101
ELSDA Institute 02

ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Hutan yang dieksploitasi oleh industri kehutanan ini tidakdikelola secara lestari dan gagal mengatasi kemiskinan diwilayah yang kaya dengan hutan. Menurut Bank Dunia, Indonesia telah kehilangan hutan rata‐rata sebesar 2 juta hektar per tahun. Hutan yang rusak telah mencapai 59,2 juta hektar dari total 120 juta hektar kawasan yang diklaim sebagai kawasan hutan (Menteri Negara Lingkungan Hidup, StatusLahan Hutan Indonesia 2006). Selain menghadapi bencana karena kerusakan hutan, rakyat Indonesia juga tidak menikmati keuntungan ekonomi yang diperoleh oleh para perusahaan dibidang kehutanan. Banyak perusahaan kehutanan yang selalu menyatakan rugi sehingga tidak pernah membayar pajak dan bahkan pada saat krisis keuangan karena jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap nilai dollar Amerika Serikat, perusahaan‐perusahaan kayu yang seharusnya menerima windfall profit dari tingginya nilai dollar secara beramai‐ramai menyatakan rugi dan tidak mampu membayar hutangnya. Disamping tidak menerima keuntungan dari kegiatan kehutanan diwilayahnya serta harus menghadapi bencana, penduduk yang berada disekitar hutan juga sering menjadi korban penegakan hukum yang tidak adil. Para penegak hukum Indonesia masih terpaku kepada memburu orang‐orang yang dapat dibuktikan di pengadilan melakukan proses perusakan hutan. Sehingga penyidikan yang mereka lakukan difokuskan lebih kepada adanya bukti kayu yang ditebang secara ilegal dan orang yang menebang serta membawa kayu ilegal tersebut. Orang yang memerintahkan (umumnya secara lisan) baik untuk melakukan penebangan,pengangkutan, dan menadah kayu ilegal tersebut tidak pernah disentuh. Mereka yang menikmati keuntungan ekonomi dari bisnis menggunakan kayu ilegal tidak pernah terjerat hukum.

Citation preview

Page 1: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

ELSDA Institute 

02   

                                                    

Page 2: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

                                                              

Page 3: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

ELSDA Institute 

02  

 

CATATAN AWAL TAHUN 2008 

Menelusuri Kejahatan  

Bisnis Kehutanan  

ELSDA Institute, Jakarta 

 

  

 

 

Penulis 

 

1. Triana Ramdhani, S.E., Financial Analyst 

2. Albert Hasudungan, S.E., Financial Analyst 

3. Zainal Arifin, S.H., Legal Analyst 

4. Grahat Nagara, S.H., Legal Analyst   

 

 

 

Page 4: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Diterbitkan Oleh: 

Lembaga Ekonomi Lingkungan dan Sumber Daya Alam (ELSDA Institute) 

 

 

Manggala Wanabakti Building IV/Room 509 A 

Jl. Gatot Soebroto Jakarta Pusat, 10270, Indonesia 

Telepon  : +6221‐5711309/ 57902778 

Fax    : +6221‐5711309 

 

ELSDA  Institute,  adalah  sebuah  lembaga  yang  terbentuk  atas 

keprihatinan terhadap kondisi sumberdaya alam Indonesia saat  ini. 

Kami membangun kekuatan dengan menggalang para professional di 

bidang hukum dan akuntansi. Kekuatan kami bertumpu pada kedua 

bidang  tersebut.  Dua  bidang  yang  selama  ini  dirasakan  belum 

optimal  berperan  dalam  penyempurnaan  pengelolaan  lingkungan 

dan sumberdaya alam yang lestari. 

 

ISBN  

  

Hak Cipta © ELSDA Institute, 2008 

Cetakan Pertama, Februari 2008  

Hak  cipta  dilindungi  Undang‐undang.  Dilarang  mengutip  atau 

menyebarkan sebagian atau keseluruhan isi buku tanpa izin tertulis 

dari penerbit. 

 

Page 5: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

KATA PENGANTAR  

Hutan adalah kekayaan rakyat Indonesia yang dikuasai oleh negara dan seharusnya 

dipergunakan sebesar‐besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pemerintah sebagai pemegang 

kekuasaan  negara  telah  mengeluarkan  kebijakan  dibidang  kehutanan  dan  industri 

kehutanan  yang  telah  menghasilkan  sebuah  industri  kehutanan  dengan  nilai  milyaran 

dollar. Ekspor komoditi berbasis kayu telah mencapai rata‐rata US$ 5 milyar per tahun atau 

sekitar Rp.45  trilliun per  tahun.   Bisnis kehutanan  juga menghasilkan Penerimaan Bukan 

Pajak (PNBP) yang besar untuk Pemerintah Pusat.  Perusahaan kehutanan harus membayar 

kurang  lebih US$13,5 per m3 untuk setiap kayu yang diambil dari hutan‐hutan alam dan 

hutan tanaman yang dibiayai dari uang negara. Jika hutan telah memberikan kayu sebesar 

60 juta m3 kayu setiap tahunnya kepada perusahaan kayu di Indonesia, Pemerintah Pusat 

seharusnya  telah menerima  PNBP  kehutanan  senilai  US$  810  juta  atau  setara  Rp.7,29 

triliun setiap  tahunnya. Dana kehutanan  ini kemudian bisa digunakan untuk membangun 

Indonesia khususnya daerah yang kaya dengan hutan.  

Peran  ekonomi  kehutanan  ini  tidak  diragukan  lagi  telah  mengeluarkan  bangsa 

Indonesia dari masa‐masa yang sulit pada era Orde Lama maupun Orde Baru. Bisnis hutan 

telah  mendatangkan  devisa  yang  diperlukan  pemerintah  untuk  mengimpor  kebutuhan 

pokok seperti beras dan menyelesaikan hutang PERTAMINA yang  jika  tidak ditanggulangi 

dapat  menhancurkan  perekonomian  Indonesia.  Pertumbuhan  ekonomi  yang  dihasilkan 

oleh  karena  sumbangan devisa dari bisnis hutan  ini  akhirnya  telah berhasil mengangkat 

kualitas hidup  sebagian besar bangsa  Indonesia.   Kemiskinan dan mahalnya harga‐harga 

barang  dapat  distabilkan  dengan  devisa  dari  hutan.  Hutan  kembali  berperan 

menyelamatkan  bangsa  Indonesia    pada  saat  krisis  keuangan  pada  tahun  1997. 

Perusahaan‐perusahaan  pulp  dan  plywood  dizinkan  terus  beroperasi  dengan  kapasitas 

normalnya  untuk  menghasilkan  devisa  yang  dibutuhkan  untuk  menyelamatkan 

perokomian  Indonesia.   Walaupun untuk mencapai hal  ini  tidak  sedikit biaya yang harus 

Page 6: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

dibayar oleh rakyat  Indonesia. Hutang‐hutang perusahaan  ini yang bernilai triliuan rupiah 

dihapuskan  oleh  pemerintah  dan  menjadi  beban  APBN  setiap  tahunnya.  Pemerintah 

berhutang miliaran  dollar  untuk membiayai  penghapusan  hutang‐hutang  tersebut  yang 

bunga serta cicilan hutangnya setiap tahun mencapai 30 persen dari total APBN.   

Namun  sayangnya,  hutan  yang  dieksploitasi  oleh  industri  kehutanan  ini  tidak 

dikelola secara lestari dan gagal mengatasi kemiskinan diwilayah yang kaya dengan hutan.  

Menurut Bank Dunia, Indonesia telah kehilangan hutan rata‐rata sebesar 2 juta hektar per 

tahun.  Hutan  yang  rusak  telah  mencapai  59,2  juta  hektar  dari  total  120  juta  hektar 

kawasan yang diklaim sebagai kawasan hutan (Menteri Negara Lingkungan Hidup, Status 

Lahan Hutan Indonesia 2006).  Selain menghadapi bencana karena kerusakan hutan, rakyat 

Indonesia juga tidak menikmati keuntungan ekonomi yang diperoleh oleh para perusahaan 

dibidang kehutanan. Banyak perusahaan kehutanan yang selalu menyatakan rugi sehingga 

tidak pernah membayar pajak dan bahkan pada saat krisis keuangan karena jatuhnya nilai 

tukar  rupiah  terhadap  nilai  dollar  Amerika  Serikat,  perusahaan‐perusahaan  kayu  yang 

seharusnya  menerima  windfall  profit  dari  tingginya  nilai  dollar  secara  beramai‐ramai 

menyatakan  rugi  dan  tidak  mampu  membayar  hutangnya.  Disamping  tidak  menerima 

keuntungan  dari  kegiatan  kehutanan  diwilayahnya  serta  harus  menghadapi  bencana, 

penduduk yang berada disekitar hutan juga sering menjadi korban penegakan hukum yang 

tidak  adil. Para penegak hukum  Indonesia masih  terpaku  kepada memburu orang‐orang 

yang  dapat  dibuktikan  di  pengadilan  melakukan  proses  perusakan  hutan.  Sehingga 

penyidikan yang mereka lakukan difokuskan lebih kepada adanya bukti kayu yang ditebang 

secara  ilegal dan orang yang menebang serta membawa kayu  ilegal tersebut. Orang yang 

memerintahkan  (umumnya  secara  lisan)  baik  untuk  melakukan  penebangan, 

pengangkutan,  dan menadah  kayu  ilegal  tersebut  tidak  pernah  disentuh. Mereka  yang 

menikmati keuntungan ekonomi dari bisnis menggunakan kayu ilegal tidak pernah terjerat 

hukum. 

 

Page 7: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Catatan  awal  tahun  ELSDA  Institute  ini  memberikan  hindsight  kepada  para 

pembacanya  tentang  kenapa  peran  ekonomi  kehutanan  yang  besar  dalam  membatu 

bangsa  Indonesia  keluar  dari  berbagai  krisis  ekonomi  sepanjang  40  tahun  ini  gagal 

menyelesaiakan masalah yang fundamental di Indonesia, yaitu kemiskinan dan kelestarian 

hutan.  ELSDA  Institute  melihat  praktek  akuntansi  perusahaan  kehutanan,  program 

ekonomi berbasis  lingkungan, dan penegakan hukum dibidang  kehutanan.   Analisis  atas 

ketiga persoalan  ini dapat memberikan  informasi kepada pembacanya  tentang  tanggung 

jawab perusahaan kehutanan untuk lebih transparan dan akuntabel terhadap sumber kayu 

yang  dipergunakan,  kewajiban  pembayaran  PNBP  kehutanan,  dan  investasi  dibidang 

kehutanan  dan  social.  Analisis  ELSDA  juga  dapat  membantu  peningkatan  efektivitas 

penegakan  hukum  atas  pelanggaran  hukum  yang  dilakukan  oleh  perusahaan  kehutanan 

atau pejabat kehutanan yang seharusnya mengawasi perusahaan ini.   

Informasi dan analisis yang dilakukan ELSDA Institute ini sangat diperlukan untuk membuat 

hutan menjadi sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat Indonesia secara keseluruhan 

seperti yang dicita‐citakan oleh pendiri bangsa ini. 

 

 

Bambang Setiono 

Research Fellow  

Forest and Governance Program 

Center for International Forestry Research (CIFOR) 

 

 

 

Page 8: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

DAFTAR ISI  

 

KATA PENGANTAR 

 

iii 

DAFTAR ISI  

 

vi 

LAPORAN ANALISIS LAPORAN KEUANGAN 

PERUSAHAAN KEHUTANAN 2007 

‐ Triana Ramdhani, S.E. 

 

DEBT FOR NATURE SWAP TAMAN NASIONAL 

DAN PELUANG KE DEPAN 

‐ Albert Hasudungan, S.E. 

 

13 

HUTAN HANCUR KORUPSI TUMBUH SUBUR 

‐ Muhamad Zainal Arifin, S.H. 

 

21 

MELIHAT UANG HARAM PERUSAK HUTAN  

YANG KEBAL HUKUM 

‐ Grahat Nagara, S.H. 

 

53 

CATATAN  BADAN LAYANAN UMUM 2007 

‐ Triana Ramdhani, S.E. 

 

 

79 

 

Page 9: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  1 

   

LAPORAN ANALISIS KEUANGAN 

PERUSAHAAN KEHUTANAN 2007  

  “Berbicara  tentang  perusahaan,  laporan keuangan  merupakan  informasi  pengungkapan secara  rinci  kondisi  keuangan  yang  berasal  dari kegiatan  operasional  perusahaan.  Maka  sudah seharusnya  fakta  yang  ada  di  perusahaan terungkap dalam laporan keuangan.” 

   

Triana Ramdani, Financial Analyst 

      

  

Page 10: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 2  2008  

PENDAHULUAN Sangat  ironis,  perkembangan  industri  kehutanan  yang  begitu 

menguntungkan  tidak  sejalan  dengan  pengelolaan  lingkungan  yang sustainable. Setelah mengeruk hasil kekayaan alam yang terkandung di dalam hutan,  perusahaan‐perusahaan  kayu  begitu  saja membiarkan  hutan menjadi gundul dan tidak bermanfaat sama sekali. 

Secara  konservatif,  pabrik‐pabrik  yang  terkait  dengan  hutan  (bubur kayu, kayu lapis, dan kayu gergajian) membutuhkan lebih dari 60 juta m3 kayu, sementara  hutan  alam,  hutan  tanaman,  dan  hutan masyarakat  hanya  dapat memproduksi  secara  legal  dan  berkelanjutan  sekitar  20  juta m3  kayu.1  Jika kondisi  ini  dibiarkan  berlanjut,  kita  akan  kehilangan  dua  hal  sekaligus  yaitu lingkungan hidup dan SDA  serta kekuatan ekonomi dari perusahaan berbasis SDA.2     

Berbicara  tentang  perusahaan,  laporan  keuangan  merupakan informasi  pengungkapan  secara  rinci  kondisi  keuangan  yang  berasal  dari kegiatan operasional perusahaan. Maka  sudah  seharusnya  fakta  yang  ada di perusahaan  terungkap  dalam  laporan  keuangan.  Tapi  apa  yang  terjadi  pada laporan  keuangan  perusahaan  yang  berbasis  SDA  khususnya  kehutanan? Kondisi  hutan  yang  rusak  tidak  sama  sekali  terungkap  dalam  laporan keuangannya. Tanya kenapa? 

Seharusnya  pihak  berwenang  lah  yang  menyatakan  wajibnya pengungkapan  kondisi  SDA  dalam  laporan  keuangan  bagi  perusahaan  yang berbasis SDA. Harus dibuat standar atas pengungkapan kondisi SDA tersebut. Saat  ini  aturan  mengenai  standar‐standar  penyusunan  laporan  keuangan dinyatakan dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK).                                                              

1 Bambang Setiono dan Yunus Husein, “Memerangi Kejahatan  Kehutanan  dengan  Mendorong  Prinsip  Kehati‐hatian Perbankan untuk Mewujudkan Pengelolaan Hutan yang Berkelanjutan:  Pendekatan  Anti  Pencucian  Uang”,  CIFOR Occasional Paper No. 44 (i), CIFOR, Bogor, 2005, hlm 4. 

2  Bambang  Setiono  (CIFOR)  dan  Mulyadi  Noto (ELSDA Institute), “Indikator dan Instrumen untuk Mendeteksi Pengelolaan  Sumber  Daya  Alam  dan  Lingkungan  yang  Tidak Berkelanjutan: Pendekatan Analisis Keuangan”, Diskusi Panel “Menghilangkan  Korupsi  dan  Pencucian  Uang  di  Bidang Kehutanan”. ELSDA Institute, Jakarta, 31 Mei, 2007, hlm 1.  

Page 11: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  3 

   

Organisasi  IAI  (Ikatan  Akuntan  Indonesia)  merupakan  pihak  yang berwenang dalam penentuan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) bagi  perusahaan.  Standar‐standar  yang  ditetapkan  wajib  diterapkan  oleh setiap perusahaan dalam penyusunan laporan keuangan sesuai dengan bidang usahanya.  Maka  sudah  selayaknya  standar  yang  dibuat  bisa  benar‐benar mewakili gambaran kegiatan dan keadaan dari perusahaan.  

Khusus  untuk  Akuntansi  Kehutanan,  disinyalir  bahwa  tidak memadainya PSAK 32 yakni  tentang Kehutanan, mengakibatkan perusahaan‐perusahaan  kehutanan  dengan  mudah  untuk  tidak  mengungkapkan  hal‐hal penting  mengenai  aktivitasnya.  Misalnya  untuk  jumlah  bahan  baku  yang digunakan  selain  dilaporkan  dengan  satuan moneter,  seharusnya  dilaporkan juga  dengan  satuan  dari  bahan  baku  tersebut,  seperti  kayu  dengan  meter kubiknya. 

Jika  dalam  aturannya  memang  tidak  diwajibkan  untuk  dilaporkan, maka  pihak  auditor  pun  sebagai  pemeriksa  laporan  keuangan  tidak  bisa berbuat  apa‐apa.  Laporan  yang  disajikan  akan  tetap  benar  di mata  auditor karena  telah  sesuai  dengan  aturan  standar  yang  ditetapkan.  Padahal  dari penjelasan  jumlah  bahan  baku  saja,  bisa  dengan  mudah  diketahui  apakah perusahaan  kehutanan  terindikasi  melakukan  penyimpangan  seperti  illegal logging atau  tidak. Dengan PSAK yang memadai niscaya maraknya kejahatan kehutanan di kalangan perusahaan akan bisa dicegah.  

Inisiatif  strategis  Akuntan  Indonesia  benar‐benar  ditunggu  guna membantu mengoperasionalisasikan kebijakan perlindungan lingkungan hidup yang sudah dan akan digariskan pemerintah. Deloitte Touche Tohmatsu  telah memulai  tahun  2002  dengan  mengembangkan  Sustainablitiy  Reporting Scorecard  untuk  pelaporan.  Selain  itu, Global  Reporting  Initiative  (GRI)  juga mengembangkan  indikator  kinerja  ekonomi,  lingkungan  hidup,  dan  sosial sebagai  acuan  pelaporan  perusahaan.  Saat  ini,  indikator  tersebut  sudah digunakan secara luas di 460 negara, di 45 negara sebagai best practices dalam pelaporan,  yang  kemudian  dikembangkan  oleh  masing‐masing  negara  atau bahkan oleh perusahaan yang bersangkutan.3 

                                                             3  Heli  Restiati,  “Mengintip  Kejahatan  Lingkungan 

lewat Laporan Keuangan Perusahaan”, Biru Voice Tahun  I (1), 1 November, 2007. 

Page 12: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 4  2008  

ATURAN IKATAN AKUNTAN INDONESIA Aturan  mengenai  penyusunan  laporan  keuangan  perusahaan  yang 

bergerak  di  bidang  kehutanan  ditetapkan  pada  PSAK  32.  Namun,  sangat disayangkan  karena  aturan  yang  ditetapkan  tidak  dapat  dikatakan  cukup mewakili  atas  kegiatan  dan  keadaan  perusahaan.  Padahal  sesuai  dengan pengertiannya yang dimaksud dengan laporan keuangan adalah ringkasan dari seluruh aktivitas perusahaan dalam kurun waktu satu periode. 

Dalam  PSAK  tersebut  tidak  dinyatakan  bahwa  perusahaan  harus mengungkapkan  jumlah  dan  sumber  bahan  baku  yang  digunakan  dalam bentuk  satuannya.  Pada  paragraf  11  PSAK  32 mengenai  Laporan  Laba  Rugi, hanya dijelaskan ”Harga Pokok Penjualan harus disajikan masing‐masing untuk kayu tebangan dan kayu olahan.”  

Selain itu aturan‐aturan yang dimuat dalam PSAK 32 hanya mencakup aturan untuk perusahaan HPH  saja,  tidak untuk perusahaan pulp and paper. Sementara perusahaan pulp and paper  justru yang  lebih berbahaya  terhadap pengelolaan  lingkungan karena banyak menggunakan  zat‐zat kimia yang bisa merusak  lingkungan. Tingkat produksi perusahaan HPH juga dapat tergantung dari kebutuhan industri pulp and paper. 

KONTRIBUSI ELSDA Untuk  melihat  performa  dari  suatu  perusahaan  adalah  dengan 

menganalisis  laporan  keuangannya.  Analisis  yang  digunakan  pun  bisa bermacam‐macam  tergantung  dari  kebutuhan  si  analisnya. Misalnya,  untuk mengidentifikasi penyimpangan yang dilakukan perusahaan dalam pemenuhan bahan  bakunya,  yang  harus  dilakukan  adalah  menganalisis  struktur  Harga Pokok Penjualan (HPP), kegiatan HPH (Hak Pengusahaan Hutan), dan kapasitas produksinya. 

Selama  ini  perusahaan  tidak  lagi  bijak  dalam  melakukan  kegiatan pemanfaatan SDA yang berkelanjutan. Dan belum ditemukan cara yang tepat untuk mengidentifikasi ketidakpatuhan yang dilakukan oleh perusahaan dalam eksploitasi hutan yang berkelanjutan, yang mengakibatkan kerugian negara.  

Page 13: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  5 

   

Atas keprihatinan terhadap kondisi di atas, ELSDA mencoba menyusun beberapa  indikator keuangan yang bisa menjelaskan penyimpangan  tersebut. Dimana meskipun  tetap  untuk  sebagian  unsur menggunakan  asumsi,  paling tidak bisa diketahui gambaran dari kegiatan perusahaan sebenarnya yang tidak terungkap dalam laporan keuangan.  

Adapun  indikator‐indikator  keuangan  yang ditetapkan  adalah  Jumlah dan  Sumber  Pemakaian  Bahan  Baku,  Jumlah  Pemakaian  Bahan  Perusak Lingkungan,  Jumlah Pembayaran Pajak dan PNBP, Arus Kas Keluar, dan  Laba Perusahaan.  Berdasarkan  analisis  keuangan  yang  dilakukan  atas  instrumen tersebut,  sejumlah  indikator  umum  pengelolaan  SDA  dan  lingkungan  yang tidak berkelanjutan yang mengarah pada  indikasi penyimpangan pengelolaan kehutanan bisa diketahui. 

Indikator  Jumlah  dan  Sumber  Pemakaian  Bahan  Baku  akan memberikan indikasi tentang seberapa besar perusahaan telah mengeksplorasi sumber  daya  alam.  Informasi  ini  berguna  untuk  menilai  seberapa  jauh perusahaan telah menerapkan kebijakan pengelolaan SDA yang berkelanjutan.  

Sementara  itu,  jumlah  pemakaian  bahan  perusak  lingkungan  adalah indikator seberapa besar perusahaan  telah menggunakan bahan‐bahan kimia dan  energi  yang  memberikan  kontribusi  kepada  pemanasan  global  dan kerusakan air sungai dan  lingkungan hidup  lainnya. Termasuk dalam  indikator ini  adalah  jumlah  pemakaian  energi  untuk  pembangkit  listrik, mercuri,  dan bahan‐bahan racun lainnya.   

Jumlah  Pembayaran  Pajak  dan  (PNBP)  yang  telah  dilakukan  oleh perusahaan.  Jumlah pembayaran pajak dan  PNBP  akan memberikan  indikasi tentang  konsistensi  antara  jumlah  SDA  yang  telah  diambil  oleh  perusahaan dengan  total kewajiban perusahaan kepada negara sebagai akibat eksploitasi tersebut. Perusahaan  yang mendukung  kelestarian  SDA  secara minimal  akan membayar seluruh kewajiban pajak dan PNBP dengan benar dan tepat waktu.  

Jumlah Arus Kas perusahaan yang dialirkan ke  luar bisnis perusahaan di  bidang  SDA  akan  memberikan  indikasi  minimnya  komitmen  perusahaan kepada  upaya  pelestarian  SDA  dan  kesinambungan  usahanya.  Jika  sebagian besar arus kas perusahaan yang diperoleh dari bisnis SDA disalurkan ke pihak afiliasi  dan  pihak  ketiga  di  bidang  non  SDA  terkait,  kemampuan  perusahaan untuk melakukan rehabilitasi dan regenerasi SDA akan sangat kecil. 

Page 14: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 6  2008  

Laba Perusahaan bisa dilihat dari struktur labanya, apakah perusahaan benar‐benar konsisten dengan usahanya atau tidak. Jika  laba usahanya minus sedangkan laba bersih tinggi, maka konsistensi perusahaan terhadap usahanya patut  dipertanyakan.  Perolehan  laba  yang  tidak  normal  atau  bahkan perusahaan  rugi  terus  tapi  jalan  terus,  patut  menjadi  pertanyaan  apa sebenarnya fokus dari kegiatan utamanya di bidang pemanfaatan sumber daya alam, khususnya kehutanan.  

Saat  ini  dari  delapan  perusahaan  kehutanan  yang  Tbk,  baru  dua perusahaan  yang  dianalisis  oleh  ELSDA.  Yakni  PT  XYZ  dan  ABC.  Keduanya merupakan perusahaan yang bergerak di bidang HPH. Berikut kesimpulan dari analisis  yang  dilakukan  dengan  menggunakan  indikator  keuangan  umum ELSDA pada kedua perusahaan itu: 

JUMLAH DAN SUMBER PEMAKAIAN BAHAN BAKU Dilihat dari  komitmen  yang ditetapkan perusahaan untuk  concern 

dalam pembangunan HTI sebagai salah satu sumber bahan bakunya, berarti menunjukkan adanya kepatuhan  terhadap pengelolaan sumber daya alam yang  berkelanjutan.  Akan  tetapi  setelah  melihat  laporan  keuangannya ternyata  kedua  perusahaan  tersebut  tidak  melaksanakan  komitmennya untuk membangun HTI.  

Tabel 1.Penambahan HTI dan HTI dalam Pengembangan 

Sumber: Laporan Keuangan PT XYZ dan ABC 2003‐2006 

 

Seperti yang disajikan, tidak ada  investasi yang signifikan terhadap HTI  dibandingkan  dengan  nilai  aset  yang  dimilikinya.  Hal  itu  akan  lebih diulas pada pembahasan Arus Kas yang kembali ke Hutan. Selain itu ketidak 

Ketarangan   2003  2004  2005  2006 

PT XYZ (Rp)         

HTI  426.689.488.624  85.995.564.009  ‐  ‐ 

HTI dalam Pengembangan 

7.771.128.018  2.298.679.055  2.556.374.722  385.761.960 

         

PT ABC (Rp)         

HTI  ‐  ‐  ‐  57.737.372 

HTI dalam Pengembangan 

1.770.898.231  ‐  12.144.007.404  18.310.118.940 

Page 15: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  7 

   

konsistenan  kedua  perusahaan  dalam  penambahan  HTI  juga  ditunjukkan dengan tidak melakukan investasi pada HTI setiap periode. 

Setelah  memperhatikan  implementasi  komitmen  perusahaan dalam  pembangunan  HTI,  selanjutnya  harus  ditelusuri  perusahaan menggunakan  sumber kayunya dari mana. Analisis  terhadap penambahan HTI  di  atas  akan membantu  untuk menyesuaikan  penggunaan  kayu  pada periode tersebut dengan melihat berapa kayu yang digunakan dan berapa kayu yang di panen dari HTI.  

Jika  terjadi  ketidaksinkronan,  maka  perusahaan  terindikasi  tidak patuh  terhadap  pengelolaan  lingkungan  yang  berkelanjutan.  Asumsinya, selain  dari  HPH  dan  HTI  atau  pembelian,  dari  mana  lagi  perusahaan memperoleh kayunya selain dari hutan alam.  

Sayangnya, data‐data pendukung untuk menganalisis kapasitas HTI, kapasitas  HPH,  dan  Dokumentasi  Pembelian  yang  dibutuhkan  belum tersedia dalam kedua  laporan keuangan perusahaan  itu. Sehingga analisis jumlah  dan  sumber  bahan  baku  belum  mampu  mendeteksi  indikasi ketidakpatuhan pengelolaan kehutanan. 

Dengan data yang  terbatas, ELSDA  tetap berusaha melakukan analisis terhadap  jumlah bahan baku kayu bulat yang digunakan, khususnya dalam satuan meter kubik. Informasi yang dapat diperkirakan seputar Jumlah dan Sumber Bahan Baku Kayu yang digunakan Perusahaan menggunakan PP No. 74  Tahun  1999  Tentang  Tarif  atas  Jenis  PNBP  yang  Berlaku  Pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Dalam hal ini diasumsikan bahwa harga rata‐rata kayu per meter kubik adalah Rp 431.000. 

Tabel 2. Pemakaian Kayu Bulat Keterangan   2003  2004  2005  2006 

PT XYZ     Tidak dibahas karena tidak diketahui unsur HPH dan HTI atas kayu yang dipergunakan. Pemakaian Kayu (Rp)  854,97 M (HPH) 

363,13 M (HTI) 

Pemakaian Kayu (m3)  1.983.694 (HPH) 842.532 (HTI) 

         

PT ABC          

Pemakaian Kayu (Rp)  192,6 M  204,8 M  196,6 M  263,3 M 

Pemakaian Kayu (m3)  446.922  475.375  456.253  611.046 

Page 16: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 8  2008  

Sumber: Paper Indikator dan Instrumen untuk Mendeteksi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan  Lingkungan yang Tidak Berkelanjutan: Pendekatan Analisis Keuangan, 2007 dan Laporan Keuangan Perusahaan PT XYZ dan PT ABC 2003‐2006. 

 

Dari  informasi  di  atas,  terlihat  bahwa  tidak  ada  keseragaman pengungkapan  mengenai  jumlah  dan  sumber  kayu  bulat  bagi  setiap perusahaan. Bahkan untuk PT XYZ perbedaan penyajian jumlah dan sumber bahan baku terjadi antara periode 2003 dengan 2004 dan seterusnya.  

Penggunaan  Sumber  Daya  Alam  yang  jelas  tidak  tersaji  dalam laporan  keuangan  kedua  perusahaan,  sehingga  tidak  diketahui  berapa bahan  baku  sebenarnya  yang  digunakan.  Kemungkinan  hal  itu  sengaja dilakukan  untuk menyamarkan  asal  kayu  yang  sebenarnya. Maka  kedua perusahaan  terindikasi  tidak  patuh  pada  pengelolaan  lingkungan  yang berkelanjutan. 

JUMLAH PEMAKAIAN BAHAN PERUSAK LINGKUNGAN Untuk  indikator  ini  tidak  dilakukan  analisis,  karena  indikator  ini 

hanya untuk perusahaan pulp and paper. 

JUMLAH PEMBAYARAN PAJAK DAN PNBP Informasi mengenai  jumlah DR  dan  PSDH  yang  sebenarnya  harus 

dibayar  juga  tidak  bisa  diketahui  dengan  pasti  karena  informasi  jumlah sumber  bahan  bakunya  sendiri  tidak  dikatahui.  Sehingga  tidak  bisa diklarifikasi kebenarannya. Dan upaya untuk tidak membayar DR/PSDH pun bisa  dilakukan.  Hal  itu  akan  menimbulkan  kerugian  negara  yang  tidak sedikit. 

ARUS KAS KELUAR Dari  analisis  arus  kas  keluar  ini  dapat  diketahui  dengan  jelas 

concern  perusahaan  terhadap  pengelolaan  sumber  daya  alam  yang berkelanjutan. Yaitu dengan membandingkan berapa kas yang dialokasikan untuk pembangunan hutan dan kas yang dialokasikan ke pos lain.  

 

 

Page 17: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  9 

   

Tabel 3. Arus Kas untuk Hutan  

Ketarangan   2003  2004  2005  2006 

PT XYZ          

Arus Kas untuk HTI (Rp)  11,59 M  4,69 M  5,36 M  1,62 M 

Mutasi Kas Keluar (m3)  2.195,13 M  1.409,11 M  1.127,25 M  847,73 M 

Persentase Kas untuk HTI terhadap Total Kas Keluar (%) 

0,53  0,33  0,47  0,19 

         

PT ABC          

Arus Kas untuk HTI (Rp)  1,7 M  ‐  12,1 M  18,3 M 

Mutasi Kas Keluar (m3)  783,1 M  872,8 M  874,0 M  1.154,4 M 

Persentase Kas untuk HTI terhadap Total Kas Keluar (%) 

0,24  0,00  1,39  1,59 

Sumber: Paper Indikator dan Instrumen untuk Mendeteksi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan  Lingkungan yang Tidak Berkelanjutan: Pendekatan Analisis Keuangan, 2007 dan Laporan Keuangan Perusahaan PT XYZ dan PT ABC 2003‐2006.  

Tabel di atas menunjukkan  informasi angka yang  sangat  fantastik. Sungguh sangat ironis, perusahaan yang bergerak di bidang kehutanan tapi justru uang yang dikeluarkan untuk hutan tidak mencapai 2% pun. Jelas hal itu  membuktikan  ketidakpatuhan  perusahaan  terhadap  pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. 

LABA PERUSAHAAN Indikator  terakhir  yang  akan  dibahas  adalah mengenai  performa 

laba perusahaan yang akan menginformasikan kualitas going concern suatu perusahaan. Berikut data yang diambil dari laporan keuangan PT XYZ dan PT ABC: 

Tabel 4. Performa Laba/Rugi PT XYZ dan PT ABC 

Ketarangan   2003  2004  2005  2006 

PT XYZ (Rp Jutaan)         

Pejualan Bersih  1.871.209  1.278.060  818.030  451.028 

Laba (Rugi) Kotor  (20.778)  241.150  9.851  (22.500) 

Laba (Rugi) Usaha  (287.641)  56.417  (199.777)  (191.819) 

Laba (Rugi) sebelum PPh  104.806  (144.592)  355.165  16.518 

Laba (Rugi) Bersih  229.581  (143.276)  686.842  7.190 

         

PT ABC (Rp Jutaan)         

Page 18: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 10  2008  

Pejualan Bersih  689.608  773.559  829.103  703.992 

Laba (Rugi) Kotor  (10.576)  90.584  91.612  (12.689) 

Laba (Rugi) Usaha  (73.986)  17.342  26.301  (90.870) 

Laba (Rugi) sebelum PPh  (162.603)  (6.346)  (12.480)  1.637 

Laba (Rugi) Bersih  (155.867)  163.427  12.846  (53.109) 

Sumber: Paper Indikator dan Instrumen untuk Mendeteksi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan  Lingkungan  yang Tidak Berkelanjutan: Pendekatan Analisis Keuangan, 2007 dan Laporan Keuangan Perusahaan PT XYZ dan PT ABC 2003‐2006. Untuk PT XYZ, Laba Usaha  terus mengalami kerugian  selama  tiga 

periode,  hal  itu  menunjukkan  bahwa  perusahaan  tidak  concern  dengan bisnis  utamanya  yaitu  di  bidang  kehutanan.  Sedangkan  untuk  Laba Bersihnya  justru hanya mengalami satu kali  rugi.  Itu menunjukkan adanya fokus  lain  yang  justru  menjadi  bisnis  utamanya.  Dimana  perusahaan memperoleh  keuntungan  yang  lebih  menjanjikan  dari  pada  bisnis kehutanan.  Status  perusahaan  kehutanan  hanya  sebagai  kedok  untuk mengeruk keuntungan saja. 

Untuk PT ABC, meskipun dua dari  empat periode  yang dianalisis mengalami kerugian, hal itu dianggap masih dalam tahap wajar. Begitu pun untuk  perolehan  Laba  Bersihnya,  perusahaan masih  berada  dalam  tahap kewajaran.  Namun  demikian  perlu  dilakukan  analisis  lebih  lanjut  untuk mengetahui secara rinci transaksi keuangan yang terjadi di dalamnya. 

 

 

 

 

 

 

 

Page 19: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  11 

   

KENDALA DALAM ANALISIS LAPORAN KEUANGAN PERUSAHAAN KEHUTANAN 1. Aturan‐aturan yang dimuat dalam PSAK 32 hanya mencakup aturan untuk 

perusahaan HPH saja, sedangkan untuk perusahaan pulp and paper tidak diatur.  

2. Minimnya  aturan mengenai  pengungkapan  atau  disclosure  atas  kondisi lingkungan atau yang berkaitan dengan kepentingan pengelolaan sumber daya  alam  yang  berkelanjutan  menyulitkan  untuk  mengklarifikasi kebenaran dari laporan keuangan yang disajikan. 

3. Penghitungan kerugian negara atas terjadimya  illegal  logging yang masih bias. Apakah negara dirugikan hanya berdasarkan DR dan PSDH yang tidak dibayar, atau berdasarkan nilai tegakan pohon yang di tebang. Atau justru berdasarkan keduanya ditambah dengan nilai kerusakan biodiversity dan keuntungan yang diperoleh para cukong kayu.  

REKOMENDASI 1. Perlu dilakukan upaya yang sungguh‐sungguh untuk menghentikan proses 

penghancuran  lingkungan  dan  SDA.  Kebijakan  pembangunan  ekonomi untuk  mendorong  lahirnya  industri  berbasis  sumber  daya  alam  perlu dimonitor dan dikaji agar  lebih berpihak kepada upaya‐upaya pelestarian lingkungan dan sumber daya alam.  

2. Penelaahan  sejumlah  kebijakan  pembangunan  ekonomi:  kebijakan investasi,  kebijakan  keuangan,  kebijakan  pelaporan  keuangan  dan seterusnya. Salah satu yang menjadi perhatian adalah kebijakan dibidang akuntansi  dan pelaporan  keuangan. Menurut  ELSDA  Institute,  kebijakan akuntansi  dan  pelaporan  keuangan  yang  dapat  menjelaskan  kinerja perusahaan dalam mengelola lingkungan dan SDA akan sangat membantu para  stakeholders  untuk  menilai  tanggung  jawab  perusahaan  untuk melestarikan lingkungan hidup dan sumber daya alam.  

3. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah mengembangkan sejumlah instrumen  pendeteksi  (berupa  data  dan  informasi  serta  laporan  yang tersedia di area publik) untuk dilakukan  sejumlah analisis keuangan dan analisis hukum, agar dapat mengidentifikasikan sejumlah indikator umum 

Page 20: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 12  2008  

pengelolaan  SDA  dan  lingkungan.  Indikator  umum  dapat  menjadi digunakan untuk mengibarkan red flag yang akan menstimulasi para pihak terkait  untuk  menyelidiki  lebih  lanjut  dan  lebih  detail  kemungkinan terjadinya pengelolaan SDA dan  lingkungan yang tidak bekesinambungan bahkan mungkin  indikasi  tindak  ketidakpatuhan    di  bidang  pengelolaan lingkungan hidup dan SDA.  

4. Kekurangan pengungkapan dalam  laporan keuangan yang menyebabkan hasil  analisis  belum  menghasilkan  informasi  yang  lengkap.  Untuk  itu, sejumlah  rekomendasi  berkenaan  dengan  perbaikan  muatan  informasi yang  harus  diungkap  dalam  laporan  keuangan  dapat  diajukan  kepada pihak‐pihak  yang  berwenang  seperti:  Ikatan  Akuntan  Indonesia  (IAI), Departemen Keuangan, Badan Pengelola Pasar Modal (Bapepam).  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 21: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  13 

   

DEBT FOR NATURE SWAP 

TAMAN NASIONAL  

DAN PELUANG KE DEPAN  

“…program Debt For Nature Swap dapat menjadi salah 

satu  solusi  yang  cukup  baik  dalam  menangani 

kerusakan  hutan  Indonesia,  khususnya  pada  taman 

nasional.” 

 

Albert Hasudungan, Financial Analyst 

 

 

 

 

 

Page 22: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 14  2008  

PENDAHULUAN  Debt  swap  merupakan  mekanisme  pengurangan  utang  yang  secara 

umum  dapat  diartikan  sebagai  pertukaran  utang  luar  negeri  dengan  ekuitas atau dana dalam mata uang  lokal untuk pembiayaan proyek dan atau program pemerintah (Ragimun, 2005). Salah satu komponen dari debt swap  itu adalah debt  for  nature  swap,  yaitu  program  pengalihan  utang  luar  negeri  untuk digunakan  ke  dalam  pendanaan  dan  kegiatan  konservasi  hutan.  Saat  ini Indonesia mendapat  skema penghapusan utang  luar negeri, melalui debt  for nature swap (DNS) yang berasal dari negara Amerika serikat (AS) dan Jerman. Total  komitmen  utang  luar  negeri  yang  dibebaskan  oleh  negara  Amerika serikat  sebesar 19.6  juta dollar AS,  sedangkan negara  Jerman  (melalui green program)  berkomitmen  untuk  menghapuskan  utang  luar  negeri  Indonesia sebesar 12.5 juta euro. Program konservasi hutan dari skema pendanaan DNS ini  diadakan  di  taman  nasional  yang  dipandang  mengalami  ancaman deforestasi hutan, dan berada dalam kondisi membahayakan saat ini.  

Mekanisme insentif yang diberikan pemerintah Jerman yaitu Indonesia harus melakukan program konservasi hutan di  taman nasional dahulu  senilai 50 %  dari  komitmen  utang  luar  negeri  yang  dilunaskan,  baru  pihak  Jerman akan  membebaskan  utang  luar  negeri  demi  program  konservasi  hutan  di taman  nasional  sebesar  12.5  juta  euro.  Untuk    perjanjian  dengan  Amerika serikat (AS), negara Indonesia mendapat pengalihan utang luar negeri sebesar 19.6 juta dollar AS dengan catatan bahwa utang luar negeri Indonesia dipotong dahulu,  kemudian  negara  Indonesia  harus membayar  secara  bertahap  19.6 juta dollar AS   untuk dana perlindungan hutan di taman nasional, yang masih dibahas.  Bagi NGO yang ingin menjadi pengawas penggunaan dana konservasi hutan  tersebut  (board  of  commitee),  harus menyumbangkan  dana  20%  dari 19.6 juta dollar tersebut per entitas tersebut.  

Saat  ini  program  konservasi  hutan  di  taman  nasional  yang  mulai dilaksanakan di  Indonesia adalah skema DNS  Indonesia dengan pihak Jerman, dengan  nilai  sebesar  12.5  juta  euro.  Program  yang  difokuskan  oleh departemen  teknis  terkait,  Dephut,  adalah mengkonservasi  Taman  Nasional (TN) Gunung Leuser, TN Kerinci Seblat, dan TN Bukit Barisan Selatan. Paper ini akan mengkaji  secara  singkat  atas masalah  debt  for  nature  swap  dan  peran ELSDA terhadap fenomena debt for nature swap di Indonesia.  

Page 23: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  15 

   

ANALISIS SWOT TERHADAP DNS DAN HAL YANG DILAKUKAN ELSDA    Pada  bagian  ini  akan  dibahas  tentang  analisis  SWOT  terkait  dengan mekanisme  dana  DNS  di  negara  Indonesia,  dan  beberapa  kendala  yang dihadapi terkait dengan debt for nature swap tersebut.  

STRENGTH  Hal  utama  yang  perlu  digarisbawahi  menjadi  kekuatan  Indonesia, 

terkait dengan debt  for nature  swap, adalah  luas hutan di  Indonesia yang besar.  Menurut  sumber  data  di  Departemen  Kehutanan,  luas  hutan Indonesia  mencapai  126.97  juta  hektar  di  tahun  2005.  Selain  itu, Departemen kehutanan juga memiliki 50 taman nasional di Indonesia yang tersebar di seluruh Indonesia. Taman nasional yang dilindungi dari  program DNS  pun  cukup  luas  areal  hutannya,  seperti  yang  terlihat  pada  tabel  di bawah ini. 

 Tabel 1. Nama Taman Nasional yang Dikonservasi 

Nama Taman Nasional   Luas Hutan  

Taman Nasional Gunung Leuser  1,094,692 Ha  

Taman Nasional Kerinci Seblat   1,389,509.87 Ha  

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan   365,000 Ha  Sumber : Departemen kehutanan‐RI, 2007 

 Jadi,  hal  tersebut merupakan  faktor  yang  penting mengapa  negara 

donor  yang  sudah  ada,  yakni  Jerman  dan  Amerika  serikat,  tertarik bekerjasama dengan negara Indonesia dalam bentuk debt for nature Swap.    

WEAKNESS Salah  satu  kendala  yang  dihadapi  pemerintah  dalam  mengelola 

hutan  nasional  yang  berkelanjutan  adalah masih minim  dan  terbatasnya dana  anggaran  nasional  dari  pemerintah  Indonesia  dalam  rangka melakukan  upaya  perlindungan  hutan  di  Indonesia.  Alasannya  karena besarnya beban pemerintah untuk menanggung seluruh pembayaran utang luar negerinya tersebut. Ada pun  jumlah dan persentase utang  luar negeri pemerintah Indonesia dapat dilihat pada tabel dibawah ini.  

  

Page 24: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 16  2008  

Tabel 2. Jumlah dan Persentase Utang Luar Negeri Pemerintah  

Keterangan  Luas Hutan 

2002  2003  2004  2005  2006 

Jumlah Utang LN  (USD Milyar)  74.5  80.9  80.7  78.3  na 

Persentase Terhadap PDB (%)  31.5  28.3  25.3  24.5  na       Sumber : Data APBN (2002 s/d 2006)‐Departemen Keuangan RI, diolah 

        Walaupun  tabel  di  atas  menunjukkan  bahwa  jumlah  utang  luar 

negeri  Indonesia  sudah  mengalami  trend  yang  menurun,  namun penurunannya tidak signifikan dibandingkan dengan sisa beban utang yang masih  harus  ditanggung  oleh  pemerintah  Indonesia.  Kalau  kita  lihat  pula dari  persentasenya  terhadap  PDB,  porsi  utang  terhadap  PDB  juga  hanya mengalami penurunan yang tidak signifikan dan menyisakan besarnya sisa porsi utang LN terhadap PDB hingga mencapai 24.5% sampai di tahun 2005. Data itu menyiratkan bahwa pembayaran utang luar negeri yang dilakukan pemerintahpun  masih  terbatas  dan  dirasakan  kurang  signifikan dibandingkan dengan  jumlah utang  luar negeri  Indonesia, yang akumulasi bunganya dapat membahayakan bagi  anggaran  keuangan negara di masa  mendatang.    Jadi  masih  dibutuhkan  sumber  pembiayaan  lain  untuk memperkecil utang  luar negeri pemerintah,  seperti upaya negara kreditor yang menghapuskan utang luar negeri kita, sehingga kebijakan pengeluaran pemerintah  untuk  membenahi  hutan  Indonesia  bisa  dilakukan  secara maksimal. Oleh  karena  itulah  program DNS menjadi  dapat menjadi  salah satu  solusi  yang  cukup  baik  dalam  menangani  kerusakan  hutan  di Indonesia, khususnya pada taman nasional. 

Kedua, hal yang masih menjadi kelemahan negara Indonesia adalah implementasi  perlindungan  hutan  Indonesia  yang  dilakukan  pemerintah terkait,  khususnya  Departemen  kehutanan,  masih  kurang  efektif  dan efisien.  Menurut  Departemen  kehutanan,  hutan  di  Indonesia  masih mengalami  akumulasi  deforestasi  hingga  mencapai  59  juta  hektar  pada tahun 2007. Bila kita perhatikan kembali secara mendetail taman nasional yang  rusak  di  pulau  Sumatra  juga  cukup  besar.  Berikut  ini  adalah  data kehancuran hutan yang diakumulasi  sampai bulan  juni  tahun 2007 di  tiga taman nasional. 

Page 25: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  17 

   

Tabel 3. Deforestasi Hutan di Beberapa Taman Nasional 

Nama Taman Nasional   Jumlah Kerusakan  

Gunung Leuser   22,559 Ha  

Kerinci Seblat   303, 776 Ha 

Bukit Barisan Selatan   111,178 Ha  Sumber : Departemen Kehutanan, 2007, diolah 

 Dari  tabel  tersebut  dapat  kita  lihat  bahwa  kerusakan  taman 

nasional Gunung  leuser saja bisa mencapai 22,559 Ha. Kalau kita rinci  lagi ke bawah, kerusakan hutan yang paling besar terjadi pada taman nasional Kerinci  seblat  hingga mencapai  303,776  Ha.  Oleh  karena  itulah  langkah preventif  yang  efisien  dan  efektif  untuk  melindungi  taman  nasional tersebut  merupakan  suatu  permasalahan  yang  perlu  diselesaikan  oleh pemerintah terkait secepatnya. 

OPPORTUNITY Namun  di  tengah  kegetiran  dari  kelemahan  tersebut,  kita masih 

dilegakan dengan peluang dan kesempatan yang ditawarkan oleh DNS yang sudah diimplementasikan, yaitu DNS  Jerman. Salah satu kesempatan yang kita  dapatkan  adalah  penghapusan  utang  luar  negeri  dua  kali  lipat  dari negara Jerman terhadap biaya/dana yang telah disepakati untuk konservasi di tiga taman nasional tersebut.   

THREAT Hal  yang  menjadi  perhatian  penting  bagi  perlindungan  hutan 

adalah  keefektifan    atas  implementasinya.  Indikator  kehancuran  taman nasional seperti tabel di atas, hendaknya memacu Departemen kehutanan untuk  meningkatkan  kinerjanya  dalam  perlindungan  hutan  di  taman nasional.  Ancaman  utama  yang  dihadapi  Indonesia  atas  DNS  ini  yaitu apabila  Departemen  kehutanan  tidak  mampu  menyelesaikan  program perlindungan hutan di  taman nasional  secara efektif dan  tidak  lulus audit auditor  independen, maka  Indonesia  tidak  akan mendapat  penghapusan utang luar negeri dari negara Jerman tersebut.  

Selain  itu,  apabila  kita  tidak  mampu  melindungi  dan  mengelola dana  hutan  tersebut  secara  benar,  maka  bersiap‐siaplah  kita  untuk kehilangan kepercayaan dari negara donor yang berniat untuk membantu memberikan dana perlindungan hutan bagi Indonesia.  

Page 26: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 18  2008  

Hal lain yang juga perlu diperhatikan bahwa implementasi program perlindungan yang  tidak efektif dan efisien dapat membuat kerugian atas anggaran  dan  keuangan  negara.  Kerugian  tersebut  antara  lain  adalah potensi  utang  luar  negeri  yang  hilang  dan  kerugian  atas  besarnya pengeluaran  anggaran  nasional  atas  konsekuensi  program  perlindungan hutan  di  taman  nasional,  yang  tidak  berhasil  diimplementasikan  secara tepat dan benar oleh departemen teknis tersebut.  

HAL YANG DILAKUKAN ELSDA  Pada bagian ini akan dibahas mengenai kegiatan, kendala dan prospek 

terkait dengan DNS yang sudah dilaksanakan yaitu dengan pemerintah Jerman.   

KEGIATAN YANG DILAKUKAN ELSDA Banyak hal yang dilakukan oleh ELSDA Institute untuk berpartisipasi 

dalam mensukseskan program perlindungan hutan dengan skema debt for nature swap tersebut. Pertama, ELSDA  Institute mencoba membuat paper yang  berkaitan  dengan  debt  for  nature  swap.  Kedua,  ELSDA  menjalin hubungan dan mencari contact person yang mengurus debt for nature swap yang  sudah  terlaksana,  yakni  dengan  negara  Jerman.  Ketiga,  ESLDA melakukan  berbagai  tindakan  rekonstruktif  demi mensukseskan  program perlindungan  hutan  dengan  skema  pendanaan  debt  for  nature  swap tersebut.  Hal  yang  sudah  dilakukan  ELSDA  Institute  diantaranya  adalah menggagas  forum diskusi BLU Taman Nasional dan Pengelolaan DNS yang diadakan pada tanggal 3 Desember 2007.  

KENDALA YANG DIHADAPI ELSDA INSTITUTE Ada  beberapa  kendala  baik  yang  pernah  dihadapi maupun  yang 

akan dihadapi. Kendala yang paling sering ditemui tertkait dengan DNS  ini adalah  menghubungi  dan  bertemu  dengan  staf  dan  pejabat  terkait  di Departemen  Kehutanan.  Selain  itu  tantangan  lain  yang  dihadapi  ELSDA  adalah  mengajak  Departemen  kehutanan  supaya  ELSDA  bisa  terlibat  di dalam menyukseskan    program  perlindungan  hutan  dengan  skema  DNS tersebut.   

Page 27: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  19 

   

PROSPEK DNS MENURUT PERSEPSI ELSDA ELSDA memposisikan dirinya  sebagai  LSM yang berfokus pada  ide 

follow  the money.  Jadi hal yang  ingin dibantu ELSDA  terutama difokuskan pada  hal  pengelolaan  keuangan  dari  dana  DNS  Jerman  tersebut,  supaya dapat membantu mensukseskan keberhasilan program perlindungan hutan di taman nasional tersebut. 

Salah satu rencana dan konsep yang ditawarkan oleh ELSDA adalah ingin membantu mengelola keuangan dari DNS Jerman dengan tools Badan Layanan  Umum  (BLU)  ‐  Taman  Nasional.  Hal  ini  dilakukan  agar  upaya pengelolaan keuangan untuk taman nasional ini dapat lebih profesional dan bisa  lulus audit auditor  independen yang  telah ditunjuk  tersebut. Hal  lain yang menjadi  cita‐cita  ELSDA  ke  depan  adalah membangun  success  story pengelolaan DNS dari dana bantuan yang berasal dari pemerintah Jerman, serta  menciptakan  laporan  &  indikator  keuangan  yang  layak  dari  segi pemeriksaan keuangan oleh auditor independen tersebut. 

DAFTAR PUSTAKA Ariadi,  Kurniawan  (2002),  “Pemanfaatan    Skema  Debt  Conversion  Sebagai 

Upaya Pengurangan Utang Luar Negeri Pemerintah, Bappenas: Jakarta 

Occhiolinni,  Michael  (1990),  “Debt‐For‐Nature‐Swap”,  Worldbank  Working Paper: International Economics Department 

Ragimun,  (2005),  “Tinjauan  Mengenai  Implementasi  Program  Debt  Swap Sebagai  Salah  Satu  Alternatif Mengurangi  Beban  Utang  Luar  Negeri”, Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 9, Nomor 1, Maret 2005 

Data Departemen Kehutanan, Berbagai Edisi  

Data Departemen Keuangan, Berbagai Edisi  

 

 

 

 

Page 28: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 20  2008  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 29: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  21 

   

HUTAN HANCUR  KORUPSI TUMBUH  

  “Penebangan  liar  di  Indonesia  merupakan masalah  yang  sangat  kompleks  karena melibatkan  banyak  aktor  dengan  berbagai kepentingan dan jaringan, baik  itu di pengusaha, masyarakat, Departemen Kehutanan, pemerintah daerah,  kepolisian,  maupun  TNI.  Hampir  setiap praktek  illegal  logging melibatkan aparat supaya dapat berjalan mulus.” 

  

Muhamad Zainal Arifin, Legal Analyst 

 

 

 

 

 

 

 

Page 30: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 22  2008  

PENDAHULUAN 

Secara umum,  sumber daya hutan dan  lahan  Indonesia  telah berada pada titik kritis. Citra satelit menunjukkan 60  juta hektar hutan dalam kondisi rusak parah.4 Departemen Kehutanan  (2003) mencatat bahwa  laju kerusakan hutan  (degradasi dan deforestasi)  selama 12  tahun  (1985‐1997) untuk Pulau Sumatera,  Kalimantan,  dan  Sulawesi mencapai  1,6  juta  ha  per  tahun.  Pada periode pengamatan  tahun 1997‐2000, angka deforestasi hutan di  Indonesia meningkat  2,83  juta  hektar.  Sedangkan  tahun  2000‐2005,  angka  deforestasi hutan turun menjadi 1,08 juta hektar. Menurut Data Asian Development Bank, rata‐rata  kerusakan  hutan  di  Indonesia  diperkirakan  antara  600.000  hektar sampai  1,3  juta  hektar  per  tahun.  Namun,  ada  juga  penelitian  lain  yang menyebutkan penggundulan hutan  telah mencapai  tingkat kecepatan 1,6‐2,0 juta hektar per  tahun.5 Data  yang  lebih miris  lagi disajikan EIA/Telapak  yang menyatakan kehancuran hutan mencapai 2,8 juta hektar per tahun terparah di dunia.6 

Akibat  adanya  penggundulan  hutan  tersebut,  banyak musibah  banjir dan tanah longsor yang datang silih berganti di Indonesia mewarnai perjalanan tahun  2007. Bencana  banjir  telah menerpa Aceh,  Langkat, Riau,  Palembang, Padang, Morowali, dan daerah‐daerah lain yang kaya akan hutan. Ratusan ribu orang  mengungsi,  ribuan  rumah  terendam,  infrastruktur  rusak  parah  dan triliunan harta lenyap akibat terjangan banjir. Jika tidak segera diatasi, bencana banjir dan tanah longsor mungkin akan kembali menerpa pada tahun 2008.  

Selain dihadiahi oleh alam dengan rentetan bencana,  pada tahun 2007 Indonesia  diganjar  sebagai  negara  penghancur  hutan  tecepat  di  dunia  versi Food  and  Agiculture  Organization  (FAO).  Indonesia  pun  tercatat  di  Guinnes                                                              

4  Suripto,  “Transnational  Crime  of  Illegal  Logging”, Presentasi untuk Workshop EIA/Telapak, September 2006 

5 Bambang Setiono dan Yunus Husein, “Memerangi Kejahatan  Kehutanan  dengan  Mendorong  Prinsip  Kehati‐hatian Perbankan Untuk Mewujudkan Pengelolaan Hutan yang Berkelanjutan:  Pendekatan  Anti  Pencucian  Uang”,  CIFOR Occasional Paper No. 44 (i), CIFOR, Bogor, 2005, hlm 5 

6  EIA  /  Telapak,  “Raksasa  Dasamuka:  Kejahatan Kehutanan,  Korupsi  dan  Ketidakadilan  di  Indonesia”, Maret 2007, hlm 2 

Page 31: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  23 

   

World of Record  sebagai negara penghancur hutan  tercepat di dunia dengan rata‐rata kerusakan hutan sebesar 1,871  juta hektar per  tahun. Reward yang diterima  Indonesia  tentu  saja  sangat  ironis  karena  pada  Desember  2007 Indonesia  menjadi  tuan  rumah  United  Nation  Framework  Climate  Change Conference (UNFCCC) di Bali. 

Meski banyak hutan yang gundul, ironisnya tidak ada aktor intelektual yang  dihukum.  Vonis  bebas  terhadap  Adelin  Lis menjadi  bukti  nyata  bahwa bangsa  Indonesia  terlampau permisif  terhadap pelaku  illegal  logging. Hal  ini diperparah  lagi  dengan  pernyataan  dari  Departemen  Kehutanan  yang  lebih membela  pelaku  pengrusakan  hutan  yang  berijin  dibanding menjaga  hutan. Tindak  pidana  kehutanan  hanya  dianggap  sebagai  pelanggaran  administrasi belaka. 

Padahal  praktek  illegal  logging  sudah  semakin  rapi  dan melibatkan korporasi sebagai pelaku. Jika pembalakan  liar hanyalah suatu kejahatan yang melibatkan masyarakat miskin yang kehidupannya bergantung kepada hutan, seperti  supir  truk    ataupun  penjaga  hutan  yang  bergaji  kecil,  kejahatan tersebut  tentu  tidak  akan  sulit  untuk  dihentikan.7  Lebih  dari  itu,  kejahatan kehutanan  telah  melibatkan  korporasi  besar  yang  lebih  mementingkan mencari  keuntungan  dibandingkan  menjaga  kelestarian  hutan.  Dalam melakukan illegal logging, korporasi sering berlindung di balik ijin.  

Penebangan  liar  di  Indonesia  merupakan  masalah  yang  sangat kompleks karena melibatkan banyak aktor dengan berbagai kepentingan dan jaringan,  baik  itu  di  pengusaha,  masyarakat,  Departemen  Kehutanan, pemerintah  daerah,  kepolisian,  maupun  TNI.  Hampir  setiap  praktek  illegal logging melibatkan aparat supaya dapat berjalan mulus. Membawa kayu bukan seperti  membawa  jarum  yang  sulit  terlihat.  Pelaku  illegal  logging  harus melewati  pos‐pos  pemeriksaan  pemerintah  dan  melakukan  praktek  suap kepada aparat yang berkuasa. 

Tahun  2007  menjadi  tahun  kegagalan  pemberantasan  korupsi  di bidang kehutanan. Bagaimana  tidak. Sepanjang  tahun 2007  jarang ada kasus korupsi  kehutanan  yang divonis bersalah.    Satu‐satunya  kasus  illegal  logging yang  berhasil menggunakan  UU  Korupsi  yakni  Kasus  “Sejuta  Hektar  Kelapa 

                                                             7 Bambang Setiono dan Yunus Husein, op.cit, hlm 1 

Page 32: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 24  2008  

Sawit” di Kaltim yang melibatkan mantan Gubernur Kaltim, Mantan KaKanwil, Mantan  Kepala Dinas  Kehutanan, Dirjen Dephut dan pengusaha Martias.  Itu pun  dilakukan  oleh  KPK  dan  Pengadilan  Tipikor.  Kasus  lain  yang  berpeluang divonis bersalah dengan menggunakan UU Anti Korupsi yakni kasus DL Sitorus. Namun  sayang, pada waktu  itu  jaksa menggunakan dakwaan alternatif yakni korupsi dan kejahatan kehutanan. Di dalam putusan Kasasi, Hakim Mahkamah Agung lebih memilih UU Kehutanan untuk menghukum DL Sitorus. 

Di  samping  itu,  pada  tahun  2007  aparat  penegak  hukum  juga mengacukan  hasil  analisis  PPATK  yang  terkait  dengan  kasus  illegal  logging, pencucian  uang  dan  korupsi.  Padahal  di  dalam  beberapa  analisis  PPATK menggambarkan  secara  gamblang  proses  suap  yang  dilakukan  pengusaha terhadap aparat. 

GAMBARAN UMUM PENEGAKAN HUKUM KEJAHATAN KEHUTANAN 

Tak seperti tahun sebelumnya yang lebih mengutamakan pelaksanaan operasi  hutan  lestari,  pada  tahun  2007  pemerintah  tidak  mencanangkan operasi pemberantasan illegal logging secara besar‐besaran. Akibatnya, jumlah kasus illegal logging yang dijerat dengan menggunakan UU kehutanan semakin menurun.  Dari  data  yang  dihimpun  Direktur  Penyidikan  dan  Perlindungan Hutan Departemen Kehutanan, menyatakan bahwa  jumlah kasus  tahun 2006 berjumlah 1.329 dan pada tahun 2007 (sampai dengan September 2007) turun drastis menjadi 204 kasus. 

Tabel 1. Data Penyelesaian Kasus‐Kasus Kejahatan Kehutanan yang Ditangani PPNS Kehutanan 

Tahun    Jml TSK  

 Jml Kasus  

Pe‐nyeli‐dikan  

Penyi‐dikan 

SP3  P21  Per‐sidangan  

Vonis  

2005   879  732  112  217  6  119  40  217 

2006   1.409  1.329  367  320  23  236  84  247 

Page 33: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  25 

   

s.d Sept 2007  

182  204  75  69  ‐  30  5  8 

Sumber: Departemen Kehutanan, 2007 

Data  yang  dikeluarkan  Kepolisian  Republik  Indonesia  berbeda  jauh dengan  Departemen  Kehutanan.  Data  yang  diungkap  POLRI  selama  Januari hingga Agustus 2007, polisi telah menangkap 1.375 tersangka pembalakan liar. Para tersangka ini ditangkap dalam 1.124 kasus. Hal itu terungkap dalam Rapat Kerja  Kapolri  Jenderal  Sutanto  dengan  Komisi  III  DPR  (Media  Indonesia 18/9/2007). 

KERUGIAN NEGARA AKIBAT ILLEGAL LOGGING 

Tidak ada data  resmi dari Departemen Kehutanan  tentang kerusakan hutan  tahun  2007. Data  kerusakan  hutan  terdekat  yang  dikeluarkan Dephut yakni  data  pada  tahun  2000‐2005  sebesar  1,08  juta  hektar  per  tahun. Sedangkan  rata‐rata  potensi  produksi  hutan  per  hektar  pada  tahun  2007 sebesar  37,78 m3.8  Jika  kita menggunakan  data  kerusakan  hutan  per  tahun sebesar  1,08  juta  hektar  dan  dikalikan  dengan  potensi  hutan  37,78 m3  per hektar,  maka  ada  sekitar  40,802  juta  m3  kayu  yang  ditebang  dari  bumi Indonesia.  

Jumlah produksi kayu di atas tentu saja jauh di atas produksi kayu yang dihimpun Dephut. Rencana Kerja Tahunan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu  (IUPHHK)  Hutan  Alam  yang  dilansir  perusahaan  untuk    tahun  2007 sebesar 9,379 juta m3. Sampai laporan ini dibuat, Dephut belum mengeluarkan realisasi  produksi  kayu  baik  itu  berasal  dari  Hutan  Alam,  Hutan  Tanaman maupun  ijin  lainnya  tahun  2007. Untuk mengisi  kekosongan  data  2007,  kita menggunakan  rata‐rata  realisasi  produksi  kayu  terdekat  yakni  antara  2001‐2005. Rata‐rata produksi kayu per tahun untuk Ijin Pemanfaatan Kayu sebesar 1,741 juta m3, Hutan Tanaman 8,190 juta m3 dan Hutan Rakyat sebesar 0,304 juta m3.  Dengan menggunakan  asumsi  data  RKT  tahun  2007  dan  rata‐rata realisasi  produksi  kayu  tahunan,  maka  kita  dapat  memperkirakan  jumlah produksi legal kayu untuk tahun 2007 sebesar  19,614 juta m3.                                                              

8 Angka ini diperoleh dari Rencana Kerja Tahun 2007 IUPHHK  Hutan  Alam  yakni  sebesar  9.379.064  m3  dengan mencakup areal hutan seluas 248.234 hektar. 

Page 34: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 26  2008  

Hal  ini  berarti  ada  sekitar  kayu  21,188  juta  m3  yang  diindikasikan berasal  dari  illegal  logging  dan  tidak  tercatat  oleh  Dephut.  Kalau  kita menggunakan harga kayu sebesar US$ 105,82  per m3 (US$ 1 = Rp 9.309,51)9, maka nilai kerugian negara dari nilai kayu sebesar Rp 20,873 triliun. Kerugian tersebut  belum  dihitung  dari  nilai  penyimpanan  karbon,  air,  lingkungan  dan nilai hutan non kayu yang  jumlahnya bisa mencapai US$ 1283 sampai dengan US$ 1416 per hektar.10 

MONITORING KASUS KORUPSI BIDANG KEHUTANAN 

KASUS DL SITORUS 

Pada bulan Februari 2007, nasib terdakwa tindak pidana kehutanan Darianus  Lumbuk  Sitorus    atau  yang  dikenal  dengan  DL  Sitorus  berubah drastis.  Setelah  Pengadilan  Tinggi  (PT)  DKI  Jakarta  memutusnya  bebas, melalui putusan kasasi Mahkamah Agung  (MA) akhirnya menjebloskannya kembali ke penjara. Ia diganjar penjara 8 tahun dan dipidana denda sebesar Rp 5 miliar subsider pidana kurungan 6 bulan.  

Dengan demikian putusan kasasi  ini menguatkan kembali putusan PN Jakarta Pusat. Artinya, DL Sitorus terbukti mengerjakan dan menduduki secara  sengaja  kawasan  hutan  negara  tanpa  ijin  yang melanggar  Pasal  6 ayat  (1)  jo pasal 18 ayat  (2) PP No. 28 Tahun 1985  tentang Perlindungan Hutan dan Pasal 50 ayat  (3) huruf a  jo Pasal 78 ayat  (2) UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Majelis hakim MA menyatakan DL Sitorus terbukti secara  sah  dan  meyakinkan  telah  bersalah  melakukan  tindak  pidana mengerjakan  dan  menggunakan  kawasan  hutan  secara  tidak  sah  yang 

                                                             9  Meski  harga  ini  diambil  dari  harga  kayu  bulat 

menurut FAO  tahun 2002, namun harga  ini mendekati harga kayu  pasaran  di  Indonesia.  Menurut  Direktur  Asosiasi Pengusaha  Hutan  Indonesia,  harga  rata‐rata  kayu  antara  Rp 900.000 s.d. Rp 1  juta. Menurut Bambang Setiono peneliti di CIFOR, harga rata‐rata kayu Rp 1 juta. 

10  Bintang  C.H.  Simangungsong, Nilai  Ekonomi  dari Hutan Produksi Indonesia, IWGFF, 2003, hlm 30 

Page 35: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  27 

   

dilakukan  secara  bersama‐sama  dan  dalam  bentuk  perbuatan  berlanjut. Kasasi  ini  diajukan  Kejaksaan  Tinggi  DKI  Jakarta  karena  tak  puas  dengan putusan PT DKI Jakarta yang dibacakan pada 11 Oktober 2006. Ketika itu, PT DKI  Jakarta memutus  bebas  DL  Sitorus.  Pertimbangannya,  dakwaan  JPU prematur atau belum saatnya diajukan karena belum ada putusan perdata mengenai  areal  yang  disengketakan.  Tak  hanya  itu,  gugatan  pembatalan Surat Menteri Kehutanan di PTUN juga belum berkekuatan hukum tetap.  

Di PN  Jakarta Pusat,  Jaksa menerapkan dakwaan alternatif antara korupsi atau kejahatan kehutanan. Pada dakwaan pertama dan kedua, JPU menjerat terdakwa dengan pasal tindak pidana korupsi, yaitu pasal 1 ayat 1 sub a jo pasal 28 jo pasal 34 c UU No3 Tahun 1971 jo pasal 43A UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan pasal 2 ayat 1  jo pasal 18 UU No 31 Tahun 1999  jo UU No 20 Tahun 2001 pada dakwaan kedua.  

Sedangkan pada dakwaan ketiga, terdakwa dijerat pasal 6 ayat 1 jo pasal 18 ayat 2 PP No 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan dan pasal 50  ayat  3  huruf  a  jo  pasal  78  ayat  2  UU  No  41  Tahun  1999  tentang Kehutanan. Majelis  hakim  yang  diketuai  oleh  Andriani  Nurdin menunda sidang hingga Jumat, 28 Juli 2006, untuk membacakan putusan. 

JPU menuntut DL Sitorus hukuman 12 tahun penjara, dan hukuman tambahan berupa denda sebesar Rp200 juta subsider enam bulan kurungan serta mengganti uang kerugian negara sebesar Rp323,655 miliar. Perbuatan terdakwa, menurut JPU, telah merugikan negara cq Departemen Kehutanan sebesar  Rp323,655 miliar  yang  terdiri  atas  hilangnya  tegalan  di  47  ribu hektar  hutan  produksi  negara  sebesar  Rp44,655  miliar,  hilangnya pemasukan  dana  reboisasi  dan  pengelolaan  sumber  daya  alam  yang seharusnya masuk  ke  Departemen  Kehutanan  sebesar  Rp207 miliar  dan Rp72 miliar. 

Namun, pada  tanggal 10 September 2007 DL Sitorus, mengajukan permohonan  Peninjauan  Kembali  (PK).  DL  Sitorus  hanya  menyodorkan sebuah  novum,  yaitu  putusan  kasasi  Mahkamah  Agung  (MA)  No.  134 K/TUN/2007. Putusan  tertanggal 12  Juni 2007  tersebut berisi pembatalan SK  Menteri  Kehutanan  No.  S.149/Menhut‐II/2004  tentang  Permohonan 

Page 36: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 28  2008  

untuk Mengelola Perkebunan Kelapa Sawit di Kawasan Hutan Register 40 Padang Lawas Sumatera Utara. 

SK  Menhut  tertanggal  13  Oktober  2004  itu  pada  intinya menyatakan, kawasan hutan yang telah dikuasai dan dijadikan perkebunan kelapa  sawit oleh DL  Sitorus  akan dipertahankan  sebagai  kawasan hutan. Masih  dalam  SK  yang  sama,  Menhut  juga  membatalkan  SK  No. 1680/Menhut‐III/2002  tertanggal  20  September  2002.  SK  tersebut mengatur mengenai  Penerbitan  Sertifikat  Tanah  yang  Terletak  di  Dalam Kawasan  Hutan  Register  40  Padang  Lawas  Sumatera  Utara.  Selain  itu, Menhut menghimbau agar DL Sitorus menghentikan seluruh kegiatan dan meninggalkan kawasan hutan Register 40 Padang Lawas Sumatera Utara. 

Dalam  putusannya, Majelis  Kasasi MA  yang  diketuai  Titi Nurmala Siagian menyatakan,  Pengadilan  Tinggi  Tata  Usaha  Negara  (PT  TUN)  DKI Jakarta telah salah menerapkan hukum tentang tenggang waktu pengajuan gugatan  TUN.  Menurut  majelis  kasasi,  pengajuan  gugatan  masih  dalam tenggat  waktu  yang  dimaksud  Pasal  55  UU  No.  9  Tahun  2004  tentang perubahan  atas  UU  No.  5  Tahun  1986  tentang  PTUN.   Dengan dibatalkannya SK tersebut oleh MA, DL Sitorus mendapatkan senjata untuk mengajukan Peninjauan Kembali. Sebab, SK tersebut nyata‐nyata melarang Direktur  PT  Torganda  ini menguasai  kawasan  hutan  produksi  di  Padang Lawas. 

KASUS TEDDY ANTONI 

Pada  April  2007,  Teddy  Antoni  (39),  Direktur  Utama  PT  ATN, pembalak  13.000 m3  kayu  di  Kepulauan Mentawai,  Sumbar  yang  dinilai merugikan negara Rp7,3 miliar, divonis bebas. Majelis hakim dengan Ketua, Nurhaida  Betty  Aritonang,  SH,  di  PN  Padang  menyatakan  Teddy  wajar divonis  bebas  dari  tuntutan  berlapis,  karena  persidangan  membuktikan kejahatan  yang  didakwakan  terhadapnya  tidak memenuhi  unsur  pidana. Terkait  pembebasan  Teddy,  JPU,  Jopi  Noveli,  SH, menyatakan  pikir‐pikir atau  menyerahkan  kebijakan  selanjutnya  pada  Kepala  Kejaksaan  Tinggi Sumbar.  

Page 37: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  29 

   

Sebelumnya  Jaksa penuntut Umum,  Jopi Noveli, SH dan Wiily Ade Chaidir,SH, menuntut terdakwa selama enam tahun penjara, denda Rp300 juta dan subsider enam bulan kurungan, karena melanggar pasal 2 ayat 1 jo pasal 18 ayat 1 huruf b UU No 31  tahun 1999  tentang korupsi. Terdakwa juga dijerat pasal No. 20 tahun 2001  jo pasal 55 ayat 1 ke  ‐ KUHP, karena dugaan  kejahatan  dilakukan  secara  bersama  dengan  dua  koperasi Mina Awera  dan  KSU  Simantorai  dalam  izin  pemanfaatan  kayu  (IPK)  di  Sipora Kepulauan Mentawai. 

Dakwaan  sebelumnya,  Teddy  Antoni,  dinilai  bekerjasama  dengan Zulkarnain  ‐  Ketua  KUD Mina  Awera  dan M  Parulian  Samalinggai  (DPO), menggarap kayu  jenis meranti, kruing, mencimin, balam di  luar  lahan atas IPK yang dimilikinya. Dalam mengelola kayu tersebut Teddy menyediakan 5 unit buldozer, dan wheel  loader, eskavator, motor grader dan dump truck masing‐masing  satu  unit  serta  peralatan  lainnya  untuk  KSU  Simarotorai. Pengoperasian  alat  barat  itu  tidak  memiliki  izin  Dirjen/Derektur  Bina pengembangan  Hutan  Tanaman  yang  seharusnya  sesuai  Kepmenhut  No 428/kpts‐11/2003. 

Guna  melancarkan  operasinya  Teddy  Antoni,  juga  menyediakan empat unit chainsaw atas nama Jailani untuk Koperasi Mina Awera dan lima operator  ATN.  Selain  itu,  Teddy  juga menyediakan  enam  unit  kendaraan roda empat serta mengontrak dua unit kapal. Teddy diadili ke PN Padang, mulai 20 Desember 2005. Terdakwa dalam  sidang putusan  itu, didamping penasehat  hukumnya  Suherman,  SH  dan  Azimar  SH.  Dalam  kasus  ilegal Logging itu, diperiksa 27 orang saksi. 

KASUS SEJUTA HEKTAR KELAPA SAWIT DI KALTIM 

Kasus  sejuta  hektar  kelapa  sawit  di  Kaltim  melibatkan  5 Tersangka/Terdakwa yakni : 1. Suwarna AF (Gubenur Kaltim) 2. Martias (President Surya Dumai Grup) 3. Uuh Aliyuddin (Ka Kanwil Dephutbun Kaltim) 4. Robian (Kadishut/Plt Ka Kanwil Dephutbun Kaltim) 5. Waskito Suryodibroto (Dirjen PHP Dephutbun) 

   

Page 38: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 30  2008  

Kasus Posisi 

Sejak  tahun  1998,  SUWARNA AF  selaku Gub.  Kaltim   mencanangkan pembangunan  kebun  kelapa  sawit  Sejuta  hektar    di  Prov.  Kaltim, namun dalam perencanaannya  tidak dibuat secara matang dan  tanpa pembahasan dengan DPRD Kaltim.  

MARTIAS  selaku  President  BOD  Surya Dumai Grup  (SDG)  turut  serta dalam  pelaksanaan  kegiatan  yang  canangkan  SUWARNA,  dengan membentuk  Surya  dumai  Grup  Divisi  Pengembangan  Kaltim,  yg membawahi    antara  lain  :  PT  BUMI  SIMANGGARIS  INDAH,  PT BULUNGAN AGRO  JAYA, PT KALTIM BHAKTI  SEJAHTERA, PT REPENAS BHAKTI  UTAMA,  PT  BUMI  SAWIT  PERKASA,  PT  BORNEO  BHAKTI SEJAHTERA, PT BULUNGAN HIJAU PERKASA (didirikan pada tanggal 29 April  1999),  PT  MARSAM  CITRA  ADIPERKASA  ,  PT  TIRTA  MADU SAWITJAYA,  PT  SEBUKU  SAWIT  PERKASA  dan  PT  BERAU  PERKASA MANDIRI, yang alamat dan pemegang sahamnya adalah sama. 

Perusahan SDG mendapatkan  rekomendasi dari Suwarna  selaku Gub. Kaltim seluas 147.000 Ha utk bangun perkebunan kelapa sawit. Hal ini  melanggar  batas  maksimum  SK  Menhutbun  No.  107/Kpts‐II/1999 tanggal  3  Maret  1999  tentang  Perizinan  Usaha  Perkebunan  yaitu sebesar maksimum  20.000  Ha  bagi  satu  perusahaan  atau  satu  grup perusahaan dalam satu provinsi. 

Lokasi pembangunan kebun kelapa sawit SDG berada di Kab. Bulungan, Kab. Berau dan Kab. Nunukan. 

SUWARNA meminta  bantuan WASKITO  (Dirjen  PHP  Dephutbun)  utk mempercepat pembangunan  kebun  kelapa  sawit  sejuaa Ha di Kaltim diantaranya percepatan pemberian IPK dlm rangka land clearing.  

MARTIAS  didampingi  PAULUS  TANURAHARDJA mendatangi WASKITO dalam rangka mengurus perijinan IPK.  

PAULUS selaku Perwakilan DiVisi Pengmebangan Kaltim SDG di Jakarta atas  perintah  MARTIAS  mengajukan  permohonan  IPK  langsung  kpd Dirjen  PHP  yg  dilampiri  antara  lain  rekomendasi  dari  Gub  Kaltim (SUWARNA)  tanpa  melalui  Ka  Kanwil  Dephutbun  Kaltim  serta permohonan  tidak  dilampiri  dgn  persyaratan  yaitu  :  Persetujuan Prinsip  Pelepasan  Kawasan  Hutan  dari  Menteri,  FS  dan  Bukti  telah 

Page 39: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  31 

   

dilksanakan Tata Batas Areal. Hal ini melanggar pasal 5 ayat (1) dan (2) Kep Menhutbun No 538/1999 

WASKITO menerbitkan Persetujuan Prinsip  IPK kpd perusahaan2 SDG dgn  membuat  surat  kepada  Ka  Kanwil  Dephutbun  Kaltim  dgn tembusan  Gubernur  dan  Kepala  Dinas  Kehutanan  kaltim  untuk menerbitkan IPK. 

Atas dasar Persetujuan Prinsip IPK dari Dirjen PHP tersebut, SUWARNA  menerbitkan  Surat    Persetujuan  Sementara Hak  Pengusahaan Hutan Tanaman Perkebunan  (HPH TP, Surat Persetujuan Prinsip Pembukaan Lahan  dan  Pemanfaatan  Kayu  kpd  PT  yg  tergabung  dlm  SDG.  Surat tersebut  disertai  dgn    instruksi  kepada  Kakanwil  untuk  segera menerbitkan IPK. 

Berdasar  HPHTP,  Ijin  Prinsip  Dirjen  PHP  dan  Persetujuan  Prinsip Pembukaan Lahan dan Pemanfaatan kayu, UUH ALIYUDDIN, Ka Kanwil Dephutbun  Kaltim  selaku  pejabat  teknis menerbitkan  14  IPK  (1999‐2000) kepada PT yg tergabung dlm SDG. 

Pada  saat  IPK  yg  diterbitkan  oleh  UUH  ALIYUDIN  akan  habis  masa berlakuknya,  TONY  CANDRA  selaku  Kepala  Perwakilan  Divisi  Kaltim SDG  di  Samarinda,  atas  perintah  MARTIAS  mengajukan  Dispensasi Penyerahan Bank Garansi DR‐PSDH kpd Gub Kaltim (SUWARNA) 

SUWARNA menerbitkan Dispensasi Penyerahan Bank Garansi DR‐PSDH kepada perusahaan yg tergabung dlm SDG. 

Brdasarkan IPK yg telah diterbitkan oleh UUH ALIYUDIN yg tidak sesuai dgn ketentuan dan adanya Dispensasi dari SUWARNA, ROBIAN selaku Kadishut/Plt  Ka  Kanwil  Dephutbun  Kaltim  menerbitkan  14  SK IPK/Perpanjangan IPK kepada PT yg tergabung dlm SDG. 

Dengan SK  IPK dan SK Perpanjangan  IPK  tersebut, PT yang  tergabung dalam  SDG  melakukan  eksploitasi  kayu  tanpa  ada  keseriuasan membangun kebun kelapa sawit pada areal seluas kurang lebih 53.600 Ha, dgn jumlah nilai tebangan sekitar Rp. 386.221.139.830,‐. Dikatakan tidak serius karena pada kenyataannya sampai Juni 2006 hanya 2.170 Ha  yang dibangun dari  luas 53.600 Ha  yang ditebang. Hal  ini  karena tidak adanya pengawasan dari Gubernur dan pihak Kanwil Dephutbun  Kaltim serta  Kadishut Kaltim. 

 

 

Page 40: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 32  2008  

Dakwaan terhadap Suwarna AF 

Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi itu, penuntut  umum  KPK  mendakwa  Suwarna  telah  merugikan  keuangan negara  sebesar  Rp  346,8  miliar.  Menurut  penuntut  umum,  kerugian tersebut  diakibatkan  serangkaian perbuatan  Suwarna dalam  kurun waktu sejak Agustus 1999 sampai Desember 2002. Perbuatan Suwarna yang dinilai penuntut  KPK  melanggar  mulai  dari  pemberian  rekomendasi  areal perkebunan  sawit, memberikan persetujuan  sementara Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Perkebunan (HPHTP sementara) dan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK),  hingga  memberikan  persetujuan  prinsip  pembukaan  lahan  dan pemanfaatan  kayu.  Suwarna  juga dianggap  telah menyalahi aturan  ketika memberikan dispensasi kewajiban penyerahan jaminan bank (Bank Garansi) kepada  perusahaan  yang  tergabung  dalam  Surya  Dumai  Group  yang dikendalikan Martias alias Pung Kian Hwa  tanpa mengindahkan peraturan teknis bidang kehutanan.  

Dengan  mengantongi  IPK  tersebut,  Martias  pada  kenyataannya tidak melaksanakan  pembangunan  perkebunan  kelapa  sawit.  Tapi  hanya memanfaatkan  IPK  guna  mengambil  kayu  pada  areal  hutan  yang direkomendasikan untuk perkebunan. Hasilnya, Martias memperoleh kayu sebanyak 692 meter kubik senilai Rp 346,8 miliar.  

Tindakan  Suwarna  tersebut  oleh  penuntut  dalam  dakwaan primairnya diancam dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU 31/1999 tentang Pemberantasan  Tindak  Pidana  Korupsi  sebagaimana  diubah  dengan  UU 20/2001  (UU Korupsi)  jo Pasal 55 ayat  (1) ke‐1 KUHP  jo Pasal 64 ayat  (1) KUHP. 

Dalam dakwaan subsidairnya, Suwarna dianggap menyalahgunakan kewenangan,  kesempatan  atau  sarana  yang  ada  padanya  dengan serangkaian perbuatan  yang memberikan  ijin  kepada  Surya Dumai Group untuk  pembukaan  lahan  dan  pemanfaatan  kayu.  Perbuatan  ini  diancam Pasal 3  jo Pasal 18 UU Korupsi  jo Pasal 55 ayat  (1) ke‐1 KUHP  jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. 

Page 41: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  33 

   

Tuntutan terhadap Suwarna AF 

Tuntutan digelar pada tanggal 2 Maret 2007. Penuntut Umum KPK menuntut  Gubernur  Kalimantan  Timur  Mayjend  (Purn)  Suwarna  Abdul Fatah 7  tahun penjara dan denda Rp200  juta  subsider  kurungan 6 bulan. Terdakwa melanggar  pasal  2  ayat  (1)  jo  pasal  18 UU No.  31  tahun  1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  sebagaimana  telah diubah dengan UU 20 Tahun 2001  jo Pasal 55 ayat (1) ke‐1 KUHP  jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. 

Terdakwa  kasus  korupsi pelepasan  ijin pembebasan  seribu hektar lahan  perkebunan  kelapa  sawit  ini  dinilai  tidak  menikmati  sendiri  hasil korupsinya.  Justru  Martias  alias  Pung  Kian  Hwa,  pengendali  sejumlah perusahaan  yang  tergabung  dalam  Surya  Dumai  Group,  yang menikmati hasil  korupsi  Suwarna.  Suwarna  juga  dianggap  telah  menyalahi  aturan ketika memberikan dispensasi kewajiban penyerahan  jaminan bank  (Bank Garansi) kepada sejumlah perusahaan yang tergabung dalam Surya Dumai Group  yang  dikendalikan Martias  tanpa mengindahkan  peraturan  teknis bidang kehutanan. 

Selain  itu,  Suwarna  juga  memberi  perintah  secara  lisan  kepada Kepala  Kantor Wilayah  Kehutanan  dan  Perkebunan  Propinsi  Kaltim  serta Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Kaltim untuk menerbitkan IPK yang belum memenuhi syarat kepada Surya Dumai Group.  

Dengan  mengantongi  IPK  tersebut,  Martias  pada  kenyataannya tidak melaksanakan  pembangunan  perkebunan  kelapa  sawit.  Tapi  hanya memanfaatkan  IPK  guna  mengambil  kayu  pada  areal  hutan  yang direkomendasikan  untuk  perkebunan.  Belakangan  terungkap,  proyek pembukaan  lahan  itu terbengkalai. Yang aneh, sebagian besar  lahan sudah ditebangi kayunya, tapi tidak ditanami kelapa sawit. 

Putusan 

Majelis hakim yang diketuai Gus Rizal hanya menjatuhkan vonis 1 tahun 6 bulan penjara serta denda Rp200 juta subsidair tiga bulan kurungan kepada terdakwa Suwarna AF. Majelis hakim menyatakan Suwarna terbukti melakukan tindak pidana korupsi terkait pelepasan  izin pembebasan  lahan 

Page 42: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 34  2008  

perkebunan  kelapa  sawit  seribu  hektar.  Pidana  uang  pengganti  tidak dikenakan karena  tidak ada  fakta persidangan yang menyatakan Suwarna menikmati hasil tindak pidana korupsi yang dilakukannya. 

Walaupun terbukti melakukan tindak pidana korupsi, majelis hakim menilai perbuatan  Suwarna  tidak memenuhi unsur‐unsur Pasal 2 ayat  (1) UU No. 31 Tahun 1999  sebagaimana dakwaan primair  JPU. Majelis hakim justru berpendapat dakwaan subsidair yakni Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 yang terbukti.  

Putusan  ini  diwarnai  dengan  pendapat  berbeda  atau  dissenting opinion  dari  salah  seorang  anggota  majelis,  Slamet  Subagio.  Slamet menyatakan  tidak  setuju  dengan  pendapat mayoritas majelis  hakim  yang menyatakan perbuatan terdakwa tidak memenuhi unsur‐unsur pasal dalam dakwaan  primair.  Dalam  pertimbangannya,  majelis  hakim  menyatakan berdasarkan  fakta persidangan  terungkap bahwa Suwarna  telah membuat sejumlah  kebijakan  dalam  rangka  Program  Pembangunan  Perkebunan Kelapa Sawit Sejuta Hektar Kalimantan Timur. Kebijakan‐kebijakan tersebut diantaranya  diberikan  kepada  sejumlah  perusahaan  yang  ternyata tergabung dalam Surya Dumai Grup. 

Kebijakan  dimaksud  antara  lain  penerbitan  surat  persetujuan prinsip  pembukaan  lahan  dan  pemanfaatan  Kayu,  rekomendasi  areal perkebunan  sawit,  persetujuan  sementara  hak  pengusahaan  hutan tanaman perkebunan (HPHTP sementara), izin pemanfaatan kayu (IPK), dan dispensasi kewajiban penyerahan jaminan bank garansi dana reboisasi (DR) dan provisi sumber daya hutan (PSDH).  

Majelis  hakim  berpendapat  perbuatan  Suwarna  belum  dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan yang melanggar hukum karena beberapa kebijakan  yang  dibuatnya  seperti  surat  persetujuan  prinsip  pembukaan lahan dan pemanfaatan Kayu dan persetujuan HPHTP sementara belum ada dasar hukumnya. Pertimbangan majelis hakim diantaranya didasarkan pada keterangan  ahli  Soeparno  dari  Biro  Hukum  Departemen  Kehutanan  yang menyatakan HPHTP sementara, sejauh ini tidak ada dasar hukumnya. 

Page 43: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  35 

   

Sementara  itu,  untuk  dakwaan  subsidair,  majelis  hakim menegaskan  bahwa  kebijakan‐kebijakan  yang  dibuat  Suwarna  terbukti telah  melampaui  kewenangannya  sebagai  Gubernur  Kaltim.  Sebagai contoh, kebijakan menerbitkan surat persetujuan prinsip pembukaan lahan dan  pemanfaatan  Kayu  yang  semestinya  bukan  kewenangan  seorang Gubernur atau Kepala Daerah. 

Berdasarkan  Pasal  9  ayat  (1)  SK  Menhut  No.  107/Kpts‐II/1999 tanggal 3 Maret 1999 tentang Perizinan Usaha Perkebunan, maka izin usaha perkebunan  berskala  besar  diterbitkan  oleh  Menhut.  Padahal,  usaha perkebunan  yang  dijalankan  perusahaan‐perusahaan  Surya  Dumai  Grup masuk  kualifikasi usaha perkebunan  skala besar  karena  lebih dari 10  ribu hektar.    

Selain itu, majelis juga menyatakan kebijakan‐kebijakan yang dibuat Suwarna  terbukti  secara  nyata  telah  menguntungkan  orang  lain  yakni Martias alias Pung Kian Hwa yang tidak  lain adalah pimpinan Surya Dumai Grup. 

Terkait  unsur  kerugian  negara,  majelis  hakim  berpendapat perhitungan kerugian negara yang dilakukan oleh ahli dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tidak valid. Pasalnya, ahli BPKP hanya menghitung kerugian negara berdasarkan data‐data yang dimiliki penyidik KPK dan tidak melakukan penelusuran ke lapangan.  

Perhitungan  ahli  BPKP  tidak  melingkupi  fakta  adanya  tunggakan sejumlah perusahaan Surya Dumai Grup sebesar Rp5.7 milyar untuk PSDH dan  Rp1,5 milyar  untuk  DR  yang  telah  dibayar  lunas.  Akibatnya,  jumlah kerugian  negara  Rp  346.823.970.564,24  yang  diperoleh  ahli  BPKP  kurang akurat dan oleh karenanya dikesampingkan oleh majelis hakim. 

 

 

 

Page 44: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 36  2008  

Putusan  terhadap  terhadap  terdakwa  kasus  kelapa  sawit  sejuta hektar di Kaltim selengkapnya lihat tabel di bawah ini: 

No.  Terdakwa  Putusan Tingkat Pertama 

Putusan Banding 

Putusann Kasasi 

1.  Suwarna Abdul Fatah (Gubenur Kaltim) 

1 tahun 6 bulan 

4 tahun  4 tahun 

2.   Martias (President BOD Surya Dumai Grup) 

1 tahun 6 bulan 

1 tahun 6 bulan 

1 tahun 6 bulan 

3.  Uuh Aliyuddin (Ka Kanwil Dephutbun Kaltim) 

4 tahun  ?  ? 

4.  Robian (Kadishut/Plt Ka Kanwil Dephutbun Kaltim) 

4 tahun  ?  ? 

5.  Waskito Suryodibroto (Dirjen PHP Dephutbun) 

2,5 tahun  ?  ? 

Sumber: Diolah dari media cetak.  

KASUS BUPATI PELALAWAN RIAU 

Pada  tanggal  13  Agustus  2007,  Komisi  Pemberantasan  Korupsi (KPK) menetapkan  Bupati  Pelalawan  Tengku  Azmun  Jaafar  (AJ)    sebagai tersangka  dalam  kasus  gratifikasi  keluarnya  sejumlah  Izin  Usaha Pemanfaatan  Hasil  Hutan  Kayu  Hutan  Tanaman.  AJ  ditetapkan  sebagai tersangka  berdasarkan  Surat  Tanda  Penerimaaan  Barang  Bukti (STTB)/220/Dak.2/KPK/VI/2007.Azmun  sendiri  sudah  beberapa  kali diperiksa  KPK  sebagai  saksi  dalam  kasus  tersebut.  KPK  juga  sudah memeriksa sejumlah saksi  lainnya seperti Ketua DPRD Pelalawan M Harris dan mantan Menteri  Kehutanan  Nurmahmudi  Ismal  serta  rekanan  yang diduga telah memberikan gratifikasi. 

Page 45: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  37 

   

KPK  telah  menyita  sejumlah  barang  bukti  yang  memperkuat penetapan Azmun  sebagai  tersangka. Barang bukti yang disita antara  lain buku  kas PT Persada Karya  Sejati  tahun 2006, 3  lembar  form PT Persada Karya  Sejati  tanggal  26  Januari,  1  lembar  kwitansi  tertanggal  20  Januari 2006 dengan nilai Rp600  juta.Kemudian  1 bundel  kesekapatan  antara CV Tuan Negeri dengan PT RAPP tertanggal 1 Juli 2003, 1 bundel kesepakatan CV  Putri  Lindung  Bulan  dengan  RAPP,  dan  1  bundel  kesepakatan  antara Koperasi Pangkalan Tuo Sakti dengan PT RAPP. 

Pada  tanggal  14  Desember  2007,  (KPK)  menangkap  pelaku pembalakan  liar Bupati  Pelelawan Riau  Tengku Azmun  Jaafar.  Penerbitan Ijin  Usaha  Pemanfaatan  Hasil  Hutan  Kayu  ‐  Hutan  Tanaman  (IUP)  yang dikeluarkan  Azmun  diduga merugikan  negara  sebesar  Rp1,3  triliun.  Dari hasil  penyidikan  KPK  itu,  antara  2001  hingga  2006  Azmun  diduga  telah melakukan  perbuatan melawan  hukum  dalam  penerbitan  IUP  kepada  15 perusahaan  di  Riau. Penerbitan  ijin  itu  dilakukan  pada  lahan  hutan  alam yang memiliki potensi  kayu dan bukan pada  areal  kosong, padang  alang‐alang atau  semak belukar. Hal  itu bertentangan dengan PP No. 34 Tahun 2002  tentang  tata hutan dan  rencana pengelolaan hutan. Pasal 30 PP No. 30/2004 itu menyebutkan usaha pemanfaatan hutan pada hutan tanaman, dilaksanakan  pada  lahan  kosong,  padang  ilalang  dan  atau  semak  belukar dihutan produksi. 

 Dalam  Keputusan  Menteri  Kehutanan  No.  10.1/Kpts‐II/2000 tentang pedoman pemberian IUP pada hutan produksi hal itu juga dilarang. Kepmenhut  itu  menentukan  areal  yang  dapat  diterbitkan   Pmeberian IUUPHHK  pada  Hutan  Tanaman  dapat  diberikan  pada  lahan  hutan  yang telah menjadi lahan kosong atau terbuka dan vegetasi alang‐alang dan/atau semak belukar. Begitupula untuk vegetasi hutan alam yang  tidak  terdapat pohon berdiameter di atas 10 cm tidak boleh diberikan izin. 

KASUS ADELIN LIS 

Kasus Posisi 

PT  KNDI  pada  tanggal  30  September  1999  berhak  atas  hutan  di Kecamatan Muara Batang Gadis, Madina, seluas 58.590 hektare dengan SK Menhut Nomor 805/Kpts‐VI/1999. Adelin  Lis,  salah  satu  "raja hutan" dari 

Page 46: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 38  2008  

Sumatera Utara, ditangkap karena kasus pembalakan  liar pada September 2006 di Beijing, Cina.  Ia adalah Direktur Umum dan Direktur Keuangan PT Keang Nam Development serta Komisaris PT Inanta Timber Trading. 

Pada tanggal 20 Juni 2007  lalu, Adelin Lis selaku direktur keuangan PT KNDI didakwa atas kasus pidana korupsi dan kerusakan hutan. Adelin Lis dianggap telah melakukan penggelapan pembayaran DR / PSDH. Di samping itu,  ia  telah melakukan kegiatan pembalakan  jauh diluar  jumlah RKT yang notabene dapat menyebabkan kerusakan hutan. 

Hakim 

Arman Byrin, Robinson Tarigan, Jarasmen Purba, Ahmad Ismedi, dan Dolman Sinaga. 

Jaksa 

Harli Siregar SH, Halila SH, Tomo Sitepu, dan Agus Wirawan SH 

Tersangka Lainnya 

Oscar  Sipayung  (Direktur  Utama  PT  KNDI),  Washington  Pane  (Direktur Perencanaan  dan  Produksi  PT  KNDI),  Budi  Ismoyo  (Kadis  Kehutanan  Kab Madina  periode  2006),  dan  Sucipto  (mantan  Kadis  Kehutanan  Madina periode 2002) 

Dakwaan 

Pada  dakwaan  kesatu  primer,  jaksa  penuntut  umum  (JPU) mendakwa Adelin dengan Pasal 2 ayat  (1)  junto Pasal 18 UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto Pasal 55 ayat (1) ke‐1 junto Pasal 64 ayat (1) KUHPidana dengan ancaman penjara seumur hidup.  

Jaksa menyatakan, Adelin bersama dengan Direktur Utama PT KNDI Oscar  Sipayung  dan  Direktur  Operasional  PT  KNDI  Washington  Pane merambah hutan di kawasan hutan Sikuang‐ Sungai Natal Kab Madina yang berada  di  luar  Rencana  Kerja  Tahunan  (RKT)  yang  telah  ditetapkan  sejak 

Page 47: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  39 

   

2000–2005. Akibat penebangan kayu dan  tunggakan Provisi Sumber Daya Hutan  (PSDH)  serta  tunggakan  Dana  Reboisasi  (DR)  negara  dirugikan sebesar Rp119.802.399.040 dan USD2.938.556,24.  

Sementara dalam dakwaan kedua primer,  jaksa mendakwa Adelin dengan Pasal 50 ayat (2)  junto Pasal 78 ayat (1), ayat (14) UU No 41/1999 tentang Kehutanan  junto Pasal 64 ayat  (1) KUHPidana. Penebangan hutan yang dilakukan PT KNDI menurut jaksa, juga tidak dibarengi kegiatan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam  Indonesia  (TPTI) dalam penebangan pohon kayu hasil hutan dari periode 2000–2005 mengakibatkan kerusakan hutan yang parah. 

Saksi 

Di  antaranya  saksi  itu  adalah  Nirwan  Rangkuti  (P2SKSHH  Dishut Madina),  Zairun  Harahap  (P2SKSHH  Dishut  Madina),Cardi  Riswandi  dan Asep  Perry Muhammad  (Petugas  Ceking  Cruising  Dishut Madina),  Hanafi Hasibuan  (Petugas  P2LHP  Dishut  Madina),  dan  M  Tohir  (Kasubdin  Bina Produksi Dishut Madina). 

Selanjutnya,  saksi  dari Oscar  A  Sipayung  (Dirut  PT  KNDI),Umasda (Kabag  Perencanaan  dan  Pengawasan  Eksploitasi  Hutan  PT  KNDI),Simon Agustinus Sihombing (Manager Camp Pinang PT KNDI), Pakner Simanjuntak (Pengukur  Kayu  Bulat  PT  KNDI),  Lahmudin  (Wakil  Dirut  PT  Mujur Timber),dan Wilson  sendiri  selaku  Kepala  Logs  Pond  Camp Manager  PT KNDI. 

Tuntutan 

Jaksa menuntut Adelin Lis hukuman pidana 10 tahun di Pengadilan Negeri Medan. Adelin juga dituntut denda Rp 1 miliar atau subsider 6 bulan kurungan dan uang ganti rugi sebesar Rp 119 milyar dan US$ 2,9 juta. Uang pengganti  ini ditanggung  renteng bersama empat  terdakwa  lainnya,  yaitu Oscar  Sipayung  (Direktur  Utama  PT  KNDI),  Washington  Pane  (Direktur Perencanaan  dan  Produksi  PT  KNDI),  Budi  Ismoyo  (Kadis  Kehutanan  Kab Madina  periode  2006),  dan  Sucipto  (mantan  Kadis  Kehutanan  Madina periode 2002). 

Page 48: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 40  2008  

Putusan: Bebas dari segala dakwaan 

Hakim  menilai  penebangan  hutan  hanya  merupakan  kelalaian administrasi,  bukan  pidana.  Soal  pidana  korupsi, menurut majelis  hakim, tidak  terbukti  adanya penebangan hutan di  luar  areal RKT  (rencana  kerja tahunan).  Dengan  begitu,  dakwaan  penunggakan  provisi  sumber  daya hutan dan dana reboisasi tidak terbukti pula. 

Dalam amar putusannya, majelis hakim menilai bukti yang diajukan jaksa  kurang  lengkap.  Tidak  ada  foto  atau  video  yang  membuktikan kerusakan hutan yang dituduhkan. Saksi ahli dari  Institut Pertanian Bogor yang diajukan jaksa, yakni Basuki Wasis dan Darsono, pun dinilai tidak kuat. Bagaimana  saksi  bisa  membuktikan  kerusakan  hutan  hanya  dengan penelitian  lapangan  selama  satu  hari,  yang  seharusnya  dilakukan  selama dua  bulan,  untuk  area  seluas  58  ribu  hektare milik  keluarga  Adelin  Lis? Karena itu, hakim pun meloloskan Adelin dari jerat pasal perusakan hutan. 

Walaupun mengakui  PT  KNDI  tidak menerapkan  sistem  silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), hakim menyerahkan sanksinya kepada menteri kehutanan  sebagai pemberi dan pencabut  izin HPH. Dengan kata lain, majelis sepakat bahwa PT KNDI hanya dikenai sanksi administratif atas perusakan maupun pelanggaran hukum  lain  terhadap 58  ribu ha hutan di Kecamatan Muara Batang Gadis, Kabupaten Madina. 

Dalam putusan, majelis  juga menyatakan bahwa  izin HPH PT KNDI masih  sah  hingga  sekarang. Mereka  berpegang  pada  surat  sakti Menhut M.S. Kaban kepada Kapolda Sumatera Utara bertanggal 21 April 2006 dan Kapolri  Jenderal  Sutanto  bertanggal  7  Juni  2006.    Inti  surat Menhut  ke Kapoldasu yang sempat menjadi polemik itu, antara lain, menyebutkan, PT Mujur  Timber,  PT  Inanta  Timber,  dan  PT  Keangnam  Development merupakan perusahaan  swasta PMDN  yang memiliki  IUPHHK/HPH. Kaban juga minta Kapoldasu memproses kasus tersebut secara objektif. Kapoldasu juga  diminta  dapat  membedakan  pelanggaran  administratif  dan pelanggaran pidana. 

 

Page 49: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  41 

   

PROBLEM PENGGUNAAN UU ANTI KORUPSI DALAM MENJERAT PELAKU ILLEGAL LOGGING 

PEMBELOKAN KORUPSI KE PELANGGARAN ADMINISTRASI 

Vonis  bebas  Adelin  Lis  telah  menambah  daftar  panjang  pelaku illegal logging yang dibebaskan di pengadilan. Sistem peradilan yang korup ditambah  intervensi  Departemen  Kehutanan  telah  gagal  menuntut  para pelaku  yang  mendalangi  illegal  logging.  Vonis  tersebut  semakin memperburuk  citra  Indonesia  sebagai  negara  yang  permisif  terhadap pelaku pengrusakan hutan. Banyak hutan yang gundul tapi tidak ada aktor intelektual  illegal  logging  yang  dihukum.  Padahal  sebagai  negara penghancur hutan  tercepat di dunia, kita diharapkan mengambil  langkah‐langkah sistematis untuk menghukum para pelaku. 

Di dalam kasus Adelin Lis, Hakim menilai bukti yang diajukan  jaksa kurang kuat. Tidak ada foto atau video yang membuktikan kerusakan hutan yang dituduhkan. Saksi ahli dari Institut Pertanian Bogor yang diajukan jaksa dinilai  tidak  kuat.  Karena  itu  penebangan  hutan  besar‐besaran  hanya merupakan pelanggaran administrasi, bukan pidana.  

Vonis bebas dengan pertimbangan hanya melakukan pelanggaran administrasi yang menimpa Adelin Lis bukanlah hal pertama yang terjadi di Indonesia. Sebelumnya, banyak pelaku  illegal  logging di Papua  juga bebas karena alasan yang sama. 

Bebasnya  pelaku  illegal  logging  disebabkan  pernyataan  dari Departemen kehutanan yang menyatakan bahwa pemilik  ijin hutan hanya dapat  dikenakan  sanksi  administrasi  tatkala melakukan  kerusakan  hutan. Ijin yang diberikan Departemen Kehutanan seolah‐olah melegalkan pemilik ijin  pemanfaatan  hutan  untuk  melakukan  tebang  habis  tanpa mempertimbangkan prosedur Tebang Pilih Tanaman Indonesia (TPTI). 

Padahal  pasal  50  ayat  (2)  UU  No.  41  Tahun  1999  menyatakan bahwa  pemilik  ijin  pemanfaatan  hutan  yang melakukan  kerusakan  hutan dikenai  sanksi pidana, bukan  sekedar  sanksi  administrasi.  Seseorang  yang mempunyai  ijin,  tetapi melakukan penebangan  tanpa mempertimbangkan 

Page 50: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 42  2008  

aspek  lingkungan  dan  kelestarian  hutan  berarti  telah  melakukan  illegal logging. 

Di  samping  itu,  pembelokan  kasus  korupsi  Adelin  Lis  ke  dalam ranah pelanggaran administrasi membuat persepsi tentang korupsi semakin kabur  dan  tidak  jelas. Orang  yang melakukan manipulasi  Dana  Reboisasi (DR)  dan  Provisi  Sumber  Daya  Hutan  (PSDH)  dianggap  hanya melakukan pelanggaran administratif belaka. 

Padahal di dalam Laporan Audit Badan Pemeriksa Keuangan  (BPK) Tahun  2006  terhadap  Penerimaan  Negara  Bukan  Pajak  (PNBP)  Sumatera Utara  secara  jelas‐jelas mengindikasikan  terjadinya  tindak pidana korupsi. Ada setidaknya dua modus yang digunakan perusahaan Adelin Lis.  

Pertama, melakukan mark down terhadap terhadap ketentuan tarif DR‐PSDH.  Perusahaan  Adelin  Lis  membayarkan  DR‐PSDH  jenis  kayu golongan  tinggi  dengan  menggunakan  tarif  kayu  golongan  rendah.  PT Inanta  Timber  dan  PT  Keang  Nam  Development  Indonesia  (KNDI)  yang merupakan  bagian  dari  Mujur  Timber  Group  milik  Adelin  Lis  kerap  kali melakukan modus  tersebut. Dengan modus  ini  negara  dirugikan miliaran rupiah. 

Hasil  pengecekan  atas  dokumen  kayu  miliki  PT  KNDI  ternyata diketahui  bahwa  pembayaran  kayu  jenis Medang  sebanyak  2.372,30 m3 telah  dimasukan  dalam  kelompok  rimba  campuran  dengan  tarif  PSDH Rp30.000/m3  dan DR US$12/m3.  Padahal  seharusnya  jenis  kayu Medang masuk  jenis Meranti dengan  tarif PSDH Rp50.000/m3 dan DR US$14/m3, sehingga terjadi kurang bayar PSDH sebesar Rp47.446.000,00(2.372,30 m3 x Rp20.000) dan DR sebesar US$ 4.744,60 (2.372,30 m3 x US$2). 

PT  Inanta  Timber  juga  melakukan  hal  yang  serupa.  Hasil pengecekan di  lapangan menyebutkan bahwa pembayaran   PSDH dan DR kayu  jenis Medang sebanyak 2.428,86 m3 dan Mayang sebanyak 1.168,77 m3  telah  dimasukan  dalam  kelompok  kayu  golongan  rendah.  Dengan modus  tersebut,  maka  PT  Inanta  Timber  melakukan  penggelapan  PSDH 

Page 51: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  43 

   

sebesar  Rp71.952.600,00  (3.597,63  m3  x  Rp20.000)  dan  DR  sebesar US$7,195.26 (3.597,63 m3 x US$2). 

Kedua,  melakukan  manipulasi  terhadap  jumlah  kayu  yang dikenakan  DR/PSDH.  Perusahaan  Adelin  Lis  yang  beroperasi  di  Sumatera Utara  seringkali melaporkan  hasil  penebangan  yang  tidak  sesuai  dengan kayu yang ditebang.  

Berdasarkan  data  hasil  stock  opname  tanggal  31 Desember  2005 dan  pengukuran  dan  pengujian  kayu  bulat  tanggal  30  Januari  2006  oleh Dinas  Kehutanan  Provinsi  Sumatera  Utara,  diketahui  bahwa  PT  Inanta Timber  telah menebang  kayu  bulat melebihi  target  RKT  Tahun  2005  dan belum  dibayar  PSDH  dan  DR  adalah  sebanyak  2.686,58 m3.  Ada  dugaan bahwa PT  Inanta Timber  sengaja melakukan menggelapkan DR/PSDH atas sebagian  kayu  yang  ditebang.  Dengan  modus  tersebut,  maka  kerugian negara berupa PSDH sebesar Rp134.329.000,00  (2.686,58 m3 x  tarif PSDH sebesar  Rp50.000,00/m3)  dan  DR  US$37.612,12  (2.686,58 m3  x  tarif  DR sebesar US$14/m3). 

Melihat modus di atas, perusahaan milik Adelin Lis bukan sekedar melakukan pelanggaran administrasi belaka, tetapi  lebih dari  itu ada unsur kesengajaan  untuk  memanipulasi  pembayaran  DR/PSDH  yang  dapat merugikan  keuangan  negara.  Perbuatan  tersebut  dapat  dikategorikan sebagai  perbuatan  melawan  hukum  karena  melanggar  peraturan perundang‐undangan.  Dari  sisi  keuntungan,  modus  manipulasi  DR/PSDH tentu saja dapat memperkaya Adelin Lis dan kroninya. 

PENGHITUNGAN KERUGIAN NEGARA YANG MASIH BIAS 

Putusan Pengadilan Tipikor tingkat pertama mengenai Kasus kelapa sawit  sejuta hektar di Kaltim dan Putusan Kasus     Adelin  Lis memberikan pelajaran  berharga  terkait  perhitungan  kerugian  negara.  Di  dalam  kedua kasus  tersebut,  hakim  secara  mentah‐mentah  menolak  perhitungan kerugian negara yang dilakukan oleh BPKP.   Perdebatan  tentang kerugian negara apakah hanya dihitung dari potensi  tegakan, kerusakan  lingkungan dan DR/PSDH masih belum ada kesepahaman. 

Page 52: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 44  2008  

Di dalam kasus kelapa sawit sejuta hektar di Kaltim, Penuntut KPK dengan  menggunakan  perhitungan  BPKP  menaksir  Suwarna  telah memperkaya Martias sebesar Rp 5,16 miliar atau korporasi sebesar Rp578 miliar  yang  berasal  dari  penjualan  kayu  perusahaan‐perusahaan  yang bernaung  di  bawah  Surya  Dumai  Group  (SDG),  atau  setidak‐tidaknya sebesar  Rp346  miliar.  Tiga  versi  yang  mengungkapkan  kerugian  negara menunjukkan bahwa penuntut umum kurang yakin  terhadap perhitungan BPKP. Padahal dalam perhitungan tersebut hanya dihitung potensi tegakan tidak termasuk nilai kerusakan. 

Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta  Pusat  Nomor  :  18/PID.B/TPK/2006  /PN.JKT.PST  tanggal  22 Maret 2007    Jo.  Putusan  Pengadilan  putusan  Pengadilan  Tinggi  Tindak  Pidana Korupsi  pada  Pengadilan  Tinggi  DKI  Jakarta  Nomor  : 03/PID/TPK/2007/PT.DKI tanggal 26 Juni 2007 dalam perkara atas nama H. SUWARNA ABDUL  FATAH  dan  Putusan  Pengadilan  Tindak  Pidana  Korupsi pada  Pengadilan  Negeri  Jakarta  Pusat  Nomor  : 21/PID.B/TPK/2006/PN.JKT.PST  tanggal  03 Mei  2007    dalam  perkara  atas nama MARTIAS ALIAS PUNG KIAN HWA jumlah kerugian negara sebesar Rp. 5.167.723.032  (lima milyar seratus enam puluh  tujuh  juta  tujuh  ratus dua puluh tiga ribu tiga puluh dua rupiah).  

Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta  Pusat  Nomor:  02/PID.B/TPK/2007/PN.JKT.PST  tertanggal  16  Juli 2007  atas  nama  Ir.  UUH  ALIYUDIN,  MM  (Mantan  Kakanwil  Dephutbun Kaltim)  dan    Putusan  Pengadilan  Tindak  Pidana  Korupsi  pada  Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 03/PID.B/TPK/2007/PN.JKT. PST tertanggal 16 Juli 2007 atas nama  Ir. H. ROBIAN, MSi  (Mantan Plt. Kakanwil Dephutbun Kaltim  dan  Kadis  Kehutanan  Propinsi  Kaltim),    jumlah  kerugian  negara sebesar Rp. 186.579.088.185 (seratus delapan puluh enam milyar lima ratus tujuh  puluh  sembilan  juta  delapan  puluh  delapan  ribu  seratus  delapan puluh lima rupiah). 

Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta  Pusat  Nomor:  08/PID.B/TPK/2007/PN.  JKT.PST  tertanggal  19 September  2007  atas  nama  Ir.  WASKITO  SURYODIBROTO,  MM,  jumlah 

Page 53: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  45 

   

kerugian  negara  sebesar  Rp.  218.940.223.830.‐  (dua  ratus  delapan  belas milyar  sembilan  ratus  empat  puluh  juta  dua  ratus  dua  puluh  tiga  ribu delapan ratus tiga puluh rupiah). 

PENEGAK HUKUM TIDAK MENGOPTIMALKAN  ANALISA PPATK 

Sampai 16 April 2007, ada sekitar 263 Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan  (LTKM)  terkait dengan  korupsi dan  5  LTKM  terkait dengan illegal  logging.  Dari  sejumlah  LTKM  tersebut,  sampai  akhir  tahun  2007 PPATK berhasil menyelesaikan analisis  sebanyak 231 untuk  korupsi dan 4 analisis  untuk  illegal  logging.  Namun  ironisnya,  dari  sejumlah  analisis PPATK,  tidak ada satu kasus pun kasus  illegal  logging yang  terkait dengan pencucian uang dan korupsi diteruskan ke proses peradilan. 

Tabel 3. Statistik Perkembangan Tindak Pidana Asal Berdasarkan jumlah LTKM Setiap 

Tahun 

Tindak Pidana Asal  Tahun Jumlah 

s.d 2003 2004 2005 2006 2007 / 16 Apr 

Korupsi/Penggelapan  0 103 43 60 57 263 

Penipuan  4 149 45 32 2 232 

Percobaan Penipuan  0 2 8 3 2 15 

Kejahatan Perbankan  8 8 16 4 0 36 

Pemalsuan Dokumen  0 12 10 53 2 77 

Teroris  0 3 2 0 1 6 

Penggelapan Pajak  0 1 2 3 1 7 

Perjudian  0 2 2 0 1 5 

Penyuapan  0 5 8 5 1 19 

Narkotika 0 1 1 2 0 4 

Pornografi Anak  0 1 0 0 0 1 

Pemalsuan 

Uang/Rupiah 

0 2 2 0 0 4 

Pencurian  0 2 0 0 0 2 

Pembalakan Liar  0 1 2 2 0 5 

Page 54: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 46  2008  

Penyelundupan  0  4 0 0 0 4 

Tidak Teridentifikasi / 

dll 

0  6 8 6 5 25 

   12  302 149 170 72 705 

Padahal dalam beberapa analisis PPATK, menguraikan alur transaksi dari  pengusaha  kayu  yang  diduga  terkait  illegal  logging  kepada  pejabat pemerintah dan aparat kepolisian (Lihat Lampiran). Ada setidaknya 6 hasil analisis  PPATK  yang  terkait dengan  illegal  logging,  korupsi dan  pencucian uang  yang belum dipecahkan oleh  aparat penegak hukum.  Transaksi dari pengusaha  ke  aparat  pemerintah  dalam  jumlah  yang  begitu  besar merupakan  transaksi  yang  mencurigakan.  Jika  aparat  pemerintah  tidak melaporkan  terjadinya pemberian  kepada KPK, maka pemberian  tersebut dikategorikan gratifikasi.  

 Berikut  ini  contoh  analisis  PPATK  terrhadap  transaksi  di  bidang 

kehutanan: 

Pasal 12 B

(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: 

a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;  

b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.  

(2)  Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 

Page 55: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  47 

   

  

 

 

 

 

 

 

 

 

Penjelasan gambar  itu adalah sebagai berikut. Pada Periode 2001‐2004, DN dan WST (kuasa FR) diduga mengekspor kayu olahan ke Malaysia dan  Singapura  melalui  PT  SM  Jakarta.  Hal  ini  diketahui  dari  transfer USD11,2 juta dari JHT PTE Ltd (Singapura) dan USD0,5 juta dari WP Sdn Bhd, EC Sdn Bhd, Ti Co, dan ST Co  (Malaysia). Atas  transfer  tersebut,  sebagian besar  dananya  ditransfer  oleh DN  dan WST  ke  SMR  (pengusaha  kayu)  di Samarinda dan pejabat Pemda Papua serta Kas Pemda Papua. 

Di  samping  itu,  DN  dan  WST  juga  menarik  dan  langsung menyetorkan dana kepada oknum Polisi  (MR dan YPW), oknum PNS  (MM dan  FM),  oknum  TNI  (RS)  dan  Oknum  Pejabat  Dishut  (HW)  sebesar USD128,4  ribu  (Rp1,146 milliar).  Oknum MR  yang  pada waktu menjabat sebagai Kanitserse tidak melakukan penindakan terhadap perusahaan milik FR. Padahal perusahaan milik FR diduga melakukan illegal logging. 

 

F R / D NJ A K A R T A

M M & F M( P N S )

R S( T N I )

M R & Y P W( P o l i s i )

H W( K a d i s h u t )

J H T P T E , L t dS I N G A P O R E

W P S d n , B h dE C S d n , B h d

M A L A Y S I A

( P e n g u s a h a k a y u )S M R

K A L T I MK A S P E M D A

I n c o m i n g T r a n s f e rU S D 1 1 , 2 j u t a I n c o m i n g T r a n s f e r

U S D 0 , 5 j u t a

P a g e 1

K a s u s 1

S e t o r d a n aS e t o r d a n a

P e m i n d a h b u k u a n d a n a

T r a n s f e r d a n a

Page 56: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 48  2008  

Tabel 4. Statistik Perkembangan Tindak Pidana Asal Berdasarkan jumlah Analisis Setiap Tahun 

Tindak Pidana Asal  Tahun Jumlah 

s.d 

2003 

2004 200

2006 20

07 

Korupsi/Penggelapan  0  99 37 42 53 231 

Penipuan  3  98 35 11 16 163 

Percobaan Penipuan  0  2 6 2 3 13 

Kejahatan Perbankan  1  8 16 2 2 29 

Pemalsuan Dokumen  0  10 8 1 2 21 

Teroris  0  3 2 0 1 6 

Penggelapan Pajak  0  1 2 1 3 7 

Perjudian  0  1 2 0 2 5 

Penyuapan  0  2 1 4 2 9 

Narkotika  0  1 1 1 0 3 

Pornografi Anak  0  1 0 0 0 1 

Pemalsuan 

Uang/Rupiah 

0  2 2 0 0 4 

Pencurian  0  1 0 0 0 1 

Pembalakan Liar  0  1 2 1 0 4 

Penyelundupan  0  4 0 0 0 4 

Tidak  Teridentifikasi  / 

dll 

0  6 8 2 5 21 

   4  240 122 67 522 

 Hasil  analisis  PPATK  menjadi  bukti  nyata  bahwa  kejahatan  illegal 

logging  dapat  dilacak  dengan  menggunakan  aliran  arus  uang.  Seorang pengusaha  kayu  yang  mentransfer  dalam  jumlah  besar  kepada  pejabat pemerintah  dan  kepolisian  dapat  diindikasikan  bahwa  dalam  bisnisnya  telah menerima kayu illegal dan terlibat praktek illegal logging. 

Page 57: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  49 

   

Tidak optimalnya pemberantasan illegal logging dengan menggunakan UU Anti Korupsi disebabkan karena aparat penegak hukum yang korup. Tarif setoran tiap bulan untuk tiap‐tiap pejabat memang bervariasi. Misalnya aparat level bawah dan menengah seperti Danlanal menerima Rp 30‐50 juta, pejabat Polairud Rp 20 juta, Dinas Kehutanan Rp 10 juta, Kapolresta Rp 50 juta, Polsek KP3  Rp  10  juta.11 Untuk  pangkat  yang  lebih  tinggi mungkin memasang  tarif yang lebih besar. 

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 

KESIMPULAN 

1. Nilai kerugian negara dari nilai kayu akibat  illegal  logging pada  tahun 2007  sebesar  Rp  20,873  triliun.  Ironisnya,  penyelesaian  kasus  illegal logging yang menggunakan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masih sangat minim.  

2. Simpang  siur  penghitungan  kerugian  negara  dari  sektor  kehutanan menjadi  problem  besar  dalam  pemberantasan  korupsi  di  bidang kehutanan.  Dengan  kesimpangsiuran  kerugian  negara  akan mengakibatkan banyak terdakwa yang terlepas dari hukuman penjara dan pengembalian keuangan negara.  

3. Di  dalam  pengungkapan  kasus  illegal  logging  yang  terkait  korupsi, aparat kepolisian dan kejaksaan kurang mengoptimalkan hasil analisis PPATK.  Padahal  ada  sekitar  6  analisis  PPATK  yang  menggambarkan proses  suap  diantara  perusahaan  kehutanan  dengan  pejabat  dan aparat  pemerintah.  Tidak  dilanjutkannya  hasil  analisis  PPATK disebabkan banyak aparat penegak hukum  yang  tersandung masalah jika hal ini dilanjutkan di peradilan.  

4. Di dalam beberapa kasus, aparat sering  terjebak pembelokan korupsi ke pelanggaran administrasi. Banyak pelaku kejahatan kehutanan yang berkelit bahwa perbuatan yang dilakukan bukanlah korupsi, melainkan hanya  pelanggaran  administrasi  belaka.  Menanggapi  trik  tersebut, aparat penegak hukum sebenarnya tidak perlu terkecoh. Aparat harus 

                                                             11  Kesaksian  Vivin  dalam  persidangan  terdakwa 

Pontjodiono di Pengadilan Negeri Cirebon tahun 2006. 

Page 58: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 50  2008  

menggunakan  formulasi  bahwa  pelanggaran  administrasi  kehutanan yang merugikan keuangan negara merupakan tindak pidana korupsi. 

REKOMENDASI 

1. Penggunaan  UU  Pemberantasan  Tindak  Pidana  Korupsi  perlu diterapkan  kepada  setiap  kasus  kejahatan  kehutanan  yang  berskala besar khususnya yang terjadi Riau. Untuk mengetahui terjadinya suap atau tidak, POLDA Riau perlu meminta analisis transaksi keuangan dari PPATK.  Hasil  analisis  PPATK  diharapkan  dapat  membantu  dalam merekonstruksi terjadinya suap diantara pengusaha hutan dan pejabat pemerintah. 

2. Departemen  Kehutanan,  Kepolisian,  Kejaksaan  Agung,  Mahkamah Agung,  BPKP,  dan  BPK  diharapkan  dapat  menformulasikan  standar penghitungan kerugian keuangan negara akibat adanya praktek  illegal logging. Dalam hal  ini perlu ada kesepakatan apakah kerugian negara hanya  berupa  nilai  tegakan,  tunggakan  DR/PSDH  atau  termasuk kerusakan  lingkungan. Hasil dari  formulasi  tersebut diharapkan dapat dijabarkan ke dalam petunjuk teknis, petunjuk pelaksanaan dan surat edaran supaya bisa dioperasionalkan di tingkat bawah. 

3. Departemen  Kehutanan  perlu  mengumumkan  tentang  sanksi administrasi  berupa  denda  terhadap  setiap  perusahaan  yang melanggar  administrasi  pengusahaan  hutan.  Selama  ini  Departemen Kehutanan  terkesan  melindungi  para  perusahaan  yang  melakukan pelanggaran administrasi. 

4. Pada  tahun  2008,  aparat  kepolisian  dan  kejaksaan  perlu menindaklanjuti  6  hasil  analisis  PPATK  yang  terkait  dengan  illegal logging, pencucian uang dan korupsi.  

 

 

 

Page 59: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  51 

   

LAMPIRAN‐LAMPIRAN  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

T HP e n g u s a h a k a y u

D ib a n tu a n a k d a n m e n a n tu

R p . 2 5 m ily a r

T A R IK T U N A I

H WA n a k T H

M(M e n a n tu T H )

P a g e 1

K a s u s 3

S e to r d a n a S e to r d a n a

P O L R I

B A N K X

D U A K O N T A IN E RK A Y U

P O N T IA N A K

S A N G G A U

S E K A D A N

S E T O R

P E R IO D E S E P T E M B E R 0 4 -J J U L I 0 5

Page 60: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 52  2008  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

R p . 1 0 ,7 m i ly a r P e r io d e F e b 0 3 - A g s t 0 5

T A R IK T U N A I2 R e k . B a n k X

P e n g u s a h a k a y u( A R B ) P E M A S O K

( P e r u s a h a a n k a y u )C V . P G

( P e r u s a h a a n k a y u )P T . H J P

P e n g u s a h a k a y u( U T , Y T , R A R , W ,

A S , A R , A G , C , M K )

P a g e 1

K a s u s 4

S K S H H A s p a l

P e ja b a t D is h u t

K E R U G A IN N E G A R A 3 5 M

Page 61: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  53 

   

MELIHAT UANG HARAM 

PERUSAK HUTAN  YANG KEBAL HUKUM  

  “Satu saja pelaku illegal logging tertangkap, atau satu  saja  delik  korupsi  seorang  pejabat diindikasikan, dengan  rezim anti pencucian uang seluruh  jaringan  kejahatan  kehutanan  tersebut akan  terbongkar.  Selama  proses  transaksi keuangan  antara  para  pelaku  masih menggunakan sistem keuangan, maka selama itu pula  alur  harta  para  pelaku  tersebut  menjadi jejak yang tidak dapat dibantah.” 

 

 

Grahat Nagara, Legal Analyst 

 

 

Page 62: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 54  2008  

PENDAHULUAN Menjelaskan Kerusakan Hutan dengan Menelusuri Uang 

Semua pihak  setuju hutan di  Indonesia  telah  rusak.  Terlepas  apakah penyebab  utamanya  maupun  luasannya  masih  diperdebatkan,  yang  pasti hutan  telah  rusak. Orang boleh berargumen mengenai  istilah penghancuran, atau kerusakan hutan, atau deforestasi. Tapi, jumlah kerusakan hutan yang kini banyak  muncul  sebagai  asesoris  tulisan‐tulisan  yang  mengupas  mengenai hutan,  memang  sangat  mengejutkan.  Telapak/EIA  menggunakan  istilah kehancuran hutan hingga 2,8  juta hektar per tahun. Menempatkan  Indonesia sebagai negara dengan kehancuran hutan terparah. 

ELSDA berpendapat, bahwa kerusakan hutan ini tidaklah tanpa sebab, bukan  hanya  sekadar  karena  mekanisme  alam,  atau  meminjam  istilah Bambang  Setiono  dari  CIFOR  dalam  sebuah  Pelatihan  Penegakkan  Hukum Kejahatan Kehutanan, bahwa hutan tidaklah hilang ditiup angin.  

Secara  historis,  telah  banyak  digambarkan  dalam  sejarah  bahwa kerusakan  lingkungan  adalah  akibat  campur  tangan  manusia.  Begitu  juga dengan  kerusakan  hutan.  Telah  banyak  kasus  yang  menunjukkan  bahwa kerusakan  hutan,  secara  umum  disebabkan  oleh  menumpuknya  berbagai ketamakan  ekonomi  yang  sama  sekali  tidak  memperdulikan  sustainability, termasuk  yang  berbasis  industri.  Indikatornya  sederhana.  CIFOR mengungkapkan bahwa dengan nilai ekspor kayu yang sebesar $5 milyar per tahun, ditengarai 70%nya berasal dari sumber yang ilegal. Kalau begitu berarti setidaknya kurang  lebih 31,5 triliyun rupiah per tahun untuk nilai ekspor kayu itu adalah harta yang bersumber dari kejahatan. 

Sayangnya, sampai saat  ini pihak‐pihak yang seharusnya bertanggung jawab justru tidak tersentuh. Kombinasi antara pejabat dan aparat yang korup dengan  pengusaha  yang  tamak  memang  kombinasi  yang  tepat.  Simbiosis berbagai  kejahatan  saling mendukung  terus  tergerusnya  hutan  di  Indonesia. Korupsi,  kejahatan  kehutanan,  kejahatan  pencucian  uang,  kejahatan perbankan, kekerasan, dan hilangnya hak azasi manusia, merupakan bentuk‐bentuk kejahatan yang kerap muncul dalam mekanisme perusakan hutan yang 

Page 63: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  55 

   

terjadi di  Indonesia. Disebut mekanisme,  karena  ia berlaku  secara  sistematis dan terorganisir. 

Hukumlah  yang  seharusnya  bertindak  untuk menyelesaikan masalah manusia.  Tapi,  ini  pun  tidak  semudah membalikkan  telapak  tangan.  Dalam kasus  kejahatan  kehutanan,  kegagalan  hukum  sudah  menjadi  hiasan  wajib untuk  ditempelkan  dalam  tulisan  yang  menganalisis  mengenai  kejahatan kehutanan,  dan  pada  kenyataannya  memang  kenyataannya  demikian. Berbicara mandulnya  penegakkan  hukum  kejahatanan  kehutanan, maka  kita akan  dihadapkan  pada  berbagai  kendala  mulai  dari  kendala  pembuktian adanya  kerusakan  hutan,  subyek  atau  pelaku  tindak  pidana  yang  sulit tersentuh  oleh  hukum,  maupun  modus  kejahatan  kehutanan  yang  tidak terjangkau  hukum.  Kesemua  kelemahan  hukum  ini  kemudian  didukung  pula oleh kekuasaan dan uang, yang tentunya tidak dalam jumlah yang kecil. Jelas, sudah  bukan  barang  baru  kalau  eksploitasi  sumber  daya  hutan  yang  gelap mata  di  Indonesia  lebih  banyak  dimotori  oleh  cukong  kayu,  dengan bermodalkan  izin  dengan  cara  korup,  dan  pinjaman  dari  perbankan  yang akhirnya berujung kredit macet. 

TABEL 1. Data  Penyelesaian Kasus‐Kasus Kejahatan  Kehutanan  yang Ditangani  PPNS 

Kehutanan 

Tahun Jumlah

Tersangka 

Vonis

2005  879       217 

2006  1.409       247 

s.d Sept2007  

182           8 

Sumber: Departemen Kehutanan, 2007, diolah 

 

Pendekatan  follow  the  money  yang  diperkenalkan  oleh  rezim  anti pencucian uang‐lah yang kemudian berusaha mereduksi hambatan‐hambatan yang ada dalam pelaksanaan penegakkan hukum kejahatan kehutanan. Rezim ini memanfaatkan motif ekonomi yang dimiliki para pelaku kejahatan. Dengan rezim  ini,  alur  uang  justru  menjadi  jejak  yang  tidak  terbantahkan  adanya penyelewengan  jabatan untuk melanggengkan kejahatan kehutanan. Dengan melihat alur uangnya pula, seseorang dapat menilai apakah profil perusahaan 

Page 64: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 56  2008  

ini normal dalam sebuah bisnis kehutanan. Lebih lanjut, rezim ini memberikan jalan untuk  tidak hanya memenjarakan pelaku penebangan,  tetapi  juga para aktor  intelektual  yang  sebenarnya paling diuntungkan dari adanya  kejahatan ini. Sehingga dengan dasar hukum Pasal 2 UU Anti Pencucian Uang, penyidik dapat  menggunakan  pasal‐pasal  dalam  delik  pencucian  uang  untuk  pelaku kejahatan kehutanan yang umumnya  tidak  terjangkau dengan UU Kehutanan biasa.  

Logikanya sederhana, yaitu bagaimana melihat keterlibatan seseorang dalam  kejahatan  kehutanan  dan  siapa  yang  sebenarnya  diuntungkan  dari kejahatan ini.  

Pendekatan  ini memang  terbukti meyakinkan,  sejak  awal  berdirinya sampai akhir tahun 2007  ini PPATK sebagai unit  inteligen keuangan  Indonesia setidaknya telah mengeluarkan 4 buah laporan analisis atas berbagai transaksi keuangan  yang  diduga  terlibat  dengan  kejahatan  pembalakan  liar.  Sehingga tidak  heran  kalau,  setidaknya  sepanjang  tahun  2007  ini,  penggunaan  rezim pencucian uang untuk kejahatan kehutanan cukup sering didengungkan. 

Tabel 2. Data Laporan Hasil Analisis Yang Dikeluarkan Oleh PPATK 

Kejahatan Asal Jumlah Laporan

Korupsi  231

Pembalakan liar 4

Penggelapan Pajak 7

Pemalsuan Dokumen  21

Kejahatan Perbankan  28

Penyelundupan 4

Pencurian   1

Penipuan   163

Terorisme  6

Narkotika  3

Pemalsuan Uang Rupiah 4

Pornografi Anak 3

Page 65: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  57 

   

Perjudian  5

Penyuapan  9

Sumber: Refleksi Akhir Tahun 2007, PPATK, 2007 

Optimisme  ini  penggunaan  rezim  ini  juga  semakin  menguat  hingga tahun 2007. Ketika Adelin Lis, yang banyak disebut‐sebut sebagai cukong kayu, lolos pun dianggap karena jaksa tidak memanfaatkan rezim ini. Tapi tentu saja, pelaksanaanya  tidak  sesederhana  itu.  Sampai  tahun  2007  ini  berakhir,  tidak ada satupun cukong kayu, mafia timber, bapak angkat, atau apapun namanya yang berhasil diminta pertanggungjawabannya atas kejahatan kehutanan yang telah  ia  lakukan  dengan  rezim  ini.  Akan  tetapi  dalam  kasus  yang  berbeda, ketika  digunakan  untuk  menjerat  Marthen  Renouw,  rezim  ini  justru  gagal. Tanpa menutup mata  faktor  eksternal  yang menghambat penggunaan  rezim ini. Seperti apa seharusnya rezim ini dilaksanakan untuk kejahatan kehutanan, saat  ini,  masih  menjadi  problema  tersendiri  bagi  para  penegak  hukum, khususnya dalam tataran praktis.  

Jelas kiranya, sampai  tahun 2007  ini  rezim anti pencucian uang  tetap masih  menjadi  angan‐angan.  Padahal  ditengah  gencarnya  kampanye  anti pembalakan  liar,  komitmen  Menteri  Kehutanan,  dorongan  politis  dengan Instruksi  Presiden,  gebrakan  oleh  berbagai  lembaga  swadaya  masyarakat, semangat  reformasi,  dan  kesadaran  global  mengenai  isu  perubahan  iklim, Indonesia  justru masih tidak mampu untuk paling tidak memberikan secercah harapan  bahwa  hukumlah  yang  harus  menjadi  panglima  terdepan  dalam perlindungan terhadap lingkungan khususnya kehutanan.  

 

 

 

 

 

Page 66: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 58  2008  

KETIKA PEJABAT DAN APARAT TAK LAGI MEMEGANG AMANAT Menelusuri Uang dan Kekuasaan Pendukung Kejahatan Kehutanan 

PENGANTAR 

Bagi  para  pelaku  kejahatan,  rezim  anti  pencucian  uang  dengan pendekatan  follow  the  money‐nya  dalam  kasus  kejahatan  kehutanan mungkin terlihat seperti pembunuh massal. Satu saja pelaku illegal logging tertangkap, atau satu saja delik korupsi seorang pejabat diindikasikan, maka seluruh  jaringan  kejahatan  kehutanan  tersebut  akan  terbongkar.  Selama proses  transaksi keuangan antara para pelaku masih menggunakan sistem keuangan, maka  selama  itu pula  alur harta para pelaku  tersebut menjadi jejak  yang  tidak dapat dibantah.  Saking dianggap  berbahayanya  rezim  ini sebagian besar pihak berusaha untuk melaksanakan  rezim  ini  secara hati‐hati. Walaupun, sikap setengah hati kalau tidak dapat disebut plin‐plan  ini jugalah yang terkadang justru menjadi hambatan utama rezim ini dan kasus MR adalah salah satunya. 

Kasus MR  pada  tahun  2005  sebenarnya  salah  satu  contoh  kasus yang menarik dalam melaksanakan rezim anti pencucian uang pada bidang kehutanan,  meskipun  contohnya  memang  contoh  yang  tidak  berhasil. Marthen  yang  didakwa  secara  alternatif  berlapis  antara  pencucian  uang atau  korupsi  sekalipun  dapat  melenggang  bebas.  Alasannya  sederhana, tidak ada saksi kunci. 

KASUS POSISI 

Secara singkat MR adalah seorang komisaris polisi. Sebagai seorang kabag  serse  MR  berhasil  membangun  jaringan  pertemanan  dengan berbagai pihak yang diindikasikan sebagai pelaku  illegal  logging.  Ia diciduk pada  Operasi  Hutan  Lestari  II  dan  diperiksa  di  Jakarta.  Dengan  bantuan PPATK,  MR  terbukti  menerima  sejumlah  uang  dari  teman‐temannya tersebut  hingga  sejumlah  1,06  milyar  untuk  periode  September  2002 sampai  Desember  2003.  Pada  tahun  2004  teman‐teman  MR,  yaitu  PT 

Page 67: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  59 

   

Marindo dan PT Sanjaya digerebek polisi di Bintuni dengan lebih dari 15.000 meter  kubik  kayu  Merbau  disita  dan  15  orang  berkewarganegaraan Malaysia.  Sayangnya  teman MR  yang mentransfer  uang  pada MR,  yaitu Yudi dan Wong Sie King berhasil lolos. Meskipun kedua orang teman MR ini tidak  ada  akhirnya  Jaksa  Penuntut  Umum  di  Jayapura  mendakwa  MR dengan dakwaan alternatif berlapis.  

HAL YANG MENARIK UNTUK DIPELAJARI 

Ada hal‐hal menarik yang dapat dipelajari dalam kasus MR ini yang menggambarkan bahwasanya memang seharusnya kasus MR menjadi kasus yang mudah dengan berbagai bukti, diantaranya: 

Pertama.  Pada  kasus  MR,  Jaksa  Penuntut  Umum  mendakwa  Marthen dengan dakwaan alternatif berlapis antara korupsi atau pencucian uang. 

Alternatif  Berlapis Dakwaan Fakta Hukum 

Kesatu  Primair  Pasal 12 a UU No. 

31/1999 

sebagaimana diubah 

dengan UU No. 

20/2001 jo. Pasal 64 

ayat (1) KUHP. 

MR menerima sejumlah 

uang dari PT. SM dan PT. 

MUJ yang melakukan 

kejahatan kehutanan, 

padahal MR mengetahui 

atau patut menduga bahwa 

pemberian tersebut dengan 

maksud agar terdakwa 

tidak melakukan sesuatu 

dalam  jabatannya yang 

bertentangan dengan 

kewajibannya yaitu tidak 

melakukan penyelidikan 

maupun penyidikan 

terhadap PT. SM dan PT. 

MUJ. 

Subsidair  Pasal 12 B UU No.  MR menerima sejumlah 

Page 68: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 60  2008  

31/1999 

sebagaimana diubah 

dengan UU No. 

20/2001 jo. Pasal 64 

ayat (1) KUHP. 

uang dari PT. SM dan PT. 

MUJ dengan maksud agar 

MR tidak melakukan 

penegakan hukum 

terhadap PT. SM dan PT. 

MUJ yang telah melakukan 

kejahatan kehutanan. 

Lebih 

Subsidair 

Pasal 11 UU No. 

31/1999 

sebagaimana diubah 

dengan UU No. 

20/2001 jo. Pasal 61 

ayat (1) KUHP. 

MR menerima sejumlah 

uang dari PT. SM dan PT. 

MUJ yang melakukan 

kejahatan kehutanan, 

padahal MR mengetahui 

atau patut menduga bahwa 

pemberian tersebut dengan 

maksud agar terdakwa 

tidak melakukan sesuatu 

dalam  jabatannya yang 

bertentangan dengan 

kewajibannya yaitu tidak 

melakukan penyelidikan 

maupun penyidikan 

terhadap PT. SM dan PT. 

MUJ. 

Kedua  Primair  Pasal 3 ayat (1) huruf 

c UU No. 25/2003 

tentang Perubahan 

UU No. 15/2002 jo. 

Pasal 64 (1) KUHP. 

MR membelanjakan harta 

yang diterima dari PT. MUJ 

dan PT. SM untuk biaya 

operasional kegiatan 

penegakan hukum padahal 

mengetahui atau patut 

menduga bahwa harta 

Page 69: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  61 

   

tersebut berasal dari hasil 

kegiatan PT. MUJ dan PT. 

SM yang melakukan 

kejahatan kehutanan. 

Subsidair  Pasal 6 ayat (1) huruf 

b UU No. 25/2003 

tentang Perubahan 

UU No. 15/2002 jo. 

Pasal 64 (1) KUHP. 

MR menerima sejumlah 

harta dari PT. SM dan PT. 

MUJ, padahal MR patut 

menduga atau mengetahui 

bahwa pemberian tersebut 

merupakan hasil kegiatan 

PT. MUJ dan PT. SM yang 

melakukan kejahatan 

kehutanan. 

Sumber: Dakwaan MR, diolah 

Dari  seluruh  dakwaan  tersebut  dapat  terlihat  bahwa  hampir seluruh  perbuatan  pidananya  mengacu  pada  perbuatan  MR  menerima harta dari PT. MUJ dan PT. SM, kecuali untuk dakwaan kedua primair, MR didakwa atas  fakta hukum bahwa dia membayarkan atau membelanjakan harta  hasil  yang  ia  ketahui  atau  patut  diduga  berasal  dari  tindak  pidana. Pada  dakwaan  pencucian  uangnya  jaksa  mendakwa  berlapis  pencucian uang aktif maupun pasif. Melihat  fakta hukumnya maka predicate crimes‐nya adalah kejahatan kehutanan yang dilakukan oleh PT. SM dan PT. MUJ. Seharusnya  kasus  ini  dapat  menjadi  contoh  bagaimana  pencucian  uang dapat menjadi  independent  crime,  yang mana  kejahatan  pembalakan  liar yang  dilakukan  teman MR,  sebagai  kejahatan  asalnya,  belum  diputus  di pengadilan (karena statusnya masih buron). 

Memang, seperti yang diketahui bahwa dakwaan kumulatif antara kejahatan asal dan pencucian uang dianjurkan dalam sebuah Surat Edaran Mahkamah Agung. Selain untuk saling mendukung dan memperkuat  fakta hukum,  dakwaan  kumulatif  juga  akan  memperberat  hukuman  kepada terdakwa. Namun,  anjuran  penggunaan  dakwaan  kumulatif  dalam  tindak pencucian uang  ini  tentu  tidak mengeliminir  sifat  independensi kejahatan tindak  pidana  pencucian  uang.  Pencucian  uang  adalah  kejahatan  yang dapat  berdiri  sendiri. Meskipun  hal  ini memang menjadi  polemik  dalam 

Page 70: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 62  2008  

berbagai wacana maupun dalam  kesempatan pada pelatihan penegakkan hukum kejahatan kehutanan. Masalah ini juga lah yang sering menimbulkan keraguan  diaplikasikannya  rezim  anti  pencucian  uang  dalam  kejahatan kehutanan. 

Padahal  berdasarkan  ketentuan  Penjelasan  Pasal  2  UU  TPPU sebenarnya jelas bahwa pencucian uang dapat juga digunakan sebagai delik yang independen. Dalam berbagai kesempatan Direktur Direktorat Regulasi dan Hukum PPATK, I Ktut Sudiharsa, juga menjelaskan bahwa tindak pidana pencucian  uang  dapat menjadi  delik  yang  independen  khususnya  apabila tindak  pidana  asalnya  tidak  jelas.  Karena  pada  dasarnya  rezim  anti pencucian  uang  dilaksanakan  dengan  semangat  untuk  merepresifkan kejahatan‐kejahatan yang sulit tersentuh oleh hukum. 

Kedua. Rezim  anti pencucian uang  sangat bergantung pada profil normal seseorang,  kebiasaan  seseorang,  dan  kewajaran  prilaku  subyek  tersebut, termasuk  profil  harta  kekayaannya.  Apabila  kita  telusuri  hartanya, seseorang dengan  sebuah profesi mungkin akan memiliki  grafik  kekayaan seperti  pada GAMBAR  1  dibawah. Gambaran  sederhana  ini menjelaskan bahwa  kebiasaan  seorang  profil  untuk menerima  pendapatan  pada  pada periode tertentu kemudian akan habis atau berkurang dalam waktu periode tertentu, dan begitu berulang‐ulang. 

Gambar 1. Gambaran Sederhana Kebiasan Profil yang Normal 

aset

waktu

25 25 25

aset

waktu

25 25 25

 

Termasuk  pula  seharusnya MR.  Sebagai  seorang  aparat  penegak hukum, MR  tentu menerima  gaji  dalam  jumlah  tertentu  yang  kemudian 

Page 71: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  63 

   

dipakainya  untuk  kegiatan  sehari‐harinya.  MR,  namun  demikian menghasilkan  grafik  yang  berbeda,  berdasarkan  rekeningnya,  misalnya seperti pada GAMBAR 2. 

Gambar 2. Gambaran Kebiasan Profil yang Tidak Normal 

aset

waktu

25 25 25

5jt

20jt

75jt

40jt

aset

waktu

25 25 25

5jt

20jt

75jt

40jt

 

Sumber: Dakwaan MR, diolah 

Perbedaan  ini  terjadi  karena  seperti  yang  dicantumkan  dalam  dakwaan MR, seorang Petugas Kabag Serse Umum, menerima kucuran dana dari beberapa sumber, seperti dalam tabel berikut: 

Tabel 4. Beberapa Transaksi Keuangan Antara MR dan Pelaku Illegal Logging 

Tanggal Pengirim Jumlah 

7 November 2002 Denny 75 juta 

27 Desember 2002 Denny 20 juta 

9 Januari 2003  Denny 40 juta 

13 Agustus 2003 Denny 120 juta 

6 Oktober 2003 Denny 140 juta 

17 Oktober 2003 Denny 35 juta 

21 Oktober 2003 Denny 40 juta 

23 Desember 2003 Yudi 30 juta 

Page 72: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 64  2008  

23 Desember 2003  Yudi 120 juta

Sumber: Dakwaan MR 

Ketiga.  Manusia  pada  umumnya  adalah  makhluk  yang  pamrih,  apalagi dalam hubungan bisnis. Oleh karena itu, setiap transaksi akan mengandung maksud  dari  si  pemberi  kepada  penerima. Meskipun  ini  faktor  subyektif, namun seseorang tentunya patut menduga apa alasan dibalik transaksi  ini dengan melihat indikatornya, yaitu profil pemberi dan penerimanya.  

Gambar 3. Profil Pihak yang Bertransaksi Dapat Memberikan Gambaran Maksud 

PROFIL PENERIMA

PROFIL PEMBERI

maksud transaksi

 

Sumber: Diolah dari Dakwaan MR 

Dalam kasus MR, Denny dan Yudi merupakan orang pengurus PT. Sanjaya Makmur.  Sebuah perusahaan  yang bergerak dibidang  kehutanan. Dalam persidangan, MR berkilah bahwa dana‐dana  yang disetor  tersebut adalah  pinjaman  untuk  operasi  penyidikkan  illegal  logging.  Kalau  pun menggunakan “azas praduga  tak bersalah”  terhadap kejahatan PT Sanjaya Makmur dan PT Marindo Utama Jaya, hal ini tetap saja menjadi kecurigaan ada  alasan  apa  sehingga  MR  harus  meminta  pinjaman  dana  dari perusahaan kayu? Apakah dana operasional untuk penyidikkan tidak dapat diperoleh  dengan  cara  lain? Meskipun  pembelaan  ini  dapat  dinilai  tidak masuk  akal,  sayangnya  dalam  delik  korupsinya  sebagai  predicate  crime tindak  pidana  pencucian  uangnya,  hal  ini  tidak  diperdalam  oleh  Jaksa Penuntut Umum. 

Page 73: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  65 

   

Keempat.  Dalam  dakwaannya,  cukup  menarik,  Jaksa  Penuntut  Umum mengambil sebuah alur bahwa pencucian uang harus melihat fakta sebelum dan  sesudah  transaksi. Artinya  darimana  asal  uang  tersebut  dan  akan  ke mana uang  tersebut. Untuk apa? Melihat ke belakang dimaksudkan untuk lebih menegaskan bahwa harta yang dimilikinya berasal dari sumber yang tidak  jelas.  Sedangkan  melihat  ke  depan  untuk  menegaskan  bahwa memang  ada  upaya  untuk  menyamarkan  harta  tersebut  sehingga  harta tersebut dapat ia nikmati lagi, artinya ia tetap sebagai beneficial owner dari harta tersebut. 

Sayangnya  alur  ini menjadi  tidak  rasional  dalam  skema  dakwaan JPU  dalam  kasus MR,  dimana  JPU  tidak menjelaskan  darimanakah  harta‐harta  tersebut  sebelum  dimasukan  oleh  Yudi  ke  dalam  rekening  MR. Apakah  rekening  Yudi  sendiri,  apakah  rekening  perusahaan  PT.  SM,  atau dana  lain.  Namun,  jaksa  penuntut  umum  malah  dengan  riang menyampaikan  bahwa  harta  tersebut  dipergunakan  untuk  membiayai kegiatan  penyidikkan  yang  dilakukan  oleh MR,  tanpa memperinci  berapa saja  yang  digunakan  untuk  penyidikkan  tersebut.  Berapa  yang  digunakan untuk penyidikkan dari seluruh transfer yang sebesar satu milyar tersebut. Kalau  ada  sisa,  kemana  saja  sisanya?  Semua  ini  menjadi  pertanyaan menggantung dalam kasus MR, padahal sudah ada PPATK yang membantu. 

Kelima.  Seperti  kebanyakan  kasus.  Hal  yang  biasanya  dianggap kontroversial dalam  sebuah  kasus adalah putusan hakim. Hakim memang memiliki  independensi  berdasarkan  keyakinannya,  penemuan  hukum, kebijaksanannya  dapat  memutuskan  yang  ia  yakini  paling  adil.  Atas kelebihan dan kekurangannya dalam mengadili tentu harus dimaklumi juga. Dalam  kasus MR,  dalil  putusan  hakim  yang  dianggap  kontroversi  adalah bahwa Yudi Firmansyah merupakan saksi kunci yang tidak dapat dihadirkan ke  muka  sidang.  Padahal  kalau  kita  melihat  bahwa  alat  bukti  yang  sah dalam Hukum Acara Pidana, tidak hanya saksi, tetapi juga surat, keterangan terdakwa, petunjuk, dan keterangan ahli.  

Dalam  dakwaan  MR  memang  hampir  semua  elemen  itu  tidak mendukung  alur  cerita  bahwa  benar  dan  secara  meyakinkan  MR  telah melakukan  kejahatan,  selain  bukti  nyata  alur  harta  berupa  dokumen rekening  koran  yang  diafirmasi  oleh  terdakwa  dan    keterangan  ahli. Dokumen  rekening  koran  merupakan  alat  bukti  yang  sah  dalam  tindak pidana  pencucian  uang maupun  tindak  pidana  korupsi.  Sehingga  dengan 

Page 74: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 66  2008  

keterangan  ahli,  dan  petunjuk  dari  beberapa  saksi,  seharusnya  alat‐alat bukti tersebut dapat meyakinkan hakim untuk menjadi dua alat bukti yang sah yang dapat memidanakan MR sesuai dengan kejahatannya. 

REFLEKSI PENCUCIAN UANG KASUS MARTHEN RENOUW 

Terakhir, meskipun gagal, hal umum yang dapat dipetik hikmahnya dalam  kasus  MR,  adalah  bahwa  rezim  anti  pencucian  uang  sangat berpotensi untuk dapat menjadi senjata yang menakutkan bagi para pelaku kejahatan,  khususnya  kejahatan  kehutanan  yang  terorganisir  seperti  di Indonesia. Secara implisit kasus MR lebih menegaskan lagi bahwa memang pelaku  kejahatan  kehutanan  dilakukan  oleh  perusahaan  yang mengantongin  izin dengan  cara korup dari pejabat dan dengan dukungan aparat. Tentu saja, dengan bantuan sistem peradilan yang korup, kejahatan kehutanan akan selamanya ada di Indonesia. 

Dari  kasus  ini  setidaknya  ada  beberapa  hal  yang  dapat  ELSDA Institute lakukan, yaitu menyusun basis data profil pejabat, khususnya yang memegang  jabatan  sebagai  pengambil  keputusan,  seperti  pemberi  izin  – termasuk  profil  normalnya.  Salah  satu  hal  yang  mendukung  keyakinan hakim  adalah petunjuk, petunjuk  tentunya dapat dihasilkan dari berbagai indikator  yang  terdapat  dari  alat  bukti  lain  atau  barang  bukti  yang  ada. Memperbanyak  indikator  untuk  menegaskan  petunjuk  tersebut  dapat menjadi jeratan yang membuat para pelaku kejahatan tidak dapat berkelit. 

 

 

 

 

 

Page 75: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  67 

   

MENAMBAH DAFTAR PANJANG SKEPTISME PENEGAKKAN HUKUM, BELUM ADA AKTOR INTELEKTUAL YANG DAPAT DIPENJARA Mengejar Pencuri Kayu Hingga ke Negeri Tirai Bambu 

 

PENGANTAR 

Menjerat  aktor  intelektual  dari  kejahatan  kehutanan  memang tantangan  terbesar  penegakkan  hukum  kejahatan  kehutanan.  Selain mereka memang secara normatif sulit tersentuh hukum, secara politis pun mereka memiliki kekuatan kekuasaan dan finansial yang nyata‐nyata sering menjadi  hambatan  untuk menyentuh mereka.  Hal  ini  kemudian menjadi lebih  sulit  lagi  apabila  para  timber  baron  ini mengantongi  izin  yang  sah. Hukum pun menjadi kemudian tumpul. Begitupula yang terjadi pada kasus Adelin.  

KASUS POSISI 

Lain  kasus MR,  lain  pula  AL.  Setelah  terbukti  di  pengadilan  tidak membalak,  AL  yang  disebut‐sebut  raja  rimba menghilang  tidak  kelihatan rimbanya. Dalihnya, menurut penasihat hukumnya Hotman Paris,  ia sudah tidak percaya lagi dengan hukum Indonesia.  

Adelin  Lis ditangkap  karena  kasus pembalakan  liar di KBRI Beijing saat sedang mengurus resident permit‐nya dengan alasan untuk izin sekolah di  Cina  pada  September  2006  lalu.  Direktur  Keuangan  PT  Keang  Nam Development serta Komisaris PT Inanta Timber Trading  ini adalah buronan triliunan  rupiah. Pada  tanggal 20  Juni 2007  lalu, Adelin Lis  selaku direktur keuangan PT KNDI didakwa atas kasus pidana korupsi dan kerusakan hutan. Adelin Lis dianggap telah melakukan penggelapan pembayaran DR/PSDH. Di samping  itu,  ia  telah melakukan  kegiatan  pembalakan  jauh  diluar  jumlah RKT  yang  notabene  dapat  menyebabkan  kerusakan  hutan.  Ahli  menilai bahwa PT  Inanta Timber miliknya menunggak Provisi Sumber Daya Hutan sebesar  256  miliar  dan  Dana  Reboisasi  sebesar  2,3  juta  dolar  amerika. Sedangkan kerusakan yang ditimbulkannya sebesar 225 triliun rupiah. 

Page 76: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 68  2008  

Jaksa  Penuntut  Umum  kemudian  mendakwa  Adelin  dengan dakwaan  kumulatif  antara  tindak  pidana  korupsi  dengan  kejahatan kehutanan. Kedua dakwaan tersebut memang terkait dengan fakta hukum yang berbeda yang dilakukan oleh AL, yaitu melakukan penebangan diluar RKT  dan  tidak  melakukan  Sistem  Silvikultur  sehingga  menyebabkan kerusakan  hutan,  kemudian melakukan manipulasi  penggelapan  dana DR dan PSDH sehingga menyebabkan kerugian negara. 

 

Tabel 5. Dakwaan Adelin Lis 

Kumulatif  Dakwaan

Kesatu  Primair  Pasal 2 (1) jo. Pasal 18 UU No. 31/1999 

sebagaimana diubah dengan UU No. 

20/2001 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. 

Kedua  Primair  Pasal 50 ayat (2) jo. Pasal 78 ayat (1), 

ayat (14) UU No 41/1999 jo. Pasal 64 

ayat (1) KUHP. 

Sumber: Berbagai surat kabar, diolah 

Majelis  hakim  yang  terdiri  atas  Arman  Byrin,  Robinson  Tarigan, Jarasmen  Purba,  Ahmad  Ismedi,  dan  Dolman  Sinaga,  namun  demikian beranggapan berbeda. berbagai pelanggaran hukum yang dilakukan Adelin menurut mereka  adalah  ranah  administrasi, bukan pidana.  Sederhananya Adelin  bebas  dari  segala  dakwaan.  Skeptisme  masyrakat  pun  kembali terbentuk, bahwa hukum kita memang masih  jauh untuk bisa menyentuh aktor intelektual kejahatan kehutanan. 

Putusan  bebas  Adelin  jelas  meraih  respon  luar  biasa  dari masyarakat.  Polda  pun  bereaksi  langsung  mengumumkan  akan menggunakan pencucian uang untuk Adelin Lis. Polemik penggunaan rezim kembali mencuat, namun dari kegagalan kasus Adelin Lis  ini ada beberapa fakta hukum yang menarik untuk disimak untuk nantinya menjadi pelajaran bagaimana  rezim  anti  pencucian  uang  seharusnya  diaplikasikan, diantaranya. 

Page 77: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  69 

   

SULITNYA MENJERAT SANG AKTOR INTELEKTUAL  DENGAN PENDEKATAN KONVENSIONAL 

Kasus  Adelin  Lis  menambah  daftar  contoh  bagaimana  sulitnya mencapai  keadilan  dengan  berbekal  pendakatan  konvensional.  Bahkan sejak  dimulainya  persidangan,  sudah  banyak  pihak  yang memprediksikan bahwa Adelin akan dengan mudah lolos pidana kehutanan dan korupsi. Dari dua  dakwaan  delik  yang  dituduhkan  Jaksa  Penuntut  Umum  tidak  ada satupun yang tidak dapat dibantah oleh pelaku.  

Pertama. Masalah  kerusakan  hutan  oleh  pemegang  izin memang masih menjadi polemik. Meskipun Pasal 50  (2) UU Kehutanan  telah menyatakan jelas bahwa perusakan hutan oleh yang berizin adalah pidana, Departemen Kehutanan  sebagai  pemegang  kebijakan  dalam  bidang  kehutanan  tetap bersikukuh  bahwa  pemegang  izin  tidak mungkin  dikenakan  pidana,  oleh karenanya  pelanggaran  hukum  yang  dilakukan  oleh  nya  hanyalah pelanggaran  administratif.  Terhadap  Pasal  50  (2),  Awriya  Ibrahim  dalam sebuah  Pelatihan  Penegakkan  Hukum  di  ELSDA  Institute  menjelaskan bahwa  indikatornya adalah alih  fungsi  lahan. Agak  tidak masuk akal kalau kemudian  dijelaskan  lebih  lanjut  lagi  bahwa  perbahan  alih  fungsi  lahan hutan itu merupakan wilayah kebijakan Departemen Kehutanan. 

Dalam kasus Adelin, dakwaan kedua primair JPU mendakwa Adelin dengan Pasal 50 ayat  (2)  jo. Pasal 78 ayat  (1), ayat  (14) UU No 41 Tahun 1999  tentang  Kehutanan  jo.  Pasal  64  ayat  (1)  KUHPidana.  Penebangan hutan yang dilakukan PT KNDI menurut jaksa, juga tidak dibarengi kegiatan sistem  silvikultur Tebang Pilih Tanam  Indonesia  (TPTI) dalam penebangan pohon kayu hasil hutan dari periode 2000–2005 mengakibatkan kerusakan hutan yang parah.  

Kelalaian untuk tidak melakukan sistem silvikultur dan pelanggaran penebangan  di  luar  Rencana  Kerja  Tahunan  memang  merupakan  ranah administratif, lihat PP No. 6 Tahun 2007. Namun, pengelolaan yang seperti ini  justru sangat memungkinkan menyebabkan kerusakan hutan. Sehingga majelis  hakim  juga  seharusnya  dapat  menilai  bahwa  Adelin  Lis  tidak memiliki itikad baik untuk melaksanakan pengelolaan hutan yang baik atau setidak‐tidaknya melakukan kelalaian yang dapat menimbulkan kerusakan hutan.  Itikad  tidak  baik  ini  juga  sudah  terlihat  dari  awal.  Kejahatan 

Page 78: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 70  2008  

kehutanan  yang  dilakukan  Adelin  Lis  pada  awalnya  tercium  dari tertangkapnya  kapal  pandu  yang menarik  tongkang  dengan muatan  800 batang kayu dengan SKSHH yang sudah kadaluarsa ‐ tertangkap tanggal 23 Januari  2006  dengan  dokumen  tanggal  21  Januari  2006.  Begitu  juga berikutnya  pada  tanggal  24  Januari  2006  Polisi  menangkap  tongkang dengan  700  batang  kayu  yang  dokumennya  tidak  sesuai  dengan  isinya. Kesamaan dari keduanya adalah kayu tersebut berasal dari PT. KNDI dan PT. ITT  yang dikelola oleh Adelin  Lis. Direskrim Ronny  F.  Sompie menyatakan bahwa PT. ITT telah melakukan penebangan secara ilegal pada 9 titik. Lima diantaranya bahkan dilakukan diluar wilayah HPH, sedangkan 4 diantaranya diluar  Rencana  Kerja  Tahunannya.  Sementara  PT.  KNDI  melakukan penebangan  di  luar  RKT.  Fakta  hukum  lain  yang  terungkap  dalam penyidikan yaitu bahwa kedua perusahaan, yaitu PT. KNDI dan PT. ITT juga melakukan manipulasi  berkas‐berkas  SKSHH,  dengan  blanko  kosong  yang diterima dari oknum pejabat Dinas Kehutanan Madina. 

Adanya perizinan maupun dilakukannya pembatasan atau berbagai prosedural formil dalam pengelolaan hutan tentunya dengan tujuan untuk mencegah  atau  setidaknya  memitigasi  dampak  kerusakan  hutan  akibat pengelolaan  tersebut.  Spelt  dan  Berge12  menyatakan  bahwa  adanya berbagai  instrumen administratif tersebut adalah untuk mencegah adanya bahaya  bagi  lingkungan.  Sehingga  ketika  seseorang  tidak  melakukan kewajiban‐kewajibannya  tersebut  ia  dapat  dinilai  lalai  melakukan perlindungan  hutan  dan  secara  nyata  kegiatannya  dapat  menyebabkan kerusakan hutan. 

Dalam kasus AL ini, namun demikian, Majelis Hakim menilai bahwa bukti  yang  diajukan  oleh  JPU  kurang  kuat.  Tidak  ada  foto maupun  video yang  membuktikan  kerusakan  yang  dituduhkan.  Saksi  ahli  dari  Institut Pertanian Bogor yang diajukan jaksa, yakni Basuki Wasis dan Darsono, pun dinilai  tidak  kuat,  karena  penilaian  kerusakan  hutan  ternyata  hanya dilakukan dengan penelitian  lapangan selama satu hari. Pelanggaran diluar RKT  pun  dianggap  tidak  terbukti  karena  pada  titik‐titik  tersebut  tidak ditemukan  adanya  penebangan  melainkan  hanya  merupakan  tempat 

                                                             12  N.M.  Spelt  dan  J.B.J.M  ten  Beger,  Pengantar 

Hukum  Perizinan,  disunting  Ohilipus  M.  Hadjon,  Yuridika, Surabaya, 1993. 

Page 79: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  71 

   

pengumpulan  kayu.  Akibatnya  pelanggaran  Sistem  Silvikultur  dan penebangan  diluar  RKT  yang  menjadi  fakta  hukum  yang  seharusnya mendukung fakta bahwa Adelin Lis telah merusak hutan pun hanya menjadi senjata tumpul.  

Kalaupun terbukti melakukan kerusakan, toh Adelin Lis sebenarnya dapat  dengan mudah  berkilah  bahwa  posisinya  pada  PT.  KNDI  hanyalah direktur  keuangan,  sehingga  tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban atas perbuatan pidana kehutanan yang dilakukan perusahannya. 

Kedua.  Dakwaan  kesatu  primair  JPU,  menyatakan  bahwa  Adelin  telah melakukan tindak pidana sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  jo. Pasal 55 ayat  (1)  ke‐1  jo.  Pasal  64  ayat  (1)  KUHPidana.  JPU  menyatakan,  Adelin bersama  dengan Direktur Utama  PT.  KNDI, Oscar  Sipayung,  dan Direktur Operasional  PT.  KNDI,  Washington  Pane,  telah  melakukan  penebangan hutan  di  luar  Rencana  Kerja  Tahunan.  Akibatnya  KNDI  menyumbang kerugian melalui PSDH Rp 309.824.653.850, kemudian DR US$ 2.938.556, dan  kerusakan  lingkungan  yang  ditimbulkan  Rp  202  triliun.  Indikasi kejahatan korupsi yang dilakukan oleh Adelin Lis sebenarnya dapat terlihat dari beberapa modus yang dilakukan oleh perusahaan yang dikelola Adelin yaitu, dengan melakukan mark down tarif DR PSDH dan manipulasi  jumlah kayu. Hakim namun lagi‐lagi berpendapat beda, bahwa semua pelanggaran yang  dilakukan  Adelin  hanyalah  pelanggaran  administrasi.  Akhirnya  nilai kerugian  negara  pun  kembali  menjadi  bahan  perdebatan  yang  semakin bias.  

REZIM ANTI PENCUCIAN UANG UNTUK SI RAJA RIMBA 

Memang seharusnya sejak awal, pencucian uang ini digunakan juga dalam  kasus  AL.  Instrumen‐instrumen  anti  pencucian  agar  dapat dimanfaatkan  untuk  melihat  bukti‐bukti  alur  uangnya,  untuk  menjerat pelaku‐pelaku yang mendukung kegiatan AL misalnya, dengan melihat alur harta dari PT. KNDI atau PT. ITT dengan Pejabat Dinas Kehutanan yang telah mengeluarkan blanko kosong. Alur bukti uang  ini kemudian dapat menjadi alat bukti yang dapat dipergunakan dipersidangan untuk melengkapi puzzle dan  menguatkan  fakta‐fakta  hukum  bahwa  memang  Adelin  Lis  adalah pelaku tindak pidana.  

Page 80: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 72  2008  

Akan  tetapi,  lolosnya Adelin  Lis dengan  satu kejahatan kehutanan tersebut,  tidak  berarti  bahwa  Adelin  Lis  tidak  dapat  diindikasikan melakukan  tindak  pidana  pencucian  uang.  Tindak  pidana  pencucian  uang tidak hanya dapat diindikasikan dari adanya  tindak pidana yang dilakukan oleh  seseorang,  tetapi  juga  dari  adanya  indikasi  transaksi  keuangan mencurigakan yang dilakukan oleh pelaku tersebut. Oleh karena itu, dengan melihat  transaksi yang dilakukan Adelin dibantu dengan hasil analisis oleh PPATK, penegak hukum dapat menilai apakah Adelin Lis dapat diindikasikan melakukan pencucian uang.  

Setidaknya  ada  beberapa  indikator  yang  dapat  mengindikasikan terjadinya transaksi‐transaksi keuangan yang mencurigakan, yaitu: 

Pertama, apakah ada transaksi yang janggal untuk dilakukan profil tersebut. Kejanggalan profil transaksi ini misalnya dapat terlihat dari: 

1. Apakah asal usul harta yang ditransaksikan wajar diterima oleh profil tersebut.  Misalnya  seperti  dalam  kasus  MR,  Renouw  menerima berkali‐kali  sejumlah  uang  dari  perusahaan  yang  terindikasikan melakukan illegal logging. 

2. Apakah  jumlah  harta wajar  yang  ditransaksikan  untuk  diterima  oleh profil  tersebut  tanpa  alasan  yang  jelas.  Misalnya  dalam  kasus  MR, Renouw  menerima  sejumlah  harta  kekayaan  dalam  jumlah  besar, padahal alasannya kurang dapat dipertanggungjawabkan. 

Kedua,   apakah ada  transaksi  yang diluar  kebiasaan  yang dilakukan profil tersebut. Kejanggalan transaksi yang dilakukan oleh seorang profil tersebut dapat terlihat dari apakah profil pihak‐pihak yang terlibat transaksi tersebut memiliki  kedudukan  wajar  untuk  melakukan  transaksi.  Misalnya,  dalam kasus MR,  adanya  transaksi  antara MR  yang  seorang  komisaris polisi dan pemilik perusahaan yang diduga melakukan tindak pidana pencucian uang tentu akan menimbulkan kecurigaan tersendiri. Setidaknya dengan melihat kedua  profil  para  pihak  yang  bertransaksi  penegak  hukum  dapat menilai apakah motif sebenarnya pelaku. 

Ketiga,  apakah  ada  indikasi untuk menyamarkan  atau mengaburkan  asal‐usul transaksi. Kejanggalan ini dapat terlihat dari: 

Page 81: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  73 

   

1. Apakah  ada  transaksi  yang  dilakukan  profil  tersebut  dengan menggunakan  identitas  palsu.  Ketika  seorang  profil  melakukan transaksi  dengan  identitas  palsu,  maka  ia  akan  terlihat  memiliki maksud untuk menyamarkan asal‐usul transaksi. 

2. Apakah  ada  transaksi  yang  dilakukan  profil  tersebut  kepada perusahaan‐perusahaan fiktif. Perusahaan fiktif juga umum digunakan untuk menyamarkan alur harta. Dengan ditransfer kepada perusahaan boneka  tersebut,  harta  tersebut  seolah‐olah  digunakan  untuk kepentingan  operasional  perusahaan,  padahal  sebenarnya masuk  ke dalam penguasaan beneficial owner harta haram tersebut, 

3. Apakah  ada  transaksi  yang  batal  dilakukan  profil  tersebut.  Transaksi yang  dibatalkan  karena  prosedur  KYC  pada  penyedia  jasa  keuangan akan menimbulkan kecurigaan tersendiri.  

4. Apakah ada  transaksi atas harta kekayaan yang berputar‐putar  tanpa motif ekonomi yang  jelas kemudian kembali pada profil yang menjadi beneficial owner harta kekayaan tersebut.  

Indikator‐indikator  tersebutlah  yang  seharusnya  digunakan  untuk melengkapi puzzle  informasi  sehingga memenuhi keyakinan bahwa Adelin Lis telah melakukan pencucian uang.  

Memang  telah  terungkap  bahwa  Adelin  melakukan  berbagai transfer yang dinilai mencurigakan yaitu diantaranya: 

Pertama, Adelin melakukan 13 transaksi transfer harta sejumlah Rp. 10,55 milyar dari  rekening  atas nama Adelin di Bank Buana  ke  rekening nomor 008‐031288‐001 atas nama Adelin  juga di Bank HSBC cabang Medan sejak tanggal 28 Desember 2004 sampai 27 Juli 2005.  

Apabila  dilakukan  tanpa  alasan,  transaksi  ini  salah  satu  contoh transaksi keuangan yang dilakukan  tanpa motif ekonomi yang  jelas. Patut ditekankan  bahwa  dalam menjerat  tindak  pidana  pencucian  uang  unsur motif  adalah  unsur  yang  harus  jelas.  Perpindahan  harta  dengan  jumlah besar yaitu Rp. 10,55 milyar seharusnya tidak wajar apabila dilakukan tanpa alasan.  Apalagi  transfer  tersebut  dilakukan  antar  rekening  pribadi  dan dalam  jumlah yang rata‐rata sama yaitu berkisar Rp. 750  juta dan Rp. 850 juta.  Lebih  lanjut,  melihat  dari  jumlah  transaksi  yang  besar  tersebut, penegak hukum dapat melihat juga apakah bank yang menjadi intermediasi transaksi ini juga menjalankan Prinsip KYC‐nya dengan memenuhi informasi alasan dan asal usul harta atas transaksi yang dilakukan Adelin Lis. 

Page 82: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 74  2008  

Namun, saksi‐saksi yang diperiksa kepolisian membenarkan bahwa harta Adelin  Lis di HSBC  tersebut  digunakan untuk membayarkan hutang kepada Hock  Seng  Trading  PTE  sejumlah US$  985  ribu  dan US$  115.136. Nilai  tersebut  juga berkesesuaian dengan nilai yang ditransfer Adelin dari Bank  Buana  ke  HSBC,  dirupiahkan  jumlah  ribuan  dolar  tersebut  akan memenuhi  nilai  transaksi  Rp.  10,55.  Tapi  penegak  hukum  tidak  boleh berpuas hati dengan  jawaban  tersebut. Pertanyaannya selanjutnya adalah apakah benar Adelin memiliki hutang pada Hock Seng Trading itu. Kalaupun benar, atas alasan apakah Adelin berhutang pada Hock  Seng Trading dan apakah hutang tersebut hutang pribadi atau hutang perusahaan.  Kemudian yang tidak kalah penting adalah siapa pemilik Hock Seng Trading tersebut. 

Selain  itu, analisis alur uang  ini  juga tidak hanya dilakukan dengan melihat ke depan, tetapi juga harus dilakukan dengan melihat ke belakang, yaitu  dengan melihat  dari mana  harta  yang  ada  di  rekening Adelin  pada Bank  Buana.  Apabila  Adelin  berkilah  bahwa  harta  tersebut  berasal  dari bisnis sahnya dengan PT Mitra Niaga atas penjualan plywood dari PT. KNDI dalam  suatu  periode  tertentu.  Bukannya  tidak mungkin  penegak  hukum juga  menghitung  berapa  nilai  sebenarnya  yang  diterima  Adelin  dari penjualan  plywood  tersebut,  dengan melihat  berapa  jumlah  produksi  PT. KNDI. 

Kedua,  Adelin  mentransfer  juga  uangnya  dari  Bank  Buana  ke  rekening nomor 00057862071 atas nama PT. Sinar Gunung Sawit Raya (PT. SRGR) di Bank BNI Jalan Pemuda, Medan. Tercatat 66 kali rekening tranfer uang oleh Adelin  ke Rekening PT.  SGSR, dengan nilai  total  sebesar Rp. 33,04 milyar dari  tanggal  11  Juni  2004  hingga  5 April  2006. Dari  alur  transaksinya  PT. SRGR kemudian mentransaksikan pada PT Tirta Makmur  (PT. TM)  sebesar Rp.  14,369 milyar  untuk membangun  pabrik  kelapa  sawit.  Kemudian,  PT SRGR juga mentransfer sebesar US$ 373.643 kepada PT Super Andalas Steel (PT. SAS) untuk keperluan membangun boiler. 

Dari total transaksi 33 milyar rupiah tersebut, hampir setengahnya dipergunakan  untuk  membangun  pabrik  sawit  yaitu  14  milyar  rupiah. Penegak  hukum  juga  harus  dapat memverifikasi  apakah  benar  PT.  SRGR selama  periode  tersebut membangun  pabrik  sawit.  Apabila  ternyata  PT. SRGR  tidak melakukan pembangunan sawit dan harta dalam  jumlah besar 

Page 83: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  75 

   

dari PT. SRGR berbalik kepada Adelin, maka hal ini menunjukkan bahwa PT. SRGR  hanyalah  perusahaan  boneka  saja  (shell  company)  untuk mencuci uang  haram  yang  dimiliki  Adelin.  Hal  ini  saja  sudah  cukup  untuk mengindikasikan bahwa Adelin berusaha melakukan proses  layering dalam pencucian uang. 

Ketiga,  Adelin  Lis  juga melakukan  transfer  ke  rekening  nomor  105‐017‐80002‐6 atas nama PT Mujur Timber di Bank Mandiri Cabang Imam Bonjol, Medan.  Transfer  ini  dilakukan  sebanyak  39  kali  dengan  jumlah  Rp.  25,05 milyar  dari  tanggal  26 Mei  2004  sampai  7 Oktober  2005,  dengan  alasan untuk membiayai berbagai keperluan operasional PT. KNDI dan PT. MTG. 

Seperti  halnya  memperlakukan  transaksi‐transaksi  sebelumnya. Penegak  hukum  juga  harus  dapat  melihat  apakah  benar  kemudian  ada transfer dari PT. MTG tersebut kepada PT. KNDI yang akan digunakan untuk membiayai  operasional  PT.  KNDI.  Selanjutnya,  dengan  membandingkan keseluruhan  sumber dan peruntukkan  transaksi yang dilakukan maka kita juga  akan  dapat melihat  apakah  ada  kesesuaian  pada  transaksi‐transaksi tersebut.  Apabila  Adelin  berdalih  bahwa  itu  merupakan  hasil  penjualan kayu plywood PT. KNDI kepada PT. MN, berarti seharusnya harta  tersebut adalah  harta  perusahaan,  agak menjadi  janggal  kemudian  harta  tersebut sebagian besar yaitu sekitar 42% dari total harta tersebut justru digunakan untuk untuk    keperluan  yang  tidak ada hubungannya dengan perusahaan itu sendiri.  

Tabel 6. Beberapa Transaksi Keuangan Antara MR dan Pelaku Illegal Logging 

Peruntukkan Prosentase

Hutang pribadi 12,6%

Membiayai PT. SGR 39,7%

Membiayai  operasional 

PT. MTG 

30,1%

Sumber: Dakwaan MR, diolah 

 

Terakhir, apabila pemeriksaan di pengadilan akan dilakukan secara  in 

absentia,  setelah  penegak  hukum memiliki  semua  informasi  untuk menjerat 

Page 84: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 76  2008  

Adelin,  maka  selanjutnya  terserah  Adelin  apakah  ia  akan  keluar  dari 

persembunyiannya  untuk membuktikan  bahwa  hartanya  adalah  harta  yang 

sah. 

SIMPULAN DAN REKOMENDASI Refleksi Untuk Awal Tahun 2008 

SIMPULAN 

Dari paparan tersebut diatas, setidaknya ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil yaitu: 

1. Rezim  anti  pencucian  uang  sangat  berpotensi  untuk  dapat menjerat pelaku‐pelaku  kejahatan  yang  biasanya  sulit  disentuh  oleh  hukum. Dalam  kasus  Renouw  misalnya,  rezim  ini  dapat  membantu menguatkan fakta hukum yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk menjerat  pelaku  illegal  logging.  Pertama,  dengan menelusuri  harta, maka  penegak  hukum  akan  dapat  melihat  siapa  sebenarnya  yang diuntungkan dari kejahatan tersebut. Kedua, dengan menelusuri harta dan melihat profilnya, maka penegak hukum akan dapat melihat motif apa  yang  tersembunyi  dari  transaksi  tersebut.  Ketiga,  dengan menelusuri  hartanya  dan melihat  pola  atau  kebiasaan  transaksinya, maka  penegak  hukum  dapat  menilai  apakah  pelaku  memang melakukan tindak pidana pencucian uang atau tidak. 

2. Sayangnya,  sampai  dengan  tahun  2007,  masih  belum  ada  pelaku intelektual  kasus  illegal  logging    yang  dijerat  dengan  UU  Anti Pencucian Uang. Padahal  kegagalan demi  kegagalan menjerat pelaku illegal  logging dengan UU Kehutanan  saja  seharusnya menjadi bahan pelajaran dan pertimbangan untuk lebih mengoptimalkan penggunaan rezim anti pencucian uang. 

3. Masih banyaknya perdebatan mengenai bagaimana rezim penggunaan anti  pencucian  menimbulkan  keraguan  dan  hambatan  baik  secara struktural  dan  substansial  dalam  penggunaan  rezim  anti  pencucian uang.  Dalam  beberapa  kasus  penegak  hukum  terlihat  enggan 

Page 85: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  77 

   

menggunakan  rezim  ini,  padahal  penggunaan UU  Kehutanan  dengan pendekatan konvensional  seringkali menjadi pilihan yang  tidak hanya tidak  efektif,  tidak  efisien  juga  seringkali  dibelokkan  kearah pelanggaran  administratif.  Seharusnya  penegak  hukum  tidak  hanya terpaku  pada  harus  membuktikan  terlebih  dahulu  adanya  illegal logging  yang  dilakukan  pelaku  atau  tidak,  karena  celah  menjerat adanya  pencucian  uang  bukan  hanya  dimulai  dari  adanya  indikasi adanya kejahatan asalnya tetapi  juga adanya transaksi keuangan yang dapat dinilai mencurigakan. 

REKOMENDASI 

Berdasarkan  simpulan  tersebut  setidaknya ada beberapa hal yang dapat menjadi  rekomendasi  untuk  kedepannya  dalam  penegakan  hukum follow the money secara terintegratif, yaitu: 

1. Perlunya penggunaan UU Tindak Pidana Pencucian Uang untuk setiap kasus  kejahatan  kehutanan. Dengan  penggunaan UU  ini,  diharapkan dapat  lebih  menguatkan  berbagai  fakta  hukum  yang  terjadi  dalam kasus  tersebut  termasuk untuk membongkar bagaimana  keterlibatan dan oknum pejabat dan aparat, yang turut mendukung keberlanjutan kejahatan kehutanan tersebut. 

2. PPATK  perlu  lebih  aktif  mendorong  penegak  hukum  untuk mengoptimalkan  penggunaan  rezim  ini  berdasarkan  laporan  hasil analisis  yang  disampaikan  kepada  penegak  hukum  dan  lebih  banyak lagi mensosialisasikan penggunaan rezim anti pencucian uang kepada para penegak hukum, termasuk mengenai independensi tindak pidana pencucian uang. 

          

Page 86: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 78  2008  

                                

 

Page 87: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  79 

   

CATATAN BADAN LAYANAN 

UMUM 2007  

 

“Untuk  menjadi  BLU  Penuh,  diperlukan  orang‐orang  yang 

profesional di bidangnya agar dapat menyusun Rencana Stategis 

Bisnis  dan  Standar  Pelayanan  Minimal  yang  rasional,  serta 

Laporan  Keuangan  yang  akuntabel.  Saat  ini  pejabat  keuangan 

dengan status akuntan belum ada dalam BLU‐Pusat P2H,  tentu 

hal  itu akan mempersulit BLU‐Pusat P2H untuk bisa memenuhi 

Persyaratan  Administratif  sebagaimana  diwajibkan  agar 

memperoleh status BLU Penuh. “ 

  

Triana Ramdani, Financial Analyst 

       

Page 88: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 80  2008  

PENDAHULUAN  

Pengelolaan  lingkungan  hidup  dan  sumber  daya  alam  yang  tidak sustainable patut menjadi hal penting yang harus segera ditindaklanjuti. Ulah manusia‐manusia  yang  tidak  bertanggung  jawab  dengan  mengeksploitasi kekayaan alam tanpa ada  langkah melestarikannya, membuat kondisi alam ini semakin  tidak  bersahabat.  Maraknya  illegal  logging  merupakan  salah  satu penyebab  utama  terjadinya  bencana  alam  akhir‐akhir  ini.  Bagaimana  tidak, hutan yang seharusnya menjadi tempat penyerapan air, sumber oksigen, dan habitat satwa liar, kini hanya menjadi hamparan tanah kosong semata. Sangat wajar  jika kini bencana banjir dan  tanah  longsor menimpa hampir di  seluruh pelosok Indonesia.  

Negara  Indonesia  disebut‐sebut  sebagai  negara  yang  mengalami deforestasi  paling  tinggi  di  dunia.  Untuk  era  tahun  2000‐an,  laju  kerusakan hutan telah mencapai jutaan hektar per tahun. Tahun 2000‐2004 mencapai 3,4 juta  ha/tahun,  tahun  2005  mencapai  2,8  juta  ha/thn,  dan  tahun  2006 mencapai  2,72  juta  ha/thn  (Suara  Pembaruan,  23  Mei  2007).  Para  ahli memprediksi,  jika  hal  ini  dibiarkan  terjadi,  maka  hutan  di  Indonesia  akan punah dalam jangka waktu kurang dari 15 tahun. 

Kegiatan  illegal  logging dilakukan baik oleh perorangan maupun oleh perusahaan. Selain bencana alam, negara pun  turut dirugikan dari kejahatan kehutanan  itu.  Pasalnya,  setiap  kayu  yang ditebang  secara  ilegal  tentu  tidak akan membayar Dana Reboisasi  (DR) dan Provisi Sumber Daya Hutan  (PSDH). Dimana menurut peruntukkannya Dana Reboisasi itu akan dipergunakan untuk membangun  hutan  kembali.  Meskipun  pada  kenyataannya  jauh  dari  yang disebutkan.  Dimana  karena  rendahnya  efektifitas,  penyaluran  DR  untuk pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) dihentikan pada tahun 2000.  

Menurut  Direktur  Greenomics  Indonesia  Elfian  Effendi  (Kompas, 8/9/2006), masih terdapat Utang HTI tidak tertagih sejak tahun 1998.  Jumlah total utang yang bersumber dari anggaran negara sektor kehutanan mencapai Rp 1,45 triliun, yaitu utang pembangunan HTI Rp 1,08 triliun, kredit usaha tani Rp 170,9 miliar, dan koperasi perumahan Rp 77,89 miliar. Ada juga dana sektor 

Page 89: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  81 

   

kehutanan  yang  dipinjam  untuk  kepentingan  Sea Games  Rp  30 miliar,  yang apabila diperhitungkan bunga, nilainya menjadi Rp 83,24 miliar. 

Tahun 2007  ini, bisa dikatakan Pemerintah mulai menunjukkan  salah satu  langkah  konkretnya  dalam  perbaikan  di  sektor  kehutanan.  Pemerintah membentuk  sebuah  satuan  kerja  (satker)  di  Departemen  Kehutanan,  yakni Badan Pembiayaan Pembangunan Hutan  (BP2H). Satker  ini akan memberikan pinjaman  berupa  dana  bergulir  kepada  masyarakat  dan  BUMN/S/D  untuk membangun  hutan  tanaman.  Diharapkan  dengan  pola  pembiayaan  ini Indonesia bisa benar‐benar melakukan langkah real reboisasi.  

Dengan  beberapa masalah  yang  dihadapi,  badan  yang  kini  berganti nama  menjadi  BLU‐Pusat  P2H  (Badan  Layanan  Umum  Pusat  Pembiayaan Pembangunan Hutan) dikatakan memiliki  risiko  kegagalan  yang  cukup  tinggi. Dimana perlu banyak pihak yang harus berperan  serta agar  tujuan dari BLU‐ Pusat P2H bisa tercapai. Mengingat kinerja DR pada tahun‐tahun sebelumnya yang tidak terarah dan terkontrol. Namun paling tidak kita harus mendukung salah satu upaya pemerintah tersebut.  

PERATURAN BADAN LAYANAN UMUM Aturan mengenai  Badan  Layanan  Umum  (BLU)  diatur  dalam  PP  No. 

23/2005  tentang  Pengelolaan  Keuangan  Badan  Layanan  Umum  (PK‐BLU). Dijelaskan  bahwa  yang  dimaksud  dengan  BLU  adalah  instansi  di  lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa  penyediaan  barang  dan/atau  jasa  yang  dijual  tanpa mengutamakan mencari  keuntungan  dan  dalam  melakukan  kegiatannya  didasarkan  pada prinsip efisiensi dan produktivitas. 

Sedangkan  PK‐BLU  adalah  pola  pengelolaan  keuangan  yang memberikan  fleksibilitas  berupa  keleluasaan  untuk  menerapkan  praktek‐praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa,  sebagai  pengecualian  dari  ketentuan  pengelolaan  keuangan  negara pada umumnya. 

 

Page 90: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 82  2008  

Selain Peraturan di atas, secara  lebih rinci aturan mengenai BLU diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang terdiri dari: 

1. PMK No. 119/2007 Tentang  Persyaratan  Administratif  dalam  rangka  Pengusulan  dan Penetapan  Satuan  Kerja  Instansi  Pemerintah  untuk  Menerapkan Pengelolaan Keuangan BLU.  

2. PMK No. 109/2007 Tentang Dewan Pengawas Badan Layanan Umum 

3. PMK No. 73/2007 Tentang  Perubahan  atas  Peraturan Menteri  Keuangan  No.  10/2006 tentang  Pedoman  Penetapan  Remunerasi  bagi  Pejabat  Pengelola, Dewan Pengawas, dan Pegawai BLU. 

4. PMK No. 08/2006 Tentang Kewenangan Pengadaan Barang/Jasa pada BLU. 

5. PMK No. 66/2006 Tentang Tata Cara Penyusunan, Pengajuan, Penetapan, dan Perubahan Rencana Bisnis dan Anggaran serta Dokumen Pelaksanaan Pelaksanaan Anggaran BLU. 

KONSEP BADAN LAYANAN UMUM Konsep  keuangan  yang  paling  membedakan  BLU  dengan  badan  di 

lingkungan  pemerintahan  lainnya  adalah  mengenai  fleksibilitasnya  dalam mengelola  keuangan.  Dimana  BLU  diberikan  hak  untuk  menggunakan pendapatannya  langsung  tanpa  harus  disetor  ke  kas  negara  terlebih  dulu sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).  

Dengan pengelolaan seperti  itu diharapkan satker akan  lebih fleksibel dalam  mengelola  keuangannya  sendiri.  Sehingga  bisa  meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat. 

 

Page 91: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  83 

   

Adapun  perbedaan  lainnya  antara  konsep BLU  dengan  konsep  badan  sektor publik yang ada yaitu: 

 

Tabel 1. Perbedaan Konsep BLU dengan Konsep Badan Sektor Publik Lainnya 

No.  Keterangan  Satker Biasa  BUMN  Satker dengan Status BLU 

1.  Orientasi Bisnis 

Non Profit 

(pendapatan < belanja) 

Profit Oriented (pendapatan > belanja) 

Not for Profit  

(tidak mengutamakan keuntungan) 

2.  Hak Otonomi  Tidak Otonom  Otonom   Semi Otonom / Otonom 

3.  Pengelolaan Keuangan 

Sesuai dengan mekanisme APBN 

Murni Bisnis  Sesuai dengan PP 23/2005 

4.  Status Kekayaan 

Tidak Dipisahkan dari Kekayaan Negara 

Dipisahkan dari Kekayaan Negara 

Tidak Dipisahkan dari Kekayaan Negara 

Sumber: Pembinaan PK‐BLU oleh Departemen Keuangan 

Kelebihan yang dimiliki BLU dalam fleksibilitasnya adalah mencakup kebebasan dalam mengelola: 

♦ Pendapatan dan Belanja ♦ Pengelolaan Kas ♦ Pengelolaan Piutang dan Utang ♦ Investasi ♦ Pengelolaan Barang ♦ Surplus/Defisit ♦ Akuntansi ♦ Remunerasi ♦ Status Kepegawaian PNS dan non PNS ♦ Nomenklatur Kelembagaan dan Pimpinan    

 

 

 

Page 92: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 84  2008  

MONITORING BADAN LAYANAN UMUM KEHUTANAN 

Saat  ini baru  satu  satker dari Departemen Kehutanan  yang dijadikan BLU,  yaitu  BLU‐Pusat  P2H.  Badan  ini  didirikan  pada  tanggal  2 Maret  2007 sesuai  dengan  Keputusan  Menteri  Keuangan  No.  137/KMK.05/2007  serta Peraturan Menteri  Kehutanan  No.  P.31/Menhut‐II/2007.  Badan  ini memiliki kegiatan utama penyaluran pinjaman dana bergulir bagi pembangunan hutan tanaman baik oleh BUMN/D/S/Koperasi maupun Kelompok Tani Hutan.  

BLU‐Pusat  P2H  dibentuk  untuk  meningkatkan  pengelolaan  dan pemanfaatan hutan produksi terutama yang tidak dibebani hak. Hal ini sejalan dengan deklarasi Presiden Tanggal 11 Juli 2006 tentang Revitalisasi Pertanian, Perikanan  dan  Kehutanan  (RPPK),  sektor  Kehutanan  diminta  memberikan kontribusi  pada  pemanfaatan  lahan  yang  tidak  produktif menjadi  produktif (pro  environment),  pertumbuhan  (pro  growth),  bergeraknya  sektor  riil kehutanan di perkotaan berupa aktifnya  industri‐industri kayu berbasis bahan baku  lestari  (pro  job)  dan  pengentasan  kemiskinan  masyarakat  setempat melalui pemberdayaan ekonomi, baik dalam pola kemitraan maupun sebagai pelaksana (owner) IUPHHK HTR/HTI (Pro poor). 

STATUS BLU‐PUSAT P2H 

Status  BLU‐Pusat  P2H  adalah  BLU  Bertahap  80%.  Maka  sesuai dengan aturan  fleksibilitasnya, pendapatan operasional yang diperolehnya hanya  bisa  digunakan  sebesar  80%  saja,  sisanya  yang  20%  tetap  harus disetor  ke  kas  negara.  Status  Bertahap  diperoleh  karena  persyaratan administratif  BLU‐Pusat  P2H  dianggap  kurang  memadai  oleh  Menteri Keuangan untuk menjadi BLU Penuh. 

 

Page 93: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  85 

   

Skema Penetapan BLU

Satker Menteri / Pimpinan Lembaga

Menteri Keuanganc.q.

Dirjen Perbendaharaan

PersyaratanAdministratif

Persyaratan SubstantifPersyaratan Teknis

YesNo

No Yes

Tim Penilai

YesNo

BLU Penuh

Persyaratan Substantif TerpenuhiPersyaratan Teknis Terpenuhi

Persyaratan Administratif Terpenuhi

BLU Bertahap

Persyaratan Substantif TerpenuhiPersyaratan Teknis Terpenuhi

Persyaratan Administratif Belum Terpenuhi

Selama 3 Tahun SyaratAdministratif Terpenuhi

Selama 3 Tahun SyaratAdministratif Tidak Terpenuhi

Gambar 1. Skema Penetapan BLU 

Berdasarkan  skema  di  atas,  berarti  BLU‐Pusat  P2H  diberi waktu selama  tiga  tahun  untuk  dapat  menyempurnakan  Persyaratan Administratif tersebut. Dimana persyaratan tersebut terdiri dari: 

♦ Pernyataan  Kesanggupan  Menigkatkan  Kinerja  Pelayanan, Keuangan, dan manfaat bagi masyarakat. 

♦ Pola Tata Kelola ♦ Rencana Stategis Bisnis ♦ Laporan Keuangan Pokok ♦ Standar Pelayanan Minimal ♦ Laporan  Audit  Terakhir,  atau  Pernyataan  bersedia  untuk  diaudit 

secara Independen. 

KEORGANISASIAN 

Keorganisasian BLU‐Pusat P2H  telah ditetapkan dalam Permenhut No.  P.31/2007  tentang  Organisasi  dan  Tata  Kerja  Pusat  Pembiayaan Pembangunan  Hutan  yang  telah  disetujui  oleh  Menteri  Pendayagunaan 

Page 94: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 86  2008  

Aparatur Negara. Berdasarkan peraturan tersebut, struktur organisasi BLU‐Pusat P2H ditentukan sebagai berikut: 

 

STRUKTUR ORGANISASI PUSAT PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN HUTAN

MENTERI KEHUTANAN

DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI HUTAN

SEKRETARIS JENDERALDEPARTEMEN KEHUTANAN

KEPALA PUSAT PEMBIAYAANPEMBANGUNAN HUTAN

KEPALA BAGIAN TATA USAHA

KEPALA BIDANG PENYALURAN DAN PENGEMBALIAN PINJAMAN

KEPALA BIDANG PENILAIAN KELAYAKAN USAHA

SUB BAGIAN UMUM

SUB BAGIAN HUKUM DAN HUMAS

SEKSI RENCANA BISNIS DAN ANGGARAN

SEKSI PENYALURAN

DAN PENGEMBALIAN

SEKSI PENYIAPAN PENILAIAN

SEKSI EVALUASI DAN

PELAPORAN FISIK

KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL

 

 

Gambar 2. Struktur Organisasi Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan 

 

Dari  gambar  tersebut,  terlihat  bahwa  struktur  yang  dibentuk kurang sesuai dengan konsep BLU yang diatur dalam PP 23/2005 pasal 32. Dimana pejabat pengelola BLU terdiri dari Pimpinan BLU yang bertanggung jawab  terhadap  keseluruhan  kinerja BLU, dibantu Pejabat Keuangan dan Pejabat  Teknis  yang  masing‐masing  bertanggung  jawab  atas  kinerja keuangan dan kinerja operasional BLU. 

 

Page 95: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  87 

   

Dengan bentuk organisasi di atas, kriteria yang menyatakan unsur organisasi  BLU  yang  seharusnya  menjadi  tidak  nampak.  Hal  itu menyebabkan biasnya penanggung jawab utama dalam bidang operasional dan  keuangan  BLU‐Pusat  P2H.  Terlebih  untuk  bidang  keuangan  dan akuntansi. 

Menurut PP 23/2005 dijelaskan pula bahwa pengawasan terhadap kinerja BLU akan dilakukan oleh dua pihak. Yakni dari pihak eksternal yaitu Badan Pengawas, dan pihak internal yaitu Satuan Pengawas Internal (SPI). 

Dalam  pasal  35  (1),  BLU  harus memiliki  SPI  yang  berkedudukan langsung  di  bawah  Pimpinan  BLU.  Dimana  tugasnya  adalah  untuk mengawasi  kinerja BLU  itu  sendiri. Akan  tetapi  pada  Struktur Organisasi BLU‐Pusat  P2H  ternyata  tidak  dibentuk  SPI.  Dan  Dewan  Pengawas  pun belum  ditetapkan  sampai  saat  ini.  Sehingga  tidak  ada  sama  sekali  yang mengawasi kinerja BLU‐Pusat P2H. 

Padahal  dalam  pasal  5  PMK  109/2007  Badan  Pengawas berkewajiban  untuk  memberikan  nasihat,  saran,  atau  tanggapan  atas pengelolaan BLU, laporan keuangan, dan laporan kinerja BLU. Sehingga jika Badan  Pengawas  sudah  terbentuk  bagi  BLU‐Pusat  P2H,  secara  langsung akan membantu BLU untuk memenuhi kriteria menjadi BLU Penuh. 

Jika  dilihat  dari  persyaratan  Pembentukan  Dewan  Pengawas  pun sebenarnya BLU‐Pusat P2H sangat memenuhi kriteria. Karena nilai asetnya menurut neraca  lebih dari Rp 75 Milyar. Dan atas dasar nilai aset menurut neraca BLU‐Pusat P2H yang lebih dari Rp 200 Milyar, maka jumlah Anggota Dewan Pengawasnya ditetapkan 3 (tiga) sampai 5 (lima) orang. 

 

KONSEP PENGELOLAAN KEUANGAN 

Saat  ini  BLU‐Pusat  P2H  hanya  menerapkan  konsep  akuntansi keuangan organisasi nirlaba. Dalam PP 23/2005 pasal 25, atas persetujuan Menteri  Keuangan  BLU  bisa menerapkan  sistem  akuntansi  keuangan  apa saja  yang  sesuai  dengan  jenis  layanannya  dan  diatur  dalam  Standar Akuntansi Keuangan  (SAK) yang diterbitkan oleh  Ikatan Akuntan  Indonesia (IAI). 

Page 96: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 88  2008  

Jika melihat  jenis  layanannya  yang memberikan pinjaman  kepada nasabah,  BLU‐Pusat  P2H  layak  mengajukan  sistem  akuntansi  keuangan perbankan. Sehingga penyusunan laporan keuangannya bisa lebih jelas dan akuntabel  seperti  layaknya  laporan  keuangan perbankan pada umumnya, meskipun tetap harus mengacu pada akuntansi nirlaba. 

Laporan  Keuangan  BLU‐Pusat  P2H  tidak  wajib  dipublikasikan, padahal  seharusnya  laporan  tersebut  dipublikasikan  agar  dapat  tercipta transparansi dalam BLU‐Pusat P2H.  

 

TARGET KINERJA OPERASIONAL BLU‐PUSAT P2H 

Tabel 2. Target Kinerja Operasional BLU‐Pusat P2H Periode 2007‐2008 

No.  Keterangan  2007  2008 

1.  Total Dana Bergulir yang akan Disalurkan (Rp)  1,393 Triliun  1,65 Triliun 

2.  Dana Bergulir untuk Pembangunan HTR (Rp)  868,6 Milyar  983,6 Milyar 

3.  Dana Bergulir untuk Pembangunan HTI (Rp)  525 Milyar  666,4 Milyar 

4.  Standar Biaya Pembangunan HTR Per Hektar (Rp) 

4,34 Juta  4,46 Juta  

5.  Standar Biaya Pembangunan HTI Per Hektar (Rp) 

5 Juta  4,46 Juta 

6.  Luas Wilayah HTR yang akan Terbangun (Ha)  200.000  220.506 

7.  Luas Wilayah HTI yang akan Terbangun (Ha)  105.000  147.004 

Sumber: BLU‐Pusat P2H 

Hingga  akhir 2007 BLU‐Pusat P2H belum beroperasi  sama  sekali. Pasalnya, dana bergulir yang dijanjikan sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 137/2007 sebesar Rp 1,4 Triliun (Pembulatan dari Rp 1,393 Triliun),  tidak  bisa  dicairkan  karena  BLU‐Pusat  P2H  terlambat menyusun Rencana Bisnis dan Anggaran sebagai syarat utama pencairannya. 

Page 97: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  89 

   

Sesuai  dengan  peraturannya  pada  pasal  11  PP  23/2005  bahwa penggunaan APBN harus berdasarkan Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA) beserta usulan Standar Pelayanan Minimum (SPM) dan Biaya dari Keluaran yang akan Dihasilkan BLU yang disetujui oleh Menteri Keuangan.  

Sehubungan dengan tidak terealisasinya Anggaran 2007 BLU‐Pusat P2H,  maka  secara  otomatis  anggaran  tahun  2008  pun  tidak  akan terealisasi.  Karena  sesuai  dengan  aturannya  (PP  23/2005  pasal  12),  jika sampai  31  Desember  Menteri  Keuangan  belum  menyetujui  Dokumen Pelaksanaan Anggaran  yang  diajukan, maka  BLU‐Pusat  P2H  hanya  dapat melakukan  pengeluaran  dana  paling  tinggi  sebesar  angka  Dokumen Pelaksanaan Anggaran tahun sebelumnya.  

Untuk  penentuan  dana  yang  disalurkan,  selayaknya  dihitung berdasarkan kebutuhan. Misalnya berapa  luas hutan  tanaman yang akan dibangun  dan  berapa  biaya  standar  yang  dibutuhkannya.  Sehingga  akan lebih memudahkan dalam menyusun RBA‐nya.  

Berbeda  dengan  BLU‐Pusat  P2H,  dana  bergulir  yang  akan disalurkan  ditetapkan  terlebih  dulu  dari  pada  penentuan  wilayah,  luas lahan,  dan  biaya  standar  untuk  hutan  tanaman  yang  akan  dibangun. Sehingga  penentuan  konsep  hutan  tanaman  yang  akan  dibangun  pun terkesan dipaksakan dan menjadi kurang rasional.  

Sampai saat ini konfirmasi atas berapa jumlah IUPHHK‐HTR belum ditetapkan. Padahal hal  itu merupakan syarat utama yang harus dipenuhi nasabah  untuk  membangun  HTR.  Pengajuan  pembangunan  HTI  dari Perusahaan  pun  belum  dipublikasikan.  Standar  kelayakan  pengajuan proposal pembangunan hutan tanaman juga ternyata belum terbuat. 

Jika  melihat  konsep  perbankan  dalam  memberikan  pinjaman, mereka sangat berhati‐hati untuk menentukan apakah sang nasabah layak untuk  diberi  pinjaman  atau  tidak.  Hal  itu  adalah  untuk  meminimalisir terjadinya kegagalan pembayaran sang nasabah tersebut.  

Kemampuan  teknis dan  keuangan dari debitur  terutama anggota koperasi  dan  kelompok  tani  hutan  umumnya  terbatas.  Sedangkan  BLU‐Pusat  P2H,  sebagian  besar  dana  yang  akan  disalurkan  adalah  kepada masyarakat  tani  dan  koperasi.  Lantas  bagaimana  BLU‐Pusat  P2H  dapat 

Page 98: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 90  2008  

yakin bahwa masyarakat  tani dan koperasi bisa mengelola keuangan dan mengembalikan pinjamannya pada saat jatuh tempo? 

REKOMENDASI 1. Untuk menjadi  BLU  Penuh,  diperlukan  orang‐orang  yang  profesional  di 

bidangnya  agar  dapat  menyusun  Rencana  Stategis  Bisnis  dan  Standar Pelayanan  Minimal  yang  rasional,  serta  Laporan  Keuangan  yang akuntabel.  Saat  ini pejabat  keuangan dengan  status akuntan belum ada dalam  BLU‐Pusat  P2H,  tentu  hal  itu  akan  mempersulit  BLU‐Pusat  P2H untuk bisa memenuhi Persyaratan Administratif sebagaimana diwajibkan agar  memperoleh  status  BLU  Penuh.  Padahal  kehadiran  akuntan  akan sangat membantu BLU‐Pusat  P2H,  karena penyusunan  laporan  kegiatan yang akan dibuat harus direfleksikan ke dalam anggaran. 

2. BLU‐Pusat  P2H  sebaiknya  memang  harus  memperkuat  unsur keuangannya,  karena  seperti  diketahui  bahwa  jenis  layanan  yang diberikan adalah berupa penyaluran dana seperti perbankan. Maka sudah selayaknya unsur keuangan menjadi unsur terkuat dalam BLU‐Pusat P2H. 

3. Dalam  penentuan  struktur  organisasi,  agar  terdapat  sinkronisasi  antara ketentuan  BLU  yang  ditetapkan  oleh  Departemen  Keuangan,  dan ketentuan  yang  ada  di  Kementerian  Pendayagunaan  Aparatur  Negara, Departemen  Kehutanan  harus melakukan  koordinasi  yang  baik  dengan keduanya.  Sehingga  struktur  organisasi  yang  terbentuk  dapat  sesuai dengan  ketentuan  dan  kebutuhan.  Yaitu  adanya  kejelasan  mengenai Pejabat Teknis, Pejabat Keuangan, dan SPI. 

4. Keseluruhan  unsur  organisasi  dalam  BLU‐Pusat  P2H  yang  diduduki  oleh PNS kemungkinan besar akan menyebabkan birokrasi yang sama dengan sistem  pemerintahan.  Padahal  adanya  kebijakan mengenai  penempatan posisi unsur organisasi oleh non‐PNS merupakan suatu kesempatan untuk bisa  lebih  menerapkan  prinsip  kewirausahaan,  profesionalisme,  dan praktek bisnis yang sehat. 

5. Kepada  Departemen  Kehutanan,  sebaiknya  segera  mengusulkan pembentukan  Dewan  Pengawas  bagi  BLU‐Pusat  P2H.  Karena  selain berfungsi  sebagai  alat  kontrol,  Dewan  Pengawas  juga  bisa  membantu BLU‐Pusat P2H untuk memperbaiki kinerja dengan memberikan saran dan nasehat  kepada  pejabat  pengelola  BLU‐Pusat  P2H. Maka  dalam  waktu dekat  peran Dewan  Pengawas  akan  sangat  diperlukan  untuk  perolehan status BLU Penuh bagi BLU‐Pusat P2H. 

Page 99: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

  91 

   

6. Selain konsep SAK Nirlaba, seharusnya BLU‐Pusat P2H juga menganut SAK Perbankan  sesuai  dengan  jenis  layanan  yang  diberikannya  kepada masyarakat.  

7. Seharusnya Laporan Keuangan dan Laporan Kinerja BLU‐Pusat P2H dapat dipublikasikan sesuai dengan prinsip transparansi dan akuntabilitasnya.  

8. Tahap  awal  dalam  kegiatan  operasionalnya,  sebaiknya  BLU  Pusat‐P2H segera menetapkan standar penyusunan dan evaluasi kelayakan proposal bagi  pengajuan  pinjaman  yang  harus  dipenuhi  oleh  nasabah.  Sehingga setelah dana bergulir diterima, dana  tersebut dapat  langsung disalurkan kepada nasabah. 

9. BLU‐Pusat P2H juga harus memiliki data yang jelas mengenai luasan hutan rusak  yang  akan  dibangun  dan  sesuai  dengan  prioritasnya.  Sehingga  di periode  selanjutnya  data  hutan  yang  akan  dibangun  lebih  jelas  sebagai acuan  dalam  penentuan  dana  yang  akan  diberikan  oleh  Departemen Keuangan,  tentunya  dengan  kesesuaian  standar  biaya  pembangunan hutan tanaman yang telah dihitung pula. 

10. Proses  pengukuhan  kawasan  hutan  harus  didahului,  inventarisasi  hutan yang  sesuai  dengan  kondisi  lapangan  guna  menghindari  persoalan sengketa lahan dengan masyarakat setempat di kemudian hari. 

11. Harus  diselenggarakan  suatu  pelatihan  untuk  peningkatan  kemampuan teknis  dan  keuangan  dari  Debitur  terutama  bagi  kelompok  tani  dan koperasi  untuk  meminimalisir  kegagalan  pembayaran  pinjaman  yang diberikan. 

12. Menteri  Kehutanan  segera  menetapkan  mekanisme  atau  prosedur operasi standar dalam memutuskan pinjaman yang bagaimana yang layak dihapuskan, termasuk ketentuan mengenai agunan/jaminan dan prosedur yang  jelas untuk mengeksekusi  sita  jaminan/agunan atas pinjaman yang gagal bayar. 

 

 

 

REFERENSI 1. Badan  Layanan  Umum  Badan  Pembiayaan  Pembangunan  Hutan  (BLU‐

BP2H),  Departemen  Kehutanan  pada  acara  diskusi  panel  “BP2H  Sebagai Solusi atau Bukan?”. 4 Juli 2007. 

Page 100: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan ­ 92  2008  

2. Badan  Pembiayaan  Pembangunan  Hutan:  Solusi  Syarat  Risiko,  ELSDA Institute. 2007. 

3. Hutan  Indonesia  Dikhawatirkan  Punah  dalam  Jangka  15  Tahun,  Suara Pembaruan 23 Mei 2007. 

4. Menko  Perekonomian  diminta  Menunda  BLU  Kehutanan,  Kompas  8 September 2006. 

5. Pembinaan  BLU  oleh  Menteri  Keuangan,  Departemen  Keuangan  pada acara diskusi panel “BP2H Sebagai Solusi atau Bukan?”. 4 Juli 2007. 

6. Peraturan  Menteri  Kehutanan  No.  P.31/MENHUT‐II/2007  Tentang Organisasi dan Tata Kerja Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan. 

7. Peraturan Menteri Keuangan No. 119/PMK.05/2007 Tentang Persyaratan Administratif  dalam  rangka  Pengusulan  dan  Penetapan  Satuan  Kerja Instansi Pemerintah untuk Menerapkan Pengelolaan Keuangan BLU.  

8. Peraturan  Menteri  Keuangan  No.  109/  PMK.05/  2007  Tentang  Dewan Pengawas Badan Layanan Umum 

9. Peraturan Menteri  Keuangan  No.  73/  PMK.05/2007  Tentang  Perubahan atas  Peraturan  Menteri  Keuangan  No.  10/2006  tentang  Pedoman Penetapan  Remunerasi  bagi  Pejabat  Pengelola,  Dewan  Pengawas,  dan Pegawai BLU. 

10. Peraturan Menteri Keuangan No. 08/PMK.02/2006  Tentang Kewenangan Pengadaan Barang/Jasa pada BLU. 

11. Peraturan  Menteri  Keuangan  No.  66/  PMK.022006  Tentang  Tata  Cara Penyusunan,  Pengajuan,  Penetapan,  dan  Perubahan  Rencana  Bisnis  dan Anggaran serta Dokumen Pelaksanaan Pelaksanaan Anggaran BLU. 

12. Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. 

13. Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2002 Tentang Dana Reboisasi. 

 

 

Page 101: ELSDA Institute Annual Position Paper - Tracing Evil in Forestry Sector

 

 

    Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan    Catatan  awal  tahun  ELSDA  Institute  ini memberikan  hindsight  kepada 

para  pembacanya  tentang  kenapa  peran  ekonomi  kehutanan  yang 

besar  dalam  membatu  bangsa  Indonesia  keluar  dari  berbagai  krisis 

ekonomi  sepanjang  40  tahun  ini  gagal menyelesaiakan masalah  yang 

fundamental di Indonesia, yaitu kemiskinan dan kelestarian hutan. 

 

‐ Bambang Setiono