65

Cholesterol, Cardiovascular Diseases

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Article on cholesterol, hypercholesterolemia, and treatment

Citation preview

Page 1: Cholesterol, Cardiovascular Diseases
Page 2: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

CCeerrmmiinn

DDuunniiaa KKeeddookktteerraann

International Standard Serial Number: 0125 – 913X 1

Kardiovasku April 19

1997

R(

Karya Sriwido

16lar97

Daftar Isi : 2. Editorial 4. English Summary

Artikel

5. Cholesterol, Hypercholesterolemia and the Drugs Against It - a review - Abraham Simatupang

13. Pengaruh Doxazosin terhadap Lemak Darah - Delvac Oceandy

16. Penatalaksanaan Komplikasi Kardiovaskular pada Hiper-tensi - Budi Susetyo Pikir

22. Nyeri Dada dan Makna Klinisnya - Edi Sugiyanto

auvolfia Serpentina (L) Pule Pandak) 25. Demam Rematik - Bambang Kisworo

29. Efek Ramuan Buah Mengkudu dan Daun Kumis Kucing untuk Menurunkan Tekanan Darah pada Penderita Hiper tensi - Lestari Handayani, Didik Budijanto

33. Afasia dengan Lesi di Striatum Kiri (Afasia Subkorteks) - A. Munandar

42. Pengaturan Tidur Pekerja Shift - Sudjoko Kuswadji 49. Radikal Bebas pada Eritrosit dan Lekosit - Jensen Lautan 53. Tanaman Obat untuk Diabetes Mellitus - Lucie Widowali,

B.Dzulkarnain, Sa‘roni 61. Pengalaman Praktek 62. Abstrak 64. RPPIK

do WS

Page 3: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

Penelitian demografis menunjukkan bahwa dengan makin berge-sernya pola kehidupan masyarakat ke arah masyarakat industri masalah kesehatan juga mengalami perubahan dengan makin be- sarnya masalah kelainan metabolik dan degeneratif

Topik bahasan kali ini sebenarnya agak beragam, meskipun se-bagian besar mengenai masalah kardiovaskular dan faktor-faktor yang berperan di dalamnya.

Masalah lain yang ikut melengkapi berkisar pada penyakit metabolik lainnya seperti osteoartritis dan diabetes mellitus; selain itu juga masalah afasia dan radikal bebas ikut pula disinggung, di samping masalah pengaturan tidur bagi para pekerja yang penting diperhati- kan agar produktivitas tetap terjaga.

Para pembaca juga dapat mengambil manfaat dengan memper-hatikan bahwa salah satu karangan yang diterbitkan kali ini menggu-nakan bahasa Inggris yang baik.

Selamat membaca,

Redaksi

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 2

Page 4: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

CCeerrmmiinn DDuunniiaa KKeeddookktteerraann

1997

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

REDAKSI KEHORMATAN

– Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro

Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Prof. Drg. Siti Wuryan A. Prayitno SKM, MScD, PhD.

Bagian Periodontologi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta

– Prof. DR. Hendro Kusnoto Drg.,Sp.Ort Laboratorium Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, Jakarta

– Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soe-

darmo Staf Ahli Menteri Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

– Prof. DR. B. Chandra Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.

– Prof. Dr. R. Budhi Darmojo Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

– DR. Arini Setiawati

Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,

DEWAN REDAKSI

KETUA PENGARAH Prof. Dr Oen L.H. MSc

KETUA PENYUNTING Dr Budi Riyanto W

PEMIMPIN USAHA Rohalbani Robi

PELAKSANA Sriwidodo WS

TATA USAHA Sigit Hardiantoro

ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510, P.O. Box 3117 Jkt. Telp. 4208171 NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976

PENERBIT Grup PT Kalbe Farma

PENCETAK PT Temprint

– Dr. B. Setiawan Ph.D

- Prof. Dr. Sjahbanar Soebianto

Zahir MSc.

PETUNJUK UNTUK PENULIS

Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang-bidang tersebut.

Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau di-bacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.

Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus di-sertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pem-baca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut.

Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) penga-rang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor

sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk meng-hindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh: Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mecha-nisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.

Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, JI. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O. Box 3117 Jakarta. Telp. 4208171/4216223

Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis.

Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 3

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis.

Page 5: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

English Summary CHOLESTEROL, HYPERCHOLES- TEROLEMIA AND THE DRUGS AGAINST IT. A REVIEW.

Abraham Simatupang Department of Pharmacology- School of Medicine Christian University of Indonesia. Jakarta, Indonesia

Lipoproteins (macromolecular complexes of lipid and proteins) transport lipids and cholesterol through the blood stream. Such a transport system is essential to life since these lipid materials are needed for cell growth, hormone production and transmembrane transport. However, an excess of one important class of lipopro- teins known as low density lipo- protein (LDL) increases the risk of ischaemic heart disease.

Body cholesterol is derived from two sources, namely, (1) endogenous, obtained from synthesis, which occurs mainly in the liver with the help of an key enzyme HMG-CoA reductase. and (2) dietary cholesterol absorbed from the intestine. Cholesterol are degraded to bile acids, a process which is cata- lysed with 7α-hydroxylase, or it will be secreted as cholesterol by biliary secretion and faecal loss.

National Education Program Coordinating Committee classi- fies serum cholesterol level ≤ 200 mg/dL as “desirable blood cho- lesterol”, 200-239 mg/dL as “borderline high blood choles- terol”, and above 240 mg/dL as

“high blood cholesterol”. The diet therapy is still the first attempt that people should consider in reducing hypercholesterolemia. The dietary therapy should con- sistof at least 4 principles,namely (1) reduction of fat intake, maxi- mum up to 30% of total intake of calory by reducing the intake of saturated fatty acids to ≤ 10% of total energy, (2) increasing dietary intake of mono and poly- unsaturated fats. Ten to 15% per- cent of consumed energy should be supplied in form of mono- and 7 to 10% of polyunsaturated fats, (3) increasing dietary intake of complex carbohydrates and fiber, (4) reduction of cholesterol intake (≤ 300 mg/day). Patients who do not respond appropria- tely to dietary therapy should be given lipid-lowering drugs. In making the decision to start drug therapy, it should be considered that the treatment will probably be a life-long therapy. A wide range of lipid-lowering drugs are available nowadays.

Cholestyramine and colestippl which belong to bile-acid se- questrant resins bind bile acids in the intestinelandireduce their enterohepatic circulation there- by stimulating their faecal loss. Nicotinic acid inhibits, by un- known mechanism, the produc- tion of VLDL particles from the liver, leading to low VLDL-trigly- ceride. concentrations and low levels of LDL-C in serum. This drug

increases also HDL-C. Estrogen is nowadays administered either as adjunction or as main therapy to the postmenopausal women. while the risk of CHD is increased due to sinking level of estrogen in the body.

Recently, a group of lipid- lowering drugs called statins had been proven to show a promising effect either through small group or population-based studies. These drugs compefitively inhibit HMG-CoA reductase, the rate limiting enzyme in the biosynthe- sis of cholesterol leading to increased expression of LDL re- ceptors. However, the mecha- nism of action of these drugs is more complex than the original concept. Pravastatin, simvastatin and fluvastatin are now available in the dispensaries. Pravastatin, which is more hydrophilic than simvastatin and fluvastatin, is Implied more selective than the latter. It can be suggested, there- fore, that pravastatin also reduces the synthesis of cholesterol in extra hepatic tissues.

With the availability of new pharmacological agents, an effective treatment of the common forms of hyperlipo- proteinemia is now possible,

Cermin Dunia Kedokt. 1997; 116:5-12 As

(Bersambung ke halaman 32 dan 61)

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 4

Page 6: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

Artikel TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Cholesterol, Hypercholesterolemia and the Drugs Against It

- a review

Abraham Simatupang Department of Pharmacology-School of Medicine Christian University of Indonesia, Jakarta, Indonesia

INTRODUCTION Hypercholesterolemia and cardiovascular disease

There is now an overwhelming evidence to support a link between serum cholesterol, particularly low-density lipoprotein (LDL) cholesterol, and the development of coronary heart disease (CHD). The Multiple Risk Factor Intervention Trial (MRFIT), a population-based study, has demonstrated a curvilinear relation- ship between serum cholesterol and ischemic heart disease in 361,362 men, which covered all levels of serum cholesterol(1). Large-scale intervention studies with lipid lowering drugs such as the Helsinki Heart Study(2), the Lipid Research Clinics Coro- nary Primary Prevention Trial. (LRC-CPPT)(3). and the West of Scotland Coronary Prevention Study Group(4) have shown that reduction in serum cholesterol is associated with a reduced incidence of coronary heart disease. A major conclusion from the LRC-CPPT was that a 1% reduction in total cholesterol confers to a 2% lowering of CHD risk. These primary prevention studies are complemented by more recent data from secondary pre- vention trials(5,6). These studies confirmed that serum cholesterol lowering therapy with drugs improve the- survival rates in pa- tients with CHD and two or more additional risk factors(7). Thus, on the basis of these results, there is now a strong evidence for serum cholesterol lowering intervention, both at the population level (diet) and in individual subjects at high risk (drugs). 1. Hypercholesterolemia

According to the guidelines of the National Education Pro-gram Coordinating Committee(8), serum cholesterol levels <200 mg/dL are classified as “desirable blood cholesterol,” those between 200 and 239 mg/dL as “borderline-high blood choleste- rol,” and those above 240 mg/dL as “high blood chofesterol.” A high density lipoprotein (HDL) cholesterol level < 35 mg/dL is defined as “low.” (Table 1.1.).

Table 1.1. Initial Classification Based on Total Cholesterol and HDL Cholesterol(8)

Level Classification

Total cholesterol < 200 mg/dL Desirable blood cholesterol

200 to 239 mg/dL ≥ 240 mg/dL

Borderline-high blood cholesterol High blood cholesterol

HDL cholesterol < 35 mg/dL Low HDL cholesterol

BIOSYNTHESIS AND DEGRADATION OF CHOLESTE- ROL

Cholesterol is a diffused component in human body. It is essential for cell growth and it provides the basic source for steroid hormone production. It is an essential component of most cell membranes of the body, providing stability, fluidity, and allowing transmembrane transport. It also plays an important role in the transport of triglycerides in the serum being an essential componen of serum lipoproteins(9,10,11).

Body cholesterol is derived from two sources: (I) Endo- genous cholesterol derived from synthesis and (2) Dietary cho- lesterol absorbed from the intestine. Cholesterol is synthesized de novo from acetyl-CoA by a variety of different tissues within the body, however most of the syntheses take place in the liver and the intestine. All cholesterol is derived ultimately from acetate. Three molecules of the latter are condensed to produce 3-hydroxy-3-methylglutaryl coenzyme A (HMG-CoA), which in turn is converted to mevalonic acid in the rate-limiting step through the action of the key enzyme HMG-CoA reductase. Through a series of condensations and rearrangements, mevalonic acid is converted into cholesterol (Figure 1.1). In the liver, cholesterol is partially degraded, into the primary bile acids, cholic acid and chenodeoxycholic acid (Figure 2.1). The con- version is catalyzed by the key enzyme of bile acid synthesis,

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 5

Page 7: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

cholesterol 7α-hydroxylase(12,13). The bile acids help in removal of cholesterol from the body by their fecal excretion and to cholesterol solubilization in bile, the major route of cholesterol excretion. On the other hand, bile acids are necessary for intestinal cholesterol absorption. Thus, there are only two major pathways to remove cholesterol from the body. First, as cholesterol itself by

biliary secretion (600-1200 mg/day) and fecal loss (400-100mg/ day) or by converting to bile acids, which are also excreted via feces (200-500mg/day). Losses via the skin or as steroid hormones are of minor importance (less than 2% of total loss). Lipoproteins and cholesterol transport

Cholesterol is a highly water insoluble substance and must

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 6

Page 8: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

Figure 2.1. Degradation of cholesterol to bile acids be transported in molecular complexes called lipoproteins. These particles contain both lipids and proteins (apolipoproteins or apoproteins). Lipoproteins contain a core of neutral lipids con- sisting of cholesterol esters and triglycerides, a surface coat of more polar lipids, unesterified cholesterol, phospholipids, and apoproteins. Apoproteins are classified either according to their molecular weights or their presence in lipoproteins (see also Table 2.1. and Table 2.2.).

Table 2.1. Characteristics of human apoprotein B’s, A’s and C’s

Apoproteins Molecular weight (daltons) Sources Lipoproteins

Apoprotein B B-48

264,000 Intestine Chylomicrons

B-100 550,000 Liver VLDL, IDL, LDL Apoprotein A A-I

28,000 Intestine, Liver HDL, chylomicrons

A-II 17,000 Intestine, Liver HDL, chylomicrons A-IV 46,000 Intestine HDL, chylomicrons Apoprotein C C-I

5,800 Liver, Intestine Chylomicrons, VLDL,

C-II 9,100 Liver, Intestine IDL, HDL Chylomicrons, VLDL,

C-Ill 8,750 Liver, Intestine IDL, HDL' Chylomicrons, VLDL,

IDL, HDL

Table 2.2. Characteristics of human apoprotein E’S

Molecular weight(daltons)

Position 112

Position 158 Sources Lipoproteins

E 2 35,000 Cys Cys Liver Chylomicrons, E 3 35,000 Cys Arg Liver VLDL, IDL, HDL

Chylomicrons, E-4 35,000 Arg Arg Liver VLDL, IDL, HDL

Chylomicrons, VLDL, IDL, HDL

Dietary cholesterol is transported from the intestinal mucosa

through the lymphatic system to the systemic circulation. This cholesterol is carried in chylomicrons mainly as cholesteryl esters synthesized by acyl-CoA-acyl-transferase (ACAT) in the mucosal cells. These are carried in the core of chylomicron particles together with dietary triglycerides (TG). With the action of lipoprotein lipase, most of the triglycerides are removed mainly in adipose tissues and muscles. The remaining cholesteryl esters are taken up by the liver in chylomicron remnant, via endo- cytosis(10,14).

The major lipoprotein produced by the liver is the very low- density lipoprotein (VLDL). The lipid components of the non- polar core of VLDL are triglycerides but cholesterol esters are also present. Apoproteins C-II and C-III and cholesterol ester, also probably apo E are added from HDL. Mature VLDL inter- acts with lipoprotein lipase on the surface of capillary endothelial cells, and fatty acids are released into the circulation and some of them are transferred to HDL. VLDL remnants are taken up by the same receptor as LDL in the liver. The rest of the VLDL remnants are converted to LDL via Intermediary-density lipoproteins (IDL). LDL carry about two-thirds of the plasma cholesterol in plasma of normolipidemic individuals(15,16). Since elevating of total and LDL-cholesterol are the major risk factors for deve- loping CHD, serum total cholesterol concentrations should be measured in all subjects at age 28 years and thereafter at least every 5 years. THERAPY OF HYPERCHOLESTEROLEMIA

Considering potential genetic and secondary causes of hyper- lipidemia, an evaluation of all cardiac risk factors is most impor- tant in establishing a case for treatment in any individual patients. Dietary therapy of hypercholesterolemia

The main objective of dietary theiapy is to achieve the target of a suitable LDL cholesterol without the need for drugs. The use of hypolipidemic drugs should not be taken into consideration unless the dietary therapy had no sufficient effect on lowering serum cholesterol. It is well known that the American and Western European diet cause hypercholesterolemia in susceptible individuals by affecting both the synthesis and secretion of lipids into the plasma and the removal of lipids from the plasma.

The major dietary factors that should be considered include the following(17) : • Hyperlipidemic dietary factors:

– dietary cholesterol – saturated fat

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 7

Page 9: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

– trans fatty acid – total fat – alcohol (in some individuals) • Hypolipodemic dietary factors:

– polyunsaturated fat: omega-6-rich vegetable oils omega-3- fish and fish oils – monounsaturated fat – soluble fibers (pectin, guar gum) – carbohydrate as starches replacing fat – possibly vegetable protein, or other substances from vegetables • Dietary factors with no discrete long-term effects :

– protein generally – vitamins and minerals – lecithin The dietary therapy should consist of at least four prin- ciples(18), namely : 1) Reduction of fat intake, maximum up to 30% of total intake of calory by reducing the intake of saturated fatty acids to ≤ 10% of total energy. 2) Increase in dietary intake of mono and polyunsaturated fats. Ten to 15% percent of consumed energy should be supplied in form of mono-, and 7 to 10% of polyunsaturated fats. 3) Increase in dietary intake of complex carbohydrates and fiber. 4) Reduction of cholesterol intake (< 300 mg/day).

The dietary therapy should last at least 3 months, after that the cholesterol levels should be reassessed again and if they do not meet the expected goals (see Table 1.4), the addition of lipidlowering drugs should be considered. However, the full benefit of these drugs will not be achieved unless the dietary therapy is continued. The average reduction of cholesterol level only with dietary therapy is 12%(19-22).

Table 3.1. Dietary treatment decisions based on LDL-cholesterol

Initiation Level LDL Goal

Without CHD and <_ 2 risk factors ≥ 160 mg/dL < 160 mg/dL Without CHD and a 2 risk factors ≥ 130 mg/dL < 130 mg/dL With CHD > 100 mg/dL ≤ 100 mg/dL

Drug therapy of hypercholesterolemia Patients who showed no response to dietary therapy and

patients with severe hypercholesterolemia or with high risk for CHD from other causes may be justified to be given drug therapy. For primary prevention, drug treatment should be considered for an adult patient, who despite dietary therapy, has an LDL cholesterol level of ≥ 190 mg/dL without two other risk factors or ≥ 160 mg/dL with two or more other risk factors. The goals of drug therapy are the same as those of dietary therapy: to lower LDL cholesterol to < 160 mg/dL or to < 130 mg/dL if two other or more risk factors are present. (See also Table 3.2). In the past decade, major advances have been made in the treatment of hypercholesterolemia with drugs.

In making the decision to start drug therapy, it should be considered that the treatment will probably be a life-long therapy. The present available drugs are briefly described below and

Table 3.2. Primary and Secondary Prevention Guidelines

LDL Cholesterol Primary Prevention Guidelines Level for drug

consideration Goal of therapy

Without two or more other risk factors* With two or more other risk factors

≥ 190 mg/dL ≥ 160 mg/dL

< 160 mg/dL < 130 mg/dL

Secondary Prevention Guidelines Initiation Level Target Level

130 mg/dL <_ 100 mg/dL

* Risk factors Age ; men ≥ 45 years and women ≥ 55 years or premature menopause without estrogen replacement therapy; family history of prema- ture CHD (definite myocardial infarction or sudden death before 55 years of age in father or other male first-degree relative, or before 65 years of age in mother or other female first-degree relative, current cigarette smoking, hypertension (≥ 140/90 mmHg or on antihypertensive medication), MDL- cholesterol < 35 mg/dL, and diabetes mellitus.

HMG-CoA reductase inhibitors will be discussed further in the following sub-chapters. • Bile acid sequestrant resins are anion-ex resins\which bind bile acids in the intestine and reduce their entero-hepatic circulation thereby stimulating their fecal loss. As a consequence, thore cholesterol in the liver is converted to bile acids and the synthesis of hepatic LDL receptors to enhance cholesterol uptake by the liver is stimulated. These drugs are used for patients with hypercholesterolemia who have normal triglyceride levels. LDL- cholesterol levels are reduced approximately 20-30%, with no significant change in HDL-cholesterol levels and sometimes a rise in VLDL and serum triglycerides(23). Cholestyramine and colestipol belong to this group of compounds. • Fibric acid derivatives, such as gemfibrozil, fenofibrate, bezafibrate and clofibrate are usually prescribed for patients with hypertriglyceridemia, but they can also reduce LDL-cholesterol levels in patients without hypertriglyceridemia and also rise serum HDL-cholesterol levels in möstof the patients, between 10 to 25%. The mechanism of action of these drugs has been attributed to two actions. First, in interferring with the synthesis of VLDL-triglycerides in the liver, and second, the drugs appear to increase the activity of lipoprotein lipase(10). In patients with primary hypercholesterolemia, decreases in LDL-cholesterol in the range of 10 to 15% could be shown. • Nicotinic acids, given in a high dose, produce a significant reduction in serum cholesterol aid triglycerides levels. Nicotinic acid inhibits, by unknown mechanism, the production of lipopro- teins by the liver. The secretion of VLDL particles from the liver to the circulation is decreased, leading to a lowering of VLDL- triglyceride concentrations and low levels of LDL-cholesterol in serum. Reductions in serum LDL-cholesterol in the range of 15 to 25% are typical. As a secondary action, this drug increases also HDL-cholesterol. • Hormonal therapy. In postmenopausal women the risk of CHD is increased, whether the menopause is natural, surgical or premature(24). This increase in risk may be related to loss of estrogens after the menopause. Estrogen has an effect on lipopro- tein levels as well as other additive effcts on the arterial wall(25-27).

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 8

Page 10: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

HMG-CoA reductase inhibitors Endo et al (1988) discovered the prototype of HMG-CoA

reductase inhibitors (mevastatin), formerly called compactin, in extracts of Penicillium citrinum(28). This drug markedly reduced serum cholesterol levels in dogs (Kuroda et al. 1979) and in human with hypercholesterolemia as well(29,30). There are at least four drugs, namely lovastatin, pravastatin, simvastatin, and a newly synthetic drug called fluvas tatin which are now available in the market. 1 Mechanism ofaction of the HMG-CoA reductase inhibitors

These drugs competetively inhibit HMG-CoA reductase, the rate limiting enzyme in the biosynthesis of cholesterol leading to increased expression of LDL receptors on the surface of the liver and, in turn, to greater clearance of cholesterol from the plasma. HMG-CoA reductase inhibitors interfere with choles- terol synthesis at an early key rate-limiting step the reductive transformation of HMG-CoA to mevalonate, catalyzed by HMG- CoA reductase However, the mechanism of action of the HMG-CoA reductase(9,31). inhibitors is more cctmplex than the original proposal of inhibition of cholesterol synthesis with upregulation of the LDL receptors and increased catabolism of LDL and other

apoB containing lipoproteins(32). After 15 months therapy with lovastatin, the serum cholesterol deliberately decreased but no reduction in body cholesterol pools or in whole-body cholesterol synthesis(33) could be seen. (see Figure 3.1). The hepatic synthesis of apoB and the rate of entry of apoB-containing lipoproteins into the plasma may be decreased(34,35).

The brancing pathways following mevalonate are important for synthesis of dolichols and ubiquinones. Until recently, there had been no evidence that these pathways were disturbed to any clinical significant extent by HMG-CoA reductase inhibitors. Because of its effects on LDL-receptor mediated lipoprotein catabolism HMG-CoA reductase inhibitors would be expected to be of less benefit in patients with homozygous familial hyper-cholesterolemia who have few, if any, functional LDL receptors. 2. Clinical pharmacology

Lovastatin, pravastatin and simvastatin are very similar in structure, however simvastatin and lovastatin are strikingly lipo-philic and need enzymatic conversion from the lactone to the openring forms, whereas pravastatin is hydrophilic.

Figure 3.1. Effects of the HMG-CoA reductase inhibitors on the basic pathways of lipoprotein. HMGRI = HMG-CoA reductase inhibitors (Adapted from Cholesterol and atherosclerosis: diagnosis and treatment, Grundy 1990)

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 9

Page 11: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

2.1. Simvastatin

Figure 3.2. Structures of simvastatin (prodrug and active β-hydroxy acid form).

Simvastatin is a methyl analogue of lovastatin and is synthe-

sized from a fermentation product of Aspergillus terreus(37). Simvastatin is a prodrug which undergoes rapid hydrolysis after absorption (Figure 3.2.). The major metabolite, β-hydroxyacid simvastatin, is the most potent with respect to HMG-CoA re-ductase inhibition. Data from animal studies suggest that circa 61 to 85% of a dose of simvastati.n is absorbed from the intestine(37). Simvastatin is extensively metabolized by the liver through the cytochrome P450 system(38) and mostly secreted into bile and eliminated with the feces. After i,v. injection of radiolabelled simvastatin, 13% of the radioactivity was collected in the urine and 58% in the feces in humans. Very little unchanged sim-vastatin or simvastatin acid is found in the feces. The half-life of simvastatin acid is 1.9 h and total body clearance is 31.8 L/h. Pentikainen and coworkers (1992) reported that peak enzyme inhibition in 12 healthy male volunteers occured 2.5 h after receiving a single oral 40 mg dose(39). Both simvastatin and β- hydroxyacid-simvastatin are > 95% protein bound in human plasma. Germershausen et al. (1989) demonstrated that concen-trations of radiolabelled simvastatin and lovastatin were 50% higher than that of pravastatin in rats liver tissue during the 24 hours after drug administration, and were 3 to 6 times lower than pravastatin in kidney, spleen, testes, adrenals and stomach(40). This suggests that simvastatin is more selective than pravastatin for the liver. However, there was no difference of change of the ratio of lathosterol, one of cholesterol precursors in blood, either after pravastatin or simvastatin(41). Therefore it can be suggested that simvastatin also reduces the synthesis of cholesterolin extra hepatic tissues.

Simvastatin was usually administered as a single daily dose,

or in divided doses twice daily. At maximal effective therapeutic dosages, simvastatin reduces total cholesterol, LDL-cholesterol and triglycerides by 30 to 35%, 35 to 45%, and 20 to 40%, respectively, and increases HDL-cholesterol to 5-15%(42) (Todd and Goa 1990). 2.2 Pravastatin

The drug is produced by microbial transformation of mevastatin (ML-236 B, compactin) in a hydroxylation process catalysed by a soluble cytochrome P450(43). Unlike other HMG-CoA reductase inhibitors such as lovastatin and simvastatin, which are administered as prodrugs, pravastatin has been developed for administration as the sodium salt of the active compound (Figure 3.3.).

In many in vitro studies, it has been shown that pravastatin is more selective than the others HMG-CoA reductase inhibitors because it has much higher activity in freshly isolated rat hepato-cytes than in cells from nonhepatic tissues(44). These differences have been attributed to the structural-pharmacological actions of pravastatin. Pravastatin would be taken up by hepatocytes by a carrier-mediated transport process that is notpresent in peripheral cells(45). Therefore, the uptake of pravastatin in peripheral tissues would be minimal compared with that of the highly lipophilic simvastatin and lovastatin. Absolute average bioavailability of the parent drug averaged 17% based on urinary excretion data(46). Incomplete absorption (about 34% of radiolabelled drug has been estimated from comparison of the cumulative 0 to 96-hour urinary excretion ofradioactivity) and a "first-pass" effect followed by biliary excretion have been suggested as explanations of. the low systemic availability of the drug+. Triscari et al. (1995) found that duodenum was the greatest locus for bioavailability of

Page 12: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

Figure 3.3. Structural formula of pravastatin pavastatin(48). The estimated hepatic extraction ratio was 0.66. The estimated mean plasma elimination half-life was 0.8 h and 1.8 h for the intra-venous and oral administration, respectively(46). The volume distribution at steady state (Vdss) was approximately 351 or 0.51/kg. Peak blood levels of pravastatin after oral admi-nistration were reached at approximately 1 h. No accumulation was found either in healthy subjects or in patients(49,50). Pra-vastatin appears not to induce hepatic drug-metabolizing enzymes(51). Pravastatin showed also a dose-dependent effect on total-cholesterol, LDL-C, apoB and triglycerides levels(49,52). Many clinical studies with pravastatin showed a total cholesterol, LDL-cholesterol, and triglycerides reduction in 20 to 29%, 23 to 37%, and 9-25%, respectively, and increase of HDL-cholesterol to 4-18%(53,54,55). CONCLUSION

It has been shown that high concentration of cholesterol esponsibles in promoting the cascade reactions of atherosclero-sis which is liable to the arteriovascular diseases. Diet therapy and weight reducing should be taken as a first attempt to lower the level of blood cholesterol. An array of cholesterol lowering drugs are also available nowadays which should be prescribed if the diet therapy failed. Most of the drugs act effectively, however, statins, an HMG-CoA reductase enzyme inhibitor, reduces the cholesterol level more deliberately and it has been shown to improve the survival rates in patients with CHD.

REFERENCES 1. tamler J, Wentworth D, Neaton JD. Prevalence and prognostic signifi-

cance of hypercholesterolemia in men with hypertension. Prospective data on the primary screenees of the Multiple Risk Factor Intervention Trial. Am. J. Med., 1986; 80: 33-39.

2. Frick MH, Elo O, Haapa K, Heinonen OP. Heinsalmi P, Helo P, Huttunen JK, Kaitaniemi P. Koskinen P. Manninen V. et al. Helsinki Heart Study: rimary-prevention trial with gemfibrozil in middle-aged men with dyslipi demia. Safety of treatment, changes in risk factors, and incidence of coronary heart disease. N. EngI. J. Med., 1987; 317: 1237-1245.

3. RC-CPPT. The Lipid Research Clinics Coronary Primary Prevention Trial results. I. Reduction in incidence of coronary heart disease. J. Amer. Med. Assoc., 1984; 251: 351-364.

4. Shepherd J, Cobbe SM, Ford I, Isles CG, Lorimer AR, Macfarlane PW, McKillop JH, and Packard Ci. Prevention of coronary heart disease with pravastatin in men with hypercholesterolemia. N. Engl. J. Med., 1995:333: 1301-1307.

5. Anonym. Randomised trial of cholesterol lowering in 4444 patient.s with coronary heart disease: the Scandinavian Simvastatin Survival Study (4). Lancet. 1994; 344: 1383-1389.

6. The Pravastatin Multinational Study Group for Cardiac Risk Patients. Effects of pravastatin in patients with serum total cholesterol levels from 5.2 to 7.8 mmolliter (200 to 300 mg/dl) plus two additional atherosclerotic risk factors. Am. J. Cardiol., 1933; 72: 103 1-1037.

7. Oliver MF. Statins prevent coronary heart disease. Lancet. 1995; 346: 1378- 1379.

8. NCEP (National Cholesterol Education Program). Detection, evaluation, and treatment of hig blood cholesterol in adults (Adult treatment panel II). Circulation. 1994; 89: 1329-1445.

9. Grundy SM. HMG-CoA reducta.se inhibitors for treatment of hyper cholesterolemia. N EngI. J. Med., 1988; 319: 24-33.

10. Grundy SM. Cholesterol and atherosclerosis: diagnosis and treatment. New York: Gower Medical Pub!., 1990.

11. SirtoriCR. Tissue selectivityofhydroxymethylglutaryl coenzyme A (HMG CoA) reductase inhibitors. Pharmacol. Ther., 1993; 60: 43 1-459.

12. Myant NB, Mitopoulos KA. Cholesterol 7a-hydroxylase. J. Lipid Res., 1977; 18: 135-153. -

13. Wikvall K. Conversion of cholesterol into bile acids. Current Op. Lipidol., 1990; 1: 248-254.

14. Havel RJ. Cholesterol transport in lipoproteins. Atheroscler. Rev,, 1991; 23: 1-7.

15. Eisenberg S. Metabolism of apolipoproteins and lipoproteins. Current Op. Lipidol., 1990; 1: 205-215.

16. Shepherd J. Lipoprotein metabolism. An overview. Drugs. 1994; 47 (Suppl.): 1-10.

17. Connor WE, Connor SL. The dietary therapy of hyperlipidemia: 1st impor- tant role in the prevention of coronary heart disease. In: Schettler G and Habenicht AiR, Ed. Principles and treatment of lipoprotein disorders. Berlin: Springer-Verlag, 1994: 247-275.

18. Assmann G and Schulte H. Identification of individuals at high risk for myocardial infarction. Atherosclerosis, 1994: 110 (Suppl.): SI l-S21.

19. Caggiula AW. Optimal nutritional therapy in treatment of hyperlipo proteinemias. Arteriosclerosis. 1989; 9(1 Suppl): 1106-Il 10.

20. Clifton PM, Noakes M, and Nestel PJ. Gender and diet interactions with simvastatin treatment. Atherosclerosis, 1994; 110: 25-33.

21. McNamara Di. Dietary cholesterol and the optimal diet for reducing risk of atherosclerosis. Can. J. Cardiol., 1995; II (Suppl G): 123G-l26G.

22. Ramsay LE, Yeo WW, Jackson PR. Dietary reduction of serum cholesterol concentration: time to think again. Br. Med. J., 1991; 303: 953-957.

23. Florkowski CM and Cramb R. Approache to the management of hyper cholesterolaemia. J. Clin. Pharm. Therapeut.. 1992; 17: 8 1-89.

24. Kafonek SD. Postmenopausal hormone replacement therapy and cardio vascular risk reductioa. A review. Drugs, 1994; 47 (Suppl. 2): 16-24.

25. Fahraeus L, Sydsjo A. Wallentin L. Lipoprotein changes during treatment of pelvic endometriosis with medroxyprogesterone acetate. Fertil. Steril.. 1986; 45: 503-506.

26. Schwartz J, Freeman R, Frishi W. Clinical pharmacology of estrogens: cardiovascular actions and cardioprotective benefits of replacement ther- apy in postnenopausal women. i. Clin. Pharmacol., 1995; 35: 1-16.

27. Wagner JD. Clarkson TB, St Clair RW. et al. Estrogen and progesterone replacement therapy reduces low density lipoprotein accumulation in the coronary arteries of surgically postmenopausal cynomolgus monkeys. I. Clin. Invest., 1991; 88: 1954-2002.

28. Endo A. Chemistry, biochemistry, and pharmacology of HMG-CoA

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 11

Page 13: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

reductase inhibitors. Kim. Wochenschr., 1988; 66: 421-427. 29. Yamamoto A, Sudo I-I. Endo A. Therapeutic effects of ML-236B in

primary hyper-cholesterolemia. Atherosclerosis. 1980; 35: 259-266. 30. Mabuchi H and Takeda R. Inhibitors of 3-hydroxy-3-methylglutaryl co-

enzyme A (HMG-CoA) reductase: compactin and 1st analogues. In: Fears P (Ed.), Pharmacological control of hyperlipidemia, J.R. Prous Scientific Publ., Barcelona, 1986: 25 1-266.

31. Slater EE and MacDonald J. Mechanism of action and biological profile of HMG-CoA reductase inhibitors. A new therapeutic alternative. Drugs. 1988; 36 (Suppl.): 72-82.

32. Hunninghake DB. HMG-CoA reductase inhibitors. Current. Op. Lipidol.. 1992; 3: 22-28.

33. Goldberg Ii, Holleran S. Ramakrishnan R, Adams M, Palmer RH, Deli RB, and Goodman DS. Lack of effect of lovastatin therapy on the parameters of whole-body cholesterol metabolism. J. Clin. Invest., 1990; 86: 80 1-808.

34. Parhofer KG, Barret PHR, Dunn J, and Schonfeld G. Effect of pravastatin on metabolic parameters of apolipoprotein B in patients with mixed hyperlipoproteinemia. Clin. Investig.. 1993; 71: 939-946.

35. Vega GL, Krauss RM, and Grundy SM. Pravastatin therapy in primary moderate hypercholesterolaemia : changes in metabolism ofapolipoprotein B-containing lipoproteins. J. Intern. Med.. 1990; 227: 8 1-94.

36. Hoffrnann WF, Alberts AW. Anderson PS, Chen iS, Smith RL, et al. 3- hydroxy-3-methylglutaryl coenzyme A reductase inhibitors: 4. Side chain ester derivatives of mevinolin. J. Medicinal Chem., 1986; 29: 839-852.

37. Vickers S, Duncan CA, Vyas KP, et al. In vitro and in vivo biotransforma tion of simvastatin, an inhibitor of HMG-CoA reductase. Drug Metab. Dispos. 1990., 1990; 18: 476-483.

38. Vyas KP, Kari PH, Pitzenberger SM. Regioselectivity and stereoselectivity in the metabolism of HMG-CoA reductase inhibitors. Biochim. Biophys. Res. Commun., 1990; 166: 1152-1162.

39. Pentikainen PJ, Saraheimo M, Schwartz JI, Amin RD. Schwartz MS. Brunner-Ferber F, Rogers JD. Comparative pharmacokinetics of lovas- tatin. simvitstatin and pravastatin in humans. J Clin Pharmacol..,l992; 32: 136–40.

40. Gemershausen JI, Hunt VM, Bostedor RG, Bailey P1, Karkas JD, and Alberts AW. Tissue selectivity of the cholesterol-lowering agents lova- statin, simvastatin and pravastatin in rats in vivo. Biochem. Biophysic. Res. Comm., 1989; 158: 667-675.

41. Simatupang A. Comparison of the influences of simvastatin and prava.sta tin, both HMG-CoA reductase inhibitors, on lipoprotein concentrations. serum non-cholesterol .sterols, and cholesterol synthesis in patients with primary hypercholesterolemia. 1996. A Ph.D. dissertation issued at Rheinische-Friedrich-Wilhems-University of Bonn, Germany.

42. Todd PA and Goa KL. Simvastatin. A review of its pharmacological

properties and therapeutic potential in hypercholesterolemia. Drugs. 1990; 40: 583-607.

43. Arai M, Serizawa N, Terahara A, Tsujita Y, Tanaka M, et al. Pravastatin sodium (CS-S 14), a novel cholesterol-lowering agent which inhibits HMG CoA reductase. Ann. Report Sankyo Res. Lab., 1988; 40: 1-38.

44. Tsujita Y, Kuroda M, Shimada Y, Tanzawa K, Arai M, Kaneko 1, Tanaka M, Masuda H. Tarumi C, Watanabe Y. and Fujii S. CS-S 14, a competitive inhibitor of 3-hydroxy-3-methylglutaryl coenzyme A reductase: tissue selective inhibition of sterol synthesis and hypolipidemic effect on various animal species. Biochimica et Biophysica Acta. 1986; 877: 50-60.

45. Mahoney EM, Child Ini, Smith-Monroy CA. Differential transport of pravastatin and lovastatin by hepatocytes and fibroblasts. Abstract 0023. Circulation, 1990; 82 (Suppl. III): 6.

46. Singhvi SM, Pan HY, Morrison RA, and Willard DA. Disposition of pravastatin sodium, a tissue-selective HMG-CoA reductase inhibitor, in healthy subjects. Br. J. Clin. Pharmac., 1990; 29: 239-243.

47. Sasahara K and Kawabata K. Phase I study ofCS-514, an inhibitorofHMG CoA reductase II: Pharmacokinetics oc CS-S 14 in healthy volunteers. J. Clinic. Therapeut. Medicin., 1988; 4: 45-65.

48. Triscari 1, O’Donnell D, Zinny M, Pan HY. Gastrointestinal aborption of pravastatin in healthy subjects. 1. Clin. Pharmacol., 1995; 35: 142-144.

49. Pan HY, DeVault AR. Wang-Iverson D, lvashkiv E, et al. Excretion of pravastatin, an HMG-CoA reductase inhibitor, in breast milk of lactating women. J. Clin. Pharmacol., 1990a; 28: 942.

50. Hunninghake DB, Mellies Ini, Goldberg AC, Kuo Fr, Kostis JB, Schrott HG, Insull, Jr. W, Pan HY. Efficacy and safety of pravastatin in patients with primary hypercholesteroiemia. II. Once-daily versus twice-daily dosing. Atherosclerosis. 1990a; 85: 219-227.

51. Pan HY, DeVauult AR, Swites BJ, Whigan D, Ivashkiv E. et al. Pharma cokinetics and pharmacodynamics of pravastatine alone and with choles- tyramine in hypercholesterolemia. Clin. Pharmacol. Therpeut., l990b; 48: 201-207.

52. Hunninghake DB, Knopp RH, Schonfeld G, Goldberg AC, Brown WV, et al. Efficacy and safety of pravastatin in patients with primary hyper- cholesterolemia. I. A dose-response study. Atherosclerosis. 1990b; 85: 81- 89.

53. Di Veroli and Pastorelli R. Effectiveness and tolerability of simvastatin versus pravastatin. Curr. Ther. Res., 1992; 52: 1-6.

54. Dischuneit HH, Kuhn K, and Ditschuneit H. Comparison of different HMG-CoA reductase inhibitors. Eur. 1. Clin. Pharmacol., 1991; 40 (Suppl. 1): S27-S32.

55. The European Study Group. Efficacy and tolerability of simvastatin and pravastatin in patients with primary hypercholesterolemia (Multicountry Comparative Study). Am. J. Cardiol., 1992; 70: 1281-1286.

Better go back than go wrong

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 12

Page 14: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Pengaruh Doxazosin terhadap Lemak Darah

Delvac Oceandy

Alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya

PENDAHULUAN

Doxazosin adalah obat antihipertensi golongan penyekat reseptor α. Obat ini dilaporkan mempunyai efek terapeutik yang tinggi terhadap hipertensi dan mempunyai efek yang meng- untungkan pada keseimbangan kadar lemak darah.

Telah diketahui bahwa peningkatan kadar kolesterol darah banyak dialami penderita hipertensi. Pada beberapa penelitian di Norwegia, Belanda, Selandia Baru dan Inggris, pada kurang lebih 5000 pasien hipertensi didapatkan sekitar 9l% di antaranya mengalami hiperlipidemia(1).

Hal ini semakin diperberat dengan banyaknya obat antihiper- tensi yang mempunyai efek meningkatkan kadar lemak darah seperti obat penyekat reseptor β dan diuretik(1). Lebih jauh lagi beberapa penelitian menunjukkan bahwa efek tidak diinginkan pada profil lemak darah dan suatu obat dapat meniadakan penga-ruh keadaan normotensi terhadap pencegahan penyakit jantung koroner.

Efek yang tidak diinginkan dan obat-obat antihipertensi pada lemak darah dapat menerangkan mengapa pemakaian obat anti- hipertensi tidak dapat menurunkan angka kematian akibat penya- kit jantung koroner. Meskipun dengan pengendalian hipertensi angka kematian akibat stroke bisa diturunkan sampai 38-43%, tetapi insiden penyakit jantung koroner hanya turun sebesar 8%. Pada kenyataannya kematian akibat penyakit jantung koroner masih tetap menduduki posisi pertama sebagai penyebab ke- matian penderita hipertensi. Oleh karena itu jelaslah bahwa tujuan akhir pengelolaan hipertensi seharusnya tidak hanya pada penu- runan tekanan darah saja tetapi juga pengelolaan peningkatan kadar kolesterol darah. FARMAKOLOGI

Doxazosin adalah derivat quinazoline yang struktur kimia- nya mirip dengan prazosin. Bekerja pada reseptor α1 pos sinaptik

dan menurunkan tekanan darah dengan cara mengurangi tahanan vaskular perifer tanpa mengakibatkan reflex takhikardia. Diban-dingkan dengan prazosin, doxazosin mempunyai onset aktivitas yang lebih lambat dan waktu paruh yang lebih panjang(2-4).

Rumus Bangun Doxazosin dan Prazosin

Dalam dosis 1 mg sampai 16 mg per hari doxazosin dapat diterima tubuh dengan baik, tetapi beberapa penelitian lain me- nyebutkan bahwa doxazosin efektif dalam dosis 0,5 mg sampai 4 mg sehari. Karena waktu paruhnya yang panjang, maka sebaik- nya digunakan dalam dosis satu kali sehari(5).

Indikasi pemakaian doxazosi n adalah keadaan hipertensi mulai hipertensi ringan, sedang sampai berat. Obat ini diindikasi-

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 13

Page 15: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

kan juga untuk payah jantung kongestif akibat hipertensi(6). Mekanisme kerjanya adalah dilatasi arteri dan vena perifer me- lalui penghambatan reseptor α1 aderenergik. Tidak disebutkan adanya kontra indikasi khusus dalam pemakaian obat ini.

Doxazosin dapat diserap dengan baik oleh usus. Pada pema- kaian oral hampir semua fraksi obat dapat diabsorpsi usus. Obat ini 90% terikat pada protein plasma dan mempunyai volume distribusi sebesar 1 L/kg(6-8).

Pada pemakaian oral dengan dosis sekali sehari doxazosin mencapai konsentrasi puncak dalam plasma setelah 3 sampai 4 jam. Setelah itu obat ini mengalami metabolisme di hati dan hanya 5% yang diekskresi dalam bentuk yang tak berubah. Se- dangkan bioavailabilitas obat ini adalah 65%. Ekskresi obat ini terutama melalui feses(7,8).

Di antara obat-obat penyekat reseptor α1, doxazosin mem- punyai waktu paruh terpanjang. Dari berbagai penelitian dilapor- kan bahwa waktu paruh doxazosin mencapai 22 jam sehingga efektif pada pemakaian satu kali sehari(8). EFEK SAMPING

Hipotensi postural sering terjadi pada pemakaian awal, se- hingga dianjurkan penderita sebaiknya berbaring dan diobservasi selama 2 jam pada pemakaian awal obat ini(6).

Langdon melaporkan dan 4027 penderita yang diterapi dengan doxazosin terdapat 17,5% pasien yang mengalami efek samping obat dan 4,8% harus dihentikan pengobatannya. Pusing (dizziness) dialami oleh 5,8% pasien, disusul oleh nyeri kepala (4,2%), kelelahan (2,4%), nausea (1,7%), palpitasi (1,6%), somnolensia (1,4%), edema (1,2%) dan hipotensi ortostatik (0,7%). Efek samping pada penderita usia tua tidak berbeda jauh dengan yang dialami oleh penderita muda(3). PENELITIAN-PENELITIAN KLINIS TENTANG PEMA KAIAN DOXAZOSIN

Beberapa penelitian klinis telah membuktikan bahwa selain menurunkan tekanan darah, doxazosin juga menurunkan kadar kolesterol total, LDL dan trigliserida, serta menaikkan kadar HDL dan rasio HDL/kolesterol total.

Seperti diketahui LDL (Low Density Lipoprotein) adalah jenis lipoprotein yang berperan besar dalam pembentukan aterosklerosis (penimbunan lemak pada dinding pembuluh darah). Sedangkan HDL(High Density Lipoprotein) diketahui bersifat ateroprotektif, artinya HDL ini mampu membongkar timbunan lemak pada dinding pembuluh darah untuk dibawa ke hati dan dimetabolisir. Maka profil lemak darah ideal adalah yang mengandung LDL rendah dan HDL tinggi.

Di Norwegia telah dilakukan penelitian terbuka tanpa kelompok kontrol terhadap penderita hipertensi esensial yang mendapat terapi dengan doxazosin. Laporan awal setelah 12 minggu pengobatan pada 573 penderita memberikan hasil yang bermakna terhadap penurunan kolesterol total (-6,7%) dan trigliserida (-19,8%), serta peningkatan HDL (+2,5%) dan rasio HDL/total kolesterol (+9,7%). Tekanan darah turun secara ber- makna (- 13/-9 mmHg)(9).

Penelitian lain dilakukan di Inggris oleh Langdon dkk ter-

hadap 4027 pasien dengan hipertensi sedang. Setelah mendapat terapi dengan doxazosin selama 10 minggu terdapat perubahan bermakna yaitu penurunan total kolesterol (-4,1%), peningkatan HDL (+ 2,8%) dan penurunan trigliserida (-8,4%). Dan di- simpulkan juga penurunan resiko penyakit jantung koroner dalam jangka waktu 10 tahun sebesar 20,48% dengan pemakaian obat ini(3).

Demikian pula studi di Belanda pada 326 penderita hiper- tensi yang diterapi dengan doxazosin selama 10 minggu menun- jukkan perbaikan profil lemak darahnya. Di samping itu dengan dosis rata-rata 2,6 mg per hari disebutkan pula bahwa obat ini efektif menurunkan tekanan darah sistolik/diastolik sebesar 16,4/ 13,5 mmHg(10).

Talseth dkk. di Norwegia membandingkan efek terapi doxa- zosin pada 83 pasien dengan atenolol (penyekat reseptor β) pada 81 pasien. Seluruh pasien menderita hipertensi ringan sampai sedang. Setelah 3 tahun pemakaian, atenolol secara bermakna mengakibatkan bradikardia, sementara doxazosin mampu mem- pertahankan denyut nadi pada batas normal. Doxazosin juga membuat profil lemak darah menjadi lebih baik pada tahun pertama, kedua maupun ketiga pemakaian obat ini. Pada akhir penelitian didapatkan kadar HDL pada kelompok doxazosin meningkat 3,7%, sedangkan pada kelompok atenolol menurun- kan l1%. Trigliserida dan LDL pada kelompok doxazosin menu- run sebesar 6,0% dan 3,3%, sementara itu pada kelompok atenolol meningkat 22,5% dan 0,4%. Untuk ratio HDL/total ko- lesterol kelompok doxazosin meningkat 6,0 dan menurun 10,0% pada atenolol. Data di alas menunjukkan bahwa efek doxazosin pada lemak darah juga terjadi pada pemakaian jangka panjang(11).

Tabel 1. Perbandingan efektifltas berbagai obat antihipertensi setelah 12 minggu pemakaian.

Obat Tekanan sistolik (mmHg)

Tekanan diastolik (mmHg)

Chlorthalidone Acebutolol Enalapril Amlodipine Doxazosin

↓ 22,0 ↓ 20,0 ↓ 18,0 ↓ 17,6 ↓ 16,0

↓ 13,1 ↓ 13,7 ↓ 12,5 ↓ 12,8 ↓ 12,0

Pada Tabel 1 dapat dilihat perbandingan efektifitas pemakai- an beberapa obat antihipertensi terhadap penurunan tekanan darah. Sedangkan Tabel 2 membandingkan pengaruh berbagai jenis obat antihipertensi terhadap profil lemak darah. Data ter- sebut merupakan rangkuman dan berbagai penelitian yang telah dilakukan. PEMBAHASAN

Telah lama diketahui bahwa hipertensi dan hiperlipidemia adalah dua faktor risiko terjadinya penyakit jantung koroner di samping merokok, diabetes, dan obesitas. Faktor-faktor risiko yang disebutkan di atas tergolong faktor yang dapat dikendalikan, sehingga perlu dicari metode penanganan yang tepat untuk mengurangi risiko timbulnya penyakit jantung koroner.

Telah diketahui pula bahwa keadaan hiperlipidemia lebih sering didapatkan pada seseorang penderita hipertensi. Tetapi

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 14

Page 16: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

Tabel 2. Pengaruh berbagai obat antihipertensi terhadap lemak darah

Obat kol sterol rigliserida LDL HDL HDL/TotalKolesterol

Thiazide n-blocker ACE inhibitor Ca blocker ISA n-blocker a/(3-blocker a,-inhibitor

↑ ↔ ↔ ↔ ↔ ↔ ↓

↑↑ ↑↑↑ ↔ ↔ ↔ ↔ ↓↓

↑ ↔ ↔ ↔ ↔ ↔ ↓

↓ ↓↓ ↔ ↔ ↔ ↔ ↑

↓ ↓ ↔ ↔ ↔ ↔ ↑

ACE = angiotensin converting enzyme ISA = Intrinsic Sympatomimetic activity ternyata beberapa obat antihipertensi mempunyai efek mening- katkan kadar lemak darah seperti misalnya obat-obat gol thiazide dan penyekat reseptor β.

Doxazosin, obat golongan penyekat reseptor α adrenergik, memberikan keuntungan ganda dalam penanganan penderita hipertensi. ini disebabkan karena doxazosin selain menurunkan tekanan darah, juga memperbaiki profil lemak darah seseorang. Sehingga dengan doxazosin dapat mengendalikan dua faktor ri- siko penyakit jantung koroner secara bersamaan.

Didapatkan data dari berbagai kepustakaan yang melaporkan studi klinis penggunaan doxazosin di berbagai pusat penelitian di seluruh dunia. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan me- libatkan antara 100 sampai sekitar 4000 penderita hipertensi. Lama pengamatan antara 10 sampai 12 minggu dengan pem- berian doxazosin 2-4 mg per hari. Penurunan tekanan darah sisto-lik maupun diastolik adalah sekitar 15-20 mmHg. Perubahan profil lemak darah ditunjukkan pada seluruh penelitian, yaitu penurunan LDL, penurunan yang tajam dan trigliserida dan pe- ningkatan HDL. Perubahan ini jelas menurunkan risiko penyakit jantung koroner mengingat LDL bersifat aterogenik dan HDL bers protektif terhadap proses aterosklerotik.

Dari berbagai studi in vitro maupun in vivo disebutkan bahwa pengaruh doxazosin pada metabolisme lemak adalah sebagai berikut(1) : • Meningkatkan aktivitas LDL reseptor di hati • Menurunkan sintesis LDL seluler • Mengurangi sintesis dan sekresi VLDL (Very Low Density Lipoprotein) • Meningkatkan aktivitas enzim lipoprotein lipase • Menurunkan absorpsi kolesterol intestinal

Dengan peningkatan aktivitas LDL reseptor hati, berkurang- nya sintesis VLDL oleh hati, serta menurunnya sintesis LDL seluler ekstra hepatik maka kadar LDL pada darah akan diturun- kan. Hal ini dapat ditimbulkan doxazosin dengan jalan mem- pengaruhi metabolisme asam lemak di hati yaitu dengan meng- hambat aktivitas enzim HMG CoA reduktase dan pergantian

sintesis lemak hepatik menjadi oksigenasi asam lemak(1). Efek samping pemakaian doxazosin walaupun ada namun

hanya menyerang sebagian kecil pemakainya. Dan hanya 2-6% saja yang harus menghentikan pemakaian karena efek yang tak diinginkan. RINGKASAN

Tujuan akhir penatalaksanaan hipertensi seharusnya bukan hanya untuk menurunkan tekanan darah saja, tetapi juga bagai- mana menanggulangi secara efektif peningkatan kadar kolesterol dan faktor-faktor risiko terjadinya penyakit jantung koroner lain- nya.

Pada beberapa penelitian klinis, diperlihatkan bahwa doxa- zosin mempunyai efektifitas menurunkan tekanan darah. Dan dalam pemakaiannya doxazosin dapat menurunkan kadar LDL, kadar trigliserida serta meningkatkan kadar HDL darah.

Doxazosin menghambat timbulnya penyakit jantung koroner dengan mengendalikan dua faktor risiko secara bersamaan, yaitu hipertensi dan dislipidemia.

KEPUSTAKAAN 1. Pool JL. Effecs of doxazosin on serum lipids A review of the clinical

data and molecular basis for altered lipid metabolism. Am Heart J 1991; 121: 251-60.

2. Corral JL, Lopez NC, Pecorelli A, Rincon LA, Teran VD. Doxazosin in the treatment of mild or moderate essential hypertension: An echo- cardiographic study. Am Heart J 1991; 121: 352

3. Langdon CG. Doxazosin : A study in a cohort of patidnts with hyperten- sion in general practice-an interim report. Am Heart J 1991; 121: 268- 73.

4: DiBianco R, Parker JO, Chakko 5, et al. Doxazosin for the treatment of chronic congestive heart fai1ure : Results of a randomized double-blind and placebo-controlled study. Am Heart J 1991; 121: 372-80.

5. Fukiyama K, Omae T, limura O, et al. A double blind comparative study of doxazosin and prazosin in the treatment of essential hypertension. Am Heart J 1991; 121: 317-22.

6. Olson JM. Clinical pharmacology made ridiculously simple. lnt. ed Singapore: McGraw Hill. 1993; 63-4.

7. Miura Y, Watanabe M, Yoshinaga K. An evaluation of the efficacy and safety of doxazosin in hypertension associated with renal dysfunction. Am Heart J 1991; 121: 381-8.

8. Silva H, Fonseca R, Marshall D. Doxazosin in the treatment of essential hypertension in general medical practice in Latin America. Am Heart J 1991; 121: 329-35.

9. Holme IM, Fauchal P, Rugstad HE, Stokke HP. Preliminary results at the Norwegian doxazosin postmarketing surveillance study: a 12-week experience. Am Heart J 1991; 121: 260-7.

10. Naber RBV. An open noncomparative study of doxazosin in essential hypertension: experience in general practice in the Netherlands. Am Heart J 1991; 121: 273-9.

11. Talseth T, Westlie L, Daae L. Doxazosin and atenolol as monotherapy in mild and moderate hypertension: a randomized, parallel study with a 3- year follow up. Am Heart J 1991; 121: 280-5.

Even a hair casts a shadow

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 15

Page 17: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Penatalaksanaan Komplikasi Kardiovaskular pada Hipertensi

Budi Susetyo Pikir

Laborarorium/UPF Kardiologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga R.S. U.D. Dr. Soetomo, Surabaya

PENDAHULUAN

Jantung merupakan salah satu dan beberapa organ sasaran yang menderita akibat hipertensi arteriil yang lama. Tidak seperti diagnosis perubahan fiingsi dan struktur otak dan ginjal, diagno- sis perubahan semacam ini dalam jantung dengan mudah dapat dideteksi pada fase awal dan secara kuantitatif dengan elektro- kardiografi, ekhokardiografi, pantauan EKG Holter dan peme- riksaan radionuklir jantung. Pada hipertensi,jantung tidak hanya sebagai penderita akibat tekanan darah tinggi (sebagai organ sasaran), tetapi juga kekuatan yang mempertahankan tekanan darah pada tingkat yang tinggi tersebut. Dua peranan ini sangat penting untuk memahami patogenesis dan pengobatan spesifik penyakit jantung hipertensi. Pengobatan tidak hanya menghenti- kan faktor patogenesis (peningkatan tekanan darah), tetapi juga mencegah atau memperbaiki perubahan struktur dan fungsi jan- tung akibat hipertensi arteriil yang lama tersebut(1). Manifestasi komplikasi kardiovaskuler dapat berupa hipertrofi ventrikel kiri, iskemi miokardium, aritmi ventrikel dan gagal jantung kiri(1).

Karena itu tujuan umum pengobatan hipertensi tidak hanya menurunkan tekanan darah, tetapi mencegah/memperbaiki ke- lainan fungsional dan struktural yang terjadi akibat hipertensinya (komplikasi organ sasaran), yaitu : 1) Menurunkan tekanan darah seoptimal mungkin, tetapi tidak rnengganggu pertusi organ sasaran.

Sampai saat ini masih diperdebatkan sampai seberapa ren- dah tekanan darah harus diturunkan. Beberapa peneliti meng- anjurkan tekanan diastolik tidak kurang dari 85 mmHg karena di bawah ini morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler justru meningkat (Kurva J)(2-5). Pada beberapa penderita bahkan te- kanan darah diastolik di bawah 100–110 mmHg sudah menim- bulkan gejala iskhemi serebral dan infark serebral(6,7). Karena itu penurunan tekanan darah terutama pada hipertensi khronik, harus bertahap dan memerlukan pendekatan individual.

2) Mencegah komplikasi vaskuler/ateroskierosis dan kerusak- an organ sasaran, mengontrol faktor risiko lain, membantu efek samping obat terhadap faktor risiko(8). 3) Bila sudah ada komplikasi diusahakan retardasif/kalau mungkin regresi komplikasi vaskuler/ateroskierosis dan keru-sakan target organ (LVH, Nephropati dan sebagainya)(9,10). 4) Memantau dan mengontrol efek samping obat yang lain (hipokalemia, dan sebagainya) yang dapat menambah morbidi- tas dan rnortalitas(1,10,11). PREDIKTOR KOMPLIKASI KARDIOVASKULER PADA HIPERTENSI LVH pada hipertensi

Teori terakhir mengatakan bahwa LVH (KHKi = hipertrofi ventri kel kiri) tidak hanya bersifat adaptif (akibat hipertensinya), tetapi dipengaruhi pula oleh faktor intrinsik yang mungkin ber- sifat genetik(12,13,14), terbukti dan adanya peningkatan massa LV pada fase awal hipertensi, bahkan anak-anak penderita hipertensi menunjukkan peningkatan massa LV dibandingkan anak-anak penderita normotensi(14). Dari suatu penelitian penderita normo- tensi. peningkatan massa LV mendahului terjadinya hipertensi(15). Penderita normotensi dengan peningkatan massa LV juga menun- jukkan respon peningkatan tekanan darah yang berlebihan ter- hadap latihan fisik(16).

Diagnosis LVH melalui EKG menurut indeks Sokolow- Lyon spesifisitasnya cukup tinggi (95%) tetapi sensitifitasnya rendah(17). Sensitifitas EKG berkisar antara 15–35% pada pen- derita hipertensi ringan dan 10–57% pada penderita hipertensi sedang-berat dibandingkan nekropsi. Sedangkan sensitifitas ekhokardiografi sebesar 57% pada penderita hipertensi ringan dan 98% pada pendenita hipertensi sedang-berat(12,13). Kriteria LVH ekhokardiografi adalah apabila massa LV lebih dari 110 g/

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 16

Page 18: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

m2(17); peneliti lain memakai batas 125 g/m2(20), bahkan ada pula yang berpatokan 134 g/m2(1). Penelitian epidemiologi pada penderita hipertensi ringan menunjukkan sensitifitas EKG se-besar 2,1–8% dan sensitifitas ekhokardiografi sebesar 16– 40%(13,18). Prevalensi LVH juga dipengaruhi umur; setelah umur 65 tahun pada lebih 50% penderita hipertensi ringan ditemukan LVH secara ekhokardiografi(11).

LVH dapat bersifat adaptif, non-adaptif (intrinsik), konsen- trik atau eksentrik: • LVH konsentrik paling sering didapatkan yaitu sekitar 25–50%. Penebalan septal dan dinding posterior sama derajatnya sehingga rasio ketebalan dinding septal/posterior normal atau sub-normal(17). • LVH eksentrik (septal) jarang yaitu sekitar 2–10% kasus, rasio penebalan dinding septal/posterior > 1,3. Kesukaran diagnosis timbul apabila gambaran menyerupai kardiomiopati obstruktif(17). Hal ini terjadi pada penderita hipertensi yang juga disertai beban volume yang meningkat misalnya dengan obesi- tas(1). • LVH adaptif apabila peningkatan massa LV tidak disertai perubahan volume akhir diastol ventrikel(17). • LVH non-adaptif atau intrinsik apabila hipertrofi dan pe- ningkatan massa LV berlebihan disertai peningkatan volume LV, sehingga terjadi perubahan metabolisme dan peningkatan kebutuhan oksigen(3).

Faktor-faktor yang berperan terhadap risiko timbulnya LVH: 1) Beban jantung berlebihan:

Pada fase awal hipertensi, peningkatan beban kerja (pressure overload) menginduksi peningkatan tegangan dinding ventrikel. Sebagai kompensasi, masa muskuler meningkat. Hal dimung- kinkan dengan modifikasi aktifitas ATPase dalam miosin sel miokard, yang akan menimbulkan perubahan berupa hipertrofi sel miokard dan peningkatan jumlah serta diameter sarkomer dan miofibril. Terdapat penyusunan kembali yang berhubungan dengan miofibril dan fasikula muskuler(17). Tetapi selain itu pada beberapa penderita terdapat volume overload misalnya bila di- sertai obesitas dan diet tinggi natrium yang berperanan pula pada timbulnya LVH(1). 2) Faktor Genetik:

LVH dapat timbul pada awal kehidupan manusia seperti ditemukan pada binatang, meskipun hipertensinya ringan(17). LVH bahkan mendahului terjadinya hipertensi(14). 3) Faktor Neuro-humoral:

Sistim saraf simpatik memegang peranan pada terjadinya LVH; ada hubungan langsung antara derajat LVH dan kadar noradrenalin plasma, demikian pula dengan angiotensin II yang meningkatkan sintesis protein miokard(17). 4) Faktor vaskuler :

Selain adanya beban berlebih, terjadinya LVH tampaknya juga tergantung sistem arteri, melalui kelenturan (compliance) arteri dan impedance bagian proksimal aorta(17).

LVH adaptif merupakan mekanisme kompensasi yang biasanya berupa LVH konsentris berguna untuk mempertahan-kan fungsi sistolik normal, tetapi LVH yang berlebihan dapat

merugikan terutama terhadap fungsi diastolik ventrikel dan per- fusi koroner(17). Pada fase dini sering terjadi gangguan pengisian ventrikel kiri karena penurunan relaksasi awal diastol pada penderita hipertensi terjadi sebelum adanya tanda-tanda LVH seperti penebalan dinding posterior LV lebih 1,1 mm, massa LV lebih 134 g/m2 atau kriteria vektor dan voltase pada EKG. Pada fase lebih berat, compliance selama akhir diastol menjadi ter- ganggu karena menebalnya dinding miokard(1).

LVH secara ekhokardiografi merupakan prediktor dan faktor risiko independen kuat untuk terjadinya komplikasi hipertensi dibandingkan tekanan darah tingginya sendiri atau faktor risiko kardiovaskuler konvensional yang lain(13,19). Penelitian Fra- mingham juga menunjukkan LVH secara EKG maupun ekho- kardiografi merupakan faktor prediktor penting untuk risiko ter- jadinya gagal jantung (insufisiensi jantung), penyakit arteri koroner dan keniatian mendadak(19). Perfusi koroner terganggu dan komplikasi kardiovaskuler meningkat, bahkan pada pen- derita hipertensi disertai LVH dengan pembuluh darah koroner yang relatif normal(1).

Efek obat antihipertensi terhadap LVH sangat bervariasi, penurunan tekanan darah tidak selalu diikuti dengan regresi LVH(20). 1) Nonfarmakologi

Pada penelitian 40 penderita gemuk selama 5 bulan, 20 pen-derita diberikan diet hipokalori sedangkan 20 penderita yang lain diberi kaptopril 2–3 x 50 mg/hari. Ternyata keduanya sama efektifnya dalam menurunkan tekanan darah sistolik maupun diastolik, tetapi penurunan berat badan lebih efektif meregresi LVH diband ingkan kaptopri(21). 2) Golongan Diuretik

Hidrokhlorotiazid menghasilkan efek regresi yang berva- riasi, biasanya massa LV tak berubah atau regresi sedikit(1), bahkan dilaporkan meningkatkan massa LV meskipun terjadi penurunan tekanan darah(22).

Indapamide sebaliknya meskipun termasuk golongan diuretik, efek penurunan tekanan darah lebih banyak karena efek vasodilatasi langsung sementara efek diuretiknya subklinis, ka- rena itu terjadi penurunan nyata massa LV(17). 3) Golongan Beta Blocker

Puncak tekanan sistolik merupakan rangsangan terjadinya LVH, sehingga dengan mengurangi puncak tersebut (mengu- rangi denyut jantung), obat-obat seperti propranolol, atenolol, metoprotol dan timolol semuanya menyebabkan regresi LVH. Sebaliknya pindolol yang mempunyai sifat aktifitas simpatik intrinsik (ISA) tidak mengurangi denyut jantung dan tidak me- nimbulkan regresi LVH(23). Tampaknya reseptor beta berperan- an terhadap timbulnya LVH. Regresi LVH pada beta blocker tidak berhubungan erat dengan penurunan tekanan darah(17). Peneliti lain mengatakan penurunan LVH paralel dengan pe- nurunan tekanan darah(1). 4) Golongan Anti-Adrenergik Sentral

Alpha-metildopa menyebabkan penurunan massa LV yang tak tergantung penurunan tekanan darah, paling besar pada pen- derita dengan LVH yang besar pula(17). Obat yang lain (guana- benz. guanfacine dan klonidin) juga menurunkan massa LV(1).

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 17

Page 19: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

5) Golongan Vasodilator Vasodilator golongan hidralazin tidak menimbulkan regresi

LVH walaupun tekanan darah dapat terkontrol baik. Hal ini mungkin karena timbulnya takikardi karena peningkatan rang- sang simpatik. Prazosin mungkin juga kurang efektif terhadap regresi LVH Tetapi peneliti lain melaporkan adanya regresi LVH dengan pemberian prazosin(1). Minoxidil menginduksi takikardi dan juga retensi cairan sehingga terdapat beban volume berlebih, karena itu meningkatkan LVH meskipun kontrol te- kanan darah baik. Meskipun hal ini diduga oleh karena renin, penambahan propranolol tidak mencegah peningkatan LVH(17). Obat golongan α-1 blocker yang baru doxazosin terryata dapat menyebabkan regresi LVH dengan nyata(24). 6) Golongan penyekat A

Meskipun menyebabkan peningkatan aktifitas renin, pe- nyekat ACE menimbulkan regresi LVH bahkan dengan sedikit penurunan tekanan darah saja. Efek tersebut karena penurunan angiotensin II yang sudah diketahui merangsang sintesis protein miokard penyebab LVH(17). 7) Golongan Antagonis Kalsium

Nifedipin , diltiazem dan verapamil yang menyebabkan vasodilatasi perifer tanpa menimbulkan takikardi refleks, me- nurunkan LVH(17). Penurunan LVH tampaknya paralel dengan penurunan tekanan darah(1,25).

Distritmia ventrikel Pada penderita dengan LVH didapatkan prevalensi yang

benar-benar tinggi dari PVC dan aritmi yang lebih berat diban- dingkan penderita tanpa LVH atau normotensi. Demikian pula penderita gemuk dengan LVH eksentrik (penebalan dinding septal ventrikel dan dilatasi ventrikel) menunjukkan peningkat- an ektopi ventrikel bila dibandingkan penderita gemuk tanpa LVH atau penderita kurus. Data terakhir menunjukkan adanya efek aritmogenik LVH bahkan pada penderita dengan arteri koroner normal.

Mekanisme elektrofisiologi yang sebenarnya belum di- ketahui. Dapat dipahami, distorsi struktur miokard akan meng- ganggu penjalaran impuls homogen sehingga menjadi aritmo- genik. Suatu penelitian mendapatkan adanya jaringan instersisial dan fibrosis yang berlebihan pada biopsi endomiokard penderita LVH berat dengan arteri koroner normal yang disertai episode takikardia ventrikel. Dari suatu penelitian elektrofisiologi juga terbukti takikardia ventrikel temporer dapat diinduksi pada penderita LVH secara EKG dan ekhokardiografi, sedangkan padapenderita LVII secara ekhokardiografi saja atau tanpa LVH hal ini tak terjadi.

Meskipun hubungan antara ektopi ventrikel dan kematian mendadak belum terbukti, nampaknya logis untuk menduga bahwa pada penderita risiko tinggi (LVH), adanya ketidaksta- bilan listrik ventrikel merupakan risiko tinggi untuk terjadinya aritmi gawat dan kematian mendadak(1).

Hal lain yang memudahkan timbulnya aritmi ialah hipo- kalemi akibat pemberian diuretik non K sparing seperti hidro- khlorothiazid(1,26). 1) Diuretik

Diuretik thiazid menginduksi terjadinya hipokalemi, hipo- magnesemi dan hiponatremi yang dapat mencetuskan terjadinya disritmi ventrikel dan selanjutnya kematian mendadak. Keadaan akan lebih parah pada keadaan katekolamin berlebih pada payah jantung khronik(1). 2) Penyekat Beta

Pengaruh pada ektopi ventrikel masih belum jelas, meskipun ada dugaan penurunan ektopi ventrikel paralel dengan regresi LVH(1). 3) Anti-Adrenergik Sentral

Karena obat golongan ini (alfa-metildopa, guanabenz, guan- facine dan klonidin) mengurangi LVH, mungkin juga memper- baiki ektopi ventrikel, apabila ektopi ventnikel tersebut akibat LVH yang lama(1). 4) Anti-Adrenergik Perifer

Obat-obat golongan ini (prazosin, trimazosin dan doxazosin) mungkin juga memperbaiki disritmi yang berhubungan dengan LVH(1). 5) Penyekat ACE

Efek terhadap ektopi ventrikel mungkin secara tidak langsung dengan mengurangi LVH(1). 6) Antagonis Kalsium

Penurunan LVH pada pemberian antagonms kalsium di-hubungkan dengan penurunan ektopi ventrikel lebih dari 75%. Berbeda dengan pemberian tiazid yang tidak menurunkan LVH maupun supresi ektopi ventrikel meskipun dengan potensi penurunan tekanan darah yang sama(1).

Penelitian acak tersamar ganda dengan 4 jenis obat anti-hipertensi (diltiazem 120–240 mg/hari, metoprolol 100–200 mg/ hari, enalapril 10–120 mg/hari dan hidrokhlorotiazid 50–100 mg/hari) selama 3 minggu plasebo dan 3 minggu pengobatan, menunjukkan bahwa diltiazem menurunkan kontraksi ventrikel prematur (PVC) sebesar 65% (p <0,05), metoprolol menurun- kan kontraksi ventrikel prematur (PVC) sebesar 52% (p <0,07), sedangkan enalapril dan hidrokhlorotiazid tidak mempunyai efek terhadap aritmi(27).

Patotisiologi terjadinya penurunan ektopi ventrikel tersebut belum jelas, mungkin karena: 1) penurunan beban hemodinamik dan perbaikan perfusi sub- endokardial, 2) regresi LVII, 3) efek elektrofisiologi langsung antagonis kalsium, 4) kombinasi faktor-faktor tersebut

Iskemi miokardial Dari penelitian Veteran Administration Cooperative Study

Group efektifitas pengobatan hipertensi pada penderita dengan hipertensi sedang dan berat sudah jelas terbukti dan tidak di- ragukan lagi(28). Penurunan morbiditas dan mortalitas terutama karena penurunan komplikasi akibat tingginya tekanan darah, sedangkan penurunan komplikasi penyakit jantung koroner tidak terlihat secara nyata(29).

Pengobatan hipertensi ringan hasilnya bervariasi. Pada Australian National Blood Pressure Study (ANBPS) (1980) di- dapatkan penurunan risiko relatif komplikasi kardiovaskuler

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 18

Page 20: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

yang fatal sebesar 58%, tetapi komplikasi penyakit jantung koroner yang non-fatal tak berbeda(30). Pada British Medical Research Council Trial (1985) mortalitas total tidak berbeda dengan kontrol, tetapi terdapat penurunan komplikasi CVA sebesar 45% dibandingkan kontrol. Yang menarik adalah pada penderita mendapat propranolol yang merokok tidak terdapat penurunan komplikasi CVA dan Penyakit Jantung Koroner, namun pada penderita yang tidak merokok terdapat penurunan komplikasi CVA dan kecenderungan komplikasi Penyakit Jan- tung Koroner yang lebih sedikit pula(30).

Yang lebih kontroversial ialah pada Oslo Hypertension Study Group(31); komplikasi penyakit jantung koroner justru lebih besar pada penderita yang mendapat pengobatan. Diduga faktor penyebabnya ialah adanya gangguan metabolisme lemak dan gula akibat tiazid dan beta-blocker (propranolol).

Penelitian acak terkontrol di Amerika Serikat yang terkenal ialah Veterans Administration Co-operative Study, USPHS Hos- pitals Trial, Hypertension Detection and Follow-up Program dan Multiple Risk Factor intervention Trial. Semuanya menun- jukkan kegunaan pengobatan pada semua derajat hipertensi, meskipun masih ada beberapa kekurangan bukti efektifitasnya pada wanita kulit putih, penderita hipertensi muda dan dalam mencegah terjadinya penyakit jantung koroner dan infark miokard akut(32).

Penelitian lain di Eropa ialah WHO Multifactorial Trial(33) dan Goteborg Multifactor Primary Prevention Trial(33,34) menda- patkan hasil yang bervariasi. Pada Primary Preventive MAPHY Study didapatkan penurunan mortalitas total yang bermakna pada penderita yang mendapat metoprolol dibandingkan pen- derita yang mendapat diuretik(35).

Kurangnya bukti kegunaan pengobatan hipertensi untuk pencegahan penyakit jantung koroner dapa diterangkan sebagai berikut : • penyebab penyakit jantung koroner yang multifaktorial dan kegagalan untuk mengobati faktor risiko yang lain, • jumlah sample yang kurang, lama penelitian yang kurang dan macam populasi yang diteliti kurang sesuai, • efek metabolik obat antihipertensi yang menambah risiko penyakit jantung koroner, • penurunan perfusi sirkulasi koroner di bawah titik kritis pada penderita yang sebelumnya sudah ada penyakit jantung koroner yang tak terdeteksi, • penelitian dimulai pada fase lanjut dan hipertensi(26,36).

Ada beberapa mekanisme patogenesis terjadinya iskemi miokard pada penderita hipertensi: 1) LVH dengan arteri koroner relatif normal:

LVH tidak hanya dihubungkan dengan peningkatan ektopi ventrikel, tetapi juga predisposisi terjadinya iskemi miokard. a) Peningkatan tekanan darah menyebabkan peningkatan stress, tegangan dan stroke work dinding ventrikel kiri sehingga me- ningkatkan kebutuhan oksigen miokard. b) Peningkatan massa LV yang terjadi sebagai adaptasi pe- ningkatan beban tekanan, membutuhkan perfusi jaringan yang lebih banyak. c) Pertumbuhan pembuluh darah koroner tidak sesuai dengan

peningkatan massa LV. Meskipun aliran koroner per unit otot pada LVH normal waktu istirahat, ketidakseimbangan antara proliferasi vaskuler dan pertumbuhan otot merupakan kondisi predisposisi terjadi iskemi relatif, sehingga cadangan koroner menjadi berkurang pada penderita dengan LVH bahkan dengan pembuluh darah koroner normal dengan pemeriksaan angiografi koroner. Tipe tertentu dan LVH dihubungkan dengan cadangan koroner yang abnormal. 2) Hipertensi arteri yang lama meningkatkan terjadinya ateroskierosis pada anteri sistemik maupun koroner sehingga menghambat aliran darah koroner dan mengurangi pasokan oksigen miokard. Meskipun hipertensi arteri merupakan faktor risiko ringan terjadinya penyakit jantung koroner, namun harus diingat bahwa jarang ateroskierosis ditemukan pada pembuluh darah dengan tekanan darah yang rendah (sirkulasi paru, segmen arteri post-stenotik)(1). Efek dislipidemi obat antihipertensi mungkin berperan pula pada terjadinya aterosklerosis terse- but(37,38). 3) LVH bukan pra-syarat terjadinya angina pada penderita hipertensi tanpa penyakit jantung koroner. Laporan terakhir membuktikan iskemi dapat terjadi karena adanya peningkatan resistensi mikrovaskulatur koroner yang abnormal (angina mikrovaskuler)(1). Hal ini mungkin akibat adanya kekurangan bahan tertentu yang berasal dari endotel yang menyebabkan gangguan relaksasi otot arterial, dibuktikan dari kegagalan respon vasodilatasi setelah pemberian asetilkolin, sedangkan vasodilator langsung dapat menimbulkan relaksasi otot arteri tersebut(18).

Penelitian Framingham menunjukkan risiko terjadinya infark miokard akut dan angina pektoris meningkat 6–8 kali pada penderita dengan LVH(1).

Meskipun bukti-bukti yang menyokong kegunaan obat anti- hipertensi untuk pencegahan primer penyakit jantung koroner masih kontroversi, tetapi penyekat beta(39) dan antagonis kal- sium mungkin merupakan obat pilihan pada penderita hiper- tensi yang disertai penyakit jantung koroner dan untuk pen- cegahan sekunder penyakit jantung koroner.

GAGAL JANTUNG KONGESTIF Apabila hipertensi menjadi progresif, LVH adaptif tidak

dapat menahan lagi beban tekanan yang terus meningkat dan akhirnya terjadi gagal jantung kongestif dengan segala kon- sekuensinya. Ruang jantung kiri menjadi dilatasi dan curah jantung menurun. Peningkatan sistim renin-angiotensin dan sis- tim saraf simpatis menimbulkan vasokonstriksi untuk memper- tahankan tekanan darah. Adanya iskemi miokard yang laten atau manifes memperberat gangguan fungsi pompa jantung dan mempercepat penurunan kontraktilitasjantung. Tetapi penurun- an fungsi sistolik tidak selalu merupakan penyebab utama gagal jantung pada hipertensi esensial. Bahkan dalam keadaan fungsi sistolik yang normal, adanya gangguan fungsi pengisian jantung karena gangguan relaksasi dan peningkatan kekakuan ruang jantung mengakibatkan gejala gagal jantung secara klinik. Pada penderita hipertensi tua dengan gagal jantung dengan fungsi sistolik meningkat (hiperkinetik) tetapi ruang jantung kecil, akan

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 19

Page 21: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

terjadi gangguan pengisian diastolik awal. Mana yang lebih penting dan lebih sering, gangguan fungsi sistolik atau diastolik pada patogenesis payah jantung kongestif penderita hipertensi khronik masih harus diteliti(1).

Gagal jantung kongestif merupakan komplikasi yang umum pada gagal jantung lama yang tak diobati; dari penelitian Framingham lebih 80% penderita gagal jantung kongestif mempunyai riwayat hipertensi di masa 1alu(1). 1) Diuretik

Diuretik tiazid tidak hanya menurunkan tekanan darah, tetapi juga mengurangi retensi garam dan air sehingga memper- baiki beban volume berlebih yang umum terdapat pada gagal jantung kongestif; tetapi mungkin kurang berguna pada pen- derita gagal jantung yang terutama karena gangguan fungsi diastolik, karena kontraksi volume intravaskuler menyebabkan penurunan lebih lanjut pengisian ventrikel kiri(1). 2) Penyekat Beta

Penyekat Beta merupakan kontraindikasi pada penderita dengan gagal jantung kongestif laten maupun manifes akibat gangguan fungsi sistolik. Sebaliknya mungkin berguna pada beberapa penderita gagal jantung kongestif karena gangguan fungsi diastolik(1). 3) Antiadrenergik Sentral

Efek bervariasi, klonidin mungkin mempunyai beberapa sifat inotropik negatif, dan alfa-metildopa mempunyai efek se- dikit saja(1). 4) Antiadrenergik Perifer

Prazosin dan doxazosin rnempunyai efek yang mengun- tungkan pada gagal jantung(1). 5) Penyekat ACE

Merupakan obat yang baik untuk gagal jantung. Obat bereaksi pendek seperti kaptopril lebih dianjurkan paling tidak pada fase awal. Tetapi obat golongan ini yang telah diteliti meningkatkan ama hidup pada penderita gagal jantung klas IV ialah enalapril(1). 6) Antagonis Kalsium

Efek menghilangkan beban jantung dengan antagonis kal- sium sering tapi tidak selalu mengatasi efek inotropik negatif obat tersebut. Merupakan pilihan utama pada gagal jantung dengan gangguan fungsi diastolik. Data terakhir melaporkan bahwa antagonis kalsium memperbaiki relaksasi ventrikel pada awal diastol dan menormalkan kembali pengisian ventrikel. Antagonis kalsium mempunyal dua efek pada pengisian ven- trikel: memperbaiki relaksasi diastolik awal dan juga memper- baiki compliace diastolik akhir sebagai hasil berkurangnya LVH(1). RINGKASAN

Kerusakan jantung akibat hipertensi dapat didiagnosis se- cara mudah dan kuantitatif pada fase awal dengan elektrokardio- grafi ekhokardiograti, pantauan EKG Holter dan radionuklir jantung.

Komplikasi kardiovaskuler hipertensi dapat berupa LVH, iskemi miokard, disritmi ventrikel dan gagal jantung konges- tif. LVH yang terjadi dapat bersifat adaptif yang sering kon-sentris karena beban tekanan berlebih, tapi dapat pula eksentrik

pada penderita obesitas dan makan garam berlebihan. LVH yang terjadi dapat berlebihan (non-adaptif atau intrinsik) yang dapat mendahului terjadinya hipertensi. Iskemi miokard dapat akibat dari LVHnya sendiri, adanya proses aterosklerosis koroner, maupun gangguan fungsi mikrovaskuler koroner. Disritmi ven- trikel dan kematian mendadak dapat merupakan komplikasi LVH, iskemi miokard atau hipokalemi karena diuretik. Gagal jantung selain karena hipertensinya sendiri, juga akibat LVH dari iskemi miokard yang dapat berupa gangguan fungsi sistolik maupun diastolik. Pengobatan penderita hipertensi harus mem- perhatikan keempat komplikasi tersebut.

Golongan diuretik tidak meregresi LVH dan mungkin memperburuk disritmi ventrikel serta kurang baik terhadap metabolisme lemak, tetapi mungkin berguna untuk penderita dengan beban volume ber!ebih misalnya dengan retensi natrium dan gagal jantung kongestif karena gangguan sistolik. Efeknya kurang baik pada gangguan diastolik.

Golongan penyekat beta menyebabkan regresi LVH ke- cuali pindolol yang bersifat ISA positif. Efek terhadap disritmi ventrikel tak jelas, mungkin berhubungan dengan regresi LVH; merupakan obat yang baik untuk iskemi miokard, tetapi merupa- kan kontraindikasi pada gagal jantung karena gangguan fungsi sistolik. Mungkin berguna pada gagal jantung karena gangguan fungsi diastolik.

Golongan antiadrenergik sentral menimbulkan regresi LVH, efek sedikit pada iskemi miokard, perbaikan disritmi ventrikel mungkin oleh karena regresi LVH. Efeknya sedikit saja pada gagal jantung, sedangkan kionidin bahkan mempunyai efek inotropik negatif.

Golongan antiadrenergik penifer tidak menyebabkan regresi LVH kecuali prazosin dan doxazosin. Obat golongan α-1 blocker mempunyai efek metabolisme lipid yang paling baik, dan mung- kiri obat yang baik pula untuk angina mikrovaskuler. Berguna pada gagal jantung. Mungkin juga memperbaiki disritmi ven- trikel melalui regresi LVH.

Golongan penyekat ACE menurunkan LVH, mungkin juga memperbaiki disritmi ventrikel melalui regresi LVH. Tak mengganggu metabolisme lipid, sedangkan efek kardioprotektif masih dalam penelitian; merupakan obat pilihan pada gagal jan- tung kongestif.

Golongan antagonis kalsium menurunkan LVH; mem- punyai efek supresi disritmi ventrikel yang baik. Tidak meng- ganggu metabolisme lipid dan obat pilihan pada iskemi miokard, tetapi bukti kardioprotektif masih koniroversial. Obat ini juga berguna pada gagal jantung kongestif dengan gangguan fungsi diastolik. Pemberian verapamil tak dianjurkan pada gagal jan- tung kongestif karena gangguan fungsi sistolik.

Obat antihipertensi selain efektif menurunkan tekanan da- rah, juga harus dapat mencegah dan mernperbaiki kelainan kardiovaskuler akibat hipertensinya.

KEPUSTAKAAN

1. Messerli FH. Antihypertensive therapy – Going to the heart of the matter.

Circulation 1990; 81: 1128–35. 2. Alderman MH, Ooi WL, Madhavan S et al. Treatment-induced blood

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 20

Page 22: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

pressure reduction and the risk of myocardial infarction. JAMA 1989; 262: 920–24.

24. Corral JL, Lopez NC, Pecorelli Act al. Doxazosin in the treatment of mild or moderate essential hypertension : An echocardiographic study. Am Hearti 1991; 121: 352–56. 3. Chobanian AV, Gavras H. Hypertension. Clin Symposia 1990; 42: 2–32.

4. Cruickshank JM, Thorp JM. Zacharias FJ. Benefits and potential harm of lowering high blood pressure. Lancet 1987; 1: 58 1–84. Cruickshank JM. Coronary flow reserve and the J curve relation between diastolic blood pressure and myocardial infarction. BMJ 1988; 297: I 227–30.

25. Stadler P. Leonardi L, Riesen Wet a!. Cardiovascular effects of verapamil in essential hypertension. Clin Pharmacol Ther 1987; 42: 485–92.

26. Joint National Committee. The 4th (1988) report of the Joint National Committee on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. Arch Intern Med 1988; 148: 1023–38. 6. Berry G. Strokes and hypertension – the effect of treatment. Med J Aust

1987; 146: 406–09. 27. Papademetriou V. Narayan P. Kokkinos Petal. Antihypertensive therapy and cardiac arrhythmias in hypertensive patients with moderate to severe LVH (Abstract). J Hypertension 1994; 12 (Suppl 3): S-94.

7. Hankey GJ, Gubbay SS. Focal cerebral ischaemia and infarction due to antihypertensive therapy. Med J Aust 1987; 146: 4 12–14.

8. Ames RP, Hill P. Antihypertensive therapy and risk of coronary heart disease. J. Cardiovasc. Pharmacol. 1982; 4 (Suppi. 2): S206–S2l2.

28. Stamler J, Stamler R, Neaton JD. Blood pressure, systolic and diastolic, and cardiovascular risk. Arch Intern Med 1993; 153: 598–615.

9. Sleight P. Prevention coronary heart disease and hypertension. J Cardio- vasc Pharmacol 1988; 12 (Suppl 7): S3–S 10.

29. Houston MC. Hypertension strategies for therapeutic intervention and prevention of end-organ dfamage. Primary Care 1991; 18: 713–53.

10. Zanchetti A. Treatment goals in hypertension. Am J Med 1987; 76 (2A): 1–7.

30. Logan AG. Mild Hypertension – Controversies in Management. Ciba- Geigy Limited, BasIc, Switzerland, 1987.

11. Koren, Devereux RB, Casale PN, Savage DD, Laragh JH. Left ventricular and morbidity in hypertension. Ann Intern Med 1991; 114: 345–52.

31. Leren P. Helgeland A. Oslo Hypertension Study. Drugs 1986; 31 (Suppl. 1): 41–5.

12. Devereux RB. Is the electrocardiogram still useful for detection of left ventricular hypertrophy ? Circulation 1990; 81: 1144–46.

32. Kannel WB. Hypertension. Relationship with other risk factors. Drugs 1986; 31 (Suppl. 1): 1–Il.

13. Devereux RB. Does increased blood pressure cause left ventricular hypertrophy or vice versa ? Ann Intern Med 1990; 112: 157–59.

33. Wilhelmsen L. Risk factor for Coronary Heart Disease in perspective. European Intervention Trial. Am J Med 1984; 76 (2A): 37–40.

34. Wilhelmsen L, Berglund G, Elmfeldt D, Samuelsson 0, Svardsudd K. The Multifactor Primary Prevention Trial in Gotheborg, Sweden – Comparison with a previously Untreated Population Sample. Drugs 1986; 31 (Suppl. I): 47–51.

14. Schicken RM. Left ventricular mass. Development versus Disease. Circu- lation 1990; 82: 1525–27.

15. Simone G, Devereux RM, Roman Ini, Schlussel Y, Alderman MH, Laragh JH. Echocardiographic left ventricular mass and electrolyte intake predict arterial hypertension. Ann Intern Med 1991; 114:202-09. 35. Wikstrand J. Primary prevention with metoprolol in patients with hyper

tension (MAPHY study). Hypertension – the tip of Iceberg ! Attacking the disease, not just the symptoms. Madrid, October 1987. pp 38–40.

16. Gottdiener JS, Brown J, Zoltick J, Fletcher RD. Left ventricular mass in men with normal blood pressure : relation to exaggerated blood pressure response to exercise. Ann Intern Med 1990; 112: 161–66. 36. Joint National Committe. The 5th (1992) Report of the Joint National

Committee on Detection, Evaluation, a nd Treatment of High Blood Pressure (iNC V). Arch Intern Med 1993; 153: 154–83.

17. Chapelon-Abric C. Left ventricular hypertrophy and hypertension. Hyper tens Let 990; No 25: 3–4.

37. Weinberger MH. Treatment of Hypertension in the 1990s. Am J Med 1987; 82 (Suppl. IA): 44–9.

18. Panza JA, Quyyumi AA, Brush JE Jr. Epstein SE. Abnormal endothelium- dependent vascular relaxation in patients with essential hypertension. N Engl J Med 1990; 323: 22–7. 38. Wilhelmsen L. Factors influencing the choice of first-line therapy in

hypertension. Hypertension – the tip of iceberg ! Attacking the disease, not just the symptoms. Madrid, October 1987. pp 41–43.

19. Levy, Garrison Ri, Savage DD, Kannel WB, Castelli WP. Prognostic implications of echocardiographically determined left ventricular mass in the Framingham Heart Study. N Engl J Med 1990; 322: 1561–66. 39. Olsson G. Effect on atherosclerotic complications in hypertensives results

of the Stockholm Metoprolol (Secondary Prevention) Trial. Hyper tension – the tip of Iceberg. Attacking the disease, not just the symptoms. Madrid, October 1987, pp. 34–8.

20. Pfeffer. Pfeffer. Reversing cardiac hypertrophy in hypertension. N Engl J Med 1990; 322: 1388–90.

21. Barzizza F. Magnani L, Zocchi MTet al. Weight loss vs Captopril treatment in obese hypertensive patients. J Hypertens 1994; 12 (Suppl 3): S86. 40. O Rourke RA. Rationale for calcium entry-blocking drugs in systemic

hypertension complicated by coronary artery disease. Am i Cardiol 1985; 56: 34H–40H.

22. Pringle SD. Regression of hypertensive left ventricular hypertrophy. Hyperteos Let 1990; 25: 3–5.

41. Hansson L. Assessment of the patient’s response. J Hypertens 1985; 3 (suppl. ): S65–S69.

23. Frishman WH. Clinical significance of beta and intrinsic sympathomirnetic activity in a beta-adrenergic blocking drug. Am J Cardiol 1987; 59: 33F–37F.

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 21

Page 23: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Nyeri Dada dan Makna Klinisnya

Edi Sugiyanto Rumah Sakit Islam Sunan Kudus, Kudus

PENDAHULUAN

Penderita dengan keluhan nyeri dada sering dijumpai pada praktek sehari-hari. Keluhan ini sering menimbulkan rasa ka- watir pada penderita akan adanya gangguan pada organ vital di dalam dada seperti jantung, paru dan lain-lain, sedangkan dari pihak dokter, keluhan nyeri dada bukanlah merupakan persoalan yang sederhana. Dokter perlu mengadakan evaluasi untuk me- nentukan penyebab nyeri dada, apakah penyebabnya tunggal ataukah masih ada penyebab yang lain, apakah penyebabnya merupakan keadaan gawat atau tidak.

Memahami patogenesis terjadinya nyeri dada serta makna klinisnya secara baik akan membantu menentukan diagnosis lebih tepat dan selanjutnya akan mengarahkan kepada terapi yang lebih rasional. Tulisan berikut akan menyoroti tentang patogenesis beberapa jenis nyeri dada dan makna klinisnya. PERSARAFAN

Rasa nyeri di daerah dada dan perut dipengaruhi oleh saraf intercostales (T1–12), Nervus sympathicus, N. panasympathicus. 1) Nn. Intercostales a) Sensorik Nn. intercostales seperti yang digariskan derma-toma. b) Saraf motorik yang menguasai otot-otot dada dan perut seperti tersebut di bawah ini.

Th1 - 12 Musculi intercostales externa. Musculi intercostales interna. Th6 - 12 Musculus rectus abdominalis. Th5 - 12 Musculus obliquus externus abdominis externa. Musculus obliquus externus abdominis interna. L1 - 2 Musculus cremaster.

2) Susunan saraf otonom: Rasa nyeri alat dalam, berhubungan dengan susunan saraf

otonom. a) Rasa nyeri jantung :

Rasa nyeri pada penyakit jantung biasanya dirasakan dari Th1 – 4, yang dinamakan serabut sensorik atau viseral aferen. Badan sel berada di dalam ganglion akan posterior, serabut saraf akan mengikuti nervus cardiacus (symphaticus), ujung cabang- cabang para symphaticus dan nervus Vagus membentuk plexus candiacus. b) Rasa nyeri perut :

Rasa nyeri perut yang disebut rasa nyeri alat dalam biasanya dirasakan dan Th5 – 12. Badan sel saraf ini berada di dalam ganglion akar posterior dan bersatu dengan nervus splanchnicus. Pada rasa nyeri jantung atau perut, bila ganglion symphaticus diblok, jalanan transmisi tersebut akan terputus, sehingga meng- hilangkan rasa sakit. KAUSA NYERI DADA

Nyeri dada dapat disebabkan oleh berbagai macam sebab. Lokasi nyeri dada tergantung derivat segmental saraf aferen. Berbagai penyebab nyeri dada dapat dilihat pada Tabel 1. GAMBARAN KLINIS

Meskipun penyebab nyeri dada demikian banyak, namun yang akan dibahas di sini adalah beberapa jenis nyeri dada yang sering dijumpai dalam praktek sehari-hari yaitu:

1) Jantung • Nyeri angina pektoris yaitu suatu sindrom klinis terjadinya sakit dada yang khas yaitu seperti ditekan atau terasa berat di dada yang seringkali menjalar ke lengan kiri. Rasa sakit tidak lebih 10 menit dan dengan istirahat rasa sakit menghilang. Letak rasa sakit biasanya di sternum atau sub sternum, kadang men- jalar ke punggung, rahang, leher. Kadang rasa sakit seperti di epigastrium, gigi dan bahu. Rasa sakit seperti ditekan benda berat, seperti dijepit, atau perasaan tak enak.

Angina pektoris ada 3 macam yaitu : a) Angina pektoris stabil, timbul sakit dada bila melakukan

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 22

Page 24: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

Tabel 1. Klasifikasi anatomik nyeri dada (modifikasi dari Prout & Cooper, 1987)

1. Jantung a. Miokardium (iskemia, infark, miokarditis) b. Perikardium (perikarditis) c. Katup (prolaps katup mitral, insufisiensi aortalstenosis)

2. Struktur intratoraks yang lain a. Saluran bronkopulmonal dan pleura (pneumonia, pleuritis, tumor,

pneumothoraks) b. Esofagus (refluks esofagitis, hiatus hernia, tumor dan spasme) c.

Aorta(aneurisma) d. Mediastinum (emfisema, tumor atau infeksi nodus limfatikus dan

struktur mediatinum yang lain) e. Diafragma (tumor, radang)

3. Jaringan leher dan dinding dada a. Kulit dan kelenjar mammae (herpes zoster. mastitis) b. Otot (mialgia

interkostal) c. Tulang (trauma, neoplasma, artritis) d. Medula spinalis dan serabut syaraf (radang dan lesi kompresi)

4. Struktur abdomen a. Lambung dan duodenum (ulkus dan neoplasma lmbung) b. Hepar dan

saluran empedu (kolesititis) c. Pankreas (pankreatitis) d. Peritoneum e. Limpa f. Ginjal g. Usus besar

aktifitas fisik sampai kapasitas tertentu dan menghilang bila istirahat. b) Angina pektoris tidak stabil, angina pektoris yang datang pertama kali, angina pektoris makin lama makin berat, pre- infarction angina c) Prinzmetal angina yaitu rasa nyeri dada justru pada saat istirahat disertai ST segmen elevasi pada pemeriksaan EKG. • Nyeri infark miokard akut (IMA) adalah nyeri dada yang terjadi akibat kerusakan (nekrosis) otot jantung akibat aliran darah ke otot jantung terganggu. Rasa nyeri pada IMA terjadi karena rangsang kimiawi atau mekanik pada ujung reseptor saraf. Rangsang ini melalui serabut aferen simpatis ke ganglion simpatis, radiks posterior menuju medula spinalis Th1–5. Di sini impuls aferen simpatis bertemu dengan impuls somatik struktur thoraks. Hal ini merupakan dasar terjadinya cardiac referred pain. Impuls berjalan melalui traktus spinotalamikus ke talamus, dan menuju kortex serebri sehingga terdapat sensasi rasa sakit.

Keluhan nyeri dada akibat IMA adalah sebagai berikut : lokasi nyeri dada bisa substernal, prekordial, epigastriurn. Nyeri dada menjalar ke lengan kiri, leher dan rahang. Lamanya nyeri dada lebih dari 30 menit. Kualitas nyeri dada berupa seperti di- tekan, diremas, atau terasa berat. Nyeri dada tidak hilang dengan istirahat atau pemberian nitras sublingual. Dapat disertai palpi- tasi, sesak nafas, banyak keringat dan pucat. Meskipun pada umumnya nyeri dada IMA merupakan nyeri dada yang berat, tetapi pada Framingham Study dijumpai 25% penderita IMA tanpa keluhan nyeri dada (silent myocardial infarction) yaitu terutama pada penderita diabetes melitus. • Nyeri karena perikarditis dirasakan restrosternal juga, tetapi biasanya bertambah sewaktu berbaring terlentang dan membaik kalau duduk tegak atau sedikit membungkuk. Pada waktu bernafas dalam, nyerinya bertambab. Perasaan tak enak di

dada yang disertai perasaan seperti letih, nafas pendek, jantung berdebar-debar, dan takikardi; perasaan tidak tenang dapat disajikan oleh pasien dengan prolaps katup mitral.

2) Struktur intratoraks yang lain • Nyeri pleural akibat penyakit paru yang menyebabkan kaku pleura. Nyeri dirasakan dada samping secara unilateral, ber- tambah karena pernafasan; sedangkan gerakan badan tidak mem- pengaruhinya. ini berbeda dengan nyeri miofasioskeletal yang bertambah karena pernafasan dan juga gerakan otot atau skelet. • Nyeri pulmonal

Dapat timbul akibat emboli pulmonum atau pneumotoraks, dapat terasa di dada atau di samping toraks yang terasa meng- hebat pada waktu inspirasi. Nyeri pleural dan nyeri pulmonal hampir serupa, dibedakan dari pemeriksaan fisik. • Nyeri esofagal yang timbul pada esofagitis akibat hernia hiatus dirasakan retrosternal dan sekitarnya. Tidak jarang otot dath juga terasa nyeri. Sikap terlentang biasanya membangkit- kan atau memperkuat nyeri esofagal. • Nyeri akibat aneurisma aortae disekans terasa seperti nyeri yang tajam di dada atau di punggung yang menjalar dari atas ke bawah sesuai dengan tempat robeknya dinding aorta.

3) Jaringan leher dan dinding dada • Nyeri herpes zoster

Infeksi virus herpes zoster melanda ganglion spinale dan juga radiks dorsalis, bahkan kornu posterior pun dapat terlibat juga. Para penderita yang mengidap herpes zoster adalah orang- orang yang kesehatan tubuhnya sedang menurun dan umumnya yang sudah setengah tua. Herpes zoster sering timbul sebagai penyakit interkuren, yaitu suatu penyakit yang bangkit sewaktu menderita penyakit tertentu.

Adapun gambaran gejala prodromalnya adalah sebagai berikut: kesehatan umum terganggu oleh perasaan tidak enak badan yang ringan, adakalanya pasien melaporkan secara spontan adanya daerah tubuh yang “paling tidak enak’ atau yang “paling sakit’ di daerah punggung atau dada. Satu sampai tiga hari setelah itu akan timbul gelembung-gelembung (vesikulae) herpes zoster di sepanjang perjalanan saraf perifer yang berinduk pada ganglion spinale tertentu. Pada umumnya hanya sesisi saja, berkelompok dan tidak melewati garis tengah dada. Setelah vesikulae pecah dan berulserasi dan akhirnya kering, penderita- nya dapat dianiaya oleh nyeri yang tidak terhingga di daerah vesikulae yang sudah sembuh itu. Tidak jarang nyeri yang hebat sudah dirasakan sewaktu vesikulae itu belum sembuh. Nyeri hebat itu dikenal dengan neuralgia postherpetik.

Gambaran tentang nyeri itu hampir selalu sama, yaitu seperti kulit dibakar, disayat atau seperti ditusuk-tusuk; hilang timbul tanpa sebab yang menentu. Sehani bisa timbul puluhan serangan, bahkan sewaktu tidur. • Nyeri miofasial yaitu nyeri yang berasal dari unsur miofasial dinding dada.

Sindrom nyeri fasial torakalis yang sering dijumpai dalam praktek sehari-hari adalah: Sindrom kostostemalis atau kosto- khondritis, Sindrom sternalis, Sindrom ujung iga atau rib-tip syndrome.

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 23

Page 25: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

Etiologi sindrom-sindrom tersebut di atas dapat bersifat. rematoid yang sukar untuk ditetapkannya. Ansietas adalah umum bagi para penderita dengan nyeri dada seperti ini; namun demikian tiada seseorang menderita nyeri miofasial hanya karena ansietas. Sering juga nyeri miofasial disebabkan oleh faktor salah guna, seperti bekerja pada posisi yang tidak sehat secara berkepanjangan. Trauma juga termasuk faktor etiologik yang umum. • Sindrom kostosternalis

Gambaran klinisnya adalah nyeri setempat di dada yang bersifat miofasial seperti nyeri tekan pada sambungan-sam- bungan kostosternal. Juga penekanan pada otot interkostal di dekat tempat yang nyeri tekan dirasakan sebagai nyeri. Nyeri ini akan cepat sembuh dengan suntikan kortison-anestetik setempat. Nyeri miofasial ini adakalanya meluas ke seluruh dada dan lebih terasa pada nafas dalam. Nyeri miofasial ini biasanya hilang timbul dan bisa berlangsung beberapa hari, bulan bahkan ber- tahun-tahun bila tidak diobati. • Sindroma sternalis

Penderita biasanya mengeluh tentang nyeri di dinding dada. Mereka dapat menyatakan dengan spontan bahwa nyeri yang di- rasakan berasal dari unsur miofasial dinding dada. Lokasi nyeri adalah di otot sternalis, dan pada penekanan di titik trigger terasa nyeri di dada kedua sisi. Adapun titik trigger adalah sinkondro-sis sternalis. • Sindrom ujung iga (rib-tip syndrome)

Penderita dapat sebagai pasien akut atau gawat, karena di- serang nyeri sangat hebat di ujung anterior iga ke sepuluh. atau ke delapan/ke sembilan. Nyeri di ujung iga itu bergandengan dengan adanya hipermobilitas iga yang bersangkutan.

Sesaat terasanya nyeri hebat itu terdengarlah bunyi klek. Hal ini disebabkan oleh tergelincirnya iga dan sinkondrosisnya. Penekanan pada ujung iga yang bersangkutan membangkitkan nyeri hebat tersebut.

Sindrom ini biasanyadisebabkan oleh trauma langsung atau tidak langsung, seperti memutar badan pada posisi yang tidak sesuai, misalnya belajar tenis atau mengambil tas di tempat du-

duk mobil belakang sambil memutarkan badan karena duduk di belakang setir. Yang terjadi adalah subluksasi kartilago kosta. Suntikan kortison anestesik di dalam otot interkostal dekat ujung iga yang terkena dan pemberian NSAID dapat menyembuhkan sindrom tersebut, namun sewaktu-waktu dapat kambuh.

4) Struktur abdomen • Nyeri panas di dada (heartburn) adalah suatu bentuk gang- guan pencernaan. Sebetulnya istilah heartburn adalah kurang sesuai karena sebetulnya keadaan penyakit tidak berhubungan dengan jantung; tetapi memang perlu untuk membedakannya dengan gejala penyakit jantung murni seperti angina pektoris.

Adapun gejala heartburn adalah rasa panas seperti terbakar di dada di bagian belakang ujung tulang dada atau bagian atas perut; rasa terbakar tersebut mungkin menjalar ke atas dan ke bawah seperti gelombang. Pada keadaan berat mungkin men- jalar sampai ke samping dada dan ke atas ke arah leher. Penyakit yang mendasari bisa ulkus peptikum, gastritis, pankreatitis, kolesistitis dan lain-lain. PENUTUP

Telah diungkapkan beberapa jenis nyeri dada dan faktor- faktor yang mendasari; selanjutnya untuk menentukan diagnosis yang lebih tepat sebagian masih perlu pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang yang sesuai.

KEPUSTAKAAN 1. Sutikno, Suharjono, Darmoyo B. Nyeri dada pada infark miokard akut.

Dalam Hadinoto 5, Setiawan eds. Nyeri, pengenalan dan tata laksana. FK. UNDIP, Semarang 1993. 155–160.

2. Sidharta P. Sakit neuromuskuloskeletal dalam praktek umum. PT Dian Rakyat. Jakarta 1983. 163–180

3. Lee AS dkk. Panduan Kesehatan Keluarga. Yayasan Essentia Medica 1995. 266–267.

4. Hoesodo SK. Memelihara jantung sehat dan menjaga jantung sakit, Citra Budaya, Jakarta 1982.

5. Satyanegara. The theory and therapy of pain. PT Panca S. Jakarta 1972.

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 24

Page 26: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

HASIL PENELITIAN

Demam Rematik

Bambang Kisworo Rumah Sakit Dr Oen, Surakarta

PENDAHULUAN

Demam rematik merupakan suatu penyakit sistemik yang, dapat bersifat akut, subakut, kronik, atau fulminan, dan dapat terjadi setelah infeksi Streptococcus beta hemolyticus group A pada saluran pernafasan bagian atas(1-4). Penyakit ini dan gejala sisanya, yaitu penyakit jantung rematik, merupakan jenis penyakit jantung didapat yang paling banyak dijumpai pada populasi anak-anak dan dewasa muda(2,3,5). Puncak insiden demam rematik terdapat pada kelompok usia 5-15 tahun; penyakit ini jarang dijumpai pada anak dibawah usia 4 tahun dan penduduk di atas 50 tahun(1). Demam rematik dan penyakit jantung rematik hingga saat ini masih menjadi masalah kesehat- an yang penting di negara-negara yang sedang berkembang(2,3,5).

Prevalensi demam rematik/penyakit jantung rematik yang diperoleh dan penelitian WHO mulai tahun 1984 di 16 negara sedang berkembang di Afrika, Amerika Latin, Timur Jauh, Asia Tenggara dan Pasifik Barat berkisar 0,1 sampai 12,6 per 1.000 anak sekolah, dengan prevalensi rata-rata sebesar 2,2 per 1.000(5). Prevalensi pada anak-anak sekolah di beberapa negara Asia pada tahun 1980-an berkisar 1 sampai 10 per 1.000(3). Dari suatu penelitian yang dilakukan di India Selatan diperoleh prevalensi sebesar 4,9 per 1.000 anak sekolah(6), sementara angka yang didapatkan di Thailand sebesar 1,2 sampai 2,1 per 1.000 anak seko1ah(7).

Prevalensi demam rematik di Indonesia belum diketahui secara pasti, meskipun beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa revalensi penyakit jantung rematik berkisar 0,3 sampai 0,8 per 1.000 anak sekolah. Dengan demikian, secara kasar dapat diperkirakan bahwa prevalensi demam rematik di Indonesia pasti lebih tinggi dan angka tersebut, mengingat penyakit jantung rematik merupakan akibat dari demam rematik(8).

Dalam tulisan ini akan dibahas masalah diagnosis dan penatalaksanaan demam rematik.

DIAGNOSIS Diagnosis demam rematik lazim didasarkan pada suatu

kriteria yang untuk pertama kali diajukan oleh T. Duchett Jones dan, oleh karena itu kemudian dikenal sebagai kriteria Jones(2,9). Kriteria Jones memuat kelompok kriteria mayor dan minor yang pada dasarnya merupakan manifestasi klinik dan laboratorik demam rematik. Pada perkembangan selanjutnya, kriteria ini kemudian diperbaiki oleh American Heart Association dengan menambahkan bukti adanya infeksi streptokokus sebelumnya (Tabel 1). Apabila ditemukan 2 kriteria mayor, atau 1 kriterium mayor dan 2 kriteria minor, ditambah dengan bukti adanya infeksi streptokokus sebelumnya, kemungkinan besar menandakan adanya demam rematik(1-4,9-12). Tanpa didukung bukti adanya infeksi streptokokus, maka diagnosis demam rematik harus selalu diragukan, kecuali pada kasus demam rematik dengan mani- festasi mayor tunggal berupa korea Syndenham atau karditis derajat ringan, yang biasanya terjadi jika demam rernatik baru muncul setelah masa laten yang lama dan infeksi strepthkokus(4,9).

Perlu diingat bahwa kriteria Jones tidak bersifat mutlak, te- tapi hanya sebagai suatu pedoman dalam menentukan diagnosis demam rematik(1,10). Kriteria ini bermanfaat untuk memperkecil kemungkinan terjadinya kesalahan diagnosis, baik berupa over- diagnosis maupun underdiagnosis(10). Kriteria Mayor 1) Karditis merupakan manifestasi klinik demam rematik yang paling berat karena merupakan satu-satunya manifestasi yang dapat mengakibatkan kematian penderita pada fase akut dan dapat menyebabkan kelainan katup sehingga terjadi penyakit jantung rematik(2,4,9).

Diagnosis karditis rematik dapat ditegakkan secara klinik berdasarkan adanya salah satu tanda berikut: (a) bising baru atau perubahan sifat bising organik, (b) kardiomegali, (c) perikarditis, dan gagal jantung kongestif(1,2,4,10,11).

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 25

Page 27: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

Tabel 1. Kriteria Jones (yang diperbaiki) untuk diagnosis demam rematik

Kriteria Mayor Karditis Poliartritis Korea Eritema marginatum Nodulus subkutan Kriteria Minor Klinik Riwayat demam rematik atau penyakit jantung rematik sebelumnya Artralgia Demam Laboratorium Peningkatan kadar reaktan fase akut (protein C reaktif, laju endap darah, leukositosis) Interval P-R yang memanjang

Ditambah Tanda-tanda yang mendukung adanya infeksi streptokokus sebelumnya: kenaikan titer antistreptolisin 0 (ASTO) atau antibodi antistreptokokus ainnya, biakan usapan tenggorokan yang positif untuk streptokokus grupA atau baru menderita demam skarlatina.

Bising jantung merupakan manifestasi karditis rematik yang

seringkali muncul pertama kali, sementara tanda dan gejala perikarditis serta gagal jantung kongestif biasanya baru timbul pada keadaan yang lebih berat(4). Bising pada karditis rematik dapat berupa bising pansistol di daerah apeks (regurgitasi mitral), bising awal diastol di daerah basal (regurgitasi aorta), dan bising mid-diastol pada apeks (bising Carey-Coombs) yang timbul akibat adanya dilatasi ventrikel kiri(2,9,10,11). 2) Poliartritis ditandai oleh adanya nyeri, pembengkakan, ke- merahan, teraba panas, dan keterbatasan gerak aktif pada dua sendi atau lebih. Artritis pada demam rematik paling sering mengenai sendi-sendi besar anggota gerak bawah. Kelainan ini hanya berlangsung beberapa hari sampai seminggu pada satu sendi dan kemudian berpindah, sehingga dapat ditemukan artritis yang saling tumpang tindih pada beberapa sendi pada waktu yang sama; sementara tanda-tanda radang mereda pada satu sendi, sendi yang lain mulai terlibat(1,2,4,9,10,11).

Perlu diingat bahwa artritis yang hanya mengenai satu sendi (monoartritis) tidak dapat dijadikan sebagai suatu kriterium mayor(4,9,10,11). Selain itu, agar dapat digunakan sebagai suatu kriterium mayor, poliartritis harus disertai sekurang-kurang- nya dua kriteria minor, seperti demam dan kenaikan laju endap darah, serta harus didukung oleh adanya titer ASTO atau antibodi antistreptokokus lainnya yang tinggi(4). 3) Korea secara khas ditandai oleh adanya gerakan tidak di- sadari dan tidak bertujuan yang berlangsung cepat dan umum- nya bersifat bilateral, meskipun dapat juga hanya mengenai satu sisi tubuh. Manifestasi demam rematik ini lazim disertai ke- lemahan otot dan ketidak-stabilan emosi. Korea jarang dijumpai pada penderita di bawah usia 3 tahun atau setelah masa pubertas dan lazim terjadi pada perempuan(1,2,4,9,10,11). Korea Syndenham merupakan satu-satunya tanda mayor yang sedemikian penting sehingga dapat dianggap sebagai pertanda adanya demam rematik meskipun tidak ditemukan kriteria yang lain(3,9). Korea merupakan manifestasi demam rematik yang muncul secara

lambat, sehingga tanda dan gej ala lain kemungkinan sudah tidak ditemukan lagi pada saat korea mulai timbul(1,4). 4) Eritema marginatum merupakan wujud kelainan kulit yang khas pada demam rematik dan tampak sebagai makula yang berwarna merah, pucat di bagian tengah, tidak terasa gatal, berbentuk bulat atau dengan tepi yang bergelombang dan meluas secara sentrifugal(2,4,9,10). Eritema marginatum juga dikenal sebagai eritema anulare rematikum dan terutama timbul di daerah badan, pantat, anggota gerak bagian proksimal, tetapi tidak pernah ditemukan di daerah wajah. Kelainan ini dapat bersifat sementara atau menetap, berpindah-pindah dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh yang lain, dapat dicetuskan oleh pemberian panas, dan memucat jika ditekan(4,9,10). Tanda mayor demam rematik ini hanya ditemukan pada kasus yang berat(2,4). 5) Nodulus subkutan pada umumnya hanya dijumpai pada kasus yang berat dan terdapat di daerah ekstensor persendian, pada kulit kepala serta kolumna vertebralis. Nodul ini berupa massa yang padat, tidak terasa nyeri, mudah digerakkan dari kulit di atasnya, dengan diameter dan beberapa milimeter sampai sekitar 2 cm(1,4,9,11). Tanda ini pada umumnya tidak akan ditemu- kan jika tidak terdapat karditis(2,9). Kriteria Minor 1) Riwayar demam rematik sebelumnya dapat digunakan se- bagai salah satu kriteria minor apabila tercatat dengan baik sebagai suatu diagnosis yang didasarkan pada kriteria obyektif yang sama. Akan tetapi, riwayat demam rematik atau penyakit jantung rematik inaktif yang pernah diidap seorang penderita seringkali tidak tercatat secara baik sehingga sulit dipastikan kebenarannya, atau bahkan tidak terdiagnosis(9,10). 2) Artralgia adalah rasa nyeri pada satu sendi atau lebih tanpa disertai peradangan atau keterbatasan gerak sendi. Gejala minor ini harus dibedakan dengan nyeri pada otot atau jaringan periartikular lainnya, atau dengan nyeri sendi malam hari yang lazim terjadi pada anak-anak normal(9,10). Artralgia tidak dapat digunakan sebagai kriteria minor apabila poliartritis sudah dipakai sebagai kriteria mayor(10). 3) Demam pada demam rematik biasanya ringan,meskipun adakalanya mencapai 39°C, terutama jika terdapat karditis. Manifestasi ini lazim berlangsung sebagai suatu demam derajat ringan selama beberapa minggu(1,9,11). Demam merupakan pertanda infeksi yang tidak spesifik, dan karena dapat dijumpai pada begitu banyak penyakit lain, kriteria minor ini tidak me- miliki arti diagnosis banding yang bermakna(9,10). 4) Peningkatan kadar reaktan fase akut berupa kenaikan laju endap darah, kadar protein C reaktif, serta leukositosis me- rupakan indikator nonspesifik dan peradangan atau infeksi. Ketiga tanda reaksi fase akut ini hampir selalu ditemukan pada demam rematik, kecuali jika korea merupakan satu-satunya manifestasi mayor yang ditemukan(1,11).

Perlu diingat bahwa laju endap darah juga meningkat pada kasus anemia dan gagal jantung kongestif. Adapun protein C reaktif tidak meningkat pada anemia, akan tetapi mengalami kenaikan pada gagal jantung kongestif. Laju endap darah dan kadar protein C reaktif dapat meningkat pada semua kasus

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 26

Page 28: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

infeksi, namun apabila protein C reaktif tidak bertambah, maka kemungkinan adanya infeksi streptokokus akut dapat diper- tanyakan(9). 5) Interval P-R yang memanjang biasanya menunjukkan adanya keterlambatan abnormal sistem konduksi pada nodus atrioventrikel dan meskipun sering dijumpai pada demam re- matik, perubahan gambaran EKG ini tidak spesifik untuk demam rematik. Selain itu, interval P-R yang memanjang juga bukan merupakan pertanda yang memadai akan adanya karditis rematik(4,9,11).

Bukti yang Mendukung Titer antistreptolisin O (ASTO) merupakan pemeriksaan

diagnostik standar untuk demam rematik, sebagai salah satu bukti yang mendukung adanya infeksi streptokokus(1,10). Titer ASTO dianggap meningkat apabila mencapai 250 unit Todd pada orang dewasa atau 333 unit Todd pada anak-anak di atas usia 5 tahun, dan dapat dijumpai pada sekitar 70% sampai 80% kasus demam rematik akut(4,9).

Infeksi streptokokus juga dapat dibuktikan dengan mela- kukan biakan usapan tenggorokan. Biakan positif pada sekitar 50% kasus demam rematik akut(1,10). Bagaimanapun, biakan yang negatif tidak dapat mengesampingkan kemungkinan adasnya infeksi streptokokus akut(9). PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan demam rematik meliputi: (1) tirah baring di rumah sakit, (2) eradikasi kuman streptokokus, (3) pemberian obat-obat antiradang. (4) pengobatan korea, (5) penanganan komplikasi seperti gagal jantung, endokarditis bakteri. atau trombo-emboli, serta (6) pemberian diet bergizi tinggi me- ngandung cukup vitamin(3,12).

Tirah Baring Semua penderita demam rematik harus tinggal di rumah

sakit. Penderita dengan artritis atau karditis ringan tanpa mengalami gagal jantung tidak perlu menjalani tirah baring se- cara ketat(3,11). Akan tetapi, apabila terdapat karditis yang berat (dengan gagal jantung kongestif), penderita harus tirah baring total paling tidak selama pengobatan kortikosteroid. Lama tirah baring yang diperlukan sekitar 6-8 minggu(10,11), yang paling menentukan lamanya tirah baring dan jenis aktivitas yang boleh dilakukan adalah penilaian klinik dokter yang merawat(3). Sebagai pedoman, tirah baring sebaiknya tetap diberlakukan sampai semua tanda demam rematik akut telah mereda, suhu kembali normal saat tirah baring tanpa pemberian obat antipiretik, denyut nadi kembali normal dalam keadaan istira- hat, dan pulihnya fungsi jantung secara optimal(1).

Eradikasi Kuman Streptokokus Eradikasi harus secepatnya dilakukan segera setelah

diagnosis demam rematik dapat ditegakkan. Obat pilihan per- tama adalah penisilin G benzatin karena dapat diberikan dalam dosis tunggal, sebesar 600.000 unit untuk anak di bawah 30 kg dan 1 ,2 juta unit untuk penderita di atas 30 kg. Pilihan berikutnya adalah penisilin oral 250 mg 4 kali sehari diberikan selama 10

hari. Bagi yang alergi terhadap penisilin, eritromisin 50 mg/kg/ hari dalam 4 dosis terbagi selama 10 hari dapat digunakan se- bagai obat eradikasi pengganti(3,9-12).

Obat Antiradang Salisilat memiliki efek dramatis dalam meredakan artritis

dan demam. Obat ini dapat digunakan untuk memperkuat diagnosis karena artritis demam rematik memberikan respon yang cepat terhadap pemberian salisi1at(1,3,10). Natrium salisilat diberikan dengan dosis 100-120 mg/kg/hari dalam 4-6 dosis terbagi selama 2-4 minggu, kemudian diturunkan menjadi 75 mg/kg/hari selama 4-6 minggu(1,3,10,12). Aspirin dapat dipakai untuk mengganti salisilat dengan dosis untuk anak-anak sebesar 15-25 mg/kg/hari dalam 4-6 dosis terbagi selama seminggu, untuk kemudian diturunkan menjadi separuhnya; dosis untuk orang dewasa dapat mencapai 0,6-0,9 g setiap 4 jam(1).

Kortikosteroid dianjurkan pada demam rematik dengan gagal jantung. Obat ini bermanfaat meredakan proses peradang- an akut, meskipun tidak mempengaruhi insiden dan berat ringannya kerusakan pada jantung akibat demam rematik(1,10). Prednison diberikan dengan dosis 2 mg/kg/hari dalam 3-4 dosis terbagi selama 2 minggu, kemudian diturunkan menjadi 1 mg/ kg/hari selama minggu ke 3 dan selanjutnya dikurangi lagi sampai habis selama 1-2 minggu berikutnya. Untuk menurun- kan resiko terjadinya rebound phenomenon, pada awal minggu ke 3 ditambahkan aspirin 50-75 mg/kg/hari selama 6 minggu berikutnya(3,10,11,12).

Secara ringkas, indikasi dan dosis pemberian obat antiradang pada demam rematik dapat dilihat pada Tabel 2(3,12). Tabel 2. Indikasi dan dosis obat antiradang pada demam rematik

Manifestasi Pengobatan

Artritis, dan/atau karditis tanpa kardiomegali Karditis dengan kardiomegali atau gagal jantung

Salisilat 100 mg/kg/hari selama 2 minggu, kemudian diturunkan menjadi 75 mg/kg/hari selama 4-6 minggu. Prednison 2 mg/kg/hari selama 2 minggu, kemudian diturunkan 1 mg/kg/hari sampai habis selama 2 minggu, dit 4mbah dengan salisilat 75 mg/kg/hari mulai minggu ke 3 selama 6 minggu.

Pengobatan Korea Korea pada umumnya akan sembuh sendiri, meskipun dapat

berlangsung selama beberapa minggu sampai 3 bulan(1,3,10,11). Obat-obat sedatif, seperti klorpromazin, diazepam, fenobarbital atau haloperidol dilaporkan memberikan hasil yang memuas- kan(10,11). Perlu diingat, halopenidol sebaiknya tidak diberikan pada anak di bawah umur 12 tahun(10).

Penanganan Gagal Jantung Gagal jantung pada demam rematik dapat ditangani seperti

kasus gagal jantung pada umumnya. Komplikasi ini biasanya dapat diatasi dengan tirah baring dan pemberian kortikosteroid, meskipun seringkali perlu diberikan digitalis, diuretik, atau vasodilator(3,12). Digitalis biasanya tidak seefektif pada gagal

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 27

Page 29: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

jantung kongestif akibat kelainan lainnya(1). Pemberian obat ini harus dilakukan secara hati-hati karena dapat menambah iritabilitas jantung sehingga dapat menyebabkan aritmia(1), di samping batas keamanannya yang sempit(12).

PENUTUP Demam rematik merupakan penyakit yang masih menjadi

masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Diagnosis dini, pengobatan secara tepat dan pencegahan sekunder merupakan aspek yang sangat penting dalam penanganan demam rematik.

Pencegahan Sekunder Penderita demam rematik mempunyai risiko besar untuk mengidap serangan ulangan demam rematik setelah terserang infeksi bakteri streptokokus grup A berikutnya. Oleh karena itu, pencegahan merupakan aspek penanganan demam rematik yang sangat penting(11). Pencegahan sekunder pada dasarnya merupakan pemberian antibiotik secara teratur pada penderita yang pernah mengidap demain rematik agar tidak terjadi infeksi streptokokus pada saluran pernafasan bagian atas, sehingga tidak terjadi serangan ulang demam rematik(3,10).

KEPUSTAKAAN

1. Sokolow M, Mcllroy MB, Cheitlin MD. Clinical Cardiology. 5th ed. Connecticut: Appleton & Lange, 1990: 542-47.

2. Affandi MB. Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik: Diagno sis, penatalaksanaan dan gambaran klinik pada pemeriksaan pertama di RSCM Bagian 1K Anak, Jakarta 1978-1981. Maj Kes Mas 1986; XVI (4): 240-48.

3. Wahab AS. Penanganan Demam Rematik pada Anak. Berita Kedokteran Masyarakat 1989; V (5): 196-203.

Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik sebagai berikut: (1) penisilin G benzatin 1,2 juta unit setiap 4 minggu; (2) sulfadiazin 500 mg/hari sebagai dosis tung- gal per oral untuk penderita dengan berat badan di atas 27 kg; (3) penisilin V 250mg 2 kali/hari per oral; atau (4) bagi penderita yang alergi terhadap penisilin dapat diberi eritromisin 250 mg 2 kali sehari(2,3,10,11,12).

4. Stollerman GH. Rheumatic Fever. In: Braunwald, E. etal (eds). Harrison’s Principles of Internal Medicine. 11th. ed. McGraw-Hill Book Co. GmbH, Hamburg, 1987 : 951-56.

5. World Health Organization. WHO program for the prevention of rheumatic fever/rheumatic heart disease in 16 developing countries: report from Phase 1(1986-90). Bull WHO 1992; 70(2): 213-18.

6. Koshi G, Benjamin V, Chenan G. Rheumatic fever and rheumatic heart disease in rural South Indian children. Bull WHO 1981; 59 (4): 599-603. Pencegahan sekunder dianjurkan untuk tetap diberikan pa-

ling tidak sampai usia 18 tahun(2,3,11). Pada penderita demam re- matik yang mengalami kelainan katup jantung, pencegahan ini dianjurkan diberikan seumur hidup(2,11).

7. Sanguanchua P. Rheumatic Fever and Rheumatic Heart Disease in Southern Thailand. Kardiologi Indonesia 1987; IX (3): 99-101.

8. Soeroso S dkk. Ttnjauan Prevalensi Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik pada Anak di Indonesia. Dalam: Sastrosubroto H. dkk (ed). Naskah Lengkap Simposium dan Seminar Kardiologi Anak. Semarang. 27 September 1986: 1-11.

PROGNOSIS

9. Tadzynski LA, Ryan ME. Diagnosis of Rheumatic Fever. Medical Current 1989; 3 (1): 68-70. Prognosis demam rematik tergantung pada stadium saat

diagnosis ditegakkan, umur, ada tidaknya dan luasnya kelainan jantung, pengobatan yang diberikan, serta jumlah serangan sebelumnya. Prognosis pada umumnya buruk pada penderita dengan karditis pada masa kanak-kanak(10). Serangan ulang da- lam waktu 5 tahun pertama dapat dialami oleh sekitar 20% penderita dan kekambuhan semakin jarang terjadi setelah usia 21 tahun(1).

10. Gupte S. The Short Textbook of Pediatrics. Bombay: M/s Jaypee Brothers, 1989: 165-69.

11. Wolfe RR, Wiggins JW. Rheumatic Fever. In: Hathaway WE et al (eds). Current Pediatric Diagnosis & Treatment. 10th ed. Connecticut: Appleton & Lange 1991 : 455-58.

12. Madiyono B. Penatalaksanaan Medis Demam Rematik (DR) dan Penya kit Jantung Rematik (PJR) di Bagian IKA FKUI/RSCM. Kardiologi Indonesia 1989; Xl (1): 9-18.

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 28

Page 30: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

HASIL PENELITIAN

Efek Ramuan Buah Mengkudu dan Daun Kumis Kucing untuk Menurunkan Tekanan Darah pada Penderita Hipertensi

Lestari Handayani, Didik Budijanto

Pusat Penelitian dan Pen gembangan Pelayanan Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Keseharan Departemen Kesehatan RI Surabaya

PENDAHULUAN

Menurut WHO prevalensi hipertensi di negara maju ber- kisar 10–20%, sedangkan di Indonesia sekitar 10%. Data SKRT (Survai Kesehatan Rumah Tangga) 1992 dikatakan bahwa pe- nyebab kematian terbanyak (16,4%) disebabkan oleh karena penyakit jantung dan pembuluh darah yang di antaranya adalah hipertensi, sedangkan kematian terbanyak akibat penyakit ini dijumpai pada usia 44 tahun ke atas. Jumlah yang cukup besar ini tentunya berpengaruh terhadap produktifitas kerja penderita- nya karena menyerang pada usia produktif. Penderita usia lanj- ut akan menjadi beban perekonomian terutama dalam lingkup keluarga karena biaya pengobatan dan obat yang seringkali ber- langsung seumur hidup.

Obat untuk hipertensi semakin berkembang dan tahun ke tahun. Penelitian-penelitian untuk menemukan obat dengan efektifitas yang lebih baik dan efek samping seminimal mungkin terus berlanjut. Namun di sisi lain secara turun temurun sebe-narnya telah dikenal pengobatan tradisional untuk mengatasi hipertensi. Penggunaan obat tradisional sudah cukup luas dan diakui secara empiris banyak membantu mengurangi keluhan pada penderita hipertensi. Pengobatan tradisional ini secara ter- samar telah mendampingi obat modern bahkan keberadaannya mendahului pengobatan modern yang sekarang lebih dikenal dan diakui.

Sehubungan dengan keadaan tersebut, studi ini bertujuan mengkaji penggunaan buah Mengkudu dikombinasi dengan daun Kumis Kucing sebagai obat hipertensi yang dilaksanakan di Laboratorium Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Peng- obatan Obat Tradisional (Laboratorium P4OT) di Surabaya. Studi ini diharapkan dapat digunakan sebagai pijakan awal dalam pengembangan lebih lanjut menjadi fitofarmaka meng- ingat penelitian pendahuluan tentang isi bahan berkhasiat, pe- nelitian pre klinik dan pembudidayaan dua jenis tumbuhan obat ini sudah banyak dilakukan.

BAHAN DAN CARA

1) Sampel Studi ini dilakukan di Laboratorium P4OT Surabaya dengan

sampel penderita hipertensi yang berobat di tempat pelayanan pengobatan tradisional tersebut. Pengambilan sampel adalah seluruh penderita hipertensi yang berobat di P4OT pada tahun 1994 dengan kriteria : tidak menderita penyakit berat lainnya, tidak minum obat lain selain yang diberikan dalam penelitian ini, minum obat secara teratur, dan bersedia mengikuti prosedur pengobatan tanpa paksaan.

Pada penderita dilakukan pemeriksaan tekanan darah meng- gunakan sphigmomanometer air raksa yang sama pada waktu kunjungan pertama (sebelum minum ramuan obat). Dilakukan pengukuran ulang pada kunjungan satu minggu pertama dan kedua setelah minum ramuan obat. Pemeriksaan tekanan darah dilakukan pada penderita yang berbaring dan diukur dengan memasang manset pada 2/3 lengan kanan atas. Kriteria Hipertensi :

Yang dimaksud penderita Hipertensi dalam penelitian ini sesuai ketentuan WHO adalah penderita yang pada pengukuran tekanan darah diperoleh tekanan sistolik ≥ 140 rnmHg dan/atau tekanan diastolik ≥ 90 mmHg.

2) Identifikasi Bahan Ramuan a) MENGKUDU Nama Latin : Morinda citrifolia Linn. Nama Daerah : Pace (Jawa), Cangkudu (Sunda). Kandungan kimia :

Daun dan buah Morinda citrifolia mengandung alkaloid, saponin, flavonoida dan antrakinon. Di samping itu daunnya juga mengandung polifenol. Khasiat dan kegunaan :

Telah dilakukan beberapa penelitian preklinik mengenai kandungan kimia, efek anti inflamasi, anti bakteri dan antelmin-

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 29

Page 31: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

tik, efek terhadap kadar gula darah binatang percobaan dan efek hipotensif.

Penggunaan buah Mengkudu sebagai obat tekanan darah tinggi di masyarakat pada umumnya adalah dengan minum air perasan yang telah disaring dari dua buah Mengkudu masak dan diminum 2 kali sehari dengan takaran yang sama. b) KUMIS KUCING Nama Latin : Orthosiphon stamineus Bent Nama Daerah : Remujung (Jawa Tengah), Kumis Kucing (Jawa Barat), Songot Koceng (Madura). Kandungan Kimia :

Daun mengandung alkaloida, saponin, flavonoida, polifenol. Khasiat dan kegunaan:

Sebagai diuretik, pelarut kalsium oksalat, anti bakteri. Penggunaan sebagai obat hipertensi adalah karena khasiat

diuretik yang dimilikinya. Penggunaannya secara umum dengan merebus setengah genggam daun yang ditambah air sebanyak 2 gelas dan direbus sehingga tersisa air sebanyak 1 gelas. Air rebusan ini diminum 2 kali sehari sebanyak masing-masing setengah gelas.

3) Penyediaan Bahan Penyediaan bahan obat dilakukan di Laboratorium P4OT.

Kedua macam bahan tanaman obat diperoleh dan tanaman yang berada di sekitar gedung Laboratorium P4OT, Surabaya.

Buah Mengkudu setengah masak dirajang tipis, dikeringkan dengan cara diangin-anginkan selama dua hari dan kemudian disimpan dalam almari pengering bersuhu 38°–40°C sampai kering. Buah yang telah kering disimpan dalam wadah tertutup.

Herba Kumis Kucing dikeringkan dengan cara diangin- anginkan selama satu hari selanjutnya dimasukkan almari pe- ngering bersuhu 38°–40°C sampai kering. Herba Kumis Kucing kering digiling dengan mesin giling menjadi serbuk halus yang kemudian disimpan dalam wadah tertutup rapat.

4) Pengobatan Pengobatan yang diberikan pada pasien hipertensi di Labo-

ratorium P4OT terdiri dari ramuan buah Mengkudu dan daun Kumis Kucing yang sudah dikeringkan dan dikemas dalam kantong plastik.

Setiap takar untuk penggunaan satu hari terdiri dari 10 gram buah Mengkudu kering ditambah 2,5 gram serbuk herba Kumis Kucing. Setiap takar ramuan direbus dengan cara ditambah dengan air 2 (dua) gelas belimbing dan direbus sampai tersisa air rebusan sebanyak sekitar I (satu) gelas atau 200 ml. Air rebusan ini disaring, dibuang ampasnya dan diminum 2 kali sehari masing-masing setengah gelas.

5) Analisa Rantai Markov Efek kedua bahan yang diteliti akan dibahas secara deskrip-

tif dan dianalisis dengan metode Rantai Markov (Markov Chain) untuk meramalkan hasil pengobatan secara terkelompok ter- hadap periode waktu pengobatan.

Rantai Markov merupakan suatu proses berantai di mana keadaan suatu kejadian hanya tergantung dan kejadian sebelum- nyadan tidak tergantung dan kejadian sebelumnya lagi.

Keterangan: al = a x a + b x c bl = a x b + b x d cl a x c + c x d dl = b x c + d x d HASIL DAN PEMBAHASAN

1) Karakteristik Penderita Hipertensi Selama kurun waktu satu tahun (1994) diperoleh 43 pen-

derita yang memenuhi kriteria sampel penelitian yang terdiri dari wanita 28 orang (65,1%) dan laki-laki 15 orang (34,9%). Ber- dasarkan pendidikannya diperoleh 7 orang (16,3%) buta huruf atau tidak tamat sekolah dasar, 22 orang (51,2%) tamat sekolah dasar, 9 orang (20,9%) tamat sekolah menengah pertama, 2 orang (4,7%) tamat sekolah menengah atas dan 3 orang (7,0%) tamat akademi atau sarjana.

Usia termuda adalah 30 tahun dan tertua 85 tahun sehingga untuk kelompok umur dibagi 4 yaitu kelompok I kurang dari 50 tahun (12 orang), kelompok II antara 50–60 tahun (16 orang), kelompok III antara 61–70 tahun (1 orang) dan kelompok IV Iebih dari 70 tahun (4 orang).

2) Distribusi Frekuensi Tekanan Darah Dilakukan pemeriksaan tekanan darah sebelum pemberian

obat pada sampel sebanyak 43 orang. Satu minggu setelah pem- berian obat, dilakukan pengukuran tekanan darah kembali dan pada pengukuran ini seluruh sampel dapat tercakup (43 orang). Pada minggu kedua dilakukan pengukuran ulang tekanan darah pada sampel, ternyata sebanyak 17 orang penderita tidak hadir sehingga pada pemeriksaan 2 minggu setelah pemberian obat hanya diperoleh data dan 26 penderita. Dalam kajian ini dilihat distribusi pasien berdasar tekanan sistolik saja, diastolik saja dan gabungan sistolik dengan diastolik. a) Tekanan Darah Sistolik

Dilakukan pengelompokan sampel berdasarkan tekanan da- rah sistoliknya yaitu : kelompok I S < 140 mmHg, kelompok II S = 140–180 mmHg, dan kelompok III S>180 mmHg (Tabel 1).

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Tekanan Darah Sistolik Berdasarkan Penge- lompokan Sebelum Minum Ramuan, 1 minggu dan 2 minggu Setelah Minum Ramuan.

Minum - Ramuan

Pre 1 Post 1 mg Post 2 mg Pengelompokan tekanan sistolik

n % n % n %

< 140 mmHg 140-180 mmHg > 180 mmHg

0 35 8

0,0 81,4 18,6

16 23 4

37,2 535 9,3

10 13 3

38,5 50,0 11,5

Jumlah 43 orang 43 orang 26 orang

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 30

Page 32: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

b) Tekanan Darah Diastolik Dilakukan pengelompokan sampel menjadi 3 berdasarkan

tekanan darab diastoliknya yaitu : kelompok I D <90 mmHg, kelompok II D = 90–105 mmHg, dan kelompok III D > 105 mmHg (Tabel 2).

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Tekanan Darah Diastolik Berdasarkan Pengelompokan Sebelum Minum Ramuan, 1 minggu dan 2 minggu Setelah Minum Ramuan.

Minum - Ramuan

Pre Post 1 mg Post 2 mg Pengelompokan

tekanan diastolik n % n % n %

< 90 mmHg 90–105 mmHg > 105 mmHg

9 28 6

20,9 65,1 14,0

22 19 2

51,2 44,2 4,7

12 12 2

46,1 46,1 7,8

Jumlah 43 orang 43 orang 26 orang

c) Tekanan Darah Sistolik/Diastolik Berdasarkan derajatnya, tekanan darah dikelompokkan

menjadi : Normal S < 140 mmHg dan/atau D < 90 mmHg, Hipertensi ringan S ≥ 140–180 mmHg dan/atau D ≥ 90–105 mmHg, dan Hipertensi sedang/berat S > 180 mmHg dan/atau D > 105 mmHg.

Derajat hipertensi pada awal, 1 minggu dan 2 minggu setelah pemberian ramuan terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Tekanan Darah Sistolik/Diastolik Berdasar- kan Pengelompokan Sebelum Minum Ramuan, 1 dan 2 minggu Setelah Minum Ramuan.

Minum - Ramuan

Pre Post 1 mg Post 2 mg Pengelompokan tekanan darah

n % n % n %

Normal Hipertensi ringan H. sedang/berat

0 33 10

0,0 767 23,3

5 34 4

11,6 79,1 9,3

3 20 3

115 77,0 11,5

Jumlah 43 orang 43 orang 26 orang

Dari hasil ini dapat dikatakan bahwa setelah pengobatan selama satu minggu ternyata kelompok I jumlahnya semakin besar yang merupakan pindahan dan kelompok II atau III dan berarti pula bahwa jumlah pasien pada kelompok II dan III semakin kecil; demikian pula dengan pengelompokan setelah pengobatan 2 minggu. Jadi ternyata terdapat pergeseran dis- tribusi ke arah membaik (tensi normal atau hipertensi ringan); distribusi setelah pengobatan 2 minggu hasilnya tidak jauh berbeda.

Dalam membandingkan distribusi pasien pada kunjungan 2 minggu setelah pengobatan perlu perhatian terhadap ketidak- hadiran 17 orang pasien sehingga dapat mempengaruhi distri- businya. Penyebab ketidakhadiran dapat dipengaruhi oleh hasil pengobatan (membaik, tetap ataupun meningkat). Melihat bahwa distribusi kelompok I (lebih ringan hipertensinya) semakin tinggi diduga pasien enggan untuk datang lagi karena merasa sudah ringan keluhannya. Hal ini ditunjang oleh hasil anamnesis yang menyatakan bahwa “keluhan berkurang setelah minum jamu” cukup tinggi yaitu 22%.

3) Analisis hasil pengobatan dengan metode Rantai Markov Ramalan hasil pengobatan dengan ramuan kedua bahan yang diteliti dihitung dengan metode Rantai Markov. Diambil salah satu hasil pengobatan yaitu pengukuran tekanan darah diastolik yang dihitung untuk masing-masing periode pengobatan dengan jangka waktu 1 minggu.

Keadaan ramalan hasil pengobatan pada tabel periode ke 2 sampai dengan ke 5 selalu berubah sedangkan pada periode ke 6 keadaan sama dengan periode ke 5. Ini berarti bahwa pada periode ke 5 dan seterusnya akan menunjukkan keadaan yang sama. Dari hasil ramalan dengan metode Rantai Markov dapat dikatakan bahwa dengan ramuan yang sama dan dengan asumsi bahwa tidak ada perubahan lingkungan yang berpengaruh, akan diperoleh hasil maksimal pada periode ke 5 (Tabel 4). KESIMPULAN

Hasil kajian ini memperlihatkan pergeseran tekanan darah ke arah membaik pada 43 orang penderita hipertensi yang diteliti.

Tabel 4a. Keadaan periode ke I Probabilitas Konversi

Tekanan diastolik setelah terapi Tek. Diastolik sebelum terapi < 90 mmHg 90-105 mmHg > 105 mmHg

Total

< 90 mmHg

0,8888 ( 8 orang)

0,1111 ( I orang)

0,0000 (0 orang)

l,0 9 orang

90-105 mmHg

0,5000 (14 orang)

0,5000 (14 orang)

0,0000 (0 orang)

1,0 28 orang

> 105

0,0000 ( 0 orang)

0,6667 ( 4 orang)

0,3333 (2 orang)

1 0 6 orang

Tabel 4b. Keadaan periode ke 2 (ramalan) : Probabilitas Konversi

Tekanan diastolik setelah terapi Tek. Diastolik sebelum terapi < 90 mmHg 90-105 mmHg > 105 mmHg

Total

< 90 mmHg 0,8457 0,1543 0,0000 1,0000 90-105 mmHg 0,6945 0,3055 0,0000 10000 > 105 0,3333 0,5556 0,1111 1 0000

Tabel 4c. Keadaan periode ke 3 (ramalan) : Probabilitas Konversi

Tekanan diastolik setelah terapi Tek. Diastolik sebelum terapi < 90 mmHg 90-105 mmHg > 105 mmHg

Total

< 90 mmHg 0,8224 0,1776 0,0000 1,0000 90-105 mmHg 0,7995 0,2005 0,0000 10000> 105 0,7047 0,2829 0,0124 1,0000

Tabel 4d. Keadaan periode ke 4 (ramalan) : Probabilitas Konversi

Tekanan diastolik setelah terapi Tek. Diastolik sebelum terapi < 90 mmHg 90-105 mmHg > 105 mmHg

Total

< 90 mmHg 0,8183 0,1817 0,0000 1,0000 90-105 mmHg 0,8178 0,1822 0,0000 1,0000 > 105 0,8144 0,1854 0,0002 1,0000

Tabel 4e. Keadaan periode ke 5 (ramalan) Probabilitas Konversi

Tekanan diastolik setelah terapi Tek. Diastolik sebelum terapi < 90 mmHg 90-1115 mmHg > 105 mmHg

Total

< 90 mmHg 0,8182 0,1818 0,0000 1,0000 90-105 mmHg 0,8182 0,1818 0,0000 1,0000 > 105 0,8182 0,1818 0,0000 1,0000

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 31

Page 33: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

Tabel 4f. Keadaan periode ke 6 (ramalan) Probabilitas Konversi

Tekanan diastolik setelah terapi Tek. Diastolik sebelum terapi < 90 mmHg 90-105 mmHg > 105 mmHg

Total

< 90 mmHg 0,8182 0,1818 0,0000 1,0000 90-105 mmHg 0,8182 0,1818 0,0000 1,0000 > 105 0,8182 0,1818 0,0000 1,0000

Tampaknya tidak ada perbedaan berarti pada pengobatan selama satu dengan dua minggu. Dengan analisis Rantai Markov dike- tahui bahwa setelah 5 minggu pengobatan akan mencapai hasil maksimal artinya tidak berubah lagi meskipun pengobatan di- Ianjutkan. Tingginya kasus drop out pada kunjungan minggu ke 2 perlu diperhatikan penyebabnya karena telah mempengaruhi distribusi pengelompokan.

Dari hasil penelitian ini disarankan agar ramuan Mengkudu dan Kumis Kucing diperhitungkan sebagai salah satu yang digunakan untuk pengobatan hipertensi yang didukung bukti empiris oleh masyarakat. Kajian ini dapat dilanjutkan dengan Iebih mendalam melalui penelitian-penelitian baik dan segi farmasi ataupun penelitian klinik untuk memperoleh ramuan yang lebih baik dan segi efektifitas, keamanan (efek samping), penyediaan bahan dan bentuk sediaan obat.

Mengingat kasus kematian akibat hipertensi cukup tinggi,

Banyaknya jumlah penderita hipertensi yang tersembunyi (tidak terdeteksi) serta mudahnya pembudidayaan ke duajenis tanam- an obat ini, perlu kiranya kelanjutan penelitian agar selanjutnya tanaman obat ini dapat dimanfaatkan oleeh masyarakat secara benar sebagai obat alternatif dan obat modern.

KEPUSTAKAAN 1. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Survei Kesehatan Rumah

Tangga (SKRT) 1992. Jakarta: 1992. 2. Kloppenburg J - Versteegh. Petunjuk Lengkap Mengenai Tanam-tanaman

di Indonesia dan KhasiatnyaSebagai Obat-obatan Tradisional. Yogyakarta: CD RS. Bethesda Yogya. Andi Offset, 1988.

3. Ravindran, Philips, Solberg. Operations Research Principles and Practice. Second Edition. New York: John Wiley & Sons, 1987.

4. Siagian P. Penelitian Operasional : Teori dan Praktek. Jakarta: UI Press. 1987.

5. Sugati Sri, Jhony Ria Hutapea. Inventaris Tanaman Obat Indonesia 1. Jakarta: Badan Litbangkes. Depkes. 1991.

6. Sugati, Sri et al. Penelitian Tanaman Obat di Beberapa Perguruan Tinggi di Indonesia 1. Jakarta: Puslitbang Farmasi, 1989.

7. --------- Penelitian Tanaman Obat di Beberapa Perguruan Tinggi di Indonesia II. Jakarta: Puslitbang Farmasi, 1989.

8. --------- Penelitian Tanaman Obat di Beberapa Perguruan Tinggi di Indonesia III. Jakarta: Puslitbang Farmasi, 1991.

9. --------- Penelitian Tanaman Obat di Beberapa Perguruan Tinggi di Indonesia V. Jakarta: Puslitbang Farmasi, 1993.

10. World Health Organization. Management Guidelines: A Mild Hyperten sion. Medicine Digest. June 1995 : 2– 8.

English Summary

Sambungan hal 4 THE EFFECT OF MENGKUDU FRUIT AND KUMIS KUCING LEAVES ON BLOOD PRESSURE AMONG HYPERTENSIVE PA-TIENTS Lestari Handayaril, Didik Budi-janto Health Services Research and Deve-lopment Centre, Health Research and Development Board, Dept. of Health, Indonesia

The fruit of Morinda citrifolla Linn (Mengkudu) and the leaves of Orthosiphon stamineus Benth. (Kumis Kucing) are known as hypertension remedies. This study analyzed the effect of the remedies to the blood pressure of hypertensive patients. 43 hypertensive patients at tradi-tional medicine laboratory have been treated with these reme-dies for two weeks and the blood

pressure was evaluated after one and two weeks treatment.

The result showed that the blood pressure was lowered after one week treatment and there was no different effect between one and two weeks treatment.

It was recommended that this study is followed up with further researches.

Cermin Dunia Kedokt. 1997; 116: 29–32 Lh, DB

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 32

Page 34: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

ANALISIS

Afasia dengan Lesi di Striatum Kiri ( Afasia Subkorteks)

A. Munandar Unit Neurologi, Rumah Sakit Husada, Jakarta

A

Wicara ialah bagian dan ftingsi lufronto-temporal kiri. Oleh karena itu, mempunyai lesi di korteks otak. Alat kan pendeteksian lesi yang tajam dananatomo-klinik yang lebih akurat. Denterjadi pada lesi di subkorteks (bagian osubkorteks sudah lama diketahui padasus semacam itu belum ada laporannyrangka menambah khazanah pengetahulesi di striatum dominan) penulis menpulkannya.

PENDAHULUAN

Sebenarnya menurut Mohr(1) Fisher (1959) telah menpatkan bahwa pada penyakit yang mengenai talamus ditemuperilaku verbal yang tidak biasa, sungguhpun saat itu mdiperselisihkan apakah keadaan itu memang merupakan suafasia. Kemungkinan disfasia akibat perdarahan di putamhemisfer dominan dikemukakan Iskarno(2) dalam bahasanmengenai perdarahan intraserebrum. Nasser dkk(3) menggukan istilah afasia subkorteks untuk afasia yang disebabkan olesi yang paling besar ke arah medial yaitu ke dalam kaintern, putamen dan zat putih periventrikel.

Sejak 1973, penggunaan CT-sken memungkinkan penean lokasi, ukuran, perluasan (danjenis) lesi secara tepat sehindapat ditentukan secara akurat ada tidaknya hubungan antaraitu dengan gambaran klinik(4). Dengan demikian telah ddipastikan bahwa afasia tidak lagi merupakan tanda lesi korserebrum saja, melainkan mungkin juga akibat lesi di bagdalam hemisfer dominan yaitu di striatum dan talamus. Lapokasus yang diterbitkan dalam lebih dari sepuluh tahun silam

BSTRAK

hur otak yang berpusat di area korteks otak lobus secara tradisional pasien dengan afasia dianggap imajing otak yang canggih sekarang memungkin- nyata sehingga dapat juga menegakkan korelasi gan demikian diketahui bahwa afasia dapat juga tak di bawah korteks). Sungguhpun adanya afasia

ahli neurologi, namün sepengetahuan penulis ka-a dalam kepustakaan Indonesia. Karena itu dalam an mengenai afasia subkorteks (dalam tulisan ini yajikan data tentang 17 kasus yang telah dikum-

da- kan asih atu en

nya na- leh

psul

ntu- gga lesi apat teks ian ran ini

telah membuktikan secara meyakinkan bahwa lesi vaskular yang terbatas pada struktur subkorteks dapat menghasilkan sindrom afasia sejati(5).

Klasifikasi afasia subkorteks yang ditenima secara umum belum ada. Dua bentuk utama afasia subkorteks yang diakui ialah afasia talamus dan afasia akibat lesi di daerah striatum (nucleus caudatus dan putamen) dan/atau dalam kapsul intern yang ber- batasan (khususnya krus anterior)(5). S. Kusumoputro(6) mem- bedakan afasia subkorteks atas lesi di talamus, striatum dan ke- rusakan zat putih.

Penentuan tempat lesi dilakukan dengan berpedoman pada atlas-atlas yang disusun DeArmond(7), von Hagens(8) dan Haines(9), serta menggunakan metode Naeser(10, 24) untuk mengidentifikasi daerah subkorteks tertentu.

Evaluasi afasia penderita dilakukan, bila mungkin, uji kom- prehensi ucapan bahasa sesuai dengan metode yang diutarakan S. Kusumoputro(7, 11, 12).

Dalam tulisan ini diuraikan data mengenai 17 kasus dengan lesi di striatum kiri (dibuktikan oleh CT-sken) yang telah dirawat

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 33

Page 35: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

Gambar 2. Lesi nonperdarahan mengenai globus pallidus, sebagian putamen, bagian posteromedial ALIC serta PLIC. di RS Husada mulai tahun 1988 sampai pertengahan tahun 1992. Diuraikan hanya gejala afasia penderita sedangkan defisit neuro- logi lainnya hanya disinggung seperlunya. URAIAN KASUS

Kasus 1 Seorang laki-laki Indonesia berumur 48 tahun masuk pe-

rawatan karena ia mendadak tidak sadar setelah olahraga pagi. Pada pemeriksaan saat masuk perawatan ia sadar namun gelisah. Anggota tubuh digerakkan sesuai instruksi. Motorik anggota tubuh kanan kurang dari kiri dan pada hari berikutnya ternyata sudah menjadi nol. CT-sken otak yang dibuat waktu masuk pe- rawatan memperlihatkan perdarahan intraserebrum di hemisfer kiri berukuran 1,9 x 5 x 3 cm dengan geseran ke kanan dan pe- nekanan terhadap ventrikel lateral kiri. Lesi mengenai putamen, kapsul ekstern dengan perluasan ke anterosuperior dan superior ZPPV (zat putih periventrikel) dan istmus temporal (Gambar 1).

Gambar 1. Lesi perdarahan mengenai putamen, kapsul ekstern, antero- superior dan superior ZPPV dan istmus temporal.

Diagnosis: hemiplegia extra dengan afasia non fluent dan lesi perdarahan di striatum kiri.

Uji komprehensi bahasa yang dilakukan pada hari perawat- an ke 134 menghasilkan pengenalan bagian tubuh 3/10 (yang dikenal 3 bagian dan 10 bagian yang diminta); pengenalan alat 1/10; peragaan 2/10; praksis orofasial 4/5; pemahaman tugas 2/8; pengulangan tidak lancar dengan parafasia; pengenalan huruf latin baik, mampu membaca surat kabar.

Kurangnya wicara spontan dan komprehensi yang cukup terganggu mengesankan suatu afasia global namun tidak khas karena kemampuan mengulang kata-kata dan kemampuannya membaca.

Kasus 2 Seorang perempuan Indonesia berumur 27 tahun masuk pe-

rawatan karena saat pagi buang air tidak mampu berdiri kembali. Pada pemeriksaan saat masuk perawatan ia membuka mata ke- tika disuruh, respon motorik ialah menangkis rangsang, tidak ada

kontak verbal dan terdapat hemiparesis dexter. Speech therapist yang kemudian dikonsul menyimpulkan bahwa ia menderita afasia motorik.

CT-sken otak pada hari perawatan pertama memperlihatkan infark intraserebrum di hemisfer kiri berukuran 4 x 2 x 1 cm yang mengenai globus pallidus, sebagian putamen, bagian postero- medial ALIC (anterior limb of internal capsule) serta PLIC (pos- terior limb of I.C.) (Gambar 2).

Gambar 2. Lesi nonperdarahan mengenai globus pallidus, sebagian putamen, bagian posteromedial ALIC serta PLIC.

Diagnosis: hemiparesis dexter dengan afasia non fluent dan lesi non perdarahan di striatum kiri.

Uji komprehensi bahasa tidak dapat dilakukan karena pen- derita pindah ke luar kota.

Sesuai pendapat speech therapist afasia kasus ini menge- sankan suatu afasia Broca.

Kasus 3 Seorang laki-laki keturunan Tionghoa umur 73 tahun masuk

perawatan karena mendadak pingsan dan lumpuh separuh tubuh kanan. Pada pemeriksaan saat masuk perawatan ia gelisah, tidak ada kontak verbal dan terdapat hemiplegia kanan.

CT-sken otak pada hari perawatan pertama memperlihatkan perdarahan intraserebrum di hemisfer kiri ukuran 3,7 x 3 x 4 cm dengan efek massa yang menekan ventrikel lateral kiri tanpa penggeseran. Lesi mengenai putamen, globus pallidus, kapsul ekstern, bagian posteromedial ALIC, G(genu) dan PLIC dan perluasan ke superior ZPPV serta istmus temporal (Gambar 3). Diagnosis: hemiplegia dextra dengan afasia global dan lesi per- darahan di striatum kiri.

Sampai 39 hari setelah perawatan tidak dapat dilakukan uji komprehensi bahasa karena tidak dapat diadakan kontak. Afasia ini mengesankan afasia global.

Kasus 4 Seorang laki-laki Indonesia berumur 50 tahun masuk pe-

rawatan karena saat pagi ingin bangun dan tidur terjatuh dan tidak dapat berbicara. Pada pemeriksaan saat masuk perawatan ia dalam keadaan sadar, agak gelisah, mata terbuka dan menggenak-

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 34

Page 36: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

Gambar 3. Lesi perdarahan mengenal putamen, globus pallidus, kapsul ekstern,bagian posterromedial ALlC,genu dan PLIC,superior ZPPV serta istmus temporal.

kan anggota tubuh sesuai instruksi sungguhpun tidak konsisten. Tidak ada kontak verbal dan ditemukan hemiplegia kanan.

CT-sken pada hari perawatan pertama memperlihatkan per- darahan intraserebrum di hemisfer kiri ukuran 3 x 5 x 2,7 cm dengan efek massa yang sedikit menekan kornu frontal ventrikel lateral kiri dengan geseran ke kanan. Lesi mengenai putamen, PLIC dan perluasan ke anterosuperior dan superior ZPPV serta istmus temporal (Gambar 4).

Gambar 4. Lesi perdarahan mengenai putamen, PLIC, anterosuperior dan superior ZPPV serta lstmus temporal.

Diagnosis: hemiplegia dextra dengan afasia non fluent dan lesi perdarahan di striatum kiri.

Uji komprehensi bahasa pada hari perawatan ke 39–49 menghasilkan yang berikut:

Pengenalan bagian tubuh 9/10; pengenalan pemakaian alat 9/10; praksis peragaan baik menggunakan senter dan mulai mengisi batu baterai sampai menyalakannya dan peragaan pe- makaian sendok; praksis orofasial 3/5; pemahaman tugas 4/8; uji tridimensional matriks konkret 26/48, abstrak 13/48 dan inter-

mediate 15/48; penamaan 6/10; pengulangan baik dengan disartri ringan; pengenalan huruf latin baik.

Afasia kasus ini mengesankan afasia transkortikal motorik dengan penamaan relatif baik.

Kasus 5 Seorang laki-laki Indonesia umur 46 tahun masuk perawat-

an karena ketika sedang bekerja di kantor mendadak lidah terasa tebal dan tidak dapat bicara. Pada pemeriksaan saat masuk pe- rawatan ia sadar dan mampu melakukan gerak-gerak yang di- instruksikan; terdapat pula disartri dan bicara terbata-bata. Hemi- paresis kanan dengan tenaga ekstremitas atas 3 dan bawah 3–4.

CT-sken otak pada hari perawatan pertama memperlihatkan infark intraserebrum di hemisfer kiri ukuran 4,5 x 2 x 1 cm dengan lesi mengenai globus pallidus, putamen, kaput nukleus kaudatus, ALIC dan perluasan ke anterior dan anterosuperior ZPPV (Gambar 5).

Gambar 5. Lesi nonperdarahan mengenai globus pallidus,putamen,kaput nukleus kaudatus, ALIC, anterior dan anterosuperior ZPPV.

Diagnosis: hemiparesis dexter dengan afasia non fluent dan lesi non perdarahan di striatum kiri.

Uji komprehensi bahasa pada hari perawatan ke 15 memberi hasil berikut:

Pengenalan bagian tubuh 10/10; pengenalan pemakaian alat 10/10, praksis orofasial 3/5; pemahaman tugas 5/8; uji tridimen- sional matriks (hanya konkret dan abstrak) masing-masing 47/48 dan 44/48; kemampuan membaca huruf latin baik.

Afasia pada kasus ini mengesankan afasia Broca (dengan kemampuan membaca).

Kasus 6 Seorang laki-laki keturunan Tionghoa umur 58 tahun masuk

perawatan karena jatuh dan tempat tidur ketika sedang tidur malam. Pada pemeriksaan saat masuk perawatan ia tidak sadar dengan mata yang tidak membuka biarpun diberikan rangsang nyeri, respon terhadap nyeri ialah menghindar (withdrawal) dan sama sekali tidak bersuara. Terdapat hemiparesis kanan yang saat itu belum dapat dinilai seberapa tenaganya. Karena juga ditemukan asidosis metabolik, pasien dirawat di ruang ICU dan dikoreksi asidosisnya. Keesokan harinya setelah asidosis ter-

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 35

Page 37: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

koreksi, pasien sadar dapat mengikuti instruksi-instruksi yang diberikan namun tidak ada kontak verbal. Tenaga ekstremitas kanan ternyata 0.

CT-sken otak pada hari perawatan pertama memperlihatkan perdarahan intraserebrum di hemisfer kiri ukuran 6 x 3 x 4 cm yang mendesak ventrikel lateral kiri. Lesi mengenai putamen, kapsul ekstern, kaput nukleus kaudatus, bagian anterolateral ALIC, PLIC dan perluasan ke anterosuperior ZPPV dan istmus temporal (Gambar 6).

Gambar 6. Lesi perdarahan mengenai putamen, kapsul ekstern, kaput nukleus kaudatus, anterolateral ALIC, PLIC, anterosuperior ZPPV dan istmus temporal.

Diagnosis: hemiplegia dextra dengan afasia non fluent dan lesi perdarahan di striatum kiri.

Uji komprehensi bahasatidak dapatdilakukan karena keada- an umumnya kurang baik akibat kegagalan ginjal knonik yang dideritanya.

Kesan afasia jenis afasia Broca.

Kasus 7 Seorang perempuan keturunan Tionghoa umur 69 tahun

masuk perawatan karena bangun tidur pagi sedang jongkok mendadak tidak dapat berdiri, sepanuh kanan tubuh lemah dan wicara terganggu. Pada pemeriksaan saat masuk perawatan di- temukan ia dalam keadaan sadar dapat mengikuti instruksi- instruksi yang diberikan, tenaga ekstremitas kanan atas 0 se- dangkan ekstremitas kanan bawah spastik.

Pemeriksaan CT-sken pada hari perawatan pertama mem- penlihatkan perdarahan intraserebrum di hemisfer kiri ukuran 4,8 x 2,3 x 4 cm. Lesi mengenai putamen, kaput nukleus kauda- tus, bagian anterolateral ALIC dan perluasan ke superior ZPPV dan istmus temporal (Gambar 7). Diagnosis: hemiparesis dexter dengan afasia non fluent dan lesi perdarahan di striatum kiri.

Uji komprehensi bahasa dilakukan pada hari perawatan ke 12 dengan dibantu seorang penterjemah karena pasien kurang mengerti bahasa Indonesia dengan hasil berikut:

Pengenalan bagian tubuh 9/10; pengenalan pemakaian alat 5/10; praksis peragaan dapat dilakukan untuk empat benda yang

Gambar 7. Lesi perdarahan mengenai putamen, kaput nukleus kaudatus, anterolateral ALIC, superior ZPPV dan istmus temporal. diminta; praksis orofasial 4/5; pemahaman tugas 7/8; penamaan 7/10. Pasien buta huruf latin dan kanji.

Kesan afasia jenis afasia Broca tetapi dengan praksis oro- fasial yang relatif tidak terganggu.

Kasus 8 Seorang perempuan Indonesia umur 63 tahun masuk pe-

rawatan karena dua hari yang lalu siang hari pukul 12.00 sedang duduk di kantor merasa tidak enak sehingga pulang dengan mengemudikan mobil sendiri. Pukul 13.00 bicara mulai kacau namun sampai malam hari masih mampu berjalan sendini. Ke- esokan haninya separuh tubuh kanan mulai lumpuh secara ber-tahap. Pada pemeriksaan saat masuk perawatan ia dalam keada- an sadar dan dapat melaksanakan instruksi dengan baik namun tidak ada kontak verbal. Kelumpuhan sisi kanan dengan tenaga lengan 0 dan tungkai 1–2.

Pemeriksaan CT-sken otak pada hari perawatan ke 4 mem- perlihatkan infark lakunar multipel intraserebrum di hemisfer kiri meliputi infark di PLIC, infark kecil di ujung anterior kornu- frontal ventrikel lateral dengan perluasan ke anterosuperior ZPPV dan infark di superior dan posterior ZPPV (Gambar 8). Diagnosis: hemiparesis dexter dengan afasia non fluent dan lesi infark lakunar di striatum kiri.

Pada hari perawatan ke 7 pasien mampu mengucapkan kata- kata sebagai jawaban atas pertanyaan (T: apa khabar - J: baik; T: ini anak ? (sambil menunjuk ke anaknya - J: ya). Pada hari ke 20 pasien diminta menunjuk alat yang dipakai untuk menulis antana senter yang mirip ballpoint dan ballpoint dan yang ditunjuk ialah ballpoint.

Uji komprehensi bahasa lebih rinci tidak dapat dilakukan karena ia menderita febris kontinua sampai ia pulang.

Kesan afasia pada kasus ini ialah afasia Broca.

Kasus 9 Seorang laki-laki Indonesia umur 52 tahun masuk perawat-

an karena bangun dan duduk kepalanya terantuk lemari ke-mudian ia terjatuh dan tidak sadar. Pada pemeriksaan saat masuk

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 36

Page 38: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

Gambar 8. Infark lakunar multipel di PLIC, anterior kornu frontal ven- trikel lateral, anterosuperior, superior dan posterior ZPPV. perawatan matanya terbuka, tidak dapat mengikuti instruksi pemeriksa, respon terhadap rangsang nyeri ialah menangkis. Terdapat hemiparesis dexter yang lebih berat pada ekstremitas atas daripada ekstremitas bawah.

CT-sken otak pada hari perawatan ke 3 memperlihatkan infark lakunar intraserebrum di hemisfer kiri bergaris-tengah 1 cm di sudut posterolateral putamen berdekatan dengan krus posterior kapsul intern dan infark lakunar sangat kecil di talamus kanan (Gambar 9).

Gambar 9. Infark lakunar di posterolateral putamen kiri dan lakuna kecil di talamus kanan. Diagnosis: hemiparesis dexter dengan afasia global dan lesi non perdarahan di striatum kiri.

Pada hari perawatan ke 5 komprehensi membaik, ia dapat mengikuti instruksi yang diberikan namun belum dapat menge- luarkan kata-kata.

Uji komprehensi bahasa pada hari perawatan ke 10 memberi hasil berikut :

Pengenalan bagian tubuh 9/10; pengenalan pemakaian alat

9/10; praksis peragaan 10/10; praksis orofasial 1/5; pemahaman tugas 3/8; penamaan 4/10; pengulangan tidak mampu.

Kesan afasia pada kasus ini ialah afasia konduksi, namun non fluent.

Kasus 10 Seorang perempuan keturunan Tionghoa umur 61 tahun

masuk perawatan karena malam sebelumnya kira-kira pukul 22.00 sedang duduk-duduk mendadak lemah dan tidak dapat berbicara. Ia menderita hipertensi yang sejak satu tahun tidak diobati lagi. Pada pemeriksaan saat masuk perawatan ia mem- buka mata setelah dipanggil, mengikuti tepat semua instruksi untuk menggerakkan bagian tubuhnya namun tidak ada kontak verbal. Tenaga ekstremitas kanan 0.

CT-sken pada hari perawatan keempat memperlihatkan per- darahan intraserebrum di hemisfer kiri ukuran 5 x 3,5 x 5 cm yang mengenai putamen, globus pallidus, PLIC dan perluasan ke superior ZPPV dan istmus temporal. Selain itu terdapat perda- rahan dalam kornu temporal ventrikel lateral (Gambar 10).

Gambar 10. Lesi perdarahan mengenai putamen, globus pallidus, PLIC, superior ZPPV dan istmus temporal dan dalam kornu tem- poral ventrikel lateral.

Diagnosis: hemiplegia dextra dengan afasia non fluent dan per- darahan di striatum kiri.

Pada hari perawatan ke 3 dan 4 kesadaran pasien sempat menurun. Tetapi pada hari ke 7 kesadarannya pulih kembali dan ia dapat menjawab pertanyaan sederhana dengan mengangguk- kan dan menggelengkan kepala. Bicaranya dengan hipofoni.

Pada hari perawatan ke 25 dilakukan uji komprehensi ba- hasa dengan hasil berikut:

Pengenalan bagian tubuh 2/10; pengenalan pemakaian alat 1/10; praksis orofasial 1/5; praksis peragaan 2/10; pemahaman tugas 2/8; penamaan 0.10; pengulangan dengan panafasia. Ia tidak dapat mengenali huruf latin.

Kesan afasia kasus ini ialah afasia global, namun mem- punyai kemampuan pengulangan dan hipofoni.

Kasus 11 Seorang laki-laki Indonesia umur 51 tahun masuk perawat-

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 37

Page 39: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

an karena sejak semalam menderita sefalgi berat dan tidak dapat tidur. Kira-kira sembilan bulan yang lalu ia pernah dirawat di rumah sakit di kota lain karena mendadak tidak dapat bicara dan berjalan. Setelah perawatan seminggu ia meninggalkan rumah sakit dalam keadaan sudah dapatjalan dan bicara. Ia kemudian dipromosi ke Jakarta. Pada pemeriksaan saat masuk perawatan ia sadar, gelisah, bicara dengan disartri ringan. Tidak ada kelum- puhan anggota tubuh.

CT-sken pada hari pertama perawatan memperlihatkan infark lakunar ukuran 1 x 1/2 cm di daerah genu kapsul intern kiri dan bagian anterior PLIC. Selain itu terdapat infark lakunar kecil dalam hemisfer kanan di knus posterior kapsul intern dan di ekstra-anterior ZPPV kanan (Gambar 11).

Pemeriksaan lebih rinci tidak dapat dilakukan karena ia minta pulang paksa.

Gambar 11. Infark lakunar di genu dan anterior PLIC kiri dan lakuna di PLIC dan ekstra-anterior ZPPV kanan.

Diagnosis : 1 sefalgi tegang otot; 2 pasca GPDO dengan afasia (?) dan hemiparesis dexter yang pulih dalam satu minggu dan lesi non perdarahan di kapsul intern.

Kasus 12 Seorang laki-laki keturunan Tionghoa umur 51 tahun masuk

perawatan karena sejak pagi mendadak anggota tubuh kanan tidak kuat dan ia tidak dapat bicara. Pada pemeriksaan saat masuk perawatan ia sadar, mengikuti instruksi namun tidak ada kontak verbal. Tenaga anggota tubuh kanan 0.

CT-sken otak pada hari masuk perawatan memperlihatkan perdarahan intraserebrum dalam hemisfer kiri ukuran 5,5 x 3 x 5 cm yang terletak terutama dalam lobus frontal kiri mendekati permukaan polus frontal namun ke posterior meluas hingga mengenai bagian anterior korpus nukleus kaudatus dan perluas- an ke ekstra-anterior, anterior dan anterosuperior ZPPV serta perdarahan intraventrikel kiri (Gambar 12). Diagnosis: hemiplegia dextra dengan afasia non fluent dan per- darahan dalam lobus frontal kiri serta striatum kiri.

Selama hari-hari pertama kemampuan komprehensi bahasa berkurang sehingga ia menderita afasia global. Keadaan ini bertahan sampai hari perawatan ke 27. Menurut informasi dari

Gambar 12. Lesi perdarahan terutama dalam lobus frontal kiri sampai ke bagian anterior korpus nukleus kaudotus dan ekstra-anterior, anterior dan anterosuperior ZPPV dan perdarahan intra- ventrikel lateral. isterinya, ia sekonyong-konyong mulai mampu bicara sekitar pukul 12 siang. Tenaga ekstremitas superior sudah 3 dan inferior masih 2.

Uji komprehensi bahasa dilakukan pada hari perawatan ke 29 dengan hasil berikut:

Pengenalan bagian tubuh 10/10; pengenalan pemakaian alat 10/10; praksis peragaan 8/10; pemahaman tugas 6/10; penamaan 8/10; pengulangan tidak dapat dilakukannya; pengenalan huruf latin baik, mampu membaca namanya sendiri dan surat kabar; mampu menulis dengan tangan kiri.

Kesan afasia kasus ini ialah afasia konduksi (dengan ke- mampuan penamaan).

Kasus 13 Seorang perempuan Indonesia umur 71 tahun masuk pe-

rawatan karena sejak lima hari yang lalu sedang duduk-duduk di rumah pagi hari mendadak separuh kanan tubuh lumpuh. Ke- sadaran tetap baik dan wicara tidak terganggu. Pada pemeriksaan saat masuk perawatan ia sadar dengan kontak verbal baik. Te- naga anggota tubuh kanan 0.

CT-sken otak pada keesokan harinya memperlihatkan infark di hemisfer kiri ukuran 2,5 x 1,5 x 1 cm mengenai putamen anterior, kaput nukleus kaudatus, bagian antemlateral ALIC, perluasan ke anterosupenior ZPPV dan infark lakunan kecil di posterior ZPPV (Gambar 13). Diagnosis: hemiplegia dextra tanpa afasia dengan infark di striatum kiri.

Kasus 14 Seorang perempuan Indonesia umur 61 tahun masuk pera-

watan karena dua hari yang lalu ketika sedang sembahyang men- dadak terjatuh, tetap sadar namun tidak dapat berbicara. Ia men- derita hipertensi lama. Pada pemeriksaan saat masuk perawatan ia sadan dengan afasia global. Tenaga ekstremitas kanan 0.

CT-sken pada hari kelima pasca-iktus memperlihatkan per- darahan intraserebrum hemisfer kiri ukuran 3,5 x 2 x 3 cm yang

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 38

Page 40: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

Gambar 13. Lesi nonperdarahan mengenai putamen anterior, kaput nukleus kaudatus, anterolateral ALIC, anterosuperior ZPPV dan infark lakunar di posterior ZPPV. meliputi putamen, globus pallidus, PLIC dan perluasan ke su- perior ZPPV (Gambar 14).

Gambar 14. Lesi perdarahan mengenai putamen, globus pallidus, PLIC dan superior ZPPV. Diagnosis: hemiplegia dextra dan afasia global dengan lesi per- darahan di striatum kiri.

Uji komprehensi bahasa dilakukan pada hari ke 14 dan 15 dengan hasil berikut:

Pengenalan bagian tubuh 0/10; pengenalan alat 0/10; praksis peragaan 0/10; pemahaman tugas 0/8; penamaan alat 6/10; praksis orofasial baik jika meniru; pengulangan tidak mampu; pengenalan huruf, membaca dan menulis (huruf arab dan latin) tidak mampu.

Bicara spontan lancar dengan parafasia literal. Lancar meng- ucapkan doa dan dzikir dalam bahasa arab. Mengucapkan antara lain: lebih baik mati, banyak anak, tidak ada uang.

Kesan kasus ini ialah afasia fluent jenis afasia Wernicke namun dengan hemiplegia dextra dan penamaan relatif baik.

Kasus 15 Seorang laki-laki Indonesia umur 58 tahun masuk perawat-

an karena sejak siang hari sebelumnya ketika menghantarkan anak ke sekolah merasa badan lemah dan bicara kurang terang. Ia menderita hipertensi lama dan seorang perokok berat. Pada pemeriksaan saat masuk perawatan ia sadar, bicara tersendat dengan disartri. Tenaga ekstremitas kanan 3 dengan Babinski positif.

CT-sken otak pada hari perawatan pertama memperlihatkan infark lakunar dengan garis-tengah 1 cm di tepi lateral bagian tengah putamen kiri dengan perluasan ke superior ZPPV, infark lakunar di superior ZPPV kanan (Gambar 15).

Gambar 15. Infark lakunar di tengah putamen, perluasan ke superior ZPPV, infark lakunar di anterosuperior ZPPV kiri dan infark Iakunar di superior ZPPV kanan. Diagnosis: hemiparesis dexter dan afasia non fluent dengan infark lakunar di striatum kiri (dan ZPPV kanan).

Uji komprehensi bahasa dilakukan pada hari perawatan ke 19 dan 20 dengan hasil sebagai berikut:

Pengenalan bagian tubuh, pengenalan dan praksis peragaan alat, pemahaman tugas, penamaan alat semua baik. Tidak ada apraksia orofasial. Pengulangan baik dengan parafasia (pulang- uang). Membaca mampu dengan parafasia (GNB-GKB). Uji tridimensional matriks dapat dijawab semua dengan tepat.

Kesan kasus ini ialah kasus afasia non fluent dengan kom- prehensi, penamaan, pengulangan dan membaca yang relatif tidak terganggu.

Pada pemeriksaan kontrol 10 bulan pasca stroke wicara lancar namun masih dengan parafasia literal.

Kasus l6 Seorang perempuan keturunan Tionghoa umur 68 tahun

masuk perawatan karena lima hari sebelumnya sedang duduk mendadak lemah. Wicara terganggu dengan kesadaran tetap baik dan separuh badan kanan lemah. Dalam riwayat tidak ada diabetes mellitus dan hipertensi. Pada pemeriksaan saat masuk perawatan ditemukan ia sadar dan dapat mengikuti perintah menggenakkan bagian-bagian badan. Tenaga ekstremitas su- perior kanan 3 dan inferior kanan 0, Babinski kanan positif.

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 39

Page 41: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

CT-sken otak pada hari perawatan pertama memperlihatkan infark di hemisfer kiri ukuran 2,5 x 1,5 x 1 cm mengenai bagian anterior putamen, kaput nukleus kaudatus, bagian anterolateral ALIC dengan perluasan ke anterosuperior ZPPV serta infark lakunar dengan garis tengah 1 cm di bagian posterior ZPPV kiri (Gambar 16).

Gambar 16. Lesi nonperdarahan mengenai bagian anterior putamen,kaput nukleus kaudatus, anterolateral ALIC, anterosuperior ZPPV dan lakuna di posterior ZPPV.

Diagnosis: hemiparesis dexter dengan afasia non fluent dengan lesi non perdarahan di striatum kiri.

Uji komprehensi bahasa pada hari perawatan ke 19 memper- lihatkan komprehensi yang sangat minim; suara yang dikeluar- kan hanya ba-ba-ba.

Kesan kasus ini ialah suatu afasia global.

Kasus 17 Seorang laki-laki Indonesia umur 38 tahun masuk perawat-

an karena malam hari sebelumnya mendadak tidak sadar namun pagi haninya setelah dirawat satu malam di ICU telah sadar kembali. Pada pemeriksaan pagi hari itu, pasien sadar, dapat mengikuti instruksi untuk menggerakkan anggota tubuhnya. Ditemukan hemiparesis kanan dengan Babinski kanan positif.

CT-sken otak pada hari itu juga memperlihatkan perdarah-an dalam hemisfer kiri ukuran 4 x 3 x 3 cm mengenai putamen, PLIC dan perluasan ke superior ZPPV dan istmus temporal (Gambar 17). Diagnosis: hemiparesis dextra dengan afasia global dan lesi per- darahan di striatum kiri.

Selama 6 hari dalam perawatan tenaga ekstremitas kanan menjadi 0 dan afasianya berupa global. Namun dalam hari-hari berikutnya komprehensinya berangsur baik.

Uji komprehensi bahasa yang dilakukan pada hari perawat- an ke 20 memperlihatkan hasil berikut :

Pengenalan bagian tubuh 10/10; pengenalan alat 10/10; praksis peragaan 10/10; pemahaman tugas 6/8; praksis orofasial 4/5.

Kesan kasus ini ialah suatu afasia Broca namun dengan praksis orofasial yang relatif tidak terganggu.

Gambar 17. Lesi perdarahan mengenal putamen, PLIC, superior ZPPV dun lstmus temporal. PEMBAHASAN

Perdarahan putamen Perdarahan intraserebrum paling sering terjadi di putamen

(50%) dan lebih jarang di talamus (10%) . Apabila terdapat di hemisfer dominan, perdarahan putamen dapat

(3,13)

menimbulkan disfasia (2, 3, 5, 13 14) yang beragam bentuknya dan afasia total, afasia fluent dan non fluent dan ekholali tetapi mungkin juga tanpa afasia. Afasia yang ditemukan biasanya tidak khas seperti afasia akibat lesi korteks. Pada 9 kasus perdarahan putamen yang ditemukan penulis terdapat variasi jenis afasia yang cukup besar yaitu: satu kasus (kasus 3) dengan afasia global, dua kasus dengan afasia global dan kemampuan pengulangan (kasus I dan 10), tiga afasia Broca (kasus 6, 7, 17), satu afasia konduksi (kasus 12), satu afasia transkortikal motorik (kasus 4) dan satu dengan afasia Wernicke (kasus 14).

Infark putamen Menurut Damasio(15) perangai patologikperdarahan (ukur-

annya yang kebanyakan besar, efek massa, nukleus massa kelabu dan substantia alba yang terlindas) cenderung menyulitkan pe- nafsiran korelasi anatomoklinik. Di samping afasianya, ke- banyakan juga mempunyai gangguan penting dalam atensi dan memori sehingga timbul pertanyaan apakah gangguan tinguistik itu primer atau sekunder terhadap suatu defek kognitif nonverbal. Ia berpendapat bahwa kasus-kasus afasia dengan infark yang di- laporkannya membantu menjawab masalah itu karena perangai lesi non perdarahan dan ukurannya yang terbatas. Menurutnya interpretasi berbagai manifestasi klinik mungkin dapat diacu ke (1) diskoneksi jaras-jaras serabut yang penting, (2) kerusakan pada operator neoronal di zat kelabu atau (3) kedua-duanya.

Studi korelasi anatomoklinik sebaiknya dilakukan terhadap kasus afasia akibat infark dan dalam hal ini, menurut penulis, infark lakunar mungkin dapat mengungkapkan informasi pen- ting.

Infark lakunar ialah infark kecil yang terdapat hampir semata- mata di bagian dalam hemisfer serebrum khususnya ganglion

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 40

Page 42: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

basal, kapsul intern, talamus dan batang otak (16, 17, 18) dan panjangnya kurang dari 20 mm bahkan biasanya lebih pendek. Kepentingannya ialah antana lain dalam hal perangai sindrom klinik yang disebabkannya dan peluang yang diberikannya untuk studi organisasi otak (18).

Umumnya bentuk afasia yang ditemukan akibat lesi di striatum tidaklah khas seperti afasia klasik akibat lesi korteks. Pada kasus infark besar di striatum kiri yang ditemukan penulis, kasus 2 dan 5 menunjukkan afasia Broca dan kasus 16 ialah afasia global. Paresis pada kasus 2 sama berat untuk ekstremitas kanan atas dan bawah; pada kasus 5 lebih berat pada ekstremitas bawah; dan pada kasus 16 lebih parah pada ekstremitas atas. Pada empat kasus infark lakunar (8, 9, 11. 15) , kasus 8 mempunyai infark multipel, dan yang lain selain mempunyai infark yang mungkin menjadi penyebab afasia juga mempunyai infark lakunar di bagian lain dalam otak. Pada kasus 8 terdapat afasia Broca, kasus 9 afasia konduksi non fluent, kasus 11 mungkin afasia non fluent dan kasus 15 afasia non fluent tidak khas.

Adanya ciri-ciri bersifat kortikal pada lesi subkorteks me- nimbulkan perdebatan apakah ciri-ciri itu timbul akibat disfungsi korteks yang terdapat di lesi ataukah memang merupakan tanda subkortikal sejati. Donnan(19) berpendapat bahwa data yang ada lebih kuat menunjuk ke arah disrupsi fungsi korteks sebagai penyebab timbulnya tanda-tanda kortikal pada fase akut daripada efek subkorteks per se. Pendapat bahwa disfungsi korteks terjadi pada fase akut, didukung oleh ytemuan Olson (20) yang meneliti rCBF pada penderita lesi subkorteks dan afasia. Ditemukannya penurunan aliran darah secara bermakna di daerah korteks yang luas daff selalu mencakup daerah bahasa klasik. Kasus-kasus Olson umumnya memperlihatkan pemulihan yang sangat baik, yang oleh Olson dianggap akibat terjadinya reperfusi daerah korteks. Namun kasus yang ditemukan penulis umumnya afasia- nya bertahan lama. KESIMPULAN 1) Pendapat bahwa adanya gej ala kortikal menandakan adanya lesi di korteks otak tidak dapat dipertahankan karena lesi nukleus subkorteks dan sekitarnya juga dapat menyebabkan gejala yang mirip gejala korteks (disfasia, dispraksia dan sebagainya). 2) Mekanisme timbulnya gejala kortikal pada lesi subkorteks masih kontroversial. Mungkin karena diskoneksi jaras-jaras di zat putih, kerusakan pada operator neuronal di zat kelabu atau dua-duanya atau mungkin akibat terjadi penurunan perfusi daerah korteks yang menyertai lesi subkorteks. 3) Penelitian mengenai korelasi anatomoklinik sebaiknya di-

lakukan pada kasus infark khususnya infark lakunar. 4) Afasia subkorteks umumnya tidak dapat diklasifikasi me- nurut klasifikasi afasia yang tradisional. UCAPAN TERIMA KASIH Terima k.asih ditujukan kepada Prof. DR. Mahar Mardjono dan Prof Dr. R.T. Rumawas yang telah berbaik hati menelaah tulisan ini dan memberikan pen- dapat dan kritik yang sangan berharga sehingga menambah pengetahuan dan pemahaman penulis.

KEPUSTAKAAN

1. Mohr JP, Watters WC, Duncan GW. Thalamic Hemorrhage and Aphasia,

Brain and Language, 1975; 2: 3–17. 2. Iskarno, Beny AW. Aspek Bedah Saraf pada penderita Stroke. Wahana

Medik, 1990; 6: 13–16. 3. Naesser MA, Alexander MP, Heim-Estabrooks N, Levine HL, Laughlin

SA, Geschwind N. Aphasia with Predominantly Subcortical Lesion Sites. Arch Neurol 1982; 39: 2–14.

4. Hier DB, Davis KR, Richardson Jr EP. Mohr JP. Hypertensive Putaminal Hemorrhage. Ann Neurol 1977; vol. I. 2: 152–9.

5. Albert ML, HeIm-Estabrooks N. Diagnosis and Treatment of Aphasia. JAMA. Southeast Asia, 1988; vol 4, 8: 47–57.

6. Kusumoputro S. Afasia,Gangguan Berbahasa, Balai Penerbit FKUI,Jakarta, 1992.

7. DeArmond Si, Fusco MM, Dewey MM. Structure of the Human Brain. 2nd ed. New York: Oxford Univ Press 1974; 19–36.

8. von Hagens 0, Whalley A, Maschke R, Kriz W. Schnittanatomie des menschlichen Gehoms, Darmstadt. Steinkopf Verlag 1990; 3 1–52.

9. Haines DE. Neuroanatomy, An Atlas of Structures, Sections. and Systems, 2nd ed. Urban & Schwarzenberg, 1987.

10. Naesser MA, Hayward RW. Lesion localization in aphasia with cranial computed tomography and the Boston Diagnostic Aphasia Exam. Neuro logy 1978; 28: 545–55!.

11. Kusumoputro S. Higher Nervous Deficits in Brain Damaged Patients. dalam: Herman WM, Vieweg. Wiesbadan, Eds. Higher Nervous Functions. 1988; 35–50.

12. Kusumoputro S. PenerapanGangguan Fungsi Kortikal Luhurdalam Praktek Neurologi, dalam Kumpulan Kuliah Continuing Medical Education, editor: Amiruddin Aliah, Musaka Rachmat, Sofyan Hasdam, Kongres Nasional IDASI, Ujung Pandang, 1988; 94–I 14.

13. Adams RD. VictorM. Principles of Neurology. 4thed. New York: McGraw- Hill lnfSrvCo. 1989; 664–5.

14. AlexanderMP. Lo Verme SR. AphasiaafterLeft lntracerebral Hemorrhage. Neurology 1980; 30: 1193–1202.

15. Damasio AR, Damasio H, Rizzo M. Varney N, Gersh F. Aphasia with Non- hemorrhagic Lesions in the Basal Ganglia and Internal Capsule. Arch Neurol 1982; 39: 15–20.

16. MohrJP. Stroke. 1982; vol 13, 1:3–10. 17. Fisher CM. Lacunarsuokes and iniarcts: A review. Neurology (Ny). 32:

871–976. 8. Miller VT, Bladin PF, Berkovic SF. Longlet WA. Saling MM. The Stroke

Syndrome of Striatocapsular Infarction. Brain. 1991; 114:51–70. 20. Olson IS, Brugn P. Oeberg G. Cortical Hypoperfusion as a Possible Cause

of”Subcortical Aphasia”. Brain. 1986; 109: 393–410.

Difficulties increase the nearer we approach the goal (Goethe)

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 41

Page 43: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Pengaturan Tidur Pekerja Shift

Sudjoko Kuswadji

Dokter Kesehatan Kerja Ikatan Dokter Kesehatan Kerja Indonesia, Jakarta

Secara alamiah manusia dilahirkan untuk menjadi mahluk siang hari, artinya mereka bangun pada siang hari dan tidur beristirahat pada malam hari. Kehidupan seperti itu mengikuti suatu pola jam biologik yang disebut dengan circadian rhythm yang berdaur selama 24 jam. Sebenarnya tidak tepat 24 jam, kanena set ap orang mempunyai siklus masing-masing. Siklus itu berlangsung antara 22–25 jam(1). Masa selama masa siang hari disebut sebagai fase ergotropik, kanena kinerja manusia berada dalam puncaknya, sementara masa malam hari disebut sebagai fase trophotropik, dimana terjadi proses istirahat (recupera- tion) dan pemulihan tenaga. Istilah diurnal yang biasa dikenal kurang tepat, sebab lebih cocok dipakai sebagai lawan nocturnal. Pada hakekatnya manusia itu hidup secara diurnal, seperti: bangun-jaga, gelap-terang, kerja-istirahat, makan-puasa dan seterusnya.

Meskipun masing-masing orang mempunyai jam biologik sendiri-sendiri, kehidupan mereka diatur menjadi sama dan se- ragam dalam daur 24 jam sehari. Pengaturan itu dilakukan oleh penangguh waktu yang ada di luar tubuh, seperti: a) Perubahan antara gelap dan terang; b) Kontak sosial; c) Jadwal kerja; d) Adanya jam weker;

Fungsi tubuh yang diatur oleh jam biologik ialah: tidur, ke- siapan untuk bekerja, metabolisme, suhu tubuh, nadi dan tekan- an darah. Salah satu gangguan yang paling penting pada pekerja shift, yang jam biologiknya dikacau, ialah gangguan tidur. Tidur pada siang hari tidak akan sepulas jika tidur pada malam hari. Kesiapan bekerja pada malam hari juga terlihat dengan parahnya kecelakaan pada pekerja malam. Penderita diabetes mellitus yang mengalami gangguan metabolisme karbohidrat juga akan mengalami kesulitan dalam mengendalikan kadar gula darahnya jika tetap bekerja shift.

KERJA SHIFT Istilah shift sening rancu. Pada umumnya yang dimaksudkan

dengan kerja shift ialah semua pengaturan jam kerja, sebagai pengganti atau sebagai tambahan kerja siang hari sebagaimana yang biasa dilakukan(2). Namun demikian ada pula definisi yang lebih operasional dengan menyebutkan jenis kerja shift itu. Kerja shift disebutkan sebagai pekerjaan yang secara permanen, atau sering pada jam kerja yang tidak biasa atau bekerja pada jam yang berubah-ubah termasuk jam kerja yang tidak teratur(3).

Ada dua kelompok besar kerja shift, yaitu permanen dan rotasi. Namun demikian dipandang dari sudut kesehatan yang penting ialah apakah kerja shift itu mengandung unsur kerja malam atau tidak. Pembagian berikutnya ialah sistem shift ter- putus dan sistem shift terus menerus. Sistem shift terputus ber- langsung antara hari Senin sampai dengan Jumat atau antara hari Senin sampai dengan hari Sabtu. Faktor sosial, seperti aktivitas rekreasi keluarga pada akhir pekan dalam sistem tadi tidak menjadi masalah. Sistem shift terus-menerus berlangsung se- lama 7 hari seminggu termasuk hari-hari libur. Pada sistem shift ini faktor rekreasi keluarga akan sangat terganggu. Dalam hal ini perlu ditambahkan pula faktor pisah keluarga pada pekerja sistem shift terus-menerus, yang bekerja di tempat terpencil (pekerja anjungan minyak lepas pantai, awak kapal laut, awak pesawat tenbang, eksekutif manca negara).

Pembagian sistem kerja shift lainnya ialah: jumlah hari kerja malam yang berturut-turut, awal dan akhir kerja shift, jangka waktu masing-masing shift, urutan rotasi shift, jangka daur shift dan keteraturan sistem shift. Pembagian menurut jumlah hari kerja malam yang berturut-turut paling sedikit ada tiga jenis : 1) Metropolitan rota

Pada sistem ini pekerja bekerja menurut giliran 2-2-2 (pagi, pagi, siang, siang, malam, malam, libur, libur). Sistem ini banyak

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 42

Page 44: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

dipakai di Inggris. Pada sistem ini hari libur Sabtu dan Minggu hanya terjadi sekali dalam 8 minggu (Tabel 1).

Tabel 1. Metropolitan Rota

Minggu 1

Senin Selasa Rabu Kamis Jum'at Sabtu Ahad

Pagi Pagi Sore Sore Malam Malam Libur

Minggu 5

Senin Selasa Rabu Kamis Jum'at Sabtu Ahad

Malam Malam Libur Libur Pagi Pagi Sore

Minggu 2

Senin Selasa Rabu Kamis Jum'at Sabtu Ahad

Libur Pagi Pagi Sore Sore Malam Malam

Minggu 6

Senin Selasa Rabu Kamis Jum'at Sabtu Ahad

Sore Malam Malam Libur Libur Pagi Pagi

Minggu 3

Senin Selasa Rabu Kamis Jum'at Sabtu Ahad

Libur Libur Pagi Pagi Sore Sore Malam

Minggu 7

Senin Selasa Rabu Kamis Jum'at Sabtu Ahad

Sore Sore Malam Malam Libur Libur Pagi

Minggu 4

Senin Selasa Rabu Kamis Jum'at Sabtu Ahad

Malam Libur Libur Pagi Pagi Sore Sore

Minggu 8

Senin Selasa Rabu Kamis Jum'at Sabtu Ahad

Pagi Sore Sore Malam Malam Libur Libur

Pagi 6-14; sore 14-22; malam 22-6 2) Continental rota

Pada sistem ini pekerja bekerja menurut giliran 2-2-3 (pagi, pagi, slang, siang, malam, malam, malam, libur, libur). Sistem ini banyak dipakai di negara-negara daratan Eropa(4). Pada sistem ini hari libur Sabtu dan Minggu akan terjadi setiap 4 minggu (Tabel 2).

Tabel 2. Continental Rota

Minggu 1

Senin Selasa Rabu Kamis Jum'at Sabtu Ahad

Pagi Pagi Sore Sore Malam Malam Malam

Minggu 3

Senin Selasa Rabu Kamis Jum'at Sabtu Ahad

Malam Malam Libur Libur Pagi Pagi Pagi

Minggu 2

Senin Selasa Rabu Kamis Jum'at Sabtu Ahad

Libur Libur Pagi Pagi Sore Sore Sore

Minggu 4

Senin Selasa Rabu Kamis Jum'at Sabtu Ahad

Sore Sore Malam Malam Libur Libur Libur

Pagi 6-14; sore 14-22; malam 22-6

3) Sistem 4 orang siklus 32 jam(5)

Dalam sistem ini lepas jaga tidak ada dan tidak ada libur. Keuntungannya ialah setiap orang akan mengalami tidak kerja pagi sebanyak lima kali seminggu (baik buat mereka yang se- kolah di pagi hari). Pergantian pada tengah malam, sehingga pekerja dapat selalu tidur pada malam hari (sebelum bekerja atau sesudah bekerja) (Tabel 3).

Tabel 3. Sistem empat orang siklus 32 Jam

Shift Hari dalam minggu

S S R K J S A S S R K J S A S S R K J S A

Malam Pagi Sore Malam Pagi Sore

A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B

D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A

C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D

Malam 00-08; pagi 08-16; sore 16-24 Menurut awal dan akhir jam kerja shift, lama satu shift, dan

keteraturannya sistem dapat dibagi sebagai berikut: 1) Sistem 3 shift biasa

Masing-masing pekerja akan mengalanii 8 jam kerja yang sama selama 24 jam: dinas pagi antara pukul 6-14, dinas sore antara pukul 14-22 dan dinas malam antara pukul 22-6. Dinas pagi memungkmnkan keluargadapat makan bersama pada malam harinya, bisa mengerjakan hobby baik pada sore hari atau ma- lamnya. Bila dinas pagi dimulai terlalu pagi misalnya pukul 4, akan sangat melelahkan dan tidur malam menjadi lebih singkat. Dinas sore sangat tidak baik untuk kehidupan sosial, namun sebaliknya untuk tidur sangat menguntungkan. Dinas malam buruk dipandang dan berbagai segi. Makan malam bersama dan kegiatan hobby terganggu. Tidur terganggu akibat berbagai sebab: bising di siang hari, tidur terputus karena harus makan siang, tidur terus sampai sore. Akhirnya mereka mengalami ke- lelahan karena tidur yang tidak pulas. 2) Sistem Amerika

Menurut sistem ini dinas pagi mulai pukul 8-16, dinas sore antarapukul 16-24 dan dinas malam antara pukul 24-8. Sistem ini memberikan keuntungan fisiologik dan sosial. Kesempatan tidur akan banyak terutama pada pekerja pagi dan sore. Setiap shift akan mengalami makan bersama keluarga paling sedikit sekali dalam sehari. 3) Sistem 12-12

Di penambangan minyak lepas pantai dipakai sistem 12-12. Selama 12 jam dinas pagi dan selama 12 jam dinas malam. Jadwal antara 7-19 dan 19-7. Satu minggu kerja siang dan satu minggu kerja malam. Pisah dengan keluarga. Setelah dinas 2 minggu, biasanya setelah dinas malam, pulang ke rumah dan tinggal dengan keluarga. Dipandang dari sudut kesehatan kerja atau ergonomi bekerja menurut cara demikian tidak baik. Namun beberapa perkecualian dapat dilakukan, misalnya bila pekerjaan im tidak terlalu berat. Bila pekerjaan shift dilakukan selama ini, masing-masing shift baik siang atau malam, harus diikuti dengan istirahat dua hari.

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 43

Page 45: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

Alasan bekerja shift Pada masa peradaban pertanian-perburuan kebiasaan ini

tidak banyak menimbulkan masalah karena sebagian besar lahan mereka juga aktif pada siang hari. Namun sebaliknya pada masa peradaban perindustrian, manusia harus bekerja siang dan ma- lam hari. Ada beberapa alasan mengapa mereka harus bekerja selama 24 jam 1) Sifat industri

Industri gelas, pengecoran logam, pengeboran minyak bumi dan yang sejenisnya tidak dapat dilakukan hanya pada siang hari saja. Jika dilakukan demikian bahan baku industri itu akan membeku dan akan merusak mesin yang dipakai; 2) Karakteristik pelayanan

Rumah sakit, telepon, listrik, keamanan dan sejenisnya me- rupakan industri jasa yang harus dilakukan selama 24 jam. Orang sakit, pencurian tidak mengenal waktu, setiap saat bisa terjadi; 3) Prinsip ekonomi

Investasi yang mahal seperti perangkat komputer harus di- manfaatkan sepenuh-penuhnya, sehingga harus dilakukan se- lama 24 jam;

Ada kurang lebih 25% angkatan kerja yang harus bekerja bergilir selama 24 jam sehari. Beberapa pekerja lebih senang bekerja malam saja, karena: mendapatkan upah yang lebih baik, kurang mendapat pengawasan, merasa sebagai manusia malam, ada kesempatan untuk ngobyek, ada waktu untuk mancing ikan dan berburu, lebih banyak waktu untuk anak, kesempatan untuk belajar lebih banyak, lebih banyak memanfaatkan waktu pada siang hari, menghemat biaya penitipan anak.

Gangguan kesehatan Namun demikian di balik beberapa keuntungan di atas ada

beberapa kerugian yang sering tidak disadari oleh pekerja ma- lam, seperti: 1) 60-80% pekerja bergilir akan mengalami gangguan tidur; 2) 4-5 kali lebih banyak mengalami gangguan lambung; 3) 80% akan mengalami kelelahan; 4) 5-15 kali lebih sering mengalami gangguan emosi dan depresi; 5) lebih sering merokok serta menyalahgunakan obat dan alkohol; 6) mengalami kecelakaan serius di tempat kerja dan; 7) lebih sering mengalami perceraian. FISIOLOGI TIDUR

Berdasarkan pemahaman secara sederhana, tidur ialah pe- nurunan perasaan, sensasi, dan pikiran sampai menurunnya ke- sadaran yang berlangsung secara alamiah, bersifat sementara dan berkaitan dengan kesehatan(7). Tidur adalah keadaan normal yang berlangsung secara berkala. Selama tidur terjadi penurunan kegiatan fisiologik yang disertai oleh penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran (somnolensia) tidak sama dengan tidur, namun cirinya mirip. Yang membedakan tidur dengan koma, kesurupan dan terbius ialah kemampuan untuk bangun sendiri. Ada yang mengatakan, bahwa tidur itu semacam pembiusan diri sendiri. Karena itu ada beberapa tindakan pembedahan yang

dilakukan dalam keadaan tidur. Sampai saat ini pengetahuan mengenai tidur masih sangat

sedikit. Kualitas dan kuantitas tidur yang tidak terganggu diperlukan untuk memelihara kesehatan, kesejahteraan dan efisiensi. Kebutuhan tidur tidak sama pada setiap orang. Pada onang dewasa umumnya diperlukan tidur selama 8jam semalam. Namun demikian ada yang perlu lebih lama sampai 10 jam, sementara yang lainnya ada pula yang cukup dengan 6 jam saja. Thomas Alva Edison konon hanya memerlukan tidur selama 3 jam saja. Lama tidur bergantung pada usia. Bayi yang baru lahir memerlukan tidur selama 15-17 jam sehari, semakin tua semakin berkurang.

Kualitas tidur tidak seragam. Tidur itu berdaur, naik-turun dan mempunyai tahapan sesuai dengan kedalamannya. Ada lima tahapan kedalaman tidur: • Tahap 1

Elektroensefalografi (EEG) mempenlihatkan amplitudo yang rendah dengan banyak gelombang teta. Tahapan ini berlangsung pada saat mau tidur dan berjalan selama 1-7 menit. • Tahap 2

EEG mempenlihatkan amplitudo rendah. Selain ada gelom- bang teta ada juga yang disebut dengan sleep spindles, puncak yang kuat antana 12-14 Hz, yang dengan cepat diikuti gelombang berikutnya. Tahap 2 ialah keadaan tidur yang dangkal yang ber- langsung sebanyak 50% dan waktu tidun. • Tahap 3

EEG memperlihatkan amplitudo dan penurunan frekuensi, bahkan 50% gelombang berada di bawah 2 Hz. Banyak irama delta yang diselingi sleep spindles. Tahapan ini menunjukkan tidur yang pulas (dalam). • Tahap 4

Lebih dari 50% gelombang EEG di bawah 2 Hz. Tahapan tidur yang paling dalam. • Tahap 5

Rapid Eye Movement (REM). EEG mirip tahap I dengan beberapa campuran frekuensi. Ada gerakan bola mata yang sangat cepat dan mimpi terjadi pada tahap ini. Bila dilakukan pemeriksaan elektromiografi (EMG) akan nampak terjadi pe- lemasan otot secara maksimal dan sukar dibangunkan. Tahap 5 disebut juga dengan tahap panadoksal.

Gangguan tidur Gangguan tidur dapat disebabkan banyak hal. Untuk me-

ngenal gangguan itu dapat dipakai satu check list yang di antaranya adalah sebagai berikut(8) : 1) Siklus tidur-jaga

Pasien dianjurkan untuk secara teratur masuk kamar tidur dan dianjurkan untuk selalu aktif secara fisik dan sosial pada siang harinya. Jam tidur dan bangun harus selalu teratur; jika jam itu tidak tenatur atau tidak biasa mungkin ada gangguan siklus tidur-jaga. Masa-laten tidur; waktu yang terlalu lama untuk mulai tidur menunjukkan ketegangan dan kebimbangan atau insomniapsikofisiologik. Sering bangun pada tengah malam dan susah tidur kembali; ada hubungannya dengan kencing malam, kejang tungkai, susah bernafas atau kebimbangan yang meng-

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 44

Page 46: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

arah kepada diagnosis gangguan tidur. Waktu bangun di pagi hari; bangun terlalu pagi atau tidur berkelanjutan pada pagi hari menunjukkan depresi. Sering tertidur sebentar pada siang hari; sering tertidur sebentar menunjukkan tidur malam yang tidak cukup; tertidur sebentar yang tidak dikehendaki menunjukkan adanya apnoe dan gerakan tungkai periodik pada malam hari. Selesai kerja shift malam hari; sikius tidur-jaga terganggu; usahakan tidur pada saat suhu tubuh mulai turun atau sedang akan naik. Pengukuran suhu tubuh dapat dipakai sebagai alat pemantau. 2) Faktor lingkungan

Pasien dianjurkan untuk menciptakan lingkungan optimal untuk tidur. Kebisingan dan cahaya; penutup telinga dan penutup mata dapat menurunkan ambang bangun pada usia lanjut; Suhu kamar dan tempat tidur; suhu panas akan menyulitkan tidur. Kebiasaan di tempat tidur; tempat tidur jangan dipakai untuk membicarakan masalah, pengambilan keputusan, menonton TV, makan, membayar utang sebab akan menimbulkan insomnia psikofisiologik; 3) Diet dan penggunaan obat

Dianjurkan untuk melakukan diet berikut beberapa saat se- belum tidur; jangan minum kopi, teh, soda atau merokok, alkohol: efek perangsang tidur berbalik setelah beberapa jam kemudian. Alat bantu tidur. Obat tidur atau obat penyakit tertentu (mengan- dung kafein) dapat mengganggu tidur; efek ini dapat terjadi se- waktu-waktu. 4) Faktor umur

Lama tidur ditentukan oleh usia. Masa tidurjangan dipakai sebagai waktu untuk memikirkan kebimbangan. Membaca sampai lelah, lebih baik dan pada mencoba tidur jika belum mengantuk. Pada siang hari lebih baik melakukan kegiatan sosial atau ber- olahraga dan berada di bawah cahaya matahari agar tidur lebih lelap. Jika usia pekerja lebih dari 40 tahun dapat dianjurkan untuk keluar dan kerja shift. PENGATURAN TIDUR

Siklus jam biologik manusia sebenarnya sekitar 25 jam, bukan 24 jam. Bila jam tubuh itu dibiarkan berjalan sendiri, dengan tidak dibangunkan atau diberi cahaya, setiap malam rasa kantuk akan bergeser satu jam mundur. Jika dibiarkan terus da- lam waktu 25 hari manusia siang akan menjadi manusia malam. Beberapa pekerja merasa sebagai orang malam, seperti: sopir taksi, wartawan, polisi, dan sebagainya.

Tubuh manusia sebenarnya mudah menyesuaikan dengan keadaan luar, sebagaimana dengan keluar masuknya matahari. Perbedaannya dengan siklus tubuh manusia hanya satu jam per- hari. Itu adalah masa maksimal. Pada pekerja shift ada perbedaan selama 8 jam. ini tentu saja memerlukan penyesuaian selama 8 hari. Dengan perkataan lain jika seorang pekerja sudah bekerja malam selama satu minggu dia sudah mulai menjadi manusia malam. Jika setelah itu diubah lagi menjadi pekerja siang, dia perlu penyesuaian seminggu pula.

Tidur siang hari sering tidak mencapai tahap 3 (delta). Pekerja tidak merasakan istirahat meskipun tidurnya nampak pulas. Pada tidur malam setelah masa 3-4 jam pertama, sisa tidur

didominasi oleh tahap 2 dan REM. Makin lama. REM makin panjang dan dalam. Jika tidur terpotong menjadi 2 jam seperti pada tidur pada siang hari, maka separuh tidur REM akan lenyap. ini yang menyebabkan pekerja kurang segar, sering mudah men- jadi marah. REM dan delta sangat penting buat meningkatkan kualitas tidur.

Sebelum tidur seorang pekerja harus santai. Tunggu sampai mengantuk. Perangsang akan mengganggu proses tidur. Pada tidur biasa jumlah perubahan tahapan tidur yang terjadi ada antara 40-50. Pada mereka yang merokok dan peminum, jumlah itu meningkat menjadi 100. Ini sangat mengganggu. Jangan minum kopi empat jam sebelum tidur. ini termasuk teh, coklat, minuman yang mengandung bahan itu. Waktu paruh kopi dalam tubuh adalah 8 jam. Selama masa ini tidur akan susah dan dangkal. Kopi membuat susah masuk tidur. Alkohol mirip kopi. Alkohol membuat cepat tidur, namun tidur sening terpecah pecah dan sering terbangun. Minum bir sering membuat ter- bangun untuk kencing. Tidur dengan obat tidur tidak normal, bahkan dapat menyebabkan ketagihan. Nikotin juga dapat me- nyebabkan gangguan tidur, karena bahan ini perangsang juga.

Prinsip tidur ialah: mencegah desinkronisasi irama tubuh, mengurangi pengesenan irama dan tidur cukup. Hal ini harus diatur sesuai dengan kebutuhan biologik dan kebutuhan sosial.

Untuk itu ada dua prinsip fisiologik yaitu: irama tubuh yang stabil dan pengendali waktu yang konsisten untuk tubuh. Prinsip ini dapat diterapkan pada empat keadaan: 1) Kerja malam terus-menerus; 2) Kerja malam dengan rotasi; 3) Kerja malam sekali-sekali; 4) Kerja sore terus-menerus; 1. Kerja malam terus-menerus

Secara teoritis bekerja malam secara tenus-menerus jauh lebih baik dari pada kerja malam secara rotasi, karena irama tubuh akan menyesuaikan dengan irama baru. Dengan irama baru waktu tidur akan sama baik pada saat bekerja, maupun pada saat libur. Namun buat banyak orang hal ini tidak mudah di- lakukan.

Seorang pekerja malam tidak mudah menjadi orang siang pada saat libur, misalnya: tidur pada malam hari, dan jaga se- panjang hari. Perubahan yang drastis itu akan mengganggu irama tubuh. Karena itu dianjurkan untuk menjalankan upaya menjangkan masa tidur. Dengan jalan ini irama tubuh tetap pada irama malam dan dibiarkan tetap di sana. Namun demikian ada kesempatan pula untuk keluarga pada saat libur.

Pada hari kerja tidur selalu pada jam yang sama, misalnya 8-16. Pada saat libur, jaga selama separuh malam dan tidur pada larut malam, misalnya mulai pukul 4-12. Tidur telat lebih cocok untuk keluarga ketimbang tidur sepanjang hari. Dengan jalan ini pekerja tetap dapat tidur selai4 waktu yang disiapkan untuk itu. Masa yang tumpang tindih ini disebut dengan masa tidur jangkar. Masa itu harus paling sedikit empat jam dan masa tidur yang dipakai pada saat tidur selama hari kerja. Masa empat jam itu membantu agar irama tubuh tetap dalam satu jadual, dan tidak mengubahnya menjadi manusia siang.

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 45

Page 47: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

2. Kerja malam dengan rotasi Kerja malam dengan rotasi jangka pendek (seminggu),

irama tubuh tidak akan sempat bergeser menjadi manusia malam. Tujuan pengaturan tidur ialah agar pergeseran irama tubuh tetap tidak terjadi. Caranya ialah dengan membagi dua waktu tidur. Ketika tidak bekerja malam usahakan tidur secara biasa, misal- nya pukul 00-08. Ketika bekerja malam bagi dua masa tidur itu dan lakukan sebelum waktu tidur biasa dan sesudahnya. Misal- nya tidur mulai pukul 08-12, dan usahakan bangun. Lalu tidur lagi sebelum mulai bekerja, misalnya antara pukul 20-24. Meskipun tidak tidur normal pada saat itu, pekerja akan me- ngantuk akibat dikuranginya masa tidur di pagi harinya. Cara lainnya ialah dengan tidur 30 menit sebelum bekerja malam, akan membuat tubuh lebih segar dan tidak mengantuk.

3. Kerja malam sekali-sekali Jika bekerja malam sekali-sekali, irama tubuh harus tetap

dipertahankan dalam irama siang. Tujuan pengaturan tidur ialah usaha untuk mengisolasi semua gangguan irama tubuh cukup selama satu hari saja. Caranya ialah dengan mengisolasi ganggu- an.

Setelah bekerja sepanjang malam, pulang ke rumah dan tidur selama 3-4 jam, misalnya antara pukul 08-12. Usahakan segera bangun. Dengan waktu ini pekerja akan mengalami be- berapa jam gelombang delta tanpa menggeser irama tubuh ke waktu baru. Pada malam harinya akan sangat mengantuk pada saat biasa tidur. Pada pagi harinya pekerja dapat bangun pada jam dia biasa bangun, dengan perasaan tubuh yang segar bugar. 4. Kerja sore terus-menerus

Kerja sore lebih sesuai dengan irama tubuh secara alamiah, dibandingkan dengan bekerja pagi atau malàm. Puncak suhu tu- buh terjadi pada pertengahan waktu dinas sore. Pekerja shift ini dapat tidur secara mudah, karena shift usai pada saat tubuh mulai turun, saat tubuh siap untuk tidur. Jika paginya dapat bangun telat, pekerja tidak akan kekurangan waktu tidur.

Jika ada keperluan di pagi hari Misalnya jika seorang ibu harus mengurus anaknya. Tidur

harus dipotong pendek. Demikian juga jika pasangan akan be- kerja pagi, kedua pihak harus bangun pagi agar dapat sarapan bersama. Apapun alasannya kekurangan tidur akan dapat me- nimbulkan masalah. Jika jadual yang bertentangan dengan waktu keluarga, kebutuhan biologik untuk tidur tidak dapat diabaikan.

Jika tidak ada keperluan pada pagi hari, ada kecenderungan untuk bangun lebih siang. Sosialisasi jarang terjadi, kecuali pada jam yang tidak biasa. Tidak mudah tidur pada pagi hari, sebab suhu tubuh mulai naik. Apapun alasannya tidur harus cukup, waktu tidur harus tetap dan irama tubuh harus stabil. Ada be- berapa cara : Bila dapat tidur telat

Lakukan jam bangun tidur harus selalu teratur. Jika dapat tidur telat pada pagi hari, dengan mudah dapat dilakukan per- geseran waktu tidur pada malam hari dan pergeseran waktu bangun pada pagi hari. Waktu bangun yang teratur akan men- cegah terjadinya pergeseran irama tubuh. Tidur 30 menit sebe- lum kerja malam.

Bila ada keperluan pada pagi hari Caranya ialah dengan menyempurnakan waktu tidur. Pada

kebanyakan orang masuk tidur tengah malam 01 dan bangun 06 tidak cukup untuk tidur. Jika ada keperluan pada pagi hari maka perlu tidur yang cukup. Sempurnakan waktu tidur. Jika meng- urus anak pada pagi hari, anak itu penlu dititipkan selama bebe- rapa jam agar ada waktu untuk membayar tidur. Pilihan I Tidur segera setelah pulang kenja. Pelihara jam bangun pada saat yang sama. Usahakan cukup tidur bila tidur siang sebentar tidak mungkin dilakukan. Selama libur; jika tidur lebih awal atau lebih akhir dari biasa, usahakan bangun pada waktu yang sama. Pilihan 2 Tidur segera setelah pulang kerja. Bangun sedini mungkin, beri makan anak-anak atau sarapan bersama pasangan. Kembali ke tempat tidur dan selesaikan waktu tidun. Makin cepat makin baik, sebelum suhu sempat naik. Pilihan 3 Siesta selama 30 menit sebelum masuk kerja sore. Waktu ini tidak tepat untuk tidur karena bersamaan dengan naiknya suhu tubuh. Jika suhu masih di bawah gelombang delta akan cepat muncul dan tidur cukup pulas. Tidur segera setelah kerja. Bangun segera untuk mengurus keperluan pagi hari. Usahakan bangun teratur meskipun hari libur. Tidur paling sedikit 30 menit sebelum masuk kerja. ini akan menyempurnakan tidur pekerja. PENGGUNAAN OBAT TIDUR

Pemberian obat tidur dalam jangka lama untuk pekerja shift tidak dianjurkan, sebab dapat menimbulkan toleransi dan keter- gantungan dan gejala withdrawal pada saat penghentian peng- obatan. Obat tidur masa kini banyak bekerja cepat, yang kurang diperlukan oleh pekerja shift. Yang diperlukan ialah efek yang lama. Banyak obat yang dipengaruhi oleh alkohol, sehingga banyak efek samping seperti amnesia dan kekacauan pikiran.

Semua obat tidur harus dianggap dapat menyebabkan keter- gantungan. Karena itu obat tidur tidak boleh diberikan lebih dari 2 minggu setiap kali pemberian resep dan harus diberikan dengan dosis serendah mungkin. Dengan menurunkan dosis secara per- lahan akan mencegah susah tidur kambuh kembali. Obat tidur yang lenyap dari tubuh dalam waktu singkat (imidazobenzo- diazepam) dapat menyebabkan terjadinya fenomena rebound. Efek ini tidak tenjadi pada obat tidur yang berada lama dalam tubuh atau bila dosis ditununkan secara perlahan. Obat tidur se- ring menimbulkan rasa ngantuk, segera setelah bangun tidur, karena khasiat obat yang ma ada dalam tubuh. Ini terjadi terutama pada obat tidur yang berjangka lama. Rasa ngantuk yang terjadi pada waktu bekerja tentu akan sangat membahaya- kan.

Obat tidur yang dianjurkan untuk pekerja shift(9) ialah lorme- tazepam dan zopiclone. Keduanya menimbulkan tidur dengan

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 46

Page 48: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

kualitas yang baik dan lama, tanpa ada sedasi dan kekacauan pikiran setelah bangun. Zopiclone bekerja cepat sehingga cocok untuk mereka yang bekerja on call setelah bangun tidur. Setiap obat yang diberikan pekerja shift dengan insomnia ringan harus selalu diawasi. Setelah dun kali pemberian (masing-masing 14 kali tidur yang dipisahkan selama seminggu) pengobatan belum memberikan hasil, pekerja dianjurkan untuk kerja siang saja atau hidup dengan perubahan jadual tidur. Obat pada pekerja shift diserap tidak sama dengan pekerja biasa, dan bergantung pula pada usia mereka, karena itu obat harus diberikan secara berhati- hati. Obat harus dimakan sebelum tidur dan sebaiknya jangan ditulis “sekali pada malam hari”. AUTOHIPNOSIS

Beberapa dokter ada yang mendidik pasiennya untuk me- lakukan autohipnosis(10). Salah satu syarat cara terapi ini ialah kemauan dari pasien dan kesabaran dokter. Ketika pasien berada dalam hipnosis, pasien diminta untuk merasakan bagaimana caranya melakukan autohipnosis. Ada beberapa keuntungan teknik ini : 1) Jika berlatih terus-menerus akan mengurangi kecemasan; 2) Setiap hipnosis yang dilakukan oleh dokter akan diulangi oleh pasien sendiri, sehingga terjadi efek pertambahan; 3) Masalah yang akan menimbulkan kecemasan akan dapat dikenal terlebih dulu, sehingga akan dihadapi dengan tenang. Dapat dikatakan terjadi efek autodesentisisasi; 4) Dapat dipakai pada saat persalinan, kesulitan tidur, mengu- rangi rasa sakit, dan fobia penerbangan; KAMAR TIDUR

Agar pekerja shift lebih mudah tidur pada siang hari, kamar tidur mereka harus diatur sesuai dengan beberapa syarat berikut(11): 1) Tempat tidur

Tempat tidur harus mempunyai kasur yang dapat menahan berat tubuh, tanpa menyebabkan badan tertekuk. Kasur ini harus mampu membuat tulang punggung berada dalam posisi lurus. Jika kasur terlalu keras hanya akan menyebabkan bahu dan panggul saja yang beristirahat. Tebal kasur sebaiknya kira-kira 15 cm dengan minimum 300 koil 375 untuk wanita dan 450 untuk lelaki. Di toko kasur harus dicoba apakah dapat menopang tubuh. Jika bahu, panggul dan tulang belakang bawah tenggelam, kasur itu dapat menimbulkan pegal pada punggung. Bantal tidak boleh terlalu tinggi. Dengan mengangkat kepala tulang punggung akan melengkung. Banyak orang memilih bantal tinggi untuk membaca dan bantal tipis untuk tidur. 2) Kebisingan

Banyak kebisingan di sekitar tempat tidur yang dapat diken- dalikan, seperti klakson mobil, pesawat terbang, dan sebagainya. Dengan memutar kaset untuk meratakan kebisingan sekitar dengan volume rendah dapat memudahkan proses tidur. Ada alat mirip penutup telinga yang dapat menetralkan semua kebisingan itu. TV kadang-kadang mampu membuat orang tidur tetapi suara yang punya makna sedikit banyak mengganggu tidur. Ruangan yang kedap suara sangat ideal. Penutup telinga yang lembut dapat memudahkan pekerja untuk tidur Pasang papan jangan di-

ganggu” di depan pintu kamar. Weker atau telepon jika perlu dapat dimatikan. 3) Pengaturan suhu

Suhu kamar sebaiknya berada antara 50-75 derajat F. Pada saat mau tidur suhu badan mulai menurun. Suhu yang tinggi tentu saja akan mengganggu. Selimut listrik tidak dianjurkan, karena akan menghangatkan tubuh pada saat seharusnya ditu- runkan. Jika kamar tidak dapat didinginkan juga, sebuah sapu tangan basah dapat ditaruh di atas dahi untuk menurunkan suhu tubuh. 4) Kegelapan

Kamar harus gelap benar agar pikiran menganggap malam hari. Cahaya dapat menekan pengeluaran melatonin, suatu hor- mon yang dikeluarkan ketika tidur. Jika pekerja peka cahaya coba pakai kacamata kain sebagai penutup mata. Seseorang akan tidur jika dia sudah siap untuk tidur. MAKANAN DAN OLAHRAGA

Makanan harus seimbang. Pada malam hari usus tidak siap untuk mencernakan makanan. Makan banyak pada malam hari sering menyebabkan kegemukan. Jangan makan lemak dan pro- tein yang berlebihan beberapa jam sebelum tidur. Mulai hari anda dengan protein tinggi dan akhiri dengan karbohidrat menjelang tidur. Usahakan makan secara teratur, biasanya 3 kali sehari. Usahakan makan bersama keluarga sekali sehari.

Jangan berolahraga dalam waktu 1-2 jam sebelum tidur. Setelah latihan metabolisme akan meningkat, yang akan menyulitkan proses tidur. Olahraga yang paling baik ialah bebe- rapa saat setelah bangun tidur. Olahraga menaikkan suhu badan yang akan meningkatkan kejagaan pekerja. Hangatkan tubuh, kamena pada saat tidur tubuh itu beristirahat.

KONSELING TIDUR Konseling ialah suatu cara mengkomunikasikan pemaham-

an, pengertian dan upaya bantuan untuk klien/pasien. Konselor dihamapkan dapat berresonansi, sehingga dapat mengenal perma- salahan dalam kehidupan klien/pasien dan secara kreatif dapat membantu memecahkan masalahnya. Seorang konselor diha- rapkan mampu melakukan komunikasi secama efektif, ketram- pilan memecahkan masalah dan dalam jangka pendek mancapai tujuannya(12).

Tujuan konseling yang paling sederhana ialah untuk mengu- rangi keluhan. Memberikan obat tidur buat penderita insomnia merupakan salah satu contoh upaya konseling. Tujuan yang lebih dalam ialah mengubah perilaku dengan melakukan upaya de- sensitisasi agar konflik di tempat kerja tidak dibawa ke rumah. Tujuan yang paling panting ialah kemandirian dalam mengatasi masalah. Dalam hal ini pasien diharapkan dapat mengubah peri- lakunya sehingga dapat mengatasi persoalannya secara positif. Sebagai contoh karena hanya dapat bekerja secara bergilir, seorang pekerja lalu terbiasa tidur siang hari dengan penutup telinga.

Hambatan konseling Ada beberapa hambatan dalam melakukan konseling. Se-

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 47

Page 49: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

orang konselor sering mengalami stres, karena dia harus me- mecahkan masalah orang lain. Untuk mengatasi gangguan ini seorang konselor harus dewasa dan dapat melepaskan dirinya dan proses konseling. Kesulitan kedua ialah hasrat konselor untuk memecahkan masalah pasiennya menurut seleranya sen- diri. Yang terakhir ialah keinginan konselor untuk berhasil membantu pasiennya. Ini tidak perlu dirisaukan, karena ke- suksesan bantuan merupakan fenomena yang berada di bawah kesadaran; seorang konselor harus selalu menerima kegagalan. Keberhasilan atau kegagalan tidak menjadi masalah, yang pen- ting telah terjadi komunikasi pelayanan, perhatian dan pema- haman.

Ada tiga unsur dasar konseling: 1) pemahaman diri sendiri; 2) pemahaman pasien; 3) pemahaman masalah;

Pemahaman din dapat dilakukan dengan menempatkan diri sebagai pasien. Bagaimana perasaan diri sendiri, jika misalnya dimarahi oleh seseorang. Bagaimana perasaan diri sendiri, jika misalnya konselor yang ditanya tidak mampu menjawab secara memuaskan atau tidak mampu memberikan jalan alternatif. Cara yang mudah untuk mengenal diri ialah dengan jalan men- jadi pendengar yang baik. Seorang konselor yang belum pernah bergadang pada malam hari tidak akan dapat membayangkan bagaimana rasanya tidur pada siang harinya. Dia harus memper- cayai apa yang dikatakan oleh kliennya.

Pemahaman pasien hanya dapat dilakukan bila komunikasi berjalan secara baik. Bahasa harus sama, terminologinya harus jelas. Umpan balik harus dilakukan, agar persepsi menjadi sama. Apa yang dimaksud dengan susah tidur, tidak pulas, kurang tidur perlu penjelasan yang lebih rinci.

Untuk memahami masalah pada klien, konselor perlu ketrampilan untuk mengusut permasalahan itu. Pertama-tama pengetahuan teori tidur perlu dipahami betul, yang normal, yang abnormal, dan beberapa perilaku yang mendasarinya. Tiap orang tentu saja mempunyai persepsi yang berbeda dalam mengutara- kan masalahnya. Perilaku terbentuk berdasarkan pikiran dan emosinya. Lingkungan kerja yang berisik dan penyakit yang menimbulkan nyeri terus-menerus akan membuat pikiran men- jadi kalut, sehingga mencetuskan perasaan kacau. Kekalutan dan kekacauan ini menyebabkan kesulitan untuk tidur. Ada kalanya pencetus itu sering memutar lingkaran setan. Perhatian atasan yang berkurang menyebabkan ketidakmapanan jabatan. Keti-dakmapanan itu menyebabkan pikiran terganggu sehingga tim- bul gangguan tidur. Gangguan tidur menyebabkan kelelahan berlebihan. Kelelahan menyebabkan produktivitas menurun. Akibatnya pekerja ini dikucilkan dan perhatian atasannya. Demikian terus menerus tiada akhirnya. KESIMPULAN

Jika bekerja shift tidak terhindarkan, tidak ada satu cara tidur yang berlaku untuk semua orang. Setiap orang pekerja harus di- perlakukan secara khusus. Dalam situasi seperti ini konseling sangat diperlukan. Setiap pekerja diharapkan mampu mengatur dirinya sendiri. Konselor harus bertindak sebagai promotor.

Pengetahuyan pengaturan tidur sangat diperlukan oleh promo- tor.

Pengukuran suhu walaupun sukar dilakukan selama 24 jam dapat dipakai sebagai pegangan. Mereka yang berusia kurang dari 25 tahun dan lebih dari 50 tahun tidak dianjurkan untuk bekerja shift. Masalahnya ialah kesulitan penyesuaian. Mereka yang mempunyai bakat sakit lambung, tidak tahan tidak tidur, emosi yang kurang stabil tidak dianjurkan untuk bekerja shift.

Pekerja yang bujangan, punya rumah jauh dan tempat kerja dan lingkungan tetangganya bising tidak cocok untuk bekerja shift. Perubahan sistem shift antara pukul 6-14-22 sebaiknya diganti menjadi 7-15-23 atau 8-16-24. Rotasi jangka pendek lebih baik dari pada jangka panjang dan dinas malam terus menerus tidak dianjurkan. Rotasi kerja ma yang baik ialah dengan memisahkan satu kerja malam dengan lainnya atau dengan jadual yang terpencar seperti 2-2-2 atau 2-2-3. Meskipun bekerja 1,2, atau 3 malam berturut-turut harus diikuti oleh paling sedikit 24 jam istirahat. Setiap rancangan kerja shift harus ter-masuk dua hari libur yang bertepatan dengan Sabtu dan Minggu. Setiap shift harus ada istirahat dengan hidangan makanan hangat,

Ada beberapa cara pengaturan tidur, yang penerapannya disesuaikan dengan kebutuhan biologik dan sosial. Pemberian obat tidur tidak dianjurkan, namun dalam keadaan mendesak dapat diberikan dengan pilihan obat yang sesuai. Pemberian autohipnosis mungkin diperlukan dalam keadaan tertentu, se- bagai upaya alternatif.

KEPUSTAKAAN 1. Granjean EG. Fitting the task to the man. An ergonomic approach. Taylor

& Francis Ltd. London. 1980: 245–261. 2. Taylor PJ. Shift work - Some Medical and Social Factors. Trans. Soc.

Occup. Med. 1970, 20: 1270132. 3. Knauth P. Rutenfranz J. Shift work in Recent Advances in Occupational

Health Edited by Harrington JM Churchill Livingstone, 1987: 263–281. 4. Grandjean E. Fitting the task to the man. An ergonomic approach. Taylor

& Francis Ltd., 1980: 245–261. 5. Othmer DF. Work schedule works by being different. Practical Ideas IC.

Elliot (ed.) McGraw Gill Inc. New York, 1980: 286 6. Klein M.-The Shiftworker’s Handbook, Synchro Tech, 198: I. 7. Hoskisson iB, What is this thing called sleep? Davis-Poynter, London,

1976: 15. 8. Prinz PN, Vitiello MV. Raskind MA, Thorpy Ini. Geriatrics: Sleep disor-

ders and aging. N EngI i Med Aug 23, 1990: 520–526. 9. Griffiths R. Sleep Problems i the Shiftworkers. Medical Progress. Sep-

tember 1992: 30-36. 10. Waxman D. Hypnosis A Guide for Patients and Practitioners. George

Allen & Unwin. 1981; 56. 11. Donnelly 5, Romano V. A womb of ones own. Working Woman, July

1993: 77. 12. Koh EK, Goh LG, Kee P. Skills & Management in Family Medicine. PG

Asian Economy Edition, 1988: 76–89.

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 48

Page 50: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Radikal Bebas pada Eritrosit dan Lekosit

Jensen Lautan Kopertis Wilayah-I dpk Laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara, Medan

PENDAHULUAN

Oksidan, yang sebagian besar merupakan radikal bebas, kiranya makin penting untuk diteliti karena makin banyak penya- kit atau kelainan yang disebabkan oleh kehadirannya. Namun tanpa kehadirannyapun dapat menimbulkan kelainan, seperti yang kita lihat pada lekosit yang tidak berdaya terhadap masuk- nya mikroba karena tidak mampu membentuk oksidan atau radi- kal bebas ini. SPESIES OKSIGEN REAKTIF

Senyawa-senyawa maupun reaksi-reaksi kimia yang cen- derung menghasilkan spesies oksigen reaktif (spesies oksigen yang potensial toksik) disebut pro-oksidan(1).

Radikal bebas adalah atom/molekul yang pada kulit ter- luarnya mengandung satu/lebih elektron tak berpasangan. Tidak semua spesies oksigen reaktif adalah radikal bebas(1,2,3), umpama-nya H2O2 & singlet oksigen bukan radikal bebas, tetapi termasuk spesies oksigen reaktif. Karena adanya kecenderungan meng- ambil sebuah elektron (e-) dan senyawa-senyawa lain maka spesies oksigen ini sangat reaktif(1).

Beberapa spesies oksigen reaktif yang dijumpai dalam tu- buh: 1) Radikal Bebas Superoksida (O2

-) 2) Radikal Bebas Hidroksil (OH°). 3) Radikal Bebas Alkoksil (RO°). 4) Radikal Bebas Peroksil (ROO°). 5) Peroksida lipid (LOOH). 6) Hidrogen peroksida (H2O2). 7) Singlet Oksigen (IO2) 8) Ion Hipokiorit (Ocl-).

Asap rokok, polusi, NO2 dan Ozon (O3) merupakan con- toh oksidan eksternal yang masuk ke dalam tubuh melalui inhalasi. Setiap hembusan asap rokok sigaret mengandung 1014 radikal bebas dan 800 ppm Nitrogen Oksida (NO2) yang dapat

bereaksi dengan peroksida sel radang membentuk oksiradikal lain yang sangat kuat(7). ANTIOKSIDAN

Senyawa-senyawa yang mampu menghilangkan, member- sihkan (scavenging), menahan pembentukan ataupun meniada- kan efek Spesies Oksigen Reaktif disebut antioksidan(1). Bebe- rapa Antioksidan yang dapat mencegah kerja Spesies Oksigen Reaktif adalah Vitamin E (Tokoferol). Senyawa ini dapat mengatasi Singlet Oksigen, Superoksida dan Radikal Bebas peroksil.

ROO° + TocOH ––––––––> ROOH + TocO°

ROO + TocO –––––––> ROOH + Produk Non-Radikal Bebas(1)

Reaksi di atas menunjukkan aktivitas Tokoferol (TocOH) terhadap Radikal Peroksil. Vitamin A mampu mengatasi Singlet Oksigen B-karoten

terhadap superoksida, peroksil dan singlet oksigen. Vitamin C mengatasi Radikal Peroksil, Superoksida dismutase terhadap Radikal Superoksida, katalase terhadap H2O2 dan Glutation Peroksidase mengatasi H2O2 dan LOOH.

Kemampuan B-karoten untuk menginaktifkan radikal bebas bukan karena dapat berubah menjadi Provitamin A, tetapi karena adanya ikatan rangkap yang banyak pada struktur molekul(6). Ia menangkap Radikal peroksil di dalam jaringan pada tekanan parsial oksigen yang rendah. Oleh karena itu sifat antioksidan- nya merupakan komplemen dengan sifat antioksidan tokoferol karena sifat antioksidan ini efektif pada tekanan parsial oksigen yang tinggi(1). AKIBAT OXYDATIVE STRESS PADA SEL/JARINGAN

Pada keadaan normal, terdapat balans antara Pro-Oksidan dan Anti-Oksidan. Bila balans ini beralih ke arah kelebihan Pro- oksidan, maka keadaan ini disebut oxydative stress. Jika oxyda-

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 49

Page 51: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

tive stress berlangsung berat dan lama, akan menimbulkan keru- sakan sel/jaringan, yang selanjutnya mungkin merupakan penye- bab timbulnya keganasan, inflamasi (misal: rematoid artritis), ateroskierosis, penuaan, iskemia dan hemolisis sebagainya(1,6).

Zat-zat yang dapat bereaksi dengan DNA, sangat potensial bersifat karsinogen. Efek mutagenik radikal superoksida yang terbentuk selama aktivasi sel-sel fagosit pada inflamasi kronik, dapat mendorong terjadinya keganasan(4).

Men urut hasil penelitian, LDL yang teroksidasi lebih mudah dan cepat diambil oleh makrofag dan foam cell jika dibanding dengan LDL normal(1). Keadaan ini mendorong terjadinya ateroskierosis.

Proses peradangan diperantarai oleh sintesis prostaglandin yang dikatalisasi oleh siklooksigenase. Zat antara pada proses sintesis ini adalah terbentuknya radikal bebas(4).

Dengan semakin bertambahnya usia, radikal bebas yang terbentuk selama proses metabolisme normal dapat merusak DNA dan makromolekul lain sehingga terjadi penyakit degene- ratifdan kematian sel-sel vital tertentu, yang pada akhirnya akan menyebabkan penuaan(4).

Proses metabolisme tubuh cenderung menghasilkan ber- bagai oksidan kuat; dan oksidan ini, radikal hidroksil merupakan oksidan yang paling toksik karena dapat bereaksi dengan ber- macam-macam senyawa elementer seperti protein, asam nukleat, lipid dan lain-lain sehingga ia dapat dengan mudah dan cepat merusak struktur sel/jaringan(3).

Reaksi dengan protein mempercepat terjadinya proteolisis. Fosfolipid dan kolesterol membran sel yang mengandung Asam Jemak tak jenuh lebih rentan terhadap oksidasi(3). SUMBER OKSIGEN REAKTIF

Pada keadaan normal, reduksi O2 menjadi H2O2 dalam rantai pernafasan yang dikatalisir enzim Sitokrom Oksidase membu- tuhkan 4 buah elektron, namun pada 5% total konsumsi oksigen terjadi proses yang lain dari biasa yaitu hanya sebuah elektron yang diambil (rcduksi univalen) sehingga terbentuk Spesies Oksigen yang toksik(1,3).

Diagram 1. Diagram I menunjukkan produksi spesies ok reaktif pada reaksi reduksi oksigen menjadi air. Reduksi 1 mol O2 via sistim sitokrom oksidase dari rantai pernafasan membutuhkan 4 buah e-. Namun sebagian daripadanya menempuh satu seri reduksi univalen dimana masing-masing hanya men gambil sebuah e- sehingga dengan demikian terbentuk spesies oksigen reaktif, yaitu O2, H2O2 dan OH°. (•= Radikal bebas)

Dengan menerima 1 e+ (elektron) pertama, terbentuk O2. Reaktivitas ini dibatasi oleh adanya dismtitasi spontan yang terjadi pada pH fisiologis dimana akan terbentuk H2O2 (setelah menerima e- kedua).

H2O2 merupakan oksidan kuat namun bereaksi lambat de- ngan substrat organik. Oksidan ini dianggap toksik hanya dalam konsentrasi tinggi. Akumulasi H2O2 dapat berbahaya bila ter- dapat bersama dengan ion Fe2+ atau chelating agent karena akan terbentuk Radikal hidroksiI yang juga akan terbentuk setelah menerima e- ketiga. ANTI-OKSIDAN SEBAGAI PELINDUNG ERITROSIT DARI STRES & KERUSAKAN OKSIDATIF

Oksidan yang mungkin terbentuk di dalam sel eritrosit

adalah superoksida (O2-), hidrogen peroksida (H2O2), radikal

peroksil (ROO°). Superoksida di dalam eritrosit terbentuk karena proses

autooksidasi Hb (pada manusia terjadi hampir 3% autooksidasi Hb perhari) menjadi metHb. Di jaringan lain, oksidan ini ter- bentuk akibat kerja berbagai enzim, seperti sitokrom P-450 re- duktase, santin oksidase dan NADPH-oksidase (dalam neutrofil pada saat kontak dengan bakteri)(2). Produksi superoksida : O2 + e- –––––––––––> O2

-

NADPH-oksidase : 2O2 + NADPH –––––> 2O2 + NADP + H+

S.oksidase Santin oksidase : Hiposantin –––––––––––––––> Santin 2H2O + O2 2H2O2

s. oksidase Santin ––––––––––––––––––> Asam urat 2H2O + O2 2H2O2

Ion Fe2+ dari Hb sangat rentan terhadap oksidasi oleh oksidan, misal O2, di mana terbentuk metHb yang tidak mampu meng- angkut oksigen. Pada keadaan normal, hanya dijumpai sedikit metHb di dalam darah karena enitrosit memiliki sistim yang efektif untuk mereduksi kembali Fe3+ menjadi Fe2+.

Pada eritrosit dan beberapa jaringan, enzim glutation peroksidase yang mengandung Selenium (Se) mengkatalisasi penguraian H2O2 dan hidroperoksida lipid oleh glutation (GSH) sehingga lipid membran sel menjadi aman dan oksidasi Hb menjadi metHb dapat dicegah.

Diagram 2. Menunjukkan peranan jatur pentosaphosphat pada reaksi Glutation perokaidase di dalam sel eritrosit

Keterangan: G–S--S–G = oxidized Glutathione; G–SH = reduced Glutathione; Se = Selenium (kofaktor)

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 50

Page 52: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

NADPH yang dihasilkan oleh reaksi yang dikatalisasi oleh Glukosa-6-fosfat dehidrogenase di dalam Jalur pentosaphosphat memegang peranan penting dalam mensupply Reducing equiva- lent pada eritrosit dan hepatosit. Boleh dikatakan satu-satunya jalur/rangkaian reaksi yang menghasilkan NADPH adalah Jalur Pentosa Phosphat. Maka eritrosit sangat rentan terhadap kerusak- an oksidatif bila terdapat gangguan (misalnya defisiensi enzim G6Pdehidrogenase) pada Jalur penghasil NADPH ini. Salah satu fungsi NADPH adalah mereduksi GSSG menjadi GSH yang dikatalisasi oleh enzim Glutathion Reduktase(11). G6PD + NADP ––––––––––> 6-Phosphoglukonat + NADPH + H+

Superoksida dapat mereduksi sitokrom c (oxidized) : O2 + cyt.c (Fe3+) –––––––––– > O2 + Cyt.c (Fe2+) Superoksida ini dapat terurai secara spontan tapi lambat, atau dengan bantuan enzim superoksida dismutase yang berlangsung jauh lebih cepat sehingga tidak memberi peluang kepada oksidan untuk menimbulkan kerusakan pada sel mau- pun jaringan. S. dismutase O2 + O2 + 2H+ ––––––––––– > H2O2 + O2

Pada defisiensi Glukosa-6-phosphat dehidrogenase (G6PD), eritrosit tidak mampu menyediakan NADPH yang cukup bagi reduksi GSSG menjadi GSH yang seterusnya mengganggu proses penetralan H2O2 dan radikal oksigen lainnya. Senyawa-senyawa ini dapat menyebabkan: 1) Oksidasi Gugus SH kritis dan protein. 2) Peroksidasi lipid pada membran eritrosit yang seterusnya mengalami lisis. 3) Gugus SH dan Hb teroksidasi dan protein mengalami pre- sipitasi di dalam eritrosit, membentuk apa yang disebut Heinz bodies. Adanya Heinz bodies di dalam eritrosit menunjukkan bahwa eritrosit sedang menderita stres oksidatif.

Peroksidasi (autooksidasi) lipid akibat berkontak dengan oksigen dapat menyebabkan kerusakan sel/jaringan tubuh. Efek merusak ini diawali oleh pembentukan radikal bebas (ROO, RO, OH) yang dihasilkan sewaktu terjadinya reaksi pemben- tukan peroksida dan asam lemak yang terdapat di dalam struktur molekul polyunsaturated fatty acid (PUVA). Peroksidasi lipid ini merupakan suatu rantai reaksi yang tidak putus-putusnya menghasilkan radikal bebas.

Kelainan yang ditimbulkan oleh defisiensi G6PD ini adalah anemia hemolitik. Beberapa obat atau makanan dapat bertindak sebagai faktor pencetus kelainan ini, antara lain Vicia faba (broad bean), primakuin, sulfonamid dan naphthalene karena intake senyawa ini menyebabkan menumpuknya H2O2 dan O2

-. SEL FAGOSIT DAN NADPH-OKSIDASI

Respiratory burst terjadi pada saat lekosit memfagosit mikroorganisme yang merupakan refleksi utilisasi oksigen yang sangat meningkat disertai produksi sejumlah besar derivat reaktif, yaitu O2

-, H2O2, OH dan OCl-. Sebagian derivat ini me- rupakan mikrobisidal yang poten.

Sistim rantai transport elektron yang bertanggung jawab terhadap respiratory burst ini memiliki komponen-komponen antara lain(2) : 1) NADPH oksidase (NADPH O2-oksidoreduktase).

2) Sitokrom tipe b: mampu mereduksi oksigen menjadi super- oksida.

Karena pengaruh oksidase dan sitokrom di atas, maka oksi- gen direduksi menjadi superoksida. Kemudian superoksida se- cara spontan dengan bantuan enzim superoksida dismutase diubah menjadi H2O2.

Superoksida yang terbentuk disalurkan ke luar sel atau ke dalam phagolisosom. Di dalam phagolisosom, bakteri dibunuh oleh adanya aksi kombinasi dan pH yang meninggi, ion su- peroksida, derivat oksigen lain, peptida/protein lain yang bersifat bakterisid. NASIB H2O2 YANG TERBENTUK Senyawa ini: 1) Dipakai oleh mieloperoksidase.

Mieloperoksidase H2O2 + X- + H+ ––––––––––––––> HOX + H2O(1,3)

(X = Cl, Br, I-, SCN-; HOCI = asam hipoklorit) H2O2 dihasilkan oleh sistim NADPH-oksidasde. HOCI adalah oksidan dan mikrobisid kuat. 2) Diubah menjadi (OH) dengan bantuan enzim Glutation peroksidase. 3) Diubah oleh Katalase menjadi Air dan O2-.

2H2O2 –––––––––––––––––> 2H2O + O2

Radikal hidroksil (OH) juga dapat terbentuk dari H2O2 yaitu bila terdapat ion-ion logam (misal : Fe2+ menurut Reaksi Fenton, dan Reaksi Haber-Weiss(1,3). (i) Fe2+ + H2O2 –––––––––> Fe3+ + OH + OH-

(ii) O2- + H2O2 –––––––––> O2 + OH- + OH

PENYAKIT GRANULOMA KRONIK

Terjadi defek pada respiratory burst; ditandai dengan ter- jadinya infeksi rekuren dan granuloma yang meluas. Granuloma terbentuk karena adanya usaha tubuh untuk membungkus bakteri yang terbunuh sebab tidak terbentuk derivat oksigen/oksidan yang cukup. Dalam hal ini terjadi mutasi pada gen-gen dari salah satu komponen sistim NADPH oksidase di atas. KESIMPULAN

Telah dijelaskan tentang pengertian pro-oksidan, spesies oksigen reaktif, radikal bebas dan anti-oksidan. Tubuh kita memiliki mekanisme pertahanan terhadap pengaruh destruktif radikal bebas dengan tetap menjaga keseimbangan antara pro- oksidan dan anti-oksidannya. Namun pada keadaan tertentu di mana terjadi pergeseran keseimbangan ke arah pro-oksidan, maka akan timbul kelainan-kelainan patologis seperti keganas- an, inflamasi, ateroskierosis, penuaan, iskemi, hemolisis dan sebagainya.

Defisiensi enzim Glukosa 6 Phosphat Dehidrogenase (G6PD) pada eritrosit akan menyebabkan anemia hemolitik karena terjadi gangguan pada Jalur Pentosa Phosphat dimana supply NADPH yang sangat berkurang akan menghambat proses reduksi GSSG menjadi GSH. GSH sendirm penting untuk me- rubah H2O2 menjadi H2O.

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 51

Page 53: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

Hadirnya radikal bebas tidak selalu berbahaya bagi tubuh kita. Masuknya mikroba ke dalam tubuh akan merangsang akti- vitas fagositik sehsel fagosit (neutrofil, eosinofil, makro fag) sehingga terjadi respiratory burst secara cepat yang diikuti ter- bentuknya radikal bebas yang banyak. Sebagian radikal bebas ini bersifat mikrobisidal. Pada Penyakit Granuloma Kronik di mana terjadi kelainan gen-gen dan komponen NADPH oksidase, pembentukan radikal oksigen terganggu sehingga mikroba yang sudah difagosit tidak bisa dibunuh.

KEPUSTAKAAN

1. Mayes PA. Structure & Function of The Lipid-Soluble Vitamins. Dalam:

Murray KM, Granner DX, Mayes PA, Rodwell VW. Harpers Biochemistry.

23rd ed. Connecticut: Appleton & Lange, 1993; 592–5. 2. Murray RK. Red & White Blood Cells. Dalam: Murray KM, Granner DK,

Mayes PA, Rodwell VW. Harper’s Biochemistry. 23rd ed. Connecticut: Appleton & Lange, 1993; 688–703.

3. Suyatna F’D. Radikal Bebas dan Iskemia. Cermin Dunia Kedokt 1989; 57: 25–8.

4. Gitawati R. Radikal Bebas-Sifat dan Peran dalam menimbulkan Kerusakan/ KematianSel. Cermin Dunia Kedokt 1995; 102: 33–6.

5. Mayes PA. Lipids of Physiologic Significance. Dalam: Murray KM. Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. Harpers Biochemistry. 22nd ed. Connecticut: Appleton & Lange, 1990; 142–3.

6. Cole AS, Eastoe JE. Chemistry and Oral Biology, 2nd ed; Wright, 1988: 157–9.

7. Assegaff H, Widjaja A. Peranan Oksidan dan Antioksidan pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Seputar Bronkitis Kronik dan Antioksidan 1993; 6–9.

. HEALTH CARE MEDICAL SPECIALIST .

PT PUTRAMAS MULIASANTOSA is a company with a solid track record in the health care industry. We have recently partnered with a reputable Australia Health Care firm to expand and bring the company to an international standard in the industry.

In support of this growth, we are seeking highly qualified medical specialists to assume the following appointments:

GYNECOLOGISTS NEUROLOGISTS INTERNISTS ANAESTHESIOLOGISTS OPTHALMOLOGISTS RADIOLOGISTS CLINICAL PATHOLOGIST SURGEONS PEDIATRICIANS CARDIOLOGIST

The successful candidates should have completed the WAJIB KERJA SARJANA and are willing to be employed on a full-time basis. Highly motivated, dynamic and willingness to learn new ideas and practices are qualities we are looking for.

We offer opportunities for growth and advancement plus exposure and training to international standards of medical practice. We welcome your CV with photo and certificates. Please address it to:

THE DIRECTOR P0 BOX 4087

JKT 13040

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 52

Page 54: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

ANALISIS

Tanaman Obat untuk Diabetes Mellitus

Lucie Widowati, B. Dzulkarnain, Sa’roni Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pen genthangan Kesehatan

Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN

Sampai sekarang masih banyak obat tradisional yang di- gunakan masyarakat. Dari Survai Kesehatan Rumah Tangga 1980, 1985 dan 1992(1,2,3), penggunaan obat tradisional untuk pengobatan sendiri tidak menurun. Kebijaksanaan Obat Na- sional menyatakan bahwa penyediaan obat merupakan salah satu unsur yang penting dalam upaya pembangunan di bidang kese- hatan. Obat tradisional yang terbukti berkhasiat dikembangkan dan digunakan dalam upaya kesehatan(4).

Diabetes melitus adalah suatu penyakit gangguan meta- bolisme karbohidrat yang ditandai dengan kadar glukosa darah yang tinggi (hiperglikemi) dan adanya glukosa dalam urin (glukosuria). Penyebab diabetes melitus adalah kegagalan pankreas mensekresi insulin. Dalam jangka panjang, penyakit ini dapat mengakibatkan risiko gangguan lebih lanjut pada retina dan ginjal, kerusakan saraf perifer, dan mendorong terjadinya penyakit ateroskierosis pada jantung, kaki dan otak(5).

Selama ini pengobatan diabetes melitus biasanya dilakukan dengan pemberian obat-obat Oral Anti Diabetik (OAD), atau dengan suntikan insulin. Di samping itu banyak pula di antara penderita yang berusaha mengendalikan kadan glukosa darahnya dengan cara tradisional menggunakan bahan alam.

Berdasarkan terapinya, diabetes diklasifikasikan menjadi dua golongan, yakni : 1) Insulin Dependent Diabetes Mellitus atau IDDM

Pada jenis ini penderita tidak dapat memproduksi insulin Diabetes tipe ini timbul bila pankreas kehilangan kemampuan- nya untuk menghasilkan insulin

Ciri-ciri tipe penyakit jenis mm adalah tergantung pada suntikan insulin untuk mencegah ketosis dan memelihara ke- langsungan hidup karena penderita tersebut menderita insu-

linopenia, yaitu keadaan sangat kekurangan insulin. Tipe ini 90% dimulai pada usia muda. 2) Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus atau NIDDM

Pada tipe ini, pankreas masih berfungsi tetapi menunjukkan defisiensi relatif, sehingga tubuh kehilangan kemampuan untuk memanfaatkan insulin secara efektif.

Jenis diabetes ini dapat diperoleh dalam perjalanan hidup seseorang. Penderita tidak selalu tergantung dan pemberian insulin dan luar, hingga mereka cukup menerima obat lain yang merangsang produksi insulin. Tipe ini tidak rnempunyai auto- imun. Kebanyakan tipe ini dimulai pada usia setelah 40 tahun.

Ciri-ciri penyakit tipe ini: Tipe non obesitas, berat badan penderita kurang dari 120% berat badan ideal, berlaku baik untuk pengguna insulin atau tanpa insulin. Tipe obesitas dengan berat badan lebih, berlaku baik untuk pengguna insulin atau tanpa insulin. Kedua tipe ini termasuk sebagian besar diabetes yang ditangani terutama oleh dokter.

Kadar glukosa darah yang tinggi dapat diatasi dengan peng- aturan diet dan pemberian obat-obatan secara oral (hipoglikemia oral). Metoda Penentuan Kadar Glukosa Darah

Secara umum metoda penentuan glukosa darah dapat di- tentukan dengan beberapa cara yaitu: A) Metoda Kondensasi Gugus Amin

Prinsip: Aldosa dikondensasi dengan orto toluidin dalam suasana asam dan menghasil larutan berwarna hijau setelah dipanaskan. Kadar glukosa dan dapat ditentukan sesuai dengan intensitas warna yang terjadi, diukur secara spektrofotometri. B) Metoda Enzimatik

Glukosa dapat ditentukan secara enzimatik, rnisalnya de- ngan penambahan enzim glukosa oksidase (GOD). Dengan ada-

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 53

Page 55: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

nya oksigen atau udara, glukosa dioksidasi oleh enzim menjadi asam glukuronat disertai pembentukan H2O2. Dengan adanya enzim peroksidase (POD), H2O2 akan membebaskan O2 yang mengoksidasi akseptor kromogen yang sesuai serta memberikan warna yang sesuai pula. Kadar glukosa darah ditentukan ber- dasarkan intensitas warna yang terjadi, diukur secara spektro- fotometri. C) Metoda Reduksi

Prinsip: Kadar glukosa darah ditentukan secara reduksi dengan menggunakan suatu oksidan ferisianida yang direduksi menjadi ferosianida oleh glukosa dalam suasana basa dengan pemanasan. Kemudian kelebihan garam feri dititrasi secara iodometri. D) Metoda Pemisahan Glukosa

Glukosa dipisahkan dalam keadaan panas dengan antron atau timol dalam suasana asam sulfat pekat. Glukosajuga dapat dipisahkan secara kromatografi, tetapi pemisahan glukosa ini jarang dilakukan.

Pengobatan penyakit diabetes biasanya tergantung dari kegawatan penyakit. Pengobatan secara individual biasanya dilakukan dengan diet saja atau dengan gabungan antara diet dengan antidiabetik oral dan adakalanyajuga dengan gabungan antara diet dengan insulin.

Berbagai jenis obat antidiabetik oral banyak ditemukan di apotik dan biasanya tergolong obat yang mahal dan harus terus menerus digunakan, hingga bagi yang tidak mampu sulit mem- perolehnya. Di samping itu di daerah yang tidak mempunyai apotik, obat untuk penyakit ini sulit ditemukan. Untuk itu perlu dicarikan cara alternatif. Salah satunya adalah menggunakan obat yang ada di sekitarnya yaitu dan tanaman obat. Berbagai jamu-jamuan telah dipromosikan sebagai antidiabetes, dan kha- siatnya tersebar dari mulut ke mulut, dengan bukti manfaatnya.

Untuk lebih memberikan dasar bagi bukti manfaatnya, di- pandang sangat perlu untuk melakukan penelitian, agar dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Mekanisme kerjanya mungkin tidak diketahui secara pasti, namun dapat diperkirakan bahwa efeknya dalam menurunkan kadar gula darah mungkin sama seperti obat-obat hipoglikemia oral. PENELITIAN TERHADAP PENURUNAN KADAR GLUKOSA DARAH

Penggunaan tanaman sebagai bahan obat tradisional me- merlukan penelitian ilmiah untuk mengetahui kebenaran kha- siatnya. Dengan didapatnya data yang meyakinkan secara ilmiah, maka penggunaan tanaman tersebut sebagai obat dapat dijamin kebenarannya.

Penelitian pengaruh tanaman terhadap kadar gula darah dapat dilakukan dengan mengukur kadar gula darah hewan coba mencit, tikus atau kelinci. Hewan coba dapat dalam keadaan kadar gula darah normal, atau kadar gula darah tinggi. Hewan diabet dilakukan dengan cara merusak pankreasnya dengan sengaja menggunakan zat kimia, di antaranya aloksan. Penguji- an dapat juga dilakukan dengan memberi beban glukosa untuk melihat pengaruh terhadap toleransi glukosa, dengan cara mem- berikan glukosa sebelum percobaan.

Sediaan tanaman obat yang diberikan dapat terdiri dari bahan tunggal atau campuran bahan. Bahan dapat terdiri dari berbagai bagian dan tanaman misalnya daun, kulit kayu, kayu, akar,buah atau bagian dari buah atau herba. Bentuk sediaan dapat berupa seduhan infus ekstrak atau rebusan dan bahan segar.

Sebagai dasar penelitian tanaman terhadap penurunan kadar gula darah, biasanya atas pemakaian empiris, yaitu pernakaian yang dilakukan turun temurun oleh nenek moyang kita.

Dari beberapa sumber informasi mengenai penggunaan ta- naman obat, dapat dibuat suatu daftar tanaman obat tunggal yang digunakan secara empirik untuk menurunkan kadar gula darah (Tabel 1)(6,7,8).

Tabel 1. Daftar tanaman yang digunakan secara emprik untuk diabetes

No. Nama Latin Nama Daerah

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26

Aloe vera L. Allium cepa L. Alstonia scholaris R. Br. Andrographis paniculata Nees. Averhoa bilimbi L. Blumea balsamifera D. C. Catharanthus roseus (L.) G. Don Ceiba pentandra Gatrn. 1pomoea aquatica Forst. /pomoea batatas Poir. Lagerstroemia speciosa Pers. Leucaena leucocephala de Wit. Merremia mammosa (Lour) Hall,f Morinda citrifolia L. Ocimum sanctum L. Orthosiphon aristatus (BL) Miq. Panax ginseng C.A. Meyer Parkia speciosa Hort. Piper cubeba L. Pisum sativum L. Psidium guajava L. Solanum indicum L. Strobilanthus crispa Bl. Swietenia macrophylla King. Syzygium cumini (L.) Druce Vinca rosea L.

lidah buaya bawang merah pule sambiloto belimbing wuluh ' sembung tapak dara randu kangkung ubi jalar bungur petai cina bidara upas mengkudu lampas kumis kucing ginseng petai kemukus kacang polong jambu biji terung ngor keji beling mahoni duwet tapak data

Contoh cara penggunaan beberapa tanaman tersebut dapat dilihat pada Tabel 2(6).

Selain dari bahan tunggal, secara empiris pengobatan pe- nyakit kencing manis juga dapat menggunakan bahan ramuan dari beberapa tanaman obat. Bahan ramuan dan penggunaannya dapat dilihat pada Tabel 3(6).

Untuk dapat digunakan secara luas perlu ada bukti khasiat tanaman obat dengan melakukan pengujian pada hewan per- cobaan. Dari buku Penelitian Tanaman Obat di Beberapa Per- guruan Tinggi di Indonesia jilid I sampai VIII(9), diperoleh 46 jenis tanaman yang telah diuji khasiatnya terhadap penurunan kadar glukosa darah, dapat menurunkan kadar gula darah pada hewan percobaan (Tabel 4).

Ke46 jenis tanaman tersebut, dapat dibagi menjadi dua jenis penggunaan, yaitu yang memang digunakan secara empiris dan yang tidak digunakan secára empiris. Daftar tanaman yang di- gunakan secara empins dan jumlah penelitian yang dilakukan serta sumber pustakanya dapat dilihat pada Tabel 5. Selain itu

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 54

Page 56: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

Tabel 2. Daftar tanaman tunggal yang secara empirik digunakan untuk diabetes dan cara penggunaannya

No. Nama tanaman Bagian digunakan

Jumlah diolah Cara olah Dosis

1 Sarbiloto daun segar 1/2 ggm rebus 3X sehari 2 Lidah buaya daun segar 2 helai rebus 3X sehari3 Pule kulit kayu 2 jr rebus 3X sehari 4 Sembung daun segar 20 lb rebus 3X sehari 5 Jamblang biji kering I sdt seduh 3X sehari 6 Petai cina biji 1 sdt seduh 3X sehari 7 Bidara upas umbi 1/3 jr parut +

20 ml air 3X sehari

8 Mengkudu buah masak 2 bh diparut disari

3X sehari

9 Daun lampas daun segar 3/4 glm rebus + 3X sehari 10 Terung ngor buah 10 bh dimakan/

untuk IX 3X sehari

11 Mahoni biji kering 1/2 sdt seduh 3X sehari 12 Tapak dara daun

batang 301b 6 bt

rebus + glm

3X sehari

akar 15 bt tinggal bunga 15 bt 3/4nya

Tabel 3. Ramuan berasal dari tanaman obat untuk kencing manis

No. Ramuan Bagian digunakan

Jumlah diolah Cara olah Dosis

1 Sambiloto daun 1/3 ggm direbus 3X sehari Kumis kucing

Bratawali daun batang

1/3 ggm 3/4 jr

3 gl, tinggal 3/4nya

2 Meniran daun 1/4 ggm direbus 3X sehari 3 Sambiloto

Ketumpangan uler Kumis kucing Duwet

daun daun daun biji

1/4 ggm 1/4 ggm 1/3 ggm 20 btr

3 gl, hingga 3/4nya direbus

3X sehari

Pulai Mengkudu Temulawak

kulit batang buah tua rimpang

1 jr 1 bh 3/4 jr

5 gl, hingga 1/2nya

Jahe rimpang 3/4 jr 4 Urat daun 1/3 ggm direbus 3X sehari Bratawali batang 1/2 jr 3 gl, hingga Kumis kucing

Adas Pulosari

daun buah kulit batang

1/4 ggm 3/4 sdt 3/4 jr

3/4nya

5 Bidara upas umbi 1/2 jr direbus 3X sehari Duwet

Pulai biji kulit batang

10 btr 3/4 jr

3 gl, hingga 3/4nya

6 Lidah buaya Meniran Kumis kucing Her

daun daun daun daun

1/2 plh 1/4 ggm 1/4 ggm 1/4 ggm

direbus 3X sehari

Meniran Murbei Kaki kuda Sembung Kumis kucing Adas Pulosari

daun daun daun daun daun buah kulit

1/4 ggm 1/5 ggm 1/4 ggm 1/4 ggm 1/5 ggm 3/4 sdt 3/4 jr

4 gl, hingga 3/4nya

7 Duwet buah 2 jr direbus 3X sehari Pulai

Tapak dara Sambiloto

kulit batang daun daun

2 jr 1/3 ggm 1/4 ggm

3 gl, hingga 3/4nya

Keterangan : ggm = genggam bh = buah btr = butir jr = jari gl = gelas lb = lembar bt = batang

pada Tabel 6 dapat dilihat beberapa tanaman yang tidak diguna- kan secara empiris, akan tetapi telah dilakukan penelitian ilmiah- nya, serta data jumlah penelitian dan daftar pustakanya. Karena tidak semua judul penelitiannya mempunyai informasi yang lengkap, maka tidak semua informasi dapat diterangkan.

Judul-judul penelitian mengenai tanaman obat yang di- gunakan untuk menurunkan kadar gula darah dapat dilihat pada Daftar 1. PEMBAHASAN

Ternyata sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk obat diabetes dan tanaman. Dari tabel terlihat ada 46 jenis tanaman yang sudah mendapat perhatian. Sebagian besar tana- man empirik yang digunakan untuk obat diebetes, telah diuji khasiatnya secara ilmiah. Umumnya pengujian dilakukan ter- hadap hewan coba. Dari daftar tanaman yang digunakan secara empirik untuk diabetes (26 tanaman), baru 16 tanaman yang telah dit secara ilmiah. Selain itu, banyak tanaman yang tidak diketahui khasiat antidiabetes secara empirik, tetapi di- lakukan juga penelitian ilmiahnya karena perkembangan jaman. Contohnya seperti terlihat pada Tabel 4.

Yang banyak mendapat perhatian adalah tanaman pare (Momordica charantia L.) Penelitian yang dilakukan sudah mencakup penelitian yang cukup luas, sampai ke uji klinik, jumlahnya ada 14 penelitian. Dari ber-macam penelitian untuk kadar gula darah, berbagai jenis sediaan sudah dicoba, yaitu perasan, infus atau endapan air. Hewan percobaan yang diguna- kan juga bervariasi yaitu terhadap tikus, mencit atau kelinci. Umumnya hasil yang didapat menunjukkan adanya efek positif menurunkan kadar gula darah, hanya bentuk endapan tidak menunjukkan hasil yang positif. Pada uji klinik tidak menunjuk- kan adanya pengaruh terhadap kadar gula darah(10). Sementara itu uji klinik untuk pare di India menunjukkan bukti yang nyata. Hal ini mungkin terjadi karena di India varietas jenis pare yang disebut kerala mungkin tidak sama dengan pare yang ada di Indonesia. Di samping itu di Indonesia jenis pare pun ada be- berapa, yaitu yang kecil dengan tonjolan-tonjolan yang jelas, dan yang biasanya dimakan sebagai sayur yang tonjolannya lebih rata. Mungkinjenis penyakit diabetes juga termasuk faktor mempengaruhi. Seperti di atas telah diterangkan jenis penyakit diabetes ada dua, yaitu karena pankreas tidak menghasilkan insulin (IDDM) sejak kecil, dan diabetes yang diperoleh dalam perjalanan hidupnya (NIDDM). Umur penderitapun dapat ikut menentukan. Jadi berbagai faktor dapat mempengaruhi hasil percobaan.

Di luar negeri, penelitian mengenai pare sudah lebih jauh. Salah satunya ialah telah ditemukannya suatu hipoglikemik yang dikenal sebagai ‘p-insulin’, yaitu suatu polipeptida dari buah dan biji Momordica charantia(11). Tanaman lain yang banyak mendapat perhatian ialah duwet serta bratawali. Pada tanaman duwet, percobaan telah dilakukan terhadap cortex, biji dan daunnya dengan berbagai hewan uji pula. Semua percobaan yang dilakukan memberikan hasil yang positif terutama untuk bijinya. Dari 3 penelitian untuk bijinya, semua menunjukkan khasiat menurunkan kadar gula darah,

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 55

Page 57: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

Tabel 4. Daftar tanaman telah diuji khasiat ilmiahnya untuk menurunkan kadar gula darah

No. Nama Latin Famili Nama daerah Bag. yang Oigunakan.

Jumlah penelitian

*1. Allium cepa L. Liliaceae bawang umbi 1 2. Allium porum L. Liliaceae bawang prei umbi 2 3. Allium sativum L. Liliaceae bawang putih umbi 5

*4. Alstonia scholaris (L.) Apocynaceae babakan pule umbi 2 5. Alstonia spatulata Apocynaceae basung kulit 2 6. Anacardium occidentale L. Anacardiaceae jambu mete daun 1

*7. Andrographis paniculata Nees. Acanthaceae sambiloto daun 3 8. Aneilema vaginatum R.Br. Commelinaceae ? ? 1 9. Apium graveolens L. Umbelliferae seledri herba I

*10. Averrhoa bilimbi L. Oxalidaceae belimbing buah 5 11. Azadirachta indica A. Juss. Meliaceae mimba daun 3

*12. Blumea balsamifera D. C Asteraceae sembung daun 1 13. Borreria laevis Griseb. Rubiaceae ? herba 2 14. Brucea javanica (L.) Merr. Simaroubaceae buah makasar buah 1 15. Cassia siamea Lamk. Leguminosae johar daun I

*16. Catharanthus roseus G. Don. Apocynaceae tapak data herba 5 17. Clinacanthus nutans Nees. Acanthaceae dandang gula daun 2 18. Erigeron linifolus Willd. Compositae jentik.manis daun 1 19. Eugenia polyantha Wight. Myrtaceae salam daun 3 20. !ndigofera sumatrana Gaetrn. Leguminosae tarum ? 1

*21. 1pomoea batatas Poir. Convolvulaceae ubi jalar umbi 1 22. Kopsia arborea Bl. ? ? biji 1

*23. Lagerstroemia speciosa (L.) Lythraceae bungur putih daun 1 *24. Leucaena leucephala de Witt. Mimosaceae petai cina biji 5

25. Melia dubia Cav. Meliaceae mindi daun 1 *26. Merremia mammosa Hall. Convolvulaceae bidara upas umbi 2

27. Mesona palustris BI. Labiatae cincau hitam daun 2 28. Momordica charantia L. Cucurbitaceae pare buah, 14

*29. Morinda citrifolia L. Rubiaceae mengkudu daun, buah 3 *30. Ocimum sanctum L Labiatae lampes biji 1

31. Orthosiphonstamineus Benth Labiatae kumis kucing daun 1 *32. Parkia speciosa Hassk. Papilionaceae petai kulit biji 1

33. Phaseolus vulgaris L. Leguminosae buncis buah 3 34 Phyllanthus emblica L. Euphorbiaceae kemlaka batang 1 35. Physalis minima L. Solanaceae ciplukan daun, 2 36. Phithecellobium lobatum Benth. Legumnosae jengkol kulit 1 37. Plantago major L. Plantaginaceae daun urat daun 1 38. Pteroearpus indicus Willd. Legumonosae angsana daun 1

*39. Sericocalyx crispus L. Bremek Acanthaceae keji beling daun I 40. Stevia rebaudiana Bertonii. Compositae stevia daun 2 41. Strychnos ligustrina Bl. Strychnaceae bidara laut kayu I 42. Swietenia macrophylla King. Meliaceae mahoni biji 1 43. Symphytum officinale L. Boraginaceae komfrey daun 1

*44. Syzygium cumini (L.) Skeels. Myrtaceae ;duwet daun, biji, 6

45. Tinospora crispa (L) Miers. Menispermaceae hratawali cortex batang 5

46. Vitex pubescens L. Verbenaceae laban akar I

Keterangan: * tanaman digunakan secara empirik untuk diabetes bahkan menaikkan toleransi terhadap glukosa.

Pada tanaman bratawali semua percobaan dilakukan ter- hadap batangnya dalam bentuk infus dan hewan coba kelinci (6 penelitian), dengan dosis yang bervariasi. Di sini terlihat adanya duplikasi penelitian yang dilakukan pada tempat yang berbeda. Karena itu sangat perlu kiranya adanya pertukaran informasi antar institusi penelitian. Kedua tanaman ini memang termasuk dalam penggunaan empirik.

Penelitian terhadap bawang putih untuk khasiat hipoglike-mik sudah disertai penelitian yang bertujuan untuk menghilang kan bau yang menyertai bawang putih. Penelitian tersebut antara lain adalah kombinasi bawang putih dengan kopi; sirih dan beluntas. Ternyata dibandingkan dengan khasiat bentuk tunggal, khasiat efek hipoglikemik bahan kombinasi tidak berkurang.

Sementara itu, beberapa tanaman yang digunakan secara empirik untuk diabetes, penelitian ilmiahnya belum dilakukan.

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 56

Page 58: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

Tabel 5. Metoda penelitian dan tanaman yang digunakan secara empirik untuk diabetes

No. Nama latin Bagian Bentuk Hewan Dosis Hasil No. Judul 1 Alstonia scholaris (L.) R.Br. ku.bat triterpenoid kelinci 100mg/kgbb. + 9 2 Alstonia scholaris (L) R.Br. ku.bat isolat kelinci 100; 200mg/kgbb. + 10 3 Andrographis paniculata Nees daun rebusan tikus 40%b/v; 20ml/kgbb. + 14 4 Andrographis paniculata Nees

+ Orthosiphon aristatus (BL) daun daun

infus infus

kelinci kelinci

0,3g/kgbb. 0,129g/kgbb.

+ 15

Andrographis paniculata Nees herba infus kelinci 20%b/v; 37,5m1/kgbb. + 16 6 Averrhoa bilimbi L. buah perasan

buah tua marmut 20m1/kgbb. - 20

7 Averrhoa bilimbi L. buah perasan buah muda

marmut 20m1/kgbb. - 21

8 Averrhoa bilimbi L. daun eks.et mencit 70%; lg/kgbb. - 22 9 Blumea balsamifera daun infus kelinci 10%b/v; 5m1/kgbb. + 25

10 Catharanthus roseus G. Don akar infus tikus 80%b/v; 20ml/kgbb. - 2911 Catharanthus roseus G. Don herba eks.et tikus 100%b/v; 20m1/kgbb. - 22 12 Catharanthus roseus G. Don daun rebusan tikus 30% + 30 13 Catharanthus roseus G. Don daun infus kelinci 30%b/v; Smlkgbb. + 31 14 Catharanthus roseus G. Don daun rebusan kelinci 10; 20; 30; 40% + 32 15 Lagestroemia speciosa L daun infus kelinci 10; 20; 40%; 5m1/kgbb. + 41 16 Leucaena leucocephala De Witt biji infus tikus 40%b/v; 20m1/kgbb. + 43 17 Leucaena leucocephala De Witt biji dekok kelinci 10%b/b; lg/kgbb. + 44 18 Merremia mammosa Hall umbi perasan tikus 100%b/v; 20ml/kgbb. + 47 19 Morinda citrifolia L. buah perasan tikus 25m1/kgbb. - 65 20 Morinda citifolia L. buah perasan kelinci 200%; 1; 2ml/kgbb. + 66 21 Morinda citrifolia L. buah perasan kelinci 10%; 5ml/kgbb. + 67

buah ekst.air kelinci 10%; 5ml/kgbb. + 67 22 Ocimum sanctum L. biji mucilago kelinci 50mg/kgbb. + 68 23 Sertcocalyx crispus L. Bremek daun infus kelinci 10; 20; 40%b/b; 1 g/kgbb. - 83 24 Syzygium cumini (L) Skeels cortex infus tikus 40%; 5m1 + 87 25 Syzygium cumini (L) Skeels biji infus kelinci 10; 20; 30%; lOml + 88 26 Syzygium cumini (L.) Skeels biji rebusan kelinci 50%b/v; lOml + 90 27 Tinospora crispa L. batang infus tikus 20g/kgbb. + 26

Keterangan: + : terlihat khasiat hipoglikemik – : tidak terlihat khasiat hipoglikemik

Tabel 6. Metoda penelitian dari tanaman yang tidak digunakan secara empirik untuk diabetes

No. Nama latin Bagian Bentuk Hewan Dosis Hasil No. Judul 1 Allium sativum L umbi sari tikus 9,38g/kgbb. + 5 2 Allium sativum L. umbi sari kelinc' 6,25g/kgbb. + 8 3 Archangelisia flava (L.) Merr. kayu infus kelinci 30; 40% + 19 4 Azadirachta indica Less, daun infus kelinci 40; 60%; + 23 5 Azadirachta indica Less. daun dekok kelinci 10%; lg/kgbb. + 24 6 Gynura procumbens (Lour) Merr daun ekst.air tikus 100mg daun/100gbb. + 36 7 Mesona palustria Bl. daun rebusan tikus 10%; 2m1 + 48 8 Momordica charantia L. herba rebusan tikus 40%; 20m1/kgbb. + 549 Momordica charantia L. buah end.prs. tikus 300g/kgbb. - 56

10 Momordica charantia L. buah perasan tikus 200g/kgbb. - 57 11 Momordica charantia L. buah ekst.air mencit 1; 1,5g/kgbb. + 58 12 Momordica charantia L. buah perasan kelinci 5m1/kgbb. + 59 13 Momordica charantia L. buah perasan kelinci 10ml/kgbb. + 60 14 Momordica charantia L. daun rebusan kelinci 15%; 25; 5m1/kgbb. + 61

buah rebusan kelinci 15%; 25%; 5m1/kgbb. + 61 15 Momordica charantia L. buah infus kelinci 10; 20; 30%; 1Omi/ekor + 62 16 Momordica charantia L. buah sari orang 1800g/orang + 63 17 Phaseolus vulgaris L. buah ekst. tikus 1; 1,5g/kgbb. + 74 18 Phaseolus vulgaris L. buah sari air tikus 40g/kgbb. + 75 19 Physalis minima L daun infus marmut 20; 40%; 25ml/kgbb. + 77 20 Physalis minima L batang infus marmot 40%; 25m1/kgbb. + 7821 Plantago major L. daun infus kelinci 10%; 20%; 5m1/kgbb. 81 22 Syzygium polyanta Wight. daun ekst.air tikus 5,5g/kgbb. - 94 23 Vitex pubescens Vahl. akar ekst.et kelinci 0,4; 0,8; 1,6g/kgbb. + 103

Keterangan: + : terlihat khasiat hipoglikemik – : tidak terlihat khasiat hipoglikemik

Page 59: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

Daftar I. Judul penelitian untuk menurunkan kadar gula darah 1. M. Jufri Samad. Pengaruh ekstrak umbi bawang merah (Allium cepa

bulbus) takaran 250 mg/kgbb. terhadap penurunan kadar gula darah normal kelinci. Jurusan Farmasi FMIPA Universitas Hasanuddin, 1987.

2. Achmad Yusuf. Pengaruh ekstrak eter bawang prei (Allium porum Linn) terhadap kadar glukosa, triasil gliserol dan kolesterol plasma darah tikus yang diberi diit sukrosa. Jurusan Farmasi FMIPA Univer- sitas Indonesia, 1988.

3. Agus Purwanto. Pengaruh bawang prei (Allium porum Linn) terhadap kadar glukosa, kolesterol dan trigliserida plasma darah tikus yang diberi diit sukrosa. Jurusan Farmasi FMIPA Universitas Indonesia, 1988.

4. Ngatijan. Efek bawang putih terhadap kadar gula darah kelinci dan uji keracunan akutnya. Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada, 1988.

5. Dwi Kutsiatun. Pengaruh campuran ekstrak bawang putih dan sirih terhadap gula darah tikus putih. Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada, 1991.

6. Desak Ketut Andika Andayani. Efek hipoglikemik campuran ekstrak bawang putih dan daun befuntas pada tikus putih. Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada, 1989.

7. Sri Mulyani. Efek hipoglikemik campuran ekstrak bawang putih dan kopi pada tikus putih. Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada, 1989.

8. Afwan. Pengaruh pemberian sari bawang putih terhadap penurunan kadar glukosa darah kelinci dibandingkan dengan metformin hidroklo- rida. Jurusan Farmasi FMIPA Universitas Sumatera Utara, 1992.

9. Pengaruh triterpenoid dari Alstonia scholaris (L.) R.Br. terhadap kadar glukosa darah kelinci. Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, 1987.

10. Pri Hardini. Pengaruh isolat kulit batang Alstonia scholaris terhadap kadar insulin dalam serum darah kelinci. Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, 1992.

11. Pasaribu RT. Penelitian terhadap umbi upas (Merremia mammosa Hall.) dan kulit batang pule (Alstonia scholaris R.Br) yang terkenal sebagai obat antidiabetes oral. Jurusan Kimia FMIPA Institut Tekno- logi Bandung, 1977.

12. Irma Sugiri. Penelitian mengenai adanya khasiat hipoglikemik Clina-canthus nutans (dandang gendis) dan kulitAlstonia spatulata (basung). Jurusan Kimia FMIPA Institut Teknologi Bandung, 1980.

13. Tri Windono. Uji efek hipoglikemik fraksi-fraksi yang mengandung flavonoid dari daun jambu mete (Anacardium occidentale L.). Fakultas Pasca Sarjana Universitas Airlangga, 1987.

14. W. Sugiyarto. Efek rebusan daun sambiloto (Androgtraphis paniculata Ness) terhadap kadar glukosa darah pada tikus putih jantan. Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada, 1987.

15. Minggawati. Studi perbandingan pengaruh infus kombinasi daun sambiloto dan duan kumis kucing (&:3) dengan infus kedua tumbuhan tersebut dalam keadaan tunggal terhadap perubahan kadar glukosa darah kelinci pada uji toleransi glukosa oral. Fakultas Farmasi Universitas Katolik Widya Mandala, 1990.

16. Lucia Endang Soenaryo. Pengujian beberapa efek farmakologi herba Andrographis paniculata Nees. pada hewan percobaan. Jurusan Farmasi FMIPA Institut Teknologi Bandung, 1978.

17. Nut Asiah. Pengaruh penggunaan infusa Aneilema vaginatum R.Br. terhadap kadar gula darah kelinci dan perbandingannya dengan tolbutamid. Jurusan Farmasi FMIPA Universitas Sumatera Utara, 1985.

18. Astriani. Pengaruh ekstrak etanol tanaman seledri (Apium graviolens Linn) terhadap efek diuresis dan toleransi glukosa pada tikus albino betina galur Wistar. Jurusan Farmasi FMIPA Institut Teknologi Ban- dung, 1992.

19. Herawati. Pengaruh Archangelisia flava (L.) Merr. terhadap uji tole- ransi glukosa secara oral pada kelinci. Fakultas Farmasi Universitas Airlangga.

20. Suharti. Efek hipoglikemik perasan buah belimbing wuluh tua (Averrhoa bilimbi Linn) pada marmut. Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada, 1987.

21. Jenni Agustin. Efek hipoglikemik perasan buah belimbing wuluh muda (Averrhoa bilimbi Linn) pada marmut. Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada, 1982.

22. Andy Zul Izwar. Efek ekstrak etanol daun Averrhoa bilimbi dan herba Catharanthus roseus terhadap kadar glukosa darah mencit diabet per-manen. Jurusan Farmasi FMIPA Universitas Indonesia, 1986.

23. B. Lucia Lily Yuniar. Pengaruh infus daun mimba (Azadirachta indica A. Juss) terhadap perubbhan kadar glukosa darah kelinci pada uji toleransi glukosa oral. Fakultas Farmasi Universitas Katolik Widya Mandala, 1990.

24. Jonihan. Efek hipoglikemik dekokta daun mindi (Azadirachta indica A. Juss) dibandingkan dengan tolbutamida. Fakultas Farmasi Universitas Tujuh Belas Agustus, 1988.

25. Selamat Tarigan. Pengatuh pemberian infusa Blumea balsami fera ter-hadap kadar gula darah kelinci dibandingkan dengan tolbutamida. Jurusan Farmasi FMIPA Universitas Sumatera Utara, 1981.

26. Haryani. Penapisan efek hipoglikemik dan fitokimia Tinospora tuber-culata Beumee, Indigofera sumatrana Gaetrn dan Borreria laevis Griseb. Jurusan Farmasi FMIPA Universitas Padjadjaran, 1992.

27. Mirdaus Tamin. Penentuan LD50 seduhan buah makasar (Brucea javanica (L.) Merr. menggunakan mencit putih dan efeknya terhadap penurunan kadar glukosa darah kelinci. Fakultas Famutsi Universitas Pancasila, 1980.

28. Salim Hanggara Puma. Efek hipoglikemik air rebusan daun johar (Cassia siamea Lamk.) pada tikus putih jantan. Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada, 1991.

29. Ana Rahayu Wibowo. Efek hipoglikemik akar tapak dara (Catharan thus roseus L.G. Don) bunga putih pada tikus putih jantan. Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada, 1991.

30. Suyanto.Efek hipoglikemik rebusan daun tapak dara merah (Catharan thus roseus var. roseus G. Don) pada tikus putih jantan. Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada, 1989.

31. Mey Lauhata. Pengaruh infus daun Catharanthus roseus G. Don secara oral terhadap uji toleransi pada kelinci dengan tolbutamid sebagai pembanding. Fakultas Farmasi Universitas Katolik Widya Mandala, 1986.

32. Norma. Studi tentang rebusan daun Catharanthus roseus (L.) G. Don. varietas albus sebagai obat hipoglikemik. Jurusan Farmasi FMIPA Universitas Hasanuddin, 1985.

33. Irma Sugiri. Penelitian mengenai adanya khasiat hipoglikemik dalam daun Clinachanthus nutans. Jurusan Kimia FMIPA Institut Teknologi Bandung, 1980.

34. T. Pumosulianto. Efek hipoglikemik rebusan daun dandang gula (Cli-nachanthus nutans Burm. F. Lndau) dibandingkan dengan tolbutamida dan fenferamina HCI. Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada, 1979.

35. F.X. Mediastini. Efek hipoglikemik ekstrak air daun jentik manis (Erigon linifolius Willd) pada tikus putih jantan diabetes. Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada, 1989.

36. Nurul Hidayah H. Pengaruh sari air daun dewa (Gynura procumbens Merr) terhadap kadar glukosa darah tikus. Jurusan Farmasi FMIPA Universitas Indonesia, 1991.

37. Margareth Elina. Pengaruh perasan biji kedelai putih terhadap kadar glukosa darah kelinci pada uji toleransi glukosa oral. Fakultas Farmasi Universitas Katolik Widya Mandala, 1992.

38. Rully Makarawa. Pengaruh infus batang ubi jalar (Ipomoea batatas Poir) sebagai antidiabetik pada binatang percobaan tikus. Jurusan Farmasi FMIPA Universitas Hasanuddin, 1988.

39. Syeny. Pengaruh pemberian suspensi biji Kopsia arborea Bl. secara oral terhadap kadar glukosa darah kelinci dengan cara uji toleransi glukosa. Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, 1986.

40. Putu Pramitasari. Pengaruh pemberian infus daun bungur bunga putih (Lagerstromia peciosa L.) Pers. var bunga putih) terhadap kadar glukosa darah kelinci dengan cara uji toleransi glukosa oral. Fakultas Farmasi Universitas Surabaya, 1992.

41. Indrawati Nyototodihardjo. Pengaruh infus daun bungur (Lagerstroemia speciosa Pers.) terhadap uji toleransi glukosa pada kelinci. Fakultas Farmasi Universitas Katolik Widya Mandala, 1984.

42. Anita Tjitrawati. Pengaruh infus serbuk biji petai terhadap kadar gula darah puasa dari kelinci. Fakultas Farmasi Universitas Katolik Widya Mandala, 1981.

43. Robertus Mujianto. Studi pendahuluan efek hipoglikemik infus biji petal cina (Leucacena leucocephala (Lamk) de Witt) pada tikus putih jantan. Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada, 1987.

44. Santana Anggraini. Efek hipoglikemik dekokta biji lamtoro (Leucaena leucocephala (Lam.) de Wit.) dibandingkan dengan tolbutamida. Fakul

Page 60: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

tas Farmasi Universitas Tujuh Belas Agustus, 1988. 45. Nina Hardani. Pengujian efek ekstrak biji Leucaena leucocephala (Lamk)

de Witt terhadap kadar glukosa darah tikus. Jurusan Farmasi FMIPA Institut Teknologi Bandung, 1991.

46. Nunuk Istiyarsih. Studi pendahuluan efek hipoglikemik infus daun mindi (Melia dubia Cav) pada tikus putih jantan. Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada, 1987.

47. Raharsih. Pengaruh perasan umbi bidara upas (Merremia mammosa L. Hallier F.) terhadap kadar glukosa darah tikus putih jantan. Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada, 1987.

48. Emanetti. Efek hipoglikemia air rebusan daun Mesona palustres BI. pada pemakaian sediaan glukosa, sukrosa dan pati beras pada orang sakit. Jurusan Farmasi FMIPA Universitas Andalas, 1989.

49. Endjelbertus Tjandra. Uji efek air rebusan daun cincau hitam (Mesona palustris Bl.) dengan campuran pati beras, pati gandum dan pati sagu terhadap kadar glukosa darah tikus putih jantan. Jurusan Farmasi FMIPA Universitas Andalas, 1991.

50. Lily Sumarni. Pengaruh infus buah pare (Momordica charantia L.) terhadap uji toleransi glukosa pada kelinci. Fakultas Farmasi, Univer- ' sitas Widya Mandala, 1983.

51. Pradana. Pengaruh sari buah pare (Momordica charantia L.) pada toleransi glukosa penderita diabetes melitus. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1987.

52. Kasmida. Uji pendahuluan pengaruh buah pare (Momordica charantia Linn) terhadap kadar glukosa darah manusia normal. Jurusan Farmasi FMIPA Universitas Indonesia, 1989.

53. Lanny Wijaja. Pemeriksaan pengaruh sari buah Momordica charantia terhadap kadar glukosa darah kelinci. Jurusan Farmasi FMIPA Universitas Indonesia, 1986.

54. L.M. Sriwoelan. Pengaruh rebusan herba pare alas (Momordica charantia L.) terhadap kadar glukosa darah tikus. Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada, 1987.

55. Asdi. Antidiabetic activity of Momordica charantia fructus (pare), 1989.

56. Muhammad Nizar. Efek hipoglikemik endapan perasan buah pare (Momordica charantia L) pada tikus putih jantan. Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada, 1991.

57. Suwadi. Efek hipoglikemik fraksi air perasan buah pare (Momordica charantia L) pada tikus putih jantan. Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada, 1991.

58. Dewi Retno Kustiani. Uji banding efek hipoglikemik ekstrak air buah paria bodas dan buah patio hejo (Momordica charantia Linn) pada mencit diabetes aloksan. Jurusan Farmasi FMIPA Universitas Padja- djaran, 1992.

59. Lia Deliana. Pengaruh pemberian perasan buah Momordica charantia L terhadap kadar glukosa darah kelinci. Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, 1986.

60. Salamun. Pengaruh perasan buah Momordica charantia L terhadap kadar glukosa darah kelinci. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Airlangga, 1986.

61. Lihawa Daud. Studi tentang daun dan buah pare (Momordica charantia L) sebagai obat hipoglitik. Jurusan Farmasi FMIPA Universitas Hasanuddin, 1985.

62. FM. Lily Sumarni. Pengaruh infus daun pare (Momordica charantiaL ) terhadap uji toleransi glukosa pada kelinci. Fakultas Farmasi Universitas Katolik Widya Mandala, 1983.

63. Pradana Soewondo dkk. Pengaruh sari buah pare (Momordica charantia) pada toleransi glukosa penderita diabetes melitus. Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSCM, SPTO VI 1988. Depok.

64. Mack Siswandito. Pengaruh infus daun mengkudu (Morinda citrifolia Linn) terhadap kadar glukosa darah dan melakukan uji penapisan mekanisme kerja pada kelinci. Fakultas Farmasi Universitas Katolik Widya Mandala, 1986.

65. Nektarindrati. Efek hipoglikemik perasan air buah pace (Morinda citrifolia L.) pada tikus putih jantan. Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada, 1991.

66. Ki Jonggo Tikno Liman. Pengaruh perasan buah mengkudu (Morinda citrifolia Linn) terhadap kadar glukosa darah kelinci dengan meng-gunakan uji toleransi glukosa oral. Fakultas Farmasi Universitas Surabaya, 1991.

67. M. AlibataHarahap. Pengaruh perasan dan ekstrakbuah masakMorinda citrifolia Linn. terhadap kadar gula darah kelinci dan perbandingannya dengan tolbutamida. Jurusan Farmasi FMIPA Universitas Sumatera Utara, 1985.

68. Hera Lukitawati. Pengaruh mucilago biji Ocimum sanctum Linn ter- hadap kadar glukosa darah kelinci. Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, 1989.

69. NurhayatiSyarifdkk.Efek hipoglikemik dekokta kulit biji petai (Parkia speciosa) dibandingkan dengan tolbutamid. Fakultas Farmasi Univer- sitas Tujuh Belas Agustus, 1986.

70. Muliettaros Munthe. Pengamh infus dan ekstrak akar dari Parkia speciosa Hassk. terhadap penumnan kadar gula darah kelinci diban- dingkan dengan tolbutamida. Jurusan Farmasi FMIPA Universitas Sumatera Utara, 1985.

71. Latih Ariani. Pengaruh infus serbuk daun apokat terhadap kadar gula darah kelinci. Fakultas Farmasi Universitas Katolik Widya Mandala, 1980.

72. Sis Mardini. Penelitian efek farmakologis dari buncis (Phaseolus vulgaris Linn) terhadap penurunan glukosa darah kelinci. Jurusan Farmasi FMIPA Universitas Padjadjaran, 1984.

73. Muchtadi. Uji efek ekstrak etanol buah Phaseolus vulgaris Linn terhadap kadar glukosa darah tikus. Jurusan Farmasi FMIPA Universitas Padjadjaran, 1987.

74. Ahmad Muhadi. Uji efek ekstrak kental Phaseolus vulgaris Linn terhadap kadar glukosa darah tikus. Studi Kimia Fakultas Pasca Sarjana Institut Teknologi Bandung, 1987.

75. Prihatiwi Setiati. Pengaruh sari air buncis (Phaseolus vulgaris Linn) terhadap kadar glukosa darah tikus putih. Jurusan Farmasi FMIPA Universitas Indonesia, 1991.

76. Alex Wijaya Karsiwan. Identifikasi triterpenoid kulit batang kemlaka (Phyllanthus emblica Linn) dan pengaruhnya terhadap kadar glukosa darah kelinci. Fakultas Farmasi Universitas Surabaya, 1992.

77. Pudjiawati. Efek hipoglikemik daun ciplukan (Physalis angulata Linn) pada marmut jantan. Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada, 1982.

78. Lina Arini. Efek hipoglikemik batang ciplukan (Physalis angulata Linn) pada marmut jantan. Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada, 1982.

79. Zulkamain. Pengaruh pemberian infus herba Physalis minima Linn terhadap kadar gula darah kelinci dan perbedaan dengan tolbutamid. Jurusan Farmasi FMIPA Universitas Sumatera Utara, 1984.

80. Bambang Wispiyono. Pengaruh rebusan dan ekstrak etanol kulit ba,(ang pohon jengkol (Pithecelobium jiringa (Jack) Prain ex King) terhadap kadar glukosa darah kelinci. Jurusan Farmasi FMIPA Universitas Indonesia, 1991.

81. Diah Mulyaning Tyas.Pengaruh infus daun Plantagomajor L.terhadap penurunan kadar gula darah kelinci dibandingkan dengan tolbutamid. Jurusan Farmasi FMIPA Universitas Sumatera Utara, 1988.

82. Hayati. Pengaruh infus daun Pterocarpus indicus Willd. terhadap penurunan kadar gula darah kelinci dibandingkan dengan tolbutamid. Jurusan Farmasi FMIPA Universitas Sumatera Utara, 1990.

83. Sri Mulyani. Pengaruh pemberian infusa daun ngokilo (Sericocalyx crispus (L.) Bremek) terhadap kadar glukosa darah kelinci dengan uji toleransi glukosa oral. Fakultas Farmasi Universitas Surabaya, 1992.

84. Harmain Morse. Efek hipoglikemia zat pemanis dari Stevia rebaudiana Bertoni pada kelinci. Jurusan farmasi FMIPA Institut Teknologi Bandung, 1986.

85. Amrizal M. Uji efek infusa daun Symphythum officinale Linn terhadap kadar glukosa darah tikus putih jantad. Jurusan Farmasi FMIPA Uni-versitas Andalas, 1988.

86. Bambang Sugiyarto. Studi pendahuluan efek hipoglikemik infus daun duwet (Syzygium cumini (L.) Skeels) pada tikus putih jantan. Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada, 1987.

87. W. Mimbowati. Penelitian pendahuluan khasiat hipoglikemik dari cortex Syzygium cumini (L). lakultas Farmasi Universitas Airlangga, 1982.

88. MichaelaMegawati. Pengaruhinfus biji duwet (Eugenia cumini Druce) terhadap uji toleransi glukosa pada kelinci. Fakultas Farmasi Universitas Katolik Widya Mandala, 1983.

89. Ngatijan. Uji antidiabetes biji duwet. Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada, 1988.

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 59

Page 61: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

90. Eddy Soesanto Kristianto. Membandingkan efek hipoglikemik rebusan biji jamblang (Eugenia cumini Drusse) dengan tolbutamida (Penelitian Pendahuluan). Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada, 1981.

91. Srie Sutisna S. Pengaruh infus klika jamblang (Eugenia cumini Merr ) sebagai antidiabetik pada tikus putih. Jurusan Farmasi FMIPA Universitas Hasanuddin, 1986.

92. Pinarto. Pengaruh rebusan daun salam (Syzygium palyanthum Wight. Walp) terhadap kadar glukosa darah kelinci. Fakultas Farmasi Universitas Pancasila, 1988.

93. Sujarwoto Sayekti. Uji aktivitas hipoglikemik dan uji fitokimia daun Eugenia polyantha Wight dan herba Borreria laevis Griseb. Jurusan Farmasi FMIPA Universitas Padjadjaran, 1993.

94. Ni Putu Maryati. Efek hipoglikemik ekstrak air daun salam (Eugenia polyantha Wight) pada tikus diabetes. Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada 1989.

95. Nuzlah Mumiati. Uji efek dari ekstrak kering dauri Stevia rebaudiana (Compositae) terhadap kadar glukosa darah ltada mencit diabetes. Jurusan Farmasi FMIPA Institut Teknologi Bandung, 1983.

96. Ratna Badar. Pengaruh infus batang bratawali terhadap kadar glukosa darah kelinci. Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada, 1979.

97. Lucy Halim. Pengaruh infus batang bratawali terhadap kadar gula da- rah puasa dari kelinci. Fakultas Farmasi Universitas Katolik Widya

Mandala, 1981. 98. Julia Tanujaya. Pengaruh pemberian infusum Tinospora caukis (batang

bratawali) terhadap kadar glukosa darah kelinci. Fakultas Farmasi Universitas Surabaya, 1988.

99. Suryanto. Pengaruh infus batang brotowali terhadap penurunan kadar gula darah kelinci dibandingkan dengan tolbutamida. Jurusan Farmasi FMIPA Universitas Sumatera Utara 1988.

100. Any Guntarti. Pengaruh infus batang bratawali (Tinospora crispa Miers.) terhadap kadar glukosa darah tikus. Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada, 1987.

101. Rumondang Napitupulu. Pengaruh-penggunaan i infus dari daun Vinca alba terhadap gula darah kelinci dan perbandingannya dengan tolbutamid. Jurusan Farmasi FMIPA Universitas Sumatera Utara, 1981.

102. Yusuf Ranteta dung. Penelitian pendahuluan pengaruh infus Vinca rosea varietas alba (tapak dara) pada kadar gula darah anjing. Jurusan Farmasi FMIPA Universitas Hasanuddin, 1982.

103. Rusdil Anwar. Pengaruh pemberian ekstrak akar laban (Vitex pubescens Linn) terhadap toleransi glukosa secara oral pada kelinci putih jantan. Jurusan Farmasi FMIPA Universitas Andalas, 1991.

104. Hanny Dyachristianti. Pengaruh infus rambut dari jagung (Zea mays L) terhadap uji toleransi glukosa darah pada kelinci. Fakultas Farmasi Universitas Katolik Widya Mandala, 1985.

Yang termasuk di dalamnya adalah lidah buaya, babakan pule, sembung dan katumpangan uler. Di samping itu terdapat ta-naman yang penggunaan empirisnya telah ditunjang oleh pe-nelitian ilmiah dan cukup banyak mendapat perhatian adalah tapak dara dan belimbing wuluh. Umumnya menunjukkan hasil positif menurunkan kadar glukosa darah pada hewan percobaan. Ternyata tanaman yang digunakan secara empirik, belum tentu mendapat perhatian besar, dan adakalanya hasil yang diteliti belum memuaskan dapat berkhasiat seperti yang diharapkan.

Karena hampir seluruh percobaan dilakukan pada hewan percobaan, menjadi pertanyaan apakah akan mempunyai khasiat yang sama bila diberikan pada manusia ? Fisiologi berbagai jenis hewan berbeda dibandingkan dengan manusia, maka dosis tidak begitu saja dapat diperhitungkan berdasarkan berat badan. Cara penyesuaian dosis dengan cara ekstrapolasi yang diketahui adalah cara Paget dan Barnes 1969 yang secara mudah dapat di-gunakan karena disiapkan dalam label dan cara perhitungannya.

Selain itu informasi yang penting juga adalah terhadap tanaman klabet (Trigonella foenum graecum L.). Tanaman ini digunakan di India untuk diabetes. Selain menurunkan kadar gula darah, juga dapat menurunkan kolesterol darah akibat pemberian secara eksogen. Kandungan biji klabet yang mem-punyai aktivitas hipoglikemik ialah alkaloid. Salah satu alkaloid yang dikandungnya ialah trigonelin, yang diketahui mempunyai efek terhadap glikosuria(12). KESIMPULAN

Momordica charantia menunjukkan hasil yang positif

menurunkan kadar gula darah pada hewan percobaan dengan ditunjang oleh banyaknya penelitian ilmiahnya.

Beberapa tanaman yang disebut mempunyai khasiat empiris belum mendapat perhatian untuk diteliti yaitu: babakan pule, lidah buaya, sembung dan katumpangan uler.

KEPUSTAKAAN 1. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Survey Kesehatan Rumah

Tangga 1980. 2. BadanPenelitiandanPengembanganKesehatan. Survey Kesehatan Rumah

Tangga 1985. 3. BadanPenelitiandan Pengembangan Kesehatan, Survey Kesehatan Rumah

Tangga 1982 4. –––, Kebijaksanaan Obat Nasional, Keputusan Menteri Kesehatan Re-

publik Indonesia No. 47 MENKES/SK/I 1/1983. Departemen Kesehatan RI, 1983, hal 83.

5. WHO Technical Repoit Senes 727, Diabetes Melhtus, World Health 6. Mandisiswoyo, Radjakmangunsudarso. Cabe Puyang Warisan Nenek

Moyang, 1975. 7. Oan Stenis-Krusemen. Medical plants of Indonesia Asia. 1953. 8. Lilly Perry. Medical plants of Asia and South East Asia. Massachusetts,

1980. 9. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Penelitian Tanaman Obat

di Beberapa Perguruan Tinggi di Indonesia, Jilid I s/d VIII. 10. Pradana Soewondo dkk. Pengaruh sari buah pare (Momordica charantia)

pada toleransi glukosa penderita diabetes melitus. Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSCM, Fak. Kedokteran UI. SPTO VI, 1988, Depok.

11. Sujarwoto Sayekti. Uji Aktivitas hipoglikemik dan uji fitokimia daun Eugenis polyantha Wight. dan herba Borreria laevis Griseb. Skripsi, Jurusan Farmasi FMIPA Universitas Padjadjaran, 1993.

12. Lucie Widowati. Penganuh biji klabet (Trigonella foenum graecum Linn) terhadap kadar gula darah. Cermin Dunia Kedokt 1989; 58.

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 60

Page 62: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

Pengalaman Praktek

S skkD P DPD P D PD PD

(Sambungan dari halaman 4)

SHIFT WORK AND SLEEP MAN-AGEMENT Sudjoko Kuswadji Doctor in Occupational Medicine Ja-karta, Indonesia

Shift work is a work schedule that is irregular in time. The most affected by this is cir-cadian rhythm. Sleep distur-bances may be the most fre-quent problem among shift workers.

There are three kinds of shift work: metropolitan rota, conti-nental rote and 4 person - 32 hours' cycle. The continental

AKIT MATA Seorang pasien wanita datang dari desa berobat mata ke poliklinik mata suatu rumah

akit pemerintah. Mata kirinya; visus 2/60, pupil kecil dan irreguler disertai stafiloma ornea. Mata kanan visus 0, ptisis bulbi dengan lekoma dan makula yang luas. Dokter eheranan melihat pasien ini lalu bertanya : okter : "Mengapa sekarang baru berobat ?, ini sudah terlambat !" (dokter menjelas- kan). asien : "Begini, dok; mula-mula kedua mata saya tercucuk daun padi lalu saya berobat ke dukun" (pasien tenang-tenang saja). okter : "Mengapa tidak langsung berobat ke dokter ?" asien : "Sakitnya cuma sedikit, dok !" (membela diri). okter : "Lalu bagaimana caranya dukun itu mengobati mata ibu ??" (tanya dokter lagi ingin tahu). asien : "Mula-mula mata saya digosok-gosok dengan mata cincinnya kemudian ke dalam mata dimasukkan ramuan daun-daunan yang sudah ditumbuk halus. Pada saat itu mata saya tetap sakit tapi akhirnya semakin berkurang namun mata kanan saya tidak dapat melihat lagi dan mata kiri sangat kabur". okter : "Lalu ibu datang kemari untuk apa ?!!!" (suara dokter agak keras dan sedikit membentak). asien : "Saya mau mata kanan saya ini dioperasi saja supaya bisa melihat lagi." okter : "Mata kanan ibu itu tidak bisa dioperasi karena sudah tidak dapat melihat lagi" (dokter menjelaskan). asien : "Apa juga dokter !!!!" (pasien menyentil dengan nada sinis). okter : "Masya-Allah !!!, kalau sudah begini baru ke dokter ! (dokter kesal).

Dr. ImranBanda Aceh

rota provides days off on Sa-turday and Sunday every four weeks. Metropolitan rota pro-vides days off on weekend every 8 weeks. Four person 32 hours' cycles provides crew change at midnight, so provides opportunity to sleep before or after work,

Reasons for work on shift basis are industrial, characteristics. of services and economy. Health problem encountered among shift workers are sleep disturbances, stomach ulcer, fatigue, emotional problems, smoking, drugs, accident and marital problems.

Some factors influence sleep such as sleep wake cy- cle, environment, diet or drugs and age.

Sleep problem should be managed according to the schedule, such as: night shift, rotated night shift, occasional night shift and evening shift. It is suggested to perform auto hypnosis, provision of better sleeping room, restriction of food consumption, regulate sport activities and sleep coun-seling; the use of hypnotic sedative medications is not recommended.

Cermin Dunia Kedokt. 1997: 116: 42-48 Sk

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 61

Page 63: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

ABSTRAK RISIKO PAYAH JANTUNG DI KALANGAN HIPERTENSI

Sebagian peserta Framingham

Study dipelajari untuk menilai risiko penyakit jantung kongestif di kalang-an pasien hipertensi.

Sejumlah 5143 orang diamati se-lama 20,1 tahun (rata-rata 14,1 ta-hun); dan 392 yang terkena payah jantung, 91% di antaranya didahului hipertensi.Setelah Variabel lain diper-hatikan pasien hipertensi pria mem-punyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita payah jantung kongestif dibandingkan dengan yang normotensif sedangkan d kalangan wanita, risikonya tiga kah lebih be- sar Selain itu adanya infark mio- kard, diabetes, hipertrofi ventrikel kiri dan penyakit katup jantung juga meningkatkan nsiko payah jantung kongestif.

Harapan hidup di kalangan pasien payah jantung kongestif rendah, hanya 24% pria dan 31% wanita yang masih hidup selama 5 tahun.

JAMA 1996;275:1557-62

Brw

PERSALINAN BIDAN LEBIH ME-MUASKAN?

Studi di Inggris membandingkan pelayanan obstetri oleh bidan (midwife managed care) dengan pelayanan oleh dokter/RS (shared care).

Sejumlah 648 wanita ditangani oleh bidan dan 651 ditangani bersama (shared care). Persalinan yang ditangani bidan lebih sedikit yang diinduksi (145-23,9% vs. 199-33,3%, 95%CI: 4,4-14,5), lebih sedikit yang diepisiotomi dan lebih banyak yang perineumnya tetap intak (p = 0,02) tanpa perbedaan bermakna dalam hal robekan perineum,

Sejumlah 32,8% dirujuk oleh bidan–8,7% karena alasan medis, 3,7% ka-

rena alasan lain. Mereka yang ditangani bidan merasa lebih puas, baik pada pe-layanan antenatal, persalinan maupun postnatal – baik yang dilakukan di rumahsakit maupun yang dilakukan di rumah

Lancet 1996; 348: 213-18 Hk

PENGGUNAAN GH UNTUK TING-GI BADAN

Sejumlah 16 anak pendek diberi r-h GH (biosynthetic human growth hor-mone) dengan dosis antara 12,2-21,0 U/m2 permukaan tubuh/minggu selama 2 tahun pertama, kemudian dilanjutkan dengan dosis 20 U/m2/minggu: pengo- batan baru dihentikan bila tidak lagi terdapat pertambahan atau kurang dari ½ cm dalam setahun dan epifisis telah menutup (melalui pemeriksaan radi-ologik).

Pemberian r-h GH meningkatkan tinggi badan, sebanyak rata-rata 2,8 cm pada pria dan 2,5 cm pada wanita, tetapi tidak bermakna bila dibandigkan de-ngan kontrol.

Lancet 1996: 348: 13-6 Hk

BRONCHIOLITIS OBLITERANS AKIBAT KONSUMSI DAUN KATUK

Juice daun katuk dipercaya dapat

menurunkan badan berat badan, tetapi penggunaannya dikaitkan dengan gang-guan pernafasan akut akibat bronchioli-tis obliterans.

Setelah laporan pertama pada tahun 1995, para dokter di Taiwan kembali melaporkan 23 kasus wanita berusia antara 1-52 tahun (rata-rata 39 tahun) yang meminum juice dan katuk selama rata-rata 10 minggu; para pasien batuk dan sesak napas progresif rata-rata 14

minggu setelah minum juice tersebut. Prognosis penyakit ini belum jelas: gejala masih menetap sekalipun me-reka sudah berhenti minum juice ter-sebut.

Lancet 1996: 348: 83-5 Hk

KLONAZEPAM UNTUK EPILEPSI

Dokter di California menggunakan klonazepam terhadap 10 pasien spasme infantil dan 10 pasien sindrom Lennox-Gastaut yang telah refrakter terhadap pengobatan sebelumnya dengan dosis 2 dd 1,25 mg/hari yang dapat dinaikkan sampai maksimum 35 mg/kg bb/hari

Selama 6 minggu 25% bebas kejang dan 40% mengalami pengurangan frekuensi lebih dari 50%

J. Child Neurol 1996; 11: 31-4

Brw ARTEMISININ UNTUK MALARIA DEWASA

Artemisinin telah dicoba pada pen-derita malaria falciparum dewasa di Vietnam.

Sejumlah 276 pasien mendapat kina HCl im. dengan dosis awal 20 mg./kg. bb arthemeter diikuti dengan 10 mg./ kg.bb tiap 8 jam, sedangkan 284 lainnya mendapat 4 mg./kg.bb arthemeter di-ikuti dengan 2 mg./kg.bb tiap 8 jam. Keduanya diberikan selama sedikitnya\ 72 jam. Kematian dijumpai pada 36 (13%) di kalangan arthemeter dan pada 47 (17%) di kalangan kina (p = 0,16, relative risk untuk arthemeter = 0,74, 95%CI: 0,5–1,11).

Parasitemia lebih cepat diatasi di kalangan arthemeter (rata-rata 72 vs. 90 jam, p < 0,001), sekalipun demikian, demam turun lebih lama (127 vs 90 jam, p <0,001)dan lamanya coma juga lebih lama (66 vs. 48 jam, p = 0,001) dan juga

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 62

Page 64: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

ABSTRAK lebih lama tinggal di rumah sakit (88 vs. 240 jam, p = 0,005).

Pengobatan kina lebih berisiko hipo- glikemi (RR: 2,7, 95%CI: 1,7–5,5, p < 0,001).

N. Engl. J. Med. 1996; 335: 76–83 Hk

ARTHEMETER UNTUK MALA- RIA SEREBRAL

Selama ini kina merupakan satu-satunya obat untuk malaria serebral.

Para peneliti di Gambia mencoba arthemeter im. yang dibandingkan dengan kina im. untuk pengobatan 576 anak Gambia yang menderita malaria serebral.

Ternyata 59 dari 188 anak yang di-obati dengan arthemeter meninggal dunia (20,5%), sedangkan di kalangan kina 62 di antara 288 anak meninggal dunia (21,5%). Dan di antara 418 anak yang diperiksa kembali setelah 5 bulan, gejala sisa neurologik ditemukan pada di antara 209 anak yang diobati dengan arthemeter (3,3%) dan pada 11 di antara 209 anak yang menenima kina (5,2%, p = 0,5).

Setelah memperhitungkan variabel lain, odds-ratio untuk kematian di ke-lompok arthemeter 0,84 (95%CI: 0,53– 1,32), sedangkan untuk gejala sisa neurologik sebesar 0,51 (95%CI: 0,17– 1,47).

Reaksi lokal di tempat suntikan se- besar 0,7% di kalangan arthemeter dan 5,9% di kalangan kina (p = 0,001).

Dari percobaan ini disimpulkan bahwa arthemeter sama efektifnya dengan kina, sedangkan dosis yang digunakan ialah untuk arthemeter 3,2 mg/kg.bb dosis awal diikuti dengan 1,6 mg/kg.bb/hari selama 4 hari, sedang-kan dosis kina sebesar 20 mg./kg.bb dosis awal diikuti dengan 10 mg./kg.bb tiap 12 jam selama 5 hari.

N. Engl. J. Med. 1996; 335: 69–75 Hk

PENGOBATAN MALARIA Di antara 18124 pasien malaria

falsiparum yang diobati di Centre for Tropical Diseases, Ho Chi Minh, Viet-nam selama 4 tahun, 1176 di antaranya menderita infeksi berat; 19 dewasa dan 3 anak menderita komplikasi post ma-laria neurological syndromes (PMNS), 21 di antaranya setelah infeksi berat.

Insidens PMNS setelah malaria falsiparum diperhitungkan sebesar 1,2 (0,7–1,8) per 1000 sedangkan risiko relatif pada infeksi berat dibandingkan dengan pada infeksi biasa adalah se-besar 299 (40–2223). Kasus-kasus ter-sebut terdiri dari 13 kasus acute confu-sional states atau psikosis, 6 kasus kejang umum tunggal/berulang 2 kasus kejang umum diikuti kebingungan akut yang berlarut dan 1 kasus tremor halus. Se-muanya umumnya self-limiting dengan median 60 jam (24–240 jam.

Kasus-kasus ini dikaitkan dengan penggunaan meflokuin – kejadiannya 4,4% (10/228) dibandingkan dengan yang menggunakan kina–0,3% (1/210); risiko relatif 9,2 (1,2–71,3, p = 0,012).

Lancet 1996; 348: 417–21 Hk

TANAMAN OBAT UNTUK DEPRESI

Ekstrak herba Hypericumperforatum (St John’s wort)-LI 160–sedang diteliti manfaatnya untuk mengatasi depresi ringan sampai sedang (Hamilton score 17–24).

Pada percobaan klinis di Inggris ter-hadap 165 pasien 24–65 tahun selama 6 minggu, ekstrak ini diberikan dengan dosis 3 dd 300 mg/hari (n=87) diban- dingkan dengan amitriptilin 3 dd 25 mg/ hari(n=78);ternyata nilai HAM-D turun dari rata-rata 20,8 menjadi 11,8 di ke-lompok LI-160 dan dari rata-rata 20,8 menjadi 9,5 di kelompok amitriptilin (p≤0,05). Sedangkan pada depresi berat,

ekstrak ini tidak berbeda bermakna bila dibandingkan dengan imipramin. Ekstrak ini juga sedang dicoba terhadap seasonal affective disorder dan nyeri kepala tipe tegang.

Salah satu efek samping ekstrak ini ialah fotosensitivitas.

Percobaan farmakologik menunjuk-kan bahwa ekstrak Hypericum meng-hambat uptake noradrenalin, serotonin dan GABA pada otak tikus.

Inpharma 1996; 1058: 4. Brw

STREPTOKINASE UNTUK IN- FARK OTAK

Pada Australian Streptokinase Trial, pasien stroke iskemik akut yang di-diagnosis dalam 4 jam sejak munculnya gejala diberi 1,5 MU streptokinase iv dalam 1 jam (n=174), dibandingkan dengan plasebo(n=166),selain itu semua pasien mendapat 100 mg. aspirin.

Ternyata setelah 3 bulan, penerima streptokinase lebih banyak yang cacad atau meninggal dunia (48,8%vs.44,6%); analisis subgrup menunjukkan bahwa pasien yang mendapat streptokinase da-lam 3 jam berhasil baik pada 34.1% vs. 51.7% di kelompok plasebo. Perbedaan di atas tidak bermakna, dan setelah 3 bulan perbaikan lebih banyak terjadi di kelompok streptokinase.

Komplikasi hematoma terjadi pada 13,2% di kelompok streptokinase di-bandingkan dengan 3% di kelompok plasebo.

Inpharma 1996; 1057: 17 Brw

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 63

Page 65: Cholesterol, Cardiovascular Diseases

Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran

Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?

1. Yang bersifat hidrofihik: a) Pravastatin b) Lovastatin c) Simvastatin d) Semua hidrofihik e) Semua salah 2. Demam rematik dikaitkan dengan infeksi: a) Pneumokok b) Streptokok c) Stafilokok d) Ps. aeruginosa e) H. influenzae 3. Yang tidak termasuk kritena mayor diagnosis demam

rematik: a) Karditis b) Artralgia c) Khorea d) Eritema marginatum e) Nodulus subkutan 4. Penentuan LVII paling baik dengan pemeriksaan: a) Ro thorax PA b) Ro thorax lateral c) EKG d) Ekhokardiografi e) Holter monitoring 5. Nyeri dada akibat infark miokard akut sesuai dengan

daerah persarafan: a) C1-C4 b) C5 - C8 c) T1 - T4 d) T4 – T12 e) L1 - L3 6. Nyeri dada akibat infark miokard akut bersifat sebagai

berikut, kecuali : a) Nyeri berdenyut b) Terasa di daerah sternum c) Bisa menjalar ke rahang d) Dapat disertai paipitasi e) Tanpa kecuali 7 Yang tidak bersifat anti oksidan: a) Beta karoten b) Piridoksin c) Vitamin C d) Tokoferol e) Semua bersifat anti oksidan 8. Faktor yang mempengaruhi risiko timbulnya osteoartritis

adalah sebagai berikut, kecuali: a) Berat badan b) Usia c) Jenis Kelamin d) Hipertensi e) Aktivitas sendi 9. Suntikan intraartikular dengan maksud mehindungi tulang

rawan (khondroprotektif) menggunakan: a) Kortikosteroid b) Prokain c) Hialuronat d) Anti inflamasi e) Semua benar 10. Tanaman obat yang paling banyak diteliti efek hipoghike-

miknya: a) Bawang putih (Allium cepa) b) Seledri (Apium graveolens) c) Behimbing wuiuh (Averrhoea bilimbi) d) Pare (Momordica charantia) e) Stevia (Stevia rebaudiana)

JAWABAN :1. A2. B3. B4. D5. C6. A7. B8. D9. C 10. D

Cermin Dunia Kedokteran No. 116, 1997 64