10

Click here to load reader

Birokrat Muda

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Birokrat Muda

� �

PEMATANGAN BIROKRAT MUDA SEBAGAI

FAKTOR DAN AKTOR KUNCI DALAM REFORMASI BIROKRASI 1

Oleh: Tri Widodo W. Utomo, SH., MA 2

The bureaucracy is what we all suffer from. (Otto von Bismarck, 1891 - from a speech)

What a man actually needs is not a tensionless state but rather the

striving and struggling for some goal worthy of him. What he needs is not the discharge of tension at any cost, but the call of a potential

meaning waiting to be fulfilled by him. (Victor Frankl)

He who desires or attempts to reform the government of a state... must

at least retain the semblance of the old forms, so that it may seem to the people that there has been no change in the institutions, even

though they are in fact entirely different from the old ones (Nicollo Machiavelli)

Pengantar

Semenjak lebih dari satu abad yang lalu, birokrasi di seluruh belahan dunia

telah memiliki stigma yang negatif. Hal ini nampak dari pernyataan Kanselir Jerman

periode 1870-1890, Otto von Bismarck, pada tahun 1891 bahwa “birokrasi adalah apa

yang mendatangkan kesengsaraan bagi kita”.3 Tidak aneh jika kemudian berbagai

negara gencar melakukan program reformasi birokrasi.4

Reformasi birokrasi sendiri memang sebuah proses dan tuntutan yang tidak

bisa ditunda lagi. Sebab, birokrasi pada hakekatnya adalah mesin negara (the machine of

���������������������������������������������������

1 Makalah disampaikan dalam rangka Lomba Karya Tulis Ilmiah memperingati HUT RI Ke-59 dan HUT LAN Ke-47, dengan Tema “Mencari Key Leverage Untuk Menggulirkan Reformasi Birokrasi”.

2 Peneliti pada Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur I, LAN, Bandung. 3 Otto von Bismarck dalam Conservative Forum. Lihat di

http://www.conservativeforum.org/quotelist.asp?SearchType=5&Interest=18 atau di http://www.conservativeforum.org/authquot.asp?ID=255

4 Untuk sebuah gambaran yang cukup komprehensif tentang pengalaman dan praktek reformasi birokrasi di negara-negara yang tergolong sebagai advanced democracy, lihat di Pollitt, Christopher and Geert Bouckaert, 2000, Public Management Reform: A Comparative Analysis, New York: Oxford University Press. Lihat juga berbagai paper pada Konferensi Internasional tentang Civil Service Systems In Comparative Perspective, 1997, Indiana University, Bloomington, Indiana, April 5-8, tersedia online di http://www.indiana.edu/~csrc/csrc.html

Page 2: Birokrat Muda

� �

the state) yang berfungsi menjalankan seluruh tugas pemerintahan dan pembangunan

dalam rangka merealisasikan tujuan negara sebagaimana termaktub dalam konstitusi

negara. Selanjutnya, inti dari birokrasi adalah SDM aparatur. Hal ini mengandung

pengertian bahwa peningkatan kompetensi individual pegawai dan kompetensi jabatan

(struktural maupun fungsional), serta pembenahan perilaku dan etika pejabat publik

perlu mendapat perhatian serius sebagai bagian integral dari proses reformasi birokrasi.

Dengan kata lain, profesionalisme birokrasi akan dapat dicerminkan dari kemampuan

dan kualitas SDM aparaturnya.

Sebagai mesin birokrasi (the machine of the bureaucracy), SDM aparatur

semestinya tidak diperlakukan sebagai faktor statis yang hanya menjadi obyek suatu

kebijakan. Justru harus disadari bahwa dalam jiwa setiap manusia (termasuk pegawai di

sektor publik) terdapat semangat perubahan serta motivasi untuk mengaktualisasikan

kapasitasnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Victor Frankl bahwa:

“Apa yang diinginkan oleh seseorang bukanlah suatu keadaan yang tenang, tetapi suatu perjuangan menantang atas tujuan yang dicita-citakannya. Apa yang dibutuhkan bukanlah hilangnya ketegangan, namun justru sebuah panggilan dan pengakuan terhadap potensinya untuk mengisi suatu peran tertentu”.�

Dalam konteks organisasi, potensi untuk maju dari setiap inidividu inilah yang

harus dimaksimalkan untuk membangun kinerja. Secara analogis dapat dikatakan pula

bahwa upaya mereformasi birokrasi harus pula berbasis pada pemantapan potensi,

kapasitas, dan peran para birokratnya. Dengan demikian, para birokrat inilah yang harus

difungsikan sebagai faktor pengungkit utama (key leverage) untuk menggulirkan

reformasi birokrasi.

Persoalannya kemudian adalah, level birokrat manakah yang semestinya diberi

kesempatan dan peranan terbesar sebagai agent of reform? Disini, penulis mengajukan

birokrat muda (the middle class of the bureaucrats) sebagai aktor utama yang harus

maju kedepan dan memelopori pembenahan birokrasi secara menyeluruh. Tentu saja,

pemberian peran yang lebih besar kepada birokrat muda ini, tidak berarti menafikan

para birokrat senior dan tatanan organisasi yang telah eksis. Sebab, reformasi birokrasi

���������������������������������������������������

5 Lihat di http://wisdom1.jjnet.com/cgi-bin/mt/mt-search.cgi?IncludeBlogs=4&search=Victor%20Frankl atau di http://www.wisdomquotes.com/cat_changegrowth.html

Page 3: Birokrat Muda

� �

bagaimanapun harus dilakukan secara evolusioner, bukan reaksioner apalagi

revolusioner. Hal ini sesuai dengan anjuran ilmuwan politik Italia pada abad 16, Nicollo

Machiavelli, tentang “metode” melakukan reformasi birokrasi, sebagai berikut:

Siapa yang berkehendak atau berupaya mereformasi birokrasi sebuah negara … haruslah mempertahankan bentuk-bentuk lama, sehingga rakyat akan menilai bahwa tidak terjadi perubahan institusional, walaupun sesungguhnya terdapat perbedaan mendasar dari pola birokrasi yang lama.� Selanjutnya, tulisan ini akan mencoba me-review proses reformasi dan kondisi

birokrasi Indonesia dewasa ini, kemudian membangun rekomendasi tentang strategi

memperkuat peranan birokrat muda untuk membangun sosok birokrasi yang lebih baik.

Reformasi Birokrasi Indonesia, Mengapa Gagal?

Di Indonesia, selama ini sudah banyak sekali upaya mereformasi birokrasi

dengan berbagai pendekatan teoretis / konseptual seperti privatisasi dan perubahan

ekonomi perencanaan menjadi ekonomi pasar (Savas, 1987; World Bank, 1996);

reinventing government (David Osborne dan Ted Gaebler, 1992); knowlegde-creating

organization (Ikujiro Nonaka dan Hirotaka Takeuchi, 1995); learning organization

sebagai disiplin ke-5 (Peter Senge, 1995); banishing bureaucracy (David Osborne dan

Peter Plastrik, 1996); dan lain-lain. Namun nampaknya, kondisi dan kinerja birokrasi

masih belum menampakkan hasil positif. Ini mengisyaratkkan pada kita untuk mencari

metode reformasi yang benar-benar efektif dan mujarab untuk membangun sosok

birokrasi yang benar-benar sehat, bersih, profesional, sekaligus demokratis dan

berkinerja tinggi.

Kelemahan utama yang ada dalam proses reformasi birokrasi selama ini adalah

sifatnya yang terlalu makro. Artinya, reformasi selalu diasosiasikan sebagai perubahan

kesisteman dan/atau organisasional, dan bukan pembenahan komponen-komponen

birokrasi yang lebih mikro. Disamping itu, reformasi yang ada selama ini juga lebih

banyak berasal dari luar, serta dilakukan oleh aktor diluar birokrasi itu sendiri.

Akibatnya, proses reformasi kurang sesuai dengan kebutuhan riil dan kurang dapat

diimplementasikan secara optimal pula.

���������������������������������������������������

6 Lihat di http://www.conservativeforum.org/quotelist.asp?SearchType=5&Interest=58 atau di http://www.conservativeforum.org/authquot.asp?ID=329

Page 4: Birokrat Muda

� �

Meminjam analisis Spencer and Spencer (1993), birokrasi dapat diumpamakan

sebagai sebuah bangunan gunung es, dan reformasi birokrasi baru menyentuh dimensi

permukaan saja, yakni yang menyangkut upaya meningkatkan keterampilan (skill) dan

pengetahuan (knowledge) semata. Sedangkan karakteristik lainnya yang lebih bersifat

hidden (tersembunyi), deeper (berada di dalam), serta merupakan dimensi inti dari

kepribadian (central to personality) seperti perilaku dan nilai-nilai individual (attitudes

and values), semangat atau dorongan (motives), sifat (traits), serta konsep diri

(self-concept), kurang tergarap secara sistematis dan berkesinambungan.

Strategi diklat aparatur dewasa ini agaknya juga lebih memfokuskan pada

agenda membangun kemampuan kepemimpinan (managerial agenda) dan kemampuan

intelektual (intellectual agenda), dengan sedikit perhatian pada kemampuan perilaku

(behavioral agenda). Padahal, potensi-potensi sentral yang terdapat pada jiwa dan

kepribadian seseorang inilah yang lebih menentukan kapasitas seseorang untuk

mengaktualisasikan potensi dan perannya secara optimal.

Meskipun demikian, sebagaimana dikatakan oleh Spencer and Spencer,

memang disadari bahwa membangun dimensi permukaan jauh lebih mudah dibanding

membangkitkan potensi yang tersembunyi. Adapun model “gunung es” dalam proses

reformasi birokrasi dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1 Model “Gunung Es” dari Komponen Reformasi SDM Birokrasi

Skill Knowledge

Self-concept

Surface / permukaan

Traits Motives

Attitudes, Values

Page 5: Birokrat Muda

� �

Disamping model Spencer and Spencer, model UNDP (1998) serta analisis

Grindle (t.t) tentang tiga tingkatan kapasitas, dapat pula menjelaskan faktor kegagalan

reformasi birokrasi. Menurut kajian keduanya, capacity building dapat ditempuh

melalui tiga tingkatan dengan fokus dan program yang berbeda-beda, sebagaimana

nampak pada Tabel 1 dibawah ini.

Table 1 Tingkatan dan Fokus Pengembangan Kapasitas Birokrasi

Level of Leverage Focus Types of Program / Activities

Individual level

Supply of professional & technical personnel

Job requirements & skill levels; training & retraining; learning and on-the-job training; career progression; accountability / ethics; access to information; personal / professional networking; performance / conduct; incentives / security; values, integrity and attitudes; morale and motivation; work redeployment and job sharing; interrelationship, interdependencies and teamwork; communication skill, attitudes, motives, traits, self-concept.

Organization level

Management system to improve performance and specific tasks & functions; microstructures

Incentive systems, utilization of personnel, leadership, organizational culture, communication, managerial structures, mission and strategy; culture / structure and competencies.

System level Institutions and systems; macrostructures

Rules of the game for economic and political regimes, policy and legal change, constitutional reform, policy and regulatory dimension; management / accountability dimension; resources dimension; process dimension, decentralized governance.

Sumber: UNDP (1998), Grindle (t.t.), Spencer and Spencer (1993)

Dari ketiga level diatas, sekali lagi dapat dicermati bahwa pembenahan

birokrasi selama ini masih lebih terkonsentrasi pada tingkatan organisasi dan sistem.

Desentralisasi yang luas (UU Nomor 22 dan 25 Tahun 1999), Penyelenggaraan Negara

yang Bersih dan Bebas KKN (UU Nomor 28 Tahun 1999), serta pengajuan berbagai

RUU seperti Kementerian Negara, Pelayanan Publik, dan sebagainya, adalah

contoh-contoh betapa para pengambil kebijakan kita masih lebih banyak berpikir global

Page 6: Birokrat Muda

� �

(think globally) namun kurang disertai dengan bertindak konkrit (act concretely).

Sayangnya lagi, proses pembenahan pada dua tataran inipun masih belum menunjukkan

hasil yang nyata.

Mengingat hal tersebut diatas, upaya reformasi mestinya dilakukan secara

komprehensif, baik tataran makro maupun mikro. Dalam hubungan ini, pengembangan

kompetensi SDM dapat dipahami sebagai salah satu upaya kebijakan pada level mikro

untuk membentuk sebuah sistem birokrasi yang efektif dan efisien (effective and

efficient), tanggap dan cekatan (quick and responsive), terbuka dan bertanggungjawab

(transparent and accountable), membuka seluas mungkin partisipasi publik (inclusive

and democratic), serta berkinerja tinggi dalam bidang pembangunan dan pelayanan

(developmental). �

Pemantapan Birokrat Muda Sebagai Key-leverage Proses Reformasi

Reformasi birokrasi pada dasarnya adalah sebuah upaya yang sangat rumit

(odyssey of problems), dan sulit sekali ditentukan pijakan awal untuk memulainya. Dan

karena adanya faktor kesulitan inilah, justru harus ditentukan starting point untuk

memulai program reformasi. Dalam hubungan ini, penulis menyarankan agar reformasi

birokrasi dimulai dengan pematangan SDM terdidik pada level menengah (para birokrat

muda usia 30-50, berpendidikan Sarjana keatas, pangkat minimal Penata, serta memiliki

pemikiran cukup matang strategis). Pada saat yang bersamaan, reformasi juga harus

dilakukan oleh para birokrat muda tersebut. Disini, paling tidak terdapat tiga alasan

yang mendorong perlunya memperlakukan birokrat muda sebagai faktor dan aktor

utama dalam reformasi birokrasi.

Pertama, birokrat muda diasumsikan memiliki energi dan potensi perubahan

yang signifikan untuk menuju pada suatu tatanan organisasi yang lebih dinamis.

Pengalaman bangsa kita semenjak revolusi kemerdekaan hingga masa reformasi pasca

Orde Baru membuktikan begitu kuatnya peranan pemuda dalam menginisiasi dan

mengakselerasi perubahan. Mengharapkan pegawai pada low level (golongan I dan II

atau yang berpendidikan SLTA kebawah) untuk menggulirkan reformasi, jelas suatu hal

yang mustahil. Sementara pegawai yang sudah menduduki posisi mapan dan memegang

fungsi penting dalam pengambilan keputusan, seringkali alergi dan kurang peka

terhadap tuntutan reformasi. Sebab, reformasi sering dipersepsi secara salah sebagai

Page 7: Birokrat Muda

� �

upaya mengganti tokoh-tokoh lama dan sistem lama dalam birokrasi. Itulah sebabnya,

“kelas menengah” dalam birokrasi harus memposiikan diri sebagai pelopor reformasi,

tanpa harus menunggu inisiatif dari atas atau desakan dari bawah. Gagasan seperti ini

antara lain didukung oleh Sadu Wasistiono (2003) yang mengatakan bahwa hanya

birokrasi kelas menengah-lah yang dapat menggulirkan reformasi birokrasi secara

sukses.

Kedua, SDM dengan kompetensi unggul adalah inti dari birokrasi dan menjadi

motor penggerak roda organisasi. SDM yang unggul akan dapat mengelola

sumber-sumber daya aparatur secara efektif dan efisien; merumuskan kebijakan publik

yang tepat dan berkualitas prima; menegakkan peraturan secara adil, jujur dan

konsisten; menjalankan fungsi-fungsi manajemen secara taat azas, sekaligus mengawal

organisasi untuk selalu berada pada jalur yang tepat untuk mencapai visi dan misinya.

Dan harus diakui bahwa SDM yang memenuhi karakteristik tersebut, sebagian besar

terdapat pada jenjang menengah (young bureaucrats). Dalam konteks ini, perubahan

sebesar apapun pada tataran institusional dan kesisteman tidak akan membawa efek

positif yang optimal tanpa disertai dengan pembenahan aspek SDM. Sebaliknya,

kondisi institusional dan kesisteman yang kurang baik akan dapat tertutupi oleh human

resources yang telah terbangkitkan seluruh potensinya.

Ketiga, birokrat muda relatif memiliki visi dan idealisme yang tinggi, dan

belum banyak terpengaruh oleh patologi birokrasi seperti KKN, pemborosan sumber

daya, arogansi jabatan, dan sebagainya. Keadaan para birokrat muda yang masih

“bersih” ini perlu dijaga agar tidak terkontaminasi oleh lingkungan kerjanya yang sudah

“kotor”. Jika generasi muda ini dapat dijamin kemurnian pemikiran dan perilakunya,

maka dapat dipastikan bahwa pada saat mereka menempati posisi-posisi kunci, birokrasi

akan terbebas sama sekali dari penyakit-penyakit kronisnya. Namun sekali saja mereka

tercemar oleh penyakit-penyakit tadi, maka reformasi tidak akan pernah mencapai

sasaran. Disinilah perlunya strategi “sterilisasi” atau bahkan “isolasi” para calon

birokrat masa depan dari perilaku dan lingkungan birokrasi yang korup dan tercela. Jika

diperlukan, upaya menjaga kemurnian dan idealisme birokrat muda tadi dapat dilakukan

dengan cara memotong satu generasi (cut one generation). Membuang sekelompok

birokrat “busuk” demi menyelamatkan “nyawa” birokrasi secara umum kiranya dapat

Page 8: Birokrat Muda

dikategorikan sebagai langkah yang tepat dan baik.7

Pertanyaannya kemudian adalah, peran seperti apa yang dapat diserahkan

kepada birokrat muda tadi?

Salah satu kebijakan yang perlu segera dilakukan dalam hal ini adalah

memberikan kesempatan kepada para birokrat muda tadi untuk mengekspresikan ide-ide,

cita-cita dan harapannya seluas dan sebebas mungkin. Dengan kata lain, perlu

disosialisasikan adanya “budaya menggali ide dari bawah”. Di Jepang, misalnya,

mekanisme seperti itu sudah lama diterapkan di perusahaan-perusahaan multi nasional

(MNCs) seperti Toyota dan NipponExpress. Disini, upaya untuk memberdayakan staf

dari level terbawah itu disebut Teian Seido. Bahkan NipponExpress sudah menerapkan

Teian Seido sejak tahun th 1963, dan diperbaharui pada tahun 1990.8 Sementara di

Toyota, setiap tahun ada sekitar 60.000-an "teian" (ide/gagasan) dari pegawai untuk

perbaikan dari setiap unit kerja seperti produksi dan sebagainya. Setiap "teian" yang

diterima akan dihargai dengan reward antara 500 yen hingga 200.000 yen, tergantung

dari nilai gagasan tersebut.

Dengan model seperti ini, kebijakan manajer berfungsi sebagai motivator yang

akan mendorong lahirnya iklim kerja yang sangat kompetitif antar staf, sehingga dapat

memacu produktivitas organisasi secara menyeluruh. Disamping itu, setiap pegawai

akan terbiasa berpikir analitis dan inovatif untuk menggali dan menemukan

strategi-strategi terbaru dan terbaik yang harus dilakukan unit kerja atau organisasinya.

Disini ada hubungan yang saling menguntungkan antara perusahaan / organisasi dengan

SDM pendukungnya.

Sementara itu, kondisi di Indonesia pada umumnya masih dicirikan oleh

pola-pola “patron – klien”, “atasan – bawahan”, ataupun “elite – massa” yang cukup

menonjol. Akibatnya, banyak staf yang kurang berani berdebat dengan atasannya, dan

banyak atasan yang merasa lebih pintar dan lebih baik dibanding bawahannya. Banyak

���������������������������������������������������

7 Sekedar ilustrasi, 4.000 orang di Cina telah dihukum mati sejak 2001 karena terbukti melakukan kejahatan, termasuk korupsi. Sedangkan selama 4 bulan pada 2003 lalu, 33.761 polisi dipecat. Mereka dipecat tidak hanya karena menerima suap, tapi juga berjudi, mabuk-mabukan, membawa senjata di luar tugas, dan kualitas di bawah standar. Bagi Perdana Menteri Zhu Rongji, inilah jalan menyelamatkan Cina dari kehancuran. Baca berita selengkapnya di Republika, Rabu, 21 Juli 2004. Dapat diakses online di http://www.republika.co.id/ASP/kolom_detail.asp?id=167107&kat_id=19

8 Periksa website resmi NipponExpress di http://www.nipponexpress.net/Europe/about/history/history.html

Page 9: Birokrat Muda

staf yang nampaknya masih suka diam dan “manut” terhadap apapun yg dimaui dan

ditetapkan pimpinannya. Disisi lain, karakter-karakter ortodoks dari gaya “bossy” atau

“showbiz” hingga gaya manajemen yang determinatif dan interventif, masih banyak

melekat di jajaran petinggi birokrasi. Akibatnya, ide-ide masih mengalir dari atas

(top-down) dan menumpulkan pemikiran dari bawah dan dari tengah (bottom-up).

Kondisi seperti inilah yang harus segera dikikis dan dihilangkan dalam

mekanisme kerja birokrasi publik di masa-masa mendatang. Terlebih lagi, dalam satu

dekade kedepan, alih generasi tidak mungkin bisa dihindari apalagi diabaikan begitu

saja. Pengabaian terhadap proses alami tentang regenerasi, akan berdampak secara

langsung terhadap figur organisasi yang loyo dan tidak produktif (osteoporosis akut).

Meskipun demikian, perlu disadari bahwa pemantapan peran birokrat muda ini

hanyalah salah satu strategi pengungkit untuk menggulirkan reformasi birokrasi. Untuk

berhasilnya strategi ini, jelas diperlukan strategi-strategi lain sebagai pendukungnya.

Dengan demikian, reformasi birokrasi dapat berjalan terarah namun tidak parsial.

Catatan Penutup

Esensi reformasi birokrasi pada hakekatnya adalah upaya mengembalikan

birokrasi kepada fungsi aslinya, yakni melayani dan mengayomi (to serve and to

preserve).9 Dan untuk bisa mengembalikan fungsi aslinya tadi, memang diperlukan

sebuah strategi inti pengungkit (key leverage). Sesuai dengan namanya, strategi

pengungkit hanya berfungsi untuk “merangsang” dan memulai berlangsungnya proses

reformasi birokrasi, namun bukan merupakan strategi besaran (grand strategy) dari

reformasi itu sendiri.

Dalam kaitan ini, penulis meyakini bahwa keberadaan SDM aparatur yang

bermutu, khususnya dari kalangan menengah, memiliki potensi besar untuk memainkan

peran sebagai faktor pengungkit tadi. Kalaupun saat ini masih terkesan tidak

terberdayakan, hal itu menunjukkan belum adanya upaya konkrit dan sistematis untuk

mereformasi birokrasi. Dan fakta inilah yang justru mendorong kita untuk memulai

proses reformasi birokrasi, SEKARANG … !!!

���������������������������������������������������

9 Tentang trend administrasi publik di abad ke-21 dan reformasi fungsi-fungsi pelayanan dan pengayoman, baca: Asian Development Bank, 2000, To Serve and To Preserve: Improving Public Administration In A Competitive World.

Page 10: Birokrat Muda

� ��

Daftar Pustaka

Asian Development Bank, 2000, To Serve And To Preserve: Improving Public

Administration In A Competitive World, ADB Publication series. Tersedia

online di http://www.adb.org/Documents/Manuals/Serve_and_Preserve/default.asp

Grindle, Merilee S., no year, “The Good Government Imperatives: Human Resources,

Organizations and Institutions” in Merilee S. Grindle (ed.), Getting Good

Governance: Capacity Building in the Public Sector of Developing

Countries, Harvard University Press.

Nonaka, Ikujiro dan Hirotaka Takeuchi, 1995, The Knowlegde-creating Company, How

Japanese Companies Create the Dynamics of Innovation, Oxford University

Press.

Osborne, David dan Peter Plastrik, 1996, Banishing Bureaucracy, The Five Strategies

for Reinventing Government, Addison Wesley.

Osborne, David dan Ted Gaebler, 1992, Reinventing Government, How the

Entrepreneurial Spirit Is Transforming the Public Sector, Addison Wesley.

Pollitt, Christopher and Geert Bouckaert, 2000, Public Management Reform: A

Comparative Analysis, New York: Oxford University Press.

Savas, E. S., 1987, Privatization: The Key to Better Government. Chatham, NJ:

Chatham House.

Senge, Peter M., 1995, The Fifth Discipline, Bantam Doubleday Dell Publishing Group,

Inc.

Spencer, Lyle M. and Signe M. Spencer, Competence at Work, Models for Superior

Performance, John Wiley & Sons, Inc., New York, 1993

UNDP, January 1998, “Capacity Assesment and Development In a System and Strategic

Management Context”, Technical Advisory Paper No. 3, Management

Development and Governance Division, Bureau for Development Policy.

Wasistiono, Sadu, 2003, Analisis Sistem Kepegawaian Dalam Rangka Otonomi Daerah

Berdasarkan Perspektif Kebijakan dan Sistem Pemerintahan Daerah,

makalah disampaikan pada “Workshop Pemberdayaan Aparatur di Era

Otonomi”, PKP2A I – LAN, Bandung, 2 Oktober.

World Bank, 1996, World Development Report: From Plan to Market, Oxford

University Press.