57
menjadikan Nietzsche sebagai rujukan. Mereka meyakini bahwa dengan
semangat yang ditawarkan oleh Nietzsche, ada banyak potensi dan
kreatifitas yang bisa terbuka dari dalam diri manusia.
Estetika Nietzsche memang bertujuan untuk membuka nature dari
cara manusia memandang dunia, bukan dengan paksaan dan kewajiban,
melainkan dengan panggilan pribadinya untuk menyelami kebenaran
hakiki yang terdapat dalam kehidupan. Nietzsche menggeser karya-karya
seni yang pada mulanya berorientasi pada kesalehan manusia ke arah
perwujudan kebebasan pribadi. Dalam seni, tak ada batas yang terlalu
takut untuk dilanggar.
Para seniman dengan karakter ekspressionist banyak yang me-
ngagumi pemikiran Nietzsche. Sebut saja Otto Dix, misalnya, yang
membawa salinan buku karya Nietzsche selama Perang Dunia I. Ada
banyak seniman yang melukiskan wajah Nietzsche sebagai bentuk karya
seni dan kekaguman mereka pada konsepnya. Otto Dix menyelesaikan
dua potret wajah Nietzsche pada tahun 1904 dan 1914. Max Klinger
menggambar potret Nietzsche pada tahun 1902. Evard Munch
menyelesaikan karyanya tentang Nietzsche pada tahun 1906.
Perubahan ini memang sangat tampak jika karya-karya seni klasik
kembali ditampilkan dan “didudukkan” bersamaan dengan karya-karya
seni post-Nietzsche. Lukisan-lukisan klasik, misalnya, cenderung
berkarakter metafisis-teologis. Objek dari keindahan itu sendiri adalah
Allah, kemewahan dan keagungan surgawi. Dalam karya-karya seni
post-Nietzsche, manusia mengagungkan kebebasan berekspresi. Manusia
tanpa ragu mengeluarkan kreatifitas dirinya tanpa takut akan batasan-
batasan moral yang dilegasikan oleh moralitas tradisional.
Kemunculan lukisan mural dan meme hingga kelahiran musik pop,
rock, hardcore, metal dan lain sebagainya merupakan contoh perubahan
paradigma seni yang dipengaruhi oleh semangat zaman dan konsep
estetika Nietzsche juga tentunya. Dalam mural, para seniman mampu
mengekspresikan dirinya dan mengeluarkan kritik sosial yang diharapkan
mampu mengubah tatanan hidup bersama yang bobrok. Kemunculan
meme yang sangat drastis mengubah seni-sosial pada hari ini merupakan
wujud ekspresi kegelisahan manusia hari ini akan kehidupannya. Meme
membuat kehidupan yang begitu sulit dapat dirayakan dengan kelucuan.
6. Penutup
Seni dalam permenungan Nietzsche tidak lagi terbungkus dalam
tayangan-tayangan atau tampilan surgawi. Nietzsche berhasil
menurunkan seni dari “kedok-kedok metafisis” yang diajarkan oleh para
filosof pendahulu. Keindahan dan moralitas yang terlalu jauh dikejar
manusia lewat seni diarahkan langsung oleh Nietzsche pada kehidupan
58 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 17 No. 1, Maret 2017
sehari-hari itu sendiri. Seni adalah persoalan kehidupan hari ini, bukan
persoalan keindahan yang jauh di atas sana ataupun soal baik-buruk
yang akan selalu manusia kejar.
Seni menjadi ruang di mana manusia mampu mengeksplorasi
“Dionysian” yang ada di dalam dirinya. Nietzsche mengajak manusia
untuk meledakkan dirinya dalam karya-karya seni kreatif. Jika harus
mabuk, biarlah manusia dimabukkan oleh karya seni yang justru akan
membuat ia semakin mencintai kehidupan. Manusia tidak lagi dikontrol
oleh aturan-aturan moral tradisional yang membatasi geraknya.
Dalam estetika Nietzsche, seni dirayakan bersamaaan dengan
kehidupan itu sendiri. Kehidupan manusia yang penuh dengan belenggu
dan penderitaan akan dibebaskan lewat seni. Manusia tidak hanya
sejenak melepaskan beban hidupnya lewat ilusi-ilusi keindahan, namun
manusia dimampukan untuk memadukan penderitaan tersebut dalam
karya seni sehingga tidak ada lagi yang namanya kelesuan atau
penderitaan hidup. Penderitaan dan tragedi hilang, terserap dalam karya-
karya seni yang indah. Tangisan dan duka menjadi bagian dari cara
manusia merayakan hidup yang begitu indah.
Nietzsche pada akhirnya menggunakan konsep self-stylization untuk
menjelaskan peran seni bagi kehidupan manusia. Self-stylization
merupakan istilah yang digunakan Nietzsche untuk menjelaskan usaha
manusia untuk merefleksikan dirinya. Seni pada tahapan ini menjadi
cermin bagi manusia untuk menilai hidupnya, membuka selubung-
selubung yang selama ini menutupi dirinya sehingga tidak jujur dalam
melihat dunia. Nietzsche menunjukkan kekagumannya pada bidang seni
karena dari seni manusia dapat merefleksikan dirinya.
Para seniman adalah mereka yang secara jenius mampu membawa
karakter manusia dan kehidupan yang transendental ke dalam karya-
karya seni mereka. Lewat karya seni, manusia mampu bercermin dan
melihat dunia dalam perspektif yang lebih besar, bukan hanya pada
perspektif di sini dan saat ini. Menurut Nietzsche, tanpa seni manusia
hanyalah subjek yang kosong. Seni memampukan manusia untuk melihat
latar belakang hidupnya dan sekaligus mampu membangun visi ke depan.
* Trio Kurniawan
Mahasiswa pascasarjana STFT Widya Sasana Malang. Email: [email protected]
Trio Kurniawan, Estetika Friedrich Wilhelm Nietzsche 59
BIBLIOGRAFI
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Penerbit Gramedia, 1996.
Berrios, Ruben and Aaron Ridley, “Nietzsche” dalam Berys Gaut dan Dominic
Mclver Lopes, The Routledge Companion to Aesthetics, New York: Routledge,
2001.
Hill, R. Kevin, “Nietzsche’s Debt to Kant’s Theory of the Beautiful in ‘Birth of
Tragedy’”, Portland: Philosophy Faculty Publications and Presentations, 2007.
Kaufmann, Walter, Hegel: Text and Commentary,trans. Walter Kaufman, New
York: Doubleday &Company Inc, 1966.
_______, Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist, New Jersey: Princeton
University Press, 2013.
Kemal, Salim, Ivan Gaskel & Daniel W. Conway (Eds.), Nietzsche, Philosophy
and Arts, UK: Cambridge University Press, 1998.
Lopes, Dominic McIver & Berys Gaut (Eds.), The Routledge Companion to Aes-
thetics, London and New York: Taylor and Francis Group, 2001.
Nietzsche, Fiedrich, The Gay Science, trans. Josefine Nauckhoff, UK: Cambridge
University Press, 2001.
_______, “Twilight of the Idols” dalam Aaron Ridley dan Judith Norman
(Eds.), Friedrich Nietzsche:The Anti-Christ, Ecce Homo, Twilight of the Idols and
Other Writtings,trans. Judith Norman, UK: Cambridge University Press, 2005.
_______, The Birth of Tragedy (Eds. Raymond Geus dan Ronald Speirs), UK:
Cambridge University Press, 1999.
Porter, James I., “Nietzsche’s Theory of The Will to Power” dalam Pearson,
Keith and Ansell (Eds.), A Companion to Nietzsche, London: Blackwell, 2006.
Reginster, Bernard, “Art and Affirmation” dalam Daniel Came, Nietzsche on
Art and Life, UK: Oxford University Press, 2014
Schopenhauer, Arthur, The World as Will and Representation, Vol. I, trans. E. F.
J. Payne, New York: Dover Publications, Inc., 1969.
Suseno-Magnis, Franz, 13 Tokoh Etika Sejak Jaman Yunani Sampai Abad Ke-19,
Yogyakarta: Kanisius, 1996.