11
BIBIT SENGON TAHAN PENYAKIT KARAT PURU: BERAPA RUPIAHKAH PETANI HUTAN RAKYAT BERSEDIA MEMBAYAR? ( ) Gall Rust Disease Resistant Falcataria Moluccana Seedling: How Much Are Forestry Farmers Willing to Pay? Evi Irawan Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Jl. A.Yani, Pabelan, P.O.Box 295, Surakarta, 57102 Indonesia e-mail: [email protected] iterima 20 Januari 2014, direvisi 20 Maret 2014, disetujui 26 Maret 2014 Rekayasa genetika tanaman untuk pengendalian penyakit karat puru pada tanaman sengon ( ) masih belum banyak diterapkan sebagai salah satu strategi pengendalian penyakit hutan tropis. Mengingat perkembangan pesat di bidang bioteknologi tanaman kehutanan, perlu diketahui sejauh mana penerimaan masyarakat, khususnya petani hutan rakyat terhadap bibit sengon tahan karat puru hasil rekayasa genetika. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesediaan membayar petani hutan rakyat sengon terhadap bibit sengon transgenik tersebut. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil survei terhadap 117 orang petani hutan rakyat sengon di kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah dengan menggunakan . Data dianalisis dengan menggunakan pendekatan non-parametrik dan parametrik. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai rerata (WTP) petani adalah Rp 1062/batang dengan menggunakan pendekatan non-parametrik dan sekitar Rp 1035/batang hingga Rp 1075/batang. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa petani hutan rakyat bersedia menerima bibit sengon transgenik atau dengan dengan kata lain, terdapat peluang pasar bibit sengon transgenik. Temuan yang dihasilkan dalam penelitian dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk pengembangan bibit sengon transgenik engon transgenik, , bioteknologi, D . Kata kunci: S ABSTRACT Gene modified (GM) based measures to control gall rust disease infestation to Falcataria moluccana are still not applied as one of strategic toolbox of tropical forest disease management. Since the growth and application of biotechnology in the field of forestry is in rapid pace, it is necessary to know to what extent is the acceptance of forestry farmers to GM gall rust resistant Falcataria moluccana seedling. This research is aimed at measuring farmers' willingness to pay to GM gall rust resistant F. moluccana. The data used in this research were derived from field survey of 117 farmers in Wonosobo Regency in Central Java and collected using dichotomous choice contingent valuation method. The collected data were then analyzed using non-parametric and parametric approach. The results show that mean of farmers' willingness to pay was IDR 1062/seedling by using non-parametric approach and around IDR 1035/seedling to IDR 1075/seedling by using parametric approach. These findings indicate that the majority of farm forestry farmers accept transgenic seedling or, in other words, there is a market for transgenic seedling. Furthermore, the findings can be used as an economic basis in developing transgenic seedling in Indonesia. Transgenic sengon, willingness to pay, biotechnology, contingent valuation Falcataria moluccana dichotomous choice contingent valuation method willingness to pay willingness to pay contingent valuation Keywords: ABSTRAK I. PENDAHULUAN Penyakit karat puru atau juga dikenal dengan karat tumor ( ) sampai saat ini masih menjadi permasalahan utama usaha hutan rakyat sengon ( ) di sejumlah tempat di pulau Jawa. Meskipun serangan penyakit tersebut telah diketahui sejak tahun 1996 di pulau Seram, wabah karat puru mulai melanda hutan tanaman sengon di gall rust Falcataria moluccana pulau Jawa pada pertengahan dasawarsa 2000-an (Anggraeni dan Lelana, 2011; Rahayu, 2008). Penyakit tersebut menyerang hampir semua kelompok umur tanaman sengon, tetapi tanaman muda jauh lebih rentan dibandingkan dengan tanaman dewasa (Lestari , 2013; Triyogo dan Widiastuti, 2011; Anggraeni dan Lelana, 2011; Anggraeni , 2010). Potensi kerugian akibat serangan karat puru diperkirakan mencapai et al. et al. 107 Bibit Sengon Tahan Penyakit Karat Puru: Berapa Rupiahkah Petani Hutan Rakyat Bersedia Membayar? Evi Irawan ( )

BIBIT SENGON TAHAN PENYAKIT KARAT PURU: BERAPA

  • Upload
    dinhnhi

  • View
    257

  • Download
    5

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BIBIT SENGON TAHAN PENYAKIT KARAT PURU: BERAPA

BIBIT SENGON TAHAN PENYAKIT KARAT PURU: BERAPARUPIAHKAH PETANI HUTAN RAKYAT BERSEDIA MEMBAYAR?

()

Gall Rust Disease Resistant Falcataria Moluccana Seedling: HowMuch Are Forestry Farmers Willing to Pay?

Evi IrawanBalai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Jl. A.Yani, Pabelan, P.O.Box 295, Surakarta, 57102 Indonesiae-mail: [email protected]

iterima 20 Januari 2014, direvisi 20 Maret 2014, disetujui 26 Maret 2014

Rekayasa genetika tanaman untuk pengendalian penyakit karat puru pada tanaman sengon () masih belum banyak diterapkan sebagai salah satu strategi pengendalian penyakit hutan tropis. Mengingat

perkembangan pesat di bidang bioteknologi tanaman kehutanan, perlu diketahui sejauh mana penerimaanmasyarakat, khususnya petani hutan rakyat terhadap bibit sengon tahan karat puru hasil rekayasa genetika. Penelitianini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesediaan membayar petani hutan rakyat sengon terhadap bibit sengontransgenik tersebut. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil survei terhadap 117 orang petanihutan rakyat sengon di kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah dengan menggunakan

. Data dianalisis dengan menggunakan pendekatan non-parametrik dan parametrik. Hasil analisismenunjukkan bahwa nilai rerata (WTP) petani adalah Rp 1062/batang dengan menggunakanpendekatan non-parametrik dan sekitar Rp 1035/batang hingga Rp 1075/batang. Hasil tersebut mengindikasikanbahwa petani hutan rakyat bersedia menerima bibit sengon transgenik atau dengan dengan kata lain, terdapat peluangpasar bibit sengon transgenik. Temuan yang dihasilkan dalam penelitian dapat digunakan sebagai pertimbanganuntuk pengembangan bibit sengon transgenik

engon transgenik, , bioteknologi,

D

.

Kata kunci: S

ABSTRACT

Gene modified (GM) based measures to control gall rust disease infestation to Falcataria moluccana are still not applied as one ofstrategic toolbox of tropical forest disease management. Since the growth and application of biotechnology in the field of forestry is in rapidpace, it is necessary to know to what extent is the acceptance of forestry farmers to GM gall rust resistant Falcataria moluccana seedling.This research is aimed at measuring farmers' willingness to pay to GM gall rust resistant F. moluccana. The data used in this research werederived from field survey of 117 farmers in Wonosobo Regency in Central Java and collected using dichotomous choice contingent valuationmethod. The collected data were then analyzed using non-parametric and parametric approach. The results show that mean of farmers'willingness to pay was IDR 1062/seedling by using non-parametric approach and around IDR 1035/seedling to IDR 1075/seedlingby using parametric approach. These findings indicate that the majority of farm forestry farmers accept transgenic seedling or, in otherwords, there is a market for transgenic seedling. Furthermore, the findings can be used as an economic basis in developing transgenic seedlingin Indonesia.

Transgenic sengon, willingness to pay, biotechnology, contingent valuation

Falcatariamoluccana

dichotomous choice contingent valuationmethod

willingness to pay

willingness to pay contingent valuation

Keywords:

ABSTRAK

I. PENDAHULUAN

Penyakit karat puru atau juga dikenal dengankarat tumor ( ) sampai saat ini masih menjadipermasalahan utama usaha hutan rakyat sengon( ) di sejumlah tempat di pulauJawa. Meskipun serangan penyakit tersebut telahdiketahui sejak tahun 1996 di pulau Seram, wabahkarat puru mulai melanda hutan tanaman sengon di

gall rust

Falcataria moluccana

pulau Jawa pada pertengahan dasawarsa 2000-an(Anggraeni dan Lelana, 2011; Rahayu, 2008).Penyakit tersebut menyerang hampir semuakelompok umur tanaman sengon, tetapi tanamanmuda jauh lebih rentan dibandingkan dengantanaman dewasa (Lestari , 2013; Triyogo danWidiastuti, 2011; Anggraeni dan Lelana, 2011;Anggraeni , 2010). Potensi kerugian akibatserangan karat puru diperkirakan mencapai

et al.

et al.

107Bibit Sengon Tahan Penyakit Karat Puru: Berapa Rupiahkah Petani Hutan Rakyat Bersedia Membayar? Evi Irawan( )

Page 2: BIBIT SENGON TAHAN PENYAKIT KARAT PURU: BERAPA

Rp 2,4 triliun dan menyangkut hajat hidup 1,98 jutarumah tangga tani di pulau Jawa (Anggraeni danLelana, 2011; Badan Pusat Statistik, 2004).

Karat puru merupakan penyakit tanamansengon yang disebabkan oleh jamur

Sacc. (Lestari ., 2013;Fatmasari, 2012; Triyogo dan Widiastuti, 2011;Anggraeni dan Lelana, 2011; Anggraeni ., 2010).Terdapat beberapa cara pengendaliannya, antaralain adalah cara mekanik, kimiawi, biologi dantindakan silvikultur. Pengendalian dengan caramekanik dapat dilakukan dengan memangkasbagian tanaman yang terserang penyakit danmenguburnya ke dalam tanah (Anggraeni danLelana, 2011; Anggraeni , 2010). Cara kimiawidilakukan dengan pemberian kapur, belerang, dangaram dengan komposisi tertentu pada bagiantanaman yang terserang penyakit (Anggraeni danLelana, 2011; Anggraeni , 2010). Pengendalianbiologi dapat dilakukan dengan introduksi mikrobaantagonis atau agensia pengendali hayati. Hasilpenelitian Fatmasari (2012) menunjukkan bahwaaplikasi supernatan agensia hayati dan

, efektif mengendalikan penyakitkarat puru yang disebabkan oleh jamur

Beberapa tindakan silvikulturseperti penerapan sistem agroforestri dengankombinasi tanaman yang tepat, pengaturan jaraktanam yang tepat dan penggunaan pupukberimbang, juga dapat mengendalikan densitas danintensitas serangan penyakit karat puru (Anggraenidan Lelana, 2011; Triyogo dan Widiastuti, 2011).Aplikasi bioteknologi tanaman untuk pengendalianpenyakit karat puru hingga saat ini belum banyakditerapkan, meskipun hal tersebut sangatmemungkinkan. Penggunaan tanaman transgeniktahan hama dan penyakit saat ini sudah dianggapsebagai salah satu dalam pengendalian hamaterpadu (Sorby ., 2003).

Penggunaan bioteknologi di sektor kehutanansecara umum masih tergolong rendah jikadibandingkan dengan sektor lain, misalnya sektorpertanian (Sedjo, 2003; 2005). Namun demikian,pengendalian hama dan penyakit tanaman denganrekayasa genetika tanaman telah berkembang dibeberapa negara (Sedjo, 2005). Di Cina, misalnya,telah dikembangkan tanaman (

) dengan kandungan gen ( )melalui rekayasa genetika. Penggunaan kapastransgenik dengan kandungan gen jugadilaporkan berhasil menggurangi penggunaan

Uromycladiumtepperianum McAlpine et al

et al

et al.

et al.

T. harzianumP. fluorescens P60

Uromycladium sp.

toolboxet al

black poplar Populusnigra Bacillus thuringiensis Bt

Bt

pestisida hingga 65% (Huang 2002). DiIndonesia, rekayasa genetika tanaman sengon jugatelah dilakukan. Dengan menyisipkan gen selulase( ) dari pohon poplar melalui bakteri

dapat meningkatkanproduktivitas tanaman sengon sehingga dapatdipanen pada umur 2.5 hingga 3 tahun (Hartati

., 2009).Penyakit tanaman, seperti karat puru,

merupakan salah satu faktor pembatasproduktivitas hutan tanaman rakyat. Epidemipenyakit karat puru, misalnya, salah satunya dipicuoleh penggunaan bibit yang kurang berkualitas(Lestari , 2012; Anggraeni dan Lelana, 2011;Anggraeni , 2010). Pertumbuhan tanamankehutanan yang berasal dari bibit berkualitasrendah umumnya lambat dan sangat rentanterhadap serangan penyakit (Adinugraha, 2012).Terlebih lagi, sejumlah petani cenderungmelakukan penanaman dengan pola monokultur.Dampak lebih lanjut dari penggunaan bibitberkualitas rendah adalah berupa tingginya risikokegagalan usaha hutan rakyat.

Meskipun hutan tanaman rakyat pada saat initelah berkembang pesat di sejumlah tempat diIndonesia, penggunaan bibit unggul tanamanhutan masih jarang dilakukan. Petani umumnyamenggunakan bibit buatannya sendiri ataumendapatkannya dari tunas permudaan alam yangmudah ditemui di lahan miliknya atau tempat lain.Di sejumlah tempat tertentu, seperti kabupatenWonosobo, Banjarnegara, Ciamis atau Boyolali,bibit sengon dapat diperoleh di pasar dengan hargaRp 400 hingga Rp 1000 setiap batangnya; belumbersertifikat sehingga tidak ada jaminan kualitas.

Semakin meluasnya usaha hutan rakyat diIndonesia pada saat ini membuka peluang pasarbagi bibit unggul tanaman hutan, baik yang dibuatdari benih unggul atau klon-klon unggul maupunhasil modifikasi genetik dengan menggunakanbioteknologi. Keunggulan bibit unggul hasilrekayasa genetika, antara lain, adalah presisi atauketepatan, dimana gen-gen yang disisipkan padatanaman memang dirancang sedemikian rupasehingga hanya untuk mengendalikan hama ataupenyakit sasaran dan oleh karena itu, dapatmeningkatkan efektivitas dan efisiensi biayaproduksi (Cheliak and Rogers, 1990; Bauer, 1997).Selain itu, pengembangan bibit unggul dengankarakteristik tertentu dengan menggunakanbioteknologi jauh lebih cepat direalisasikan

et al.,

PaPopCel1Agrobacterium tumafaciens

etal

et al.et al.

108JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 2 Juni 2014, Hal. 107 - 117

Page 3: BIBIT SENGON TAHAN PENYAKIT KARAT PURU: BERAPA

Desa Tempurejo terletak ±25 km sebelahselatan ibukota kabupaten dan merupakan salahsatu sentra produksi kayu rakyat, khususnya kayusengon ( ). Luas wilayah desaadalah ±773,73 ha dengan topografi berbukit.Rerata ketinggian lahan berkisar antara 600 sampaidengan 800 meter di atas permukaan laut. Dari datastatistik tahun 2009, penggunaan lahan untukusahatani lahan kering mencapai 633,605 ha atau81,89% dari luas wilayah desa. Penggunaan lahanlainnya adalah areal persawahan seluas 49,6 ha(6,41%), pekarangan seluas 28,78 ha (3,72%),kolam perikanan seluas 0,5 ha (0,06%), pemukimandan fasilitas umum mencapai 21,45 ha (2,77%).Selain itu, wilayah desa Tempurejo juga mencakupkawasan hutan negara pangkuan Perum Perhutaniyang luasnya mencapai 39,8 ha. Jumlah pendudukdesa pada tahun 2009 adalah 3.921 orang dan 1.101orang di antaranya bekerja di sektor pertanian,dengan perincian 702 orang bekerja sebagai petanidan 399 orang bekerja sebagai buruh tani (BadanPusat Statistik Kabupaten Wonosobo, 2010).

Data yang digunakan dalam penelitian inimerupakan hasil dari survei terhadap 117 orangpetani hutan rakyat sengon. Pengambilan sampeldilakukan dengan menggunakan metode acaksederhana ( ) danmenggunakan daftar petani hutan rakyat sebanyak±700 orang petani hutan rakyat sebagai

. Pengambilan data dilakukan melaluiwawancara langsung dengan menggunakaninstrumen kuesioner semi-berstruktur.

Kuesioner dirancang dengan berpedoman padametode penilaian kontingensi dengan pendekatanpilihan dikotomi (

). Keunggulan metode tersebutadalah bahwa responden dihadapkan pada duapilihan, yaitu 'ya' atau 'tidak', terhadap bibit unggulsengon hasil rekayasa genetika. Hal tersebutmendekati kondisi nyata di pasar, dimana petanidapat menerima atau menolak bibit unggul yangditawarkan kepadanya. Untuk tujuan tersebut,kuesioner dirancang sedemikian rupa sehinggamenghadapkan petani pada pilihan hipotetis atauskenario dengan pertanyaan utama sebagai berikut:

Falcataria moluccana

simple random sampling method

samplingframe

dichotomous choice contingentvaluation method

Penyakit karat puru telah menyebar luas disejumlah tempat di pulau Jawa, tidak terkecuali dikabupaten Wonosobo. Pengendalian penyakit karat

B. Pengambilan Data

dibandingkan dengan menggunakan metodekonvensional, seperti pemuliaan tanaman, yangbiasanya memerlukan waktu hingga puluhan tahun(Mathews and Campbell, 2000). Memang tidakdapat dipungkiri terdapat kekhawatiran terhadapdampak negatif penggunaan bibit hasil rekayasagenetika tersebut. Namun demikian, denganmelihat semakin berkembangnya bioteknologi yangpesat pada saat ini maupun di masa depan, dampaknegatif tersebut kemungkinan besar akan dapatdiminimumkan (Mathews and Campbell, 2000).Masih rendahnya pasokan bibit unggul tanamanhutan menimbulkan sejumlah pertanyaan, baik darisisi pemasokan ( ) maupun permintaan( ). Pertanyaan dari sisi pemasokanmencakup sejumlah hal terkait dengan ketersediaanteknologi perbenihan dan pembibitan, kapasitasproduksi, distribusi dan lain-lain. Dari sisipermintaan, pertanyaan yang muncul antara lainadalah besarnya permintaan atau peluang pasar.Tanpa menegasikan faktor-faktor lainnya, peluangpasar salah satunya ditentukan oleh tingkatkesediaan petani dalam membayar bibit unggultanaman hutan hasil rekayasa genetika. Makalah inibertujuan untuk mengestimasi(WTP) petani hutan rakyat terhadap bibit unggultanaman hutan, khususnya tanaman sengon yangtahan terhadap penyakit karat puru

Penelitian dilakukan di desa Tempurejo,kecamatan Kalibawang, kabupaten Wonosobo,provinsi Jawa Tengah. Pemilihan lokasi dilakukansecara sengaja dengan mempertimbangkan tigahal, yaitu (1) Desa tersebut merupakan salahsatu pusat produksi kayu sengon, (2) Lokasipenelitian termasuk dalam sub-daerah aliran sungaiMedono yang merupakan hulu daerah aliran sungaiWawar yang mencakup wilayah kabupatenWonosobo, Purworejo dan Kebumen oleh karenaitu kelestarian kawasan berhutan pada kawasanhulu akan berdampak pada ketiga kabupatentersebut, dan (3) desa Tempurejo termasuk dalamlingkar dua zona kawasan hijau waduk WadasLintang yang berfungsi sebagai pemasok air irigasilahan-lahan pertanian di kabupaten Purworejo danKebumen.

supply sidedemand side

willingness to pay

.

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

109Bibit Sengon Tahan Penyakit Karat Puru: Berapa Rupiahkah Petani Hutan Rakyat Bersedia Membayar? Evi Irawan( )

Page 4: BIBIT SENGON TAHAN PENYAKIT KARAT PURU: BERAPA

dihadapkan pada satu pilihan harga (i) atau secarasingkat dapat dituliskan sebagai P . Besarnya hargabibit sengon tersebut diperoleh dari diskusikelompok bersama sejumlah petani dan penyuluhpertanian dan kehutanan setempat sebelum surveidilaksanakan dan diuji melalui survei pendahuluan.Selain data tersebut di atas, data lain yangdikumpulkan melalui survei meliputi karakteristikpetani dan keluarganya, rerata belanja bulanan, luaslahan yang dikuasai petani dan rerata jumlah bibitsengon yang pernah dibeli petani. Definisioperasional masing-masing variabel yangdigunakan dalam model empiris disajikan padaTabel 1.

ij

puru dapat dilakukan dengan pencegahan. Salahsatunya adalah dengan menanam bibit sengon unggultahan karat puru. Misalkan saat ini Bapak/Ibudiberi tawaran bibit sengon tersebut dengan kondisisebagai berikut: (1) tinggi 1 meter, (2) berakartunjang majemuk, (3) tahan karat puru, (4)bersertifikat Kementerian Kehutananbibit sengon tersebut dijual dengan harga: RpP /batang; P ={500, 750, 1000, 1250, 1500}

Apakah Bapak/Ibu bersedia membelinya?a. Ya b. Tidak

ij i

Harga bibit sengon tersebut diacak secaraproporsional sesuai dengan jumlah sampelsedemikian rupa sehingga setiap responden j

Tabel 1. Definisi operasional variabel model empirisTable 1. Operational definition of variables of empirical model

C. Analisis Data

Estimasi atau penaksiran nilai(WTP) petani terhadap bibit sengon tahan karatpuru dilakukan dengan menggunakan pendekatannon-parametrik dan parametrik. Pendekatan non-parametrik dilakukan dengan menggunakanestimator . Estimator

willingness to pay

Turnbull distribution-free

tersebut dikembangkan pertama kali oleh Turnbull(1976) dan kemudian dikembangkan dandiadaptasikan lebih lanjut untuk kepentinganestimasi WTP oleh Kriström (1990) and Haab andMcConnell (2002). Asumsi dasar yang digunakanadalah bahwa WTP seorang responden besarnyatidak kurang dari harga yang ditawarkan, jika

110JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 2 Juni 2014, Hal. 107 - 117

Page 5: BIBIT SENGON TAHAN PENYAKIT KARAT PURU: BERAPA

responden tersebut menyetujui atau menjawab “ya”atas harga yang ditawarkan tersebut. Estimasi WTPdengan pendekatan non-parametrik mengikutiprosedur yang disarankan Haab and McConnel(2002) dengan tahapan sebagai berikut:1. Untuk setiap harga bibit yang ditawarkan dan

indeks , nilai probabilitas ,dimana adalah jumlah responden yangmenjawab “tidak” atas harga bibit yangditawarkan dan jumlah total respondendengan tawaran harga bibit pada tingkat .Dengan kata lain, adalah jumlah dari respon-den yang menjawab “ya” dan “tidak” padatingkat harga tawaran .

2. Dimulai dari , bandingkan nilai dengan .3. Jika nilai , maka perhitungan dilanjutkan

dan Jika , maka sel dan dikelom-pokkan pada satu sel batasan dan nilai

. Hal tersebut me-ngeliminasi tawaran harga bibit dan meng-gabungkannya jumlah responden ke harga bibit

.4. Perhitungan tersebut dilakukan hingga

mencapai suatu deret nilai fungsi distribusikumulatif ( , CDF)yang meningkat secara monotonik dankemudian tetapkan .

5. Nilai kemudian dihitung berdasarkan selisihantara dan atau secara ringkas .

6. Nilai estimasi dapat dihitung dengan formulasi.

Pendekatan parametrik untuk mengestimasi nilaiWTP dilakukan dengan menggunakan modelprobit dan logit. Kedua model tersebut padaprinsipnya memiliki kemiripan. Perbedaanya hanyaterletak asumsi distribusi galatnya, dimana modelprobit mengasumsikan bahwa distribusi galatdiasumsikan normal, sedangkan pada model logitdiasumsikan mengikuti bentuk distribusi logistik(Maddala, 1983; Verbeek, 2000; Greene, 2003).

Untuk kepentingan estimasi nilai WTP denganmenggunakan pendekatan parametrik, padapenelitian ini seorang petani hutan rakyat sengonmemiliki utilitas yang secara matematis dapatdiformulasikan sebagai berikut:

(1)

merepresentasikan pendapatan petani, vektorvariabel bebas yang menggambarkan karakateristik

cummulative distribution function

i

yi

zi

petani dan adalah galat. Utilitas petani pada= 0 menggambarkan kondisi dan = 1

pada adalah kondisi ketika petani menggunakanbibit sengon tahan karat puru. Petani akanbersedia membeli bibit sengon tahankarat puru pada harga , jika

(2)

Galat pada persamaan (2) dapat dituliskan sebagaidan selanjutnya persamaan (2) dapat

dituliskan sebagai berikut:

(3)

adalah probabilitas variabel random (galat)kurang dari a. Jika spesifikasi fungsi utilitas petanidiasumsikan linier, yakni , dan

, maka persamaan (3) dapat dispesifikasi-kan menjadi:

(4)

Jika diasumsikan bahwa dan ,maka persamaan (4) dapat dituliskan sebagaiberikut:

adalah . Persamaan (5)merupakan model probit. Pada model logit,persamaan (5) dapat dimodifikasi denganmengasumsikan bahwa merupakan distribusilogistik, maka

(6)

Baik model probit dan logit nilai WTP kemudiandapat dihitung dengan menggunakan formulasi:

(7).

Usaha hutan rakyat sengon di desa Tempurejopada saat ini dapat dikategorikan sebagai usahasemi komersial. Sebagian besar hasil kayu dijual danhanya sebagian kecil diantaranya digunakan untukmemenuhi kebutuhan rumah tangga, khususnyakayu bakar, kayu perkakas atau pertukangan.Pengguna utama kayu hutan rakyat adalah industripengolahan kayu yang banyak terdapat dikabupaten Wonosobo. Rantai pemasaran kayu

�i

ij status quo j

ii

t

cumulative standard normal

(5)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Usaha Hutan Rakyat di Desa Tempurejo

111Bibit Sengon Tahan Penyakit Karat Puru: Berapa Rupiahkah Petani Hutan Rakyat Bersedia Membayar? Evi Irawan( )

Page 6: BIBIT SENGON TAHAN PENYAKIT KARAT PURU: BERAPA

karat puru. Serangan paling parah terjadi padatanaman sengon yang berusia muda. Untukmengatasi hal tersebut, sejumlah petani telahmelakukan beberapa cara mekanik, yakni denganmenebang bagian tanaman yang terserangpenyakit. Aplikasi teknologi yang ditawarkanKementerian Kehutanan dengan menggunakankapur, garam dan belerang tidak banyak dilakukanpetani karena membutuhkan banyak tenaga kerjaserta kurang efektif dalam mengendalikanpenyakit.

Karakteristik umum petani hutan rakyat di desaTempurejo secara rerata adalah berumur lebih dari40 tahun, berpendidikan setingkat sekolah dasar(SD), dan lebih dari 40% diantaranya memilikipekerjaan , seperti pedagang, buruh tani dantukang ojek. Jumlah rerata anggota rumah tanggapetani adalah 4 atau 5 orang. Pengeluaran reratabulanan setiap rumah tangga adalah berkisar antaralebih dari Rp 860.000,- sampai dengan kurang dariRp 880.000,-. Setiap rumah tangga petaniresponden secara rerata menguasai lahan seluaslebih dari 0,8 ha.Usaha hutan rakyat sengon di desatersebut dikelola secara tradisional. Petani hutanrakyat umumnya mengusahakan tanaman sengonpada lahan seluas kurang dari satu hektar.

Survei yang dilakukan pada penelitian inimenawarkan kepada petani suatu bibit sengontahan penyakit karat puru. Penawaran tersebutbersifat hipotetik, sehingga hasil survei tersebutmerupakan estimasi kesediaan petanimembeli bibit sengon yang ditawarkan. Dari 117orang responden, 57 orang menolak tawaran bibitdengan alasan bervariasi. Beberapa alasan yangdikemukakan petani antara lain adalah (1) hargabibit terlalu mahal (49%), (2) serangan karat puruhanya bersifat sementara (30%), (3) akan beralih ketanaman lain (10%), (4) cara pengendalian yangdilakukannya saat ini sudah efektif (6%), dan (5)tanaman sengon yang terserang karat puru dengansendirinya akan kebal terhadap penyakit tersebut.

Hal pertama yang perlu dilakukan dalampenghitungan WTP petani adalah mencermati nilaiF * untuk melihat apakah peningkatan nilai F *terjadi secara monotonik atau tidak. Karena nilaiF * meningkat secara monotonik, maka nilai F *dapat langsung dilakukan tanpa melaluipenyesuaian. Hasil perhitungan WTP bibit sengon

off-farm

ex-ante

B. Estimasi Non-Parametrik

j j

j j

umumnya melibatkan pengempul atau tengkulakkayu. Harga kayu sengon saat ini cenderungmeningkat seiring dengan meningkatnya kebutuhanindustri pengolahan kayu dan hal tersebut menjadiinsentif bagi petani untuk terus mengusahakantanaman sengon. Bagi sebagian besar masyarakatdesa hasil kayu hutan rakyat merupakan salah satusumber pendapatan utama.

Pengusahaan tanaman sengon umumnyamenggunakan sistem wanatani ( ). Lahandi bawah tegakan digunakan untuk budidaya kopi,cabe, kapulaga dan talas. Tanaman bawah tegakantersebut biasanya merupakan salah satu sumberpendapatan utama sebelum tanaman kayu bisadipanen. Kayu sengon biasanya dipanen ketikaumurnya telah mencapai lima tahun atau lebih.Namun demikian, tidak sedikit petani yangmengijonkan tanaman sengon sebelum masa panentiba, khususnya ketika mereka dihadapkan padakebutuhan keuangan mendesak, seperti hajatan,biaya sekolah dan lain-lain. Survei yang dilakukanIrawan (2011) menunjukkan bahwa terdapat tigabentuk pemanenan kayu hutan rakyat yangberkembang di masyarakat, yaitu sistem tebanghabis, sistem tebang pilih dan sistem tebang butuh.Sebagian besar petani umumnya menerapkansistem tebang butuh.

Tanaman sengon yang dikembangkan padausaha hutan rakyat umumnya berasal dari bibitsengon yang dibeli di pasar atau tempat-tempatpembibitan. Lebih dari 95% petani membeli bibitdengan harga rata-rata Rp 500/batang. Bibittersebut tidak bersertifikat dan tidak pula diketahuiasal sumber benihnya. Petani pada umumnyamembeli bibit yang penampakan visualnya sehatdengan ketinggian sekitar satu meter. Jumlah bibityang dibeli sangat bervariasi tergantung pada luaslahan yang dicadangkan petani untuk usaha hutanrakyat. Secara rata-rata petani sengon di desaTempurejo membeli bibit sebanyak 100 hingga 500batang setiap tahunnya.

Serangan penyakit karat puru mulai terjadi didesa Tempurejo sekitar tahun 2006. Tidak ada satupun petani yang mengetahui asal mula penyakittersebut. Namun demikian, beberapa petani men-duga awal penyebaran penyakit tersebut berasal darihutan tanaman sengon yang berada di dalamkawasan hutan Perum Perhutani. Pada saatpenelitian dilakukan lebih dari 30% tanamansengon yang ada di desa tersebut terserang penyakit

agroforestry

112JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 2 Juni 2014, Hal. 107 - 117

Page 7: BIBIT SENGON TAHAN PENYAKIT KARAT PURU: BERAPA

batang. Nilai tersebut lebih besar 58% dari rerataharga bibit yang dibeli petani selama ini.

tahan karat puru adalah sebesar Rp 1062,008/batang atau dapat dibulatkan menjadi Rp 1062,00/

Tabel 2. Hasil Estimasi WTP dengan Pendekatan Turnbull Distribution-FreeTable2. Estimated WTP using Turnbull Distribution-Free Approach

C. Estimasi Parametrik

Estimasi parametrik dilakukan dengan meng-gunakan model probit dan logit. Untuk kepenting-

an analisis digunakan empat model denganspesifikasi seperti tercantum pada Tabel 3. Modeldasar, yakni model ke-satu dan ke-dua, hanya men-cakup variabel harga bibit sengon tahan karat puru.

Gambar 1 Persentase jumlah responden yang bersedia membeli dan yang menolak..Figure 1. Percentage of number of respondent who was willling and refusing to buy.

113Bibit Sengon Tahan Penyakit Karat Puru: Berapa Rupiahkah Petani Hutan Rakyat Bersedia Membayar? Evi Irawan( )

Page 8: BIBIT SENGON TAHAN PENYAKIT KARAT PURU: BERAPA

Tabel 3. Hasil estimasi model Probit dan LogitTable 3. Estimates of Probit and Logit model

Keterangan ( ) : Nilai t statistik di dalam kurung (Tanda bintang mengindikasikan tingkat signifikansi: **p<0.01, *** p<0.001 (

)

Remarks t statistics in parentheses)Star mark indicating significance: **p<0.01, ***

p<0.001

Sebelum dilakukan estimasi dengan prosedurprobit dan logit, semua variabel yang digunakandalam model empiris diuji kemungkinan adanyamultikolinieritas variabel independen denganmenghitung nilai (VIF). Hasilperhitungan menunjukkan bahwa nilai rerata VIF

variance inflation factor

adalah sebesar 1.27 yang mengindikasikan bahwatidak terdapat masalah multikolinieritas antarvariabel dan oleh karena itu, variabel-variabeltersebut dapat digunakan dalam model empiris(Lihat Tabel 3). Pada model probit, yakni model 1dan 3, juga dilakukan uji normalitas galat yang

114JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 2 Juni 2014, Hal. 107 - 117

Page 9: BIBIT SENGON TAHAN PENYAKIT KARAT PURU: BERAPA

merupakan asumsi dasar model probit. Ujinormalitas galat dilakukan dengan menggunakan

(LM Test). Hasil ujinormalitas pada model probit 1 dan 3 berturut-turut menunjukkan bahwa nilai (2) =0,3127 deng-an nilai probabilitas > = 0,8553 dan (2)=0,3606dengan nilai probabilitas > = 0,8350. Kedua ujitersebut mengindikasikan bahwa galat pada modelprobit 1 dan 3 berdistribusi normal.

Distribusi jumlah petani hutan rakyat(responden) yang bersedia dan menolak membelibibit sengon tahan karat puru yang ditawarkandipaparkan pada Gambar 1. Pada harga Rp500/batang jumlah responden yang bersediamembeli mencapai hampir 70% dari totalresponden yang diberi tawaran pada tingkat hargatersebut. Persentase jumlah responden kemudianmenurun seiring dengan peningkatan harga tawaranbibit. Hal ini sesuai dengan teori dasar permintaanyang maktub dalam teori ekonomi mikro (Varian,2002).

Untuk menghitung nilai WTP petani sengonterhadap bibit tahan karat puru, terlebih dahuludilakukan estimasi atas model empiris denganmenggunakan estimator probit dan logit. Hasilestimasi dipaparkan pada Tabel 3.

Seluruh model probit dan logit yang dipaparkanpada Tabel 3 telah lolos uji spesifikasi model, dilihatdari p-value model yang lebih kecil dari 1%.Dengan demikian, model tersebut dapat digunakanuntuk menghitung nilai WTP. Pada model 1 dan 2,harga penawaran bibit (x ) signifikan secara statistikpada tingkat 1% dan memiliki tanda negatif sesuaiyang diharapkan. Hal tersebut mengindikasikanbahwa kesediaan petani dalam membeli bibitsengon tahan karat puru menurun seiring dengannaiknya harga jual.

Pada model 3 dan 4, harga penawaran bibit (x )dan pendapatan rumah tangga (x ) memilikipengaruh yang signifikan terhadap kesediaan petanidalam membeli bibit sengon tahan karat puru.Ditinjau dari tanda pada koefisien terlihat bahwaharga penawaran bertanda negatif sesuai dengan

Langrange Multiplier Test

χχ χ

χ

χ

2

2 2

2

2

1

1

6

yang diharapkan dan sama dengan hasil estimasipada model 1 dan 2. Koefisien variabel x ,sementara itu, bertanda positif baik pada model 3dan 4, yang mengindikasikan bahwa besarnyapendapatan rumah tangga petani berpengaruhpositif terhadap kesediaan petani dalam membelibibit sengon tahan karat puru. Variabel-variabellainnya tidak signifikan secara statistik. Namundemikian, variabel tersebut masih dapat digunakandalam perhitungan WTP (Haab dan McConnell,2002).

Nilai WTP petani sengon terhadap bibit sengontahan karat puru dihitung dengan menggunakanformulasi seperti yang diterangkan pada subbabanalisis data. Dalam hal ini, nilai WTP dihitung darinilai rerata variabel-variabel yang termasuk dalammodel empiris dan dikalikan dengan nilai koefisiendari masing-masing variabel ditambah dengan nilaikonstanta. Jumlah dari perkalian tersebutkemudian dibagi dengan nilai koefisien darivariabel harga penawaran bibit (x ). Hasil dariperhitungan tersebut menunjukkan bahwa nilaiWTP dengan menggunakan model probit dan logittidak berbeda nyata (lihat Tabel 4). Nilai rerataWTP berkisar antara Rp 1.035/batang hinggaRp 1075/batang. Jika dibandingkan harga reratabibit yang dibeli petani pada saat penelitian inidilakukan, yakni Rp 600/batang, maka nilaiWTP petani sengon tersebut lebih besar sekitar72,5% hingga 79,17%. Hal ini mengindikasikanbahwa petani sengon bersedia memberikan hargapremium atas bibit sengon tahan karat puru.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwaakseptasi petani hutan rakyat terhadap bibittanaman sengon tahan karat puru hasil rekayasagenetika terlihat sangat positif. Dari 117 orangpetani hutan rakyat yang terpilih sebagairesponden, lebih dari 51% diantaranya bersediamenerima kehadirannya di pasar dan bahkan

6

1

IV. KESIMPULAN

Tabel 4. Nilai rerata WTP petani sengonTable 4. Mean value of sengon farmers' WTP

115Bibit Sengon Tahan Penyakit Karat Puru: Berapa Rupiahkah Petani Hutan Rakyat Bersedia Membayar? Evi Irawan( )

Page 10: BIBIT SENGON TAHAN PENYAKIT KARAT PURU: BERAPA

bersedia membeli dengan rentang harga bervariasi.Hasil estimasi nilai rerata WTP petani atas bibitsengon transgenik tahan karat puru adalah berkisarantara Rp 1.035 /batang hingga Rp 1.075/ batang.Tidak terdapat perbedaan yang nyata antaraestimasi dengan menggunakan pendekatan non-parametrik maupun parametrik. Demikian juga,dengan hasil estimasi rerata yang dihasilkan darimodel empiris dengan estimator probit dan logittidak terdapat perbedaan nyata.

Model empiris ekonometrik juga memberikaninformasi bahwa kesediaan petani membeli bibitsengon transgenik tahan karat puru dipengaruhioleh harga bibit tersebut dan pendapatan reratabulanan rumah tangga tani. Semakin tinggi hargabibit, cenderung menurunkan kesediaan petaniuntuk membeli. Sebaliknya, kesediaan petani untukmembeli bibit sengon transgenik cenderungmeningkat seiring dengan peningkatan pendapatanbulanan rumah tangga.

Temuan yang dihasilkan dalam penelitian inimerupakan indikasi awal adanya pasar bagi bibittransgenik tanaman hutan, khususnya sengon, dikalangan petani dan dapat digunakan sebagai bahanpertimbangan dalam penyusunan kebijakanpengembangan bibit unggul di sektor kehutanan.Merujuk pada perkembangan bioteknologi, baik diIndonesia maupun di sejumlah negara,pengembangan bibit sengon tahan karat purukemungkinan besar tidak banyak menghadapikendala teknologi. Untuk lebih mendapatkaninformasi yang komprehensif, penelitian ini perluditindaklanjuti dengan penelitian-penelitianlainnya, seperti analisis risiko penggunaan tanamansengon transgenik.

Adinugraha, H. A. (2012). Pengaruh penyemaiandan pemupukan NPK terhadap pertumbuh-an bibit mahoni daun lebar.

(1), 1-10.

Anggraeni, I., Dendang, B., & Lelana, N. E. (2010).Pengendalian penyakit karat tumor( (Sacc.) Mc. Alpin)pada sengon ( (Miq.)Barneby & J.W. Grimes) di PanjaluKabupaten Ciamis Jawa Barat.

(5), 273-278.

DAFTAR PUSTAKA

Jurnal PemuliaanTanaman Hutan 6

Uromycladium tepperianumFalcataria moluccana

JurnalPenelitian Hutan Tanaman 7

Anggraeni, I., & Lelana, N. E. (2011).In B. T. H. Tapa Darma, C.

Nugroho Sulistyo Priyono (Eds.). Jakarta:Badan Penelitian dan PengembanganKehutanan.

Badan Pusat Statistik. (2004). .Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Wonosobo.(2010). .Wonosobo: Badan Pusat Stat is t ikKabupaten Wonosobo.

Bauer, L. S. (1997). Fiber farming with insecticidaltrees. (3), 20-23.

Fatmasari, A. (2012).

(Tesis). UniversitasJenderal Soedirman, Purwokerto.

Greene, W. H. (2003). .Eaglewood Cliffs, USA: Prentice Hall.

Haab, T. C., & McConnell, K. E. (2002).

.Cheltenham, UK: Edward Elgar.

Hartati, N. S., Rahayuningsih, L., Kaida, R.,Sudarmonowati, E., & Hayashi, T. (2009).Overexpression xyloglucanase geneinsengon ( ) for growthacceleration.

(1), 1-4.

Huang, J., Rozelle, S., Pray, C., & Wang, Q. (2002).Plant biotechnology in China. ,674-677.

Irawan, E. (2011). Nilai ekonomi hutan rakyatuntuk penyerapan emisi karbon.

(1),54-70.

Kriström, B. (1990). A non-parametric approach tothe estimation of welfare measures indiscrete response valuation studies.

(2), 135139.

Lestari, P., Rahayu, S., & Widiyatno. (2013).Dynamics of gall rust disease on sengon( ) in various agroforestrypatterns. ,167-171.

Penyakit karatpuru pada sengon.

Sensus pertanian 2003

Wonosobo dalam angka tahun 2009

Journal of Forestry 95

Potensi supernatan agensia hayatidalam mengendalikan penyakit karat puru padabibit tanaman albasia,

Econometric analysis

Valuingenvironmental and natural resources: Theeconometr i c s o f non-market va luat ion

Paraserianthes falcatariaJournal of Biotechnology Research in

Tropical Region 2

Science 295

JurnalPenelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan 8

LandEconomics 66

Falcataria moluccanaProcedia Environmental Sciences 17

116JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 2 Juni 2014, Hal. 107 - 117

Page 11: BIBIT SENGON TAHAN PENYAKIT KARAT PURU: BERAPA

Maddala, G. S. (1983).. Cambridge, United

Kingdom: Cambridge University Press.

Mathews, J. H., & Campbell, M.M. (2000). Theadvantages and disadvantages of theapplication of genetic engineering to foresttrees: a discussion. (4), 371-380.

Rahayu, S. (2008). .Paper presented at the WorkshopPenanggulangan Seranga Karat Puru padaTanaman Sengon, Yogyakarta.

Sedjo, R. A. (2003). Biotech and planted trees: someeconomic and regulatory issues.

(3), 113-119.

Sedjo, R. A. (2005). Will developing countries be theearly adopters of genetically engineeredforests? (4), 205-212.

Limited dependent and qualitativevariables in econometrics

Forestry 73

Penyakit karat puru pada sengon

AgBioForum6

AgBioForum 8

Sorby, K., Fleischer, G., & Pehu, E. (2003).

. Agriculture& Rural Development Working Paper 5.Washington D.C.: World Bank.

Triyogo, A., & Widiastuti, S. M. (2012). Peranserangga sebagai vektor penyakit karat purupada sengon ( L. Fosberg).

(1), 77-82.

Turnbull, B. (1976). The empirical distributionfunction with arbitrarily grouped, censored,and truncated data,

:290-295.

Varian, H. (2002).(6 ed.). New York, USA:

W.W. Norton and Company.

Verbeek, M. (2000). .Sussex, United Kingdom: John Wiley andSons.

Integrated pest management in development: review oftrends and implementation strategies

Albizia falcatariaJurnal Agronomi Indonesia 40

Journal of the RoyalStatistical Society 38 (3)

Intermediate Microeconomics: Amodern approach

A guide to modern econometrics

117Bibit Sengon Tahan Penyakit Karat Puru: Berapa Rupiahkah Petani Hutan Rakyat Bersedia Membayar? Evi Irawan( )