Bahan kuliah #5

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kuliah

Citation preview

Is social capital really capital? Tugas # 4Modal Sosial: Is It Really Capital?

Panji Suminar

Abstract: There are considerable controversies in the literatures over the use of the term social capital. For scholars who agree that social capital is really capital posite the location of social capital in relation to other forms of capital. They assert that social capital is similar to other forms of capital in that it can be invested with the expectation of future returns or benefits. In the opposite side, some scholars have questioned and even attacked the appropriateness of the term capital in social capital. They gives the reasons that sosial capital is the result of altruism and therefore not capital as capital is a resource that is built up through investment and can be drawn upon when needed. These controversies bring about complexitiy in the formulation of the social capital theories and their resulting concepts, definitions, and operationalizations. The article describes the evolution of capital theories, from classical to neo-capital perspectives as well as social capital dimensions. From the discussions, it is expected that there is a similar perspektif relating to the nature of social capital and its position among other forms of capitals. Keywords: capital; theory of capital; neo-capital theory; social capital

PendahuluanPerdebatan masalah modal (capital) sudah sejak lama mengundang kontroversi. Sejak pertengahan abad 18, beberapa teoritisi telah menuliskan buah pikirannya secara luas yang terkait dengan asal mula, sebab-sebab, dan konsekuensi-konsekuensi modal. Karl Marx (1848), misalnya, sangat percaya bahwa modal telah menekan buruh. Apabila kembali memutar perjalanan jaman dari mulai pra-industri, industri, dan dari mulai Marxian (classical theory of capital) hingga neo-capital theory, konsep modal terus menerus berkembang. Pada teori yang pertama, penganut Marxian tetap kukuh pada pendirian bahwa konsep modal identik dengan komponen fisik seperti tanah, sewa, finansial, gedung, buruh, dan komponen lain yang sifatnya tangible. Karl Marx, J.S. Mill, dan Adam Smith, misalnya, merupakan teoritisi-teoritisi penganut aliran teori capital klasik ini. Sementara, penganut pemikiran neo-capital memasukkan komponen-komponen yang intangible, termasuk di dalamnya modal manusia, modal intelektual, modal kultural, dan modal sosial. Teoritisi seperti G.S. Becker (1993), Kaplan dan Norton (1996), Edvinson dan Malone (1997), Cohen dan Prusak (2001a, 2001b), dan Lin (2001), adalah penganut aliran neo-capital atau banyak disebut sebagai teoritisi kontemporer. Kontroversi semakin meningkat seiring dengan kemunculan konsep modal sosial sebagai salah satu komponen modal yang mengalami perkembangan cukup mengejutkan selama hampir 15 tahun terakhir ini. Apalagi, semenjak World Bank menjadikan modal sosial sebagai salah satu mekanisme baru dalam pendekatan pembangunan ekonomi. Konsekuensinya adalah konsep modal sosial semakin beragam dan diterapkan dalam riset-riset dari berbagai disiplin seperti ekonomi, psikologi, politik, uman resource development, dan sebagainya. Beragamnya disiplin yang mengintegrasikan konsep modal sosial dalam kinerja penelitiannya, maka konsep tersebut semakin kompleks dan seringkali menimbulkan diskursus ataupun kontroversi yang tidak menghasilkan konsensus di kalangan teoritisi dengan latar belakang disiplin berbeda. Artikel ini bermaksud untuk menjawab persoalan: apakah modal sosial itu benar-benar modal yang nyata, atau modal yang tidak nyata? Untuk menjawab persoalan tersebut, maka artikel ini mendiskusikan (1) konsep modal dari perspektif teori klasik. Hail pemikiran Karl Marx, Adam Smith, dan Mill menjadi acuan pembahasan dalam kelompom aliran ini. Sementara aliran neo-capital akan membahas karya Schultz (1961) dan Becker (1993). Deskripsi konsep modal yang bersumber dari kedua aliran tersebut dimaksdukan agar memperoleh pemahaman perbedaan tentang konsep modal dengan segala atributnya; (2) evolusi pemikiran konsep modal sosial dan teori modal sosial yang bersumber dari karya Bourdieu, Coleman, dan Putnam yang dalam banyak literatur dikelompokkan sebagai teoritisi modal sosial kontemporer; (3) diskusi terkait dengan kedudukan modal sosial di antara modal-modal lainnya sebagai jawaban atas pertanyaan artikel tersebut di atas. Teori tentang Modal : Perspektif Teori Klasik Ketika melacak pemikiran modal, tentunya karya Adam Smith (1776), dikenal sebagai The Wealth of Nations, tidak dapat dikesampingkan karena berisi pemahaman yang komprehensif terkait dengan tujuan pengidentifikasian kekuatan-kekuatan ekonomi, politik, dan kekuatan alam untuk meningkatkan atau menurunkan akumulasi kemakmuran. Meskipun Smith jarang menggunakan istilah modal untuk menggambarkan kemakmuran, namun dia menggambarkannya dengan istilah yang seperti dipersepsi sebagai elemen modal pada saat ini, yakni tenaga kerja, upah, sewa, dan persediaan. Smith mengasumsikan bahwa akumulasi kemakmuran (baca: modal) negara diarahkan oleh tangan yang tidak terlihat (invisible hands), dan apabila manusia menggapai kepentingan ekonominya, kemakmuran bersama akan dapat dicapai. Pemikiran ini merupakan basis bagi model ekonomi laissez-fair, meskipun model tersebut mungkin bukanlah seperti yang dipikirkan Smith (Storbeg, 2002:471). Teori capital Smith menempatkan kekuatan-kekuatan produktif manusia yang ditingkatkan melalui pembagian kerja. Dia percaya atas keberadaan hukum alam, yang memandu individu-individu buruh secara kolektif menuju arah akumulasi kemakmuran bersama.Oleh karena kepercayaan Smith terhadap hukum alam, dia tidak membahas tentang asal mula, sebab-sebab, atau konsekuensi hubungan sosial yang dibentuk selama proses produksi. Hukum alam menjustifikasi keyakinan Smith bahwa semua aktivitas dalam memenuhi kepentingan ekonomi pribadi adalah. Hukum alam melepaskan Smith dari tugas identifikasi kemungkinan konsekuensi negatif dari kapitalisme. Dari karya Smith tersebut, Mill dan Marx mengembangkannya dengan menambah eksplorasi aspek sosial dari kapitalisme. Keduanya menawarkan perspektif berbeda terkait dengan asal muasal, sebab, dan konsekuensi teori-teori capital. Mill (1849) percaya bahwa diskusi tentang produksi ekonomi yang memisahkan masyarakat dan politik merupakan cara yang artifisial dan tidak realistik dalam melihat sesuatu. Mill membuat catatan penting terhadap karya Smith, seperti yang diungkapkannya Kemakmuran negara dalam banyak aspek bersifat absolut, dan tidak sempurna. Peranan ekonomi politik dipandang sangat cocok untuk melihat hal tersebut, dan ini telah tumbuh sejak tahun-tahun awal semasa Adam Smith (seperti dikutip Storberg, 2002: 472). Bagi Mill, capital bersentuhan dengan tempat tinggal, perlindungan, peralatan dan material yang dibutuhkan pekerjaan, dan untuk memberi makan dan paling tidak mempertahankan tenaga kerja selama proses produksi. Menurutnya, apapun benda pada dasarnya diarahkan untuk kegiatan tersebut, yakni bermuara untuk mensuplai tenaga produktif dengan berbagai persyaratan, Benda tersebut disebutnya sebagai capital. Mill menawarkan proposisi terkait dengan capital: (a) apapun yang diproduksi dikonsumsi, (b) industri dibatasi oleh modal, (c) modal merupakan hasil dari tabungan, dan (d) meskipun modal ditabung, tetapi pada akhirnya tetap saja dikonsumsi. Mill menunjukkan mitos bahwa kemakmuran sebuah negara didasarkan pada agregasi konsumsi dan reproduksi yang terus menerus berlangsung sepanjang waktu. Sebagai seorang ahli ekonomi politik, dan penganut pertumbuhan modal, Mill (1848) percaya fungsi utama pemerintah adalah untuk melindungi penduduk dan kekayaan: Ketidakamanan penduduk dan kekayaan dikatakannya sebagai ketidakpastian hubungan antara pengorbanan manusia dan pencapaian tujuan akhir. Yang paling penting, Mill melihat pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk mempertahankan ekonomi dan kebebasan individu (dikutip, Storberg, 2002). Adam Smith melihat hubungan antara buruh dan produksi, dan Mill melihat hubungan antara buruh dan pemerintah, sementara Karl Marx melihat hubungan antara manusia, dan dia percaya bahwa hubungan tersebut didistorsi oleh produksi modal. Marx (1845) melihat konsekuensi berbeda dari kapitalisme merefleksikan struktur ekonomi masyarakat. Institusi politik merupakan super struktur yang bermuara pada fondasi ekonomi (dikutip Storberg, 2002: 473). Karya Marx memiliki pengaruh besar terhadap generasi pemikir ekonomi dan politik, dan pada tataran tertentu membantu terlaksananya sebuah revolusi sosial. Bagi Marx (1859), capital brings in profit for the capitalist (hal. 20). Dengan kata lain, modal menurutnya, hanya menguntungkan kaum kapitalis saja. Marx membedakan antara modal konstan (seperti material dan peralatan buruh, atau sebutnya sebagai alat-alat produksi), dan modal variabel (selama proses produksi, kekuatan buruh bervariasi, juga dikenal sebagai upah). Modal, bagi Marx, berfungsi untuk membeli kekuasaan buruh dan mendapatkan nilai surplus dari modal tersebut melalui ancaman. Nilai surplus merupakan kunci utama dari teori modal dari Marx. Nilai surplus dihasilkan sebab buruh menciptakan nilai baru yang tidak menjadi milik mereka, tetapi milik kaum kapitalis. Kapitalis (pemilik alat produksi) dapat menggunakan nilai surplus sebagai modal untuk mengakumulasi lebih banyak modal. Buruh akan terus menyediakan tenaga, sementara modal akan diakumulasi oleh kapitalis, dan oleh karenanya polarisasi kemakmuran akan terjadi.Perhatian Marx terhadap modal seluruhnya berbeda dengan hasil pemikiran Smith atau Mill. Marx (dikutip Storberg, 2002) sangat memperhatikan konsekuensi pembagian kerja, akumulasi modal, dan institusi politik yang mempertahankan status quo. Demikian juga, perbedaan Marx dari Smith dan Mill terletak pada perspektif postmodern. It is not consciousness that determines life, but life that determines consciousness. . . . It is not the consciousness of men which determines their existence, but on the contrary it is their social existence which determines their consciousness (Marx, 1845: 10-11). Secara khusus, Marx percaya bahwa kesadaran buruh ditentukan oleh hubungan yang mereka miliki dengan pemilik alat-alat produksi. Pada akhirnya, dia percaya bahwa people always have been and they always will be the stupid victims of deceit and self-deception in politics, until they learn behind every kind of moral, religions, political, social phrase . . . (rests) the interests of this or that class or classes (dikutip Storberg, 2002: ). Bukan hanya Marx percaya bahwa hubungan sosial dan politik antara manusia merupakan refleksi dari kepentingan kelas yang memiliki sarana produksi, tetapi juga percaya kesadaran manusia menciptakan dan mereproduksi lingkungan fisik mereka. Merujuk pada pendapatnya Marx, terdapat beberapa inti pandangan tentang modal itu sendiri (Lin, 2001: 7-8). Pertama, modal sangat erat kaitannya dengan produksi dan pertukaran komoditas. Sementara komoditas, menurut teori Marx, terdiri dari barang-barang material yang membawa label harga, baik dalam proses produksi maupun pertukaran. Tenaga kerja, kekuatan tenaga kerja, dan nilai tenaga kerja merupakan bagian dari label harga dan dilihat sebagai kepentingan secara sosial dalam produksi sebuah komoditas. Tenaga kerja merupakan satu faktor yang penting dalam proses produksi sebuah komoditas, tetapi tenaga kerja bersifat pasif terhadap komoditas yang mereka produksi. Kedua, modal melibatkan proses dibandingkan menyederhanakan sebuah komoditas atau nilai, meskipun modal dapat saja berupa hasil final. Modal merepresentasikan sebuah proses investasi kaum kapitalis, karena produksi memerlukan akumulasi dan organisasi buruh, lahan, peralatan, fasilitas, dan sebagainya. Semua ini melibatkan modal awal, upaya, dan aktivitas sosial terkait dengan koordinasi dan persuasi. Ketika komoditas yang diproses dipertukarkan untuk sebuah keuntungan, maka hal tersebut melibatkan proses pasar.Ketiga, sebagai hasil dari sebuah proses pasar, modal yang mengikutinya merupakan nilai tambah (nilai surplus atau keuntungan). Eksistensi modal berarti bahwa nilai pasar dari sebuah komoditas melebihi nilai produksi atau biaya untuk memproduksi. Apabila nilai pasar sama atau kurang dari biaya, artinya tidak akan ada modal dari komoditas. Dengan kata lain, akan terjadi defisit atau hutang. Keempat, modal merupakan pandangan sosial secara intrinsik. Modal melibatkan proses aktivitas sosial. Proses produksi seperti yang telah diutarakan sebelumnya melibatkan aktivitas sosial. Marx, misalnya, secara eksplisit menggambarkan nilai guna tergantung kepada buruh karena di sana tidak ada nilai objektif yang dapat digunakan untuk menghitung nilai atau biaya buruh. Proses pertukaran tersebut, dengan demikian, juga bersifat sosial. Kelima, modal diperoleh kapitalis atau produser dari sirkulasi komoditas melalui lingkaran produksi dan pertukaran komoditas, serta akumulasi modal. Oleh karenanya, modal merupakan sebuah proses dan hasil akhir yang bermuara di tangan orang-orang yang mengontrol alat-alat produksi. Dalam formulasi Marx, buruh diberikan upah untuk memenuhi kebutuhan subsistensi, dan tidak lebih dari itu. Dengan kata lain, modal merupakan nilai surplus yang dihasilkan dari investasi kapitalis dalam produksi, dan dikuasai oleh kapitalis.Menurut Lin, pendapat tentang modal dan bentuknya seperti yang digambarkan oleh Marx disebutnya sebagai teori modal klasik (the classic theory of capital). Ide dasar bahwa modal merupakan investasi sumberdaya untuk memproduksi keuntungan, telah banyak dibicarakan dalam banyak teori tentang modal. Namun demikian, dalam skema Marxian, baik investasi maupun keuntungan merupakan kepentingan yang melekat dalam kaum kapitalis. Tenaga kerja yang dilibatkan dalam proses produksi tidak menghasilkan atau mengakumulasi modal bagi buruh. Teori modal klasik didasarkan pada penjelasan argumentasi bahwa diferensiasi kelas sangat fundamental dalam masyarakat kapitalis, dimana eksploitasi kelas mengontrol alat produksi, dan mengumpulkan semua nilai surplus dari tenaga kerja yang disediakan oleh kelas yang dieksploitasi.

Neocapital dan Teori Neo-capital: Perspektif HistorisEvolusi teori modal hampir empat dekade terakhir ke dalam bentuk yang disebut sebagai neo-capital theory pada dasarnya memodifikasi atau mengeliminasi penjelasan kelas sebagai satu bentuk orientasi teoritik yang diperlukan. Versi alternatif tentang pemahaman modal meliputi modal manusia (human capital), modal kultural (cultural capital), dan modal sosial (social capital).Istilah neocapital pada dasarnya merefleksikan komponen modal yang tidak dapat disentuh (intangible components) yang meliputi modal manusia (human capital), modal struktural (structural capital), modal intelektual (intellectual capital), dan modal sosial (social capital). Meskipun Schultz (1961) dan G. S. Becker (1993) secara tradisional dianggap sebagai bapak human capital, pelacakan konsep human capital dan pentingnya untuk bisnis dan masyarakat dapat ditemukan dalam karya Adam Smith dan J. S. Mill. Smith menggambarkan bagaimana individu-individu mengakumulasi keahlian dan bakat melalui barter atau pertukaran dan pembagian kerja. Meskipun demikian, pada awal tahun 1960, teoritisi mulai mengembangkan dan menguji teori capital yang baru untuk memasukkan elemen manusia. Dalam sebuah pertemuan American Economic Association, Shultz (1961), misalnya, secara tegas mengemukakan kegagalan untuk menempatkan sumberdaya manusia secara eksplisit sebagai sebuah bentuk modal, yakni sebagai sarana untuk berproduksi, dan sebagai produk investasi. Hal ini mendukung pendapat klasik bahwa tenaga kerja hanya memiliki kapasitas untuk melakukan pekerjaan manual yang hanya sedikit membutuhkan keahlian dan pengetahuan, yaitu sebuah kapasitas dimana semua tenaga kerja menyumbang hal yang sama (dikutip Storberg, 2002: 474).Penambahan yang digagas Schultz terkait dengan sumberdaya manusia sebagai bentuk modal tersebut memperluas definisi modal dari Marxian klasik. Keduanya dilihat sebagai investasi dengan harapan keuntungan. Meskipun demikian, definisi yang diperluas tersebut sangat berbeda dalam empat cara: (1) modal manusia memfokuskan pada tenaga kerja; (2) tenaga kerja dapat dilihat sebagai investor; (3) tenaga kerja sekarang dimotivasi untuk memperoleh keahlian; dan (4) teori modal klasik menempatkan modal sebagai hasil dari produksi dan proses pertukaran (Storberg, 2002: 475). Secara keilmuan, teori human capital merupakan buah karya ekonom Becker (1993), yang menguji variasi komponen human capital, yang meliputi kesehatan, migrasi, dan pendidikan. Becker melakukan penelitian yang memfokuskan pada aktivitas yang mempengaruhi kondisi masa depan moneter dan pendapatan melalui peningkatan sumberdaya manusia. Aktivitas tersebut sering disebut sebagai investments in human capital (dikutip Storberg, 2002: 475). Tahun 1993, Becker mempublikasikan karyanya Human Capital: A Theoretical and Empirical Analysis With Special Reference to Education. Karya Becker ini secara rutin dikutip dalam berbagai literatur yang mendiskusikan tentang human capital, dan oleh karenanya, dia sering disebut sebagai the father of human capital theory. Meskipun ekonomi Becker dan Schultz mengembangkan capital dan teori capital pada tingkat mikro (misalnya aktor individu), teoritisi dari disiplin lain meneruskan pengujian pada struktur makro kapitalisme dan konsekuensinya terhadap masyarakat. Sosiolog Bourdieu (1983) dan Wacquant (1989), misalnya, secara kritis memperkirakan dampak kelas dan kultur dominan terhadap capital dan teori capital. Pelanggaran simbolik (symbolic violence) dari Bourdieu dan proses reproduksi sosial konsisten dengan pendirian teori Marx. Keduanya merefleksikan dominasi nilai-nilai oleh satu kelas (kapitalis atau kelompok dominan) terhadap terhadap kelas yang lain (buruh dan kelompok yang didominasi). Menurut Storberg (2002), pergerakan teori capital dari teori klasik (Smith, Mill, dan Marx) ke teori neo-capital (Becker, Schultz), telah mengalami dua perubahan elemen yang mendasar: Pertama, fokus analisis telah bergerak dari tingkatan struktural (tingkatan makro) ke analisis individu dan kelompok (tingkatan mikro dan meso). Kedua, perilaku-perilaku tenaga kerja (human resources) dipandang memiliki peranan yang jauh lebih penting.

Modal Sosial dan Teori Modal Sosial: Perspektif HistorisSecara ide, modal sosial sebenarnya bukanlah konsep yang baru. Sejarah intelektualitas konsep tersebut telah berakar sejak abad ke 18 (Adam dan Roncevic, 2003). Terminologi modal sosial telah digunakan sejak awal abad ke 19, tetapi tradisi-tradisi konsepnya jauh lebih tua terutama berakar dari disiplin ekonomi, sosiologi, antroplogi dan ilmu politik. Oleh karenanya, tidak salah apabila konsep dasar modal sosial dalam tataran tertentu senantiasa dikaitkan dengan pemikir seperti Mill, Durkheim, Weber, Locke, Rousseau dan Simmel (Bankston dan Zhou, 2002; Putnam, 1995), meskipun pada saat itu istilah modal sosial belum terbakukan di kalangan para teoritisi sosiologi klasik. Bankston dan Zhou (2002), misalnya, secara khusus merujuk keterkaitan antara sosiologi normatif dari Durkheim dan pemikiran Coleman berkaitan dengan konsep modal sosial. Lebih lanjut, Portes (1998) berpendapat bahwa penekanan Durkheim pada kehidupan kelompok sebagai sebuah antidote menjadi anomie dan self-destruction, misalnya, atau perbedaan antara atomized class-in-itself dan mobilized effective class-for-itself, dipandang oleh sebagian teoritisi sebagai akar konsep modal sosial. Kebanyakan teoritisi setuju bahwa penggunaan konsep modal sosial pertama kali digunakan oleh Lyda Judson Hanifan dalam karyanya A Practical Reformer of the Progressive Era yang dipublikasikan tahun 1916. Dia menemukan pertama kali istilah modal sosial untuk menunjuk gejala kohesi sosial dan investasi personal dalam masyarakat. Dalam mendefinisikan konsep tersebut, Hanifan membedakan modal sosial dari benda-benda material lainnya. Routledge dan Amsberg (2003) mengidentifikasi bahwa Hanifan menggunakan istilah modal secara khusus untuk menekankan pentingnya struktur sosial bagi manusia dalam perspektif bisnis dan ekonomi. Selanjutnya, Hanifan (dalam Woolcock dan Narayan, 2000) menggambarkan modal sosial sebagai substansi yang tidak dapat disentuh (intangible) yang berguna dalam kehidupan sehari-hari manusia. Komponen modal sosial menurutnya terdiri dari kemauan baik, pertemanan, simpati dan hubungan sosial antar individu dan keluarga yang membangun sebuah unit sosial. Apabila individu melakukan kontak dengan tetangganya, demikian juga tetangga berhubungan dengan tetangga lainnya, terdapat akumulasi modal sosial yang dengan segera memuaskan kebutuhan sosialnya serta menghasilkan kemungkinan peningkatan kondisi kehidupan seluruh masyarakat.Kemudian seorang antropolog Meyer Fortes berbicara mengenai istilah modal sosial dalam tulisannya pada tahun 1958. Jane Jacobs, dalam bukunya The Death and Life of Great American Cities yang dipublikasikan tahun 1961, juga menulis tentang istilah modal sosial dalam kajiannya tentang vitalitas perkotaan. Dia menyatakan bahwa jaringan sosial adalah modal sosial kota yang tidak tergantikan dan tidak dapat ditukar oleh modal lainnya. Meskipun tidak secara eksplisit mendefinisikan istilah modal sosial, tetapi dia menggunakannya untuk menunjuk pada nilai yang ada dari jaringan sosial (dikutip dalam Woolcock 1998: 192). Sangat menarik untuk dicatat bahwa penggunaan konsep tersebut tidak secara eksplisit menunjukkan terminologi modal sosial, tetapi konsep yang dikembangkan menunjukkan relevansinya dengan nilai-nilai individualisme, kesetaraan kesempatan, relasi sosial, dan nilai-nilai, yang umumnya kita kenal sebagai bagian dari komponen modal sosial. Sementara itu, para ekonom memandang asal teori modal sosial terjadi pada periode sosiologi ekonomi karya Max Weber (Trigilia 2001), dan lainnya menggambarkan katerkaitan konsep tersebut dengan karya Adam Smith (Winter 2000). Hal ini dibuktikan oleh Winter (2000) yang menemukan kemiripan antara teori modal sosial dengan pertanyaan yang dimunculkan Adam Smith dalam karyanya The Theory of Moral Sentiments. Diskusi tentang potensi negatif dari aktivitas kelompok sebagai sebuah perdebatan dampak negatif dari modal sosial. Adam Smith menyatakan bahwa ketika orang-orang dari segmen pasar yang sama bertemu bahkan untuk hanya sekedar bergembira dan hiburan sering menghasilkan konspirasi yang melawan publik atau merencanakan kenaikan harga (dikutip dalam Knack 2002, p. 773). Asumsi Adam Smith ini dijadikan titik awal pemahaman modal sosial dalam perspektif ekonomi, namun diskusinya bukan ditekankan pada dampak positif modal sosial, tetapi lebih menyoroti sisi negatif dari perilaku individu dan kelompok dalam sebuah kolektivitas tertentu yang dalam tataran tertentu menjadi ciri khas eksistensi modal sosial.Ilmuwan politik, Robert Salisbury, dalam karyanya An Exchange Theory of Interest Groups yang ditulis tahun 1969, lebih jauh membahas lanjut istilah modal sosial sebagai komponen penting dari formasi kelompok kepentingan, terutama terkait dengan political interest. Selanjutnya, Sosiolog Pierre Bourdieu menggunakan istilah modal sosial tahun 1972 dalam karyanya Outline of a Theory of Practice dan memperjelas perbedaan istilah modal sosial dengan modal kultural, ekonomi, dan simbolik. Diskusi Bourdieu ini lebih jelas karena berhasil memposisikan modal sosial di antara modal-modal lainnya. Pemikiran Bourdieu inilah yang kemudian diikuti, dicabar, dan dikritik oleh teoritisi lain untuk menyempurnakan dimensi teoritik dari modal sosial; salah satunya adalah Sosiolog James Coleman, yang ikut mempopulerkan konsep modal sosial. Pada akhirnya, tahun 1990, konsep modal sosial memperoleh popularitasnya, terutama setelah World Bank mencanangkan program penelitian terkait dengan modal sosial dan pembangunan. Pada umumnya, studi-studi yang mengambil tema modal sosial merumuskan konsep modal sosial berdasarkan pemahaman sejarah perkembangan konsep, dan bukan pada terminologinya. Hampir semua teoritisi sepakat bahwa konsep modal sosial pada awalnya berakar dari disiplin sosiologi dan ekonomi. Barulah pada akhir tahun 1980-an teoritisi kontemporer memunculkan terminologi modal sosial dan menyedot perhatian teoritisi lain untuk mengembangkan dan sekaligus mengkritisinya. Setiap teoritisi modal sosial cenderung merumuskan konsep modal sosial didasarkan pada masalah-masalah yang menjadi pusat kajiannya. Oleh karena itulah, konsep modal sosial menjadi sangat bervariasi dan justru menyulitkan untuk menemukan konsep yang seragam. Keberagaman konsep inilah yang menjadi kekuatan modal sosial untuk dijadikan sebagai modal teoritik bagi peneliti-peneliti yang tertarik dengan dinamika masyarakat dan akumulasi modal sosial yang ada di dalamnya. Dengan kata lain, kajian modal sosial seolah tidak pernah berujung dan bahkan terus bertambah seiring dengan kompleksitas permasalah kekinian yang ada dalam masyarakat.Teoritisi Kontemporer Modal Sosial Teori modal sosial dapat dirujuk dari hasil karya tiga teoritisi utama, yakni James Coleman, Robert Putnam dan Pierre Bourdieu. Ketiganya sering disebut sebagai teoritisi modal sosial kontemporer. Bourdieu dikenal dengan karyanya Outline of a theory of Practice (1977); Cultural Reproduction in Education, Society and Culture (1977); Cultural Reproduction and Sosial Reproduction (1977), dan berbagai karyanya bersama penulis lain telah membuktikan bahwa Bourdieu banyak memberikan kontribusi pada pengembangan teori modal sosial. James Coleman, dalam karyanya Social capital in the Creation of Human Capital (1988); Foundations of Sosial Theory (1990), atau Some Points on Choice in Education (1992) menjadi acuan bagi teoritisi lain yang menggeluti modal sosial dalam perspektif ekonomi dan pendidikan. Selanjutnya, Robert Putnam dalam karyanya seperti Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy (1993) The Prosperous Community: Social capital and Public Life (1993); Bowling Alone: America's Declining Social capital (1995); Bowling Alone - The Collapse and Revival of American Community (2000) menjadi karya monumental Putnam yang banyak dirujuk oleh teoritisi modal sosial lainnya. Karya ketiga teoritisi modal sosial kontemporer tersebut menjadi acuan bahkan kritikan dan atau cabaran teoritisi lain yang ingin mengembangkan konsep dan teori modal sosial yang saat ini berkembang sangat pesat. Pemikiran Pierre Bourdieu (1977a, b, c; 1991; 1992) banyak dikutip dalam literature pendidikan. Dalam tulisannya, dia menampilkan perbedaan pandangan terkait modal sosial terutama dalam ranah pendidikan. Dia percaya bahwa modal sosial beroperasi sebagai alat reproduksi kultural dalam menjelaskan pencapaian pendidikan yang tidak seimbang. Teorinya benar-benar memiliki akar sosio-kultural yang kuat yang ada dalam pengalaman pendidikan dari dialektika individu melalui sejarah material dan sosial mereka. Selain itu, perspektif Bourdieu tentang modal sosial didesain untuk memandu kajian-kajian empirik. Ada tiga kunci konsep teoritik untuk menjelaskan perspektif Bourdieu tentang modal sosial: habitus, capitals, dan fieldsPertama-tama, konsep habitus digunakan untuk menjelaskan bagaimana dampak struktur obyektif dan persepsi subyektif terhadap tindakan manusia. Konsep ini dapat dijelaskan sebagai serangkaian skema regulasi pemikiran dan tindakan, yang dalam tataran tertentu sebagai produk dari pengalaman sebelumnya. Menurut Bourdieu (1977a, p 72) habitus berisi serangkaian disposisi atau kesiapan bertindak yang kuat dan sama yang mengatur aktivitas mental ke titik dimana individu sering tidak menyadari akan dampak dari tindakannya. Intinya, konsep habitus merupakan cara untuk menjelaskan bagaimana pesan-pesan sosial dan kultural baik aktual maupun simbolik membentuk pemikiran dan tindakan individu-individu. Konsep ini tidak statis karena memungkinkan individu-individu untuk menjembatani pesan-pesan tersebut, dan bahkan menempatkan resistensi kepercayaan personal. Habitus bukan terstruktur secara total, meskipun habitus masih tetap dipengaruhi oleh konteks kesejarahan, sosial dan kultural. Untuk mengilustrasikan pentingnya konsep habitus, seseorang dapat berfikir bagaimana kelompok-kelompok sosial tertentu lebih mampu untuk memobilisasi kepercayaan yang ada pada diri mereka ke dalam nilai-nilai pendidikan. Seringkali beberapa nilai dibentuk oleh serangkaian umum pandangan dalam lingkungan sesaat yang menyediakan beberapa keuntungan dalam pemanfaatan sistem pendidikan formal. Nilai-nilai tersebut tidak harus datang secara sadar, melainkan memang sudah menyatu dalam budaya individu-individu yang sudah terbentuk. Faktor kelas sosial pada umumnya sangat kuat untuk menjembatani pemikiran dan tindakan, Bourdieu menyebutnya sebagai habitus kelas. Hal ini disebabkan karena kelas sosial secara kuat mempengaruhi pola konsumsi dan gaya hidup. Tema kedua dari teori Bourdieu adalah capitals. Konsep ini dibagi ke dalam kategori modal economic, social, cultural, dan symbolic. Modal ekonomi merujuk pada pendapatan dan sumberdaya finansial dan aset lainnya. Modal ini bersifat lebih memungkinkan dapat dikonversi ke dalam bentuk modal-modal lainnya. Modal ekonomi, bagaimanapun, tidak cukup untuk membeli status atau posisi dalam masyarakat, kecuali tergantung pada interaksi dengan unsur modal lainnya. Modal sosial dirumuskannya sebagai serangkaian relasi sosial yang sudah berlangsung lama, jaringan dan kontak-kontak. Seperti halnya Coleman dan Putnam, pandangan tentang hubungan timbal balik (reciprocity) sangat penting, meskipun Bourdieu lebih menekankan individu, dan tidak selalu komunal untuk mendapatkan yang mungkin diharapkan. Modal kultural terdiri dari tiga bentuk, yakni objectified, embodied, dan institutionalized. Masing-masing bentuk berfungsi sebagai instrumen untuk kecocokan kemakmuran simbolik secara sosial yang akhirnya bermuara pada nilai untuk menjadi yang diharapkan dan dimiliki (Bourdieu, 1977c). Bentuk keobyektifan merupakan manifestasi seperti buku-buku, kualifikasi, computer; bentuk embodied dihubungkan dengan karakter edukatif individu seperti kesiapan bertindak untuk memasuki proses belajar; bentuk institutionalised direpresentasikan tempat untuk belajar yang mungkin akan dimasuki seperti sekolah, universitas, lembaga teknologi dan sebagainya. Symbolic capital digunakan Bourdieu untuk menjelaskan cara dalam mana modal dipandang dalam struktur sosial seperti nilai status yang melekat pada buku-buku tertentu, nilai atau tempat belajar. Dalam hubungannya dengan modal, perlu dicatat bahwa semua bentuk modal (kategori economic, sosial, cultural, dan symbolic) merupakan factor kunci yang mendefinisikan posisi dan kemungkinan bagi individu untuk terlibat dalam berbagai arena, termasuk di dalamnya area pengelolaan sumberdaya hutan. Lebih jauh, efek pengganda seringkali muncul terkait dengan bentuk akumulasi modal misalnya satu modal seringkali merubah modal lainnya. Konsep yang ketiga adalah fields. Dalam bahasa Bourdieu, konsep ini berhubungan dengan ruang struktur kekuatan dan perjuangan, yang berisi sistem teratur dan jaringan yang dapat diidentifikasi dari hubungan yang berdampak pada habitus individu. Bourdieu mengklaim bahwa individu-individu tertentu masuk ke dalam fields, secara sadar lebih memperhatikan aturan main atau memiliki kapasitas yang lebih besar untuk memanipulasi aturan-aturan tersebut melalui bangunan kesesuaian modal. Individu-individu tersebut dengan kualifikasi yang kuat atau pekerjaan dan status yang kuat mungkin dapat dikategorikan dalam kelompok ini. Berbagai strategi baik dalam bentuk aktual atau simbolik kemudian diterapkan oleh individu-individu untuk membedakan diri mereka dari kelompok lain dan menempatkan mereka ke dalam posisi yang menguntungkan melalui efektivitas penggunaan dan eksploitasi modal. Beberapa strategi hanya akan bermakna apabila mereka menunjukkan relevansi simbolik. Kekuasaan simbolik dikatakan memiliki ekspresi yang besar dalam penerimaan umum bahwa aturan main berjalan dengan adil. Misrecognition, prase yang dipinjam Bourdieu dari ide Marx tentang false consciousness, terjadi ketika individu-individu yang berada dalam ketidakberuntungan bermain tanpa mempertanyakan aturan. Untuk hal ini Bourdieu menyebutnya sebagai symbolic violence. Bourdieu dipandang bertanggung jawab untuk membawa konsep dan terminologi modal sosial ke dalam diskursus hingga sekarang ini. Adam dan Roncevic (2003) menyitir salah satu karya Bourdieu Distinction yang diterbitkan di Perancis tahun 1979 sebagai karya orisinal perspektif modal sosial modern. Definisi modal sosial dari Bourdieu dapat digambarkan sebagai egosentris seperti yang dipertimbangkan dalam framework modal simbolik dan teori kelas dalam masyarakat (Wall et al. 1998). Bourdieu mendefinisikan modal sosial sebagai agregasi sumberdaya aktual dan potensial yang terkait dengan kepemilikan jaringan yang kuat dan terlembagakan dari hubungan yang saling menguntungkan. Dengan kata lain, bagi anggota kelompok, modal sosial menyediakan dukungan kepemilikan modal secara kolektif (Bourdieu 1986).Sementara itu, James S. Coleman memasukkan konsep modal sosial ke dalam teori sosialnya dalam tulisannya Social Capital in the Creation of Human Capital (1988). Menurutnya, konsep modal financial, modal fisik, dan modal manusia yang terbentuk dalam relasi di antara orang-orang adalah paralel dengan pendapatnya tentang modal sosial (Coleman, 1988: 118). Coleman yang sangat kuat keterikatannya dengan pemikiran ekonomi melalui karyanya rational-choice theory, menggambarkan pemahaman bersama antara sosiologi dan ekonomi dalam pendefinisian tentang modal sosial. Dia mengintegrasikan teori pilihan rasional (rational choice theory) dan struktur sosial untuk menjelaskan tindakan individu dalam konteks tertentu berbarengan dengan pertimbangan organisasi sosial melalui pengenalan prinsip tindakan rasional dan maksimalisasi penggunaan sumberdaya ke dalam konteks sosial tertentu (Coleman, 1988: seperti yang dikutip dalam Khrisna, 2005: 22).Bagi Coleman, modal sosial didefinisikan berdasarkan fungsinya, yakni memfasilitasi pertukaran social, sama seperti uang memfasilitasi pertukaran ekonomi. Logika ini mengikuti fenomena bahwa uang meningkatkan efisiensi pertukaran ekonomi dalam kondisi ketiadaan pola sistem barter, sementara modal sosial meningkatkan efisiensi pertukaran sosial (Gupta, Khrisna, 2005: 23). Sangat menarik untuk dicatat bahwa definisi modal sosial yang dirumuskan merupakan refleksi dari sikap teoritis Coleman yang memberikan penekanan pada aspek positif kontrol sosial sebagai fungsi modal sosial. Secara konservatif, mendefinisikan modal sosial sebagai serangkaian sumberdaya yang melekat pada hubungan keluarga dan dalam organisasi sosial kemasyarakatan sangat berguna bagi pengembangan kognitif atau sosial anak dan generasi muda (Coleman 1990:300).Menurut Coleman (1990: 302), modal sosial bukanlah kesatuan yang tunggal, melainkan terdiri dari berbagai kesatuan yang memiliki dua elemen dasar, yakni: (a) sebuah aspek dari struktur sosial yang memfasilitasi tindakan-tindakan tertentu; (b) modal sosial merupakan sumberdaya nyata atau potensial, yang diperoleh dari hubungan yang pada gilirannya memfasilitasi tindakan aktor-aktor individual yang ada dalam struktur sosial. Seperti bentuk-bentuk modal lainnya, modal sosial bersifat produktif yang memiliki kemungkinan pencapaian tujun-tujuan tertentu yang mungkin tidak akan tercapai apabila ketiadaan modal sosial. Selain itu, tidak seperti bentuk modal lainnya, modal sosial melekat dalam struktur hubungan antara orang per orang. Dengan kata lain, modal sosial tidak berada dalam individu (Coleman 1990:302).Coleman mencatat bahwa modal sosial mengambil variasi bentuk seperti kewajiban, harapan atau ekspektasi, sifat dapat dipercaya dari lingkungan sosial atau struktur , artinya kewajiban akan dihargai; sebagai sumber informasi dalam relasi sosial atau saluran informasi yang berarti mengurangi biaya informasi; dan sebagai norma dan sanksi efektif yang mengurangi biaya monitoring dan penghukuman (seperti yang dikutip Krishna, 2005: 22; Coleman, 1988: 102-104). Bagi Coleman (1988; 1990), modal sosial memfasilitasi pertukaran sosial sama seperti uang memfasilitasi pertukaran ekonomi. Logika ini mengikuti fenomena bahwa uang meningkatkan efisiensi pertukaran ekonomi dalam kondisi ketiadaan pola sistem barter, sementara modal sosial meningkatkan efisiensi pertukaran sosial (Gupta, Khrisna, 2005: 23). Sangat menarik untuk dicatat bahwa definisi modal sosial yang dirumuskan merupakan refleksi dari sikap teoritis Coleman yang memberikan penekanan pada aspek positif kontrol sosial sebagai fungsi modal sosial. Secara konservatif, mendefinisikan modal sosial sebagai serangkaian sumberdaya yang melekat pada hubungan keluarga dan dalam organisasi sosial kemasyarakatan sangat berguna bagi pengembangan kognitif atau sosial anak dan generasi muda (Coleman 1990:300).Interpretasi Coleman (1988, 1990, 1992) terhadap konsep modal sosial banyak dikutip dalam literatur di bidang pendidikan. Bagi Coleman, modal sosial ada dalam struktur relasi antara individu-individu dan sebagian besar tidak dapat disentuh. Potensi modal sosial diwujudkan dalam kapasitasnya untuk memfasilitasi aktivitas produktif. Hal ini dapat dicapai melalui formasi hubungan sosial yang dibangun sejak lama yang memungkinkan individu-individu mencapai kepentingan mereka yang dicapai secara independen. Empat bentuk modal sosial dari Coleman yang diidentifikasi: (a) kewajiban dan ekspektasi/harapan seperti melakukan sesuatu dengan harapan untuk mendapatkan sesuatu dari orang lain; (b) potensi informasional seperti membagi informasi yang berguna yang menginformasikan sesuatu untuk aksi-aksi pada masa mendatang; (c) norma-norma dan sanksi-sanksi yang efektif seperti bangunan nilai-nilai komunitas dan standar perilaku yang diakui bersama; (d) hubungan kekuasaan seperti keahlian kepemimpinan yang menginformasikan tindakan-tindakan individu lain. Perlu dicatat bahwa modal sosial dengan demikian dapat menguntungkan individu lain yang tidak berpartisipasi secara langsung dalam sebuah kegiatan atau tindakan. Coleman (1990, p 313) mengilustrasikan contoh terkait dengan pekerjaan asosiasi guru dan orang tua yang menyusun standar atau ukuran disiplin untuk kebaikan bersama dalam sebuah sekolah komunitas. Satu sisi, modal sosial dapat diciptakan, namun sisi lain dapat juga dirusak. Coleman menyitir kurangnya relasi antara orang tua dan tidak adanya ideologi bersama memiliki potensi negatif terhadap konsekuansi-konsekuansi sosialnya (lihat Coleman: 1990, pp 318-321). Teori modal sosial yang digunakan oleh Coleman memiliki akar struktural fungsional yang sangat kuat. Oleh karenanya, karya dia sering disitir untuk mendukung kajian tentang masyarakat yang spesifik seperti masyarakat yang ditandari oleh nilai-nilai tradisional kaku, disiplin yang ketat, dan kontrol serta perintah hierarkis (Dika dan Singh: 2002, p 34). Selanjutnya, konsep modal sosial Coleman diperlukan sebagai pra-kondisi untuk mempromosikan (melalui norma-norma keluarga) pengembangan sumberdaya manusia dan pencapaian pendidikan. Karya Coleman merepresentasikan pergeseran yang sangat penting dari produk individualnya Bourdieu (termasuk dalam pendekatan berbasis jaringan) ke produk kelompok, organisasi, kelembagaan, ataupun masyarakat yang mewakili pergeseran tentatif dari egocentric menjadi sociocentric (Adam and Roncevic 2003; Cusack 1999; McClenaghan 2000). Coleman juga menambahkan bahwa seperti bentuk modal-modal lainnya, modal sosial bersifat produktif, memungkinkan pencapaian tujuan-tujuan tertentu yang tidak akan dicapai apabila terdapat peniadaan modal tersebut (Coleman 1988). Kebanyakan teoritisi setuju bahwa modal sosial berkaitan dengan aspek tertentu dari struktur yang memungkinkan terbentuknya tindakan sosial (Adam and Roncevic 2003). Tidak seperti Bourdieu, Coleman secara luas melibatkan penelitian empirik dan formulasi indikator-indikator. Schuller, Baron et al. (2000) mendeskripsikan bahwa kunci kontribusi penting Coleman terhadap diskursus modal sosial terletak pada cara yang mudah dan sederhana untuk mengilustrasikan konsep modal sosial. Coleman mengeksplorasi bagaimana karakter produktif modal sosial dapat menyeimbangkan modal lainnya seperti modal kultural dan modal manusia (Teachman et al. 1997). Sementara itu, teori modal sosial dari Putnam (1993, 1995), seorang ilmuwan politik, juga memiliki akar fungsional struktural yang kuat, khususnya difokuskan pada integrasi sosial, tetapi teori Putnam lebih jauh dipengaruhi oleh pandangan pluralisme dan komunitarianisme. Tesis sentral dia adalah bahwa keberfungsian ekonomi regional dibarengi dengan integrasi politik yang tinggi merupakan hasil dari kapasitas regional untuk mengakumulasikan modal sosial (Siisiainen, 2000). Putnam mengajukan tiga komponen modal sosial: (a) kewajiban moral dan norma-norma; (b) nilai sosial, khususnya trust; dan (c) jaringan sosial, khususnya keanggotaan dalam asosiasi-sosiasi sukarela. Bentuk-bentuk modal sosial ini merupakan sentral untuk mempromosikan masyarakat sipil secara umum. Menurut Putnam, aktivitas produktif modal sosial merupakan manifestasi dari kapasitasnya untuk memfasilitasi koordinasi dan kerjasama yang saling menguntungkan (Putnam: 1995, p 2). Ancaman kapasitas produktif ini bersumber dari kecenderungan perubahan sosial yang mengindikasikan bahwa koordinasi dan kerjasama telah bergeser ke dalam keanggotaan kelompok keagamaan, organisasi orangtua-guru, dan kelompok-kelompok asosiasi lainnya. Putnam menyimpulkan kecenderungan tersebut sebagai sebuah gejala dimana modal sosial sedang mengalami erosi. Dampak erosi tersebut antara lain kehilangan ikatan keeratan dalam keluarga dan menurunnya hubungan saling percaya dalam masyarakat. Putnam menghubungkan secara langsung antara tingkat kerekatan sipil dengan kapasitas masyarakat untuk menangani masalah-masalah sosial dan ekonomi seperti pengangguran, kemiskinan, rendahnya partisipasi bersekolah, dan kriminalitas. Dengan demikian, seperti Coleman, Putnam mengklaim bahwa jaringan hubungan timbal balik yang terorganisasi dan solidaritas sosial merupakan pra-kondisi untuk modernisasi sosial dan ekonomi (Putnam: 1995, p 2).Robert Putnam mempopulerkan konsep modal sosial melalui studi tentang komitmen sipil di Italia (Boggs 2001; Schuller et al. 2000). Seperti halnya pengaruh Coleman terhadap diskursus teoritik tentang modal sosial, Putnam menyitir Foundations of Sosial Theory dari Coleman sebagai sumber utamanya (Routledge and Amsberg 2003). Putnam mendefinisikan modal sosial sebagai gambaran organisasi sosial seperti hubungan saling percaya (trust), norma-norma (norms), dan jaringan-jaringan (networks) yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat melalui fasilitasi tindakan yang terkoordinasi (Putnam et al. 1993).Dalam karya Making Democracy Work (Putnam et al. 1993), para penulis menggali perbedaan antara pemerintahan regional di utara dan selatan Italia terkait dengan penjelasan variabel tentang masyarakat sipil. Karya Putnam berikutnya difokuskan pada penurunan komitmen sipil di Amerika. Dalam Bowling Alone (1995), Putnam mengidentifikasi penurunan umum tingkatan spiritual modal sosial yang diindikasikan melalui keikutsertaan dalam organisasi organisasi-organisasi sukarela (Schuller et al. 2000). Karya akademik tersebut mengambil contoh dari olah raga bowling sebagai sebuah aktivitas yang biasanya menjadi organisasi yang asosiatif tinggi, dipresentasikan tidak hanya untuk saluran rekreasi tetapi juga sumber interaksi sosial, sebagai salah satu komponen modal sosial (Putnam 1999; 2000). Seperti halnya Coleman, Putnam juga terlibat dalam penelitian empiric dan formulasi indicator-indikator serta bertanggung jawab untuk pengembangan instrument aplikatif yang sering disebut 'Putnam instrument' (Adam and Roncevic 2003; Paldam and Svendsen 2000). Instrumen tersebut dikenal sebagai alat yang terbaik dan banyak digunakan meliputi empat indikator: hubungan saling percaya dalam masyarakat dan kelembagaan, norma-norma pertukaran timbal balik, jaringan-jaringan, dan keanggotaan dalam asosiasi sukarela.Dalam perkembangan selanjutnya, pemikiran ketiga teoritisi tersebut di atas memberikan inspirasi kepada teoritisi lain untuk lebih mengembangkan konsep dan teori modal sosial serta penerapannya dalam berbagai dimensi kehidupan. Melalui pengembangan karya Bourdieu dan Coleman, Alejandro Portes (1998), misalnya, mendefinisikan modal sosial sebagai kemampuan aktor untuk mengamankan keuntungan-keuntungan melalui keikutsertaan dalam jaringan-jaringan dan struktur sosial lainnya. Portes dan Landolt (1996) mengidentifikasi sisi negatif modal sosial dan mengilustrasikan bahwa teoritisi sebelumnya telah memfokuskan pada sisi positif, yakni efek keuntungan dari interaksi sosial tanpa mempertimbangkan gambaran-gambaran yang kurang menarik dan tidak menguntungkan. Demikian juga, pendekatan penelitian Ronald Burt (1998) didasarkan pada pemikiran Bourdieu dan Coleman dengan fokus pada variabel-variabel yang mengindikasikan posisi individu dalam jaringan sosial. Burt memfokuskan pada aksesabilitas sumberdaya melalui pengukuran modal sosial dalam kaitannya dengan hambatan-hambatan jaringan. Hambatan yang lebih besar terletak pada peluang struktural yang merupakan sumberdaya dari modal sosial. Pendekatan penelitian tersebut dikenal sebagai pendekatan jaringan seperti terlihat dalam variable jaringan. Nan Lin (2001a; 2001b) menggambarkan tiga program penelitian yang berbeda, yakni memfokuskan pada dokumentasi tentang distribusi sumberdaya dalam struktur sosial, dengan tujuan untuk menggambarkan distribusi relatif dari sumberdaya sebagai aset kolektif dalam struktur.Michael Foley dan Bob Edwards (1999) menghasilkan beberapa bukti yang ditemukan dari karya teoritisi lain yang melakukan studi empirik mengenai modal sosial. Penemuan mereka meliputi konteks konseptualisasi modal sosial, seperti akses dan sumberdaya, dan bahwa karya yang memfokuskan pada generalisasi sosial hubungan saling percaya (trust) menurut mereka tidaklah relevan. Francis Fukuyama melalui penggunaan pendekatan yang berasal dari Putnam, memfokuskan pada variabel tingkah laku dan sikap (contohnya trust, norma, dan nilai) sebagai ukuran dalam berbagai penelitiannya (Adam and Roncevic 2003). Dalam prakteknya, Fukuyama menyamakan modal sosial dengan trust. Dia sangat mengagungkan bahwa trust menjadi kunci utama modal sosial yang telah mempengaruhi kehidupan ekonomi. Trust yang dibangun menjadi faktor fundamental modal sosial banyak dikritik sebagai kelemahan Fukuyama yang menggunakan indikator tunggal sebagai ukuran modal sosial. Stephen Knack dan Paul Keefer (1997) mengadopsi dua ukuran modal sosial; rata-rata nilai trust yang diekspresikan secara umum; dan mengkomposisikan indeks norma kerjasama sipil. Pamela Paxton (1999: 93) mengkonseptualisasikan modal sosial agak berbeda dari teoritisi sebelumnya dengan mengajukan dua komponen modal sosial yang dapat diukur: asosiasi obyektif antara individu, dan tipe subyektif dari ikatan. Komponen pertama diukur dengan tiga variabel; pertukaran timbal balik, hubungan saling percaya, dan pelibatan emosi-emosi positif, dan komponen kedua diukur dengan hubungan saling percaya (trust) dalam individu dan kelembagaan. Konsep modal sosial Paxton ini banyak mengacu pada pemikiran Putnam dengan cara memadukan modal sosial struktural dan modal sosial kognitif. Pada umumnya, teoritisi kontemporer mengaitkan modal sosial dengan jaringan-jaringan sosial, mengikat orang yang sama dan menjembatani orang-orang yang beragam melalui norma-norma timbal balik (Dekker dan Uslaner, 2001; Uslaner, 2001). Adler dan Kwon (2002) mengidentifikasi bahwa instuisi utama yang memandu penelitian modal sosial adalah kemauan baik (goodwill) sebagai sumberdaya yang sangat berharga. Oleh karenanya mereka mendefinisikan bahwa modal sosial sebagai kemauan baik yang tersedia bagi individu atau kelompok yang bersumber dari struktur dan substansi hubungan sosial aktor. Hubungan tersebut mempengaruhi aliran informasi, pengaruh, dan solidaritas yang tersedia bagi aktor (Adler dan Kwon 2002: 23). Pada akhir 1990-an, kontribusi teoritisi terhadap pengembangan teori modal sosial tumbuh pesat. Pada umumnya teori-teori yang dikembangkan merupakan turunan dari pemikiran-pemikiran teoritisi kontempotrer modal sosial tersebut di atas. Namun demikian, tidak ada satupun kesepakatan umum terkait dengan definisi modal sosial, khususnya definisi yang diadopsi dari studi. Semuanya tergantung kepada disiplin dan tingkat investigasi (Robinson et al., 2002). Oleh karenanya sangat tidak mengejutkan apabila terdapat perbedaan framework modal sosial yang digunakan sehingga banyak menimbulkan ketidaksepakatan bahkan kontradiksi dalam pendefinisian modal sosial (Adler dan Kwon, 2002). Karena kesulitan-kesulitan tersebut, banyak teoritisi cenderung hanya mendiskusikan konsep, asal mula intelektualitasnya, keberagaman penerapannya dan beberapa isu yang tidak terpecahkan sebelum mengadopsi konsep yang ada dan menambahkannya ke dalam definisinya sendiri (Adam dan Roncevic, 2003). Penyebab utama dari variasi definisi tersebut disebabkan oleh terfokusnya diskusi pada bentuk, dan sumber atau konsekuensi modal sosial. Menurut Eastis (1998) modal sosial bersifat multi dimensi dan oleh karenanya harus dikonseptualisasi sebagai sesuatu yang memiliki nilai penjelas. Definisi modal sosial dari beragam teoritisi cenderung berbeda berdasarkan sudut pandang masing-masing. Baker (1990: 619), misalnya, mendefinsikan modal sosial sebagai sebuah sumberdaya yang diperoleh aktor dari struktur sosial yang spesifik kemudian digunakan untuk memenuhi kepentingan mereka. Menurutnya, modal sosial diciptakan melalui perubahan dalam hubungan antar aktor. Bourdieu (1986: 248) menyatakan bahwa modal sosial sebagai keseluruhan sumberdaya aktual dan potensial terkait dengan kepemilikan jaringan permanen dari hubungan yang terlembagakan atau berlangsung sejak lama. Portes (1986: 6) memandang modal sosial sebagai kemampuan aktor untuk mengamankan keuntungan-keuntungan melalui keanggotaan dalam jaringan sosial dan struktur sosial lainnya. Coleman (1990: 302) mendefinisikan modal sosial berdasarkan fungsinya. Menurutnya, modal sosial bukanlah unit yang tunggal, melainkan berbagai unit yang bervariasi dan umumnya memiliki dua karakteristik: unit tersebut terdiri dari beberapa aspek struktur sosial; dan berfungsi untuk memfasilitasi tindakan individu yang berada dalam struktur. Fukuyama (1995: 10) menyebut modal sosial sebagai kemampuan orang untuk bekerja bersama bagi pencapaian tujuan bersama dalam kelompok dan organisasi. Selanjutnya Fukuyama menjelaskan bahwa modal sosial dapat didefinisikan secara sederhana sebagai eksistensi serangkaian norma-norma informal atau norma-norma bersama di antara anggota sebuah kelompok yang memungkinkan terjadinya kerjasama antar mereka. Putnam (1995: 67) menyebut modal sosial sebagai gambaran organisasi sosial seperti jaringan-jaringan, norma-norma, dan hubungan saling percaya yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama saling menguntungkan. Sementara Woolcock (1998: 153) menyebut modal sosial terdiri dari informasi, hubungan saling percaya, dan norma-norma hubungan timbal balik yang melekat dalam jaringan sosial seseorang. Teoritisi modal sosial mempelajari elemen-elemen modal sosial- ikatan sosial, pertukaran timbal balik, kewajiban moral dan tanggung jawab kolektif- yang memotivasi kontribusi individu bagi kebaikan bersama. Kewajiban, ekspektasi (Coleman, 1990), dan kebiasaan untuk saling percaya (Fukuyama, 1995) akan menjadi penghalang bagi tingkah laku yang mementingkan diri sendiri dan menginspirasi spirit kerjasama.Harus diakui bahwa teori modal sosial banyak dikritik memiliki kelemahan dalam definisi dan konseptualisasi. Beragamnya kajian aspek tersebut mengakibatkan relatif sulitnya dicapai kesepakatan tentang definisi maupun konsep modal sosial itu sendiri. Namun demikian, dari hasil lacakan beberapa literatur, terdapat dimensi utama modal sosial yang selama ini umumnya digunakan untuk kajian pada tataran empirik. Dimensi modal sosial umumnya dilihat sebagai trust atau hubungan saling percaya (Coleman 1988; Putnam 1993); aturan-aturan dan norma-norma yang menata tindakan sosial (Coleman 1988; Fukuyama 2001; Portes and Sensenbrenner 1993); Tipe-tipe interaksi sosial (Collier 1998); sumberdaya jaringan (Kilpatrick 2000; Snijders 1999); aturan kelembagaan yang sedang digunakan (Ostrom, 1992); hubungan saling percaya dan norma jaringan komitmen masyarakat sipil (Putnam, 1993); hubungan saling percaya, nilai bersama, toleransi, norma, dan kolaborasi (Adam and Someshwar (1996); hubungan saling percaya, resiprositas atau hubungan timbal balik, aturan bersama, norma dan sanksi, relasi, dan kelompok (Pretty and Ward 1999); norma, jaringan, dan organisasi (Grootaert, 1998). Dimensi modal sosial dari Krishna dan Uphoff (1999) relatif jauh lebih komprehensif. Keduanya menyatakan bahwa dimensi pokok modal sosial terdiri dari bentuk-bentuk struktural (structural forms): aturan-aturan, jaringan sosial, peranan, prosedur, dan standar-standar. Bentuk-bentuk Kognitif (cognitive forms) yang dikategorikan menjadi dua bagian, yakni primary forms: hubungan saling percaya dan timbal balik, solidaritas, kerjasama, kemurahan hati; secondary forms: kejujuran, egalitarianisme, kewajaran, partisipasi, pemerintahan yang demokratik, dan mengingat masa depan. Teoritisi lain telah mengidentifikasi perbedaan kelompok dimensi modal sosial. Misalnya, Liu dan Besser (2003) yang mengelompokkan dimensi modal sosial ke dalam ikatan sosial informal, ikatan sosial formal, hubungan saling percaya, dan norma-norma tindakan kolektif.Sementara itu, Pretty (2003) mengemukakan tiga sifat dimensi modal sosial, yakni bonding, bridging, and linking social capital. Pretty menggambarkan bonding social capital sebagai kohesi sosial dalam kelompok atau masyarakat yang menghasilkan hubungan antara individu dari etnis yang sama, hubungan status sosial berdasarkan pada ikatan lokal, saling percaya dan nilai moral bersama yang diperkuat oleh tindakan kolektif (collective action). Bridging social capital digambarkannya sebagai jaringan dan hubungan structural lintas kelompok, melibatkan kordinasi atau kolaborasi dengan kelompok lain, asosiasi eksternal, mekanisme-mekanisme dukungan sosial dan informasi lintas komunitas dan kelompok. Sementara linking social capital menunjuk pada kemampuan kelompok untuk melibatkan agen-agen eksternal sebagai sumberdaya yang berguna atau yang mampu mempengaruhi kebijakan. Dimensi ini dilakukan dalam lintas status, kelompok miskin dan mereka yang berada dalam posisi menentukan atau berpengaruh. Dalam aplikasinya, perbedaan dimensi modal sosial menentukan apakah komunitas dapat bertindak sebagai sebuah unit yang kohesif (bonding); apakah individu bertindak sesuai dengan norma dan hukum (structural); apakah mereka berhubungan dengan organisasi kemasyarakat (bridging) ataukah mereka dapat mengakses dan mempengaruhi kelembagaan dengan kekuatan dan sumberdaya yang lebih (linking) untuk mengelola sumberdaya yang ada.Teoritisi lain telah mengidentifikasi dimensi modal sosial ke dalam pengelompokan yang berbeda. Misalnya, Liu dan Besser (2003) mengidentifikasi empat dimensi modal sosial: ikatan sosial informal, ikatan sosial formal, hubungan saling percaya, dan norma-norma tindakan kolektif.Definisi Modal SosialBeragamnya pendekatan modal sosial pada gilirannya menghasilkan definisi yang berbeda, dan sangat membingungkan teoritisi yang menggeluti teori tersebut. Tidak diperoleh kesepakatan bersama tentang definisi modal sosial, terutama hal ini disebabkan pendefinisian modal sosial ditentukan oleh latar belakang disiplin teoritisi dan tingkatan investigasinya (Robison et al. 2002). Tidak mengejutkan apabila ditemukan perbedaan conceptual framework untuk mendeskripsikan modal sosial, bahkan terdapat kontradiksi dalam pendefinisian modal sosial (Adler and Kwon 2002). Disebabkan oleh kesulitan untuk menemukan definisi modal sosial, banyak teoritisi cenderung untuk hanya mendiskusikan masalah modl sosial dari sudut konsep, asal muasal intelektualitasnya, perbedaan dalam penerapan, dan beberapa isu yang tidak terpecahkan sebelum menambahkannya ke dalam definsi mereka (Adam and Roncevic 2003).Teoritisi lain mengindikasikan bahwa varian dalam definisi modal sosial tergantung kepada apakah memfokuskan pada substansi, sumber, ataukah dampak modal sosial (Adler and Kwon 2002; Field et al. 2000; Robison et al. 2002). Grootaert and Van Bastelaer (2002b) mendukung pendapat yang mengidentifikasi bahwa sebab utama bervariasinya definisi disebabkan oleh fokus pada bentuk, sumber atau konsekuensi modal sosial itu sendiri. Modal sosial berbicara tentang nilai dari jaringan sosial, mengikat orang-orang yang sama, dan menjadi jembatan antara orang-orang yang berbeda dengan norma-norma resiprositas (Dekker and Uslaner 2001; Uslaner 2001). Sander (2002: 213) menyatakan bahwa 'the folk wisdom that more people get their jobs from whom they know, rather than what they know, turns out to be true'. Adler and Kwon (2002) mengidentifikasi bahwa instuisi yang mengarahkan riset modal sosial adalah kemauan baik yang dimiliki orang lain terhadap kita merupakan sumberdaya yang berharga. Seperti yang mereka definisikan bahwa modal sosial sebagai 'the goodwill available to individuals or groups. Its source lies in the structure and content of the actor's social relations. Its effects flow from the information, influence, and solidarity it makes available to the actor' (Adler and Kwon 2002: 23). Dekker and Uslaner (2001) memposisikan bahwa modal sosial merupakan secara fundamental membicarakan mengenai bagaimana orang berinteraksi dengan lainnya. Keeragaman definisi dapat dilihat pada table berikut

Eksternal vs InternalTeoritisiDefinisi Modal Sosial

Baker Sumberdaya yang diperoleh dari struktur sosial yang spesifik dan kemudian digunakan untuk memenuhi kepentingan mereka; modal sosial dibentuk oleh perubahan-perubahan dalam hubungan antar aktor (Baker, 1990: 619)

Bourdieuagregasi sumberdaya aktual dan potensial yang dihubungkan dengan kepemilikan jaringan yang sudah berlangsung lama berdasarkan hubungan saling mengenal yang kurang lebih sudah terlembagakan (Bourdieu, 1986: 248).

Tersusun dari kewajiban sosial yang dapat dipertukarkan dalam kondisi tertentu ke dalam modal ekonomi dan dapat dilembagakan dalam bentuk status kehormatan (Bourdieu 1986: 243).

Bourdieu WacquantJumlah sumberdaya, aktual atau potensial yang diperoleh individu atau kelompok melalui kepemilikan jaringan yang sudah berlangsung lama berdasarkan hubungan saling mengenal yang kurang lebih sudah terlembagakan (Bourdieu and Wacquant 1992: 119)

Boxman, De Graai. FlapSejumlah orang yang dapat diharapkan untuk menyediakan dukungan dan sumberdaya yang mereka miliki dalam pembuangan mereka (Boxman et al. 1991: 52)

BurtTeman, kolega, dan kontak-kontak yang lebih umum melalui pihak-pihak yang memungkinkan kita menerima kesempatan untuk menggunakan modal finansial dan modal manusia (Burt 1992: 9).

KnokeJembatan kesempatan dalam sebuah jaringan. Proses dalam mana aktor sosial menciptakan dan memobilisasi koneksi jaringan mereka di dalam dan antar organisasi untuk memperoleh akses terhadap sumberdaya aktor sosial lain (Knoke 1999: 18).

PortesKemampuan aktor untuk mengamankan keuntungan melalui aset keanggotaan dalam jaringan sosial atau struktur sosial (Portes 1998: 6).

Belliveau, O,Reilly, Wade Jaringan personal dari individu dan afiliasi institusional elit (1996: 1572)

Internal/ Bonding/ LinkingBrehm RahnJaringan hubungan kerjasama antara penduduk yang memfasilitasi pemecahan masalah-masalah tindakan kolektif (Brehm and Rahn 1997: 999).

Colemanmodal sosial bukanlah kesatuan yang tunggal, melainkan terdiri dari berbagai kesatuan yang memiliki dua elemen dasar, yakni: (a) sebuah aspek dari struktur sosial yang memfasilitasi tindakan-tindakan tertentu; (b) modal sosial merupakan sumberdaya nyata atau potensial, yang diperoleh dari hubungan yang pada gilirannya memfasilitasi tindakan aktor-aktor individual yang ada dalam struktur sosial.(Coleman 1990: 302).

FukuyamaKemampuan orang untuk bekerja sama bagi pencapaian tujuan bersama dan organisasi (Fukuyama, 1995: 10)

Keberadaan serangkaian nilai atau norma bersama tertentu dari kelompok yang membolehkan kerjasama di antara mereka (Fukuyama, 1997)

InglehartBudaya hubungan saling percaya dan toleransi yang mana jaringan-jaringan ekstensif asosiasi sukarela bermunculan (Inglehart 1997: 188)

Portes and SensenbrennerHarapan-harapan untuk tindakan dalam sebuah kolektivitas yang mempengaruhi tujuan-tujuan ekonomi dan perilaku yang sedang mencari tujuan tertentu meskipun tidak berorientasi pada tujuan-tujuan ekonomi (Portes and Sensenbrenner 1993, p. 1323)

PutnamGambaran organisasi-organisasi sosial seperti jaringan, norma, dan kepercyaan sosial yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama untuk tujuan-tujuan yang saling menguntungkan (Putnam, 1995: 67)

Eksternal dan internalNahapiet and GhosalJumlah sumberdaya potensial dan aktual yang melekat dalam, tersedia melalui, dan berasal dari jaringan hubungan yang dimiliki oleh seorang individu atau unit sosial. Modal sosial dengan demikian terdiri dari jaringan dan aset yang dapat dimobilisasi melalui jaringan tersebut ((Nahapiet and Ghoshal 1998: 243)

SchiffSerangkaian elemen struktur sosial yang mempengaruhi hubungan antar orang dan sebagai input produksi dan atau fungsi kegunaan (Schiff, 1992: 160)

WoolcockInformasi, hubungan saling percaya, norma-norma resiprositas yang melekat dalam jaringan sosial seseorang (Woocok, 1988: 153)

(diadaptasi dari Adler and Kwon, 2002).Konseptualisasi Modal Sosial Ketidaksesuaian teknik pengukuran yang diterapkan telah menyebabkan masalah dalam memahami modal sosial pada tingkatan konseptual, dan hal ini menjadikan perdebatan apakah konsep yang ada relevan atau sesuai dengan kondisi empirik yang ada. Collier (1998) merumuskan langkah awal yang baik untuk konseptualisasi. Dia mengidentifikasi bahwa model konseptual modal sosial sebaiknya mengidentifikasi konsep di dalam kompleksitas dunia sosial seperti yang didefiniskikan oleh hubungan dinamis antara komponen modal sosial dibandingkan apa yang terjadi saat ini yang muncul cenderung kumpulan variabel kondisional yang tidak seragam atau kontradiktif. Edwards dan Foley (1998) menambahkan pandangan bahwa kompleksitas pengidentifikasian norma-norma dan nilai-nilai yang dimiliki oleh individu akan menjadi modal sosial hanya apabila mereka memfasilitasi tindakan individu lain. Dengan kata lain, nilai dan norma yang dimiliki individu tidak akan menjadi modal social apabila individu yang bersangkutan tidak mampu memfasilitasi tindakan yang dilakukan individu lainnya. Selain itu, faktor lain yang penting adalah perbedaan antara dua mekanisme dalam mana aktor mendapaatkan modal social; transaksi timbal balik dan hubungan saling percaya yang dapat diperkuat, dipertahankan oleh perbedaan norma, dan karakteristik ikatan sosial di antara aktor yang terlibat (Frank and Yasumoto 1998).Pada dasarnya modal sosial bersifat milik bersama (public good) dan bukan milik perseorangan. Komponen modal sosial seperti saling percaya, norma-norma, dan jaringan-jaringan diyakini Putnam (1999) cenderung menguat sendiri dan bersifat kumulatif. Modal sosial, dengan demikian, cenderung akan terus meningkat apabila sering digunakan. Modal sosial merupakan sumberdaya moral, yakni sumberdaya yang persediaannya bertambah melalui pemanfaatan, dan tidak seperti modal fisik yang menjadi berkurang apabila digunakan (Putnam, 1999). Artinya, modal sosial akan membangun kekuatannya sendiri dan tidak sangat tergantung pada investasi dari luar. Oleh karena itu, komponen modal sosial pada umumnya berupa potensi dan prakarsa komunitas lokal, dan oleh karenanya memiliki daya pengikat yang sangat kuat.Woolcock dan Narayan (2000) telah mengidentifikasi empat pendekatan dalam merumuskan konseptualisasi modal sosial, yakni pendekatan-pendekatan komunitarian (communitarian approach), jaringan (network approach), institusional (institutional approach), dan sinergi (synergy approach). Menurut mereka, dari keempat pendekatan tersebut, pendekatan sinergi dengan menekankan pada tingkat dan dimensi modal sosial serta hasil positif dan negatif yang diperoleh melalui modal sosial telah dibuktikan sebagai cara pandang yang komprehensif dan koheren terkait dengan preskripsi kebijakan pembangunan. Woolcock and Narayan (2000, p. 229) mengidentifikasi bahwa communitarian perspective berhubungan erat dengan organisasi lokal seperti klub, asosiasi, dan kelompok sipil. Perspektif ini sebenarnya sudah dirintis sejak awal oleh Putnam (1993, 1995) dan Fukuyama (1995, 1997). Perspektif komunitarian, yang melihat jumlah dan kepadatan kelompok-kelompok tersebut pada sebuah komunitas, memandang bahwa modal sosial secara inheren bersifat sangat baik, dan kehadirannya selalu memiliki dampak positif pada kesejahteraan masyarakat. Pendekatan ini berasumsi bahwa komunitas bersifat homogen secara keseluruhan yang secara otomatis menguntungkan seluruh anggota dan tidak membuat perbedaan antara modal sosial produktif dan negatif. Sementara itu, Woolcock dan Narayan (2000) mengidentifikasi bahwa network approach memperhitungkan keuntungan dan kerugian modal sosial. Pendekatan ini menekankan pentingnya asosiasi vertikal dan horizontal dan hubungan individu-individu secara keseluruhan diantara berbagai unit organisasi seperti kelompok dan perusahaan. Sandefur dan Laumann (1998, p. 484) telah membuktikan deskripsi pendekatan jaringan. Ditemukan bahwa potensi modal sosial individu berisi koleksi dan karakteristik hubungan dalam mana seseorang menjadi bagian dan memiliki akses terhadap asosiasinya pada ruang yang lebih luas. Pendekatan ini memfokuskan pada pentingnya istilah bonding and bridging social capital dalam beberapa literatur saat ini. Istilah ini terkait dengan teori-teori structural holes dan network closure of social capital (Adler dan Kwon 2002). Teori closure of social capital menyatakan bahwa sebuah jaringan yang memiliki inter koneksi yang kuat antar elemen dapat menciptakan modal sosial. Sebaliknya, teori structural hole berargumen bahwa modal sosial diciptakan oleh jaringan dalam mana individu-individu dapat menjembatani koneksi antara segmen-segmen yang tidak memiliki koneksi satu dengan lainnya (Burt 2001). Bagi Ronald Burt, the structural hole theory memberikan arti yang konkrit terhadap metafora modal sosial yang dia yakini bahwa modal sosial berfungsi sebagai penyalur lintas lubang struktur dibandingkan dengan inter koneksi dalam sebuah jaringan. Pendekatan sinergi (Synergy Approach) berusaha untuk mengintegrasikan kekuatan kinerja yang muncul dari pendekatan jaringan dan kelembagaan (Woolcock dan Narayan 2000). Mereka mengidentifikasi bahwa tiga kunci sentral tugas teoritisi sinergi, peneliti dan pengambil kebijakan adalah (1) mengidentifikasi karakteristik dan tingkatan hubungan sosial komunitas dan institusi formal, serta interaksi antar mereka; (2) mengembangkan strategi institusional berbasiskan hubungan-hubungan sosial tersebut; dan (3) menetukan bagaimana manifestasi positif kerjasama modal sosial, hubungan saling percaya, dan efisiensi institusional dapat menghilangkan sektarian dan isolasi.Tingkatan Analisis Modal SosialSementara itu, Grootaert and Van Bastelaer (2002) mengidentifikasi dimensi konseptualisasi modal sosial: tingkatan mikro ke tingkatan makro, dan kontinum dari modal sosial kognitif ke modal sosial struktural. Menurut mereka, modal sosial pada tingkat makro terdiri dari kelembagaan negara dan aturan hukum (bersifat struktural), dan pola pengelolaan negara (bersifat kognitif). Sementara, modal sosial pada tingkat mikro meliputi kelembagaan lokal dan jaringan (bersifat struktural), dan hubungan saling percaya, norma lokal, dan nilai-nilai (bersifat kognitif).Hal yang hampir sama juga dikemukakan oleh Bain and Hicks (1998) yang mengembangkan konseptualisasi modal sosial ke dalam dua tingkatan: tingkatan makro dan mikro. Tingkatan makro menunjuk pada konteks institusional dalam mana organisasi beroperasi, sementara tingkatan mikro merujuk pada kontribusi yang potensial organisasi dan jaringan sosal horizontal terhadap pembangunan. Pada tingkatan makro terdapat unsur aturan hukum, tipe rejim pemerintahan, tingkatan desentralisasi, tingkat partisipasi dalam pengambilan keputusan, dan kerangka kerja legal/formal. Tingkatan mikro yang terdiri dari aspek kognitif dan aspek struktural. Aspek kognitif terdiri dari nilai-nilai hubungan saling percaya, solidaritas, dan hubungan timbal balik, norma sosial, tingkah laku, dan sikap. Aspek struktural terdiri dari struktur organisasi horizontal, proses pengambilan keputusan kolektif yang transparan, akuntabilitas pemimpin, praktek tindakan kolektif dan tanggung jawab sosialDalam banyak literatur, teoritisi menempatkan modal sosial pada tingkatan individu, beberapa pada tingkat komunitas, dan lainnya lebih memiliki pandangan yang dinamis dan bersifat fleksibel. Kilby (2002), misalnya, menyatakan bahwa modal sosial berada dalam tingkatan atau skala individu yang menjadi bagian dari keluarga, komunitas, organisasi profesi, negara dan sebagainya secara simultan. Adler dan Kwon (2002) mendukung pernyataan tersebut bahwa sumberdaya modal sosial terletak dalam struktur sosial dimana seorang aktor berada. Dengan demikian, modal sosial dapat dipandang sebagai milik individu sebagai bagian dari agregasi komponen sosial. Kilpatrick et al (1998) dan Sander (2002) menyatakan bahwa modal sosial pada dasarnya milik kelompok dan dapat digunakan oleh kelompok atau individu-individu yang menjadi anggota kelompok bersangkutan. Brewer (2003) menyatakan bahwa meskipun pada dasarnya modal sosial dipandang sebagai konsep masyarakat yang lebih luas, modal sosial dapat juga diobservasi pada tingkatan individu. Dalam posisi yang berbeda, Coleman (1988) berpendapat bahwa modal sosial bukanlah atribut dari individu-individu melainkan aspek tergantung dari struktur sosial. Pendapat tersebut merupakan cerminan dari perspektif Coleman terhadap analisis modal sosial yang cenderung bersifat struktural fungsional. Dalam perspektif ini individu merupakan representasi dari masyarakat. Oleh karenanya individu bersifat pasif, atau masyarakat merupakan hasil konstruksi individu-individu. Asumsi Coleman juga didukung oleh Newton (2001) bahwa modal sosial secara esensial merupakan kekayaan kolektif dari sistem sosial, bukan karakteristik dari individu. Demikian juga (Edwards and Foley 1998) meyakini bahwa perbedaan antara modal manusia dan modal sosial adalah bahwa modal sosial inheren dalam hubungan antara individu dan kelompok, dan bukan di dalam hubungan antar individu.Dari penjelasan tentang konseptualisasi modal sosial tersebut, secara tidak langsung akan berdampak pada tingkatan analisisnya pada tataran empirik. Kajian-kajian yang telah dilakukan, modal sosial pada dasarnya ditempatkan pada tingkatan individu, kelompok sosial informal, organisasi formal, masyarakat, kelompok etnis dan bahkan tingkat nasional. Namun demikian, konsensus umum dalam berbagai literatur sangat jelas bahwa modal sosial dapat diidentifikasi dari tingkatan individu ke tingkatan masyarakat dan bahkan negara. Oleh karenanya, dalam penelitian ini, analisis modal sosial diklasifikasikan ke dalam tiga tingkatan, yakni tingkatan micro (individual), meso (kelompok) dan macro (masyarakat). Mengacu akar analisis teori sosial, terdapat beberapa teori yang berasumsi bahwa masyarakat merupakan penjumlahan dari individu sehingga analisisnya berada pada tingkat individu. Dengan kata lain, apabila ingin mengetahui tentang masyarakat, maka informasi dapat dikumpulkan kepada individu-individu. Dengan demikian, individu menjadi unit otonom. Sebaliknya, terdapat teori sosial yang mengasumsikan bahwa kondisi empirik yang riil adalah masyarakat, sementara individu ditempatkan sebagai representasi dari masyarakat dan tidak bersifat otonom. Masyarakat merupakan hasil dari konstruksi beberapa individu. Akibatnya, dikotomi tersebut melahirkan cara pandang yang berbeda tentang individu dan masyarakat, yang di sosiologi dikenal dengan fakta sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial. Dengan demikian, termasuk dalam paradigma manakah kajian tentang modal sosial yang akan dilakukan? Meskipun di kalangan teoritisi modal sosial masih terjadi perdebatan dalam hubungannya dengan tingkatan analisisnya, namun hampir semua menyadari bahwa kajian modal sosial dapat dilakukan pada tataran mikro (individu) kemudian bergerak ke tataran makro (mikro-makro). Namun sebaliknya, terdapat aliran yang mengkaji modal sosial pada tataran makro kemidian bergerak ke tingkatan mikro (makro-mikro) seperti yang dilakukan oleh Coleman dan Putnam. Kedua teoritisi ini cenderung menggunakan pendekatan struktural fungsional. Modal Sosial dan Modal yang Sebenarnya: Sebuah PerdebatanMasih banyak kontoversi dalam literatur terkait dengan penggunaan istilah capital ( Smith dan Kulynych 2002). Namun beberapa teoritisi dengan caranya sendiri mencoba untuk menjelaskan kedudukan berbagai bentuk modal tersebut. Portes (1998), misalnya, secara elegan memposisikan letak modal dalam kaitannya dengan bentuk-bentuk modal lainnya, yakni modal ekonomi berada dalam rekening bank seseorang, dan human capital adanya di dalam kepala mereka, sementara modal sosial melekat di dalam struktur jaringan mereka (hal. 7). Selanjutnya, human capital berada di dalam individu, sementara social capital berada dalam hubungan sosial (Woolcock, 2001a: 12). Tentunya, kedua jenis modal tersebut sering diperlakukan oleh penganut classical-theory of capital berada di luar pengukuran kinerja ekonomi.Pada awalnya, perdebatan kinerja ekonomi, hanya difokuskan pada tiga faktor utama, yakni tenaga kerja, tanah, dan modal finansial sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi. Namun sejak akhir tahun 1960, ide tentang modal manusia (human capital) yang komponennya menyangkut tenaga kerja yang terlatih dan berpendidikan serta kesehatan kerja menjadi faktor yang sangat penting untuk dimasukkan sebagai komponen modal dalam menilai kinerja ekonomi (Evans dan Syrett, 2007). Terfokusnya komponen modal fisik dan finansial untuk mengukur kinerja ekonomi tersebut memperoleh kritik dan bahkan penentangan dari kalangan teoritisi penganut neo-capitalism. Sementara di lain pihak, pandangan bahwa modal human, modal kultural, modal intelektual, dan modal manusia yang sama-sama memiliki karakteristik untuk menjadi sumberdaya yang produkti telah mendapat banyak dukungan. Karya Bourdieu (1986); Bourdieu dan Wacquant (1992), misalnya, menampilkan ide tengang fungibility yang mengilustrasikan adanya mekanisme pertukaran di antara bentuk-bentuk modal, baik modal ekonomi, kultural dan sosial. Artinya,masing-masing bentuk modal tersebut memiliki peran yang sama untuk dijadikan sebagai parameter kinerja pembangunan ekonomi. Seperti yang dikatakan Woolcock (2001a: 15), social capital of the poor is the one asset that they can potentially draw upon to help negotiate their way through an unpredictable and unforgiving world. Artinya, masyarakat miskin yang tidak memiliki sumberdaya ekonomi pun masih mampu melakukan negosiasi karena mereka memiliki persediaan sumberdaya modal sosial yang berlimpah. Tetapi dalam banyak kasus, there is considerable stocks of social capital in ghetto areas, but the assets obtainable through it seldom allows participants to rise above their poverty (Portes and Landolt, 1996). Dengan demikian, meskipun modal sosial dapat digunakan untuk memperoleh modal yang lainnya, dampak potensialnya akan dipengaruhi oleh ketersediaan bentuk-bentuk modal lain. Dengan kata lain, modal sosial dapat berfungsi sebagai unsur pelumas bagi akumulai, pemanfaatan, dan investasi bentuk modal lainnya. Selanjutnya, gambaran yang menarik dan berbeda dari modal sosial adalah bahwa tidak seperti bentuk modal lainnya, semakin banyak modal sosial digunakan, maka semakin banyak dia tumbuh (Evans dan Syrett, 2007). Semakin sering modal sosial digunakan, maka modal sosial potensial dan aktual justru akan semakin baik dan bukan semakin habis. Dengan kata lain, penggunaan modal-modal lainnya akan sangat membutuhkan persediaan modal sosial untuk dijadikan sebagai unsur pelumas pemanfaatan modal-modal lainnya. Pertanyaannya, apakah modal sosial, dengan demikian, benar-benar merupakan modal yang sesungguhnya? Menurut Adler dan Kwon (1999), modal sosial mirip dengan bentuk modal lainnya yang dapat diinvestasikan dengan harapan perolehan keuntungan di masa depan. Bahkan modal sosial dapat dipertukarkan (Bourdieu 1986), dan membutuhkan pemeliharaan (Gant et al. 2002). Modal sosial berbeda dengan bentuk modal lainnya. Modal tersebut berada dalam hubungan sosial, sementara bentuk modal lainnya berada dalam individu (Robison et al. 2002). Selanjutnya, modal sosial tidak dapat diperdagangkan oleh individu di pasar terbuka seperti bentuk-bentuk modal lainnya, melainkan melekat dalam kelompok (Gant et al. 2002; Glaeser et al. 2002). Sangat jelas dari berbagai literatur bahwa modal sosial memiliki kesamaan dan juga perbedaan dengan teori-teori neo-capital, dan tentunya pasti berbeda dari teori modal klasik. Untuk mendiskusikan hal ini lebih detail, sangat diperlukan untuk mengidentifikasi karakteristik modal itu sendiri. Schmid (2000), misalnya, mengidentifikasi bahwa modal tidak dapat segera digunakan dalam produksi tetapi lebih bersifat melayani produksi dalam rentang waktu yang terus menerus. Piazza-Georgi (2002) menyatakan bahwa modal menghasilkan pendapatan dan termasuk ke dalam sifat yang tidak dapat dikonsumsi, tetapi berperan sebagai input dalam proses produksi. Pendapat ini mendukung keyakinan Schmid (2000a) yang menyatakan bahwa modal sebagai sumberdaya produktif yang dihasilkan dari investasi .Banyak teoritisi mempertanyakan dan bahkan menentang kesesuaian istilah modal dalam modal sosial. Apabila modal sosial melekat dalam norma dan tidak dipengaruhi oleh tindakan individu seperti yang diungkap Fukuyama (1995), maka modal sosial tersebut bukanlah benar-benar modal. Smith dan Kulynych (2002) menyatakan bahwa kata modal menurutnya terlalu luas, dan tidak bermakna, serta istilah tersebut mengaburkan banyak perbedaan yang menyulitkan para teoritisi dan peneliti, apapun latar belakang akademiknya. Sebaliknya, Inkeles (2000: 20) menyarankan bahwa istilah modal terlalu terbatas dan akan lebih baik menggunakan istilah sumberdaya komunal atau sumberdaya sosial. Argumentasinya adalah modal menjadi satu elemen dari produksi, khususnya barang dan jasa. Namun dia menginginkan produksi bukan hanya barang dan jasa, melainkan juga dukungan sosial, keamanan fisik dan sosial, ekspresi kebebasan, kesempatan untuk mengembangkan diri, dan berbagai putput yang tidak dapat ditangkap ole hide tentang barang dan jasa. Hofferth, Boisjoly et al (1999) menyatakan bahwa modal sosial merupakan produk dari altruisme dan karenanya bukan modal sebagai sebuah sumberdaya yang dibangun melalui investasi. SCIG (2000) menyimpulkan bahwa konsekuensi modal sosial adalah modal yang bercirikan sesuatu yang terus menerus ada, sesuatu yang tetap mempertahankan identitas meskipun sudah digunakan, sesuatu yang dapat digunakan, dihancurkan, dipertahankan atau ditingkatkan. Beberapa teoritisi, di lain pihak, mengidentifikasi bahwa bentuk-bentuk modal sosial seperti bentuk struktural dan kognitif, memenuhi standar untuk disebut sebagai modal karena keduanya membutuhkan investasi waktu dan upaya dan kadang-kadang berbentuk uang (Grootaert 2001; Grootaert dan Van Bastelaer 2002b; Krishna dan Uphoff 2002). Dapat disimpulkan bahwa modal sosial tidak seperti bentuk modal lainnya tetapi juga tidak cukup menjamin adanya perbedaan istilah. Tentunya, penggunaan istilah modal yang membuat konsep modal sosial lebih menarik untuk kebanyakan teoritisi, khususnya dibidang ekonomi dan sosiologi. Mungkin yang lebih sesuai untuk istilah modal sosial adalah solidaritas sosial sebagai konsep yang berkonotasi dengan hubungan saling percaya, kerjasama, dan resiprositas (Adam dan Roncevic 2003). Saran ini memang tidak banyak diikuti oleh teoritisi modal sosial karena dianggap mengaburkan makna modal sosial yang lebih luas daripada hanya sekedar solidaritas sosial. KesimpulanBerdasarkan pada diskusi tersebut di atas, perdebatan terutama terfokus pada istilah modal yang digunakan untuk konsep modal sosial, dan bukan pada substansi modal itu sendiri. Merujuk pada karakteristik modal, ada yang berpendapat bahwa modal sosial bukanlah modal yang sebenarnya. Ia hanya sebagai istilah agar orang tertarik untuk menggeluti bidang itu, terutama dari kalangan yang memiliki minat bersamaan dalam bidang sosiologi dan ekonomi. Bagi teoritisi ekonomi, modal sosial secara substansi bukan benar-benar modal seperti yang mereka bayangkan dalam konseo modal menurut perspektif classical theory of capital. Penganut Marxian, misalnya, akan senantiasa menolak konsep modal sosial karena pijakannya sangat berbeda. Modal bagi mereka sebagai surplus produksi yang diperoleh melalui penekanan terhadap kaum buruh oleh kapitalis atau pemilik alat-alat produksi. Sumberdaya manusia (baca: buruh) bukanlah subyek dari modal itu sendiri. Oleh karenanya tidak mungkin memiliki akses, mengakumulasi, mereproduksi, dan bahkan memanfaatkan modal yang mereka hasilkan sendiri. Sebaliknya, bagi teoritisi neo-capital theory, modal sosial menjadi bagian integral dari diskusi tentang konsep modal itu sendiri. Konsep-konsep seperti intellectual capital, human capital, cultural capital, dan juga social capital, menjadi bentuk modal yang langsung maupun tidak langsung mempengaruhi keberadaan (presence) dan atau ketiadaan (absence) modal menurut perspektif teori modal klasik.Modal (capital), seperti yang diungkap Lin (2001: 3), merupakan investment of resources with expected returns in the marketplace. Dengan kata lain, modal merupakan sumberdaya yang ketika diinvestasikan dan dimobilisasi akan memperoleh keuntungan. Menurutnya, modal merupakan sumberdaya yang diproses dua tahap. Pertama, sumberdaya yang diproduksi atau diubah menjadi investasi; kedua, sumberdaya yang diproduksi dan diubah kemudian ditawarkan ke pasar untuk tujuan keuntungan. Dalam contoh lain, modal merupakan hasil dari sebuah proses produksi (memproduksi atau menambah nilai terhadap sumberdaya); di lain pihak, modal merupakan faktor penyebab dalam proses produksi (sumberdaya dipertukarkan untuk menghasilkan keuntungan).Konsep modal tersebut berorientasi pada pemikiran klasik, meskipun pada akhir tulisan Lin (2001) memandang bahwa modal sosial menjadi komponen penting dalam proses produksi, yang melekat dalam hubungan-hubungan sosial. Teori modal sosial dari Lin ini banyak dikutip oleh para teoritisi human resource development (HRD) dalam meningkatkan kinerja organisasi dan perusahaan. Para teoritisi tersebut mengakui bahwa pemikiran-pemikiran neo-capital yang memasukkan komponen modal manusia, kultural, intelektual, dan modal sosial menjadi faktor yang mendorong akumulasi modal dalam perspektif ekonomi. Modal sosial, dalam tataran tertentu, ternyata mampu meningkatkan akumulasi modal ekonomi dan menjadi parameter untuk mengukur kinerja produksi modal itu sendiri. Selain itu, menyitir hasil kajian Evans dan Syrett (2007) tentang generating social capital?: The Social Capital and Local Economic Development, menyiratkan adanya hubungan yang kuat antara keberhasilan pembangunan ekonomi lokal dengan keberadaan modal sosial. Tidak jarang ditemukan sebuah komunitas yang tidak memiliki sumberdaya modal fisik dan finansial, tetapi memiliki persediaan modal sosial yang cukup berhasil melakukan pembangunan ekonominya dengan baik. Dalam hal tersebut, kedua penulis ini secara implisit ingin mengatakan bahwa modal ekonomi saja tidak akan cukup melakukan pembangunan ekonomi lokal tanpa kehadiran serangkaian modal sosial yang memang sudah melekat dalam masyarakat lokal.Akhirnya, saya meyakini bahwa perdebatan di kalangan teoritisi terkait penggunaan modal dalam istilah modal sosial lebih bertumpu pada diskursus terminologi, dan bukan pada substansi peranan modal sosial itu sendiri. Is social capital really capital? Secara substansial, modal sosial adalah benar-benar komponen modal yang sifatnya intangible seperti yang dianut oleh teoritisi neo-capital theory, dan menjadi unsur pelumas bagi pemanfaatan komponen modal yang tangible seperti yang dianut oleh teoritisi classical theory of capital. Karya Bourdieu(1986); Bourdieu and Wacquant (1992) sangat berpengaruh, bukan hanya mereka memperhatikan perbedaan bentuk modal, tetapi juga tingkatan komponen modal tersebut dapat dipertukarkan. Dengan demikian, baik modal ekonomi, modal kultural, modal manusia, maupun modal sosial memiliki peran yang sama dalam sebuah pertukaran modal untuk menghasilkan keuntungan yang diharapkan oleh aktor. Kenyataan ini memang tidak dapat dipungkiri bahwa pertukaran modal yang tangible dan intangible merupakan kondisi natural dalam proses produksi barang dan jasa. Daftar BacaanAdam, Frane, and Borut Roncevic. 2003. 'Social Capital: Recent Debates and Research Trends.' Social Science Information 42: 155-183.Adam dan Someshwar, 1996. Social Capital and Development: Implication for Policy and Program. Paper, tidak diterbitkan.Adler, Paul S, and Seok-Woo Kwon. 2002. 'Social Capital: Prospects For a New Concept.' Academy of Management. The Academy of Management Review 27: 17-40.Bain, K., and N Hicks. 1998. 'Building social capital and reaching out to excluded groups: The challenge of partnerships.' in Paper presented at CELAM meeting on The Struggle Against Poverty Towards the Turn of the Millenium. Washington D.C.Baker, W. 1990. 'Market Networks and Corporate Behaviour.' American Journal of Sociology 96: 589 - 625.Bankston, Carl L, and Min Zhou. 2002. 'Social Capital as a Process: The Meanings and Problems of a Theoretical Metaphor.' Sociological Inquiry 72: 285-317.Becker, Gary S. 1964/1993. Human Capital. Chicago: University of Chicago Press.Belliveau, M. A, C. A III O'Reilly, and J. B Wade. 1996. 'Social Capital at the Top: Effects of Social Similarity and Status on CEO Compensation." Academy of Management Journal 39: 1568 - 1593.Boggs, Carl. 2001. 'Social capital and political fantasy: Robert Putnam's Bowling Alone.' Theory and Society 30: 281-297.Bourdieu, P. 1986. 'The Forms of Capital.' Pp. 241-58 in Handbook of theory and research for the sociology of education, edited by John G Richardson. New York: Greenwood Press.Bourdieu, P., and L. P. D. Wacquant. 1992. An Invitation to Reflexive sociology. Chicago: University of Chicago Press.Bowles, Samuel, and Herbert Gintis. 2002. 'Social Capital and Community Governance.' The Economic Journal 112: 419-436.

Boxman, E. A. W, P. M De Grant, and H. D Flap. 1991. 'The Impact of Social and Human Capital on the Income Attainment of Dutch Managers." Social Networks 13: 51 - 73.Brehm, John, and W Rahn. 1997. 'Individual-Level Evidence for the Causes and Consequences of Social Capital.' American Journal of Political Science 41: 999 - 1023.Brewer, Gene A. 2003. 'Building Social Capital: Civic Attitudes and Behavior of Public Servants.' Journal of Public Administration Research and Theory 13: 5-26.Burt, Ronald. 1998. 'The gender of social capital.' Rationality and Society 10: 5-46.-------. 2000. 'The Network Structure of Social Capital.' Research in Organisational Behaviour 22: 345-423.-------. 2001. 'Structural Holes Versus Network Closure as Social Capital.' Pp. 31-56 in Social capital : theory and research, edited by Ronald Burt. New York: Aldine de Gruyter.Cohen, D., & Prusak, L. (2001a). How to invest in social capital. Harvard Business Review, 79(5), 86-93.Cohen, D., & Prusak, L. (2001b). In good company: How social capital makes organizations work. Boston: Harvard Business School Press.Coleman, James S. 1988. 'Social Capital in the Creation of Human Capital.' The American Journal of Sociology 94: S95.--------. 1990. Foundations of social theory. Cambridge: Harvard University Press.Collier, Paul. 1998. 'Social Capital and Poverty.' World Bank.Cusack, Thomas. 1999. 'Social Capital, Institutional Structures, and Democratic Performance: A Comparative Study of German Local Governments." European Journal of Political Research 35: 1-34.Dekker, Paul, and Eric M. Uslaner. 2001. 'Introduction.' Pp. 1 - 8 in Social Capital and Participation in Everyday Life, edited by Eric M. Uslaner. London: Routledge.Dika dan Singh: 2002, p 34). Dika, S.L. and Singh, K. (2002) Applications of Social Capital in Educational Literature: A Critical Synthesis Review of Educational Research Spring 2002: Vol. 72, No. 1, pp. 31-60.Eastis, Carla M. 1998. 'Organisational diversity and the production of social capital.' American Behavioural Scientist 42: 66-77.Edwards, Bob, and Michael Foley. 1998. 'Civil society and social capital beyond Putnam.' American Behavioural Scientist 42: 124-139.Evans, Mel and Syrett, Stephen. 2007. Generating Social Capital? The Social Economy and Local Economic Development. European Urban and Regional Studies 14: 55-74.Field, John, Tom Schuller, and Stephen Baron. 2000. 'Social capital and human capital revisited.' Pp. 243-264 in Social Capital: Critical Perspectives, edited by Tom Schuller. Oxford: Oxford University Press.Foley, Michael, and Bob Edwards. 1999. 'Is it time to disinvest in social capital?' Journal of Public Policy 19: 141-73.Frank, Kenneth A, and Jeffrey Y Yasumoto. 1998. 'Linking action to social structure within a system: Social capital within and betw