44
P A S U N D A N C E N T E R O F S O C I E T A L S T U D I E S

CSS Journal Vol.II

Embed Size (px)

DESCRIPTION

1. Firman Eko Putra - "Cerita Cinta WTO dan Proyek Restrukturisasi Kapitalisme Global"2. Rifqi Fadhlurrakhman - "Kegagalan Diplomasi dan Krisis Sosial"3. Iqbal Ramadhan - "Balance of Power"4. Dede Mulyanto - "Hegemoni Kapital dalam Arsitektur Ekonomi-Politik Global"5. Rizky Satria - "Distopia Masyarakat Kontemporer"

Citation preview

Page 1: CSS Journal Vol.II

P A S U N D A N C E N T E R O F S O C I E T A L S T U D I E S

Page 2: CSS Journal Vol.II

CSS Journal Vol.II| 2

What, man! Confound it, hands and feet

And head and backside, all are yours! And what we take while life is sweet, Is that to

be declared not ours?

“Six stallions. Say, I can afford, is not their strength my property? I tear along. a sporting

lord, As if their legs belonged to me.”

Goethe : Faust (Mephistopheles)

Page 3: CSS Journal Vol.II

CSS Journal Vol.II| 3

Petualangan dimulai dari “Cerita Cinta WTO dan Proyek Restrukturasi Kapitalisme Global” yang menuturkan perjalanan dan transformasi rejim dalam tubuh WTO secara kronikal oleh M. Firman. Eko. Putra, disusul oleh “Kegagalan Diplomasi dan Krisis Sosial” karya Rifqi Fadlurachman yang secara apik menampilkan relasi antara kapabilitas diplomasi Negara dalam forum-forum ekonomi Internasional dan ekses yang diberikannya pada level domestik, disepertiga perjalanan para pembaca akan disuguhkan perenungan konseptual khas ilmu Hubungan Internasional mengenai “Balance of Power (Perimbangan Kekuatan)” oleh Iqbal Ramadhan yang dengan terang memperkenalkan kita pada paradigma (neo)Realisme dalam studi Hubungan Internasional, berlanjut dengan analisa tajam dari Dede Mulyanto dalam “Hegemoni Kapital Dalam Arsitektur Ekonomi-Politik Global” mengenai mutasi genetik Kapitalisme Global semenjak era great depression 1930 hingga tampil dengan modus-modus akumulasi terbarunya dewasa ini, perhentian selanjutnya kami sajikan khusus bagi para Movie Freak melalui rubrik Inskripsi Visual yang menyajikan critical review atas Film “Elysium” dalam “Distopia Masyarakat Kontemporer” secara mengagumkan oleh Rizky Satria, terakhir, petualangan edisi kali ini ditutup oleh rubrik Lorong Zaman Rifqi Fadlurahman yang mengkisahkan semangat patriorik seorang “kawan ideologis” bernama Dayat Nasionalis Merah (?) dalam operet berjudul “Berpikir Ahistoris itu Menyenangkan”.

En fin, selamat meyelam, Jangan lupa minum air.

P E N G A N T A R R E D A K S I

Konferensi Tingkat Menteri WTO ke-9 (MC9) di Bali baru saja usai, para delegasi dari 159 negara anggota pulang kampung membawa buah tangan manis atas nama Paket Bali. Desas-desus yang diwartakan selepas perhelatan umumnya mengabarkan kegembiraan Negara-negara berkembang dan kurang-berkembang yang dianggap berhasil memberikan tekanan politik pada rejim dagang tersebut untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingannya, terutama perihal paket pertanian dan kebijakan Negara berkembang, dilain sudut Negara-negara industri maju tak mau kalah ramai bersorak, proyek fasilitasi perdagangannya akhirnya disepakati oleh forum. In brief, MC9 WTO sukses mengakomodasi seluruh kepentingan stakeholdernya, atau dalam bahasa Gita Wirjawan, win-win-solution, Sungguh hasil akhir yang melegakan dan patut dirayakan. Dengan penuh gairah, CSS Journal edisi ke-2 ini hendak ikut larut dalam momen kemenangan tersebut melalui penerbitan tulisan-tulisan yang menempatkan WTO (World Trade Organization) dan Kapitalisme Global sebagai objek analisis.

Page 4: CSS Journal Vol.II

CSS Journal Vol.II| 4

ulau dewata Bali atauoleh Direktur-Jenderal WTO Roberto Azevedo dianugerahi gelar

“sang fajar dunia”,untuk ketigakalinya tahun ini dipercayasebagai lakon tuan rumah perhelatan bergengsikontestasi Negara-negara berskala internasional. Setelah dua bulan lalu riuh ramai menggelar ajang soft diplomacy a la Miss World yang menuai kontroversi dalam low level politicdomestik, penolakan paling lantang khususnya datang dari sayap pasukan pembela surga, lalu berselang beberapa hari diikutioleh Konferensi Tingkat Tinggi APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation), yang justru disambut suka cita, tanpa megafon, spanduk aksi, gimmick orasi, dan bakar ban hanya keheningan yang ada seolah pita suara sudah memerah lebam akibat terlalu bersemangat meneriaki pagelaran sebelumnya, Wallauhualambishawab. In brief, awal bulan ini, 3-6 Desember 2013,eventdengan kapasitas lebih besar kembali digelar di bumi para dewa, ialah Konferensi Tingkat Menteri (the Ministeral Conference) WTO ke-9

1

hendakmenyepakati tiga payung besar paket

1 Ministeral Conference merupakan badan pengambilan keputusan

tertinggi dalam struktur hierarkis rejim dagang WTO.

perdagangan, atau diberi sandi Paket Bali diantaranya ; (1) Fasilitasi Perdagangan, (2) Paket Pertanian, dan (3) Kebijakan Bagi Negara Berkembang.

Essay ini sengaja didesain untuk menyediakan selayang pandang mengenai WTO sebagai sebuah rejim dagang internasional (International Trade Regime) beserta pengaruhnya terhadap restrukturisasi tatanan ekonomi global pasca krisis khususnya bagi Negara-negara berkembang (Developing Country). Penulis mengambil resiko penuh terhadap kemungkinan jatuh kedalam simplifikasi dan obskurantisme, mengingat keterbatasan ruang dan waktu kerja yang penulis curahkan dalam tulisan ini, maka penulis sarankan diperlukan diskusi dan pembacaan lebih dalam untuk memverifikasi dan melengkapi informasi dan analisis dalam tulisan ini. Tulisan ini akan dibagi menjadi tiga bagian utama yakni, (a) GATT Politiko-Historis SessionPremiere : Rekonstruksi Tatanan Perekonomian Dunia Pasca Perang. (b) GATT Politiko-Historis Session II : Hegemoni dan Perang Dingin (c) GATT Politiko-Historis SessionFinale : Uruguay Round dan Proyek Pembangunan Negara Berkembang (d) Babak Baru : WTO dan “Global (Political-Economic) Village”Dan (e) Kesimpulan.Untuk kepentingan analisis, penulis menggunakan pendekatan Rejim (International Regime) yang menaruh perhatian

P

CERITA CINTA WTO DAN PROYEK RESTRUKTURISASI KAPITALISME GLOBAL

Firman Eko Putra Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Pasundan

Page 5: CSS Journal Vol.II

CSS Journal Vol.II| 5

pada asumsi-asumsi pilihan rasional dari aktor yang hendak di selidiki, dalam hal ini WTO sebagai sebuah badan yang memuat seperangkat prinsip, norma, peraturan, dan prosedur pengambilan keputusan, serta Teori Pasar Dunia Marx yang dalam hal ini menempatkan WTO sebagai agensi ekspansi geopolitik dalam mengekspor kapital dan konsekuensinya menata tatanan dunia.

GATT Politiko-HistorisSessionPremiere : Rekonstruksi Tatanan Perekonomian Dunia Pasca Perang. Kesepakatan-kesepakatan WTO saat ini merupakan warisan komitmen dari Negara-negara yang secara “suka rela” melakukan (re)negosiasi satu sama lain sejak tahun 1947, ketika produk yang dihasilkan masih berbentuk Uninstitutionalized Multilateral Agreement, melalui General Agreement on Tarrifs and Trade (GATT)

2. GATT/WTO mesti dipahami dalam

konteks historis rekonstruksi tatanan perekonomian dan politik dunia pasca luluh lantah Perang Dunia Ke-2 yang disiapkan oleh paket resep Bretton Woods

3. GATT pada masa itu

merupakan satu-satunya instrumen yang menata perdagangan dunia sejak didirikan pada 1946 hingga bertransformasi menjadi WTO pada 1995. Perlu nyaris separuh abad bagi GATT untuk sampai pada bentuk institusionalnya seperti saat ini, meski upaya tersebut telah dilakukan sejak pertengahan 1950’an dan 1960’an namun kenyataannya ia tetap berada dalam bentuknya yang primitifnya sebagai semi-institutionalized

2 Saat itu baru duapuluh tiga Negara saja yang berkomitmen menjadi

anggota negosiasi GATT di Genewa, Swiss, diantaranya Australia,

Belgia, Brazil, Burma (Myanmar), Kanada, Ceylon (Srilanka), Chili,

R.R. Cina, Kuba, Cekoslowakia, Perancis, India, Libanon,

Luksemburg, Belanda, New Zeland, Norwegia, Pakistan, Afrika

Selatan, Zimbabwe, Suriah, Inggris, dan Amerika Serikat. Lihat,

Irwin, Mavroidis, and Sykes (2008). 3 Bretton Woods sejatinya merupakan nama sebuah daerah di Amerika

Serikat, yang menjadi saksi sejarah berlangsungnya konferensi

ekonomi tingkat dunia pertama pasca Perang Dunia ke-2 yang diharidi

oleh 660 delegasi dari 44 negara sekutu AS. The Bretton Woods

System sendiri merupakan seperangkat resep rekonstruksi

pembangunan ekonomi dunia yang didalamnya menyediakan

perangkat peraturan, institusi, dan prosedur-prosedur yang harus

diikuti oleh Negara-negara anggotanya. IMF dan the World Bank

merupakan dua produk terbaik dari Bretton Woods yang berhasil

bertahan hingga hari ini, selain GATT/WTO.

rejim perdagangan multilateral diatas basis pengawasan (Provision Bases) hingga 1995. GATT merupakan monumen keberhasilan para pendukung liberalisme perdagangan, terutama dari para proponen Mazhab Austria (Austrian School)

4,untuk

menyuntikan semangat laissez-faire dalam tubuh perekonomian dunia yang pada masa itu terkontaminasi episode gelap proteksionisme pasca Depresi Ekonomi 1930 dan Perang Dunia Ke-2.Amerika Serikat sang nakodha Liberalisme pada masa itu justru menjadi Negara pemicu perang proteksionisme perdagangan dunia, pemberlakuan tariff Smoth-Hawley diiringi kebijakan New Deal F.D Roosevelt memicu tindakan balasan dari Negara-negara mechantor lain, konsekuensinya perdagangan dunia lumpuh seketika. Level tariff pada masa Depresi jauh lebih besar dari tariff yang berlaku di Negara-negara industry saat ini, Amerika Serikat terjun bebas dari 35% pada masa Depresi ke 3,5% di tahun 2007, Jerman dari 40% menyelam hingga 5,2%, pun Inggris, Perancis, dan Negara-negara Industri lainnya. Tatanan dunia pasca Perang Dunia ke-2 praktis didesain oleh Amerika Serikat, dan biro-biro dagang (korporasi multinasional) yang berkantor pusat disana, melalui Bretton Woods System. Priviledge ini didapatkan berkat keberhasilan mereka berdiri tegak sebagai pemenang perang, frasa “sejarah ditulis oleh pemenang” sangat tepat ditempatkan pada situasi ini, namun fakta tersebut bisa amat menyesatkan jika materialitas realitas masa itu luput dari frame analisa kita, yaitu konstruksi ekonomi-politik yang mengkondisikan tatanan Bretton Woods itu sendiri. Konstruksi yang dimaksud adalah Overakumulasi

5 ekonomi yang

berlangsung di Amerika Serikat –ingat pada masa itu system pengorganisasian kerja baru bernama

4 Mazhab Austria memercayai bahwa pilihan subjektif individu

merupakan basis dari semua fenomena ekonomi. Nama-nama ekonom

neo-klasik seperti Ludwig von Misses dan Fredrick von Hayek sering

dikaitkan dengan mazhab ini. 5 Overakumulasi dapat dipahami sebagai suatu situasi Kelebihan

(Surplus) tenaga kerja (Labor) dan sekaligus Kapital sehingga nyaris

tidak memungkinkan untuk menempatkan keduanya secara simultan

dalam perekonomian sehingga tidak memungkinkan memeroleh

added value dan “laba” atasnya. Lihat The Limits of Capital, David

Harvey (Oxford, 1982).

Page 6: CSS Journal Vol.II

CSS Journal Vol.II| 6

Taylorisme dan Fordismeberada pada puncak kejayaannya- yang mana kecenderungan kejatuhan tingkat laba akibat dualitas surplus dan konsekuensinya krisis ekonomi tidak dapat terelakan. David Harvey, mencatat bahwa “Jika krisis tidak dapat diselesaikan, maka hasilnya adalah devaluasi massif bagi kapital serta tenaga kerja sekaligus (kebangkrutan, pabrik dan mesin-mesin industry lumpuh, komoditas tak terjual menumpuk, dan pengangguran tenaga kerja).” Lebih jauh lagi tuturnya “devaluasi pada saat tertentu akan mengiring pada penghancuran fisikal (surplus komoditi diberangus; seperti kasus pembakaran tanaman kopi di Brazil (contoh; penulis),kematian pekerja, ataupun kelaparan) dan bahkan peperangan (sekuensi kejadian yang berlangsung pada 1930’an dan 1940’an, dianggap paling mendekati skenario ini)”. Merujuk pada kedua pernyataan diatas maka, bagi Harvey, apa yang dilakukan oleh Amerika Serikat pasca Depresi ekonomi dan Perang Dunia ke-2 adalah sebentuk strategi pelepasan untuk menghindari krisis yang lebih dalam sekaligus membuka ruang-ruang baru bagi akumulasi modal -sirkulasi produksi- dengan skala lebih besar,Laku ekspansi dan relokasi ini diperkenalkan Harvey melalui terma Spatial Fix

6.

Dalam perspektif ilmu Hubungan Internasional, modus tatanan dunia yang Bretton Woods tawarkan saat itu menandai kembalinya kepercayaan pada Wilsonian Idealism

7, atau

dalam format terbarunya melalui Teori Liberalisme Hubungan Internasional yang menjadi basis pembenaran “saintifik” ataskecenderungan tren “institutionalization-building” dalam Hubungan Internasional pasca Perang Dunia Ke-2.Namun, in fact, hantu Idealisme kembali bangkit dari liang lahatnya dan menjangkiti para pengambil kebijakan di level High dan Low

6 Untuk perkenalan lebih jauh dengan terma ini, silakan lihat David

Harvey, Spaces of Capital: Towards Critical Geography (Edinburg,

2001) 7 Wilsonian Idealism merupakan istilah yang digunakan oleh para

Teoritisi Hubungan Internasional untuk merujuk pada Kebijakan Luar

Negeri Amerika Serikat semasa Woodrow Wilson menjabat sebagai

Presiden. Di kemudian hari Istilah ini diubah menjadi “Idealisme”,

mengingat dinamika perkembangan gagasan itu sendiri. Idealisme

sempat tenggelam semasa Perang Dunia ke-2, dan menjadi objek

penderita tuduhan-tuduhan dari para pengampu mazhab Realisme,

seperti Hans Morgenthau dkk.

Politic,Terbukti dengan desain platform Hubungan Internasional yang ditata melalui jejaring kelembagaan supranasional seperti WTO, IMF, Bank Dunia, G8, et cetera, yang merupakan simptom dari peralihan skala geografis pengorganisasian kapitalisme, dari level Negara (domestik) ke level Global melalui Global Production and Supply Chain (GPN). Singkatnya, kemunculan GATT, sebagai embrio WTO, pada masa itu tidak bisa kita lepaskan dari kondisi strukturalpada masa itu.

8 Adapun tujuan utama

diciptakannya GATT, seperti yang dicatat dalam The WTO and GATT : A Principled Historyadalah untuk “menciptakan kesepakatan yang dapat menjamin stabilitas dunia pasca perang dan menghindari terulangnya kesalahan dimasa lalu, termasuk the Smoot-Tariffs dan tindakan balasan atasnya, yang mana telah berkontribusi terhadap runtuhnya iklim perekonomian yang berpuncak pada kehancuran dunia akibat Perang Dunia ke-2”.Hasilnya adalah, pada 1947 GATT menciptakan platform peraturan dan pengecualian untuk meregulasi perdagangan internasional antara anggota, contracting parties, dan menyepakati pengurangan tariff yang telah disepakati oleh masing-masing Negara anggota.

GATT Politiko-HistorisSession II : Hegemoni dan Perang Dingin Lima putaran negosiasi (Negotiation Rounds) pertama GATT, periode 1947-1961, didominasi oleh Negara-negara eksportir utama, atau mereka yang memiliki “principal supplying interest” dalam produk-produk tertentu,duduk satu meja untuk menegosiasikan upaya peningkatan akses terhadap pasar masing-masing Negara diatas asas resiprokalitas, kesalingan

9.

Fokus negosiasi dari Negara-negara industry-maju (Developed-Industrial State) ini adalah untuk mengurangi hambatan impor di Negara lain yang merupakan wilayah kepentingan utama dari

8 Simmon/Haggard mendefinisikan kondisi structural ini sebagai

refleksi dari kekuatan Hegemonik Amerika Serikat dalam

menginjeksikan kepentingannya melalui Rejim Internasional. 9 Untuk elaborasi lebih jauh mengenai hal ini, sila lihat Dam

(1970,bagian 5) dan Hoekman dan Kostecki (2009, bagian 4).

Page 7: CSS Journal Vol.II

CSS Journal Vol.II| 7

Negara eksportir, serta menggunakan pertukaran politik (Political Trade-off) atas perluasan akses pasar diluar negeri terhadap penerimaan akses pasar dalam negeri bagi Negara eksportir lain. Diatas asas resiprokalitas maka pembukaan akses pasar impor di luar negeri, mesti berbanding lurus dengan pembukaan akses impor dalam negeri, thus, pengurangan tariff menjadi suatu keniscayaan. Perlu dicatat bahwa meski pada masa itu GATT telah beranggotakan 23 negara, yang diantaranya terdapat Negara-negara berkembang, namun kepentingan Negara-negara ini justru kurang terfasilitasi mengingat mereka belum berstatus sebagai supplier maupun pasar utama, GATT memberikan sedikit kelonggaran bagi mereka untuk meliberalisasi perdagangannya. Putaran kenedy (Kennedy Round) yang dimulai sejak 1964 hingga Putaran Tokyo (Tokyo Round) pada 1973-1979, menyediakan formula baru untuk mengurangi hambatan tariff lebih jauh lagi. Salah satu formula pemangkasan tariff dengan fitur menarik adalah skema pemangkasan berdasarkan pilihan komoditi khusus, spesifik (misalnya komoditi Apel Malang), yang hendak diturunkan tariffnya diantara Negara-negara supplier utama, melalui skema ini mereka dapat mengurangi tingkat tariff serta penyebarannya (tariff dispersion) didalam negeri. Namun skema ini nyatanya tidak dapat berjalan dengan begitu efektif, mengingat putaran (rounds) menyepakati pula skema lain yang pada gilirannya menjadi penghambat formula dispersion tersebut, ialah formula exemption, pengecualian, atas komoditi-komoditi tertentu oleh suatu Negara produsen komoditi tersebut dianggap berkategori “sensitive products”, yang artinya komoditi tersebut berhak diberi perlakuan khusus untuk dilindungi dari pemotongan tariff. Pada titik ini Negara-negara produsen biasanya akan menghindari pemangkasan tariff untuk produk dengan tariff tertinggi yang mana formula pemangkasan tentu saja menempatkan pemotongan atasnya sebagai prioritas utama.Hasilnya sudah bisa kita duga, resiprositas proteksi tariff diantara Negara-negara anggota, yang sekali lagi memaksa GATT untuk memikirkan jalan keluar baru. Yang menarik pada masa itu adalah, alih-alih menempatkan diri

sebagai promotor pasar bebas, Amerika Serikat dan Masyarakat Ekonomi Eropa (EEC) justru menjadi “anak nakal” yang memulai pelanggaran atas Formula yang telah disepakati melalui GATT, kenakalan ini terutama mereka tunjukan pada hal-hal yang berkenaan dengan perdagangan agrikultur, pertanian, keduanya menekan GATT untuk mengecualikan sector agrikultur dalam skema pemangkasan tariffnya, bahkan EEC menerbitkan kebijakan internalnya dalam rangka melegitimasi campur tangan pemerintah dalam sector ini melalui Common Agricultural Policy (CAP). Sektor lain yang menjadi arena pertarungan negosiasi exemption adalah Tekstil dan Manufaktur

10, meski permasalahan ini telah

dan sedang terus diupayakan melalui kerangka WTO.

GATT Politiko-HistorisSessionFinale: Uruguay Round dan Proyek Pembangunan Negara Berkembang Tanpa bermaksud mengkerdilkan peran putaran-putaran negosiasi GATT sebelumnya, namun nampaknya Uruguay Round, 1986-1994, lah yang memiliki signifikansi sekaligus penanda sejarah bagi konfigurasi tatanan perekonomian dunia saat ini. Bagaimana tidak, untuk kali pertama GATT menginklusikan berbagai komponen dan sektor perdagangan dunia kedalam paket kebijakannya, yang antara lain sektor jasa (services), kapital (liquid dan direct investment), gagasan (intelectual property), dan bahkan tenaga kerja (labor).

11Dari sudut pandang

rejim, perluasan jangkauan issue area yang GATT capai menyebabkan peningkatan biaya administratif dan sekaligus kompleksitas rejim itu

10

Untuk diskusi yang lebih jauh mengenai ini, silakan lihat Hoekman

dan Kostecki (2009, bagian 6). Pembahasan lebih jauh mengenai dua

sektor ini akan sangat menarik mengingat keduanya merupakan

kepentingan utama dari Negara-negara berkembang, bahkan Paket

Bali diantara berfokus pada sektor Pertanian. 11

Selain itu jumlah keanggotaan GATT meningkat secara impresif,

dari 62 anggota pada Kennedy Round, 102 pada Tokyo Round,

menjadi 128 anggota pada Uruguay Round, nyaris 70% jumlah

seluruh Negara di dunia pada saat itu.

Page 8: CSS Journal Vol.II

CSS Journal Vol.II| 8

sendiri12

, hal ini menjelaskan mengapa seiring dengan semakin luas jangkauan isu yang GATT apropriasi maka semakin mendesak pula kebutuhan untuk membangun aparatus administratif institusional, yang memang dibuktikan pada akhir putaran Uruguay, yang juga menandai era baru GATT sebagai sebuah institusi dibawah payungWTO (World Trade Organization).Indonesia dan 14 Negara eksportir utama produk pertanian pada masa itu, seperti Brazil, Kanada, Selandia Baru, dan Australia, melayangkan penolakan atas skema pengecualian tariff terhadap produk-produk pertanian, dan sebaliknya mendukung sepenuhnya pengurangan subsidi domestik atas produk-produk pertanian orientasi ekspor (dumping) serta skema kuota impor yang diterapkan oleh Negara-negara seperti Amerika Serikat dan Masyarakat Ekonomi Eropa (EEC).

Tak seperti beberapa putaran sebelumnya, Uruguay Round menjadi arena unjuk taring bagi Negara-negara berkembang

13. Meski

nampak dipermukaan, negara-negara berkembang seperti Indonesia terlihat amat heroik, seolah berani mengacungkan kepalan tangannya ketika kepentingan nasionalnya (?) terancam. Namun terdapat jebakan empirik disini, karena mengutip Roy Bashkar

14 “Realitas selalu

mengandung tiga strata: domain empirik (De) yang berisi objek-objek, domain aktual (Da) yang berisi peristiwa sebagai hasil interaksi antar objek dan domain riil (Dr) yang memuat struktur, mekanisme dan tendensi laten yang inheren dalam objek-objek tanpa terobservasi secara langsung” maka realitas empirik tidak dapat dipahami secara mentah sebagai representasi dari realitas, an sich, sebaliknya ia mesti diperlakukan sebagai representasi (menampilkan ulang melalui enacting) dari realitas itu sendiri, yang karena sifatnyasebagai “representasi” ia tidak dapat kita

12

Diskusi mengenai regime change GATT dapat dilihat dalam,

Haggard dan Simmons, Theories of International Regimes (Harvard,

1987), 497. 13

Seperti yang ditampilkan oleh "The GATT Uruguay Round". ODI

briefing paper. Overseas Development Institute. Retrieved 28 June

2011. 14

Roy Bhaskar adalah seorang Filsuf Inggris abad 20 yang dikenal

sebagai inisiator gerakan Critical Realism (dalam pengertian Filsafat),

Scientific Realism and Human Emancipation (1987) marupakan salah

satu karya terpentingnya.

afirmasi sebagai presentasi dari realitas itu sendiri, kekeliruan memahami ini seperti yang dicatat oleh Martin Suryajaya

15 “...adalah

mereduksi realitas pada domain empirik dan aktual sehingga ontologi yang dihasilkan adalah ontologi yang ‘datar’ (flat ontology), yang hanya memotret kesaling-hubungan internal antar fenomena dan mengabaikan basis material yang menjadi prakondisi adanya fenomena dan hubungannya satu sama lain”, maka akan menjerumuskan subjek pengamat (kita) pada kekeliruan memahami realitas itu sendiri.

Dalam kasus ini basis material yang dimaksud adalah, konfigurasi ekonomi-politik dunia pada masa itu yang mana containment policy

16 blok Barat berhasil membendung

sekaligus memukul mundur Blok Timur, dengan dua jurus :

Jurus pertama adalah bekerja sama dengan garda anti-komunis melalui pengerahan armada-armada perang, dan institusi kekerasan (violence institutions) seperti Tentara dan Paramiliter, yang sejarah bangsa ini sendiri telah saksikan pada era 60’an dimana Sayap Militer dibawah Jendral Suharto bersama golongan anti-komunis berkongsi untuk melakukan pembantaian besar-besaran terhadap simpatisan, anggota, hingga orang yang “dituduh” Komunis/PKI, yang dikemudian hari oleh seorang diplomat Inggris dalam sebuah film dokumenter berjudul The New Rulers of the World

17 nyatakan

sebagai “pukulan kecil demi kemakmuran”, bahkan TIMES Magazine pada bulan Juli 1966 menampilkan full coverage mengenai kesuksesan Suharto menumpas Komunis di Indonesia dan menempatkan senyum Suharto di cover majalah

15

Diskusi mengenai Stratified Reality dapat ditemukan dalam ; Martin

Suryajaya, Dialectical Materialism Strikes Back, dalam

http://indoprogress.com/dialectical-materialism-strikes-back/. Untuk

elaborasi lebih jauh lihat Martin Suryajaya, Materialisme Historis

(Resist, 2012). 16

Containment Policy merujuk pada kebijakan luar negeri Amerika

Serikat, diikuti oleh sekutunya, yang ditujukan untuk mencegah

penyebaran Komunisme di luar negeri. Lihat G. Kurt Piehler and

Sidney Pash, eds. The United States and the Second World War: New

Perspectives on Diplomacy, War, and the Home Front (2010) pp 38-

67. 17

The New Rulers of The World (2001) merupakan sebuah film

documenter karya sutradara John Pilger, pada salah satu scene seorang

diplomat Inggris dengan terang menyatakan kekagumannya pada aksi

Jendral Suharto dan Angkatan Darat yang dipimpinnya kala

menumpas Partai Komunis Indonesia.

Page 9: CSS Journal Vol.II

CSS Journal Vol.II| 9

tersebut. Kesuksesan ini menjadi awal dari serangkaian aksi serupa di beberapa Negara seperti Chili, dibawah Augusto Pinochet, Uganda, dengan Idi Aminnya, dan aksi sejenis, mendukung kudeta berdarah dan pemerintahan diktatorial, di Negara-negara berkembang lainnya.

18

Jurus kedua melalaui suntikan segar dana pembangunan berbentuk pinjaman ke Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yang mengalir deras bak Badai Haiyan. Lembaga kreditor seperti World Bank dengan senang hati melimpahkan dananya untuk dipinjamkan ke Negara-negara berkembang, yang “kebetulan” secara geopolitik berada di wilayah bumi bagian selatan (Southern Hemisphire)

19, untuk digunakan

dalam proyek-proyek pembangunan infrastruktur, yang tentu saja menjadi syarat utama berlangsungnya sirkulasi perekonomian. Pada periode 1960-1970’an Argentina, Brazil, dan Meksiko merupakan Negara-negara peminjam terbesar di kawasan Amerika Latin sementara di Asia sendiri terdapat Negara-negara seperti Indonesia, India, Thailand, dan Malaysia yang berbagi harapan yang sama, melalui skema hutang untuk membiayai pembangunan ekonomi dalam negerinya.Logika hutang

20 ini berlaku baik

bagi Negara-negara berkembang yang pada masa Boom Oil, menemukan neraca saldonya membumbung maupun bagi Negara-negara yang terkena ekses buruk dari meningkatnya harga minyak mentah, yang imbasnya meningkatkan biaya produksi komoditi mereka.

Pinjaman ini kenyataannya diberikan pada lingkungan ekonomi yang tidak stabil, karena sejak Richard Nixon menceraikan nilai mata uang dengan standar emasnya pada 1971 yang menjadi awal dari kedigdayaan kapital, dan

18

Diskusi lebih lanjut mengenai isu ini silakan lihat, John Roosa,

Dalih Pembunuhan Massal. 19

Diskusi mengenai Critical Geopolitik mengenai konstruksi

geopolitik suatu Negara bisa dilihat di ; Toal, Gerard, "Critical

geopolitics: The social construction of space and place in the practice

of statecraft" (1989). Geography - Dissertations. Paper 38. 20

Vincent Ferraro and Melissa Rosser, Global Debt and Third World

Developmentdalam World Security: Challenges for a New Century,

edited by Michael Klare and Daniel Thomas (New York: St. Martin's

Press, 1994), pp. 332-355 . menyatakan bahwa “These loans were

being used to pay for current consumption, not for productive

investments. The money was not being used to mobilize underutilized

resources, but rather to maintain a current, albeit desperate, standard

of living.”

dengan itu menandai akhir dari perjanjian Bretton Woods, perekonomian dunia didorong keambang krisis yang berlangsung pada 1972-5, masa dimana terjadi reorganisasi radikal dalam tubuh kapitalisme (peralihan dari Fordisme ke Akumulasi Fleksibel dan reorganisasi relasi kuasa internasioanl; dengan Jepang dan Eropa menantang dominasi kekuatan ekonomi AS).Tak perlu waktu lama untuk berjumpa dengan krisis berikutnya, pada 1980 negara-negara berkembang tiba-tiba menemukan penurunan permintaan produknya, dan sebagai konsekuensi dari meningkatnya harga minyak bumi, tingkat suku bunga meloncat ke titik tertingginya pada masa itu. Hasilnya sudah bisa kita duga, resesi ekonomi global 1981-1982, yang menyebabkan Negara-negara peminjam tindak dapat membayarkan hutangnya tepat waktu pada World Bank. Tepat pada situasi inilah IMF masuk, untuk menyeimbangan masalah pembayaran suatu Negara, IMF menjadi penjamin kelayakan kredit (creditworthiness) Negara-negara berkembang. Fitur paling menarik dari IMF adalah program structural adjustment yang ditawarkan pada Negara-negara peminjam jika mereka hendak meminta bantuan dari IMF, structural adjustment menekankan “kapasitas produksi sebagai sesuatu yang krusial bagi performa ekonomi” dan “upaya untuk meningkatkan output potensi ekonomi dan fleksibilitas pasar barang”

21,

singkat kata ia meminta Negara untuk menekan tingkat konsumsi domestik

22 sehingga kapital bisa

dialihkan pada investasi-investasi produktif, selain itu pihak kreditor berhak mendiktekan alokasi investasi dan sektor produksi yang mesti dikerjakan oleh suatu negara. Marx memberikan catatan khusus mengenai sistem kredit dalam tatanan kapitalisme, “The entire credit system.. rests on the necessity of expanding and leaping over the barrier to circulation and the sphere of exchange. This appears more colossally,

21

United Nations Conference on Trade and Development, Trade and

Development Report, 1988, UNCTAD/TDR/8 (New York: United

Nations, 1988), pp. 92-93. 22

Subsidi-subsidi yang diberikan pemerintah pada rakyatnya, contoh :

subsidi pendidikan, kesehatan, transportasi public, Bahan Bakar

Minyak, dll. Silakan lihat Cheryl Payer, The Debt Trap: The

International Monetary Fund and the Third World (New York:

Monthly Review Press, 1974), p. 33.

Page 10: CSS Journal Vol.II

CSS Journal Vol.II| 10

classically, in the relations between people than in the relations between individuals. Thus, e.g., the English (are) forced to lend to foreign nations in order to have them as customers” (Marx 1973: 416). Konsekuensinya, seperti yang telah sering kita dengar lewat istilah “Jebakan Hutang” atautheDebt Trap, boleh jadi dapat menjadi variabel penjelas mengapa struktur hirarkis tatanan global tak banyak berubah sejak satu abad silam.

Kedua jurus ini terbukti sangat efektif dalam memantapkan pondasi pembangunan tatanan dunia berdasarkan logika kebebasan pasar, kepemilikan privat, eksploitasi nilai. Satu kondisi yang sering luput dari analisa adalah distributional voting principlesatau modus pengambilan suara dari anggota suatu rejim

23,

tidak seperti modusnya saat ini yang, kabarnya, berdasarkan prinsip “one nation, one vote” pada masa itu GATT serta lembaga-lembaga seperti IMF dan World Bank (hingga sekarang!) berdasarkan pada prinsip bobot suara (weighted voting), yang tentu saja, seperti dicatat oleh Craigg van Grasstek, merujuk pada momen saat para pemimpin Negara Hegemon memutuskan untuk membangun institusi dari Rahim GATT, “The proposal also came in a period when the system as a whole wasstill willing to let a small number of its members provide the leadership.”

24,

melanggar prinsip-prinsip demokrasi, yang seharusnya mereka junjung tinggi dan bahkan menjadi pembenaran atas intervensi politik di Negara-negara “non-demokratis”. Modus pengambilan suara ini memiliki konsekuensi serius, yang karenanya memberikan konsekuensi distribusional, yang berdampak pada agenda internasional dan, yang paling penting, alokasi sumberdaya.

25

23

Mengenai ini penulis berhutang banyak pada Simmon dan

Haggards, yang telah memberikan insights pada penulis melalui

tulisannya dalam Theories of International Regimes, hal 491-517. 24

Craig Van Grasstek,The History and Future of the World Trade

Organization (WTO, 2013). 25

Idem, 22.

Babak Baru : WTO dan “Global (Political-Economic) Village”

Tak berlebihan jika Putaran Uruguay

dianggap sebagai kunci menuju tatanan dunia baru (new world order), yang mendobrak tirai-tirai besi di delapan penjuru mata angin, tak mengherankan jika keruntuhan Uni Sovyet berada tepat di jantung fase historis ini.Awal 90’an Pembagian kerja secara internasional baru (New International Division of Labor)

26dan Global

Production Chain telah terbentuk, sebagai konsekuensi langsung dari perkembangan kapitalisme global yang disebabkan oleh inovasi teknologi komunikasi dan transportasi yang pada gilirannya mampu memampatkan jarak tempuh, dalam Grundrisse, Marx menyebutnya dengan “the annihilation of space through time”

27 sebagai

hukum fundamental dari perkembangan kapitalisme. Hasilnya adalah restrukturisasi aktivitas kapitalisme, salah satunya melalui deindustrialisasi di satu tempat dan reindustrialisasi di tempat lainnya, contoh terdekat adalah gelombang industrialisasi Indonesia, Malaysia, dan Thailand pada paruh kedua 80’an hingga krisis 1997 menerpa, bahkan dalam sebuah laporannya pada 1993 World Bank menyebut Indonesia sebagai “East Asian Miracle”

28. Pada masa itu industri manufaktur

26

. Terma ini digunakan oleh Teoritisi yang berupaya mencari

penjelasan atas pergeseran spasial industry-industri manufaktur dari

negara-negara kapitalis maju ke negara-negara berkembang-

reorganisasi produksi geografis, yang mana berangkat dari ide awal

mengenai pembagian kerja secara global. Lihat dalam Warf, Barney

(ed.) (2010). "New International Division of Labor". Encyclopedia of

Geography. Sage Pubs. 27

Karl Marx, Grundrisse : Foundations of the Critique of Political

Economy (1972) mencatat bahwa “However, in so far as circulation

itself creates costs, itself requires surplus labour, it appears as itself

included within the production process. In this respect circulation

appears as a moment of the direct production process. Where

production is directly oriented towards use, and only the excess

product is exchanged, the costs of circulation appear only for the

excess product, not for the main product. The more production comes

to rest on exchange value, hence on exchange, the more important do

the physical conditions of exchange -- the means of communication

and transport -- become for the costs of circulation. Capital by its

nature drives beyond every spatial barrier. Thus the creation of the

physical conditions of exchange -- of the means of communication and

transport -- the annihilation of space by time -- becomes an

extraordinary necessity for it. “ 28

Laporan yang berjudul “East Asian Miracle : Economic Growth and

Public Policy, (World Bank ,1993). ” ini memuji Indonesia sebagai

Page 11: CSS Journal Vol.II

CSS Journal Vol.II| 11

disebut-sebut sebagai driving force perekonomian Negara-negara tersebut. Sekali lagi, menguatnya perekonomian Indonesia pada masa itu, utamanya didorong oleh hutang luar negeri yang diperkirakan mencapai 3,7 Miliar USD pada 1970’an hingga meningkat tajam ke angka 78,9 Miliar USD pada 2002

29, tak lupa menurut laporan

World Bank pasca krisis finansial 1997, ¾ pinjaman yang dikucurkan ke pemerintah Indonesia menguap begitu saja ke kantong-kantong kroni Keluarga Cendana. Dalam ilmu Hubungan Internasional dan studi-studi Pembangunan pada masa itu, Teori Angsa Terbang (Flying Geese Paradigm)

30 menjadi

semacam model pola tahapan pembangunan negara berkembang yang amat disukai oleh para akademisi di Negeri ini, karena merujuk pada model ini Indonesia dianggap telah menuju tahapan lepas landas menuju Negara berbasis Industri yang sejahtera.Singkat kata, pergeseran spasial ini tak lepas dari peran lembaga-lembaga supranasional seperti World Bank, IMF, dan terutama GATT melalui Putaran Uruguay.

Seiring dengan semakin banyaknya Negara yang begabung, dan seperti yang telah disinggung di muka, perekonomian dunia telah semakin terhubung secara global, pada awal era WTO Negara-negara anggota melayangkan tuntutan untuk mengubah modus pengambilan keputusan, yang sebelumnya hanya segelintir kecil Negara dengan kuasa perekonomian terbesar dapat berpartisipasi didalamnya, menjadi berdasarkan konsensus, meskipun oligarki The Exclusive Club/The Green Room Club belum juga hilang. Sejak saat itu bermunculan koalisi Negara-negara berdasarkan kedekatan geografis, sektoral, dan lain sebagainya

31, seperti

yang kita kenal dengan Kelompok 20 (Diantaranya adalah Indonesia, Korea Selatan, Brazil, India, Afrika Selatan, dan beberapa negara Amerika Latin serta Afrika) yang fokus memperjuangkan reformasi kebijakan pertanian dan fleksibilitas

satu dari Negara di kawasan Asia Timur dengan performa ekonomi

yang tangguh. 29

Éric Toussaint, Damien Millet. (2005, July). Indonesia; History of a

Bankruptcy Orchestrated by IMF and the World Bank. 30

Model Angsa Terbang pertama kali dikenalkan oleh Kaname

Akamatsu dalam Journal of Developing Economies. 31

WTO Hidtory

pasar bagi Negara-negara berkembang. Sejak berbentuk sebagai sebuah badan pada 1995, WTO belum mampu melangkah lebih jauh untuk “memfasilitasi” kebutuhan Negara-negara berkembang khususnya dalam persoalan Pertanian dan Ketahanan Pangan, belasan ministeral conferencesejak Doha Round gagal, hingga akhirnya untuk pertama kali dalam sejarah WTO, seluruh Negara sepakat atas Paket Bali meski sempat disuguhi drama Boliwood dari India dan Telenovela dari Kuba, Venezuela, Nicaragua, dan Bolivia yang sempat mengajukan keberatannya atas poin-poin yang ditawarkan Paket Bali, terutama mengenai subsidi petani dan ketahanan pangan bagi India dan persoalan Embargo ekonomi bagi “poros Kiri” Amerika Latin. Pada penutupan MC9 Bali, Roberto Azevedo, menyatakan kelegaannya atas tercapainya kesepakatan ini yang menandai kembalinya Doha Round yang sempat lumpuh sejak digulirkan pada 2001.

Disetujuinya Paket Bali boleh jadi menjadi tonggak sejarah bagi kapitalisme kontemporer, yang berhasil mengintegrasikan sebagian besar ruang geografis dan berbagai sektor produksi kedalam jejaring produksi Global. Hal yang telah Marx prediksi jauh satu abad sebelumnya, bahwa melalui kapitalisme tendesi menuju unifikasi dunia lewat jejaring produksi global, atau dalam terma Marx “ekstensi geografis dari produksi kapitalisme”, adalah suatu keniscayaan sejarah, baginya “it is only foreign trade, the development of the market to a world market, which causes money to develop into world money and abstract labour into social labour. Abstract wealth, value, money, hence abstract labour, develop in the measure that concrete labour becomes a totality of different modes of labour embracing the world market. Capitalist production rests on the value or the transformation of the labour embodied in the product into social labour. But this is only possible on the basis of foreign trade and the world market. This is at once the precondition and result of capitalist production.” (Marx 1972: 253)Sebagai seorang ilmuan Marx boleh dibilang seorang ahli kapitalisme, yang melalui kerja intelektualnya berpuluh-puluh tahun berkutat dengan objek

Page 12: CSS Journal Vol.II

CSS Journal Vol.II| 12

analisnya, yakni Kapitalisme, berhasil mengurai pola-pola kerja dan kecenderungan-kecenderungan system kapitalisme yang dikondisikan muncul berkat yang pertama, hingga akhirnya menemukan simpulan bahwa hanya pada masa ketika Kapitalisme telah berkembang sepenuhnya maka tatanan baru (komunisme) dapat dimungkinkan lahir dari puing-puing reruntuhannya, percis seperti kemunculan kapitalisme dari dalam rahim feodalisme.Pada titik ini, Jejaring Produksi Global yang di bangun melalui kerangka WTO dapat dipahami sebagai konsekuensi inheren dari dialektika internal Kapitalisme dan karenanya merupakan prasyarat bagi kematangan tatanan Kapitalisme, serta kontradiksi internal menuju kehancurannya sendiri.

Kesimpulan GATT/WTO sebagai sebuah produk

warisan konfigurasi ekonomi dunia pasca Perang Dunia ke-2, yang dibangun dibawah pengawasan Amerika Serikat sebagai Hegemonic Powerpada masa itu, memperlihatkan dinamika internalnya sendiri yang mana setelah mengendurnya pengaruh Amerika Serikat dalam konstruksi perekonomian dunia pada 1970’an, seiring dengan kebangkitan Negara-negara Eropa dan Jepang. Meski pada awalnya rejim merefleksikan – jalinan erat antara distribusi kekuatan dan karakteristik rejim : Negara kuat membangun rejim yang dapat memenuhi kepentingannya

32.

Namun, struktur Sistem internasional dan rejim yang dibangunnya dapat berubah, rejim pada titik tertentu dapat memiliki logikanya sendiri yang independen dari factor kausal mendasar yang menggiring pada penciptaannya. Meskipun tentu saja, bagi Krasner, berubahnya distribusi kekuatan tidak selalu berdampak pada perubahan hasil akhir karena rejim dapat berfungsi sebagai intervening variables

33. Pada titik ini penciptaan

GATT dapat dijelaskan oleh faktor struktural,

32

Krasner, Regimes and The Limits of Realism, hal 499. Lebih jauh

lagi, “They are therefore established primarily upon major re-

arrangements within the international system, usually following major

wars” 33

Idem, 30.

tetapi sebagaimana yang telah kita lihat di atas, bahwa ditengah perjalanan kedewasaannya sebagai sebuah rejim - baik karena perubahan strength, organizational form, scope, hingga allocational modes – pada momen tertentu ia dapat menjaga jarak dari faktor struktural yang menggiring keberadaannya.

Dalamepos kapitalisme, WTO diperlukan sejauh ia berperan sebagai juru adil sekaligus kendaraan bagi petualangan penaklukan kapitalisme menuju setiap sel terpencil di seluruh penjuru dunia. WTO merupakan kekuatan pengikat setiap ruang geografis kedalam suatu jejaring produksi global, yang diperlukan kapitalisme untuk menopang kapasitasnya sendiri yang kian hari kian membesar, berkat akumulasi modal terus menerus yang dilakukannya. Sistem kapitalisme karenanya sangatlah dinamis dan tak tekhindarkan lagi berwatak ekspansif ; ia membentuk kekuatan permanen revolusioner yang mana secara berkelanjutan dan konstan membentuk dunia dimana kita hidup saat ini

34.

Lebih jauh lagi, WTO menjadi agen kapitalisme dalam merestrukturisasi tatanan sistemik kapitalisme global pasca krisis, pada titik ini ia berperan dalam memperbaharui dan memutakhirkan system akumulasi profit berskala global.

35

Diskusi mengenai WTO dan Kapitalisme kontemporer tidak bisa diletakan semata-mata atas dasar kepentingan nasional (national interests), thus, kedaulatan Negara, yang kerap dipromosikan oleh banyak analis dan kritikusnya. Pernyataan tersebut seksi untukdijual di panggung-panggung orasi dan kampanye namun lemah dalam daya analisis objektif, sebaliknya WTO mesti ditempatkan dalam bingkai analisis yang lebih besar, sebagai suatu proses global, yang karenanya pula terdapat diversifikasi aktor-aktor yang bekerja didalamnya, terutama Korporasi Multi Nasional (MNC’s). Kiranya kita perlu momen untuk duduk manis sejenak, meluangkan waktu mengupas dengan tekun

34

David Harvey, The Geography of capitalist accumulation : a

reconstruction of the Marxian theory (Antipode, 1975). 35

Sila tengok, Siaran Pers Jaringan Riset Kolektif (JeRK), Urgensi

Rekontekstualisasi WTO dan Pertanian ke dalam Proyek Konsolidasi

Kapitalisme-Neoliberal Global Pasca Krisis (Jakarta,2013)

Page 13: CSS Journal Vol.II

CSS Journal Vol.II| 13

lembaran demi lembaran buku-buku, jurnal-jurnal, dan dokumen-dokumen penelitian, seraya memetik buah manis pengetahuan sebagai bekal nutrisi guna membangun tatanan dunia yang lebih baik di masa depan.Karena, mengutip Dede Mulyanto, Revolusi tidak dimulai dari membaca buku, tetapi dengan membacanya kita menjadi tahu mengapa harus ada Revolusi.Indeed, Another World is (still) Possible, Preparez-vous Pour la Revolution!. *** Referensi

Craig Van Grasstek,The History and Future of the World Trade Organization (WTO, 2013).

David Harvey, Spaces of Capital: Towards a Critical Geography (Edinburg, 2001)

Karl Marx, Grundrisse : Foundations of the Critique of Political Economy (Penguin Classic, 1972)

Robert O. Keohane, After Hegemony : Cooperation and Discord in the World Political Economy (Princeston, 2005)

Stephan Haggard and Beth A. Simmons, Theories of International Regimes (Harvard, 1987)

Page 14: CSS Journal Vol.II

CSS Journal Vol.II| 14

egara-negara maju bersukacita dengan di sepakatinya Paket Bali, momen yang

bersejarah untuk WTO karena sejak tahun 1995 WTO berdiri baru kali ini menghasilkan kesepakatan, seperti apa yang sejak awal di harapkan oleh Azavedo (Dirjen WTO) dengan sangat ambisius, begitupun dengan Gita Wiryawan, mantan Kepala Badan koordinasi Penanaman Modal dan Investasi (BKPM) yang sebelumnya mantan karyawan Citibank dan Presdir JP Morgan di Jakarta ini sangat sumringah setelah di sepakatinya Paket Bali ini, Gita sangat bahagia karena telah berhasil memfasilitasi dialog yang alot antara kepentingan negara miskin,berkembang dan maju karena memanggul nasib umat manusia di pundaknya −sungguh mengharukan, itu merupakan hal yang prestisius untuk seorang bakal calon pemimpin negara.

Untuk mengawali essay ini saya akan sedikit menuturkan cerita dari apa yang ramai dibicarakan orang banyak tentang perhelatan Pertemuan Tingkat Menteri ke-9 WTO di Bali awal Desember lalu, kemudian ekses dari foreign policy Indonesia hasil dari berbagai perundingan bilateral dan multilateral pada level domestik, terlebih pada aspek sosial. Selanjutnya

pembahasan akan di fokuskan pada satu atau dua nomor tinjauan historis mengenai pasar bebas dan kedaulatan negara, kemudian beberapa paragraph yang mengulas tentang pembiayaan pembangunan global dalam dinamika pembangunan nasional dan internasional di akhir tulisan ini. Mari kita mulai dengan pertanyaan remeh-temeh :

Siapa Berdiplomasi untuk siapa?

Dalam setiap perundingan di tingkat internasional bilateral maupun multilateral para diplomat Indonesia seringkali mengalami kegagalan atau berpotensi merugikan. Tidak seperti negara-negara lain semisal Kuba,Venezuela,Bolivia dan Nikaragua yang kita ketahui sebagai negara yang tidak terlalu mempunyai bargaining position yang kuat dalam politik internasional namun mempunyai political will untuk selalu mempertahankan kepentingan nasionalnya, sebaliknya Indonesia di mata para pengamat ekonomi dan politik yang sangat luwes dengan kebijakan-kebijakan lembaga-lembaga supranasional seperti IMF, World Bank, WTO atau WEF yang berpotensi merugikan negara. Kasus terbaru ketika dalam Pertemuan Tingkat Menteri WTO (MC9 WTO) di Bali awal Desember kemarin, Indonesia lebih memilih untuk diam dan menunngu pemenang debat antara India dan

N

KEGAGALAN DIPLOMASI DAN KRISIS SOSIAL

Rifqi Fadhlurrachman Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Pasundan

Page 15: CSS Journal Vol.II

CSS Journal Vol.II| 15

Amerika Serikat dalam pembebasan tarif perdagangan pertanian yang merupakan pilar utama dari kebijakan-kebijakan yang di rundingkan dalam MC9 WTO, India dengan bersikukuh bahwa food security is essential, nonnegotable. Setelah India menumakan titik temu untuk menyepakati Paket Bali dengan beberapa revisi, Selanjutnya Kuba yang menolak kesepakatan itu di akhir sesi pembagian draft, sikap Kuba ini pun di dukung oleh Venezuela,Bolivia dan Nikaragua, walaupun akhirnya MC9 WTO di tutup dengan disahkannya Paket Bali dengan perubahan pada beberapa poin karena negosiasi India terkait kebijakan untuk negara berkembang.

Bagaimana dengan Indonesia? Seperti yang sudah kita ketahui bersama, Indonesia hanya bersikap wait and see. Jika melihat dengan teliti kebijakan penghapusan tarif perdagangan pertanian yang di sepakati dalam MC9 WTO tersebut, jelas negara-negara agraris atau yang hidup dari produksi pertanian seperti Indonesia,India,Thailand dan lainnya akan sangat merugikan dan konsekuensi terburuknya adalah kehancuran sektor pertanian, sementara untuk negara-negara yang basis perekonomiannya adalah Industri seperti Amerika,Singapura dan negara-negara di barat atau Eropa tidak akan menjadi masalah, sektor pertanian di negara-negara maju sudah sangat baik dengan ditopang oleh teknologi pertanian yang modern karena subsidi yang diberikan pemerintah sangat besar sedangkan di negara-negara dunia ketiga produksi pertanian masih berskala tradisionil yang berdampak pada produktivitas yang rendah sehingga mengakibatkan semakin banyak orang yang akan lari dari dunia pertanian, timbulnya masalah baru yang akan di hadapi oleh pemerintah dalam negeri yaitu akibat kebijakan pemerintah sendiri, orang-orang yang hengkang dari sektor pertanian tadi akan pergi ke kota-kota besar (urbanisasi) untuk mencari sumber-sumber ekonomi di kota yang dinilai lebih menjanjikan, di saat yang bersamaan, arus urbanisasi tidak di imbangi dengan arus penyerapan tenaga kerja di sektor manufaktur, lantas kemana orang-orang yang tidak mendapatkan pekerjaan di sektor

formal karena tidak memiliki keterampilan intelektual?.

Orang-orang yang tidak terserap pada sektor formal tadi akan mengisi sektor-sektor informal yang tersedia di kota dengan menjadi preman bayaran,mengemis atau apapun itu untuk bertahan hidup, begitu pula dengan kasus human trafficking. Ketika kita menghakimi para pengemis,preman dan lainnya yang kita anggap pekerjaan kotor dan tinggal dengan mengisi bantaran sungai dan pinggiran rel kereta api hanya dengan nubuat-nubuat moral, tidak ber-etika,malas dan sebagainya kita tidak akan bisa menemukan inti dari sebab terjadinya permasalahan tersebut apalagi untuk menyelesaikannya karena “Tanpa etika masyarakat tidak mati tetapi tanpa ekonomi masyarakat pasti mati. Esensi dari sesuatu adalah syarat minimum dari adanya sesuatu, differentia specifica yang jika dilanggar maka sesuatu tak lagi ada. Syarat minimum dari adanya masyarakat adalah adanya kecukupan makan dan minum”

36.

Oleh karena itu ketika kita mencoba untuk menyikapi permasalahan sosial yang begitu familiar dengan kehidupan sehari-hari, kita tidak akan bisa menyelesaikannya tanpa analisis struktural yang komprehensif dengan mengulur relasi ekonomis-politis, menganggap kemiskinan adalah nasib yang sudah diberikan oleh tuhan adalah sama saja dengan menolak ilmu pengetahuan.

Dalam kasus lain, yaitu tentang konflik horizontal yang merebak pasca 1998 di berbagai daerah berlatar belakang perebutan ruang hidup atau konflik agraria. Konflik yang terjadi selalu melibatkan dua kelompok, yaitu yang pro terhadap pengambil alihan lahan oleh swasta yang akan melakukan ekplorasi mineral atau proyek perkebunan, pihak perusahaan di fasilitasi oleh negara dengan dukungan aparat kepolisian dan militer, dan kelompok yang kontra yang hanya bisa mengandalkan lutut dan perkakas mereka. Kelas menengah perkotaan seperti kita seringkali menjatuhkan tuduhan yang bengis kepada kelompok yang menolak itu dengan kata-

36

Dikutip dari Artikel Martin Suryajaya dalam Jurnal Problem

Filsafat, edisi Januari, 2012

Page 16: CSS Journal Vol.II

CSS Journal Vol.II| 16

kata sarkas ‘terbelakang dan menolak pembangunan’. Bagi sebagian masyarakat yang masih kental dengan tradisi adat, tanah menurut mereka bukan hanya sekedar mengandung nilai ekonomis namun memiliki nilai historis sekaligus mistis, cara-cara mereka mengelola sumberdaya dilakukan dengan bersama-sama dan teratur untuk kelangsungannya dimasa depan. Ada beberapa produk hukum terkait tanah adat, namun bertabrakan dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah tentang perizinan karena pemerintah daerah mempunyai kewenangan langsung untuk berinteraksi atau bekerjasama dengan pihak swasta (dalam dan luar negeri) guna memboyong modal langsung ke daerah, alih-alih untuk memajukan daerahnya, argumen desentralisasi dan otonomi daerah dijadikan basis legitimasi para elit politik di daerah untuk mencekik warganya. Undang-undang otonomi daerah (UU 22 1999 dan UU 32 2004) yang dulu diteriakan oleh para pejuang reformis kini menjadi boomerang yang mengerikan, ini pun membuktikan bahwa konflik yang terjadi bisa ditelusuri melalui struktur politik yang luas. Kita bisa memetik pelajaran dari krisis finansial 2008 dan Eropa merasakan dampak yang begitu hebat, sampai hari ini masih terasa. Merebaknya fenomena yang oleh para budayawan media sosial populer di sebut sebagai Neo-Fasis dimana para imigran dijadikan kambing hitam atas kekacauan yang melanda negaranya, mereka di usir atau mendapatkan perlakuan tidak manusiawi dari warga pribumi seperti yang terjadi di Yunani dan beberapa negara lain, yang menyedihkan tindakan itu di dukung oleh para politisi sayap kanan untuk mencuci tangannya. Terlihat secara telanjang bahwa penyebabnya adalah krisis finansial yang melanda eropa menyebabkan negara-negara yang tidak bisa menghindari dampaknya jatuh pada lubang depresi ekonomi yang menyeramkan, angka pengangguran membengkak, kelas menengah mengantri di dapur umum, pemangkasan subsidi membuat orang-orang menjadi panik kemudian naiknya sentimen politik sayap kanan yang menyebabkan krisis kemanusiaan. Secara ekonomis, para imigran yang berasal dari Asia,

Afrika dan lainnya mendapatkan upah yang tidak begitu besar dari para pekerja pribumi, namun tetap saja ketika sekelompok massa yang mempunyai latar historis yang sama seperti –bangsa di hadapkan pada satu masalah yang dianggap mengancam akan muncul lah kesadaran kolektif. Seperti halnya peperangan antar suku pada zaman dahulu, namun saat ini kekerasan kolektif yang terjadi berawal dari konflik berlatar belakang perebutan sumber ekonomi, bukan karena perbedaan persepsi tentang sesuatu yang menyebabkan kebuntuan dialog maka satu-satu jalan adalah berperang. Keengganan untuk menganalisa menggunakan pisau analisis yang tepat untuk menjelaskan sumber dari masalah yang sedang dihadapi pun menyebabkan banyak para ilmuan sosial gagap ketika menjelaskan problem sosial yang terjadi dan menjatuhkan tuduhan pada kategori subjektif kemudian terjatuh kembali pada stereotype primordial.

Pasar Bebas vis a vis Kedaulatan Negara

Untuk melakukan pelaupauan kita harus bisa melakukan pembuktian secara ilmiah dengan berpijak pada logika internal dari objek permasalahan. Mari tengok asumsi yang mendasari di berlakukannya perdangan bebas dengan bersandar pada teori ekonomi neoklasik Adam Smith : Bahwa dalam perdagang yang bebas dimana tidak ada intervensi negara, tidak ada kebijakan yang memprioritaskan kepenting segelintir orang atau kelompok maka akan di capai satu makanisme equilibrium dalam ekonomi, artinya jumlah penawaran dan permintaan akan mencapai titik kesetimbangan. Namun yang menjadi problem, teori ini bergantung pada asumsi tertentu, yaitu; adanya simetri informasi, semua orang mempunyai informasi yang sama tentang kondisi di pasar yang kemudian menentukan tingkat harga yang kompetitif tercapai ekuilibrasi, namun pada kenyataannya informasi yang beredar asimetri inilah mengapa selalu tidak stabil dan dihinggapi krisis.

Page 17: CSS Journal Vol.II

CSS Journal Vol.II| 17

Ha-Joon Chang dalam bukunya Kicking Away the Ladder

37 memberikan studi empiris

tentang negara-negara maju yang sekarang menganjurkan perdagangan bebas, pembebasan tarif dan lain-lain itu baru mempromosikannya ketika ekonomi mereka sudah kuat atau siap dalam arena perdagangan bebas, pada masa itu juga negara-negara yang di kategorikan maju memasang tariff yang sangat tinggi dan intrumen kebijakan lainnya seperti subsidi, local content regulation, insentif dan investasi infrastuktur untuk memproteksi infant industry pada masa awal berdirinya abad ke-16,17,18, sehingga mereka menjadi negara yang maju dan berteknologi tinggi. Ha-Joon Chang pun memaparkan fakta-fakta sejarah yang menarik bahwa negara-negara maju saat ini ketika masih dalam tahap berkembang tidak mempedulikan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), meniru produk negara lain merupakan hak dan tidak bermasalah, namun saat ini tidak ada ampun untuk siapapun yang melanggar copyright dengan dibuatnya regulasi atau hukum tentang HAKI, dalam hal ini negara-negara berkembang dan miskin lah yang dirugikan. Selanjutnya negara-negara maju tersebut selalu mengkampanyekan pemerintahan yang demokratis, demokrasi bukanlah prasyarat untuk perkembangan ekonomi namun sebaliknya, perkembangan ekonomi yang seharusnya menjadi fondasi demokrasi. Sejarah berbicara bahwa pada masa tahap berkembang, negara-negara maju itu sekitar 1900-an menerapkan sistem pemilihan umum berdasarkan ras, pandangan politik, kekayaan dan lain-lain yang tidak mencerminkan masyarakat demokratis, singkatnya negara-negara maju saat ini pada masa tahap berkembang memonopoli aspek-aspek perekonomiannya.

Pada kenyataannya, pemerintah Indonesia benar-benar tidak melihat kembali asumsi yang mendasari perdagangan bebas, kita dipaksa untuk masuk kedalam rejim perdagangan global. Sangat tidak rasional jika mengatakan bahwa Indonesia saat ini akan mampu bersaing dalam rejim perdagangan semisal APEC, AEC, WTO dan lain-

37

Chang, Ha-Joon, Kicking Away the Ladder: Development Strategy

in Historical Perspective (London: Juni 2002)

lain jika memeriksa fakta sejarah yang Ha-Joon Chang kemukakan tentang perdagangan bebas, yang malah akan terjerumus pada krisis. Pemerintah sudah banyak menandatangi kesepakatan kerjasama perdagangan internasional dengan negara lain melalui jalur bilateral atau multilateral yang bersifat mengikat, sektor-sektor penting seperti pertanian, pendidikan, copyright dan lain-lain yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara dilepaskan begitu saja, sektor-sektor penting itu di atur oleh lembaga-lembaga supranasional yang kemudian di realisasikan oleh pemerintah melalui undang-undang, jelas ini tidak sejalan dengan konsep negara menurut idealisasi kita, lantas dimana letak kedaulatan negara ketika berhadapan dengan WTO,APEC dan lainnya. Seperti yang di ungkapkan oleh Obama setelah penutupan MC9 WTO, kesepakatan WTO dalam paket Bali melancarkan pergerakan barang di seluruh dunia dan terbebas dari halangan aturan birokrasi yang selama ini menjadi penghambat. Secara sederhana bahwa tugas negara hanyalah mengatur persoalan administratif saja.

Pembiayaan Pembangunan Internasional

Jika mendengar istiah Pembangunan, akan selalu identik dengan proses dan upaya meningkatkan kualitas hidup manusia dan lingkungannya. Oleh pemerintah pembangunan dijadikan sebagai basis legitimasi melakukan mobilisasi pendanaan dalam jumlah yang besar. Di lain sisi, pembangun merupakan istilah yang fliksibel dan dapat digunakan oleh siapa saja tergantung dengan tujuannya masing-masing. Dalam praktik, pembangunan selalu menempatkan dua akornya, yaitu “yang membangun” dan “yang dibangun” pada relasi yang unik. Hubungan keduanya terjalin secara seragam, ada yang sama-sama menjadi subjek pembangunan, ada yang sama-sama menjadi subjek sekaligus objek dan ada yang selalu menjadi subjek serta yang selalu menjadi objek

Page 18: CSS Journal Vol.II

CSS Journal Vol.II| 18

pembangunan38

. Dalam dinamika pembangunan global, Official Development Assistance (ODA), Organisation for Economic Cooperation and Developmet (OECD) berdiri sejak 1961 yang merupakan kelanjutan dari Organisation for European Economic Cooperation (OEEC) yang sejak 1948 telah berdiri lebih dahulu dengan prakarsa Amerika Serikat dan Kanada, yang merupakan salah-satu aktor terpenting dalam perbangunan internasional sampai hari ini.

Kembali sejenak menengok sejarah, bantuan permbangunan internasional sudah dimulai sejak 1947 melalui paket bantuan ekonomi yang disebut Marshal Plan. Pasca Perang Dunia II hanya Amerika Serikat yang infrastruktur dan kapitalnya aman, dimana negara-negara Eropa dan Asia hancur. Marshal Plan ditujukan untuk membantu negara-negara Eropa, oleh karena itu OECC lembaga pengelolaan bantuan dibentuk untuk melakukan European Recovery Programe dalam gelaran Conference of Sixteen sebagai respon dari program Marshal Plan AS oleh 16 negara Eropa. Sejak masa Orde Lama bantuan-bantuan semacam itu sudah mulai masuk dan berkembang di Indonesia. Kutipan teriakan “go to hell with your aid” Soekarno adalah respon terhadap pemberian bantuan pembangunan internasional yang mencampuri urusan dalam negeri karena memiliki stardar ganda. Ketika Soekarno jatuh, barulah bantuan pembangunan internasional bisa kembali leluasa masuk. Untuk itu, dunia barat mengucapkan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada para jenderal oportunis yang dengan apik menjatuhkan pemerintahan Soekarno sampai pada pemusnahan basis pendukungnnya pada periode 1960-1970-an. Hal serupa terjadi di Chile dengan di lengserkannya Salvador Allende dan beberapa negara lainnya yang bersikap sama seperti Indonesia. Terlihatlah setelah itu berbagai bantuan pembangunan internasional bebas bergerak di negara tersebut, bukan hanya negara maju yang berperan sebagai pendonor, namun organisasi-organisasi non-pemerintah dan

38 Dikutip dari Artikel Ahmad Maftuchan dalam Jurnal Analisis Sosial

AKATIGA, edisi Agustus, 2013

lembaga donor swasta pun berperan aktif seperti Ford Foundation.

Pemberian bantuan pembangunan yang di berikan oleh negara maju,swasta dan lembaga multilateral kepada negara berkembang dan miskin sebagai objek pembangunan dalam praktiknya didorong dengan tujuan dibuka akses pasar, perdagangan dan yang paling utama menjaga kemampuan negara dalam berhutang, secara eksplisit diberikan dalam skema pinjaman/utang bukan hibah dengan tujuan kemanusiaan seperti yang kita pahami selama ini, inilah yang menyebabkan bergantungnya negara pada sumberdaya eksternal. Dalam sitem pembiayaan pembangunan intrernasional, yang lazim kita sebut sebagai bantuan luar negeri masuk melalui donasi dari yayasan swasta, NGO, ODA, investasi, utang luar negeri, pengampunan utang, remittance dan lain sebagainya. Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita) pada masa Orde Baru di susun oleh Inter-Government Group (IGGI) yang diketuai oleh Belanda, pada 1991 ketika konflik di Timor Timur memanas, Soeharto mendapat kecaman dunia internasional terutama dari negara anggota IGGI, tak terima atas keritikan PM Belanda saat itu, Soeharto langsung membekukan bantuan Belanda dan membubarkan IGGI. Sikap itu bukan dimaksudkan respon atas intervensi negara lain, pada 1992 World Bank memimpin Consultative Group on Indonesia (CGI) forum bantuan internasional untuk Indonesia, keputusan Soeharto membubarkan IGGI dan membentuk CGI hanyalah candaan penguasa otoriter pada saat itu, bukan merupakan langkah menuju kemandirian dan melepaskan diri dari ketergantungan sumberdaya eksternal dari negara lain. Pembiayaan pembangunan in ternasional dengan skema pinjaman/utang yang belangsung sampai hari ini bagaimana pun harus dikembalikan.

Seketika langsung teringat seorang Mario Teguh yang hanya menyampaikan kiat-kiat menjadi bahagia walaupun harus berhutang, tidak pernah berbicara bagaimana caranya melunasi hutang.

Page 19: CSS Journal Vol.II

CSS Journal Vol.II| 19

Kesimpulan

Pertama, mempertanyakan kembali eksistensi negara di hadapan rejim ekonomi-politik global untuk memastikan masih relevankah isyu “kedaulatan” yang selalu ramai di perbincangkan sebagai pijakan klaim nasionalisme, untuk memastikan siapa yang berpolitik, siapa yang berdiplomasi dan siapa memperjuangkan kepentingan siapa. Jangan sampai terus terpaku pada ilusi negara Hegelian, kemudian terjerumus pada pemahaman yang dangkal tentang nasionalisme dan teriakan heroiknya. Mamahami bagaimana struktur bekerja adalah yang paling penting, fenomena-fenomena sosial yang terjadi disekitar kita tidak terjadi dengan sendirinya, semuanya mempunyai sebab, manusia adalah makhluk yang menyejarah.

Kedua, kritik atas pasar bebas harus diletakan pada kerangka keilmuan, bisa membuktikan bahwa asumsi dasar dari perdagangan bebas yang di adopsi oleh negara sebagai instrumen terpenting bisa dihakimi secara akademik, mengacu pada literatur yang representatif pada masa awal kemunculan negara dan berlakunya pasar bebas, karena dengan menelaah studi sejarah kita akan menemukan bukti empiris. Istilah ‘asing’ yang merujuk pada nationality seseorang sebagai aktor perihal ekonomi adalah sangat sempit.

Ketiga, kritik atas WTO harus langsung ditujukan kepada para pembuat kebijakan atau kalangan akademisi dan praktisi dengan bersandar pada poin-poin sebelumnya. Terpaku pada kinerja birokrasi yang korup tidak akan bisa menyelesaikan permasalahan yang sedang di hadapi, WTO dan lainnya adalah rejim perdagangan yang sebisa mungkin menghilangkan fungsi administratif negara, yang mana fungsi itu adalah benteng terakhir untuk sampai pada perbincangan kedaulatan, jika fungsi administratifnya pun dipereteli satu-persatu, maka sudah tidak ada lagi istilah “berdaulatan”.***

Page 20: CSS Journal Vol.II

CSS Journal Vol.II| 20

Selayang Pandang Balance of Power

erimbangan kekuasaan atau balance of power merupakan konsep yang menggambarkan

bagaimana negara mengurus masalah-masalah yang berkaitan dengan keamanan nasional dalam konteks perubahan aliansi dan blok. Sistem perimbangan kekuatan timbul disebabkan oleh berbagai hal yang terpaut dengan pertentangan kepentingan nasional setiap bangsa. Sistem perimbangan ini muncul pada saat negara revisionist mengancam kelangsungan negara status quo. Konsep perimbangan kekuasaan dalam ilmu Hubungan Internasional dapat diungkapkan dalam bentuk terminologi kesetaraan kekuasaan. Artinya masing-masing negara yang memiliki kekuatan setara berada dalam situasi equilibrium atau salah satu negara dalam konteks ini memiliki kekuasaan sementara yang lebih besar dibanding dengan negara lain. Karena setiap negara memiliki kedaulatan dan berusaha untuk memaksimalkan kepentingan nasionalnya, maka perimbangan kekuasaan pada umumnya

berlangsung dalam situasi kondisi yang senantiasa berubah-ubah. Sebuah negara secara sadar menetapkan kebijaksanaan luar negeri perimbangan kekuasaan seperti Inggris pada abad ke-19. Saat itu Inggris memandang kepentingan nasionalnya yang terbaik adalah dengan berperan sebagai “penyeimbang” untuk mempertahankan keseimbangan di daratan Eropa. Dalam memainkan perannya, Inggris berusaha mengubah dukungan yang diarahkan untuk memperkuat negara yang lemah kekuatannya manakala perimbangan kekuasaan di daratan Eropa terancam. Fenomena perimbangan kekuasaan adalah bentuk utama dalam power struggle. Hal ini merupakan pengaruh langsung atau diakibatkan oleh sistem kenegaraan yang menganggap setiap negara memiliki kemerdekaan dan kedaulatan serta bebas untuk bergabung atau menolak menyatu dalam aliansi atau blok yang dipacu atas dalih untuk memaksimalkan kelangsungan hidup suatu negara (survival) dan bangsa serta kepentingan nasionalnya. Perimbangan kekuasaan bukan cerminan dari konsep kepentingan umum yang abstrak seperti perdamaian, karena hal itu bisa atau juga tidak memenuhi kepentingan nasional suatu negara secara tunggal, tergantung pada faktor waktu, tempat dan situasi.

P

BALANCE OF POWER

Iqbal Ramadhan Staff Pengajar Ilmu Hubungan Internasional Universitas Pasundan

Page 21: CSS Journal Vol.II

CSS Journal Vol.II| 21

Perimbangan kekuasaan tidak memiliki pranata pengatur yang memandu pelaksanaannya, sehingga seluruh negara yang terpaut dalam perimbangan biasanya ditandai dengan perubahan atau pergantian anggota di dalam aliansi atau blok. Ikatan aliansi atau blok yang relatif tidak lama serta memiliki tujuan terbatas. Pada abad 17 sampai dengan abad 20, terjadi perimbangan kekuasaan yang berlangsung secara ganda. Model perimbangan kekuatan seperti ini didominasi oleh gejala perubahan kombinasi aliansi dan blok dari lima negara besar yang cenderung menjamin kelenturan aliansi atau persekutuan. Gejala yang menunjukkan adanya tujuan yang terbatas di dalam persekutuan serta kehendak untuk mempertahankan kelangsungan eksistensi masing-masing negara anggota yang tergabung di dalam aliansi. Perimbangan kekuasaan yang sederhana atau lazim dikenal dengan sistem perimbangan yang didominasi oleh Uni Soviet dan Amerika Serikat. Konfigurasi perimbangan kekuasaan seperti ini menjadi berbahaya karena mengurangi kelenturan dengan membagi kepentingan di sekitar isu di antara negara adikuasa serta memperkecil peluang bagi penataan kembali model aliansi, blok atau persekutuan. Pertentangan aliansi di dalam Perang Dingin serta perkembangan polisentrisme kesetaraan kekuatan di antara kedua belah pihak nampaknya telah menjadi titik balik terhadap hilangnya konfigurasi perimbangan kekuatan secara ganda. Mekanisme internasional dari perimbangan kekuasaan baik secara sederhana atau rumit, nampaknya akan berlaku kembali jika suatu saat kekuatan politik di seluruh dunia diakui atas dasar sistem desentralisasi dan masing-masing negara diakui sebagai negara merdeka dan berdaulat.

Realisme Klasik Morgenthau tentang Balance of Power Hans Morgenthau berpendapat bahwa perimbangan kekuasaan muncul dari aspirasi untuk mencapai kekuasaan pada beberapa

negara. Masing-masing berusaha untuk mempertahankan status quo sehingga mengakibatkan timbulnya suatu kebutuhan akan suatu konstelasiyang disebut dengan keseimbangan kekuasaan dan akan politik yang bertujuan untuk memeliharanya. Pengertian keseimbangan kekuasaan dipergunakan dalm teks dengan empat arti yang berlainan. Pertama adalah sebagai suatu politik yang ditujukan pada situasi tertentu. Pengertian kedua bersandar pada sebuah situasi yang sebenarnya. Ketiga adalah pembagian kekuasaan yang kurang lebih sama. Terakhir, pengertian tersebut bersandar pada pembagian kekuasaan yang dapat dicapai oleh siapa saja. Bila diartikan secara harfiah, pembagian kekuasaan adalah sebuah situasi atau urusan dimana kekuasaan itu dapat dibagi di antara negara-bangsa dengan pembagian yang kurang lebih sama. Tetapi bila ditelaah lebih lanjut, Morgenthau menerangkan bahwa keseimbangan kekuasaan ialah suatu alat untuk mempertahankan diri yang dilakukan oleh bangsa-bangsa ketika eksistensinya terancam oleh peningkatan kekuasaan bangsa lain. Secara asumsi, perimbangan kekuasaan itu benar dan sah untuk tujuan mempertahankan diri. Tetapi bila melihat dorongan kekuasaan negara-bangsa, perimbangan kekuasaan tersebut digunakan ke dalam bentuk ideologi untuk tujuan menyamarkan, merasionalisasi, dan membenarkan diri sendiri. Pada umumnya, kepopuleran ideologi anti-imperialistik mengacu pula pada perimbangan kekuasaan. Berbagai kesulitan dalam menila secara tepat posisi relatif kekuasaan negara-bangsa telah menjadikan penggunaan perimbangan kekuasaan sebagai salah satu ideologi politik yang paling disenangi. Dengan demikian ungkapan itu dipergunakan dalam suatu cara yang sangat longgar dan tidak tepat. Apabila suatu bangsa ingin membenarkan salah satu tindakannya dalam pentas internasional, mereka cenderung untuk menyebutnya sebagai perlawanan untuk memperbaiki atau mempertahankan perimbangan kekuasaan.

Page 22: CSS Journal Vol.II

CSS Journal Vol.II| 22

Apabila suatu bangsa ingin mendiskreditkan politik tertentu yang dikejar oleh suatu bangsa lain, mereka cenderung untuk mengutuknya sebagai suatu ancaman atau gangguan bagi perimbangan kekuasaan. Kecenderungan yang sudah menjadi sifat tetap perimbangan kekuasaan dalam pengertian negara-negara status quo adalah perimbangan pada suatu masa-masa tertentu. Bila ada perubahan yang mengganggu sistem tersebut, maka situasi tersebut akan ditantang oleh mereka. Dengan cara ini suatu bangsa yang berkepentingan dalam mempertahankan suatu pembagian kekuasaan tertentu berusaha untuk membuat kepentingannya tampak sebagai pertumbuhan prinsip sistem negara modern yang fundamental dan dapat diterima secara universal. Dengan demikian, hal itu dapat menjadi identitas bersama serta bertransformasi sebagai kepentingan umum. Tetapi bangsa itu sendiri jauh lebih memilih untuk mempertahankan kepentingan nasionalnya ketimbang bersikap sebagai pelindung prinsip umum sebagai agen masyarakat internasional. Perimbangan kekuasaan menciptakan stabilitas yang genting dalam hubungan antar bangsa-bangsa yang bersangkutan. Suatu stabilitas yang selalu berada dalam bahaya akan terganggu dan karena itu harus tetap selalu dibangun kembali. Walaupun demikian, ini adalah satu-satunya stabilitas yang dapat diperoleh di bawah asumsi kondisi pola kekuasaan. Karena dalam situasi seperti ini, segala kehadiran kontradiksi tidak dapat dielakkan.

Balance of Power dalam Pandangan Neorealisme Waltz Politik nyata mengindikasikan dimana kebijakan luar negeri berlangsung, pada intinya dikendalikan oleh metode-metode pemikiran rasional. Walaupun terkesan sama, pada prakteknya metode tersebut dijalankan dengan cara yang berbeda tergantung negara-negara yang menjalankannya. Salah satu dari metode untuk menjelaskannya adalah teori perimbangan

kekuasaan (balance of power). Jika ada teori-teori yang ingin menjelaskan perbedaan di antara teori politik internasional, perimbangan kekuasaan mampu menjelaskannya. Beberapa pakar Hubungan Internasional berusaha untuk menjelaskan teori perimbangan kekuasaan ini. Ernst Haas pada tahun 1953 menjelaskan delapan perbedaan mendasar pada teori ini. Sedangkan Martin Wight menemukan sembilan kerangka analisis dalam teori perimbangan kekuasaan. Tidak dapat dielakkan bahwa penjelasan tentang perimbangan kekuasaan lebih dapat dicerna ketika Hans Morgenthau mengklasifikasikannya pada empat poin penjelasan. Beliau menggunakan metode historis dan analytic treatment untuk mendapatkan penjelasan tersebut. Lebih lanjut Morgenthau memaparkan bahwa perimbangan kekuasaan dilihat sebagai sesuatu yang bersifat hukum alam, tetapi di satu sisi beberapa orang melihatnya sebagai “kemarahan”. Di sisi lain, beberapa pengamat melihat bahwa perimbangan kekuasaan adalah pembimbing bagi negarawan, tetapi pengamat lainnya melihat hal tersebut adalah jubah untuk menyembunyikan kebijakan imperialis. Beberapa orang lainnya percaya bahwa perimbangan kekuasaan adalah garansi utama dalam menjaga keamanan negara serta perdamaian dunia, tetapi ada juga yang beranggapan bahwa perimbangan kekuasaan meruntuhkan negara dengan mengorbankan perang. Menanggapi teori perimbangan kekuasaan ini, Waltz mengedepankan tiga langkah utama untuk menghindari kebingungan. Pertama adalah sebuah teori paling tidak mengandung satu asumsi teoritikal. Beberapa asumsi mungkin tidak faktual. Satu teori tidak bisa melegitimasi dengan mengatakan bahwa mereka benar, tetapi paling tidak ada satu yang bermanfaat. Poin kedua adalah teori harus bisa dievaluasi terhadap klaim mereka tentang kemampuan untuk menjelaskan. Teori perimbangan kekuasaan mengklaim bahwa mereka mampu menjelaskan tindakan-tindakan negara dalam kondisi apapun dan hasilnya tidak boleh dibayang-bayangi pada apapun motif negara atau hal tersebut dapat dianggap sebagai

Page 23: CSS Journal Vol.II

CSS Journal Vol.II| 23

tujuan dalam kebijakan luar negeri mereka. Terakhir, teori sebagai sistem penjelasan umum tidak boleh diukur sebagai bentuk kesengajaan. Kebingungan yang paling banyak dalam menjelaskan teori perimbangan kekuasaan selalu berawal dari ketiga poin di atas. Teori perimbangan kekuasaan pada intinya selalu menitikberatkan pada asumsi tentang negara. Mereka adalah aktor tunggal yang mencoba usaha-usaha minimum untuk mencari perlindungan terhadap dirinya sendiri dan pada tahap maksimal adalah mencoba dominasi dunia secara universal. Negara atau siapapun aktor HI lainnya selalu mencoba berbagai cara untuk mencapai pandangan akhir. Kesemuanya itu jatuh pada dua kategori yaitu: upaya internal ( meningkatkan kapabilitas ekonomi, kekuatan militer dan mengembangkan strategi-strategi cerdas) dan upaya eksternal ( menguatkan dan memperbesar persekutuan serta mengucilkan oposisi). Untuk mengembangkan “permainan-permainan eksternal” dalam kancah internasional, teori perimbangan kekuasaan selalu menekan pada sedikitnya tiga atau lebih aktor HI untuk menjalankan sistem tersebut. Waltz menuturkan bahwa pernyataan di atas sebenarnya salah karena dengan menerapkan dua sistem kekuatan, perimbangan kekuasaan sudah bisa berfungsi. Tetapi untuk mengantisipasi ketidakseimbangan, mengintensifikasi upaya internal adalah sesuatu yang sangat diperlukan. Lebih lanjut, Waltz menambahkan bahwa berjalan atau tidaknya teori ini dilihat dari sebuah kondisi ketika negara superior berusaha untuk membantu suatu negara dengan tujuan memperlemah kondisinya agar dapat digunakan untuk keuntungan mereka sendiri. Dengan demikian, teori perimbangan kekuasaan ini berdiri pada tindakan dan motivasi yang mempengaruhi suatu negara. Tindakan sebuah negara sesungguhnya berasal dari output yang datang dari sistem perimbangan itu sendiri. Lalu dari sistem itu sendiri, maka muncullah hasil akhir yang diharapkan yaitu formasi dari perimbangan kekuasaan. Teori perimbangan kekuasaan secara tepatnya dalam konteks mikroteori sangat menitikberatkan pada

tindakan-tindakan ekonomi. Sistem tersebut mempunyai kemiripan dengan “pasar” dalam ilmu ekonomi. Dimana dasar teori tersebut bersandar pada asumsi tentang tingkah laku yang dibentuk dari aksi dan interaksi setiap individu yang terlibat. Sistem self hel (menolong diri sendiri) adalah sebuah sistem yang buruk, merugikan, mempunyai efektifitas yang sedikit dan pada dasarnya tidak mampu menolong diri mereka sendiri. Karena ketakutan itulah, negara-negara dalam hal ini adalah aktor HI berusaha untuk menghindari sistem tersebut. Dengan demikian, mereka menciptakanlah suatu perimbangan kekuasaan. Mereka pun menyadari bahwa teori tersebut tidak membutuhkan rasionalitas dan kontinuitas dari itikad setiap aktor-aktor negara yang terlibat di dalamnya. Secara sederhana, teori tersebut mengatakan bahwa bila ada negara yang bertindak secara baik maka negara lain pun akan bertindak demikian atau justru menjatuhkannya. Secara jelasnya, sistem tersebut tidak akan berjalan secara optimal bila negara tidak memiliki keinginan untuk melestarikannya. Sistem ini tidak akan berjalan secara optimal, tetapi jika ada satu negara yang melakukannya hal ini tidak akan terjadi. Di sisi lain, ada juga negara yang tidak melakukan hal tersebut tetapi hal itu tidak akan berlangsung lama karena perlahan tapi pasti negara yang dimaksud akan kehilangan identitas politiknya melalui peleburan. Tidak perlu dijelaskan lagi bahwa setiap negara bertindak tanpa hati-hati untuk meningkatkan kekuatan mereka. Kemungkinan yang terjadi dari peningkatan kekuatan tersebut adalah untuk melemahkan dan menghancurkan lawan, sayangnya tindakan itu justru mempersulit mereka untuk keluar dari sistem kompetisi. Dalam pandangan Kenneth Waltz bahwa alasan-alasan rasional diterapkan adalah untuk memberikan arahan sebagai pembentuk keseimbangan yang diperlukan sebagai media pembentuk perdamaian dan kestabilan. Beberapa asumsi menyatakan jika keseimbangan dan kestabilan itu ingin dicapai, maka dibutuhkan kekuatan besar untuk dapat memainkan peranan besar sebagai penyeimbang. Teknologi militer

Page 24: CSS Journal Vol.II

CSS Journal Vol.II| 24

tidak perlu berubah secara drastis dan radikal, tetapi alasan rasional lainnya menyatakan bahwa aktor-aktor utama tidak perlu mengindahkan aturan-aturan spesifik secara arbitrasi. Walapun demikian, tatanan internasional belum mencapai pada kondisi yang sebenarnya diharapkan oleh para penteori balance of power ini, padahal perimbangan kekuasaan “menghilang” pada situasi-situasi tertentu dan sejak 1945 dunia sudah berada dalam keadaan stabil. Perimbangan kekuasaan akan mencapai tujuannya bila ia memperhatikan dua hal yaitu tatanan dunia berada dalam situasi anarki dan setiap negara yang ada mempunyai keinginan untuk bertahan hidup. Bagi mereka yang tidak mempercayai teori perimbangan kekuasaan, keseimbangan justru hadir dilihat dari indikator-indikator yang berbeda seperti psikis tiap-tiap negara atau politik birokrasi. Mereka yang skeptis percaya bahwa teori perimbangan kekuasaan tidak dapat menjelaskan apapun. Teori tersebut lahir hanya dari kebutuhan sesaat jika ditinjau dari sisi baik atau buruknya suatu motif yang mempengaruhi perilaku tiap-tiap negara. *** Referensi

Keohane, Robert (ed).1986. Neorealism and Its Critics. New York: Columbia University Press

Morgenthau, Hans.1990. Politics Among Nations:The Struggle for Power and Peace Terjemahan MANNA (Lembaga Penerjemahan).Bandung: Binacipta

Plano, Jack C. & Olton.1990. The International Relations Dictionary. Terjemahan Wawan Juanda. Bandung: CV. Abardin

Page 25: CSS Journal Vol.II

CSS Journal Vol.II| 25

Bretton Woods

etajuhan Besar 1930-an merupakan pengalaman menyakitkan bagi banyak orang

di negara-negara industrial. Kejadiannya bermula pada jatuhnya harga saham rata-rata pada 4 September 1929 yang semakin menukik tajam hingga runtuhnya bursa saham pada 29 Oktober tahun yang sama dan kini dikenal dalam sejarah Wall Street sebagai Black Tuesday

39. Perdagangan

antarbangsa jatuh, hutang-hutang tak bernilai, ribuan korporasi bangkrut, ratusan ribu pabrik dan kantor tutup, jutaan kelas menengah kehilangan pendapatan tingginya dan musti banyak berhemat, puluhan juta pekerja menganggur dan jutaan lainnya kelaparan. Namun, kejadian setelahnya jauh lebih menyakitkan. Kejatuhan Besar membikin setiap kapitalis dan politikus di negara-negara industri memikirkan keselamatan dirinya sendiri. Setiap negara didorong untuk melindungi diri dari

39

Charles R. Geisst, Wall Street: a history from its beginnings to the fall of ENRON (Oxford: Oxford University

Press), 2004: 197-9.

dampak mengerikan Kejatuhan Besar. Meledaklah Perang Dunia yang sejatinya merupakan tanggapan militer atas persoalan kelangsungan hidup perekonomian negara-negara industri. Jutaan prajurit mati. Puluhan juta lainnya dari antara penduduk negeri-negeri perang juga mati. Jalan, pelabuhan, pabrik, perkantoran, perumahan, pokoknya hampir semua sarana produksi hancur lebur. Hanya di tanah Amerika saja aset-aset infrastruktur seolah tidak terjamah perang. Ironisnya, peranglah yang membangkitkan perekonomian Amerika dari dampak Kejatuhan Besar. Industri militer dan finansial menjadi sektor kepala yang menuntun pergerakan industri lainnya. Karena itulah pada masa pasca-perang, boleh dikata hanya Amerikalah negeri industri yang punya cukup dana dan sumberdaya manusia tidak hanya untuk bangkit dari reruntuhan, tetapi menjadi negara adidaya yang siap melindungi martabat politik dan perekonomiannya dari ancaman keruntuhan di masa depan. Dengan bekal besar, politisi dan kapitalis-kapitalis Amerika bahu-membahu membangun fondasi kelembagaan bagi tata dunia baru di Bretton Woods. Tujuannya tegas: jangan sampai Kejatuhan Besar terjadi kembali di masa depan.

Fondasi kelembagaan tata dunia baru pasca-perang adalah sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations), Bank Dunia (International Bank for Reconstruction and

K

HEGEMONI KAPITAL DALAM ARSITEKTUR EKONOMI POLITIK INTERNASIONAL

Dede Mulyanto Staff Pengajar Ilmu Antropologi Universitas Padjadjaran Penulis “Genealogi Kapitalisme” Resist Book 2012

Page 26: CSS Journal Vol.II

CSS Journal Vol.II| 26

Development), dan Dana Keuangan Internasional (International Monetary Fund). Sekitar seratusan penasihat dan perancang kebijakan dengan bantuan dari sebuah lembaga think tank Council on Foreign Relations, sebuah kelompok swasta perencana kebijakan Amerika, yang didanai sebagian oleh Yayasan Rockefeller dan Yayasan Carnegie, bekerja membangun lembaga-lembaga tersebut sampai rinci ke sum-sumnya

40. Mereka

bukannya tanpa kepentingan pribadi. Para perencana ini juga penasihat atau menteri di kabinetnya Roosevelt, juga pemilik atau manajer dari korporasi-korporasi raksasa Amerika semacam bank investasi terbesar J.P. Morgan & Company

41. Lembaga-lembaga internasional baru

dirancang sedemikian rupa sehingga mengarah ke proses finansialisasi meski dengan ideologi populis dan humanitarian. Mengikuti teorinya ekonom Inggris John Maynard Keynes dan kebijakan ekonomi “New Deal” pemerintahan Roosevelt, mereka percaya Bank Dunia dan IMF akan menstabilkan aliran mata uang dunia, memberi pinjaman kepada pemerintah-pemerintah untuk pembangunan, dan menata perekonomian global yang stabil dan menyokong perniagaan, mencegah kejatuhan ekonomi di masa depan, menciptakan lapangan kerja, dan mendistribusikan pendapatan kepada banyak orang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Dalam praktiknya, tata dunia baru yang dirumuskan di Bretton Woodss lebih berkenan bagi elite-elite finansial dan membantu mereka mendapat jaminan akses global atas kesempatan-kesempatan investasi sambil mendorong pertumbuhan perekonomian global yang berpusat di Amerika. Bukan suatu kebetulan sama sekali apabila presiden Bank Dunia harus selalu orang Amerika dan dolar Amerika adalah mata uang patokan baku internasional. Saran ekonom John Maynard Keynes untuk dibentuknya matauang global yang netral, ditampik. Para

40

G. William Domhoff, The Power Elite and the State

(New York: Aldine de Gruyter), 1990: 113-4. 41

Laurence H. Shoup dan William Minter, “Shaping a New Order: the Council on Foreign Relations’ blueprint for world hegemony”, dalam Holly Sklar (ed.), Trilateralism: the trilateral commision and elite planning for world management (Boston: South End Press) 1980: 135-56.

raksasa finansial Amerika, melalui pelobinya di Bretton Woods, akhirnya berhasil menjadikan dolar Amerika sebagai matauang global. Kemenanga besar mereka harus juga dikompensasi dengan diterapkannya regulasi-regulasi atas pasar oleh pemerintah sesuai dengan ajaran Keynes. Menurut ekonom dan politikus Keynesian, Kejatuhan Besar memberi pelajaran bahwa pasar, khususnya pasar finansial, tidak bisa dilepaskan sendirian. Harus ada campur tangan negara agar kegagalan atau ekses negatifnya dapat dikendalikan demi kemakmuran bersama. Kaum kapitalis finansial pun berkompromi, usul Keynes diterima, dan dikembangkanlah sistem negara kesejahteraan yang pada intinya melindungi daya beli konsumen, mempertahankan kesempatan kerja penuh, dan menjaga agar perekonomian kapitalis dapat bangkit dari reruntuhan akibat Kejatuhan Besar 1930. Kebijakan-kebijakan fiskal dan moneter Keynesian yang pada pokoknya untuk mempertahankan kesempatan kerja penuh dan secara luas untuk mencegah kembalinya siklus bisnis, dijalankan Amerika dan banyak negara lain. Negara disahkan secara teoritis untuk mengintervensi secara aktif kebijakan industri, menetapkan standar upah sosial, dan menentukan berbagai kebijakan jaminan kesejahteraan sosial untuk kesehatan, pendidikan, dan layanan publik lainnya. Namun, pada akhir dasawarsa 1960-an, proyek Keynesian, yang secara ideologis disebut “embedded liberalism”, menghadapi jalan buntu. Ongkos negara kesejahteraan menggelembung, pertumbuhan ekonomi menurun disertai oleh inflasi tinggi dan pengangguran. Stagflasi merebak global dan berkepanjangan. Krisis keuangan dialami banyak negara industri. Bahkan Inggris harus meminta dana talangan untuk pembayaran utangnya kepada IMF akibat membumbungnya belanja sosial dan jatuhnya pendapatan negara dari pajak. Menjelang Perang Arab-Israel dan embargo minyak oleh OPEC pada 1973, sistem nilai tukar tetap dengan jaminan emas yang dijalankan sesuai keputusan Bretton Woods, porak-poranda. Jalan buntu ini diperparah oleh Krisis Minyak 1973/4 yang menggelembungkan ongkos produksi manufaktur dan membikin

Page 27: CSS Journal Vol.II

CSS Journal Vol.II| 27

kesepakatan Bretton Woods tampak sebagai batu sandungan buat kapital yang menghendaki geraknya lintas negara sebebas-bebasnya. Nixon pun, untuk mengamankan kepentingan kapital finansial yang harus senantiasa berakumulasi, menghapus standar baku emas

42. Krisis 1970-an

menggangu akumulasi. Tingkat pengangguran dan inflasi melonjak. Ini aneh, karena menurut teori di buku, inflasi tinggi disebabkan oleh kesempatan kerja penuh. Pengangguran tinggi meningkatkan ketidakpuasan sosial. Gerakan buruh seperti disulut semangatnya. Konfrontasi buruh dan kapitalis meninggi. Kekuatan populis di banyak negara mendesak diterapkannya reformasi besar-besaran yang mendesak intervensi negara seperti yang diajarkan Keynes. Porsi kue kemakmuran yang diambil kelas atas dibatasi dan porsi untuk kelas buruh diperbanyak. Menanggapi goncangan sepanjang 1970-an, jalan keluar alternatif pun diajukan. Kaum elite kapitalis terancam sekaligus melihat kesempata untuk mendepak kompromi Keynesian mereka. Persoalan pokoknya: bagaimana memulihkan kondisi-kondisi yang kondusif bagi akumulasi kapital dan kuasa kaum elite kapitalis atas perekonomian global?

Sebelum dan Sesudah Konsensus Washington Sekarang kita sudah punya nama atas jalan alternatif untuk mengatasi merosotnya akumulasi kapital dan kuasa kaum elite kapitalis: neoliberalisme. Pelajaran atau eksperimen pertama program neoliberal yang masyur adalah kudeta Jendral Pinochet di Chili. Setelah melengserkan pemerintahan sosialis Allende yang terpilih secara demokratis, Pinochet menjalan program-program yang di kemudian hari mengilhami apa yang disebut sebagai Konsensus Washington. Eksperimen Chili menunjukkan bahwa privatisasi secara paksa menciptakan keuntungan revitalisasi akumulasi kapital finansial. Melalui hutang dan pembiayaan atau investasi langsung, redistribusi kekayaan nasional bergerak ke lapisan atas. Eksperimen ini lalu

42

David Harvey, A Brief History of Neoliberalism (Oxford:

Oxford University Press), 2007: 10-13.

diterapkan juga di Amerika. Hasilnya, porsi pendapatan nasional dari 1% orang terkaya di Amerika meningkat hingga 15%. Sekitar 1% orang terkaya di Inggris juga mendapati kekayaannya meningkat dua kali lipat porsi bagiannya atas pendapatan nasional dari 6,5% menjadi 13% pada 1982

43.

Gebrakan Thatcher dan Reagan (dan Paul Volcker, direktur Federal Reserve ketika itu) pada awal 1980-an semakin mendorong gerak redistribusi kekayaan nasional semakin ke atas. Regulasi atas kapital yang beroperasi diperlonggar atau malah dihapus. Tapi regulasi atas buruh diperketat. Kaum kaya disubsidi, sementara subsidi kelas pekerja dicabuti. Pajak-pajak untuk kalangan atas dipangkas. Jalan keluar untuk semua masalah ekonomi tidak lagi diambil dari ajaran Keynes. Solusi Keynesian (kesempatan kerja penuh) harus ditinggalkan dan diganti oleh solusi sisi-penawaran (supply-side) yang intinya ada pada pemberantasan inflasi bergaya teori monetaris. Hasilnya, tingkat suku bunga meninggi. Porsi kekayaan yang mengalir ke lapisan elite finansial terlindungi meski dengan mengorbankan kelas pekerja.

Pada akhir dasawarsa 1980-an, ketika program-program neoliberal sudah menjadi semacam ‘kebiasaan’ untuk menyelesaikan segala persoalan ekonomi, John Wiiliamson memperkenalkan istilah Konsensus Washington untuk rumusan baku bagi semua negara berkembang yang didera krisis ekonomi. Konsensus itu merekomendasikan

44:

1. Disiplin anggaran pemerintah 2. Pengarahan pengeluaran pemerintah dari

subsidi ke belanja sektor publik 3. Reformasi pajak dengan memperluas basis

pemungutan 4. Tingkat suku bunga ditentukan pasar dan

harus dijaga positif secara riil 5. Nilai-tukar lepas yang kompetititf 6. Liberalisasi pasar dengan menghapus restriksi

43

Harvey, 2007: 17-8. Kisah yang sama juga terjadi di negara-negara yang paling awal menerapkan proyek neoliberalisme seperti Meksiko, Rusia, dan Tiongkok. 44

John Williamson (ed.), Latin American Readjustment: how much has happened (Washington: Institute for

International Economics), 1989.

Page 28: CSS Journal Vol.II

CSS Journal Vol.II| 28

7. Penerapan perlakuan setara untuk investasi asing dan domestik untuk menarik investasi

8. Privatisasi perusahaan negara 9. Deregulasi untuk mendorong pasar lebih

kompetitif 10. Jaminan keamanan penuh bagi hak

kepemilikan pribadi.

Rekomendasi konsensus ini pula yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto ketika setuju menerima dana talangan pembayaran hutang jatuh tempo saat krisis moneter Asia 1998/9 lalu. Hasilnya, kebijakan-kebijakan pemerintahan pasca-Soeharto tidak pernah jauh dari 10 resep neoliberalisme di atas.

Inti Konsensus Washington ada pada pemulihan atau restorasi kekuasaan ekonomi dan politik elite-elite kapital finansial. Konsensus ini kemudian menjadi dogma yang dijaga kemurniannya oleh IMF. IMF sendiri adalah lembaga internasional yang menjadi kepanjangan tangan kepentingan kapital finansial yang berpusat di Amerika. Pada 2010 lalu ada 186 negara anggota IMF, namun sebetulnya hanya sembilan negara—yang dikepalai Amerika Serikat—menjadi kontributor terbesar dana finansialnya yang mengendalikan lebih dari setengah kekuatan voting di lembaga tersebut

45.

Di bawah naungan Konsensus Washington yang disokong militer Amerika, dalam perdagangan, aliran kapital finansial sekarang lebih penting ketimbang aliran barang-barang dan jasa aktual

46. Pada dasawarsa 1990-an sebanyak

90 persen transaksi komersial dunia berkonsentrasi di saham, efek, dan produk-produk derivatif-finansial

47. Arti penting kapital

finansial juga tercermin dari kenyataan bahwa sampai tahun 2000, 75 persen kekayaan Amerika adalah finansial. Pasar global menjadi bebas dalam arti semakin kurangnya kendali oleh pemerintahan nasional ataupun lembaga-

45

International Monetary Fund, website: www.imf.org/external/np/sec/memdir/members.htm. 46

Kevin Phillips, Arrogant Capital: Washington, Wall Street, and the frustration of American politics (Boston:

Little Brown) 1994. 47

Richard J. Barnet dan John Cavanagh, Global Dreams: imperial corporation and the new world order (New York:

Simon and Schuster) 1994.

lembaga politik internasional mana pun atas peredaran kapital finansial. Perekonomian nasional yang sebelumnya dirancang terpusat, seperti di bekas Uni Soviet dan negara-negara pembangunan di Asia, menghilang sudah. Kesepakatan perdagangan internasional seperti GATT (General Agreement on Tariff and Trade) dan NAFTA (North American Free Trade Area) secara besar-besaran telah mengikis batas-batas nasional aliran keluar-masuk komoditi maupun kapital finansial. Sejatinya semua orang di dunia adalah bagian dari sebuah jaringan komersial yang bergantung pada komputerisasi transaksi finansial yang mengambil tempat di beberapa pasar terorganisasi di negeri-negeri kaya

48.

Perlawanan kecil-kecilan memang masih ada, utamanya diderukan oleh ideologi nasionalisme tentang kemandirian bangsa. Namun,

Cepatnya pembebasan kredit konsumen dan kartu kredit juga mencerminkan meningkatnya arti penting proses finansialisasi dan semakin kukuhnya kapitalis finansial mencekeram kekayaan riil bangsa-bangsa di dunia. Proses ini secara cepat mengalihkan kekayaan riil suatu negara ke tangan elite-elite finansial yang siap sedia menggelontorkan seberapa pun besarnya kapital finansial yang diminta karena dengan mengambil untung dari luasnya skala perekonomian mereka dapat merealisasikan laba begitu besar bahkan hanya dengan majin laba yang kecil.

Jaringan Elite Kapital Global

Korporasi-korporasi terbesar dunia mendominasi perekonomian global pada takaran yang luar biasa. Misalnya, pada tahun 2009 lalu, 500 perusahaan terbesar yang terdaftar di majalah Fortune mempunyai pendapatan bersih tahunan lebih dari $ 20 triliun dan jumlah ini merupakan lebih dari sepertiga total gabungan GDP negara-negara yang ada di muka bumi ini

49.

48

Studi terbaru tentang finansialisasi dan peran IMF dalam proses tersebut lihat Jeffrey M. Chwieroth, Capital Ideas: the IMF and the rise of financial liberalization (Princeton

dan Oxford: Princeton University), 2010. 49

Majalah Fortune, Global 500,

http://money.cnn.com/magazines/fortune/global500/2009/f

Page 29: CSS Journal Vol.II

CSS Journal Vol.II| 29

Gambaran ini lebih memukau lagi apabila kita lihat bahwa pendapatan tahunan ini cuma milik 500 perusahaan di antara 60 juta perusahaan yang ada di dunia dan 55.000 di antara adalah yang diperdagangkan sahamnya di publik

50. Di

tampuk paling atas, gabungan pendapatan tahunan sepuluh korporasi raksasa mencapai $ 3 triliun yang sama dengan lima persen lebih GDP global atau lebih dari gabungan GDP 130 negara-negara berkembang. Meski mulai tahun 2009 dunia diguncang krisis finansial global besar setelah Kejatuhan Besar 1930, dua korporasi minyak, Royal Dutch Shell dan Exxon-Mobil, menghasilkan $ 71 milyar keuntungan tahunan. Karena ketergantungan perekonomian dunia kepada petrolium, tidak mengherankan apabila tujuh dari sepuluh korporasi teratas adalah korporasi minyak dan gas, satu adalah Toyota, korporasi manufaktur mobil, dan dua lainnya adalah Walmart, korporasi ritel terbesar dunia, dan ING, sebuah korporasi jasa layanan finansial. Shell Oil adalah korporasi terbesar dunia dilihat dari total pendapatan dengan pendapatan bersih tahunan $ 458 milyar. Pada 2005 lalu, Shell beroperasi di empat puluh negara. Tiga belas dewan komisarisnya sekaligus juga menjadi anggota dewan direktur dari duapuluh dua korporasi yang tercakup di Global 500 Majalah Fortune, menjadikan pendapatan tahunan bersih mereka lebih dari $ 1 triliun per tahun

51. Pada

saat yang sama, bila dibanding-banding, pendapatan tiga belas orang ini sama dengan GDP Rusia, negara dengan 143 juta penduduk. Direktur-direktur Shell juga paling banyak terwakili di barisan dewan direktur beberapa korporasi finansial terbesar dunia. Hal ini menunjukkan kaitan erat antara kuasa atas aliran dana finansial dan aliran energi dunia. Pokoknya, data ini menunjukkan bahwa direktur-direktur korporasi, elite-elite ekonomi kontemporer, saling terkait dengan pemimpin-pemimpin korporasi

ull_list; IMF, World Economic Outlook Database October 2009, www.imf.org/external/ns/cs.aspx?id=28. 50

Bureu van Dijk, Orbis: a world of company information.

www.bvdep.com/en/ORBIS.html. 51

Royal Dutch Shell Annual Report 2009, www.shell.com/home/content/investor/financial_information/annual_report/2006/dir_2006_annualreport.html.

lainnya satu sama lain dan bersama-sama menjadi elite-elite pengarah perekonomian dunia meskipun sebagian besar dari mereka tidak dikenal orang kebanyakan dan terpilih tidak secara demokratis.

Korporasi-korporasi global sendiri teroganisasi ke dalam jaringan yang menautkan kota-kota besar seluruh dunia dengan kantor pusat korporasi yang umumnya terpusat di beberapa ‘kota global’. Kota-kota semacam New York, London, Zurich, Paris, dan Toronto merupakan kota global yang terbentuk oleh kebutuhan khusus korporasi multinasional untuk beroperasi secara global. Kota-kota global adalah sentra komando kapital. Mereka adalah tempat kantor-kantor pusat korporasi dan keberadaannya khusus untuk menyediakan layanan terpenting bagi korporasi raksasa. London, misalnya, adalah kota tempat beradanya 27 kantor pusat dari 100 korporasi raksasa yang mengomando kantor-kantor cabangnya di 283 negara. Dengan kekayaan yang luar biasa dan seringkali jauh lebih tinggi ketimbang pendapatan negara di tempat mereka mengoperasikan kapital finansial, korporasi-korporasi raksasa global tidak perlu sepasukan tentara khusus semacam yang dulu dibentuk VOC dalam rangka mengamankan ekspoitasinya atas negeri koloni. Dengan suap, sekelompok pelobi dan intelektual think tank di negeri-negeri ‘koloni baru’, serta tangan-tangan mereka di relung kekuatan-kekuatan penekan kelembagaan semacam Bank Dunia, IMF, atau WTO, mereka sudah dapat menguasai hampir semua negara yang ada di dunia. Lembaga-lembaga internasional yang semula, sesuai amanat Bretton Woods, menjadi tangan negara-negara industri untuk membangun ulang dunia yang hancur karena perang dan untuk menjaga stabilitas ekonomi dengan memfokuskan diri pada mempertahakan kesempatan kerja penuh, kini, setelah restorasi posisi kapitalis finansial melalui program neoliberalisme, menjadi kaki tangan dari kepentingan kapital finansial global yang berpusat di Wall Street. Bankir-bankir menjadi dewa sekaligus algojo yang menentukan hidup matinya sebuah negara. Mereka berkuasa atas kehidupan miliaran orang meskipun tidak dipilih untuk itu oleh siapa pun kecuali elite-elite kapitalis global.

Page 30: CSS Journal Vol.II

CSS Journal Vol.II| 30

Ada Apa dengan Kapital? Kapitalisme ialah sebuah sistem perekonomian yang memperlakukan tanah, tenaga kerja, teknologi, uang, bahan baku, barang dan jasa sebagai komoditi yang dijual-belikan di pasar. Elite-elite kaya yang paling diuntungkan oleh pasar kapitalis telah menggunakan produksi industrial berbasis sumber energi fosil, kolonialisme, imperialisme, dan ketidaksetaraan pertukaran untuk mempersatukan beragam masyarakat dan negara di dunia ke dalam satu sistem perekonomian global. Akumulasi dan ekspansi produksi terus-menerus serta derajat konsumsi yang makin massal menjadi ideologi hegemoninya. Untuk itu, kapitalisme memerlukan revolusi finansial yang membuat uang dan para pemiliknya mengorganisasi kekuatan sosial demi kepentingan mereka. Sejak runtuhnya sistem kolonial pasca Perang Dunia Kedua, banyak lembaga-lembaga politik dan ekonomi internasional seperti PBB, Bank Dunia, dan IMF telah secara efektif menjadi penuntun gerak politik dan ekonomi dunia. Namun asumsi bahwa lembaga-lembaga tersebut mengatasi semua kepentingan sulit diterima lagi. Kebijakan-kebijakan lembaga-lembaga internasional ini lebih kuat dipengaruhi oleh satu kepentingan hegemonis kontemporer yakni korporasi-korporasi multinasional yang diuntungkan oleh bangunan timpang global. Finansialisasi sebagai proses ekonomi-politik yang dikendalikan individu-individu dan lembaga finansial kaya muncul sebagai kekuatan dominan di dunia sekarang.

Kapitalis-kapitalis finansial, kaum bankir dan para CEO korporasi finansial raksasa, hanyalah perwujudan sosial dari kapital. Hakikat kapitalisme tidak pada pelaku-pelaku utama dunia kapitalis, tetapi pada kapital yang memunculkan peran-peran tersebut, meski, tentu saja, para pelaksana peran kapitalis turut berperan dalam peperangan di ranah sosial-politik memenangkan tempat yang nyaman bagi kapital untuk berakumulasi dan berekspansi. Pertanyaannya: apa sih kapital itu sehingga kecenderungan ke arah finansialisasi dan makin

kuasanya kapitalis finansial tampak seperti tak terelakkan?

Untuk menegaskan pernyataan saya di atas, saya akan mengulas dua teori pokok dalam Das Kapital, yakni rumus umum kapital dan komposisi kapital

52, sebelum pada bagian berikutnya akan

diulas tendensi imperialistik dari kapitalisme. Tesisnya: “akumulasi kapital senantiasa memerlukan kapital finansial yang senantiasa besar pula, baik dalam produksi maupun konsumsi”.

Kapital adalah nilai yang berproses memperbanyak diri melalui proses produksi komoditi. Komoditi sendiri mengandung dua aspek, yakni fisik-guna dan nilai-tukar. Aspek fisik adalah wujud material komoditi yang sifatnya kasat mata dan terkait dengan kegunaan tertentu yang dikonsumsi, entah konsumsi produktif ataupun konsumsi konsumtif. Sedangkan aspek nilai adalah hakikat komoditi yang tidak kasat mata terkait dengan nilai-tukar. Jadi, komoditi, dalam perspektif Das Kapital, bukan sekadar barang (atau jasa). Tidak semua barang adalah komoditi. Baju koko yang saya beli di toko adalah komoditi. Sementara baju koko yang sama yang saya berikan kepada keponakan saya sebagai hadiah lebaran, bukanlah komoditi. Suatu barang bisa menjadi komoditi pada satu waktu dan bisa menjadi bukan-komoditi pada waktu lain. Perubahan hakikat itu bergantung kepada relasi (sosial) yang memperantarai sirkulasinya. Dalam kasus yang pertama, relasi yang memperantarai barang tersebut ialah jual-beli atau pertukaran melalui media uang, sedangkan dalam kasus kedua relasinya adalah pemberian.

Produksi komoditi bukan monopoli moda

produksi kapitalis. Sejak munculnya peradaban (kota) pertama di wilayah Sabit Subur 4500 tahun lalu, sudah ada produksi komoditi. Bedanya dengan masa kapitalisme, produksi komoditi merupakan pranata dominan. Selain itu, di sini tanah dan tenaga kerja juga diperlakukan sebagai komoditi di bawah naungan pranata kepemilikan

52

Bahan-bahan bagian ini diambil dari Karl Marx, Capital: a critique of political economy, volume 2 (Moscow:

Foreign Language Publishing House, 1957)

Page 31: CSS Journal Vol.II

CSS Journal Vol.II| 31

pribadi absolut formal dengan pranata pasar sebagai mekanisme sirkulasinya.

Di dalam memahami kapital sebagai nilai yang memperbanyak diri, perlulah kiranya kita mengangkat satu rumusan umumnya. Menurut Das Kapital, rumus umum kapital ialah sebagai berikut:

Kapital, sebagai nilai yang berproses,

dimulai dengan uang (M) sebagai representasi nilai dan diakhiri dengan uang yang mengandung nilai-lebih (M+ΔM) yang merepresentasikan perluasan diri nilai. Dalam dirinya sendiri uang bukanlah kapital. Untuk menjadi kapital, nilai yang terepresentasi dalam bentuk uang itu harus melalui beberapa proses realisasi. Pertama, nilai uang mesti diubah terlebih dahulu ke dalam bentuk komoditi-komoditi (C1) yang diperlukan dalam proses produksi, yakni tenaga kerja (LP) dan sarana produksi (MP). Kedua, kedua-dua jenis kapital-komoditi harus dipersatukan melalui proses produksi (P); proses yang mengubah sesuatu menjadi sesuatu yang baru (C2). Ketiga, komoditi baru yang dihasilkan oleh proses produksi tersebut (C2) harus diubah kembali ke dalam bentuk representasi nilainya, uang (M). Bukan sekadar uang, tetapi uang yang mengandung nilai-lebih (ΔM) atau nilai tambahan dari nilai uang yang telah masuk menjadi kapital melalui proses produksi. Dari rumus umum kapital ini dapat dikatakan bahwa:

a. tujuan akhir proses produksi kapitalis bukanlah penciptaan barang-barang (atau jasa), tetapi nilai uang yang lebih besar dari yang telah diinvestasikan. Namun, karena nilai ini hanya dapat beredar apabila ada avatar yang merepresentasikan dirinya di dunia material, maka mau-tidak-mau sistem

kapitalis mesti memproduksi barang atau jasa tertentu.

b. karena tujuan akhir proses produksi kapitalis adalah nilai, maka persoalan pokok bagi sistem kapitalis ialah bagaimana merealisasikan nilai yang terkandung di dalam barang-barang hasil produksi kembali

menjadi uang. Bukan sekadar uang, tetapi nilai uang yang mengandung nilai-lebih.

c. karena tujuan akhirnya ialah mewujudkan nilai yang senantiasa lebih besar

dari nilai yang telah ditanamkan, maka kapitalisme adalah sistem perekonomian yang bertendensi untuk meningkatkan produktivitas dalam rangka mengakumulasi nilai. Tetapi, karena untuk dapat terakumulasi nilai itu harus terkandung ke dalam aspek fisik barang, maka kapitalisme adalah juga sistem perekonomian yang bertendensi untuk memperbanyak produksi barang.

Dari rumus umum kapital ini, kapital finansial atau kapital pembiayaan adalah bagian dari kapital yang berada dalam posisi untuk membiayai kegiatan produksi maupun konsumsi. Ia ada di fase awal pembentukan M dan tahap realisasi C2 menjadi M+ΔM. Sekarang ini, ketika skala produksi begitu besar sehingga jarang ada korporasi yang dapat membiayai kegiatan produksinya hanya dengan pembiayaan dari kantong sendiri serta untuk mengefesiensikan proses kapitalisasi, setiap korporasi bergantung pada mobilisasi sejumlah besar dana dari luar dirinya. Dana pembiayaan (financial fund) itu bisa diperoleh dengan meminjam uang ke bank atau menjual saham, efek, dan obligasi ke pihak lain (termasuk juga ke bank investasi). Karena posisinya ada satu langkah sebelum tahap realisasi kapital uang menjadi kapital komoditi (tahap pertama), maka kapitalis finansial memiliki kedudukan vital dalam produksi kapitalis.

Selain menunjukkan persoalan struktural berupa pembagian kerja sosial yang begitu rumit di dalam sistem kapitalis, rumus umum kapital di

M C1

LP

MP

M+ΔM P C2

Page 32: CSS Journal Vol.II

CSS Journal Vol.II| 32

atas juga menunjukkan adanya diferensiasi ruang dan waktu dalam proses akumulasi kapital. Diferensiasi ruang merupakan konsekuensi dari pembagian kerja sosial antarsektor di dalam perekonomian kapitalis. Bahan baku, energi, permesinan, dan juga tenaga kerja tidak diproduksi di satu tempat. Untuk dapat berjalannya proses produksi, komoditi-komoditi tersebut harus dibawa ke tempat produksi dijalankan. Begitu pula ketika komoditi baru dihasilkan dari proses produksi. Komoditi-komoditi yang kini sudah mengandung nilai-lebih yang menjadi tujuan akhir produksi kapitalis, harus dibawa ke tempat ia bisa didistribusikan dan dipasarkan.

Selain itu, ada rentang waktu antara investasi nilai-uang ke dalam proses produksi dan diperolehnya kembali nilai-uang yang lebih besar di akhir setiap siklus produksi kapitalis. Rentang waktu ini disebut waktu turn-over kapital. Dimensi waktu akumulasi kapital ini berkaitan erat dengan dimensi ruangnya. Semakin pendek ruang yang harus dilalui, semakin cepat pula waktu merealisasikan nilai-lebihnya. Kapitalis dapat (atau harus) meningkatkan teknologi dan manajemen pengangkutan dan pertukaran sehingga dapat dikatakan kapitalisme merupakan moda produksi yang mendorong ekspansi geografis yang mengintegrasikan berbagai sektor di berbagai wilayah kapitalisasi ke dalam satu kesatuan ekonomi-politik. Dalam konteks ini, globalisasi tiada lain adalah proses pengintegrasian dunia ke dalam satu kesatuan jejaring operasi kapital. Integrasi global bukan berarti penyeragaman. Justru yang terjadi adalah peragaman didasarkan pada pembagian kerja global antara wilayah-wilayah pemasok bahan baku dan tenaga kerja dengan wilayah-wilayah pengadministrasian aliran kapital global, antara Dunia Ketiga dan kompleks World Bank-Wall Street-Federal Reserve.

Namun, merealisasikan nilai-lebih yang terkandung di dalam komoditi juga terkait dengan adanya permintaan efektif atas barang sehingga di antara ketiga proses sirkulasi kapital, proses ketigalah, yakni mengubah komoditi yang dihasilkan menjadi uang bernilai- lebih merupakan proses kritis yang berada di luar

jangkauan dominasi kapitalis. Kritisnya proses realisasi ini karena kapitalis-kapitalis individual bergantung pada pihak-pihak ‘pemegang uang’ sebagai atom-atom individual yang berpotensi menjadi permintaan efektif atas barang yang telah diproduksinya di pasar. Atom-atom individual itu ialah kapitalis-kapitalis lain yang mencari komoditi dengan nilai yang menguntungkan bagi bisnisnya dan konsumen-konsumen konsumtif yang sebagian besar terdiri dari kelas pekerja yang hidup dari upah. Semakin massal produksi, semakin perlu konsumsi massal pula. Karena konsumen massal terdiri dari orang-orang yang hidup dari upah, maka meningkatkan permintaan efektif dari kelas pekerja berarti harus juga meningkatkan jumlah uang yang bisa mereka belanjakan.

Karena hidupnya kapital finansial dari bunga yang diambil kapitalis produktif dari laba yang akan diperolehnya diakhir proses produksi setelah nilai-lebih yang terkandung di dalam komoditi hasil produksi itu direalisasikan, maka mereka juga berkepentingan untuk mendorong tingkat konsumsi yang tinggi. Konsumsi itu datangnya tidak hanya dari para konsumen individual orang-orang kebanyakan, tetapi juga perusahaan dan pemerintah negara-negara di dunia. Jadi, kapitalis finansial vital bagi keseluruhan struktur umum kapital itu sendiri. Mereka membiayai produksi sekaligus konsumsi. Soalnya ada pada fakta bahwa penggelontoran kapital finansial bukanlah sedekah. Kapitalis finansial sudi membiayai produksi dan konsumsi tentu apabila pilihan itu menguntungkan. Artinya harus ada riba yang bisa diperas dari perekonomian (produksi dan konsumsi) yang mereka biayai. Semakin massal produksi dan konsumsi dan semakin luas skala ekonominya, semakin besar pula posisi vital kapital finansial. Apa yang tergambar di bagian atas, khususnya sekitar akhir dasawarsa 1970-an, merupakan tampilan dari perjuangan kelas kapitalis finansial dalam meningkatkan porsi yang bisa mereka dapatkan dari kue kemakmuran global. Artinya, posisi kapital finansial yang makin vital bagi hidup matinya kapitalisme merupakan prakondisi dari ‘harus’ meningkatnya posisi kapitalis finansial, kaum bankir dan CEO-CEO korporasi global di dalam jenjang ketimpangan

Page 33: CSS Journal Vol.II

CSS Journal Vol.II| 33

ekonomi global. Keharusan itu tidak diperoleh dengan diam. Mereka berusaha, berjuang, dan bertarung dengan kekuatan-kekuatan politik modern lainnya (birokrat, kelas pekerja, borjuis kecil, kaum tani, dsb.) di muka bumi, dan... berhasil. Tangan-tangan mereka mencerkeram makin lama makin kuat lembaga-lembaga internasional, pemerintahan negara-negara di dunia, serta lembaga-lembaga otoritas kebenaran sekuler sepert media dan... dunia akademis.

Konsensus Washington dan Imperialisme Baru Lenin menempatkan imperialisme sebagai satu tahap dalam perkembangan kapitalisme. Tepatnya, sebagai tahap lanjut kapitalisme yang mempunyai ciri dan tabiat tersendiri. Dalam esai panjangnya Imperialism, the Highest Stage of Capitalism, Lenin mengajukan lima ciri peralihan kapitalisme menjadi kapitalisme imperialisme, yaitu:

1. pemusatan produksi dan kapital berkembang ke tahap tertingginya yang menciptakan monopoli yang memainkan peran penting dalam kehidupan ekonomi,

2. penggabungan kapital bank dengan kapital industri dan penciptaan oligarki keuangan berlandaskan kapital keuangan,

3. ekspor kapital yang dibedakan dari ekspor komoditi menjadi sangat-sangat penting,

4. terbentuknya monopoli kapitalis internasional yang membagi-bagi dunia di antara mereka sendiri,

5. pembagian wilayah seluruh dunia di antara kekuatan kapitalis raksasa selesai

53.

Lima ciri pokok ini menjadi dasar konseptual

yang membedakan kapitalisme awal dengan

53

Vladimir I. Lenin, Imperialism, the highest stage of capitalism: a popular outline (New York: International

Publishers), 2004: 89.

tahap lanjutnya. Kelima ciri ini berkembang dari kontradiksi dalam hukum-hukum kapitalisme sendiri. Secara lebih umum Lenin melihat bahwa imperialisme terjadi ketika hukum dasar kapitalisme yaitu persaingan bebas berakhir ke keadaan monopoli. Kapitalis-kapitalis kelas teri dicaplok atau menggabungkan diri dengan kapitalis kakap membentuk kapital gabungan (perseroan). Terpusatlah kapital di tangan beberapa gelintir kompeni.

Dalam esainya untuk Spartacus League berjudul Either-Or, Rosa Luxemburg melihat imperialisme sebagai tahap akhir dan tertinggi dari perkembangan dominasi politik dunia kapitalisme. Dampak ekonomi imperialisme memang tidaklah seragam. Wilayah-wilayah imperial berlatar belakang sejarah dan kondisi material berbeda, menerima dampaknya secara berbeda dan kapitalisme merombak tatanan sosial-ekonomi secara berbeda pula. Tetapi, menurut Luxemburg dalam esai yang ditulis di tengah-tengah guncangan Perang Dunia I ketika lebih dari delapan puluh empat persen belahan dunia dikuasai dan diperebutkan di antara kapitalis-kapitalis Eropa tersebut, secara umum kapitalisme panjajahan berdampak pada 1) percepatan pemusatan kapital ke kantong segelintir kompeni kapitalis dunia, 2) pengikisan kelas tengah-tengah, dan 3) pertumbuhan proletariat secara cepat dalam skala dunia

54.

DI dalam bukunya The Accumulation of Capital, Luxemburg menganalisis bahwa kapitalisme lahir dan bertumbuh di tengah-tengah formasi sosial non-kapitalis. Keberadaan dan perkembangannya, menurut Luxemburg, memerlukan sebuah lingkungan corak produksi non-kapitalis. Kapitalisme membutuhkan lapisan sosial non-kapitalis sebagai pasar untuk nilai-lebihnya, sebagai sumber pasokan untuk sarana produksinya, dan sebagai penampung cadangan tenaga kerja untuk sistem upahnya

55.

Rosa Luxemburg membedakan tiga tahap akumulasi kapital. Pertama, perjuangan kapital melawan ekonomi alamiah, lalu perjuangan

54

Rosa Luxemburg, Selected Political Writings (London:

Jonathan Cape), 1972: 224. 55

Rosa Luxemburg, The Accumulation of Capital (London:

Routledge & Kegan Paul), 1971: 368.

Page 34: CSS Journal Vol.II

CSS Journal Vol.II| 34

melawan ekonomi komoditi, dan akhirnya perjuangan dalam persaingan antarkapital di panggung internasional untuk melanggengkan keadaan akumulasi. Untuk bertahan dan mengakumulasi diri, kapital harus selalu dan di mana pun bertarung dalam pertempuran penyingkiran melawan setiap bentuk ekonomi alamiah, entah itu adalah ekonomi perbudakan, perupetian, feodalisme, atau ekonomi pengolah lahan sederhana. Metoda-metoda pokok dalam perjuangan ini selalu dengan kekuatan politik (revolusi atau perang), pemajakan yang menekan dari negara, dan barang-barang murah yang menghantam industri setempat

56.

Di wilayah jajahan, kapitalisme berjuang melawan masyarakat berekonomi alamiah dengan tujuan antara lain:

1) meraih penguasaan sumber-sumber

penting kekuatan produktif seperti lahan, hasil-hasil hutan, mineral, batu mulia dan bijih logam, tumbuhan eksotik seperti karet, dsb.,

2) ‘membebaskan’ tenaga kerja (dari kekangan tatanan sosial lama) dan menekannya untuk melayani kapitalisme,

3) memperkenalkan ekonomi komoditi, 4) memisahkan perdagangan dan

pertanian57

.

Dengan demikian, menurut Luxemburg, imperialisme dan kolonisasi merupakan bagian tak terelakkan dari dampak hukum persaingan dalam kapitalisme, baik antara kapital dengan ekonomi-ekonomi non-kapitalis maupun antarkapital dalam memperebutkan sumber-sumber baru kemungkinan akumulasi kapital.

Di dalam salah satu catatannya yang termuat dalam Grundrisse, Marx melihat persaingan bebas kapitalisme dari dua sisi. Di satu sisi, persaingan bebas muncul ketika kapital sebagai penggerak produksi komoditi menjadi dominan. Artinya, kapital yang kian dominanlah yang mendobrak kebekuan ekonomi feodal dan menciptakan

56

Luxemburg, 1971: 368-9. 57

Luxemburg, 1971: 369-418.

gagasan serta praktik persaingan bebas. Di sisi lain, persaingan menjadi semacam inang pengasuh yang kepadanya kapital tumbuh dewasa di atas reruntuhan corak produksi lama. Namun, pada pokoknya persaingan merupakan kondisi historis kapitalisme yang melaluinya ia menghancurkan corak-corak produksi sebelumnya

58.

Di dalam suatu negara, persaingan bebas pada akhirnya akan mendobrak pengaturan pemerintah yang mengekang akumulasi kapital, seperti pajak, CSR, dan sebagainya. Di pasar dunia, persaingan berujung pada pelenyapan bea cukai, proteksi, dan berbagai bentuk pelarangan yang menghambat keluar-masuknya komoditi dan kapital secepat dan sejauh yang kapitalis inginkan. Kondisi yang sudah diramalkan Marx sekarang ini kemudian oleh para penulis kontemporer disebut globalisasi ekonomi, neo-kapitalisme, atau kapitalisme neo-liberal, yaitu tahap bentuk ketika kapitalisme menjadi formasi sosial dunia yang menjadikan persaingan bebas sebebas-bebasnya sebagai satu-satunya hukum dalam gerak kapital lewat hubungan produksi dan distribusi (yang kemudian berdampak terhadap hubungan-hubungan sosial lainnya) dan menempatkan keuntungan sebagai satu-satunya ukuran dalam pertarungan menang-kalah yang brutal.

Seperti air yang selalu mencari tempat yang rendah, begitu pula kapital akan selalu mencari tempat-tempat yang menyediakan pekerja dan bahan baku murah dengan pemerintahnya yang bisa dicocok hidung untuk menyediakan segala rupa aturan hukum dan infrastruktur yang melancarkan produksi kapitalis. Terbentuknya Dunia Ketiga dan kemiskinan brutal di dalam pelapisan sosialnya yang timpang merupakan hasil langsung akumulasi dan ekspansi terus-menerus usaha kapitalis yang tidak peduli pada apa pun selain laba. Terjadilah pemusatan kemakmuran secara geografis. Dalam bahasa Marxis kontemporer, dunia yang sepenuhnya sudah dirambah kapitalisme sejak abad-abad

58

Karl Marx, Grundrisse: foundations to the critique of political economy (Harmondsworth: Penguin Books),

1973: 650-1.

Page 35: CSS Journal Vol.II

CSS Journal Vol.II| 35

imperialisme terpilah antara pusat dan pinggiran atau metropolitan dan satelit. Dunia tidak lagi dibelah berdasarkan garis lintang dan garis bujur imajiner, tapi berdasarkan tingkat kemakmuran dan kedudukan dalam hubungan produksi global wilayah-wilayahnya.

Proses akumulasi kapital dan perkembangan kapitalisme, menurut Samir Amin, merupakan proses tunggal berskala dunia. Artinya, saat ini dunia berada dalam cengkeraman formasi sosial kapitalisme. Tetapi seperti halnya formasi-formasi sosial sebelumnya yang terpilah antara pusat dan pinggiran, formasi sosial kapitalisme pun bertampilan serupa. Kapitalisme beranjak dari kampung halamannya di Eropa Barat sejak abad ke-17 ke mana pun laba bisa dikeruk. Di mana pun langkah kapitalisme dipijakkan, di sana pulalah kapitalisme berkembang biak menjadi corak produksi pokok. Persis seperti Arjuna yang di mana pun ia tinggal selalu punya anak dari istri setempatnya, begitu pula ketika kapitalisme merambah Asia atau Afrika dan kawin dengan corak produksi setempat, ia menyemaikan benih kelahiran anak jadah bernama kapitalisme-pinggiran. Menurut Samir Amin, teoretisi Marxis Afrika Utara ini, dalam bukunya Unequal Development, perkembangan corak produksi kapitalisme tidaklah sama antara di pusat dan pinggiran. Akumulasi kapital dan perkembangan kapitalisme di pusat merupakan suatu proses yang utuh-menyatu. Sektor pertanian berkembang selaras dengan sektor industri dan kedua-duanya saling melengkapi. Kapitalisme di pusat dibangun dinamikanya sendiri atau berkembang dari dalam. Sebaliknya, akumulasi kapital dan perkembangan kapitalisme di pinggiran merupakan hasil proses ketergantungan terhadap pusatnya. Oleh karena itu, kapitalisme di pinggiran berbeda dengan kapitalisme di pusat. Perkembangan di pinggiran dicirikan tidak selarasnya hubungan antarsektor karena kapitalisme di pinggiran hanya melayani perkembangan kapitalisme di pusat. Kapitalisme di pinggiran terutama menghasilkan bahan baku dan beberapa barang dagangan bukan sarana-

sarana produksi utama. Kapitalisme pinggiran hanya menjadi kaki-tangan kapitalisme pusat

59.

Perkembangan kapitalisme di pinggiran, menurut Amin, merupakan perkembangan tak-imbang. Artinya, satu sektor ekonomi mengalami perkembangan lebih baik di banding sektor lain. Sektor yang berkembang maju menjadi betul-betul kapitalistik karena ditopang kapital dari luar (tentu saja lewat penanaman modal asing dan utang luar negeri dari kompeni keuangan internasional semacam IMF, ADB, atau Bank Dunia). Sedangkan sektor terbelakang, seperti pertanian pangan dan industri kecil-kecilan, umumnya adalah sektor-sektor yang masih terperangkap sisa-sisa hubungan produksi prakapitalis yang di sana kapitalisme belum betul-betul merasuk. Fungsi keberadaan sektor-sektor pinggiran seperti industri pengolahan pangan kecil-kecilan, pertanian pangan, dan perdagangan kecil-kecil adalah untuk menyediakan kebutuhan reproduksi kelas pekerja murah. Akhirnya, menurut Amin, perkembangan kapitalisme di pusat formasi sosialnya menghantar pada keterbelakangan pinggirannya.

Jadi, sudah sedari awal terbentuknya sebagai wilayah pinggiran dari formasi sosial kapitalis, Dunia Ketiga sudah ditugaskan hanya sebagai penjaga agar “tidak terjadi perang saudara” di negeri-negeri di pusat pusaran kapitalisme. Dalam amatan Sritua Arif, tugas sebagai penjaga krisis kapitalisme di pusat formasi menjadikan kapitalisme Dunia Ketiga terjebak ke dalam bentuk kapitalisme rampok yang mewarisi corak kapitalisme kolonial yang tiada lain adalah anak jadah perkawinan antara kapitalisme murni dengan corak produksi perupetian yang dihancurkan oleh penjajahan. Corak produksi prakapitalis di Dunia Ketiga ternyata tidak hancur selebur-leburnya. Rohnya masih gentayangan di antara praktik-praktik ekonomi kapitalisme sehingga penghisapan kapitalisme menjadi lebih ‘brutal’. Kapitalis-kapitalis pribumi yang akrab dengan elite-elite politik dalam sistem pemerintahan otoriter sebenarnya adalah

59

Samir Amin, Unequal Development: an essay on the social formation of peripheral capitalism (New York:

Monthly Review Press), 1976.

Page 36: CSS Journal Vol.II

CSS Journal Vol.II| 36

kapitalis palsu yang keuntungannya bertumpu pada subsidi pemerintah. Sementara itu subsidi yang dikucurkan pemerintah berasal dari utang luar negeri yang pembayarannya ditanggung rakyat jelata lewat pemotongan subsidi kebutuhan pokok, pencabutan jaminan sosial, pencabutan subsidi pendidikan, dan sebagainya

60.

Di pusat kapitalisme, demokrasi borjuis dan ideal ‘kesamaan di muka hukum’ yang meskipun lebih menguntungkan kelas borjuis yang menguasai sumber daya informasi serta jaringan ke elite-elite politik nasional, hingga kini tampaknya masih bisa berjalan dengan segala nilai-nilainya. Dengan demikian masih ada tameng yang bisa dimanfaatkan untuk melindungi kelas pekerja dari kebrutalan kapitalisme (meski tidak selamanya). Nilai-nilai demokrasi liberal borjuis seperti kesetaraan individu, kebebasan berserikat, kebebasan berpendapat, dan norma hak asasi manusia bisa dijadikan senjata untuk melawan borjuis itu sendiri.

Keadaan di Dunia Ketiga tidak sebaik di pusat kapitalisme, demokrasi perwakilan biasanya sekadar drama yang dipentaskan oleh elite-elite politik yang saling suap dengan elite-elite ekonomi yang disokong elite-elite finansial global yang selalu pynya kantor di negeri-negeri penghasil bahan baku. Atau bila perlu, tidak usah ada demokrasi sekalian. Pemerintahan otoriter merupakan bentuk pemerintahan paling diminati kapitalis mana pun yang sedang menjarah kekayaan alam dan tenaga kerja negeri Dunia Ketiga (Dinasti Saud, Pinochet, Soeharto, Idi Amin, dkk.).

Penutup

Kapitalisme telah berubah. Seperti makhluk mutan yang menjadi monster karena terkena limbah beracun dari kotorannya sendiri, kapitalisme semakin brutal dan mengerikan. Aiko Morita, kepala Sony Corporation, berteriak-teriak hingga serak mengingatkan dunia akan bahaya besar terjerumusnya kapitalisme ke dalam limbah beracunnya sendiri, yaitu peralihan dari

60

Sritua Arif, Negeri Terjajah (Yogyakarta: Resist Book),

2006.

kapitalisme industri produktif ke kapitalisme jasa keuangan dan spekulasi. Kaum kapitalis raksasa dunia tidak lagi mengabdi pada kapital sebagai industrialis yang menciptakan pekerjaan-pekerjaan dan barang-barang yang bernilai-guna, tapi menggelimangkan diri ke dalam spekulasi pasar uang, pencaplokan perusahaan lewat pasar saham, dan aktivitas yang parasitis lainnya

61.

Tidak seperti kaum kapitalis abad ke-19, kapitalis-kapitalis kontemporer tidak peduli pada produksi barang. Uang-uang bukannya ditanam dalam usaha produktif, tapi dibiakkan dalam pasar uang dengan tujuan memperoleh keuntungan dan kekayaan sebesar-besarnya secara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Para kapitalis pialang meraja. Mereka duduk di depan monitor menyaksikan pergerakan angka-angka saham dan valuta. Kesetiaan mereka hanya ditujukan pada uang, uang, dan uang sambil tanpa pernah memproduksi apa pun. Tepat kiranya ketika pada pertemuan puncak kepala-kepala negara kekuatan utama dunia di Halifax, Nova Scotia Juni 1995, Presiden Perancis Jacques Chirac menyebut spekulasi mata uang sebagai ‘AIDS perekonomian kita”

62. Pada paro

pertama dasawarsa 1990-an saja pasar uang dunia menggolang 25 triliun dolar dalam sehari! Dunia menjadi meja judi raksasa bagi kapitalis-kapitalis keuangan. Tanpa kendali sama sekali, tanpa ada yang mampu menahan lajunya yang kian cepat hingga ia terjerumus ke dalam krisis finansial Amerika-Eropa sekarang ini yang membawa perekonomian dunia ke dalam kelumpuhan.

Bila di masa kapitalisme penjajahan kuno, kapital bergerak lamban mengikuti arah mata angin yang menghembuskan layar-layar kapal dagang, peningkatan teknologi informasi sekarang ini menjadikan kapital bisa bergerak kapan pun, berapa pun, dan ke mana pun hanya dalam waktu begitu singkat. Bila kapitalis lama menghasilkan kapas, gula, kain, atau gandum yang berguna

61

Alan Woods dan Ted Grant, Reason in Revolt: revolusi berpikir dalam ilmu pengetahuan modern (Yogyakarta:

IRE Press), 2003: 519. 62

Dikutip Jack Weatherford, Sejarah Uang dari jaman baru hingga era cyberspace (Yogyakarta: Bentang), 2005: 387-

8.

Page 37: CSS Journal Vol.II

CSS Journal Vol.II| 37

untuk banyak orang, maka kecenderungan kapitalis-kapitalis kontemporer adalah tidak menghasilkan apa pun selain kekayaan untuk dirinya sendiri. Bila rasul kapitalisme liberal, Adam Smith, masih menekankan the wealth of nation sebagai tujuan akhir persaingan bebas, maka nabi-nabi kapitalisme neoliberal menekankan the wealth of individual capitalist sebagai tujuan tertingginya. *** Wallahu’alam bishshawab...

Page 38: CSS Journal Vol.II

CSS Journal Vol.II| 38

Distopia Masyarakat Kontemporer

Rizky Satria Guru SMP

“Tidak, ini bukan fiksi-ilmiah. Film ini adalah gambaran hari ini. Ini adalah hal yang terjadi saat ini.” __Neil Blomkamp (tempo.co/2013)

Masih dalam fenomena meriahnya komoditi otokritik, tahun ini dunia perfilman

kembali diramaikan dengan hadirnya Film Elysium yang dirilis di bulan Agustus kemarin. Film ini langsung masuk ke jajaran peringkat teratas Box Office dunia selama beberapa pekan setelah peluncurannya. Apa yang menarik dari film ini adalah –seperti quote sang sutradara di atas-, bahwa kisah yang disampaikannya adalah sebuah penggambaran dari bentuk masyarakat yang ada di sekitar kita saat ini.

Review di beberapa media menerangkan bahwa film ini cukup mendapatkan banyak perhatian karena disutradarai oleh seniman kawakan, Neil Blomkamp, yang sebelumnya meraih sukses besar di pembuatan Film District 9 (2009). Selain itu juga karena bajet yang dikucurkan oleh sang produsen film sebesar USD 115 Juta (atau kurang lebih satu trilyun rupiah), yang memastikan bahwa film ini telah dikemas dengan efek visual yang canggih dan mempesona.

Film Elysium menggambarkan dunia di tahun 2154 ketika ruang hidup manusia di bumi kian terancam oleh polusi dan over populasi. Di tengah beragam permasalahan sosial seperti tingginya tingkat kemiskinan dan kriminalitas, segolongan elit masyarakat membuat semacam rekayasa habitat di sebuah stasiun ruang angkasa yang bernama Elysium. Orang-orang kaya tinggal nyaman di Elysium dengan membuat tata pemerintahannya sendiri, sedangkan mayoritas penduduk miskin tetap tinggal melarat di bumi.

Setting cerita di sekitar reruntuhan kota Los Angeles Amerika, di mana hidup seorang mantan residivis bernama Max Da Costa (Mat Damon) yang bekerja sebagai buruh di perusahaan penyuplai senjata ke Elysium bernama Armadyne Corp. Di tengah

Sutradara : Neill Blomkamp Durasi : 90 Menit

Genre : Action/ Drama/ Sci-Fi Rilis : Agustus 2013

Pemeran : Matt Damon , Jodie Foster

M O V I E R E V I E W

Page 39: CSS Journal Vol.II

CSS Journal Vol.II| 39

kondisi kerja yang buruk, Max terpapar radiasi berbahaya yang kemudian –menurut vonis medis- hanya menyisakan lima hari baginya untuk bisa bertahan hidup. Max akhirnya menyadari bahwa ia dapat sembuh jika mampu mendapatkan fasilitas pengobatan medis di Elysium. Perjuangan Max, yang mewakili perjuangan masyarakat tertindas untuk mencapai Elysium, yang menjadi pokok cerita di sepanjang film ini. Hingga akhirnya upaya yang ia lakukan berdampak besar pada perubahan struktur dalam sistem masyarakat secara keseluruhan.

Apa yang kemudian bisa kita diskusikan dari film ini adalah beragam tema di seputar isu sosial seperti ekses polusi, overpopulasi, imigrasi, kesenjangan/ pertentangan kelas sosial, pemerataan fasilitas kesehatan, eksploitasi buruh, dengan tema besarnya mengenai wacana perubahan sistem hidup manusia. Isu-isu ini, yang coba direpresentasikan Blomkamp dalam film Elysium, adalah beragam permasalahan kontemporer yang dikemas secara distopia (penggambaran buruk tentang masa depan), yang kemudian menjadi sebuah kritik tegas, bahwa jika permasalahan ini kita biarkan, akan berdampak sangat buruk bagi kelangsungan hidup masyarakat kita sendiri di masa depan.

Gagasan utama dalam Film Elysium adalah bahwa sejak sebuah sistem yang mengatur semua sendi hidup manusia di muka bumi ini adalah ciptaan manusia sendiri, maka bukan hal yang mustahil jika sistem tersebut dapat kemudian kita hancurkan. Dalam konteks masyarakat kontemporer, yang mendasari kemunculan semua isu permasalahan sosial ini adalah sistem Kapitalisme, sistem yang berdiri kokoh di atas nilai

ekploitasi dan domestikasi di satu sisi dan konsentrasi serta pengakumulasian nilai di sisi lain. Kapitalisme, yang hakikatnya merupakan sebuah kreasi manusia dalam perjalanan sejarahnya, dalam titik masa yang paling merugikan, dapat kita ganti dengan kreasi alternatif yang lain, yakni sosialisme, yang berdiri di atas nilai kerjasama di satu sisi dan pemerataan nilai di sisi lain.

Kembali melirik Elysium sebagai sebuah komoditi otokritik di tengah sistem produksi kapitalisme sendiri, kemunculannya yang ambigu dapat menawarkan dua pilihan bagi kita; pertama, sebatas mengkonsumsi dengan riang produk-produk kapitalisme seperti ini dengan ikut menyumbangkan sebagian uang kita terhadap akumulasi keuntungan bagi produsen film yang mencapai hingga ratusan miliar rupiah, atau ke dua; menjadikan komoditi ini sebagai media yang dekat dengan masyarakat umum, untuk kemudian mendistribusikan informasi kritik ini sejauh yang bisa kita sebarkan, hingga siapapun dapat cukup mengerti bahwa sistem kapitalisme yang sedang kita hidupi saat ini, dengan segudang isu permasalahan di dalamnya, bukanlah sebuah sistem yang cukup wajar untuk terus kita pertahankan. **

Page 40: CSS Journal Vol.II

CSS Journal Vol.II| 40

BERPIKIR AHISTORIS ITU MENYENANGKAN

Setelah hingar bingar penampilan gemilang Timnas U-19 yang kita saksikan bersama-sama di layar televisi, sudah lumayan lama saya tidak mendengar kembali obrolan populer yang membuat urat leher seseorang mengencang ketika berbicara tentang Indonesia dan nasionalisme, namun pada awal bulan ini ketika media ramai membicarakan tentang pertemuan tingkat menteri WTO di Bali saya mulai mendengar kembali perbincangan berbau semangat nasionalisme, walaupun kebanyakan hanya terdengar dari mahasiswa melek politik ketika ia selesai membaca portal berita online. Linimassa twitter dan beranda facebook mulai ramai dengan postingan itu, kicauan-kicauan heroik penuh semangat dengan sukarela pun mulai membanjiri timeline dengan hastag #EndWTO #JunkWTO. Seorang penjaga malam linimasa twitter yang senang dijuluki sebagai ‘orang kiri’ (begitulah yang tercantum di biodata singkatnya) karena baru saja membeli Madilog-Tan Malaka-mungkin, sebut saja Dayat, mahasiswa semester tiga jurusan Hubungan Internasional. Mendengar kabar dari kawan yang sempat berbincang dengannya, setelah lulus nanti ia ingin menjadi profesional revolusioner, mungkin karena terbilang profesi di bidang jasa itu masih aman untuk pasar tenaga kerja ASEAN.

Dalam rangkaian kicauannya dia meminta Menteri Perdagangan untuk menolak paket Bali yang di bahas pada MC9 WTO, kurang lebih begini ; “pak @GWirjawan saya titipkan masa depan para petani ibu pertiwi kepada bapak, utamakan national interest Indonesia” , pada rangkaian kicauan selanjutnya berubah menjadi sangat emosional, Dayat mulai memaki-maki kapitalisme, menyalahkan negara. Entah kapitalisme apa yang ia maki dan negara dalam wujud apa yang disalahkan. Kemudian pada akhir

Dalam kicauan selanjutnya Dayat mengatakan bahwa para diplomat Indonesia dimasa mendatang seperti kita harus mempunyai semangat nasionalisme yang tinggi dan jangan pernah bolos pada mata kuliah Pendidikan Pancasila dan UUD 1945 lalu sedikit bernostalgia dengan figur seorang Bung Karno di masa lalu dalam kancah politik Internasional.

Orang-orang seperti Dayat akan dengan mudah kita temui, teman satu kelas mata kuliah atau diluar kampus. Pernah pada satu waktu Dayat mendapatkan giliran untuk mempresentasikan hasil tugasnya di depan kelas, slide pertama yang menampilkan judul diberi latar peta Indonesia dan logo-logo perusahan multinasional, judulnya “SUDAHKAH INDONESIA MERDEKA” begitulah persisnya dengan font arial black size 48 bold dan underline pada kata merdeka. Ketika mulai memaparkan materi diawali dengan mungkin terdengar seperti pidato kebudayaan yang melankolis tentang kondisi sumber daya alam Indonesia sembari menunjukan di titik mana saja perusahaan asing melakukan eksplorasi dan mengatakan dengan tegas ‘kedaulatan Indonesia terancam!’ seketika saya merasakan atmosfir era perang kemerdekaan, teman wanita saya yang duduk di sudut kanan paling depan dengan spontan mengucapkan ‘wow’ sambil menggelengkan kepalanya sebelum kembali mengeluarkan smartphone untuk browsing tentang

L O R O N G Z A M A N

Page 41: CSS Journal Vol.II

CSS Journal Vol.II| 41

kronologi kecelakaan Paul Walker, tidak lama setelah sampai pada slide ke-4 seorang kawan saya bertanya sebenarnya yang Dayat tampilkan itu power point atau power word, layaknya seorang penyair kondang ibu kota ia membaca materi yang ditampilkannya dengan sendu dan mendayu-dayu secara tidak langsung memperlihatkan kemarahannya pada negara, tibalah pada sesi diskusi dimana semua orang di dalam kelas menyalahkan pejabat negara dengan serangan bertubi-tubi dan sesekali lemparan molotov moral, juga kapitalisme yang dibayangkan sebagai monster berkuku tajam dan gondrong turun dari langit dengan membawa malapetaka bagi umat manusia dan ahistoris.

Negara yang selama ini ada di benak kita identik dengan pemerintahan, aparat dan pemaksaan fungsi-fungsi ekonomi tidak kembali kita telusuri asumsi yang mendasarinya, kita mengaku sebagai seorang intelektual tradisional yang otonom dan independen dengan menjalankan politik yang otentik, yang kita perjuangkan adalah kedaulatan tanah air dengan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, kita akan sangat marah jika wayang golek dan bandrek di akui oleh negara tetangga karena mereka mencuri kebudayaan aseli Indonesia, karena mereka tidak lebih kaya dari Indonesia yang terdapat 1.340 suku bangsa dan 546 bahasa, mereka pun tidak sehebat Indonesia yang memiliki 13.466 pulau terhampar dari Sabang sampai Merauke yang harus kita jaga, jangankan gerakan separatis dari Aceh sampai Papua yang meminta kemerdekaan, negara lain saja kita hadang. Inilah yang kita namakan nasionalisme dan jiwa patriotik.

Kelas memengah perkotaan seperti Dayat dan kawan-kawannya memandang negara sebagai sesuatu yang abadi tidak mempunyai konteks historis, hanya cukup dengan meyakini bahwa negara adalah wakil dari kepentingan publik maka berubahlah negara menjadi institusi yang paling paham akan kepentingan masing-masing individu. maka ketika menggantungkan harapan pada negara kita harus menitipkannya kepada para diplomat, berharap mereka akan dengan kukuh mempertahankan kepentingan nasional demi segenap rakyat Indonesia, karena kita tahu para diplomat itu lulus dengan predikat summa cum laude dan mendapatkan nilai A pada mata kuliah wawasan nusantara. Lantas mengapa lebih banyak mengalami kegagalan dalam setiap perundingan, bukankah bargaining position Indonesia di kancah internasional begitu diperhitungkan? apa karena mereka kurang nasionalis? Karena jarang menonton timnas U-19 bertanding, bisa jadi konspirasi Yahudi atau alasan klasik yang sering di katakana pemerintah karena masalah teknis yang menjadi ganjalan karena para pejabat yang korup dari mulai kepala desa, camat sampai birokrat di kementerian. Saya tidak bermaksud menghakimi Dayat, seorang pria muda kontemporer dan nasionalis kiri ini, namun sebuah otokritik atas dinamika budaya intelektual kaum urban. Kita tunggu surat terbuka Dayat dan kawan-kawannya kepada saya yang mereka dakwa tak nasionalis ini.

Rifqi Fadhlurrakhman, Pelajar harian lepas. Lengkong Besar, Awal Desember 2013.

Page 42: CSS Journal Vol.II

CSS Journal Vol.II| 42

Buku ini merupakan pengantar terkait isu di seputar WTO, dampaknya serta munculnya sistem perdagangan baru abad 21. WTO sebagai bagian dari trio neo-liberal bersama-sama IMF dan Bank Dunia adalah musuh rakyat dan bangsa di dunia. Mereka adalah kelompok 1% yang menjajah 99% mayoritas warga dunia dan bumi ini.

Buku ini hendak menyuplai kepada perlawanan terhadap kelompok minoritas penguasa 1% yang tidak bisa ditolerir lagi, karena jutaan korban terus berjatuhan setiap harinya diseluruh dunia. Terutama Indonesia yang kaya raya sumber alamnya dan yang dikuasai oleh penguasa yang bebal dan korup. Tidak ada kompromi atas penjajahan dan penindasan. Lawan!! PEMBANTAIAN manusia tak berdosa dan penggulingan Bung Karno adalah maha-malapetaka menimpa Indonesia di pertengahan abad ke-20. Ini merupakan halaman hitam sejarah. Bukan saja sejarah Indonesia, bahkan sejarah dunia. Betapa tidak! Indonesia waktu itu adalah negeri besar kelima di dunia dalam jumlah penduduk. Rakyat Indonesia yang besar dan beradab telah jadi korban kebiadaban strategi negara adikuasa. Indonesia yang cemerlang, mercusuar perjuangan rakyat-rakyat sedunia melawan kekuasaan lalim imperialisme, berubah wajah jadi pengekor negara adidaya. Ini dipicu oleh Peristiwa Gerakan 30 September 1965. Peristiwa ini bukanlah hanya menyangkut Indonesia. Lebih-lebih lagi bukan hanya menyangkut Bung Karno, PKI, dan Angkatan Darat. Ini terjadi dalam dunia yang sedang dilanda Perang Dingin. Para pelaku, jagal-jagal pembantai manusia sampai para pelaku penggulingan Bung Karno hanyalah eksekutor, pelaksana sadar atau tidak sadar dari strategi Perang Dingin, yaitu pembasmian kaum komunis di mana saja muncul, termasuk pembasmian atas kaum komunis Indonesia; strategi yang bertujuan membikin punah PKI di Indonesia untuk selama-lamanya.

B U K U B A R U

WTO DAN PERDAGANGAN ABAD 21

Penulis : Bonie Setiawan Penerbit : Resist Book, 2013 Tebal : -

AKAR DAN DALANG

Penulis : Suar Surosos Penerbit : Ultimus, 2013 Tebal : 264 Hal.

Page 43: CSS Journal Vol.II

CSS Journal Vol.II| 43

Page 44: CSS Journal Vol.II

CSS Journal Vol.II| 44

TIM REDAKSI

FIRMAN EKO PUTRA | @Firman_ep

RIFQI FADHLURRAKHMAN | @RifqiFaadh

KONTRIBUTOR

IQBAL RAMADHAN | @IqbalR86

DEDE MULYANTO

RIZKI SATRIA | @Rizky__Satria

CSS JOURNAL terbit berkala setiap satu bulan Semua konten dalam jurnal ini bebas untuk di kutip atau di gandakan untuk tujuan distribusi informasi. Kami mengajak para pembaca untuk berkontribusi dengan mengirimkan tulisan seputar ekonomi-politik, hubungan internasional, kebudayaan dan pergerakan sosial maksimal 5000 kata.

@CSSJournal cssjournal.wordpress.com [email protected]

P A S U N D A N C E N T E R O F S O C I E T A L S T U D I E S