47
LAPORAN PRAKTIKUM FARMASI KLINIK PRAKTIKUM KE-6 THERAPEUTIC DRUG MONITORING DAN ADVERSE DRUG REACTION Oleh : Golongan / Kelompok : II / I Minat : Farmasi Klinik dan Komunitas Hari / Tanggal Praktikum : Senin / 10 November 2014 No Nama Mahasiswa NIM TTD 1. Ihda Yusriyya 11/314091/FA/08732 2. Khairunisa N. S. 11/314204/FA/08733 3. Silvia Kusuma M. 11/314334/FA/08735 4. Chlara Nikke D. 11/315704/FA/08737 Dosen Jaga Praktikum : Dra. Nurlaila, M.Si, Apt Asisten Jaga Praktikum : Mawardi Ihsan

DM ADR clinical pharmacy

Embed Size (px)

DESCRIPTION

amazing farmasi klinik

Citation preview

LAPORAN PRAKTIKUM

LAPORAN PRAKTIKUMFARMASI KLINIK

PRAKTIKUM KE-6THERAPEUTIC DRUG MONITORING DAN

ADVERSE DRUG REACTIONOleh :

Golongan / Kelompok : II / IMinat

: Farmasi Klinik dan KomunitasHari / Tanggal Praktikum : Senin / 10 November 2014

No Nama Mahasiswa

NIM

TTD1.Ihda Yusriyya

11/314091/FA/087322.Khairunisa N. S.11/314204/FA/087333.Silvia Kusuma M.11/314334/FA/087354.Chlara Nikke D.11/315704/FA/08737

Dosen Jaga Praktikum

: Dra. Nurlaila, M.Si, AptAsisten Jaga Praktikum: Mawardi IhsanLABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK

BAGIAN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA2014

THERAPEUTIC DRUG MONITORING DAN

ADVERSE DRUG REACTIONI. TUJUAN PRAKTIKUMMahasiswa mampu memahami dan mengevaluasi penatalaksanaan terapi terutama pada obat-obat dengan indeks terapi sempit dengan mangacu data therapeutic drug monitoring (TDM) serta terapi pada pasien yang mengalami kejadian adverse drug reactions.II. PENDAHULUAN EPILEPSIA. DEFINISI

Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan gangguan kronik otak yang menunjukkan gejala-gejala berupa serangan-serangan yang berulang-ulang yang terjadi akibat adanya ketidaknormalan kerja sementara sebagian atau seluruh jaringan otak karena cetusan listrik pada neuron (sel saraf) peka rangsang yang berlebihan, yang dapat menimbulkan kelainan motorik, sensorik, otonom atau psikis yang timbul tiba-tiba dan sesaat disebabkan lepasnya muatan listrik abnormal sel-sel otak (Gofir dan Wibowo, 2006).B. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di otak. Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi simptomatik, misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik dan metabolik. Epilepsi kriptogenik dianggap sebagai simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, misalnya West syndrome dan Lennox Gastaut syndrome. Bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka kemungkinan 4% anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka kemungkinan anaknya epilepsi menjadi 20%-30% (MJ, 1998). Beberapa jenis hormon dapat mempengaruhi serangan epilepsi seperti hormon estrogen, hormon tiroid (hipotiroid dan hipertiroid) meningkatkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi, sebaliknya hormon progesteron, ACTH, kortikosteroid dan testosteron dapat menurunkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi. Kita ketahui bahwa setiap wanita di dalam kehidupannya mengalami perubahan keadaan hormon (estrogen dan progesteron), misalnya dalam masa haid, kehamilan dan menopause. Perubahan kadar hormon ini dapat mempengaruhi frekwensi serangan epilepsi.

C. DIAGNOSIS

Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis.1. AnamnesisAnamnesis dilakukan dengan menanyakan tentang riwayat trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan penggunaan obat-obatan tertentu.2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

Pemeriksaan fisik dengan melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus. 3. Pemeriksaan penunjang.a. Elektro ensefalografi (EEG)

Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Hasil EEG dikatakan bermakna jika didukung oleh klinis. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. b. Rekaman video EEG

Prosedur ini bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. c. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRl lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri serta untuk membantu terapi pembedahan.D. KLASIFIKASI EPILEPSI

Berdasarkan tanda klinik dan data EEG, kejang dibagi menjadi :

a. Kejang umum (generalized seizure) : Jika aktivasi terjadi pada kedua hemisfere otak secara bersama-sama.Kejang umum terbagi atas:

Tonic-clonic convulsion = grand mal

Merupakan bentuk paling banyak terjadi Pasien tiba-tiba jatuh, kejang, nafas terengah-engah, keluar air liur Bisa terjadi sianosis, ngompol, atau menggigit lidah Terjadi beberapa menit, kemudian diikuti lemah, kebingungan, sakit kepala atau tidur Abscense attacks = petit mal

Jenis yang jarang Umumnya hanya terjadi pada masa anak-anak atau awal remaja Penderita tiba-tiba melotot, atau matanya berkedip-kedip, dengan kepala terkulai Kejadiannya cuma beberapa detik, dan bahkan sering tidak disadari

Myoclonic seizure

Biasanya terjadi pada pagi hari, setelah bangun tidur Pasien mengalami sentakan yang tiba-tiba Jenis yang sama (tapi non-epileptik) bisa terjadi pada pasien normal

Atonic seizure Jarang terjadi Pasien tiba-tiba kehilangan kekuatan otot ( jatuh, tapi bisa segera recovered

b. Kejang parsial/focal : Jika dimulai dari daerah tertentu dari otak.Kejang parsial terbagi menjadi :

Simple partial seizures

Pasien tidak kehilangan kesadaran Terjadi sentakan-sentakan pada bagian tertentu dari tubuh

Complex partial seizures

Pasien melakukan gerakan-gerakan tak terkendali: gerakan mengunyah, meringis, dll tanpa kesadaranE. PENGOBATAN

a. Sasaran terapi : Mengontrol supaya tidak terjadi kejang dan meminimalisasi adverse effect of drug.b. Strategi terapi : Mencegah atau menurunkan lepasnya muatan listrik syaraf yang berlebihan melalui perubahan pada kanal ion atau mengatur ketersediaan neurotransmitter.c. Tatalaksana terapiNon farmakologi:

1. Amati faktor pemicu2. Menghindari faktor pemicu (jika ada), misalnya : stress, OR, konsumsi kopi atau alkohol, perubahan jadwal tidur, terlambat makan, dll. Farmakologi :

1. Menggunakan obat-obat antiepilepsi.

Obat-obat yang meningkatkan inaktivasi kanal Na+:

Inaktivasi kanal Na ( menurunkan kemampuan syaraf untuk menghantarkan muatan listrik. Contoh: fenitoin, karbamazepin, lamotrigin, okskarbazepin, valproat Obat-obat yang meningkatkan transmisi inhibitori GABAergik:

Agonis reseptor GABA ( meningkatkan transmisi inhibitori dengan mengaktifkan kerja reseptor GABA ( contoh: benzodiazepin, barbiturat.

Menghambat GABA transaminase ( konsentrasi GABA meningkat ( contoh: Vigabatrin.

Menghambat GABA transporter ( memperlama aksi GABA ( contoh: Tiagabin.

Meningkatkan konsentrasi GABA pada cairan cerebrospinal pasien ( mungkin dengan menstimulasi pelepasan GABA dari non-vesikular pool ( contoh: Gabapentin

(Dipiro at al, 2009) TUBERCULOSIS

I. DEFINISI

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis dapat dorman, terkena infeksi laten serta bersifat progresif dan menjadi penyakit aktif (Dipiro, 2009).Secara global, 2 miliar orang terinfeksi dan 2.000.000-3.000.000 orang meninggal disebabkan TB setiap tahunnya. Mycobacterium tuberculosis ditularkan dari manusia ke manusia lain melalui batuk atau bersin. Kontak dengan orang terdekat pasien TB, paling mungkin untuk terkena infeksi (Dipiro, 2009).II. PATOFISIOLOGI

Infeksi primer dimulai dengan adanya penempelan pada alveolar dari organisme dalam droplet yang cukup kecil (1-5 mm) untuk melepaskan diri dari siliari sel epitel saluran pernapasan bagian atas hingga mencapai permukaan alveolar. Setelah menempel, organisme berkembang biak dan dicerna oleh makrofag paru-paru, mereka dibunuh, atau, mereka terus bertambah banyak. Dengan bereplikasinya bakteri, makrofag akhirnya pecah dan melepaskan banyak basil (Dipiro, 2009).Sejumlah besar makrofag diaktifkan mengelilingi padatan (seperti keju) fokus TB (daerah nekrotik) sebagai bagian dari imunitas seluler. Hipersensitivitas tipe tertunda juga berkembang melalui aktivasi dan perbanyakan limfosit T. Makrofag membentuk granuloma mengandung organisme (Dipiro, 2009).III. ETIOLOGIPenyebab tuberkulosis paru adalah kuman Mycobacterium tuberculosa, yang berbentuk batang dan mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TBC cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat gelap dan lembab. Oleh karena itu dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman (tidur), tertidur lama selama beberapa tahun (Depkes, 2002).

IV. EPIDEMIOLOGIBerdasarkan Global Tuberculosis Control Tahun 2009 (data tahun 2007) angka prevalensi semua tipe kasus TB, insidensi semua tipa kasus TB dan Kasus baru TB Paru BTA Positif dan kematian kasus TB dapat dilihat di tabel 1. Berdasarkan tabel 1 tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 2007 prevalensi semua tipe TB sebesar 244 per 100.000 penduduk atau sekitar 565.614 kasus semua tipe TB, insidensi semua tipe TB sebesar 228 per 100.000 penduduk atau sekitar 528.063 kasus semua tipe TB, Insidensi kasus baru TB BTA Positif sebesar 102 per 100.000 penduduk atau sekitar 236.029 kasus baru TB Paru BTA Positif sedangkan kematian TB 39 per 100.000 penduduk atau 250 orang per hari.V. GEJALA

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, napsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat pada malam hari tanpa kegiatan fisik, demam lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut dapat juga dijumpai pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasi, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Prevalensi TB paru di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK (Unit 15 Pelayanan Kesehatan) dengan gejala tersebut, dianggap sebagai tersangka (suspek) asien TB paru dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskospis langsung (Depkes, 2002).

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosa, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk menegakkan diagnosa dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa sewaktu- pagi sewaktu (S-P-S) (Depkes, 2008).VI. DIAGNOSIS

Metode skrining yang paling banyak digunakan untuk infeksi TB adalah tuberkulin skin test, yang menggunakan Purified Protein Derivative (PPD). Populasi yang paling mungkin memperoleh manfaat dari uji kulit tercantum dalam Tabel 49-2.

(Dipiro, 2009)

Metode Mantoux dalam pemberian PPD merupakan teknik yang paling dapat diandalkan karena terdiri dari injeksi intrakutan dari PPD yang mengandung 5 unit tuberkulin. Tes dibaca 48-72 jam setelah diinjeksikan kemudian mengukur diameter zona indurasi (Dipiro, 2009).Beberapa pasien mungkin menunjukkan hasil positif setelah tes awal menunjukakan negatif, ini disebut sebagai booster effect (Dipiro, 2009).Untuk dapat memastikan kecurigaan klinis TB, maka harus dilakukan x-ray dada dan pemeriksaan mikrobiologis dahak atau bahan terinfeksi lainnya (Dipiro, 2009).Bila pasien merupakan TB aktif, maka upaya yang harus dilakukan adalah mengisolasi M. tuberculosis dari bagian yang terinfeksi. Pengumpulan sputum dianjurkan setiap hari selama 3 hari berturut-turut (Dipiro, 2009).VII. OUTCOME YANG DIHARAPKAN

Identifikasi cepat terhadap kasus TB baru Isolasi pasien dengan TB aktif untuk mencegah penyebaran TB Pengumpulan sampel sputum untuk dilakukan kultur bakteri Monitoring dan follow up terhadap tanda dan gejala dari penyakit setelah inisiasi pengobatan Pencapaian keadaan tidak menular, sehingga tidak perlu diisolasi Kepatuhan terhadap rejimen pengobatan Pengobatan secepat mungkin (biasanya dengan setidaknya 6 bulan pengobatan)(Dipiro, 2009)VIII. TREATMENT

Terapi obat merupakan landasan manajemen TB. Minimal dua obat-obatan, dan umumnya tiga atau empat obat harus digunakan secara bersamaan. Terapi obat dilanjutkan selama minimal 6 bulan dan hingga 2 sampai 3 tahun untuk beberapa kasus multidrug-resistant TB (MDR-TB). Langkah-langkah untuk menjamin kepatuhan sangatlah penting, seperti terapi yang diamati secara langsung. Pasien dengan TB aktif harus diisolasi untuk mencegah penyebaran penyakit. Departemen kesehatan masyarakat bertanggung jawab untuk mencegah penyebaran TB, menemukan di mana TB telah menyebar dengan cara investigasi. Pasien dengan system imun lemah mungkin memerlukan terapi untuk kondisi medis lainnya, termasuk penyalahgunaan obat dan infeksi HIV, dan beberapa mungkin perlu peningakatan jumlah gizi. Pembedahan mungkin diperlukan untuk menghilangkan jaringan paru-paru yang hancur, space-occupying lession, dan beberapa lesi paru.(Dipiro, 2009)Algoritma terapi TBC :(PDPI, 2006)Pengelompokan Obat Anti Tuberculosis dan dosis untuk orang dewasa dan anak-anak:(Dipiro, 2009)Rekomendasi dosis dari lini pertama obat anti tuberkulosis untuk dewasaPengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:

OAT (Obat Anti Tuberkulosis) harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.Tahap awal (intensif) Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.Tahap Lanjutan Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.(Depkes, 2005)

III. DESKRIPSI KASUSNy. Sinta (25 th), seorang penganten baru (4 bulan yang lalu), mempunyai riwayat epilepsi sejak usia 17 th. Riwayat pengobatan pernah menggunakan fenitoin, tetapi sudah tidak dapat mentoleransi lagi karena munculnya efek samping berat dan gangguan psikis. Valproat juga sudah dihentikan karena tidak tahan terhadap efek samping yang timbul dan berat badan naik 10 kg. Pengobatan terakhir menggunakan karbamazepin 400 mg 3 kali sehari sejak 2,5 th yang lalu, dan selama ini epilepsinya cukup terkontrol. Empat bulan yang lalu pasien juga terdiagnosis mengidap TBC dan mendapatkan obat Combipack terdiri dari rifampisin 450 mg, isoniazid 300 mg, pirazinamid 1500 mg dan etambutol 750 mg selama 2 bulan dan dikonsumsi setiap hari, setelah itu dilanjutkan dengan pemberian rifampisin 450 mg dan isoniazid 600 mg yang diminum 3 kali seminggu. Dua bulan terakhir ini pasien mengalami peningkatan frekuensi kejang tonik-klonik menjadi 1 kali seminggu. Padahal pasien juga menginginkan untuk segera punya anak.

Pertanyaan : Kembangkan kasus tersebut, beri pengatasan yang terbaik buat pasien dan bagaimana dengan rencana pasien untuk segera punya anak.

PENGEMBANGAN KASUS

Hasil pemeriksaan fisik:Kondisi umum : lemah. TB : 156 cm, BB : 39 kg

Vital sign: BP 100/70 mmHg, HR : 75x/menit, T : 37OC, RR: 20x/menitHasil pemeriksaan lab: Carbamazepin: 3 g/ml Na

: 135 mEq/L K

: 4 mEq/L HCO3

: 24 mEq/L BUN

: 20 mg/dL SCr

:1,2 mg/dL Cl Cr

: 85 ml/min Hct

: 51% Hb: 6,5 g/dL WBC: 7000/mm3 Plt: 175x103/ mm3 AST: 36 IU/L ALT: 43 IU/L PO4: 1.60 mmol/L Chol: 190 mg/dL TG: 135 mg/dLIV. ANALISIS DAN PENYELESAIAN KASUSPada kasus ini, Ny.Sinta (pasien) mempunyai riwayat epilepsi. Pengobatan terakhir menggunakan karbamazepin sejak 2.5 tahun yang lalu, dan selama ini epilepsinya cukup terkontrol. Empat bulan yang lalu pasien terdiagnosis mengidap TBC dan mendapatkan obat Combipack terdiri dari rifampisin, isoniazid, pirazinamid dan etambutol selama 2 bulan, setelah itu dilanjutkan dengan pemberian rifampisin dan isoniazid. Dua bulan terakhir ini pasien mengalami peningkatan frekuensi kejang tonik-klonik menjadi 1 kali seminggu. Padahal pasien juga menginginkan untuk segera punya anak.Pasien mengalami kejang umum dengan jenis tonik klonik. Pilihan obat lini pertama pada kejang tersebut yaitu asam valproat, fenitoin, dan karbamazepin. Dari kasus dapat diketahui pasien pernah mendapat fenitoin, tetapi sudah tidak dapat mentoleransi lagi karena munculnya efek samping berat dan gangguan psikis.Valproat juga sudah dihentikan karena tidak tahan terhadap efek samping yang timbul dan berat badan naik 10 kg. Sehingga pilihan obat lini pertama yang masih dapat digunakan karbamazepin. Dalam kasus ini karbamazepin diberikan dosis 400 mg dengan frekuensi pemakaian tiga kali sehari. Mekanisme aksi obat ini adalah mempertahankan kanal natrium dalam kondisi tidak teraktivasi sehingga mennyebabkan penurunan rangsang pada neuron, selain itu dapat mengurangi aktivitas nucleus ventralis pada thalamus dan menurunkan transmisi sinaptik serta peningkatan stimulasi temporal yang menyebabkan pemutusan rangsangan neuron. Alasan pemilihan karbamazepin sebagai obat antiepilepsi dalam kasus ini adalah pasien telah menggunakan obat tersebut selama 2,5 tahun dan kejangnya terkontrol.

Dalam kasus ini pasien juga didiagnosa menderita TB dan telah menjalani pengobatan selama empat bulan. Pengobatan TBC dibagai dalam 2 fase, yaitu fase intensif dan fase lanjutan. Durasi pengobatan untuk fase intensif selama 2-3 bulan, sedangkan untuk fase lanjutan selama 4-5 bulan. Diketahui dari kasus, pasien telah selesai menjalani tahap intensif dan tahap lanjutan selama 2 bulan. Saat ini pasien sedang menjalani pengobatan TBC tahap lanjutan yang masih kurang 2 bulan. Pada tahap lanjutan, diberikan INH dan Rifampisin sebagai obat TB. Alasan pemilihan obat tersebut adalah Rifampisin dan INH telah lama digunakan sebagai obat TB dan terbukti efektif menyembuhkan TB. Secara farmakologi INH dan rifampisin terjadi interaksi tetapi tidak menghasilkan efek klinis. INH mempunyai kemampuan membunuh 90% bakteri TBC yang aktif, tetapi tidak bisa membunuh bakteri yang dorman. Sedangkan rifampisin bisa membunuh bakteri yang aktif maupun bakteri dorman, Dengan pemilihan kombinasi tersebut diharapkan efektif untuk mengobati TBC pasien karena efek tiap obat saling menguatkan/ sinergis. INH dan rifampisin diberikan dalam 2 kombinasi dosis tetap/ KDT (obat yang berisi kombinasi dari beberapa jenis obat dengan dosis tetap). Sediaan KDT yang digunakan adalah Kombipak dengan komposisi rifampisin 150 mg dan INH 150 mg.Pasien menggunakan karbamazepin, rifampisin dan INH bersamaan. Karbamazepin dimetabolisme oleh enzim CYP450, INH merupakan inhibitor kuat enzim CYP450 dan rifampisin adalah inducer kuat enzim CYP450. Dirjen Binfar (2005) melaporkan bahwa terjadi interaksi antara karbamazepin dan rifampisin yaitu dapat menurunkan kadar karbamazepin dalam darah sementara itu terjadi interaksi yang berlawanan antara INH dan karbamazepin menyebabkan peningkatan kadar karbamazepin dalam darah. Efek rifampisin dalam menurunkan kadar karbamazepin di dalam darah lebih besar dibandingkan kenaikan kadar karbamazepin yang dihasilkan INH. Sehingga secara keseluruhan dari kombinasi Rifampisin dan INH adalah berkurangnya konsentrasi karbamazepin. Hal tersebut dapat diatasi dengan meningkatkan dosis karbamazepin sebesar 25% dari dosis yang sudah digunakan. Pasien juga diberikan vitamin B6 untuk mengurangi efek samping neuropati perifer (keracunan saraf tepi) yang diakibatkan oleh penggunaan INH. Tanda tanda keracunan pada saraf tepi misalnya kesemutan dan nyeri otot; gangguan kesadaran. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin. INH juga dapat menyebabkan timbulnya kelainan kulit yang bervariasi, antara lain gatal-gatal. Bila terjadi efek samping ini pemberian OAT dapat diteruskan sesuai dosis.

Dari data pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan nilai Hb rendah yaitu 6,5 g/dL dapat diketahui bahwa pasien mengalami anemia. Diketahui juga bahwa pasien menginginkan untuk hamil sehingga kondisi anemia tersebut harus diatasi. Hal ini untuk mengurangi resiko melahirkan bayi dengan BBLR (berat badan lahir rendah Selama masa kehamilan, janin mendapatkan nutrisi dan oksigen dari ibu melalui darah yang dialirkan lewat plasenta sehingga jumlah darah ibu harus cukup dan tidak boleh kurang supaya janin mendapatkan nutrisi yang optimal untuk perkembangannya di dalam rahim. Bila sang ibu mengalami anemia, maka aliran darah menurun karena jumlah darah menurun sehingga menyebabkan nutrisi yang masuk ke janin menjadi berkurang. Oleh karena itu, anemia pada pasien sangat penting untuk diatasi.

Pada kasus ini, obat anemia yang direkomendasikan adalah ferrous sulfate. Mekanisme aksi fe sulfat dengan menggantikan zat besi pada hemoglobin, myoglobin dan enzim, memperlancar transport oksigen melalui hemoglobin. Obat yang dipilihkan adalah Befozi produksi Soho, obat tersebut dipilih sesuai dengan indikasinya yaitu untuk pencegahan dan pengobatan anemia, membantu memenuhi kebutuhan vitamin dan mineral selama masa kehamilan dan laktasi. Befozi mengandung 80 mg Fe Sulphate, 500 mcg asam folat, dan Zinc sulfat monohidrat sebesar 61.8 mg.

Durasi pemberian ferrous sulfate hingga anemia terkoreksi atau dalam kasus ini diberikan hingga Hb pasien mencapai nilai normal, kemudian masih dilanjutkan beberapa bulan guna menjamin kondisi tersebut stabil. Untuk meningkatkan absorbsi Fe sulfat, pasien dapat mengonsumsi vitamin C dan harus menghindari teh dan kopi (Maakaron, 2014).Efek samping penggunaan ferrous sulfate di antaranya adalah konstipasi, iritasi, diare, iritasi GI, obstruksi GI, GI hemorrhage, mual, muntah, nyeri perut. Efek samping tersebut sebagian besar adalah pada gastrointestinal, sehingga obat sebaiknya dikonsumsi bersama makanan untuk mengurangi rasa tidak nyaman pada GI.Selama dilakukan pengobatan, pasien diberikan konseling untuk menunda kehamilan karena sedang dalam pengobatan tuberculosis. Setelah pengobatan tuberculosis selesai serta kejang sudah terkontrol maka pasien diperbolehkan untuk hamil. Hal ini disebabkan karena obat-obat tuberculosis serta anti kejang berisiko tinggi terhadap janin terlebih pasien mengalami kejang tonik klonik yang merupakan jenis kejang paling beresiko tinggi terhadap kehamilan. Oleh karena itu, penting bagi wanita hamil untuk menyelesaikan pengobatan tuberculosis agar infeksi tuberculosis tidak tertular ke janin.

Dalam mencegah kehamilan, pasien dapat menggunakan kontrasepsi nonhormonal seperti diafragma dan kondom. Kontrasepsi tersebut dianggap aman digunakan karena tidak terjadi interaksi dengan obat-obatan yang digunakan dalam kasus ini. Kontrasepsi hormonal seperti kontrasepsi oral tidak direkomendasikan untuk digunakan karena terjadi interaksi dengan rifampisin dimana rifampisin dapat menginduksi enzim pemetabolisme dari kontrasepsi oral sehingga efikasi kontrasepsi oral menurun dan menyebabkan siklus menstruasi tidak teratur. Oleh karena itu, penggunaan kontrasepsi efektif dalam penundaan kehamilan bila digunakan bersamaan dengan obat TB dan antikejangPada kasus ini, apabila Ny. Shinta tetap merencanakan kehamilannya direkomendasikan untuk mengonsumsi asam folat dan vitamin K. Asam folat dapat digunakan setelah pengobatan tuberculosis selesai dan dapat dikonsumsi 6 bulan sebelum dan selama masa kehamilan. Asam folat yang direkomendasikan pemberian dosis tinggi bagi penderita epilepsy yaitu 1 mg per hari. Alasan pemilihan obat tersebut yaitu mencegah malformasi fetus (Ahmed, 2014).Efek samping dari obat antiepilepsi adalah penurunan pembekuan darah yang mengakibatkan peningkatan resiko hemoragik sehingga direkomendasikan pemberian vitamin K pada masa akhir kehamilan (Ahmed, 2014). Obat yang diberikan pada pasien dalam kasus ini yaitu Kayman yang berisi vitamin K, dengan dosis sebesar 5 mg yang diminum 3 kali sehari.V. PEMILIHAN OBAT RASIONALKarbamazepin Mekanisme aksi: Mengurangi influx ion Na+ dan Ca2+ dalam neuron sehingga mengurangi depolarisasi CNS berulang. Mengurangi transmisi eksitatori pada celah sinaptik di nukelus trigeminal tulang belakang. Kontraindikasi: hipersensitivitas carbamazepin, memiliki riwayat supresi sumsum tulang, bersamaan mengonsumsi MAOI, jaundice, hepatitis, pregnancy, mengonsumsi obat NNRTI dan nefazodone Efek Samping: mengantuk, pusing, mual-muntah, sakit kepala, ataksia, kulit iritasi, gatal dan kemerahan. Interaksi obat: serius-gunakan alternatif dengan rifampisin dan isoniazid Dosis: dosis awal umumnya 400 mg/hari; dosis maintenancae 800 1200 mg/hari; dosis maksimum per hari 400 2400 mg; konsentrasi terapi 4-12 mcg/ml; konsentrasi toksik >15mcg/ml.Isoniazid Mekanisme aksi: agen bakterisida mencegah pembentukan dinding sel bakteri dan pembentukan DNA bakteri Kontraindikasi: hipersensitivitas dan gangguan hati akut Efek Samping: neuropti perifer, mual, muntah, gangguan hati Dosis: Dosis awal 5 mg/kgBB ; Dosis maksimum 300 mg/hari; dosis lanjutan 10mg/kgBB; dosis maksimum 900 mg/hari. Interaksi obat: serius-gunakan alternatif dengan carbamazepineRifampicin Mekanisme aksi: menghambat RNA polimerase sehingga pembentukan RNA dan transkripsi DNA tidak terbentuk Kontraindikasi: hipersensitivitas dan penggunaan dengan antiretroviral dapat mengubah konsentrasi obat dalam plasma Efek Samping: kulit gatal dan kemerahan, mual-muntah, kenaikan enzym tes fungsi liver Dosis: dosis inisial 10mgkgBB; dosis maksimum 600 mg/hari; dosis lanjutan 10mgkgBB; dosis maksimum lanjutan 600mg Interaksi obat: serius-gunakan alternatif lain dengan carbamazepinFe Sulfat

Mekanisme aksi : Fe sulfat menggantikan zat besi pada hemoglobin, myoglobin dan enzim, memperlancar transport oksigen melalui hemoglobin Efek samping : konstipasi, diare, obstruksi GI, GI hemorrhage, iritasi GI, mual, muntah, nyeri perut Kontraindikasi : hipersensitivitas, anemia hemolitik

Interaksi Obat : doxycycline, tetrasiklin, ofloxacin, simetidin, famotidin, levodopa, lansoprazol, omeprazol, ranitidin

VI. EVALUASI OBAT TERPILIH Terapi Utama Carbamazepine Komposisi : Karbamazepin Dosis

: 200 mg

Karbamazepin dan rifampisin sama-sama merupakan inducer enzim CYP 450 A34 sehingga membuat konsentrasi karbamazepin berkurang, di bawah therapeutic range (4-12 mcg/ml). Sehingga dosis dinaikkam 25% dari dosis awal ( 400 mg x 25% = 500 mg

Frekuensi: 3 x sehari 2 tablet Interaksi obat: Rifampisin dan INH

Analisis biaya: Rp 35000 (10 strip @ 10 tablet) Alasan :

Pasien menggunakan karbamazepin, rifampisin dan INH bersamaan. Karbamazepin dimetabolisme oleh enzim CYP450, INH merupakan inhibitor kuat enzim CYP450 dan rifampisin adalah inducer kuat enzim CYP450. Efek rifampisin dalam menurunkan kadar karbamazepin di dalam darah lebih besar dibandingkan kenaikan kadar karbamazepin yang dihasilkan INH. Hal tersebut dapat diatasi dengan meningkatkan dosis karbamazepin sebanyak 25% dari obat yang telah digunakan sebelumnya.

Kombinasi rifampisin dan isoniazidCombipack Komposisi: Rifampisin 450mg dan isoniazid 600mg Frekuensi: 3 x seminggu

Durasi

: 2 bulan

Interaksi obat: Karbamazepin

Analisis biaya: gratis Alasan : Combipak ini diberi bertujuan untuk mengobati penyakit TB pasien. Obat ini juga diberikan pada fase lanjut pengobatan TBC. Penggunaan Kombipak lebih mudah dan dapat meningkatkan kepatuhan pasien karena berada dalam 1 paket. Obat ini merupakan program pemerintah sehingga pasien tidak perlu mengeluarkan biaya untuk menggunakan Combipack. Fe Sulfat

Befozi (Soho)

Komposisi : Fe Sulphate 80 mg, folic acid 500 mcg, Zn sulphate monohydrate 61.8 mg

Dosis : 1 2 kapsul/ hari dapat diberikan bersama atau tanpa makanan

Interaksi Obat : - Harga : Rp 15.000 (kaps 3 x 10) Alasan : untuk pencegahan dan pengobatan anemia, membantu memenuhi kebutuhan vitamin dan mineral selama masa kehamilan dan laktasi. Vitamin B Complex IPI Dosis : Vitamin B1 2 mg, B2 2 mg, B6 2 mg, Calcium pantothenate 10 mg, nicotinamide 20 mg Interaksi Obat : --

Frekuensi : 1 x sehari 1 tablet setiap hari Durasi : 2 bulan (terapi intensif) + 4 bulan terapi lanjutan Biaya : Rp 3.750,00 untuk 50 tablet Alasan : Diberikan vitamin B kompleks untuk meningkatkan nafsu makan; serta mengurangi efek samping neuropati perifer misalnya kesemutan dan nyeri otot yang diakibatkan oleh penggunaan INH, dimana INH menyebabkan defisiensi vitamin B dan defisiensi inilah yang menyebabkan timbulnya neuropati perifer.

Terapi Tambahan Kaywan

Komposisi: Vitamin K

Dosis

: 5 mg

Frekuensi: 3 kali sehari

Durasi

: Digunakan di akhir masa kehamilan, sampai sebelum melahirkan. IO

: -

Analisis biaya: Dus 10x10 tab Rp 35200. Alasan : Untuk mencegah terjadinya perdarahan Folavit

Komposisi: Asam folat 1 mg

Dosis

: 1 mg/hari

Frekuensi: 1 kali sehari 1 tablet

Durasi

: 6 bulan sebelum dan selama masa kehamilan IO

: -

Analisis biaya: Dus 25 x 4 tab 1 mg Rp138500. Alasan : Untuk mencegah terjadinya defisiensi asam folatVII. MONITORING DAN FOLLOW UP-NYAMonitoringTerapi Epilepsi1. TDM dilakukan dengan mengukur kadar atau konsentrasi pada target aksi. Untuk TDM karbamazepin dapat menggunakan saliva. Alasan perlu dilakukan TDM dikarenakan farmakokinetik obat antiepilepsi sulit diprediksi. Metabolisme obat antiepilepsi tergantung fungsi organ, faktor genetik dan interaksi antar obat. Karbamazepin dan rifampisin merupakan induser sitokrom P450 seperti CYP3A4 dan CYP2C9 yang dapat mengacaukan konsentrasi serum/plasma apabila tidak dilakukan TDM. Idealnya, TDM akan mengarahkan serum/plasma pada kondisi dimana bisa mengontrol kejang dan menghindari adverse effect.

Yang perlu diukur dalam monitor karbamazepin adalah kadarnya di dalam darah. Seperti pada obat antiepilepsi lain, efek samping yang berhubungan dengan syaraf akan muncul pada karbamazepin yang digunakan dalam dosis tinggi yaitu lebih dari 15 mg/L. Selain itu, bila kadarnya di bawah rentang terapetik dapat menyebabkan kondisi kejang pasien tidak bisa terkontrol. Karbamazepin mempunyai bioavailabilitas >70, serum protein 75, waktu puncak 4-8 jam, waktu paro serum 10-20 jam dan rata-rata serum dalam darah 4-12 mg/L. Apabila kadar tidak sesuai maka diperlukan pengukuran dosis berulang. Dosis diubah dengan aturan 25% dari dosis awal. Kemudian dilihat perkembangannya selama 2-3 minggu. Apabila dalam 2-3 minggu belum terjadi perubahan maka dilakukan lagi perubahan 25% dari dosis awal. Perubahan dosis tersebut dapat berupa penambahan maupun penurunan dosis tergantung hasil pengukuran kadar yang diperoleh dari monitoring.

2. Pasien diminta untuk mencatat tingkat keparahan dan kekerapan (frekuensi) kejang dalam Catatan harian khusus kejang.

3. Skrining terhadap gangguan neuropsikiatrik, efek samping obat4. Monitoring karbamazepin :

Memonitor kadar serum carbamazepine seperti untuk mengevaluasi respon terapi, kepatuhan, dan kemungkinan terjadinya toksisitas.

Menilai fungsi ginjal dan hati sebelum memulai terapi.

Memantau fungsi ginjal dan hati berkala selama pengobatan.

Memantau CBC selama pengobatan,

Jika WBC atau jumlah trombosit rendah atau menurun dicatat.

Pemeriksaan mata secara berkala, funduscopy, dan tonometry.

Memantau kadar obat dalam serum secara periodik untuk mengevaluasi efikasi atau potensi efek samping.Terapi TBC

1. Cek kepatuhan pasien minum obat : kepatuhan pasien dalam menggunakan obat TB harus dipastikan, karena kepatuhan tersebut berpengaruh besar terhadap keberhasilan pengobatan. Ketidakpatuhan dalam penggunaan obat dapat menyebabkan timbulnya resistensi. Adanya resistensi akan membuat TB menjadi sulit untuk disembuhkan karena memerlukan durasi pengobatan yang lebih panjang dan kombinasi obat yang mungkin lebih banyak. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien perlu adanya PMO (pengawas minum obat) atau bisa juga pasien memasang alarm supaya tidak terlupa waktu minum obat.2. Tes BTA pada bulan ke 2 (akhir tahap intensif), 5 dan 6 (akhir pengobatan). Tes BTA dilakukan untuk memastikan bahwa pasien telah bersih dari bakteri. Tes ini penting untuk menilai keberhasilan pengobatan TB. Adanya BTA pada pasien sangat beresiko menyebabkan kasus TB baru karena BTA inilah yang dapat menularkan TB.

(Depkes RI, 2011)3. Rontgen dada

Pasien yang terkena infeksi TB, maka pada pemeriksaan rontgen dada akan menunjukkan adanya penumpukan sputum di paru parunya karena hipersekresi mucus akibat adanya bakteri. Setelah tahap pengobatan selesai, maka dilakukan rontgen dada untuk mengecek apakah paru paru pasien sudah bersih dari sputum.4. Tes fungsi hati : pengecekan ALT, ASTObat obat anti TB memiliki efek samping hepatotoksis, sehingga pasien yang menggunakan obat obat tersebut berpotensi mengalami kerusakan hepar, oleh karena itu perlu dilakukan pengecekan fungsi hati. Tujuannya untuk memantau apakah pasien terkena efek samping hepatotoksis serta mengetahui kondisi hepar pasien selama menjalani pengobatan TB. Anemia

Cek darah : nilai Hb

Nilai Hb normal untuk wanita adalah 12 16 g/dL dan untuk wanita hamil adalah 10 15 g/dL.VIII. KOMUNIKASI, INFORMASI DAN EDUKASI KEPADA PASIENa. Pasien diberikan informasi supaya compliance atau patuh dalam menggunakan obat Pengobatan pada pasien epilepsy dan TBC memiliki waktu yang lama untuk sembuh. Jadi, kemungkinan terjadi ketidakpatuhan itu sangat tinggi karena pasien mungkin sudah bosan dan mengganggap obat yang dikonsumsi tetap tidak memberikan efek. Diperlukan dukungan orang terdekat atau keluarga untuk mengingatkan pasien mengkonsumsi obatb. Pasien diberitahu untuk menghindari faktor pemicu terjadinya kejang misalnya stress, konsumsi kopi atau alkohol, perubahan jadwal tidur, terlambat makan, dan lain-lainc. Pasien diberitahukan mengenai penggunaan obat yang tepat: INH, rifampisin sebaiknya diminum pada saat perut kosong (1 jam sebelum atau 2 jam sesudah makan)

Bila pencernaan terganggu (mual dan sebagainya) dapat diminum 2 jam sesudah makan.

Bila lupa minum obat, minum sesegera mungkin, tetapi bila dekat waktu dosis berikutnya, kembali ke jadwal semula jangan didobel dosisnya

d. Pasien diberitahu agar menjaga pola makanannya, sirkulasi udara harus terjaga, olahraga, istirahat yang cukup, mencuci tangan, tidak membuang sputum sembarangan. Pasien harus hindari kacang-kacangan dan biji-bijian, karena kacang-kacangan memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi, dan asupan kandungan karbohidrat yang terlalu berlebihan pada penderita penyakit epilepsi harus diwaspadai. Hindari makanan yang mengandung zat glutamine dan asam amino, seperti pada: kacang-kacangan, biji-bijian, oat, dan gandum. Jika makanan yang mengandung glutamine ini dikonsumsi oleh penderita penyakit epilepsi, maka kemungkinan untuk kambuh akan sangat besar dan sangat mungkin terjadi. Hindari makan jeroan serta beberapa makanan berikut, seperti: kuning telur, kaki sapi, lemak udang.e. Pasien diberikan informasi tempat penyimpanan obat : Harus dijauhkan dari jangkauan anak-anak. Simpan di tempat yang terlindung dari api atau cahaya. Jangan menyimpan obat tablet di kamar mandi, di dekat bak cuci dapur atau di tempat yang lembab karena panas atau lembab menyebabkan obat akan rusak.f. Selama masa pengobatan pasien diberikan konseling untuk menunda kehamilan. Pasien sedang dalam pengobatan tuberculosis maka setelah pengobatan tuberculosis selesai serta kejang sudah terkontrol maka pasien diperbolehkan untuk hamil. Hal ini disebabkan karena obat-obat tuberculosis serta anti kejang berisiko tinggi terhadap janin. Terlebih pasien mengalami kejang tonik klonik yang merupakan jenis kejang paling beresiko tinggi terhadap kehamilan. Apabila pasien sudah mulai merencanakan kehamilan maka pasien tetap menggunakan carbamazepin, dimana pasien sudah terkontrol menggunakan obat tersebut. Selain itu penting bagi pasien yang merencanakan hamil untuk mengkonsumsi asam folat dosis tinggi sedini mungkin bahkan sebelum konsepsi. Asam folat diperlukan untuk mencegah malformasi fetus. h. Pasien diminta untuk membuat sebuh catatan khusus terkait dengan kejang yang dialami. Dengan adanya catatan, maka dokter akan lebih mudah untuk melakukan evaluasi terhadap pengobatan. Frekuensi kejang juga menggambarkan tingkat keparahan penyakit serta ketidakcocokan obat. Apabila masih sering terjadi kejang maka diperlukan penyesuaian dosis. Selain itu apabila terdapat efek samping serta gejala baru timbul yang dicurigai berasal dari obat yang dikonsumsi maka hendaknya disampaikan ke dokter.i. Perubahan warna cairan tubuh mungkin terjadi pada penggunaan rifampisin seperti warna urin sehingga diperlukan pemberian penjelasan kepada pasien agar pasien tidak panik. Selain itu pengguna rifampisin juga dianjurkan untuk menghindari pemakaian softlens.IX. JAWABAN PERTANYAAN Rika 08779 ( Apakah perlu diberikan hepatoprotektor dan vitamin B6 atau tidak?Hepatoprotektor bisa digunakan tetapi juga bisa tidak digunakan. Sebab menurut penelitian www.ncbi.nlm.nih.gov/m/pubmed/25160904/ menggunakan maupun tidak menggunakan hepatoprotektor tidak berbeda signifikan.Vitamin B6 perlu diberikan untuk mengurangi efek samping INH yaitu kekurangan vitamin B6 Dian 08774 ( Alasan pemilihan karbamazepin, INH dan Rifampisin kenapa? Hepatoprotektor menggunakan apa? Vitamin B6 perlu dimonitor bagaimana?Pemilihan karbamazepin alasannya adalah pasien sudah terkontrol dengan karbamazepin jadi dilanjutkan karena untuk jangka panjang. INH dan rifampisin digunakan sebab pasien sudah dalam fase lanjutan 2 bulan untuk terapi TBC, dimana fase lanjutan dari panduan menggunakan INH dan rifampisin.

Pada saat terapi TBC perlu dimonitoring efek samping jika kelebihan B6 yaitu neuropati Shinta 08773 ( Ada interaksi temulawak dan obat-obat yang digunakan?Di dalam temulawak terkandungannya senyawa kurkumin saja. Kurkumin tidak memiliki interaksi dengan obat yang digunakan (Medscape). Namun sebenarnya setelah mempelajari lebih dalam lagi di antara temulawak, kunyit, kencur yang paling baik digunakan sebagai hepatoprotektor adalah temulawak karena hanya mengandung kurkumin yang paling tinggi yang berfungsi sebagai hepatoprotektor Riris 08787 ( Prioritas epilepsi atau TB? Isoniazid dan rifampicin cara kerjanya berlawanan, ada alternatif tidak?Terapi epilepsi dengan TB sama-sama merupakan prioritas sebab keduanya harus segera diobati. Isoniazid dan rifampicin merupakan first line untuk mengobati TB dan walau pun cara kerjanya berlawanan namun pada banyak pasien yang menggunakan tidak ada masalah klinis sehingga tidak perlu menggunakan alternatif. Second line dan pengobatan selain itu juga memiliki toksisitas yang makin meningkat. Prima 08750 ( Cara menunda kehamilan bagaimana? Kalau pakai kontrasepsi oral ada interaksi dengan obat tidak? Kalau ada apa interaksinya?Cara menunda kehamilan dengan menggunakan kontrasepsi selain kontrasepsi oral misalnya kotrasepsi mekanik (kondom) yang tidak berinteraksi dengan obat-obat yang digunakan. Interaksi kontrasepsi oral dengan obat yang digunakan adalah dapat menurunkan efek kontrasepsi. Lusi 08761 ( Karbamazepin dan rifampisin sama-sama inducer, apakah ada alternatif selain peningkatan dosis?Tidak ada Agnia 08744 ( Bila waktu hamil ada serangan kejang, apa obat epilepsi paling aman untuk ibu hamil?Obat epilepsi masuk dalam kategori C dan D pada kehamilan. Kategori C berarti . Kategori D berarti. Obat yang paling aman adalah lamotrigin karena masuk kategori C. Sedangkan karbamazepin, termasuk dalam kategori D. Mas Mawardi ( Hb Ny. Sinta 6,5 beresiko berat bayi lahir rendah (BBLR) , maka obat yang digunakan untuk anemianya?Untuk anemianya diberikan Fe (Zat besi) Bu Nurlaila ( Monitoring TB bagaimana? Kenapa obat-obat masuk di KIE bukan pemilihan obat rasional? Penggunaan asam folat sampai kapan? Monitoring TB:

Pemeriksaan Bakteri Tahan Asam (BTA) apakah masih positif atau sudah negatif pada bulan ke 2,5 dan 6 Rontgen dada untuk melihat apakah masih ada sputum yang tersisa Monitoring fungsi hati yaitu ALT dan ASTObat-obat masuk KIE karena obat-obat tersebut harus digunakan ketika Ny. Sinta hamil. Padahal bila Ny. Sinta hamil dan masih mengkonsumsi obat epilepsi dan TB maka dapat berpengaruh ke janin sehingga rencana edukasi yang diberikan pada Ny. Sinta adalah menunda kehamilan selama 2 bulan sampai pengobatan TB selesai.Penggunaan asam folatSaat mencoba merencanakan kehamilan: 400 mcgUntuk kehamilan bulan ke 1-3: 400 mcgUntuk kehamilan bulan ke 4-9: 600 mcgSaat menyusui: 500 mcgX. KESIMPULAN1. Pasien menderita epilepsi jenis tonik-klonik yang disertai dengan TBC.

2. Terapi yang dipilih untuk mengobati TBC yaitu digunakan adalah Combipack yang merupakan kombinasi INH dan rifampisin untuk fase lanjutan.

3. Terapi untuk epilepsi digunakan karbamazepin.4. Untuk mencegah terjadinya anemia diberikan Feri Sulfat, vitamin K untuk mencegah terjadinya perdarahan, Folavit untuk menambah asam folat.

5. Monitoring kadar karbamazepin secara berkala untuk mengetahui kemungkinan terjadinya toksisitas.6. Monitoring BTA pada bulan ke 2, 5 dan 6, pemeriksaan fungsi hati dan dilakukan rontgen dada.

7. Dilakukan monitoring nilai Hb secara berkala.

8. Pasien diberikan informasi supaya compliance atau patuh dalam menggunakan obatg. Pasien diberitahu untuk menghindari faktor pemicu terjadinya kejang misalnya stress, konsumsi kopi atau alkohol, perubahan jadwal tidur, terlambat makan, dan lain-lain9. INH, rifampisin sebaiknya diminum pada saat perut kosong (1 jam sebelum atau 2 jam sesudah makan)10. Pasien disarankan agar menjaga pola makanannya, sirkulasi udara harus terjaga, olahraga, istirahat yang cukup, mencuci tangan, tidak membuang sputum sembarangan.11. Selama masa pengobatan TBC pasien diberikan konseling untuk menunda kehamilan.12. Pasien diminta untuk membuat sebuh catatan khusus terkait dengan kejang yang dialami.

XI. DAFTAR PUSTAKAAhmed R., Appen K., Endean C., 2014, Epilepsy in Pregnancy, A Collaborative Team Effort of Obstetricians, Neurologists and Primary Care Physicians for A Succesful Outcome, Australian Family Physicians 2014; 43(3) : 113-116.Depkes RI, 2002, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Depkes RI, Jakarta.

Depkes RI, 2005, Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Tuberculosis, Depkes RI, Jakarta.Dipiro, Joseph T, et all, 2009, Pharmacotherapy 7th edition, McGraw Hill, United States.Gofir, A., Wibowo, S., 2006. Obat Antiepilepsi, Pustaka Cendekia Press, Yogyakarta.Maakaron, J.E., 2014, Anemia Treatment, http://emedicine.medscape.com/article/198475-treatment#3, diakses pada 10 November 2014.Merck Manuals, 2014, Maintenance Anticonvulsant Therapy, http://www.merckmanuals.com/vet/pharmacology/systemic_pharmacotherapeutics_of_the_nervous_system/maintenance_anticonvulsant_therapy.html diakses pada 10 November 2014.PDPI, 2006, Tuberculosis, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Jakarta.Webmd, 2014, Vitamin and Suplements Guideline Therapy, http://www.webmd.com/vitamins-and-supplements/lifestyle-guide-11/supplement-guide-folic-acid diakses pada 13 November 2014.