Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Juli 2009
Mengidentifikasi hambatan-hambatan utama pertumbuhan ekonomi pasca konflik dan pasca bencana
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
49568P
ublic
Dis
clos
ure
Aut
horiz
edP
ublic
Dis
clos
ure
Aut
horiz
edP
ublic
Dis
clos
ure
Aut
horiz
edP
ublic
Dis
clos
ure
Aut
horiz
edP
ublic
Dis
clos
ure
Aut
horiz
edP
ublic
Dis
clos
ure
Aut
horiz
edP
ublic
Dis
clos
ure
Aut
horiz
edP
ublic
Dis
clos
ure
Aut
horiz
ed
KANTOR BANK DUNIA JAKARTAGedung Indonesia Stock Exchange, Tower II/Lt. 12-13Jl. Jend. Sudirman Kav. 52-53Jakarta 12910Tel: (6221) 5299-3000Fax: (6221) 5299-3111
BANK DUNIABank Dunia1818 H Street N.W.Washington, D.C. 20433 USATel: (202) 458-1876Fax: (202) 522-1557/1560Email : [email protected] : www.worldbank.org
Dicetak bulan Juli 2009
DIAGNOSIS PERTUMBUHAN ACEH: Mengidentifi kasi hambatan-hambatan utama pertumbuhan ekonomi pasca konfl ik dan pasca bencana adalah produk staf Bank Dunia. Temuan-temuan, penafsiran, dan kesimpulan yang dinyatakan dalam dokumen ini tidak berarti mencerminkan pandangan Direksi Eksekutif Bank Dunia atau pemerintah yang diwakilinya.
Bank Dunia tidak menjamin ketepatan data yang tercantum dalam dokumen ini. Perbatasan, warna, denominasi, dan informasi lain yang ditunjukkan di setiap peta yang terdapat dalam dokumen ini tidak mengimplikasikan suatu penilaian terhadap bagian Bank Dunia sehubungan dengan status hukum setiap wilayah atau pengesahan atas persetujuan terhadap perbatasan tersebut.
Mengidentifikasi hambatan-hambatan utama pertumbuhan ekonomi pasca konflik dan pasca bencana
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
iiDiagnosis Pertumbuhan Aceh
Daftar Isi
Pengantar iv
Ucapan Terima Kasih v
Daftar Istilah vi
Ringkasan Eksekutif 1
1. Pendahuluan 5
2. Metodologi 9
3. Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15
4. Tinjauan Ekonomi Pada Saat Konfl ik dan Pasca Konfl ik di Aceh 21
5. Akses Terhadap Kredit 25
a. Apakah pembiayaan menjadi masalah di Aceh? 25
b. Apakah biaya modal tinggi terjadi di Aceh? 27
c. Apakah permasalahannya adalah rendahnya tabungan dan tidak adanya akses terhadap
pembiayaan eksternal? 28
d. Apakah permasalahannya adalah fungsi intermediasi (perantara)
bank-bank lokal yang rendah? 30
e. Apabila tidak, apakah persoalannya adalah pembatasan kredit oleh bank? 32
6. Hasil Sosial yang Rendah 37
a. Infrastruktur: jalan-jalan 38
b. Infrastruktur: listrik 40
c. Pendidikan dan modal sumber daya manusia 42
7. Rendahnya Kemungkinan Pengembalian atas Investasi (Appropriability) 47
a. Risiko-risiko Makroekonomi 47
b. Lingkungan usaha 48
c. Korupsi 51
d. Biaya-biaya Transaksi: Pajak dan Iuran Keamanan 53
e. Kegagalan pasar - kegagalan koordinasi 59
f. Kegagalan pasar - kegagalan informasi 61
8. Kesimpulan 65
9. Daftar Referensi 71
10. Lampiran-Lampiran 77
Lampiran I – Perkiraan hasil-hasil pendidikan 77
Lampiran II – Tabel regresi: kinerja perusahaan dan permasalahan-permasalahan
yang dihadapi 78
Lampiran III – Uji T Kesetaraan rata-rata (T Test equality of means) 79
Lampiran IV – Insiden-Insiden keamanan dan pertumbuhan 80
GambarGambar 1 PDB per kapita di Aceh hampir sama dengan rata-rata nasional 6
Gambar 2 Kerangka kerja, yang diadaptasi dari Hausmann, Rodrik dan Velasco (2005) 10
Gambar 3 Aceh telah mengalami pertumbuhan dengan laju yang lebih lambat dibandingkan
Indonesia hampir di sepanjang dasawarsa ini 15
Gambar 4 Upah minimum provinsi di Aceh telah meningkat lebih dibandingkan
daerah-daerah lain di Indonesia 19
Gambar 5 Kekerasan di Aceh – Jan 2005 sampai dengan Des 2008 24
Gambar 6 Kredit terhadap PDRB sangat rendah di Aceh 26
Diagnosis Pertumbuhan Acehiii
Juli 2009
Gambar 7 Tingkat peminjaman investasi riil di Aceh dan rata-rata nasional 27
Gambar 8 Tingkat peminjaman investasi nominal di Aceh dan rata-rata nasional 27
Gambar 9 Pertumbuhan PDB tidak bereaksi terhadap perbedaan suku bunga 28
Gambar 10 Tabungan per PDRB untuk provinsi-provinsi di Indonesia, 2006 29
Gambar 11 Dana-dana pemerintah menyumbangkan bagian yang besar dari simpanan di Aceh 29
Gambar 12 Sektor konstruksi dan perdagangan menerima bagian kredit yang relatif besar di Aceh 34
Gambar 13 Bagaimana perusahaan-perusahaan menilai kondisi dari jenis-jenis infrastruktur
yang berbeda 39
Gambar 14 Belanja pemerintah untuk infrastruktur di Aceh telah meningkat sejak tahun 2004 40
Gambar 15 Aceh kekurangan cadangan listrik siaga yang diperlukan untuk menghindari
gangguan pasokan 41
Gambar 17 Komposisi sektoral dari sampel survei The Asia Foundation / KKPOD 50
Gambar 16 Lingkungan Indonesia untuk menjalankan usaha masih relatif buruk di tahun 2009 49
Gambar 18 Kinerja perusahaan dan peristiwa-peristiwa kekerasan, per kabupaten 56
Gambar 19 Jumlah pelanggan telepon seluler di Aceh untuk penyedia layanan terkemuka
dan jumlah warnet 62
TabelTabel 1 Bagaimana konfl ik mepengaruhi perekonomian? 11
Tabel 2 Penciptaan lapangan kerja di Aceh 13
Tabel 3 Pertumbuhan ekonomi di Aceh 16
Tabel 4 Proyeksi tingkat kemiskinan Aceh dalam lima tahun (angka pada tahun 2008) 18
Table 5 Kredit investasi dan modal kerja sebagai bagian dari PDRB 26
Tabel 6 Suku bunga nomial rata-rata, Desember 2008 30
Tabel 7 Kredit investasi dan modal kerja sebagai bagian dari keseluruhan kredit 31
Tabel 8 Pendapatan dan kekayaan (hanya untuk laki-laki) 35
Tabel 9 Kondisi infrastruktur di Aceh dan Indonesia tahun 2005 38
Tabel 10 Kondisi Jalan di Aceh, 2006 39
Tabel 11 Tingkat elektrifi kasi di Aceh berada di tingkat yang sama dengan wilayah-wilayah
lain di Indonesia 41
Tabel 12 Capaian pendidikan 42
Tabel 13 Karakteristik dasar, perbandingan antara mantan Tentara Nasional Aceh (TNA),
korban sipil, dan non korban (khusus pria) 43
Tabel 14 Tenaga profesional dalam bidang kesehatan dan pendidikan 44
Tabel 15 Hasil pendidikan – perkiraan kenaikan upah 45
Tabel 16 Indeks persepsi korupsi 52
Tabel 17 Jenis penghidupan (khusus pria) 54
Tabel 18 Perbandingan kawan dan mitra usaha di kalangan mantan pejuang GAM (%) 55
Tabel 19 Ekspor non-migas Aceh, dalam AS$ 61
Tabel 20 Hambatan-Hambatan terhadap Pertumbuhan di Aceh 66
KotakKotak 1 Menguraikan dampak-dampak tsunami, rekonstruksi, dan berakhirnya konfl ik
terhadap pertumbuhan 8
Kotak 2 Data Investasi 18
Kotak 3 Merevitalisasi Pertanian Aceh 20
Kotak 4 Apakah konfl ik merupakan halangan untuk mengakses kredit? 32
Kotak 5 Industri-industri baru yang mulai berkembang di Aceh 62
ivDiagnosis Pertumbuhan Aceh
Pengantar
Aceh saat ini berada di persimpangan jalan. Searah dengan menurunnya usaha-usaha rekonstruksi yang
sebelumnya telah menghasilkan tingkat pertumbuhan yang tinggi disektor-sektor ekonomi tertentu
(misalnya konstruksi, perdagangan dan transportasi), kondisi ekonomi Aceh tercatat terus menurun.
Kondisi penurunan ekonomi secara alamiah ini juga berhubungan dengan dampak negatif krisis keuangan
global. Fakta juga menunjukkan bahwa sebenarnya ekonomi Aceh belum sembuh dari dampak negatif
konfl ik yang terjadi selama 30 tahun.
Berakhirnya masa konfl ik pada tahun 2005 dan berlanjutnya masa-masa damai merupakan pencapaian
besar. Beberapa daerah konfl ik biasanya kembali ke suasana konfl ik dalam tahun-tahun awal kesepakatan
damai. Namun tidak untuk Aceh. Meskipun sempat memanas dalam Pemilu legislatif dalam bulan April
lalu, namun secara umum kondisi keamanan mengalami perkembangan yang menggembirakan. Hal
ini menunjukkan komitmen yang tinggi dari kedua belah pihak termasuk pemerintah pusat untuk terus
memelihara perdamaian sehingga mendorong pembangunan yang lebih baik.
Laporan ini menunjukkan bahwa beberapa investor masih memandang Aceh sebagai daerah yang berisiko
untuk berinvestasi, meskipun fakta menunjukkan bahwa Aceh relative aman selama kurun waktu hampir
4 tahun. Beberapa insiden keamanan, yang lazim terjadi di daerah pasca konfl ik, menghambat pelaku
usaha dan individu untuk berinvestasi di Aceh. Dampak lain dari konfl ik juga masih adanya pajak-pajak
illegal, yang pada akhirnya mengurangi minat investasi. Pemerintah Aceh menyadari bahwa sebelum
pelaku usaha dan masyarakat merubah persepsi mereka tentang keamanan di Aceh dan merasa percaya
diri bahwa mereka dapat memperoleh manfaat penuh dari investasi mereka, hanya sedikit investasi
akan datang. Akhirnya, pertumbuhan propinsi ini akan terbatas dan upaya-upaya untuk mengurangi
kemiskinan akan kurang efektif.
Terdapat masalah lain yang mempengaruhi perekonomian Aceh. Yaitu termasuk lingkungan usaha,
akses pada permodalan dan kualitas infrastruktur. Laporan ini mencoba menunjukkan bagaimana faktor-
faktor yang berbeda ini berpengaruh pada investasi dan pertumbuhan, dan memberikan rekomendasi
pada upaya pemerintah dalam memperioritaskan dan merubah kebijakan untuk meningkatkan iklim
investasi
Meningkatkan kemakmuran masyarakat merupakan hal yang penting untuk menjaga perdamaian. Karena
lingkungan konfl ik dan pasca konfl ik yang tidak positif dapat memperburuk investasi dan pertumbuhan
ekonomi. Konfl ik yang ada di Aceh tidak dapat disederhanakan menjadi hanya isu lapangan pekerjaan
dan ketimpangan sosial. Akarnya jauh lebih rumit dan memelihara perdamaian lebih penting dari sekedar
pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, kami percaya bahwa manakala masyarakat dalam keadaan
stabil dan menikmati penghasilan yang layak, maka kekacauan akan menurun. Tentunya menghilangkan
hambatan pertumbuhan dan investasi adalah penting. Karena pada akhirnya dapat membuat propinsi
ini terus tumbuh dengan tingkat hidup yang lebih baik bagi masyarakat, serta membantu terjaganya
perdamaian.
Joachim von Amsberg
Direktur Bank Dunia
Indonesia
Diagnosis Pertumbuhan Acehv
Juli 2009
Ucapan Terima Kasih
Laporan ini disusun oleh unit Manajemen Ekonomi dan Penanggulangan Kemiskinan Asia Timur
Bank Dunia, yang bekerjasama dengan Unit Pembangunan Sosial. Tim penyusun laporan ini diketuai
oleh Enrique Blanco Armas dan terdiri atas Patrick Barron, David Elmaleh, dan Harry Masyrafah. Kami
sangat berterima kasih atas masukan-masukan berharga yang diberikan oleh banyak orang selama
penyusunan laporan ini, termasuk Enrique Aldaz-Carroll, Achmad Budiman, Tim Bulman, Yoko Doi, Said
Fauzan Baabud, Wolfgang Fengler, Fitria Fitrani, Scott Guggenheim, Ahya Ihsan, Islahuddin, Kai Kaiser,
Neni Lestari, Lina Marliani, Lloyd McKay, Adrian Morel, Nazamuddin, David Newhouse, Blair Palmer, Peter
Rosner, Rodrigo Wagner, Susan Wong, Robert Wrobel, Sukmawah Yuningsih, dan Wasi Abbas. Kami juga
ingin mengucapkan terima kasih kepada para rekan peninjau (peer reviewer), Elena Ianchovichina dan
Nicola Pontara, yang telah memberikan masukan-masukan berharga. Rizki Atina yang telah memberikan
bantuan untuk tim, Peter Milne dan Arsianti yang telah membantu dengan melakukan penyuntingan
dan produksi laporan ini.
Dalam melaksanakan penelitian ini, tim mendapatkan bantuan dari sebuah survei kecil dan serangkaian
wawancara yang dilakukan dengan para pelaku usaha dan bank-bank di Aceh. Bimbingan dari Bank
Indonesia dalam melaksanakan survei ini sangat penting, dan kami secara khusus berterima kasih kepada
Yusran dan Eko Hermonsyah dari Bank Indonesia atas bantuannya. Penelitian ini juga mendapatkan banyak
bantuan dari survei di tingkat perusahaan yang dilakukan oleh KPPOD dan The Asia Foundation di Aceh
pada tahun 2008. Keduanya setuju untuk memberikan hasil-hasil surveinya kepada kami, meluangkan
waktu yang cukup banyak untuk membahas survei tersebut dan hasil-hasilnya dengan tim. Kami
ingin berterima kasih khususnya pada Romawaty Sinaga, Adam Day, dan Erman Rahman dari The Asia
Foundation. Kami juga menggunakan hasil dari survei Reintegrasi Aceh dan Penghidupan (ARLS), yang
dilakukan oleh Nielson Indonesia dengan bantuan dana dari Department for International Development
(Departemen Pembangunan Internasional (DFID)) Inggris. Diskusi yang kami lakukan dengan Laura Paler
(Columbia) dan Yuhki Tajima (Riverside) bermanfaat bagi kami dalam penafsiran data.
Tim juga telah mempresentasikan versi awal dari laporan ini dalam Konferensi Internasional tentang Kajian
Aceh dan Kawasan Samudra Hindia (ICAIOS) kedua yang bertajuk “Konfl ik Sipil dan Penanggulangannya”,
di Banda Aceh, dari tanggal 23 sampai 24 Februari 2009. Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada
para penyelenggara, Universitas Syiah Kuala, IAIN Ar-Raniry dan the Asia Research Institute (ARI) Universitas
Nasional Singapura, serta para peserta konferensi tersebut, karena telah memberikan kepada kami
kesempatan untuk menyajikan hasil-hasil awal dan memberikan kepada tim tanggapan-tanggapan yang
matang tentang makalah yang disajikan. Hasil-hasil awal juga telah dipresentasikan kepada Pemerintah
Aceh pada bulan April 2009 untuk menjelaskan hasil temyan awal dan untuk memperoleh umpan balik
dari Pemerintah tentang kegiatan kami. Ucapan terima kasih kami haturkan kepada T. Said Mustafa dari
Kantor Gubernur Aceh yang telah memfasilitasi pertemuan tersebut, serta kepada semua peserta yang
telah meluangkan waktunya dan memberikan tanggapan-tanggapan yang bermanfaat kepada tim.
Akhirnya, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada Vikram Nehru, Joachim von Amsberg, dan William
Wallace, yang telah memberikan bimbingan menyeluruh kepada kami, atas dukungan, bimbingan, serta
masukan-masukan bermanfaat yang telah diberikan sepanjang proses penyusunan laporan ini.
viDiagnosis Pertumbuhan Aceh
Daftar Istilah
APKO Asosiasi Penguasaha Kopi
ARLS Aceh Reintegration and Livelihood Survey
ARI Asia Research Institute
ATAP Aceh Triple-A Project
BI Bank Indonesia
BPS Biro Pusat Statistik
CSIRO Australia’s Commonwealth Scientifi c and Industrial Research Organization
DAU Dana Alokasi Umum
DFID Department for International Development
GAM Gerakan Aceh Merdeka
GDP Gross Domestic Product
GER Gross Enrollment Rate
GRDP Gross Regional Domestic Product
GwH Gigawatt Hour
IAIN Institut Agama Islam Negeri
ICAIOS International Conference on Aceh and Indian Ocean Studies
ICG International Consultative Group
IFC International Finance Corporation
IOM International Organization for Migration
IOO Investment Outreach Offi ce
KDP Kecamatan Development Program
KPM Business Empowerment Credit Program
KPPOD Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah
KTP Kartu Tanda Penduduk
KUR Kredit Usaha Rakyat
kVA Kilo Volt Ampere
LDR Loan to Deposit Ratio
LOGA The Law on Governing Aceh
MIGA Multilateral Investment Guarantee Agency
MoU Memorandum of Understanding
MSME Micro, Small and Medium Enterprises
MSR Multi Stakeholder Review
NAD Nanggroe Aceh Darussalam
NER Nett Enrollment Rate
NGO Non Government Organization
NPL Non Performing Loan
PDRB Produk Domestik Regional Brutto
PEG Poverty Elasticities of Growth
PER Pemberdayaan Ekonomi Rakyat
PLN Perusahaan Listrik Negara
PMA Penanaman Modal Asing
PMDN Penanaman Modal Dalam Negeri
Pusdatin Pusat Data dan Informasi
Diagnosis Pertumbuhan Acehvii
Juli 2009
RPJMD Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
RUPTL Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik
Sakernas Survey Tenaga Kerja Nasional
SMA Sekolah Menengah Atas
SME Small Medium Enterprise
Susenas Survey Sosial Ekonomi Nasional
TAF The Asia Foundation
TNA Tentara Negara Aceh
TNI Tentara Nasional Indonesia
UN United Nations
Diagnosis Pertumbuhan Aceh1
Hambatan-hambatan terhadap investasi dan pertumbuhan di Aceh perlu segera ditangani.
Seiring dengan berakhirnya masa rekonstruksi, pertumbuhan ekonomi kembali menurun, seperti
pada saat sebelum terjadinya tsunami. Perekonomian Aceh mengalami penurunan sebesar lebih dari
8 persen di tahun 2008. Sedangkan perekonomian dari sektor non-migas menunjukkan pertumbuhan
yang cukup rendah, yaitu sebesar 1,9 persen, jauh di bawah pertumbuhan di tingkat nasional sebesar 6
persen. Pertumbuhan di Aceh pasca tsunami didominasi oleh sektor-sektor yang berkaitan erat dengan
upaya rekonstruksi, seperti konstruksi, perdagangan, dan transportasi. Seiring dengan akan berakhirnya
upaya rekonstruksi, pertumbuhan sektor-sektor tersebut telah melambat, sementara pelambatan
tersebut belum diisi oleh sektor-sektor lain dalam perekonomian (misalnya, pertanian dan industri). Pada
saat di mana cadangan minyak dan gas yang diketahui semakin menipis dengan cepat dan program
rekonstruksi pasca tsunami tidak lagi menjadi motor penggerak pertumbuhan, sektor swasta perlu
menjadi mesin penggerak pertumbuhan, meningkatkan produktifi tas, dan membentuk kembali sektor
produktif agar tidak lagi bergantung pada sektor minyak dan gas, dan membantu transisi Aceh menjadi
perekonomian yang modern.
Dengan menggunakan kerangka diagnosa pertumbuhan, laporan ini mengidentifi kasi
kurangnya pasokan listrik yang dapat diandalkan sebagai hambatan utama terhadap investasi
dan pertumbuhan di Aceh. Berbagai perusahaan di Aceh melaporkan bahwa pasokan listrik mengalami
gangguan rata-rata 4,3 kali per minggu, lebih dari dua kali lipat dari jumlah gangguan yang dialami oleh
daerah-daerah lain di Indonesia. Usaha manufakturing dan pengolahan hasil pertanian merupakan sektor
yang secara khusus sangat dirugikan apabila terjadi pemadaman listrik. Hal ini menyebabkan sejumlah
usaha kecil yang tidak memiliki generator sendiri tidak dapat menjalankan kegiatannya. Selain untuk
meningkatkan tingkat keandalan pasokan energi dari Sistem Interkoneksi Sumatera, Pemerintah Aceh
dapat mempertimbangkan untuk upaya-upaya pembaruan untuk menarik investasi dari sektor swasta
dalam bidang energi dengan (i) merevisi penetapan harga listrik yang dihasilkan oleh pihak swasta untuk
didistribusikan melalui PLN, (ii) mendorong keikutsertaan sektor swasta dalam pembangkitan listrik dari
sumber-sumber energi yang dapat diperbaharui (panas bumi, biomassa setempat, energi matahari),
dan (iii) menjajaki kemungkinan kemitraan pemerintah-swasta untuk menarik para produsen listrik yang
hemat biaya.
Hambatan utama lainnya terhadap investasi dan pertumbuhan di Aceh adalah masalah
pungutan liar dan masalah keamanan yang masih menjadi perhatian para calon investor. Hal
tersebut harus menjadi fokus instansi-instansi terkait dalam upaya untuk menarik investasi di
Aceh. Sisa-sisa konfl ik di Aceh masih terus menghambat pertumbuhan. Konfl ik dapat menimbulkan
dampak yang mendasar pada lembaga-lembaga ekonomi, sosial, dan politik yang menjadi landasan
pertumbuhan. Dampak-dampak tersebut mempengaruhi bagaimana perekonomian berfungsi dalam
Ringkasan Eksekutif
2Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Ringkasan Eksekutif
masa pasca konfl ik. Selain pengaruh-pengaruh destruktif langsung, dampak-dampak tersebut juga dapat
membahayakan keamanan para individu dan masyarakat dengan cara-cara yang secara tidak langsung
mengubah perilaku, preferensi, dan fungsi kelembagaan. Kekhawatiran akan keamanan dan persepsi
negatif di luar Aceh nampaknya merupakan faktor yang kuat yang menghalangi investasi di provinsi
tersebut. Pungutan liar dan masalah-masalah keamanan dianggap sebagai hambatan-hambatan
yang sangat besar oleh usaha-usaha: 9,3 persen dari usaha-usaha tersebut menyatakan keamanan
dan kemudahan penyelesaian konfl ik sebagai hambatan di Aceh, dibandingkan dengan angka di
provinsi-provinsi yang lain yang hanya mencapai 4 persen. Kabupaten-kabupaten tempat terjadinya
insiden-insiden yang paling hebat sejak penandatanganan Kesepakatan Damai cenderung merupakan
kabupaten-kabupaten di mana perusahaan-perusahaan mencatat kinerja yang lebih rendah. Secara
rata-rata. satu dari empat usaha swasta menyatakan mengeluarkan biaya untuk tambahan keamanan.
Persepsi peningkatan risiko juga dapat juga menimbulkan kurangnya kredit untuk sektor swasta. Semua
hal tersebut meningkatkan ketidakpastian dalam menjalankan usaha di Aceh. Berbagai perusahaan
mencoba mengatasi ketidakpastian tersebut dengan menjalin kerjasama dengan prusahaan-perusahaan
atau jaringan-jaringan setempat yang dapat menawarkan perlindungan dan rasa aman, walaupun hal
tersebut tidak selalu mungkin dilakukan.
Upaya untuk mengatasi kekhawatiran para calon investor tentang keamanan dan pemberantasan
pungutan liar serta suap membutuhkan strategi dua arah: memperkuat supremasi hukum dan
menangani hal-hal yang menjadi penyebab timbulnya ancaman kekerasan dan keamanan. Untuk
memperkuat supremasi hukum, instansi-instansi terkait harus meningkatkan kapasitas kepolisian untuk
melakukan penyelidikan dan menyelesaikan kasus-kasus kejahatan, serta kapasitas sistem peradilan
untuk menuntut dan menghukum para pelaku kejahatan. Hal tersebut mungkin membutuhkan modal
politik yang cukup besar, yang sama pentingnya dengan modal yang diperlukan untuk membangun
konstituen yang diperlukan yang akan mendukung reformasi tersebut, dengan melibatkan masyarakat
madani dan sektor swasta dalam diskusi-diskusi dan pemantauan situasi keamanan. Untuk menangani
faktor-faktor penyebab yang mendasar dari ancaman kekerasan dan keamanan, instansi-instansi terkait
harus mendukung pertumbuhan dan pembangunan ekonomi di daerah-daerah yang dilanda konfl ik,
dengan fokus pada kelompok-kelompok yang berisiko dan rentan. Apabila bantuan hanya diberikan
kepada para mantan pejuang GAM, maka hal tersebut mungkin kurang efektif dan akan menimbulkan
masalah baru serta kecemburuan lainnya.
Situasi keamanan yang lebih baik dan penghapusan pungutan dan pajak liar kemungkinam
besar akan mendorong meningkatnya investasi dan pertumbuhan. Seiring dengan pengurangan
biaya-biaya yang terkait dengan keamanan dan pungutan liar, perusahaan dan para individu akan dapat
lebih mudah menilai biaya-biaya dan hasil investasinya secara lebih pasti dan tentunya akan melakukan
investasi apabila investasi tersebut secara jelas dapat berkembang. Mengingat terbatasnya kapasitas dan
modal politik yang harus dimiliki oleh instansi-instansi pemerintah daerah untuk melaksanakan reformasi,
reformasi harus terlebih dahulu difokuskan pada sektor-sektor yang menghasilkan pertumbuhan yang
berkesinambungan dan menyeluruh dengan penciptaan lapangan pekerjaan dan pemerataan manfaat
pertumbuhan ekonomi secara luas.
Sifat inklusif dari pertumbuhan ekonomi menjadi sangat relevan dalam situasi pasca konfl ik.
Pertumbuhan harus bersifat inklusif, lintas sektoral dan bermanfaat bagi sebagian besar dari angkatan
kerja, terutama masyarakat miskin sebagai produsen. Pertumbuhan inklusif di Aceh akan timbul dari
pertumbuhan sektor-sektor yang menjadi sumber mata pencaharian mayoritas masyarakat miskin, yaitu
pertanian dan perikanan. Pertumbuhan inklusif juga akan didorong oleh penciptaan lapangan pekerjaan
di sektor-sektor padat karya, agribisnis, sektor manufaktur lain, dan sejumlah sektor jasa, terutama
perdagangan dan transportasi. Khususnya di lingkungan pasca konfl ik seperti Aceh, kekhawatiran akan
masalah keadilan dan kepastian bahwa ’para pihak yang berpotensi akan mengganggu perdamaian’
merupakan sebuah masalah yang penting.
Diagnosis Pertumbuhan Aceh3
Juli 2009
Pertumbuhan yang inklusif dan merata yang bermanfaat bagi mayoritas penduduk, juga
memberikan perhatian khusus terhadap peluang terhadap ‘pihak yang berpotensi akan
mengganggu perdamaian’, harus menjadi bagian dari setiap strategi untuk memelihara
perdamaian di provinsi Aceh. Strategi umum untuk mengatasi persoalan keamanan dan konfl ik harus
mencakup upaya untuk mendorong pertumbuhan yang inklusif dan merata. Upaya untuk mengatasi
hambatan-hambatan yang telah teridentifi kasi akan bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan,
sehingga meningkatkan kemampuan masyarakat miskin dan rentan di Aceh untuk merasakan manfaat
dari pertumbuhan. Terdapat pula intervensi khusus untuk memastikan agar pertumbuhan bersifat inklusif.
Intervensi tersebut antara lain berupa upaya umtuk terus fokus pada sektor pertanian (namun juga
dengan meningkatkan layanan publik lainnya, seperti pemberian kredit, irigasi, dll.). Intervensi tersebut
juga termasuk memulihkan ketidakadilan yang ada baik dalam modal manusia maupun modal fi sik
dengan menambah keterampilan masyarakat miskin di daerah-daerah pedesaan. Pemerataan manfaat
pertumbuhan akan memberikan masyarakat Aceh tanggung jawab yang besar atas perdamaian dan
stabilitas, sehingga pada akhirnya memperkecil kemungkinan terulangnya konfl ik.
Diagnosis Pertumbuhan Aceh5
01
Laporan ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang menjadi penghambat pertumbuhan
di Aceh. Pada saat di mana cadangan minyak dan gas tercatat semakin menipis dan program rekonstruksi
pasca tsunami yang akan segera berakhir, sektor swasta harus menjadi mesin penggerak pertumbuhan.
Sektor swasta yang kuat dapat meningkatkan produktifi tas dan dapat membantu menciptakan investasi
baru dalam sektor industri tradisional dan non tradisional. Hal ini pada akhirnya menciptakan sektor industri
produktif lainnya di samping sektor migas dan membantu transisi Aceh untuk menjadi perekonomian
yang modern. Berbagai tantangan terhadap perekonomian Aceh telah banyak didokumentasikan secara
luas. Laporan ini bertujuan mengidentifi kasi dan memahami secara lebih rinci persoalan-persoalan
pertumbuhan ekonomi yang paling mendesak untuk di perbaiki dan bagaimana upaya reformasi yang
tepat terkait dengan perkembangan dan pertumbuhan sektor swasta.
Laporan ini menggunakan Kerangka Diagnosa Pertumbuhan yang dikembangkan oleh Hausmann,
Rodrik, dan Velasco (2005) yang bertujuan untuk mengidentifi kasi masalah-masalah utama yang
menghambat pertumbuhan perekonomian Aceh dan harus segera menjadi fokus utama dari kebijakan
ekonomi. Masalah-masalah tersebut disebut sebagai hambatan-hambatan utama1. Kerangka ini telah
di modifi kasi sedemikian rupa agar dapat diterapkan dengan latar belakang daerah yang merupakan
daerah pasca konfl ik. Penggunaan kerangka ini dalam latar tersebut memiliki beberapa keterbatasan.
Pada daerah pasca konfl ik, persoalan-persoalan seperti, struktur dasar sosial, dan memastikan bahwa
“pihak yang berpotensi akan mengganggu perdamaian” yang juga merasakan manfaat dari pertumbuhan,
menjadi semakin penting dan tidak dapat ditangani secara mudah dengan menggunakan kerangka
diagnosa pertumbuhan. Terdapat hambatan yang penting terkait dengan ketersediaan data di tingkat
daerah, khususnya minimnya data investasi sektor swasta yang dapat diandalkan. Meski demikian,
laporan ini dapat digunakan sebagai masukan yang berharga dalam proses pengambilan keputusan
politik, memberikan wawasan tentang apa yang menghambat investasi dan pertumbuhan sektor swasta
di Aceh, dan dampak yang terjadi di daerah pasca konfl ik. Laporan ini mengidentifi kasi hambatan-
hambatan terhadap investasi dan pertumbuhan. Di dalam berbagai bagian dalam laporan ini, analisis
yang dilakukan untuk menjawab beberapa pertanyaan seperti ; apakah hambatan-hambatan terhadap
investasi timbul dari tingginya biaya atau rendahnya akses terhadap kredit, ketidakmampuan untuk
menghasilkan laba atas investasi karena rendahnya hasil investasi sosial atau rendahnya tingkat laba atas
investasi yang mungkin diperoleh.
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu faktor pendorong utama bagi upaya pengentasan
kemiskinan di banyak negara. Namun dampak pertumbuhan pada upaya pengentasan kemiskinan
dan kesinambungan pertumbuhan sangat bergantung pada laju dan pola pertumbuhan. Di
1 Pendekatan ini didasari oleh dalil bahwa faktor-faktor penentu pertumbuhan lebih merupakan pelengkap daripada pengganti.
Oleh karena itu, semua tindakan kebijakan tidak akan memiliki dampak yang sama pada pertumbuhan, karena sejumlah
faktor penentu relatif lebih rendah daripada faktor-faktor penentu yang lain. Hambatan-hambatan utama adalah faktor-faktor
penentu pertumbuhan tersebut yang apabila dikurangi, akan menghasilkan dampak positif langsung tertinggi pada kinerja
pertumbuhan.
Pendahuluan
6Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Pendahuluan
Indonesia, pertumbuhan dari pertengahan tahun 1960-an hingga terjadinya krisis keuangan pada tahun
1997-98 merupakan pertumbuhan yang memihak pada masyarakat miskin dikarenakan meningkatnya
produktifi tas dalam bidang pertanian dan perluasan sektor-sektor padat karya (World Bank, 2006a).
Struktur perekonomian Aceh, yang sangat bergantung pada sektor minyak dan gas dengan sedikit peluang
terhadap ketenagakerjaan dan kaitannya dengan sektor-sektor perekonomian yang lain, menunjukkan
bahwa rendahnya pertumbuhan tidak dapat diejawantahkan ke dalam tingkat kemiskinan yang lebih
rendah (World Bank, 2008a). Tingkat pertumbuhan Aceh tercatat cukup lambat dan berfl uktuatif yang
juga menjelaskan penyebab dari tingginya angka kemiskinan di Aceh. Dengan tidak menyertakan sektor
migas dari sumber-sumber pendapatan daerah, PDB Aceh per kapita yang berjumlah Rp 11 juta (sekitar
AS$1.000) hampir sama dengan jumlah rata-rata di tingkat nasional pada tahun 2006 (Gambar 1). Hal
tersebut bertolak belakang dengan angka kemiskinan. Aceh merupakan salah daerah dengan angka
kemiskinan tertinggi di Indonesia, sebesar 23,5 persen di tahun 2008. Pertumbuhan di sektor non-migas
menguat sebesar lebih dari 7 persen pada tahun 2006 dan 2007, namun angka ini hanya sedikit lebih
tinggi daripada pertumbuhan rata-rata di tingkat pusat, meskipun terdapat aliran dana rekonstruksi
yang sangat besar yang masuk ke provinsi Aceh. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang prospek
pertumbuhan seiring dengan berkurangya aliran dana rekonstruksi: Tingkat pertumbuhan awal untuk
tahun 2008 menunjukkan bahwa pertumbuhan di sektor non-migas telah melambat sampai dengan
1,9 persen dibandingkan dengan pertumbuhan di tingkat pusat yang mencapai lebih dari 6 persen.
Pertumbuhan yang inklusif dan berkesinambungan, terutama di sektor non-migas, perlu dicapai untuk
menurunkan angka kemiskinan di provinsi tersebut secara signifi kan.
Gambar 1 PDB per kapita di Aceh hampir sama dengan rata-rata nasional
PDRB non-migas per kapita, tahun 2006 (nilai saat ini)
-
10,000,000
20,000,000
30,000,000
40,000,000
50,000,000
60,000,000
Prop. M
aluku U
tara
Prop. M
aluku
Prop. N
usa Tenggara Ti
mur
Prop. G
oronta
lo
Prop. S
ulawesi Barat
Prop. L
ampung
Prop. N
usa Tenggara Barat
Prop. B
engkulu
Prop. S
ulawesi Selatan
Prop. S
ulawesi Tenggara
Prop. Ja
wa Tengah
Prop. S
ulawesi Tengah
Prop. Ja
mbi
Prop. K
alimantan Barat
Prop. Y
ogyakarta
Prop. P
apua Barat
Prop. S
umatra
Selatan
Prop. S
ulawesi Uta
ra
Prop. B
anten
Prop. K
alimantan Selatan
Prop. B
ali
Prop. N
anggroe Aceh D
arussalam
Prop. K
alimantan Te
ngah
Prop. Ja
wa Barat
Prop. S
umatra
Barat
Prop. S
umatra
Uta
ra
Prop. Ja
wa Tim
ur
Prop. R
iau
Prop. B
angka Belitung
Prop. P
apua
Prop. K
alimantan Ti
mur
Prop. K
epulauan Riau
Prop. D
KI Jakarta
ACEH
Sumber: BPS dan perhitungan staf Bank Dunia
Salah satu faktor penentu utama pertumbuhan adalah insentif-insentif yang diberikan oleh
pemerintah guna mendorong sektor swasta dan para individu untuk melakukan investasi.2
Investasi menyebabkan terjadinya akumulasi modal (fi sik, manusia) dan dapat menimbulkan kemajuan
teknologi, dengan demikian meningkatkan produktifi tas. Investasi memungkinan penerapan teknologi-
teknologi baru, menjangkau pasar-pasar baru dan memperkenalkan peningkatan proses usaha dapat
2 Teori pertumbuhan telah banyak berevolusi dalam beberapa dekade terakhir dengan berusaha mengidentifi kasi faktor-faktor
penentu pertumbuhan. Model pertumbuhan klasik, yang berfokus pada akumulasi modal manusia dan modal, atau model
pertumbuhan neoklasik (Solow, 1956), yang mengamati tingkat tabungan dan memperkenalkan konsep kemajuan teknologi,
tidak dapat menjelaskan perbedaan angka-angka pertumbuhan di seluruh negara. Teori pertumbuhan endogen (Romer, 1990)
memperkenalkan konsep insentif untuk inovasi, dampak ikutan, dan Litbang dan bagaimana hal-hal tersebut penting untuk
menghasilkan pertumbuhan produktifi tas. Model-model pertumbuhan modern berfokus pada latar dan kebijakan-kebijakan
kelembagaan yang memberikan insentif yang benar untuk investasi (Aghion and Howitt, 1992). Pencarian faktor-faktor penentu
pertumbuhan yang dapat memandu pembuatan kebijakan masih jauh dari kata usai, namun terdapat kesepakatan bahwa
investasi merupakan faktor penentu utama pertumbuhan.
Diagnosis Pertumbuhan Aceh7
Juli 2009
memiliki dampak ikutan positif yang bermanfaat bagi perekonomian secara keseluruhan. Pemerintah
provinsi Aceh menyadari hal ini dan telah berupaya untuk menarik investasi swasta yang secara nyata
tersaji dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) dan prakarsa-prakarsa lain
yang diusung oleh pemerintah provinsi, seperti “Aceh Hijau”.3 Namun demikian, tingkat investasi di Aceh
tertinggal dari daerah-daerah lain di Indonesia. Tidak ada data tentang investasi yang dapat diandalkan,
terutama tentang investasi swasta, namun bukti yang ada menunjukkan tingkat investasi tersebut sangat
rendah. Investasi sebagai bagian dari PDB berjumlah sekitar 13 persen pada tahun 2008 di Aceh, jauh
lebih rendah dari porsi di tingkat pusat yang berjumlah 24 persen. Kredit investasi, yang kurang dari 8
persen dari PDB, juga tercatat rendah di Aceh dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia,
sebagaimana ditunjukkan oleh data dari Bank Indonesia.
Investasi pemerintah penting bagi pertumbuhan dalam hal bahwa pemerintah menyediakan
barang dan layanan publik yang tidak akan dapat disediakan oleh pasar atau dapat disediakan
oleh pasar dalam jumlah yang kurang memadai. Barang-barang dan layanan-layanan tersebut,
seperti prasarana umum, dapat memberikan manfaat bagi semua pelaku perekonomian dengan biaya
marjinal yang terbatas bagi pengguna tambahan, menciptakan eksternalitas positif di mana laba atas
investasi sosial lebih tinggi daripada laba atas investasi swasta. Sebagai akibat dari eksternalitas tersebut,
apabila diserahkan kepada sektor swasta, penyediaan barang-barang dan layanan publik tersebut tidak
memadai dan hasilnya kurang optimal dari segi sosial. Infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan keamanan
adalah sejumlah bidang yang lebih menonjol di mana pemerintah memiliki peranan yang penting.
Kajian terbaru (Moreno-Dodson, 2008) yang dilakukan oleh Bank Dunia di sejumlah negara berkembang,
termasuk Indonesia, menunjukkan hubungan yang positif antara belanja publik dan pertumbuhan,
terutama apabila alokasi belanja berfokus pada penyediaan barang-barang publik dibandingkan dengan
pemberian subsidi atau penyediaan barang-barang dan masukan-masukan dari swasta. Kajian tersebut
juga menunjukkan bahwa investasi publik melengkapi (dan tidak menggantikan) investasi swasta sebagai
penggerak pertumbuhan.
Laporan ini berfokus pada analisis atas hambatan-hambatan terhadap investasi sektor
swasta, dengan tetap mengakui peran penting yang dimiliki oleh investasi pemerintah dalam
meningkatkan pertumbuhan, yang paling menonjol melalui penyediaan barang-barang publik.4
Laporan ini berasumsi bahwa terkait dengan investasi dalam usaha, sektor swasta lebih efektif dalam
menghasilkan jenis inovasi dan pertumbuhan produktifi tas yang diperlukan untuk memelihara tingkat
pertumbuhan dibandingkan dengan pemerintah. Pemerintah merupakan investor swasta yang kurang
optimal. Para investor swasta kemungkinan memiliki informasi yang lebih baik karena mereka memiliki
pemahaman tentang usaha tertentu. Dibandingkan dengan para pelaku usaha swasta yang umumnya
digerakkan oleh laba, pemerintah memiliki serangkaian tujuan yang lebih luas yang dapat mengakibatkan
inefi siensi dalam pengelolaan badan usaha milik negara. Karena badan usaha tersebut seringkali tidak
dihadapkan dengan hambatan anggaran yang besar, sebagai akibatnya, mereka mungkin dapat melakukan
investasi dengan cara-cara yang sama sekali tidak dapat menghasilkan laba. Investasi pemerintah dapat
mengalahkan investasi swasta karena mereka mungkin khawatir akan adanya persaingan yang tidak
sehat dari badan usaha milik pemerintah. Yang lebih penting lagi, mengingat langkanya sumber daya
dan adanya kebutuhan akan perbaikan penyediaan layanan publik, pemerintah harus berfokus untuk
memberikan layanan-layanan publik tersebut: infrastruktur yang modern, pendidikan yang lebih baik,
perbaikan layanan kesehatan dan lain-lain.
3 Aceh Hijau adalah sebuah prakarsa yang diluncurkan oleh Gubernur Aceh untuk melaksanakan visinya untuk “Strategi Investasi
dan Pembangunan Ekonomi Hijau untuk Aceh”, www.aceh-eye.org/data_fi les/english_format/economic/economic_analysis/
eco_analysis_2008_07_00.pdf
4 Mutu investasi pemerintah telah dianalisis dalam berbagai makalah analisa (World Bank, 2006b dan 2008b) dan sepanjang
makalah tersebut relevan, temuan-temuan tersebut telah dimasukkan ke dalam analisis ini. Terdapat keprihatian tentang
efi siensi belanja dan mutu investasi pemerintah di provinsi Aceh. Pemerintah setempat tidak kekurangan sumber daya,
namun tidak memiliki pengalaman untuk mengalokasikan sumber daya tersebut secara efi sien. Belanja untuk layanan umum
(kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur) cukup tinggi apabila dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain dan mutu layanan
secara umum setara dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia.
8Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Pendahuluan
Konfl ik turut memiliki andil dalam buruknya kinerja perekonomian Aceh dan, yang lebih penting
lagi, sisa-sisa konfl ik dapat terus menghambat pertumbuhan dalam waktu dekat ini.5 Laporan ini
mencoba mengungkap apa saja dampak yang ditimbulkan oleh konfl ik yang berkepanjangan antara
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia pada pertumbuhan dan investasi. Masa-masa
kekerasan bersenjata telah menjadi bagian dari sejarah Aceh setidak-tidaknya sejak jaman penjajahan
(Reid, 2006), yang terbaru adalah konfl ik separatis antara GAM dan Pemerintah Indonesia. Kekerasan
telah mengalami pasang surut sejak tahun 1976, yang mengakibatkan sekitar 12.000 sampai dengan
20.000 meninggal (Aspinall, 2009b), lebih dari 100.000 orang harus mengungsi (IOM, 2008), trauma yang
tersebar luas (IOM/Harvard Medical School, 2007), dan kerusakan infrastruktur yang signifi kan (World
Bank/KDP, 2007; MSR, 2009). Segera setelah terjadinya tsunami, situasi politik di Aceh berubah secara
dramatis dengan berakhirnya konfl ik antara GAM dan Pemerintah Indonesia. Konfl ik tersebut berakhir
dengan penandatanganan Nota Kesepahaman Helsinki oleh GAM dan Pemerintah Indonesia pada
tanggal 15 Agustus 2005. Walaupun demikian, periode pasca konfl ik menimbulkan tantangan-tantangan
baru. Sekurang-kurangnya 10.000 mantan pejuang dan penduduk sipil GAM menghadapi tantangan-
tantangan reintegrasi (Barron and Burke, 2008). Nazamuddin (2008) berpendapat bahwa tantangan
utama dalam pelaksanaan reintegrasi bagi para mantan pejuang GAM adalah lapangan kerja, di mana
75 persen anggota GAM yang kembali ke kampung halaman masih menganggur pada tahun 2006
(World Bank, 2006c), sehingga mereka bergantung pada sanak keluarganya. Meskipun sebagian besar
dari mereka telah kembali bekerja, banyak yang melakukan pekerjaan terkait dengan rekonstruksi pasca
tsunami, sehingga menimbulkan potensi masalah setelah berakhirnya program tersebut (MSR, 2009).
Naiknya tingkat kekerasan yang baru-baru ini terjadi menunjukkan bahwa stabilitas dan perdamaian Aceh
tidak dapat dianggap mudah (World Bank, 2009; ICG, 2009). Laporan ini berupaya menguraikan berbagai
macam dampak yang ditimbulkan oleh komfl ik pada struktur perekonomian masyarakat Aceh dan
bagaimana sisa-sisa peperangan terus membentuk insentif untuk investasi dalam masa pasca-konfl ik.
Kotak1 Menguraikan dampak-dampak tsunami, rekonstruksi, dan berakhirnya konfl ik terhadap
pertumbuhan
Setiap analisis tentang perekonomian Aceh setelah tsunami dan berakhirnya konfl ik akan menghadapi suatu
tantangan: muara dari serangkaian kejadian-kejadian dramatis yang berdampak besar pada perekonomian, sehingga
pengidentifi kasian penyebab-penyebab dan dampak-dampak sangat sulit untuk dilakukan. Laporan ini, yang
berupaya menganalisis pertumbuhan dan hambatan-hambatan terhadap pertumbuhan, menghadapi masalah
yang serupa. Pada tahun 2004, perekonomian mengalami penurunan, karena konfl ik yang berkepanjangan dan
menipisanya cadangan gas. Pada bulan Desember 2004, gempa bumi yang dahsyat dan tsunami menghancurkan
Aceh. Kerusakan dan kerugian, diperkirakan sebesar AS$4,5 milyar, diperhitungkan mencapai 80 persen dari
PDB Aceh. Bantuan dan upaya rekonstruksi yang luar biasa dimulai tidak lama setelah itu, dengan lebih dari
AS$7 milyar dialokasikan untuk Aceh dalam jumlah tahun yang terbatas. Hal tersebut menyebabkan kaitan ke
belakang (backward linkage) dengan sektor-sektor lain dalam perekonomian, terutama di sejumlah sektor seperti
perdagangan, transportasi, dan konstruksi. Berakhirnya konfl ik pada bulan Agustus 2005 memungkinkan banyak
masyarakat Aceh untuk kembali melakukan kegiatan sehari-harinya dan kembali bekerja. Analisis atas dampak
dari setiap kejadian tersebut pada pertumbuhan merupakan analisis yang rumit, mengingat singkatnya jangka
waktu di mana semua hal tersebut terjadi. Laporan ini akan berupaya untuk melakukan hal tersebut dengan
menggunakan serangkaian indikator untuk menidentifi kasi daerah-daerah di Aceh yang terutama terdampak oleh
tsunami, upaya rekonstruksi, atau oleh dinamika konfl ik. Walaupun tidak sempurna, pendekatan tersebut telah
berhasil digunakan di masa lalu (misalnya, World Bank, 2008b). Walaupun demikian, hasil-hasilnya harus ditafsirkan
secara seksama mengingat mutu data dan kesulitan-kesulitan untuk menguraikan dampak-dampak dari kejadian-
kejadian yang berbeda tersebut.
5 Laporan ini menganalisis secara mendalam dampak konfl ik terhadap investasi dan pertumbuhan. Walaupun konfl ik merupakan
inti dari berbagai masalah yang dihadapi oleh Aceh pada saat ini, penting pula untuk mengakui bahwa Aceh bukanlah lingkungan
pasca konfl ik yang biasa. Aceh merupakan bagian dari suatu negara yang cukup besar, yang menawarkan tingkat stabilitas
politik dan ekonomi yang tinggi, serta pasar dalam negeri yang besar. Terkait dengan hal tersebut, kebanyakan persoalan
tersebut yang dapat mempengaruhi perekonomian pasca konfl ik yang lain (lemah atau gagalnya negara, ketergantungan
pada donor dan bantuan) sebagian besar tidak berlaku terhadap Aceh (lihat Barron, 2009).
Diagnosis Pertumbuhan Aceh9
Laporan ini menggunakan kerangka diagnosa pertumbuhan yang dikembangkan oleh
Hausmann, Rodrik, dan Velasco (2005). Bagian ini menjelaskan metodologi yang akan digunakan untuk
mengidentifi kasi hambatan yang paling utama terhadap pertumbuhan, serta bagaimana metodologi
ini disesuaikan dengan kondisi khusus di Aceh. Kerangka diagnosa pertumbuhan memberikan suatu
kerangka kerja untuk mengidentifi kasi, di antara begitu banyak masalah yang mungkin melanda suatu
perekonomian yang menjadi penghambat utama pertumbuhan, dan harus menjadi fokus utama
dari suatu kebijakan ekonomi. Pendekatan ini mengakui bahwa konteks-konteks negara atau daerah
tertentu memerlukan tindakan kebijakan yang berbeda untuk diterapkan. Selain itu, pendekatan ini
mengakui kenyataan bahwa pemerintah seringkali memiliki modal politik yang terbatas dan tidak dapat
melakukan reformasi besar-besaran yang sering bersifat kontraproduktif. Tujuan diagnosa ini adalah
untuk mengidentifi kasi hambatan(-hambatan) yang utama terhadap pertumbuhan yang bersifat khusus
dalam kasus yang diteliti dan yang harus menjadi target reformasi. Tidak ada cara kuantitatif lain untuk
mengukur semua hambatan potensial berdasarkan seberapa besarnya hambatan-hambatan tersebut,
namun suatu kombinasi analisis ekonomi dan pemahaman tentang keadaan ekonomi di provinsi ini
dapat digunakan untuk mengidentifi kasi hambatan yang paling utama.6 Pemahaman tentang konteks
sosial-politik setempat juga dapat membantu dalam penentuan prioritas rekomendasi-rekomendasi
tentang hal-hal yang perlu direformasi.
Kerangka kerja diagnosa pertumbuhan dapat digunakan untuk memahami bagaimana situasi
konfl ik atau pasca konfl ik dapat mempengaruhi investasi dan pertumbuhan. Pilihan metodologi
ini juga didorong oleh keinginan tim untuk menguji persepsi yang tersebar luas dan berdasarkan intuisi
bahwa bagaimanapun juga konfl ik pasti terkait dengan hambatan-hambatan yang paling mengikat
di Aceh. Pendekatan diagnosa pertumbuhan ini mempertimbangkan setiap kategori hambatan untuk
menentukan apakah dan bagaimana suatu kategori telah dipengaruhi oleh konfl ik, dan bagaimana sisa-
sisa konfl ik terus mempengaruhinya. Apakah konfl ik merupakan suatu masalah bagi investasi karena
dalam suatu lingkungan pasca-konfl ik, masyarakat khawatir akan keamanan mereka dan keamanan aset
mereka, atau karena beberapa prasarana penting telah hancur selama terjadinya konfl ik, atau hanya
karena masyarakat percaya bahwa konfl ik akan berkobar kembali dan mereka akan kehilangan semua
investasi mereka. Pendekatan diagnosa pertumbuhan dapat membantu dalam memberikan suatu
penilaian atas kebutuhan yang lebih terkait dengan konteks setempat, di mana, pada akhirnya, dapat
membantu meningkatkan rekomendasi-rekomendasi kebijakan.
Kerangka kerja tersebut perlu disesuaikan untuk menganalisis hambatan-hambatan terhadap
pertumbuhan di daerah pasca-konfl ik pada tingkat daerah. Pertama, kerangka kerja tersebut
dikembangkan untuk menganalisis hambatan-hamatan terhadap pertumbuhan pada tingkat nasional.
6 Suatu gambaran kerangka yang lebih terperinci serta jenis analisis ekonomi yang digunakan untuk mengidentifi kasi hambatan-
hambatan yang mengikat dapat ditemukan di dalam Hausmann, 2008.
02
Metodologi
10Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Metodologi
Penerapan kerangka kerja tersebut pada tingkat daerah menimbulkan beberapa tantangan teoretis
dan metodologis. Mungkin kenyataannya adalah bahwa hambatan yang mengikat terletak di suatu
daerah yang bukan di bawah kendali provinsi, seperti kebijakan moneter atau aturan nilai tukar. Dalam
keadaan seperti demikian, walaupun kebijakan-kebijakan yang menyebabkan timbulnya hambatan
yang mengikat tersebut berada di luar kendali provinsi, namun provinsi masih dapat bertindak untuk
mengurangi akibat-akibat dengan kebijakan-kebijakan “terbaik kedua”. Data yang tersedia pada tingkat
daerah lebih sedikit dibandingkan yang tersedia di tingkat nasional, sehingga analisis menjadi lebih
sulit. Akan tetapi, kerangka kerja ini akan relatif lebih tepat untuk kasus-kasus di mana data dengan
kualitas yang baik sukar didapatkan. Untuk menganalisis dampak konfl ik terhadap investasi, maka
konfl ik tersebut akan diintegrasikan dengan dua cara yang berbeda. Laporan ini menganalisis dampak
langsung yang ditimbulkan oleh konfl ik terhadap insentif-insentif untuk berinvestasi, karena para investor
memperhitungkan kemungkinan terjadinya kembali konfl ik, sehingga mengurangi hasil-hasil sosial dari
investasi. Para calon investor mungkin mengkaitkan Aceh dengan risiko yang lebih tinggi, khususnya
risiko terjadinya kembali konfl ik, yang pada akhirnya dapat mengakibatkan timbulnya faktor diskon
yang lebih tinggi yang dibuat oleh para investor dalam investasi di Aceh atau penjatahan kredit oleh
bank-bank. Konfl ik dapat juga mempengaruhi insentif-insentif masyarakat untuk berinvestasi dengan
berbagai cara yang tidak langsung sebagai akibat dari jumlah modal manusia (human capital) yang
lebih sedikit dan prasarana yang tidak terawat, struktur pemerintahan dan kekuasaan yang paralel yang
menciptakan ketegangan-ketegangan dan masalah-masalah keamanan, serta suatu lingkungan usaha
yang tidak kondusif. Terdapat permasalahan tentang suatu perekonomian pasca-konfl ik yang tidak dapat
sepenuhnya ditangkap dengan menggunakan kerangka kerja ini, termasuk “besarnya jumlah aktor-aktor
politik yang bersaing atau keberadaan lembaga-lembaga negara dan daerah (tradisional) yang bersaing”
(Ulloa, 2008). Namun demikian, kerangka kerja tersebut memberikan suatu metode yang terstruktur untuk
mempertimbangkan serangkaian mekanisme yang mungkin digunakan untuk bagaimana konfl ik dan
dampak-dampaknya menentukan bentuk peluang-peluang untuk investasi dan pertumbuhan. Kerangka
yang telah disesuaikan tersebut dijelaskan dalam Gambar 2.
Gambar 2 Kerangka kerja, yang diadaptasi dari Hausmann, Rodrik dan Velasco (2005)
Biaya keuangan yang besarRendahnya pendapatan dari aktivitas ekonomi
Rendahnya pendapatan sosial Rendahnya appropriability
Kegagalanpemerintah
Kegagalanpasar
yang tidak baik
RendahnyaSDM
Infrastrukturtidak baik
-
Resiko mikro: hak bangunan,
korupsi, perpajakan
Resiko makro: keuangan, moneter,
informasi:Bagian luar
“ self-discovery”koordinasi
Bagian luar
Rendahnya Tabungan domestik +
Keuangan internasional yang kurang baik
Keuangan lokal yang kurang baik
Resiko besar Biaya besar
Rendahnyakompetisi
Rendahnya tingkat investasi swasta dan wirausaha
Kurangnyakeamanan - resiko
Analisis ini menerapkan suatu pendekatan sistematis untuk mengidentifi kasi apa saja yang
dapat menghambat pertumbuhan dan investasi. Analisis tersebut dilakukan mulai dari tingkat yang
paling atas dari diagram pohon di atas dan kemudian terus turun ke tingkat yang lebih rendah, sambil
Diagnosis Pertumbuhan Aceh11
Juli 2009
berupaya pada setiap tahap untuk mengidentifi kasi apa saja yang menghambat investasi sektor swasta.
Setiap cabang menggambarkan potensi “gejala” atau “penyakit” perekonomian yang dapat memberikan
penjelasan tentang tingkat-tingkat investasi swasta dan kewirausahaan yang rendah. Pertanyaan yang
harus dijawab pada tahap ini adalah apakah hambatan yang mengikat tersebut adalah rendahnya
tingkat manfaat bagi kegiatan ekonomi atau biaya kredit yang tinggi. Apabila hambatan yang mengikat
tersebut adalah rendahnya tingkat manfaat, apakah masalahnya terletak pada manfaat sosial (karena
kurangnya faktor-faktor pelengkap seperti geografi , sumber daya manusia, atau prasarana yang baik)
atau kesulitan yang dihadapi pihak-pihak swasta untuk memberikan manfaat tersebut (karena kegagalan-
kegagalan pemerintah atau pasar)? Apabila permasalahannya adalah tingginya biaya kredit, maka apakah
permasalahannya adalah simpanan yang rendah atau sistem keuangan dalam negeri yang buruk di mana
fungsi intermediasi tidak berjalan secara efi sien? Untuk mengidentifi kasi hambatan-hambatan yang
paling mengikat, seseorang harus menjalani suatu proses yang berulang: yakni diagnostik pertumbuhan
itu sendiri. Bagian-bagian dalam laporan ini sesuai dengan berbagai cabang pohon yang menganalisis
apa yang dapat menjadi hambatan-hambatan utama terhadap pertumbuhan di Aceh. Laporan ini
mendalilkan bahwa konfl ik yang melanda Aceh selama lebih dari suatu generasi menimbulkan dampak
negatif terhadap pertumbuhan di provinsi Aceh dalam berbagai bentuk, yang digambarkan dalam tabel
di bawah ini.
Tabel 1 Bagaimana konfl ik mepengaruhi perekonomian?
Kategori Mekanisme
1. Sumber daya manusia
yang rendah
Banyaknya korban jiwa akibat bencana atau konfl ik• Kerusakan pada sistem pendidikan • Ketidakhadiran para guru selama terjadinya konfl ik • Keahlian-keahlian yang tertinggal dari pembaharuan• Perpindahan-perpindahan penduduk secara terpaksa sebagai akibat dari konfl ik • Perpindahan keluar para tenaga ahli•
2. Prasarana yang buruk Pemberian layanan publik setempat yang buruk • Kerusakan langsung terhadap prasarana • Kurangnya pemeliharaan terhadap sarana publik•
3. Risiko-risiko mikro “Pajak-pajak” ilegal yang dikenakan kepada usaha-usaha karena pemerasan yang • dilakukan para mantan pejuang GAM
Lembaga-lembaga pemerintah yang tidak berdaya • Korupsi•
4. Risiko-risiko kredit yang
tinggi
Risiko pengambilalihan atau kerusakan apabila konfl ik berlanjut• Kemungkinan kecenderungan kemerosotan ekonomi yang lebih besar karena •
situasi keamanan
5. Biaya kredit yang besar Pajak-pajak ilegal• Biaya pemantauan yang tinggi •
Penelitian ini menggunakan sumber-sumber data kualitatif dan kuantitatif untuk mengidentifi kasi
hambatan(-hambatan) pertumbuhan utama. Karena tsunami dan konfl ik horizontal, terdapat banyak
penelitian yang dilakukan atas Aceh dan ada banyak literatur tentang provinsi ini. Penelitian ini berdasar
pada sebagian dari penelitian yang sudah ada sebelumnya ini, yang digunakan untuk mengembangkan
hipotesis-hipotesis dan untuk memperluas pemahaman-pemahaman tentang temuan-temuan
kuantitatif. Terkait dengan data kuantitatif, penelitian ini mengandalkan sumber-sumber data standar
seperti BPS (Biro Pusat Statistik) dan BI (Bank Indonesia) untuk sebagian besar indikator-indikator
makroekonomi dan keuangan yang digunakan. Meskipun sebagian besar dari data-data tersebut tersedia
untuk Aceh, beberapa indikator tidak tersedia atau tidak dapat cukup dipercaya (lihat Kotak 2 untuk
perincian-perincian lebih lanjut). Penelitian ini juga menggunakan dua set data tertentu tentang Aceh,
yaitu: Survei pemerintahan ekonomi daerah Aceh yang dilakukan oleh The Asia Foundation / KPPOD
dan Aceh Reintegration and Livelihood Surveys (ARLS). Survei-survei tersebut mencakup informasi sosial
12Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Metodologi
dan ekonomi pada tingkat perusahaan atau perorangan yang membantu menguraikan mekanisme-
mekanisme mikroekonomi yang mendasari perekonomian masyarakat Aceh, serta fokus pada kelompok-
kelompok tertentu, contohnya untuk menyelidiki masalah-masalah yang terkait dengan pertumbuhan
yang inklusif.
Analisis ini difokuskan pada upaya untuk mengidentifi kasi hambatan-hambatan utama
terhadap pertumbuhan yang inklusif. Laporan ini terkait dengan pertumbuhan secara inklusif dan
berkesinambungan. Dengan demikian, fokusnya terletak pada pertumbuhan ekonomi yang memiliki
basis yang luas di semua sektor dan mencakup mayoritas angkatan kerja, khususnya masyarakat
miskin sebagai produsen. Sifat inklusif tersebut merujuk kepada kesetaraan peluang terkait dengan
akses terhadap pasar, sumber daya, dan suatu lingkungan pengaturan yang tidak memihak bagi usaha
dan individu. Analisis atas pertumbuhan yang inklusif difokuskan pada laju dan pola pertumbuhan,
karena penurunan kemiskinan yang berkesinambungan memerlukan suatu jenis pertumbuhan yang
memungkinkan masyarakat untuk memberikan kontribusi kepada dan mendapatkan keuntungan dari
pertumbuhan ekonomi. Hal ini juga mencakup upaya untuk menyelidiki peluang kerja (employability)
masyarakat miskin, serta peluang-peluang bagi mereka untuk dipekerjakan (World Bank, 2008f ). Untuk
menilai peluang kerja masyarakat miskin, diperlukan suatu analisis atas persediaan modal manusia
yang dimiliki oleh masyarakat (pendidikan dan kesehatan), kemampuan mereka untuk mendapatkan
keterampilan dan kemampuan mereka untuk memasuki pasar tenaga kerja di mana mereka dapat
memperoleh pendapatan dengan menggunakan keterampilan mereka. Pilar kedua dari pertumbuhan
yang inklusif, yaitu peluang kerja, yang bergantung kepada sektor swasta yang dapat menawarkan
peluang kerja. Dengan demikian, meneliti pertumbuhan yang inklusif secara tidak langsung menyiratkan
upaya untuk meneliti sisi persediaan tenaga kerja (masyarakat miskin dan keterampilan mereka), serta sisi
permintaan tenaga kerja (perusahaan dan investor). Sebuah kerangka kerja pertumbuhan yang inklusif
untuk menganalisis hambatan-hambatan terhadap pertumbuhan mungkin merupakan hal yang penting
khususnya untuk Aceh, karena ketimpangan yang sistematis pada peluang dapat menggelincirkan
proses pertumbuhan dengan adanya konfl ik (Komisi Pertumbuhan dan Pembangunan – Commission on
Growth and Development, 2008).
Perhatian yang terkait dengan pertumbuhan yang inklusif diejawantahkan dalam tiga bidang
utama. Bidang-bidang tersebut adalah: fokus pada sektor-sektor yang padat karya, seperti pertanian
atau perdagangan kecil; penilaian tentang lingkungan usaha dan peluang-peluang-peluang untuk
memanfaatkan sumber daya yang tersedia dalam lingkungan usaha tersebut; serta pemahaman tentang
dampak ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat karena konfl ik pada tingkat individu. Tabel di bawah ini
menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 2008, jumlah orang yang bekerja telah mengalami penurnan
sampai dengan lebih dari 100.000 orang. Jumlah tenaga kerja pada sektor pertanian dan perdagangan
telah berkurang, sementara sektor-sektor lain tidak mampu menciptakan pekerjaan dengan laju yang
sama. Hal yang sangat mengkhawatirkan adalah bahwa sebagian besar dari lapangan kerja yang tercipta
(transportasi, konstruksi) yang terkait dengan upaya rekonstruksi juga mempekerjakan sebagian besar dari
para mantan pejuang GAM. Oleh karena itu, berakhirnya rekonstruksi dapat disertai dengan penurunan
lapangan kerja di Aceh. Upah bulanan rata-rata memberikan cerminan yang jelas tentang nilai tambah
per pekerja dalam sektor tersebut, di mana sektor pertanian dan perdagangan memiliki nilai tambah
per pekerja yang sangat rendah (terkecuali sektor jasa, yang kebanyakan termasuk layanan umum).
Peningkatan pada penghidupan masyarakat yang bekerja dalam sektor pertanian dan perdagangan
eceran sebagian besar akan hanya dapat tercapai dengan mengalihkan kedua sektor tersebut ke dalam
kegiatan-kegiatan yang memiliki nilai yang lebih tinggi. Bagian berikut ini akan meninjau fakta-fakta
terhadap hambatan-hambatan yang paling utama terhadap pertumbuhan yang inklusif.
Diagnosis Pertumbuhan Aceh13
Juli 2009
Tabel 2 Penciptaan lapangan kerja di Aceh
Jumlah pekerjaan
2002 2004 2006 2008 Pertumbuhan rata-rata 2002-08 (%)
Upah bulanan rata-rata 2008 (jutaan Rp)
Pertanian 1.081.568 906.046 866.334 876.092 -3,5 0,64
Pertambangan 9.617 8.914 7.670 14.085 6,6 1,50
Industri 77.687 51.613 72.497 72.180 -1,2 0,92
Utilitas 757 8.486 5.322 3.387 28,4 1,03
Bangunan 34.182 62.879 74.402 103.749 20,3 1,02
Perdagangan 293.587 231.855 215.668 232.606 -3,8 0,90
Transportasi 47.371 59.849 69.078 60.528 4,2 1,10
Keuangan 9.720 5.687 3.343 8.907 -1,4 1,92
Jasa 178.772 187.175 224.180 246.088 5,5 1,30
Total 1.733.261 1.522.504 1.538.494 1.617.622 -1,1
Sumber: BPS dan perhitungan staf Bank Dunia
Diagnosis Pertumbuhan Aceh15
Aceh memiliki tingkat pertumbuhan yang negatif hampir di sepanjang dasawarsa ini, sebagian
sebagai akibat dari menipisnya cadangan gas alam. Bagian ini bertujuan untuk memberikan suatu
pemahaman yang lebih baik tentang pola-pola pertumbuhan dan investasi di Aceh, yang diperlukan
untuk diagnosis atas hambatan-hambatan terhadap pertumbuhan dan investasi. Pertumbuhan ekonomi
tanpa sektor migas tumbuh dengan laju yang relatif rendah (dan lebih rendah dibandingkan rata-rata
nasional) hingga upaya-upaya rekonstruksi tsunami dimulai (Gambar 3). Rendahnya tingkat pertumbuhan
perekonomian non-migas sebagian disebabkan oleh konfl ik yang melanda Aceh sampai terjadinya
tsunami. Aceh merupakan provinsi yang relatif makmur di Indonesia pada tahun 1970-an dan sampai
awal tahun 1980-an, namun sejak saat itu perekonomian Aceh terlihat sulit untuk tumbuh. Sementara
daerah lain di Indonesia telah pulih dari krisis keuangan tahun 1997, Aceh terus menunjulkan tingkat
pertumbuhan yang rendah atau negatif selama jangka waktu tersebut, yang membuatnya menjadi salah
satu dari daerah dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia, yaitu 23,5 persen pada tahun 2008.
Gambar 3 Aceh telah mengalami pertumbuhan dengan laju yang lebih lambat dibandingkan
Indonesia hampir di sepanjang dasawarsa ini
Perbandingan pertumbuhan ekonomi non migas per kapita
-20.0%
-15.0%
-10.0%
-5.0%
0.0%
5.0%
10.0%
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Aceh Indonesia
Sumber: BPS dan perhitungan oleh staf Bank Dunia
Kinerja ekonomi Aceh pra-tsunami ditandai oleh konfl ik serta menipisnya cadangan-cadangan
minyak dan gas di pantai timur Aceh.7 Pada tahun 2003, minyak dan gas serta usaha manufaktur terkait
menyumbangkan lebih dari 50 persen dari PDB Aceh. Jumlah ini telah merosot sampai kurang dari 20
7 Cadangan minyak dan gas menipis dengan cepat, namun hanya ada sedikit investasi dalam eksplorasi yang baru. Hanya ada
sedikit investasi baru dalam sektor minyak, gas dan pertambangan selama lebih dari satu dasawarsa di seluruh Indonesia,
meskipun terdapat ledakan yang berkesinambungan untuk komoditas tersebut di seluruh dunia. Sebuah catatan terbaru yang
dibuat oleh World Bank dan IFC (2008) mengidentifi kasikan beberapa hambatan utama bagi lingkungan usaha dalam sektor ini.
Penemuan-penemuan baru di Aceh dapat memberikan tambahan pendapatan yang, apabila dibelanjakan dengan bijaksana,
akan meredam proyeksi penurunan dana dari pembagian pendapatan dan upaya rekonstruksi.
03
Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh
16Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh
persen sampai dengan tahun 2008. Penurunan produksi gas menimbulkan dampak negatif terhadap
industri yang bergantung pada ketersediaan gas dengan harga yang murah dan terletak berdekatan
dengan ladang-ladang gas, seperti pupuk, kertas atau bahan-bahan kimia. Akan tetapi, karena industri
gas dan industri-industri terkait di sekitar Lhokseumawe memiliki sedikit keterkaitan dengan bagian lain
dari perekonomian ,8 dampaknya mungkin dapat dirasakan terutama pada tingkat makro. Porsi pertanian,
yang menyumbangkan 17 persen dari PDRB pada tahun 2003, meningkat menjadi 25 persen pada
tahun 2008, secara signifi kan lebih tinggi daripada porsinya pada tingkat nasional sebesar 14 persen.
Sekitar setengah dari semua produksi pertanian adalah tanaman pangan, di mana 20 persen lainnya
adalah tanaman non-pangan (perkebunan), khususnya kopi, cokelat, minyak sawit, dan sedikit tanaman
perkebunan lainnya. Sebelum tsunami, tanaman non-pangan dan perikanan memberikan sumbangan
terbesar untuk pertumbuhan dalam sektor ini, sementara pasca-tsunami sebagian besar pertumbuhan
dalam sektor pertanian berasal dari sektor tanaman non-pangan.
Tabel 3 Pertumbuhan ekonomi di Aceh
Persen9
2004 2005 2006 2007 2008*
Pertanian, kehutanan, dan perikanan 6,0 -3,9 1,5 3,6 0,8
Pertambangan dan penggalian9 -24,0 -22,6 -2,6 -21,6 -44,7
Minyak dan gas -24,4 -23,0 -4,3 -22,5 -47,0
Penggalian 7,3 0,8 78,8 2,0 -0,2
Industri manufaktur -17,8 -22,3 -13,2 -10,1 -4,2
Industri minyak dan gas -11,6 -26,2 -17.3 -16,7 -7,8
Industri non-minyak and gas -37,3 -5,1 1,1 8,6 3,6
Listrik, gas, dan air (utilitas) 19,5 -2,0 12,0 23,7 12,7
Bangunan 0,9 -16,1 48,4 13,9 -0,9
Perdagangan, hotel, dan rumah makan -2,6 6,6 7,4 1,7 4,6
Transportasi dan komunikasi 3,6 14,4 10,9 10,9 1,4
Keuangan 19,4 -9,5 11,7 6,0 5,2
Jasa 20,1 9,7 4,4 14,3 1,2
PDB Aceh -9,6 -10,1 1,6 -2,5 -8,3
PDB Aceh non migas 1,8 1,2 7,7 7,0 1,9
PDB Indonesia 5,0 5,7 5,5 6,3 5,9
PDB Indonesia non-minyak dan gas 6,0 6,6 6,1 6,9 6,4
Sumber: BPS. *Angka-angka pendahuluan.
Perekonomian pasca-tsunami Aceh didominasi oleh aliran masuk dana rekonstruksi dalam
jumlah besar. Sebagian besar dari pertumbuhan pada tahun 2006 dan 2007 terjadi dalam sektor-
sektor yang terkait erat dengan upaya rekonstruksi, seperti konstruksi, perdagangan dan transportasi,
walaupun pertanian juga telah tumbuh dalam beberapa tahun terakhir. Pada saat upaya rekonstruksi
berakhir, pertumbuhan mulai melambat dan angka-angka awal untuk tahun 2008 menunjukkan suatu
8 McGibbon (2006) berpendapat bahwa upaya-upaya pemerintah untuk membangun Aceh gagal sehingga pertumbuhan dan
pembangunan ekonomi tersebut terpusatkan pada pengembangan sebuah daerah di sekitar Lhokseumawe yang memiliki
sedikit keterkaitan dengan daerah lainnya di provinsi tersebut.
9 Perekonomian Aceh telah mengalami perubahan yang signifi kan selama beberapa tahun terakhir. Tsunami, upaya rekonstruksi
yang besar serta menipisnya cadangan minyak dan gas secara signifi kan menyulitkan perluasan statistik daerah, khususnya
pada sisi produksi. Sebagian dari laju pertumbuhan yang dilaporkan, seperti penurunan minyak dan gas yang hampir 50 persen
pada tahun 2008, tampaknya tidak sesuai dengan data dari sumber-sumber lain (seperti data produksi dari Departemen Energi
dan Sumber Daya Mineral). Ketidakkonsistenan ini mungkin merupakan akibat dari data pengurang yang digunakan untuk
memperkirakan laju pertumbuhan. Sebuah perbandingan tentang pengurang-pengurang yang dimaksud secara tak langsung
di tingkat Aceh dan nasional menunjukkan perbedaan-perbedaan yang besar yang tidak dapat sepenuhnya dijelaskan oleh
perbedaan-perbedaan tingkat infl asi. Menggunakan pengurang yang sama di Aceh seperti yang digunakan di daerah lainnya
di Indonesia akan menunjukkan suatu penurunan dalam pertanian yang nyata dan suatu penurunan yang agak lebih lambat
di sektor pertambangan pada tahun 2008. Meskipun terjadi ketidakkonsistenan-ketidakkonsistenan dalam deretan PDB,
kecenderungan-kecenderungan besar yang dibahas dalam bab ini tetap valid.
Diagnosis Pertumbuhan Aceh17
Juli 2009
perlambatan yang signifi kan dalam sektor-sektor yang sebelumnya digerakkan oleh upaya rekonstruksi,
dengan penurunan pada perekonomian sebesar lebih dari 8 persen (non migas). Usaha manufaktur
non-migas masih relatif tidak terlalu besar, hanya kurang dari 5 persen dari PDRB (apabila dibandingkan
dengan 22 persen pada tingkat nasional). Sebagian besar usaha manufaktur adalah usaha skala kecil dan
hanya melayani pasar setempat. Hanya ada empat perusahaan yang relatif besar dalam sektor industri
di Aceh, kebanyakan terkait dengan ketersediaan gas murah (pupuk, kertas), serta sebuah pabrik semen
dekat Banda Aceh. Semuanya adalah industri-industri padat modal yang memiliki sedikit keterkaitan
dengan bagian lain dari perekonomian.
Meskipun konfl ik mempengaruhi provinsi ini secara keseluruhan, intensitasnya terlokalisir dan
oleh karena itu tidak mempengaruhi semua wilayah secara merata. Ibu kota provinsi dan pantai
barat paling sedikit mengalami dampak konfl ik, meski demikian beberapa usaha-usaha swasta di kota-
kota juga mengalami pemerasan. Daerah-daerah terpencil yang fokus pada pertanian, khususnya di
pedalaman, lebih terdampak oleh konfl ik, sehingga menyebabkan beberapa petani tidak dapat merawat
lahannya. Eksploitasi gas mengalami dampak yang sangat besar pada tahun 2001 ketika situasi keamanan
memburuk. Konfl ik juga mungkin mempunyai dampak yang berbeda pada faktor-faktor produksi yang
digunakan secara intensif dalam berbagai sektor. Para pekerja yang cakap merasa lebih baik meninggalkan
Aceh dan mencari kesempatan-kesempatan di luar Aceh, yang mungkin memiliki dampak yang lebih
besar pada kegiatan-kegiatan yang bernilai lebih tinggi yang membutuhkan pekerja-pekerja terampil
dalam jumlah lebih besar. Sektor-sektor yang lebih spesifi k dalam hal lokasi, seperti perkebunan, mungkin
lebih mudah menjadi sasaran kelompok-kelompok bersenjata, sementara pemerasan atau perusakan
lebih sulit dilakukan pada usaha-usaha yang dapat dengan mudah berpindah tempat, seperti para
pedagang atau pada perusahaan-perusahaan jasa angkutan.
Tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dapat secara drastis menurunkan kemiskinan, khususnya
apabila pertumbuhan ini mencakup mayoritas penduduk Aceh. Indonesia telah mengalami
pertumbuhan yang memihak kepada masyarakat miskin sejak tahun 1970 (World Bank, 2006a) namun
perkekonomian Aceh tetap tertinggal karena perekonomian yang tumbuh secara lambat selama tahun-
tahun terjadinya konfl ik dan karena sebagian besar dari pertumbuhan tersebut adalah dalam sektor
minyak dan gas bumi. Tidak semua jenis pertumbuhan memiliki manfaat yang sama bagi masyarakat
miskin: contohnya, pertumbuhan ekonomi yang bergantung pada industri-industri ekstraksi mineral
jarang mengalir ke bawah ke masyarakat miskin yang dapat meningkatkan penghidupan mereka.
Pertumbuhan yang memihak kepada masyarakat miskin mencakup berinvestasi dalam aset-aset
manusia dan fi sik termasuk pengurangan biaya-biaya transaksi. Tiga perubahan besar pada penghidupan
masyarakat Indonesia timbul karena perubahan-perubahan tersebut dan turut membantu masyarakat
Indonesia untuk keluar dari kemiskinan: mata pencaharian telah mengalami perubahan dari pertanian
bernilai rendah menjadi pertanian yang bernilai lebih tinggi, dari pertanian menjadi non-pertanian dan
dari kegiatan-kegiatan yang berbasis pedesaan menjadi berbasis perkotaan (World Bank, 2006a). Di Aceh,
perubahan-perubahan tersebut serta laju pertumbuhan yang lebih tinggi dapat menimbulkan dampak-
dampak positif yang sangat besar, seperti ditunjukkan dalam Tabel 4. Tabel tersebut menggambarkan
sembilan skenario dengan tingkat pertumbuhan per kapita dan elastisitas pertumbuhan kemiskinan10
(PEG) yang berbeda. PEG mengukur bagaimana pertumbuhan ekonomi mewujudkan penurunan
kemiskinan. Nilai-nilai dalam tabel tersebut berkisar dari nilai yang saat ini dimiliki masayarakat Aceh, -1,4,
sampai -2.6, yang merupakan nilai tertinggi yang dicapai oleh Indonesia selama periode 1984 - 1999,
dan merupakan suatu skenario kasus terbaik (World Bank, 2008a dan 2006a). Berawal dari suatu tingkat
kemiskinan sebesar 23,5 persen, pertumbuhan selama lima tahun dengan laju rata-rata sebesar 2 persen
per tahun dan sehingga PEG sebesar -1,4 akan menurunkan kemiskinan sampai 20,4 persen. Akan tetapi,
apabila pertumbuhan akan mencapai 4 persen dan PEG sebesar -2, kemiskinan akan berkurang sampai
15,5 persen dalam 5 tahun.
10 Rasio perubahan persentase tingkat kemiskinan terkait dengan perubahan persentase pendapatan per kapita. Sebuah PEG
sebesar -1,4 berarti bahwa satu titik persentase pertumbuhan mewujudkan suatu penurunan tingkat kemiskinan sebesar 1,4
persen.
18Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh
Tabel 4 Proyeksi tingkat kemiskinan Aceh dalam lima tahun, (angka pada tahun 2008)
Persen
Pertumbuhan yang lebih tinggi
Pertumbuhan
yang lebih
inklusif
Laju
pertumbuhan2% 4% 7%
PEG
-1.4 20.39 17.62 14.03
-2.0 19.16 15.49 11.06
-2.6 17.99 13.57 8.61
Catatan: Menggunakan tingkat dasar sebesar 23,5% (tingkat kemiskinan pada tahun 2008)
Sumber: Perkiraan-perkiraan Bank Dunia berdasarkan World Bank, 2006a dan World Bank, 2008a.
Upaya untuk menarik minat investasi swasta merupakan kunci untuk memodernisasikan
perekonomian Aceh, meningkatkan produktivitasnya dan penghematan biaya poduksi dari
skala usaha. Kelangkaan data tentang volume investasi swasta yang relatif rendah menunjukkan suatu
konsentrasi dalam sektor-sektor pengembangan perkebunan, perikanan, pertambangan, perdagangan,
dan pariwisata (ATAP, 2007; IFC, 2008). Hampir 50 pesen dari semua perusahaan bergerak dalam sektor
pertanian, suatu indikasi tentang keunggulan komparatif provinsi Aceh. Sebagian besar investasi baru
pada tahun 2006 juga ddilakukan dalam sektor pertanian dan sebagian kecil dalam sektor perdagangan.
Sebagian besar dari semua usaha yang informasinya tersedia telah menghentikan kegiatan operasional
untuk sementara waktu sampai dengan tahun 2006, yang disebabkan oleh konfl ik dan tsunami. Kecilnya
jumlah investasi swasta merupakan sebagai hambatan terhadap pertumbuhan. Aceh tertinggal dari
provinsi-provinsi lainnya dalam hal menarik investasi dan hal ini mendorong ke arah kinerja pertumbuhan
provinsi yang relatif buruk. Rasio kredit terhadap PDB di Aceh merupakan yang terendah kedua di
Indonesia (lihat bagian tentang akses terhadap kredit), yang menggambarkan tingkat investasi sektor
swasta yang relatif rendah.
Kotak 2 Data Investasi
Tidak ada data yang cukup akurat tentang investasi swasta di Aceh, yang merupakan suatu tantangan yang cukup
besar untuk setiap jenis analisis atas investasi. Data tentang investasi swasta yang dikumpulkan oleh Bank Indone-
sia, BPS dan Bainprom menunjukkan ketidakkonsistenan dan terdapat permasalahan-permasalahan metodologi
yang berarti. Meski demikian, semua bukti yang tersedia menunjukkan tingkat investasi yang relatif rendah. Peneli-
tian yang baru-baru ini dilakukan atas perekonomian Aceh dan iklim investasinya (IFC, 2008) berdasar pada analisis
rantai nilai yang dilakukan dalam beberapa komoditas dan menyoroti kurangnya investasi swasta yang diperlukan
untuk memperbaiki kualitas dan kuantitas produksi serta meningkatkan produktivitas. Data Pembetukan Modal
Dalam Negeri Bruto yang dikeluarkan oleh BPS hanya akan mencakup proyek-proyek investasi besar yang dilaku-
kan dengan dana-dana masyarakat sebagai bagian dari upaya rekonstruksi, yang menunjukkan investasi swasta
yang sangat kecil yang menambah persediaan modal di provinsi ini. Data Bank Indonesia tentang kredit menun-
jukkan bahwa Aceh mempunyai rasio PDB kredit/non-minyak dan gas terendah kedua di seluruh Indonesia, yang
mengidikasikan rendahnya tingkat investasi di provinsi ini. Dari kredit tersebut, sebagian besar digunakan untuk
konsumsi, yang mengindikasikan terbatasnya peran investasi swasta dalam membentuk perekonomian Aceh.
Menggunakan volume kredit bank sebagai representasi investasi memiliki beberapa kekurangan, dan salah satu
kekurangan yang penting adalah bahwa di negara-negara berpenghasilan rendah bank bukanlah satu-satunya
sumber pinjaman untuk usaha, namun para pemberi pinjaman uang, keuntungan sendiri atau bahkan keluarga
dan teman-teman seringkali merupakan sumber modal yang penting untuk investasi. Akan tetapi, bukti yang
ada menunjukkan bahwa keadaannya tidak seperti itu di Aceh. IFC (2007) menunjukkan bahwa pada tahun 2006
hampir 50 persen dari semua usaha mikro dan kecil yang mengambil pinjaman, mendapatkan pinjaman dari bank
bukan dari para pemberi pinjaman informal atau anggota keluarga. Survei lainnya yang dilakukan oleh Bank Dunia
menunjukkan bahwa pada tahun 2008 sebanyak 44 persen rumah tangga juga telah mendapatkan pinjaman-
pinjaman dari bank-bank bukan dari sumber-sumber informal yang lain (Survei Akses Keuangan).
Diagnosis Pertumbuhan Aceh19
Juli 2009
Perhatian khusus terhadap pertumbuhan yang inklusif adalah penting. Hal ini terkait dengan
bahwa kebanyakan pertumbuhan dan lapangan kerja yang diciptakan di Aceh beberapa tahun
belakangan terkait dengan ketersediaan dana rekonstruksi. Pada saat upaya rekonstruksi berakhir,
banyak lapangan kerja yang akan hilang. Pertanian masih merupakan lapangan kerja yang utama di
provinsi Aceh, menyerap lebih dari 50 persen dari angkatan kerja. Seiring dengan modernisasi di Aceh,
pertanian mungkin akan terus mengurangi jumlah lapangan kerja dan terus mendekati tingkat nasional
(41 persen). Sektor-sektor jasa dan manufaktur harus menjadi pengerak penciptaan lapangan kerja
yang utama, namun di beberapa daerah lain di Indonesia, hal ini tidak terjadi (World Bank, mendatang).
Terdapat beberapa alasan tentang rendahnya lapangan kerja yang tercipta dalam sektor non-pertanian,
akan tetapi kenaikan upah nyata yang tinggi dalam sektor-sektor jasa mungkin memberikan sebagian
dari penjelasan tentang hal tersebut. Upah yang tinggi mungkin memberikan pengaruh yang lebih besar
pada Aceh, seiring dengan kenaikan harga dan upah menjadi lebih tinggi daripada daerah-daerah lain
di Indonesia sebagai akibat dari tsunami (Gambar 4). Walaupun reformasi-reformasi di pasar tenaga kerja
dapat mengatasi beberapa hambatan penciptaan lapangan kerja yang kebanyakan di luar yurisdiksi
pemerintah provinsi, upah minimum regional ditentukan pada tingkat provinsi. Hal ini memberikan
pengaruh yang diperlukan pemerintah provinsi untuk menghindari kenaikan upah yang merupakan
suatu hambatan terhadap penciptaan lapangan kerja.
Gambar 4 Upah minimum provinsi di Aceh telah meningkat lebih dibandingkan daerah-daerah
lain di Indonesia
Perbandingan UMP Daerah 2004-08
0
200,000
400,000
600,000
800,000
1,000,000
1,200,000
2004 2005 2006 2007 2008
Rp
Aceh Lhokseumawe Sumatera Utara Nasional
Sumber: BPS.
Suatu strategi pertumbuhan yang inklusif adalah fokus pada upaya untuk merevitalisasi sektor
pertanian dan industri-industri padat karya. Diversifi kasi tanaman dan kepemilikan usaha kecil selain
pertanian merupakan strategi-strategi kunci masyarakat Aceh untuk melepaskan diri dari kemiskinan
sebagai akibat dari tsunami (World Bank, 2008a). Hal ini sesuai dengan langkah utama untuk melepaskan
diri dari kemiskinan yang terdapat di Indonesia selama tahun 1980-an dan 1990-an (World Bank, 2006a).
Salah satu ciri dari pengurangan kemiskinan dalam periode ini adalah transisi masyarakat dari lingkungan
pedesaan ke perkotaan dan penciptaan lapangan kerja selain di sektor pertanian. Sampai sejauh ini,
hal ini terjadi melalui urbanisasi dari beberapa daerah pedesaan dan integrasi daerah-daerah pedesaan
yang ditingkatkan dengan pilar-pilar pertumbuhan perkotaan. Pemerintah Aceh dapat memfasilitasi
hubungan masayarakat miskin di pedesaan dengan pilar-pilar pertumbuhan dengan memperbaiki
prasarana pedesaan dan akses pasar serta menyediakan insentif untuk peningkatan mobilitas tenaga kerja
antara daerah-daerah pedesaan dan perkotaan. Peningkatan dalam produktivitas pertanian dipercayai
memberikan kontribusi kepada keberhasilan penurunan kemiskinan yang mengesankan di Indonesia
dari tahun 1970-an sampai krisis keuangan tahun 1997. Revitalisasi sektor pertanian masih penting untuk
memastikan bahwa masyarakat miskin di Aceh dapat memperoleh keuntungan dari pertumbuhan,
karena hampir 30 persen populasi pedesaan di Aceh hidup di bawah garis kemiskinan pada tahun 2006
(World Bank, 2008a).
20Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh
Kotak 3 Merevitalisasi Pertanian Aceh
Pertanian masih memiliki andil besar dalam PDB non minyak dan gas propinsi Aceh, dan menyediakan lapangan kerja
bagi sebagian besar masyarakat. Minat para investor baik investor dalam negeri maupun investor asing di propinsi ini
berfokus pada sektor pertanian, baik tanaman perkebunan maupun pengolahan hasil pertanian (agro-processing)
(IFC, 2008). Pemerintah Aceh telah mengembangkan sebuah strategi untuk peningkatan ekonomi propinsi ini yang
berfokus pada dukungan terhadap serangkaian kelompok komoditas. Oleh karena itu, ada sedikit perdebatan tentang
peran utama pertanian dalam pembangunan ekonomi propinsi Aceh dalam waktu dekat. Apa yang diperlukan untuk
merevitalisasi pertanian dan menjadikannya mesin pertumbuhan yang inklusif dan berkesinambungan di Aceh?
Di daerah lain di Indonesia, terdapat suatu kebutuhan yang mendesak untuk mengorientasikan kembali belanja
pemerintah, guna menghilangkan subsidi pasokan bahan kebutuhan swasta (pupuk, bibit, mesin dan pasokan
bahan kebutuhan pertanian lainnya) dan untuk meningkatkan penyediaan layanan publik seperti layanan-layanan
penyuluhan, irigasi atau mempermudah akses ke pasar-pasar (World Bank, akan segera diterbitkan). Hambatan-
hambatan yang ditemukan dalam meningkatkan produktivitas pertanian berkaitan dengan kurangnya layanan
publik - layanan-layanan penyuluhan, akses terhadap lahan, akses terhadap pasar dan kemunduran sistem irigasi,
bukan dengan ketidakmampuan untuk membeli bahan-bahan kebutuhan pertanian. Memang terdapat alasan dalam
membantu rumah tangga miskin untuk memulihkan modal fi sik dan manusia yang hilang karena tsunami atau konfl ik,
namun hal ini perlu dibatasi dan fokus yang lebih besar harus ditujukan pada upaya untuk menyediakan barang dan
layanan publik yang diperlukan. Para petani juga telah mengidentifi kasi ketrampilan, akses terhadap teknologi dan
kurangnya kredit sebagai hambatan-hambatan dalam meningkatkan produktivitas mereka (World Bank, 2008a).
Para calon investor telah mengidentifi kasi ketersediaan lahan subur sebagai aset utama di Aceh. Pada saat yang
bersamaan, mereka juga menyebutkan kesulitan-kesulitan dalam memperoleh akses terhadap lahan dan bagaimana
hal ini dapat menghalangi investasi. Walaupun hak atas tanah merupakan masalah di seluruh Indonesia, masalah
tersebut mungkin semakin memburuk di Aceh. Banyak hak atas tanah yang hilang karena tsunami dan ada banyak
insiden di mana mantan anggota GAM menuntut kembali tanah-tanah serta banyak lahan yang berada di bawah hak
kepemilikan adat yang tidak terdokumentasi, yang mungkin baru diketahui oleh para investor setelah menyewa tanah-
tanah tersebut. Tidak ada pusat pendaftaran tanah yang dapat digunakan oleh para investor untuk mengidentifi kasi
lahan-lahan yang tersedia untuk perkebunan komersial, dan sering kali negosiasi dilakukan langsung dengan bupati
di daerah yang direncanakan untuk investasi. Sebagai permulaan, para otoritas propinsi dapat mengkoordinasikan
informasi penggunaan tanah dan kepemilikan tanah dalam sebuah unit pusat yang akan mempermudah akses bagi
para investor terhadap informasi.
Kurangnya informasi pasar (khususnya informasi tentang harga) sering kali diidentifi kasi sebagai hambatan utama
dalam meningkatkan bagian sewa yang menguntungkan para produsen di Aceh dari kegiatan produksi mereka, yang
sering kali mendapatkan informasi pasar hanya dari satu penjual (cengkeh, udang). Peningkatan akses bagi para petani
terhadap informasi tersebut akan memungkinkan para produsen untuk lebih cepat menanggapi sinyal-sinyal pasar
serta mendorong penyediaan pasokan sebagai akibat dari peningkatan laba dari investasi yang dilakukan.
Mutu layanan-layanan penyuluhan yang diberikan juga diidentifi kasi sebagai bidang yang harus diperhatikan. Terdapat
anggapan luas bahwa desentralisasi memberikan dampak negatif terhadap penyediaan layanan-layanan penyuluhan,
karena sebagian besar fungsi ini dialihkan ke pemerintah-pemerintah daerah yang tidak selalu menyediakan tenaga
dan tingkat layanan-layanan penyuluhan yang memadai. Hal ini tampaknya juga terjadi di Aceh (IFC, 2008). Mengingat
fakta bahwa Aceh merupakan wilayah yang cukup terdesentralisasi, peningkatan penyediaan layanan-layanan
penyuluhan sepenuhnya berada di tangan pemerintah propinsi dan kabupaten/kota.
Terdapat peningkatan permintaan untuk produk-produk pertanian bernilai lebih tinggi seperti hortikultura atau
perternakan sebagai akibat dari meningkatnya permintaan dari pasar-pasar dalam negeri karena Indonesia menjadi
lebih kaya dan masyarakat menginginkan jenis makanan yang berbeda-beda, maupun munculnya rantai pasokan global
(toko-toko serba ada) yang mencari barang-barang pertanian bernilai lebih tinggi dari negara-negara berkembang.
Manfaat yang diperoleh dari tren-tren baru ini tidak timbul begitu saja, dan penelitian terbaru menunjukkan bahwa
sering kali para petani yang lebih besar dan berpendidikan lebih baik adalah pihak-pihak yang mampu berhubungan
dan menerima manfaat dari peningkatan permintaan ini (World Bank, 2008e). Pemerintah propinsi memiliki peran
yang harus dimainkan, yakni mengorientasikan kembali dukungan pemerintah untuk membantu para petani kecil dan
kelompok-kelompok petani untuk mendapatkan akses terhadap rantai nilai global dengan (i) meningkatkan infrastruktur,
(ii) mendukung pelatihan petani untuk memenuhi persyaratan mutu dan perlindungan, (iii) memperlengkapi para
petani dengan ketrampilan-ketrampilan yang diperlukan untuk mengadakan negosiasi dengan rantai-rantai pasokan
besar dan (iv) mendorong penggunaan instrumen-instrumen berbasis pasar untuk mengendalikan risiko-risiko yang
meningkat.
Diagnosis Pertumbuhan Aceh21
Untuk menganalisis hambatan-hambatan terhadap pertumbuhan di Aceh, perlu dilakukan
penelusuran atas berbagai dampak yang ditimbulkan oleh konfl ik terhadap jalannya fungsi
ekonomi, dan bagaimana konfl ik pada gilirannya membentuk pola-pola pertumbuhan dan
institusi di era pasca konfl ik perlu ditelusuri. Secara khusus, pemahaman tentang hubungan antara
konfl ik dan pertumbuhan merupakan hal yang penting, mengingat bahwa beberapa pihak berargumen
bahwa cara-cara pengelolaan ekonomi Aceh di masa lalu memiliki kaitan dengan pemberontakan di
propinsi tersebut. Dampak konfl ik pada pertumbuhan dan perkembangan propinsi tersebut telah dan
akan terus meluas dan telah dianalisa secara terperinci di bagian-bagian penelitian lainnya (Dawood and
Sjafrizal, 1989; Nazamuddin, 2008). Studi ini berfokus pada dampak konfl ik pada hambatan-hambatan
terhadap investasi sektor swasta dan pertumbuhan ekonomi dari sudut pandang yang cukup sempit
– namun yang justru merupakan kuncinya. Studi ini tidak berupaya menganalisa secara mendalam
pengaruh yang ditimbulkan konfl ik pada pertumbuhan melalui jalur-jalur lainnya — yaitu antara lain
memburuknya mutu lembaga-lembaga pemerintah atau putusnya jaringan-jaringan sosial.11 Walaupun
ini berarti bahwa hasil analisis dan temuan tersebut tidak mempertimbangkan unsur-unsur penting dalam
hubungan antara konfl ik dan pertumbuhan, studi ini diperlukan untuk memberikan pemahaman yang
lebih mendalam tentang dampak yang ditimbulkan oleh konfl ik pada keputusan-keputusan investasi,
dan dengan demikian, dampaknya pada pertumbuhan .
Konfl ik dan kekerasan menimbulkan dampak yang mendasar pada lembaga-lembaga politik,
sosial dan ekonomi yang melandasi pertumbuhan. Dampak-dampak ini mempengaruhi bagaimana
ekonomi berfungsi di periode pasca konfl ik. Selain akibat-akibat konfl ik yang merugikan secara
langsung (infrastruktur rusak, banyak orang terbunuh, banyak orang yang pindah ke luar daerah), konfl ik
mengurangi keamanan individu dan masyarakat dengan cara-cara yang mengubah perilaku, pilihan
dan fungsi lembaga (Bodea and Elbadawi, 2008). Perilaku investasi juga berubah. Hal ini cenderung
mengakibatkan berkurangnya tabungan, akumulasi modal manusia yang lebih rendah dan perilaku
yang berisiko (Lorentzen, McMillan and Wacziarg, 2006). Akses terhadap kredit juga menjadi semakin sulit
apabila bank-bank atau penyedia kredit lainnya kemungkinan besar tidak meminjamkan dan/atau hanya
meminjamkan dengan tingkat bunga yang lebih tinggi (Nagarajan and McNulty, 2004). Chauvet, Collier
and Hegre (2008) memperkirakan bahwa rata-rata, perang saudara merugikan sebuah negara sebesar
AS$123 milyar per tahun. Negara-negara yang mengalami perang saudara mengalami penurunan PDB
tahunan rata-rata sebanyak 2,0-2,2 persen (Collier, 1999; Hoeffl er and Reynal-Querol, 2003; Restrepo et. al.,
2008), mengurangi pendapatan sekitar 15 persen (Moser, 2006). Di wilayah-wilayah yang tidak mengalami
perang saudata yang berkepanjangan, dampak konfl ik berdarah pada pertumbuhan dan kemiskinan
juga sangat luas. Diperkirakan bahwa produktivitas yang hilang karena konfl ik berdarah dan kejahatan
11 Sebagian dampak ini dianalisa di MSR (2009).
04
Tinjauan Ekonomi Pada Saat Konfl ik dan Pasca Konfl ik di Aceh
22Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Tinjauan Ekonomi Pada Saat Konfl ik dan Pasca Konfl ik di Aceh
di luar zona-zona perang secara global mencapai AS$95 milyar per tahun (Sekretariat Deklarasi Jenewa/
Geneva Declaration Secretariat, 2008).
Penyimpangan-penyimpangan terhadap ekonomi tersebut cenderung berlanjut dalam periode
pasca konfl ik. Dinamika-dinamika yang biasanya berkaitan dengan akhir suatu konfl ik dan kekerasan
yang tinggi — berlanjutnya persepsi dan perasaan tidak aman serta kekerasan yang kadang-kadang
terjadi, pertumbuhan pesat dalam sektor-sektor yang sebelumnya terhalang oleh konfl ik, kesulitan-
kesulitan yang dihadapi dalam mempersatukan para anggota kelompok pemberontak ke dalam sistem
politik dan ekonomi — pada gilirannya mengubah kesempatan-kesempatan dan hambatan-hambatan
menjadi pertumbuhan. Sebagai contoh, sebuah penelitian baru-baru ini mengemukakan bahwa apabila
Jamaika dan Haiti mengurangi tingkat pembunuhan mereka ke tingkat seperti yang dimiliki Kosta Rika,
maka mereka dapat melihat peningkatan angka pertumbuhan sebesar 5,4 persen per tahun (Kantor PBB
untuk masalah Obat-obatan Terlarang dan Kejahatan/World Bank, 2007).
Sebagian dari konfl ik Aceh didorong oleh persaingan atas sumber daya alam di propinsi ini
dan wewenang untuk mengelola sumber daya alam tersebut. Cadangan gas bumi yang banyak
ditemukan di lepas pantai Aceh pada tahun 1971, diperkirakan berpotensi menghasilkan AS$2-3 milyar
per tahun selama 20-30 tahun.12 Produksi dimulai pada tahun 1977 dan royalti besar dibayarkan kepada
pemerintah pusat Indonesia. Hanya beberapa orang setempat dipekerjakan dalam eksploitasi gas tersebut
sehingga menimbulkan kemarahan. Persepsi-persepsi tentang eksploitasi sumber daya Aceh digunakan
sebagai seruan perang untuk membangun adanya suatu gerakan kebebasan, yang mencakup klaim
bahwa Aceh telah dimiskinkan oleh kekuasaan orang-orang Jawa dan membebankan kesalahan atas
penderitaan mereka pada penyalahgunaan yang dilakukan pemerintah pusat atas gas alam yang baru
saja ditemukan (Ross, 2005. hal. 40). Keluhan-keluhan terhadap eksploitasi ladang gas yang dirasakan
yang mendorong perjuangan dan ketegangan GAM diperburuk oleh perbedaan-perbedaan budaya
antara kaum pendatang dan orang Aceh.13 Seperti yang dikemukakan Ross (2007, hal. 36), sumber
daya alam tidak menjadi alasan bagi GAM untuk memberontak melawan pemerintah pusat namun
mendorong timbulnya keluhan-keluhan setempat.14 Meskipun pendapatan gas Aceh menurun dengan
tajam, pencantuman dalam penetapan MoU bahwa Aceh akan menguasai 70 persen dari pendapatan
minyak dan gas sangat penting secara simbolis bagi para pemimpin GAM.
Keluhan-keluhan tentang eksploitasi ladang gas turut membangun cerita yang lebih luas bahwa
Aceh tertinggal secara ekonomi dari propinsi-propinsi lain di Indonesia. Pada awalnya, klaim-
klaim tersebut memiliki dasar lemah, karena propinsi tersebut memiliki standar hidup yang lebih tinggi
daripada propinsi lainnya di Indonesia selama tahun 1970an (Hill and Wiedermann, 1989). Namun karena
konfl ik tersebut menjadi berkepanjangan, klaim-klaim tersebut benar-benar terjadi dan persepsi-persepsi
tentang eksploitasi ekonomi berkembang. Pemerintah pusat menjadi semakin bergantung pada gas alam
Aceh — pada tahun 1998, 9 persen dari total pendapatannya berasal dari sumber ini (Ross, 2005, hal. 47)
— dan menerapkan langkah-langkah tegas untuk penumpasan pemberontakan dalam mengamankan
pengoperasian ladang-ladang gas tersebut (Sukma, 2004).
Konfl ik memiliki dampak negatif baik pada akumulasi modal fi sik maupun manusia. Konfl ik
berdarah cenderung mengurangi aktifi tas sosial terhadap kegiatan-kegiatan ekonomi karena dampak
merugikan dari konfl ik pada modal fi sik dan manusia. Infrastruktur swasta dan publik sering kali sengaja
dijadikan target dari pertikaian-pertikaian tersebut guna menghilangkan jalur-jalur pasokan dan
mengintimidasi masyarakat. Adanya konfl ik berdarah juga mempersulit pembangunan infrastruktur baru
dan perbaikan infrastruktur yang rusak. Konfl ik berdarah berdampak negatif pada modal manusia dengan
12 Bagian ini banyak disadur dari Ross (2005).
13 Di antara tahun 1974 dan 1986, sekitar 50.000 pendatang dari bagian-bagian lain di Indonesia datang ke Aceh (Hiorth, 1986).
14 Penjelasan sebab-akibat ini berbeda dengan penjelasan Collier and Hoeffl er (2004), yang mengemukakan bahwa adanya
sumber daya alam meningkatkan kemungkinan perang sipil dengan memampukan kelompok-kelompok pemberontak untuk
membiayai biaya permulaan dan biaya yang berkelanjutan untuk pemberontakan mereka.
Diagnosis Pertumbuhan Aceh23
Juli 2009
mempercepat perpindahan ke luar daerah, mengurangi insentif-insetif investasi dalam pendidikan
(Steward and Fitzegerald, 2001), dan merusak sekolah-sekolah dan universitas-universitas. Di Aceh,
infrastruktur pendidikan sengaja dijadikan target selama konfl ik. Selain itu, konfl ik berdarah mengubah
ketrampilan-ketrampilan yang berharga dalam suatu perekonomian ; karena sering kali orang-orang
yang berpendidikan terbaik dan berpenghasilan cukup menjadi orang-orang pertama yang pindah dan
melarikan diri dari konfl ik.
Konfl ik mengakibatkan lembaga-lembaga pemerintah menjadi lebih lemah, korupsi meningkat
dan supremasi hukum menjadi lemah. Pertumbuhan yang berkesinambungan dan inklusif
memerlukan lembaga-lembaga publik yang memastikan bahwa para investor dapat memperoleh laba
atas investasi. Fungsi-fungsi utama pemerintah mencakup perlindungan hak milik dan langkah-langkah
peraturan lainnya yang memastikan persaingan yang efi sien dan fungsi pasar yang efektif. Konfl ik berdarah
sering kali berkaitan dengan kegagalan pemerintahan dalam bidang-bidang ini. Konfl ik berdarah dapat
memperlemah lembaga-lembaga dan menggangu pasar karena negara menjadi alat pemangsa dan/
atau di mana negara kehilangan monopolinya atas upaya pemaksaan (Bates, 2008). Walaupun sebagian
dari konfl ik di Aceh disebabkan oleh persepsi-persepsi tentang tidak efektifnya fungsi negara (Barron and
Clark, 2006), konfl ik tersebut selanjutnya mengikis lembaga-lembaga negara (McGibbon, 2006). Konfl ik
sering kali digunakan sebagai dalih untuk kurang efektifnya pemerintah, bahkan ketika GAM atau konfl ik
tersebut hanya memiliki andil sedikit (Jones, 2005). Konfl ik tersebut juga membuat sumber-sumber daya
negara lebih dialokasikan melalui jaringan-jaringan neopatrimonial yang membawa pada peningkatan
korupsi, karena pihak-pihak yang terpilih berusaha membayar kembali para pendukungnya (Clark and
Palmer, 2008). Konfl ik tersebut menawarkan peluang bagi kedua belah pihak untuk mendapatkan laba
dari kegiatan-kegiatan ilegal dan dari lemahnya supremasi hukum (McCulloch, 2006; Olken and Barron,
2007). Para politikus dan pegawai sipil setempat bertindak tanpa mendapatkan hukuman dan menyedot
sumber-sumber daya penting dari anggaran negara (Sukma, 2001; Sulaiman, 2006; McGibbon, 2006), yang
mengakibatkan adanya beberapa kasus korupsi tingkat tinggi yang melibatkan para pejabat pemerintah
lokal dan propinsi.15 Dalam periode pasca konfl ik, terdapat bukti empiris bahwa praktik-praktik korupsi
dan pajak ilegal telah berlanjut (Aspinall, 2009b).
Insiden-insiden keamanan yang berlanjut dan persepsi-persepsi negatif tentang risiko di luar
Aceh dapat menjadi penghalang besar terhadap investasi di propinsi tersebut. Kegagalan untuk
memberikan keamanan di wilayah-wilayah yang terdampak oleh konfl ik cenderung menurunkan tingkat
investasi karena para calon investor mempertimbangkan risiko-risiko keamanan, sehingga mengurangi
investasi dalam modal fi sik (Knight et al., 2005; Imai and Weinstein, 2000). Persepsi-persepsi tentang
keamanan yang buruk dapat berlanjut dalam periode pasca konfl ik. Sebagian disebabkan karena risiko
berlanjutnya konfl ik tetap tinggi pada awal periode pasca konfl ik. Collier et al. (2006), sebagai contohnya,
menyatakan bahwa masyarakat-masyarakat yang telah melewati konfl ik memiliki peluang sebesar 40
persen untuk jatuh kembali ke dalam konfl ik. Di Aceh, PT Arun sering kali menjadi target serangan GAM,
sehingga harus menghentikan operasinya pada tahun 2001, yang mungkin berkontribusi pada persepsi-
persepsi risiko yang lebih tinggi. Masalah-masalah keamanan pasca konfl ik yang berkaitan dengan
insiden-insiden keamanan dapat menghambat investasi. Bentuk-bentuk kekerasan baru termasuk
kekerasan politik, kekerasan ekonomi dan kejahatan, masalah keadilan masyarakat dan informal, serta
sengketa-sengketa terkait dengan hak milik pasca konfl ik (Muggah, 2009, diambil dari Chaudhary and
Suhrke, 2008 dan Sekretariat Deklarasi Jenewa/Geneva Declaration Secretariat, 2008). Setelah perjanjian
damai di Aceh, terdapat masa yang cukup tenang, namun setelah periode awal ini, kekerasan mulai
timbul lagi, khususnya selama persiapan pemilihan legislatif pada bulan April 2009 (Gambar 1). Hal
ini dapat mengurangi keinginan usaha-usaha di dalam dan di luar Aceh untuk berinvestasi, karena
kekhawatiran bahwa aset-aset produktif akan dihancurkan atau menjadi tidak dapat beroperasi apabila
kekerasan meningkat. IFC (2008) memperkuat pendapat ini dan melaporkan ketidakstabilan politik dan
15 Lihat Sulaiman and van Klinken (2007, hal. 231) dan Saraswati (2004).
24Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Tinjauan Ekonomi Pada Saat Konfl ik dan Pasca Konfl ik di Aceh
keamanan sebagai dua kekhawatiran yang dikemukakan oleh usaha-usaha yang mempertimbangkan
untuk berinvestasi di Aceh.
Gambar 5 Kekerasan di Aceh – Jan 2005 sampai dengan Des 2008
Insiden kekerasan (excl. GAM vs GoI)
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
J05
F M A M J J A S O N D J06
F M A M J J A S O N D J07
F M A M J J A S O N D J08
F M A M J J A S O N D
GAM vs GoI untuk insiden kekerasa
Sumber: Update Pemantauan Konfl ik Aceh, Bank Dunia.
Bagian ini telah mengkaji mekanisme di mana konfl ik di Aceh dapat membentuk pola-pola pertumbuhan
dalam periode pasca konfl ik. Bagian-bagian berikut ini akan memperdalam analisis tentang hubungan
antara konfl ik dan pertumbuhan, menganalisa hambatan-hambatan investasi dan pertumbuhan, dan
menggabungkan ciri-ciri konfl ik Aceh ke dalam analisis tersebut.
Diagnosis Pertumbuhan Aceh25
Kerangka kerja diagnosa pertumbuhan menguji apakah biaya yang tinggi, atau tidak adanya kredit
merupakan hambatan yang mengikat bagi investasi sektor swasta. Dengan mempertimbangkan
bahwa usaha-usaha biasanya beralih kepada bank sebagai sumber pembiayaan kegiatan-kegiatannya,
kurangnya akses terhadap kredit atau biaya kredit yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan. Suatu
sistem keuangan yang tidak menyediakan modal kerja dan modal investasi bagi usaha-usaha yang
mampu berkembang dapat menjadi gejala dari penyakit yang lebih luas. Setelah menjelaskan sistem
perbankan di Aceh, bagian ini akan menganalisis apakah kredit berbiaya tinggi atau sulit diakses oleh
usaha serta alasan-alasan di balik keadaan ini.
Perbankan di Aceh didominasi oleh bank umum milik pemerintah. Banyak bank swasta menutup
usahanya di provinsi ini setelah krisis keuanganan tahun 1997-98 dan intensifi kasi konfl ik, dan bank-bank
tersebut baru kembali ke provinsi ini setelah penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) pada tahun
2005. Sektor perbankan di Aceh terdiri dari 18 bank umum dan 20 bank perkreditan rakyat, di mana
sebagian besar dari kedua kategori bank tersebut adalah bank umum, yang menyumbangkan sekitar
80 persen dari semua simpanan. Bank-bank umum menyumbangkan lebih dari 97 persen dari aset,
simpanan dan pinjaman (IFC, 2007). Menurut Bank Indonesia, sejak bulan September 2008, jumlah total
simpanan adalah sebesar Rp.20,5 triliun dan jumlah pinjaman terutang adalah sebesar Rp.9,4 triliun. Hal
ini bersesuaian dengan rasio pinjaman terhadap simpanan sebesar 46 persen, yang tergolong rendah
untuk Indonesia. Rasio pinjaman macet adalah sebesar 1,9 persen, lebih rendah dari rata-rata nasional.
Perbankan syariah masih relatif kecil namun menjadi semakin penting pada tahun-tahun terakhir.
a. Apakah pembiayaan menjadi masalah di Aceh?Kredit investasi relatif rendah di Aceh. Pertanyaan pertama yang perlu dijawab adalah apakah
pembiayaan merupakan masalah di Aceh. Salah satu cara melihat permasalahan ini adalah dengan melihat
apakah kredit, khususnya kredit investasi, rendah. Gambaran berikut menunjukkan kredit investasi sebagai
bagian dari PDRB16 dan PDRB per kapita (sebagai ukuran yang menunjukkan tingkat pembangunan
atau pendapatan). Kredit investasi sebagai bagian dari PDRB non-migas di Aceh lebih rendah dari kredit
investasi di provinsi-provinsi lain. Dengan kata lain, besarnya pinjaman yang diberikan oleh bank di Aceh
lebih rendah dibandingkan dengan tingkat pembangunannya, sebagaimana ditunjukkan pada gambar
16 PDB non-migas digunakan untuk menghindari PDB yang besar yang ditentukan oleh minyak dan gas, yang menimbulkan rasio
kredit-terhadap-PDB yang rendah pada tingkat kredit ‘normal’. Dalam rangka memastikan konsistensi, sektor minyak dan gas
dikurangkan dari data PDB di provinsi-provinsi lain.
05
Akses Terhadap Kredit
26Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Akses terhadap Kredit
di bawah ini17. Pada tahun 2006, kredit investasi dan modal kerja mencapai 7,8 persen dari PDRB di Aceh,
sementara rata-rata nasional adalah 32,1 persen. Nilai kredit terhadap PDRB merupakan yang terendah
kedua untuk semua provinsi di Indonesia. Hal ini barangkali hanya mencerminkan permintaan kredit
yang rendah di provinsi tersebut, sebagai akibat dari kurangnya kesempatan investasi, tetapi mungkin
juga sebagai akibat dari sistem perbankan yang tidak dapat memenuhi permintaan kredit dari sektor
swasta.
Gambar 6 Kredit terhadap PDRB sangat rendah di Aceh
Kredit per PDRB untuk provinsi-provinsi di Indonesia, 2006
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1.0
0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0 40.0
PDRB non-migas per kapita tahun 2006 (Jt Rupiah, harga tahun 2000)
6002 nuhat sagim-non BR
DP rep tiderK
Sumatera UtaraNasional
Aceh
Kalimantan Timur
DKI Jakarta
Sumber: Kalkulasi Bank Indonesia dan staf Bank Dunia
Table 5 Kredit investasi dan modal kerja sebagai bagian dari PDRB
Persentase
Kredit investasi dan modal kerja sebagai bagian dari PDRB
2005 2006
Aceh 6.3 7.6
North Sumatera 32.3 35.3
Riau 16.3 18.4
East Kalimantan 13.2 15.3
Papua 3.2 7.2
Central Sulawesi 15.0 15.7
Maluku 26.7 16.1
Sumatera 20.7 23.0
Java 35.7 38.9
Indonesia 29.0 32.1
Sumber: Kalkulasi Bank Indonesia dan staf Bank Dunia
17 Tingkat kredit bankyang rendah mungkin tidak harus diwujudkan dalam tingkat-tingkat investasi yang lebih rendah, apabila
usaha menerima pinjaman dari sumber-sumber non-bank lainnya (keluarga, teman atau rentenir). Bukti yang ada menunjukkan
bahwa kredit bank merupakan patokan yang relevan untuk mengukur tingkat investasi. Kredit bank mewakili sumber penting
bagi pembiayaan di Aceh: 43,9 persen rumah tangga yang memperoleh pinjaman dari bank. Jumlah ini lebih tinggi dari
rata-rata nasional: di Indonesia, hanya 28,3 persen rumah tangga memperoleh pinjaman dari bank. Mengingat rumah tangga
di Aceh relatif lebih mengandalkan bank, volume pemberian kredit yang rendah untuk investasi dan modal kerja tampaknya
menjadi lebih mencolok (angka-angka ini adalah perkiraan Bank Dunia, berdasarkan Access to Finance Survey, 2008).
Diagnosis Pertumbuhan Aceh27
Juli 2009
b. Apakah biaya modal tinggi terjadi di Aceh?Biaya untuk pembiayaan di Aceh sama dengan di daerah-daerah lain di Indonesia. Pada bulan
September 2008, suku bunga peminjamaan riil untuk pinjaman investasi di Aceh adalah 2,82 persen
dan rata-rata nasional adalah 1,05 persen.18 Suku bunga riil telah berfl uktuasi secara signifi kan di provinsi
ini sejak tsunami. Pada tahun 2005, semua jenis suku bunga peminjaman riil didorong turun oleh infl asi
yang tinggi yang dialami provinsi ini sebagai akibat upaya rekonstruksi, sebagaimana diilustrasikan dalam
Gambar 7. Suku bunga naik kembali ketika infl asi menurun pada tahun-tahun berikutnya. Perbedaan-
perbedaan dalam biaya modal terutama disebabkan oleh tingkat-tingkat infl asi yang berbeda, sementara
suku bunga nominal yang dibebankan di Aceh secara umum sama dengan di daerah-daerah lain di
Indonesia, sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 8. Tingkat suku bunga nominal yang sama juga
ditegaskan dalam diskusi-diskusi tim dengan bank-bank di Aceh. Ketidakmampuan bank untuk secara
aktual menentukan biaya risiko yang lebih besar dalam menjalankan usaha di Aceh, dibandingkan dengan
daerah-daerah lain di Indonesia, dapat dengan sendirinya menjadi hambatan terhadap pemberian kredit
bagi usaha, sehingga bank hanya melakukan operasi-operasi yang relatif aman, sebagaimana dibahas
lebih lanjut di bawah ini.
Gambar 7 Tingkat peminjaman investasi riil di Aceh dan rata-rata nasional
-20.00%
-15.00%
-10.00%
-5.00%
0.00%
5.00%
10.00%
15.00%
Dec-04 Jun-05 Dec-05 Jun-06 Dec-06 Jun-07 Dec-07 Jun-08
Sumber: Kalkulasi Bank Indonesia dan staf Bank Dunia
Gambar 8 Tingkat peminjaman investasi nominal di Aceh dan rata-rata nasional
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
Dec-04 Jun-05 Dec-05 Jun-06 Dec-06 Jun-07 Dec-07 Jun-08
NASIONAL - Investasi ACEH - Investasi
Sumber: Bank Indonesia dan kalkulasi staf Bank Dunia
18 Data tentang suku bunga rata-rata mungkin tidak dapat diandalalkan untuk Aceh. Perbandingan antara suku bunga di Aceh
dan suku bunga nasional dengan demikian harus ditafsirkan dengan hati-hati. Data tentang infl asi yang dibunakan untuk
memperkirakan suku bunga sebenarnya hanya berlaku untuk Banda Aceh
28Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Akses terhadap Kredit
Biaya modal tidak menghambat pertumbuhan dan investasi di Aceh. Walaupun terdapat beberapa
perbedaan antara Aceh dan daerah-daerah lain di Indonesia, masih dapat terjadi bahwa biaya modal
menghambat investasi swasta dan, dengan demikian, menghambat pertumbuhan. Hal ini seharusnya
menciptakan tingkat pertumbuhan yang lebih rendah ketika suku bunga menjadi lebih tinggi. Namun
demikian, bukan ini yang terjadi di Aceh: pertumbuhan PDRB tidak bereaksi terhadap menurunnya suku
bunga riil. Pengamatan ini menunjukkan bahwa biaya kredit barangkali bukan merupakan hambatan
yang mengikat bagi pertumbuhan.19 Akan tetapi, penemuan ini sebaiknya ditafsirkan dengan hati-hati.
Pertama, rangkaian data yang digunakan agak pendek dan tingkat pertumbuhan mungkin bersifat
responsif terhadap perubahan-perubahan suku bunga selama jangka waktu yang lebih panjang. Kedua,
jangka waktu yang pendek ini mencakup peristiwa tsunami dan program pemulihan setelahnya yang
mungkin mendistorsi pengamatan, misalnya dengan menyebabkan infl asi yang sangat tinggi dan
dengan demikian menyebabkan suku bunga riil menjadi sangat rendah pada tahun 2005.
Data terakhir mendukung gagasan bahwa biaya kredit bukan merupakan hambatan yang
mengikat di Aceh. Program Kredit Pemberdayaan Pengusaha yang mulai digulirkan pada bulan Oktober
2008 memberikan pinjaman dengan suku bunga tetap bersubsidi sebesar 8 persen bagi usaha-usaha di
Aceh. Dengan program tersebut, persyaratan-persyaratan jaminan tidak terlalu ketat: tidak seperti biasa
di tingkat 110-120 persen dari jumlah pinjaman, 80 persen saja yang diminta dari para peminjam. Ukuran
pinjaman berkisar antara Rp.50 juta hingga Rp.500 juta. Sejak bulan April 2009, jumlah total dana yang
telah dipinjamkan di bawah program ini hanya sekitar Rp.5 milyar.20 Walaupun masih terlalu dini untuk
menilai efektivitas keseluruhan dari program tersebut, jumlah penerimaan yang relatif kecil atas dana
“yang lebih murah” ini lebih jauh menunjukkan bahwa suku bunga yang tinggi tidak menghambat usaha-
usaha dalam mengakses kredit di Aceh.
Gambar 9 Pertumbuhan PDB tidak bereaksi terhadap perbedaan suku bunga
Hubungan antara angka dan pertumbuhan
-1.00%
0.00%
1.00%
2.00%
3.00%
4.00%
5.00%
6.00%
7.00%
8.00%
9.00%
-20.00% -15.00% -10.00% -5.00% 0.00% 5.00% 10.00% 15.00%
Tingkat bunga riil (pinjaman investasi)
Tingk
at p
ertu
mbu
han
riil (s
ebel
umny
a m
igas
)
2008
20072006
2005 2004
2003
2002
2001 2000
Sumber: Bank Indonesia, BPS dan kalkulasi staf Bank Dunia
c. Apakah permasalahannya adalah rendahnya tabungan dan tidak adanya akses terhadap pembiayaan eksternal?Tingkat tabungan yang rendah bukan merupakan alasan bagi rendahnya volume kredit di provinsi
ini. Satu penjelasan klasik tentang mengapa kredit dapat menjadi mahal atau mengapa bisa terdapat
penjatahan kredit adalah rendahnya persediaan dana serta tidak adanya akses terhadap pembiayaan
eksternal. Aceh merupakan salah satu daerah yang memiliki rasio tabungan-terhadap-PDRB tertinggi
di Indonesia. Gambar 10 menunjukkan hal ini di mana Provinsi Aceh menduduki peringkat ke-empat
19 Data ini menangkap situasi ekonomi di provinsi ini sebelum dimulainya kiris keuangan global. Setelah terjadinya krisis kredit
dalam ekonomi riil, pernyataan di atas mungkin memerlukan kualifi kasi.
20 Sumber: Pak Dahlan Sulaiman, kepala program.
Diagnosis Pertumbuhan Aceh29
Juli 2009
pada tahun 2006. Tidaklah mengherankan, Aceh memiliki rasio pinjaman-terhadap-simpanan (loan-to-
deposit ratio/LDR) yang rendah: pada bulan Desember 2008, LDR berada di tingkat 46 persen, yang secara
signifi kan lebih rendah dari rasio nasional sebesar 70 persen.
Gambar 10 Tabungan per PDRB untuk provinsi-provinsi di Indonesia, 2006
0.0000
0.5000
1.0000
1.5000
2.0000
2.5000
0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00 40.00
PDRB non migas riil per kapita 2006 (Rp juta, harga 2000)
6002sagim non BR
DP rep nagnubaT
* disesuaikan terhadap deposit pemerintah menurut rata-rata nasional
NasionalSumatra Utara Kalimantan Timur
DKI Jakarta
Aceh*
Aceh
Sumber: Bank Indonesia dan staf Bank Dunia
Sebagian besar simpanan di Aceh adalah simpanan jangka pendek, namun demikian tingkat
tabungan tidak menjadi hambatan bagi pembiayaan di provinsi tersebut. Situasi di Aceh dapat
menyesatkan karena tingkat rekonstruksi yang tinggi dan dana-dana pemerintah yang telah dimasukkan
ke provinsi ini oleh berbagai badan pemerintah dan non-pemerintah. Sebagaimana ditunjukkan
dalam Gambar 11, pada tahun 2007 dana-dana pemerintah mewakili 36 persen dari seluruh simpanan,
dibandingkan dengan rata-rata sebesar kira-kira 14 persen secara nasional. Karena dana-dana tersebut
tidak dapat dipinjamkan, kecilnya jumlah sisa ‘dana-dana yang yang boleh dipinjamkan/loanable funds” ini
bisa menjelaskan mengapa hanya ada sedikit kredit di Aceh sementara total tabungan begitu besar. Untuk
menguji hipotesis ini, diasumsikan adanya tingkat yang sama pada ‘dana-dana yang dapat dipinjamkan’
dengan daerah-daerah lain di Indonesia dibandingkan dengan tingkat tabungan di Aceh (titik data
“Aceh*” pada Gambar 10 di atas).21 Bahkan setelah dibandingkan tingkat tingkat tabungan nasional, Aceh
masih memiliki rasio tabungan-terhadap-PDRB yang relatif tinggi, yang membawa kita pada kesimpulan
bahwa persediaan dana tidak menjadi alasan rendahnya rasio kredit-terhadap-PDRB.
Gambar 11 Dana-dana pemerintah menyumbangkan bagian yang besar dari simpanan di Aceh
Deposit Aceh, 2004-07
36% 30% 18% 17%
64% 70%
82%
83%
-
5
10
15
20
25
2004 2005 2006 2007
Trill
ion
Rp
Sumber: Bank Indonesia, Aceh
Dana pemerintah Dana swasta
Deposit Nasional, 2004-07
11% 14% 16% 14%
89% 86%
84% 86%
0200400600800
10001200140016001800
2004 2005 2006 2007
Trill
ion
Rp
Sumber: Bank Indonesia
Dana swastaDana pemerintah
21 Penyesuaian ini adalah untuk mengurangi tabungan masyarakat di Aceh sehinga bagian tabungan masyarakat dalam tabungan
total sama dengan rata-rata nasional..
30Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Akses terhadap Kredit
Apabila tabungan memang tinggi di Aceh, harus ada penjelasan lain tentang mengapa volume kredit
rendah: apakah karena sektor perbankan tidak melaksanakan fungsinya sebagai perantara (intermediary
function) dengan baik atau karena kredinya yang dibatasi? Hal – hal dibawah ini mencoba mengfokuskan
untuk menggali beberapa opsi yang berbeda dalam melihat masalah diatas.
d. Apakah permasalahannya adalah fungsi intermediasi (perantara) bank-bank lokal yang rendah? Rendahnya fungsi perantara oleh bank-bank lokal di Aceh dapat menghambat kemampuan
mereka untuk memberikan kredit kepada dunia usaha. Bank-bank di Aceh tampaknya belum yakin
dalam mengevaluasi permohonan-permohonan pinjaman; walaupun proses kajian seharusnya secara
resmi berlangsung selama tidak lebih dari satu bulan, UKM kadang-kadang harus menunggu sampai
dengan enam bulan apabila mereka mengajukan permohonan pinjaman untuk pertama kali (IFC, 2007).
Untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang peran intermediasi yang dimainkan bank-bank
di Aceh, serangkaian wawancara secara mendalam dengan delapan bank umum di Banda Aceh te;ah
dilakukan pada bulan Desember 2008 untuk mengkaji perspektif bank dalam menjalankan usaha di
Aceh serta tantangan-tantangan khusus yang mereka hadapi. Tujuannya adalah untuk melihat apakah
bank-bank tidak mampu dalam menentukan nilai risiko khusus berkaitan dengan kredit di Aceh, yang
menyebabkan bank tidak bersedia memberi pinjaman, atau apakah bank tidak memiliki keahlian yang
mungkin diperlukan untuk menjalankan usaha di Aceh dan memberikan pinjaman.
Bank-bank tidak mengenakan suku bunga yang lebih tinggi di Aceh untuk menentukan biaya
akibat dari persepsi risiko-risiko yang lebih besar dalam menjalankan usaha perbankan di provinsi
tersebut. Apabila bank khawatir tentang tingkat gagal bayar (default rate) di Aceh, orang akan mengira
bank-bank tersebut, antara lain, mengenakan suku bunga yang lebih tinggi di provinsi ini. Menariknya,
semua bank yang diwawancarai oleh tim menyatakan bahwa mereka mengenakan suku bunga yang
sama seperti di daerah-daerah lain di Indonesia. Data Bank Indonesia yang disajikan dalam Tabel 6
menunjukkan bahwa suku bunga nominal rata-rata di Aceh lebih rendah dari rata-rata nasional dan suku
bunga di provinsi-provinsi lain pada bulan Desember 2008. Perbedaan-perbedaan suku bunga yang
diamati mungkin dikarenakan bank-bank memiliki portofolio berbeda di provinsi yang berbeda, karena
semua bank yang diwawancarai menyatakan bahwa suku bunga yang mereka kenakan bergantung
pada banyak faktor (besarnya pinjaman, jatuh tempo, peminjam, dll.) namun tidak bergantung di provinsi
mana pinjaman tersebut diberikan. Suku bunga yang rendah di Aceh menunjukkan bahwa bank-bank
tidak memperhitungkan biaya risiko yang lebih tinggi yang dipersepsikan dalam menjalankan usaha di
Aceh.
Tabel 6 Suku bunga nomial rata-rata, Desember 2008
Nasional
(%)
Aceh
(%)
Sumatera Utara
(%)
Kalimantan
Timur (%)
Papua
(%)
Sulawesi
Tengah (%)
Modal Kerja 15,22 14,10 15,73 14,95 15,11 15,70
Investasi 14,4 13,65 15,16 14,29 14,71 14,14
Konsumsi 16,4 12,00 13,73 13,26 14,22 14,37
Sumber: Bank Indonesia, kalkulasi staf Bank Dunia
Satu cara bagi bank untuk mempertahankan portofolio pinjaman yang besar tanpa kemungkinan
menanggung persepsi risiko yang lebih besar dari pemberian pinjaman investasi adalah dengan
mengfokuskan pada pemberian pinjaman konsumsi. Sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 7, porsi
kredit investasi dan kredit modal kerja dari dari total kredit di Aceh lebih rendah dari daerah-daerah lain
Diagnosis Pertumbuhan Aceh31
Juli 2009
di Indonesia, dan lebih rendah lagi dibandingkan dengan provinsi tetangga, Sumatera Utara. Pinjaman-
pinjaman konsumsi biasanya dianggap lebih aman dan tidak mengharuskan penyaringan yang ketat
terhadap pemohon, karena barang-barang yang dibeli, khususya motor atau mobil, digunakan sebagai
barang jaminan. Lebih lanjut, bank mengakui bahwa sebagian besar nasabah mereka adalah pegawai
negeri sipil dan sebagian besar permohonan pinjaman mereka disetujui.
Tabel 7 Kredit investasi dan modal kerja sebagai bagian dari keseluruhan kredit
Persentase
Bagian kredit investasi dan modal kerja dalam keseluruhan kredit
2005 2006 2007
Aceh 48.6 49.8 50.8
Sumatera Utara 78.6 79.0 78.7
Riau 68.9 68.3 68.5
Kalimantan Timur 76.8 78.9 80.3
Papua 42.6 47.5 54.1
Sulawesi Tengah 51.9 50.9 49.9
Maluku 57.8 38.8 40.6
Sumatera 71.7 71.8 71.7
Java 71.3 72.7 71.3
Indonesia 70.3 71.4 70.3
Sumber: Kalkulasi Bank Indonesia dan staf Bank Dunia.
Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa fungsi perantara bank menjadi penghambat investasi
di Aceh. Masalahnya mungkin adalah bahwa bank tidak memiliki sumber daya manusia (pejabat bagian
kredit) yang diperlukan untuk menilai permohonan pinjaman secara memadai, namun lebih memilih
untuk menolak permohonan-permohonan dan berfokus pada portofolio pinjaman yang lebih aman
dan melewatkan peluang-peluang usaha yang menguntungkan. Hal ini berpengaruh lebih besar bagi
Aceh dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain, mengingat bahwa bank tidak banyak melayani wilayah
selama konfl ik. Beberapa pelaku terbesar yang ada di daerah-daerah pedesaan mengirim personil kredit
ke lapangan untuk mengidentifkasi dan melakukan pendekatan kepada usaha-usaha yang dianggapnya
layak untuk memperoleh kredit dan memberikan kredit kepada usaha-usaha tersebut. Pendekatan proaktif
ini efektif untuk memperluas portofolio pinjaman dan mempertahankan agar tingkat pengembalian
tetap tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa tetap ada ruang untuk meningkatkan intermediasi keuangan
dan bank yang mengirim personil kredit yang terlatih ke lapangan bertemu dengan nasabah potensial
telah berhasil melayani lebih banyak pemohon dan badan usaha. Walaupun demikian, dengan
besarnya dana yang dikeluarkan dalam rekonstruksi dalam jangka waktu yang pendek, bank telah
dengan cepat memberi tanggapan dengan membuka cabang-cabang untuk memperoleh simpanan
dan mempekerjakan tenaga-tenaga ahli yang diperlukan untuk memberi pinjaman bagi sektor-sektor
yang dianggapnya aman. Mengingat juga sifat yang relatif kompetitif dari sektor perbankan, hanya ada
sedikit bukti pasti yang menunjukkan bahwa bank tidak akan memperbaiki kapasitasnya untuk melayani
permintaan kredit, apabila bank menganggap bahwa sektor usaha ini menguntungkan.
32Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Akses terhadap Kredit
Kotak 4 Apakah konfl ik merupakan halangan untuk mengakses kredit?
Dalam melakukan pendekatan terhadap permasalahan pembiayaan di Aceh, salah satu hipotesis dari tim adalah
bahwa bank mungkin enggan untuk memberi pinjaman bagi usaha-usaha lokal karena bank masih mengkha-
watirkan stabilitas provinsi ini. Mengingat sejarah Aceh yang ditandai kekerasan dan perdamaian yang masih
baru, tampaknya masuk akal bahwa bank berhati-hati akan munculnya kembali bentuk kekerasan, dan dengan
demikian bank dengan sukarela membatasi kegiatannya di provinsi ini. Temuan-temuan dari wawancara-wawan-
cara bervariasi: terdapat konsensus yang kuat bahwa masalah keamanan, sekarang menjadi “bisnis seperti biasa”
bagi bank di Aceh dan masalah-masalah yang lebih berat juga masih ada. Namun demikian, banyak bank me-
nyebutkan bahwa selama konfl ik, bank-bank tersebut mengurangi keberadaan (atau tidak ada sama sekali) dan
membuka cabang baru di provinsi ini. Jika konfl ik masih mungkin untuk terjadi, hal tersebut akan tetap menjadi
pertimbangan bank untuk menjalankan usaha di Aceh. Beberapa bank menyatakan maksudnya untuk mem-
perluas jaringan cabang mereka di Aceh, khususnya dengan menjangkau hingga ke kabupaten dan kota-kota
selain ibukota provinsi, ini dapat mencerminkan perbaikan daya tarik provinsi tersebut, yakni bahwa saat ini per-
damaian telah bertahan hingga lebih dari tiga tahun. Tidak ada bank yang mengutarakan bahwa pihak mereka
mengenakan biaya suku bunga yang berbeda di provinsi ini (sebagai akhibat dari risiko yang lebih besar yang
dipersepsikan), atau telah menetapkan persyaratan-persyaratan barang jaminan yang ketat. Setiap perbedaan
dalam suku bunga dapat dijelaskan dengan perbedaan dalam portofolio pinjam (misalnya pinjaman-pinjaman
yang lebih kecil yang akan menghasilkan suku bunga rata-rata yang lebih tinggi yang dibebankan sebagai biaya).
Lebih lanjut, walaupun bank tidak menunjukkan kekhawatiran bahwa konfl ik mungkin akan muncul kembali,
semuanya menampakkan keprihatinan tentang pemilu lokal dan pemilihan umum presiden tahun 2009 dan
fakta bahwa terdapat banyak keputusan strategis yang ditunda hingga bank-bank tersebut dapat mengamati
apakah pemilu kembali menimbulkan ketidakstabilan. Fokus pada pinjaman konsumsi, dan secara khusus pada
pinjaman yang melayani pegawai negeri sipil, juga menunjukkan suatu upaya dari bank-bank untuk mengurangi
risiko menjalankan usaha di Aceh.
Sumber: Survei terhadap bank di Aceh.
Walaupun tampaknya masih ada ruang bagi peningkatkan dalam cara bagaimana bank memenuhi fungsi
penengahan keuangannya — terutama untuk banyak bank yang meninggalkan provinsi tersebut selama
konfl ik dan lambat laun datang kembali — hal ini tidak mungkin menjadi faktor utama di balik rendahnya
tingkat kredit bagi sektor swasta. Mengingat ketersediaan dana, pertumbuhan yang kuat selama upaya
rekonstruksi dan keamanan relatif di sebagian besar daerah Aceh, tampaknya tidak mungkin bagi bank
untuk tidak menyediakan sumber daya dan kapasitas yang diperlukan, setidaknya pada tingkat yang sama
dengan yang dilakukannya di tempat-tempat lain di Indonesia. Perbedaan jumlah kredit yang diberikan
kepada dunia usaha pada daerah-daerah lain di negeri ini, tidak bisa dijelaskan sebagai kurangnya
kapasitas bank-bank lokal.
e. Apabila tidak, apakah persoalannya adalah pembatasan kredit oleh bank?Pembatasan kredit dapat menjadi suatu alasan rendahnya tingkat kredit. Biaya kredit tampaknya
bukan merupakan halangan utama bagi investasi, dan bukan pula buruknya fungsi perantara dari bank-
bank lokal. Alasan lain bagi rendahnya tingkat kredit yang diberikan bagi usaha-usaha barangkali adalah
bahwa bank-bank tidak mempunyai pilihan untuk melakukan hal tersebut. Misalnya, hal tersebut dapat
terjadi karena banyak usaha bersifat informal,22 atau karena bank enggan memberi pinjaman bagi jenis-
22 Hal ini mungkin bukan merupakan hambatan dalam mengakses pinjaman-pinjaman kecil, karena bank tidak meminta nomor
pendaftaran usaha atau pajak, melainkan mensyaratkan KTP atau kartu pendaftaran keluaraga dan referensi-referensi informal
lainnya (misalnya, dari kepala desa).
Diagnosis Pertumbuhan Aceh33
Juli 2009
jenis pemohon kredit tertentu.23
Bank bersikap hati-hati dalam pendekatannya untuk beroperasi di Aceh, yakni menghindari
sektor-sektor yang lebih berisiko seperti pertanian atau menghindari para peminjam seperti
UKM. Dalam wawancara-wawancara yang dilakukan terhadap bank-bank umum di Banda Aceh,
tampak bahwa bank-bank tersebut bersikap sangat hati-hati di provinsi ini (sebagaimana ditunjukkan
oleh rendahnya pinjaman macet (non-performing loan/NPL) dari sebagian besar bank dan sektor
perbankan secara umum), yang membatasi akses masyarakat dan usaha terhadap kredit. Pertama, bank-
bank biasanya enggan menawarkan produk-produk pinjaman yang tidak mewajibkan adanya barang
jaminan dan sebagian besar menargetkan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).24 Hal ini dapat
menjadi halangan yang serius bagi akses karena banyak orang dan usaha kehilangan aset dan sertifi kat
selama tsunami, sehingga mereka tidak lagi dapat menggunakanya sebagai barang jaminan. Kedua,
beberapa orang telah dimasukkan dalam “daftar hitam” oleh bank. Hal ini terjadi setelah mereka gagal
mengembalikan pinjaman sebagai akibat dari kehilangan-kehilangan selama tsunami dan, untuk saat ini,
mereka tetap tidak dapat mengajukan permohonan pinjaman baru walaupun sebagian besar pinjaman-
pinjaman lama tersebut telah diputihkan. Ketiga, pertanian tampaknya merupakan sektor yang relatif
berisiko dan, walaupun banyak bank menyatakan ketertarikannya untuk memberi pinjaman lebih untuk
mendorong pengembangan pertanian, hal ini masih harus ditindaklanjuti dengan kegiatan selanjutnya.
Struktur kredit di Aceh lebih mengarah ke sektor-sektor yang dianggap kurang berisiko, seperti
konstruksi dan perdagangan. Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 12, alokasi kredit investasi
dan modal kerja secara sektoral lebih diarahkan ke sektor-sektor yang dianggap lebih aman. Sektor-
sektor tersebut sebagian besar adalah ekonomi perkotaan, seperti perdagangan dan, pada tingkat
yang lebih rendah, konstruksi. Sektor-sektor yang paling banyak menerima kredit adalah sektor-sektor
di mana investasi modal tetap rendah, seperti perdagangan. Hal ini mungkin dapat menjadai petunjuk
bahwa dunia usaha masih belum berniat melakukan investasi yang besar di provinsi ini karena mereka
mempersepsikan adanya risiko yang besar bahwa konfl ik dapat timbul kembali dan membuat mereka
terpaksa tidak bisa melanjutkan usaha. Membatasi investasi modal tetap dengan alasan bahwa mereka
mungkin dipaksa meninggalkan usaha dalam keadaan seperti itu merupakan cara yang mudah bagi
usaha untuk melindungi diri dari risiko tersebut. Bagian dari kredit yang masuk ke sektor manufaktur
sejalan dengan daerah-daerah lain di Sumatera dan Indonesia, dan bagian kredit yang masuk ke sektor
pertanian lebih rendah dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Sumatera. Pemberian pinjaman bagi
industri pengolahan makanan dihambat oleh ukuran yang kecil dari industri tersebut di Aceh. Alokasi
kredit yang besar bagi sektor konstruksi akan tampak bertentangan dengan pernyataan-pernyataan yang
disampaikan para bankir yang diwawancarai, yang mengidentifi kasi konstruksi sebagai sektor yang juga
relatif berisiko: para kontraktor sering menghadapai persoalan-persoalan berkaitan dengan pemberian
hak atas tanah, pungutan liar atau harga bahan bangunan yang berubah-ubah. Namun demikian, bagian
kredit yang masuk ke sektor ini masih lebih tinggi daripada di daerah lain di Sumatera dan rata-rata
nasional, yang menunjukkan bahwa, walaupun terdapat kesangsian seperti yang diutarakan, konstruksi
merupakan pendorong utama perekonomian provinsi ini selama beberapa tahun terakhir di mana bagian
yang besar dari semua sumber daya – pemerintah dan swasta – diberikan kepada sektor ini.
23 Kesulitan akses terhadap kredit bagi usaha-usaha dan para petani yang lebih kecil bukan hanya masalah khusus di Aceh, karena
masalah tersebut mempengaruhi seluruh negara (dan sebagian negara lain untuk hal tersebut). Upaya-upaya yang dilakukan
pemerintah untuk menangani permasalahan ini melalui skema kredit yang disubsidi atau dijamin menunjukkan tingkat
pengembalian yang rendah, yang agaknya membenarkan keengganan bank swasta untuk memberi pinjaman bagi sektor ini.
Di Aceh, program PER (Pemberdayaan Ekonomi Rakyat) diluncurkan pada 2001 dan terdiri dari pinjaman-pinjaman kecil (Rp.1 –
Rp.250 juta) bagi UKM informal. Program ini tidak mempersyaratkan barang jaminan. Antara tahun 2001 dan 2003, Rp.47 milyar
dicairkan di mana sejumlah Rp.40 milyar gagal bayar. Tingkat pengembalian yang rendah ini kemudian dijelaskan dengan tidak
adanya persyaratan barang jaminan, tsunami dan akibat-akibatnya serta tidak baiknya perencanaan program (pemerintah, dan
bukan bank, yang menyeleksi para pemohon). Tingkat pengembalian yang rendah dari skema bersubsidi yang disponsori oleh
pemerintah juga disoroti oleh beberapa bank yang menjadi sumber diskusi tim di Aceh selama persiapan kajian ini.
24 Wawancara dengan bank-bank, Banda Aceh, Desember 2008.
34Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Akses terhadap Kredit
Gambar 12 Sektor konstruksi dan perdagangan menerima bagian kredit yang relatif besar di
Aceh
Bagian dari investasi dan kredit modal kerja yang masuk ke sektor yang diseleksi, 2007
0.0%
10.0%
20.0%
30.0%
40.0%
50.0%
60.0%
70.0%
80.0%
Pertanian Pertambangan Manufaktur ListrikGas, & Air
Bangunan Perdagangan, restoran dan
hotel
Transportasi,gudang &
komunikasi
Jasa usaha Jasa sosial
Aceh Sumatera Utara Kalimantan Timur Sulawesi Tengah Papua SUMATERA INDONESIA
Sumber: Kalkulasi Bank Indonesia dan staf Bank Dunia
Secara umum, tampak bahwa bank-bank tidak bersedia memberikan pinjaman bagi sektor
agrobisnis dan perkebunan yang berskala kecil apabila pemerintah atau LSM tidak membantu
penjaminan pinjaman tersebut. Ada pemahaman bahwa pasar telah terdistorsi ketika para petani dan
nelayan telah menerima hibah dan pinjaman dari LSM selama rekonstruksi, dan saat ini tidak bersedia
mengambil kredit komersial yang wajib mereka kembalikan.25 Program-program pemberian pinjaman
mikro yang tidak mensyaratkan barang jaminan, atau yang hanya menerima peralatan atau perabotan
rumah tangga sebagai barang jaminan, sangat berhasil dan memperoleh permintaan yang tinggi.
Bahkan bank-bank yang memiliki tenaga ahli di bidang kredit mikro, dan berpengalaman memeberikan
pinjaman bagi ekonomi pedesaan di provinsi-provinsi lain tampaknya juga enggan untuk melaksanakan
program-program pemberian pinjaman pembiayaan mikro di Aceh.26 Lagi pula, sebagian dari keberhasilan
perbankan syariah akhir-akhir ini dapat dijelaskan dengan fakta bahwa perbankan ini tidak mensyaratkan
barang jaminan untuk memberikan pinjaman.27
Orang atau kelompok yang telah kehilangan aset-asetnya karena tsunami atau karena konfl ik mungkin
bisa terhalang untuk mengakses kredit. Terdapat bukti bahwa para korban konfl ik memiliki lebih sedikit
aset dibandingkan yang bukan korban konfl ik (Tabel 8). Kasus mantan kombatan GAM juga patut dilihat
bahwa: secara rata-rata, walaupun mereka memiliki pendapatan yang sama dengan warga sipil, basis aset
mereka lebih rendah. Mungkin juga ada beberapa kelompok yang kurang beruntung di Aceh mengalami
hambatan untuk mengakses kredit, yang pada gilirannya dapat menjadi penghalang bagi mereka untuk
dapat melakukan kegiatan ekonomi dan berinvestasi.
25 IFC, “Aceh Financial Sector Diagnostics”, November 2007.
26 Wawancara dengan bank-bank, Banda Aceh, 2009.
27 IFC, “Aceh Financial Sector Diagnostics”, November 2007, hal.2.
Diagnosis Pertumbuhan Aceh35
Juli 2009
Tabel 8 Pendapatan dan kekayaan (hanya untuk laki-laki)
Semua Laki-LakiLaki-Laki Warga
Sipil
Perbandingan
Kelompok-Kelompok
TNAWarga
SipilKorban
Non-
korban
Ex-TNA
terhadap
warga
sipil
Korban
terhadap
non-korban(n=1024) (n =1792) (n = 974) (n = 1321)
Pendapatan Rata-Rata (Rp. ‘000) 16.248 16.596 16.146 16.918 -347 -771
Pengukuran Kemiskinan Rumah Tangga, 2008
Aset-aset rumah tangga (rata-rata) (Rp.
‘000)17.426 24.370 23.520 25.838 -694*** -2.586*
Meter persegi tanah yang digarap oleh
rumah tangga (rata-rata)7.628 10.044 8.912 10.800 -2.416 -1.887
Bagian rumah yang terbuat dari beton
(%)27 36 31 40 -9*** -9**
Akses terhadap air dari sumber yang
bersih/terlindungi (%)46 60 56 63 -15*** -7**
Persepsi tentang Kemiskinan
Rumah tangga di kalangan sepertiga
termiskin di desa††65 47 53 42 18*** 12***
*** Signifi kan pada 99%; ** Signifi kan pada 95%; * Signifi kan pada 90%. Tabel melaporkan rata-rata penduduk dan
n sampel. Sumber: MSR, 2009.
Setelah berakhirnya konfl ik, bank telah memulai kembali operasinya di Aceh dan secara bertahap
kembali ke modus operasi “ bismis seperti biasa” di daerah tersebut. Akan tetapi, bukti menunjukkan
bahwa proses ini barangkali lebih lambat daripada yang diperkirakan oleh bank. Pada saat ini, sebagian
besar bank hanya beroperasi di kota-kota utama provinsi dan sangat sedikit menjangkau daerah-daerah
pedesaan. Akibatnya, mereka kekurangan kapasitas untuk memberikan pinjaman bagi sektor-sektor
ekonomi yang utama dalam perekonomian, seperti pertanian dan perikanan. Bank-bank sebagian
besar melayani para peminjam yang paling tidak beresiko. Tidak ada bank yang memberikan pinjaman
usaha kepada perusahaan-perusahaan yang berusia kurang dari satu tahun. Bank-bank sebagian besar
memberi pinjaman kepada usaha-usaha yang sudah berkembang dan memiliki aliran kas yang besar
dan jaminan yang cukup. Di Aceh, usaha-usaha tersebut sebagian besar adalah usaha perdagangan dan,
pada tingkat yang lebih kecil, kontraktor. Akses terhadap pembiayaan, terutama untuk beberapa sektor
usaha, tampaknya menjadi persoalan di Aceh.
Walaupun agak rendah, akses terhadap kredit di Aceh tampaknya bukan merupakan hambatan
yang mengikat bagi pertumbuhan di provinsi ini. Usaha kecil dan menengah yang mengajukan
permohonan pinjaman pada umumnya berhasil: hanya 4,13 persen yang ditolak selama paruh pertama
tahun 2008 (World Bank, 2008d). Persoalan-personalan akses terhadap pembiayaan tampaknya menyebar
di Indonesia dan tidak dapat menjadi alasan tingkat kredit yang rendah di Aceh. Rendahnya tingkat kredit
yang diberikan kepada sektor swasta mungkin merupakan suatu upaya dari bank untuk menghadapai apa
yang oleh banyak pihak dianggap sebagai risiko-risiko yang lebih besar dalam beroperasi di Aceh. Fungsi
perantara bank juga terhalang oleh fakta bahwa banyak bank beranjak dari provinsi ini selama konfl ik, dan
kembali ke Aceh saat-saat terakhir ini, sehingga bank-bank tersebut memiliki sedikit cabang di provinsi
ini, dan harus mendirikan kembali usaha serta jaringan nasabah mereka. Bank-bank memberi pinjaman
kepada para peminjam yang tidak memiliki resiko tinggi yaitu: usaha-usaha dan perusahaan-perusahaan
yang mapan dan memiliki arus kas yang tinggi yang dapat mengembalikan pinjaman dengan cepat
atau memberikan pinjaman konsumsi bagi pegawai negeri sipil. Sektor-sektor pertanian, pengolahan
makanan, dan manufaktur skala kecil semuanya memiliki potensi untuk menciptakan pertumbuhan
36Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Akses terhadap Kredit
ekonomi yang berkelanjutan dan bersama, tetapi tidak dapat dengan mudah mengakses kredit karena
sektor-sektor tersebut masuk dalam kategori yang membuat bank enggan memberikan pembiayaan.
Akses terhadap kredit bukanlah halangan utama bagi pertumbuhan di Aceh, tetapi mengingat sektor
swasta maupun individu-individu tersebut telah mengidentifi kasi keadaan tersebut sebagai hambatan
produktifi tas, upaya meningkatkan akses terhadap kredit mungkin menjadi penting agar kaum miskin
juga dapat mengambil manfaat dari pertumbuhan. Lembaga-lembaga pemerintah dapat melakukan
dua intervensi utama untuk meningkatkan akses sektor swasta di Aceh untuk memperoleh kredit:
Memperluas/memperkenalkan program-program jaminan sebagian jenis Kredit Usaha • Rakyat (KUR), yang dibantu Pemerintah Aceh/Pemerintah Indonesia, untuk memberikan
insentif bagi bank dalam rangka memberikan pinjaman kepada nasabah-nasabah baru. Program
tersebut seharusnya mempertimbangkan strategi transisi (exit strategies) bagi perusahaan-
perusahaan yang telah membuktikan pengembalian kreditnya dengan baik dan dengan
demikian dapat mengakses kredit tanpa jaminan yang memberatkan. Mengingat pengalaman
Aceh dengan program-program tersebut, perhatian khusus harus diberikan bagi rencana
programnya agar menghindari rendahnya tingkat pengembalian, sebagaimana dalam program
Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, atau rendahnya daya serap (intake), seperti dalam program
Kredit Pemberdayaan Pengusaha yang telah diluncurkan;
Mendukung layanan pengembangan usaha• (misalnya melalui Pusat-Pusat Layanan Usaha
Pembangunan atau Development Business Services Center – DBS) yang menyediakan informasi
bagi usaha-usaha kecil dan menengah tentang pengembangan usaha, sambil mengidentifi kasi
usaha-usaha yang memiliki potensi yang bisa dikembangkan dan menghubungkan usaha-
usaha tersebut dengan sumber-sumber kredit. DBS seharusnya berfokus pada sektor pertanian,
perikanan dan pengolahan hasil pertanian, karena sektor-sektor ini berpotensi menjadi mesin
pertumbuhan inklusif di Aceh maupun karena fakta bahwa sektor-sektor ini seringkali oleh bank
diidentifi kasi sebagai sektor-sektor yang sangat berisiko.
Bagian ini telah memberikan bukti bahwa dunia usaha di Aceh memiliki akses yang rendah terhadap
kredit, dan juga telah menganalisis sebab-sebabnya. Walaupun mungkin terdapat persoalan-persoalan
berkaitan dengan peran intermediasi yang dimainkan oleh bank, tidak terdapat alasan yang kuat untuk
meyakini bahwa fungsi intermediasi bank-bank di Aceh secara signifi kan lebih buruk dibandingkan
dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Sebagai akibatnya, hingga ke tingkat yang lebih besar, alasan-
alasan bagi rendahnya tingkat pemberian kredit kepada usaha-usaha lebih disebabkan oleh risiko-risiko
yang lebih tinggi yang dipersepsikan dalam menjalankan usaha di Aceh serta potensi keuntungan yang
rendah dari usulan-usulan investasi terkait. Bagian berikut dari laporan ini menganalisis alasan-alasan
yang mungkin di balik keadaan ini.
Diagnosis Pertumbuhan Aceh37
Insentif untuk melakukan investasi boleh jadi turun karena rendahnya kualitas atau tidak
tersedianya sama sekali beberapa faktor produksi yang bersifat pendukung. Produktivitas para
pekerja mungkin boleh jadi rendah karena rendahnya keterampilan, rendahnya kualitas infrastruktur
atau kondisi geografi s yang merugikan perkembangan usaha. Modal sumber daya manusia sangat
penting untuk meningkatkan produktivitas, karena hal tersebut memungkinkan kemajuan teknologi dan
perkembangan industri-industri padat keterampilan. Indikator dasar pencapaian pendidikan Indonesia
masih rendah dibandingkan dengan negara lain di kawasan yang sama. Di tingkat nasional, indikator
infrastruktur dasar, khususnya dalam bidang energi, transportasi, dan air serta sanitasi masih rendah.
Kekurangan-kekurangan tersebut dapat menimbulkan kendala serius dalam upaya untuk mencapai
produktivitas usaha dan dengan demikian berdampak pada insentif bagi perusahaan-perusahaan dalam
melakukan investasi. Dalam menganalisis kualitas dan ketersediaan faktor-faktor produksi yang bersifat
komplementer, akan sangat bermanfaat untuk membandingkan Aceh dengan provinsi-provinsi lain di
Indonesia untuk menilai sejauh mana keberhasilan yang dicapainya atau kegagalan yang dialaminya
dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain.
Mengingat lokasi Aceh yang menguntungkan, faktor geografi s tampaknya tidak menimbulkan
hambatan yang signifi kan bagi pertumbuhan. Kerangka kerja diagnosa pertumbuhan menganggap
lokasi dan karakteristik geografi s sebagai serangkaian faktor yang bersifat komplementer yang
berdampak pada hasil sosial untuk investasi: kita dapat menganggap kondisi negara yang tidak memiliki
daerah pantai, dan ketiadaan sumber daya alam atau tanah yang dapat digarap sebagai faktor-faktor
geografi s yang dapat memberikan pengaruh buruk terhadap pertumbuhan. Aceh terletak di ujung
bagian utara Sumatera dan berada di pusat rute perdagangan dan dikaruniai dengan sumber daya alam.
Lokasinya dekat dengan pusat industri dan perdagangan utama di Sumatera, Medan dan pasar-pasar
regional, termasuk negara tetangga Malaysia dan Singapura. Iklim Aceh memungkinkan pembudidayaan
beberapa jenis tanaman ekspor, seperti kelapa sawit, karet, kakao, dan kopi dan bersama-sama dengan
provinsi tetangganya, Sumatera Utara, di sanalah terdapat salah satu dari beberapa hutan hujan yang
tersisa di Asia Tenggara. Penelitian yang dilakukan baru-baru ini tidak hanya menyoroti keuntungan yang
dilihat oleh para investor dari kedekatan Aceh dengan pusat industri dan perdagangan utama seperti
Medan serta Malaysia, melainkan juga menyebutkan beberapa hambatan yang menghalangi Aceh untuk
memperoleh manfaat dari kedekatan tersebut.
Hal ini mencakup lemahnya hubungan rantai pasokan dengan rantai domestik dan global yang
lebih luas, kegagalan informasi pasar dan lemahnya daya tawar perkebunan skala kecil, lemahnya
pemberian layanan dan kualitas produk (IFC, 2008). Para calon investor menganggap kedekatan
dan logistik angkutan ke Medan sebagai sebuah aset untuk Aceh, dan bukanlah sebagai sebuah
06
Hasil Sosial yang Rendah
38Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Hasil Sosial yang Rendah
hambatan. Apakah kebutuhan pertumbuhan perekonomian menjadi tidak berimbang karena terjadinya
konsentrasi kegiatan ekonomi masih menjadi perdebatan yang hangat (World Bank, 2009b). Perdebatan
ini juga berlangsung di Aceh, pada saat membahas tentang manfaat dari kedekatan Aceh dengan
Medan dan apakah pengelompokan kekuatan, yang menarik kegiatan investasi dan perekonomian ke
Medan, merupakan suatu insentif atau disinsentif (misalnya oleh semua kegiatan bernilai tambah yang
berlangsung di Medan alih-alih di Aceh) untuk melakukan investasi di Aceh. Tanpa bermaksud mengakhiri
perdebatan tersebut melainkan berdasarkan bukti yang ada dan wawancara dengan para calon investor,
laporan ini menunjukkan bahwa lokasi geografi s Aceh tidak merupakan kendala yang mengikat bagi
investasi dan pertumbuhan.
a. Infrastruktur: jalan-jalan Infrastruktur seringkali disoroti sebagai hambatan utama terhadap investasi di Aceh. Indikator-
indikator infrastruktur dasar tampaknya sebanding dengan rata-rata nasional di sejumlah bidang, seperti
irigasi dan akses terhadap tenaga listrik. Namun demikian, skor Aceh jauh lebih rendah dalam indikator-
indikator yang berhubungan dengan sambungan telepon, sanitasi pribadi, dan pengelolaan limbah.
Semua jenis infrastruktur tidak sama pentingnya untuk beberapa usaha dan bagian ini akan berfokus
pada pemahaman tentang masalah-masalah khusus terkait jaringan jalan dan listrik, yang keduanya
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberhasilan pembangunan sektor swasta.
Tabel 9 Kondisi infrastruktur di Aceh dan Indonesia tahun 200528
Kondisi Infrastruktur28 Aceh (%) Indonesia (%)
Rumah tangga yang memiliki akses terhadap listrik 73,0 68,7
Desa-desa yang tidak dilengkapi listrik 7,7 7,3
Sambungan telepon 6,2 12,2
Lahan yang mendapat irigasi sebagai persentase terhadap tanah tegalan 52,8 54,6
Sanitasi pribadi 34,2 52,2
Pengelolaan limbah 3,7 8,5
Sumber: Podes, 2005.
Sektor swasta memiliki anggapan yang beragam tentang kondisi infrastruktur, sebagaimana
ditunjukkan dalam gambar di bawah ini. Ketika perusahaan-perusahaan di Aceh dimintai pandangannya
tentang kondisi jalan-jalan kabupaten dan kota, penerangan jalan, dan listrik di dekat lokasi kegiatan
operasi mereka, lebih dari 35 persen menilai layanan tersebut “buruk” atau “sangat buruk”. Namun
demikian, indikator-indikator persepsi tampaknya sebanding untuk sebagian besar jenis infrastruktur,
yang tidak memiliki jenis tunggal atau kelompok yang dikhususkan oleh perusahaan yang telah ada
sebagai hal yang lebih bermasalah. Beberapa jenis infrastruktur masih menimbulkan hambatan bagi
investasi dan pertumbuhan dengan tidak mendukung para investor baru untuk menetap di provinsi
tersebut. Dalam diskusi dengan Kantor Penunjang Investasi (Investors Outreach Offi ce) di Aceh, ketiadaan
pasokan listrik yang dapat diandalkan dianggap sebagai kendala utama bagi gagasan-gagasan usaha
yang dalam kondisi yang berbeda akan mampu bertahan hidup. Untuk memahami jenis infrastruktur
mana yang jauh lebih buruk di Aceh, laporan ini mengandalkan ukuran-ukuran cakupan dan kualitas
infrastruktur yang lebih objektif di Aceh dan membandingkannya dengan provinsi-provinsi lain.
28 Indikator (ukuran): Rumah tangga yang memiliki akses terhadap listrik (porsi), desa-desa tanpa listrik (porsi), sambungan
telepon (porsi desa yang telah tersambung), lahan yang mendapat irigasi sebagai persentase terhadap tanah tegalan (porsi),
sanitasi pribadi (porsi rumah tangga yang memiliki septic tank), pengelolaan limbah (porsi desa yang dilengakapi dengan
sistem pengolahan limbah yang memadai, seperti tempat pembuangan sampah akhir)
Diagnosis Pertumbuhan Aceh39
Juli 2009
Gambar 13 Bagaimana perusahaan-perusahaan menilai kondisi dari jenis-jenis infrastruktur
yang berbeda
00.1
0.20.30.40.5
0.60.7
Kab/Kotajalan
iluminasijalan
Listrik Telephone
Jelek sekaliJelekBagusBagus sekaliTidak tahu
Air minum yang disuplai pemerintah
daerah
Sumber: The Asia Foundation / KPPOD
Kendati persepsi yang berkembang berbeda, infrastruktur jalan di Aceh tampaknya tidak lebih
buruk dibandingkan dengan kondisi di daerah lain di Indonesia. Data yang diperoleh dari dinas
Pekerjaan Umum menunjukkan bahwa pada tahun 2006, jaringan jalan kabupaten dan provinsi Aceh
berada dalam kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan rata-rata jaringan jalan di Sumatera atau
Indonesia secara keseluruhan. Hanya jaringan jalan nasional yang berada dalam kondisi yang lebih buruk,
di mana jalan-jalan nasional di sepanjang pantai timur dan barat rusak parah akibat tsunami. Pada tahun
2000, 78 persen jaringan jalan nasional di Aceh berada dalam kondisi yang baik, dibandingkan dengan
69 persen jaringan jalan di Sumatera secara keseluruhan dan 54 persen jaringan jalan di tingkat nasional.
Dalam hal kepadatan jalan, Aceh lebih baik dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia dan
sangat serupa dengan Sumatera secara keseluruhan.
Tabel 10 Kondisi Jalan di Aceh, 2006
Jalan yang berada dalam
kondisi baik, 2006
Jalan
Kabupaten
(%)
Jalan
Nasional
(%)
Jalan
Provinsi
(%)
Kepadatan jalan*
Km/ 10.000 orang
Kepadatan jalan*
Km / 100 km2
Aceh 28 6 9,5 3,5 2,7
Sumatera Utara 12,2 42 4,9 1,7 2,9
Pulau Sumatera 17,9 57 6,2 3,6 2,8
Nasional 20,2 52 10,8 1,4 1,7
Sumber: Bina Marga, Pekerjaan Umum. * Jalan Provinsi.
Infrastruktur mengalami kerusakan signifi kan selama konfl ik. Beberapa dari indikator ketertinggalan
dapat dijelaskan sebagai akibat dari konfl ik. Sebuah penilaian tentang kerusakan dan kerugian akibat
konfl ik yang dilakukan baru-baru ini menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen dari sembilan jenis
infrastruktur yang rusak selama konfl ik adalah sebagai berikut: transportasi, jembatan, air dan sanitasi,
listrik, irigasi, fasilitas desa, fasilitas perekonomian, perumahan, dan tanah produktif (MSR, 2009). Pada
tahun 2006, hanya 12 persen dari kerusakan ini yang telah diperbaiki. Sembilan puluh enam ribu hektar
sawah (31 persen dari jumlah total di Aceh) terlantar; 278.000 hektar lahan perkebunan lainnya (49 persen)
tidak dapat digunakan karena konfl ik dan lebih dari 200.000 ekor ternak (sapi dan kerbau) hilang selama
konfl ik. Di sektor usaha, 1.483 penggilingan padi dan pabrik pengolahan kecil lainnya rusak (47 persen
dari jumlah total), sekitar 6.707 toko, pertokoan, dan warung makanan dan hampir 1.409 pasar desa (dari
total 2.368) rusak atau hancur. Hampir 1.179 km jalan kabupaten (43 persen dari total), 2.641 km jalan
akses ke desa (60 persen), dan 1.442 km jalan akses ke dusun (61 persen) rusak. Sebanyak 2.195 jembatan
beton dan 4.468 jembatan jenis lain (kayu, gantung, baja) juga rusak. Infrastruktur yang rusak selama
konfl ik yang cenderung dibangun kembali relatif rendah, khususnya apabila dibandingkan dengan
jangka waktu pembangungan kembali infrastruktur yang rusak akibat tsunami.
40Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Hasil Sosial yang Rendah
Rekonstruksi setelah tsunami telah memberi Aceh infrastruktur yang lebih baik. Proyek-proyek
infrastruktur senilai sekitar AS$1,5 miliar (dalam bidang transportasi, irigasi, dan energi) telah dialokasikan.
Sejak bulan Desember 2008, sekitar 3.000 km jalan (semua jenis jalan) telah dibangun, 273 jembatan
telah diperbaiki, demikian pula 12 landasan pacu dan 20 pelabuhan.29 Semua ini dilakukan terutama di
daerah-daerah yang terkena dampak tsunami, dengan sejumlah kecil investasi di wilayah tengah Aceh
dan daerah-daerah lain yang tidak terkena dampak tsunami: hanya sembilan persen dari nilai kerusakan
dan kerugian terkait konfl ik yang telah dialokasikan dalam bentuk dukungann pasca konfl ik (MSR, 2009).
Di daerah-daerah pasca konfl ik, masih diperlukan bantuan yang cukup besar dalam bidang perumahan,
pertanian, dan pengangkutan. Di daerah-daerah di mana infrastruktur telah diperbaiki setelah tsunami,
belum pasti apakah pemerintah daerah memiliki sumber daya dan kemampuan untuk memelihara aset
baru tersebut. Pemerintah tetap menjadi investor utama dalam bidang infrastruktur. Walaupun beberapa
industri terpaksa membangun infrastruktur mereka sendiri (minyak dan gas, industri pupuk, dan beberapa
perkebunan), sebagian besar dari sektor swasta masih mengandalkan penyediaan infrastruktur oleh
pemerintah. Belanja pemerintah untuk infrastruktur turun secara signifi kan seiring dengan diterapkannya
desentralisasi, tetapi kemudian meningkat kembali (baik secara mutlak maupun relatif ) sejak tahun 2004,
sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 14. Penelitian yang dilakukan baru-baru ini tentang belanja
pemerintah di Aceh menunjukkan kenaikan belanja pemerintah untuk infrastruktur secara keseluruhan
(World Bank, 2008b) serta kenaikan dalam alokasi untuk operasional dan pemeliharaan (World Bank, 2006b)
sebesar sampai dengan 9 persen, masih di bawah rata-rata nasional sebesar 12 persen. Mempertahankan
alokasi dana yang tinggi untuk infrastruktur dan belanja khusus untuk operasional dan pemeliharaan
perlu dilakukan untuk terus meningkatkan infrastruktur jalan di Aceh.
Gambar 14 Belanja pemerintah untuk infrastruktur di Aceh telah meningkat sejak tahun 2004
Investasi pemerintah untuk infrastruktur
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Rp Bi
llion
0
10
20
30
40
50
60
Bagia
n dar
i ang
gara
n tot
al (%
)
Bagian (kanan) Belanja Pemerintah (kiri)
Catatan: Harga konstan 2006.
Sumber: Provinsi, Departemen Keuangan, perhitungan staf Bank Dunia.
b. Infrastruktur: listrik Permintaan akan listrik terus meningkat dan ketiadaan pasokan listrik yang dapat tersedia
seringkali diidentifi kasi sebagai hambatan utama bagi pembangunan perekonomian di Aceh.
Tidak berbeda dengan tren nasional, pertumbuhan permintaan listrik mencapai hampir 10 persen selama
lima tahun terakhir. Sektor rumah tangga mencatat 67 persen dari permintaan, sementara permintaan
dari sektor usaha dan pemerintah masing-masing sebesar 14,5 persen dan 18,5 persen. Hampir 80 persen
pasokan listrik di Aceh berasal dari sistem interkoneksi Sumatera (Sumatra Interconnection System)
melalui Sumatera Utara. Sistem ini telah dirancang untuk meningkatkan efi siensi dalam distribusi, tetapi
hal ini sekaligus menunjukkan secara tidak langsung bahwa Aceh rentan terhadap gangguan koneksi
jarak jauh, yang kadang-kadang dapat terjadi, misalnya dalam keadaan cuaca buruk. Aceh memiliki
pasokan listrik yang memadai untuk memenuhi kebutuhan dalam kondisi normal, tetapi kekurangan
29 Sektor energi merupakan salah satu dari sedikit sektor yang tidak mendapakan dana yang memadai untuk melakukan
pemulihan dari dampak tsunami. Dengan kebutuhan minimum diperkirakan mencapai hampir sebesar AS$120 juta, dana
yang dialokasikan mencakup kurang dari 40 persen kebutuhan minimum.
Diagnosis Pertumbuhan Aceh41
Juli 2009
cadangan listrik siaga yang diperlukan sebagai cadangan apabila jaringan pasokan terganggu (Gambar
15). Hal ini sering terjadi di Aceh: perusahaan-perusahaan di Aceh melaporkan bahwa pasokan listrik
terganggu rata-rata selama 4,3 kali per minggu, sementara di wilayah lain di Indonesia, gangguan listrik
ini hanya terjadi dua kali seminggu. Diskusi-diskusi yang diadakan dengan para perwakilan sektor swasta
juga menggarisbawahi bahwa ketiadaan listrik yang dapat diandalkan merupakan kendala utama yang
dihadapi oleh jenis-jenis kegiatan tertentu (pengolahan ikan, peternakan unggas) yang dalam keadaan
sebaliknya akan mampu berkembang.
Gambar 15 Aceh kekurangan cadangan listrik siaga yang diperlukan untuk menghindari
gangguan pasokan
Listrik di Aceh (GwH)
0
500
1000
1500
2000
2500
2007 2008 2009 2010 2011 2012
Kapasitas Permintaan (termasuk cadangan)
Sumber: RUPTL NAD 2008-2017, PLN, perhitungan staf Bank Dunia.
Menurut PLN, tingkat elektrifi kasi di Aceh lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah-wilayah
lain di Sumatera dan Indonesia (Tabel 11). Elektrifi kasi di tingkat rumah tangga tidaklah selalu dapat
dilihat sebagai yang sesuatu yang dapat diandalkan dan lancar. Beberapa industri, seperti minyak dan
gas bumi atau semen, terpaksa harus menyediakan pasokan listrik mereka sendiri: secara bersama-sama
industri tersebut memproduksi sekitar 427.000 kVA untuk kebutuhan mereka sendiri pada tahun 2007.
Pada tahun tersebut, sekitar 575.000 kVA atau 3 persen dari total pasokan listrik di Aceh dihasilkan oleh
sektor swasta untuk konsumsi mereka sendiri. Untuk industri-industri berskala menengah dan kecil, yang
beroperasi dalam skala yang lebih kecil, menghasilkan listrik secara swadaya seringkali bukanlah suatu
pilihan dan pasokan listrik dapat menjadi hambatan yang signifi kan.
Tabel 11 Tingkat elektrifi kasi di Aceh berada di tingkat yang sama dengan wilayah-wilayah lain
di Indonesia
Tingkat Elektrifi kasi – Provinsi (%) 2003 2008 2013
Java - Bali – Madura 59,5 67,3 77,3
NAD 56,2 69,8 86,5
Sumatera Utara 67,1 78,2 93,2
Sumatera Barat 60,5 72,9 94,3
Riau 38,5 47,1 56,9
Kalimantan Timur 49,8 65,4 91,1
Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Gorontalo 46,2 53,5 63
Papua 27,4 34 42,6
NTT 22,4 28,7 37,2
Batam 68,7 96 100
Sumatera 50,3 62,8 80,3
Indonesia 54,8 63,5 75,2
Sumber: PLN.
42Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Hasil Sosial yang Rendah
Pemadaman listrik yang sering dilakukan, bahkan di ibukota provinsi Banda Aceh, sebagai
akibat dari kekurangan kapasitas, peralatan yang relatif tua, dan pemeliharaan yang seringkali
diperlukan, kemungkinan menimbulkan hambatan yang signifi kan terhadap pertumbuhan.
Investasi yang cukup signifi kan dalam sektor kelistrikan diperlukan untuk menjamin pasokan listrik yang
lancar dan menghindari keharusan sektor swasta untuk menghasilkan listriknya sendiri. Untuk memenuhi
kebutuhan listrik yang terus meningkat, PLN memperkirakan bahwa diperlukan investasi sebesar sekitar
AS$130 juta selama lima tahun ke depan (PLN, 2007). Sebagian besar investasi berasal dari sektor publik.
Struktur pasar energi yang berlaku saat ini tampaknya tidak mendorong investasi yang signifi kan dalam
hal produksi energi oleh sektor swasta, mengingat kebijakan harga yang diberlakukan saat ini oleh PLN.
Masih belum dipastikan apakah pemerintah provinsi mempunyai kemampuan untuk melakukan investasi
yang diperlukan dalam jangka pendek. Selain meningkatkan kehandalan pasokan energi dari Sistem
Interkoneksi Sumatera, Pemerintah Aceh dapat mempertimbangkan penggunaan sumber energi yang
lebih terkini, yang sebelumnya telah diidentifi kasi memiliki potensi untuk Aceh (CSIRO, 2008). Terdapat
beberapa peluang untuk meningkatkan perkembangan energi panas bumi, bio-masa lokal, dan sinar
matahari, untuk menjamin pasokan energi lokal yang handal guna mendukung pembangunan provinsi
tersebut.
c. Pendidikan dan modal sumber daya manusia Tingkat capaian pendidikan di Aceh cukup tinggi dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain dan
rata-rata di Indonesia, tetapi para mantan anggota GAM kurang mendapat pendidikan dibandingkan
dengan masyarakat sipil. Tingkat partisipasi di tingkat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama
pada tahun 2007 lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat partisipasi secara nasional dan dibandingkan
dengan provinsi tetangganya yang lebih kaya, Sumatera Utara (Tabel 12). Belum terjadi evolusi yang
signifi kan sejak berakhirnya konfl ik dan tsunami karena tingkat partisipasi pada tahun 2007 masih sama
dibandingkan dengan tingkat partisipasi pada tahun 2004.
Tabel 12 Capaian pendidikan
Pendidikan
2004 2007
Aceh Sumatera
Utara
Nasional
(rata-rata)Aceh
Sumatera
Utara
Nasional
(rata-rata)
Angka Partisipasi Bersih SD 95,9 93,6 93,0 95,7 93,9 93,8
Angka Partisipasi Bersih SMP 80,0 73,0 65,2 76,4 73,6 66,6
Angka Partisipasi Bersih SMA 62,0 56,6 42,9 61,8 54,8 44,6
Angka Partisipasi Kotor SD 108,8 106,6 107,1 114,3 111,0 110,4
Angka Partisipasi Kotor SMP 95,9 89,9 82,2 91,1 91,3 82,0
Angka Partisipasi Kotor SMA 75,2 70,9 54,4 76,8 69,0 56,7
Sumber: Susenas, 2004-07.
Data yang diperoleh dari Survei tentang Reintegrasi dan Penghidupan di Aceh (Aceh Reintegration
and Livelihood Survey/ARLS) menunjukkan bahwa rata-rata para mantan anggota GAM kurang
mendapat pendidikan dibandingkan dengan masyarakat sipil. Rangkaian data dari ARLS memberikan
informasi tentang individu, rumah tangga, dan desa-desa dan berfokus pada reintegrasi pasca konfl ik di
Aceh. ARLS dilaksanakan sejak bulan Juli-September 2008 di 754 desa di Aceh. Contoh yang diambil
diupayakan agar representatif untuk para pria di seluruh Aceh (dan perempuan dalam sebuah kelompok
di kabupaten-kabupaten) dan memungkinkan diadakannya perbandingan antara beberapa kelompok,
termasuk mantan anggota GAM versus masyarakat sipil dan para korban versus non-korban. Kajian
tersebut menggunakan data ini untuk mengetahui situasi sosial ekonomi yang dihadapi oleh sebagian
dari kelompok tersebut, termasuk para mantan anggota GAM dan tantangan-tantangan khusus yang
Diagnosis Pertumbuhan Aceh43
Juli 2009
mereka hadapi. Pertimbangan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk
menggariskan kebijakan yang terkait untuk mencapai pertumbuhan inklusif. Dalam hal pendidikan,
apabila membandingkan antara para mantan anggota GAM dan masyarakat sipil, tampak bahwa para
mantan anggota GAM kemungkinan besar berhenti bersekolah di tingkat sekolah dasar atau sekolah
menengah pertama (Tabel 13). Hanya 17 persen dari mereka yang lulus sekolah menengah atas atau
memperoleh pendidikan di tingkat perguruan tinggi dibandingkan dengan 34 persen masyarakat sipil
(MSR, 2009). Namun demikian, lebih banyak dari mereka yang melek huruf yang menunjukkan bahwa
kemungkinan besar mereka telah memperoleh pendidikan dasar.
Tabel 13 Karakteristik dasar, perbandingan antara mantan Tentara Nasional Aceh (TNA), korban
sipil, dan non korban (khusus pria)
Semua Pria Kelompok Pembanding
Mantan-TNA Sipil Mantan-TNA terhadap
sipil (n=1024) (n=1794)
Usia (rata-rata) 35 40 -6 ***
Penduduk Aceh (%) 94 70 24 ***
Melek Huruf (%) 96 91 5 ***
Pendidikan (%)
Tidak memiliki pendidikan 15 17 -3
Lulus sekolah dasar 40 29 11 ***
Lulus sekolah menengah pertama 29 20 9 ***
Lulus sekolah menengah atas atau lebih tinggi 17 34 -17 ***
*** Signifi kan 99%; ** Signifi kan 95%; * Signifi kan 90%. Tabel reports population means and sample n’s.
Sumber: MSR 2009.
Selama konfl ik, infrastruktur pendidikan banyak menjadi target, di mana pihak yang bertikai
berupaya untuk menghancurkan tempat-tempat persembunyian potensial dan penghancuran yang
infrastruktur pemerintah. Penilaian terhadap kerusakan dan kehilangan (MSR, 2009) memperkirakan
bahwa 49 persen sekolah menengah atas, 47 persen sekolah menengah pertama, 54 persen sekolah
dasar, dan madrasah tradisional (sekolah Islam), dan 74 persen taman kanak-kanak rusak selama konfl ik.
Sekolah-sekolah seringkali ditutup sementara terutama pada saat kekerasan meningkat. Selama enam
bulan setelah kegagalan Perjanjian Penghentian Permusuhan pada bulan Mei 2003, 880 sekolah harus
ditutup (Barron, 2008). Beberapa universitas juga diserang. Sejumlah besar penduduk Aceh meninggalkan
provinsi ini selama periode ini. Czaika dan Kis-Katos (2007), misalnya, memperkirakan bahwa lebih dari
180.000 orang meninggalkan Aceh antara tahun 1999 dan 2002, yang membuktikan bahwa konfl ik
tersebut merupakan faktor penentu dalam migrasi penduduk keluar dari provinsi tersebut. Setelah
pemerintah mendeklarasikan darurat militer di Aceh pada bulan Mei 2003, lebih dari 100.000 penduduk
Aceh meninggalkan wilayah tersebut, di antara mereka terdapat banyak pelajar dan pelaku usaha
(Misbach, 2007). Industri-industri berbasis pertanian dan para pedagang meninggalkan provinsi tersebut
dan ratusan mahasiswa Universitas Syiah Kuala melanjutkan pendidikan mereka di luar Aceh. Namun
demikian, terdapat tanda-tanda bahwa situasi keamanan yang membaik dan peluang-peluang yang
diciptakan melalui upaya rekonstruksi berhasil membawa kembali beberapa pelaku usaha dan tenaga
kerja terampil ke Aceh.30 Upaya rekonstruksi pada gilirannya telah memberikan kontribusi terhadap
makin meningkatnya modal sumber daya manusia di provinsi tersebut. Proyek-proyek rekonstruksi telah
meningkatkan fasilitas pendidikan dan kemampuan para pejabat pemerintah. Sejak bulan Desember
30 Wawancara dengan Kepala Kamar Dagang dan Industri dan para pemimpin perusahaan.
44Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Hasil Sosial yang Rendah
2008, 40.000 guru telah mendapatkan pelatihan selama upaya rekonstruksi.31 Beberapa pelaku
rekonstruksi telah mempekerjakan staf lokal, yang kemungkinan telah menciptakan alih pengetahuan
secara signifi kan.
Ketersediaan tenaga kerja terampil tampaknya bukan hambatan dan tidak terjadi kekurangan
tenaga kerja terampil di provinsi Aceh. Pasar tenaga kerja tampaknya tidak mampu menyerap tenaga
kerja yang telah ada dan hanya terdapat beberapa peluang lapangan kerja untuk para pekerja terampil
di Aceh. Mayoritas angkatan kerja di Aceh (lebih dari 60 persen) bekerja di sektor informal. Pemberi kerja
utama adalah sektor pertanian diikuti oleh sektor perdagangan dan jasa, dengan peluang lapangan kerja
yang terbatas di sektor industri. Pemerintah daerah tampaknya harus menyerap bagian terbesar dari
angkatan kerja terampil,32 karena terbatasnya peluang lapangan kerja di sektor formal bagi para lulusan
sarjana dan lebih dari sepertiga dari semua lulusan universitas mencari peluang kerja di luar provinsi.33
Namun demikian, ketiadaan tenaga kerja terampil saat ini boleh jadi tidak menghambat pertumbuhan,
karena mungkin Aceh berada dalam ekuilibrium pertumbuhan yang cukup rendah, dengan sejumlah
tenaga kerja Aceh yang lebih terampil yang telah meninggalkan provinsi selama terjadinya konfl ik. Kita
mungkin berharap hal ini akan tercermin dalam jumlah tenaga profesional yang bekerja di provinsi,
misalnya dengan menunjukkan jumlah guru dan tenaga profesional di bidang kesehatan yang lebih
rendah. Sebagaimana yang ditunjukkan dalam tabel 12 di bawah ini, tidak terjadi kekurangan tenaga
profesional di Aceh untuk memberikan layanan kesehatan dan pendidikan. Jumlah tenaga profesional di
provinsi Aceh setara dengan rata-rata nasional atau di atas rata-rata dan lebih baik dibandingkan dengan
Sumatera Utara (Tabel 14). Hal ini memberikan dukungan lebih besar terhadap gagasan bahwa tenaga
kerja terampil tersedia dalam jumlah yang memadai. Seiring dengan pertumbuhan provinsi, keterampilan
angkatan kerjanya mungkin menimbulkan kendala lebih besar, tetapi saat ini hal itu tampaknya bukan
merupakan kendala bagi investasi dan pertumbuhan.
Tabel 14 Tenaga profesional dalam bidang kesehatan dan pendidikan
Guru/1000 * (2008)Profesional bidang kesehatan/1000 **
(2007)
NAD 14,84 2,6
Sumatera Utara 14,04 2,3
Sumatera n/a 2,1
Total Nasional 14,98 2,.0
* Termasuk para guru SD, SMP, SMA
** Termasuk para dokter umum, dokter spesialis, nutrisionis, perawat, operator peralatan medis, bidan.
Sumber: Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan, BPS
Selain itu, para pekerja terampil mendapat penghargaan atas keterampilan mereka setara
dengan yang diterima oleh para pekerja di Sumatera (tetapi di bawah rata-rata nasional), yang
menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang memerlukan tenaga kerja terampil di Aceh tidak
menghadapi kesulitan untuk mendapatkannya. Hasil pendidikan didefi nisikan sebagai premi upah yang
diterima oleh para karyawan dengan tingkat pendidikan tertentu dibandingkan para karyawan yang
kurang terdidik. Dalam kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan akan keterampilan di Aceh, masyarakat
31 Kemajuan Pemulihan di Aceh dan Nias, data dari Pusdatin-RAN Database-BRR di http://www.e-aceh-nias.org/home/default.
aspx?language=EN, diakses pada tanggal 14 April 2009
32 Sebagian besar peluang lapangan kerja untuk para lulusan sarjana tersedia dalam sektor layanan Publik, industri perbankan, dan
jasa. Sebagai gambaran, lebih dari 60.000 lulusan sarjana berkompetisi hanya untuk 6.000 jabatan baik dalam pemerintahan
provinsi dan kabupaten di Aceh pada tahun 2008.
33 Wawancara dengan Ketua Alumni Universitas Syiah Kuala.
Diagnosis Pertumbuhan Aceh45
Juli 2009
berharap agar hasil pendidikan di Aceh lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di
Indonesia, yang ditunjukkan oleh premi yang dibayarkan terhadap upah di provinsi tersebut. Tabel 15
menunjukkan perbandingan antara premi-premi upah di Aceh, Sumatera Utara, dan Indonesia secara
keseluruhan: penduduk yang hanya lulus SMA versus penduduk yang kurang berpendidikan, penduduk
yang lulus SMA atau perguruan tinggi versus semua penduduk lain dan penduduk yang telah mengikuti
pendidikan tersier versus semua penduduk lain (lihat Lampiran I untuk rincian). Tujuannya adalah untuk
memperoleh harga perkiraaan (shadow price) dari keterampilan di Aceh, yang berarti seberapa tinggi
perusahaan menghargai keterampilan para pekerjanya. Hasilnya menunjukkan bahwa keterampilan di
Aceh mendapat penghargaan yang sama sebagaimana di Sumatera, tetapi lebih rendah dari penghargaan
di tingkat nasional. Dengan mengendalikan variabel-variabel lain yang juga mempengaruhi upah, seperti
usia, gender atau lokasi, seorang pekerja lulusan SMA atau lulusan pendidikan yang lebih tinggi boleh jadi
berharap untuk memperoleh 39 persen lebih tinggi dibandingkan dengan para pekerja lain di Aceh. Di
Sumatera, premi ini setara dengan 38 persen dan di Indonesia setara dengan 67 persen. Untuk pendidikan
tersier, premi upah adalah 53 persen di Aceh, sementara di Sumatera Utara dan Indonesia mencapai
sebesar masing-masing 61 persen dan 105 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan akan pekerja
dengan pendidikan tersier di Aceh lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan di Sumatera Utara.
Tabel 15 Hasil pendidikan – perkiraan kenaikan upah
Persen
SMA vs. Pendidikan
lebih rendah
SMA dan di atas SMA vs.
Pendidikan Lebih rendah (SMP
dan pendidikan di Bawah SMP )
Pendidikan tinggi vs.
Pendidikan yang lebih
rendah
Aceh 33 39 53
Noth Sumatera 29 39 61
Sumatera 30 38 52
Indonesia 47 67 105
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan Sakernas, 2008 kecuali untuk Indonesia (Bank Dunia, yang akan datang (b))
Penyediaan tenaga kerja terampil mungkin bukan hambatan utama terhadap pertumbuhan
di provinsi Aceh, tetapi hal itu tidak berarti bahwa ketersediaan keterampilan bukanlah
hambatan bagi penduduk Aceh untuk memperoleh manfaat dari pertumbuhan. Kebutuhan untuk
mendatangka tenaga kerja dalam jumlah besar dari provinsi-provinsi tetangga untuk mengisi pekerjaan
yang memerlukan keterampilan sedang yang tercipta melalui upaya rekonstruksi menandakan bahwa
penduduk Aceh tidak memiliki serangkaian keterampilan yang diperlukan untuk ikut serta dalam pasar
tenaga kerja. Penduduk Aceh yang tinggal di wilayah perdesaan (World Bank, 2008a) menyoroti terjadinya
kekurangan keterampilan dan modal sumber daya manusia sebagai hambatan utama untuk meningkatkan
produktivitas mereka dan melepaskan diri dari kemiskinan. Berbagai keterampilan diidentifi kasi sebagai
kebutuhan untuk meningkatkan produktivitas di wilayah perdesaan, di antaranya penerapan teknologi
perikanan dan pertanian yang makin baik, pengalaman dalam menjalankan pengolahan barang
primer yang sederhana, pemeliharaan peralatan pelayaran atau industri rumah tangga (jahit menjahit,
menganyam tikar, dan membuat roti). Meningkatkan kesesuaian antara penawaran dan permintaan
keterampilan telah diidentifi kasi sebagai bidang pokok untuk memudahkan penciptaan pekerjaan di
Indonesia (World Bank, yang akan datang), yang berfokus pada peningkatan kualitas pelatihan kejuruan
dan penyediaan pembinaan keterampilan bagi para pekerja.
46Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Hasil Sosial yang Rendah
Yang muncul dari analisis ini adalah bahwa walaupun terdapat peluang untuk meningkatkan
penyediaan layanan pendidikan di Aceh, alih-alih kelangkaan pasokan tenaga kerja terampil,
tidak ada cukup permintaan akan tenaga kerja terampil.34 Sebagai akibatnya sejumlah besar
angkatan kerja terampil harus mencari peluang di luar provinsi atau dalam pemerintahan daerah. Di masa
yang akan datang, hal ini dapat berubah seiring dengan perkembangan dan modernisasi yang terjadi
di provinsi. Sektor swasta mulai mengalami kelangkaan keterampilan profesional, dengan keharusan
untuk meningkatkan kesesuaian antara keterampilan yang diperlukan oleh pasar tenaga kerja dengan
yang disediakan oleh lembaga-lembaga setempat. Namun demikian, hal ini tampaknya tidak merupakan
hambatan utama dewasa ini. Para mantan anggota GAM kurang memperoleh kesempatan pendidikan
dibandingkan dengan masyarakat sipil. Untuk menjamin bahwa mereka juga memperoleh manfaat
dari pertumbuhan, mereka harus dilengkapi dengan keterampilan yang diperlukan. Memberikan
penghidupan kepada para mantan anggota GAM juga akan mendukung proses perdamaian dan
memperkuat stabilitas di provinsi.
34 Infl asi upah yang signifi kan bagi para pekerja terampil dan semi terampil selama periode rekonstruksi di Aceh serta masuknya
para pekerja migran dari provinsi lain selama periode yang sama tampaknya bertentangan dengan pernyataan bahwa
ketersediaan tenaga kerja terampil bukanlah sebuah masalah di Aceh. Namun demikian, upaya rekonstruksi, dengan tingkat
pencairan tahunan lebih dari 20 persen dari PDB dan kematian sekitar 167.000 orang, merupakan guncangan berat bagi pasar
tenaga kerja serta perekonomian. Dalam situasi normal (sebelum tsunami dan seiring dengan makin berkurangnya upaya
rekonstruksi), hingga taraf tertentu, pasar tenaga kerja lokal tampaknya mampu memasok serangkaian tenaga kerja terampil
yang diperlukan oleh pasar.
Diagnosis Pertumbuhan Aceh47
07
Kemungkinan terdapat disinsentif investasi, bukan karena para investor tidak dapat memperoleh
laba, tetapi karena mereka tidak dapat memperoleh penghasilan atas investasi mereka seperti
yang diharapkan. Ini adalah pertanyaan penting karena apabila para pelaku ekonomi tidak dapat
memperoleh penghasilan atas investasi, mereka tidak akan melakukan investasi apa pun. Pertanyaan ini
terlepas dari pertimbangan apakah faktor-faktor pelengkap yang diperlukan — prasarana, tenaga kerja
terampil, dan sebagainya — tersedia bagi perusahaan-perusahaan untuk memungkinkan perusahaan-
perusahaan tersebut memperoleh penghasilan, yang telah dibahas pada bagian sebelumnya. Terdapat
banyak permasalahan yang dapat menghalangi para investor untuk mengambil manfaat dari investasi-
investasi mereka. Masalah-masalah tersebut terjadi apabila perusahaan-perusahaan, walaupun mereka
memperoleh penghasilan, tidak dapat mengambil manfaat dari investasi-investasinya karena terhalangi
oleh mekanisme. Mekanisme-mekanisme tersebut dapat berupa banyak hal, misalnya: tingginya tingkat
korupsi, tingginya pajak (legal maupun ilegal), ketidakpastian pengaturan, kurangnya penegakan hukum,
lemahnya hak-hak kepemilikan harta, atau gagalnya pasar. Semua faktor ini dapat menghalangi para
investor untuk memperoleh bagian penghasilannya dan dengan demikian dapat menurunkan tingkat
investasi. Bab ini akan dimulai dengan menilai kemantapan lingkungan makroekonomi di Aceh. Kemudian
akan ditinjau kualitas keseluruhan dari lingkungan usaha sebelum membahas isu-isu mikroekonomi
khusus yang melandasi lingkungan usaha. Kemudian akan dikaji kemungkinan terjadinya kegagalan pasar
dan bagaimana hal tersebut dapat menghambat pertumbuhan. Akhirnya, bab ini akan ditutup dengan
menjawab pertanyaan tentang apakah hambatan yang mengikat terhadap pertumbuhan terletak pada
masalah rendahnya kemungkinan penghasilan atas investasi.
a. Risiko-risiko MakroekonomiTinjauan makroekonomi di Aceh secara luas berkaitan dengan tinjauan makroekonomi di
Indonesia. Menilik kestabilan makroekonomi Indonesia, hal ini bukanlah hambatan bagi investasi
dan pertumbuhan. Defi sit pemerintah pusat berhasil dipertahankan di tingkat yang sangat rendah
pada tahun 2008, hampir mendekati 0 persen dari PDB, sementara perbandingan utang pemerintah
terhadap PDB menurun drastis beberapa tahun terakhir. Infl asi, setelah meningkat tajam di Indonesia
akibat melonjaknya harga sembako, mulai menurun di semester kedua tahun 2008. Walaupun terdapat
kekhawatiran tentang seberapa kuat perekonomian Indonesia dapat bertahan menghadapi krisis
keuangan saat ini, terdapat kesepakatan di antara sebagian besar pengamat bahwa Indonesia relatif
mampu bertahan dan hanya terdapat sedikit risiko makroekonomi yang dihadapi oleh perekonomian
Indonesia. Situasi makro di Aceh juga tampak seimbang. Setelah beberapa tahun Aceh mengalami
tingkat infl asi yang tinggi akibat program restrukturisasi dan aliran pemasukan dana, tingkat infl asi
Rendahnya Kemungkinan Pengembalian atas Investasi (Appropriability)
48Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Rendahnya Kemungkinan Pengembalian atas Investasi (Appropriability)
provinsi tersebut saat ini telah berada di bawah tingkat infl asi nasional. Angka pengangguran di Aceh
kini hanya sedikit di atas angka pengangguran di tingkat nasional.
Tinjauan fi skal di Aceh diuntungkan oleh adanya sumber-sumber pendapatan khusus provinsi.
Seperti semua pemerintah daerah di Indonesia, pemerintah provinsi dan kabupaten di Aceh banyak
bergantung pada penyaluran dana dari pusat sebagai pendapatan, dan di tingkat kabupaten/kota,
pendapatan dari sumber sendiri hanya mencapai 7,2 persen dari jumlah pendapatan pada tahun 2008.
UU Pemerintahan Aceh (UUPA), yaitu UU No. 11/2006, menentukan penyaluran dana tambahan dalam
bentuk Dana Otonomi Khusus (Dana Otsus) sebesar 2 persen dari Dana Alokasi Umum (DAU) nasional.
Selain itu, provinsi tersebut menerima 70 persen dari pendapatan minyak dan gas yang dihasilkannya.
Walaupun pendapatan bersama dari pengusahaan sumber daya alam menurun karena berkurangnya
persediaan, pendapatan ini, sehubungan dengan Dana Otsus menjamin adanya sumber pendapatan
yang sesuai dan peningkatan belanja bagi pemerintah di tingkat daerah.
Rendahnya kapasitas pemerintah di tingkat daerah menyebabkan timbulnya permasalahan
dalam hal pembelanjaan sumber-sumber daya yang tersedia, dan dapat menghambat pengadaan
prasarana yang sangat dibutuhkan. Dana Otonomi Khusus harus mendanai agenda pembangunan
provinsi karena dana tersebut akan digunakan untuk pengeluaran sosial dan prasarana dan tidak dapat
membiayai administrasi umum pemerintah. Akan tetapi, keterlambatan yang terjadi baru-baru ini dalam
menyetujui anggaran secara tepat waktu telah menimbulkan keraguan tentang kemampuan pemerintah
daerah dalam melaksanakan program-program pembangunan secara keseluruhan. Tanggung jawab antara
pemerintah provinsi dan kabupaten/kota tidak disebutkan dengan jelas, yang seringkali menyebabkan
kebingungan dalam hal pemerintah yang mana yang harus membangun jenis-jenis prasarana tertentu
dan pemerintah mana yang harus membayar biaya pemeliharaannya. Karena pemerintah tingkat daerah
bertanggung jawab atas pengadaan sebagian besar prasarana, hal ini kemungkinan besar menyebabkan
kualitas jalan-jalan tertentu menurun serta menghambat provinsi dalam memperlengkapi dirinya dengan
prasarana listrik yang lebih baik.
b. Lingkungan usahaLingkungan usaha di Indonesia secara keseluruhan cukup rendah: Indonesia berada di peringkat
129 dari 181 negara dalam hal kemudahan usaha di tahun 2009 (Gambar 16).35 Kinerja Indonesia
cukup rendah terutama dalam enam bidang, yaitu: memulai suatu usaha, mempekerjakan pegawai,
mendaftarkan harta milik, membayar pajak, melaksanakan kontrak, dan menutup suatu usaha.
Permasalahan ini kemungkinan besar juga merupakan permasalahan di Aceh, dan beberapa isu seperti
pendaftaran harta milik mungkin lebih parah di provinsi tersebut. Akan tetapi, karena permasalahan
pengaturan ini menyangkut seluruh negeri, sementara tingkat pertumbuhan dan investasi Aceh termasuk
rendah dibandingkan dengan daerah-daerah lain, keadaan ini mengharuskan dilakukannya kajian yang
lebih mendalam lagi tentang lingkungan usaha di Aceh untuk dapat memahami hal yang spesifi k untuk
lingkungan tersebut.
35 Data berikut ini diperoleh dari Doing Business Survey 2009 (Bank Dunia, 2008c), yang meninjau ulang peraturan perundang-
undangan tentang 10 tahap kehidupan usaha. Data ini mengamati peraturan perundang-undangan resmi tetapi tidak menilai
apakan praktik-praktik ilegal seperti korupsi mempengaruhi jalannya usaha.
Diagnosis Pertumbuhan Aceh49
Juli 2009
Gambar 16 Lingkungan Indonesia untuk menjalankan usaha masih relatif buruk di tahun 2009
Melakukan bisnis 2009
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0Singapura Thailand Malaysia Indonesia Filipina Lao PDR Timor-Leste
Sumber: Doing Business 2009
Kerangka pengaturan yang buruk terkait dengan praktik-praktik ilegal yang membebani
usaha-usaha menjadi ciri iklim investasi di Aceh. Penelitian yang dilakukan baru-baru ini (IFC, 2008)
menunjukkan beberapa kekurangan yang bersifat spesifi k dalam lingkungan usaha di Aceh: risiko-risiko
dan ketidakpastian terkait akses lahan, prosedur-prosedur investasi yang rumit, dan kecerdasan pasar yang
kurang memadai. Penelitian tersebut menekankan bahwa pemerintah belum membuat suatu kerangka
pengaturan yang secara khusus kondusif bagi investasi, yang seringkali menyebabkan kebingungan di
kalangan investor dalam interaksi mereka dengan administrasi. Penilaian ini juga memperjelas bahwa
risiko politis terkait dengan kesulitan-kesulitan memulai kembali, pembebanan-pembebanan yang tidak
sah, dan perlindungan aset yang kurang memadai, adalah faktor-faktor penting yang menghambat
investasi.
Pemerintah Aceh sedang merancang sebuah undang-undang investasi yang baru (“Qanun”)
yang seharusnya dapat memberikan kepastian yang sangat diperlukan bagi para investor yang
ada saat ini maupun para calon investor, yang juga mungkin mencakup pengaturan-pengaturan
yang memberatkan. Status otonomi khusus dalam beberapa hal terkadang dikhawatirkan dapat
menimbulkan ketidak jelasan peraturan investasi, dimana bisa saja terjadi perbedaan defi nisi dan
pertentangan diantara tingkat pusat dan daerah. Qanun tersebut masih dibahas di tingkat DPRD Provinsi
pada pertengahan tahun 2009.36 UU tersebut akan menjamin akses ke pasar-pasar dalam negeri maupun
luar negeri bagi usaha-usaha di Aceh, serta hak usaha-usaha tersebut untuk menarik investasi langsung
baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Selanjutnya, UU tersebut akan menjamin kepastian dan
keamanan untuk operasi usaha dan menyederhanakan proses perizinan usaha. Selain itu, UU tersebut akan
menjamin perlakuan yang sama bagi para investor dalam negeri dan luar negeri, sambil “memperhatikan
kepentingan daerah dan nasional”. Rancangan undang-undang tersebut juga memperjelas beberapa
peraturan tentang sewa guna usaha, bangunan dan hak-hak pengguna.37 Akan tetapi, terdapat beberapa
pengaturan yang dapat merugikan dalam rancangan undang-undang tersebut. Misalnya, Pemerintah
Aceh akan mempertahankan hak untuk membuat dan memungut pajak daerah untuk membiayai
kegiatan-kegiatan dinas di luar lingkup peraturan-peraturan keuangan standar yang ditetapkan oleh
pemerintah pusat. Selain itu, beberapa ketentuan dalam UU tersebut yang bertujuan untuk melindungi
perekonomian lokal dapat menghalangi investasi dan pada akhirnya merugikan bagi provinsi tersebut:
para investor tidak diperbolehkan mempekerjakan staf di luar provinsi apabila staf dengan profi l serupa
tersedia di provinsi tersebut, bahan-bahan mentah dan input harus dibeli di Aceh, dan para investor
harus menggunakan sarana pendukung dari provinsi tersebut, apabila memungkinkan.
36 Rancangan UU investasi yang terbaru per tanggal 6/5/09, sumber: DPRD Aceh
37 Sebagai contoh, RUU tersebut menetapkan bahwa: 1) Hak sewa awalnya dapat diberikan untuk 60 tahun, dapat diperpanjang
satu kali untuk 35 tahun untuk perusahaan-perusahaan PMA dan PMDN, dengan ketentuan bahwa usahanya berjalan 2) Hak-
hak Bangunan diberikan untuk 50 tahun, dapat diperpanjang satu kali untuk 30 tahun 3) Hak-hak guna diberikan untuk 45
tahun, dapat diperpanjang satu kali untuk 25 tahun.
50Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Rendahnya Kemungkinan Pengembalian atas Investasi (Appropriability)
Dalam rangka menetapkan faktor-faktor apa yang mempengaruhi kinerja usaha di tingkat mikro,
laporan ini menggunakan survei di tingkat perusahaan dari The Asia Foundation dan KPPOD yang
melibatkan 1.104 perusahaan di semua kabupaten di Aceh. Dengan mengetahui beberapa ciri dasar
dari perusahaan-perusahaan dalam survei tersebut, dapat membantu pemahaman tentang pentingnya
temuan-temuan survei tersebut. Rata-rata besarnya perusahaan-perusahaan yang berpartisipasi dalam
survei tersebut adalah 13 karyawan, dan rata-rata usia perusahaan-perusahaan tersebut adalah 12 tahun,
yang tampaknya cukup mewakili usaha-usaha di Aceh. Gambar di bawah ini menunjukkan bahwa
sektor-sektor yang paling terwakili adalah industri pengolahan dan perdagangan. Karena di Aceh lebih
dari separuh penduduknya bekerja di sektor pertanian, survei tersebut hanya mewakili perusahaan-
perusahaan yang mempekerjakan sebagian tenaga kerja dan, oleh sebab itu, temuan-temuan dari survei
tersebut perlu untuk dikualifi kasi. Akan tetapi, sebagian besar temuan kemungkinan masih relevan
sepanjang sebagian besar hambatan yang mempengaruhi perusahaan-perusahaan di sampel survei
tersebut kemungkinan besar juga mempengaruhi semua perusahaan di Aceh.
Gambar 17 Komposisi sektoral dari sampel survei The Asia Foundation / KKPOD
0.54 0.63 1.09 1.09 1.63 1.993.99 3.99 4.17 4.71 6.07 6.97
17.39
45.74
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50%
Jasa
kes
ehat
anda
n so
sial
Pert
amba
ngan
dan
peng
galia
n
Pert
ania
n,
perb
urua
n
Perik
anan
Bisn
is y
ang
tidak
di
jela
skna
Tran
spor
tasi
dan
guda
ng
Ako
mod
asi
dan
rest
oran
Bang
unan
Publ
ik, s
osia
l, dl
l
peru
mah
an,
peny
ewaa
n
brok
er k
euan
gan
Jasa
pen
didi
kan
Perd
agan
gan
dan
penj
uala
n ec
eran
Pem
rose
san
indu
stri
Sumber: The Asia Foundation/ KPPOD dan perhitungan staf Bank Dunia.
Kedua permasalahan yang tampaknya paling mempengaruhi kinerja perusahaan adalah perilaku
pemerintah kabupaten dan biaya-biaya transaksi yang dihadapi. Serangkaian regresi di tingkat
perusahan digunakan untuk memahami permasalahan apa, di antara banyak permasalahan yang dibahas
dalam survei tersebut, yang paling mempengaruhi perusahaan-perusahaan. Variabel-variabel tak bebas
yang dicoba adalah dua ukuran kinerja perusahaan yang berbeda: angka penjualan per karyawan dan
investasi per karyawan. Variabel-variabel bebas adalah variabel-variabel berpasangan yang menunjukkan
apakah suatu perusahaan yang melaporkan masing-masing permasalahan tergolong signifi kan atau
sangat signifi kan. Permasalahan tersebut meliputi: akses ke lahan dan kepastian hukum, izin usaha,
interaksi pemerintah kabupaten dengan para pengusaha, kapasitas dan integritas bupati/walikota, biaya-
biaya transaksi, prasarana, keamanan dan penyelesaian konfl ik (lihat Lampiran II). Tujuan dari regresi-regresi
ini adalah untuk mengetahui permasalahan mana yang memiliki dampak paling besar terhadap kinerja,
dengan asumsi bahwa para responden dapat menilai secara akurat sejauh mana permasalahan tersebut
mempengaruhi mereka. Dua variabel yang terus-menerus memiliki dampak negatif yang signifi kan
terhadap kinerja aktual perusahaan adalah “interaksi pemerintah kabupaten dengan para pengusaha” dan
“biaya-biaya transaksi”. Variabel yang pertama mencakup semua permasalahan yang berkaitan dengan
perilaku pemerintah daerah terhadap sektor swasta (kemampuan dalam hal-hal yang berkaitan dengan
sektor swasta, kemauan untuk membantu, persaingan tidak sehat, perilaku pemangsa, nepotisme) dan
variabel yang kedua, semua jenis biaya transaksi yang sah maupun tidak sah yang dihadapi oleh usaha-
Diagnosis Pertumbuhan Aceh51
Juli 2009
usaha (pajak-pajak legal dan ilegal, bea, uang “keamanan”). Ini membuktikan bahwa usaha-usaha mungkin
dirugikan akibat perilaku pemangsa yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan kelompok-kelompok
pelaku kejahatan. Menariknya, beberapa hambatan yang seringkali disebut (seperti ketersediaan lahan,
prasarana) tidak signifi kan selama pelaksanaan.
Aspek lingkungan usaha yang paling mempengaruhi investasi perusahaan adalah “biaya-biaya
transaksi”, yang dipahami sebagai pajak-pajak sah dan tidak sah yang dibayarkan kepada entitas
resmi maupun tidak resmi. Analisis survei tersebut kemudian meninjau apakah usaha-usaha yang
melaporkan bahwa setiap permasalahan ini signifi kan sebenarnya tidak banyak melakukan investasi,
dalam hal investasi sebagai persentase penjualan, dibandingkan dengan usaha-usaha yang lain (lihat
Lampiran III). Ternyata hanya dalam hal “biaya-biaya transaksi” terletak perbedaan yang paling signifi kan
antara perusahaan-perusahaan yang terkena dampak dengan yang tidak: badan-badan usaha yang
melaporkan bahwa biaya-biaya tersebut merupakan beban melakukan investasi rata-rata sebesar 6
persen dari nilai penjualan mereka pada tahun 2007, jauh berbeda dibandingkan usaha-usaha lainnya,
yang melakukan investasi sebesar 21 persen dari nilai penjualan mereka. Perbedaan ini signifi kan pada
tingkat 5 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pajak legal dan ilegal merupakan hambatan yang signifi kan
bagi usaha-usaha, dan di Aceh, pajak ilegal mungkin merupakan inti permasalahan. Akan tetapi, survei
tersebut tidak menyebutkan jenis biaya transaksi, pajak legal atau ilegal mana yang menimbulkan masalah
terbesar. Bagian berikutnya menyelidiki lebih lanjut tentang permasalahan pajak dan biaya-biaya ilegal,
pertama dengan membahas tentang korupsi, isu yang seringkali mengemuka terkait dengan lingkungan
usaha di Aceh.
c. KorupsiTerdapat pemahaman yang luas bahwa korupsi terjadi meluas sehingga mempengaruhi cara
sebagian besar perusahaan dan perorangan dalam menjalankan usaha mereka di Aceh, tetapi
data survei menunjukkan bahwa korupsi bukan masalah besar di Aceh dibandingkan dengan di
wilayah lain Indonesia. Survei yang dilakukan oleh Transparency International menempatkan Banda
Aceh pada peringkat ketiga sebagai kota yang paling rendah tingkat korupsinya di antara 50 kota di
Indonesia, menurut indeks persepsi korupsi38 yang ditetapkan dengan melakukan survei terhadap para
pengusaha (Tabel 16). Persepsi tentang upaya-upaya pemerintah daerah dalam memberantas korupsi
cukup tinggi. Yang cukup membesarkan semangat adalah fakta bahwa Aceh mengalami peningkatan
skor yang signifi kan sejak survei terakhir yang dilakukan pada tahun 2006. Bidang di mana Aceh
mendapat skor paling buruk adalah pemberian kontrak pemerintah, yang membenarkan tanggapan-
tanggapan para pelaku dari sektor swasta yang diwawancarai untuk laporan ini. Hal ini menciptakan citra
Aceh yang berbeda dengan citra korupsi yang biasanya ditampilkan. Hal ini menunjukkan bahwa usaha-
usaha mungkin tidak perlu membayar para pejabat pemerintah untuk sebagian besar layanan yang
mereka perlukan, dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Nilai yang cukup tinggi untuk
Banda Aceh dalam hal korupsi ini bukan berarti bahwa korupsi bukanlah masalah. Indonesia menduduki
peringkat 126 dari 180 negara dalam hal korupsi (peringkat 1 adalah negara yang paling rendah tingkat
korupsinya) dalam suatu survei yang diadakan oleh Transparency International pada tahun 2008, yang
mengindikasikan bahwa korupsi adalah fenomena yang merata di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut,
walaupun laporan ini tidak berpendapat bahwa tidak ada masalah korupsi di Aceh, disini diuraikan bahwa
laporan tersebut tidak dapat menjelaskan tentang tingkat investasi yang rendah di provinsi tersebut.
38 Transparency International, “Indeks persepsi korupsi dan indeks suap di Indonesia tahun 2008”. Indeks ini mencakup ukuran
persepsi Suap dalam hal-hal berikut ini: Mengajukan Izin Usaha / Prosedur Utilitas Umum / Pembayaran Pajak Tahunan /
Pemberian Kontrak Pemerintah / Memperoleh Putusan Pengadilan yang Menguntungkan / Kebijakan, Hukum, Peraturan yang
Mempengaruhi / Mempercepat Proses Birokrasi
52Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Rendahnya Kemungkinan Pengembalian atas Investasi (Appropriability)
Tabel 16 Indeks persepsi korupsi
Peringkat Kota (n=jumlah responden dari kalangan pengusaha) CPI
1 Yogyakarta (n=44) 6,43
2 Palangkaraya (n=31) 6,1
3 Banda Aceh (n=30) 5,87
30 Ambon (n=31) 4,32
50 Kupang (n=44) 2,97
Sumber: Transparency International, indeks persepsi korupsi Indonesia tahun 2008.
Catatan: 1 berarti tingkat korupsi paling rendah, 50 berarti tingkat korupsi paling tinggi.
Mungkin terdapat bentuk-bentuk korupsi lainnya yang berkaitan dengan proses tender umum
di provinsi tersebut, di mana bukti-bukti berdasarkan pengalaman menunjukkan bahwa secara
sistematis usaha-usaha harus membayar suap apabila mereka melakukan penawaran untuk
kontrak-kontrak pemerintah. Seringkali perusahaan-perusahaan yang menjadi pemenang tender
untuk suatu proyek pemerintah di Aceh harus membayar “bea”, yaitu “jatah pimpro”, kepada para pejabat
pemerintah. Jumlah bea ini biasanya mewakili 5-10 persen dari nilai proyek. Kemungkinan masalah lainnya
dalam proses tender adalah “intat linto”, di mana para penawar berpura-pura bersaing tetapi sebenarnya
mereka berkolusi dalam menyusun proposal. Para pimpinan usaha membenarkan bahwa praktik-praktik
ini banyak dilakukan di Aceh dan masyarakat usaha setempat mengetahuinya.39 Hubungan patronage
antara pemerintah dan GAM sejak dimulainya konfl ik atas alasan keamanan diri terus berjalan. Terdapat
indikasi bahwa sebagain besar proyek pemerintah menggunakan hubungan patronage ini bahkan
intimidasi terhadap panitia tender.
Korupsi di Aceh mempengaruhi efektivitas belanja pemerintah. Korupsi dalam proses tender dapat
mempengaruhi efektivitas belanja pemerintah. Hal ini dapat mempengaruhi investasi melalui prasarana
yang kurang memadani. Hal ini juga dapat menyebabkan kelemahan-kelemahan dalam lingkungan
pengaturan, seperti pengawasan proses tender kontrak, menaikkan biaya dan menghalangi perusahaan-
perusahaan dalam memasuki pasar. Bukti berdasarkan pengalaman menunjukkan bahwa para mantan
pejuang GAM memainkan peran yang semakin penting di sektor-sektor dengan kemungkinan yang
besar untuk memungut iuran, seperti konstruksi, penebangan hutan atau penambangan ilegal (Aspinall,
2009a).
Mekanisme sektor konstruksi merupakan contoh dari kekurangan sistem perlindungan
(patronage) dan inefi siensi yang dapat ditimbulkannya. Banyak kontraktor lokal, dengan keahlian
dan modal yang terbatas, mulai beroperasi pasca tsunami dan berharap dapat memperoleh manfaat
dari upaya rekonstruksi, tetapi terbatas hanya dalam proyek-proyek kecil dikarenakan kapasitas mereka
yang terbatas. Sebagian besar proyek kecil terindikasi diberikan pada kontraktor-kontraktor lokal yang
terhubung dengan GAM. Sedangkan kontrak-kontrak besar sebagian besarnya dimenangkan oleh
perusahaan-perusahan lebih besar yang bukan berasal dari Aceh. Akibat dari segmentasi ini adalah
kurangnya persaingan. Perusahaan-perusahan lokal tidak terdorong untuk meningkatkan produktivitas
mereka karena diberi jaminan sekumpulan kontrak-kontrak kecil. Sistem perlindungan pada gilirannya
akan memperbesar penghalang masuknya usaha-usaha yang tidak dijalankan oleh orang-orang dengan
koneksi politik yang tepat. Akibatnya, potensi investasi dan semua pengalihan teknologi yang terkait
seringkali gagal terwujud di daerah tersebut.
Proses tender untuk pengadaan barang dan jasa umum seharusnya tidak digunakan sebagai
“imbalan” terhadap para pihak yang dapat mengganggu perdamaian. Membiarkan pihak illegal
(tidak resmi) memungut iuran dari kegiatan-kegiatan ekonomi melalui korupsi dapat menjadi cara
memberikan imbalan terhadap para pihak yang dapat menggangu perdamaian dengan memastikan
39 Wawancara dengan para pengusaha dan para pimpinan asosiasi usaha, Banda Aceh, Januari 2009.
Diagnosis Pertumbuhan Aceh53
Juli 2009
bahwa mereka memiliki kepentingan dalam stabilitas provinsi tersebut. Akan tetapi walaupun hal ini
mungkin benar dalam jangka pendek, dalam jangka panjang kemungkinan besar hal ini tidak dapat
bertahan. Pemungutan iuran oleh sekelompok kecil orang dapat menghalangi investasi dan kegiatan
ekonomi yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi lainnya, dan menyebabkan penurunan ekuilibrium
angka pertumbuhan. Pertumbuhan dengan basis yang lebih luas dan lebih inklusif kemungkinan
menguntungkan masyarakat secara keseluruhan, termasuk para pihak yang mungkin menjadi
pengganggu, yang menjamin dukungan jangka panjang mereka terhadap proses perdamaian dengan
cara yang lebih efektif. Bagian berikut ini memberi bukti lebih lanjut tentang batas-batas suatu strategi
yang menggunakan kontrak-kontrak pemerintah dalam mempertahankan perdamaian dan stabilitas.
d. Biaya-biaya Transaksi: Pajak dan Iuran KeamananPajak-pajak dan retribusi lokal, walaupun menjadi hambatan pertumbuhan di sejumlah sektor
tertentu, tergolong relatif rendah dan kecil kemungkinannya hal tersebut menghambat
pertumbuhan dan investasi di provinsi secara keseluruhan. Sehubungan dengan pajak legal
dan retribusi lokal, setelah adanya desentralisasi di awal dekade, telah terdapat tren yang jelas dalam
peningkatan pajak dan bea lokal, dengan adanya sektiar 6.000 pajak dan bea lokal baru yang dikenakan
oleh pemerintah daerah dalam lima tahun pertama desentralisasi (Lewis dan Suharnoko, 2008). Walaupun
terdapat proliferasi pajak dan bea lokal ini, tampaknya pajak dan bea lokal tersebut merupakan bagian
biaya yang relatif rendah (kurang dari 2 persen) dan lebih dari 80 persen perusahaan menganggap pajak-
pajak dan retribusi tidak terlalu memberatkan. Pajak-pajak dan retribusi lokal tampaknya ditargetkan
pada sektor-sektor yang berkembang (mis. kopi, teh, hasil-hasil hutan), yang dapat menurunkan insentif
untuk berinvestasi di sektor-sektor tersebut. Transportasi dipengaruhi terutama oleh retribusi lokal untuk
penggunaan jalan, pelintasan batas atau stasiun-stasiun penimbangan (KPPOD dan The Asia Foundation,
2008). Fakta bahwa, secara keseluruhan, pajak-pajak dan retribusi lokal tidak terlalu memberatkan di Aceh
juga tercermin dari pandangan-pandangan para calon investor (IFC, 2008), yang mana para investor
cukup terdorong oleh reformasi di tingkat nasional. Akan tetapi, mereka juga menyuarakan kekhawatiran
bahwa Status Otonomi Khusus Aceh dapat digunakan untuk mengenakan pajak-pajak dan retribusi
tambahan (mis. tambahan-tambahan biaya untuk minyak kelapa sawit yang diproduksi di provinsi
tersebut). Secara keseluruhan, tampaknya pajak-pajak dan retribusi lokal tersebut bukan merupakan
hambatan pertumbuhan, walaupun dalam beberapa keadaan tertentu (mis. transportasi) telah menjadi
semakin bermasalah. Dengan demikian, laporan ini berpendapat bahwa pajak-pajak ilegal atau biaya-
biaya keamanan tambahan yang harus ditanggung oleh perusahaan-perusahaan di Aceh, dengan
adanya ketidakpastian tentang biaya-biaya tersebut, menjadi lebih bermasalah dan kemungkinan besar
merupakan hambatan yang mengikat terhadap pertumbuhan.
Tampaknya kecil kemungkinan bahwa di Aceh akan kembali terjadi konfl ik bersenjata, tetapi
peristiwa-peristiwa kekerasan masih lazim terjadi dan dunia usaha masih menganggap bahwa
provinsi ini tidak aman, yang dapat menjadi penghalang masuknya investasi swasta. Terjadi
asimilasi secara luas dalam proses perdamaian di antara para mantan pimpinan GAM karena banyak di
antara mereka diangkat menduduki jabatan pemerintah atau menjalankan usaha yang menguntungkan.
Akan tetapi, banyak di antara para pengikutnya yang tidak dapat melakukan dan mungkin merasa
bahwa mereka tidak menerima keuntungan dari suksesnya perdamaian (Apsinall, 2009b; MSR, 2009).
Akibatnya, kadangkala mereka menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencari nafkah. Dalam jangka
waktu dua tahun mulai bulan Oktober 2006 hingga September 2008, tercatat 588 peristiwa kekerasan
yang telah terjadi.40 Peristiwa-peristiwa tersebut mengacam keamanan perorangan dan usaha, tetapi
berkemungkinan kecil untuk meningkat menjadi terulangnya konfl ik.
40 Bank Dunia, data Tim Konfl ik dan Pembangunan.
54Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Rendahnya Kemungkinan Pengembalian atas Investasi (Appropriability)
Sebahagian besar para mantan pejuang GAM hidup dalam sektor-sektor ekonomi yang tertinggal,
seperti pertanian. Survei Reintegrasi dan Penghidupan Aceh (Aceh Reintegration and Livelihoods Survey
atau ARLS) menunjukkan bahwa para mantan pejuang Tentara Negara Aceh (TNA) memiliki kemungkinan
lebih besar dibandingkan para penduduk sipil untuk memperoleh pendapatan dari menanam padi atau
menjadi buruh tani upahan, dan memiliki kemungkinan lebih kecil untuk memperoleh pendapatan
dari pekerjaan-pekerjaan seperti pegawai negeri, guru atau pedagang (Tabel 17). Pekerjaan-pekerjaan
pertanian ini, yang sangat diandalkan oleh para mantan pejuang GAM adalah pekerjaan-pekerjaan
dengan upah yang rendah. Mungkin tampaknya mengejutkan bahwa keadaan ekonomi para mantan
pejuang tidak lebih baik, mengingat luasnya keyakinan tentang jaringan hubungan yang erat di antara
para mantan pejuang GAM dan nepotisme yang terjadi di provinsi tersebut. Akan tetapi, Tabel 18
menunjukkan bahwa di antara para mantan pejuang GAM, para pejabat mempertahankan hubungan
yang lebih erat dengan para mantan pejuang GAM dibandingkan dengan mereka yang bukan pejabat.
Hal ini kemungkinan besar mengindikasikan bahwa para pejabat GAM memiliki kemungkinan lebih
besar untuk mendapat manfaat dari koneksi mereka dengan GAM dan menjadi sukses, misalnya dengan
memperoleh kontrak-kontrak konstruksi melalui jaringan ini, sementara sebagian besar mantan pejuang
GAM yang bukan pejabat harus membanting tulang untuk mencari nafkah. Akibatnya, upaya-upaya yang
menguntungkan pembangunan pertanian tidak hanya akan membantu masyarakat Aceh yang paling
miskin, tetapi juga menjangkau banyak mantan pejuang GAM, dengan demikian memberikan kontribusi
untuk stabilitas provinsi tersebut.
Tabel 17 Jenis penghidupan (khusus pria)
Semua Pria Penduduk SipilKelompok-kelompok
Pembanding
TNAPenduduk
SipilKorban Non-korban
Mantan
TNA
terhadap
penduduk
sipil
Korban
terhadap
non-korbanJenis Penghidupan (%): (n=1024) (n=1794) (n=764) (n=1030)
Petani padi di sawah 22 17 18 16 6 *** 2
Buruh non-tani harian 19 18 20 17 1 3
Pedagang 9 13 11 14 -4 ** -3
Buruh tani harian 10 6 7 5 4 *** 2
Pegawai negeri 1 4 3 5 -4 *** -1
Tenaga kerja terampil lainnya 3 4 4 4 -1 * 0
Petani kopi 2 4 4 5 -2 -1
Karyawan sektor swasta 3 4 3 4 -1 -1
Guru 0 2 2 3 -2 *** -1
Tenaga kerja tidak terampil lainnya 4 3 2 5 1 -3 ***
Petani sayuran/rempah-rempah 5 3 4 3 1 1
*** Signifi kan pada 99%; ** Signifi kan pada 95%; * Signifi kan pada 90%. Tabel tersebut melaporkan rata-rata populasi dan sampel n
populasi. Termasuk jenis penghidupan yang dilaporkan sebagai kegiatan utama oleh sedikitnya tiga persen dari populasi.
Source: MSR 2009.
Diagnosis Pertumbuhan Aceh55
Juli 2009
Tabel 18 Perbandingan kawan dan mitra usaha di kalangan mantan pejuang GAM (%)
Korban Konfl ik Anggota KPA Mantan TNA IDP Returnee Pria (n=1,024) 61 57 61 1 10
Wanita (n=51) 57 35 47 2 18
Pejabat (n=30) 62 76 83 7 10
Non-Pejabat (n=1,045) 61 56 60 1 10
Tahanan (n=97) 64 40 54 1 12
Korban Konfl ik (n=800) 69 57 61 1 13
Non-Korban Konfl ik (n=280) 38 56 61 2 3
Perbedaan
Pria vs. Wanita Mantan TNA 4 22* 14 -1 -7
Pejabat vs. Non-Pejabat 1 20* 22** 6 0
Korban Mantan TNA vs. Non 30*** 1 -1 -1 10***
*** Signifi kan pada 99% ** Signifi kan pada 95% * Signifi kan pada 90%. Tabel melaporkan rata-rata populasi dan perbedaan dalam
rata-rata tersebut.
Sumber: MSR 2009
Praktik pemungutan pajak-pajak ‘ilegal’ berkembang selama konfl ik dan terus berlanjut hingga
hari ini. Selama tahun-tahun konfl ik, GAM membentuk suatu pemerintahan berstruktur paralel yang
dikembangkan sangat baik dan sangat teratur. Pajak-pajak ilegal dikenakan oleh GAM dan angkatan
bersenjata selama konfl ik (Olken dan Barron, 2007; Schultz, 2004; ICG, 2001). Usaha-usaha legal dan
ilegal juga berkembang selama konfl ik, sehingga memungkinkan penarikan iuran yang cukup besar
(McCulloch, 2006). Sistem-sistem tersebut berlanjut sampai periode pasca konfl ik, dan beberapa mantan
pejuang masih melakukan kegiatan semacam ini, melakukan ancaman dan kadangkala tindak kekerasan
untuk menarik pajak dari orang dan usaha serta menggunakan tekanan untuk memperoleh kontrak-
kontrak pemerintah, kendali atas akses ke lahan dan penyelesaian konfl ik setempat (MSR, 2009).
Peristiwa-peristiwa kekerasan yang paling parah sejak MoU cenderung terjadi di kabupaten-
kabupaten di mana perusahaan-perusahaan memiliki kinerja yang rendah Gambar 18
menunjukkan jumlah peristiwa-peristiwa kekerasan yang terjadi di kabupaten (sumbu X) terhadap porsi
usaha di kabupaten tersebut yang telah mengalami kenaikan penjualan per karyawan pada tahun 2006-
07 (sumbu Y), dengan menggunakan survei TAF/KPPOD. Gambar tersebut menunjukkan hubungan yang
melandai turun, berarti bahwa kabupaten-kabupaten yang mengalami kekerasan lebih banyak cenderung
memiliki lebih sedikit jumlah perusahaan yang kinerjanya baik dan hubungan ini signifi kan pada tingkat
10 persen (lihat Lampiran IV untuk hasil-hasil regresi). Hal itu tidak menciptakan hubungan sebab-akibat
di antara keduanya dan mungkin terdapat faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi kedua parameter
tersebut. Meskipun demikian, cukup intuitif bahwa gejolak-gejolak kekerasan dapat membawa dampak
negatif terhadap kinerja usaha dan keputusan-keputusan investasi.
56Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Rendahnya Kemungkinan Pengembalian atas Investasi (Appropriability)
Gambar 18 Kinerja perusahaan dan peristiwa-peristiwa kekerasan, per kabupaten
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
0 10 20 30 40 50Jumlah insiden kekerasan, 2005-06
Bagi
an d
ari p
erus
ahaa
n ya
ng te
lah
men
ingk
atka
n pe
njua
lan
mer
eka
per
peke
rja ta
hun
2006
-07
Sumber : Survei TAF/KPPOD, Bank Dunia
Pemerasan dan masalah keamanan menyebabkan tambahan-tambahan biaya dan ketidakpastian
usaha di Aceh yang menghambat investasi dan pertumbuhan. Kedua permasalahan tersebut
berkaitan karena kelompok ilegal (preman) yang biasanya menggunakan ancaman kekerasan untuk
memaksa perusahaan membayar biaya “keamanan”. Pemerasan ilegal dan masalah keamanan dianggap
sebagai faktor penghambat yang signifi kan oleh usaha-usaha: 9,3 persen dari usaha-usaha melaporkan
bahwa masalah keamanan dan penyelesaian konfl ik merupakan faktor penghambat di Aceh, dibandingkan
dengan 4 persen di provinsi-provinsi lainnya.41 Sementara itu, 23,4 persen usaha-usaha melaporkan
bahwa mereka membayar uang lebih untuk iuran keamanan tambahan. Para mantan pejuang GAM
dan kelompok-kelompok kejahatan lainnya kadangkala menggunakan kekerasan untuk mencari nafkah,
yang menciptakan rasa tidak aman dan ketidakpastian di provinsi tersebut (ICG, 2009). Mereka sering
menggunakan paksaan untuk memungut secara paksa iuran dari usaha-usaha. Usaha-usaha di Aceh
melaporkan bahwa mereka harus membayar para mantan pejuang GAM ketika mereka menjalankan
usaha di provinsi tersebut, bahkan di ibukota provinsi, yaitu Banda Aceh.42 Di daerah-daerah pedesaan,
para mantan pejuang GAM memungut bea melalui pengendalian “akses ke lapangan”, yang mereka
peroleh setelah kesepakatan perdamaian. Usaha-usaha yang ingin menetap harus membayar iuran rutin
kepada GAM atau kelompok ilegal (preman) lainnya agar diizinkan beroperasi. Seringkali tidak begitu
jelas kepada organisasi atau pihak mana iuran ilegal tersebut harus dibayarkan. Akibatnya, kadangkala
walaupun iuran tersebut telah dibayarkan, perusahaan-perusahaan masih diancam karena mereka tidak
membayar iuran kepada orang-orang yang tepat. Situasi semacam itu mempersulit usaha-usaha untuk
dapat beroperasi di Aceh karena menambah ketidakpastian pada informalitas dan rasa tidak aman.
Diagnosa ini mengidentifi kasi adanya kekerasan yang terus-menerus terjadi dan tingginya
tingkat ‘pajak’ tidak resmi yang ilegal sebagai faktor-faktor penghambat utama bagi investasi
dan pertumbuhan. Kedua faktor tersebut berkaitan erat. Kekerasan, atau ancaman kekerasan, seringkali
merupakan cara untuk memungut iuran ilegal. Dengan demikian, untuk mengatasi kedua permasalahan
tersebut kembali diperlukan kekuatan dan ketegasan negara dalam menetapkan pajak dan penggunaan
kekuasaan. Hasil dari keadaan yang kurang sempurna ini mengakibatkan meningkatnya kekerasan dan
berlanjutnya penegasan kekuasaan dari kelompok-kelompok di luar proses politik formal. Pada akhirnya
hal ini akan menyebabkan meningkatnya persepsi di antara para calon investor bahwa terdapat potensi
berkembangnya konfl ik. Mendorong investasi mengharuskan diputuskannya lingkaran setan (yang
terkadang diwarnai dengan kekerasan) intimidasi, pajak ilegal, dan (kemungkinan) berkembangnya
konfl ik.
41 KPPOD dan The Asia Foundation (2008). The Asia Foundation dan KPPOD telah melaksanakan survei serupa di semua provinsi
di Indonesia, yang memungkinkan perbandingan lintas provinsi.
42 Wawancara dengan para pengusaha dan para pimpinan asosiasi usaha, Banda Aceh, Januari 2009.
Diagnosis Pertumbuhan Aceh57
Juli 2009
Peningkatan kapasitas kepolisian dalam penyelidikan dan penyelesaian kasus-kasus tindak
kejahatan sangat diperlukan untuk memperkuat supremasi hukum (rule of law). Meski tidak
mudah untuk melakukan hal ini, para pembuat undang-undang dan pemangku kebijakan memiliki
beberapa alat yang potensial dengan pendekatan langsung dan tidak langsung. Pertama, penting untuk
memperkuat rule of law. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan kinerja kepolisian. Apabila para pelaku
tindak kejahatan, termasuk kekerasan dan pemerasan ditangkap dan dijatuhi hukuman, perhitungan-
perhitungan biaya-manfaat dari mereka yang turut serta dalam tindakan-tindakan tersebut dapat berubah.
Saat ini di Aceh, pihak kepolisian memiliki kapasitas yang terbatas untuk mengadakan penyelidikan yang
efektif terhadap tindak kejahatan. Sampai saat ini, banyak dukungan yang diterima oleh kepolisian di
Aceh yang lebih berkaitan dengan permasalahan yang lebih “lunak”, seperti peningkatan pengetahuan
tentang hak-hak asasi manusia dan metode-metode penentuan kebijakan di tingkat masyarakat. Hal
ini dianggap dapat membangun legitimasi kepolisian di mata warga biasa di Aceh, dengan demikian
meningkatkan hubungan dan kepercayaan antara negara dan masyarakat. Hal ini penting, akan tetapi
legitimasi kepolisian lebih mungkin ditingkatkan apabila mereka dapat menangkap para pelaku
kejahatan dan tindak-tindak kekerasan. Meningkatkan kemampuan penyelidikan memerlukan pelatihan
dan metode-metode peningkatan kemampuan lainnya. Akan tetapi, tujuan tersebut juga memerlukan
peningkatan sumber-sumber daya yang dimiliki oleh kepolisian: dengan mempekerjakan para petugas
kepolisian yang lebih banyak dan lebih baik, dan memberikan kepada mereka peralatan fi sik agar dapat
melaksanakan pekerjaannya dengan baik. Tujuan tersebut juga memerlukan tekad yang kuat—dari para
petugas polisi senior di Aceh dan Jakarta, dan para politisi senior di Aceh—untuk dapat mencapai hasil-
hasil yang baik.
Sistem peradilan yang kuat dan profesional adalah elemen kunci lainnya untuk memperkuat rule of law di provinsi tersebut. Menangkap mereka yang terlibat dalam pemerasan dan kekerasan tidaklah
cukup. Sistem peradilan di Aceh juga perlu diperkuat, sehingga mereka yang ditahan, apabila terbukti
bersalah, dijatuhi hukuman. Terdapat kelemahan-kelemahan yang signifi kan dalam sistem peradilan
formal di Aceh, termasuk kurangnya kemampuan dan, kadangkala, praktik ‘keadilan orang kaya’ di mana
uang dapat menentukan putusan pengadilan. Membangun suatu sistem peradilan yang kuat dan
profesional memerlukan peningkatan kapasitas, sumber-sumber daya tambahan dan kemauan politik
(political will). Tujuan tersebut juga mungkin memerlukan digalangnya ‘tuntutan’ para warga untuk sistem
yang lebih efektif dan tidak memihak. Hal ini, sampai pada tahap tertentu merupakan masalah nasional
yang tidak dapat diselesaikan di Aceh saja tetapi para otoritas lokal dapat mendukung sistem peradilan
di provinsi, dan memperkecil hambatan-hambatan yang ditimbulkannya dalam memerangi pemerasan
dan tindakan-tindakan ilegal.
Selain berurusan langsung dengan tindak-tindak kejahatan, mengatasi akar permasalahan dari
kejahatan-kejahatan tersebut juga akan meningkatkan situasi keamanan di Aceh. Intervensi
tidak langsung yang menangani ‘penyebab-penyebab’ mendasar dari kejahatan dan kekerasan juga
diperlukan. Telah lama diakui bahwa para mantan pejuang GAM seringkali menghadapi tantangan-
tantangan tertentu dalam beradaptasi dengan kehidupan sebagai masyarakat sipil, termasuk dalam
mencari pekerjaan (Tajima 2009). Pengangguran, atau jenis pekerjaan tidak memuaskan ambisi-ambisi
sebelumnya dari para mantan pejuang GAM tersebut dapat memicu para mantan pejuang GAM
untuk menggunakan cara-cara kekerasan dan kejahatan (Collier 1994). Dengan demikian, perlu untuk
mengembangkan program-program dan strategi-strategi untuk membantu para mantan pejuang GAM
dalam memperoleh pekerjaan.
Strategi-strategi yang komprehensif untuk mendukung pertumbuhan dan pembangunan
perekonomian di daerah-daerah terdampak konfl ik dapat lebih bermanfaat daripada program-
program yang hanya menargetkan para mantan pejuang GAM. Dalam banyak konteks pasca konfl ik,
bantuan reintegrasi yang ditargetkan disediakan untuk tujuan ini. Para mantan pejuang diberi uang tunai
dan bentuk-bentuk dukungan lainnya seperti pembinaan dan pelatihan. Di Aceh, cara itu juga pernah
58Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Rendahnya Kemungkinan Pengembalian atas Investasi (Appropriability)
dicoba (Barron dan Burke, 2008). Akan tetapi, dampak-dampaknya terbatas. Para mantan pejuang yang
telah menerima bantuan reintegrasi tidak lagi atau berkemungkinan kecil untuk memiliki pekerjaan saat
ini dibandingkan dengan mereka yang tidak menerima bantuan tersebut, walaupun faktanya mereka
yang menerima bantuan mungkin memiliki tingkat aset yang lebih tinggi di pada saat perang berakhir
(MSR, 2009). Pemberian bantuan dengan sasaran perorangan kepada para mantan pejuang GAM juga
menimbulkan kecemburuan dan ketegangan, dan telah menciptakan suatu “mentalitas merasa berhak”
yang dalam beberapa kasus telah menghalangi upaya reintegrasi sosial dan ekonomi yang lebih
mendalam (Barron, 2009). Pendekatan-pendekatan yang ditargetkan secara geografi s, yang bertujuan
membangun perekonomian di daerah-daerah yang terkena dampak konfl ik mungkin memiliki lebih
banyak kegunaan. Hal ini meliputi penggunaan proyek-proyek pembangunan yang digerakkan oleh
masyarakat untuk menyediakan barang-barang swasta dan publik, kegiatan-kegiatan perluasan pertanian
untuk meningkatkan produktivitas, beberapa proyek pekerjaan umum yang membuka lapangan kerja,
dan pemberian layanan-layanan dukungan usaha (MSR, 2009). Para mantan pejuang GAM dan kelompok-
kelompok ‘berisiko’ lainnya dapat disertakan dalam skema-skema tersebut dan, apabila proyek-proyek
ditargetkan pada daerah-daerah yang mengalami dampak konfl ik terbesar, mereka kemungkinan besar
akan mendapatkan manfaat.
Dukungan terhadap reformasi untuk meningkatkan rule of law dan mengurangi pemerasan
dan pajak-pajak ilegal harus bersifat luas, dengan menyoroti kebutuhan untuk menghindari
pengucilan kelompok-kelompok tertentu. Selain itu, perlu juga untuk mencari cara-cara guna
memenuhi ‘kebutuhan-kebutuhan’ mereka yang berada di tingkat yang lebih tinggi yang saat ini
memperoleh keuntungan dari tindakan pemerasan dan pemberian perlindungan yang tidak sah.
Akses ke kontrak-kontrak berskala besar menjadi cara yang penting dalam menjamin pelibatan
para pengganggu kedamaian di Aceh ke dalam perdamaian. Akan tetapi hal itu sulit dipertahankan
kelangsungannya. Terdapat kebencian yang semakin meningkat dari banyak pihak di Aceh yang telah
melihat berkurangnya manfaat-manfaat perdamaian akibat praktik-praktik masa perang yang masih terus
dilakukan. Terdapat risiko nyata bahwa untuk jangka menengah, hal ini dapat menimbulkan pergolakan
baru apabila faktor-faktor yang memicu terjadinya konfl ik — seperti penyelenggaraan jasa yang buruk,
pertumbuhan yang tidak merata dan kurang — terus terjadi pada masa pasca konfl ik (Barron dan Clark,
2006). Menilik hambatan-hambatan kapasitas yang disoroti dalam paragraf di atas, terdapat kebutuhan
akan adanya tindakan penyeimbang yang hati-hati dan berfokus pada pembatasan peluang pemungutan
iuran besar-besaran sementara membuka jalur-jalur legal lainnya bagi para mantan pimpinan dan elit
pejuang GAM agar dapat hidup sejahtera. Adalah hal yang masuk akal untuk memfokuskan upaya-upaya
dalam memerangi pemerasan dan penarikan pajak-pajak ilegal pada bidang di mana terdapat potensi
terbesar untuk meningkatkan pertumbuhan yang inklusif dan terciptanya konstituen pro-reformasi
yang diperlukan, yaitu: sektor pertanian dan usaha pertanian, masyarakat dagang dan transportasi serta
manufaktur, terutama manufaktur padat karya.
Membangun konstituen yang mendukung reformasi-reformasi tersebut harus menjadi bagian
dari suatu strategi untuk memerangi pemerasan dan pajak-pajak ilegal. Menilik pertentangan yang
mungkin timbul dari perorangan dan kelompok yang saat ini diuntungkan dari kegiatan-kegiatan ilegal,
reformasi-reformasi mungkin merugikan secara politis dan perlu dibangun konstituen-konstituen untuk
menuntut adanya perubahan. Pekerjaan analitis dan pemantauan yang menunjukkan seberapa besar
pengaruh negatif pemerasan dan kekerasan terhadap perekonomian Aceh, dan manfaat-manfaat yang
dapat diberikan melalui pengurangan hal-hal tersebut sangat penting bagi tercapainya tujuan ini.
Persepsi tentang risiko-risiko yang lebih tinggi dalam berinvestasi di Aceh dapat diatasi
melalui suatu skema untuk memberikan jaminan bagi investasi. Skema ini dapat memberikan
asuransi terhadap tindakan-tindakan ilegal dan retribusi yang tidak sah, dan pemerintah provinsi dapat
memfasilitasi ketersediaan asuransi investasi tersebut di provinsi Aceh. Hal ini akan berarti bahwa usaha-
usaha dan pemerintah-pemerintah daerah sama-sama menanggung risiko terkait dengan permasalahan
Diagnosis Pertumbuhan Aceh59
Juli 2009
keamanan dan pajak-pajak ilegal. Skema tersebut bukan merupakan solusi jangka panjang, tetapi lebih
berupa bantuan untuk memulai investasi dan pertumbuhan, dan menunjukkan Aceh kepada para
calon investor lainnya. Terdapat lembaga-lembaga yang memiliki spesialisasi di bidang penyediaan
produk-produk asuransi terhadap risiko politis (mis. Badan Jaminan Investasi Multilateral atau Multilateral
Investment Guarantee Agency, MIGA, suatu organisasi Bank Dunia). Asuransi dapat ditawarkan sebagai
perlindungan terhadap risiko-risiko terkait dengan pembatasan-pembatasan pengalihan mata uang,
perampasan, perang dan gangguan sipil serta pelanggaran terhadap kontrak.43 Jenis-jenis jaminan
investasi lainnya mungkin dapat diberikan, tetapi kemungkinan manfaat-manfaat dari skema tersebut
perlu dinilai secara teliti terhadap biaya-biaya untuk menghindari kewajiban-kewajiban fi skal yang tidak
perlu yang harus ditanggung oleh pemerintah provinsi. Rancangan yang teliti juga dapat mencegah
diberikannya pertanggungan atas kegagalan komersil karena adanya risiko bahwa skema asuransi
tersebut dapat disalahgunakan oleh perusahaan-perusahaan yang belum terkena dampak lingkungan
pasca konfl ik.
Suatu skema asuransi dapat membuka jalan menuju investasi-investasi baru di provinsi tersebut
dan menunjukkan peluang untuk memperoleh laba atas investasi. Perlunya menyediakan asuransi
bagi para investor disebabkan adanya risiko perampasan atau pengrusakan yang ditimbulkan oleh
kelompok-kelompok sipil dan ancaman keamanan di lingkungan pasca konfl ik serta pandangan-
pandangan negatif terhadap Aceh di luar provinsi tersebut. Walaupun kemungkinan terjadinya kembali
ketidakstabilan besar di provinsi tersebut cukup rendah, perspesi adanya risiko ini masih menghalangi
usaha-usaha dan para investor untuk datang ke Aceh. Akibatnya, penyediaan jaminan risiko politis dapat
menjadi tambahan yang berharga untuk asuransi risiko keamanan. Penyediaan asuransi tersebut dapat
mengurangi risiko-risiko yang dihadapi oleh para investor di Aceh karena mereka dapat menanggung
risiko yang bersumber dari ketidakstabilan umum bersama dengan pihak penjamin. Jaminan tersebut
berpotensi untuk membuka jalan bagi investasi-investasi berskala relatif besar di sektor-sektor seperti
energi, perikanan, penyimpanan beku atau pengolahan hasil pertanian. Selain memberikan perlindungan
bagi para investor dari tindak kejahatan kecil dan pemerasan, skema tersebut juga dapat mengirimkan
isyarat yang sangat kuat bahwa provinsi tersebut berminat untuk menarik investasi.
Skema asuransi yang dirancang khusus perlu untuk disusun bersama dengan otoritas lokal
untuk memenuhi kebutuhan provinsi tersebut. Para investor akan membayar premi, kemungkinan
besar dalam jumlah yang disubsidi. Skema ini dapat ditawarkan kepada para investor besar maupun
kecil. Akan tetapi, beberapa dimensi dari skema ini perlu mendapat perhatian khusus. Pertama, para
penyedia asuransi risiko politis biasanya bekerjasama dengan pemerintah pusat, sementara di Aceh, rekan
imbangan utama mereka adalah pemerintah daerah dan beberapa disposisi produk-produk standar
mungkin perlu disesuaikan. Kedua, dalam pengaturan inovatif ini, peranan pemerintah pusat harus
ditentukan secara tepat. Ketiga, akan muncul pembahasan tentang apakah para investor dari provinsi-
provinsi lain di Indonesia dapat ditanggung, karena para investor tersebut merupakan para calon investor
yang jelas dapat berinvestasi di Aceh, sementara jaminan tersebut biasanya memberikan pertanggungan
hanya bagi para investor asing. Keempat, mekanisme penyelesaian sengketa yang biasanya melibatkan
pemerintah dan para investor perlu diadaptasi ke dalam suatu konteks di mana sebagian besar risiko
berasal dari kelompok-kelompok non-pemerintah.
e. Kegagalan pasar - kegagalan koordinasiKegagalan pasar yang paling sering mempengaruhi perusahaan-perusahaan terdiri atas dua
jenis: kegagalan koordinasi dan kegagalan informasi. Kedua jenis kegagalan pasar ini biasanya
menghambat pengembangan yang sukses dari produk-produk baru dalam skala besar. Kegagalan
koordinasi terjadi ketika perusahaan-perusahaan tidak dapat meningkatkan produk-produk baru yang
43 http://www.miga.org
60Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Rendahnya Kemungkinan Pengembalian atas Investasi (Appropriability)
sukses akibat kurangnya layanan-layanan pelengkap atau masukan. Kegagalan informasi terjadi ketika
perusahaan-perusahaan gagal untuk melakukan eksplorasi produk-produk baru untuk menemukan
bidang yang dapat mereka kuasai. Produk-produk baru tidak perlu menjadi yang terdepan dalam
teknologi global, tetapi justru produk-produk baru yang proses produksinya memerlukan penyesuaian
terhadap teknologi yang telah ada. Kajian terhadap kegagalan pasar potensial ini memberikan data
perdagangan yang dapat diandalkan untuk menyelidiki apakah yang diekspor oleh perekonomian yang
sedang dipelajari tersebut dan bagaimana keranjang ekspor perekonomian tersebut berkembang seiring
berjalannya waktu. Tujuannya adalah untuk mengevaluasi kecanggihan produk-produk tersebut dan laju
perkembangan kecanggihan tersebut selagi produk-produk baru “ditemukan”. Sayangnya, data ekspor
untuk Aceh kurang tepat karena sebagian besar perdagangannya masuk ke Medan dan tidak dicatat
dalam angka-angka resmi. Akibatnya, bagian analisis ini mengandalkan data perdagangan yang relatif
lemah, serta bukti berdasarkan pengalaman dalam bentuk studi-studi kasus untuk menyelidiki kegagalan
pasar yang mungkin terjadi.
Beberapa sektor perekonomian, terutama usaha pertanian, menunjukkan kegagalan koordinasi.
Akan tetapi, upaya-upaya yang kurang berhasil dalam menangani kegagalan tersebut
menunjukkan bahwa kegagalan koordinasi bukanlah hambatan pertumbuhan dan investasi
yang mengikat. Sektor-sektor seperti hortikultura, peternakan, perikanan, dan budidaya air belum
tercatat belum meningkat dan belum dapat menciptakan tingkat produktivitas yang lebih tinggi (IFC,
2008). Skala kecil menyebabkan pemenuhan kualitas dan standar-standar keamanan tertentu menjadi
lebih mahal, yang pada gilirannya membatasi peningkatan kegiatan-kegiatan tersebut.44 Usaha-usaha
menunjukkan kurangnya hubungan pasar dengan usaha-usaha di luar provinsi, sehingga membatasi
jangkauan produk-produk dari Aceh. Jaringan perdagangan yang ada saat ini didominasi oleh sejumlah
pedagang, sehingga membatasi daya tawar produsen-produsen Aceh. Usaha-usaha lokal menyatakan
kekhawatirannya terhadap sitausi ini dan keyakinan bahwa meningkatkan informasi pasar (mis. melalui
suatu pangkalan data dengan informasi tentang para eksportir dari komoditas-komoditas yang paling
umum) dapat memiliki dampak positif yang penting. Walaupun permasalahan ini relatif penting,
keberhasilan prakarsa-prakarsa yang dilaksanakan baru-baru ini untuk menyediakan informasi pasar dan
mendukung pembentukan jaringan dengan usaha-usaha di luar provinsi (Kantor Penunjang Investasi,
Pusat Pengembangan Ekspor) relatif terbatas, yang menunjukkan bahwa faktor-faktor penghambat
investasi dan pertumbuhan lainnya mungkin lebih menekan.
Terdapat kebutuhan akan prasarana spesifi k industri akan tetapi jenis-jenis prasarana yang paling
diperlukan saat ini akan memberi manfaat bagi semua industri di Aceh. Kegagalan koordinasi dapat
terjadi ketika terdapat keuntungan dari skala besar (economies of scale) yang terkait dengan pengadaan
jenis-jenis prasarana yang bersifat eksternal bagi perusahaan-perusahaan tetapi bersifat internal bagi
suatu industri. Hal ini menyebabkan kurangnya pengadaan jenis-jenis prasarana tersebut. Sektor-sektor
yang disebutkan sebelumnya, hortikultura, peternakan, perikanan dan budidaya air, memerlukan
prasarana spesifi k industri dan layanan-layanan pelengkap, seperti fasilitas penyimpanan beku. Akan
tetapi, sebagian besar pengusaha yang diwawancarai oleh tim mengungkapkan bahwa prasarana yang
paling tertinggal di Aceh adalah prasarana yang bersifat “dasar’ dan umum, seperti kondisi jalan yang
baik, pasokan air, dan pasokan listrik yang memadai. Setelah kualitas dari jenis-jenis prasarana tersebut
ditingkatkan, pemerintah Aceh dapat mulai melakukan eksplorasi terhadap kebutuhan-kebutuhan
prasarana spesifi k industri dan peranan sektor publik dalam pengadaan prasarana tersebut, melalui
konsultasi dengan para pemangku kepentingan di sektor industri.
44 Wawancara dengan para pengusaha dan para pemimpin asosiasi usaha, Banda Aceh, Januari 2009.
Diagnosis Pertumbuhan Aceh61
Juli 2009
f. Kegagalan pasar - kegagalan informasiSangat sedikit usaha-usaha di Aceh yang merupakan eksportir atau melakukan penjualan di luar
provinsi. Data perdagangan yang tersedia tampaknya menunjukkan bahwa Aceh mengekspor sedikit
sekali barang-barang manufaktur. Ekspor non-migas di Aceh meningkat sebesar 80 persen pada tahun
2008, tetapi hal ini sebagian besar disebabkan oleh peningkatan ekspor pupuk.45 Sebagai masukan
utamanya, industri pupuk di Aceh menggunakan gas bersubsidi dan ekspor mewakili lebih dari 80 persen
dari jumlah ekspor non-migas (Tabel 19). Sebaliknya, dan termasuk pupuk, barang-barang manufaktur
hanya mewakili sebagian kecil dari keseluruhan ekspor non-migas: pada tahun 2008 hanya mewakili
3,3 persen dari jumlah keseluruhan. Pangsa produk-produk pertanian mewakili 14 persen dan sebagian
besar terdiri atas kopi yang belum diolah, kakao, rempah-rempah, dan produk-produk perikanan. Sejalan
dengan pengamatan ini, sangat sedikit perusahaan di Aceh yang melaporkan pengeksporan produk-
produk mereka. Survei usaha The Asia Foundation / KPPOD menemukan bahwa hanya 1,5 persen dari
usaha-usaha di Aceh melakukan ekspor ke luar negeri dan hanya 4,3 persen dari perusahaan-perusahaan
tersebut memiliki para pelanggan utama yang berdomisili di luar provinsi tersebut.
Tabel 19 Ekspor non-migas Aceh, dalam AS$
US$
2008
Bahan-bahan kimia 134,049,080
Makanan dan hewan hidup 22,936,870
Barang-barang manufaktur 5,040,379
Minyak & lemak hewani & nabati 632,100
Mesin dan peralatan transportasi 250,082
Bahan-bahan mentah yang tidak dapat dimakan 227,127
Berbagai barang manufaktur 15,234
Source: BPS.
Akan tetapi, Aceh telah membuktikan keterbukaannya terhadap perdagangan dan cepat
beradaptasi dengan teknologi-teknologi baru di tahun-tahun pasca tsunami. Sebagaimana daerah-
daerah lainnya di Indonesia, terdapat sedikit halangan dalam melakukan perdagangan dengan provinsi-
provinsi lainnya dan negara-negara lain di dunia. Pasca tsunami dan selama program rekonstruksi yang
mengikutinya, Aceh telah membuka jalur-jalur perdagangan yang besar untuk membeli bahan-bahan
konstruksi serta komoditas-komoditas dasar seperti makanan. Pemanfaatan teknologi baru di provinsi
tersebut cukup cepat dalam tahun-tahun terakhir ini. Jumlah pelanggan telepon seluler meningkat sangat
cepat (Gambar 19) dan pada tahun 2008, penyedia layanan telepon seluler yang terkemuka memiliki 1,7
juta pelanggan. Selain itu, jumlah warung internet (warnet) meningkat sangat cepat di provinsi tersebut,
yang menunjukkan bahwa penduduk Aceh memiliki minat terhadap teknologi baru dan teknologi baru
dapat dengan mudah masuk ke provinsi tersebut.
45 Bank Dunia, 2009c.
62Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Rendahnya Kemungkinan Pengembalian atas Investasi (Appropriability)
Gambar 19 Jumlah pelanggan telepon seluler di Aceh untuk penyedia layanan terkemuka dan
jumlah warnet
-
200
400
600
8001,000
1,200
1,400
1,600
1,800
2,000
2004 2005 2006 2007 2008-
50
100
150
200
250
300
Jum
lah
war
net d
i pro
vins
i (hi
tam
)
Jum
lah
pela
ngga
n te
lpon
rib
uan
(mer
ah)
Sumber: Penyedia layanan telepon seluler dan Dinas Informasi dan Komunikasi di Aceh
Selanjutnya, bukti berdasarkan pengalaman menunjukkan bahwa produk-produk baru sedang
dicoba di Aceh, tetapi hanya sedikit yang berhasil ditingkatkan. Dalam beberapa tahun terakhir
ini terdapat beberapa percobaan, terutama di sektor pertanian. Para petani telah mencoba beberapa
produk baru seperti: ternak, minyak nilam dan jamur. Upaya-upaya peragaman produk ini menunjukkan
bahwa usaha-usaha di Aceh tidak kehabisan ide untuk berinovasi (Lihat Kotak 5 di bawah ini). Akan tetapi,
hanya sedikit dari gagasan-gagasan usaha ini yang berhasil menjadi perusahaan-perusahaan baru dan
bahkan lebih sedikit lagi dari antaranya yang menjadi sektor-sektor perekonomian baru. Inilah alasan
mengapa pengkajian terhadap kisah-kisah sukses dapat membawa pengaruh besar: kotak di bawah ini
menunjukkan tiga sektor usaha baru di Aceh.
Kotak 5 Industri-industri baru yang mulai berkembang di Aceh
Industri Daur Ulang (Sumber: Yayasan Daur Ulang Plastik Palapa)
Daur ulang plastik merupakan salah satu industri yang sedang berkembang di Aceh. Sebelumnya, usaha ini
dijalankan dengan mengikuti contoh yang sama seperti usaha-usaha lainnya: limbah plastik dikumpulkan di Aceh
kemudian dikirim ke Sumatra Utara di mana kemudian limbah tersebut diolah. Pada bulan Juni 2005, Yayasan Daur
Ulang Plastik Palapa berhasil membangun suatu fasilitas pengolahan di Lhokseumawe atas biaya sendiri. Beberapa
donor memberikan bantuan kepada usaha ini dalam berbagai bentuk, mulai dari peningkatan kapasitas bagi
para pemulung sampai teknologi yang lebih baik untuk daur ulang plastik. Usaha baru ini mampu memberikan
penghidupan bagi banyak penduduk Aceh. Yayasan tersebut kini mempekerjakan sekitar 25 pegawai tetap dan
mendaur ulang 50 ton limbah plastik setiap bulannya, dengan demikian memberikan penghasilan bagi lebih dari
1.500 pemulung. Seluruh produksi potongan-potongan plastik dikirim ke Medan untuk kemudian diekspor ke
China dan Singapura, di mana kemudian potongan-potongan plastik tersebut diubah menjadi produk-produk
akhir seperti kursi plastik, tali, dsb.
Kakao Organik (Sumber: APKO Pidie Jaya)
Dengan dukungan sejumlah donor, koperasi petani kakao bernama APKO Pidie Jaya didirikan pada tahun 2007 dan
saat ini memiliki 7.100 petani. Lebih dari 7.000 petani memperoleh sertifi kasi kakao organik yang memungkinkan
produk mereka diperdagangkan secara internasional. Perjanjian juga telah ditandatangani antara kooperasi
tersebut dan para pembeli internasional seperti The Body Shop, Bendrain Swiss, Olam dan cokelat Delfi . Ekspor
pertama dari koperasi tersebut yaitu sekitar 10.000 ton kakao organik dijadwalkan akan dilakukan pada bulan
Agustus 2009.
Kelapa dan industri sampingannya (Sumber: Austcare)
Perusahaan ini didirikan pada awal tahun 2008 di Meulaboh, Aceh Barat, dengan modal awal sekitar Rp. 1 milyar
yang diperoleh dari para donor dan para anggota koperasi. Modal tersebut terutama digunakan untuk membeli
mesin pengolah kelapa. Mesin tersebut dapat menghasilkan beberapa produk dari kelapa mentah: serat kelapa,
tempurung kelapa, dan arang. Sebagian besar produksi tersebut diekspor ke luar negeri, dengan tujuan-tujuan
utama meliputi Malaysia dan Singapura. Dengan dukungan beberapa donor, dalam bentuk bantuan teknis dan
peningkatan mutu mesin, perusahaan tersebut mampu terus berkembang dan kini mempekerjakan 20 pegawai
tetap dan menghasilkan laba bulanan sekitar Rp. 150 juta.
Diagnosis Pertumbuhan Aceh63
Juli 2009
Kegagalan pasar bukan penyebab upaya-upaya yang kurang berhasil dalam meningkatkan
usaha-usaha di Aceh. Walaupun terdapat banyak gagasan-gagasan baru di Aceh, hanya sedikit di
antaranya yang berhasil berkembang menjadi usaha-usaha yang maju karena alasan-alasan yang tidak
banyak terkait dengan kegagalan pasar dibandingkan dengan permasalahan seperti faktor lemahnya
kelembagaan, biaya-biaya transaksi dan faktor pemerintahan. Aceh terbuka terhadap teknologi-teknologi
baru, terbuka terhadap perdagangan dengan negara-negara lain di dunia, dan memiliki sarjana-sarjana
dalam jumlah yang memadai, tetapi masih memiliki sedikit industri-industri baru. Agar dapat memahami
alasannya, menarik untuk disimak bahwa banyak usaha yang berhasil berkembang dan maju adalah usaha-
usaha yang memang cukup besar sejak awalnya untuk menggalang dukungan politis. Pengamatan ini
sejalan dengan isu rendahnya kemungkinan penghasilan atas investasi (appropriability) yang disebutkan
sebelumnya sebagai hambatan yang mengikat terhadap pertumbuhan di Aceh. Walaupun sulit untuk
menguji hipotesis ini, salah satu mekanisme yang menjelaskan keberhasilan perusahaan-perusahaan
yang memiliki hubungan politik mungkin ada kaitannya dengan fakta bahwa perusahaan-perusahaan
tersebut terlindungi dengan baik dari pemerasan.
Bab ini telah meninjau ulang faktor-faktor yang mungkin dapat menghalangi usaha-usaha untuk
memperoleh manfaat dari investasi mereka dan khususnya, peranan konfl ik dalam keadaan tersebut.
Sebagaimana yang seringkali menjadi anggapan, konfl ik dan warisannya memiliki dampak negatif
yang signifi kan terhadap insentif-insentif yang harus diinvestasikan oleh perusahaan-perusahaan dan
terhadap kemampuan perusahaan-perusahaan tersebut untuk memperoleh penghasilan atas investasi
mereka. Kemungkinan besar lingkungan mikroekonomi adalah faktor hambatan yang mengikat di Aceh,
dan terdapat beberapa fenomena yang terjadi yang mengancam kualitasnya. Sistem perlindungan yang
diperkokoh selama konfi lk telah menghasilkan sektor swasta yang menjadi maju justru karena koneksi
mereka dengan sektor publik dan bukan karena efi siensi mereka. Hal ini juga menghalangi perusahaan-
perusahaan baru untuk masuk ke Aceh karena mereka tidak menjadi bagian dari jaringan lokal. Ancaman-
ancaman keamanan dan biaya-biaya yang terkait dengan hal tersebut juga menghambat investasi
dan pertumbuhan. Usaha-usaha kurang memiliki kepastian ketika mereka beroperasi di Aceh: mereka
tidak mengetahui kepada siapa dan berapa banyak yang harus mereka bayar untuk dapat menjalankan
usaha.
Diagnosis Pertumbuhan Aceh65
Kerangka kerja diagnosa pertumbuhan Aceh membantu mengidentifi kasi hambatan-hambatan
utama terhadap investasi dan pertumbuhan di provinsi tersebut. Perekonomian Aceh tumbuh
dengan laju yang lebih lambat dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia, terutama
investasi swasta, pada tingkatan yang relatif rendah. Ekonomi Aceh terbilang lemah karena jaringan-
jaringan patronasi yang kuat dan lingkungan yang tidak aman sebagai akibat konfl ik selama 30 tahun.
Situasi ini menghambat kinerja pertumbuhan dan membatasi investasi swasta. Para calon investor telah
mengungkapkan kekhawatiran mereka tentang kemungkinan konfl ik akan berlanjut dan tedapat bukti
bahwa kekhawatiran atas keamanan dan pemerasan serta pajak-pajak ilegal yang timbul menghalangi
perusahaan-perusahaan dan perorangan untuk memetik keuntungan penuh dari investasi mereka. Pada
akhirnya hal ini membatasi investasi dan pertumbuhan di provinsi tersebut. Meyakinkan para investor
atas keamanan investasi mereka merupakan prasyarat untuk meningkatkan kembali investasi sektor
swasta di provinsi ini.
Dua hambatan utama terhadap pertumbuhan adalah; ketersediaan tenaga listrik yang dapat
diandalkan dan risiko-risiko keamanan yang diperburuk oleh pemerasan dan pembayaran-
pembayaran ilegal dianggap lebih tinggi di Aceh. Hambatan-hambatan yang teridentifi kasi
berdampak pada para investor lokal, domestik dan luar negeri secara merata. Permasalahan-permasalahan
seperti prasarana (jalan, listrik) mungkin lebih menjadi masalah bagi para investor lokal daripada bagi
para investor asing. Kekhawatiran tentang masalah keamanan mempengaruhi semua jenis investor,
walaupun para investor besar mungkin dapat mengurangi kekhawatiran mereka akan hal ini dengan
cara memperoleh perlindungan dari pemerintah daerah yang ingin sekali mendapatkan investasi.
Tabel di bawah ini merangkum temuan-temuan pada laporan ini, apakah hambatan-hambatan yang
terindentifi kasi bersifat utama, bobot kesimpulan-kesimpulan dan implikasi kebijakan.
08
Kesimpulan
66Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Kesimpulan
Tabel 20 Hambatan-Hambatan terhadap Pertumbuhan di Aceh
Jenis hambatan Tingkat hambatan ? Bobot Kesimpulan Implikasi Kebijakan
Akses terhadap Kredit Tidak menghambat Sedang -
Modal Manusia yang
rendah
Tidak menghambat Tinggi -
Kualitas Prasarana Menghambat Tinggi Revisi strategi penetapan harga oleh • PLN
Dukung partisipasi sektor swasta • dalam pembangkitan listrik
menggunakan sumber enegi
terbarukan
Tingkatkan keandalan pasokan • energi dari Sumatra Utara
Pemerasan dan Pajak-
Pajak Ilegal
Menghambat Tinggi Tingkatkan kemampuan kepolisian • dan pengadilan untuk menegakkan
supremasi hukum
Fokus pada program-program • pembangunan ekonomi di daerah
yang terkena dampak konfl ik
Bantu membangun konstituensi • untuk reformasi – contohnya
melibatkan komunitas dan
masyarakat madani dalam upaya-
upaya pemantauan
Fasilitasi skema asuransi risiko politik • untuk menarik para investor
Risiko-risiko makro Tidak menghambat Tinggi -
Kegagalan Informasi Tidak menghambat Sedang -
Kagagalan Koordinasi Tidak menghambat Sedang -
Ketersediaan listrik yang andal adalah hambatan paling utama terhadap investasi dan
pertumbuhan, terutama untuk perusahaan-perusahan skala lebih kecil. Pasokan energi tidak
mencukupi dan tidak dapat diandalkan kemungkinan besar menjadi hambatan yang paling utama bagi
investasi dan ekonomi secara keseluruhan. Beberapa badan usaha dapat menghasilkan listrik mereka
sendiri, tetapi hal ini hanya merupakan solusi yang mungkin bagi usaha-usaha yang relatif besar, yang
memungkinkan usaha-usaha tersebut untuk membiayai investasi ini. Usaha-usaha yang lebih kecil
(misalnya pengolahan ikan, sektor ternak atau agrobisnis) tidak mampu membiayai investasi yang
diperlukan dan listrik menjadi hambatan bagi usaha-usaha prospektif ini. Oleh karena itu, ketersediaan
listrik merupakan hal yang penting untuk memajukan usaha-usaha kecil di sektor pengolahan.
Pemerintah Aceh telah mengidentifi kasi bahwa ketersediaan listrik merupakan bidang perhatian utama
untuk pembangunan provinsi ini, dan Pemerintah Aceh juga sedang meningkatkan upaya mereka untuk
menghasilkan energi dan menjamin ketersediaan listrik dari PLN. Upaya-upaya yang diperbarui untuk
menarik investasi sektor swasta dapat didukung dengan cara:
Merevisi penetapan harga listrik yang dihasilkan oleh pihak swasta untuk didistribusikan • melalui PLN, dalam rangka meningkatkan insentif bagi pihak swasta untuk berinvestasi dalam
bidang pembangkitan energi di provinsi ini;
Meningkatkan partisipasi sektor swasta dalam bidang pembangkitan listrik dengan • menggunakan sumber-sumber energi terbarukan, seperti panas bumi (geothermal),
biomassa lokal (local biomass) atau energi matahari;
Diagnosis Pertumbuhan Aceh67
Juli 2009
Menelaah kemungkinan kemitraan pemerintah-swasta untuk menarik produsen tenaga • linstrik independen dengan biaya murah, dengan memasukkan akses yang aman dan
berharga menarik terhadap sumber-sumber energi dan lahan yang terkait ke dalam MoU dan
kontrak;
Meningkatkan keandalan pasokan-pasokan energi dari Sistem Interkoneksi Sumatra • (Sumatra Interconnection System) untuk menghindari sering terputusnya pasokan listrik.
Ketidakmampuan perusahaaan dan individu untuk memperoleh keuntungan dari investasi
mereka, akibat masalah keamanan dan pajak-pajak ilegal, merupakan faktor penghambat
investasi dan pertumbuhan. Laporan ini menyajikan serangkaian bukti bahwa biaya atau ketersediaan
modal bukanlah hambatan terhadap pertumbuhan dan investasi di provinsi ini. Demikian pula, dengan
pengecualian pada prasarana energi, faktor-faktor pelengkap produksi tidak tampaknya tidak menjadi
hambatan terhadap pertumbuhan dan investasi. Permasalahan-permasalahan keamanan, pemerasan,
dan pajak-pajak serta pembayaran-pembayaran ilegal membatasi kemampuan perusahaan untuk
memperoleh laba dari investasi mereka, sehingga tidak mendorong pertumbuhan investasi di provinsi ini.
Persepsi tentang risiko yang lebih tinggi juga berakibat pada kurangnya kredit bagi sektor swasta. Semua
hal ini menambah ketidakpastian menjalankan usaha di Aceh, dan berdampak pada biaya-biaya setiap
investor potensial. Kalangan usaha pada saat ini mencoba untuk mengatasi ketidakpastian ini dengan
bergabung bersama kalangan usaha atau jaringan kerja yang dapat memberikan perlindungan serta rasa
aman, walaupun hal ini tidak selalu dapat dilakukan. Kalangan-kalangan usaha yang tidak dapat atau tidak
bersedia mengadakan perjanjian-perjanjian tersebut mungkin saja memutuskan untuk tidak berinvestasi
di provinsi ini sama sekali. Untuk menghilangkan hambatan ini, penting untuk mengikutsertakan kembali
monopoli negara dalam penggenaan pajak serta penggunaan ketegasan terhadap hukum . Penggalakan
investasi tentunya memerlukan pemutusan lingkaran setan permasalahan intimidasi terkadang disertai
kekerasan dan pajak ilegal. Strategi untuk melakukan hal ini harus berupa strategi ganda, dengan
memperkenalkan reformasi yang memperkuat kemampuan pemerintah untuk menegakkan supremasi
hukum dan intervensi yang bertujuan menangani penyebab-penyebab yang mendasari munculnya
tindak kerjahatan dan kekerasan, dengan cara:
Meningkatkan kemampuan polisi untuk menyelidiki dan menyelesaikan masalah • kejahatan untuk memperkuat supremasi hukum, melalui pelatihan dan pengembangan
kapasitas, meningkatkan sumber daya yang dapat digunakan polisi serta memperkuat angkatan
kepolisian;
Meningkatkan kemampuan sistem peradilan untuk menuntut dan menjatuhkan • hukuman atas para penjahat, melalui pengembangan kapasitas, sumber daya tambahan
dan kemauan politik, dan juga mendukung konstituensi, pada sektor swasta dan masyarakat
madani, yang akan menuntut reformasi ini;
Mendukung pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di daerah-daerah yang terkena • dampak konfl ik. Hal ini berbeda dengan pemberian bantuan reintegrasi bagi para mantan
pejuang GAM, yang memiliki dampak yang lebih terbatas dan dapat memicu ketegangan.
Pendekatan-pendekatan yang ditargetkan secara geografi s, yang berfokus pada kelompok-
kelompok yang menhadapi risiko dan rawan di daerah-daerah yang terkena dampak konfl ik,
telah terbukti lebih efektif.
Memfokuskan reformasi pada peningkatan supremasi hukum dan memerangi pemerasan • serta pajak-pajak ilegal pada sektor-sektor yang menghasilkan pertumbuhan inklusif.
Upaya ini termasuk sektor pertanian, perikanan, pengolahan hasil pertanian (agro-processing),
dan sektor-sektor jasa tertentu (perdagangan, transportasi), yang mendukung pembentukan
konstituensi pro-reformasi;
68Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Kesimpulan
Melibatkan masyarakat madani dalam pemantauan tindakan-tindakan ilegal sebagai • upaya mengatasi permasalahan ini. Dengan mempertimbangkan kemauan politik dan modal
yang besar yang akan dibutuhkan untuk reformasi yang diusulkan tersebut, secara berkala.
Memfasilitasi pemberian asuransi politik oleh sektor swasta. • Jaminan-jaminan yang
diberikan oleh para pihak ketiga untuk proyek-proyek tunggal dapat ditemukan di banyak
kawasan di dunia dan sering digunakan di lingkungan pasca-konfl ik. Jenis-jenis jaminan ini juga
dapat berfungsi sebagai sinyal penarik yang kuat bagi para investor potensial. Rancangan yang
menyeluruh terhadap skema asuransi tersebut sangat penting untuk menghindari kewajiban
fi skal yang tidak perlu bagi pemerintah provinsi dan untuk menghindari penyalahgunaan
skema-skema asuransi tersebut oleh para pengusaha. Jaminan-jaminan investasi ini biasanya
dibuat pada tingkat nasional. Dengan demikian, fakta bahwa Aceh adalah sebuah provinsi di
negara yang lebih besar dan relatif stabil akan menimbulkan tantangan-tantangan tambahan
dalam rancangan skema tersebut yang harus dipecahkan bersama-sama oleh pemerintah
nasional dan provinsi.
Situasi keamanan yang membaik serta pemberantasan iuran dan pajak-pajak ilegal kemungkinan
besar akan meningkatkan investasi dan pertumbuhan. Pada saat ini, perusahaan-perusahaan dan
individu tidak dapat mengambil keputusan untuk berinvestasi, karena mereka tidak yakin dengan biaya
yang akan mereka hadapi yang timbul dari ancaman-ancaman keamanan dan pemerasan; mereka tidak
dapat memperoleh keuntungan dari investasi mereka dan, dengan demikian, hampir tidak mungkin
untuk melakukan investasi. Karena biaya yang berhubungan dengan kemanan dan pembayaran ilegal
menurun, perusahaan-perusahaan dan individu-individu akan dapat mengakses biaya dan keuntungan
investasi mereka dengan kepastian yang lebih besar dan melakukan investasi ketika investasi-investasi
tersebut jelas-jelas dapat berkembang secara komersial.
Hambatan-hambatan yang utama terhadap pertumbuhan kemungkinan besar dapat berubah
seiring berjalannya waktu, karena hambatan-hambatan lain menjadi lebih utama apabila
hambatan-hambatan ini dipecahkan. Apabila masalah-masalah yang berkaitan dengan ketersediaan
listrik dan situasi keamanan membaik, dan usaha-usaha tidak lagi terkena pemerasan dan pajak-pajak
ilegal, hambatan-hambatan lain akan menjadi lebih utama dan seperangkat reformasi yang berbeda
menjadi sangat diperlukan. Pemerintah daerah dapat memperkenalkan sebuah sistem, bersama dengan
sektor swasta, untuk membahas analisis dan rekomendasi-rekomendasi dalam laporan ini, dan berlanjut
dengan sebuah proses untuk, di kemudian hari, meninjau kembali rekomendasi-rekomendasi tersebut
dan mengidentifi kasi hambatan-hambatan yang mengikat lainnya terhadap investasi dan pertumbuhan.
Selanjutnya, hambatan-hambatan tersebut kemungkinan besar sama dengan hambatan-hambatan
yang ada di daerah lain di Indonesia, di mana ketidakpastian peraturan, terutama terhadap pajak-
pajak dan peraturan perizinan, pajak-pajak dan peraturan-peraturan daerah yang diberlakukan oleh
para pemerintah daerah, dan juga penegakan hukum yang kurang, akan menghambat investasi dan
pertumbuhan. Kualitas prasarana transpotasi yang buruk juga telah teridentifi kasi sebagai hambatan
utama bagi investasi dan pertumbuhan di Indonesia. Walapun prasarana transportasi yang ada sekarang
terlihat cukup untuk ekuilibrium pertumbuhan Aceh yang rendah, ketika provinsi ini berupaya menjadi
lebih modern dan berkembang, maka hal ini kemungkinan besar akan menjadi hambatan.
Perhatian yang lebih khusus harus diberikan dalam penyusunan strategi besar untuk mendorong
pertumbuhan yang inklusif dan merata bermanfaat bagi sebagian besar penduduk, termasuk
kalangan yang berpotensi mengganggu perdamaian. Laporan ini berfokus pada hambatan-
hambatan utama terhadap pertumbuhan dan menawarkan rekomendasi tentang intervensi-intervensi
potensial untuk menyelesaikan masalah-masalah ini. Upaya mengatasi hambatan-hambatan yang utama
kemungkinan akan memberi manfaat bagi penduduk secara keseluruhan, meningkatkan kemampuan
kelompok miskin dan rawan di Aceh untuk memperoleh manfaat dari pertumbuhan. Diperlukan intervensi-
intervensi khusus untuk memastikan bahwa pertumbuhan tersebut bersifat inklusif. Intervensi-intervensi
Diagnosis Pertumbuhan Aceh69
Juli 2009
tersebut termasuk melanjutkan fokus pada sektor pertanian, dan juga meningkatkan penyediaan layanan
publik di daerah ini. Intervensi-intervensi tersebut juga termasuk menata ulang ketidaksetaraan yang
ada baik dalam hal modal manusia maupun fi sik dengan meningkatkan tingkat keahlian orang-orang
miskin di daerah-daerah pedesaan, juga intervensi-intervensi yang memfasilitasi akses terhadap kredit
bagi orang-perorangan dan usaha-usaha kecil yang bergerak dalam sektor pertanian dan perikanan.
Mendistribusikan manfaat-manfaat pertumbuhan akan memberikan hal yang penting dalam perdamaian
dan stabilitas di Aceh bagi bagian masyarakat yang lebih besar, menurunkan kekhawatiran tentang
masalah keamanan dan pada akhirnya menjaga agar konfl ik tidak terjadi lagi.
Diagnosis Pertumbuhan Aceh71
Aghion, P. and Peter Howitt, 1992, “A Model of Growth through Creative Destruction”, Econometrica, Vol.
60, No. 2. (Mar., 1992), hal. 323-351
Aghion, Philippe and Steven Durlauf, 2007, “From Growth Theory to Policy Design”, mimeo, Commission
on Growth and Development.
Aguswandi and Judith Large, 2008, “Reconfi guring Politics: The Indonesia-Aceh Peace Process”, London:
Conciliation Resources.
Aspinall, Edward, 2009a, “Combatants to Contractors: The Political Economy of Peace in Aceh”. Indonesia
May-June.
Aspinall, Edward, 2009b, “Islam and Nation: Separatist Rebellion in Aceh, Indonesia”, Stanford, CA.:
Stanford University Press.
Barron, Patrick, 2008, “Managing the Resource for Peace: Reconstruction and Peace building in Aceh”
in Aguswandi and Judith Large (eds.) Reconfi guring Politics: The Indonesia-Aceh Peace Process. London:
Conciliation Resources.
Barron, Patrick, 2009, “The Limits of DDR: Reintegration Lessons from Aceh” in Small Arms Survey Yearbook
2009, Cambridge: Cambridge University Press.
Barron, Patrick and Adam Burke, 2008, “Supporting Peace in Aceh: Development Agencies and
International Involvement”, Washington, DC: East-West Center.
Barron, Patrick, and Samuel Clark, 2006, “Decentralizing Inequality? Center-Periphery Relations, Local
Governance and Confl ict in Aceh”, Confl ict Prevention and Reconstruction Paper No. 39. Washington, D.C.:
World Bank.
Bates, Robert H., 2008, “State Failure”, Annual Review of Political Science. 11: 1-12.
Bodea, Christina and Ibrahim A. Elbadawi, 2008, “Political Violence and Economic Growth”, Policy Research
Working Paper No. 4692. Washington, D.C: World Bank.
Chaudhary, Torunn and Astri Suhrke, 2008, “Postwar Violence”, mimeo, Small Arms Survey, Geneva.
Chauvet, Lisa, Paul Collier, and Haavard Hegre, 2008, “The Security Challenge in Confl ict-prone Countries”,
Confl icts Challenge Paper, Copenhagen: Copenhagen Consensus Centre. Edisi situs internet. Diakses
bulan Juni 2008. <http://www.humansecurity gateway.info/documents/CP_Collier_securitychallengein
confl ictpronecountries.pdf>
Clark, Samuel, and Blair Palmer, 2008, “Peaceful Pilkada, Dubious Democracy”, Indonesian Social
Development Paper No. 11. Jakarta: World Bank.
09
Daftar Referensi
72Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Daftar Referensi
Collier, Paul, 1994, “Demobilization and Insecurity: A Study in the Economics of the Transition from War
to Peace”, Journal of International Development. 6(3): 343-51.
Collier, Paul, 1999, “On the Economic Consequences of Civil War”, Oxford Economic Papers 51 (1): 168–83.
Collier, Paul, V.L. Elliott, Havard Hegre, Anke Hoeffl er, Marta Reynal-Querol, and Nicholas Sambanis, 2003,
“Breaking the Confl ict Trap: Civil War and Development Policy”. Washington, DC: World Bank and Oxford
University Press.
Collier, Paul and Anke Hoeffl er, 2004, “Greed and Grievance in Civil War”, Oxford Economic Papers 54: 563-
595.
Collier, Paul, Anke Hoeffl er, and Mans Soderboom, 2006, “Post-Confl ict Risks”, Working Paper No. 256.
Oxford: Centre for the Study of African Economics, University of Oxford.
Commission on Growth and Development, 2008, “Growth Report: Strategies for Sustained Growth and
Inclusive Development”, Washington, D.C.: The World Bank..
CSIRO, 2008, “Environmental Management for a Sustainable Economic Development Strategy for
Nanggroe Aceh Darussalam”, Nota Kebijakan untuk Bank Dunia oleh Commonwealth Scientifi c and
Industrial Research Organisation (CSIRO).
Czaika, Mathias and Krisztina Kis-Katos, 2007, “Civil Confl ict and Displacement. Village-Level
Determinants of Forced Migration in Aceh”, HiCN Working Paper No. 32, Households in Confl ict Network,
Institute of Development Studies, University of Sussex, Brighton, UK.
Dawood, Dayan, and Sjafrizal, 1989, “Aceh: The LNG Boom and Enclave Development”, in Hal Hill (ed.)
Unity and Diversity: Regional Economic Development in Indonesia since 1970. Singapore: Oxford University
Press.
Geneva Declaration Secretariat, 2008, “The Global Burden of Armed Violence”. Geneva: Geneva Declaration
Secretariat.
Government of Aceh, 2007, “Atlas – Economic Development NAD Province – Aceh Triple A Project (ATAP)”,
Initial Edition, Mei 2007
Hausmann, Ricardo and Dani Rodrik, 2003, “Economic Development as Self-Discovery”, Journal of
Development Economics, Vol. 72, No. 2, hal. 603-633.
Hausmann, Ricardo; Rodrik, Dani and Andrés Velasco, 2005, “Growth Diagnostics”, mimeo, Inter-American
Development Bank.
Hausmann, Klinger and Wagner, 2008, “Doing growth diagnostics in practice: A ‘Mindbook’”, CID Working
Paper No. 177, Harvard University.
Hill, Hal, and Anna Weidermann, 1989, “Regional Development in Indonesia: Patterns and Issues”, in Hal
Hill (ed.) Unity and Diversity: Regional Economic Development in Indonesia since 1970. Singapore: Oxford
University Press.
Hiorth, Finnegar, 1986, “Free Aceh: An Impossible Dream?”, Kabar Seberang 17: 182-194.
Hoeffl er, Anke., and Marta Reynal-Querol, 2003, “Measuring the Costs of Confl ict”, Washington, DC: World
Bank.
Ianchovichina, Elena and Susanna Lundstrom, 2008, “Inclusive growth analytics, framework and
application”, Policy Research Working Paper No. 4851, Washington, D.C: World Bank
Diagnosis Pertumbuhan Aceh73
Juli 2009
Imai, Kosuke, and Jeremy Weinstein, 2000, “Measuring the Economic Impact of Civil War.” CID Working
Paper No. 51, Harvard University.
International Crisis Group, 2001, “Aceh: Why Military Force Won’t Bring Lasting Peace”, Asia Report No. 17.
Jakarta/Brussels.
International Crisis Group, 2009, “Indonesia: Deep Distrust in Aceh as Elections Approach”, Asia Briefi ng
No. 90. Jakarta/Brussels.
International Finance Corporation, 2008, “Aceh Investment Climate Policy Note”, Januari 2008
International Finance Corporation, 2007, “Aceh Financial Sector Diagnostics”, November 2007
International Organization for Migration, Harvard Medical School, 2007, “A Psychological Assessment of
Communities in 14 Confl ict-Aff ected Districts in Aceh”, Jakarta: IOM.
International Organization for Migration, 2008, “Meta Analysis: Vulnerability, Stability, Displacement and
Reintegration: Issues Facing the Peace Process in Aceh, Indonesia”, Jakarta: IOM.
Jones, Sidney, 2005, “The importance of good governance in easing separatist confl icts”, in Dewi Fortuna
Anwar et. al. (eds.) Violent Internal Confl icts in Asia Pacifi c: Histories, Political Economies and Policies. Jakarta:
LIPI/Yayasan Obor.
Kell, Timothy, 1995, “The Roots of Acehnese Rebellion, 1989-1992”, Ithica, NY: Cornell University Press.
Knight, Malcolm, Norman Loayza, and Delano Villanueva, 1996, “The Peace Dividend: Military Spending
Cuts and Economic Growth.” IMF Staff Paper Vol. 43, hal. 1-37.
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) and The Asia Foundation, 2008, “Local
Economic Governance in Indonesia. A Survey of Businesses in 243 Regencies/ Cities in Indonesia, 2007”,
Jakarta.
Lewis, Blane D. and Bambang Suharnoko, 2008, “Local Tax Eff ects on the Business Climate”,
Decentralization Support Facility, Juli 2008
Lorentzen, P., J. McMillan, and R. Wacziarg, 2006, “Death and development.” Mimeo. Stanford University.
McCulloch, Lesley, 2006, “Greed: The Silent Force of Confl ict in Aceh”, in Damian Kingsbury (ed.) Violence
In Between: Security Issues in Archipelagic South-East Asia. Melbourne/Singapore: Monash Asia Institute/
Institute for Southeast Asian Studies.
McGibbon, Rodd, 2006, “Local Leadership and the Aceh Confl ict”, in Anthony Reid (ed.) Verandah of
Violence: the Background to the Aceh Problem. Singapore: Singapore University Press.
Meitzner, Marcus, 2006, “The Politics of Military Reform in Post-Suharto Indonesia: Elite Confl ict, Nationalism
and International Resistance”, Policy Studies No. 23. Washington, D.C.: East-West Center.
Missbach, Antje, 2007, “Aceh Homebound?”, in Inside Indonesia No. 90: Special Aceh Reports
Moreno-Dodson, Blanca, 2008, “Assessing the Impact of Public Spending on Growth - An Empirical
Analysis for Seven Fast Growing Countries”, Policy Research Working Paper No. 4663. Washington, D.C.:
The World Bank.
Moser, Caroline O. N., 2006, “Reducing Urban Violence in Developing Countries.” Policy Brief 2006-1.
Washington, DC: Brookings Institute.
MSR, 2009, Multi-Stakeholder Review of Post-Confl ict Programming in Aceh: Identifying the Foundations for
Sustainable Peace and Development in Aceh. Banda Aceh/Jakarta: MSR.
Muggah, Robert, 2009, “Post-confl ict armed violence and security promotion.” Small Arms Survey Yearbook
2009. Cambridge and Geneva: Cambridge University Press.
74Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Daftar Referensi
Nagarajan, Geetha, and Michael McNulty, 2004, “Microfi nance Amid Confl ict: Taking Stock of Available
Literature.” Washington, D.C.: United States Agency for International Development.
Nazamuddin Basyah Said, 2008, “Economic Injustice: Cause and Eff ect of the Aceh Confl ict”, in Aguswandi
and Judith Large (eds), Special Aceh issue in Accord: An International Review of Peace Initiatives, Reconfi guring
politics: the Indonesia - Aceh peace process, London
Olken, Benjamin and Patrick Barron, 2007, “The Simple Economics of Extortion: Evidence from Trucking in
Aceh”. NBER Working Paper No. 13145. Cambridge, MA: NBER.
Reid, Anthony (ed.), 2006, “Verandah of Violence: the Background to the Aceh Problem”, Singapore:
Singapore University Press.
Restrepo, Jorge, Brodie Ferguson, Jukliana M. Zúñiga, and Adriana Villamarin, 2008, “Estimating Lost
Product Due to Violent Deaths in 2004”. Makalah yang tidak diterbitkan untuk Small Arms Survey. Geneva/
Bogota: Small Arms Survey/CERAC.
Robinson, Geoff rey, 1998, “Rawan is as Rawan Does: The Origins of Disorder in New Order Indonesia.”
Indonesia 66 (October): 127-156.
Romer, Paul M., 1990, “Endogenous Technological Change”, The Journal of Political Economy, Vol. 98, No.
5, Part 2: The Problem of Development: A Conference of the Institute for the Study of Free Enterprise
Systems. (Okt., 1990), hal. S71-S102
Ross, Michael L., 2005, “Resources and Rebellion in Indonesia,” in Paul Collier and Nicholas Sambanis
(eds.), Understanding Civil War: Europe, Central Asia, and Other Regions. Washington D.C.: World Bank and
Oxford University Press.
Saraswati, Muninggar Sri, 2004, “Puteh to sit in the dock”, The Jakarta Post, 18 Desember.
Schulze, Kirsten, 2004, “The Free Aceh Movement (GAM): Anatomy of a Separatist Organization”, Policy
Studies No. 2. Washington, DC: East-West Center.
Solow, Robert M., 1956, “A Contribution to the Theory of Economic Growth”, The Quarterly Journal of
Economics, Vol. 70, No. 1. (Feb., 1956)
Stewart, Frances and Vaply Fitzgerald (eds.), 2001, “War and Underdevelopment: The Economic and
Social Consequences of Confl ict, Volume 1”, Oxford: Oxford University Press.
Sukma, Rizal, 2001, “The Acehnese Rebellion: Secessionist Movement in Post-Suharto Indonesia”, in
Andrew Tan and Kennethn Boutin, Non-Traditional Security Issues in Southeast Asia. Singapore: Institute of
Defense and Strategic Studies.
Sukma, Rizal, 2004, “Security Operations in Aceh: Goals, Consequences and Lessons”, Policy Studies No. 3.
Washington, D.C.: East-West Center.
Sulaiman, M. Isa, 2006, “From Autonomy to Periphery: A Critical Evaluation of the Acehnese Nationalist
Movement”, in Anthony Reid (ed.) Verandah of Violence: the Background to the Aceh Problem. Singapore:
Singapore University Press.
Sulaiman, M. Isa, and Gerry van Klinken, 2007, “The Rise and Fall of Governor Puteh”, in Henke Schulte
Nordholt and Gerry van Klinken (eds.) Renegotiating Boundaries: Local Politics in Post-Suharto Indonesia.
Leiden: KITLV Press.
Tajima, Yuhki, 2009, “Background Paper on Economic Reintegration.” Prepared for International Congress
on Disarmament, Demobilization and Reintegration, Cartagena, Colombia, April 2009.
Transparency International, 2008, “Measuring corruption in Indonesia: Indonesia Corruption Perception
Index 2008 and Bribery Index”
Diagnosis Pertumbuhan Aceh75
Juli 2009
Ulloa, Alfi e, 2008, “Growth Diagnostic Scoping Study Final Report – Technical”, DFID Understanding
Afghanistan, September 2008.
UN Offi ce on Drugs and Crime/ World Bank, 2007, “Crime, Violence and Development: Trends, Costs and
Policy Options in the Caribbean”, Washington, D.C.: World Bank.
Van Klinken, 2008, “Social foundations: illegality in the construction sector in provincial Indonesia.”
Makalah yang dipresentasikan dalam lokakarya tentang “The State and Illegality in Indonesia”, Australian
National University, Canberra, 22-24 September.
Walter, Barbara F., 2004, “Does Confl ict Beget Confl ict? Explaining Recurring Civil War.” Journal of Peace
Research 41(3): 371-388.
World Bank, 2006a, “Making the New Indonesia Work for the Poor”, Jakarta: The World Bank.
World Bank, 2006b, “Aceh Public Expenditure Analysis – Spending for Reconstruction and Poverty
Reduction”, Banda Aceh/ Jakarta: The World Bank.
World Bank, 2006c, GAM Reintegration Needs Assessment: Enhancing Peace Through Community-Level
Development Programming, Banda Aceh: The World Bank.
World Bank/KDP, 2007, “2006 Village Survey in Aceh: An Assessment of Village Infrastructure and Social
Conditions”, Banda Aceh/Jakarta: World Bank/Government of Indonesia.
World Bank, 2007, “Connecting to compete: trade logistics in the global economy”, Washington DC: The
World Bank
World Bank, 2008a, “Aceh Poverty Assessment 2008 – The Impact of the Confl ict, the Tsunami and the
Reconstruction on Poverty in Aceh”, Jakarta: The World Bank.
World Bank, 2008b, “Aceh Public Expenditure Analysis Update”, Jakarta: The World Bank
World Bank, 2008c, “Doing Business 2009 – Country Profi le for Indonesia”, Washington DC: The World
Bank
World Bank, 2008d, “Aceh Economic Update, Oktober 2008”, Jakarta: The World Bank
World Bank, 2008e, “World Development Report 2008 – Agriculture for Development”, Washington DC:
The World Bank.
World Bank, 2008f, “What Are the Constraints to Inclusive Growth in Zambia?”, report No. 44286-ZM,
Washington DC: World Bank
World Bank, 2009a, “Aceh Confl ict Monitoring Update: 1 Desember 2008 – 31 Januari 2009”, Banda Aceh:
World Bank.
World Bank, 2009b, “World Development Report 2009 – Reshaping Economic Geography”, The World
Bank: Washington DC
World Bank, 2009c, “Aceh Economic Update, June 2009”, Jakarta: The World Bank
World Bank, yang akan datang (a), “Indonesia Jobs Report”. Jakarta: The World Bank
World Bank, yang akan datang (b), “Indonesia. Agriculture Public Spending and Growth”. Policy Note for
the Indonesia Agriculture Public Expenditure Review
World Bank/BRR, 2006, “Trucking and Illegal Payments in Aceh”, Banda Aceh/Jakarta: World Bank/BRR.
World Bank/ IFC, 2008, “Public-Private Dialogue Promotes Change in Oil, Gas and Mining Investment
Climate”, The World Bank: Jakarta
Diagnosis Pertumbuhan Aceh77
Lampiran I – Perkiraan hasil-hasil pendidikanSpesifi kasi
SMA vs. kurang
berpendidikan
SMA dan di atas SMA vs.
kurang berpendidikan
Berpendidikan tinggi vs.
kurang berpendidikan
Aceh0,33***
(0,05)
0,39***
(0,04)
0,53***
(0,07)
Sumatera Utara0,29***
(0,03)
0,39***
(0,03)
0,61***
(0,05)
Sumatera0,30***
(0,02)
0,38***
(0,02)
0,52***
(0,03)
Indonesia 0,47 0,67 1,05
Sumber: Perhitungan staf bank berdasarkan Sakernas (Feb 2008)
Catatan:
*** signifi kan pada tingkat 1 persen; ** signifi kan pada tingkat 5 persen; * signifi kan pada tingkat 10 persen.1.
Kesalahan-kesalahan standard 2. (Standard errors) ada dalam tanda kurung.
Nilai-nilai nasional diambil dari “laporan Kerja” (Bank Dunia, yang akan datang (b)).3.
SMA = Sekolah Menengah Atas4.
Variabel-variabel kendali mencakup: umur dan umur kuadrat; variabel boneka perkotaan; variabel boneka gender; dan 5.
pada tingkat nasional, variabel boneka wilayah (Sumatra, Jawa/Bali, Kalimantan, Sulawesi, NTB/NTT/Maluku, Papua).
10
Lampiran-Lampiran
78Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Lampiran-Lampiran
Lampiran II – Tabel regresi: kinerja perusahaan dan permasalahan-permasalahan yang dihadapiVariabel
dependenPenjualan per karyawan (2007) Investasi per karyawan (2007)
Spesifi kasi Dasar
Dengan
insiden per
1000
Dengan
intensitas
konfl ik
Dasar
Dengan
insiden per
1000
Dengan
intensitas
konfl ik
Akses lahan
dan kepastian
hukum
-6,33
(25,69)
0,63
(28,02)
-0,97
(30,13)
-0,02
(1,40)
0,14
(1,44)
0,08
(1,71)
Pemberian
surat izin usaha
-36,57*
(20,74)
-43,73*
(26,14)
-31,63
(22,42)
1,89
(2,18)
1,89
(2,39)
3,18
(2,86)
Interaksi
pemerintah
daerah dengan
kalangan
pengusaha
-41,08***
(14,40)
-42,03**
(16,50)
-40,25**
(18,55)
-2,42**
(1,21)
-2,66**
(1,31)
-2,40
(1,51)
Kemampuan
dan integritas
Utama
-16,17
(16,17)
0,12
(15,65)
-17,70
(17,97)
1,39
(2,64)
2,00
(2,87)
1,31
(3,05)
Biaya-biaya
transaksi
-36,37**
(16,31)
-36,61**
(17,54)
-38,19**
(18,47)
-1,69**
(0,86)
-1,73*
(0,94)
-1,59
(1,02)
Prasarana -45,06
(31,65)
-49,44
(35,86)
-34,68
(36,73)
-1,51
(1,42)
-1,63
(1,60)
-1,73
(1,70)
Penyelesaian
masalah
keamanan dan
konfl ik
0,71
(29,39)
6,18
(36,03)
21,36
(41,13)
-0,87
(1,14)
-0,85
(1,29)
-0,75
(1,68)
Insiden per
1000
-- 262,25
(273,61)
-- -- 6,62
(11,05)
--
Intensitas
konfl ik
-- -- -17,36
(14,13)
-- -- -2,06**
(0,97)
Sumber: The Asia Foundation / survei KPPOD (2008), Tim Konfl ik dan pembangunan Bank Dunia
Catatan:
*** signifi kan pada tingkat 1 persen; ** signifi kan pada tingkat 5 persen; * signifi kan pada tingkat 10 persen.1.
Kesalahan-kesalahan standar 2. (Standard errors) ada dalam tanda kurung.
Investasi dan penjualan per karyawan adalah nilai-nilai tahunan yang dinyatakan dalam juta rupiah.3.
Variabel dependen (kecuali 2 yang terakhir) adalah variabel boneka yang mengindikasikan apakah responden 4.
memperkirakan bahwa tiap-tiap hambatan menghambat kinerja perusahaannya secara signifi kan atau sangat
signifi kan.
Insiden per 1000 adalah jumlah insiden keamanan di kabupaten/kota di mana perusahaan tersebut beroperasi dari 5.
Januari 05 – Juli 08 per 1000 penduduk.
Konfl ik adalah indikator intensitas konfl ik yang dikembangkan oleh staf Bank Dunia. Indikator tersebut mengukur 6.
dampak jangka panjang konfl ik dalam bentuk korban, orang-orang yang kembali dari pengungsian, tahanan politik,
persepsi intensitas, dll…..Studi ini menggunakan indikator tersebut pada tingkatan kabupaten (lihat World Bank,
2006c).
Diagnosis Pertumbuhan Aceh79
Juli 2009
Lampiran III – Uji T Kesetaraan rata-rata (T Test equality of means)Rata-rata Investasi per penjualan (2007)
Untuk grup yang
melaporkan … sebagai
sebuah hambatan
Untuk grup yang TIDAK
melaporkan … sebagai
sebuah hambatan
Selisih
Akses atas tanah dan
kepastian hukum 0,11 0,2
-0,09
(0,07)
Pemberian surat izin usaha0,7 0,15
0,55
(0,57)
Interaksi pemerintah daerah
dengan kalangan pengusaha0,19 0,19
0
(0,11)
Kemampuan dan integritas
Utama 0,11 0,19
-0,08
(0,07)
Biaya-biaya transaksi0,06 0,21
-0,15**
(0,07)
Prasarana0,16 0,22
-0,06
(0,10)
Penyelesaian masalah
keamanan dan konfl ik0,25 0,18
0,07
(0,11)
Sumber: The Asia Foundation / survei KPPOD (2008)
Catatan:
*** signifi kan pada tingkat 1 persen; ** signifi kan pada tingkat 5 persen; * signifi kan pada tingkat 10 persen.1.
Kesalahan-kesalahan standar 2. (Standard errors) ada di dalam tanda kurung.
Kategori-kategori di sini mengindikasikan apakah responden memperkirakan bahwa tiap-tiap hambatan menghambat 3.
kinerja perusahaannya secara signifi kan atau sangat signifi kan.
80Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Lampiran-Lampiran
Lampiran IV – Insiden-Insiden keamanan dan pertumbuhan Statistik Regresi
Regresi Berganda 0,380964
Regresi Kuadrat 0,145134
Regresi Kuadrat yang
Disesuaikan0,097641
Kesalahan Standar 0,166216
Observasi 20
Koefi sienKesalahan
Standar
Statistik
t Nilai P
Lebih
rendah
95%
Lebih
Tinggi
95%
Lebih
Rendah
95,0%
Lebih
Tinggi
95,0%
Konstanta 0,600889 0,0527 11,402 1,14E-09 0,490169 0,711608 0,490169 0,711608
Variabel X -0,00484 0,002768 -1,748 0,097479 -0,01065 0,000976 -0,01065 0,000976
Sumber: The Asia Foundation / survei KPPOD (2008), tim konfl ik dan pembangunan World Bank
Catatan:
Variabel dependen di sini adalah saham perusahaan-perusahaan di sebuah kabupaten yang telah meningkatkan 1.
penjualan per pegawai mereka pada 2006-07.
Variabel independen adalah jumlah insiden keamanan yang terjadi di sebuah kabupaten pada tahun 2005-06.2.
Koefi sien variabel independen, jumlah insiden keamanan, signifi kan pada tingkat 10 persen. 3.
Juli 2009
Mengidentifikasi hambatan-hambatan utama pertumbuhan ekonomi pasca konflik dan pasca bencana
Diagnosis Pertumbuhan Aceh