26
1 BAB I PENDAHULUAN ANALISIS INTERVENSI NATO TERHADAP LIBYA : PERSPEKTIF POSKOLONIAL ‟‟To take the part in the African revolution it is not enough to write a revolutionary song: you must fashion the revolution with the people. And if you fashion it with the people, the songs will come by themselves, and of themselves. In order to achieve real action, you must be an element of that popular energy which entirely called forth the freeing, the progress and the happiness of Africa. There is no place outside that fight for the artist or for the intellectual who is not himself concerned with and completely at one with the people in the great battle of Africa and of suffering humanity, (Fanon, The Wretched of the Earth, p.166).” 1.1. Latar Belakang Awal mula pemicu kerusuhan di Libya disebabkan oleh protes yang terjadi pada tanggal 15 Februari 2011 di kota Benghazi untuk menuntut Qaddafi mundur dari kekuasaannya. Protes-protes tersebut segera berkembang dengan cepat menjadi konflik berdarah karena ditanggapi oleh pihak pemerintah Qaddafi dengan kekerasan. Ketika konflik telah meningkat di seluruh Libya, NTC (National Transitional Council) mengumumkan sebagai satu-satunya wakil organisasi Libya yang mewakili para pemberontak Libya untuk melawan kekuasaan rezim Qaddafi. Kemudian hal tersebut mendapat banyak dukungan dari warga Libya (Salessi, 2011). Sejalan dengan kerusuhan tersebut, situasi di Libya telah berkembang menjadi perang saudara sehingga mengakibatkan ratusan bahkan ribuan nyawa penduduk sipil meninggal (Nurhayati, 2011).

BAB I PENDAHULUAN ANALISIS INTERVENSI NATO …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63343/potongan/S2-2013... · Qaddafi di saat mereka membombardir Benghazi. Kota ... dihadapkan

  • Upload
    lamnga

  • View
    212

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

ANALISIS INTERVENSI NATO TERHADAP LIBYA : PERSPEKTIF

POSKOLONIAL

‟‟To take the part in the African revolution it is not enough to write a

revolutionary song: you must fashion the revolution with the people.

And if you fashion it with the people, the songs will come by themselves,

and of themselves. In order to achieve real action, you must be an

element of that popular energy which entirely called forth the freeing,

the progress and the happiness of Africa. There is no place outside that

fight for the artist or for the intellectual who is not himself concerned

with and completely at one with the people in the great battle of Africa

and of suffering humanity, (Fanon, The Wretched of the Earth,

p.166).”

1.1. Latar Belakang

Awal mula pemicu kerusuhan di Libya disebabkan oleh protes yang terjadi

pada tanggal 15 Februari 2011 di kota Benghazi untuk menuntut Qaddafi mundur

dari kekuasaannya. Protes-protes tersebut segera berkembang dengan cepat

menjadi konflik berdarah karena ditanggapi oleh pihak pemerintah Qaddafi

dengan kekerasan. Ketika konflik telah meningkat di seluruh Libya, NTC

(National Transitional Council) mengumumkan sebagai satu-satunya wakil

organisasi Libya yang mewakili para pemberontak Libya untuk melawan

kekuasaan rezim Qaddafi. Kemudian hal tersebut mendapat banyak dukungan dari

warga Libya (Salessi, 2011). Sejalan dengan kerusuhan tersebut, situasi di Libya

telah berkembang menjadi perang saudara sehingga mengakibatkan ratusan

bahkan ribuan nyawa penduduk sipil meninggal (Nurhayati, 2011).

2

Peristiwa konflik Libya tersebut di atas mendapat tanggapan internasional

dan reaksi keras dari DK PBB (Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa)

sampai pada akhirnya DK PBB mengeluarkan Resolusi 1970 dan Resolusi 1973

untuk menjatuhkan sanksinya terhadap rezim Qaddafi. Keterlibatan Amerika dan

sekutunya yang tergabung dalam NATO (North Atlantic Treaty Organization)

memegang peranan sangat penting dalam hal ini karena berlanjut dengan adanya

invasi NATO terhadap Libya yang menggunakan kekuatan militer dalam

mengintervensi Libya. Hal ini bisa dilihat dari pernyataan-pernyataan Presiden

Amerika, Barack Obama dan Sekretaris Jenderal NATO, Anders Fogh Rasmussen

dalam keterlibatannya atas konflik Libya tersebut sebagai berikut :

„‟Dalam waktu satu bulan, Amerika telah bekerja sama dengan rekan

internasional untuk memobilisasi koalisi, serta menjalankan mandat untuk

melindungi warga sipil. Kami berhasil mencegah pembantaian dan

menghentikan militer Libya yang kekuatannya terus bertambah besar serta

menerapkan zona larangan terbang terhadap Libya bersama dengan para sekutu. Saya tidak memiliki pilihan lain selain mengambil tindakan atas pasukan

Qaddafi di saat mereka membombardir Benghazi. Kota tersebut bisa saja

dihadapkan pada pembantaian yang meluas ke wilayah lain dan telah menodai

hati nurani (Obama, 2011).”

„‟When the United Nations took the historic decision to protect you, NATO

answered the call. We launched our operation faster than ever before. More

than 8,000 servicemen and women took part in our mission for Libya. We were

effective, flexible and precise,” Rasmussen said (NATO, 2011).‟‟

Fenomena invasi NATO dengan menggunakan kekuatan militer dalam

intervensinya terhadap Libya tersebut kemudian menjadi hal kontroversial dalam

percaturan politik internasional sehingga menyebabkan penulis tertarik untuk

melakukan penelitian ini. Penulis akan menganalisis intervensi NATO tersebut

dengan menggunakan perspektif poskolonial yang akan berbeda dengan

penelitian-penelitian yang telah ada sebelumnya. Pengggunaan kekuatan militer

oleh NATO ( Barat ) dalam intervensinya terhadap Libya telah menunjukkan

3

adanya sindrom kekuasaan kompleks (authority complex) dalam naungan otoritas

dan legitimasi DK PBB yang didaulatkan kebenarannya untuk mencapai tujuan

Barat. Sindrom ini mempunyai kutub lain pada para pemberontak Libya yaitu

muncul sindrom ketergantungan dalam diri mereka pada bantuan Barat

dikarenakan kedatangan mereka memang sengaja diundang untuk melakukan

perubahan rezim Libya sehingga terjadi hubungan kekuasaan yang timpang.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dari pemikiran tersebut di atas dalam penelitian

tesis Analisis Intervensi NATO terhadap Libya : Perspektif Poskolonial maka

penulis mengajukan pertanyaan yang mendasar: Mengapa Dewan Keamanan

Perserikatan Bangsa-Bangsa memberikan otoritas dan legitimasi kepada NATO

untuk mengintervensi Libya?

1.3. Respon Pengamat Hubungan Internasional atas Revolusi Libya dan

Intervensi NATO terhadap Libya

Dalam studi literatur ini, Penulis akan membahas beberapa respon dari

beberapa tulisan para ahli mengenai revolusi dalam konflik Libya dan intervensi

NATO terhadap Libya. Beberapa pendapat para ahli sangat mengecam atas ikut

campurnya NATO dalam mengintervensi Libya dengan menggunakan kekuatan

militer, tetapi sebaliknya ada beberapa pendapat menyatakan dukungannya

terhadap NATO atas intervensinya terhadap Libya walaupun dengan jalan

menggunakan kekuatan militer.

4

1.3.1. Revolusi Libya diprovokasi oleh Elit Transnasional

Konflik yang terjadi di Libya (Fotopoulos, 2011, p.1) dipicu oleh campur

tangan para elit transnasional. Para elit Transnasional dan sekutunya telah

berpihak pada kaum pemberontak Libya dengan membiayai secara sukarela baik

berupa senjata maupun perlengkapan militer lainnya untuk melawan rezim

Qaddafi. Di samping itu, untuk membantu memperburuk ataupun menghancurkan

citra rezim kekuasaan Qaddafi dalam pandangan internasional, elit transnasional

telah melakukan propaganda dengan mengendalikan media massa dunia. Menurut

Fotopoulos, pengaruh besar elit Transnasional dan sekutunya dalam revolusi

Libya, telah berhasil menghasut warga sipil Libya sehingga menyebabkan perang

saudara di Libya serta untuk menyelamatkan mereka dari kekejaman tirani rezim

Qaddafi (Fotopoulos, 2011).

Menurutnya, terkait dengan hal tersebut di atas, Elit Transnasional dalam

melakukan serangannya terhadap rezim Qaddafi di Libya (Fotopoulos, 2011, p.3)

telah melakukan beberapa tahapan sebagai berikut : Tahap pertama, adalah

dengan cara menghasut warga sipil Libya sehingga mengakibatkan perang

saudara di antara mereka sendiri. Tahap kedua, setelah berhasil menghasut warga

Libya, terjadilah pemberontakan massa dibantu oleh propaganda media massa

yang telah diatur oleh elit transnasional seperti contohnya Al Jazeera dan BBC

supaya orang-orang di seluruh dunia percaya bahwa apa yang mereka saksikan di

Libya dibikin seperti rakyat sedang melawan kekejaman diktator Qaddafi. Tahap

5

ketiga yaitu adanya persetujuan dari DK PBB didukung oleh persetujuan dari Liga

Arab juga sehingga diberlakukannya zona larangan terbang terhadap Libya.

Hasilnya sebagai tahap terakhir adalah pengumuman peluncuran perang oleh

inisiatif murni dari NATO yang diawali oleh negara-negara NATO dan beberapa

klien rezim Arab dalam melakukan invasinya terhadap Libya (Fotopoulus, 2011).

1.3.2. Intervensi Globalisasi Ekonomi dan Politik NATO terhadap Libya

Lanjutan tulisan Fotopoulos yang kedua, mencoba menjelaskan bahwa

intervensi NATO terhadap Libya (Fotopoulos, 2011, pp.1-3) mempunyai tujuan

untuk meminimalisasikan peran negara atau pemerintah Libya dalam

perekonomian global. Hal ini sangat berhubungan dengan ideologi globalisasi

transnasional yang melegitimasi globalisasi ekonomi dan politik. Tujuan ideologi

mereka adalah untuk membenarkan dan di satu sisi adalah untuk meminimalisasi

peran negara dalam perekonomian di era globalisasi ekonomi sekarang ini.

Menurut Fotopoulos, Elit Transnasional dalam meligitimasi ideologi globalisasi

menjadi dua dogma yang mendasar yaitu : dogma kedaulatan ekonomi terbatas

yang mengesahkan penghancuran semua dinas sosial dan dogma kedaulatan

nasional terbatas dengan melegitimasi penghancuran setiap negara yang berani

membangkang yaitu negara non-klien elit transnasional (Fotopoulos, 2011).

Dalam keterkaitan dogma-dogma tersebut di atas, dogma yang terakhir

khususnya (Fotopoulos, 2011, pp.1-3) mengandung nilai-nilai universal tertentu

dengan mengambil prioritas di atas kedaulatan nasional. Menurutnya, elit

6

transnasional yang dipimpin oleh elit Amerika Serikat tersebut harus

menggunakan „cara apapun yang diperlukan‟ mengutip terminologi PBB dari

pertimbangan kedaulatan nasional. Hal ini dilakukan oleh elit transnasional

sebagai doktrin kedaulatan terbatas yang digunakan untuk membenarkan

intervensi militer jika berani membangkang rezim dan yang berani menolak

organisasi politik dan gerakannya. Dengan kata lain elit transnasional akan

menganggap mereka yang berani membangkang sama seperti teroris. Fotopoulos

mengatakan bahwa negara-negara yang berpartisipasi dalam penyusunan piagam

PBB yang menyetujui prinsip kedaulatan terbatas dengan menukarkan janji

Dewan Keamanan untuk memberikan keamanan kolektif agar bisa mengatur

Libya (Fotopoulos, 2011).

Terkait dalam hal tersebut, Joshi dalam (Fotopoulos 2011, p.2) juga

mengatakan bahwa Barat mempunyai strategi yang tepat sekali karena telah ikut

memainkan peran yang penting sekali untuk menentang Qaddafi dengan

mendukung terciptanya realisasi intervensi NATO terhadap Libya melalui resolusi

Dewan Keamanan PBB. Mereka tidak hanya meminta intervensi terhadap Libya

tetapi juga melibatkan kaum pemberontak Libya yang tidak berpihak Qaddafi

dalam kenyataannya juga sedang digunakan sebagai tentara NATO (Fotopoulos,

2011).

Kesimpulannya dalam tulisan Fotopoulus yang pertama dan kedua ini,

mencoba menitik beratkan bahwa revolusi Libya terjadi akibat provokasi dari Elit

Transnasional. Selain itu, strategi Elit Transnasional dalam mempraktekan

ideologi pemerataan globalisasi ekonomi maupun politik secara liberal terhadap

7

Libya bertujuan untuk penghancuran perekonomian dan kedaulatan Libya dalam

kekuasaan Qaddafi. Hal ini akan diberlakukan bagi siapapun yang berani

menentang kebijakan Transnasional dan sekutunya.

Fotopoulos hanya memfokuskan tulisannya pada ideologi strategi elit

transnasional dan provokasi elit transnasional dalam revolusi Libya sehingga

menimbulkan perang sipil Libya. Oleh karena itu penting bagi Penulis untuk

menambahkan dan melihat lebih luas lagi reaksi dari sisi keterlibatan para

pemberontak Libya dengan para elit transnasional dalam keberhasilannya mereka

menggulingkan kekuasaan Qaddafi. Hal ini dimaksudkan supaya Penulis bisa

melihat lebih dekat lagi persoalan yang terjadi untuk membedah fenomena

terjadinya intervensi NATO terhadap Libya dalam penelitian tesis ini.

1.3.3. Perang Strategis Model NATO terhadap Libya

Menurut tulisan Petras, NATO dengan memenangkan dukungan

diplomatik Resolusi PBB sebagai jalan untuk mengamankan invasinya ke Libya.

Menurutnya, seluruh perang terhadap Libya adalah perang strategis model NATO.

Mengapa demikian? karena menurut Petras, dominasi Eropa-Amerika Serikat

akan menjadi terancam disebabkan oleh pemberontakan yang sekarang telah

meluas dari Afrika Utara hingga ke teluk Persia. NATO bergerak sangat cepat

sekali dalam invasinya ke Libya karena mereka ingin segera menghancurkan

rezim Qaddafi. Akhirnya yang terjadi sekarang adalah Tripoli telah berubah

menjadi sebuah pusat kolonial yang diperkuat oleh komando militer Amerika

8

Serikat dan NATO di Afrika sebagai pendorong kekuatan baru untuk memperkuat

hubungan militer mereka dengan kekaisaran imperialisme Barat. Invasi NATO

terhadap Libya telah menjadi peringatan dan pelajaran sebagai contoh bagi rezim-

rezim lainnya seperti Afrika Utara, Asia dan Amerika Latin yang berani

menentang kekuasaan Amerika-Eropa (Petras, 2011).

Tulisan Petras ini hanya memfokuskan Libya telah menjadi salah satu

contoh korban ekspansi Barat karena berani membangkang terhadap aturan

mereka dan dianggap akan mengganggu kelanggengan kekaisaran imperialisme

Barat.

Karya tulisan Petras ini belum berani menyentuh akan keterlibatan orang-

orang dalam Libya (NTC) atas keterlibatan mereka dalam invasi NATO terhadap

negara mereka itu sendiri.

1.3.4. Trik Elit Transnasional dalam Konflik Libya

Penyebab konflik Libya adalah akibat dari trik politik elit transnasional

dan para elit ekonomi transnasional telah didukung PBB serta diimplementasikan

oleh Amerika Serikat dan militer NATO. Bahkan, Doktrin Obama hanya

mengakui secara resmi keberadaan elit transnasional, bukan hanya kekuasaan

Amerika sebagai Reformis Kiri yang masih berbicara tentang perang untuk

melindungi rakyat Libya, tetapi kenyataannya bertujuan untuk melindungi

kepentingan dan nilai-nilai kapitalis neoliberal dan globalisasi (Sargis, 2011, p.1).

9

Kemudian menurutnya, Amerika dalam perang Libya mempunyai tujuan

untuk menjaga kepentingan-kepentingan yang belum dimanfaatkan dalam

mengeksploitasi pertumbuhan di seluruh wilayah Libya secara paksa ke dalam

ekonomi pasar global dan tatanan dunia baru yang dikelola oleh elit transnasional.

Selain itu, Barack Obama menganggap perannya terhadap Afrika Utara dan Timur

telah mengantar mereka ke dalam pasar ekonomi atas nama perwakilan

demokrasi. Padahal apa yang telah dilakukan Elit Transnasional dalam politik

ekonominya sama sekali bukan demokrasi yang benar-benar demokratis. Menurut

Sargis, seharusnya demokrasi yang harus diterapkan adalah demokrasi yang

inklusif oleh lembaga-lembaga internasional (Sargis, 2011, p.1).

1.3.5. Kemenangan Invasi NATO atas Libya

Pendapat-pendapat tersebut di atas bertolak belakang dengan pendapat

yang mengatakan bahwa intervensi NATO atas Libya merupakan sebuah

intervensi kemenangan aliansi NATO dalam menjalankan misi mereka untuk

melindungi warga sipil Libya yang tidak bersalah dengan menggulingkan

kekuasaan rezim Qaddafi. Ivo dan Stavridis menegaskan bahwa NATO sangat

tanggap dan merepon cepat sekali terhadap situasi yang memburuk di Libya

karena telah mengancam ratusan ribu warga sipil yang memberontak dalam

melawan rezim Qaddafi sebagai penindas rakyatnya sendiri (Ivo dan Stavridis,

2012, p.1).

10

Dalam menjalankan misinya tersebut, NATO mendapat dukungan kuat

dari Dewan Keamanan PBB sebagai akibatnya Libya dikenai sanksi dengan

diberlakukannya embargo senjata, zona larangan terbang, pembekuan aset serta

tuntutan atas Qaddafi ke pengadilan kriminal internasional di Den Haag karena

dianggap telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan pada akhir Februari

2011. Selain itu, Washington juga yang menanggung biaya atas resolusi PBB

untuk intervensi dan menyerukan agar masyarakat internasional untuk ikut

campur tangan karena pemerintah Libya telah gagal dalam menjaga warga sipil

mereka sendiri (Ivo dan Stavridis, 2012, p.1).

Kemudian, akhirnya pada tanggal 17 Maret 2011 akhirnya DK PBB telah

mengabulkan permintaan mandat „‟untuk mengambil semua langkah-langkah

yang diperlukan‟‟ dengan menggandeng sekutu mitra militernya (NATO) untuk

mengambil alih komando pengendalian operasi terhadap Libya dalam rangka

untuk memastikan integrasi yang efektif. Mendapat dukungan tersebut, NATO

didukung oleh aliansi dan mitra-mitranya segera membentuk operasi gabungan

atau yang dikenal dengan nama Operation Unified Protector dalam invasinya

terhadap Libya. Dengan demikian menurut mereka adanya intervensi di Libya

menunjukkan bahwa NATO dengan politik kohesifnya mampu mengatasi

persoalan yang semakin kompleks dan global dalam tantangan keamanan dunia.

Sebagai buktinya bisa dilihat NATO telah mencapai kesuksesan yang gemilang

dalam intervensinya ke Libya (Ivo dan Stavridis, 2012, pp.1-2).

11

1.3.6. Penerapan Prinsip Responsibility to Protect terhadap Libya

Nurhayati menjelaskan bahwa aksi para demostran Libya yang berunjuk

rasa dalam bulan Februari dengan tujuan menuntut demokrasi dan pengunduran

diri Qaddafi dari rezim kekuasaannya menyebabkan terjadinya perang sipil Libya.

Hal itu disebabkan karena Qaddafi dalam menanggapi para demonstran disertai

dengan tindakan kekerasan. Qaddafi memerintahkan pasukannya untuk

menyerang, menembaki mereka dengan mengerahkan tank-tank militer untuk

menyapu bersih mereka karena berani menentangnya. Masyarakat internasional

sangat mengecam dan mengkritik tindakan kekerasan yang telah dilakukan oleh

Qaddafi karena tega membantai rakyatnya sendiri padahal seharusnya

pemerintahan Libya wajib bertanggung jawab dan melindungi hak asasi warganya

tersebut. Nurhayati mengatakan bahwa hal ini tidak sesuai dengan prinsip

resposnsibility to protect yang telah menjadi satu norma internasional bagi

masyarakat internasional. Menurut (Nurhayati, 2011) responsibility to protect

adalah:

“Hak asasi manusia bersifat universal, dimana perlindungan dan penegakkan hak

asasi manusia tidak bisa dihambat oleh sekat-sekat batas negara. Negara beserta

aparat negara mempunyai kewajiban untuk melindungi (responsibility to

protect) dan menegakkan hak asasi warganya. Akan tetapi, jika ada negara yang tidak mau ataupun tidak mampu menjalankan kewajiban tersebut, maka

masyarakat internasional kemudian akan turun tangan untuk „memeberitahu‟

rezim berkuasa tentang kewajiban mereka untuk melindungi warganya (

Nurhayati, 2011).”

Menurutnya, pandangan internasional Qaddafi tidak mempunyai kemauan

politik untuk menerapkan prinsip responsibility to protect untuk melindungi

warganya. Rezim Qaddafi dianggap telah melakukan tindakan kejahatan dalam

12

Hak Asasi Manusia, maka akhirnya DK PBB turun tangan untuk menjatuhkan

sanksinya dengan dikeluarkannya Resolusi 1970 dan dilanjutkan dengan Resolusi

1973 sebagai perwujudan penerapan prinsip responsibility to protect dan NATO

telah didaulat sebagai pelaksana dalam mengintervensi Libya tersebut (Nurhayati,

2011).

Namun, konsep responsibility to protect sampai sekarang masih dalam

perdebatan secara hukum internasional, terutama jika diterapkan dalam dunia

modern yang ada sekarang ini. Munculnya konsep dari responsibilty to protect

masih merupakan sebagai tantangan konsep dipandang secara teoritis dari

kekuasaan negara. Konsep tersebut, sepertinya hanya sebagai sebuah pemberian

makna konsep saja dalam arti sebagai perlindungan tanggung jawab, tetapi masih

banyak terdapat pertanyaan-pertanyaannya yang diajukan dan belum terjawab

dalam disiplin ilmu hukum. Dalam penerapan komitmen secara formal, hal

tersebut masih sebagai tantangan bagi penerapan kesetaraan kedaulatan dalam

penetuan nasib sendiri dan non intervensi yang biasa diapakai sebagai prinsip-

prinsip dasar hukum yang ada dalam piagam PBB ( Orford, 2011, p.41).

Penulis melihat dari tulisan-tulisan tersebut di atas dalam permasalahan

konflik yang terjadi di Libya disebabkan oleh faktor dari dalam maupun dari luar

yang ikut campur tangan dalam permasalahan tersebut. Negara-negara yang

terlibat di dalamnya, mempunyai kepentingan-kepentingan baik secara ekonomi

maupun politik dan ikut andilnya mereka dalam konflik sebagai pencarian solusi

konflik Libya. DK PBB juga tidak segan-segan untuk menjatuhkan sanksinya

13

terhadap rezim Qaddafi dan mendukung intervensi NATO terhadap Libya dengan

penerapan responsibility to protect demi alasan kemanusiaan.

Melihat pemaparan tulisan-tulisan tersebut diatas dalam keterkaitannya,

Penulis masih melihat adanya kekurangan dan hal penting yang masih belum

disinggung dalam tulisan-tulisan tersebut diatas. Oleh karena itu dalam penelitian

tesis ini, Penulis akan menambahkan masukan ide tentang kekuasaan Barat yang

mempunyai sindrom kekuasaan kompleks. Kemudian Penulis akan

mengembangkannya pada bagian analisis bahwa dalam kasus Libya ini

bagaimana kekuasaan Barat yang dominan telah menyebabkan sindrom

ketergantungan bagi para pemberontak Libya karena kedatangan Barat tersebut

memang justru sengaja diundang oleh mereka untuk membantu melakukan

perubahan kekuasaan rezim Libya.

Menurut penulis, keputusan DK PBB tersebut juga sangat luar biasa sekali

karena dipengaruhi oleh kekuasaan Barat yang dominan sehingga telah berhasil

melenggangkan langkah NATO dalam mengintervensi Libya dengan penggunaan

kekuatan militer. Bagi penulis keputusan dan mandat DKK PBB tersebut terlalu

tergesa-gesa diambil karena mendapat pengaruh kekuasaan dan desakan dari

negara-negara kuat Barat. Pengaruh kekuasaan ini sangat luar biasa kuat sekali

karena mampu mengendalikan lembaga tertinggi yang ada di dunia sampai saat

ini. Dominasi pengaruh kekuasaan Barat tersebut dalam pengendalian

pengambilan keputusan sanksi atas Libya juga akan dianalisis Penulis dengan

menggunakan perspektif poskolonial agar bisa membedah fenomena kontroversial

intervensi NATO terhadap Libya dalam penelitian tesis ini.

14

1.4. Perspektif Poskolonial dalam Intervensi NATO terhadap Libya

Penulis dalam mengungkap fenomena intervensi NATO terhadap Libya

akan menggunakan perspektif poskolonial dalam analisisnya untuk menjawab

pertanyaan yang ada dalam rumusan masalah : Mengapa DK PBB memberikan

otoritas dan legitimasi kepada NATO untuk mengintervensi Libya?

Bagian awal dalam kerangka konseptual ini, Penulis mencoba

memaparkan terlebih dahulu tentang pemahaman dari intervensi kemanusiaan,

definisi dari sindrom dan authority menurut kamus yang diakui dan layak dipakai

secara akademis dan kutipan tentang „Amerika‟ yang merupakan bagian dari

Barat. Semuanya itu akan dijelaskan secara garis besarnya dengan tujuan untuk

mengaitkan dan menguatkan argumen Penulis tentang sindrom kekuasaan

kompleks dan sindrom ketergantungan yang dimaksud. Selanjutnya Penulis akan

menjelaskan pemahaman perspektif poskolonial dalam intervensi NATO terhadap

Libya secara singkat di bagian inti dari kerangka konseptual ini untuk dapat

menyambungkannya dalam menjawab pertanyaan penelitian tesis ini yang akan

dianalisis lebih mendalam pada bagian Bab III nanti.

1.4.1. Memahami Intervensi Kemanusiaan

Invasi NATO dalam mengintervensi Libya dengan menggunakan kekuatan

militer dengan alasan demi kemanusiaan telah menjadikan polemik yang

kontroversial dalam masyarakat internasional. Penulis mencoba menjelaskan

15

secara garis besarnya terlebih dahulu dengan mengutip pendapat-pendapat para

ahli dalam tulisannya tentang arti dan pemahaman tenntang intervensi

kemanusiaan sebagai berikut :

Makna tujuan dari intervensi kemanusiaan adalah untuk mencegah atau

mengakhiri pelanggaran yang lebih luas dan berat secara fundamental dalam hak

asasi manusia maupun individu yang lain dari warga negaranya sendiri tanpa izin

dari dalam negara tersebut dalam bentuk wilayah yang diterapkannya (Holzgrefe

dan Keohane, p.18).

Pengecualiannya adalah dua jenis nonforcible seperti contohnya

intervensi seperti ancaman ataupun penggunaan saksi ekonomi ataupun

diplomatik dan lain lainnya. Intervensi ini dimaksud dengan tujuan melindungi

atau menyelematkan intervensi untuk negara sendiri. Alasannya adalah bukan

karena legalitas ataupun moralitas jenis intervensi di sini tidak menarik ataupun

tidak penting, tetapi karena justru pertanyaan yang penting di sini adalah apakah

negara dapat menggunakan kekuatan untuk melindungi hak asasi manusia

individu lain dari warga negara mereka sendiri yang lebih mendesak dan

kontroversial (Holzgrefe dan Keohane, p.18).

Istilah intervensi kemanusiaan adalah istilah yang sangat populer dan

seringkali digunakan untuk menunjukkan suatu atau tatanan secara luas dari

tindakan internasional. Intervensi kemanusiaan pendistribusiannya terletak pada

bantuan kemanusiaan dalam hampir semua bentuk intervensi militer, terlepas dari

semua itu apakah itu dalam bentuk respon terhadap krisis kemanusiaan yang

serius (Pattison, 2010, p.24).

16

Selain itu, intervensi kemanusiaan (Orford, 2003, p.42) dalam

menegaskan pendapatnya mengatakan bahwa alasan dengan dalih intervensi

kemanusiaan seharusnya ditolak. Oleh karena alasan intervensi kemanusiaan

dapat memberikan makna dari lisensi hukum yang masih sangat luas cakupannya

dalam melakukan intervensi eksternal yang berhubungan dengan urusan negara-

negara lemah.

1.4.2. Definisi: Sindrom, Authority dan Amerika merupakan bagian

dari Barat.

Sindrom artinya: “himpunan gejala atau tanda yang terjadi serentak

(muncul bersama-sama) dan menandai ketidaknormalan tertentu; hal-hal (seperti

emosi atau tindakan) yang biasanya secara bersama-sama membentuk pola yg

dapat diidentifikasi”(Sindrom dalam http://kamusbahasaindonesia.org/sindrom,

2013). Oleh “Oxford Dictionaries, Syndrome is a group of symptoms which

consistently occur together, or a condition characterized by a set of associated

symptoms: a characteristic combination of opinions, emotions, or behaviour

(Syndrome dalam http://oxforddictionaries.com/definition/english/syndrome,

2013)

Mengutip definisi “Authority” dalam Black‟s Law Dictionary dijelaskan

sebagai berikut:

Authority:“The right or permission to act legally on another's behalf; esp., the

power of one person to affect another's legal relations by acts done in

accordance with the other's manifestations of assent; the power delegated by a

principal to an agent <authority to sign the contract>. - Also termed power over

other (Garner, 2009, p.152).”

17

Authority oleh Penulis dalam penelitian tesis ini juga yang dimaksud

adalah bagaimana kekuasaan Barat telah memainkan perannya dalam pengaruh

kekuasaan mereka atas otoritas hukum yang berlaku yang ada dalam DK PBB.

Selain itu Penulis mencoba menjelaskan bahwa Amerika Serikat juga

merupakan bagian dari Barat (Eropa) karena akar sejarah Amerika juga awalnya

berasal dari Eropa (Barat). Hal tersebut dikutip oleh Penulis supaya ada gambaran

yang jelas tentang Barat (Eropa) yang dimaksud dalam analisis penelitian tesis ini.

“The view of the United States of international law arises from

America‟s European origin and from the fact that the United States is

heir to the central political position previously held by Great Britain.

The United States product of Western European culture and civilization

and the first offspring of the British Empire. Despite its revolutionary

separation from Britain, in is its legal traditions and international

outlook the United States behaves as the progeny of Europe (Jones,

1991, p.531).”

1.4.3. Memahami Makna Ketergantungan

Makna dari ketergantungan sangat luas sekali, Penulis mencoba

menjelaskan gambaran makna tentang ketergantungan secara singkat dari

beberapa pendapat sebagai berikut :

Pendapat dari Santos dalam (Macridis dan Brown 1986, p.558)

mengatakan bahwa ketergantungan adalah suatu situasi yang terdiri dari beberapa

negara tertentu, dengan ekonominya yang terkondisi oleh perkembangan dan

ekspansi negara lain yang menempatkan negar-negara yang bergantung ini dalam

posisi terbelakang dan dieksploitasi oleh negara-negara yang dominan (Macridis

dan Brown, 1986, p.558).

18

Dengan kata lain dalam arti yang lebih luas, ketergantungan menurut

Santos dalam Chilcote (2007, pp.401-402) adalah sebuah situasi dimana ekonomi

negara-negara tertentu terkondisikan oleh perkembangan dan ekspansi ekonomi

lain yang menjadi tempat bergantung negara-negara tadi. Hubungan saling

ketergantungan antara dua atau lebih secara ekonomi, dan antara perekonomian-

perekonomian ini dengan perdagangan dunia yang ada, dapat mengambil bentuk

ketergantungan sementara dari beberapa negara yang dominan. Negara-negara

yang mendominasi tersebut dapat melakukannya hanya sebagai pencerminan

ekspansi, yang bisa memiliki pengaruh positif ataupun negatif bagi perkembangan

langsung mereka (Chilcote, 2007, pp 401-402).

„‟Perspektif ketergantungan mengansumsikan bahwa perkembangan suatu

unit nasional atau regional hanya dapat dipahami dalam hubungannya dengan

perkembangan sejarahnya menurut sistem politik ekonomi dunia yang muncul

dengan gelombang penjajahan Eropa. Sistem global ini kiranya ditandai oleh

perkembangan yang tidak merata dan gabungan perkembangan dari

komponen-komponen yang berbeda (Macridis dan Brown, 1986,

pp.558).‟‟

1.4.4. Memahami Perspektif Poskolonial

Menurut beberapa pendapat dari para ahli atas sumbangan ilmu

pengetahuannya dalam perspektif poskolonial mengatakan bahwa

„‟Selain hasrat ketertertarikan untuk melestarikan subyek Barat, atau Barat

sebagai subyek (Spivak dalam dalam Edkins,Williams, 1999, p.248) adalah teori

tentang subyek dan efek yang terpluralisasi. Hal ini sering menjadi penutup bagi

subyek pengetahuan ini. Meskipun sejarah Eropa sebagai Subyek dinaratifkan

oleh hukum, politik, ekonomi, dan ideologi Barat, subyek yang tersembunyi ini

berpura pura tidak memiliki determinasi geopolitik. Dengan demikian, kritik

yang banyak dipublikasikan terhadap subyek berdaulat adalah benar benar justru

meresmikan sebuah subyek (Edkins,Williams, 2010, pp.419-420).‟‟

19

„‟Dalam konteks globalisasi, untuk menjadi poskolonial, tampaknya lebih sesuai

daripada sekedar jadi multikultural metropolitan. Cara ini adalah cara untuk

berurusan dengan globalisasi yang terjadi hampir pada semua fenomena yang

lumayan baru. Dalam rangka memberikan kedalaman historis pada globalisasi,

untuk memindahkannya Anda harus memindahkannya dalam poskolonialitas

(Edkins, Williams, 2010, p.418).‟‟

Selain itu, Spivak dalam Morton dalam (Edkins dan Williams, 2010,

p.419) mengatakan bahwa tujuan yang lebih kompleks adalah dalam upayanya

yang terus menerus dalam menghubungkan pengalaman-pengalaman dari

individu-individu dan kelompok-kelompok sosial yang secara historis telah

dijajah dan dieksploitasi oleh kolonialisme Eropa. Hal ini bisa diartikan bahwa

ekspansi kolonial adalah tentang pelabelan tempat-tempat dalam cara-cara mereka

yang terjalin dengan ide ide berbasis ras tentang others: native (Edkins,Williams,

2010, p.419).

Semua hal tersebut diatas menurut Keyman dalam Kinvall dalam (Edkins

dan Williams, 2010, p.419) mempunyai tujuan untuk menunjukkan bagaimana

Eurosentrism telah dan terus menjadi prasyarat untuk kita membangun visi

tentang other (Edkins,Williams, 2010, p.419).

Menurut pendapat Mannoni dalam (Fanon 2008, p.73) berpendapat bahwa:

„‟Tidak semua orang bisa dijajah, hanya mereka yang memerlukan kebutuhan ini

yang bisa dijajah (kebutuhan akan ketergantungan).‟‟ Dimanapun orang-orang

Eropa mendirikan atau mengadakan penjajahan, bisa dikatakan bahwa kedatangan

mereka secara tidak sadar diharapkan bahkan didambakan oleh orang-orang yang

terjajah. Dimana-mana ada legenda yang menceritakan bahwa kedatangan orang

asing dari seberang laut yang membawakan hadiah-hadiah yang menakjubkan

bersama mereka. Ide tersebut diatas seperti itu seolah-olah menunjukkan bahwa

20

Eropa (Barat) menderita sindrom kekuasaan sementara orang-orang terjajah

menderita sindrom ketergantungan (Fanon, 2008, p.73).

Selain itu, dalam karya tulisan „‟Orientalism‟‟ Said dalam sumbangsihnya

atas perspektif poskolonial berpendapat bahwa:

„‟The Orient is not only adjacent to Europe; it also the place of Europe‟s greatest and richest and oldest colonies, the source of its civilizations and

languages, its cultural contestant, and one of its deepest and most recurring

images of the Other. In addition, the Orients has helped to define Europe (or the

West) as its contrasting image, idea, personality, experience. Yet none o this

Orient is merely imaginative. The Orients is an integral part of European

material civilization and culture (Said, 2003, pp.1-3).‟‟

Perspektif poskolonial muncul untuk membuat pembaharuan bagi

produksi pengetahuan di Barat tentang orang-orang non Barat dengan melihat

hubungan antara pembentukan pengetahuan dan dampaknya terhadap politik

kehidupan sehari-hari. Kekuatan dari teori ilmu pengetahuan ini sering

mempunyai implikasi yang lebih luas karena strukturnya mempengaruhi proses

pembuatan kebijakan. Fokus pada perhatian mikropolitikal poskolonial ini penting

dikarenakan efek nyatanya dari rezim pengetahuan juga dirasakan. Kekuatan teori

poskolonial justru terletak pada penolakannya untuk memperbaiki dari disiplin

dengan ide yang universal. Sedangkan masalah implementasinya yang

bermasalah global, poskolonial mencoba untuk menghindarinya (Chowdhry dan

Nair, 2004, pp.209-211)

Perspektif poskolonial memiliki relevansi dalam hubungan internasional

dalam memberikan pemahaman tentang cara-cara dimana titik imperial yang

terlibat dalam struktur pembangunan hubungan kontemporer dan dominasinya.

21

Kita percaya bahwa sebuah keterlibatan reflektif dengan pengalaman penjajahan

dan kekuatannya untuk membentuk realitas masa lalu dan saat ini dalam tingkat

lokal, nasional maupun global jauh lebih bermanfaat dan konstruktif. Dalam

idealisnya, poskolonial adalah sebagai bentuk yang terlibat dalam berbagai

praktek struktur dari kekuasaan-kekuasaan kolonial yang mempunyai hubungan

global terhadap praktek praktek dalam ketahanannya (Chowdhry dan Nair, 2004,

pp.209-211).

Shohat dalam (Chowdhry dan Nair 2004, p.11) menjelaskan bahwa

implikasi dari poskolonial bukan merupakan masalah masalalu yang

menghancurkan kolonialisme secara ekonomi, politik dan pembentukan budaya di

masa yang akan datang. Akan tetapi, poskolonial dengan tidak sengaja telah

menyembunyikan atau mengabaikan persoalan-persoalan yang terjadi atas

kenyataan-kenyataan yang ada dengan menjadikannya sebagai global hegemoni

(Chowdhry dan Nair, 2004, p.11).

Oleh karena itu, menurut Shome dalam (Chowdry dan Nair 2004, p.11)

istilah poskolonial memungkinkan kita untuk memahami pergeseran kompleks

yang ditimbulkan oleh dekolonialisasi. Sementara di sisi-sisi yang lain, dalam

pemikiran yang tidak terlalu jauh, mengklaim adanya perpecahan lengkap dari

beberapa hubungan kolonial sebelumnya dalam fase ini. Mereka melihat bahwa

dalam istilah poskolonial ada sesuatu yang berhubungan tentang politik yang

kompleks dalam hubungan ekonomi dan budaya serta dugaan-dugaan dari masa-

masa kontemporer yang ada di dalamnya (Chowdry dan Nair 2004, p. 11).

22

Intinya esensi dari perspektif poskolonial (Sugiono, 2011) adalah

pemahamannya berbicara tentang ras, Eropa (Barat) dan non Eropa (Non Barat).

Sedangkan dalam hubungan internasional yang dilihat adalah bukan dari kriteria

waktunya, tetapi tentang pemahaman cara pandangnya.1

Dalam keterkaitannya pandangan-pandangan dan kutipan-kutipan tersebut

diatas untuk menganalisis penelitian analisis intervensi NATO terhadap Libya,

Penulis menggunakan perspektif poskolonial yang menitik beratkan bagaimana

dominasi kekuasaan Barat telah mendaulatkan atau memapankan kebenarannya

sesuai dengan subyek yang diinginkannya dalam naungan otoritas dan legitimasi

DK PBB untuk mencapai tujuan mereka. Masalahnya kedatangan mereka

memang justru sengaja diundang oleh para pemberontak Libya yang terwakili

oleh NTC untuk membantu mereka dalam melakukan perubahan rezim Libya. Hal

ini menyebabkan sindrom ketergantungan bagi para pemberontak Libya sehingga

membentuk hubungan kekuasaan yang timpang.

Dalam kesinambungannya untuk penjelasan-penjelasan detailnya akan

diuraikan dan dianalisis oleh Penulis dalam Bab III nanti.

1.5. Argumen Utama

Berdasarkan perspektif poskolonial Penulis berargumen bahwa Dewan

Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa memberikan otoritas dan legitimasi

kepada NATO untuk mengintervensi Libya karena otoritas dan legitimasi DK PB

1Dirangkum oleh Penulis dari penjelasan-penjelasan pada waktu presentasi kuliah dalam

mengikuti mata kuliah Perspektif Politik Global pada angkatan HI 17 oleh Muhadi Sugiono pada

tanggal 18 Februari 2011 dan 20 Mei 2011.

23

telah terkendali oleh pengaruh kekuasaan Barat dan kedatangan mereka Barat /

NATO tersebut memang juga sengaja diundang oleh para pemberontak Libya

yang menginginkan perubahan rezim kekuasaan Libya. Sikap para pemberontak

Libya tersebut menciptakan sindrom ketergantungan mereka atas kontrol dan

agenda kekuasaan Barat sehingga membentuk hubungan kekuasaan yang timpang.

NATO dalam naungan otoritas dan legitimasi DK PBB menunjukkan sindrom

kekuasaan kompleks (authority complex) dari Barat yang menegaskan Barat

sebagai pihak yang berdaulat dan untuk mencapai intervensi tersebut dianggap

sebuah kebenaran untuk mencapai tujuan mereka.

1.6. Metode Penelitian

Tesis ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang menggunakan

data sekunder sebagai dasarnya untuk pengembangan penelitian analisis intervensi

NATO dalam perspektif poskolonial untuk tujuan meneliti sindrom authority

complex Barat dan sindrom ketergantungan Libya. Dalam penelusuran

pengambilan untuk memperoleh data sekunder, penulis mencermati Resolusi

1970 dan Resolusi 1973 DK PBB Bab VII Piagam PBB, Pasal 39, 41 dan 42 oleh

Dewan Keamanan PBB sebagai jalan pembuka NATO dalam melakukan

intervensinya terhadap Libya secara legal base dengan menggunakan kekuatan

militer. Penulis juga telah memilah buku-buku kajian pustaka, analisis jurnal,

artikel maupun sumber internet yang berhubungan dengan topik penelitian tesis

24

ini sebagai bahan penelitian agar bisa dianalisis dan dapat dipertanggung-

jawabkan secara akedemis.

1.7. Sistematika Penulisan

Tesis ini akan disusun ke dalam beberapa bagian, pada Bab Pendahuluan

berisi tentang latar belakang Intervensi NATO terhadap Libya, rumusan masalah,

reviu literatur. Pada bagian kerangka konseptual Penulis tertarik untuk membedah

fenomena intervensi NATO tehadap Libya dengan cara menggunakan perspektif

poskolonial supaya penelitian ini bisa dibedakan dengan penelitian-penelitian

yang sudah ada sebelumnya. Penulis akan menekankannya pada Eropa

(Barat /NATO) yang mempunyai sindrom kekuasaan kompleks yang

mengakibatkan sindrom ketergantungan bagi non Eropa (Non Barat). Pada bagian

argumen utama Penulis menekankan kekuasaan selalu ada pada Barat dalam

agenda dan kontrol kekuasaannya untuk melakukan perubahan rezim Libya

dengan memapankan kebenaran mereka terlebih dahulu dalam otoritas dan

legitimasi DK PBB untuk mencapai tujuan mereka. Hal ini menyebabkan sindrom

ketergantungan bagi Libya karena kedatangan Barat memang sengaja

diundangnya sehingga membentuk hubungan kekuasaan yang timpang. Kemudian

untuk melengkapinya pada bab pendahuluan ini disertai dengan metode penelitian

serta sistematika penulisan sebagai panduan untuk pengembangan selanjutnya

dalam penelitian tesis ini.

25

Penulis akan membahas tentang bagaimana kekuasaan absolut Qaddafi

setelah mulai berkuasa pada tahun 1969 pada Bab II. Qaddafi dalam

kekuasaannya telah membuat negaranya menjadi lebih berperan aktif dan tidak

dipandang sebelah mata oleh internasional dengan ditopang oleh kekayaan

minyak yang melimpah pula Libya menjadi target kerjasama ekonomi maupun

politik yang komersial. Penyebab sampai terjadinya perang sipil di Libya akan

ditelusuri lebih dalam lagi pada bab ini dalam kronologi perang sipil Libya

dengan menguraikannya secara singkat.

Pada Bab III penulis akan menganalisis intervesi NATO terhadap Libya

dengan menjawab pertanyaan yang ada didalam rumusan masalah penelitian :

Mengapa NATO DK PBB memberikan otoritas dan legitimasi kepada NATO

untuk mengintervensi Libya? Penulis dalam Bab ini akan memaparkan bagaimana

aktor negara-negara Barat yang terwujud oleh NATO terlibat dalam intervensi

perang sipil Libya. Otoritas dan legitimasi Dewan Keamanan PBB dalam naungan

hukum Resolusi 1970 dan kemudian diteruskan dengan Resolusi 1973 telah

menjadi dasar hukum sah bagi NATO untuk melakukan intervensinya terhadap

Libya dengan penggunaan kekuatan militer demi alasan kemanusiaan dan untuk

menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Penulis akan menganilisis

bagaimana otorisasi dan legitimasi Dewan Keamanan PBB juga telah digunakan

untuk kepentingan politik negara-negara kuat (Barat /Eropa) dalam pengaruh

kekuasaan mereka dengan memapankan kebenarannya terlebih dahulu untuk

mencapai tujuan mereka. Dalam keterkaitannya tersebut Penulis akan

menganilisnya dengan menggunakan perspektif poskolonial dengan penegasan

26

subyek kebenaran yang didaulatkan ada pada Eurosentrism sehingga Eropa

(Barat) bagi pandangan masyarakat internasional dan para pemberontak Libya

untuk membantu mereka melakukan perubahan rezim Libya dengan cara

menggulingkan kekuasaan Qaddafi. Intinya dari analisis ini adalah Barat

mempunyai sindrom kekuasaan kompleks dan para pemberontak Libya menderita

sindrom ketergantungan atas agenda dan kontrol kekuasaan Barat karena

kedatangan Barat memang sengaja diundang oleh mereka sehingga membentuk

hubungan kekuasaan yang timpang.

Bab penutup, akan berisikan tentang kesimpulan dari analisis intervensi

NATO terhadap Libya dalam perspektif poskolonial yang menjelaskan dengan

merangkumnya secara jelas bagaimana perang sipil yang terjadi di Libya dengan

intervensinya NATO yang menggunakan kekuatan militer menjadi sebuah

kesimpulan yang sangat menarik dan berbeda dengan penelitian-penelitian yang

lain. Penulis berharap agar perspektif poskolonial dalam pengembangannya bisa

menjadi jembatan untuk mengungkapkan kebenaran-kebenaran yang masih sering

diperdebatkan dan kedepannya nanti bisa berguna bagi kepentingan masyarakat

internasional dan dunia akademis.