Dwi Lestari 04121401083

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Dwi Lestari 04121401083

Citation preview

Scenario D Blok 23 Tahun 2015A female newborn was referred to Moh.hoesin Hosital by a midwife who helped his mother, Ms. Indahs delivery- with chief complains of difficult breathing. Mothers history was taken from the midwife that her pregnancy was full term. The baby was born yesterday with Apgar score 5 for 1st minute and 8 for 5th minutes and birth weight 3 kg. The mother had premature ruptured of membrane 2 days ago and had bad smell liquor. From the physical examination the baby was grunting, hypo active, and tachypnoe, no sucking reflex, and there was chest indrawing.As ageneral practioner please analyze the problem and the management.Klarifikasi istilah

1. Difficult breathing: suatu keadaan dimana diperlukan usaha lebih untuk bernafas.2. Apgar score: suatu penilaian yang digunakan untuk menentukan apakah bayi mengalami asfiksia atau tidak.3. Premature rupture of membrane: pecahnya suatu ketuban sebelum usia kehamilan 37minggu.4. Bad smell liquor: cairan ketuban yang berbau tidak sedap.5. Grunting: suara pada akhir respirasi (seperti mendengkur atau merintih) paling sering terdengar pada bayi baru lahir, atau bayi yang mengalami gawat pernapasan.6. Hypo active: penurunan abnormal aktifitas motoric dan kognitif.7. Tachypnoe: pernapasan yang sangat cepat, lebih dari 60x/menit.8. Sucking reflex: refleks yang timbul ketika ada benda yang masuk kemulutnya dan bayi akan menghisapnya.9. Chest indrawing: penarikan dinding dada kedalam.Identifikasi masalah

1. A female newborn was referred to Moh.hoesin Hosital by a midfie who helped his mother, Ms. Indahs delivery- with chief complains of difficult breathing.

2. Mothers history was taken from the midwife that her pregnancy was full term. The baby was born yesterday with Apgar score 5 for 1st minute and 8 for 5th minutes and birth weight 3 kg. The mother had premature ruptured of membrane 2 days ago and had bad smell liquor.

3. From the physical examination the baby was grunting, hypo active, and tachypnoe, no sucking reflex, and there was chest indrawing.

Analisis masalah

A female newborn was referred to Moh.hoesin Hosital by a midwife who helped his mother, Ms. Indahs delivery- with chief complains of difficult breathing.

1. Etiologi sulit bernafas pada neonatus secara umum 1,2,32. Mekanisme sulit bernafas pada neonatus secara umum 4,5,6Mothers history was taken from the midwife that her pregnancy was full term. The baby was born yesterday with Apgar score 5 for 1st minute and 8 for 5th minutes and birth weight 3 kg. The mother had premature ruptured of membrane 2 days ago and had bad smell liquor.

1. Interpretasi apgar score pada kasus 7,8,9Jawab:

8-10 (normal)

5-7 (ringan)

3-4 (sedang)

0-2 (berat)

- Skor Apgar menit 1 = 5 asfiksia ringan

- Skor apgar menit 5 = 8 normal/ baik

Pada saat bayi baru lahir mengalami asfiksia ringan, kemudian kemungkinan pada bayi dilakukan tindakan resusitasi sehingga keadaannya membaik (skor Apgar menjadi normal).

2. Etiologi premature rupture of membrane pada kehamilan full term 10,11,123. Mekanisme premature rupture of membrane pada kehamilan full term 1,2,134. Etiologi dari bad smell liquor 4,5,35. Mekanisme dari bad smell liquor 7,8,66. Apa makna klinis dari pecah ketuban 2 hari yang lalu 10,11,9Jawab:

-KPSW Pecahnya ketuban sebelum waktunya melahirkan (bila pembukaan pada primigravida < 3 cm dan pada multipara < 5 cm)

-KPSW pada 2 hari yang lalu 18 jam termasuk KPSW yang memanjang.

-Etiologi pada kasus : infeksi intrauterin.

-Berbau busuk:

KPSW infeksi ascenden (kemungkinan akibat bakteri streptococcus grup B atau E. Coli) memperbesar kemungkinan terjadi chorioamnionitis sehingga cairan ketuban menjadi keruh dan berbau

7. Faktor resiko ketuban pecah dini 1,12,13From the physical examination the baby was grunting, hypo active, and tachypnoe, no sucking reflex, and there was chest indrawing.

1. Etiologi dari:a. Grunting 4,2,3b. hypo active 7,5,6c. tachypnoe 10,8,9Jawab:

Kompensasi dari kekurangan O2 dalam tubuh karena obstruksi jalan nafas akibat terisinya lumen alveolus oleh debris jaringan karena pneumonia dan onset awal dari sepsis.

d. no sucking reflex 11,12,13e. chest indrawing 4,5,62. Mekanisme dari:

a. Grunting 1,2,3b. hypo active 7,8,9Jawab:

Hal ini disebabkan oleh kurangnya supplai O2 ke jaringan otot. Dapat juga tanda terjadinya sepsis.

c. tachypnoe 10,11,12d. no sucking reflex 13,1,2e. chest indrawing 3,4,53. Makna klinis dari grunting, and tachypnoe, dan chest indrawing 6,7,84. Makna klinis dari hypo active, no sucking reflex 11,10,9Jawab:

Menurut Buku Pedoman Integrated Management of Childhood Illnesses tahun 2000 mengemukakan bahwa kriteria klinis sepsis neonatorum berat bila ditemukan satu atau lebih dari gejala-gejala berikut : Laju napas > 60 kali per menit

Retraksi dada yang dalam

Cuping hidung kembang kempis

Merintih

Ubun ubun besar membonjol

Kejang

Keluar pus dari telinga

Kemerahan di sekitar umbilikus yang melebar ke kulit

Suhu >37,7C (atau akral teraba hangat) atau < 35,5C (atau akral teraba dingin)

Letargi atau tidak sadar

Penurunan aktivitas /gerakan

Tidak dapat minum

Tidak dapat melekat pada payudara ibu

Tidak mau menetek.

Jadi, hipoaktif dan no suling reflex menandakan adanya sepsis neonatorum.5. Bagaimana cara pemeriksaan sucking reflex 12,13,16. Bagaimana interpretasi pada kasus ini berdasarkan kurva lubchanco 2,3,4Hipotesis:

Bayi perempuan baru lahir, secara spontan, cukup bulan (full term) sesuai masa gestasi, berat lahir 3kg, mengalami gangguan pernafasan akibat infeksi ketuban pecah dini dan berbau busuk. Template

1. How to diagnose (+cara merujuk) 5,6,72. Differential diagnose 8,10,9Jawab:

Signs & simptomsBronkopneumonia, sepsis neonatorumTTNMAS

Grunting+++

Cyanosis-/+++

Skor apgarSedang-ringanBerat-sedangBerat

Refleks menghisap-+-

Retraksi din2g dada+-+

Faktor resikoPROM, infeksi ibuatermPost term

XrayTidak spesifik, bercak2 difus infiltrate, ada daerah konsolidasiCairan dalam paru, radioopak sekitar hilus, diafragma tumpulInfiltrat kasar, hiperinfiltrat.

3. Working diagnose 11,12,134. Epidemiologi 1,2,35. Etiologi 4,5,66. Patofisiologi 7,8,9Jawab:

BRPN

Normalnya, saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai parenkim paru. Paru-paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme pertahanan anatomis dan mekanis, dan faktor imun lokal dan sistemik. Mekanisme pertahanan awal berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan mukosilier aparatus. Mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A lokal dan respon inflamasi yang diperantarai leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin, makrofag alveolar, dan imunitas yang diperantarai sel.

Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau bila virulensi organisme bertambah. Agen infeksius masuk ke saluran nafas bagian bawah melalui inhalasi atau aspirasi flora komensal dari saluran nafas bagian atas, dan jarang melalui hematogen. Virus dapat meningkatkan kemungkinan terjangkitnya infeksi saluran nafas bagian bawah dengan mempengaruhi mekanisme pembersihan dan respon imun. Diperkirakan sekitar 25-75 % anak dengan pneumonia bakteri didahului dengan infeksi virus.

Invasi bakteri ke parenkim paru menimbulkan konsolidasi eksudatif jaringan ikat paru yang bisa lobular (bronkhopneumoni), lobar, atau intersisial. Pneumonia bakteri dimulai dengan terjadinya hiperemi akibat pelebaran pembuluh darah, eksudasi cairan intra-alveolar, penumpukan fibrin, dan infiltrasi neutrofil, yang dikenal dengan stadium hepatisasi merah. Konsolidasi jaringan menyebabkan penurunancomplianceparu dan kapasitas vital. Peningkatan aliran darah yamg melewati paru yang terinfeksi menyebabkan terjadinya pergeseran fisiologis (ventilation-perfusion missmatching) yang kemudian menyebabkan terjadinya hipoksemia. Selanjutnya desaturasi oksigen menyebabkan peningkatan kerja jantung.

Stadium berikutnya terutama diikuti dengan penumpukan fibrin dan disintegrasi progresif dari sel-sel inflamasi (hepatisasi kelabu). Pada kebanyakan kasus, resolusi konsolidasi terjadi setelah 8-10 hari dimana eksudat dicerna secara enzimatik untuk selanjutnya direabsorbsi dan dan dikeluarkan melalui batuk. Apabila infeksi bakteri menetap dan meluas ke kavitas pleura, supurasi intrapleura menyebabkan terjadinya empyema. Resolusi dari reaksi pleura dapat berlangsung secara spontan, namun kebanyakan menyebabkan penebalan jaringan ikat dan pembentukan perlekatan(Bennete, 2013).

Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu (Bradley et.al., 2011):

1.Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)

Disebuthiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.

2.Stadium II (48 jam berikutnya)

Disebuthepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.

3.Stadium III (3-8 hari berikutnya)

Disebuthepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.

4.Stadium IV (7-11 hari berikutnya)

Disebut jugastadium resolusi,yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

SEPSIS

Patofisiologi sepsis terdiri dari aktivasi inflamasi, aktivasi koagulasi, dan gangguan fibrinolisis. Hal ini mengganggu homeostasis antara mekanisme prokoagulasi dan antikoagulasi.1. Respon inflamasi

Respon sepsis terhadap bakteri Gram negatif dimulai dengan pelepasan lipopolisakarida (LPS), yaitu endotoksin dari dinding sel bakteri. Lipopolisakarida merupakan komponen penting pada membran luar bakteri Gram negatif dan memiliki peranan penting dalam menginduksi sepsis. Lipopolisakarida mengikat protein spesifik dalam plasma yaitu lipoprotein binding protein (LPB). Selanjutnya kompleks LPS-LPB ini berikatan dengan CD14, yaitu reseptor pada membran makrofag. CD14 akan mempresentasikan LPS kepada Toll-like receptor 4 (TLR4) yaitu reseptor untuk transduksi sinyal sehingga terjadi aktivasi makrofag.Bakteri Gram positif dapat menimbulkan sepsis melalui dua mekanisme, yakni dengan menghasilkan eksotoksin yang bekerja sebagai superantigen dan dengan melepaskan fragmen dinding sel yang merangsang sel imun. Superantigen mengaktifkan sejumlah besar sel T untuk menghasilkan sitokin proinflamasi dalam jumlah yang sangat banyak. Bakteri Gram positif yang tidak mengeluarkan eksotoksin dapat menginduksi syok dengan merangsang respon imun non spesifik melalui mekanisme yang sama dengan bakteri Gram negatif. Kedua kelompok organisme diatas, memicu kaskade sepsis yang dimulai dengan pelepasan mediator inflamasi sepsis. Mediator inflamasi primer dilepaskan dari sel-sel akibat aktivasi makrofag. Kerusakan utama akibat aktivasi makrofag terjadi pada endotel dan selanjutnya akan menimbulkan migrasi leukosit serta pembentukan mikrotrombi sehingga menyebabkan kerusakan organ. Aktivasi endotel akan meningkatkan jumlah reseptor trombin pada permukaan sel untuk melokalisasi koagulasi pada tempat yang mengalami cedera. Cedera pada endotel ini juga berkaitan dengan gangguan fibrinolisis. Hal ini disebabkan oleh penurunan jumlah reseptor pada permukaan sel untuk sintesis dan ekspresi molekul antitrombik. Selain itu, inflamasi pada sel endotel akan menyebabkan vasodilatasi pada otot polos pembuluh darah.2. Aktivasi Inflamasi dan Koagulasi

Pada sepsis terlihat hubungan erat antara inflamasi dan koagulasi. Mediator inflamasi menyebabkan ekspresi faktor jaringan atau Tissue Factor (TF). Ekspresi TF secara langsung akan mengaktivasi jalur koagulasi ekstrinsik dan melalui lengkung umpan balik secara tidak langsung juga akan mengaktifkan jalur instrinsik.1,3,5

Pada sepsis, aktivasi kaskade koagulasi umumnya diawali pada jalur ekstrinsik yang terjadi akibat ekspresi TF yang meningkat akibat rangsangan dari mediator inflamasi. Selain itu, secara tidak langsung TF juga akan megaktifkan jalur intrinsik melalui lengkung jalur umpan balik. Terdapat kaitan antara jalur ekstrinsik dan intrinsik dan hasil akhir aktivasi kedua jalur tersebut adalah pembentukan fibrin.1,3,5

3. Gangguan Fibrinolisis

Fibrinolisis adalah respons homeostasis tubuh terhadap aktivasi sistem koagulasi. Penghancuran fibrin penting bagi angiogenesis (pembentukan pembuluh darah baru), rekanalisasi pembuluh darah dan penyembuhan luka.1,3,5

Aktivator fibrinolisis [tissue-type plasminogen activator (t-PA) dan urokinasetype plasminogen activator (u-PA)] akan dilepaskan dari endotel untuk merubah plasminogen menjadi plasmin. Jika plasmin terbentuk, akan terjadi proteolisisfibrin. 1,3,5Tubuh juga memiliki inhibitor fibrinolisis alamiah yaitu plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) dan trombin-activatable fibrinolysis inhibitor (TAFI). Aktivator dan inhibitor diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan. 1,3,5Sepsis mengganggu respons fibrinolisis normal dan menyebabkan tubuh tidak mampu menghancurkan mikrotrombi. TNF- menyebabkan supresi fibrinolisis akibat tingginya kadar PAI-1 dan menghambat penghancuran fibrin. Hasil pemecahan fibrin dikenal sebagai fibrin degradation product (FDP) yang mencakup D-dimer, dan sering diperiksa pada tes koagulasi klinis. Mediator proinflamasi (TNF- dan IL-6) bekerja secara sinergis meningkatkan kadar fibrin, sehingga menyebabkan trombosis pada pembuluh darah kecil hingga sedang dan selanjutnya menyebabkan disfungsi multi organ. Secara klinis, disfungsi organ dapat bermanifestasi sebagai gangguan napas, hipotensi, gagal ginjal dan pada kasus yang berat dapat menyebabkan kematian. 1,3,5

Pada sepsis, saat aktivasi koagulasi maksimal, sistem fibrinolisis akan tertekan. Respon akut sistem fibrinolisis adalah pelepasan aktivator plasminogen khususnya t-PA dan u-PA dari tempat penyimpanannya dalam endotel. Namun, aktivasi plasminogen ini dihambat oleh peningkatan PAI-1 sehingga pembersihan fibrin menjadi tidak adekuat, dan mengakibatkan pembentukan trombus dalam mikrovaskular. Disseminated intravascular coagulation (DIC) atau Pembekuan intravaskular menyeluruh ( PIM ) merupakan komplikasi tersering pada sepsis. Konsumsi faktor pembekuan dan trombosit akan menginduksi komplikasi perdarahan berat. PIM secara bersamaan akan menyebabkan trombosis mikrovaskular dan perdarahan. Pada pasien PIM, kadar PAI-1 yang tinggi dihubungkan dengan prognosis buruk. 1,3,5

Efek kumulatif kaskade sepsis menyebabkan ketidakseimbangan mekanisme inflamasi dan homeostasis. Inflamasi yang lebih dominan terhadap anti inflamasi dan koagulasi yang lebih dominan terhadap fibrinolisis, memudahkan terjadinya trombosis mikrovaskular, hipoperfusi, iskemia dan kerusakan jaringan. Sepsis berat, syok septik, dapat

menyebabkan kegagalan multi organ, dan berakhir dengan kematian. 1,3,5

7. Faktor resiko 10,11,128. Tata laksana 13,1,29. Komplikasi 3,4,5

10. Preventif dan edukasi 6,7,811. Prognosis 9,10,11Jawab:

- Dubia ad bonam (tergantung tatalaksana)

-Pada kasus sepsis, 25% bayi meninggal meskipun telah diberikan AB dan perawatan intensif.

12. KDU 12,13,1Learning issue

1. Respiratory Distress 1,2,3,4,5,62. Infeksi pada neonatus 7,8,9,10,11,12,13SEPSIS NEONATORUM

PENDAHULUANSepsis pada neonatus masih merupakan masalah yang belum terpecahkan dalam pelayanan dan perawatan neonatus. Di Negara berkembang hampir sebagian besar neonatus yang dirawat mempunyai kaitan dengan masalah sepsis dan di negara berkembangpun sepsis tetap merupakan sebuah masalah. Selain itu sepsis memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Dalam laporan WHO yang dikutip Child Health Research Project Special Report : Reducing Perinatal and Neonatal Mortality ( 1999 ), dikemukakan bahwa 42% kematian neonatus terjadi karena berbagai bentuk infeksi seperti infeksi saluran pernafasan, tetanus neonatorum, sepsis, dan infeksi gastrointestinal. Setelah tetanus neonatorum, sepsis neonatorum merupakan penyakit dengan case fatality rate tertinggi. Hal ini terjadi karena banyak faktor resiko infeksi pada masa perinatal yang belum dapat dicegah dan ditanggulangi. 1Angka Kejadian/insidens sepsis di negara yang sedang berkembang masih cukup tinggi ( 1.8 18 / 1000 ) dibandingkan dengan negara maju ( 1 5 / 1000 ). Pada bayi laki-laki resiko sepsis 2 kali lebih besar dari bayi perempuan. Kejadian sepsis juga meningkat pada Bayi Kurang Bulan dan Bayi Berat Lahir rendah. Pada bati berat lahir amat rendah ( < 1000 gram ) kejadian sepsis terjadi pada 26 / 1000 kelahiran dan keadaan ini berbeda bermakna dengan bayi berat lahir antara 1000 2000 g yanbg angka kejadiannya antara 8 9 perseribu kelahiran. Demikian pula resiko kematian BBLR penderita sepsis lebih tinggi bila dibandingkan bayi cukup bulan.1Sepsis merupakan respon inflamasi tubuh terhadap suatu infeksi. Infeksi tersebut bisa berupa infeksi lokal maupun sistemik dan dapat disebabkan oleh bakteri, virus, parasit, ataupun jamur. Respon inflamasi yang ditimbulkan dapat menyebabkan terjadinya kegagalan organ yang merupakan penyebab kematian dari sepsis. 2BAB IIEPIDEMIOLOGIII. 1. EPIDEMIOLOGI

Angka kejadian/insidens sepsis di negara berkembang cukup tinggi yaitu 1,818 per 1000 kelahiran hidup dengan angka kematian sebesar 12-68%, sedangkan di negara maju angka kejadian sepsis berkisar antara 3 per 1000 kelahiran hidup dengan angka kematian 10,3%. Di Indonesia, angka tersebut belum terdata. Data yang diperoleh dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, dalam periode Januari - September 2005, angka kejadian sepsis neonatorum sebesar 13,68% dengan angka kematian sebesar 14,18%. 3

II. 2. FAKTOR RESIKO

Kriteria sepsis neonatorum baik berdasarkan anamnesis (termasuk adanya faktor resiko ibu dan neonatus terhadap sepsis), gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Terjadinya sepsis neonatorum dipengaruhi oleh faktor risiko pada ibu dan bayi.Faktor risiko ibu: Ketuban pecah dini dan ketuban pecah lebih dari 18 jam. Bila ketuban pecah lebih dari 24 jam, kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1% dan bila disertai korioamnionitis, kejadian sepsis akan meningkat menjadi 4 kalinya.

Infeksi dan demam (>38C) pada masa peripartum akibat korioamnionitis, infeksi saluran kemih, kolonisasi vagina oleh Streptokokus grup B (SGB), kolonisasi perineal oleh E. coli, dan komplikasi obstetrik lainnya.

Cairan ketuban hijau keruh dan berbau.

Kehamilan multipel.

Persalinan dan kehamilan kurang bulan.

Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu.

Faktor risiko pada bayi: 6

Prematuritas dan berat lahir rendah.

Dirawat di Rumah Sakit.

Trauma pada proses persalinan.

Prosedur invasif seperti intubasi endotrakeal, pemakaian ventilator, kateter,

infus, pembedahan, akses vena sentral, kateter intratorakal

Bayi dengan galaktosemia (predisposisi untuk sepsis oleh E. coli), defek imun,atau asplenia.

Asfiksia neonatorum.

Cacat bawaan.

Tidak diberi ASI

Pemberian nutrisi parenteral.

Perawatan di bangsal intensif bayi baru lahir yang terlalu lama.

Perawatan di bangsal bayi baru lahir yang overcrowded

Buruknya kebersihan di NICU.

Divisi Perinatologi FKUI/RSCM mencoba melakukan pendekatan diagnosis dengan menggunakan faktor risiko dan mengelompokkan faktor risiko tersebut dalam risiko mayor dan risiko minor.4

Bila terdapat satu faktor risiko mayor dan dua risiko minor maka pendekatan diagnosis dilakukan secara aktif dengan melakukan pemeriksaan penunjang (septicwork-up) sesegera mungkin. Pendekatan khusus ini diharapkan dapat meningkatkan identifikasi pasien secara dini dan tata laksana yang lebih efisien sehingga mortalitas dan morbiditas pasien diharapkan dapat membaik.5BAB IIIETIOLOGI

Berbagai macam kuman seperti bakteri, virus, parasit, atau jamur dapat menyebabkan infeksi berat yang mengarah pada terjadinya sepsis. Dalam kajian ini, hanya dibahas sepsis yang disebabkan oleh bakteri. Pola kuman penyebab sepsis pun berbeda-beda antar negara dan selalu berubah dari waktu ke waktu. Bahkan di negara berkembang sendiri ditemukan perbedaan pola kuman, walaupun bakteri Gram negatif rata-rata menjadi penyebab utama dari sepsis neonatorum. Oleh karena itu pemeriksaan pola kuman secara berkala pada masing-masing klinik dan rumah sakit memegang peranan yang sangat penting.1,2

Perbedaan pola kuman penyebab sepsis antar negara berkembang telah diteliti oleh World Health Organization Young Infants Study Group pada tahun 1999 di empat negara berkembang yaitu Ethiopia, Philipina, Papua New Guinea dan Gambia. Dalampenelitian tersebut mengemukakan bahwa isolate yang tersering ditemukan pada kultur darah adalah Staphylococcus aureus (23%), Streptococcus pyogenes (20%) dan E. coli (18%). Pada cairan serebrospinal yang terjadi pada meningitis neonatus awitan dini banyak ditemukan bakteri Gram negatif terutama Klebsiella sp dan E.Coli, sedangkan pada awitan lambat selain bakteri Gram negatif juga ditemukan Streptococcus pneumoniae serotipe 2. E.coli biasa ditemukan pada neonatus yang tidak dilahirkan di rumah sakit serta pada usap vagina wanita-wanita di daerah pedesaan. Sementara Klebsiella sp biasanya diisolasi dari neonatus yang dilahirkan di rumah sakit. Selain mikroorganisme di atas, patogen yang sering ditemukan adalah Pseudomonas, Enterobacter, dan Staphylococcus aureus.1,3

Di RSCM telah terjadi 3 kali perubahan pola kuman dalam 30 tahun terakhir. Di Divisi Neonatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM pada tahun 2003, kuman terbanyak yang ditemukan berturut-turut adalah Acinetobacter sp,Enterobacter sp, Pseudomonas sp. Data terakhir bulan Juli 2004-Mei 2005 menunjukkan Acinetobacter calcoacetius paling sering (35,67%), diikuti Enterobacter sp (7,01%), dan Staphylococcus sp (6,81%). 5

Tabel perubahan pola kuman penyebab sepsis neonatorum berdasarkan kurun waktu :BAB IVPATOFISIOLOGIInfeksi bukan merupakan keadaan yang statis. Adanya patogen di dalam darah (bakteremia, viremia) dapat menimbulkan keadaan yang berkelanjutan mulai dari infeksi ke SIRS, sepsis, sepsis berat, syok septik, kegagalan multi organ, dan akhirnya kematian.1

Kriteria Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) :

Kriteria infeksi, sepsis, sepsis berat, syok septik :

International Consensus Definitions for Pediatric Sepsis

Infeksi : infeksi yang dicurigai atau yang sudah terbukti, atau sebuah sindrom klinis yang terkait dengan kemungkinan infeksi yang tinggi

SIRS : memenuhi 2 dari 4 kriteria berikut dengan salah satunya harus suhu abnormal atau jumlah leukosit yang abnormal

1. Suhu core > 38.5 C atau < 36 C

2. Takikardi : mean heart rate > 2 SD diatas normal untuk umur tanpa stimuli dari luar, obat obatan, ataupun stimuli nyeri; ATAU elevasi yang menetap tanpa penjelasan selama 0.5 4 jam; ATAU pada anak anak < 1 tahun terdapat bradikardi persisten lebih dari 0.5 jam ( mean heart rate < persentil 10 tanpa rangsangan vagal, obat-obatan, ataupun penyakit jantung kongenital )

3. Takipneu > 2 SD diatas normal atau perlunya ventilator mekanik yang tidak terkait dengan kelainan neuromuskular atau anestesi umum

4. Leukositosis atau leukopeni; atau leukosit imatur > 10%

Sepsis : SIRS dengan infeksi yang terbukti

Sepsis berat : Sepsis yang disertai dengan 1 dari hal berikut :

1. Disfungsi kardiovaskuler

Meskipun diberikan IV fluid sebanyak > 40 mL/kg dalam satu jam, terdapat hipotensi < persentil ke 5 untuk umur, tekanan darah sistolik < 2 SD dibawah normal untuk umur.

ATAU

Perlunya obat-obatan vasoaktif untuk mempertahankan tekanan darah

ATAU

2 dari hal berikut :

Asidosis metabolik yang tidak diketahui sebabnya > 5 mEq/L

Peningkatan kadar laktat arteri > 2 x batas atas normal

Oliguri < 0.5 mL/kg/jam

Capillary Refill Time yang menurun > 5 detik

Beda suhu akral dan tubuh > 3 C

2. Acute respiratory distress syndrome yang didefinisikan dengan terdapatnya rasio PaO2/FiO2 300 mm Hg, infiltrat bilateral pada foto thoraks, dan tidak terbuktinya gagal jantung kiri

ATAU

Sepsis disertai dengan kegagalan organ 2 atau lebih ( Respirasi, Renal, Neurologi, hematologi, atau hepar )

Syok Sepsis : Sepsis yang disertai dengan kegagalan organ kardiovaskuler

Multiple Organ Dysfunction Syndrome : Kegagalan organ yang tidak bisa dipertahankan homeostasis tubuh tanpa bantuan obat-obatan.1,3,5

Berdasarkan waktu terjadinya, sepsis neonatorum dapat diklasifikasikan menjadi dua bentuk yaitu sepsis neonatorum awitan dini (early-onset neonatal sepsis) dan sepsis neonatorum awitan lambat (late-onset neonatal sepsis). Sepsis awitan dini (SAD) merupakan infeksi perinatal yang terjadi segera dalam periode pascanatal (kurang dari 72 jam) dan biasanya diperoleh pada saat proses kelahiran atau in utero. Di negara maju, kuman tersering yang ditemukan pada kasus SAD adalah Streptokokus Grup B (>40% kasus), Escherichia coli ,Klebsiella, dan Pseudomonas aeruginosa Haemophilus influenza, dan Listeria monocytogenes, sedangkan di negara berkembang termasuk Indonesia, mikroorganisme penyebabnya adalah batang Gram negatif. 5Sepsis awitan lambat (SAL) merupakan infeksi pascanatal (lebih dari 72 jam) yang diperoleh dari lingkungan sekitar atau rumah sakit (infeksi nosokomial). Angka mortalitas SAL lebih rendah daripada SAD yaitu kira-kira 10-20%. Di negara maju, Coagulase-negative Staphilococcus (CoNS) dan Candida albicans merupakan penyebab utama SAL. 5

Di negara berkembang pembagian SAD dan SAL tidak jelas karena sebagian besar bayi tidak dilahirkan di rumah sakit. Oleh karena itu, penyebab infeksi tidak dapat diketahui apakah berasal dari jalan lahir (SAD) atau diperoleh dari lingkungan sekitar (SAL). 5

Selama dalam kandungan janin relatif aman terhadap kontaminasi kuman karena terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta, selaput amnion, khorion, dan beberapa faktor anti infeksi pada cairan amnion. Walaupun demikian kemungkinan kontaminasi kuman dapat timbul melalui berbagai jalan yaitu :1,2,5

Infeksi kuman, parasit atau virus yang diderita ibu dapat mencapai janin melalui aliran darah menembus barier plasenta dan masuk sirkulasi janin. Keadaan ini ditemukan pada infeksi TORCH, Triponema pallidum atau Listeria dll.

Prosedur obstetri yang kurang memperhatikan faktor a/antisepsis misalnya saat pengambilan contoh darah janin, bahan villi khorion atau amniosentesis. Paparan kuman pada cairan amnion saat prosedur dilakukan akan menimbulkan amnionitis dan pada akhirnya terjadi kontaminasi kuman pada janin.

Pada saat ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari vagina akan lebih berperan dalam infeksi janin. Pada keadaan ini kuman vagina masuk ke dalam rongga uterus dan bayi dapat terkontaminasi kuman melalui saluran pernafasan ataupun saluran cerna. Kejadian kontaminasi kuman pada bayi yang belum lahir akan meningkat apabila ketuban telah pecah lebih dari 18-24 jam.

Setelah lahir, kontaminasi kuman terjadi dari lingkungan bayi baik karena infeksi silang ataupun karena alat-alat yang digunakan bayi, bayi yang mendapat prosedur neonatal invasif seperti kateterisasi umbilikus, bayi dalam ventilator, kurang memperhatikan tindakan a/anti sepsis, rawat inap yang terlalu lama dan hunian terlalu padat, dll.

Bila paparan kuman pada kedua kelompok ini berlanjut dan memasuki aliran darah, akan terjadi respons tubuh yang berupaya untuk mengeluarkan kuman dari tubuh. Berbagai reaksi tubuh yang terjadi akan memperlihatkan pula bermacam gambaran gejala klinis pada pasien. Tergantung dari perjalanan penyakit, gambaran klinis yang terlihat akan berbeda.Patofisiologi sepsis terdiri dari aktivasi inflamasi, aktivasi koagulasi, dan gangguan fibrinolisis. Hal ini mengganggu homeostasis antara mekanisme prokoagulasi dan antikoagulasi.1. Respon inflamasi

Respon sepsis terhadap bakteri Gram negatif dimulai dengan pelepasan lipopolisakarida (LPS), yaitu endotoksin dari dinding sel bakteri. Lipopolisakarida merupakan komponen penting pada membran luar bakteri Gram negatif dan memiliki peranan penting dalam menginduksi sepsis. Lipopolisakarida mengikat protein spesifik dalam plasma yaitu lipoprotein binding protein (LPB). Selanjutnya kompleks LPS-LPB ini berikatan dengan CD14, yaitu reseptor pada membran makrofag. CD14 akan mempresentasikan LPS kepada Toll-like receptor 4 (TLR4) yaitu reseptor untuk transduksi sinyal sehingga terjadi aktivasi makrofag.Bakteri Gram positif dapat menimbulkan sepsis melalui dua mekanisme, yakni dengan menghasilkan eksotoksin yang bekerja sebagai superantigen dan dengan melepaskan fragmen dinding sel yang merangsang sel imun. Superantigen mengaktifkan sejumlah besar sel T untuk menghasilkan sitokin proinflamasi dalam jumlah yang sangat banyak. Bakteri Gram positif yang tidak mengeluarkan eksotoksin dapat menginduksi syok dengan merangsang respon imun non spesifik melalui mekanisme yang sama dengan bakteri Gram negatif. Kedua kelompok organisme diatas, memicu kaskade sepsis yang dimulai dengan pelepasan mediator inflamasi sepsis. Mediator inflamasi primer dilepaskan dari sel-sel akibat aktivasi makrofag. Kerusakan utama akibat aktivasi makrofag terjadi pada endotel dan selanjutnya akan menimbulkan migrasi leukosit serta pembentukan mikrotrombi sehingga menyebabkan kerusakan organ. Aktivasi endotel akan meningkatkan jumlah reseptor trombin pada permukaan sel untuk melokalisasi koagulasi pada tempat yang mengalami cedera. Cedera pada endotel ini juga berkaitan dengan gangguan fibrinolisis. Hal ini disebabkan oleh penurunan jumlah reseptor pada permukaan sel untuk sintesis dan ekspresi molekul antitrombik. Selain itu, inflamasi pada sel endotel akan menyebabkan vasodilatasi pada otot polos pembuluh darah.2. Aktivasi Inflamasi dan Koagulasi

Pada sepsis terlihat hubungan erat antara inflamasi dan koagulasi. Mediator inflamasi menyebabkan ekspresi faktor jaringan atau Tissue Factor (TF). Ekspresi TF secara langsung akan mengaktivasi jalur koagulasi ekstrinsik dan melalui lengkung umpan balik secara tidak langsung juga akan mengaktifkan jalur instrinsik.1,3,5

Pada sepsis, aktivasi kaskade koagulasi umumnya diawali pada jalur ekstrinsik yang terjadi akibat ekspresi TF yang meningkat akibat rangsangan dari mediator inflamasi. Selain itu, secara tidak langsung TF juga akan megaktifkan jalur intrinsik melalui lengkung jalur umpan balik. Terdapat kaitan antara jalur ekstrinsik dan intrinsik dan hasil akhir aktivasi kedua jalur tersebut adalah pembentukan fibrin.1,3,5

3. Gangguan Fibrinolisis

Fibrinolisis adalah respons homeostasis tubuh terhadap aktivasi sistem koagulasi. Penghancuran fibrin penting bagi angiogenesis (pembentukan pembuluh darah baru), rekanalisasi pembuluh darah dan penyembuhan luka.1,3,5

Aktivator fibrinolisis [tissue-type plasminogen activator (t-PA) dan urokinasetype plasminogen activator (u-PA)] akan dilepaskan dari endotel untuk merubah plasminogen menjadi plasmin. Jika plasmin terbentuk, akan terjadi proteolisisfibrin. 1,3,5Tubuh juga memiliki inhibitor fibrinolisis alamiah yaitu plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) dan trombin-activatable fibrinolysis inhibitor (TAFI). Aktivator dan inhibitor diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan. 1,3,5Sepsis mengganggu respons fibrinolisis normal dan menyebabkan tubuh tidak mampu menghancurkan mikrotrombi. TNF- menyebabkan supresi fibrinolisis akibat tingginya kadar PAI-1 dan menghambat penghancuran fibrin. Hasil pemecahan fibrin dikenal sebagai fibrin degradation product (FDP) yang mencakup D-dimer, dan sering diperiksa pada tes koagulasi klinis. Mediator proinflamasi (TNF- dan IL-6) bekerja secara sinergis meningkatkan kadar fibrin, sehingga menyebabkan trombosis pada pembuluh darah kecil hingga sedang dan selanjutnya menyebabkan disfungsi multi organ. Secara klinis, disfungsi organ dapat bermanifestasi sebagai gangguan napas, hipotensi, gagal ginjal dan pada kasus yang berat dapat menyebabkan kematian. 1,3,5

Pada sepsis, saat aktivasi koagulasi maksimal, sistem fibrinolisis akan tertekan. Respon akut sistem fibrinolisis adalah pelepasan aktivator plasminogen khususnya t-PA dan u-PA dari tempat penyimpanannya dalam endotel. Namun, aktivasi plasminogen ini dihambat oleh peningkatan PAI-1 sehingga pembersihan fibrin menjadi tidak adekuat, dan mengakibatkan pembentukan trombus dalam mikrovaskular. Disseminated intravascular coagulation (DIC) atau Pembekuan intravaskular menyeluruh ( PIM ) merupakan komplikasi tersering pada sepsis. Konsumsi faktor pembekuan dan trombosit akan menginduksi komplikasi perdarahan berat. PIM secara bersamaan akan menyebabkan trombosis mikrovaskular dan perdarahan. Pada pasien PIM, kadar PAI-1 yang tinggi dihubungkan dengan prognosis buruk. 1,3,5

Efek kumulatif kaskade sepsis menyebabkan ketidakseimbangan mekanisme inflamasi dan homeostasis. Inflamasi yang lebih dominan terhadap anti inflamasi dan koagulasi yang lebih dominan terhadap fibrinolisis, memudahkan terjadinya trombosis mikrovaskular, hipoperfusi, iskemia dan kerusakan jaringan. Sepsis berat, syok septik, dapat

menyebabkan kegagalan multi organ, dan berakhir dengan kematian. 1,3,5

BAB VMANIFESTASI DAN GEJALA KLINISGambaran klinis pasien sepsis neonatus tidak spesifik. Gejala sepsis klasik yang ditemukan pada anak jarang ditemukan pada neonatus, namun keterlambatan dalam menegakkan diagnosis dapat berakibat fatal bagi kehidupan bayi. Gejala klinis yang terlihat sangat berhubungan dengan karakteristik kuman penyebab dan respon tubuh terhadap masuknya kuman. Janin yang terkena infeksi akan menderita takikardia, lahir dengan asfiksia dan memerlukan resusitasi karena nilai Apgar rendah. Setelah lahir bayi akan tampak lemah. Selanjutnya akan terlihat berbagai kelainan dan gangguan fungsi organ tubuh. Selain itu, terdapat kelainan susunan saraf pusat (letargi, refleks hisap buruk, menangis lemah kadang-kadang terdengar high pitch cry, bayi menjadi iritabel dan dapat disertai kejang), kelainan kardiovaskular (hipotensi, pucat, sianosis,akral dingin). Bayi dapat pula memperlihatkan kelainan hematologik, gastrointestinal ataupun gangguan respirasi (perdarahan,ikterus, muntah, diare, distensi abdomen, intoleransi minum, waktu pengosongan lambung yang memanjang, takipnea, apnea, merintih dan retraksi). 7

Selain itu, menurut Buku Pedoman Integrated Management of Childhood Illnesses tahun 2000 mengemukakan bahwa kriteria klinis sepsis neonatorum berat bila ditemukan satu atau lebih dari gejala-gejala berikut : 7

Laju napas > 60 kali per menit

Retraksi dada yang dalam

Cuping hidung kembang kempis

Merintih

Ubun ubun besar membonjol

Kejang

Keluar pus dari telinga

Kemerahan di sekitar umbilikus yang melebar ke kulit

Suhu >37,7C (atau akral teraba hangat) atau < 35,5C (atau akral teraba dingin)

Letargi atau tidak sadar

Penurunan aktivitas /gerakan

Tidak dapat minum

Tidak dapat melekat pada payudara ibu

Tidak mau menetek.

Beberapa rumah sakit di Indonesia mengacu pada buku Panduan Manajemen Masalah Bayi Baru Lahir untuk Dokter, Perawat dan Bidan di Rumah Sakit tahun 2003 untuk menentukan kriteria sepsis neonatorum. Pada buku ini gambaran klinis pada sepsis dibagi menjadi dua kategori. Penegakan diagnosis ditentukan berdasarkan usia pasien dan gambaran klinis sesuai dengan kategori : 5

Neonatus diduga mengalami sepsis (tersangka sepsis) bila ditemukan tanda- tanda dan gejala yang akan dijelaskan sebagai berikut : 5

Bila ada riwayat ibu dengan infeksi intrauterin, demam yang dicurigai sebagai infeksi berat atau KPD (ketuban pecah dini).

Bila bayi mempunyai dua tanda atau lebih pada Kategori A (tabel), atau tiga tanda atau lebih pada Kategori B (tabel).

Bila mempunyai satu tanda pada Kategori A dan satu tanda pada Kategori B, atau dua tanda pada Kategori B.

BAB VIPEMERIKSAAN

1. LABORATORIUM

A. Pemeriksaan kuman dengan kultur darah

Sampai saat ini pemeriksaan biakan darah merupakan baku emas dalam menentukan diagnosis sepsis. Pemeriksaan ini mempunyai kelemahan karena hasil biakan baru akan diketahui dalam waktu minimal 3-5 hari. Hasil kultur perlu dipertimbangkan secara hati-hati apalagi bila ditemukan kuman yang berlainan dari jenis kuman yang biasa ditemukan di masing- masing klinik. Kultur darah dapat dilakukan baik pada kasus sepsis neonatorum onset dini maupun lanjut. 7

B. Pungsi lumbal

Kemungkinan terjadinya meningitis pada sepsis neonatorum sangat tinggi. Bayi dengan meningitis mungkin saja tidak menunjukkan gejala spesifik. Punksi lumbal dilakukan untuk mendiagnosis atau menyingkirkan sepsis neonatorum bila dicurigai terdapat meningitis. Pemeriksaan ini dilakukan baik pada sepsis neonatorum dini maupun lanjut. Kemudian dilakukan pemeriksaan kultur dari cairan serebrospinal (LCS). Apabila hasil kultur positif, punksi lumbal diulang 24-36 jam setelah pemberian antibiotikuntuk menilai apakah pengobatan cukup efektif. Apabila pada pengulangan pemeriksaan masih didapatkan kuman pada LCS, diperlukan modifikasi tipe antibiotikdan dosis. Dari penelitian, terdapat 15% bayi dengan meningitis yang menunjukkan kultur darah negatif. 7

C. Pewarnaan Gram

Selain biakan kuman, pewarnaan Gram merupakan teknik tertua dan sampai saat ini masih sering dipakai di laboratorium dalam melakukan identifikasi kuman. Pemeriksaan dengan pewarnaan Gram ini dilakukan untuk membedakan apakah bakteri penyebab termasuk golongan bakteri Gram positif atau Gram negatif. Walaupun dilaporkan terdapat kesalahan baca pada 0,7% kasus, pemeriksaan untuk identifikasi awal kuman ini dapat dilaksanakan pada rumah sakit dengan fasilitas laboratorium yang terbatas dan bermanfaat dalam menentukan penggunaan antibiotik pada awal pengobatan sebelum didapatkan hasil pemeriksaan kultur bakteri. 7

D. Pemeriksaan Hematologi

Beberapa parameter hematologi yang banyak dipakai untuk menunjang diagnosis sepsis neonatorum adalah sebagai berikut : 7

Hitung trombosit

Pada bayi baru lahir jumlah trombosit yang kurang dari 100.000/L jarang ditemukan pada 10 hari pertama kehidupannya. Pada penderita sepsis neonatorum dapat terjadi trombositopenia (jumlah trombosit kurang dari 100.0000/L), MPV (mean platelet volume) dan PDW (platelet distribution width) meningkat secara signifikan pada 2-3 hari pertama kehidupan.

Hitung leukosit dan hitung jenis leukosit

Pada sepsis neonatorum jumlah leukosit dapat meningkat atau menurun, walaupun jumlah leukosit yang normal juga dapat ditemukan pada 50% kasus sepsis dengan kultur bakteri positif. Pemeriksaan ini tidak spesifik. Bayi yang tidak terinfeksi pun dapat memberikan hasil yang abnormal, bila berkaitan dengan stress saat proses persalinan. Jumlah total neutrofil (sel-sel PMN dan bentuk imatur) lebih sensitif dibandingkan dengan jumlah total leukosit (basofil, eosinofil, batang, PMN, limfosit dan monosit). Jumlah neutrofil abnormal yang terjadi pada saat mulainya onset ditemukan pada 2/3 bayi. Walaupun begitu, jumlah neutrofil tidak dapat memberikan konfirmasi yang adekuat untuk diagnosis sepsis. Neutropenia juga ditemukan pada bayi yang lahir dari ibu penderita hipertensi, asfiksia perinatal berat, serta perdarahan periventrikular dan intraventrikular.

Rasio neutrofil imatur dan neutrofil total (rasio I/T)

Pemeriksaan ini sering dipakai sebagai penunjang diagnosis sepsis neonatorum. Semua bentuk neutrofil imatur dihitung, dan rasio maksimum yang dapat diterima untuk menyingkirkan diagnosis sepsis pada 24 jam pertama kehidupan adalah 0,16. Pada kebanyakan neonatus, rasio turun menjadi 0,12 pada 60 jam pertama kehidupan. Sensitivitas rasio I/T berkisar antara 60-90%, dan dapat ditemukan kenaikan rasio yang disertai perubahan fisiologis lainnya; oleh karena itu, rasio I/T ini dikombinasikan dengan gejala-gejala lainnya agar diagnosis sepsis neonatorum dapat ditegakkan.

Pemeriksaan C-reactive protein (CRP)

C-reactive protein (CRP) merupakan protein yang disintesis di hepatosit dan muncul pada fase akut bila terdapat kerusakan jaringan. Protein ini diregulasi oleh IL6 dan IL-8 yang dapat mengaktifkan komplemen. Sintesis ekstrahepatik terjadi di neuron, plak aterosklerotik, monosit dan limfosit. CRP meningkat pada 50-90% bayi yang menderita infeksi bakteri sistemik. Sekresi CRP dimulai 4-6 jam setelah stimulasi dan mencapai puncak dalam waktu 36-48 jam dan terus meningkat sampai proses inflamasinya teratasi. Nilai normal yang biasa dipakai adalah < 5 mg/L. CRP sebagai suatu pemeriksaan serial selama proses infeksi untuk mengetahui respon antibiotika, lama pengobatan, dan/atau relapsnya infeksi. Faktor yang dapat memengaruhi kadar CRP adalah cara melahirkan, umur kehamilan, jenis organisme penyebab sepsis, granulositopenia, pembedahan, imunisasi dan infeksi virus berat (seperti HSV,rotavirus, adenovirus, influenza).

Untuk diagnosis sepsis neonatorum, CRP mempunyai sensitivitas 60%, spesifisitas 78,94%. Jika CRP dilakukan secara serial, nilai prediksi negatif untuk sepsis awitan dini adalah 99,7% sedangkan untuk sepsis awitan lanjut adalah 98,7%.

Pemeriksaan Biomolekuler/Polymerase Chain Reaction (PCR)

Akhir-akhir ini di beberapa negara maju, pemeriksaan biomolekular berupa Polymerase Chain Reaction (PCR) dikerjakan guna menentukan diagnosis dini pasien sepsis. Dibandingkan dengan biakan darah, pemeriksaan ini dilaporkan mampu lebih cepat memberikan informasi jenis kuman. Selain bermanfaat untuk deteksi dini, PCR juga dapat digunakan untuk menentukan prognosis pasien sepsis neonatorum.

2. Pencitraan

Pemeriksaan radiografi toraks dapat menunjukkan beberapa gambaran, misalnya: 7

Menunjukkan infiltrat segmental atau lobular, yang biasanya difus, pola retikulogranular, hampir serupa dengan gambaran pada RDS (Respiratory Distress Syndrome).

Efusi pleura juga dapat ditemukan dengan pemeriksaan ini.

Pneumonia : Penting dilakukan pemeriksaan radiologi toraks karena ditemukan pada sebagian besar bayi, meninggal akibat sepsis awitan dini yang telah terbukti dengan kultur.BAB VIIDIAGNOSISDiagnosis dini sepsis neonatal penting artinya dalam penatalaksanaan dan prognosis pasien. Keterlambatan diagnosis berpotensi mengancam kelangsungan hidup bayi dan memperburuk prognosis pasien. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, diagnosis sepsis neonatal sulit ditegakkan karena gambaran klinis pasien tidak spesifik. Gejala spesis klasik yang ditemukan pada anak lebih besar jarang ditemukan pada neonatus. Tanda dan gejala sepsis neonatal tidak berbeda dengan gejala penyakit non infeksi berat lain pada neonatus. Selain itu tidak ada satupun pemeriksaan penunjang yang dapat dipakai sebagai pegangan tunggal dalam diagnosis pasti pasien sepsis.

Dalam menentukan diagnosis diperlukan berbagai informasi antara lain :

Faktor Resiko

Gambaran Klinik

Pemeriksaan Penunjang

Ketiga faktor ini perlu dipertimbangkan saat menghadapi pasien karena salah satu faktor saja tidak mungkin dipakai sebagai pegangan dalam menegakkan diagnosis pasien. Faktor resiko sepsis dapat bervariasi tergantung awitan sepsis yang diderita pasien. Pada awitan dini berbagai faktor yang terjadi selama kehamilan, persalinan ataupun kelahiran dapat dipakai sebagai indikator untuk melakukan elaborasi lebih lanjut sepsis neonatal. Berlainan dengan awitan dini, pada pasien awitan lambat, infeksi terjadi karena sumber infeksi yang terdapat dalam lingkungan pasien.

Pada sepsis awitan dini faktor resiko dikelompokan menjadi :

1. Faktor ibu :

Persalinan dan kelahiran kurang bulan

Ketuban pecah lebih dari 18 24 jam

Chorioamnionitis

Persalinan dengan tindakan

Demam pada ibu ( > 38,4 C )

Infeksi saluran kencing pada ibu

Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu

2. Faktor bayi

Asfiksia perinatal

Berat lahir rendah

Bayi kurang bulan

Prosedur invasif

Kelainan bawaan

Semua faktor diatas sering kita jumpai dalam praktek sehari-hari dan sampai saat ini masih menjadi masalah yang belum terselesaikan. Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab mengapa angka kejadian sepsis neonatal tidak banyak mengalami perubahan dalam dekade terakhir ini.

Berlainan dengan awitan dini, pada pasien awitan lambat, infeksi terjadi karena sumber infeksi yang berasal dari lingkungan tempat perawatan pasien. Keadaan ini sering ditemukan pada bayi yang dirawat di ruang intensif neonatus, bayi kurang bulan yang mengalamai lama rawat, nutrisi parenteral yang berlarut-larut, infeksi yang bersumber dari alat perawatan bayi, infeksi nosokomial atau infeksi silang dari bayi lain atau dari tenaga medik yang merawat bayi. Faktor resiko awitan dini maupun lambat ini walaupun tidak selalu berakhir dengan infeksi, harus tetap mendapatkan perhatian khusus terutama bila disertai gejala klinis. Hal ini akan meningkatkan identifikasi dini dan tata laksana yang lebih efisien pada sepsis neonatal sehingga dapat memperbaiki mortalitas dan morbiditas pasien.

Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, gejala sepsis klasik yang ditemukan pada anak lebih besar jarang ditemukan pada neonatus. Pada sepsis awitan dini janin yang terinfeksi mungkin menderita takikardim lahir dengan asfiksia, dan memerlukan resusitasi karena nilai apgar yang rendah. Setelah lahir bayi terlihat lemah dan tampak gambaran klinis sepsis seperti hipo/hipertermia, hipoglikemia, dan kadang-kadang hiperglikemia. Selanjutnya akan terlihat berbagai kelainan dan gangguan fungsi organ tubuh.

Gangguan fungsi organ tersebut antara lain kelainan susunan saraf pusat seperti letargi, refleks hisap buruk, menangis lemah, kadang-kadang terdengar high pitch cry dan bayi menjadi iritabel serta mungkin disertai kejang. Kelainan kardiovaskular seperti hipotensim pucat, sianosis, dingin, dan clammy skin. Bayi dapat pula memperlihatkan kelainan hematologik, gastrointestinal ataupun gangguan respirasi seperti perdarahan, ikterus, muntah, diare, distensi abdomen, intoleransi minum, waktu pengosongan lambung yang memanjang, takipneu, apneu, merintih, dan retraksi.

Gambaran Klinis Disfungsi Multiorgan pada Bayi

Gangguan organGambaran Klinis

Kardiovaskular Tekanan darah sistolik < 40 mmHg

Denyut Jantung < 50 atau > 220/menit

Terjadi Henti Jantung

pH darah < 7.2 pada PaCO2 normal

Kebutuhan akan inotropik untuk mempertahankan tekanan darah normal

Saluran Napas Frekuensi napas > 90/menit

PaCO2 > 65 mmHg

PaO2 < 40 mmHg

Memerlukan ventilasi mekanik

FiO2 < 200 tanpa kelainan jantung sianotik

Sistem Hematologik Hb < 5 g/dL

WBC < 3000 sel/mm3 Trombosit < 20.000

D-dimer > 0.5g/mL pada PTT > 20 detik atau waktu tromboplastin > 60 detik

SSPKesadaran menurun disertai dilatasi pupil

Gangguan Ginjal Ureum > 100 mg/d\

Creatinin > 20 mg/dL

GastroenterologiPerdarahan gastrointestinal disertai dengan penurunan Hb > 2g%, hipotensi, perlu tranfusi darah atau operasi gastrointestinal

HeparBilirubin total > 3 mg%

Bervariasinya gejala klinik dan gambaran klinis yang tidak seragam menyebabkan kesulitan dalam menentukan diagnosis pasti. Untuk hal itu pemeriksaan penunjang baik pemeriksaan laboratorium ataupun pemeriksaan khusus lainnya sering dipergunakan dalam membantu menegakan diagnosis. Upaya inipun tampaknya masih belum dapat diandalkan. Sampai saat ini pemeriksaan laboratorium tunggal yang mempunyai sensitivitas dan spesifitas tinggi sebagai indikator sepsis, belum ditemukann. Dalam penentuan diagnosis, interpretasi hasil laboratorium hendaknya memperhatikan faktor resiko dan gejala klinis yang terjadi.

Seperti diungkapkan sebelumnya, diagnosis infeksi sistemik sulit ditegakkan apabila hanya berdasarkan riwayat pasien dan gambaran klinik saja. Untuk hal tersebut perlu dilakukan pemeriksaan penunjang yang dapat membantu konfirmasi diagnosis. Pemeriksaan penunjang tersebut dapat berupa pemeriksaan laboratorium maupun pemeriksaan khusus lainnya. Langkah tadi disbeut Septic work up dan termasuk dalam hal ini pemeriksaan biakan darah yang merupakan gold standard diagnosis sepsis, namun memerlukan waktu 2 5 hari untuk diagnosis pastinya.

Interpretasi hasil kultur perlu pertimbangan dengan hati-hati khususnya bila kuman yang ditemukan berlainan jenis dari kuman yang biasa ditemukan di klinik tersebut. Selain itu hasil kultur diperngaruhi pula oleh kemungkinan pemberian antibiotika sebelumnya atau adanya kemungkinan kontaminasi kuman nosokomial.

Untuk mengenal kelompok kuman penyebab infeksi secara lebih cepat dapat dilakukan pewarnaan gram. Tetapi cara ini tidak mampu menetapkan jenis kuman secara lebih spesifik.

Pemeriksaan lain dalam septic work up tersebut adalah pemeriksaan komponen-komponen darah. Pada sepsis neonatal, trombositopenia dapat ditemukan pada 10 60 % pasien. Jumlah trombosit biasanya kurang dari 100.000 dan terjhadi pada 1 3 minggu setelah diagnosis sepsis ditegakkan.

Sel darah putih dianggap lebih sensitif dalam menunjang diagnosis ketimbang hitung trombosit. Enam puluh pasien sepsis biasnya disertai perubahan hitung neutrofil. Rasio antara neutrofil imatur dan neutrofil total ( rasio I/T ) sering dipakau sebagai penunjang diagnosis sepsis neonatal. Sensitivitas rasio I/T ini 60 90 %, karenanya untuk diagnosis perlu disertai kombinasi dengan gambaran klinik dan pemeriksaan penunjang yang lain.BAB VIIIPENATALAKSANAANEliminasi kuman penyebab merupakan pilihan utama dalam tata laksana sepsis neonatorum, sedangkan di pihak lain penentuan kuman penyebab membutuhkan waktu dan mempunyai kendala tersendiri. Hal ini merupakan masalah dalam melaksanakan pengobatan optimal karena keterlambatan pengobatan akan berakibat peningkatan komplikasi yang tidak diinginkan. Sehubungan dengan hal tersebut, penggunaan antibiotik secara empiris dapat dilakukan dengan memperhatikan pola kuman penyebab yang tersering ditemukan di klinik tersebut. Antibiotik tersebut segera diganti apabila sensitifitas kuman diketahui. Selain itu, beberapa terapi suportif (adjuvant) juga sudah mulai dilakukan, walaupun beberapa dari terapi tersebut belum terbukti menguntungkan.Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan dini (SAD)

Kombinasi penisilin atau ampisilin ditambah aminoglikosida mempunyai aktivitas antimikroba lebih luas dan umumnya efektif terhadap semua organisme penyebab SAD. Kombinasi ini sangat dianjurkan karena akan meningkatkan aktivitas antibakteri.Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan lambat (SAL)

Pada infeksi nosokomial lebih dipilih pemakaian netilmisin atau amikasin. Amikasin resisten terhadap proses degradasi yang dilakukan oleh sebagian besar enzim bakteri yang diperantarai plasmid, begitu juga yang dapat menginaktifkan aminoglikosida lain.

Infeksi bakteri Gram negatif dapat diobati dengan kombinasi turunan penisilin (ampisilin atau penisilin spektrum luas) dan aminoglikosida. Sefalosporin generasi ketiga yang dikombinasikan dengan aminoglikosida atau penisilin spektrum luas dapat digunakan pada terapi sepsis yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif. Pilihan antibiotik baru untuk bakteri Gram negatif yang resisten terhadap antibiotik lain adalah karbapenem, aztreonam, dan isepamisin.Terapi suportif (adjuvant)

Pada sepsis neonatorum berat mungkin terlihat disfungsi dua sistem organ atau lebih yang disebut Disfungsi Multi Organ, seperti gangguan fungsi respirasi, gangguan kardiovaskular dengan manifestasi syok septik, gangguan hematologik seperti koagulasi intravaskular diseminata (KID), dan/atau supresi sistem imun. Pada keadaan tersebut dibutuhkan terapi suportif seperti pemberian oksigen, pemberian inotropik, dan pemberian komponen darah. Terapi suportif ini dalam kepustakaan disebut terapi adjuvant dan beberapa terapi yang dilaporkan dikepustakaan antara lain pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG), pemberian tranfusi dan komponen darah, granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GCSF dan GM-CSF), inhibitor reseptor IL-1, transfusi tukar (TT) dan lain-lain.Pemberian Kortikosteroid pada Sepsis Neonatorum

Pada saat ini pemberian kortikosteroid pada pasien sepsis lebih ditujukan untuk mengatasi kekurangan kortisol endogen akibat insufisiensi renal. Kortikosteroid dosis rendah bermanfaat pada pasien syok sepsis karena terbukti memperbaiki status hemodinamik, memperpendek masa syok, memperbaiki respons terhadap katekolamin, dan meningkatkan survival. Pada keadaan ini dapat diberikan hidrokortison dengan dosis 2 mg/kgBB/hari. Sebuah meta-analisis memperkuat hal ini dengan menunjukkan penurunan angka mortalitas 28 hari secara signifikan.Dukungan Nutrisi

Sepsis merupakan keadaan stress yang dapat mengakibatkan perubahan metabolik tubuh. Pada sepsis terjadi hipermetabolisme, hiperglikemia, resistensi insulin, lipolisis, dan katabolisme protein. Pada keadaan sepsis kebutuhan energi meningkat, protein otot dipergunakan untuk meningkatkan sintesis protein fase akut oleh hati. Beberapa asam amino yang biasanya non-esensial menjadi sangat dibutuhkan, diantaranya glutamin, sistein, arginin dan taurin pada neonatus. Pada keadaan sepsis, minimal 50% dari energy expenditure pada bayi sehat harus dipenuhi; atau dengan kata lain minimal sekitar 60 kal/kg/hari harus diberikan pada bayi sepsis. Kebutuhan protein sebesar 2,5-4 g/kg/hari, karbohidrat 8,5-10 g/kg/hari dan lemak 1g/kg/hari. Pemberian nutrisi pada bayi pada dasarnya dapat dilakukan melalui dua jalur, yaitu parenteral dan enteral. Pada bayi sepsis, dianjurkan untuk tidak memberikan nutrisi enteral pada 24-48 jam pertama. Pemberian nutrisi enteral diberikan setelah bayi lebih stabil.BAB IXPROGNOSISDengan diagnosis dini dan terapi yang tepat, prognosis pasien baik, tetapi bila tanda dan gejala awal serta faktor risiko sepsis neonatorum terlewat, akan meningkatkan angka kematian. Pada meningitis terdapat sequele pada 15-30% kasus neonatus. Rasio kematian pada sepsis neonatorum 24 kali lebih tinggi pada bayi kurang bulan dan bayi cukup bulan. Rasio kematian pada sepsis awitan dini adalah 15 40 % (pada infeksi SBG pada SAD adalah 2 30 %) dan pada sepsis awitan lambat adalah 10 20 % (pada infeksi SGB pada SAL kira kira 2 %). 5BAB XKESIMPULANSepsis pada neonatus masih merupakan masalah yang belum dapat dipecahkan yang karena bersifat multifaktorial, mulai dari faktor ibu, janin, maupun dari pelayanan rumah sakit. Sepsis neonatorum juga merupakan masalah yang sulit didiagnosa karena pada neonatus, respon sistem imun tubuhnya tidak selalu menimbulkan gejala seperti sepsis pada anak yang lebih besar. Umumnya penatalaksanaan yang diberikan bisa terlambat bila tenaga medis tidak memberikan perhatian yang cukup pada pasien.Tanda dan gejala klasik sepsis pada neonatus mencakup takikardi, takipneu, leukositosis atau leukopeni, dan hipertermi atau hipotermi. Selain itu bila didapatkan sepsis berat dapat ditemukan disfungsi organ-organ tertentu, seperti jantung, hati, paru-paru, ginjal, dan sebagainya. Ketika kegagalan organ sudah mencapai derajat tertentu, akan menyebabkan terjadinya septik syok yang dapat segera menyebabkan sindrom disfungsi multiorgan yang berakhir pada kematian bila tidak mendapatkan penatalaksanaan yang tepat.Penatalaksanaan sepsis pada umumnya mencakup eradikasi infeksi dengan antibiotika selektif, terapi adjuvant untuk mendukung status organ neonatus, terapi kortikosteroid bila terdapat insufisensi adrenal, dan terapi nutrisi yang adekuat untuk mempertahankan kesehatan bayi.DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson Textbook of Pediatrics, Ilmu Kesehatan Anak, edisi ke 18. Sepsis dan Meningitis Neonatus. Jakarta : EGC, 2004, hal 653-663.

2. John Mersch, MD, FAAP : Neonatal Sepsis ( Sepsis Neonatorum ). Page was last modified June 20th, 2011. Page available at http://www.medicinenet.com/script/main/art.asp?articlekey=98247

3. Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD. Rudolph s Pediatrics, Buku Ajar Pediatri Rudolph, edisi ke 20. Sepsis dan Meningitis Pada Neonatus. Jakarta : EGC, 2006, hal 601-610.

4. Mary T. Caserta, MD : Neonatal Sepsis. Page was last modified October 2009. Page available at http://www.merckmanuals.com/professional/sec19/ch279/ch279m.html

5. Kosim Sholeh et al. Buku Ajar Neonatologi, edisi pertama, cetakan kedua. Sepsis Pada Bayi Baru Lahir. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2010, hal 170-187.

6. Ann L Anderson-Berry, MD : Neonatal Sepsis. Page was last modified February 23rd, 2010. Page available at http://emedicine.medscape.com/article/978352-overview

7. Claudio Chiesa et al : Diagnosis of Neonatal Sepsis : A Clinical and Laboratory Challenge. Page was last modified July 1st, 2011. Page available at http://www.clinchem.org/cgi/content/full/50/2/279

8. Carl Kuschel : Antibiotics for Neonatal Sepsis. Page was last modified October 20th, 2010. Available at http://www.adhb.govt.nz/AntibioticsForNeonatalSepsis.htm1.temid

2. evita

3. putri beauty

4. Vina

5. poet

6. aap

7. sintong

8. nia

9. dewi

10. cantik

11. wafa

12. fira

13. mandeep

Kumpul tanggal 10 februari 2015, jam 16.30-17.30 yaaaaaaaaaaaaaa! 3 terakhir yang telat jadi buat ppt, print dan presentan

Kirim [email protected]

[email protected]

Terimakasih, selamat mengerjakannnnn

Infeksi fokal

Superantigen atau toksin

Sel sel inflammasi teraktivasi

Aktivasi pertahanan inang

Pelepasan mediator inflamasi endogen

Sitokin pro-inflammasi

Sitokin anti-inflammasi

Platelet activating factor

Arachidonic acid metabolites

Substansi depresi miocardium

Opiat endogen

Aktivasi sistem komplemen

Aktivasi sistem koagulasi

Aktivasi endotel

Peningkatan ekspresi molekul-molekul adhesi endotel

Penurunan trombomodulin

Peningkatan plasminogen activator inhibitor

Trombosis dan antifibrinolisis

Hipovolemia

Kegagalan jantung dan vaskularisasi

Kebocoran plasma / cedera endotel

Acute Respiratory Distress Syndrome

Disseminated intravascular coagulation

Penurunan sintesis steroid

Syok

MODS

Kematian

Infeksi fokal

Superantigen atau toksin

Sel sel inflammasi teraktivasi

Aktivasi pertahanan inang

Pelepasan mediator inflamasi endogen

Sitokin pro-inflammasi

Sitokin anti-inflammasi

Platelet activating factor

Arachidonic acid metabolites

Substansi depresi miocardium

Opiat endogen

Aktivasi sistem komplemen

Aktivasi sistem koagulasi

Aktivasi endotel

Peningkatan ekspresi molekul-molekul adhesi endotel

Penurunan trombomodulin

Peningkatan plasminogen activator inhibitor

Trombosis dan antifibrinolisis

Hipovolemia

Kegagalan jantung dan vaskularisasi

Kebocoran plasma / cedera endotel

Acute Respiratory Distress Syndrome

Disseminated intravascular coagulation

Penurunan sintesis steroid

Syok

MODS

Kematian