17
SHIBGHAH: Journal of Muslim Societies P-ISSN. 2715-6400 Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2020 E-ISSN. 2723-3286 Safaini: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi... | 216 http://jurnal.kopertais5aceh.or.id/index.php/shibghah Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi Aceh Besar dan Implikasinya Terhadap Ukhuwah Islamiyah Safaini STKIP Al-Washliyah Banda Aceh Email: [email protected] Abstrak Doktrin sebagai suatu bentuk ajaran, asas suatu aliran keagamaan yang bersifat absolut, sebagai suatu prinsip atau kepercayaan yang dianggap benar dan satu-satunya yang dapat diterima telah menjadi tradisi di dunia dayah. Dayah sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam yang sampai saat ini masih eksis di Aceh seharusnya tidak mempersempit pemahaman fikih dan tauhid didalam pembelajarannya. Tetapi kenyataannya dayah hanya mengajarkan fiqh mazhab Syafi’i dan tauhid Asy’ari serta menanamkan doktrin-doktrin tasawuf kepada santrinya. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa tujuan dayah mendoktrin santrinya agar santri lebih mencintai ajaran agamanya, dibidang tauhid adalah agar keimanan santri lebih kokoh dan kuat sehingga tidak mudah goyah saat berhadapan dengan pemahaman tauhid yang sesat atau pemahaman tauhid yang berbeda dengan mereka. Diarahkannya santri kepada mazhab yang satu dalam mempelajari fikih agar santri lebih terfokus dan terarah dalam memahami hukum agama Islam, serta mewujudkan persatuan dan kesatuan dalam masyarakat Aceh. Tujuan dayah menerapkan doktrin tasawuf adalah agar terhindar dari pemahaman tasawuf yang sesat dan untuk membina akhlak santri dengan sifat terpuji. Kata Kunci: Doktrin, Pendidikan Islam, Dayah Salafi PENDAHULUAN Pada masa Nabi Muhammad saw dan satu abad sepeninggal beliau, dunia Islam belum mengenal adanya kaum mutakallimin atau ahli kalam, ahli hukum atau ahli fikih maupun ahli tasawuf. Pada saat itu, kaum muslimin masih merupakan masyarakat etika yang berlandaskan doktrin-doktrin yang jelas tentang Tuhan. Namun seiring dengan perkembangan zaman, dengan meningkatnya intelektual dan semakin dikenalnya cara cara pembahasan filosofis telah melahirkan paling tidak dua hal penting, Pertama sistem hukum yang terorganisirkan, dan kedua teologi yang sistematis (Nurkhalis Madjid, 1997). Agama Islam mengandung sistem keyakinan yang mendasari seluruh aktifitas pemeluknya yang disebut akidah. Akidah Islam berisikan ajaran tentang apa saja yang mesti dipercayai, diyakini dan diimani oleh setiap orang Islam. Islam bersumber kepada kepercayaan dan keimanan kepada Tuhan, aqidah merupakan sistem kepercayaan yang mengikat manusia kepada Islam.

Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi Aceh Besar dan

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi Aceh Besar dan

SHIBGHAH: Journal of Muslim Societies P-ISSN. 2715-6400Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2020 E-ISSN. 2723-3286

Safaini: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi... | 216

http://jurnal.kopertais5aceh.or.id/index.php/shibghah

Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi Aceh Besardan Implikasinya Terhadap Ukhuwah Islamiyah

SafainiSTKIP Al-Washliyah Banda Aceh

Email: [email protected]

Abstrak Doktrin sebagai suatu bentuk ajaran, asas suatu aliran keagamaan yang bersifat absolut,sebagai suatu prinsip atau kepercayaan yang dianggap benar dan satu-satunya yang dapatditerima telah menjadi tradisi di dunia dayah. Dayah sebagai lembaga pendidikantradisional Islam yang sampai saat ini masih eksis di Aceh seharusnya tidak mempersempitpemahaman fikih dan tauhid didalam pembelajarannya. Tetapi kenyataannya dayah hanyamengajarkan fiqh mazhab Syafi’i dan tauhid Asy’ari serta menanamkan doktrin-doktrintasawuf kepada santrinya. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa tujuan dayahmendoktrin santrinya agar santri lebih mencintai ajaran agamanya, dibidang tauhid adalahagar keimanan santri lebih kokoh dan kuat sehingga tidak mudah goyah saat berhadapandengan pemahaman tauhid yang sesat atau pemahaman tauhid yang berbeda denganmereka. Diarahkannya santri kepada mazhab yang satu dalam mempelajari fikih agarsantri lebih terfokus dan terarah dalam memahami hukum agama Islam, serta mewujudkanpersatuan dan kesatuan dalam masyarakat Aceh. Tujuan dayah menerapkan doktrintasawuf adalah agar terhindar dari pemahaman tasawuf yang sesat dan untuk membinaakhlak santri dengan sifat terpuji.

Kata Kunci: Doktrin, Pendidikan Islam, Dayah Salafi

PENDAHULUAN

Pada masa Nabi Muhammad saw dan satu abad sepeninggal beliau, dunia Islam belum

mengenal adanya kaum mutakallimin atau ahli kalam, ahli hukum atau ahli fikih maupun ahli

tasawuf. Pada saat itu, kaum muslimin masih merupakan masyarakat etika yang berlandaskan

doktrin-doktrin yang jelas tentang Tuhan. Namun seiring dengan perkembangan zaman,

dengan meningkatnya intelektual dan semakin dikenalnya cara cara pembahasan filosofis

telah melahirkan paling tidak dua hal penting, Pertama sistem hukum yang terorganisirkan,

dan kedua teologi yang sistematis (Nurkhalis Madjid, 1997).

Agama Islam mengandung sistem keyakinan yang mendasari seluruh aktifitas

pemeluknya yang disebut akidah. Akidah Islam berisikan ajaran tentang apa saja yang mesti

dipercayai, diyakini dan diimani oleh setiap orang Islam. Islam bersumber kepada kepercayaan

dan keimanan kepada Tuhan, aqidah merupakan sistem kepercayaan yang mengikat manusia

kepada Islam.

Page 2: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi Aceh Besar dan

SHIBGHAH: Journal of Muslim Societies P-ISSN. 2715-6400Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2020 E-ISSN. 2723-3286

Safaini: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi... | 217

http://jurnal.kopertais5aceh.or.id/index.php/shibghah

Dayah sebagai lembaga pendidikan Islam untuk mencapai tujuannya ditanamkanlah

doktrin-doktrin tertentu agar santri senantiasa berpegang teguh pada ajaran yang diajarkan

gurunya. Adapun doktrin yang diikuti oleh dayah adalah doktrin Ahlusunnah wal Jamaah.

Doktrin Ahlusunnah wal Jamaah di dayah dapat dilihat dari hal-hal berikut ini: Dalam bidang

hukum-hukum Islam, menganut ajaran-ajaran dari salah satu madzhab empat. Dalam bidang

tauhid, menganut ajaran-ajaran Imam Abu Hassan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al

Maturidi. Dalam bidang tasawuf menganut dasar-dasar ajaran al Ghazali dan Imam Junaid al-

Baghdady (Zamakhsyari Dhofier, 1985).

Dasar penerapan doktrin ini adalah berawal dari pemahaman tentang Iman, Islam, dan

Ihsan yang merupakan trilogi agama yang membentuk tiga dimensi keagamaan

meliputi syarî'ah sebagai realitas hukum, tharîqah sebagai jembatan dan haqîqat yang

merupakan puncak kebenaran esensial. Ketiganya adalah sisi tak yang terpisahkan dari

keutuhan risalah yang dibawa Rasulullah saw. yang menghadirkan kesatuan aspek

eksoterisme (lahir) dan esoterisme (batin). Tiga dimensi agama ini (iman Islam, dan ihsan),

masing-masing saling melengkapi satu sama lain. Keislaman seseorang tidak akan sempurna

tanpa mengintegrasikan keimanan dan keihsanan. Ketiganya harus berjalan seimbang dalam

perilaku dan penghayatan keagamaan umat.

Seiring dengan perkembangan zaman yang terus maju, kecenderungan ulama dalam

menekuni dimensi keimanan, melahirkan disiplin ilmu Tauhid. Kecenderungan ulama dalam

menekuni dimensi hukum keislaman melahirkan disiplin ilmu Fiqh. Kecenderungan ulama

dalam dimensi keihsanan, melahirkan disiplin ilmu Tasawuf atau Akhlak (Syaikh Abdul Isa

Qadir, 2005). Dayah sebagai Lembaga Pendidikan Islam menanamkan nilai Tauhid, Fiqh dan

Akhlak kepada para santri dalam proses Pendidikannya. Tulisan ini berusaha untuk menelusuri

dan menemukan doktrin apa saja yang ditanamkan kepada para santri dalam proses

pembelajaran di dayah salafi Aceh Besar.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan

studi historis yaitu, sebuah proses yang meliputi pengumpulan data dan penafsiran peristiwa

ataupun gagasan yang timbul di masa lampau, untuk generalisasi yang berguna dalam usaha

Page 3: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi Aceh Besar dan

SHIBGHAH: Journal of Muslim Societies P-ISSN. 2715-6400Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2020 E-ISSN. 2723-3286

Safaini: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi... | 218

http://jurnal.kopertais5aceh.or.id/index.php/shibghah

untuk memahami kenyataan-kenyataan sejarah, maka ia dapat berguna untuk memahami situasi

sekarang dan meramalkan perkembangan yang akan datang (Winarno Surachmad, 1982).

Penggunaan metode tersebut untuk menemukan sejumlah data dan fakta yang autentik

serta relevan dengan objek yang penulis bahas. Sumber-sumber tersebut penulis peroleh

dengan menggunakan teknik pengumpulan data, yaitu melalui library re-search. Dalam hal ini

penulis menelaah buku-buku yang ada di perpustakaan yang ada hubungan dengan objek

pembahasan ini.

LANDASAN TEORI

Pada prinsipnya dalam setiap penelitian karya ilmiyah selalu memerlukan data-data

yang lengkap dan objektif serta mempunyai metode dan cara tertentu sesuai dengan

permasaalahan yang hendak dibahas. Dalam pembahasan tulisan ini digunakan metode

kualitatif deskriptif analisis, yaitu sebuah metode yang menggambarkan realitas yang terjadi

dilapangan, peneliti berusaha masuk dan terjun secara langsung kedalam dunia pendidikan

dayah.

HASIL PENELITIAN

A. Doktrin- Doktrin dalam Pendidikan Islam di Dayah Salafi Aceh Besar

Doktrin sebagai suatu bentuk ajaran, asas suatu aliran keagamaan yang bersifat

absolut, sebagai suatu prinsip atau kepercayaan yang dianggap benar dan satu-satunya yang

dapat diterima telah menjadi tradisi didayah. Dayah sebagai lembaga pendidikan tradisional

Islam yang sampai saat ini masih eksis di Aceh masih mendoktrin pemahaman fikih dan tauhid

didalam pembelajarannya. didayah hanya diajarkan fiqh mazhab Syafi’i dan tauhid Asy’ari

serta menanamkan doktrin-doktrin tasawuf al-Ghazaly kepada santrinya.

Adapun doktrin- doktrin dalam pendidikan Islam yang diterapkan didayah dapat

diketahui dari klarifikasinya sebagai berikut ini:

1. Doktrin dalam bidang akidah

Akidah dalam bahasa Indonesia berarti: kepercayaan, keyakinan. Pengertian ini sesuai

dengan etemologinya yang berasal dari bahasa arab ’aqidah yang berarti sesuatu yang

diyakini oleh hati, kepercayaan orang yang dianut dalam beragama. Pada permulaan Islam

Page 4: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi Aceh Besar dan

SHIBGHAH: Journal of Muslim Societies P-ISSN. 2715-6400Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2020 E-ISSN. 2723-3286

Safaini: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi... | 219

http://jurnal.kopertais5aceh.or.id/index.php/shibghah

akidah belum digunakan untuk menyebut pokok pertama kepercayaan Islam yang disebut:

syahadat, Akidah baru disebut-sebut dalam diskusi para teolog Islam yang membicarakan

secara luas kepercayaan-kepercayaan yang terkandung dalam pengertian syahadat itu, yang

kemudian bermuara dalam beberapa aliran teologi Islam, Akidah juga dipergunakan untuk

menyebut semacam teks pengajaran dasar kepercayaan Islam, yang diberikan kepada anak

anak muslim.

Pangkal pokok ajaran agama Islam adalah tauhid, atau pengesaan Tuhan, Suatu

monotheisme yang keras dan tidak mengenal kompromi. Inti ajaran al-Quran adalah tauhid

merupakan sesuatu yang tidak boleh diragukan. Sepanjang ajaran al-Quran, tauhid adalah inti

ajaran dan agama yang dianut para rasul dan Nabi sepanjang zaman (Nurchalis majdid, 1992).

Tidak diketahui bagaimana wujud tauhid itu dizaman Nabi Muhammad saw sendiri, Tauhid

dimasa Nabi hanya dapat diketahui dengan studi cermat tentang ajaran ajaran dalam kitab

suci dan sunnah Nabi atau tradisi dan sejarah Nabi. Akan tetapi pada masa sekarang kaum

muslimin lebih mengenal ajaran tauhid itu melalui karya karya para sarjana ilmu kalam atau

teologi Islam terutama skolastisisme al- Asy’ari (Zurkani Jahja, 1996).

Dayah sebagai lembaga pendidikan yang berpegang teguh kepada Ahlussunnah wal

Jamaah berpedoman pada akidah (ushûluddîn) yang dirumuskan oleh Abu Al-Hasan Al- Asy'ari

dan Abu Manshur Al-Maturidi. Kedua tokoh Ahlu sunnah wal Jamaah ini nyaris sepakat dalam

masalah akidah, meliputi sifat-sifat Wajib, Mustahil dan Ja'iz bagi Allah, sifat-sifat Wajib,

Mustahil dan Ja'iz bagi rasul. Berikut penulis akan menyebut secara ringkas tentang doktrin

keimanan Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam bidang tauhid sebagai berikut:

1. Iman yang sempurna ialah mengikrarkan dengan lisan, membenarkan dengan hati dan

mengerjakan dengan anggota.

2. Tuhan itu ada, namanya Allah, dan ada 99 nama bagi Allah.

3. Tuhan mempunyai sifat banyak sekali, secara umum disimpulkan dalam tiga sifat yaitu:

Tuhan mempunyai sifat-sifat Jalal (kebesaran), Jamal (keindahan), dan Kamal

(kesempurnaan)

4. Sifat Allah yang wajib diketahui oleh sekalian mukmin yang baligh berakal adalah: 20

sifat yang wajib, 20 sifat mustahil dan satu sifat yang harus ada bagi-Nya

5. Wajib dipercayai bahwa Malaikat ada, mereka banyak. Tetapi yang wajib dipercayai

secara terperinci hanyalah 10 malaikat saja.

Page 5: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi Aceh Besar dan

SHIBGHAH: Journal of Muslim Societies P-ISSN. 2715-6400Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2020 E-ISSN. 2723-3286

Safaini: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi... | 220

http://jurnal.kopertais5aceh.or.id/index.php/shibghah

6. Wajib dipercayai adanya kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada Rasul-rasul Nya

untuk disampaikan kepada ummatnya. Kitab-kitab itu banyak, tetapi yang wajib

diketahui secara terperinci adalah 4 (empat)

7. Kaum Ahlussunnah wal Jama’ah mempercayai semua rasul-rasul yang diutus Allah

SWT kepada manusia.

8. Setiap orang Islam wajib mempercayai adanya hari akhirat. Permulaan hari akhirat itu

bagi setiap manusia adalah sesudah mati.

9. Mempercayai adanya Qadha dan Qadar yaitu takdir ilahi.

10. Allah SWT bersama nama-Nya dan sifat-Nya semuanya qadim, karena nama dan sifat

itu berdiri di atas zat yang qadim, maka dengan demikian semua nama dan sifat Allah

SWT adalah qadim, tidak ada pemulaannya.

11. Al Quran adalah kalam Allah yang qadim. Sedangkan apa yang tertulis dalam mushaf

yang menggunakan huruf dan suara merupakan gambaran dari Al Quran yang qadim

tersebut.

12. Rizki sekalian manusia sudah ditaqdirkan dalam azal, tidak bertambah dan tidak

berkurang, tetapi manusia diperintahkan untuk mencari rizki, diperintahkan untuk

berusaha dan tidak boleh berpangku tangan menunggu saja.

13. Ajal setiap manusia sudah ditentukan waktunya oleh Allah SWT tidak dimajukan

waktunya, juga tidak dapat ditunda walaupun sekejap mata.

14. Anak-anak orang kafir yang mati kecil (bayi) masuk surga.

15. Nama Tuhan tidak boleh dibuat-buat oleh manusia, tetapi harus seperti yang telah

ditetapkan Allah SWT dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW yang shahih.

16. Kalau terdapat ayat-ayat suci Al-Qur’an yang seolah-olah menyatakan bahwa Allah

SWT bertubuh seperti manusia, atau bertangan seperti manusia, atau bermuka serupa

manusia, maka ulama-ulama Ahlussunnah wal Jama’ah mentakwilkan atau

menafsirkan ayat di atas secara majazi, yakni bukan menurut asal dari perkataan itu.

17. Bangkit sesudah mati hanya satu kali. Manusia mulanya tidak ada, kemudian lahir ke

dunia kemudian mati. Lalu hidup kembali (bangkit) dari kematian setelah peniupan

terompet dan berkumpul di padang Mahsyar sesuai dengan ayat Al-Qur’an pada surat

Al Baqarah ayat 28.

Page 6: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi Aceh Besar dan

SHIBGHAH: Journal of Muslim Societies P-ISSN. 2715-6400Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2020 E-ISSN. 2723-3286

Safaini: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi... | 221

http://jurnal.kopertais5aceh.or.id/index.php/shibghah

18. Upah (pahala) yang Allah SWT berikan kepada oang-orang yang saleh bukanlah karena

Allah SWT terpaksa untuk memberikannya dan bukan pula kewajiban Allah SWT untuk

membalas jasa orang itu. Begitu juga hukuman bagi orang yang durhaka tidaklah Allah

SWT terpaksa menghukumnya atau bukanlah kewajiban Allah SWT untuk

menghukumnya, tidak. Allah SWT memberikan pahala kepada manusia dengan

karunia-Nya dan menghukum dengan keadilan-Nya.

19. Allah SWT dapat dilihat oleh penduduk surga dengan mata kepala, bukan dengan mata

hati saja. Tetapi tidak boleh berpersepsi bahwa Allah SWT berada dalam surga. Hanya

kita yang bertempat dalam surga yang melihat-Nya.

20. Pada waktu di dunia tidak ada manusia dapat yang melihat Allah SWT kecuali Nabi

Muhammad SAW, pada malam Mi’raj.

21. Mengutus rasul-rasul adalah karunia Allah SWT kepada hamba-Nya untuk menunjuki

jalan yang lurus, bukanlah kewajiban Allah SWT untuk mengutus rasul-rasul-Nya.

22. Wajib diyakini bahwa yang paling mulia di antara makhluk Tuhan ialah Nabi

Muhammad SAW, sesudah itu Rasul-rasul yang lain, lalu para Nabi, para Malaikat,

barulah Muslimin yang lain.

23. Kerasulan seorang rasul adalah karunia Allah SWT. Pangkat tersebut tidak bisa

didapatkan dengan diusahakan, umpamanya dengan bersekolah atau bertapa dan

lain-lain.

24. Rasul-rasul yang dibekali dengan mu’jizat, yaitu perbuatan yang ganjil yang diluar

kemampuan manusia biasa,.

25. Nabi Muhammad SAW adalah nabi yang terakhir, tidak ada lagi Nabi sesudah beliau.

26. Wajib dipercayai adanya Arsy, yaitu suatu benda makhluk Allah SWT yang dijadikan

dari nur, terletak di tempat yang tinggi dan mulia, yang tidak diketahui hakekatnya dan

kebesarannya. Hanya Allah SWT yang mengetahui, kita hanya wajib mengimaninya.

27. Wajib diketahui adanya “Kursi Allah SWT” yaitu suatu benda makhluk Allah SWT yang

bedekatan dan bertalian dengan Arsy. Hakekat keberadaannya diserahkan kepada

Allah SWT. Yang wajib kaum Ahlussunnah wal Jama’ah adalah mempercayainya.

28. Wajib dipercayai adanya Qalam, yaitu suatu benda yang dijadikan Allah SWT untuk

‘menuliskan’ segala sesuatu yang akan terjadi di Lauh Mahfudh. Sekalian yang terjadi

di dunia ini sudah dituliskan dengan Qalam di Lauh Mahfudh terlebih dahulu.

Page 7: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi Aceh Besar dan

SHIBGHAH: Journal of Muslim Societies P-ISSN. 2715-6400Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2020 E-ISSN. 2723-3286

Safaini: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi... | 222

http://jurnal.kopertais5aceh.or.id/index.php/shibghah

29. Surga dan neraka bersama penduduknya akan kekal selama-lamanya, tidak akan habis.

Keduanya dikekalkan Allah SWT agar yang berbuat baik merasakan selama-lamanya

ni’mat pekerjaan dan yang berbuat dosa merasai selama-lamanya siksa atas

pebuatannya.

30. Dosa itu, menurut faham Ahlussunnah wal Jama’ah, terbagi dua, ada dosa besar dan

ada dosa kecil. Dosa besar itu ialah syirik (mempersekutukan Allah) ini paling berat

atau paling besar, membunuh manusia dengan tidak hak, makan riba/rente uang, lari

dari medan perang (perang sabil), menjadi tukang sihir, mendurhakai ibu bapak,

berbuat zina, berbuat liwath, berdusta terhadap Nabi dan lain-lain sebagainya. Kalau

dosa besar tidak dikerjakan, maka dosa-dosa kecil akan diampuni saja oleh Allah. Dosa

besar hanya dapat diampuni kalau si pembuatnya taubat kepada Allah.

31. Orang mukmin bisa menjadi kafir kembali (riddah) dengan melakukan hal-hal di bawah

ini (Sirajuddin Abbas, 2008):

a) Dalam i’tiqad: ragu atas adanya Tuhan. Ragu akan ke-rasulan Nabi Muhammad

Saw. Meragukan bahwa Al-Qur’an itu wahyu Tuhan, ragu bahwa akan ada hari

kiamat, hari akhirat, surga, neraka ragu bahwa Nabi Muhammad Saw Isra’ Mi’raj

dengan ruh dan jasad. Meng-i’tiqadkan bahwa Allah tidak mempunyai sifat seperti

ilmu, hayat, qidam baqa’, dan lain-lain. Meng-i’tiqadkan bahwa Allah bertubuh

serupa manusia. Menghalalkan pekerjaan yang telah sepakat ulama’ Islam

mengharamkannya, seperti meyakini bahwa zina boleh baginya, berhenti puasa

boleh baginya, membunuh orang boleh baginya, makan minum haram boleh

baginya dan lain-lain sebagainya. Mengharamkan pekerjaan yang sudah sepakat

ulama’ Islam membolehknnya, seperti kawin haram baginya, jual beli haram

baginya, makan minum haram baginya dan lain-lain sebagainya. Meniadakan suatu

amalan ibadah yang telah sepakat ulama’ Islam mewajibkannnya, seperti

sembahyang, puasa, zakat dan lain-lain sebagainya. Mengingkari kesahabatan para

sahabat-sahabat Nabi yang utama seperti Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar bin

Khathab dan lain-lain sebagainya. Mengingkari sepotong atau seluruhnya ayat suci

Al-Qur’an atau menambah sepotong atau seluruh ayat suci al-Qur’an dengan

tujuan menjadikannya menjadi Al-Qur’an. Mengingkari salah seorang Rasul yang

telah sepakat ulama’-ulama’ Islam mengatakannya Rasul. Mendustakan Rasul-rasul

Page 8: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi Aceh Besar dan

SHIBGHAH: Journal of Muslim Societies P-ISSN. 2715-6400Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2020 E-ISSN. 2723-3286

Safaini: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi... | 223

http://jurnal.kopertais5aceh.or.id/index.php/shibghah

Allah. Meng-i’tiqadkan ada Nabi sesudah Nabi Muhammad Saw. Mendakwahkan

jadi Nabi atau Rasul setelah Nabi Muhammad Saw

b) Dalam amalan: Sujud kepada berhala, pada matahari, pada bulan dan lain-lain.

Sujud kepada manusia dengan suka rela. Menghina Nabi-nabi atau Rasul-rasul

dengan lisan maupun perbuatan. Menghina kitab-kitab suci dengan lisan atau

perbuatan. Mengejek-ejek agama atau Allah dengan lisan atau tulisan.

c) Dalam perkataan antara lain: Mengucapkan “Hai kafir”, kepada orang Islam.

Mengejek-ejek atau menghina nama Allah. Mengejek-ejek hari akhirat, surga dan

neraka. Mengejek-ejek salah satu syari’at, misalnya shalat, puasa, zakat, haji,

thawaf keliling Ka’bah, wukuf di Arafah dan lain-lain sebagainya. Mengejek-ejek

malaikat-malaikat Mengejek-ejek Nabi-nabi dan Rasul-rasul. Mengejek-ejek

keluarga Nabi. Mengejek-ejek Nabi Muhammad saw.

2. Doktrin dalam bidang fiqh

Dayah sebagai lembaga pendidikan Islam secara khusus menerapkan dan mengajarkan

fiqh dalam pembelajarannya. Kaum santri dalam hal ini mewajibkan mengikuti salah satu dari

empat imam madzhab fiqh yaitu: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Dan di Indonesia sendiri

mazhab yang dianut mayoritasnya adalah mazhab imam Syafii (Nurcholish Madjid, 1997).

Dayah membatasi pemahaman Ahlusunnah wal Jamaah kepada orang-orang yang

mengikuti aqidah yang dirumuskan oleh imam al-Asy’ary, fiqih berpegang kepada salah satu

mazhab yang empat dan mengamalkan tasawuf dalam pendidikannya. Ada alasan mendasar

mengenai pembatasan Ahlusunnah wal Jamaah hanya kepada empat madzhab ini. Di samping

alasan otentisitas madzhab yang terpercaya melalui konsep-konsep madzhab yang

terkodifikasi secara rapi dan sistematis, metodologi pola pikir dari empat madzhab ini

relatif tawâzun (berimbang) dalam mensinergikan antara dalil aql (rasio-logis) dan

dalil naql (teks-teks keagamaan) (Sayyid Bakri Syatha ad- Dimyathi, 2009). Empat madzhab ini

yang dinilai paling moderat dibanding madzhab Dawud Adh-Dzahiri yang cenderung tekstualis

dan Madzhab Mu'tazilah yang cenderung rasionalis. Jalan tengah (tawâsuth) yang ditempuh

Ahlusunnah wal jamaah di antara dua kutub ekstrim, yaitu antara rasioalis dengan tekstualis

ini, karena jalan tengah atau moderat diyakini sebagai jalan paling selamat di antara yang

selamat dan jalan terbaik diantara yang baik.

Page 9: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi Aceh Besar dan

SHIBGHAH: Journal of Muslim Societies P-ISSN. 2715-6400Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2020 E-ISSN. 2723-3286

Safaini: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi... | 224

http://jurnal.kopertais5aceh.or.id/index.php/shibghah

Fiqh merupakan hasil ijtihad ulama yang keyakinannya hanya sampai kepada derajat

Zhanni. Seorang mujtahid bisa jadi benar dan bisa jadi salah. Ijtihad sangat diperlukan dalam

agama karena masyarakat selalu mengalami perubahan, baik mengenai waktu atau tempat,

nilai-nilai sosial, kaidah-kaidah sosial, pola-pola tingkah laku, maupun interaksi sosial lainnya

(Soerjono Soekanto, 1988).

Ijtihad merupakan salah satu istilah yang dipergunakan dalam ilmu fiqh sebagai hasil

usaha dari para ahli fikih. Ijtihad menurut bahasa adalah berusaha sekuat tenaga agar meraih

maksud tertentu,. Sedangkan Ijtihad menurut istilah adalah para fuqaha menggunakan daya

nalarnya untuk menetapkan hukum syariat Islam atau upaya ahli fikih guna merumuskan

hukum yang sifatnya hipotetik (zhanni) (HM Haedari, 2004). Dengan tujuan Untuk

mengembangkan, menggali hukum Islam yang belum ditemukan dalam Al-Qur’an dan as-

Sunnah secara tegas.

Berpijak dari pengertian ini maka tugas dan beban ijtihad hanya dilakukan oleh

mujtahid yang mempunyai keilmuan yang memadai, Bila seseorang belum mencapai

tingkatan mujtahid muthlak, maka Ahlussunnah Wal-jamaah melegalkan taqlid, Bahkan

mewajibkannya bagi orang yang tidak memiliki kapasitas dan kualifikasi keilmuan yang

memungkinkan melakukan ijtihad, serta tidak boleh mengambil hukum langsung dari ayat

ataupun hadis (Said ‘Alwi Assaqafi, 2004). Kewajiban taqlid ini didasari firman Allah swt surat

an-Nahlu ayat 43:

كْرِ إنِْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلمَُونَ فَاسْألَوُا أھَْلَ الذِّ

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak

mengetahui. (QS. An-Nahl: 43)

Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa bagi kaum muslimin yang tidak mengerti

hukum tidak diperbolehkan baginya untuk mencari, tapi ia harus bertanya kepada orang-

orang yang alim atau mujtahid. Karena merekalah tempat bertanya tentang permasaalahan

hukum-hukum agama Islam. Sehingga para mujtahid dapat ditempatkan sebagai sandaran

sebuah hukum, dan perkataan mereka sebagai dalil dalil syar’i. Sesungguhnya fatwa seorang

mujtahid itu bagi orang-orang awam adalah seperti halnya dalil dalil al-Quran dan hadis,

karena para mujtahid itu diharuskan untuk selalu berpegang teguh kepada al-Quran sebagai

Page 10: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi Aceh Besar dan

SHIBGHAH: Journal of Muslim Societies P-ISSN. 2715-6400Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2020 E-ISSN. 2723-3286

Safaini: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi... | 225

http://jurnal.kopertais5aceh.or.id/index.php/shibghah

dalil dan bukti. Maka, begitu pula orang-orang awam diharuskan untuk berpegang teguh

kepada fatwa dan ijtihad para ulama (Said Ramadhan al-Buthi, 2001).

Sudah menjadi sunnatullah bahwa manusia diberikan kemampuan yang berbeda,

sebagian mampu menggali hukum sendiri, dan sebagian lagi tidak mempunyai kemampuan.

Yang tidak punya kemampuan inilah yang diwajibkan padanya taqlid. Taqlid hanya haram bagi

orang yang benar-benar memiliki kapasitas sebagai mujtahid muthlak, karena dia mungkin

untuk melakukan ijtihad (Said ‘Alwi Assaqafi, 2004). Dengan demikian, Ahlusunnah Waljamaah

tidak pernah menyatakan pintu ijtihad tertutup. Pintu ijtihad selamanya terbuka, asalkan

orang yang memasukinya orang yang cukup syaratnya untuk menjadi mujtahid mutlak.

Apabila ijtihad diwajibkan pada setiap orang maka mewajibkan ijtihad kepada umat yang tidak

memiliki kapasitas ijtihad ini, sama saja memaksakan sesuatu di luar batas kemampuannya.

Maka kepada umat yang tidak mampu inilah taqlid dipahami sebagai kewajiban oleh

Ahlusunnah wal Jamaah (Sirajuddin Abbas, 2008).

Untuk menjadi mujtahid tidak boleh sembarangan orang dan tidak semudah yang di

bayangkan karena harus memenuhi kriteria, ini diperlukan agar hukum Islam tidak

dipermainkan oleh orang yang berkepentingan jahat dan mengikuti hawa nafsunya, kriteria

tersebut adalah sebagai berikut (Sirajuddin Abbas, 2008):

a. Menguasai bahasa arab dari segala aspeknya, karena Al-Quran dan hadis diturunkan

dalam bahasa Arab yang fasih yang mutunya sangat tinggi dan pengertiannya luas dan

dalam.

b. Memiliki kemampuan yang luas tentang ayat-ayat Al-Quran yang berhubungan dengan

masalah hukum, serta mampu membahas ayat tersebut.

c. Mengetahui dan mengerti nash Al-Quran dan hadist Nabi yang berhubungan dengan

dengan hukum baik Qauliyah, fi’liyah maupun taqririyah.

d. Mengerti tentang asbabun nuzul.

e. Mengerti dan tahu fatwa imam mujtahid terdahulu agar tidak terjerumus kepda

mengeluarkan hukum yang sudah pernah dibahas.

f. Mengenal ijmak bagi yang beranggapan bahwa ijmak sebagai dalil syara’ sehingga tidak

memberikan fatwa yang bertentang dengan ijma’ itu.

g. Mengerti ilmu ushul fikih

b. Mengetahui nasikh dan mansukh.

Page 11: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi Aceh Besar dan

SHIBGHAH: Journal of Muslim Societies P-ISSN. 2715-6400Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2020 E-ISSN. 2723-3286

Safaini: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi... | 226

http://jurnal.kopertais5aceh.or.id/index.php/shibghah

Bila diperhatikan syarat menjadi mujtahid, Maka alangkah sulit dan beratnya

mendapatkan orang yang memenuhi kriteria tersebut, Maka oleh karena itu guru dan santri

dayah lebih memilih bertaqlid kepada salah seorang dari empat imam mazhab, khususnya

mazhab Syafii. Dan mendoktrinnya agar tidak mengambil pendapat ulama diluar mazhab

Syafii khususnya dan mazhab yang empat umumnya. demikian juga dalam berfatwa tidak

boleh keluar dari mazhab yang empat. Hal ini bertujuan agar tidak menimbulkan

kebingungan, keresahan dan perpecahan ditengah masyarakat, Demikian juga santri dilarang

melakukan talfiq mazhab dalam mengamalkan suatu paket ibadah. Ini bertujuan agar ibadah

yang dilakukan sah dan diterima Allah swt.

Ketika ada persoalan baru, maka dayah mempunyai cara tersendiri dalam

memutuskan setiap persoalan itu, yaitu dengan merujuk kepada empat mazhab, dan

mengqiyaskannya dengan pendapat yang pernah ada dalam mazhab yang empat, khususnya

mazhab Syafii. Hal ini berbeda dengan Kelompok modernis yang berpendirian bahwa tidak

ada derajat atau tingkatan ijtihad dan setiap orang berhak melakukan ijtihad (M. Hasbi

Amiruddin, 2010).

3. Doktrin dalam bidang Tasawuf

Dalam Islam tasawuf digambarkan sebagai salah satu aspek dari segi tiga aspek yang

sangat berhubungan erat. Segi tiga itu yaitu pertama: Islam, sebagai aspek ‘amali yang

meliputi ritual-ritual ibadah dan muamalah yang pada perkembangannya lebih akrab disebut

dengan syari’ah. Kedua: Iman, sebagai aspek i’tiqadi yang termasuk didalamnya iman kepada

Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, utusan-utusanNya, hari ahir dan takdirNya.

Ketiga: Ihsan, sebagai aspek al-ruhi yaitu aspek kejiwaan.

Doktrin keihsanan, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang tasawuf atau

akhlaq yang berpedoman pada konsep tasawuf akhlaqi atau amali, yang dirumuskan oleh Al-

ghazali. Inti ajaran tasawuf berkisar pada pembersihan hati dari segala sifat tercela, menghiasi

diri dengan sikap terpuji dan berakhir dengan ibadah yang sempurna seolah olah melihat

Allah.

Corak tasawuf Al-Ghazali adalah psiko-moral yang mengutamakan pendidikan moral.

Menurut Al-Ghazali, jalan menuju tasawuf dapat dicapai dengan cara mematahkan

hambatan-hambatan jiwa serta membersihkan diri dari moral yang tercela, sehingga kalbu

Page 12: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi Aceh Besar dan

SHIBGHAH: Journal of Muslim Societies P-ISSN. 2715-6400Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2020 E-ISSN. 2723-3286

Safaini: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi... | 227

http://jurnal.kopertais5aceh.or.id/index.php/shibghah

lepas dari segala sesuatu selain Allah dan selalu mengingat Allah. Ia berpendapat bahwa sosok

sufi menempuh jalan kepada Allah, perjalanan hidup mereka adalah yang terbaik, jalan

mereka adalah yang paling benar, dan moral mereka adalah yang paling bersih. Sebab, gerak

dan diam mereka, baik lahir maupun batin, diambil dari cahaya kenabian. Selain cahaya

kenabian di dunia ini tidak ada lagi cahaya yang lebih mampu memberi penerangan.

Tasawuf merupakan sebuah manhaj spiritual yang bisa dilewati bukan melalui teori-

teori ilmiah semata melainkan dengan mengintegrasikan antara ilmu dan amal, dengan jalan

melepaskan (takhallî) baju kenistaan (akhlaq madzmûmah) dan mengenakan (tahallî) jubah

keagungan (akhlaq mahmûdah), sehingga Allah hadir (tajallî) dalam setiap gerak-gerik dan

perilakunya.

Tasawuf Secara Etimologi berasal dari kata Shuffah, yaitu sebutan bagi orang orang

yang hidup di sebuah gubuk yang dibangun oleh Rasulullah saw di sekitar mesjid Madinah,

Mereka ikut Nabi saat hijrah dari Mekah ke Madinah. Mereka hijrah dengan meninggalkan

harta benda, mereka hidup miskin, bertawakal dan mengabdikan hidupnya untuk beribadah

kepada Allah swt (Syaikh Abdul Isa Qadir, 2005).

Secara terminologi sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Zakaria al-Anshari tasawuf

adalah ilmu yang dengannya dapat diketahui tentang pembersihan jiwa, perbaikan budi serta

pembangunan lahir dan batin, untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi. Imam Junaidi al-

Baghdadi berpendapat : Tasawuf adalah membersihkan hati dari yang selain Allah, berjuang

memadamkan semua ajakan yang berasal dari hawa nafsu, mementingkan kehidupan yang

lebih kekal, menyebarkan nasihat kepada umat manusia, dan mengikuti contoh Rasulullah

saw dalam segala hal. Diantaranya ada ulama yang mengatakan bahwa tasawuf secara

keseluruhan adalah akhlak, Barang siapa memberimu bekal dengan akhlak maka dia telah

memberimu bekal dengan tasawuf. Ibnu ‘Ajibah berkata tasawuf adalah ilmu yang dengannya

dapat diketahui cara untuk mencapai Allah, membersihkan batin dari semua akhlak tercela

dan menghiasinya dengan beragam akhlak terpuji (Syaikh Abdul Isa Qadir, 2005).

Dari segi bahasa dan istilah, kita dapat memahami bahwa tasawuf adalah sikap mental

yang selalu mensucikan diri dari akhlak tercela, menghiasi diri dengan akhlak terpuji, kesucian

diri, selalu beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan umat manusia dan

selalu bersikap bijak sana. Dengan cara ini akan mudah bagi manusia yang sudah menghiasi

Page 13: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi Aceh Besar dan

SHIBGHAH: Journal of Muslim Societies P-ISSN. 2715-6400Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2020 E-ISSN. 2723-3286

Safaini: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi... | 228

http://jurnal.kopertais5aceh.or.id/index.php/shibghah

jiwanya dengan sifat-sifat yang mulia, untuk ber-taqarrub dan ber-musyahadah kepada Allah

SWT, dan menjalin hubungan yang baik dengan manusia.

Dayah sebagai lembaga pendidikan agama Islam berusaha membentuk karakter anak

didik agar berakhlak mulia, selalu mendoktrin santrinya agar senantiasa menjadi hamba yang

selalu beribadah kepada Allah swt dan salah satu metode agar sampai kepada Allah adalah

dengan cara melakukan suluk.

Menurut Trimingham, Suluk merupakan terminologi lain dari tarekat yang berarti:

Suatu metode praktis untuk membimbing si salik dalam mengikuti suatu jalan pikiran,

perasaan dan tindakan agar berhasil melewati maqamat untuk bias menghayati hakekat

ketuhanan (Zurkani Jahja, 1996). Suluk versi al-Ghazali mirip dengan suatu sistem dalam

pendidikan. Karena itu penyajian konspsi al-Ghazali tentang suluk ini diberikan dengan cara

menjelaskan setiap komponen dalam pendidikan formal, yaitu tujuan, anak didik (murid),

pendidik (guru), alat dan kegiatan (Zurkani Jahja, 1996).

Suluk berasal dari bahasa Arab salaka-yasluku, secara literar berarti melalui atau

menempuh jalan atau juga berarti penerangai atau prilaku suluk selalu dikaitkan dengan

aktivitas rohaniah seseorang yang mengambil jalan tasawuf untuk mendekatkan diri kepada

Allah. Dengan demikian suluk merupakan praktek tasawuf. Dalam kalangan dayah selain suluk

dikenal juga khaluet dan tawajuh (Sehat Ihsan Shadiqin, 2008). Sedangkan kata tarekat juga

berasal dari bahasa Arab yaitu “Thariqat“ yang berarti jalan, cara, keadaan, atau metode

tertentu (Lois Ma’luf, 1986). Tarekat juga diartikan sebagai jalan, atau metode yang mengacu

kepada suatu sistem latihan meditasi maupun amalan-amalan tertentu yang dihubungkan

dengan sederetan guru sufi (Sri Mulyati, 2005).

Sedangkan menurut istilah, tarekat adalah “jalan atau petunjuk dalam melakukan

suatu ibadah sesuai dengan ajaran yang di contohkan oleh Nabi Muhammad saw, sahabat,

tabi’in dan tabi’it tabi’in, turun tumurun sampai kepada guru- guru secara berantai sampai

pada masa kita ini”. (Mustafa Zahri, 1995) Tarekat juga dipahami sebagai suatu organisasi

yang mempunyai syaikh, upacara ritual, dan mempunyai bentuk zikir tertentu (Harun

Nasution, 2020).

Dari definisi di atas disimpulkan bahwa tarekat/suluk adalah tata cara atau metode

dalam mendekatkan diri kepada Allah yang di dalamnya berisi amalan ibadah, mempunyai

syaikh, Kaifiyah zikir (metode berzikir) (Abuddin Nata, 2008) dan upacara ritual berupa bai’at,

Page 14: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi Aceh Besar dan

SHIBGHAH: Journal of Muslim Societies P-ISSN. 2715-6400Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2020 E-ISSN. 2723-3286

Safaini: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi... | 229

http://jurnal.kopertais5aceh.or.id/index.php/shibghah

ijazah atau khirqah, silsilah, talqin dan wasiat dari guru. Masing masing disertai penghayatan

yang mendalam dengan tujuan agar memperoleh hubungan sedekat mungkin dengan Allah

(Sri Mulyati, 2005).

Dalam tradisi tarekat ada beberapa hal yang merupakan doktrin yang wajib diikuti oleh

murid diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Murid wajib patuh secara total kepada guru

Dalam tarekat otoritas mursyid terhadap murid sangat dominan, sehingga ia dapat

membentuk karakter muridnya sesuai dengan sasaran yang ingin di capai, oleh karena tarekat

adalah sarana perjalanan menuju Allah maka harus ada pola hubungan yang ketat antara guru

dan murid untuk terciptanya satu disiplin dalam kehidupan bersama. Seorang murid tidak

hanya sekedar belajar dan beramal tetapi juga diharuskan menjaga tatakrama dan loyalitas

kepada guru agar ilmu yang didapat itu diberkati. Dari sekian banyak tata aturan dan pola

hubungan dalam tarekat dapat di rumuskan dalam beberapa hal yang penting.

Ketaatan dan kepatuhan kepada guru secara utuh, baik sewaktu berada dilingkungan

ribath maupun di tempat lain. Menjaga kehormatan guru baik sedang berhadapan maupun

berjauhan semasa guru hidup maupun sesudah meninggal. Murid dilarang membantah ajaran

guru, apa saja ajaran guru harus diikuti (Rivay Siregar, 2002). Menjadi guru dalam ilmu tarekat

ini tidaklah sama dengan guru dalam ilmu biasa, Guru dalam bidang terakat ini diseleksi

dengan sangat ketat dan harus memenuhi beberapa criteria dan sedikit yang mencapainya,

kriterianya dalah sebagai berikut (Syaikh Abdul Isa Qadir, 2005):

a. Mursyid itu harus mengetahui semua hukum-hukum yang sifatnya fardhu ain.

b. Guru atau mursyid itu Makrifatnya kepada Allah sudah tinggi(‘arif billah)

c. Guru atau mursyid itu harus mengetahui teknik teknik pensucian jiwa dan sarana sarana

untuk mendidiknya

d. Guru atau mursyid itu harus mendapat izin untuk membimbing manusiad dari mursyid

atau dari syaikhnya.

2. Ijazah guru menjadi syarat dalam mengamalkan sesuatu amalan

Dayah sebagai lembaga pendidikan tradisional tidak menjanjikan ijazah layaknya

sekolah atau perguruan tinggi pada umumnya, tetapi santri mendapatkan ijazah dalam

bentuk lisan dari gurunya. Mendapatkan ijazah dari guru merupakan sesuatu hal yang wajib,

Page 15: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi Aceh Besar dan

SHIBGHAH: Journal of Muslim Societies P-ISSN. 2715-6400Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2020 E-ISSN. 2723-3286

Safaini: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi... | 230

http://jurnal.kopertais5aceh.or.id/index.php/shibghah

bahkan sorang murid ketika hendak melakukan sesuatu amalan wajib mendapatkan ijazah

dari guru. Suatu amalan yang tidak diambil dari guru maka amalannya kurang sempurna,

Imam al-Nawawi al-Jawi menegaskan, Orang yang hendak berdzikir wajib mengikuti salah

seorang imam dari imam-imam tasawuf (Imam Nawawi al-Jawi,tt).

Begitu juga dalam halnya mata rantai ijazah itu harus jelas dan sampai pada Rasul saw,

Mata rantai ini disebut dengan istilah silsilah. Silsilah itu bagaikan kartu nama dan legitimasi

sebuah tarekat, yang menjadi tolak ukur tarekat itu mu’tabarah, di anggap sah atau tidak.

Silsilah ini berisi deretan nama guru sambung menyambung sampai kepada Rasulullah saw.

Adanya silsilah dan ijazah itu merupakan akibat dari doktrin kerahasiaan, Doktrin itu bertitik

tolak dari ajaran bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad saw datang kedunia membawa dua

macam ajaran yaitu ajaran umum dan ajaran khusus, yang umum adalah agama Islam

sebagaimana yang dianut kaum muslimin seluruhnya, Sedangkan yang khusus berupa ajaran

tentang bagaimana mendekatkan diri kepada Allah yang disampaikan Nabi saw kepada salah

seorang sahabat yang berkenan di hati beliau (Nurchalis Madjid, 1997).

Dayah dalam melaksanakan pembelajarannya menerapkan kewajiban berzikir

khususnya setelah shalat. Hal ini dimaksudkan agar santri terbiasa dengan ibadah sehingga

kebiasaan beribadah ini akan menjadi karakter murid dan akan terbentuk pribadi shaleh dan

shalehah dalam sepanjang hidupnya.

Paparan diatas menunjukkan bahwa dayah menerapkan doktrin dalam pendidikannya.

Ada tiga bidang keilmuan yang didalamnya terdapat doktrin yang sangat berpengarauh pada

jiwa santri dan sangat berperan dalam menciptakan ukhuwah dimasyarakat. Pertama dalam

ilmu aqidah santri didoktri agar berpegang teguh pada aqidah yang telah dirumuskan oleh

imam Al-Asy’ary dan penerusnya. Hal ini disebabkan aqidah Asy’ary sesuai dengan aqidah

rasulullah saw sahabat, tabi’ dan tabi,in, imam mazhab serta ulama ulama besar setelahnya.

Dalam ilmu fiqih diantara doktrinnya adalah bahwa santri wajib berpegang pada mazhab

Syafii, jika tidak didapatkan dalam mazhab Syafii baru beralih kepada mazhab lain, wajib

mengambil pendapat yang kuat dalam mazhab Syafii, tidak boleh mengajar dan belajar fiqih

diluar mazhab syafii, tidak boleh mengeluarkan fatwa yang berbeda dengan mazhab Syafii,

dalam beramal tidak boleh talfiq mazhab. Yaitu menggabungkan dua mazhab secara

bersamaan dalam satu rangkaian ibadah yang antara dua imam mazhab saling berbeda

tentang sahnya ibadah. Dalam bidang tasawuf diantara doktrin yang diterima santri, bahwa

Page 16: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi Aceh Besar dan

SHIBGHAH: Journal of Muslim Societies P-ISSN. 2715-6400Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2020 E-ISSN. 2723-3286

Safaini: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi... | 231

http://jurnal.kopertais5aceh.or.id/index.php/shibghah

setiap santri wajib menghormati dan memuliakan gurunya, tidak boleh membantah gurunya

dengan cara tidak sopan, selesai belajar santri wajib mencium tangan gurunya untuk

mendapatkan keridhaan dan keberkahan dari gurunya, bersikap ikhlas dalam segala hal

termasuk mengajar tidak boleh mengharap pemberian orang, wajib ada zikir setelah shalat,

membaca sayyidina sebelum menyebut nama nabi dalam shalawat, tidak boleh mempelajari

karangan ulama tasawuf falsafi, setiap amalan zikir wajib ambil ijazah dari guru, wajib

mempelajari dan membaca kitab yang dikarang oleh ulama shaleh dan ahli ibadah. Dan setiap

santri wajib berakhlak baik.

Kesimpulan

Berdasarkan bahasan diatas menunjukkan bahwa tujuan dayah mendoktrin santrinya

adalah agar santri lebih mencintai ajaran agamanya di bidang tauhid sehingga keimanan santri

lebih kokoh dan kuat. Dengan demikian, santri tidak mudah goyah saat berhadapan dengan

pemahaman tauhid yang berbeda ataupun sesat. Diarahkannya santri kepada mazhab yang

satu dalam mempelajari fikih adalah agar santri lebih terfokus dan terarah dalam memahami

hukum agama Islam, serta mewujudkan persatuan dan kesatuan dalam masyarakat Aceh.

Tujuan dayah menerapkan doktrin dalam materi tasawuf untuk membina akhlak santri

dengan sifat terpuji.

Daftar Pustaka

Abbas, Sirajuddin. 2008. I’tiqad Ahlussunnah Wal jamaah. Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru.

Abbas, Sirajuddin. Sejarah Dan Keagungan Mazhab Imam Syafii. Jakarta: Pustaka Tarbiyah

baru.

Ad- Dimyathi, Sayyid Bakri Syatha. 2009. I’anatut Thalibin. Jakarta; Darul Kutub al-Islamiyah.

Al-Buthi, Said Ramadhan. 2001. Mazhab tanpa mazhab, bid’ah dalam syariat Islam, terj.

Gazira Abdi Ummah. Jakarta: Pustaka al-Kaustar.

Al-Jawi, Imam Nawawi. tt. Nihayah al-Zayn. Bairut: Dar al-Fikr.

Assaqafi, Said ‘Alwi. 2004. Majmu’ah Kutubun Mufidah. edisi Indonesia: Haramain.

Dhofier, Zamakhsyari. 1985, Tradisi Pesantren; Tinjauan Tentang pandangan hidup Kiyai

Jakarta: LP3ES.

Page 17: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi Aceh Besar dan

SHIBGHAH: Journal of Muslim Societies P-ISSN. 2715-6400Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2020 E-ISSN. 2723-3286

Safaini: Doktrin Pendidikan Islam di Dayah Salafi... | 232

http://jurnal.kopertais5aceh.or.id/index.php/shibghah

Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI. 2000. Buku Teks

Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum. Jakarta: Bulan Bintang.

Haedari, HM dkk. 2004. Masa depan pesantren dalam tantangan modernitas dan tantangan

komplesitas global. Jakarta: IRD Press.

Jahja, Zurkani. 1996. Teologi Al-Ghazali pendekatan metodologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ma’luf, Lois. 1986. al- Munjid fi al- Lughah wa al- Adab wa al- Ulum. Beirut: Dar al Masyriq.

Madjid, Nurchalis. 1997. Bilik Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina.

Mulyati, Sri. 2005. Mengenal dan Memahani Tarekat- Tarekat Muktabarah Di Indonesia.

Jakarta: Kencana.

Nasution, Harun. 1982. Islam di tinjau dari berbagai aspeknya, Jakarta: UI Press.

Nata, Abuddin. 2008. Akhlak Tasauf. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Qadir, Syaikh Abdul Isa. 2005. Haqaiq al-Tashawwuf. al-Qahirah: Darul Maqtham.

Shadiqin, Sehat Ihsan. 2008. Tasuwuf Aceh. Banda Aceh: Bandar Publishing.

Siregar, Rivay. 2002. Tasawuf dari Sufisme Klasik dan Neo Sufism. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada.

Soekanto, Soerjono. 1988. Sosiologi Hukum. Jakarta: Rajawali Press.

Zahri, Mustafa. 1995. Kunci Memahami Ilmu Tasauf. Surabaya: Bina Ilmu.

.