Upload
themirandatruth
View
245
Download
13
Tags:
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Nota Keberatan (Eksepsi) oleh Penasehat Hukum atas nama Prof. Miranda Swaray Goeltom SE, MA, Ph.D terhadap Surat Dakwaan Penuntut Umum KPK no. DAK-14/24/07/2012 yang dikeluarkan tanggal 9 Juli 2012 dalam Perkara Pidana no. 39/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST PENGADILAN TIPIKOR JAKARTA PUSAT, 24 Juli 2012
Citation preview
Tim Penasihat Hukum
Prof. Miranda Swaray Goeltom, SE, MA, Ph.D.
(Perkara Pidana Nomor: 39/Pid.B/TPK/2012/PN.JKT.PST)
NOTA KEBERATAN (EKSEPSI)
TERHADAP
SURAT DAKWAAN PENUNTUT UMUM
Nomor: DAK-14/24/07/2012
tanggal 9 Juli 2012
ATAS NAMA TERDAKWA
Prof. Miranda Swaray Goeltom, SE, MA, Ph.D.
Jakarta, 24 Juli 2012
Tim Penasihat Hukum MR&Partners Legal and Business Consulting Group
AFS Lawyers Partnership
TIM PENASIHAT HUKUM
Prof. Miranda Swaray Goeltom, SE, MA, Ph.D.
1
Majelis Hakim Yang Kami Muliakan,
Penuntut Umum Yth,
Hadirin Sidang Yang Kami Hormati,
Untuk dan atas nama serta kepentingan klien kami, Prof. Miranda Swaray Goeltom, SE,
MA, Ph.D, kami Penasihat Hukum mengajukan Keberatan (Eksepsi) terhadap Surat
Dakwaan Penuntut Umum Nomor: DAK-14/24/07/2012 tanggal 9 Juli 2012, yang telah
dibacakan oleh Penuntut Umum pada persidangan hari ini sebagai satu kesatuan dari
Keberatan (Eksepsi) pribadi yang diajukan secara tersendiri oleh klien kami, Prof. Miranda
Swaray Goeltom, SE, MA, Ph.D.
Bahwa Keberatan kami ajukan karena terdapat alasan sebagaimana diatur dalam Pasal 143
ayat (2) huruf b dan ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (”KUHAP”) yang
berbunyi sebagai berikut:
”2) Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan di tandatangani serta
berisi:
b) uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan
dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan”.
3) surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
huruf b batal demi hukum.
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, maka Surat Dakwaan harus disusun secara cermat,
jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan. Bahwa yang dimaksud dengan
cermat adalah ketelitian dalam merumuskan Surat Dakwaan, sehingga tidak terdapat adanya
kekurangan atau kekeliruan yang dapat mengakibatkan tidak dapat dibuktikannya Dakwaan
itu sendiri.
Bahwa yang dimaksud dengan jelas adalah kejelasan mengenai rumusan unsur-unsur dari
delik yang didakwakan, sekaligus dipadukan dengan uraian perbuatan materiel atau fakta
perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa dalam Surat Dakwaan.
Bahwa yang dimaksud dengan lengkap adalah uraian dari Surat Dakwaan yang mencakup
semua unsur-unsur delik yang dimaksud yang dipadukan dengan uraian mengenai keadaan,
serta peristiwa dalam hubungannya dengan perbuatan material yang didakwakan telah
dilakukan oleh Terdakwa.
TIM PENASIHAT HUKUM
Prof. Miranda Swaray Goeltom, SE, MA, Ph.D.
2
Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung RI. Nomor 492 K/Kr/1981 tanggal 8 Januari 1983,
syarat materiel Surat Dakwaan adalah adanya rumusan secara lengkap, jelas dan tepat,
mengenai perbuatan-perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa, sesuai dengan rumusan
delik yang mengancam perbuatan-perbuatan itu dengan hukuman (pidana). Dengan demikian,
maka dalam Surat Dakwaan, tidak boleh tidak, harus memuat uraian atau rumusan yang
cermat, jelas dan lengkap mengenai perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa, yang
keseluruhannya dapat mengisi secara tepat dan benar, semua unsur dari semua delik yang
ditentukan undang-undang yang didakwakan terhadap Terdakwa.
Dakwaan Penuntut Umum yang tidak diuraikan secara cermat, jelas dan lengkap mengenai
tindak pidana yang didakwakan, harus dinyatakan batal demi hukum sebagaimana diatur
dalam Pasal 143 ayat (3) KUHAP.
Selain alasan-alasan tersebut, dalam praktek berkembang pula alasan-alasan keberatan yang
dapat dibenarkan sebagaimana pendapat Lilik Mulyadi, SH., M.H., dalam bukunya: Hukum
Acara Pidana: Normatif, Teoritis, Praktik, dan Permasalahannya, Penerbit PT. Alumni,
Bandung: 2007, hal. 148-149, yang menyatakan bahwa Keberatan (Eksepsi) dapat berupa:
“Keberatan/eksepsi tidak berwenang mengadili (exceptie onbevoegheid van de
rechten) yang mencakup keberatan tidak berwenang mengadili secara absolut
(kompetensi absolut/absolute competentie), dan relatif (kompetensi relatif/relative
competentie), keberatan dakwaan tidak dapat diterima, keberatan apa yang
didakwakan bukan merupakan Tindak Pidana Kejahatan atau Pelanggaran,
keberatan apa yang didakwakan kepada Terdakwa telah pernah diputus dan telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, keberatan apa yang didakwakan kepada
Terdakwa telah daluwarsa, keberatan apa yang yang dilakukan Terdakwa tidak
sesuai dengan tindak pidana yang dilakukannya.”
Adapun hal-hal yang secara yuridis mengakibatkan Dakwaan harus dinyatakan BATAL
DEMI HUKUM atau setidak-tidaknya Dakwaan TIDAK DAPAT DITERIMA adalah sebagai
berikut:
1. Pasal Yang Didakwakan Penuntut Umum dalam Dakwaan Ketiga dan Dakwaan
Keempat Telah Daluwarsa.
Bahwa sebagaimana dalam Dakwaan Penuntut Umum, dalam Dakwaan Ketiga dan
Dakwaan Keempat, Terdakwa telah didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana
diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
TIM PENASIHAT HUKUM
Prof. Miranda Swaray Goeltom, SE, MA, Ph.D.
3
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi selanjutnya disebut “UU TIPIKOR” dalam
perkara pemberian Travellers Cheque (“TC”) kepada anggota DPR-RI yang terjadi pada
bulan Juni 2004.
Bahwa Dakwaan Penuntut Umum tersebut adalah keliru dan bertentangan dengan
Ketentuan Umum dalam KUHP sebagai berikut.
Ketentuan dalam Pasal 103 KUHP menyatakan bahwa:
”Ketentuan-ketentuan dalam bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku
bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan Perundang-undangan lainnya
diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain”
Oleh karenanya ketentuan dalam Buku I KUHP (Ketentuan Umum) berlaku juga terhadap
UU TIPIKOR.
Ketentuan Umum KUHP mengatur mengenai daluwarsa (hilangnya hak untuk melakukan
penuntutan) sebagaimana diatur dalam Pasal 78 ayat (1) butir ke-2 KUHP yang berbunyi:
“kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa :
Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana
kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam
tahun;
Oleh karena UU TIPIKOR tidak terdapat ketentuan yang secara khusus mengatur
mengenai daluwarsa, maka ketentuan dalam Pasal 78 ayat (1) butir ke-2 KUHP tersebut
secara mutatis mutandis berlaku terhadap UU TIPIKOR.
Bahwa oleh karena Pasal 13 UU TIPIKOR memiliki ancaman hukuman paling lama 3
tahun, maka penerapan Pasal 13 UU TIPIKOR untuk perkara pemberian
TC kepada anggota DPR-RI yang terjadi pada bulan Juni 2004 telah
daluwarsa pada Juni 2010 yang lalu. Oleh karena itu kewenangan penuntutan
untuk perkara pemberian TC kepada anggota DPR-RI dengan menggunakan Pasal 13 UU
TIPIKOR telah hapus sejak bulan Juni 2010.
TIM PENASIHAT HUKUM
Prof. Miranda Swaray Goeltom, SE, MA, Ph.D.
4
Mengingat Pasal 13 UU TIPIKOR tersebut sudah tidak dapat dilakukan penuntutan, maka
dengan sendirinya Dakwaan atas Pasal 13 UU TIPIKOR tersebut menjadi daluwarsa
sehingga Penuntut Umum tidak memiliki dasar hukum untuk mendakwa Terdakwa
melakukan tindak pidana Pasal 13 UU TIPIKOR dalam perkara pemberian TC kepada
anggota DPR-RI yang terjadi pada bulan Juni 2004.
Dakwaan terhadap Terdakwa dengan menggunakan Pasal 13 UU TIPIKOR yang
telah daluwarsa masa penuntutannya dalam Dakwaan Ketiga dan Keempat,
mengakibatkan Dakwaan BATAL DEMI HUKUM atau setidak-tidaknya Dakwaan
TIDAK DAPAT DITERIMA.
2. Dakwaan Kesatu dan Dakwaan Kedua Tidak Cermat Dimana Pasal yang
Didakwakan kepada Terdakwa yang Dianggap Sebagai Pemberi Suap Karena
Bersama-sama/Menganjurkan Pemberian TC, Tidak Sesuai Dengan Putusan
Pengadilan yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap atas Penerima TC yang
Dinyatakan Bersalah Karena Menerima Gratifikasi (Bukan Suap).
Bahwa sehubungan dengan perkara a quo, para anggota DPR-RI yang menerima TC telah
menjalani proses hukum dan telah dijatuhi putusan melakukan tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud Pasal 11 UU TIPIKOR yaitu menerima gratifikasi.
Apabila Penerima TC dikenakan Pasal 11 UU TIPIKOR (menerima gratifikasi), maka
Pemberi TC menurut hukum harus dikenakan Pasal 13 UU TIPIKOR (memberi
gratifikasi) dalam tenggang waktu yang dibenarkan oleh undang-undang. Namun dalam
perkara a quo, Penuntut Umum telah keliru menggunakan Pasal 5 UU TIPIKOR yang
merupakan pasal memberi suap. Bagaimana mungkin ada yang memberi suap kalau
tidak ada yang menerima suap?.
Oleh karena itu, Dakwaan Penuntut Umum terhadap Terdakwa dimana Terdakwa
melakukan tindak pidana suap sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b UU
TIPIKOR adalah tidak cermat dan keliru, karena penerima TC yang didalam Dakwaan
Penuntut Umum sebagai penerima suap oleh Putusan Mahkamah Agung yang telah
berkekuatan hukum tetap, telah dijatuhi hukuman dan dinyatakan bersalah melakukan
tindak pidana sebagai penerima gratifikasi (bukan suap), sehingga berdasarkan Pasal 143
ayat (3) KUHAP, Dakwaan Penuntut Umum harus dinyatakan BATAL DEMI HUKUM
TIM PENASIHAT HUKUM
Prof. Miranda Swaray Goeltom, SE, MA, Ph.D.
5
atau setidak-tidaknya berdasarkan Pasal 156 ayat (1) KUHAP Dakwaan TIDAK DAPAT
DITERIMA.
3. Penuntut Umum Tidak Cermat Menjelaskan Kualifikasi (Kualitas) Terdakwa
Berdasarkan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Dalam Dakwaan Kesatu Dan Dakwaan
Ketiga.
Bahwa Dakwaan Penuntut Umum, dalam Dakwaan Kesatu dan Dakwaan Ketiga atas
masing-masing perbuatan bersama-sama dengan Nunun Nurbaeti memberikan TC kepada
anggota DPR-RI yang bertentangan dengan kewajiban dilakukan atau tidak dilakukan
dalam jabatannya dan bersama-sama dengan Nunun Nurbaeti memberi hadiah atau janji
yaitu TC kepada anggota DPR-RI dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang
melakat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap
melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, Terdakwa didakwa melakukan tindak
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sebagai berikut:
Dakwaan Kesatu menyebutkan:
“Perbuatan Terdakwa diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf (1)
huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP” (halaman 9 Surat Dakwaan).
Dakwaan Ketiga menyebutkan:
“perbuatan Terdakwa diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 13
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP” (halaman 23 Surat Dakwaan)
Dari ketentuan-ketentuan tersebut diatas, bahwa Terdakwa telah didakwa melakukan
perbuatan secara bersama-sama dengan orang lain sebagaimana diatur dalam Pasal 55
ayat (1) ke-1 KUHP dalam perkara memberikan TC kepada anggota DPR-RI yang
bertentangan dengan kewajiban dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya dan
bersama-sama Nunun Nurbaeti memberi hadiah atau janji yaitu TC kepada anggota DPR-
RI dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melakat pada jabatan atau
kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau
kedudukan, akan tetapi dalam Dakwaan tidak dijelaskan atau dirumuskan mengenai
TIM PENASIHAT HUKUM
Prof. Miranda Swaray Goeltom, SE, MA, Ph.D.
6
kualifikasi kedudukan Terdakwa apakah pelaku (pleger), menyuruh melakukan
(doenpleger), turut serta melakukan (medepleger).
Menurut Prof. Dr. JE Sahetapy, S.H. untuk memasukkan unsur Pasal 55 ayat 1 ke-1
KUHP harus dijelaskan peranan masing-masing dari peserta tindak pidana tersebut.
Dengan dijelaskan peranan masing-masing peserta atau pelaku tindak pidana tersebut,
maka akan dapat dilihat bobot, peranan dan kadar kejahatan yang dilakukan oleh masing-
masing pelaku tindak pidana. Tanpa menguraikan peran masing-masing sebagaimana
yang dimaksud akan mengakibatkan Dakwaan dan tuntutan kabur dan tidak jelas.
M. Yahya Harahap, SH., dalam bukunya “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan”, Penerbit: Sinar Grafika, 2002, halaman 396,
menyatakan:
“Demikian juga halnya dengan peristiwa pidana yang mengandung “pengambilan
bagian” atau “penyertaan” (Deelneming atau take part in crime) yang diatur Pasal
55, harus jelas terumus kualitas keikutsertaan seorang Terdakwa dalam surat
dakwaan. Ketidak cermatan penyusunan kualitas keikutsertaan seorang Terdakwa
dalam surat dakwaan, mengakibatkan Terdakwa dibebaskan, karena apa yang
didakwakan kepadanya tidak sesuai dengan kualitas penyertaan yang terbukti dalam
persidangan”.
Dalam laporan “Review Proses Persidangan dan Putusan Pengadilan dalam Perkara
Tindak Pidana Korupsi dalam Kasus Widjanarko Puspoyo”, Bambang Widjayanto yang
saat ini menjadi Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan dalam
“Usulan Perbaikan” review tersebut pada halaman 22 butir c diusulkan bahwa “Surat
Dakwaan harus menunjuk secara jelas dan spesifik bentuk penyertaan masing-
masing pihak yang terkait dalam tindak pidana agar dapat dibedakan bentuk-
bentuk keturutsertaan antara turut melakukan, menyuruh melakukan atau
membujuk melakukan”.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka Dakwaan Penuntut Umum yang tidak
menentukan kualitas Terdakwa apakah sebagai pelaku, menyuruh melakukan atau turut
serta melakukan mengakibatkan Dakwaan Penuntut Umum tersebut tidak jelas (obscuur
libellum), oleh karena itu sesuai dengan ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP jo.
Pasal 143 ayat (3) KUHAP, maka Dakwaan Penuntut Umum adalah BATAL DEMI
HUKUM.
TIM PENASIHAT HUKUM
Prof. Miranda Swaray Goeltom, SE, MA, Ph.D.
7
4. Dakwaan Kedua Dan Keempat Penuntut Umum Tidak Cermat, Tidak Jelas, Tidak
Lengkap Menguraikan Unsur “Menggerakkan/Menganjurkan” Berdasarkan Pasal
55 ayat (1) ke-2 KUHP.
Bahwa sebagaimana uraian Dakwaan Penuntut Umum, dalam Dakwaan Kedua dan
Dakwaan Keempat dimana atas masing-masing perbuatan yaitu sengaja menganjurkan
Nunun Nurbaeti untuk memberikan TC kepada anggota DPR-RI yang bertentangan
dengan kewajiban dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya dan sengaja
menganjurkan Nunun Nurbaeti memberi hadiah atau janji yaitu TC kepada anggota DPR-
RI dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melakat pada jabatan atau
kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau
kedudukan tersebut, Terdakwa didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana diatur
dalam Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP sebagai berikut:
Dakwaan Kedua menyatakan:
“Perbuatan Terdakwa diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf (1)
huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP” (halaman 17 Surat Dakwaan).
Dakwaan Keempat menyatakan:
“perbuatan Terdakwa diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 13
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP” (halaman 30 Surat Dakwaan).
Pasal 55 ayat (1) Ke-2 KUHP mengatur:
(1) Dihukum sebagai pelaku-pelaku dari suatu tindak pidana yaitu:
1. …
2. Mereka yang dengan pemberian-pemberian, janji-janji dengan menyalahgunakan
kekuasaan atau keterpandangan, dengan kekerasan, ancaman atau dengan
menimbulkan kesalahpahaman atau dengan memberikan kesempatan, sarana-
sarana atau keterangan-keterangan dengan sengaja telah menggerakkan orang
lain untuk melakukan tindak pidana yang bersangkutan.(terjemahan oleh Drs.
P.A.F. Lamintang, S.H.)
TIM PENASIHAT HUKUM
Prof. Miranda Swaray Goeltom, SE, MA, Ph.D.
8
Berdasarkan ketentuan diatas dalam Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP, terlebih dahulu harus
ditentukan hal yang digerakkan tersebut adalah untuk melakukan suatu tindak pidana atau
perbuatan pidana.
Uraian Dakwaan Penuntut Umum hanya menguraikan bahwa “Terdakwa kemudian
meminta agar Nunun Nurbaeti memperkenalkan Terdakwa kepada teman-teman Nunun
Nurbaeti yang menjadi anggota Komisi IX DPR-RI guna mencari dukungan atas
pencalonan Terdakwa dalam pelaksanaan pemilihan DGS BI, yang mana Nunun
Nurbaeti menyetujui permintaan Terdakwa”(halaman 11 dan 25 dakwaan).
Berdasarkan uraian dalam Dakwaan tersebut, permintaan Terdakwa hanyalah untuk
diperkenalkan dengan anggota DPR-RI, yang mana tindakan Terdakwa tersebut bukanlah
suatu permintaan untuk melakukan suatu tindak pidana atau perbuatan pidana sebagai
mana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP.
Bahwa dalam Dakwaan tidak terdapat uraian mengenai perbuatan Terdakwa untuk
menganjurkan/menggerakan Nunun Nurbaeti memberikan TC kepada anggota DPR-RI
baik sebagai hadiah atau janji maupun karena atau berhubungan dengan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajiban anggota DPR-RI, dilakukan atau tidak dilakukan dalam
jabatannya sebagai anggota DPR-RI.
Bahwa berdasarkan hal tersebut diatas, Dakwaan Penuntut Umum yang tidak
menguraikan unsur menggerakkan/menganjurkan untuk melakukan suatu tindak pidana
atau perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP, maka
Dakwaan Penuntut Umum tidak jelas dan tidak cermat oleh karena itu sesuai dengan
ketentuan Pasal 143 ayat (3) KUHAP harus dinyatakan BATAL DEMI HUKUM.
5. Dakwaan Kesatu dan Dakwaan Kedua Penuntut Umum Disusun Berdasarkan
Asumsi Penuntut Umum Sendiri sehingga Dakwaan Penuntut Umum Tidak Jelas.
Dakwaan Penuntut Umum disusun berdasarkan asumsi atau anggapan sebagai berikut:
1. Halaman 3 dan 11 Surat Dakwaan menyebutkan:
“Sebelum pelaksanaan DGS BI tersebut, agar Terdakwa tidak gagal dipilih seperti
dalam pemilihan Gubernur Bank Indonesia (Gubernur BI) Tahun 2003, Terdakwa
TIM PENASIHAT HUKUM
Prof. Miranda Swaray Goeltom, SE, MA, Ph.D.
9
melakukan pertemuan dengan Nunun Nurbaeti, dimana dalam pertemuan itu
Terdakwa meminta Nunun Nurbaeti untuk dikenalkan kepada teman-teman Nunun
Nurbaeti yang menjadi anggota Komisi IX DPR-RI guna mencari dukungan atas
pencalonan Terdakwa dalam pelaksanaan pemilihan DGS BI, yang mana Nunun
Nurbaeti menyetujui permintaan Terdakwa” .
2. Halaman 4 dan 12 Surat Dakwaan menyebutkan:
“… Terdakwa meminta agar dalam pelaksanaan fit and proper test pemilihan DGS
BI 2004, para anggota dari fraksi TNI/Polri tidak menanyakan masalah pribadi
Terdakwa yaitu keretakan keluarga Terdakwa, sebagaimana yang pernah terjadi
dalam pelaksanaan pemilihan Gubernur BI Tahun 2003 yang juga diikuti oleh
Terdakwa, sehingga Terdakwa tidak terpilih dalam proses pemilihan Gubernur BI
Tahun 2003”. (halaman 4 dan 12 Surat Dakwaan).
Bahwa uraian Dakwaan Penuntut Umum pada Dakwaan Kesatu dan Dakwaan Kedua
disusun atas asumsi Penuntut Umum sendiri. Menurut Van Hammel seseorang yang
dipandang sebagai seorang pelaku itu tidak boleh semata-mata didasarkan pada suatu
anggapan, akan tetapi hal tersebut harus selalu dibuktikan. (P.A.F. Lamintang, Dasar-
Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, halaman 593).
Sedangkan mengenai materi Surat Dakwaan, menurut Yahya Harahap, Surat dakwaan
adalah suatu akta yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada
Terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan dan
merupakan dasar bagi hakim dalam pemeriksaan di persidangan (M.Yahya Harahap,
“Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan”,
1993, halaman 414 - 415).
Dengan demikian, maka uraian dalam Dakwaan tidak dapat menggunakan asumsi atau
anggapan Penuntut Umum sendiri, melainkan harus berdasarkan fakta yang diperoleh dari
hasil penyidikan dan alat bukti, oleh karena itu Dakwaan yang disusun berdasarkan
asumsi atau anggapan menurut Penuntut Umum mengakibatkan Dakwaan tidak jelas oleh
karenanya berdasarkan Pasal 143 ayat (3) KUHAP harus dinyatakan BATAL DEMI
HUKUM.
Mengenai hal-hal yang bersifat pribadi dan menyangkut masalah keluarga merupakan
hak-hak sipil dan politik Terdakwa sebagai hak asasi individu yang secara universal
dilindungi sebagaimana diatur dalam hak-hak sipil dan politik. Article 17 (1)
TIM PENASIHAT HUKUM
Prof. Miranda Swaray Goeltom, SE, MA, Ph.D.
10
International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang
Hak-Hak Sipil dan Politik) yang bersifat universal Tahun 1966 yang berbunyi “No one
shall be subjected to arbitrary or unlawful interference with his privasi, family, home or
correspondence, nor to unlawful attacks on his honour and reputation” (terjemahannya
adalah “tidak boleh seorang pun yang dapat secara sewenang-wenang atau secara tidak
sah dicampuri masalah-masalah pribadinya, keluarganya, rumah atau hubungan surat
menyuratnya, atau secara tidak sah diserang kehormatan dan nama baiknya”)
Selanjutnya disebutkan bahwa “everyone has the right to the protection of the law
against such interference or attacks” terjemahannya adalah “setiap orang berhak atas
perlindungan hukum terhadap campur tangan atau serangan seperti tersebut diatas”.
Dengan demikian merupakan hak Terdakwa untuk mendapatkan suatu perlindungan dari
tindakan sewenang-wenang atau secara tidak sah dicampuri masalah-masalah pribadinya,
keluarganya atau secara tidak sah diserang kehormatan dan nama baiknya.
6. Dakwaan Kesatu dan Dakwaan Ketiga Penuntut Umum Tidak Jelas dan Tidak
Lengkap Karena Tidak Memuat Uraian Mengenai Tindakan Bersama-sama dengan
Nunun Nurbaeti.
Penuntut Umum dalam dakwaannya menyatakan bahwa “Terdakwa bersama-sama
dengan Nunun Nurbaeti …” (halaman 2 dakwaan dan halaman 17 dakwaan), akan tetapi
hubungan antara Terdakwa dengan Nunun Nurbaeti dalam Dakwaan hanya menyebutkan
bahwa “Terdakwa meminta Nunun Nurbaeti untuk dikenalkan kepada teman-teman
Nunun Nurbaeti yang menjadi anggota Komisi IX DPR-RI guna mencari dukungan atas
pencalonan Terdakwa dalam pelaksanaan pemilihan DGS BI, yang mana Nunun
Nurbaeti menyetujui permintaan Terdakwa” (halaman 3 dan 18 dakwaan).
Penuntut Umum tidak menjelaskan secara rinci bagaimana bentuk perbuatan yang
dilakukan oleh Terdakwa dan Nunun Nurbaeti sehingga dapat dinyatakan sebagai
tindakan secara bersama-sama dalam hal ini bersama-sama untuk memberikan TC kepada
anggota DPR-RI. Bahkan Penuntut Umum tidak menguraikan fakta materiil mengenai
locus dan tempus secara pasti mengenai pertemuan dengan Nunun Nurbaeti tersebut.
Penuntut Umum dalam dakwaannya juga sama sekali tidak menguraikan adanya suatu
hubungan yang menunjukkan adanya komunikasi atau interaksi yang dilakukan secara
TIM PENASIHAT HUKUM
Prof. Miranda Swaray Goeltom, SE, MA, Ph.D.
11
terus menerus dan atau berkelanjutan antara Nunun Nurbaeti dengan Terdakwa mengenai
adanya rencana pembagian TC maupun tindakan pemberian TC yang dilakukan oleh
Nunun Nurbaeti.
Dakwaan Penuntut Umum juga tidak menguraikan tindakan Terdakwa yang bersama-
sama dengan Nunun Nurbaeti memberikan TC kepada anggota DPR-RI sebagai suap atau
hadiah atau memberikan janji karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan
dengan kewajiban anggota DPR-RI, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya
sebagai anggota DPR-RI sehingga Dakwaan Kesatu dan Dakwaan Ketiga tidak jelas dan
tidak lengkap, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 143 ayat (3) KUHAP harus
dinyatakan BATAL DEMI HUKUM.
KESIMPULAN
Berdasarkan dari hal-hal yang telah dikemukakan diatas, dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Bahwa Dakwaan Ketiga dan Dakwaan Keempat telah daluwarsa masa penuntutannya dan
karenanya BATAL DEMI HUKUM.
2. Bahwa seluruh Dakwaan Kesatu, Dakwaan Kedua, Dakwaan Ketiga, dan Dakwaan
Keempat tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap.
PENUTUP
Majelis Hakim Yang Kami Muliakan,
Penuntut Umum Yth,
Hadirin Sidang Yang Kami Hormati,
Bahwa berdasarkan uraian-uraian yang telah disampaikan dalam Keberatan (Eksepsi) ini,
maka kami, Tim Penasihat Hukum Terdakwa Prof. Miranda Swaray Goeltom, SE, MA,
Ph.D., mohon agar Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang memeriksa dan
memutus perkara a quo untuk memberikan putusan sebagai berikut:
1. Menerima Keberatan (Eksepsi) dari Terdakwa Prof. Miranda Swaray Goeltom, SE,
MA, Ph.D. dan Tim Penasihat Hukum Terdakwa;
TIM PENASIHAT HUKUM
Prof. Miranda Swaray Goeltom, SE, MA, Ph.D.
12
2. Menyatakan Surat Dakwaan Penuntut Umum Nomor: DAK-14/24/07/2012 tanggal 9 Juli
2012 BATAL DEMI HUKUM atau setidak-tidaknya Dakwaan Tidak Dapat Diterima;
3. Membebaskan Terdakwa dari Rumah Tahanan KPK sebagai cabang Rumah Tahanan
Kelas I Jakarta Timur.
4. Mengembalikan harkat dan martabat serta nama baik Terdakwa;
5. Membebankan biaya perkara kepada Negara
atau
apabila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et
bono)
Demikianlah Nota Keberatan (Eksepsi) kami sampaikan. Terima kasih.
Jakarta, 24 Juli 2012
Hormat Kami,
Tim Penasihat Hukum
Prof. Miranda Swaray Goeltom, SE., MA., Ph.D.
Dr. Dodi S. Abdulkadir, BSc., S.E., S.H., M.H.
Dr. Benny B. Nurhadi, S.H., M.H.
Andi F. Simangunsong, S.H.
Jonas M Sihaloho, S.H.