Upload
grahat-nagara
View
1.205
Download
2
Tags:
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Hutan yang dieksploitasi oleh industri kehutanan ini tidakdikelola secara lestari dan gagal mengatasi kemiskinan diwilayah yang kaya dengan hutan. Menurut Bank Dunia, Indonesia telah kehilangan hutan rata‐rata sebesar 2 juta hektar per tahun. Hutan yang rusak telah mencapai 59,2 juta hektar dari total 120 juta hektar kawasan yang diklaim sebagai kawasan hutan (Menteri Negara Lingkungan Hidup, StatusLahan Hutan Indonesia 2006). Selain menghadapi bencana karena kerusakan hutan, rakyat Indonesia juga tidak menikmati keuntungan ekonomi yang diperoleh oleh para perusahaan dibidang kehutanan. Banyak perusahaan kehutanan yang selalu menyatakan rugi sehingga tidak pernah membayar pajak dan bahkan pada saat krisis keuangan karena jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap nilai dollar Amerika Serikat, perusahaan‐perusahaan kayu yang seharusnya menerima windfall profit dari tingginya nilai dollar secara beramai‐ramai menyatakan rugi dan tidak mampu membayar hutangnya. Disamping tidak menerima keuntungan dari kegiatan kehutanan diwilayahnya serta harus menghadapi bencana, penduduk yang berada disekitar hutan juga sering menjadi korban penegakan hukum yang tidak adil. Para penegak hukum Indonesia masih terpaku kepada memburu orang‐orang yang dapat dibuktikan di pengadilan melakukan proses perusakan hutan. Sehingga penyidikan yang mereka lakukan difokuskan lebih kepada adanya bukti kayu yang ditebang secara ilegal dan orang yang menebang serta membawa kayu ilegal tersebut. Orang yang memerintahkan (umumnya secara lisan) baik untuk melakukan penebangan,pengangkutan, dan menadah kayu ilegal tersebut tidak pernah disentuh. Mereka yang menikmati keuntungan ekonomi dari bisnis menggunakan kayu ilegal tidak pernah terjerat hukum.
Citation preview
ELSDA Institute
02
ELSDA Institute
02
CATATAN AWAL TAHUN 2008
Menelusuri Kejahatan
Bisnis Kehutanan
ELSDA Institute, Jakarta
Penulis
1. Triana Ramdhani, S.E., Financial Analyst
2. Albert Hasudungan, S.E., Financial Analyst
3. Zainal Arifin, S.H., Legal Analyst
4. Grahat Nagara, S.H., Legal Analyst
Diterbitkan Oleh:
Lembaga Ekonomi Lingkungan dan Sumber Daya Alam (ELSDA Institute)
Manggala Wanabakti Building IV/Room 509 A
Jl. Gatot Soebroto Jakarta Pusat, 10270, Indonesia
Telepon : +6221‐5711309/ 57902778
Fax : +6221‐5711309
ELSDA Institute, adalah sebuah lembaga yang terbentuk atas
keprihatinan terhadap kondisi sumberdaya alam Indonesia saat ini.
Kami membangun kekuatan dengan menggalang para professional di
bidang hukum dan akuntansi. Kekuatan kami bertumpu pada kedua
bidang tersebut. Dua bidang yang selama ini dirasakan belum
optimal berperan dalam penyempurnaan pengelolaan lingkungan
dan sumberdaya alam yang lestari.
ISBN
Hak Cipta © ELSDA Institute, 2008
Cetakan Pertama, Februari 2008
Hak cipta dilindungi Undang‐undang. Dilarang mengutip atau
menyebarkan sebagian atau keseluruhan isi buku tanpa izin tertulis
dari penerbit.
KATA PENGANTAR
Hutan adalah kekayaan rakyat Indonesia yang dikuasai oleh negara dan seharusnya
dipergunakan sebesar‐besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pemerintah sebagai pemegang
kekuasaan negara telah mengeluarkan kebijakan dibidang kehutanan dan industri
kehutanan yang telah menghasilkan sebuah industri kehutanan dengan nilai milyaran
dollar. Ekspor komoditi berbasis kayu telah mencapai rata‐rata US$ 5 milyar per tahun atau
sekitar Rp.45 trilliun per tahun. Bisnis kehutanan juga menghasilkan Penerimaan Bukan
Pajak (PNBP) yang besar untuk Pemerintah Pusat. Perusahaan kehutanan harus membayar
kurang lebih US$13,5 per m3 untuk setiap kayu yang diambil dari hutan‐hutan alam dan
hutan tanaman yang dibiayai dari uang negara. Jika hutan telah memberikan kayu sebesar
60 juta m3 kayu setiap tahunnya kepada perusahaan kayu di Indonesia, Pemerintah Pusat
seharusnya telah menerima PNBP kehutanan senilai US$ 810 juta atau setara Rp.7,29
triliun setiap tahunnya. Dana kehutanan ini kemudian bisa digunakan untuk membangun
Indonesia khususnya daerah yang kaya dengan hutan.
Peran ekonomi kehutanan ini tidak diragukan lagi telah mengeluarkan bangsa
Indonesia dari masa‐masa yang sulit pada era Orde Lama maupun Orde Baru. Bisnis hutan
telah mendatangkan devisa yang diperlukan pemerintah untuk mengimpor kebutuhan
pokok seperti beras dan menyelesaikan hutang PERTAMINA yang jika tidak ditanggulangi
dapat menhancurkan perekonomian Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan
oleh karena sumbangan devisa dari bisnis hutan ini akhirnya telah berhasil mengangkat
kualitas hidup sebagian besar bangsa Indonesia. Kemiskinan dan mahalnya harga‐harga
barang dapat distabilkan dengan devisa dari hutan. Hutan kembali berperan
menyelamatkan bangsa Indonesia pada saat krisis keuangan pada tahun 1997.
Perusahaan‐perusahaan pulp dan plywood dizinkan terus beroperasi dengan kapasitas
normalnya untuk menghasilkan devisa yang dibutuhkan untuk menyelamatkan
perokomian Indonesia. Walaupun untuk mencapai hal ini tidak sedikit biaya yang harus
dibayar oleh rakyat Indonesia. Hutang‐hutang perusahaan ini yang bernilai triliuan rupiah
dihapuskan oleh pemerintah dan menjadi beban APBN setiap tahunnya. Pemerintah
berhutang miliaran dollar untuk membiayai penghapusan hutang‐hutang tersebut yang
bunga serta cicilan hutangnya setiap tahun mencapai 30 persen dari total APBN.
Namun sayangnya, hutan yang dieksploitasi oleh industri kehutanan ini tidak
dikelola secara lestari dan gagal mengatasi kemiskinan diwilayah yang kaya dengan hutan.
Menurut Bank Dunia, Indonesia telah kehilangan hutan rata‐rata sebesar 2 juta hektar per
tahun. Hutan yang rusak telah mencapai 59,2 juta hektar dari total 120 juta hektar
kawasan yang diklaim sebagai kawasan hutan (Menteri Negara Lingkungan Hidup, Status
Lahan Hutan Indonesia 2006). Selain menghadapi bencana karena kerusakan hutan, rakyat
Indonesia juga tidak menikmati keuntungan ekonomi yang diperoleh oleh para perusahaan
dibidang kehutanan. Banyak perusahaan kehutanan yang selalu menyatakan rugi sehingga
tidak pernah membayar pajak dan bahkan pada saat krisis keuangan karena jatuhnya nilai
tukar rupiah terhadap nilai dollar Amerika Serikat, perusahaan‐perusahaan kayu yang
seharusnya menerima windfall profit dari tingginya nilai dollar secara beramai‐ramai
menyatakan rugi dan tidak mampu membayar hutangnya. Disamping tidak menerima
keuntungan dari kegiatan kehutanan diwilayahnya serta harus menghadapi bencana,
penduduk yang berada disekitar hutan juga sering menjadi korban penegakan hukum yang
tidak adil. Para penegak hukum Indonesia masih terpaku kepada memburu orang‐orang
yang dapat dibuktikan di pengadilan melakukan proses perusakan hutan. Sehingga
penyidikan yang mereka lakukan difokuskan lebih kepada adanya bukti kayu yang ditebang
secara ilegal dan orang yang menebang serta membawa kayu ilegal tersebut. Orang yang
memerintahkan (umumnya secara lisan) baik untuk melakukan penebangan,
pengangkutan, dan menadah kayu ilegal tersebut tidak pernah disentuh. Mereka yang
menikmati keuntungan ekonomi dari bisnis menggunakan kayu ilegal tidak pernah terjerat
hukum.
Catatan awal tahun ELSDA Institute ini memberikan hindsight kepada para
pembacanya tentang kenapa peran ekonomi kehutanan yang besar dalam membatu
bangsa Indonesia keluar dari berbagai krisis ekonomi sepanjang 40 tahun ini gagal
menyelesaiakan masalah yang fundamental di Indonesia, yaitu kemiskinan dan kelestarian
hutan. ELSDA Institute melihat praktek akuntansi perusahaan kehutanan, program
ekonomi berbasis lingkungan, dan penegakan hukum dibidang kehutanan. Analisis atas
ketiga persoalan ini dapat memberikan informasi kepada pembacanya tentang tanggung
jawab perusahaan kehutanan untuk lebih transparan dan akuntabel terhadap sumber kayu
yang dipergunakan, kewajiban pembayaran PNBP kehutanan, dan investasi dibidang
kehutanan dan social. Analisis ELSDA juga dapat membantu peningkatan efektivitas
penegakan hukum atas pelanggaran hukum yang dilakukan oleh perusahaan kehutanan
atau pejabat kehutanan yang seharusnya mengawasi perusahaan ini.
Informasi dan analisis yang dilakukan ELSDA Institute ini sangat diperlukan untuk membuat
hutan menjadi sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat Indonesia secara keseluruhan
seperti yang dicita‐citakan oleh pendiri bangsa ini.
Bambang Setiono
Research Fellow
Forest and Governance Program
Center for International Forestry Research (CIFOR)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
iii
DAFTAR ISI
vi
LAPORAN ANALISIS LAPORAN KEUANGAN
PERUSAHAAN KEHUTANAN 2007
‐ Triana Ramdhani, S.E.
1
DEBT FOR NATURE SWAP TAMAN NASIONAL
DAN PELUANG KE DEPAN
‐ Albert Hasudungan, S.E.
13
HUTAN HANCUR KORUPSI TUMBUH SUBUR
‐ Muhamad Zainal Arifin, S.H.
21
MELIHAT UANG HARAM PERUSAK HUTAN
YANG KEBAL HUKUM
‐ Grahat Nagara, S.H.
53
CATATAN BADAN LAYANAN UMUM 2007
‐ Triana Ramdhani, S.E.
79
1
LAPORAN ANALISIS KEUANGAN
PERUSAHAAN KEHUTANAN 2007
“Berbicara tentang perusahaan, laporan keuangan merupakan informasi pengungkapan secara rinci kondisi keuangan yang berasal dari kegiatan operasional perusahaan. Maka sudah seharusnya fakta yang ada di perusahaan terungkap dalam laporan keuangan.”
Triana Ramdani, Financial Analyst
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 2 2008
PENDAHULUAN Sangat ironis, perkembangan industri kehutanan yang begitu
menguntungkan tidak sejalan dengan pengelolaan lingkungan yang sustainable. Setelah mengeruk hasil kekayaan alam yang terkandung di dalam hutan, perusahaan‐perusahaan kayu begitu saja membiarkan hutan menjadi gundul dan tidak bermanfaat sama sekali.
Secara konservatif, pabrik‐pabrik yang terkait dengan hutan (bubur kayu, kayu lapis, dan kayu gergajian) membutuhkan lebih dari 60 juta m3 kayu, sementara hutan alam, hutan tanaman, dan hutan masyarakat hanya dapat memproduksi secara legal dan berkelanjutan sekitar 20 juta m3 kayu.1 Jika kondisi ini dibiarkan berlanjut, kita akan kehilangan dua hal sekaligus yaitu lingkungan hidup dan SDA serta kekuatan ekonomi dari perusahaan berbasis SDA.2
Berbicara tentang perusahaan, laporan keuangan merupakan informasi pengungkapan secara rinci kondisi keuangan yang berasal dari kegiatan operasional perusahaan. Maka sudah seharusnya fakta yang ada di perusahaan terungkap dalam laporan keuangan. Tapi apa yang terjadi pada laporan keuangan perusahaan yang berbasis SDA khususnya kehutanan? Kondisi hutan yang rusak tidak sama sekali terungkap dalam laporan keuangannya. Tanya kenapa?
Seharusnya pihak berwenang lah yang menyatakan wajibnya pengungkapan kondisi SDA dalam laporan keuangan bagi perusahaan yang berbasis SDA. Harus dibuat standar atas pengungkapan kondisi SDA tersebut. Saat ini aturan mengenai standar‐standar penyusunan laporan keuangan dinyatakan dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK).
1 Bambang Setiono dan Yunus Husein, “Memerangi Kejahatan Kehutanan dengan Mendorong Prinsip Kehati‐hatian Perbankan untuk Mewujudkan Pengelolaan Hutan yang Berkelanjutan: Pendekatan Anti Pencucian Uang”, CIFOR Occasional Paper No. 44 (i), CIFOR, Bogor, 2005, hlm 4.
2 Bambang Setiono (CIFOR) dan Mulyadi Noto (ELSDA Institute), “Indikator dan Instrumen untuk Mendeteksi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan yang Tidak Berkelanjutan: Pendekatan Analisis Keuangan”, Diskusi Panel “Menghilangkan Korupsi dan Pencucian Uang di Bidang Kehutanan”. ELSDA Institute, Jakarta, 31 Mei, 2007, hlm 1.
3
Organisasi IAI (Ikatan Akuntan Indonesia) merupakan pihak yang berwenang dalam penentuan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) bagi perusahaan. Standar‐standar yang ditetapkan wajib diterapkan oleh setiap perusahaan dalam penyusunan laporan keuangan sesuai dengan bidang usahanya. Maka sudah selayaknya standar yang dibuat bisa benar‐benar mewakili gambaran kegiatan dan keadaan dari perusahaan.
Khusus untuk Akuntansi Kehutanan, disinyalir bahwa tidak memadainya PSAK 32 yakni tentang Kehutanan, mengakibatkan perusahaan‐perusahaan kehutanan dengan mudah untuk tidak mengungkapkan hal‐hal penting mengenai aktivitasnya. Misalnya untuk jumlah bahan baku yang digunakan selain dilaporkan dengan satuan moneter, seharusnya dilaporkan juga dengan satuan dari bahan baku tersebut, seperti kayu dengan meter kubiknya.
Jika dalam aturannya memang tidak diwajibkan untuk dilaporkan, maka pihak auditor pun sebagai pemeriksa laporan keuangan tidak bisa berbuat apa‐apa. Laporan yang disajikan akan tetap benar di mata auditor karena telah sesuai dengan aturan standar yang ditetapkan. Padahal dari penjelasan jumlah bahan baku saja, bisa dengan mudah diketahui apakah perusahaan kehutanan terindikasi melakukan penyimpangan seperti illegal logging atau tidak. Dengan PSAK yang memadai niscaya maraknya kejahatan kehutanan di kalangan perusahaan akan bisa dicegah.
Inisiatif strategis Akuntan Indonesia benar‐benar ditunggu guna membantu mengoperasionalisasikan kebijakan perlindungan lingkungan hidup yang sudah dan akan digariskan pemerintah. Deloitte Touche Tohmatsu telah memulai tahun 2002 dengan mengembangkan Sustainablitiy Reporting Scorecard untuk pelaporan. Selain itu, Global Reporting Initiative (GRI) juga mengembangkan indikator kinerja ekonomi, lingkungan hidup, dan sosial sebagai acuan pelaporan perusahaan. Saat ini, indikator tersebut sudah digunakan secara luas di 460 negara, di 45 negara sebagai best practices dalam pelaporan, yang kemudian dikembangkan oleh masing‐masing negara atau bahkan oleh perusahaan yang bersangkutan.3
3 Heli Restiati, “Mengintip Kejahatan Lingkungan
lewat Laporan Keuangan Perusahaan”, Biru Voice Tahun I (1), 1 November, 2007.
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 4 2008
ATURAN IKATAN AKUNTAN INDONESIA Aturan mengenai penyusunan laporan keuangan perusahaan yang
bergerak di bidang kehutanan ditetapkan pada PSAK 32. Namun, sangat disayangkan karena aturan yang ditetapkan tidak dapat dikatakan cukup mewakili atas kegiatan dan keadaan perusahaan. Padahal sesuai dengan pengertiannya yang dimaksud dengan laporan keuangan adalah ringkasan dari seluruh aktivitas perusahaan dalam kurun waktu satu periode.
Dalam PSAK tersebut tidak dinyatakan bahwa perusahaan harus mengungkapkan jumlah dan sumber bahan baku yang digunakan dalam bentuk satuannya. Pada paragraf 11 PSAK 32 mengenai Laporan Laba Rugi, hanya dijelaskan ”Harga Pokok Penjualan harus disajikan masing‐masing untuk kayu tebangan dan kayu olahan.”
Selain itu aturan‐aturan yang dimuat dalam PSAK 32 hanya mencakup aturan untuk perusahaan HPH saja, tidak untuk perusahaan pulp and paper. Sementara perusahaan pulp and paper justru yang lebih berbahaya terhadap pengelolaan lingkungan karena banyak menggunakan zat‐zat kimia yang bisa merusak lingkungan. Tingkat produksi perusahaan HPH juga dapat tergantung dari kebutuhan industri pulp and paper.
KONTRIBUSI ELSDA Untuk melihat performa dari suatu perusahaan adalah dengan
menganalisis laporan keuangannya. Analisis yang digunakan pun bisa bermacam‐macam tergantung dari kebutuhan si analisnya. Misalnya, untuk mengidentifikasi penyimpangan yang dilakukan perusahaan dalam pemenuhan bahan bakunya, yang harus dilakukan adalah menganalisis struktur Harga Pokok Penjualan (HPP), kegiatan HPH (Hak Pengusahaan Hutan), dan kapasitas produksinya.
Selama ini perusahaan tidak lagi bijak dalam melakukan kegiatan pemanfaatan SDA yang berkelanjutan. Dan belum ditemukan cara yang tepat untuk mengidentifikasi ketidakpatuhan yang dilakukan oleh perusahaan dalam eksploitasi hutan yang berkelanjutan, yang mengakibatkan kerugian negara.
5
Atas keprihatinan terhadap kondisi di atas, ELSDA mencoba menyusun beberapa indikator keuangan yang bisa menjelaskan penyimpangan tersebut. Dimana meskipun tetap untuk sebagian unsur menggunakan asumsi, paling tidak bisa diketahui gambaran dari kegiatan perusahaan sebenarnya yang tidak terungkap dalam laporan keuangan.
Adapun indikator‐indikator keuangan yang ditetapkan adalah Jumlah dan Sumber Pemakaian Bahan Baku, Jumlah Pemakaian Bahan Perusak Lingkungan, Jumlah Pembayaran Pajak dan PNBP, Arus Kas Keluar, dan Laba Perusahaan. Berdasarkan analisis keuangan yang dilakukan atas instrumen tersebut, sejumlah indikator umum pengelolaan SDA dan lingkungan yang tidak berkelanjutan yang mengarah pada indikasi penyimpangan pengelolaan kehutanan bisa diketahui.
Indikator Jumlah dan Sumber Pemakaian Bahan Baku akan memberikan indikasi tentang seberapa besar perusahaan telah mengeksplorasi sumber daya alam. Informasi ini berguna untuk menilai seberapa jauh perusahaan telah menerapkan kebijakan pengelolaan SDA yang berkelanjutan.
Sementara itu, jumlah pemakaian bahan perusak lingkungan adalah indikator seberapa besar perusahaan telah menggunakan bahan‐bahan kimia dan energi yang memberikan kontribusi kepada pemanasan global dan kerusakan air sungai dan lingkungan hidup lainnya. Termasuk dalam indikator ini adalah jumlah pemakaian energi untuk pembangkit listrik, mercuri, dan bahan‐bahan racun lainnya.
Jumlah Pembayaran Pajak dan (PNBP) yang telah dilakukan oleh perusahaan. Jumlah pembayaran pajak dan PNBP akan memberikan indikasi tentang konsistensi antara jumlah SDA yang telah diambil oleh perusahaan dengan total kewajiban perusahaan kepada negara sebagai akibat eksploitasi tersebut. Perusahaan yang mendukung kelestarian SDA secara minimal akan membayar seluruh kewajiban pajak dan PNBP dengan benar dan tepat waktu.
Jumlah Arus Kas perusahaan yang dialirkan ke luar bisnis perusahaan di bidang SDA akan memberikan indikasi minimnya komitmen perusahaan kepada upaya pelestarian SDA dan kesinambungan usahanya. Jika sebagian besar arus kas perusahaan yang diperoleh dari bisnis SDA disalurkan ke pihak afiliasi dan pihak ketiga di bidang non SDA terkait, kemampuan perusahaan untuk melakukan rehabilitasi dan regenerasi SDA akan sangat kecil.
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 6 2008
Laba Perusahaan bisa dilihat dari struktur labanya, apakah perusahaan benar‐benar konsisten dengan usahanya atau tidak. Jika laba usahanya minus sedangkan laba bersih tinggi, maka konsistensi perusahaan terhadap usahanya patut dipertanyakan. Perolehan laba yang tidak normal atau bahkan perusahaan rugi terus tapi jalan terus, patut menjadi pertanyaan apa sebenarnya fokus dari kegiatan utamanya di bidang pemanfaatan sumber daya alam, khususnya kehutanan.
Saat ini dari delapan perusahaan kehutanan yang Tbk, baru dua perusahaan yang dianalisis oleh ELSDA. Yakni PT XYZ dan ABC. Keduanya merupakan perusahaan yang bergerak di bidang HPH. Berikut kesimpulan dari analisis yang dilakukan dengan menggunakan indikator keuangan umum ELSDA pada kedua perusahaan itu:
JUMLAH DAN SUMBER PEMAKAIAN BAHAN BAKU Dilihat dari komitmen yang ditetapkan perusahaan untuk concern
dalam pembangunan HTI sebagai salah satu sumber bahan bakunya, berarti menunjukkan adanya kepatuhan terhadap pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Akan tetapi setelah melihat laporan keuangannya ternyata kedua perusahaan tersebut tidak melaksanakan komitmennya untuk membangun HTI.
Tabel 1.Penambahan HTI dan HTI dalam Pengembangan
Sumber: Laporan Keuangan PT XYZ dan ABC 2003‐2006
Seperti yang disajikan, tidak ada investasi yang signifikan terhadap HTI dibandingkan dengan nilai aset yang dimilikinya. Hal itu akan lebih diulas pada pembahasan Arus Kas yang kembali ke Hutan. Selain itu ketidak
Ketarangan 2003 2004 2005 2006
PT XYZ (Rp)
HTI 426.689.488.624 85.995.564.009 ‐ ‐
HTI dalam Pengembangan
7.771.128.018 2.298.679.055 2.556.374.722 385.761.960
PT ABC (Rp)
HTI ‐ ‐ ‐ 57.737.372
HTI dalam Pengembangan
1.770.898.231 ‐ 12.144.007.404 18.310.118.940
7
konsistenan kedua perusahaan dalam penambahan HTI juga ditunjukkan dengan tidak melakukan investasi pada HTI setiap periode.
Setelah memperhatikan implementasi komitmen perusahaan dalam pembangunan HTI, selanjutnya harus ditelusuri perusahaan menggunakan sumber kayunya dari mana. Analisis terhadap penambahan HTI di atas akan membantu untuk menyesuaikan penggunaan kayu pada periode tersebut dengan melihat berapa kayu yang digunakan dan berapa kayu yang di panen dari HTI.
Jika terjadi ketidaksinkronan, maka perusahaan terindikasi tidak patuh terhadap pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Asumsinya, selain dari HPH dan HTI atau pembelian, dari mana lagi perusahaan memperoleh kayunya selain dari hutan alam.
Sayangnya, data‐data pendukung untuk menganalisis kapasitas HTI, kapasitas HPH, dan Dokumentasi Pembelian yang dibutuhkan belum tersedia dalam kedua laporan keuangan perusahaan itu. Sehingga analisis jumlah dan sumber bahan baku belum mampu mendeteksi indikasi ketidakpatuhan pengelolaan kehutanan.
Dengan data yang terbatas, ELSDA tetap berusaha melakukan analisis terhadap jumlah bahan baku kayu bulat yang digunakan, khususnya dalam satuan meter kubik. Informasi yang dapat diperkirakan seputar Jumlah dan Sumber Bahan Baku Kayu yang digunakan Perusahaan menggunakan PP No. 74 Tahun 1999 Tentang Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku Pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Dalam hal ini diasumsikan bahwa harga rata‐rata kayu per meter kubik adalah Rp 431.000.
Tabel 2. Pemakaian Kayu Bulat Keterangan 2003 2004 2005 2006
PT XYZ Tidak dibahas karena tidak diketahui unsur HPH dan HTI atas kayu yang dipergunakan. Pemakaian Kayu (Rp) 854,97 M (HPH)
363,13 M (HTI)
Pemakaian Kayu (m3) 1.983.694 (HPH) 842.532 (HTI)
PT ABC
Pemakaian Kayu (Rp) 192,6 M 204,8 M 196,6 M 263,3 M
Pemakaian Kayu (m3) 446.922 475.375 456.253 611.046
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 8 2008
Sumber: Paper Indikator dan Instrumen untuk Mendeteksi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan yang Tidak Berkelanjutan: Pendekatan Analisis Keuangan, 2007 dan Laporan Keuangan Perusahaan PT XYZ dan PT ABC 2003‐2006.
Dari informasi di atas, terlihat bahwa tidak ada keseragaman pengungkapan mengenai jumlah dan sumber kayu bulat bagi setiap perusahaan. Bahkan untuk PT XYZ perbedaan penyajian jumlah dan sumber bahan baku terjadi antara periode 2003 dengan 2004 dan seterusnya.
Penggunaan Sumber Daya Alam yang jelas tidak tersaji dalam laporan keuangan kedua perusahaan, sehingga tidak diketahui berapa bahan baku sebenarnya yang digunakan. Kemungkinan hal itu sengaja dilakukan untuk menyamarkan asal kayu yang sebenarnya. Maka kedua perusahaan terindikasi tidak patuh pada pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.
JUMLAH PEMAKAIAN BAHAN PERUSAK LINGKUNGAN Untuk indikator ini tidak dilakukan analisis, karena indikator ini
hanya untuk perusahaan pulp and paper.
JUMLAH PEMBAYARAN PAJAK DAN PNBP Informasi mengenai jumlah DR dan PSDH yang sebenarnya harus
dibayar juga tidak bisa diketahui dengan pasti karena informasi jumlah sumber bahan bakunya sendiri tidak dikatahui. Sehingga tidak bisa diklarifikasi kebenarannya. Dan upaya untuk tidak membayar DR/PSDH pun bisa dilakukan. Hal itu akan menimbulkan kerugian negara yang tidak sedikit.
ARUS KAS KELUAR Dari analisis arus kas keluar ini dapat diketahui dengan jelas
concern perusahaan terhadap pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Yaitu dengan membandingkan berapa kas yang dialokasikan untuk pembangunan hutan dan kas yang dialokasikan ke pos lain.
9
Tabel 3. Arus Kas untuk Hutan
Ketarangan 2003 2004 2005 2006
PT XYZ
Arus Kas untuk HTI (Rp) 11,59 M 4,69 M 5,36 M 1,62 M
Mutasi Kas Keluar (m3) 2.195,13 M 1.409,11 M 1.127,25 M 847,73 M
Persentase Kas untuk HTI terhadap Total Kas Keluar (%)
0,53 0,33 0,47 0,19
PT ABC
Arus Kas untuk HTI (Rp) 1,7 M ‐ 12,1 M 18,3 M
Mutasi Kas Keluar (m3) 783,1 M 872,8 M 874,0 M 1.154,4 M
Persentase Kas untuk HTI terhadap Total Kas Keluar (%)
0,24 0,00 1,39 1,59
Sumber: Paper Indikator dan Instrumen untuk Mendeteksi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan yang Tidak Berkelanjutan: Pendekatan Analisis Keuangan, 2007 dan Laporan Keuangan Perusahaan PT XYZ dan PT ABC 2003‐2006.
Tabel di atas menunjukkan informasi angka yang sangat fantastik. Sungguh sangat ironis, perusahaan yang bergerak di bidang kehutanan tapi justru uang yang dikeluarkan untuk hutan tidak mencapai 2% pun. Jelas hal itu membuktikan ketidakpatuhan perusahaan terhadap pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.
LABA PERUSAHAAN Indikator terakhir yang akan dibahas adalah mengenai performa
laba perusahaan yang akan menginformasikan kualitas going concern suatu perusahaan. Berikut data yang diambil dari laporan keuangan PT XYZ dan PT ABC:
Tabel 4. Performa Laba/Rugi PT XYZ dan PT ABC
Ketarangan 2003 2004 2005 2006
PT XYZ (Rp Jutaan)
Pejualan Bersih 1.871.209 1.278.060 818.030 451.028
Laba (Rugi) Kotor (20.778) 241.150 9.851 (22.500)
Laba (Rugi) Usaha (287.641) 56.417 (199.777) (191.819)
Laba (Rugi) sebelum PPh 104.806 (144.592) 355.165 16.518
Laba (Rugi) Bersih 229.581 (143.276) 686.842 7.190
PT ABC (Rp Jutaan)
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 10 2008
Pejualan Bersih 689.608 773.559 829.103 703.992
Laba (Rugi) Kotor (10.576) 90.584 91.612 (12.689)
Laba (Rugi) Usaha (73.986) 17.342 26.301 (90.870)
Laba (Rugi) sebelum PPh (162.603) (6.346) (12.480) 1.637
Laba (Rugi) Bersih (155.867) 163.427 12.846 (53.109)
Sumber: Paper Indikator dan Instrumen untuk Mendeteksi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan yang Tidak Berkelanjutan: Pendekatan Analisis Keuangan, 2007 dan Laporan Keuangan Perusahaan PT XYZ dan PT ABC 2003‐2006. Untuk PT XYZ, Laba Usaha terus mengalami kerugian selama tiga
periode, hal itu menunjukkan bahwa perusahaan tidak concern dengan bisnis utamanya yaitu di bidang kehutanan. Sedangkan untuk Laba Bersihnya justru hanya mengalami satu kali rugi. Itu menunjukkan adanya fokus lain yang justru menjadi bisnis utamanya. Dimana perusahaan memperoleh keuntungan yang lebih menjanjikan dari pada bisnis kehutanan. Status perusahaan kehutanan hanya sebagai kedok untuk mengeruk keuntungan saja.
Untuk PT ABC, meskipun dua dari empat periode yang dianalisis mengalami kerugian, hal itu dianggap masih dalam tahap wajar. Begitu pun untuk perolehan Laba Bersihnya, perusahaan masih berada dalam tahap kewajaran. Namun demikian perlu dilakukan analisis lebih lanjut untuk mengetahui secara rinci transaksi keuangan yang terjadi di dalamnya.
11
KENDALA DALAM ANALISIS LAPORAN KEUANGAN PERUSAHAAN KEHUTANAN 1. Aturan‐aturan yang dimuat dalam PSAK 32 hanya mencakup aturan untuk
perusahaan HPH saja, sedangkan untuk perusahaan pulp and paper tidak diatur.
2. Minimnya aturan mengenai pengungkapan atau disclosure atas kondisi lingkungan atau yang berkaitan dengan kepentingan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan menyulitkan untuk mengklarifikasi kebenaran dari laporan keuangan yang disajikan.
3. Penghitungan kerugian negara atas terjadimya illegal logging yang masih bias. Apakah negara dirugikan hanya berdasarkan DR dan PSDH yang tidak dibayar, atau berdasarkan nilai tegakan pohon yang di tebang. Atau justru berdasarkan keduanya ditambah dengan nilai kerusakan biodiversity dan keuntungan yang diperoleh para cukong kayu.
REKOMENDASI 1. Perlu dilakukan upaya yang sungguh‐sungguh untuk menghentikan proses
penghancuran lingkungan dan SDA. Kebijakan pembangunan ekonomi untuk mendorong lahirnya industri berbasis sumber daya alam perlu dimonitor dan dikaji agar lebih berpihak kepada upaya‐upaya pelestarian lingkungan dan sumber daya alam.
2. Penelaahan sejumlah kebijakan pembangunan ekonomi: kebijakan investasi, kebijakan keuangan, kebijakan pelaporan keuangan dan seterusnya. Salah satu yang menjadi perhatian adalah kebijakan dibidang akuntansi dan pelaporan keuangan. Menurut ELSDA Institute, kebijakan akuntansi dan pelaporan keuangan yang dapat menjelaskan kinerja perusahaan dalam mengelola lingkungan dan SDA akan sangat membantu para stakeholders untuk menilai tanggung jawab perusahaan untuk melestarikan lingkungan hidup dan sumber daya alam.
3. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah mengembangkan sejumlah instrumen pendeteksi (berupa data dan informasi serta laporan yang tersedia di area publik) untuk dilakukan sejumlah analisis keuangan dan analisis hukum, agar dapat mengidentifikasikan sejumlah indikator umum
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 12 2008
pengelolaan SDA dan lingkungan. Indikator umum dapat menjadi digunakan untuk mengibarkan red flag yang akan menstimulasi para pihak terkait untuk menyelidiki lebih lanjut dan lebih detail kemungkinan terjadinya pengelolaan SDA dan lingkungan yang tidak bekesinambungan bahkan mungkin indikasi tindak ketidakpatuhan di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan SDA.
4. Kekurangan pengungkapan dalam laporan keuangan yang menyebabkan hasil analisis belum menghasilkan informasi yang lengkap. Untuk itu, sejumlah rekomendasi berkenaan dengan perbaikan muatan informasi yang harus diungkap dalam laporan keuangan dapat diajukan kepada pihak‐pihak yang berwenang seperti: Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), Departemen Keuangan, Badan Pengelola Pasar Modal (Bapepam).
13
DEBT FOR NATURE SWAP
TAMAN NASIONAL
DAN PELUANG KE DEPAN
“…program Debt For Nature Swap dapat menjadi salah
satu solusi yang cukup baik dalam menangani
kerusakan hutan Indonesia, khususnya pada taman
nasional.”
Albert Hasudungan, Financial Analyst
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 14 2008
PENDAHULUAN Debt swap merupakan mekanisme pengurangan utang yang secara
umum dapat diartikan sebagai pertukaran utang luar negeri dengan ekuitas atau dana dalam mata uang lokal untuk pembiayaan proyek dan atau program pemerintah (Ragimun, 2005). Salah satu komponen dari debt swap itu adalah debt for nature swap, yaitu program pengalihan utang luar negeri untuk digunakan ke dalam pendanaan dan kegiatan konservasi hutan. Saat ini Indonesia mendapat skema penghapusan utang luar negeri, melalui debt for nature swap (DNS) yang berasal dari negara Amerika serikat (AS) dan Jerman. Total komitmen utang luar negeri yang dibebaskan oleh negara Amerika serikat sebesar 19.6 juta dollar AS, sedangkan negara Jerman (melalui green program) berkomitmen untuk menghapuskan utang luar negeri Indonesia sebesar 12.5 juta euro. Program konservasi hutan dari skema pendanaan DNS ini diadakan di taman nasional yang dipandang mengalami ancaman deforestasi hutan, dan berada dalam kondisi membahayakan saat ini.
Mekanisme insentif yang diberikan pemerintah Jerman yaitu Indonesia harus melakukan program konservasi hutan di taman nasional dahulu senilai 50 % dari komitmen utang luar negeri yang dilunaskan, baru pihak Jerman akan membebaskan utang luar negeri demi program konservasi hutan di taman nasional sebesar 12.5 juta euro. Untuk perjanjian dengan Amerika serikat (AS), negara Indonesia mendapat pengalihan utang luar negeri sebesar 19.6 juta dollar AS dengan catatan bahwa utang luar negeri Indonesia dipotong dahulu, kemudian negara Indonesia harus membayar secara bertahap 19.6 juta dollar AS untuk dana perlindungan hutan di taman nasional, yang masih dibahas. Bagi NGO yang ingin menjadi pengawas penggunaan dana konservasi hutan tersebut (board of commitee), harus menyumbangkan dana 20% dari 19.6 juta dollar tersebut per entitas tersebut.
Saat ini program konservasi hutan di taman nasional yang mulai dilaksanakan di Indonesia adalah skema DNS Indonesia dengan pihak Jerman, dengan nilai sebesar 12.5 juta euro. Program yang difokuskan oleh departemen teknis terkait, Dephut, adalah mengkonservasi Taman Nasional (TN) Gunung Leuser, TN Kerinci Seblat, dan TN Bukit Barisan Selatan. Paper ini akan mengkaji secara singkat atas masalah debt for nature swap dan peran ELSDA terhadap fenomena debt for nature swap di Indonesia.
15
ANALISIS SWOT TERHADAP DNS DAN HAL YANG DILAKUKAN ELSDA Pada bagian ini akan dibahas tentang analisis SWOT terkait dengan mekanisme dana DNS di negara Indonesia, dan beberapa kendala yang dihadapi terkait dengan debt for nature swap tersebut.
STRENGTH Hal utama yang perlu digarisbawahi menjadi kekuatan Indonesia,
terkait dengan debt for nature swap, adalah luas hutan di Indonesia yang besar. Menurut sumber data di Departemen Kehutanan, luas hutan Indonesia mencapai 126.97 juta hektar di tahun 2005. Selain itu, Departemen kehutanan juga memiliki 50 taman nasional di Indonesia yang tersebar di seluruh Indonesia. Taman nasional yang dilindungi dari program DNS pun cukup luas areal hutannya, seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Nama Taman Nasional yang Dikonservasi
Nama Taman Nasional Luas Hutan
Taman Nasional Gunung Leuser 1,094,692 Ha
Taman Nasional Kerinci Seblat 1,389,509.87 Ha
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan 365,000 Ha Sumber : Departemen kehutanan‐RI, 2007
Jadi, hal tersebut merupakan faktor yang penting mengapa negara
donor yang sudah ada, yakni Jerman dan Amerika serikat, tertarik bekerjasama dengan negara Indonesia dalam bentuk debt for nature Swap.
WEAKNESS Salah satu kendala yang dihadapi pemerintah dalam mengelola
hutan nasional yang berkelanjutan adalah masih minim dan terbatasnya dana anggaran nasional dari pemerintah Indonesia dalam rangka melakukan upaya perlindungan hutan di Indonesia. Alasannya karena besarnya beban pemerintah untuk menanggung seluruh pembayaran utang luar negerinya tersebut. Ada pun jumlah dan persentase utang luar negeri pemerintah Indonesia dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 16 2008
Tabel 2. Jumlah dan Persentase Utang Luar Negeri Pemerintah
Keterangan Luas Hutan
2002 2003 2004 2005 2006
Jumlah Utang LN (USD Milyar) 74.5 80.9 80.7 78.3 na
Persentase Terhadap PDB (%) 31.5 28.3 25.3 24.5 na Sumber : Data APBN (2002 s/d 2006)‐Departemen Keuangan RI, diolah
Walaupun tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah utang luar
negeri Indonesia sudah mengalami trend yang menurun, namun penurunannya tidak signifikan dibandingkan dengan sisa beban utang yang masih harus ditanggung oleh pemerintah Indonesia. Kalau kita lihat pula dari persentasenya terhadap PDB, porsi utang terhadap PDB juga hanya mengalami penurunan yang tidak signifikan dan menyisakan besarnya sisa porsi utang LN terhadap PDB hingga mencapai 24.5% sampai di tahun 2005. Data itu menyiratkan bahwa pembayaran utang luar negeri yang dilakukan pemerintahpun masih terbatas dan dirasakan kurang signifikan dibandingkan dengan jumlah utang luar negeri Indonesia, yang akumulasi bunganya dapat membahayakan bagi anggaran keuangan negara di masa mendatang. Jadi masih dibutuhkan sumber pembiayaan lain untuk memperkecil utang luar negeri pemerintah, seperti upaya negara kreditor yang menghapuskan utang luar negeri kita, sehingga kebijakan pengeluaran pemerintah untuk membenahi hutan Indonesia bisa dilakukan secara maksimal. Oleh karena itulah program DNS menjadi dapat menjadi salah satu solusi yang cukup baik dalam menangani kerusakan hutan di Indonesia, khususnya pada taman nasional.
Kedua, hal yang masih menjadi kelemahan negara Indonesia adalah implementasi perlindungan hutan Indonesia yang dilakukan pemerintah terkait, khususnya Departemen kehutanan, masih kurang efektif dan efisien. Menurut Departemen kehutanan, hutan di Indonesia masih mengalami akumulasi deforestasi hingga mencapai 59 juta hektar pada tahun 2007. Bila kita perhatikan kembali secara mendetail taman nasional yang rusak di pulau Sumatra juga cukup besar. Berikut ini adalah data kehancuran hutan yang diakumulasi sampai bulan juni tahun 2007 di tiga taman nasional.
17
Tabel 3. Deforestasi Hutan di Beberapa Taman Nasional
Nama Taman Nasional Jumlah Kerusakan
Gunung Leuser 22,559 Ha
Kerinci Seblat 303, 776 Ha
Bukit Barisan Selatan 111,178 Ha Sumber : Departemen Kehutanan, 2007, diolah
Dari tabel tersebut dapat kita lihat bahwa kerusakan taman
nasional Gunung leuser saja bisa mencapai 22,559 Ha. Kalau kita rinci lagi ke bawah, kerusakan hutan yang paling besar terjadi pada taman nasional Kerinci seblat hingga mencapai 303,776 Ha. Oleh karena itulah langkah preventif yang efisien dan efektif untuk melindungi taman nasional tersebut merupakan suatu permasalahan yang perlu diselesaikan oleh pemerintah terkait secepatnya.
OPPORTUNITY Namun di tengah kegetiran dari kelemahan tersebut, kita masih
dilegakan dengan peluang dan kesempatan yang ditawarkan oleh DNS yang sudah diimplementasikan, yaitu DNS Jerman. Salah satu kesempatan yang kita dapatkan adalah penghapusan utang luar negeri dua kali lipat dari negara Jerman terhadap biaya/dana yang telah disepakati untuk konservasi di tiga taman nasional tersebut.
THREAT Hal yang menjadi perhatian penting bagi perlindungan hutan
adalah keefektifan atas implementasinya. Indikator kehancuran taman nasional seperti tabel di atas, hendaknya memacu Departemen kehutanan untuk meningkatkan kinerjanya dalam perlindungan hutan di taman nasional. Ancaman utama yang dihadapi Indonesia atas DNS ini yaitu apabila Departemen kehutanan tidak mampu menyelesaikan program perlindungan hutan di taman nasional secara efektif dan tidak lulus audit auditor independen, maka Indonesia tidak akan mendapat penghapusan utang luar negeri dari negara Jerman tersebut.
Selain itu, apabila kita tidak mampu melindungi dan mengelola dana hutan tersebut secara benar, maka bersiap‐siaplah kita untuk kehilangan kepercayaan dari negara donor yang berniat untuk membantu memberikan dana perlindungan hutan bagi Indonesia.
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 18 2008
Hal lain yang juga perlu diperhatikan bahwa implementasi program perlindungan yang tidak efektif dan efisien dapat membuat kerugian atas anggaran dan keuangan negara. Kerugian tersebut antara lain adalah potensi utang luar negeri yang hilang dan kerugian atas besarnya pengeluaran anggaran nasional atas konsekuensi program perlindungan hutan di taman nasional, yang tidak berhasil diimplementasikan secara tepat dan benar oleh departemen teknis tersebut.
HAL YANG DILAKUKAN ELSDA Pada bagian ini akan dibahas mengenai kegiatan, kendala dan prospek
terkait dengan DNS yang sudah dilaksanakan yaitu dengan pemerintah Jerman.
KEGIATAN YANG DILAKUKAN ELSDA Banyak hal yang dilakukan oleh ELSDA Institute untuk berpartisipasi
dalam mensukseskan program perlindungan hutan dengan skema debt for nature swap tersebut. Pertama, ELSDA Institute mencoba membuat paper yang berkaitan dengan debt for nature swap. Kedua, ELSDA menjalin hubungan dan mencari contact person yang mengurus debt for nature swap yang sudah terlaksana, yakni dengan negara Jerman. Ketiga, ESLDA melakukan berbagai tindakan rekonstruktif demi mensukseskan program perlindungan hutan dengan skema pendanaan debt for nature swap tersebut. Hal yang sudah dilakukan ELSDA Institute diantaranya adalah menggagas forum diskusi BLU Taman Nasional dan Pengelolaan DNS yang diadakan pada tanggal 3 Desember 2007.
KENDALA YANG DIHADAPI ELSDA INSTITUTE Ada beberapa kendala baik yang pernah dihadapi maupun yang
akan dihadapi. Kendala yang paling sering ditemui tertkait dengan DNS ini adalah menghubungi dan bertemu dengan staf dan pejabat terkait di Departemen Kehutanan. Selain itu tantangan lain yang dihadapi ELSDA adalah mengajak Departemen kehutanan supaya ELSDA bisa terlibat di dalam menyukseskan program perlindungan hutan dengan skema DNS tersebut.
19
PROSPEK DNS MENURUT PERSEPSI ELSDA ELSDA memposisikan dirinya sebagai LSM yang berfokus pada ide
follow the money. Jadi hal yang ingin dibantu ELSDA terutama difokuskan pada hal pengelolaan keuangan dari dana DNS Jerman tersebut, supaya dapat membantu mensukseskan keberhasilan program perlindungan hutan di taman nasional tersebut.
Salah satu rencana dan konsep yang ditawarkan oleh ELSDA adalah ingin membantu mengelola keuangan dari DNS Jerman dengan tools Badan Layanan Umum (BLU) ‐ Taman Nasional. Hal ini dilakukan agar upaya pengelolaan keuangan untuk taman nasional ini dapat lebih profesional dan bisa lulus audit auditor independen yang telah ditunjuk tersebut. Hal lain yang menjadi cita‐cita ELSDA ke depan adalah membangun success story pengelolaan DNS dari dana bantuan yang berasal dari pemerintah Jerman, serta menciptakan laporan & indikator keuangan yang layak dari segi pemeriksaan keuangan oleh auditor independen tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Ariadi, Kurniawan (2002), “Pemanfaatan Skema Debt Conversion Sebagai
Upaya Pengurangan Utang Luar Negeri Pemerintah, Bappenas: Jakarta
Occhiolinni, Michael (1990), “Debt‐For‐Nature‐Swap”, Worldbank Working Paper: International Economics Department
Ragimun, (2005), “Tinjauan Mengenai Implementasi Program Debt Swap Sebagai Salah Satu Alternatif Mengurangi Beban Utang Luar Negeri”, Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 9, Nomor 1, Maret 2005
Data Departemen Kehutanan, Berbagai Edisi
Data Departemen Keuangan, Berbagai Edisi
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 20 2008
21
HUTAN HANCUR KORUPSI TUMBUH
“Penebangan liar di Indonesia merupakan masalah yang sangat kompleks karena melibatkan banyak aktor dengan berbagai kepentingan dan jaringan, baik itu di pengusaha, masyarakat, Departemen Kehutanan, pemerintah daerah, kepolisian, maupun TNI. Hampir setiap praktek illegal logging melibatkan aparat supaya dapat berjalan mulus.”
Muhamad Zainal Arifin, Legal Analyst
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 22 2008
PENDAHULUAN
Secara umum, sumber daya hutan dan lahan Indonesia telah berada pada titik kritis. Citra satelit menunjukkan 60 juta hektar hutan dalam kondisi rusak parah.4 Departemen Kehutanan (2003) mencatat bahwa laju kerusakan hutan (degradasi dan deforestasi) selama 12 tahun (1985‐1997) untuk Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi mencapai 1,6 juta ha per tahun. Pada periode pengamatan tahun 1997‐2000, angka deforestasi hutan di Indonesia meningkat 2,83 juta hektar. Sedangkan tahun 2000‐2005, angka deforestasi hutan turun menjadi 1,08 juta hektar. Menurut Data Asian Development Bank, rata‐rata kerusakan hutan di Indonesia diperkirakan antara 600.000 hektar sampai 1,3 juta hektar per tahun. Namun, ada juga penelitian lain yang menyebutkan penggundulan hutan telah mencapai tingkat kecepatan 1,6‐2,0 juta hektar per tahun.5 Data yang lebih miris lagi disajikan EIA/Telapak yang menyatakan kehancuran hutan mencapai 2,8 juta hektar per tahun terparah di dunia.6
Akibat adanya penggundulan hutan tersebut, banyak musibah banjir dan tanah longsor yang datang silih berganti di Indonesia mewarnai perjalanan tahun 2007. Bencana banjir telah menerpa Aceh, Langkat, Riau, Palembang, Padang, Morowali, dan daerah‐daerah lain yang kaya akan hutan. Ratusan ribu orang mengungsi, ribuan rumah terendam, infrastruktur rusak parah dan triliunan harta lenyap akibat terjangan banjir. Jika tidak segera diatasi, bencana banjir dan tanah longsor mungkin akan kembali menerpa pada tahun 2008.
Selain dihadiahi oleh alam dengan rentetan bencana, pada tahun 2007 Indonesia diganjar sebagai negara penghancur hutan tecepat di dunia versi Food and Agiculture Organization (FAO). Indonesia pun tercatat di Guinnes
4 Suripto, “Transnational Crime of Illegal Logging”, Presentasi untuk Workshop EIA/Telapak, September 2006
5 Bambang Setiono dan Yunus Husein, “Memerangi Kejahatan Kehutanan dengan Mendorong Prinsip Kehati‐hatian Perbankan Untuk Mewujudkan Pengelolaan Hutan yang Berkelanjutan: Pendekatan Anti Pencucian Uang”, CIFOR Occasional Paper No. 44 (i), CIFOR, Bogor, 2005, hlm 5
6 EIA / Telapak, “Raksasa Dasamuka: Kejahatan Kehutanan, Korupsi dan Ketidakadilan di Indonesia”, Maret 2007, hlm 2
23
World of Record sebagai negara penghancur hutan tercepat di dunia dengan rata‐rata kerusakan hutan sebesar 1,871 juta hektar per tahun. Reward yang diterima Indonesia tentu saja sangat ironis karena pada Desember 2007 Indonesia menjadi tuan rumah United Nation Framework Climate Change Conference (UNFCCC) di Bali.
Meski banyak hutan yang gundul, ironisnya tidak ada aktor intelektual yang dihukum. Vonis bebas terhadap Adelin Lis menjadi bukti nyata bahwa bangsa Indonesia terlampau permisif terhadap pelaku illegal logging. Hal ini diperparah lagi dengan pernyataan dari Departemen Kehutanan yang lebih membela pelaku pengrusakan hutan yang berijin dibanding menjaga hutan. Tindak pidana kehutanan hanya dianggap sebagai pelanggaran administrasi belaka.
Padahal praktek illegal logging sudah semakin rapi dan melibatkan korporasi sebagai pelaku. Jika pembalakan liar hanyalah suatu kejahatan yang melibatkan masyarakat miskin yang kehidupannya bergantung kepada hutan, seperti supir truk ataupun penjaga hutan yang bergaji kecil, kejahatan tersebut tentu tidak akan sulit untuk dihentikan.7 Lebih dari itu, kejahatan kehutanan telah melibatkan korporasi besar yang lebih mementingkan mencari keuntungan dibandingkan menjaga kelestarian hutan. Dalam melakukan illegal logging, korporasi sering berlindung di balik ijin.
Penebangan liar di Indonesia merupakan masalah yang sangat kompleks karena melibatkan banyak aktor dengan berbagai kepentingan dan jaringan, baik itu di pengusaha, masyarakat, Departemen Kehutanan, pemerintah daerah, kepolisian, maupun TNI. Hampir setiap praktek illegal logging melibatkan aparat supaya dapat berjalan mulus. Membawa kayu bukan seperti membawa jarum yang sulit terlihat. Pelaku illegal logging harus melewati pos‐pos pemeriksaan pemerintah dan melakukan praktek suap kepada aparat yang berkuasa.
Tahun 2007 menjadi tahun kegagalan pemberantasan korupsi di bidang kehutanan. Bagaimana tidak. Sepanjang tahun 2007 jarang ada kasus korupsi kehutanan yang divonis bersalah. Satu‐satunya kasus illegal logging yang berhasil menggunakan UU Korupsi yakni Kasus “Sejuta Hektar Kelapa
7 Bambang Setiono dan Yunus Husein, op.cit, hlm 1
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 24 2008
Sawit” di Kaltim yang melibatkan mantan Gubernur Kaltim, Mantan KaKanwil, Mantan Kepala Dinas Kehutanan, Dirjen Dephut dan pengusaha Martias. Itu pun dilakukan oleh KPK dan Pengadilan Tipikor. Kasus lain yang berpeluang divonis bersalah dengan menggunakan UU Anti Korupsi yakni kasus DL Sitorus. Namun sayang, pada waktu itu jaksa menggunakan dakwaan alternatif yakni korupsi dan kejahatan kehutanan. Di dalam putusan Kasasi, Hakim Mahkamah Agung lebih memilih UU Kehutanan untuk menghukum DL Sitorus.
Di samping itu, pada tahun 2007 aparat penegak hukum juga mengacukan hasil analisis PPATK yang terkait dengan kasus illegal logging, pencucian uang dan korupsi. Padahal di dalam beberapa analisis PPATK menggambarkan secara gamblang proses suap yang dilakukan pengusaha terhadap aparat.
GAMBARAN UMUM PENEGAKAN HUKUM KEJAHATAN KEHUTANAN
Tak seperti tahun sebelumnya yang lebih mengutamakan pelaksanaan operasi hutan lestari, pada tahun 2007 pemerintah tidak mencanangkan operasi pemberantasan illegal logging secara besar‐besaran. Akibatnya, jumlah kasus illegal logging yang dijerat dengan menggunakan UU kehutanan semakin menurun. Dari data yang dihimpun Direktur Penyidikan dan Perlindungan Hutan Departemen Kehutanan, menyatakan bahwa jumlah kasus tahun 2006 berjumlah 1.329 dan pada tahun 2007 (sampai dengan September 2007) turun drastis menjadi 204 kasus.
Tabel 1. Data Penyelesaian Kasus‐Kasus Kejahatan Kehutanan yang Ditangani PPNS Kehutanan
Tahun Jml TSK
Jml Kasus
Pe‐nyeli‐dikan
Penyi‐dikan
SP3 P21 Per‐sidangan
Vonis
2005 879 732 112 217 6 119 40 217
2006 1.409 1.329 367 320 23 236 84 247
25
s.d Sept 2007
182 204 75 69 ‐ 30 5 8
Sumber: Departemen Kehutanan, 2007
Data yang dikeluarkan Kepolisian Republik Indonesia berbeda jauh dengan Departemen Kehutanan. Data yang diungkap POLRI selama Januari hingga Agustus 2007, polisi telah menangkap 1.375 tersangka pembalakan liar. Para tersangka ini ditangkap dalam 1.124 kasus. Hal itu terungkap dalam Rapat Kerja Kapolri Jenderal Sutanto dengan Komisi III DPR (Media Indonesia 18/9/2007).
KERUGIAN NEGARA AKIBAT ILLEGAL LOGGING
Tidak ada data resmi dari Departemen Kehutanan tentang kerusakan hutan tahun 2007. Data kerusakan hutan terdekat yang dikeluarkan Dephut yakni data pada tahun 2000‐2005 sebesar 1,08 juta hektar per tahun. Sedangkan rata‐rata potensi produksi hutan per hektar pada tahun 2007 sebesar 37,78 m3.8 Jika kita menggunakan data kerusakan hutan per tahun sebesar 1,08 juta hektar dan dikalikan dengan potensi hutan 37,78 m3 per hektar, maka ada sekitar 40,802 juta m3 kayu yang ditebang dari bumi Indonesia.
Jumlah produksi kayu di atas tentu saja jauh di atas produksi kayu yang dihimpun Dephut. Rencana Kerja Tahunan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Hutan Alam yang dilansir perusahaan untuk tahun 2007 sebesar 9,379 juta m3. Sampai laporan ini dibuat, Dephut belum mengeluarkan realisasi produksi kayu baik itu berasal dari Hutan Alam, Hutan Tanaman maupun ijin lainnya tahun 2007. Untuk mengisi kekosongan data 2007, kita menggunakan rata‐rata realisasi produksi kayu terdekat yakni antara 2001‐2005. Rata‐rata produksi kayu per tahun untuk Ijin Pemanfaatan Kayu sebesar 1,741 juta m3, Hutan Tanaman 8,190 juta m3 dan Hutan Rakyat sebesar 0,304 juta m3. Dengan menggunakan asumsi data RKT tahun 2007 dan rata‐rata realisasi produksi kayu tahunan, maka kita dapat memperkirakan jumlah produksi legal kayu untuk tahun 2007 sebesar 19,614 juta m3.
8 Angka ini diperoleh dari Rencana Kerja Tahun 2007 IUPHHK Hutan Alam yakni sebesar 9.379.064 m3 dengan mencakup areal hutan seluas 248.234 hektar.
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 26 2008
Hal ini berarti ada sekitar kayu 21,188 juta m3 yang diindikasikan berasal dari illegal logging dan tidak tercatat oleh Dephut. Kalau kita menggunakan harga kayu sebesar US$ 105,82 per m3 (US$ 1 = Rp 9.309,51)9, maka nilai kerugian negara dari nilai kayu sebesar Rp 20,873 triliun. Kerugian tersebut belum dihitung dari nilai penyimpanan karbon, air, lingkungan dan nilai hutan non kayu yang jumlahnya bisa mencapai US$ 1283 sampai dengan US$ 1416 per hektar.10
MONITORING KASUS KORUPSI BIDANG KEHUTANAN
KASUS DL SITORUS
Pada bulan Februari 2007, nasib terdakwa tindak pidana kehutanan Darianus Lumbuk Sitorus atau yang dikenal dengan DL Sitorus berubah drastis. Setelah Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memutusnya bebas, melalui putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) akhirnya menjebloskannya kembali ke penjara. Ia diganjar penjara 8 tahun dan dipidana denda sebesar Rp 5 miliar subsider pidana kurungan 6 bulan.
Dengan demikian putusan kasasi ini menguatkan kembali putusan PN Jakarta Pusat. Artinya, DL Sitorus terbukti mengerjakan dan menduduki secara sengaja kawasan hutan negara tanpa ijin yang melanggar Pasal 6 ayat (1) jo pasal 18 ayat (2) PP No. 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan dan Pasal 50 ayat (3) huruf a jo Pasal 78 ayat (2) UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Majelis hakim MA menyatakan DL Sitorus terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana mengerjakan dan menggunakan kawasan hutan secara tidak sah yang
9 Meski harga ini diambil dari harga kayu bulat
menurut FAO tahun 2002, namun harga ini mendekati harga kayu pasaran di Indonesia. Menurut Direktur Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia, harga rata‐rata kayu antara Rp 900.000 s.d. Rp 1 juta. Menurut Bambang Setiono peneliti di CIFOR, harga rata‐rata kayu Rp 1 juta.
10 Bintang C.H. Simangungsong, Nilai Ekonomi dari Hutan Produksi Indonesia, IWGFF, 2003, hlm 30
27
dilakukan secara bersama‐sama dan dalam bentuk perbuatan berlanjut. Kasasi ini diajukan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta karena tak puas dengan putusan PT DKI Jakarta yang dibacakan pada 11 Oktober 2006. Ketika itu, PT DKI Jakarta memutus bebas DL Sitorus. Pertimbangannya, dakwaan JPU prematur atau belum saatnya diajukan karena belum ada putusan perdata mengenai areal yang disengketakan. Tak hanya itu, gugatan pembatalan Surat Menteri Kehutanan di PTUN juga belum berkekuatan hukum tetap.
Di PN Jakarta Pusat, Jaksa menerapkan dakwaan alternatif antara korupsi atau kejahatan kehutanan. Pada dakwaan pertama dan kedua, JPU menjerat terdakwa dengan pasal tindak pidana korupsi, yaitu pasal 1 ayat 1 sub a jo pasal 28 jo pasal 34 c UU No3 Tahun 1971 jo pasal 43A UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan pasal 2 ayat 1 jo pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 pada dakwaan kedua.
Sedangkan pada dakwaan ketiga, terdakwa dijerat pasal 6 ayat 1 jo pasal 18 ayat 2 PP No 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan dan pasal 50 ayat 3 huruf a jo pasal 78 ayat 2 UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Majelis hakim yang diketuai oleh Andriani Nurdin menunda sidang hingga Jumat, 28 Juli 2006, untuk membacakan putusan.
JPU menuntut DL Sitorus hukuman 12 tahun penjara, dan hukuman tambahan berupa denda sebesar Rp200 juta subsider enam bulan kurungan serta mengganti uang kerugian negara sebesar Rp323,655 miliar. Perbuatan terdakwa, menurut JPU, telah merugikan negara cq Departemen Kehutanan sebesar Rp323,655 miliar yang terdiri atas hilangnya tegalan di 47 ribu hektar hutan produksi negara sebesar Rp44,655 miliar, hilangnya pemasukan dana reboisasi dan pengelolaan sumber daya alam yang seharusnya masuk ke Departemen Kehutanan sebesar Rp207 miliar dan Rp72 miliar.
Namun, pada tanggal 10 September 2007 DL Sitorus, mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK). DL Sitorus hanya menyodorkan sebuah novum, yaitu putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) No. 134 K/TUN/2007. Putusan tertanggal 12 Juni 2007 tersebut berisi pembatalan SK Menteri Kehutanan No. S.149/Menhut‐II/2004 tentang Permohonan
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 28 2008
untuk Mengelola Perkebunan Kelapa Sawit di Kawasan Hutan Register 40 Padang Lawas Sumatera Utara.
SK Menhut tertanggal 13 Oktober 2004 itu pada intinya menyatakan, kawasan hutan yang telah dikuasai dan dijadikan perkebunan kelapa sawit oleh DL Sitorus akan dipertahankan sebagai kawasan hutan. Masih dalam SK yang sama, Menhut juga membatalkan SK No. 1680/Menhut‐III/2002 tertanggal 20 September 2002. SK tersebut mengatur mengenai Penerbitan Sertifikat Tanah yang Terletak di Dalam Kawasan Hutan Register 40 Padang Lawas Sumatera Utara. Selain itu, Menhut menghimbau agar DL Sitorus menghentikan seluruh kegiatan dan meninggalkan kawasan hutan Register 40 Padang Lawas Sumatera Utara.
Dalam putusannya, Majelis Kasasi MA yang diketuai Titi Nurmala Siagian menyatakan, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) DKI Jakarta telah salah menerapkan hukum tentang tenggang waktu pengajuan gugatan TUN. Menurut majelis kasasi, pengajuan gugatan masih dalam tenggat waktu yang dimaksud Pasal 55 UU No. 9 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN. Dengan dibatalkannya SK tersebut oleh MA, DL Sitorus mendapatkan senjata untuk mengajukan Peninjauan Kembali. Sebab, SK tersebut nyata‐nyata melarang Direktur PT Torganda ini menguasai kawasan hutan produksi di Padang Lawas.
KASUS TEDDY ANTONI
Pada April 2007, Teddy Antoni (39), Direktur Utama PT ATN, pembalak 13.000 m3 kayu di Kepulauan Mentawai, Sumbar yang dinilai merugikan negara Rp7,3 miliar, divonis bebas. Majelis hakim dengan Ketua, Nurhaida Betty Aritonang, SH, di PN Padang menyatakan Teddy wajar divonis bebas dari tuntutan berlapis, karena persidangan membuktikan kejahatan yang didakwakan terhadapnya tidak memenuhi unsur pidana. Terkait pembebasan Teddy, JPU, Jopi Noveli, SH, menyatakan pikir‐pikir atau menyerahkan kebijakan selanjutnya pada Kepala Kejaksaan Tinggi Sumbar.
29
Sebelumnya Jaksa penuntut Umum, Jopi Noveli, SH dan Wiily Ade Chaidir,SH, menuntut terdakwa selama enam tahun penjara, denda Rp300 juta dan subsider enam bulan kurungan, karena melanggar pasal 2 ayat 1 jo pasal 18 ayat 1 huruf b UU No 31 tahun 1999 tentang korupsi. Terdakwa juga dijerat pasal No. 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 ke ‐ KUHP, karena dugaan kejahatan dilakukan secara bersama dengan dua koperasi Mina Awera dan KSU Simantorai dalam izin pemanfaatan kayu (IPK) di Sipora Kepulauan Mentawai.
Dakwaan sebelumnya, Teddy Antoni, dinilai bekerjasama dengan Zulkarnain ‐ Ketua KUD Mina Awera dan M Parulian Samalinggai (DPO), menggarap kayu jenis meranti, kruing, mencimin, balam di luar lahan atas IPK yang dimilikinya. Dalam mengelola kayu tersebut Teddy menyediakan 5 unit buldozer, dan wheel loader, eskavator, motor grader dan dump truck masing‐masing satu unit serta peralatan lainnya untuk KSU Simarotorai. Pengoperasian alat barat itu tidak memiliki izin Dirjen/Derektur Bina pengembangan Hutan Tanaman yang seharusnya sesuai Kepmenhut No 428/kpts‐11/2003.
Guna melancarkan operasinya Teddy Antoni, juga menyediakan empat unit chainsaw atas nama Jailani untuk Koperasi Mina Awera dan lima operator ATN. Selain itu, Teddy juga menyediakan enam unit kendaraan roda empat serta mengontrak dua unit kapal. Teddy diadili ke PN Padang, mulai 20 Desember 2005. Terdakwa dalam sidang putusan itu, didamping penasehat hukumnya Suherman, SH dan Azimar SH. Dalam kasus ilegal Logging itu, diperiksa 27 orang saksi.
KASUS SEJUTA HEKTAR KELAPA SAWIT DI KALTIM
Kasus sejuta hektar kelapa sawit di Kaltim melibatkan 5 Tersangka/Terdakwa yakni : 1. Suwarna AF (Gubenur Kaltim) 2. Martias (President Surya Dumai Grup) 3. Uuh Aliyuddin (Ka Kanwil Dephutbun Kaltim) 4. Robian (Kadishut/Plt Ka Kanwil Dephutbun Kaltim) 5. Waskito Suryodibroto (Dirjen PHP Dephutbun)
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 30 2008
Kasus Posisi
Sejak tahun 1998, SUWARNA AF selaku Gub. Kaltim mencanangkan pembangunan kebun kelapa sawit Sejuta hektar di Prov. Kaltim, namun dalam perencanaannya tidak dibuat secara matang dan tanpa pembahasan dengan DPRD Kaltim.
MARTIAS selaku President BOD Surya Dumai Grup (SDG) turut serta dalam pelaksanaan kegiatan yang canangkan SUWARNA, dengan membentuk Surya dumai Grup Divisi Pengembangan Kaltim, yg membawahi antara lain : PT BUMI SIMANGGARIS INDAH, PT BULUNGAN AGRO JAYA, PT KALTIM BHAKTI SEJAHTERA, PT REPENAS BHAKTI UTAMA, PT BUMI SAWIT PERKASA, PT BORNEO BHAKTI SEJAHTERA, PT BULUNGAN HIJAU PERKASA (didirikan pada tanggal 29 April 1999), PT MARSAM CITRA ADIPERKASA , PT TIRTA MADU SAWITJAYA, PT SEBUKU SAWIT PERKASA dan PT BERAU PERKASA MANDIRI, yang alamat dan pemegang sahamnya adalah sama.
Perusahan SDG mendapatkan rekomendasi dari Suwarna selaku Gub. Kaltim seluas 147.000 Ha utk bangun perkebunan kelapa sawit. Hal ini melanggar batas maksimum SK Menhutbun No. 107/Kpts‐II/1999 tanggal 3 Maret 1999 tentang Perizinan Usaha Perkebunan yaitu sebesar maksimum 20.000 Ha bagi satu perusahaan atau satu grup perusahaan dalam satu provinsi.
Lokasi pembangunan kebun kelapa sawit SDG berada di Kab. Bulungan, Kab. Berau dan Kab. Nunukan.
SUWARNA meminta bantuan WASKITO (Dirjen PHP Dephutbun) utk mempercepat pembangunan kebun kelapa sawit sejuaa Ha di Kaltim diantaranya percepatan pemberian IPK dlm rangka land clearing.
MARTIAS didampingi PAULUS TANURAHARDJA mendatangi WASKITO dalam rangka mengurus perijinan IPK.
PAULUS selaku Perwakilan DiVisi Pengmebangan Kaltim SDG di Jakarta atas perintah MARTIAS mengajukan permohonan IPK langsung kpd Dirjen PHP yg dilampiri antara lain rekomendasi dari Gub Kaltim (SUWARNA) tanpa melalui Ka Kanwil Dephutbun Kaltim serta permohonan tidak dilampiri dgn persyaratan yaitu : Persetujuan Prinsip Pelepasan Kawasan Hutan dari Menteri, FS dan Bukti telah
31
dilksanakan Tata Batas Areal. Hal ini melanggar pasal 5 ayat (1) dan (2) Kep Menhutbun No 538/1999
WASKITO menerbitkan Persetujuan Prinsip IPK kpd perusahaan2 SDG dgn membuat surat kepada Ka Kanwil Dephutbun Kaltim dgn tembusan Gubernur dan Kepala Dinas Kehutanan kaltim untuk menerbitkan IPK.
Atas dasar Persetujuan Prinsip IPK dari Dirjen PHP tersebut, SUWARNA menerbitkan Surat Persetujuan Sementara Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Perkebunan (HPH TP, Surat Persetujuan Prinsip Pembukaan Lahan dan Pemanfaatan Kayu kpd PT yg tergabung dlm SDG. Surat tersebut disertai dgn instruksi kepada Kakanwil untuk segera menerbitkan IPK.
Berdasar HPHTP, Ijin Prinsip Dirjen PHP dan Persetujuan Prinsip Pembukaan Lahan dan Pemanfaatan kayu, UUH ALIYUDDIN, Ka Kanwil Dephutbun Kaltim selaku pejabat teknis menerbitkan 14 IPK (1999‐2000) kepada PT yg tergabung dlm SDG.
Pada saat IPK yg diterbitkan oleh UUH ALIYUDIN akan habis masa berlakuknya, TONY CANDRA selaku Kepala Perwakilan Divisi Kaltim SDG di Samarinda, atas perintah MARTIAS mengajukan Dispensasi Penyerahan Bank Garansi DR‐PSDH kpd Gub Kaltim (SUWARNA)
SUWARNA menerbitkan Dispensasi Penyerahan Bank Garansi DR‐PSDH kepada perusahaan yg tergabung dlm SDG.
Brdasarkan IPK yg telah diterbitkan oleh UUH ALIYUDIN yg tidak sesuai dgn ketentuan dan adanya Dispensasi dari SUWARNA, ROBIAN selaku Kadishut/Plt Ka Kanwil Dephutbun Kaltim menerbitkan 14 SK IPK/Perpanjangan IPK kepada PT yg tergabung dlm SDG.
Dengan SK IPK dan SK Perpanjangan IPK tersebut, PT yang tergabung dalam SDG melakukan eksploitasi kayu tanpa ada keseriuasan membangun kebun kelapa sawit pada areal seluas kurang lebih 53.600 Ha, dgn jumlah nilai tebangan sekitar Rp. 386.221.139.830,‐. Dikatakan tidak serius karena pada kenyataannya sampai Juni 2006 hanya 2.170 Ha yang dibangun dari luas 53.600 Ha yang ditebang. Hal ini karena tidak adanya pengawasan dari Gubernur dan pihak Kanwil Dephutbun Kaltim serta Kadishut Kaltim.
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 32 2008
Dakwaan terhadap Suwarna AF
Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi itu, penuntut umum KPK mendakwa Suwarna telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 346,8 miliar. Menurut penuntut umum, kerugian tersebut diakibatkan serangkaian perbuatan Suwarna dalam kurun waktu sejak Agustus 1999 sampai Desember 2002. Perbuatan Suwarna yang dinilai penuntut KPK melanggar mulai dari pemberian rekomendasi areal perkebunan sawit, memberikan persetujuan sementara Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Perkebunan (HPHTP sementara) dan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK), hingga memberikan persetujuan prinsip pembukaan lahan dan pemanfaatan kayu. Suwarna juga dianggap telah menyalahi aturan ketika memberikan dispensasi kewajiban penyerahan jaminan bank (Bank Garansi) kepada perusahaan yang tergabung dalam Surya Dumai Group yang dikendalikan Martias alias Pung Kian Hwa tanpa mengindahkan peraturan teknis bidang kehutanan.
Dengan mengantongi IPK tersebut, Martias pada kenyataannya tidak melaksanakan pembangunan perkebunan kelapa sawit. Tapi hanya memanfaatkan IPK guna mengambil kayu pada areal hutan yang direkomendasikan untuk perkebunan. Hasilnya, Martias memperoleh kayu sebanyak 692 meter kubik senilai Rp 346,8 miliar.
Tindakan Suwarna tersebut oleh penuntut dalam dakwaan primairnya diancam dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 (UU Korupsi) jo Pasal 55 ayat (1) ke‐1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Dalam dakwaan subsidairnya, Suwarna dianggap menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya dengan serangkaian perbuatan yang memberikan ijin kepada Surya Dumai Group untuk pembukaan lahan dan pemanfaatan kayu. Perbuatan ini diancam Pasal 3 jo Pasal 18 UU Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke‐1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
33
Tuntutan terhadap Suwarna AF
Tuntutan digelar pada tanggal 2 Maret 2007. Penuntut Umum KPK menuntut Gubernur Kalimantan Timur Mayjend (Purn) Suwarna Abdul Fatah 7 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider kurungan 6 bulan. Terdakwa melanggar pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke‐1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Terdakwa kasus korupsi pelepasan ijin pembebasan seribu hektar lahan perkebunan kelapa sawit ini dinilai tidak menikmati sendiri hasil korupsinya. Justru Martias alias Pung Kian Hwa, pengendali sejumlah perusahaan yang tergabung dalam Surya Dumai Group, yang menikmati hasil korupsi Suwarna. Suwarna juga dianggap telah menyalahi aturan ketika memberikan dispensasi kewajiban penyerahan jaminan bank (Bank Garansi) kepada sejumlah perusahaan yang tergabung dalam Surya Dumai Group yang dikendalikan Martias tanpa mengindahkan peraturan teknis bidang kehutanan.
Selain itu, Suwarna juga memberi perintah secara lisan kepada Kepala Kantor Wilayah Kehutanan dan Perkebunan Propinsi Kaltim serta Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Kaltim untuk menerbitkan IPK yang belum memenuhi syarat kepada Surya Dumai Group.
Dengan mengantongi IPK tersebut, Martias pada kenyataannya tidak melaksanakan pembangunan perkebunan kelapa sawit. Tapi hanya memanfaatkan IPK guna mengambil kayu pada areal hutan yang direkomendasikan untuk perkebunan. Belakangan terungkap, proyek pembukaan lahan itu terbengkalai. Yang aneh, sebagian besar lahan sudah ditebangi kayunya, tapi tidak ditanami kelapa sawit.
Putusan
Majelis hakim yang diketuai Gus Rizal hanya menjatuhkan vonis 1 tahun 6 bulan penjara serta denda Rp200 juta subsidair tiga bulan kurungan kepada terdakwa Suwarna AF. Majelis hakim menyatakan Suwarna terbukti melakukan tindak pidana korupsi terkait pelepasan izin pembebasan lahan
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 34 2008
perkebunan kelapa sawit seribu hektar. Pidana uang pengganti tidak dikenakan karena tidak ada fakta persidangan yang menyatakan Suwarna menikmati hasil tindak pidana korupsi yang dilakukannya.
Walaupun terbukti melakukan tindak pidana korupsi, majelis hakim menilai perbuatan Suwarna tidak memenuhi unsur‐unsur Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana dakwaan primair JPU. Majelis hakim justru berpendapat dakwaan subsidair yakni Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 yang terbukti.
Putusan ini diwarnai dengan pendapat berbeda atau dissenting opinion dari salah seorang anggota majelis, Slamet Subagio. Slamet menyatakan tidak setuju dengan pendapat mayoritas majelis hakim yang menyatakan perbuatan terdakwa tidak memenuhi unsur‐unsur pasal dalam dakwaan primair. Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan berdasarkan fakta persidangan terungkap bahwa Suwarna telah membuat sejumlah kebijakan dalam rangka Program Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit Sejuta Hektar Kalimantan Timur. Kebijakan‐kebijakan tersebut diantaranya diberikan kepada sejumlah perusahaan yang ternyata tergabung dalam Surya Dumai Grup.
Kebijakan dimaksud antara lain penerbitan surat persetujuan prinsip pembukaan lahan dan pemanfaatan Kayu, rekomendasi areal perkebunan sawit, persetujuan sementara hak pengusahaan hutan tanaman perkebunan (HPHTP sementara), izin pemanfaatan kayu (IPK), dan dispensasi kewajiban penyerahan jaminan bank garansi dana reboisasi (DR) dan provisi sumber daya hutan (PSDH).
Majelis hakim berpendapat perbuatan Suwarna belum dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan yang melanggar hukum karena beberapa kebijakan yang dibuatnya seperti surat persetujuan prinsip pembukaan lahan dan pemanfaatan Kayu dan persetujuan HPHTP sementara belum ada dasar hukumnya. Pertimbangan majelis hakim diantaranya didasarkan pada keterangan ahli Soeparno dari Biro Hukum Departemen Kehutanan yang menyatakan HPHTP sementara, sejauh ini tidak ada dasar hukumnya.
35
Sementara itu, untuk dakwaan subsidair, majelis hakim menegaskan bahwa kebijakan‐kebijakan yang dibuat Suwarna terbukti telah melampaui kewenangannya sebagai Gubernur Kaltim. Sebagai contoh, kebijakan menerbitkan surat persetujuan prinsip pembukaan lahan dan pemanfaatan Kayu yang semestinya bukan kewenangan seorang Gubernur atau Kepala Daerah.
Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) SK Menhut No. 107/Kpts‐II/1999 tanggal 3 Maret 1999 tentang Perizinan Usaha Perkebunan, maka izin usaha perkebunan berskala besar diterbitkan oleh Menhut. Padahal, usaha perkebunan yang dijalankan perusahaan‐perusahaan Surya Dumai Grup masuk kualifikasi usaha perkebunan skala besar karena lebih dari 10 ribu hektar.
Selain itu, majelis juga menyatakan kebijakan‐kebijakan yang dibuat Suwarna terbukti secara nyata telah menguntungkan orang lain yakni Martias alias Pung Kian Hwa yang tidak lain adalah pimpinan Surya Dumai Grup.
Terkait unsur kerugian negara, majelis hakim berpendapat perhitungan kerugian negara yang dilakukan oleh ahli dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tidak valid. Pasalnya, ahli BPKP hanya menghitung kerugian negara berdasarkan data‐data yang dimiliki penyidik KPK dan tidak melakukan penelusuran ke lapangan.
Perhitungan ahli BPKP tidak melingkupi fakta adanya tunggakan sejumlah perusahaan Surya Dumai Grup sebesar Rp5.7 milyar untuk PSDH dan Rp1,5 milyar untuk DR yang telah dibayar lunas. Akibatnya, jumlah kerugian negara Rp 346.823.970.564,24 yang diperoleh ahli BPKP kurang akurat dan oleh karenanya dikesampingkan oleh majelis hakim.
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 36 2008
Putusan terhadap terhadap terdakwa kasus kelapa sawit sejuta hektar di Kaltim selengkapnya lihat tabel di bawah ini:
No. Terdakwa Putusan Tingkat Pertama
Putusan Banding
Putusann Kasasi
1. Suwarna Abdul Fatah (Gubenur Kaltim)
1 tahun 6 bulan
4 tahun 4 tahun
2. Martias (President BOD Surya Dumai Grup)
1 tahun 6 bulan
1 tahun 6 bulan
1 tahun 6 bulan
3. Uuh Aliyuddin (Ka Kanwil Dephutbun Kaltim)
4 tahun ? ?
4. Robian (Kadishut/Plt Ka Kanwil Dephutbun Kaltim)
4 tahun ? ?
5. Waskito Suryodibroto (Dirjen PHP Dephutbun)
2,5 tahun ? ?
Sumber: Diolah dari media cetak.
KASUS BUPATI PELALAWAN RIAU
Pada tanggal 13 Agustus 2007, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bupati Pelalawan Tengku Azmun Jaafar (AJ) sebagai tersangka dalam kasus gratifikasi keluarnya sejumlah Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman. AJ ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan Surat Tanda Penerimaaan Barang Bukti (STTB)/220/Dak.2/KPK/VI/2007.Azmun sendiri sudah beberapa kali diperiksa KPK sebagai saksi dalam kasus tersebut. KPK juga sudah memeriksa sejumlah saksi lainnya seperti Ketua DPRD Pelalawan M Harris dan mantan Menteri Kehutanan Nurmahmudi Ismal serta rekanan yang diduga telah memberikan gratifikasi.
37
KPK telah menyita sejumlah barang bukti yang memperkuat penetapan Azmun sebagai tersangka. Barang bukti yang disita antara lain buku kas PT Persada Karya Sejati tahun 2006, 3 lembar form PT Persada Karya Sejati tanggal 26 Januari, 1 lembar kwitansi tertanggal 20 Januari 2006 dengan nilai Rp600 juta.Kemudian 1 bundel kesekapatan antara CV Tuan Negeri dengan PT RAPP tertanggal 1 Juli 2003, 1 bundel kesepakatan CV Putri Lindung Bulan dengan RAPP, dan 1 bundel kesepakatan antara Koperasi Pangkalan Tuo Sakti dengan PT RAPP.
Pada tanggal 14 Desember 2007, (KPK) menangkap pelaku pembalakan liar Bupati Pelelawan Riau Tengku Azmun Jaafar. Penerbitan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu ‐ Hutan Tanaman (IUP) yang dikeluarkan Azmun diduga merugikan negara sebesar Rp1,3 triliun. Dari hasil penyidikan KPK itu, antara 2001 hingga 2006 Azmun diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam penerbitan IUP kepada 15 perusahaan di Riau. Penerbitan ijin itu dilakukan pada lahan hutan alam yang memiliki potensi kayu dan bukan pada areal kosong, padang alang‐alang atau semak belukar. Hal itu bertentangan dengan PP No. 34 Tahun 2002 tentang tata hutan dan rencana pengelolaan hutan. Pasal 30 PP No. 30/2004 itu menyebutkan usaha pemanfaatan hutan pada hutan tanaman, dilaksanakan pada lahan kosong, padang ilalang dan atau semak belukar dihutan produksi.
Dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 10.1/Kpts‐II/2000 tentang pedoman pemberian IUP pada hutan produksi hal itu juga dilarang. Kepmenhut itu menentukan areal yang dapat diterbitkan Pmeberian IUUPHHK pada Hutan Tanaman dapat diberikan pada lahan hutan yang telah menjadi lahan kosong atau terbuka dan vegetasi alang‐alang dan/atau semak belukar. Begitupula untuk vegetasi hutan alam yang tidak terdapat pohon berdiameter di atas 10 cm tidak boleh diberikan izin.
KASUS ADELIN LIS
Kasus Posisi
PT KNDI pada tanggal 30 September 1999 berhak atas hutan di Kecamatan Muara Batang Gadis, Madina, seluas 58.590 hektare dengan SK Menhut Nomor 805/Kpts‐VI/1999. Adelin Lis, salah satu "raja hutan" dari
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 38 2008
Sumatera Utara, ditangkap karena kasus pembalakan liar pada September 2006 di Beijing, Cina. Ia adalah Direktur Umum dan Direktur Keuangan PT Keang Nam Development serta Komisaris PT Inanta Timber Trading.
Pada tanggal 20 Juni 2007 lalu, Adelin Lis selaku direktur keuangan PT KNDI didakwa atas kasus pidana korupsi dan kerusakan hutan. Adelin Lis dianggap telah melakukan penggelapan pembayaran DR / PSDH. Di samping itu, ia telah melakukan kegiatan pembalakan jauh diluar jumlah RKT yang notabene dapat menyebabkan kerusakan hutan.
Hakim
Arman Byrin, Robinson Tarigan, Jarasmen Purba, Ahmad Ismedi, dan Dolman Sinaga.
Jaksa
Harli Siregar SH, Halila SH, Tomo Sitepu, dan Agus Wirawan SH
Tersangka Lainnya
Oscar Sipayung (Direktur Utama PT KNDI), Washington Pane (Direktur Perencanaan dan Produksi PT KNDI), Budi Ismoyo (Kadis Kehutanan Kab Madina periode 2006), dan Sucipto (mantan Kadis Kehutanan Madina periode 2002)
Dakwaan
Pada dakwaan kesatu primer, jaksa penuntut umum (JPU) mendakwa Adelin dengan Pasal 2 ayat (1) junto Pasal 18 UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto Pasal 55 ayat (1) ke‐1 junto Pasal 64 ayat (1) KUHPidana dengan ancaman penjara seumur hidup.
Jaksa menyatakan, Adelin bersama dengan Direktur Utama PT KNDI Oscar Sipayung dan Direktur Operasional PT KNDI Washington Pane merambah hutan di kawasan hutan Sikuang‐ Sungai Natal Kab Madina yang berada di luar Rencana Kerja Tahunan (RKT) yang telah ditetapkan sejak
39
2000–2005. Akibat penebangan kayu dan tunggakan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) serta tunggakan Dana Reboisasi (DR) negara dirugikan sebesar Rp119.802.399.040 dan USD2.938.556,24.
Sementara dalam dakwaan kedua primer, jaksa mendakwa Adelin dengan Pasal 50 ayat (2) junto Pasal 78 ayat (1), ayat (14) UU No 41/1999 tentang Kehutanan junto Pasal 64 ayat (1) KUHPidana. Penebangan hutan yang dilakukan PT KNDI menurut jaksa, juga tidak dibarengi kegiatan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dalam penebangan pohon kayu hasil hutan dari periode 2000–2005 mengakibatkan kerusakan hutan yang parah.
Saksi
Di antaranya saksi itu adalah Nirwan Rangkuti (P2SKSHH Dishut Madina), Zairun Harahap (P2SKSHH Dishut Madina),Cardi Riswandi dan Asep Perry Muhammad (Petugas Ceking Cruising Dishut Madina), Hanafi Hasibuan (Petugas P2LHP Dishut Madina), dan M Tohir (Kasubdin Bina Produksi Dishut Madina).
Selanjutnya, saksi dari Oscar A Sipayung (Dirut PT KNDI),Umasda (Kabag Perencanaan dan Pengawasan Eksploitasi Hutan PT KNDI),Simon Agustinus Sihombing (Manager Camp Pinang PT KNDI), Pakner Simanjuntak (Pengukur Kayu Bulat PT KNDI), Lahmudin (Wakil Dirut PT Mujur Timber),dan Wilson sendiri selaku Kepala Logs Pond Camp Manager PT KNDI.
Tuntutan
Jaksa menuntut Adelin Lis hukuman pidana 10 tahun di Pengadilan Negeri Medan. Adelin juga dituntut denda Rp 1 miliar atau subsider 6 bulan kurungan dan uang ganti rugi sebesar Rp 119 milyar dan US$ 2,9 juta. Uang pengganti ini ditanggung renteng bersama empat terdakwa lainnya, yaitu Oscar Sipayung (Direktur Utama PT KNDI), Washington Pane (Direktur Perencanaan dan Produksi PT KNDI), Budi Ismoyo (Kadis Kehutanan Kab Madina periode 2006), dan Sucipto (mantan Kadis Kehutanan Madina periode 2002).
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 40 2008
Putusan: Bebas dari segala dakwaan
Hakim menilai penebangan hutan hanya merupakan kelalaian administrasi, bukan pidana. Soal pidana korupsi, menurut majelis hakim, tidak terbukti adanya penebangan hutan di luar areal RKT (rencana kerja tahunan). Dengan begitu, dakwaan penunggakan provisi sumber daya hutan dan dana reboisasi tidak terbukti pula.
Dalam amar putusannya, majelis hakim menilai bukti yang diajukan jaksa kurang lengkap. Tidak ada foto atau video yang membuktikan kerusakan hutan yang dituduhkan. Saksi ahli dari Institut Pertanian Bogor yang diajukan jaksa, yakni Basuki Wasis dan Darsono, pun dinilai tidak kuat. Bagaimana saksi bisa membuktikan kerusakan hutan hanya dengan penelitian lapangan selama satu hari, yang seharusnya dilakukan selama dua bulan, untuk area seluas 58 ribu hektare milik keluarga Adelin Lis? Karena itu, hakim pun meloloskan Adelin dari jerat pasal perusakan hutan.
Walaupun mengakui PT KNDI tidak menerapkan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), hakim menyerahkan sanksinya kepada menteri kehutanan sebagai pemberi dan pencabut izin HPH. Dengan kata lain, majelis sepakat bahwa PT KNDI hanya dikenai sanksi administratif atas perusakan maupun pelanggaran hukum lain terhadap 58 ribu ha hutan di Kecamatan Muara Batang Gadis, Kabupaten Madina.
Dalam putusan, majelis juga menyatakan bahwa izin HPH PT KNDI masih sah hingga sekarang. Mereka berpegang pada surat sakti Menhut M.S. Kaban kepada Kapolda Sumatera Utara bertanggal 21 April 2006 dan Kapolri Jenderal Sutanto bertanggal 7 Juni 2006. Inti surat Menhut ke Kapoldasu yang sempat menjadi polemik itu, antara lain, menyebutkan, PT Mujur Timber, PT Inanta Timber, dan PT Keangnam Development merupakan perusahaan swasta PMDN yang memiliki IUPHHK/HPH. Kaban juga minta Kapoldasu memproses kasus tersebut secara objektif. Kapoldasu juga diminta dapat membedakan pelanggaran administratif dan pelanggaran pidana.
41
PROBLEM PENGGUNAAN UU ANTI KORUPSI DALAM MENJERAT PELAKU ILLEGAL LOGGING
PEMBELOKAN KORUPSI KE PELANGGARAN ADMINISTRASI
Vonis bebas Adelin Lis telah menambah daftar panjang pelaku illegal logging yang dibebaskan di pengadilan. Sistem peradilan yang korup ditambah intervensi Departemen Kehutanan telah gagal menuntut para pelaku yang mendalangi illegal logging. Vonis tersebut semakin memperburuk citra Indonesia sebagai negara yang permisif terhadap pelaku pengrusakan hutan. Banyak hutan yang gundul tapi tidak ada aktor intelektual illegal logging yang dihukum. Padahal sebagai negara penghancur hutan tercepat di dunia, kita diharapkan mengambil langkah‐langkah sistematis untuk menghukum para pelaku.
Di dalam kasus Adelin Lis, Hakim menilai bukti yang diajukan jaksa kurang kuat. Tidak ada foto atau video yang membuktikan kerusakan hutan yang dituduhkan. Saksi ahli dari Institut Pertanian Bogor yang diajukan jaksa dinilai tidak kuat. Karena itu penebangan hutan besar‐besaran hanya merupakan pelanggaran administrasi, bukan pidana.
Vonis bebas dengan pertimbangan hanya melakukan pelanggaran administrasi yang menimpa Adelin Lis bukanlah hal pertama yang terjadi di Indonesia. Sebelumnya, banyak pelaku illegal logging di Papua juga bebas karena alasan yang sama.
Bebasnya pelaku illegal logging disebabkan pernyataan dari Departemen kehutanan yang menyatakan bahwa pemilik ijin hutan hanya dapat dikenakan sanksi administrasi tatkala melakukan kerusakan hutan. Ijin yang diberikan Departemen Kehutanan seolah‐olah melegalkan pemilik ijin pemanfaatan hutan untuk melakukan tebang habis tanpa mempertimbangkan prosedur Tebang Pilih Tanaman Indonesia (TPTI).
Padahal pasal 50 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa pemilik ijin pemanfaatan hutan yang melakukan kerusakan hutan dikenai sanksi pidana, bukan sekedar sanksi administrasi. Seseorang yang mempunyai ijin, tetapi melakukan penebangan tanpa mempertimbangkan
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 42 2008
aspek lingkungan dan kelestarian hutan berarti telah melakukan illegal logging.
Di samping itu, pembelokan kasus korupsi Adelin Lis ke dalam ranah pelanggaran administrasi membuat persepsi tentang korupsi semakin kabur dan tidak jelas. Orang yang melakukan manipulasi Dana Reboisasi (DR) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dianggap hanya melakukan pelanggaran administratif belaka.
Padahal di dalam Laporan Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Tahun 2006 terhadap Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sumatera Utara secara jelas‐jelas mengindikasikan terjadinya tindak pidana korupsi. Ada setidaknya dua modus yang digunakan perusahaan Adelin Lis.
Pertama, melakukan mark down terhadap terhadap ketentuan tarif DR‐PSDH. Perusahaan Adelin Lis membayarkan DR‐PSDH jenis kayu golongan tinggi dengan menggunakan tarif kayu golongan rendah. PT Inanta Timber dan PT Keang Nam Development Indonesia (KNDI) yang merupakan bagian dari Mujur Timber Group milik Adelin Lis kerap kali melakukan modus tersebut. Dengan modus ini negara dirugikan miliaran rupiah.
Hasil pengecekan atas dokumen kayu miliki PT KNDI ternyata diketahui bahwa pembayaran kayu jenis Medang sebanyak 2.372,30 m3 telah dimasukan dalam kelompok rimba campuran dengan tarif PSDH Rp30.000/m3 dan DR US$12/m3. Padahal seharusnya jenis kayu Medang masuk jenis Meranti dengan tarif PSDH Rp50.000/m3 dan DR US$14/m3, sehingga terjadi kurang bayar PSDH sebesar Rp47.446.000,00(2.372,30 m3 x Rp20.000) dan DR sebesar US$ 4.744,60 (2.372,30 m3 x US$2).
PT Inanta Timber juga melakukan hal yang serupa. Hasil pengecekan di lapangan menyebutkan bahwa pembayaran PSDH dan DR kayu jenis Medang sebanyak 2.428,86 m3 dan Mayang sebanyak 1.168,77 m3 telah dimasukan dalam kelompok kayu golongan rendah. Dengan modus tersebut, maka PT Inanta Timber melakukan penggelapan PSDH
43
sebesar Rp71.952.600,00 (3.597,63 m3 x Rp20.000) dan DR sebesar US$7,195.26 (3.597,63 m3 x US$2).
Kedua, melakukan manipulasi terhadap jumlah kayu yang dikenakan DR/PSDH. Perusahaan Adelin Lis yang beroperasi di Sumatera Utara seringkali melaporkan hasil penebangan yang tidak sesuai dengan kayu yang ditebang.
Berdasarkan data hasil stock opname tanggal 31 Desember 2005 dan pengukuran dan pengujian kayu bulat tanggal 30 Januari 2006 oleh Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, diketahui bahwa PT Inanta Timber telah menebang kayu bulat melebihi target RKT Tahun 2005 dan belum dibayar PSDH dan DR adalah sebanyak 2.686,58 m3. Ada dugaan bahwa PT Inanta Timber sengaja melakukan menggelapkan DR/PSDH atas sebagian kayu yang ditebang. Dengan modus tersebut, maka kerugian negara berupa PSDH sebesar Rp134.329.000,00 (2.686,58 m3 x tarif PSDH sebesar Rp50.000,00/m3) dan DR US$37.612,12 (2.686,58 m3 x tarif DR sebesar US$14/m3).
Melihat modus di atas, perusahaan milik Adelin Lis bukan sekedar melakukan pelanggaran administrasi belaka, tetapi lebih dari itu ada unsur kesengajaan untuk memanipulasi pembayaran DR/PSDH yang dapat merugikan keuangan negara. Perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum karena melanggar peraturan perundang‐undangan. Dari sisi keuntungan, modus manipulasi DR/PSDH tentu saja dapat memperkaya Adelin Lis dan kroninya.
PENGHITUNGAN KERUGIAN NEGARA YANG MASIH BIAS
Putusan Pengadilan Tipikor tingkat pertama mengenai Kasus kelapa sawit sejuta hektar di Kaltim dan Putusan Kasus Adelin Lis memberikan pelajaran berharga terkait perhitungan kerugian negara. Di dalam kedua kasus tersebut, hakim secara mentah‐mentah menolak perhitungan kerugian negara yang dilakukan oleh BPKP. Perdebatan tentang kerugian negara apakah hanya dihitung dari potensi tegakan, kerusakan lingkungan dan DR/PSDH masih belum ada kesepahaman.
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 44 2008
Di dalam kasus kelapa sawit sejuta hektar di Kaltim, Penuntut KPK dengan menggunakan perhitungan BPKP menaksir Suwarna telah memperkaya Martias sebesar Rp 5,16 miliar atau korporasi sebesar Rp578 miliar yang berasal dari penjualan kayu perusahaan‐perusahaan yang bernaung di bawah Surya Dumai Group (SDG), atau setidak‐tidaknya sebesar Rp346 miliar. Tiga versi yang mengungkapkan kerugian negara menunjukkan bahwa penuntut umum kurang yakin terhadap perhitungan BPKP. Padahal dalam perhitungan tersebut hanya dihitung potensi tegakan tidak termasuk nilai kerusakan.
Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 18/PID.B/TPK/2006 /PN.JKT.PST tanggal 22 Maret 2007 Jo. Putusan Pengadilan putusan Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor : 03/PID/TPK/2007/PT.DKI tanggal 26 Juni 2007 dalam perkara atas nama H. SUWARNA ABDUL FATAH dan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 21/PID.B/TPK/2006/PN.JKT.PST tanggal 03 Mei 2007 dalam perkara atas nama MARTIAS ALIAS PUNG KIAN HWA jumlah kerugian negara sebesar Rp. 5.167.723.032 (lima milyar seratus enam puluh tujuh juta tujuh ratus dua puluh tiga ribu tiga puluh dua rupiah).
Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 02/PID.B/TPK/2007/PN.JKT.PST tertanggal 16 Juli 2007 atas nama Ir. UUH ALIYUDIN, MM (Mantan Kakanwil Dephutbun Kaltim) dan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 03/PID.B/TPK/2007/PN.JKT. PST tertanggal 16 Juli 2007 atas nama Ir. H. ROBIAN, MSi (Mantan Plt. Kakanwil Dephutbun Kaltim dan Kadis Kehutanan Propinsi Kaltim), jumlah kerugian negara sebesar Rp. 186.579.088.185 (seratus delapan puluh enam milyar lima ratus tujuh puluh sembilan juta delapan puluh delapan ribu seratus delapan puluh lima rupiah).
Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 08/PID.B/TPK/2007/PN. JKT.PST tertanggal 19 September 2007 atas nama Ir. WASKITO SURYODIBROTO, MM, jumlah
45
kerugian negara sebesar Rp. 218.940.223.830.‐ (dua ratus delapan belas milyar sembilan ratus empat puluh juta dua ratus dua puluh tiga ribu delapan ratus tiga puluh rupiah).
PENEGAK HUKUM TIDAK MENGOPTIMALKAN ANALISA PPATK
Sampai 16 April 2007, ada sekitar 263 Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) terkait dengan korupsi dan 5 LTKM terkait dengan illegal logging. Dari sejumlah LTKM tersebut, sampai akhir tahun 2007 PPATK berhasil menyelesaikan analisis sebanyak 231 untuk korupsi dan 4 analisis untuk illegal logging. Namun ironisnya, dari sejumlah analisis PPATK, tidak ada satu kasus pun kasus illegal logging yang terkait dengan pencucian uang dan korupsi diteruskan ke proses peradilan.
Tabel 3. Statistik Perkembangan Tindak Pidana Asal Berdasarkan jumlah LTKM Setiap
Tahun
Tindak Pidana Asal Tahun Jumlah
s.d 2003 2004 2005 2006 2007 / 16 Apr
Korupsi/Penggelapan 0 103 43 60 57 263
Penipuan 4 149 45 32 2 232
Percobaan Penipuan 0 2 8 3 2 15
Kejahatan Perbankan 8 8 16 4 0 36
Pemalsuan Dokumen 0 12 10 53 2 77
Teroris 0 3 2 0 1 6
Penggelapan Pajak 0 1 2 3 1 7
Perjudian 0 2 2 0 1 5
Penyuapan 0 5 8 5 1 19
Narkotika 0 1 1 2 0 4
Pornografi Anak 0 1 0 0 0 1
Pemalsuan
Uang/Rupiah
0 2 2 0 0 4
Pencurian 0 2 0 0 0 2
Pembalakan Liar 0 1 2 2 0 5
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 46 2008
Penyelundupan 0 4 0 0 0 4
Tidak Teridentifikasi /
dll
0 6 8 6 5 25
12 302 149 170 72 705
Padahal dalam beberapa analisis PPATK, menguraikan alur transaksi dari pengusaha kayu yang diduga terkait illegal logging kepada pejabat pemerintah dan aparat kepolisian (Lihat Lampiran). Ada setidaknya 6 hasil analisis PPATK yang terkait dengan illegal logging, korupsi dan pencucian uang yang belum dipecahkan oleh aparat penegak hukum. Transaksi dari pengusaha ke aparat pemerintah dalam jumlah yang begitu besar merupakan transaksi yang mencurigakan. Jika aparat pemerintah tidak melaporkan terjadinya pemberian kepada KPK, maka pemberian tersebut dikategorikan gratifikasi.
Berikut ini contoh analisis PPATK terrhadap transaksi di bidang
kehutanan:
Pasal 12 B
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
47
Penjelasan gambar itu adalah sebagai berikut. Pada Periode 2001‐2004, DN dan WST (kuasa FR) diduga mengekspor kayu olahan ke Malaysia dan Singapura melalui PT SM Jakarta. Hal ini diketahui dari transfer USD11,2 juta dari JHT PTE Ltd (Singapura) dan USD0,5 juta dari WP Sdn Bhd, EC Sdn Bhd, Ti Co, dan ST Co (Malaysia). Atas transfer tersebut, sebagian besar dananya ditransfer oleh DN dan WST ke SMR (pengusaha kayu) di Samarinda dan pejabat Pemda Papua serta Kas Pemda Papua.
Di samping itu, DN dan WST juga menarik dan langsung menyetorkan dana kepada oknum Polisi (MR dan YPW), oknum PNS (MM dan FM), oknum TNI (RS) dan Oknum Pejabat Dishut (HW) sebesar USD128,4 ribu (Rp1,146 milliar). Oknum MR yang pada waktu menjabat sebagai Kanitserse tidak melakukan penindakan terhadap perusahaan milik FR. Padahal perusahaan milik FR diduga melakukan illegal logging.
F R / D NJ A K A R T A
M M & F M( P N S )
R S( T N I )
M R & Y P W( P o l i s i )
H W( K a d i s h u t )
J H T P T E , L t dS I N G A P O R E
W P S d n , B h dE C S d n , B h d
M A L A Y S I A
( P e n g u s a h a k a y u )S M R
K A L T I MK A S P E M D A
I n c o m i n g T r a n s f e rU S D 1 1 , 2 j u t a I n c o m i n g T r a n s f e r
U S D 0 , 5 j u t a
P a g e 1
K a s u s 1
S e t o r d a n aS e t o r d a n a
P e m i n d a h b u k u a n d a n a
T r a n s f e r d a n a
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 48 2008
Tabel 4. Statistik Perkembangan Tindak Pidana Asal Berdasarkan jumlah Analisis Setiap Tahun
Tindak Pidana Asal Tahun Jumlah
s.d
2003
2004 200
5
2006 20
07
Korupsi/Penggelapan 0 99 37 42 53 231
Penipuan 3 98 35 11 16 163
Percobaan Penipuan 0 2 6 2 3 13
Kejahatan Perbankan 1 8 16 2 2 29
Pemalsuan Dokumen 0 10 8 1 2 21
Teroris 0 3 2 0 1 6
Penggelapan Pajak 0 1 2 1 3 7
Perjudian 0 1 2 0 2 5
Penyuapan 0 2 1 4 2 9
Narkotika 0 1 1 1 0 3
Pornografi Anak 0 1 0 0 0 1
Pemalsuan
Uang/Rupiah
0 2 2 0 0 4
Pencurian 0 1 0 0 0 1
Pembalakan Liar 0 1 2 1 0 4
Penyelundupan 0 4 0 0 0 4
Tidak Teridentifikasi /
dll
0 6 8 2 5 21
4 240 122 67 522
Hasil analisis PPATK menjadi bukti nyata bahwa kejahatan illegal
logging dapat dilacak dengan menggunakan aliran arus uang. Seorang pengusaha kayu yang mentransfer dalam jumlah besar kepada pejabat pemerintah dan kepolisian dapat diindikasikan bahwa dalam bisnisnya telah menerima kayu illegal dan terlibat praktek illegal logging.
49
Tidak optimalnya pemberantasan illegal logging dengan menggunakan UU Anti Korupsi disebabkan karena aparat penegak hukum yang korup. Tarif setoran tiap bulan untuk tiap‐tiap pejabat memang bervariasi. Misalnya aparat level bawah dan menengah seperti Danlanal menerima Rp 30‐50 juta, pejabat Polairud Rp 20 juta, Dinas Kehutanan Rp 10 juta, Kapolresta Rp 50 juta, Polsek KP3 Rp 10 juta.11 Untuk pangkat yang lebih tinggi mungkin memasang tarif yang lebih besar.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
KESIMPULAN
1. Nilai kerugian negara dari nilai kayu akibat illegal logging pada tahun 2007 sebesar Rp 20,873 triliun. Ironisnya, penyelesaian kasus illegal logging yang menggunakan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masih sangat minim.
2. Simpang siur penghitungan kerugian negara dari sektor kehutanan menjadi problem besar dalam pemberantasan korupsi di bidang kehutanan. Dengan kesimpangsiuran kerugian negara akan mengakibatkan banyak terdakwa yang terlepas dari hukuman penjara dan pengembalian keuangan negara.
3. Di dalam pengungkapan kasus illegal logging yang terkait korupsi, aparat kepolisian dan kejaksaan kurang mengoptimalkan hasil analisis PPATK. Padahal ada sekitar 6 analisis PPATK yang menggambarkan proses suap diantara perusahaan kehutanan dengan pejabat dan aparat pemerintah. Tidak dilanjutkannya hasil analisis PPATK disebabkan banyak aparat penegak hukum yang tersandung masalah jika hal ini dilanjutkan di peradilan.
4. Di dalam beberapa kasus, aparat sering terjebak pembelokan korupsi ke pelanggaran administrasi. Banyak pelaku kejahatan kehutanan yang berkelit bahwa perbuatan yang dilakukan bukanlah korupsi, melainkan hanya pelanggaran administrasi belaka. Menanggapi trik tersebut, aparat penegak hukum sebenarnya tidak perlu terkecoh. Aparat harus
11 Kesaksian Vivin dalam persidangan terdakwa
Pontjodiono di Pengadilan Negeri Cirebon tahun 2006.
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 50 2008
menggunakan formulasi bahwa pelanggaran administrasi kehutanan yang merugikan keuangan negara merupakan tindak pidana korupsi.
REKOMENDASI
1. Penggunaan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu diterapkan kepada setiap kasus kejahatan kehutanan yang berskala besar khususnya yang terjadi Riau. Untuk mengetahui terjadinya suap atau tidak, POLDA Riau perlu meminta analisis transaksi keuangan dari PPATK. Hasil analisis PPATK diharapkan dapat membantu dalam merekonstruksi terjadinya suap diantara pengusaha hutan dan pejabat pemerintah.
2. Departemen Kehutanan, Kepolisian, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, BPKP, dan BPK diharapkan dapat menformulasikan standar penghitungan kerugian keuangan negara akibat adanya praktek illegal logging. Dalam hal ini perlu ada kesepakatan apakah kerugian negara hanya berupa nilai tegakan, tunggakan DR/PSDH atau termasuk kerusakan lingkungan. Hasil dari formulasi tersebut diharapkan dapat dijabarkan ke dalam petunjuk teknis, petunjuk pelaksanaan dan surat edaran supaya bisa dioperasionalkan di tingkat bawah.
3. Departemen Kehutanan perlu mengumumkan tentang sanksi administrasi berupa denda terhadap setiap perusahaan yang melanggar administrasi pengusahaan hutan. Selama ini Departemen Kehutanan terkesan melindungi para perusahaan yang melakukan pelanggaran administrasi.
4. Pada tahun 2008, aparat kepolisian dan kejaksaan perlu menindaklanjuti 6 hasil analisis PPATK yang terkait dengan illegal logging, pencucian uang dan korupsi.
51
LAMPIRAN‐LAMPIRAN
T HP e n g u s a h a k a y u
D ib a n tu a n a k d a n m e n a n tu
R p . 2 5 m ily a r
T A R IK T U N A I
H WA n a k T H
M(M e n a n tu T H )
P a g e 1
K a s u s 3
S e to r d a n a S e to r d a n a
P O L R I
B A N K X
D U A K O N T A IN E RK A Y U
P O N T IA N A K
S A N G G A U
S E K A D A N
S E T O R
P E R IO D E S E P T E M B E R 0 4 -J J U L I 0 5
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 52 2008
R p . 1 0 ,7 m i ly a r P e r io d e F e b 0 3 - A g s t 0 5
T A R IK T U N A I2 R e k . B a n k X
P e n g u s a h a k a y u( A R B ) P E M A S O K
( P e r u s a h a a n k a y u )C V . P G
( P e r u s a h a a n k a y u )P T . H J P
P e n g u s a h a k a y u( U T , Y T , R A R , W ,
A S , A R , A G , C , M K )
P a g e 1
K a s u s 4
S K S H H A s p a l
P e ja b a t D is h u t
K E R U G A IN N E G A R A 3 5 M
53
MELIHAT UANG HARAM
PERUSAK HUTAN YANG KEBAL HUKUM
“Satu saja pelaku illegal logging tertangkap, atau satu saja delik korupsi seorang pejabat diindikasikan, dengan rezim anti pencucian uang seluruh jaringan kejahatan kehutanan tersebut akan terbongkar. Selama proses transaksi keuangan antara para pelaku masih menggunakan sistem keuangan, maka selama itu pula alur harta para pelaku tersebut menjadi jejak yang tidak dapat dibantah.”
Grahat Nagara, Legal Analyst
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 54 2008
PENDAHULUAN Menjelaskan Kerusakan Hutan dengan Menelusuri Uang
Semua pihak setuju hutan di Indonesia telah rusak. Terlepas apakah penyebab utamanya maupun luasannya masih diperdebatkan, yang pasti hutan telah rusak. Orang boleh berargumen mengenai istilah penghancuran, atau kerusakan hutan, atau deforestasi. Tapi, jumlah kerusakan hutan yang kini banyak muncul sebagai asesoris tulisan‐tulisan yang mengupas mengenai hutan, memang sangat mengejutkan. Telapak/EIA menggunakan istilah kehancuran hutan hingga 2,8 juta hektar per tahun. Menempatkan Indonesia sebagai negara dengan kehancuran hutan terparah.
ELSDA berpendapat, bahwa kerusakan hutan ini tidaklah tanpa sebab, bukan hanya sekadar karena mekanisme alam, atau meminjam istilah Bambang Setiono dari CIFOR dalam sebuah Pelatihan Penegakkan Hukum Kejahatan Kehutanan, bahwa hutan tidaklah hilang ditiup angin.
Secara historis, telah banyak digambarkan dalam sejarah bahwa kerusakan lingkungan adalah akibat campur tangan manusia. Begitu juga dengan kerusakan hutan. Telah banyak kasus yang menunjukkan bahwa kerusakan hutan, secara umum disebabkan oleh menumpuknya berbagai ketamakan ekonomi yang sama sekali tidak memperdulikan sustainability, termasuk yang berbasis industri. Indikatornya sederhana. CIFOR mengungkapkan bahwa dengan nilai ekspor kayu yang sebesar $5 milyar per tahun, ditengarai 70%nya berasal dari sumber yang ilegal. Kalau begitu berarti setidaknya kurang lebih 31,5 triliyun rupiah per tahun untuk nilai ekspor kayu itu adalah harta yang bersumber dari kejahatan.
Sayangnya, sampai saat ini pihak‐pihak yang seharusnya bertanggung jawab justru tidak tersentuh. Kombinasi antara pejabat dan aparat yang korup dengan pengusaha yang tamak memang kombinasi yang tepat. Simbiosis berbagai kejahatan saling mendukung terus tergerusnya hutan di Indonesia. Korupsi, kejahatan kehutanan, kejahatan pencucian uang, kejahatan perbankan, kekerasan, dan hilangnya hak azasi manusia, merupakan bentuk‐bentuk kejahatan yang kerap muncul dalam mekanisme perusakan hutan yang
55
terjadi di Indonesia. Disebut mekanisme, karena ia berlaku secara sistematis dan terorganisir.
Hukumlah yang seharusnya bertindak untuk menyelesaikan masalah manusia. Tapi, ini pun tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dalam kasus kejahatan kehutanan, kegagalan hukum sudah menjadi hiasan wajib untuk ditempelkan dalam tulisan yang menganalisis mengenai kejahatan kehutanan, dan pada kenyataannya memang kenyataannya demikian. Berbicara mandulnya penegakkan hukum kejahatanan kehutanan, maka kita akan dihadapkan pada berbagai kendala mulai dari kendala pembuktian adanya kerusakan hutan, subyek atau pelaku tindak pidana yang sulit tersentuh oleh hukum, maupun modus kejahatan kehutanan yang tidak terjangkau hukum. Kesemua kelemahan hukum ini kemudian didukung pula oleh kekuasaan dan uang, yang tentunya tidak dalam jumlah yang kecil. Jelas, sudah bukan barang baru kalau eksploitasi sumber daya hutan yang gelap mata di Indonesia lebih banyak dimotori oleh cukong kayu, dengan bermodalkan izin dengan cara korup, dan pinjaman dari perbankan yang akhirnya berujung kredit macet.
TABEL 1. Data Penyelesaian Kasus‐Kasus Kejahatan Kehutanan yang Ditangani PPNS
Kehutanan
Tahun Jumlah
Tersangka
Vonis
2005 879 217
2006 1.409 247
s.d Sept2007
182 8
Sumber: Departemen Kehutanan, 2007, diolah
Pendekatan follow the money yang diperkenalkan oleh rezim anti pencucian uang‐lah yang kemudian berusaha mereduksi hambatan‐hambatan yang ada dalam pelaksanaan penegakkan hukum kejahatan kehutanan. Rezim ini memanfaatkan motif ekonomi yang dimiliki para pelaku kejahatan. Dengan rezim ini, alur uang justru menjadi jejak yang tidak terbantahkan adanya penyelewengan jabatan untuk melanggengkan kejahatan kehutanan. Dengan melihat alur uangnya pula, seseorang dapat menilai apakah profil perusahaan
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 56 2008
ini normal dalam sebuah bisnis kehutanan. Lebih lanjut, rezim ini memberikan jalan untuk tidak hanya memenjarakan pelaku penebangan, tetapi juga para aktor intelektual yang sebenarnya paling diuntungkan dari adanya kejahatan ini. Sehingga dengan dasar hukum Pasal 2 UU Anti Pencucian Uang, penyidik dapat menggunakan pasal‐pasal dalam delik pencucian uang untuk pelaku kejahatan kehutanan yang umumnya tidak terjangkau dengan UU Kehutanan biasa.
Logikanya sederhana, yaitu bagaimana melihat keterlibatan seseorang dalam kejahatan kehutanan dan siapa yang sebenarnya diuntungkan dari kejahatan ini.
Pendekatan ini memang terbukti meyakinkan, sejak awal berdirinya sampai akhir tahun 2007 ini PPATK sebagai unit inteligen keuangan Indonesia setidaknya telah mengeluarkan 4 buah laporan analisis atas berbagai transaksi keuangan yang diduga terlibat dengan kejahatan pembalakan liar. Sehingga tidak heran kalau, setidaknya sepanjang tahun 2007 ini, penggunaan rezim pencucian uang untuk kejahatan kehutanan cukup sering didengungkan.
Tabel 2. Data Laporan Hasil Analisis Yang Dikeluarkan Oleh PPATK
Kejahatan Asal Jumlah Laporan
Korupsi 231
Pembalakan liar 4
Penggelapan Pajak 7
Pemalsuan Dokumen 21
Kejahatan Perbankan 28
Penyelundupan 4
Pencurian 1
Penipuan 163
Terorisme 6
Narkotika 3
Pemalsuan Uang Rupiah 4
Pornografi Anak 3
57
Perjudian 5
Penyuapan 9
Sumber: Refleksi Akhir Tahun 2007, PPATK, 2007
Optimisme ini penggunaan rezim ini juga semakin menguat hingga tahun 2007. Ketika Adelin Lis, yang banyak disebut‐sebut sebagai cukong kayu, lolos pun dianggap karena jaksa tidak memanfaatkan rezim ini. Tapi tentu saja, pelaksanaanya tidak sesederhana itu. Sampai tahun 2007 ini berakhir, tidak ada satupun cukong kayu, mafia timber, bapak angkat, atau apapun namanya yang berhasil diminta pertanggungjawabannya atas kejahatan kehutanan yang telah ia lakukan dengan rezim ini. Akan tetapi dalam kasus yang berbeda, ketika digunakan untuk menjerat Marthen Renouw, rezim ini justru gagal. Tanpa menutup mata faktor eksternal yang menghambat penggunaan rezim ini. Seperti apa seharusnya rezim ini dilaksanakan untuk kejahatan kehutanan, saat ini, masih menjadi problema tersendiri bagi para penegak hukum, khususnya dalam tataran praktis.
Jelas kiranya, sampai tahun 2007 ini rezim anti pencucian uang tetap masih menjadi angan‐angan. Padahal ditengah gencarnya kampanye anti pembalakan liar, komitmen Menteri Kehutanan, dorongan politis dengan Instruksi Presiden, gebrakan oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat, semangat reformasi, dan kesadaran global mengenai isu perubahan iklim, Indonesia justru masih tidak mampu untuk paling tidak memberikan secercah harapan bahwa hukumlah yang harus menjadi panglima terdepan dalam perlindungan terhadap lingkungan khususnya kehutanan.
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 58 2008
KETIKA PEJABAT DAN APARAT TAK LAGI MEMEGANG AMANAT Menelusuri Uang dan Kekuasaan Pendukung Kejahatan Kehutanan
PENGANTAR
Bagi para pelaku kejahatan, rezim anti pencucian uang dengan pendekatan follow the money‐nya dalam kasus kejahatan kehutanan mungkin terlihat seperti pembunuh massal. Satu saja pelaku illegal logging tertangkap, atau satu saja delik korupsi seorang pejabat diindikasikan, maka seluruh jaringan kejahatan kehutanan tersebut akan terbongkar. Selama proses transaksi keuangan antara para pelaku masih menggunakan sistem keuangan, maka selama itu pula alur harta para pelaku tersebut menjadi jejak yang tidak dapat dibantah. Saking dianggap berbahayanya rezim ini sebagian besar pihak berusaha untuk melaksanakan rezim ini secara hati‐hati. Walaupun, sikap setengah hati kalau tidak dapat disebut plin‐plan ini jugalah yang terkadang justru menjadi hambatan utama rezim ini dan kasus MR adalah salah satunya.
Kasus MR pada tahun 2005 sebenarnya salah satu contoh kasus yang menarik dalam melaksanakan rezim anti pencucian uang pada bidang kehutanan, meskipun contohnya memang contoh yang tidak berhasil. Marthen yang didakwa secara alternatif berlapis antara pencucian uang atau korupsi sekalipun dapat melenggang bebas. Alasannya sederhana, tidak ada saksi kunci.
KASUS POSISI
Secara singkat MR adalah seorang komisaris polisi. Sebagai seorang kabag serse MR berhasil membangun jaringan pertemanan dengan berbagai pihak yang diindikasikan sebagai pelaku illegal logging. Ia diciduk pada Operasi Hutan Lestari II dan diperiksa di Jakarta. Dengan bantuan PPATK, MR terbukti menerima sejumlah uang dari teman‐temannya tersebut hingga sejumlah 1,06 milyar untuk periode September 2002 sampai Desember 2003. Pada tahun 2004 teman‐teman MR, yaitu PT
59
Marindo dan PT Sanjaya digerebek polisi di Bintuni dengan lebih dari 15.000 meter kubik kayu Merbau disita dan 15 orang berkewarganegaraan Malaysia. Sayangnya teman MR yang mentransfer uang pada MR, yaitu Yudi dan Wong Sie King berhasil lolos. Meskipun kedua orang teman MR ini tidak ada akhirnya Jaksa Penuntut Umum di Jayapura mendakwa MR dengan dakwaan alternatif berlapis.
HAL YANG MENARIK UNTUK DIPELAJARI
Ada hal‐hal menarik yang dapat dipelajari dalam kasus MR ini yang menggambarkan bahwasanya memang seharusnya kasus MR menjadi kasus yang mudah dengan berbagai bukti, diantaranya:
Pertama. Pada kasus MR, Jaksa Penuntut Umum mendakwa Marthen dengan dakwaan alternatif berlapis antara korupsi atau pencucian uang.
Alternatif Berlapis Dakwaan Fakta Hukum
Kesatu Primair Pasal 12 a UU No.
31/1999
sebagaimana diubah
dengan UU No.
20/2001 jo. Pasal 64
ayat (1) KUHP.
MR menerima sejumlah
uang dari PT. SM dan PT.
MUJ yang melakukan
kejahatan kehutanan,
padahal MR mengetahui
atau patut menduga bahwa
pemberian tersebut dengan
maksud agar terdakwa
tidak melakukan sesuatu
dalam jabatannya yang
bertentangan dengan
kewajibannya yaitu tidak
melakukan penyelidikan
maupun penyidikan
terhadap PT. SM dan PT.
MUJ.
Subsidair Pasal 12 B UU No. MR menerima sejumlah
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 60 2008
31/1999
sebagaimana diubah
dengan UU No.
20/2001 jo. Pasal 64
ayat (1) KUHP.
uang dari PT. SM dan PT.
MUJ dengan maksud agar
MR tidak melakukan
penegakan hukum
terhadap PT. SM dan PT.
MUJ yang telah melakukan
kejahatan kehutanan.
Lebih
Subsidair
Pasal 11 UU No.
31/1999
sebagaimana diubah
dengan UU No.
20/2001 jo. Pasal 61
ayat (1) KUHP.
MR menerima sejumlah
uang dari PT. SM dan PT.
MUJ yang melakukan
kejahatan kehutanan,
padahal MR mengetahui
atau patut menduga bahwa
pemberian tersebut dengan
maksud agar terdakwa
tidak melakukan sesuatu
dalam jabatannya yang
bertentangan dengan
kewajibannya yaitu tidak
melakukan penyelidikan
maupun penyidikan
terhadap PT. SM dan PT.
MUJ.
Kedua Primair Pasal 3 ayat (1) huruf
c UU No. 25/2003
tentang Perubahan
UU No. 15/2002 jo.
Pasal 64 (1) KUHP.
MR membelanjakan harta
yang diterima dari PT. MUJ
dan PT. SM untuk biaya
operasional kegiatan
penegakan hukum padahal
mengetahui atau patut
menduga bahwa harta
61
tersebut berasal dari hasil
kegiatan PT. MUJ dan PT.
SM yang melakukan
kejahatan kehutanan.
Subsidair Pasal 6 ayat (1) huruf
b UU No. 25/2003
tentang Perubahan
UU No. 15/2002 jo.
Pasal 64 (1) KUHP.
MR menerima sejumlah
harta dari PT. SM dan PT.
MUJ, padahal MR patut
menduga atau mengetahui
bahwa pemberian tersebut
merupakan hasil kegiatan
PT. MUJ dan PT. SM yang
melakukan kejahatan
kehutanan.
Sumber: Dakwaan MR, diolah
Dari seluruh dakwaan tersebut dapat terlihat bahwa hampir seluruh perbuatan pidananya mengacu pada perbuatan MR menerima harta dari PT. MUJ dan PT. SM, kecuali untuk dakwaan kedua primair, MR didakwa atas fakta hukum bahwa dia membayarkan atau membelanjakan harta hasil yang ia ketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana. Pada dakwaan pencucian uangnya jaksa mendakwa berlapis pencucian uang aktif maupun pasif. Melihat fakta hukumnya maka predicate crimes‐nya adalah kejahatan kehutanan yang dilakukan oleh PT. SM dan PT. MUJ. Seharusnya kasus ini dapat menjadi contoh bagaimana pencucian uang dapat menjadi independent crime, yang mana kejahatan pembalakan liar yang dilakukan teman MR, sebagai kejahatan asalnya, belum diputus di pengadilan (karena statusnya masih buron).
Memang, seperti yang diketahui bahwa dakwaan kumulatif antara kejahatan asal dan pencucian uang dianjurkan dalam sebuah Surat Edaran Mahkamah Agung. Selain untuk saling mendukung dan memperkuat fakta hukum, dakwaan kumulatif juga akan memperberat hukuman kepada terdakwa. Namun, anjuran penggunaan dakwaan kumulatif dalam tindak pencucian uang ini tentu tidak mengeliminir sifat independensi kejahatan tindak pidana pencucian uang. Pencucian uang adalah kejahatan yang dapat berdiri sendiri. Meskipun hal ini memang menjadi polemik dalam
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 62 2008
berbagai wacana maupun dalam kesempatan pada pelatihan penegakkan hukum kejahatan kehutanan. Masalah ini juga lah yang sering menimbulkan keraguan diaplikasikannya rezim anti pencucian uang dalam kejahatan kehutanan.
Padahal berdasarkan ketentuan Penjelasan Pasal 2 UU TPPU sebenarnya jelas bahwa pencucian uang dapat juga digunakan sebagai delik yang independen. Dalam berbagai kesempatan Direktur Direktorat Regulasi dan Hukum PPATK, I Ktut Sudiharsa, juga menjelaskan bahwa tindak pidana pencucian uang dapat menjadi delik yang independen khususnya apabila tindak pidana asalnya tidak jelas. Karena pada dasarnya rezim anti pencucian uang dilaksanakan dengan semangat untuk merepresifkan kejahatan‐kejahatan yang sulit tersentuh oleh hukum.
Kedua. Rezim anti pencucian uang sangat bergantung pada profil normal seseorang, kebiasaan seseorang, dan kewajaran prilaku subyek tersebut, termasuk profil harta kekayaannya. Apabila kita telusuri hartanya, seseorang dengan sebuah profesi mungkin akan memiliki grafik kekayaan seperti pada GAMBAR 1 dibawah. Gambaran sederhana ini menjelaskan bahwa kebiasaan seorang profil untuk menerima pendapatan pada pada periode tertentu kemudian akan habis atau berkurang dalam waktu periode tertentu, dan begitu berulang‐ulang.
Gambar 1. Gambaran Sederhana Kebiasan Profil yang Normal
aset
waktu
25 25 25
aset
waktu
25 25 25
Termasuk pula seharusnya MR. Sebagai seorang aparat penegak hukum, MR tentu menerima gaji dalam jumlah tertentu yang kemudian
63
dipakainya untuk kegiatan sehari‐harinya. MR, namun demikian menghasilkan grafik yang berbeda, berdasarkan rekeningnya, misalnya seperti pada GAMBAR 2.
Gambar 2. Gambaran Kebiasan Profil yang Tidak Normal
aset
waktu
25 25 25
5jt
20jt
75jt
40jt
aset
waktu
25 25 25
5jt
20jt
75jt
40jt
Sumber: Dakwaan MR, diolah
Perbedaan ini terjadi karena seperti yang dicantumkan dalam dakwaan MR, seorang Petugas Kabag Serse Umum, menerima kucuran dana dari beberapa sumber, seperti dalam tabel berikut:
Tabel 4. Beberapa Transaksi Keuangan Antara MR dan Pelaku Illegal Logging
Tanggal Pengirim Jumlah
7 November 2002 Denny 75 juta
27 Desember 2002 Denny 20 juta
9 Januari 2003 Denny 40 juta
13 Agustus 2003 Denny 120 juta
6 Oktober 2003 Denny 140 juta
17 Oktober 2003 Denny 35 juta
21 Oktober 2003 Denny 40 juta
23 Desember 2003 Yudi 30 juta
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 64 2008
23 Desember 2003 Yudi 120 juta
Sumber: Dakwaan MR
Ketiga. Manusia pada umumnya adalah makhluk yang pamrih, apalagi dalam hubungan bisnis. Oleh karena itu, setiap transaksi akan mengandung maksud dari si pemberi kepada penerima. Meskipun ini faktor subyektif, namun seseorang tentunya patut menduga apa alasan dibalik transaksi ini dengan melihat indikatornya, yaitu profil pemberi dan penerimanya.
Gambar 3. Profil Pihak yang Bertransaksi Dapat Memberikan Gambaran Maksud
PROFIL PENERIMA
PROFIL PEMBERI
maksud transaksi
Sumber: Diolah dari Dakwaan MR
Dalam kasus MR, Denny dan Yudi merupakan orang pengurus PT. Sanjaya Makmur. Sebuah perusahaan yang bergerak dibidang kehutanan. Dalam persidangan, MR berkilah bahwa dana‐dana yang disetor tersebut adalah pinjaman untuk operasi penyidikkan illegal logging. Kalau pun menggunakan “azas praduga tak bersalah” terhadap kejahatan PT Sanjaya Makmur dan PT Marindo Utama Jaya, hal ini tetap saja menjadi kecurigaan ada alasan apa sehingga MR harus meminta pinjaman dana dari perusahaan kayu? Apakah dana operasional untuk penyidikkan tidak dapat diperoleh dengan cara lain? Meskipun pembelaan ini dapat dinilai tidak masuk akal, sayangnya dalam delik korupsinya sebagai predicate crime tindak pidana pencucian uangnya, hal ini tidak diperdalam oleh Jaksa Penuntut Umum.
65
Keempat. Dalam dakwaannya, cukup menarik, Jaksa Penuntut Umum mengambil sebuah alur bahwa pencucian uang harus melihat fakta sebelum dan sesudah transaksi. Artinya darimana asal uang tersebut dan akan ke mana uang tersebut. Untuk apa? Melihat ke belakang dimaksudkan untuk lebih menegaskan bahwa harta yang dimilikinya berasal dari sumber yang tidak jelas. Sedangkan melihat ke depan untuk menegaskan bahwa memang ada upaya untuk menyamarkan harta tersebut sehingga harta tersebut dapat ia nikmati lagi, artinya ia tetap sebagai beneficial owner dari harta tersebut.
Sayangnya alur ini menjadi tidak rasional dalam skema dakwaan JPU dalam kasus MR, dimana JPU tidak menjelaskan darimanakah harta‐harta tersebut sebelum dimasukan oleh Yudi ke dalam rekening MR. Apakah rekening Yudi sendiri, apakah rekening perusahaan PT. SM, atau dana lain. Namun, jaksa penuntut umum malah dengan riang menyampaikan bahwa harta tersebut dipergunakan untuk membiayai kegiatan penyidikkan yang dilakukan oleh MR, tanpa memperinci berapa saja yang digunakan untuk penyidikkan tersebut. Berapa yang digunakan untuk penyidikkan dari seluruh transfer yang sebesar satu milyar tersebut. Kalau ada sisa, kemana saja sisanya? Semua ini menjadi pertanyaan menggantung dalam kasus MR, padahal sudah ada PPATK yang membantu.
Kelima. Seperti kebanyakan kasus. Hal yang biasanya dianggap kontroversial dalam sebuah kasus adalah putusan hakim. Hakim memang memiliki independensi berdasarkan keyakinannya, penemuan hukum, kebijaksanannya dapat memutuskan yang ia yakini paling adil. Atas kelebihan dan kekurangannya dalam mengadili tentu harus dimaklumi juga. Dalam kasus MR, dalil putusan hakim yang dianggap kontroversi adalah bahwa Yudi Firmansyah merupakan saksi kunci yang tidak dapat dihadirkan ke muka sidang. Padahal kalau kita melihat bahwa alat bukti yang sah dalam Hukum Acara Pidana, tidak hanya saksi, tetapi juga surat, keterangan terdakwa, petunjuk, dan keterangan ahli.
Dalam dakwaan MR memang hampir semua elemen itu tidak mendukung alur cerita bahwa benar dan secara meyakinkan MR telah melakukan kejahatan, selain bukti nyata alur harta berupa dokumen rekening koran yang diafirmasi oleh terdakwa dan keterangan ahli. Dokumen rekening koran merupakan alat bukti yang sah dalam tindak pidana pencucian uang maupun tindak pidana korupsi. Sehingga dengan
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 66 2008
keterangan ahli, dan petunjuk dari beberapa saksi, seharusnya alat‐alat bukti tersebut dapat meyakinkan hakim untuk menjadi dua alat bukti yang sah yang dapat memidanakan MR sesuai dengan kejahatannya.
REFLEKSI PENCUCIAN UANG KASUS MARTHEN RENOUW
Terakhir, meskipun gagal, hal umum yang dapat dipetik hikmahnya dalam kasus MR, adalah bahwa rezim anti pencucian uang sangat berpotensi untuk dapat menjadi senjata yang menakutkan bagi para pelaku kejahatan, khususnya kejahatan kehutanan yang terorganisir seperti di Indonesia. Secara implisit kasus MR lebih menegaskan lagi bahwa memang pelaku kejahatan kehutanan dilakukan oleh perusahaan yang mengantongin izin dengan cara korup dari pejabat dan dengan dukungan aparat. Tentu saja, dengan bantuan sistem peradilan yang korup, kejahatan kehutanan akan selamanya ada di Indonesia.
Dari kasus ini setidaknya ada beberapa hal yang dapat ELSDA Institute lakukan, yaitu menyusun basis data profil pejabat, khususnya yang memegang jabatan sebagai pengambil keputusan, seperti pemberi izin – termasuk profil normalnya. Salah satu hal yang mendukung keyakinan hakim adalah petunjuk, petunjuk tentunya dapat dihasilkan dari berbagai indikator yang terdapat dari alat bukti lain atau barang bukti yang ada. Memperbanyak indikator untuk menegaskan petunjuk tersebut dapat menjadi jeratan yang membuat para pelaku kejahatan tidak dapat berkelit.
67
MENAMBAH DAFTAR PANJANG SKEPTISME PENEGAKKAN HUKUM, BELUM ADA AKTOR INTELEKTUAL YANG DAPAT DIPENJARA Mengejar Pencuri Kayu Hingga ke Negeri Tirai Bambu
PENGANTAR
Menjerat aktor intelektual dari kejahatan kehutanan memang tantangan terbesar penegakkan hukum kejahatan kehutanan. Selain mereka memang secara normatif sulit tersentuh hukum, secara politis pun mereka memiliki kekuatan kekuasaan dan finansial yang nyata‐nyata sering menjadi hambatan untuk menyentuh mereka. Hal ini kemudian menjadi lebih sulit lagi apabila para timber baron ini mengantongi izin yang sah. Hukum pun menjadi kemudian tumpul. Begitupula yang terjadi pada kasus Adelin.
KASUS POSISI
Lain kasus MR, lain pula AL. Setelah terbukti di pengadilan tidak membalak, AL yang disebut‐sebut raja rimba menghilang tidak kelihatan rimbanya. Dalihnya, menurut penasihat hukumnya Hotman Paris, ia sudah tidak percaya lagi dengan hukum Indonesia.
Adelin Lis ditangkap karena kasus pembalakan liar di KBRI Beijing saat sedang mengurus resident permit‐nya dengan alasan untuk izin sekolah di Cina pada September 2006 lalu. Direktur Keuangan PT Keang Nam Development serta Komisaris PT Inanta Timber Trading ini adalah buronan triliunan rupiah. Pada tanggal 20 Juni 2007 lalu, Adelin Lis selaku direktur keuangan PT KNDI didakwa atas kasus pidana korupsi dan kerusakan hutan. Adelin Lis dianggap telah melakukan penggelapan pembayaran DR/PSDH. Di samping itu, ia telah melakukan kegiatan pembalakan jauh diluar jumlah RKT yang notabene dapat menyebabkan kerusakan hutan. Ahli menilai bahwa PT Inanta Timber miliknya menunggak Provisi Sumber Daya Hutan sebesar 256 miliar dan Dana Reboisasi sebesar 2,3 juta dolar amerika. Sedangkan kerusakan yang ditimbulkannya sebesar 225 triliun rupiah.
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 68 2008
Jaksa Penuntut Umum kemudian mendakwa Adelin dengan dakwaan kumulatif antara tindak pidana korupsi dengan kejahatan kehutanan. Kedua dakwaan tersebut memang terkait dengan fakta hukum yang berbeda yang dilakukan oleh AL, yaitu melakukan penebangan diluar RKT dan tidak melakukan Sistem Silvikultur sehingga menyebabkan kerusakan hutan, kemudian melakukan manipulasi penggelapan dana DR dan PSDH sehingga menyebabkan kerugian negara.
Tabel 5. Dakwaan Adelin Lis
Kumulatif Dakwaan
Kesatu Primair Pasal 2 (1) jo. Pasal 18 UU No. 31/1999
sebagaimana diubah dengan UU No.
20/2001 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Kedua Primair Pasal 50 ayat (2) jo. Pasal 78 ayat (1),
ayat (14) UU No 41/1999 jo. Pasal 64
ayat (1) KUHP.
Sumber: Berbagai surat kabar, diolah
Majelis hakim yang terdiri atas Arman Byrin, Robinson Tarigan, Jarasmen Purba, Ahmad Ismedi, dan Dolman Sinaga, namun demikian beranggapan berbeda. berbagai pelanggaran hukum yang dilakukan Adelin menurut mereka adalah ranah administrasi, bukan pidana. Sederhananya Adelin bebas dari segala dakwaan. Skeptisme masyrakat pun kembali terbentuk, bahwa hukum kita memang masih jauh untuk bisa menyentuh aktor intelektual kejahatan kehutanan.
Putusan bebas Adelin jelas meraih respon luar biasa dari masyarakat. Polda pun bereaksi langsung mengumumkan akan menggunakan pencucian uang untuk Adelin Lis. Polemik penggunaan rezim kembali mencuat, namun dari kegagalan kasus Adelin Lis ini ada beberapa fakta hukum yang menarik untuk disimak untuk nantinya menjadi pelajaran bagaimana rezim anti pencucian uang seharusnya diaplikasikan, diantaranya.
69
SULITNYA MENJERAT SANG AKTOR INTELEKTUAL DENGAN PENDEKATAN KONVENSIONAL
Kasus Adelin Lis menambah daftar contoh bagaimana sulitnya mencapai keadilan dengan berbekal pendakatan konvensional. Bahkan sejak dimulainya persidangan, sudah banyak pihak yang memprediksikan bahwa Adelin akan dengan mudah lolos pidana kehutanan dan korupsi. Dari dua dakwaan delik yang dituduhkan Jaksa Penuntut Umum tidak ada satupun yang tidak dapat dibantah oleh pelaku.
Pertama. Masalah kerusakan hutan oleh pemegang izin memang masih menjadi polemik. Meskipun Pasal 50 (2) UU Kehutanan telah menyatakan jelas bahwa perusakan hutan oleh yang berizin adalah pidana, Departemen Kehutanan sebagai pemegang kebijakan dalam bidang kehutanan tetap bersikukuh bahwa pemegang izin tidak mungkin dikenakan pidana, oleh karenanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh nya hanyalah pelanggaran administratif. Terhadap Pasal 50 (2), Awriya Ibrahim dalam sebuah Pelatihan Penegakkan Hukum di ELSDA Institute menjelaskan bahwa indikatornya adalah alih fungsi lahan. Agak tidak masuk akal kalau kemudian dijelaskan lebih lanjut lagi bahwa perbahan alih fungsi lahan hutan itu merupakan wilayah kebijakan Departemen Kehutanan.
Dalam kasus Adelin, dakwaan kedua primair JPU mendakwa Adelin dengan Pasal 50 ayat (2) jo. Pasal 78 ayat (1), ayat (14) UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo. Pasal 64 ayat (1) KUHPidana. Penebangan hutan yang dilakukan PT KNDI menurut jaksa, juga tidak dibarengi kegiatan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dalam penebangan pohon kayu hasil hutan dari periode 2000–2005 mengakibatkan kerusakan hutan yang parah.
Kelalaian untuk tidak melakukan sistem silvikultur dan pelanggaran penebangan di luar Rencana Kerja Tahunan memang merupakan ranah administratif, lihat PP No. 6 Tahun 2007. Namun, pengelolaan yang seperti ini justru sangat memungkinkan menyebabkan kerusakan hutan. Sehingga majelis hakim juga seharusnya dapat menilai bahwa Adelin Lis tidak memiliki itikad baik untuk melaksanakan pengelolaan hutan yang baik atau setidak‐tidaknya melakukan kelalaian yang dapat menimbulkan kerusakan hutan. Itikad tidak baik ini juga sudah terlihat dari awal. Kejahatan
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 70 2008
kehutanan yang dilakukan Adelin Lis pada awalnya tercium dari tertangkapnya kapal pandu yang menarik tongkang dengan muatan 800 batang kayu dengan SKSHH yang sudah kadaluarsa ‐ tertangkap tanggal 23 Januari 2006 dengan dokumen tanggal 21 Januari 2006. Begitu juga berikutnya pada tanggal 24 Januari 2006 Polisi menangkap tongkang dengan 700 batang kayu yang dokumennya tidak sesuai dengan isinya. Kesamaan dari keduanya adalah kayu tersebut berasal dari PT. KNDI dan PT. ITT yang dikelola oleh Adelin Lis. Direskrim Ronny F. Sompie menyatakan bahwa PT. ITT telah melakukan penebangan secara ilegal pada 9 titik. Lima diantaranya bahkan dilakukan diluar wilayah HPH, sedangkan 4 diantaranya diluar Rencana Kerja Tahunannya. Sementara PT. KNDI melakukan penebangan di luar RKT. Fakta hukum lain yang terungkap dalam penyidikan yaitu bahwa kedua perusahaan, yaitu PT. KNDI dan PT. ITT juga melakukan manipulasi berkas‐berkas SKSHH, dengan blanko kosong yang diterima dari oknum pejabat Dinas Kehutanan Madina.
Adanya perizinan maupun dilakukannya pembatasan atau berbagai prosedural formil dalam pengelolaan hutan tentunya dengan tujuan untuk mencegah atau setidaknya memitigasi dampak kerusakan hutan akibat pengelolaan tersebut. Spelt dan Berge12 menyatakan bahwa adanya berbagai instrumen administratif tersebut adalah untuk mencegah adanya bahaya bagi lingkungan. Sehingga ketika seseorang tidak melakukan kewajiban‐kewajibannya tersebut ia dapat dinilai lalai melakukan perlindungan hutan dan secara nyata kegiatannya dapat menyebabkan kerusakan hutan.
Dalam kasus AL ini, namun demikian, Majelis Hakim menilai bahwa bukti yang diajukan oleh JPU kurang kuat. Tidak ada foto maupun video yang membuktikan kerusakan yang dituduhkan. Saksi ahli dari Institut Pertanian Bogor yang diajukan jaksa, yakni Basuki Wasis dan Darsono, pun dinilai tidak kuat, karena penilaian kerusakan hutan ternyata hanya dilakukan dengan penelitian lapangan selama satu hari. Pelanggaran diluar RKT pun dianggap tidak terbukti karena pada titik‐titik tersebut tidak ditemukan adanya penebangan melainkan hanya merupakan tempat
12 N.M. Spelt dan J.B.J.M ten Beger, Pengantar
Hukum Perizinan, disunting Ohilipus M. Hadjon, Yuridika, Surabaya, 1993.
71
pengumpulan kayu. Akibatnya pelanggaran Sistem Silvikultur dan penebangan diluar RKT yang menjadi fakta hukum yang seharusnya mendukung fakta bahwa Adelin Lis telah merusak hutan pun hanya menjadi senjata tumpul.
Kalaupun terbukti melakukan kerusakan, toh Adelin Lis sebenarnya dapat dengan mudah berkilah bahwa posisinya pada PT. KNDI hanyalah direktur keuangan, sehingga tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban atas perbuatan pidana kehutanan yang dilakukan perusahannya.
Kedua. Dakwaan kesatu primair JPU, menyatakan bahwa Adelin telah melakukan tindak pidana sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke‐1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHPidana. JPU menyatakan, Adelin bersama dengan Direktur Utama PT. KNDI, Oscar Sipayung, dan Direktur Operasional PT. KNDI, Washington Pane, telah melakukan penebangan hutan di luar Rencana Kerja Tahunan. Akibatnya KNDI menyumbang kerugian melalui PSDH Rp 309.824.653.850, kemudian DR US$ 2.938.556, dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan Rp 202 triliun. Indikasi kejahatan korupsi yang dilakukan oleh Adelin Lis sebenarnya dapat terlihat dari beberapa modus yang dilakukan oleh perusahaan yang dikelola Adelin yaitu, dengan melakukan mark down tarif DR PSDH dan manipulasi jumlah kayu. Hakim namun lagi‐lagi berpendapat beda, bahwa semua pelanggaran yang dilakukan Adelin hanyalah pelanggaran administrasi. Akhirnya nilai kerugian negara pun kembali menjadi bahan perdebatan yang semakin bias.
REZIM ANTI PENCUCIAN UANG UNTUK SI RAJA RIMBA
Memang seharusnya sejak awal, pencucian uang ini digunakan juga dalam kasus AL. Instrumen‐instrumen anti pencucian agar dapat dimanfaatkan untuk melihat bukti‐bukti alur uangnya, untuk menjerat pelaku‐pelaku yang mendukung kegiatan AL misalnya, dengan melihat alur harta dari PT. KNDI atau PT. ITT dengan Pejabat Dinas Kehutanan yang telah mengeluarkan blanko kosong. Alur bukti uang ini kemudian dapat menjadi alat bukti yang dapat dipergunakan dipersidangan untuk melengkapi puzzle dan menguatkan fakta‐fakta hukum bahwa memang Adelin Lis adalah pelaku tindak pidana.
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 72 2008
Akan tetapi, lolosnya Adelin Lis dengan satu kejahatan kehutanan tersebut, tidak berarti bahwa Adelin Lis tidak dapat diindikasikan melakukan tindak pidana pencucian uang. Tindak pidana pencucian uang tidak hanya dapat diindikasikan dari adanya tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang, tetapi juga dari adanya indikasi transaksi keuangan mencurigakan yang dilakukan oleh pelaku tersebut. Oleh karena itu, dengan melihat transaksi yang dilakukan Adelin dibantu dengan hasil analisis oleh PPATK, penegak hukum dapat menilai apakah Adelin Lis dapat diindikasikan melakukan pencucian uang.
Setidaknya ada beberapa indikator yang dapat mengindikasikan terjadinya transaksi‐transaksi keuangan yang mencurigakan, yaitu:
Pertama, apakah ada transaksi yang janggal untuk dilakukan profil tersebut. Kejanggalan profil transaksi ini misalnya dapat terlihat dari:
1. Apakah asal usul harta yang ditransaksikan wajar diterima oleh profil tersebut. Misalnya seperti dalam kasus MR, Renouw menerima berkali‐kali sejumlah uang dari perusahaan yang terindikasikan melakukan illegal logging.
2. Apakah jumlah harta wajar yang ditransaksikan untuk diterima oleh profil tersebut tanpa alasan yang jelas. Misalnya dalam kasus MR, Renouw menerima sejumlah harta kekayaan dalam jumlah besar, padahal alasannya kurang dapat dipertanggungjawabkan.
Kedua, apakah ada transaksi yang diluar kebiasaan yang dilakukan profil tersebut. Kejanggalan transaksi yang dilakukan oleh seorang profil tersebut dapat terlihat dari apakah profil pihak‐pihak yang terlibat transaksi tersebut memiliki kedudukan wajar untuk melakukan transaksi. Misalnya, dalam kasus MR, adanya transaksi antara MR yang seorang komisaris polisi dan pemilik perusahaan yang diduga melakukan tindak pidana pencucian uang tentu akan menimbulkan kecurigaan tersendiri. Setidaknya dengan melihat kedua profil para pihak yang bertransaksi penegak hukum dapat menilai apakah motif sebenarnya pelaku.
Ketiga, apakah ada indikasi untuk menyamarkan atau mengaburkan asal‐usul transaksi. Kejanggalan ini dapat terlihat dari:
73
1. Apakah ada transaksi yang dilakukan profil tersebut dengan menggunakan identitas palsu. Ketika seorang profil melakukan transaksi dengan identitas palsu, maka ia akan terlihat memiliki maksud untuk menyamarkan asal‐usul transaksi.
2. Apakah ada transaksi yang dilakukan profil tersebut kepada perusahaan‐perusahaan fiktif. Perusahaan fiktif juga umum digunakan untuk menyamarkan alur harta. Dengan ditransfer kepada perusahaan boneka tersebut, harta tersebut seolah‐olah digunakan untuk kepentingan operasional perusahaan, padahal sebenarnya masuk ke dalam penguasaan beneficial owner harta haram tersebut,
3. Apakah ada transaksi yang batal dilakukan profil tersebut. Transaksi yang dibatalkan karena prosedur KYC pada penyedia jasa keuangan akan menimbulkan kecurigaan tersendiri.
4. Apakah ada transaksi atas harta kekayaan yang berputar‐putar tanpa motif ekonomi yang jelas kemudian kembali pada profil yang menjadi beneficial owner harta kekayaan tersebut.
Indikator‐indikator tersebutlah yang seharusnya digunakan untuk melengkapi puzzle informasi sehingga memenuhi keyakinan bahwa Adelin Lis telah melakukan pencucian uang.
Memang telah terungkap bahwa Adelin melakukan berbagai transfer yang dinilai mencurigakan yaitu diantaranya:
Pertama, Adelin melakukan 13 transaksi transfer harta sejumlah Rp. 10,55 milyar dari rekening atas nama Adelin di Bank Buana ke rekening nomor 008‐031288‐001 atas nama Adelin juga di Bank HSBC cabang Medan sejak tanggal 28 Desember 2004 sampai 27 Juli 2005.
Apabila dilakukan tanpa alasan, transaksi ini salah satu contoh transaksi keuangan yang dilakukan tanpa motif ekonomi yang jelas. Patut ditekankan bahwa dalam menjerat tindak pidana pencucian uang unsur motif adalah unsur yang harus jelas. Perpindahan harta dengan jumlah besar yaitu Rp. 10,55 milyar seharusnya tidak wajar apabila dilakukan tanpa alasan. Apalagi transfer tersebut dilakukan antar rekening pribadi dan dalam jumlah yang rata‐rata sama yaitu berkisar Rp. 750 juta dan Rp. 850 juta. Lebih lanjut, melihat dari jumlah transaksi yang besar tersebut, penegak hukum dapat melihat juga apakah bank yang menjadi intermediasi transaksi ini juga menjalankan Prinsip KYC‐nya dengan memenuhi informasi alasan dan asal usul harta atas transaksi yang dilakukan Adelin Lis.
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 74 2008
Namun, saksi‐saksi yang diperiksa kepolisian membenarkan bahwa harta Adelin Lis di HSBC tersebut digunakan untuk membayarkan hutang kepada Hock Seng Trading PTE sejumlah US$ 985 ribu dan US$ 115.136. Nilai tersebut juga berkesesuaian dengan nilai yang ditransfer Adelin dari Bank Buana ke HSBC, dirupiahkan jumlah ribuan dolar tersebut akan memenuhi nilai transaksi Rp. 10,55. Tapi penegak hukum tidak boleh berpuas hati dengan jawaban tersebut. Pertanyaannya selanjutnya adalah apakah benar Adelin memiliki hutang pada Hock Seng Trading itu. Kalaupun benar, atas alasan apakah Adelin berhutang pada Hock Seng Trading dan apakah hutang tersebut hutang pribadi atau hutang perusahaan. Kemudian yang tidak kalah penting adalah siapa pemilik Hock Seng Trading tersebut.
Selain itu, analisis alur uang ini juga tidak hanya dilakukan dengan melihat ke depan, tetapi juga harus dilakukan dengan melihat ke belakang, yaitu dengan melihat dari mana harta yang ada di rekening Adelin pada Bank Buana. Apabila Adelin berkilah bahwa harta tersebut berasal dari bisnis sahnya dengan PT Mitra Niaga atas penjualan plywood dari PT. KNDI dalam suatu periode tertentu. Bukannya tidak mungkin penegak hukum juga menghitung berapa nilai sebenarnya yang diterima Adelin dari penjualan plywood tersebut, dengan melihat berapa jumlah produksi PT. KNDI.
Kedua, Adelin mentransfer juga uangnya dari Bank Buana ke rekening nomor 00057862071 atas nama PT. Sinar Gunung Sawit Raya (PT. SRGR) di Bank BNI Jalan Pemuda, Medan. Tercatat 66 kali rekening tranfer uang oleh Adelin ke Rekening PT. SGSR, dengan nilai total sebesar Rp. 33,04 milyar dari tanggal 11 Juni 2004 hingga 5 April 2006. Dari alur transaksinya PT. SRGR kemudian mentransaksikan pada PT Tirta Makmur (PT. TM) sebesar Rp. 14,369 milyar untuk membangun pabrik kelapa sawit. Kemudian, PT SRGR juga mentransfer sebesar US$ 373.643 kepada PT Super Andalas Steel (PT. SAS) untuk keperluan membangun boiler.
Dari total transaksi 33 milyar rupiah tersebut, hampir setengahnya dipergunakan untuk membangun pabrik sawit yaitu 14 milyar rupiah. Penegak hukum juga harus dapat memverifikasi apakah benar PT. SRGR selama periode tersebut membangun pabrik sawit. Apabila ternyata PT. SRGR tidak melakukan pembangunan sawit dan harta dalam jumlah besar
75
dari PT. SRGR berbalik kepada Adelin, maka hal ini menunjukkan bahwa PT. SRGR hanyalah perusahaan boneka saja (shell company) untuk mencuci uang haram yang dimiliki Adelin. Hal ini saja sudah cukup untuk mengindikasikan bahwa Adelin berusaha melakukan proses layering dalam pencucian uang.
Ketiga, Adelin Lis juga melakukan transfer ke rekening nomor 105‐017‐80002‐6 atas nama PT Mujur Timber di Bank Mandiri Cabang Imam Bonjol, Medan. Transfer ini dilakukan sebanyak 39 kali dengan jumlah Rp. 25,05 milyar dari tanggal 26 Mei 2004 sampai 7 Oktober 2005, dengan alasan untuk membiayai berbagai keperluan operasional PT. KNDI dan PT. MTG.
Seperti halnya memperlakukan transaksi‐transaksi sebelumnya. Penegak hukum juga harus dapat melihat apakah benar kemudian ada transfer dari PT. MTG tersebut kepada PT. KNDI yang akan digunakan untuk membiayai operasional PT. KNDI. Selanjutnya, dengan membandingkan keseluruhan sumber dan peruntukkan transaksi yang dilakukan maka kita juga akan dapat melihat apakah ada kesesuaian pada transaksi‐transaksi tersebut. Apabila Adelin berdalih bahwa itu merupakan hasil penjualan kayu plywood PT. KNDI kepada PT. MN, berarti seharusnya harta tersebut adalah harta perusahaan, agak menjadi janggal kemudian harta tersebut sebagian besar yaitu sekitar 42% dari total harta tersebut justru digunakan untuk untuk keperluan yang tidak ada hubungannya dengan perusahaan itu sendiri.
Tabel 6. Beberapa Transaksi Keuangan Antara MR dan Pelaku Illegal Logging
Peruntukkan Prosentase
Hutang pribadi 12,6%
Membiayai PT. SGR 39,7%
Membiayai operasional
PT. MTG
30,1%
Sumber: Dakwaan MR, diolah
Terakhir, apabila pemeriksaan di pengadilan akan dilakukan secara in
absentia, setelah penegak hukum memiliki semua informasi untuk menjerat
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 76 2008
Adelin, maka selanjutnya terserah Adelin apakah ia akan keluar dari
persembunyiannya untuk membuktikan bahwa hartanya adalah harta yang
sah.
SIMPULAN DAN REKOMENDASI Refleksi Untuk Awal Tahun 2008
SIMPULAN
Dari paparan tersebut diatas, setidaknya ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil yaitu:
1. Rezim anti pencucian uang sangat berpotensi untuk dapat menjerat pelaku‐pelaku kejahatan yang biasanya sulit disentuh oleh hukum. Dalam kasus Renouw misalnya, rezim ini dapat membantu menguatkan fakta hukum yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk menjerat pelaku illegal logging. Pertama, dengan menelusuri harta, maka penegak hukum akan dapat melihat siapa sebenarnya yang diuntungkan dari kejahatan tersebut. Kedua, dengan menelusuri harta dan melihat profilnya, maka penegak hukum akan dapat melihat motif apa yang tersembunyi dari transaksi tersebut. Ketiga, dengan menelusuri hartanya dan melihat pola atau kebiasaan transaksinya, maka penegak hukum dapat menilai apakah pelaku memang melakukan tindak pidana pencucian uang atau tidak.
2. Sayangnya, sampai dengan tahun 2007, masih belum ada pelaku intelektual kasus illegal logging yang dijerat dengan UU Anti Pencucian Uang. Padahal kegagalan demi kegagalan menjerat pelaku illegal logging dengan UU Kehutanan saja seharusnya menjadi bahan pelajaran dan pertimbangan untuk lebih mengoptimalkan penggunaan rezim anti pencucian uang.
3. Masih banyaknya perdebatan mengenai bagaimana rezim penggunaan anti pencucian menimbulkan keraguan dan hambatan baik secara struktural dan substansial dalam penggunaan rezim anti pencucian uang. Dalam beberapa kasus penegak hukum terlihat enggan
77
menggunakan rezim ini, padahal penggunaan UU Kehutanan dengan pendekatan konvensional seringkali menjadi pilihan yang tidak hanya tidak efektif, tidak efisien juga seringkali dibelokkan kearah pelanggaran administratif. Seharusnya penegak hukum tidak hanya terpaku pada harus membuktikan terlebih dahulu adanya illegal logging yang dilakukan pelaku atau tidak, karena celah menjerat adanya pencucian uang bukan hanya dimulai dari adanya indikasi adanya kejahatan asalnya tetapi juga adanya transaksi keuangan yang dapat dinilai mencurigakan.
REKOMENDASI
Berdasarkan simpulan tersebut setidaknya ada beberapa hal yang dapat menjadi rekomendasi untuk kedepannya dalam penegakan hukum follow the money secara terintegratif, yaitu:
1. Perlunya penggunaan UU Tindak Pidana Pencucian Uang untuk setiap kasus kejahatan kehutanan. Dengan penggunaan UU ini, diharapkan dapat lebih menguatkan berbagai fakta hukum yang terjadi dalam kasus tersebut termasuk untuk membongkar bagaimana keterlibatan dan oknum pejabat dan aparat, yang turut mendukung keberlanjutan kejahatan kehutanan tersebut.
2. PPATK perlu lebih aktif mendorong penegak hukum untuk mengoptimalkan penggunaan rezim ini berdasarkan laporan hasil analisis yang disampaikan kepada penegak hukum dan lebih banyak lagi mensosialisasikan penggunaan rezim anti pencucian uang kepada para penegak hukum, termasuk mengenai independensi tindak pidana pencucian uang.
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 78 2008
79
CATATAN BADAN LAYANAN
UMUM 2007
“Untuk menjadi BLU Penuh, diperlukan orang‐orang yang
profesional di bidangnya agar dapat menyusun Rencana Stategis
Bisnis dan Standar Pelayanan Minimal yang rasional, serta
Laporan Keuangan yang akuntabel. Saat ini pejabat keuangan
dengan status akuntan belum ada dalam BLU‐Pusat P2H, tentu
hal itu akan mempersulit BLU‐Pusat P2H untuk bisa memenuhi
Persyaratan Administratif sebagaimana diwajibkan agar
memperoleh status BLU Penuh. “
Triana Ramdani, Financial Analyst
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 80 2008
PENDAHULUAN
Pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam yang tidak sustainable patut menjadi hal penting yang harus segera ditindaklanjuti. Ulah manusia‐manusia yang tidak bertanggung jawab dengan mengeksploitasi kekayaan alam tanpa ada langkah melestarikannya, membuat kondisi alam ini semakin tidak bersahabat. Maraknya illegal logging merupakan salah satu penyebab utama terjadinya bencana alam akhir‐akhir ini. Bagaimana tidak, hutan yang seharusnya menjadi tempat penyerapan air, sumber oksigen, dan habitat satwa liar, kini hanya menjadi hamparan tanah kosong semata. Sangat wajar jika kini bencana banjir dan tanah longsor menimpa hampir di seluruh pelosok Indonesia.
Negara Indonesia disebut‐sebut sebagai negara yang mengalami deforestasi paling tinggi di dunia. Untuk era tahun 2000‐an, laju kerusakan hutan telah mencapai jutaan hektar per tahun. Tahun 2000‐2004 mencapai 3,4 juta ha/tahun, tahun 2005 mencapai 2,8 juta ha/thn, dan tahun 2006 mencapai 2,72 juta ha/thn (Suara Pembaruan, 23 Mei 2007). Para ahli memprediksi, jika hal ini dibiarkan terjadi, maka hutan di Indonesia akan punah dalam jangka waktu kurang dari 15 tahun.
Kegiatan illegal logging dilakukan baik oleh perorangan maupun oleh perusahaan. Selain bencana alam, negara pun turut dirugikan dari kejahatan kehutanan itu. Pasalnya, setiap kayu yang ditebang secara ilegal tentu tidak akan membayar Dana Reboisasi (DR) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH). Dimana menurut peruntukkannya Dana Reboisasi itu akan dipergunakan untuk membangun hutan kembali. Meskipun pada kenyataannya jauh dari yang disebutkan. Dimana karena rendahnya efektifitas, penyaluran DR untuk pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) dihentikan pada tahun 2000.
Menurut Direktur Greenomics Indonesia Elfian Effendi (Kompas, 8/9/2006), masih terdapat Utang HTI tidak tertagih sejak tahun 1998. Jumlah total utang yang bersumber dari anggaran negara sektor kehutanan mencapai Rp 1,45 triliun, yaitu utang pembangunan HTI Rp 1,08 triliun, kredit usaha tani Rp 170,9 miliar, dan koperasi perumahan Rp 77,89 miliar. Ada juga dana sektor
81
kehutanan yang dipinjam untuk kepentingan Sea Games Rp 30 miliar, yang apabila diperhitungkan bunga, nilainya menjadi Rp 83,24 miliar.
Tahun 2007 ini, bisa dikatakan Pemerintah mulai menunjukkan salah satu langkah konkretnya dalam perbaikan di sektor kehutanan. Pemerintah membentuk sebuah satuan kerja (satker) di Departemen Kehutanan, yakni Badan Pembiayaan Pembangunan Hutan (BP2H). Satker ini akan memberikan pinjaman berupa dana bergulir kepada masyarakat dan BUMN/S/D untuk membangun hutan tanaman. Diharapkan dengan pola pembiayaan ini Indonesia bisa benar‐benar melakukan langkah real reboisasi.
Dengan beberapa masalah yang dihadapi, badan yang kini berganti nama menjadi BLU‐Pusat P2H (Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan) dikatakan memiliki risiko kegagalan yang cukup tinggi. Dimana perlu banyak pihak yang harus berperan serta agar tujuan dari BLU‐ Pusat P2H bisa tercapai. Mengingat kinerja DR pada tahun‐tahun sebelumnya yang tidak terarah dan terkontrol. Namun paling tidak kita harus mendukung salah satu upaya pemerintah tersebut.
PERATURAN BADAN LAYANAN UMUM Aturan mengenai Badan Layanan Umum (BLU) diatur dalam PP No.
23/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK‐BLU). Dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan BLU adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.
Sedangkan PK‐BLU adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek‐praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan negara pada umumnya.
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 82 2008
Selain Peraturan di atas, secara lebih rinci aturan mengenai BLU diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang terdiri dari:
1. PMK No. 119/2007 Tentang Persyaratan Administratif dalam rangka Pengusulan dan Penetapan Satuan Kerja Instansi Pemerintah untuk Menerapkan Pengelolaan Keuangan BLU.
2. PMK No. 109/2007 Tentang Dewan Pengawas Badan Layanan Umum
3. PMK No. 73/2007 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan No. 10/2006 tentang Pedoman Penetapan Remunerasi bagi Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, dan Pegawai BLU.
4. PMK No. 08/2006 Tentang Kewenangan Pengadaan Barang/Jasa pada BLU.
5. PMK No. 66/2006 Tentang Tata Cara Penyusunan, Pengajuan, Penetapan, dan Perubahan Rencana Bisnis dan Anggaran serta Dokumen Pelaksanaan Pelaksanaan Anggaran BLU.
KONSEP BADAN LAYANAN UMUM Konsep keuangan yang paling membedakan BLU dengan badan di
lingkungan pemerintahan lainnya adalah mengenai fleksibilitasnya dalam mengelola keuangan. Dimana BLU diberikan hak untuk menggunakan pendapatannya langsung tanpa harus disetor ke kas negara terlebih dulu sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Dengan pengelolaan seperti itu diharapkan satker akan lebih fleksibel dalam mengelola keuangannya sendiri. Sehingga bisa meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat.
83
Adapun perbedaan lainnya antara konsep BLU dengan konsep badan sektor publik yang ada yaitu:
Tabel 1. Perbedaan Konsep BLU dengan Konsep Badan Sektor Publik Lainnya
No. Keterangan Satker Biasa BUMN Satker dengan Status BLU
1. Orientasi Bisnis
Non Profit
(pendapatan < belanja)
Profit Oriented (pendapatan > belanja)
Not for Profit
(tidak mengutamakan keuntungan)
2. Hak Otonomi Tidak Otonom Otonom Semi Otonom / Otonom
3. Pengelolaan Keuangan
Sesuai dengan mekanisme APBN
Murni Bisnis Sesuai dengan PP 23/2005
4. Status Kekayaan
Tidak Dipisahkan dari Kekayaan Negara
Dipisahkan dari Kekayaan Negara
Tidak Dipisahkan dari Kekayaan Negara
Sumber: Pembinaan PK‐BLU oleh Departemen Keuangan
Kelebihan yang dimiliki BLU dalam fleksibilitasnya adalah mencakup kebebasan dalam mengelola:
♦ Pendapatan dan Belanja ♦ Pengelolaan Kas ♦ Pengelolaan Piutang dan Utang ♦ Investasi ♦ Pengelolaan Barang ♦ Surplus/Defisit ♦ Akuntansi ♦ Remunerasi ♦ Status Kepegawaian PNS dan non PNS ♦ Nomenklatur Kelembagaan dan Pimpinan
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 84 2008
MONITORING BADAN LAYANAN UMUM KEHUTANAN
Saat ini baru satu satker dari Departemen Kehutanan yang dijadikan BLU, yaitu BLU‐Pusat P2H. Badan ini didirikan pada tanggal 2 Maret 2007 sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 137/KMK.05/2007 serta Peraturan Menteri Kehutanan No. P.31/Menhut‐II/2007. Badan ini memiliki kegiatan utama penyaluran pinjaman dana bergulir bagi pembangunan hutan tanaman baik oleh BUMN/D/S/Koperasi maupun Kelompok Tani Hutan.
BLU‐Pusat P2H dibentuk untuk meningkatkan pengelolaan dan pemanfaatan hutan produksi terutama yang tidak dibebani hak. Hal ini sejalan dengan deklarasi Presiden Tanggal 11 Juli 2006 tentang Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK), sektor Kehutanan diminta memberikan kontribusi pada pemanfaatan lahan yang tidak produktif menjadi produktif (pro environment), pertumbuhan (pro growth), bergeraknya sektor riil kehutanan di perkotaan berupa aktifnya industri‐industri kayu berbasis bahan baku lestari (pro job) dan pengentasan kemiskinan masyarakat setempat melalui pemberdayaan ekonomi, baik dalam pola kemitraan maupun sebagai pelaksana (owner) IUPHHK HTR/HTI (Pro poor).
STATUS BLU‐PUSAT P2H
Status BLU‐Pusat P2H adalah BLU Bertahap 80%. Maka sesuai dengan aturan fleksibilitasnya, pendapatan operasional yang diperolehnya hanya bisa digunakan sebesar 80% saja, sisanya yang 20% tetap harus disetor ke kas negara. Status Bertahap diperoleh karena persyaratan administratif BLU‐Pusat P2H dianggap kurang memadai oleh Menteri Keuangan untuk menjadi BLU Penuh.
85
Skema Penetapan BLU
Satker Menteri / Pimpinan Lembaga
Menteri Keuanganc.q.
Dirjen Perbendaharaan
PersyaratanAdministratif
Persyaratan SubstantifPersyaratan Teknis
YesNo
No Yes
Tim Penilai
YesNo
BLU Penuh
Persyaratan Substantif TerpenuhiPersyaratan Teknis Terpenuhi
Persyaratan Administratif Terpenuhi
BLU Bertahap
Persyaratan Substantif TerpenuhiPersyaratan Teknis Terpenuhi
Persyaratan Administratif Belum Terpenuhi
Selama 3 Tahun SyaratAdministratif Terpenuhi
Selama 3 Tahun SyaratAdministratif Tidak Terpenuhi
Gambar 1. Skema Penetapan BLU
Berdasarkan skema di atas, berarti BLU‐Pusat P2H diberi waktu selama tiga tahun untuk dapat menyempurnakan Persyaratan Administratif tersebut. Dimana persyaratan tersebut terdiri dari:
♦ Pernyataan Kesanggupan Menigkatkan Kinerja Pelayanan, Keuangan, dan manfaat bagi masyarakat.
♦ Pola Tata Kelola ♦ Rencana Stategis Bisnis ♦ Laporan Keuangan Pokok ♦ Standar Pelayanan Minimal ♦ Laporan Audit Terakhir, atau Pernyataan bersedia untuk diaudit
secara Independen.
KEORGANISASIAN
Keorganisasian BLU‐Pusat P2H telah ditetapkan dalam Permenhut No. P.31/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan yang telah disetujui oleh Menteri Pendayagunaan
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 86 2008
Aparatur Negara. Berdasarkan peraturan tersebut, struktur organisasi BLU‐Pusat P2H ditentukan sebagai berikut:
STRUKTUR ORGANISASI PUSAT PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN HUTAN
MENTERI KEHUTANAN
DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI HUTAN
SEKRETARIS JENDERALDEPARTEMEN KEHUTANAN
KEPALA PUSAT PEMBIAYAANPEMBANGUNAN HUTAN
KEPALA BAGIAN TATA USAHA
KEPALA BIDANG PENYALURAN DAN PENGEMBALIAN PINJAMAN
KEPALA BIDANG PENILAIAN KELAYAKAN USAHA
SUB BAGIAN UMUM
SUB BAGIAN HUKUM DAN HUMAS
SEKSI RENCANA BISNIS DAN ANGGARAN
SEKSI PENYALURAN
DAN PENGEMBALIAN
SEKSI PENYIAPAN PENILAIAN
SEKSI EVALUASI DAN
PELAPORAN FISIK
KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL
Gambar 2. Struktur Organisasi Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan
Dari gambar tersebut, terlihat bahwa struktur yang dibentuk kurang sesuai dengan konsep BLU yang diatur dalam PP 23/2005 pasal 32. Dimana pejabat pengelola BLU terdiri dari Pimpinan BLU yang bertanggung jawab terhadap keseluruhan kinerja BLU, dibantu Pejabat Keuangan dan Pejabat Teknis yang masing‐masing bertanggung jawab atas kinerja keuangan dan kinerja operasional BLU.
87
Dengan bentuk organisasi di atas, kriteria yang menyatakan unsur organisasi BLU yang seharusnya menjadi tidak nampak. Hal itu menyebabkan biasnya penanggung jawab utama dalam bidang operasional dan keuangan BLU‐Pusat P2H. Terlebih untuk bidang keuangan dan akuntansi.
Menurut PP 23/2005 dijelaskan pula bahwa pengawasan terhadap kinerja BLU akan dilakukan oleh dua pihak. Yakni dari pihak eksternal yaitu Badan Pengawas, dan pihak internal yaitu Satuan Pengawas Internal (SPI).
Dalam pasal 35 (1), BLU harus memiliki SPI yang berkedudukan langsung di bawah Pimpinan BLU. Dimana tugasnya adalah untuk mengawasi kinerja BLU itu sendiri. Akan tetapi pada Struktur Organisasi BLU‐Pusat P2H ternyata tidak dibentuk SPI. Dan Dewan Pengawas pun belum ditetapkan sampai saat ini. Sehingga tidak ada sama sekali yang mengawasi kinerja BLU‐Pusat P2H.
Padahal dalam pasal 5 PMK 109/2007 Badan Pengawas berkewajiban untuk memberikan nasihat, saran, atau tanggapan atas pengelolaan BLU, laporan keuangan, dan laporan kinerja BLU. Sehingga jika Badan Pengawas sudah terbentuk bagi BLU‐Pusat P2H, secara langsung akan membantu BLU untuk memenuhi kriteria menjadi BLU Penuh.
Jika dilihat dari persyaratan Pembentukan Dewan Pengawas pun sebenarnya BLU‐Pusat P2H sangat memenuhi kriteria. Karena nilai asetnya menurut neraca lebih dari Rp 75 Milyar. Dan atas dasar nilai aset menurut neraca BLU‐Pusat P2H yang lebih dari Rp 200 Milyar, maka jumlah Anggota Dewan Pengawasnya ditetapkan 3 (tiga) sampai 5 (lima) orang.
KONSEP PENGELOLAAN KEUANGAN
Saat ini BLU‐Pusat P2H hanya menerapkan konsep akuntansi keuangan organisasi nirlaba. Dalam PP 23/2005 pasal 25, atas persetujuan Menteri Keuangan BLU bisa menerapkan sistem akuntansi keuangan apa saja yang sesuai dengan jenis layanannya dan diatur dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI).
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 88 2008
Jika melihat jenis layanannya yang memberikan pinjaman kepada nasabah, BLU‐Pusat P2H layak mengajukan sistem akuntansi keuangan perbankan. Sehingga penyusunan laporan keuangannya bisa lebih jelas dan akuntabel seperti layaknya laporan keuangan perbankan pada umumnya, meskipun tetap harus mengacu pada akuntansi nirlaba.
Laporan Keuangan BLU‐Pusat P2H tidak wajib dipublikasikan, padahal seharusnya laporan tersebut dipublikasikan agar dapat tercipta transparansi dalam BLU‐Pusat P2H.
TARGET KINERJA OPERASIONAL BLU‐PUSAT P2H
Tabel 2. Target Kinerja Operasional BLU‐Pusat P2H Periode 2007‐2008
No. Keterangan 2007 2008
1. Total Dana Bergulir yang akan Disalurkan (Rp) 1,393 Triliun 1,65 Triliun
2. Dana Bergulir untuk Pembangunan HTR (Rp) 868,6 Milyar 983,6 Milyar
3. Dana Bergulir untuk Pembangunan HTI (Rp) 525 Milyar 666,4 Milyar
4. Standar Biaya Pembangunan HTR Per Hektar (Rp)
4,34 Juta 4,46 Juta
5. Standar Biaya Pembangunan HTI Per Hektar (Rp)
5 Juta 4,46 Juta
6. Luas Wilayah HTR yang akan Terbangun (Ha) 200.000 220.506
7. Luas Wilayah HTI yang akan Terbangun (Ha) 105.000 147.004
Sumber: BLU‐Pusat P2H
Hingga akhir 2007 BLU‐Pusat P2H belum beroperasi sama sekali. Pasalnya, dana bergulir yang dijanjikan sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 137/2007 sebesar Rp 1,4 Triliun (Pembulatan dari Rp 1,393 Triliun), tidak bisa dicairkan karena BLU‐Pusat P2H terlambat menyusun Rencana Bisnis dan Anggaran sebagai syarat utama pencairannya.
89
Sesuai dengan peraturannya pada pasal 11 PP 23/2005 bahwa penggunaan APBN harus berdasarkan Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA) beserta usulan Standar Pelayanan Minimum (SPM) dan Biaya dari Keluaran yang akan Dihasilkan BLU yang disetujui oleh Menteri Keuangan.
Sehubungan dengan tidak terealisasinya Anggaran 2007 BLU‐Pusat P2H, maka secara otomatis anggaran tahun 2008 pun tidak akan terealisasi. Karena sesuai dengan aturannya (PP 23/2005 pasal 12), jika sampai 31 Desember Menteri Keuangan belum menyetujui Dokumen Pelaksanaan Anggaran yang diajukan, maka BLU‐Pusat P2H hanya dapat melakukan pengeluaran dana paling tinggi sebesar angka Dokumen Pelaksanaan Anggaran tahun sebelumnya.
Untuk penentuan dana yang disalurkan, selayaknya dihitung berdasarkan kebutuhan. Misalnya berapa luas hutan tanaman yang akan dibangun dan berapa biaya standar yang dibutuhkannya. Sehingga akan lebih memudahkan dalam menyusun RBA‐nya.
Berbeda dengan BLU‐Pusat P2H, dana bergulir yang akan disalurkan ditetapkan terlebih dulu dari pada penentuan wilayah, luas lahan, dan biaya standar untuk hutan tanaman yang akan dibangun. Sehingga penentuan konsep hutan tanaman yang akan dibangun pun terkesan dipaksakan dan menjadi kurang rasional.
Sampai saat ini konfirmasi atas berapa jumlah IUPHHK‐HTR belum ditetapkan. Padahal hal itu merupakan syarat utama yang harus dipenuhi nasabah untuk membangun HTR. Pengajuan pembangunan HTI dari Perusahaan pun belum dipublikasikan. Standar kelayakan pengajuan proposal pembangunan hutan tanaman juga ternyata belum terbuat.
Jika melihat konsep perbankan dalam memberikan pinjaman, mereka sangat berhati‐hati untuk menentukan apakah sang nasabah layak untuk diberi pinjaman atau tidak. Hal itu adalah untuk meminimalisir terjadinya kegagalan pembayaran sang nasabah tersebut.
Kemampuan teknis dan keuangan dari debitur terutama anggota koperasi dan kelompok tani hutan umumnya terbatas. Sedangkan BLU‐Pusat P2H, sebagian besar dana yang akan disalurkan adalah kepada masyarakat tani dan koperasi. Lantas bagaimana BLU‐Pusat P2H dapat
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 90 2008
yakin bahwa masyarakat tani dan koperasi bisa mengelola keuangan dan mengembalikan pinjamannya pada saat jatuh tempo?
REKOMENDASI 1. Untuk menjadi BLU Penuh, diperlukan orang‐orang yang profesional di
bidangnya agar dapat menyusun Rencana Stategis Bisnis dan Standar Pelayanan Minimal yang rasional, serta Laporan Keuangan yang akuntabel. Saat ini pejabat keuangan dengan status akuntan belum ada dalam BLU‐Pusat P2H, tentu hal itu akan mempersulit BLU‐Pusat P2H untuk bisa memenuhi Persyaratan Administratif sebagaimana diwajibkan agar memperoleh status BLU Penuh. Padahal kehadiran akuntan akan sangat membantu BLU‐Pusat P2H, karena penyusunan laporan kegiatan yang akan dibuat harus direfleksikan ke dalam anggaran.
2. BLU‐Pusat P2H sebaiknya memang harus memperkuat unsur keuangannya, karena seperti diketahui bahwa jenis layanan yang diberikan adalah berupa penyaluran dana seperti perbankan. Maka sudah selayaknya unsur keuangan menjadi unsur terkuat dalam BLU‐Pusat P2H.
3. Dalam penentuan struktur organisasi, agar terdapat sinkronisasi antara ketentuan BLU yang ditetapkan oleh Departemen Keuangan, dan ketentuan yang ada di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Departemen Kehutanan harus melakukan koordinasi yang baik dengan keduanya. Sehingga struktur organisasi yang terbentuk dapat sesuai dengan ketentuan dan kebutuhan. Yaitu adanya kejelasan mengenai Pejabat Teknis, Pejabat Keuangan, dan SPI.
4. Keseluruhan unsur organisasi dalam BLU‐Pusat P2H yang diduduki oleh PNS kemungkinan besar akan menyebabkan birokrasi yang sama dengan sistem pemerintahan. Padahal adanya kebijakan mengenai penempatan posisi unsur organisasi oleh non‐PNS merupakan suatu kesempatan untuk bisa lebih menerapkan prinsip kewirausahaan, profesionalisme, dan praktek bisnis yang sehat.
5. Kepada Departemen Kehutanan, sebaiknya segera mengusulkan pembentukan Dewan Pengawas bagi BLU‐Pusat P2H. Karena selain berfungsi sebagai alat kontrol, Dewan Pengawas juga bisa membantu BLU‐Pusat P2H untuk memperbaiki kinerja dengan memberikan saran dan nasehat kepada pejabat pengelola BLU‐Pusat P2H. Maka dalam waktu dekat peran Dewan Pengawas akan sangat diperlukan untuk perolehan status BLU Penuh bagi BLU‐Pusat P2H.
91
6. Selain konsep SAK Nirlaba, seharusnya BLU‐Pusat P2H juga menganut SAK Perbankan sesuai dengan jenis layanan yang diberikannya kepada masyarakat.
7. Seharusnya Laporan Keuangan dan Laporan Kinerja BLU‐Pusat P2H dapat dipublikasikan sesuai dengan prinsip transparansi dan akuntabilitasnya.
8. Tahap awal dalam kegiatan operasionalnya, sebaiknya BLU Pusat‐P2H segera menetapkan standar penyusunan dan evaluasi kelayakan proposal bagi pengajuan pinjaman yang harus dipenuhi oleh nasabah. Sehingga setelah dana bergulir diterima, dana tersebut dapat langsung disalurkan kepada nasabah.
9. BLU‐Pusat P2H juga harus memiliki data yang jelas mengenai luasan hutan rusak yang akan dibangun dan sesuai dengan prioritasnya. Sehingga di periode selanjutnya data hutan yang akan dibangun lebih jelas sebagai acuan dalam penentuan dana yang akan diberikan oleh Departemen Keuangan, tentunya dengan kesesuaian standar biaya pembangunan hutan tanaman yang telah dihitung pula.
10. Proses pengukuhan kawasan hutan harus didahului, inventarisasi hutan yang sesuai dengan kondisi lapangan guna menghindari persoalan sengketa lahan dengan masyarakat setempat di kemudian hari.
11. Harus diselenggarakan suatu pelatihan untuk peningkatan kemampuan teknis dan keuangan dari Debitur terutama bagi kelompok tani dan koperasi untuk meminimalisir kegagalan pembayaran pinjaman yang diberikan.
12. Menteri Kehutanan segera menetapkan mekanisme atau prosedur operasi standar dalam memutuskan pinjaman yang bagaimana yang layak dihapuskan, termasuk ketentuan mengenai agunan/jaminan dan prosedur yang jelas untuk mengeksekusi sita jaminan/agunan atas pinjaman yang gagal bayar.
REFERENSI 1. Badan Layanan Umum Badan Pembiayaan Pembangunan Hutan (BLU‐
BP2H), Departemen Kehutanan pada acara diskusi panel “BP2H Sebagai Solusi atau Bukan?”. 4 Juli 2007.
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan 92 2008
2. Badan Pembiayaan Pembangunan Hutan: Solusi Syarat Risiko, ELSDA Institute. 2007.
3. Hutan Indonesia Dikhawatirkan Punah dalam Jangka 15 Tahun, Suara Pembaruan 23 Mei 2007.
4. Menko Perekonomian diminta Menunda BLU Kehutanan, Kompas 8 September 2006.
5. Pembinaan BLU oleh Menteri Keuangan, Departemen Keuangan pada acara diskusi panel “BP2H Sebagai Solusi atau Bukan?”. 4 Juli 2007.
6. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.31/MENHUT‐II/2007 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan.
7. Peraturan Menteri Keuangan No. 119/PMK.05/2007 Tentang Persyaratan Administratif dalam rangka Pengusulan dan Penetapan Satuan Kerja Instansi Pemerintah untuk Menerapkan Pengelolaan Keuangan BLU.
8. Peraturan Menteri Keuangan No. 109/ PMK.05/ 2007 Tentang Dewan Pengawas Badan Layanan Umum
9. Peraturan Menteri Keuangan No. 73/ PMK.05/2007 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan No. 10/2006 tentang Pedoman Penetapan Remunerasi bagi Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, dan Pegawai BLU.
10. Peraturan Menteri Keuangan No. 08/PMK.02/2006 Tentang Kewenangan Pengadaan Barang/Jasa pada BLU.
11. Peraturan Menteri Keuangan No. 66/ PMK.022006 Tentang Tata Cara Penyusunan, Pengajuan, Penetapan, dan Perubahan Rencana Bisnis dan Anggaran serta Dokumen Pelaksanaan Pelaksanaan Anggaran BLU.
12. Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum.
13. Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2002 Tentang Dana Reboisasi.
Menelusuri Kejahatan Bisnis Kehutanan Catatan awal tahun ELSDA Institute ini memberikan hindsight kepada
para pembacanya tentang kenapa peran ekonomi kehutanan yang
besar dalam membatu bangsa Indonesia keluar dari berbagai krisis
ekonomi sepanjang 40 tahun ini gagal menyelesaiakan masalah yang
fundamental di Indonesia, yaitu kemiskinan dan kelestarian hutan.
‐ Bambang Setiono