7
Writer’s Annotation Whenever being asked to write something for school- publication (bulletin, tabloid, magazine and alike), some students (specifically those of Senior High School) prefer to writing poems about youth love. The abundance of this type of writing products, in one hand, and limited number of essay writings in the other hand frequently make extracurricular-writing instructor disappointed. And it is not uncommon for the instructor to angrily ’shouts’ : ”Why writing poem of love, again?”. This article attepmts to discover the most ’virgin’ impulse of the students to write such poems over, for isntance, essays. The early version of this article appeared in Bali Post Minggu, dated on 2, 9 and 23 of April in 2000. Any constructive comments from any symphatatic readers, kindly please email me to : [email protected] Bedosakah Siswa Menulis Puisi Cinta? Oleh Mustajib DI SUATU kesempatan di tahun 1999 seorang guru bernama Ni Luh Muliani, S.Pd. pernah bertindak sebagai pembina upacara dalam upacara bendera rutin di SMAN 3 Singaraja. Dalam wejangannya di depan peserta upacara yang terdiri dari bapak/ibu pegawai Tata Usaha, bapak/ibu guru (termasuk penulis sendiri) dan para siswa, Bu Mul –demikian sapaan akrabnya-- mengajak semua siswa untuk lebih bergairah lagi menyemarakkan ”mading” (Majalah Dinding) sekolahnya dengan tulisan-tulisan terutama selain puisi. Kalaupun menulis puisi, Beliau memberikan rambu-rambu sebagai berikut; ”Bukannya saya tidak menghargai puisi, tapi tolonglah tulis yang lain-lainnya. Kalaupun menulis puisi, janganlah tentang cinta-cinta melulu. Kita sudah kebanjiran dengan puisi-puisi semacam itu”. Berkenaan dengan statement Bu Mul yang sehari-hari sebagai guru Kimia dan di tahun itu sebagai pembina ekstrakurikuler Jurnalistik dan Seni Budaya di atas, setidaknya ada empat (4) buah pertanyaan yang cukup menggelitik pemikiran penulis. Yang pertama, kenapa siswa

Berdosakah Siswa Menulis Puisi Cinta

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Whenever asked, students tend to write poem about love. Some people get mad at this tendency? Are students really sinful to write that kind of literary work?

Citation preview

Page 1: Berdosakah Siswa Menulis Puisi Cinta

Writer’s AnnotationWhenever being asked to write something for school-publication (bulletin,

tabloid, magazine and alike), some students (specifically those of Senior High School) prefer to writing poems about youth love. The abundance of this type of writing products, in one hand, and limited number of essay writings in the other hand frequently make extracurricular-writing instructor disappointed. And it is not uncommon for the instructor to angrily ’shouts’ : ”Why writing poem of love, again?”. This article attepmts to discover the most ’virgin’ impulse of the students to write such poems over, for isntance, essays. The early version of this article appeared in Bali Post Minggu, dated on 2, 9 and 23 of April in 2000. Any constructive comments from any symphatatic readers, kindly please email me to : [email protected]

Bedosakah Siswa Menulis Puisi Cinta?Oleh Mustajib

DI SUATU kesempatan di tahun 1999 seorang guru bernama Ni Luh Muliani, S.Pd. pernah bertindak sebagai pembina upacara dalam upacara bendera rutin di SMAN 3 Singaraja. Dalam wejangannya di depan peserta upacara yang terdiri dari bapak/ibu pegawai Tata Usaha, bapak/ibu guru (termasuk penulis sendiri) dan para siswa, Bu Mul –demikian sapaan akrabnya-- mengajak semua siswa untuk lebih bergairah lagi menyemarakkan ”mading” (Majalah Dinding) sekolahnya dengan tulisan-tulisan terutama selain puisi. Kalaupun menulis puisi, Beliau memberikan rambu-rambu sebagai berikut; ”Bukannya saya tidak menghargai puisi, tapi tolonglah tulis yang lain-lainnya. Kalaupun menulis puisi, janganlah tentang cinta-cinta melulu. Kita sudah kebanjiran dengan puisi-puisi semacam itu”.

Berkenaan dengan statement Bu Mul yang sehari-hari sebagai guru Kimia dan di tahun itu sebagai pembina ekstrakurikuler Jurnalistik dan Seni Budaya di atas, setidaknya ada empat (4) buah pertanyaan yang cukup menggelitik pemikiran penulis. Yang pertama, kenapa siswa lebih doyan menulis puisi (ketimbang bentuk-bentuk tulisan lainnya)? Kedua, kenapa tema cinta lebih mendominasi puisi-puisi siswa? Ketiga, berdosakah (baca : salahkah) siswa menulis puisi-puisi cinta? Dan yang terakhir, bagaimana sikap ”kita” (terutama pembina potensi tulis-menulis siswa) terhadap puisi-puisi cinta yang dimaksud?

Dari keempat pertanyaan yang diapungkan ke permukaan di atas, tulisan ini hanya memfokuskan diri pada tiga (3) permasalahan terakhir. Dieksklusikannya permasalahan pertama karena ia, setidak-tidaknya menurut pengamatan sepintas penulis di lapangan, lebih banyak berkaitan dengan ”how to say” (cara mengungkapkan) ketimbang apa yang menjadi ”nada” dasar ketiga permasalahan terakhir. Ketiga permasalahan ini lebih berakar pada ”what to say (materi tulisan)” : cinta.

Sebenarnya wacana tentang dominannya tema cinta dalam jagat perpuisian para siswa (SMA) atau remaja bukanlah hal yang baru. Masalah ini sudah sangat sering diperbincangkan, baik secara serius maupun sambil lalu, terutama oleh pihak-pihak yang berkompeten. Oleh karenanya, terkait dengan topik tersebut, semuanya sudah terang benderang dan jelas. Bila ada yang terasa agak baru, hal itu barangkali hanya dirasakan oleh orang-orang yang kurang intensif mengikuti perbincangan masalah tersebut. Yakni,

Page 2: Berdosakah Siswa Menulis Puisi Cinta

orang-orang yang secara langsung maupun tidak langsung tidak jatuh “cinta” pada dunia sastra pada umumnya dan puisi pada khususnya.

Perihal dominannya tangan-tangan siswa SLTA menggoreskan puisi-puisi cinta, pihak-pihak in-authority (berwenang) tersebut bersepakat bahwa hal itu sangat berkorelasi positif dengan dunia mood yang sedang mereka akrabi. Secara biologis maupun psikologis, orang-orang seusia mereka tengah getol-getolnya “bersetubuh” (baca : bergumul) dengan dunia cinta, khususnya hubungan muda-mudi. Persetubuhan yang intens tersebut sudah barang tentu melahirkan keakraban yang intens pula. Adalah suatu kewajaran sesuai dengan hukum alam yang bersangkutan selanjutnya gandrung “berbicara” atau berceloteh tentang apa atau dunia rasa yang dirasa cukup ia akrabi.

Sebagai salah satu ilustrasi untuk menjustifikasi keniscayaan di atas, ada baiknya penulis memunculkan kembali komentar penyair Tan Lioe Ie berkenaan dengan pemilihan sajak-sajak siswa SMA 1 Denpasar yang terhimpun dalam antologi bersama bertajuk “Angin”. Dalam epilog antologi tersebut, pencipta puisi “Perahu Bulan” ini menulis, “Dari 21 sajak tersebut, mayoritas menyajikan tema cinta (sekitar sepertiganya) …. Dominannya sajak cinta yang ditulis, sesuai dengan perkiraan saya semula, mengingat dalam usia mereka saat ini, secara biologis maupun psikologis keterkaitan pada lawan jenis memang mengambil ‘porsi’ yang cukup besar” (lihat juga, misalnya, tulisan penyair Dorothea Rosa Herliany dengan judu “Puisi di Tangan Seorang Siswi SMU”, sisipan Kakilangit, Horison 20/Juli-Agustus 1999 : 22-23).

Kecenderungan umum para siswa atau remaja ABG (Anak Baru Gede) menulis puisi-puisi cinta dapat juga diteropong melalui kaca mata tilik lainnya yang lebih luas dan besar. Yakni, melalui tema-tema besar yang umum digarap dalam penulisan puisi. Dalam bincang-bincang ringan mengenai situasi terkini kesusastraan India di Universitas Indonesia (Depok) pada tanggal 4 Juni 1988 lalu, yang dipandu penyair kenamaan Indonesia Sapardi Djoko Damono, Jayanta Mahapatra –salah seorang penyair terbaik India yang menulis dalam bahasa Inggris-- mengatakan, ”There are two main things poets can write about; love and death (The Jakarta Post, 8/6/98). Ada dua hal utama yang dapat ditulis para penyair; cinta dan kematian.

Dalam dunia remaja, kata ”kematian” biasanya, kalau tidak bisa dikatakan ”selalu”, dikaitkan atau diasosiasikan dengan persepsi-persepsi atau pengalaman-pengalaman psikis yang tidak ”enak” untuk dibayang-bayangkan dulu di masa remaja. Sebaliknya, kata ”cinta” senantiasa menghadirkan metafora ”bunga-bunga bersemi nan harum mewangi” di dalam jiwa para remaja. Oleh karena itulah, cinta atau topik-topik cinta lebih digandrungi ketimbang tema-tema elegi yang jelas tampak (di mata ’kasar’ mereka) berhulu dan bermuara pada ”kematian”.

Dalam sejarah sastra di Indonesia maupun dunia, penulisan puisi-puisi bertema cinta dalam arti luas tidak hanya digemari oleh penyair-penyair pemula sekelas siswa-siswi SMA. Melainkan juga digandrungi penyair-penyair kaliber dunia. Dengan menggarap perkara cinta, penyair Kahlil Gibran berhasil menelorkan puisi-puisi yang merefleksikan citra humanis, religius sekaligus prestisius secara estetis (lihat, misalnya, puisi-puisinya dalam buku ”Sang Nabi”). Oleh karenanya ia (mampu) tampil sebagai penyair yang monumental di dunia. Setidaknya dalam pengertian ini, ia mampu mengukir image di benak pembaca bahwa, meminjam istilah Eriyandi Budiman (2000 : 3), ”Gibran dan cinta seakan-akan identik”.

Page 3: Berdosakah Siswa Menulis Puisi Cinta

Di Tanah Air sendiri telah banyak penyair yang menulis sajak-sajak atau puisi-puisi bertema cinta, baik yang bersifat transenden (vertikal) maupun imanen (horizontal). Satu diantara penyair yang dimaksud adalah ”Radja Penjair Pudjangga Baru” Amir Hamzah. Puisi-puisi bernafaskan cinta buah karya penyair, yang oleh kritikus sastra A. Teeuw dijuluki ”penyair unggul dalam seluruh abad ke-20” (Kompas, 9/3/97 : 22), ini dapat kita baca melalui kumpulan sajak-sajaknya yang terhimpun dalam Buah Rindu dan Nyanyi Sunyi. Masih banyak penyair terkenal lainnya yang secara terus terang mengakui memulai karier kepenyairannya dengan menulis puisi-puisi yang berupa pengungkapan emosi ketika mulai jatuh cinta semasa duduk di bangku sekolah lanjutan (lihat DS Herliany, 1998 : 22).

Berdasarkan contoh-contoh di atas jelaslah bahwa –kembali mengutip kalimat dari Eriyandi Budiman, tema cinta sendiri tidak bisa dianggap sebagai tema cengeng, tema rendahan. Banyak karya sastra bertema cinta yang menjadi besar dan seperti akan abadi justru karena menyangkut hal yang paling menyentuh sosialisasi manusia, bukan saja dengan diri sendiri, orang lain, namun juga dengan realitas imajinasi sebagai ”tetangga terdekatnya”.

Bertolak dari pemaparan fakta-fakta empiris di atas, teranglah bahwa menulis puisi-puisi bertemakan cinta, terutama di kalangan siswa sekolah lanjutan yang notabene sebagai insan-insan calon penyair di kemudian hari, merupakan sesuatu yang wajar dan lumrah sifatnya. Oleh karena itulah, siapa pun tidak berhak ”mengharamkan” atau menganggap kehadiran puisi-puisi semacam itu sebagai ”anak haram” yang mesti dibenci, dijauhi atau bahkan dilenyapkan di muka bumi ini. Apalagi pengharaman itu datangnya, katakanlah, dari seseorang yang secara kebetulan dipercayai untuk memupuk kemampuan tulis-menulis (Jurnalistik) pihak-pihak lain semisal siswa-siswi sekolah lanjutan.

Ketika penulis menghubungi Bu Mul dan mengklarifikasi maksud pernyataannya itu, terutama yang terkait dengan puisi cinta yang ”dijauhinya” itu, Beliau berkata bahwa puisi cinta yang dimaksud adalah puisi-puisi cinta muda-mudi yang cengeng dan mendayu-dayu. Beliau menyodorkan beberapa contoh puisi yang dimaksud. Satu diantaranya berjudul ”Kasih”, yang ditulis oleh seorang siswi yang saat itu duduk di kelas III IPS-2, yang berbunyi :

Oh Kasih .../di kala aku rindu akan dirimu/Bayangan wajahmu selalu hadir dalam hidupku/Pagi, siang, sore engkau selalu hadir dalam lamunanku.//Oh Kasih .../Bilamana aku tidur/Semoga engkau hadir dalam mimpi dan/bilamana aku melamun/Semoga engkau hadir dalam lamunanku/Sehingga rasa rinduku terobati//.

Kita semua sepertinya sepakat dengan penilaian jujur Bu Mul dan secara jujur mengakui bahwa kualitas puisi di atas secara estetis-esensial relatif masih ”jongkok” alias cair. Namun yang menjadi persoalan adalah, haruskah puisi itu dilenyapkan hak hidupnya alias tidak diberikan kesempatan untuk menumpang ”nampang” di mading sekolah hanya karena kualitasnya yang seperti itu?

Menurut hemat penulis, pembina jurnalistik (dunia tulis-menulis), penjaga ”gawang” mading atau siapa saja yang terkait dengan publikasi yang bijak tidak semestinya langsung mengirim puisi tersebut ke tong sampah. Sebaiknya puisi seperti itu dimunculkan, terutama untuk memotivasi penulisnya atau menyegarkan pertumbuhan jiwa puitiknya. Pemunculannya bisa disiasati sedemikian rupa sehingga tidak merendahkan martabat mading yang seringkali dipakai sebagai cerminan SDM (Sumber

Page 4: Berdosakah Siswa Menulis Puisi Cinta

Daya Manusia) orang-orang yang ada di belakangnya. Misalnya dengan cara memberi ulasan khusus (timbangan/resensi) yang bersifat membimbing.

Cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan memasukkan ke dalam “kelas-kelas” tertentu sesuai dengan tingkat kematangan penggarapannya. Dalam hal ini ada baiknya mencontohi atau mengadaptasi pola pembinaan penulisan di BPM (Bali Post Minggu) di bawah asuhan “Presiden Penyair Malioboro” Bang Umbu Landu Paranggi. Selagi masih berstatus “dibina”, puisi-puisi atau sajak-sajak yang ditulis seseorang dipublikasikan sesuai dengan tingkatan-tingkatan tertentu, mulai dari level (terendah) “parade/pawai”, lalu ke “kompetisi”, selanjutnya menanjak ke “budaya” dan terakhir “solo-run”.

Agaknya dalam menghadapi puisi-puisi yang belum sesuai dengan selera kita sebagai pembina atau pembimbing pada umumnya dan pembaca sastra (puisi) serius pada khususnya, kita tidak boleh bertindak “kasar”. Kita tidak boleh, misalnya, melanggar, melecehkan atau menginjak-injak HAM (Hak Asasi Manusia) penulis atau penyairnya. HAM penyair atau calon penyair adalah poetica-licencia, kebebasan mencipta. Idealnya, kita tidak mematikan “tunas” puitika yang sudah tumbuh –betapapun muda dan rapuhnya tunas tersebut. Kita justru hendaknya menyubur dan menguatkan perkembangannya, antara lain dengan cara menggunakan puisi yang sudah ada sebagai starting-point untuk pembinaan lebih lanjut.

Jika seorang pembina dapat memerankan fungsinya secara tepat dan maksimal, tidak tertutup kemungkinan dari tangannya akan lahir penyair-penyair muda (siswa) yang mampu “memahat” puisi-puisi “cinta-kasih” yang subtil dan sublim seperti yang pernah ditulis oleh seorang siswa SMA TP. 45 Marga (Bali) di tahun 1998 dengan judul “Bercermin Pada Ibu”. Enam (6) bait pertama puisi hasil olah rasa Ni Wayan Desia Sagia (Kakilangit, Horison, 20 Juli-Agustus 1998 : 14) itu berbunyi :

Perempuan di ladang matahari itu ibukuramah jemarinya, keteduhan sepasang sapi gembalatulus keringatnya, napasi hijau rimbun daun-daun peladanganDari hulu pagi sampai muara senjasemangatnya bergelora di jantung sepiketika duri-duri meminang setetes darah kaki telanjangdikabarkannya lewat segaris cerita kepada pertiwi lena kelana mula derita

Kini wajahnya semakin kusutgigil dingin menususk tulang dan suara batuk bersahutanmakin akrab merapat di labuhan senjatapi ketegarannya tak jua surutseperti gelinjang penari muda mengikuti kepak irama kendang

: belukar-belukar liartak sejengkal dibiar mengakargerogoti subur tanah ladangbagi tunas-tunas kehidupan

Page 5: Berdosakah Siswa Menulis Puisi Cinta

memburu biru langit

Perempuan di ladang matahari itu ibukubola matanya enggan biarkan anak-anaknya bermain di luar jaring-jaring kasih

………………………………Kepasrahan pada Tuhantak pernah membuatnya ingkar rangkai keheningnanuntuk ketulusan doa padaNya

Kini, masih adakah pihak-pihak yang merasa risih melihat siswa-siswi sekolah lanjutan memulai karier kepenyairannya dengan menulis puisi-puisi cinta yang cengeng untuk menuju cinta-kasih yang bernas, segar dan agung seperti terungkap dalam (penggalan) puisi di atas? *