Upload
others
View
13
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
DISERTASI
EFEK DETERMINAN PERMINTAAN AGREGAT DAN PENAWARAN AGREGAT TERHADAP RASIO PENGORBANAN DI INDONESIA (2006-2014)
THE EFFECTS OF AGGREGATE DEMAND AND AGGREGATE SUPPLY DETERMINANTS ON SACRIFICE
RATIO IN INDONESIA (2006-2014)
AMANUS KHALIFAH FIL’ARDY YUNUS
PROGRAM DOKTOR ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2017
DISERTASI
EFEK DETERMINAN PERMINTAAN AGREGAT DAN PENAWARAN AGREGAT TERHADAP RASIO PENGORBANAN DI INDONESIA (2006-2014)
THE EFFECTS OF AGGREGATE DEMAND AND AGGREGATE SUPPLY DETERMINANTS ON SACRIFICE
RATIO IN INDONESIA (2006-2014)
Sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Doktor
Disusun dan diajukan oleh:
AMANUS KHALIFAH FIL’ARDY YUNUS P0500312003
Kepada:
PROGRAM DOKTOR ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2017
PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama : Amanus Khalifah Fil’ardy Yunus NIM : P0500312003 Program Studi : Doktor Ilmu Ekonomi
menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi yang berjudul
Efek Determinan Permintaan Agregat dan Penawaran Agregat terhadap Rasio Pengorbanan di Indonesia (2006-2014)
adalah karya ilmiah saya sendiri dan sepanjang pengetahuan saya di dalam naskah disertasi ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan/ditulis/diterbitkan sebelumnya, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka. Apabila di kemudian hari ternyata di dalam naskah disertasi ini dapat dibuktikan terdapat unsur jiplakan, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut dan diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 20 Tahun 2003, pasal 25 ayat 2 dan pasal 70).
Makassar, Mei 2017 Yang membuat pernyataan, Amanus Khalifah Fil’ardy Yunus
PRAKATA
Alhamdulillaahirrabbil’alamiin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, serta salam dan salawat senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW atas sunnah dan petunjuknya, sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi yang berjudul “Efek Determinan Permintaan Agregat dan Penawaran Agregat terhadap Rasio Pengorbanan di Indonesia (2006-2014)”.
Gagasan yang melatari tajuk permasalahan ini timbul dari hasil pengamatan penulis terhadap laju inflasi dan pengangguran di Indonesia. Penulis bermaksud menyumbangkan konsep yang dapat mengakomodir dua tujuan, yakni inflasi yang rendah maupun tingkat pengangguran yang rendah melalui pengamatan terhadap rasio pengorbanan.
Banyak kendala yang penulis hadapi dalam rangka penyusunan disertasi ini, dan hanya berkat bantuan, bimbingan dan arahan dari berbagai pihaklah penulis dapat menyelesaikan disertasi ini sebagaimana mestinya. Dalam kesempatan ini, penulis dengan tulus menyampaikan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. I Made Benyamin, M.Ec. sebagai Promotor, Bapak Prof. Marsuki, S.E., DEA., Ph.D. dan Bapak Dr. Sanusi Fattah, S.E., M.Si. sebagai Ko-promotor atas segala bantuan dan bimbingan yang diberikan mulai dari pengembangan minat terhadap topik penelitian, pelaksanaan penelitian hingga penulisan disertasi serta segala hal yang berkaitan dengan penyelesaian studi penulis.
Atas segala bantuan yang penulis terima selama mengikuti program S3, penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor UNHAS, Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A., Dekan Sekolah Pascasarjana UNHAS, Bapak Prof. Dr. Muhammad Ali, S.E., M.S., Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNHAS, Bapak Prof. Dr. Gagaring Pagalung, S.E., M.Si., Ak., CA., beserta para Wakil Dekan Sekolah Pascasarjana UNHAS maupun para Wakil Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNHAS. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Haris Maupa, S.E., M.Si. sebagai Ketua Program Studi Doktor Ilmu Ekonomi UNHAS atas kesediaannya meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam menjalani studi hingga selesai. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada seluruh dosen yang pernah mengajar penulis pada Program Studi Doktor Ilmu Ekonomi UNHAS dan kepada seluruh anggota tim penguji: Bapak Prof. Dr. Salamun Pasda, M.Si., sebagai penguji eksternal dan Bapak Prof. Dr. Basri Hasanuddin, M.A., Bapak Dr. Paulus Uppun, S.E., M.A., Bapak Dr. Madris, DPS, S.E., M.Si., Bapak Dr. Abd. Hamid Paddu, S.E., M.A. dan Bapak Drs. Muhammad Yusri Zamhuri, M.A., Ph.D., yang telah meluangkan waktu dalam meneliti keabsahan dan memberikan kritik serta saran yang sangat berguna atas penyempurnaan disertasi ini.
Terima kasih kepada seluruh teman-teman mahasiswa Program Studi S3 Ilmu Ekonomi angkatan 2012 atas kerja samanya. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada ipar-ipar, Ahmad Samhan S. Mubarak, S.P., Khadijatul Fatiyah S. Mubarak, S.K.M., Abdullah Muqsith S. Mubarak dan Muhammad Hilal S. Mubarak dan kedua mertua, Bapak Drs. H. Sufyan Mubarak, S.H., M.H. dan Ibu Hj. Arfiah Nur. Begitu juga kepada Bapak H. Lukman, B.Sc. dan keluarga, Dr. H. Muchran, S.E., M.Si. dan keluarga, Ibu Hj. Nurseda, S.H., M.H., Bapak H. Syahruddin, S,Sos. dan keluarga dan Bapak H. Syahbur, S.H., M.Kn. dan keluarga yang telah menjadi pengganti orang tua saya pada masa-masa tertentu. Terima kasih pula kepada kakak-kakak dan adik-adik sepupu atas doa dan kerjasamanya.
Hal yang sama penulis ucapkan kepada Adik-adik penulis, Akbar Mandela Arumattulabala Yunus, S.E.,, Ayu Latifah Alfisahrin Yunus dan Adinda Asia Minhikmah Alenapituuleng Yunus, yang dengan tulus selalu memberikan motivasi, semangat dan turut mendoakan penulis untuk dapat menyelesaikan studi dengan baik.
Penulis juga tentu saja tak lupa mengucapkan rasa hormat dan penuh kepatuhan serta terima kasih yang tak terhingga atas keikhlasan kedua orang tua, Ayahanda Prof. Dr. H. Muhammad Yunus Zain, M.A.; dan Ibunda Prof. Dr. Hj. Rahmatia, M.A., dalam mendidik, membesarkan dan mendoakan penulis. Penulis sangat bersyukur dan merasa beruntung karena tidak hanya sebagai orang tua, keduanya juga sangat berperan dalam memberikan petunjuk, saran dan motivasi kepada penulis dan juga mengajarkan berbagai hal tentang hitam-putihnya ilmu ekonomi serta meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan disertasi ini.
Akhirnya, terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada istri tercinta Munawwarah S. Mubarak, S.E., M.Si., dan anak kami Arufalah Masugiri Amanus Yunus atas kesetiaannya menemani dan membantu penulis dalam suka maupun duka serta memberikan semangat dan doa tiada henti sehingga penulis pada akhirnya dapat menyelesaikan studi S3 ini. Maha Suci Engkau Ya Allah tidaklah ada yang kami ketahui selain apa yang Engkau telah beritahukan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui segala hikmah. Engkau memberi hikmah kepada siapa saja yang dianugerahi karunia yang banyak dan hanya orang berakallah yang dapat mengambil pelajaran. Wallahu ‘alam.
Makassar, Mei 2017
Amanus Khalifah Fil’ardy Yunus
ABSTRAK
AMANUS KHALIFAH FIL’ARDY YUNUS. Efek Determinan Permintaan Agregat dan Penawaran Agregat terhadap Rasio Pengorbanan di Indonesia (2006-2014) (Dibimbing oleh I Made Benyamin, Marsuki dan Sanusi Fattah).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pengelolaan permintaan agregat (pengeluaran pemerintah dan kredit perbankan) dan penawaran agregat (upah minimum regional dan indeks harga properti) terhadap rasio pengorbanan, baik secara langsung maupun melalui produktivitas manufaktur, keterbukaan perdagangan, produk domestik regional bruto (PDRB) dan kesempatan kerja terdidik di Indonesia.
Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik. Data rasio pengorbanan kemudian diperoleh dari hasil regresi modifikasi persamaan kurva Philips. Metode analisis yang digunakan adalah metode estimasi persamaan simultan.
Temuan penelitian menunjukkan bahwa kebijakan pengeluaran pemerintah (belanja modal) belum efektif dalam mengurangi rasio pengorbanan dikarenakan adanya masalah pada kualitas sumber daya manusia (pendidikan) serta inflasi dan nilai tukar rupiah di Indonesia. Adapun kredit perbankan, upah minimum regional dan indeks harga properti telah berkontribusi dalam mengurangi rasio pengorbanan. Secara keseluruhan, hasil penelitian ini menuntut tenaga kerja untuk meningkatkan kualitas diri dengan menempuh pendidikan lanjutan agar tidak rentan dikorbankan menjadi pengangguran. Hal ini kemudian harus ditopang dengan kebijakan peningkatan kualitas sumber daya manusia utamanya pendidikan. Terakhir, otoritas moneter harus tetap menjaga kestabilan inflasi dan nilai tukar rupiah dalam rangka mengurangi pengorbanan pengangguran akibat kebijakan disinflasi.
Kata Kunci: rasio pengorbanan, produktivitas manufaktur, keterbukaan
perdagangan, PDRB, kesempatan kerja terdidik dan kebijakan makroekonomi.
ABSTRACT
AMANUS KHALIFAH FIL’ARDY YUNUS. The Effects of Aggregate Demand and Aggregate Supply Determinants on Sacrifice Ratio in Indonesia (2006-2014) (Supervised by I Made Benyamin, Marsuki, and Sanusi Fattah).
This research aims to examine the influence of aggregate demand (government expenditure and bank credit) and aggregate supply (regional minimum wage and property price index) management on sacrifice ratio, both directly and indirectly through manufacturing productivity, trade opennes, gross regional domestic product (GRDP) and educated employment opportunity in Indonesia.
The data used are the secondary ones obtained from Statistics Indonesia. Sacrifice ratio data were obtained from the regression results of modified Philips curve equation. The method analysis used is the estimation method of simultaneous equation.
The study indicates that government expenditure policy (capital expenditure) has not been effective in reducing the sacrifice ratio due to a problem with the quality of human resources (education), inflation, and exchange rate in Indonesia. Bank credit, regional minimum wage, and property price index have contributed to reduce sacrifice ratio. Overall, these results demand the workers to improve their own quality by taking an advanced education so that they are not susceptible to being unemployed. This matter must be supported by policies of quality improvement of human resources, specifically education. Monetary authority should maintain the stability of inflation and exchange rate in order to reduce unemployment sacrifice as a consequence of disinflation policy. Keywords:iisacrifice ratio, manufacturing productivity, trade opennes,
GRDP, educated employment opportunities, and macroeconomic policy.
DAFTAR ISI
halaman
PRAKATA ABSTRAK ABSTRACT DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN
A. Latarbelakang Masalah
B. Rumusan Masalah Pokok Penelitian
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Beberapa Kajian/Landasan Teoretis
1. Beberapa Kajian Teoretis Terkait dengan Rasio Pengorbanan
2. Landasan Teoretis mengenai Tenaga Kerja
Terdidik
3. Keterkaitan antara Produktivitas Manufaktur, Keterbukaan Perdagangan, Pertumbuhan Ekonomi, Kesempatan Kerja Terdidik dan Rasio Pengorbanan
v
vii
viii
ix
xiv
xvi
xvii
1
1
20
22
24
26
26
27
32
35
4. Beberapa Kajian Teoretis mengenai Pengaruh
Pengelolaan Permintaan Agregat terhadap Produktivitas Manufaktur, Keterbukaan Perdagangan, Pertumbuhan Ekonomi, Kesempatan Kerja Terdidik dan Rasio Pengorbanan
5. Keterkaitan antara Kebijakan Penawaran Agregat dengan Produktivitas Manufaktur, Keterbukaan Perdagangan, Pertumbuhan Ekonomi, Kesempatan Kerja Terdidik dan Rasio Pengorbanan
B. Beberapa Hasil Penelitian dan Studi Empiris
Sebelumnya BAB III KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS
PENELITIAN
A. Kerangka Konseptual Penelitian
B. Hipotesis Penelitian
BAB IV METODE PENELITIAN
A. Teknik Pengumpulan Data: Jenis dan Sumber Data
B. Metode Analisis Data dan Teknik Analisis Penelitian
C. Definisi Operasional
BAB V HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Hasil Penelitian
1. Deskripsi Hasil Pengelolaan Permintaan Agregat di Indonesia
a. Perkembangan Pengeluaran Pemerintah,
Kinerja Sektor Riil, Tingkat Pengangguran Terdidik dan Rasio Pengorbanan di Indonesia
b. Perkembangan Pengeluaran Pendidikan dan Kesehatan, Kinerja Sektor Riil, Tingkat
38
46
52
59
59
100
102
102
103
119
123
123
124
124
Pengangguran Terdidik dan Rasio Pengorbanan di Indonesia
c. Perkembangan Realisasi Kredit Perbankan,
Kinerja Sektor Riil, Tingkat Pengangguran Terdidik dan Rasio Pengorbanan di Indonesia
2. Deskripsi Hasil Kebijakan Penawaran Agregat di Indonesia
a. Perkembangan Upah Minimum Regional, Kinerja Sektor Riil, Tingkat Pengangguran Terdidik dan Rasio Pengorbanan di Indonesia
b. Perkembangan Indeks Harga Properti, Kinerja Sektor Riil, Tingkat Pengangguran Terdidik dan Rasio Pengorbanan di Indonesia
B. Hasil Estimasi Efek Pengelolaan Permintaan Agregat
dan Kebijakan Penawaran Agregat terhadap Kinerja Sektor Riil, Kesempatan Kerja Terdidik dan Rasio Pengorbanan di Indonesia
C. Hasil Pengujian Hipotesis Penelitian
1. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap
Rasio Pengorbanan baik secara Langsung maupun melalui Produktivitas Manufaktur, Keterbukaan Perdagangan, Produk Domestik Regional Bruto dan Kesempatan Kerja Terdidik
2. Pengaruh Kredit Perbankan terhadap Rasio
Pengorbanan baik secara Langsung maupun melalui Produktivitas Manufaktur, Keterbukaan Perdagangan, Produk Domestik Regional Bruto dan Kesempatan Kerja Terdidik
3. Pengaruh Upah Minimum Regional terhadap
Rasio Pengorbanan baik secara Langsung maupun melalui Produktivitas Manufaktur, Keterbukaan Perdagangan, Produk Domestik Regional Bruto dan Kesempatan Kerja Terdidik
4. Pengaruh Indeks Harga Properti terhadap Rasio
127
129
131
131
133
135
146
146
160
172
Pengorbanan baik secara Langsung maupun melalui Produktivitas Manufaktur, Keterbukaan Perdagangan, Produk Domestik Regional Bruto dan Kesempatan Kerja Terdidik
5. Pengaruh Produktivitas Manufaktur terhadap
Rasio Pengorbanan baik secara Langsung maupun melalui Keterbukaan Perdagangan, Produk Domestik Regional Bruto dan Kesempatan Kerja Terdidik
6. Pengaruh Keterbukaan Perdagangan terhadap
Rasio Pengorbanan baik secara Langsung maupun melalui Produk Domestik Regional Bruto dan Kesempatan Kerja Terdidik
7. Pengaruh Produk Domestik Regional Bruto
terhadap Rasio Pengorbanan baik secara Langsung maupun melalui Kesempatan Kerja Terdidik
BAB VI PEMBAHASAN
A. Analisis dan Implikasi Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap Rasio Pengorbanan baik secara Langsung maupun melalui Produktivitas Manufaktur, Keterbukaan Perdagangan, Produk Domestik Regional Bruto dan Kesempatan Kerja Terdidik
B. Analisis dan Implikasi Pengaruh Kredit Perbankan
terhadap Rasio Pengorbanan baik secara Langsung maupun melalui Produktivitas Manufaktur, Keterbukaan Perdagangan, Produk Domestik Regional Bruto dan Kesempatan Kerja Terdidik
C. Analisis dan Implikasi Pengaruh Upah Minimum
Regional terhadap Rasio Pengorbanan baik secara Langsung maupun melalui Produktivitas Manufaktur, Keterbukaan Perdagangan, Produk Domestik Regional Bruto dan Kesempatan Kerja Terdidik
D. Analisis dan Implikasi Pengaruh Indeks Harga
Properti terhadap Rasio Pengorbanan baik
186
200
206
209
211
211
217
221
secara Langsung maupun melalui Produktivitas Manufaktur, Keterbukaan Perdagangan, Produk Domestik Regional Bruto dan Kesempatan Kerja Terdidik
E. Analisis dan Implikasi Pengaruh Produktivitas
Manufaktur terhadap Rasio Pengorbanan baik secara Langsung maupun melalui Keterbukaan Perdagangan, Produk Domestik Regional Bruto dan Kesempatan Kerja Terdidik
F. Analisis dan Implikasi Pengaruh Keterbukaan
Perdagangan terhadap Rasio Pengorbanan baik secara Langsung maupun melalui Produk Domestik Regional Bruto dan Kesempatan Kerja Terdidik
G. Analisis dan Implikasi Pengaruh Produk Domestik
Regional Bruto terhadap Rasio Pengorbanan baik secara Langsung maupun melalui Kesempatan Kerja Terdidik
H. Keterbatasan Penelitian
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
B. Saran DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
226
230
234
236
237
239
239
243
246
254
DAFTAR TABEL
nomor halaman
1.1 1.2 2.1 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5
Perkembangan Tingkat Inflasi, Pengangguran, Rasio Pengorbanan dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia, 2005-2014
Perkembangan Jumlah Pengangguran berdasarkan
Tingkat Pendidikan di Indonesia, 2010-2014 Peta Studi Empiris Perkembangan Pengeluaran Pemerintah, Produktivitas
Manufaktur, Keterbukaan Perdagangan, Pertumbuhan Ekonomi, Tingkat Pengangguran Terdidik dan Rasio Pengorbanan pada 31 Provinsi di Indonesia, Tahun 2006, 2010 dan 2014
Perkembangan Pengeluaran Pendidikan dan
Kesehatan, Produktivitas Manufaktur, Keterbukaan Perdagangan, Pertumbuhan Ekonomi, Tingkat Pengangguran Terdidik dan Rasio Pengorbanan (y5) pada 31 Provinsi di Indonesia, Tahun 2006, 2010 dan 2014
Perkembangan Kredit Perbankan, Produktivitas
Manufaktur, Keterbukaan Perdagangan, Pertumbuhan Ekonomi, Tingkat Pengangguran Terdidik dan Rasio Pengorbanan pada 31 Provinsi di Indonesia, Tahun 2006, 2010 dan 2014
Perkembangan Upah Minimum Regional, Produktivitas
Manufaktur, Keterbukaan Perdagangan, Pertumbuhan Ekonomi, Tingkat Pengangguran Terdidik dan Rasio Pengorbanan pada 31 Provinsi di Indonesia, Tahun 2006, 2010 dan 2014
Perkembangan Indeks Harga Properti, Produktivitas
Manufaktur, Keterbukaan Perdagangan, Pertumbuhan Ekonomi, Tingkat Pengangguran Terdidik dan Rasio Pengorbanan pada 31 Provinsi
7
10
57
125
128
130
132
5.6 5.7
di Indonesia, Tahun 2006, 2010 dan 2014 Hasil Estimasi Fungsi Produktivitas Manufaktur (y1),
Keterbukaan Perdagangan (y2), Produk Domestik Regional Bruto (y3), Kesempatan Kerja Terdidik dan Rasio Pengorbanan (y5)
Hasil Estimasi Koefisien Pengaruh Langsung dan
Tidak Langsung baik Variabel Eksogen maupun Endogen terhadap Variabel Rasio Pengorbanan (y5)
134
136
140
DAFTAR GAMBAR
nomor halaman
3.1 5.1
Kerangka Konseptual Penelitian Skema Temuan dari Hasil Estimasi Model Penelitian
63
145
DAFTAR LAMPIRAN
nomor halaman
1 2 3 4 5 6
Proses Perhitungan Reduced Form Koefisien Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung
baik Variabel Eksogen maupun Endogen terhadap Variabel Rasio Pengorbanan (y5)
Hasil Estimasi Data Regresi Data Mentah Penelitian Skema Landasan Teoretis/Empiris
255
261
266
274
294
306
B AB I
PENDAHULUAN
Tujuan utama Bab ini adalah untuk memberikan gambaran dan
argumentasi awal tentang mengapa studi ini penting untuk dilakukan. Bab
ini berisi latarbelakang masalah, rumusan masalah pokok penelitian,
tujuan penelitian dan manfaat penelitian.
A. Latarbelakang Masalah
Disinflasi akan selalu memerlukan pengorbanan berupa excess
pengangguran dari tingkat alaminya. Besaran excess seperti inilah yang
kemudian dikenal dengan istilah rasio pengorbanan. Adapun tingkat alami
di sini didefinisikan sebagai tingkat pengangguran yang menstabilkan
inflasi atau non-accelerating inflation rate of unemployment/NAIRU (Kugler
dan Sheldon, 2009; King, 2008; Pena, 2003; Michl, 2002; Callen et al.,
2001; Zhang, 2001 dan Motley, 1990).
Kebijakan otoritas moneter untuk menekan inflasi dengan
mengurangi pertumbuhan uang akan menyebabkan pertumbuhan
ekonomi turun menjauhi tingkat naturalnya. Hal ini kemudian
menyebabkan naiknya pengangguran dan rasio pengorbanan (Okun,
1982). Daya beli masyarakat menurun, permintaan agregat turun, inflasi
turun (Philips, 1958).
Selanjutnya, dengan tetap mempertahankan dan mengontrol rasio
2
pengorbanan pada jangka waktu tertentu hingga inflasi turun melebihi
penurunan pertumbuhan uang, daya beli dan permintaan masyarakat
kemudian berangsur-angsur meningkat. Hal ini membuka ruang
bangkitnya kembali pertumbuhan ekonomi. Efek akhir dari kasus ini,
angka pengangguran turun dan pengorbanan pengangguran akibat
disinflasi dapat tertutupi (Blanchard, 2003).
Sekali lagi, disinflasi akan menimbulkan biaya berupa naiknya
pengangguran. Namun, dengan suatu kontrol yang baik pada rasio
pengorbanan untuk jangka waktu tertentu, biaya disinflasi tersebut dapat
tertutupi. Masalah yang kemudian perlu dicermati adalah seberapa besar
dan untuk berapa lama durasi rasio pengorbanan yang harus ditanggung?
Bagaimana pula pengaruh kebijakan makroekonomi terhadap besaran ini?
Hal inilah yang ditengarai tengah dihadapi oleh para pengambil
kebijakan di Indonesia khususnya otoritas moneter di mana rasio
pengorbanan dapat menjadi salah satu acuan dalam mengevaluasi kinerja
pengelolaan makroekonomi (permintaan agregat dan penawaran agregat).
Sebab di sisi lain, juga belum ditemukan adanya kesepakatan untuk
menentukan besaran inflasi (inflation targeting) yang dapat ditolerir baik
untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi maupun tingkat
pengangguran tertentu. Selain itu, dari beberapa penelitian tentang rasio
pengorbanan sebelumnya, belum banyak yang fokus pada pengorbanan
pengangguran yang dihasilkan oleh kebijakan disinflasi.
Penelitian sebelumnya menggunakan data inflasi dan
3
pengangguran di Kolombia menghasilkan angka kumulatif rasio
pengorbanan sebesar 3,34 persen pada periode disinflasi 1991-2000
(Zhang, 2001). Hal ini berarti tiap 1 persen penurunan inflasi
membutuhkan excess pengangguran dari tingkat alami sebesar 3,34
persen. Sementara penelitian lainnya menghasilkan angka rasio
pengorbanan pada kisaran angka 2,1-2,3 persen (Motley, 1990) untuk
kasus Kanada pada tahun 1990. Berikut, pada kasus di Amerika, Jepang
dan Inggris pada tahun 2001 estimasi rasio pengorbanan masing-masing
menghasilkan angka sebesar 1,25; 0,8 dan 1,02 persen (Callen et al.,
2001).
Untuk kasus Indonesia pada periode 1990-2009 dengan hanya
fokus pada NAIRU, hasil penelitian menunjukkan angka 0,02 persen untuk
total excess pengangguran dari NAIRU (Amanus, 2010). Namun perlu
diketahui, penelitian ini hanya fokus pada faktor penentu NAIRU.
Pemilihan periode penelitian pun belum sepenuhnya mengacu pada
periode disinflasi. Oleh karenanya, angka excess pengangguran pada
penelitian ini belum dapat didefinisikan sebagai besaran rasio
pengorbanan yang terjadi di Indonesia. Dengan demikian, penelitian yang
fokus pada rasio pengorbanan di Indonesia, masih sangat diperlukan.
Kajian serupa berikutnya menghitung besaran yang sama namun
hanya menggunakan variabel pertumbuhan ekonomi sebagai pembanding
(Daniels dan VanHoose, 2010). Pada kajian ini, para penentu kebijakan
makroekonomi, dalam mengelola permintaan agregat dan penawaran
4
agregat, hanya perlu mengetahui berapa banyak output yang hilang
selama transisi menuju tingkat inflasi yang rendah. Sementara itu,
pengorbanan pengangguran belum menjadi fokus kajian pada penelitian
ini.
Studi terkait lainnya menghasilkan estimasi kira-kira 5 persen untuk
total nilai rasio pengorbanan, yang artinya setiap 1 persen penurunan
inflasi membutuhkan pengorbanan 5 persen PDB (Produk Domestik
Bruto) tiap tahunnya. Selanjutnya kita dapat menggunakan konsep dan
pengukuran rasio pengorbanan tersebut dalam kaitan tingkat
pertumbuhan ekonomi dan pengangguran. Hukum Okun menyatakan
bahwa penurunan sebesar 1 persen pada tingkat pengangguran dapat
diartikan sebagai akibat kenaikan 2 persen dalam PDB. Sehingga, untuk
mengurangi inflasi sebesar 1 persen, dibutuhkan kira-kira 2,5 persen
pengangguran siklis yaitu diukur berdasarkan deviasi antara tingkat
pengangguran dengan tingkat alaminya (Mankiw, 2003).
Untuk diketahui, kedua studi (Daniels dan VanHoose, 2010;
Mankiw, 2003) dan beberapa studi lainnya justru lebih menitikberatkan
definisi rasio pengorbanan sebagai besaran pengorbanan pertumbuhan
ekonomi akibat upaya mengurangi inflasi. Dalam kaitan ini pula, kajian
mengenai seberapa besar pengorbanan pengangguran akibat disinflasi
menjadi suatu kajian yang masih sangat langka.
Sementara itu, kontrol yang kurang baik pada excess
pengangguran yang timbul akibat disinflasi akan menghasilkan luka
5
permanen yang lazim disebut histeresis (Cintado, Avila dan Usabiaga,
2014). Dimulai dari dampak resesi (disinflasi) yang mengakibatkan orang
menganggur dan kehilangan keahliannya serta kemampuan untuk
mencari pekerjaan, pengangguran akan tetap ada, bahkan setelah resesi
berakhir. Periode pengangguran yang panjang bisa mengubah sikap
individu terhadap pekerjaan dan menurunkan hasratnya untuk mencari
pekerjaan (O’Shaughnessy, 2011).
Pada kasus ini, resesi secara permanen akan menghalangi proses
pencarian pekerjaan dan meningkatkan jumlah pengangguran friksional.
Dikarenakan lama tidak memiliki pekerjaan, para pekerja mulai putus asa
dan memilih keluar dari angkatan kerja. Secara perlahan, para pekerja
akan kehilangan kemampuan dalam bekerja dan akan menggeser kurva
penawaran agregat pada jangka panjang ke kiri dan penurunan pada
output secara permanen (Chamberlin dan Yueh, 2006). Fenomena inilah
yang disebut dengan kondisi histeresis yang disebabkan oleh kesalahan
dalam pengelolaan makroekonomi (permintaan agregat dan penawaran
agregat).
Perdebatan (Philips, 1958) mengenai trade-off antara inflasi dan
pengangguran tetap berlanjut, seperti yang telah diketahui sudah ada
sebelumnya yakni oleh baik kalangan ekonom yang berhaluan monetaris
maupun keynesian atau fiskalis (Mankiw, 2003). Kedua kubu masing-
masing tentu saja ingin menunjukkan kepedulian mereka pada
kepentingan rakyat secara umum. Kubu keynesian menampilkan
6
kepedulian mereka pada para penganggur, sementara kubu monetaris
menyalahkan kubu keynesian atas munculnya inflasi. Perang argumentasi
pun menjadi terpolarisasi yaitu mana yang lebih penting antara
pengangguran dengan inflasi. Upaya kubu keynesian untuk menciptakan
lapangan kerja bagi para penganggur lewat intervensi kebijakan fiskal
dianggap oleh kubu monetaris sebagai langkah yang berbahaya, karena
akan berakibat pada meningkatnya inflasi.
Doktrin inipun membuat kubu new keynesian semakin
meninggalkan komitmen mereka pada konsep full employment dalam
upaya untuk melakukan rekonsiliasi dengan kubu pemikiran new classical
atau kubu rational expectation (Blanchard, 2003). New keynesian
memodifikasi pengertian full employment dengan memunculkan konsep
pengangguran alamiah (natural unemployment) yang kemudian
berkembang menjadi konsep yang dikenal dengan istilah NAIRU
(Amanus, 2010; Ball dan Mankiw, 2002). Kemudian secara empiris
dianggap bahwa jika yang menganggur pada pencapaian tingkat
pertumbuhan ekonomi tertentu hanya 5 persen atau 5,5 persen, hal itu
adalah wajar, perekonomian kemudian dikatakan telah berada pada posisi
equilibrium (Susanto, 2007).
Tampaknya, dalam pengelolaan makroekonomi selalu dirasa perlu
adanya kesepakatan toleransi atas tingkat pengangguran tertentu. Namun
di sini bukan berarti toleransi adanya pengangguran harus terabaikan.
Oleh karenanya, hal ini memerlukan kajian secara khusus dan menjadi
7
bahan pertimbangan dalam mengevaluasi kinerja pengelolaan
makroekonomi. Sekali lagi, toleransi tanpa kontrol yang baik dapat
menghasilkan luka permanen, pengangguran akan terus ada dan bahkan
terus meningkat menjauhi tingkat alaminya.
Untuk kasus Indonesia, perkembangan tingkat inflasi,
pengangguran, rasio pengorbanan dan pertumbuhan ekonomi dapat
dilihat pada Tabel 1.1. Inflasi yang tinggi pada tahun 2005 yaitu sebesar
17,11 persen dan juga merupakan catatan inflasi tertinggi pada kurun
waktu 2005-2014, kemudian ditanggapi pengambil kebijakan untuk
menekan inflasi. Masa disinflasi pun dimulai pada tahun berikutnya (2006)
di mana selanjutnya, inflasi kemudian mengalami fluktuasi hingga akhir
Tabel 1.1 Perkembangan Tingkat Inflasi, Pengangguran, Rasio Pengorbanan dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia, 2005-2014
Tahun Inflasi (%)
Perubahan Inflasi (%)
Pengangguran (%)
Rasio Pengorbanan
(%)
Pertumbuhan Ekonomi
(%)
2005 17,11 11,24 5,70
2006 6,60 -10,51 10,28 3,30 5,50
2007 6,59 -0,01 9,11 2,13 6,30
2008 11,06 4,47 8.39 1,41 6,00
2009 2,78 -8,28 7,87 0,89 4,58
2010 6,96 4,18 7,14 0,16 6,25
2011 3,79 -3,17 6,56 -0,42 6,50
2012 4,3 0,51 6,14 -0,84 6,26
2013 8,38 4,08 6,25 -0,73 5,73
2014 8,36 -0,02 5,95 -1,03 5,02
Total -8,75 4,88
Ket: NAIRU (2006-2014) = 6,98 %
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2015 dan Estimasi NAIRU (Blanchard, 2003 dan Zhang, 2001).
8
periode (2014) dengan tren menurun. Secara keseluruhan, pada periode
2006-2014, inflasi mengalami penurunan sebesar 8,75 persen.
Fakta pada Tabel 1.1 tentu saja sangat mendukung pentingnya
penelitian ini dilakukan, mengingat rasio pengorbanan merupakan suatu
besaran excess pengangguran yang terjadi pada periode disinflasi (2006-
2014) di era konsilidasi reformasi Indonesia dewasa ini. Sementara itu,
tingkat pengangguran di Indonesia pada periode yang sama menunjukkan
perkembangan yang berfluktuasi dan cenderung turun menjelang akhir
periode. Sedangkan angka rasio pengorbanan terus menunjukkan
penurunan.
Namun, berdasarkan estimasi NAIRU (6,98 persen) pada periode
disinflasi di indonesia, secara keseluruhan, penurunan inflasi sebesar 8,75
persen masih menyisakan biaya berupa pengorbanan pengangguran
dengan total excess sebesar 4,88 persen. Dengan kata lain, tiap 1 persen
penurunan inflasi membutuhkan pengorbanan pengangguran sebesar
0,56 (4,88/8,75) persen. Hal ini disebabkan adanya excess yang sangat
besar serta durasi pengorbanan pengangguran yang cukup lama pada 5
tahun awal (2006-2010) periode disinflasi.
Fakta ini menimbulkan dugaan bahwa besaran dan durasi rasio
pengorbanan sesungguhnya belum sepenuhnya menjadi pertimbangan
bagi para pengambil kebijakan makroekonomi di Indonesia. Ditambah
dengan fakta bahwa pertumbuhan ekonomi pada periode disinflasi
cenderung turun, maka dugaan akan terjadinya histeresis di Indonesia
9
dapat saja tidak terhindarkan (Chamberlin dan Yueh, 2006). Oleh karena
itu, pengamatan secara mendalam mengenai perspektif rasio
pengorbanan sampai pada tingkat provinsi akan sangat dibutuhkan untuk
menjadi pertimbangan utama bagi pengelola makroekonomi di Indonesia.
Lebih lanjut, overlapping generation model menyatakan bahwa
keputusan individu untuk terlebih dahulu menyelesaikan pendidikan
sebelum bekerja akan menjadikan penawaran tenaga kerja, di masa
mendatang, akan diisi oleh tenaga kerja yang produktif (Checci, 2005).
Sementara itu, kebijakan disinflasi oleh otoritas moneter diketahui akan
mengganggu proses produksi dalam hal ini penggunaan tenaga kerja
(Temple, 2002). Meski demikian, hal ini tentu tidak berlaku bagi tenaga
kerja yang berkualitas/produktif yang merupakan karakteristik dari tenaga
terdidik (Jefferson, 2005).
Namun, dari sisi pengelolaan kebijakan penawaran agregat,
disadari bahwa pada umumnya tenaga-tenaga terdidik memiliki ekspektasi
upah yang tinggi. Selain itu, pada kelompok ini terdapat kecenderungan
untuk memilih-milih pekerjaan (Elwin, 2004). Akibatnya tidak semua sektor
dapat menyerap para pengangguran terdidik dengan baik. Hal ini
kemudian memunculkan dugaan bahwa semakin terdidik seorang calon
tenaga kerja belum tentu menjadi jaminan untuk tidak dikorbankan
sebagai penganggur, khususnya pada saat terjadi resesi. Dugaan ini
kemudian diperkuat dengan fakta pada Tabel 1.2 yang menunjukkan
bahwa rasio pengangguran terdidik dalam hal ini lulusan Sekolah
10
Menengah Tingkat Atas (SMTA) hingga universitas cenderung meningkat
pada periode 2010-2014.
Tabel 1.2 Perkembangan Jumlah Pengangguran berdasarkan Tingkat Pendidikan di Indonesia, 2010-2014
Tingkat Pendidikan 2010 2011 2012 2013 2014
SMTA Umum (jiwa) 2148740 2376254 1867755 1925660 1962786
SMTA Kejuruan (jiwa) 1188397 1161362 1067009 1258201 1332521
Diploma I,II,III/Akademi (jiwa) 442281 276816 200028 185103 193517
Universitas (jiwa) 683064 543216 445836 434185 495143
Total Pengangguran (jiwa) 8254426 8681392 7344866 7410931 7244905
Rasio Lulusan SMTA-Universitas (%) 54,06 50,19 48,75 51,32 54,99
Sumber: Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2010, 2011, 2012, 2013 dan 2014.
Mengorbankan calon tenaga produktif semacam ini tentu saja
merupakan sebuah kerugian besar. Hal ini juga menjadi sebuah tanda
kemunduran pada dunia pendidikan maupun pada berbagai upaya
peningkatan mutu sumber daya manusia. Oleh karenanya, menganalisis
peran pendidikan dalam menentukan besaran rasio pengorbanan
merupakan suatu hal yang sangat layak untuk diteliti (Kula dan Aslan,
2014).
Sementara itu, keterbukaan perdagangan merupakan faktor
penentu utama apabila dikaitkan dengan biaya akibat menurunkan inflasi
serta luka permanen berupa pengangguran yang terus menerus terjadi
(Cintado, Avila dan Usabiaga, 2014). Indikator keterbukaan suatu
perdagangan bisa dilihat dari seberapa besar baik impor maupun ekspor
dari suatu negara (total trade). Semakin besar aktifitas perdagangan
internasional, maka akan semakin mendorong terbukanya lapangan kerja
11
baru. Dengan kata lain, ekonomi semakin tumbuh sehingga akan
mengurangi tingkat pengorbanan pengangguran (Yanikkaya, 2003).
Selain itu, perdagangan antar negara diketahui tidak hanya berupa
pertukaran barang dan jasa semata, tetapi juga berupa pertukaran
teknologi, ide maupun ideologi yang dapat meningkatkan mutu sumber
daya manusia. Tingkat pengangguran terdidik menurun dan kemungkinan
total pengangguran untuk dikorbankan semakin kecil (Kabadayi, 2013 dan
Slaughter, 1998). Keseluruhan indikator keterbukaan ekonomi kemudian
diperkuat dengan kebijakan bank sentral yang berlaku di suatu negara,
khususnya berkaitan dengan pertumbuhan uang berupa penyaluran kredit
(Temple, 2002).
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik tahun 2015 (diolah),
keterbukaan perdagangan di Indonesia menunjukkan kecenderungan
peningkatan yakni dari 0,92 pada tahun 2009 menjadi 1,52 pada tahun
2014. Namun, giatnya perdagangan internasional pada kenyataannya
belum cukup untuk menutupi biaya disinflasi berupa pengorbanan
pengangguran (Tabel 1.1). Begitu pula apabila dilihat pada
perbandingannya tehadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini menimbulkan
dugaan bahwa terdapat masalah pada peran perdagangan internasional
bagi perekonomian Indonesia. Oleh karenanya, menganalisis pengaruh
variabel keterbukaan perdagangan terhadap besaran rasio pengorbanan
di Indonesia merupakan hal yang juga sangat penting (Temple, 2002).
12
Selanjutnya, tingginya kualitas pekerja yang merupakan ukuran
semakin tingginya produktivitas suatu sektor mengakibatkan kemungkinan
pekerja di sektor tersebut untuk dikorbankan akan semakin kecil.
Diketahui pula tingkat produktivitas yang tinggi pada umumnya ditemukan
pada sektor industri manufaktur. Oleh karenanya, produktivitas sektor
manufaktur akan sangat mempengaruhi besar kecilnya rasio pengorbanan
pengangguran (Kula dan Aslan, 2014).
Selain itu, efek lain dari produktivitas manufaktur yang tinggi adalah
meningkatkan perdagangan yang melibatkan pihak asing (Erceg, Gust
dan López-Salido, 2007). Produktivitas tinggi akan meningkatkan
pendapatan perusahaan. Perusahaan kemudian memiliki banyak uang
untuk dibelanjakan dalam hal ini impor mesin-mesin berteknologi tinggi
dalam rangka lebih mengembangkan usaha dan meningkatkan kualitas
produksi yang kemudian dapat diekspor (Young dan Darity, 2004).
Berikut, semakin produktif suatu sektor juga menandakan aktifitas
produksi yang semakin tinggi pula di mana hal ini akan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi (Slacalek, 2005). Lebih lanjut, produktivitas tenaga
kerja yang tinggi tentu saja ditopang oleh tingkat pendidikan pekerja yang
tinggi pula. Oleh karenanya, peranan sektor industri manufaktur dalam
menyerap tenaga terdidik akan sangat besar (Suyanto, 2012, Dutta, 2007
dan Feliciano, 2001).
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik tahun 2015 (diolah),
produktivitas tenaga kerja manufaktur di Indonesia menunjukkan
13
perkembangan yang berfluktuasi dan cenderung turun namun secara
keseluruhan meningkat (45,56 juta/jiwa pada tahun 2009 menjadi 58,53
juta/jiwa pada tahun 2014). Hal ini tentu saja menimbulkan masalah di
mana bangkitnya sektor manufaktur pada kenyataannya masih
menyisakan pengorbanan pengangguran (Tabel 1.1) di Indonesia dewasa
ini. Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang lesu di Indonesia dewasa ini
juga menandakan terdapat masalah pada kontribusi sektor manufaktur
terhadap perekonomian. Begitu pula dengan peran sektor industri
manufaktur dalam menyerap tenaga terdidik (Tabel 1.2). Oleh karenanya,
berdasarkan fakta ini, menjadi hal yang sangat penting untuk menyertakan
pula variabel produktivitas manufaktur sebagai faktor penentu rasio
pengorbanan di Indonesia (Kula dan Aslan, 2014).
Kubu keynesian kemudian menambahkan bahwa pada jangka
pendek, hubungan antara inflasi dan pengangguran hanya ditentukan oleh
adanya guncangan permintaan dan guncangan penawaran (Blinder dan
Rudd, 2008; Estrella, 1997). Namun, fluktuasi pada variabel utama yang
mempengaruhi permintaan agregat (kebijakan fiskal dan moneter)
maupun penawaran agregat (agresivitas pekerja dalam menuntut upah
dan kebijakan pengusaha dalam menentukan harga) pada jangka panjang
dapat mengubah kesejahteraan ekonomi dengan mendorong tingkat
pengangguran (output) menjauh ataupun mendekati tingkat alaminya
(NAIRU/potential output) dan bahkan mengubah tingkat alami
pengangguran (potential output) (Mankiw, 2003 dan Pena, 2003).
14
Penjelasan mengenai variabel eksogen yang mempengaruhi
permintaan agregat secara sederhana dapat dianalisis menggunakan
kurva IS-LM di mana pergerakan kurva IS disebabkan oleh fluktuasi
pengeluaran pemerintah dan kurva LM oleh fluktuasi peredaran uang (Yi,
2006). Pengeluaran pemerintah yang dimaksudkan di sini terkait dengan
belanja modal. Sementara peredaran uang dapat dilihat pada jumlah
kredit yang disalurkan pihak perbankan.
Peningkatan pengeluaran pemerintah berupa belanja modal yang
mencerminkan semakin baiknya infrastruktur akan meningkatkan
permintaan agregat yang selanjutnya akan meningkatkan pendapatan
nasional. Aktifitas perdagangan kemudian meningkat dan akan
mengurangi rasio pengorbanan pengangguran (Gordon, 2004). Selain itu,
infrastruktur yang baik akan mengurangi biaya produksi sektor manufaktur
sehingga akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja sektor tersebut
(Dutta, 2007).
Berikut, meningkatnya pengeluaran pemerintah berupa belanja
modal akan meningkatkan pendapatan perusahaan dengan semakin
baiknya infrastruktur. Para pelaku usaha kemudian memiliki banyak uang
untuk dibelanjakan dalam hal ini impor mesin-mesin berteknologi tinggi
dalam rangka lebih mengembangkan usaha dan lebih meningkatkan
kualitas produksi yang kemudian dapat memacu ekspor. Dengan
demikian, meningkatnya pengeluaran pemerintah berupa belanja modal
15
akan meningkatkan rasio keterbukaan perdagangan (Young dan Darity,
2004).
Selanjutnya, pengeluaran pemerintah yang rendah atau dengan
kata lain pembangunan yang macet akan berdampak negatif terhadap
produk domestik regional bruto (PDRB) (Diamond, 1989). Sementara itu,
bentuk pengeluaran pemerintah berupa alokasi belanja modal khususnya
penyediaan berbagai sarana dan prasarana fasilitas pendidikan yang
menjadi aset tetap daerah kemudian dapat menjadi modal penunjang
meningkatnya kualitas pendidikan. Kualitas pendidikan yang baik
kemudian akan menghasilkan tenaga kerja terdidik yang berkualitas. Hal
ini akan memudahkan tenaga terdidik untuk memperoleh pekerjaan,
tingkat pengangguran terdidik pun turun (Iannelli, 2002).
Lebih lanjut, meningkatnya pengeluaran pemerintah yang khusus
ditujukan untuk pendidikan dan kesehatan akan meningkatkan mutu
sumber daya manusia dan tentu saja akan menghasilkan tenaga kerja
yang berkualitas. Hal ini kemudian akan mengurangi kemungkinan tenaga
kerja untuk dikorbankan pada saat terjadi resesi (Gordon, 2004 dan
Sudarwan, 2004). Selanjutnya, kualitas sumberdaya manusia yang baik
akan diikuti pula dengan meningkatnya produktivitas tenaga kerja dalam
hal ini sektor industri manufaktur (Butter dan Koopman, 1996).
Meningkatnya pengeluaran pemerintah berupa anggaran
pendidikan dan kesehatan juga akan memudahkan para pelaku usaha
untuk mengoptimalkan pendapatannya menilik pada baiknya kualitas
16
sumberdaya manusia yang dimiliki dalam memproduksi barang yang
berkualitas pula. Dengan demikian, perusahaan akan memiliki dana
tambahan yang dapat digunakan untuk mengimpor mesin dengan
teknologi tinggi yang kemudian juga dapat memacu ekspor (Young dan
Darity, 2004).
Selain itu, meningkatnya pengeluaran pendidikan dan kesehatan
yang sekali lagi mencerminkan meningkatnya pula kualitas sumber daya
manusia menjadikan perekonomian dapat tumbuh dengan baik (Diamond,
1989). Aktifitas perekonomian yang melibatkan tenaga-tenaga kerja yang
bermutu akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas pula.
Di samping itu, pengeluaran pendidikan dan kesehatan khususnya tentu
saja akan mempengaruhi tingkat pengangguran terdidik (Iannelli, 2002).
Selanjutnya pada kasus pengelolaan permintaan agregat yang
berasal dari kebijakan moneter berupa penyaluran kredit (Temple, 2002),
selain akan mengakibatkan fluktuasi perekonomian pada jangka pendek,
apabila tidak dikontrol dengan baik juga akan menimbulkan dampak
negatif pada jangka panjang (Estrella, 1997). Seperti yang telah
diutarakan pada awal pembahasan, kebijakan otoritas moneter untuk
mengontrol inflasi dengan mengurangi pertumbuhan uang akan
berdampak pada munculnya pengangguran yang kemudian tanpa kontrol
yang baik mengakibatkan pengangguran akan terus ada bahkan setelah
resesi berakhir.
17
Berikut, kurangnya dana perbankan yang disalurkan ke sektor
manufaktur akan berdampak negatif pada produktifitas tenaga kerja sektor
tersebut (Gertler dan Gilchrist, 1991). Di samping itu, kurangnya pinjaman
dari pihak perbankan juga akan mengurangi kemampuan para pelaku
usaha untuk menambah kapasitas produksinya yang selanjutnya akan
mengurangi pendapatan perusahaan. Kurangnya pendapatan kemudian
akan menghambat perkembangan usaha khususnya perdagangan
internasional. Begitu pula dengan pertumbuhan ekonomi secara
keseluruhan (Young dan Darity, 2004).
Lebih lanjut, kebijakan moneter juga akan mempengaruhi tingkat
pengangguran terdidik secara langsung (Jefferson, 2005). Pertumbuhan
uang yang tinggi mencerminkan aktifitas perekonomian berada pada level
yang tinggi pula. Dengan demikian, para pelaku usaha akan sangat
membutuhkan tenaga-tenaga berkualitas (terdidik) dalam menjalankan
usahanya.
Pada sisi lain, indikator kebijakan penawaran agregat salah
satunya adalah fluktuasi pada variabel yang mempengaruhi biaya
produksi dalam hal ini berupa agresivitas serikat pekerja dalam mengubah
tingkat upah. Hal ini tentu akan mempengaruhi keputusan para pelaku
usaha dalam menggunakan ataupun mengorbankan tenaga kerjanya
(Blinder dan Rudd, 2008; Gómez, 2002). Selain itu, upah yang tinggi akan
meningkatkan produktivitas tenaga kerja khususnya pada industri
18
manufaktur (Gordon, 2004). Hal ini sesuai dengan konsep efficiency wage
dari kaum new keynesian.
Selain itu, upah yang tinggi yang meski mencerminkan biaya
produksi yang tinggi dan menurunnya kapasitas produksi untuk sementara
waktu, pada akhirnya akan tetap menyebabkan kemampuan produksi
perusahaan meningkat akibat semakin produktifnya tenaga kerja.
Kemampuan untuk lebih mengembangkan usaha dengan melibatkan
pihak asing semakin meningkat (Erceg, Gust dan López-Salido, 2007).
Pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan pun naik (Chamberlin dan
Yueh, 2006). Terakhir, upah yang tinggi yang sekali lagi mencerminkan
semakin produktifnya tenaga kerja menjadikan pelaku usaha dapat
mengembangkan usahanya di mana hal ini tentu memerlukan tenaga
kerja tambahan (Gordon, 2004).
Selanjutnya, indikator lain dari kebijakan penawaran agregat yang
juga menjadi faktor penentu dalam mengambil kebijakan untuk mengontrol
inflasi adalah perubahan pada indeks harga properti/perumahan
(European Union et al., 2013; Conefrey dan Whelan, 2012). Harga
properti yang merupakan bagian dari inflasi secara keseluruhan, tentu
saja memainkan peran penting dalam menetapkan target inflasi di masa
mendatang terutama apabila membahas dampaknya ke pengangguran.
Dengan demikian, tingginya harga properti akan menurunkan rasio
pengorbanan pengangguran (Charles, Hurst dan Notowidigdo, 2012).
19
Hal yang kontradiktif dapat dilihat pada pengaruh indeks harga
properti terhadap sektor industri (Callen et al., 2001) misalnya manufaktur
(Charles, Hurst dan Notowidigdo, 2012; Davidoff, 2012; Bound dan
Holzer, 1993). Industri manufaktur diketahui membutuhkan tenaga kerja
dalam jumlah besar dan tentu saja membutuhkan pula perumahan dalam
jumlah besar pada kawasan industri mereka untuk tempat tinggal para
pekerjanya. Pada kasus ini properti mencerminkan biaya produksi bagi
sektor manufaktur. Tingginya harga properti akan menghambat proses
produksi di sektor tersebut. Produktivitas tenaga kerja sektor manufaktur
turun.
Namun di sisi lain, tingginya harga properti kemudian dapat pula
dikaitkan dengan giatnya aktfitas konstruksi perumahan yang dalam
pelaksanaannya memerlukan mesin-mesin impor berteknologi tinggi. Hal
ini kemudian berdampak positif pada rasio keterbukaan perdagangan
(Cintado, Avila dan Usabiaga, 2014). Ekspansi ekonomi pun tercipta
(European Union et al., 2013). Sementara itu, aktifitas konstruksi juga
tentu saja memerlukan tenaga ahli dalam proses produksinya. Sehingga
di sini, tingginya harga properti juga akan menurunkan tingkat
pengangguran terdidik (Charles, Hurst dan Notowidigdo, 2012).
Kajian mengenai rasio pengorbanan, sekali lagi, merupakan hal
yang sangat penting khususnya sebagai bahan pertimbangan dalam
pengelolaan makroekonomi sampai pada tingkat provinsi dalam proses
reformasi di Indonesia di mana kontrol yang kurang baik pada rasio
20
pengorbanan akan menghasilkan luka permanen yang lazim disebut
histeresis. Secara spesifik penelitian ini akan fokus pada bahasan
mengenai dampak pengelolaan permintaan agregat dan kebijakan
penawaran agregat terhadap sektor riil, pengangguran terdidik dan
terutama pada rasio pengorbanan pengangguran akibat disinflasi.
Penelitian ini sangat diharapkan dapat menjawab masalah-masalah
yang melatarbelakangi kebijakan pemerintah dalam pengelolaan
makroekonomi untuk menganalisis biaya dan manfaat dari disinflasi
beserta efek permanen yang ditimbulkan baik berupa lesunya
pertumbuhan ekonomi maupun meningkatnya angka pengangguran.
Selain itu, dengan mengetahui besaran rasio pengorbanan serta faktor
penentunya diharapkan dapat menjadi masukan bagi para pengambil
kebijakan, baik dalam mengelola permintaan agregat maupun kebijakan
penawaran agregat, agar dampak disinflasi dapat berpengaruh positif ke
perekonomian di masa mendatang.
B. Rumusan Masalah Pokok Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka yang
menjadi masalah pokok pada penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pengelolaan makroekonomi melalui kebijakan
Permintaan Agregat memiliki dampak terhadap Rasio
Pengorbanan, yaitu, dalam hal ini:
21
a. Apakah Pengeluaran Pemerintah pada tingkat provinsi
berpengaruh terhadap Rasio Pengorbanan, baik secara
langsung maupun melalui Produktivitas Manufaktur,
Keterbukaan Perdagangan, Produk Domestik Regional Bruto
dan Kesempatan Kerja Terdidik di Indonesia.
b. Apakah Kredit Perbankan pada tingkat provinsi berpengaruh
terhadap Rasio Pengorbanan, baik secara langsung maupun
melalui Produktivitas Manufaktur, Keterbukaan Perdagangan,
Produk Domestik Regional Bruto dan Kesempatan Kerja
Terdidik di Indonesia.
2. Bagaimana pola kebijakan Penawaran Agregat memiliki dampak
terhadap Rasio Pengorbanan, yaitu, dalam hal ini:
a. Apakah Upah Minimum Regional pada setiap provinsi
berpengaruh terhadap Rasio Pengorbanan, baik secara
langsung maupun melalui Produktivitas Manufaktur,
Keterbukaan Perdagangan, Produk Domestik Regional Bruto
dan Kesempatan Kerja Terdidik di Indonesia.
b. Apakah Indeks Harga Properti pada setiap provinsi
berpengaruh terhadap Rasio Pengorbanan, baik secara
langsung maupun melalui Produktivitas Manufaktur,
Keterbukaan Perdagangan, Produk Domestik Regional Bruto
dan Kesempatan Kerja Terdidik di Indonesia.
22
3. Apakah Produktivitas Sektor Manufaktur di setiap provinsi
berpengaruh terhadap Rasio Pengorbanan, baik secara langsung
maupun melalui Keterbukaan Perdagangan, Produk Domestik
Regional Bruto dan Kesempatan Kerja Terdidik di Indonesia.
4. Apakah Keterbukaan Perdagangan pada tingkat provinsi
berpengaruh terhadap Rasio Pengorbanan, baik secara langsung
maupun melalui Produk Domestik Regional Bruto dan Kesempatan
Kerja Terdidik di Indonesia.
5. Apakah Produk Domestik Regional Bruto pada tiap provinsi
berpengaruh terhadap Rasio Pengorbanan, baik secara langsung
maupun melalui Kesempatan Kerja Terdidik di Indonesia.
C. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah pokok penelitian, maka tujuan
penelitian ini adalah:
1. Pada konteks dampak kebijakan Permintaan Agregat terhadap
Rasio Pengorbanan, adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui dan menganalisis seberapa besar
pengaruh Pengeluaran Pemerintah pada tingkat provinsi
terhadap Rasio Pengorbanan, baik secara langsung maupun
melalui Produktivitas Manufaktur, Keterbukaan Perdagangan,
Produk Domestik Regional Bruto dan Kesempatan Kerja
Terdidik di Indonesia.
23
b. Untuk mengetahui dan menganalisis seberapa besar
pengaruh Kredit Perbankan pada tingkat provinsi terhadap
Rasio Pengorbanan, baik secara langsung maupun melalui
Produktivitas Manufaktur, Keterbukaan Perdagangan, Produk
Domestik Regional Bruto dan Kesempatan Kerja Terdidik di
Indonesia.
2. Pada konteks dampak kebijakan Penawaran Agregat terhadap
Rasio Pengorbanan, adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui dan menganalisis seberapa besar
pengaruh Upah Minimum Regional pada setiap provinsi
terhadap Rasio Pengorbanan, baik secara langsung maupun
melalui Produktivitas Manufaktur, Keterbukaan Perdagangan,
Produk Domestik Regional Bruto dan Kesempatan Kerja
Terdidik di Indonesia.
b. Untuk mengetahui dan menganalisis seberapa besar
pengaruh Indeks Harga Properti pada setiap provinsi terhadap
Rasio Pengorbanan, baik secara langsung maupun melalui
Produktivitas Manufaktur, Keterbukaan Perdagangan, Produk
Domestik Regional Bruto dan Kesempatan Kerja Terdidik di
Indonesia.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis seberapa besar pengaruh
Produktivitas Sektor Manufaktur di setiap provinsi terhadap Rasio
Pengorbanan, baik secara langsung maupun melalui Keterbukaan
24
Perdagangan, Produk Domestik Regional Bruto dan Kesempatan
Kerja Terdidik di Indonesia.
4. Untuk mengetahui dan menganalisis seberapa besar pengaruh
Keterbukaan Perdagangan pada tingkat provinsi terhadap Rasio
Pengorbanan, baik secara langsung maupun melalui Produk
Domestik Regional Bruto dan Kesempatan Kerja Terdidik di
Indonesia.
5. Untuk mengetahui dan menganalisis seberapa besar pengaruh
Produk Domestik Regional Bruto pada tiap provinsi terhadap Rasio
Pengorbanan, baik secara langsung maupun melalui Kesempatan
Kerja Terdidik di Indonesia.
D. Manfaat Penelitian
Hasil kajian ini akan memberikan kontribusi terhadap perencanaan
target inflasi di masa mendatang di Indonesia serta mengantisipasi
kemungkinan terjadinya histeresis sebagai konsekuensi pengorbanan
pengangguran akibat disinflasi. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
menghitung seberapa besar dan untuk berapa lama rasio pengorbanan
yang ditanggung baik pada tingkat provinsi maupun nasional pada awal
penelitian nantinya serta menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Selain itu masalah adanya pengangguran terdidik
yang mencerminkan mutu sumber daya manusia diharapkan dapat diatasi
pula.
25
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
masukan bagi para pengambil kebijakan makroekonomi baik dalam
mengelola permintaan agregat maupun dalam mengambil kebijakan yang
dapat mempengaruhi penawaran agregat agar dampak negatif kebijakan
disinflasi berupa dikorbankannya pengangguran dapat direduksi di masa
mendatang. Kontribusi sektor industri dalam mengurangi rasio
pengangguran juga dapat dianalisis, sehingga dapat menjadi masukan
bagi pengambil kebijakan untuk memajukan sektor industri baik pada level
provinsi maupun nasional di Indonesia.
Istilah rasio pengorbanan sekali lagi dimaksudkan untuk
menggambarkan pengorbanan yang timbul akibat kebijakan disinflasi
dalam hal ini berupa meningkatnya pengangguran. Satuan ini kemudian
secara spesifik dapat mengukur pengorbanan pengangguran yang
sesungguhnya (deviasi antara tingkat pengangguran dan tingkat
alami/tingkatan yang ditoleransi/tingkatan yang dianggap nol dalam
mencapai kestabilan inflasi), bukan hanya sebatas dampak kebijakan
inflasi terhadap tingkat pengangguran aktual. Dengan demikian, satuan ini
akan bermanfaat dalam mengukur efek kebijakan makroekonomi terhadap
pengangguran secara lebih akurat khususnya pada jangka panjang
(mengingat tingkat alami/NAIRU yang digunakan sebagai pembanding
adalah angka pada keseluruhan periode penelitian).