35
There's something that better left unsaid, .... Malam serasa beku. Hujan yang mengguyur sejak sore membuat udara terasa sangat lembab. Aku melingkarkan tubuhku. Udara dingin AC menyelusup ke dalam sendi- sendi tulangku. Aku bisa saja mematikan AC, tapi kasihan Ummi. Tadi beliau mengeluh tubuhnya terasa panas. Mungkin pengaruh obat. Two- a.m. Jam digital yang kuletakkan di atas meja berbunyi. Pukul dua dini hari. Malam sudah sangat larut. Rahangku mulai menggelutuk. Aku tak tahan dengan udara sedingin ini. Sementara malam semakin larut, aku tak bisa memejamkan mata barang sedikitpun. Kutelentangkan tubuhku, menatap langit-langit kamar rumah sakit. Silau. Sinar lampu membuat mataku ngilu. Aku kembali memiringkan tubuhku yang masih saja menggigil. Mata, terpejamlah walau sejenak, batinku. Aku tidak boleh sakit. Aku harus menjaga Ummi sampai beliau pulih. Wahai karunia Tuhan, terpejamlah walau sejenak.... Terdengar suara batuk dari arah ranjang. Aku segera bangkit, mengambil gelas dan sedotan di atas meja. Kuraih tangan Ummi. Tangan yang telah memberiku

CERPEN_Theres Something That Better Left Unsaid,

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: CERPEN_Theres Something That Better Left Unsaid,

There's something that better left unsaid, ....

Malam serasa beku. Hujan yang mengguyur sejak sore membuat udara

terasa sangat lembab. Aku melingkarkan tubuhku. Udara dingin AC menyelusup

ke dalam sendi-sendi tulangku. Aku bisa saja mematikan AC, tapi kasihan Ummi.

Tadi beliau mengeluh tubuhnya terasa panas. Mungkin pengaruh obat.

Two- a.m. Jam digital yang kuletakkan di atas meja berbunyi. Pukul dua

dini hari. Malam sudah sangat larut. Rahangku mulai menggelutuk. Aku tak tahan

dengan udara sedingin ini. Sementara malam semakin larut, aku tak bisa

memejamkan mata barang sedikitpun. Kutelentangkan tubuhku, menatap langit-

langit kamar rumah sakit. Silau. Sinar lampu membuat mataku ngilu. Aku kembali

memiringkan tubuhku yang masih saja menggigil. Mata, terpejamlah walau

sejenak, batinku. Aku tidak boleh sakit. Aku harus menjaga Ummi sampai beliau

pulih. Wahai karunia Tuhan, terpejamlah walau sejenak....

Terdengar suara batuk dari arah ranjang. Aku segera bangkit, mengambil

gelas dan sedotan di atas meja. Kuraih tangan Ummi. Tangan yang telah

memberiku kasih sayang dalam setiap belaiannya. Tangan yang kini terbaring

lemah bersama pemiliknya.

Ummi menatapku. Ada genangan air di sudut matanya.

”Nggak tidur?”

”Nggak bisa, Mi.” jawabku.

Kusentuhkan ujung sedotan ke bibir Ummi. Ummi memiringkan kepalanya, lalu

minum. Tiba-tiba saja ada sesuatu yang menekan mataku, membuatnya ngilu, dan

membuatku ingin memuntahkan air yang ada di dalamnya. Hatiku pilu. Sangat

pilu. Ummi, orang yang sangat aku cintai, sekarang terbaring lemah tanpa daya.

Tumor ganas yang bersarang di rahimnya membuat beliau sekarang harus

terbaring tanpa daya.

Page 2: CERPEN_Theres Something That Better Left Unsaid,

Aku tak bisa membendung air mataku lagi. Kuraih tangan Ummi, kuciumi

dengan penuh rasa cinta. Cinta, Ummi. Cinta yang tak pernah bisa membalas

semua cinta yang telah engkau berikan. Cinta yang sebenarnya tak sebanding

dengan cinta dan pengorbananmu untukku. Maafkan aku, Ummi. Maafkan aku....

Aku teringat kejadian kemarin pagi saat Ummi masuk ke ruang operasi.

Dengan sorot mata yang sangat pasrah, Ummi berbisik kepadaku, ”Tempat

pertapaanmu akan hilang nanti. Tapi Ummi akan selalu ingat bahwa dalam perut

Ummi ini pernah bertapa anak-anak Ummi, titipan Allah yang sangat Ummi

cintai.” Saat itu aku tak bisa berkata apapun. Tenggorokanku tercekat, tak bisa

bersuara. Tempat pertapaanku... tempat dimana aku pernah tinggal disana selama

sembilan bulan. Tempat dimana aku mendapat kasih sayang yang pertama: kasih

sayang seorang ibu di setiap nafas dan detak jantungnya.

Aku tergugu. Ummi mengelus lembut kepalaku. Belaian itu masih tetap sama

seperti belaian beliau bertahun-tahun lalu, sejak aku kecil. Tak ada yang berubah.

Cinta dan kasih sayang Ummi tetap sama. Tak ada yang berkurang.

Ummi menyuruhku segera tidur. Beliau tidak ingin aku jatuh sakit. Aku

mengiyakan permintaannya, walau sebenarnya aku tak yakin bisa

melaksanakannya. Malam ini sangat sulit bagiku memejamkan mata.

Sepuluh menit berlalu. Ummi kembali tertidur. Aku lega. Setidaknya beliau tak

tahu bahwa aku tidak bisa tidur. Kuambil sebuah buku tebal dari ransel.

Sampulnya berwarna cokelat tua. Kupandangi sampul buku itu. Ada rasa sesal

menusuk-nusuk hatiku. Rasa sesal yang seharusnya tak pernah datang padaku.

Rasa sesal yang membuatku tak bisa memejamkan mata.

Ahmad Awal Chairi. Itulah nama yang tertulis di sampul buku itu. Itu

bukan buku biasa. Buku tebal itu adalah sebuah skripsi. Skripsi seseorang yang

selalu membuat hatiku bergetar jika mendengar namanya, atau sekedar melihat

bayangannya.

Page 3: CERPEN_Theres Something That Better Left Unsaid,

Rasa sesal itu menusuk hatiku. Aku menyumpahi diriku sendiri yang

terlalu bodoh. Sangat bodoh! Aku menyesal dengan segala keegoisanku.

Berawal dari kejadian tiga bulan lalu, saat Ustadz Abdurrahman

berkunjung ke rumah. Awalnya aku mengira itu adalah kunjungan biasa, karena

beliau adalah teman Abi. Saat beliau datang ke rumah, akulah yang membukakan

pintu untuk beliau. Beliau bertanya apakah Abi sedang di rumah. Kujawab, Abi

sedang ada kepentingan ke luar kota. Beliau mengangguk-angguk seperti biasa.

Lalu meminta izin untuk berbicara denganku saja. Aku rasa ada yang aneh.

Karena biasanya kalau Abi tidak ada, beliau langsung minta diri.

Ternyata benar dugaanku. Ada sesuatu yang tak biasa yang hendak beliau

sampaikan padaku dan Abi. Mulanya beliau bertanya tentang kuliahku. Setelah itu

tentang aktifias dakwah di kampus. Aku menjawab pertanyaan beliau dengan

antusias. Beliau terlihat senang mendengar jawabanku. Lalu sampailah pada

pertanyaan utama: Beliau menanyakan apakah aku sudah siap menikah! Aku

sempat kikuk diberi pertanyaan seperti itu. Namun aku segera menjawab bahwa

aku harus siap, karena bagaimanapun menikah adalah sunnah Rasul yang utama.

Penyempurna dien! Dan aku harus siap untuk itu.

Pertanyaan kedua, beliau menanyakan apakah sudah ada yang

mengkhitbah aku. Kujawab, belum ada. Mana ada ikhwan yang mau dengan

akhwat sepertiku. Ilmu agamaku masih sangat sedikit. Beliau tersenyum

mendengar jawabanku. Ilmu bisa dicari, katanya. Yang penting ada semangat dan

usaha untuk mewujudkannya.

Aku tersenyum malu. Aku bisa menebak apa yang akan beliau katakan

setelah itu. Dan benar dugaanku. Beliau menawarkan seorang ikhwan padaku.

Namanya Awal. Lengkapnya Ahmad Awal Chairi. Ikhwan itu sedang mencari

penyempurna dien-nya. Dan menurut Ustadz Abdurrahman, aku adalah wanita

yang pantas untuk mendampinginya.

Page 4: CERPEN_Theres Something That Better Left Unsaid,

Aku tertunduk. Ada rasa senang dan sedih. Senang, karena selama ini aku

meminta pada Allah untuk mempertemukan aku dengan jodohku. Dan sekarang

itu terjadi: Allah telah menggerakkan hati seorang hambaNya untuk

mengkhitbahku! Namun... rasa sedih lebih mendominasi hatiku. Ya, sedih. Sedih

karena orang yang mengkhitbahku bukanlah orang yang aku cintai. Sedih.

Kecewa. Tapi apa daya? Aku tak bisa memaksanya untuk mengkhitbahku. Tak

mungkin bisa. Bertemu dengannya saja aku malu. Haruskah aku menolak tawaran

Ustadz Abdurrahman? Atau aku harus menerimanya? Tapi bagaimana? Selama ini

dalam hatiku hanya ada satu nama. Aku tahu ini dosa, tapi aku mengharapkan dia,

bukan yang lain.

Heri. Hanya dia. Bukan yang lain. Hanya dia yang bisa membuat hatiku

bergetar tiap mendengar namanya, atau bahkan hanya dengan melihat bayangnya.

Dia yang wajahnya tak pernah ada dalam benakku, namun selalu muncul dalam

doaku. Demi Allah, aku lupa seperti apa wajahnya! Namun aku selalu ingat untuk

mendoakannya dalam setiap munajatku. Memohon pada Allah agar selalu

memberinya yang terbaik. Walaupun aku tak pernah menjadi bagian dari ”yang

terbaik” itu.

Aku tahu ini salah. Tak seharusnya aku mencintai laki-laki yang belum

halal bagiku. Mungkin semua orang akan menyalahkanku. Salahkan saja aku!

Aku memang salah. Tapi aku yakin, semua orang yang pernah merasakan cinta

seperti yang aku rasakan akan bisa memahami perasaanku. Perasaan yang sangat

kuat, yang tak mampu aku menghindarinya.

Kuputuskan, aku tak bisa menerima tawaran Ustadz Abdurrahman. Aku

menolak dengan halus tawaran beliau. Alhamdulillah beliau bisa mengerti dan tak

memaksaku. Aku lega. Aku juga merasa kasihan pada ikhwan itu jika suatu saat

nanti aku menjadi istrinya, namun hati dan cintaku bukan untuknya. Aku tak mau

itu terjadi.

Page 5: CERPEN_Theres Something That Better Left Unsaid,

Itulah tiga bulanku yang telah lalu. Dan telah usai. Tak ada berita lebih

lanjut dari Ustadz Abdurrahman. Aku pun telah melupakannya. Namun malam

ini, kejadian hari itu kembali menghantuiku. Aku merasa diteror oleh keegoisanku

sendiri. Mengapa aku dengan begitu bodoh menolak tawaran beliau?! Beliau

bukan orang sembarangan. Ikhwan pilihannya pun pasti bukan ikhwan

sembarangan. Seharusnya aku sadar tentang itu!

Rasa sesal itu tiba-tiba saja datang padaku. Malam ini. Tepatnya setelah

akh Heri menyerahkan skripsinya padaku. Tadi, ba’da Isya. Aku meminjam

skripsinya untuk kupelajari, karena aku butuh referensi untuk menulis skripsiku.

Akh Heri berbaik hati—dia memang baik hati— meminjamkanku skripsinya.

Bahkan ia sendiri yang mengantarkannya ke sini, ke rumah sakit. Hanya saja, ia

tak sampai mengantarkannya ke kamar inap tempat Ummi dirawat. Dia

menungguku di ruang resepsionis. Di sanalah aku bertemu dengannya, bersama

Abi.

Aku tak sempat berbicara banyak dengannya. Aku hanya mengatakan

terima kasih dan minta maaf karena merepotkan dia. Itu saja. Setelah itu dia minta

diri, dan aku kembali menjaga Ummi. Aku tak sempat memperhatikan buku itu.

Judulnya saja belum aku baca. Pikiranku hanya tertuju pada Ummi.

Tadi, sekitar pukul sebelas malam, Ummi tertidur pulas. Aku senang sekali.

Setidaknya, dengan begitu akan sedikit mengurangi rasa sakit pada jahitan setelah

operasi. Setelah memastikan bahwa Ummi telah benar-benar pulas, aku meraih

buku bersampul cokelat itu. Aku meletakkannya di atas meja, di sebelah obat-

obatan Ummi.

Hatiku berdegup tak seperti biasanya. Ya Allah, ini adalah buku orang

yang aku suka! Kuraba sampul depannya dengan penuh perasaan. Membelainya

seperti seorang ibu membelai buah hatinya; atau seorang kekasih membelai

pasangannya. Jemariku dengan lentik mengikuti arah mataku membaca setiap

hurufnya. Mulai dari atas. Judul. Lupus as a Model Of An Idealistic Teenager.

Judul yang unik, batinku.

Page 6: CERPEN_Theres Something That Better Left Unsaid,

Jemariku mulai menelusuri huruf-huruf berikutnya. Mataku sedikit

bergerak ke bawah, membaca tulisan di bawah kata Thesis. Disana tertulis: By:

Ahmad Awal Chairi.

Deg!!! Jantungku seakan terhenti begitu saja. Apa ini? Benarkah ini

namanya? Bukankah namanya Heri??? Tapi mengapa di skripsinya tak ada nama

”Heri” sama sekali? Jangan-jangan.....

Aku tak bisa tinggal diam. Aku merasa harus menanyakan tentang ini

padanya. Harus! Aku segera mengambil HP, mengirim sebuah SMS.

Ass. Wr. Wb.

’afwan, akh. Ini skripsi siapa? Kenapa bukan skripsi antum?

Send. Selesai. Semoga saja dia belum tidur. Aku penasaran kenapa dia

tidak meminjamkan skripsinya sendiri? Dan... apa hubungannya antara dia dengan

akh Awal? Temankah? Atau saudara? Ah, aku semakin penasaran. Ternyata dia

mengenal ikhwan yang dulu pernah akan dijodohkan denganku.

Lima belas menit berlalu. Belum ada balasan. Aku mulai putus asa.

Mungkin sudah tidur, pikirku. Aku mengambil bantal di atas kursi, lalu berbaring

di karpet. Dingin. Aku berharap bisa segera mimpi indah. Saat aku telah berada

diantara alam sadar dan mimpi, suara HP membangunkanku. Mataku seakan tak

bisa terbuka. Ngantuk. Hampir saja aku berhasil tidur. Namun rasa penasaran

membuatku bangkit. One message received. Aku menekan tombol open. Hatiku

seperti tanaman di musim semi: berbunga-bunga! Sebuah SMS balasan dari akh

Heri.

Wa’alaikum salam. Wr. Wb. Afwan agak terlambat balasnya. Itu skripsi

saya, kok.

Deg!!! Skripsi...saya???? apa maksudnya dengan ”skripsi saya”? Ya Allah,

pasti ada yang salah dengan semua ini. Pasti! Aku menekan tombol reply.

Page 7: CERPEN_Theres Something That Better Left Unsaid,

Masya Allah, jadi maksud antum, ... itu adalah nama panjang antum?

Kenapa lain dengan nama panggilan antum? Saya bingung.

Send. Semoga saja dia mengatakan, ”Oh, itu skripsi teman saya. Karena

skripsi saya sedang ada yang meminjam, jadi saya usahakan untuk meminjam

skripsi akh Awal untuk anti.” Itu jawaban yang aku inginkan. Sayangnya,

seringkali apa yang kuinginkan tak seperti yang kudapatkan. Ia membalas SMS

ku.

Iya, itu nama panjang saya. Nama Heri berasal dari Chairi. Karena saat

kecil saya susah menyebut diri saya Chairi, maka ortu saya memberi nama

panggilan Heri. Supaya lebih mudah diucapkan.

Masya Allah...!!! Apa lagi ini????

Aku langsung teringat saat Ustadz Abdurrahman datang ke rumah. Aku

ingat saat aku menolak lamaran tersebut dengan berbagai alasan yang sebenarnya

hanya karanganku saja. Aku ingat saat itu aku sangat egois dan terlalu

memikirkan keinginanku sendiri; memikirkan orang yang kusuka tanpa peduli

bahwa perasaan itu adalah benih dosa!

Ternyata selama ini aku yang salah. Aku ingat, saat kajian Ustadz

Abdurrahman pernah memberiku nasihat. ”Yang menggenggam hati setiap

manusia itu hanyalah Allah. Jadi, bila suatu saat nanti merasakan jatuh cinta,

mintalah pada yang Maha Memiliki Cinta semoga cinta yang tumbuh dalam hati

kalian akan menjadi sarana untuk lebih mencintai Allah,” kata beliau. Aku

sempat bertanya bagaimana jika seseorang mencintai seseorang yang lain, tapi ia

tidak punya keberanian untuk menyampaikannya?

Saat itu beliau tersenyum, lalu menjawab, ” Cinta yang sesungguhnya

adalah setelah pernikahan. Diluar itu, cinta tak lebih dari sebuah kata kosong

tanpa makna. Mintalah pada Allah untuk mempertemukan kalian dalam keadaan

yang baik, jika memang masing-masing kalian adalah yang terbaik untuk yang

Page 8: CERPEN_Theres Something That Better Left Unsaid,

lain. Ingat, Allah-lah yang menggenggam hati setiap hamba-Nya. Sama seperti

rizki yang tak akan tertukar: jodoh pun demikian.”

Dan itulah yang kulakukan. Setiap saat aku memohon pada Allah untuk

mempertemukan kami dalam keadaan yang baik. Aku selalu memohon padaNya

untuk menetapkan hati akh Heri hanya untukku. Yah, sepertinya memang terlalu

memaksa. Tapi memang itulah doaku.

Hampir empat tahun aku memanjatkan doa seperti itu. Sampai akhirnya

jiwaku berontak. Aku kalah pada tipu daya syaithan. Suatu saat, dalam sujudku di

sepertiga malam, aku mendakwa Allah. ”Ya Rabb, mengapa tak Kau beri aku

jawaban?” itulah yang aku tanyakan saat itu pada Allah. Aku merasa Allah tak

mencintaiku. Ia membiarkanku menunggu terlalu lama. Sangat lama. Empat tahun

aku menunggunya. Dan tak pernah ada jawaban. Allahu Rabbi, bukankah Engkau

yang menggenggam setiap hati hambaMu? Mengapa tak Engkau gerakkan hatinya

untuk mengkhitbahku? Bukankah Engkau yang menguasai hatinya?

Tepat keesokan paginya, Ustadz Abdurrahman datang dan ”menawarkan”

seorang ikhwan. Seharusnya aku bersyukur saat itu, karena Allah langsung

memberikan apa yang kuinginkan. Tapi karena kebodohanku, aku malah berkata

dalam hati, ”Wahai Rabbul ’alamin... bukankah yang aku minta adalah akh Heri?

Mengapa Engkau mengirimkan ikhwan lain untuk mengkhitbahku? Aku yakin

Engkau tak mungkin salah mengirimkan jodoh untukku. Tapi... bukankah yang

aku minta adalah akh Heri?”

Bodohnya aku! Padahal Allah langsung memberi jawaban atas doaku.

Namun aku terlalu egois dengan segala keinginanku. Dengan nafsuku.

Astaghfirullah al ’adziim, ... semoga Allah berkenan mengampuniku.

Bulir-bulir air mata tak terasa telah membanjiri kedua pipiku. Penyesalan memang

selalu datang terlambat. Ingin rasanya aku bersujud padaMu, ya Rabb... ingin

rasanya segera sholat sunnah taubat. Aku ingin bertaubat atas kekhilafanku, ya

Page 9: CERPEN_Theres Something That Better Left Unsaid,

Rabb... aku telah berprasangka buruk padaMu, padahal Engkau mencintaiku dan

tak pernah menyia-nyiakan aku.

Sayang, aku sedang berhalangan. Aku tak bisa menegakkan shalat. Untuk

menenangkan diri, aku beristighfar dan berdzikir. Sebanyak mungkin. Semoga

Allah berkenan memaafkan aku. Amin.

Three a.m. Jam digital kembali berbunyi, menginformasikan waktu saat

ini. Satu jam telah berlalu, batinku. Aku kembali merebahkan diri di atas karpet.

Kudekap skripsi itu dalam dadaku. Mataku perih karena terlalu banyak menangis.

Aku segera memejamkannya. Bismika Allahumma ahya, wa bismika amuut...

* * *

Alunan merdu suara adzan membangunkan aku dari mimpi. Perlahan

kubuka mata. Silau. Entah jam berapa aku tertidur. Sepertinya tidak lama. Aku

bangkit. Sedikit menggerak-gerakkan tubuhku. Punggungku sakit. Mungkin

karena tidur di lantai. Aku mengarahkan pandanganku ke ranjang. Ummi masih

tertidur pulas, sementara Abi tidur di kursi di sebelah ranjang. Abi

menelungkupkan kepalanya di sebelah kanan Ummi. Tangannya masih

menggenggam tangan Ummi. Romantis sekali kedua orang tuaku ini. Aku jadi iri.

Segera kubereskan karpet, selimut dan bantal. Setelah itu membereskan

meja tempat obat, lalu mengumpulkan baju-baju kotor Abi dan Ummi. Pagi ini

aku harus pulang; mencuci, membersihkan rumah, dan tentu saja memasak untuk

Abi dan adik.

”Pulang sekarang?” Abi bertanya dengan suara parau. Sepertinya beliau sakit.

”Iya, Yah. Biar cepat selesai kerjaan rumah. Nanti kalau cepat selesai, ’kan Ai

bisa cepat-cepat kembali kesini.”

”Kalau mau pulang, SMS adikmu dulu. Minta jemput.”

”Ah, nggak usah, Yah. Kasihan adik. Adik ’kan harus siap-siap berangkat ke

sekolah. Biar Ai naik becak saja. Hitung-hitung ngasi rejeki untuk tukang becak.

Iya, kan?” jawabku.

Page 10: CERPEN_Theres Something That Better Left Unsaid,

”Yah, terserahlah kalau begitu.”

Sepuluh menit kemudian aku pamit kembali ke rumah. Kucium tangan

kedua orang tuaku dengan penuh takdzim. Dan segera setelah itu, aku berjalan di

koridor rumah sakit, memanggil tukang becak, dan akhirnya sampai di rumah.

Home sweet home. Baiti jannati! Sayangnya, saat ini hanya ada aku dan adik

disini. Tanpa Abi dan Ummi.

Aku menyetrika pakaian seragam adik, membuatkan sarapan dan susu

untuknya. Adikku ini memang sudah baligh, sudah kelas satu SMA. Tapi tetap

saja kalau urusan menyiapkan segala sesuatu untuk sekolah dia sangat manja.

Maunya segalanya harus serba disiapkan. Dasar bungsu, bawaannya manja terus

sama yang lebih tua.

Pukul tujuh kurang seperempat. Adik pamit berangkat sekolah. Aku

mengantarnya sampai pagar, mengiringinya dengan doa semoga selalu dalam

lindungan Allah dan mendapat ilmu yang berkah.

Baiklah, sekarang tinggal aku sendiri. Dan Allah. Dalam keadaan seperti

ini, bayang-bayang kejadian malam tadi kembali menghantuiku. Rasa sesal

semakin menggunung dalam hatiku. Ya Rabb, ... aku ingin menanyakannya pada

Ustadz Abdurrahman. Tapi bagaimana? Aku malu. Allahu Rabbi, ... berilah jalan

keluar atas masalahku ini.

Aku menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah agar tak terlalu hanyut

dengan ingatan itu. Aku tak ingin selalu hidup dalam bayang-bayang penyesalan.

Aku sudah pasrah. Kalau memang jodoh, pasti Allah akan mempersatukan kami.

Bagaimanapun caranya.

Aku mulai hanyut oleh perasaan. Bulir-bulir air mata menetes semakin

deras. Lututku terasa lemas. Tak mampu berdiri. Aku terduduk di depan TV.

Entah berapa lama aku bertahan seperti itu.

Page 11: CERPEN_Theres Something That Better Left Unsaid,

Bel berbunyi. Terdengar suara laki-laki mengucapkan salam. Suara yang

aku kenal. Aku segera menghapus air mataku. Berusaha untuk tampil senormal

mungkin.

”Wa’alaikum salam, ...” jawabku sembari membuka pintu ruang tamu.

Benar dugaanku. Laki-laki itu adalah Ustadz Abdurrahman yang suaranya

memang sangat aku kenal. Beliau membawa setumpuk map berwarna biru tua dan

kuning.

”Maaf, dik Ai, Bapak ada?” tanyanya. Beliau biasa memanggilku ”Ai”

karena Abi selalu memanggilku dengan sebutan itu. Orang lain biasanya

memanggilku ”Ais”

Aku memberitahunya bahwa Abi sedang menjaga Ummi di rumah sakit. Mungkin

pukul delapan baru pulang. Itupun kalau tidak ada tamu yang berkunjung ke

rumah sakit. Jika sedang banyak tamu, mungkin bisa sampai jam sebelas.

”Oh, kalau begitu saya titip berkas-berkas ini saja. Ini adalah berkas-berkas

Yayasan Al-Ikhlas yang perlu ditandatangani oleh Bapak,” kata beliau sambil

menyodorkan tumpukan map kepadaku. Aku menerimanya dengan mengucap

insya Allah akan kusampaikan pada Abi.

Ustadz Abdurrahman minta diri. Sebenarnya aku sangat ingin bertanya tentang

akh Heri padanya. Tapi aku malu. Betapa bodohnya aku jika aku menanyakan

seorang ikhwan yang notabene pernah aku tolak lamarannya? Dimana rasa

maluku?

Ustadz Abdurrahman memutar motornya, lalu menuntunnya ke arah pagar.

”Tunggu Ustadz!” aku memanggil. Sejak kecil aku memang terbiasa memanggil

beliau dengan sebutan ustadz. ”Kalau tidak keberatan, ada sesuatu yang ingin saya

bicarakan dengan Ustadz.” kataku.

”Sekarang?” tanya beliau.

”Iya, jika Ustadz tidak keberatan dan sedang ada waktu.”

”Baiklah,” katanya. Kami lalu duduk di beranda. Aku tidak berani menyilakan

beliau masuk ke ruang tamu, karena bagaimanapun juga kami bukan muhrim.

Page 12: CERPEN_Theres Something That Better Left Unsaid,

Aku yakin, walaupun aku menyilakan beliau duduk di ruang tamu, beliau pasti

akan menolak. Aku yakin itu. Beliau sangat berhati-hati.

Aku menanyakan tentang ikhwan yang dulu beliau tawarkan padaku. Aku

ingin tahu alasan Ustadz Abdurrahman menawarkannya padaku; apakah itu murni

dari keinginan Ustadz Abdurrahman sendiri untuk menjodohkan kami, atau, ...

mungkin ikhwan itu yang sebenarnya memintanya untuk melamarku?

Dengan suara sedikit parau beliau menjawab, ”Sebenarnya, saya telah

lama berkeinginan untuk mengenalkan dik Ai dengan nak Awal, tapi banyak

sekali kendalanya. Saat itu Awal kuliah di Malang. Dia jarang sekali pulang.

Kalaupun pulang, biasanya hanya dua hari. Misalnya hari Sabtu sampai di rumah,

hari Minggunya sudah harus kembali ke Malang. Sampai akhirnya dia lulus kuliah

sekitar tiga tahun lalu. Keinginan saya untuk mengenalkannya pada dik Ai

semakin kuat. Namun sayang, saat itu dik Ai kuliah di Surabaya dan jarang sekali

pulang. Kalaupun dik Ai pulang, saya tidak tahu kapan dik Ai ada di rumah. Jadi

itulah kendalanya.”

Ustadz Abdurrahman berhenti sebentar. Batuk. Sepertinya beliau juga

sakit, sama seperti Abi. Lalu beliau meneruskan, ”Sampai suatu saat nak Awal

bersilaturrahim ke rumah saya. Itu sekitar setahun lalu. Saat itu ia bercerita bahwa

sebenarnya ada seorang akhwat yang ia sukai akhlaknya, namun ia tak berani

menyampaikan khitbahnya. Katanya, akhwat itu bukan akhwat sembarangan.

Bukan dari keluarga yang biasa-biasa saja seperti dia. Namun nak Awal tak

pernah mengatakan siapa nama akhwat tersebut. Saya hanya mendengar

curhatannya tentang wanita itu. Hanya sebatas menjadi pendengar yang baik dan

penasehat. Tak lebih dari itu.

Saya tak berani lancang mengenalkan nak Awal dengan dik Ai, karena

saya tahu ia telah mencintai seorang wanita. Saya tidak berani. Jadi saya tutup

Page 13: CERPEN_Theres Something That Better Left Unsaid,

rapat-rapat keinginan itu. Toh, kalau jodoh, pasti akan dipertemukan oleh Allah.

Begitu pikir saya.

Suatu hari, saya ingat saat itu hari Senin, nak Awal kembali berkunjung ke

rumah saya. Katanya baru datang dari seminar Pra Nikah. Saya menanyakan

apakah ia sudah siap menikah? Jawabnya: siap. Saya kembali menanyakan

tentang wanita pilihannya itu, apakah ia sudah mengkhitbahnya. Katanya belum.

Saya semakin penasaran. Saya terus menanyakan tentang wanita itu. Bukannya

saya terlalu ingin mencampuri urusan orang lain. Saya hanya khawatir, kalau

perasaan nak Awal itu terlalu lama tersimpan dalam hatinya, akan menimbulkan

perasaan yang tak seharusnya.

Akhirnya ia menyerah. Katanya, ’Insya Allah Ustadz mengenal dia’. Lalu

saya mencoba menebaknya. Saya sebutkan satu-persatu nama akhwat yang saya

kenal. Dia selalu menggeleng mendengar nama-nama yang saya sebutkan. Sampai

habis nama murid-murid saya sebutkan, dia masih tetap tak bergeming. Saya ingin

menebak nama dik Ai, tapi saya tidak yakin. Apa iya, nak Awal mengenal dik Ai?

Karena penasaran, saya akhirnya dengan ragu-ragu menyebut nama dik Ai. Dan

subhanallah, wajah nak Awal langsung memerah. Ia langsung menunduk. Saya

mengerti apa maksud diamnya itu. Tanpa menunda waktu, saat itu juga saya

datang kemari. Sebenarnya saya tidak yakin dik Ai ada di rumah. Tapi saya yakin,

jika Allah mengizinkan, saya pasti bisa bertemu dik Ai dan pak Firdaus untuk

menyampaikan masalah ini.”

Aku tertunduk dan semakin tenggelam dalam ketertundukanku.

Ternyata Allah benar-benar menetapkan hatinya untukku. Air mata membasahi

pipiku sedikit demi sedikit. Aku berusaha menghapusnya. Namun semakin

kuhapus, semakin deras jatuhnya. Kali ini aku bukan hanya terluka. Aku hancur!

Ustadz Abdurrahman terlihat bingung melihatku menangis.

”Dik Ai, saya minta maaf kalau cerita saya tadi membuat dik Ai tersinggung atau

Page 14: CERPEN_Theres Something That Better Left Unsaid,

bersedih. Demi Allah, saya tidak bermaksud seperti itu.” Ustadz Abdurrahman

meminta maaf.

”Tidak, Ustadz, tidak. Bukan Ustadz yang salah. Sayalah yang terlalu

lemah menjaga hati. Demi Allah, Ustadz, jika bisa saya memutar waktu kembali,

saya ingin berada disaat Ustadz menyampaikan hal itu pada saya tiga bulan lalu.”

”Maksud dik Ai?” Ustadz Abdurrahman mengernyitkan alis tebalnya.

”Jika Allah mengizinkan saya memilih siapa laki-laki yang paling saya inginkan

untuk menjadi pemimpin saya, maka namanyalah yang akan saya sebut, dan tak

ada nama lain setelah itu.” jawabku.

”Maksud dik Ai? Nak Awal?” tanya Ustadz Abdurrahman dengan ekspresi

tak percaya.

Aku mengangguk. Air mata menganak sungai di pipiku. Kerudungku

basah.

”Jadi, ... dik Ai sudah mengenal nak Awal?”

”Ya, Ustadz,” jawabku, ”kami saling mengenal. Dulu saya sering

mengantar-jemput adik saya kursus bahasa Inggris. Guru les adik, namanya

Ikhlas, adalah teman akh Awal. Beberapa kali saya bertemu dia di sana. Saya

tanyakan pada adik apakah dia salah satu guru les adik juga. Kata adik tidak. Akh

Awal hanya sesekali membantu Akh Ikhlas mengajar anak-anak SD.

Beberapa kali dia mengajari adik saya. Adik saya menyukainya. Adik

sering sekali bercerita tentang Akh Awal. Adik saya lebih senang diajari Akh

Awal. Katanya metode mengajar akh Awal tidak monoton. Sayang, Akh Awal

jarang berada di sini karena harus menyelesaikan kuliahnya di Malang. Selain itu,

adik sering bercerita bahwa Akh Awal sering memberinya nasihat. Saya semakin

penasaran. Siapa, sih, yang bisa membuat adik saya yang super badung itu

menjadi penurut, bahkan menjadi anggota Remas termuda? Dari sanalah tumbuh

rasa simpati saya.

Saya dan akh Awal tidak pernah berkenalan secara formal. Hanya saling

menyapa jika kebetulan bertemu saat mengantar adik. Hanya itu. Namanya pun

saya tahu dari adik.”

Page 15: CERPEN_Theres Something That Better Left Unsaid,

”Lantas jika dik Ai menyukai dia, eh, maksud saya menyukai akhlaknya,

mengapa dik Ai menolak saat saya menawarkannya kepada dik Ai?” pertanyaan

Ustadz Abdurrahman terasa seperti tombak menghujam hatiku. Sakit sekali.

”Karena yang saya tahu, ... namanya adalah Heri. Bukan Awal. Itulah yang

saya tahu dari adik saya. Namanya Heri. Saya pikir, mungkin namanya Herianto

seperti nama teman saya.” jawabku.

”Astaghfirullah al ’adzim...” Syaikkh Abdurrahman beristighfar.

”Saya memang bodoh, Ustadz. Sangat bodoh. Seandainya saat itu saya

bisa menjaga hati saya, tidak mencintai seseorang yang belum halal bagi saya,

seandainya saya hanya berharap kepada Allah, ... mungkin kejadiannya tak akan

seperti ini. Saya menyesal, Ustadz. Seharusnya saya tahu bahwa Allah pasti akan

memilihkan jodoh yang baik untuk saya. Dan seharusnya saya sadar bahwa

ikhwan yang Ustadz pilihkan pasti bukan ikhwan sembarangan,” lanjutku.

Ustadz Abdurrahman diam. Aku juga diam. Dadaku seperti sesak dengan

perasaan ini. Beberapa saat lamanya kami sama-sama hanyut dalam pikiran

masing-masing.

Beliau menghela nafas. Sepertinya beliau mengerti perasaanku. Beliau

meyakinkanku bahwa jika Allah telah menetapkan kami sebagai jodoh, pasti ada

cara untuk bersatu. Tentu saja harus dengan ikhtiar yang sungguh-sungguh.

Aku meminta beliau membantuku kali ini. Aku memintanya menanyakan

sekali lagi pada akh Heri, apakah ia masih berkeinginan untuk mempersuntingku.

Kali ini aku sangat berharap bantuannya. Beliau tersenyum bijak, lalu

menyanggupi permintaanku.

Pagi itu aku mengantar Ustadz Aburrahman sampai pagar depan. Aku

harap beliau bisa menemui akh Heri secepatnya. Aku berharap waktu tiga bulan

tak akan mengubah hati akh Heri. Tidak mengubah keinginannya untuk

mempersuntingku. Amin.

Page 16: CERPEN_Theres Something That Better Left Unsaid,

Matahari berjalan cepat sekali. Aku segera membereskan pekerjaan

rumahku; membersihkan rumah, memasak, lalu menyiapkan makanan yang akan

kubawa ke rumah sakit. Abi belum datang. Mungkin hari ini beliau akan menjaga

Ummi sehari penuh. Kebetulan hari ini adalah hari Sabtu, jadi Abi bisa lebih

leluasa untuk menggunakan waktunya.

* * *

Dua hari berlalu sejak Ustadz Abdurrahman datang ke rumah. Hari ini

kondisi Ummi membaik dan dokter telah memberi izin pulang. Tak ingin

berlama-lama, aku segera membereskan barang-barang. Kumasukkan semua

barang Ummi ke dalam tas; baju, selimut, obat-obatan, mukena, al-Quran, dan

tasbih kecil berwarna hijau.

Hari ini kami pulang. Semua bahagia. Terutama Ummi yang tidak betah

berlama-lama di rumah sakit. Kebahagiaan itu terpancar di wajah beliau. Dengan

kursi roda, kami mengantar Ummi ke mobil. Abi memapah dan membantu Ummi

duduk di kursi depan, di sebelah Abi. Aku duduk di belakang. Adik tidak ikut

menjemput Ummi karena hari ini sedang UTS. Dalam perjalanan, Abi sesekali

menggoda Ummi. Katanya, ”Wah, Ummi kayak dioperasi caesar aja.”

Ummi mencubit lengan kiri Abi. ”Iya, tapi nggak ada bayinya,” jawabnya

sambil tersenyum. Aku senang semua bisa kembali seperti semula; tersenyum,

bercanda, tertawa bersama.

Ummi menanyakan tentang pengalamanku menjadi ”ibu rumah tangga”

selama empat hari kemarin. Kujawab: sangat melelahkan! Setiap hari

membersihkan rumah dan halaman, memasak, mencuci baju dan piring,

menyetrika pakaian, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya. Wah, aku sangat lelah

dengan itu. Namun dalam hati aku bersyukur karena dengan kesibukan itu aku

bisa mengalihkan perhatianku. Mengalihkan pikiranku dari masalah akh Heri.

Page 17: CERPEN_Theres Something That Better Left Unsaid,

Sampai di rumah, aku memapah Ummi ke kamar. Beliau harus segera

istirahat. Jangan sampai sakit lagi. Setelah membaringkan Ummi di dipan, Abi

berpamitan untuk berangkat ke Surabaya. Ummi dan aku mencium tangan beliau.

Sekarang hanya aku dan Ummi. Aku membujuk Ummi agar mau

beristirahat. Aku khawatir jika beliau terlalu banyak duduk akan membuat bekas

jahitannya sakit lagi.

”Jadi Ummi harus tidur lagi?” tanyanya.

”Yah, kesehatan Ummi ’kan belum pulih. Jadi istirahat saja dulu,” kataku.

”Ummi sudah terlalu banyak tidur. Ummi kangen, ingin ngobrol,”

Aku tersenyum. Kalau sudah begini, aku tidak bisa menolak. Aku juga rindu kata-

kata Ummi yang lugu, tak dibuat-buat. Aku rindu nasihat-nasihatnya yang

bijaksana. Aku rindu senyumnya.

Tangan Ummi menyentuh pipiku.

”Pipimu semakin tirus, nak. Mungkin karena kurang istirahat, berat

badanmu jadi berkurang. Maafkan Ummi, ya. Ummi tidak bermaksud

merepotkanmu.”

”Tirus? Nggak kok, Mi. Biasa saja. Berat badan Ai nggak berkurang, kok.

Ai malah bersyukur diberi kesempatan oleh Allah untuk merawat Ummi tercinta”

jawabku sambil mencium pipi kanan Ummi. Sebenarnya aku sangat ingin

menangis di pangkuan Ummi, menceritakan semua yang memberatkan pikiranku

dan membuatku kurus.

Ummi menatapku dalam-dalam. ”Benarkah? Syukurlah kalau bergitu.

Tapi, ... selama tiga hari kemarin, Ummi sering melihatmu menangis saat malam.

Ada apa?” selidiknya. Ya Rabb, jadi Ummi tahu saat aku menangis? Tapi, ...

sepertinya setiap malam Ummi tidur nyenyak. Mengapa beliau bisa tahu?

”Jangan bohongi Ummi,” katanya, ”Ummi tahu kamu selalu menangis saat

malam. Jangan kira Ummi tidur nyenyak. Bagaimana Ummi bisa tidur nyenyak,

jika anak Ummi menangis sesenggukan tiap malam? Ayolah, jujur sama Ummi,

ya?”

Page 18: CERPEN_Theres Something That Better Left Unsaid,

Pandanganku mulai kabur tertutup air mata yang menggenang. Ternyata

Ummi tahu aku menangis setiap malam.

”Nggak ada apa-apa kok, Mi.” jawabku lagi.

”Jangan bohong. Ummi sangat mengenalmu. Apa yang memberatkanmu

memberatkan Ummi juga. Bohong itu dosa, nak. Apalagi berbohong pada ibumu,”

Aku diam. Aku tak tahu dari mana harus memulai ceritaku.

”Abi memberitahu bahwa kau bertemu seorang ikhwan malam itu. Dan sejak saat

itu ekspresi wajahmu berubah. Kau tersenyum tapi sorot matamu mengisyaratkan

kebalikannya. Nak, kau bisa saja membohongi semua orang dengan senyummu.

Tapi tidak dengan Ummi. Ummi telah lama mengenalmu, bahkan sejak kau masih

dalam kandungan. Jangan rahasiakan apapun dari Ummi,”

Aku tertunduk. Lama sekali. Ummi hanya diam, menungguku

menceritakan hal itu. Hujan di hatiku membuatku banjir air mata. Aku menangis

sambil menciumi tangan Ummi. Ummi berusaha menenangkanku. Belaian

lembutnya membuat badai di hatiku sedikit mereda. Kutarik nafas panjang, lalu

kuceritakan semuanya; tentang teman guru les bahasa Inggris adik yang bernama

Heri, tentang tawaran Ustadz Abdurrahman, dan tentu saja tentang skripsi yang

telah menguak semua rahasia itu.

Ummi diam mendengar ceritaku. ”Sudah kau ceritakan pada Ustadz

Abdurrahman tentang ini? Sudah kau minta bantuannya?” tanya Ummi.

”Sudah, Mi. Ustadz Abdurrahman bersedia membantu Ai menyelesaikan masalah

ini. Mohon doanya, Mi.” ”Insya Allah Ummi selalu mendoakanmu. Nanti kalau

Abi datang, kita musyawarahkan hal ini ya,” Ummi menasihatiku. Aku

mengangguk.

* * *

Sore ini gerimis turun tiba-tiba. Heran, padahal tidak ada mendung.

Matahari pun bersinar terang. Sungguh hal yang tak terduga. Aku menutup

jendela kamar sebelah timur tempat Ummi tidur, lalu mengambil keset dan

Page 19: CERPEN_Theres Something That Better Left Unsaid,

jemuran di halaman belakang. Setelah itu memasukkan sepeda dan motor yang

berada di halaman depan. Selesai.

Aku baru saja hendak menutup pintu depan, ketika sebuah motor Supra

memasuki halaman. Aku tertegun demi melihat sosok itu. Aku terpatung di pintu.

Kaki dan tanganku terasa kaku. Jantungku berdegup semakin kencang. Keringat

dingin mulai membasahi keningku. Aku terpaku.

Laki-laki yang dibonceng turun dari motor, lalu membuka helmnya. Benar

dugaanku, Ustadz Abdurrahman! Tapi, ... kok tumben minta diantar? Bukankah

biasanya beliau selalu sendiri?

Ustadz Abdurrahman melihat ke arahku. Beliau tersenyum dan

mengucapkan salam. Aku menjawabnya. Laki-laki yang bersama beliau

meletakkan motornya di sebelah timur, lalu membuka sarung tangannya. Aku

terus melihat ke arahnya. Sepertinya aku pernah bertemu orang itu. Tapi dimana?

Aku tak bisa melihat jelas wajahnya yang masih tertutup helm teropong.

Laki-laki itu membuka jok motor, lalu meletakkan sarung tangan yang

sudah dilipatnya. Klik. Jok ditutup kembali. Ia lalu membuka helm teropongnya.

Demi Allah, aku tak percaya dengan apa yang aku lihat. Akh Heri! Ya

Rabb, ... bagaimana ini? Aku belum siap bertemu dengannya! Bagaimana nanti

jika kami harus berbicara? Apa yang harus aku katakan? Sebenarnya apa maksud

Ustadz Abdurrahman mengajaknya kemari?

Aku mempersilakan kedua tamuku ini masuk. Ustadz Abdurrahman

menanyakan Abi, kemudian Ummi. Kukatakan bahwa Abi sedang tugas ke luar

kota. Beliau berangkat setelah menjemput Ummi ke Rumah Sakit, sedangkan

Ummi sekarang sedang istirahat. Dan adikku, seperti biasa hari-harinya full

dengan les siang dan malam.

Page 20: CERPEN_Theres Something That Better Left Unsaid,

Di ruang tamu, rasa grogiku semakin menjadi. Aku bingung menghadapi

ini. Kalau saja Ustadz Abdurrahman tidak mengajaknya, mungkin aku akan lebih

leluasa berbicara dengan beliau.

Ustadz memulai pembicaraan.

”Maaf dik Ai, saya belum meminta izin pada dik Ai untuk mengajak nak

Awal bersilaturrahim ke rumah dik Ai,” katanya. Aku menjawab, tidak apa-apa.

Toh tujuannya baik, untuk silaturrahim.

Ustadz melanjutkan, ”Langsung ke inti pembicaraan saja, ya, dik Ai. Saya

sudah menyampaikan pada nak Awal tentang apa yang dik Ai ceritakan kepada

saya beberapa hari lalu. Saya sudah menyampaikannya, tapi nak Awal ingin

berbicara sendiri dengan dik Ai. Makanya saya ajak dia sekarang, untuk menemui

dik Ai. Biar masalahnya cepat selesai. Dik Ai dan nak Awal bisa lega kalau

masalah ini selesai, saya pun lega karena sudah berikhtiar untuk membantu kalian

berdua. Nah, sekarang silakan kalian berdua berbicara. Tidak usah malu-malu

lagi. Semua harus clear kali ini.”

Aku menunduk diam, memandangi jari kakiku yang terbungkus kaus kaki.

Sebenarnya tak ada yang menarik dari kakiku ini. Aku hanya mencari sasaran

untuk mengalihkan pandanganku dari akh Heri. Aku malu melihat wajahnya.

Selalu ada sesuatu yang aneh dalam dadaku, yang membuat jantungku berdetak

lebih kencang jika melihat sosoknya.

Beberapa saat kami terdiam. Akhirnya Ustadz Abdurrahman angkat

bicara. ”Baiklah, jika tak ada yang dibicarakan, lebih baik saya pamit pulang saja.

Murid-murid saya sedang menunggu saya di rumah.” katanya.

Aku merasa tidak enak pada Ustadz Abdurrahman. Akh Heri juga

sepertinya merasakan hal itu. Aku melihat sekilas ke arahnya. Deg! Pandangan

kami bertemu. Aku semakin kikuk. Aku segera menunduk.

Page 21: CERPEN_Theres Something That Better Left Unsaid,

”Sebentar, Ustadz. Baiklah, saya minta izin untuk berbicara lebih dulu,” Akh Heri

memulai pembicaraannya.

”Saya sudah mendengar dari Ustadz tentang apa yang memberatkan hati

ukhti Aisyah. Saya rasa itu sudah cukup membuat saya mengerti apa yang ada

dalam hati anti. Saya bisa menangkap bahwa anti merasa menyesal atas apa yang

telah terjadi. Benarkah itu?” tanyanya. Aku mengangguk. ”Ukhti, anti tidak perlu

menyesali apapun. Jujur, sebenarnya sayalah yang salah dalam hal ini. Saya

terlalu pengecut. Saya menyerah sebelum berperang. Sebenarnya sudah sangat

lama saya ingin mengkhitbah anti, tapi saya merasa tidak berani

menyampaikannya. Seperti yang anti tahu, saya hanya anak seorang tukang

garam. Tak ada yang istimewa dari saya dan keluarga saya. Sedangkan anti

berasal dari keluarga terhormat. Saya merasa minder. Karena itulah saya berusaha

menghapus perasaan itu. Namun semakin saya berusaha menghapusnya, semakin

kuat perasaan itu tertanam dalam hati saya. Saya tak bisa mengingkarinya.

Namun, sekali lagi, saya terlalu pengecut. Belum berusaha sudah menyerah.

Lama saya mencari solusi untuk masalah ini. Akhirnya saya memutuskan

untuk menceritakan hal ini pada Ustadz Abdurrahman. Saya yakin insya Allah

Ustadz sudah menceritakan tentang hal itu pada anti. Saat itu Ustadz langsung

datang kesini, ke rumah anti, untuk menyampaikan khitbah saya. Saat itu saya

merasa senang sekali. Sebuah kebahagiaan yang belum pernah saya rasakan

sebelumnya. Saya merasa sedikit lega karena beban dalam hati saya sedikit

berkurang. Saat itu saya sangat berharap anti menerima pinangan saya. Tapi

disitulah kesalahan saya. Saya terlalu banyak berharap. Impian saya terlalu tinggi.

Dan ketika impian itu musnah bersama penolakan anti, saya benar-benar hancur.”

Akh Heri diam sejenak. Aku tak bisa berkata sepatah pun. Aku tetap hening

dengan diamku. ”Dan kemarin....” lanjutnya, ”ketika Ustadz Abdurrahman

menyampaikan tentang perasaan anti pada saya, saya merasa tertampar untuk

kedua kalinya”. ”Tertampar? Apakah, ... saya, ... salah?” tanyaku terbata-bata.

”Tidak, anti tidak salah. Sayalah yang salah. Saya sangat ingin menghilangkan

perasaan itu. Dan satu kesalahan lagi saya lakukan. Saya pikir berproses dengan

Page 22: CERPEN_Theres Something That Better Left Unsaid,

akhwat lain akan membantu saya melupakan anti,” jawabnya. ”Ber...proses?”

tanyaku.

Akh Heri menarik nafas panjang. ”Ya. Sebulan lalu saya mengkhitbah

seorang akhwat. Saya berharap dengan begitu saya bisa cepat melupakan anti.

Saya egois. Saya ingin menunjukkan pada anti bahwa masih ada wanita yang mau

menikah dengan anak tukang garam seperti saya. Niat saya salah, ukhti. Saya

sadar itu. Dan Allah telah menghukum saya dengan mengirimkan Ustadz

Abdurrahman untuk menyampaikan perasaan anti pada saya. Saya menyesal

dengan apa yang telah saya perbuat. Saya telah menyakiti hati saya sendiri, hati

akhwat itu, dan yang lebih membuat saya menyesal adalah ... saya menyakiti hati

anti”.

Aku tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Akh Heri, ... telah

mengkhitbah wanita lain? Aku berharap kali ini pendengaranku salah. Aku

berharap ini hanya mimpi dan aku ingin segera bangun dari mimpi ini. Sungguh,

Ya Rabb, aku tak pernah menyangka ini akan terjadi padaku. Aku menatap tak

percaya ke arah Akh Heri. Dia menunduk. Dari suaranya yang berat, aku tahu dia

sedang menahan sesuatu. Ia tenggelam dalam ketertundukannya, seperti aku tadi.

Ia membungkukkan badannya. Lalu kulihat setetes air jatuh di lantai. Ya Rabb,

dia menangis!

Aku berusaha tegar. Aku tak boleh lemah kali ini. ”Insya Allah dia yang

terbaik untuk antum, akh. Semoga Allah memberkahi pernikahan antum

dengannya,” aku berusaha setegar mungkin.

Akh Heri masih diam. Ustadz Abdurrahman juga tak berucap apa-apa. Aku

mengalihkan pandanganku ke arah jendela. Gerimis masih turun. Pemandangan

seperti ini akan menjadi kenangan seumur hidupku; dedaunan yang basah, wangi

rumput, bau tanah yang menguap bersama butir-butir hujan, dan, ... Heri. Atau

Awal, …?