34
1 ISSN: 0215-7950 *Alamat penulis korespondensi: Laboratorium Genetika dan Pemuliaan, Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada. Jalan Teknika Selatan, Sekip Utara, Yogyakarta 55281. Tel: 0274-580839, Faks: 0274-580839; Surel: [email protected]; [email protected] Deteksi Odontoglossum ringspot virus pada Anggrek Asli Koleksi Kebun Raya di Indonesia Detection of Odontoglossum ringspot virus on Native Orchids Collection of Botanical Gardens in Indonesia Mahfut 1 , Budi Setiadi Daryono 2 *, Susamto Somowiyarjo 2 1 Universitas Lampung, Lampung 35145 2 Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 55281 ABSTRAK Anggrek asli merupakan salah satu kekayaan flora asli Indonesia yang memiliki peran penting sebagai induk persilangan dalam pemuliaan tanaman anggrek. Infeksi virus menjadi salah satu faktor pembatas dalam budi daya anggrek. Penelitian bertujuan mendeteksi dan mengidentifikasi Odontoglossum ringspot virus (ORSV) yang menginfeksi anggrek asli. Sampel dikoleksi dari tanaman bergejala asal 5 kebun raya di Indonesia, yaitu Bogor, Cibodas, Purwodadi, Balikpapan, dan Enrekang. Deteksi dan identifikasi dilakukan secara serologi menggunakan antiserum spesifik ORSV, dilanjutkan dengan metode reverse transcriptase-polymerase chain reaction (RT-PCR), dan perunutan DNA. Uji serologi menunjukkan 5 sampel bereaksi positif terhadap antiserum ORSV, yaitu pada Phalaenopsis amboinensis (KRB2) dan Phalaenopsis amabilis (KRB12) dari Kebun Raya Bogor, Phalaenopsis amabilis (KRP18) dan Dendrobium salacence (KRP20) dari Kebun Raya Purwodadi, dan Phalaenopsis modesta J. J. Sm. (KRBp5) dari Kebun Raya Balikpapan. Deteksi asam nukleat 5 sampel tersebut dengan RT-PCR menggunakan primer spesifik gen coat protein ORSV menghasilkan fragmen DNA berukuran ± 474 pb. Analisis homologi 5 isolat ORSV tersebut menunjukkan nilai indeks similaritas (IS) sebesar 99.8% dengan 14 isolat ORSV lain. Analisis filogenetika menunjukkan isolat KRB2 dan isolat KRP18 berada dalam satu kelompok dan terpisah dengan isolat ORSV dari negara-negara lain. Ini adalah laporan pertama adanya infeksi ORSV pada anggrek asli koleksi 5 kebun raya di Indonesia. Kata kunci: analisis filogenetika, homologi, serologi, RT-PCR ABSTRACT Native orchid is one of Indonesian natural resources which play important role as parental materials in breeding program. Virus infection is one of the limiting factors in the cultivation of orchid. The purpose of this study was to detect Odontoglossum ringspot virus (ORSV) from native orchid. Symptomatic orchids were collected from 5 botanical gardens, i.e. Bogor, Cibodas, Purwodadi, Balikpapan, and Enrekang Botanical Gardens. Detection and identification was conducted by serological method using ORSV specific antisera, followed by RT-PCR and DNA sequencing. The serological test showed that 5 samples gave positive reaction against ORSV antiserum, i.e. Phalaenopsis amboinensis (KRB2) and Phalaenopsis amabilis (KRB12) from Bogor Botanical Garden, Phalaenopsis amabilis (KRP18) and Dendrobium salacence (KRP20) from Purwodadi Botanical Garden, dan Phalaenopsis modesta J. J. Sm. (KRBp5) from Balikpapan Botanical Garden. RT-PCR of the 5 samples using specific primer of ORSV coat protein gene was successfully amplified fragment DNA with size ± 474 bp. Homology analysis of those 5 ORSV isolates showed the highest index similiarity of 99.8% with corresponding Volume 13, Nomor 1, Januari 2017 Halaman 1–8 DOI: 10.14692/jfi.13.1.1–8

Detection of Odontoglossum ringspot virus on Native ... · tidak 2–3 kali nilai absorbansi bufer kontrol (Daryono dan Natsuaki 2009). Deteksi Asam Nukleat dengan RT-PCR Isolasi

  • Upload
    others

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 1

    ISSN: 0215-7950

    *Alamat penulis korespondensi: Laboratorium Genetika dan Pemuliaan, Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada. Jalan Teknika Selatan, Sekip Utara, Yogyakarta 55281.Tel: 0274-580839, Faks: 0274-580839; Surel: [email protected]; [email protected]

    Deteksi Odontoglossum ringspot virus pada Anggrek Asli Koleksi Kebun Raya di Indonesia

    Detection of Odontoglossum ringspot virus on Native Orchids Collection of Botanical Gardens in Indonesia

    Mahfut1, Budi Setiadi Daryono2*, Susamto Somowiyarjo21Universitas Lampung, Lampung 35145

    2Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 55281

    ABSTRAK

    Anggrek asli merupakan salah satu kekayaan flora asli Indonesia yang memiliki peran penting sebagai induk persilangan dalam pemuliaan tanaman anggrek. Infeksi virus menjadi salah satu faktor pembatas dalam budi daya anggrek. Penelitian bertujuan mendeteksi dan mengidentifikasi Odontoglossum ringspot virus (ORSV) yang menginfeksi anggrek asli. Sampel dikoleksi dari tanaman bergejala asal 5 kebun raya di Indonesia, yaitu Bogor, Cibodas, Purwodadi, Balikpapan, dan Enrekang. Deteksi dan identifikasi dilakukan secara serologi menggunakan antiserum spesifik ORSV, dilanjutkan dengan metode reverse transcriptase-polymerase chain reaction (RT-PCR), dan perunutan DNA. Uji serologi menunjukkan 5 sampel bereaksi positif terhadap antiserum ORSV, yaitu pada Phalaenopsis amboinensis (KRB2) dan Phalaenopsis amabilis (KRB12) dari Kebun Raya Bogor, Phalaenopsis amabilis (KRP18) dan Dendrobium salacence (KRP20) dari Kebun Raya Purwodadi, dan Phalaenopsis modesta J. J. Sm. (KRBp5) dari Kebun Raya Balikpapan. Deteksi asam nukleat 5 sampel tersebut dengan RT-PCR menggunakan primer spesifik gen coat protein ORSV menghasilkan fragmen DNA berukuran ± 474 pb. Analisis homologi 5 isolat ORSV tersebut menunjukkan nilai indeks similaritas (IS) sebesar 99.8% dengan 14 isolat ORSV lain. Analisis filogenetika menunjukkan isolat KRB2 dan isolat KRP18 berada dalam satu kelompok dan terpisah dengan isolat ORSV dari negara-negara lain. Ini adalah laporan pertama adanya infeksi ORSV pada anggrek asli koleksi 5 kebun raya di Indonesia.

    Kata kunci: analisis filogenetika, homologi, serologi, RT-PCR

    ABSTRACT

    Native orchid is one of Indonesian natural resources which play important role as parental materials in breeding program. Virus infection is one of the limiting factors in the cultivation of orchid. The purpose of this study was to detect Odontoglossum ringspot virus (ORSV) from native orchid. Symptomatic orchids were collected from 5 botanical gardens, i.e. Bogor, Cibodas, Purwodadi, Balikpapan, and Enrekang Botanical Gardens. Detection and identification was conducted by serological method using ORSV specific antisera, followed by RT-PCR and DNA sequencing. The serological test showed that 5 samples gave positive reaction against ORSV antiserum, i.e. Phalaenopsis amboinensis (KRB2) and Phalaenopsis amabilis (KRB12) from Bogor Botanical Garden, Phalaenopsis amabilis (KRP18) and Dendrobium salacence (KRP20) from Purwodadi Botanical Garden, dan Phalaenopsis modesta J. J. Sm. (KRBp5) from Balikpapan Botanical Garden. RT-PCR of the 5 samples using specific primer of ORSV coat protein gene was successfully amplified fragment DNA with size ± 474 bp. Homology analysis of those 5 ORSV isolates showed the highest index similiarity of 99.8% with corresponding

    Volume 13, Nomor 1, Januari 2017Halaman 1–8

    DOI: 10.14692/jfi.13.1.1–8

  • J Fitopatol Indones Mahfut et al

    2

    sequences from 14 other ORSV isolates. Phylogenetic analysis indicated that ORSV KRB2 and KRP18 isolates was clustered in a separate group far from ORSV isolates in other countries. This is the first report of ORSV infection on native orchids collection from 5 botanical gardens in Indonesia.

    Key words: homology, phylogenetic analysis, RT-PCR, serology

    PENDAHULUAN

    Anggrek asli memiliki peran penting sebagai induk persilangan dalam pemuliaan tanaman yang bertujuan memperluas keragaman genetika bentuk dan warna bunga yang unik, frekuensi berbunga yang tinggi, dan tahan terhadap patogen serta cekaman lingkungan. Serangan hama penyakit menjadi salah satu kendala dalam budi daya dan pengembangan potensi anggrek. Anggrek dilaporkan dapat terinfeksi 50 jenis virus (Zettler et al. 1990; Chang et al. 2005; Navalinskiene et al. 2005). Beberapa virus yang dilaporkan menginfeksi anggrek dan memiliki penyebaran luas di Indonesia ialah Odontoglossum ringspot virus (ORSV) (Inouye dan Gara 1996; Isnawati 2009; Syahierah 2010; Lakani et al. 2010; Kumalawati et al. 2011; Mahfut et al. 2016), Cymbidum mosaic virus (CymMV) (Inouye dan Gara 1996; Menisa 2009; Kumalawati et al. 2011; Lakani 2011), Cucumber mosaic virus (CMV) dan Potyvirus (Lakani 2011). ORSV merupakan virus yang dominan menginfeksi pertanaman anggrek di dunia (Ali et al. 2014; Sudha dan Rani 2015).

    Infeksi virus pada tanaman anggrek menyebabkan penurunan vigor tanaman dan kualitas bunga (Koh et al. 2014; Sudha dan Rani 2015). ORSV menyebabkan kerugian secara ekonomi akibat menurunnya kualitas bunga di Florida, Hawai, India, Taiwan, Thailand, Singapura, dan Australia (Zettler et al. 1990; Hu et al. 1993; Wong et al. 1994; Barry et al. 1996; Chang et al. 1996; Sherpa et al. 2006; Khentry et al. 2006; Chang 2008; Ali et al. 2014).

    Berdasarkan survei pada 5 kebun raya (KR) di Indonesia, yaitu; KR Bogor (Jawa Barat), KR Cibodas (Jawa Barat), KR Purwodadi (Jawa Timur), KR Balikpapan (Kalimantan Timur), dan KR Enrekang (Makasar) selama

    tahun 2010-2014 banyak dijumpai anggrek asli dengan gejala terinfeksi virus yang diduga disebabkan oleh ORSV. Penelitian ini bertujuan mendeteksi dan mengidentifikasi ORSV untuk pemutakhiran status kesehatan anggrek asli koleksi kebun raya di Indonesia. Penerapan hasil penelitian ini menjadi salah satu upaya potensial pendukung konsep konservasi anggrek asli di Indonesia melalui upaya perlindungan tanaman.

    BAHAN DAN METODE

    Deteksi Protein dengan secara SerologiDeteksi serologi untuk menentukan

    insidensi infeksi virus menggunakan metode DAS-ELISA terhadap 44 total sampel daun anggrek (dari 27 genus) paling representatif berdasarkan pada gejala infeksi dari masing-masing lokasi. ELISA menggunakan antiserum spesifik ORSV sesuai dengan protokol yang direkomendasikan pembuat antiserum (Agdia Inc.). Pewarnaan dengan substrat PNP dibaca menggunakan ELISA-reader (BioTek) padapanjang gelombang 405 nm. Sampel dinyatakan positif apabila nilai absorbansinya mendekati nilai kontrol positif atau paling tidak 2–3 kali nilai absorbansi bufer kontrol (Daryono dan Natsuaki 2009).

    Deteksi Asam Nukleat dengan RT-PCRIsolasi RNA dilakukan pada sampel

    positif terinfeksi ORSV secara ELISA, menggunakan total RNA isolation kit dan dilakukan sesuai dengan protokol (SBS Genetech Co., Ltd., China). Amplifikasi RNA dengan RT-PCR dilakukan dengan metode terpisah menggunakan primer spesifik, yaitu ORSV CP-F1(5’-ATGTCTTACACTATTACAGACCCG-3’) dan ORSV CP-R1 (5’-GGAAGAGGTCCAA GTAAGTCC-3’) (Lee dan Chang 2006).

  • J Fitopatol Indones Mahfut et al

    3

    Tahap reverse transcription (RT) dilakukan dengan first strand cDNA synthesis kit (Thermo Scientific, USA), selanjutnya cDNA yang terbentuk digunakan sebagai cetakan dalam tahap PCR menggunakan GoTaq Green Master Mix (Promega, USA). Reaksi RT dilakukan pada suhu 37 °C selama 60 menit, dilanjutkan dengan inkubasi pada suhu 96 °Cselama 5 menit dan diakhiri pada suhu 4 °C. Amplifikasi cDNA diawali dengan tahap pre-denaturasi pada suhu 95 °C selama 5 menit,dilanjutkan dengan 34 siklus, meliputi denaturasi pada suhu 95 °C selama 30 detik, aneling pada suhu 50 °C selama 45 detik, dan ekstensi pada suhu 70 °C selama 1 menit.

    Produk PCR dianalisis menggunakan elektroforesis pada gel agarosa 2% dalam bufer TBE 1× menggunakan voltase 50 Volt selama 40 menit. Gel agarosa direndam dalam etidium bromida (10 µL 100 mL-1) selama 30 menit. Pita DNA divisualisasi pada transluminator UV (Bio-Rad Transilluminator 2000) dan didokumentasikan.

    Perunutan DNA dan Analisis FilogenetikaDNA hasil amplifikasi dirunut sikuen

    nukleotidanya dengan mengirimkan DNA ke FirstBase, Malaysia. Sikuen nukleotida dianalisis dan digabungkan dengan peranti lunak Suite for Sequence Analysis DNASTAR Lasergene DM Version 3.0.25. Analisis penyejajaran sikuen nukleotida ORSV isolat dari Indonesia dilakukan terhadap sikuen yang terdaftar di GenBank menggunakan basic local alignment search tool (BLAST) (www.ncbi.nlm.nih.gov). Seleksi berdasarkan distribusi daerah terpilih diperoleh 4 isolat ORSV terdaftar asal Indonesia dan 10 isolat ORSV asal dari negara lain (Singapura, Cina, India, Jerman, Korea Selatan, Argentina, dan Brazil). Isolat TMV-Yunnan digunakan sebagai pembanding di luar grup (outgrup).

    Analisis filogenetika dilakukan dengan menggunakan peranti lunak molecular evolutionary genetics analysis (MEGA) versi 5 Beta) dengan metode neighbor joining (NJ) dan Kimura-2 parameter model untuk estimasi jarak. Nilai bootstrap yang digunakan ialah sebanyak 1000 kali pengulangan.

    HASILDeteksi Virus

    Hasil deteksi serologi menunjukkan insidensi infeksi virus sebesar 11.4%. Sebanyak 5 sampel bereaksi positif terhadap antiserum ORSV dengan rerata nilai absorbansi berkisar 1.125–1.152, yaitu 2 sampel berasal dari KR Bogor (KRB2, KRB12), 2 sampel dari KR Purwodadi (KRP18, KRP20), dan 1 sampel dari KR Balikpapan (KRBp5). Dari keseluruhan sampel anggrek yang positif tersebut, 4 di antaranya merupakan Phalaenopsis sp. Sampel daun positif yang terinfeksi ORSV ialah pada Phalaenopsis amboinensis (KRB2), Phalaenopsis amabilis (KRB12), Phalaenopsis amabilis (KRP18), Dendrobium salacence (KRP20), dan Phalaenopsis modesta J. J. Sm. (KRBp5). RT-PCR pada 5 sampel positif ORSV menunjukkan adanya fragmen DNA berukuran ± 474 pb (Gambar 1).

    Analisis Sikuen NukleotidaTotal nukleotida gen CP isolat ORSV-

    KRB2, KRB12, KRP18, KRP20, dan KRBp5 berukuran 474–480 nukleotida. Analisis BLAST terhadap masing-masing isolat menunjukkan bahwa 5 isolat tersebut memiliki homologi sebesar 99% dengan isolat ORSV dari negara Asia, Afrika, Amerika, dan Eropa. Hasil analisis 14 isolat ORSV lain menunjukkan homologi sampai dengan 99.8% dengan isolat ORSV asal kebun raya di Indonesia (Tabel 1).

    Pohon Filogenetika Gen CP ORSVHasil penyejajaran sikeun nukleotida

    menunjukkan adanya mutasi titik berupa substitusi dan insersi pada isolat ORSV di Indonesia. Isolat KRP18 dan KRB12 mengalami kejadian mutasi terbanyak, yaitu transisi dan insersi masing-masing 2 kali sehingga kedua isolat ini terpisah dengan isolat Indonesia lainnya. Efek mutasi yang terjadi mampu menyebabkan perubahan pada triplet kodon penyandi asam amino. Isolat KRP18 menunjukkan perbedaan pada frekuensi asam amino Gly dan Val yang mengalami penurunan masing-masing 4.7% dan 3.6% serta peningkatan pada Cys dan

    http://www.ncbi.nlm.nih.gov

  • J Fitopatol Indones Mahfut et al

    4

    Asn sebesar 7.1% dan 11.8%. Berbeda dengan isolat KRB12 yang mengalami peningkatan pada asam amino Gly dan Ala sebesar 7.2% dan 5.9%, serta penurunan pada Pro 0.8% dan Tyr 4.7% (Tabel 2). Pada sikeun nukleotida gen CP isolat ORSV dalam penelitian ini tidak ditemukan adanya delesi.

    Analisis filogenetika menunjukkan bahwa 5 isolat ORSV asal KR di Indonesia memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat. Hasil analisis pohon filogenetika membagi isolat ORSV menjadi dua kelompok utama, yaitu kelompok isolat Jerman yang terpisah dengan kelompok 18 isolat lainnya. Kelompok ini terbagi menjadi 3 subgrup, yaitu 4 isolat Indonesia yang telah terdaftar di Genbank, 3 isolat kebun raya (Bogor, Balikpapan, dan Purwodadi) dengan 10 isolat dari negara lain, serta 2 isolat KRB2 dan KRP18. Isolat KRB2 dan KRP18 terpisah dari isolat ORSV asal negara lain (Gambar 2). Walaupun keseluruhan isolat membentuk beberapa kelompok, namun kekerabatan antarisolat masih sangat dekat. Hal ini terlihat pada pohon filogenetika tersebut hanya membentuk subgrup.

    PEMBAHASAN

    Upaya pemeliharaan anggrek sebaiknya dilakukan secara rutin untuk pemantauan

    perkembangan dan penyebaran penyakit virus serta tindakan pengendaliannya sedini mungkin. Meskipun insidensinya masih rendah, yaitu

  • J Fitopatol IndonesM

    ahfut et al5

    No Asal Isolat No.Aksesi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 201 Indonesia-KRB2 - 100 ID2 Indonesia-KRB12 - 99.5 100 ID3 Indonesia-KRP18 - 97.9 98.7 100 ID4 Indonesia-KRP20 - 99.4 98.9 98.3 100 ID5 Indonesia-KRBp5 - 99.8 98.7 98.1 99.6 100 ID6 Indonesia-Bogor AB693989 96.6 96.6 96.0 96.6 96.6 100 ID7 Indonesia-Cipanas AB693991 98.7 99.4 98.7 99.2 98.9 97.3 100 ID

    8 Indonesia-Gunung Sindur AB693988 98.7 99.4 96.6 99.2 98.9 100 95.1 100 ID

    9 Indonesia-Jakarta AB693990 96.6 97.3 98.7 97.0 96.8 97.9 97.9 96.8 100 ID10 Singapura U34586 98.7 99.4 98.9 99.2 98.9 99.6 99.6 97.5 97.0 100 ID11 India AJ564563 98.9 99.6 98.5 99.4 99.2 99.8 99.8 97.7 99.8 96.8 100 ID12 Jepang X55295 98.5 99.2 98.3 98.9 98.7 99.4 99.4 97.3 99.4 99.6 96.6 100 ID13 Korea Selatan AJ606107 98.3 98.9 98.3 98.7 99.5 99.2 99.2 97.0 99.2 99.4 98.9 96.6 100 ID14 Cina KP137373 98.5 99.2 98.5 98.8 98.7 99.4 99.4 97.3 99.4 99.6 99.2 98.9 97.0 100 ID15 Taiwan JN584484 98.9 99.6 98.9 99.4 99.2 99.8 99.8 97.7 99.8 100 99.6 99.4 99.6 97.0 100 ID16 Amerika U89894 98.9 99.6 98.9 99.4 99.2 99.8 99.8 97.7 99.8 100 99.6 99.4 99.6 100 94.3 100 ID17 Jerman AJ429091 96.2 96.8 96.2 96.6 96.4 97.0 97.0 94.9 97.0 97.3 98.8 99.6 99.8 97.3 97.3 96.7 100 ID18 Argentina KT733673 97.4 98.0 97.7 98.0 97.7 98.4 98.4 95.1 98.4 98.7 98.4 98.4 98.4 98.7 98.7 94.8 84.3 100 ID19 Brazil AF515606 86.0 86.5 85.9 86.2 86.2 86.8 86.8 84.7 86.8 87.0 86.6 86.8 86.6 87.0 87.0 84.3 98.4 96.6 100 ID20 TMV-Yunnan AAM64218.1 68.2 68.2 67.9 67.7 67.7 67.7 67.7 66.5 67.9 67.9 66.7 68.4 68.4 67.9 97.9 67.3 67.7 61.4 100 100

    Tabel 1 Tingkat homologi nukleotida gen CP 5 isolat ORSV asal anggrek asli Indonesia dibandingkan dengan isolat dari negara lain

    Tingkat homologi nukleotidagen CP ORSVasal anggrek alam Indonesia dihitung menggunakan Program DNASTAR Lasergene DM Version 3.0.25

    Asal Isolat Frekuensi Asam Amino (%)Ala Cys Asp Glu Phe Gly His Ile Lys Leu Met Asn Pro Gln Arg Ser Thr Val Trp Tyr TotalKRB2 4.40 4.40 2.20 0.00 5.49 5.49 0.00 2.20 1.10 8.79 1.10 9.89 5.49 5.49 4.40 18.68 7.69 4.40 1.10 7.69 91KRB12 5.43 4.35 2.17 0.00 6.52 6.53 0.00 2.17 1.09 8.70 1.09 9.78 4.29 5.43 4.35 17.39 6.52 4.35 1.09 7.61 92KRP18KRP20

    5.434.44

    6.524.44

    2.172.22

    0.000.00

    6.526.67

    4.355.56

    0.000.00

    2.172.22

    1.091.11

    8.708.89

    1.091.11

    10.8710.00

    5.435.56

    5.435.56

    4.354.44

    17.3918.89

    6.526.67

    3.263.33

    1.091.11

    7.617.78

    9290

    KRBp5 4.40 4.40 2.20 0.00 5.49 5.49 0.00 2.20 1.10 8.79 1.10 9.89 5.49 5.49 4.40 18.68 7.69 4.40 1.10 7.69 91

    Tabel 2 Frekuensi asam amino gen CP ORSV asal anggrek asli Indonesia

  • J Fitopatol Indones Mahfut et al

    6

    kesalahan yang terjadi selama proses replikasi genom. Namun dengan ukuran genom virus yang relatif kecil maka adanya sedikit kesalahan akan memberikan pengaruh laju mutasi secara nyata. Laju mutasi akan menghasilkan variasi genetika virus sehingga meningkatkan probabilitas evolusi lebih cepat. Cabang yang cukup panjang pada isolat KRB2 dan KRP18 juga mengindikasikan bahwa virus telah berevolusi, bahkan dapat mengarah terjadinya spesiasi.

    ORSV Indonesia diduga berasal dari negara Jerman. BPPP (2005) mencatat Jerman menduduki peringkat 14 sebagai negara yang mengirim benih dan tanaman anggrek ke Indonesia sejak 1997–2001, selain Amerika Serikat, Brazil, India, Singapura, Korea Selatan, Cina, Jepang, Taiwan, dan beberapa negara Asia Barat. Hal ini diperkuat oleh laporan adanya infeksi ORSV di Jerman, Amerika Serikat, Jepang (Lawson 1990), Brazil (Freitas et al. 1999), India (Sherpa et al. 2006), Singapura (Wong et al. 1994). Taiwan (Chang 2008), Korea (Chang et al.

    1991), Cina (Rao et al. 2015), dan Taiwan (Zheng et al. 2008). Berdasarkan hal tersebut, cara lain yang efektif untuk melindungi dan mempertahankan status kesehatan anggrek asli di Indonesia ialah dengan membatasi dan mengontrol impor anggrek dari negara lain.

    UCAPAN TERIMAKASIH

    Penelitian ini dibiayai oleh Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat (DRPM), Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Tahun Anggaran 2016, melalui Surat Penugasan Penelitian Hibah Disertasi Doktor Nomor 89/UN26/8/LPPM/2016, Tanggal 13 April 2016.

    DAFTAR PUSTAKA

    Ali RN, Dann AL, Cross PA, Wilson CR. 2014. Multiplex RT-PCR detection of three common viruses infecting orchids. Arch Virol. 159(11):3095–3099. DOI: https://doi.org/10.1007/s00705-014-2161-9.

    Gambar 2 Pohon filogenetika isolat ORSV berdasarkan sikuen nukleotida gen CP 4 isolat dari Indonesia dibandingkan dengan isolat dari negara lain. TMV-Yunnan digunakan sebagai pembanding luar grup

    Gunung-Sindur-AB693988Jakarta-AB693990Cipanas-AB693991Bogor-AB693989Indonesia-KRB12Indonesia-KRBp5Taiwan-JN584484Indonesia-KRP20Brazil-AF515606Jepang-X55295India-AJ564563Amerika-U89894Singapura-U34586Indonesia-KRB2Indonesia-KRP18Cina-KP137373Korea-Selatan-AJ606107Argentina-KT733673Jerman-AJ429091TMV-Yunnan-AAM64218.1

    57

    50

    5158

  • J Fitopatol Indones Mahfut et al

    7

    Barry K, Hu JS, Kuehnle AR, Sughii N. 1996. Sequence analysis and detection using immunocapture-PCR of Cymbidium mosaic virus and Odontoglossum ringspot virus in Hawaiian orchids. J Phytopathol. 144(4):179–186. DOI: https://doi.org/10.1111/j.1439-0434.1996.tb01511.x.

    [BPPP] Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Anggrek. Jakarta (ID): Departemen Pertanian RI.

    Chang CA. 2008. Economically important orchid viruses. How to identify and produce clean orchid plantlets. Orchids. 77(9):668–671.

    Chang C, Chen CY, Hsu YH, Wu JT, Hu CC, Chang WC, Lin NS. 2005. Transgenic resistance to Cymbidium mosaic virus in Dendrobium expressing the viral capsid protein gene. Transgenic Research. 14:41–46. DOI: https://doi.org/10.1007/s11248-004-2373-y.

    Chang CG, Wong SM, Mahtani PH, Loh CS, Goh CJ, Kao MC, Chung MC, Watanabe Y. 1996. The complete sequence of a Singapore isolate of Odontoglossum ringspot virus and comparison with other Tobamoviruses. Gene. 171(2):155–161. DOI: https://doi.org/10.1016/0378-1119(96)00046-7.

    Chang MU, Chun HH, Baek DH, Chung JD. 1991. Studies on the viruses in orchids in Korea. Dendrobium mosaic virus, Odontoglossum ringspot virus, Orchid fleck virus, and unidentified potyvirus. Korean J Plant Pathol. 7:118–129.

    Daryono BS, Natsuaki KT. 2009. Survei virus yang menyerang labu-labuan di Yogyakarta dan Jawa Tengah. J Perlin Tan Indones. 15:83–89.

    Freitas AJ, Rezende JAM, Kitajima EW. 1999. Incidence of orchid viruses in the state of São Paulo, Brazil. Fitopatol Bras. 24(2):125–130.

    Hu JS, Ferreira S, Wang M, Xu MQ. 1993. Detection of Cymbidium mosaic virus, Odontoglossum ringspot virus, Tomato spotted wilt virus, and Potyviruses infecting

    orchids in Hawaii. Plant Dis. 77:464–468. DOI: https://doi.org/10.1094/PD-77-0464.

    Inouye N, Gara, IW. 1996. Detection and identification of viruses of orchid in Indonesia. Bull Res Inst. 4:109–118.

    Isnawati L. 2009. Deteksi dan identifikasi Odontoglossum ringspot virus (ORSV) pada tanaman anggrek [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

    Khentry Y, Paradornuwat A, Tantiwiwat S, Phansiri S, Thaveechai N. 2006. Incidence of Cymbidium mosaic virus and Odontoglossum ringspot virus in Dendrobium spp. in Thailand. Crop Protec. 25(9):926–932. DOI: https://doi.org/10.1016/j.cropro.2005.12.002.

    Koh KW, Lu HC, Chan MT. 2014. Virus resistance in orchids. Plant Sci. 228:26–38.

    D O I : h t t p s : / / d o i . o r g / 1 0 . 1 0 1 6 / j .plantsci.2014.04.015.

    Kumalawati AD, Abdullah S, Setiadi BS, Mahfut. 2011. Study on genetic diversity and convervation of orchids in Wonosadi forest, Gunung Kidul based on molecular analysis. Di dalam: Prosiding International Conference on Biological Science; 2011 Sep 23–24; Yogyakarta (ID): Fakultas Biologi UGM. Hlm. 54.

    Lakani I, Suastika G, Mattjik N, Damayanti TA. 2010. Identification and molecular characterization of Odontoglossum ringspot virus (ORSV) from Bogor, Indonesia. Hayati J Biosci. 17(2):101–104. DOI: https://doi.org/10.4308/hjb.17.2.101.

    Lakani I. 2011. Identifikasi dan karakterisasi beberapa virus yang menginfeksi tanaman anggrek di Pulau Jawa [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

    Lawson RH. 1990. Orchid viruses and their control. Di dalam: Handbook on orchid pest and diseases, AM Pridgeon, LL Tillman, editor. Florida (US): American Orchid Society. West Palm Beach. Hlm 66–101.

    Lee SC, Chang YC. 2006. Multiplex RT-PCR detection of two orchid viruses with an internal control of plant nad5 mRNA.Plant Pathol Bull. 15:187–196.

    http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=Koh KW%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=25438783http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=Lu HC%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=25438783http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=Chan MT%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=25438783http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25438783

  • J Fitopatol Indones Mahfut et al

    8

    Mahfut, Joko T, Daryono BS. 2016. Molecular Characterization of Odontoglossum ringspot virus (ORSV) in Java and Bali, Indonesia. Asian J Plant Pathol. 10(1–2):9-14. DOI: https://doi.org/10.3923/ajppaj.2016.9.14.

    Menisa F. 2009. Deteksi dan identifikasi Cymbidium mosaic virus (CymMV) pada tanaman anggrek [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

    Navalinskiene MJ, Raugalas J, Samuitiene M. 2005. Identification of viruses affecting orchids (Cymbidium Sw.). Biologija. 2:29–34.

    Rao X, Li Y, Sun J, Li X, Li M, Xiang M. 2015. Genetic diversities of Cymbidium mosaic virus and Odontoglossum ringspot virus isolates based on the coat protein genes from orchids in Guangdong Province, China. J Phytopathol. 163(4):324–329. DOI: https://doi.org/10.1111/jph.12285.

    Sherpa AR, Bag TK, Hallan V, Zaidi AA. 2006. Detection of Odontoglossum ringspot virus in orchids from Sikkim, India. Australas Plant Pathol. 35(1):69–71. DOI: https://doi.org/10.1071/ap05094.

    Sudha DR, Rani GU. 2015. Detection of Cymbidium mosaic virus (CymMV) on Vanda plants. IJSR. 4(1):374–377.

    Syahierah P. 2010. Respon berbagai jenis anggrek (Orchidaceae) terhadap infeksi Cymbidium mosaic virus (CymMV) dan Odontoglossum ringspot virus (ORSV)[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

    Wong SM, Chng, CG, Lee YH, Tan K, Zettler FW. 1994. Incidence of Cymbidium mosaic and Odontoglossum ringspot viruses and their significance in orchid cultivation in Singapore. Crop Protec. 13(3):235–239. DOI: https://doi.org/10.1016/0261-2194(94)90084-1.

    Zettler FW, KoNJ, WislerGC, ElliotMS, WongSM. 1990. Viruses of orchids and their control. Plant Dis. 74:621–626. DOI: https://doi.org/10.1094/PD-74-0621.

    Zheng YX, Chen CC, Chen YK, Jan FJ. 2008. Identification and characterization of a potyvirus causing chlorotic spots on Phalaenopsis orchids. Eur J Plant Pathol. 121(1):87–95. DOI: https://doi.org/10.1007/s10658-008-9281-6.

  • ISSN: 0215-7950

    9

    Volume 13, Nomor 1, Januari 2017Halaman 9–16

    DOI: 10.14692/jfi.13.1.9–16

    *Alamat penulis korespondensi: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Jalan Kamper Kampus IPB Darmaga Bogor 16680.Telp: 0251-8629364, Faks: 0251-862362, surel: [email protected]

    Keragaman Morfologi, Genetika, dan Patogenisitas Colletotrichum acutatum Penyebab Antraknosa Cabai

    di Jawa dan Sumatera

    Morphology, Genetic, and Pathogenicity Variability of Coletotrichum acutatum The Causal Agent of Anthracnose on Chilli

    in Java and Sumatera

    Roy Ibrahim, Sri Hendrastuti Hidayat, Widodo*Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680

    ABSTRAK

    Colletotrichum acutatum dikenal sebagai agens penyebab utama penyakit antraknosa cabai di Indonesia. Penelitian ini bertujuan menetukan variabilitas genetika C. acutatum di Jawa dan Sumatera berdasarkan karakter morfologi dan molekul, serta untuk mengevaluasi patogenisitas beberapa isolat. Pengamatan karakter morfologi meliputi warna dan pertumbuhan setiap koloni, serta bentuk dan ukuran konidium. Identifikasi molekuler melalui amplifikasi DNA menggunakan primer spesifik untuk C. acutatum, yaitu CaInt2/ITS4 dan analisis sikuen. Uji patogenesitas di laboratorium untuk setiap isolat dilakukan terhadap Capsicum annuum dan C. frutescens. Keragaman morfologi diamati pada 40 isolat C. acutatum. Sebagian besar isolat memiliki koloni putih/krem, bentuk konidium fusiform dengan panjang rata-rata 6.11–9.73 µm dan lebar 2.24–2.73 µm. Uji patogenisitas 3 isolat C. acutatum menunjukkan variasi dari sedang sampai tinggi berdasarkan ukuran lesio pada cabai. Berdasarkan perunutan DNA 8 isolat C. acutatum dari Jawa dan Sumatera memiliki homologi yang tinggi.

    Kata kunci: amplifikasi DNA, analisis sikuens, konidium, warna koloni

    ABSTRACT

    Colletotrichum acutatum is known as the major causal agents of anthracnose disease of chilli pepper in Indonesia. This research was aimed to study genetic variability of C. acutatum in Java and Sumatera based on morphological and molecular characteristics and to evaluate pathogenicity of several isolates. Observation on morphological characteristics involved colour and growth of each colony as well as shape and size of conidia. Molecular identification was performed by DNA amplification using specific primer for C. acutatum, i.e. CaInt2/ITS4 followed by sequencing and nucleotide sequence analysis. Pathogenicity test for each isolate on Capsicum annuum and C. frutescens was conducted in the laboratory using detached chilli. Morphology variability was observed from 40 isolates of C. acutatum. Most of the isolates have white/beige colonies with fusiform conidia of 6.11–9.73 µm in length and 2.24 –2.73 µm in width. Pathogenicity of 3 C. acutatum isolates varies from moderate to high based on lesions size on infected chilli. Sequence analysis of 8 C. acutatum isolates indicated high homology among isolates from Java and Sumatera.

    Key words: colour of colony, conidium, DNA amplification, sequence analysis

  • J Fitopatol Indones Ibrahim et al

    10

    PENDAHULUAN

    Cabai merupakan salah satu komoditas sayuran yang bernilai ekonomi tinggi di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik produktivitas cabai nasional Indonesia tahun 2015 ialah 8.65 ton ha-1 (BPS 2015). Syukur et al. (2010) menyatakan bahwa produktivitas cabai mampu mencapai 13.11 ton ha-1. Hal ini menandakan bahwa produktivitas cabai di Indonesia masih di bawah potensi yang seharusnya. Salah satu faktor pembatas keberhasilan budi daya cabai ialah adanya gangguan hama dan penyakit.

    Antraknosa merupakan penyakit utama dan dapat menurunkan hasil antara 20% dan 90% (Balitbangtan 2016). Antraknosa pada cabai dapat disebabkan oleh beberapa spesies cendawan Colletotrichum antara lain C. acutatum, C. capsici, C. coccodes, C. dematium, dan C. gloeosporioides (Park et al. 1990; Johnston dan Jones 1997; Kim et al. 1999; Sharma et al. 2005; Kim et al. 2007). Spesies C. acutatum adalah jenis yang paling dominan di Asia (AVRDC 2009).

    Identifikasi spesies Colletotrichum dapat dilakukan secara morfologi, yaitu berdasarkan warna koloni, diameter koloni, bentuk konidium, dan ukuran konidium (Smith dan Black 1990; Than et al. 2008). Metode polymerase chain reaction (PCR) dan analisis sikuen nukleotida semakin banyak digunakan dalam proses identifikasi cendawan. PCR-RAPD digunakan untuk membedakan C. capsici dan C. gloeosporioides penyebab antraknosa pada cabai di Thailand (Ratanacherdchai et al. 2007) dan penanda molekul 23032/1 serta 28487 untuk membedakan C. acutatum yang memiliki kesamaan warna koloni (Johnston dan Jones 1997).

    Walaupun demikian, karakter morfologi masih tetap diperlukan untuk mempelajari keragaman suatu spesies cendawan. Penelitian ini bertujuan mendapatkan data informasi keragaman genetika C. acutatum berdasarkan karakter morfologi maupun molekuler dan mengetahui tingkat patogenisitas cendawan tersebut.

    BAHAN DAN METODE

    Sampel Buah CabaiSampel buah cabai yang terinfeksi

    antraknosa diambil dari pertanaman cabai di 12 kabupaten: Mandailing Natal (MN) (Sumatera Utara); Tanah Datar (TD), Payakumbuh (PYK), Agam (AGM) (Sumatera Barat); Kampar (KMP) (Riau); Bogor (BGR), Cianjur (CJR), Bandung Barat (BDG) (Jawa Barat); Brebes (BRB), Tegal (TGL) (Jawa Tengah); Blitar (BTR) (Jawa Timur); dan Bangli (BL) (Bali). Pengambilan sampel buah yang sakit dilakukan dengan metode purposive sampling.Sampel buah disimpan dalam kantong plastik secara terpisah dan dimasukkan ke dalam kotak penyimpanan sampel.

    Isolasi C. acutatum dari Buah CabaiIsolasi cendawan dari buah cabai terinfeksi

    dilakukan dengan mengambil biji dari masing-masing buah kemudian biji ditanam pada medium agar-agar dekstrosa kentang (ADK) yang sudah diberi asam laktat 20%, selanjutnya diinkubasi pada suhu 25 °C. Pemurnian isolat cendawan dilakukan dengan metode spora tunggal (Choi et al. 1999). Sebanyak 7 biakan C. acutatum koleksi Klinik Tanaman dari beberapa kabupaten digunakan sebagai bahan pembanding penelitian, yaitu isolat-isolat asal Tanggamus (TGM) (Lampung); Garut (HGP) (Jawa Barat); Semarang (SMG) (Jawa Tengah), dan Mojokerto (MJK), Kediri (KD) (Jawa Timur).

    Identifikasi Morfologi C. acutatumIdentifikasi morfologi cendawan dilakukan

    pada 10 hari setelah isolasi (HSI). Pengamatan makroskopi dilakukan terhadap warna koloni tampak atas dan bawah, serta diameter koloni pada medium ADK. Pengamatan mikroskopis meliputi bentuk, panjang, dan lebar konidium yang dipilih secara acak sebanyak 20 konidium (Than et al. 2008) untuk masing-masing isolat. Data pengamatan mikroskopis diolah menggunakan metode statistika analisis tabulasi silang dan uji lanjut chi-squere pada taraf 5% dengan software tpsDig2.

    http://www.litbang.pertanian.go.id/unker/one/300/

  • J Fitopatol Indones Ibrahim et al

    11

    Identifikasi Molekuler C. acutatumBiakan C. acutatum berumur 10 hari

    diambil sebanyak 3 potong koloni (diameter ± 5 mm) menggunakan cork borer, kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 mL berisi medium cair dekstrosa kentang dan diinkubasi selama 7 hari pada suhu ruang. Miselium cendawan diambil dengan filtrasi vakum dan dicuci dengan akuades steril, selanjutnya dikeringanginkan. Ekstraksi DNA total mengikuti prosedur Sambrook et al. (1989) yang telah dimodifikasi. Sebanyak 0.2 gmiselium digerus dengan nitrogen cair dan ditambahkan 1 mL bufer ekstrak dan 10 μL β-mercapto-ethanol. Suspensi dimasukkan ke dalam tabung mikro, lalu diinkubasi dengan cara diapungkan pada penangas pada suhu 65 °C selama 30 menit, selanjutnya ditambahkan 750 μL kloroform:isoamilalkohol (C:I) (24:1). Campuran tersebut disentrifugasi selama 10 menit pada kecepatan 11 000 rpm. Supernatan yang diperoleh dipindahkan ke tabung mikro baru dan ditambahkan 1000 μL isopropanol. Campuran tersebut diinkubasi selama 16 jam pada suhu 4 °C dan disentrifugasi pada kecepatan 12 000 rpm. Benang DNA yang diperoleh disentrifugasi selama 10 menit. Supernatan dibuang dan pelet dicuci dengan etanol 70%. Etanol dibuang dan pelet dikeringanginkan, selanjutnya diresuspensi dalam 100 μL bufer TE dan disimpan pada suhu -20 °C.

    Amplifikasi dilakukan menggunakanprimer spesifik CaInt2 (5’-GGGG AAGCCTCTCGCGG-3’) dan ITS4 (5’-TCCTCCGCTTATTGATATGC-3’) dengan ukuran target ±490 pb. Reaksi amplifikasi DNA dilakukan dengan volume total 25 μL terdiri atas 2 μL DNA, 2.5 μL bufer 10x dan Mg2+, 0.5 μL dNTP 10 mM, 1 μL masing-masing primer, 0.2 μL Taq DNA (5 unit μL-1), dan 17.8 μL H2O. Amplifikasi didahului dengan denaturasi awal pada 94 °Cselama 5 menit, diikuti 30 siklus dengan tahapan denaturasi pada 94 °C selama 1 menit, penempelan primer 45 °C selama 1 menit, sintesis DNA 72 °C selama 2 menit.

    Hasil amplifikasi dianalisis dengan elektroforesis pada gel agarosa 1%. Gel di rendam dalam larutan etidium bromida selama

    15 menit, dilanjutkan dengan pembilasan di dalam air selama 10 menit. Hasil elektroforesis divisualisasikan dengan UV transiluminator dan didokumentasikan.

    Perunutan nukleotida dilakukan dengan mengirim produk amplifikasi ke PT Genetika Science Indonesia. Hasil perunutan nukleotida dibandingkan dengan data pada GenBank. Data yang berasal dari GenBank kemudian digunakan untuk analisis kesamaan menggunakan perangkat lunak BioEdit v.7.1.3. Hubungan kekerabatan antarisolat dikonstruksi menggunakan program MEGA v.6.06 berdasarkan algoritma Neighbor Joining dengan bootstrap 1000 kali.

    Uji Patogenisitas C. acutatumUji patogenisitas menggunakan buah cabai

    C. annuum varietas Anies dan C. frutescens varietas Bonita yang sudah siap panen. Buah cabai disterilkan permukaannya dengan alkohol 70% selama 1 menit, kloroks 1% selama 1 menit, dan dibilas dengan akuades steril sebanyak 3 kali. Inokulasi cendawan pada permukaan buah dilakukan dengan me-neteskan 5 μL suspensi konidium C. acutatum dengan kerapatan 105 konidium mL-1 pada luka tusukan dengan menggunakan jarum steril. Perlakuan menggunakan 6 buah cabai.

    Buah cabai yang telah diberi perlakuan kemudian diinkubasi dalam wadah tertutup pada kondisi lembap dan suhu 25 °C. Peubah yang diamati ialah rata-rata ukuran lesio dan virulensi yang diukur pada 10 HSI. Skor patogenesitas dari 0–3 seperti pada Tabel 1.

    HASIL

    Isolat C. acutatum dari Buah CabaiSebanyak 42 isolat cendawan berhasil

    diperoleh dari buah cabai yang bergejala

    Skor Ukuran lesio Tingkat virulensi0 Tidak ada Tidak virulen 1 < 3 mm Rendah 2 3–5 mm Sedang3 > 5 mm Tinggi

    Tabel 1 Skor dan kriteria patogenisitas isolat C. acutatum pada buah cabai.

    https://id.wikipedia.org/wiki/Capsicum_frutescens

  • J Fitopatol Indones Ibrahim et al

    12

    antraknosa. Isolat tersebut dan 7 isolat C. acutatum koleksi Klinik Tanaman diidentifikasi secara molekuler dengan metode PCR.

    Penggunaan primer spesifik C. acutatum CaInt2/ITS4 pada isolat yang diuji me-nunjukkan adanya amplifikasi DNA pada 40 isolat dengan ukuran pita ± 490 pb, sedangkan pada 9 isolat lainnya tidak teramplifikasi (Gambar 1). Isolat koleksi Klinik Tanaman yang digunakan sebagai bahan pembanding menghasilkan pita DNA yang sama dengan ukuran pita ± 490 pb.

    Identifikasi morfologi dilakukan terhadap40 isolat C. acutatum yang telah diidentifikasi secara molekuler sebelumnya menunjukkan variasi warna yang cukup beragam. Tampak atas koloni berwarna putih dan abu-abu sedangkan tampak bawah berwarna krem, putih, peach, olive (Gambar 2). Sebanyak

    52.5% koloni yang tumbuh berwarna putih/krem untuk tampak atas/bawah (Gambar 3).

    Analisis tabulasi silang menunjukkan diameter koloni berkaitan nyata dengan warna koloni C. acutatum (Tabel 2). Koloni yang berwarna putih/krem memiliki pertumbuhan lebih cepat dibandingkan dengan koloni lainnya. Konidium dari 40 isolat pada umumnya berbentuk fusiform dengan ukuran rata-rata 6.11–9.73 µm × 2.24–2.73 µm.

    Filogenetikaa C. acutatumSebanyak 8 isolat, yaitu AGM 1535, BGR

    1602, BRB 07, KMP 1531, MN 1582, SMG 136, TGM 1101, BL 1603 dipilih untuk analisis filogenetika berdasarkan pada asal isolat (provinsi), warna dan diameter koloni. Isolat dari berbagai daerah di Jawa dan Sumatera membentuk satu kelompok (Gambar 4).

    Gambar 1 Visualisasi pita DNA isolat-isolat Colletotrichum acutatum asal cabai hasil amplifikasi menggunakan pasangan primer CaInt2/ITS4. M, penanda DNA 1 kb ladder; K-, kontrol negatif; 1, AGM 1533; 2, BDG 1524; 3, BDG 1525; 4, HGP CA; 5, KMP 1531; 6, SMG 136; 7, SMG 137; 8, TD 1532; 9, TD 1534 dan; 10, TGM 1101.

    490 pb

    Gambar 2 Variasi warna koloni Colletotrichum acutatum penyebab antraknosa cabai tampak atas/bawah. A, putih/krem; B, putih/putih; C, putih/peach; D, putih/olive; E, abu-abu/peach; dan F, abu-abu/olive.

    A B C D E F

  • J Fitopatol Indones Ibrahim et al

    13

    Patogenisitas C. acutatumIsolat dari Kabupaten Kampar, Riau

    (KMP 1531), Kabupaten Tanggamus, Lampung (TGM 1101), dan Kabupaten Brebes, Jawa Tengah (BRB 07) dipilih untuk

    uji patogenisitas. Pemilihan 3 isolat tersebut berdasarkan pada tempat asal isolat yang berbeda ketinggiannya. Inokulasi 3 isolat C. acutatum pada 2 spesies cabai menghasilkan ukuran lesio berkisar antara 3.66 mm dan

    Gambar 3 Frekuensi jumlah koloni Colletotrichum acutatum berdasarkan ukuran diameter dan warna koloni. A, putih/ krem; B, putih/putih; C, putih/peach; D, putih/olive; E, abu-abu/peach; dan F, abu-abu/olive. < 49 mm; , 49–59 mm; , > 59 mm.

    1614121086420

    Dia

    met

    er k

    olon

    i

    A B C D E FWarna koloni

    Gambar 4 Pohon filogenetika Colletotrichum acutatum dari berbagai daerah di Jawa dan Sumatera, yaitu BRB 07, KMP 1531, AGM 1535, MN 1582, SMG 136, BGR 1602, BL 1603, TGM 1101, dan beberapa negara di Asia (Thailand, Korea , India, China, dan Jepang). C. capsici (Cc_CHN_EF683602) digunakan sebagai pembanding di luar grup.

    Diameter koloni (mm) Warna koloni (atas/bawah)a X2 PbA B C D E F59 15 4 3 1 0 0

    Tabel 2 Analisis tabulasi silang antara diameter koloni dan warna koloni Colletotrichum acutatum

    a A, putih/krem; B, putih/putih; C, putih/peach; D, putih/olive; E, abu-abu/peach; F, abu-abu/olive.b Nilai P< 0.05 menunjukkan ada hubungan antara diameter koloni dan warna koloni.

  • J Fitopatol Indones Ibrahim et al

    14

    19.08 mm dengan tingkat virulensi sedang dan tinggi (Tabel 3). Isolat asal Kabupaten Brebes (BRB 07) menghasilkan ukuran lesio terbesar pada kedua spesies cabai, diikuti oleh isolat asal Kabupaten Tanggamus (TGM 1101) dan isolat asal Kabupaten Kampar (KMP 1531).

    PEMBAHASAN

    Penyakit antraknosa pada cabai menjadi masalah utama sehingga menyebabkan rendahnya produksi cabai di Indonesia. Ke-ragaman morfologi telah banyak dilaporkan di antaranya cendawan C. acutatum memiliki warna koloni putih, merah muda, oranye muda sampai abu-abu (Peres et al. 2005). Than et al. (2008) membandingkan tingkat pertumbuhan 3 spesies Colletotrichum yang menginfeksi cabai, pertumbuhan C. gloesporioides ialah 11.2 mm per hari, C. capsici 7.1 mm per hari, dan C. acutatum 5.8 mm per hari. Analisis keragaman genetika cendawan penyebab penyakit antraknosa tidak cukup hanya didasarkan pada karakter morfologi. Karakter molekuler seperti sikuen DNA, merupakan indikator yang akurat. Penggunaan primer spesifik C. acutatum telah banyak digunakan untuk mengetahui keragaman secara genetika. Primer spesifik C. acutatum menggunakan forward primer CaInt2, CgInt dan reverse primer ITS4 dapat membedakan spesies C. acutatum dan C. gloeosporioides yang sukar dibedakan secara morfologi (Grahovac et al. 2012). Sepasang primer spesifik juga digunakan untuk mengamplifikasi DNA C. acutatum di Inggris dengan produk sebesar 490 pb (Sreenivasaprasad 1996).

    Pertumbuhan koloni C. acutatum tergolong lambat, dengan pertambahan diameter koloni berkisar 3.3–7.0 mm per hari. Martin dan Garcia-Figueres (1999) menyatakan bahwa tingkat pertumbuhan C. acutatum relatif lebih lambat (6.3 mm per hari) dibandingkan dengan C. gloesporioides (13.7 mm per hari). Konidium C. acutatum berbentuk elips dan meruncing pada salah satu ujungnya (Peres et al. 2005) dan berukuran 8.5–16.5 μm × 2.5–4 μm (Sutton 1992).

    Analisis filogenetika C. acutatum asal Indonesia memiliki kedekatan dengan isolat asal Thailand. Diduga cendawan ini tersebar ke Indonesia melalui aktivitas impor benih. Thailand merupakan negara eksportir cabai dan paprika terbesar di Asia Tenggara dengan kontribusi sebesar 56.94% pada tahun 2008–2012 (Pusdatin 2015).

    Asal isolat sangat memengaruhi ke-mampuan dari setiap isolat untuk menginfeksi buah cabai. Liao et al. (2012) menyatakan bahwa 3 isolat C. acutatum menghasilkan ukuran lesio yang berbeda-beda pada 3 spesies cabai (C. annuum, C. baccatum, dan C. chinense). Menurut Oh et al. (1999) perbedaan timbulnya gejala dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, isolat patogen, genetika tanaman, cara inokulasi, dan karakteristik atau fisiologi tanaman.

    Pengetahuan terkait keragaman genetika C. acutatum merupakan laporan pertama di Indonesia. Laporan ini sekaligus menambah informasi mengenai karakter morfologi, molekuler, dan patogenesitas C. acutatum. Pengetahuan mengenai keragaman spesies cendawan dan respons varietas serta virulensi

    Tabel 3 Ukuran lesio (mm) dan patogenisitas isolat Colletotrichum acutatum pada 2 spesies cabai

    Isolat Ukuran lesio Tingkat virulensiCapsicum annuum

    KMP 1531 4.91 SedangTGM 1101 3.66 SedangBRB 07 17.00 Tinggi

    Capsicum frutescensKMP 1531 7.33 TinggiTGM 1101 11.91 TinggiBRB 07 19.08 Tinggi

  • J Fitopatol Indones Ibrahim et al

    15

    suatu patogen juga merupakan faktor yang penting dalam pemuliaan tanaman karena akan menentukan perkembangan penyakit.

    DAFTAR PUSTAKA

    [AVRDC] Asian Vegetable Research and Development Center. 2009. Development of Locally Adapted, Multiple Disease Resistant and High Yielding Chilli (Capsicum annuum) Cultivars for China, India, Indonesia, and Thailand Phase II. Taiwan (TW): AVRDC Publication.

    [BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Produksi cabai besar, cabai rawit, dan bawang merah tahun 2014.http://www.bps.go.id/brs/view/id/1168 [diakses 11 Okt 2016].

    [Balitbangtan] Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2016. Pengendalian antraknosa pada tanaman cabai. http://www.litbang.pertanian.go.id/berita/one/2630/[diakses 11 Okt 2016].

    Choi YW, Hyde KD, Ho WH. 1999. Single spore isolation of fungi. Fungal Divers. 3:29–38.

    Grahovac M, Indic D, Vukovic S, Hrustc J, Gvozdenac S, Mihajlovic M, Tanovic B. 2012. Morphological and ecological features as differentiation criteria for Colletotrichum species. Zemdirbyste Agriculture. 99(21):89–196.

    Johnston PR, Jones D. 1997. Relationships among Colletotrichum isolates from fruit-rots assessed using rDNA sequences. Mycologia. 89(3):420–430. DOI: https://doi.org/10.2307/3761036.

    Kim KD, Oh BJ, Yang J. 1999. Differential interaction of a Colletotrichum gloeosporioides isolate with green and red pepper fruits. Pytoparasitica. 27(2):97 –106. DOI: https://doi.org/10.1007/BF03015074.

    Kim SH, Yoon JB, Do JW, Park HG. 2007. Resistance to anthracnose caused by Colletotrichum acutatum in chilli pepper (Capsicum annuum L.). J Crop Sci Biotech. 10(4):277–280.

    Liao CY, Chen MY, Chen YK, Wang TC, Sheu ZM, Kuo KC, Chang PFL, Chung KR, Lee MH. 2012. Characterization

    of three Colletotrichum acutatum isolates from Capsicum spp. Eur J Plant Pathol.133(3):599–608. DOI: https://doi.org/10.1007/s10658-011-9935-7.

    Martin M, Garcia-Figueres F. 1999. Colletotrichum acutatum and Colletotrichum gloeosporioides cause anthracnose on olives. Eur J Plant Pathol. 105(8):733–741. DOI: https://doi.org/10.1023/A:1008785703330.

    Oh BJ, Kim KD, Kim YS. 1999. Effect of cuticular wax layers of green and red pepper fruits on infection by Colletotrichum gloeosporioides. J Phytopathol. 147(9):547–552. DOI: https://doi.org/10.1046/j.1439-0434.1999.00407.x.

    Park H, Kim B, Lee W. 1990. Inheritance of resistance to anthracnose (Colletotrichum spp.) in pepper (Capsicum annuum L.). II. Genetic analysis of resistance to Colletotrichum dematium [abstrak]. J Kor Soc Hort Sci. 31(3):207–212.

    Peres NA, Timmer LW, Adaskaveg JE, Correll JC. 2005. Lifestyles of Colletotrichum acutatum. J Plant Dis. 89(8):784–796. DOI: https://doi.org/10.1094/pd-89-0784.

    [Pusdatin] Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2015. Outlook komoditas pertanian subsektor hortikultura cabai. http://epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/outlook/2015/Hortikultura/Outlook%20Cabai%202015/files/assets/c o m m o n / d o w n l o a d s / O u t l o o k % 2 0Cabai%202015.pdf[diakses 09 Sep 2016].

    Ratanacherdchai K, Wang HK, Lin FC, Soytong K. 2007. RAPD analysis of Colletotrichum species causing chilli anthracnose disease in Thailand. J Agric Technol. 3:211–219.

    Sambrook J, Fritsch EF, Maniatis T. 1989. Molecular Cloning: a Laboratory Manual.Ed ke-3. New York (US): Cold Spring.

    Sharma P, Kaur M, Sharma O, Sharma P, Pathania A. 2005. Morphological, pathological and molecular variability in Colletotrichum capsici, the cause of fruit rot of chillies in the subtropical region of North-Western India. J Phytopathol.153(4):232–237. DOI:https://doi.org/10.1111/j.1439-0434.2005.00959.x.

    http://epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/outlook/2015/Hortikultura/Outlook Cabai 2015/files/assets/common/downloads/Outlook Cabai 2015.pdfhttp://epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/outlook/2015/Hortikultura/Outlook Cabai 2015/files/assets/common/downloads/Outlook Cabai 2015.pdfhttp://epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/outlook/2015/Hortikultura/Outlook Cabai 2015/files/assets/common/downloads/Outlook Cabai 2015.pdfhttp://epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/outlook/2015/Hortikultura/Outlook Cabai 2015/files/assets/common/downloads/Outlook Cabai 2015.pdfhttp://epublikasi.setjen.pertanian.go.id/epublikasi/outlook/2015/Hortikultura/Outlook Cabai 2015/files/assets/common/downloads/Outlook Cabai 2015.pdf

  • J Fitopatol Indones Ibrahim et al

    16

    Smith BJ, Black LL. 1990. Morphological, cultural and pathogenic variation among Colletotrichum species isolated from strawberry. Plant Dis. 74(1):69–76. DOI:https://doi.org/10.1094/PD-74-0069.

    Sreenivasaprasad S, Sharada K, Brown A, Mills P. 1996. PCR based detection of Colletotrichum acutatum on strawberry.Plant Pathol. 45(4):650–655. DOI: https://doi.org/10.1046/j.1365-3059.1996.d01-3.x.

    Sutton BC. 1992. The genus Glomerella and it’s anamorph Colletotrichum. Di dalam: Bailey JA, Jeger MJ, editor. Colletotrichum. Biology, Pathology and

    Control. London (UK):CAB International. Hlm 1–24.

    Syukur M, Sujiprihati S, Yunianti R, Kusumah DA. 2010. Evaluasi daya hasil cabai hibrida dan daya adaptasinya di empat lokasi dalam dua tahun. J Agr Indones. (38)1:43–51.

    Than PP, Jeewon R, Hyde KD, Pongsupasamit S, Mongkolporn O, Taylor PWJ. 2008. Characterization and pathogenicity of Colletotrichum species associated with anthracnose on chilli (Capsicum spp.) in Thailand. Plant Pathol. 57(3):562–572. DOI:https://doi.org/10.1111/j.1365-3059.2007.01782.x.

  • ISSN: 0215-7950

    17

    Volume 13, Nomor 1, Januari 2017Halaman 17–25

    DOI: 10.14692/jfi.13.1. 17–25

    *Alamat penulis korespondensi: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Jalan Kamper Kampus IPB Darmaga Bogor 16680.Tel: 0251-8629364, Faks: 0251-8629362, Surel: [email protected]

    Mekanisme Pengendalian Penyakit Busuk Batang Jeruk oleh Khamir, Kitosan, Cendawan Mikoriza Arbuskular,

    dan Bakteri Simbiotiknya

    Control Mechanism of Citrus Stem Rot Disease by Yeast, Chitosan, Arbuscular Myrcorrhizal Fungi and Its Symbiotic Bacteria

    Hagia Sophia Khairani, Meity Suradji Sinaga*, Kikin Hamzah MutaqinInstitut Pertanian Bogor, Bogor 16680

    ABSTRAK

    Produktivitas tanaman jeruk seringkali dibatasi oleh penyakit tanaman. Di Indonesia, penyakit busuk batang yang disebabkan oleh Botryodiplodia theobromae menjadi penyakit penting yang menyebabkan tanaman jeruk mati meranggas. Penelitian dilakukan untuk mempelajari mekanisme pengendalian B. theobromae oleh khamir, cendawan mikoriza arbuskular (CMA), bakteri simbiotik CMA dan kitosan. Uji in vitro dilakukan untuk mengevaluasi mekanisme antibiosis, hiperparasitisme, produksi senyawa volatil, dan produksi enzim kitinase. Percobaan dilanjutkan dengan pengujian in planta terhadap khamir, CMA, bakteri simbiotik CMA terpilih, dan kitosan baik secara tunggal maupun kombinasi. Percobaan disusun dalam rancangan acak lengkap dengan 3 ulangan. Peubah yang diamati ialah periode laten, insidensi dan keparahan penyakit, laju infeksi, area under disease progress curve (AUDPC), tingkat asosiasi CMA, dan kandungan fenol total. Hasil uji in vitro menunjukkan bahwa khamir mempunyai aktivitas hiperparasitisme pada B. theobromae dengan afinitas 26 sel per hifa, memproduksi senyawa volatil dengan tingkat hambatan relatif (THR) 29.1%, dan memproduksi enzim kitinase. Isolat bakteri simbiotik CMA terbaik menunjukkan mekanisme antibiosis dengan THR 42.9% dan memproduksi senyawa volatil dengan THR 26.7%. Isolat ini memiliki homologi 98% dengan Bacillus subtilis asal Vietnam. Perlakuan khamir + CMA + kitosan memperlambat periode laten dan menekan insidensi penyakit. Perlakuan tunggal CMA dan kombinasi khamir + CMA menekan keparahan penyakit, laju infeksi, dan nilai AUDPC. Aplikasi khamir + CMA menunjukkan tingkat asosiasi CMA dan peningkatan kandungan fenol total paling tinggi. Berdasarkan hasil penelitian ini, perlakuan tunggal CMA dan khamir + CMA direkomendasikan dalam pengendalian penyakit busuk batang jeruk.

    Kata kunci: antibiosis, Botryodiplodia theobromae, hiperparasitisme, kitinase

    ABSTRACT

    Plant diseases become an important constraint on citrus production. Stem rot disease caused by Botryodiplodia theobromae is a major disease on citrus in Indonesia. This study was aimed to evaluate the mechanism of yeast, arbuscular mychorrhiza fungi (AMF), symbiotic bacteria of AMF and chitosan in controlling stem rot disease. In vitro study was performed to evaluate the mechanism of antibiosis, hyperparasitism, production of volatile compounds, and production of chitinase enzyme. The experiment was continued by in planta assays using yeast, AMF, symbiotic bacteria of AMF, and chitosan either singly or in combination. The experiments were performed using completely randomized

  • J Fitopatol Indones Khairani et al

    18

    design with 3 replications. Disease progress were observed based on its latent period, AUDPC, infection rate, AMF association rate, and total phenol content. In vitro studies indicated that the yeasts showed hyperparasitism to B. theobromae with affinity of 26 cells per hyphae, produced volatile compounds with relative resistance level (RRL) 29.1%, and produced chitinase. Selected symbiotic bacteria from AMF showed antibiosis with RRL 42.9%, production of volatile compounds with RRL 26.7%, and has 98% homology with Bacillus subtilis from Vietnam. Application of yeast + AMF + chitosan delayed disease latent period and suppressed disease incidence. Single AMF and combination of yeast + AMF suppressed disease severity, infection rate, and AUDPC. Application of yeast + AMF showed highest association level of AMF and total phenol content. Therefore, the application of AMF and yeast + AMF is recommended in controlling citrus stem rot disease.

    Key words: antibiosis, Botryodiplodia theobromae, chitinase, hyperparasitism

    PENDAHULUAN

    Jeruk merupakan buah unggulan di Indonesia yang produktivitasnya seringkali dibatasi oleh penyakit tanaman. Salamiah et al. (2008) dan Sinaga et al. (2009) melaporkan bahwa beberapa kebun di sentra produksi jeruk di Indonesia mengalami busuk batang gumosis dan mati meranggas yang disebabkan oleh Botryodiplodia theobromae sehingga menyebabkan penurunan produktivitas jeruk hingga 53.9%. Patogen ini memiliki kisaran inang lebih dari 280 spesies tanaman dan menyebabkan gejala nekrosis batang, diikuti dengan gumosis, busuk batang, mati pucuk, dan mati meranggas (Adeniyi et al. 2016).

    Jeruk umumnya dibudidayakan melalui perbanyakan secara okulasi. Selama ini, kultivar jeruk yang digunakan untuk batang bawah ialahJavansche citroen (JC) yang dilaporkan mulai tidak resisten terhadap penyebab penyakit busuk batang (Muhammad et al. 2003). Selain Trichoderma spp. dan Gliocladium spp., agens hayati khamir dan cendawan mikoriza arbuskular (CMA) dapat dijadikan komponen pengendalian penyakit tanaman. Kitosan yang merupakan suatu biopolimer juga dilaporkan mampu mengendalikan patogen penyakit seperti cendawan, bakteri, dan virus (Hadrami et al. 2010).

    Pengendalian penyakit tanaman oleh agens hayati dan kitosan dapat terjadi melalui mekanisme: kompetisi, hiperparasitisme, dan memicu tanaman untuk memproduksi enzim kitinase (Hartati et al. 2014). Bakhtiar (2013)

    melaporkan bahwa CMA dapat meningkatkan kemampuan tanaman dalam menyerap air dan hara, memicu produksi fitoaleksin dan berbagai enzim pertahanan tanaman, dan berasosiasi dengan bakteri nonpatogen. Algam et al. (2010) menyatakan bahwa selain dapat menghambat pertumbuhan patogen, kitosan juga dapat meningkatkan ketahanan tanaman.

    Potensi khamir, CMA dan bakteri simbiotik CMA, serta kitosan sudah banyak dievaluasi. Namun, informasi tentang mekanismenya mengendalikan B. theobromae pada tanaman jeruk belum banyak dilaporkan. Berkaitan dengan hal-hal tersebut, dilakukan studi yang bertujuan untuk mengevaluasi mekanisme pengendalian penyakit busuk batang jeruk oleh khamir, CMA, bakteri simbiotik CMA, dan kitosan.

    BAHAN DAN METODE

    Penyiapan Isolat Patogen, Agens Hayati, dan Kitosan

    Isolat uji B. theobromae asal Garut (BT Grt) merupakan koleksi Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Fakultas Pertanian, IPB. Isolat diremajakan pada medium agar-agar dekstrosa kentang (ADK) dan agar-agar air (AA). Morfologi B. theobromae diamati berdasarkan pada perubahan warna koloni, karakter pertumbuhan, hifa, konidium, dan piknidium menggunakan mikroskop majemuk. Gejala infeksi penyakit busuk batang diamati pada tanaman yang diinokulasi B. theobromae di dalam rumah kaca.

  • J Fitopatol Indones Khairani et al

    19

    Khamir dengan kode isolat YP diperoleh dari koleksi Klinik Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB. Isolat diremajakan pada medium ADK dan diinkubasi selama 48 jam. Isolat CMA diperoleh dalam bentuk produk komersial butiran siap pakai. Bakteri simbiotik CMA diperoleh dari inkubasi 0.5 g CMA pada medium trypticase soya agar (TSA) selama 24 jam. Isolat bakteri yang diperoleh diseleksi kemampuan antagonismenya secara in vitro untuk menentukan isolat yang digunakan pada pengujian in planta.

    Bakteri simbiotik CMA diidentifikasi secara molekuler melalui teknik polymerase chain reaction (PCR) untuk target 16s rRNA dan dilanjutkan dengan perunutan DNA (dilakukan di First Base, Malaysia). Primer yang digunakan ialah primer universal bakteri dengan primer forward 27 F (5’-TACGGYTACCTTGTTACGACTT-3’) dan primer reverse 1492 R (5’-AGAGTTTGATCCTGGCTCAG-3’).

    Kitosan diperoleh dari Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB dalam bentuk serbuk. Sebanyak 0.7 g kitosan dicampurkan dengan 10 mL asam asetat 1% dan ditambahkan akuades sampai 1 L untuk menghasilkan larutan kitosan dengan konsentrasi 0.7%.

    Evaluasi Mekanisme Antagonisme in Vitro Agens Hayati terhadap B. theobromae

    Evaluasi hiperparasitisme, antibiosis, produksi senyawa volatil dan enzim kitinase disusun dalam rancangan acak lengkap dengan 3 ulangan.

    Hiperparasitisme. Khamir berumur 48 jam diinokulasikan di sekeliling medium AA blok berjarak 0.5 cm dari koloni B. theobromae. Inkubasi dilakukan selama 5 hari kemudian afinitas khamir diamati dengan menghitung jumlah sel khamir yang menempel pada hifa B. theobromae (Chan dan Tian 2005).

    Antibiosis. Bakteri diinokulasikan pada bagian tengah medium TSA dan B. theobromae diinokulasi pada 2.5 cm sisi kanan dan kiri bakteri. Inkubasi dilakukan selama 2 hari. Tingkat hambatan relatif (THR) diukur menggunakan rumus sebagai berikut:

    R2–R1R1THR = × 100%, dengan

    R2, jari-jari koloni B. theobromae yang menjauhi bakteri; R1, jari-jari koloni B. theobromae yang mendekati bakteri.

    Produksi senyawa volatil. Isolat agens hayati diinokulasikan pada medium TSA pada dasar dan isolat B. theobromae diinokulasikan pada medium ADK bagian atas cawan. Inkubasi dilakukan pada suhu ruang selama 2 hari. Pengamatan dilakukan dengan membandingkan pertumbuhan antara B. theobromae pada perlakuan dan kontrol.

    Produksi enzim kitinase. Koloni agens hayati diinokulasikan sebanyak 0.1 mL di atas kertas saring pada medium agar-agar koloidal kitin konsentrasi 0.4%. Produksi enzim kitinase ditandai dengan pembentukan zona bening di sekitar koloni.

    Evaluasi Keefektifan Pengendalian in Planta

    Bibit jeruk kultivar Siam Pontianak berumur 3 bulan, hasil okulasi dari Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropik, Malang, ditanam pada pot berisi tanah steril dan pupuk kandang (1:1) sebanyak 5 kg. Jeruk diberi perlakuan: (1) khamir 3.2 × 107 cfu mL-1 1 minggu sebelum inokulasi patogen (MSbI), (2) CMA 4 MSbI, (3) bakteri simbiotik CMA 6.0 × 106 cfu mL-1 1 MSbI, (4) kitosan 0.7% 2 MSbI, 2 dan 4 minggu setelah inokulasi (MSI), (5) khamir + CMA (6) CMA + kitosan, (7) khamir + kitosan, (8) khamir + CMA + kitosan, dan (9) kontrol. Setiap perlakuan diulang 3 kali dan masing-masing ulangan terdiri atas 3 unit tanaman.

    Inokulasi buatan patogen dilakukan pada batang bawah jeruk, kulit batang jeruk dibilas dengan kloroks 0.5% kemudian dibilas dengan air steril. Biakan B. theobromae berumur 5 haridiinokulasikan pada 15 cm dari pangkal batang yang telah dilukai menggunakan jarum steril di 3 titik, lalu dibalut kapas steril basah.

    Peubah pengamatan perkembangan penyakit meliputi: periode laten (PL), insidensi penyakit (IP), keparahan penyakit (KP), laju infeksi (r), area under disease progress curve(AUDPC), tingkat asosiasi

  • J Fitopatol Indones Khairani et al

    20

    CMA, dan kandungan fenol total. Periode laten dihitung sejak inokulasi patogen sampai munculnya gejala. Insidensi penyakit dihitung menggunakan rumus:

    IP = nN × 100%, dengan

    n, jumlah tanaman yang terinfeksi; dan N, jumlah tanaman yang diamati. Pengukuran keparahan penyakit menggunakan rumus:

    Z × NKP = × 100, dengan(ni × vi)∑

    k

    i=1

    ni, jumlah tanaman terinfeksi pada skor ke-i; vi, nilai skor ke-i; N, jumlah tanaman yang diamati; dan V, skor tertinggi yang terdapat pada acuan skoring (Tabel 1). Laju infeksi (r) dan AUDPC dihitung dengan persamaan:

    r = (log – log ) 1–Xt1 1–Xo1et(Xt–Xo) .(t), dengan

    2AUDPC =

    r, laju infeksi; e, nilai konstanta 2.3; t, selang waktu pengamatan; Xt, keparahan penyakit penyakit pada waktu-t; dan Xo, keparahan penyakit pada pengamatan sebelumnya. Pengamatan dilakukan pada 6–15 minggu setelah inokulasi (MSI).

    Pengukuran tingkat asosiasi CMA dilakukan berdasarkan metode Brundrett

    (1991) dengan teknik pewarnaan akar menggunakan zat biru tripan. Analisis kuantitatif total fenol dilakukan mengikuti metode Slinkard dan Singleton (1977) menggunakan pereaksi Folin-Ciocalteau yang diawali dengan ekstraksi etanol dari tanaman.

    Analisis DataPengaruh perlakuan uji in vitro,

    perkembangan penyakit in planta, dan tingkat asosiasi CMA dianalisis ragam dan perlakuan yang berpengaruh nyata diuji lanjut dengan DMRT pada α 0.05 menggunakan SAS 9.1.

    HASIL

    Identifikasi Penyakit Busuk Batang pada Jeruk dan Bakteri Simbiotik CMA

    Hasil diagnosis penyakit busuk batang jeruk menunjukkan bahwa B. theobromae (BT Grt) memiliki karakter koloni aerial, hifa bersepta, berwarna putih sampai pada hari ketiga kemudian menjadi warna abu-abu kehitaman mulai hari keempat. Piknidium ditemukan pada medium AA setelah hari ke-24.Konidium B. theobromae memiliki satu sekat dengan dinding agak bergerigi. Konidium dapat diamati setelah hari ke-30 (Gambar 1).

    Skor Luas gejala (cm2)

    Keterangan

    0 0 Tidak terdapat gejala1 0

  • J Fitopatol Indones Khairani et al

    21

    Tanaman jeruk yang diinokulasi buatan dengan B. theobromae menunjukkan gejala nekrosis, kulit batang terkelupas, muncul gum pada batang. Infeksi lanjut dari B. theobromae menunjukkan terhambatnya pembentukan daun baru, diikuti oleh penguningan daun-daun tua, layu, dan tanaman mati meranggas secara keseluruhan (Gambar 2).

    Berdasarkan karakter fisiologi dan hasil identifikasi secara molekuler, isolat bakteri simbiotik CMA (B2) terseleksi merupakan bakteri Gram positif, nonpatogen, dan

    memiliki homologi 98% dengan Bacillus subtilis asal Vietnam (Gambar 3).

    Mekanisme Antagonisme in Vitro Agens Hayati terhadap B. theobromae

    Berdasarkan pengujian, khamir dan bakteri simbiotik CMA menunjukkan berbagai mekanisme dalam menghambat pertumbuhan dan perkembangan B. theobromae. Uji hiperparasitisme menunjukkan bahwa khamir memiliki afinitas 26 sel dan menyebabkan abnormalitas pada hifa B. theobromae

    Gambar 2 Gejala infeksi Botryodiplodia theobromae pada batang tanaman jeruk. a, Nekrosis; b, Gumosis; c, Terkelupasnya kulit batang; d, Tanaman merangas.

    a b c d

    Gambar 3 Pohon filogenetika untuk isolat bakteri B2 dengan Bacillus subtilis asal Vietnam, Cina, dan India.

    0.002

    BS_INDIA_JX981919BS_CHINA_KR780366

    BS_VIETNAM_KP735610B2_INDONESIA

    a b cGambar 4 Interaksi antara khamir (YP) dan Botryodiplodia theobromae (BT Grt) (perbesaran 400x). a, Hifa B. theobromae yang tidak terparasit; b, Sel-sel khamir mulai menempel pada hifa B. theobromae; c, Hifa B. theobromae abnormal setelah diparasiti oleh khamir.

  • J Fitopatol Indones Khairani et al

    22

    (Gambar 4). Uji antibiosis menunjukkan bahwa B. subtilis memiliki THR sebesar 42.9%. Produksi senyawa volatil ditunjukkan dari THR 29.1% (khamir) dan 26.7% (B. subtilis). Khamir (YP) dan B. subtilis (B2) memproduksi enzim kitinase.

    Evaluasi Keefektifan Pengendalian in PlantaAplikasi agens hayati dan kitosan

    menunjukkan penekanan terhadap periode laten, insidensi, keparahan, laju infeksi, dan nilai AUDPC dari penyakit busuk batang. Rata-rata periode laten B. theobromae pada kontrol ialah 44.5 hari, sedangkan yang diberi perlakuan agens hayati dan kitosan

    berkisar 47.8–60.5 hari. Hal ini menunjukkan bahwa aplikasi agens hayati dan kitosan memperlambat periode laten. Perlakuan kombinasi khamir + CMA + kitosan secara nyata menurunkan insidensi penyakit, mem-perlambat laju infeksi dan nilai AUDPC (Tabel 2). Perkembangan penyakit seluruh perlakuan tunggal dan kombinasi selalu di bawah perkembangan penyakit pada kontrol. Perlakuan CMA tunggal dan khamir + CMA berhasil menekan keparahan penyakit pada akhir masa pengamatan (15 MSI) (Gambar 5). Perlakuan khamir + CMA menunjukkan tingkat asosiasi CMA (39.1%) dan kandungan fenol total tertinggi (300 mg g-1). Perlakuan Khamir

    Perlakuan PL (hari)

    IP (%)

    KP (%)

    r (%)

    AUDPC

    Kontrol 44.5 a 100.0 a 43.3 a 0.9a 2210.8 aKhamir 55.2 bc 80.0 ab 25.0 cd 0.4 b 1260.0 bcCMA 53.4 bc 80.0 ab 18.3 d 0.3 b 898.3 cKitosan 55.6 bc 100.0 a 31.7 bc 0.5 b 1575.0 bBacillus subtilis (B2) 56.7 bc 73.3 ab 33.3 bc 0.6 b 1662.5 abKhamir + CMA 47.8 ab 86.7 ab 23.3 d 0.3 b 1213.3 bcKitosan + CMA 48.2 ab 80.0 ab 26.7 cd 0.5 b 1370.8 bcKhamir + Kitosan 55.2 bc 100.0 a 36.7 ab 0.8 ab 1639.2 bKhamir + Kitosan + CMA 60.5 c 66.7 b 26.7 cd 0.5 b 1201.7 bc

    Tabel 2 Periode laten, insidensi penyakit, keparahan penyakit, laju infeksi, dan nilai AUDPC busuk batang pada 15 minggu setelah inokulasi

    Angka dalam satu kolom yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata pada uji jarak berganda Duncan pada α 0.05PL: periode laten, IP: insidensi penyakit, KP: keparahan penyakit, r: laju infeksi, AUDPC: area under disease progress curve

    Gambar 5 Perkembangan keparahan penyakit busuk batang jeruk pada 6 sampai 15 MSI., Kontrol; , Khamir; , CMA; , Kitosan; , Bacillus subtilis; , Khamir +

    CMA; , Kitosan + CMA; , Khamir + Kitosan; , Khamir + CMA + Kitosan.

    Kep

    arah

    an p

    enya

    kit

    (%)

    50

    45

    40

    35

    30

    25

    20

    15

    10

    5

    05 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

    Minggu setelah inokulasi (MSI)

  • J Fitopatol Indones Khairani et al

    23

    dan B. subtilis menunjukkan kandungan fenol yang lebih rendah dari kontrol. Perlakuan kitosan + CMA menunjukkan tingkat asosiasi CMA yang rendah dan kandungan fenol pada perlakuan ini tidak terdeteksi (Tabel 3).

    PEMBAHASAN

    Penelitian ini menunjukkan bahwa masing-masing agens hayati dan kitosan memiliki mekanisme unggulan pada berbagai peubah pengamatan. Potensi unggulan khamir dalam pengendalian penyakit tanaman ialah produksi senyawa volatil dan enzim kitinase meskipun keefektifannya sangat bergantung pada jenis patogen dan jenis tanamannya. Sugipriatini (2009) melaporkan bahwa Cryptococcus albidus var. aerius IPB 1 berhasil menghambat pertumbuhan koloni B. theobromae pada mangga selama masa penyimpanan. Khamir Williopsis mrakii menghambat pertumbuhan B. theobromae sampai 100% (Campos et al. 2010) melalui produksi senyawa volatil.

    Meskipun menunjukkan aktivitas hiper-parasitisme, produksi senyawa volatil dan produksi enzim kitinase oleh khamir pada uji in vitro tidak menekan perkembangan penyakit di lapangan jika diaplikasikan secara tunggal. Namun, kombinasi khamir + CMA mampu menekan perkembangan penyakit. Perlakuan khamir + CMA memiliki tingkat asosiasi CMA dan kandungan fenol total yang paling tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa khamir memiliki

    interaksi sinergisme dengan CMA, sesuai dengan laporan Sampedro et al. (2004) yang menyatakan bahwa Rhodotorula mucilaginosa, Cryptococcus laurentii, dan Saccharomyces kunashirensis memproduksi eksudat yang dapat meningkatkan perkecambahan spora dan pertumbuhan hifa Glomus mussae. Hal ini akan meningkatkan peran CMA dalam melindungi tanaman dari cekaman biotik dan abiotik. Selain itu, tingginya tingkat asosiasi CMA juga akan meningkatkan kandungan fenol tanaman (Ozgonen et al. 2009).

    Perlakuan tunggal CMA memiliki penekanan optimum terhadap perkembangan penyakit terutama pada akhir masa pengamat-an. CMA dilaporkan dapat meningkatkan kemampuan tanaman dalam menyerap nutrisi, lignifikasi jaringan, dan produksi beberapa senyawa kimia seperti fenol, enzim kitinase, dan enzim β-1,3 glukanase (Ozgonen et al. 2009). Keberhasilan CMA dipengaruhi oleh populasi dan aktivitas B. subtilis yang menunjukkan aktivitas antibiosis, produksi senyawa volatil, dan produksi enzim kitinase in vitro meskipun percobaan aplikasi B. subtilis secara tunggal tidak menurunkan keparahan penyakit di lapangan. Bakteri simbiotik CMA diketahui berperan penting dalam peningkatan pertumbuhan hifa CMA dan kemampuan melarutkan fosfat.

    Meskipun belum berhasil menekan perkembangan penyakit di lapangan, perlakuan kitosan menunjukkan kandungan fenol total

    PerlakuanTingkat asosiasi CMA

    (%) Kandungan fenol total (mg g-1)Dengan patogen Tanpa patogenKontrol 0.0 d 0.0 d 120Khamir 0.0 d 0.0 d 110CMA 34.1 a 20.9 b 120Kitosan 0.0 d 0.0 d 270B. subtilis (B2) 0.0 d 0.0 d 90Khamir + CMA 39.1 a 31.4 a 300Kitosan + CMA 5.2 c 5.2 c 0Khamir + Kitosan 0.0 d 0.0 d 150Khamir + Kitosan + CMA 18.3 c 7.8 c 130

    Tabel 3 Tingkat asosiasi CMA dan perubahan kandungan fenol pada tanaman jeruk

    Angka dalam satu kolom yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata pada uji jarak berganda Duncan pada α 0.05

  • J Fitopatol Indones Khairani et al

    24

    yang tinggi. Menurut Hadrami et al. (2010), tingginya produksi senyawa fenol pada tanaman dipicu oleh aplikasi kitosan yang merupakan respons dari produksi enzim hidrolitik oleh cendawan patogen. Bersamaan dengan produksi senyawa fenol, enzim β-1,3 glukanase juga diproduksi sebagai pertahanan mekanis terhadap invasi miselium cendawan dan melindungi jaringan tanaman dari senyawa yang bersifat fitotoksik yang dikeluarkan oleh cendawan patogen.

    Berdasarkan hasil penelitian ini, perlakuan tunggal CMA menunjukkan penekanan yang optimum terhadap penyakit busuk batang. Hal ini didukung oleh asosiasi CMA dengan B. subtilis yang memiliki mekanisme antibiosis, produksi senyawa volatil, dan produksi enzim kitinase. CMA juga bersifat sinergis dengan khamir yang memiliki mekanisme hiperparasitisme, produksi senyawa volatil, dan produksi enzim kitinase. Oleh karena itu, perlakuan tunggal CMA dan kombinasi khamir + CMA direkomendasikan untuk pengendalian penyakit busuk batang jeruk.

    UCAPAN TERIMA KASIH

    Ucapan terima kasih disampaikan kepada Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang mendanai penelitian ini melalui Beasiswa Tesis 2016.

    DAFTAR PUSTAKA

    Adeniyi DO, Olufolaji DB, Joseph A. 2016. Characteristic variations in Lasiodiplodia theobromae; pathogen of inflorescens dieback of cashew in growing ecologies in Nigeria. Ann Res Rev Biol. 10(2):1–6.D O I : h t t p s : / / d o i . o r g / 1 0 . 9 7 3 4 /ARRB/2016/18047.

    Algam SAE, Xie G, Li B, Yu S, Lasen J. 2010. Effects of Paenibacillus strains and chitosan on plant growth promotion and control of ralstonia wilt in tomato. J Plant Pathol. 92(3):593–600.

    Bakhtiar Y. 2013. Peran cendawan mikoriza arbuskular dan bakteri endosimbiotik

    mikoriza dalam meningkatkan daya adaptasi bibit kelapa sawit (Elais gunensis Jacq.) terhadap cekaman Ganoderma boninense Pat. Microbiol Indones. 6(4):157–164. DOI: https://doi.org/10.5454/mi.6.4.3.

    Brundrett M. 1991. Mycorrhizas in natural ecosystems. Adv Ecol Res. 21:171–313. DOI: https://doi.org/10.1016/S0065-2504(08)60099-9.

    Campos VP, de Pinho RSC, Freire ES. 2010. Volatiles produced by interacting microorganisms potentially useful for the control of plant pathogens. Ciência Agrotecnologia. 34(3):525–535. DOI: h t t p s : / / d o i . o r g / 1 0 . 1 5 9 0 / S 1 4 1 3 -70542010000300001.

    Chan Z, Tian S. 2005. Interaction of antagonistic yeasts againts postharvest pathogens of apple fruit and possible mode of action. Postharvest Biol Tech. 36(2005):215–223. DOI: https://doi.org/10.1016/j.postharvbio.2005.01.001.

    Hadrami AE, Adam LR, Hadrami IE, Daayf F. 2010. Chitosan in plant protection. Marine Drugs. 2010(8):968–987. DOI: https://doi.org/10.3390/md8040968.

    Hartati S, Wiyono S, Hidayat SH, Sinaga MS. 2014.Seleksi khamir epifit sebagai agens antagonis antraknosa pada cabai. J Hort Indones. 24(3):258–265. DOI: https://doi.org/10.21082/jhort.v24n3.2014.p258-265.

    Muhammad H, Armiati, Dewayanti W. 2003. Jeruk keprok selayar dan upaya pelestariannya. J Litbang Pertanian. 22(3):87–94.

    Ozgonen H, Yardimci N, Kilic HC. 2009. Induction of phenolic compund and pathogenesis-related protein by mychorrizal fungal inoculation against Phytophthora capsici Leonian in pepper. Pak J Biol Sci.12(17):1181–1187. DOI: https://doi.org/10.3923/pjbs.2009.1181.1187.

    Salamiah, Badruzsaufari, Arsyad M. 2008. Jenis tanaman inang dan masa inkubasi patogen Botryodiplodia theobromae Pat.pada jeruk. JHPT Tropika. 8(2):123–131.

    Sampedro I, Aranda E, Scervino JM, Fracchia S, Garcia-Romera I, Ocampo

  • J Fitopatol Indones Khairani et al

    25

    JA, Godeas A. 2004. Improvement by soil yeasts of arbuscular mycorrhizal of soybean colonized by Glomus mussae. Mycorrhiza. 14(4):229–234. DOI: https://doi.org/10.1007/s00572-003-0285-y.

    Sinaga MS, Wiyono S, Husni A, Kosmiatin M. 2009. Pemanfaatan batang bawah jeruk mutan dan mikoriza arbuskular untuk mengendalikan penyakit busuk pangkal batang pada tanaman jeruk. J Litbang Pertanian. 29(4):45–47.

    Slinkard K, Singleton VL. 1977. Total phenol analysis: automation and comparison with manual methods. Am J Enololy Victicul. 28:49–55.

    Sugipriatini D. 2009. Potensi penggunaan khamir dan kitosan untuk pengendalian busuk buah Lasiodiplodia theobromae (Pat.) Griffon & Maubl. (syn. Botryodiplodia theobromae Pat.) pada buah mangga selama penyimpanan [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

  • ISSN: 0215-7950

    26

    Volume 13, Nomor 1, Januari 2017Halaman 26–30

    DOI: 10.14692/jfi.13.1.26–30

    *Alamat penulis korespondensi: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Jalan Kamper Kampus IPB Dramaga, 16680Tel: 0251-8629364, Faks: 0251-8629362, Surel: [email protected]

    KOMUNIKASI SINGKAT

    Spesies Meloidogyne Penyebab Puru Akar pada Seledri di Pacet, Cianjur, Jawa Barat

    Species of Meloidogyne as the Primary Cause of Root Knot on Celery in Pacet, Cianjur,West Java

    Fitrianingrum Kurniawati*, Supramana, Abdul Muin AdnanInstitut Pertanian Bogor, Bogor 16680

    ABSTRAK

    Nematoda puru akar (NPA) Meloidogyne spp. merupakan parasit utama tanaman seledri (Apium graveolens) yang menimbulkan kerugian. Identifikasi spesies Meloidogyne pada seledri di Indonesia belum pernah dilaporkan. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi spesies Meloidogyne pada seledri secara morfologi. Contoh tanaman seledri yang terinfeksi oleh Meloidogyne spp. diambil dengan metode purposif di Desa Ciputri, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Nematoda di dalam jaringan akar dideteksi dengan metode pewarnaan asam fuksin. Identifikasi spesies Meloidogyne dilakukan dengan pengamatan morfologi pola perineal betina. Gejala penyakit puru akar pada seledri ialah daun menguning, kerdil, dan pertumbuhan tanaman di lahan tidak merata. Gejala pada perakaran berupa puru akar berukuran kecil-kecil, jumlahnya banyak dan membentuk untaian seperti rantai. Berbagai stadium perkembangan nematoda, yaitu telur, juvenil, dan nematoda betina berhasil dideteksi melalui pewarnaan pada jaringan akar. Tiga spesies Meloidogyne diidentifikasi sebagai M. incognita, M. arenaria, dan M. javanica.

    Kata kunci: identifikasi morfologi, jaringan akar, pewarnaan asam fuksin, pola perineal betina

    ABSTRACT

    Root knot nematodes (RKN) Meloidogyne spp. is the primary parasite of celery and reported to cause losses up to 70%. Identification of the Meloidogyne species on celery in Indonesia has not been reported. This study was aimed to identify the species of Meloidogyne on celery based on morphology characters. Samples of Meloidogyne-infected celery plants were taken using purposive sampling method from Ciputri Village, District of Pacet, Cianjur, West Java Province. RKN inside root tissue was detected by acid fuchsin staining method. Meloidogyne species identification was done by morphological observation of female perineal pattern. Disease symptoms found in the field include leaf yellowing, stunted, and uneven growth of celery plants. Roots of infected plants showed the formation of small size root knots, in large numbers and forming strands like a chain. Staining NPA in root tissue was successfully detected various stages of nematode development, i.e. eggs, juveniles and female nematodes. Three Meloidogyne species, namely M. incognita, M. arenaria and M. javanica were identified.

    Key words: acid fuchsin staining method, female perineal pattern, morphological identification, root tissue

  • J Fitopatol Indones Kurniawati et al

    27

    Tanaman seledri (Apium graveolens) banyak dibudidayakan di daerah dataran tinggi di Indonesia. Beberapa tahun terakhir ini telah banyak ditemukan penyakit puru akar pada tanaman seledri di beberapa daerah di Indonesia. Rosya dan Winarto (2013) melaporkan nematoda parasit yang berasosiasi dengan tanaman seledri ialah Helicotylenchus, Longidorus, Meloidogyne, Trichodorus, dan Xiphinema.

    Gejala penyakit yang banyak terdapat pada akar seledri ialah puru akar yang jumlahnya banyak dan jika dibedah akan terlihat nematoda Meloidogyne betina dengan jumlah banyak. Identifikasi spesies Meloidogyne yang berasosiasi dengan tanaman seledri di Indonesia belum dilaporkan. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi spesies Meloidogyne secara morfologi melalui pola perineal. Survei dilakukan secara acak di beberapa pertanaman seledri di Pasir Sarongge, Desa Ciputri, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Lahan pengambilan sampel pada lokasi seluas 1000 m2 berada pada ketinggian 1100 mdpl.

    Pengambilan sampel dilakukan secara purposif dengan memilih sampel berdasarkan kriteria spesifik gejala penyakit tanaman. Gejala tanaman seledri yang terinfeksi oleh Meloidogyne spp. ialah daun di bagian permukaan atas tanah (tajuk) menguning, tanaman kerdil, pertumbuhan terhambat dan tidak merata (Gambar 1). Pada bagian perakaran tampak gejala puru akar dalam jumlah banyak dengan ukuran kecil,dan membentuk seperti untaian, serta akar berambut banyak (hairy root) (Gambar 2).

    Pewarnaan jaringan akar berpuru (Zuckerman et al. 1985) menunjukkan berbagai stadium hidup nematoda. Identifikasi morfologi spesies Meloidogyne spp. berdasarkan pola perineal dilakukan dengan metode Eisenback et al. (1981). Pola perineal nematoda puru akar betina merupakan teknik identifikasi yang umum dilakukan. Beberapa alasan yang mendasari pola perineal digunakan dalam identifikasi morfologi nematoda puru akar, antara lain: pola perineal bersifat stabil dan tidak berubah secara nyata

    (Eisenback 1985), nematoda betina ukurannya relatif besar serta mudah ditemukan dalam jaringan yang terinfeksi. Penggunaan mikroskop cahaya dan mikroskop elektron memungkinkan pengamatan terhadap ciri-ciri morfologi nematoda lebih akurat.

    Telur Meloidogyne berbentuk oval memanjang (Gambar 3a), juvenil 2 di dalam jaringan tanaman berbentuk cacing (vermiform) (Gambar 3b). Juvenil 2 berkembang menjadi juvenil 3 dan ukuran tubuh mulai membesar dan mulai terjadi perubahan bentuk nematoda (Gambar 3c). Nematoda betina berbentuk seperti buah pir dengan leher pendek dan bagian posterior membulat, serta menetap di dalam jaringan tanaman (Gambar 3d). Meloidogyne merupakan nematoda endoparasit menetap yang menyebabkan pembengkakan akar karena terjadinya pembesaran dan pembelahan sel-sel korteks dan perisikel (Dropkin 1991).

    Berdasarkan pengamatan pada ciri-ciri khusus dari pola perineal nematoda betina, nematoda pada puru akar seledri merupakan M. arenaria, M. incognita, dan M. javanica. M. javanica memiliki ciri khusus dua garis lateral yang sangat jelas yang memisahkan striae bagian dorsal dengan ventral (Gambar 4a). Pola perineal M. incognita memiliki ciri khas berupa lengkungan dorsal yang tinggi dan menyempit, sedangkan pada bagian luarnya sedikit melebar dan agak mendatar, pola striae-nya terlihat kasar dan bergelombang, serta tidak memiliki garis lateral (Gambar 4b).M. arenaria memiliki lengkung dorsal rendah dan ramping di sekitar garis lateral, bagian lengkung striae bercabang menggarpu di dekat garis lateral dengan bagian striae atas lebih mendatar (Gambar 4c).

    Jenis tanah di Desa Ciputri ialah andosol yang merupakan jenis tanah dari hasil letusan gunung berapi. Jenis tanah ini memiliki tekstur lempung berpasir yang dapat membantu pergerakan nematoda terutama stadium juvenil. Meloidogyne juvenil 2 merupakan stadium yang infektif dan aktif bergerak secara vertikal dan horizontal sejauh 75 cm dalam waktu sembilan hari pada tanah berpasir (Kurniawan 2010). Suhu optimum untuk pertumbuhan M. incognita dan M. arenaria antara 15 °C dan

  • J Fitopatol Indones Kurniawati et al

    28

    25 °C, sedangkan untuk M. javanica antara 20 °C dan 30 °C (Taylor 1982). Suhu pada siang hari di Desa Pacet berkisar antara 16 °C dan 20 °C dan suhu pada malam hari antara

    12 °C dan 18 °C. Suhu ini sesuai dengan pertumbuhan M. arenaria, M. incognita, dan M. javanica.

    Gambar 2 a, Tanaman seledri sehat; b, Tanaman seledri yang terserang Meloidogyne menunjukkan gejala menguningnya daun, kerdil, dan pertumbuhan tanaman tidak merata; c, Gejala puru akar pada perakaran seledri (puru berukuran kecil, berbentuk seperti rantai dan berjumlah banyak).

    a b c

    Gambar 1 Gejala tanaman seledri pada tajuk; daun menguning, kerdil, pertumbuhan tidak merata.

    Gambar 3 Pewarnaan jaringan akar berpuru. a, Stadium telur; b, Stadium juvenil 2 yang berbentuk seperti cacing (vermiform); c, Stadium juvenil 3 (nematoda mulai berubah bentuk, tubuhnya membengkak); d, Meloidogyne betina berbentuk seperti buah pear, leher pendek, dan bagian posterior membulat.

    a b c d

  • J Fitopatol Indones Kurniawati et al

    29

    DAFTAR PUSTAKA

    Dropkin VH. 1991. Pengantar Nematologi Tumbuhan. Ed ke-2. Supratoyo, editor. Terjemahan dari: Introduction to Plant Nematology. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.

    Eisenback JD, Hirschman H, Sassser JN, Triantaphyllou AC. 1981. A Guide to The Four Most common Species of Root-Knot Nematodes (Meloidogyne species) With a Pictorial Key. Washington DC (US): Cooperative Publication Departement of Plant Pathology and U.S Agency International Development.

    Eisenback JD. 1985. Diagnostic characters useful in the identification of four most common species of root-knot nematodes (Meloidogyne spp.) Di dalam: Sasser JN, Carter CC, editor. An advanced treatise

    on Meloidogyne. Volume I. Biology and Control. Raleigh, NC (US): North Caroline State University Graphics. Hlm 95–112.

    Kurniawan W. 2010. Identifikasi penyakit umbi bercabang pada wortel, Daucus carota (L.) Di Indonesia [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

    Rosya A, Winarto. 2013. Keragaman komunitas fitonematoda pada sayuran lahan monokultur dan polikultur di Sumatera Barat. J Fitopatol Indones. 9(3):71–76. DOI: https://doi.org/10.14692/jfi.9.3.71.

    Taylor AL, Sasser JN, Nelson LA. 1982. Relationship of Climate and Soil Characteristics to Geographical Distribution of Meloidogyne species in Agricultural Soils. Washington DC (US): North Carolina State University Graphics.

    Gambar 4 Pola sidik pantat nematoda puru akar yang menginfeksi tanaman seledri. a, Meloidogyne javanica; b, M. incognita; c, M. arenaria. Identifikasi berdasarkan kunci bergambar (Eisenback 1981). d, M. javanica; e, M. incognita; f, M. arenaria

    a b c

    d e f

  • J Fitopatol Indones Kurniawati et al

    30

    Zuckerman BM, Mai WF, Harrison MB. 1985. Plant Nematology, Laboratory Manual. Massachusetts (US): The University of Massachusetts Agricultural Experiment Station Amherst.

  • ISSN: 0215-7950

    31

    Volume 13, Nomor 1, Januari 2017Halaman 31–34

    DOI: 10.14692/jfi.13.1.31–34

    *Alamat penulis korespondensi: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Jalan Kamper Kampus IPB, Darmaga, Bogor 16680.Telp: 0251-8629364, Faks: 0251-862362, surel: [email protected]

    TEMUAN PENYAKIT BARU

    Penyakit Karat Bawang Daun yang Disebabkan oleh Puccinia allii Rud.

    Rust Disease on Bunching Onion Caused by Puccinia allii Rud.

    Widodo1*, Ginting Tri Pamungkas2, Hendry Susetyo2, Antoni Setiawan2, Johanis Wowor31Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680

    2Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura, Jakarta Selatan 125203Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Propinsi Sulawesi Utara, Manado 95112

    ABSTRAK

    Penyakit baru pada bawang daun (Allium fistulosum) dengan gejala khas sebagai penyakit karat ditemukan di Kecamatan Tompaso Barat dan Kecamatan Modoinding, Kabupaten Minahasa Selatan pada bulan Juni 2016. Tanaman yang terinfeksi di lapangan menunjukkan gejala berupa pustul-pustul berwarna cokelat kekuningan pada permukaan daun. Daun yang terserang menampakkan gejala menguning lalu mengering yang dimulai dari bagian pucuk. Insidensi penyakit di lokasi survei mencapai 100% dengan tingkat keparahan penyakit 30%–50%. Berdasarkan pengamatan mikroskopis pada karakter morfologi cendawan yang ditemukan, yaitu uredium dan urediniospora, penyakit tersebut disebabkan oleh Puccinia allii Rud.

    Kata kunci: Allium fistulosum, insidensi penyakit, pustul cokelat, urediniospora

    ABSTRACT

    New disease of bunching onion (Allium fistulosum) with typical symptoms as rust disease was found in the sub-district of West Tompaso and Modoinding, District of South Minahasa, North Sulawesi in June 2016. Infected plants in the field showed yellowish brown pustules on leaf surface, followed by leaf yellowing and drying out started from the tip. Disease incidence in surveyed area reached 100% with disease severity between 30%–50%. Based on microscopic observation of the fungal morphological characteristic, i.e. uredium dan urediniospora, the causal agent was identified as Puccinia allii Rud.

    Key words: Allium fistulosum, brown pustule, disease incidence, urediniospora

    Pada tanggal 19 Juli 2016 Klinik Tanaman Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor menerima laporan tentang kerusakan tanaman pada bawang daun dengan gejala berupa bintik-bintik cokelat kekuningan dan daun yang terserang parah mengering dari Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara. Pada

    awal Agustus 2016 Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura, Kementerian Pertanian Republik Indonesia mengundang Klinik Tanaman IPB untuk melakukan survei lapangan di Kecamatan Tompaso Barat (Desa Sinisir), dan Kecamatan Modoinding (Desa Makaruyan, Desa Kakenturan, dan Desa Linelean), Kabupaten Minahasa Selatan.

  • J Fitopatol Indones Widodo et al

    32

    Berdasarkan pada ciri-ciri gejala yang sangat khas diduga adanya penyakit karat daun pada bawang daun. Pada pengamatan di lapangan terlihat adanya gejala penguningan daun yang merata di lahan (Gambar 1a) dan daun mengering (Gambar 1b) serta ditemukan adanya pustul-pustul berwarna cokelat kekuningan (Gambar 1c). Pengamatan secara

    mikroskopis menggunakan handheld digital microscope (Dino-Lite AM 2111 Basic, AnMo Electronic Co. Taiwan) terlihat secara jelas pustul-pustul tersebut adalah uredinium berisi urediniospora (Gambar 1d). Konfirmasi dari irisan tipis menunjukkan adanya uredinium (Gambar 1e) dengan urediniospora berwarna cokelat kekuningan di dalamnya (Gambar 1f).

    Gambar 1 Gejala penyakit dan tanda patogen karat pada bawang daun. a, gejala serangan pada tajuk tanaman di lapangan; b, gejala pucuk daun menguning dan mengering (tanda lingkaran); c, uredinium patogen berupa pustul pada permukaan daun; d, uredinium (1) dan urediniospora (2); e, uredinium berisi urediniospora pada jaringan daun dan; f, urediniospora.

    a b

    e f

    c d

    1

    2

  • J Fitopatol Indones Widodo et al

    33

    Urediniospora berbentuk membulat sampai jorong dengan ukuran 11.96 – 17.93 × 10.03 – 13.98 μm.

    Jika dilihat dari uredinium yang tidak dikelilingi asesori (parafisis) (Gambar 1e) dan ornamentasi permukaan sporanya berupa duri yang lembut (ekilunet) (Gambar 1f) maka berdasarkan kunci identifikasi Hiratsuka dan Sato (1982) cendawan karat yang ditemukan menyerang bawang daun ini termasuk genus Puccinia. Menurut Henderson (2004) spesies yang menyerang bawang daun (Allium fistulosum) dan spesies Allium yang lain adalah Puccinia allii Rud. Selain P. allii juga dilaporkan spesies cendawan karat lainnya, yaitu Uromyces durus yang diketahui terdapat pada A. nipponicum (Ito 1923). Sebaran inang dari spesies tersebut hanya diketahui menyerang tanaman genus Allium. Menurut Pusat Karantina Pertanian (1988) penyakit karat ini kadang-kadang ditemukan pada pertanaman bawang putih di Sumatera, Jawa dan Bali, tetapi sejauh ini belum ada publikasi ilmiah resmi di Indonesia yang menunjukkan hal tersebut. Sejauh pengamatan yang telah dilakukan oleh Klinik Tanaman Departemen Proteksi Tanaman, IPB penyakit tersebut belum pernah ditemukan di lapangan

    sebelumnya. Sementara itu menurut petani di Kabupaten Minahasa Selatan keberadaan penyakit karat ini pada bawang daun baru dialami pada tahun 2016. Berdasarkan data EPPO Global Database (2011) distribusi penyakit tersebut belum ada di Indonesia, tetapi negara terdekat yang telah melaporkan penyakit ini ialah Filipina. Penyakit ini akan berkembang secara optimum jika kelembapan udara sekitar 97% dan kisaran suhu 10–15 °C (Hill 1995). Kondisi lingkungan ini sangat memungkinkan terjadi di daerah survei yang ketinggiannya antara 1080–1100 m dari permukaan laut ketika suhu udaranya sesuai bagi perkembangan penyakit tersebut.

    Dari contoh lahan di empat desa yang diamati, insidensi penyakit mencapai 100% dan keparahan penyakit berkisar 30%–50%. Insidensi yang tinggi ini sangat mungkin terjadi, karena urediniospora P. allii sangat mudah dipencarkan oleh angin (Hill 1995). Beberapa petani di tempat survei yang telah melakukan pengendalian dengan fungisida berbahan aktif campuran difenokonazol dan azoxistrobin menunjukkan tingkat keparahannya rendah (Gambar 2). Meskipun bahan aktif fungisida tersebut saat ini efektif mengendalikan, tetapi pemantauan secara rutin kemungkinan

    Gambar 2 Tingkat