28
DILEMA INTEGRASI TASAWUF DAN PSIKOTERAPI DALAM KELANJUTAN ISLAMISASI PSIKOLOGI THE DILEMMA OF INTEGRATION BETWEEN SUFISM AND PSYCHOTHERAPY IN THE CONTINUATION OF ISLAMIZATION OF PSYCHOLOGY Naufil Istikhari UIN Sunan Kalijaga naufi[email protected] Abstrak ___________________ Ambisi untuk mengintegrasikan konsep dan praktik tasawuf ke dalam psikoterapi modern tidak bisa dilepaskan dari pengaruh islamisasi psikologi yang melanda dunia Muslim sejak paruh kedua abad ke-20. Integrasi tersebut dalam beberapa aspek telah mencapai sukses yang luar biasa. Namun buah integrasi tersebut cenderung eklektik dan belum menemukan bentuk yang ajek. Di titik ini dilema itu muncul. Jalan sufi atau metode tasawuf merupakan jalan yang sepenuhnya berorientasi spiritual-transendental: mendekatkan diri kepada Allah, sementara psikoterapi tidak mesti mengarah ke sana. Bahkan jika itu terjadi, ia harus dilakukan dengan hati yang tulus, sementara dalam psikoterapi sering ada unsur simulasi dan manipulasi. Pengalaman sufistik seringkali tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata, dan karena itu, mustahil diukur menggunakan skala. Tanpa proses asesmen melalui alat ukur, proses konseling dan terapi tidak mungkin dilakukan. Sufisme bersifat eksklusif. Tidak semua orang yang paham ajaran tasawuf otomatis menjadi sufi. Eksklusivitas ini merupakan dilema tersendiri bagi psikoterapi. Studi ini akan mengurai dilema-dilema tersebut yang terus berlanjut hingga saat ini, saat islamisasi psikologi gagal meraih ambisi terbesarnya. ___________________ Kata kunci: sufi, psikoterapi, pengalaman mistik, islamisasi psikologi

DILEMA INTEGRASI TASAWUF DAN PSIKOTERAPI DALAM …

  • Upload
    others

  • View
    12

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: DILEMA INTEGRASI TASAWUF DAN PSIKOTERAPI DALAM …

300-327|’AnilIslamVol.9.Nomor2,Desember2016

DILEMA INTEGRASI TASAWUF DAN PSIKOTERAPI

DALAM KELANJUTAN ISLAMISASI PSIKOLOGI

THE DILEMMA OF INTEGRATION BETWEEN SUFISM AND PSYCHOTHERAPYIN THE CONTINUATION OF ISLAMIZATION

OF PSYCHOLOGY

Naufil Istikhari UIN Sunan Kalijaga

[email protected]

Abstrak___________________

Ambisi untuk mengintegrasikan konsep dan praktik tasawuf ke dalam psikoterapi modern tidak bisa dilepaskan dari pengaruh islamisasi psikologi yang melanda dunia Muslim sejak paruh kedua abad ke-20. Integrasi tersebut dalam beberapa aspek telah mencapai sukses yang luar biasa. Namun buah integrasi tersebut cenderung eklektik dan belum menemukan bentuk yang ajek. Di titik ini dilema itu muncul. Jalan sufi atau metode tasawuf merupakan jalan yang sepenuhnya berorientasi spiritual-transendental: mendekatkan diri kepada Allah, sementara psikoterapi tidak mesti mengarah ke sana. Bahkan jika itu terjadi, ia harus dilakukan dengan hati yang tulus, sementara dalam psikoterapi sering ada unsur simulasi dan manipulasi. Pengalaman sufistik seringkali tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata, dan karena itu, mustahil diukur menggunakan skala. Tanpa proses asesmen melalui alat ukur, proses konseling dan terapi tidak mungkin dilakukan. Sufisme bersifat eksklusif. Tidak semua orang yang paham ajaran tasawuf otomatis menjadi sufi. Eksklusivitas ini merupakan dilema tersendiri bagi psikoterapi. Studi ini akan mengurai dilema-dilema tersebut yang terus berlanjut hingga saat ini, saat islamisasi psikologi gagal meraih ambisi terbesarnya.

___________________

Kata kunci: sufi, psikoterapi, pengalaman mistik, islamisasi psikologi

Page 2: DILEMA INTEGRASI TASAWUF DAN PSIKOTERAPI DALAM …

NaufilIstikhari,DilemaIntegrasiTasawufdanPsikoterapi|301-327

Abstract___________________

An ambitious integration of Sufism concepts and practices into modern psychotherapy is inseparably under influence from the second half 20th century trend of the islamization of psychology in the Muslim world. To some aspects, such integration has been highly successful. However, such integration deals with an eclectic theoretical dilemma between sufism and psychotherapy, since the former is regarded as spiritual-transcendental oriented for getting total submission to God, while the latter is not invariably ‘spiritual’ because it often involves manipulation and simulation as psychotherapy procedures. The mystic experience of Sufism is wordlessly unsaid, and it is almost impossible to be scientifically measured. In other side, the counseling and therapy need certain assessments, partly, in strict ways. Since having an ‘exclusive’ character in its practical dimension, Sufism is dealing with a paradigmatic dilemma in providing certain procedures for psychotherapy. This study is to depict such dilemma and its influence on the modern islamization of psychology.

___________________

Keywords: sufism, psyhoteraphy, mystical experience, islamization of psyhology.

Page 3: DILEMA INTEGRASI TASAWUF DAN PSIKOTERAPI DALAM …

302-327|’AnilIslamVol.9.Nomor2,Desember2016

Pendahuluan

Pertanyaan“Apatujuanhidup?”dan“Mengapakitaeksis?”telah menghantui peradaban modern sejak lama. Namundalamkajianpsikologi,pertanyaandemikiantidakadaartinyasejak Wilhelm Wundt (1832-1920) mendirikan laboratoriumeksperimen psikologi pertama pada 1879 di Leipzig, Jerman. Hingga nyaris satu abad setelahnya, jawaban atas pernyataantersebut tak pernah mendapat perhatian serius. Pertanyaan tersebut dipandang sinis karena dianggap domain filsafatdan psikologi tidak memiliki kewenangan apa pun untuk menjawabnya.Padahal,kalaukitamaujujur,FyodorDostoevsky,melalui sosok Mitya, sudah mengatakan bahwa peradaban modern telah dihantui keraguan besar yang tak terpecahkan (hauntedbyagreatunsolveddoubt).1

Keraguan itu semakin dipertebal oleh maklumat-maklumat filosofis yang dengan sangar menggusur Tuhan dalamkehidupan.Nietzsche,misalnya,memekikkredo“Tuhan telahmati” dan kitalah yang membunuhnya. Sartre lain lagi. Katanya, jikaTuhantidakada,semuayangdilarangmenjadiboleh.BagiSartre, Tuhan (baca: kepercayaan akan Tuhan) menjadi biangketidakbebasan eksistensi manusia di dunia. Pandangan ini jugameresapkedalampsikologi.SigmundFreud,SangBapakPsikoanalisis,menyebutagamadankepercayaankepadaTuhantak lebih merupakan simtom infantil yang bersifat ilusif dan

1 “Keraguan besar yang tak terpecahkan” merupakan istilah yang dipakai Dostoevsky untuk menggambarkan kondisi psikologis tokohnya—atau secara alegoris, masyarakat Eropa pada umumnya—yang telah jauhdari kodrat kemanusiaannya karena dampak dari kemajuan teknologi yangdiciptakan sendiri oleh manusia. Masyarakat Eropa teralienasi dari hasil pekerjaannya karena sistem kapitalisme; teralienasi dari spiritualitas karenaTuhan telah dibunuh. Keraguan itu sebenarnyamuncul setelah pertanyaan“Apa sebenarnya yang engkau (manusia) inginkan?”. Dalam novel tersebut disebutkanbahwauangmenjadikebutuhanutamamanusiamodern.Namunstatemen itu disangkal bahwa “dia termasuk salah seorang yang tidak ingin menjadi jutawan, tetapi inginsebuah jawabandaripernyataanbesaryangiagelisahkan (he is of those who don’t want millions, but an answer to their questions)” lih. Fyodor Dostoevsky, TheBrotherKaramazov (New York: Barnes and Noble Classic, 2004), 50.

Page 4: DILEMA INTEGRASI TASAWUF DAN PSIKOTERAPI DALAM …

NaufilIstikhari,DilemaIntegrasiTasawufdanPsikoterapi|303-327

menjadisumberterbesargejalaneurorismanusiamodern.2 DiduniaMuslim,gaung“kematianTuhan”jugaterdengar,

meski resonansinya tidak sekuat di Barat.3 Ini terjadi, kataAbdurrahman Utsman, karena peradaban Islam dibangun atas dasar sendi tauhid, dikukuhkan melalui politik kenabian, dandirawatdenganbaikolehtradisisufisme.Kedudukansufidalam Islam berperan sebagai benteng pertahanan dari serangan brutal orang-orang yang antispiritual. Umat Islam sendiri tidak bisamengelakdarikenyataanbahwafitrahmereka telah terisidenganruhkeilahianmelaluiperjanjianagungdidalamrahim(wanafakhtufi>hi min ru>hy).4

Dengan demikian, hantu keraguan seperti yang melanda masyarakat Barat menemukan pemecahannya di dalam Islam, terutamamelalui tasawuf. Term tasawuf sendiri dalam Islamsangat familiar meski pada praktiknya, tasawuf merupakan gerakan eksklusif—hanya orang-orang tertentu yang dapat melakoninya. Belakangan, menurut Hasan Muhammad al-

2 JonathanLear,“TheIllusionofaFuture:TheRhetoricofFreud’sCritiqueof Religious Belief”, dalam OnFreud’sTheFutureofanIllusion, ed. Mary Kay O’Neil&SalmanAkhtar(London:KarnacBooks,2009),84.

3 Kredo “death of God”-nya Nietzsche mendapat penafsiran yang bermacam-macam. Keliru jika kita hanya menganggapnya sebagai maklumat bahwa“Tuhantelahmati”dankarenaitu“tidakadaTuhan”lagi.KredotersebutlebihmerupakankritikatasmetafisikayangmenurutNietzsche telah teracuniolehnilai-nilai. Kecurigaan mendasar terhadap kepercayaan penuh pada nilai-nilai mendapatkan saluran terbaiknya melalui “dekonstrusi” Derrida. Dekonstruksi Derrida (yang pengaruhnya jelas berasal dari Nietzsche), kita tahu, menjadibagian dari perspektif hermeneutika modern yang dipakai Mohamed Arkoun dalam menganalisis Alquran. Jangan lupa, kata Taylor, bahwa hermenetikadekonstruktifberasaldari spirit“kematianTuhan”.Arkounadalahsalahsatucontoh intelektual Muslim yang terpengaruh oleh gaung “kematian Tuhan”dengan mengoperasikan hermeneutika dekonstruktif terhadap Alquran, sehingga memungkinkan pemaknaan yang independen terhadap Alquran, tanpa harus“menghadirkan”Tuhan.NasrHamidAbu-ZayddanMohamadShahrourjugaberadadibarisanini.Ulasanlengkapnyalih. Roy Jackson, Nietzche andIslam(New York: Routledge, 2007), 42-43. Dalam konteks yang lebih faktual, kita dapat menyebut bahwa kegenitan berpikir mahasiswa dengan mengusung jargon“Tuhanmembusuk”yangpernahdilakukanmahasiswaUshuluddinUINSunan Ampel Surabaya, misalnya, tak lain adalah bias dari gaung “kematian Tuhan”yangdimaklumatkanNietzscheakhirabadke-20silam.

4 Abdurrahman Utsman, Al-Insān: al-Ru>h wa al-‘Aql wa al-Nafs (Mekah: Maktabahal-Tsaqâfah,1987),13-14.

Page 5: DILEMA INTEGRASI TASAWUF DAN PSIKOTERAPI DALAM …

304-327|’AnilIslamVol.9.Nomor2,Desember2016

Syarqawi, tasawuf dielaborasi sebagai sumber-sumber orisinal untuk menegakkan model-model terapi yang berkarakter Islam.5

Dampak Islamisasi Psikologi

Perkawinan silang antara tasawuf dan psikoterapi memasuki babak baru pada medio abad ke-20, yakni ketika gaung islamisasi psikologi mulai terdengar di dunia Muslim. Sebagai dampak dari islamisasi psikologi, mau tidak mau, tasawuf yang lahir dari tradisi obskurantisme Islam tehadap kehidupan duniawi terpaksadidapukdandirujuksebagaibagianintegraldarimodelatau pendekatan terapi.

Arthur J. Deikman, salah seorang pioner psikiater dari University of California, mengungkapkan secara terang-terangan bahwa psikologi modern telah lupa cara memahami apa yang ia sebut “pengamatan diri” (observing self). Hanya dengan mengetahui cara masuk ke dalam diri untuk melakukan pengamatan kontemplatif atasnya, tulis Deikman, manusia dapat mengerti dengan baik kodrat alamiah kedirian (perceivethenatureof the self). Pengamatan tersebut berbeda dari pengamatan dalam prosedur psikologi modern yang sudah selalu mengarahkan intensinya pada objek-objek kesadaran (object of awareness), bukan pada kesadaran itu sendiri (not awareness itself).6

Tidak seperti aspek pengalaman lainnya—berpikir, emosi,hasrat—pengamatan diri, sebut Deikman, dapat diketahui, dirasakan,dandikenali,tetapitidakbenar-benardapatditunjuktempatdimanaiameletak.Kesadaransemacaminijarangbisa

5 Istilah psikoterapi Islam (al-‘ila>j al-nafs isla>my) dalamkajianpsikologiIslamseringdisepadankandenganpsikoterapimodelsufi(al-‘ila>j al-nafs bi al-sulu>k al-su>fiyyah). Malik Badri, psikolog Muslim dari Sudan misalnya, membuat konstrak psikologi evaluasi diri dengan istilah tafakkur yang jelas-jelasmeminjamtermsufi.SecaraumumpendekatanterapeutikdalampsikoterapiIslam sumbernya, selainAlquran dan hadis,mengacu kepada ajaran-ajarandalamtradisisufisme.Lih.HasanMuhammadal-Syarqa>wi, Nahw‘Ilmal-Nafsal-Isla>my (Iskandariah: Al-Ja>miah al-Iskanda>riyyah, 1984), 35.

6 Arthur J Deikman, TheObservingSelf:MysticismandPsychotherapy (New York:BeaconPress,1982),40.LihatpulaFleurNasseryBonnin,“TheRelevanceofSufismandPsychology”,dalamhttp://www.psychology.org.au/Assets/Files/the_relevance_of_sufism_and_psychology.pdf.Diakses2Desember2016.

Page 6: DILEMA INTEGRASI TASAWUF DAN PSIKOTERAPI DALAM …

NaufilIstikhari,DilemaIntegrasiTasawufdanPsikoterapi|305-327

dimaklumatkan ke dalam bahasa atau sangat sulit diungkapkan karena karakternya yang meletak jauh di kerak terdalampengalaman.7 Term sufi menyebutnya pengalaman mistis(mystical experience) dengan pelbagai variannya.

Pengalaman mistis atau bisa juga disebut pengalamantransendenpertamakalimasukkedalamkajianpsikologimodernmelalui pendekatan mazhab humanistik. Abraham Maslow menggunakan istilah pengalaman puncak (peak experience) sebagai titik paling agung dari seluruh usaha manusia dengan pelbagai varian pengalamannya yang hierarkis berdasarkan prinsip-prinsip kebutuhan yang disusun sendiri oleh Maslow. Menurut Maslow, kebutuhan manusia bersifat hierarkis dan memiliki model psikogram persis piramida, semakin ke puncak semakin sedikit yang bisa meraihnya. Dimulai dari kebutuhan fisiologis, rasa aman, penghargaan atau cinta, dan puncaknyaadalah aktualisasi diri (self actualization).8 Di luar yang dikenal tersebut, Maslow memasukkan secara diam-diam apa yang ia sebut “kebutuhan akan ada” (being need), kebutuhan akan transendensi (need of transcendent), yang oleh para penafsirnya, secara telak disebut kebutuhan akan spiritualitas. Singkatnya, pengalaman ketuhanan. Hanya Maslow tak menyebutnya demikian karena ia dikenal ateis sampai akhir hayatnya.

Orangyangsampaipadatitikajekaktualisasidiri(Maslowmenyebutdiriyangteraktualisasisecarapenuh)akanmenonjolsisi being need-nya. Kecuali dengan menerima secara positif seluruh pengalaman dengan cara mengonversi kebencian, kecemasan, kekecewaan dan emosi-emosi negatif lainnya ke dalam perasaan yang dipenuhi oleh cinta, persepsi positif, penghargaan tanpa syarat, dan optimisme yang kuat, mazhab

7 Deikman menulis ...the observing of self can be known but not located,notseen...everyconsiousnesscontainsatranscendentelementthatweseldomnoticebecause that element is the very ground of our experience. The word transcendentis justified because if subjective consciousness—the observing self—cannot itself beobservedbutremainsforeverapartfromthecontentsofconsciusness... Lih. Arthur J Deikman, TheObservingSelf:MysticismandPsychotherapy (New York: Beacon Press, 1982), 50.

8 CG. Boeree. Personality Theories (New York: Brooklyn, 1998), 304.

Page 7: DILEMA INTEGRASI TASAWUF DAN PSIKOTERAPI DALAM …

306-327|’AnilIslamVol.9.Nomor2,Desember2016

humanistik tak memiliki cara yang khas untuk membawa perspektifnya ke dalam ranah psikoterapi secara holistik. Model-model terapi humanistik sejauh ini lebih banyak merupakanpengembangan yang lebih manusiawi dari model-model terapi sebelumnya (mazhab psikoanlisis dan behaviorisme).

Baru pada mazhab transpersonal, mazhab keempat dalam psikologi, terapi spiritual mendapat kedudukannya yang terhormat,meskipuntokohbesardalamaliranini,ViktorFrankl,selalu menghindari kata spiritual dengan mendisposisikannya menjadinoetic.9 Di sinilah titik balik paling mendebarkan dalam sejarah psikologi modern yang tentu saja disambut dengansukacita oleh psikolog-psikolog Muslim yang sudah lama merasakan kejanggalan dan kekeliruan tak termaafkan dalammemandang dan memahami teka-teki besar manusia.

Gelombang islamisasi sains merambat dengan cepat di seluruhduniaMuslim,dantakpelak jugamenyapupsikologi.Islamisasi psikologi, dalam pelbagai variannya, berambisi kuat menghadirkan, salah satunya, pendekatan sufistik sebagaimodel terapi yang bisa diterima dan diaplikasikan secara luas, tidakhanyadiduniaMuslim,tetapijugadidunianon-Muslimsekalipun. Gelombang tersebut akhirnya berhenti—atau paling tidak melambat—di suatu titik saat islamisasi psikologi, sama seperti islamisasi sains secara umum, kerepotan menyusun epistemologi yang sahih dan bisa diterima secara universal tanpa menceburkan diri ke kubangan metodologis yang telah dibakukan oleh psikolog-psikolog Barat. Pembahasan lebih lanjutsoaliniakandikemukakankemudian.

Psikografi Manusia dalam Tasawuf

Salah satu poin kritik yang dilancarkan psikolog Muslim terhadap teori-teori psikologi Barat kontemporer adalah ketidakpercayaannya akan posisi ruh dalam diri manusia. Ruh tidakdiakui sebagaikomponenpentingdalampsikografi

9 Andrew Shorrock, The Transpersonal in Psychology, Psychotherapy, and Counselling (New York: Pilgrave Macmillan, 2008), 155.

Page 8: DILEMA INTEGRASI TASAWUF DAN PSIKOTERAPI DALAM …

NaufilIstikhari,DilemaIntegrasiTasawufdanPsikoterapi|307-327

manusia.10 Psikologi Barat berhenti di jiwa dan tak pernahmasuk ke dimensi yang lebih transendental lagi, yakni ruh. Sementara dalam Islam, ruh dipahami sebagai elan vital yang mengikat seluruhorganisme serta jiwayang adadidalamnyadengan operasi yang tak kasat mata. Ruh berkorespondensi langsung dengan qalb, fu’a>d, lub, kabddansejenisnya,yangolehAl-Ghazali disebut sebagai organisme yang tersembunyi (al-a’d}a>’ al-ba>t}inah)11 pada diri manusia. Melalui organisme ini manusia dapatmenerima limpahan cahaya ilahi, bahkandalamderajattertentu dapat mengenal Allah (ma’rifa>tullah). Untuk memahami psikografi manusia dalam konsep tasawuf, menurut ArvanHarvat, kita perlu memami terlebih dahulu sistem kosmologi sufiyangberjenjangsebanyakenamtingkat.12

Tingkat pertama (yang terendah) disebut alam Na>sut (physical world). Di alam Na>sut ini organisme secara psikologis bekerja(‘a>lam al-ajsa>m)—persepsi, indra, kesadaran, emosi, dlsb. Yang kedua terdiri dari alam Malaku>t (subtle world), yakni tingkat pertamadarialammetafisikdiluarjangkauanorganisme,tetapimasih bisa dirasakan secara metapsikis. Alam ini oleh Henry Corbindisebut“duniaimajinal”(worldofimagination/‘a>lam al-mitsa>l).Kemudiannaikketingkatselanjutnya,yaitualamJabaru>t (causal world), sebuah lapisan kosmos yang dihuni oleh ruh yang sudahterangkatdarijasad.Alaminidisebutjugadengan‘a>lam al-arwa>h/the world of spirits.Dalamtradisifilsafat,alaminiseringdisejajarkandenganduniaarketipalyangmenampungIdea-nya Plato. Yang keempat mencakup alam Tanazzula>t,alammetafisikantara: yang lebih rendah di bawahnya dan alam yang lebih tinggi di atasnya. Dalam teori emanasi, di dunia ini meletak nous yang bergerak ke bawah (alam manusia) atau ke atas (alam YangMisteri,YangTak-Terjelaskan).Yangkelima adalah alamLa>hu>t (the “world” of God-ness), diderivasi dari kata Lah atau Al-

10Muhammad Utsman Najati, Al-Qur’a>n wa al-Ilm al-Nafs (Kairo: Dâr Syurûq, 1990), 5-8.

11 Abu Hamid Al-Ghazali, Asra>ral-HikmahfîMakhlu>qatilla>h (Iskandariyah: Da>r Mirza, 1994), 56.

12 Arvan Harvat, SufiCosmology,2009,2-5,dalamhttp://www.bahaistudies.net/asma/sufi_cosmolosy_and_psychology.pdf.Diakses2Desember2016.

Page 9: DILEMA INTEGRASI TASAWUF DAN PSIKOTERAPI DALAM …

308-327|’AnilIslamVol.9.Nomor2,Desember2016

Lah.Dimensi ini “diidentifikasi” sebagai “tempat”manifestasiTuhan(the manifest Absolute), yang dalam peristiwa mi’raj, Nabi mengalami“perjumpaan”denganAllah.Yangterakhir(dimensiyang tertinggi) adalah alam Ha>hu>t, “alam” yang tak bisa didekati dengan ruang dan waktu, alam yang penuh keentahan yang paling entah (The Unmanifest Absolute). Okultisme Barat menyebut theworldof“He-ness”, atau dalam term tasawuf diistilahkan huwa la huwa atau hiya la hiya—ke-Dia-an yang tidak seperti Dia, yang hanya diketahui oleh Dia sendiri.13

Menurut Burckhardt14 dan Harvat15, enam tingkat kosmologi sufi tersebutmemiliki dimensi yang sejajar dengan psikografimanusia dalam terminologi sufi. Keenam psikografi ini lebihdikenal dengan sebutan lat}a>if.Tingkatpertamaadalahnafs yang berkorespondensi langsungdenganduniafisik (Na>su>t), diikuti qalb—hal ini berarti qalb al-ba>t}in seperti konsep Al-Ghazali—yang memiliki akses ke alam di atasnya (Malaku >t), lalu ruh yang memiliki keterkaitan dengan alam Jabaru>t, tempat berpulangnya ruh setelah kematian manusia. Sementara tiga fakultas lat}a>if yang menempati tangga tertinggi adalah sirr, khafi dan akhfa.16 Secara berurutan ketiga fakultas tersebut memiliki garis sumbu yangsejajardenganalamTanazzula>t, La>hu>t dan Ha>hu>t.Psikografiyang dimaksud dapat dilihat dalam tabel berikut:

Lathâif Sufi Cosmology General Cosmology

Akhf Ha>hu>t The Unmanifest Absolute

Kha>fi La>hu>t The Manifest Absolute

Sirr Tanazzula >t Higher Self

Ru>h Jabaru>t/Arwa>h Causal/Noetic

Qalb Malaku >t/Mitsa>l Subtle/Imaginal

Nafs Na>su>t/Ajsa>m Lower Sublte/Mundane Physical

13TitusBurckhardt,IntroductiontoSufiDoctrine (Indiana: World Wisdom, 2008), 14-15.

14TitusBurckhardt,IntroductiontoSufiDoctrine, 20-24.15 Arvan Harvat, SufiCosmology, 6-8.16 Istilah ini olehHarvat diambil dari istilah yangdipakai olehTarekat

Naqsyabandiyah yang didirikan oleh Bahauddin al-Naqsyabandi (1318-1389). Istilahtersebutsebenarnyasejajardenganfu’a>d, lubb, dan lat}i>fah-nya Al-Gazali.

Page 10: DILEMA INTEGRASI TASAWUF DAN PSIKOTERAPI DALAM …

NaufilIstikhari,DilemaIntegrasiTasawufdanPsikoterapi|309-327

Psikologi Barat hanya berhenti di tangga terbawah dari psikografisufi, terutamauntukduamazhabpertama.Mazhabketiga mulai masuk ke dimensi metakognisi atau b-need yang dalam pandangan penulis setara dengan qalb dalam Islam, walaupun dalam beberapa aspek memiliki corak dan ciri khas masing-masing. Pengakuan akan kedudukan ruh baru muncul dalam mazhab transpersonal. Frankl menyebut noetic sebagai dimensi tertinggi manusia yang berhubungan dengan pemenuhan makna hidup (meaning of life). Kebutuhan akan kebermaknaan (need of meaningfullness) dalam psikologi transpersonal melampaui pemenuhan prinsip kenikmatan (psikoanalisis), stimulus-respon fisiologis (behaviorisme)maupun penghargaan dari orang lain (humanistik). Makna sering datang dan muncul dari hal-hal yang tidak terpahami secara fisiologis, karena itu Frankmenggunakan istilah noetic (untuk menghindari kata spiritual) sebagai dimensi terdalam dari struktur kepribadian manusia yang dalam mazhab sebelumnya tidakdiakui.Tiga tanggapertamapsikografi sufi,melalui mazhab transpersonal, mendapat legitimasi ilmiahnya di Barat, yang tentu saja jika diartikan secara ketat, spektrumdimensionalnya tetap mengandung perbedaan.

Landasan Neurobiologi Pengalaman Mistik

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk membuktikan bahwa pengalaman mistik—sama seperti pengalaman emosi lainnya—memiliki landasan biopsikologi yang reliabel untuk diukur. Penelitian terbaru dilakukan oleh Nizamie, Katshu, dan Uvais dalam SufismandMentalHealth (2013). Penelitian tersebut melaporkanbahwapengalamanmistikdapatdijelaskandenganpendekatan neurobiologi, bahwa ketika seorang memasuki kondisi trans (suprasadar) salah satu bagian otak yang bernama lobus temporal (temporal lobe) dan korteks prefrontal (prefrontal cortex) menunjukkan meningkatnya aktivitas neurotransmiterberupagelombangelektromagnetikyang jikadipindaimelalui

Page 11: DILEMA INTEGRASI TASAWUF DAN PSIKOTERAPI DALAM …

310-327|’AnilIslamVol.9.Nomor2,Desember2016

alat pindai otak memiliki gradasi warna yang lebih mencolok.17 Neurotransmiter dopamin dan serotonin diasosiasikan dengan religiositas dan pengalaman spiritual. Dopamin dan serotonin merupakan neurotransmiter yang mengantarkan gelombang elektromagnetik melalui sel-sel saraf yang ada di otak. Bahkan, neurotransmiter ini memengaruhi dan berhubungan secara resiprokal dengan tingkat religiositas seseorang. Nizamie, Katshu, dan Uvais, menyebutkan: “Thelevelofreligiosityandthepositiveemotionalaspectsofreligiousandspiritualexperiencsmaybemodulatedbydopamine.”18

Landasan neurobiologi tersebut pada dasarnya sama dengan penderita gangguan psikosis semacam halusinasi. Kedua kasus tersebut (halusinasi dan pengalaman mistik) sama-sama melibatkan dopamin yang bergerak aktif. Makanya literatur psikologi Barat cenderung menarik kesimpulan dengan menyamakanbegitusajapengalamanmistikdengangangguankejiwaanpadaumumnya.Penyamaaninijelaskeliru.Halusinasiberbeda dari kondisi transdalampengalamansufistik.Halusinasiditandai dengan disorganisasi diri yang tak terkendali, tiba-tiba, dantakbertujuan,sedangkankondisitrans dalam pengalaman sufistik didorong oleh rindu (‘isyq), cinta (hubb), dan hasrat untukmeniadakandiridan inginmerasakankehadiranTuhan(fana’ billa>h).19

Pada abad ke-11, Ibn Sina (981-1037) telah memberikan penjelasanmengenailandasanpsikofisikterhadappengalamanpasien-pasiennya yang mengalami gangguan neurosis berupa lovesickness (a>lam al-‘isyq) yang dalam psikologi modern—terutama dalam psikoanalis Freud—sama dengan gangguan neurosis akibat represi libido yang terlampau kuat. Ibn Sina dengan tegas

17 Alat pindai otak yang digunakan oleh ahli neurosains adalah MRI (MagneticResonanceImaging).TemuanempirisyangmendukungterhadaphasilkerjaalatiniterangkumdalambukuTaufiqPasiak,TuhandalamOtakManusia (Bandung: Mizan, 2012), 101-130.

18S.HaqueHizami,MohammadZiaUlHaqKatshu,N.A.Uvais,“Sufismand Mental Health”, IndianJPsychiatry, 55, January 2013, 215-224.

19 Robert Frager, PsikologiSufiuntukTransformasiHati,Jiwa,danRuh,terj.Hasmiyah Rauf (Jakarta: Serambi, 2014), 48.

Page 12: DILEMA INTEGRASI TASAWUF DAN PSIKOTERAPI DALAM …

NaufilIstikhari,DilemaIntegrasiTasawufdanPsikoterapi|311-327

membedakan antara ‘a>lam al-isyq yang disebabkan oleh represi sosiopolitik dan ‘isyq min Allah yang biasa dirasakan oleh kaum sufipadamasanya.Gejalakeduanyasekilastampaksama,tetapijika diteliti dengan seksama akan tampak perbedaannya. Al-Zahrawi (936-1013) dari Cordoba, yang di Barat dikenal dengan Albucasis, bahkan telah menghasilkan temuan-temuan penting mengenai hubungan perilaku dengan saraf-saraf yang ada di otak.20

Temuan-temuanmutakhirdalamkajianneurosainstersebutternyatamendukungpenuhkearahintegrasi,tidaksajadalambidang tasawufdanpsikoterapi, tetapi jugamencakupkonsepspiritualitas secara umum. Namun demikian, di saat yang sama, temuan ini akhirnya juga problematis terutama ketikadihadapkan pada makna autentik tasawuf dan spiritualitas yang bercorak esoteris, dengan demikian, metaempiris, daripada dimensi kontemporernya yang telah terfragmen ke dalam logika empirisme, dengan demikian, menjadi eksoteris. Problem iniakan dibahas secara bergantian pada subbab berikut.

Dilema Integrasi Pasca-Badri

Pada 1979, Malik B. Badri, psikolog Sudan, menerbitkan buku The Dilemma of Muslim Psychologist. Dalam buku tipis tersebut, Badriberhasilmemantikperdebatanpanjangdenganmelakukankritik keras terhadap otoritas teori psikologi Barat yang, dalam pandangan Badri, memunculkan dilema bagi psikolog yang notabene Muslim, namun secara akademik terus-terusan dicekoki teori psikologi Barat dan nyaris tidak bisa keluar dari jebakanteoritersebutyangbernapassekulardanmaterialistik.Dilema itu muncul karena Muslim sesungguhnya antisekular dan tidak tunduk secara bulat kepada asas materialisme. Muslim mengakui aspek immaterial di dalam kehidupan.21

20 Wael MY Mohamed, “History of Neuroscience: Arab and Muslim Contributions to Modern Neuroscience”, Journal of Neuroscience, Desember 2012, 12-13.

21Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sepuluh tahunkemudian. Lih. Dilema Psikolog Muslim (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989), 10-30.

Page 13: DILEMA INTEGRASI TASAWUF DAN PSIKOTERAPI DALAM …

312-327|’AnilIslamVol.9.Nomor2,Desember2016

Di dunia internasional, Badri memberi andil besar dalam meriuhkan wacana islamisasi psikologi. Yang menjadi titikdilematis bagi Badri adalah kecenderungan psikolog Muslim pada masanya yang tanpa reservemenerima begitu saja teori-teori Barat tanpa melakukan peninjauan ulang menggunakanperspektifIslam.Dilemaitu—sejauhmengikutiproyeksiBadri—saat ini sudah boleh dikatakan teratasi. Psikolog Muslim sudah banyakyangmelakukanintegrasikonsep-konsepIslam(sufistik)ke dalam model-model psikoterapi yang berasal dari Barat. Namun bagi penulis, persis ketika dilema tersebut dianggap selesai, sesungguhnya psikolog Muslim tengah memulai dilema baru yang tak kalah serius dari yang sekadar dipikirkan oleh Badri. Yang pertama berkaitan dengan persoalan mungkinkah integrasi tanpa reduksi?; dan yang kedua, bagaimana proses asesmensufistikdilakukan?;danbisakahiamenjadiuniversal?

Integrasi tanpa Reduksi, Mungkinkah?

Spiritualitas—termasuk di dalamnya ajaran-ajarantasawuf—ternyata memiliki dampak positif terhadap strategi mengatasi stres (coping stress).Teganganyangdiakibatkanolehstres dapat direduksi dengan metode dan praktik tertentu yang berasal ajaran pokok tradisi sufi, seperti menerima denganlapang (s}abr), pasrah (tawakkal), bersyukur (syukr), berpikir positif (husn al-z\an) danmengharap belas kasih Tuhan (raja>’). Hubungan antara tasawuf dan psikoterapi, telah dibahas secara mendalamolehMohammadShafiidalamFreedomfromtheSelf:Sufism,Meditation,andPsychotherapy.MenurutWilliamC.Chittickyang melakukan reviewatasbukutersebut,Shafiidenganpenuhoptimismeberupayamelakukanintegrasiajaran-ajarantasawufke dalam teori psikoterapi modern dengan cara yang lebih aplikatif. Konsep z\ikr,misalnya,olehSyafi’idielaborasisebagaisejenisterapikelompokuntukmencapaipengalamanemosionalyangstabildanajek(toachieveanintensiveemotionalexperience).22

22William C. Chittick, “Freedom from the Self: Sufism, Meditation, andPsychotherapybyMohammadShafii”,IranianStudies.Vol22,No.2,1989,145-149.

Page 14: DILEMA INTEGRASI TASAWUF DAN PSIKOTERAPI DALAM …

NaufilIstikhari,DilemaIntegrasiTasawufdanPsikoterapi|313-327

Integrasi antara tasawuf dan psikoterapi sangat mungkin dilakukan jika memperhatikan kesejajaran konseptual darikeduanyabaikdarisegidefinisimaupunprosedurnya.LewisR.Worlberg (1997)23,mendefinisikanpsikoterapisebagaiperawatandengan menggunakan prosedur psikologi terhadap masalah-masalah kejiwaan. Pada proses perawatan tersebut, seorangahlidengansengajamenciptakanhubunganprofesionaldenganpasien untuk menghilangkan, mengubah, dan mendorong pasienkedalambentuksuasanaemosiyanglebihpositif.IinTriRahayu (2009)24, mengartikannya sebagai bentuk pengobatan alam pikiran atau pengobatan dan perawatan gangguan psikis melalui metode psikologi. Istilah ini mencakup berbagai teknik yang bertujuan untuk membantu individu dalam mengatasigangguan emosionalnya dengan cara memodifikasi perilaku,pikiran, dan emosinya sehingga individu tersebut mampu mengembangkan dirinya dalam mengatasi masalah psikisnya. James P. Chaplin, menurut Rahayu, bahkan memasukkan dimensi agama di dalam psikoterapi, dengan asumsi kuat bahwa keyakinan keagamaan dapat menyembuhkan.

Definisi psikoterapi di atas secara terminologis memilikikesejajaran dimensional dengan pengertian tasawuf.MenurutWilliam C. Chittick, tasawuf merupakan ajaran esoterismeIslamyangbertujuanuntukmencapaikesempurnaanspiritualmelalui pengamalan total terhadap nilai-nilai esensial dalam Islam. Tasawuf, dengan kata lain, adalah metode untukmencapai tingkat ihsa>n, dimensi spiritual yang paling autentik dalam Islam.25 Bahkan dalam pandangan Robert Frager, dalam pengertiannya yang universal, tasawuf mencakup dimensi mistik dari seluruh agama.26

Tasawuf dan psikoterapi sekilas tampak mudah

23 Lewis R. Worlberg, The Technique of Psychotherapy, 4th edition (New York: Jason Aronson, 1997), 10.

24 Iin Tri Rahayu, Psikoterapi Perspektif Islam dan Psikologi Kontemporer (Malang: UIN-Malang Press, 2013), 191-192.

25William C. Chittick, Tasawuf di Mata Kaum Sufi, terj. Zaimul Am (Bandung: Mizan, 2002), 40.

26 Robert Frager, PsikologiSufi,11

Page 15: DILEMA INTEGRASI TASAWUF DAN PSIKOTERAPI DALAM …

314-327|’AnilIslamVol.9.Nomor2,Desember2016

diintegrasikan karena memiliki kesamaan prinsip, antara lain 1) bertujuanmengubahpikirandanperilakumenjadilebihpositif,2) melalui tahapan-tahapan yang telah ditentukan, 3) memiliki pemandu yang bertanggung jawab terhadap proses tersebut(mursyid/syaikh/darwishdalampraktiksufidanpsikoterapisataukonselor dalam psikologi), 4) dilakukan secara autentik atau kerelaan bersama (kongruen dalam istilah Carl Rogers). Namun secara esensial dalam kesejajaran tersebut sesungguhnyamenyimpan beberapa perbedaan, yaitu 1) pikiran dan perilaku yang hendak diubah dalam tasawuf diorientasikan penuh pada pendekatan diri kepada Allah, sedangkan dalam psikoterapi modern hanya sekadar modifikasi dari abnormal menjadinormal kembali. Jadi, dalam tasawuf, prosesnya berlangsung dua kali, pertama mengubah pikiran atau perilaku dari abnormal menjadi normal, lalu disusul dengan penggiringan terhadappendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Alla>h); 2) tahapan-tahapan terapeutik dalam psikoterapi modern dilakukan melalui serangkaian simulasi berdasarkan teori yang dipakai baik dalam setting individual maupun kelompok, sementara dalam proses sufistik,tahapan-tahapanyangharusdilaluimemerlukanusahatotal melalui prosedur yang tidak gampang dilakukan dan umumnya bersifat soliter; 3) sosok pembimbing dalam tradisi sufi adalah sosokmursyid/syaikh/darwish yang telah mencapai tingkat tertinggi dalam hal spiritualitas serta telah mengantongi kualifikasizuhud dan wara’, sedangkan dalam proses psikoterapi yang terpenting adalah mengusai teknik-teknik terapi dan mengantongi surat izin praktik terapi; 4) autentisitas dalam tasawufbersifatkonsistendanajek,sementaradalampsikoterapimodern dibatasi oleh relasi terapeutik yang biasanya singkat (brief therapy) berdasarkan sesi-sesi yang telah disepakati bersama.27

Corak psikoterapi Barat yang tergambar di atas, tuduh Hasan Muhammad As-Syarqawi, tidak sanggup menyelam ke ceruk hakiki kejiwaan manusia. Atas alasan itu pula, As-Syarqawi(dan banyak psikolog Muslim lainnya), berupaya membangun epistemologi baru terhadap psikoterapi yang secara ambisius

27 Lewis R. Worlberg, The Technique of Psychotherapy, 50.

Page 16: DILEMA INTEGRASI TASAWUF DAN PSIKOTERAPI DALAM …

NaufilIstikhari,DilemaIntegrasiTasawufdanPsikoterapi|315-327

mereka sebut “psikoterapi Islam” (al-ila>j al-nafs al-Isla>my).28 Semua psikolog Muslim yang berada di jajaran itu sepakatuntuk menggali Alquran dan hadis sebagai sumber acuan dalam menegakkan terapi Islam. Terdapat prakonsepsi yang diaminisecara kolektif dan prakonsepsi tersebut mendahului prosedur pembuktian ilmiah bahwa Alquran secara inheren mengandung unsurpenyembuh.Ayatke-28suratAl-Isra’menyebutkan:“Dan KamiturunkandariAlquransesuatu(yangdapatmenjadi)penyembuhdan rahmat bagi orang-orang yang beriman (percaya dan yakin)dan Alquran itu tidak menambah kepada orang yang berbuat aniaya melainkan kerugian”(QS.Al-Isra’[17]:82).Dilainayat,tepatnyadi surat Yunus, disebutkan: “Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh untuk penyakit yang ada di dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orangyangberiman(percayadanyakin)”(QS.Yunus[10]:57).

Muhammad Utsman Najati menulis dua buku khususyang secara detail membahas ayat-ayat psikoterapis dalam Alquran serta hadis-hadis yang berkaitan dengan pengobatan atau penyembuhan ala Nabi (al-t}ibb an-naba>wy).29 Beberapa pendekatan tersebut telah berhasil dilakukan, misalnya, oleh Aisha Utz di Arab Saudi dengan menggunakan metode ruqyah terhadap gangguan kesurupan. Kesurupan (possession by jinn) dalam psikologi Barat disamakan secara arbitrer dengan delusi, waham, dan skizofrenia. Padahal kesurupan berbeda dari kategori sakit mental seperti yang tertera di dalam DSM semua edisi.30 Ini menunjukkan bahwa terdapat dimensi kejiwaanmanusia yang luput dari sentuhan psikologi Barat, dan Islam

28 Hasan Muhammad As-Syarqawi, Nahw‘Ilmal-Nafsal-Isla>my, 44.29Duabukuitumasing-masingberjudulAl-Qur’a>nwaIlmal-Nafs (1990)

dan Al-Hadis\waIlmal-Nafs (1995).30 DSM atau Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder adalah

buku pedoman yang digunakan psikolog dan psikiater untuk menentukan tipegangguankejiwaan.DSMterusmengalamipenyempurnaanhinggayangterbaru yaitu DSM-VTR. Di Indonesia, DSM diadaptasi menjadi PedomanPenggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) dengan mengacu pada DSM-III yang dikeluarkan oleh American Psychological Association (APA). Lih. Aisha Utz, Psychology from Islamic Perspective (Cairo: International Islamic Publishing House, 2011), 264.

Page 17: DILEMA INTEGRASI TASAWUF DAN PSIKOTERAPI DALAM …

316-327|’AnilIslamVol.9.Nomor2,Desember2016

memiliki peranti yang cukup yang memecahkannya. Hanya saja, jika ditelaah ulang, keberhasilan tersebut baru sampaipada tataran “perspektif”, belummampumenjangkau “teori”yang dapat digunakan secara universal. Aisha Utz sendiri menggunakan istilah Islamic perspective ketimbang Islamictheory, sebab ia sadar bahwa islamisasi psikologi belum mampu menjadi gerakan tersendiri yangdapatmenandingi kebesaranempat mazhab dalam psikologi modern. Aisha Utz hanya menawarkan perspektif Islam dalam psikologi, yang dalam kasus-kasus tertentu menunjukkan tanda-tanda keberhasilan,namun masih problematis di sisi lain dikarenakan metodenya tetap mengadopsi dari Barat. Karena itu, untuk sampai pada tahap teoretisasi yang melahirkan konsep baku psikoterapi dibutuhkan kriteria validitas dan reliabilitas tinggi. Mungkinkah, misalnya, ajaran tasawuf ataupun praktik sufistik dibakukanmenjadisebuahteoridemiambisibesarmewujudkanpsikologiIslam?Mungkinsaja,tetapiituberbahaya.

Henry Corbin (2002)31 menyebut pengalaman mistik sufiberadadiduniaimajinal(‘a>lam al-mis\a>l/Malaku>t) yang bergerak di wilayah sadar dan suprasadar. Dinamika kepribadian sufimerupakan konsistensi kesadaran akan Yang Ilahi melalui hati (qalb)danruhdancenderungmenihilkanrasio.Duniaimajinaldalamkosmologisufiseringtakdapatdigambarkanketimbangsebaliknya. Bahkan pendekatan syariah pun tidak mampu menangkap dunia imajinal ini. Ini akan menyulitkan usaha-usaharasional-empiris(yangmenjadicirikhaspsikologiBarat)dalammendekatipengalamansufistik.SementarapsikoanalisisBarat meyakini kepribadian terbentuk dari dinamika internal yangpenuhkonflikantaraalamsadardanbawahsadar,yangdalam cara-cara tertentu dapat didedah melalui percobaan-percobaan empiris.

Pengalaman sufistik bersifat khas dan unik. William C.Chittick,menulis:

31 Henry Corbin, Imajinasi Kreatif: Sufisme Ibn ‘Arabi, terj.Moh.Khozimdan Suhadi (Yogyakarta: LKiS, 2002), 80.

Page 18: DILEMA INTEGRASI TASAWUF DAN PSIKOTERAPI DALAM …

NaufilIstikhari,DilemaIntegrasiTasawufdanPsikoterapi|317-327

God in Himself in unknowable to any “others”, since He is absolutelynondelimitedandundefined.Nofinitethingcanperceive the Infinite.WhenGodmakesHimself known toothers through His self-disclosure, He limits and restricts Himself, or else they could not know Him. His making Himself known to them corresponds to His bestowal of existenceuponthem.Theself-disclosurethroughknowledgeisthesameastheself-disclosurethroughexistence.ThroughHis constricting Himself, He “ties Himself in a knot” and fits Himself into the beliefs of the creatures. God’s “self-transmutation” takes place within “beliefs”, since beliefs are another name for the individual delimitations which constitute the creature. “Belief” is the creature’s cognitive perception of the self-disclosure. Each person’s belief is unique, since it defines his unique selfhood.32

Keunikanyangsangatsubjektifdalamsistemkeyakinansufi,yangtentusajaberimplikasipadapengalamanmistikyangjugamemiliki keunikan tersendiri, mustahil dapat diukur dengan pendekatan skala psikologis. Jika pun itu mungkin, tingkat validitas dan reliabilitasnya patut diragukan. Arthur Deikman, sepertiditulisdimuka,telahmengemukakanpengalamansufiyang seringkali sulit diungkapkan lewat kata-kata. Bahkan, sosoksufibesarasalMaroko,pendiriTarekatSyadziliyyah,Abual-Hasan As-Syadzili (1196-1258), melarang dengan tegas segala bentuk pemberian informasi terkait pengalaman sufistik yangdirasakanmurid-muridnya. Pengalaman sufistik—yangdalampola tertentu termanifestasi dalam syat}aha>t—tidak akan bisa dijelaskandantidakakandapat tertampungolehbahasapadaumumnya. Ketika dijelaskan dengan bahasa biasa, ia mudahsekali mendatangkan kesalahpahaman.33 Itulah mengapa pengukuranterhadappengalamansufistiksulitsekalidilakukansecaraobjektif.

El-Menouar dalam TheFiveDimensionsofMuslimReligiosity:

32WilliamC.Chittick,TheSufiPathofKnowledge:Ibnal-‘Arabi’sMetaphysicsofImagination (New York: SUNY Press, 1989), 340 (cetak tebal dari penulis).

33 Ibid, 202.

Page 19: DILEMA INTEGRASI TASAWUF DAN PSIKOTERAPI DALAM …

318-327|’AnilIslamVol.9.Nomor2,Desember2016

Results of an Empirical Study, memasukkan pengalaman keagamaan (religious experience) sebagai salah satu aspek yang dapat diukur, tetapi hanya terbatas pada perasaan akan dekat dengan Allah, merasa “diperhatikan” dengan adanya konsep pahala, merasa “diabaikan” dengan adanya konsep siksa, serta perasaan tertentu yang timbul karena berkomunikasi (berdoa) dengan/kepadaAllah.34El-Menouarjugapesimistishalitudapatberhasiluntukmengungkappengalamansufistikyangbiasanyajauhlebihdalamdarisekadarpengalamankeagamaanbiasa.

Jika itu dipaksakan, dan katakanlah berhasil dilakukan, maka nilai esoteris dalam tasawuf akan bercampur dengan nilai eksoteris. Konsep-konsep seperti ikhla>s, s}abr, tawakkal, rid}a>, qana>’ah dan lain sebagainya., akan tereduksi kedudukannya dengan teknik-teknik manipulatif yang terkontrol dan tidak lagi berjalan apa adanya. Pada gilirannya, derajat kesakralanpengalamanmistik jatuhseketikamenjadiprofan,dandengandemikian,terjadireduksibesar-besaranterhadapajarantasawuf.Singkatnya, integrasi tasawuf ke dalam psikoterapi dalam artinya yang positivistik, tidak mungkin dilakukan tanpa bebas dari jebakanreduksi.Danitupadaakhirnyaakanmembuattasawuftidak lagi eksklusif, melainkan bergeser menjadi semacam“jualan” yang patuh di bawah kode etik psikologi. Jika tidakmau disebut berbahaya, sekurang-kurangnya reduksi semacam ini akan mengebiri pelan-pelan esoterisme Islam.

Kendatipun demikian, kesulitan tersebut mungkin dapat diturunkan tensinya apabila yang dimaksud dengan integrasi tasawuf ke dalam psikoterapi hanya sebatas menggunakan metode-metode permukaan dalam tradisi tasawuf. Tetapilangkah ini pun tidak mudah. Sebab relasi terapeutik antara terapis-klienberbedadenganrelasisufi-murid,sekalipunrelasiyang dimaksud di sini adalah dalam konteks praktik psikoterapi. Seorangpsikoterapis,sejauhiapahammetodedanteknikterapidengan baik, ia boleh melakukan usaha modifikasi perilaku

34Yasemin El-Menouar, “The Five Dimensions of Muslim Religiosity:Result and Empirical Study”, Journal of Methods, Data, Analyses,Vol.8,No.1,2014, 54-65.

Page 20: DILEMA INTEGRASI TASAWUF DAN PSIKOTERAPI DALAM …

NaufilIstikhari,DilemaIntegrasiTasawufdanPsikoterapi|319-327

terhadapkliennya.Berbedahalnyadenganpraktiksufi,seorangtidaksahmelakukan intervensiapapun jikaderajatnyahanyasebatas tahu, sebab yang dibutuhkan dari sekadar tahu adalah adanya laku: pengalaman langsung. Robert Frager, misalnya, sukses melakukan terapi model-model sufi di Amerikadisebabkan kedudukan pribadinya sebagai seorang anggota tarekatyangmengamalkanpraktik-praktiksufistiktertentuyangsecara kebetulan latar belakang akademiknya adalah psikologi. SalahsatuterapisufiyangdipraktikkanFrageradalahkhalwat. Fragermemberiinstruksiyangjelas:

...matikan telepon dan televisi. Singkirkan buku-buku, majalah,ataupungangguanlainnya.Tutuplahtirai jendelasehinggaAnda tidak dapatmelihat keluar. Tutuplah jugacermin sehingga Anda tidak terganggu oleh bayangan Anda. Kurunglah diri Anda di dalam kamar. Bayangkan bahwa tenaga dan kesadaran Anda tetap termuat dan terpusat di dalam tempat Anda berkhalwat. Ucapkanlah sebuah doa, dan secara formal nyatakanlah niat spiritual Anda untuk berkhalwat. Pada akhir waktu, bebaskan diri Anda denganberdoabahwaniatAndatelahterwujuddanAndatelah mampu membawa berkah khalwat tersebut ke dalam kehidupan keseharian Anda... Mandilah setiap pagi, dan berdoalah,semogaTuhanmembantuAndamembersihkandiri secara batiniah dan lahiriah. Makanlah secara sederhana atau berpuasalah dari subuh hingga magrib. Anda dapat mencobakhalwatsedikitnyaselamaduapuluhempatjam,namun paling tidak selama tiga hari adalah lebih baik...35

Kutipan panjang tersebut sengaja ditampilkan untukmenghadirkan gambaran mengenai integrasi konsep tasawuf ke dalam psikoterapi. Frager menawarkan khalwat sebagai model terapi yang aplikatif dengan dibumbui doa-doa tertentu. Namun khalwatsendiritidakbenar-benarkhassufi.Istilahkhalwatsejajardengan meditasi, yoga, dan dalam taraf tertentu, relaksasi. Yang jadi pembeda terletak pada doa-doa yang diucapkan.Khalwat tak lain adalah nama Islam—atau lebih tepatnya, nama Arab—

35 Frager, PsikologiSufi, 269-270.

Page 21: DILEMA INTEGRASI TASAWUF DAN PSIKOTERAPI DALAM …

320-327|’AnilIslamVol.9.Nomor2,Desember2016

dari meditasi, yoga dan relaksasi. Lalu apa yang benar-benar khas dan bisa disebut secara bulat-bulat sebagai psikoterapi sufi? Hampir semua psikolog Muslim garda depan semisalMalik Badri (Sudan) dan Muhammad Utsman Najati (Mesir)menawarkan kosep tazkiyyah al-nafs dari Al-Ghazali.

Al-Ghazali memberikan perincian metodologis tentang tazkiyyah al-nafs dalam Ihya>’ Ulu>m al-Di>n jilid tiga.36 Langkah pertama untuk melakukan riya>d}ah al-nafs dengan memperbaiki akhlak, baik itu akhlak kepada sesama maupun akhlak kepada Allah.Sebelum memperbaiki dan menyucikan akhlak, seseorang harusmampumengidentifikasikualitasakhlakdirinya.Kualitasakhlak paling primer berkaitan dengan akhlak kepada Allah. Akhlak kepada Allah ditandai dengan bebasnya jiwa daripenyakit-penyakit hati (al-amra>dh al-qalb). Untuk mengetahui penyakit dalam hati memerlukan tahapan-tahapan lain yang lebih rigid lagi. Singkatnya, tazkiyyah al-nafsdalamjalansufistikAl-Ghazali tidak bisa dilakukan dengan cara-cara singkat dan arbitrer sebagaimana yang sering terjadi dalam prosespsikoterapi. Apalagi, konsep ini berhubungan secara simetris dengandimensiruhaniyangdalamkosmologisufitersambunglangsung ke alam Malaku>t dan Jabaru>t.

Dalam prosedur ketat itu, kendatipun psikolog Muslim, tidak akan mampu mendorong klien melakukan tazkiyyah al-nafs selama dirinya sendiri belum sampai pada kualitas tersebut. Inilah dilema serius yang jarang terpikirkan oleh psikologMuslim ketika mereka secara ambisius ingin memasukkan ajaran tasawuf ke dalam psikoterapi modern. Dilema terusberlanjutketikaberhadapandenganbentengobjektivitasyangmengelilingi bangunan teoretis psikologi Barat. Tazkiyyah al-nafs, misalnya,tidakmungkinterjadidiruang-ruangkonseling,laboratorium dan klinik-klinik psikologi tanpa usaha reduktif yang tentu saja keluar dari konsep asli tasawufnya. Jadi, jikaintegrasi itu mungkin dilakukan pasti melalui serangkaian reduksi terhadap konsepnya yang asli.

36 Abu Hamid Muhammad Al-Gazali, Ihya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, jilid3 (Beirut:Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1971), 62-72.

Page 22: DILEMA INTEGRASI TASAWUF DAN PSIKOTERAPI DALAM …

NaufilIstikhari,DilemaIntegrasiTasawufdanPsikoterapi|321-327

Problem Objektivitas dalam Psikosufistik

Psikologi Barat patuh pada logika objektivitas. Gunamencapaitingkatobjektivitastinggi,penelitianpsikologiharusmenggunakan prosedur pengumpulan data yang akurat dan tepercaya, salah satunya melalui skala pengukuran psikologi.37 Sementara itu, tasawuf beroperasi di wilayah subjektivitas.Objektivitas yang ketat dalampsikologi Baratmemang seringmendapat kritik dari psikolog Muslim karena asas tersebut mudahsekalimenjerembabkanpraktiksufistikkedalamjurangpseudosains. Namun tuduhan tersebut tidak sepenuhnya benar. Teori psikologi agama kontemporer sudah mengakuisecara sah spiritualitas seseorang berdasarkan pengalamannya “berinteraksi” dengan Tuhan. Artinya, spiritualitas yangselamainidianggapsakral,subjektifdantaktersentuh,melaluipengamatan terhadap kualitas eksternal yang berupa perilaku tertentu,akhirnyadapatdidekatisecaraobjektif.38

Produk objektivikasi tersebut dapat dilihat dari alat ukuryang telah terstandardisasi dalam psikologi. Sebagai contoh, skala religiositas dari teorinya Rodney Stark dan Charles Y. Glock atau skala orientasi religius dari teorinya Gordon Allport benar-benar dipercaya dapat mengungkap tingkat dan orientasi religius seseorang. Skala religiositas dapat diberikan kepada semua responden yang beragama, apa pun agamanya. Pengalaman keagamaan (religious experience) yang secara empiris sudah dapat diukurmenggunakan skala religiositas, jugamembawadampak pada mungkinnya menerapkan pengukuran psikologis terhadap pengalaman sufistik dengan satu penekanan padaaspek-aspek yang dapat termanifestasi dalam bentuk perilaku. Skala religiositas yang sering dipakai selama ini mengacu secara hampir permanen pada teoretisasi yang dicetuskan oleh Stark dan Glock dengan mengelaborasi paling tidak lima dimensi.39 El-

37 Saifuddin Azwar, Penyusunan Skala Psikologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2013),1-2.

38 Jalaluddin, PsikologiAgama:MemahamiPerilakudenganMengaplikasikanPrinsip-prinsip Psikologi(Jakarta:RajaGrafindo,2012),9,11.

39 Rodney Stark dan Charles Y. Glock, American Piety: The Nature ofReligious Commitment (USA: California University Press, 1970), 34-100.

Page 23: DILEMA INTEGRASI TASAWUF DAN PSIKOTERAPI DALAM …

322-327|’AnilIslamVol.9.Nomor2,Desember2016

Menouar(2014),memodifikasitemuanStarkdanGlockdengancara melakukan penyesuaian terhadap dinamika keagamaan Muslim. Itu dikarenakan skala religiositas yang dibuat Stark dan Glock lebih cocok digunakan untuk umat Kristiani dan kurang tepatjikaditerapkankepadaumatIslam.40

Pengukuran (measurement) merupakan asas ilmiah dalam psikologi Barat yang menjadi prasyarat lolos tidaknya sebuahvariabeluntukmenjadikonstrakpsikologi.Pengalamanmistikdapatmenjadigarapanpsikologiagamaapabiladapatdirepresentasikanoleh indikator perilaku yang diturunkan dari dimensi yang secaradefinitifmenunjukkanciri-cirikhususpengalamanmistik.Pengukuran diperlukan sebagai alat bantu diagnosis sebelum intervensiterapeutikdiberikan.Tingkatakurasihasilpengukuransangat membantu tugas psikoterapis untuk menentukan prognosis klien dalam menghadapi masalah yang dihadapinya. Sementara kalau, katakanlah, permasalahan klien adalah ekstasi spiritual yang tidak mampu ia tanggung, bagaimana cara menegakkan diagnosis tanpa pengukuran yang akurat? Bagaimana pula melakukan pengukuran jika subjek yang diukur benar-benar merupakanpelaku tasawuf (sa>lik) yang dalam ajaran sejumlah besar tarekattidak diperbolehkan untuk menceritakan dan menyatakan secara terang-terangan? Di sini pengukuran menjadi bungkam, danobjektivitas tidak dapat ditegakkan. Kabut subjektivitas secarapersisten menyelimuti proses diagnosis sehingga akan menghambat ditegakkannya prognosis dan pada gilirannya sulit menentukan intervensi terapi yang tepat.

Koteksnyaakanberbedajikayangmenanganiadalahseorangguru sufi. Melalui mata batin (bas}i>rah), syaikh/mursyid/darwish dapatmengetahuikondisikejiwaansangmuridtanpaprosedur

40 Ada lima aspek religiositas yang dikemukan El-Menouar. Aspek itu meliputi1)ajarandasarkeagamaan,2)kewajibankeagamaan,3)pengalamankeagamaan, 4) pengetahuan keagamaan, 5) ortopraksis (kecenderungan memilih hukum tertentu di dalam praktik keagamaan). Penulis tengah menyusun Skala Religiositas Muslim (sebanyak 50 aitem) yang dikembangkan dari teori ini. Lih. Yasemin El-Menouar, “The Five Dimensions of MuslimReligiosity: Result and Empirical Study”, Journal of Methods, Data, Analyses,Vol.8, No. 1, 2014, p. 54-65.

Page 24: DILEMA INTEGRASI TASAWUF DAN PSIKOTERAPI DALAM …

NaufilIstikhari,DilemaIntegrasiTasawufdanPsikoterapi|323-327

pemeriksaan psikologis serta dapat menentukan metode yang tepat untuk mengatasinya. Makanya dalam praktik sufistik,masing-masing murid diberikan amalan khusus yang kadang-kadangberbedasatusamalainsesuaidengankondisikejiwaandan interval kematangan spiritualnya. Singkatnya, psikolog tidak akan sanggup mendekati persoalan-persoalan kejiwaanyang dihadapi kaum sufi tanpa terlebih dahulumenjadi sufi,atau sekurang-kurangnya, memiliki guru sufi. Dalam kasusini, untuk konteks sekarang, sosok Robert Frager tidak dapat diabaikan. Ia psikolog sekaligus pelaku tarekat.

Terlepas dari problem objektivitas, dalam anggapansebagian besar psikolog Muslim, Islam sebenarnya bisa masuk sebagai perspektif alternatif bagi konsep relasi terapeutik dalam psikologi modern. Misalnya dalam regulasi etis selama proses konseling atau terapi. Abdolbaghy Rezaeitalarposthi dan Abdolhady Rezaeitalarposhti (2013), menyatakan bahwa konseling Islam (Islamiccounselling) dapat ditegakkan dengan cara mengacu kepada etika dan nilai-nilai pokok di dalam Alquran. Relasi konselor dengan konseli atau terapis dengan klien perlu diikat dengan nilai-nilai yang diturunkan dari Alquran dan hadis. Usaha semacam ini merupakan tipikal psikolog Muslim yang terbuai dengan isu islamisasi, bahwa seolah-olah kriteria hubungan dalam proses konseling atau terapi dari Barat harus “diislamkan” dulu agar sesuai dengan kepribadian Muslim.41

Bahkan yang agak ganjil, proses terapi yang ditawarkanAbdurrahman Al-‘Isawy dalam Al-Islâm wa al-‘Ila>j al-Nafsy, misalnya, harus patuh kepada hukum-hukum fikih. Sebagaicontoh, klien perempuan tidak boleh ditangani oleh terapis laki-laki tanpa didampingi penuh oleh suami.42 Aturan ini, selain meregresi spirit ilmiah, cenderung menihilkan profesionalitas dalam relasi terapeutik. Mayoritas psikolog Muslim selalu

41 Abdolbaghy Rezaeitalarposthi dan Abdolhady Rezaeitalarposhti, “Psychology from Islamic Perspective: Contributions of Quran to Contemporary Psychologists”, InternationalResearchJournalofAppliedandBasicSciences,Vol.6,No. 11, 2013, 1591-1594.

42 Abdurrahman Al-‘Isawy, Al-Isla>mwaal-‘Ila>j al-Nafsy (Iskandariyah: Dar al-Fikr, 1987), 110.

Page 25: DILEMA INTEGRASI TASAWUF DAN PSIKOTERAPI DALAM …

324-327|’AnilIslamVol.9.Nomor2,Desember2016

bertolak dari Alquran dan hadis sebagai langkah awal. Pertama-pertama mereka melakukan pemetaan terhadap konsep-kosep kejiwaandidalamAlqurandanhadis,yangdalambanyakkasusbertendensi similarisasi dan paralelisasi dengan konsep yang telah mapan dalam psikologi Barat.43 Baru setelah itu melakukan uji coba dengan berpatok penuh pada Alquran dan hadis.Padahal, spirit ini lebih sering membatasi daripada sebaliknya. Dengan berasumsi bahwa Alquran absolut dan mengandung kebenaran untuk menjelaskan segala persoalan, termasukkejiwaan,makaeksplorasilebihjauhtidakmungkindilakukankarena itu akan berdampak pada temuan-temuan ganjil yangmungkin akan bertentangan dengan Alquran.

Sebagian psikolog lainnya menerapkan apa yang oleh Bastamandisebut“muslimisasipsikolog”,yaitukajianpsikologiyang berangkat dari penelitian empiris kemudian diteoretisasi melalui istilah-istilah yang banyakdipakai oleh kaum sufi.Disini penulis akan menyebut Reza Arasteh (1927-1992) sebagai pioner.44 Arasteh merupakan psikolog kenamaan dari Iran yang pada 1965 menulis laporan penelitiannya ke dalam buku berjudulFinalIntegrationintheAdultPersonality. Arasteh sempat menjadi profesor tamu di GeorgeWashingtonUniversity danPrinceton University. Metode yang dilakukan Arasteh cukup unik dan memungkinkan untuk diterima secara universal. Ia menggunakan metode psikologi Barat dalam prosedur penelitiannya, tetapi bertolak dari realitas budaya umat Islam sebagai lapanganrisetnya. Istilah-istilahsufistikdipakaiuntukmembantumenjelaskandinamikakepribadiandantidaksecaraambisius digunakan sebagai kerangka teoretis.

Bagi penulis, integrasi yang dilakukanArasteh jauh lebihdapat diandalkan untuk menghindari dilema-dilema yang telah disebutkan di atas. Model yang dicontohkan Arasteh sebenarnya tidak jauh beda dengan kajian psikologi lintas budaya dan

43Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam: MenujuPsikologiIslami(Yogyakarta:PustakaPelajar,1997),32,40.

44 Joshua J. Knabb dan Robert K. Welsh, “Reconsidering A. Reza Arasteh: SufismandPsychotherapy”,The Journal of Transpersonal Psychology.Vol.41.No.1, 2009, 50-58

Page 26: DILEMA INTEGRASI TASAWUF DAN PSIKOTERAPI DALAM …

NaufilIstikhari,DilemaIntegrasiTasawufdanPsikoterapi|325-327

agama. Hanya saja, pendekatan Arasteh yang menggunakanistilah-istilah sufistik, terutama sekali yang berasal dariJalaluddin Rumi, memberikan nuansa baru bagi integrasi yang selama ini cenderung mereduksi salah satunya. Arasteh tidak berambisi menggunakan ajaran autentik kaum sufi sebagaimodel terapi, ia sebatas mencaplok yang esensial dari praktik sufistikkedalambentukterapinya.Esensidalamajarantasawufpadadasarnyasejalandenganterapiperilakukognitif(cognitivebehaviour therapy) yaitu bagaimana mengubah perilaku dengan cara mengubah cara berpikir. Untuk mengubah cara berpikir banyaksekalimetodenya.DitanganArasteh,tema-temasufistikdimasukkan ke dalam metode tersebut.

Kesimpulan

Di tengah kelanjutan proyek islamisasi psikologi—yangsekarang dalam kondisi “mangkrak”—penting untuk memecahkan dilema-dilema tersebut agar ambisi besar untuk menjadikanPsikologi Islam diakui di dunia internasional tidak sepenuhnya utopis. Dilema yang meliputi a) integrasi tanpa reduksi; b) pengukuran yang valid atas pengalaman mistik; c) problem objektivitas dalam psikosufistik; d) psikolog yang menggukanmodelsufistiktapibukanpelakuajarantasawuf,sertae)tantanganuniversalitas harus dicarikan jalan keluarnya. Jalan keluar yangpaling aman ditempuh adalah dengan mengikuti prosedur yang dilakukan Reza Arasteh. Hasilnya memang tidak akan berupa “Psikologi Islam” melainkan “Psikolog yang Muslim” yang dengan sendirinya akan mencerminkan karakter keislaman tanpa harus bolak-balik meminta legitimasi agung terhadap Alquran dan hadis.

Integrasitasawufkedalampsikoterapiakanselaluterjebakpadadilemajikausahatersebutterusdibayang-bayangihasratkuat untuk melakukan islamisasi psikologi. Apa yang dilakukan Ibn Sina dan Al-Zahrawi seribu tahun yang lalu tidak pernah diembel-embeli dengan istilah islamisasi. Dua ilmuwan besar Muslim itu bekerja atas prinsip kerja ilmiah sembari tidakmelupakan bahwa dirinya adalah Muslim.

Page 27: DILEMA INTEGRASI TASAWUF DAN PSIKOTERAPI DALAM …

326-327|’AnilIslamVol.9.Nomor2,Desember2016

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, Saifuddin. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2013.

Badri, B. Malik. Dilema Psikolog Muslim. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989.

Bastaman,HannaDjumhana. Integrasi Psikologi dengan Islam:MenujuPsikologiIslami.Yogyakarta:PustakaPelajar,1997.

Bonnin, Fleur Nassery, “The Relevance of Sufism and Psychology”,dalam http://www.psychology.org.au/Assets/Files/the_relevance_of_sufism_and_psychology.pdf, t.t. Diakses 2Desember2016.

Boeree, CG. Personality Theories. New York: Brooklyn, 1998.

Corbin, Henry. ImajinasiKreatif:SufismeIbn ‘Arabi, terj.Moh.Khozimdan Suhadi. Yogyakarta: LKiS, 2002.

Chittick,WilliamC.TheSufiPathofKnowledge:Ibnal-‘Arabi’sMetaphysicsofImagination. New York: SUNY Press, 1989.

________________. “Freedom from the Self: Sufism,Meditation, andPsychotherapybyMohammadShafii”,IranianStudies.Vol22,No. 2, 1989.

________________. Tasawuf di Mata Kaum Sufi, terj. Zaimul Am. Bandung: Mizan, 2002.

Deikman, Arthur J. The Observing Self: Mysticism and Psychotherapy. New York: Beacon Press, 1982.

Dostoevsky, Fyodor. The Brother Karamazov. New York: Barnes and Noble Classic, 2004.

El-Menouar, Yasemin. “The Five Dimensions of Muslim Religiosity:Result and Empirical Study”, Journal of Methods, Data, Analyses,Vol.8,No.1,2014.

Frager, Robert. PsikologiSufiuntukTransformasiHati,Jiwa,danRuh,terj.Hasmiyah Rauf. Jakarta: Serambi, 2014.

al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. Ihyâ’‘Ulûmal-Dîn,jilid3.Beirut:Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1971.

al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. Asra>ral-Hikmahfi> Makhlu>qatilla>h. Iskandariyah: Da>r Mirza, 1994.

Harvat, Arvan, Sufi Cosmology, dalam http://www.bahaistudies.net/asma/sufi_cosmolosy_and_psychology.pdf. 2009. Diakses 2Desember2016.

Page 28: DILEMA INTEGRASI TASAWUF DAN PSIKOTERAPI DALAM …

NaufilIstikhari,DilemaIntegrasiTasawufdanPsikoterapi|327-327

Hizami,S.Haque,MohammadZiaUlHaqKatshu,N.A.Uvais.“Sufismand Mental Health”, IndianJPsychiatry, 55, January 2013.

Jalaluddin. PsikologiAgama:MemahamiPerilakudenganMengaplikasikanPrinsip-prinsip Psikologi.Jakarta:RajaGrafindo,2012.

Jackson, Roy. NietzcheandIslam. New York: Routledge, 2007.

al-‘Isawy, Abdurrahman. Al-Isla>mwaal-‘Ila>j al-Nafsy. Iskandariyah: Dar al-Fikr, 1987.

Knabb, Joshua J. & Robert K. Welsh. “Reconsidering A. Reza Arasteh: Sufism and Psychotherapy”, The Journal of Transpersonal Psychology.Vol.41.No.1,2009.

Lear, Jonthan. “The Illusion of a Future: The Rhetoric of Freud’sCritique of Religious Belief”, dalam OnFreud’sTheFutureofanIllusion,ed.MaryKayO’Neil&SalmanAkhtar.London:Karnac Books, 2009.

Mohamed, Wael MY. “History of Neuroscience: Arab and Muslim Contributions to Modern Neuroscience”, Journal of Neuroscience, Desember 2012.

Pasiak,Taufiq.TuhandalamOtakManusia. Bandung: Mizan, 2012.

Rezaeitalarposthi, Abdolbaghy & Abdolhady Rezaeitalarposhti. “Psychology from Islamic Perspective: Contributions of Quran to Contemporary Psychologists”, InternationalResearchJournal of Applied and Basic Sciences,Vol.6,No.11,2013.

Rahayu, Iin Tri.Psikoterapi Perspektif Islam dan Psikologi Kontemporer. Malang: UIN-Malang Press, 2013.

Shorrock, Andrew. The Transpersonal in Psychology, Psychotherapy, and Counselling. New York: Pilgrave Macmillan, 2008.

Stark, Rodney & Charles Y. Glock, AmericanPiety:TheNatureofReligiousCommitment. USA: California University Press, 1970.

Titus,Burckhardt.IntroductiontoSufiDoctrine. Indiana: World Wisdom, 2008.

Utz, Aisha. Psychology from Islamic Perspective. Cairo: International Islamic Publishing House, 2011.

Utsman, Abdurrahman. Al-Insān:al-Ru>h wa al-‘Aql wa al-Nafs. Mekah: Maktabahal-Tsaqâfah,1987.

Worlberg, Lewis R. The Technique of Psychotherapy, 4th edition. New York: Jason Aronson, 1997.