25
1 ANALISIS DAYA SAING KOMODITI JAGUNG DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP AGRIBISNIS JAGUNG DI NUSA TENGGARA BARAT PASCA KRISIS EKONOMI IKIN SADIKIN 1) Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Departemen Pertanian RI, Bogor ABSTRACT The objective of this study was to analyze comparative and competitive advantage of NTB corn production. Primary and secondary data were collected by interviewing corn farmers, farmer groups, corn traders, and any corn agribusiness corn institutional in NTB. The survey was conducted from December 1998 up to January 1999. The data resulted were analyzed by Policy Analysis Matrix (PAM). The results of analysis, including sensitivity analysis showed that NTB corn production after crisis periode have rel atively hight and stable both comparative and competitive as to reflected by PCR dan DRCR values less than one. The efficiency able to increase by deregulation government policies distortion on output and input tradable as well as domestic input. The deregulation can be by reduction tariff import or tradable input, corn seeds, fertilizer, and pesticide. Key word: Competitiveness, government policies, corn, pasca crisis. PENDAHULUAN Meskipun jagung di Indonesia merupakan komoditi pangan terpenting ke dua setelah padi/beras, namun bagi kehidupan sebagian masyarakat petani di daerah Nusa Tenggara Barat (NTB) sampai tahapan sekarang, jagung masih merupakan komoditi pangan andalan. Jagung selain sebagai sumber pendapatan dan lapangan kerja, juga sebagai komoditi tradable yang dapat menghasilkan devisa negara melalui ekspor, khususnya di masa-masa mendatang. Di masa depan terdapat indikasi kuat bahwa tingkat permintaan jagung oleh industri akan terus meningkat, seiring dengan penambahan penduduk dan peningkatan kesadaran gizi masyarakat, meskipun tingkat partisipasi konsumsi dan tingkat konsumsi rumah tangga cenderung akan menurun, baik secara regional (di NTB) maupun secara nasional (di Indonesia). Tingkat konsumsi jagung rumah tangga di NTB menurun dari 16,8 kg/kap/thn pada tahun 1990, menjadi 13,9 kg/kap/thn pada tahun 1998, dan di tingkat nasional menurun dari 9,72 kg/kap/thn pada tahun 1990, menjadi 6,81 kg/kap/thn pada tahun 1993 (Diperta NTB, 1998, Departemen Pertanian, 1999). Sementara tingkat partisipasi konsumsi keluarga menurun dari 52,3 persen pada tahun 1993 menjadi 46,3 persen pada tahun 1996 (Erwidodo, et al. 1998). 1) Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Bogor

Daya Saing Jagung Febri Irawan 05091002006 Teknik Pertanian UNSRI

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Daya Saing Jagung Febri Irawan 05091002006 Teknik Pertanian UNSRI

1

ANALISIS DAYA SAING KOMODITI JAGUNG DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP AGRIBISNIS JAGUNG DI

NUSA TENGGARA BARAT PASCA KRISIS EKONOMI

IKIN SADIKIN 1)

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Departemen Pertanian RI, Bogor

ABSTRACT

The objective of this study was to analyze comparative and competitive advantage of NTB corn production. Primary and secondary data were collected by interviewing corn farmers, farmer groups, corn traders, and any corn agribusiness corn institutional in NTB. The survey was conducted from December 1998 up to January 1999. The data resulted were analyzed by Policy Analysis Matrix (PAM). The results of analysis, including sensitivity analysis showed that NTB corn production after crisis periode have rel atively hight and stable both comparative and competitive as to reflected by PCR dan DRCR values less than one. The efficiency able to increase by deregulation government policies distortion on output and input tradable as well as domestic input. The deregulation can be by reduction tariff import or tradable input, corn seeds, fertilizer, and pesticide. Key word: Competitiveness, government policies, corn, pasca crisis.

PENDAHULUAN Meskipun jagung di Indonesia merupakan komoditi pangan terpenting ke dua setelah

padi/beras, namun bagi kehidupan sebagian masyarakat petani di daerah Nusa Tenggara

Barat (NTB) sampai tahapan sekarang, jagung masih merupakan komoditi pangan andalan.

Jagung selain sebagai sumber pendapatan dan lapangan kerja, juga sebagai komoditi tradable

yang dapat menghasilkan devisa negara melalui ekspor, khususnya di masa-masa mendatang.

Di masa depan terdapat indikasi kuat bahwa tingkat permintaan jagung oleh industri akan

terus meningkat, seiring dengan penambahan penduduk dan peningkatan kesadaran gizi

masyarakat, meskipun tingkat partisipasi konsumsi dan tingkat konsumsi rumah tangga

cenderung akan menurun, baik secara regional (di NTB) maupun secara nasional (di

Indonesia).

Tingkat konsumsi jagung rumah tangga di NTB menurun dari 16,8 kg/kap/thn pada

tahun 1990, menjadi 13,9 kg/kap/thn pada tahun 1998, dan di tingkat nasional menurun

dari 9,72 kg/kap/thn pada tahun 1990, menjadi 6,81 kg/kap/thn pada tahun 1993 (Diperta

NTB, 1998, Departemen Pertanian, 1999). Sementara tingkat partisipasi konsumsi keluarga

menurun dari 52,3 persen pada tahun 1993 menjadi 46,3 persen pada tahun 1996 (Erwidodo,

et al. 1998).

1) Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Bogor

Page 2: Daya Saing Jagung Febri Irawan 05091002006 Teknik Pertanian UNSRI

2

Dilihat dari segi laju peningkatan produksi jagung dalam dua dekade belakangan

(1984-1999), ternyata masih mengalami peningkatan cukup tinggi, yaitu mencapai 5,36

persen per tahun di NTB dan 5,18 persen per tahun di Indonesia. Tetapi karena lebih

cepatnya laju peningkatan kebutuhan/permintaan jagung untuk bahan baku industri,

khususnya industri pakan ternak, yaitu 11,98 persen per tahun (Sekretaris BP Bimas, 1998,

dan Sudaryanto, et al. 1998), maka terjadi kesenjangan produksi jagung domestik yang cukup

tinggi, yaitu sekitar 0,83 juta ton pada tahun 1996, dan meningkat menjadi 6,03 juta ton pada

tahun 2010 (PSE, 2000), dan dalam rangka memenuhi kesenjangan tersebut, Indonesia masih

mengimpor jagung sekitar 364.884 ton setiap tahun dari berbagai pasar jagung dunia.

Dalam konteks Asia. Indonesia saat ini berada pada peringkat ke lima negara importer

jagung terbesar setelah Jepang, Republik Korea, China, dan Malaysia (FAO, 1999). Pada

tahun 2000, volume impor jagung Indonesia mencapai sekitar 591.856 ton yang bernilai US $

71,12 juta (posisi Agustus) yang sebagian besar dipasok dari China 79,07 %, Argentina 9,55

%, dan Thailand 8,77 % (Badan Pusat Statistik, 2000).

Laju volume dan nilai impor jagung Indonesia selama dua dekade tahun terakhir

meningkat sekitar 290 persen dan 227 persen per tahun. Meskipun bila dibandingkan antara

periode sebelum krisis versus setelah krisis berlangsung, nampak adanya polarisasi laju

volume dan nilai impor jagung yang cukup tajam, yaitu dengan laju masing-masing

meningkat 339 persen dan 267 persen per tahun sebelum masa krisis versus menurun -25

persen dan -31 persen per tahun pada saat setelah krisis ekonomi berlangsung (1998).

Meskipun pada saat-saat tertentu Indonesia mengimpor jagung cukup tinggi; tapi di

saat-saat lain (musim panen raya) Indonesia juga melakukan ekspor ke beberapa negara Asia.

Volume dan nilai ekspor jagung Indonesia selama dua dekade terakhir meningkat dengan

laju 354 persen dan 239 persen per tahun. Di mana pada saat sebelum krisis, ekspor jagung

Indonesia rata-rata hanya 69.840 ton ($ 9,1 juta) per tahun, dan setelah krisis meningkat

menjadi 234.572 ton ($ 24,58 juta) per tahun. Fenomena inilah yang sedikit-banyak dapat

menggambarkan prospek dan kemampuan daya saing jagung Indonesia di masa-masa

mendatang.

Banyak data hasil penelitian menunjukkan bahwa daya saing jagung Indonesia cukup

baik, sebagaimana diperlihatkan oleh nilai koefisien DRC (DRCR) yang lebih kecil dari satu.

DRCR di daerah luar Jawa 0,52 – 0,73, dan di daerah Jawa 0,54– 0,92. Hal ini

mengindikasikan bahwa penggunaan sumber daya domestik dalam usaha memproduksi

jagung di dalam negeri lebih efisien dibanding dengan melakukan impor, sebab setiap satuan

Page 3: Daya Saing Jagung Febri Irawan 05091002006 Teknik Pertanian UNSRI

3

devisa yang dihasilkan dari produksi jagung di Indonesia hanya memerlukan modal sumber

daya domestik sekitar 52–73 persen. Sementara itu, untuk menghasilkan satu satuan devisa

dalam memproduksi jagung di daerah Nusa Tenggara dan Bali, sebelum masa krisis,

diperlukan modal sumber daya domestik sebesar 52-73 persen (Suryana, 1980; Oktaviani,

1991; Haryono, 1991, 1998; Adnyana et al. 1994, 1996; Kariyasa, et al. 1995; Hutabarat, et

al. 1997; Buharman, et al. 1998; Kariyasa dan Adnyana, 1998; Sadikin, et al. 1998; dan

Sadikin, 1999, 2000).

Berdasarkan informasi tersebut yang diiringi dengan proses penyejagatan ekonomi di

tingkat dunia, maka masalah perdagangan jagung di Indonesia, tidak terlepas dari situasi

perdagangan jagung di tingkat internasional, nasional, dan regional. Oleh sebab itu maka

daya saing jagung Indonesia, khususnya di NTB perlu diteliti bagaimana keunggulan

kompetitif, komparatif, dan dampak kebijakan pemerintah dalam penerapan harga dan

mekanisme pasar jagung setelah tiga tahun masa krisis berlangsung (1997).

METODOLOGI PENELITIAN

Lokasi dan Cakupan Data Penelitian

Lokasi penelitian adalah di Kecamatan Plampang Kabupaten Sumbawa, Propinsi

NTB. Daerah kabupaten ini dipilih secara sengaja dengan kriteria : (1) sebagi salah satu

daerah sentra produksi jagung di NTB, dan (2) berpontensi sebagai daerah pengembangan

jagung dimasa-masa mendatang (IPPTP, 1996). Pengumpulan data dilakukan pada bulan

Desember 1998 sampai Januari 1999 melalui wawancara langsung dengan petani, kelompok

tani, pedagang saprodi, pedagang jagung, pemilik/supir truk, dan instansi terkait lainnya. Di

kabupaten Sumbawa dipilih lima desa tipikal yang mewakili sebagian besar kondisi

lingkungan sistim agribisnis pertanian (SUP) jagung. Dalam hal ini petani dimaksud adalah

petani peserta kemitraan SUP jagung Bisma yang dibina oleh Badan Litbang Pertanian.

Penelitian ini menganalisis hasil produksi jagung MT 1997/1998, di mana saat itu

situasi perekonomian Indonesia sudah dilanda krisis yang dimulai sejak krisis moneter pada

bulan Juli 1997. Dalam kerangka itu, maka analisis daya saing jagung dalam penelitian ini

diilustrasikan sebagai “pasca krisis”.

Page 4: Daya Saing Jagung Febri Irawan 05091002006 Teknik Pertanian UNSRI

4

Metode Analisis

Terdapat banyak metode pendekatan dan teori untuk mengestimasi daya saing

komoditi, di mana kesemua cara pendekatan dan teori tersebut memiliki kelebihan dan

kekurangan masing-masing yang memerlukan pemecahan. Salah satu cara pendekatan yang

dipandang efisien adalah metode PAM (Policy Analysis Matrix) yang telah kembangkan oleh

Monke dan Person sejak tahun 1987. Oleh sebab itu metode yang digunakan dalam penelitian

ini adalah pendekatan keunggulan kompetitif dan komparitif model PAM dengan formulasi

seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Matriks Analisis Kebijakan (PAM)

Keterangan Penerimaan Biaya Keuntungan

Input Tradable

Input non Tradable

Harga privat Harga sosial Dampak Kebijakan

A E I

B F J

C G K

D H L

Sumber : Monke and S.R. Pearson (1995). Keterangan : Keuntungan Privat (D) = (A) - (B) - (C) Keuntungan Sosial (H) = (E) - (F) - (G) Transfer Output (I) = (A) - (E) Transfer Input (J) = (B) - (F) Transfer Factor (K) = (C) - (G) Transfer Bersih (L) = (D) - (H) = I - (J + K) Rasio biaya private (PCR) = C / (A-B) Rasio biaya sumberdaya domestik (DRCR) = G / (E-F) Koefisien proteksi output nominal (NPCO) = A/E Koefisien proteksi input nominal (NPCI) = B / F Koefisien proteksi efektif (EPC) = (A-B) / (E-F) Koefisien keuntungan (PC) = D / H Rasio subsidi untuk produsen (SRP) = L / E

Kelebihan model PAM ini adalah selain diperoleh koefisien DRCR (Domestic

Resource Cost Ratio) sebagai indikator keunggulan komparatif, analisis ini juga dapat

menghasilkan beberapa indikator lain yang berkait dengan variabel daya saing, seperti PCR

(Private Cost Ratio) untuk menilai keunggulan kompetitif, NPCO (Nominal Protection

Coefficient on tradable Output), NPCI (Nominal Protection Coefficient on tradable Inputs),

EPC (Effective Protection Coefficient), PC (Protitability Coeffisient), dan SRP (Subsidy Ratio

to Producers). Untuk mendapatkan nilai-nilai koefisien tersebut, setiap unit biaya (input),

output, dan keuntungan dikelompokkan ke dalam harga pasar (privat) dan harga sosial. Dari

selisih perhitungan berdasarkan kedua kelompok harga tersebut diperoleh angka transfer

untuk menilai dampak dari penerapan kebijakan pemerintah yang berlaku pada agribisnis

jagung dan mengukur dampak dari adanya kemencengan (failure) pasar.

Page 5: Daya Saing Jagung Febri Irawan 05091002006 Teknik Pertanian UNSRI

5

Ada tiga rejim perdagangan yang dianalisis, yaitu (1) pola substitusi impor (IS) yang

memperbandingkan produksi jagung domestik dengan jagung varitas impor di tingkat

pedagang besar di kabupaten Sumbawa, (2) pola perdagangan antar daerah (IR) yang

mempertandingkan produksi jagung domestik di tingkat pedagang besar di di Surabaya-

Jatim, dan (3) pola promosi ekspor (EP) yang mempertandingkan produksi jagung domestik

dengan jagung varitas ekspor di tingkat pedagang besar di pelabuhan ekspor, Surabaya.

Tahapan Analisis Data

Ada empat tahapan yang dilakukan dalam menganalisa daya saing jagung pada

penelitian ini, yaitu (1) mengidentifikasi seluruh input dan output agribisnis jagung serta

melakukan penyesuaian beberapa aktivitas kedalam kerangka teori/model analisis PAM, (2)

menentukan pilihan setiap unsur biaya input dan output ke dalam komponen faktor tradable

dan domestik, (3) menentukan taksiran harga sosial (bayangan) input dan output produksi

jagung, dan (4) menentukan titik rejim atau pola perdagangan.

Dalam tahapan pertama tidak ditemukan masalah yang berarti. Hanya saja terdapat

beberapa variabel atau aktivitas yang (terpaksa) dilakukan penyesuaian, seperti pada : (a)

Penggunaan tenagakerja yang dilakukan secara gotong royong atau tidak diupahkan. Dalam

penelitian ini dipakai total nilai konsumsi yang dikeluarkan petani sebagai upah kerja harian,

(b) Tenagakerja keluarga dinilai sebagai tenagakerja upahan, setelah terlebih dulu diboboti

dengan standar satuan unit tenagakerja orang dewasa, (c) Produksi jagung yang dipanen

dalam bentuk kelobot berkulit kering dikonversi dengan standar jagung pipilan kering sebesar

52 persen (Badan Pusat Statistik, 1996), dan (d) untuk analisis daya saing, karena kualitas

jagung yang dihasilkan petani berbeda dengan kualitas jagung impor, maka dikonversi

sebesar 95 % (Suryana, 1980).

Untuk memisahkan setiap komponen biaya input dan output ke dalam komponen

faktor tradable dan domestik, digunakan pendekatan langsung (direct approach). Cara ini

dipakai karena lebih sesuai dengan kondisi lapangan, di mana pada saat penelitian ini

dilakukan, petani sebagai produsen masih menerima subsidi input modern dari pemerintah.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dalam penelitian ini ditetapkan pemisahan

komponen tradable dan domestik seperti pada Tabel 2.

Untuk menetapkan harga sosial (bayangan), digunakan harga perbatasan FOB (Free

On Board) jika input atau output sedang diekspor, dan memakai harga CIF (Cost Insurance

and Freight) jika input atau output sedang diimpor. Hal ini dilakukan karena harga sosial

sungguhan yang berlaku dalam keadaan pasar bersaing sempurna dan pada kondisi

Page 6: Daya Saing Jagung Febri Irawan 05091002006 Teknik Pertanian UNSRI

6

keseimbangan tidak (akan) pernah ada (Gittingger, 1982). Berkaitan dengan hal ini, harga

sosial tenagakerja ditetapkan 75 persen dari harga privat. Sebab sebagian besar tenagakerja

ini termasuk tenaga kurang terdidik yang produktivitasnya tergolong rendah. Disamping itu,

pada waktu penelitian dilakukan sedang banyak tenagakerja menganggur atau di PHK, karena

perusahaan tempat mereka bekerja bangkrut diterpa krisis ekonomi, sehingga diduga sekitar

25 persen angkatan kerja kehilangan pekerjaannya.

Tabel 2. Skenario Penetapan Komponen Biaya Tradable dan Domestik Agribisnis Jagung di Nusa

Tenggaran Barat (Angka-Angka dalam Persen) Komponen biaya input

output Tradable Domestik Pajak Keterangan/sumber

1. Benih : - Analisa a - Analisa b 2. Pupuk Urea, TSP/SP36 - Analisa a

- Analisa b 3. Pupuk KCL, Pestisida 4. Pupuk Kandang 5.Tenagakerja/Sewa lahan 6. Penyusutan Alat 7. Pengangkutan 8. Penanganan 9. Bunga modal

100 80 100

34,70 100 0 0

75/50 45,48 36,49

0 0

0 20 0

64,23 0

100 100

25/50 53,47 62,73 100 18

0 0 0

1,07 0 0 0 0

1,05 0,78

0 0

- Untuk analisa daya saing - Untuk analisa kebijakan - data BPS (1999a) - Untuk analisa daya saing - Untuk analisa kebijakan - Analisa data BPS (1999a) - Analisas data primer - Analisas data primer - Suryana (1980) - Analisa data BPS (1999b) - Analisa data BPS (1999b) - Analisa data BI (2000)

Sementara itu, harga sosial nilai tukar rupiah ditetapkan berdasarkan pendekatan SCF

(Standard Conversion Factor) seperti telah digunakan oleh para peneliti yang lain, yaitu

dengan membandingkan semua nilai impor dan ekspor (berdasarkan harga batas) dengan nilai-

nilai berdasarkan harga domestik. Secara matematis formulasi untuk mencari nilai SCF tersebut

dapat dirumuskan sebagai berikut (Gitinger, 1982; Tinbergen dalam Jhingan, 1988; Kadariah,

1988; dan Djamin, 1984).

SCFt = Mt + Xt ; SERt = OERt

(Mt + Tmt) + (Xt - Txt) SCFt

Disini, SCFt = Factor konversi baku untuk tahun t, Mt =Nilai impor pada tahun t, Xt =

Nilai ekspor pada tahun t, Tmt = Pajak impor pada tahun t, dan Txt = Pajak ekspor pada tahun t,

OERt = Nilai tukar resmi (Official Exchange Rate) pada tahun t, SERt = Nilai tukar bayangan

(Shadow Exchange Rate) pada tahun t (t dimaksud adalah tahun 1998).

Page 7: Daya Saing Jagung Febri Irawan 05091002006 Teknik Pertanian UNSRI

7

Mengingat analisis daya saing jagung ini bersifat statis, maka untuk merefleksikan

kedinamisan analisis akan didekati dengan analisa kepekaan. Ada beberapa variabel kunci

yang di diduga kuat berpengaruh terhadap tingkat daya saing jagung di NTB, yaitu : (1)

Peningkatan harga input, pupuk Urea, TSP/KCL sebesar 30 persen-ditetapkan berdasarkan

harga taksiran, hasil diskusi dengan pedagang input saprodi, (2) Penurunan produksi jagung

(disini penurunan produksi ditetapkan sebesar 11 %-didasarkan kepada laju penurunan

produksi jagung Indonesia selama tiga tahun pasca krisis berlangsung), (3) Penurunan nilai

tukar rupiah terhadap dolar AS sebesar 20 %-ditetapkan berdasarkan rataan nilai kurs Rupiah

tahun 1998 yaitu Rp 8.025/$ US menjadi Rp 9.600/$ US,-sebagai nilai tukar resmi yang

ditetapkan oleh pemerintah), (4) Peningkatan bunga Bank 24 persen per tahun-ditetapkan

berdasarkan tingkat suku bunga modal Bank komersial, dan (5) Gabungan dari ke-4 faktor

variabel kunci tersebut, jika terjadi serentak pada saat yang bersamaan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kinerja Agribisnis Jagung di Nusa Tenggara Barat

Dalam konteks Indonesia, areal panen dan produksi jagung di propinsi NTB berada

pada peringkat ke-15 tertinggi. Selama kurun waktu dua dekade (1984-1999) rata-rata luas

areal panen jagung di NTB mencapai 27.302 ha/tahun atau meningkat dengan laju sekitar

2,68 persen/tahun. Sementara laju produksi jagung dalam kurun waktu yang sama mencapai

49.490 ton/tahun atau meningkat dengan laju 5,36 persen/ tahun. Lebih cepatnya peningkatan

produksi daripada luas panen, mengindikasikan adanya perbaikan penggunaan teknologi

(bibit unggul, pupuk, dsb). Prestasi ini untuk daerah kawasan Timur Indonesia, adalah

termasuk cukup baik, sebab secara nasional, rata-rata laju peningkatan tersebut hanya

mencapai 2,06 persen dan 5,18 persen per tahun (Tabel 3).

Hal ini akan terlihat lebih jelas lagi bila dibandingkan antara laju produktivitas pada

saat kondisi sebelum krisis (1984-1997) dan setelah masa krisis berlangsung (1997-1999).

Tingkat laju produktivitas jagung di NTB sebelum masa krisis mencapai 1,85 persen (17,82

kw/ha) per tahun, setelah masa krisis meningkat menjadi 0,16 persen (25,48 kw/ha) per

tahun. Sementara, laju peningkatan luas areal panen pada periode tersebut adalah mencapai

3,23 persen versus -0,91 persen per tahun.

Seiring dengan perubahan kinerja agribisnis jagung secara regional di NTB.

perubahan juga terjadi di tingkat Nasional, hanya saja derajat perubahannya yang sedikit

berbeda, di mana laju areal panen, produksi dan produktivitas jagung di Indonesia sebelum

Page 8: Daya Saing Jagung Febri Irawan 05091002006 Teknik Pertanian UNSRI

8

krisis mencapai 2,56 persen, 5,50 persen, dan –1,05 persen per tahun, dan setelah masa krisis

menurun menjadi –1,17 persen, 3,07 persen, dan –1,14 persen per tahun.

Tabel 3. Perkembangan Luas Panen, Produksi, Impor, dan Ekspor Jagung Di NTB dan Indonesia (1984-1999)

TAHUN LUAS PANEN PRODUKSI IMPOR EKSPOR

NTB INDO NTB INDO VOL NILAI VOL NILAI 1984 31654 3086.25 51343 5287.82 59251 9530 159853 21808

1985 22767 2439.97 34606 4329.5 49863 6965 3489 610 1986 15385 3142.76 19524 5920.37 57800 6280 4433 732 1987 18541 2626.03 28460 5155.68 221000 24860 4680 664 1988 22630 3405.75 38128 6651.92 63500 8400 37404 4710 1989 26569 2944.2 48310 6192.51 39600 5680 233900 28260 1990 24012 3158.09 45258 6734.03 9100 1700 141800 16780 1991 26594 2909.1 50905 6255.91 323300 45950 33200 3870 1992 19525 3629.35 37548 7995.46 55900 8310 149700 19000 1993 26295 2939.53 51650 6459.74 494500 68040 60800 7940 1994 27772 3109.4 51647 6868.88 1118300 153510 37400 5620 1995 29556 3651.84 52197 8245.9 969145 152759 74880 10428 1996 34570 3743.57 65472 9307.42 616888 130704 21819 4075 1997 36070 3550.04 70702 8770.85 1098013 166698 14399 2388 1998 39971 3847.81 77412 10169.77 298236 44094 604559 61508 1999 34923 3434.93 68672 9172.28 363742 48904 84757 9833

Rataan 1984-99

27302.1 3226.16 49489.6 7094.88 364884 55149 104192.1 12389.13

Rataan 1984-97

25852.9 3166.85 46125 6726.86 369726 56384.71 69839.79 9063.214

Rataan 1997-99

46088.7 4686.31 88758.5 11735.9 708292 104948.3 269302.4 28706.04

Tren 1984-99

2.68 2.06 5.36 5.18 290.32 227.06 353.63 238.92 Tren 1984-97

3.23 2.56 6.32 5.50 338.89 266.81 99.37 91.69 Tren 1997-99

-0.91 -1.17 -0.90 3.07 -25.44 -31.32 2006.32 1195.85

Sumber : BPS, 1985-2000, dan FAO, 1985-1999 (diolah)

Dengan menyimak prakiraan produksi dan permintaan jagung Indonesia tersebut,

diprakirakan dalam periode tahun 2000 sampai 2010 akan mengalami kesenjangan produksi

sekitar 3,85 juta ton per tahun (PSE, 2000). Untuk memenuhi kesenjangan permintaan

tersebut, sangat “rasional” bila Indonesia tiap tahun terus melakukan impor jagung dari pasar

dunia. Namun demikian, bila dikaitkan dengan semakin langkanya persediaan devisa negara

dalam beberapa tahun terakhir ini, dapat dipandang impor jagung sebagai barang yang “lux”.

Di satu pihak sudah terjadi penurunan laju produksi/penawaran jagung di Indonesia,

sedangkan dilain pihak permintaan (konsumsi) jagung terus meningkat sejalan dengan

kebutuhan bahan baku industri pakan ternak dan industri makanan lainnya. Menurut

Page 9: Daya Saing Jagung Febri Irawan 05091002006 Teknik Pertanian UNSRI

9

prakiraan (Subandi, et al. 1988) pada tahun 2000 permintaan jagung dalam negeri mencapai

8,87 ton, di mana 56 % di antaranya adalah untuk kebutuhan ternak, 41 % untuk kebutuhan

pangan dan industri lain, dan 4 % untuk memenuhi kebutuhan benih. Kemudian menurut

prakiraan (PSE, 1997), untuk total permintaan konsumsi pangan dan industri pengolah pada

tahun 2001, 2002, dan 2003 diproyeksikan mencapai 13,63 juta ton, 14,20 juta ton, dan 14,75

juta ton, dan mencapai sekitar 15,95 juta ton pada tahun 2010.

Rataan Impor jagung Indonesia selama dua dekade terakhir, mencapai 364.884

ton/tahun atau senilai US $ 55,15 juta/tahun, dengan laju peningkatan 290,32 persen dan

227,1 persen per tahun. Laju peningkatan impor jagung ini lebih besar terjadi pada masa

sebelum krisis dibanding pada saat pasca krisis, yaitu mencapai 338,9 persen per tahun versus

–25,44 persen per tahun (Tabel 3). Tajamnya penurunan laju impor jagung pada masa pasca

krisis, nampaknya bukan disebabkan oleh rendahnya kebutuhan jagung domestik, tetapi lebih

disebabkan oleh menurunnya apresiasi nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing,

khususnya terhadap dolar AS, sehingga harga jagung impor Indonesia tergolong relatif

mahal.

Mahalnya harga jagung ekspor dan fluktuatifnya musim panen jagung Indonesia,

berpengaruh positif terhadap peningkatan laju ekspor jagung pada masa pasca krisis, sebab

saat itu ekspor jagung mencapai lebih dari 2.006 persen per tahun. Di saat itu daya saing

jagung Indonesia meningkat, sehingga Indonesia menempati peringkat ke-7 (dari peringkat

ke-17) sebagai negara eksportir jagung di Dunia. Oleh sebab itu tidak heran pada tahun 1998,

ekspor jagung Indonesia mencapai puncaknya selama dua dekade-bahkan sepanjang sejarah

negara Republik ini berdiri-, yaitu mencapai 604.560 ton atau setara dengan 5.414,42 miliar

Rupiah.

Analisis Daya Saing Komoditi Jagung

Daya saing komoditi jagung dalam penelitian diukur dengan keunggulan komparatif

dan keunggulan kompetitif. Seedangkan keunggulan kompetitif dalam analisis PAM dapat

diukur dengan koefisien PCR (Private Coefficient Ratio). PCR merupakan rasio antara biaya

faktor domestik dengan nilai tambah output dari biaya input tradable yang di perdagangkan

pada harga private. Hasil analisis (Tabel 4) menunjukkan bahwa angka PCR adalah 0,65;

0,60; dan 0,47; masing-masing untuk rejim perdagangan substitusi impor (IS); perdagangan

antar daerah (IR); dan promosi ekspor (EP). Hal ini berarti bahwa komoditi jagung di NTB

memiliki keunggulan kompetitif cukup tinggi, sebab secara teknis usahatani jagung tersebut

efisien dan secara finansial menguntungkan. Dengan kata lain, untuk meningkatkan nilai

Page 10: Daya Saing Jagung Febri Irawan 05091002006 Teknik Pertanian UNSRI

10

tambah output sebesar satu satuan diperlukan tambahan biaya factor domestik sebesar 0,47 –

0,65 satu satuan.

Tabel 4. Hasil Analisis PAM Produksi Jagung per Hektar di NTB (1998)

Deskripsi PCR DCR

IS IR EP IS IR EP Angka Dasar 0.646 0.598 0.475 0.208 0.509 0.437 Skenario-1 0.660 0.608 0.481 0.283 0.536 0.461 Skenario-2 0.732 0.686 0.541 0.236 0.585 0.501 Skenario-3 0.471 0.490 0.341 0.151 0.413 0.314 Skenario-4 0.654 0.607 0.481 0.211 0.516 0.444 Skenario-5 0.677 0.646 0.502 0.293 0.578 0.489 Sumber : Diolah dari Data Primer. Keterangan: Skenario-1 = harga input naik sebesar 30 %

Skenario-2 = produksi jagung menurun 11 % Skenario-3 = apresiasi nilai tukar rupiah turun 20 % Skenario-4 = suku bunga Bank naik 24 %/tahun Skenario-5 = skenario-1sampai skenario-4 terjadi bersamaan PCR = Private Coefficient Ratio

DCR = Domestic Coefficient Ratio

Dilihat dari segi resiko bisnis, secara finansial usahatani jagung di NTB, juga

tergolong beresiko rendah, sebab resisten terhadap berbagai gejolak perubahan variabel kunci

(usahatani), seperti diperlihatkan oleh hasil analisis sensitivitas lima skenario (Tabel 4).

Hasil analisis sensitivitas dari skenario-1 (harga input turun sebesar 30 persen), ceteris

paribus, skenario-2 (produksi jagung turun 11 persen), ceteris paribus, skenario-3 (apresiasi

nilai tukar rupiah terhadap dolar turun 20 persen), ceteris paribus, dan skenario-4 (suku

bunga meningkat 24 persen/tahun), ceteris paribus, menunjukkan hasil yang efisien; dan

bahkan bila perubahan tersebut terjadi pada seluruh variabel secara serentak dalam waktu

yang bersamaan (skenario-5), menunjukkan bahwa untuk seluruh rejim/pola perdagangan,

masih tetap memberikan angka PCR lebih kecil dari satu, yaitu berkisar antara 0,47 - 0,68

untuk pola IS; 0,49 - 0,69 untuk pola IR; dan 0,34 – 0,54 untuk pola EP. Ini berarti usahatani

jagung di NTB secara finansial menguntugkan dan resisten terhadap berbagai gejolak yang

mengancam kelangsungan usahanya.

Selain NTB, daerah propinsi lain yang memiliki tingkat resiko rendah dalam

usahatani jagung, diantaranya adalah Lampung, Jambi, Bengkulu, Sulawesi Selatan, dan di

daerah Propinsi-Propinsi di Jawa seperti dilaporkan oleh peneliti terdahulu (Oktaviani, 1991,

Puslitbangtan, 1995, Adnyana, et al. 1995, Hutabarat, et al. 1997, Sadikin, 2000).

Page 11: Daya Saing Jagung Febri Irawan 05091002006 Teknik Pertanian UNSRI

11

Tingkat efisiensi teknik selain diukur dengan nilai PCR, juga sudah lazim digunakan

dengan angka rasio B/C. Nilai rasio B/C agribisnis jagung sebelum krisis, dalam hal ini pada

MT 1996/1997 adalah berkisar antara 1,48 - 1,67 (Diperta Kabupaten Sumbawa, 1998); 1,47

- 1,67 (Balitjas, 1998); dan 1,97 - 2,76 (Adnyana dan Kariyasa, 1998). Sementara nilai B/C

agribisnis jagung setelah krisis berlangsung berkisar antara 1,87 - 1,94 (IPPTP Mataram,

1998). Dengan memperhatikan besaran angka rasio B/C pada periode sebelum dan setelah

masa krisis berlangsung, menjadi jelas bahwa usahatani jagung tersebut tetap efisien dan

menguntungkan. Namun demikian, walaupun secara teknik efisien, belum tentu (linier)

secara ekonomi efisien (Teken, 1965; Solow, 1983).

Untuk mengetahui tingkat efisiensi ekonomi yang juga dapat merefleksikan

keunggulan komparatif atau daya saing komiditi jagung di NTB digambarkan dengan angka

DRCR (Domestic Resource Cost Ratio). Dalam hal ini bila nilai DRCR lebih kecil dari satu,

berarti bahwa memproduksi jagung di NTB efisien dipandang dari segi penggunaan

sumberdaya domestik. Dengan kata lain, secara ekonomik memproduksi jagung dalam negeri

lebih efisien dan menguntungkan daripada melakukan impor. Sebaliknya jika nilai DRCR

lebih besar dari satu, berarti memproduksi jagung di NTB tidak efisien dipandang dari segi

pemakaian sumberdaya domestik dan secara regionalitas terjadi diskomparatif, atau dengan

kata lain tingkat daya saing jagung di NTB termasuk rendah.

Berdasarkan hasil analisis PAM seperti disajikan pada Tabel 4, nampak bahwa angka

DRCR usahatani jagung di NTB pada ketiga pola perdagangan lebih kecil dari satu, yaitu

masing-masing 0,21 (pola IS), 0,51 (pola IR), dan 0,44 (pola EP). Hal ini mengindikasikan

bahwa usahatani jagung di NTB dipandang dari segi ekonomi sangat efisien dalam

menggunakan sumber daya domestik, sebab untuk menghasilkan devisa sebesar satu satuan

hanya dibutuhkan biaya faktor domestik sekitar 0,21-0,51 satuan. Ini berarti setiap satu dolar

devisa yang dihasilkan dalam memproduksi jagung di NTB mampu memberikan nilai tambah

sebesar 0,21-0,51 dolar. Sekali lagi, secara ekonomik (hasil analisis DRCR) ini menunjukkan

bahwa tingkat daya saing produksi jagung (Bisma) di NTB sangat tinggi.

Tingginya tingkat daya saing produksi jagung di NTB, terbukti secara lebih

meyakinkan setelah dilakukan analisis sensivitas DRCR dengan empat skenario perubahan

variabel kunci yang sangat berpengaruh dalam agribisnis jagung. Dengan skenario: (1)

Peningkatan harga input (tradable dan domestik) hingga 30 persen, ceteris paribus, (2)

Penurunan produksi jagung sampai 11 persen, ceteris paribus, (3) Penurunan apresiasi nilai

tukar rupiah terhadap dolar sebesar 20 persen, ceteris paribus, dan (4) Peningkatan tingkat

suku bunga sampai 24 persen/tahun, ceteris paribus, pada seluruh pola perdagangan (IS, IR,

Page 12: Daya Saing Jagung Febri Irawan 05091002006 Teknik Pertanian UNSRI

12

EP) masih tetap memberikan angka DRCR lebih kecil dari satu, yaitu masing-masing 0,15-

0,29 (IS); 0,41-0,58 (IR); dan 0,31-0,50 (EP). Bahkan bila skenario (5) terjadi, yaitu

keseluruhan variabel kunci tersebut terjadi secara serentak dalam waktu bersamaan; usahatani

usahatani jagung di NTB masih tetap efisien, sebab hasil analisis sensitivitas DRCR

menunjukkan kurang dari satu, yaitu 0,29-0,58. Ini berarti usahatani jagung di NTB dengan

pola kemitraan yang dibina Balitbang-Deptan tersebut komparable, dengan tingkat daya saing

sangat tinggi dan resisten terhadap berbagai gejolak perubahan yang biasanya mengancam

kelangsungan usahanya. Sedangkan di sisi lain, meski dari segi ekonomi cukup berhasil, tapi

secara kelembagaan, pola kemitraan tersebut dipandang kurang berhasil, sebab pada

prakteknya telah terjadi banyak penyimpangan dan pelanggaran kesepakatan yang tidak

“saling menguntungkan” diantara institusi para pelaku yang bermitra (Suradisatra, et al.

1999).

Tinggi atau meningkatnya daya saing komoditi jagung di NTB pada saat pasca krisis,

paling kurang, disebabkan oleh tiga hal, yaitu (a) meningkatnya apresiasi nilai mata uang

dolar terhadap rupiah (Rp 2.385-pra krisis vs. Rp 8.025-pasca krisis), yang berdampak pada

peningkatan harga jagung, (b) meningkatnya produktivitas jagung akibat penggunaan varietas

unggul (Bisma) dan pupuk anorganik (rataan produksi jagung 37,3 kw/ha vs. 17,58 kw/ha),

dan (c) tingginya kesenjangan harga-privat produksi jagung dibanding harga sosialnya (Rp

450/kg vs. Rp 1.186/kg).

Namun demikian, terlepas dari tiga hal tersebut, ke-efesienan produksi jagung

domestik tersebut tidak hanya terjadi pada saat pasca krisis, tetapi juga terjadi pada masa pra

krisis hampir diseluruh Propinsi (kecuali Irian Jaya dan Maluku), sebagaimana dilaporkan

oleh para peneliti terdahulu (Suryana, 1980, Rosegrant, et al. 1987, Rusastra, et al., 1989,

Simatupang dan E. Pasandaran, 1990, Kasryno, 1990, Djatiharti dan Rusatra, 1990,

Oktaviani, 1991, Haryono, 1991, 1998, Adnyana, et al., 1994, Puslitbangtan, 1995, Kariyasa,

et al., 1995, Hutabarat, et al., 1997, Buharman, et al., 1998, dan Sadikin 1999, 2000).

Dengan demikian tersimpul bahwa tingkat keunggulan komparatif atau daya saing

produksi komoditi jagung di NTB pada pasca krisis berlangsung lebih tinggi ketimbang

sebelum masa krisis, yaitu dengan kisaran angka DRCR 0,799 versus 0,21. Masalahnya

sekarang adalah bagaimana menciptakan iklim usaha produksi jagung ini dapat lebih

kondusif, sebab data pada Tabel 3 diperlihatkan dalam dua dekade tahun terakhir telah

terjadi kesenjangan yang mencolok antara peningkatan laju impor dengan laju produksi

jagung Indonesia, yaitu masing-masing 290,32 persen berbanding 5,18 persen per tahun.

Padahal peningkatan laju impor dan produksi jagung ditingkat Dunia dalam kurun waktu

Page 13: Daya Saing Jagung Febri Irawan 05091002006 Teknik Pertanian UNSRI

13

yang sama, masing-masing meningkat dengan laju sekitar 0,81 persen dan 1,95 persen per

tahun (FAO, 1985-1999).

Di sisi lain yang juga penting untuk diperhatikan adalah, bukan saja terletak pada

senjangnya neraca produksi dan impor-ekspor jagung Indonesia. Akan tetapi, juga masih

timpangnya distribusi regionalitas intensifikasi jagung antara daerah Jawa dan luar Jawa;

sebab, meskipun saat ini kontribusi produksi jagung luar Jawa terhadap produksi jagung

nasional hanya sekitar 39 persen. Tetapi menurut beberapa hasil penelitian menyebutkan,

adanya daerah-daerah di luar Jawa yang sangat berpotensi untuk pengembangan jagung

dimasa depan, dengan tingkat daya saing yang lebih baik dibanding dengan daerah Jawa

(DRCR 0,21 - 0,471 berbanding 0,540 - 0,922). Tanpa kecuali, termasuk pengusahaan jagung

di daerah lahan pasang surut atau rawa (Lampung) yang memiliki angka DRCR 0,556

(Puslitbangtan, 1995).

Dengan memperhatikan hasil analisis daya saing dan potensi ekonomik tersebut,

maka paling tidak terdapat dua masalah pokok yang harus segera dipecahkan, yaitu: (1)

Perbaikan teknologi produksi jagung di NTB harus dipacu 3-5 kali lebih cepat daripada

tingkat adopsi teknologi yang dicapai selama ini (termasuk intensifikasi, ekstensifikasi,

diversifikasi, rehabilitasi agribisnis), dan (b) Perbaikan mekanisme pasar jagung harus lebih

kondusif (termasuk kelembagaan, sarana, prasarana pasar input/output, dan perbaikan sistim

penanganan pasca panen). Tanpa ada upaya dan terobosan baru kearah itu, nampaknya

swasembada jagung yang telah dicanangkan pemerintah (Gema Palagung 2001), hampir

mustahil dapat tercapai sesuai dengan harapan.

Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Agribisnis Jagung

1. Dampak Kebijakan Harga dan Mekanisme Pasar Input

Instrumen kebijakan pemerintah yang sudah berangsur melepaskan subsidi input dan

pembentukan harga diserahkan kepada mekanisme pasar yang berlaku, menyebabkan adanya

kesenjangan antara harga yang diterima petani dengan harga sosial yang seharusnya. Untuk

mengetahi seberapa jauh efektivitas kebijakan harga input tersebut diukur dengan besaran

transfer input (IT), dan koefisien proteksi input nominal (NPCI).

Hasil analisis (Tabel 5) memperlihatkan bahwa angka NPCI untuk ketiga rejim

perdagangan adalah lebih kecil dari satu, yaitu masing-masing 0,257 untuk pola IS; 0,824

untuk pola IR dan 0,806 untuk pola EP, sedangkan nilai IT masing-masing adalah -305.278;

dan -79.597. Hal ini berarti, bahwa pengaruh dari kebijakan pemerintah dengan penerapan

mekanisme pasar input seperti sekarang, berdampak positif terhadap total biaya produksi jagung

Page 14: Daya Saing Jagung Febri Irawan 05091002006 Teknik Pertanian UNSRI

14

di NTB, di mana petani produsen jagung menerima harga input sekitar 25,7 - 82,40 persen lebih

rendah daripada harga sosial yang seharusnya diterima, yaitu berkisar antara Rp 0,07 – Rp 0,30

juta/ha/musim. Dengan kata lain, produsen jagung di daerah sentra produksi NTB saat ini telah

menerima insentif dari pemerintah, yaitu berupa subsisi harga input, sehingga harga input yang

diterima petani lebih murah daripada harga sosial atau harga input di tingkat pasar "liberal".

Tabel 5. Nilai Angka Transfer Input (IT) dan Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) Produksi Jagung per Hektar di NTB (1998)

Deskripsi NPCI IT IS IR EP IS IR EP

Angka Dasar 0.257 0.824 0.806 -305278 -79597 -79597 Skenario-1 0.294 0.797 0.778 -329157 -103476 -103476 Skenario-2 0.257 0.824 0.806 -305278 -79579 -79597 Skenario-3 0.257 0.805 0.787 -365193 -95219 -95219 Skenario-4 0.257 0.824 0.806 -309186 -80616 -80616 Skenario-5 0.294 0.797 0.778 -398798 -125369 -125369

Sumber : Diolah dari Data Primer. Keterangan : NPCI = Nominal Protection Coaefficient Input (Koefisien Proteksi Input Nominal ) IT = Input Transfer (Tarnsfer Input) IS = Impor Substitution (Subistitusi Impor) IR = Interregional Trade (Perdagangan Antar Daerah) EP = Expor Promotion (Promosi Ekspor)

Beberapa jenis input yang masih disubsidi oleh pemerintah dalam kasus ini adalah

Urea/ZA, TSP/DAP, dan Pestisida, di mana harga privat dan harga sosial masing-masing adalah

Rp400/kg berbanding Rp1.021/kg, Rp 1.000/kg berbanding Rp1.308/kg, dan Rp 21.000/lt

berbanding Rp50.943/lt. Perbedaan harga tersebut terjadi karena lebih ditentukan oleh faktor

beda-waktu (paket Desember 1998), sebab bukan saja hanya petani jagung di NTB, tapi juga

petani Palagung (Padi, Kedelai, Jagung) di daerah lain menerima dukungan yang sama. Tapi lain

halnya setelah paket Desember 1998, sebab mulai akhir tahun 1998, berbagai

kemudahan/subsidi tersebut sudah dicabut dan “dinormalkan” dengan mekanisme pasar,

sehingga harga Urea/ZA dan TSP/SP-36 meningkat sampai 147 dan 137 persen (PSE, 2000, dan

Valeriana, 2000).

Dari hasil kajian terdahulu terlihat bahwa ada suatu fenomena menarik yang

membuktikan bahwa kebijakan pemerintah dengan cara pemberian subsidi input (pupuk) seperti

yang diterapkan sekarang menjadi kurang ampuh untuk memandirikan petani, sebab kenyataan

di lapangan memperlihatkan adanya distorsi pasar yang berdampak negatif terhadapa petani, di

mana petani semakin tergantung kepada bantuan dan perlindungan dari pihak lain, dalam hal ini

Page 15: Daya Saing Jagung Febri Irawan 05091002006 Teknik Pertanian UNSRI

15

subsidi dari pemerintah. Artinya, hasil kajian ini mendukung terhadap kebijakan pemerintah

yang secara gradual sudah berangsur-angsur menghilangkan subsidi input, khususnya pupuk,

sebab menurut Azhari (1996) alokasi subsidi pupuk pada tahun 1974/1975 mencapai sekitar Rp

227,2 milliar dan pada tahun 1993/1994 sebesar Rp 175 milliar.

Berkaitan dengan masalah subsidi pupuk, hasil penelitian (PSE, 1993) menunjukkan

bahwa pengaruh dari pengurangan subsidi pupuk tersebut, berdampak positif terhadap

pemakaian pupuk berimbang pada agribisnis padi sawah, sehingga produktivitas padi (di

Karawang) meningkat dari 43 kw/ha menjadi 45,55 kw/ha. Dan kejadian kasus di Negara

lain, dengan penghapusan subsidi pupuk dan diberlakukannya liberalisasi pasar, seperti di

Banglades, misalnya, secara nasional produksi padi disana meningkat rata-rata 25,64 persen,

sehingga produksi padi negara tersebut meningkat dari total 14,6 juta ton menjadi 18,4 juta

ton (Achmed, 1995).

Dilema memang, di satu pihak Pemerintah (dengan berat hati) telah mencabut subsidi

pupuk sejak Desember 1998 dan mekanismenya diserahkan kepada harga pasar yang berlaku,

sehingga harga Urea meningkat dari Rp 400 - Rp 450/kg menjadi Rp 1.115/kg, harga ZA

naik dari Rp 450-Rp 506/kg menjadi Rp 1.000/kg, dan harga TSP/SP-36 naik dari Rp 675/kg

menjadi Rp 1600/kg (padahal di tahun 1994/1995, harga Urea masih sekitar Rp 226,276 per

kg, dan pupuk lain Rp 316,89 per kg (PSE, 1996). Padahal, di pihak lain, kondisi daya beli

(sebagian) petani masih rendah, bahkan cenderung menurun, seperti dicerminkan oleh nilai

tukar petani di NTB dari 124,1 persen pada 1995, turun menjadi 96,7 persen pada 2000

(Badan Pusat Statistik, 2001a).

2. Dampak Kebijakan Harga dan Mekanisme Pasar Output

Terjadinya penerimaan finansial lebih besar dari penerimaan ekonomik adalah merupakan

dampak dari kebijakan harga dan mekanisme pasar yang berpengaruh positif terhadap harga

aktual komoditi jagung ditingkat petani lebih tinggi dari harga varitas impor, maka secara

finansial, penerimaan petani lebih tinggi daripada penerimaan ekonominya dan daya saing

jagung domestik akan bertambah baik. Sebaliknya, akan berdampak negatif terhadap

penerimaan petani dan daya saing jagung domestik melemah, jika pengaruh dari kebijakan harga

dan mekanisme pasar tersebut menyebabkan harga jagung impor lebih tinggi dari harga jagung

domestik. Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh kebijakan pemerintah terhadap mekanisme

pasar dalam harga output jagung, di sini didekati dengan nilai angka NPCO (Nominal Protection

Coefficient on Output) dan Transfer Output (OT), di mana hasilnya disajikan pada Tabel 6.

Page 16: Daya Saing Jagung Febri Irawan 05091002006 Teknik Pertanian UNSRI

16

Tabel 6. Nilai Angka Transfer Output (OT) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCI) Produksi Jagung per Hektar di NTB (1998)

Deskripsi NPCO OT IS IR EP IS IR EP

Angka Dasar 0.358 0.921 0.993 -3011834 -223820 -79597 Skenario-1 0.358 0.921 0.993 -3011834 -223820 -20575 Skenario-2 0.358 0.921 0.993 -2680532 -199200 -18311

Skenario-3 0.358 0.921 0.993 -3602941 -267747 -24613 Skenario-4 0.358 0.921 0.993 -3011834 -223820 -20575 Skenario-5 0.358 0.921 0.993 -2680532 -199200 -18311

Sumber : Diolah dari Data Primer. Keterangan : NPCO = Nominal Protection Coefficient on Output (Koefisien Proteksi Output Nominal) OT = Output Transfer (Transfer Output) IS = Impor Substitution (Subistitusi Impor) IR = Interregional Trade (Perdagangan Antar Daerah) EP = Expor Promotion (Promosi Ekspor) Dari Tabel 6 tampak bahwa angka TO untuk ketiga rejim perdagangan lebih kecil dari

satu dan negatif, yaitu masing-masing -3.011.834 untuk pola IS; -223.820 untuk pola IR, dan -

172.860 untuk pola EP. Hal ini menunjukkan bahwa, pada komoditi jagung; instrumen

kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam harga output dan mekanisme pasar output (jagung),

di NTB lebih menguntungkan konsumen. Artinya telah terjadi pengalihan surplus keuntungan

(harga) dari pihak produsen ke pihak konsumen, termasuk pedagang jagung, yaitu sebesar Rp

0,17 sampai Rp 3,01 juta/ha/musim. Dengan kata lain, produsen jagung telah menerima

dampak negatif dari pengaruh instrumen kebijakan harga output dan mekanisme pasar yang

memberlakukan harga (privat) jagung domestik saat ini lebih rendah daripada harga sosialnya.

Implikasinya dengan kondisi harga jagung pada tingkat seperti sekarang adalah, implisistis

bahwa kebijakan pemerintah tersebut belum sepenuhnya memberikan rangsangan terhadap

petani jagung di NTB untuk meningkatkan produksi.

Seberapa besar surplus yang beralih dari pihak petani-produsen ke pihak konsumen

jagung tersebut ditunjukkan oleh angka NPCO, yaitu masing-masing 0,358 untuk pola IS; 0,921

untuk pola IR, dan 0,993 untuk pola EP. Nilai NPCO yang lebih kecil dari satu ini memberi arti

bahwa, produsen dan konsumen jagung dalam negeri menerima harga lebih rendah/murah dari

harga yang seharusnya. Dalam hal ini konsumen dalam negeri menerima subsidi, sedangkan

produsen tidak menerima perlindungan atau proteksi harga dari pemerintah. Harga yang

diterima produsen komoditi jagung adalah hanya sekitar 0,99 % sampai 35,80 persen dari

tingkat harga sosial yang seharusnya dia terima. Oleh sebab itu, keuntungan yang seharusnya

diterima produsen (dari harga jagung) tersebut, sekitar 0,01 sampai 64,2 persen beralih ke pihak

Page 17: Daya Saing Jagung Febri Irawan 05091002006 Teknik Pertanian UNSRI

17

lain (konsumen output), atau secara nominal sekitar Rp 0,08 juta sampai Rp 3,01 juta per hektar

per musim.

Kondisi demikian sebetulnya tidak saja terjadi di NTB, tetapi terjadi juga pada produsen

jagung di daerah lain seperti di NTT, Bengkulu, dan Sumsel, sebagaimana dilaporkan oleh

peneliti terdahulu. Situasi demikian didukung oleh fakta di Lapangan yang memperlihatkan,

bahwa harga jagung ditingkat petani, ternyata lebih rendah daripada harga jagung paritas impor,

yaitu rerata sekitar Rp 450 per kg berbanding US $ 0.147 (Rp 1.186 per kg).

Lebih rendahnya harga jagung di tingkat petani dibanding dengan harga sosial yang

seharusnya diterima, adalah berkaitan dengan dua faktor klasik, yaitu (1) Lembaga pemasaran

output belum berfungsi efektif dan tidak transparan, sehingga rantai pemasaran panjang dan

biaya pemasaran tinggi, dan (2) Posisi tawar petani lemah sehingga petani menjadi penerima

harga yang masif dan sekaligus sangat ta'at terhadap kemauan dan keputusan pedagang.

Berdasarkan temuan ini tersimpul suatu fenomena, di mana dari sisi sistim output

produksi, ternyata secara implisit petani produsen jagung di NTB telah menerima “restriksi

pemiskinan” dari kemencengan kebijakan harga dan kegagalan mekanisme pasar output

jagung. Jadi dampak krisis ekonomi yang berlangsung selama ini berpengaruh negatif

terhadap harga produksi jagung di NTB, sebab produsen jagung di sini telah menerima harga

lebih rendah daripada harga sosial yang seharusnya diterima. 3. Dampak Kebijakan Harga dan Mekanisme Pasar Input-Output

Untuk melihat pengaruh dari keseluruhan kebijakan pemerintah dan mekanisme pasar

input-output, apakah memberikan insentif atau disinsentif terhadap agribisnis jagung di NTB

didekati dengan angka koefisien proteksi epekftif (EPC = Efective Profitability Coefficient). Bila

nilai EPC lebih besar dari satu berarti dampak bersih kebijakan pemerintah dalam pembentukan

harga dan mekanisme pasar komoditi telah memberikan “insentif” (perlindungan) terhadap

petani/produsen jagung untuk mengembangkan usahanya, sebaliknya nilai EPC lebih kecil dari

satu berarti, dampak bersih kebijakan pemerintah tersebut menimbulkan disinsentif

(menghambat) terhadap pengembangan usaha memproduksi jagung di daerah NTB.

Hasil analisis (Tabel 7) memperlihatkan angka EPC pada rejim dagang IS dan IR

lebih kecil dari satu, sedangkan untuk pola EP lebih besar dari satu, yaitu masing-masing

0,367; 0,939; dan 1,022. Hal ini berarti bahwa secara efektif, kebijakan pemerintah yang

berlaku sekarang tidak melindungi petani-produsen jagung di NTB, kecuali untuk pola

perdagangan promosi ekspor. Dengan kata lain, penerapan instrumen kebijakan pemerintah

dalam pasar input-output saat ini berdampak disinsentif terhadap produsen jagung di NTB,

Page 18: Daya Saing Jagung Febri Irawan 05091002006 Teknik Pertanian UNSRI

18

untuk rejim dagang subsitusi impor dan rejim dagang antar Daerah/antar Pulau, sebab nilai

tambah keuntungan yang diperoleh petani dari usaha tersebut lebih rendah daripada yang

seharusnya diterima, yaitu hanya sekitar 36,70 persen (pola IS), dan 93,9 persen (pola IR).

Disisi lain, angka koefisien EPC pola EP sebesar 1,02-1,05; berarti bahwa efektivitas

kebijakan pemerintah saat ini adalah bersifat protektif atau melindungi dan mendorong

produksi jagung domestik untuk dikembangkan kearah perdagangan ekspor (minimal melalui

perdagangan antar Daerah/Pulau). Hal ini menjadi suatu fenomena, yang penulis pikir perlu

dikaji secara khusus dan lebih mendalam. Kebijakan pemerintah yang diduga bersifat protektif

terhadap komoditi ekspor ini adalah deregulasi tataniaga ekspor, subsidi input, subsidi ekspor,

dan subsidi konsumen domestik.

Tabel 7. Nilai Koefisien Proteksi Efektif (EPC), Koefisien Profitabilitas (PC), dan Rasio Subsidi Produsen (SRP) Produksi Jagung per Hektar di NTB (1998)

EPC PC SRP Deskripsi IS IR EP IS IR EP IS IR EP

Angka Dasar 0.367 0.939 1.022 0.164 0.768 0.954 -0.604 -0.095 -0.022Skenario-1 0.365 0.948 1.032 0.173 0.802 0.993 -0.534 -0.075 -0.003Skenario-2 0.369 0.942 1.026 0.130 0.713 0.943 -0.599 -0.098 -0.024Skenario-3 0.367 0.940 1.022 0.229 0.817 0.982 -0.597 -0.092 -0.011Skenario-4 0.368 0.940 1.023 0.161 0.763 0.953 -0.604 -0.096 -0.022Skenario-5 Transfer Bersih

0.368

-2833487

0.961

-271155

1.049

-67910

0.168 0.806 1.022 -0.509 -0.062 0.009

Sumber : Diolah dari Data Primer. Keterangan : EPC = Efective Profitability Coefficient (Koefisien Proteksi Efektif) PC = Provitable Coefficient (Koefisien Prifittablitas) SRP = Subsidy Ratio Producer (Rasio Subsisid Produsen) IS = Impor Substitution (Subistitusi Impor) IR = Interregional Trade (Perdagangan Antar Daerah) EP = Expor Promotion (Promosi Ekspor)

Dari fenomena tersebut nampak adanya semacam benang merah persoalan kebijakan

harga dan mekanisme pasar jagung yang tidak transparan, sehingga berimplikasi terhadap

“lamanya waktu petani berada dalam kubangan kemiskinan struktural”, walahu‘alam (Tuhan

lebih mengetahui). Tetapi yang penulis ketahui dari hasil kajian ini dan beberapa hasil

penelitian lain yang dilakukan sebelumnya, memperlihatkan problem serupa, di mana

petani/produsen jagung di daerah lain memiliki nilai EPC lebih kecil dari satau, yaitu seperti

di NTT 0,280, di Jambi 0,60, Sumatera Selatan 0,730, Lampung 0,871, Sulawesi Selatan

0,980, dan Jawa Barat 0,938. Begitu juga terjadi pada produsen komoditi Kedelai dan Kacang

Page 19: Daya Saing Jagung Febri Irawan 05091002006 Teknik Pertanian UNSRI

19

Tanah di NTB, Jambi, Sumatera selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur,

sebagaimana telah dilaporkan oleh Hutabarat, et al (1997), Hadi (1996), Rusastra (1996),

Puslitbangtan (1995), serta Adnyana dan A. Djauhari (1994).

Sementara transfer bersih yang menggambarkan tambahan surplus produsen atau

berkurangnya surplus produsen yang diakibatkan oleh kebijakan pemerintah, dihitung dari

hasil pengurangan antara keuntungan bersih yang diterima produsen dengan keuntungan

bersih sosial (diasumsikan berlaku pada pasar bersaing sempurna), menunjukkan angka

negatif, yaitu masing-masing –2833487 (IS), -271155 (IR), dan –67910 (EP). Hal ini

mengindikasikan telah terjadi pengalihan surplus dari produsen jagung ke pihak lain.

Kehilangan surplus terbesar adalah terjadi pada rejim perdagangan IS dan terkecil pada rejim

dagang pola EP, yaitu masing-masing sebesar Rp 2,83 juta dan Rp 0,07 juta/ha/musim.

Artinnya, dalam agribisnis jagung di daerah NTB telah terjadi pengalihan keuntungan dari

pihak produsen (petani) ke pihak lain diluar manajemen agribisnis jagung, baik sebagai

pelaku pasar input, maupun pelaku pasar output.

Ukuran relatif yang selanjutnya dapat digunakan untuk melihat perbandingan antara

tingkat keuntungan bersih privat dengan keuntungan bersih sosial adalah dengan koefisien

profitabilitas (PC) dan rasio subsidi produsen (SRP). Dalam hal ini angka PC menunjukkan

pengaruh dari kebijakan pemerintah yang menyebabkan keuntungan privat berbeda dengan

keuntungan sosial. Nilai PC lebih kecil dari satu menunjukkan tingkat keuntungan yang

diterima petani lebih rendah daripada keuntungan-harga sosial yang seharusnya. Sedangkan

SRP merupakan persentase subsidi atau insentif bersih atas penerimaan sosial. Nilai SRP

negatif menunjukkan pengaruh dari adanya kebijakan pemerintah berdampak kepada

produsen yang membayar biaya produksi lebih besar dari opportunity cost berproduksi, dan

berlaku sebaliknya, bila nilai SRP positif.

Hasil analisis memperlihatkan bahwa angka PC untuk ketiga pola perdagangan adalah

lebih kecil dari satu, yaitu 0,164 (IS), 0,768 (IR), dan 0,954 (EP). Ini berarti bahwa

keuntungan yang diterima petani jagung di NTB lebih rendah daripada tingkat keuntungan-

sosial yang seharusnya. Sementara itu, nilai SRP untuk ketiga rejim perdagangan tersebut

adalah negatif, yaitu masing-masing -0,604 (IS), -0,095 (ER), dan -0,022 (EP). Artinya

pengaruh dari kebijakan pemerintah dan mekanisme pasar seperti sekarang berdampak

negatif terhadap struktur biaya produksi, sebab biaya yang diinvestasikan petani lebih besar

daripada nilai tambah keuntungan yang dapat diterimanya, meskipun demikian, nampaknya

pola perdagangan IR dan EP merupakan paling minimal dalam menerima resiko tersebut,

sebab nilai rasio subsidi produsen kurang dari satu persen.

Page 20: Daya Saing Jagung Febri Irawan 05091002006 Teknik Pertanian UNSRI

20

Lebih rendahnya nilai tambah yang diterima produsen daripada harga sosial yang

seharusnya diterima, adalah disebabkan (paling tidak) oleh enam faktor yang bersifat klasik,

yaitu: (1) Faktor kelembagaan masih terbatas. Di sini, sarana, prasarana, dan manajemenya, baik

kelembagaan pemasaran hasil, lembaga penyedia saprodi, maupun penunjangnya masih kurang

memadai, sehingga jargon tujuh syarat tepat (tepat waktu, tepat harga, tepat jenis, tepat jumlah,

tepat kualitas, tepat sasaran, dan tepat layanan) masih jauh dari kenyataan, (2) Tingkat

permodalan (kapital) petani terbatas. Dampaknya, dalam pemenuhan harga input modern, dan

harga penjualan output masih ditentukan dan dikuasai oleh pedagang, sehingga posisi daya-

tawar petani jadi lemah, dan sistem demokratisasi “bermitra usaha” menjadi kerdil dan

semakin jauh dari yang diharapkan, (3) Tingkat pendidikan dan persatuan (kelompok tani)

lemah, sehingga baik sekala usaha, maupun kualitas dan kontinuitas produksi menjadi tidak

pasti dan selalu tersampingkan, (4) Semangat beragribisnis rendah. Oleh karena preskripsi

keharusan “budaya turunan” lebih dominan daripada keharusan “ilmu tuntunan”, maka

rekomendasi anjuran, hasil penelitian, dan inovasi baru, lamban teradopsi. Dengan demikian,

petani acap kali menjadi pemicu untuk mudah menyerah, cuek, dan bersifat penghindar resiko,

(5) Mental usaha masih bermental “subsidi”, sehingga terkendala untuk maju, mandiri, dan

mapan dalam menyikapi iklim kompetitif usaha yang rasional, dan (6) Tujuan usaha masih

bersipat lokalit, tidak kosmopolit, sehingga tidak dapat menerawang jauh ke sistim usaha

pasar global yang sedang menuju ke lokasi tempat usaha mereka.

Oleh sebab itu, karena sudah melembaganya ke enam faktor tersebut, maka dampak

akhir dari kebijakan pemerintah dan mekanisme pasar yang berlaku saat ini secara ekonomik

belum sepenuhnya mendukung terhadap pengembangan agribisnis jagung di daerah NTB,

terutama dalam rangka untuk mengurangi ketergantungan impor jagung dari negara lain yang

persediaannya semakin terbatas.

Berdasarkan uraian tersebut, maka tersimpul suatu fenomena, yaitu Petani produsen

jagung di daerah pusat produksi NTB telah terkondisi menjadi pelaku bisnis yang lemah,

timpang, marjinal dan miskin oleh distortifnya kebijakan mekanisme pasar output dan input

modern yang terjadi di lapangan.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa, analisis daya saing jagung hanya

memberi arahan dari segi penghematan pemakaian sumberdaya domestik, dan tidak

memberikan alternatif pemecahan masalah pengembangan produksi jagung di NTB. Hasil

Page 21: Daya Saing Jagung Febri Irawan 05091002006 Teknik Pertanian UNSRI

21

analisis memperlihatkan bahwa memproduksi jagung di NTB sangat efisien dan memiliki

daya saing tinggi. Secara spesifik dari hasil penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan

sebagai berikut.

1. Pengembangan usaha jagung di daerah NTB secara finansial dan ekonomik efisien, sebab

sistem produksi jagung tersebut pada saat krisis berlangsung mempunyai keunggulan

kompetitif dan komparatif lebih baik daripada sebelum terjadi masa krisis.

2. Dampak dari instrumen kebijakan pemerintah dalam subsidi input saat ini telah memberikan

insentif terhadap petani jagung di NTB, sehingga menyebabkan biaya input yang di

keluarkan petani lebih rendah daripada harga sosial yang seharusnya.

3. Dampak dari instrumen kebijakan pemerintah dalam harga dan mekanisme pasar output

(jagung) saat ini, kurang memberi perlindungan terhadap pembentukan harga jagung,

sehingga pendapatan yang diterima petani lebih rendah daripada harga sosial yang

seharusnya.

4. Dampak dari instrumen kebijakan pemerintah dan mekanisme pasar input- output yang

berlaku saat ini kurang memberi rangsangan (disinsentif) terhadap petani produsen jagung

di NTB, sehingga nilai tambah atau keuntungan yang diperoleh petani lebih rendah

daripada keuntungan sosial yang seharusnya diterima petani.

Implikasi Kebijakan 1. Pengembangan jagung dalam rangka menyikapi kesepakan GAAT dan WTO yang beberapa

tahun mendatang akan diberlakukan, sebaiknya diarahkan kepada Daerah-daerah potensial

sentra produksi jagung yang memiliki daya saing tinggi atau keunggulan kompetitif dan

komparatifnya lebih baik. Dengan begitu, diharapkan swasembada jagung di masa-masa

mendatang dapat cepat diwujudkan, sehingga ketergantungan impor jagung indonesia dapat

dikurangi seminimal mungkin.

2. Perlu adanya terobosan baru dalam instrumen kebijakan pemerintah yang menciptakan

harga dan mekanisme pasar yang kondusif, sehingga mampu memecahkan dualisme struktur

ekonomi pertanian, dan lebih berpihak kepada petani produsen. Dengan begitu, diharapkan

petani jagung domestik, khususnya di daerah NTB dapat lebih bergairah untuk

meningkatkan produksi dan efisiensi usahanya, sehingga restriksi pemiskinan petani, secara

berangsur dapat dihilangkan.

Page 22: Daya Saing Jagung Febri Irawan 05091002006 Teknik Pertanian UNSRI

22

3. Perlu adanya rangsangan situasi yang kondusif bagi investor untuk bergerak dalam

agrobisnis jagung di daerah NTB agar lebih banyak pengusaha yang berinvestasi dan

bermitra dengan petani. Dengan demikian, diharapkan dapat menciptakan sistim usaha

dengan kesiapan dan kepastian pasar yang secara demokratis dan proporsional mampu

memberikan keuntungan bagi setiap pelaku bisnis jagung di NTB.

DAFTAR PUSTAKA

Achmed R. 1995. Liberalization of Agricultural Input Market in Bangladesh: Process, impact and Lesson. Agricultural Economics. Elsevier. Amsterdam-Lansinne-New York-Okford-Shannon-Tokyo. (Vol.12:p.115-128).

Adnyana M.O. dan K. Kariasa. 1998. Sumber Pertumbuhan Produksi dan Tingkat Keuntungan Kompetitif Agribisnis Jagung dalam Agribisnis Tanaman Pangan. Dalam Prosiding Seminar dan Loka Karya Nasional Jagung. Badan Litbang Pertanian, Puslitbang Tanaman Pangan, Balitjas, Ujung Pandang (p.217-234).

Adnyana M.O. dan A. Djauhari. 1994. Studi Prospek dan Kendala Pengembangan Palawija, Kedelai, Jagung, Ubikayu, dan Kacang Tanah).Puslitbangtan Badan Litbang Pertanian, Bogor.

Adnyana, M.O., Adimesra Djulin, Ketut Kariyasa, dan Amiruddin Syam. 1994. Studi Sumber Pertumbuhan Produksi Jagung di Propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Bekerjasama dengan PPKP2N Badan Litbang Pertanian, Bogor.

Azhari Delima, H. 1996. Fertilizer Policy in Indonesia. Agro-Chemicals News in Brief. Specials Issue, September 1996. ESCAP FAO/UNIDO, Bangkok (p.72-79).

Badan Pusat Statistik. 2001. Buletin Statistik Bulanan. Indikator Ekonomi Januari 2001. Dan Buletin Ringkas BPS Februari 2000. BPS Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2000a. Buletin Statistik Perdagangan Luar Negeri Impor-Ekspor. Januari 2000. BPS, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 1999. Statistik Indonesia 1998. BPS Jakarta. Badan Pusat Statistik. 1999a. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia Impor Ekspor

1998 Volume I dan II. BPS Jakarta. Badan Pusat Statistik. 1998. Neraca Bahan Makanan 1997. BPS, Jakarta. Biro Pusat Statistik Propinsi NTB, 1996. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka 1995. PS

NTB, Kupang. Buharman B., Nusyirwan, Firdaus, dan Marak Ali. 1998. Keunggulan Kompetitif dan

Komparatif Agribisnis Jagung di Sumatera Barat. Dalam Prosiding Seminar dan Loka Karya Nasional Jagung. Badan Litbang Pertanian, Puslitbang Tanaman Pangan, Balitjas, Ujung Pandang (p.660-673).

Diperta Kabupaten Sumbawa. 1998. Laporan Tahunan 1998. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Sumbawa.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi NTB. 1998. Bahan Rapat Kewaspadaan Rawan Pangan dan Evaluasi Perkembangan Status Gizi Masyarakat. 7 Oktober 1998, Mataram.

Departemen Pertanian. 1999. Profil Pertanian Dalam Angka. Deptan, Jakarta. Djamin Zulkarnain. 1984. Perencanaan dan Analisa Proyek (Edisi satu). Lembaga Penerbit

Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Page 23: Daya Saing Jagung Febri Irawan 05091002006 Teknik Pertanian UNSRI

23

Djatiharti and I.Wayan Rusastra. 1990. Government Incentifes and Comparative Advantage of the Corn Production in Indonesia. In Faisal Kasryno and Pantjar Simatupang (eds) Comparative Advantage and Protection Structures of the Livestock and Feedstuff Subsectors in Indonesia. Center for Agro Economic Research. Agency for Agrocultural Research and Development, Bogor (p.77-93).

Erwidodo, Mewa A., Budi Santoso, E. Ariningsih dan V. Siagian. 1998. Perubahan Pola Konsumsi Sumber Protein Hewani di Indonesia. Laporan Hasil Penelitian Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian, Bogor.

FAO. 1985-1999a. FAO Year Book, Trade, Production. FAO at The United Nation, Rome. Gitinger J. Price. 1982. Economic Analysis of Agricultural Projects (2nd Edition). Edisi

Terjemahan Bahasa Indonesia. UI-Press. Jakarta, 1986. Hadi Prayogo U. 1997. Dampak Deregulasi Perdagangan terhadap Agribisnis Kedele di Jawa

Timur. Dalam Achmad Suryana, et al (Peny.) Prosiding "Dinamika Ekonomi Pedesaan dan Peningkatan Daya Saing Sektor Pertanian". Puslit Sosek Pertanian Badan Litbang Pertanian, Bogor , 1997 (p.112-132).

Haryono Dwi. 1998. Keunggulan Komparatif dalam Produksi Palawija Pada Lahan Kering di Propinsi Lampung. Dalam Jurnal Sosio Ekonomika Vol.4 No.10, Juni 1998. Fakultas Pertanian, UNILA, Lampung (p.61-67).

Haryono Dwi. 1991. Keunggulan Komparatif dan Dampak Kebijakan Pada Produksi Kedelai, Jagung dan Ubikayu di Propinsi Lampung. Fakultas Pasca Sarjana IPB, Bogor.

Hutabarat B., A. Djauhari, A. Agustian, T.D. Permata, B. Rachman, Ikin Sadikin, dan J.Situmorang. 1997. Potensi dan Peluang Pemanfaatan Sumberdaya Produksi Tanaman Pangan di Luar Jawa. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.

IPPTP Mataram. 1998. Laporan Hasil Pengkajian Sistem Usaha Pertanian (SUP) Jagung di Propinsi Nusa Tenggara Barat. IPPTP, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian, Mataram.

Jhingan M.L. 1988. The Economics of Development and Planning (Edisi Terjemahan Bahasa Indonesia). C.V. Rajawali Press, Jakarta.

Kadariah. 1988. Evaluasi Proyek Analisis Ekonomis (Edisi kedua). Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Kasryno, F. 1990. Government Policies and Economic Analysis of the Livestock Commodity System in Indonesia. In Faisal Kasryno and Pantjar Simatupang (Eds) Comparative Advantage and Protection Structures of the Livestock and Feedstuff Subsectors in Indonesia. Center for Agro Economic Research. Agency for Agrocultural Research and Development, Bogor (p.1-32).

Kariyasa, K. Dan M.Oka Adnyana. 1998. Analisis Keunggulan Komparatif Jagung dan Mekanisme Pasar Terhadap Agribisnis Jagung di Indonesia. Dalam Prosiding Seminar dan Loka Karya Nasional Jagung. Badan Litbang Pertanian, Puslitbang Tanaman Pangan, Balitjas, Ujung Pandang (p.200-216).

Kariyasa, K., M.Oka Adnyana, dan W.Sudana. 1995. Dampak Mekanisme Pasar dan Kebijakan Pemerintah terhadap Pengembangan Agribisnis Jagung di Jawa Tengah. Dalam Zaini Z.,et al (Peny). Sistem Agribisnis Berbasis Tanaman Pangan: Keunggulan Komparatif dan Kompetitif. Puslitbang Tanaman Pangan Badan Litbang Pertanian, Bogor (p.26-35).

Monke E.A. and S.R. Pearson. 1995. The Policy Analysis Matrix for Agricultural Development (2nd Edition). Cornell University Press. Ithaca and London.

Nikijuluw, V., N. Kirom, A.Supriono, S.Bachri, E.Jamal, dan S.Mardianto. 1999. Pengkajian Daya saing Produk Pertanian Utama di Era Pasar Bebas, PSE, Badan Litbang Pertanian, Bogor.

Page 24: Daya Saing Jagung Febri Irawan 05091002006 Teknik Pertanian UNSRI

24

Oktaviani R. 1991. Efisiensi Ekonomi dan Dampak Kebijakan Insentif Pertanian pada Produksi Komoditi Pangan di Indonesia. Fakultas Pasca Sarjana IPB, Bogor.

Balitjas 1998. Visi, Misi dan Mandat Balitjas. Dalam Prosiding Seminar dan Loka Karya Nasional Jagung. Badan Litbang Pertanian, Puslitbang Tanaman Pangan, Balitjas, Ujung Pandang (p.1-29).

Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. PSE. 1993. Tinjauan Kebijakan Harga Gabah dan Subsidi Pupuk. Bahan Rapim Juli 1993. Badan Litbang Pertanian, Bogor.

Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, PSE. 1996. Laporan Bulanan Januari 1996. Badan Litbang Pertanian, Bogor.

Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. PSE. 1997. Proyeksi Permintaan dan Penawaran Komoditi Pertanian Utama dalam Pelita VII. Laporan Hasil Penelitian PSE,. Badan Litbang Pertanian, Bogor.

Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, PSE. 2000. Proyeksi Penawaran dan Permintaan Komoditi Tanaman Pangan : 2000 – 2010. Laporan Hasil Penelitian PSE,. Badan Litbang Pertanian, Bogor.

Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, PSE. 2000a. Perumusan Kebijakan Harga Gabah dan Pupuk dalam Era Pasar Bebas. Laporan Hasil Penelitian PSE,. Badan Litbang Pertanian, Bogor.

Puslitbangtan. 1995. Studi Sumber Pertumbuhan Produksi Jagung di Provinsi Lampung, Sulawesi Selatan dan Jawa Barat. Puslitbang Tanaman Pangan Kerjasama dengan PKP2N Badan Litbang Pertanian, Bogor.

Rosegrant M.W., Faisal Kasryno, Leonardo A.G., Chairil Rasahan, dan Yusuf Saefudin. 1987. IFPRI Center for Agro Economic Research, Bogor.

Rusastra, IW. 1996. Keunggulan Komparatif, Struktur Proteksi dan Perdagangan Internasional Kedelai Indonesia. Dalam Beddu Amang, M.H.Sawit, dan Anas Rachman (Peny.) Ekonomi Kedelai Indonesia. Penerbit Institut Pertanian Bogor (IPB PRESS), Bogor (p355-417).

Rusastra, IW., Sumaryanto dan Arti Djatiharti. 1990. Analisis Keunggulan Komparatif Produksi dan Pakan Ternak di Jawa Barat dan Lampung. Pusat Penelitian Agro Ekonomi, Badan Litbang Pertanian Departemen Pertanian, Bogor.

Sadikin, Ikin, A.Djauhari dan B.Hutabarat. 1998. Dampak Deregulasi Perdagangan Terhadap Pengembangan Agribisnis Jagung di NTB. Dalam Achmad Suryana, et al (Peny.) Prosiding "Dinamika Ekonomi Pedesaan dan Peningkatan Daya Saing Sektor Pertanian". Puslit Sosek Pertanian Badan Litbang Pertanian, Bogor (p.184-207).

Sadikin, Ikin. 1999. Analisis Daya Saing Jagung dan Dampaknya terhadap Pengembangan Agribisnis Jagung di Bengkulu. Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional “Sektor Pertanian Memasuki Abad-21: Prospek dan Tantangan” Tanggal 9 Nopember 1999 di UNAS, Jakarta (p.1-30).

Sadikin, Ikin. 2000. Analisis Daya Saing Jagung pasca Krisis dan Dampak Kebijakan Pemerintah Dalam Pengembangan Agribisnis Jagung di NTT. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “Sektor Pertanian Tahun 2000: Kendala, Tantangan dan Prospek” Tanggal 8-9 Nopember 2000 di Bogor (p.1-26).

Sekretaris BP Bimas. 1998. Intensifikasi Jagung di Indonesia. Dalam Prosiding Seminar dan Loka Karya Nasional Jagung. Badan Litbang Pertanian, Puslitbang Tanaman Pangan, Balitjas, Ujung Pandang (p.64-83).

Simatupang P. dan Effendi Pasandaran. 1990. Keunggulan Komparatif Produksi Palawija di Indonesia. Dalam Pangan No.3 Vol.1, Januari 1990 (p.48-53).

Solow, R., 1983. Technical Change and the Aggregate Production Function. In Julia Hebden (1983): Aplications of Econometrics. Philip Allan Publishers Limited, Deddington.

Page 25: Daya Saing Jagung Febri Irawan 05091002006 Teknik Pertanian UNSRI

25

Subandi, I.Manwan, and Blumenschein (Eds). 1988. National Coordinated Research Programs Corn. Central Research Institute for Food Crops. Agency for Agricultural Research and Development, Bogor.

Sudaryanto T., A.Suryana, dan Erwidodo. 1998. Penawaran, Permintaan dan Konsumsi Jagung di Indonesia : Pengalaman Pelita VI dan Proyeksi Pelita VII. Dalam Prosiding Seminar dan Loka Karya Nasional Jagung. Badan Litbang Pertanian, Puslitbang Tanaman Pangan, Balitjas, Ujung Pandang (p.47-63).

Suprihatini R. 1998. Analisis Daya Saing Nenas Kaleng Indonesia. Dalam JAE Vol.17, No.2, Desember 1998 (p.22-37)

Suradisastra K., A.M. Hurun, U.Fadjar, Rita N.S., I.Sadikin, dan Aam D. 1998. Kajian Kelembagaan Agribisnis Dalam Mendukung Pengembangan Sistim Usaha Pertanian (SUP) Berbasis Agro Ekosistem. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian, Bogor

Suryana, A., 1980. Keuntungan Komparatif dalam Produksi Ubikayu dan Jagung di Jawa Timur dan Lampung dengan Analisa Penghematan Biaya Sumberdaya Domestik (BSD). Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Teken, I.B., 1965. Azas-azas Ekonomi Produksi. Tinjauan Statis. Pertjetakan IPB, Bogor. Valeriana. 2000. Keragaan Pemakaian Pupuk, Tata Niaga dan Harga Pupuk di Tingkat

Petani, Pasca Penerapan Kebijakan Desember 1998 (Studi Kasus : Sumatera Barat). Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “Sektor Pertanian Tahun 2001: Kendala, Tantangan dan Prospek” Tanggal 8-9 Nopember 2000 di Bogor (p.1-16).

LAMPIRAN 1.

Analisis Finansial dan Ekonomi Agribisnis Jagung Bisma per Hektar (MT 1998)

VARIABEL FISIK BIAYA HARGA AKTUAL BIAYA HARGA EKONOMIK

Tradable Domestik Total Tradable Domestik Total 1. BIBIT 20 38000 0 38000 32909 0 32909 2. UREA 83.33 11566.65 2576.75 14142.85 29510. 54597.78 84108 3. T S P/DAP 33.333 11566.67 2576.753 14143.419 15124.5 27982.43 43107 4. ZA/KCL 16.67 2603.02 579.8853 3182.9058 5903.42 10922.18 16826 5. .ZPT/PPC 0 0 0 0 0 0 0 6. N P K 0 0 0 0 0 0 0 7. PUKDANG 0 0 0 0 0 0 0 8. .PESTISIDA 2 42000 0 42000 101886 0 101888 9. TK-upah 740412 0 740412 740412 0 555308.8 555308.8 10. .SEWA/PBB 125000 0 125000 125000 0 125000 125000 11..Bunga modal 0.1599 0 144539 144539 0 114940.7 114940.7 TOTAL 58840.67 1048470 1107311 1124462.97 833769.5 1958232 .Tataniaga 0 0 0 0 0 0 0 -Transport 3730.3 212069.5 249326 461396 212069.45 249326.2 461395.6 -Penanganan 3730.3 13611.99 23400.4 37012.4 13611.9863 23400.38 37012.37

TOTAL 0 373831 1338275 1712106.6 453428 1211344 1664772 225681.436 272726.5 498408

12. PRODUKSI IS 3730.3 1678650 0 1678650 4690484 0 4690484 IR 3730.3 2611233 0 2611233 2835053 0 2835053 EP 3730.3 3045713 0 3045713 3066287 0 3066287

Keterangan: IS = Impor Substitution (Subistitusi Impor) IR = Interregional Trade (Perdagangan Antar Daerah) EP = Export Promotion (Promosi Ekspor)