Cpc Ala Jurnal

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Cpc Ala Jurnal

Citation preview

Case Report CERVICAL LEIOMYOSARCOMA

Nurlaella Iswan Nusi1, Brahmana Askandar Tjokroprawiro2, Primandono Perbowo2 , Nila Kurniasari31PPDS-1 Obstetri Ginekologi, FKUA RSUD dr. Soetomo, Surabaya 2Staf Divisi Onkologi, Departemen/SMF Obstetri Ginekologi RSUD dr. Soetomo, Surabaya3Staf Departemen/SMF Patologi Anatomi RSUD dr. Soetomo, Surabaya

ABSTRACTCervical neuroendocrine carcinomas are rare and very aggressive. The behavior of this rare malignancy is different from the of squamous cell carcinomas, with a high propensity for nodal and distant metastases. The diagnosis is based on histopathologic features, but synaptophysin, chromogranin, Neuron-Specific Enolase (NSE), and CD56 (neural cell adhesion molecule) are optimal diagnostic neuroendocrine markers. Human Papilloma Virus (HPV) 16 and 18 infection seem to be specifically related to small cell neuroendocrine carcinoma. Screening and a multimodal therapy could improve the prognosis of the patients. Four patients with small cell neuroendocrine carcinomas of the uterine cervix are reported ( two early stages and two advanced stages). Two patients with advanced stages died of disease, 5 and 21 months respectively, after diagnosis. One patient with early stage died of disease 8 months after diagnosis.Keywords : Cervical leiomyosarcoma, cervical sarcoma, cervical malignancy

Koresponden: Nurlaella Iswan Nusi, Departemen/SMF Obstetri Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSUD dr. Soetomo, Surabaya, Jawa Timur, Indonesia, Telp: +6282230308041, email: [email protected]

2

PENDAHULUANPada beberapa literatur dikatakan bahwa Leiomyosarkoma (LMS) merupakan kasus yang paling umum dari sarkoma uterus. Pada tahun 1993 Gynecologic Oncology Group (GOG) menemukan bahwa proporsi LMS uteri 16% dari sarkoma uterus (Bhatia et al., 2015).Sarkoma serviks adalah tumor yang jarang pada serviks, sebanyak 0,005-1% dari seluruh keganasan diserviks dan 12,5% dari sarkoma serviks merupakan leiomyosarkoma (LMS). Dan pada seluruh kasus yang dilaporkan usia pasien berkisar antara 36 sampai 61 tahun, dan pada masa perimenopause atau postmenopause (Wright et al., 2005). LMS adalah kasus yang sangat jarang, dan dapat timbul bersamaan dengan uterus yang juga mengalami leiomyoma (fibroid), keduanya menunjukkan perbedaan abnormalitas sitogenetika. Dan leiomyoma bukanlah prekusor terjadinya leiomyosarkoma. Keduanya dapat mengekspresikan reseptor estrogen dan progesteron (Bodner et al., 2002).Kasus LMS pada serviks sangat jarang dijumpai dan mempunyai prognosis yang sangat buruk. Sampai saat ini hanya didapatkan 21 kasus yang telah dilaporkan sebelumnya dalam literatur dunia. Sehingga pengetahuan kita tentang penatalaksanaan LMS serviks sangat terbatas dan belum optimal, dikarenakan jumlah kasus yang sedikit (Mehra et al., 2015). Di RSUD Dr. Soetomo sendiri pada tahun 2014-2015 hanya didapatkan 2 kasus LMS serviks. Yang menarik salah satu kasus ini terjadi pada usia yang sangat muda yaitu 19 tahun, dengan keluhan perdarahan uterus abnormal disertai dengan masa pada pelvis. Keluhan ini sering kita jumpai pada hampir seluruh kasus ginekologi, dan sering dianggap sebagai masa ginekologis yang jinak, bahkan sering pula kita menganggap remeh keluhan pasien dan memberikan terapi medisinalis terlebih dahulu. Dengan dibuatnya laporan kasus ini diharapkan bisa membantu kita untuk mengetahui dan mendiagnosis LMS lebih awal, meskipun belum didapatkan protokol yang jelas untuk penanganannya.

LAPORAN KASUS

Kasus 1 Nn. S, umur 19 tahun, belum menikah, datang dengan keluhan perdarahan pervaginam, keputihan dan dilakukan biopsi PA serviks, didiagnosis dengan leiomyosarkoma. Saat itu pasien juga mengalami kesulitan buang air kecil. Pada pemeriksaan CT Scan Abdomen dengan kontras didapatkan massa solid corpus uteri batas tegas mendesak ke anterior, tepi ireguler 6,2 x 8,1 x 6,2 cm, menyokong gambaran Leiomyosarkoma. Dilakukan pemeriksaan imunohistokimia (IHC) serviks didapatkan tumor berasal dari komponen otot polos (SMA: Positif). Dilakukan tumor board, pasien direncanakan laparatomi s/d histerektomi (TAH-BSO), jika menolak kemo paliatif Adriamycin + radiasi. Lalu dilakukan operasi TAH-BSO + vaginektomi 1/3 proximal vagina, hasil PA operasi didapatkan leiomyosarkoma serviks, tumor terbatas pada serviks, tumor tumbuh sampai serosa. Lalu dilakukan tumor board ulang , pasien direncanakan radiasi, dan saat ini masih menunggu jadwal radiasi.

Kasus 2Ny. SF, umur 44 tahun, menikah sebanyak 1 kali selama 22 tahun, dengan keluhan perdarahan pervaginam sejak 1 bulan yang lalu, keputihan berbau sejak 2 tahun yang lalu, dan kesulitan buang air kecil, dan didiagnosis dengan kanker serviks stadium III B. Hasil pemeriksaan MSCT Abdomen didapatkan enhancing solid cystic mass dengan dimensi terbesar 11,8x9,4x12,9 cm di kavum pelvis yang menekan buli ke superoanterior kesan berasal dari uterus. Hasil histologi serviks malignant spindle cell tumor . Dilakukan pemeriksaan IHC gambaran sesuai dengan Leiomyosarkoma (SMA : Positif). Kemudian dilakukan operasi SVH-BSO + ekstirpasi massa leiomyosarkoma serviks, hasil PA massa di serviks didapatkan leiomyosarkoma. Hasil tumor board radioterapi paliatif. Pasien sudah menjalani radioterapi sebanyak 35 kali, dan mengalami metastase paru kemudian meninggal 8 bulan post operasi.

PEMBAHASAN5.1. Bagaimana gejala Leiomyosarkoma?Leiomyosarkoma biasanya terjadi pada wanita usia perimenopause dan postmenopause pada usia 40-60 tahun. Dan kebanyakan pasien ini timbul keluhan perdarahan pervaginam dan didapatkan massa pada pelvis. Secara makroskopis biasanya massa berukuran besar (>10 cm), dan menjulur keluar dari kanalis servikalis (Dhull et al., 2013).Kedua pasien pada laporan kami mengalami gejala yang sama yaitu perdarahan abnormal pervaginam dan didapatkan massa pada pelvis. Dan gejala dirasakan dalam waktu kurang lebih 6 bulan. Pada pasien pertama dikatakan perdarahan pervaginam dialami 2 bulan sebelum didiagnosis LMS, perdarahan dalam jumlah banyak, dan terus menerus selama kurang lebih 2 bulan. Pasien kedua mengalami perdarahan pervaginam sejak 1 bulan sebelum berobat, dan keputihan sejak 2 tahun yang lalu, dan susah buang air kecil. Pada beberapa literatur dikatakan bahwa gejala LMS sering timbul dalam waktu singkat rata-rata 6 bulan dan tidak spesifik untuk penyakit ini, antara lain perdarahan pervaginam, nyeri panggul atau nyeri tekan panggul, dan masa pada abdomen bagian bawah.Pada kasus pasien pertama mengalami keputihan sejak 1 bulan sebelum didiagnosis LMS, dan tidak pernah berobat. Dan pasien kedua sebenarnya telah mengalami keputihan sejak 2 tahun sebelum didiagnosis LMS, tapi pasien tidak memeriksakan diri. Pada literatur keputihan juga merupakan salah satu gejala dari LMS. Dan pada kedua kasus ini didapatkan keluhan susah buang air kecil, hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa didapatkan keluhan berkemih sebanyak 1-2 %.

5.2 Apa faktor resiko dari LeiomyosarkomaFaktor resiko dari LMS sampai saat ini masih belum jelas, hal ini disebabkan karena sedikitnya jumlah kasus LMS serviks yang dilaporkan pada literatur dunia. Beberapa literatur menyebutkan faktor resiko dari sarkoma uterus adalah: peningkatan usia : usia rata-rata saat didiagnosis adalah 40-60 tahun Ras : Wanita kulit hitam (wanita Afrika - Amerika) mempunyai insiden terjadi LMS sebanyak dua kali lipat dibandingkan wanita kulit putih. Penyebab dari meningkatnya resiko ini masih belum diketahui. Penggunaan Tamoxifen dalam jangka waktu lama (5 tahun atau lebih) diduga berhubungan dengan peningkatan sarkoma uterus. Paparan radioterapi sebelumnya, dikatakan bila wanita pernah mendapatkan radioterapi sebelumnya akan mengalami peningkatan resiko terjadinya sarkoma uterus. Dan biasanya akan terdiagnosis 5 25 tahun sesudah terpapar radioterapi.

Jumlah paritas , waktu menarche, dan menopause dinyatakan tidak terbukti mempengaruhi LMS (Koivisto-Korander et al., 2008). Pada kedua kasus kami ini, pasien pertama berusia masih muda, dan mengalami siklus haid yang normal, sampai dengan dua bulan sebelum didiagnosis LMS. Dan pasien tidak pernah memakai obat hormonal, maupun mendapatkan radioterapi sebelumnya. Sehingga faktor resiko pada pasien pertama ini masih belum jelas. Sedangkan pada pasien yang kedua termasuk kelompok perimenopause, dan tidak pernah menggunakan kontrasepsi sebelumnya. Dan juga tidak pernah mendapatkan paparan radioterapi sebelumnya. Jadi faktor resiko pada pasien ini adalah peningkatan usia.

5.3 Bagaimana cara penentuan diagnosis dan stadium LeiomyosarkomaDiagnosis LMS pada umumnya ditegakkan pasca operasi, tapi pada sebagian kasus diagnosis ditegakkan berdasarkan histopatologi preoperatif atau dari frozen section intra operatif (Giuntoli et al., 2003). Cara penentuan stadium LMS serviks masih berdasarkan kriteria FIGO 2009 sama seperti penentuan stadium LMS uterus, dikatakan stadium I jika tumor terbatas pada uterus, stadium II jika tumor melibatkan uterus dan serviks, stadium III tumor menginvasi abdomen, stadium IV A tumor menginvasi buli dan IV B metastase jauh. Namun FIGO staging system tidak dapat memprediksi prognosis kesintasan pasien LMS uterus (Leitao et al., 2003; D'Angelo and Prat, 2010).Kedua kasus ini berdasarkan FIGO 2009 staging system, pasien pertama kami diagnosis sebagai leiomyosarkoma serviks stadium II A karena pada saat dilakukan operasi didapatkan massa pada ovarium kanan Sesuai dengan kategori FIGO stadium IIA adalah tumor sudah menginvasi adneksa. Dan pada pasien kedua kami mendiagnosis sebagai leiomyosarkoma serviks stadium IV A karena pada durante operasi didapatkan tumor sudah infiltrasi ke buli, walaupun dari hasil histopatologi post operatif didapatkan tumor hanya terbatas pada serviks. Dari hasil MSCT post operasi didapatkan gambaran massa residif daerah surgical bed yang menginfiltrasi distal ureter kanan dan kiri.Pada umumnya tumor dengan gambaran 10 MF/10 HPF berperilaku ganas dan mempunyai prognosis yang buruk. Indikator histologi yang digunakan untuk mengklasifikasikan keganasan pada uterine smooth muscle tumor adalah adanya severe cytologic atypia, dan coagulative tumor cell necrosis (Novak, 2007).LMS berupa massa berwarna kuning atau kecoklatan, besar (> 10 cm), dengan permukaan yang halus disertai daerah yang hemoragik dan nekrosis. Massa dapat menonjol ke dalam kavum uterus dengan pusat pada myometrium. Belakangan ini beberapa studi imunohistokimia pada Leiomyosarkoma uterus dilaporkan bahwa didapatkan ekspresi dari penanda otot polos seperti desmin, h-caldesmon, smooth muscle actin (SMA), dan histone deacetylase 8 (HDCA8) (D'Angelo and Prat, 2010).

Gambar 1. Gambaran mikroskopik pembesaran 40x pada kasus 1.

Gambar 2. Gambaran mikroskopik pembesaran 40x pada kasus 2.

5.4 Bagaimana tatalaksana leiomyosarkoma?Leiomyosarkoma serviks merupakan tumor yang sangat langka bila dibandingkan dengan leiomyosarkoma uterus, dan jumlah kasusnya hanya 1% dari seluruh kanker pada serviks. Sampai saat ini belum ada protokol terapi yang standard dan diterima secara umum. Satu-satunya modalitas terapi yang terbukti memiliki nilai dalam pengobatan leiomyosarkoma adalah eksisi operatif berupa TAH-BSO (Sahu, Bupathy and Badhe, 2008).Pada kasus kami, pada pasien pertama dilakukan TAH- BSO dan kemudian dilanjutkan vaginektomi 1/3 proximal vagina. Meskipun pasien masih berumur sangat muda dan belum menikah tetap diputuskan untuk dilakukan BSO, karena mengingat prognosis dari penyakit ini sangat buruk dan sudah didapatkan penyebaran ke adnexa dekstra. Dan sebaiknya kita melakukan pemeriksaan menyeluruh untuk mendeteksi adanya invasi ekstra uteri oleh karena pertumbuhannya yang sangat invasif. Pasien kedua direncanakan untuk dilakukan TAH-BSO sampai dengan radikal histerektomi mengingat usia pasien dan sudah memiliki anak. Tapi pada pelaksanaan operasi didapatkan perlekatan hebat antara dinding anterior uterus dengan vesika urinaria sehingga diputuskan untuk dilakukan SVH-BSO. Kekurangan kita adalah tidak melakukan pemeriksaan estrogen dan progesteron reseptor. Mungkin dengan diketahuinya apakah adanya estrogen dan progesteron reseptor , maka kita bisa memberikan terapi hormonal untuk mengatasi keluhan menopause dini.

5.5 Bagaimana prognosis pasien Leiomyosarkoma Secara umum, sarkoma uterus biasanya memiliki prognosis yang sangat buruk dengan risiko rekurensi untuk semua stadium antara 45-73% (40% rekurensi di paru,13% di panggul), mayoritas pasien akan mengalami rekurensi dalam 2 tahun pertama setelah terapi primer, pada pasien yang mengalami rekurensi akan memiliki angka kesintasan kurang dari 1 tahun (O'Cearbhaill and Hensley, 2010).Pada kasus kami diketahui pada pasien pertama dengan leiomyosarkoma stadium II A dan segera dilakukan operasi pengangkatan seluruh tumor (TAH-BSO + vaginektomi 1/3 proksimal vagina ) setelah terdiagnosis LMS. Saat ini kondisi pasien baik, dan tidak ada keluhan sampai dengan 4 bulan setelah operasi, dan sampai saat ini masih menunggu jadwal untuk radioterapi. Pasien ini diharapkan memiliki angka kesintasan lebih tinggi, sesuai dengan literatur kurang lebih 3-4 tahun. Sedangkan pada pasien kedua diketahui bahwa pasien mengalami keluhan keputihan sejak 2 tahun yang lalu sebelum didiagnosis kanker serviks III B, tapi saat itu menurut suami pasien tidak pernah menganggap itu suatu keluhan. Dan kemudian pasien mengalami perdarahan pervaginam dan memeriksakan diri ke rumah sakit, lalu di biopsi serviks, dan kemudian dirujuk ke RSDS Surabaya. Jadi ada kemungkinan terjadi keterlambatan 2 tahun dari saat didapatkan keluhan sampai dengan pasien berobat ke dokter. Saat pasien memeriksakan diri ke rumah sakit stadium sudah lanjut. Dan apabila diketahui lebih dini maka ada kemungkinan dapat diterapi lebih baik.Prognosis pada pasien pertama bisa dibilang lebih baik bila dibandingkan dengan pasien yang kedua, karena pada pasien pertama tumor dapat diangkat secara keseluruhan. Sedangkan pada kasus kedua prognosis lebih jelek karena masa tidak bisa diangkat seluruhnya dan sisa residu masa ukuran 5,6 x 3,92 x 4,5 cm, seperti dikatakan pada literatur tatalaksana LMS dengan mengangkat seluruh masa. Pasien kedua ini mengalami progressive disease, dimana terjadi metastase ke paru 6 bulan setelah dilakukan operasi dan 2 bulan setelah pasien menjalani radioterapi.

RINGKASANdan immunohistikomia, sedangkan untuk staging selain klinis, juga disarankan dengan penambahan melaui pemeriksaan pencitraan CT-Scan atau MRI. Penatalaksanaan karsinoma neuroendokrin serviks pada stadium awal (I A II A) adalah kemoterapi, operasi dan kadang-kadang penambahan dengan kemoradiasi, sedangkan pada stadium lanjut (II B IV B) dengan kemoradiasi. Penanganan multi-modalitas (kemoterapi, operasi dan kemoradiasi) pada karsinoma neuroendokrin serviks dapat meningkatkan angka kesintasan pasien. Prognostic factor karsinoma neuroendokrin serviks berdasarkan ukuran tumor, metastasis limfe node, invasi stroma cervical yang dalam, dan gambaran histopatologi.DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Askandar, B.T., dan Suhatno. (2011). Karakteristik penderita kanker serviks 2006-2010 di RSUD Soetomo. Majalah Obstetri dan Ginekologi, Vol. 19; 3: 128-133.Berrington de Gonzales dkk. (2007). Comparison of risk factors for invasive squamous cell carcinoma and adenocarcinoma of the cervix. Int J Cancer. 120(4):885-91.Alfsen, G.C., Kristensen, G.B., Skovlund, E., Pettersen, E.O., Abeler, V.M. (2001). Histologic subtype has minor impotance for overall survival ini patients with adenocarcinoma of the uterine cervix: A population-based study of prognostic factors in 505 patients with nonsquamous cell carcinomas of the cervix. Cancer. 92: 2471-83.Camisao, C.C., Brenna, S.M.F., Lombardellli, K.V.P., Djadjah, M.C.R., Zeferino, L.C. (2007). Magnetic resonance imaging in the staging of cervical cancer, Radiol Bras, 40(3):207215Chan, J.K., Loizzi, V., Burger, R.A., Rutgers, J., Monk, B.J. (2002). Prognostic factors in neuroendocrine small cell cervical carcinoma, A multivariate analysis. American cancer society, Vol 97;3:568-574.Collinet, P., Lanvin, D., Declerck, D., Place, A.C., Leblanc, E., Querleu, D. (2000). Neuroendocrine tumors of the uterine cervix clinicopathologic study of five patients. European Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology, 91; 51-57Embry, J.R., Kelly, M.G., Post, M.D., Spillman, M.A. (2011). Large cell neuroendocrine carcinoma of the cervix: Prognostic factors and survival advantage with platinum chemotherapy, Gynecologic Oncology, 120; 444-448.Gardner, G.J., Reidy-Lagunes, D., Gehring, P.A. (2011). Neuroendocrine tumors of the gynecologic tract: A Society of Gynecologic Oncology (SGO) clinical document. Gynecologic Oncology, 122; 190-198.Gaspar, L.E., et al. (2005). Limited-stage small-cell lung cancer (stage I-III): Observations from the National Cancer Data Base. Clin Lung Cancer, 6(6): p.355-60.Gupta, T., Gupta, S., Bhatia, P., Wadhawa, S., Gupta, N. (2014). Highly aggressive small-cell neuroendocrine carcinoma cervix: A rare case report. Indian Journal of Clinical Practice, Vol 25, No.4; 167-370.Hirahatake, K., et al. (1990). Cytologic and hormonal findings in a carcinoid tumor of the uterine cervix. Acta Cytol, 34(2): p. 119-24.Jemal, A., Bray, F., Center, M.M., Ferlay, J., Ward, E., Forman, D. (2011). AGlobal cancer statistics. C Cancer J Clin, 61; 69-90.Komorek-Pelissier, A., Garbar, C., Dalstein, V., Gavillon, N., Graesslin, O., Marie, A. (2013). Small cell carcinoma of the uterine cervix to analysis of 3 cases. J Clin Case Rep, 3:4.Kuji, S., Hirashima, Y., Nakayama, H., Nishio, S., Otsuki, T., Nagamitsu, Y., Tanaka, N., Ito, K., Teramoto, N., Yamada, Takashi, T. (2013). Diagnosis, clinicopathologic features, treatment, and prognosis of small cell carcinoma of uterine cervix; Kansai Clinical Oncology Group/ Intergroup study in Japan, Gynecologic Oncology, 129; 522-527.Kuriakose, S., Umadevi, N., Mathew, S., Supriya, N.K., Aravindan, K.P., Smitha, D.S., dan Malini, G. (2014). Neuroendocrine carcinoma of the cervix presenting as intractable hyponatremic seizures due to paraneoplastic SIADH- a rare case report and brief review of the literature. Ecancermedicalscience, 8: 450.Lan-Fang, L., Hai-Yan, S., Zuo-Ming, Y., Jian-Qing, C. (2012). Smal cell neuroendocrine carcinoma of the cervix: Analysis of the prognosis and role of radiation therapy for 43 cases, Eur J Gynaecol Oncol, 33:68-73.Lee, J.M., Lee, K.B., nam, J.H., Ryu, S.Y., Bae, D.S., Park, J.T., Kim, S.C., Cha, S.D., Kim, K.R., Song, S.Y., & Kang, S.B. (2008). Prognostic factors in FIGO stage IB IIA small cell neuroendocrine carcinoma of the uterine cervix treated surgically: results of multi-center retrospective Korean study, Annals of Oncology, 19; 321-326.Lintoiu, B., Bacalbasa, N., Lonescu, C. (2014). Cervical neuroendocrine tumors. A literature review. Gineco.eu, 10, 168-171.Massad, L.S., et al. (2013). 2012 Updated consensus guidelines for the management of abnormal cervical cancer screening tests and cancer precursors. Journal of Lower Genital Tract Disease, 17: 5; 1-27.McCann, G.A., Boutsicaris, C.E., Preston, M.M., Backers, F.J., Eisenhauer, E.L., Fowler, J.M., Cohn, D.E., Copeland, L.J., Salani, R., OMalley, D.M. (2013). Gynecologic Oncology, 129; 135-139. McCusker, M.E., Cote, T.R., Clegg, L.X., & Tavassoli, F.J. (2003). Endocrine tumors of the uterine cervix: incidence, demographics, and survival with comparison to squamous cell carcinoma. Gynecol Oncol, 88(3): p. 333-9.Parkin, D.M., Bray, F., Ferlay, J., Pisani, P. (2005). Global cancer statistics. CA A Cancer Journal for Clinicians, 55: 74-108.Rekhi, B., et al. (2012). Spectrum of neuroendocrine carcinomas of the uterine cervix, including histopathologic features, terminology, immunohistochemical profile, and clinical outcomes in a series of 50 cases from a single institution in India. Annals od Diagnostic Pathology, 17; 1-9.Silva, E.G., Gershenson, D., Sneige, N., Brock, W.A., Saul, P., Copeland, L.J. (1989). Small cell carcinoma of the uterine cervix: pathology and prognostic factors. Surg Pathol, 2(2) : 105-15.Siriaunkgul, S., Utaipat, U., Settakorn, J., Sukpan, K., Srisomboon, J., Khunamornpong, S. (2011). HPV genotyping in neuroendocrine carcinoma of the uterine cervix in northern Thailand. International Journal of Gynecology and Obstetrics, 115; 175-179.Stoler, M.H., Stacey, E.M., Gersell, D.J., Walker, A.N. (1991). Small cell neuroendocrine carcinoma of the cervix. A human papillomavirus type-18 associated cancer. Am J Surg Pathol, 15: 28-32.Viswanathan, A.N., Deavers, M.T., Jhingran, A., Ramirez, P.T., Levenback, C., Eifel, P.J. (2004). Small cell neuroendocrine carcinoma of teh uterine cervix: outcome and patterns of recurrence. Gynecologic Oncology, 93: 27-33.Wang, K.L., et all. (2012). Primary treatment and prognostic factors of small cell neuroendocrine carcinoma of the uterine: A Taiwanese Gynecologic Oncology Group study. European Journal of Cancer, 48; 1484-1494.Wiebea, E., Denny, L., Thomas, G. (2012). Cancer of the cervix uteri. International Journal of Gynecology & Obstetrics, 119; 100109.Wistuba, I.I., Thomas, B., Behrens, C., Onuki, N., Linberg, G., Albores-Saavedra, J., Gatzar, A.F. (1999). Moleculer abnormalities associated with endocrine tumors of the uterine cervix. Gynecologic Oncology, 71: 3-9.Yoseph, B., Chi, M., Truskinovsky, A.M., Dudek, A.Z. ( 2012). Large-cell neuroendocrine carcinoma of the cervix. Rare Tumors, 4:e18. Zivanovic, O., Leitao Jr, M.M., Park, K.J., Zhao, H., Diaz, J.P., Konner, J., Alektiar, A., Chi, D.S., Abi-Rustum, N.R., Aghajanian, C. (2009). Small cell neuroendocrine carcinoma of the cervix: Analysis of outcome, recurrence pattern and the impact of platinum-based combination chemotherapy. Gynecology Oncology, 112; 590-593.